Ceritasilat Novel Online

Pagi Siang Dan Malam 2

Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon Bagian 2


Hakim Tyler Stanford berperawakan pendek dan agak gemuk. Sorot matanya tajam, penuh perhitungan. Ia jarang tersenyum. Ia tidak mewarisi karisma dan daya tarik ayahnya. Cirinya yang paling menonjol adalah suaranya yang berat dan lantang, suara yang cocok untuk menjatuhkan hukuman.
Tyler Stanford pribadi yang tertutup dan tidak banyak bicara. Usianya empat puluh tahun, tapi tampangnya jauh lebih tua. Ia bangga karena tidak memiliki rasa humor. Hidup terlalu suram untuk senda gurau. Satu-satunya hobi yang ditekuninya adalah catur, dan sekali seminggu ia bermain di sebuah perkumpulan catur. Ia selalu menang.
Tyler Stanford ahli hukum yang cemerlang. Ia disegani oleh hakim-hakim lainnya, dan sering dimintai nasihat atau saran. Hanya segelintir orang mengetahui ia anggota keluarga Stanford yang itu. Nama ayahnya tak pernah ia singgung-singgung.
Ruang kerjanya berada di Gedung Pengadilan Cook County di pojok Twenty-sixth Street dan
California Street. Bangunan itu berlantai empat belas, dan orang harus melewati tangga untuk menuju pintu masuk. Lingkungannya berbahaya, dan di luar terdapat papan pemberitahuan: BERDASARKAN KEPUTUSAN PENGADILAN, SEMUA ORANG YANG MEMASUKI GEDUNG INI WAJIB DIGELEDAH TERLEBIH DULU.
Di sinilah Tyler menghabiskan hari-harinya dengan menangani kasus-kasus perampokan, pencurian, pemerkosaan, penembakan, penyalahgunaan obat bius, dan pembunuhan. Ia tak pernah memperlihatkan belas kasihan, dan ia menjadi terkenal dengan julukan Hakim Penggantung. Sepanjang hari ia mendengarkan para terdakwa mengemukakan seribu satu alasan, namun semuanya ditampiknya dengan tegas. Kejahatan tetap kejahatan, dan harus diberi hukuman setimpal. Dan di bawah sadarnya, ayahnya selalu membayang-bayang.
Pengetahuan rekan-rekan Tyler Stanford tentang kehidupan pribadinya sangat terbatas. Mereka tahu bahwa perkawinannya kandas dan ia telah bercerai, bahwa ia tinggal di rumah kecil berkamar tiga di Kimbark Avenue di Hyde Park. Kawasan itu selamat dari kebakaran besar yang melanda Chicago tahun 1871, sehingga masih banyak rumah tua yang indah. Tyler tidak bergaul dengan para tetangganya, dan mereka pun tidak tahu-menahu tentang hakim pendiam itu. Ia mempunyai pengurus rumah yang datang tiga kali seminggu, namun urusan belanja
ditanganinya sendiri. Setiap Sabtu ia pergi ke Harper Court, mall kecil di dekat rumahnya, ke Mr. G"s Fine Foods, atau Medici"s di Fifty-seventh Street.
Sesekali, jika ada acara di kantor, Tyler berjumpa dengan para istri rekan-rekannya. Mereka merasakan bahwa ia kesepian, dan menawarkan untuk memperkenalkannya pada teman-teman wanita mereka atau mengundangnya makan malam. Tyler selalu menolak.
"Saya sudah ada acara malam itu."
Sepertinya ia selalu punya acara pada malam hari, namun tak ada yang tahu apa yang dikerjakannya.
"Tyler tidak berminat pada hal-hal di luar dunia hukum," salah satu hakim menjelaskan kepada istrinya. "Dan dia belum tertarik berkenalan dengan wanita lain. Kabarnya, perkawinannya tidak bahagia."
Hakim itu benar. Setelah bercerai, Tyler bersumpah pada dirinya sendiri tak akan lagi menjalin hubungan emosional. Tapi kemudian ia bertemu Lee, dan tiba-tiba saja semuanya berubah. Lee begitu menawan, sensitif, dan penuh kasih sayang?Tyler berharap mereka dapat menjalani sisa hidup bersama-sama. Tyler mencintai Lee, namun tampaknya ia bertepuk sebelah tangan. Sebagai model yang beril, Lee mempunyai puluhan pengagum, sebagian besar kaya raya. Dan Lee menyukai barang-barang mahal.
Semula Tyler merasa tak mampu bersaing memperebutkan perhatian Lee. Tapi sekonyong-konyong, berkat kematian ayahnya, semuanya bisa berubah. Tiba-tiba saja ia berpeluang meraih kekayaan yang dalam mimpi pun tak berani ia bayangkan.
Ia akan sanggup menawarkan seluruh dunia kepada Lee.
Tyler memasuki ruang kerja hakim kepala. "Keith, kelihatannya aku harus pergi ke Boston selama beberapa hari. Ada urusan keluarga. Apakah ada orang yang bisa mengambil alih kasus-kasusku?"
"Tentu. Nanti kuatur semuanya," jawab atasannya.
"Terima kasih."
Sore itu, Hakim Tyler Stanford sudah dalam perjalanan ke Boston. Di dalam pesawat, ia kembali teringat.ucapan ayahnya pada hari nahas itu, "Aku tahu rahasiamu yang kotor."
Bab 9 paris diguyur hujan musim panas yang hangat. Para pejalan kaki bergegas mencari tempat berlindung. Ada pula yang berusaha mencegat taksi, tapi ternyata tak ada yang kosong. Auditorium di dalam bangunan besar berwarna kelabu di pojok Rue Faubourg SL-Honore diliputi suasana panik. Selusin peragawati berlari kian-kemari dalam keadaan setengah telanjang, petugas-petugas gedung sibuk menyusun kursi, sementara sejumlah tukang kayu masih mengetok-ngetokkan palu untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung. Semua orang berseru-seru sambil menunjuk-nunjuk. Kebisingannya memekakkan telinga.
Sang maitresse, Kendall Stanford Renaud, berdiri di tengah hiruk-pikuk itu dan berusaha mengatur segala sesuatu. Empat jam sebelum acara peragaan busana akan dimulai, semuanya mendadak kacau-balau.
Bencana: John Fairchild dari W ternyata akan hadir, tapi belum disediakan tempat duduk.
Tragedi: Sistem pengeras suara tidak berfungsi. Malapetaka: Lili, salah satu peragawati top, tiba-tiba sakit.
Musibah: Dua juru rias bertengkar di belakang panggung, sehingga tugas-tugas mereka terbengkalai.
Cobaan: Keliman pada cigarette skirts mulai terburai.
Dengan kata lain, pikir Kendali sambil menghela napas, semuanya seperti biasa.
Kendall Stanford Renaud bisa saja keliru disangka sebagai salah satu peragawati, dan pada suatu ketika ia memang pernah menekuni profesi tersebut. Segenap penampilannya selaras, mulai dari gelung emas yang menghiasi rambutnya sampai ke sepatu Chanel yang ia kenakan. Segala sesuatu pada dirinya?lengkungan lengannya, corak warna cat kukunya, cara tertawanya?mencerminkan kepribadian yang anggun. Wajahnya sebenarnya biasa saja jika tidak dipoles makeup, tapi Kendali berusaha keras agar tak seorang pun menyadari hal itu. Ia berhasil.
Ia berada di mana-mana sekaligus.
"Siapa yang mengatur pencahayaan runway, Ray Charles?"
"Aku minta latar belakang biru"."
"Lapisan dalamnya kelihatan. Perbaiki!"
"Aku tidak mau para peragawati menata rambut dan makeup di tempat tunggu. Suruh Lu lu mencarikan ruang rias untuk mereka!"
Kendall dihampiri manajer acaranya. "Kendall, tiga puluh menit terlalu lama! Terlalu lama! Acaranya jangan lebih dari 25 menit"."
Kendali mengalihkan perhatiannya. "Bagaimana sebaiknya menurutmu, Scott?"
"Kita bisa menghapus beberapa rancangan dan"11
"Jangan. Suruh para peragawati berjalan lebih cepat."
Ia kembali mendengar namanya dipanggil, dan menoleh.
"Kendali, aku tidak bisa menemukan Pia. Bagaimana kalau Tami yang memakai jas kelabu tua dengan celana panjang itu?"
"Jangan. Setelan itu biar dipakai Dana saja. Tami lebih cocok memakai cat suit dan tunic."
"Bagaimana dengan jersey yang kelabu?"
"Monique. Dan ingatkan dia untuk memakai stoking dengan warna yang sama."
Kendali berpaling ke panil dengan foto-foto Polaroid yang memperlihatkan para peragawati dengan berbagai baju. Foto-foto itu disusun berdasarkan urutan tertentu. Ia mengamati panil tersebut dengan matanya yang terlatih. "Kita ubah saja. Cardigan krem mi keluar pertama, lalu sepa-. rates, lalu jersey sutra tanpa tali ini, kemudian gaun malam taffeta, gaun-gaun sore dengan jaket"."
Ia dihampiri dua asistennya.
"Kendali, kita ada masalah dengan pengaturan
tempat duduk. Kau ingin para retailer duduk berkelompok, atau kau ingin mereka bercampur dengan para selebriti?"
Asisten yang satu lagi angkat bicara, "Bisa juga, kita mencampur para selebriti dengan orang-orang pers."
Kendali nyaris tidak memperhatikan mereka. Sudah dua malam ia tidak tidur karena sibuk memastikan bahwa semuanya "beres. "Kalian atur sendiri saja," katanya.
Ia memandang berkeliling. Pikirannya beralih kepada show yang sebentar lagi akan dimulai, dan kepada nama-nama terkenal dari seluruh dunia yang akan bertepuk tangan untuk hasil karyanya. Seharusnya aku berterima kasih kepada Ayah. Dia bilang aku takkan berhasil"
Dari kecil ia sudah bercita-cita menjadi perancang busana. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat alam untuk gaya. Baju-baju bonekanya selalu paling trendy. Setiap kali ia dengan bangga memamerkan ciptaannya yang terakhir kepada ibunya, ibunya memeluknya erat-erat dan berkata, "Kau sangat berbakat, Sayang. Suatu hari kau akan menjadi perancang busana terkenal."
Dan Kendali percaya betul bahwa angan-angannya akan terwujud.
Di sekolah, Kendali mendalami desain grafis, gambar struktural, konsepsi spasial, serta koordinasi warna.
"Kalau kau memang berniat terjun ke dunia mode, mulailah sebagai model," salah satu guru menasihatinya. "Itu cara paling baik. Kau akan bertemu semua perancang top, dan asal buka mata, kau akan belajar banyak dari mereka."
Ketika Kendali menceritakan impiannya kepada ayahnya, ayahnya menatapnya dan berkata, "Kau" Model" Kau pasti bercanda!"
Setelah Kendali tarns sekolah, ia kembali ke Rose Hill. Ayah membutuhkanku untuk mengatur rumah, pikirnya Ayahnya mempekerjakan selusin pelayan, tapi tak ada yang betul-betul pegang kendali. Berhubung Harry Stanford sering bepergian, para pelayan dibiarkan bekerja sesuai inisiatif masing-masing. Kendali lalu mulai mengelola rumah tangga ayahnya. Ia mengatur semua kegiatan rumah tangga, bertindak sebagai nyonya rumah saat ayahnya mengadakan pesta, dan melakukan apa saja untuk membuat ayahnya nyaman. Ia mendambakan pujian ayahnya, namun yang diterimanya justru kritik ber-tubi-tubi.
"Siapa yang menerima tukang masak sialan itu" Pecat dia"."
"Aku tidak suka piring-piring yang kaubeli. Apakah kau tidak punya selera?""
"Siapa yang memberimu izin untuk menata kamar tidurku" Jangan sekali-kali kau masuk ke situ lagi"."
Apa pun yang dikerjakan Kendali, ayahnya tetap tidak puas.
Sikap ayahnya itulah yang akhirnya memaksa Kendali angkat kaki dari rumah. Sejak dulu rumah itu tak pernah mengenal kehangatan keluarga, dan ayahnya pun tak pernah memperhatikan anak-anaknya, kecuali saat menghukum mereka. Suatu malam Kendali mendengar ayahnya berkomentar kepada seorang tamu, "Wajah putri saya seperti kuda. Tanpa iming-iming uang, dia takkan mendapatkan suami."
Kendali tak tahan lagi. Keesokan harinya ia meninggalkan Boston dan menuju New York.
Seorang diri di kamar hotelnya, Kendali mulai berpikir. Oke. Aku sudah sampai di New York. Bagaimana aku bisa jadi perancang" Bagaimana aku bisa masuk ke industri fashion" Bagaimana aku bisa menarik perhatian orang-orang" Ia teringat saran gurunya. Aku akan mulai sebagai model. Itu langkah pertamaku.
Keesokan paginya Kendali membuka-buka halaman kuning, membuat daftar perusahaan penyalur model, lalu mulai berkeliling. Aku harus terus terang kepada mereka, Kendali berkata dalam hati. Mereka harus tahu bahwa profesi model hanya batu loncatan bagiku sebelum aku mulai merancang.
Ia masuk ke kantor perusahaan yartg tercantum di
urutan pertama pada daftarnya. Seorang wanita setengah baya menyapanya, "Bisa saya bantu?"
"Ya. Saya ingin jadi model."
"Saya juga, Manis. Lupakan saja."
"Apa?" "Kau terlalu tinggi."
Kendali mengenakkan gigi. "Saya ingin bertemu pimpinan di sini."
"Kau sedang berhadapan dengannya. Saya pemilik tempat ini."
Kunjungan-kunjungan berikut membuahkan hasil yang sama.
