Ceritasilat Novel Online

Dear Dylan 4

Dear Dylan Karya Stephanie Zen Bagian 4


nggak tahu deh gimana jadinya. Pas lo di Cengkareng nggak ada wartawan, kan?"
Gue menggeleng. "Ah, iya. Kan nggak ada yang tahu kalau lo balik ke Jakarta dulu. Mereka tahunya
Skillful ada jadwal di Jambi hari ini, jadi mereka kira lo dari Batam langsung ke Jambi."
"Terus... itu si Asep! Kenapa dia bisa kejatuhan kamera?" gue masih penasaran tentang
Asep. "Oh, kemarin di bandara Bang Budy dikerubuti wartawan yang nyariin lo, terus Asep
mau bantu buka jalan buat Bang Budy, taunya malah nabrak cameraman infotainment, nah si
cameraman meleng, kepala Asep kejatuhan kameranya deh. Sampai tadi pagi masih pusing
gitu katanya," jelas Tyo.
Gue geleng-geleng. Kasihan si Asep. Secara nggak langsung kan dia apes begitu garagara gue.
"Mmm... Lan, gue mau nanya nih..."
"Apa" Soal gosip gue sama Regina?" tebak gue. Tyo mengangguk sambil cengengesan.
Aduh, dia yang hampir tiap hari ketemu gue aja, bisa percaya sama infotainment" "Menurut
loooo?" tanya gue balik.
"Ya... gue nggak tahu... makanya gue nanya lo..."
"Yo, Yo... lo kan tahu gue sayang banget sama Alice. Dan gue bulang ke Jakarta kemarin
aja bela-belain untuk ngajak Alice baikan. Gue nggak mungkin lah ada apa-apa sama
Regina!" "Terus, gimana" Lo udah baikan sama Alice?"
Gue tersenyum pahit. "Nggak. Dia malah... mutusin gue."
"Kok bisaaaa?"?" Tyo melongok dari jok depan dengan gaya dramatis bak artis film
India, yang melongok dari balik tembok sebelum adegan tarian.
"Ya gue kan datang untuk ngajak baikan dia yang ngambek karena gue nggak mau
batalin kontrak dan pulang ke Jakarta, tapi pas gue sampai... ternyata dia sudah lihat gosip
gue dan Regina. Dia lihat rekaman gambar waktu gue dicium PIPI sama Regina di Batam,
dan dia beranggapan... gue nyeleweng. Jadilah... gue mau ngajak baikan karena satu masalah,
ehh malah diputusin karena masalah lainnya."
"Wow," gumam Tyo dengan muka takjub. Dasar edan!
"Padahal kan lo tahu sendiri, Yo, yang dicium sama Regina itu bukan cuma gue. Dovan,
Rey, Dudy, bahkan Bang Budy juga dicium sama dia! Dan itu kan cuma cium PIPI! Gue
nggak ngerti kenapa Alice lebih percaya infotainment daripada gue..."
Mungkin muka gue udah sama pahitnya seperti orang yang mau bunuh diri, jadi Tyo
nggak berlagak memunculkan ekspresi ajaib lagi. Dia duduk diam di kursinya, nggak
mengocehkan hal-hal gila lagi.
Gue menatap ke luar jendela, ke lalu lintas kota Jambi yang lengang. Langit mendung,
banyak awan hitam berarak. Mungkin nanti malam bakal hujan"
Langit mendung itu membuat gue teringat lagu lama Baim.
Kian hari kulihat awan menghitam
Tak sebiru dahulu, Sewaktu kau di sisiku... Yah... sekarang gue ngerti apa yang dimaksud Baim di lagu itu.
*** Dugaan gue bener, malam ini hujan. Hujan lebat, plus angin kencang. Unfortunately, the
show must go on! Dan gue untungnya cukup bijaksana untuk pakai jaket di atas kaus gue.
Angin di sini bikin menggigil!
Para personel opening band kami baru saja turun dari panggung, dan gue kasihan banget
melihat vokalisnya gemetar kedinginan. Ya ampun, dia mikir nggak sih waktu pakai kaus you
can see itu" Dia nggak tahu apa bakal manggung dalam kondisi hujan lebat begini"
"Dan kita sambut... SKILLFUL!"
Ups, gue nggak bisa lebih lama lagi ngelihatin vokalis opening band itu. Saatnya naik
panggung! Setengah berlari, gue naik ke panggung, dan kaget melihat hujan ternyata lebih deras
daripada yang gue rasakan di backstage tadi.
"Selamat malam, Jambi!" Gue menyapa lautan penonton yang bersorak-sorai membalas
sapaan gue di bawah hujan lebat.
Gue menyanyikan lagu Akhir Penantian yang bertempo cepat tanpa kesalahan. Semua
liriknya seakan terekam jelas di kepala gue, mengalir lancar melalui kata-kata.
Bahkan sembilan lagu berikutnya pun gue selesaikan dengan benar. Nggak ada salah
lirik sedikit pun, man! Dan, menurut gue nih, kemampuan gue berkomunikasi dengan audiens
malam ini juga nggak parah-parah amat!
Tapi di lagu kesebelas, gue mematung di bibir panggung saat melihat batu-batu
melayang di udara. Gue kehilangan kata-kata... yang sebelumnya mengalir sangat lancar dari
mulut gue... Ya Tuhan, kerusuhan... LAGI?""
"Dylan, ke sini! Dylaaannn!"
Gue menoleh, melihat Bang Budy memanggil-manggil gue dari belakang panggung
dengan nada memerintah. Tapi kaki gue seakan terpaku di tempat, nggak bisa bergerak...
Seperti d?j? vu, gue melihat pagar pembatas antara penonton dan panggung tertabrak
hingga roboh... Gue melihat batu-batu dilemparkan... Gue melihat orang-orang saling
mendorong dan memukul... Teriakan dan makian bergaung di udara...
Tapi kaki gue masih terpaku di tempat... nggak bisa digerakkan. Lidah gue kelu, dan
napas gue tertahan, seolah kejadian yang ada di depan gue membuat seluruh tubuh gue mati
rasa, membuat seluruh organ tubuh gue nggak berfungsi sebagaimana mestinya...
CTAAAASSSSS! DHAARRRRR! Gue dengan panik menoleh ke bagian kiri panggung, tepat sebuah ledakan baru saja
terjadi. Kobaran kecil api menyala di sana, hanya beberapa saat karena langsung tersiram
hujan lebat yang turun, tapi gelombang panik yang besar melanda gue. Dan seluruh lampu
penerangan mendadak padam, menyisakan kegelapan. Gue merasa mual... ingin muntah...
Oh Tuhan, saya harus melakukan apa"
Seseorang tiba-tiba menarik tangan gue, dan menuntun gue menuruni panggung dengan
bantuan sinar lampu kecil yang ternyata dari monitor HP-nya. Dari gumam jengkel dan
kemarahan yang keluar dari mulutnya, gue tahu orang itu Bang Budy.
*** "Kamu ini bagaimana sih, Dylan"! Abang kan sudah panggil kamu, suruh kamu cepat turun!
Kenapa kamu malah diam saja di atas panggung?"
Gue diam saja mendengar Bang Budy memarahi gue. Bukan karena gue terima dimarahi,
tapi karena... horor kerusuhan itu masih berputar-putar di depan mata, seolah membuntuti
gue, bahkan saat gue sudah aman di kamar hotel sekalipun, di tengah seluruh personel dan
kru Skillful. "Ledakan tadi itu... apa?" tanya gue dengan suara serak yang nggak gue kenali.
"Ada peralatan sound yang basah kena hujan, terus korslet... meledak," jawab seseorang.
Gue mendongak, dan melihat Asep lah yang menjawab, dia masih pakai koyo di kedua
pelipisnya, mungkin masih pusing akibat kejatuhan kamera TV kemarin. Ekspresinya nggak
jauh beda dengan orang-orang lain di ruangan ini. Ketakutan... khawatir...
"Mati lampu tadi karena sekringnya putus. Pengaman supaya korslet nggak merambat ke
peralatan sound yang lain. Bisa bahaya kalau itu terjadi," tambah Tyo.
Gue merasakan gelombang kepanikan itu mereda sedikit. Tadinya gue berpikir ledakan
itu diakibatkan orang-orang yang terlibat kerusukan. Tadinya gue berpikir... entahlah,
mungkin ada orang-orang yang sengaja ingin merusuh di konser Skillful" Mungkin ada yang
tak suka pada kami, sehingga membuat semua kerusuhan ini terjadi... membuat nama Skillful
jadi jelek... Tapi mendengar penjelasan Asep dan Tyo, juga laporan polisi di Medan dan Pekanbaru
yang menyatakan tak ada unsur kesengajaan pada kerusuhan yang terjadi di konser-konser
kami, kecurigaan gue mereda. Polisi pasti bisa mencium kalau kerusuhan ini benar dirancang
oleh pihak tertentu. Mereka pasti akan tahu.
Mungkin gue aja yang terlalu parno dan stres karena nggak pernah menghadapi masalah
sebanyak ini bertubi-tubi.
Dan Alice yang memutuskan gue ternyata sanggup membuat gue lupa akan rusuh dua
konser yang terjadi sebelumnya. Tadi sebelum naik panggung, gue sama sekali nggak
khawatir akan terjadi rusuh di konser... gue sama sekali nggak ingat untuk khawatir... yang
ada di pikiran gue hanya Alice... Alice...
Belum pernah gue kepingin banget bicara sama dia... berbagi... seperti saat ini.
Dia benar, mungkin seharusnya gue membagi semua masalah ini dengan dia dulu.
Mungkin gue nggak seharusnya menyimpan sendiri semua masalah dan bertingkah seperti
anak kecil dengan mematikan HP supaya nggak ada yang menghubungi. Mungkin gue
seharusnya menganggap serius apa yang Alice tulis di SMS 10-things-I-hate-about-you-nya
itu. Seharusnya gue bisa melihat apa yang dia benci dari diri gue, dan memperbaiki diri,
bukan hanya tertawa dan menganggapnya sekadar SMS...
Seandainya gue melakukan itu, mungkin gue nggak akan kehilangan dia....
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat.
GOSIP ITU BENAR... "ALICE! Alice! Cepat ke sini! Cepat!"
Aku melonjak dari kursi yang kududuki begitu mendengar teriakan Mama. Secepat kilat aku
menghambur ke ruang keluarga. Kenapa sih Mama teriak-teriak" Toh ini masih jam 07.00 juga,
nggak bakal terlambat ke sekolah kok, kan sekolahku masuk jam 08.00.
Aneh, kok Mama berdiri sambil menatap TV gitu sih"
"Ada apa, Ma?" "Itu... coba lihat..." Tangan Mama menuding layar TV, dan aku merasakan lagi perasaan
seolah kakiku dijungkirbalikkan di udara, karena melihat TV menayangkan berita rusuhnya
konser Skillful. Bukan di Medan atau Pekanbaru, tapi di... Jambi.
Kerusuhan LAGI" Aku menelan ludah dengan susah payah. Napasku mendadak sesak.
Kenapa jadi begini?""
"Konser band Skillful yang dilaksanakan di kota Jambi semalam berakhir rusuh. Satu orang meninggal
akibat tersengat listrik dari salah satu peralatan sound yang dipasang di bibir panggung. Pagar pembatas
antara penonton dan panggung yang roboh, ditambah hujan lebat yang turun semalam, mengakibatkan
kerusuhan semakin tak terkendali. Sebelum ini, konser band Skillful yang diselenggarakan di kota Medan dan
Pekanbaru juga berakhir dengan kerusuhan."
Aku makin sesak napas mendengar apa yang baru saja diucapkan pembaca berita pagi itu. Ya
Tuhan... ada korban jiwa"
Layar TV menampilkan rekaman gambar saat konser, dan aku terpaku melihat banyak
penonton yang terlibat baku pukul. Lalu kamera menyorot Dylan yang berdiri di panggung.
Wajahnya pucat. Dan aku melihat asap membumbung dari satu sisi panggung. Ada kobaran kecil
api menyala di sana. Apa itu peralatan sound yang menyetrum seorang penonton hingga tewas"
Aku merasakan sebuah tangan di pundakku, dan melihat Mama menatapku dengan khawatir.
Mendadak aku tahu apa yang harus kulakukan, dan berlari secepat kilat kembali ke kamar,
mencari HP-ku. Aku harus menelepon Dylan! Aku harus tahu bagaimana keadaannya! Aku nggak peduli aku
sudah putus sama dia atau dia benar-benar menyeleweng sama Regina Helmy. Aku hanya perlu
tahu bagaimana kondisinya sekarang...
Tuuutt... Dylan, angkat dong...
Tuuutt... Dylan, kamu di mana" Ayo angkat teleponnya...
Tuuutt... "Halo?"
Aku berdiri terpaku di tempatku mendengar suara yang menjawab teleponku itu. Suara
perempuan... dan jelas bukan suara Tante Ana atau Mbak Vita. Samar-samar aku mengenali
suaranya... Regina Helmy" Aku langsung memutuskan sambungan telepon, lupa pada niatku semula untuk mencari
tahu bagaimana keadaan Dylan. Jadi Regina ada bersama Dylan" Padahal Dylan pasti belum
pulang ke Jakarta... Dylan pasti masih di Jambi karena dia konser di sana semalam... dan Regina
ada bersamanya" Duniaku benar-benar runtuh, bukan sekadar goncangan hebat yang kurasakan saat aku
melihat gambar Dylan dan Regina di infotainment beberapa hari lalu.
Gosip itu benar... Dylan memang mengkhianatiku dengan Regina Helmy....
REGINA GUE nggak lagi mendengar apa yang diocehkan Bang Budy semalam, karena mendadak
badan gue meriang, dan tau-tau saat bangun, gue mendapati diri gue ada di ranjang,
diselimuti dan dikompres dengan kain dingin. Sinar matahari masuk dari jendela yang
tirainya terbuka. Siapa yang mengompres gue" Masa Dovan sih"
"Eh, Dylan, udah bangun?"
Mata gue langsung terbuka lebar, dan melotot melihat orang yang barusan mengajak gue
bicara. Regina?"" Ngapain dia di sini?""
"Ngapain lo di sini?" tanya gue bingung, tapi sedetik kemudian gue langsung tutup mulut
karena merasakan mulut gue yang asam. Hii... sebaiknya gue sikat gigi!
Gue berlari ke kamar mandi, mencuci muka dan menyikat gigi secepat kilat.
