Ceritasilat Novel Online

Cowok Rasa Apel 3

Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude Bagian 3


bibirku menyengat, sekejap-sekejap. Aku menggigitnya, mengatasi
kecamuk batin yang ingin berontak melawan kenyataan...!
Jangan berontak! Ini kenyataan! Kehancuran yang harus
diterima...! Aku menahan sesuatu yang rasanya terus mendesak, ingin
keluar dari bibirku. Kudekap mulutku rapat-rapat dengan tanganku
yang gemetar. Jangan sampai aku berteriak! Meski sepedih apapun!
Tapi... satu isak berhasil lepas...! Makin lama makin susah
kubendung. Kuremas wajahku, kutahan apapun yang mau keluar!
Aku nggak boleh nangis...!!!
Tapi... Ahhhh...! Bodoh!!! Kenapa air mata ini keluar juga..."!!
129 Sakit Rasanya nggak ada semangat. Lesu, seperti zombie. Mati
gairahku buat melakukan apa saja! Kuseret langkahku, sekedar ikut
melewatkan suasana karena nggak ada pilihan lain selain mengikuti
trip yang sudah dijadwalkan hari ini. Aku nggak mungkin tinggal
sendiri di hotel! Selesai jalan-jalan di monumen raksasa Garuda Wisnu
Kencana, tujuan berikutnya adalah Pantai Kuta. Pantai yang tersohor
namanya sampai ke seluruh belahan dunia! Ya, memang indah...
Indah tanpa rasa. Ibarat orang sedang sakit, meski di depannya dihidangkan
menu makanan fantastis kelas bintang lima, apa akan bernafsu juga
buat memakannya" Yahh... Kemarin ada yang bilang aku "sakit", tapi
terus terang sebelumnya aku nggak pernah merasa sesakit ini!
Aku termenung menatap ombak Pantai Kuta, yang tanpa
henti menghampiri pasir pantai. Ombak menggayut, pasir
menyambut. Lalu ombak beringsut kembali ke laut, pasir-pasir surut
seperti hendak ikut... Seperti tangan yang menggapai, lalu saling
melepas lagi dengan hasrat ingin tetap bersama. Ahhh...! Bahkan
alam saja bisa bercinta...! Dan aku cuma bisa melihat bersama
perasaan yang terluka! Mungkin memang benar. Cinta itu takdir. Dan bisa saja
takdir adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.
Entah berapa lama di Kuta. Yang aku ingat, sepanjang
singgah aku cuma sendiri merenung, memisahkan diri dari yang lain.
Sempat jalan-jalan ke pusat kaos yang terkenal akan katakatanya itu! Berharap menemukan kaos dengan kata-kata yang bisa
memberiku semangat, karena itulah yang akan menjadi satusatunya alasanku untuk membelinya! Tapi ternyata tetap saja, aku
nggak dapat apa-apa selain rasa yang masih sama: patah hati!
130 Huuhhhh... Akhirnya kembali melanjutkan perjalanan, untuk singgah di
pantai yang lain! Ya, lagi-lagi pantai...!
Sekarang di Tanah Lot, sebuah pantai dengan batu karang
yang di atasnya berdiri sebuah Pura.
Tapi, kali ini aku agak tertarik dengan cerita yang tadi
kudengar di bus, cerita yang diuraikan panjang lebar oleh Tour
Guide yang aku belum juga tahu namanya itu. Dia bilang, ada
sumber air di batu karang di seberang pantai itu. Air tawar alami di
tengah pantai! Katanya juga, ada kepercayaan kalau air tawar itu
berkhasiat untuk mengabulkan permohonan...!
Seperti di Mangkunegaran, tiang bangunan yang bisa
mengabulkan permohonan..."
Kepercayaan..." Mitos...?""
Ehhh... Tapi tunggu...! Aku jadi ingat, waktu di Mangkunegaran itu aku
memanjatkan harapan tentang Erik! Dan waktu aku memeluk tiang
itu, tanganku tidak sampai...! Kenyataan sudah bicara tadi malam,
Erik menolakku! Apa itu berarti... mitos itu benar..."!!
Aku berdiri diam di tengah air pantai, menatap batu karang
besar yang ada di depanku. Pikiranku sekarang malah dipenuhi
tanya-jawab soal mitos itu! Sampai akhirnya, lama-lama aku jadi
merasa konyol sendiri! Takdir ditentukan oleh mitos" Ahhh, mungkin cuma
kebetulan saja mitos itu singkron dengan kenyataan yang kutemui!
Tapi apa salahnya juga aku melihat-lihat ke sana, ke
karang besar yang memang menarik itu" Yaahhh, anggap saja biar
nggak rugi. Sudah bayar mahal-mahal buat ke Bali, cuma demi
ditolak Erik..." Demi bersakit-sakit diri" Memang sakit, dan justru itu,
seharusnya aku bisa menemukan manfaat dari piknik ini! Have fun!
Aku berjalan lesu menapaki pasir di air yang dangkal,
menuju ke karang yang tak jauh di depanku. Kulihat teman-temanku
satu rombongan juga banyak yang ke sana. Kalau dipikir-pikir,
memang bodoh kalau piknik yang mahal ini disia-siakan begitu saja!
131 Lokasi air tawar berada di ceruk sisi bawah karang.
Seorang penjaga objek wisata berbusana adat Bali, menempelkan
semacam butiran beras di pelipis keningku saat aku mau memasuki
lokasi air suci itu. Nggak tahu maksudnya apa, nurut aja...!
Aku bergabung dengan pengunjung lainnya yang
berkerumun di sekitar sumber air tawar. Ada yang mengambil dan
meminumnya dengan tangan, ada yang memakainya buat
membasuh muka, ada juga yang menyimpannya ke dalam botol.
Aku" Hmmm... Buat basuh muka aja. Permohonan"
Percaya nggak percaya, nggak ada ruginya juga kan..."
"Semoga suatu saat aku menemukan cinta yang bisa
membuatku bahagia..." satu harapan terbayang begitu saja di
benakku saat aku membasuh wajahku dengan air tawar itu.
Lalu aku termenung sejenak. Merenungkan kembali
harapanku. Cinta" Lebih bahagia..." Yahhh, semoga saja, suatu
saat. Nggak ada salahnya punya pengharapan. Setiap orang
memilikinya. Setelah puas melihat-lihat pemandangan di sekitar karang,
aku kembali menuju ke tepi. Lalu mencari toilet buat mencuci kaki
yang belepotan pasir dan habis terendam air laut.
"Ehh, habis ini balik ke bus ya, waktunya lanjut nih!" pesan
salah seorang panitia yang kebetulan berpapasan denganku.
"Oke," balasku singkat.
Selesai dengan objek wisata di Tanah Lot, aku kembali ke
bus. Duduk lagi di kursiku. Di sebelah Bambang yang rupanya hari
ini jadi pendiam. "Habis ini kemana?" aku sekedar berbasa-basi.
"Bedugul," jawab Bambang agak malas.
Bedugul" Tadi habis dari Kuta terus ke Tanah Lot, dari
pantai yang satu ke pantai yang lain. Sekarang habis dari pantai,
mau gantian ke danau" Air lagi" Cool. Panitia yang kreatif! Terima
kasih buat objek wisata yang monoton!
Tapi berhubung mood-ku memang sedang kacau, aku
nggak terlalu ambil pusing soal jadwal trip yang jelek ini. Nggak mau
tambah pusing! Mau kemana pun, akhirnya komentarku tetap:
terserah! Ya, dengan sedikit menggerutu.
132 Bus sudah siap berangkat lagi. Tour Guide yang biasanya
itu juga sudah stand by. Sebentar lagi dia pasti akan tanya pesan
dan kesan setelah kunjungan di Tanah Lot ini. Lalu dia akan cerita
soal objek wisata berikutnya. Ahh... Untung dia cakep! Kalau aku
bosan dengan ceritanya, aku pandangi saja wajahnya tanpa peduli
dia ngomong apa. Seperti biasa!
Ya, lihatlah! Sebenarnya aku juga masih bisa tertarik pada
orang lain bukan"! Artinya, Erik bukan satu-satunya cowok yang
harus kuharapkan. Suatu saat, pasti sangat mungkin bahwa aku
akan jatuh cinta lagi. Meski entah kapan... Entah dengan siapa...
Meski mungkin butuh waktu lama...!
Atau... entahlah, takdir sangat
rahasianya...! Aku mulai lelah memikirkannya.
pandai menjaga Koordinator rombongan mengabsen satu per satu
penumpang bus, memastikan bahwa semua sudah ada di bus dan
siap berangkat. Kubuang perhatianku. Kupalingkan muka mencoba
mencari pemandangan di luar jendela...
Dan ternyata cuma untuk menemukan pemandangan dari
orang yang sudah membuatku patah hati...! Ludah pahitku tercekat
di kerongkongan, melihat Erik sedang berjalan santai menuju
busnya dengan wajah cerah, bersama seorang cewek... Mungkin
teman sekelasnya, mungkin juga bukan, mungkin...
Aahhhh...! Lagi-lagi sibuk dengan pikiran yang nggak jelas!
Aku cuma ingin keluar dari perasaan yang buruk ini, bukan untuk
membuatnya tambah rumit! Kupalingkan lagi wajahku, menatap nanar pada punggung
kursi di depanku. Ya, sedikit lebih baik sekarang. Berusaha
melupakan Erik memang berat. Tapi aku harus bisa!
Brmmmm... Suara mesin bus telah menyala!
Kata "selamat tinggal" bisa ada kapan saja untuk apa saja.
Tapi seperti bus ini harus meneruskan perjalanan, begitu juga hidup!
Life must go on! 133 Jamuan Untuk Pecundang Seharian keliling Bali. GWK, Kuta, Tanah Lot, dan Bedugul.
Mungkin hanya keajaiban air tawar di Tanah Lot, dan keelokan
pemandangan Danau Bratan di Bedugul yang bisa membuatku
cukup terkesan. Sisanya" Penat dan capek!
Aku bersyukur, sekarang sudah tiba di hotel lagi!
Turun dari bus, aku melangkah gontai dan langsung
menuju ke kamar. Kulempar ranselku ke lantai. Kucuci mukaku di
wastafel. Kubasahi rambutku. Kulihat mukaku di cermin. Ohhh!
Berantakan! Wajahku memang tergolong biasa saja, tapi jujur aku
pernah jauh lebih tampan dari wajah yang kulihat di cermin ini!
Kujatuhkan badanku ke atas kasur. Memejamkan mata.
Memijit-mijit keningku. Menghela nafas pelan-pelan menyantaikan
pikiran... Kreekkkk... Pintu kamarku terbuka. Sosok bongsor agak
tambun masuk ke kamarku. Menjatuhkan tasnya ke kasur, lalu
segera melangkah menuju pintu lagi.
"Makan, coy...!" lontar Bambang sambil lalu. Kemudian
menghilang lagi, keluar dari kamar.
Makan" Hmmm... Aku nggak makan seharian. Pagi nggak
ikut sarapan di hotel. Makan siang kardusan, aku kasih ke Bambang.
Nggak nafsu sama sekali. Tapi sekarang terasa juga laparnya.
Mungkin makanan yang masuk ke mulutku rasanya akan seperti
sampah. Tapi perutku harus tetap diganjal!
Aku bangkit dari rebahan. Masih dengan malas aku menuju
ke ruang makan. Nggak kaget, ruang makan penuh orang. Semua
sibuk memilih menu prasmanan. Kuambil piringku, lalu memilih
menu dengan asal-asalan, apa saja yang kira-kira aku suka. Lalu aku
duduk di pojok. Kupaksa diriku untuk makan!
134 "Eh, Dimas... Habis ditolak Erik ya semalam" Hahaha..."
Deg! Tiba-tiba jantungku seperti tergelincir...!
Aliran darahku berdesir dua kali lebih cepat menuju sarafsaraf di wajahku, membuat kulit wajahku meremang! Kutengok
orang yang tadi bicara, salah satu dari segerombolan orang...
"Wah... Kasihan amat, cowok ditolak cowok juga...!"
"Resiko jadi hombreng ya gitu lah...!"
Orang-orang itu, nggak cuma satu...! Dan mereka adalah
teman-teman sekelasku sendiri, melontarkan kata-kata sinis
bergantian sambil tertawa-tawa...! Melirikku dengan mata yang
menikam...! "Ketinggian sih ngarepnya! Cewek-cewek aja udah pada
ngantri si Erik...!"
"Oh, sosis makan sosis ya si Dimas" Hahaha..."
"Untungnya besok kita udah ganti kelas!"
"Kenapa?" "Malu, man...! Sekelas sama homo...!"
"Hahahaha..." Tawa mereka bersahutan di ruang makan. Pandangan
mata mereka silih berganti menusukku! Diikuti sekian mata dari tiap
sudut, ikut memandangiku...
Cukup! Tanganku gemetar menahan piringku. Prkkk...! Kuletakkan
piringku di kursi... Secepatnya kutinggalkan ruangan itu...! Tapi tawa-tawa
yang mengejek itu masih saja berusaha mengejar telingaku meski
aku sudah menghindar sebisa mungkin...
Kupercepat lagi langkahku! Entah menuju kemana...
AKU CUMA INGIN PERGI DARI SINIII...!!!
Langkahku baru terhenti ketika aku yakin suara-suara itu
tak terdengar lagi, dan wajah-wajah pengejek itu sudah lenyap
kutinggalkan di belakang. Sekarang aku berdiri di sini, di satu sisi
hotel yang sepi. Bimbang... Lutut pun lemas, goyah...!
135 Aku terduduk di pinggiran taman. Gundah dan lesu
menumpukiku. Kudekapkan tanganku rapat-rapat, kurasakan
dadaku gemetar kencang...!
Bagaimana mereka tahu..." Kenapa mereka bisa tahu..."!
Siapa yang begini berniat membuatku jatuh..." Apa Erik yang
mengatakan semuanya..." Ya Tuhan, apa dia setega itu..."!!
Aku nggak cuma kalah. Aku kalah dan ditelanjangi di
depan orang-orang yang begitu senang melihatku malu...! Mereka
merasa menang menginjak-injak perasaanku! Mereka puas dengan
tawa mereka yang keras itu...!
Kuremas wajahku. Gigi berderak menahan kertak tangis...!
Rasanya aku ingin berteriak di depan mereka...
"HAIII!!! AKU PUNYA HARGA DIRI...!!!"
Tapi... cuma ini yang aku bisa, cuma ini sisa
kemampuanku... Merintih sendirian, tanpa sanggup berkata apa-apa
di depan orang-orang yang menertawaiku!
Aku sendirian dan kalah. Tanpa satu pun yang membelaku.
Ya Tuhan, apa aku memang nggak pantas dibela..."!!
APA GAY ITU MEMANG SAMPAHHHH..."!!
"Dik...?" tiba-tiba ada suara
seseorang menjamah bahuku...
menyapa, dan tangan Kuredam mataku yang basah. Kukeringkan di lenganku,
sesaat menahannya. Lalu perlahan kutengok orang yang
menyapaku. Kutatap wajah orang itu sekejap. Aku mengenalinya...
"Ada masalah apa?" tanyanya pelan.
"Nggak apa-apa..." jawabku gemetar. Kusembunyikan lagi
wajahku darinya. Aku nggak mau memperlihatkan mata basahku,
menambah rasa maluku di depan siapapun!
"Kalo ada masalah jangan seperti ini. Nggak baik..."
ujarnya lagi. Dia merengkuh bahuku, mengajakku berdiri. "Ayo...!"
Dayaku terasa begitu lesu dan rapuh, tapi entah kenapa
aku mau mencoba berdiri saat dia mengajakku...
136 "Ayo, lebih baik jangan sendiri di sini..." laki-laki itu


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajakku untuk mengikutinya.
Aku tak punya alasan untuk menolaknya. Sebenarnya aku
juga tak punya alasan buat mengikutinya. Tapi, aku tak sanggup lagi
menghadapi masalah ini seorang diri...!
Aku memilih mengikutinya.
Aku melangkah pelan di belakangnya, hingga kami tiba di
bagian lain dari hotel. Sebuah bangunan kamar, dengan teras di
depannya. Lampu gantung menerangi teras dengan sorot cahaya
lembut kekuningan. "Duduk sini," ujarnya sambil menyiapkan kursi untukku.
Aku duduk, dan berusaha menenangkan diri di tengah
batin yang sangat sesak ini. Denyut emosi naik dan turun, labil
kurasakan... "Minum dulu, mumpung masih hangat..." tawar laki-laki itu
sambil menuang teh dari poci ke dua buah cangkir yang telah siap di
meja. Aku cuma mengangguk pelan. Tanganku sedikit gemetar
saat mengangkat cangkirku. Perlahan, kuminum tehku, berharap
bisa membantuku lebih tenang.
"Aku nggak tahu masalahmu. Tapi pasti masalah pribadi.
Aku cuma mencegah... kalo mungkin akan terjadi apa-apa... yang
nggak baik..." Mendengar ucapan laki-laki itu, sesaat aku terpaku masam
memandanginya. Tour Guide itu...
"Terjadi apa...?" tanyaku setengah tercekat.
Tour Guide itu tertawa lirih. "Kamu kan
sedang jauh dari rumah. Kadang kalo ada masalah yang berat di situasi seperti ini,
orang bisa menjadi nekat..."
"Nekat...?" aku sedikit bergidik. Kemudian
tertawa pahit. "Tapi aku nggak akan bunuh diri..."!"
terpaksa "Ohh, aku nggak berpikir seburuk itu juga kok!" laki-laki itu
segera menyanggah. "Yang aku maksud, orang yang lagi kena
masalah itu biasanya mudah terpengaruh buat melakukan hal yang
buruk. Mengamuk, merusak apa saja, pergi tanpa tujuan, ya seperti
137 itulah kira-kira... Aku nggak bermaksud berpikiran negatif, tapi
kecenderungannya memang bisa seperti itu!"
Laki-laki itu lalu tersenyum. Aku menatapnya dan kali ini
juga ikut tersenyum. Menarik kedua ujung bibirku sedikit naik ke
samping, agak berat dan terpaksa, tapi... Begitulah. Aku
mengangguk pelan. Aku faham.
"Aku lupa nama Mas... Siapa ya...?" tanyaku sedikit
enggan. "Awan," jawabnya simpul.
"Mas Awan..." gumamku sambil mengangguk.
Terasa bukan situasi yang nyaman untuk berkenalan. Tapi
biapun perasaanku saat ini begini buruk, sangat nggak sopan juga
kalau aku masih belum tahu siapa nama laki-laki yang ramah dan
baik hati ini, yang sepertinya tulus memperhatikanku...
"Namaku Dimas," ucapku.
"Yang mengembalikan HP-ku waktu itu..." sambung Mas
Awan dengan senyum mencandaiku.
Aku tertawa masam. Rupanya dia mengingatku!
Dan sekonyong-konyong terbersit sesuatu di pikiranku.
Meski sebenarnya enggan, dan terasa agak lancang, tapi aku benarbenar sulit menahan rasa ingin tahuku...!
"Mas, apa aku boleh bertanya?" ucapku hati-hati.
"Soal apa?" "Soal HP Mas itu..." ujarku dengan agak sungkan. "Maaf,
bukannya sengaja, tapi aku sempat melihat foto yang di HP itu...
Apa itu orang yang istimewa buat Mas...?" tanyaku hati-hati.
Mas Awan kelihatan berpikir-pikir sejenak. Lalu perlahanlahan dia tersenyum sedikit masam...
"Ya. Kenapa?" dia menjawab sekaligus balik bertanya.
"Kalo aku nggak sopan, maaf ya, Mas... Apa dia... pacar
Mas?" Laki-laki itu langsung tertawa. Nggak kelihatan mau marah
mendengar tebakan lugasku. Setelah itu dia merenung sejenak.
Matanya yang teduh itu tampak menerawang jauh.
138 "Kamu menyimpulkan darimana?" dia balik bertanya lagi.
"Mas, aku suka sesama cowok..." ucapku tanpa menutupnutupi.
Mas Awan menatapku agak kaget!
"Aku cuma menebak kalo Mas juga seperti aku. Mungkin
aku salah. Makanya aku ingin tahu..." lanjutku hati-hati.
"Kamu...?" Mas Awan seperti masih kurang percaya.
"Iya. Aku gay..." tandasku singkat.
"Dan kamu mengakuinya ke orang lain semudah itu...?"
delik Mas Awan, masih ragu.
"Resikonya udah telanjur aku ambil Mas... Teman-temanku
hari ini udah pada tahu kalo aku... yahh, begitu lah... Padahal aku
nggak pernah bilang ke mereka. Entah darimana mereka tahu. Tapi
akhirnya sama saja, mereka tahu dan aku yang menanggung
konsekuensinya. Jadi kayaknya nggak ngaruh, misalnya ada satu
orang lagi yang tahu kalo aku gay..."
Mas Awan menatapku dengan beku. Dan aku hanya
tersenyum, makin kecut. "Jadi itu masalahmu?"
Aku tertawa lirih. "Begitulah. Rasanya nggak adil, aku
nggak pernah bilang tapi orang-orang bisa tahu dan mereka
menertawaiku! Seolah aku nggak punya hati buat merasa sakit! Kalo
memang itu harus diketahui orang lain, seharusnya akulah yang
berhak memutuskan buat membukanya atau tetap menyimpannya!
Tapi tanpa perasaan mereka menguaknya, demi bisa mengolok-olok
aku yang selama ini sudah berusaha keras menyimpannya! Aku
seperti nggak punya harga diri lagi..." desahku lesu.
Ohh, aku jadi curhat sekarang! Ya ampun! Untuk yang
pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa butuh pendengar untuk
masalah ini...! Hidupku sudah sekacau ini rupanya!
Mas Awan mendesah landai. Lalu meluruskan duduknya,
menyantaikan diri. Dia mengeluarkan HP-nya. Bibirnya tersenyum
saat memandangi foto di HP-nya itu.
"Iya, dia boyfriend-ku..." ujarnya sambil menatap foto di
HP-nya itu. 139 Aku terdiam memandanginya. Sebenarnya aku nggak
terlalu kaget mendengarnya...
"Dia temanku sejak SMA. Tapi kami jadian saat kami sudah
kuliah. Yahhh... Mengakui perasaan kepada orang yang kita cintai,
apalagi orang seperti kita, bukan hal yang mudah. Bisa butuh waktu
lama, dan yang pasti juga butuh keberanian! Kami bersyukur,
karena diberkati perasaan yang sama. Dan itu berjalan sampai
sekarang..." tuturnya dengan mata menerawang, dan dengan
senyum kecil penuh arti. Aku termangu menyimaknya... Ternyata kami memang
sama. Tapi... ahhhh, alangkah dia lebih beruntung dariku, bisa
bersatu dengan orang yang dia cintai...!
"Apa orang lain juga ada yang tahu" Keluarga...?" tanyaku
makin jauh. "Keluarga kami" Ya. Mereka tahu, akhirnya..." desah Mas
Awan seraya menghela nafas. Seolah sesuatu yang berat juga masih
tersisa di dalam dirinya.
"Tanggapan mereka...?" kulikku makin penasaran.
"Kecewa. Kami tahu mereka kecewa. Tapi mereka tetap
menerima kami..." Aku tertegun. "Menerima" Apa bisa begitu?"
Mas Awan mengalihkan pandangannya padaku lagi. Dia
tersenyum sayu. "Setiap orang pasti punya kelemahan di mata orang lain.
Tapi menurutku, cara pikir orang dewasa adalah menghargai orang
lain berdasarkan kemampuannya. Yang aku tunjukkan pada mereka
adalah aku menjalani hidupku dengan baik. Aku mandiri. Aku tidak
bermaksud menyakiti orang lain. Aku menentukan pilihanku sendiri,
dan bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Mereka kecewa, tapi
mereka akhirnya berusaha mengerti..."
Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam merenungkan cerita
yang dituturkan Mas Awan...
"Keluarga mungkin memang lebih bisa mengerti kita,
karena mereka menyayangi kita. Tapi bagaimana dengan orang
lain..." Kita juga hidup di tengah lingkungan dengan macam-macam
orang...?" kulikku dengan rasa risau.
140 "Ya, tapi nggak semua orang adalah bagian dari hidup kita
kan" Apa semua orang harus tahu" Bukankah belum tentu mereka
ingin tahu" Selama ini aku menjalankan prinsip, dalam pekerjaan
aku harus professional, dalam pergaulan aku harus ramah... Dalam
hubungan dekat, aku menyayangi mereka dengan menjadi diriku
sendiri. Dunia sangat rumit, kita harus punya cara yang lebih
sederhana karena hati dan pikiran kita nggak akan bisa kalo harus
menuruti semuanya!" tutur Mas Awan diikuti tawa lirihnya yang
hangat. Sesuatu tiba-tiba terasa meniup keruhnya pikiranku.
Perlahan aku ikut tersenyum. Kata-kata itu terasa penuh arti
bagiku...! "Jadi, apa aku juga harus bilang ke orang tuaku, Mas...?"
sesaat aku kembali ragu, dan berusaha mencari jawab atas
kebimbangan yang kurasakan selama ini.
"Semua ada waktunya!" jawab Mas Awan seraya
tersenyum simpul. "Sebelum menanyakan perlu-tidaknya ngomong
ke orang tua, yang lebih perlu adalah menanyakan pada diri kita
sendiri: apa kita sudah bisa membuat mereka bangga" Karena yang
ada di dalam harapan orang tua itu nggak cuma soal siapa yang
akan jadi pacar anaknya, tapi juga bagaimana sekolahnya,
bagaimana prestasinya, pekerjaannya, pergaulannya, banyak hal...!
Adakah yang sudah membuat mereka bangga" Itu yang harus
dibuktikan oleh seorang anak kepada keluarganya...!"
Aku tersenyum dan termangu, menangkap nasehat Mas
Awan. Kata-katanya seperti sebuah cermin besar yang tiba-tiba
dihadapkan kepadaku... "Lalu, bagaimana dengan teman-teman yang kutemui tiap
hari di sekolah" Mulai dari sekarang, kayaknya mereka akan makin
senang mengejekku...! Jika keluargaku tahu, nggak mungkin itu
menjadi sesuatu yang membuat mereka bangga!" keluhku.
"Lihat saja dari sisi yang lebih jernih. Teman sejati itu,
akan menerima siapapun kita. Di saat banyak orang mengejek kita,
maka di saat yang sama kita bisa lebih mudah melihat siapa yang
benar-benar di pihak kita. Bukan begitu" Teman-teman sejati, itulah
yang seharusnya kita pedulikan! Yaitu sahabat yang bisa melihat
bahwa ada kelebihan di samping kekurangan kita..."
"Teman sejati" Gimana kalo nggak ada...?" tanyaku ragu.
141 "Berarti, saatnya kamu menjadi dewasa!" ujar Mas Awan
menyiratkan sesuatu yang sulit kupahami.
"Apa menjadi dewasa itu harus bisa hidup tanpa teman?"
sanggahku tetap ragu. Mas Awan tertawa ringan. "Aku yakin, nggak ada orang
hidup tanpa teman. Yang ada adalah, orang yang sombong buat
berteman...! Kalo kamu mau membuka diri, pasti akan ada yang
namanya teman sejati. Kalo sampai nggak ada orang yang mau
berteman denganmu, berarti: introspeksilah! Menjadi dewasa itu
berani introspeksi!"
Introspeksi..." Kenapa kali ini aku merasa seperti ditampar"!
Sombong untuk berteman"
Aku..." Dengan siapa selama ini aku berteman" Yang ada adalah:
aku lebih suka menyendiri. Selalu...!
Lalu, kenapa aku merasa nggak mampu menghadapi
masalah ini sendiri" Aku merasa butuh orang yang membelaku, tapi
siapa..." Siapa temanku..."
Apa aku pernah menjadi teman bagi orang lain" Bukankah
selama ini yang aku kejar cuma...?""
Ya, selalu Erik, cuma Erik...! Erik, Erik dan Erik...! Tapi
akhirnya, ya ampun, Erik sendiri ternyata menolakku...!
Dan sekarang aku mengeluh saat orang lain nggak mau
peduli dengan perasaanku..."
Hhhhh... Sekarang rasanya aku sadar, aku begitu egois
dan sombong sebagai orang yang akhirnya cuma menjadi...
PECUNDANG...! "Teh?" Mas Awan memecah lamunanku, menuang teh lagi
ke cangkirku. "Ya..." anggukku lesu.
Kuangkat lagi cangkirku, meminum tehku pelan-pelan...
"Mas Awan percaya kalo teman sejati itu ada?" tanyaku
setengah merenung. 142 "Percaya." Aku menatap Mas Awan. Sorot matanya yang teduh,
senyum sayunya yang hangat, seperti menyiratkan satu keyakinan
sekaligus sisa-sisa kenangan yang pahit dalam dirinya. Entah apa...
"Terima kasih, Mas..." akhirnya terucap di bibirku.
"Buat apa?" "Buat..." aku sedikit kikuk, menurunkan mataku ke meja.
"Buat tehnya. Buat semangatnya... Buat apapun yang bikin aku jadi
merasa lebih baik..."
Mas Awan tertawa hangat. Aku ikut tertawa pelan.
"Teman sejati itu pasti ada ya, Mas" Entah kapan dan
dimana..." gumamku menerawang. Lalu aku menatapnya lagi, dan
menjawab ucapanku sendiri. "Mungkin sudah ya, sekarang di
sini...?" Kami seketika tertawa bersamaan. Meringankan hatiku
dengan pelan dan pasti. Dan tawaku menjadi tawa haru...
"Pasti akan ada yang lain juga lah...!" celetuk Mas Awan.
"Doakan ya, Mas..." balasku dengan tawa lirih.
Pahit, getir, masam... dan juga sejumput rasa manis pada
akhirnya, itulah menu makan malamku malam ini. Aku terpejam
sesaat, menertawakan diriku sendiri. Tawa perih, dan penuh arti...!
Setelah merenungi diri sendiri, sekarang aku jadi teringat
akan hal yang kurasa telah kusita dari Mas Awan...!
"Maaf, Mas, aku jadi merepotkan...! Padahal Mas Awan
pasti sudah capek habis mengantar rombongan seharian, dan besok
masih harus mengantar lagi..." ujarku kemudian, jadi merasa
sungkan. "Aku kan dibayar buat jadi Guide!" canda Mas Awan.
"Tapi nggak buat ngobrol sama aku kan?"
"Jadi Guide aku dibayar, tapi jadi teman nggak perlu
bayar!" "Nice reason!" Kami tertawa lagi dengan hangat.
143

Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makasih, Mas, udah membuatku introspeksi..." gumamku
setengah merenung. "Aku akan belajar lebih tegar mulai
sekarang...!" Mas Awan mengangguk dengan senyum rapat. Lalu
perlahan aku pun mulai berdiri dari dudukku.
"Aku juga nggak boleh egois, menyita jam istirahat Mas
Awan... Besok kan masih harus melanjutkan perjalanan!" lanjutku
sedikit bercanda, bersiap-siap untuk pamitan.
Mas Awan tertawa seraya ikut berdiri. Dia mengulurkan
tangannya padaku. Kujabat tangannya itu!
"Jangan menyerah! Dan nggak usah merasa rendah diri,
semua orang pernah nangis kok!" ucap Mas Awan dengan senyum
canda. Aku mengangguk tersipu. "Aku coba!"
"Sampai ketemu besok!"
"Pasti!" Aku menuruni undakan teras. Sesaat aku menoleh lagi dan
tersenyum, kepada orang yang telah memberiku banyak kekuatan
setelah hari yang kacau ini...!
Aku akan mengingatnya. Pasti!
Masalah belum berakhir, aku tahu. Bahkan aku harus siap
dengan hal-hal buruk berikutnya karena kusadari bahwa sebenarnya
ini semua baru dimulai! Mungkin akan makin banyak orang yang
meneriaki aku dengan ejekan mereka. Tapi satu hal, jangan sampai
aku diteriaki: PENGECUT...!
Aku akan menghadapinya! Dan itu juga berarti bahwa
semua ini harus mendorongku untuk berubah menjadi pribadi yang
lebih baik. Lebih tegar! Begitu bukan..."
Aku akan berusaha...! Terima kasih, Mas Awan...
144 Berdamai Aku kembali ke kamarku. Kamarku yang sepi. Yahhh... Ini
malam terakhir di Bali. Pastinya banyak yang ingin menikmati malam
ini, nongkrong atau jalan-jalan ke luar hotel. Si Bambang mungkin
juga begitu. Tapi, aku terlalu letih. Aku butuh istirahat karena hari
ini sudah menjadi hari yang berat.
Ahhh... Mungkin esok juga akan jadi hari-hari yang berat
buatku. Bahkan bisa jadi lebih berat. Saat orang-orang tahu aku
seorang gay, artinya mau nggak mau aku harus siap dengan cacian,
bahkan perlakuan menyakitkan yang belum pernah kukenal
sebelumnya. Mungkin memang nggak akan selalu seberat itu, tapi
yang pasti resikonya sangat jelas! Aku hidup di dunia yang masih
menganggap gay sebagai anomali. Apa yang tadi kuhadapi di ruang
makan adalah bukti nyata yang nggak perlu dibantah!
Karena itu, sebaiknya aku beristirahat di sisa malam ini.
Mengendapkan semua beban sementara waktu. Karena esok, dan
hari-hari berikutnya, nggak akan pernah sama lagi!
Baru saja kucoba untuk tidur, HP-ku menyela pejaman
mataku. Sebuah nada panggilan. Segera kuraih dan melihat nomor
siapa yang sedang memanggilku.
Ternyata... Sesaat aku cuma terpaku menatap layar HP-ku, ragu. Apa
aku harus mengangkatnya..."
"Hallo...?" akhirnya kuangkat juga.
"Hai, Mas..." suara Denis lirih di sana.
"Ada apa?" tanyaku dengan canggung.
"Emmhhh... Mas, lu masih marah...?"
"Cuma mau nanya itu?"
145 "Mas... Gue bener-bener minta maaf..."
Aku terdiam. Hhhhh... Apa minta maaf itu memang selalu
lebih mudah dibanding berpikir masak-masak sebelum mengorek
privacy orang"!! "Mas... Gue akui, gue memang udah lancang buka-buka
diary lu. Gue ngerti, lu sakit hati. Gue sungguh-sungguh, Mas, minta
maaf sama lu..." "Kenapa baru bisa berpikir sekarang kalo aku sakit hati"
Kamu nggak bisa, berpikir sebelum berbuat kalo aku bakal sakit
hati?" "Iya. Gue ngerti. Kesalahan gue bukan karena nggak bisa
baca tanpa ketahuan, tapi kesalahan gue karena gue lancing! Lu
bakal tahu atau nggak, gue tetap salah udah mengorek privacy lu..."
"Kenapa sih, kamu harus lancang seperti itu"!" kecamku
lirih, menahan gusar. "Mas... Terus terang, gue cuma bermaksud... ingin tahu
soal lu..." Ingin tahu" Oh, alasan yang gampang banget!
"Dengan cara buka diary yang jelas-jelas aku kunci" Aku
udah berusaha sebisa mungkin buat percaya sama kamu!" balasku
ketus. "Mas, gue mau jujur sama lu sekarang..."
kamu?" "Jujur" Setelah kamu merusak kepercayaanku sama
"Lu mau percaya apa nggak, gue nggak akan maksa.
Kayaknya kita nggak akan ketemu lagi buat waktu yang lama,
makanya sekarang gue harus bilang sama lu... Meski gue udah
lancang baca diary lu, tapi justru dari situlah akhirnya gue jadi tahu
diri lu yang sebenarnya..."
"Maksudmu"! rahasiaku"!" Kamu senang, bisa memiliki semua "Nggak, Mas, please...! Jangan terus menerus nganggap
gue musuh... Lu pasti marah karena gue tahu rahasia kalo lu itu...
146 suka cowok kan..." Lu suka sama Erik dan lu marah waktu gue tahu
itu, iya kan?" Aku benar-benar terdiam nanar, saat ucapan Denis terasa
menamparku...! "Mas, sumpah...! Gue nggak malu punya sodara seperti lu!
Siapapun yang lu sukai itu hak lu, lu tetap sodara gue! Gue bisa
ngerti kemarahan lu soal kelancangan gue, dan gue terima. Tapi
gue nggak ngerti kenapa seolah-olah lu nggak butuh sodara yang
bisa nerima keadaan lu...?"
Aku tercekat membisu. Tanganku gemetar memegangi HPku. Tiba-tiba, yang bisa kurasakan adalah tamparan Denis bukan
untuk menyakitiku, tapi dia sedang berusaha membuka mataku...
Bahwa... Selama ini aku telah bersembunyi di balik keangkuhanku,
menutupi semua ketakutanku! Sekarang itu terkuak, dan aku tak
bisa menyangkal lagi bahwa dalam lubuk hati yang terdalam
sebenarnya aku butuh seseorang yang mau menerimaku...
Pencuri yang dulu membuatku marah itu, kini telah
membukaku dari kepura-puraan...!
"Gue nggak tahu gue musti bersyukur atau gimana. Tapi
yang pasti begitu gue tahu sejatinya lu, gue harap lu jangan bawa
beban itu sendirian...!"
"Beban apa" Beban bahwa aku gay...?" ucapku gemetar.
Setetes air mata tergelincir dari pelupukku...
"Bukan. Beban lu itu kesepian. Lu cuma berbagi sama
diary, karena lu nggak tahu harus berbagi sama siapa kan" Gue
ngerti kalo lu cemas sama tanggapan orang lain... Tapi lu bukan
orang lain buat gue, Mas, biarpun kita ini dipisah sejak kecil. Kita
dikandung sama-sama berdua, gue nggak mau jadi sodara buat lu
benci, dan gue juga nggak mau benci sama lu... Gue nekat baca
diary lu, karena gue juga ingin berbagi sama lu... Gue ingin kenal
dengan sodara gue lagi...!"
Suara Denis yang lirih di sana, menyibak semua
perasaanku dengan gamblang! Rasa marah, rasa malu, rasa angkuh,
sebenarnya tak lain adalah jelmaan dari rasa takutku akan
kehilangan orang-orang yang kusayang... Takut kalau mereka
berhenti menerimaku, takut kalau mereka berbalik membenciku...!
147 Papa, Mama, Denis, kehilangan kalian..."
bagaimana mungkin aku mau "Mas, gue tetap minta maaf soal kelancangan gue. Gue
nggak nuntut lu buat maafin gue. Tapi gue ingin lu tahu, selama lu
ingin semua itu tetap jadi rahasia, gue akan jaga buat lu...!
Sebenarnya gue sendiri juga butuh waktu buat merenungkan
keadaan lu. Tapi akhirnya gue faham, lu menjalani sesuatu yang
nggak mudah, gue percaya lu menjalani itu bukan buat sekedar
main-main dengan hidup lu! Lu tetap sodara gue, dan gue sayang
sama lu...!" Badanku luluh di atas tempat tidurku mendengar semua
pengakuan Denis... Dadaku sesak dan pedih. Mataku nanar
memandang langit-langit, tanpa sepatah katapun yang sanggup
kukatakan. "Gue cuma ingin menyampaikan itu aja, Mas... Dan
sekalian pamitan karena gue harus balik ke Medan..."
"Den..." "Ya...?" "Kamu benar, selama ini aku selalu pura-pura... Aku juga
selalu menyalahkan orang lain..." ucapku terbata-bata, mencoba
menahan gemetar di bibirku. "Kalo kamu nggak lancang, mungkin
aku justru nggak akan pernah tahu arti yang sebenarnya dari sodara
seperti kamu... Aku juga harus minta maaf sama kamu... Dan
harusnya aku juga bersyukur..."
Kudengar tawa kecil Denis di sana, sebaliknya air mata
mengalir makin deras membanjiri pipiku. Ya Tuhan, betapa
memalukan aku ini! Karena manusia sombong ini rupanya begini
cengeng...! "Mas... Lu nangis ya...?"
"Diammm...!" tukasku jengkel sekaligus haru.
Aku mengusap mataku yang makin banjir. Sedangkan
Denis tertawa lagi. "Gue nggak bilang lebay kok, Mas... Cowok kan juga boleh
nangis. Malah harusnya bersyukur, karena itu tandanya punya hati.
Gue juga pernah nangis kok..."
"Mulai...! Cerewet!"
148 Denis tertawa lagi. Akhirnya, meski dengan jarak yang jauh ini, meski hanya
lewat segenggam HP, kami bisa tertawa berdua. Ya Tuhan, rasanya
begini damai... "Gimana di Bali" Sesuai harapan lu...?" tanya Denis
terdengar lebih ringan. Tapi aku justru merasa pahit mengingat hal-hal buruk yang
telah kualami di sini. "Aku habis ditolak Erik..." jawabku kelu.
"Hahh..." Jadi akhirnya lu ngomong ke dia...?"
"Akhirnya... Tapi aku udah ikhlas kok... Yahh, masih
berusaha ngatasin sakit hati sih..." balasku dengan tawa pahit.
Kami lalu terdiam. Aku mau menceritakan semuanya,
tapi... mungkin sebaiknya jangan. Kalau aku cerita semuanya,
perasaanku yang sudah dikecewakan ini mungkin mudah terjebak
buat menjelek-jelekkan Erik... Aku rasa nggak perlu. Denis tahu
intinya, itu sudah cukup.
"Dia nggak suka sama lu?"
"Dia... nggak seperti aku... Dia menjelaskan kalo dia
straight. Sudahlah... Berani suka, juga harus berani ditolak..." ujarku
menegarkan diri. "Gue suka lu bisa bersikap gentle...!" cetus Denis.
Aku tersenyum tipis seraya memejamkan mataku. Ya, aku
harus belajar melepaskan harapan-harapan yang sepertinya
memang terlalu tinggi itu... Menyukai seorang idola sekolah" Ahhh...
Sudahlah, lupakan mulai sekarang! Kenyataan sudah bicara.
"Mas, kalo lu memang udah yakin sama kondisi lu, apa
nanti lu akan ngomong ke Papa sama Mama...?" Denis melontarkan
satu pertanyaan yang cukup berat buatku.
"Entahlah. Ngomong atau tetap merahasiakannya, duaduanya nggak mudah. Jadi, kayaknya aku belum bisa memikirkan
keputusan apa-apa. Lihat aja nanti lah..." desahku lesu.
"Oke. Selama lu mau tetap menyimpan itu, gue akan ikut
jaga rahasia lu..." Rahasia..." 149 Hffhhh... Sekarang hampir semua teman sekolah sudah
tahu soal "rahasia" itu. Bukan rahasia lagi. Sesuatu yang nggak bisa
kucegah lagi. Yang masih bisa kucegah mungkin adalah agar Papa
dan Mama nggak sampai dengar masalah itu. Entah bagaimana
caranya... "Sebenarnya itu juga udah bukan rahasia lagi, Den...
Teman-temanku udah pada tahu..."
"Hahhh"!" kudengar suara Denis yang kaget. "Kok..."
Gimana bisa...?" "Aku nggak tahu. Tapi nanti pasti akan jelas juga, siapa
yang nyebarin..." "Erik?" "Aku nggak tahu, dan aku juga nggak mau nuduh. Biar
nanti ketahuan sendiri..." ucapku gamang. Sebenarnya kecurigaan
itu memang ada. Tapi, aku sulit percaya Erik akan setega itu. Aku
nggak boleh gegabah menuduh orang.
"Terus" Gimana tanggapan teman-teman lu?"
Aku tercenung sesaat. Ohhh, apa aku harus cerita ke Denis
berita buruk hari ini" Untuk membuatnya resah, membakar
emosinya..." "Ada yang ngomong jelek sih... Tapi masih wajar kok, buat
becandaan aja..." akhirnya aku setengah berbohong.
"Kalo ketahuan siapa orangnya, gue hajar tuh orang!"
timpal Denis. Seperti dugaanku, dia menanggapinya dengan emosi.
"Udah! Ngapain sih sampai segitunya"! Nanti juga pada
diam sendiri kalo udah capek...!" cegahku. "Lagian kapan mau hajar
orangnya" Bukannya kamu mau balik ke Medan?"
Denis terdiam. "Kamu mau pulang ke Medan kan...?" ulangku perlahan.
"Iya... Besok lusa berangkat pagi, tiketnya udah dipesan..."
akhirnya Denis menjawab. Dan akhirnya rasa sedih begitu terasa saat Denis
memastikan dia akan balik ke Medan. Setelah melewati berbagai
pertengkaran, kemarahan, kepura-puraan, lalu saling memaafkan,
akhirnya rasa kehilangan ini muncul...
150 Kapan lagi aku bisa melihat dia" Sodara kembarku yang
usil dan menyebalkan itu, aku pasti akan kangen sama dia...
"Ohh, ya udah... Hati-hati ya...!" ucapku dengan berat hati.
"Kalo mau bilang hati-hati, jangan ke gue. Tapi ke pilot


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesawat...! Hehehe..."
Lagi-lagi rasa haru membuatku ikut tertawa.
"Aku kayaknya akan kangen sama kamu, Den..."
"Itu sih pasti...!"
"Ah, sialan!" umpatku jadi gengsi.
"Haha...! Gue tahu kok, lu sebenarnya sayang sama gue!"
"Tahu dari mana?"
"Mama yang cerita..."
"Cerita apa?" "Dulu pas gue dibawa sama Tante ke Medan, katanya lu
sering nangis tiap mau tidur. Hampir sampai sebulanan gitu
katanya... Pasti kangen kan sama gue?"
Ini dia, gelagat menyebalkan kalau Denis mulai cerewet!
Tapi aku diam saja, karena yang dia ceritakan memang benar.
Memang kok, aku cengengnya segitu...! Hahaha...
"Gue juga kangen kok, Mas. Gue juga pernah nangis..."
"Hahaha..." aku ganti ketawa sekarang.
Tapi hatiku sekaligus sesak, ketika mengingat kami yang
harus dipisah pada saat masih kecil. Apalagi Denis, dia yang harus
jauh dari orang tua... Sekarang dia pulang ke rumah kami di Solo,
tapi aku nggak di rumah. Dan di saat aku baru menyadari arti
seorang sodara seperti dia, kami sudah nggak punya kesempatan
buat bertemu lagi. Kami cuma bisa bicara dan saling berbagi rindu
lewat benda mungil ini, sebuah handphone...
Dia akan berangkat lusa pagi, aku mungkin baru sampai di
rumah lusa siang. Melihat wajahnya sebelum berpisah saja aku
nggak akan sempat... "Lu musti lebih terbuka, Mas. Jangan menyendiri terus!"
Denis berpesan. 151 "Tapi, pasti susah cari teman yang mau nerima..." keluhku.
"Kalo teman yang baik itu susah dicari, ya nggak usah
kaget lah! Tapi pasti ada kok! Gue juga percaya, biarpun lu suka
sesama cowok, bukan berarti lu bukan orang baik..."
Aku mengangguk haru di atas bantalku.
"Thanks, Den..."
"Gue pamit ya, Mas..."
Rasanya berat buatku menjawab ucapan perpisahan ini.
"Iya. Take care!" ucapku.
"Oke. Bye..." "Bye." Lalu... Tuttt... Denis menutup HP-nya.
Aku sendirian lagi sekarang. Termenung di kamar yang
hening ini. Senyap. Lalu aku teringat kebiasaan Denis selama kami berbagi
kamar. Biasanya, dia akan memetik gitar dan menyanyi sebelum
kami tidur. Maka segera terlintas di kepalaku satu gagasan...!
Kuraih lagi HP-ku. Kuketik satu pesan...
"susah tdur. biasany klo mau tdur u nyanyi kan" one last
time, please!" Kukirim SMS-ku sambil tersenyum-senyum sendiri. Lebay
ya..." Ah, nggak urusan! Hahaha...
Nggak lama kemudian Denis langsung menelpon lagi...
"Aneh-aneh aja lu!" tukasnya.
"Aku kangen sama kamarku, kangen sama tempat tidurku,
kangen sama gulingku... Kangen ada yang nyanyi waktu aku mau
tidur...!" cerocosku.
"Kali ini lu beneran lebay!" gerutu Denis.
152 Kuakui, memang lebay! Hehehe...
"Kalo di sini ada gitar aku bakal nyanyi sendiri! Aku
sendirian di sini! Sepi banget, kayaknya juga rada seram nih
kamar...!" keluhku. "Tapi jangan marah ya! Kemarin gue habis ngobrak-abrik
koleksi CD lu. Dapat lagu baru nih..."
"Lagu apa?" Sesaat suara kosong. Lalu perlahan mulai kudengar
petikan gitar, sayup-sayup. Segera kupasang headsetku...
"Kalo aku nggak ngomong lagi, berarti aku tidur ya...!"
pesanku sambil merilekskan diri di atas kasur.
Suara Denis mulai kudengar menyanyi pelan-pelan...
"I close my eyes to see the world..."
Ahhh... Itu lagu milik Yanni, Before The Night Ends. Aku
juga menyukainya! Dan saat ini, lagu itu terasa begitu dekat
maknanya bagiku. Ya, kumaknai arti lirik lagu itu dalam hati...
"Sebelum malam berakhir dan fajar menyibak pagi yang
baru, betapa aku berharap untuk sanggup keluar dari kegelisahan
ini... Bahwa aku akan menemukanmu, sebelum malam berakhir..."
Suara yang jauh terpisah ruang. Meski tak begitu jernih,
tapi aku menangkap pesan itu. Setelah semua beban dan penat,
sekarang aku merasa tentram dan damai. Malam ini pun menjadi
teduh. Dan aku merasa seperti di rumah lagi...
Sesaat aku menggumam, "Sahabat sejati?"
Kurasa aku telah menemukannya, di sana...!
Lalu... Aku pun terlelap. 153 Persona Non Grata Aku baru saja naik ke bus dan duduk di kursiku. Hari ini
adalah hari ketiga di Bali, hari terakhir sebelum pulang ke Solo.
Semua bawaan nggak ada lagi yang ditinggal di hotel, semua
sekalian dikemasi. Hari ini masih mengunjungi beberapa objek
wisata, Pasar Seni Ubud, Pura Besakih, Kintamani, dan Sangeh.
Berkaitan dengan kejadian-kejadian pahit tadi malam,
meski perasaanku masih canggung buat menghadapi anak-anak
lainnya, tapi aku sadar nggak ada pilihan yang lebih baik selain
untuk berani menghadapinya. Karena bagaimanapun tiap hari aku
bakal bertemu mereka di sekolah. Hadapi saja!
"Eh, bisa tukeran tempat duduk nggak?" tiba-tiba ada
salah satu peserta piknik menghampiriku, mengajak tukar tempat
duduk. Anak kelas sebelah.
"Kenapa" Bukannya di depan lebih enak?" aku balik
bertanya. "Aku nggak cocok sama si Eka tuh!" jawab anak itu sambil
menunjuk kursinya yang ada di depan.
Aku masih ingat, dia anak yang kemarin pas berangkat
datangnya ngaret! Terus sekarang dia mengajak tukar tempat
duduk. Ribet amat nih anak..."!
"Nanti kalo aku juga nggak cocok sama dia, gantian aku
yang rugi?" balasku, nggak langsung sepakat. Pikir-pikir dulu lah!
"Kamu kan pendiam, cocoklah sama si Eka! Aku nggak
betah duduk sama orang yang "nggak bisa" ngomong! Lagian kamu
sendiri bilang lebih enak buat duduk di depan" Masa nggak mau?"
Weee, kok sekarang dia membalik alasan itu" Hmmm,
gimana ya" Duduk dengan si Eka yang...?""
154 "Udah, sana! Asyik kan dapat kursi depan"!" ternyata
Bambang malah mendukungku buat pindah.
Sebenarnya aku masih ragu. Tapi... Ya udah lah! Aku
berdiri dari kursiku. Kubawa sekalian ransel dan bawaan lainnya.
Pindah ke depan! "OK, makasih ya!" ucap anak itu kelihatan puas.
"OK!" sahutku simpul sambil beranjak.
Bus juga mulai bergerak. Mulai berangkat. Aku segera
duduk di kursi baruku. Bersebelahan dengan Eka, anak kelas
sebelah yang katanya bermasalah itu...!
"Hai!" sapaku, mencoba ramah lebih dulu.
Eka cuma tersenyum dingin, menatap sekilas padaku lalu
segera kembali memalingkan mukanya, diam menatap ke luar
jendela. Cuek banget! Rambutnya agak acak ala rocker, matanya
tajam tapi agak kosong. Seram! Aku jadi rikuh. Kok aku mau sih
pindah kemari..."! Ahhh, tapi segalak-galaknya dia, nggak bakal makan orang
juga lah! Aku kan juga bisa cuek!
Tapi, aku jadi tertarik waktu melihat gitar Eka yang ditaruh
di dekat kakinya. Beberapa hari nggak pegang gitar, jariku mulai
gatal-gatal. Tapi mau bilang pinjam, masih agak-agak gimana gitu...
Takut! "Kok mau pindah kesini?" tiba-tiba Eka bicara.
Blaikk...! Kaget aku! Dia mau ngomong juga ternyata..."!
"Diajak tukar sama teman kamu itu..." jawabku agak
gugup. lagi. "Si Aris" Dia bilang alasannya pindah nggak?" tanya Eka
Nah...! Rada-rada grogi nih menjelaskannya...! Masa mau
terus terang, "Temanmu bilang katanya kamu nggak bisa
ngomong...!" Begitu" Kalau aku nanti malah ditonjok gimana"!
"Katanya, kamu terlalu pendiam gitu... Benar ya?" aku
ragu-ragu menjawab. Jadi berasa blo"on banget ngomongku!
"Hahaha..." Eka tertawa pelan.
155 Malah ketawa" Atau habis ketawa terus nonjok aku nih..."
"Benar kok, dia tadi bilang gitu!" tandasku.
"Alesan!" tukas Eka.
Nah! Mulai marah kayaknya! Siap-siap menangkis kalau
tangannya tiba-tiba melayang...!
"Yang bikin rencana buat
Bambang...!" celetuk Eka kemudian.
mindahin kamu kan si Hah"! "Bambang" Kok gitu?" aku tambah bingung.
"Tadi malam Bambang main ke kamarku. Aku dengar
waktu dia bikin rencana sama si Aris buat mindahin kamu," gumam
Eka tenang. "Tapi... kenapa?" kulikku, masih ragu.
"Yang aku tangkap sih, Bambang nggak mau duduk sama
kamu. Makanya dia nyuruh si Aris buat pura-pura ngajak kamu tukar
kursi!" jelas Eka. "Kenapa nggak Bambang sendiri aja yang pindah depan"
Kok malah nyuruh si Aris pindah belakang" Atau... dia takut sama
kamu kali ya...?" celetukku kikuk. Aku bingung menganalisa teori
konspirasi soal pindah-pindahan kursi ini!
"Si Aris juga nggak mau pindah ke belakang kalo duduknya
sama kamu! Aku juga nggak mau, aku udah nyaman di depan!"
tukas Eka dengan santainya. Lalu dia menatapku sambil tersenyum
tipis. "Memangnya kamu nggak nyadar akibat berita soal kamu sama
Erik itu?" Deg! Kaget...! Ohhh...! Lagi-lagi masalah itu"! Huhhh!!! Ternyata masalah
itu sudah tambah jauh nyebarnya! Seperti yang sudah kucemaskan!
Aku faham sekarang, jadi ternyata si Bambang sekarang
juga "jijik" denganku! Makanya dia bikin rencana sama si Aris,
menyuruhku pindah tempat duduk dengan bawa-bawa Eka sebagai
alasan! Padahal sebenarnya yang ingin mereka singkirkan itu
adalah: AKU! Hebat...!!! 156 "Baru nyadar, ternyata ada hubungannya dengan itu...!
Padahal kalo mereka ngomong terus terang, pasti aku akan pindah
juga sih... Ngapain duduk sama orang yang nggak suka denganku?"
ucapku lesu. "Namanya juga cemen!" komentar Eka.
"Siapa yang cemen?" aku jadi agak tersentak!
"Mereka. Yang berlagak straight itu!" tukas Eka.
Haaaaaa...?"" Aku langsung bengong dibuatnya! Wow...! Si Eka bisa
ngomong begitu" Apa jangan-jangan, dia juga...?""
"Kamu ngomong gitu, kok kesannya
straight...?" gumamku ragu, menduga-duga.
kamu bukan Eka langsung memandangiku dengan tajam. Hiii...! Aku
salah ngomong ya...?""
"Memangnya aku bilang gitu"!" tukasnya.
"Yaa... nggak tahu! Aku bingung maksud kata-katamu
tadi...!" kelitku gugup.
"Straight soal sikap! Aku lebih suka punya musuh gentle,
daripada teman pengecut yang ngaku teman tapi punya niat jelek di
belakang...!" Wowww...!!! Statement Eka barusan itu... benar-benar keren! Aku
sampai ternganga dan rasanya ingin tepuk tangan...!
"Tapi, kamu nggak masalah, kalo aku duduk dekat
kamu...?" tanyaku masih agak ragu.
"Hey! Aku nggak seperti kamu, tapi aku juga nggak punya
masalah dengan orang seperti kamu. Be your self...!"
Lagi-lagi aku terpukau kata-katanya...!!!
Gila! Anaknya cool gini kok dibilang "nggak bisa ngomong"
sih"!! Kayaknya, aku malah suka dengan anak ini...! Maksudku, aku
jadi enjoy duduk dekat dia!
"Idolaku juga "cowok yang suka cowok" kok...!" celetuk
Eka, kali ini agak terasa nada konyolnya!
157 "Oh ya" Siapa?" tanyaku jadi bersemangat dan penasaran.
Eka mengambil gitarnya. Lalu jari-jarinya
memainkan satu intro lagu. Lagu yang aku kenal banget!
segera "Tebak!" tantang Eka sambil memainkan intro lagu itu.
"Freddie Mercury, absolutelly!" tebakku.
"Love of my life, you"ve hurt me...!" Eka langsung
meneruskan ke lirik lagu dengan suaranya yang pelan tapi cadas!
Awesome!!! Suaranya agak serak tapi lentur, seperti
rocker-rocker rambut gondrong tahun 80"an! Ehemm, kayaknya Erik
aja musti hati-hati kalau mau saingan nyanyi sama dia!
Aku nggak mau ketinggalan, aku menyusul dengan suara
dua di bait berikutnya. Dengan volume setengah suara,
menyanyikan lagu itu sampai habis!
Benar-benar jadi enjoy dengan suasana ini!
"Keren!" pujiku kagum.
"Kamu mantap juga suara duanya!" Eka balik memuji.
"Masa sih" Hahaha..." aku tertawa bangga. Siapa bilang
aku nggak bisa nyanyi"!!
"Kamu bisa main gitar juga kan" Dulu kayaknya kamu
pernah ikut band di sekolah?" lontar Eka.
"Iya. Kok ingat sih" Haha... Ikut band cuma sebentar kok.
Katanya aku nggak cocok main gitar listrik!" jawabku. Jadi ingat


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pemecatanku dari band dulu. Kalau itu sih nggak bisa
dibanggakan! "Biasa main akustik ya?"
"Iya. Dulu les gitar, yang dipakai buat latihan lagu-lagu
klasik gitu..." "Klasik" Coba main!" Eka langsung mengulurkan gitarnya
padaku. Wedeewww...! Akhirnya, dapat kesempatan pegang gitar
juga! Harus kutunjukkan kemampuanku! Segera kujajal gitar milik
Eka. Mantap! 158 Kumainkan salah satu komposisi gitar klasik favoritku.
Sampai rampung! "Woww...! Keren juga mainnya! Itu Gavotte-nya Bach
kan?" ujar Eka. "Wah, tahu juga ya?" balasku sumringah. "Tapi mainku
masih banyak cacatnya...!"
"Udah bagus kok! Aku suka dengar symphonic metal,
kadang mereka juga main komposisi klasik. Dari situ aku jadi suka
dengar lagu klasik juga..."
"Kalo aku sukanya cenderung yang Folk sama Baroque.
New Age juga suka. Musik metal dengerin juga sih, dikit-dikit..."
sahutku antusias. Kuamat-amati gitar Eka. Warnanya coklat gelap, kokoh!
Sekilas aku tertarik mengamati sticker tulisan yang menempel di
body gitar... "BEN... Apa nih artinya?" iseng-iseng aku bertanya soal
tulisan sticker itu. "Singkatan namaku," jawab Eka simpul.
"Ohh... Wah, nickname yah"!" cetusku.
Eka mengangguk. "Teman-teman ngeband-ku dulu suka
memanggil dengan nick itu," sahutnya.
"Hmmm..." ngeband?" aku manggut-manggut. "Sekarang masih "Udah nggak." "Kenapa?" "Yaaahh, beda prinsip aja soal musiknya. Klise ya?" seloroh
Eka dengan senyum tipis. Aku tertawa sambil manggut-manggut lagi.
"Kayaknya aku juga lebih suka manggil kamu "BEN" aja...!"
celetukku kemudian. "Eh, iya, aku sendiri belum sebut nama...!
Aku..." "Udah tahu kok. Dimas, kan?" potong Ben seraya
tersenyum simpul. 159 Aku mengangguk serta membalas dengan senyum pula.
Entah dari mana dia bisa tahu. Mungkin karena saat-saat ini aku
memang sedang sering dibicarakan...!
Ahh, yang penting kan dia bisa menerimaku"
Ya! Ben, anak yang katanya bermasalah, ternyata nggak
seburuk yang orang lain bilang! Anaknya memang cuek, tapi bagiku
dia ramah dan kelihatan apa adanya. Tanpa kepura-puraan! Terus
terang, aku justru kagum dengannya...!
Aku rasa, tiap orang pasti punya masalah. Aku dengar dari
omongan yang beredar di sekolah, Ben ini katanya pernah overdosis
karena pakai narkoba! Hampir tewas, katanya. Memang, itu masalah
yang serius...! Tapi, kenapa banyak orang yang sepertinya begitu
gampang menghakimi orang lain"
Aku nggak ingin ikut menghakimi dia. Karena aku sadar,
bahwa aku sendiri punya masalah. Dan aku sendiri nggak mau
orang lain dengan seenaknya menghakimiku...!
Ben... Siapapun dia, yang aku tahu dia ramah padaku, dan
mau menerimaku di saat orang lain menjauhiku. Aku sangat
menghargainya... Perlahan jariku mulai bergerak lagi, memainkan satu lagu
lagi. Untuk dia, untuk kami...
Sebuah lagu lama milik Michael Jackson, yang judulnya
sama dengan caraku memanggilnya...
Dia tampak merenung menatap ke luar jendela saat aku
menyanyikan lagu ini. Dan di akhir lagu, sesaat dia menatapku,
seolah tahu apa maksudku...
"...if they had a friend like Ben..."
Dan, Ben tersenyum tipis penuh arti...
160 Tak Seorangpun Sempurna Pura Besakih benar-benar memukau. Aku berkeliling
melihat-lihat komplek Pura Besakih yang merupakan salah satu ikon
wisata di Bali ini. Sampai capek, lutut pegal semua! Saking luasnya
area Pura dengan undakan di sana-sini!
Aku duduk istirahat menjulurkan kaki di teras salah satu
komplek Pura. Megap-megap kelelahan...!
Baru enak-enak istirahat, seketika perhatianku tercuri.
Sekilas kulihat Erik lewat di seberang teras...
Dia jalan berduaan, bersama seorang cewek...! Ohh, aku
masih ingat itu cewek yang kemarin aku lihat dari kaca bus, orang
yang sama! Sepertinya mereka nggak melihatku...!
Aku langsung bangkit lagi, sembunyi! Ngumpet sekaligus
mengawasi mereka dari balik bangunan Pura! Mereka
kelihatannya... mesra...?""
Kenapa perasaanku sepertinya... cemburu..."!
Ahhhh...! Tentu saja! Menyukainya dan memendam
perasaan hampir satu tahun lamanya! Apakah dua hari cukup untuk
menghapus semua sisa perasaan itu"! Nggak! Nggak semudah itu!
Meski sudah nggak bisa berharap apa-apa, tapi tetap masih tersisa
rasa cemburu seperti ini saat melihat dia bergandengan mesra
dengan orang lain...! Aku nggak goblok buat menebak, kalau sepertinya Erik
sedang ada "hubungan istimewa" dengan cewek itu! Bergandengan,
berduaan, memisah dari rombongan...! Sinyalnya jelas!
Entah sedang PDKT, atau memang sudah jadian..." Sejak
kapan" Kaget juga rasanya, mengingat baru dua hari kemarin Erik
menolakku! 161 Ahh, sudahlah! Soal pacar Erik, seharusnya itu bukan
urusanku lagi! Sekarang ada urusan lain yang harus segera kucari
kejelasannya! Aku harus bicara dengan Erik!
Kuperhatikan dua orang itu. Mereka sedang melihat-lihat
salah satu komplek Pura. Sepertinya perhatian mereka tersita oleh
bangunan Pura. Si cewek mulai memisah, dan Erik sepertinya nggak
terlalu peduli. Erik sekarang sendirian di salah satu sisi Pura...!
Ini saatnya! "Rik...!" sapaku setengah berbisik.
Erik menoleh, dia langsung kelihatan kaget dan gugup.
Sorot matanya yang was-was seolah ingin menyuruhku segera pergi.
pelan. "Aku cuma mau minta waktu sebentar aja!" kataku agak
"Mau apa?" Erik setengah berbisik, terlihat gelisah dan
nggak nyaman. "Mumpung nggak ada teman-teman yang lihat, aku cuma
mau nanya..." bisikku.
Erik tengak-tengok sejenak. "Ya udah, cepetan!" desaknya.
"Kenapa orang-orang jadi pada tahu soal kita" Terutama
soal aku"!" tanyaku langsung to the point. Inilah urusanku sekarang!
"Soal kita apa" Kok nanya ke aku"!" kelit Erik.
"Rik, nggak usah pura-pura lah! Pas malam kita berdua
ngomong di taman itu, cuma kita yang ada di situ. Tapi kenapa
kemarin orang-orang bisa pada tahu" Malahan nggak cuma tahu,
tapi mereka juga..." aku tercekat, sulit melanjutkan kata-kataku...
Sedangkan Erik terlihat bingung. Tapi gelagatnya makin
kelihatan kalau dia nggak bisa berpura-pura lagi! Rasanya memang
nggak masuk akal kalau dia sampai nggak tahu! Biarpun aku nggak
berani langsung menuduh, tapi harus kuakui yang ada di kepalaku
adalah kecurigaan bahwa dia memang punya peran di balik itu...!
"Oke... Gini, Mas... Waktu itu kita memang berdua di
taman, kelihatannya buat kita memang begitu. Tapi, waktu aku mau
balik ke kamar malam itu, anak-anak kamar sebelah langsung
nyamperin aku... Malam itu mereka lihat kita!"
162 "Hah"!" aku tersentak. Tapi, menurutku tetap masih ada
yang janggal. "Yaahhh... Melihat sih bisa aja, tapi nggak mungkin
kan mereka dengar semua yang kita bicarakan?"
"Memang, tapi wajar kan mereka berprasangka macammacam melihat kita malam-malam di taman berdua" Aku udah
jelaskan ke mereka, kalo aku nggak ada apa-apa sama kamu... Tapi
mereka tetap memojokkan aku! Aku udah muak, Mas, jadi sasaran
seperti itu!" Aku menatap makin sangsi pada Erik. Kedengarannya, dia
masih berusaha menutupi sesuatu...!
"Mereka memojokkanmu"
pernyataan Erik dengan was-was...
Terus...?" aku mengurai Erik meremas rambutnya seraya membuang nafas dengan
lesu. "Hhhhhhh... Aku harus bilang ke mereka... Kalo aku bukan
gay, dan aku udah nolak kamu..."
Mendengarnya, batinku miris seperti tersengat es yang
sangat beku...! Ya ampun, Tuhan... Ternyata benar! Erik yang
mengatakan semua itu ke mereka!!! Siapa orang yang sudah
kucintai setengah mati ini"!! Ternyata dia sampai hati
melakukannya...! "Rik, perlu ya kamu jelasin sampai segitunya"!" desahku
kecewa. Untuk sekali lagi, terasa menelan sesuatu yang sangat
pahit! "Mas, sebelum itu bukannya orang-orang udah sering
ngomongin soal kamu" Dari dulu udah kelihatan sama orang-orang,
kalo kamu tuh deketin aku! Kamu boleh punya perasaan, tapi aku
juga punya perasaan dan aku nggak suka terus-terusan jadi bahan
gunjingan! Kalo orang neriakin kamu gay, paling nggak kamu
memang seperti itu...! Tapi kalo aku ikut dikira gay juga, kamu pikir
aku senang"! Apa aku nggak berhak menjaga nama baikku sendiri?"
sergah Erik tajam, suaranya lirih tapi seperti sembilu!
Aku mengerti, aku memahami alasannya. Dia hanya ingin
aman. Tapi, dengan cara menjebloskanku ke tengah cemoohan"!
Aku nggak tahu apa aku boleh menyalahkan dia... Aku cuma merasa
sakit hati ini jadi makin pahit! Aku berusaha tetap percaya padanya,
bahwa dia bisa menjaga rahasia ini...! Ternyata...?""
163 "Oke..." akhirnya aku harus mengucapkan itu, meski
rasanya pedih. "Kamu memang berhak membela diri, Rik... Aku
cuma berharap, orang-orang nggak setega itu ngata-ngatain aku..."
Semua sudah jelas. Satu lagi kenyataan pahit yang harus
diterima! Dengan lesu kubalikkan badanku, saatnya pergi. Aku tahu
Erik pasti juga ingin aku lekas pergi. Dia pasti sedang ingin
menikmati waktunya dengan orang lain, bukan denganku. Dan dia
pasti juga nggak mau diganggu!
"Mas..." Erik ternyata masih memanggilku.
Aku menoleh lagi. Erik menatapku seperti memohon sesuatu. "Aku harap
kamu bisa ngerti... Nggak mungkin buatku menerima image yang
sama seperti kamu. Aku sedang dekat dengan seseorang..." ujarnya
dengan sedikit terbata. "Ohh... Cewek tadi ya?" gumamku masam. Aku sudah
menebak sebelumnya, ternyata benar. "Kok aku sampai nggak tahu
ya kalo kamu sedang dekat dengan seseorang" Udah jadian...?"
Erik rupanya bisa sedikit tersenyum. "Baru jadian
semalam. Aku udah lumayan lama dekati dia. Jadi, aku nggak mau
semuanya berantakan, gara-gara gosip soal kita..." terangnya
tampak gundah. "Akhirnya, dari sekian banyak cewek yang ngefans sama
kamu, kamu ambil satu juga..." balasku kecut, sedikit menyindir.
Erik menggeleng. "Dia bukan fans, atau apalah istilahnya.
Jujur saja, aku nggak cari orang yang tergila-gila denganku... Aku
lebih suka dengan orang yang bisa melihatku sebagai... orang yang
sewajarnya, yang juga bisa serba salah..." ucapnya dengan tawa
masam. Tiba-tiba, aku harus tersenyum di sela-sela sakit hatiku.
Batinku seperti tersentil. Karena akulah salah satu orang yang
selama ini telah tergila-gila dengannya...!
Aku melihatnya sekarang! Sorot matanya sesaat tampak
sayu mengawang jauh, seolah menyiratkan bagian dirinya yang jauh
lebih sederhana. Ya, Erik memang cowok yang diberkati dengan fisik
yang nyaris sempurna, dan talenta yang mengagumkan! Tapi dia
164 tetaplah manusia biasa yang punya kelemahan... Bisa salah, bisa
rapuh, bisa mengecewakan...
Seperti halnya diriku sendiri, tergila-gila dengannya adalah
bagian dari kelemahanku. Begitu pula patah hati ini, juga tanda
kelemahanku... Ahhh! Lucunya orang kalau sudah terjerat sesuatu yang
bernama: CINTA! Jadi sudahlah! Menyalahkan atau mencari pembenaran,
aku rasa itu hanya akan menambahi kemunafikan!
"Oke. Goodluck!" ucapku disertai senyum pahit.
Erik termangu menatapku. Seolah
sesuatu, tapi cuma bisa terdiam. Ah, entahlah...
ingin mengucap Kubalikkan badanku. Beranjak dari hadapan Erik. Meniti
langkah menuruni undakan Pura Besakih yang agung dan anggun,
bersama tumit dan lutut letihku.
Erik. Cinta. Secawan madu pahit... Aku akan terus berjalan dengan beban-beban yang tersisa.
Dan semoga aku bisa belajar untuk memaafkannya...
165 Nyanyian di Kintamani Aku turun dari bus bersama rombongan piknik saat sampai
di objek wisata berikutnya, Kintamani. Tepatnya di Penelokan,
katanya ini lokasi paling bagus buat melihat indahnya Danau Batur.
Tapi dari kejauhan pastinya!
Para peserta piknik segera berhamburan ke trotoar,
mencari lokasi pandang yang baik buat menyaksikan Danau Batur.
Danau yang berwarna biru kehijau-hijauan itu kelihatan cukup jauh


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di lembah seberang sana. Anggun, indah dan teduh...! Pesonanya
menghiasi sisi jalan Penelokan, di Kintamani yang sejuk dan sedikit
berkabut. Aku duduk di tanah, takjub memandangi danau di kaki
Gunung Batur itu. "Sendirian aja?" seseorang menghampiri dan menyapaku.
"Hai, Ben. Biasalah. Kamu juga nggak gabung sama yang
lain?" timpalku ringan.
"Biasa juga sih," sahut Ben datar. Dia ikut duduk di
sampingku sambil memetik-metik gitar yang dibawanya.
Tadi kami turun dari bus berbarengan, aku langsung
kemari sedangkan dia mencari kamar kecil. Aku kira habis itu dia
ingin menikmati waktunya sendiri. Ternyata dia menghampiriku
kemari. "Kita rupanya nggak jauh beda ya, suka menyendiri..."
gumamku seraya tertawa ringan. "Sebenarnya baik nggak sih kalo
suka menyendiri?" aku memancing obrolan.
"Baik atau jelek kan tergantung situasinya. Kalo kamu
merasa nggak diterima, mendingan nggak usah sama mereka. Kan
nggak ada gunanya, rame-rame tapi hati nggak tenang?"
"Kamu sendiri, apa sering merasa begitu juga?"
"Sering sih..." gumam Ben singkat.
166 lontarku. "Tapi, bukan berarti kamu nggak butuh teman kan?"
"Ya butuh lah! Tapi telanjur sering jadi outsider. Di mana
saja, sama siapa saja. Asing rasanya...!" ucap Ben pelan. Matanya
memicing dibalik kibasan rambutnya yang dikibarkan angin.
"Kenapa kamu merasa begitu?"
Ben hanya menerawang dengan tatapan kosong.
"Kamu pernah ngelakuin sesuatu, yang bikin kamu merasa
orang lain jadi benci sama kamu...?" tanyaku sedikit hati-hati.
Sebenarnya, aku ingin tahu cerita tentang masalahnya itu.
Dari ucapannya sendiri, bukan mulut orang lain yang tujuannya
cuma bikin gossip...! Ben masih terdiam. Jarinya masih memetik-metik gitarnya.
Matanya kelihatan melamun, kosong. Aku jadi kuatir, jangan-jangan
pertanyaanku sudah menyinggung perasaannya..."
"Aku memang pernah ngelakuin hal bodoh. Tindakan yang
bakal aku benci seumur hidupku...!" ucap Ben akhirnya, setengah
merenung. Sebuah penyesalan... Aku mengangguk pelan. "Menurutku, mencari kelemahan
orang lain itu memang lebih mudah dibanding mengakui kelemahan
sendiri. Kenapa ya, kadang banyak yang lebih suka menghakimi
orang lain daripada introspeksi" Bukannya nggak ada orang yang
sempurna?" gumamku ikut merenung.
Aku dan Ben diam termenung di hadapan Danau Batur
yang teduh dan anggun. Kami punya sisi yang sama sebagai orang
yang terjebak dalam sebuah situasi, di mana kami merasa
terasingkan... Ahhh...! Saatnya mendobrak perasaan itu!
"Pinjam gitarnya dong!" cetusku.
Ben mengulurkan gitarnya padaku. Kupegang gitarnya, lalu
aku mulai memetiknya. Di pinggir jalan Penelokan, di tengah
sejuknya udara pegunungan yang bercampur dengan hangatnya
matahari siang ini... 167 Memainkan lagu sekaligus puisi milik John Denver,
Sunshine On My Shoulders...
Sambil bernyanyi, aku pun meresapi arti lirik itu...!
"Jika aku punya cerita yang bisa kututurkan, akan
kututurkan padamu satu cerita untuk membuatmu tersenyum. Jika
aku punya permohonan yang bisa kusampaikan padamu, akan
kumohonkan sinar mentari sejenak saja..."
Sebuah lirik yang penuh makna!
"Kamu juga bukannya nggak butuh
pertanyaan Ben terselip di akhir nyanyianku.
teman kan?" "Ya pasti butuh lah! Tapi kamu tahu sendiri kan, baru soal
tempat duduk aja aku udah dijauhi!" jawabku sedikit mengeluh.
"Nggak semua kok, yang menolak duduk sama kamu..."
sahut Ben. Dia kini tersenyum sedikit konyol.
Aku pun ikut tersenyum seraya berucap dalam hati, "Aku
tahu kamu menerimaku. Aku percaya itu...!"
"Sini, gantian aku nyanyi!" Ben mengambil gitarnya lagi
dari tanganku. "Yang bisa dinyanyiin bareng dong!" cetusku.
Ben berpikir-pikir sesaat. "Kamu sukanya klasik ya...?"
lontarnya kemudian. "Nggak juga. Pop atau rock juga dengerin kok!"
"Yang ini termasuk klasik bukan?" tanya Ben sambil
memetik gitarnya, memainkan intro.
Lalu dia mengeja liriknya dengan ragu-ragu...
"I don"t have to say a word to you..."
Aku tersenyum lebar mendengar lirik itu!
168 "You seem to know whatever mood I"m going through,
feels as though I"ve known you forever..." susulku ikut menyanyi
dengan percaya diri. Ya, aku tahu lagu karya Andrew Lloyd Webber itu!
Kami pun bernyanyi! Penuh keriangan, dan gairah baru
dalam semangat persahabatan yang telah kami temukan...!
"Amigos para siempre...!"
169 Apel Untuk Monyet! Objek wisata terakhir adalah Sangeh. Dan bus kami baru
saja tiba. Sebelum turun dari bus, lebih dulu panitia membagikan
makan siang kardusan. Ada yang makan di halaman parkir, ada juga
yang makan di dalam bus. Aku pilih makan di luar saja, sekalian
menghirup udara segar! Di pinggir halaman parkir bus, aku duduk-duduk di bawah
pohon sambil siap-siap membuka jatah makan siangku.
"Nggak dimakan nanti aja?" lontar Ben yang mengikutiku.
"Sekarang aja ah, aku udah lapar!" sahutku.
"Aku duluan masuk aja ya?"
"Oke. Nanti aku nyusul!"
Ben menduluiku masuk ke hutan Sangeh. Sedangkan aku
mau mengisi perut dulu. Sudah lapar! Kubuka kardus makan
siangku. Wow...! Ada Sate Lilit lagi! Dan juga ada...
Apel! Hmmm... Jadi ingat "Si Itu"... Si rambut jabrik! Ahhh,
biarin! Saatnya makan ya makan! Ngapain mikir yang lain"
Kulahap makan siangku. Sampai habis! Cuma satu yang
tersisa, buah apel-nya. Buat dimakan nanti saja. Sementara ini
simpan saja dulu di kantong jaket!
Sekarang, saatnya menyusul ke hutan!
Tadi sudah dijelaskan oleh Mas Awan waktu di bus, kalau
masuk ke hutan Sangeh sebaiknya jangan bawa barang-barang
penting yang gampang diserobot, seperti HP, kamera, kalung, dan
benda-benda semacamnya. Kalau memang ingin bawa, harus dijaga
ekstra ketat! Soalnya monyet-monyet di Sangeh terkenal jahil, suka
menyerobot barang milik turis!
170 Sebenarnya aku ingin foto-foto sama monyet, tapi
mendingan nggak usah daripada kameranya malah hilang diserobot!
Kameraku aku tinggal di tas, di dalam bus. Aku bawa HP dan
kusimpan di kantong jaketku bagian dalam, mungkin kalau situasi
aman aku akan ambil foto dengan kamera HP saja. Harus selalu
waspada! Masuk di hutan Sangeh, beneran gokil...! Langsung
disambut monyet-monyet yang berseliweran di mana-mana. Meski
lucu-lucu, tapi bikin bergidik juga! Takut aja kalau-kalau ada yang
agresif. Tapi overall sih, asyik lah buat tontonan!
Aku masuk makin ke dalam. Mencari Ben yang tadi jalan
duluan. Sambil sesekali memperhatikan monyet-monyet yang lagi
gaya. Hahaha" Menghibur! Dan makin ke dalam, monyetnya makin
banyak! Pastinya! Tapi, sudah cukup jauh aku jalan, belum juga ketemu Ben"
Kuhentikan langkahku, aku duduk di sebuah bangku beton
yang agak berlumut. Istirahat, siapa tahu malah nanti Ben lewat
sini... Kuisi nafasku dengan hawa sejuk hutan Sangeh. Udara
hutan rimbun dan menyegarkan! Suara kicau burung bersahutan
dengan suara monyet, dan juga gemerisik daun-daun pepohonan
yang lebat membuat suasana alam ini sangat menentramkan.
Apalagi di beberapa bagian hutan juga tampak berdiri Pura-Pura
yang kelihatan sudah sangat tua. Tapi bangunan-bangunan suci itu
kelihatannya makin tua makin bertambah wibawanya! Membuat
suasana jadi semakin teduh dan damai...!
Sambil duduk menikmati suasana hutan, aku mengamati
pengunjung-pengunjung yang lewat. Sesekali bertegur sapa juga,
karena banyak di antaranya adalah teman-teman satu sekolah.
Meski kadang aku masih merasa ada prasangka mengingat
reputasiku sekarang, tapi aku sadar bahwa aku nggak boleh
membenamkan diri dalam keterasingan. Aku harus besar hati untuk
memulai senyuman, dan harus rendah hati untuk membalas temanteman yang masih mau menyapa. Ya, karena kesombongan hanya
akan mengasingkan diri sendiri!
Tapi, Ben benar-benar nggak nongol batang hidungnya"!
Aku jadi manyun sendiri di sini...!
171 Eiitttt!!! Ada yang menyita perhatianku! Ada satu monyet
yang lain dari pada yang lain! Bagaimana tidak"! Monyet satu itu
berkalung Flashdisk...! Pasti itu Flashdisk hasil menyerobot milik
orang! Kurang ajar tuh monyet!
Tapi lucu juga jadinya! Hahaha... Aku mau ambil gambar
dengan HP-ku, tapi nanti kalau diserobot juga gimana" Ada kalung
Flashdisk dilehernya aja udah menandakan kalau monyet monyong
itu cukup sukses menjahili orang!
Kuraba kantong jaketku bagian dalam, hmmm... HP-ku
masih tersimpan dengan aman! Jangan sampai ketahuan monyet
itu! Oh iya, selain HP di kantongku juga ada...
Apel! Ahaaa...!!! Aku tersenyum sendiri menatap monyet nyentrik di
depanku itu. Monyet itu pun balas nyengir padaku. Dasarrr...! Mau
bergaya di depanku" Awas, gantian aku kerjain kamu!
"Denis, sini Denis...!" kupanggil monyet itu. Hihihi... Nggak
tahu gimana caranya memanggil monyet, yang terpikir malah si
Denis. Mungkin karena sama-sama tengil!
"Ngukk...!" monyet itu cengar-cengir lagi di tempat
duduknya. apelku. "Sini! Mau apel kan?" aku iming-imingi si monyet dengan
Benar dugaanku! Monyet itu langsung bangkit dari
duduknya, berjalan mendekatiku. Tepat di depanku monyet itu
mencoba menggapai apelku...
"Eit...! Ditukar sama Flashdisk-mu dong!" cetusku sambil
menarik lagi apelku. Dan kuulurkan tanganku satunya, isyarat
meminta ke monyet itu. Wahhhh...! Ideku benar-benar jitu! Monyet itu mulai
melepas Flashdisk yang dikalungkan di lehernya! Kuulurkan apelku
lagi, dan monyet itu mengulurkan Flashdisknya...
"Nih, tukeran ya...!" kuberikan apelku, dan kuraih Flashdisk
yang diulurkan monyet itu.
Yesss!!! Deal! Transaksi sukses...!
172 Ahahahaha...! Asyik, dapat Flashdisk! Kuamati benda
digital di tanganku dengan berbinar-binar. Delapan Giga! Lumayan!
Segera kumasukkan Flashdisk baruku ke kantong jaket, sebelum
ketahuan monyet lainnya! Sedangkan monyet yang sudah dapat
apel dariku itu masih nongkrong di depanku, memakan apel itu
sambil cengar-cengir. "Enak kan?" candaku ke mahluk tengil itu.
Beberapa saat lamanya aku masih menikmati waktu
duduk-duduk sendiri, sambil mengamati monyet yang sedang makan
apel di depanku. Hingga akhirnya aku mulai bangkit berdiri, karena
Ben belum nongol juga! Mungkin saja dia malah udah balik ke bus!
"Dahhh...!" aku berpisah dengan Denis, maksudku monyet
tengil itu! Aku melangkah santai, berjalan menikmati suasana hutan.
Sesekali masih tertawa melihat tingkah monyet-monyet yang lucu.
Sampai tanpa terasa, aku sudah di ambang pintu keluar.
Kulihat teman-temanku sebagian masih berada di sekitar
area hutan, belum kembali ke bus. Masih ada sisa waktu buat
persinggahan di Sangeh ini, tapi aku bingung mau ngapain lagi.
Akhirnya aku nongkrong di halaman depan loket, duduk melamun
lagi sendirian. "Bli Dimas, sendirian lagi?" seseorang menyapaku dari
belakang. Aku menoleh. "Ehh, Mas Awan...! Iya nih, tadi sih ada
teman, tapi udah jalan duluan!" sambutku hangat.
"Ohh... Gimana, kesannya selama di Bali?" Mas Awan
bertanya, sambil ikut nongkrong di sebelahku.
"Yaaa... Gimana ya..." Gara-gara ada masalah kemarin,
jadi sempat nggak enjoy juga sih. Tapi sekarang udah lebih baikan
kok. Overall, ada kesannya lah...!" ujarku dengan senyum yakin.
"Hmmm... Jadi gimana kesannya?"
"Semua turis akan bilang hal yang sama kayaknya. Pulau
yang indah! Bali memang kereeenn!" jawabku sambil berkelakar.
"Tapi secara pribadi, aku juga dapat pelajaran yang berharga
selama di sini. Yaahhh... Yang Mas Awan bilang kemarin benar.
Selama ini aku cenderung eksklusif! Nggak mau tahu urusan orang
173 lain. Egois, sombong, seolah semua bisa aku hadapi sendirian. Tapi
begitu masalah besar datang, aku baru sadar kalo aku nggak bisa
menanggung beban itu sendirian..." tuturku pelan, terpekur
setengah merenung. "Setelah aku renungkan, aku sadar bahwa
ternyata hal yang paling membahagiakan itu bukan saat kecerdikan
kita berhasil menutupi setiap rahasia. Tapi justru di saat kita bisa
membagi rahasia itu dengan orang yang bisa menerima kita
sepenuhnya, sehingga itu bukan lagi sebuah rahasia, melainkan
sebuah titik pandang baru untuk saling mengerti satu sama lain..."
Mas Awan mengangguk-angguk. Tersenyum hangat
padaku. Meski tak berkomentar, tapi senyumnya itu terasa
melengkapi semangatku. Aku pun ikut tersenyum lepas.
"Mas Awan punya Facebook?"
"Ada." "Email-nya dong!" selorohku bersemangat.
Mas Awan tersenyum. Lalu dia menyebut alamat emailnya. Kucatat di memo HP-ku.


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sipp...!" gumamku berseri.
Lalu aku teringat sesuatu. Sesuatu yang lagi-lagi akan
terasa berat hari ini... "Nggak kerasa, habis ini kita udah harus pisah ya..."
desahku sedih. "Hahaha... Memangnya mau di sini terus...?" Mas Awan
mencandaiku. "Ya nggak, waktunya aja yang rasanya terlalu cepat! Nanti
kalo aku mau main ke Bali lagi, aku cari Mas Awan aja! Nanti aku
ditemenin keliling Bali ya! Kalo bisa dikenalin juga sama boyfriendnya...!" aku balas bercanda.
Mas Awan tertawa lagi. "Boleh. Tapi aku juga dikenalin
boyfriend-mu ya"!"
"Ya makanya itu, doain lah biar aku dapat boyfriend!"
celetukku. "Memangnya suka yang gimana?" tanya Mas Awan
memancingku. 174 Aku langsung jadi sedikit gugup. Suka cowok yang kayak
gimana?"" Hmmm... Baru kali ini ada orang yang menanyaiku
secara langsung soal tipe boyfriend...!
"Kalo secara fisik sih aku suka yang kulitnya... nggak harus
putih sih, yang penting cerah, bersih! Postur nggak terlalu jomplang
denganku, terus... yahh seperti biasa, cakep. Nyaman dilihat lah...!"
cerocosku pede. Lalu bayanganku terbentur pada sosok... Erik!
Aku segera melanjutkan ucapanku. "Tapi, mau cakep
kayak gimana, kalo nggak baik hati ya jadinya cuma makan hati ya,
Mas...?" timpalku sambil garuk-garuk kepala.
Mas Awan langsung tertawa lagi. "Seringnya, cinta itu
memang awalnya dari mata terus baru main di hati. Tapi, semua
teori soal cinta itu nggak ada yang bisa benar seratus persen lho!
Soalnya teori itu dibangun dari logika, sedangkan kenyataannya
cinta itu sering nggak logis. Iya nggak?"
Aku tercengang. "Iya sih, Mas..." gumamku bengong.
"Makanya, nggak usah terlalu dirancang. Mengalir saja.
Nikmati hidup, bebas tapi juga jangan kebablasan! Setuju?"
"Sippp...!" anggukku seraya tersenyum mantap. "Menurut
Mas Awan, orang yang masih muda seperti aku ini cintanya masih
cinta monyet ya...?"
Mas Awan sedikit mendelik. "Cinta monyet itu yang kayak
gimana memangnya?" "Yaaa... Mungkin yang masih rapuh, masih gampang
berubah..." Yang seharusnya nggak perlu dirasakan terlalu berlarutlarut?" gumamku mengawang, membayangkan dan mulai
mempertanyakan perasaan yang selama ini melandaku, semua
perasaan yang muncul ketika aku menyukai cowok bernama Erik itu.
Yang selama ini telah membuatku terbenam dalam banyak anganangan, dan akhirnya aku pun jatuh juga...!
Mas Awan tersenyum agak geli. "Kalo menurutku, cinta
monyet itu tetap cinta. Ibaratnya buah, katakanlah sebuah apel,
meskipun masih mentah itu tetaplah sebuah apel...! Memang yang
matang lebih manis, makanya sebaiknya cinta itu juga menunjukkan
sikap yang dewasa. Yang sudah matang...!"
175 Apel..."!! Ahhh...! Kenapa harus apel..."!!
Sembari setengah merenung aku bertanya-tanya lagi. "Aku
rasa aku setuju, sebaiknya cinta itu menunjukkan sikap yang
dewasa... Tapi kedewasaan itu sebuah proses kan, Mas?"
"Ya." "Sebelum menjadi dewasa, pasti melewati proses saat
masih mentah kan?" "Betul." "Jadi, apa cinta monyet itu salah?"
"Aku rasa tidak. Karena cinta juga butuh belajar..." ujar
Mas Awan dengan senyum mantap.
Aku pun tersenyum lebar. "Oke. Aku rasa aku setuju
sepenuhnya! Tapi, by the way, kenapa perumpamaannya harus
apel..."!" Mas Awan tampak kikuk sejenak. "Hahaha... Nggak ada
maksud apa-apa. Ada apel di kardus makan siang tadi, jadi itu aja
yang langsung terpikir. Diganti buah yang lain juga nggak apa-apa
kok!" jawabnya sambil nyengir.
"Hahaha... Sebenarnya, kebetulan aku memang suka apel
sih...!" sahutku sedikit tersipu.
"Lagian, kenapa juga pakai istilah cinta monyet" Kenapa
harus monyet?" Mas Awan setengah bergurau.
"Nggak tahu juga!" timpalku menyerah.
Aku dan Mas Awan tertawa berdua. Ringan dan lepas.
Hhhhhh... Keakraban yang pasti akan kurindukan!
"Oh iya, habis ini berarti Mas Awan balik kemana?"
tanyaku. "Emhh... Aku nggak ikut ke bus lagi. Kalian kan langsung
ke Gilimanuk habis ini. Aku tinggal di sini saja, nanti ada yang
jemput kok!" "Ohh... Dijemput sama bironya Mas Awan?"
176 "Biasanya begitu sih. Tapi hari ini kebetulan boyfriend-ku
juga sedang di Badung sini, nanti dia yang jemput aku..." ujar Mas
Awan disertai senyum semu yang menyiratkan rasa senangnya.
"Wahhhh..." aku cuma bisa bergumam kagum. Nggak bisa
berkata-kata, membayangkan betapa bahagianya Mas Awan dengan
boyfriend-nya, bisa menjalani hidup bersama-sama seperti itu...!
"Teman-teman kamu sudah kumpul tuh!" ujar Mas Awan.
Aku memandang ke kerumunan di sekitar bus. Ya,
rombongan piknik sudah mulai berkumpul lagi. Sebentar lagi pasti
berangkat, pulang ke Solo. Petualangan di Bali sudah sampai pada
akhirnya... "Ya udah, Mas... Time to say goodbye...!" ucapku dengan
berat hati. Kuulurkan tanganku.
Mas Awan menjabat tanganku. "Selamat jalan ya...!
Goodluck...!" "Ini pengalaman yang luar biasa!!!" sahutku dengan
mantap. "Matur suksma, Mas...!"
Mas Awan mengangguk seraya menepuk-nepuk bahuku.
Lalu, jabatan tangan kami saling terlepas...
Saatnya berpisah. Aku melangkah dengan berat. Menuju kembali ke bus. Aku
memang kangen rumah, tapi rasanya juga nggak mau mengakhiri
pengalaman di Bali ini! Berat untuk berpisah dengan Mas Awan yang
baik hati dan banyak nasehat itu. Sahabat yang telah kutemukan di
sini, sahabat yang juga sama sepertiku...!
Ahhh... Ada pertemuan, ada perpisahan. Aku harus kuat
hati! Dalam langkah beratku, selintas kudengar selentingan
teman-temanku satu rombongan...
"Flashdisk-nya Erik diserobot monyet tadi!"
"Sukurin aja, udah dikasih tahu jangan bawa-bawa barang
gituan! Hahaha..." Kelakar sambil lalu dari mereka itu, seketika membuatku
terkejut. Erik kehilangan Flashdisk" Direbut monyet..."! Apa janganjangan Flashdisk yang sekarang aku bawa ini..."!
177 Aku nggak langsung menuju ke
menghampiri bus rombongan kelasnya Erik...!
busku. Tapi aku "Eh, Erik ada di dalam nggak" Kalo ada panggilin dong...!"
kutanyai salah satu anak dari rombongan Erik.
Anak itu langsung masuk ke dalam bus. Dan nggak lama
kemudian, Erik muncul turun dari bus.
"Ada apa?" tanya Erik dengan muka nggak asyik begitu
tahu yang mencarinya adalah aku.
"Flashdisk-mu hilang?" tanyaku.
"Iya," jawab Erik agak malas.
"Flashdisk-nya yang ini bukan?" kutunjukkan Flashdisk
yang kubawa. Dan muka Erik langsung bengong, seperti nggak percaya
dengan apa yang kutunjukkan!
"Ehh... Iya... Itu punyaku..." jawab Erik berbinar-binar,
tapi juga sekaligus kikuk.
"Nih!" kuulurkan Flashdisk itu.
Erik masih bengong. Dia menerima benda miliknya itu dari
tanganku dengan agak ragu-ragu. Dia mengamati benda itu lagi
beberapa saat. Lalu mukanya mulai terlihat berseri, tersenyum
senang. "Ya ampun! Apa jadinya kalo sampai nggak balik"! Datadata penting aku simpan di sini, materi-materi buat rekaman bandku...!" terang Erik kedengaran masih agak kikuk. "Makasih banget
ya...!" akhirnya dia mengucapkan itu.
Aku cuma tersenyum mengangguk. Kewajiban sudah
selesai. Jadi, saatnya balik ke busku!
"Mas..." Erik memanggil lagi.
Aku kembali menoleh sejenak.
"Kok kamu bisa dapat Flashdisk-ku?" tanyanya.
Sekarang gantian aku yang agak kikuk...! Bagaimana
menjelaskannya?""
178 "Eemmh... Tadi aku tukar... dengan apel..." jawabku
sedikit terbata. Wajah Erik tampak tercengang tanpa kata-kata!
Tiba-tiba... "Nah loh...! Dimas masih deketin Erik aja"!"
"Hahaha... Ya iyalah! Hombreng!"
Ada teman-teman Erik melempariku dengan cemoohan...!
yang lewat, dan langsung "Hei! Jangan ngata-ngatain dong! Hargai perasaan
orang!!!" Erik langsung mendamprat teman-temannya yang lewat
itu! Dan aku langsung ternganga kaget dibuatnya! Erik...?""
Aku benar-benar tak menyangka dia mau membelaku...! Temantemannya itu cuma tertawa cengengesan sambil masuk ke bus,
seolah tak menggubris sama sekali...!
Erik pun segera menatapku lagi, dengan wajah yang
kelihatan terpukul... "Maaf, Mas, buat semuanya..." ucapnya pelan.
"It"s OK..." ucapku lirih, meninggalkan satu senyum pahit.
Pada akhirnya, Erik menunjukkan bahwa dia masih punya
perasaan. Dia membelaku, dan juga mengucap maaf... Hmmhh...
Memang nggak ada orang yang sempurna, dan kadang situasi
memang nggak mudah dan semua bisa jadi serba salah...
Kutinggalkan Erik. Rasa pahit masih terselip di hati, tapi
pada akhirnya... aku tetap merasa lega. Jauh lebih lega...!
Aku masuk ke busku. Ben sudah stand by di kursinya.
"Tadi aku tungguin di dalam sana!" ujar Ben.
"Aku juga nyariin kamu tadi! Ternyata di sana jalannya
masih bercabang-cabang! Bingung jadinya!" timpalku.
"Sekarang, akhirnya pulang!" gumam Ben.
"Iya..." bisikku pelan.
Mas Awan rupanya masih menyusul lagi naik ke bus. Pasti
dia mau pamitan sama rombongan yang sudah dipandunya ini...!
179 "Selamat siang adik-adik...!" sapa Mas Awan. Dan segera
disambut hangat oleh seluruh penghuni bus! Senyum hangat Tour
Guide itu pun mengembang lebar. "Wahhh... Sedih, karena kita akan
berpisah di sini. Terima kasih sudah berkunjung ke Bali, senang bisa
memandu adik-adik semuanya. Selamat jalan. Bila ada waktu dan
biaya, jangan sungkan berkunjung lagi...!" pesannya dengan sedikit
berkelakar. Anak-anak langsung menyoraki! Beberapa menghambur
dan bersalaman sebagai salam perpisahan. Sebagian ada yang
sedih-sedihan segala, terutama cewek-cewek. Mewek...! Hmmmmm... Rupanya di rombongan ini banyak yang suka juga
dengan Tour Guide yang cakep dan ramah itu...!
Aku cuma tersenyum haru di tempat dudukku. Mas Awan
melirik ke arahku, lalu dia melambai. Kubalas lambaiannya...
Selamat tinggal, Mas Awan...
Mas Awan turun dari bus diiringi keruyuk manja para
cewek. Kupandangi dari jendela, Mas Awan melangkah
meninggalkan area parkir menuju ke seberang. Di sana rupanya
sudah ada yang menantinya, seorang cowok yang sedang duduk
menunggu di atas motor. Itu pasti boyfriend-nya yang sudah datang
menjemput! Mas Awan menghampirinya dengan langkah ringan,
disambut senyuman kekasihnya...
Lalu busku bergerak. Pelan-pelan mulai meninggalkan area
parkir. Melewati tempat Mas Awan berdiri di samping boyfriend-nya.
Dia melambai lagi. Kami membalasnya, melambai dari dalam bus...
Aku berdiri supaya lebih jelas melihatnya. Mas Awan melihatku,
bertemu pandang denganku. Dia tersenyum dan mengangguk
padaku. Kulihat juga dengan jelas boyfriend-nya yang setia itu.
Yaaa, pada saatnya nanti aku pun ingin seperti mereka! Suatu saat,
bahagia...! Akhirnya, harus siap berpisah dengan Bali. Kami telah
meninggalkan objek wisata terakhir kami.
Tapi pasti, semua pengalaman ini nggak akan selesai di
sini! Semangat ini akan terus menyambut waktu-waktu yang datang
ke dalam hidupku. Aku akan terus melangkah ke sana dengan tegar!
"Mata kamu basah?" Ben tiba-tiba melongok ke wajahku.
180 mataku. "Ihhh, nggak...!" jawabku berkilah. Tapi sambil mengusap
"Aneh ya" Di dalam bus AC kok bisa kelilipan?" celetuk Ben
dengan cueknya. Huaaaaaa...!!! Aku lagi terharu nih...!!!
JANGAN DIBECANDAIN DOONG...!!!
181 Pulang Lima hari di Bali. Akhirnya aku pulang...
Sampai di rumah masih agak siang. Sambutan di rumah
adalah sesuatu yang nggak bisa dihindari: pertanyaan pikniknya
asyik apa nggak, mampir kemana saja, jajan apa saja, oleh-olehnya
mana..." Ya, begitulah. Memang sebuah piknik yang berkesan, tapi
namanya orang baru selesai menempuh perjalanan jauh pasti capek!
Mama tetap saja tanya ini itu, dari waktu masih di mobil sampai tiba
di rumah, nyerocos terus!
Huhhh... Letih sekali. Kubongkar muatanku, kuturunkan dari mobil. Aku


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjinjing ranselku masuk ke rumah. Mama membopong plastikplastik yang berisi oleh-oleh, yaahhh... pilihannya bisa dimaklumi!
Papa memasukkan mobil ke garasi, nggak terlalu pusing denganku
seolah aku pulang dengan selamat sudah cukup.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Menikmati suasana rumah
ini lagi, yang sudah kutinggal selama lima hari. Memandangi dari
sudut ke sudut, foto-foto keluarga dan lukisan pemandangan sawah
di dinding bercat biru muda. Menatap ke luar pintu, pada teras yang
berubin coklat muda, menyambung ke taman kecil dengan rumput
hijau... Kenthongan berbentuk lombok merah di beranda, dan juga
lonceng pipa yang berdenting-denting ditiup angin yang sejuk
menerobos masuk melewati pintu...
Pikiranku yang penat terbawa lagi kepada semua kesan
tentang perjalanan di Bali. Pengalaman pahit yang berbalut
pelajaran hidup yang berharga. Aku pun tersenyum di tengah
lamunan. Aku akan merindukannya, dan pasti akan ke sana lagi
suatu saat nanti... Ke Bali yang penuh kesan...!
182 Ahhh... Kendati begitu, suasana rumah dan keluarga yang
cuma lima hari kutinggalkan ini, rupanya aku juga merindukannya!
Rumahku yang memberi rasa tenang dan damai ini...
Tapi, setelah lima hari meninggalkan rumah ini, sepertinya
aku juga akan kehilangan salah satu yang berharga darinya. Aku
nggak akan melihat Denis lagi di sini... Sodara kembarku yang cuma
tinggal sebentar di sini, tapi... kali ini dia membekaskan sesuatu
yang sangat dalam untukku...!
Sebagaimana diriku yang ingin berubah, rumah inipun
nggak akan pernah sama lagi! Aku akan selalu merindukan sodara
kembarku, yang usil dan menyebalkan itu...!
"Nih, minumnya...!" Mama menyodorkan teh yang masih
agak panas. "Tante sama Om udah balik ke Medan ya?" gumamku
sambil meminum tehku. "Iya, tadi pagi," jawab Mama singkat.
"Denis juga ya...?"
"Ya iyalah! Dia udah pamitan sama kamu kan?"
"Udah, tadi pagi pas mau berangkat dia sempat nelpon..."
gumamku lesu. "Berarti udah tahu kan?" Mama sedikit mencibir. "Kenapa"
Kangen ya sama Denis?"
Aku memandangi Mama yang tersenyum-senyum jahil.
"Kapan kita gantian nengok dia ke Medan, Ma?" gumamku
menerawang. Senyum jahil Mama perlahan berubah jadi raut haru yang
lembut. "Kalo kamu libur lagi, kita kesana!" bisik Mama.
Aku tersenyum simpul. Itu cukup menghiburku...
"Istirahat dulu sana!" sahut Papa yang ikut gabung di
ruang tamu. "Mandi dulu sana!" sela Mama.
"Nggak usah, kalo capek ya tidur!" sahut Papa.
ngeyel. "Tapi kalo mandi dulu kan jadi enak tidurnya!" Mama
183 "Nggak usah mandi, nggak bau kok!" cetusku sambil
berdiri. "Habis tidur baru mandi!"
Aku menggeloyor menuju ke tangga di ruang tengah.
Meniti tangga dengan lesu. Lalu segera membuka pintu kamarku.
Diam sejenak, berdiri di muka pintu...
Kulihati kamarku. Tiap-tiap sisi dan sudut. Rapi, seperti
sebelum Denis tinggal di sini. Selama ada Denis, hampir tiap hari
berantakan. Tapi kok aku malah kangen ya..."
Siapa lagi yang bisa kumarahi" Siapa lagi yang bisa kuajak
berantem" Siapa lagi yang bisa kuajak main, ngobrol sambil tiduran,
nyanyi, main gitar..."
Aku melangkah masuk. Kupandangi tempat tidurku. Dua
bantal masih tertata berderet. Denis biasanya tidur di sebelah kiri...
Ahhh... Badanku pun terjatuh, kutaruh kepalaku di atas
bantal yang biasanya dipakai Denis. Kurengkuh juga guling
kesayanganku. Kupejamkan mata.
Entah, berapa lama aku tidur...
Saat terbangun, rupanya sudah malam...
Kulihat jam di mejaku, jam delapan malam. Gara-gara
banyak nyamuk, aku jadi terbangun. Padahal masih capek,
pinginnya tidur sampai pagi! Aku bangkit dengan malas, mencari
obat nyamuk electrik yang biasanya aku pakai buat mengusir
nyamuk...! Tapi, aku sudah mencari sampai kolong-kolong meja dan
tempat tidur, kok nggak ketemu ya" Aku bergegas keluar dari
kamar, turun ke lantai bawah.
"Mbok, tahu obat nyamuk electrik yang biasa aku taruh di
kamar nggak?" tanyaku ke Mbok Marni, pembantu rumahku yang
sedang beres-beres meja setrika.
"Wah, nggak tahu, Mas Dimas. Tapi kalo nggak salah
kemarin Om Frans yang bawa ke kamarnya..." jelas Mbok Marni.
184 Aku langsung menuju ke kamar yang kemarin dipakai Om
Frans sama Tante Hilda. Aku cari obat nyamuk electrik itu di tiap
sudut kamar. Belum ketemu juga! Aku melongok ke bawah tempat
tidur... "Haahhh...?" aku kaget, ada dua koper besar di situ.
Kutarik koper-koper itu! Ehh, anjrit...! Berat banget"!! Dan... ini kan kopernya
Denis kemarin"!! Kok masih ada isinya"!! Kok ada di sini..."!!
OOHHHH...!!! Ini ada yang nggak beres nih...!!!
"MAAAAA...!!!" teriakku sambil menuju ke kamar Mama.
"Eeeeehhh!!! Ini ngapain sih pakai teriak-teriak"!!" Mama
keluar dari kamar. "Hayoo!!! Mama ngaku aja, pasti ada yang
disembunyiin nih"!!" tanpa basa-basi aku langsung nuduh!
lagi "Ihhh...! Apaan sih" Main tuduh sama Mama"!"
"Mama nggak usah pura-pura! Itu kenapa koper-kopernya
Denis masih di sini"! Masih ada isinya lagi!!! Sengaja diumpetin ya"!"
gertakku. Mama langsung kelihatan gugup. Bengong melihatku
berapi-api mengajukan bukti tuduhanku!
"Ini pasti konspirasi nih! Mama ngaku aja lah! Denis
beneran balik ke Medan nggak"!!" aku menyelidik sekaligus ngomelngomel.
"Dimas kok gini sih..."! Kayak anak kecil mainannya
diumpetin..."! Tadi Dimas udah makan belum, Mbok?" Mama masih
mau mbulet, pakai nanya ke Mbok Marni segala.
"Mama nggak usah ngeles ya! Jawab aja kenapa sih"
Denis belum balik ke Medan kan"!" omelku sambil memelototi
Mama, geregetan! Mama akhirnya kelihatan menyerah. Nggak bisa pura-pura
lagi, udah ketahuan, ada buktinya!
"Iya iya! Denis belum balik ke Medan!" akhirnya Mama
mengaku! 185 Aku terkesiap, sedikit demi sedikit mulai berbinar!
"Terus" Kenapa belum balik..."!" rasa penasaranku makin
menanjak. "Yaa... Denis-nya memang nggak mau balik...! Dia pingin
pindah sekolah di sini...!" jawab Mama kikuk.
Aku terperanjat lagi. Pindah sekolah" Beneran..."!
"Lho, kalo mau pindah sekolah bukannya musti ngurusngurus dulu" Memangnya bisa dadakan" Kemarin aja Denis bilang
siap balik ke Medan kok"!" kulikku, masih susah buat percaya!
payah... Mama mendesah. Memandangiku dengan raut agak
"Sebenarnya, Denis itu memang mau dikembaliin ke sini...!
Mama sama Papa yang minta. Cuma, yang nentuin kan tetap Denisnya sendiri, dia mau balik kesini apa nggak... Awalnya sih dia
memang masih ingin tetap tinggal di Medan, dia udah betah di sana.
Tapi baru kemarin, sehari sebelum balik ke Medan, Denis mutusin
mau sekolah di sini...! Memang ribet sih, orang udah telanjur
dipesankan tiket pesawat... Tapi, masa tiket pesawat lebih penting
sih..." Apapun pilihan dia, Denis yang terpenting buat Mama sama
Papa...!" ujar Mama makin lirih, matanya kelihatan hampir berkacakaca. "Dia udah dipisah jauh sejak kecil, dia pingin pulang ke sini
lagi masa masih dihalang-halangi sih..." Ini kan rumah dia juga...
Kita ini satu keluarga, Mama sama Papa pingin kita bisa ngumpul
lagi..." Kini, aku jadi terharu mendengar kata-kata Mama. Aku jadi
nggak bisa ngomong apa-apa sekarang... Kalau aku nggak malu
sama Mama, mungkin aku udah nangis duluan...
"Entah apa yang bikin Denis berubah pikiran, mendadak
seperti itu... Tapi Mama yakin kok, Denis mutusin itu bukan karena
ada yang maksa... Kamu bisa kan, nerima Denis lagi...?" ujar Mama
seraya mengusap rambutku.
Aku hanya mengangguk pelan, dan tersenyum penuh arti
seperti senyum Mama. Jadi akhirnya, keluarga ini berkumpul lagi
seutuhnya...! Ini adalah keputusan yang terbaik untuk kami
semua...! 186 "Tante sama Om pesan, kamu harus bisa jaga adik kamu
baik-baik! Boleh berantem, tapi nggak boleh musuhan...!" tambah
Mama. "Ngapain dijagain" Udah sama-sama gede juga...!" aku
langsung ngeles dengan jaim. Memangnya Denis anak umur sepuluh
tahun apa" "Terus, kalo gitu ngapain koper-kopernya diumpetin
segala"!" tanyaku, mulai jutek lagi.
Mama jadi kikuk lagi, dan tersenyum rada malu. "Yaaa...
Denis ngajak bikin kejutan buat kamu, gitu..." jawab Mama
selintutan seperti anak kecil kepergok bikin ulah!
KEJUTAN...?"" Oooo...! Alasannya se-simple itu ya" Jadi aku sampai
hampir nangis bernostalgia dan membayangkan bakal kangen sama
Denis, ternyata cuma termakan akal-akalan ini"!!
Aku mencoba menahan kejengkelanku. "Berhubung
rencana udah ketahuan, berarti tinggal satu pertanyaan yang harus
Mama jawab dengan jujur...!" tukasku.
Mama bengong menatapku...
"DIMANA DENIS SEKARANG...?""!!!"
187 Reuni "Eh, monyong...! Bangun!"
Bukkk! Aduhhh...! Siapa sih nih" Nimpuk kepala gue"! Nggak
sopan amat ganggu orang tidur"!!
Setengah memicing, mata gue menangkap sosok yang
nggak begitu jelas sedang berkacak pinggang...
"Bangun, dodol...!" orang itu menimpuk lagi pakai bantal.
"Lohhh..." Elu, Mas...?" gue langsung kaget begitu nyadar
mahluk yang nimpukin gue itu si Dimas!
"Ngapain ngumpet di sini"! Mau ngerjain aku kan" Mau
bikin kejutan kan"! Sekarang siapa yang kaget" Siapa"!!" omel
Dimas sambil gebukin pakai bantal lagi.
protes! "Lu ngapain sih uring-uringan kayak gini"!" otomatis gue
"Puas nangkap kamu!!! Pakai ngumpet di rumah Eyang
segala!!! Makan nih kejutan! Nih...!!!"
"Aaaahhhhhhh...!!!" gue langsung berontak mati-matian
waktu Dimas mulai menyergap dan gelitikin pinggang gue.
"Lepasin!!!" "Ogah...!" Dimas malah cekikikan, tambah reseh!
Gue kibas sodara kembar gue itu, lalu gantian gue rajam
dia pakai bantal sampai gelagapan! Sampai bantal habis terlempar
semua ke lantai. Lalu dengan sigap gue terjun dari dipan! Kabur...!!!
"Eittt...! Jangan lari!!!" seru Dimas.
188 Bodo...! Sumpah, paling ogah gue kalau jahilnya si Dimas
kumat! Sambil lari gue menyelamatkan diri ke luar kamar!
BRUUKKKK...!!! "Gusti Allah...!!!" pekik Kakek waktu gue menabraknya di
ruang tengah! Dan... Kraaakkkk!!! Sangkar burung yang sedang dibawa
Kakek terjatuh ke lantai...!
"Astaga! Maaf, Kek...! Nggak sengaja!" gue gelagapan.
"Lho, lho...! Manuk"e mabur...!" seru Kakek sambil nunjuk
burung piaraannya yang lepas dari sangkar!
Aduhhhh...! Tambah runyam!!!
Burung yang lepas itu terbang berkitaran di ruang tengah.
Kakek langsung lari nutupin semua pintu dan jendela!
"Hayooo! Tanggung jawab, ditangkap burungnya!" seru
Kakek murka. "Itu Dimas yang bikin gara-gara!" jelas aja gue nunjuk
Dimas, orang memang dia yang bikin gara-gara!
"Weeee...! Yang nabrak Eyang kan kamu"!" Dimas
langsung ngeles dengan tampang blo"on.
"Kamu berdua! Kalo burungnya gak ketangkap, tak gebuki
kabeh...!!!" Kakek langsung naik pitam, ngambil pentungan
pengganjal pintu...! "Iya iya iya!!!"
Kami berdua nggak bisa menghindar dari murka Kakek
yang mengancam pakai pentungan, terpaksa ngejar terbangnya si
burung yang masih berputar-putar di ruangan!
"Gara-gara lu nih...!"
"Kamu yang nabrak!!!"
"Lu yang usil duluan!"
"Kamu pakai ngumpet di sini"!"
189 Bruaaanggg...! Klonthaanggg...! "Gusti Allah...!!!"
"Dimas tuh, Kek...!"
"Denis, Mbah...!"
"DIAAMMM...!TANGKAP BURUNGNYA!!!"
Siaaaaal...!!! Kok gue bisa ketahuan seehhhh...?"!!!
File e-book ini dibagikan secara cuma-cuma
sebagai fitur dari novel Cowok Rasa Apel.
Terima kasih sudah membaca Cowok Rasa
Apel...! 190 Expected One 8 Shugyosa Samurai Pengembara 5 Perguruan Sejati 3

Cari Blog Ini