Badminton Freak Karya Stephanie Zen Bagian 1
Badminton Freak! Stephanie Zen Curhat Colongan Hai! Inilah buku yang sudah sekian lama kuimpikan untuk terbit. Buku yang menampung rasa
bangga dan kagumku pada satu dunia: bulutangkis.
Aku kenal bulutangkis pertama kali saat Olimpiade Atlanta 1996, karena histeria dua tanteku
akan Ricky Subagdja (yeah, bagian prolog dalam buku ini adalah kisah nyata!), dan sejak itu
benar-benar jatuh hati padanya (pada dunia bulutangkis, bukan pada Ricky Subagdja, hehe...).
Kecintaanku pada bulutangkis membuatku ingin jadi atlet. Tapi, seperti Fraya, cita-citaku
juga kandas di tengah jalan. Setelah itu, selama beberapa tahun aku sempat melupakan
bulutangkis. Histeriaku beralih pada The Moffats, Westlife, dan band-band lokal Indonesia.
Sampai akhirnya, pada bulan Mei 2008, Tim Uber Indonesia berhasil mencapai babak final
Kejuaraan Uber Cup, dan itu membuat kekagumanku pada bulutangkis Indonesia, yang sudah
sekian lama tidur, bangkit kembali. Bahkan lebih daripada sebelum-sebelumnya.
Aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Walau sudah nggak mungkin lagi mengejar citacitaku, aku tahu dengan semua talenta yang kumiliki sekarang ini aku akan bisa melakukan
sesuatu. Dan aku berhasil melakukannya melalui dunia lain yang juga kucintai: menulis.
Buku ini buku paling emosional yang pernah kutulis. Semua obsesi, kekaguman, kecintaan,
kehilangan, dan harapanku pada bulutangkis ada dalam buku ini. Semoga kalian bisa
menikmatinya ya, sama seperti aku menikmati menulis setiap kata yang ada. "
Thanks! Jesus Chirst, my Lord and Savior, to whom I lay my whole love, life, and faith.
Oma Greetje Jeane Koamesah-Rondo.
Librando Laman Zen dan Ronalita Thelma Koamesah, the best parents ever!
Adikku, William Ronaldo Yozen.
Keluarga besar Zen dan Koamesah di mana pun berada, terutama Tante Denny dan Tante
Esther, yang karena histerianya saat Olimpiade Atlanta berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis. Hehehe... My bestiests: Dessy Amanda, Sandra Wanti, Windy Intan, dan Livia Garnadi.
Jovi, Licu, Meli, Fanie, Raymon, Rendy, Yudhi.
Vellen Herlyana dan Ira Ratnati.
Tim GPU yang luar biasa: Mbak Donna, Mbak Vera, dan Maryna Roesdy.
My favorite band ever and eveeerrrr: DAUGHTRY. Tak ada satu halaman pun dari novel ini
yang lahir tanpa diiringi lagu kalian.
Teman-teman twitter dan semua visitor http://smoothzensations.blogspot.com, especially Ci
Rina Suryakusuma, Ajeng, Anas, Prima, Sharleen (pinjam nama ya, Shar ") makasih banyak!
Para atlet bulutangkis Indonesia, yang sudah berjuang untuk memberi kami semua
kebanggaan dan selalu menginspirasiku untuk memberi lebih pada bangsa ini. Terus berjuang ya!
Dan kalian semua yang sudah baca karya-karyaku, terima kasih! Seperti biasa, ditunggu
komennya di twitter, blog, dan e-mail.
God bless us, Steph Untuk bulutangkis Indonesia,
My first and endless love "
Prolog 1996 Smash Smash, Rexy, smash! Aaarggghhh... dia netting! Balas, balas! Halus aja, pelanDiam sejenak... Tegang...
YESSSS! Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat kegirangan sambil berpegangan tangan. aku
mendongak sedikit dari rumah Barbie-ku, penasaran apa yang membuat mereka begitu histeris.
melangkah mendekat. Dari tadi kedua tanteku ini ribut saja. Kayaknya yang mereka tonton seru
banget... asing di telingaku. dilombakan di sini, dan atlet-atlet dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk jadi yang terbaik
Bulutangkis" a yang itu deh, yang ganteng itu. Itu dulu mantan pacar
Aku bingung. Lho, jadi sebenernya mantan pacar siapa"
bersamaan. ran-heran. -lagi mereka menjawab bersamaan, dan kali ini dengan wajah
terpesona. Aku melihat sosok di TV yang tadi ditunjuk kedua tanteku itu. Wow, ganteng! Tapi itu
berarti... kedua tanteku hanya ngibul itu mantan pacar mereka. Nggak mungkinlah Tante
Wenny dan Tante Sissy punya mantan pacar seganteng itu, bisa muncul di TV pula! Hehehe...
Aku sudah hampir bertanya lagi, tapi tampang kedua tanteku ternyata sudah berubah tegang
kembali. Tatapan mereka terpaku ke layar TV, sama sekali nggak berkedip. Aku jadi penasaran.
Nonton juga, ah! Smash, smash! YESSS! Pengembaliannya out
Tante Sissy dan Tante Wenny berpelukan dengan heboh. Oh, sudah menang ya berarti"
ini masih pindah bola, masih bolanya Malaysia, jadi kalau Indonesia berhasil memasukkan bola atau pengembaliannya
Malaysia out, Indonesia masih belum dapat angka. Mereka baru dapat angka kalau bola itu milik
-kamit seperti orang baca mantra. Aku menoleh untuk mencari tahu ekspresi Tante Sissy, dan ternyata sama!
Aku beralih menatap TV, dan tanpa sadar nggak berkedip juga. Wow, bulutangkis keren
banget! Seru! Aku nggak pernah melihat yang seperti ini!
Smash, smash... SMAAASSSHHH!
tegangnya. Aku juga jadi deg-degan. Seru banget nih!
Dan beberapa detik kemudian...
Sissy melompat-lompat di hadapanku sambil berpegangan tangan, seolah mereka baru menang
lotre. Dan aku, karena tadi ikut tegang, sekarang jadi ikut melompat-lompat juga. Wah keren!
Indonesia meraih medali emas di Olimpiade!
Di layar TV, Ricky dan Rexy berpelukan dengan pelatih mereka, sampai berguling-gulingan
di lantai. Pasti mereka bahagia banget!
melompat-lompat. Mereka masih ngos-ngosan, tapi senyum mereka mengembang lebar.
Keadaanku nggak jauh beda.
Indonesia Raya bakal dikumandangkan, dan bendera Merah
Aku manggut-manggut saja, berusaha menyerap informasti itu. Oh, ternyata kalau Indonesia
menang, lagu Indonesia Raya bakal dikumandangkan dan bendera Merah Putih bakal dikibarkan
paling tinggi... Aku menunggu momen itu terjadi. Dan itu dia... dua atlet bulutangkis Indonesia yang tadi,
Ricky Subadgja dan Rexy Mainaky, naik ke podium, menerima medali emas dan bunga, lalu lagu
Indonesia Raya dikumandangkan, dan bendera Merah Putih dikerek naik paling tinggi, di atas
bnedera Malaysia dan satu lagi bendera Indonesia (oh, ternyata yang juara tiga juga pemain
Indonesia. Hebat!). Ricky dan Rexy kelihatannya hampir menangis.
Tante Wenny dan Tante Sissy juga.
Dan... ternyata aku juga. Seluruh tubuhku serasa berdesir, dan bulu-bulu di tanganku berdiri
semua. Ini aneh. Aku sering upacara bendera di sekolah, melihat bendera Merah Putih
dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya, tapi aku nggak pernah merasa seperti ini.
Ini... berbeda. Ini pertama kalinya aku begitu bangga jadi orang Indonesia.
Dan saat itu, aku berjanji dalam hati, aku akan melakukan hal yang sama seperti Ricky
Subagdja dan Rexy Mainaky.
Di usia enam tahun, aku memutuskan: aku akan jadi atlet bulutangkis.
Aku, Fraya Aloysa Iskandar
2008 Aku menoleh. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara cempreng itu. Benar
saja, Adisty berlari-lari menghampiriku, sambil membawa segepok kertas, dari seberang lapangan.
terengah-engah sambil memegangi lututnya.
e mau melintas pelanAku nggak mengada-ada (atau istilah kerennya sekarang: lebay), lapangan basket sekolahku
siang ini memang gila-gilaan panasnya. Kalau kamu berusaha memandang ke seberang lapangan
saja, pandanganmu seperti bergoyang, karena terganggu uap panas yang keluar dari lapisan
semen lapangan. -ngejarku begini kalau nggak ada maunya. segepok yang digenggamnya.
Oh iya, dia kan ketua kelas, ya" Dia yang ketiban tugas mengumpulkan formulir pilihan
ekskul di kelas kami. Aku lupa...
Aku menatap Adisty dengan intens, sampai dia menatapku balik dan akhirnya menghela
napas. Adisty mengeluarkan bolpoin dari saku seragamnya, dan di formulir bernama Fraya Aloysa
Iskandar dia menulis dengan huruf cetak dan tulisan segede gaban: BULUTANGKIS.
Aku menatapnya dengan jenis tatapan yang tadi lagi, dan kali ini Adisty geleng-geleng. Albert
itu pacarku. Pacar keduaku lebih tepatnya, karena pacar pertamaku adalah bulutangkis.
gue dong nyariin anak-anak yang lain. Formulir ini harus gue kumpulin ke Pak Rasyid setelah
jam istirahat nih. Anak- Adisty cengengesan. Aku langsung menyadari, pasti ada sesuatu yang nggak benar.
Rasyid udah nitipin ini ke gue dari tadi pagi sih, tapi... you know,
siapa sih yang nggak jadi amnesia dadakan kalau jam pelajaran pertama langsung Bu Irma" Gue
baru ingat lagi tadi pas tengah-tengah istirahat. Alhasil, gue menghabiskan waktu istirahat gue
dengan ngejar anak kelas kita one by one
Adisty memasang tampang memelas. Hmm,
, karena Bu Irma, guru fisika
kami, memang galaknya naujubile! Dan setiap kali jam pelajarannya, entah bagaimana caranya,
dia berhasil membuat kami melupakan segala hal di luar sana. Semua, kecuali rumus-rumus
untuk anak-anak sekelas. Boro-boro formulir pilihan ekskul, kalau aku kena Bu Irma, Albert pun
terlupakan kok, hehe... berbinar. Adisty membagi setengah gepok formulir itu padaku, lalu langsung melesat pergi lagi. Aku
menatap formulir paling atas dalam genggamanku. Di situ tertulis Darius Albert Nugroho.
Yeah, kalau dia sih nggak perlu ditanya mau ikut ekskul apa.
Aku mengambil bolpoin dari dalam orgy-ku, dan menuliskan BASKET besar-besar di kolom
pilihan ekskul milik Albert.
*** Aku suka bulutangkis. Mmm... ralat, aku CINTA bulutangkis.
Sejak melihat Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky meraih medali emas di Olimpiade Atlanta
1996, dan terkontaminasi kehebohan tante-tanteku kala itu, aku jatuh cinta pada bulutangkis.
Sampai-sampai di usia enam tahun aku memutuskan ingin jadi atlet bulutangkis.
Hebatnya, waktu itu aku sama sekali nggak memikirkan bahwa jadi atlet bulutangkis bakal
sering ikut turnamen di luar negeri (yang berarti bisa keliling dunia gratis), bakal terkenal, atau
bisa dapat hadiah ribuan dolar kalau menang kejuaraan. Yang ada di pikiranku saat itu cuma
satu: kepingin bendera negeriku dikibarkan di negara lain, dan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan, karena prestasi yang kuraih.
, dan keinginan sederhana seorang anak kecil ternyata bisa jadi
sangat mulia di saat yang sama.
Tapi sekarang, di usia delapan belas, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa cita-citaku
nggak terwujud. Alasannya sederhana, sekaligus krusial: izin ortu.
Waktu aku berniat masuk klub bulutangkis di dekat rumah saat usia sepuluh tahun, Mama
menolak mentah-mentah. Aku nggak tahu apa alasan Mama waktu itu. Yang aku tahu cuma
Mama nggak mengizinkanku. Dan gimana aku bisa melawan" Aku nggak bisa. Dan nggak boleh.
Rasanya mustahil mewujudkan cita-cita kalau tanpa restu ortu, kan" Plus, siapa yang bakal
membiayaiku masuk klub kalau ortuku menentang"
Papa sih netral-netral aja, tapi karena aku tetap nggak berhasil mengantongi izin dari Mama,
akhirnya cita-citaku terkubur gitu aja.
Tapi itu nggak berarti aku melupakan bulutangkis. Not at all.
