Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 1
:: Mata Elang : Chapter 1
Mata Elang - Hey Sephia download dan baca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
"Pelajaran kosong". Tanyakan pada pelajar SMA manapun, kata-kata ini nilainya tinggi sekali,
jauh lebih tinggi daripada "batal ulangan" sekalipun. Mungkin kata-kata yang bisa menandingi
nilai "pelajaran kosong" hanyalah "dua jam pelajaran kosong". Itulah sebabnya suasana kelas
hari ini ramai sekali. Keramaian ini dimulai saat mereka mendengar bahwa guru biologi, Bu
Tanti, tidak bisa mengajar hari ini karena sakit. Itu berarti, dua pelajaran penuh, dua kali 45
menit, mereka bebas dari pengawasan guru. Guru-guru yang lain sibuk mengajar. Bu Tanti
memberikan tugas meringkas dua bab dari buku diktat. Tapi rasanya murid-murid tidak ada
yang menganggap penting tugas itu sekarang. Yang penting sekarang adalah pelajaran
kosong, dan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Kalian bisa diam, tidak?" tiba-tiba saja Bu Mirna, yang sedang mengajar ekonomi di kelas
sebelah, masuk ke dalam kelas. Murid-murid cepat-cepat kembali ke tempat duduknya
masing-masing. Bertepatan dengan itu, Pak Yusril, kepala sekolah SMA Antonius mengetuk
pintu kelas. "Terima kasih, Bu Mirna. Saya akan jaga di kelas ini," kata Pak Yusril.
Ada seorang laki-laki yang membuntutinya.
"Anak-anak, ini Pandu. Mulai hari ini dia akan menjadi anggota kelas 2C ini. Tolong perlakukan
dia dengan baik. Pandu, ceritakan sedikit tentang dirimu sehingga teman-teman barumu bisa
mengenalmu lebih baik," kata Pak Yusril.
"Nama saya Pandu. Pandu Prasetya. Saya pindahan dari SMA Mataram di Yogyakarta. Ayah
saya polisi, baru saja selesai tugasnya di Yogya, dan dipindah ke Semarang ini. Saya anak
bungsu dari 5 bersaudara, kakak saya laki-laki semua. Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa
ayah saya memberi nama Pandu padahal saya anak bungsu" Kakak-kakak saya semua
bernama Pandu. Jadi kalo ada yang naksir saya, mau telepon ke rumah, carinya Pandu
Prasetya. Kalo nggak nanti pada bingung Pandu yang mana." kata Pandu tanpa malu-malu
dengan gaya yang ramah dan kocak.
"Huh," gersah Niken yang duduk di samping jendela, "Pe-de benar cowok satu ini. Lagaknya
sok ganteng", batinnya.
"Nik, cakep yach tu cowok," Wulan yang duduk di sebelahnya berbisik.
"Cakep apanya, ah?"
"Bagaimana sih kamu" Perawakannya tegap, tinggi lagi. Rambutnya keren. Ketahuan lah kalau
bapaknya polisi. Matanya seperti mata elang?" bisik Wulan, mulai berandai-andai.
"Seperti mata jangkrik." sahut Niken asal-asalan.
"Niken!" panggil Pak Yusril.
"Ya Pak!" Mendengar namanya dipanggil, Niken sontak berdiri. "Aduh, jangan-jangan Pak
Yusril mendengar percakapanku dengan Wulan?"
"Kamu ketua kelas, saya ingin kamu duduk dengan Pandu. Wulan, kamu pindah di samping
Arya. Pandu, kamu duduk di samping Niken."
"Baik, Pak." sahut Wulan dan Pandu hampir bersamaan.
"Duh, sial! Kenapa pula si jangkrik itu musti duduk di sebelahku" Benar-benar sial." gerutu
Niken dalam hati sambil duduk kembali.
"Kamu beruntung sekali bisa duduk di sebelah si mata elang." bisik Wulan sebelum berdiri.
"Kalau saja aku bisa bertukar tempat dengan kamu sekarang, aku bakal merasa sangat
beruntung." Niken balas berbisik. Dia tidak menyangka Pandu sudah berdiri di sebelahnya.
Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menebar senyum lalu duduk.
"Niken, tugas apa yang diberikan Bu Tanti?" tanya Pak Yusril.
"Meringkas bab 3 dan bab 4 dari buku paket, Pak." jawab Niken.
"Bagus. Sekarang kalian duduk manis dan meringkas. Saya akan duduk di sini, menonton
kalian meringkas." kata Pak Yusril sambil duduk di depan, di kursi guru.
Anak-anak terlihat kecewa. Hilanglah harapan mereka untuk bersenang-senang selama 2 jam
pelajaran. Seandainya saja bukan Pak Yusril, sedikit-banyak mereka pasti protes. Mereka
sangat menghormati Pak Yusril. Bukan karena dia galak, melainkan justru karena Pak Yusril
tidak pernah marah, tapi penuh wibawa. Jadi sekarang mereka terpaksa diam dan meringkas.
"Niken, aku boleh ikut lihat buku diktatnya" Aku belum punya buku itu." tanya Pandu.
Niken berpikir sejenak, lalu menjawab, "Nih, pinjam saja. Aku sudah selesai meringkas.
Kemarin malam aku nggak ada kerjaan, jadi aku sudah meringkas separuh. Pas anak-anak
ramai tadi aku terusin meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih," kata Niken
sambil mendorongkan buku itu ke arah Pandu. Sebetulnya Niken belum selesai, kurang satu
sub-bab lagi, tapi dia malas sharing satu buku dengan Pandu. Lagipula Pandu perlu mulai dari
awal, sedangkan Niken sudah hampir selesai, tinggal halaman terakhir.
"Terima kasih," kata Pandu, lalu mulai menulis.