"Kau terlalu pendek."
"Terlalu kurus."
"Terlalu gemuk."
"Terlalu muda."
"Terlalu tua." "Salah tipe." Menjelang akhir minggu, Kendali mulai putus asa. Tinggal satu nama pada daftarnya yang belum didatanginya.
Paramount Models termasuk perusahaan penyalur model terkemuka di Manhattan. Meja resepsionis sedang kosong. frv*$
Sebuah suara dari salah satu ruang kantor berkata, "Dia ada waktu Senin besok. Tapi hanya satu hari. Jadwalnya sudah penuh untuk tiga minggu ke depan."
Kendali menghampiri ruangan itu dan mengintip
1 nn ke dalam. Seorang wanita dengan setelan jas rapi sedang menelepon.
"Baiklah. Akart saya usahakan." Roxanne Mari-nack meletakkan gagang telepon dan menoleh. "Sori, saat ini tidak ada permintaan untuk tipemu."
Kendali berkata dengan nada memohon, "Saya bisa menjadi tipe apa saja yang Anda inginkan. Saya bisa lebih tinggi atau lebih pendek. Saya bisa lebih muda atau lebih tua, lebih kurus?"
Roxanne mengangkat sebelah tangan. "Cukup."
"Saya hanya minta diberi kesempatan. Saya betul-betul butuh pekerjaan ini"."
Roxanne mengerutkan alis. Gadis di pinta itu tampak amat bersemangat, dan bentak tabuhnya pun mendukung. Ia tidak cantik, tapi dengan polesan makeup" "Sudah ada pengalaman?"
"Ya. Seumur hidup saya memakai baju."
Roxanne tertawa. "Baiklah. Coba tunjukkan portfolio-mu."
Kendali menatapnya dengan bingung. "Portfolio?"
Roxanne menghela napas. "Sayang, kau takkan memperoleh pekerjaan tanpa portfolio. Itu nyawamu. Itu yang akan dinilai oleh calon-calon klienmu." Roxanne kembali menarik napas. "Kita perlu dua foto close-up wajahmu?satu tersenyum, satu serius. Coba berputar."
"Oke." Kendali mulai berputar.
"Jangan cepat-cepat." Roxanne mengamatinya. "Lumayan. Lalu satu foto dengan baju renang atau
pakaian dalam, mana saja yang paling menguntungkan untuk bentuk tubuhmu.1*
"Saya akan membuat dua-duanya," Kendali langsung berjanji.
Roxanne tersenyum melihat kesungguhan gadis itu. "Baiklah. Kau" ehm" berbeda, tapi rasanya kau punya kesempatan."
"Terima kasih."
"Jangan berterima kasih dulu. Menjadi model untuk majalah-majalah mode tidak semudah yang dikira orang. Pekerjaannya berat."
"Saya sudah siap."
"Kita lihat saja nanti. Saya akan memberikan kesempatan padamu. Kau akan saya ikutkan dalam beberapa go-see."
"Maaf?" "Go-see adalah acara di mana para klien mengamati model-model baru. Model-model dari perusahaan lain juga akan hadir. Acaranya mirip lelang sapi."
Tak apa. Saya sanggup."
Itulah awal karier Kendali. Ia harus mengikuti selusin go-see sebelum ada perancang yang tertarik untuk memakainya sebagai model. Kendali begitu tegang, sehingga ia nyaris merusak kesempatannya dengan bicara terlalu banyak.
"Saya betul-betul suka gaun-gaun rancangan Anda, dan saya kira gaun-gaun itu pasti bagus dipakai saya. Maksud saya, gaun-gaun itu pasti
bagus dipakai wanita mana pun. Rancangannya luar biasai Tapi saya kira gaun-gaun itu pasti lebih bagus lagi kalau dipakai saya." Ia begitu gugup, sampai tergagap-gagap.
Si perancang mengangguk-angguk dengan sabar. "Kau masih baru, ya?"
"Ya, Sir." Orang itu tersenyum. "Oke. Kau bisa dipakai. Siapa namamu tadi?"
"Kendall Stanford." Kendall sempat kuatir bahwa si perancang akan menyadari hubungan antara dirinya dan keluarga Stanford yang itu, tapi tentu saja kekuatirannya tidak beralasan.
Komentar Roxanne ternyata benar. Dunia model ternyata lebih berat dari perkiraan orang. Ia harus membiasakan diri menghadapi penolakan demi penolakan, mengikuti go-see yang tak membuahkan hasil apa pun, dan menganggur selama berminggu-minggu. Jika ia berhasil memperoleh pekerjaan, ia harus berada di tempat rias pukul .enam pagi, menyelesaikan pemotretan, bergegas ke lokasi pemotretan berikut, dan sering kali baru selesai lewat tengah malam.
Suatu malam, seusai acara pemotretan dari pagi bersama setengah lusin model lain, Kendali menatap cermin dan mendesah, "Aku takkan bisa bekerja besok. Lihat, mataku bengkak begini!"
Salah satu model berkata, "Taruh saja irisan mentimun pada matamu. Atau celupkan kantong
teh chamomile ke dalam air panas, tunggu sampai dingin, lalu taruh di matamu, kira-kira sepuluh sampai lima belas menit." Keesokan pagi, matanya tak bengkak lagi.
Kendali iri pada model-model yang selalu dibanjiri tawaran pekerjaan. Ia sering mendengar Roxanne mengatur jadwal mereka, "Tadinya Scaasi kutempat-kan di urutan kedua dalam daftar, tunggu Michelle. Coba telepon ke sana dan beritahu mereka bahwa Michelle ada hari kosong minggu depan, dan mereka kunaikkan ke urutan pertama"."
Kendali belajar dengan cepat. Dalam waktu singkat ia telah mengetahui bahwa ia tidak boleh mengkritik baju yang akan diperagakannya. Ia berkenalan dengan sejumlah fotografer mode terkemuka, lalu membuat photo composite untuk menyertai po/t/b/to-nya. Ia mulai membawa tas model berisi segala macam kebutuhan pokok?pakaian, makeup, peralatan perawatan kuku, dan perhiasan. Ia mengeringkan rambutnya dalam posisi membungkuk agar lebih mekar, dan mengeriting rambutnya dengan menggunakan gulungan yang dilengkapi pemanas.
Masih banyak lagi yang perlu ia pelajari. Ia termasuk model favorit para fotografer, dan salah satu dari mereka memberikan saran padanya. "Kendali, simpan senyumanmu untuk akhir pemotretan. Ini akan mengurangi kerut-kerut di sekitar mulutmu."
Kendali semakin populer. Ia tidak memiliki kecantikan memukau yang menjadi ciri khas sebagian besar model, tapi ia dikaruniai sesuatu yang lebih berharga, yaitu keanggunan alami.
"Dia punya kelas," ujar wakil salah satu perusahaan iklan.
Rangkuman yang singkat namun tepat.
Ia juga kesepian. Sesekali ia berkencan, namun tak ada yang bermakna khusus. Ia bekerja secara teratur, tapi tetap belum berhasil mendekati tujuan sesungguhnya. Rasanya ia belum maju satu langkah pun ke arah itu sejak pertama menginjakkan kaki di New York. Aku harus cari jalan untuk berhubungan dengan para perancang top, Kendali berkata dalam hati.
"Jadwalmu untuk empat-minggu ke depan sudah penuh," Roxanne memberitahu Kendali. "Semua orang senang bekerja sama denganmu."
"Roxanne?" "Ya, Kendali?" "Aku tak mau lagi jadi fotompdel." Roxanne menatapnya seakan-akan tidak percaya. "Apa?"
"Aku mau jadi model runway."
Menjadi model runway merupakan cita-cita hampir semua model, karena paling mengasyikkan dan dibayar paling tinggi.
Roxanne ragu-ragu. "Peluangnya sangat kecil. Kau tahu itu, bukan?" "Aku pasti sanggup."
Roxanne menatapnya. "Kau sungguh-sungguh?" "Ya"
Roxanne mengangguk. "Baiklah. Kalau kau memang serius, hal pertama yang harus kaupelajari adalah meniti balok keseimbangan."
"Apa?" Roxanne menjelaskannya. Sore itu, Kendali membeli balok kayu sepanjang 180 senti, mengamplas permukaannya, lalu meletakkannya di lantai. Pada awalnya ia tak dapat menjaga keseimbangan, dan selalu terjatuh. Ternyata memang sulit, pikir Kendali. Tapi aku harus bisa.
Setiap hari ia bangun pagi-pagi dan berlatih meniti balok sambil berjinjit. Ayunkan pinggul. Luruskan jari kaki. Turunkan tumit. Perlahan-lahan rasa keseimbangannya membaik.
la berjalan mondar-mandir di depan cermin setinggi badan, diiringi musik. Ia berjalan dengan membawa buku di atas kepala. Ia membiasakan diri berganti baju secara cepat, dari sepatu kets dan celana pendek ke sepatu hak tinggi dan gaun malam.
Setelah merasa siap, Kendali kembali menemui Roxanne.
"Oke, ini ada kesempatan emas untukmu," ujar
Roxanne. "Ungaro sedang mencari model runway. Aku telah merekomendasikanmu, dan dia mau memberikan kesempatan padamu."
Kendali gembira sekali. Ungaro termasuk perancang paling cemerlang di dunia mode.
Seminggu kemudian, Kendali tiba di tempat peragaan busana diselenggarakan. Ia berusaha tampil sesantai model-model lain.
Ungaro menyerahkan setelan pertama yang harus dibawakan Kendali. Ia tersenyum. "Semoga sukses."
"Thanks." Ketika Kendali menyusuri runway", ia tampil tenang dan penuh percaya diri. Bahkan para peragawati yang lain pun tampak terkesan. Peragaan busana tersebut meraih sukses besar, dan sejak itu Kendali merupakan anggota kelompok elite. Ia mulai bekerja untuk para raksasa dunia mode?Yves Saint Laurent, Halston, Christian Dior, Donna Karan, Calvin Klein, Ralph Lauren, St. John. Kendall dibanjiri tawaran kerja, dan ia mengambil bagian dalam peragaan busana di seluruh dunia. Di Paris, peragaan haute couture berlangsung bulan Januari dan Juli. Di Milan, bulan-bulan tersibuk adalah Maret, April, Mei, dan Juni, sementara di Tokyo, peragaan busana diadakan bulan April dan Oktober. Kendali betul-betul menikmati segala kesibukannya.
Kendali terus bekerja dan belajar. Ia memperagakan
pakaian hasil karya perancang-perancang terkenal, dan sekaligus memikirkan perubahan-perubahan apa saja yang akan dilakukannya seandainya ia yang menjadi perancang. Ia belajar bagaimana pakaian seharusnya membalut tubuh, bagaimana bahan seharusnya bergerak dan berayun mengikuti gerakan pemakainya. Ia belajar cara mengolah kain, dan mulai paham bagian tubuh mana saja yang ingin diperlihatkan oleh kaum wanita, dan mana yang ingin disembunyikan. Ia membuat sketsa demi sketsa di rumah, dan seakan-akan tak pernah kehabisan ide. Suatu hari, ia menunjukkan kumpulan sketsanya kepada head buyer dari I. Magnin"s. Orang itu terkesan. "Rancangan siapa ini?" "Rancangan saya." "Bagus. Bagus sekali."
Dua minggu kemudian Kendali mulai bekerja untuk Donna Karan sebagai asisten, dan ia mulai mempelajari segi bisnis industri garmen. Di waktu luangnya, ia tenis merancang pakaian. Satu tahun kemudian, ia mengadakan peragaan busananya yang pertama. Acara tersebut berakhir dengan bencana.
Rancangan-rancangan Kendali terlalu biasa dan tidak menarik perhatian orang. Ia menyelenggaraku peragaan kedua, namun tak seorang pun datang.
Aku salah pilih profesi, pikir Kendali. "Suatu hari kau akan menjadi perancang busana terkenal."
Di mana letak kesalahanku" Kendali bertanya-tanya.
Suatu malam, di tengah malam buta, Kendali menemukan jawabannya. Ia terbangun dan berbaring sambil berpikir, Rancanganku hanya bisa dipakai oleh peragawati. Seharusnya aku merancang baju untuk kaum wanita pada umumnya, wanita-wanita dengan pekerjaan dan keluarga biasa. Rapi, tapi nyaman. Anggun, tapi praktis.
Kendali bekerja satu tahun sebelum kembali mengadakan peragaan busana, tapi kali ini ia langsung meraih sukses.
Kendali jarang pulang ke Rose Hill, dan setiap kali ia berkunjung, suasananya sangat tidak menyenangkan. Ayahnya belum berubah. Sikapnya malah bertambah parah.
"Belum juga dapat jodoh, heh" Bersiap-siaplah jadi perawan tua!"
Di suatu pesta amal, Kendali berkenalan dengan Marc Renaud, laki-laki Prancis yang bekerja sebagai dealer valuta asing di sebuah perusahaan pialang besar di New York. Ia lima tahun lebih muda dari Kendali, sangat tampan, jangkung, dan langsing. Ia menawan dan penuh perhatian, Kendali segera tertarik padanya. Keesokan harinya ia mengajak Kendali makan malam, dan kemudian mereka bercinta. Sejak itu, mereka menghabiskan setiap malam bersama-sama.
Suatu malam Marc berkata, "Kendall, aku mencintaimu dengan sepenuh hati."
Kendali menyahut pelan-pelan, "Kaulah yang kucari selama ini, Marc."
Tapi kita punya masalah serius. Kau perancang terkenal. Penghasilanku jauh lebih kecil. Mungkin suatu hari?"
Kendali segera menempelkan telunjuknya ke bibir Marc. "Sst Kau sudah memberi lebih dari yang pernah kuharapkan."
Pada Hari Natal Kendali mengajak Marc ke Rose Hill untuk memperkenalkannya kepada ayahnya.
"Kau mau kawin dengan dial" Harry Stanford meledak. "Dia bukan siapa-siapa! Dia mau kawin denganmu karena dia pikir kau bakal dapat uang banyak."
Cercaan ayahnya itu semakin memperkuat tekad Kendali untuk menikah dengan Marc. Esoknya, mereka menikah di Connecticut. Dan Kendali merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kau jangan mau diatur-atur ayahmu," Marc berkata kepada Kendali. "Sepanjang hidupnya, dia memakai uangnya sebagai senjata. Kita tidak butuh uangnya"
Dan cinta Kendali pun semakin dalam.
Marc suami idaman?lemah lembut dan penuh perhatian. Aku punya segala-galanya, pikir Kendali. Masa lalu sudah mati. Ia telah berhasil. Beberapa jam lagi dunia mode akan memusatkan perhatian pada hasil karyanya.
Hujan telah berhenti. Kendali menganggapnya sebagai pertanda baik.
Peragaan busana itu sukses besar. Di akhir acara, diiringi musik dan cahaya lampu kilat para fotografer, Kendali keluar ke runway, membungkuk, dan memperoleh tepuk tangan meriah. Ia berharap Marc bisa hadir di Paris untuk turut menikmati keberhasilannya, namun perusahaan tempat Marc bekerja telah menolak permintaan cuti yang diajukannya.
Setelah para pengunjung pergi, Kendalf kembali ke mang kerjanya. Ia serasa di awang-awang. Asistennya berkata, "Ada surat untukmu. Tadi diantar kurir."
Kendali menatap amplop cokelat yang diserahkan asistennya. Ia merinding. Sebelum membukanya, ia sudah tahu isi surat itu. Bunyinya sebagai berikut:
Dear Mrs. Renaud, Dengan berat hati kami terpaksa menginformasikan kepada Anda bahwa Wild Animal Protection Association kembali kekurangan dana. Kami memerlukan $100,000 dengan segera untuk menutupi berbagai biaya. Kami mengharapkan uang tersebut ditransfer ke rekening nomor 804072-A di Cridit Suisse di Zurich.
Tak ada tanda tangan. Kendali duduk sambil menatap surat di tangan, nya. Takkan pernah berakhir. Pemerasan itu takkan pernah berakhir.
Asisten lain bergegas memasuki ruang kerjanya. "Kendali! Aku sangat menyesal, tapi aku baru terima berita buruk." Kendali langsung waswas. "A" ada apa?" "Ada pengumuman di Radio-Tile* Luxembourg. Ayahmu" meninggal. Dia tenggelam."
Kendali sempat terbengong-bengong. Pikiran pertama yang terlintas dalam benaknya adalah. Entah mana yang akan membuat Ayah lebih bangga" Bahwa aku berhasil, atau bahwa aku telah membunuh seseorang"
Isbook by otoy untuk koleksi IpribadLdilarang keras memperjual [belikan ebbok ini karena dilindungi leleh undang undang |DttDys@yahDD.CDm
Bab 10 SUDAH dua tahun Peggy Malkovich menikah dengan Woodrow "Woody" Stanford, namun di kalangan warga Hobe Sound, ia tetap dijuluki si Pelayan.
Peggy memang bekerja sebagai pelayan di Rain Forest Grille ketika berkenalan dengan Woody. Woody Stanford anak emas Hobe Sound. Ia tinggal di vila keluarganya, dikarunia wajah tampan berciri klasik, mempunyai pembawaan yang ramah dan memikat, serta diincar oleh gadis-gadis dari keluarga-keluarga kaya di Hobe Sound, Philadelphia, dan Long Island. Semua orang bagaikan tersambar petir ketika ia tiba-tiba kawin tari dengan pelayan berusia 25 tahun yang berparas biasa, tidak tamat SMA, dan merupakan putri pasangan buruh harian dan ibu rumah tangga.
Peristiwa tersebut semakin menggemparkan karena semua orang menyangka Woody akan menikah dengan Mimi Carson, putri raja kayu, yang tergila-gila pada Woody.
Pada umumnya, para warga Hobe Sound lebih
suka bergunjing tentang pelayan-pelayan mereka daripada tentang sesama warga, namun-perkawinan Woody begitu mengejutkan, sehingga mereka membuat perkecualian. Dalam sekejap telah .tersebar bahwa Woody menghamili Peggy Malkovich, dan kemudian menikahinya. Para warga Hobe Sound langsung sependapat mana yang merupakan aib yang lebih besar.
"Demi Tuhan, aku maklum kalau Woody menghamili pelayan itu, tapi kenapa dia harus menikah dengannya?"
Kejadian itu merupakan contoh klasik dari deja vu. Dua puluh empat tahun lalu Hobe Sound pernah diguncang skandal serupa yang juga melibatkan keluarga Stanford. Emily Temple, putri salah satu pendiri Hobe Sound, bunuh diri karena suaminya menghamili pengasuh anak-anak mereka.
Woody Stanford tidak pernah menutup-nutupi kebenciannya terhadap ayahnya, dan para warga Hobe Sound berpendapat ia menikahi pelayan itu untuk menunjukkan bahwa ia lebih terhormat daripada ayahnya.
Satu-satunya orang yang diundang menghadiri upacara pernikahan adalah saudara laki-laki Peggy, Hoop, yang khusus datang dari New York. Hoop dua tahun lebih tua dari Peggy, dan bekerja sebagai pembuat roti di Bronx. Ia tinggi, kurus kering, dan berwajah bopeng. Ia bicara dengan logat Brooklyn yang kental.
"Kau dapat gadis hebat," ia berkata kepada Woody seusai upacara pernikahan.
"Aku tahu," Woody menyahut dengan nada datar. "Kauurus adikku baik-baik, heh?" "Aku akan berusaha." "Yeah. Oke."
Percakapan singkat antara pembuat roti dan putra salah satu orang terkaya di dunia. Empat minggu kemudian, Peggy keguguran.
Hobe Sound dikenal sebagai komunitas yang sangat eksklusif, dan Jupiter Island merupakan bagian Hobe Sound yang paling eksklusif. Pulau tersebut dibatasi Intracoastal Waterway di sebelah barat dan Samudra Atlantik di sebelah timur, merupakan lingkungan orang kaya yang tertutup dan aman, dengan lebih banyak petugas polisi per kapita daripada di hampir semua bagian dunia lainnya. Para penduduknya tidak suka menonjolkan kekayaan mereka. Mobil pilihan mereka sedan Taurus atau station wagon, dan mereka memiliki perahu layar berukuran kecil jenis Lightning atau Quickstep.
Jika seseorang tidak dilahirkan di dalam lingkungan tersebut, ia harus berupaya meraih hak menjadi warga Hobe Sound. Setelah pernikahan Woody Stanford dan si Pelayan, pertanyaan yang paling hangat adalah, apakah para warga akan menerima kehadiran mempelai wanita di tengah-tengah mereka"
Mrs. Anthony Pelletier, pemuka masyarakat Hobe Sound, dipercaya sebagai penengah yang memutuskan semua perselisihan menyangkut kehidupan sosial, dan tujuan hidupnya adalah melindungi Hobe Sound dari orang-orang kaya baru. Jika ada pendatang baru di Hobe Sound yang tidak berkenan di hatinya, ia biasa menyuruh sopirnya mengantarkan koper kulit ke rumah orang bersangkutan. Dengan cara itu ia memberitahu orang-orang tersebut bahwa kehadiran mereka tidak diinginkan.
Teman-temannya sering bercerita mengenai mekanik mobil dan istrinya yang membeli rumah di Hobe Sound. Mrs. Pelletier mengirimkan koper kulit, dan ketika si istri mengetahui maksudnya, ia tertawa Ia berkata, "Kalau nenek sihir itu pikir dia bisa mengusirku dari sini, dia perlu diperiksa dokter jiwa!"
Namun hal-hal janggal mulai terjadi. Tukang-tukang yang diminta mengerjakan perbaikan rumah mereka mendadak berhalangan. Toko bahan makanan selalu kehabisan barang yang dipesan, dan mereka tidak bisa menjadi anggota Jupiter Island Club atau bahkan memesan tempat di restoran-restoran bergengsi. Dan tak seorang pun mau bicara dengan mereka. Tiga bulan setelah menerima kiriman koper, pasangan suami-istri itu menjual ramah mereka dan pindah ke tempat lain.
Jadi, ketika kabar mengenai perkawinan Woody mulai tersebar, semua warga menahan napas. Mengucilkan Peggy Malkovich juga berarti mengucilkan suaminya yang populer. Tidak sedikit orang yang diam-diam bertaruh atas sikap yang akan diambil para warga Hobe Sound.
Selama beberapa minggu pertama tak ada undangan makan malam maupun undangan acara-acara sosial lainnya. Namun para warga menyukai Woody, dan bagaimanapun juga, neneknya dari pihak ibu termasuk pendiri Hobe Sound. Lambat laun orang-orang mulai mengundang Woody dan Peggy ke rumah mereka. Semuanya ingin tahu seperti apa istri Woody sesungguhnya.
"Dia pasti punya keistimewaan, atau Woody takkan mau kawin dengannya."
Ternyata mereka harus menahan kecewa. Peggy membosankan dan serba canggung, ia tidak memiliki kepribadian, dan ia tidak menunjukkan selera baik dalam memilih pakaian. Kampungan adalah kata yang terlintas dalam benak orang-orang.
Teman-teman Woody terheran-heran. "Kenapa dia harus menikah dengan pelayan itu" Begitu banyak gadis kaya yang mau jadi istrinya."
Salah satu undangan pertama dikirim oleh Mimi Carson. Ia sangat terpukul oleh berita mengenai perkawinan Woody, namun tidak mau memperlihatkannya.
Ketika salah satu teman akrabnya berusaha menghiburnya dengan berkata, "Biarkan saja, Mimi! Kau pasti akan melupakan dia," Mimi menyahut, "Aku
bisa hidup tanpa dia, tapi aku takkan pernah melupakannya."
Woody berusaha keras agar perkawinannya bisa berhasil. Ia sadar telah melakukan kesalahan, dan ia tidak ingin menghukum Peggy untuk itu. Ia berusaha keras menjadi suami yang baik. Masalahnya, Peggy tidak mempunyai persamaan apa pun dengan Woody dan teman-temannya. KT-"
Satu-satunya orang yang cocok dengan Peggy adalah kakaknya; ia dan Hoop setiap hari berbicara melalui telepon.
"Aku rindu padanya," Peggy mengeluh kepada Woody.
"Bagaimana kalau kita undang dia ke sini selama beberapa hari?"
Tidak bisa." Peggy menatap suaminya dan berkata dengan ketus, "Dia punya pekerjaan."
Woody selalu berusaha melibatkan Peggy dalam percakapan saat mereka menghadiri pesta, namun segera terlihat bahwa Peggy tidak bisa ikut berbicara. Ia duduk menyendiri di pojok ruangan, membisu, menjilat-jilat bibir dengan gugup, dan jelas-jelas merasa tidak nyaman.
Teman-teman Woody tahu bahwa meskipun ia tinggal di vila keluarga Stanford, ia bermusuhan dengan ayahnya dan hidup dari tunjangan tahunan yang ditinggalkan ibunya. Kegemarannya adalah bermain polo, dan ia menunggangi kuda-kuda milik teman-temannya. Di dunia polo, peringkat pemain ditentukan berdasarkan gol, dan sepuluh gol merupakan peringkat tertinggi. Woody menduduki peringkat sembilan gol, dan ia pernah bermain bersama Mariano Aguerre dari Buenos Aires, Wicky el Effendi dari Texas, Andres Diniz dari Brazilia, dan puluhan pemain top lainnya. Di seluruh dunia hanya ada sekitar dua belas pemain peringkat sepuluh gol, dan Woody berhasrat masuk kelompok elite tersebut.
"Kau tahu kenapa, bukan?" salah satu temannya berkomentar. "Ayahnya berperingkat sepuluh gol."
Berhubung Mimi Carson tahu Woody tak sanggup membeli kuda polo, ia membeli sekelompok kuda untuk ditunggangi oleh pria idamannya itu. Ketika teman-temannya bertanya kenapa, Mimi menyahut, "Aku mau membahagiakannya dengan segala cara yang bisa kutempuh."
Perkawinannya dengan Peggy semakin memburuk, tapi Woody tidak mau mengakuinya.
"Peggy," ia berkata, "kalau kita pergi ke pesta, cobalah ikut mengobrol."
"Untuk apa" Teman-temanmu pikir aku tidak pantas bergaul dengan mereka."
"Itu tidak benar," Woody berusaha meyakinkannya.
Sekali seminggu Hobe Sound Literary Circle bertemu di country club untuk mengadakan diskusi mengenai buku-buku terbaru, yang kemudian disusul acara santap siang.
110 Pada suatu hari, ketika para anggota sedang bersantap, si kepala pelayan menghampiri Mrs. Pelletier. "Mrs. Woodrow Stanford ada di luar. Dia ingin bergabung dengan Anda." Seketika suasana menjadi hening. "Persilakan dia masuk," ujar Mrs. Pelletier. Sesaat kemudian, Peggy memasuki ruang makan. Ia bara saja keramas dan memakai gaunnya yang terbaik. Dengan gugup ia memandang orang-orang yang duduk mengelilingi meja.
Mrs. Pelletier menganggukkan kepala, lalu berkata dengan ramah, "Mrs. Stanford."
Peggy mengembangkan senyum. "Ya, Nyonya." . "Kami takkan memerlukan Anda. Di sini sudah ada pelayan." Dan kemudian Mrs. Pelletier melanjutkan makan siangnya.
