Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 6
menemukan tempat berlindung di sebuah biara lain. Dan sudah hampir pasti, tentulah biara dari ordo yang sama: Cistercian.
Kolonel Acoca kini mempelajari kembali peta itu. Dan
didapatkannya itu: Mendavia. Ada sebuah biara Cistercian di Mendavia. Ke sanalah mereka itu menuju, Acoca
bersorak di dalam hati. Dan aku pun akan ke sana.
Tetapi, ia akan lebih dulu berada di sana menunggu
mereka tiba. Perjalanan juga sudah hampir berakhir bagi Ricardo dan Graciela.
Hari-hari terakhir itu merupakan yang paling bahagia
bagi Ricardo. Dirinya sedang dikejar-kejar tentara dan polisi, penangkapan atas dirinya berarti kematian secara pasti, namun semua itu seakan-akan tidak penting. Seakan-akan dirinya dan Graciela telah memahat sebuah pulau
dalam waktu; sebuah nirwana yang membuat mereka tidak dapat disentuh oleh apa pun. Mereka telah mengubah
perjalanan penuh bahaya itu menjadi sebuah pengalaman yang indah, yang mereka alami bersama.
"Kita akan menikah di gereja." Ricardo berkata. "Kau akan menjadi mempelai wanita yang paling cantik di
dunia. ." Dan Gcaciela dapat membayangkan adegan itu dan
digetarkan hatinya olehnya.
"Dan kita akan tinggal di sebuah rumah yang bagus. ."
Pikir Graciela: Aku tidak pernah memiliki rumahku
sendiri, atau sebuah kamar yang benar-benar milikku.
"Dan kita akan mempunyai putra-putra yang tampan dan putri-putri yang cantik. ."
Dan akan kuberikan segala-galanya kepada mereka,
segala yang tidak pernah kumiliki. Mereka akan dicintai dan disayang.
Dan kebahagiaan Graciela itu menjulang tinggi.
Namun ada satu hal yang mencemaskan dirinya. Ricardo
adalah seorang prajurit yang berjuang untuk suatu cita-cita yang menjadi keyakinannya. Apakah Ricardo akan puas
hidup di Perancis, terpisah dari kancah perjuangan itu"
Graciela menyadari bahwa hal itu harus dibicarakannya dengan Ricardo.
"Ricardo.. masih berapa lamakah menurutmu revolusi ini akan berlangsung?"
Telah berlangsung terlalu lama, Ricardo berpikir.
Pemerintah telah menawarkan beberapa langkah perdamaian, tetapi ETA tetap menolak tawaran-tawaran
itu. ETA telah menjawab tawaran-tawaran itu dengan
meningkatkan serang-serangan terorisme. Ricardo telah mencoba membicarakan hal itu dengan Jaime.
"Mereka bersedia berkompromi, Jaime. Mengapa tidak kita sambut itu setengah jalan?"
"Tawaran mereka itu cuma suau tipu muslihat. . mereka tetap hendak menghancurkan kita. Merekalah yang
memaksa kita meneruskan perjuangan ini. "
Dan karena Ricardo mencintai Jaime dan percaya dan
yakin padanya, ia terus mendukung Jaime. Namun
kesangsian-kesangsian itu tidak juga mau hilang. Dengan semakin meningkatnya pertumpahan darah, semakin besar pula kesangsiannya. Dan kini Graciela yang bertanya. Masih berapa lama lagi revolusi ini akan berlangsung"
"Entahlah, aku sendiri ingin revolusi ini segera berakhir."
Ricardo menjawab. "Tetapi, aku akan mengatakan satu hal padamu, sayangku. Tidak akan ada
yang menghadang di antara kita. . juga peperangan tidak akan bisa memisahkan kita. Dan tidak akan pernah ada
cukup kata-kata untuk kunyatakan cintaku padamu."
Dan mereka melanjutkan impian-impian mereka itu.
Mereka melakukan perjalanan di waktu malam,
melewati El Burgo dan Soria. Pada waktu fajar, dari puncak sebuah bukit, mereka melihat Logrono di kejauhan. Di
sebelah kiri jalan itu tampak pohon-pohon pinus dan di sananya lagi sebuah hutan tiang-tiang kabel listrik. Graciela dan Ricardo mengikuti jalan yang berkelok-kelol itu
menuju ke pinggiran kota yang ramai itu.
"Di manakah kita akan bertemu dengan yang lainlainnya?" Graciela bertanya.
Ricardo menunjuk pada sebuah poster yang tertempel
pada dinding sebuah bangunan yang sedang mereka lewati.
CIRQUE JAPON! SJIRKUS PALING MENGGEMPARKAN DARJ JEPANG!
DARI TANGGAL 27 JULI SELAMA SATU MINGGU AVENIDA CLUB DE PORTlVO Semangat Acoca menggebu-gebu. Kali ini perangkapnya
sempurna. Dan ia sendiri secara pribadi memimpin operasi.
Opus Mundo akan bangga atas dirinya.
"Bagaimana perintah-perintah kolonel, jika Jaime Miro melawan?"
Acoca berkata pelan, "Aku mengharap ia akan coba melawan."
Seorang ajudan masuk. "Maafkan aku, kolonel. Ada seorang Amerika yang ingin bertemu dengan kolonel. "
"Aku sekarang tidak mempunyai waktu."
"Baik, tuan." Sersan itu ragu. "Kata orang Amerika itu, mengenai seorang dari biarawati itu."
"Oh" Seorang Amerika, katamu?"
"Betul, kolonel."
"Persilakan orang itu masuk. "
Sesaat kemudian, Alan Tucker diantar masuk.
"Maafkan aku, kalau aku mengganggu kolonel. Aku Alan Tucker. Aku mengharapkan bantuan kolonel. "
"Ya" Bagaimana aku dapat membantu tuan, tuan
Tucker?" "Sejauh yang kuketahui, kolonel sedang mencari seorang dan biarawati-biarawati dari biara Cistercian.. suster Megan. "
Kolonel Acoca duduk bersandar ke belakang di kursinya, memperhatikan orang Amerika itu.
"Apakah hubungannya dengan tuan?"
"Aku juga sedang mencarinya. Sangatlah penting sekali aku menemukannya."
Ini menarik, kolonel Acoca berpikir. Mengapa begitu
pentingnya bagi seorang Amerika menemukan seorang
biarawati itu" Kolonel tidak mempunyai ide di mana ia kini berada?"
"Tidak. Surat-surat kabar. ."
Sial an ! Surat-surat kabar itu lagi. "Barangkali tuan dapat menerangkan padaku mengapa tuan mencari suster
itu." "Sayangnya hal itu tidak dapat kubicarakan dengan kolonel."
"Kalau begitu aku tidak dapat-menolong tuan."
"Kolonel. . dapatkah kolonel memberitahu padaku kalau kolonel menemukannya?"
Acoca tersenyum dingin. "Tuan akan mengetahuinya."
Seluruh negeri itu mengikuti hijrah para biarawati itu.
Pers telah melaporkan nyaris tertangkapnya Jaime Miro dan seorang dari para biarawati itu di Vitoria.
Jadi mereka itu menuju ke utara, Alan Tucker berkata
pada diri sendiri. Jalan terbaik bagi mereka untuk
meninggalkan negeri ini adalah San Sebastian. Harus
kuusahakan menemukan Patricia. . suster Megan itu. Alan Tucker menyadari bahwa dirinya sedang dalam kesulitan dengan Ellen Scott. Aku telah menanganinya dengan buruk sekali, pikir Tucker. Aku masih dapat membetulkan
kesalahan itu dengan membawa Megan padanya.
Alan Tucker menelepon Ellen Scott.
"Di sana." Ricardo berkata. "Kita akan bertemu dengan mereka di sana slang mI.
Di suatu bagian lain kota itu, Megan, Jaime,
Amparo dan Felix juga sedang memperhatikan sabuah poster sirkus Jepang itu. Mereka semua merasakan ketegangan yang memuncak. Amparo selalu
mereka awasi dengan ketat. Sejak peristiwa di Vitoria itu kedua pria itu memperlakukan Amparo bagaikan seorang buangan. .
Jaime melihat jam tangannya. "Mungkm sukus
itu sudah mulai. Marl kita berangkat."
Di markas kepolisian di Logrono itu, kolonel
Acoca sedang menuntaskan rencana-rencanya:
"Orang-orang sudah disebarkan mengehhngt
biara itu?" " "Sudah, kolonel. Segalasesuatunya sudah siap.
"Bagus. " Satu jam sebelum sirkus itu memulai acara, Megan,
Jaime, Amparo dan Felix menuju ke tempat-tempat duduk mereka yang sudah dipesan di muka. Di samping Jaime
masih ada dua tempat duduk yang kosong.
"Ada sesuatu yang tidak beres. Ricardo dan Suster Graciela semestinya sudah berada di sini."
Jaime berpaling pada Amparo, "Apakah kau telah?"
"Tidak. Aku bersumpah. Aku tidak mengetahui apa-apa tentang ini."
Acara sirkus telah dimulai.
Jaime Miro dan kawan-kawannya itu terlalu tegang
untuk dapat menikmati pertunjukan itu. Waktu sedang
habis. . "Akan kita tunggu lima belas menit lagi." Jaime memutuskan. "Kalau mereka belum juga datang. ."
Suatu suara terdengar berkata dalam kegelapan samarsamar itu. "Maafkan, apakah tempat-tempat duduk ini kosong?"
Jaime melihat dengan tajam, dan Ricardo dan Graciela
ada di depannya. Jaime tersenyum menyeringai. "Ya.
Silakan duduk." Kemudian dengan suara penuh kelegaan, berbisik, "Aku senang sekali bertemu kalian."
Ricardo mengangguk pada Megan dan Amparo dan Felix.
Ia melihat sekeliling. "Di mana yang lainnya?"
"Kau tidak membaca surat kabar?"
"Surat kabar" Tidak. Kami selalu di daerah pegunungan.
"Ada berita buruk." Jaime berkata. "Rubio ada di rumah sakit penjara."
Ricardo memandang terbengong pada Jaime, "Bagaimana. . ?"
"Ia tertusuk dalam suatu perkelahian di sebuah kedai minum. Polisi menangkapnya."
"Nerda!" Sejenak lamanya Ricardo terdiam, kemudian menghela nafas. "Kita harus membebaskannya dari sana, bukan?"
"Itulah rencanaku." Jaime menjawab.
"Di manakah suster Lucia?" Graciela bertanya. "Dan suster Teresa?"
Megan yang menjawab. "Suster Lucia tertangkap. Ia. . ia dicari karena melakukan pembunuhan. Suster Teresa
sudah meninggal." Graciela membuat tanda salib. "Oh, Tuhan!"
Pada saat itu para penonton yang memadati ruangan
dalam sirkus itu bersorak-sorak kagum. Hiruk pikuk. Sulit mendengar dan sulit berbicara satu sama lain. Megan dan Graciela ada begitu banyak yang mau diceritakan, sehingga hampir secara serentak mereka mulai berbicara dengan
menggunakan bahasa isyarat yang mereka dapatkan dari
biara itu. Ricardo dan aku akan menikah. .
Oh, be tapa indahnya. . Apakah yang terjadi atas dirimu"
Megan sudah mau menjawab, tetapi tidak ada isyaratisyarat yang dapat dipakai untuk menyampaikan hal-hal yang mau dikatakannya. Harus menunggu hingga kelak.
"Mari kita pergi." Jaime berkata. "Di luar ada sebuah mobil van yang akan membawa kita ke Mendavia. Akan kita turunkan kedua suster ini di sana, dan kita meneruskan perjalanan kita sendiri."