Kalau menerima kata-kata Freddie Highmore di August Rush: I love badminton, more than food
I love music, more than food
Aku tetap cinta bulutangkis, menonton setiap turnamen yang ditayangkan di TV tanpa
berkedip, dan jadi paling histeris kalau ada pemain Indonesia yang menang. Aku bahkan
mengikhlaskan sebagian uang jajanku terpotong setiap bulan, demi membayar iuran TV kabel
yang dipasang di rumah karena rengekanku, hanya supaya aku bisa tetap menonton turnamenturnamen bulutangkis di TV (TV Indonesia mana ada yang nayangin" Mereka lebih suka
sinetron, pertandingan tinju, dan sepak bola yang menghiasi jam tayang mereka, huh!). Sayang,
sekarang aku cuma bisa heboh sendirian saat nonton bulutangkis, karena Tante Wenny dan
Tante Sissy sudah nggak tinggal di rumahku lagi. Mereka sudah married, punya anak, dan punya
rumah sendiri. Dan kecintaan mereka pada bulutangkis juga meluntur sering bertambahnya usia.
Hmm... itu sih alasan mereka, tapi aku yakin fanatisme mereka memudar karena Ricky
Subagdja sudah pensiun! Hehehe... Plus, dia sudah menikah dengan Elsa Manora Nasution.
Well, mereka udah cerai sih sekarang, tapi... Lho" kok jadi ngomongin itu ya" Pokoknya
menurutku, Tante Wenny dan Tante Sissy nggak lagi heboh pada bulutangkis karena nggak ada
lagi Ricky Subagdja. Dan jelas mereka nggak ngefans Taufik Hidayat.
-fans pada The Moffatts, Westlife, bahkan F4 (!!!), ujung-ujungnya aku balik lagi ke bulutangkis.
Untungnya, ketika masuk SMA, aku nekat ikut ekskul bulutangkis, dan Mama sama sekali
nggak menentang. Mungkin karena beliau menganggap itu bagian dari pelajaran sekolah, atau
mungkin beliau yakin kesempatanku jadi atlet sudah tertutup karena aku sudah terlalu tua untuk
itu, I dunno. Yang pasti, aku senang banget karena masih bisa main bulutangkis.
Tapi yah... memang kesempatanku untuk jadi seperti Ricky Subagdja dan Rexy sudah
tertutup, jadi lebih baik kunikmati saja hidupku yang sekarang.
*** Aku mengangkat alis dan menatapnya. Heran, kami sudah pacaran sejak kelas 10, dan dia
masih menanyakan hal itu" Bukannya udah jelas, ya"
Kayaknya Albert menyadari konsep balas-pertanyaan-dengan-pertanyaan yang kusodorkan
dengan baik, karena ia langsung diam.
ikut cheerleaders Aku, yang sedang minum dari botol minumku, langsung tersedak. Air menumpahi bagian
depan baju seragamku, dan sedikit menciprati dasbor mobil Albert.
Wh... WHAT" Cheers" Nope.
cheers bagus untuk melatih keseimbangan tubuh. Dan kamu kan jadi bisa
I do support you, Al. But pom-pom-less, you know.
kira aku nggak mendukungnya, ya" Aku selalu nonton setiap kali dia ada pertandingan, dan
mendukungnya dari pinggir lapangan. Aku hanya nggak suka melakukannya sambil mengenakan
kostum cheerleaders dan bawa-bawa pom-pom.
Jangan salah, aku menghargai cheerleaders. Memang sih, konsepnya terkesan agak dipaksakan
sejak demam Bring It On melanda Indonesia, tapi itu tetap bidang yang positif, kan" Dan
membuat pilihan ekskul di sekolah-sekolah jadi makin variatif.
. Aku kapten basket, dan kamu bisa jadi kapten cheers.
cheers sekolah kami -kucluk masuk cheers dan merebut
Pelan-pelan, bertahap. Aku
yakin kamu pasti bakal lebih bagus daripada Cynthia, dan anggota-anggota yang lain bakal milih
Aku diam. Bukan cuma sekali ini Albert berusaha membujukku untuk masuk cheers. Awalawalnya aku selalu menanggapinya sambil tertawa, tapi lama-lama aku jadi kesal juga. Bayangin
aja, kamu dipaksa-paksa untuk meninggalkan bidang yang kamu cintai sejak kecil untuk masuk
ke dunia baru yang kamu nggak suka. Pasti nyebelin banget, kan"
sadar aku nggak suka sama topik pembicaraannya.
Aku masih tetap diam. Biar aja aku ngambek sedikit. Albert nyebelin sih!
-keras, campuran antara bingung dan kesal.
-sekali aku minta kamu melihat dari sudut pandang aku.
Aku sering iri sama Rifat. Setiap kali tanding, dia selalu disemangatin Cynthia dengan cheers-nya.
Kamu tahu nggak, sejak Rifat jadian sama Cynthia,. permainannya makin bagus, poin yang dia
cetak makin banyak. Itu karena dia tahu ada pacarnya yang nyemangatin dia di pinggir lapangan.
Coach Wondo aja bilang, Rifat sekarang makin bagus. Bukannya aku takut suatu hari Rifat bakal
menggeser posisiku seba cheers Aku turun dari mobil Albert, dan dengan hati kesal berjalan menuju kelas. Untung aja tadi
waktu Albert ngomong begitu, mobilnya sudah berhenti di parkiran sekolah kami. Kalau nggak,
bakal nggak asyik banget aku ngambek sambil berusaha nyetop angkot untuk ke sekolah!
*** Aku nggak menjawab, hanya memberi isyarat dengan daguku pada Albert yang berjalan
memasuki kelas di belakangku. Sejak turun dari mobil, Albert nggak berusaha mengajakku bicara
lagi. Mungkin dia juga lagi kesal, sebodo amat. Lagian, ada bagusnya nggak saling bicara dulu
kalau kepala kami sama-sama masih panas.
Adisty menunggu Albert keluar kelas lagi (Albert memang biasa begitu, pagi-pagi datang
hanya taruh tas di kelas, lalu cabut ke lapangan basket sampai bel berbunyi), kemudian Adisty
membombardirku dengan rentetan pertanyaan.
cheers lebih suka bulutangkis dibanding cheers" Dan lagi, gue sama Albert itu bukannya baru satu-dua
minggu pacaran, tapi udah dua tahun. Harusnya dia tahu dong apa yang gue suka dan nggak
suka" Gue capek dipaksa-manggut. Sebagai sahabatku sejak SMP,
Adisty tahu banget aku nggak mungkin memilih cheers kalau ada pilihan bulutangkis sebagai
ekskul di sekolah ini. Bulutangkis itu bukan cuma hobi buatku, tapi seperti... hasrat. Impian.
Obsesi. Gimana ya... aku juga bingung ngejelasinnya.
Aku tersenyum kecut. Banyak orang menyebut permainanku bagus. Aku bisa mengembalikan
Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bola-bola yang sulit, bisa netting dengan halus, punya fisik yang kuat untuk bermain tiga set, dan
defense-ku saat menghadapi serangan lawan pun kokoh.
Tapi itu saja nggak bisa membuatku jadi atlet, kan" Ada ribuan remaja seusiaku di Indonesia
ini yang mungkin memiliki ambisi yang sama. Dan mayoritas di antara mereka juga memiliki
kelebihan yang tak kupunya: pengalaman bertanding, dan pembinaan sejak kecil.
Aku pernah baca di koran, mayoritas atlet bulutangkis top Indonesia masuk klub sejak usia
sepuluh tahun. Sejak itu, mereka terus berlatih keras setiap hari. Bahkan banyak yang setelah
lulus SMP terpaksa meneruskan pendidikannya di Pelatnas, agar bisa konsentrasi di bulutangkis.
Lihat kan, itu bukan perjuangan beberapa bulan doang. Butuh proses bertahun-tahun. Dan
banyak banget pengorbanan, mulai dari pendidikan, masa hura-hura remaja yang ungkin harus
ditaruh di urutan ke sekian, sampai harus mandiri dan tinggal jauh dari ortu. Dulu waktu kecil
aku nggak memikirkan semua itu. Aku hanya punya tekad dan impian. Sekarang, setelah remaja,
aku tahu nggak semua segampang yang aku bayangkan. Nggak semua cita-cita bisa terwujud.
Termasuk di dalamnya, aku harus bisa menerima bahwa cowokku lebih suka aku bergabung
dengan tim cheers daripada main bulutangkis. Nasiiibb!
*** Rupanya kekesalanku pada Albert masih berlanjut hingga sore harinya.
Hari ini hari pertama ekskulku di tahun ajaran baru. Sebagian besar sparring partner
bulutangkisku saat kelas 11 ternyata juga masih mengambil ekskul ini. Dan setelah sesi
game yang mudah. Semuanya
membawa kemenangan straight set buatku.
Aku heran kenapa bisa bertenaga kuda sore ini. But I guess, itu karena aku membayangkan
setiap shuttle cock yang mengarah ke arahku sebagai samsak tempat pelampiasan kekesalanku
pada Albert. Aku langsung memukulnya tanpa ampun. Dan hasilnya, smash tajam yang nyaris
nggak bisa dikembalikan lawanku. Kalaupun bisa, pengembaliannya nggak sempurna, sehingga
menyangkut di net. menatapku sambil ngos-ngosan. Keringat masih membanjir di dahinya.
tadi, satu jam sebelum ekskul hari ini mulai.
energy booster lson menyambung. Dia yang kukalahkan
pertama tadi. Eh, jangan kaget, aku aku memang biasa main lawan anak cowok. Bukannya apaapa, tapi kadang temen-temenku yang sesama cewek suka malas ngejar bola. Nggak seru jadinya.
Lagian, banyak dari mereka yang lebih suka nitip absen doang pas ekskul, lalu langsung ngacir
untuk nongkrong di warung jus depan sekolah.
ket terkenal, hihihi... untuk tenis. Ada juga yang untuk bulutangkis, tapi dikit banget. Kalah pamor dibanding Yonex.
Wilson langsung mengkeret mendengar ejekan Sharleen. Tapi sedetik kemudian ia tertawa
juga, karena seisi sports hall tempat kami berlatih juga tertawa.
Aku menoleh, dan melihat Pak Richard, pelatihku, melambaikan tangan. Aku mengangguk,
meletakkan botol minumku kembali ke dalam tas, lalu berjalan menghampirinya.
-aling. Aku menelan ludah. Dari mana Pak Richard bisa tahu"
Aku melongo. Nggak konsen gimana" Aku baru saja mengalahkan tiga sparring partnerku, dan
dua di antaranya cowok! Semuanya dengan straight set, dua game langsung!
Kacau..." si waktu bermain tadi. Ada bola tinggi sedikit, kamu
bawaannya selalu kepingin men-smash
mematikan bola begitu ada kesempatan, kan" Itu yang saya lakukan tadi, menyambar setiap
rubber set, staminamu bakal
drop Aku terdiam. Memang untuk pemain cewek, apalagi pemain tunggal seperti aku, stamina
sangat penting. Pemain tunggal putri umumnya jarak melakukan smash, untuk menghemat
tenaga. Sebagian besar hanya mengandalkan drop-shot tajam, atau penempatan bola yang akurat
melalui tipuan yang tak disangka lawan, bukan smash-smash keras.
semakin ngotot. Gimana sih Pak Richard ini, aku merasa sedang bagus-bagusnya, kok dia bilang
permainanku kacau?" meliha Aku berdiri kaku, memainkan senar raket yang kupegang dengan gelisah. Ini raket Yonex
ArcSaber kesayanganku, yang harganya naujubile, dan kubeli dengan susah payah karena harus
menghemat uang jajanku selama tiga bulan. Biasanya raket ini selalu kupegang dengan sayang,
seperti seorang violis menyentuh lembut biolanya, tapi kali ini aku meremasnya kuat-kuat.
membawa masalah ke lapangan, ya" Permainanmu akan jadi kacau.
Dan Pak Richard berlalu pergi sambil membawa clipboard-nya, meninggalkanku dengan
*** Pulang sekolah, aku mendapati ada Tante Wenny di rumah, plus dua bontotnya alias para
sepupuku, Adel dan Alex. Ternyata, hari ini Tante Wenny cuti dari bank tempatnya bekerja,
karena ia mengantar Adel ikut audisi Idola Cilik!