Woody marah sekali ketika mendengar cerita itu. "Berani-beraninya dia berbuat begitu padaku!" Ia memeluk Peggy. "Lain kali, tanya dulu sebelum bertindak, Peggy. Kan tidak bisa datang begitu saja, kau harus diundang ke acara santap siang itu."
"Aku tidak tahu," Peggy merengek. "Sudahlah. Tidak apa-apa. Nanti malam kita diundang ke ramah keluarga Blake, dan aku ingin?" "Aku tidak mau ikut."
"Tapi undangan mereka sudah kita terima."
"Kau saja yang pergi."
"Aku tidak mau pergi tanpa?"
"Aku tidak mau ikut."
120 Woody pergi seorang diri, dan setelah itu, ia mulai terbiasa menghadiri pesta-pesta tanpa mengajak Peggy.
Ia pulang tak kenal waktu, dan Peggy yakin suaminya menyeleweng dengan wanita-wanita lain. Kecelakaan itu mengubah semuanya.
Woody tertimpa musibah ketika sedang mengikuti pertandingan polo. Ia bermain pada posisi Nomor Tiga, dan salah satu anggota tim lawan, yang berusaha memukul bola dalam keadaan berdesak-desakan, secara tak sengaja mengenai kaki kuda yang ditunggangi Woody. Kuda itu terjatuh dan menimpa Woody. Dalam kekacauan yang menyusul, Woody juga ditendang kuda lain. Di ruang gawat darurat di rumah sakit, para dokter mendiagnosis patah kaki, tiga tulang iga retak, serta paru-paru berlubang.
Dalam dua minggu berikutnya, Woody menjalani tiga kali pembedahan, dan terus-menerus kesakitan. Para dokter menyuntikkan morfin untuk mengurangi penderitaannya. Peggy mengunjunginya setiap hari. Hoop datang dari New York untuk mendampingi adiknya.
Woody didera rasa sakit yang tak tertahankan, dan satu-satunya penawar adalah obat-obatan yang terus diresepkan oleh para dokter.
Tak lama setelah Woody diizinkan pulang, ia mulai berubah. Suasana hatinya bisa berubah hampir seketika. Menit ini ia masih riang gembira, menit berikut ia mendadak mengamuk atau ber-murung diri. Saat makan malam, di tengah canda dan tawa, ia tiba-tiba marah dan mencaci maki Peggy> lalu bergegas meninggalkan ruangan. Di tengah-tengah kalimat, ia sekonyong-konyong terdiam dan melamun. Ia mulai cepat lupa: Ia membuat janji dengan orang lain tapi tidak muncul; ia mengundang orang ke rumahnya tapi tidak berada di tempat saat mereka tiba. Semua orang mencemaskan keadaannya.
Lambat laun ia mulai kasar terhadap Peggy di depan umum. Suatu pagi Peggy membawakan kopi untuk seorang teman dan menumpahkan sedikit, dan Woody langsung mencibir. "Sekali pelayan, tetap pelayan."
Peggy juga mulai memperlihatkan tanda-tanda penganiayaan fisik, tapi ketika orang-orang bertanya apa yang terjadi, ia memberikan berbagai alasan.
"Saya menabrak pintu" atau "Saya jatuh", dan ia bersikap seakan-akan tidak ada apa-apa. Semua warga Hobe Sound marah. Kini justru Peggy yang mereka kasihani. Setiap kali Woody menyinggung seseorang dengan tingkah lakunya yang tak menentu, Peggy segera membela suaminya.
"Woody sedang stres berat," Peggy selalu berdalih. "Itu bukan salahnya." Ia tidak rela orang-orang berbicara buruk mengenai Woody.
i"V) Dr. Tichner-lah yang akhirnya membongkar semuanya. Suatu hari ia meminta Peggy datang ke tempat prakteknya.
Peggy gelisah. "Ada yang tidak beres, Dokter?"
Dr. Tichner menatapnya sejenak. Di pipi Peggy tampak luka memar dan sebelah matanya membengkak.
"Peggy, kau sadar Woody memakai obat bius?"
Mata Peggy langsung menyala-nyala karena.marah. "Tidak! Saya tidak percaya!" Ia berdiri. "Saya tidak mau mendengarkan Dokter menjelek-jelekkan suami saya!"
"Duduklah, Peggy. Sudah saatnya kau menghadapi kenyataan. Semua orang sudah tahu. Dan kau pun pasti menyadari perubahan tingkah laku Woody. Sekarang dia riang gembira, tapi menit berikutnya dia mendadak ingin bunuh diri."
Peggy menatap Dr. Tichner. Wajahnya pucat pasi.
"Suamimu kecanduan."
Peggy merapatkan bibir. "Tidak," dia lalu berkata, "itu tidak benar."


Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia kecanduan. Kau harus menerima kenyataan. Tidakkah kau ingin menolongnya?"
"Tentu saja I" Peggy meremas-remas tangan. "Saya mau melakukan apa pun untuk menolong dia. Apa pun"
"Baiklah. Kalau begitu, kita mulai saja. Saya minta kau membantu .saya memasukkan Woody ke pusat rehabilitasi. Saya telah minta dia datang ke sini untuk menemui saya."
Cukup lama Peggy duduk membisu. Akhirnya ia mengangguk. "Saya akan bicara dengannya," ia berkata pelan-pelan.
Woody sedang riang gembira ketika memasuki ruang praktek Dr. Tichner sore itu. "Ada perlu dengan saya, Dok" Ini tentang Peggy, bukan?" "Bukan. Ini tentang kau, Woody." Woody menatapnya dengan heran. "Saya" Ada apa dengan saya?" "Saya kira kau sudah tahu masalahmu." "Apa maksud Anda, Dok?" "Kalau terus seperti ini, kau akan menghancurkan hidupmu dan hidup Peggy. Obat apa yang kaupakai, Woody?" S^f"
"Obat apa?" "Ya, obat apa?" Woody diam saja. "Saya ingin menolongmu." Woody duduk sambil menundukkan kepala. Ketika ia akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar parau. "Anda benar. Se" selama ini saya menipu diri sendiri, tapi saya tak tahan lagi." "Kau kecanduan apa?" "Heroin." "Ya Tuhan!"
"Anda harus percaya, Dok, saya sudah berusaha berhenti, tapi saya" saya tidak sanggup."
"Kau butuh pertolongan, dan saya tahu beberapa tempat yang dapat menolongmu."
Woody menyahut dengan lesu, "Moga-moga Anda benar."
"Saya minta kau menjalani perawatan di Harbor Group Clinic di Jupiter. Maukah kau mencobanya?"
Woody ragu sejenak. "Ya." "Siapa yang memberikan heroin kepadamu?" tanya Dr. Tichner.
Woody menggelengkan kepala. "Maaf, Dok, itu tidak bisa saya katakan kepada Anda."
"Baiklah. Kalau begitu, kau saya daftarkan saja di klinik."
Keesokan paginya, Dr. Tichner duduk di ruang kerja kepala polisi setempat.
"Ada orang yang menjual heroin padanya," ujar Dr. Tichner, "tapi dia tidak mau mengatakan siapa orangnya."
Kapten Murphy menatap Dr. Tichner sambil mengangguk-angguk. "Saya rasa saya tahu."
Ada beberapa orang yang patut dicurigai. Hobe Sound*merupakan komunitas kecil, dan semua orang saling mengetahui urusan yang lain.
Sebuah toko minuman keras yang belum lama dibuka di Bridge Road mengantarkan pesanan para
pembeli di Hobe Sound baik siang maupun malam.
Seorang dokter di klinik setempat dikenai denda karena meresepkan obat bius melebihi dosis seharusnya.
Sebuah pusat kebugaran dibuka tahun lalu, pelatihnya dikabarkan menggunakan steroid dan menyediakan obat terlarang lain untuk para langganannya
Tapi kecurigaan Kapten Murphy terarah kepada orang lain.
Tony Benedotti sudah bertahun-tahun bekerja sebagai tukang kebun di Hobe Sound. Ia ahli hortikultura dan mencurahkan hidupnya untuk mencintakan kebun-kebun yang indah. Pekarangan-pekarangan yang ditanganinya merupakan pekarangan paling cantik di Hobe Sound. Ia pendiam, dan pelanggan-pelanggannya nyaris tidak tahu apa-apa mengenai dirinya Ia tampak terlalu berpendidikan untuk ukuran tukang kebun, dan banyak orang bertanya-tanya mengenai masa lalunya.
Murphy memanggilnya ke kantor polisi.
"Kalau ini tentang SIM saya, saya sudah memperpanjangnya," ujar Benedotti.
"Duduk," Murphy berkata dengan tegas.
"Ada masalah?" "Yeah. Anda orang berpendidikan, bukan r" "Ya"
Kapten Murphy bersandar di kursinya. "Jadi kenapa Anda bekerja sebagai tukang kebun?"
"Kebetulan saya mencintai alam."
"Apa lagi yang Anda cintai?"
"Maaf, saya tidak mengerti."
"Sudah berapa lama Anda bekerja sebagai tukang kebun?"
Benedotti menatapnya dengan terheran-heran. "Apakah ada pelanggan saya yang mengeluhkan hasil pekerjaan saya?"
"Jawab saja pertanyaan saya."
"Sekitar lima belas tahun."
"Anda punya rumah bagus dan kapal, bukan?"
"Ya." "Bagaimana mungkin Anda membeli rumah dan kapal dengan upah Anda sebagai tukang kebun?"
Benedotti berkata, "Rumah saya tidak seberapa besar, dan begitu pula kapal saya."
"Barangkali Anda punya penghasilan samping-an?"
"Apa?"" "Anda juga bekerja untuk orang-orang di Miami, bukan?" "Ya."
"Di sana banyak orang Italia. Pernahkah Anda dimintai tolong oleh mereka?"
"Maksud Anda?" "Misalnya, menjual obat bius."
Benedotti menatapnya sambil membelalakkan mata. "Ya Tuhan! Tentu saja tidak 1"
Murphy mencondongkan badan ke depan. "Begini, Benedotti. Saya sudah lama mengawasi Anda.
Saya sempat berbicara dengan beberapa orang yang mempekerjakan Anda. Mereka tidak ingin melihat Anda atau teman-teman Mafia Anda di sini. Mengerti?"
Sejenak Benedotti memejamkan mata. "Ya, saya mengerti."
"Bagus. Saya harap besok Anda sudah angkat kaki dari sini. Ingat, saya tidak ingin melihat Anda lagi.".
Selama tiga pekan Woody Stanford menjalani perawatan di Harbor Group Clinic, dan ketika keluar, ia telah kembali menjadi Woody yang dulu? ramah, supel, dan menyenangkan. Ia kembali bermain polo dengan menunggangi kuda-kuda Mimi Carson.
Ulang tahun ke-I 8 Palm Beach Polo & Country Club jatuh pada hari Minggu, dan South Shore Boulevard dipadati kendaraan yang membawa tiga ribu penonton ke lapangan polo. Mereka mengisi tempat duduk VIP di sisi barat lapangan serta tribun di sisi seberang. Beberapa pemain terbaik dunia akan ikut ambil bagian dalam pertandingan hari itu.
Peggy duduk bersebelahan dengan Mimi Carson di bagian VIP, sebagai tamu Mimi.
"Woody cerita ini pertama kali kau menonton pertandingan polo. Kenapa kau belum pernah melihat dia main?" Peggy membasahi bibir. "Aku" aku terlalu gugup untuk menonton Woody. Aku takut dia cedera lagi. Polo olahraga berbahaya, bukan?"
Mimi menjawab dengan serius, "Kalau ada delapan pemain, masing-masing dengan berat badan hampir sembilan puluh kilo, dan kuda-kuda seberat 450 kilo saling berpacu dengan kecepatan empat puluh mil per jam di lapangan sepanjang tiga ratus yard?ya, kecelakaan bisa saja terjadi."
Peggy merinding. "Aku takkan tahan kalau Woody kenapa-napa lagi. Sumpah, aku takkan tahan. Aku bisa gila kalau dia sampai celaka."
Mimi Carson berkata dengan lembut, "Jangan kuatir. Dia salah satu pemain terbaik. Dia belajar dari Hector Barrantas."
Peggy menatapnya dengan bingung. "Siapa?"
"Dia pemain peringkat sepuluh gol. Salah satu legenda olahraga polo."
"Oh." Para penonton bergumam-gumam ketika para pemain memasuki lapangan.
"Ada apa?" tanya Peggy.
"Mereka sudah selesai melakukan pemanasan. Sebentar lagi pertandingan akan dimulai."
Kedua tim di lapangan mulai berbaris di bawah terik matahari Florida, menunggu wasit melempar bola.
Woody tampak amat gagah. Ia siap bertempur. Peggy melambaikan tangan dan memberikan ciuman jarak jauh.
Kedua tim telah berbaris, berdampingan. Semua pemain menyiapkan tongkat untuk menyambut bola.
"Saru pertandingan biasanya terdiri atas enam babak, yang disebut chukker" Mimi menjelaskan kepada Peggy. "Masing-masing chukker berlangsung tujuh menit dan berakhir saat bel berbunyi. Lalu ada istirahat singkat. Setiap kali! para pemain berganti kuda. Pemenangnya adalah tim yang paling banyak mencetak gol."
"Yeah." Mimi bertanya-tanya seberapa banyak yang dipahami Peggy.
Semua pemain di lapangan menatap wasit, menanti-nanti saat bola dilemparkan. Si wasit memandang ke arah penonton, lalu tiba-tiba menggelindinglah bola plastik putih di antara kedua barisan. Pertandingan telah dimulai.
Woody bereaksi paling cepat, dan memukul bola ke arah pemain tim lawan. Pemain itu memacu kudanya menyambut bola, tapi Woody mengejarnya dan mengaitkan tongkat untuk mencegah lawannya memukul dengan leluasa.
"Kenapa Woody menghalang-halangi dia?" tanya Peggy.
Mimi Carson menjelaskan, "Kalau pemain lawan mendapat bola, kita boleh mengait tongkatnya supaya dia tidak mencetak angka atau mengoper kepada rekannya. Setelah ini Woody akan memakai pukulan menyamping untuk menguasai bola."
Manuver-manuver di lapangan berlangsung begitu cepat sehingga sukar diikuti. Beberapa kali terdengar teriakan, "Tengah"." "Melebar"." "Lepaskan"."
Dan semua pemain memacu kuda masing-masing dengan kecepatan penuh. Dalam olahraga polo, keberhasilan pemain 75 persen ditentukan oleh kuda yang ditunggangi. Kuda-kuda itu harus mampu berlari kencang, dan harus memiliki apa yang oleh para pemain disebut naluri polo, yaitu kemampuan mengantisipasi setiap gerakan penunggang.
Woody tampil cemerlang dalam tiga chukker pertama. Dalam setiap babak ia berhasil mencetak dua gol, dan ia dielu-elukan oleh para penonton. Tongkatnya seakan-akan berada di mana-mana. Inilah Woody Stanford yang lama, Woody Stanford yang melesat bagaikan angin, tanpa kenal takut. Pada akhir chukker kelima, tim Woody sudah unggul jauh. Para pemain meninggalkan lapangan untuk beristirahat sejenak.
Ketika Woody melewati Peggy dan Mimi, yang duduk di deretan paling depan, ia tersenyum kepada mereka.
Peggy berpaling kepada Mimi Carson, dan dengan bangga ia berkata, "Dia hebat sekali, ya?" Mimi pun menoleh. "Ya. Dalam segala hal."
*** Woody sedang menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya.
"Nah, begitu dong! Permainanmu luar biasa tadi!"
"Ya, luar biasa!"
"Thanks." "Habis ini kita sikat mereka lagi! Biar kapok mereka!"
Woody tersenyum lebar. "Beres."
Ia memperhatikan rekan-rekannya kembali ke lapangan, namun tiba-tiba ia merasa lelah sekali. Aku. terlalu memaksakan diri, ia berkata dalam hati. Sebenarnya aku belum siap bertanding lagi. Aku takkan sanggup meneruskan permainan seperti tadi Kalau terus main, aku akan mempermalukan diri " lapangan. Ia mulai panik. Aku butuh suntikan semangat. Jangan! Aku tidak mau. Aku tidak bisa Aku sudah berjanji. Tapi teman-temanku sudah menunggu. Sekali ini saja, dan habis itu takkan pernah lagi. Demi Tuhan, ini terakhir kali. Ia pergi ke mobilnya dan meraih ke laci dasbor.
Woody bersenandung pelan ketika kembali ke lapangan, dan sorot matanya yang menyala-nyala tampak tidak wajar. Ia melambaikan tangan kepada para penonton dan bergabung dengan rekan-rekannya Aku tidak butuh dukungan tim, ia berkata dalam hati. Orang-orang bisa kukolakkan sendiri. Aku pemain terbaik di dunia. Ia tertawa cekikikan. *** Kecelakaan itu terjadi di chukker keenam, meskipun beberapa penonton berpendapat kejadian tersebut bukan kecelakaan.
Semua kuda berpacu ke arah gawang, dan Woody sedang menguasai bola. Dari sudut mata ia melihat pemain lain mendekatinya. Cepat-cepat Woody memukul bola ke belakang. Bola liar itu disambut Rick Hamilton, pemain terbaik dalam tim lawan, yang langsung menggiringnya ke arah gawang. Woody segera mengejarnya. Ia berusaha mengait tongkat Hamilton, namun tidak berhasil. Mereka semakin dekat ke gawang. Berulang kali Woody mencoba merebut bola, tapi selalu gagal.
Ketika Hamilton mendekati gawang, Woody sengaja membelokkan kudanya agar menabrak pemain lawan itu. Hamilton dan kudanya jatuh terguling-guling. Para penonton berdiri sambil menjerit. Wasit langsung meniupkan peluit dan mengangkat tangan.
Peraturan pertama dalam olahraga polo menyebutkan bahwa jalan pemain yang menguasai bola dan sedang menuju gawang tidak boleh dipotong. Pemain lawan yang melintasi garis lurus antara gawang dan pemain tadi menciptakan situasi berbahaya dan melakukan pelanggaran. Permainan\terhenti.
Wasit menghampiri Woody dan berkata dengan
gusar, "Itu pelanggaran yang disengaja, Mr. Stanford!"
Woody meringis. "Itu bukan salah saya! Kudanya
yang"* Tembakan penalti untuk tim lawan."
Chukker ku berubah menjadi bencana. Dalam tempo tiga menit saja, Woody dua kali melakukan pelanggaran secara terang-terangan. Tim lawan kembali diberi tembakan penalti, yaitu tembakan ke gawang yang tidak dijaga, dan memperoleh dua angka lagi. Tiga puluh detik sebelum pertandingan berakhir, mereka berhasil mencetak gol kemenangan.
Woody menundukkan kepala dengan lesu. Kemenangan yang sudah berada dalam genggaman akhirnya terlepas karena ulahnya, dan timnya terpaksa menelan kekalahan yang menyakitkan.
Mimi Carson hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi keadaan yang mendadak berbalik itu.
Peggy berkomentar dengan hati-hati, "Hasilnya tidak seperti yang kita harapkan, ya?"
Mimi menoleh ke arahnya. "Mereka kalah, Peggy."
Seorang petugas mendatangi tempat duduk mereka. "Miss-Carson, ada sesuatu yang perlu saya bicarakan dengan Anda."
Mimi berpaling kepada Peggy. "Aku permisi sebentar."
Peggy memperhatikan mereka pergi.
Seusai pertandingan, rekan-rekan Woody tampak murung. Woody tidak berani menatap mereka. Ia bara menoleh ketika Mimi Carson bergegas menghampirinya.
"Woody, aku sangat menyesal, tapi aku membawa kabar yang sangat, sangat buruk." Ia meletakkan sebelah tangan ke pundak Woody. "Ayahmu meninggal."
Woody menatapnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Ia mulai terisak-isak. "Aku" aku yang bertanggung jawab. Aku yang sa" salah."
"Bukan. Kau jangan berkata begitu. Itu bukan salahmu."
"Ya, aku yang salah!" seru Woody. "Masa kau tidak mengerti" Kalau bukan karena semua pelanggaran yang kulakukan, kami pasti menang."
Isbook by otoy untuk koleksi IpribadLdilarang keras memperjual
[belikan ebbnk ini karena dilindungi "oleh undang undang |DttDys@yahDD.CDm
Bab 11 Julia Stanford tak pernah mengenal ayahnya. Kini ayahnya meninggal dan dijadikan judul berita di Kansas City Star. RAJA BISNIS HARRY STANFORD TENGGELAM DI LAUT! Julia menatap foto ayahnya yang terpampang di halaman pertama koran itu. Berbagai perasaan yang bertentangan berkecamuk dalam harinya. Apakah aku seharusnya membenci dia karena perlakuannya terhadap ibuku, atau menyayanginya karena dia ayahku" Apakah aku seharusnya merasa bersalah karena tak pernah berusaha menghubunginya, atau justru marah karena dia tak pernah mencariku" Ah, apa bedanya, ia berkata dalam hati. Dia sudah pergi.
Sepanjang hidupnya Julia menganggap ayahnya telah meninggal. Kini orang itu meninggal sekali lagi, dan ia merampas sesuatu dari Julia yang tak bisa digambarkannya dengan kata-kata. Anehnya, gadis itu merasa sangat kehilangan. Konyol! pikir Julia. Bagaimana aku bisa merasa kehilangan seseorang yang tak pernah kukenal J Ia kembali
menatap foto di koran. Apakah aku punya kemiripan dengannya" Julia menoleh ke cermin di dinding. Mataku. Aku dan dia sama-sama bermata kelabu.
Julia menghampiri lemari pakaian di kamar tidurnya, mengeluarkan kardus, lalu mengambil album tua bersampul kulit. Ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka kardus. Selama dua jam berikut ia mengamati barang-barang yang sudah begitu akrab baginya, antara lain setumpuk foto ibunya dengan seragam pengasuh, bersama Harry Stanford dan Mrs. Stanford serta anak-anak mereka yang masih kecil. Sebagian besar foto diambil di kapal pesiar mereka, di Rose Hill, atau di vila di Hobe Sound.
Julia meraih kliping koran yang telah menguning, berisi artikel-artikel mengenai skandal yang mengguncang Boston bertahun-tahun lalu.
SARANG ASMARA DI BEACON HILL.
MULTIJUTAWAN HARRY STANFORD TERLIBAT SKANDAL.
ISTRI RAJA BISNIS BUNUH DIRI.
PENGASUH ROSEMARY NELSON MENGHILANG.
Ada puluhan kolom gosip yang membahas peristiwa tersebut sampai detail yang sekecil-kecilnya.
Julia duduk sambil termenung-menung, mengenang masa lampau.
137 Ia lahir di St. Josephs*s Hospital di Milwaukee. Kenangannya yang paling awal adalah bagaimana ia dan ibunya berpindah-pindah dari kota ke kota, dari satu apartemen kumuh ke apartemen kumuh yang lain. Adakalanya mereka kehabisan uang, dan terpaksa menahan lapar. Ibunya selalu bergulat dengan masalah kesehatan, dan sukar memperoleh pekerjaan tetap. Julia kecil segera belajar untuk tidak merengek minta dibelikan baju.atau mainan.
Pada usia lima tahun Julia mulai masuk sekolah. Ia sering diejek teman-temannya karena setiap hari mengenakan baju dan sepatu yang sama. Julia membalas dengan menantang mereka berkelahi. Ia bf?iwa pemberontak, dan selalu disuruh menghadap kepala sekolah karena ulahnya. Guru-gurunya angkat tangan. Ia selalu dalam kesulitan. Beberapa kali ia nyaris dikeluarkan dari sekolah, tapi masalahnya, ia murid paling cerdas di kelasnya.
Julia diberitahu ibunya bahwa ayahnya telah meninggal, dan ia mempercayai cerita itu. Tapi ketika berusia dua belas, ia secara tak sengaja menemukan album foto berisi foto-foto ibunya bersama sekelompok orang yang tak dikenalnya.
"Siapa orang-orang ini?" Julia sempat bertanya.
Dan ibu Julia pun menyadari waktunya telah tiba. 1
"Duduklah, Sayang/" Ia meraih tangan Julia dan
menggenggamnya erat-erat. Berita itu tak mungkin disampaikan secara pelan-pelan. "Itu ayahmu, dan itu kakak-kakak tirimu."
Julia menatap ibunya dengan bingung. "Aku tidak mengerti."
Akhirnya kebenaran terungkap juga. Kepala Julia terasa pening. Ayahnya ternyata masih hidup. Dan ia mempunyai kakak-kakak tiri! Ia tak sanggup mencerna kenyataan itu. "Kenapa" kenapa Ibu bohong padaku?"
"Waktu itu kau masih terlalu kecil. Kau takkan mengerti. Ayahmu dan Ibu" kami menjalin affair. Dia sudah berkeluarga, dan Ibu" Ibu terpaksa pergi, untuk melahirkanmu."
"Aku benci dia!" ujar Julia.
"Kau tidak boleh benci padanya."
"Tapi tega-teganya dia berbuat begini pada Ibu!" Julia memprotes.
"Kejadian itu kesalahan kami berdua." Setiap kata membuat hati ibunya serasa disayat-sayat. "Ayahmu sangat menawan, dan Ibu masih muda dan bodoh. Dari pertama Ibu sudah tahu hubungan kami tak mungkin langgeng. Dia bilang dia mencintai Ibu" tapi dia sudah menikah dan sudah punya keluarga. Dan" dan kemudian Ibu mengandung." Julia sadar bahwa sukar bagi ibunya untuk menceritakan kisah itu. "Hubungan kami tercium oleh wartawan, lalu ditulis di semua koran. Ibu lari. Tadinya Ibu bermaksud kembali lagi dengan membawamu, tapi istrinya bunuh diri dan Ibu"
139 Ibu tak sanggup menghadapi dia dan anak-anaknya lagi. Semuanya salah Ibu. Jadi jangan salahkan dia."
Tapi satu bagian kisah tersebut tak pernah diceritakan Rosemary kepada putrinya. Ketika bayinya lahir, petugas di rumah sakit berkata, "Kami akan membuatkan akte kelahiran. Bayi Anda bernama Julia Nelson?"
Hampir saja Rosemary membenarkannya, tapi kemudian ia berubah pikiran. Jangan! Anakku putri Harry Stanford. Dia berhak menyandang namanya. Dia berhak mendapatkan tunjangan dari ayahnya.
"Nama anak saya Julia Stanford."
Rosemary sempat menulis surat kepada Harry Stanford dan bercerita mengenai Julia, namun tak pernah memperoleh jawaban.
Juha terpesona oleh kenyataan bahwa ia mempunyai keluarga yang tak pernah dikenalnya, dan mereka cukup terkenal untuk menarik perhatian pers. Ia pergi ke perpustakaan umum untuk mencari keterangan mengenai Harry Stanford, dan menemukan lusinan artikel. Harry Stanford ternyata multijutawan, dan ia hidup di dunia lain, dunia yang tertutup bagi Julia dan ibunya.
Suatu hari, ketika salah satu teman sekolah Julia mengejeknya karena miskin, Julia membalas dengan berapi-api, "Aku tidak miskini Ayahku orang paling kaya di dunia. Kami punya kapal pesiar dan pesawat terbang, dan selusin rumah yang indah."
