Ceritasilat Novel Online

Cewek 1

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 1


Cewek!!! Pintu dan semua jendela sekretariat maranon, organisasi pencinta
alam Universitas Sagarmatha, tertutup rapat saat Langen dan
Fani tiba sore itu. Kedua cewek itu tidak bisa mengetahui apa
yang terjadi di dalam ruangan, karena seluruh tirainya
membentang, menutupi semua jendela yang ada.
"Rapat lagi kayaknya nih!" desis langen jengkel. "Gimana, fan?"
"Tungguin ajalah," kata fani. Tidak tega mengajak langen pulang.
Tapi setelah keduanya menunggu berjam-jam sampai nyaris
lumutan, begitu pintu dibuka, eeh" orang yang ditunggu dengan
enteng malah menyuruh mereka pulang. Setelah sempat
terperangah di ambang pintu, dengan langkah-langkah cepat Rei
segera menghampiri Langen dan Fani yang duduk bersila di lantai
koridor. "Sory, La. Aku ada rapt. Sampe malam kayaknya. Kamu nggak
apa-apa kan, pulang sendiri?" Ucapnya tanpa rasa bersalah. Jelas
Langen langsung emosi. "Nggaaak. Nggak apa-apa kok. Rapat aja lagi" sampe besok.
Tanggung kalo cuma sampe malem!"
"Sabtu depan kita jalan. Aku janji."
"Sabtu kemaren kamu juga ngomongnya begitu!"
"Sabtu kemarennya lagi juga!" Fani langsung menimpali.
"Juga Sabtu kemarennya dan kemarennya daaaan kemarennya!"
Rei nyuekin celetukan Fani. "Tapi Sabtu depan bener, La. Janji!"
tegas Rei. "Siapa yang percaya?" sentak Langen. "Pulang yuk, Fan!"
"La, please" Jangan ngambek begitu dong." Rei buru-buru meraih
tangan Langen, tapi langsung ditepis oleh si pemilik tangen.
"Aku nggak ngambek! aku marah, tau!" Langen hampir menjerit.
"Tapi aku janji" "
"Nggak! Aku nggak mau denger!"
Harapan Rei langsung beralih ke sahabt karib Langen.
"Fan, tolong jelasin ke Langen, ya" Sabtu depan bener!"
"Elo jelasin sendiri, Enak aja. Lagian juga paling lo bohong lagi.
Kayak gue nggak tau elo aja!" tolak FAni mentah-mentah.
"Sori ya, sayang" Aku nggak bisa dateng lagi nih"." Bima,
Sahabat Rei yang sejak tadi hanya berdiri diam di ambang pintu,
menatap Fani dengan ekpresi "betapa apa yang baru
dikatakannya tadi telah membuat hatinyamenjadi sangat sedih" .
"Padahal aku kangeeeen banget sama kamu"
"Ih!" Fani langsung membuang muka. "Siapa juga yang ngarepin
lo dateng?" Bima hanya tertawa geli. Kalau saja disekitar mereka tidak
banyak orang, pasti sudah dibekapnya cewek yang telah berhasil
dipaksanya untuk jadi pacar yang teranyar itu. Lalu diberinya satu
ciuman! Terpaksa Rei dan Bima membiarkan Langen dan Fani pergi dari
hadapan mereka. *** "Mereka emang gitu, La. Udah" nggak usah dipusingin," hibur
Fani, ketika mereka sudah meninggalkan sekretariat Maranon.
"Iya sih, tapi yang bener aja dong! Udah berapa kali malem
minggu, coba" Tiap Sabtu-Minggu ada acara. Datengnya malam
malem Jumat. Emangnya gue sundel bolong?"
Fani meringis. Tiba-tiba disikutnya pinggang Langen.
"Liat, tuh. Si Gusti Randa Raden AJeng Febriani"
Langen melirik sebal. Raden Ajeng Febriani Kesumonigrat atau
yang biasa dipanggil "Febi" itu ceweknya Rangga. Rangga itu ya
masih komplotannya cowok dua tadi. Febi termasuk cewek antik.
Masih trah bangsawan atau ningrat. Katanya sih dia dan
keluarganya masih keturunan prabu siapa, gitu. Dibilang antik,
soalnya itu cewek lembutnya minta ampun. Jalannya luamaa.
Ngomongnya juga pelaaan. Dan yang paling aneh, kalau ketawa
nyaris tanpa suara! Itu juga jarang. Paling Febi cuma senyumsenyum doang.
" Mau ikut jalan, Feb" Mending malem mingguan samakami,
daripada bengong sendirian. "
" Aku mau kursus nih. Maaf ya, " tolak Febi halus. Lalu dengan
santun dia mohon pamit. " Sebel banget gue sama tuh cewek. Sok bangsawan banget! "
dengus Langen. " Iya emang! " Fani mengangguk. " Tau gitu kenapa juga lo ajak
tadi" " " Basa-basi doang. Nggak bakalan dia mau. Ntar bisa turun dia
punya kasta! " " Lagian juga dia pasti bohong. Kursus apaan malem minggu
gini" " "Kursus masang konde, kursus pake kebaya, sama kursus
ngeracik jamu-jamuan, " dengus Langen lagi.
Fani terkekeh geli. Langen berdecak. " Kalo gue pikir-pikir, tuh cowok tiga kurang
ajar banget deh. seenaknya sendiri aja. Mereka pikir kita itu apa
sih" "Ah, udah deh" nggak usah dipikirin. Mending kita jalan-jalan"
Fani merangkul bahu sahabatnya dan membawanya ke tempat
parkir utama kampus, di depan gedung rektorat, tempat Langen
memarkirkan Kijang-nya tadi siang.
*** Senin siang, di tengah sekretariat Maranon, Andreas, salah
seorang anggotanya, sedang duduk di salah satu meja.
Menghadap ke seisi ruangan.
"Waktu SMA, gue pernah bikin acar maraton gunung. Khusus
yang tingginya di atas tiga ribu DPL. Waktu itu lima gunung. Star
di Pangrango, lanjut ke Cireme, nyambung ke Slamet, terus ke
Sumbing, dan finish di Merbabu. Seru banget, gila! Yang berhasil
ngabisin lima-limanya cuma tujuh orang. Padahal pesertanya
hampir empat puluh. Usul gue, gimana kalo kita bikin acara kayak
giru" Nanti libur semesteran. Biar tambah serudah dahsyat, kita
abisin pulau jawa! Gue udah ngitung, semuanya ada sekitar
sebelas gunung. Gimana?"
Wajah-wajah di sekitarnya menatap ternganga. Lalu"
"SETUJUUU!!!" Gemuruh teriakan membahana seketika. Membuat ruang
sekretariat MAranon tenggelam dalam ingar-bingar.
" Dan usul gue lagiii"!!! " seru Andreas. Dipukul-pukulnya
whiteboard dengan batang kayu. Ruangan mendadak sepi.
Semua kepala menoleh ke arahnya. "Minggu ini kan ada libur dua
hari. Tiga sama hari Minggunya. Gima kalo kita pemanasan"
Maraton Salak-Gede-Pangrango" "
Dan lagi -lagi" " SETUJUUU!!! "
Kembali ruangan itu di penuhi suara riuh. Di salah satu sudut,tiga
cowok sibuk mendiskusikan bagaimana caranya memberitahu
cewek masing-masih bahwa -sialnya, lagi-lagi!- malam Minggu ini
terpaksa absen!. Rei yang paling pusing. Dia sudah bisa menebak seperti apa
respon Langen nanti. Bima sebaliknya, justru kecewa. Karena dia
tahu benar, Fany pasti benar-benar bersyukur dia tidak muncul!
Sementara Rangga seperti biasa, tenang, Karena Febi-nya yang
tersayang adalah cewek aristokrat yang tidak pernah diajarkan
untuk menuntut. Jadi aman.
*** " Alasan baru lagi, kan" Selalu aja gitu. MInggu besok mau ke
sini. Minggu depannya mau ke situ, Ke sana. Kemari. Selalu aja
ada acara. Dan semuanya penting. Nggak ada yang nggak
penting! " Langen langsung berseru jengkel begitu tahu maksud
kedatangan Rei. Rei berdiri, mendekati ceweknya yang lagi cemberut berat itu lalu
memeluknya dari belakang dengan mesra. Disandarkan dagunya
di bahu Langen, kemudian diberinya Langen satu ciuman di pipi,
begitu lembut dan penuh cinta. Harus begitu memang kalu
tujuannya ingin tetap tercapai seperti kemarin-kemarin.
Meninggalkan Langen di rumah" lagi!
"Kalo dipikir-pikir" aku egois banget, ya?" bisiknya. Menuduh diri
sendiri dulu biar kesannya sadar kalo bersalah.
Basi! dengus Langen dalam hari.
"Tapi kamu tau nggak, kenapa aku nggak pernah ngajak kamu"
Karena gunung bukan tempat yang aman buat cewek. Banyak
bahaya. Binatang buas, misalnya. "
" Kamu kok nggak kenapa-kenapa" "
" Aku cowok, La."
Nah, ini! ucap Langen dalam hati. Terus kenapa kalo cowok"
Emangnya macan nggak doyan cowok, apa" Nggak masuk akal
banget alasannya! "Belum lagi dinginnya yang gila-gilaan. Lagi pula ini bukan
kegiatan untuk pemula. Bukan sekedar hiking. Ini latihan fisik.
Jadi sifatnya juga intern. "
Pelukan Rei semakin menguat. Dibenamkannya tubuh Langen
dalam pelukannya. Satu ciuman lembut dia berikan di bibir
cemberut Langen. Tapi cewek itu sudah terpengaruh. Sudah
bosan! san! san"! Lagu lama!
Medannya beratlah, bukan buat pemulalah,
internlah,bahayalah,dan masih buanyak lagi alasan lainnya. Tapi
intinya cuma satu. Rei tidak ingin dia ikut! itu saja. Tapi
ngomongnya repot. Melihat Langen diam. Rei mengira lampu hijau telah menyala.
Meskipun nggak hijau-hijau amat. Menurut Rei, tempat terbaik
buat cewek memnag di rumah. Di dekat ayah-ibu, juga saudarasaudara.
Harap dicatat!!! *** Di rumah Fani, Bima juga sedang menjelaskan bahwa hari sabtu
dan minggu dia "terpaksa" absen lagi. Tapi cowok itu tahu,
penjelasannya itu sebenarnya percuma, karena Fani justru akan
sangat bersyukur kalau dirinya tidak muncul. Telat datang
menjemputnya sebentar saja, cewek itu sudah langsung lenyap.
Telepon ke rumahnya sering di bilang tidak ada, sementar
alangsung ke ponsel Fani lebih sering jadi usaha sia-sia.
Dibanding cewek-cewek bima redahulu, baru ini yang benarbenar bertingkah. Membuat bima jadi sering senewen.
" Kok dateng" Ini kan malem selasa" Nggak punya kalender ya" "
Bima menatap wajah sang nona rumah yang sama sekali tidak
welcome itu. " Ada yang mauaku omongin, Fan. Coba tolong duduk, " Ucapnya
lembut. Fani duduk ogah-ogahan. Bima berdehem. Menyetel
tampang sedih dulu, biar lebih meyakinkan.
" Malem minggu besok aku kayaknya nggak bisa dateng lagi, Fan.
Soalnya " " "Aahh, nggak apa-apa " "
Belum juga Bima selesai bicara, sudah dipotong. Tapi
disabarkannya hati dan diteruskannya kalimatnya yang terpengal.
"Maranon ada acara ?"
" Iya. Nggak apa-apa.."
Dipotong lagi! Cowok itu mendesis jengkel. Dua mata elangnya
mulai menajam. Tapi Fani menentang tatapan itu dengan berani.
Iyalah, dirumag. Coba di luar" Tidak bakalan cewek itu punya
nyali! "Bisa aku ngomongnya sampai selesai?"
" Nggak usah. Aku udah tau. Maranon ada acara kan malem
minggubesok" Makanya elo, eh, kamu nggak bisa dateng. Mau
acaranya apa kek, pokoknya ada acara aja!"
" Nggak pengen tau acaranya apa?"
" Nggak!" " Tapi aku pengen kasih tau!" tandas Bima.
" Tapi aku nggak kepengen tau, tauuu!" tolak Fani. Tandas juga.
Sepasang mata Bima berkilat. Tapi dia tidak menyerah. Cewek di
hadapannya ini harus tau dengan siapa dia pacaran. Cowok yang
digilai banyak cwek! Kurang ajar benar kalau matanya terbuka
satu pun tidak. " Jangan kamu kira kalo pergi-pergi begitu aku enjoy, Fan, "
katanya bogonh " Nggak sama sekali. Soalnya. selalu aja ada
cewek yang harus aku jaga. Apalagi Stella. Dia nggak pernah
absen. Selalu ikut setiap kegiatan maranon dan selalu aja sakit"
" Kenapa?" tanya Fani tanpa minat.
" MAcem-macem keluhannya. Pusing, perut mual, dada sakit.
Malah tuh cewek sering pingsan "
" Ya nggak apa-apa. Nolongin orang itu banyak pahala nya. Ntar
kalo kamu mati, kamu bisa langsung masuk surga." Fani tetap
tidak terbakar cemburu sedikit pun.
" Tapi aku jadi inget cewek yang aku tinggal di rumah "
" Aku rasa mama kamu pasti setuju. Kakak kamu juga. Adik kamu
juga pasti " " Aku nggak ngomongin cewek di rumahku! Nggak usah purapura bego, Fan!" akhirnya Bima tidak dapat menahan geram.
"Oh" jadi maksud kamu tuh aku" " Fani menunjuk dadanya.
"Aaahh, kalo aku sih kayak gitu-gitu no problem. Aku orangnya
santai kok. Fleksibel, pengertian. Semua tindakan kamu nolongnolong tadi, aku dukung seratus persen! "
Bima menarik nafas panjang. Lagi-lagi berusaha menyabarkan
hati. Tapi wajah menjengkelkan di depannya membuat cowok itu
akhirnya mengarang satu cerita yang benar-benar panas.
" Kalo masih wajar-waja kayak gitu sih emang nggak masalah.
Tapi kalo udah sampe nggak wajar?"" Dianglatnya alisnya tinggitinggi. " Bukan cuma cewek yang mesti jaga diri, cowok juga!"
" Maksudnya?" Fani tidak mengerti.
"Maksudnya" " Bima memajukan badannya. Di tatapnya FAni
lurus-lurus "Sampe ada yang nekat bugil di depanku!"
"HAAA!?" Bima berhasil kali ini. Cewek dihadapannya ini kontan
kaget banget. GIla asli! " Siapa" Siapa?" Seru Fani seketika.
" Nggak penting itu siapa "
Bima tidak berbohong. Memang pernah ada cewek yang
melakukan aksi bugil di depannya. Mantan istri Bruce Willis, Demi
Moore. Dan si pirang seksi yang memang tidak tahu malu.
Madonna. Tapi cowok itu jelas tidak bersediamemberitahu. Dibiarkannya
Fani tercengang dengan dugaannya sendiri. Dan orang yang
ketiban sial disangka bugil adalah Stella. Soalnya cewek itu
memang sudah kondang. Centil, suka overacting, dan kalau pakai
baju selalu ngablak. Perutnya adalah pemandangan yang sudah
biasa di kampus. Belahann dadanya apalagi.
" Stella pasti! " desis FAni. " Iya kan?"
Stella" Bima hampir tertawa. Cewek yang badannya setipis
tripleks begitu" Siapa yang tertarik melihantnya" Soalnya sudah
bisa dpastikan, tidak adapemandangan yang bisa menyehatkan
saraf mata. " Tapi nggal mungkin. Bohong kamu! Ngarang! Aku tau tuh
cewek emang gila. Tapi nggak mungkinlah otaknya sampe korslet
banget gitu! " " Kenapa mesti bohong" "tanya Bima kalem. "Kenapa mesti
ngarang cerita" Tanya aja sama orangnya kalo nggak percaya!"
Maksud Bima tanya sama Demi Moore atau Madonna. Tapi karen
dari awal sudah miskomunikasi alias mis-objek pembicaraan.
kalimat itu membuat Fani yakin Stella-lah yang telah melakukan
aksi bugil di depan Bima. Dan makin shock-lah dia tanpa bisa
menyembunyikan ekpresinya. Dengan puas Bimamenikmati


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterperangahan itu, " Sampe begitu, Fan! tapi aku tetep inget cewek yang kutinggal di
rumag. Yang sekarang ini duduk di depanku. Yang selalu aku
bawain edelwis tapi nggak pernah bilang terima kasih. Yang aku
telepon sering di bilang nggak ada, yang kalo aku dateng jarang
di sambut dengan manis. Tapi tetep". " Sepasang mata Bima
berubah lembut, "Aku nggak akan bikin dia menangis!"
*** Fani langsung lari ke meja telepon begitu bima pulang, karena
ada hal mahagawat yang harus disampaikannya pada Langen
segera. Tapi ternyata sahabatnya itu telah berpesan kepada seisi
rumag bahwa dia benar-benar tidak ingin di ganggu. Sementara
ketika dicobanya menghubungi Langen via ponsel, tidak aktif.
Terpaksa Fani cuma bisa menunggu, dan langsung terbirit-birit
begitu telepon berdering.