Niken mengambil buku kecil dari tasnya, menyobek secarik kertas dari situ, lalu sibuk menulis
pula. "Kamu lantas menulis apa?" bisik Pandu.
Niken diam saja. Malas dia menjawab cowok yang satu ini.
"Niken?" "Bukan urusanmu. Kamu meringkas saja, sana?"
"Iiih" galaknya nona ketua kelas." kata Pandu, lalu meneruskan ringkasannya.
Diam-diam Pandu mencoba membaca yang Niken tulis. Cuma ingin tahu saja. Sekilas empat
baris terbaca. Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Pandu tercenung. Pandu bisa melihat gadis yang satu ini sangat berbeda dari gadis
kebanyakan. Sorot matanya tajam. Dia terlihat begitu cerdas dan dapat dipastikan dia penuh
percaya diri. Ketua kelas pula. Makhluk hidup dari mana pula ini" Pandu bertekad untuk
mengetahui lebih banyak tentang gadis misterius yang galak tapi teramat manis ini.
* Berkat kelincahannya dalam bermain basket, sebentar saja Pandu mendapat banyak teman.
Cewek-cewek juga sering berlama-lama di dekat Pandu, maklum, Pandu memang ganteng dan
gagah. Niken yang duduk di sebelahnya jadi enggan tinggal di kelas tiap jam istirahat. Karena
tiap istirahat, mejanya pasti dikerumuni banyak cewek ceriwis dan centil. Niken lebih suka
ngobrol dengan Wulan di kantin.
Di pihak lain, Pandu sudah berhasil mendapatkan banyak informasi tentang Niken. Tidak sulit
untuk memperoleh keterangan sebanyak mungkin, karena hampir semua orang mengenal
Niken. Niken yang manis, Niken yang galak, Niken yang pandai dan selalu menjadi juara kelas.
Keterlibatannya di organisasi sekolah juga sangat besar. Boleh dibilang, Niken adalah orang
nomer satu se-angkatan. Selain cerdas, Niken rupanya juga pandai bergaul. Pergaulannya
cukup luas. Pantas saja semua orang mengenalnya. Dari cowok yang berkacamata tebal yang
selalu menyibukkan diri di laboratorium fisika, sampai cowok gondrong yang kerjaannya tiap
hari hanya menenteng-nenteng gitarnya, mereka semua kenal Niken. Kesan yang didapat dari
masing-masing pun sangat baik terhadap Niken. Teman ceweknya pun banyak, bahkan
cewek-cewek itu sengaja membuntuti dan meniru-niru Niken ke mana-mana. Singkat cerita,
Niken itu benar-benar idola di kalangan murid-murid.
Nilai sempurna diberikannya untuk Niken, karena disamping semua kelebihan di atas, sahabat
Niken yang paling dekat, Wulan, adalah anak pembantu rumah tangga. Ini cukup menarik,
mengingat Niken itu anak konglomerat. Papanya yang keturunan Cina, pemegang saham
cukup tinggi di Pertamina, perusahaan minyak nasional di Indonesia. Selain itu, papanya
adalah direktur dari bermacam-macam perusahaan besar di berbagai tempat di Jawa. Benarbenar gadis yang beruntung. Rumahnya megah, seperti Gedung Putih. Di kawasan elite pula.
Menurut anak-anak yang sudah pernah ke rumahnya, rumah Niken itu seandainya nasi
goreng, komplit pake telor. Ada fasilitas gym"nya, ada kolam renang, sauna, ruang karaoke,
ruang bilyar, lapangan tenis, wah, pokoknya katanya segala ada deh.
Meski sudah mengetahui banyak tentang Niken, tetap saja dia terlihat misterius. Misalnya,
konon sampai sekarang ini Niken belum pernah pacaran. Ini sangat aneh, mengingat Pandu
banyak mendengar pengakuan bisik-bisik dari teman-teman cowoknya, kalo mereka naksir
Niken. Tak satupun dari mereka yang berhasil mengambil hatinya. Apa dia tidak doyan cowok"
Rasanya koq tidak mungkin. Empat baris puisi yang sekilas dilihatnya senantiasa terbayangbayang di ingatannya. Niken bicara tentang asmara di puisinya. Jadi dia pasti pernah jatuh
cinta, Pandu menyimpulkan. Tapi dengan siapa" Di mana dia sekarang" Puisi itu sendiri begitu
misterius, susah menyimpulkan begitu saja dari empat baris puisi itu.
"Aku harus berhasil mendapatkan kertas kecil itu, itu satu-satunya cara untuk mengetahui
lebih banyak tentang Niken."
* Sepi" Kau, mungkin telah membusuk
Tapi tidak lebih busuk dari si busuk penyamun itu
Suci cintamu Pedih deritamu Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Kau, tinggal kenangan Pahit kekecewaan Memberi seribu teladan Kau, mewangi sepanjang hari
Mekar di dalam hati "Huh"! Tetap saja tidak mengerti." keluh Pandu. Dia berhasil mencuri lihat buku mungil itu
dari tas Niken. Dibacanya berulang kali. Tetap saja penuh misteri. Siapa yang dimaksud
"penyamun" itu" Siapa yang tinggal di hatinya" "Ah, benar-benar bikin penasaran cewek yang
satu ini," gumamnya, sambil meletakkan kertas itu di atas meja.
Budi, teman sekelas, sekaligus teman main basketnya, menepuk pundaknya.
"Hey, Ndu! Tumben kamu enggak dikerumuni cewek hari ini" Macam James Bond saja kamu."
"Tadi aku bilang sama mereka, aku belum buat pe-er. Jadi mereka menyingkir."
"Apaan nich?" tanya Budi mengambil kertas itu dari meja.
"Eh" jangan?" cegah Pandu. Tapi terlambat. Secarik kertas itu sudah berada di tangan Budi.
"Ini tulisan tangan si Niken, kan?" Budi mengenali tulisan Niken. Pandu diam saja.
"Iya niiiih" Wah Niken bisa puitis juga, yach?" kata Budi sambil tertawa. Lalu membacanya
keras-keras. Teman-teman yang lain tertarik, lalu mulai berkerumun di situ.
Budi bak seorang penyair, berdiri atas meja Niken dan mulai membaca puisinya, berulangulang.
Bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi anak-anak masih
berkerumun di sekitar situ sambil tertawa-tawa melihat gaya Budi yang kocak.
Niken yang hendak masuk kelas cuma bisa berdiri kaku di depan pintu. Malu sekali rasanya.
Dengan mata geram ditatapnya Budi lekat-lekat. Yang lain berhenti tertawa, dan bubar jalan,
menyadari Niken sudah berada di situ. Budi pelan-pelan turun dari atas meja, lalu
mengembalikan kertas itu pada Pandu, sambil tersenyum, "Terima kasih, kamu benar-benar
ahli bikin ketawa." Niken tidak berkata apa-apa waktu duduk. Pandu tak sanggup menatap wajahnya. Dingin
sekali tatapan matanya. Tapi dia merasa harus meminta maaf. Biar bagaimana kejadian tadi
gara-gara dia. "Sorry, Niken. Aku nggak berniat?"
"Sudah puas kamu sekarang?" serobot Niken.
Percakapan mereka terhenti karena Bu Santi, guru matematika, sudah masuk ke kelas. Pandu
sempat melihat setitik air mata di sudut mata Niken. Dia menyesal sekali.
Niken, di lain pihak, cuma satu kata yang ada di otaknya sekarang. "Perang!"
* Siang itu juga, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Pandu berusaha menjelaskan apa yang
terjadi. "Niken, aku serius tidak memberikan kertas itu pada Budi. Sumpah! Memang aku yang
mengambil kertas itu dari tasmu, tapi itu cuma untuk memuaskan rasa ingin tahuku saja. Aku
memang salah, aku seharusnya mencegah Budi membaca puisi itu. Maafin aku, ya?" kata
Pandu tulus. "Kalau tujuanmu ingin mempermalukan aku, kenapa pakai menyewa Budi sebagai aktor"
Kenapa nggak kamu lakukan sendiri?" jawab Niken sinis, sambil memberesi buku-bukunya dari
laci. "Sudah kubilang, aku sama sekali nggak berniat mempermalukan kamu. Aku cuma ingin baca,
terus aku kembalikan lagi. Budi datang pada saat yang salah."
"Jadi kamu menimpakan kesalahan padanya" Nol rasa tanggung jawabmu, ya" Bapakmu yang
polisi pasti bangga."
Pandu menelan ludahnya. "Maafkan aku, Niken. Aku memang salah. Aku tapi sama sekali
nggak bermaksud untuk bikin kamu malu. Sumpah! Lagipula, kenapa kamu mesti marahmarah begini, sih" Puisi kamu itu bagus sekali lho" Kenapa kamu mesti malu?"
"Aku nggak butuh penilaianmu. Terserah aku dong mau marah atau bangga. Sekarang ini aku
malu dan marah. Kamu mau apa?"
"Ya sudah, ya sudah" Maaf dong?"
Niken merengut. "Permisi, aku musti pulang sekarang." katanya kemudian, karena Pandu
masih duduk di sebelahnya, menghalangi jalan keluarnya. Pandu berdiri dan
mempersilahkannya untuk lewat. Niken bergegas keluar menenteng tasnya.
Pandu mengejarnya. "Sudah dimaafin belum nich aku?" teriaknya.
Niken berlari menjauh, ke arah pintu gerbang luar. Malas meladeninya. Cowok sialan. Serasa
ingin menangis kalo mengingat kejadian yang tadi. Benar-benar memalukan. Puisi tadi adalah
ungkapan isi hatinya. Bagaimana dia tidak marah" Enak saja Pandu bilang kenapa mesti malu.
Niken tidak pernah mengungkapkan emosinya pada orang-orang, jadi ini adalah pengalaman
pertamanya. Ya gara-gara si mata jangkrik itu. "Suatu saat pasti aku balas!" janji Niken pada
diri sendiri. * Untuk melakukan aksi balas dendamnya, Niken harus menggali lebih dalam tentang cowok
yang dibencinya itu. Agak susah, karena dia anak baru pindahan dari luar kota, tidak banyak
orang yang mengenalnya dengan dekat.
Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari anak-anak basket dan cewek-cewek yang
sering mengerumuninya, Pandu yang orang Jawa asli itu tinggal di rumah kontrakan di daerah
Manyaran. Jabatan ayahnya di Polri tidak begitu tinggi, jadi ibunya harus ikut menopang
keluarga dengan membuka usaha jahit pakaian. Kakaknya empat orang, laki-laki semua. Tapi
hanya Pandu yang masih tinggal bersama orang-tuanya. Hidupnya penuh kesederhanaan, tapi
kelihatannya bahagia. Kemana-mana Pandu naik sepeda bututnya. Selain main basket, dia
hobi main piano rupanya. Cuma itu keterangan yang berhasil didapatnya dalam waktu singkat.
Kurang kuat untuk melancarkan aksi balas dendam. Niken harus mengetahui lebih banyak
tentang pribadinya. After all, this is a personal war!