Kolonel Acoca sedang menerima sebuah laporan penting
dari seorang pembantunya.
"Mereka telah terlihat di sirkus, kurang dari sejam yang lalu. Ketika kami berhasil mendatangkan bala bantuan, mereka ternyata sudah pergi. Mereka berangkat dengan
sebuah van biru-putih. Anda ternyata benar, kolonel.
Mereka menuju ke Mendavia. "
Semuanya akhirnya berakhir juga. Pikir Acoca.
Pengejaran ini memang pengalaman yang menggairahkan, dan Acoca harus mengakui bahwa pada
diri Jaime Miro telah diketemukannya seorang lawan yang
tangguh. Opus Mundo kini akan mempunyai rencanarencana lebih besar lagi untukku.
Lewat sebuah teropong yang kuat, Acoca mengawasi van
biru-putih itu muncul di atas puncak sebuah bukit dan meluncur ke arah biara di bawah sana. Tentara bersenjata lengkap bersembunyi di antara pohon-pohon di kedua sisi jalan
dan mengelilingi biara itu. Kolonel Acoca memerintahkan lewat walkie-talkie: "Rapatkan kepungan!
Sekarang juga!" Gerakan itu memang direncanakan dan dilaksanakan
dengan sempuma. Dua skuadron tentara dengan bersenjata otomatik bergerak mengambil posisi, memblokade jalanan dan mengepung mobil van itu. Acoca berdiri di situ
mengawasi keadaan sejenak lamanya, menikmati saat
kemenangannya itu. Kemudian pelan-pelan ia berjalan
mendekati mobil van itu, senjata dalam genggaman
tangannya. "Kalian terkepung." Acoca berseru. "Kalian tidak mempunyai peluang sedikit pun. Keluarlah dari mobil itu dengan tangan terangkat di atas kepala. Seorang demi
seorang. Jika kalian mencoba melawan, kalian semua akan mati."
Hening sejenak lamanya. Kemudian pintu mobil van itu
dibuka dan tiga orang pria dan tiga orang wanita muncul, bergemetaran, tangan mereka terangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Mereka itu orang-orang asing.
-odwo- BAB TIGA PULUH EMPAT DARI ATAS SEBUAH BUKIT di atas biara itu, Jaime dan
rombongannya menyaksikan Acoca dan anak buahnya
bergerak menyergap mobil van biru putih itu. Mereka
melihat para penumpang yang ketakutan keluar dari mobil itu, dengan tangan terangkat, dan mereka menyaksikan
adegan itu dimainkan dalam pantomim.
Jaime dapat membayangkan dialog yang terjadi di
bawah itu. Siapa kalian" Kami pekerja di sebuah hotel di pinggiran Logrono.
Apa yang kalian lakukan di sini"
Seorang pria memberikan lima ribu peseta kepada kami
untuk menyerahkan mobil van ini kepada biara.
Pria bagaimana" Entahlah. Aku belum pernah bertemu dengannya.
Apa seperti yang dalam gambar ini"
Betul. Itulah pria itu. "Ayo, kita pergi darl sini." Jaime berkata.
-odwo- Mereka kini naik sebuah station-wagon putih, kembali
ke arah Logrono. Megan memandang pada Jaime dengan
kagum. "Bagaimana kau dapat mengetahuinya?"
"Bahwa kolonel Acoca akan menunggu kita di biara itu"
Ia sendiri yang mengatakannya padaku."
"Apa?" "Sang rubah haruslah berpikir seperti pemburunya, Megan. Aku menempatkan diriku di tempat Acoca. Di mana ia akan memasang perangkap untuk diriku" Ia telah
melakukan persis sebagaimana aku akan melakukannya."
"Dan seandainya ia tidak muncul di situ?"
"Maka kita akan dengan aman dapat mengantarkan
dirimu ke biara itu."
"Apakah yang sekarang kita lakukan?" Felix bertanya.
"Spanyol kini tidak aman lagi bagi kita semua, untuk sementara waktu." Jaime berkata. "Kita akan langsung menuju ke San Sebastian dan dari sana masuk ke Perancis."
Jaime berpaling pada Megan. "Di Perancis juga ada biara Cistercian,"
Itu semua lebih daripada yang dapat ditanggungkan oleh Amparo.
"Mengapa kau tidak menyerahkan diri saja" Kalau kau teruskan caramu ini, akan lebih banyak lagi darah yang ditumpahkan dan lebih banyak jiwa yang melayang?"
"Kau sudah kehilangan hakmu untuk berbicara." Jaime berkata dengan singkat. "Kau boleh bersyukur bahwa kau masih hidup." Jaime berpaling pada Megan. "Ada sepuluh lintasan gunung menyeberangi Pyrenee dari San Sebastian menuju Perancis. Kita akan menyeberang di sana."
"Itu terialu berbahaya." Felix berkata. "Acoca pasti akan mencari kita
di San Sebastian. Ia akan sudah memperhitungkan bahwa kita akan menyeberangi perbatasan dan masuk ke Perancis."
"Kalau itu berbahaya?" Megan memulai.
"Jangan khawatir." Jaime menenangkan. "San Sebastian itu daerah Basque."
Mobil itu telah sampai di pinggiran Logrono.
"Semua jalanan menuju San Sebastian akan dijaga ketat."
Felix mengingatkan. "Bagaimana rencanamu sehingga kita dapat sampai di sana?"
Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaime sudah mengambil keputusan. "Kita akan naik kereta api."
"Serdadu-serdadu itu akan menggeledah kereta api."
Ricardo menyatakan keberatan.
Jaime memandang pada Amparo, berpikir. "Tidak.
Kurasa tidak. Sobat kita yang seorang ini akan membantu kita. Kau tahu cara menghubungi Acoca?"
Amparo ragu sejenak. "Ya."
Mereka berhenti di sebuah gardu telepon umum yang
terdapat di jalan raya itu. Jaime mengikuti Amparo ke dalam gardu itu dan menutup pintunya. Ia menekankan
moncong sepucuk pistol pada sisi badan wanita itu.
"Kau sudah mengetahui apa yang harus kau katakan?"
"Ya. " Jaime memperhatikan wanita itu memutar sebuah
nomor, dan sejenak kemudian "Di sini Amparo Jiron.
Kolonel Acoca menantikan teleponku ini.. Terima kasih."
Amparo mengangkat mukanya, memandang pada Jaime.
"Mereka menghubungkan aku dengan kolonel Acoca."
Pistol itu lebih menekan sisi badannya. "Mestikah kau. .?"
"Lakukan saja yang telah kukatakan padamu." Suara Jaime itu sedingin es.
Sejenak kemudian, Jaime mendengar suara Acoca lewat
telepon itu. "Di mana kau sekarang berada?"
Senjata itu ditekankan lebih keras lagi. "Aku" aku. . kami baru saja meninggalkan Logrono."
"Kau mengetahui ke mana sobat-sobat kita itu akan pergi?"
"Ya. " Wajah Jaime itu dekat sekali pada wajah Amparo sorot
matanya keras. "Mereka telah memutuskan untuk balik dan dengan
begitu melepaskan diri dari kejaran tuan. Mereka dalam perjalanan ke Barcelona. Ia menggunakan sebuah mobil
sedan putih. Akan diambilnya jalan bebas hambatan
utama." Jaime mengangguk kepada Amparo.
"Aku. . aku kini harus pergi. Mobilnya telah tiba. "
Jaime yang meletakkan gagang telepon itu.
"Bagus. Mari kita pergi. Akan kita berikan setengah jam padanya untuk memanggil pulang orang-orangnya di sini."
Tiga puluh menit kemudian mereka berada di stasiun
kereta api. Kereta api yang memakai sebutan mentereng Expreso
itu ternyata berhenti di setiap halte di sepanjang perjalanan ke San Sebastian.
Ketika kereta api itu akhirnya memasuki stasiun San
Sebastian, Jaime berkata pada Megan. "Bahaya kini sudah lewat. Ini adalah kota kami. Aku sudah mengatur
penjemputan oleh sebuah mobil."
Sebuah sedan besar menunggu di depan stasiun itu.
Seorang pengemudi yang mengenakan Chaplle, baret lebar dan besar dari orang Basque menyambut Jaime dengan
pelukan hangat. Megan telah memperhatikan bahwa Jaime selalu berada
di dekat Amparo, siap menyambarnya jika wanita itu mau bertingkah. Apakah yang akan dilakukan Jaime atas diri wanita itu" Megan bertanya-tanya sendiri.
"Kami semua telah khawatir sekali mengenai dirimu, Jaime." Pengemudi itu berkata. "Menurut pers, kolonel Acoca melancarkan suatu pengejaran besar-besaran atas dirimu."
Jaime tertawa. "Biarkan Acoca terus berburu Gil. Aku kini berada di luar musim."
Mereka meluncur di atas Avenida Sancho el Savio,
menuju pantai. "Bagaimana pengaturan segala sesuatunya?"
Jaime bertanya pada pengemudi itu.
"Hotel Niza. Largo Cortez menunggumu di sana."
"Akan menyenangkan sekali bertemu dengan perompak tua itu."
Hotel Niza itu sebuah hotel kelas menengah di Plaza Juan de Olezabal. Bagian belakang hotel itu berbatasan dengan pantai.
Ketika mobil itu berhenti di depan hotel, rombongan itu turun dan mengikuti Jaime masuk ke lobby hotel.
Largo Cortez, pemilik hotel itu, berlari-lari menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang." Cortez berkata. "Sudah seminggu lamanya aku menantikan kedatanganmu."
Jaime mengangkat bahu. "Kami mengalami berapa
halangan, sobat." argo Cortez tersenyum menyeringai. "Telah kubaca tentang itu. Pers penuh dengan berita mengenai dirimu."
Pria itu berpaling dan memandang pada Megan dan
Graciela. "Semua orang mencari diri kalian, suster. Aku sudah menyiapkan kamar-kamar kalian."
"Kita akan tinggal semalam." Jaime berkata. "Kita akan berangkat esok dini hari dan menyeberang memasuki
Perancis. Aku menghendaki seorang pemandu yang baik,
yang mengenal semua jalan lintasan" Cabrera Infante atau Jose Cebrian."
"Akan kuatur itu." Pemilik hotel itu berkata. "Ada enam orang dalam rombongan ini?"
Jaime melempar pandang sekilas pada Amparo. "Lima. "
Amparo membuang muka. "Jangan ada yang mencatatkan diri." Cortez berkata.
"Yang polisi tidak mengetahuinya tidak akan memberatkan mereka. Bagaimana kalau kuantar kalian ke kamar-kamar kalian. Kalian bisa membersihkan badan. Kemudian kita akan makan besar."
"Amparo dan aku akan pergi ke bar untuk minum." Jaime berkata. "Kami akan menyusulmu."
Largo Cortez menganggukkan kepala. "Terserah kaulah, Jaime."
Megan memperhatikan Jaime, heran. Ia bertanya-tanya
sendiri apa gerangan yang akan dilakukan Jaime terhadap wanita itu. Apakab Jaime dengan cara berdarah dingin ?"
Berat sekali hal itu membebani pikiran Megan.
Amparo sendiri juga bertanya-tanya sendiri, namun ia
terlalu bangga-diri untuk bertanya.
Jaime membimbing Amparo ke bar di ujung lobby itu,
dan mengambil sebuah meja di suatu sudut.
Ketika pelayan mendatangi mereka, Jaime berkata,
"Segelas anggur."
"Segelas?" "Segelas." Amparo melihat Jaime mengeluarkan sebuah bungkusan
kecil dan itu dibukanya. Isinya bahan bubuk halus.
"Jaime?" Ada keputus-asaan dalam suara Amparo itu.
"Dengarkanlah aku! Cobalah memahami mengapa kulakukan yang telah kulakukan itu. Kau sedang merobek-robek negeri ini. Perjuanganmu tidak mengandung
harapan. Harus kauhentikan kegilaan ini."
Pelayan itu kembali dan meletakkan segelas anggur di
atas meja. Ketika pelayan itu sudah pergi, Jaime dengan c
ermat menuangkan isi bungkusan itu ke dalam gelas
anggur itu dan mengudeknya.
Gelas itu kemudian didorongnya ke depan Amparo.
"Minumlah itu."
"Tidak!" "Tidak banyak di antara kita diberi kesempatan untuk memilih cara kita mati." Jaime berkata dengan tenang.
"Cara ini akan cepat sekali dan tanpa rasa sakit. Jika aku menyerahkan dirimu pada rakyatku, aku tidak dapat
menjanjikan kemudahan seperti itu."
"Jaime. . aku telah mencintaimu. Kau harus percaya padaku. Janganlah. ."
"Minumlah itu." Suara Jaime itu tiada mengandung ampun.
Amparo memandang padanya sejenak lamanya, kemudian mengangkat gelas itu. "Aku minum demi
kematianmu. " Jaime memperhatikan Amparo membawa gelas itu ke
bibirnya dan dengan sekali tegukan menghabiskan isi gelas itu.
Amparo bergetar. "Apakah yang kini akan terjadi?"
"Akan kubantu dirimu naik ke kamarmu. Akan
kubaringkan dirimu untuk tidur. Kau akan tidur."
Mata Amparo itu digenangi oleh air mata. "Kau memang seorang yang tolol," bisiknya. "Jaime. . aku sedang mati, dan aku katakan padamu bahwa aku sangat mencintai dirimu."
Kata-katanya mulai menjadi tidak jelas.
Jaime bangkit berdiri dan membantu Amparo itu berdiri.
Ruangan itu bagaikan bergoyang dan berguncang bagi
Amparo. "Jaime?" Jaime membimbingnya ke lobby, menahan badan wanita
itu agar tidak jatuh. Largo Cortez sedang menantikannya dengan sebuah kunci.
"Akan kuantar ia ke kamamya." Jaime berkata. "Jangan sampai ia diganggu."
"Baik." Jaime setengah menggendong Amparo menaiki tangga
itu. -odwo- Di dalam kamamya, Megan berpikir betapa aneh rasanya
berada dan bersendiri di sebuah hotel dalam kota
peristirahatan itu. San Sebastian penuh dengan wisatawan, orang-orang yang sedang liburan dan yang berbulan madu.
Dan tiba-tiba, Megan menginginkan sekali Jaime berada di situ bersama dirinya, dan ia bertanya-tanya dalam hati bagaimana gerangan rasanya jika pria itu mencumbui
dirlnya. Semua perasaan yang telah begitu lama
ditindasnya kini melanda pikirannya dengan suatu
gempuran dahsyat emosi. Tetapi, apakah yang dilakukan Jaime terhadap Amparo"
Mungkinkah Jaime membu" ah, tidak. Tidak akan mungldn Jaime melakukan itu. Atau, mungkin juga" Oh, Tuhan,
apakah yang sedang terjadi atas diriku. Apakah yang dapat kulakukan"
Ricardo sedang bersiul-siul sambil mengenakan
pakaiannya. Ia sedang dalam suasana hati yang bahagia.
Akulah pria paling bahagia di dunia ini, pikimya. Kita akan kawin di Perancis. Ada sebuah gereja indah di seberang perbatasan, di Bayonne. Esok . .
Di dalam kamarnya, Graciela sedang mandi, bermewahmewah dalam air hangat, memikirkan Ricardo. Ia
tersenyum sendiri dan berpikir: Aku akan membuatnya
bahagia. Terima kasih, Tuhan.
Felix Carpio sedang berpikir mengenai Jaime dan Megan.
Seorang buta pun dapat melihat arus listrik di antara mereka berdua itu, pikirnya. Itu akan membawa
kemalangan. Biarawati adalah milik Tuhan. Sudah cukup buruk bahwa Ricardo telah memisahkan suster Graciela
dari panggilan hidupnya. Sedangkan Jaime itu selalu nekat.
Apakah yang akan dilakukannya terhadap yang seorang
itu" -odwo- Mereka berlima bertemu untuk makan malam di
ruangan makan hotel itu. Tidak seorang pun yang
menyebut-nyebut perihal Amparo.
Memandang pada Jaime, Megan tiba-tiba merasakan
kecanggungan itu, seakan-akan pria itu telah dapat
membaca pikirannya. Sebaiknya tidak bertanya-tanya, Megan memutuskan.
Aku yakin bahwa ia tidak akan pernah dapat melakukan
sesuatu yang kejam. Seusai makan malam itu, Megan berdiri. "Sudah
waktunya aku tidur."
"Tunggu." Jaime berkata. "Aku harus berbicara denganmu." Jaime menemaninya ke suatu sudut yang"
kosong di lobby itu. "Tentang esok. ."
"Ya?" Dan Megan mengetahui yang akan ditanyakan pria itu.
Yang tidak diketahuinya adalah, apa
yang akan diberikannya sebagai jawaban. Aku telah berubah, pikir Megan. Sebelum ini aku begitu yakin dan pasti mengehai kehidupanku. Aku yakin telah mendapatkan dan memiliki segala yang kuinginkan.
Jaime sedang berkata, "Kau tidak benar-benar ingin kembali ke biara itu, bukan?"
Begitukah" Pria itu menunggu suatu jawaban.
Aku harus jujur padanya, Megan berpikir. Ditatapnya
mata pria itu dan ia berkata, "Aku tidak tahu apa yang kuinginkan, Jaime. Aku sedang bingung. "
Jaime tersenyum. Ragu, dan memilih kata-katanya
dengan seksama. "Megan, perjuangan ini tidak lama lagi akan berakhir. Kita akan mendapatkan yang kita
perjuangkan itu, karena rakyat ada di belakang kami. Aku tidak dapat meminta padamu untuk berbagi dalam bahaya denganku, sekarang. Tetapi aku ingin sekali kau menunggu aku. Aku ada seorang bibi yang tinggal di Perancis. Kau akan aman bersama bibiku. ."
Megan memandang pada pria itu. Lama sekali, sebelum
ia menjawab. "Jaime, berilah waktu padaku untuk
memikirkannya." "Kalau begitu kau tidak mengatakan tidak."
Dengan tenang Megan berkata, "Aku tidak mengatakan tidak."
Tidak seorang pun dari rombongan itu yang dapat tidur malam itu. Terlalu banyak yang menjadi pikiran mereka, terlalu banyak konflik yang harus mereka, masing-masing, pecahkan.
Apakah yang menjadi keyakinan, kepercayaanku" Megan
merenungkan jalan hidupnya. Masa lalunya.
Bagaimanakah aku mau melewatkan sisa hidupku"
Telah satu kali ia menentukan pilihannya. Kini ia dlpaksa memilih lagi. Ah, ia akan mendapatkan jawabannya esok pagi.
Graciela juga sedang memikirkan hal biara. Mereka telah begitu bahagia di sana. Tahun-tahun penuh kedamaian. Aku merasa begitu dekat pada Tuhan. Akankah aku merasakan itu sebagai suatu kehilangan"
Jaime memikirkan Megan Megan tidak boleh kembali ke
biara. Aku menginginkannya di sampingku. Bagaimana
gerangan jawabannya esok"
Ricardo terlalu senang untuk tidur. Ia sibuk membuat
rencana untuk perkawinan itu. Gereja di Bayponne itu. .
Felix sedang memutar otak mengenai cara menyingkirkan jenazah Amparo. Biar Largo Cortez saja
yang mengurus hal itu. -odwo- BAB TIGA PULUH LIMA "DEUS ISRAEL CONJUGAT VOS. . Tuhan Israel mempersatukan kalian, dan ia bersama kalian. . dan kini, Tuhan,
biarlah mereka lebih penuh memujamu. Diberkatilah semua yang mencintai Tuhan, yang berjalan di atas jalan-Nya. ."
Ricardo berpaling dari padri itu dan memandang pada
Graciela yang berdiri di samping dirinya. Aku benar. Ia mempelai wanita yang paling cantik di dunia.
Graciela diam, mendengarkan kata-kata padri itu
bergema di ruang gereja itu. Perasaan damai. Bagaikan penuh dengan bayangan-bayangan dan suasana masa lalu, ribuan orang yang datang ke situ generasi demi generasi mencari pengampunan, panggenapan dan kebahagiaan.
Tempat itu mengingatkan Graciela pada biara. Aku merasa seperti telah pulang, Graciela berpikir. Merasa seperti di sinilah memang tempatku.
Tuhan telah memberkahi diriku, lebih daripada yang
semestinya kudapatkan. Jadikanlah aku patut menerima itu semua.
"Pada-Mu, O Tuhan, akan meletakkan harapanku. Telah kukatakan: Dikaulah Tuhanku. Diriku dengan sepenuhnya kuabdikan pada Dikau."
Seluruh hidupku berada di tangan Dikau. Aku telah
bersumpah untuk mengabdikan seluruh hidupku pada-Nya.
"Terimalah, kami memohon pada-Mu, O Tuhan,
persembahan yang kami lakukan pada Dikau atas nama
ikatan pernikahan yang suci. ."
Kata-kata itu seperti bergetar dalam benak Graciela. Ia merasa seakan-akan waktu telah berhenti.
"Oh, Tuhan yang telah mensucikan pemikahan sebagai bayangan
kemanunggalan Kristus dengan Gereja. . ampunilah anak-Mu yang akan disatukan dalam pemikahan dan memohon perlindungan dan kekuatan darl Dikau. ."
Bagaimana Tuhan dapat mengarnpuni diriku padahal
aku mengkhianati-Nya"
Tiba-tiba Graciela merasa dirinya sulit bemafas. Dinding-dinding gereja itu seakan merapat menggencet dirinya.
"Jangan membiarkan penghasut dosa melahirkan dosa dalam diri anak-Mu ini . "
Pada saat itulah Graciela menjadi sadar. Ia merasa
seakan-akan suatu beban berat terangkat lepas dari
dirinya. Ia dipenuhi kebahagiaan yang tiada terhingga.
Padri itu berkata, "Semoga didapatkannya kedamaian kerajaan surga. Kami mohon pada Dikau untuk memberkati pemikahan ini, dan. ."
Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah menikah." Terucap lantang dari mulut Graciela.
Sejenak geheningan yang bermuatan keguncangan
dahsyat itu. Ricardo dan padri itu memandang pada
Graciela. Wajah Ricardo pucat.
"Graciela, apa yang kau?"
Graciela memegang lengan Ricardo dan berkata dengan
lembut, "Maafkan aku, Ricardo."
"Aku. . aku tidak mengerti. Apakah kau tidak mencintai aku?"
Graciela menggelengkan kepala. "Aku mencintai dirimu lebih daripada sebelumnya. Tetapi hidupku bukan milikku lagi. Telah kuserahkan kepada Tuhan. ."
"Tidak! Aku tidak dapat membiarkanmu mengorbankan. ." "Ricardo sayang. . Ini bukan suatu pengorbanan. Ini suatu berkat. Di dalam biara telah kutemukan kedamaian.
Kau merupakan suatu bagian dari dunia yang telah
kulepaskan. . bagian yang terbaik. Tetapi aku memang telah melepaskannya. Aku harus kembali ke duniaku sendiri."
Padri itu berdiri di situ, mendengarkan kata-kata
Graciela itu. Diam. "Maafkan aku atas kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu, tetapi aku tidak dapat mengingkari sumpahku.
Dengan begitu aku akan mengkhianati segala yang menjadi kepercayaanku. Kini aku sadar akan hal itu. Aku tidak akan dapat membahagiakan dirimu, karena aku sendiri tidak
akan bahagia. Kau tentunya dapat memahami ini."
Ricardo cuma dapat memandang pada Graciela,
terguncang hebat, dan tiada kata-kata yang mampu
diucapkannya. Seakan-akan sesuatu telah mati dari dirinya.
Graciela memandnag pada wajah yang penuh tanda
siksaan itu, dan hatinya terasa seperti diremas-remas.
Graciela mencium Ricardo di pipinya.
"Aku mencintaimu." Graciela berkata pelan. Matanya penuh air mata. "Aku akan berdoa untukmu. Aku akan berdoa untuk kita berdua."
-odwo- Pada suatu hari Jumat siang, sebuah mobil ambulans
militer tiba di gerbang darurat rumah sakit di Aranda de Duero. Seorang petugas ambulans dikawal dua orang polisi berseragam mendatangi pengawas rumah sakit itu.
"Kami membawa perintah untuk mengambil seorang
bernama Rubio Arzano." Seorang dari kedua polisi itu berkata. Diserahkannya seberkas dokumen,
Pengawas rumah sakit itu memeriksa dokumen itu dan
mengerutkan dahi. "Aku tidak berwenang untuk membebaskannya. Ini harus ditangani oleh administrator rumah sakit."
"Baik. Tolong hubungkan kami dengan administrator itu."
Pengawas itu ragu. "Ada satu persoalan. Administrator itu sedang liburan."
"Itu bukan urusan kami. Ini dokumen yang memerintahkan pembebasan orang itu, ditanda tangani
oleh kolonel Acoca. Kau mau menghubungi kolonel Acoca dan mengatakan padanya bahwa kau tidak dapat
melaksanakan perintahnya ini?"
"Oh tidak, tidak!" Pengawas itu cepat-cepat berkata. "Itu tidak perIu. Akan kuminta mereka mempersiapkan tahanan itu."
-odwo- Setengah mil jauhnya dari rumah sakit itu dua orang
detektif yang berkendaraan sebuah mobil polisi turun di
depan penjara kota. Mereka mendatangi sersan yang
bertugas di situ. Seorang dari kedua detektif itu memperlihatkankan
bukti jati dirinya. "Kami datang dengan tugas untuk mengambil Lucia Carmine."
Sersan itu memandang pada kedua detektif itu dan
berkata, "Tidak ada yang memberitahukan padaku
mengenai ini." Salah seorang detektif itu menghela nafas. "Birokrasi sialan! Tangan kirinya tidak pernah memberitahukan
tangan kanannya mengenai pekerjaan yang sedang
dilakukan." "Coba kulihat perintah pembebasannya itu."
Detektif itu menyerahkannya kepada sersan itu.
"Ah, kolonel Acoca yang menanda-tangani ini, huh ?"
"Benar sekali."
"Mau dibawa ke mana wanita itu?"
"Ke Madrid. Kolonel Acoca akan memeriksanya sendiri."
"Oh, begitu" Kalau begitu, sebaiknya kuhubungi kolonel itu."
"Itu sebetulnya tidak perlu." Seorang detektif memprotes. "Sobat, kami diperintahkan mengawasi wanita itu
dengan ketat. Pemerintah Italia sangat menghendaki
wanita itu. Jika kolonel Acoca menghendakinya, maka itu harus dikatakannya sendiri pada kami."
"Kau cuma akan membuang-buang waktu belaka. Dan. ."
"Aku ada banyak waktu, sobat. Yang aku tidak punyai adalah jabatan lain jika aku kehilangan yang sekarang kupegang ini." Sersan itu mengangkat telepon dan berkata,
"Hubungkan aku dengan kolonel Acoca di Madrid."
"Yah, Tuhan!" Salah seorang detektif itu berkata. "Istriku akan mengamuk jika aku lagi-lagi datang terlambat untuk makan malam. Lagi pula, kolonel itu mungkin tidak ada di tempat, dan. ."
Telepon di atas meja itu berdering. Sersan mengangkat gagang telepon itu.
"Kolonel Acoca sudah kami hubungi untuk Anda. "
Sersan itu melempar pandang menang pada kedua orang
detektif itu. "Hello, di sini sersan bertugas di kantor polisi Aranda de Duero. Penting sekaIi aku berbicara dengan
kolonel Acoca." Salah seorang detektif itu melihat pada jam tangannya dengan tidak sabaran. "Mierda! Aku ada pekerjaan lain yang lebih panting daripada menunggu-nunggu di sini."
"Hello. Kolonel Acoca?"
"Ya. Ada apa?" "Ada dua orang detektif di depanku sini, kolonel, yang meminta aku melepaskan seorang tahanan untuk
dihadapkan kepada Anda."
"Lucia Carmine?"
"Betul, tuan." "Lalu mengapa kau masih mericuhi aku" Lepaskan
tahanan itu." "Aku mengira." "Tidak usah kau macam-macam. Laksanakan saja
perintah itu." Telepon di seberang sana agaknya dibanting ke atas
tempatnya. Sersan itu menelan ludah. "Ia . . ia . . erhh."
"Ia seorang yang suka naik darah, eh?" Seorang detektif berkata dengan menyeringai.
Sersan itu bangkit berdiri. "Akan kusuruh orang
membawa ke luar wanita itu."
Di sebuah lorong di belakang kantor polisi itu,seorang anak kecil melihat seorang pria yang telah memanjat tiang telepon, melepaskan sebuah penjepit dari kabel telepon, kemudian turun dari tiang itu.
"Apa yang Anda lakukan itu?" Anak itu bertanya.
Pria itu menepuk bahu anak itu. "Sedang menolong seorang teman, muchacho. Nak. Sedang menolong seorang teman."
-odwo- Tiga jam kemudian, di sebuah rumah pertanian yang
terpencil di arah utara kota itu, Lucia Carmine dan Rubio Arzano dipertemukan kembali.
-odwo- Acoca dibangunkan oleh dering telepon pada pukul tiga pagi. Suara yang sudah dikenainya itu berkata, "Komite ingin bertemu denganmu."
"Baik, tuan. Kapan?"
"Sekarang, kolonel. Sebuah mobil akan menjemputmu dalam waktu satu jam. Anda siaplah."
"Baik, tuan." Acoca pergi ke kamar mandi dan memeriksa dirinya di
kaca cermin. Yang dilihatnya di kaca cermin itu adalah wajah seorang yang sudah kalah.
Padahal aku sudab begitu dekat, Acoca berkata pada diri sendiri. dengan penuh kegetiran. Begitu dekat.
Bagaikan bermimpi saja, Lucia berpikir. Aku memandang ke luar jendela dan melihat Alpen Swiss. Aku benar-benar telah berada di sini,
Jaime Miro telah mengatur sedemildan rupa, sebingga
seorang pemandu mengantar Lucia dengan selamat
mencapai Zurich. Lucia tiba di Zurich di tengah malam.
Esok pagi, aku akan pergi ke Bank Leu.
Pikiran itu menegangkan Lucia. Bagaimana kalau ada
yang tidak beres" Bagaimana kalau uang itu sudah tidak ada di sana" Bagaimana kalau?" hingga menjelang fajar, Lucia masih belum dapat tidur.
Beberapa menit sebelum pukul sembilan, Lucia sudah
meninggalkan hotel Baur au Lac dan berdiri di depan bank itu. Menunggu dibukanya bank itu.
Beberapa saat kemudian, "Silakan masuk. Aku harap Anda tidak harus nienunggu terlalu lama?"
Hanya beberapa bulan, Lucia berpikir. "Oh tidak. Tidak."
Pria itu mengantarnya masuk. "Apakah aku dapat
membantu Anda?" Bikin aku menjadi kaya. "Ayahku mempunyai rekening di sini. Ayahku menyuruh aku ke sini dan mengambil alih rekening itu."
"Rekening bernomor."
"Ya." "Nomor berapakah?"
"B2A149207." Pria itu mengangguk. "Sebentar."
Pria itu menghilang ke dalam ruangan penyimpanan
uang. Pelanggan-pelanggan bank mulai bermasukan. Uang itu mesti ada di situ, Lucia berpikir.
Pria tadi telah kembali. Wajahnya tidak memperlihatkan apa pun.
"Rekening itu . . Anda mengatakan bahwa itu atas nama ayah Anda?"
Lucia merasa jantungnya luruh ke kakinya. "Betul Angelo Carmine."
"Tetapi, rekening itu adalah atas nama dua orang."
Apakah itu berarti ia tidak dapat menyentuh uang itu"
"Apa. ." Sulit sekali Lucia berbicara. "Atas nama siapa lagi?"
"LuciaCarmine. "
Dan pada saat itulah Lucia Carmine memiliki dunia ini.
Jumlah uang dalam rekening itu adalah tiga belas juta dollar lebih.
"Bagaimana Anda menghendaki rekening ini ditangani?"
Bankir itu bertanya. "Dapatkah Anda mentransfernya ke salah satu bank asosiasi Anda di Brazil" Rio?"
"Tentu saja dapat. Akan kami kirim semua dokumennya kepada Anda siang ini."
Sesederhana itu. Perhentian Lucia yang berikutnya adalah sebuah biro
perjalanan di dekat hotelnya. Terpampang sebuah poster besar yang mengiklankan Brazil di jendela etalase biro perjalanan itu.
Suatu petanda, pikir Lucia dengan bersemangat.
"Dapatkah aku membantu Anda?"
"Ya. Aku menginginkan dua tiket untuk ke Brazil. "
Di sana tidak ada undang-undang ekstradiksi. Lucia
merasa tidak sabaran lagi untuk menceritakan kepada
Rubio segala yang telah terjadi dan dilakukannya itu. Rubio berada di Biarritz, menantikan telepon dari Lucia. Mereka akan berangkat bersama ke Brazil.
"Kita dapat hidup dalam kedamaian di sana, selama hidup kita." Lucia telah berkata pada Rubio.
Kini segala sesuatunya telah diurus. Setelah segala
petualangan, pengalaman dan bahaya itu. . penangkapan atas diri ayahnya dan kedua kakaknya dan pembalasan-dendamnya terhadap Benito Patas dan hakim Buscetta. .
polisi yang mengejar-ngejar dirinya dan pelariannya ke
biara itu. . orang-orangnya Acoca dan bruder gadungan itu. .
Jaime Miro dan Teresa dan salib emas itu. . dan Rubio Arzano. Yang paling utama, Rubio sayang. Berapa kali pria itu telah mempertaruhkan nyawa untuk dirinya" Rubio
telah menyelamatkan dirinya dari serdadu-6erdadu di
hutan itu. . dari arus air di air-terjun itu. . dari orang-orang di kedai minum di Aranda de Duero. Ingatan akan Rubio menghangatkan Lucia.
Lucia pulang ke hotel dan mengangkat telepon.
Akan ada pekerjaan untuk dilakukan Rubio di Rio. Apa"
Apakah kebiasaan Rubio" Mungkin ia ingin membeli
sebuah perusahaan pertanian di sana. Lalu, aku sendiri"
Apakah yang akan kukerjakan"
Suara operator telepon itu: "Nomor berapa?"
Lucia terduduk di situ memandang ke luar jendela. Kita mempunyai kehidupan yang berbeda, Rubio dan aku. Kita hidup dalam dunia-dunia yang berbeda pula. Aku anak
perempuan Angelo Carmine.
"Nomor berapa?"
Rubio seorang petani. Pertanian, itulah yang dicintainya.
Bagaimana caranya aku merenggutnya dari itu" Tidak, aku tidak dapat melakukan itu terhadap Rubio.
Operator itu menjadi tidak sabaran. "Apakah aku dapat membantu Anda?"
Lucia berkata pelan, "Tidak, terima kasih."
Diletakkannya kembali gagang telepon itu.
Pagi sekali pada keesokan harinya, Lucia naik pesawat terbang Swissair menuju ke Rio.
Ia seorang diri. -odwo- Pertemuan itu akan berlangsung di ruangan duduk yang
mewah dari rumah Ellen Scott di kota. Ellen berjalan
mondar mandir, menantikan kedatangan Alan Tucker
bersama gadis itu. Tidak, bukan seorang gadis. Seorang wanita. Seorang biarawati. Seperti apakah ia itu" Apakah yang telah diterakan kehidupan atas dirinya" Apakah yang telah kuperbuat atas dirinya"
Kepala pelayan rumah masuk. "Tamu-tamu Anda telah tiba, Madam."
Ellen menarik nafas dalam-dalam. "Persilakan mereka untuk masuk."
Sejenak kemudian, Megan dan Alan Tucker masuk.
Ia cantik sekali, Ellen berkata dalam hati.
Tucker tersenyum."Nyonya Scott, inilah Megan. "
Ellen memandang pada pria itu dan berkata
"Aku sudah tidak memerlukan Anda lagi." Dan kata-katanya
itu mengandung suatu kemantapan dan ketuntasan. Senyum di wajah Tucker lenyap seketika.
"Selamat jalan, Tucker."
Tucker berdiri penuh kesangsian di situ. Hanya sejenak.
Ia kemudian menganggukkan kepala dan pergi. Ia tidak
dapat menyingkirkan perasaannya bahwa dirinya telah
kehilangan sesuatu. Sesuatu yang amat penting. Sudah
terlambat, katanya dalam hati. Sudah terlambat.
Ellen Scott memperhatikan Megan. "Silakan duduk."
Megan duduk, dan kedua wanita itu saling memperhatikan, saling menjajagi.
Gadis ini mirip ibunya, pikir Ellen. Ia telah tumbuh
menjadi seorang wanita cantik.
Dan kini adalah masa lalu itu yang berkonfrontasi
dengan dirinya. Dari manakah ia harus mulai"
"Aku Ellen Scott, presiden dari Scott Industries. Kau pernah mendengar tentang perusahaan ini?"
"Tidak. " Tentu saja. Bagaimana ia dapat mendengar tentang Scott Industries" .
Ternyata lebih sulit daripada yang diduganya. Ia telah mengarang sebuah cerita tentang seorang teman lama yang telah meninggal, dan kepada orang itu ia, Ellen Scott, telah berjanji akan merawat anak perempuan orang itu. . namun, dari saat itu pertama kali melihat Megan, Ellen menyadari bahwa cerita itu tidak akan berhasil.
Tidak ada pilihan lain bagi Ellen. Ia harus mempercayai Patricia. . Megan. . agar tidak menghancurkan mereka
semua. Ellen mengingat kembali tentang yang telah
diperbuatnya pada wanita yang duduk di hadapannya itu, dan matanya digenangI air mata. Tetapi kini sudah
terlambat bagi air mata. Sudah waktunya dilakukan
pelurusan. Sudah waktunya untuk mengatakan yang
sebenarnya. Ellen Scott mendekatkan badannya pada Megan dan
memegang tangan Megan. "Ada sebuah kisah yang harus kuceritakan padamu." Ellen berkata dengan tenang.
ITU TERJADI TlGA TAHUN YANG LALU. Pada tahun
Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertama, hingga ia jatuh sakit dan tidak dapat
melanjutkannya, Ellen Scott telah membimbing Megan
dalam pekerjaan itu. Megan bekerja pada Scott Industries, dan kelincahan dan kepandaiannya telah menimbulkan
kekaguman dan kegembiraan Ellen. Telah memberikan
kepada Ellen pandangan yang segar dan memperkuat
kemauannya untuk bertahan hidup.
"Kau akan harus bekerja keras." Ellen berkata pada Megan. "Kau akan belajar, sebagaimana aku sendiri telah belajar. Pada mulanya, semua itu akan sukar sekali. Tetapi pada akhirnya, semua pekerjaan ini akan menjadi
kehidupanmu." Dan Ellen Scott ternyata benar.
Megan bekerja keras, bekerja tanpa dapat ditandingi
oleh pegawai-pegawai lainnya di perusahaan itu.
"Kau berangkat kerja pada pukul empat pagi dan bekerja sepanjang hari. Bagaimana kau dapat melakukan itu?"
Megan tersenyum dan berkata dalam hati, "Kalau aku tidur hingga pukul empat pagi, di biara itu, suster Betina akan memarahi aku.
Ellen Scott telah meninggal, tetapi Megan belajar terus dan menyaksikan perusahaan itu berkembang dan
bertumbuh. Perusahaannya. Ellen telah mengadopsi
dirinya. "Agar tidak perlu kita jelaskan mengapa dirimu
seorang dari keluarga Scott." Ellen telah mengatakan.
Namun,begitu, nada kebanggaan dapat ditangkap dari
suara Ellen Scott. . Sungguh ironikal, Megan berpikir. Selama bertahuntahun di rumah yatim piatu itu, tanpa seorang pun yang mau mengadopsi diriku. Dan kini aku diadopsi oleh
keluargaku sendiri. Sungguh, Tuhan memilki rasa humor yang hebat sekali.
-odwo- BAB TlGA PULUH ENAM Seorang baru yang memegang kemudi mobil itu, dan hal
itu membuat Jaime Miro gelisah.
"Aku tidak yakin akan orang itu." Jaime berkata pada Felix Carpio. "Bagaimana kalau ia nanti kabur dan meninggalkan kita?"
"Tenanglah." Ia adalah kemenakan saudara iparku. Ia tidak apa-apa. Ia sudah lama mengemis kesempatan untuk beroperasi bersama kita."
"Aku ada perasaan buruk." Jaime berkata.
Mereka telah tiba di Seville siang itu, dan telah
memeriksa sejumlah bank sebelum memilih yang akan
menjadi sasaran mereka. Segala sesuatunya tampak beres.
Kecuali orang yang memegang kemudi kendaraan untuk
lari itu. "Cuma ia saja yang merisaukan dirimu?" Felix bertanya.
"Tidak. " "Lalu, apa lagi?"
Sungguh sukar menjawab itu. "Katakan saja ini suatu firasat." Jaime berkata, berusaha mengatakannya secara bergurau, memperolok diri sendiri.
Tetapi Felix menanggapnya serius. "Kau mau membatalkannya?" "Karena hari ini aku berkelakuan seperti seorang wanita binatu yang gugup" Tidak, sobat. Semuanya akan berjalan dengan lancar."
Pada mulanya, memang lancar.
Ada kurang lebih enam orang pegawai di dalam bank itu dan Felix yang menahan mereka dengan todong senjata
otomatiknya, sedangkan Jaime menyapu bersih laci-laci berisi uang itu. Lancar, benar-benar lancar.
Ketika kedua pria itu meninggalkan ban itu, menuju ke kendaraan untuk melarikan diri itu, Jaime tiba-tiba berseru,
"Ingatlah, sobat-sobat, uang ini untuk maksud-maksud baik."
Setelah berada di jalanan itulah, segala sesuatu seperti ambruk. Di mana-mana ada polisi. Pengemudi mobil untuk melarikan diri itu ternyata sedang berlutut di atas trotoar, sepucuk pistol polisi dibidikkan ke kepalanya.
Ketika Jaime dan Felix muncul, seorang detektif berseru,
"Letakkan senjata kalian!"
Jaime ragu sejenak. Kemudian diangkatnya senjatanya.
Pesawat Boeing 727 yang telah diubah itu terbang tiga puluh lima ribu kaki di atas Grand Canyon. Suatu harl yang
panjang, meletihkan. Dan pekerjaan belum juga selesai, Megan berkata dalam hati.
Megan sedang dalam penerbangan ke California
menanda-tangani dokumen-dokumen yang akan memindahkan hak atas tanah seluas satu juta akre tanah perkayuan di sebelah utara San Francisco kepada Scott Industries. Megan telah melakukan perundingan atas
transaksi itu dengan kepiawaian seorang ahli.
Salah mereka sendiri, Megan berkata dalam hati. Tidak semestinya mereka mencoba mengibuli aku. Aku berani
bertaruh bahwa akulah pemegang buku pertama yang
mereka hadapi. Seorang bekas biarawati Cistercian, lagi pula!
Pramugara pesawat itu mendatangi Megan.
"Dapatkah aku melayani kebutuhan nona, nona Scott?"
Megan melihat setumpuk surat kabar dan majalah di rak yang dijinjing pramugara itu. "Tolong berikan padaku satu eksemplar The New York Times. "
Kisah itu dimuat di halaman pertama dan langsung
terlihat oleh Megan. Dimuat pula di situ sebuah foto Jaime Miro. Judul beritanya: Jaime Miro, pemimpin ETA, yaitu gerakan radikal kaum sparatis Basque, terluka dan
tertangkap oleh polisi dalam suatu penodongan bank,
kemarin siang di Seville. Yang terbunuh dalam serangan itu adalah Felix Carpio; seorang teroris dari kelompok Miro tersebut. Yang berkuasa di Spanyol telah sejak lama
melakukan pencarian atas Jaime Miro. ."
Megan membaca seluruh berita itu dan duduk di situ
bagaikan membeku, mengingat kembali masa lalu. Yang
bagaikan sebuah impian di kejauhan di foto lewat sehelai tirai khasa, kabur dan samar.
Perjuangan ini tidak lama lagi akan berakhir. Akan kita dapatkan yang kita perjuangkan itu, karena rakyat ada di belakang kami. . Aku ingin kau menunggu aku. .
Pernah dibacanya tentang suatu peradaban yang
mempunyai kepercayaan bahwa jika seseorang menyelarnatkan jiwa seseorang lain, maka orang itu
menjadi bertanggung jawab atasnya. Nah, ia, Megan, telah dua kali menyelamatkan jiwa Jaime: sekali di benteng itu, dan sekali lagi di taman itu. Terkutuk benar diriku ini kalau aku membiarkan mereka itu membunuh Jaime Miro.
Megan mengangkat telepon di sebelah tempat duduknya
dan berkata kepada pilot pesawat itu,
"Putar arah pesawat ini. Kita kembali ke New York."
Sebuah mobillimousin menunggu Megan di La Guardia
Airport, dan pada waktu ia tiba di kantornya, jam
menunjukkan sudah pukul dua pagi. Lawrence Gray, Jr.
sedang menunggu di sana. Ayah Lawrence telah menjadi
pengacara perusahaan itu selama berthun-tahun dan kini sudah pensiun. Putranya adalah seorang yang cerdas dan penuh ambisi.
Tanpa kata pendahuluan apa pun, Megan berkata, "Jaime Miro. Apakah yang kau ketahui tentang dirinya?"
Jawaban pria itu seketika. "Ia seorang teroris Basque, pemimpin ETA. Kalau tidak keliru, aku telah membaca
bahwa satu dua hari yang lalu ia tertangkap."
"Tepat. Pemerintah akan menghadapkannya di depan pengadilan. Aku menghendaki ada seseorang kita berada di sana. Siapakah pengacara perkara seperti itu yang terbaik di negeri ini?"
"Kalau menurut aku, Curtis Hayman."
"Tidak. Jangan seorang gentleman seperti itu. Kita memerlukan seorang pembunuh." Megan berpikir sejenak.
"Panggillah Mike Rosen."
"Ia itu sudah mempunyai acara padat selama seratus tahun mendatang, Megan."
"Buyarkan acaranya itu. Aku menghendakinya di Madrid
pada pengadilan itu."
Pria itu mengerutkan dahi, "Kita jangan terlibat dalam suatu pengadilan umum di Spanyol."
"Kenapa tidak. Amicus curiae. Kita adalah teman dari pihak tertuduh."
Sejenak lamanya pria itu memperhatikan Megan.
"Apakah kau berkeberatan jika aku mengajukan sebuah pertanyaan yang bersifat pribadi?"
"Ya. Kau kerjakan saja yang kuminta."
"Akan kulakukan sebaik-baik mungkin."
"Larry. ." "Ya. .?" "Kerahkan segala-galanya." Ada nada sekeras baja dalam suara Megan itu.
Dua puluh menit kemudian, Lawrence Gray, Jr. kembali
ke kantor Megan. "Mike Rosen di telepon. Agaknya aku telah membangunkannya. Ia ingin berbicara denganmu."
Megan mengangkat gagang telepon itu. "Tuan Rosen"
Sungguh menyenangkan sekali tuan menelepon aku. Kita
belum pernah bertemu, tetapi aku mempunyai perasaan
bahwa tuan dan aku akan menjadi sahabat baik. Banyak
orang yang menuntut Scott Industries, dan aku telah
mencari-cari seorang yang dapat menangani perkaraperkara yang kami hadapi. Nama tuan selalu timbul.
Dengan sendirinya aku bersedia membayar. ."
"Nona Scott. .?"
"Ya?" "Aku tidak berkeberatan untuk melakukan suatu
pekerjaan yang rumit, tetapi nona menimbulkan kegaduhan pada diriku."
"Aku tidak mengerti."
"Biar aku menjelaskannya dengan istilah-istilah hukum kepada nona. Jangan main-main. Ini pukul dua pagi. Tidak ada orang mencari jasa orang lain pada pukul dua pagi."
"Tuan Rosen. ."
"Panggil aku Mike saja. Kita akan menjadi sahabat baik, bukan" Dan yang bersahabat itu haruslah saling percaya mempercayai. Larry mengatakan padaku bahwa kau
menghendaki aku pergi ke Spanyol berusaha menyelamatkan seorang teroris Basque yang kini berada di dalam tahanan polisi."
Megan sudah mau mengatakan, "Ia bukan seorang
teroris?" Tetapi ia membataIkan itu. "Ya."
"Apakah persoalanmu. Apakah ia menuntut Scott
Industries karena senjatanya macet?"
"Ia. ." "Maafkan aku, sahabat. Aku tidak dapat menolongmu.
Jadwalku sedemikian padatnya, sampai-sampai aku sejak enam bulan lalu sudah tidak masuk-masuk ke kamar
mandi. Aku dapat menganjurkan beberapa pengacara
lain. ." Tidak, Megan berkata dalam hati. Jaime Miro
memerlukan dirimu. Dan secara tiba-tiba ia merasa dirinya dilanda oleh rasa tidak berdaya. Spanyol itu suatu dunia lain, suatu zaman lain. Ketika ia berbicara lagi, suaranya terdengar lesu. "Baiklah kalau begitu." Ia berkata. "Ini sebenarnya satu perkara yang bersifat sangat pribadi. "Aku minta maaf kalau aku telah menymggung perasaan nona. "
"Hei! Dalam perkara-perkara umum begitulah seharusnya sikap kita. Tetapi kalau perkara yang sangat pribadi, Megan, itu adalah soal lain. Terus terang saja, aku setengah mati ingin mengetahui ada kepentingan apakah gerangan yang membuat kepala Scott Industries berkeras mau menyelamatkan seorang teroris Spanyol. Kau tidak
mempunyai acara sehingga dapat makan siang denganku,
esok siang?" Megan tidak mau ada apa pun yang menghalangi
tekadnya itu. "Aku sepenuhnya bebas."
"Di Le Cirque, pada pukul satu siang?" .
Megan merasa semangatnya bangkit kembali. "Baik. "
"Kaulah yang memesan tempat. Tetapi, aku harus
memperingatkan dirimu akan sesuatu."
"Ya?" "Aku mempunyai seorang istri yang sangat cerewet. "
Mereka bertemu di Le Cirque.
Mike Rosen berkata, "Kau lebih cakap daripada yang tampak dalam gambar-gambar dirimu. Aku berani bertaruh semua orang mengatakan yang seperti ini padamu."
Pria itu bertubuh pendek dan berpakaian secara
sembarangan. Tetapi matanya menyinarkan kecerdasannya yang tinggi.
"Kau telah menimbulkan keingin-tahuanku." Mike Rosen berkata. "Apakah kepentinganmu dengan Jaime Miro?"
Begitu banyak yang dapat diceritakan. Terlalu banyak
untuk diceritakan. Yang dikatakan Megan hanya: "Ia seorang teman. Aku tidak mau ia sampai mati."
Rosen bersandar ke depan. "Telah kuperiksa berkas-berkas surat kabar mengenai dirinya, pagi ini. Kalau
pemerintah Don Juan Carlos hanya satu kali menghukum
mati Miro itu, maka Miro masih menang beberapa langkah.
Mereka itu akan sampai serak-suara kalau tidak kehabisan suara mereka dalam membacakan daftar tuntutan terhadap temanmu itu." Rosen melihat airmuka Megan. "Maafkan aku, tetapi aku harus berterus terang padamu. Miro itu telah sangat sibuk sekali dalam tindak-tanduknya. Ia
merampok bank-bank, meledakkan kereta-kereta, membunuh orang. ." "Ia bukan seorang pembunuh. Ia seorang patriot. Ia berjuang untuk hak-haknya."
"Oke, oke. Ia juga pahlawanku. Apakah yang minta kulakukan?"
"Selamatkan Jaime Miro." .
"Megan, karena kita sudah menjadi teman baik, maka akan kukatakan yang sejujur-jujurnya padamu. Bahkan
Jesus Kristus sendiri tidak akan dapat menyelamatkan
Jaime Miro. Kau mengharapkan suatu keajaiban, suatu
mukjijat yang. ." "Aku percaya akan mukjijat. Kau mau membantu aku?"
Sejenak lamanya pria itu memperhatikan Megan. "Ah persetan! Untuk apakah seorang teman itu" Hei, sudahkah kau mencoba kue ini" Kudengar di sini kuenya lezat sekali."
Berita fax dari Madrid itu mengatakan: "Telah berbicara dengan setengah lusin pengacara top Eropa. Mereka
menolak untuk menjadi pembela Miro. Telah berusaha
sendiri diizinkan dalam pengadilan itu sebagai amicus curiae. Pengadilan menolak kehadiranku. Ingin sekali dapat menciptakan mukjizat itu untukmu, sahabatku, tetapi Jesus belum bangkit. Kini dalam perjalanan pulang. Kau
berhutang makan siang padaku. Mike."
Pengadilan itu ditetapkan akan dimulai pada tanggal
tujuh belas September. "Batalkan semua perjanjian-perjanjianku."
Megan memberitahu kepada sekretarisnya. "Aku ada urusan yang mesti dibereskan di Madrid."
"Berapa lama nona akan bepergian?"
"Entahlah." Megan merencanakan strateginya di atas pesawat yang
terbang di atas Atlantik itu. Pasti ada jalan, Megan berkata dalam hati. Aku punya uang dan aku punya kekuasaan.
Perdana Menteri itulah kuncinya. Aku harus menemuinya sebelum pengadilan dimulai. Setelah itu, akan terlambatlah sudah.
Megan mengadakan suatu janji temu dengan perdana
menteri Leopoldo Martinez, dua puluh empat jam setelah tiba di Madrid. Perdana menteri itu mengundang Megan ke Istana Monclosa untuk makan siang.
"Terima kasih atas kesediaan tuan menteri menerima diriku sedemikian cepatnya." Megan berkata. "Aku mengetahui bahwa tuan seorang yang sangat sibuk."
Martinez mengangkat tangannya. "Nona Scott yang baik, kalau kepala sebuah organisasi sepenting Scott Industries terbang ke negeriku untuk menemui diriku, maka aku
hanya dapat merasa mendapat kehormatan besar. Harap
katakan padaku, bagaimana aku dapat membantu nona."
"Aku sebetulnya datang ke sini untuk membantu tuan."
Megan berkata. "Teringat olehku, bahwa sekalipun kami memiliki beberapa pabrik di Spanyol, namun kami belum memakai sebaik-baiknya potensial yang ditawarkan oleh negeri tuan."
"Ya?" "Scott Industries sedang mempertimbangkan pendirian sebuah
pabrik elektronika raksasa. Yang akan mempekerjakan di antara seribu lima ratus orang. Kalau berhasil sebagaimana yakini, maka akan kami buka pabrik-pabrik satelit."
"Dan nona belum memutuskan di negeri mana nona
mengharap akan membuka psbrik itu"
"Benar. Aku sendiri secara pribadi memilih Spanyol, tetapi terus terang, Yang Mulia, beberapa orang di antara eksekutif puncak kaml tidak begitu senang dengan keadaan hak-hak azasi manusia di negeri tuan."
"Betulkah itu?"
"Ya. Mereka merasa bahwa orang-orang yang menentang beberapa kebijaksanaan negara, telah diperlakukan dengan terlalu kejam."
"Apakah ada yang nona maksudkan secara khusus?"
"Sebenarnya begitulah. Jaime Miro."
Perdana Menteri itu memandang terbengong pada
Megan. "Oh, begitu. Dan seandainya kami lebih lunak dengan Jaime Miro, kami akan mendapatkan pabrik
elektronika itu dan . ."
"Dan masih banyak lagi." Megan meyakinkan.
"Pabrik-pabrik kami akan menaikkan standard hidup di semua masyarakat yang memberi tempat bagi operasi
produktifnya." Perdana menteri itu mengerutkan dahi. "Sayangnya, ada satu masalah kecil."
"Apakah itu" Kita dapat merundingkannya lebih lanjut."
"Soal yang kumaksudkan, nona Scott, adalah yang tidak dapat dirundingkan. Kehormatan Spanyol tidaklah untuk dijual. Nona tidak dapat menyuap kami atau membeli kami atau mengancam kami. "
Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percayalah, Yang Mulia, aku tidak. ."
'Nona datang ke sini dengan pemberian-pemberian nona
dan mengharapkan kami mengatur peradilan-peradilan
kami sehingga menyenangkan nona" Pikirkanlah sekali lagi, nona Scott. Kami tidak memerlukan pabrik-pabrik nona."
Aku telah semakin memperburuknya, Megan berkata
dalam hati, putus asa. Pengadilan itu berlangsung enam minggu lamanya di
sebuah ruangan pengadilan yang tertutup bagi umum.
Megan tinggal di Madrid, mengikut laporan-laporan
persidangan itu dari berita-berita pers. Setiap hari. Dari waktu ke waktu, Mike Rosen menelepon Megan.
"Aku mengetahui yang kuhadapi, sahabatku. Kurasa sebaiknya kau pulang saja."
"Aku tidak dapat, Mike."
Megan berusaha menemui Jaime.
"Mutlak dilarang menerima tamu."
Hari terakhir pengadilan itu, Megan berdiri di luar
ruangan persidangan, tenggelam di tengah orang banyak.
Para wartawan mengalir ke luar dari dalam gedung itu, dan Megan menemui seorang dari antara mereka itu.
"Apakah yang terjadi?"
"Mereka memutuskannya bersalah. Ia mendapatkan
hukuman mati dengan garote, dicekik hingga mati."
-odwo- BAB TIGA PULUH TUJUH PADA PUKUL LIMA PAGI, pada hari yang dijadwalkan
untuk pelaksanaan hukuman mati atas diri Jaime Miro,
kerumunan orang banyak berkumpul di luar penjara pusat di Madrid. Barikade-barikade telah dipasang oleh Guardia Civil untuk menahan kerumunan orang yang makin banyak itu di seberang jalanan yang lebar, menjauhi pintu masuk penjara itu. Pasukan-pasukan bersenjata dan tank-tank memblokade pintu-pintu gerbang besi dari penjara itu.
Di dalam penjara itu sendiri, di kantor kepala penjara Gomez de la Guente, suatu rapat khusus sedang
berlangsung. Di dalam ruangan itu hadir perdana menteri Leopoldo Martinez, Alonzo Sebastian, kepala baru dari GOE, dan wakil-wakil kepala penjara, Juanito Molinas dan Pedros Arrango.
Perdana Menteri Martinez sedang berbicara. "Aku ingin mengetahui persiapan-persiapan yang tuan-tuan lakukan untuk menjamin agar tidak timbul keributan dalam
pelaksanaan hukuman mati atas diri Jaime Miro."
Kepala penjara, Gomez de la Fuente menjawab, "Kami telah siap menghadapi segala kemungkinan, Yang Mulia.
Sebagaimana telah Yang Mulia lihat sendiri ketika tiba di sini, satu kompi lengkap pasukan bersenjata ditempatkan mengelilingi penjara."
"Dan di dalam penjara sendiri?"
"Pengamanan lebih ketat lagi. Telah kami perintahkan penguncian semua sel, sehingga semua tahanan akan
tinggal di dalam sel hingga selesai pelaksanaan hukuman mati itu."
"Pada pukul berapa itu akan dilakukan?"
"Pada tengah hari, Yang Mulia. Kami juga telah mengatur agar ada cukup waktu bagi penyingkiran mayat Miro."
"Bagaimana rencanamu mengenai penyingkiran itu?"
"Kami mengikuti saran Yang Mulia. Penguburannya di Spanyol akan menimbulkan kesulitan bagi pemerintah, jika orang-orang Basque itu mengubah kuburan itu menjadi
suatu tempat ziarah. Kami telah menghubungi bibi Miro di Perancis. Wanita itu tinggal di sebuah desa kecil di luar Bayonne. Ia telah setuju dengan penguburan Miro di sana."
Perdana menteri Martinez bangkit berdiri. Bagus." Ia menghela nafas. "Aku tetap berpendapat bahwa suatu pelaksanaan hukuman gantung di tempat umum lebih
cocok." "Betul Yang Mulia. Namun, dalam hal itu, kami tidak dapat bertanggung jawab atas pengendalian orang banyak di luar itu."
"Kukira benar juga. Tidak ada gunanya menimbulkan lebih banyak keresahan. Garrote itu lebih menyiksa dan memakan waktu lebih lama. Jika ada orang yang patut
dihukum mati dengan garrote, maka orang itu adalah Jaime Miro."
Kepala penjara Gomez berkata, "Maafkan aku, Yang Mulia, tetapi setahuku, suatu komisi hakim sedang berapat untuk mempertimbangkan permohonan banding yang
diajukan oleh pembelapembela Miro. Kalau itu dikabulkan, apa yang harus kami. .?"
Perdana menteri itu menginterupsi, "Tidak akan.
Pelaksanaan hukuman mati akan berlangsung sesuai
jadwal." Pertemuan itu berakhir. Pada pukul setengah delapan pagi, sebuah truk
pengantar roti tiba di depan pintu gerbang penjara itu.
"Pengiriman roti."
Salah seorang penjaga penjara yang ditempatkan di
pintu masuk itu memandang pada pengemudi truk itu. "Kau orang baru, ya?"
"Betul. " "Di mana Julio?"
"Ia sakit hari ini. Terbaring di tempat tidur."
"Mengapa kau tidak bergabung dengannya."
"Apa?" "Tidak ada pengiriman apa pun pagi ini. Kau kembali saja nanti siang."
"Tetapi setiap pagi. ."
"Tidak ada yang boleh masuk, dan yang keluar hanya satu. Nah, enyahlah dari sini, kalau kau tidak ingin kawan-kawanku menjadi gatal tangannya."
Pengemudi itu menoleh ke arah serdadu-serdadu
bersenjata yang melihat pada dirinya.
"Oke,oke." Komandan pos itu melaporkan peristiwa itu pada kepala penjara. Ketika kisah itu diperiksa, ternyata tukang kirim roti yang biasa melakukan pekerjaan itu ada di rumah sakit, korban suatu tabrak-lari.
Pada pukul delapan pagi, sebuah bom mobil meledak di
seberang jalan darl penjara itu, melukai enam orang di antara kerumunan orang banyak yang berada di situ. Dalam keadaan biasa, para penjaga tentu sudah memeriksa dan menolong yang luka-luka. Tetapi mereka telah menerima
perintah yang tegas. Mereka tetap di pos masing-masing dan Guardia Civillah yang dipanggil untuk mengurus
kejadian itu. Insiden itu pun segera dilaporkan kepada kepala penjara di La Fuente.
"Mereka telah menjadi kalap." Kepala penjara itu berkata. "Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan."
Pada pukul sembilan lebih seperempat, sebuah helikopter muncul dan melayang-layang di atas kompleks
penjara itu. Pada badan pesawat itu tampak tulisan La Prensa, nama surat kabar harian Spanyol yang terpenting.
Dua buah meriam anti pesawat terbang telah dipasang di atas atap penjara itu. Letnan yang bertugas itu
mengibarkan sebuah bendera memberi isyarat helikopter itu agar menyingkir darl tempat itu. Tetapi helikopter itu tetap melayang-layang di atas penjara itu. Perwira itu mengangkat telepon lapangan.
"Tuan de la Fuente, ada sebuah helikopter di atas penjara ini."
"Ada tanda-tanda pengenalnya?"
"Ada. La Prensa. Tetapi tanda itu tampak sebagai pengecatan baru."
"Berikan tembakan peringatan. Kalau tidak pergi juga, tembak jatuh pesawat itu."
"Baik, tuan." Letnan itu berkata. Ia memberi isyarat kepada juru tembaknya. "Lepaskan tembakan yang nyaris mengenainya."
Peluru itu meletus lima yard di sisi helikopter itu.
Mereka dapat melihat keterkejutan pada wajah pilotnya.
Juru tembak itu mengisikan sebuah peluru pada meriam
itu. Helikopter itu terbang naik dan kemudian menghilang.
Yang berikutnya, apalagi" Letnan itu bertanya-tanya
sendiri. Pada pukul sebelas pagi, Megan Scott muncul di kantor penerimaan tamu dari penjara itu. Megan tampak kesu dan pucal. "Aku ingin bertemu dengan kepala penjara de la Fuente."
"Sudah ada janji bertemu dengannya?"
"Tidak, tetapi. ."
"Maafkan aku. Kepala penjara pagi ini tidak menerima tamu. Bagaimana kalau menelepon nanti siang. ."
"Katakan padanya bahwa Megan Scott yang ingin
bertemu. ." Orang itu memperhatikan Megan dengan lebih cermat.
Ah, jadi inilah orang Amerika kaya yang mencoba
membebaskan Jaime Miro itu. Aku sendiri tidak akan
berkeberatan kalau ia bekerja padaku untuk beberapa
malam. "Akan kusampaikan kepada kepala penjara, bahwa Andalah yang datang."
Lima menit kemudian, Megan duduk di kantor kepala
penjara itu. Bersama de la Fuente adalah enam orang
anggota dewan penjara. "Apakah yang dapat kulakukan untuk Anda nona Scott?"
' "Aku ingin bertemu dengan Jaime Miro."
Kepala penjara itu menghela nafas. "Itu tidak mungkin."
"Tetapi aku adalah. ."
"Nona Scott.. kami semua mengetahui siapa Anda itu.
Jika kami dapat memberi kelonggaran kepada Anda,
ketahuilah kami semua senang sekali melakukan itu."
Gomez berkata dengan tersenyum. "Kami, bangsa Spanyol adalah orang-orang yang penuh pengertian. Kami juga
bangsa yang sentimental, dan kadang-kadang bersedia
memalingkan muka dari ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan tertentu." Senyum telah hilang dari wajah kepala penjara itu. "Tetapi harl ini nona Scott tidak.
Tidak dapat. Hari ini adalah satu hari istimewa. Telah memerlukan bertahun-tahun bagi kami untuk menangkap
yang ingin Anda temui itu. Maka pada hari ini semua
pertaruhan berlaku. Yang berikutnya yang akan bertemu dengan Jaime Miro adalah Tuhannya. . kalaupun ia
mempunyai Tuhan. " Megan memandang pada kepala penjara itu dengan
wajah penuh derita. "Dapatkah. . dapatkah aku melihatnya sebentar saja?"
"Maafkan aku, nona Scott." Kepala penjara itu berkata.
"Tidak dapat." "Dapatkah aku mengirim sebuah pesan padanya?" Suara Megan itu tersumbat.
"Nona cuma akan mengirim sebuah pesan pada orang yang mati." Kepala penjara itu melihat jam tangannya. "Ia cuma mempunyai waktu kurang dari sejam."
"Tetapi ia telah mengajukan permohonan banding. Suatu komisi hakim-hakim yang akan memutuskan apakah. .?"
"Mereka sudah menolaknya. Aku sudah menerima berita keputusan itu lima belas menit yang lalu. Permohonan Miro telah ditolak. Hukuman mati itu akan dilaksanakan. Nah, kalau nona sudi memaafkan aku. ."
Kepala penjara itu bangkit berdiri, diikuti oleh para anggota dewan itu. Megan memandang ke sekelilingnya,
yang tampak cuma wajah-wajah dingin.
"Semoga Tuhan mengarnpuni kalian semua." Megan berkata.
Mereka cuma memandang dengan membungkam.
Menyaksikan Megan berlari ke luar dari ruangan itu.
Pada pukul dua belas kurang sepuluh menit pintu sel
Jaime Miro dibuka. Kepala penjara Gomez de la Fuente, disertai kedua wakilnya, Molinas dan Arrango, dan dokter Miguel Anuncio, memasuki sel itu. Empat penjaga
bersenjata bersiap-siap di lorong di luar sel itu.
Kepala penjara itu berkata, "Sudah tiba waktunya. "
Jaime bangkit berdiri. Ia diborgol kedua tangannya dan kakinya dirantai. "Aku mengharapkan Anda akan datang terlambat." Ada keanggunan dalam sikapnya itu yang tidak dapat tidak menimbulkan kekaguman kepala penjara itu.
Pada waktu lain, dalam keadaan yang lain pula, mungkin sekali kita menjadi sahabat baik, pikir Gomez de la Fuente dalam hatinya.
Jaime melangkah ke luar dari sel, gerak-geriknya serba repot dikarenakan rantai pada kedua kakinya itu. Ia diapit oleh para pengawal dan Molinas dan Arrango.
"Garrote?" Jaime bertanya.
Kepala penjara itu mengangguk. "Garrote." Sangat menyiksa, tidak manusiawi. Ada baiknya, kepala penjara itu berpikir, bahwa pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di sebuah kamar khusus, tidak dapat disaksikan oleh umum dan pers.
Iring-iringan itu melewati lorong itu. Dari luar penjara, darl jalanan, mereka dapat mendengar suara orang banyak itu: "Jaime. . Jaime. . Jaime."
Suara beramai-ramai itu kian an tang, keluar dari ribuan tenggorokan, menjadi kian lama kian keras.
"Mereka memanggil-manggil namamu." Peros Arrango berkata. .
"Tidak, mereka memanggil-manggIl diri mereka sendiri.
Mereka menyuarakan kemerdekaan. Besok mereka akan
menemukan suatu nama lain. Aku boleh mati. . tetapi akan selalu ada sebuah nama baru."
Mereka melewati dua pintu dengan pengamanan
lengkap, dan sampai di sebuah kamar kecil di ujung lorong itu. Dari sudut muncul seorang padri berjubah hitam.
"Puji Tuhan, aku telah datang pada waktunya. Aku datang untuk memberi pelayanan terakhir pada yang
terhukum ini." Ketika padri itu bergerak ke arah Miro, dua orang
pengawal menghalanginya."
"Maaf, romo." Kepala penjara Itu berkata. Tidak ada yang boleh mendekatinya."
"Tetapi aku. ."
"Kalau romo mau memberikan pelayanan terakhir
padanya, maka harus romo lakukan itu dari balik pintu.
Harap romo minggir."
Seorang pengawal membuka pintu bercat hijau di ujung
lorong itu. Berdiri di samping sebuah kursi dengan ban-ban pengikat lengan, tampak seorang tinggi besar yang
mengenakan kedok separoh-wajah.
Di tangannya adalah seutas garrote.
Kepala penjara itu mengangguk ke arah Molinas dan
Arrango dan dokter itu, dan mereka memasuki ruangan
kecil itu setelah Jaime Miro masuk terlebih dulu. Para pengawal itu tidak ikut masuk. Pintu bercat hijau itu ditutup dan dikunci.
Di dalam ruangan itu, Molinas dan Arrango membimbing
Jaime ke kursi itu. Mereka melepaskan borgolnya,
kemudian mengikatkan ban-ban yang kuat itu pada kedua lengannya, sedangkan dokter Anuncion dan de la Fuente menyaksikannya. Lewat pintu tertutup itu hampir tidak terdengar suara padri yang sedang berdoa itu.
De la Fuente memandang pada Jaime dan mengangkat
bahu. "Tidak menjadi soallah. Tuhan akan mengerti yang dikatakan romo itu."
Pria tinggi besar yang memegang garrote itu bergerak ke belakang Jaime. Kepala penjara Gomez de la Fuente
bertanya, "Kau menghendaki sehelai penutup pada
wajahmu?" "Tidak. " Kepala penjara itu memandang pada algojo itu dan
mengangguk. Algojo itu mengangkat garrote di tangannya dan mengulurkannya ke depan.
Para pengawal yang berjaga di luar pintu cuma dapat
mendengar suara bersama orang banyak di jalanan itu.
"Tahukah kau yang sedang kupikirkan?" Salah seorang pengawal itu menggerutu, "Ingin sekali aku berada di luar sa bersama mereka."
Lima menit kemudian, pintu bercat hijau itu dibuka.
Dokter Anuncion berkata, "Ambilkan karung mayat itu."
Sesuai dengan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, tubuh Jaime Miro diselundupkan ke luar
penjara itu lewat sebuah pintu belakang. Karung mayat itu dilemparkan ke dalam sebuah mobil van yang tiada
bertanda apa pun. Tetapi seketika kendaraan itu
meninggalkan komplex penjara itu, kerumunan orang
banyak di jalanan itu mendesak maju, seakan-akan disedot oleh suatu magnet-mistikal ke arah kendaraan itu.
"Jaime. . Jaime. ."
Tetapi suara itu kini tidak selantang tadi. Pria dan
wanita menangis, dan anak-anak mereka memandang
dalam keheranan, tidak mengerti yang sedang terjadi itu.
Mobil van itu berjalan pelan menembus kerumunan orang banyak itu, dan akhirnya membelok meluncur di atas jalan bebas hambatan.
"Yesus!" Pengemudi van itu berkata. "Itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Orang yang satu ini pasti mengandung sesuatu."
"Ya. Dan ribuan orang juga mengetahuinya!"
Pada pukul dua siang, kepala penjara Gomez de la
Fuente dan kedua wakilnya, Molinas dan Pedros Arrango, menghadap ke kantor perdana menteri Martinez.
"Aku ingin memberi selamat kepada kalian "
Perdana menteri itu berkata. "Pelaksanaan hukuan mati itu telah berjalan dengan sempurna."
Kepala penjara itu berkata, "Tuan Perdana Menteri, kami datang ke sini bukan untuk menerima ucapan selamat dari menteri. Kami datang
ke sini untu mengajukan pengunduran diri kami."
Martinez memandang dengan keheranan bercampur
keterkejutan pada ketiga orang itu. "Apa?""
"Ini persoalan prikemanusiaan, Yang Mulia. Kami baru saja menyaksikan seseorang mati. Barangkali ia memang patut mati. Tetapi tidak dengan cara seperti itu. Yang tadi kami saksikan itu adalah" adalah biadab sekali. Aku tidak bersedia mengambil bagian dalam apa pun yang seperti itu, dan rekan-rekan kerjaku merasakannya sama seperti
diriku." "Barangkali perlu kalian pikirkan dulu. Pensiun-pensiun kalian?"
"Tetapi kami harus hidup dengan hati nurani kami."
Kepala penjara itu menyerahkan tiga helai kertas kepada perdana menteri itu. "Dan ini adalah
surat-surat pengunduran diri kami."
-odwo- Pada larut malam itu, sebuah mobil van menyeberangi
perbatasan dan meluncur menuju desa Bidache, di dekat Bayonne. Mobil itu berhenti di sebuah rumah pertanian yang tampak rapi sekali.
"Inilah tempatnya. Marl kita serahkan mayat itu, sebelum ia mulai bau."
Pintu rumah pertanian itu dibuka oleh seorang wanita
berusia lima puluhan. "Kalian telah membawanya?"
"Betul, nyonya. Aku. . aku tidak akan menunggu terlalu lama untuk menguburnya. Anda tentu mengerti yang
kumaksudkan?" Wanita itu menyaksikan kedua pria itu menggotong
masuk karung mayat dengan isinya itu dan diletakkannya karung itu di atas lantai.
"Terima kasih."
"De nada. Terima kasih kembali."
Wanita itu berdiri di lubang pintu menyaksikan van itu meluncur pergi.
Seorang wanita lain masuk dari sebuah kamar lain dan
berlari ke arah karung mayat itu. Dengan tergesa-gesa dibukanya ritsleting karung mayat itu.
Jaime Miro tergeletak di situ sambil tersenyum pa da
kedua wanita itu. "Tahukah kalian" Garrote itu benar-benar dapat menyakiti leher "
"Anggur putih atau anggur merah?" Megan bertanya.
-odwo- BAB TIGA PULUH DELAPAN DI BARAJAS AIRPORT di Madrid, bekas kepala penjara
Gomez de la Fuente, kedua wakilnya, Molinas dan Arrango, dokter Anuncion dan algojo tinggi besar yang memakai
kedok itu, berada di ruangan tunggu bagi penumpang yang akan berangkat.
"Aku tetap beranggapan kau keliru besar tidak ikut denganku ke Costa Rica." de la Fuente berkata. "Dengan uangmu sebanyak lima juta dollar, kau dapat membeli
seluruh pulau itu." Molinas menggelengkan kepala. "Arrango dan aku akan pergi ke Swiss. Aku jenuh dengan matahari. Kami
bermaksud membeli beberapa lusin boneka salju."
"Aku juga," kata algojo itu."
Mereka berpaling pada dokter Miguel Anuncion.
"Bagaimana dengan Anda, dokter?"
"Aku akan pergi ke Bangladesh."
Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa?" "Ya, aku akan menggunakan uang itu membuka sebuah rumah sakit di sana. Telah kupikirkan hal ini lama sebelum aku menerima tawaran Megan Scott itu. Aku telah
mempertimbangkan akan dapat menyelamatkan banyak
jiwa tidak bersalah dengan membiarkan hidup seorang
teroris. Itu suatu pertukaran yang layak sekali. Lagi pula, harus kukatakan kepada kalian, aku menyukai Jaime Miro.
-odwo- DAERAH PEDESAAN PERANCIS itu telah mengalami
musim yang baik sekali, yang memberikan panen
berlimpah. Semoga setiap tahun yang akan datang akan
sebaik tahun ini. Rubio Arzano berkata pada diri sendiri.
Tahun ini tahun baik dalam lebih dari satu hal.
Mula-mula pemikahannya, dan kemudian, setahun yang
lalu, kelahiran anak kembar mereka. Siapakah yang
mengira bahwa seseorang dapat sebahagia ini"
Hujan mulai turun. Rubio memutar traktornya dan
mengemudikannya menuju tempat penyimpanan. Pikirannya sibuk dengan anak kembarnya. Yang laki-laki akan menjadi besar dan kekar. Sedangkan yang
perempuan! Yang perempuan akan menjadi cantik sekali.
Akan menimbulkan banyak kesukaran bagi pasangannya
kelak. Rubio tertawa sendiri. Yang perempuan itu mirip dengan ibunya. Setelah memasukkan traktor itu, Rubio
berjalan ke rumah, merasakan hujan yang sejuk itu
menampar wajahnya. Dibukanya pintu rumah dan ia
melangkah masuk. "Tepat pada waktunya." Lucia tersenyum. "Makanan sudah siap."
Kepala biara itu, Ibu Betina bangun dari tidurnya dengan firasat bahwa sesuatu yang indah akan terjadi hari itu.
Tentu saja, pikirnya. Sudah begitu banyak hal-hal baik dan indah yang telah terjadi.
Biara Cistercian itu telah lama dibuka kembali, dengan mendapat perlindungan raja Don Juan Carlos. Suster
Graciela dan suster-suster yang telah dibawa ke Madrid telah dengan selamat dipulangkan ke biara itu.
Tidak lama seusai makan pagi, Ibu Betina masuk ke
dalam kantornya dan ia terhenti di pintu, memandang
heran. Di atas mejanya, berkilauan dengan cemerlangnya, terdapat salib emas itu.
Peristiwa itu diterima sebagai suatu mukjijat.
EPILOG Madrid telah mencoba membeli perdamaian dengan
menawarkan otonomi terbatas kepada kaum Basque:
memperkenankan orang Basque memiliki bendera sendiri, bahasa sendiri, dan suatu departemen kepolisian Basque.
ETA menjawab dengan membunuh Constantin Ortin Gil,
gubernur militer Madrid, dan kemudian Luis Carrero
Blanco, orang yang dlplhh oleh Franco untuk menggantikan dirinya.
Kekerasan terus merajalela dan semakin meningkat.
Dalam suatu periode tiga-tahun, kaum teroris ETA telah membunuh lebih dari enam ratus orang. Pembantaian itu berkelanjutan terus dan pembalasan oleh pihak kepolisian sama kejamnya.
Beberapa tahun yang lalu, ETA telah mendapatkan
simpati rakyat Basque yang dua setengah juta orang
banyaknya, tetapi terus berlanjutnya terorisme telah
merontokkan dukungan rakyat itu.
Di Bilbao, jantung negeri Basque, seratus ribu orang
turun ke jalanan, berdemonstrasi terhadap ETA. Rakyat
Spanyol merasa bahwa sudah waktunya untuk perdamaian, sudah waktunya untuk menyembuhkan luka-luka.
OPUS MUNDO semakin berkuasa, namun hanya
sedikitlah orang yang mau membicarakannya.
Mengenai biara-biara Cistercian. . jumlah biara-biara ini di seluruh dunia adalah lima puluh empat buah, dan tujuh buah dari jumlah itu adalah di Spanyol.
Upacara keheningan dan pengucilan diri yang dianut
biara-biara Cistercian itu, hingga kini tidak berubah seujung rambut pun.
TAMAT Badik Buntung 14 Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Pendekar Latah 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama