Ceritasilat Novel Online

Jingga Untuk Matahari 3

Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih Bagian 3


wanita Indonesia " kulit sawo matang yang bersih, rambut hitam legam
yang panjang, hidung bangir, senyum manis, wajah lugu dan sorot
matanya lembut. Tapi dengan sekali tatap Tari mengetahui bahwa
gadis yang berdiri di depannya ini tidak selugu wajahnya. Sorot
matanya itu, meski lembut namun tidak menyembunyikan kecerdasan
dan juga kilatan senjata yang tidak segan ia keluarkan bila terdesak!
Lagipula, yang kita bicarakan disini adalah adik Angga. Mana mungkin
Angga membiarkan adiknya keluar "sarang" tanpa dibekali suatu hal
apapun. Tari melipat kedua tangannya, memasang posisi ready to war.
"Ada apa?" Tanya Tari defensif.
Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi sinis dan sarkas.
Jangan salahkan Tari bila sekarang ia mengeraskan hati. Jangan
salahkan Tari bila sekarang ia menjadi orang yang berburuk sangka
pada semua. Kejadian Ari membuatnya tersadar bahwa tidak ada yang bisa
benar-benar ia percaya di dunia ini. Kejadian Ari membuatnya harus
selalu siap sedia untuk berperang setiap saat. Kejadian Ari
memaksanya untuk terus waspada dan mendorong dirinya untuk tetap
kuat dan tegar, dimanapun dan kapanpun. Hingga tanpa sadar ia
membangun tembok setinggi mungkin dan mengasah pisau setiap saat,
menusuk setiap orang mencurigakan yang mencoba untuk mendekat.
Menatap Tari yang langsung memasang benteng pertahanannya,
Gita tersenyum setulus mungkin. Ia sebenarnya iba pada Tari. Pasti
gadis itu lelah sekali memforsir tubuh, hati dan pikirannya untuk
selalu on setiap saat. Gadis itu tangguh! Sekarang Gita mengerti
mengapa Tari menjadi obyek sengketa antara Ari dan Angga.
"Halo, Tari. Seperti perkataan Nyoman yang murah hati," Gita
tersenyum pada Nyoman, "Gue Gita."
Gita mengulurkan tangannya. Untuk formalitas, Tari membalas
uluran tangan itu, tanpa mengendurkan kewaspadaan sama sekali.
"Ada apa?" Tari mengulang pertanyaannya.
"Maaf, tapi waktu gue bener-bener enggak banyak," ucap Gita
gugup sembari melihat jam. "Gue pengen ngobrol sama elo, Tar. Kalo
boleh... berdua aja."
Tari dan Nyoman saling bertatapan. Tari tahu, Nyoman sangat
tidak rela meninggalkan Tari berdua saja dengan Gita. Bukan, Tari rasa
alasannya bukan untuk mencari gosip terbaru. Tapi lebih karena ia
mengkhawatirkan keselamatan Tari. Untuk menenangkan Nyoman, Tari
memeluk Nyoman sekilas, kemudian menyuruhnya menyusul Fio ke
kantin. Di kelas X-9... tinggal dua Srikandi sendiri! Mereka berdua saling
menatap, saling menilai secara singkat.
Gita menatap Tari. Tari tampak sangat lelah, namun sama sekali
tidak menurunkan powernya. Di depan Gita, Tari masih mengangkat
senjatanya. Ini pe-er serius untuk Gita: membuat Tari percaya
padanya. Tari menatap Gita. Gadis yang berdiri di depannya ini
menyorotkan tatapan bersahabat, namun Tari tidak mau ambil resiko.
Kewaspadannya tidak ia kendurkan. Karena ia masih belum tahu, yang
didepannya ini kawan atau lawan!
"Maafin gue karena udah buang waktu lo. Juga atas tindakan
lancang gue tadi pagi, yang rasanya perlu dikonfirmasi. Maaf ya Tar,
kalo elo malah nganggepnya itu penghinaan. Tapi, sumpah, itu tadi gue
lakuin murni buat ngebelain elo," ujar Gita cepat, menutupi
kegelisahannya. Tari jadi agak tersinggung. "Gue enggak butuh dibela sama elo."
"Tapi harus, Tar. Harus! Kalo tadi pagi gue biarin lo mukulin Ata
kayak orang kesetanan gitu, nggak cuma citra lo yang buruk, Tar. Tapi
juga Ari! Gue yakin, gosip bahwa mantan Ibu Negara lost control"
bakal jadi headlines gosip di Airlangga."
Tari menghela napas. Perkataan Gita yang rasional tadi ada
benarnya. Namun sampai disini, Tari tidak melihat adanya korelasi an
tara perbuatan Gita dengan dirinya. Motifnya apa" Maunya apa"
"Dan sebenernya, apa dasar lo ngelakuin hal itu?"Tanya Tari, tak
lagi menyembunyikan kelelahannya. Mungkin memang Gita setulus itu.
Mungkin memang ini uluran persahabatan. Mungkin memang Tari sudah
luluh. "Angga?" Gita menggigit bibir bagian bawahnya, ragu ingin
meneruskan ucapannya atau tidak. Namun Gita membulatkan
tekadnya, kemudian meneruskan perkataannya. "Jadi Angga?"
"Oke," tukas Tari segera, tidak membiarkan Gita melanjutkan
kata-katanya. Karena sudah dapat dipastikan kata-kata Gita barusan
hanya semakin memperparah luka hati Tari. Sudah tidak perlu
diingatkan lagi bahwa konspirasi antara Angga dan Ata nyata adanya.
"Oke..." Gita medesah. Dalam hati ia mengerti betul alasan dibalik sikap
dingin Tari barusan. Sangat amat mengerti. Yang bisa ia lakukan
sekarang hanya menghormati keputusan Tari. Namun masih ada satu
hal penting lagi yang harus ia katakan. Gita berpikir keras, merangkai
kata-kata yang tepat. Karena salah bicara sedikit saja bisa
menghancurkan rencananya!
"Udah, gitu aja?" Tari mengangkat sebelah alisnya. "Terima kasih
udah nyempetin waktu kesini. Gue ke kantin dulu."
"Tolong maklumin Ata, ya Tar. Dia sama sekali nggak bermaksud
jahat, kok." Ucapan Gita yang tiba-tiba itu langsung membuat Tari
menghentikan langkahnya seketika. Ia menoleh ke arah Gita,
memandangnya dengan tatapan tidak percaya seakan Gita berkata
bahwa bumi ini berbentuk kotak dan bukannya bulat. Gita tersenyum
gugup dan mendekati Tari.
"Mungkin lo pikir gue insane atau gimana, masih ngebelain Ata
setelah apa yang dia perbuat ke elo dan Ari. Tapi"Ata sama sekali
nggak jahat dan nggak bermaksud jahat. Ata itu lagi tersesat. Untuk
menuju jalan pulang, harus ngelakuin hal ini. Nyakitin kembarannya,
maksud gue," Gita menepuk bahu Tari. "Tolong maafin dia, ya, Tar."
Perkataan Gita sangat membekas di hati Tari. Kata-kata Gita
barusan" mengingatkannya pada dirinya sendiri!
Keadaan Ata dan Gita sama seperti keadaan Tari dan Ari, kalau
dipikir-pikir. Dari dulu Tari percaya bahwa Ari sama sekali bukan orang
yang jahat. Tari teringat dengan tatapan Ata ketika pagi itu
kerumahnya untuk memberi peringatan. Saat itu dia juga membaca
bahwa Ata ini sama seperti saudara kembarnya: tersesat. Namun
adanya kejadian-kejadian yang menyesakkan ini membuat Tari lupa
dan terlalu menghakimi Ata sedemikian rupa dengan menganggap
cowok itu sebagai orang paling jahat sedunia. Ia terlalu terlena dengan
pikirannya sendiri dan melupakan hal tersebut, sampai Gita
mengingatkannya kembali. Tari menatap Gita tepat di manik mata dan melihat masih ada
harapan disana. * Harusnya Ata tahu bahwa segalanya tampak too good to be
true untuk berjalan semulus ini. Harusnya Ata bisa menerka bahwa
semulus apapun rencana yang dibuat, pasti ada bolongnya juga.
Sepintar-pintarnya Ata berusaha umenghindar, entah bagaimana
caranya" orang itu menemukannya!
Disini, di depannya. Orang yang mati-matian ia hindari setengah
mati, orang yang ia benci sampai mendarah daging berdiri di
depannya. Di depan kelasnya!
Orang itu" Papanya. "Bisa Papa bicara?"
Ata mendengus. Ia melirik sekeliling. Banyak bisik-bisik dan
pandangan aneh yang tertuju padanya. Tidak heran, karena seorang
pria perlente lengkap dengan jas dan dasi berada di depan kelas.
Untuk meminimalisir adanya bermacam desas-desus, Ata mengiyakan
ajakan Papa. Dengan isyarat mata, ia mengajak pria paruh baya
tersebut ke pojok koridor yang sepi.
"Anda mau apa?" Tanya Ata dingin.
Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan Ata yang serasa
jungkir balik melihat Ayahnya" Ayah kandungnya, berdiri di depannya.
Sudah sembilan tahun ia tidak pernah bertemu dengan Papa. Dan
ketika tiba-tiba hal itu tersodor di depannya begitu saja, rasanya"
sangat aneh. Tidak ada perasaan mellow menggebu-gebu, ingin memeluk
Papanya, menangis dan bernostalgia, berusaha mengisi kekosongan
selama sembilan tahun. Tidak ada perasaan terharu dan bahagia
melihat Papa yang selama hanya ia bisa mimpikan kehadirannya. Oh
ya, selama ini dia memang kangen dengan Papanya. Sangat amat
kangen! Terkadang ia membayangkan bagaimana hidupnya bila masih
ada Papa disampingnya, sebagai teman berdiskusi, teman bercanda
dan berbicara mengenai permasalahan lelaki.
Namun kehidupan yang Ata jalani terasa begitu keras. Sangat
keras sehingga mengeraskan hatinya juga. Kerinduannya terhadap Ayah
kandungnya terhapus oleh perasaan lelah lahir batin akibat harus
menjadi sandaran Mamanya, harus bisa kuat dengan kaki sendiri.
Perasaan rindu itu terkikis seiring berjalannya waktu, karena
sementara ia harus struggle dengan hidupnya, Papa dan Ari bersenangsenang tanpa ada kesulitan yang melanda! Sekarang perasaan rindu itu
malah tergantikan oleh benci.
Mendengar pertanyaan Ata barusan yang terdengar kaku dan
dingin, Papa tersenyum tipis. "Kamu nggak mau menyapa Papa, Nak?"
Ata tertawa geli. Benar-benar geli!
"Papa"! Saya nggak punya Papa!! Jangan pikir hanya karena anda
menyumbangkan DNA pada saya, anda punya hak untuk menyebut diri
anda Papa saya! Saya nggak punya Papa!!"
Papa terdiam dan nampak tenang, sama sekali tidak tersinggung
atas ucapan Ata barusan. Karena Papa mengerti, ada hal-hal berat
yang sudah dilalui Ata dan sudah melampaui apa yang anak normal
lakukan. Papa mengerti bahwa Ata mengalami hari-hari yang susah dan
keras, yang selama ini tidak pernah Ari alami. Kekurangajaran Ata,
Papa anggap sangat lumrah. Meski begitu, Ata tetap anaknya dan ia
harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ayah.
"Maafin Papa, Ta. Mungkin bagi Ata, Papa hanya orang yang
pernah mengantarkan Ata ke TK. Sama sekali Ata tidak salah. Ata
sudah melalui hari-hari yang berat dan tidak mengeluh sama sekali.
Wajar saja Ata jadi keras hati begini. Tapi disini Papa hanya ingin
menjalankan tugas seorang ayah ketika anaknya bandel, Ata. Disini
Papa ingin menegurmu," ucapan Papa disampaikan secara lembut,
namun tegas. Ata ingin membalas kata-kata itu dengan kata-kata yang lebih
menyakitkan. Namun ia urung melakukannya. Sorot mata kecewa lelaki
yang berdiri di depannya ini membungkam mulutnya.
"Papa bukannya tidak tahu apa yang kamu lakukan pada Ari:
tawuran yang hampir mencelakakan Ari, jadi dalang penggulingan
posisi Ari sebagai Panglima Perang " sebutannya begitu, bukan, Nak" "
dan segala hal yang bisa kamu rebut dari Ari. Kalau Papa tidak salah
terka" tindakanmu ini berarti satu: kamu ingin berada dalam posisi
yang sama dengan Ari, bahkan lebih."
"Selama ini Papa menutup mata, menutup telinga. Tapi semakin
lama tindakanmu semakin keterlaluan, Ata. Kamu sakit hati, Papa
mengerti. Tapi mengapa kamu lampiaskan semua pada Ari"
Bagaimanapun, dia saudaramu."
"Lebih dari itu, yang membuat Papa paling kecewa adalah"
karena kamu berubah. Kamu bukanlah Ata yang bisa Papa banggakan.
Bukan Ata jagoan Papa. Bukan Ata yang kuat dan mandiri. Ata yang di
hadapan Papa sekarang" Ata yang licik dan haus kekuasaan. Mamamu
tidak membesarkanmu seperti ini, Ta."
Satu kata itu membuat kemarahan Ata tersulut.
"Jangan bawa-bawa Mama!!" jerit Ata histeris."anda ini siapa"!
Anda nggak tau apa-apa! Anda nggak tau seberapa saya harus berjalan
dan segala beban yang saya pikul! Anda nggak tau saya selama ini matimatian jadi Ari untuk menyenangkan Mama! Anda sama sekali nggak
ngerti! Dan Anda sama sekali nggak berhak ngejudge tindakan apapun
yang saya lakukan!" Napas Ata tersengal. Dadanya naik turun tidak beraturan.
Mengeluarkan emosi yang sudah terpendam bertahun-tahun lamanya,
ternyata bisa semenyesakkan ini. Kini, di depan ayahnya, ia
mengeluarkan segala uneg-uneg yang tertahan. Perasaan yang tidak
bisa ia utarakan sebelumnya. Tidak ada yang ia tutupi.
Sejenak keheningan menyeruak diantara Papa dan Ata. Ada
bagian-bagian melegakan dimana perasaan yang terpendam sudah
diungkapkan. Namun dibalik perasaan yang terungkap, ada hal-hal
rawan dan membahayakan dan masalah yang harus segera diselesaikan!
Sebenarnya Papa miris sekali mendengar curhat jagoannya
barusan. Ia memang tidak tahu apa-apa. Dan tidak ada satupun
tindakan yang bisa menebus kesalahannya dan kekosongan waktu
Sembilan tahun tersebut. Tetapi ada satu hal yang bisa lakukan untuk
menyelamatkan segalanya yang belum terjadi, sekaligus mencegah
terjadinya kerusakan yang nantinya akan menghancurkan semua pihak.
Sudah cukup sakit hati ini sampai disini. Sudah cukup kepahitan ini
mengganjal hati. Untuk berjalan ke depan, harus dengan dada yang
lapang. Papa menyentuh pundak Ata, seakan memberikan suntikan
kekuatan. Dan sejenak, tatapan mereka beradu. Tatapan itu! Mereka
seperti kembali pada beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih
menjadi keluarga yang utuh.
Ari selalu menjadi kesayangan Mama. Buat Mama, Ari adalah
malaikat manis nan penurut. Yang tidak bandel dan tidak pernah
membuat onar. Sedang Ata, ia adalah jagoan favorit Papa yang kuat
nan berani. Setiap kali Ata nakal, membuat anak tetangga menangis
dan akhirnya dimarahi Mama, selalu saja Papa membela Ata. Papa
beralasan, toh Papa tidak ingin mempunyai anak lelaki yang lembek.
Dan sudah Sembilan tahun ini Papa menjadi saksi bahwa untuk
menarik perhatian, Ari sengaja berubah menjadi Ata. Dan ternyata"
Ata berubah menjadi Ari! "Ta, sudah Sembilan tahun Ari berubah menjadi kamu?"
Pernyataan Papa barusan sangat menohok Ata!
* "Mantan Presiden lewaaaat!"
"Kasih jalan, kasih jalan!"
"Woo" so sweet! Helen dari Troya masih aja nih setia disamping
mantan Kepala Suku" Kirain nyari tumbal lainnya!"
"Harta, tahta, wanita. Sama sekali gue enggak nyangka si Ari jatuh
ke lubang yang paling enggak banget nih. Wanita! Hahahaha!"
Tari ingin berteriak membalas sindiran-sindiran mereka, namun Ari
mempererat rangkulannya, seakan mencegah Tari melaksanakan
niatnya. Tari mendengus kesal. Mati-matian ditahannya air mata yang
ingin mengalir. Ia menatap Ari. Ari tampak tenang, meski bibirnya
mengatup dan tangannya semakin erat merangkul Tari.
"Lo kenapa diem aja"! Kenapa lo nggak bales mereka"!" ucap Tari
emosi, ketika sorakan-sorakan itu sudah berhenti.
"Buat apa?" jawab Ari sambil tersenyum tipis.
"Gue nggak terima!!"
Tari berontak, melepaskan diri dari rangkulan Ari dan kemudian
berlari menuju kerumunan yang tadi menyoraki mereka berdua.
"HEH ! Lo pada cemen semua!! Beraninya cuma nyindir-nyindir
nggak jelas!! Dasar kacang lupa kulitnya! Musuh dalam selimut! Nggak
inget apa, dulu siapa yang nyelametin lo-lo pada pas tawuran"! Dasar
nggak tau terima kasih! Udik! Kampungan!"
Orang-orang hanya terdiam mendengar makian Tari barusan.
Bukan takut, tapi lebih kepada kaget karena tiba-tiba dibentak seperti


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Diamnya mereka tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian
mereka tertawa dan melontarkan kata-kata yang jauh lebih tajam dan
memerahkan telinga! Tari tidak tinggal diam. Ia membalas kata-kata
mereka semua, sama kerasnya, sama tajamnya!
Ari tidak tahan melihat Tari dilecehkan seperti itu. Ia sudah ingin
melesat ke arah Tari, namun langkahnya terhenti. Seseorang berdiri di
depannya, menghadangnya. "Kalo lo sama gue" lo nggak akan ngalamin hal-hal kaya gini.
Orang-orang nggak akan berani nyentuh lo. Kalo lo sama gue!"
Dengan tatapan ingin membunuh, Ari menatap Vero.
"Thank"s, but no, thank"s!" desisnya tajam.
"Aaaaaaaaaaahh!!" Vero menjerit frustasi. "Gue harus gimana lagi
sih, Ri, untuk nunjukin kalo gue emang sayang sama lo"!"
"Lo bisa nggak jadi Tari?" Ari menjawab pertanyaan Vero dengan
diplomatis. "Bukannya gue nggak tahu kejadian tadi pagi, Ver. Gue
udah pernah ngasih peringatan. Lo sentuh Tari, lo mati! Lo pikir gue
bercanda" Lo akan bayar, Ver" lo akan bayar! Stop gangguin Tari. Gue
udah bukan siapa-siapa, cuma rakyat jelata. Mendingan lo berhenti."
Vero memekik frustasi. "Bukan masalah jabatan elo! Tapi elonya!
Lo ngerti, nggak, sih"!"
Ari mengangkat sebelah alisnya.
"Nggak. Gue nggak ngerti. Gue cuma lihat Tari. Gue cuma butuh
Tari." Hanya dalam hitungan beberapa detik, Ari melesat ke arah Tari.
Dalam hitungan beberapa detik pula, kerumunan orang yang tadi
dilawan Tari itu rubuh atau membungkuk kesakitan. Sementara Tari
hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya, Ari merangkul
gadisnya dengan senyum jumawa, sama sekali tidak mempedulikan
ketika mereka melewati Vero.
* Ridho melihatnya di pojokan koridor kelas duabelas. Ata, yang
sedang berteriak keras kepada sosok pria berbaju rapi. Ata yang
kemudian tersungkur. Dengan sigap, Ridho langsung menghampiri
cowok itu, untuk menyelamatkan wajahnya. Dituntunnya Ata ke lab
kimia yang sepi. Meringis menahan senyum, Ridho merasa dejavu. Kehancuran yang
Ridho lihat ini persis seperti beberapa bulan lalu, ketika Ari mulai
membuka topengnya yang sebenarnya dan mengendurkan segala
macam bentuk pertahanan palsunya selama bertahun-tahun. Bedanya,
yang ada di depannya sekarang ini Ata, bukannya Ari. Yang membuat
Ridho geli adalah hampir saja ia tidak bisa membedakan keduanya.
Mereka memang begitu serupa.
Sebenarnya Ridho tidak tega, amat tidak tega melihat keadaan Ata
yang luka parah begitu. Namun Ridho tahu, salah satu jalan menuju
gerbang keikhlasan dan mendapatkan kelegaan hati, harus ada racun
yang dibuang. Sesakit apapun, seperih apapun. Membawa luka hanya
membuat jalan tidak lapang. Ridho menghela napas. Ia duduk
disamping Ata, kemudian merangkulnya.
"Lo harus bisa kontrol emosi kalo di depan umum," Ridho
menasihati cowok itu dengan suara pelan, "kan nggak lucu kalo seisi
sekolah ngeliat pahlawannya nagis terisak-isak."
Begitulah Ridho, dengan sifat khasnya yang selalu meyerang
bagian terdalam. Ata, yang sedang mengontrol suara tangisnya dengan
makian pelan, menatap orang yang hampir tiga minggu ini selalu
membayanginya. Menjadikannya duduk di posisi tertinggi di SMA
Airlangga. Yang dulunya menyandang predikat sebagai sahabat Ari,
namun dengan sukarela menyebrang padanya.
"Yang tadi datang itu," Ata menelan ludah, mencoba meneguhkan
hatinya," bokap gue dan Ari."
Ridho tercengang. Dibiarkannya Ata terus bercerita.
"Dia bilang, dia kecewa sama gue. Katanya gue keterlaluan. Apa
dia nggak tau, gue mati-matian berperan sebagai anak yang baik,
seperti Ari, di depan nyokap, dan tindakan gue sekarang dibilang
keterlaluan"!" Ata terisak keras. "Bukannya Ari selama ini udah hidup
enak" Bukannya Ari selama ini udah ngedapetin semuanya" Sampesampe orang salah ngira antara gue dan Ari!"
Melihat rintihan Ata seperti ini, Ridho jadi berpikir. Betapa
sebenarnya, mereka berdua benar-benar mirip. Benar-benar menjalani
kehidupan dengan topeng yang sama. Melakonkan peran yang sama
untuk membentengi hati. Ridho mendesah. Hal ini benar-benar ironis! Tragis! Si kembar itu
harusnya berjalan berdampingan. Berlari bersama. Sehingga mereka
bisa saling berbagi bila semuanya sudah tak tertahankan lagi. Namun
Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Mereka terlalu terbiasa
berdiri sendiri, berperang sendiri. Ego mereka berbicara bahwa mereka
tidak butuh siapapun. Mereka ciptakan topeng untuk melindungi diri
ketika semuanya menjadi menyesakkan dada. Lucunya, topeng yang
mereka ciptakan ini adalah karakter dari kembaran mereka! Mereka
ciptakan suatu ilusi, alter ego dari kembaran mereka. Karena dengan
begitu, mereka merasa tidak berjalan sendiri lagi. Tidak berlari sendiri
lagi. Ridho ingin sekali menghentikan percakapan yang juga menyayat
hatinya ini. Namun, kalimat terakhir Ata membuatnya penasaran.
"Salah ngira" Maksudnya?"
Ata menghela napas. Pandangannya lurus ke depan. Pandangan
itu... segala emosi melebur disana. Kerinduan, kasih sayang... juga
benci. * Ata, berusia 13 tahun, berjalan tergesa-gesa menuju SMP swasta
elite yang berada tidak jauh dari sekolahnya. Seperti yang sudah ia
lakukan bertahun-tahun, hari ini adalah waktunya ia melaksanakan
tugasnya sebagai kakak: mengawasi Ari.
Sudah lama semenjak perceraian kedua orangtuanya. Sudah lama
pula sejak mamanya menyerah akan pencariannya terhadap Ari.
Namun, di saat mamanya menyerah, justru Ata menemukan
keberadaan Ari. Tidak, ia tidak tega memberitahukan hal tersebut
pada mama. Karena takut, Ari yang sekarang malah menghancurkan
hati mama. Maka lebih baik, cukup Ata yang mengetahui keberadaan
kembarannya ini, sekaligus untuk menjaga sosok dari apa yang tersisa
di ingatannya. Ari yang lemah, Ari yang penakut, Ari yang cengeng" Ata sangat
mengkhawatirkan adiknya itu. Apalagi ditambah Ari yang sekarang
sangat labil setelah perceraian kedua orangtuanya. Karena Ata
menyaksikan sendiri bagaimana Ari tantrum, berontak dan melempari
segala barang ketika Mama menggendong Ata dan pergi dari rumah.
Dan menurut sepengelihatan Ata sekarang, tantrum Ari itu beralih
menjadi pemberontakkan masa remaja: berantem, balapan, rokok. Ata
begidik membayangkan reaksi mamanya jika mengetahui anak
kesayangannya jadi kacau begitu.
Tidak pernah sekalipun Ata menampakkan hidungnya di depan Ari.
Cukup ia awasi Ari dari jauh saja. Karena ia takut, jika ia muncul, ia
seakan memberi harapan pada Ari bahwa keluarganya akan bersatu
lagi. Padahal tidak seperti itu. Tidak akan seperti itu.
Akhirnya Ata sampai juga di depan SMP Ari. Dari balik gerbang, ia
awasi Ari yang sedang main basket dengan temannya. Ia tersenyum
lega. Mood Ari sangat baik hari ini, sehingga tidak ada adu jotos. Ia pun
berbalik dan pulang. "Kak!" Suara teriakan menghentikan langsung menghentikan langkahnya.
Ia menoleh, kemudian tercenung. Gadis itu" tanpa sadar mukanya
memerah. Sebenarnya sudah cukup lama ia perhatikan gadis itu. Gadis itu
satu sekolah dengan Ari, sepertinya ia adik kelas. Gadis itu selalu ia
lihat ketika ia mengawasi Ari. Gadis mempunyai kekurangan fisik,
memang, tapi tidak menutupi kecantikannya. Diam-diam, gadis itu
mencuri perhatiannya. "Kak?" terpincang-pincang, gadis itu menghampiri Ata. Ya, gadis
itu memang pincang. Tapi Ata tidak peduli. Dengan sabar, ditunggunya
gadis itu. "Ya?" jawab Ata sok cool.
"Sebelumnya" sebelumnya" saya mau berterima kasih atas
bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi"
tapi saya selalu ingat Kakak?"
Ata mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang gadis itu
ucapkan. Tapi dibiarkannya juga gadis itu menyelesaikan
perkataannya. ?" dan ini" ini buat Kakak?"gadis itu menyodorkan sebuah
amplop. Berwarna pink. Dan wangi! Dada Ata berdesir. Ata
menerimanya, kemudian ia membaca halaman depan surat itu.
Untuk Kak Ari. Bagai tersambar petir di siang bolong, Ata langsung merobek-robek
surat itu kemudian berbalik pergi, tak mempedulikan tangisan gadis itu
memilukan hati. Ia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Mama. Ia rela jadi
Ari. Mati-matian ia berusaha jadi anak manis seperti Ari. Agar
mamanya senang. Agar sedikit saja Mama melihatnya dan
menyayanginya seperti Mama menyayangi Ari.
Demi Ari, ia akan lakukan segalanya. Ia lakukan apapun demi
melindungi adiknya. Bila dulu ia rela dimarahi ibu-ibu tetangga dan
mama karena berusaha membalas anak-anak yang menjahili Ari,
sekarang ia mengawasi dari jauh dan kadang turun tangan bila sudah
ada yang kelewatan. Memang wajah mereka sebegitu miripnya. Ata
dan Ari Nampak tiada beda dan itu berarti Ata, alih-alih Ari, dapat
langsung mengeksekusi siapapun yang menyakiti Ari.
Segala pengorbanannya, jerih payahnya" tumpah sia-sia!
Cukup sudah! Ini puncaknya. Ia sudah lelah. Ia sudah letih jadi
bayang-bayang Ari! * "Dia cinta pertama gue, Dho..." Ata gemetar menahan emosi.
"Tapi yang ia lihat ternyata Ari! Bukan gue! Sejak saat itu, rasa muak
gue memuncak. Udah, disitu puncaknya! Gue muak sama Ari!"
Ata kalap. Digebrak-gebrakkannya meja yang ada disana untuk
melampiaskan kemarahannya. Ridho hanya bisa diam, shock dengan
segala informasi yang ia dengar keluar dari mulut Ata.
* "Kalo ngelamun ajak-ajak, dong! Emangnya asyik ngelamun
sendiri?" Ata menoleh ke sumber suara. Ata menatap orang itu tajam, kesal
karena orang itu telah mengangguk kekhusyukannya berpikir.
"Main PS, kali, berdua! Mana ada ngelamun ajak-ajak," ujar Ata
ketus, "Tau dimana gue disini?"
Angga meringis, kemudian duduk di sebelah Ata tanpa
dipersilahkan. "Gue tau dari Nyokap lo. Katanya lo lagi nyari angin di
taman ujung kompleks. Yaudah, gue samper aja."
Ata mendengus kesal,"Lo mau apa kesini?"
"Yee, Lo kok galak, sih?" Angga jadi ikutan kesal karena
kedatangannya tidak disambut baik. "Harusnya gue yang galak. Gue
bilang jagain Gita, bukan jadian! Jadian sama Gita nggak ada dalam
perjanjian, tau!" Ata melunak. Ia tertawa geli mendengar omelan Angga barusan.
"Setiap Kepala Suku butuh pendamping, Ga," kilah Ata. "Lagipula,
dengan Gita jadi Ibu Negara, nggak ada satupun yang berani nyentuh
dia. Gue harus pepet Gita, biar Ari nggak bisa ngapa-ngapain dia. Jadi
ini beneran murni hubungan diplomatis."
Angga mengangguk, menerima penjelasan Ata barusan.
"Ini memang bukan urusan gue. Tapi" gue berhak tau," Angga
berkata dengan sangat hati-hati. "Sebenarnya... Ada masalah apa lo
sama Ari sampe bela-belain ngajak gue kerjasama untuk ngancurin
dia?" Ata terdiam. Keheningan yang canggung menyeruak. Sejenak,
Angga merasa pertanyaan yang ia lontarkan kelewat lancang. Tapi
Angga tidak bisa berhenti begitu saja. Dia harus tau motif Ata. Mereka
telah memutuskan untuk menjalin relasi dan bekerjasama. Angga ingin
semuanya jelas, clear dan transparan!
"Gue udah muak jadi bayang-bayang Ari," jawab Ata, memecah
sunyi. "Waktu Nyokap-Bokap cerai, Nyokap dapet hak asuh gue dan Ari
ikut Bokap. Tanpa Ari, Nyokap bener-bener kaya orang gila. Dan untuk
nyegah Nyokap jadi gila beneran" Gue berubah jadi Ari."
Angga terhenyak. Ia tidak tahu bahwa ceritanya seperti ini.
"Dan kalo lo pikir tekanan yang gue dapet cuma dari Nyokap, lo
salah. Eyang gue, para sepupu" selalu aja Ari yang mereka ingat. Gue
yang ada disana bener-bener nggak dianggap. Segalanya berporos pada
Ari. Mereka lupa kalo gue juga matahari?" Ata tertawa getir.
"Atas nama sodara, gue masih bisa maklum. Walo gue lelah.
Puncaknya waktu ada cewek pincang yang nyamperin gue malu-malu.
Ngasih surat ke gue. Tapi begitu gue baca... itu bukan buat gue! Itu
buat Ari! Dasar cewek pincang sialan. Bener-bener bikin gue muak
sama Ari!" Angga hanya mendengarkan samar-samar. Tubuhnya sudah
menegang sejak menyinggung tentang "cewek pincang" yang
memberinya surat. Hatinya mencelos.
Dendamnya.... salah sasaran!!
* Di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tempat ini bagaikan tempat
relaksasi untuk Angga. Tempat ini adalah tempatnya berlari dan
menikmati me timenya. Angga menyeruput kopinya perlahan. Ia hisap rokoknya dalamdalam. Harus ia nikmati saat-saat ini sendiri, sebelum nanti ia harus
berkutat dengan kesehariannya : sekolah, tawuran dan" rumah.
Angga benci rumah. Sangat benci rumah. Bagi Angga, rumah
adalah neraka. Semenjak perceraian kedua orangtuanya sepuluh tahun
silam, rumah sudah tidak bisa memberikan kenyamanan baginya. Angga
memang sebagian besar dari produk keluarga broken home. Benci
rumah dan melampiaskan segala bentuk kekecewaannya dengan hal-hal
yang membuat bulu kuduk kedua orangtuanya berdiri dan bisa
membuat kedua orangtuanya kena serangan jantung : tawuran,
balapan. Angga sama sekali tidak mempedulikan kedua orangtuanya.
Apalagi dengan kedua orangtuanya yang sudah membina keluarga baru
masing-masing. Segala hal yang dilakukan kedua orangtuanya untuk
kembali meraih Angga, Angga anggap hal itu hanya formalitas dan
basa-basi. Ia bosan. Ia benci. Lebih baik seperti ini. Bebas sendiri.
Sebenarnya Angga tidak terlalu parah dan apatis seperti ini ketika
ada Kirana, adiknya. Dengan jarak hanya setahun, Kirana dan Angga
memang sangat dekat. Apalagi kekurangan fisik Kirana membuat Angga
mati-matian menjaganya. Bagi Kirana, Angga adalah abang nomor satu.
Dan Kirana sendiri, meski statusnya adalah adik, dia lebih dewasa dari
abangnya dalam berbagai hal. Hanya Kirana yang bisa mengendalikan
dan meredam Angga. Hanya Kirana tempat Angga bersandar. Bagi
Angga, Kirana adalah segalanya"
Dan itu" sebelum Ari datang dan menghancurkan segalanya!
Terkutuklah Ari dengan segala kesempurnaan dan
ketidaksempurnaan yang ia miliki! Terkutuklah Ari yang membuat
adiknya jatuh cinta setengah mati! Terkutuklah Ari yang membuat
adiknya patah hati sedemikian rupa sehingga memutuskan untuk
menyusul ibu mereka ke luar negeri dan meninggalkan Angga sendiri!
Namun hari ini, diketahuinya satu fakta baru yang mengejutkan.
Bukan Ari yang membuat adiknya nelangsa, melainkan orang yang
selama ini sedang bekerja sama dengannya! Mendadak Angga merasa
bego, sangat bego. Di tangan Ata, ia menyerahkan keselamatan Gita seutuhnya.
Tidak... tidak mungkin Angga langsung mengubah taktik tepat di depan
musuh. Topeng ini harus tetap ia pakai.


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angga letih. Ia sangat membutuhkan Kirana hadir di sampingnya.
Menyemangatinya, membuatnya tertawa.
Tapi masalahnya sekarang" Kirana tidak ada. Dan Angga harus
melakukan segala sesuatunya" sendiri.
Sudah dua jam Ridho merebahkan diri di kasur empuknya, namun
tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya masih saja
berlarian pada Ata dan Ari.
Fakta yang terkuak dari hasil mendekati Ata ternyata begitu
mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya diberitahukan secuil saja
informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui sepotong
kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah
kembar tersebut. Keduanya... hanyalah trauma. Keduanya mencari pelarian dengan
caranya masing-masing. Cara yang ternyata sama!
Tiba-tiba saja, Ridho dapat memaklumi segala perbuatan Ata
terhadap Ari " apalagi yang melibatkannya. Ata hanya ingin menggapai
sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya. Seperti Ari dulu,
yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya.
Tidak ada salah yang benar-benar salah disini. Walaupun begitu,
segala sakit hati dan perebutan ini haruslah segera diakhiri, sebelum
tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan untuk
kembali. * "Halo, Cantik..."
"Halo, gombal..." balas perempuan di seberang sana sambil
terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit lembut pipi
Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya itu
berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela
napas. Wajah kalut itu tertangkap oleh penglihatan Kirana. "Kenapa,
Kak?" Angga tahu, gadis itu memang selalu mengerti jika dirinya sedang
gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat mereka sangat
akrab satu sama lain. "Kamu disana gimana" Kak Angga... Kangen," ujarnya sambil
menelan ludah, "harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki..."
Giliran Kirana yang menegang di kursinya. Kenangan itu... Walau
telah lama berlalu, namun sakitnya tidak terlupa. Lebih tepatnya, rasa
tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap baik bisa
bertingkah segitu kejamnya.
"Udah berlalu, Kak..." sahut Kirana, menenangkan, "lagian aku
bahagia, kok, disini. Ap ?"
"Tapi yang terbayang di kepala Kakak bukan raut kebahagiaannya
kamu!" potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana terkejut.
"Bahkan tanpa surat itu dirobek pun... Harusnya aku yang tau
diri." Pada wajah gadis itu tercetak senyuman pasrah. Suaranya
bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang terjadi di
masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah
kejadian kecil. * Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena toilet penuh, ia jadi
terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan matematika!
Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam menyelesaikan
soal rumit tersebut. Namun, ketergesa-gesaannya itu malah membuat langkahnya
goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk,
mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu!
"Yah... telat!" suara seorang cowok terdengar di belakangnya.
Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal. "Tadinya mau
ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh. Maaf, ya."
Cowok itu mengulurkan tangannya. Dengan wajah memerah dan
terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan cowok tersebut.
"Makasih..." cicitnya pelan.
"Buru-buru sih boleh, tapi jalanan juga harus diliat," ujar cowok
itu menasehati. "Yuk, gue anter sampe ke kelas!"
"Eh!" Kirana langsung gelagapan. "Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya
bisa jalan sendiri."
"Gitu" Lo kelas berapa?"
"Delapan satu, Kak. Duh..." Kirana melirik jam tangannya, cemas.
"Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu Ambar. Per ?"
Namun, cowok itu malah menarik tangannya dengan kelembutan
yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju kelasnya. "Jangan
bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga."
"Mana mungkin! Aduh.. Saya ?"
Kirana malu. Takut seisi kelasnya akan heboh. Karena cowok yang
sedang memapahnya ini bukanlah cowok biasa. Namun, lagi-lagi
perkataannya dipotong. "Jelas bisa, dong! Percaya deh sama gue. Karena gue... Matahari
Senja!" Semudah itu. Ari menolongnya, dan membuatnya dapat waktu
ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat teman-temannya
histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu
mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malumalu yang dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak
melihatnya sama sekali. Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk
terdekat dengannya saat di kantin, cowok itu tidak menghiraukannya.
Walau dalam setiap pertandingan basket di waktu senggang selalu
Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya.
Namun, selama bisa melihat sosok Matahari Senja, nggak masalah.
Kirana nggak keberatan. Sampai suatu ketika, gadis itu memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
Kirana memekik senang karena Dewi Fortuna sedang berpihak
padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari gerbang sekolah.
Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya gadis itu
melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak
pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, "Kak!"
Cowok itu lantas menoleh, kemudian menghentikan langkahnya.
Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya sampai di
depan pujaannya. "Ya?" Dag... dig... dug... "Sebelumnya" sebelumnya" saya mau
berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin
nggak ingat. Tapi" tapi saya selalu ingat Kakak?" Kirana tidak sempat
memerhatikan ekspresi cowok di hadapannya. Matanya tertuju ke
sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya terlihat lebih pendek
daripada yang satunya. ?" dan ini" ini buat Kakak."
Disodorkannya sebuah surat yang ia tulis semalaman suntuk,
seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu. Namun,
ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti
yang ia lihat satu bulan lalu.
Orang di hadapannya saat ini memancarkan ekspresi murka yang
sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan wajah itu semakin
terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop pemberian
Kirana " bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia
pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa
memerdulikan Kirana yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas
itu. Kirana curhat habis-habisan pada Angga. Tentang Ari. Tentang
penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang tertulis disana. Kirana
bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat wajah murka
cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi.
* Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya. Walau hatinya berdenyut
setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat menolongnya
dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu
sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan
begitu tinggi. Namun Angga tetap tidak bisa menerimanya. Tangisan itu...
Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata memang Ata pelakunya.
Cerita keduanya cocok! "Ki..." suara Angga bergetar menahan amarah, "Akan Kak Angga
balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin dia membayar
semua kesalahannya!"
Kirana menggeleng, letih. "Buat apa sih, Kak" Aku juga udah nggak
kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas, ya..."
Nggak akan! Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!!
* Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar memberikan
dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada di
sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga
tidak membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan
tekun. Rajin datang pendalaman materi. Duduk manis di kelas,
mengacungkan tangan jika ada hal yang tidak ia mngerti terkait dengan
pelajaran! Terang saja. Ari mampu mengontrol emosinya dengan baik,
sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya yang
sebenarnya. Walaupun, jika dipikir-pikir lagi... Begini lebih baik.
Perlahan, Ari kembali dengan sifat aslinya. Ari yang sekarang lebih
ramah " walau hanya ditunjukkan pada teman-teman sekelasnya dan
juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi pelecehan yang
dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia
tanggapi dengan serius. Biarlah. Ata sudah membuktikan kehebatannya, membuat Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun alasan yang
menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala
kekuasaannya di SMA Airlangga.
Bahkan ketika dilihatnya Ridho sedang berjalan beriringan dengan
saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak lagi tersulut. Biarlah...
Toh, saudara kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang baik.
Ari percaya, kehadiran Ridho di samping Ata setidaknya akan membuat
kembarannya punya kekuatan lebih untuk mengontrol Airlangga. Dan
lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari. Pasti, Ridho juga akan
menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai perisai dengan
sempurna. Dari ujung tangga, Ari menatap pada satu titik. Kelas X-9. Tempat
dimana gadisnya berada. Untuk saat ini... Ia hanya akan menyimpan tenaganya untuk
melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan yang ditujukan
untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya
untuk menopang jiwa Ari yang rapuh.
Dari kejauhan, Ari dapat melihat sebentuk senyum milik Tari yang
dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas senyuman itu. Demi untuk
menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas budi. Akan
dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya.
Ari memejamkan matanya sesaat, berdoa. Berharap kali ini akan
berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah menghampiri kelas Tari
dengan langkah seringan kapas.
* Siapapun dapat melihat bahwa hari ini, mendung menyelimuti
wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa ia pasang di
wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih
memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan
tentang Gadis Pincang. Gita, yang akhir-akhir ini sangat berinisiatif membayangi Ata
kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan sikap "pacarnya"
dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak menggodanya seperti biasa.
"Kak Ata sakit" Nggak enak badan?" tanya gadis itu cemas, yang
hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin bingung. Ia paling
tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka ditekuk.
Keterdiaman yang justru lebih mengerikan.
Tiba-tiba raut wajah Ata menegang sambil memandang ke satu
titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh pada kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah
paling lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua
kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.
Namun, apa yang terpancar di wajah Ata sungguh berkebalikan
dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar kemuakan yang
begitu nyata! "Gue..." desis Ata pelan, "bukan Ari."
Gita terdiam mendengar pernyataan tersebut.
"Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!" Ditatapnya mata Gita
tepat di manik mata. "Lo tau itu, kan"! Lo sadar itu, kan"!"
Gita tersenyum maklum. Ia mengerti. Lelaki di hadapannya ini
sedang mengalami pergolakan hati yang hebat.
"Yang sekarang ada di depan saya... memang Kak Ata. Tapi bukan
yang di depan teman-teman satu sekolah."
Kalimat itu begitu sederhana, namun maksudnya terpampang
jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
"Lo... berani-beraninya!"
"Berani-beraninya berkata benar?" tukas gadis itu, tandas. Wajahnya masih menyampirkan senyum penuh pengertian.
"Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang dipendam. Bahkan tentara
paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang ?"
"DIAM!" Pembicaraan itu, yang tadinya berlangsung sangat pelan sehingga
tidak ada orang yang menyadari, akhirnya turut menjadi perhatian
publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita lantas terkejut,


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu juga yang lain. Ata, yang selama ini terkenal dengan keramahannya, berani
membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar"
"Lo, orang baru," desisnya, "jangan pernah sok tau!"
Kemudian Ata melenggang pergi dengan muka yang semakin
ditekuk. Saat itu, Gita " dan juga seluruh siswa yang mendengar bentakan
tersebut " belum benar-benar menyadari apa yang sesungguhnya
sedang mereka lihat. * Ari sedang tertawa geli, sangat geli. Gadis yang duduk di
sampingnya saat ini sedang gila!
Tari dengan menggebu-gebu sedang bercerita tentang kejadian
seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat tape. Dimana temantemannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking antusiasnya,
beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak
disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah
kelas biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan.
"Kehidupan SMA tuh semenyenangkan itu ternyataaaa!"
"Trus lo bawa apaan?"
Tari merendahkan suaranya. "Bawa bento bikinan Mama, sih. Tapi
nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu makannya pada anarkis
semua!" "Pelit!" Ari mengacak lembut rambut Tari yang hari ini dikucir
rapi, membuat gadis itu sewot. "Aaaa jadi berantakan!"
Sungguh, pemandangan keduanya yang nampak akur membuat
takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari....
Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan
di depan umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana.
Membuat para junior merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru.
Yang nggak galak. Yang enak banget untuk diajak ngobrol.
Seperti sekarang ini! * Ada sepasang mata lain yang mengamati pasangan paling
fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu turut menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu
untuk ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama.
Namun tugasnya belum selesai. Bahkan, saat ini ia merasa
memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya lagi. Yang masih
terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri.
"Ngapain lo ngintip-ngintip" Samperin dong."
Ridho menoleh ke belakang. Oji memergokinya! Dengan sorot
mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji tanpa sepatah
katapun. * Ata tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Belum
pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang ini sejak kasus
penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan idenya
sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain!
Kali ini, akan dibuatnya Ari memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari
berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan memenangkan seluruhnya dengan
sempurna! Dho, yuk cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket.
* Mood Tari hari ini sedang sangat bagus. Gangguan-gangguan untuk
dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga dengan pandangan sinis
merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari semakin
membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya.
Inilah sumber kelegaan terbesar Tari, yang membuatnya sangat
mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan panjang itu akhirnya
berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah sendiri.
Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng
yang ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak
perlu dilakukan lagi. Karena sekarang, Ata telah hadir, mengambil posisinya sendiri.
Dengan kehadiran Ata, Ari tidak harus membawa bayang-bayang
Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya setegar batu karang.
Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata bukan berarti
kabar baik bagi episode kehidupannya.
Namun setidaknya, Ata telah kembali.
Berbekal kenyamanan hatinya mengenai kondisi Ari, tiba-tiba Tari
merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok Ridho di luar kelasnya. Cowok
itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari untuk keluar menghampirinya. "Ngapain, ya?" tanya Fio ingin tahu. Tari hanya mengangkat bahu,
tidak tahu. "Mukanya serem gitu, Tar."
"Makanya harus disamperin, kan," ujar Tari, agak ragu dengan
perkataannya sendiri. "Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor Kak Ari,
ya...." Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan
suara, yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari
sampai di luar kelas, Ridho langsung menggenggam tangannya.
"Ada apa, Kak?"
Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju lantai tiga
dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam pulang sekolah.
Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan.
Makanya Tari agak sedikit meronta, menuntu penjelasan. Begitu
sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan.
"Apapun yang akan terjadi nanti... Sebaiknya lo nurut aja, Tar.
Oke?" Sebelum Tari sempat menyerukan pertanyaan lagi, Ridho telah
menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong. Disana... Ata sudah
bersiap. "Yuk, Tar. Duduk disini."
Suara Ata terdengar sangat manis, bahkan hingga menyunggingkan
senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari bersiap untuk
lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang
menahannya. "Lepasin, Kak!" Tari meronta hebat. Percuma saja. Badan Ridho
yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang dengan jelas
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih
dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta,
dirinya tidak akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho.
Ata hanya tertawa geli. "Emangnya mau diapain sih, Tar?" tanyanya dengan polos.
Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. "Gue mau ngajak
kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi
lo harus diem dulu disini, oke" Dijagain sama Ridho, kok."
"Kakak mau ngapain"!"
"Mau maiiin!" Ata menjawabnya dengan seruan kesal, seakan-akan
Tari nggak mengerti definisi "main" itu seperti apa. Tari menatap
Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan pandangan
nurut aja. Ketika akhirnya tidak ada satupun dari kedua cowok ini yang mau
memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia berhenti meronta.
Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. "Pinteeeer."
Ridho menuntun Tari untuk duduk di kurso yang telah ditunjuk
oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali untuk mengikat
tangan dan kaki cewek itu.
Tari sempat akan berseru protes, namun sekali lagi dilihatnya
sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya Tari bungkam,
urung menyuarakan aksi protesnya.
Namun penjelasan itu datang dari mulut Ata.
"Sori, Tar. Lo harus diiket dulu. Biar gue sama kembaran gue
mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo tetep bisa nonton
permainan kami. Dari sini."
Ata menepuk bahu Ridho sebagai ucapan terima kasih, sebelum
akhirnya berjalan keluar.
"Kak Ata!" Seru Tari keras. Langkah Ata terhenti. Ditatapnya Tari
dengan menaikkan sebelah alis. "Mau sampe kapan Kakak bersikap
begini?" Senyum di wajah Ata menghilang, digantikan dengan kelam yang
pekat. "Kakak pasti capek..." Tari mendesah pelan.
Ata menendang pintu di sampingnya, membuat Tari terlonjak. "Itu
bukan urusan lo!" * Bel pulang sekolah. Ari dan Oji melangkah gontai meninggalkan
kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya, sekilas Ari memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah
lapangan. "Kak Ari!" Fio menghampirinya dengan suara panik. Gadis itu menenteng dua
tas, miliknya dan... milik Tari!
"Tari mana, Fio"!" Tanya Ari panik. Fio sendiri juga panik, namun
tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat.
Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Tari dijemput oleh
Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio panik, namuan tidak
berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh sahabatnya. Ari
menggeram, "Sial!"
Cowok itu tahu ia sedang berurusan dengan siapa. Tanpa
mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju lapangan
basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu.
"Woy, Ri! Lama banget!"
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan merangkulnya. Namun Ari
hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut.
"Yuk!" Ari menatap Ata dengan pandangan bertanya. Ajakan untuk apa"
Melihat kembarannya hanya mematung, Ata jadi nggak sabaran.
Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara asal,
membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari
bola nyasar. "Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa sekarang jadi lemot gini" Oh...
Jangan bilang gara-gara cewek!" Ata berseru dramatis. "Tari bikin adik
gue lemah!" "Mau lo apa, Ta"!" Ari akhirnya angkat suara, nggak tahan karena
Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari!
Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan itu membekukan
segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan penonton
lainnya. Tidak ada kembar yang benar-benar beda.
"Mau gue"!" Ata balik berseru keras. Emosinya sedang sangat
membuncah. "Mau gue... Kita tanding!"
Bola basket yang tadi dilemparnya secara asal sudah kembali.
"Simpel aja. Basket. Nggak pake batasan waktu. Nggak pake
istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah satu tumbang!"
Ata berteriak kalap. "Tumbang! Dan lo harus menyerah terhadap
semuanya!" Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih karena melihat kekalapan
saudaranya" Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata menatapnya dengan
pandangan benci yang sangat kental.
"Lo harus menyerah terhadap semua kejayaan yang udah lo toreh
disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!"
Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari langsung sigap. Segera ia
berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba, pertandingan
mereka dimulai. Apa yang berada di tengah lapangan saat ini adalah fenomena lain
yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari yang " anggapan
awalnya " saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang
pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang
kejam. Ata yang ramah. Namun sekarang... keduanya melebur!
Ata dan Ari... sejenis. Keduanya adalah benda dan bayangan yang
serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi, mana Ata dan mana
Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang sangat
identik dalam segala hal!
"Apa harus begini, Ta?" tanya Ari tajam saat sedang berada di
depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk memasukkan bola.
Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat
tembakan three point. "Harus!" Siaaal! "Tari dimana"!"
Sebagai jawabannya, Ata hanya menatap pada satu titik di lantai
tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini Tari sedang duduk manis
menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho!
* Tari melihatnya. Disana, memperebutkan sebuah bola.
dua orang yang serupa saling Tari juga mendengarnya, pekikan serta seruan menyemangati
untuk kedua orang itu. Suasana yang sangat kontras dengan apa yang terjadi disini, di
tempat ia dan Ridho berada.
"Gue nggak tau harus ngelakuin apalagi, Tar..." ucap Ridho
frustasi. Tari mengerti. Ridho telah menceritakan segalanya sejak Ata
meninggalkan mereka berdua setengah jam yang lalu. Kisah lengkap
tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai dengan
kenangan masalalu. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih menempuh jalan yang
paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari... keduanya
memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya.


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila
disentuh! "Tapi mereka harus segera dihentikan, Kak..." Tari mendesah
pelan. "Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata."
Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum keduanya sangat kelelahan,
semuanya harus dihentikan. Terutama Ata.
"Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo Kakak mau. Biar saya yang
nemenin Tari." Gita telah berdiri di ujung tangga. Sontak keduanya terkejut.
Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari pandangan.
"Gue nggak minta bantuan lo. Turun!"
"Saya cuma mau membantu, Kak ?"
"Tapi gue nggak butuh bantuan lo!" seru cowok itu murka.
"Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya Angga" Musuh
Ari" Musuh Airlangga" Jangan mimpi!"
"Bukannya Kakak juga sedang akrab dengan Brawijaya?" Gita
menyerang balik. "Bukannya Kakak temannya Kak Ata" Bukannya
mereka berdua sekarang lagi bersatu?"
Ridho tercengang dengan serangan balik itu. Ia merasa mati
langkah! "Saya bukannya nggak tau apa yang jadi motif Kak Ata sekarang
ini," Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara perlahan. "Saya...
tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa bersalah
banget karena kejadian dulu."
Tari sudah mengerti. Hanya Ridho yang belum mampu memercayai
orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti.
"Kak Ridho pergi aja," pinta Tari dengan halus. "Saya percaya
sama Gita." "Tapi, Tar..." "Yang penting sekarang, Kak Ridho harus menyelamatkan mereka." Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan, dimana
pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar
dari mulutnya. Akhirnya, dengan menekan perasaan tidak percayanya hingga ke
dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu Angga untuk diawasi.
Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain.
Menyelamatkan kedua matahari yang saat ini sedang mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga.
* SMS dari Ridho membuat Oji sewot.
"Apaan, Kak?" Tanya Fio penasaran. Sebagai gantinya, Oji
menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati.
Tari baik2 aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS semacam itu, sudah sejak tadi
Oji mengawasi pertandingan gila ini!
Ata dan Ari terlihat begitu serius bertaruh. Keduanya menampilkan
permainan basket yang begitu keras, begitu sadis. Kontak fisik yang
berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa yang
menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan,
takut dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini!
Ata sama sekali tidak membiarkan Ari menembus pertahanannya
dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan
memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari
memegang bola terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola
basketnya dengan gampang. Tidak akan semudah itu!
"Gimana?" Seru Ridho setelah tiba di pinggir lapangan, bergabung
dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji melayangkan tinju pada
orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang tidak
memungkinkan. "Kacau." Hanya itu. Dan memang terlihat sangat kacau.
"Kak Ridho, Tari dimana?" Tanya Fio cemas, karena Ridho hanya
berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi penyekapan Tari, yang
tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya
meringis. Pertandingan ini berlangsung selama dua jam lebih tanpa henti,
hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket besar itu ke arah
Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah terkuras
habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi Ari untuk berdiri dan kembali
melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu, dengan kedua mata yang
dipejamkan untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oji dan Ridho segera
melangkah ke tengah lapangan.
Ata menghampiri adiknya, menunduk agar bisa berbicara dengan
jelas. "Capek?" tanyanya, namun dengan tidak menyiratkan kekhawatiran sedikitpun. "Brenti aja, ya" Supaya lo bisa menjalani
kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan
gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo."
Ari membuka matanya, kaget dengan apa yang ia dengar dari Ata!
"Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke sekolah. Sengaja nyamperin
gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal, Ri." Suara Ata
bergetar menahan geram. "Seenaknya aja dia menghakimi gue seperti
itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue
miliki. Salah, Ri?" Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya menatap saudara kembarnya
dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya, bahkan kekuatan
otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram.
"JAWAB GUE, RI!!"
Ata berteriak kalap. Ditariknya kerah baju Ari, bmembuat badan
cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji segera menghampiri
keduanya dan melerai. "Cukup, Ta." Suara lemah itu berasal dari mulut Ridho. Ata yang meronta
seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi Ari
dengan pandangan tercengang.
"Udah, cukup... Lo nggak bisa melampiaskan semuanya pada Ari.
Ari nggak salah apa-apa ?"
"NGGAK SALAH"!" Bantahnya murka. "Nggak salah, kata lo"!
Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia"!"
"Jadi lo pamrih"! Itu emang kewajiban lo sebagai kakak!"
Ata meronta lagi, membuat Oji kewalahan memeganginya.
Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya diam, tidak
menunjukkan reaksi perlawanan apapun.
Mana pernah Oji melihat Ari selemah ini. Mana pernah Oji melihat
ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka! Ia sama sekali nggak
suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini.
"BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo selemah ini"!"
Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang menghalangi pandangannya
dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu saudara
kembarnya sebagai penopang.
"Lepasin Ata, Ji," perintahnya dengan suara tak terbantahkan.
Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata Ata. "Maaf, ya" Gue
emang adek yang nggak tau diuntung."
Segalanya luruh disana. Ari, dengan sisa-sisa sifat Ata yang
menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya untuk
membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya
tersebut. Di lapangan sekolah sore itu, Ari sempurna menerima kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang yang
pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan
yang pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun.
Ari berjalan pelan meninggalkan lapangan basket. Ridho sudah
akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis oleh Ari.
"Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan ninggalin abang gue. Jangan
coba-coba." "Nggak lucu, Bos!" Oji meneriaki sahabatnya itu dengan frustasi.
"Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah pikiran ?"
"Nggak pa-pa, Ji," sahut Ari menenangkan. "Lagian gue bukan Bos
elo." Senyum menenangkan dipancarkan oleh Ari lewat tarikan bibirnya.
Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kalau untuk kebaikan saudara kembarnya... Tidak mengapa. Ari
akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap kekuasaan. Terhadap
pengaruh dan pertemanannya.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang harus ia usahakan untuk
direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan jalan
terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata,
orang tersebut pun juga akan Ari tinggalkan.
Kesanalah saat ini langkah Ari menuju. Lantai tiga gedung barat
SMA Airlangga. * Fio sibuk menenangkan Tari, segera setelah ia tiba di tempat Tari
diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala yang ia tahu.
Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang
mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata
memang sudah Tari dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun...
mendengarnya dua kali dalam selang waktu yang singkat bukan berarti
bisa membuatnya lebih tenang.
Skenario terburuk yang mungkin terjadi hari ini adalah... Tari
tahu, namun tidak mampu membayangkannya. Meninggalkan Ari dalam
kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.
Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari. Tidak
setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu
tegar. Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah
berani. Namun... Siapa yang bisa benar-benar bertekuk lutut, jika lawan
tangguh di seberang sana justru adalah orang yang ada tubuhnya
mengalir darah yang sama dengan dirinya"
Derap langkah pelan terdengar sedang menaiki tangga lantai tiga,
tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik Ari. Yang pada
wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat.
"Tolong tinggalin kami berdua."
Tanpa harus disuruh dua kali, Fio dan Gita melangkah pelan
meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri di hadapan
gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kaki
gadis itu dengan sangat hati-hati.
"Baik-baik aja, kan" Ikatannya nggak kuat, kok... Nggak ninggalin
bekas." Suara itu... Tari bisa mendengarnya. Suara itu dipaksakan sehingga
terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati di dalam sana
terdengar tanpa harus disuarakan.
Kepada seseorang yang mati-matian meminta penyelamatan
padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua beban itu
dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari.
Kepada seseorang yang selama ini selalu ia kejar, kali ini... Ari
melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari Tari, namun dengan
pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari akan merelakan segalanya
pergi. Terutama Tari. "Gue..." Ari memulai dengan suara tercekat. "nggak tau, bahaya
apalagi yang ada di depan sana."
Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak
bisa, karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini.
"Gue cuma mau nyampein dua hal. Tolong didenger baik-baik,
ya?" Sambil menatap kedua bola mata Tari " pada akhirnya " Ari
melanjutkan, "Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue
dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan
kedua... Maaf," suara Ari mulai bergetar menahan isakan. "Maaf,
karena setelah semua yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah."
Tari menggeleng, tidak percaya dengan apa yang sedang ia
dengarkan. Bukan. Bukan seperti ini jalan ceritanya!
"Selama yang berdiri di ujung sana adalah Ata, gue... Sampai
kapanpun nggak akan sanggup untuk menang," Ari tertawa pelan,
miris. "Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas, Tar."
"Gue udah lama bebas, Kak..." Tari tergugu. "Apa yang gue lakuin
untuk lo selama ini ikhlas, bukan ?"
Ari menempelkan jarinya di bibir gadis itu, membuatnya seketika
diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan penjelasan gadis ini lebih
banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum keputusannya berubah.
Kedua tangannya menyentuh pipi Tari dengan lembut. Mata Tari
terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir yang ia bayangkan
harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari bayangkan
akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan
terkejam, kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa"
Yang Tari tidak sadari, justru keputusan ini telah memakan jiwa
Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan, menancap dengan sangat
dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal ini. Memangkas
habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya.
Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan lembut. Lama,
seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.
Sudah dua jam Ridho merebahkan diri di kasur empuknya, namun
tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya masih saja
berlarian pada Ata dan Ari.
Fakta yang terkuak dari hasil mendekati Ata ternyata begitu
mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya diberitahukan secuil saja
informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui sepotong
kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah
kembar tersebut. Keduanya... hanyalah trauma. Keduanya mencari pelarian dengan
caranya masing-masing. Cara yang ternyata sama!
Tiba-tiba saja, Ridho dapat memaklumi segala perbuatan Ata
terhadap Ari " apalagi yang melibatkannya. Ata hanya ingin menggapai
sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya. Seperti Ari dulu,
yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya.


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada salah yang benar-benar salah disini. Walaupun begitu,
segala sakit hati dan perebutan ini haruslah segera diakhiri, sebelum
tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan untuk
kembali. * "Halo, Cantik..."
"Halo, gombal..." balas perempuan di seberang sana sambil
terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit lembut pipi
Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya itu
berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela
napas. Wajah kalut itu tertangkap oleh penglihatan Kirana. "Kenapa,
Kak?" Angga tahu, gadis itu memang selalu mengerti jika dirinya sedang
gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat mereka sangat
akrab satu sama lain. "Kamu disana gimana" Kak Angga... Kangen," ujarnya sambil
menelan ludah, "harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki..."
Giliran Kirana yang menegang di kursinya. Kenangan itu... Walau
telah lama berlalu, namun sakitnya tidak terlupa. Lebih tepatnya, rasa
tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap baik bisa
bertingkah segitu kejamnya.
"Udah berlalu, Kak..." sahut Kirana, menenangkan, "lagian aku
bahagia, kok, disini. Ap ?"
"Tapi yang terbayang di kepala Kakak bukan raut kebahagiaannya
kamu!" potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana terkejut.
"Bahkan tanpa surat itu dirobek pun... Harusnya aku yang tau
diri." Pada wajah gadis itu tercetak senyuman pasrah. Suaranya
bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang terjadi di
masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah
kejadian kecil. * Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena toilet penuh, ia jadi
terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan matematika!
Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam menyelesaikan
soal rumit tersebut. Namun, ketergesa-gesaannya itu malah membuat langkahnya
goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk,
mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu!
"Yah... telat!" suara seorang cowok terdengar di belakangnya.
Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal. "Tadinya mau
ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh. Maaf, ya."
Cowok itu mengulurkan tangannya. Dengan wajah memerah dan
terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan cowok tersebut.
"Makasih..." cicitnya pelan.
"Buru-buru sih boleh, tapi jalanan juga harus diliat," ujar cowok
itu menasehati. "Yuk, gue anter sampe ke kelas!"
"Eh!" Kirana langsung gelagapan. "Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya
bisa jalan sendiri."
"Gitu" Lo kelas berapa?"
"Delapan satu, Kak. Duh..." Kirana melirik jam tangannya, cemas.
"Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu Ambar. Per ?"
Namun, cowok itu malah menarik tangannya dengan kelembutan
yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju kelasnya. "Jangan
bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga."
"Mana mungkin! Aduh.. Saya ?"
Kirana malu. Takut seisi kelasnya akan heboh. Karena cowok yang
sedang memapahnya ini bukanlah cowok
biasa. Namun, lagi-lagi perkataannya dipotong. "Jelas bisa, dong! Percaya deh sama gue. Karena gue... Matahari
Senja!" Semudah itu. Ari menolongnya, dan membuatnya dapat waktu
ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat teman-temannya
histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu
mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malumalu yang dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak
melihatnya sama sekali. Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk
terdekat dengannya saat di kantin, cowok itu tidak menghiraukannya.
Walau dalam setiap pertandingan basket di waktu senggang selalu
Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya.
Namun, selama bisa melihat sosok Matahari Senja, nggak masalah.
Kirana nggak keberatan. Sampai suatu ketika, gadis itu memberanikan diri untuk
mengungkapkan perasaannya.
Kirana memekik senang karena Dewi Fortuna sedang berpihak
padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari gerbang sekolah.
Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya gadis itu
melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak
pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, "Kak!"
Cowok itu lantas menoleh, kemudian menghentikan langkahnya.
Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya sampai di
depan pujaannya. "Ya?" Dag... dig... dug... "Sebelumnya" sebelumnya" saya mau
berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin
nggak ingat. Tapi" tapi saya selalu ingat Kakak?" Kirana tidak sempat
memerhatikan ekspresi cowok di hadapannya. Matanya tertuju ke
sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya terlihat lebih pendek
daripada yang satunya. ?" dan ini" ini buat Kakak."
Disodorkannya sebuah surat yang ia tulis semalaman suntuk,
seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu. Namun,
ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti
yang ia lihat satu bulan lalu.
Orang di hadapannya saat ini memancarkan ekspresi murka yang
sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan wajah itu semakin
terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop pemberian
Kirana " bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia
pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa
memerdulikan Kirana yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas
itu. Kirana curhat habis-habisan pada Angga. Tentang Ari. Tentang
penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang tertulis disana. Kirana
bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat wajah murka
cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi.
* Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya. Walau hatinya berdenyut
setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat menolongnya
dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu
sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan
begitu tinggi. Namun Angga tetap tidak bisa menerimanya. Tangisan itu...
Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata memang Ata pelakunya.
Cerita keduanya cocok! "Ki..." suara Angga bergetar menahan amarah, "Akan Kak Angga
balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin dia membayar
semua kesalahannya!"
Kirana menggeleng, letih. "Buat apa sih, Kak" Aku juga udah nggak
kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas, ya..."
Nggak akan! Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!!
* Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar memberikan
dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada di
sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga
tidak membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan
tekun. Rajin datang pendalaman materi. Duduk manis di kelas,
mengacungkan tangan jika ada hal yang tidak ia mngerti terkait dengan
pelajaran! Terang saja. Ari mampu mengontrol emosinya dengan baik,
sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya yang
sebenarnya. Walaupun, jika dipikir-pikir lagi... Begini lebih baik.
Perlahan, Ari kembali dengan sifat aslinya. Ari yang sekarang lebih
ramah " walau hanya ditunjukkan pada teman-teman sekelasnya dan
juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi pelecehan yang
dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia
tanggapi dengan serius. Biarlah. Ata sudah membuktikan kehebatannya, membuat
Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun alasan yang
menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala
kekuasaannya di SMA Airlangga.
Bahkan ketika dilihatnya Ridho sedang berjalan beriringan dengan
saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak lagi tersulut. Biarlah...
Toh, saudara kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang
baik. Ari percaya, kehadiran Ridho di samping Ata setidaknya akan
membuat kembarannya punya kekuatan lebih untuk mengontrol
Airlangga. Dan lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari. Pasti,
Ridho juga akan menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai
perisai dengan sempurna. Dari ujung tangga, Ari menatap pada satu titik. Kelas X-9. Tempat
dimana gadisnya berada. Untuk saat ini... Ia hanya akan menyimpan tenaganya untuk
melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan yang ditujukan
untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya
untuk menopang jiwa Ari yang rapuh.
Dari kejauhan, Ari dapat melihat sebentuk senyum milik Tari yang
dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas senyuman itu. Demi untuk
menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas budi. Akan
dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya.
Ari memejamkan matanya sesaat, berdoa. Berharap kali ini akan
berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah menghampiri kelas Tari
dengan langkah seringan kapas.
* Siapapun dapat melihat bahwa hari ini, mendung menyelimuti
wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa ia pasang di
wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih
memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan
tentang Gadis Pincang. Gita, yang akhir-akhir ini sangat berinisiatif membayangi Ata
kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan sikap "pacarnya"
dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak
menggodanya seperti biasa.
"Kak Ata sakit" Nggak enak badan?" tanya gadis itu cemas, yang
hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin bingung. Ia paling
tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka ditekuk.
Keterdiaman yang justru lebih mengerikan.
Tiba-tiba raut wajah Ata menegang sambil memandang ke satu
titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh pada
kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah
paling lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua
kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.
Namun, apa yang terpancar di wajah Ata sungguh berkebalikan
dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar kemuakan yang
begitu nyata! "Gue..." desis Ata pelan, "bukan Ari."
Gita terdiam mendengar pernyataan tersebut.
"Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!" Ditatapnya mata Gita
tepat di manik mata. "Lo tau itu, kan"! Lo sadar itu, kan"!"
Gita tersenyum maklum. Ia mengerti. Lelaki di hadapannya ini
sedang mengalami pergolakan hati yang hebat.
"Yang sekarang ada di depan saya... memang Kak Ata. Tapi bukan
yang di depan teman-teman satu sekolah."
Kalimat itu begitu sederhana, namun maksudnya terpampang
jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
"Lo... berani-beraninya!"
"Berani-beraninya berkata benar?" tukas gadis itu,
tandas. Wajahnya masih menyampirkan senyum penuh pengertian.
"Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang dipendam. Bahkan tentara
paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang ?"
"DIAM!" Pembicaraan itu, yang tadinya berlangsung sangat pelan sehingga
tidak ada orang yang menyadari, akhirnya turut menjadi perhatian
publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita lantas terkejut,
begitu juga yang lain. Ata, yang selama ini terkenal dengan keramahannya, berani
membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar"
"Lo, orang baru," desisnya, "jangan pernah sok tau!"
Kemudian Ata melenggang pergi dengan muka yang semakin
ditekuk. Saat itu, Gita " dan juga seluruh siswa yang mendengar bentakan
tersebut " belum benar-benar menyadari apa yang sesungguhnya
sedang mereka lihat. * Ari sedang tertawa geli, sangat geli. Gadis yang duduk di
sampingnya saat ini sedang gila!
Tari dengan menggebu-gebu sedang bercerita tentang kejadian
seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat tape. Dimana temantemannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking antusiasnya,
beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak
disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah
kelas biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan.
"Kehidupan SMA tuh semenyenangkan itu ternyataaaa!"
"Trus lo bawa apaan?"
Tari merendahkan suaranya. "Bawa bento bikinan Mama, sih. Tapi
nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu makannya pada anarkis
semua!" "Pelit!" Ari mengacak lembut rambut Tari yang hari ini dikucir
rapi, membuat gadis itu sewot. "Aaaa jadi berantakan!"
Sungguh, pemandangan keduanya yang nampak akur membuat
takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari....
Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan
di depan umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana.
Membuat para junior merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru.
Yang nggak galak. Yang enak banget untuk diajak ngobrol.
Seperti sekarang ini! * Ada sepasang mata lain yang mengamati pasangan paling
fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu turut
menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu
untuk ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama.
Namun tugasnya belum selesai. Bahkan, saat ini ia merasa
memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya lagi. Yang masih
terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri.
"Ngapain lo ngintip-ngintip" Samperin dong."
Ridho menoleh ke belakang. Oji memergokinya! Dengan sorot
mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji tanpa sepatah
katapun. * Ata tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Belum
pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang ini sejak kasus
penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan idenya
sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain!


Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini, akan dibuatnya Ari memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari
berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan memenangkan seluruhnya dengan
sempurna! Dho, yuk cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket.
* Mood Tari hari ini sedang sangat bagus. Gangguan-gangguan untuk
dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga dengan pandangan sinis
merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari semakin
membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya.
Inilah sumber kelegaan terbesar Tari, yang membuatnya sangat
mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan panjang itu akhirnya
berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah sendiri.
Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng
yang ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak
perlu dilakukan lagi. Karena sekarang, Ata telah hadir, mengambil posisinya sendiri.
Dengan kehadiran Ata, Ari tidak harus membawa bayang-bayang
Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya setegar batu karang.
Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata bukan berarti
kabar baik bagi episode kehidupannya.
Namun setidaknya, Ata telah kembali.
Berbekal kenyamanan hatinya mengenai kondisi Ari, tiba-tiba Tari
merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok Ridho di luar kelasnya. Cowok
itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari untuk keluar
menghampirinya. "Ngapain, ya?" tanya Fio ingin tahu. Tari hanya mengangkat bahu,
tidak tahu. "Mukanya serem gitu, Tar."
"Makanya harus disamperin, kan," ujar Tari, agak ragu dengan
perkataannya sendiri. "Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor Kak Ari,
ya...." Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan
suara, yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari
sampai di luar kelas, Ridho langsung menggenggam tangannya.
"Ada apa, Kak?"
Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju lantai tiga
dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam pulang sekolah.
Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan.
Makanya Tari agak sedikit meronta, menuntu penjelasan. Begitu
sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan.
"Apapun yang akan terjadi nanti... Sebaiknya lo nurut aja, Tar.
Oke?" Sebelum Tari sempat menyerukan pertanyaan lagi, Ridho telah
menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong. Disana... Ata sudah
bersiap. "Yuk, Tar. Duduk disini."
Suara Ata terdengar sangat manis, bahkan hingga menyunggingkan
senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari bersiap untuk
lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang
menahannya. "Lepasin, Kak!" Tari meronta hebat. Percuma saja. Badan Ridho
yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang dengan jelas
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih
dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta,
dirinya tidak akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho.
Ata hanya tertawa geli. "Emangnya mau diapain sih, Tar?" tanyanya dengan polos.
Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. "Gue mau ngajak
kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi
lo harus diem dulu disini, oke" Dijagain sama Ridho, kok."
"Kakak mau ngapain"!"
"Mau maiiin!" Ata menjawabnya dengan seruan kesal, seakan-akan
Tari nggak mengerti definisi "main" itu seperti apa. Tari menatap
Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan
pandangan nurut aja. Ketika akhirnya tidak ada satupun dari kedua cowok ini yang mau
memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia berhenti meronta.
Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. "Pinteeeer."
Ridho menuntun Tari untuk duduk di kurso yang telah ditunjuk
oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali untuk mengikat
tangan dan kaki cewek itu.
Tari sempat akan berseru protes, namun sekali lagi dilihatnya
sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya Tari bungkam,
urung menyuarakan aksi protesnya.
Namun penjelasan itu datang dari mulut Ata.
"Sori, Tar. Lo harus diiket dulu. Biar gue sama kembaran gue
mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo tetep bisa nonton
permainan kami. Dari sini."
Ata menepuk bahu Ridho sebagai ucapan terima kasih, sebelum
akhirnya berjalan keluar.
"Kak Ata!" Seru Tari keras. Langkah Ata terhenti. Ditatapnya Tari
dengan menaikkan sebelah alis. "Mau sampe kapan Kakak bersikap
begini?" Senyum di wajah Ata menghilang, digantikan dengan kelam yang
pekat. "Kakak pasti capek..." Tari mendesah pelan.
Ata menendang pintu di sampingnya, membuat Tari terlonjak. "Itu
bukan urusan lo!" * Bel pulang sekolah. Ari dan Oji melangkah gontai meninggalkan
kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya, sekilas Ari
memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah
lapangan. "Kak Ari!" Fio menghampirinya dengan suara panik. Gadis itu menenteng dua
tas, miliknya dan... milik Tari!
"Tari mana, Fio"!" Tanya Ari panik. Fio sendiri juga panik, namun
tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat.
Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Tari dijemput oleh
Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio panik, namuan tidak
berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh sahabatnya. Ari
menggeram, "Sial!"
Cowok itu tahu ia sedang berurusan dengan siapa. Tanpa
mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju lapangan
basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu.
"Woy, Ri! Lama banget!"
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan merangkulnya. Namun Ari
hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut.
"Yuk!" Ari menatap Ata dengan pandangan bertanya. Ajakan untuk apa"
Melihat kembarannya hanya mematung, Ata jadi nggak sabaran.
Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara asal,
membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari
bola nyasar. "Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa sekarang jadi lemot gini" Oh...
Jangan bilang gara-gara cewek!" Ata berseru dramatis. "Tari bikin adik
gue lemah!" "Mau lo apa, Ta"!" Ari akhirnya angkat suara, nggak tahan karena
Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari!
Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan itu membekukan
segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan penonton
lainnya. Tidak ada kembar yang benar-benar beda.
"Mau gue"!" Ata balik berseru keras. Emosinya sedang sangat
membuncah. "Mau gue... Kita tanding!"
Bola basket yang tadi dilemparnya secara asal sudah kembali.
"Simpel aja. Basket. Nggak pake batasan waktu. Nggak pake
istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah satu tumbang!"
Ata berteriak kalap. "Tumbang! Dan lo harus menyerah terhadap
semuanya!" Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih karena melihat kekalapan
saudaranya" Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata menatapnya dengan
pandangan benci yang sangat kental.
"Lo harus menyerah terhadap semua kejayaan yang udah lo toreh
disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!"
Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari langsung sigap. Segera ia
berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba, pertandingan
mereka dimulai. Apa yang berada di tengah lapangan saat ini adalah fenomena lain
yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari yang " anggapan
awalnya " saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang
pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang
kejam. Ata yang ramah. Namun sekarang... keduanya melebur!
Ata dan Ari... sejenis. Keduanya adalah benda dan bayangan yang
serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi, mana Ata dan mana
Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang sangat
identik dalam segala hal!
"Apa harus begini, Ta?" tanya Ari tajam saat sedang berada di
depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk memasukkan bola.
Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat
tembakan three point. "Harus!" Siaaal! "Tari dimana"!"
Sebagai jawabannya, Ata hanya menatap pada satu titik di lantai
tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini Tari sedang duduk manis
menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho!
* Tari melihatnya. Disana, dua orang yang serupa saling
memperebutkan sebuah bola.
Tari juga mendengarnya, pekikan serta seruan menyemangati
untuk kedua orang itu. Suasana yang sangat kontras dengan apa yang terjadi disini, di
tempat ia dan Ridho berada.
"Gue nggak tau harus ngelakuin apalagi, Tar..." ucap Ridho
frustasi. Tari mengerti. Ridho telah menceritakan segalanya sejak Ata
meninggalkan mereka berdua setengah jam yang lalu. Kisah lengkap
tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai dengan
kenangan masalalu. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih menempuh jalan yang
paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari... keduanya
memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya.
Yang sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila
disentuh! "Tapi mereka harus segera dihentikan, Kak..." Tari mendesah
pelan. "Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata."
Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum keduanya sangat kelelahan,
semuanya harus dihentikan. Terutama Ata.
"Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo Kakak mau. Biar saya yang
nemenin Tari." Gita telah berdiri di ujung tangga. Sontak keduanya terkejut.
Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari pandangan.
"Gue nggak minta bantuan lo. Turun!"
"Saya cuma mau membantu, Kak ?"
"Tapi gue nggak butuh bantuan lo!" seru cowok itu murka.
"Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya Angga" Musuh
Ari" Musuh Airlangga" Jangan mimpi!"
"Bukannya Kakak juga sedang akrab dengan Brawijaya?" Gita
menyerang balik. "Bukannya Kakak temannya Kak Ata" Bukannya
mereka berdua sekarang lagi bersatu?"
Ridho tercengang dengan serangan balik itu. Ia merasa mati
langkah! "Saya bukannya nggak tau apa yang jadi motif Kak Ata sekarang
ini," Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara perlahan. "Saya...
tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa bersalah
banget karena kejadian dulu."
Tari sudah mengerti. Hanya Ridho yang belum mampu memercayai
orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti.
"Kak Ridho pergi aja," pinta Tari dengan halus. "Saya percaya
sama Gita." "Tapi, Tar..." "Yang penting sekarang, Kak Ridho harus menyelamatkan
mereka." Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan, dimana
pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar
dari mulutnya. Akhirnya, dengan menekan perasaan tidak percayanya hingga ke
dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu Angga untuk diawasi.
Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain.
Menyelamatkan kedua matahari yang saat ini sedang
mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga.
* SMS dari Ridho membuat Oji sewot.
"Apaan, Kak?" Tanya Fio penasaran. Sebagai gantinya, Oji
menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati.
Tari baik2 aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS semacam itu, sudah sejak tadi
Oji mengawasi pertandingan gila ini!
Ata dan Ari terlihat begitu serius bertaruh. Keduanya menampilkan
permainan basket yang begitu keras, begitu sadis. Kontak fisik yang
berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa yang
menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan,
takut dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini!
Ata sama sekali tidak membiarkan Ari menembus pertahanannya
dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan
memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari
memegang bola terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola
basketnya dengan gampang. Tidak akan semudah itu!
"Gimana?" Seru Ridho setelah tiba di pinggir lapangan, bergabung
dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji melayangkan tinju pada
orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang tidak
memungkinkan. "Kacau." Hanya itu. Dan memang terlihat sangat kacau.
"Kak Ridho, Tari dimana?" Tanya Fio cemas, karena Ridho hanya
berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi penyekapan Tari, yang
tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya
meringis. Pertandingan ini berlangsung selama dua jam lebih tanpa henti,
hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket besar itu ke arah
Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah terkuras
habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi Ari untuk berdiri dan kembali
melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu, dengan kedua mata yang
dipejamkan untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oji dan Ridho segera
melangkah ke tengah lapangan.
Ata menghampiri adiknya, menunduk agar bisa berbicara dengan
jelas.

Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Capek?" tanyanya, namun dengan tidak menyiratkan
kekhawatiran sedikitpun. "Brenti aja, ya" Supaya lo bisa menjalani
kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan
gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo."
Ari membuka matanya, kaget dengan apa yang ia dengar dari Ata!
"Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke sekolah. Sengaja nyamperin
gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal, Ri." Suara Ata
bergetar menahan geram. "Seenaknya aja dia menghakimi gue seperti
itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue
miliki. Salah, Ri?" Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya menatap saudara kembarnya
dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya, bahkan kekuatan
otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram.
"JAWAB GUE, RI!!"
Ata berteriak kalap. Ditariknya kerah baju Ari, bmembuat badan
cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji segera menghampiri
keduanya dan melerai. "Cukup, Ta." Suara lemah itu berasal dari mulut Ridho. Ata yang meronta
seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi Ari
dengan pandangan tercengang.
"Udah, cukup... Lo nggak bisa melampiaskan semuanya pada Ari.
Ari nggak salah apa-apa ?"
"NGGAK SALAH"!" Bantahnya murka. "Nggak salah, kata lo"!
Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia"!"
"Jadi lo pamrih"! Itu emang kewajiban lo sebagai kakak!"
Ata meronta lagi, membuat Oji kewalahan memeganginya.
Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya diam, tidak
menunjukkan reaksi perlawanan apapun.
Mana pernah Oji melihat Ari selemah ini. Mana pernah Oji melihat
ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka! Ia sama sekali nggak
suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini.
"BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo selemah ini"!"
Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang menghalangi pandangannya
dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu saudara
kembarnya sebagai penopang.
"Lepasin Ata, Ji," perintahnya dengan suara tak terbantahkan.
Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata Ata. "Maaf, ya" Gue
emang adek yang nggak tau diuntung."
Segalanya luruh disana. Ari, dengan sisa-sisa sifat Ata yang
menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya untuk
membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya
tersebut. Di lapangan sekolah sore itu, Ari sempurna menerima
kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang yang
pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan
yang pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun.
Ari berjalan pelan meninggalkan lapangan basket. Ridho sudah
akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis oleh Ari.
"Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan ninggalin abang gue. Jangan
coba-coba." "Nggak lucu, Bos!" Oji meneriaki sahabatnya itu dengan frustasi.
"Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah pikiran ?"
"Nggak pa-pa, Ji," sahut Ari menenangkan. "Lagian gue bukan Bos
elo." Senyum menenangkan dipancarkan oleh Ari lewat tarikan bibirnya.
Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kalau untuk kebaikan saudara kembarnya... Tidak mengapa. Ari
akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap kekuasaan. Terhadap
pengaruh dan pertemanannya.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang harus ia usahakan untuk
direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan jalan
terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata,
orang tersebut pun juga akan Ari tinggalkan.
Kesanalah saat ini langkah Ari menuju. Lantai tiga gedung barat
SMA Airlangga. * Fio sibuk menenangkan Tari, segera setelah ia tiba di tempat Tari
diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala yang ia tahu.
Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang
mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata
memang sudah Tari dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun...
mendengarnya dua kali dalam selang waktu yang singkat bukan berarti
bisa membuatnya lebih tenang.
Skenario terburuk yang mungkin terjadi hari ini adalah... Tari
tahu, namun tidak mampu membayangkannya. Meninggalkan Ari dalam
kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.
Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari. Tidak
setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu
tegar. Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah
berani. Namun... Siapa yang bisa benar-benar bertekuk lutut, jika lawan
tangguh di seberang sana justru adalah orang yang ada tubuhnya
mengalir darah yang sama dengan dirinya"
Derap langkah pelan terdengar sedang menaiki tangga lantai tiga,
tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik Ari. Yang pada
wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat.
"Tolong tinggalin kami berdua."
Tanpa harus disuruh dua kali, Fio dan Gita melangkah pelan
meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri di hadapan
gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kaki
gadis itu dengan sangat hati-hati.
"Baik-baik aja, kan" Ikatannya nggak kuat, kok... Nggak ninggalin
bekas." Suara itu... Tari bisa mendengarnya. Suara itu dipaksakan sehingga
terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati di dalam sana
terdengar tanpa harus disuarakan.
Kepada seseorang yang mati-matian meminta penyelamatan
padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua beban itu
dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari.
Kepada seseorang yang selama ini selalu ia kejar, kali ini... Ari
melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari Tari, namun dengan
pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari akan merelakan segalanya
pergi. Terutama Tari. "Gue..." Ari memulai dengan suara tercekat. "nggak tau, bahaya
apalagi yang ada di depan sana."
Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak
bisa, karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini.
"Gue cuma mau nyampein dua hal. Tolong didenger baik-baik,
ya?" Sambil menatap kedua bola mata Tari " pada akhirnya " Ari
melanjutkan, "Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue
dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan
kedua... Maaf," suara Ari mulai bergetar menahan isakan. "Maaf,
karena setelah semua yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah."
Tari menggeleng, tidak percaya dengan apa yang sedang ia
dengarkan. Bukan. Bukan seperti ini jalan ceritanya!
"Selama yang berdiri di ujung sana adalah Ata, gue... Sampai
kapanpun nggak akan sanggup untuk menang," Ari tertawa pelan,
miris. "Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas, Tar."
"Gue udah lama bebas, Kak..." Tari tergugu. "Apa yang gue lakuin
untuk lo selama ini ikhlas, bukan ?"
Ari menempelkan jarinya di bibir gadis itu, membuatnya seketika
diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan penjelasan gadis ini lebih
banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum keputusannya berubah.
Kedua tangannya menyentuh pipi Tari dengan lembut. Mata Tari
terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir yang ia bayangkan
harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari bayangkan
akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan
terkejam, kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa"
Yang Tari tidak sadari, justru keputusan ini telah memakan jiwa
Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan, menancap dengan sangat
dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal ini. Memangkas
habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya.
Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan lembut. Lama,
seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.
Ari melepaskan bibirnya dari kening Tari. Mereka saling menatap,
melihat jendela jiwa masing-masing, mencoba menyusuri kedalamannya. Kedua tatapan itu tak terdefinisi. Ada permohonan
untuk tetap tinggal sekaligus binar lelah menghadapi kenyataan.
Namun satu yang jelas, ada jelaga yang nampak disana. Pekat terlihat
begitu nyata. Kecupan itu, meski dingin dan membuat Tari gemetar, dilakukan
dengan sepenuh jiwa, sepenuh raga, seakan meniupkan separuh ruh
disana. Kecupan itu begitu dalam, menyampaikan banyak perasaan
yang tidak sempat diutarakan. Kecupan itu membawa seluruh luka dan
perih. Kecupan itu sekaligus memutus rantai takdir yang mematerai
antara dia dan lelaki yang ada di depannya ini!
Sebagai salam perpisahan, Ari memeluk gadis yang ada depannya
erat. Sangat erat, sehingga siluet menggambarkan mereka sebagai satu
kesatuan. Tari menggigil hebat meski tubuhnya tidak kedinginan. Pelukan itu
begitu menyesakkan dadanya sehingga ia kesulitan bernapas. Pelukan
itu begitu menyakitkan, membuat kepalanya hampir pecah. Pelukan itu
serasa merontokkan tulangnya dan menjadikannya serpihan. Ia tak
punya tenaga lagi untuk berdiri. Untuk menopang tubuhnya, tangannya
menggelayut erat pada leher Ari dan menundukkan wajahnya di dada
lelaki itu dalam-dalam. Ari memejamkan mata. Sama sekali tidak ada niatan untuk
melepas pelukannya. Karena gadis ini adalah pusatnya. Gadis ini
adalah separuh jiwanya. Namun ia telah berjanji. Ini memang harga
mahal yang harus ia bayar: meminum racun yang Ata sodorkan
padanya. Nampaknya Ari tidak punya pilihan selain menguatkan hati
dan mengabaikan rasa hancurnya. Dilepaskannya pelukan itu seraya
mendorong Tari menjauh. Pemandangan yang ada setelah itu membuat
dadanya serasa dipukul oleh godam.
Begitu pelukan itu terlepas, Tari langsung terkulai lemas. Air
matanya mengalir deras dan mati-matian ia menahan isaknya, yang
menyebabkan Tari megap-megap, kesulitan bernapas. Gadis itu
menatap Ari tepat di manik mata, tajam.
Ari meremas tangannya. Mati-matian ditahannya hasrat untuk
memeluk lagi gadis yang ada di depannya ini, untuk mengatakan
kalimat-kalimat penghiburan, atau setidaknya kepastian bahwa apapun
yang terjadi, dia masih ada disamping gadis itu. Namun kenyataannya
tidak bisa seperti itu. Lebih dari siapapun, harusnya Tari mengerti. Dan
kalaupun tidak bisa, dicobanya membuat Tari mengerti.
Ari berlutut agar sejajar dengan Tari. Dengan pandangan
memohon, ia menatap Tari, "Tolong" jangan bikin jalan gue
tersendat?" bisiknya serak.
"Lo berusaha mati-matian ambil hati gue. Setelah berhasil, lo
balikin lagi ke gue dan nyerah gitu aja. Lo pikir lo siapa, hah, bisa
mainin hati gue seenak jidat lo kaya gitu"!" jerit Tari, histeris. Air
matanya kembali menderas. Ia tergugu.
Bukannya Tari tidak melihat kehancuran di mata seseorang yang
telah memiliki hatinya dengan sempurna. Bukannya Tari tidak melihat
bahwa batin Ari juga tersayat dengan keadaan ini. Tari lebih dari
mengerti bahwa perang ini adalah perang yang tidak dapat mereka
menangkan. Tapi apakah akhirnya harus seperti ini" Setelah kejadiankejadian yang menorehkan luka dan air mata, setelah berbagai
peristiwa yang menguras hati" mengapa ia menyerah secepat ini"
Tanpa perlawanan, pula! "Maaf..." bisik Ari singkat, sebelum kemudian ia berdiri dan pergi.
Langkahnya terseok dan nampak berat. Namun ia tetap berjalan, sama
sekali tidak menoleh ke belakang. Karena ia menyembunyikan air
matanya, simbol kekalahan mutlaknya, kepada gadis yang telah
menuntunnya ke jalan pulang dan telah dijanjikannya banyak tawa.
Tari menangis. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia mencoba berdiri.
Dengan segenap kekuatannya ia berkata, "Denger, Matahari Senja!
Mungkin lo udah nyerah, tapi gue nggak! Denger itu! Gue nggak akan
menyerah atas elo!" Teriakan Tari nyaris membuat langkah Ari terhenti. Hatinya
menghangat, namun ia tetap kukuhkan niatnya untuk pergi. Karena
memang lebih baik begini.
* Meski hanya terlihat gerakan-gerakan samar tanpa bisa mendengar
pembicaraan sama sekali, sangat terlihat jelas bahwa situasi di lantai
tiga sana, yang sedang dihadapi Ari dan Tari berdua, bukanlah situasi
yang menyenangkan. Pembicaraan yang terjadi sudah dapat dipastikan
berdarah. Setiap gerakan samar mengisyaratkan adanya pergolakan
batin yang sangat hebat. Dari jauh, sudah tercium aroma perpisahan!
Pemandangan yang terlihat sangat memilukan. Pelukan yang
setelahnya mengakibatkan Tari meluruh, langkah kaki Ari yang berbalik
arah yang hanya bisa ditatap nanar oleh Tari" benar-benar pemandangan yang tragis. Karena hanya sesuatu yang besar dan
hebatlah yang dapat membuat dua orang dengan kisah cinta
melegenda di Airlangga memutuskan untuk mengucapkan sayounara!
Keadaan itu menimbulkan sejuta tanya bagi para penonton yang
melihat. Ini sebenarnya ada apa" Mengapa jadi begini" Ata, Ari dan
Tari sebenarnya ada masalah apa"
Spekulasi yang tidak mendekati kebenaran sama sekali pun
berkembang. Ata naksir Tari, tapi tidak tergapai karena gadis itu sudah
berpacaran duluan sama Ari. Makanya Ari dan Ata adu basket sebagai
unjuk kekuatan. Dalam perang basket itu, Ari kalah. Karenanya, Ari
harus meninggalkan Tari atas permintaan Ata
Spekulasi yang aneh dan bisa langsung membuat rambut Tari
keriting ketika mendengarnya. Namun, dengan spekulasi itu, timbul
berbagai macam simpati pada Ari dan langsung men-judge Ata sebelah
mata. "Liat perbuatan lo, Bangsat!!!"
Melihat sahabatnya dihancurkan berkali-kali, melihat sahabatnya
diserang dari segala arah, melihat segala yang dipunyai sahabatnya
gugur satu per satu sangat menyakitkan hati Oji. Puncaknya hari ini.
Melihat benteng pertahanan sahabatnya, sekaligus kepada perempuan
dimana sahabatnya menaruh jiwa, direnggut begitu saja oleh Ata "
saudara kembar sahabatnya sendiri! " bahkan tanpa perlawanan yang
berarti, benar-benar membuat Oji remuk redam! Ia murka, sangat
murka.

Jingga Untuk Matahari Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan emosi yang menggelegak di kepala, ia seret Ata ke pojok
ring, alih-alih melempar Ata kesana. Dicengkramnya kerah Ata.
Emosi Oji ini nampaknya adalah kekuatan tambahan untuk Ata.
Emosi Oji ini sudah menguasai hati dan pikiran sehingga ia tidak
melihat tatapan bengis Ata yang siap membunuh. Kekuatan Oji
memang besar, namun Ata lebih besar lagi. Dibantingnya Oji sampai ia
terjengkang. Ditariknya kerah cowok itu dan dipukulinya berkali-kali.
Perlawanan Oji tidak menimbulkan efek apapun bagi Ata yang kalap.
"Lo tau apa"! Lo itu orang luar dan nggak usah kebanyakan ikut
campur! Lo pikir lo siapa, hah"! Polisi moral"!?"
Semua orang terkesiap, terhenyak. Belum pernah mereka lihat sisi
Ata seperti ini. Ata yang ramah, Ata yang pintar, Ata yang kesayangan
guru-guru. Sekarang yang terlihat Ata yang kalap. Nampak garang.
Nampak ganas. Sangat menakutkan! Ata yang ini" mirip sekali dengan
Ari, dulu! Ridho buru-buru menengahi adu jotos yang tidak imbang itu,
sebelum Oji benar-benar menjadi bubur. Setelah diusirnya kerumunan,
ia langsung melesat ke area pergulatan tersebut. Ia meringis melihat
kondisi Oji yang sudah babak belur, namun masih berusaha untuk
melawan. Sia-sia. Kekuatan Ata yang kalap, membuat Ata seperti
monster yang tidak kenal kata ambruk. Oji hanya sandsack.
"Cukup, Ta!" Ridho, berdiri dengan gagah berani di depan Ata.
Pipinya sempat terkena "hadiah" bogem mentah dari Ata sebelum Ata
menyadari siapa orang yang berdiri di depannya. Ata mendesis geram.
"Lo nggak usah ikut-ikutan, Dho! Minggir! Biar gue tunjukin kejongosnya Ari itu, dengan siapa dia berhadapan!! Biar dia
nggak seenaknya ikut campur kaya begini!!" bentak Ata yang kemudian
mendorong Ridho menjauh. Tapi Ridho tak gentar, ia terus membayangi Ata. "Nggak usah lo halangin, Dho!!! Dikira gue takut, apa, sama dia"!"
Oji yang tersulut emosi langsung berlari menyongsong Ata. Mukanya
yang sudah babak belur dan badannya yang nyaris remuk tidak ia
pedulikan. "Goblok! Gak usah cari mati!!" Ridho mendorong Oji hingga Oji
jatuh tersungkur. Dan kepada Ata ia berteriak,"Cukup, Ataaaa!!! Udah
cukup lo sakitin satu sahabat gue! Gak usah merembet ke sahabat gue
yang lainnya!!" Seketika Ata langsung menghentikan langkahnya. Ia memandang
Ridho dengan pandangan tak percaya. Perkataan Ridho barusan" apa
ia tidak salah dengar bahwa Ridho, yang katanya sudah jenuh dengan
segala kebossyan Ari, sekarang balik membela kubu itu lagi" Ata ingin
mengucapkan sesuatu, namun tertahan angin. Dibiarkannya Ridho
menyelesaikan perkataannya.
"Lo?" Ridho mendesah. "bener-bener udah keterlaluan. Apapun
yang Ari udah lakuin, terlepas itu udah nyakitin lo segala macem" Dia
nggak sengaja. Nggak saharusnya dia ngebayar sesuatu yang dia nggak
tau, Ta." Ridho kemudian membantu Oji berdiri dan memapahnya. Setelah
berhasil membantu Oji bangkit, Ridho, dengan Oji dalam rangkulannya,
menoleh kearah Ata, seakan ada sesuatu yang lupa ia sampaikan.
"Ari sahabat gue, Ta. Dari dulu tetap begitu. Nggak ada makar."
Ata hanya bisa tercengang sembari menatap punggung Ridho yang
semakin menjauh. * Keadaan hampir kembali seperti dulu. Orang itu ada dalam
jangkauannya, tapi tak teraih. Ari tertawa miris. Setelah jatuh-bangun
berbulan-bulan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan dan
menyakitkan, setelah semuanya ia lakukan" ia kembali seperti ini.
Sendiri. Dahulu Ari mengenal definisi sendiri berarti keadaan rumahnya
yang kosong dan dingin. Sendiri berarti perasaan hati yang disekop
dalam-dalam akibat ketiadaan Mama dan kembarannya. Sendiri berarti
meski dia harus memakai "topeng" setiap hari, setiap waktu, sebagai
bentuk pertahanan. Sendiri yang itu" sendiri yang menyedihkan.
Menguras tenaganya karena raga, otak, hati dan pikirannya terusmenerus dipakai berperang. Sendiri yang itu masih bisa dienyahkan
dengan membuat perkara dan kegaduhan di sekolah.
Namun ternyata ada definisi kata "sendiri" yang baru saja Ari
kenali. Yang tidak jauh berbeda, namun efeknya sangat menghancurkan. Sendiri berarti, meski Mama dan Ata ada di dekatnya, namun
hatinya tetap hampa. Sendiri berarti, setelah membuka "topeng"nya di
depan dua sahabatnya, ia tidak bisa merdeka seperti yang diharapkannya. Sendiri berarti, dengan sangat terpaksa dan suka
maupun tidak suka, dia harus berjalan tanpa penopangnya, tanpa ada
yang memandunya. Definisi kata "sendiri" yang ini" meluluhlantakkan. Merontokkan
jiwanya dan mengosongkan hampir seluruh ruhnya. Sendiri yang ini
sama sekali tidak bisa diperbaiki.
Sungguh ironis, karena Ari tidak menyangka semua ini akan
menimpanya. Ari pikir ia sudah bahagia, segalanya akan baik-baik saja.
Sepertinya Tuhan sedang mengajaknya bercanda. Diberi-Nya Ari
rentetan "perang" bertubi-tubi, tanpa jeda dan banyak kejutan di
dalamnya yang sama sekali tidak disangka. Dan untuk kejadian ini"
tidak ada yang dapat Ari lakukan.
Sekarang, disinilah ia berada. Berdiri depan di rumah Tari pada
pukul dua dini hari. Gadis ini sumber kekuatannya, juga sumber
kerapuhannya. Dan untuk kebaikan gadis itu sendiri, terpaksa ia
tempatkan gadis itu di tempat terjauh dari dirinya, dari hatinya.
Karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, agar tidak menghapus
senyuman yang tersungging di bibir gadis itu. Dengan tetap berada
disampingnya, ia hanya akan menyeret Tari dalam masalah.
Disinilah Ari berada. Berdiri di depan rumah Tari pukul dua dini
hari. Setelah kejadian tadi siang, ia harus pastikan bahwa Tari baikbaik saja. Karena ia sangat khawatir pada gadisnya itu. Gadisnya tidak
berhenti menangis setelah ia berbalik. Masih belum berhenti menangis
ketika Fio menghampirinya. Tari masih menangis ketika ia dan Fio
dihampiri oleh Ridho serta Oji yang babak belur. Tangis itu baru
berhenti ketika Tari sudah kelelahan dan akhirnya tertidur di pelukan
Fio dengan wajah yang pucat. Ari sendiri benar-benar harus
menguatkan hati agar tidak berlari dan memeluk gadisnya saat itu.
Sekarang, sudah pukul dua lebih dan lampu di kamar Tari belum
dimatikan juga. Siluet seorang gadis yang sedang mondar-mandir,
bermain puzzle yang kemudian diserakkan lagi dan yang duduk
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 3 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Suling Naga 22

Cari Blog Ini