" Ya ampun, LA! Elo ngapain aja sih" "
" Gue marah banget, Fan!"
"Merek kan dari dulu emang gitu. Nggak bisa liat libur lamaan
dikit" " Tapi nggak bisa gitu terus dong! Emangnya mereka nganggap
kita tuh apaan" Nggak ada jalan lain. Kita harus balas dendam!
Tadi waktu semedi gue udah nemu caranya. Tapi kita
ngomonginnya di tempat febi aja."
" Di rumah Febi" Ngapain di sana" Elo kan tau dia orangnya
ngeselin." " Justru itu! Mau nggak mau kita harus ngajak dia. Bahaya kalo
nggak!" " Emang lo mau ngomongin apa sih?"
" Ya masalah kita. Kita harus balas dendam. Harus bikin
perhitungan! Santai aja mereka, pergi-pergi melulu, tapi nggak
pernah ngajak kita satu kali pun. "
" Febi mana mau lagi?"
" Kita hasut sampai dia mau! "
Fani diam, berfikir. Tiba-tiba dia ingat tujuannya menelepon
Langen. " Ohiya ! Bilangin Febi, kalo setiap mereka pergi, Stella pasti ikut.
PAsti Febi langsung panas. Nggak perlu dihasut lagi."
"Stella" Masa" Orang badannya kayak keripik gitu" Mana kuat
naik gunung?" "Tapi kata Bima gitu, La. Kalo anak-anak Maranon bikin acara, si
Stella pasti ikut." "Hah!" " Sepasang mata Langen kontan melotot bulat-bulat.
"Masa sih Fan" " Iya! Gue juga taunya brusan, waktuBima ke sini. Sekarang yang
jadi masalah bukan kerempengnya. Nekatnya itu lho. Elo tau
sendiri kan Stella orangnya gimana kalo udah seneng sama
cowok. Kejar pantang malu! Mau tuh cowok udah punya cewek
kek, bodo amat dia!"
"Pantesan aja mereka mati-matian nggak mau ngajak kita. Kasih
alasan ini-itu. Bukan buat pemula-lah, interlah. Emamngnya si
Stella itu udah pakar, apa" Lagian dia juga bukan anggota
Maranon. Orang Maranon nggak punya anggota cewek. Dasar!
Kurang ajar! Jadi gitu ceritanya"!" desis Langen berang.
"Dan ada berita yang lebih mengemparkan lagi, La!"
"APa tuh!" Apa!" Apa!?"
"Aksinya Stela udah makin nekat. Sekarang dia udah sampe pake
atraksi.. Siap-siap, La..! Siap-siap"! BUGIL!!!"
"HAAA!?" Langen menjerit gila-gilaan. Lalu" bruk! Cewek itu
terjatuh gara-gara tulang keringnya terantuk telak-telak saat
akan memutari meja telepon. "ADOOOH!" kontan dia menjerit
kencang lagi. Lalu hening.
"Langen" La" Elo kenapa" Lo mati ya" Langen" Halo" Halo?"
Pangil Fani. Sambil tengkurap, Langen meraih gagang telepin
yang tergantung-gantung. " Sori aja ya kalo gue mati gara-gara Stella"
"Nah tadi lo kenapa?"
" Tulang kering gue kena meja, gara-gara kaget. Eh, Stella bugil
dimana" di toilet, kan?"
" Kalo di toilet, gimana bima bisa tau?"
" Haah!?" Langen berdecak, "Ini benar-benar gaswat! Bnerebener bahaya besar! Nggak tau malu banget tuh cewek! Dasar
nggak bermoral!" "Makanya! Ntar kasih tau tuh si Febi!"
Begitu mendapatkan hot news yang benar-benar hot itu, dengan
penuh semangat Langen dan Fani segera meluncur ke rumah
Febi. Keduanya sudah sangat yakin bahwa berita mengemparkan
itu juga akan membuat Febi tercengang. Dan Febi tidak akan
berpihak lagi kepada Rei dan kedua sobatnya, Bima dan Rangga.
Perlu diketahui, sudah lama Langen melancarkan aksi protes
tentang terlalu seringnya Rei cs pergi ke A, B, C, D, E, dan
banyak tempat lagi, tanpa satu kali pun mau mengajak. Hanya
membawa oleh-oleh cerita, itu pun sering kali tidak lengkap.
Sangat tidak lengkap malah. Tapi bukannya membela Langen dan
Fani yang notabe sesama cewek, Febi justru berada di pihak Rei
cs. Gimana aksi protes kedua cewek itu tidak selalu gagal kalau
hasil voting selalu dua lawan empat.
Mending kalau Febi mendukungnya cuma dengan ngomong "iya"
atau anggukan kepala. Febi tuh selalu saja memberi nasihat.
Selalu saja memakai wejangan. Gima kekalahan tidak menjadi
semakin telak, dinasehati panjang.-panjang soal kodrat laki-laki
dan perempuan di depan cowok-cowok yang justru anti
emansipasi! " Ternyata mereka selama ini bohong, Feb. Katanya nggak
pernah ada cewek yang ikut. Nggak taunya banyak. Apalagi
Stella. Tuh cewek nggak pernah absen! Iya kan, Fan" " Kata
Langen. "Bener banget!" Tandas Fani langsung.
" Dan cewek-cewek yang ikut itu ternyata juga bukan yang
model-model Xena atau Laila ali, gitu. Bukan cewek macho.
Mereka sama aja kayak kita. Fisiknya pas-pasan. Makanya selalu
aja ada yang sakit. Malah ada yang sampe pingsan!" Langen
meneruskan hasutannya . " Betul! " tandas Fani lagi.
" Dan si Stella itu pakarnya pingsan, Feb. Apalagi kalo di depan
cowok yang lagi diincer. Waaah, pingsanmulu dia! Biar ditolongin,
diperhatiin, dijagain. Dan lo au sendiri kan, kalo cowok udah
sampe ditaksir sama cewek satu itu" Wassalam! Udah nggak bisa
diapa-apain lagi. Tinggal bisa didoain doang, semoga tahan
godaan " " Tapi gue nggak percaya Rangga akan begitu, " ucap Febi
tenang. " Kita bukan lagi ngomongin Rangga, Feb. Tapi Stella! Steeeella!
Kita kudu jaga-jaga. Itu maksud gue!"
" Jaga-jaga kan bukan berarti kita mesti ikut. Ya kayak yang lo
bilang tadi, Didiain. Gue rasa cukup. Malah lebih manjur. "
Didoain doang!" Langen melotot. Ini anak udah kayak emakemak aja!
" Lo nggak takut, Feb" "
" nggak, " Febi geleng kepala.
Langen berdecak. Saling pandang dengan Fani. Sudah waktunya
mengeluarkan hot news. " GUe dapet informasi yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, Feb " Katanya, dengan nada sungguh-sungguh
dan ekpresi muka sangat serius. " Katanya Stella sampe pernah"
bugil! Di depan Bima! "
Febi kontan ternganga. Tapi hanya sesaat. Setelah itu dia
tersenyum geli. Hampir tertawa, tapi buru-buru ditutupnya
mulutnya dengan telapak tangan.
" Siapa yang bilang begitu" Nggak mungkin. Pasti bohong, isu,
gosip." " Bima sendiri yang ngomong, Feb. dia cerita sama gue kok.
Bener! " " Bohong itu, Fan. Jangan percaya"
" Tapi Bima sendiri yang ngomong!" Fani ngotot. Kedua matanya
sampai melotot. Tapi Febi tetap cuma senyum-senyum. Tetap tenang. Tidak
terbakar sama sekali. Benar-benar jauh dari perkiraan Langen
dan Fani, bahwa dia bakalan shock berat terus pingsan. Ini boroboro shock apalagi pingsan, percaya seuprit juga kagak!
"Itu udah pasti berita bohong. Kalian berdua mikir dong.
Emangnya itu nggak menghancurkan nama dan harga diri?"
" tapi?" " Udah. Udah, " potong Langen, mengentikan protes sahabatnya.
"Okelah, kita anggap itu bohong. Tapi sekarang kita tau, ternyata
setiap mereka pergi itu ada ceweknya! Nah, pertanyaanya?"
Langen menatap Febi lurus-lurus. " Kenapa mereka nggak pernah
mau ngajak kita?" " Gue punya jawabannya. " Febi tersenyum lebar, agak geli. "
Mau denger?" "apa?" Sejenak Febi menatap ke luar jendela. Kesua temannya itu
memang tidak tahu batasan. Tidak bisa mawas diri. Meskipun
pacar, orang paling dekat, tetap ada garis yang tidak bisa di
langgar. Perempuan itu harus tahu kodrat!
" Sini ta" kasih tau, " Febi memulai wejangannya. " Mereka pasti
punya alasan untuk ngajak kita. "
" Alasannya jelas karena mereka nggak mau direpotin! Apa lagi?"
jawab Langen cepat. " Bukan begitu. Aku, eh, gue liat bukan itu. Mereka itu kan
emang senengnya kegiatan-kegiatan keras begitu. Sementar
kita"," Febi mengangkat kedua alisnya, "boro-boro!"
" Kan bisa belajar!"
" Belajar emang bisa. Tapi untuk apa coba" Kalo tujuannya cuma
untuk menyaingi mereka, gue rasa nggak bagus. Kegiatankegiatan yang kayak gitu kan emang sudah dunianya cowok.
KAlopun ada ceweknya, itu cewek-cewek yang pada dasarnya
emang bener-bener suka. Bukan karena ikut-ikutan atau punya
tujuan lain. Jadi nggak usahlah kita ribut. Nuntut ini, nuntut itu.
Jadi perempuan itu mesti tau kodrat, La. Kamu juga, Fan. Mesti
bisa mawas diri. Mesti tau mana yang pantes dan mana yang
nggak." Iiiiuuugh! Langen mendesis pelan. Jadi tambah dongkol lagi.
" Terus juga"," sambung Febi. Kali ini nada suaranya sangat
hati-hati. "Mereka itu kan udah semester enam, dua tahun lebih
tua dari kita. Jadi elo seharunya manggil Rei itu "Mas Rei", La. Elo
juga Fan, janan panggil "Bima" gitu aja. "Mas Bima", atau "Bang
Bima" kalo pake adat betawi. Atau "Kak Bila"-lah, kalo elo mau
panggil dia "Abang"
Langen dan Fani sontak terperangah.
Mas Rei" Abang Bima" Oh, Tuhan" berikanlah ptunjuk-Mu
kepada teman kami yang sungguh budiman ini! Keduanya berdoa
dalam hati dengan kata-kata yang nyaris sama.
Febi kemudian meneruskan kalimatnya, tak peduli dengan sorot
kengerian di dua pasang mata di depannya akibat kata-katanya
barusa. " Kita harus hormat pada orang yang lebih tua. Apa lagi- kalo
langgeng nih- mereka akan jadi calon suami. Dan selamanya,
Suami adalah tuan!" Makin tercenganglah LAngen dan Fani.
Oh, no! No! Tidak! Tidak!!!
Benar-benar deh, si Febi ini ternyata memang produk zaman
majapahit!. *** " Febi itu kok bisa sampe kuno banget gitu ya, La" Amit-amit
deh!" Fani geleng-geleng kepala. "
" Emang! Sebel! " dengus Langen
" Pantesan aja Rangga cinta mati sama dia. Hari gin bo, dimana
lagi bisa dapet cewek kece, tajir, tapi geblek banget gitu! Lo
denger tadi" Kita disuruh manggil cowok-cowok itu "Mas" atau
"Abang?" Kebayang nggak sih lo" Bang Bimaaaa!?" Fani
membelalakkan matanya lebar-lebar. "Gue pilih nyikatin monas
dari tangga paling bawah sampe ke ujung emasnya, daripada
manggil bima "Abang"!"
" Iya, Emang gila tuh anak!" Langen serentak bergidik. "Hampir
aja gue epilepsi denger usulnya tadi."
" Jadi sekarang gima nih?"
Langen berdecak lidah, lalu mengetukkan jari-jari di dasbor.
Mencari akal bagaimana caranya melibatkan Febi ke dalam
rencana besar merek. Harus! Karena kalau tidak, itu akan jadi
bahaya besar. Bukan karen Febi tukang ngadu, tapi karena cewek
satu itu terlalu polos dan sama sekali tidak bisa berbohong.
Selama ini dia selalu kena hasutan Rei dan Bima dengan
gampang dan sukses. Kalau kedua cowok itu merasa ada sesuatu
yang sedang disembunyiin cewek-ceweknya, mereka akan
langsung mencari tahu lewat Febi. Dan Febi, dengan falsafah
hidup "Bohong itu dosa", Jelas saja langsung membeberkan
semua yang dia tahu. Makanya, detelah tahu Febi ternyata sangat "berbudi luhur"
begitu, Langen dan Fani jadi ekstra hati-hati. Jangan sampai
kelepasan ngomong di depannya.
" Ah, iya! Ya ampun!" Seru Fani. " Gampang banget, lagi. Kita
minta tolong salsha aja."
Langen terbelalak sesaat, lalu dipukulnya kuat-kuat jok yang
didudukinya. " Ide lo brilian banget! Puter arah, Fan. Kita ke tempat Salsha
sekarang!" "Oke, Bos!" *** Salsha itu teman sekelas mereka waktu kelas 1SMA. Seru banget
sekelas sama dia. Mukanya sih sangat kalem. Cenderung innocent
malah. Badannya juga imut, kecil. Tapi, kalau kelas jadi ribut atau
ingar-bingar, 75% itu pasti gara-gara dia.
Salsha langsung ketawa-ketiwi begitu Langen menceritakan
maksud kedatangannya. Dia memang paling senang kalau ada
yang minta pertolongan model-model begitu.
" Itu sih gampang. Urusan gini aja pake nyari gue."
" Nggak usah sok penting deh lo! " Langen menjitak kepala
temannya. " Ada alasannya kanapa kami sampai terpaksa nyaiin
elo. Tapi itu ntar aja. Cerita lengkapnya menyusul. "
Sekali lagi Salsha memerhatiin tiga lembar foto yang tadi
diserahkan Langen padanya. Foto-foto Rei, Bima, dan Rangga.
"Oke deh!" Dia mengajukan satu jempolnya. " Serahin ke gue!"
*** Dua hari kemudian Salsha muncul di kampus Universitas
Sagarmatha. Dia langsung menuju falkutas Ekonomi dan
menghampiri tiga cewek yang sedang duduk di satu bangku
panjang, dengan lagak kebingungan.
" Ehm, maaf. Falkutas Perminyakan di mana ya" "
" Di gedung belakang," jawab Langen, pura-pura tidak kenal.
Salsha memang sudah memberitahukan rencana kedatangannya
lewat telepon tadi malam. Karen itu siang ini Langen dan Fani
memaksakan diri bermanis-manis menemani Febi, agar Salsha
tidak kebingungan mencari targetnya. "Cari siapa?" tanya Langen.
" Rangga"

Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang mata Febi langsung melebar. " Rangga?" tanyanya.
" He-eh," jawab Salsha centil. Membuat kedua mata Febi semakin
lebar lagi. " Rangga Dipa Dilaga?" Febi mu;ai antusias.
" He-eh. Keren banget ya namanya?" Salsha mengedipkan mata
kirinya sambil senyum-senyum bangga. "Kenal juga ya" Tapi tuh
cowok dari dulu emang ngetop. Wah, pokoknya udah kayak
selebriti deh!" " Mbak ini" siapanya" Dulu" oacarnya?" suara Febi langsung
putus-putus. " Emangnya kenapa?" Salsha menatap Febi tajam. " Dia punya
pacar!?" tanyanya galak. " Awas aja tuh orang kalo sampe berani
punya pacar!" Muka Febi kontan memucat. Sementara Langen dan Fani
langsung bengong. Bengong sungguhan karena mereka berdua
memang tidak tahu sandiwara Salsha. Soalnya semalam di
telepon, Salsha hanya mengatakan akan datang ke kampus,
tanpa mau menjelaskan apa yang akan silakukannya. "pokoknya
surprise deh", cuma itu kalimat penutupnya.
" Oke deh. Makasih ya, Informasinya. Yuk, dadah!" Salsha
melenggang pergi. Tapi tak lama dia balik lagi " Di mana tadi
kelasnya" Saya lupa."
" Emang belom di kasih tau!" jawab Langen agak kesal. Fani
meringis. " Di gedung belakang. Yang di tempat parkirnya ada
pohon cemawa. Lantai tiga. Tapi biasanya dia suka nongrong di
ruang senat." " Oke deh. Makasih ya" Daaaaah."
Salsha pergi. Melenggang dengan gaya dibuat-buat.
" Ngapain dia nyariin Rangga ya?" Langen mulai mengipas bara.
" Tau tuh. Centil banget, lagi. Siapa sih tuh cewek" Fani langsung
membantu. Febi terus menatap Salsha dengan ekpresi muka yang susah
dibaca. Tiba-tiba dia berdiri.
" Yukk!" ujar Febi tiba-tiba.
Febi tidak menjawab. Dia tidak tahu, dua orang di belakangnya
mengikuti sambil meringis dan saling main mata.
Sementara itu Rangga bingung ketika tiba-tiba saja seorang
cewek yang sama sekali tidak dikenalnya mendatanginya. Apalagi
cewek itu bertanya dengan suara mendesah dan gaya yang
begitu mengoda. " Rangga, ya?" " Siapa lo?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
" Kenalin," Salsha mengulurkan tangan kanannya, masih
menebarkan senyum genitnya yang disambut agak ragu oleh
Rangga, "Gue kurirnya Ratih yang baru!"