-berat, Aya. Semuanya hebat. Ada temen
les Adel di Gita Nada, namanya Lisa, yang juga ikut audisi tadi. Dia biasanya selalu juara satu
Aku manggut-manggut. Adel memang dileskan piano dan vokal di Gita Nada, salah satu
lembaga kursus musik yang cukup terkenal. Alex juga, tapi karena dia masih berumur lima
tahun, nyanyinya masih nggak jelas. Tapi Adel suaranya bagus, tinggi dan jernih, kayak suara
Gita Gutawa. Well, yang suara kayak dia aja nggak lolos, ya"
-tiba. Tante Wenny melongo selama beberapa detik, lalu mengibaskan tangannya.
penyanyi sekaligus. Kalau les bulutangkis, nanti mereka malah banyakan capeknya, dan jadi
Aku melihat Adel dan Alex yang lagi rebutan remote TV dengan Lionel, adik bungsuku. Beda
dengan aku dan sepupu-sepupu yang lain, dua anak Tante Wenny ini memang kurus. Dari kecil
mereka sulit makan, dan daya tahan tubuhnya lemah (yang mengakibatkan mereka gampang
sakit, apalagi kalau kecapekan). Sekarang sudah mendingan, tapi aku tetap bisa mengerti alasan
Tante Wenny. Nggak semua orang punya badan badak tahan banting kayak aku.
-atlet yang bagus, yang juara.
Gimana kalau mereka jadi atlet yang biasa-biasa aja" Yang melempem" Dilirik sama Pelatnas aja
udah bagus Aku menelan ludah. Dalam hati, aku agak nggak setuju. Kalau mau jadi atlet, seharusnya
bermental juara. Punya mimpi, tekad. Jangan belum apa-apa udah mundur teratur begini! Aku
dulu mundur bukan karena kemauanku sendiri, tapi karena aku memang nggak mau jadi anak
durhaka, yang ngelawan Mama karena nggak diizinkan masuk klub bulutangkis. Nggak lucu
kalau aku dikutuk jadi batu sambil pegang raket. Salah-salah, nanti malah dipajang di Istora
Senayan. lai kehilangan orientasi pembicaraan, dan jadi ngawur.
masih muda, masih mikir fun-fun aja. Tapi sekarang Tante tahu, merelakan anak jadi atlet itu
bukan hal yang gampang. Jadi atlet itu sama dengan tanda tangan kontrak seumur hidup.
Mereka akan mencurahkan seluruh hidup mereka untuk latihan dan pertandingan. Sekolah bakal
ditaruh di urutan ke sekian. Dan kembali lagi ke alasan Tante yang tadi, seandainya mereka jadi
atlet yang nggak berhasil, sudah terlambat untuk berbalik arah. Untuk sekolah lagi, pasti sudah
Aku mati kutu. Mungkin inilah dulu alasan Mama melarang aku masuk klub bulutangkis.
Mungkin Mama takut aku gagal, dan masa depanku akan jadi nggak jelas....
*** Albert kayaknya nggak betah berantem lama-lama sama aku. Malam itu, tepat setelah Tante
Wenny, Adel, dan Ales pulang, Albert muncul di depan pintu rumah. Bawa sogokan yang sangat
menggoda iman pula. Ferrero Rocher.
Aku menimang-nimang kotak cokelat mahal itu darinya dengna hati masih mengganjal. Enak
banget ya jadi cowok. Kalau habis bikin cewek marah, tinggal datang bawa cokelat, boneka, atau
bunga, dan pasang tatapan innocent ala Shinchan, pasti bakal langsung dimaafin.
angkat kotak cokelat itu. Aku nggak ngarang, kemarin memang aku dari sana, dan cokelat-cokelat berbungkus emas
ini dipajang di dekat kasir dengan display megah, plus papan yang menuliskan special price-nya.
Albert kayak mau keselek. Tengsin banget kali ye, minta maaf sama ceweknya yang lagi
ngambek kok bawa-bawa cokelat diskonan.
Dasar cowok, harga dirinya setinggi Monas! Ya udahlah, nggak pa-pa. Beli diskonan di
Hypermart pun harganya masih gocap lebih, lumayan menunjukkan niat Albert untuk minta
maaf. Dan kalau dia datang tanpa bawa ini pun, aku pasti bakal maafin. Buatku, yang penting
dia udah niat mau minta maaf dengan tulus.
kok. Albert langsung sumringah.
Albert nyengir sambil garuk-garuk kepala. Aku nggak bercanda lho, aku memang lebih suka
Apollo Roka, cokelat berbentuk bola dengan kacang buatan lokal, yang harga satu stoples
besarnya (mungkin isi 50 atau 100, aku lupa) sama dengan harga enam biji Ferrero Rocher.
- Albert mengangguk, lalu mengekorku masuk rumah. Mungkin ini salah satu yang bakal bikin
aku pikir-pikir lagi kalau mau putus sama dia: Mama dan Papa sudah kenal baik, Albert, dan
sayang banget sama dia. Aku malah mikir jangan-jangan kalau Albert ngelamar aku besok pun,
dia bakal diterima. Zaman sekarang, nggak gampang cari cowok yang bisa meluluhkan hati
ortumu. *** Banyak orang bilang aku cantik.
Aku nggak GR atau apa lho, tapi memang begitulah yang sering kudengar.
Dulu, aku sering ngaca dan membatin sendiri, benar nggak sih aku ini cnatik" Dan cermin
memantulkan bayangan wajah oval berkulit putih dengan mata sipit yang cantik, hidung mungil,
dan bibir tipis yang berwarna pink asli, yang sama sekali nggak butuh polesan lipstik. Nggak
jelek, memang. Waktu year 10, Adisty malah memaksa-maksaku ikut pemilihan model di sebuah majalah
remaja. Jelas aja kutolak menta-mentah. Gimana ya...
ea (kalau dia mengajakku ikut turnamen bulutangkis, tanpa banyak cincong pasti aku langsung setuju!).
Adisty merengek-rengek waktu itu. Katanya dia juga kepingin ikut, tapi takut kalau nggak ada
temennya. Akhirnya aku ikut juga pemilhan model itu, karena Adisty pasang aksi ngambek
dengan nggak mengajakku bicara selama seminggu. Dasar anak tengil, begitu aku bilang aku
setuju ikut pemilihan bareng dia, dia langsung memelukku seolah aku ini baru pulang dari
Zimbabwe setelah satu dasawarsa.
Aku dan Adisty akhirnya bikin foto untuk syarat pemilihan model itu di studio foto dekat
rumah Adisty. Foto-foto Adisty hasilnya bagus banget, menampakkan wajah sumringah model
iklan odol, sementara wajahku kayak model iklan obat pelancar BAB, sepet, dikombinasikan
dengan meringis. Nggak banget pokoknya! Dan berhubungan bukan aku yang niat untuk ikut
pemilihan itu, akhirnya formulirku pun diisi dengan tulisan tangan Adisty. Dia juga yang niat
mengukur linggar pinggang, dada, dan pinggulku dengan meteran jahit punya neneknya.
Tapi coba tebak, siapa yang berhasil masuk unggulan pemilihan model itu" Eng ing eng...
AKU! Hebat banget bagaimana mata para juri itu mengalami katarak dadakan sehingga
meloloskanku, sementara Adisty langsung gugur di saringan pertama. Dan percaya nggak
percaya, aku malah berhasil melaju sampai semifinal! Tapi hanya smapai di situ aku langsung
rontok, karena untuk jadi finalis diadakan penjurian face-to-face
kelihatannya langsung menghancurleburkan niat para juri pemilihan model sampul itu untuk
meloloskanku ke babak selanjutnya. Rupanya mereka bisa melihat bayang-bayang kehancuran
majalah mereka di masa depan kalau masih niat memajangku di sampulnya, hehehe... Ditambah
lagi, saat acara unjuk bakat, ketika peserta-peserta lainnya menyanyi, akting, bahkan nekat
melukis dalam waktu singkat untuk para juri itu, aku malah kepingin mendemonstrasikan
kelihaianku melakukan jumping smash. Jelas aja mereka keder. salah-salah nanti kepala mereka
yang kena shuttle cock. Jangan salah, kecepatan jumping smash ada lho yang 300 km/jam.
Walaupun smash-ku mungkin nggak sampai setengahnya.
Jadi yah... begitulah, aku dengan senang hati pulang ke rumah setelah penjurian itu, tahu
pasti bahwa aku nggak akan dihubungi lagi oleh redaksi untuk penjurian selanjutnya. Banyak
yang menyayangkan karena aku membuanggan terangterangan menyebutku tolol karena sudah menghilangkan peluang merintis jalan baginya, yang
ingin ikut pemilihan itu tahun depan). Yeah, kesempatan apanya" Kalau ada Susi Susanti
menawariku privat selama sebulan dan peluang ikut seleksi nasional untuk bisa masuk Pelatnas,
itu baru namanya kesempatan!
Tapi yah, setelah acara pemilihan model yang terpaksa kuikuti itu, aku jadi nggak lagi
menatap aneh setiap ada yang bilang aku cantik. Paling-paling aku hanya akan nyengir GR dan
bilang makasih. Bisa sampai babak semifinal pemilihan model sampul majalah remaja paling top
seantero Indonesia jelas membuktikan aku memang nggak jelek-jelek amat.
Thomas & Uber Cup 2008
AKU melonjak-lonjak girang begitu bangun pagi ini. Hari ini, turnamen Thomas dan Uber Cup
2008 bakal dimulai! Yeeeesssss!
For your information nih, Thomas-Uber Cup adalah kejuaraan beregu bulutangkis. Thomas
untuk cowok, Uber untuk cewek. Diselenggarakannya tiap dua tahun sekali, dan kebetulan
tahun ini diadakan di Indonesia! Aku bener-bener excited menyambut turnamen tahun ini.
Soalnya, gengsi Thomas-Uber itu selevel dengan Olimpiade. Of course, aku berniat bakal nonton
langsung di Istora Senayan. Apa gunanya tinggal di Jakarta dan jadi badminton mania kalau aku
melewatkan event kali ini"
Jam satu siang, Papa mengantarku ke halte busway blok M. Aku memang berinisiatif untuk
naik bus Transjakarta dari sini sampai halte Senayan. Soalnya, kasihan Papa kalau harus
mengantarku sampai Istora. Rumahku kan di Bintaro, yang lumayan jauh dari Senayan. Bakal
boros bensin banget, kan" Ingat global warming cuy, lebih baik menggunakan transportasi
umum. Di halte busway Senayan aku turun, dan ternyata Wilson, Charles, serta Sharleen sudah stand
by di sana. Kami memang janjian ketemu di sini, baru ke Istora bareng-bareng.
Waktu kami sampai di Istora, ternyata suasananya nggak begitu rame. Mungkin karena masih
babak pertama kali ya" Kami beli tiket di loker dan langsung masuk. Partai pertama (tunggal
putri) antara Indonesia dan Jepang bakal dilangsungkan sebentar lagi, antara Maria Kristin
Yulianti dan Eriko Hirose.
Aku duduk di salah satu tribun, dan jumpalitan sendiri selama pertandingan. Aku memang
agak norak kalau nonton bulutangkis, bisa jerit-jerit sendiri. Orang rumah suka rese kalau lihat
aku nonton bulutangkis di TV, karena aku suka tegang dan histeris berlebihan. Kayak terlalu
menghayati, gitu. Tapi sebodo amat, nggak pernah dengar namanya orang nge-fans, ya" Toh aku
nggak pernah protes juga kalau Claudia, adik cewekku yang masih SMP itu, heboh nonton Nidji
di TV. Dan aku juga nggak pernah ngomel kalau Lionel norak nonton Barney, padahal, please
deh, itu kan cuma boneka dinosaurus!
Jadi, mana yang lebih wajar: histeris karena nonton pertandingan olahraga, atau karena
nonton Nidji dan Barney"
Nah, balik lagi ke pertandingan live di hadapanku sekarang. Maria Kristin akhirnya harus
menyerah melawan Jepang. Walaupun dia berhasil merebut game pertama, dia kalah di dua game
selanjutnya. Aku lesu, tapi tetap optimis Indonesia bakal bisa merebut partai berikutnya.
Hmm, kujelaskan sedikit lagi. Di babak penyisihan Uber Cup ini akan ada lima partai yang
dipertandingkan antar dua negara. Pertama, tunggal putri, lalu ganda putri, terus tunggal lagi,
ganda lagi, dan terakhir tunggal lagi (untuk Thomas Cup sama, hanya saja yang main cowok).
Yang berhasil merebut tiga partai duluan, dia yang menang. Tapi biasanya untuk penyisihan
akan dimainkan sampai habis lima partai. Kalau sudah sistem gugur, seperti babak perempat
final, semifinal, dan final, pertandingan diakhiri kalau ada tim yang sudah merebut tiga partai
duluan, jadi kalau sudah ada yang kedudukannya 3-0 atau 3-1, ya partai berikutnya nggak usah
dimainkan lagi, karena sudah jelas siapa yang melaju ke babak berikutnya, kan"
Sekarang partai kedua, ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa/Lilyana Natsir. Asal
tahu aja, kedua orang ini sebenarnya bukan pemain ganda putri, tapi ganda campuran. Dan
bukan ganda campuran ecek-ecek juga. Vita bersama Flandy Limpele ada di peringkat tiga dunia.
Lilyana jangan ditanya, dia berhasil menduduki posisi puncak bersama Nova Widianto. Hanya
saja, aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dua pemain cewek ganda campuran ini dipasangkan jadi
ganda putri. Kesannya kayak coba-coba banget, gitu. Tapi kalau aku nggak salah, mereka justru
berhasil meraih juara di China Open tahun lalu! Weits, baru dipasangkan, tahu-tahu juara. Siapa
yang nggak kagum" Sudah menjadi rahasia umum, prestasi pebulutangkis putri Indonesia sangat jeblok
belakangan ini. Di Olimpiade 2004, kita bahkan nggak mengirimkan wakil di sektor putri sama
sekali. Aku miris banget waktu melihatnya, karena seolah kita sudah nggak punya harapan lagi
dari sektor putri sejak pensiunnya Susi Susanti dan hijrahnya Mia Audina ke Belanda.
Tapi untunglah, tim Uber Indonesia bisa lolos ke putaran final kali ini. Kayaknya mereka
memang nggak ditarget terlalu tinggi. Mungkin berhasil sampai perempat final pun sudah bagus.
Ya iyalah, secara tahun 2006 kita bahkan nggak lolos kualifikasi! Jadi kali ini berhasil masuk
penyisihan pun udah lumayan.
Aku dan Sharleen bengong-bengong tegang sewaktu melihat Vita/Lilyana melawan Satoko
Suetsuna/Miyuki Maeda. Buset, mereka memang layak banget menjuarai China Open tahun
lalu. Permainan mereka keren banget, defense-nya bak tembok, dan smash-smash-nya,
omaigaatttt... are they really women" Tenaga mereka kayak mesin giling!
Dan tiba-tiba aku seperti tersadar... Pak Richard waktu itu benar. Aku memang mengalahkan
Sharleen, Wilson, dan Charles, tapi semua seranganku penuh emosi, gara-gara aku lagi kesal
sama Albert. Sedangkan sejuta serangan yang dilancarkan Vita/Lilyana sangat terkontrol.
Kelihatan sekali mereka pebulutangkis profesional, mainnya nggak pakai emosi, tapi pakai otak.
Mendadak, aku jadi merasa bersalah banget, sudah membantah Pak Richard waktu itu.
*** lonjak riang di sebelahku saat kami keluar dari Istora. Indonesia baru saja mengganyang Jepang
4-1, skor yang nggak pernah kuduga sebelumnya.
aja mungkin nggak bisa jumping smash kayak mereka. Badannya pada kecil mungil, tapi mainnya
-geleng kepala. tapi, pada laper nggak sih" Gue terakhir makan pas istirahat tadi siang di kantin. Perut gue udah
Aku tertawa. Dasar si Raket, suka nggak nyambung. Orang lagi ngebahas pertandingan, kok
dia malah tiba-tiba ngebahas makan.
Char Aku memang lagi senang banget karena tim Uber Indonesia bisa menang. Memang baru
babak penyisihan pertama, tapi rasanya sudah kayak juara aja. Tim bulutangkis cewek Indonesia,
yang selama ini diremehkan, dipandang sebelah mata, berhasil melindas Jepang 4-1. Nyaris 5-0!
Jadi kupikir, bagus juga kalau rasa senangku itu kulampiaskan dengan mentraktir temantemanku.
Wow, aku bisa melihat dengan jelas jakun Wilson dan Charles yang bergerak sewaktu mereka
Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menelan ludah. Dan aku juga jadi merasa bego... Aku tadi bilang mau nraktir Duck King"
Nggak salah nih" Aku cuma bisa cengar-cengir bego mendengarnya.
*** Kami akhirnya makan mi ayam di salah satu gerobak PKL yang berjualan di sekitar Istora. Kalau
lagi ada event gini, memang PKL langsung menjamur. Jeli banget melihat peluang, tahu bakal
ada anak-anak SMA macam kami yang keroncongan setelah histeris selama menonton
pertandingan. -elus perutnya. Dia baru menghabiskan dua porsi, katanya mumpung ditraktir. Dasar nggak mau rugi.
menyendok kuah bumbu mi ayam itu sampai tetes terakhir.
Bang Joko deh... ora tuku, alias gratis! menatapnya sambil melongo. Garing banget si Charles!
Sambil menunggu Charles menyelesaikan makannya (dia paling bontot kelarnya karena
kebanyakan ngoceh dari tadi), aku, Sharleen, dan Wilson membahas pertandingan tadi lagi.
Kayaknya emang nggak ada habisnya, sekaligus mengejutkan. Aku sampai sekarang masih belum
percaya Indonesia menang dengan skor besar.
Saat kami asyik ngobrolin pertandingan tadi, seorang cewek datang dan duduk di sebelahku.
Dia memesan mi ayam pada abang penjualnya, lalu sibuk mengamat-amati display kameranya.
Aku nggak tahan untuk nggak mengintip sedikit. Wow, kameranya canggih! Ada lensa
panjangnya. Apa sih namanya itu" DSLR, ya" Gile, itu kan bukan kamera buat mainan! Refleks,
aku meraba digicam Sony DSC-T200 yang ada dalam tasku, yang hanya kupakai buat foto-foto
narsis, jelas nggak bisa dibandingkan dengan kamera yang dipegang cewek itu.
Karena penasaran seperti apa hasil foto yang diambil oleh kamera canggih macam itu, aku
terus menjulurkan leher. Mungkin sudah persis ibu-ibu tukang gosip yang mengintip dari balik
pagar pembatas rumah tetangganya.
Wah, gila! Foto-fotonya keren! Ada Maria Kristin saat hendak serve, Jo Novita yang sedang
jumping smash, Pia Zebadiah...
Aku langsung melonjak kaget, seolah berada dalam film kungfu mandarin zaman baheula,
dan ada penekar yang baru membebaskan totokan di tubuhku. Cewek itu menatapku penuh
selidik, mungkin juga merasa nggak nyaman.
foto lo keren-pa kok. Thanks anyway, udah
genggamannya dengan sayang.
-jangan dia... nyolong" Shuttlers mengulurkan tangannya. -benar ngawur. Dia ini wartawan,
-temanku satu per satu. Shendy
melambai sedikit, menyapa mereka. Semua temanku membalas dengan senyum.
More than food. August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu... gue
menggaruk kepalaku dengan wajah bodoh.
August Rush -pa, kan" Habis ini gue harus ngeliput lagi soaln
Shendy mulai makan, tapi juga sambil mengajakku ngobrol. Wilson, Charles, dan Sharleen,
karena duduknya agak jauhan, jadi ngobrol sendiri waktu aku ngobrol sama Shendy.
- Shendy terdiam sebentar, lalu manggut-manggut dan menyuapkan mi ke mulutnya lagi.
Second one banget nonton bulutangkis live, tapi mahasiswi bokek kayak gue bisa makin bangkrut kalau
nekat nonton setiap pertandingan dengan beli tiket. Lo tahu sendirilah tiket turnamen sekarang
nyengir Shuttlers. Kenalnya pas nonton turnamen juga. Dan pas ngomong bulutangkis ternyata nyambung. Dia bilang
pengetahuan gue lumayan, dan kebetulan majalah dia lagi nyari wartawan part-time juga. Dia
nyuruh gue ngirim contoh tulisan, gue coba... eh keterima! Lumayan, kalau wartawan kan selalu
dapet ID card pas turnamen-turnamen begini, jadi gue nggak perlu beli karcis penonton lagi,
Aku mendengar penjelasan Shendy dengan terpesona, dan pandanganku jatuh pada ID card
untuk awak media yang tergantung di lehernya. Wow, asik juga ya... nggak perlu keluar duit,
dibayar untuk bekerja di bidang yang disukainya, dan bakal punya akses ke player area pula. Cool
banget! Shendy melirik jam tangannya, dan terkaget-kaget sendiri.
Nice to meet you! Cewek itu membayar makanannya, melambai pada aku dan tiga temanku, lalu berlari kembali ke
gedung Istora. Ransel hitamnya yang besar bergoyang di punggungnya saat dia berlari.
Hmm... jadi wartawan part-time kayaknya asyik banget.
*** Sebenarnya aku kepingin melanjutkan nonton Thomas Cup di Istora malam harinya, yang
digelar setelah pertandingan uber Cup, tapi jerat otoriterisme bernama sekolah menahanku.
Besok aku ada ulangan fisika, sh*t! Alhasil, aku terpaksa menyeret diriku pulang dan nonton dari
TV doang, sambil belajar fisika pula! Nggak asyik banget, karena aku membayangkan di Istora
pasti jauh lebih seru dibanding di ruang keluargaku, yang penghuninya selain aku cuma Claudia,
Lio, dan Sus Ita, babysitter yang bertugas mengurus Lio.
Ditambah lagi, Claudia bawel mulu dari tadi.
Indonesia p Aku mengalihkan pandanganku dari layar TV, yang menayangkan pertandingan Thomas
Cup antara Indonesia vs Thailand, untuk menatap Claudia dengan sengit.
game pertama! Partai pertama! Masih ada empat partai
Aku cemberut. Enak aja ini anak bikin prediksi kelas teri!
soft starter! Dia emang suka lambat di awal, tapi
lihat aja di game at bulu ayam ditepokwhatever lah ya, yang penting gue bosen nontonnya. Lo norak lagi, di depan TV aja
Claudia melakukan manuver kilat untuk merebut remote yang kupegang, tapi ternyata terbiasa
main bulutangkis memberiku gerak refleks yang sempurna. Remote itu sudah berada di balik
punggungku sebelum Claudia sempat merebutnya.
posisinya nggak menguntungkan, karena pantatnya malas beranjak dari sofa tempatnya duduk. Alhasil, dia
setengah nungging setengah meregangkan tubuh, untuk merebut remote dariku.
ricuhan ini. Kecil-kecil sudah mempraktikkan peribahasa memancing di air keruh! (Lagian mana ada Barney
tayang jam segini!) Claudia akhirnya mengejar-ngejarku keliling ruang tamu untuk memperebutkan remote.
Hebat, kami serasa flashback ke sepuluh tahun lalu, saat kami masih demen rebutan baju Barbie
yang paling bagus, dan selalu kejar-kejaran setiap yang satu berhasil mendapatkan yang
diinginkan pihak lain. SMS SMS... HP Claudia berbunyi, menandakan SMS masuk. Aku menghela napas lega, dan menjatuhkan
diriku di sofa. Lumayan, break kejar-kejaran sebentar. Lagi-lagi, terbiasa main bulutangkis
memberiku keuntungan fisik. Napasku masih tetap stabil, sementara Claudia membaca SMS di
HP-nya dengan napas yang sudah Senin-Kamis.
infotainment RCTI! Siniin remote-nya, Aya! Siniin!
Claudia melempar HP-nya begitu saja ke sofa, dan kembali mengejarku untuk merebut
remote. Sayang, injeksi dari teman Nidjiholic-nya yang memberitahukan ada Nidji di RCTI
ternyata sanggup membuat Claudia makin brutal untuk merebut remote. Dia berhasil menyamai
kecepatanku berlari sampai akhirnya berhasil merebut remote. Tapi ketika dia mengganti channel
ke RCTI, acara infotainment-nya sudah habis.
Claudia melempar remote TV kembali padaku, dan aku dengan girang mengganti kembali ke
Trans TV, yang menayangkan Thomas Cup.
Tapi ternyata... pertandingan Sony vs Bonsak Ponsana pun sudah selesai. Dan Sony kalah.
an kesempatan itu untuk balas dendam padaku. Sialaaaannn!
*** Tim Thomas Indonesia akhirnya memang menang melawan Thailand, tapi skornya hanya 3-2.
Mmm... skor yang kurang memuaskan, karena di atas kertas, tim Thomas Indonesia seharusnya
bisa mengatasi Thailand tanpa kesulitan. Untung aja Simon Santoso menang di partai terakhir,
kalau nggak... malu deh Indonesia, bertanding di kandang sendiri kok malah keok.
Memang sih, kalau kalah nggak akan langsung gugur, karena ini masih babak penyisihan
grup. Tapi tetap aja kekalahan itu bakal memalukan banget, apalagi untuk tim yang
menargetkan merebut Thomas Cup tahun ini.
Walau Badai Menghadang dan Bu Irma hengkang dari kelas. Asal kalian tahu ya, aku mengerjakan ulanganku tadi dengan
ngawur total, karena setelah nonton Thomas Cup di TV kemarin, aku sama sekali nggak minat
belajar, terus berniat leha-leha sebentar, tapi akhirnya malah ketiduran sampai pagi. Begitu
bangun, aku langsung tergopoh-gopoh belajar. Tapi apa yang bisa masuk ke otak manusia yang
bahkan nyawanya baru terkumpul separo?""
dulu, mandi sa -garuk kepala. Wanda pacar
Charles, dan jelas aku nggak mungkin memaksa Charles tetap ke Istora saat dia kepingin
menghabiskan waktu sama pacarnya.
Dan mendadak, seolah punya radar dalam telinganya yang membuatnya muncul setiap kali
namanya disebut, Wilson sudah berdiri di belakangku.
Charles. rumah. Di kamar gue, Wilson langsung memelototinya dengan jenis tatapan bego-kata-kata-gue-tadi-kan-bukandalam-artian-sebenarnya.
Aku juga nggak pernah masuk ke kamar Wilson. Jangan salah, masuk ke kamar Albert aja aku
nggak pernah. Karena umumnya kalau ada tugas kelompok di kelasku, acara kerja kelompok itu
pasti diadakan di rumah anggota cewek, dan selalu di tempatatau ruang keluarga, untuk meminimalisasi kemungkinan kamu melihat barang-barang pribadi
temanmu yang sebenarnya tak ingin kaulihat, seperti kaus-kaus kaki bekas pakai berserakan
(untuk cowok), atau tumpukan rapi underwear di atas pakaian yang baru disetrika tapi belum
dimasukkan ke lemari (untuk cewek).
Charles memberikan bantuan untuk memacu daya imajinasi Sharleen. Dari caranya bilang begitu,
kayaknya Charles sering melihat kaus-kaus kaki berserakan di kamar Wilson.
Tapi Wilson rupanya nggak merasa terbantu, soalnya dia langsung memelototi Charles. Kali
ini dengan jenis tatapan nggak-usah-segitunya-kaleee!
menginterupsi Charles dan Sharleen yang makin error
Aku dan Sharleen cuma bisa manggut-manggut. Berarti hari ini bakal kurang seru dong,
karena jumlah tim hura-hura berkurang sampai separonya. Mungkin aku harus mengajak satu
orang lagi, biar rame sedikit. Dan saat itu Adisty masuk kelas, baru kembali dari acara ngabur
kilatnya ke kantin. Aku jelas nggak membuang-buang kesempatan.
kalau gue sama Sharleen doang, ntar nggak
melancarkan rayuan. Adisty kontan menggeleng, kayak aku baru menawarinya ikut ekspedisi ke lembah Kongo aja.
-bising gitu. Lagian gue nggak
ngerti bulutangkis sama sekali. Ntar yang ada gue malah bersorak waktu lawan yang dapat
Dari ekor mataku, aku bisa melihat Sharleen menahan tawa gelinya. Aneh memang, aku yang
badminton freak bisa bersahabat dengan Adisty yang, bisa dibilang, buta bulutangkis, tapi itulah
yang terjadi. Untuk urusan bulutangkis, aku memang nyaris nggak pernah melibatkan Adisty.
Sama seperti dia yang nggak pernah melibatkan aku dalam hobinya nonton konser musik jazz,
yang memang nggak begitu kusukai. Istilahnya mungkin kami berdua ini sudah saling
pengertian. Yaiiyy, caraku mengatakannya seolah kami in pasutri saja!
Tapi kali ini kasusnya berbeda. Mana asyik ke Istora kalau cuma berdua" Memang sih, di sana
bakal banyak suporter, tapi kan lebih asyik kalau kita juga bawa banyak teman.
merengek-rengek ke lo sama Sharleen biar kita cepetan cabut, padahal lo berdua mana mau
Aku terpaksa mengakui, Adisty benar. Ini sama saja dia menawariku ikut nonton JakJazz
bersamanya, tapi mungkin di tengah penampilan Syaharani aku bakal merayunya (Adisty
maksudku, bukan Syaharani) untuk ngabur secepatnya dari situ, karena aku sama sekali nggak
ngerti dan nggak bisa menikmati musik jazz.
Bukannya aku bilang jazz itu jelek atau apa lho ya. Ini hanya... tahu kan, masalah selera.
nggak pa*** Hari ini, tim Uber Indonesia dapat giliran main lagi. Lawan mereka lebih berat, tim Belanda.
Aku sudah semangat membayangkan Maria Kristin bakal melawan Yao Jie, tunggal pertama
Belanda yang sebenarnya adalah pemain kelahiran China. Yah, bukan rahasia umum memang,
banyak pebulutangkis China yang akhirnya hijrah dan bermain untuk negara lain, karena di
negaranya sendiri persaingannya sangat ketat. Kalau nggak benar-benar bagus, bakal tergusur
oleh pemain-pemain muda yang memang stoknya sangat melimpah. Kasusnya kurang-lebih sama
dengan di Indonesia, banyak pemain yang akhirnya jadi pemain atau pelatih di luar negeri, mulai
dari Singapura, Hong Kong, Malaysia, sampai Belanda. Yang paling membuatku prihatin adalah
waktu Rexy Mainaky, yang dulu bersama Ricky Subagdja berhasil membuatku jatuh cinta pada
bulutangkis, akhirnya pindah ke Malaysia untuk jadi pelatih di sana. Dampaknya, sekarang
Malaysia punya banyak banget ganda putra yang bagus, tentu saja hasil didikan Rexy. Bukannya
di Indonesia para ganda putranya jelek-jelek lho ya (mereka ganteng-ganteng kok... eh,
maksudku bagusnegara yang hilang, diambil negara lain. Kayak Pulau Sipadan dan Ligitan, huh!
Nah, cukup untuk curcol alias curhat colonganku. Aku dan Sharleen akhirnya sampai di
Istora, tepat sebelum partai pertama Indonesia vs Belanda dimulai. Tapi ternyata lawan yang
bakal dihadapi Maria Kristin bukan Yao Jie, melainkan Rachel Van Chutsen. Hmm... pemain
yang belum terlalu terkenal. Aku optimis Maria bakal menang.
Dan benar saja, Maria menang mudah. Straight set, lagi. Aku dan Sharleen langsung heboh.
Kalau tim Uber Indonesia bisa bermain seperti waktu menghadapi Jepang, bakal menang lagi
nih. Paling nggak 3-2 lah.
Waktu aku dan Sharleen masih heboh bersorak, ada yang mencolek punggungku. Sialan, di
Istora ada oom-oom hidung belang juga"!
Aku menoleh, sudah siap dengan semprotan makian di mulutku, tapi langsung tutup mulut
dan meringis malu begitu mendapati yang mencolekku tadi ternyata Pak Richard, pelatihku.
- Jelas, aku dan Sharleen nggak menolak. Kan kami memang lagi butuh tambahan anggota tim
penggembira. Lagian, kalau sama Pak Richard bakal asyik banget deh. Sambil nonton, bisa
sekalian dapat ilmu, soalnya Pak Richard suka sekalian membahas pertandingan yang
berlangsung. Serasa kita dapat komentator pribadi gitu.
tunggal terbaik Belanda. Aku manggut-manggut, dan teringat sesuatu.
Aku melongo. Kentut?""
da gas yang keluar dari tubuhku. Dan aku nggak merasa kentut!
Richard cengengesan. Aku langsung paham maksudnya. Siaul, pelatih satu ini ternyata iseng
juga. Bapak! Ya nggaklah, Pak! Nggak bonafide banget saya. Masa kentut di event
internasional kayak Thomas-pura cemberut. Sharleen jelas, sudah
terbahak-bahak. menang lawan yang lainnya, tapi pukulanbata. Memang nggak gampang mengakui kesalahan. Sorry seems to be the hardest word.
- Aku menceritakan soal Vita Marissa dan Lilyana Natsir yang kulihat melawan pemain Jepang
waktu itu. Tentang bagaimana mereka bisa mengontrol diri untuk nggak main pakai emosi.
-pa, Fraya. Lupakan saja. Kan memang sudah tugas Bapak sebagai pelatih
gsung plong. Aku dan Sharleen serempak melongo melihat Pak Richard yang ternyata jauh lebih heboh
dibanding kami berdua. Ya ampun, pelatihku ternyata norak juga.
*** Indonesia menang lagi. Dan kali ini sapu bersih, 5-0! Aku benar-benar girang, kayak orang
menang lotre. Yes, kami masuk perempat final dengan status juara grup! Yang berarti lusa bakal
menghadapi Hong Kong. Aaahh... nggak sabar rasanya. Kepingin cepat-cepat menonton aksi tim
Uber Indonesia yang mendadak berubah jadi superior!
Aku dan Sharleen berniat cari makan lagi di luar Istora. Sharleen ngebet kepingin mi ayam
yang kemarin lagi. Enak banget katanya. Aku nggak doyan-doyan amat sih, tapi nggak pa-pa lah,
biar kutemani Sharleen memuaskan ngidamnya. Sayang Pak Richard harus buru-buru pulang
setelah pertandingan selesai tadi. Dia bilang harus jemput istrinya. Jadi, aku dan Sharleen tinggal
berdua lagi. Waktu sampai di gerobak mi ayam yang kemarin, aku melongo. Ada Shendy, wartawan
majalah yang kemarin itu lagi. Wah, ternyata dia sama kayak Sharleen, kepincut mi ayam ini
juga. upa. Nama lo langka Aku nyengir. Memang dari dulu aku menyadari namaku nggak banyak yang punya. Seneng
aja gitu, nggak banyak yang ngembarin. Kan nggak lucu kalau ada kejadian kayak di kelas XII
IPA-3 di sekolahku, ada tiga cewek yang namanya sama-sama Melisa. Jadi kalau dipanggil
-tiganya. Bukannya aku bilang nama Melisa itu kodian lho, tapi tahu
kan, contoh kasus aja. Sharleen duduk lalu memesan mi ayam pada penjualnya.
Wah, ternyata beneran dia ingat naam semua temanku. Cuma naamku yang susah masuk ke
otaknya. Sharleen. Shendy ber-ooo ria. karena melihat kamera canggih Shendy
Shendy lalu menunjukkan hasil jepretannya ke aku dan Sharleen. Wow, harus diakui dia
ternyata memang kompeten untuk jadi wartawan merangkap fotografer. Hasil jepretannya
bagus-bagus semua. Aku nggak ngerti gimana caranya dia bisa dapat hasil foto yang bagus gitu,
Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padahal kan objeknya bergerak terus, dan jelas bukan dengan slow motion.
-cengir kesenangan. HP-ku mendadak bunyi, ada telepon masuk. Aku melihat layar, dan ternyata yang muncul
nama Albert. Hmm, biarpun pacaran, aku sama Albert memang sama-sama nggak punya panggilan sayang.
Kayaknya lebih enak aja manggil nama masing-masing gitu. Kedengarannya aneh ya" Soalnya
setahuku sih banyak temanku yang saling panggil babe, honey, sayang, atau sebangsanya itu
dengan pacar masing-masing. Tapi biar deh, mungkin memang aku dan Albert aja yang nggak
romantis. -kemarin, aku nonton ThomasAlbert diam, tapi aku bisa mendengar dia mendesah.
Aku memutar bola mataku. Mulai lagi dia. Padhaal baru kemarin aku maafin, kenapa
sekarang dia cari gara-gara lagi" Kok dia nggak ngerti juga sih aku ini cinta mati sama
bulutangkis" mungkin dong aku nyia-nyiain kesempatan untuk nonton live
Bukannya aku mau bikin dia kesal, tapi aku cuma kepingin dia bisa memosisikan dirinya sebagai
aku. Albert diam lagi. Mungkin dia nggak bisa menjawab pertanyaanku.
Dan aku langsung memutuskan sambungan. Nanti kalau sudah sampai rumah, aku harus
telepon dia, katanya" Yang bener aja! Cuma untuk mendengar dia mengeluh dan ngomel lagi
soal kegilaanku pada bulutangkis" Nggak deh, makasih banyak.
menguping. Hmm, kayaknya cewek ini nggak cuma pantas jadi wartawan, jadi detektif juga dia
cocok. melewatkan harimelewatkan kesempatan nonton Thomas-Uber Cup yang digelar di negara sendiri/ Yang bener
terus beranggapan seharusnya gue ikut ekskul cheers, biar bisa cocok sama dia... Tapi mana
mungkinlah gue ikutan cheers
Shendy manggut-manggut, setuju dengan sepenuh hati. Tapi aku sendiri malah jadi bingung,
kok aku bisa-bisanya curhat soal cowokku ke wartawan yang bisa dibilang, nggak kukenal" Yang
ketemu pun baru dua kali. Nggak biasanya aku ember begini.
basket atau cheers Aku cuma bisa tersenyum kecut. Mana tahu Albert tentang itu"
Dan mana dia peduli"
*** Sehabis makan mi ayam, aku dan Sharleen masuk lagi ke Istora untuk nonton pertandingan tim
Thomas. Dan kami menyaksikan sendiri gimana tim Thomas Indonesia berhasil menyingkirkan
keraguan publik (setelah kemenangan yang kurang mengesankan atas Thailand) dengan
menggasak Jerman 5-0. Seneng banget rasanya hari ini, tim Thomas-Uber Indonesia sama-sama menang dengan skor
sapu bersih. Kalau aja kegiranganku hari ini nggak dirusak oleh sikap konyol Albert di telepon
tadi siang. Aku benar-benar jengkel sama dia. Sepulang dari Istora pun aku memutuskan nggak
akan menelepon dia. Biarin aja, daripada dengerin dia ngomel lagi. Besok kalau dia tanya, aku
bakal bilang aku tepar sepulang dari Istora, dan satu-satunya yang sanggup kulakukan hanya
tidur. Nggak punya tenaga lagi untuk telepon dia.
Lagian, besok baik timThomas maupun Uber Indonesia nggak ada jadwal bertanding. Duaduanya lolos dengan status juara grup, yang berarti baru akan bertanding lagi di perempat final
hari Rabu. Besok cuma ada jadwal playoff antartim yang nggak jadi juara grup.
Sebenarnya kepingin juga nonton tim-tim asing itu bertanding, tapi biarin deh... Besok aku
ikhlaskan aja nggak nonton, buat jaga-jaga biar Albert nggak terlalu senewen karena aku setiap
hari nongkrong di Istora. Dan biar aku lebih gampang juga untuk minta izin nonton perempat
final hari Rabu nanti. Kan aku nanti bisa kasih alasan kan-kemarin-aku-udah-nggak-nonton ke
dia. Asyiikk! Sori, Al, tapi aku kan sudah pernah bilang, kamu cuma pacar keduaku. Pacar pertamaku tetap
bulutangkis. *** Siasatku berjalan mulus. Karena hari Selasa aku bermanis-manis sama Albert, dan bilang bahwa
hari itu aku sudah menuruti omongannya untuk nggak tiap hari datang ke Istora, dia
mengizinkanku untuk nonton perempat final hari Rabu.
Jadi, hari Rabu sepulang sekolah aku ngibrit sendiri ke Istora. Guess what" Tim Uber
Indonesia menang telak 3-0 atas Hong Kong di perempat final, dan dengan demikian berhasil
meraih tiket ke semifinal! YESSSSS!
Hari ini yang paling seru, karena biarpun para sparring partner-ku nggak bisa ikutkan karena
ada acara masing-masing, aku tetap punya teman nonton bareng: Shendy. Heran, jangan-jangan
-Uber Cup. Habisnya, dia stand by terus sih di sana!
Kami sempat tukeran nomor HP juga, dan ternyat adi a memang teman yang asyik banget buat
diajak ngobrol. Apalagi, pengetahuannya soal bulutangkis jauh lebih banyak daripada aku, jadi
aku bisa nanya-nanya kalau ada yang nggak kumengerti.
Dan aku benar-benar nggak menyesal sudah datang ke Istora hari ini, karena tim Thomas
Indonesia juga menang atas Inggris 3-0! Well, pemain-pemain putra Indonesia benar-benar
menunjukkan kualitas mereka hari ini. Sony Dwi Kuncoro masih soft starter, ketinggalan lebih
dulu di set pertama dari Andrew Smith, tapi berhasil membalasnya di set kedua dan ketiga.
Mencuri angka pertama untuk Indonesia.
Dan jelas ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan bukan tandingan Robert Adcock/Robin
Middleton. Mereka menang mudah, 21-12, 21-10. Taufik Hidayat berhasil menyelesaikan
perempat final untuk Indonesia dengan mengalahkan pemain Inggris keturunan India, Rajiv
Ouseph. Aaaahh... senangnyaaa! Jelas, aku nggak bakal melewatkan pertandingan mahaseru ini besok
dan lusa. Walau badai menghadang, aku bakal tetap datang ke Istora!
Ayooo Indonesia! TAPI ternyata yang menghadang niatku untuk nonton di Istora bukan badai.
Bukan juga hujan deras atau aksi mogok para sopir busway yang mengakibatkan aku jadi
nggak punya sarana transportasi ke Istora. Tapi Albert.
Obrolan menjengkelkan ini terjadi tadi pagi, waktu dia menjemputku untuk ke sekolah
bareng. mengempaskan bokokngku ke jok depan mobilnya. Aku melongo. Nonton dia" Memangnya
cowokku mendadak jadi bintang sinetron, dan sinetronnya bakal ditayangkan sore ini, ya"
Aku makin melongo, nggak ngerti. Nggak tahu ini memang karena Albert yang bicara dalam
bahasa Swahili, atau memang otakku yang lagi perlu di-tune-up.
Kayaknya Albert bisa melihat aku bener-bener lagi lemot, jadi dia memberi penjelasan
Aku memutar otak secepat kubisa, dan langsung mencelos begitu ingat. Aaahh iya! Tim
Albert kan lagi ikut kejuaraan basket antar-SMA yang diadakan SMA Angelos! Aku benar-benar
nggak ingat! Ternyata mereka masuk final... dan finalnya bakal dihelat... sore ini"!
-anak pada mau nonton semua tuh. Nanti pulang sekolah
langsung rameAku menelan ludah. Nggak, aku nggak bisa ikut. Ada pertandingan lebih seru yang HARUS
kutonton sore ini. Kalau kulewatkan, mungkin aku bakal menyesal seumur hidup. Kapan lagi
tim Uber Indonesia bisa menjejak semifinal" Dan dengan performa yang luar biasa banget pula
sepanjang penyisihan kemarin.
Mampus. Partai pertama Uber Cup bakal mulai jam enam. Cukup nggak ya waktunya kalau
nonton Albert main dulu"
Aku kayak nggak bisa bernapas lagi. Aduuuh, daerah Kelapa Gading! Mana mungkin aku bisa
menempuh jarak dari sana dan tiba di Istora sebelum jam enam?"" Belum lagi kalau Albert
mainnya lama. Belum lagi kalau macet. Belum lagi nanti di Istora pasti penuh sesak, yang datang
belakangan alamat dapat kursi paling belakang!
lbert lagi. Dia ini memang jago banget soal membaca ekspresi orang. Dia
bisa tahu aku mendadak gelisah kayak orang ambeien, padahal dari tadi pandangannya
terkonsentrasi ke jalan! Adudududuh! Bilang nggak, ya" Albert pasti bakal ngamuk kalau aku bilang mau ke Istora.
Apalagi kalau dia nyadar, itu berarti aku lebih memilih ke Istora dibanding menontonnya berlaga
di final kejuaraan basket antar-SMA. Bisa-bisa dia makin melarangku main atau nonton
bulutangkis! Kan sudah seminggu ini Albert senewen terus karena mendapatiku suka nongkrong
di Istora. Jangan-jangan nanti dia meledak kalau aku bilang nggak mau nonton dia bertanding
-pa. Omong*** Di kelas, aku berpikir keras. Sampai dahiku sudah berlipit kayak rok! Huhuhu, gimana dong" Ini
bener-bener dilema. Kalau nonton Albert, aku pasti bakal menyesal setengah mati karena nggak
nonton semifinal Uber Cup. Indonesia vs Jerman lho. Pasti bakal seru banget!
Tapi kalau aku nonton ke Istora, Albert bakal marah besar. Dan dia juga bakal semakin nggak
suka sama bulutangkis. Bukannya aku peduli sih, dia kan dari dulu memang nggak suka. Tapi
aku ogah aja kalau dia nantinya jadi melarang-larang aku main atau nonton bulutangkis lagi, dan
semakin memaksakan keinginannya supaya aku masuk tim cheers. Tak usah yeee!
Aku, dan seisi kelasku, mengangkat kepala dari buku kami masing-masing, dan menoleh ke
arah datangnya suara. Itu tadi Meggie, dan dia menunjuk Julia, teman sebangkunya.
Aku berusaha menjulurkan leherku sepanjang mungkin. Julia kelihatannya memang nggak
sehat. Kepalanya menelungkup di atas meja, dan dia gemetar sedikit, mungkin demam.
Bu Ira berjalan mendekati meja Julia, dan meraba dahinya.
ba kamu telepon ke rumah, atau hubungi siapa yang bisa menjemput
Julia mengangguk lagi, dan mengeluarkan HP-nya. Aku bisa mendengar dia menelepon
kakaknya, minta dijemput. Setelah itu, Meggie mengantar Julia ke UKS.
Mendadak, di kepalaku melintas sebuah ide.
*** Aku sok menggeletukkan gigiku di depan Albert, dan berusa memeluk diriku sendiri erat-erat.
Gayaku sudah mirip orang demam di iklan obat turun panas di TV.
aku menyimpan jaket di lokerku di sekolah. Sekarang jaket itu bisa kupakai sebagai wardrobe
untuk keperluan akting di depan Albert.
Yeah, gara-gara melihat Julia sakit di kelas tadi, aku jadi punya ide untuk keluar dari masalah
pelikku. Aku bakal pura-pura sakit, dan dengan demikian aku bisa punya alasan untuk nggak
menonton Albert bertanding, tanpa perlu bikin dia ngamuk-ngamuk nggak jelas. Dan setelah
Albert pergi ke tempat bertandingnya tanpa mengajakku karena dia pasti bakal bisa menerima
kalau aku perlu istirahat di rumah aku bakal ngacir ke Istora dan nonton semifinal Uber Cup
di sana! Uhuuuyy! Nggak ada jalan keluar yang lebih gokil daripada ini!
Yah, memang aku jadi agak nggak enak karena harus ngibulin Albert, tapi gimana ya... Albert
kan sering ikut pertandingan basket, aku bisa menontonnya next time, sementara Uber Cup
hanya dua tahun sekali, dan belum tentu juga diadakan di Indonesia lagi. Aku nggak mungkin
dong melewatkannya gitu aja.
Albert merapikan poniku yang menjuntai, dan rasa bersalahku ke dia makin besar. Jadi nggak
adil rasanya sudah bohong ke dia, saat dia memperlakukan aku dengan manis begini.
jam dua semalam, gara-gara keasyikan main The Sims Nightlife.
ya malah diterusin. Kamu itu udah kena tifus berapa kali, Aya" Jangan-jangan ini gejala lagi
Aku diam, dan menatap Albert dengan sorot mata innocent. Duh, dia perhatian banget, ya"
Dia tahu banget aku sudah beberapa kali kena tifus karena doyan begadang. Berarti alasan yang
kukarang tepat, Albert pasti percaya aku sakit lagi gara-gara semalam begadang, kan karena
m Aku menggeleng. Kalau Albert mengantarku pulang, dan dia ketemu Mama di rumah, lalu
dia lapor aku sakit, semua rencanaku bakal gagal total. Boro-boro aku bisa ngabur ke Istora, yang
ada Mama bakal menyuruhku minum obat dan tidur!
Hmm.. aku harus cepat memutar otak.
ah... aku naik taksi aja. Nanti kamu telat tandingnya. Pulang sekolah mau
sama anak-anak langsung ke SMA Angelos, kan" Jauh banget lho dari sini ke Kelapa Gading,
masuk akal untuk jenis alasan yang terpaksa dikarang dalam hitungan detik kalau nggak mau
ketahuan bohong oleh pacar.
Albert diam, berpikir. Wah, alasanku benar-benar merasuk ke otaknya!
Weits, dia ragu-ragu, ini nggak boleh dibiarkan.
-pa kok pulang sendiri. Tinggal naik taksi, duduk, sampai deh di
Wah, gampang banget ternyata ngibulin dia!
Maksudku, iya, aku bakal telepon kamus ebelum aku naik busway ke Istora, hehe... YESSS!
Rencana berhasil, berhasil, horeeee! Kalau nggak ingat aku lagi akting sakit di depan Albert, aku
pasti sudah melompat-lompat meniru Dora the Explorer.
*** Aku berhasil sampai di halte Bundaran Senayan tanpa masalah. Albert dan anak-anak setim
baksetnya jelas sudah dalam perjalanan ke SMA Angelos. Aku sudah memastikannya tadi
sebelum berangkat, dengan menelepon Albert dan mengaku-aku aku sudah sampai di rumah
dengan selamat. Dan hebatnya, dia percaya!
Aduh, jadi merasa bersalah lagi. Tapi ya sudahlah, daripada aku menghabiskan sore ini
dengan duduk memandangi bokong para anggota cheerleaders yang melompat-lomopat di
hadapanku untuk menyemangati tim basket, jauh lebih baik aku duduk di dalam Istora,
mendukung tim negaraku yang sedang bertanding.
Aku sudah ganti baju dengan celana selutut dan kaus, yang memang sudah kubawa dari
rumah dan kujejalkan di dalam tas sekolahku. Sharleen, yang hari ini menemaniku nonton, juga
sudah ganti baju. Siap tempur! Charles dan Wilson lagi-lagi nggak bisa ikut, kali ini alasannya
karena harga tiket semifinal udah melonjak sama tingginya dengan harga minyak dunia, dan
hanya bisa didapat dari para calo.
Aku sudah bilang ke Sharleen soal kebohongan yang kusodorkan pada Albert, dan dia bisa
ngerti. Memang nggak enak banget punya pacar yang nggak bisa mengerti hobi kita, kata
Sharleen. Dia juga udah janji bakal tutup mulut. Siplah pokoknya!
Istora hari ini benar-benar meriah. Lautan suporter berebut masuk ke dalam dan mencari
tempat duduk yang paling strategis. Gila juga memang, dengan harga tiket yang sebegini mahal,
tapi antusiasme masyarakat tetap tinggi. Ini jelas membuktikan bulutangkis adalah cabang
olahraga yang paling populer di Indonesia, sekaligus paling berprestasi. Plus, turnamen
bulutangkis nggak pernah bikin rusuh, beda banget dengan pertandingan sepakbola, yang
banyakan rusuhnya (dan berakhir dengan tim Indonesia KALAH) daripada damainya.
Bukannya aku membanding-bandingkan lho ya... tapi kenyataannya emang gitu sih. Kalau
menurutku, mendingan semua orang Indonesia main bulutangkis aja.
Nah, balik ke Istora. Keriuhan penonton hari ini ternyata juga disebabkan fanatisme dadakan
akibat tim Uber Indonesia berhasil menembus semifinal. Sebelumnya, tim cewek kita memang
selalu dipandang sebelah mata. Kalau kalah pun nggak mengejutkan. Tapi, berhubung kali ini
bisa sampai babak semifinal, orang-orang langsung heboh kepingin nonton, dan ingin
membuktikan sendiri apa benar tim Uber Indonesia sedahsyat yang mereka tonton di TV.
Beberapa saat sebelum pertandingan mulai, aku meng-SMS Albert.
To: Albert Good luck ya, Al, buat finalnya. Aku mau tidur dlu. Ngantuk
bgt nih pengaruh obat. Jgn tlp dlu. Nanti klo udh bangun, aku
sms km ya. Beres, dengan begini dia nggak bakal menelepon aku. Kan gawat kalau di tengah
pert -DO-NEbacksound. Kebohonganku bakal langsung terbongkar dong.
Waktu aku selesai SMS Albert, ternyata bertepatan dengan akan dimulainya partai pertama.
Indonesia vs Jerman hari ini akan mempertandingkan Maria Kristin Yulianti dan Xu Huaiwen di
partai pembuka (sama seperti Yao Jie yang sekarang membela Belanda, Xu Huaiwen juga pemain
kelahiran China, tapi kemudian hijrah ke Jerman karena persaingan di negaranya sangat ketat,
dan usianya sudah nggak muda lagi). Xu masuk dalam jajaran tunggal putri dengan peringkat 10
besar dunia, sementara Maria tercecer di bawah peringkat 30. Mungkin pertandingan yang akan
dianggap nggak seimbang, tapi siapa yang bisa memprediksi, dengan suporter tuan rumah
sebanyak ini" Aku menoleh ke belakang, dan menelan ludah karena melihat semua bangku penonton penuh
terisi. Bahkan sampai bangku paling atas! Dahsyat abis!
sold out -denger malah calo juga udah nggak punya stok lagi. Banyak tuh penonton yang
masih di luar, nggak kebagian tiket. Katanya udah disiapin giant screen sama panitianya, biar
uslah, panitianya udah well prepared
Satu lagi bukti kemantapan penyelenggaraan untuk turnamen bulutangkis: jumlah tiket yang
dijual memang disesuaikan dengan kapasitas tempatnya. Jadi kalau tiket udah terjual habis, ya
nggak ada lagi penonton yang bisa masuk. Dengan begitu kondisi di tempat bertanding juga
aman, terhindar dari overload yang mungkin bisa menimbulkan kerusuhan. Nggak kayak sepak
bola, kapasitas stadion tiga puluh ribu, eh penonton yang dijejalkan ke dalamnya lima puluh ribu
orang. Pantas aja rusuh melulu.
Hehe, kok aku jadi ngomel soal sepak bola melulu sih"
Aku melongok ke pinggir lapangan yang ditunjuk Sharleen. Benar saja, Maria Kristin, Xu
Huaiwen, wasit, dan para hakim garis sudah siap memasuki lapangan. Waktu Maria berjalan
melewati tribun penonton, hampir semua penonton di deretan terdepan mengulurkan tangan
untuk menyalami sekaligus menyemangatinya. Maria membalas sebisanya, sambil tersenyum.
Aku jadi merinding. Kalau saja dulu Mama ngasih aku izin untuk masuk klub, bisa saja aku
yang ada di posisi Maria sekarang...
Ah, kok jadi ngaco! Perjuangan Maria untuk sampai ke posisi tunggal putri utama Indonesia
pasti bukan hal yang gampang. Dia pasti merintis dari kecil, dari turnamen-turnamen lokal,
future series, international challenge, sampai akhirnya bis asampai ke event besar seperti Uber Cup
begini. Kalaupun aku masuk klub dulu, belum tentu juga aku bisa punya prestasi seperti dia.
Kedua pemain tunggal putri itu mulai melakukan pemanasan, dan akhirnya pertandingan
dimulai. Xu Huaiwen memang menunjukkan kelasnya sebagai pemain papan atas dunia. Staminanya
gila, padahal setahuku umurnya sudah 34 tahun! Tapi dia bisa mengimbangi Maria yang lebih
mudah sepuluh tahun darinya. Cara mainnya kayak cowok, nggak feminin, dan terus
menyerang. Aku jadi merasa sedikitberubah jadi laki-agara gaya permainanku yang terus
menyerang. Akibat serangan Xu Huaiwen yang terus-menerus, Maria akhirnya harus kalah dua set
langsung. Banyak orang di belakangku yang langsung mendesah kecewa, dan aku jadi jengkel
sendiri. Gimana ya, aku paling kesal kalau saat pertandingan belum selesai, orang sudah keburu
poin terakhir didapat. Dan please deh, ini masih partai pertama, masih ada empat partai lagi gitu
lho! Ditambah lagi, Jerman bukanlah negara yang kuat tradisi bulutangkisnya. Baru belakangan
ini nama mereka terdengar, dan itu pun karena prestasi Xu Huaiwen. Indonesia masih bisa
menang! Partai kedua bakal digelar sebentar lagi. Kali ini susunannya sedikit beda dengan kemarinkemarin. Yang biasanya tunggal-ganda-tunggal-ganda-tunggal diubah menjadi tunggal-tunggalganda-tunggal-ganda, karena tunggal kedua Jerman, Juliane Schenk, bakal main lagi di partai
terakhir. Jadi, giliran mainnya ditukar dengan partai ketiga, biar dia punya lebih banyak waktu
Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istirahat di antara jeda dua pertandingan yang dilakoninya itu.
Hehe, kasihan banget ya Jerman, stok pemainnya terbatas, sampai merangkap-rangkap gitu.
Indonesia menurunkan Adrianti Firdasari di partai kedua. Dia nggak terkalahkan selama
penyisihan lalu, hebat banget! Aku bener-bener berharap Firda menang, biar Indonesia bisa
menyamakan kedudukan 1-1. Bahaya kalau Jerman sampai unggul 2-0 duluan.
Ternyata aku dan Sharleen akhirnya memang berkali-kali sport jantung! Firda lebih agresif
dibanding Maria, yang lebih mengandalkan penempatan bola. Dan posturnya juga tinggi,
memudahkan untuk menjangkau bola-bola yang sulit. Juliane Schenk kelihatan sedikit repot
untuk membalas Firda, dan akhirnya Firda bisa menang dua set langsung. Horeee... 1-1!
Menjelang partai ketiga, aku jadi kayak orang kumat ambeien lagi. Gelisaaaaahh mulu!
Sekaligus excited, karena yang bakal turun kali ini pemain favoritku, ganda putri Jo
Novita/Greysia Polii. Mereka ini yang disebut-sebut ganda putri superpower sepanjang
penyelenggaraan Uber Cup kali ini. Bukannya apa-apa, tapi mereka memang mainnya dahsyat
banget. Nyaris kayak ganda putra. Smash terus, hajar terus, sikat terus! Padahal postur mereka
mungil-mungil. Cuma sekitar 160 cm, tapi power-nya luar biasa.
Pihak Jerman menurunkan Brigit Overzier dan Kathrin Piotrowski. Banyak banget cowokcowok yang bersiul sewaktu Brigit memasuki lapangan. Emang cantik banget sih, dan badannya
tinggi semampai. Kalau di Indonesia, aku jamin dia bakal jadi model catwalk top, bukannya jadi
atlet bulutangkis. Catering Wilson ehh... Catherine Wilson lewat deh!
Ternyata hari ini Jo/Greysia kembali menunjukkan tajinya.. Mereka menghajar pasangan
Jerman tanpa ampun dengan smash-smash tajam. Beberapa kali malah aku melihat Brigit dan
Kathrin geleng-geleng kepala, kayaknya bingung sedikit, dari mana pemain-pemain bertubuh
mungil seperti Jo dan Greysia bisa dapat suntikan tenaga untuk mengalahkan mereka yang punya
postur yang, seharusnya, lebih menguntungkan.
Waktu Jo/Greysia menutup pertandingan dengan skor 21-9, 21-13, Istora serasa meledak
-DO-NE-SIA! IN-DO-NElapangan sampai menjatuhkan raketnya, sebelum akhirnya berpelukan dengan Jo Novita. Mereka
mungkin masih nggak percaya, sudah membawa Indonesia berbalik unggul 2-1. Tinggal
selangkah lagi untuk ke final!
semangat. Dia sampai berdiri dan loncat-loncat di tempat.
Aku nggak kalah histeris.
-degan banget! Habis ini yang main Pia Zebadiah, ya" Lawannya siapa"
Aku melongok ke scoreboard di lapangan, yang menampilkan nama Karin Schnaase. Hmm...
nggak pernah dengar. Tapi kalau dia sampai menduduki posisi tunggal putri ketiga Jerman,
pastinya dia bukan pemain asal comot.
Karin Schnaase. Kita optimis ajalah! Dan kalaupun ini nanti jadi 2-2, kita
nyengir semakin lebar. Nama Vita/Lilyana nyaris bisa menjadi jaminan kemenangan kami.
untung banget kita nonton di sini hari ini, Fray. Seru banget! Gue nggak bisa
Sharleen berorasi. Aku manggut-manggut setuju. Jelas, kalau hari ini aku berakhir dengan menonton Albert, aku
pasti bakal menyesal seumur hidup. Yang di Istora sejuta kali lebih seru. Dan rasanya
nasionalisme merebak di dalam sini, seolah kami sudah bertanding di final yang sebenarnya.
Aku dan Sharleen terpaksa cooling down dulu karena partai keempat bakal dimainkan. Pia
Zebadiah sudah bersiap di player arena, dan teriakan-t
eriakan suporter masih tetap membuat
kupingku pekak. Ini bakal seru banget!
Dan bisa dibilang aku sekali lagi iri melihat Pia yang memasuki lapangan. Dia masih 19
tahun, cuma setahun di atasku, tapi bisa membela nama Indonesia di ajang bergengsi kayak gini.
Sementara aku" Cuma jagoan sekolah doang, jago kandang...
Game pertama sudah dimainkan, dan dalam waktu singkat sudah terlihat di depan mataku,
kualitas Karin ternyata masih di bawah Pia! Sering Karin melakukan kesalahan sendiri, entah itu
karena pengembaliannya nyangkut di net atau kontrol bolanya nggak akurat. Dia melepas bola
Pia karena mengira pukulan itu keluar, padahal masuk. Dan serangan-serangannya pun nggak
hebat, biasa saja. Pia makin merajalela. Orang-orang di belakangku, yang tadinya ngomel dan
-pasti-bakal-keWaktu akhirnya Karin gagal mengembalikan bola Pia dalam kedudukan 16-20 di game kedua,
aku langsung loncat dari bangkuku dan teriak sekeras-kerasnya. Sharleen nggak kalah heboh, dia
malah memelukku kuat-kuat, seolah kamilah yang baru selesai bertanding dan menang.
Aku menoleh ke lapangan, dan ternyata semua pemain, pelatih, dan ofisial tim Uber
Indonesia sudah menghambur masuk ke lapangan. Greysia Polii malah menggendong Pia di atas
punggungnya, sementara yang lain bersorak-sorak. Sewaktu Greysia menurunkan Pia, ganti dia
yang digendong salah satu ofisial, dan diarak nyaris keliling lapangan! Beberapa pemain
membawa bendera Merah Putih, dan mengibar-ngibarkannya dengan penuh sukacita. Aku
sampai merinding melihatnya. Astaga, kami benar-benar masuk final! Kami punya peluang
untuk merebut kembali Piala Uber yang sudah lepas bertahun-tahun itu.
Vita Marissa dan Lilyana Natsir, yang rencananya bakal diturunkan di partai terakhir, tapi
nggak perlu lagi karena kami sudah merebut tiga partai, juga menghambur ke lapangan, dan
mengibar-ngibarkan bendera Indonesia. Greysia, aku baru memperhatikan, ternyata juga sudah
mencoret-coret pipinya dengan warna merah dan putih. Dia juga memasang bendera di
punggungnya seperti jubah Superman, dan menarik sedikit ujung bendera itu ke depan untuk
menciumnya. Ya Tuhan.... yang bisa menandingi perasaanku saat ini cuma perasaan kagum dan bangga saat
Ricky dan Rexy merebut emas Olimpiade Atlanta 12 tahun lalu....
*** Dalam perjalanan pulang pun aku serasa masih mendengar segala pekik dan seruan histeris di
Istora tadi dalam kepalaku. Efek pertandingan tadi benar-benar dahsyat, dan potongan-potongan
pertandingannya pun seperti film yang diputar tanpa henti di depan mataku. Bagaimana Jo
Novita yang kecil mungil meloncat seolah bakal melakukan jumping smash, tapi ternyata dia
hanya melakukan dropshot. Pemain Jerman mati langkah, kecele. Bagaimana Firdasari
mengepalkan tangannya setelah berhasil mengalahkan Juliane Schenk. Bagaimana semau pemain
dan ofisial menghambur ke lapangan setelah Pia Zebadiah menang, seakan-akan kami sudah
menang di final. Rasanya kalau nanti tim Uber Indonesia kalah di final sekalipun, aku tetap akan menganggap
mereka juara. Nggak gampang tampil di depan pendukung sendiri dengan ekspektasi yang
rendah, tapi akhirnya bisa membalikkan keadaan saat kita menang. Mungkin pemain-pemain
putri Indonesia sudah diperbaiki bukan cuma dari segi teknik bertandingnya, tapi juga dari segi
mental. Soalnya setahuku, sebelum ini pemain-pemain putri Indonesia suka drop duluan kalau
lawan yang mereka hadapi di atas kertas lebih kuat. Apalagi kalau lawannya pemain China,
waaahh... jangan ditanya. Kalau bisa ngibrit pun mungkin mereka bakal ngibrit. Tapis ekarang
semuanya berbeda... tim Uber Indonesia hebat!
*** Claudia nyolot begitu melihatku muncul di
meja makan dengan wajah sumringah. Aku memang masih senang banget karena keberhasilan
tim Uber Indonesia maju ke final kemarin. Sampai pagi ini pun efek euforianya masih ada.
Dasar, kalau aku nggak lagi senang, udah kutoyor kepalanya!
baw Claudia mati kutu mendengar ancamanku. Aku tertawa dalam hati. Tahu rasa!
Claudia nyengir dengan watados alias wajah tanpa dosa. Tapi biar deh, dengan situasi begini
aku jadi nggak perlu cerita kenapa aku riang gembira pagi ini. Kan bahaya kalau dia tanpa sadar
cerita ke Albert. Bisa terbongkar rahasiaku!
*** Sesampainya di sekolah, aku langsung menghambur mencari Sharleen di kelasnya. Masih
kepingin membahas pertandingan kemarin, sekaligus mengatur rencana untuk nonton semifinal
Thomas Cup nanti sore antara Indonesia vs Korea. Weits, jelas nggak boleh terlewatkan! Sayang
banget, Charles dan Wilson lagi-lagi harus absen karena masalah harga tiket. Untuuuuuung aja
aku dan Sharleen sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk event ini, jadi kami memang sudah
nyiapin dana buat beli tiket yang harganya sudah kami perkirakan bakal melonjak itu. Gitu deh
kalau orang sudah cinta. Ngg... maksudku, aku dan Sharleen cinta pada bulutangkis, bkannya
aku dan Sharleen saling cinta. Ihh, yang bener aja.
Aku melongok ke dalam kelas XII IPA-4, dan ternyata Sharleen sudah datang. Dia lagi sibuk
komat-kamit di bangkunya.
menyuruhku duduk di sebelahnya.
buku fisika teronggok membuka di depannya. Kayaknya
sih dia tadi sedang komat-kamit menghafal rumus fisika sebelum aku datang. Yah, kalau begini
jadi nggak bisa ngebahas pertandingan kemarin deh.
a. Kuis lah, makalah lah, ulangan
lah. Tapi nggak paAsyik! Acara gosipan nggak jadi batal!
merinding nih kalau ingat selebrasi setelah Pia menang itu. Gila banget ya! Baru kemarin gue
ngerasa nasionalis banget, bangga banget jadi orang Indonesia. Lo lihat nggak, kanan-kiri kita di
-bapak yang di belakang gue malah udah berkacakaca gitu matanya. Hihihi.. Yah, tim Uber kita kan cuma ditarget sampai semifinal, tapi ternyata
mereka bisa sampai final. Kebayang nggak kalau ntar mereka menang" Wuahh... pasti bakal
-eh! Tapi nih, kalau mereka nggak menang pun, di mata gue mereka udah juara. Mereka
Aku seperti membeku di tempat waktu mendengar suara itu di belakangku. Sharleen juga
setengah melotot, menahan napas.
Aku menoleh, dan melihat Albert berdiri dari bangku yang didudukinya, bangku di sebelah
bangku Rocky, arah jam tubuh dari bangku tempat aku dan Sharleen duduk.
Ya Tuhan, kok bisa aku tadi nggak ngelihat dia ada di kelas ini juga" Ngapain dia di sini?""
waktu kamu masuk ke kelas ini, aku udah mau manggil kamu. Tapi kamu ternyata nggak lihat
, dengan begitu aku Suaranya tajam dan dingin, bikin rasa bersalahku meluap-luap. Ya, memang seharusnya
begitu sih, tapi kemarin semuanya terasa benar... Aku membohongi Albert cuma karena aku
kepingin melakukan hal yang benar-benar kusukai, yang nggak bisa dimengerti olehnya.
Ternyata aku membongkar rahasiaku sendiri. Dasar stupid!
Kok aku tadi bisa nggak melihat dia" Dan yang lebih bego lagi, kok aku bisa nggak ingat kelas
Sharleen juga adalah kelas Rocky, pasangan hombreng, eh... maksudku teman dekat Albert, yang
juga teman satu tim basketnya?"" Pasti karena aku terlalu bernafsu untuk ketemu Sharleen dan
ngobrol-ngobrol, makanya sampai nggak menyadari keberadaan Albert! Dia juga pasti lagi di sini
dan membahas pertandingan bareng Rocky, pertandingan basketnya kemarin. Sialan!
Astaga. Pasti dia bakal mutusin aku...
Albert mencengkeram tanganku dengan sedikit kasar, dan menarikku keluar dari kelas XII
IPA-4. Aku sempat menoleh dan melihat Sharleen memandangiku dengan tatapan nggak enak.
Mungkin dia juga merasa bersalah karena lupa Albert ada di kelasnya saat aku dan dia heboh
membongkar keberadaan kami di Istora kemarin.
Yah, sudahlah, toh semua sudah terjadi. Kalaupun Albert mutusin aku gara-gara ini...
aku bohong karena aku tahu kamu pasti nggak bakal ngizinin aku nonton ke Istora kemarin.
Albert diam, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak apa artinya.
Are you trying to say... kamu lebih suka nonton pertandingan bulutangkis dairpada nonton
One million dollar question.
Kalau aku mau jujur, sebenarnya jawabannya gampang banget... Dan Albert seharusnyanggak
perlu nanya. Bukannya kelakuanku kemarin sudah menjawab pertanyaannya itu"
Kalau setelah ini dia mutusin aku, aku bakal terima. Bukan karena aku memang salah, tapi
aku akhirnya sadar bahwa dalam hal yang paling kusukai aja Albert nggak bisa mendukungku...
Fine ternyata dia nggak mengucapkan itu. Albert malah berjalan lagi ke ambang pintu kelas XII IPA4, dan berseru pada Sharleen dari sana.
-besok pertandingan apa Aku mengintip sedikit ke dalam kelas XII IPA-4, dan melihat Sharleen kagok juga tiba-tiba
ditanyai begitu. Jangankan dia, aku saja kagok! Kenapa Albert tiba-tiba jadi nanya jadwal begini"
Apa dia bermaksud... mencari tahu kenapa aku begitu cinta sama bulutangkis, dengan cara
menemaniku nonton langsung di Istora" Nggak mungkin banget!
Indonesia lawan China. Lusa final Thomas Cup, kalau nanti Indonesia menang ya mereka
n. Dia jadi kedengaran kayak pembawa acara berita olahraga di
TV. Albert kembali menoleh menghadapku, dan nggak tahu kenapa, aku tiba-tiba jadi nggak
berani membalas tatapannya.
Kalau hukuman yang kamu maksud itu berarti kamu mau minta putus...
melarang kamu nonton pertandingan di Istora. Nanti, besok, dan lusa. Kamu nggak boleh ke
Aku serasa disambar geledek!
What"! Apa dia gila" Melarangku nonton bulutangkis di Istora, saat tim Uber Indonesia berhasil
menjejak final setelah dua belas tahun" Dan saat tim Thomas berpeluang untuk merebut kembali
Thomas Cup" No way! Sialan, sialan, sialaaaannn! Dia menjadikan kesalahanku sebagai senjata!
merengek- Aku memejamkan mata, berusaha meredam perasaan kesal yang nyaris meledak di dalam
diriku. Albert sialan, dia tahu banget apa hukuman yang membuatku bakal merasa benar-benar
tersiksa! Tapi aku nggak mungkin melewatkan pertandingan nanti sore, dan besok, dan lusa... Aku
harus memutar otak. Dan kalau itu berarti aku harus membohongi Albert lagi...
Besok dan lusa juga. Untuk memastikan aku nggak kecolongan lag
Kakiku rasanya lemas seketika. Lebih baik dia masukkan aku ke kurungan besi aja sekalian.
Albert brengsek! *** juga... Lusa memang belum pasti, tapi kalaupun tim Thomas Indonesia nggak lolos ke final, gue
Kali ini aku sudah memastikan Albert nggak ada dalam jarak dengar. Mungkin aaj Adisty punya saran yang benarbenar tokcer supaya akut etap bisa ngabur ke Istora, dan tetnu aja aku nggak kepingin Albert ikut
mendengarnya. disalah-salahkan lagi. Aku butuh dia ngasih aku jalan keluar.
ngebohongin dia untuk ngelakuin hal yang bener-bener gue suka. Dan dia sekarang mau
menghukum gue dengan melarang gue nonton ke Istora, itu kan GILA! Dia tahu banget
nggak tahu harus bilang apa... Tapi siapa pun pasti marah sih kalau dibohongin, apalagi sama
Oke, kayaknya salah BANGET aku curhat sama Adisty. Dia kan nggak suka bulutangkis juga.
Dia nggak ngerti gimana rasanya begitu cinta sama olahraga satu itu, sampai rela ngebohongin
pacar. an nih" Gue harus terima aja, dikurung sama Albert tiga hari ke
depan, dan menyaksikan pertandingan kelas dunia cuma dari TV, sementara sebenarnya gue bisa
nonton langsung di Istora, dengan uang tiket yang udah gue sisihkan jauhAdisty diam, kayaknya dia bingung juga mau ngomong lagi. Takut kalau dia jujur nanti aku
malah semakin sewot. -besok, dan -tiba. Mataku langsung melebar.
Aku menelan ludah. gue, kalau lo minta putus kan jadinya dia bukan siapa-siapa lo lagi tuh, jadi dia nggak berhak
Aku menggeleng lemah. Itu bukannya nggak terpikir dalam otakku. Tapi masalahnya, seperti
yang pernah kubilang, ortuku sayang banget sama albert. Kalau aku mutusin dia, nanti Papa dan
Mama pasti nanyain kenapa Albert nggak pernah main ke rumah lagi. Dan kalau nanti aku
bilang kami sudah putus, atau lebih tepatnya aku sudah mutusin dia, aku pasti diomelin.
Kalau cinta sih... ya, aku dan Albert kan sudah pacaran hampir tiga tahun. Biar aku sekarang
lagi kesal setengah mati dan pengen melemparnya pakai bakiak sekalipun, aku bohong kalau
bilang aku nggak cinta dia lagi. Sepuluh persen masih ada lah.
Tapi akan lain ceritanya kalau Albert yang mutusin aku. Kalau itu yang terjadi, tentu aja aku
nggak bakal disalah-salahkan lagi oleh ortuku.Kalau aku beruntung, justru mereka akan jadi sebal
Terror Di Akhir Pekan 2 Pendekar Mata Keranjang 6 Pewaris Pusaka Hitam Hancurnya Samurai Cabul 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama