Ceritasilat Novel Online

Cewek 5

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 5


memerintahkan Fani untuk memastikan ruang ganti khusus
cewek dalam keadaan kosong, sebelum kemudian menyusul
masuk. ''Yang selesai duluan ngasih tanda. Kayak gini!'' Fani
menjentikkan jari tiga kali.
''Oke!'' Bima mengangguk. ''Setuju!''
Keduanya balik badan dan menghilang ke dalam bilik yang
mereka pilih. Di dalam biliknya, Fani menggantung bikini biru itu
lalu menatapnya lurus-lurus. Perlahan ditanggalkannya
pakaiannya satu demi satu, lalu dikenakannya bikini biru itu.
Kemudian cewek itu menunggu cemas. Tapi sampai dia bosan
memerhatikan tubuhnya yang berbalut busana sangat minim itu,
tidak juga terdengar tanda dari luar. Yang artinya, Bima juga
belum keluar dari bilik tempat dia ganti baju.
Fani meringis sendiri. Biar tau rasa tuh cowok! Batinnya. Belagu sih. Terlalu bangga dan
pede sama ke-''badak''-nya. Mampus dia sekarang!
Sambil menahan senyum, dibukanya pintu. Niatnya hanya akan
memberi tanda kemudian menunggu lima detik saja. Biar ''badak''
itu tahu bahwa dirinya tidak bersembunyi!
Tapi pintu itu hanya sempat terbuka setengah, karena Fani
langsung tersentak. Mulutnya menganga lebar, sementara kedua
matanya melotot lebar-lebar. Di depannya, persis di depannya,
berdiri monyet berbulu yang bergincu dan..... Bikini!!!
Hanya satu detik Fani menyaksikan pemandangan mengerikan
itu, kemudian dia pingsan! Merosot ke lantai begitu saja sempat
menjerit. Dan suara terakhir yang sempat didengarnya sebelum
kesadarannya hilang total adalah....
''Menurut yey, penampilan eike gimana"''
*** Fani tidak tahu berapa lama dia pingsan. Begitu sadar, yang
pertama terasa adalah bantal empuk di bawah kepala. Lalu kasur
yang juga empuk, dan selimut lembut yang menutupi tubuhnya
sampai bahu. Perlahan dibukanya mata, dan yang pertama menyambut
pandangannya adalah Rocky Mountain yang berdiri megah
menyangga langit. Puncaknya diselimuti salju. Sementara kaki
dan sebagian lerengnya ditutupi hamparan pinus yang berdiri
tegak saling merapat. Sebuah danau luas memantulkan
kemegahan langit dan dipermukaannya yang tenang.
Fani menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang langsung
dilukis di dinding tanpa seinci pun ruang polos dibiarkan tersisa.
Terasa begitu teduh dan menenangkan. Perhatiannya kemudian
beralih ke sisi tembok di samping tempat tidur.
Bunga-bunga edelweis yang telah kering ditempelkan dalam
ikatan-ikatan kecil. Direkatkan ke tembok dengan selotip,
ditempelkan selembar kecil kertas. Sesaat Fani mengerutkan
kening, lalu berguling mendekati dinding dan bangkit dari posisi
tidur. ''Hargodalem-Lawu,'' bacanya pelan di kertas kecil di bawah
ikatan bunga yang paling pinggir. Di bawah tulisan itu tertulis
hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat bunga itu dipetik. Tatap
matanya kemudian beralih ke ikatan bunga berikutnya. ''CisaladaPapandayan. Suryakencana-Gede. Ranukumbolo-Semeru. Padang
Surayan-Dempo.... Ck, gila! Oke banget pendokumentasiannya!''
Fani berdecak kagum. Dan setelah terkagum-kagum selama beberapa menit, di ikatan
edelweis yang kesekian, mendadak Fani tersadar akan sesuatu.
Edelweis" Gunung"
Tenggorokannya tersekat. Buru-buru dia melompat turun dari
tempat tidur. Dan ketika kedua kakinya bergerak mundur
beberapa langkah, baru dia tahu bahwa edelweis yang direkatkan
di tembok dalam ikatan-ikatan kecil itu ternyata disusun
membentuk formasi huruf ''M''.
''M"'' desisnya. Dan seketika dadanya berdegup kencang. ''M''
berari Maranon....' Kepalanya lalu bergerak liar ke seisi ruangan, dan berhenti di satu
titik dengan wajah pucat. Di sana, di sisi tembok yang lain,
tersemat dalam bingkai kayu yang artistik dan lumayan besar,
terpampang foto diri sang Baginda Maharaja yang bertakhta di
kamar itu. ''HAAAA!!!'' Fani menjerit melengking. Tubuhnya tanpa sadar
melompat mundur dan tak ayal menabrak rak buku di
belakangnya. ''ADUH!!!'' sekali lagi cewek itu menjerit keras saat
kepalanya terantuk rak yang terbuat dari batang-batang kayu
utuh yang diplitur itu. Bersamaan dengan jeritan terakhir Fani, pintu terbuka dengan
satu entakan keras. Bima menerjang masuk dan berlari
menghampiri Fani yang sedang menelungkup di lantai sambil
memegangi kepala, lalu berlutut di sebelahnya.
''Ada apa"'' tanya cowok itu cemas.
''Kejedot rak buku!'' ''Kok bisa"'' Tiba-tiba Fani melompat berdiri. ''Gue yang mau tanya! Kenapa
gue bisa ada di sini!"''
''Trus maunya di mana" Rumah sakit" Kalo cuma pingsan aja
mana bisa, lagi" Masuk sana ya harus sakit.''
''Tapi elo kan sakit. Sakit jiwa! Jadi mereka pasti udah langsung
tau kalo gue korban elo!''
Seketika Bima ketawa keras. ''Kok begitu ngomongnya" Nggak
sopan!'' ''Kenapa gue bisa ada di sini" Jawab! Kenapa!"''
''Tadi kamu pingsan di ruang ganti kolam renang, kan" Lupa"''
Fani tertegun. Tapi tak berapa lama dia tersentak.
Sekarang dia ingat lagi. Dia telah menyaksikan..... Bima berbikini!
Ya Tuhan! Cewek itu bergidik. Kemudian lagi-lagi dia tersentak. Tapi garagara itu kan, dia terus pingsan. Padahal dia juga lari berbi.....
Serentak kepalanya menunduk, dan napasnya langsung
tersangkut di tenggorokan begitu dilihanya....dirinya telah
berpakaian lengkap! Diangkatnya kepala dan ditatapnya Bima tajam-tajam.
''Kenapa gue jadi pake baju!"'' bentaknya.
Pertanyaan itu membuat Bima tertawa geli. Fani langsung
tersadar, kalimatnya tadi sudah salah redaksi. Dan wajahnya
kontan merah padam. ''Ng....maksud gue....siapa yang makein gue baju!"'' ralatnya.
Tapi tetap dengan nada galak.
''Nggak usah ditanya. Nanti kamu stres,'' jawab Bima halus.
Tapi jawaban Bima itu malah bikin Fani tersentak. Seketika
ditutupinya mukanya dengan kedua tangan. Bikini itu punya
belahan dada yang benar-benar rendah. Sampai tadi terpaksa
ditutupinya bagian dadanua yang terbuka dengan tisu. Tapi tisu
bukanlah makhluk bernyawa dan berkepala. Jadi sudah pasti
tidak akan punya inisiatif untuk tetap melekat erat di dadanya
saat dirinya jatuh pingsan.
Teringat itu, seketika Fani melepaskan kedua tangannya yang
menutupi muka lalu melongok ke balik bajunya. Dan sepertinya
yang ditakutkannya, tisu itu sudah tidak ada lagi. Gantinya,
sehelai slayer merah dengan lambang Maranon, melekat di sana.
Dua ujung slayer itu diikatkan di tali-tali bikininya.
''Tisunya basah, trus sobek,'' Bima menjelaskan dengan ekspresi
sepolos tampang anak balita. ''Dan karena aku nggak punya tisu,
jadi ya terpaksa pake apa yang ada. Kebetulan yang ada cuma
slayer Maranon.'' ''Kalo udah dipakein baju, kenapa juga lo iketin slayer di bikini
gueee!"'' Fani menjerit melengking.
''Kenapa"'' Bima menyipitkan kedua mata hitamnya, berlagak
heran dengan pertanyaan Fani itu. ''Karena pasti ada alasan
kenapa kamu tutupin pake tisu. Dan setelah tisu itu sobek, aku
tau alasannya.'' Bima tersenyum tipis.
Seketika Fani berlari ke arah tempat tidur lalu menjatuhkan diri di
tepinya. Dia telungkupkan tubuh di sana, menyembunyikan
wajahnya di atas bantal, kemudian terisak-isak dengan sangat
menyayat hati, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Rasanya dia ingin teriak. Ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Hancur sudah masa depannya! Pulang dari sini, dia harus mulai
mencari-cari tempat yang cocok untuk gantung diri atau terjun
bebas! Dalam berdiri diamnya, Bima menatap Fani dengan sorot lembut.
Cowok itu memang senang sekali menggoda ceweknya yang
entah nomor keberapa ini. Respons Fani yang selalu meledakledak, membuatnya jafi kerajingan menjaili. Tapi ada yang telah
terjadi di antara mereka berdua beberapa saat lalu, tak urung jadi
membangkitkan kedekatan emosi.
Tiba-tiba Fani mengangkat muka. Dihapusnya air matanya.
''Kenapa sih lo nggak minta tolong sama mbak yang jaga stan
makanan di pinggir kolam" Atau sama siapa kek gitu"''
''Apa bedanya sekarang" Aku minta tolong dia atau siapa
juga....,'' Bima mengangkat kedua alis tebalnya, ''toh aku sudah
ngeliat, kan" Meskipun di balik bikini. Lagi pula....'' Bima
menggantung kalimatnya sesaat. Kedua matanya menatap Fani
lurus-lurus, kemudian dia lanjutkan kalimatnya dengan nada
tandas. ''Underneath your clothes is my territory!'' ucapnya
mengikuti lagu Shakira. Kalimat itu seketika membuat Fani membenamkan wajahnya
dibantal. Dan ketika wajah itu kembali terangkat, merahnya
sudah lebih merah dari apel yang paling merah.
''Trus lo apain gue"'' tanyanya pelan. Pasrah sudah.
''Nggak diapa-apain....'' Bima tetap meneruskan godaannya.
''Cuma dipakein baju.'' ''Nggak mungkin! Lo kan tukang memanfaatkan kesempatan!''
Sejenak Bima menatap Fani dengan pandang lurus. Kemudian
cowok itu berjalan mendekati meja di sudut kamar, mengambil
sebuah buku dan bolpoin, lalu menghampiri Fani dan duduk
bersila di sebelahnya. Dekat di sebelahnya.
''Kalo itu yang kamu maksud....,'' ucap Bima halus,
''memanfaatkan kesempatan itu udah insting setiap cowok, Fan.
Dan susah untuk ngelwan hukum alam.'' Diletakkannya buku dan
bolpoin di pangkuan Fani. ''Kamu tulis aja di sini, apa yang kamu
minta untuk maskawin. Resepsinya mau gimana, trus gaunnya
mau tradisional atau modern. Suvenir, dekorasi. Semuanya. Tulis
aja di sini. Oke"'' Bima mengusap lembut kepala Fani, yang memandanginya
dengan tatapan tidak terfokus. Kemudian diraihnya tubuh Fani,
dipeluknya erat, lalu dikecupnya bibir gadis itu. Sekali lagi,
ditatapnya cewek dalam pelukannya itu. Melakukannya pada
orang yang berbeda, untuk alasan yang juga berbeda, ternyata
memberikan perasaan itu berbeda pula. Mungkin karena hanya
fisik cewek ini yang bisa dimilikinya. Itu pun dengan cara-cara
yang sering kali ekstrem.
''Aku tinggal dulu ya....'' Bima melepaskan pelukannya. ''Aku mau
liat dulu, di Mbok udah selesai nyiapin makan atau belum. Nanti
selesai makan, kita ngobrol-ngobrol. Ada beberapa pertanyaan
yang harus kamu jawab, Sayang.''
Bima telah menghilang di ambang pintu. Tapi Fani masih terpana
tak percaya. Tidak mungkin ini terjadi. Tidak mungkin! Ini pasti
cuma halusinasi. Ini bukan kenyataan. Pasti! Pasti bukan
kenyataan! BUKAN KENYATAAN!!!
Sayangnya, di saat Fani mati-matian menghipnotis dirinya sendiri
bahwa apa yang sedang menimpanya saat ini adalah cuma
halusinasi, Bima muncul lagi. Dan gorila itu terlalu riil, bahkan
seandainya Fani benar-benar sedang bermimpi.
''Lupa nih, aku mau nanya. Itu satuannya apa sih" Sekali-sekali
aku pengen juga beliin buat kamu. Biasanya kamu pake merek
apa" Soalnya aku taunya cuma Triumph.....'' Dengan kurang ajar
sepasang mata Bima hinggap di dada Fani dan menatapnya
bergantian. Langsung saja..... ''AAAAAA!!!'' Bima berjalan keluar sambil terbahak-bahak. Fani menerjunkan
diri ke ranjang. Dipukulnya bantal keras-keras. Ternyata dia
benar-benar harus bunuh diri. Daripada bikin malu ortu!
Tiba-tiba cewek itu mengangkat kepala dan memandang
berkeliling. Iya, betul! Dia akan bunuh diri di kamar ini saja.
Kemudian menjadi arwah gentayangan. Dan akan diterornya
hidup Bima lewat penampakan-penampakan seram! Sip! Ide
brilian! Itu namanya dendam di bawa mati!
Tapi mendadak Fani teringat, Bima akan mengajukan beberapa
pertanyaan. Seketika cewek itu melompat bangun. Bunuh diri
bisa ntar-ntar. Yang paling penting sekarang, menyelamatkan
Langen dan Febi dulu, alias kudu secepatnya buron dari tempat
ini! Fani berjingkat-jingkat mendekati pintu lalu mengintip keluar.
Hari mulai sore. Sip, sepi! Buru-buru dia berlari menuju ruangan
yang diperkirakannya ruang tamu. Tapi belum juga ambang
pintunya tercapai, Bima muncul.
''Mau ke mana"'' tanya cowok itu tajam.
''Mm....itu.....ke kamar mandi.'' Fani langsung memperagakan
adegan kebelet pipis. ''Sini.'' Bima meraih tangannya. Fani hanya bisa mengeluh dalam
hati saat usaha pelariannya itu gagal. Pasrah diikutinya tangan
yang menariknya ke arah belakang. Kesebuah ruangan yang
ternyata dapur. ''Mbok,'' panggil Bima. Seorang perempuan paruh baya yang
sedang mengiris ketimun menoleh. ''Ini nih pacar baru saya.
Gimana"'' ''He-eh. Ayu.'' perempuan itu tersenyum.
''Pacar baru"'' gerutu Fani begitu pintu kamar mandi telah
ditutupnya. Bunyi klakson sepeda motor sesaat kemudian
membuat tangannya yang akan meraih gayung seketika berhenti
di udara. Ia memanjat bibir bak lalu mengintip ke luar lewat
jendela kecil di dinding. Ternyata di samping kamar mandi ada
lorong kecil yang langsung tembus halaman depan.
Mendadak pintu di ujung lorong terbuka. Refleks Fani
menurunkan kepala, lalu mengintip lagi pelan-pelan. Dilihatnya
Bima berjalan cepat ke depan. Buru-buru Fani melompat turun.
Perlahan dibukanya pintu kamar mandi dan diintipnya keluar.
Dapur kosong. Si mbok itu entah ke mana. Tanpa buang waktu,
Fani berlari ke ruang tamu lalu meringkuk di belakang sofa.
Lewat jendela di ruang tamu, Fani melihat Bima berdiri di
gerbang depan, sedang memandangi buku yang disodorkan
petugas pos. Cewek itu semakin meringkuk saat Bima lewat di
depan jendela, kembali ke pintu samping.
Begitu terdengar pintu samping dibuka lalu ditutup kembali, Fani
langsung berlari keluar. Disambarnya sepatu ketsnya di teras dan
dipakainya sambil terus berlari menuju pintu pagar. Dan setelah
lima detik mengerahkan seluruh cadangan tenaga, pintu pagar itu
boro-boro terbuka, bergeser sedikit pun tidak. Terpaksa Fani
menggunakan keahlian yang diperolehnya semasa SMA. Keahlian
yang wajib dimiliki oleh setiap murid yang datang telat. Dia
memanjat pagar tinggi itu lalu melompat keluar dan langsung


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari sekencang-kencangnya.
Karena sudah mendapatkan penempaan fisik yang cukup,
kecepatan berlari Fani menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan. Tapi tetap, kalau urusannya melawan Bima, taktik
lebih diperlukan daripada kecepatan. Karena itu sambil terus
berlari, otak Fani juga berputar. Dan begitu dilihantnya seorang
ibu sedang kerepotan mengangkati jemuran sambil
menggendong anak balitanya yang rewel, Fani langsung
menghampiri. ''Sini, Bu. Saya bantuin,'' ucapnya. Ibu itu menoleh kaget.
Ditatapnya Fani dengan kening berkerut. ''Sini saya bantu
ngangkatin jemuran. Kayaknya Ibu repot banget.''
''Oh, iya. Ini anak saya, badannya lagi panas. Makanya rewel
terus. Terima kasih ya. Sebentar saya bawa dulu dia ke kamar.''
Ibu itu berjalan masuk ke rumah. Fani memandang berkeliling.
Dia harus membuat penyamaran dulu, karena baju-baju yang
dijemur hanya akan menutupi badan dan kepalanya. Sementara
kaki sudah pasti akan terlihat jelas. Tatapannya berhenti di
sehelai kain kumal yang menggeletak di lantai teras. Fani jadi
tahu kenapa kain itu ditelantarkan, setelah meraihnya. Ternyata
baunya ''yeeekh!'' sekali. Sepertinya ini ompol paling gres bayi
tadi. Tapi tidak apa-apa. Sip malah. Ini namanya penyamaran ala
sigung! Cepat-cepat Fani melilitkan kain itu sampai menutupi sepatunya.
Kemudian dia segera memulai pekerjaannya. Sambil pura-pura
mencopoti jepitan baju, ia bersembunyi di balik kain-kain lebar,
seperti seprai dan selimut. Karena hanya dua itu yang nantinya
tidak menyisakan celah terbuka. Tepat di selimut terakhir, Bima
muncul. Fani yang sudah hafal benar dengan langkah-langkah
kaki itu, seketika merunduk di balik selimut.
Bima berjalan mondar-mandir. Tarikan napasnya sudah seperti
dengus banteng aduan. Bukan cuma karena habis lari ke sana
kemari, tapi juga karena dia sedang sangat marah!
Setelah berkali-kali menoleh ke segala arah, akhirnya Bima pergi.
Dia sama sekali tak berminat untuk memeriksa seseorang di balik
jemuran. Soalnya bila dilihatnya dari kain buluk yang dipakai,
cewek itu sudah pasti pembantunya yang punya rumah.
"Terima kasih, ya?"
Teguran itu membuat Fani nyaris menjerit. Alamak! Nyaris amat
ibu ini nongolnya ya" Desisnya dalam hati.
"Maaf. Kaget, ya?"
"Iya." Fani tersenyum basa-basi lalu cepat-cepat melepaskan kain
bau yang dipakainya. "Itu kan kotor?" Ibu itu mengerutkan kening.
Fani cuma meringis. Tak bisa menjawab.
"Bu, kalo mau ke jalan besar, lewat mana ya?"
"Oh, itu. Kalau nanti kamu sampai di pertigaan depan, beloj kiri.
Terus....." Ibu itu menjelaskan apa yang diminta Fani. Setelah mengucapkan
terima kasih dan setelah sekali lagi menghafalkan arah yang
jelaskan, Fani langsung tancap gas. Lari sekencang-kencangnya
menuju gerbang kebebasan!
*** Pelarian itu nyaris sukses. Fani nyaris sampai di rumahnya
dengan selamat, sehat, dan utuh. Tapi sekali lagi.....nyaris.
Hanya nyaris. Hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari pintu pagar
rumahnya, sebuah Jeep Canvas muncul tiba-tiba. Melaju dari sisi
kanan dan memaksa taksi yang ditumpangi Fani untuk menepi,
dengan satu teriakan klakson yang memekakkan telinga. Fani
terkesiap. "Pak! Pak! Cepet, Pak! Ngebut! Itu tinggal deket lagi! Cepetan!"
dia menjerit-jerit panik.
Terlambat! Jeep Bima telah melintang di tengah jalan. Cowok itu melompat
turun dan dalam sekejap telah berada di luar jendela taksi di saat
Fani belum sadar dari keterpanaannya.
"Stop pinggir, Pak! Cepet!"
Perintah itu terdengar jelas meskipun seluruh kaca jendela
tertutup rapat. Si sopir taksi, yang mengira dirinya sedang
dirampok, langsung menurut. Bima berjalan kembali ke Jeep-nya.
Fani tersadar. "Pak! Nanti begitu mobilnya minggir, langsung ngebut, Pak!"
Tapi si sopir taksi menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Neng. Biarin
aja. Uang saya cuma sedikit kok. Baru keluar. Baru dapet dua
puluh ribu. Biar aja dia ambil, daripada mobil saya dirusak atau
nyawa saya melayang!"
"Dia bukan perampok, Pak! Dia itu pembunuh!" ucap Fani nyaris
menjerit. "HAH!?" si sopir taksi terkesiap dan kontan semakin pucat.
"Pe....pe...." "Iya! Makanya cepetan kita kabur!" seru Fani.
Tapi karena kata-kata Fani itu, si bapak sopir jadi shock. Dia
cuma bisa mematung. Dan ketika Bima kembali dan mengetukngetuk kaca, menyuruhnya membuka pintu belakang sebelah kiri
karena Fani telah menguncinya, lagi-lagi dengan patuh
diturutinya perintah itu.
"Jangan! Jangan! Jangan dibuka! Jangan biarkan dia masuk!" jerit
Fani. Mati-matian berusaha disingkirkannya tangan si sopir taksi
dari tombol kunci. Di luar, Bima memerhatikan dengan tidak sabar. Diketukketuknya lagi kaca jendela, meminta si sopir taksi untuk
membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu pintu itu terbuka, Bima
mengulurkan tangan ke dalam. Mengenyahkan kesepuluh jari
Fani yang menutupi tombol kunci rapat-rapat, kemudian menarik
tombol itu ke atas bersamaan dengan tangan kirinya menarik
hendel dari luar. Dan tertangkaplah sang pelarian!
"Halo, Sayang!" desis Bima tajam. "Urusan kita belom selesai.
Aku belom jawab tantangan kamu yang terakhir!"
Fani memucat di ujung jok belakang. Si sopir taksi menatap
tegang, mengira sesaat lagi akan terjadi pertumpahan darah. Dia
sudah membayangkan akan masuk tivi, di salah satu progam
khusus kriminalitas. Bima bergerak maju, nyaris merapatkan tubuhnya dengan tubuh
Fani. "Apa kamu bilang waktu itu" Berani nggak aku peluk terus nyium
kamu di depan mama kamu?" ditepuk-tepuknya kedua pipi Fani.
"Kecil! Akan aku buat mama kamu, bahkan papa kamu, setuju
kalo sekalian kuminta......kita kawin sekarang!"
"HAAA!" A-APA!?"
Fani terperangah amat sangat. Shock. Pucat pasi. Putih seputih
kertas. Bima tersenyum puas. Yang diperlukannya saat ini
memang wajah sekarat ini. Cowok itu menoleh ke sopir taksi,
yang masih mengikuti setiap adegan dengan ekspresi terpana.
"Kenapa, Pak?" "Ng.... Nggak! Nggak apa-apa!"
"Kalo gitu tolong ke rumah sana itu, Pak. Yang pagernya abuabu." Bima mengulurkan selembar uang. "Kembaliannya buat
Bapak." Si sopir taksi menerima dengan heran. Ternyata pembunuhan
yang ini baik sekali, soalnya tip yang dia berikan jumlahnya nyaris
dua kali lipat dari argo. Taksi lalu berhenti tepat di depan pintu
pagar rumah Fani. "Tolong klaksonin, Pak!'' kata Bima sambil bergegas turun.
Dibukanya pintu di sebelah Fani dan diraihnya cewek itu ke dalam
pelukan. ''Apa-apaan sih" Gue bisa....''
Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Membungkam
protes itu seketika. Kemudian digendongnya Fani dengan cara
yang membuat cewek itu tidak bisa menggerakkan tangan
maupun kedua kakinya. Ijah, yang keluar karena mendengar
bunyi klakson, kaget melihat nona majikannya yang biasanya bisa
jalan sendiri, sekarang sampai harus digendong. Buru-buru dia
berlari menghampiri. ''Non Fani kenapa, Mas"''
''Tadi dia pingsan, Jah.''
''Pingsan" Di mana"''
''Di kampus. Tolong bukain pagernya.''
''Iya! Iya!'' Ijah membuka pintu pagar lebar-lebar, lalu berlari
masuk rumah sambil menjerit-jerit. ''NYAH! NYONYAH! NON FANI
PINGSAN!!!'' Tak lama mama Fani keluar sampai bergopoh-gopoh. Rambutnya
berantakan, bajunya kusut, keliatan sekali kalau di bangunkan
dari tidur. Dan begitu melihat anak semata wayangnya sampai
harus digendong, jelas saja dia jadi panik.
''Fani kenapaaa!" Dari tadi kamu Mama cari-cari.....''
Fani sudah siap-siap bicara, tapi Bima mengetatkan pelukannya.
Cowok itu cepat-cepat menyela.
''Iya, sori, Tante. Tadi saya jemput Fani nggak bilang-bilang. Saya
ngajak dia ke kampus. Tapi dia di kampus pingsan, Tante,'' jawab
Bima. Dia telah menyetel tampangnya dengan ekspresi sangat
cemas dan sangat khawatir. Saking betapa khawatir dan
cemasnya dia, dipeluknya Fani kuat-kuat, dan diciumnya pipi Fani
di depan mata sang mama! Maka terjwablah sudah seluruh tantangan!
Pelan dan hati-hati, Bima lalu merebahkan Fani di sofa panjang.
Sang mama langsung duduk di sebelah anaknya itu,
memerhatikan dengan kecemasan yang benar-benar
menggunung. ''Kamu kenapa" Kok bisa pingsan" Mukanya sampe pucet begini.''
Baru saja Fani mau menjawab, eh.....sekarang si Ijah yang
menjawab pertanyaan itu. ''Non Fani kan tadi pagi nggak mau sarapan, Nyah. Cuma garagara Ijah lupa beli roti tawar, trus gantinya Ijah bikinin nasi
goreng pake telor ceplok. Eh, Non Fani nggak mau. Katanya
kolestrol tinggi. Udah nasinya berminyak, masih dipakein telor,
lagi! Gitu, Nyah.'' ''Nah, itulah. Jelas aja jadi pingsan.'' Mama Fani menghela napas.
''Tapi Fani ini emang makannya susah, Tante,'' kata Bima.
''Oh, iya. Betul itu. Memang begini nih anak, Nak Bima.''
''Kalau saya paksa-paksa makan, dia marah, Tante.''
''Iya, emang begitu!'' Fani tercengang menatap Bima. Idih! Kapan lo maksa-maksa gue
makan!" Mulutnya sudah terbuka. Siap meneriakkan itu sama sekali tidak
benar, tapi Bima langsung mendahului.
''Padahal maksud saya baik, Tante. Jangan cuma gara-gara biar
badannya tetep langsing, terus nggak makan. Kalo jadi sakit
begini kan malah repot.''
''Iya memang!'' Mama Fani langsung mengangguk setuju.
''Tau tuh!'' Ijah ikutan ngomel.
''Dan Fani ini juga nggak peduli kesehatan, Tante. ''Hobinya
makan rujak!'' ''Kamu kelewatan bener sih, Fan"''
''Itu bohong, Ma! Bohong! Nggak bener! Fitnah!'' Fani melompat
bangun. Fani membantah sampai nyaris histeris, tapi dua orang di
depannya sama sekali tidak percaya. Cewek itu lalu menoleh dan
menatap Bima penuh dendam. ''Elo.....!''
Bima menyambut tatapan itu dengan senyum samar dan kedipan
sebelah mata. Fani memalingkan lagi mukanya dengan perasaan
dongkol yang makin menjadi.
''Kalo udah kena maag, baru kapok kamu, Fan!'' omel mama Fani.
''Iya emang, Nyah!'' Ijah ikut-ikutan lagi.
Fani menepuk dahi keras-keras. Hancur sudah! Lenyap semua
harga dirinya dimarahi mamanya dan Ijah di depan drakula sialan
ini! ''Beraninya pada keroyokan! Kalo emang gentle, ayo di luar! Satu
lawan satu!'' serunya. ''Ini anak kenapa sih!" Nggak tau orangtua kuatir, malah ngajak
bercanda!'' Kuping Fani langsung kena jewer. Fani memekik dan
buru-buru menyelamatkan kupingnya.
''Aduh, sakiiit.'' Diusap-usapnya kupingnya yang memerah.
''Untung aja ada Nak Bima. Coba kalo nggak" Siapa yang nganter
kamu pulang" Siapa yang jaga kamu di jalan"''
''Untung ada diaaa!!!"''Fani menjerit melengking. ''Wah, Mama!
Justru untung Fani masih hidup, Ma! Cuma pingsan doang!
Sebelom-sebelomnya sampe ada yang jadi kuntilanak
gentayangan, saking matinya nggak ikhlas! Penasaran! Malah ada
yang.....ADOH!!!'' Kedua telinganya diplintir sang mama kuat-kuat.
''Kurang aja memang ini anak! Ditolong bukannya terima kasih!''
''Iya, emang!'' Ijah ikut membentak. Lalu dia menoleh ke Bima,
yang sedang setengah mati menahan tawa. Saking bibirnya
sudah tidak bisa lagi ditahannya untuk tidak meringis, cowok itu
terpaksa melepaskan ikatan rambutnya lalu menyembunyikan
muka di balik uraiannya. ''Udah, Mas. Lain kali kalo Non Fani
pingsan lagi, biarin aja dia nggeletak di jalanan. Nggak usah
ditolongin!'' Bima cuma bisa mengangguk-angguk.
''Sekarang makan sana!'' Fani mendengus mendengar perintah mamanya itu. Mana
ketelen! ''Ogah! Fani mogok makan!''
''Nah, kan" Coba aja itu!'' seru sang mama gusar.
''Emang hari ini Mama masak apa"''
''Banyak, Non. Saya yang masak,'' Ijah yang menjawab. ''Kan tadi
temen-temennya Tuan pada rapat di sini. Ada kesenengannya
Non, sop sosis sama sosis goreng pedes.''
''Sosis sapi, ya" Kuno! Sekarang udah nggak ngetren sosis sapi.
Sekarang yang ngetop tuh.... Sosis monyet sama burger lutung!''
Mama Fani tidak sabar lagi. ''Udah! Udah, Jah! Nggak usah kamu
ladeni dia! Malah ngelunjak!''
''Tau tuh, Nyah! Ijah kirain serius!'' dengus Ijah.
''Sekarang makan sana! Cepet!'' Mama Fani memelototi anaknya.
Segera saja Bima memafaatkan peluang itu.
''Makan yuk, Fan"'' bujuknya lembut. ''Nanti makin sakit lho.
Kamu kan baru aja terkapar di kampus. Untung....''
''Yang mengaparkan gue itu elo, tau!'' bentak Fani.
''FANI!!!'' Cewek itu mencelat dari sofa begitu melihat mamanya
menjulurkan tangan. ''Bener, Ma! Fani nggak bohong! Ini semua gara-gara dia!''
Bima segera menghentikan rentaan kalimat Fani yang bisa
membahaykan dirinya itu, dengan mengeluarkan sesuatu dari
kantong baju. ''Tadi saya mampir ke apotek, Tante. Beli multivitamin. Kalo Fani
masih susah disuruh makan, ini bisa untuk menjaga kondisinya.
Supaya nggak ambruk lagi kayak sekarang ini.''
Ah, busa banget nih lutung! Pikir Fani.
Langen saja di mata mama Fani, Bima menjelma menjadi pria
sejati. Calon menantu sempurna. Apalagi di zaman sekarang ini,
rasanya tidak mungkin lagi bisa menemukan laki-laki yang bisa


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipercaya dan bertanggung jawab seperti Bima ini.
''Aduuuh, terima kasih lho, Nak Bima. Maaf ya, sudah dibuat
repot sama Fani. Ini anak memang agak susah diatur.''
''Nggak apa-apa, Tante.'' Bima langsung menampilkan wajah bak
malaikat, yang selalu siap menolong.
Rentetan kalimat panjang Fani memang jadi terhenti karena itu.
Dengan kening berkerut, diperhatikannya plastik bening berisi
vitamin yang disodorkan Bima dan baru saja diterima mamanya
dengan sangat terharu. ''Itu pasti obat pelet!'' seru Fani.
''In, nih anak!'' desis sang mama berang, dan dicubitnya lengan
anaknya keras-keras. ''Iyaow!'' Jerit Fani dan buru-buru menjauh. ''Bener, Ma! Kalo
nggak obat pelet, itu pasti vitamin penjilat!''
Bima tertawa pelan dan menahan mama Fani yang sudah bersiap
menghampiri anaknya dengan gulungan majalah di tangan.
''Jangan, Tante. Dia cuma bercanda kok.''
''Bercanda kok keterlaluan kayak begitu. Kayak nggak pernah
sekolah aja!'' ''Tau emang!'' Ijah ikut membentak nona majikannya.
''Apa lo!"'' balas Fani seketika. Jengkel banget dia karena Ijah
ikut-ikutan. ''Udah sana makan, cepet!'' perintah mama Fani. ''Udah, Jah!
Jangan kamu ladeni dia!''
Meskipun telah menang mutlak, Bima tetap meneruskan
aktingnya. Lembut, dibujuknya Fani untuk makan. Dan dengan
lembut juga dibawanya cewek itu ke ruang makan. Maka makin
jatuh cintalah sang mama, saat dilihatnya betapa sayangnya Bima
pada anak tunggalnya itu.
Apalagi saat Bima menyendokkan nasi buat Fani, mengambil lauk,
merayu-rayu supaya makan. ''Ayo dong, dimakan. Sedikit nggak
apa-apa. Daripada perut kosong. Lagi pula kasian sedikit sama
Ijah. Dia udah masakin makanan kesenengan kamu. Jangan
dikira masak itu nggak capek lho, Fan. Coba deh kamu sekalisekali gantiin tugasnya Ijah. Biar tau capeknya orang masak.''
Bisa pas juga Bima ngasih nasihat. Padahal dia sendiri seumurumur belum pernah menyentuh panci atau penggorengan.
Langsung saja di mata Ijah, cowok itu menjelma jadi ''Pahlawan
Pembela Rakyat Kecil''! Dan supaya semakin terlihat sebagai cowok yang santun dan
tahu tata krama, Bima mempersilakan mama Fani.
''Silakan makan, Tante.''
''Oh, iya. Iya. Tante sih gampang. Kalian aja makan dulu.''
''Ih, iya, Tante.... Oom mana"'' tanya Bima dengan ekspresi purapura sok perhatian.
''Oh, Oom pergi lagi sama teman-temannya,'' jawab mama Fani.
Dan, selain santun dan bertata krama. Bima juga harus terlihat
berbudi luhur dong. Biar komplet! Karena itu dia persilakan juga
si Ijah. ''Kamu udah makan, Jah" Ayo makan sekalian.''
''Oh! Saya sih gampang, Mas. Mas Gen.....eh, Mas Bima makan
aja dulu,'' jawab Ijah buru-buru.
Ijah langsung terharuuu sekali. Ternyata selama ini dia salah
sangka! Ternyata Mas Bima itu orangnya baik sekali. Mau
memerhatikan dia juga. Apalah arti dirinya yang cuma PKRT ini.
Karena itu dia bertekad, akan sekuat tenaga berusaha supaya
Mas Bima dan Non Fani-nya tetap awet sampai kapan juga!
Dan kekalahan Fani semakin telak ketika malam itu juga dia
dengan ''resmi'' diserahkan ke pihak lawan. Tak lama selesai
makan, Bima pamit. Tapi mama Fani ternyata tidak mengijinkan.
''Ada yang mau Tante bicarakan sama kamu.''
''Ya, Tante"'' dengan perasaan heran, Bima duduk kembali.
''Begini lho, Nak Bima. Tante mau minta tolong. Tolong Fani ini
dijaga, diawasi.'' Fani terperangah amat sangat. Sama sekali tak menyangka
mamanya akan bicara begitu.
''Diawasin!"'' dia menjerit nyaring. ''Emangnya Fani copet, apa!"
Rampok!" Jadi mesti diawasin!"''
''Jangan suka ikut campur kalo orangtua lagi ngomong!'' bentak
mamanya. ''Ma! Mendingan mama nyewa polisi aja deh. Atau detektif, buat
ngawasin Fani. Itu malah lebih aman. Daripada dia. Dia ini
psikopat, Ma! Bener-bener berbahaya!''
Sang Mama tidak mengacuhkan jeritan anaknya. Beliau tetap
mengarahkan tatapannya pada ''calon menantu sempurna dan
telah sangat langka di jagat raya'' idaman hatinya itu. Yang
sedang menahan-nahan senyum di depannya.
''Tolong ya, Nak Bima.....''
''Iya, Tante. Nanti saya awasi dia. Mm.....gimana kalau sekalian
saya ajak dia aktif di organisasi saya, Tante" Nggak apa-apa"''
''Organisasi apa"'' Fani langsung menyambar, ''Organisasi Bajak Laut Se-ASEAN, Ma!
Dia kan ketuanya, eh, gembongnya!''
Sekali lagi mama Fani tidak memedulikan sinyal tanda bahaya
yang dijeritkan anaknya. ''Mapala, Tante.'' Bima kemudian bercerita panjang-lebar tentang organisasinya.
Komplet dengan semua kegiatan yang telah mereka lakukan,
prestasi-prestasi yang telah mereka capai, dan visi-visi mereka ke
depan. Dan makin terpukaulah mama Fani. Poin Bima di matanya
semakin melejit tinggi-tinggi. Ternyata Ak Bima ini bukan hanya
bertanggungjawab terhadap perempuan yang dipilihnya untuk
dipacari, tapi juga terhadap kelestarian planet bumi!
''Oh, iya. Bagus sekali itu. Tante setuju! Daripada keluyuran
nggak jelas. Lebih baik Fani belajar berorganisasi. Sekalian itu
tadi, Tante minta tolong Fani ini dijaga, diawasi, dia memang
agak susah diatur. Jadi kalau dia bandel, marahin saja. Jewer
kupingnya kalau perlu!'' Bima jelas saja segera mengiyakan titah calon mertuanya itu
dengan khidmat, dan berjanji akan melaksanakan perintah itu
dengan penuh tanggung jawab. Perkara hasilnya nanti Fani
malah jadi depresi, itu soal belakang. Yang penting kartu pas
telah di tangan! *** Begitu Bima pulang, Fani langsung mengemasi barang-barangnya
dalam dua koper besar. ''Mau ke mana kamu" Malam-malam begini"'' tanya mamanya
heran. ''Ke rumah Langen! Fani mau diadopsi sama mamanya Langen.
Sekarang mama nggak punya anak lagi. Syukurin! Dibalik badan
dengan sombong. Diiringi senyum geli sang mama, Fani
meninggalkan rumah malam itu juga.
''Kenapa, lo"'' tanya Langen. Kaget ketika mendapati Fani berdiri
di teras rumahnya dengan dua koper besar di kiri-kanan.
''Minggat! Ada perkembangan baru, La! Parah banget! Benerbener abis gue sekarang!''
''Apaan"'' ''Besok aja ceritanya. Sekarang gue mau mandi trus tidur!''
*** ''HAH!" GILA! GILA! GILA!!!'' Langen menjerit melengking.
Ditatapnya Fani dengan mata yang benar-benar melotot. ''Elo
gila, Fan! Sarap!'' ''Gue bener-bener nggak nyangka dia bakalan nekat, La!''
''Elo harusnya nyangka, dong! Bima itu kan selalu nekat!''
''Yah, jadi sekarang gimana dong" Lo malah teriak-teriak.
Bukannya bantuin gue!'' Langen tersadar. ''Sori,'' ucapnya pelan. Dia lalu menoleh ke Febi yang tidak juga
bersuara dari tadi. ''Gimana sekarang, Feb"'' tidak ada jawaban.
''Febi" Woiiii!'' Febi tergeragap. ''Eh, sori. Sori. Tapi Bima mau tanggung jawab
kan, Fan"'' ''Aduh!'' seketika Fani memukul kepalanya sendiri dengan bantal.
''Mereka cuma berbikini berdua, Feb!'' tegas Langen. Dia lalu
menoleh dan menatap Fani. ''Iya kan, Fan" Lo cuma berbikini
berdua, kan" Nggak ngapa-ngapain lagi, kan"''
''Mana gue tau! Gue kan lagi pingsan!''
''Tapi setelah lo sadar, ada rasa-rasa gimana, gitu"''
''Gue sih nggak ngerasin apa-apa. Tapi si lutung itu ngomongnya
begitu, tauuu"'' Fani menjerit saking jengkelnya.
''Mereka cuma berbikini berdua!'' tanda Langen. Dia menarik
kesimpulan sendiri. Menolak adanya kemungkinan lain.
''Tapi tetep aja....,'' Febi menatapnya tajam, ''Fani udah
kehilangan kehormatan!'' ''Ah, norak lo! Lo pasti nggak pernah ke kolam renang atau ke
pantai!'' ''Jadi gimana niiih!"'' Fani menjerit melengking. ''Malah pada
ribut, lagi! Bukannya bantuin gue!''
Langen berdecak. Dia lalu berjalan mondar-mandir dengan kening
terlipat. Berpikir keras mencari jalan keluar. Tak lama dia berhenti
lalu menatap kedua temannya bergantian.
''Cuma ada satu cara supaya ini semua selesai..... Perang
terbuka!'' ''Kita harus perang terbuka. Dan mau nggak mau.....harus
menang!'' ''Caranya"'' ''Yaaa.....'' Langen meringis. ''Makanya kita ke sini.'' Iwan
menatapnya. Pura-pura tidak paham.
''Ya sekarang kasih tau gue, gimana caranya"''
''Wan, jangan gitu dong, Wan. Help us. I beg you banget, Wan.
Please, help us" Please" Please" Please"'' Langen berlutut lalu
menyembah-nyembah Iwan dengan begitu mengenaskan.
''Gue lagi kan yang kena" Kenapa nggak stop aja sih, La" Lo juga
yang tewas ntar!'' ''Nggak bisa, Wan. Justru kalo nggak perang terbuka, mereka
nggak bakalan brenti nyari tau.''
''Tuh, kan" Apa gue bilang" Makin runyam, kan"''Langen
membalas tatapan Iwan dengan sorot mata seperti anak kucing
di gambar-gambar kalender. Membuat Iwan jadi menghela napas.
*** Theo ketawa geli. ''Mendingan mereka lo suruh pada bubaran aja. Salah satu biar
jadi cewek gue. Pacaran udah kayak turnamen Grand Slam.
Berseri begini pertandingannya.''
Juga sambil tertawa, Evan, Rizal, dan Yudhi seketika menyerukan
kata setuju.Iwan mengumpulkan teman-temannya memang
bukan untuk meminta saran mereka, karena itu tidak
ditanggapinya omongan Theo. Setelah mengetahui peristiwaperistiwa yang terjadi lewat cerita Langen (tentu saja minus
kejadian Bima dan Fani berbikini berdua), dia tahu, kali ini dia
dan keempat temannya tidak bisa berbuat banyak untuk
membantu. Begitu tantangan itu nekat diajukan, mereka hanya bisa
menunggu. Kapan dan di mana lokasi tantangan, Rei cs yang
akan menentukan. Karena itu untuk sementara hanya ini
persiapan yang bisa dilakukan. Memaksa ketiga cewek itu untuk
mengikuti latihan fisik yang rutin dia dan teman-temannya
lakukan. ''Udah gue susun materi plus porsinya.'' Iwan membagikan
lembaran kertas kepada teman-temannya, yang kontan
mengangkat alis tinggi-tinggi begitu membaca isinya.
''Ini yang sanggup cuma cewek-cewek Taman Lawang, Wan,''
kata Theo. Yang lain mengiyakan sambil ketawa.
''Apa boleh buat" Ordernya, harus menang!''
Langen, Fani, dan Febi langsung ternganga begitu keesokan
harinya Iwan meminta mereka untuk berkumpul. Ketiganya
masing-masing telah memegang selembar kertas berisi jadwal
latihan fisik yang harus mereka lakukan bersama Iwan cs.
Lari keliling Gelora Bung Karno yang terus bertambah satu
putaran di setiap pertemuan. Sit up, push up, pull up, dan palang
rintangan! Untuk Febi, ini benar-benar a big, big disaster! Sementara Langen
dan Fani yakin, mereka akan mampu menyingkirkan Ade Rai
begitu latihan-latihan ini selesai.
''Nggak ada protes!'' tandas Iwan sebelum ketiga cewek di
depannya sempat membuka mulut. ''Gue juga nggak mau denger
alasan apa pun. Kalo mau menang, itu syaratnya!''
*** Nama lainnya.....wajib militer!
Hari pertama olah fisik itu hasilnya:Untuk lari mengelilingi gedung
Gelora: Langen dan Fani tiga putaran. Febi satu putaran.Untuk sit
up: Langen lima belas kali, Fani dua belas kali, dan Febi lima
kali.Untuk push up: Langen dan Fani kompak tiga kali. Febi satu
kali.Untuk pull up: Langen dan Fani kompak lagi. Hanya sanggup
satu kali. Sementara Febi, boro-boro! Dia menggantung di palang
besi tanpa sanggup mengangkat tubuhnya sama sekali.
Untuk palang rintangan: dari sepuluh palang yang di pasang,
Langen melompat empat dan menabrak enam sisanya.
Sementara Fani cuma berhasil melompati dua palang. Febi yang
yang paling mencetak sukses. Tak satu pun palang yang dia
tinggalkan dalam keadaan berdiri tegak. Semuanya jatuh
bergelimpangan, dan ditutup oleh sang pelari sendiri. Fani jatuh
terkapar bersama palang terakhir.
Hasil akhir itu benar-benar parah. Iwan dan keempat temannya
sesaat saling pandang. Mereka kemudian berunding dan
hasilnya.....porsi latihan harus ditambah, jadi nyaris setiap hari!
Dan Iwan benar-benar tidak menolerir alasan apa pun untuk
mangkir. Senin sampai sabtu. Start jam empat sore. Benar-benar tidak bisa
dihindari. Semua orang di rumah Langen, juga seisi rumah Fani,
telah mengenal Iwan sejak empat tahun lalu, saat kedua cewek
itu masuk SMA. Karena itu mereka tidak curiga saat keduanya
dipaksa pergi dan selalu pulang dalam keadaan awut-awutan.
Berantakan, kehabisan tenaga, dan seribu satu keluhan.
Pura-pura sedang tidur bahkan tidur sungguhan pun ternyata
tidak membantu. Kepada pihak-pihak yang punya otoritas, Iwan
minta izin untuk menggedor pintu kamar. Maka sering juga
Langen dan Fani latihan tetap dalam baju tidur, tapi pakai sepatu
kets! Cuma Febi yang selamat dari kerja paksa itu. Beliau dimohon
kehadirannya dengan sukarela. Iwan dan keempat temannya
tidak berani memaksa. Menyeret cewek itu ke Gelora tiap sore,
bisa menimbulkan insiden serius. Karena itu Iwan cs telah
menyusun rencana lain. Febi akan tetap ikut dalam perang
terbuka itu, tapi tidak secara langsung.
*** Sebutannya sekarang berubah jadi.....kamp konsentrasi!Yang ada
cuma lari, push up, pull up, sit up, dan lompat-lompat. Itu harus
mesti, kudu, dan wajib, sebanyak jumlah yang telah ditentukan
Iwan. Kalau kurang, meskipun hanya satu hitungan, kedua cewek
itu akan diberi waktu untuk sejenak beristirahat, tapi kemudian
mengulang siksaam itu dari hitungan pertama.
Meskipun Langen dan Fani kadang pergi ke pusat-pusat
kebugaran, mereka belum pernah berolahraga sampai hampir
tewas begitu. Tanpa imbalan pula!


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksudnya, untuk melakukan sitp up, push up, dan lain-lainnya
itu, jelas tubuh harus membakar sejumlah kalori. Dan kalori yang
dibakar itu jelas harus diganti dong, soalnya tubuh mereka tidak
kelebihan lemak alias nggak gendut. Jadi kalau jumlah kalori yang
dibakar gila-gilaan begitu, jelas saja akibatnya mereka jadi
kelaparan, dan membayangkan setelah semua siksaan itu
berakhir mereka bisa makan sekenyang-kenyangnya.
Namun Iwan dengan kejam ternyata tidak mengizinkan.
Alasannya, mereka datang ke Gelora adalah untuk penempaan
fisik, bukan JJS atau hangout. Jadi yang ada cuma olahraga,
olahraga, dan olahraga, serta air putih, air putih, dan air putih!
Sementara Gelora bkan hanya tempat berolahraga, tapi juga
tempat mangkal para pedagang makanan. Jadi saat melewati
mereka berkali-kali, dengan tenaga yang terkuras dan perut yang
menjerit-jerit keroncongan, Langen dan Fani hanya bisa
memandang tanpa bisa mendekat apalagi memesan barang
setengah piring. Benar-benar penderitaan yang mendahsyatkan!
Potongan-potongan ayam dalam rak kaca, atau tumpukan sate,
barisan roti, dan botol selai, bahkan tumpukan sayur di dalam rak
kaca bertuliskan ''gado-gado'', semakin lama tampak semakin
memesona. ''Hei! Hei! Mau ke mana"'' Yudhi langsung menyambar tangan
Fani yang arah larinya jadi melenceng, menuju gerobak tukang
bubur ayam. ''Bentar doang. Gue cuma.....''
''Nggak ada alasan. Balik!'' Yudhi menarik Fani kembali ke lintasan
dan memaksanya meneruskan joging, sambil tetap
menggenggam erat satu tangannya.
''Mas! Mas! Bubur! Ini serius! Bener!'' jerit Fani ke tukang bubur
ayam itu. Dia melambaikan tangan dengan isyarat SOS. Iwan cs
ketawa geli. ''Iya dong. Bubur. Setengah mangkok aja deh,'' pinta Langen
dengan suara tersengal. ''Nggak ada!'' tolak Iwan tegas. Diraihnya satu tangan Langen,
mencegah cewek itu agar tidak berganti arah.
Sementara itu Febi sudah sejak tadi ditarik Rizal dan Evan di kirikanan. Memasuki putaran keempat, larinya mulai oleng seperti
perahu disapu badai. Dan saat ini, memasuki putaran keenam,
sepertinya Febi sudah joging sambil pingsan!
Di detik-detik terakhir selagi tukang bubur ayam yang ganteng
dan gerobaknya yang memesona itu masih kelihatan, sekali lagi
Fani menjeritkan permohonannya.
''Bubur, Mas! Bener!'' Tapi si mas tukang bubur ayam cuma menatap bingung. Dibikinin
apa nggak" Diputuskannya untuk menunggu kemunculan Fani
yang berikut. Kalau cewek itu masih minta, berarti serius. Lima
belas menit kemudian, sang pemesan itu muncul lagi. Dengan
kondisi yang semakin mengenaskan, dan tetap memesan
semangkuk bubur, dengan suara terputus-putus dan nyaris tidak
terdengar. ''Mas...., bu....bur.....dong..... Laper.....nih.....''
Masih sambil ditarik cowok di sebelahnya, kemudian lagi-lagi Fani
menghilang ditelan bulatan Gelora. Sementara Langen menjerit
keras ke arah penjual ketoprak.
''Pak! Pak! Ketoprak, Pak! Tolong!''
Sama seperti penjual bubur ayam yan mangkal di sebelahnya,
bapak penjual ketoprak itu juga cuma diam dan menatap
bingung. Minta ketoprak atau minta tolong"
Tapi kali ini Iwan agak berbaik hati. Setelah lima belas putaran
yang benar-benar nyaris mencabut nyawa, dia berikan untuk
ketiga cewek yang masing-masing sebuah apel merah asli USA.
''Gue bubur ayam aja deh, Wan,'' Fani memohon dengan
mengiba. ''Nggak bisa! Abis ini lo bertiga masih harus push up, pull up, dan
sit up, masing-masing dua puluh kali!''
''HAAA!!!"'' ketiga cewek itu kontan terperangah dan apel di
masing-masing genggaman lalu menggelinding hampir
bersamaan. *** Sebenarnya Iwan tidak begitu puas dengan hasil olah fisik Langen
cs. Tapi Langen tidak mau terlalu lama mengulur waktu. Teror
yang dilakukan Rei cs membuat dia dan kedua temannya ingin
secepatnya keluar dari pertikaian gender itu.
Sebenarnya tidak ada tindakan Rei cs yang bisa dimasukkan ke
kategori ''melakukan teror''. Yang dilakukan ketiga cowok itu
hanyalah menatap diam dengan senyum tertahan. Atau menegur
dengan sapaan basa-basi, yang diucapkan dengan nada lembut
bahkan sangat sopan. Tapi justru itulah yang telah menciptakan sensasi teror. Ketiga
cewek itu merasa seperti akan menemukan segerombolan sniper
di balik dinding. Atau serangan monster mengerikan yang akan
muncul mendadak dari kolam di taman kampus. Atau disergap
pembunuh gelap begitu membuka pintu kelas.
Yang setuju dengan Iwan untuk menunda pengajuan tantangan
itu hanya Fani, karena sebenarnya dia tidak sanggup lagi
berhadapan dengan Bima face to face. Selama ini sudah setengah
mati dia menyembunyikan diri di antara Langen dan Febi setiap
kali mereka bertemu, berusaha keras untuk tidak menatap cowok
itu. Malu banget, gila! Topeng leak pun tidak akan sanggup
menyembunyikan mukanya dari malu. Tapi Langen dan Febi
memaksanya untuk tegar. Soalnya percuma saja tantangan
perang terbuka itu diajukan, kalau salah satu dari mereka belumbelum sudah menunjukkam ketakutan.
''Gue bukan takut, La. Gue malu!''
''Sama aja. Tetep aja lo jadi nggak berani ngadepin dia, kan"''
''Aduh.....ck!'' Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Peristiwa di ruang ganti kolam renang dan di kamar tidur Bima
langsung terbayang. Dan belum-belum dia sudah merasa
telanjang dan transparan.
''Lo mundur, berarti kita kalah!'' tandas Langen.Fani memejamkan
mata rapat-rapat. Perang terbuka ini justru satu-satunya jalan.
Kalahkan Bima, maka malu itu akan terbayar!Diturunkannya
tangan lalu diangkatnya kepala dengan keteguhan. ''Oke. Ayo kita
hajar mereka!'' *** Tidak satu pun dari ketiga cewek itu punya nyali untuk
mendatangi gedung Fakultas Perminyakan. Gantinya, mereka
telepon salah satu. Bima mengerutkan kening saat layar
ponselnya memunculkan nama ''Langen''.
''Halo"'' ''Ada yang mau gue omongin. Gue tunggu di depan rektorat!''
ucap Langen langsung. ''Gue apa Rei"'' ''Lo bertiga!'' Dan ponsel di seberang langsung dimatikan. Kening Bima makin
berkerut. ''Ada apa"'' tanya Rei.
''Mantan cewek lo barusan nelepon. Kita ditunggu di depan
rektorat.'' ''Untuk"'' Bima mengangkat bahu. Ketiga cowok itu segera melompat ke
Jeep Rei dan meluncur ke tempat yang dimaksud. Begitu Jeep
penuh spotlight yang telah mereka kenal dengan sangat baik itu
muncul di kejauhan, ketiga cewek itu langsung panas-dingin. Itu
tidak bisa dicegah meskipun mereka telah menyiapkan mental
dan fisik selama berhari-hari.
Langen menyambut kedatangan ''musuh-musuh''-nya dengan
penuh percaya diri. Dipukul-pukulnya batang kayu di tangan
kanannya ke telapak tangan kiri. Seperti biasa, Febi jarang
kehilangan ketenangannya. Sementara Fani langsung
mengangkat dagu tinggi-tinggi begitu Jeep itu muncul.
Tapi dari kejauhan pun Bima sudah tahu, dagu yang terangkat
tinggi juga sikap ready to fight itu sama sekali tidak seseram dan
se-ready yang ditunjukkan. Jauh! Dan cowok itu tahu persis,
bagaimana cara melepaskan topeng itu. Begitu Jeep berhenti,
ketiga cowok itu melompat turun dan langsung menghampiri
kelompok lawan. ''Halo" Apa kabar.....calon istriku!'' lembut, Bima menyapa Fani.
Rei dan Rangga kontan menatap Bima dengan mata menyipiy
dan kening terlipat. Sementara Fani, meskipun dagunya masih
tetap terangkat gagah dan tinggi-tinggi, mukanya langsung
memerah. Langen buru-buru mengenyahkan Bima dari depan
sahabatnya itu. ''Mundur lo! Awas, sana!'' disentaknya tubuhnya tinggi-besar
Bima ke belakang. ''Apa tadi lo bilang" Calon istri" Langkahin dulu
mayat gue!'' Bima pura-pura terkejut mendengar itu.
''Gue sih nggak ada limit berapa banyak istri yang gue mau, La.
Tapii....'' Bima berdecak, dengan ekspresi seolah-olah itu sangat
dilematis. ''Mesti ngomong apa gue sama Rei nih" Jelas gue
nggak tega kalo harus ngeliat lo mati. Dan meskipun udah
mantan, tetep lo pernah jadi orang terdekat sahabat gue. Benerbener nggak punya perasaan kalo hue jadiin elo istri gue.''
Langen terbelalak dan kontan jadi berang.
''Emang siapa yang mau jadi istri lo" Dasar kera!''
''Eh, La! La! Jangan, La! Jangan!'' Fani dan Febi buru-buru
memegangi Langen. Cewek itu sudah siap menghantamkan
batang kayu di tangannya ke tubuh Bima.
Bima tertawa pelan. Tetap berdiri di tempatnya, meskipun kayu di
tangan Langen sudah pasti akan mendarat di tubuhnya
seandainya tidak dihalangi. Rei dan Rangga geleng-geleng
kepala. ''Ada apa, La" Katanya ada yang mau lo omongin ke kamu
bertiga"'' Rei menghentikan pandang marah Langen pada Bima,
dengan jalan berdiri tepat di depan mantan ceweknya itu. Tepat
dan dekat. Langen mundur selangkah dan menatap Rei dengan sikap
percaya diri dan keangkuhan yang berlebihan. Satu-satunya cara
untuk mencegah dua lengan di hadapannya yang mungkin saja
akan memeluknya. ''Apa mau lo bertiga sekarang"'' tanyanya.
''Mau apa maksudnya"'' sepasang mata Rei menyipit. ''Nggak
usah pura-pura!'' Rei bersiul panjang lalu mengangguk-angguk. ''Apa nih"
Tantangan perang terbuka"''
''Terserah apa kata lo!''
Ketiga cowok itu saling pandang. Terlihat kaget dengan
tantangan itu. Benar-benar berani sama sekali tidak mereka
duga. Rei kembali menghadapkan tubuhnya ke Langen.''Jam
berapa kalian selesai kuliah"''''Jam dua. Kenapa"''
''Nanti kami ke sana!'' Ketiga cowok itu kemudian balik badan. Tanpa bicara lagi,
mereka melompat ke dalam Jeep dan pergi dari situ.
*** ''Gila dia!'' desis Rei sambil geleng-geleng kepala.
''Sadar juga lo akhirnya!'' bahunya langsung ditepuk Bima.
''Jadi gimana sekarang"''
''Ya jelas harus dijawab! Pengkhianatan, penghinaan. Dan
sekarang gue merasa telah dilecehkan!''
''Caranya"'' Bima tidak menjawab. Dia menatap ke luar jendela kelas,
tangannya mengetuk-ngetuk dinding. Beberapa saat kemudian
ditatapnya kedua sobatnya dengan pandang lurus.
''Cara apa pun. Yang jelas, abisin mereka!''
*** Langen, Fani, dan Febi, yang sedang menanti tegang di kelas,
buru-buru menghilangkan ekspresi itu dari wajah mereka, saat
sosok Rei, Bima, dan Rangga muncul di ujung tangga. Mereka
menggantinya dengan ekspresi seperti di tempat parkir tadi pagi.
Tenang, angkuh, dan tentu saja, ready to fight!
Setelah beberapa saat kedua kubu berbeda jenis kelamin itu
berhadapan tanpa bicara, Rei membuka mulutnya.
''Ini jawaban untuk tantangan kalian tadi pagi.....'' dia diam
sejenak. Menikam tajam-tajam tiga wajah di depannya, terutama
Langen. ''Dua minggu lagi kita climbing..... Sama-sama!''
''Di mana"'' tanya Langen.Rei tersenyum tipis. ''Itu kami kasih tau
nanti. Untuk cewek-cewek superwoman seperti lo bertiga ini,
yang sanggup mengalahkan kami kebut gunung, naik lewat jalur
kayak apa pun pasti bukan soal. Jadi nggak masalah mau dikasih
tau sekarang atau nantu dadakan. Iya, kan"''
Langen terpaksa mengiyakan dengan sombong. Mau gimana
lagi"''Emang bukan masalah! Tau juga lo!''
''Jelas gue tau!'' sambar Rei seketika. ''sangat tau!''
Sekali lagi Rei melumat Langen dalam tatapan tajam. Kemudian
dibaliknya badan dan diberikannya isyarat pada kedua
sahabatnya untuk pergi dari situ. Tapi Bima tidak beranjak.
Cowok itu malah mendekati Fani. Ditatapnya cewek itu lekat, lalu
berkata dengan nada serius.
''Ehm, waktu itu aku ngeliat yang bener-bener bagus, Fan. Tapi
terpaksa aku beli merek lain, soalnya kamu sekaran kan udah jadi
wonderwoman. Udah jadi ranger. Jadi aku beli dua. Yang satu
mereknya Carrimore, yang satunya Berghouse. Biar sesuai.''
Bima berhenti sejenak. Berlagak mengingat-ingat.''Yang satu
talinya silang di belakang. Aku pilih yang talinya kecil. Manis
kayaknya kalo kamu pake. Kalo yang satunya, ada rendanya.
Mudah-mudahan aku bisa ngeliat waktu kamu pake nanti....''
Sikap gagah dan ready to fight Fani kontan runtuh. Seketika
lenyap! Dalam waktu kurang dari satu detik, mukanya sudah lebih merah
dari kepiting yang baru dikeluarkan dari dalam panci. Cewek itu
lalu menunduk dan menutupi mukanya dengan kedua telapak
tangan. Bima ketawa geli. Diraihnya Fani, sejenak dipeluknya
kuat-kuat, lalu dengan gemas diciumnya puncak kepalanya. Baru
kemudian cowok itu menyusul Rei dan Rangga, yang berdiri
bingung di ambang pintu. ''Ngomongin apa sih lo"'' tanya Rei.
''Carrier,'' jawab Bima kalem.
''Carrier" Kok berenda"''
''Keluaran terbaru. Khusus cewek.''
Rei dan Rangga masih menatapnya dengan kening berkerut.
''Carrier. Pembawa!'' tegas Bima. ''Alat untuk membawa kan
nggak harus ada di punggung, kan" Tergantung di mana dia
dibutuhkan!'' dia menoleh dan tersenyum geli saat dilihatnya Fani
masih menunduk dengan muka tertutup rapat. ''Duluan
ya.....calon istriku!'' ''Kenapa lo panggil dia begitu"'' Rangga tak bisa menahan rasa
penasarannya. ''Karena gue suka film..... Bulan Tertusuk llalang!'' Bima sengaja
memberikan jawaban yang agak berlabirin. Dia lalu menoleh ke
Fani, yang masih menunduk dalam-dalam. ''Kamu tonton film itu
nanti ya, Sayang. Kalo kamu nggak suka, paling nggak harus
kamu camkan judulnya baik-baik!''


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Bulan.....,'' desis Rei terputus. Dia lalu saling pandang dengan
Rangga, dan sedetik kemudian kedua cowok itu berseru keras.
''GILA LO, BIM!!!'' Bima terbahak-bahak. ''Gila nih orang!'' Rei menarik kucir rambut Bima. ''Tanggung
jawab lo, Bim!'' ''Makanya sekarang gue panggil dia, calon istriku.....'' Bima
menoleh ke arah Fani. Dan berhubung wajah cewek itu masih
tenggelam di balik kedua telapak tangan, Bima lalu mengedipkan
satu matanya untuk Langen dan Febi.
''Calon istriku!'' Ketigan cowok itu kemudian meninggalkan tempat itu.
Sesudahnya, Bima dihujani bertubi pertanyaan dari Rei dan
Rangga. ''Ini bener, Bim" Lo nggak lagi bercanda"'' tanya Rei.
''Lo tebak aja sendiri! Hehehe.''
''Lo kenapa bisa sarap gitu sih"'' ucap Rangga.''Waktu itu si Fani
pake bikini secara sukarela atau dengan menggunakan
intimidasi"'' tanya Rei lagi.
''Tampang kayak dia udah pasti pake intimidasi!'' Rangga yang
menjawab. ''Tapi, Bim, bener-bener bulan telah tertusuk ilalang"''
sambungnya penasaran. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya sudah tidak terdengar jelas
karena jaraknya semakin jauh. Tapi tidak satu pun dari ketiga
cewek itu melihat Bima menjawab rentetan pertanyaan itu.
Cowok itu hanya tertawa-tawa geli.
''Laknat banget emang tuh orang! Jahanam!'' desis Langen emosi.
Sementara Febi hanya bisa tercengang.
''Udah pergi dia"'' tanya Fani dari balik jemarinya.
''Udah,'' jawab Febi dengan nada iba dan prihatin.
Fani melepaskan kedua tangannya dan perlahan mengangkat
mukanya yang sekarang benar-benar merah. Lunglai dia
menjatuhkan diri ke kursi terdekat.
''Bener-bener abis deh gue sekarang,'' desahnya lemah. Langen
dan Febi hanya bisa memeluknya dari kiri dan kanan. Tidak bisa
mengatakan apa-apa. ''Mereka ngajak climbing sama-sama, Wan!
Dua minggu lagi! Tapi nggak mau ngasih tau tempatnya! Jadi
sekarang gimana dong" Gimana!"''
Iwan menjawab jeritan panik Langen dengan ekspresi tenang.
Soalnya itu memang sudah diduganya.
''Ya, emang udah pasti akan begitu reaksi mereka.''
''Iya, terus gimanaaa"''
Iwan menyodorkan selembar kertas, dan Langen langsung
menjerit saat membaca isinya. ''Ini sih gila!''
''Kalo gitu, cari tau di mana lokasi perang terbukanya. Selama lo
nggak dapet informasinya, kita nggak bisa nyiapin antisipasi lain
selain itu,'' jawab Iwan. Tetap dengan tenang.
Langen menelan ludah. Sekali lagi ditatapnya kertas di
tangannya. Wajib militer itu akan berlanjut. Di situ fitness center.
Dengan porsi dan materi yang akan membuat Langen dan kedua
temannya menjelma menjadi..... Hulk!
Sehari setelah tantangan itu diajukan, untuk pertama kalinya
Rangga dan Febi ribut besar. Rangga tentu saja tidak akan
membiarkan Febi terlibat. Soalnya jika sampai terjadi sesuatu, dia
tidak akan bisa mempertanggungjawabkannya pada keluarga
gadis itu. Tapi Febi bersikeras ingin ikut.
''Mas, kerajaanku itu nggak segede United Kingdom. Lebih
banyak yang nggak tau daripada yang tau!''
''Jadi"'' tanya Rangga tajam.
''Ya kalo kerajaannya aja pada nggak tau, apalagi rajanya.
Apalagi sodara-sodaranya si raja! Lagi pula sadar dong, Mas. Ini
tuh udah taun berapa"''
Rangga menundukkan mukanya tepat di atas muka Febi.
Ditatapnya sepasang bola mata gadis itu tajam-tajam.
''Bilang itu sama Kanjeng Ibu!''
*** Pertengkaran mereka membuat sikap Febi terhadap Rangga jadi
berubah. Dingin dan ketus. Dan untuk seorang gadis berdarah
biru sangat kental seperti dia, itu jelas bukan sikap yang patut.
Buntutnya, kedua orangtuanya terutama sang Kanjeng Ibu jadi
ingin tahu apa penyebabnya. Dan Rangga melihatnya sebagai
senjata untuk menjauhkan Febi dari kancah perang terbuka itu.
Rangga tidak harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
secara gamblang. Soalnya itu bisa membuat kedua orangtua Febi
kejang-kejang lalu masuk UGD. Cukup satu alasan yang tidak
sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya bohong. Cukup
dengan mengatakan bahwa Febi memaksa ikut dengannya
mendaki gunung. Hasilnya, kedua orangtua Febi, sangat shock. Seketika mereka
murka. Dan sekali lagi, Febi kembali menghilang. Langen dan
Fani langsung menyadari itu, begitu mereka tidak melihatnya lagi
di kampus selama dua hari berturut-turut. Dan ponselnya saat
dihubungi, mailbox. ''Febi ilang lagi, Wan.''
Iwan menanggapi laporan Langen tenang.'
'Udah gue duga.'' ''Trus gimana"'' ''Nggak masalah. Lo liat sendiri gimana fisiknya, kan" Kalo dia
ikut, udah bisa dipastiin, lo bertiga pasti kalah!''
Langen tertegun. ''Jadi kalo misalnya dia nggak ngilang kayak sekarang, tetep dia
harus kita tinggal, gitu"''
''Nggak juga. Untuk dia, gue udah nyusun rencana sendiri.
Gimana" Udah dapet informasi di mana lokasinya"''
Langen menggeleng lesu. *** Febi langsung pura-pura tidur saat didengarnya suara mobil
Rangga memasuki halaman. Seisi rumah sedang pergi, jadi tidak
ada yang akan memaksanya menemui cowok itu. Memaksanya
menelan dongkol dan marah bukan dengan wajah manis, tapi
juga dengan sikap santun dan hormat!
Didengarnya pintu kamarnya diketuk pelan, lalu dibuka. Pasti
Juminem. Andi yang khusus mengurusnya. Tak lama kemudian
didengarnya suara Juminem memanggilnya pelan dan hati-hati.
''Ndoro Putri, itu ada tamu.''
Febi tetap memejamkan mata rapat-rapat. Juminem menunggu
beberapa saat lalu berjalan ke luar kamar. Sayup Febi mendengar
suara Juminem memberitahu Rangga bahwa dirinya sedang tidur.
Dan sayup juga didengarnya suara Ranga, meminta Juminem
untuk tidak membangunkannya. Cowok itu akan menunggu
sampai sang Gusti Putri bangun dengan sendirinya.
Suasana lalu hening. Febi hanya mendengar suara para
pembantunya yang sibuk dengan tugas masing-masing serta
suara lembar majalah dibolak-balik oleh seseorang yang sedang
menunggunya di ruang keluarga, yang akan dibiarkannya terus
menunggu sampai rambut pendeknya jadi panjang!
Tiba-tiba terdengar dering ponsel Rangga.
''Ya, halo"..... Di tempat Febi, kenapa"..... Dia lagi tidur.....''
Febi jadi menajamkan telinga saat volume suara Rangga
menurun. Orang di seberang sana kalau bukan Rei, sudah pasti
Bima. Dan yang sedang mereka bicarakan sudah pasti
berhubungan dengan perang terbuka itu.
Seketika gadis itu melompat bangun. Berlari ke pintu dan tanpa
suara membukanya sedikit. Pembicaraan itu cuma terdengar
sepatah-sepatah karena sekarang volume suara Rangga benarbenar kecil.
Tak lama telepon ditutup. Febi buru-buru menutup pintu lalu
melompat kembali ke tempat tidur. Satu jam kemudian hampir
terlewat dan dia tetap terjaga. Pembicaraan rahasia itu mengusik
rasa ingin tahunya. Setelah menunggu sampai suasana benarbenar senyap, gadis itu bangkit dari ranjang. Dibukanya pintu
dengan hati-hati dan perlahan, lalu berjingkat-jingkat keluar.
Ketika hampir mendekati pintu keluarga, sejenak dia berhenti lalu
berdiri diam. Dipasangnya telinga. Benar-benar hening di dalam
sana. Dia longokkan sedikit kepalanya. Rangga ternyata sudah
tertidur di kursi panjang.
Dengan langkah sangat hati-hati dan benar-benar tanpa suara,
dengan kepala yang yang sebentar-sebentar menengok ke segala
arah, berjaga-jaga agar jangan ada satu pun pembantunya yang
memergokinya sedang melakukan ini, Febi menghampiri Rangga.
Ditahannya napas tanpa sadar saat meraih ponsel Rangga yang
tergeletak di meja. Benar saja. Bima yang menelepon tadi. Hatihati diletakkannya kembali ponsel itu, lalu meraih organizer di
sebelahnya. Meskipun tidak tahu apa yang dicarinya, Febi
membalik tiap lembarnya lalu meneliti setiap tulisan yang ada di
sana. Tetap dengan kepala yang sebentar-sebentar terangkat lalu
menoleh ke arah pintu yang terbuka.Dan akhirnya gadis itu
mendapatkan sesuatu!Di salah satu lembar, tertulis tanggal
perang terbuka itu akan dilaksanakan. Diberi underline dan di
bawahnya ditulis dengan nomor urut, empat tempat di mana
salah satunya diberi lingkaran tebal-tebal dan tiga tanda seru.
Cepat-cepat Febi Febi menuliskan nama tempat itu di telapak
tangan, lalu meletakkan kembali organizer itu ke tempat semula.
Kemudian ia segera bersiap lari.
Sayangnya, langkah pertamanya untuk lari bertepatan dengan
detik menjelang alarm ponsel Rangga berbunyi. Seketika gadis itu
menyusupkan diri ke bawah kursi panjang. Menempelkan
tubuhnya rapat-rapat di dinding lalu meringkuk kecil-kecil.
Tubuhnya serasa membeku saat kedua kaki Rangga menjejak
lantai. Salah seorang pembantunya, yang rupanya juga
mendengar bunyi alarm itu, datang dengan secangkir teh.
Rangga lalu menanyakan Febi dan dijawab masih tidur.
Sepuluh menit kemudian, yang rasanya seperti satu jam, ponsel
Rangga berdering. Tapi orang di seberang sana bukan Rei atau
Bima, karena sepertinya dia menanyakan apakah Rangga ada
acara pada tanggal perang terbuka itu dilaksanakan, dan dijawab
''ada'' oleh Rangga. Hiking ke satu tempat yang ternyata bukan
seperti yang ditulis Febi di telapak tangan.
Febi ternganga dan segera memasang telinga. Selanjutnya adalah
dua puluh menit yang benar-benar menyiksa. Yang harus
dilewatinya dengan meringkuk di kolong kursi seperti janin. Masih
ditambah dengan harus terus mengingat nama lokasi perang
terbuka itu. Ketika akhirnya Rangga memutuskan untuk pulang karena yang
ditunggunya tidak kunjung membuka mata, kedua kaki Febi
sudah kesemutan parah. Jadi meskipun keadaan sudah aman,
apa boleh buat, dia teruskan acara meringkuknya sampai kedua
kakinua bisa kembali digerakkan.
*** Febi berpikir keras, mencari cara untuk memberitahu Iwan
informasi yang dia dapatkan. Tapi berhari-hari telah lewat, cara
itu tidak juga ketemu, dan dia juga sudah stres berat. Berharihari terkurung di dalam rumah tanpa bisa berkomunikasi dengan
dunia luar. Sementara dia tahu saat ini kedua temannya sedang
menjalani penempaan fisik yang gila-gilaan.
Duduk sendirian di kamarnya yang luas, gadis itu mengeluh
dalam. Andai saja gelar kebangsawan itu bisa dihilangkan. Andai
dia bisa menukarnya dengan kebebasan. Kebebasan seperti yang
dimiliki Langen dan Fani!
Pintu kamarnya diketuk pelan. Seorang pembantunya muncul,
dan dengan sikap takzim memberitahu sang Gusti Putri bahwa
saat ini kehadirannya ditunggu di ruang keluarga. Febi menghela
napas. Bangkit berdiri dengan enggan. Walaupun selama dua
puluh empat jam tidak melakukan apa pun, tetap saja ini tidak
terdengar menyenangkan. Mendampingi ayah, ibu, dan dua
kakak tertuanya menjamu seorang kerabat yang datang dari kota
asal. Untungnya, tata krama yang berlaku di dalam keluarga besarnya
tidak membenarkan perempuan untuk terlalu banyak bicara. Jadi
itu bisa menutupi kenyataan yang sebenarnya bahwa dia
memang sedang malas bicara.Jadi yang harus dilakukannya
hanyalah duduk dengan tenang dan anggun. Tentu saja,
sebentar-sebentar tersenyum, dan baru buka suara kalau ditanya
atau diajak bicara. Itu pun dengan catatan, jangan bicara terlalu
panjang-lebar. Gampang sebenarnya. Tapi Febi kepalanya nyaris meledak saking
besarnya. Karena itu diam-diam dia menarik napas lega saat
orangtua dan kedua kakak laki-lakinya membawa tamu mereka
yang agung itu menuju ruangan tempat penyimpanan bendabenda pusaka.
''Fiuuuuh!'' Fani mengembuskan napas keras-keras begitu tinggal
sendirian. Dinikmatinya kesendirian itu dengan langsung
menangkalkan keanggunan dan tata krama.
Caranya" Febi mengulurkan tangan kanannya lalu mencomot
sepotong wajik dari piring di depannya. Dan kue yang biasanya
harus digigit lalu dikunyah dengan sopan dan tertib sebanyak
lima sampai enam kali itu sekarang langsung lenyap dalam
sekejap. Menjelma menjadi dua pipi menggelembung.
Febi menikmati sesaat momen kejelataan itu dengan enjoy,
sampai kedua matanya tak sengaja terarah pada ponsel sang
tamu yang tergeletak begitu saja di meja.''Ini dia!'' desisnya.
Seketika gadis itu melompat dari kursi dan menyambar benda itu.
Juminem yang datang membawa nampan teh, terlongonglongong saat mendapati Gusti Putri junjungannya memakai
ponsel tamu majikannya. ''Sst! Jangan bilang-bilang lo, eh, kam ya!"'' ancam Febi.
Setelah kembali duduk dikursi, cepat-cepat Febi mengirimkan
SMS singkat, dan langsung menghapus reportnya sebelum sang
ponsel menyelesaikan sinyal. Kemudian gadis itu mengembalikan
ponsel ke tempat semula lalu kembali duduk dengan ke
anggunan yang sempurna. Tapi saat ponsel itu berdering bersamaan dengan tamu mereka
kembali dari ruang tempat penyimpanan benda-benda pusaka,
dan wajah sang tamu kelihatan sangat bingung setelah
menempelkan benda itu di satu telinganya. Ketenangan Febi
nyaris hilang. Buru-buru dia menutupi kegelisahannya dengan
menuangkan teh gelas-gelas yang sudah kosong. Diam-diam dia
menarik napas lega saat ponsel itu kembali diletakkan.
*** Satu SMA dari nomor yang tidak dikenal masuk ke ponsel Iwan.
Cowok itu membukanya dengan kening berkerut, kemudian
tertegun selama beberapa detik, dan langsung berteriak keras
memanggil Theo yang kebetulan sedang berada di rumahnya.
''Ada apa!"'' Theo datan tergopoh.
''Kita dapet lokasinya!''
''Hah" Dari siapa"''
Iwan menyerahkan ponselnya.
''Gue nggak tau itu siapa!''
Theo lalu mencoba menelepon balik. Suara di seberang ternyata
suara laki-laki. ''Maaf, ini siapa ya"'' tanya Theo hati-hati.
''Lho" Kamu mau bicara dengan siapa"'' suara di seberang
seketika balik bertanya. ''Barusan Bapak kirim SMS ke sini, kan"''
''Saya" Tidak. Ini siapa ya"''
Theo meminta maaf dan buru-buru menutup pembicaraan.


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Babe-babe, Wan. Katanya nggak pernah kirim SMS, lagi,''
ucapnya dengan kening terlipat. Iwan yang baru keluar dari
kamar dengan membawa gulungan peta, tidak peduli dengan
laporan itu. ''Bisa dipercaya apa nggak nih informasi"''
''Kita nggak punya informasi lain. Cuma itu satu-satunya. Siapa
pun yang ngirim, dia jelas-jelas tau soal ini. Tolong calling anakanak, Yo. Suruh ke sini sekarang!''
*** SMS itu cuma berjarak empat hari menjelang hari ''H''. Jadi tidak
banyak lagi waktu yang tersisa. Iwan menghentikan wajib militer
Langen dan Fani, karena dia dan keempat temannya harus
menyurvei lokasi secepatnya. Dan sepertinya yang sudah
diduganya, Rei cs tidak bersedia menyebutkan lokasinya karena
kontur medan benar-benar gila.
Rei cs rupanya tidak mau menunggu terlalu lama, tapi juga tidak
ingin bertindak seperti jaksa. Karena itu mereka memilih medan
yang akan membuat kedua kaki lawan-lawan mereka menjerit
dan akhirnya memaksa mulut untuk bicara!
Setelah menjelajahi sebagian area, Iwan dan keempat temannya
berdiri tanpa ada yang berbicara. Olahraga gila-gilaan itu hanya
akan lima puluh persen berguna. Artinya, mereka butuh strategi
lain untuk bisa meloloskan Langen cs sebagai juara. Atau paling
tidak, menyamakan posisi satu sama.
Kelimanya segera pulang. Malam itu juga di rumah Iwan,
kelimanya berpikir keras mencari jalan keluar. Dan setelah diskusi
panjang sampai hampir menjelang fajar, mereka berhasil
mendapatkan beberapa cara untuk memperbesar kemungkinan
ketiga cewek itu meraih kemenangan. Satu hal lagi yang ternyata
mau tidak mau harus mereka lakukan adalah menentukan garis
finish. Langen dan Fani, yang akan turun dalam pertempuran terbuka itu
dan berhadapan langsung dengan kubu lawan, hanya mempunyai
stamina tidak lebih dari sepermpat stamina Rei cs. Melihat kondisi
itu, pendakian yang telah ditentukan sebagai medan
pertempuran, kedua cewek itu hanya akan mampu bertahan tidak
lebih dari dua jam. Jadi kesimpulannya, perang terbuka itu hanya akan berlangsung
maksimal selama dua jam! Untuk menghentikan perang tersebut, mau tidak mau salah satu
dari ketiga lawan harus dibuat terluka cukup parah. Maka
pembicaraan semalam suntuk itu juga telah menghasilkan suara
bulat. Theo yang memperoleh kehormatan besar. Dia terpilih
sebagai algojo. Dengan mandat penuh! Baik cara maupun korban
yang akan dipilih, semua diserahkan ke tangannya. Si botak itu
langsung terkekeh-kekeh senang. Ini bagian yang menurutnya
paling menyenangkan. Pagi itu, sementara keempat temannya mempersiapkan segala
peralatan yang akan dibawa ke lokasi perang terbuka, Iwan
menelepon Lange. Dia menceritakan semua rencananya. Hanya
garis besar. Detailnya harus menunggu sampai dia dan temantemannya kembali dari lokasi.
Hari sudah menjelang siang ketika Iwan cs meninggalkan rumah.
Sementara itu Langen langsung ke rumah Fani. Berdua mereka
kasak-kusuk mencari cara, bagaimana bisa menemui Febi untuk
memberitahu semua rencana Iwan cs.
*** Dua hari menjelang hari ''H'', dua kelompok cowok melakukan
pertemuan di dua tempat yang berbeda.Sekali lagi Rei, Bima, dan
Rangga mendiskusikan tempat yang telah mereka pilih untuk
melakukan pendakian bersama Langen dan Fani. Jalur dengan
tingkat kesulitan cukup tinggi sengaja dipilih untuk mempercepat
proses eksekusi. Mereka juga membicarakan tindakan yang akan
diambil untuk mengantisipai akibatnya.
Sementara itu di lokasi, Iwan cs mendiskusikan kembali setiap
detail rencana, juga semua persiapan yang telah mereka lakukan
sejak kemarin. Ini memang malam kedua kelimanya terpaksa
kembali bermalam di tengah hutan, karena di malam sebelumnya
masih banyak hal yang harus mereka lakukan. Hal-hal yang juga
mereka diskusikan dengan seorang pendatang baru. Seorang lakilaki penduduk desa di lereng gunung. Mereka minta laki-laki itu
bergabung karena dia mengenal dengan sangat baik kontur
pegunungan itu. Sementara malam ini, mereka kembali terpaksa mendirikan tenda
di tengah hutan, karena semua sudah terlalu lelah untuk pegang
setir. Dua hari menjelang hari ''H'', di sekitar rumah Febi kembali
berkeliaran dua ''agen rahasia'', yang meringkuk diam-diam di
dalam mobil, atau bersembunyi di balik semak, pohon, dinding
rumah tetangga, dan semua benda yang bisa menutupi tubuh
mereka. Keduanya juga terus mengamati rumah Febi dengan
saksama. Dan begitu sebuah sedan berhenti di depan rumah itu
dan pengemudinya turun lalu masuk ke rumah, keduanya
langsung gerak cepat. Mereka keluar dari temp
at persembunyian, berlari menghampiri sedan itu, dan dalam waktu singkat,
keempat ban sedan mendesis sampai peleknya menyentuh aspal.
Keduanya lalu buru-buru berlari kembali ke tempat
persembunyian. Keempat ban yang tanpa angin sedikit pun itu jelas membuat si
pemilik mobil bingung. Dia masuk kembali setelah sempat berdiri
terlongo selama beberapa detik. Tak lama dia keluar, diikuti
hampir seisi rumah. Termasuk sang target Febi.
Kedua agen rahasia yang sedang meringkuk di satu tempat
tersembunyi itu segera membuka tas masing-masing dan
mengeluarkan seperangkat persenjataan canggih. Dengan peluru
yang tidak akan bisa terdeteksi!''Mana kacang ijonya"'' tanya
Langen.Fani menyodorkan kantong plastik berisi butiran benda
yang diminya. Langen memasukkkan sebutir kacang hijau ke
mulut lalu menempelkan salah satu ujung bambu kecil panjang
yang dibawanya, ke mulut. Disemburnya kacang hijau di dalam
mulutnya, yang kemudian mendesing keluar lewat lubang bambu.
Keduanya lalu memerhatikan dengan tegang. Tidak terjadi apaapa di sana. Bidikan meleset.
Langen mengulangi sekali lagi. Dipilihnya butiran kacang hijau
yang agak besar. Kali ini berhasil. Febi menjerit saat lengannya
seperti disengat sesuatu. Seketika gadis itu dikerumuni. Dan
semuanya sepakat, penyebab bintik merah di lengannya adalah
serangga. Tanpa seorang pun tahu yang mana atau yang
bagaimana oknum serangga itu.
Langen menurunkan tangannya yang melambaikan slayer, karena
Febi tidak menatap ke arahnya.
''Terpaksa kita tulup lagi dia!'' desisnya, lalu kembali memasukkan
sebutir kacang hijau ke mulut. Fani melakukan hal yang sama.
''Dua sekalian. Ntar kalo cuma satu kayak tadi, dia kira diantup
tawon, lagi.'' Dua moncong bambu kecil panjang sekarang terarah pada Febi.
Dua butir kacang hijau lalu berdesing keluar melalui lubanglubangnya, menghantam telak kulit putih gadis itu, dan
meninggalkan dua bulatan merah terang seperti tadi.
Febi nyaris menjerit saat mendadak disadarinya ini sama sekali
bukan perbuatan serangga. Dia menoleh ke segala arah dan
langsung berhenti saat selembar kain berkibar dua kali lalu lenyap
di balik tempat sampah milik salah satu tetangganya. Dia
longokkan kepala, berusaha mencari tahu siapa yang
bersembunyi di sana. Tapi seorang penjual es krim melintas lalu
menghentikan gerobak bersepedanya tepat menutupi tempat
sampah itu. Langen sengaja memanggilnya saat tahu Febi telah
melihat kibaran slayernya.
Dengan alasan ingin membeli es krim, Febi bergegas
menghampiri dan seketika terperangah begitu mendapati Langen
dan Fani sedang meringkuk di sana.
''Elo berdua ya yang tadi ituin gue" Sakit banget, tau! Apaan sih
tadi itu"'' ''Tulup. Sori deh, Feb. Abis, mikir cara yang lain nggak ketemu.''
Langen berjalan jongkok mendekati gerobak es krim diikuti Fani.
''Lo juga yang ngempesin ban mobil temen kakak gue"''
''Iya.'' Langen dan Fani meringis bersamaan.
''Kelewatan lo, sampe semuanya gitu. Eh, Iwan udah terima SMS
gue"'' ''Udah. Makanya kami nyari-nyariin elo. Udah dua hari nih kita ke
sini. Lo kira-kira bisa ikut, nggak"''
''Bisa dong!'' jawab Febi seketika. Justru itu yang ditunggutunggunya!
''Kalo gitu denger nih. Gue bacain rencananya Iwan.'' Langen
menceritakan dengan cepat semua rencana Iwan cs. Febi purapura sibuk memilih-milih es krim, tapi kedua telinganya terpasang
tajam. ''Oke, Feb"''
''Oke. Ntar gue cari cara gimana bisa keluar deh. Udah nih" Kalo
udah, gue mau balik.'' ''Udah.''Febi menyerahkan selembar uang kepada si penjual es
krim. ''Kembaliannya ambil aja, Mas,'' katanya, dan langsung berlari
pulang. ''Kembaliannya masih banyak nggak, Mas"'' tanya Langen.
''Lumayan.'' ''Kalo gitu kami minta es krimnya dua. Yang rasa cokelat.''
Si penjual es krim menyodorkan dua buah es krim cokelat.
Dengan asyiknya, kedua cewek itu lalu menikmatinya di balik
tempat sampah. *** Malam menjelang pertempuran besar mereka, Langen dan Fani
berkumpul di rumah Iwan untuk melakukan briefing terakhir. Di
tengah-tengah keseriusan Iwan menjelaskan segala sesuatunya,
tiba-tiba pintu diketuk. Febi berdiri di ambang pintu dengan
sebuah koper besar. ''Gue minggat dari rumah,'' ucapnya santai dan bangga. Seketika
semua mata menatapnya terpana. Febi tidak memedulikan
tatapan-tatapan itu. Dengan tenang dia melangkah masuk lalu
duduk di sebelah Fani. ''Ini peristiwa yang sangat penting. Jelas nggak bakalan gue
lewatin. Akan gue cari segala cara supaya bisa ikut. Dan
akhirnya....,'' dia tertawa riang, ''ada di sini juga gue!''
''Lo ngomong serius nih, Feb"'' tanya Iwan.''He-eh,'' Febi
mengangguk. ''Emangnya kenapa"''
''Gue nggak setuju. Ini sama sekali nggak lucu. Lo minggat,
emangnya nggak dicari" Ke sini pula lo kaburnya. Ke rumah gue.''
''Oh, tenang aja....'' Febi mengibaskan tangannya, tetap santai.
''Nyokap-bokap sama kakak-kakak gue lagi pada pergi. Pulangnya
baru besok siang. Jadi baru besok siang pula mereka tau, gue
udah buron. Dan gue juga udah booking kamar hotel. Jadi gue di
sini cuma transit, Wan. Jadi lo nggak perlu kuatir. Oke"''
''Tapi kalo Rangga ke rumah lo, gimana" Atau nelepon" Bisa
kacau semuanya!'' Semua serentak mengiyakan kata-kata Langen.
''Ck, aduuuh!'' Febi mengibaskan tangannya lagi. ''Gue nggak
sebego itulah. Semuanya udah gue pikirin. Semuanya udah gue
atur dengan rapi dan superteliti! Mas Rang.....eh, si Rangga
nggak bakalan dateng. Soalnya sekarang dia lagi ada meeting
Maranon sampai malem. Katanya lho! Makanya gue kaburnya
nunggu dia nelepon dulu, terus gue pura-pura tidur. Begitu
semua pembantu gue pada ngumpul di dapur, makan malem,
langsung mereka semua gue kunciin dari luar. Baru abis itu....,''
Febi meringis lucu, ''gue minggat dengan tenang! Dan untuk
mengantisipasi kalo-kalo para pembantu gue berhasil meloloskan
diri, semua buku telepon sama buku alamat, gue umpetin! Jadi
mereka nggak bakalan bisa menghubungi siapa pun, terpaksa
pasrah nungguin sampe bokap-nyokap sama kakak-kakak gue
balik. Canggih kan gue" Jadi tenang aja. Semua dalam keadaan
aman dan terkendali!'' Semua menatapnya tak percaya. Lalu serentak geleng-geleng
kepala. ''Gila lo, Feb!'' desis Iwan.
''Kalo ketauan, mudah-mudahan gue yang disuruh tanggung
jawab,'' doa Theo dengan ekspresi muka penuh harap.
''Gimana urusannya, kok bisa elo"'' kepala botaknya langsung
dijitak Rizal. ''Jelas gue dong!''
''Gimana urusannya juga, kok bisa elo"'' balas Theo.
''Heh, lo berdua!'' sela Evan. ''Kalo mau ngerebutin cewek, tanya
dulu ceweknya. Mau apa nggak" Jadi jangan sampe lo berdua
berisik gitu, nggak taunya tuh cewek jijik, lagi!"
Rizal dan Theo seketika berhenti tarika urat.
''Belom pernah ada cewek yang jijik sama gue!'' seru Rizal girang.
Theo baru akan buka mulut, tapi langsung dipotonag Iwan.
''Ntar aja deh bercandanya. Ini dulu kelarin!''Febi ketawa geli.
Penuh semangat dia lalu ikut memerhatikan peta dan lembatan
kertas yang berserakan di meja. Tidak peduli dengan masalah
besar yang baru saja ditimbulkannya.
Akhirnya..... Today is the day! Hari yang telah disepakati kedua
belah pihak untuk sama-sama mengangkat senjata. Untuk
menggambarkan bagaimana dahsyatnya ''pertempuran'' ini, kita
ambil satu hari dari sejarah.
7 Desember 1941. Pearl Harbour, pangkalan perang Amerika
Serikat, negara yang menganggap dirinya adidaya itu, hancur
diobrak-abrik macan kuning Asia..... Jepang! Peristiwa itu
kemudian menyulut PD 11 di kawasan Samudra Pasifik, dan baru
berakhir setelah dijatuhkannya dua bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki Kalimat terakhir tidak perlu dibahas, karena pada saat itu bom
atom adalah senjata yang paling mematikan. Menjatuhkannya di
tempat yang tepat dan dengan jumlah yang benar-benar
minimalis, akan melumpuhkan lawan, bahkan mereka yang
menjadi jawara di medan perang.
Kesimpulan: kuat belum tentu menang!
*** Iwan cs telah berangkat sejak hari masih gelap. Setelah
menjemput Febi di hotel tempat dia menginap. Langen dan Fani
juga berangkat ke kampus pagi-pagi, tapi sama sekali bukan
untuk kuliah. Hari ini buku dan dosen adalah Dunia lain!
Bima dan Rangga sudah menunggu kedua lawan mereka di
tempat parkir di depan gedung rektorat. Tanpa Rei.
''Rei udah berangkat duluan. Sekarang nunggu di lokasi,'' Rangga
menjawab pertanyaan Langen yang bukan keluar dari bibir, tapi
lewat sorot mata. ''Berangkat sekarang"'' tanya Bima.
''Kenapa"'' Langen menatapnya lurus. ''Persiapan lo belum
selesai"'' Bima terperangah dengan ''tusukan'' telak itu.
''Emang kurang ajar nih cewek!'' desisnya dengan emosi yang
kontan menggelegak. ''Kawan kita yang tergila-gila sama dia....,'' bisik Rangga, ''nggak
ada!'' Benar-benar bisikan setan yang terkutuk! Bima sempat tertegun
beberapa saat, sebelum kemudian ditepuk-tepuknya bahu
Rangga. ''Terima kasih atas pemberitahuannya.'' Dia menyeringai lebar.
''Sama-sama.'' Rangga mengangguk. Dan seketika Bima masih
menatapnya dengan sorot penuh arti, Rangga mengangguk sekali


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. ''Gue nggak ngeliat apa-apa, juga nggak denger apa-apa!''
''Itu yang gue maksud!'' kembali bahunya ditepuk-tepuk.
Kemudian Bima mengalihkan tatapannya kepada dua cewek yang
akan menjasi rivalnya nanti. Yang masih berdiri di hadapannya
dengan sikap gagah juga angkuh. Sepertinya telah siap
menghadapi apa pun. Dia ingin tahu, apakah keduanya masih
akan tetap seperti itu, setelah kejutan yang sebentar lagi akan dia
berikan! ''Kita berangkat sekarang. Lo berdua ikutin di belakang!'' ucap
Bima lalu balik badan. Dia berjalan ke Jeep LC Hardtop Canvasnya diikuti Rangga. Langen dan Fani menyusul balik badan, lalu
berjalan menuju Kijang Langen.
''Elo, La!'' Fani berdecak sambil menutup pintu di sebelahnya.
''Udah tau singa, pake dipancing, lagi!''
''Gue nggak bisa nahan emosi. Tiap ngeliat cowok laknat lo itu,
rasanya pengen banget gue cakarin mukanya. Trus gue jambakin
rambutnya sampe botak. Trus gue cincang badannya sampe
kecil-kecil!'' Fani berdecak lagi. ''Mendingan lo cari pembunuh bayaran atau dukun santet yang
canggih. Soalnya yang barusan lo sebutin tadi itu bener-bener
ngimpi. Nggak bakal jadi kenyataan!''
Menyadari kata-kata Fani itu sangat benar, Langen jadi menghela
napas. Ditunggunya sampai Jeep Bima melintas di depannya, lalu
dibuntutinya. *** Melalui kaca spion, Bima mengawasi Kijang di belakang Jeep-nya.
Sepasang bibirnya lalu tersenyum tipis dan dingin.
''Surprise!'' desisnya. Jeep-nya mendadak melompat lalu melesat.
Langen dan Fani terperangah.
''Apa sih maksud dia!"''
Langen buru-buru memindahkan tongkat persneling. Terpaksa
diikutinya setiap gerakan Jeep Bima, berusaha keras
mempertahankannya agar tidak hilang dari pandangan mata.
Artinya, mau tidak mau dia harus mengikuti setiap gerakan gila
dan nekat yang dilakukan Jeep Canvas di depannya. Dengan
klakson yang sebentar-sebentar berteriak, memaksa kendaraankendaraan di sekitarnya untuk memberi jalan, Jeep itu meliuk
tajam di antara padatnya lalu lintas Jakarta, dengan kecepatan
jauh di atas yang seharusnya!
''Apa sih maksud dia!"'' seru Langen, mulai panik. Di sebelahnya,
Fani duduk dengan tubuh membeku. Sepasang matanya menatap
lurus-lurus ke depan. Kesepuluh jarinya mencengkeram tepi jok
kuat-kuat. Sementara itu, meskipun harus berkonsentrasi pada jalan di
depan juga pada setiap manuver yang dia lakukan, Bima tetap
mengawasi Kijang di belakangnya. Dan begitu ternyata Langen
berhasil mengimbanginya dan tetap berada tepat di belakangnya,
decak kagum kemudian terlontar tanpa sadar.
''Gila emang si Langen!'' desisnya sambil geleng-geleng kepala.
''Kalo nggak gila, nggak bakalan dia berhasil ngerusak cewek
gue!'' gerutu Rangga. ''Jadi....,'' Bima menoleh sekilas, ''Elo apa gue yang tanggung
jawab nanti" Soalnya dia mantan cewek kawan kita nih.''
''Gue kalo lo nggak berani!''
''Pke kalo begitu!'' Bima bersiul keras. ''Elo decision maker. Gue
cuma eksekutor!'' ''Nanti aja kalo udah keluar Jakarta.''
''Sip!'' Menjelang perbatasan kota Jakarta, Langen dan Fani mengira
aksi gila Bima itu akan berakhir. Ternyata yang terjadi justru
sebaliknya. Begitu melewati perbatasan, jarum spidometer langsung bergerak
naik dengan ekstrem. Langen terperangah tapi tidak bisa berbuat
lain. Terpaksa dia tetap mengikuti setiap manuver sinting yang
dilakukan Bima. Cewek itu mulai gugup. Cengekramannya ke setir mulai tidak
stabil. Apalagi yang memakai jalan juga bukan hanya mereka
berempat. Ada banyak mobil-motor yang berseliweran. Belum lagi
kendaraan-kendaraan umum. Yang paling memperparah
kegugupan Langen adalah orang-orang yang berseliweran di kirikanan jalan, yang terkadang menyeberang dengan lagak seperti
jalan itu milik neneknya.
Ketegangan Fani ikut meninggi. Berkali-kali dia memperingatkan
Langem agar tidak terlalu rapat dengan kendaraan lain. Matanya
berkali-kali menatap spidometer dengan gelisah. Jarum itu terus
bergerak naik, naik, dan naik. Dan jarum itu kemudian mulai
bergetar! Wajah Langen benar-benar pucat sekarang. Tanpa sadar
digigitnya bibir sampai putih. Kesepuluh jarinya mencengkeram
setir kuat-kuat. Kedua rahangnya mengatup keras. Sepasang
matanya menatap lurus-lurus ke satu titik.
Tapi berbeda dengan Jeep Canvas di depannya, yang meliuk
luwes dan benar-benar terkendali, Kijang Langen lebih sering
bergerak kaku dan patah-patah. Membuat banyak pengendara
lain jadi ikut gugup. Beberapa dari mereka, saking kagetnya mendengar teriakan
klakson Jeep Bima yang memekakkan telinga, langsung menepi
lalu berhenti di pinggir jalan. Mereka mengira ada rombongan
polisi, pejabat, atau.....pokoknya orang pentinglah, yang akan
lewat untuk urusan yang sepertinya benar-benar gawat. Dan
ketika yang lewat ternyata Jeep dan Kijang pribadi yang digas
gila-gilaan, kontan mereka berteriak-teriak marah. Sumpah
serapah seketika berhamburan.
Suara klakson Jeep Bima juga membuat orang-orang yang sudah
sempat menyeberang sampai di tengah jalan, seketik balik badan
dan lari kocar-kacir ke pinggir lagi, lalu langsung menyumpahnyumpah sambil mengacungkan tinju.
Rangga, yang terus mengawasi lewat spion, akhirnya
memutuskan untuk mengakhiri. Ditepuknya bahu Bima.
''Cukup, Bim!'' Tapi Bima menolak mentah-mentah. Kemampuan Langen yang
ternyata masih terus mengimbanginya, membuat cowok itu
tertantang untuk mengetahui batas akhir kemampuan lawan.
Dengan kata lain, dia ingin melihat Langen menyerah!
''Bim.....cukup!'' ulang Rangga lebih keras.
''Udah, lo duduk tenang aja. Gue yang tanggung jawab!''
''Apa maksud lo"'' Rangga tidak mengerti.
''Gue pengen tau, sampe di mana dia sanggup!''
Langen yang tidak tau bahwa Bima sedang menyiapkan kejutan
lain untuknya, terus mengekor Jeep di depannya. Sampai
kemudian mereka menggabungkan diri dengan iringan mobil
yang berkonvoi di belakang sebuah bus antarkota.
Sepasang mata Bima menatap lurus-lurus ke depan. Langen
langsung bersiap-siap saat Jeep di depannya bergerak ke kanan.
Dan begitu Jeep itu menyalip deretan mobil di depannya, cewek
itu langsung mengikuti. Masuk di belakangnya. Sampai kemudian
mereka meluncur bersisian di sebelah bus.
Tapi ternyata Bima stuck di posisi itu. Tidak bergerak maju tapi
juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan mendur. Dia meluncur
rapat di sebelah bus besar itu. Akibatnya, dua pertiga badan
Jeep-nya melewati garis pembatas.
Posisi Langen lebih parah. Untuk menghindari badan Kijang-nya
bergesekan dengan bus di sebelahnya, terpaksa dia gunakan jalur
kanan, tidak berani mengikuti jejak nekat Bima. Soalnya, kalau
sampai tersenggol bus sedikit saja, Kijang-nya akan langsung
terpental dan nyawanya juga nyawa Fani bisa langsung terbang
dari badan. ''Apa sih maunya dia"'' Langen menjulurkan kepala tinggi-tinggi.
Berusaha melihat ruang di depan Jeep Bima. Kosong!
''Ck!'' Fani berdecak marah. ''Klaksonin, La!''
''Elo dong! Nggak liat tangan gue kepake dua-duanya!'' tanpa
sadar Langen membentak sahabatnya.
''Sori-sori!'' ucap Fani buru-buru. Diulurkannya tangan lalu
ditekannya klakson kuat-kuat. Tidak ada reaksi dari Jeep di
depan. Ditekannya sekali lagi, lalu sekali lagi, dan sekali lagi.
Tetap Jeep itu tidak memberikan reaksi.
Bukan hanya dua cewek itu yang jadi bingung dan ketakutan.
Sopir bus sudah dari tadi jadi gugup. Dia sampai membuka
jendela lalu memukuli pintu keras-keras, meneriaki Jeep di
sebelahnya untuk maju. Jalan di depan mereka kemudian menanjak lalu menurun tajam.
Itu sama berbahayanya dengan tikungan, karena sama-sama
tidak bisa melihat ada-tidaknya kendaraan dari arah berlawanan.
Benar saja. Sebuah mobil mendadak muncul. Dan klaksonnya
langsung mengeluarkan lengkingan panik. Memerintahkan dua
mobil nekat yang menggunakan ruas jalannya agar secepatnya
menyinggir. Langen mengira Bima akan menuruti perintah itu. Karena itu dia
bersiap-siap. Ternyata tidak. Bima justru semakin merapatkan
Jeep-nya ke badan bus di sebelahnya, setelah Rangga menekuk
kaca spion ke arah dalam. Gugup, Langen melirik spion untuk
melihat posisi di belakang bus. Tidak ada tempat kosong. Enam
atau tujuh mobil berderet di sana. Tidak ada jalan lain. Terpaksa
diikutinya otak sinting Bima.
''Spionnya, Fan! Tekuk ke dalem!''
Fani langsung menjalankan perintah yang diteriakkan dengan
nada panik itu. ''Udah!'' ''Liatin kalo terlalu mepet!''
''Iya! Iya!'' Fani menggeser tubuh. Dibukanya jendela lebar-lebar. Tanpa
sadar cewek itu menahan napas saat perlahan Kijang mulai
merapat ke badan bus. Baru disadarinya, tulisan ''D'' di badan bus
itu, yang tadi terlihat tidak begitu besar, sekarang ukurannya
hampir menyamai jendela mobil!''
Kedua mata Fani jadi berhalusinasi. Huruf ''D'' itu bukan
mengawali kata ''Djaya Kencana'' sepertinya terpampang, tapi.....
Death already! ''La...... La.....'' ditelannya ludah susah payah. ''Jangan deketdeket..... La.....'' ''Makanya liatin!'' Langen membentak tanpa sadar. Bisa
dimengerti, dia lebih panik karena pegang setir, dan benar-benar
harus menyejajarkan sisi kanan Kijang-nya dengan Jeep di depan
kalau tidak ingin dihantam mobil dari arah berlawanan. Soalnya
ruang jalan yang tersisa benar-benar pas-pasan.
Kedua mata Langen tertancap lurus-lurus pada Jeep Canvas dan
jalan di depan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat.
Kedua rahangnya mengatup keras. Butiran keringat sebesar
jagung mengalir deras di kedua pelipisnya.
Suara klakson yang melengking panjang dari mobil yang datang
dari arah berlawanan itu membuat ketegangan mencapai klimaks.
Sedetik semuanya mengira besok mereka akan masuk koran
beramai-ramai. Di bawah judul ''Korban luka'', atau kalau
nasibnya memang benar-benar tragis, ''Korban tewas''!
Tapi untungnya mobil dari arah berlawanan itu pilih mengalah.
Tidak berani ikut-ikutan nekat. Dia meluncur masuk ke salah satu
halaman rumah orang tanpa permisi dan berhenti di sana, di
depan si pemilik rumah yang seketika memandang bingung. Seisi
mobil lalu berlompatan keluar dengan ekspresi marah dan
langsung berlarian ke pinggir jalan. Mereka ingin tahu, ada apa
sebenarnya. Baru saja Langen dan Fani akan menarik napas lega karena lepas
dari jemputan maut, tiba-tiba Jeep Canvas Bima melesat
meninggalkan mereka, dengan cepat dan begitu mendadak.
Sebelum kedua cewek itu sadar apa yang menjadi penyebabnya,
dari jalan menikung di depan, mendadak muncul sebuah truk
trailer! Dengan badan kokoh, tinggi besar, dan tampang sangar,
truk itu siap melumat Kijang mungil di depannya!
Langen dan Fani terperangah dan hanya bisa mematung. Dua
lampu depan truk itu kemudian menyorotkan sinar benderang lalu
berkedip tiga kali. Dibarengi dengan teriakan klakson yang lebih
nyaring dari teriakan kapal yang akan meninggalkan dermaga.
''MUNDUR, LA! MUNDUR!!!'' jerit Fani histeris.
Langen tersadar seperti ditampar. Seketika diinjaknya rem.
Dengan entakan keras dan bunyi berdecit yang benar-benar
mengiris kuping, Kijang-nya berhenti mendadak, dan langsung
bergerak mundur. Berusaha menggabungkan diri dengan konvoi
mobil di belakang bus. Tapi satu suara melengking keras dari klakson yang ditekan
maksimal, menyebabkan Langen kembali menghentikan Kijangnya dengan mendadak.
Karena dia dan Bima mengambil jalur kanan, beberapa mobil
mengikuti di belakang. Dan yang barusan berteriak dan sekarang
sedang mengedipkan kedua lampu depannya adalah mobil
terdepan, sebuah Opel hitam.
Tapi sebuah celah di antara mobil-mobil yang berbaris di
belakang bus, yang sekilas dilihatnya melalui spion, membuat
Langen segera memindahkan kaki ke pedal gas. Kijang-nya
kembali meluncur, tidak peduli dengan teriakan klakson yang
menggila dari Opel hitam itu. Kijang Langen berhenti hanya
beberapa detik menjelang mereka akan berbenturan. Diinjaknya
rem. Dengan bunyi klakson berdecit tajam, sekali lagi Kijang-nya
berhenti mendadak. Juga Opel hitam itu. Si pengemudi Opel
menegang tak bisa bicara. Sementara orang di sebelahnya
langsung membuka jendela dan melontarkan isi kebuh binatang
dalam bentuk makian kasar.
Langen tidak sempat lagi mengacuhkan. Konsentrasinya tercurah
total pada celah itu. Dengan kedua mata tertancap sepenuhnya di
satu titik, kembali diinjaknya pedal gas. Tapi pengemudi Avanza
abu-abu, yang rupanya tahu Lanen bermaksud mengisi celah di
depannya, seketika menekan klakson kuat-kuat. Mengisyaratkan
penolakan. Celah itu terlalu sempit. Satu mobil lagi bisa bergabung tanpa
membentur mobil-mobil yang lain, hanya apabila dia diletakkan
vertikal dari atas! Tapi Langen tidak punya pilihan. Sebelah kanan jalan berbaris
rumah-rumah. Meskipun jaraknya berjauhan dan halamannya
luas-luas, barisan pagar tembok memisahkan halaman-halaman
itu dengan jalan raya. Nekat menabraknya untuk memasuki salah
satu halaman sepertinya bukan cara terbaik untuk menghindari
monster kotak yang sekarang sudah semakin dekat, yang terus
mengedipkan kedua lampu sorotnya, bergantian dengan raungan
klakson yang memekakkan telinga.
Benar-benar tidak ada pilihan!
''Pegangan, Fan!'' teriak Langen.
Diirigi lengkingan klakson, puluhan mata yang membelalak,
napas-napas tertahan, jeritan dan teriakan, Kijang Langen
menerobos celah sempit itu dengan liukan tajam. Terdengar
bunyi keras saat badan Kijang membentur Avanza. Mobil itu
kehilangan lampu depan sebelah kanannya, ditambah beberapa
kerusakan yang cukup parah. Pengemudinya shock dan terduduk
seperti patung setelah refleks menginjak rem.
Langen tidak sempat lagi untuk peduli apalagi ikut shock dengan


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian itu. Kijang-nya yang sekarang juga tak lagi mulus, terus
meluncur. Melewati celah sempiti tu dan berhasil keluar dari jalan
raya! Dirinya dan Fani lolos dari kemungkinan berubah jadi arwah.
Masih dengan raungan klakson yang menusuk telinga, truk trailer
itu berhenti dengan entakan, di ruang kosong yang baru saja
mereka tinggalkan, nyaris beradu hidung denga n Opel hitam itu!
Untuk kedua kalinya si pengemudi Opel membeku karena shock.
Duduk dengan tubuh tegak kaku di belakang setir. Sepasang
matanya terbelalak lebar-lebar, memancarkan kengerian. Bumper
kokoh dan moncong mengerikan trailer itu, yang memenuhi
seluruh ruang pandang, membuat orang di sebelahnya seketika
kehilangan keahliannya memaki. Dia juga membeku.
Sementara itu..... ''La! La! Stop, La! Stop!'' Fani berseru keras saat Kijang ternyata
terus menerobos semak belukar sampai jauh ke tengah.
Tapi Langen yang benar-benar dicekam ketakutan sepertinya
tidak mendengar. Kijang-nya terus meluncur. Fani terpaksa
mendorong sahabatnya itu sampai terdesak rapat di pintu, lalu
mengambil alih kemudi. Cepat-cepat diinjaknya rem. Kijang itu
berhenti.....tidak jauh dari pinggir sawah!
Keduanya mematung. Duduk berimpitan di satu jok. Trailer itu
masih terproyeksi jelas di mana-mana. Langen yang pertama
tersadar. Dia membuka pintu dan langsung melompat turun.
Seketika dia muntah habis-habisan. Sementara Fani menyambar
botol air dari jok belakang lalu meneguknya banyak-banyak.
''Bagi, Fan,'' pinta Langen lemah. Fani mengulurkan botol itu dan
isiya langsung ludes dipakai Langen untuk berkumur dan
membasahi muka. Tiba-tiba cewek itu tersentak lalu berlari
terhuyung memutari mobil dan berhenti di sisi lain dengan mulut
ternganga. Fani bergegas turun dan mengikuti.
''Mati deh gue,'' desis Langen dengan suara serak. ''Mas Radit
udah ngancem, kalo sekali lagi gue bikin nih mobil masuk
bengkel, gue nggak bakal dikasih make lagi. Disuruh naek bus
atau jalan kaki ke kampus.''
Fani menepuk-nepuk bahu sahabatnya, menenangkan.
''Ntar gue bawa nih mobil. Lo pulang pake taksi aja. Kalo ditanya,
bilang aja gue pinjem. Soal bengkel, urusan gue. Pokoknya gue
anter ke rumah lo dalam kondisi mulus. Jadi Mas Radit, Mas
Bagas, dan kakak-kakak lo yang laen, termasuk bokap-nyokap lo,
nggak bakal tau!'' ''Parah gini, Fan. Tabungan lo bisa kering.''
''Gampang itu sih. Ntar gue tinggal nyari alasan apa kek, ke
bokap-nyokap gue.'' Tiba-tiba terdengar suara ranting patah dan semak-semak
tersibak. Bima. Jeep Canvas-nya menerabas semak dan ilalang
lebat lalu berhenti tepat di belakang Kijang. Cowok itu langsung
melompat turun. Sendirian.
''Sori, La. Gue nggak.....''
PLAK!!! Belum lagi selesai bicara, Bima keburu ditampar Fani. Kemarahan
yang sudah menumpuk membuat cewek itu mengerahkan seluruh
tenanga saat melakukannya.
Bima tertegun. Dipeganginya pipinya yang terkena telapak
tangan. Ini pertama kalinya dia digampar orang. Cewek, lagi.
Ceweknya sendiri pula. Tapi dia sadar, apa yang dilakukannya
tadi memang benar-benar di luar batas.
''Maaf,'' ucapnya dengan nada sungguh-sungguh. Ditatapnya
Langen dan Fani bergantian. Kedua cewek itu balas menatap
dengan keinginan untuk mencincang! Bima menarik napas lalu
berkata pelan, ''Gue ngajak begitu karena gue liat lo suka
ngebut.'' ''Bukan alasan!'' bentak Fani.
''Kalo lo tetep ada di belakang gue, nggak akan ada masalah, La.