Maka dari itu, Niken mengurungkan niatnya untuk pindah tempat duduk. Dengan duduk di
sebelah Pandu, semakin mudah menyusun siasat untuk balas dendam, bukan"
Tapi ke mana anak itu hari ini" Ini sudah jam tujuh kurang tiga menit. Bel pertama sudah
bunyi dua menit yang lalu. 3 menit lagi pelajaran mulai. Pandu biasanya tidak pernah
terlambat. Tuh, bel sudah berbunyi lagi. Kemana dia" Mata Niken jelalatan ke luar kelas mencari sesosok
Pandu. Bu Tanti sudah masuk kelas, langsung memperingatkan murid-murid untuk menyusun buku
catatannya, karena ringkasan mereka akan diperiksa. Beberapa anak panik mencari buku
catatannya di dalam tas dan di laci. Beberapa lemas karena belum selesai meringkas. Yang
nekad langsung antri lapor tidak membawa buku. Niken tenang-tenang saja. Ringkasannya
sudah selesai dua hari yang lalu. Malah dia sudah mulai meringkas bab berikutnya.
Niken melongok ke arah luar jendela. Itu dia si mata jangkrik! Dia dihukum lari keliling
lapangan tengah karena terlambat. "Hihi.. sukurin."
"Maaf Bu, saya terlambat." kata Pandu saat masuk kelas.
"Kamu anak baru, ya?"
"Betul, Bu. Saya Pandu."
"Baiklah, Pandu. Silahkan duduk. Kamu sudah selesai meringkas" Bawa kemari buku
catatanmu." "Sudah, Bu." Pandu lalu mencari-cari buku catatan biologi dari tas kumalnya, lalu diletakkan di
atas tumpukan buku di meja guru.
"Kenapa kamu terlambat?" tanya Niken, iseng.
"Bukan urusanmu." jawab Pandu singkat.
"Iiih" galaknya. Ya sudah. Aku kan tanya baik-baik."
"Aku musti mengantar ibu beli kain di pasar. Biasanya juga begitu sih, tapi tadi sial, ban
sepedaku kena paku di tengah jalan dari rumah kemari. Makanya lama. Kamu tumben tanyatanya?" Pandu heran. Selama ini Niken jarang buka mulut. Paling-paling cuma bilang permisi
kalau mau lewat. "Nggak boleh tanya-tanya?"
"Boleh, tapi nanti yah. Soalnya Bu Tanti meperhatikan kamu terus tuh." bisik Pandu menunjuk
ke arah depan. Oh, baik juga dia, memperingatkan dia sebelum Bu Tanti menyemprotnya. Juga mengantar
ibunya ke pasar sampai rela terlambat. Tapi itu tak cukup untuk mengurangi rasa bencinya.
* "Jadi, kamu setiap hari mengantar ibumu ke pasar?" tanya Niken penuh selidik.
Ini jam istirahat, jadi dia bebas bertanya sekarang.
"Nggak. Cuma kalo ibu dapet orderan aja."
"Pagi, Niken," Jimmy mengagetkannya dari jendela. "Nih aku beliin sate telor dari kantin buat
kamu," "Aku nggak lapar." jawab Niken singkat.
"Aku punya aqua juga." tawar Jimmy sambil mengacungkan segelas aqua.
"Enggak haus." Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Jimmy pun berlalu.
"Jimmy itu anak 2A kan?" tanya Pandu hati-hati, takut kalau macan betina ini mengaum lagi
seperti hari itu. "He eh." "Kamu koq ketus amat sama dia?"
"Aku nggak akan ketus sama dia kalau dia tidak berniat mau pacarin aku. Dia terang-terangan
bilang suka sama aku seminggu yang lalu."
"Kenapa" Nggak suka sama dia?"
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku nggak ada niat untuk pacaran. Aku nggak punya waktu buat semua itu."
"Trus, kenapa kamu mesti ketus sama dia?" Pandu masih tidak mengerti.
"Karena dia tidak mau menyerah. Kalau aku bersikap baik-baik sama dia, nanti aku dikiranya
memberi angin. Blo"on bener sih kamu?"
"Oooh" Kamu nggak boleh atau nggak ingin pacaran?"
"Nggak boleh?" Maksudmu?"
"Nggak boleh sama ortu," biasanya anak cewek kan nggak boleh pacaran sama ortunya."
"Itu juga sih. Tapi aku memang sama sekali nggak ada keinginan untuk pacaran. Apalagi sama
Jimmy." "Apa sih jeleknya Jimmy?" pancing Pandu.
"Okay, Pandu. Kamu benar-benar usil deh. Rasa ingin tahumu itu benar-benar segede gajah."
Pandu ketawa. "Baiklah. Aku nggak akan tanya-tanya lagi tentang Jimmy." lanjutnya. Pandu
membesarkan hatinya, "Pelan-pelan aku pasti bisa mengerti. Sabar?"
Niken gantian bertanya, "Ganti topik. Yang agak asyik sedikit. Mmmm" Siapa tokoh idolamu?"
"Wah, pertanyaanmu seperti pertanyaan buat finalis kontestan Miss World deh." Pandu ketawa
lagi. "Okay, biasanya kalo aku bilang nama tokoh idolaku, orang-orang pasti bilang "Siapa?",
jadi aku bilang Ibu Teresa saja."
"Jadi siapa sebenarnya tokoh idolamu itu" Pamela Lee Anderson?" goda Niken.
"Kamu bisa becanda juga ternyata." Pandu terheran-heran.
Niken tersenyum. "Oh, ternyata dia manis sekali kalau tersenyum." batin Pandu.
"Siapa dong?" desak Niken lagi.
"Sun Tzu". "Siapa?" kata Niken, bercanda. Tentu saja dia tau siapa Sun Tzu, karena Sun Tzu juga salah
satu idolanya. "Tuh kan?" kata Pandu lagi.
"Sun Tzu Wu, jendral Cina yang mengarang Ping Fa, seni siasat perang Cina itu" Atau kamu
kenal Sun Tzu yang laen?" tanya Niken iseng.