Rangga tersentak. Mukanya kontan pucat dan gengamannya
terlepas. " Ng" maksud lo?"
" Gue dimintain tolong sama Ratih buat nyariin elo. Kalo udah
ketemu, gue disuruh bilang, elo disuruh ke rumahnya. Penting
katanya. Elo ke mana aja sih" sampe dia mengiba-iba ke gue
dengan sangat mengenaskan, minta tolong supaya gue nyariin
elo. Elo tau nggak" Itu anak sampe sakit, katanya gara-gara lo
udah nggak pernah dateng lagi. Jadwal pentasnya sampe banyak
yang dibatalin, tau nggak" Elo jangan gitu dong! Habis manis
sepah dibuang. Elo dulu bilangnya kan cinta mati sama dia, Dan
hanya maut yang akan memisahkan kalian! Gitu kan janji basi lo"
Makanya Ratih nyiptain tarian khusus buat elo, waktu elo luluslulusan dulu banget itu. Waktu instingnya merasa sesuatu telah
terjadi. Jangan k\bilang udah lupa deh! Jadi?" Salsha sengaja
memenggal kalimatnya untuk meningkatkan intesitas ketegangan
di sekitarnya. " Elo ditubggu. Secepatnya!"
Rangga semakin pucat. Gelisah diliriknya sekeliling.
" Ya udah. Cuma itu doang. Oke ya" bye!" Salsha langsung balik
badan. Rangga buru-buru mencekal satu tangannya. Tapi cepat
dia lepaskan lagi saat tidak sengaja menoleh, mata dingin Febi
menyorot tajam. Akhirnya cowok itu bingung mau ngomong apa.
" Apaaa?" tanya Salsha pura-pura tak sabar. " Sori nih, gue buruburu banget. Mendingan lo temuin aja deh tuh" si Ratih. Dia
nyari-nyariin lo udah dari kapan tau. Ntar gue dikira nggak usaha,
lagi. Oke" Dateng bener lho ya. Jangan sampe nggak. Kasian dia.
Ntar dia sakit lagi."Ditepuknya satu bahu Rangga, lalu buru-buru
pergi. Tinggal Ranggaberdiri kikuk di tengan lima orang yang
menatapnya dengan sorot demakin tidak mengerti.
" Siapa, Ga?" tanya Bima.
Rangga langsung memberi isyarat untuk tidak bertanya. Lembut,
digamitnya lengan Febi. " Kita perlu ngomong, Feb," Katanya halus. Dan dibawanya Febi
pergi dari situ. " Ratih itu siapa, Sha?" Langen langsung bertanya begitu pintu di
depannya terbuka. " Gue juga nggak tau," Sambil melebarkan daun pintu, Salsha
menjawab ringan. Dua orang di depannya kontan menatap
nyureng dengan kedua alis menyatu.
" Gimana sih lo!?" Seru Langen dan Fani hampir bersamaan.
Salsha tertawa geli. " Ya emang gue nggak tau cewek itu siapa. Gini lho" " Salsha
berjalan ke arah meja tamu dan menarik sebuah album foto dari
bawahnya. " Ceritanya sih simpel aja. Waktu lo bilang cwok tiga
itu jebolan SMA Santo Martin, iseng gue pinjem album fotonya
Saskia. Tau kan lo" Sepupu gue yang sekolah di sana juga" Dan
gue nemu ini?" Salsha menunjuk salah satu foto. " Nih, coba
liat!" Langen dan Fani langsung duduk di kiri-kanan Salsha. Dan mata
mereka kontan membesar. Di foto itu, di depan satu spanduk
besar bertulisan " ACARA PELEPASAN " di antara kerumunan
manusia yang berebut untuk bisa terekam lensa kamera, Rangga
duduk di rumput. Menatap ke arah kamera dengan tawa lebar
dan lambaian tangan kanan. SEmentara tangan kirinya memeluk
erat seorang cewek manis berambut panjang, yang dengan
manjanya menyandarkan kepala di dada Rangga.
" Gile, mesra amat. Jadi ini yang namanya Ratih?" tanya Langen.
Salsha menganguk. " Apa anehnya?" tanya Fani. " Mungkin ini emang cewek Rangga
waktu itu, waktu belom kenal Febi. Rangga sama Febi jadiannya
belom ada setaun, lagi. Ini acara perpisahan taun berapa"
" Taun kemaren. Barengan kita lulus-lulusan juga."
" Yah, berarti Febi sama Rangga belom jadian "
" Ini prolog dulu Fan. Yang sebenarnya mau gue tunjukin ke elo
berdua tuh" ini!" Dengan gaya penuh kemenangan, Salsha
menarik sebuah majalah dari bawah meja, lalu membuka bagian
tengahnya. "Silahkan diliat!".
Dengan kening berlipat, Langen meraih lembaran foto yang ad di
tengah majalah. Seketika dia dan Fani ternganga. Foto-foto itu,
Rangga yang tengah memeluk Ratih. Ratih yang dibalut busana
penari jaipong, dengan bahu terbuka dan kostum yang
membentuk tubuhnya seperti as betot.
" Ini foto dua bulan lalu!" ucap Salsha dengan nada puas. "
WAktu itu Ratih lagi pentas. Di Taman Mini, anjungan mana gitu.
Gue lupa. Untuk diketahui, Ratih itu penari. Info ini gue dapet
dari Saskia. Kata saskia, Ratih kalo nari jaipong, wiiiih" heboh!
Erotis, gitu!" " Febi juga penari," kata Langen tanpa mengalihkan matanya dari
foto-foto itu. " Dan kata Saskia mengutip dari anak "Pustaka & Dokumentasi",
organisasi ekskul fotografi SMA Santo Martin lah yang dapet
tugas dari sekolah untuk mendokumentasikan keikutsertaan wakil
sekolah mereka di acara itu?" sabung Salsha. " Abis acara itu,
Ratih nangis-nangis bombai, trus besoknya nggak masuk sekolah
sampe tiga hari!" " Nggak masuk sekolah?" Langen dan Fani bertanya hampir
bersamaan. " Dia belom kuliah?" sambung Langen.
" Belom. Dia masih kelas tiga SMA!"
" HAH!?" Langen dan Fani berseru bersamaan.
" Kaget kan" kaget kan?" Salsha meringis. Senang usahanya
berhasil mengagetkan teman-temannya.
" Jelas Ratih cewek Rangga yang laen!" tegas Fani. " Orang dia
sampe nyiptain tarian khusus segala. Kalo bukan pacar, ngapain
lagi sampe begitu?" " iya emang" Tarian apaan sih?" tanya Salsha
" Lha, kan elo yang bilang waktu itu?"
"Bilang apa?" " Yeee"!" Fani kontan melotot. Langen tertawa geli, sudah bisa
menebak bahwa itu hasil karangan Salsha. " Jangan bilang waktu
itu lo asal ngomong aja deh, Sha."
" Emangnya gue bilang apa aja sih waktu itu" Soalnya gue lupa
nih. Bener!" " Lo kayak nggak tau Salsha aja Fan. Dia kan suka asal buka
mulut." " Wah, emang nekat lo!" Fani ternganga. " Jadi lo ngomong
blablabla panjang bener waktu itu, itu ngarang semua?"
" Sebagian besar. Saskia cuma tau Ratih itu suka nari suma baca
novel-novel herlequin, gitu. Terus gue kembangin aja
berdasarkan itu," jawab Salsha enteng. " Gue ngarang mendadak
tuh. Makanya sekarang lupa!"
" Ya ampun!" Fani geleng-geleng kepala. " Kok bisa pas sih?"
"Saskia tau, yang pasti Ratih itu siapanya Rangga?" tanya
Langen. " Nggak. Orang dia nggak kenal sama tuh cewek. Nggak pernah
sekelas, Tapi dia pernah ngeliat Ratih berkali-kali di jemput
Rangga. Malah kalo jalan pake dipeluk segala. Kayak di foto-foto
yang lo liat itu." " Wow"!" Langen dan Fani saling pandang sambil memainkan
alis. " Mister Nice Guy-nya Febi ternyata" " Dua-duanya nyengir
lebar. *** Di areal parkir di depan gedung rektorat, Rangga duduk terdiam
di belakang setir Jeep Wrangler cokelatnya sejak beberapa saat
lalu. Ia masih tidak bisa percaya, rahasia yang selama ini
disimpannya rapat-rapat, terbongkar tiba-tiba. Harus dia cari tahu
siapa cewek yang sudah datang ke kampus dan bikin gara-gara
itu! Karena setelah dia ke rumah Ratih kemarin, cewek yang
belum lama dilepasnyaitu juga sama kagetnya.
Ratih mengaku telah bisa menerima cerita cinta mereka yang
berakhir dua bulan lau itu, dan menjadikannya masa lalu. Ia tak
ingin lagi berusaha mengingat, apalagi bertemu. Dan saat
Rangga menyebutkan ciri-ciri cewek sialan itu, juga semua
omongannya. Ratih geleng kepala. Mengatakan tidak mengenal
cewek itu sama sekali. Bingung, kan"
Kepala Rangga langsung terangkat saat kijang hijau tua yang
ditunggunya muncul di gerbang kampus. Buru-buru ditekannya
klakson, memberi isyarat agar Langen parkir di sebelahnya.
" Wah, kayaknya dia tau kalo kejadian waktu itu gara-gara kita
La!" desis Fani. " Gimana bisa?"
" Itu buktinya. Dia sengaja nungguin kita di sini. Gimana nih?"
Langen menatap Rangga yang kelihatan semakin tidak sabar.
Tangan cowok itu melambai, minta mereka supaya cepat. Dengan
cemas LAngen menuruti perintah itu.
" Ada apa?" tanyanya dengan sikap yang dipaksa terlihat wajar.
" Soal cewek yang dateng kesini waktu itu. "
Kedua cewek itu kontan tercekat, tapi Langen buru-buru
menutupi kekagetannya. " Iya, kan" ketauan juga lo akhirnya!" tukas Langen. " Dari
pertama gue udah nggak percaya. Lo pasti cuma pura-pura alim.
Biar Febi nggak curiga. Iya kan"
" Gue nggak perlu komentar lo. Gue nunggu lo disini karena ada
yang mau gue tanya. Dia bilang apa sajaa waktu itu" Sebelum
nemuin gue?" " Nggak ada. Dia cuma nanyain kelas lo. Ya gue nunjukin."
" Cuma itu" Febi nanya apa aja ke dia?"
" Febi nggak ngomong apa-apa"
"Yang bener?" " Bener!" Rangga terdiam,kelihatan lega. Dia nggak tahu, kedua cewek
didepannya juga merasa lega, karena tidak terbongkar merekalah
biang keroknya. " Lo bisa nolongin gue nggak, La" Tolong cari tahu siapa tuh
cewek." " Kan dia disuruh sama Ratih. Lo tanyain si Ratih dong. Eh, tapi
Ratih itu siapa sih?"
Rangga menyeringai " Nggak akan gue kasih tau!"
" Nggak masalah." Langen mengibaskan tangan. " Lagian siapa
juga yang pengen tau" Febi emang polos. Tapi gue nggak. Model
kayak elo sih, gue bisa baca!"
Fani tertawa. Tapi buru-buru diam begitu Rangga menatapnya
tajam. " Ratih nggak kenal tuh cewek!"
" Hah" nggak kenal?" Langen berlagak kaget benget. " Wah!
Aneh banget tuh! Oke deh. Lo tenang aja. Ntar gue selidikin
cewek kurang ajar itu!"
" Kapan gue dapet kabar?"
" Ya nggak bisa gue pastiin. Orangnya nyari kemana aja, kami
belom tau. Pokonya begitu udah kami temuim tuh cewek,
secepetnya kami kasih tau elo."
" Oke kalo gitu. gue tunggu. thanks banget, La"
" You"re welcome" Langen menjawab manis.
Rangga pergi tanpa curiga. Dan begitu dia hilang di koridor
utama kampus, Langen dan Fani kontan cekakakan sampai sakit
perut. Dan agar niat mereka untuk menolong itu kelihatan serius,
mereka berdua lalu menyatroni SMA Rangga dulu-yang juga SMAnya Rei dan Bima- SMA Santo Martin.
Langen dan Fani duduk di bangku semen di dekat gerbang dan
mulai memerhatikan siswi-siswi SMA itu satu persatu. Mencari
satu orang saja yang agak mirip-mirip Salsha.
Ajaibnya". Ada lho! Kontan keduanya melongo begitu cewek itu
melintas di hadapan mereka. Memang tidak mirip-mirip amat sih.
Tapi tidak masalah. Yang penting ada target dijadikan kambing
hitam! Keduanya langsung melompat bangun dan diam-diam mengikuti
dari belakang. Dan dari beberapa orang yang menyapa cewek itu,
mereka jadi tahu nama cewek itu Vinka. Tanpa buang waktu,
Langen langsung lapor ke Rangga bahwa dia sudah menemukan
oknum teroris itu. " Namanya Vinka, Ga. Anak Santo Matin juga. Tapi nggak tau
kelas berapa. " Nggak apa-apa. Itu juga udah cukup. Thanks"
Dan tanpa selidik lagi " Malah tanpa buang waktu lagi- Rangga
langsung menemui Ratih, memintanya untuk berbicara dengan si
Vinka itu apa maksud semua tindakannya. Bersamaan dengan itu,
Langen mengontak Salsha. Minta tolong supaya Saskia, sepupu
Salsha yang sekolah di Santo Martin, untuk memonitor.
Dan menurut laporan Saskia via Salsha, besoknya Ratih dan Vinka


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ribut besaaar! Ratih mendatangi Vinka di kelasnya dan langsung mengamuk. Dia
membentak-bentak Vinka saat kelas sedang ramai. Memaksa
cewek itu mengaku, apa maksudnya mencari Rangga sampai ke
kampus segala! Sementara Vinka yang tidak mengerti "ada apa gerangan" jelas
saja tidak terima di maki-maki di depan banyak mata begitu. Dia
langsung marah-marah juga. Perkembangan berikutnya benarbenar di luar dugaan. Ratih dan Vinka muncul di kampus
Universitas Sagarmatha! " Siapa yang namanya Rangga?" tanya Vinka galak.
" Gue," jawab Rangga bingung.
" Elo!?" Seketika kedua mata Vinka menyorot Rangga dngan
tajam dan penuh kemarahan. Dia lalu melangkah mendekat dan
pasang badan di depan Rangga persis. Meskipun badannya imut,
mirip Salsha, tapi berhubung telah menjadi korban fitnah dengan
sangat semena-mena dia jadi tidak takut. " Apa maksud lo!"
kapan gue pernah kesini nyariin elo!" Siapa lo aja gue nggak tau!
Jangan sembarangan dong lo! Dia marah-marah sama gue!"
Tangannya menunjuk muka Ratih, dekat dan lurus-lurus. " Nuduh
gue macem-macem. Gue udah punya cowok, tau! Ngapain juga
gue ngerebut pacara orang!?"
Langen menarik Fani keluar dari kerumunan. Keduanya semakin
memasang tampang se-innocent mungkin. Saat suasana makin
kisruh, Febi menunjukan satu poin lebihnya sebangai cewek yang
di besarkan di lingkungan aristokrat tulen. Dengan suara anggun,
tenang dan beribawa, dipotongnya omelan Vinka yang sudah
seperti petasan renceng saking emosinya.
" Kita ngomong di tempat lain. Bisa ditahan emosinya sebentar
kan?" Febi, Rangga, sang "Sephia" Ratih, dan si "Kambing hitam malang"
Vinka, lalu pergi entah kemana.
" Ranggaaa" Rangga" Ada-ada aja!" Bima tertawa geli.
" Ada apa sih" siapa tuh cewek?" Tanya Langen dengan ekpresi
muka setenang permungkaan danau pada angin malas tertiup.
" Nggak tau." Kedua cowok di depannya geleng kepala
bersamaan. Lama juga. Setengah jam lebih baru Rangga kembali dan
menghampiri Langen. " Bukan dia, Lagi!" desisnya dongkol.
" Yaaa, Sori deh, Gaaaa" " Langen berlagak menyesal telah salah
tunjuk. " Abisnya gue lupa-lupa inget tampangnya. Namanya juga
baru ngeliat sekali."
" Kenapa nggak lo cari sengiri?" tanya REi tajam. Tidak terima
ceweknya disalahkan. " CK!" Rangga berdecak. Ingin marah tapi tidah tahu harus ke
siapa. "Lo pada pulang deh. GUe masih ada urusan!"
"Oke!" Bima mengangguk, menahan tawa. " Udahlah, nggak usah
disesalin. Dari dulu gue udah bilang, mendingan kayak gue.
Punya belang kasih liat aja. Dari pada kebongkar begini."
"Dasar babon!" Bisik Fani di kuping Langen.
" Yuk, balik! Balik!" ajak Rei sambil meraih tangan Langen.
Berempat, kemudian mereka tinggalkan tempat itu. Juga Rangga
yang mukanya lecek berat.