Ucapan Julia terdengar oleh gurunya. "Julia, coba ke sini."
Julia menghampiri meja gurunya. "Jangan suka berbohong seperti itu."
"Saya tidak bohong," sahut Julia. "Ayah saya jutawan! Dia kenal para presiden dan raja!"
Gurunya menatap gadis kecil berbaju lusuh di hadapannya dan berkata, "Julia, itu tidak benar."
"Benar!" Julia berkeras.
Ia disuruh menghadap kepala sekolah. Dan setelah itu ia tak pernah lagi menyinggung ayahnya di sekolah.
Lama-lama Julia mulai sadar bahwa alasan ia dan ibunya sering berpindah kota adalah karena pers. Harry Stanford selalu membuat berita, dan koran-koran gosip serta majalah-majalah tak bosan-bosannya mengungkit skandal lama itu. Cepat atau lambat, ada wartawan yang berhasil melacak jejak Rosemary Nelson, dan Rosemary terpaksa membawa Julia ke kota berikut.
Julia membaca setiap artikel koran mengenai Harry Stanford, dan setiap kali ia tergoda untuk meneleponnya. Dalam hati ia ingin percaya bahwa ayahnya sudah bertahun-tahun mencari mereka. Aku akan menelepon dia, lalu aku akan bilang, "Ini putri Ayah. Kalau Ayah mau ketemu kami.,."
Lalu ayahnya akan berkunjung dan jatuh cinta lagi dan menikah dengan ibunya, kemudian mereka akan hidup bahagia selama-lamanya.
Julia Stanford tumbuh menjadi wanita muda yang cantik. Ia mempunyai rambut gelap yang berkilau, bibir yang tipis, mata kelabu yang bersinar-sinar seperti ayahnya, serta bentuk tubuh yang menawan. Tapi jika ia tersenyum, orang akan melupakan segala sesuatu kecuali senyumnya.
Karena mereka sering pindah, Julia sempat bersekolah di lima negara bagian. Selama liburan musim panas, ia bekerja sebagai pramuniaga di department store, sebagai kasir di toko obat, dan sebagai resepsionis. Sejak kecil ia sudah mandiri.
Mereka tinggal di Kansas City, Kansas, ketika Julia berhasil menyelesaikan kuliah berkat beasiswa yang diterimanya. Ia tidak tahu persis apa yang akan ia lakukan selanjutnya Teman-teman yang terkesan oleh kecantikannya mengusulkan ia mencoba peruntungannya di layar perak. "Kau pasti langsung jadi bintang besar!" Julia menampik usul itu dengan santai. "Aku tidak mau harus bangun pagi-pagi setiap hari."
Tapi alasan sesungguhnya adalah karena ia menginginkan privasi lebih dari apa pun juga. Julia merasa bahwa selama hidup mereka, ia dan ibunya selalu dikejar-kejar pers karena peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu.
Angan-angan Julia untuk mempersatukan kembali
ibu dan ayahnya buyar pada hari ibunya meninggal. Julia merasa sangat kehilangan. Ayahku berhak tahu, pikirnya. Ibu bagian dari hidup ayahku. Ia lalu mencari nomor telepon kantor ayahnya di Boston. Seorang resepsionis menyahut,
"Selamat pagi, Stanford Enterprises."
Julia ragu-ragu. "Stanford Enterprises. Halo" Bisa saya bantu?" Perlahan-lahan Julia meletakkan gagang telepon. Ibu pasti tidak setuju aku menelepon dia. Ia seorang diri kini. Tanpa tempat berpaling.
Julia memakamkan ibunya di Memorial Park Cemetery di Kansas City. Tak seorang pun datang untuk menyampaikan belasungkawa. Julia berdiri di sisi kuburan dan berkata dalam hati, Ini tidak adil. Ibu melakukan satu kesalahan dan harus menanggung akibatnya sampai meninggal. Coba kalau aku bisa meringankan penderitaan Ibu. Aku sayang Ibu, untuk selama-lamanya. Yjang tersisa dari hidup ibunya di dunia hanyalah kumpulan foto tua serta kliping koran.
Sepeninggal ibunya, pikiran Julia kembali berpaling ke keluarga Stanford. Mereka kaya. Ia bisa minta bantuan mereka. Tidak, ia memutuskan. Aku tak sudi minta bantuan Harry Stanford.
Namun ia pun harus menyambung hidup. Ia harus mengambil sikap mengenai masa depannya. Barangkali aku bisa jadi ahli bedah otak.
143 Atau pelukis" Penyanyi opera" Ahli fisika"
Astronaut" :7^ri - Akhirnya ia memilih kursus sekretaris yang diadakan malam hari di Kansas City Kansas Community College.
Sehari setelah lulus, Julia mendatangi perusahaan penyalur tenaga kerja. Ternyata sudah ada selusin pelamar lain yang menunggu giliran dipanggil. Seorang wanita menarik sebaya Julia duduk di sampingnya.
"Hail Aku Sally Connors."
"Julia Stanford."
"Aku hams dapat pekerjaan hari ini," Sally mengeluh. "Aku baru saja diusir dari apartemenku." Julia mendengar namanya dipanggil. "Mudah-mudahan kau beruntung!" ujar Sally. "Thanks."
Julia masuk ke sebuah ruang kerja.
"Silakan duduk," ujar petugas yang ditemuinya.
"Terima kasih."
"Dalam lamaran Anda tertulis Anda lulusan perguruan tinggi dan telah berpengalaman kerja. Anda juga memiliki surat rekomendasi dari sekolah sekretaris." Wanita yang duduk di balik meja menatap surat lamaran di tangannya. "Anda mampu menulis steno sembilan puluh kata per menit, dan mengetik enam puluh kata per menit?"
"Betul." "Saya mungkin punya lowongan yang cocok untuk Anda. Ada kantor arsitek kecil yang sedang mencari sekretaris. Tapi gaji yang ditawarkan tidak terlalu tinggi../"
"Tidak apa-apa," Julia langsung memotong.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan mengirim Anda ke sana." Wanita itu menyerahkan secarik kertas dengan nama dan alamat perusahaan tersebut kepada Julia. "Besok siang Anda akan diwawancarai."
Julia tersenyum gembira. "Terima kasih." Ia merasa bersemangat sekali.
Ketika Julia keluar ke mang tunggu, nama Sally sedang dipanggil.
"Moga-moga kau mendapatkan sesuatu," ujar Julia.
"Thanks!" Julia sebenarnya sudah mau pulang, tapi tiba-tiba memutuskan untuk menunggu. Sepuluh menit kemudian Sally muncul lagi sambil tersenyum lebar.
"Aku diminta datang ke American Mutual Insurance Company besok untuk wawancara. Mereka punya lowongan untuk resepsionis. Kau juga mendapatkan sesuatu?"
"Kepastiannya baru besok."
"Aku yakin kita bakal berhasil. Bagaimana kalau kita makan siang bersama untuk merayakan ini?"
"Oke, boleh saja."
Mereka mengobrol panjang-lebar saat makan siang, dan segera merasa saling cocok.
"Aku sempat melihat apartemen di Overland Park," Sally bercerita. "Ada dua kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang duduk. Tempatnya sangat menyenangkan. Aku sendiri tidak sanggup membayar sewanya, tapi kalau kita berdua?"
Julia tersenyum. "Ide bagus. Aku setuju." Tapi cepat-cepat ia menambahkan, "Kalau aku mendapatkan pekerjaan besok." "Kau pasti dapat!" Sally membesarkan hatinya.
Dalam perjalanan ke kantor Peters, Eastman & Tolkin, Julia berkata dalam hati, Ini mungkin kesempatan emas bagiku. Maksudku, ini bukan sekadar pekerjaan biasa."Aku akan bekerja di kantor arsitek. Aku akan bertemu orang-orang berangan-angan tinggi, orang-orang yang membangun dan membentuk wajah kota, yang menciptakan keindahan dan keajaiban dengan batu, baja, dan kaca untuk mewujudkan impian mereka. Barangkali aku akan belajar arsitektur, supaya bisa membantu mereka dan menjadi bagian dari impian itu.
Perusahaan yang didatanginya berada di gedung kantor tua yang tak terawat di Amour Boulevard. Julia naik lift ke lantai tiga, menyusuri lorong, dan berhenti di depan pintu bertulisan PETERS,
EASTMAN & TOLKIN. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri, lalu masuk.
Tiga pria sedang duduk di ruang tunggu. Mereka menoleh saat Julia membuka pintu.
"Anda datang untuk wawancara?"
"Ya, Sir." "Saya Al Peters." Si botak. "Bob Eastman." Si kucir. "Max Tolkin." Si buncit.
Ketiga-tiganya tampak berusia empat puluhan.
"Kami diberitahu ini pertama kali Anda bekerja sebagai sekretaris," Al Peters mengawali percakapan.
"Ya, betul," sahut Julia. Lalu ia segera menambahkan, "Tapi saya cepat belajar. Saya akan bekerja keras." Untuk sementara ia takkan menyinggung keinginannya untuk belajar arsitektur. Ia akan menunggu sampai mereka sudah saling mengenal lebih baik.
"Baiklah, kita coba saja," kata Bob Eastman. "Nanti kita lihat bagaimana perkembangannya."
Julia gembira sekali. "Oh, terima kasih! Anda takkan?"
"Tentang gaji Anda," Max Tolkin angkat bicara. "Selama tiga bulan pertama gaji Anda mungkin belum seperti yang Anda harapkan"."
"Tidak apa-apa," jawab Julia. "Saya?"
"Tiga ratus seminggu," Al Peters memberitahunya.
Mereka benar. Jumlah itu memang tidak seperti
Iyang diharapkan Julia. Ia segera mengambil keputusan. "Setuju."
Ketiga arsitek itu berpandangan sambil tersenyum.
"Bagus!" ujar Al Peters. "Mari saya tunjukkan kantor kita."
Ia hanya membutuhkan beberapa detik untuk membawa Julia berkeliling. Selain ruang tunggu hanya ada tiga mang kerja yang berkesan. amat sederhana. Kamar kecil berada di ujung lorong di luar. Mereka sama-sama arsitek, tapi Al Peters menangani segi bisnis, Bob Eastman segi penjualan, dan Max Tolkin segi konstruksi. "Anda akan bekerja untuk kami bertiga," Peters memberitaku Julia.
"Oke!" Julia yakin ia sanggup menjadikan dirinya tak ternilai bagi mereka
Al Peters menatap arlojinya. "Wah, sudah pukul setengah satu. Bagaimana kalau kita makan siang duta?"
Julia tersenyum. Ia telah menjadi bagian dari tim. Mereka mengundangku makan siang.
Peters berpaling kepada Julia. "Di ujung blok ada restoran. Tolong belikan sandwich corned beef dengan moster, salad kentang, dan sepotong Danish."
"Oh." Rupanya ajakan makan siang tadi tidak berlaku untukku.
Tolkin berkata, "Saya minta sandwich pastrami dan sup ayam."
"Baik, Sir." Bob Eastman menambahkan, "Saya pesan pot roast platter dan minuman ringan."
"Pastikan corned beef-nya. tanpa lemak," Al Peters berpesan.
"Corned beef tanpa lemak."
Max Tolkin berkata, "Sup saya harus panas."
"Oke. Sup panas."
Bob Eastman menimpali, "Dan saya minta Diet Cola." "Diet Cola."
"Ini uangnya." Al Peters menyerahkan selembar dua puluh dolar.
Sepuluh menit kemudian, Julia sudah berada di restoran dan menyampaikan pesanan ketiga bosnya kepada laki-laki di balik meja layan. "Satu sandwich corned beef tanpa lemak, dengan moster, satu salad kentang, sepotong Danish. Satu sandwich pastrami dan satu sup ayam yang panas sekali. Dan satu pot roast platter dan Diet Cola."
Laki-laki itu mengangguk. "Kerja di Eastman, Peters* dan Tolkin, ya?"
Seminggu kemudian Julia dan Sally pindah ke apartemen di Overland Park. Apartemen itu terdiri atas dua kamar tidur, ruang tamu berisi perabot yang telah dipakai terlalu banyak orang, dapur kecil merangkap ruang makan, dan kamar mandi. Hmm, ternyata bukan seperti yang kubayangkan, gikir Julia.
149 "Kita masak bergantian saja," Sally mengusulkan. "Oke."
Sally yang pertama memasak, dan masakannya lezat sekati.
Malam berikutnya giliran Julia. Sally makan satu suap, lalu berkata, "Julia, aku ingin berumur panjang. Bagaimana kalau mulai sekarang aku saja yang memasak dan kau yang membersihkan rumah?"
Mereka semakin akrab. Pada akhir pekan, mereka sering menonton film di Glenwood 4, dan berbelanja di Bannister Mail. Mereka biasa membeli baju di Super Flea Discount House. Sekali seminggu mereka makan malam di restoran mewah?Stephenson"s Old Apple Farm atau Cafe Max untuk hidangan khas Laut Tengah. Kalau ada uang lebih, mereka suka pergi ke Charlie Charlies untuk mendengarkan musik jazz.
Julia senang bekerja untuk Peters, Eastman & Tolkin. Tapi kondisi perusahaan tersebut ibarat hidup segan, mati tak mau. Jarang sekali ada orang yang minta jasa mereka. Julia merasa tidak berbuat banyak untuk membantu membentuk wa-I jab kota, namun ia menyukai ketiga bosnya. Mereka bagaikan keluarga pengganti, dan masing-I masing mempercayakan rahasianya pada Julia. Ia
terampil dan efisien, dan dalam waktu singkat seluruh kantor telah diorganisasikannya kembali.
Julia memutuskan harus berbuat sesuatu untuk menambah jumlah klien mereka. Tapi apa" Tak lama kemudian ia telah memperoleh jawaban. Di Kansas City Star ada artikel" mengenai acara santap siang yang diselenggarakan oleh suatu organisasi sekretaris eksekutif yang baru didirikan. Ketua organisasi tersebut bernama Susan Bandy.
Keesokan harinya, menjelang waktu makan siang, Julia berkata kepada Al Peters, "Saya mungkin agak terlambat nanti."
Peters tersenyum. "Tidak apa-apa." Ia dan kedua rekannya bersyukur dapat memperoleh sekretaris seperti Julia.
Julia tiba di Plaza Inn dan segera menuju mangan tempat santap siang itu diadakan. Wanita di balik meja penerima tamu menyapanya, "Bisa saya bantu?"
"Ya. Saya datang untuk santap siang Executive Women." "Nama Anda?" "Julia Stanford."
Wanita itu mengamati daftar di hadapannya. "Maaf, nama Anda tidak tercantum"."
Julia tersenyum. "Aduh, si Susan. Nanti saya akan bicara dengan dia. Saya sekretaris eksekutif Peters. Eastman, dan Tolkin."
Wanita di balik meja masih ragu-ragu. "Ehm?"
"Tidak apa-apa. Saya cari Susan saja." Di ruang banquet ada sekelompok wanita berpakaian rapi yang sedang berbincang-bincang. Julia menghampiri salah satu dari mereka. "Saya mencari Susan Bandy."


Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Susan di sebelah sana." Orang yang ditanya menunjuk wanita jangkung berusia empat puluhan yang tampak sangat menawan.
Julia segera mendatanginya. "Hai. Saya Julia Stanford." W*?""
"Halo." "Saya bekerja di Peters, Eastman, dan Tolkin. Anda pasti sudah pernah mendengar tentang mereka"
"Ehm, saya?" "Mereka perusahaan arsitek yang berkembang paling pesat di Kansas City." "Oh, begini."
"Waktu luang saya sangat terbatas, tapi saya ingin ikut menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk organisasi ini."
Terima kasih, Miss,..?"
"Stanford." Itulah awalnya, j^;" SlP*^
Organisasi Executive Women mempunyai anggota di sebagian besar perusahaan terkemuka di Kansas City,"dan dalsm waktu singkat Julia telah berhasil membentuk jaringan. Paling tidak satu kali seminggu ia makan siang dengan sesama anggota.
"Perusahaan kami akan membangun gedung baru di Olathe."
Dan Julia segera menyampaikan informasi tersebut kepada ketiga bosnya.
"Mr. Hanley ingin membangun rumah musim panas di Tonganoxie."
Dan sebelum ada orang lain yang tahu, Peters, Eastman & Tolkin telah memperoleh klien baru.
Suatu hari Bob Eastman memanggil Julia dan berkata, "Kau patut mendapat kenaikan gaji, Julia. Kami sangat puas dengan pekerjaanmu. Kau sekretaris yang hebat sekali!"
"Ada satu hal yang akan sangat membantu," ujar Julia. "Apa itu?"
"Sebutan sekretaris eksekutif. Itu akan meningkatkan kredibilitas saya."
Dari waktu ke waktu Julia membaca artikel-artikel koran tentang ayahnya, atau melihatnya diwawancara di TV. Tapi ia tak pernah menyinggung ayahnya kepada Sally maupun ketiga bosnya.
Ketika Julia masih kecil, salah satu angan-angannya adalah bahwa ia, seperti Dorothy, akan dibawa dari Kansas City ke suatu tempat yang ajaib dan indah. Tempat itu penuh kapal pesiar, pesawat terbang, dan istana. Tapi kini, dengan kematian ayahnya, impian itu terpaksa berakhir. Hmm, paling tidak soal Kansas sudah benar, ia berkata dalam hati.
"9B" semang diri sekanang, tanpa sanak s a u. dara. Tapi aku punya saudara, ia segera meralat pikirannya sendiri Akm punya tiga kakak tiri. Me. rekalah keluargaku Hmm. perlukah aku mencari mereka" Ya. mungkin ada baiknya. Tapi mungkin juga aku akm kecewa nanti Apakah kami bisa saling cocok"
Keputusannya ternyata membawa persoalan hidup atau mati
i sbDDk by DtDy untuk koleksi pribadi.dilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang DttDys@yahDD.CDm
Bab 12 Pertemuan mereka menyerupai penemuan di antara orang-orang asing. Bertahun-tahun telah berlalu sejak mereka terakhir bertemu atau berkomunikasi.
Hakim Tyler Stanford tiba dengan pesawat di Boston.
Kendall Stanford Renaud terbang dari Paris. Marc Renaud naik kereta dari New York.
Woody Stanford dan Peggy naik mobil dari Hope Sound.
Para ahli waris telah diberitahu bahwa kebaktian pemakaman akan diadakan di King"s Chapel. Jalan di depan kapel itu ditutup bagi lalu lintas, dan petugas-petugas polisi tampak sibuk menghalau massa yang berkumpul untuk melihat kedatangan para tamu terhormat. Kebaktian tersebut akan dihadiri Wakil Presiden Amerika Serikat dan para senator, serta duta besar dan negarawan dari seluruh penjuru dunia. Semasa hidupnya, Harry Stanford
memiliki pengaruh besar, dan ketujuh ratus tempat duduk di kapel itu akan terisi penuh,
Tyler, Woody, dan Kendall, bersama pasangan masing-masing, bertemu di salah satu ruangan kapel. Semuanya tampak canggung. Mereka merasa asing satu sama lain, dan satu-satunya pertalian di antara ketiganya adalah laki-laki yang terbujur kaku di dalam mobil jenazah di depan kapel.
"Ini suamiku, Marc," ujar Kendali.
"Ini istriku, Peggy. Peggy, adikku, Kendall, dan kakakku, Tyler."
Sejenak mereka berbasa-basi. Kemudian semuanya kembali terdiam dan berpandangan dengan kikuk, sampai seorang petugas kapel menghampiri mereka.
"Maaf," orang itu berkata pelan-pelan. "Kebaktian akan segera dimulai. Silakan ikut saya."
Ia mengantarkan mereka ke bangku kosong di bagian depan kapel. Semuanya mengambil tempai dan menunggu, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Tyler merasa aneh kembali berada di Boston. Ia tak pernah senang tinggal di kota itu setelah ibunya meninggal dan Rosemary pergi. Ketika berusia sebelas tahun, Tyler sempat melihat reproduksi lukisan terkenal karya Goya, Saturn Memangsa Putranya, dan sejak itu ia selalu menghubungkan lukisan itu dengan ayahnya.
Dan kini, saat Tyler menatap peti jenazah ayah
nya yang sedang diusung ke dalam kapel, ia berkata dalam hati, Saturn sudah mati.
"Aku tahu rahasiamu yang kotor."
Pendeta yang akan memimpin upacara naik ke mimbar yang bersejarah.
"Jawab Yesus, "Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.?"
Woody riang gembira. Ia sempat menyuntikkan heroin sebelum berangkat ke gereja, dan pengaruhnya belum mereda. Ia melirik kedua saudaranya. Tyler tambah gemuk. Dia memang kelihatan seperti hakim. Kendali ternyata jadi cantik, tapi dia seperti tertekan. Karena Ayah meninggal" Tidak mungkin. Dia membencinya sama seperti aku. Woody menatap Peggy, yang duduk di sampingnya. Sayang aku tidak sempat memamerkan Peggy kepada si Tua. Dia pasti mati karena serangan jantung.
Pendeta sedang berkata, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu."
1S7 Kendall tidak mendengarkan khotbah si pendeta. Ia sedang memikirkan gaun merah itu. Suatu sore, ia ditelepon ayahnya di New York.
"Rupanya kau sudah Jadi perancang hebat, ya" Nah, coba kita lihat kehebatanmu. Aku mau mengajak pacarku yang baru ke pesta amal malam Minggu besok Ukuran bajunya kira-kira sama denganmu. Aku minta kau merancang gaun untuk dia "
"Untuk malam Minggu besok" Ayah, aku?" "Kerjakan saja "
Kendali merancang gaun paling jelek yang bisa dibayangkannya. Di bagian depannya ada simpul hitam, serta bermeter-meter pita dan renda. Kendali sendiri sampai geleng-geleng kepala. Gaun itu dikirim kepada ayahnya, yang lalu kembali meneleponnya
"Kirimanmu sudah sampai. Oh ya pacarku berhalangan malam Minggu besok, jadi kau yang akan menemaniku, dan kau akan memakai gaun yang kaurancang itu."
"Aku tidak bisa!"
Dan kemudian Kendali mendengar senjata pamungkas ayahnya, "Kau tidak mau mengecewakan aku, bukan?"
Kendali tak berkutik. Ia terpaksa menemani
ayahnya, tanpa berani berganti baju, dan mengalami malam paling memalukan dalam hidupnya.
"Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!"
Peggy Stanford gugup. Ia merasa salah tempat di gereja yang megah, dan kehadiran orang-orang berpenampilan anggun membuatnya canggung. Ia belum pernah berkunjung ke Boston, dan bagi Peggy, kota itu merupakan dunia keluarga Stanford, dengan segala kemewahan dan kejayaannya. Ia merasa tak berarti, dan meraih tangan suaminya
"Semua yang hidup adalah seperti rumput, dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput". Rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya."
Marc memikirkan surat pemerasan yang diterima istrinya. Kata-kata dalam surat itu disusun dengan sangat hati-hati, sangat cerdik. Mereka takkan pernah tahu siapa pengirimnya. Ia menatap Kendali, yang duduk di sebelahnya, pucat dan tegang. Berapa lama lagi dia masih bisa bertahan" ia bertanya-tanya. Ia bergeser dan merapat ke istrinya.
.Kami menyerahkan mu ke dalam anugerah dan
pemeliharaan Allah. Tuhan memberkati engkau
dan melindungi engkau. Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera, sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin."
Seusai membacakan khotbah, si pendeta mengumumkan, "Upacara pemakaman almarhum dibatasi untuk kalangan keluarga saja."
Tyler menatap peti jenazah dan memikirkan tubuh yang terbaring di dalamnya. Semalam, begitu tiba di Logan International Airport, ia langsung menuju balai duka tempat jenazah ayahnya disemayamkan.
Ia ingin melihat ayahnya mati, tak berdaya.
Woody memperhatikan peti jenazah diusung keluar gereja melewati para pelayat, dan ia tersenyum. Berikanlah kepada orang-orang -apa yang mereka kehendaki.
Upacara pemakaman di Mount Auburn Cemetery di Cambridge berlangsung singkat. Para anggota keluarga menyaksikan tubuh Harry Stanford diturunkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir, dan ketika peti jenazahnya mulai ditimbun tanah, si pendeta berkata, "Anda tidak perlu menunggu lebih lama, kecuali jika Anda menginginkannya." Woody mengangguk. "Oke." Pengaruh heroin
sudah berkurang, dan ia mulai gelisah. "Ayo, kita pergi saja,"
Marc bertanya, "Mau ke mana kita?"
Tyler berpaling ke arah rombongan itu. "Kita menginap di Rose Hill. Semuanya sudah diatur. Kita akan tinggal di sana sampai masalah warisan selesai."
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di dalam limusin-limusin yang akan membawa mereka ke Rose Hill.
Boston memiliki hierarki sosial yang ketat. Orang-orang kaya baru tinggal di Commonwealth Avenue, sementara mereka yang berasal dari kalangan bawah namun berhasil naik ke jenjang sosial lebih tinggi berdiam di Newbury Street. Keluarga-keluarga lama yang tidak terlalu kaya beralamat di Marlborough Street. Back Bay adalah kawasan paling baru dan paling bergengsi di Boston, tapi Beacon Hill tetap merupakan benteng bagi keluarga-keluarga paling lama dan paling kaya di kota tersebut. Daerah itu merupakan campuran rumah-rumah dan gereja tua, serta pusat-pusat perbelanjaan mewah.
Rose Hill, tempat kediaman keluarga Stanford, merupakan rumah tua dan indah bergaya Victoria di tengah-tengah pekarangan seluas lebih dari satu hektar di Beacon Hill. Rumah tempat anak-anak Stanford menghabiskan masa kanak-kanak itu dipenuhi kenangan yang tidak menyenangkan. Ketika iring-iringan limusin berhenti di muka rumah, | para penumpang turun dan menatap bangunan tersebut.
"Aku tidak bisa membayangkan Ayah tidak berada di dalam dan menunggu kita," ujar Kendali.
Woody cengar-cengir. "Dia terlalu sibuk mengatur segala sesuatu di neraka."
Tyler menarik napas panjang. "Ayo, kita masuk."
Ketika mereka menghampiri pintu depan, pintu itu membuka dan Clark, si kepala pelayan, muncul. Ia berusia tujuh puluhan, dan sudah lebih dari tiga puluh tahun bekerja di Rose Hill. Ia menyaki sikan anak-anak Stanford tumbuh dewasa, dan j sempat mengalami semua skandal.
Wajah Clark mendadak cerah ketika ia melihat rombongan itu. "Selamat sore!"
Kendali memeluknya dengan erat. "Clark, apa kabar?" . :
"Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, Miss Kendali."
"Aku sudah jadi Mrs. Renaud sekarang. Ini suamiku, Marc." "Apa kabar, Sir?"
"Istri saya sering bercerita tentang Anda." "Mudah-mudahan bukan cerita-cerita buruk, Sir."
"Justru sebaliknya. Dia selalu tersenyum jika menyinggung nama Anda."
"Terima kasih, Sir." Clark berpaling kepada Tyler. "Selamat sore, Hakim Stanford." "Halo, Clark."
"Saya senang sekali bisa bertemu lagi dengan Anda, Sir."
"Terima kasih. Kau kelihatan sehat."
"Begitu juga Anda, Sir. Saya turut berdukacita atas musibah yang menimpa Anda."
"Terima kasih. Semuanya sudah siap di sini?"
"Oh, ya. Saya kira kami dapat membuat semuanya merasa nyaman."
"Aku menginap di kamarku yang lama?"
Clark tersenyum. "Benar." Ia berpaling kepada Woody. "Apa kabar, Mr. Woodrow" Perkenankan saya?"
Woody meraih lengan Peggy. "Ayo," ia berkata dengan ketus. "Aku mau mandi dulu."
Tanpa berkata apa-apa lagi ia menarik istrinya ke dalam dan menaiki tangga.
Yang lain menuju ruang tamu yang sangat luas. Ketika memasuki ruangan tersebut, perhatian semua orang langsung beralih ke sepasang lemari besar dari era Louis XIV. Selain itu masih ada berbagai kursi dan meja antik, serta lampu kristal yang tergantung dari langit-langit. Semua dinding dihiasi lukisan-lukisan abad pertengahan.
Clark berpaling kepada Tyler. "Hakim Stanford, ada pesan untuk Anda. Mr. Simon Fitzgerald menanyakan kapan pertemuan keluarga dapat diada"
km. Mr. Fitzgerald mengharapkan Anda meneleponnya untuk memberitahukan waktunya."
"Siapa Simon Fitzgerald?" tanya Marc.
Kendali menjawab, "Dia pengacara keluarga kami. Ayah sudah dari dulu memakai jasanya, tapi kami belum pernah bertemu dengannya."
"Kurasa dia ingin membahas pembagian warisan," ujar Tyler. Ia berpaling kepada yang lain. "Kalau kalian tidak keberatan, aku akan minta dia datang ke sini besok pagi."
"Setuju," kata Kendali.
"Juru masak sedang menyiapkan makan malam," Clark memberitahu mereka. "Acara makan malam bisa dimulai pukul delapan?"
"Ya," sahut Tyler. "Terima kasih."
"Eva dan Millie akan mengantarkan Anda ke kamar rnasing-masing."
Tyler berpaling kepada adiknya dan suaminya. "Kita ketemu lagi pukul delapan, oke?"
Ketika Woody dan Peggy memasuki kamar mereka di lantai atas, Peggy bertanya, "Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa!" bentak Woody. "Sudah, jangan ganggu aku!"
Peggy memperhatikan Woody masuk ke kamai mandi dan membanting pintu. Ia tetap berdiri dan menunggu.
Sepuhih menit kemudian, Woody keluar lagi. Ia tersenyum lebar. "Hai, Sayang." "Hai."
"Nah, bagaimana kesanmu tentang rumah ini?" "Rumahnya" besar sekali!" "Aku benci rumah ini." Woody berjalan ke tempat tidur dan merangkul istrinya. "Ini kamarku yang lama. Dinding-dinding ini dulu penuh poster olahraga?tim Bruins, Celtics, Red Sox. Waktu kecil aku mau jadi atlet. Cita-citaku tinggi. Di tahun terakhir di sekolah asrama, aku kapten tim football. Aku diperebutkan setengah lusin pelatih college" "Yang mana yang kauterima?" Woody menggelengkan kepala. "Tak satu pun. Ayahku bilang mereka hanya tertarik pada nama Stanford, dan hanya mengincar uangnya. Dia mengirimku ke sekolah teknik yang tidak punya tim football." Ia terdiam sejenak. Kemudian ia bergumam, 7 could"a been a contenda,?" Peggy menatapnya dengan bingung. "Apa?" Woody menoleh. "Kau tak pernah nonton On the Waterfront!" "Tidak."
"Itu sepenggal kalimat yang diucapkan Marlon Brando. Artinya, kita sama-sama sial." "Ayahmu pasti keras sekali dulu." Woody tertawa mengejek, "Itu komentar paling bagus yang pernah kudengar tentang dia. Aku ingat waktu masih kecil, aku jatuh dari kuda. Aku langsung mau naik lagi, tapi dilarang ayahku. "Kau takkan pernah bisa menunggang kuda," katanya. "Kau terlalu bodoh untuk itu".?" Woody menatap istrinya. "Karena itulah aku jadi pemain pole sembilan gol."
Mereka berkumpul lagi di meja makan sebagai sekelompok orang asing. Semuanya tampak canggung. Satu-satunya ikatan di antara mereka adalah trauma masa kecil.
Kendali memandang berkeliling. Kenangan-kenangan buruk bercampur baur dengan apresiasi terhadap keindahan di sekitarnya. Meja makan itu bergaya Louis XV dan dikelilingi seperangkat kursi Directoire. Di salah satu sudut ada lemari besar berwarna biru dan krem. Dinding-dinding dipenuhi lukisan-lukisan karya Watteau dan Fragonard.
Kendali berpaling kepada Tyler. "Aku membaca artikel mengenai keputusanmu dalam kasus Fiorel-lo. Dia pantas menerima hukuman yang kauberikan padanya"
"Pekerjaan hakim pasti menarik," ujar Peggy.
"Kadang-kadang."
"Kasus apa saja yang Anda tangani?" tanya Marc. mZ
"Kasus-kasus pidana?pemerkosaan, obat bius, pembunuhan,"
Wajah Kendali mendadak pucat dan ia hendak mengatakan sesuatu, tapi Marc menggenggam tangannya sebagai peringatan.
Tyler berbasa-basi, "Kau sudah jadi perancang j yang sukses, Kendall." I
Dada Kendali terasa sesak. "Ya"." I
"Dia luar biasa," Marc memuji istrinya, "Dan, Marc, apa pekerjaanmu?" "Saya bekerja di perusahaan pialang."
"Oh, jadi kau salah satu jutawan muda yang merajalela di Wall Street?"
"Tidak juga, Pak Hakim. Saya baru mulai."
Tyler menatap Marc dengan pandangan melecehkan. "Kalau begitu kau beruntung punya istri yang sukses."
Kendali tersipu-sipu, lalu berbisik ke telinga Marc, "Jangan hiraukan dia. Ingat saja, aku mencintaimu."
Woody mulai terpengaruh obat bius yang disuntikkannya. Ia menoleh kepada istrinya. "Peggy sebenarnya butuh pakaian yang lebih pantas," ia berkomentar. "Tapi dia memang tidak memedulikan penampilannya. Bukan begitu, Sayang?"
Peggy menundukkan kepala. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Seragam pelayan, barangkali?" Woody mengusulkan.
"Saya permisi dulu," ujar Peggy. Ia langsung meninggalkan ruang makan dan berlari menaiki tangga.
Semuanya menatap Woody. Woody meringis. "Dia terlalu perasa. Jadi, masalah warisan baru besok dibicarakan, hmm?" "Betul," kata Tyler.
"Aku berani bertaruh si Tua tidak meninggalkan sepeser pun untuk kita."
Marc angkat bicara. "Tapi kekayaannya begitu banyak"."
Woody mendengus. "Kau tidak kenal ayah kami. Paling-paling dia meninggalkan jas-jas lama dan sekotak cerutu. Dia selalu menggunakan uangnya untuk mengatur kami. Aku masih ingat kalimat kegemarannya. "Kau tidak mau mengecewakanku, bukan?" Dan kami semua bersikap seperti anak-anak yang patuh sebab, seperti yang kaukatakan sendiri, kekayaannya begitu banyak. Hah, kurasa seluruh uang itu dibawanya ke dalam lubang kubur."
Tyler berkomentar, "Bersabarlah. Besok kita akan mendapatkan kepastiannya."
Keesokan paginya, Simon Fitzgerald tiba bersama Steve Sloane. Clark mengantarkan mereka ke ruang baca "Saya akan memberitahukan kedatangan Anda kepada pihak keluarga"
"Terima kasih." Mereka memperhatikannya pergi"
Ruang baca itu sangat besar, dan di balik dua pasang pintu kaca tampak pekarangan yang luas. Permukaan dinding dilapisi panil kayu ek berwarna gelap, dan di sepanjang dinding terdapat rak-rak yang penuh buku bersampul kulit. Di sana-sini ada kursi nyaman dan lampu baca dari Italia. Di salah satu sudut terdapat lemari mahoni yang memperagakan koleksi senjata api antik milik Harry Stanford. Lemari itu dilengkapi laci-laci khusus berisi amunisi.
"Pertemuan ini bakal menarik," ujar Steve. "Aku ingin tahu bagaimana reaksi mereka nanti." "Kita akan segera tahu."
Kendali dan Marc yang muncul paling dulu. Simon Fitzgerald berkata, "Selamat pagi. Saya Simon Fitzgerald. Ini rekan saya, Steve Sloane."
"Saya Kendali Renaud, dan ini suami saya, Marc." Para pria bersalaman. Woody dan Peggy memasuki mangan. Kendali memperkenalkan kedua pengacara. "Woody, ini Mr. Fitzgerald dan Mr. Sloane."
Woody mengangguk. "Hai. Uangnya sudah dibawa sekalian?" "Ehm, sebenarnya kami?" "Saya hanya bercanda! Ini istri saya, Peggy." Woody menatap Steve. "Apakah saya mendapat bagian, atau?"" Tyler muncul di pintu. "Selamat pagi." "Hakim Stanford?" "Ya."
"Saya Simon Fitzgerald, dan ini Steve Sloane, rekan saya. Steve yang mengatur pemindahan jenazah ayah Anda dari Corsica."
Tyler berpaling kepada Steve. "Terima kasih. Sampai sekarang kami belum tahu-persis apa yang
terjadi. Begitu banyak versi yang dikembangkan pers. Apakah ada unsur kesengajaan?"
Tidak. Tampaknya ayah Anda mengaiami kecelakaan. Yacht-nya terjebak badai di lepas pantai Corsica. Berdasarkan keterangan Dmitri Kaminsky, pengawal ayah Anda, ayah Anda berdiri di teras kabinnya dan sebuah dokumen terlepas dari tangannya lalu terbawa angin. Ayah Anda berusaha meraihnya, kehilangan keseimbangan, dan jatuh ke laut. Kapten kapal segera berusaha memberi pertolongan, namun terlambat."
"Kematian yang mengenaskan.*" Kendali merinding.
"Anda sempat berbicara dengan si Kaminsky mi?" tanya Tyler.
"Sayangnya, tidak. Ketika saya tiba di Corsica, dia sudah pergi."
Fitzgerald angkat bicara, "Kapten kapal itu sempat menyarankan kepada ayah Anda untuk menunda pelayaran karena badai tersebut, tapi karena saru dan lain hal, ayah Anda ingin secepatnya kembali ke sini. Ayah Anda bahkan sudah menyewa helikopter untuk membawanya pulang. Sepertinya ada masalah mendesak."
Tyler bertanya, "Anda tahu masalah apa itu?"
Tidak. Saya tidak?" *
Woody memotong, "Sudahlah. Itu semua sudah jadi berita basi sekarang, bukan" Lebih baik kita bicara tentang surat wasiatnya saja. Apakah dia
meninggalka sesuatu untuk kami atau tidak?" Tangannya berl.wdut-kedut.
"Bagaimana kalau kita duduk dulu?" Tyler mengusulkan.
Semuanya mengambil tempat. Simon Fitzgerald duduk di belakang meja, menghadap yang lain. Ia membuka tas kerja dan mengambil beberapa berkas.
Woody sudah tidak sabar. "Jadi, bagaimana" Ada sesuatu yang ditinggalkannya atau tidak?"
Kendali menegurnya, "Woody?"
"Aku sudah tahu jawabannya," ujar Woody gusar. "Dia tidak meninggalkan sepeser pun untuk kita."
Fitzgerald menatap ketiga anak Harry Stanford. "Sebenarnya," ia berkata, "Anda masing-masing memperoleh bagian yang sama dari warisan almarhum."
Steve merasakan luapan kegembiraan yang tiba-tiba memenuhi ruangan.
Woody terbengong-bengong. Ia menatap Fitzgerald sambil melongo. "Apa" Anda serius?" Ia segera berdiri. "FantastisI" Ia berpaling kepada yang lain. "Kalian dengar itu" Si Tua akhirnya sadar juga!" Ia kembali menoleh ke-arah Fitzgerald. "Seberapa banyak uang yang kita bicarakan?"
"Saya belum mendapatkan angka yang tepat. Berdasarkan edisi terakhir majalah Forbes, Stanford Enterprises bernilai sekitar enam miliar dolar.
Sebagian besar ditanam dalam berbagai perusahaan, tapi kurang-lebih 400 juta dolar berbentuk aset cak."
Kendali tercengang-cengang. "Berarti lebih dari seratus juta dolar untuk masing-masing dari kita. Ya Tuhan!" Aku bebas, ia berkata dalam hati. Setelah membayar mereka, aku akan aman untuk selama-lamanya. Ia menatap Marc dengan wajah berseri-seri dan meremas tangan suaminya.
"Selamat," mar Marc. Ia sadar benar betapa besar arti uang itu.
Simon Fitzgerald angkat bicara, "Seperti yang Anda ketahui, 99 persen saham Stanford Enterprises berada di tangan ayah Anda. Saham-saham ku juga akan dibagi rata di antara Anda. Dan kini, setelah ayah Anda meninggal, sisa saham sebanyak satu persen akan menjadi milik Hakim Stanford. Tentu ada berbagai formalitas yang harus diselesaikan dulu. Selain itu, saya juga perlu memberitahu Anda bahwa mungkin ada ahli waris lain."
Neraka Lembah Tengkorak 2 Korban Balas Dendam Karya Sam Edy Yuswanto Amanat Marga 9

Cari Blog Ini