Udah gue perhitungkan jaraknya.''
''Justru kalo lo tetep ada di depan tuh trailer, baru akan selesai
semua masalah!'' lagi-lagi Fani yang menjawab. Tatapan Bima
beralih padanya. ''Sori, Fan,'' ucapnya sungguh-sungguh.
Terdengar suara langkah berlari menyeruak semak. Ketiganya
menoleh. Rangga berlari mendekat dengan wajah sangat cemas
dan langsung menghampiri Langen dan Fani.
''Kalian nggak apa-apa"'' tanyanya. Pertanyaannya tidak dijawab.
Dua orang di depannya cuma menatap dingin. Rangga menghela
napas. ''Itu tadi ide gue. Gue minta maaf.''
''Nggak peduli itu lo ide lo apa dia. Yang jelas, gue sama Langen
hampir mati!'' bentak Fani.
Rangga sudah membuka mulut, tapi mendadak batal bicara. Dia
balik badan dan menghampiri Bima dengan langkah terburu.
Keduanya lalu bicara dengan suara pelan. Sambil sesekali
menengok ke belakang, ke arah jalan raya. Avanza yang tadi
berbenturan dengan Kijang Langen, terparkir di pinggir jalan.
Pengemudinya sedang mengamati seberapa serius kerusakannya.
Di tangan kanannya tergenggam selembar kertas.
Sedangkan pengemudi Opel baru saja menutup pintu di
sebelahnya. Tangan kirinya juga memegang selembar kertas,
yang langsung dia serahkan ke orang di sebelahnya. Sedangkan
monster trailer itu sudah tidak terlihat. Kerumunan orang yang
menyemut saat adegan ala film action tadi terjadi, juga telah
membubarkan diri. Bima mengangguk-angguk lalu melangkah mendekati bagian
badan Kijang yang rusak. Rangga mengikuti. Keduanya lalu
mengamati kerusakan itu. Tapi baru saja Bima menoleh dan
menatap Langen, Fani sudah mendahului dengan nada tandas.
''Ini mobil urusan gue! Jangan harap gue biarin lo ngurangin rasa
bersalah. Apalagi cuma dengan bayarin ongkos bengkel!''
Bima menarik napas panjang dan menatap kedua cewek itu
dengan pandang lurus. ''Gue bener-bener minta maaf.''
''Heh!'' Fani kontan buang muka. ''Naek, La. Cuekin aja tuh
orang!'' Seketika tangan Bima terulur, menahan langkah Langen.
''Biar gue yang bawa.'' Langen bersaha mengenyahkan tangan Bima yang
menggenggam lengannya, tapi tidak berhasil. Bima tidak mau
melepaskan cekalannya. ''Nggak usah! Gue punya sopir pribadi! Lepas!''
Bima tetap tidak melepaskan cekalannya. Cowok itu benar-benar
merasa bersalah dan cemas melihat wajah-wajah putih pucat itu.
''Yeee, dasar bekantan!'' desis Fani. ''Denger nggak sih lo, disuruh
lepas!"'' ''Biar gue yang bawa!'' ulang Bima, dengan nada memohon tapi
tegas. Fani berdecak jengkel. ''Disuruh lepas juga!'' dengan kasar dilepaskannya genggaman
Bima di lengan Langen. Lalu dia sentakkan tubuh tinggi besar
Bima kuat-kuat, sampai terdorong mundur beberapa langkah.
''Minggit lo! Sana! Naek, La!'' Langen bergegas naik. Fani
langsung menyusul. Ditutupnya pintu dengan bantingan keras.
Kemudian sambil memutar kunci, Fani menatap Bima tajamtajam. ''Dia nggak bisa, masih ada gue! Sekarang cepet jalan!
Nggak udah banyak omong lagi!''
Mulut Bima sudah terbuka, tapi Rangga menepuk pelan bahunya
lalu menggelengkan kepala. Terpaksa Bima balik badan lalu
melangkah pelan menuju Jeep Canvas-nya. Kedua mobil itu
kemudian beriringan pergi, menyusuri jalan raya dengan
kecepatan yang menurun dratis. Bima bukan saja tidak ingin
meneruskan aksi gilanya lagi, tapi dia juga mencemaskan kondisi
Langen dan Fani. Mereka sampai di lokasi. Rei langsung berdiri menyambut. Sisi
Kijang Langen yang rusak parah menghadap ke arah lain. Arah
yang tidak terlihat oleh Rei, hingga cowok itu tidak tahu apa yang
telah terjadi, apa yang telah dialami Langen dan Fani.
Melihat wajah-wajah sangat pucat itu dia mengira sebagian besar
kepercayaan diri dan spirit lawan telah tergerogoti. Dengan mata
menyipit dan senyum dingin, disambutnya kedatangan musuhmusuhnya dengan keyakinan sepertinya perang ini akan segera
berakhir tidak lama begitu ia dimulai!
Well, dirinya turut iba dan prihatin. Sayangnya, dia perlu
pengakuan yang benar-benar riil!
*** Sikap Bima melunak setelah peristiwa yang nyaris fatal itu. Dia
keluar dari rencana yang telah disusun.
''Isi perut dulu, Rei.'' Kening Rei kontan berkerut. Itu tidak ada dalam rencana mereka.
Jadwalnya adalah, pendakian langsung dimulai begitu mereka
tiba di lokasi. Tidak ada waktu yang akan dibuang sebelum
semuanya benar-benar jelas. Dan selesai tuntas!
''Mereka pasti udah sarapan dari rumah. Dan sekarang belom
waktunya makan siang.'' Bima menjawab dengan volume suara diperkecil.
''Yang kita lawan cewek. Ini saja kalo sampe ada yang tau, udah
menghancurkan reputasi. Apalagi cewek yang fisiknya nggak
bener-bener siap. Kalo anak-anak Maranon sampe denger, kita
bisa diseret ke rumah sakit. Dipaksa operasi ganti kelamin!''
''Kemaren-kemaren lo nggak ada kompromi sama sekali"''
''Hati nurani mulai bicara!''
Rei tidak tahu maksud kalimat Bima itu adalah, gorila itu
menyesal telah menguji Langen dan Fani dengan cara di luar
batas. Dan karena Langen adalah mantan pacar sobatnnya yang
amat sangat diharapkan bisa diraih kembali, itu membuatnya
tidak bisa memeluk Langen lalu menciumnya untuk menyatakan
dia sungguh-sungguh menyesal. Meskipun tetap ingin melihat
kejatuhan lawan, Bima tidak lagi bersikeras itu harus terjadi
sekarang. Akan ditunggunya di mana pun kejatuhan itu terjadi.
Dengan sabar. Karena dia tetap yakin, Langen dan Fani tidak
akan sampai seperempat perjalanan!
''Mereka pucat bukan karena laper, Bim. Mereka takut, tapi nggak
bisa mundur!'' tegas Rei dengan suara pelan. Bima berlagak tidak
mendengar. Dihampirinya Langen dan Fani.
''Kita makan dulu,'' ajaknya, lalu berjalan ke arah salah satu
warung. Rei berjalan paling belakang. Dengan lipatan kening yang nyaris
serapat kain wiron. Rangga yang berjalan bersamanya memilih
tidak memberitahu apa penyebab perubahan Bima.
''Jangan makan terlalu banyak. Nanti lo berdua malah nggak kuat
jalan.'' Bima mengingatkan saat mereka telah memasuki warung
dan kedua cewek yang menjadi lawannya memilih tempat
terjauh. Langen dan Fani yang tidak tahu bahwa Bima sedang terserang
virus langka___yaitu penyesalan___menatap cowok itu seakanakan seekor serigala yang sedang memaksakan diri bertampang
domba. ''Kita akan jalan begitu lo berdua udah bener-bener siap,''
sambung Bima. Rei menggebrak meja dengan berang.
''Kita langsung jalan begitu lo berdua selesai makan!'' tandasnya.
Kemudian dihampirinya Bima. ''Ada apa sih lo"'' desisnya pelan.
Bima tidak menjawab. Setelah peristiwa yang membuat shock mental dan fisik itu,
Langen dan Fani sebenarnya sangat butuh istirahat, meskipun
hanya sesaat. Tubuh mereka masih setengah melayang dan kaki
rasanya tidak berpijak dengan benar. Tapi kendali sepertinya
telah berpindah tangan. Bima tidak lagi dominan.
Akhirnya kedua cewek itu menyingkirkan piring masing-masing,
tanpa satu sendok pun yang masuk mulut. Soalnya Rei terus
menatap ke arah mereka tajam-tajam. Sepertinya makan adalah
satu tindakan mencuri start, yang terpaksa tidak dapat diprotes
karema hukum memperbolehkan. Keduanya lalu memilih
memesan segelas bandrek, dan menikmatinya dengan sepotong
besar pisang goreng yang masih hangat.
Begitu potongan pisang terakhir habis tertelan dan sisa bandrek
dalam gelas telah berpindah ke dalam lambung lawan-lawannya,
Rei langsung bangkit berdiri.
''Kita berangkat.....sekarang!''Di depan base camp, yang
merupakan garis start imanjiner, satu tanjakan terjal langsung
menyambut!Meskipun Iwan telah memberikan gambaran yang
sangat rinci mengenai kontur medan yang akan ditempuh nanti,
saat melihatnya kontur tak urung Langen dan Fani terperangah.
Tapi sedetik kemudian mereka buru-buru menghilangkan ekspresi
itu. Tanjakn terjal itu membentuk sudut nyaris empat puluh lima
derajat, seakan berteriak mengejek ke arah kedua cewek itu.
''Kalah! Kalah! Kalah!'' Langen bahkan berhalusinasi melihat tulisan di punggung
terjalnya! ''Ahli mematahkan tulang! Membuat para pendaki
amatir pulang dalam keadaan cacat!''
''Siap"'' tanya Rei, langsung ke panglima perang lawan. Langen
seketika menjawab dengan sikap seolah-olah dia dan Fani sudah
berjamur karena terlalu lama menunggu perang dimulai.
''Menurut lo, apa tujuan gue sampe ke sini"''
Jawaban Langen itu langsung membuat Rei menatap Bima
dengan kedua alis terangkat tinggi-tinggi.
''Oke, kalo gitu. Jalan!'' perintahnya dengan nada sedikit geram.
Olahraga berminggu-minggu dengan porsi menyamai atlet
nasional yang akan diberangkatkan ke Olimpiade, salah satunya
adalah untuk momen ini. Tiga puluh menit harus dilalui Langen
dan Fani___menapaki tanjakan terjal dengan carrier bervolume
seperti yang seharusnya dalam pendakian___dengan kondisi
tanpa bantuan. Kondisi tambahan, separuh tenaga telah terbuang
dalam aksi kebut-kebutan yang nyaris menjemput ajal.
Begitu kelima orang itu bergerak, Iwan dan Theo, yang terus
mengawasi tajam-tajam dari satu tempat tersembunyi di
ketinggian, juga langsung bergerak. Mereka kembali ke tempat
Febi dan ketiha kawan mereka yang lain, yang saat ini sedang
menunggu di titik tempat mereka akan bertemu Langen dan Fani
untuk memberikan bantuan pertama. Tiga puluh menit dari
sekarang. ''Mereka udah jalan!'' kata Iwan begitu sampai.Rizal dan Febi
langsung bersiap-siap. Sesuai dengan rencana yang telah
disusun, Febi memang akan selalu di posisi paling depan.
Diberangkatkan lebih dulu. Iwan tidak ingin Febi ada saat dia
sedang direpotkan dengan dua cewek yang lain. Selain tambah
merepotkan, juga akan menghambat kalau mendadak mereka
harus bergerak cepat. Alasan lain, Febi memang akan dimunculkan di akhir acara,
setelah Langen dan Fani menyelesaikan (dengan harapan berhasil
menang) perang terbuka ini. Doorprize spesial untuk cowoknya,
Rangga. Iwan dan ketiha temannya menunggu tegang. Sebentar-sebentar
melirik jam dipergelangan tangan. Sementara itu di tempat lain,
di antara tiga anggota Maranon berbadab besar, yang menapaki
setiap jengkal dengan begitu gampang, Langen dan Fani
berjuang keras. Kedua tangan dan kaki mereka berkoordinasi


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menopang badan. Di tempat-tempat tanpa ada dahan atau
batang pohon yang bisa digapai, menjadi tugas kedua kaki untuk
menahan badan plus carrier yang menempel di punggung.
Wajib militer yang diterapkan Iwan benar-benar berguna.
Tanjakan itu berhasil diselesaikan Langen dan Fani dengan
mudah dan sesuai target waktu ketiga lawan. Tapi Rei cs sama
sekali tidak terkesan, karena ini baru permulaan. Cadangan
tenaga masih full tersimpan.''Boleh juga,'' komentar Rei pendek.
Kedua cewek di depannya merenspons dengan sikap seolah-olah
pujian itu tidak berarti sama sekali. Sementara Bima cuma
menatap keduanya tanpa bicara.Setelah mengistirahatkan tubuh
di jalan datar sepanjang kurang-lebih 150 meter, tanjakan kedua
menyambut. Lebih terjal dan lebih tinggi.
Kali ini mulai terasa berat. Otot-otot di seluruh tubuh terutama
kaki, tangan, dan bahu, mulai terasa seperti ditarik paksa. Setiap
langkah membuat carrier di punggung terasa bertambah berat
satu kilogram. Kepala juga mulai terasa seperti ditusuki jarum
yang terus bertambah satu di setiap langkah.
Mati-matian Langen dan Fani menutupi kenyataan bahwa setiap
bagian dari tubuh mereka mulai berteriak agar perjalanan itu
dihentikan. Keduanya saling melindungi. Saat Fani tidak sanggup
lagi menahan kelelahan dan ekspresi itu terlihat jelas di mukanya,
dengan gaya seperti sedang bercanda, Langen buru-buru
menempelkan selembar saputangan basah di muka sahabatnya
sebelum ketiga lawan melihatnya.''Thanks,'' bisik Fani.
Ditekannya saputangan itu kuat-kuat ke mukanya. Seketika rasa
dingin yang segar mengalir dan memberinya tambahan tenaga.
Tak lama ganti Fani melindungi Langen. Sebuah batu kecil yang
tak sengaja terinjak, membuat tubuh Langen kontan jadi
limbung. Secepat kilat Fani menangkap dan menutupinya dari
pandangan ketiga lawan. Tapi karena tubuhnya sendiri juga mulai
kehabisan tenaga, Fani ikut limbung. Kedua terhuyung
bersamaan, dan di detik-detik berbahaya itu Fani menjerit ide
yang mendadak melintas di kepalanya.
''Aaaa! Awas, La! Ada ulet bulu di tangan lo!''
Dengan gaya jijik, cewek itu mengambil ulat bulu fiktif di tangan
Langen dengan selembar daun, lalu melemparnya jauh-jauh.
Setelah itu, Langen tanpa kentara menggoreskan tangannya ke
permukaan kasar sebatang pohon.
''Gue nggak ngeliat ada ulet bulu!'' ucap Rei tajam.
Sambil membantu Langen berdiri, Fani memasang ekspresi
seolah-olah dia sangat jengkel.
''Ulet bulu itu kecil. Nggak gede kayak ulet naga! Jadi wajar aja
kalo nggak keliatan. Udah gitu warnanya ijo pula. Kalo nggak
percaya, cari aja. Tuh! Tadi gue lempar ke situ!'' tunjuknya
dengan dagu, ke arah semak-semak.Rei saling pandang dengan
kedua sobatnya. ''Gue juga nggak ngeliat!'' kata Bima. Fani berdecak dan
memelototinya. ''Jelas aja lo nggak ngeliat. Langen kan ditempelin ulet bulu.
Bukan monyet bulu! Lo mana langsung ngenalin sih, kalo bukan
sodara lo sendiri!'' ejeknya. Bima jadi tercengang sementara tawa
Rangga meledak. ''Ati-ati ya, Sayang"'' ancam Bima. Fani mencibirkan bibir, purapura tidak takut.
''Liat tangan lo,'' perintah Rei. Langen sudah menduga itu akan
terjadi. Karena itu terpaksa tadi dia goreskan tangannya ke
permukaan sebatang pohon untuk menciptakan efek ''habis
terkena ulat bulu'', meskipun sama sekali tidak cocok.
Diulurkannya tangannya. Rei mengamati luka goresan itu.
''Betadine, Ga.'' ''Nggak usah!'' tolak Langen serta-merta dan menarik tangannya
dari genggaman Rei. ''Kalo cuma Betadine doang sih, kami juga
punya!'' ''Betul!'' Faani langsung merogoh salah satu kantong celana
gunungnya. ''Nih!'' Sebelum Fani sempat menyadari, Rei telah menyambar botol
Betadine itu bersamaan dengan tangan kirinya yang meraih
Sepasang Racun Api 2 Wiro Sableng 095 Jagal Iblis Makam Setan Misteri Di Styles 3

Cari Blog Ini