"Kenapa sih, pertanyaan lo selalu kayak gitu kalau ketemu gue?" Gue mendengar Regina
berbicara dari balik pintu kamar mandi. ?"Ngapain lo di sini?", seolah lo nggak suka melihat
gue..." Gue mengelap muka dengan handuk hotel, menyisir sedikit rambut yang berantakan
dengan jari, dan keluar dari kamar mandi. Gue langsung menghadapi tatapan Regina.
Duh... gue beneran nggak tahu nih kenapa anak ini ada di sini! Dia nggak tahu apa dia
lagi digosipin sama gue" Wartawan bakal berpesta pora kalau tahu dia ada di kamar hotel
gue, walaupun gue menyentuh ujung jarinya aja nggak!
"Bukan gitu, Gin..." Akhirnya gue bicara juga, dan dengan lega menyadari napas gue
sudah beraroma mint pasta gigi, bukannya asam seperti tadi. "Gue kaget aja lihat lo di sini...
di kamar gue... Yang lainnya... eh... di mana" Dan lo bukannya lagi syuting iklan di
Singapura?" Regina menggeleng, ekspresinya sulit gue jelaskan apa artinya. "Gue sudah selesai
syuting. Kemarin malam gue dapat kabar konser lo rusuh lagi, jadi... gue secepatnya terbang
ke sini. Gue khawatir sama lo, Lan..."
Gue mengernyit. Anak ini kelihatannya benar-benar tulus. "Tapi... yah, maksud gue...
kenapa lo bisa ada di kamar gue" Yang lain mana" Dovan ke mana" Bang Budy?"
"Mereka lagi breakfast. Tadi gue ketemu mereka di bawah waktu datang nyariin lo.
Terus Dovan nganter gue ke sini, katanya lo demam, jadi dia nitipin lo ke gue sebentar karena
mau sarapan dulu. Dovan bilang, semalaman lo mengigau... dan panas lo tinggi. Mereka
sampai panggil dokter, tapi dokter bilang, lo cuma demam biasa, mungkin karena kehujanan
dalam perjalanan pulang dari konser semalam."
Kepala gue tiba-tiba berdenyut, jadi gue merebahkan diri di ranjang lagi, sementara
Regina meletakkan kain dingin di kepala gue.
"Udah, lo istirahat aja dulu, biar cepet sembuh."
"Tapi gue harus beres-beres... nanti malam Skillful konser di Palembang. Habis
breakfast, kami harus langsung ke bandara."
Regina terlihat kaget mendengar omongan gue, lalu dia menggeleng. "Kalian nggak akan
ke Palembang." "Kenapa?" tanya gue nggak ngerti. Apa konser kami ditunda"
"Lo belum tahu?" tanya Regina. Gue menggeleng. "Semalam... waktu konser kalian, ada
penonton yang meninggal. Lalu... Polda Sumatera Selatan mencabut izin konser kalian di
Palembang hari ini."
Kalau ada yang bilang dinosaurus hidup lagi pun, gue nggak bakal sekaget ini.
Semalam... ada penonton yang meninggal" Dan Skillful dilarang menggelar konser?""
"Lo nggak bercanda, kan, Gin" Ini bukan lelucon karena gue bakal masuk MTV Gokil
atau apa, kan?" Regina menggeleng. "Nggak, gue nggak bercanda. Gue juga baru tahu tadi, diberitahu
Asep. Katanya, tadi malam Bang Budy dihubungi utusan dari Polda Sumsel, yang
memberitahukan bahwa izin show kalian di Palembang untuk hari ini sudah dicabut. Demi
alasan keamanan, katanya. Nngg... kalian juga diimbau untuk nggak menggelar konser
sementara ini." "Tapi... kenapa?" tanya gue tergagap. Marah, kecewa, bingung, sedih, panik, frustrasi,
semuanya campur aduk di dalam diri gue. "Bukan maunya Skillful ada kerusuhan! Bukan
mau gue konser gue kacau! Gue juga kepingin konser yang tenang, yang nggak ada pukulpukulannya... lempar-lemparan batunya..."
"Gue tahu, Lan, gue tahu..." Regina menyuruh gue berbaring lagi, dan menyelimuti gue.
Tapi semua ini... demi kebaikan kalian juga, kan" Hanya sementara, sampai semuanya reda,
nggak selamanya kok..."
"Terus... penonton yang meninggal itu... gimana?"
"Gue nggak tahu. Asep cuma bilang gitu aja, tapi nggak kasih tahu meninggalnya
kenapa." Gue menghela napas dalam-dalam. Rasanya seisi dunia baru aja runtuh menimpa gue.
Kepala gue berputar dalam denyutnya, dan jantung gue berdebar kencang, serasa ingin keluar
dari rongganya. Larangan menggelar konser, walau untuk sementara, bagi gue sudah
merupakan akhir karier gue... Karier yang gue bangun dengan susah payah dari jadi penyanyi
kafe... "Udah, jangan dipikirin dulu, Lan. Yang penting sekarang lo sehat dulu aja." Regina
menepuk-nepuk bahu gue, lalu beranjak ke sofa di sudut ruangan, membaca majalah di sana.
Kenapa Regina yang ada di sini merawat gue" Menenangkan gue" Kenapa bukan Alice"
Gue meraih HP gue dari nakas di samping tempat tidur, setengah berharap ada telepon
atau SMS dari Alice di sana, tapi ternyata sama sekali nggak ada...
"Gin..." "Ya?" "Lo nggak takut datang ke sini?"
"Kenapa harus takut?" tanyanya dengan kening mengernyit.
"Lo nggak tahu... kalau kita lagi digosipin?"
Regina terlihat kaget luar biasa. "Hah" Yang bener" Kok bisa" Gue nggak tahu..."
"Yah... mungkin lo nggak tahu karena beritanya beredar waktu lo di Singapura. Ada
wartawan yang ngambil gambar lo waktu cipika-cipiki gue di Batam kemarin, dan pasang
gosip ngawur di infotainment..."
"Oh my God!" Regina menutup mulutnya dengan tangan, lalu menggeleng. "Terus...


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus gimana" Cewek lo... cewek lo gimana" Lo udah jelasin ke dia, kan?"
Gue menggeleng, pahit. "Dia mutusin gue."
Regina melongo. Baru kali ini gue melihat dia bengong begitu. "Bener, Lan" Ya
ampun... gue jadi merasa nggak enak... Gue..."
"Nggak papa, bukan salah lo kok. Mungkin Alice memang sudah kecewa dan marah
sama gue dari sebelum gosip itu ada, yang kemarin itu puncaknya aja..."
Regina meletakkan majalahnya di sofa, dan mendekati gue lagi. "Lan, I"m so sorry... gue
nggak bermaksud..." "Nggak papa... bukan salah lo, Gin... Gue juga nggak ngerti kenapa akhir-akhir ini gue
bisa dikorek habis sama infotainment... Setelah ini juga pasti infotainment penuh berita
tentang Skillful lagi..."
Memikirkan kemungkinan itu, kepala gue berdenyut hebat lagi. Gue rasa gue memang
sebaiknya istirahat. Mungkin nggak menggelar konser sementara akan ada bagusnya untuk
gue. *** "Ma?" Gue melongok ke dalam kamar Mama dengan perasaan khawatir. Gue baru saja
sampai dari bandara, dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Nggak ada mobil Papa,
mobil Tora, atau mobil para nantulang gue yang beberapa bulan ini dengan setia ngejogrok di
depan rumah. Rumah gue senyap, nggak ada suara sedikit pun. Saking putus asanya, dalam
hati gue berharap akan mendengar suara Nantulang Uci dan Nantulang Maria
memperdebatkan model sanggul macam apa yang akan mereka gunakan saat pesta nanti.
Tapi nggak ada suara sedikit pun. Ke mana semua orang"
"Dylan!" pekik seseorang. Gue sontak menoleh, dan melihat Mama menghambur
memeluk gue. "Mama lihat berita... konsermu rusuh lagi..."
Gue terdiam. Mendengar Mama mengucapkan hal itu lagi membuat gue merasa semakin
yakin karier gue sudah berantakan.
"Kamu nggak kenapa-napa, kan" Kamu nggak papa?" Mama memegang kedua pipi gue,
seolah berusaha memastikan gue nggak lecet sedikit pun.
"Aku baik-baik aja, Ma." Bohong. Memang secara fisik gue nggak kenapa-napa, cuma
masih agak pusing dan meriang karena demam kemarin, tapi di dalam diri gue, semuanya
berantakan... "Mama khawatir sekali..." Mama memeluk gue lagi, tapi kali ini sambil menangis.
Gue menyumpah-nyumpah dalam hati. Kenapa gue sering banget membuat orang-orang
yang gue sayangi khawatir" Kenapa gue lebih banyak menyusahkan daripada membuat
mereka bahagia" Kenapa gue nggak bisa seperti Tora, nggak pernah bikin Mama menangis"
Abang gue memang slengean dan suka usil, tapi dia nggak pernah sekali pun membuat Mama
seperti ini, sementara gue..."
Belum pernah gue sebegini bencinya pada diri sendiri seperti sekarang.
*** Infotainment kunyuukk! Gue memencet tombol power pada remote TV, dan berjalan gontai menuju kulkas.
Berani-beraninya infotainment tadi menjuluki Skillful "band rusuh?" Pakai minta pendapat
paranormal pula apa konser kami berikutnya bakal rusuh lagi! Gila! Kenapa paranormal itu
nggak dikaryakan untuk hal yang lebih berguna saja" Memberi perkiraan kapan pemerintah
kita akan berhasil menemukan cara untuk menghentikan semburan Lumpur Lapindo,
misalnya"! Dasar kurang kerjaan! Gue mengambil sebotol air dingin dari kulkas, dan menenggak isinya langsung dari
botol. Setelah itu, gue bingung mau melakukan apa lagi. Gue sudah ilfil sama TV, karena
pasti munculnya berita-berita tentang Skillful dan konser kami yang rusuh lagi, dan gue juga
nggak bisa ke mana-mana karena malas mendengar omongan orang kalau berpapasan dengan
gue. Yah... beginilah kondisi gue setelah pulang dari Jambi... jadi pengangguran! Jadwal
konser yang tadinya bertumpuk, semuanya batal. Ada yang karena izin kami manggung
dicabut oleh pihak berwajib (demi alasan keamanan, coba! Kayak Skillful teroris aja!), ada
yang karena dibatalkan pihak sponsor... tapi sebagian besar adalah atas keputusan bersama
antara manajemen dan klien. Lagi-lagi karena alasan keamanan. Gue nggak tahu deh harus
gimana lagi... Akhirnya gue punya ide untuk main ke kamar Tora. Dia lagi di kantor, tapi kamarnya
nggak pernah dikunci, jadi gue bakal bisa ngapain kek di sana. Merenung atau apalah.
Gue membuka pintu kamar Tora, dan terkesiap.
Kamar Tora bersih. Nggak ada lagi gambar-gambar Bon Jovi, band favoritnya, yang
menempel di dinding. Meja kerjanya juga sudah beres, nggak ada lagi tumpukan buku Robert
Kiyosaki-nya (gue sebenernya heran juga, kenapa anak slengean macam Tora bisa demen
baca buku-buku Robert Kiyosaki"), atau kertas-kertas laporan perusahaan yang berserakan di
meja. Semuanya bersih. Kenapa begini?""
"Nggak terasa ya, sebentar lagi abangmu nggak akan tinggal sama kita lagi..."
Gue menoleh, dan melihat Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar
Tora dengan penuh perasaan. Gue langsung sadar... kamar Tora bersih karena dia sudah
bersiap-siap untuk pindah ke rumah barunya setelah menikah nanti. Gue tahu, dia sudah
menyelesaikan urusan KPR rumah itu dengan bank beberapa bulan lalu, dan katanya
sekarang rumah itu sedang dicat ulang. Memang nggak jauh dari sini, sekitar lima belas menit
kalau naik mobil, tapi dalam hati gue merasa sedih.
Nggak akan ada lagi Tora yang suka usil menyembunyikan kopi instan gue di pagi buta
saat gue butuh asupan kafein menjelang berangkat tur entah ke mana.
Nggak akan ada lagi Tora yang meledek gue saat pulang ke rumah dengan meneriakkan
"Ma... ada artis datang nih!"
Nggak akan ada lagi Tora yang bisa gue ajak main PS sampai tengah malam...
Gue menggeleng. Nggak, Tora akan selalu tetap ada, hanya nggak di rumah ini aja. Gue
juga bisa menginap di rumahnya nanti kalau gue mau. Seharusnya gue bangga, abang gue
akhirnya menemukan tulang rusuknya, dan bisa memulai hidup baru.
Tapi selama ini gue nggak pernah membayangkan tinggal terpisah dari Tora... Dua puluh
lima tahun dalam hidup gue, gue habiskan bersama dia, tapi sekarang mendadak dia akan
punya kehidupan sendiri"
"Sedih, ya?" tanya Mama saat melihat ekspresi gue. Gue mengangguk pelan. Gue baru
sadar, hampir semua yang gue sayangi sudah pergi meninggalkan gue. Alice, karier gue,
jadwal gue bersama Skillful, Tora... entah apa atau siapa lagi nanti.
"Mama lebih lagi, Dylan. Sekarang Tora, beberapa tahun lagi kamu. Nanti hanya akan
tinggal Mama dan Papa saja di sini."
"Aku nggak akan ke mana-mana, Ma..."
Gue mengecup pipi Mama, merasakan kulit wajah ibu yang melahirkan dan
membesarkan gue menempel di pipi. Gue sama sekali nggak punya niat untuk merit
sekarang. Mau sama siapa, coba" Setelah Alice mutusin gue, rasanya gue nggak punya niat
untuk cari cewek lagi. Nggak. Nggak sekarang, at least. Hidup gue masih berantakan... karier gue masih
berantakan... hati gue masih berantakan...
*** Gue mempercepat langkah karena melihat Regina sudah duduk menunggu gue di dalam
Starbucks. Dia memandang ke luar jendela, mungkin sudah bete karena gue ngaret.
Yeah, sekali lagi gue harus mengambinghitamkan lalu lintas Jakarta yang semakin hari
semakin parah macetnya itu.
"Hai, Gin. Sori telat. Biasa, macet." Gue duduk di kursi di depan Regina, yang
menyambut dengan senyum lebarnya.
Regina cantik banget siang ini. Dia pakai semacam, apa sih... kardigan dan dalaman
berwarna kuning cerah. Chic and fresh, as usual. Dan satu juga yang gue suka dari dia, makeup nya selalu natural, nggak pernah menor kayak model-model lainnya. Mungkin karena dia
udah cantik dari sononya kali, jadi nggak perlu didempul segala macam.
"Nggak papa. Gue juga baru datang kok." Regina menunjuk cangkir minumannya yang
masih mengepulkan uap panas, menunjukkan dia belum lama menunggu.
"Jadi... ada apa?" tanya gue. Kemarin malam Regina tiba-tiba menelepon HP gue, bilang
dapat nomor HP gue dari Asep, dan ngajak ketemuan. Karena gue sedang jadi pengangguran
yang mati gaya di rumah, gue oke-oke aja.
Dan gue juga nggak peduli kalau ada wartawan yang merekam gambar gue dengan
Regina di sini. Sekarang gue sudah sebodo amatlah sama wartawan. Mungkin mereka butuh
berita untuk infotainment mereka, ya sudahlah... Mungkin gue dan Alice putus juga ada
baiknya, karena gue sudah terlalu banyak menyakiti dia. Mungkin sudah saatnya Alice bebas
menikmati hidupnya lagi. "Mmm... nggak papa sih, gue pengin ngobrol aja sama lo, nggak boleh?" jawab Regina,
sementara gue terbengong-bengong sampai dongo.
Dulu, sebelum jadi vokalis Skillful, gue nggak pernah nyangka cewek-cewek bakal
datang dan menempel seolah gue ini magnet. Suer deh, seumur hidup gue cuma pernah
pedekate duluan sama dua cewek, Karin dan Alice. Sisanya" Selalu cewek-cewek itu yang
pedekate duluan ke gue. Bukannya gue GR atau apa lho, tapi kenyataannya emang begitu.
Apa sekarang Regina sedang melakukan hal yang sama"
*** Gue harus mengakui gue salah.
Regina bukan cuma nggak berotak kosong, enak diajak ngobrol, perhatian, dan baik
banget, tapi dia juga nggak egois. Sepanjang gue ngobrol sama dia tadi, dia lebih banyak
menanyakan tentang diri gue, bukannya memfokuskan pembicaraan pada dirinya. Jarang
banget gue ketemu cewek yang kayak gitu. Kebanyakan cewek yan ggue kenal selalu
mengoceh tentang diri mereka sendiri. Kalau menanyakan sesuatu tentang gue pun hanya
untuk basa-basi. Regina is... different. Ada sesuatu yang membuat gue merasa respek sama dia: perhatian
yang dia berikan ke gue waktu di Jambi kemarin. Gue nggak pernah membayangkan ada
kenalan gue yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk tahu keadaan gue. Alice bahkan
nggak menelepon atau kirim SMS untuk menanyakan kabar gue saat itu. Dia nggak peduli
lagi sama gue. Tapi Regina datang... menghibur gue, mengajak gue ngobrol, merawat gue.
Mungkin sejak itulah gue respek sama dia, dan menyadari dia bukan cuma top model
berotak kosong yang hanya memikirkan bagaimana cara untuk membuat tubuhnya lebih
kerempeng lagi. Yah, sebelum ini, gue bisa dibilang nggak kenal Regina. Satu-satunya
momen ketika kami benar-benar ketemu dan mengobrol adalah waktu dia jadi model video
klip Skillful beberapa bulan lalu. Lucu, waktu itu gue jengkel banget sama dia karena dia
harus take adegan menampar gue berkali-kali. Gue juga jengah karena dia suka pegangpegang, sok akrab. Tapi tadi Regina cerita, dia memang orang yang... apa ya istilahnya"
Pokoknya mudah memeluk dan menyentuh orang. Bukan dengan maksud tertentu, hanya
karena ingin saja. Baru sekarang gue tahu, it"s fun being with her. Gue bisa untuk sementara melupakan
masalah karier gue yang amburadul. Melupakan masalah hati gue yang amburadul juga.
Dengan Regina, gue bisa cerita apa saja, dan dia selalu memberikan tanggapan yang oke. Dia
bahkan mengusulkan supaya gue meneruskan kuliah dulu sementara Skillful "vakum"
manggung. Iya juga ya" Gue kok nggak pernah mikir tentang itu sebelumnya" Gue sendiri nggak
tahu sampai kapan Skillful akan seperti ini. Nggak jelas mau diapakan, nggak jelas akan
sampai kapan menganggur...
Apakah reputasi Skillful sudah begitu buruknya"
Kalau iya, mungkin ada baiknya gue benar-benar mempertimbangkan saran Regina
untuk melanjutkan kuliah.
By the way, she got her bachelor degree from Singapore last year, in International
Business major. Waow. Padahal dia lebih muda dari gue, tapi sudah lulus kuliah. Dari luar
negeri, lagi. Kayaknya gue bener-bener harus mengubah pemikiran gue kalau cewek model
itu berotak kosong. Gue jadi makin kagum sama dia.
*** "Mau nonton apa nih?" tanya gue sambil melihat poster-poster film yang dipasang di 21.
Hmm... ada Get Married, Resident Evil: Extinction, Pocong 3, Sundel Bolong, Jelangkung
3... Buset, hantu-hantu pada main film semua sekarang!
"Terserah lo aja deh."
Gue menoleh menatap Regina. Tadi gue kira, dia bakal ngotot nonton Get Married! Kan
cewek demen banget tuh nonton film komedi romantis gitu! Apalagi kalau pilihan yang
tersisa selain itu hanya Resident Evil dan film-film horor! Kalau Alice, gue jamin dia bakal
dengan sepenuh hati memilih nonton Get Married, kan dia penakut, dan nggak suka film
semacam Resident Evil juga.
Ah, kok jadi ingat Alice lagi"
"Serius nih" Lo nggak mau... nonton film drama romantis atau apa gitu?" gue mengulang
tawaran gue ke Regina untuk menentukan film apa yang akan kami tonton.
"Ya kalau lo mau nonton drama romantis sih gue oke-oke aja. Tapi kayaknya lo nggak
suka, ya" Lo kepingin nonton Resident Evil, kan?"
Kok dia bisa tahu?""
"Kok lo tahu?" "Nebak aja." Regina tersenyum. "Yuk, nonton itu aja!"
Gue manggut-manggut, masih keheranan karena ada cewek yang mau mengalah dalam
soal memilih film yang akan ditonton. Kayaknya sudah lamaaa banget gue nggak nonton film
yang benar-benar ingin gue tonton. Setahun belakangan, film-film yang gue tonton nggak
jauh dari The Devil Wears Prada, Music & Lyrics, Kangen, Because I Said So, yah... filmfilm yang "Alice banget" lah pokoknya.
Tuh kan, jadi kepikiran Alice lagi!
"Lho, Lan" Kok lo masih di situ" Kita jadi nonton nggak?"
Gue menoleh, dan melihat Regina ternyata sudah ada di ujung antrean loket.
Damn, bisa-bisanya sih gue ngelamun di saat begini!
*** "Menurut lo gimana, Tor?"
"Ya nggak gimana-gimana." Tora menguap, lalu membalikkan badannya menghadap
tembok, membelakangi gue. Sialan.
"Ehh... kok gue dicuekin sih" Lo dengerin cerita gue dong!" Gue menarik bahu Tora,
berusaha memaksanya menghadap gue lagi. Berhasil. Ogah banget ngajak dia ngomong
sementara dia menatap gue aja nggak!
"Aduh, Lan, gue ngantuk nih! Banget! Tadi seharian gue presentasi ke klien, keliling dari
Bintaro sampai Karawaci! Belum lagi sorenya nganter Vita ngecek contoh undangan, pegel
semua badan gue!" Tora mengomel sambil ngulet-ngulet di ranjangnya.
Waduh, kasihan juga dia keliling Jakarta seharian gitu! Belum lagi harus ngurus tetekbengek pernikahannya... tapi gue mau cerita sama siapa lagi kalau nggak sama Tora" Udik,
Rey, Dovan, dan yang lainnya pasti bakal ngetawain gue kalau gue cerita masalah beginian di
depan mereka. Bukannya Tora nggak bakal ngetawain juga sih (gue jamin, dia lah yang
ngakaknya bakal paling kenceng), tapi seenggaknya kan... you know lah, dia kan abang gue.
Gue ngerasa lebih enjoy aja kalau cerita ke dia.
"Ntar gue pijitin!" tawar gue spontan.
"Bener, ya?" "Iya! Tapi dengerin cerita gue dulu!"
"Sip!" Tora duduk di atas ranjangnya, lalu memandang gue dengan tampang serius.
"Nah, silakan cerita."
Siaul. Giliran ada iming-imingnya aja, baru dia mau dengerin!
"Ya itu tadi... gue jalan sama Regina, dan pas kita nonton ternyata dia nggak maksain
nonton film komedi romantis."
"Lho, bagus dong" Bukannya lo nggak demen nonton film begitu?"
"Justru itu! Baru kali ini ada cewek yang kayak dia, ngebolehin gue nonton film yang
gue mau! Kalau Alice..."
"Lan, jangan bandingin sama Alice deh."
Gue sontak menutup mulut, lalu menggigit bibir.
"Nggak baik banding-bandingin orang," tambah Tora.
"Itu dia, Tor... gue juga bingung. Kenapa sih gue selalu kepikiran Alice terus" Apa-apa,
Alice, apa-apa Alice. Capek gue sebenernya."
"Ya, lo kan dulu juga gitu waktu sama Alice. Apa-apa Karin, apa-apa Karin, nggak
habis-habisnya lo bandingin mereka berdua."
"Berarti, apa yang gue rasain wajar, kan?" Gaya bicara gue makin memelas, seolah gue
kepingin membuktikan kalau gue nggak gila. Cerita sama Tora begini membuat gue merasa
gue ini pasien dan Tora psikiaternya!
Kadang gue heran, dulu Tora kuliahnya marketing atau masalah kejiwaan sih"
"Tergantung. Dan gue kepingin tahu, sebenernya perasaan lo ke Regina gimana?"
Gue speechless. Jujur aja, gue juga nggak tahu harus jawab apa.
"Nggak tahu deh."
"Ih, geblek nih anak!" Tora menonyor kepala gue, tapi gue sama sekali nggak berhasrat
membalas. "Yah, Gina itu enak diajak ngobrol, orangnya baik, pintar, nggak keganjenan pula. She"s
nice. Padahal dulu, waktu awal kenal, gue sempat bete banget sama dia. Gue kira dia SKSD,
keganjenan, tapi sekarang gue tahu dia nggak kayak gitu."
"Makanya, jangan suka sok nilai orang kalau belum kenal!" Tora menceramahi gue. "Eh,
tapi berarti lo seneng jalan bareng Regina, iya?"
"Ya." "Tapi di saat yang sama, lo nggak bisa ngelupain Alice juga?"
"Banget!" Gue menghela napas. "Tapi sepertinya gue sama Alice udah nggak ada jalan
lagi, Tor. Dia udah nggak mau lagi ngomong sama gue. Bahkan waktu terakhir konser
Skillful rusuh di Jambi pun, dia nggak kontak gue. Gue kecewa banget. Yah... gue tahu gue
sama dia sudah putus, tapi nggak harus jadi diem-dieman gini, kan" Nggak harus lose contact
gini, kan?" "Mungkin dia capek mengkhawatirkan lo."
Gue menelan ludah dengan susah payah. "Iya kali ya" Terus gue harus gimana?"
"Bukannya tadi lo sendiri yang bilang lo sama Alice sudah nggak ada jalan lagi" Kalau
memang sudah nggak ada jalan, kenapa dipaksain, Lan?"
"Jadi, gue harus jadian sama Regina?"
"Eh, gue nggak bilang gitu! Gue cuma nyaranin supaya lo lebih membuka pikiran lo aja.


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bisa aja lo enjoy jalan sama Regina, tapi itu cuma karena dia temen ngobrol yang enak aja,
bukan karena lo cinta sama dia atau apa."
Hhhh... kok Tora jadi belibet gini sih ngomongnya" Gue nggak ngerti! Curhat sama dia
ternyata malah bikin pusing!
"Ya deh, ntar gue mikir." Gue bangun dari tepi ranjang Tora, menyeret kaki menuju
pintu. "Eehh, tunggu dulu!"
"Apa?" Gue mendongak menatap Tora. Jangan sampai dia nambah-nambahin saran yang
bikin otak gue makin tersumbat!
"Kan tadi udah janji mau pijit! Mana?"?"
Duuuhh, kalau dia lagi ngebetein gini, gue berharap dia nikah besok deh, biar nggak ada
lagi yang menganiaya gue di rumah!
*** Omongan Tora selalu sukses bikin gue melek semalaman. Bisa begitu karena dua
kemungkinan: 1. Dia ngasih saran yang bagus tapi menohok banget, bikin gue serbasalah.
2. Saran yang dia kasih nggak jelas, dan malah bikin gue makin bingung.
Dalam kasus ini, saran Tora malah bikin gue makin puyeng.
Ahh... kok bisa sih gue ada dalam situasi begini" Udah diputusin, nggak punya kerjaan,
kuliah belum kelar, dan gue nggak tahu harus gimana sama Regina.
Maksud gue, dia kan cantik banget gitu, dan enak banget diajak ngobrol, plus dia punya
semua hal yang diimpikan seorang cewek, tapi kok... kenapa ya, gue nggak ada perasaan apaapa sama dia" Nggak ada euforia berlebihan setiap kali gue ketemu dia. Nggak ada perasaan
kangen kalau nggak ketemu dia. Nggak kebayang dia siang-malam.
Kenapa gue nggak bisa jatuh cinta sama Regina"
Orang pasti bakal mengatai gue bego, ada cewek, dan bukan cewek sembarangan, tapi
top model dan bintang iklan termahal se-Indonesia, yang menaruh perhatian sama gue, tapi
gue nggak punya perasaan khusus ke dia.
Apa karena gue belum terbiasa, ya" Mungkin kalau lebih sering bersama Regina, gue
bakal dengan sendirinya suka sama dia.
Toh gue bukan pacar siapa-siapa lagi.
Hhh... kalau saja Alice masih punya sedikit perhatian sama gue, mungkin gue nggak
akan pusing begini. Gue pasti bakal langsung meninggalkan Regina dan memohon Alice
kembali... I MISS HIM SUDAH sebulan aku dan Dylan putus. Dan sepertinya nggak ada tanda-tanda kami akan balik
lagi seperti dulu. Mmm... aku sebenernya nggak mau mengakui ini, tapi... yah, aku nyesel putus sama Dylan.
Nyesel banget. Satu, karena aku masih sayang sama dia.
Dua, karena aku masih sayaaangg sama dia.
Tiga, karena aku masih sayaaaaaanggg sama dia.
Kalau bukan karena aku ingat fakta dia nyeleweng sama Regina Helmy, aku pasti sudah
membuang semua gengsi nggak pentingku dan minta balik duluan. Serius deh. Setahun lebih
punya pacar dan tiba-tiba menjomblo lagi bener-bener nggak enak. Apalagi kalau pacar yang dulu
kupunya adalah Dylan, vokalis band terganteng dan terpopuler se-Indonesia!
Dan perasaan menyesalku itu makin bertambah dengan kesadaran bahwa aku nggak akan
punya pacar lagi dalam waktu dekat. Siapa sih cowok yang mau sama aku" Mungkin Dylan
mengalami katarak selama setahun lebih kami pacaran, sampai-sampai dia mengabaikan semua
selebritis cewek, mulai bintang sinetron, penyanyi, model, bintang iklan, bintang film, dan
sejenisnya yang berseliweran di sekitarnya itu, dan malah pacaran denganku.
Yah, mungkin sekarang kataraknya sudah sembuh.
Dan dia pasti sedang menyesali setahun hidupnya yang disia-siakan bersamaku, sementara
ada cewek macam Regina Helmy di dunia ini.
Ohhh... sial! Aku selalu kepingin nangis kalau ingat Dylan!
I miss him.... SHOCK! "ADA apa nih" Ada apa?" Gue masuk ke ruang rapat dengan napas ngos-ngosan karena
berlari dari tempat parkir. Setengah jam yang lalu, Ernest menelepon gue, menyuruh gue
datang ke kantor manajemen. SECEPATNYA, katanya. Urusan gawat darurat. Emergency!
Gue sempat mengira gue mungkin akan disuruh Pak Leo menonjok artis baru Pro Music
lagi, supaya mereka bisa masuk infotainment dan jadi ngetop. Lumayan bukan, pekerjaan
sambilan untuk vokalis band yang nganggur karena bandnya yang selalu menyebabkan
kerusuhan sedang nggak diinginkan untuk menggelar konser"
Mending gue mati deh kalau harus masuk infotainment sekali lagi.
"Sini, Lan, sini," Ernest melambaikan tangannya, memberi isyarat supaya gue mendekat.
Gue dengan bingung menyadari, bahwa Dudy, Dovan, Rey, Bang Budy, Tyo, Asep, dan
bahkan Irvan, juga ada di ruangan ini. Ada juga dua orang yang nggak gue kenal. Tapi semua
berkumpul di sekeliling Ernest, memerhatikan entah apa yang terpampang di laptop di depan
mereka. Dudy memberi jalan pada gue saat gue mendekat untuk melihat apa yang terpampang di
laptop. "Lihat ini," kata Ernest sambil menunjuk monitor laptop. Gue melihat rekaman video
yang di-pause di monitor.
"Apa ini?" tanya gue bingung.
"Rekaman konser kita di Medan. Gue baru dapat dari Z-Mild." Ernest mengedikkan
kepala pada dua orang yang nggak gue kenal itu, dan mereka mengangguk mengiyakan.
Ternyata mereka dari Z-Mild, merek rokok yang menjadi sponsor utama rangkaian tur
Skillful. "Tapi... untuk apa?" Gue masih nggak ngerti. Kenapa semua orang berkumpul di sini
cuma untuk nonton video konser kami" Bukannya memang sudah ada di kontrak, rangkaian
tur kami akan direkam dan ditampilkan di TV oleh Z-Mild" Yah... memang untuk konser kali
ini gue belum melihat di TV, mungkin karena semua kerusuhan itu... Tapi kalau gue bisa
milih, gue nggak mau deh disuruh nonton video itu. Gue nggak mau melihat horor kerusuhan
itu berulang di depan mata gue lagi.
"Tolong, Mas," Ernest memanggil salah satu orang Z-Mild itu, yang langsung memencet
beberapa tombol di laptop. Gue melihat rekaman video itu di-zoom hingga berhenti pada
sekumpulan orang di kerumunan penonton. Gue masih nggak ngerti.
"Tolong perhatikan. Itu yang di Medan. Lalu yang ini," orang Z-Mild itu memencet
beberapa tombol lagi, "rekaman show kalian di Pekanbaru." Muncul gambar zoom lagi di
layar, bersebelahan dengan potongan video yang pertama tadi. Mata gue mulai melebar
nggak percaya. "Gila, kan?" tanya Ernest sambil menggeleng-geleng.
"Kalau yang ini, rekaman show kalian di Jambi." Beberapa tombol dipencet, dan gambar
ketiga muncul, berderet dengan dua gambar lainnya.
Jantung gue melonjak dengna keras melihat ketiga gambar itu. Seolah ada seember air es
yang baru disiramkan di kepala gue.
"Maaf, kami baru bisa memberikan rekaman video ini hari ini. Saat mengedit untuk
ditampilkan di TV, editor kami melihat ada "kejanggalan" di tiga video show Skillful, yang
tidak terdapat pada show di Batam. Kami ingin membicarakan langsung dengan Pak Budy,
tapi kami harus memastikan dulu, supaya tidak salah tuduh," jelas orang Z-Mild itu.
"Sekarang, kami sudah mendapatkan bukti yang kuat untuk ditunjukkan pada Skillful dan
manajemen." Gue speechless. Sekali lagi gue mengerling monitor laptop, dan menggeleng nggak
percaya. Kok bisa begini"
"Mungkin masih terlalu dini, tapi sekarang kita bisa menyimpulkan, bahwa kerusuhankerusuhan yang terjadi pada show Skillful adalah disengaja," kata orang itu lagi. "Ketiga
gambar yang kami ambil dari rekaman video itu menunjukkan adanya sekumpulan orang,
orang-orang yang sama, yang menghadiri tiga konser kalian yang berakhir rusuh."
"Tapi... bisa aja kan mereka cuma penonton biasa?" tanya gue bingung. Beberapa fans
Skillful ada yang suka menonton tur kami dari kota ke kota. Terlalu bodoh menuduh
sekumpulan orang itu sebagai penyebab rusuhnya konser kami hanya karena mereka ada
dalam rekaman video di tiga konser yang berakhir rusuh.
Anehnya, orang Z-Mild itu menggeleng. Dia memencet beberapa tombol lagi di laptop,
hingga video-video yang terhenti sesaat itu berjalan lagi. Apa yang gue lihat berikutnya
benar-benar membuat gue melongo.
"Anda lihat" Merekalah, yang memulai aksi pukul di kalangan mereka sendiri. Mereka
jugalah yang memulai aksi lempar batu dan botol. Penonton di sekitar mereka, yang tadinya
diam saja, menjadi terpengaruh. Mungkin ada yang terkena lemparan batu juga, lalu merasa
tak terima, sehingga terlibat perkelahian."
"Tapi kalau begitu... mereka sendiri bakal babak-belur!" seru gue dengan suara aneh.
"Nggak mungkin mereka berkelahi dan melempar batu di tiga tempat tapi mereka baik-baik
saja!" Gue menggeleng, nggak percaya ada yang segitu niatnya untuk menjatuhkan Skillful,
sampai merusuh di konser-konser kami! Itu terlalu... gila. Dan gue nggak kenal kumpulan
orang yang terekam di video itu! Siapa mereka" Fans band lain yang iri pada Skillful" Orangorang yang dendam pada kami" Siapa?""
"Yah, mungkin mereka terkena beberapa pukulan atau lemparan batu yang mereka
lakukan sendiri, tapi toh itu nggak menghalangi mereka untuk tetap ada di kota-kota
selanjutnya. Mereka tetap melaksanakan niat mereka. Atau... perintah yang diberikan pada
mereka." Gue membelalak mendengar kata-kata orang Z-Mild itu. "Maksud Anda, orang-orang
ini...," gue menunjuk monitor laptop, "adalah... orang-orang suruhan" Seseorang menyuruh
mereka... membayar mereka... untuk merusuh di konser-konser Skillful?"
"Tepat." Orang itu mengangguk mantap, dan gue merasakan kaki gue melemas. Ada
yang membayar sekumpulan orang untuk merusuh di konser Skillful... ada yang begitu
bencinya dengan band gue sehinga melakukan cara kotor seperti itu...
"Asumsi saya, rencana mereka akan terus berlanjut jika rangkaian tur Skillful tetap
berjalan. Untunglah, konser-konser selanjutnya sudah dibatalkan."
"Tapi..." Gue memutar otak, berusaha menyanggah. Nggak mudah menerima bahwa ada
orang yang nggak suka pada band gue. "Kenapa mereka nggak merusuh juga di Batam"
Kenapa?" "Saya tidak tahu." Orang Z-Mild itu tersenyum. "Tapi seperti yang Dylan bilang tadi,
mungkin saja mereka perlu memulihkan diri karena terkena lemparan batu mereka sendiri."
Gue menelan ludah. "Lalu... penonton yang meninggal itu, apa mereka juga
penyebabnya?" "Bukan. Itu murni kecelakaan. Ada kabel peralatan sound yang terlepas, dan mengenai
penonton itu. Sialnya, penonton itu tubuhnya basah juga karena hujan, jadi dia... tersetrum.
Yah, mungkin bisa dibilang ini salah para perusuh itu juga, karena mereka menyebabkan
pagar pembatas roboh hingga ada penonton yang terdesak ke panggung dan meninggal
karena tersengat listrik dari peralatan sound itu," kali ini Bang Budy yang menjawab. Gue
mengerling manajer gue, dan melihat mukanya memerah menahan marah. Pasti dia geram
banget mendengar kerusuhan di konser-konser kami sesuatu yang disengaja.
"Tapi polisi bilang, tidak ada unsur kesengajaan pada semua kerusuhan itu!" seru gue
lagi. Gue ingat betul, itu yang gue dengar sewaktu konser di Medan dan Pekanbaru rusuh.
Gue makin bingung. Kalau kecurigaan orang-orang Z-Mild ini tepat, berarti...
"Yah, polisi juga manusia, kan" Mereka bisa saja melakukan kesalahan. Tapi sekarang,
kita bisa membenarkan kesalahan itu."
Orang Z-Mild itu mematikan laptop-nya, lalu memasukkan laptop itu ke dalam tas.
Gue berjalan ke kursi terdekat, dan mengempaskan diri di sana. Gue heran, kenapa gue
belum juga jadi gila setelah semua yang terjadi belakangan ini.
*** Gue memacu motor secepat mungkin menuju rumah. Gue harus cerita ke seseorang tentang
apa yang gue dengar di kantor manajemen tadi, kalau nggak gue bener-bener bakal gila.
Siapa pun bolehlah... Mama, Papa, atau Tora... atau kalau Mbak Vita ada di rumah juga... dia
pasti punya saran untuk gue.
Tadi, Bang Budy, Ernest, dan orang Z-Mild yang membawa rekaman video itu
memutuskan untuk melapor ke polisi. Bang Budy bilang, kami harus membersihkan nama
Skillful, yang belakangan ini selalu berembel-embel "band rusuh". Dan tentu saja, para
provokator itu harus segera ditangkap. Bang Budy luar biasanya berambisi untuk tahu siapa
yang begitu brengsek sampai membayar orang untuk merusuh di konser kami.
Gue jadi kepingin tahu siapa orang itu....
Gue sampai di depan rumah, lalu memarkir motor di carport. Gue hampir saja masuk ke
rumah, waktu ada yang memanggil.
"Dylan!" Gue menoleh, dan melongo.
"Karin...?" tanya gue bingung. Gue langsung berbalik lalu membukakan pintu pagar.
"Hai!" sapanya sambil tersenyum. "Apa kabar?"
"Gue... baik." Gue menatap Karin, mantan pacar gue, yang berdiri di depan gue
sekarang. Dia nggak banyak berubah. Rambutnya masih panjang dan bagus seperti dulu.
Wajahnya masih cantik, dan senyumnya masih menyenangkan. Bahkan wangi parfumnya
pun masih sama seperti dulu. Dulu kami pacaran dua tahun lebih...
"Hei! Bengong!" karin melambaikan tangannya di depan gue, dan gue terlonjak. Ah,
belakangan ini gue kebanyakan bengong! Malu-maluin!
"Ehh... sori. Gue lagi... banyak masalah." Gue menggaruk-garuk kepala yang nggak
gatal. "I know." Karin tersenyum, dan gue merasa kembali ke masa lalu, saat gue pertama kali melihatnya
di kampus, tertawa bersama teman-temannya. Gue nggak akan pernah lupa perasaan gue saat
itu. "Lan, boleh gue masuk?"
"Oh, boleh, boleh! Boleh banget!" Gue salting total. Dua tahun lebih juga gue nggak
ketemu Karin, sejak kami putus, dan gue masih aja salting kalau ada di dekat dia.
Karin duduk di depan gue di ruang tamu, dan lagi-lagi dia tersenyum.
"Gue ikut sedih... soal konser-konser lo," katanya.
"Ah... iya. Makasih ya. Tapi itu sebenernya..." Dan gue tau-tau sudah menceritakan
semua kejadian di kantor manajemen tadi. Lengkap dengan perasaan bingung gue karena ada
orang yang segitu bencinya pada Skillful.
Yeah, gue tahu kalau akhir-akhir ini gue jadi ember, gila curhat.
"Yah," gumam Karin setelah gue selesai cerita, "lo kan tahu dunia lo seperti apa, Lan.
Persaingan ketat." "Iya, gue tahu... tapi gue nggak nyangka aja ada yang sampai kayak gitu, Rin... Gue
nggak ngerti, kenapa orang sampai mau menjatuhkan orang lain demi kesuksesannya?"
Karin mengedikkan bahu, lalu tertawa kecil. "Itu yang dilakukan pejabat-pejabat
pemerintahan kita di atas sana."
Gue nyengir. Karin sama sekali nggak berubah, dia masih suka menyindir pemerintah.
"By the way, gue denger... lo punya pacar baru?" tanya Karin, kali ini dia nyengir.
"Pacar baru" Maksud lo..."
"Regina Helmy, model dan bintang iklan termahal se-Indonesia," potongnya.
"Ah, lo kebanyakan nonton infotainment, Rin. Gue nggak pacaran sama Regina."
"Tapi... bener, lo putus sama Alice?"
Gue tersenyum kecut, lalu mengangguk. "Ya. Dia mutusin gue gara-gara nonton gosip
gue dan Regina itu di infotainment."
"Oh. Sorry to hear that."
"Nggak papa lah, hubungan gue sama Alice juga udah berantakan waktu itu. Dia nggak
bisa mengerti gue, gue juga nggak bisa mengerti dia... Mungkin memang sebaiknya kami
putus." "Tapi, Lan, gue pribadi berharap lo nggak putus sama Alice."
Gue melongo. "Kenapa?"
"Karena gue merasa dia satu-satunya cewek yang sanggup mengimbangi lo."
"Kok...?" "Iya, gue merasa cuma Alice yang bisa mengimbangi lo." Karin tersenyum lagi. "Ingat
waktu gue diteror dulu?" Gue mengangguk. "Gue nggak bisa bertahan, kan" Cuma dengan
sedikit teror, gue langsung goyah... gue merasa nggak pantas ada di samping lo, gue cemburu
dan marah, gue takut, gue ninggalin lo... Alice nggak melakukan hal yang sama. Dia tetap
ada di samping lo, ya kan?"
Gue menggigit bibir. Karin nggak sepenuhnya benar. Alice juga meninggalkan gue kok...
dia juga minta putus karena nggak tahan, dia nggak terus ada di samping gue...
Tapi itu karena Noni sempat berusaha mencelakakan dia. Bukan sebatas SMS teror atau
surat kaleng lagi. Gue gila kalau mengira ada cewek yang masih mau bertahan di sisi gue
setelah mendapat teror seperti itu.
"Gue tahu gue nggak punya hubungan apa pun lagi sama lo, yang berarti gue juga sudah
nggak punya hak lagi untuk minta lo melakukan sesuatu, tapi... gue rasa Regina nggak sebaik
Alice, Lan. Dia nggak akan mengimbangi lo..."
Gue tercengang. Kata-kata Karin barusan menohok banget!
Dan gue jadi ingat kenapa dulu gue jatuh cinta sama dia. Dia begitu... tegas. To the point,
nggak bertele-tele... nggak plin-plan kayak gue.
"Nah, jadi ngobrol kebanyakan deh gue." Dia menepuk dahinya. "Gue sebenernya ke
sini kan mau nganterin ini."
Karin mengambil sesuatu dari tasnya, dan menyodorkan benda itu pada gue.
UNDANGAN"! "Usahain datang, ya?"
Gue bengong sejadi-jadinya melihat kartu undangan yang ada di genggaman gue. Karin
mau merit! Padahal tadi gue sempat terpikir...
"Lo... mau nikah" Sama siapa?"
Karin terbahak. "Dylan, Dylan... ya sama tunangan gue lah! Masa sama lo?"
"Kok... kok gue nggak tahu" Kok cepet banget" Siapa dia, Rin?" Gue membaca nama
yang tertera di undangan. Karin & Joshua. Nama calon suaminya Joshua.
"Yah, memang kita aja yang lose contact, kan" Tunangan gue tuh temennya temen gue,
dulu dikenalin. Gue baru jalan setahun ini sih sama dia, tapi gue merasa yakin dia jodoh gue.
Orangnya baiiikk banget, Lan. Sabar. Pengertian. Perhatian."
Gue menelan ludah, lalu tersenyum dengan susah payah. Gue nggak mungkin balik lagi
sama Karin. Dan memang sebaiknya begitu. Gue dan Karin hanya masa lalu.


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh... oke. Gue pasti datang."
"Sama Alice, ya?" Karin tersenyum. "Gue kepingiiiin banget ketemu dia."
"Eh... iya deh. Nanti gue usahain. By the way, abang gue Tora juga mau nikah."
Kali ini ganti Karin yang melongo. "Serius loooo?" Sama Vita?"
Gue mengangguk. Karin memang kenal sama Mbak Vita. Yah, secara Tora sama Mbak
Vita kan pacarannya udah dari zaman sebelum Masehi, jadi dulu waktu Karin jadi pacar gue,
dia kenal juga sama Mbak Vita.
"Waow! Akhirnya merit juga mereka! Pacarannya udah lama banget sih, hihi... Tapi
memang gue dari dulu udah mengir akok kalau mereka bakal merit. Seperti yang udah gue
bilang, gue lihat Mbak Vita bisa mengimbangi Tora."
Gue tersenyum, nggak tahu gimana harus menanggapi omongan Karin.
"Nanti gue kirim undangannya ke rumah," janji gue.
"Sip! Ya udah, gue pulang dulu, ya" Oya, Tante Ana, Oom Benny, Tora, sama Vita juga
diajak ya ke pesta gue" Gue udah lamaaa banget nggak ketemu mereka."
Gue mengangguk. "Iya, Rin. Makasih ya..."
Dan gue mengant ar Karin ke pagar, melihatnya menghilang dengan mobilnya di
kejauhan. CERITA ANASTASIA "ALICE! Eh, Alice, ya?"
Aku menoleh, dan melongo melihat Anastasia berdiri di depanku. Anastasia Helmy!
"Anastasia?" tanyaku sambil menunjuknya.
"Iya, ini gue!" Anastasia mencipika-cipiki gue. "Apa kabar?"
Aku nyengir bego, nggak tahu harus menjawab apa. Maksudku, kalau kamu ada di situasiku
sekarang, kamu juga pasti bingung mau bersikap gimana. Kakak-NYAa berselingkuh sama pacarKU gitu lho!
"Mmm..." Aku hampir bilang kabarku buruk (karena mustahil banget kabarku baik setelah
dikhianati Dylan!), tapi aku lalu ingat menjawab begitu bakal membuatku kelihatan lemah dan
hancur lebur. "Gue baik. Lo sendiri?"
"Gue juga baik." Anastasia tersenyum. "Mmm... lo sendirian, Lice?"
Aku mengangguk. Siang ini aku mati gaya total di rumah, jadi aku ngeluyur ke PS sendirian.
Grace nggak bisa ikut karena ada les Mandarin. Mama lagi pergi ke rumah sepupunya. Alhasil aku
keluyuran nggak jelas begini.
"Mmm... kalau boleh, gue mau bicara sama lo" Kalau lo nggak keberatan sih..."
Aku bisa bilang apa lagi" Masa aku mau berlagak sibuk" Nanti dikira sombong, padahal seleb
aja bukan! Lagi pula, tampang Anastasia begging banget, nggak mungkin aku menolaknya.
"Trims, Alice, trims banget... Jadi, kita ke Starbucks" Nggak papa?"
Aku mengangguk, dan kami berjalan menuju Starbucks. Setelah pesanan kami ada di meja
(aku Signature Hot Chocolate, Anastasia Frappuccino Rhumba), Anastasia mulai bicara.
"Mmm... yah... pertama gue mau minta maaf sama lo."
"Untuk?" tanyaku pura-pura bego. Ehh... tapi aku juga bingung sih. Anastasia kan nggak
punya salah apa pun padaku. Yah, kecuali fakta kalau kakak-NYA merebut mantan pacar-KU.
Tapi itu kan bukan salah dia.
"Gue minta maaf untuk kelakuan kakak gue, Regina..."
"Oh." Aku manggut-manggut nggak jelas. "Bukan salah lo, lagi."
"Iya, tapi... gue merasa nggak enak sama lo, Lice. Sama Dylan juga."
Aku tersenyum getir. "Kenapa harus merasa nggak enak" Gue nggak menyalahkan siapasiapa kok dalam hal ini. Mungkin Dylan memang sudah bosan sama gue. Dan kakak lo, Regina,
jelas lebih pantas jadi pacarnya ketimbang gue."
"Dia sama sekali nggak pantas, Lice... Regina nggak pantas..."
"Kenapa?" Aku mengernyit. Anastasia kelihatan gelisah. Apa ada sesuatu yang nggak
kuketahui" "Regina... dia terobsesi sama Dylan!"
"Hah?" "Iya, karena Dylan... Dylan mirip pacar Regina yang udah nggak ada..."
"Hah?"?" "You won"t believe this." Anastasia mengambil sesuatu dari dompetnya, yang ternyata selembar
foto. Dia meletakkan foto itu di meja, dan menunjuk sosok yang ada dalam foto itu.
Lho... itu foto Regina dan Dylan"
"Ini Henry, pacar Regina yang sudah meninggal." Anastasia menunjuk cowok di foto itu,
yang tadi kukira Dylan! Astaga, mirip sekali! "Dia meninggal... karena narkoba."
Aku menelan ludah. "Regina sayang banget sama Henry. Dia bahkan tetap backstreet sama cowok itu setelah
dilarang ortu kami. Yah, ortu mana yang mau anaknya pacaran sama junkies, ya kan?"
Kepalaku otomatis mengangguk.
"Tapi Henry meninggal karena overdosis. Dan setelah itu, Regina jadi aneh... apalagi setelah
dia jadi model video klip Skillful, dia jadi... terobsesi sama Dylan..."
"Karena Dylan... mirip Henry?" tebakku takut-takut.
Anastasia mengangguk. "Gue bukannya mau membuka aib kakak gue sendiri, Lice... gue
cuma... merasa ini nggak betul. Dan gue juga nggak enak sama lo dan Dylan... gue berusaha nyari
lo, memperingatkan lo dan Dylan supaya nggak terlalu dekat sama Regina, tapi gue gagal. Gue
baru ketemu lo sekarang... setelah Regina dekat sama Dylan..."
Mulutku terasa kering kerontang. Mungkin cerita Anastasia sudah menyebabkanku dehidrasi.
Tapi apa ini akan mengubah sesuatu" Walaupun Regina yang terobsesi pada Dylan karena
Dylan mirip pacarnya yang sudah meninggal, tapi kan... Dylan juga mau sama dia. Dylan memilih
meninggalkan aku demi dia. Ini bukan sepenuhnya salah Regina.
"Gue tahu Dylan nggak punya perasaan apa-apa sama Regina. Gosip yang beredar tentang
mereka itu... gue nggak tahu kenapa gosip itu bisa ada. Mungkin kebetulan ada wartawan yang
mengambil gambar saat Regina... pedekate ke Dylan, gue nggak tahu..."
Dylan nggak punya perasaan apa-apa ke Regina" Nggak mungkin. Kalau memang benar
begitu, dia pasti akan tetap berusaha meyakinkan aku bahwa dia nggak ada hubungan apa pun
dengan Regina. Dia pasti akan tetap berusaha menjelaskan, bahkan setelah aku mengusirnya.
Tapi kenyataannya, dia nggak datang, kan" Dia nggak menghubungiku, kan" Dia pergi begitu
saja, seolah memang telah berharap aku memutuskan dia. Dan soal Regina yang berada di Jambi
bersamanya... teleponku yang diangkat Regina... gimana bisa mereka bersama kalau Dylan benar
nggak punya perasaan apa pun pada cewek itu"
Anastasia kelihatannya nyaris menangis, jadi aku menepuk tangannya pelan.
"Nggak papa, Nas... Nggak papa. Gue nggak menyalahkan siapa pun kok. Mungkin Regina
memang terobsesi sama Dylan, tapi Dylan juga mau kan sama dia" Kalau mereka sekarang
bahagia, yah... gue bisa bilang apa" Mungkin Dylan memang dikirim untuk Regina, untuk
menggantikan Henry."
Setelah mengatakan itu, aku langsung menyesal. Karena Anastasia malah menangis tersedusedu akibat perkataanku!
"Dasar Regina bodoh, dia nggak tahu dia sudah menyakiti orang sebaik lo, Lice..."
YOU WON"T BELIEVE THESE!
"DYLAN, tolong antar ini ya" Ke rumah Alice."
Gue membelalak. Mama menyuruh gue mengantar barang ke rumah Alice"
"Kenapa" Kau nggak mau?"
"Eh... bukannya gitu, Ma... tapi kan..."
Gue nggak tahu harus gimana ngomongnya. Maksud gue, hubungan gue dan Alice kan
sekarang dalam situasi "serbasalah". Gue memang masih sayang dia, mengharap kami bisa
balik. Tapi di saat yang sama gue juga nggak habis pikir kenapa dia begitu nggak peduli lagi
sama gue. Kenapa dia nggak pernah menghubungi gue sekali pun sejak itu. Apa dia masih
nggak percaya bahwa gue nggak selingkuh sama Regina"
Ah, Regina. Di lain pihak juga ada dia. Dia baik, perhatian, dan selalu menemani gue
belakangan ini. Ngobrol sama dia juga enak banget, dan gue tahu... dia menaruh harapan.
Dan masih ditambah obrolan gue dengan Karin beberapa hari lalu. Kata-kata Karin,
"cuma Alice yang bisa mengimbangi gue" membuat gue semakin pusing. Gue nggak tahu
harus berbuat apa. Gue bahkan sempat terpikir untuk kembali lagi sama Alice, tapi dia kan
sudah nggak peduli sama gue...
Lagi pula, gue nggak tahu deh harus bersikap gimana seandainya gue mengantar barang
itu ke rumah Alice, dan ternyata dia sendiri yang membukakan pintu. Gue harus bersikap
gimana dalam situasi serbasalah begini"
"Ini baju Alice, untuk jadi penerima tamu di pesta Tora." Mama meletakkan bungkusan
itu di tangan gue. "Kamu harus antar sekarang, supaya kalau ada bagian baju yang terasa
nggak nyaman atau nggak pas, masih bisa diperbaiki."
Gue menghela napas. Entah kenapa, gue merasa Mama kepingin gue dan Alice kembali.
Mungkin menyuruh gue mengantar baju ke rumah Alice ini adalah salah satu siasat beliau.
Dan gue baru ingat, Alice akan ada juga di pesta Tora dan Mbak Vita. Cepat atau lambat,
gue juga bakal menghadapi dia. Mungkin ada baiknya gue ketemu dia sekarang, supaya saat
pesta nanti gue nggak terlalu salting.
"Ya deh, Ma. Aku antar."
*** Feeling gue ternyata akurat 100%. Alice sendiri yang membukakan pintu.
"Lo...?" katanya dengan mata melotot. "Mau ngapain?"
"Aku... eh... gue mau nganterin ini..." Gue menyodorkan bungkusan berisi baju itu pada
Alice dari balik pagar. "Dari Mama... baju lo untuk jadi penerima tamu di pesta Tora."
Alice terlihat salah tingkah, tapi dia mengambil juga bungkusan itu dari tangan gue.
"Makasih," katanya ketus, lalu berbalik akan masuk rumah lagi.
Gue merasa, kalau gue nggak bicara sekarang, nggak akan ada waktu lagi untuk bicara.
"Lice!" gue berteriak memanggilnya. Dia menoleh, menghentikan langkahnya.
"Apa?" "Kita... kita nggak perlu seperti ini, kan" Nggak perlu bermusuhan gini, kan" Gue tahu
kita sudah putus, tapi... apa kita nggak bisa berteman?"
Alice kelihatan jijik mendengar gagasan gue. "Berteman" Setelah apa yang lo perbuat ke
gue?" Oh God, dia mulai lagi! "Tapig ue sama sekali nggak mengkhianati lo, Lice! Gue nggak
nyeleweng sama Regina!"
"Tapi di TV..."
"Alice, Alice, kalau semua yang ada di infotainment itu fakta, lebih baik kita nggak usah
nonton berita lagi deh! Nonton aja infotainment!" Tanpa bisa gue cegah, mulut gue
menyerocos. Alice mendengus. "Oke, kalaupun itu nggak bener, gue tetep nggak percaya lo nggak
selingkuh sama Regina!"
"Kenapa?" Alice mendengus lagi. "Masa sih, orang yang nggak ada apa-apa, bisa bersama di luar
kota" Bisa satu kamar hotel?"
Gue bener-bener nggak ngerti Alice ngomong apa! "Apa maksud lo" Gue satu kamar
hotel sama Regina"! Gosip apa lagi itu"! Kapan" Di mana"!"
"Sudahlah, Lan, nggak usah pura-pura. Gue sudah bisa terima semuanya kok. Gue sadar
gue nggak pantas buat lo. Regina lebih pantas..."
"Kapan gue sekamar sama Regina" Kapan" Di mana?" desak gue. Mungkin gue sudah
marah dan nggak peduli lagi, tapi gue nggak bisa terima gitu aja kalau ada gosip gila begitu
tentang gue! "Oke, kalau lo masih nggak mau ngaku! Setelah kerusuhan konser lo di Jambi, paginya
gue menelepon lo. Katakanlah... gue masih kepingin tahu keadaan lo walaupun kita nggak
ada hubungan apa-apa lagi. Tapi lo tahu, gue mendapati Regina yang mengangkat telepon
itu! Coba jelaskan, kalau lo dan Regina memang cuma ketemu di bandara di Batam, kalau
memang lo nggak ada apa-apa sama Regina, kenapa bisa dia yang mengangkat telepon dari
gue, padahal saat itu masih pagi" Apa lagi yang bisa menjelaskan itu, kecuali lo sekamar
sama dia, dan dia yang mengangkat telepon dari gue, karena lo masih tidur?"
Belum pernah dalam hidup gue, gue begitu shock sampai mau mati!
"Lo... lo telepon gue" Setelah kerusuhan di Jambi?"?"
"Yah. Kebodohan terakhir yang gue lakukan. Mengkhawatirkan lo," jawab Alice dengan
tampang tak suka. Gue mendengar bunyi kemeresak, dan dengan kaget melihat Bu Parno, tetangga sebelah
rumah Alice, mengintip kami dari balik tembok pembatas rumah!
Oh, dasar tukang gosip! "Lo menelepon gue, dan yang mengangkat telepon itu... Regina?"
"Nggak usah lo ulang deh. Itu nggak mengubah apa-apa!" Alice terlihat jengah. Mungkin
dia juga risih karena diintip tetangganya yang tukang gosip itu.
"Tapi..." Gue memutar otak dengan cepat.
Pagi hari, setelah kerusuhan Jambi... gue bangun dan mendapati Regina ada di kamar
hotel gue. Regina mengompres gue karena gue demam, dan bilan gdia bisa masuk kamar gue
setelah mendapat kunci dari Dovan, yang menitipkan gue padanya karena mau breakfast.
Regina memberitahu gue bahwa ada korban jiwa di konser yang rusuh semalam... dan bahwa
polisi mengimbau Skillful untuk nggak menggelar konser...
Dan gue ingat betul, gue mengecek HP gue karena berharap ada telepon atau SMS dari
Alice sewaktu gue tidur, sekadar untuk menanyakan kabar gue... tapi waktu itu nggak ada!
Nggak ada tulisan bahwa ada missed call!
Jadi benar, Regina mengangkat telepon dari Alice... dan Alice salah paham karena itu.
Tapi kenapa Regina nggak memberitahu gue bahwa Alice menelepon" Padahal waktu itu
nomor Alice masih tersimpan di phonebook gue dengan nama "Sayang". Regina nggak
mungkin nggak tahu itu Alice, kalau dia memang mengangkat telepon. Dan setelah itu pun
kami membahas Alice... Tapi dia nggak memberitahu gue bahwa Alice menelepon! Kenapa"
Dengan perasaan campur aduk gue menyadari selama ini gue sudah salah sangka pada
Alice. Dia bukan cewek sok yang sombong dan berlagak sebodo amat pada gue setelah kami
putus... dia masih mengkhawatirkan gue... masih peduli sama gue...
Tapi Regina mengacaukan semuanya. Entah dia sengaja atau tidak.
"Lice, boleh gue nanti ketemu lagi sama lo" Ada sesuatu yang... harus kita bicarakan."
"Whatever." Alice masuk ke rumah dan membanting pintu depan kuat-kuat.
Tanpa mengacuhkan wajah kaget Bu Parno yang mendengar bantingan pintu Alice, gue
mamcu motor menuju apartemen Regina.
*** "Eh, Dylan! Ayo masuk! Kok nggak bilang dulu sih kalau mau datang" Gimana kalau gue
nggak ada di rumah?"
Regina sendiri yang membukakan pintu untuk gue ketika gue memencet bel
apartemennya. Dia memang tinggal sendiri di sini, terpisah dari keluarganya. Dulu dia bilang
dia kepingin mandiri. Dan waktu itu gue kagum sama dia.
Tapi nggak akan lagi sekarang, kalau apa yang gue curigai dari dia benar.
"Gin, tolong jawab, apa Alice telepon gue waktu itu?"
"Alice" Kapan" Ah... gue nggak ngerti maksud lo apa. Masuk dulu yuk, kita ngobrol di
dalam. Nggak enak kan kalau di sini, dilihatin orang. Nanti malah digosipin yang nggaknggak..." Regina tersenyum.
Tapi kali ini senyumnya membuat gue muak. Malas rasanya masuk ke apartemennya,
gue mau selesaikan semuanya di sini, sekarang.
"Gin, jawab! Apa waktu di Jambi, waktu lo datang dan masuk ke kamar gue,
mengompres gue saat gue demam, apa waktu itu lo terima telepon dari Alice"!"
Regina membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia bungkam.
"Jawab, Gin! Jawab!" Gue mengguncang-guncang bahunya.
"Aduuhh, sakit, Lan! Lepasin!" Regina meronta, melepaskan dirinya. Gue berusaha
mengatur napas. Seumur-umur, gue nggak pernah bertingkah kasar sama cewek. Buat gue,
cewek adalah makhluk yang harus dilindungi. Satu-satunya perkecualian adalah waktu gue
melabrak Noni dulu, setelah dia meneror Alice.
Gue menghela napas dalam-dalam, berusaha sabar. Kalau saja kejadian itu bukan hampir
dua bulan lalu, gue pasti sudah mengecek list incoming call di HP gue. Tapi sekarang list
incoming call itu pasti sudah terhapus panggilan-panggilan lainnya!
Bodoh, ngomong apa gue" Alice nggak mungkin bohong sama gue... dia nggak mungkin
mengarang cerita! Tanpa perlu melihat list incoming call pun, gue percaya sepenuhnya pada
kata-katanya. Tapi gue tetap harus memaksa Regina mengaku.
"Gin, gue mohon... jawab pertanyaan gue. Apa Alice waktu itu menelepon gue" Apa
waktu itu gue tidur, dan lo menerima telepon itu" Gue menyimpan nomornya di phonebook
dengan nama "Sayang". Apa lo menerima telepon dari nomor itu?"
Regina terdiam, gue bisa melihat ekspresi khawatir dan ragu membias di wajahnya. Tapi
beberapa detik kemudian dia mengangguk dengan takut-takut.
Gue bener-bener merasa kepingin mati! Selama ini gue sudah menyangka Alice nggak
peduli lagi sama gue! Dan gue kecewa sama dia karena kenyataan itu! Padahal dia
menelepon... dan salah paham karena mendengar Regina yang mengangkat teleponnya...
Padahal gue dan Regina nggak ada apa-apa...
"Oh my God..." Gue menutup kedua mata gue dengan kedua belah tangan. "Kenapa
waktu itu lo nggak bilang, Gin" Kenapa lo nggak bilang Alice telepon?"
"Karena gue nggak kepingin lo tahu Alice masih peduli sama lo, Lan... Karena gue
nggak mau lo dan Alice balik lagi...," jawab Regina dengan suara bergetar.
Hah"! Dia sengaja melakukan itu!
"Tapi kenapa?"?" tanya gue nggak ngerti. Gue nggak habis pikir, setelah Noni, ternyata
masih ada lagi cewek psycho yang nyasar di kehidupan gue!
"Karena gue cinta sama lo... Karena gue mau lo jadi milik gue..." Regina mulai
bercucuran air mata, dan kalau gue nggak ingat semua perbuatannya yang menyebabkan gue
dan Alice terpisah, mungkin gue bakal kasihan sama dia.
Gue tahu, dia suka sama gue. Gue tahu dia menaruh harapan, tapi gue sama sekali nggak
menyangka dia tega melakukan hal segila itu!
"Gin, lo nggak tahu apa yang lo lakukan!"
Regina menatap gue dalam-dalam, air matanya berjatuhan makin deras. "Gue tahu, Lan...
Gue tahu apa yang gue lakukan. Gue berusaha menjauhkan lo dari Alice... karena lo hanya
boleh jadi milik gue... Lo adalah pengganti Henry, pacar gue yang udah nggak ada... Gue
akan melakukan segalanya untuk mendapatkan lo..." Dia sesenggukan, dan merosot lemas
bersandar pada ambang pintu apartemennya.
Gue tercengang. "Melakukan segalanya" Gosip itu... jangan bilang lo yang melakukan
itu! Jangan bilang lo sengaja menciptakan gosip kita ada affair!"


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada jeda kesunyian yang menusuk. Gue seolah nyaris mati menunggu jawaban Regina.
"Ya, Dylan," akhirnya Regina menjawab, dan gue merasa baru dijatuhkan dari gedung
berlantai tiga puluh! "Gue memang melakukan itu. Gue merencanakan semuanya. Gue yang
mengatur supaya gue syuting iklan di Singapura, dan transit semalam di Batam, jadi gue
mengatur semuanya. Gue menyuruh tim cameraman gue untuk mengambil gambar gue
mencium lo di bandara di Batam. Gue menyuruh dia mengirim gambar itu pada wartawan
infotainment yang dikenalnya via e-mail... dan... dan... infotainment melakukan sisanya..."
Regina menangis meraung-raung setelah semua pengakuannya.
Astaga! Dia BENAR-BENAR merencanakan semua itu?"" Gila!
"Tapi gue melakukan itu karena gue nggak mau kehilangan lo, Dylan... Karena gue cinta
sama lo... Gue..." Regina bangkit dari duduknya dan berusaha memeluk gue, masih sambil
menangis sesenggukan, tapi gue langsung menepis tangannya.
"Shut up!" Gue membentaknya. Terserah kalau ada yang mengatai gue nggak
berperasaan karena berlaku kasar sama cewek. Mereka nggak merasakan frustrasinya gue
karena sempat kehilangan Alice!
Dan mendadak gue teringat sesuatu...
"Kenapa waktu di bar... waktu di hotel, lo menyuruh gue kembali ke Jakarta dan
mengajak Alice bicara" Kalau lo memang mau memisahkan gue dan Alice, kenapa lo
menyarankan gue mengajak Alice baikan?" Gue kepingin tahu apa itu juga bagian dari
rencananya! Regina menggeleng berkali-kali, dan meraih tangan gue. "Lo masih nggak ngerti?"
tanyanya sedih. "Gue melakukan itu, karena... gue ingin punya image baik di mata lo,
Dylan... Lo nggak tergoda dengan semua kelakuan gue sebelumnya, dan gue sadar gue sudah
salah jalan... satu-satunya cara mendapat perhatian lo adalah dengan menunjukkan seolah gue
peduli pada masalah lo dan Alice, meskipun dalam hati gue sakit banget... meskipun dalam
hati gue berharap sebaliknya..."
Sekarang gue bener-bener merasa gue orang tergoblok sedunia!
"Lo gila, Gin." Gue menarik tangan gue dari genggamannya.
"I am." Regina menggigit bibirnya dengan getir. "I"m mad about you..."
Minta ampun deh! "Alasan lain kenapa gue menyuruh lo kembali ke Jakarta... adalah karena gue harus
memastikan lo dan Alice putus secepatnya..." Regina menutup wajahnya dengan tangan, dan
menangis semakin keras. "Gue tahu akan seperti apa reaksi Alice jika dia melihat gosip itu di
infotainment, lalu tiba-tiba lo muncul, dan berusaha menjelaskan itu nggak benar... Alice
justru akan semakin percaya gosip itu benar! Ya, ya, gue tahu itu... Dia akan mengira lo
khawatir karena rahasia lo sudah terbongkar oleh infotainment, lalu lo mencoba
membujuknya... Gue yakin dia akan langsung minta putus..." Regina tersenyum pahit.
Gue berdiri dengan napas tersengal. Gue masih nggak percaya ada orang yang begitu
jahat merencanakan semua itu! Mungkin gue juga nggak akan kaget kalau mendengar Regina
mengaku dialah dalang kerusuhan di konser-konser Skillful!
Tapi entah kenapa, gue yakin dia nggak terlibat dalam hal itu. Feeling gue mengatakan
dia nggak tahu apa-apa tentang itu. Dia hanya berusaha memisahkan gue dan Alice, dia
nggak akan ambil pusing dengan Skillful. Nggak ada untungnya bagi dia kalau Skillful
dilarang menggelar show. "Jadi selama ini... lo mengatur semuanya" Lo memperhitungkan semuanya?"
Regina sesenggukan beberapa kali. "Iya... tapi, Dylan... gue melakukan itu karena gue
benar-benar nggak tahu harus gimana untuk merebut perhatian lo... Gue tahu lo nggak akan
melihat gue kalau masih ada Alice di sisi lo... dan gue memanfaatkan sifat Alice yang
gampang cemburu... Gampang terpancing. Dia terlihat marah sekali waktu melihat gue
menyentuh lo sedikit saja di PIM dulu... Gue tahu apa yang akan terjadi kalau dia melihat ada
gosip antara gue dan lo di infotainment... Gue tahu akan seperti apa reaksinya kalau dia
mendapati gue yang mengangkat teleponnya di HP lo... Gue muak mendengar lo mengigau
memanggil dia dalam tidur lo saat lo demam, Lan... Itu membuat gue sadar, lo masih
mengharapkan dia... Tapi kalau lo mendapati dia nggak lagi peduli... lo akan kecewa dan
membenci dia... Gue akan punya peluang untuk merebut lo..."
Regina semakin histeris dengan tangisannya, dan belum pernah gue kepingin menghajar
orang sampai seperti ini!
Tapi gue tahu, itu nggak akan menyelesaikan masalah. Gue nggak butuh masuk
infotainment sekali lagi karena mematahkan batang leher Regina Helmy.
Lagi pula, gue sudah mendapatkan apa yang gue butuhkan.
"Makasih, Gin. Makasih buat pengakuan lo."
Sambil berkata begitu, gue menekan tombol stop pada program recorder di HP yang
sedari tadi ada dalam genggaman gue. Dengan puas gue menyadari, semua pengakuan Regina
terekam dengan sempurna di sana.
Gue tahu, Alice nggak akan percaya kalau gue hanya menjelaskan padanya gue dan
Regina nggak ada hubungan apa-apa. Gue sudah belajar tentang itu saat dia menolak percaya
pada penjelasan gue dulu dan malah memutuskan gue. Satu-satunya cara supaya Alice
percaya, hanya dengan memaksa Regina mengaku di depannya.
Atau, dengan memperdengarkan rekaman pengakuan Regina ini padanya.
Bertahun-tahun mengenal Mbak Vita, gue akhirnya belajar dari calon kakak ipar gue itu,
bagaimana bertindak dengan menggunakan logika.
Gue mendongak menatap Regina, dan menyadari bias ketakutan sudah menyebar luas di
seluruh wajahnya. "Lo... lo merekam... semua kata-kata gue tadi?" tanyanya tergagap.
"Yep. Gue harus memperdengarkan pengakuan lo ke Alice, kan?"
Regina menggeleng cepat. "Jangan, Dylan, jangan... Lo nggak tahu apa yang lo
lakukan..." "Oh, gue tahu kok. Gue tahu pasti apa yang gue lakukan."
"Jangan, Dylan, gue mohon... Alice bisa tahu gue... gue yang merencanakan semuanya...
Dia nggak boleh tahu..."
"Dia memang harus tahu."
"Nggak! Pokoknya nggak! Kalian nggak boleh sampai balikan!" Regina sekarang
berteriak seolah kesetanan. Dia kelihatan sanggup melakukan apa saja, dan gue yakin dia
akan melakukannya. "Hapus rekaman itu, Dylan... Hapus!!!"
Regina berusaha merebut HP dari tangan gue, tapi gue berkelit dengan cepat. Regina
menabrak ambang pintu, dan mengaduh kesakitan di lantai.
Dia bodoh, gue jelas nggak akan menghancurkan satu-satunya kesempatan gue untuk
mendapatkan Alice kembali!
"Sori, tapi supaya lo tahu, usaha lo untuk mendapatkan nilai baik di mata gue gagal total.
Gue bodoh, bisa-bisanya dulu gue respek sama lo, mengira lo cewek yang baik dan perhatian.
Lo sama sekali nggak seperti itu! Lo cewek dengan kepribadian terburuk yang gue kenal!"
Gue berbalik dan akan langsung melangkah menuju lift lantai apartemen Regina, waktu
gue mendengar dia bicara lagi.
"Lan, gue mohon jangan pergi, Lan... Kenapa... Kenapa lo sebegitu sayangnya sama
Alice, Lan" Kenapa" Gue lebih segalanya dari dia..." Regina tersungkur di lantai, dan
menatap gue dengan tatapan sedih.
Sori aja deh, gue nggak akan tertipu angelic face-nya lagi! Dan berani-beraninya dia
mengaku lebih segalanya dari Alice!
"Ngaca dulu sana!" bentak gue.
Tanpa membuang waktu lagi, gue berjalan menuju lift, dan turun menuju basement
tempat gue memarkir motor.
*** "Iya... tapi, Dylan... gue melakukan itu karena gue benar-benar nggak tahu harus gimana
untuk merebut perhatian lo... Gue tahu lo nggak akan melihat gue kalau masih ada Alice di
sisi lo... dan gue memanfaatkan sifat Alice yang gampang cemburu... Gampang terpancing.
Dia terlihat marah sekali waktu melihat gue menyentuh lo sedikit saja di PIM dulu... Gue
tahu apa yang akan terjadi kalau dia melihat ada gosip antara gue dan lo di infotainment...
Gue tahu akan seperti apa reaksinya kalau dia mendapati gue yang mengangkat teleponnya
di HP lo... Gue muak mendengar lo mengigau memanggil dia dalam tidur lo saat lo demam,
Lan... Itu membuat gue sadar, lo masih mengharapkan dia... Tapi kalau lo mendapati dia
nggak lagi peduli... lo akan kecewa dan membenci dia... Gue akan punya peluang untuk
merebut lo..." Rekaman itu selesai berputar, dan gue mendongak menatap wajah Alice dengan perasaan
nggak keruan. Akan seperti apa responsnya" Apa dia akan memaafkan gue setelah ini" Apa
dia akan percaya kalau gue mengaku gue menyesali kebodohan gue yang menganggapnya
sebagai cewek sombong yang nggak peduli lagi pada gue, hanya karena gue mengira dia
nggak menelepon" "Maafin gue, Lice..." Akhirnya gue bisa bicara juga, setelah sepuluh menit lidah gue
beku karena deg-degan menunggu reaksi Alice. "Gue yang salah. Gue bego, nggak sadar
sudah masuk perangkap Regina..."
Alice diam saja. Dia cuma menatap gue lurus-lurus.
Duuuuhhh, ngomong kek! Nggak tahu apa gue nyaris gila nunggu reaksi lo"!
"Gue salah, gue sempat meragukan lo... dan... dan gue sama sekali nggak tahu Regina
mengangkat telepon dari lo itu... dia nggak bilang, Lice... Lo dengar sendiri kan di rekaman
tadi" Dia mengakui semuanya, dia mengaku dia menyusun rencana supaya kita berpisah..."
Alice masih saja diam. Kayaknya gue bakal mati kalau dalam satu menit ke depan dia
nggak bereaksi! Apa dia masih meragukan gue"
Gue berdoa diam-diam dalam hati. Tuhan, tolonglah supaya Alice mau percaya pada
saya lagi, Tuhan... saya janji saya nggak akan menyakiti dia lagi... saya janji akan menjaga
dia, menjaga perasaannya... saya sudah kehilangan dia dua kali, Tuhan, saya nggak mau
kehilangan dia lagi... Saya janji nggak akan merokok, nggak akan memaki-maki orang, nggak
akan mengomel, nggak akan mengatai Bang Budy lagi... saya janji akan jadi anak yang
baik... Saat gue mendongak lagi, Alice sudah beranjak dari sofa yang didudukinya, dan berjalan
menuju bagian dalam rumah.
Selesai sudah. Dia nggak percaya sama gue lagi. Bahkan setelah mendengar semua
pengakuan Regina pun, dia nggak bisa memercayai gue lagi. Memang gue yang bodoh,
menyia-nyiakan Alice.... Gue bangun dari sofa, dan berjalan menuju pintu. Nggak ada gunanya lagi gue di sini,
toh Alice sudah nggak percaya sama gue.
"Hei! Tunggu!" Gue menoleh dengan penuh harap. Apa Alice mau memaafkan gue ya" Apa dia mau
meminta supaya gue jangan pergi"
Tapi gue cuma bisa bengong, dan menangkap benda yang dilemparkan Alice pada gue.
Bungkusan bajunya yang gue bawakan tadi siang.
Ah, fool me. Kenapa gue bisa berharap dia mau memaafkan gue"Sekarang dia bahkan
mengembalikan baju ini, pasti dia mau bilang dia menolak jadi penerima tamu di pesta Tora,
karena nggak mau ngeliat muka gue lagi....
"Tolong bilang ke Tante Ana, bagian pinggangnya kebesaran tiga senti."
Gue menoleh dengan cepat. Apa ini berarti..."
Alice bersedekap, menatap gue. "Gue jadi kurus gara-gara mikirin lo terus, tau!"
Gue ternganga, tapi sedetik kemudian tersenyum lebar.
Tuhan mengabulkan doa gue.
*** Satu bulan kemudian... "Aku nggak bisa ke sana sekarang, Bang. Aku lagi siap-siap mau ke Gereja!
Pemberkatan Tora mulai jam sepuluh nanti!"
"Sebentar saja, Dylan. Nggak akan lama."
"Tapi, Bang, aku jadi best man-nya, aku nggak mungkin ke sana sekarang! Di atas jam
dua belas aja, ya" Jam segitu acaranya selesai."
"Nggak bisa, Lan, kamu harus ke sini sekarang!"
Gue mengertakkan gigi, dan hampir mulai mengatai Bang Budy lagi, waktu gue ingat
janji gue saat berdoa di rumah Alice dulu. Gue nggak mau cuma karena gue melanggar janji
gue dengan mengatai Bang Budy, gue kehilangan Alice lagi. No way!
Tapi beneran deh, Bang Budy ini kenapa sih" Masa abang gue mau nikah, tapi gue malah
disuruh ke kantor manajemen" Kayaknya habis ini gue harus mengajari Bang Budy yang
namanya "skala prioritas"!
"Bang, nggak bisa nanti aja, ya" Serius nih, aku nggak bisa!" Sekarang gue berbisik di
telepon, karena beberapa anggota keluarga sudah menatap gue dengan pandangan ingin tahu.
Alice juga. Ohh, dia cantik BANGET tapi hari ini! Gaun yang dijahitkan untuknya ternyata gaun
putih panjang menjuntai yang berleher V, cocok banget buat dia! Dan dia pakai jepit bunga
lili yang dipakainya di MTV Awards dulu!
"Lan, ini nggak bisa menunggu!"
"Apa sih yang nggak bisa menunggu?"?" tanya gue nggak sabar. Kalau yang dimaksud
Bang Budy adalah Pak Leo, gue bakal menggetok kepala bos besar itu dengan keranjang
confetti yang seharusnya dibawa Christie, keponakan Mbak Vita yang berumur lima tahun,
saat jadi pengiring di pesta nanti!
Ah, tapi itu juga bakal melanggar janji gue ke Tuhan untuk jadi anak baik... masa gue
harus kehilangan Alice lagi hanya karena menggetok kepala Pak Leo dengan keranjang
confetti"! Minta ampun deh, Pak Leo is not worth that much!
"Bang, udah deh, Abang kasih tahu aja apa yang sebegitu PENTING-nya sampai aku
harus ke sana sekarang. Kalau memang benar penting, aku bakal langsung ke sana!"
Gue sudah habis kesabaran. Bang Budy sekarang kalau ngomong suka muter-muter
nggak jelas! Suka sok rahasia, pula!
"Oke, oke. Kamu pasti mau tahu siapa dalang di balik rusuhnya konser-konser kita, kan"
Dia sudah tertangkap."
*** Bang Budy kampret! Ternyata dari kantor manajemen, kami masih harus menuju Polres Jakarta Selatan! Tahu
begini, kenapa dia nggak ngajak ketemuan di sini aja" Gue kan nggak perlu muter dulu ke
kantor manajemen! Kayaknya Mama bakal bener-bener menghabisi gue karena terlambat ke pemberkatan
Tora nanti! Ah, sudahlah. Jadi ngata-ngatain Bang Budy deh! Gue kelepasan! Sekarang, yang
penting, gue tahu siapa dalan di balik semua kerusuhan gila itu!
Bang Budy berjalan paling depan, sementara gue, Ernest, Dudy, Dovan, dan Rey
mengekor di belakang. Nggak ada seoran gpun di antara kami yang sudah tahu siapa orang
gila yang merancang rencana kotor itu.
Lucunya, Rey terheran-heran mengetahui gue mau datang juga dengan jas dan dasi
begini. Haha. Kayak dia lagi nggak pakai jas dan dasi aja! Semuanya kan juga lagi siap-siap
untuk ke pemberkatan Tora!
Kami berbelok di koridor yang panjang, dan sampai di ruang tunggu. Petugas polisi yang
mengantar kami keluar lagi, dan beberapa saat kemudian muncul petugas-petugas lain,
menggiring sekelompok orang.
Orang-orang yang gue lihat di rekaman video di kantor manajemen sebulan lalu.
Gue menatap mereka semua sambil menggeleng. Semuanya enam orang, dan nggak ada
satu pun yang gue kenal. Gue menoleh, dan melihat anak-anak juga memasang ekspresi
bingung. Siapa dalangnya" Yang mana"
Petugas polisi terakhir masuk, menggiring seorang lagi, dan gue melongo begitu
lebarnya sampai rahang gue terasa tergang.
HUGO?"?" "Brengsek lo!!!"
Gue menoleh, dan melihat Dudy sedang meronta di antara Bang Budy dan Dovan yang
berusaha menahannya untuk nggak mendekati Hugo.
"Dia" Dalangnya?" tanya gue nggak percaya.
"Kami mendapatkan pengakuan yang sama dari keenam pelaku, bahwa mereka dibayar
untuk memancing kerusuhan pada konser Skillful. Pihak yang membayar mereka untuk
melakukan hal tersebut, adalah Saudara Hugo Fernandez."
Gue menelan ludah. Ini benar-benar nggak bisa dipercaya!
Hugo membayar semua orang ini untuk merusuh di konser Skillful" Untuk merusak
image band gue" Tapi kenapa"
Gue berjalan mendekati Hugo. Dia sama sekali nggak terlihat merasa bersalah. Dia
malah membalas tatapan gue dengan angkuh dan penuh kebencian.
"Lepasin gue! Biar gue hajar dia! Dasar brengsek! Harusnya dari dulu-dulu gue hancurin
muka lo!" Dudy berteriak-teriak dari tempatnya tadi, mukanya merah padam karena amarah,
tapi Bang Budy dan Dovan masih menahannya kuat-kuat.
"Kenapa?" tanya gue saat berada persis di depan Hugo. "Kenapa lo lakuin ini semua"
Band gue punya salah apa sama band lo?"
Hugo meronta sedikit, tapi petugas polisi yang menanganinya terlihat dilatih dengan
sangat baik. Dia langsung menekuk tangan Hugo pada posisi tertentu, mengakibatkan Hugo
merintih kesakitan. "Guenggak tahu kenapa lo bisa melakukan semua ini..."
"Nggak tahu?" Hugo menatap gue dengan penuh kebencian, lalu meludah ke lantai. "Lo
kira, gue akan diam saja setelah kejadian di Surabaya dulu?"
Gue mundur dua langkah. Bukan karena takut Hugo tiba-tiba bakal menyerang gue, tapi
karena terenyak. Dia melakukan ini semua, karena merasa eXisT kalah dari Skillful" Karena
Skillful, menurut dia, mendapat perlakuan lebih istimewa" Karena Skillful menjadi penutup
konser, dan bukannya eXisT"
Dia melakukan semua ini hanya karena hal-hal itu"
Hugo Fernandez benar-benar orang paling tolol sedunia!
"Kalau lo belum belajar dari penjara saat kasus narkoba lo itu, gue harap kali ini lo
belajar," kata gue dingin.
Hugo sekali lagi berusaha melepaskan diri untuk menghajar gue, tapi petugas yang
memeganginya mengulangi gerakan menekuk tangan yang tadi, dan Hugo meringis menahan
sakit. Gue menoleh menatap Bang Budy. "Aku boleh pergi nggak sekarang?"
Bang Budy mengangguk, di sela usahanya untuk menahan Dudy menyerang Hugo. "Kita


Dear Dylan Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi sama-sama." Lalu kami semua keluar dari ruangan itu, meninggalkan Hugo dan masa depannya, yang,
sekali lagi, telah dia hancurkan sendiri.
THE WEDDING "SAYA, Taura Daniel Siregar, mengambil engkau Shellovita Elizabeth, sebagai istriku. Saya
berjanji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya, bahwa saya akan setia kepadamu, dan mengasihi
engkau, dalam susah maupun senang, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya, sebagaimana
wajib diperbuat seorang suami yang beriman kepada Yesus Kristus."
Aku menatap Mbak Vita dan Bang Tora yang berdiri di depan sana dengan terpesona,
sementara Mbak Vita bergantian mengucapkan janji yang sama pada Bang Tora. Rasanya
indaaaaahhh sekali! Romantis!
Yeah, aku tahu aku memang norak, tapi aku benar-benar terharu! Mbak Vita terlihat amatsangat-super-duper-cantik-sekali dalam gaun dan cadar pengantinnya. Aku sampai nyaris nggak
mengenalinya waktu dia turun dari mobil pengantin tadi!
Kapan ya aku bakal mengalami hal yang sama" Jadi pengantin yang cantik... mengucapkan
janji setia di Gereja... Sekarang aku jadi benar-benar kepingin nangis karena terharu! Tante Ana saja sudah
menangis di depan sana (saking bahagianya, tentu saja!), sementara Oom Benny merangkul bahu
beliau. Satu-satunya pemberkatan nikah yang pernah membuatku menangis saking terharunya
adalah pemberkatan yang kutonton di film A Walk to Remember, antara Landon Carter dan Jamie
Sullivan. Aku serius! Waktu nonton film itu bersama Grace dulu, aku banjir air mata. Grace juga.
Lalu seperti anak kelas enam SD pada umumnya, kami menangis bersama-sama.
Sayang, sekarang aku nggak bisa melakukan hal yang sama. Grace ada di bangku belakang
sana, duduk bersama orangtuaku, sementara aku duduk di deret nomor dua dari depan, bersama
Tata dan Ina, para sepupu Dylan yang juga menjadi penerima tamu. Aku nggak mungkin tibatiba memeluk mereka lalu menangis, bisa-bisa aku dikira gila!
Dan ngomong-ngomong soal Dylan, anak itu ke mana sih?""
Satu jam sebelum pemberkatan, dia terima telepon di HP-nya, dan minta izin untuk pergi
sebentar. Tapi sampai kami akan berangkat untuk menjemput Mbak Vita di rumahnya, Dylan
belum juga kembali. Tante Ana meneleponnya berkali-kali, tapi nggak diangkat! Seperti biasa, dia
mendadak sok nggak bisa dihubungi! Dasar penyakit lama!
Terpaksa, salah satu sepupu Dylan menggantikannya sebagai best man. Dylan dudul, apa sih
yang lebih penting dibanding acara pemberkatan nikah abangnya"
Jangan-jangan Reg... Ah, kok bisa-bisanya aku kepikiran Regina Helmy lagi?" Aku yakin, Dylan sudah ilfil total
sama cewek itu setelah semua pengakuannya bahwa dia memang berencana memisahkan aku dan
Dylan! Dan Dylan kan sudah berjanji segala macam padaku, kalau dia nggak akan pernah melirik
cewek lain lagi. Memang nggak pernah kok, katanya waktu itu. Aku saja yang terlalu parno,
mengira dia ada apa-apa sama Regina.
Huh, tapi dugaanku benar kan, kalau Regina mengincar dia" Susah memang punya cowok
seganteng Dylan. Eeehh... tapi tetap saja, biarpun ganteng, tapi kalau suka menghilang dan sok
nggak bisa dihubungi begini, aku nggak sukaaa! Awas saja kalau dia muncul nanti! Lihat saja
nanti! "Taura, kamu bisa memasangkan cincin di jari Vita."
Aku mendongak, dan menghela napas melihat acara pemasangan cincin sudah dimulai, tapi
Dylan belum juga datang. Ke mana dia"
"Dengan kuasa yang diberikan oleh Gereja, aku menyatakan kalian sebagai suami-istri.
Taura, kamu boleh memberikan ciuman kasih untuk istrimu sekarang."
Bang Tora membuka cadar Mbak Vita, dan mencium keningnya. Ohhh so sweeeeettttt!
"Hai!" Aku menoleh, dan melihat Dylan sudah duduk di sebelahku! Rupanya dia memutar dari
bangku belakang tadi, jadi aku nggak melihatnya!
"Dari mana aja kamu?" Aku keheranan menatap dahinya yang bersimbah keringat.
"Nanti aku ceritain."
"Dylaaann... kamu kan sudah janji..."
"Sssttt... nggak boleh ribut di gereja!" Dylan berbisik di telingaku. "Aku kan bukannya nggak
mau cerita, tapi menunda saja. Aku nggak mau melewatkan prosesi pernikahan abangku!"
"Huuu... kamu sudah melewatkannya dari tadi, tau!"
Aku manyun, tapi Dylan pura-pura nggak melihat. Dia yang bertepuk tangan paling keras
setelah Bang Tora mencium kening Mbak Vita.
*** "Dan inilah dia... SKILLFUL!"
Dylan setengah berlari menaiki panggung, sementara personel-personel Skillful lainnya
mengambil instrumen mereka dari para kru yang tadi menyiapkan semua instrumen itu. Semua
yang hadir di ballroom ini bertepuk tangan keras sekali. Skillful memang bersedia manggung di
resepsi Bang Tora dan Mbak Vita ini, sebagai hadiah untuk mereka, tanpa dibayar!
Hihi... tentu saja ya, personelnya kan adik si mempelai sendiri!
Memang sih, tadi Dylan bilang semua show Skillful harus melalui manajemen, nggak
segampang yang kukira, hanya dengan kesediaan personelnya. Tapi Bang Budy ternyata sangat
setuju begitu mendengar rencana ini. Dia malah menyuruh Skillful jadi wedding band! Haha,
lumayan kan untuk menghemat budget! Bang Tora, nggak perlu sewa wedding singer!
Untunglah tugasku sebagai penerima tamu sudah selesai, jadi aku bisa nonton Dylan nyanyi.
Capek juga ternyata jadi penerima tamu, tapi seru banget! Tata dan Ina, yang satu meja denganku
(ada dua meja penerima tamu, meja satunya dijaga tiga sepupu Dylan yang lain), nggak habishabisnya mengajakku ngobrol. Aku terbahak saat dua saudara kembar itu berdebat sendiri, juga
saat Tata mengeluh karena keinginannya pakai gaun H-I-T-A-M di pesta ini nggak terwujud, dan
Ina memandangnya dengan tatapan mencemooh! Ya ampun, asli konyol!
Dylan mengoceh sebentar di atas panggung sebelum mulai menyanyi. Anehnya, kali ini dia
cukup lancar, bukannya berceloteh nggak jelas seperti biasanya. Mungkin karena yang menonton
dia kali ini orang-orang yang dikenalnya, ya" Keluarganya, teman-temannya... Mungkin karena itu
dia jadi nggak grogi. Skillful menyanyikan tiga lagu hits mereka, Soulmate, Sayangku, dan Terlalu Indah. Lalu mereka
membawakan request lagu dari Bang Tora, lagu kesukaannya: My Valentine! Haha, mereka benarbenar jadi wedding band! Dylan bahkan menyanyikan lagu yang di-request Nantulang Saidah, Jatuh
Cinta-nya Titiek Puspa! Aku sampai nggak bisa menahan diri untuk nggak ngakak!
"Nah, sekarang saya mau nyanyi lagu yang saya request sendiri nih," kata Dylan setelah
menyanyikan lagu yang di-request salah satu tamu. "Untuk pacar saya yang di sana, Alice. Makasih
ya, Sayang, kamu sudah jadi pacar yang baik banget untuk aku selama ini. Maaf kalau aku sering
bikin kamu kesal. And thank you for turning my life into a colorful one."
Aku bengong, dan dengan panik melirik kiri-kananku! Semua orang sedang menatapku!
Beberapa di antaranya cekikikan geli! Ya ampun Dylaaaaannnn, aku sih senang dinyanyikan lagu,
tapi nggak harus pernyataan cinta di depan seluruh keluarga begini dong!
"Oh ya, ini lagu favorit saya sekarang. Home-nya DAUGHTRY."
Musik mulai mengalun, dan aku merasa mengenal melodinya.
Starring out into the night
Trying to hide the pain I"m going to the place where love
And feeling good don"t even cost a thing
And the pain you feel Is the different kind of pain
Well I"m going home Back to the place where I belong
Where your love has always been enough for me
I"m not running from
No, I think you got me all wrong
I don"t regret this life I chose for me
But these places and these faces are getting old
So I"m going home I"m going home... Lho" ini kan lagu voted-off yang dipakai di American Idol, ya" Yang kalau ada kontestan yang
tereliminasi itu" Melodinya enak banget! Kayaknya bakal jadi lagu favoritku juga nih! Dylan harus
menemaniku beli CD lagu ini nanti!
The miles are getting longer, it seems
The closer I get to you I"m not always been the best man or friend for you
But your love remains true
And I don"t know why
You"re always seem to give me another try
So I"m going home Back to the place where I belong
Where your love has always been enough for me
I"m not running from
No, I think you got me all wrong
I don"t regret this life I chose for me
But these places and these faces are getting old...
Tanpa kusadari, aku menangis. Ternyata air mata yang kutahan sedari terharu di gereja tadi
nggak mau lagi dibendung. Tapi aku tersenyum, rasanya bahagia banget ada di sini, dengan Dylan
menyanyi di depan sana untukku, menyanyikan lagu yang seperti dibuat untukku, setelah semua
yang terjadi. I just can"t believe that we survived....
"Alice, ikutan yuuukkk!" Ina menarik-narik tanganku menuju panggung. Mbak Vita bakal
melempar buket bunganya, dan cewek-cewek yang masih single pada berebut maju ke depan.
Siapa tahu mereka yang bakal menangkap buket itu, dan dalam waktu dekat akan segera
menyusul jadi pengantin. "Ah, aku nggak deh, In... kamu aja. Aku kan bukan single, aku udah punya pacar." Aku
meneruskan makan bistik dari piring yang kupegang. Jadi penerima tamu ternyata membuatku
sangat kelaparan! Tentu saja, aku dapat giliran makan terakhir, itu pun gantian dengan penerima
tamu yang lainnya! "Ihh... siapa yang bilang itu buat yang belum punya pacar" Itu buat yang belum punya suami,
tau! Jadi kamu wajib ikut! Tuh lihat, Nantulang Saidah aja kayaknya ngebet banget kepingin ikut,
tapi dia kan udah nggak boleh lagi!"
Aku melongok ke depan, dan benar saja, Nantulang Saidah memandang para cewek yang
akan berebut menangkap buket bunga Mbak Vita dengan ekspresi kepingin! Benar kata Ina,
kayaknya Nantulang Saidah mau ikutan juga! Haha!
"Udah deh, kalau Alice nggak mau ya jangan dipaksa, tau! Lagian konyol banget sih, masa
siapa yang berikutnya dapat jodoh ditentukan dari buket bunga" Nggak make sense!" komentar
Tata dengan gaya sinisnya. Jelas dia nggak berniat ikutan berebut buket bunga, kalau mendengar
komentarnya itu. "Idih, situ kalau nggak mau ikut ya udah! Nggak usah memengaruhi orang lain buat jadi
bego kayak situ dong!" semprot Ina. Tata melotot. "Yuk, Lice!"
Akhirnya aku pasrah, dan mengikuti Ina berjalan menuju bagian depan panggung. Ah, paling
juga nggak dapat bunganya, yang ikutan sebanyak ini.
Mbak Vita berjalan dengan hati-hati menaiki panggung, dibimbing Bang Tora. Dia pakai
gaun yang berbeda dengan gaun yang di gereja tadi. Tadi pagi dia pakai kebaya modern warna
putih berbordir dengan bawahan kain tenun ulos. Sekarang Mbak Vita pakai gaun putih
bermodel kemben yang potongannya sangat simpel. Untuk memudahkan bergerak, katanya.
Hmm... mungkin aku bisa menyontek ide Mbak Vita itu kalau aku menikah nanti. Siapa juga
sih yang mau berkeliling di resepsi dengan menyeret-nyeret gaun yang berat" Enakan juga pakai
gaun simpel begitu! "...tigaaa!" Aku melongo melihat sekelilingku, lalu mendongak, dan dengan refleks menangkap benda
yang hampir jatuh menimpa kepalaku.
HAAAHHH?"" BUKET BUNGA MBAK VITA?""
Aku memandang sekeliling, dan, tentu saja, mendapati semua orang menatapku dengan
ekspresi yang berlainan. Kok bisa aku yang dapat sih?""
Tapi ekspresi orang-orang yang melihatku itu sungguh menakjubkan.
Oom Benny dan Tante Ana: melongo, tapi lalu bertepuk tangan dengan gembira.
Daddy dan Mama: bengong bukan kepalang.
Grace: bersiul-siul kesenengan bak orang baru menang lotere satu miliar.
Mbak Vita: bersorak gembira, seolah dia sudah memperhitungkan koordinat, arah angin,
kecepatan angin, dan segala macamnya saat melempar bunga itu, supaya jatuh tepat padaku.
Bang Tora: geleng-geleng kepala dengan mulut terbuka.
Nantulang Saidah: mengedip-ngedip dan nyengir lebar. Apadia sudah membayangkan
dirinya jadi panitia lagi"
Tapi Dylan, my Dear Dylan... menatapku lurus-lurus dan tersenyum. Seolah ada ide yang
sedang berkembang dalam kepalanya.
Oh-my-God! Hamukti Palapa 6 Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan Mr Quin Yang Misterius 4

Cari Blog Ini