*** Langen baru pulang dari rumah Salsha bareng Fani,
menyampaikan perkembangan heboh itu, waktu ibunya bilang
bahwa seharin Febi bolak-balik menelepon. Langen dan Fani
saling pandang, lalu buru-buru berlari ke meja telepon.
" Kenapa dia nggak telepon ke HP sih?" Ucap Langen sambil
memutar nomor telepon] " Berarti dia shock berat La. Sampe jadi bego" Jawab Fani sambil
menarik kursi rapat-rapat ke sebelah LAngen.
" Halo" Juminem" Ndoro Gusti kamu ada nggak" Ini dari Yang
Mulia Ndoro Gusti Langen!"
" Elo, La!" Fani terkikik, tapi buru-buru menutup mulut. Takut
terdengar orang di seberang.
" Halo" Ada apa, Feb" Kata nyokap gue, lo bolak-balik nelepon?"
Iya, gue abis nganterin Fani. Lo kan tau dia paling nggak bisa
kalo ngeliat kaus yang lucu. Pasti pengen punya" Oh, iyalah di
toko, bukan di jemuran orang. Kalo itu sih gue ogah nemenin.
Bukan apa-apa. Tanggung soalnya kalo coma kaus. Mending
sekalian sama jins atau seprai, gitu. Apalagi kalo bisa dapet baju
pesta. Lumayan banget tuh!"
Sampai di situ, omongan Langen terputus tawa berderai Fani.
Sementara Febi cuma tersenyyum tipis. Sudah tidak kaget lagi
dengan mulut lagen yang memang sering ngaco.
" Itu, La" waktu ke rumah gue itu, lo sebenernya mau
ngomongin apa?" " Oh, yang waktu itu" Nggak. Gue cuma mau ngasih tau lo aja,
cowok-cowok itu ternyata pada bohong. Selama ini kan mereka
selalu bilang kalo kegiatan-kegiatan itu cuma untuk intern. Kalo
nggak begitu, ya mereka ngasih alasan macem-macem deh.
Kesannya orang awam gunung kayak kita-kita bakalan cuma
ngerepotin, nyusahin aja. Makanya gue punya rencana mau bikin
mata mereka melek. Kalo cima naek gunung aja sih" kita juga
bisa!" " Terus?" " Terus apanya?"
" Ya rencana lo itu"
Sepasang mata Langen melebar. SI ningrat ini terbakar jealous
juga akhirnya! Diacungkannya jempol ke Fani sambil
mengedipkan mata. Lalu diubahnya suaranya seperti orang yang
sudah pasrah. " Yaaah, gimana ya" Setelah gue pikir-pikir, omongan lo itu
benernya juga, Feb. Buat apa protes" Orang mereka dari dulu
emang begitu. Ya udahlah. Terima aja."
" Hmmm, begitu?" Suara Febi terdengar agak sedih, tapi Langen
berlagak tidak paham. " Iya, feb. Begitu aja. Ngapain lagi pusing-pusing" Emang kenapa
sih?" " Nggak! Nggak apa-apa!" JawabFebi buru-buru. " Tapi" waktu
lo dateng ke rumah gue itu" lo udah punya rencana mteng atau
baru gagasan" " Ya jelas Planning mateng dong"
" Besok pulang kuliah lo langsung ke rumah gue ya" Gue pengen
tau" " Buat apa" kan nggak jadi?"
"Nggak apa-apa. Gue cuma pengen tau aja. Ya?"
"Iya deh. Terserah elo."
Telepon di seberang ditutup. Langen langsung tertawa keraskeras.
" Berhasil, Fan! Jealous juga dia akhirnya. Emangnya enak,
dibohongin di belakang" Besok kita disuruh ke rumahnya. Dia
mau nanyain soal rencana gue itu!"
*** Jam dua belas tepat, kuliah hari ini berakhir.
" Makan siomay dulu yuk La" Dari semalem gue belom makan
nih. Terus abis itu kita makan rujak sebentar."
" Rujak melulu lo. Diare baru tau rasa. Kita makan di rumah Febi
aha. Pasti deh ntar ditawarin makan."
" Tidak! Cukup sekali!"
Langen tertawa. Dia tahu kenapa Fani ogah. Mereka memang
pernah makan malam di rumah Febi. Sekali. Namanya ditawari
makan, jelas saja langsung mereka sambut dengan girang.
Barangkali saja mereka akan menemukan masakan zaman
kerajaan-kerajaan dulu. Tapi ternyata, suasana di meja makan rumah Febi jauh lebih
khidmat daripada upacara tujuh belasan di istana negara! Mirip di
film-film horor, begitu hening dan sunyi mencekam! Hanya bunyi
desau-desau angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk dedaunan
di luar sana. Gimana nggak" Makan tidak boleh sambil ngomong, apalagi
cekikikan kayak kuntilanak. Mulut juga harus terus di tutup. Bibir
harus rapat dan baru boleh dibuka kalau makanan mau masuk.
Saat sendok beradu dengan garpu dan piring, tidak boleh sampai
mengeluarkan suar. Dan makanan juga harus benar-benar bersih.
Satu butir nasipun tidak ada boleh yang tertinggal.
Alhasih, di mana-mana yang namanya habis makan kan biasanya
jadi kenyang. Tapi kalo di rumah Febi, habis makan malah jadi"
puyeng! Sementara itu Febi sedang melamun di teras rumahnya,
menunggu, ini pertama kalinya dia membukakan diri. Tadinya dia
berfikir, dirinya takkan pernah membutuhkan Langen dan Fani.
KArena di mata Febi, dua cewek itu benar-benar cewek kasar!
Tipikal masyarakat golongan kasta rendah. Urakan, tidak tahu
tata krama. Kalau bicara seenak udel, ketawanya juga mirip buto
ijo! Kalau bercanda tidak peduli tempat, tidak peduli situasi.
Meskipun sedang makan, keduanya bisa saling mencela dengan
sangat seru dan riuh. Dan yang sempat membuat Febi shock, tiba-tiba saja dia
dianggap bukan siapa-siapa. Langen dan Fani sama sekali tidak
terkesan dengan darah biru tulen dan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Boro-boro hormat seperti kebanyakan orang
memperlakukan dia dan keluarganya. Memandang saja dengan
sebelah mata. " Permisiii". "
Febi tersentak dari lamunan. Dia berdiri dan segera melangkah
menuju pintu gerbang. " Masuk," ajaknya. Langen dan Fani melangkah masuk dengan
tertib lalu dudk dengan sopan di kursi teras.
" Makan dulu yuk" Udah jam satu lewat nih."
Keduanya kontan menjawab kompak, " Nggak usah, Feb. Terima
kasih. Kami udah makan kok. Nggak usah repo-repot deh."
" Yaudah deh kalo begitu," Febi tidak memaksa. " Kita ke kamar
gue aja yuk?" Dia berjalan kedalam. Langen dan Fani buru-buru
berdiri dan mengekor di belakangnya.
" JAdi rencana gue itu begini, Feb" Langen langsung menjelaskan
rencananya, setelah mereka duduk berhadapan di dalam kamar.
Tentu saja dengan tidak lupa berakting seolah-olah dia sudah
tidak ada niat untuk balas dendam lagi. Seperti kebiasaanya, Febi
mendengarkan tanpa menyela, sampai Langen selesai
menjelaskan semuanya. " Begitu, Feb, rencana gue."
Febi mengangguk lambat-lambat. Ditatapnya dua wajah di
depannya. Tanpa dia tahu, wajah-wajah itu cuma polos luarnya
saja. " Kalo kita jadiin, gimana?" tanya Febi
" Maksudnya?" tanya Langen, dalam hati siap sorak-sorak.
" Maksudnya" ya kita bikin mata mereka melek!"
Wajah-wajah di depannya langsung tersentak dan menatapnya
lurus. Tidak percaya. " Bener nih" Lo setuju?" Seru Langen tertahan.
" Iya dong! Cowok-cowok kita kan pada kompak. Jadi kita harus
kompak juga!" Iwan menatap dua teman SMA-nya dan seorang gadis yang tidak
dikenalnya, bergantian. " Ini bener, serius?"
" Aduh!" desis Langen kesal. " Pake nanya, lagi! Kan udah gue
ceritain semuanya. Lagi pula, kalo DP-nya aja udah pake Guns N"
Roses, dua pula, itu berarti udah bener-bener serius. Itu CD
bukan tanpa usaha, tau! Itu aja boleh ngembat punya Mas Radit.
Begitu dia tau, tinggal tuggu tewas aja gue!"
Iwan ketawa. " Masalahnya, naik gunung itu nggak gampang La. Persiapannya
banyak. Tapi" oke deh. Berhubung permasalahan elo-elo ini
sangat serius, gue udah ngontak temen-temen gue untuk
bantuin. Dan libur tiga hari besok langsung kita pake untuk
pengenalan medan." "Tapi kami nggak punya peralatannya sama sekali. Gimana?"
" Itu urusan gue. Lo bertiga cukup bawa baju ganti sama ransum
makanan. Oke?" " OKe!" Langen dan Fani menjawab kompak, dengan semangat
reformasi menurut persamaan hak. Sementara Febi cuma
mengangguk tanpa bunyi, pasrah, karena niatnya memang nggak
kenceng-kenceng amat. Karen Iwan sudah berpesan untuk datang pagi-pagi, hari jumat
jam setengah enam pagi Langen dan Fani sudah berangkat. Tapi
kalau berurusan sama Febi dan keluarganya, keduanya tidak bisa
berbuat lain kecuali pasrah. Karena untuk keluarga bangsawan
yang terhormat itu, etika atau tata krama jauh lebih penting dari
waktu! Dan sia-sialah mereka gedubrakan dari subuh, karena sekarang
kedua cewek itu sedang duduk dengan hati dongkol di teras
rumah Febi, menunggu Febi yang sedang sitanya ini-itu oleh ibu
dan salah satu kakak laki-lakinya. Dengan pasrah Langen dan
Fani mendengarkan pembicaraan dalam bahasa asing yang sama
sekali tidak mereka mengerti.
Maka, begitu acara bincang-bincang itu selesai, keduanya buruburu berdiri. Mereka membungkukan badan dengan takzim saat
akan mohon diri. " TAdi lo ngomongin apa sih Feb?" tanya Langen setelah mereka
meluncur pergi. " Biasalah. Namanya juga pergi pake nginep segala" Febi tidak
ingin berterus terang. Langen juga tidak ingin memaksa. Dalam
hati dia mengucapkan syukur. Puji tuhan, Yang Mahabaik! Yang
Maha Mengetahui! Langen ngeriii banget sama "Kanjeng Ibu"-nya
Febi. Asli! Terima kasih sekali beliau yang mulia itu tidak
bertanya-tanya. Ketiganya sudah ditunggu-tunggu Iwan Cs. Lande Rovernya
malah sudah diparkir di luar, di pinggir jalan. Cowok itu langsung
berdiri begitu Kijang Langen akhirnya muncul.
" Telat amat sih lo" Gue bilang pagi-pagi juga. Ini apa-apaan,
lagi" pake baju?"
Langen buru-buru memberi isyarat agar Iwan diam.
" Numpang ganti baju dong Wan"
" Ck, ayo cepet!"
Ketiga cewek itu mengekor langkah Iwan. Febi lebih dulu masuk
ke kamar tamu. Begitu pintu di depannya tertutup, Langen
langsung menarik Iwan jauh-jauh.
" Sori banget, Wan. Gue sama Fani udah bangun dari subuh, tapi
stuck di rumah febi. Repot urusannya kalo di tempat dia.
Birokrasinya ribet. Apa-apa kudu tertib. Makanya kami pake baju
kayaka mau kondangan begini. Kalo ngoboi, tuh anak bakalan
nggak diizinin pergi. Iwan menarik napas. " Kita tinggal aja deh dia!"
" Nggak bisa. Mau nggak mau dia harus diajak. Bahaya kalo
nggak. Bisa-bisa dia ceritain semuanya ke cowok gue sama
cowoknya Fani." " Jadi tuh cewek tukang ngadu?"
" Tukang ngadu sih nggak. Cuma dia cewek paling geblek abad
ini. Jujur banget, tau nggak" Jadi kalo kami bikin sesuatu nggak
nyeret dia, udahpasti Rei cs bakaln curiga. Buntutnya pasti Febi
disuruh nyari tau. Dan kalo udah gitu, bisa merembet kemanamana. Bisa-bisa orang rumah juga pada tau, apa aja yang gue


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama Fani kerjain di luar. Ngeselin kan?"
" Kenapa bisa sampe begitu?" Iwan mengerutkan kening. "
Okelah, dia itu jujur. Agak ortodoks. Tapi masa iya sampe ikhlas
buang waktu cuma untuk ngurusin kayak begitu?"
" Biasa. Karen hasutan. Cowok-cowok itu bilang, dia itu cewek
sempurna. Cewek idaman semua cowok. Nantinya bakalan jadi
istri yang baik, ibu yang baik. Pokoknya gitu deh, Yang baik-baik.
Naah, cowok-cowok itu terus bilang, mereka pengen kami tuh
kayak dia. Makanya dia terus janji, mau bantuin mengarahkan
kami." " Mengarahkan?" Fani melotot. " Emangnya kita sesat, apa"
Dasar!" Iwan ketawa " Trus, gimana caranya sekarang dia bisa cs sama elo berdua?"
Langen dan Fani kontan meringis Lebar.
" Yaaah, terpaksa kami minta tolong Salsha" Kata Langen. "
Apa!?" Iwan terbelalak, lalu ketawa lagi. " Gimana ceritanya" Kalo
Salsha udah ikutan, biasanya pasti kacau. Cepet cerita!"
Belum sempat Langen buka mulut, Fani sudah keburu memberi
isyarat. Terdengar suara kunci diputar, dan tak berapa lama Febi
keluar. Iwan buru-buru menyambar tangan Langen.
" Jangan lama-lama" bisiknya.
"Sip." Langen meringis. Paham.
Langen dan Fani ganti baju dengan kilat. Keduanya jadi menahan
tawa begitu keluar dan mendapati Iwan berdiri kikuk, diam, dan
serbasalah. Memang selalu begitu. Febi itu selalu jaim. Nggak di
mana-mana. Dengan gelar kebangsawanan yang berbaris di
depan namanya, juga BMW, Jaguar, Volvo, Mercedes, serta dua
mobil antik-Austin Seven dan Citroen Traction Avant- yang
berderet di garasi rumah besarnya, sepertinya cewek itu
mengangap hanya dia dan keluarganya yang manusia. Yang lain
cuma kutu dan kecoak yang kebetulan saja punya anatomi tubuh
yang sama. Iwan langsung menarik napas lega.
" Udah" Yuk, gue kenalin ke temen-temen gue," ajak cowok itu.
Mereka menuju ruang keluarga. Empat cowok yang sedang
duduk di lantai, menonton tivi, langsung berdiri. " Ini Theo"
tunjuk Iwan ke cowok yang paling pinggir. Yang kepalanya botak
dan mengkilap, "Ini Rizal, Ini Evan, dan yang ini Yudhi"
Langen dan Fani memang pada dasarnya ramah. Cowok-cowok
itu langsung suka. Tapi begitu dikenalkan dengan Febi, senyum
mereka langsung lenyap dan jasi pada kikuk.
Lagi-lagi Febi menunjukan siapa dirinya. Senyumnya terpaksa.
Ekspresi mukanya sedatar garis cakrawala. Dan cewek itu cuma
menyebutkan nama tanpa bersedia menyambut uluran tangan
perkenalan keempat cowok di depannya. Langsung dia
mendapatkan setumpuk celaan yang pasti akan membuat
mukanya merah kalau mendengarnya.
Sok cakep! Sok angun! Sok jual mahal! Sok kelas tinggi!
Sombong! Belagu! Jaim! Rese~
" Dia sebenernya baik kok. KArena kalian belom pada kenal aja.
Ntar lama-lama pasti elo-elo jadi suka" Langen berbohong. Dan
memang tidak ada yang percaya kata-katanya.
Karena perjalannya lumayan lama, dua setengah jam, salah satu
cowok itu ikut di mobil Langen. Jadi sopir. Evan yang terpilih.
Dengan pertimbangan, dari kacamata Febi sepertinya memang
cuma dia yang mendekati "manusia". Tidak botak bertato seperti
Theo, dan tidak gondrong seperti tiga yang lainnya.
Evan jelas girang banget, semobil dengan cewek-cewek manis
meskipun yang satu ngeselin. Jelas jauh lebih asik ketimbang
semobil dengan empat beruk. Sebelumnya naik, dengan sopan
dia izin dulu pada Febi. Cowok itu membungkukkan badan
rendah-rendah di sisi mobil tempta Febi duduk dengan gaya lebih
anggun dari Queen Elizabeth, si Ratu Inggris.
" Permisiii?" Fani mengigit bibir. Menahan tawa. " Izinnya ke dia, lagi" Fani
menunjuk Langen, yang sudah duduk manis di depan kiri.
"Mari. Mari. Silahkan naik!" Langen langsung saja menjawab
padahal "permisi" itu jelas-jelas bukan untukknya.
*** Begitu sampai di lokasi, mereka berkumpul di sebuah warung. isi
perut dulu. " Ini base kami. Kalo ke sini, kami pasti nongrongnya disini. Dan
ini kepala sukunya?" Iwan menepuk bahu laki-laki yang berdiri
disebelahnya. " Mang Asep. Di sebelahnya, Teh Neneng. Kami
udah kayak sodara. Betul nggak Mang?"
" Iya, betul" Laki-laki desa yang sederhana itu mengangguk
sambil tersenyum lebar. " Soalnya ada wajah baru nih Mang. awewe (perempuan) " Iwan
mwmbwerikan isyarat tangan. Langen dan Fani berdiri,
menghampiri Mang Asep, lalu mengulurkan tangan dan
menyebutkan nama masing-masing.
Tapi Yang Mulia Raden Ajeng Febriani Kesumoningrat tentu saja
tidak berkenan. Dia tetap bergeming, duduk dengan anggun di
tempatnya. Cewek itu cuma menganggukkan kepala plus
memberikan sedikit senyum saat Iwan dengan dongkol
menyebutkan namanya. Keempat teman Iwan saling melirik. Rasa muak mereka mulai
melewati ambang batas. Cewek tuh ya, biar kecenya kaya apa
juga, kalau kelakuannya kayak gini sih enaknya cuma satu.
Dibantai!. Tapi biar tidak terlalu ekstrem, untuk awal-awal cukup dibikin
shock dulu. Iwan memang telah menceritakan latar belakang Febi
kepada teman-temannya. Langen yang wanti-wanti meminta
mereka agak bertata krama. Tapi kalau sudah kayak gini sih,
siapa yang bersedia" Mau dia keturunan prabu siapa kek, bodo
amat!. Makanan datang, dan Febi langsung menyaksikan tata cara
makan ala rakyat jelata. Yang penting perut kenyang. Persetan
tata krama. Begitu sepiring pergedel jagung diletakkan di meja, langsung
disambut dengan sangat histeris. Tangan-tangan yang tidak
dicuci, cuma dilap di baju, berebut mencomot. Salong dorong.
Saling tarik. Yudhi malah didorong Theo sampai keluar warung.
Buru-buru Yudhi balik. Dan dibantu Rizal, ganti Theo yang
dilempar ke halaman. LAngen dan Fani sampai terkesima sesaat, dan langsung ikut
memeriahkan acara perebutan pergedel itu sambil tertawa dan
menjerit0jerit. Untuk Febi, yang suasama ,alam di rumahnya
selalu senyap dari kuburan, pemandangan di depannya itu jelas
lebih meriah daripada pergelaran wayang orang, bahkan yang
kolosal! Iwan menahan tawa menyaksikan tampang shock Febi.
" Eh, lo nggak kedapetan ya Feb" Nih, ambil cepetan! " Rizal
mengulurkan tangan. Dua potong pergedel tergenggam kuat di
antara jari-jarinya, sampai bentuknya tidak lagi seperti pergedel.
" Nggak. Nggak. Terima kasih. " Feni langsung geleng-geleng
kepala. Selera makannya makinhilang melihat kelima cowok di
dekatnya, makannya berisik seperti kawanan itik.
Sendok ribut beradu dengan piring. Mulut selain sibuk
mengunyah, juga sibuk membicarakan segala macam hal. MAsih
ditambah ketawa pula. Rizal dan Yudhi malah sambil adu piting
segala, gara-gara Yudhi dapat rezeki nomplok. Di dalam pepes
tahunya ada udang nyelip. Cuma satu sih, tapi kan lumayan
ketimbang tahu doang. Tapi waktu ditinggal menoleh sekejap, itu
udang telah raib. Dan yang kena tuduh sudah pasti Rizal, yang
duduk di sebelahnya. Rizal jelas langsung membantah keras.
" Terus, tuh udang ke mana?" Tanya Yudhi.
" Mana gue tau. Balik ke laut, kali"
" Terus, lo ngunyah apa tuh?"
" Udang." " Dari mana?" " Dari pepes." " Ya itu udang gue, bego!"
Dua-duanya meneruskan adu piting. Yang lain berdiri dan
menyingkir dari situ dengan membawa piring masing-masing,
meneruskan makan sambil berdiri dan menyoraki para atlet yang
sedang berlaga itu. Cuma Febi yang tidak. Ditinggalkannya piringnya yang memang
kosong. Berdiri sendiran disudut, ditatapnya para kaum sudra itu
dengan pandangan dingin. Dia tidak tahu, perjalanan ini hanya akan aman untuk Langen dan
Fani. Tapi untuknya" belum tentu!
*** Mereka berdiri di mulut jalan setapak mendaki yang lumayan
terjal. Iwan membalikkan badan dan menatap ketiga cewek di
depannya. " Oke" Siap belajar naik gunung?"
" Siap dong!" Langen dan Fani menjawab serentak. Sementara
Febi sama sekali tidak membuka mulut.
" Sip. Oke, Van. Jalan!" perintah Iwan. Evan,yang posisinya
terdepan, mulai mendaki jalan setapak terjal itu. Iwan menyusul,
kemudian Langen. Langen dan FAni masing-masing mendapatkan pengawakan ketat
dari Iwan dan Yudhi. Dan meskipun IWan dan Yudhi membiarkan
kedua cewek itu menapaki sendiri setiap jengkal perjalanan, tapi
begitu kaki tergelincir atau tubuh Langen dan Fani limbung,
kedua cowok itu langsung gerak cepat. Menyambar tangan,
pinggang, bahkan merengkuh tubuh kalau itu terpaksa. Yah. apa
boleh buat. Daripada kedua cewek itu terluka
Tapi tidak demikian halnya dengan Sri Paduka Yang Mulia Ndoro
Gusti Raden Ajeng Febriani Your Highness. Berhubung beliau
adalah orang yang sangat mulua dan terhormat, jangankan
memegang-megang, menyentuh kulitnya meskipun tidak sengaja
dan cuma sebentaaar dan sedikiiit, tetap itu sudah merupakan
perbuatan yang sangat kurang ajar.
KArena itu Rizal, yang mendapat tuga untuk megawal Febi, dan
Theo yang berjalan paling belakang, hanya bisa memberikan
peringatan-peringatan secara lisan. Seperti misalnya: "Ati-ati
sebelah kiri lo Feb. Ada rating pohon" Atau" "Kayaknya batu
yang lo injek itu rapuh deh Feb" Atau" " Jangan pegangan pohon
yang itu Feb. Ada durinya"
Tapi kadang kala sesuatu talah terjadi sebelum Rizal atau Theo
sempat memberi peringatan. MIsalnya Febi terpeleset, lalu
menggelinding jatuh. Dan berhubung gaya gravitasi sama sekali
tidak peduli dengan segala macam gelar bangsawan dan betapa
terhormatnya status sosial seseorang, juga tidak dapat dihentikan
meskipun dengan peringatan yang sangat keras, maka terpaksa
Rizal dan Theo membiarkan sampai permungkaan datar bumi
menhentikan sendiri gaya tariknya.
Namun, karena keduanya adalah cowok-cowok yang bertanggung
jawab, maka bila tidak sempat memberikan peringatan, sebagai
gantinya mereka lalu memberikan kata-kata penghiburan. Tentu
saja diucapkan dengan sikap santun, khidmat, dan sopan. Seperti
misalnya: " Kalo orang baru naek gunung emang suka gitu Fen.
JAtoh melulu. Gue juga dulu gitu. Makanya ntar lo lebih ati-ati
ya?" Atau" " Yang jatoh di sini emang udah sering banget, Feb. Lo
masih mending, cuma bonyok doang. Pernah ada yang kakinya
sampe patah, tangannya juga. Untuk lehernya nggak!" Atau" "
Gue juga pernah kepeleset disini, Feb. Wiiih, sakit banget deh. Lo
sakit juga, nggak?" Alhasih, baru setengah jam perjalanan, tubuh Raden Ajeng
Febriani sudah lebam-lebam. Tidak semulus seperti waktu
berangkat tadi. Akhirnya dia mengais tersedu-sedu dengan
sangat memilukan, setelah untuk yang kesekian kalinya kakinya
tergelincir dan badannya limbung lalu terjatuh. Dan yang setia
menyambutnya lagi-lagi sang bumi. Alias terkapar dengan
mengenaskan di tanah. Perjalan terpaksa di hentikan. Febi duduk memeluk lutut di
tengah jalan setapak. Menunduk dalam-dalam menyembunyikan
wajah dan tangisnya. Langen mendesah pelan,
" Aduh, mati deh. Gue sama Fani bakalan dicincak sama
emaknya. Anaknya jadi bonyok-bonyok gitu," Katanya pelan.
" Apa boleh buat La" kata Evan, juha dengan suara pelan. "
Bahaya naik gunung bawa orang egois gitu"
Iwan mengangguk membenarkan. " Naik gunung itu kerja tim.
Bukan individu. Kecuali kalo dia naik sendiri" Cowok itu lalu
melangkah turun. Menghampiri Febi dan duduk di sebelahnya, di
depan Rizal dan Theo yang sekarang jadi kebingungan. " Sori
Feb, kalo kami kasar" kata Iwan pelan. " Tapi gue, juga tementemen gue, bener-bener sadar kalo kami nggak sederajatsma elo.
Apalah kami yang darahnya asli jelata. Sama sekali nggak biru
kayak elo. Nggak punya gelar rade. Cuma akan punya gelar
sarjana, itu juga kalo berhasil. Nggak kaya raya seperti keluarga
lo. Kami amat sangat sadar itu. Cuma tolong" " Iwan diam
sejenak. berusaha mengeahui reaksi Febi. Tapi gadis itu tetap
menunduk dalam-dalam. " Tolong jangan melihat dan
memperlakukan kamu kayak gitu. Kami nggak sakit kusta kok
Feb. Nggak kejangkit AIDS. Nggak bawa virus SARS. Kami semua
juga belom pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kami disini untuk
bantuin elo. Sepenuhnya untuk kepentinganlo dan temen-temen
lo. JAdi tolong perlakukan kami seperti manusia. Paling nggak
sampe ini selesai dan kita pisah untuk pulang ke rumah masingmasing.
Hening. Febi masih menunduk tapi tidak ada lagi isak yang
terdengar. Orang-orang di sekelilingnya saling pandang cemas.
Tiba-tiba Febi mengangkat muka. Iwan, Rizal dan Theo, yang
bisa melihatnya, seketika terkesima. Tidak ada kemarahan di
sana. Yang terjadi justru sebaliknya. Sedikit senyum muncul
dibarengi ekpresi malu. " Maaf ya?" ucap Febi lirih, mengagetkan semuanya.
"Abis udah kebiasaan. Lagi juga kebanyakan orang selalu
menganggap keluarga gue itu hebat. Kalo di jawa sana malah
sampe pada nyembah-nyembah"
" Gue sih bersedia aja nyembah-nyembah elo, Feb. Asal lo mau
bagi Dairy Milk lo satu" Kata Theo. Febi tertawa geli lalu
mengusap kedua matanya. Semua menarik napas lega.
" Yuk, lanjut." Iwan berdiri
" Gue paling depan!" seru Febi tiba-tiba.
" Boleh?" Rizal mengangguk. " Yuk."
" Bukan elo. Gue!" Febi mengahalangi Rizal yang akan
melangkah. " Yaki sanggup nggak di bantuin?"
Febi berdecak. " Dari tadi juga nggak dibantuin!" Dia mendengus,
membuat Rizal dan Theo menyeringai. Febi mendaki jalan
setapak terjal di depannya, dan Rizal langsung membuntuti di
belakang. " Oke! Ayo lanjut!" Seru cewek itu setelah jadi yang
terdepan. Mereka bergerak lagi. Tapi belum lama berjalan, tiba-tiba kaki
kanan Febi tergelincir. Meskipun tangannya refleks meraih
sesuatu untuk dipegang, badannya keburu menimpa Rizal tanpa
peringatan. Dan semuanya terjadi dalam hitungan detik!


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rizal kontan limbung dan jatuh menimpa Evan tanpa sempat
meraih pegangan. Evan langsung roboh menimpa Iwan. Dengan
dua tubuh yang jatuh tepat di atasnya, meskipun Iwan sempat
meraih sebatang rating, rating itu tidak sanggup menahan.
Sedetik kemudian rating itu patah dan terlepas dari dahan.
Bersama-sama keempatnya terseret ke bawah, menimpa Langen
yang cuma sempat menjerit sebentar.
Yudhi mendapatkan giliran tak lama kemudian. Segerumbul
semak yang sempat di sambarnya, tercabut dari tanah berikut
akar-akarnya. Sementara Fani, tertimpa begitu banyak orang
sudah pasti" ikut terseret!
Theo juga tidak luput. Meskipun dia punya kesempatan paling
banyak untuk menyelamatkan diri, tapi karena tubuh-tubuh yang
mengelinding turun itu terus berusaha keras meraih sesuatu yang
dapat di pegang, akhirnya ia ikut terseret juga setelah enam
tangan mencengram kemeja flanelnya kuat-kuat. Padahal si botak
itu sudah memeluk sebatang pohon sekuat-kuatnya. Akibatnya,
dua kancing kemejanya terlepas dan kemeja itu terancam tobek.
Ketujuh orang itu lalu mendarat berdebam dan terkapar
bergelimpangan di tengan setapak. Semuanya mengerang
kesakitan. " Emang enak, jatoh nggak ada yang nolongin?" seru Febi puas. "
Rasain sekarang!" kalimatnya membuat kelima cowok itu tertawa geli.
" Balas dendam sia ternyata!" kata Rizal di sela tawa.
" Kok gue kena juga sih Feb" Gue kan nggak ikutan ngerjain elo."
Langen berdiri sambil memegangi pundaknya yang memar
terantuk batu. " Iya, lo?" Fani meringis, bangun dari posisi terkapar sambil
mengusap-ngusap kepala. " Mana gue ketiban Theo pula tadi.
Untuk nggak gepeng" " Kalo emang terpaksa ada korban, apa boleh buat?" Jawab Febi
ringan. Mereka terpaksa istirahat. Febi tertawa-tawa girang karena
sekarang bukan cuma dirinya yang berbadan penuh memar.
semuanya. Ternyata tidak perlu berpikir keras mencari jalan untuk
melampiaskan dendamnya. CUkup pindah posisi dan pura-pura
kepeleset satu kali. Dan sekarang, di depannya ada seferombol
manusia yang sedang mengaduh-aduh karen kepala benjol,
tulang kena batu,kulit tersabet rating, dan di cium akar kayu.
Rasain! *** Setelah cukup beristirahat dan yakin tidak ada yang menderita
luka serius akibat tindakan balas dendam Febi, perjalanan
dilanjutkan. Tapi sebelumnya cewek itu ditanya dengan seksama,
masih balas dendam atau tidak. Dijawab "nggak" tapi sambil
meringis yang mengundang curiga. Perjalanan itu dilanjutkan
dengan Febi dalam pengawasan ketat.
Tapi perjalanan yang penuh tawa dan canda itu pelan-pelan
berubah. Jalan setapak yang terjal dan terus menanjak menelan
keceriaan itu dan menggantinya dengan keheningan tanpa suara.
Cuma tarikan napas yang terengah berat. Tenaga mulai terkuras,
kepala mulai sakit, dada mulai sesak, kaki-tangan mulai lemas,
dan mata mulai berkunang. Puncaknya, Fani tidak sanggup lagi
meneruskan perjalanan. Mukanya pucat dan dia mengeluh
dadanya sakit setiap kali mengambil napad. Langen meringis
menekan ulu hatinya yang terasa sakit. Sementara Febi hampir
saja pingsan. Iwan dan keempat temannya saling pandang. Pengenalan
pendakian ini sepertinya harus di hentikan. Dihampirinya Langen
lalu berjongkok di depannya dengan satu lutut menyentuh tanah.
" Gimana La" Capek?"
Langen tidak menjawab. Dia tahu ke mana arah pertanyaan itu.
" Istirahat sebentar. Sampai tenaga pulih. Nanti kita pasti kuat
sampai puncak. Pasti!" jawabnya dengan suara yang dipaksa
untuk terdengar gagah. Iwan tersenyum tipis.
" Sayangnya, gue ngeliatnya nggak begitu."
Tatapan Langen langsung berubah cemas. " Yaaah, Iwan jangan
gitu dong. Gue pasti kuat. Bener deh!"
" Gue juga!" Timpal Fani. " Gue cuma butuh istirahat sebentar
aja. Ini badan gue shock, tiba-tiba diforsir."
" Betul!" timpal Febi mengangguk tegas, membuat Langen dan
Fani menatapnya surprise. Mereka tidak menyangka Febi akan
memberi dukungan. Febi memang tengah terkena dilanda
euforia. Benar-benar tidak disangkanya, Menjadi rakyat jelata
yang tidak terikat tata krama ternyta sangat menyenangkan!
" Tapi kita tetap harus ngubah rencana. Gue nggak mau ambil
resiko. Ini belum ada seperlima jarak puncak dan stamina lo udah
pada ancur begini?" Iwan berdiri. " Udah mendingan?"
Tanyanya. Ketiga cewek itu mengangguk. " Ayo kalo gitu. Ada
satu tempat bagus yang mau gue tunjukin ke elo bertiga"
Tempat bagus itu ternyata air terjun, yang gemuruh suaranya
telah terdengar jauh sebelum mereka mencapai tempat itu.
Sesaat ketiga cewek tiu terpaku takjub. Tanpa dikomando,
mereka langsung berlari ke tepi kolam alam yang terbentuk di air
terjun itu. Setelah melepas sepatu, kau kaki, dan menurunkan
ransel dari punggung, mereka langsung melompat ke air. Sesaat
mereka terpekik karena dingin. Tapi tak lama kemudian ketiganya
sudah asyik dan jadi benar-benar lupa pada tujuan semula.
Di tepi kolam, Iwan mencari permungkaan tanah yang datar lalu
menggelar ponco. Evan menyalakan kompor lalu memasak air.
Kemudian dengan masing-masing secangkir bandrek di hadapan,
kelimanya berpikir keran mencari jalan keluar. Sementara yang
punya hajat malah masa bodo amat. Asyik berkecipak-kecipak di
kolam. Di panggil untuk diajak berunding karena mereka yang
punya kepentingan, jawabannya pada gampang.
" Terserah elo-elo aja deh. Kami pokoknya setuju aja. Yang
penting aksi unjuk gigi kami itu kudu terlaksana dengan sukses.
Oke" Paham" " Ucap Langen, dan ketiganya balik lagi ke kolam.
Tapi Fani menghampiri Iwan cs lagi.
" Bandreknya kayaknya enak nih. Bagi ya?" Dan cangkir di depan
Iwan, Theo dan Rizal kemudian diangkut pergi tanpa tanya sama
yang punya, boleh apa nggak.
" Dasar nggak sopan!" gerutu Iwan. " Masih ada air panas nggak
Van?" Evan mengangguk sambil ketawa.
Setelah beberapa saat, peundingan yang dilakukan keliam cowok
itu selesai dengan satu kesepakatan. Mereka terpaksa harus
campur tangan, mendampingi ketiga cewek itu dalam aksi unjuk
rasa mereka. Dan supaya aksi itu berjalan sukses sementara
keterlibatan mereka tidak tercium, satu-satunya jalan mereka
harus curi start. " Jelas?" Iwan menatap satu per satu ketiga cewek di depannya,
yang terpaksa duduk di atas rumput karena baju mereka basah
kuyup terus meneteskan air.
" Jelas!" Ketiganya menjawab bersamaan.
" Dan tugas lo La, begitu udah keluar jakarta, telepon cowok lo.
Kasih tau, lo bertiga mau naik gunung dan suruh mereka nyusul!
Paham?" " Paham dong!" Langen tertawa cerah, mengacukan kedua ibu
jarinya tinggi-tinggi. " Brilian banget nih rencana. Idenya siapa
sih?" " Nggak penting ide siapa?" Iwan menatap tajam ketiga cewek di
depannya. " Sekarang, lo bertiga ganti baju, terus masak. Cepet.
Kamu udah laper!" Tapi rencana unjuk rasa Langen cs itu ternyata hanya tinggal
rencana. Rei, Bima, dan Rangga malah punya rencana yang lebih
dasyat lagi. Begitu keluar kelas, Langen langsung curiga karena
menemukan sederet wajah gelisah.
" Ada apa nih?" tanyanya
" Ada yang mau kami omongin." Rei langsung meraih tangan
Langen. " Lo juga, Fan"
Tangan Bima terulur, tapi Fani buru-buru menolak dengan tegas.
" Nggak usah gandeng-gandeng. Gue bisa jalan sendiri dan gue
juga nggak buta!" Bima mendesis marah, tapi terpaksa mengalah. Cuma Febi dan
Rangga yang kelihatan tenang.
Wajah-wajah itu semakin gelisah begitu mereka duduk
berhadapan di salah satu bangku semen di taman kampus. Kalau
melihat tempat yang dipilih -bangku yang terjauh dari koridor
tempat orang berlalu-lalang- sepertinya ada masalah gawat!
Rei berdeham sebelum memulai.
" Begini. Kami bukannya lagi-lagi mau melanggar janji. Cuma
kadang kesempatan yang kami anggap nggak mungkin atau kecil
kemungkinannya untuk diraih, bisa datang tiba-tiba. Tapi ada
harga yang mesti dibayar. Ada pengorbanan yang mau nggak
mau harus kami berikan. Tapi ini sifatnya cuma sementara. Cuma
sampai?" " Langsung aja deh"," potong Langen. Dia paling benci prolog
kayak gini. Muter-muter nggak jelas. Rein menatapnya. Langen
balas menatap. Suasana mulai mencekam. Ketiga cowok itu
sadar, parah-tidaknya akibat dari bom yang mereka lempar
tergantung cewek satu ini.
" Kami bertiga ditawarin Bang Imenk untuk ikut ke Jayawijaya.
Cartenz Pyramid!" " Sekarang" Bolos kuliah, gitu?"
" Bukan sekarang. Nanti, liburan semesteran. Masalahnya adalah
karena itu nggak lama lagi, jadi kami harus memanfaatkan setiap
libur untuk olah fisik"
" Maksudnya?" Belum sempat Langen mendapatkan jawaban, tiba-tiba"
" OOOIII!!!" Enam-enamnya menoleh. Bank Imenk -dedengkotnya anak-anak
Maranon- tanpa merasa dirinya sudah menyulut perang,
menyodorkan selembar kertas.
" Ini jadwal latihannya. Inget bener-bener ya" Jangan pernah
absen satu kali pun! Kita langsung star hari sabtu besok, ke
sukabumi." Bima menerima kertas itu dan buru-buru dilipat lalu dimasukkan
ke kantong. Takut disambar salah satu cewek di depannya dan
berubah jadi serpihan. " Oke, ya?" Bang Imenk pamit. Tak lupa dia memberikan senyum
ke tiga cewek itu sambil menyapa, " Halo, cewek-cewek manis.
Apa kabar?" Dia nggak nyadar kalau ketiganya ingin sekali
menceburkannya ke kali di belakang kampus. Dan sapaan tadi
ternyata asli basa-basi. Buktinya, belum juga dijawab dia sudah
ngeloyor pergi. " Semua pilihan itu ada resikonya," ucap Rei pelan,
Langen membisu di bawah pandang mata Rei. Dia tidak ingin
bicara. Suasana jadi hening. Fani yang heran Langen tidak
bersuara sama sekali, menoleh dan jadi tertegun. Muka Langen
datar. Dan itu membuatnya jadi sedih dan tiba-tiba saja meledak
marah, " Ini pilihanlo bertiga, tapi kenapa kami yang mesti nanggug
resikonya!?" bentaknya. Kontan Rei cs kaget. Tidak mengira Fani
yang akan bereaksi. " Mestinya lo bertiga mikir dong. Jangn
punya cewek kalo masih menganggap diri sendiri harus selalu
yang nomor satu!" " Bukan begitu Fan?" kata Rei
" Bukan begitu apa?" potong Fani seketika. " Kami bertiga emang
selalu diem. Tapi bukan berarti lo semua bisa seenaknya aja.
Cuma mikirin diri sendiri"
" Fan denger dulu," bujuk Rangga
" Denger apa lagi" Selama ini kami selalu jadi pendengar.
Sekarang saatnya elo-elo untuk ganti denger! Dasar egois!"
Sepasang mata Bima menyipit. Ada senyum tertahan di bibirnya,
Jadi ini cewek bisa galak juga ya" Hm.. harus di jajal nih! Apa
iya" Tiba-tiba Rei berdiri, mengulurkan tangan kirinya ke Langen yang
tak juga bersuara, dan menariknya lembut sampai berdiri.
Sementara matanya menatap Bima dan Rangga bergantian.
Kedua temannya itu langsung tahu, mereka harus menyelesaikan
ini secara pribadi. Sendiri-sendiri.
.Fani yang tainya dengan gagah berani melancarkan protes keras,
langsung panik begitu di tinggal berdua dengan Bima. Sama
seperti Rei bagi Langen, monyet ini juga cowok pertamanya.
Bedanya, Langen fall in love, sementara dirinya fall in hell.
Langen penuh bayang indah, namanya juga cinta pertama.
Sementara dirinya penuh bayangan drakula!
Sambil menahan tawa, Bima melipat kedua tangannya di depan
dada. Dua mata elangnya menatap tajam. Dia memang paling
senang membuat Fani ketakutan. Kelihatan begitu kecil, rapuh,
dan mengharukan, Sekaligus pembalasan atas sikap nyolotnya
kalau di rumah. " Kok diem?" suara baritonnya menyapa lembut. " Terusin aja
kalo masih ada ganjelan."
Mana Fani berani! Cewek itu menunduk. Mengeluh dalam hati. Kembali menyesali
satu sore tiga bulan lalu, saat dunianya serasa kiamat total garagara laporan Langen.
" Fan, Bima naksir elo!"
Waktu itu Fani langsung histeris habis-habisan.
" TIDAAAK!!! Tidak! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Lo pasti
bohong! Iya kan" Lo pasti bercandakan La" Nggak beneran kan"
Iya kan" Iya kan?"
Langen menatap sahabatnya itu dengan pandangan prihatin.
" Sori Fan. Abis gue gimana dong" Gue kan cuma ngasih tau.
" Aduh! Mati deh gue! Gimana dong" Gue nggak mau jadi
ceweknya, La!" Langen mengigit bibir. Sesaat terpekur diam. Ini memang
masalah yang benar-benar rumit. Soalnya, Bima itu sudah
terkenal nekat dan pantang ditolak!
"Kalo" elo terima aja, gimana?" tanya Langen hati-hati.
Fani berdecak. Menarik nafas panjang-panjang. Masalahnya,
Bima itu sama sekali bukan tipe cowok yang disukainya. Dia
malah ngeri sama cowok yang profilnya begitu. Sudah badannya
tinggi gede, evolusinya tidak sukses, lagi. Itu lho, badannya
penuh bulu. Kayak Hanoman. Rambutnya panjang, pipi kirinya
codetan, suaranya berat. Pokoknya ngeri deh. Selain itu, cowok
itu juga terkenal" buaya! Mantan-mantan ceweknya kalau
dikumpulin, bisa dibentuk jadi dua tim voli plus cadangan tambah
wasit! " Dia kan suka mainin cewek La. Sama gue juga paling cuma buat
iseng?" Ganti Langen menarik napas.
" Gue juga sebenernya nggak ikhlas banget lo jadian sama dia.
Tapi mau gimana" Semakin lo tolak, ntar dia malah semakin
nekat. Malah bahaya, Fan. Mending lo terima aja dulu deh, buat
sementara. Ntar kita pikirin gimana caranya mengenyahkan dia!"
" Yah, tapi"terus?" Fani menarik napad lagi panhang-panjang.


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terduduk lunglai. Langen hanya bisa menepuk-nepuk bahunya.
Sejak saat itu, sejak dia tahu Bima "suka" padanya (sukanya
harus pake tanda kutip, karena Fani tak pernah yakin buaya
jahanam itu bisa serius sayang sama cewek). Fani berusaha keras
untuk tidak bertemu mata. Dia juga akan menjaga jarak. Tidak
mau dekat-dekat. Dan kalau cowok itu mulai memberi sinyalsinyal, dia langsung berlagak tidak ngeh.
Tapi itu malah membuat Bima akhirnya jadi nekat. Fani
terperangah tak percaya saat suatu sore mendapati cowok itu
sedang berdiri di teras rumahnya!
" Hai " Bima langsung mengembangkan senyum patennya yang
terkenal, yang berhasil meluluhkan banyak cewek. Termasuk
Tania, ceweknya yang terakhir. Yang begitu diputus, langsung
seperti orang kena penyakit kronis dan tinggal tunggu mati.
" Eh" ha" hai"," Fani menjawab gugup.
" Nggak mengganggu kan?"
" Iy" eh, nggak! nggak deng! Mau cari siapa?"
Bima jadi menahan tawa melihat Fani belum-belum sudah
ketakutan begitu. "Lho, emangnya ini rumah siapa?"
" Eh, maksud gue" Langen kan sering ke sini. Kadang-kadang
Febi juga." " Untuk apa akau nyari mereka?" Sepasang alis Bima terangkat. "
Boleh duduk?" " Oh, boleh! Boleh! Bentar ya, gue ganti baju dulu" Fani mencelat
ke dalam dan langsung mencari pembantunya.
" Kenapa tidak elo usir aja tadi Jah?"
"Non aja," jawab Ijah, pembantunya. " Berani nggak?"
Fani langsung mati kutu di bilang gitu, Sambil berjalan ke kamar,
dia mengerutu. " Ya udah deh. Bikinin minum"
" Gimana kalo es siropnya saya kasih racun, Non?"
" Ah, elo! Gue nih talut beneran, Jah!"
Di salam kamar, Fani berdiri bengong di balik pintu. Tidak
menyangka apa yang dia takutkan akhirnya terjadi juga. Selama
di kampus dia mati-matian menghindari cowok ini. Tidak di
sangkanya dia bakalan sial justru di rumah sendiri. Tapi tidak! Dia
tidak akan menyerah seperti cewek-cewek geblek itu. Dia tidak
ingin jadi korban Bima yang berikutnya. Lihat aja!
Dengan keyakinan itu, dan setelah menarik napas panjangpanjang sebanyak tiga kali, Fani keluar kamar. Bima menyambut
lagi-lagi dengan senyum buayanya yang oke. Fani membalas
senyum itu sekedar basa-basi. Tapi dala hati" Cuih!
" Ada apa sih?" sambutannya sengaja tidak ramah. Biar cowok ini
tahu, Fani sama sekali tidak welcome . Tapi bukan Bima namanya
kalau diusir dengan gampang.
" Ada yang mau aku omongin Fan."
Emang gila nih orang! Bener-bener tanpa basa-basi! Fani
langsung panas dingin. " Besok aja deh. Di kampus."
" Ini nggak ada hubungannya dengan kampus apalagi kuliah."
" Tapi gue lagi banyak kerjaan. Lagi banyak banget tugas dari
dosen nih." Tapi alasan Fani itu malah membuat cowok di depannya jadi
tertawa geli. " Sekelas tapi bisa beda ya" Aku barusan dari rumah langen,
karena Rei ada di sana. Dan sohib kamu itu lagi santai. Mereka
malah mau pergi nonton sekarang."
Aduh, gue salah langkah! Fani merasa mukanya panas. Malu
banget! Tapi ah, cuek aja. Cari alasan lain. Tapi belum sempat
mulutnya terbuka, Bima sudah lebih dulu memberikan pernyataan
yang intinya, dia tahu persis bahwa tuan rumah yang sedang
didatanginya saat ini sedang tidak ada acara apa-apa. Alias lagi
nyantai! " Kuliah lagi nggak ada tugas. Info ini aku korek dari Langen. Dan
Ijah tadi juga bilang, kamu nggak ada acara keluar. Jadi
kayaknya aku nggak dateng di waktu yang nggak tepat!"
Sial, apes gue! maki Fani dalam hati. " Mau ngomong apa sih lo?"
tanyanya pasrah. Akhirnya! Bima mengatupkan bibirnya. Menahan agar senyum
kemenangannya tidak tercetak di sana. Dan dia tidak menjawab.
Dia mencari dulu kata-kata yang cocok dulu. Meskipun
pengalamannya banyak, ini kasusnya beda. Dulu-dulu tidak perlu
banyak pertimbangan. Dia suka, tinggal mengajak keluar malam
minggu. Tidak tertarik lebih gampang lagi. Biarkan sampai itu
cewek bosan sendiri, berhenti mencari perhatiannya dan akhirnya
pergi. Tapi untuk yang satu ini, tidak bisa begitu. Boro-boro diajak
keluar. Dia lengah sedikit saja, Fani bisa dipastikan akan langsung
lari ke dalam dan tidak akan keluar lagi. Kecuali kalau rumahnya
dibakar! " Begini Fan. Ada yang sering ngeluh sama aku kalo privasinya
sering terganggu." " Teru apa hubungannya sama gue?"
" Kalo nggak ada hubungannya, aku nggak akan ke sini" jawab
Bima kalem. " Apa maksud lo?" tanya Fani tajam.
Bima menarik napas sesaat.
" Sedekat apa pun yang namanya persahabatan, tetap ada halhal yang mungkin untuk dibagi."
" Maksudnya?" " Maksudnya" " Suara Bima melembut. " Kamu yakin, Langen
nggak apa-apa kamu selalu ada di antara dia sama Rei?"
Fani sontak terperangah. Pertanyaan itu sesaat membuatnya
sembut tak mampu bicara. " Gue sohibnya!" Katanya setengah berteriak. " Gue yang paling
dekat dengan dia.!" " Aku tau," suara Bima tetap lembut. " Termasuk akan dia sharing
juga cowoknya sama kamu" Kayak dia sharing baju atau sepatu,
atau semua barangnya yang lain" Untuk yang ini kamu yakin
akan begitu juga?" " Ng.. Ng"," Fani tergagap. " Gue nggak ngerti, maksud lo itu
apa sih sebenernya?"
" Tadi aku udah bilang, kan" Ada yang sering ngeluh karena
privasi sering terganggu. Cuma dia nggak enak mau ngomong.
Jadi kalau memang", " Bima lalu mempertajam percakapan pada
kalimatnya, " Kalian berdua selalu berbagi apa aja, nanti aku
bilang ke dia, sohibnya juga?"
" Stop! Stop!" potong Fani berang. " Lo jangan ngomong
sembarangan ya" Jangan bikin fitnah! Ceweknya Rei tuh Langen.
Cuma Langen! Dan gue nggak pernah punya niat apa-apa"
" Cuma Langen!" Bima mengulangi kalimat itu. Ada senyum
samar yang luput ditangkap Fani. " Oke, bagus! Kalo begitu
kondisinya jelas sekarang. Jadi sori aku terpaksa ngomong gini ya
Fan?" Bima menarik napas panjam lagi. Ekspresi wajahnya
kelihatan seperti menyesal. " Kamu kayaknya nggak bisa lagi
selalu bergabung dengan kami. Selalu ikut acara kami. Ya karena
itu tadi. Posisi Rei jadi susah. Dan kamu jelas nggak mungkin ada
di antara Rangga dan Febi kan?"
Fani terngaga. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru
saja didengarnya. Dia diminta untuk enyah cuma karena jadi
penganggu! Lagi-lagi Bima menarik napas panjang. Ekspresi mukanya
semakin dibuatnya seolah dia juga amat sangat menyesal harus
mengatakan itu. " Sori Fan. Aku bener-bener terpaksa ngomongin ini. Tapi aku
ngerti persahabatan itu berarti sekali buat kalian berdua.
Makanya aku bantu cari alasan supaya kamu tetap bisa
bergabung dengan kami"
" Apa?" tanya Fani tanpa curiga.
" Aku! " jawab Bima, dengan nada lembut tapi tandas. Dan Final!
Fani tersentak. " E" lo?"" Ditatapnya Bima dengan dahi mengerut dan tubuh
yang mencondong maju tanpa sadar.
" Iya. kenapa?"
" Ng?" Bima tersenyum lembut. Sepasang matanya memeluk wajah
pucat dan shock di depannya dalam tatapan hangat.
" Sori, aku nggak berhasil menemukan alternatif lain" Itu kalo
persahabatan kalian masih mau jalan terus!"
*** " Nggak! Nggak pernah! Ngarang tih si Bima. Nyalahin cowok
gue. Orang Rei nggak pernah ngomong gitu kok. Nggak pernah
komplain elo sering kami jalan atau nonton. Bener Fan! Sumpah!"
" Tapi Bima bilang, Rei sering ngeluh ke dia La"
" Bohong! Eh, tapi dia nyatainnya gimana?"
" Ya kayak rampok dapet mangsa. Cinta atau nyawa!"
" Ih!" Langen terngaga. " Jadi sekarang lo jadian sama dia gitu?"
" Tau! Udah ah, nggak usah dibahas deh, La! Bete banget gue!"
Telepon ditutup. Fani lalu termenung menatap hujan yang turun
deras di luar. Sedang serius-seriusnya merenungi nasibnya yang
teramat tragis, pintu diketuk. Ijah masuk membawa segelas susu
cokelat panas. " Ijah!" teriak Fani waktu pembantunya itu keluar dan akan
menutup pintu. " iya, Non?" Ijah menjulurkan kepala ke dalam.
" Sekarang gue udah punya pacar!"
" Genderuwo yang kemaren sore?"
Fani kontan tertawa, tapi ingin menangis juga. Ijah yang baru
sekali melihat saja sudah bisa bilang begitu!
" Gimana cara nolaknya dong Jah" Gue juga ngeri banget sama
dia." Ijah berdecak. Mengerutkan dahinya, berpikir keras. Cowok
sangar gitu, kalau Non-nya ini nekat menolak, jangan-jangan nati
urusannya malah gawat lagi!
" Nggak apa-apalah Non. Terima aja, daripada nggak selamet."
Ditutupnya pintu sambil meringis. Tapi tidak berapa lama
berselang, dia muncul lagi. " Ada telepon Non. Dari mas
genderuwo," lapornya cemas.
" Hah!?" Fani terlonjak. Jantungnya juga langsung ikut loncatloncat. " Bilang apa dia?" tanyanya pelan sambil mengikuti Ijah
ke ruang tengah. " Ya nanyain Non."
Sebelum meraih gagang telepon, Fani berdiri diam selama
beberapa detik di sebelah meja telepon. Menarik napas panjangpanjang dan berkomat-kamit entah apa. Ijah menatapnya dengan
pandangan prihatin. " Halo?" ucapnya kemudian. Pelan dan hati-hati.
" Hai," suara bariton di seberang menyapanya lembut. " Katanya
sakit?" " Ah, nggak kok. Eh, iya! Tapi cuma meriang-meriang gitu aja
kok" Di seberang, Bima tertawa tanpa suara mendengan kalimat yang
berantakan itu. " Kalo begitu aku ke situ ya"
Fani tersentak. " Eh, tai gue sakitnya nggak parah kok. Bentar lagi, sejam lagi
deh, paling juga udah sembuh. Nggak usah repot-repot
ditengokin deh!" Bima semakin menyeringai. Semakin susah menahan tawanya.
" Emang harus nunggu sampe kamu sakit parah ya, baru boleh
ditengokin?" " Ya nggak begitu maksudnya. Lo kan lagi kuliah kan" Iya kan?"
" Dosennya nggak dateng."
" Masa semuanya nggak dateng" Nggak mungkin! Paling cuma
satu orang!" " Hari ini emang satu mata kuliah, Say. Kamu nggak usah kuatir
begitu. Nggak usah merasa bersalah karena aku terpaksa harus
cabut untuk nengokin kamu," ucap Bima lembut, sambil
menyeringai lebar-lebar. " Bukan! Bukan gitu maksud gue! Cuma" cuma" jarak dari
kampus ke sini kan jauh!"
" Oh ya!?" Bima pura-pura kaget. " Kamu pasti kecapekan ya, tiap
hari harus bolak-balik" Kalo begitu, mulai besok kamu aku
jemput. Kita berangkat ke kampus sama-sama. Nanti kasih tau
jadwal kuliahmu ya, biar kusesuaikan sama jadwalku."
AAAADUH!!! Fani sampai terbengong-ngong-ngong saking tak
percayanya dengan apa yang barusan didengarnya.
" Halooo?" pangil Bima halus. " Kenapa diem" Kepalanya tambah
pusing ya?" Saking sudah sangat kebingungan, Fani menjawab tanpa sadar, "
Iyaaa?" Hampir saja tawa Bima meledak.
" Oke deh. Tunggu aku kalo begitu."
" Eh, tapi..! Tapi"!"
" Kenapa?" " Disini lagi ujan lho. Deres banget lagi!" buru-buru Fani
membacakan ramalan cuaca di rumahnya. Lagi-lagi Bima
setengah mati menahan tawa.
" Terima kasih kamu udah sebegini pedulinya, nggak mau aku
keujanan. Tapi malah bagus begitu sebenernya. Bisa sakit berdua
kan kesannya malah jadi lebih romantis. Iya kan" Tapi jangan
kuatir. aku bawa mobil, bukan jalan kaki. Jadi aku minta sedikit
ruang du garasimu, supaya aku bisa keluar dari mobil tanpa kena
ujan setetes pun. Supaya kamu nggak kuatir lagi. Oke?"
" Ng.. Ng?" Fani sudah tidak mampu bicara lagi.
" Oke" Sekarang tunggu akuuu"," sambung Bima dengan suara
semakin lembut. " Dan jangan coba-coba nyuruh pembantu kamu
untuk bilang kalo kamu udah tidur ya. Karena itu nggak mungkin.
Kenapa" Soalnya ini masih pagi dan kamu tadi bilangnya kan
cuma meriang-meriang gitu aja. Nggak sakit parah. Jadi pasti
bisa duduk manis setengah jam lebih untuk nunggu aku. Juga
jangan coba-coba melarikan diri. Karena aku ahli dalam melacak
jejak! Dicoba aja kalo nggak percaya. Oke" Paham" Hmmm"
terus aku juga minta, bisa kan bahasa kamu diganti" Karena kita
bukan lagi sekedar temen, coba tolong "gue" sama "elo"-nya itu
diilangin. Biat agak manis sedikit. Oke?"
klik! Telepon di seberang sudah di tutup, tapi Fani masih mematung
dengan mulut terngaga lebar. Ijah yang datang membawa
kemoceng mau bersih-bersih, mendekat dengan bingung,
" Non" Non Fani" Ada apa?" Diguncang-guncangnya tangan Fani.
Gadis itu tersadar. " Aduh, Jah. Gawat!"
" Kenapa" Ada apa?"
" Itu Genderuwo mau dateng lagi sekarang."
" Apa?" Ijah terbelalak. " Apa juga Ijah bilang! Coba kalo
kemaren soreminumnya kita racunin, pasti sekarang dia udah jadi
Genderuwo beneran dan nggak nelepob-nelepon bilang mau
dateng!" " Iya deh. Ntar minumnya lo kasih racun. Yang banyak ya, Jah.
Biar tuh orang cepet mati!"
" eh, tapi?" Ijah mengerutkan alis. " Dia mempan diracunin
nggak Non" Soalnya kalo tampangnya aja udah kayak gitu,


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya kebal tuh. Nggak mempan dibacok, nggak mempan
disantet, apalagi diracunin!"
" Nah, jadi gimana dong?"
" Ya udah, terima ajalah. Emang nasibnya Non Fani lagi apes!"
Fani terbelalak. " Yaaaah, Ijaaah."
*** Itu sebabnya, tidak ada yang perlu diselesaikan di antar Bima dan
Fani. Soalnya mereka masih dalam taraf " Satu mengejar sedang
yanglain masih setengah mati berusaha menghindar." Jadi dalam
masalah ini, Fani satu-satunya pihak yang tidak punya
kepentingan pribadi. Kalau menurut cewek itu sih, Jayawijaya masih terlalu dekat. Kali
bisa ke himalaya sekalian. Dan mudah-mudahan saja di sana
nanti Bima tertimapa gletser, di makan yeti , dilalap beruang,
ditelan yak, atau apa ajalah. Yang penting cowok itu tidak
kembali lagi. Sementara di antara Rei dan Langen tidak ada yang
terselesaikan. Langen langsung tutup mulut rapat-rapar begitu
sadar Rei akan berusaha -bagaimanapun caranya- agar Cartenz
Pyramid itu tidak terlepas dari tangan. Kalau sudah begitu,
percuma berdebat, percuma ngotot.
Yang paling parang Rangga. Dia masih menganggap Febi itu kau
aristokrat yang telat lahir. Yang seperti hari-hari kemarin, masih
bisa diajak bicara tentang kereta kuda sementara di atas kepala
melintas Concorde. Apalagi alam yang biasanya tunduk dan patuh
di tempat Febi lahir dan tumbuh besar, telah memberi bukti
pertama. Kasus Ratih. Soalnya, meskipun cewek misterius sialan itu sudah membuat
Rangga terpaksa cerita tersembunyu -apalagi Ratih muncul di
kampus- ternyata tetap tidak berbuntut panjang. Febi tetap iya
dan nrimo. Cewek itu tidak sanggup melotot seperti Langen, atau
teriak-teriak menuntut penjelasan, apalagi berani menuduh
omongan Rangga bohong! Bisa mendapatkan cewek model Raden Ajeng Febriani di zaman
sekarang yang sudah kelewatan maju dan marah usaha
feminisme di sana-sini begini, memang benar-benar anugerah.
Makanya Rangga tidak menyesal melepas Ratih. Meskipun
sebelum sempat "memadu" mereka tanpa salah satu dari kedua
gadis itu tahu. Rangga tidak tahu, sejak peristiwa itu, diam-diam Febi sudah
tidak memakai ajaran surga nunut neraka katut (ke surga ikut
kenerakapun ikut) lagi. Telinganya tidak lagi menampung semua
omongan tanpa disaring. Dan cewek itu juga mulai ogah bercitacita jadi kanca wingking (perempuan cuma menjadi taman
belakang) kaum pria, seperti ajaran turun menurun.
Pantas saja waktu baru kenal, Langen dan Fani menatapnya
seolah-olah dia baru datang dari galaksi lain!
*** Lagi-lagi Iwan yang menjadi tempat mengadu. Ketiga cewek itu
langsung kebur ke sana begitu jebakan yang sudah mereka
pasang susah-susah, bukannya mendapatkan mangsa, malah
mereka sendiri yang dikejutkan surprise Jayawijaya.
" Mau ke Jayawijaya?" Iwan terperangah. " Ninggalin kuliah
gitu?" " Bukan sekarang ke sananya. Nanti liburan semesteran. Tapi
latihannya udah dimulai dari minggu ini. Tiap sabtu-minggu. Tiap
hari libur malah. Sebel! Langen mengentakan kai keras-keras. "
Emang Jayawijaya itu hebat banget ya Wan?"
" Cartenz Pyranid itu bukan cuma lambang supremasi pendakian
gunung di Indonesia La. Tapi juga dunia! Cartenz salah satu dari
tujuh puncak tertinggi dunia. Bersalju abadi, dan lo tau sendiri
gimanakondisi alamnya. Liar. Belom penduduk aslinya, lo tau
sendiri gimana kan" Bisa kesana emang" hebat!"
Mata-mata di depannya langsung jadi lebar dan menyorot tajam,
mambuat Iwan langsung sadar bahwa dia sudah salah ngomong.
" Tapi biar gimana"," ralatnya buru-buru. " Ini tetep udah
kelewatan! Apa sih hebatnya Carstenz Pyramid yang cuma ribuan,
dibanding Everest yang hambir sembilan ribu. Iya nggak" Lagi
pula kalo gue jadi mereka, pacar kudu dilibatin! Buat nambah
support . Sekali-kali diajak ikut latihan, kan asyik. Betuk nggak?"
" Iya, gitu maksud gue!" Langen mengangguk. " Sekali-sekali
kami di ajak kek!" Ekspresi wajah-wajah di depannya langsung bersahabat lagi.
Diam-diam Iwan menarik napas lega. Hampiiir saja! Dalam hati
dia nyengir. Ke Carstenz" Siapa yang nggak bakalan ngiler kalau
ditawari kesana?" Sebuah Escudo bitu metalik meluncur masuk halaman. Tiga
kepala kemudian nongol di pintu. Yudhi, Evan, dan Rizal.
" Lho" Kok pada cemberut" Ada apa" Ada apa?" tanya Yudhi
sambil buru-buru masuk. " Gagal!" Iwan yang menjawab.
" Rencana mereka gagal. Theo mana?"
" Disuruh nyokapnya. Nggak tau kemana. Pagi-pagi dia udah
berangkat." Jawab Evan sambil mendekati Langen. " Ada apa sih
Lan" Kenapa nggak jadi unjuk rasa?"
" Udah keduluan!" Fani yang menjawab. Evan langsung balik
badan. Menatap satu-satunya cewek yang masih terlihat santai
itu. " Cowok tiga itu ternyata udah punya rencana yang lebih
cangih lagi. Mereka mau ke Carstenz!"
" WUIH!!!" Evan, Yudhi dan Rizal terpana.
" Dan sekarang mereka nggak punya waktu lagi. Sibuk berat.
Setiap ada hari libur kudu dipake buat latihan."
" Oh gitu?" Yudhi mangut-mangut. " Kelewatan juga mereka!"
" Jadi gimana sekarang?" tanya Rizal. " Nggak jadi dong?"
Pertanyaanya itu membuat Langen dan Febi jadi tambah
cemberut lagi. Iwan jadi kasihan melihatnya.
" Begini aja deh." katanya setelah beberapa saat berpikir mencari
jalan keluar. " Kita tantangin mereka bertiga" kebut gubung!"
Teman-temannya langsung kaget. Sementara Langen cs menatap
bingung. " Apaan tuh kebut gunung?" tanya Langen
" Dulu-duluan sampe puncak," jawab Yudhi. Langsung kedua alis
Langen bertau. " Mana bisa lagi! Mereka naek gunung kayak udah joging!"
" Pake taktik dong. Kalo naek kayak biasa ya jelas nggak
mungkiinlah." " Taktik apa" Taktik apa?" seru Langen seketika. " Kira-kira bisa
menang nggak?" " Bisa banget!"
" Wah! Taktik apa Wan" Kasih tau dong! Cepet!" Jeritnya.
" Kita potong kompas! Jadi begini, dulu gue pernah buka jalurjalur baru. Sama mereka juga?" Iwan menunjuk temantemannya. " Medannya berat, bertebing. Sengaja kita pilih begitu
supaya cepet, di samping buat latihan juga. Cuma masalahnya" "
Dia menoleh ke teman-temanya. " Jalur itu masih ada ngga ya"
Soalnya udah lama dan waktu itu kita cuma nebang semak
seperlunya" " Kita liat peta aja," kata Yudhi.
" Petanya masih ada?"
" Ada di Theo."
" Bagus!" Iwan menjetikkan jari. " Sebentar gue telepon dia.
Barangkali udah pulang." Dia berdiari dan berjalan ke dalam.
Terpongoh-pongoh Theo datang seperempat jam kemudian.
Soalnya di telepon Iwan mengatakan ada masalah gawat,
" Ada apa!" Ada apa!?" serunya sambil menerjang pintu, dan
langsung terbang ke hadapan Langen, Fani, dan Febi.
" Eh! Eh! Ke sini!" Yudhi menyambar tangan cowok botak itu dan
menariknya bergabunug dengan teman-temannya. " Mana
petanya?" Theo menyerahkan gulungan peta di tangan kirinya
lalu balik badan. " Mau ke mana sih" Di sini, tau! kembali Yudhi
menarik tangan Theo. Theo melotot kesal. " Gue mau tanya mereka, ada apa" Lo nggak
liat mukanya pada sedih?"
" Ada masalah! Udah deh, lo nggak usah sok ngasih perhatian.
Dateng paling belakangan juga!" Dengan paksa Yudhi
mendudukan Theo ke salah kursi yang kosong. " Duduk sini!
Perhatiin tuh peta! Udah, nggak usah nengok-nengok!"
Theo mendecakkan lidaj. " ah, sirik aja lo!" Dengan dongkol
akhirnya ia duduk juga. Sambil menyeringai Yudhi lali duduk di
sebelahnya. Kelima cowok itu lalu berunding dengan suara pelan.
Dua puluh menit kemudian Iwan bangkit berdiri.
" Jadi begini"," Katanya sambil membentangkan peta itu di atas
meja di depan Langen cs. " Lo bertiga bener-bener mesti nyiapin
fisik. Sabtu besok kita datengin mereka, dan kita tantang" kebut
gunung!" Selasa malam Langen, Fani, dan Febi ikut berkumpul di rumah
Iwan. Mereka membantu Iwan cs mengepak barang. Kelima
cowok itu akan berangkat besok pagi langsung dari kampus
mereka bergitu kelar kuliah pagi, jam sepuluh, untuk mengecek
jalur yang pernah mereka buka dulu, sekalian memasang
beberapa peralatan agar kebut gunung curang itu bisa mereka
menangkan. Melihat perlengkapan mendaki gunung berserakan, tali karmantel
bergulung-gulung teronggok di sudut ruangan, dan di meja tiga
gulung [ita merah berdiri berjajar, ketiga cewek itu jadi
bersemangat dan tak sabar lagi menunggu hari tantangan itu
diajukan. Jumat malam Fani dan Febi menginap di rumah Langen.
Ketiganya langsung memaksakan diri untuk tidur begitu jarum
jam berada tepat di angka Sembilan, soalnya besok mereka akan
dijemput Iwan cs jam empat pagi. Rei cs malah sudah berangkat
sejak siang. Ketiganya mencari-cari cewek masing-masing untuk
pamit, tapi mereka tidak berhasil karena yang dicari keburu
menghilang. Juga tidak berhasil menghubungi karena di samping
semua ponsel yang di tuju telah dimatikan, kepada pembantunya
Langen juga sudah berpesan, kalau ketiga cowok itu menelepon,
bilang saja mereka tidak ingin bicara. Kalau sang penelepon
memaksa, banting saja teleponnya!
Jam tiga dini hari, beker di meja belajar Langen menjerit
kencang. Tiga sosok tubuh yang sedang tergolek langsung
melenting dari ranjang. Akhirnya "Hari Pembalasan" ini datang juga!!!
Tanpa bias dicegah,perasaan mereka jadi tegang. Membayangkan
sua kejutan besar yang akan mereka berikan untuk Rei cs.
"Mulai hari ini, kita bikin mereka tutup mulut!" Langen yang
sedang memperhatikan pantulan dirinya yang benar-benar army
look berkata puas. Jam empat kurang sepuluh, Iwan cs dating dengan dua mobil.
Land Rover Iwan dan Escudo Evan. Langen cs naik ke Escudo,
yang isinya Cuma Evan. Kira-kira satu kilometer sebelum sampai
tujuan, Evan turun dan pindah ke Land Rover. Selanjutnya
mereka berpisah. Iwan dan teman-temannya langsung ke tempat
mereka akan star untuk naik, sementara ketiga cewek itu mencari
Rei, Bima, dan Rangga, untuk menyampaikan tantangan kebut
gunung itu. Ternyata tidak susah menemukan mereka. Jeep CJ7 milik Rei,
yang berwarna abu-abu metalik dan penuh spotlight itu, diparkir
berderet bersama tujuh mobil lain yang semuanya ditempeli stker
"Maranon" dan ikatan slayer merah di setiap kaca spion kanan.
Dekat deretan warung Langen buru-buru mengganti arah.
" Kita intip dulu. Gue curiga. Mereka bener latihan atau Cuma alas
an. " Diparkirnya Escudo itu di belakang sebuah bangunan kosong.
Dari tempat itu, deretan warung tadi masih terlihat. Ketiganya
tetap berada di dalam mobil. Mengamati ke kejauhan lewat kaca
mobil yang gelap. "Stella juga ada! Itu tuh!" Seru Febi tertahan. Langen dan Fani
langsung pasang mata. " Wah iya! Kurang ajar!" desis Langen. " Bener, kan" Mereka
bohong! Canggih amat si Stella, bias ikut ke Jayawijaya. Padahal
pas upacara tujuh belasan kemaren, dia pingsan duluan. Padahal
berdiri belum ada setengah jam! Tapi bias ikut ke Jayawijaya!?"
" Pati karena dia udah melakukan pertunjukan bugil depan Bima.
Makanya langsung lolos seleksi!" tandas Fani sambil menggebrak
dasbor. " Iya, pasti!" Langen ikut menggebrak dasbor.
Mereka memerhatikan cewek berbadan garing itu. Yang sedang
berdiri membelakangi mereka di dalam salah satu warung. Tuh
badan bener-bener tinggal tulang berulang. Tapi Stella malah
bangga. Katanya itu potongan bodi peragawati dan fotomodel
ngetop. Dasar ngeles aja dia. Pasti waktu kecilnya penyakitan!
Stella kemudian keluar sambil memegang gelas. Dan tiga orang di
dalam Escudo kontan melotot. Malah Febi langsung percaya
bahwa Stella memang pernah bugil di depan bima. Soalnya lihat
saja, ini tempat umum, banyak orang, dan dia tetap terlihat rileks
dan percaya diri dengan celana pendeknya yang super pendek
dan singlet ketat yang hanya menutupi setengah badan!
" Ck! Ck! Ck!" Ketiga cewek itu geleng kepala bersamaan.
Menatap dengan penuh perhatian, cowok mana yang sedang
diincar, sampai Stella nekat memamerkan paha dan belahan dada
di tempat orang lain justru membungkus tubuh rapat-rapat.
Dan cowok yang sangat beruntung itu tenyata". Bima!!!
" HAH!?" Fani sampai hamper mencelat dari jok saat menyaksikan
Stella mengulurkan gelas yang dibawanya pada Bima, dengan
bahasa tubuh seakan mengutip salah satu lagu Britney Spears:
I"m a slave for you. So" touch me! "Dasar cewek nggak tau
malu! Nggak bermoral " semprot Fani.
" Katanya lo nggak cinta sama dia?" Langen meliriknya.
" Ini bukan masalah cinta La! Masalah harga diri! Ini udah
termasuk penghinaan, tau nggak?" Fani mengebrak dasbor
kencang-kencang lagi. Untung yang punya mobil tidak ada di situ.
" Pantesan aja dia pake baju kayak gitu. Dia sengaja tuh. Coba
liat!" tunjuk Langen
Stella sudah meringkuk karena kedinginan. Bima meraih jaketnya.
Diselimutinya cewek yang duduk rapat di sebelahnya itu, lalu
dengan lembut diusapnya rambut Stella.
" APAAA" " Fani memekik nyaring. Sampai dua orang di dekatnya
reflex menutup kuping. " Elo berdua liatkan!" Liatkan" Gue harus
bikin perhitungan! Dasar Hanoman laknat! Playboy bajingan!"
Fani mengamuk. Dibukanya pintu, siap melompat keluar. Seketika
Langen dan Febi mengulurkan tangan bersamaan. Dengan paksa
mereka menarik Fani masuk lagi. Dan pintu mobil yang sudah
sempat terbuka buru-buru ditutup oleh Febi.
" Kalo elo keluar sekarang dalam keadaan begini, itu sama aja
dengan nunjukin kalo lo akhirnya takluk sama Bima! Yang lebih
parah, elo jealous-nya sama vewek yang nggak berkelas!"
Fani seperti tertampar mendengar kalimat Langen itu. Sesaat dia
membeku. "Gue terhina! Bukan jealous, La!"
" Gue ngerti?" Langen menepuk bahunya. " Justru itu kita harus
menang kebut gunung, supaya bisa ganti lo hina dia!"
" Rei sama Rangga ke mana ya?" sepasang mata Febi mencaricari. Tak lama kemudia yang di cari muncul. Dua cowok itu


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan beriringan bersama Eri, Ronni, Andreas dan" Pamela
Anderson! Langen cs kontan ternganga.
" Jadi si Josephine juga ikut ke Jayawijay" Hebat! Hebat!" seru
Langen berang. Matanya menancap ke cewek yang memang
sejak hari pertama kemunculannya di kampus langsung bikin
geger. Jadi bahan perbincangan seru semua orang. Dari para
mahasiswa (kelompok yang paling bersemangat), para
mahasisiwi (yang kebanyakan karena iri), sampai para dosen dan
pegawai tata usaha. Semuanya rebut memperdebatkan apakah"cihui!"-nya Josephine
itu memang asli pemberian Yang Mahakuasa ataukah hasil
suntikan silicon. Soalnya cewek ini memang lahir dan gede di
Amerika sana. Baru setahunan ini dia mudik ke Indonesia. Dan
buat cewek-cewek yang cowoknya berada dalam radius pengaruh
radiasi "cihui!"-nya Josephine yang menghebohkan itu, memang
tinggal bisa pasrah. Bedoa mari-matian agar Sang kekasih kuat
iman. " Kita samperin mereka sekarang aja!" putus Langen. Ia sudah
tidak tahan menyaksikan Rei duduk mengapit si Pamela Anderson
itu bersama Andreas. " Kira-kira kita bukanya kayak" hm" itik buruk rupa nyamperin
angsa?" " Oh, kita bukannya mau nyamperin Feb," ralat Langen langsung.
" Kita justru mau nunjukin kalo mereka itu bukan apa-apa.
Nothing! Nggak ada artinya!"
" Iya! Langen benar! Gue seruju!" sambut Fani seketika.
" Begitu" Iya deh." Febi mengangguk juga meskipun ragu.
" Oke" Siap?" Langen menatap kedua temannya lurus-lurus.
Mengobarkan semangat. "Tenang, rileks, dan jangan sekali-kali
nunjukin kalo kita jealous! Oke?"
Langen menginjak gas. Escudo itu keluar dari pos pengintainnya.
Mengambil jalan memutar sedikit supaya tidak ketahuan mereka
sudah lama berada di situ, baru lurus ke sasaran. Diinjaknya
pedal rem kuat-kuat, escudo itu berhenti dengan entakan
mendadak. Sampai mengeluarkan bunyi berdencit dan debu serta
asap tebal. Dan langsung menarik perhatian.
Rei cs, yang juga ikut menoleh, tidak mengira sama sekali.
Setelah pintu-pintu Escudo itu tebuka dan tiga cewek manis
turun, baru mereka terperangah, serentak berdiri dan menatap
tajam kearah tiga sosok tubuh itu. Setelah jaraknya cukup
dekat, baru mereka yakin. Dan makin tercenganglah ketiganya.
Berdiri kaku dengan mulut ternganga. Tapi kemudian ketiganya
jadi salah tingkah. Merasa dituduh telah berbohong. Padahal
jujur, mereka dating benar-benar hanya untuk latihan.
Fani yang memecahkan kebisuan yang tegang itu. Di hampirinya
Stella. " Hai Stel," sapanya berlagak ramah. " ikut juga?"
Dengan cuwk Stella merapatkan jaket yang dipakainya. Tak
peduli meskipun yang lebih berhak memakai jaket itu ada di
depan mata. " Iya dong!" jawabnya, juga dengan sikap yang tak peduli.
" Emang dingin banget ya?" ucapan Fani itu membuat Bima
semakin salah tingkah. Bima memang lebih berpengalaman
menangani cewek yang ngambek, atau ngamuk sekalian karena
cemburu. Tapi bukan yang tenang-tenang seperti ini.
" Fan, denger dulu?"
Tapi Fani pura-pura budek. Dia melenggang memasuki salah satu
warung yang sepertinya sudah di-booking, karena di salah satu
meja, juga meja kecil di pojok, penuh dengan tumpukan carrier
yang entah milik siapa saja. Buma buru-buru mengikuti, bak
jongos yang terbirit-birit membuntuti juragannya pergi.
Dalam hati Fani bersorak. Benar-benar ingin tertawa terbhakbahak. Akhirnya, dia bisa ganti menunjukan taring dan kukukukunya di depan playboy laknat ini. Bima kalang kabut. Dia
sadar sudah di-KO! " Fan?" Diraihnya tangan Fani dan di gemnggamnya kuat-kuat. "
Aku nggak ada maksud apa-apa!"
" Gue ngerti. Gue nggak bilang elo ada maksud apa-apa kok."
Fani menjawab dengan senyum manis dan ekspresi wajah
seakan-akan dia sangat-sangat mengerti. Sangat-sangat
memahami. Tapi dalam hati" buta kali gue!
Bima yang tahu senyum dan ekspresi itu hanya untuk
mengejeknya, jadi menahan gemas. Fani kembali menghampiri
Stella lalu duduk di sebelahnya.
" Ikut naik juga Stell?" tanyanya, seolah yanpa maksud apa-apa.
Bima langsung seperti cacing ditaburi garam.
" Iya dong!" jawab Stella serta merta. "Gue kan seneng kegiatankegiatan kayak gini. Eamng sih berat. Nyape"in banget. Tapi
untungnya, cowok-cowok itu pada pengertian. Mau nolongin,
mau bantuin, mau direpotin."
" Oooh. Gitu yaaa?" Fani mendesah. Merdu sebenarnya. Tapi
Bima seperti mendengar aba-aba "Tembak!!!" dan dia sudah
benar-benar habis, hancur, tamat!
Tiba-tiba segala atribut Bima "badan gede, berbulu, rambut
panjang, mata tajam, pipi codetan, suara ngebas- di mata Fani
jadi" keciiil! Rei sama saltingnya. Entah si Josephine itu tidak tahu, atau purapura tidak tahu, atau jangan-jangan malah sengaja, tapi "cihui!"nya yang sudah mengemparkan jagat perkuliahan itu memang
telah menimbulkan pergolakan dimana-mana. Termasuk Andreas,
yang bulan kemaren bubaran dengan Vanya.
"La, kamu nggak usah mikir macem-macem. Dia itu bukan apaapa!"
" Emangnya siapa sih yang minta pertanggungjawaban soal
Josephine?" Tanya Langen telak. Rei seketika gelagapan.
Sialan! Rutuk Rei dalam hati. Buru-buru dia menenangkan diri.
Cowok jangan sampai kalah sama cewek. Meskipun salah, tetap
harus bisa berkelit. Karena kalau tidak begitu, percuma saja
merelakan satu tulang rusuk!
" Karena gue merasa, jadi gue harus memberikan penjelasan!"
jawabnya diplomatis. Langen mencibir dalam hati " Gue dating ke sini bukan buat
nyantrinin elo. Tenang aja."
" Ehm, kayaknya kalo dari jauh"," Langen menatap puncak
gunung jauh di ketinggian, dengan gaya dan mimic meremehkan,
" gunung itu hebat! Tinggi, hutannya lebat, berkabut, dingin,
banyak binatang buasnya pula. Kayaknya mustahil deh, bisa
sampe puncaknya. Tapi kalo dari deket begini ternyata" biasa
aja! Nggak hebat-hebat amat tuh!"
"Apa sih maksud lo?" Rei tidak mengerti.
" Maksud gue?" Langen menoleh. Menatap sepasang mata hitam
Rei dengan sikap menantang. " Gimana kalo gue tantang elo"
kebut gunung!?" Huukk!!! Rei terhuyung mundur. Ditatapnya gadis di depannya
dengan mata melotot. "A-apa La?" "Kebut gunung. Masa elo nggak denger sih" Kayaknya gue
ngomong udah keras deh," jawab Langen centil. Tapi Rei sedang
shock, jadi tidak sempat memerhatikan gaya kenesnya Langen
itu. " La, elo" elo bercanda kan?"
" Serius dong! Orang gue latihan fisiknya aja sampe di Bumi
Marinir Cilandak sana. Bareng sama tentara-tentara. Makanya
pake baju loreng. Ini bukan beli nih. Jangan salah!"
" Langen, elo kan" "
"Nggak pernah naik gunuuung?" potong Langen manis. "
Makanya ini gue mau naik gunung?" cewek itu menoleh ke
pemilik warung. "Ada kopi mang?"
" Oh, aya! Aya, neng!" jawab bapak si emunya warung. "berapa?"
Langen menoleh keluar. " Elo mau kopi nggak Fan?" tanyanya. Suaranya sengaja nyaring.
Biar Bima mendengar. Cowok itu memang mendengarnya san
jelas jadi kaget. Fani minum kopi" Nggak mungkin! Karena yang
dia tahu, Fani itu tidak suka kopi sama sekali.
"Mau!" jawab Fani berdiri dan masuk ke warung.
" Elo Feb?" Langen menoleh ke Febi, yang berdiri diam di sudut.
Persoalan antara Febi dan Rangga memang tidak terlalu
menghebohkan. Buka karena dianggap sepele. Tapi sekali lagi,
lingkungan tempat Febi lahir dan tumbuh besar membuatnya
tidak bisa berbuat lain selain diam. Di sana perempuan Cuma jadi
Pedang Penakluk Iblis 15 Satria Gendeng 10 Nisan Batu Mayit Perkawinan Berdarah 3

Cari Blog Ini