"Jadi kamu tahu Sun Tzu?" Pandu terheran-heran.
"Kamu heran" Aku yang seharusnya lebih heran. Kamu koq bisa kenal Sun Tzu" Satu,
tampang kamu enggak ada Chinesenya sama sekali. Nggak sipit seperti aku. Rasanya lebih
wajar kalo aku lebih tahu tentang Sun Tzu daripada kamu." jawab Niken geli.
"Tidak ada orang yang tahu tentang pribadi Sun Tzu, karena dia sangat misterius. Seperti
yang dilukiskan dalam kutipan yang terkenal dari bukunya, "Bergeraklah samar sehingga kau
tak kasat mata. Selimuti dirimu dengan misteri sehingga kau tak tersentuh?"" Pandu belum
sempat menyelesaikan kutipannya, Niken sudah menyeletuk.
"Maka digenggamanmulah nasib lawan-lawanmu."
"Kamu"!?" Pandu terperanjat. "Jadi kamu bener-bener tau Sun Tzu?"
"Eeeh" dibilangin" Aku juga lagi heran tentang hal yang sama. Aku sih punya bukunya, "The
art of war", dalam bahasa Inggris. Sudah aku lalap habis. Dari mana kamu tahu tentang dia?"
"Aku nggak sengaja pinjam bukunya di perpustakaan waktu masih SMP. Buku itu benar-benar
bagus. Aku baca terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sih. Judulnya Falsafah Perang Sun
Tzu. Karena bagus sekali sampai aku fotocopy lho?" Pandu mengaku.
"Kalau kamu memang suka, besok aku bisa bawakan bukuku. Kamu boleh pinjam kalu mau.
Asal kamu nggak keberatan baca buku berbahasa Inggris."
"Wah, terima kasih sekali, Niken. Baru kali ini ada orang yang bisa menanggapi omonganku
tentang Sun Tzu." "Sama, aku sendiri sengaja nggak pernah bilang-bilang kalo suka Sun Tzu, takut dikira licik,
padahal memang iya!" jawab Niken tergelak-gelak.
Pandu melihat kilau indah di mata Niken saat Niken tertawa. Gadis ini benar-benar
mempesonanya. Nilai plus lagi untuk pengetahuannya tentang Sun Tzu. Kalau dihitung-hitung,
berapa nilai Niken sekarang ya" Dalam skala satu sampai sepuluh, mungkin sudah sebelas
nilainya. "Kamu sendiri, selain Sun Tzu, siapa tokoh idolamu?" gantian Pandu yang tanya.
"Ya Sun Tzu itu doang." jawab Niken, seperti menutup-nutupi sesuatu.
Pandu mendesak, "Ayo dong, aku sudah jujur sama kamu tadi. Gantian dong?"
Niken menggeleng. Untung saja bel segera berbunyi. Pak Heri, guru bahasa Indonesia, sudah
berdiri di depan pintu. Pandu buru-buru menyobek kertas dari buku tulisnya, "Dilanjutin nanti pulang sekolah yah!"
Niken merebut kertas itu dari tangan Pandu, lalu menulis, "Nggak ada yang perlu dilanjutin."
Pandu mengambil kertas itu kembali ke tangannya, "Please, tinggal sebentar siang ini di
kelas." Belum sempat Niken mengambil kertas itu kembali, tiba-tiba kertas itu sudah diserobot
seseorang dari belakang. dari belakang. Keduanya terperanjat. Pak Heri! Guru yang terkenal
killer itu membaca yang baru saja ditulis Niken dan Pandu.
"Kalian berdua, nanti pulang sekolah tinggal di kelas selama satu jam." kata Pak Heri, sambil
membuang kertas itu ke tempat sampah.
* Jam dua siang. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Pak Heri sudah menunggu di depan
pintu kelas 2C. "Pak, maafkan kami." kata Pandu memelas.
"Kamu kan yang ingin bercakap-cakap" Sekarang saya berikan kesempatan sepuas-puasnya,
satu jam. Silahkan. Pintu saya tutup. Satu jam dari sekarang, cari saya di ruang guru. Awas
kalo berani keluar sebelum satu jam." jawab Pak Heri sambil menutup pintu.
"Sial!" gerutu Niken dalam hati, sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
"Kamu! Selalu saja cari gara-gara." tuduh Niken sambil menudingkan jarinya ke arah Pandu.
"Hey, jangan bilang begitu. Kita cuma sedang bernasib jelek. Sekarang kita enjoy saja."
"Enjoy bagaimana" Aku baru kali ini dihukum guru. Ini gara-gara kamu." Niken menggerutu.
"Jadi kamu murid alim ya" Ketua kelas, panutan semua orang" Kelihatannya kamu begitu
sempurna." jawab Pandu dengan nada sinis.
Niken diam saja. Dia masih jengkel. Dia ada les bahasa Inggris jam setengah 3 siang ini.
"Kamu lagi mikir apa?" tanya Pandu.
"Aku ada les jam setengah 3. Sekarang aku harus kelaparan sampai jam setengah 4 karena
aku mesti les dari jam setengah 3 sampe jam setengah 4. Sudah terlambat les, masih nggak
sempat makan dulu. Aku benci kamu."
"Ya sudah" ya sudah" Aku yang salah. Oke" Sekarang pertanyaanku dijawab dong" Siapa
tokoh idolamu?" "Sudah kubilang, Sun Tzu. Seandainya saja kamu tadi percaya, ini semua nggak akan terjadi."
Niken menggerutu lagi. "Sayang sekali aku bukan orang yang mudah ditipu. Kamu bisa menipu semua orang, tapi
kamu nggak bisa nipu aku."
"Omong kosong apa lagi nich?"
"Baiklah kalo kamu memang nggak mau jawab. Aku tanya yang laen. Kamu bilang kamu
nggak mau pacaran, tapi kamu menyebut-nyebut tentang asmara di puisi kamu. Apa
maksudmu" Berarti kamu pernah jatuh cinta dong?"
"Sok tau kamu. Sekadar informasi, orang tidak perlu mengalami untuk menyelami perasaan.
Belajar dari pengalaman orang lain itu terkadang lebih baik daripada harus mengalami
sendiri." "Jadi bukan kamu yang jatuh di perangkap cinta?" tanya Pandu, masih penasaran.
"Bukan." "Lalu siapa dong?"
"Aku nggak suka kamu tanya-tanya melulu. Aku nggak akan jawab." kata Niken ketus.
"Jadi ini yang kamu dapat setelah baca falsafah perang Sun Tzu" Sok misterius." sindir Pandu.
Niken diam saja. Dia seperti ingin berpegang teguh pada prinsipnya, untuk tidak membuka
dirinya, terutama pada orang asing.
Berlama-lama mereka mengacuhkan satu sama lain. Pandu sendiri sudah tidak bersemangat
lagi untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Gadis yang satu ini benar-benar susah
dimengerti. Lama sekali menunggu satu jam usai. Ini bahkan baru lewat sepuluh menit.
Pandu mengambil walkman dari tasnya, lalu mulai memutar kasetnya sambil manggutmanggut.
"Lagu apa sih?" tanya Niken, memecah kesunyian.
Pandu tidak mendengarnya, karena volume walkmannya yang keras.
Niken lalu menyenggol kakinya. Pandu melepas salah satu ear piece-nya.
"Ada apa lagi?" tanya Pandu.
"Lagu apa?" "Ini" Kamu gak bakal suka lah. Ini Metallica, Enter Sandman" kata Pandu.
"Aku boleh ikut dengerin?" tanya Niken.
Heran, tapi dengan sopan Pandu memberikan ear piece yang dipegangnya ke Niken.
Niken ikut menyanyi"
Something"s wrong, shut the light
Heavy thoughts tonight and they aren"t of snow white
Dreams of war, dreams of liars, dreams of dragon"s fire
And of things that will bite
Sleep with one eye open, gripping your pillow tight"
"Heh" Kamu tahu juga lagu ini?" Pandu tak percaya. Setiap tingkah gadis ini benar-benar
membuat dia surprise. Niken pura-pura tak mendengar yang barusan Pandu bilang. Dia asyik dengan lagunya.
"Hey" Kamu suka Metallica juga?" tanya Pandu lagi, kali ini lebih keras, memastikan Niken
mendengarnya. "Kamu akhir-akhir ini sering tanya-tanya ke orang-orang tentang aku kan" Masa" belum
dengar kalo aku itu satu-satunya cewek anggota rock band kampus" Kita sering manggung di
acara-acara radio." Pandu meringis. "Ketahuan deh. Darimana Niken bisa tahu kalau Pandu belakangan ini
menyelediki latar belakangnya" Pasti Wulan yang melapor saat Pandu tanya-tanya tentang
Niken beberapa waktu yang lalu." kutuknya dalam hati.
"Nggak tuh. Nggak ada yang bilang. Kamu anggota rock band?" Pandu semakin tak percaya.
Apa sih yang tidak disukai gadis ini"
Niken mengangguk. Dari tadi dia memang sudah mengangguk-angguk mengikuti irama lagu
rock itu. "Aku boleh ikut main band?" tanya Pandu. "Aku bisa main key board, kalau kalian masih butuh
pemain. Tapi aku nggak punya key board. Aku cuma punya piano usang di rumah."
"Eh, kebetulan kita memang sedang seleksi anggota baru, karena sebagian anggota band
sudah kelas tiga, mereka ingin lebih banyak konsentrasi ke pelajaran. Termasuk Ronny,
pemain keyboard kita. Kalo kamu emang suka musik rock, kamu boleh ikut seleksi" kata Niken
menawarkan dengan gaya profesionalnya.
"Kapan seleksinya?"
"Rencananya sih minggu depan, hari Selasa abis pulang sekolah."
"Aku pasti datang. Kamu pegang instrumen apa sih?" tanya Pandu. Kali ini dia sudah siap
mental dengan apapun jawaban Niken. Dia tak bakal kaget kalau jawabannya "bass gitar"
sekalipun. "Drummer. Merangkap backing vocal dan kadang-kadang solo. Tergantung lagunya."
Tuh, kan, benar" harus siap mental. Niken bisa nge-drum juga!
"Kamu bisa main musik" Maksudku selain drum." tanya Pandu lagi. Mengorek keterangan lebih
lanjut tak ada salahnya, kan"
"Aku bisa main piano, gitar, harmonica, saxophone, trompet." Nah lho" bisa mati terkejut
kalau nggak siap mental. "Wah, Nik, jadi kamu bisa main band seorangan dong" Kamu bisa main bass gitar, melodi
gitar, ngedrum, main keyboard, dan vocalist. Bikin solo-band saja, lah." goda Pandu.
"Hey, baru kali ini kamu panggil aku Nik." kata Niken. "Cuma Wulan yang panggil aku Nik."
"Mama papa kamu manggil apa?"
Niken diam sejenak, lalu menjawab, "Niken, dong."
"Bohong. Kamu kenapa sih mesti bohong sama aku?" tanya Pandu. Dia ahli mencium
kebohongan, rupanya. "Aku dipanggil Fei Fei di rumah." Niken mengaku.
Pandu tersenyum. Puas dia bisa mengetahui sedikit rahasia Niken.
"Koq Fei Fei?" tanya Pandu.
"Namaku Niken Tjakrawibawa. Alias Tjan Siang Fei. Awas kamu kalo sampe ada yang tahu
tentang ini. Aku harus bunuh kamu."
"Tenang aja. Swear. Aku boleh panggil kamu Fei dong?" tanya Pandu nakal.
"Nggak. Yang lain bakal curiga dong."
"Baiklah, kalau sendirian, aku boleh panggil Fei?" tawar Pandu.
Setelah berpikir sebentar, Niken mengangguk.
"Kamu sendiri" Kamu waktu itu bilang serumah namanya Pandu semua. Nggak kreatif yah
ayahmu?" "Bukan begitu. Emang sudah turun-temurun begitu. Ayahku juga Pandu. Kakekku pun juga
Pandu. Pandu laen-laen. Aku Pandu Prasetya. Mereka kalo di rumah panggil aku Pras. Tapi di
luaran namaku Pandu. Kakak-kakakku juga begitu semua."
"Oh" Enak dong punya kakak cowok semua." kata Niken, mengambang.
"Kata "enak" rasanya terlalu rendah untuk menggambarkan betapa enaknya. Kita kompak, lima
bersaudara. Ngirit, juga. Bajuku ya hampir semua baju lungsuran kakak-kakakku. Aku nggak
keberatan. Masih bagus-bagus, koq. Tapi mereka di luar kota semua sekarang. Tiga di Yogya,
sudah menikah. Satu masih kuliah di Jakarta. Kamu sendiri, punya saudara" Sori, aku belum
sempat mendapat keterangan tentang kakak atau adikmu. Researchku belum selesai." kata
Pandu tersenyum. "Aku punya seorang kakak perempuan. Dulu" Sekarang sudah meninggal." kata Niken
menerawang. "Oh" sori" aku tidak bermaksud?"
"Nggak papa" Wajar kalo kamu tanya koq."
Mereka terdiam sesaat. Tak tahu harus berkata apa.
"Kenapa kakakmu meninggal" Kecelakaan?" tanya Pandu. Dia benar-benar cocok jadi detektif.
Pertanyaannya mendetail. Niken diam saja. Mendadak kepalanya jadi pusing, ia lalu memijit-mijit pelipisnya.
"Pusing?" tanya Pandu.
"Iya." jawab Niken singkat.
"Kamu pasti lapar. Sorry yah gara-gara aku, kamu ikut dihukum Pak Heri." kata Pandu penuh
penyesalan. "Nggak papa. Kamu juga belum makan. Sama kan" Jadi kamu nggak layak mengasihani aku.
Soal kakakku?" "Sudahlah," cegah Pandu. "Nanti kamu tambah pusing."
"Dia meninggal bunuh diri." lanjut Niken.
Pandu terdiam. Sekarang ada titik terang. Berarti puisi Niken itu"
Seolah tahu yang dipikirkan Pandu, Niken melanjutkan, "Puisiku, itu tentang cici ku. Dia
meninggal tiga tahun yang lalu, saat aku masih kelas 2 SMP. Dia masih kelas 2 SMA waktu itu,
seumur aku sekarang. Dia pacaran sama anak pejabat. Sombong sekali tu anak. Aku benci
sama dia. Aku masih ingat, hari-hari terakhir sebelum kakak meninggal, dia menangis terus di
kamar. Tiap aku dekati selalu marah-marah. Baru setelah dia meninggal aku baru tahu,
ternyata dia hamil, dan cowok bangsat itu tidak mau mengakui perbuatannya. Sejak itu aku
berjanji tidak akan jatuh cinta, nggak akan pacaran. Papa malah punya ide bagus. Dia bilang,
kalau sudah saatnya aku menikah nanti, dia akan mencarikan jodoh untukku. Aku setuju saja.
Itu lebih baik daripada pacaran."
Kali ini Pandu betul-betul terperanjat. Benar-benar kaget. Ear piece yang di telinga kirinya
dilepas. Walkmannya dimatiin. Ini kasus berat, pikirnya.
"Kamu tau, nggak semua cowok itu jahat." Tidak ada yang bisa dia bilang kecuali itu.
"Aku nggak percaya itu. Kak Tasya bukan cewek yang nakal. Jadi dia pasti benar-benar jatuh
cinta, sampai seperti itu. Aku nggak mau jadi seperti dia. Karena itu aku menghindar setiap
ada cowok yang suka sama aku. Jimmy misalnya. Untunglah aku sendiri juga bukan orang
yang mudah jatuh cinta. Jadi aku nggak tersiksa, sama sekali."
"Oke lah kalo kamu memang bahagia seperti ini. Aku sendiri nggak bisa memberikan pendapat
tentang cinta. Semua kakak-kakakku menikah atas dasar cinta. Aku sih ingin seperti mereka.
Tapi aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Belum pernah pacaran. Jadi aku nggak bisa
memberikan nasehat." kata Pandu jujur.
"Kamu belum pernah pacaran"!" tanya Niken tidak percaya.
"Kenapa" Apa susah dipercaya?"
"Tentu saja. Kamu tau berapa biji cewek yang nempel kamu kayak perangko" Lebih dari
sepuluh. Itu yang jelas-jelas nekad. Yang nggak nekad tapi menyimpan hasrat pun banyak.
Aku yakin di Yogya kamu pasti juga punya banyak penggemar."
"Ya memang tuh. Nggak tau kenapa bisa begitu. Kata Ibu itu kutukan." kata Pandu sambil
ketawa lepas. "Kakak-kakakku juga mengalami kutukan yang sama. Tapi Ibu selalu wantiwanti, cinta itu nggak boleh dibuat mainan. Kamu harus bener-bener yakin, baru boleh
pacaran. Berhubung aku belum pernah merasa cocok sama satupun dari mereka, yah, aku
nggak pernah pacaran."
Niken manggut-manggut. "Ada kutukan lain di keluarga Pandu. Masing-masing kakakku punya cita-cita menikah dengan
wanita kaya, untuk mengangkat derajat keluarga. Nggak serius tentu, itu muncul kalo pas lagi
waktu bercandaan aja. Ibu yang mewejangi untuk menomersatukan cinta, diatas segalanya.
Kekayaan itu tidak menjamin kebahagiaan. Walhasil, kakak-kakakku yang sudah menikah ya
menikah dengan gadis biasa-biasa saja. Walaupun mereka dikelilingi gadis-gadis cantik waktu
bujangan, gadis yang dinikahi pada akhirnya nggak terlalu cantik. Tapi kakak-kakak iparku itu
luar biasa baek dan sabar."
"Jadi seperti apa sih cewek yang kamu idam-idamkan?"
"Yang seperti ibuku. Sederhana, sabar, bijaksana" ngg" nggak tau ah, Fei! Nanti kalo aku
udah nemu pasti aku kasih tahu." kata Pandu malu.
"Aku sih nggak punya tipe cowok idaman. Rasanya itu bakal ditentuin Papa." kata Niken.
"Aku masih nggak percaya cewek mandiri dan terpelajar seperti kamu masih percaya
perjodohan." sahut Pandu terlihat kecewa. "Tapi aku hargai pendirianmu. Aku ingin berteman
denganmu, kalau boleh."
"Kita cocok omong-omongan. Aku merasa klop terutama setelah ngomongin Sun Tzu tadi."
kata Niken tersenyum. "Tapi" terus terang saja aku masih dendam sama kamu karena kejadian puisiku waktu itu."
lanjutnya. "Aku udah minta maaf. Kamu mau apa lagi?"
Niken berpikir keras. Lalu tersenyum licik. Niken membisikkan sesuatu ke telinga Pandu.
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Niken mengangguk-angguk. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi tanda tidak setuju.
"Ayolah," kata Niken. "Kamu harus buktikan kalo kamu memang serius dan tulus ingin
berteman denganku. Nggak mudah mendapat kepercayaan dariku."
"Baiklah, kalau itu memang harga yang harus aku tebus. Tapi kita berteman mulai saat ini"
Tak ada lagi dendam?" tanya Pandu akhirnya.
"Janji." sahut Niken mantap.
* Pagi itu, Niken spesial angkut-angkut podium dan microphone ke lapangan tengah. Anak-anak
sound system diam saja. Niken kalau sudah ada maunya memang nggak ada yang bisa
mencegah. Semua anak berkumpul di lapangan tengah, sambil bertanya-tanya satu sama lain,
apa hari ini ada upacara mendadak. Ada apa pula ini" Termasuk guru-guru tidak ada yang
tahu. Mereka semua berkumpul di lapangan, seperti prajurit menunggu komando dari jendral.
Tiba-tiba Pandu muncul dari kerumunan, menuju ke arah podium.
"Test, test" 1, 2, 3." katanya sambil mengetuk-ngetuk microphone di hadapannya.
"Guru-guru dan rekan-rekan sekalian," lanjutnya, "Yang belum kenal saya, nama saya Pandu
Prasetya, dari kelas 2C. Saya ingin membacakan sesuatu yang penting. Buat yang merasa, yah
dihayati saja." Yayangku," Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku.
Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak doyan makan garagara mikirin kamu.
Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu.
Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari saja.
Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda.
Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam.
Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu.
Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku.
Yang sangat mencintaimu, selamanya.
Pandu. Semua tertawa. Terutama anak-anak cowok. Sinting benar ini anak menyatakan cinta di depan
umum, tak tahu malu. Walaupun ketawa-ketiwi, harus diakui, gadis-gadis yang berkumpul di
situ, termasuk guru-guru wanita, sangat mengharapkan surat itu ditujukan untuk salah satu
diantara mereka. Niken ketawa di ujung koridor. Cuma dia yang tahu bahwa surat itu
sesungguhnya ditujukan untuk anjing mungil Pandu yang memang bernama Yayang.
Walaupun malu setengah mati, Pandu merasa lega. Hari ini dia sudah berdamai dengan gadis
yang bakal jadi teman sejatinya. Dia yakin itu.
* Berminggu-minggu Pandu mendapat ledekan dari teman-temannya gara-gara proklamasi
cintanya itu. Cewek-cewekpun banyak yang nggodain, bertanya-tanya, apakah surat itu
ditujukan untuk mereka. Niken puas sekali dengan aksi balas dendamnya. Beberapa gadis jadi
mundur teratur, merasa Pandu sudah memilih salah seorang dari mereka. Namun beberapa
justru tambah getol mendekati Pandu, termasuk Ratna, cewek cantik dari kelas 1D. Banyak
cowok yang mengejarnya, tapi kelihatannya Ratna lebih memilih untuk mendapatkan Pandu.
Banyak yang meramalkan, pasangan Pandu-Ratna kalau benar-benar jadi bakal bikin sensasi.
Cowoknya cakep, ceweknya cantik kayak bidadari. "Princess", demikian julukan yang diberikan
oleh teman-temannya. Sementara itu, nama besar Pandu jadi semakin melejit " walaupun melejitnya diawali dengan
tragedi proklamasi cinta, tapi semakin menjadi-jadi setelah Pandu lolos seleksi menjadi
anggota band di mana Niken juga bergabung. Penggemarnya jadi bertambah banyak.
Termasuk cewek-cewek dari SMA-SMA lain, karena band mereka sering manggung di acaraacara yang diselenggarakan oleh stasiun radio. Seperti hari ini, mereka manggung di pelataran
Universitas Diponegoro, sebagai bagian dari acara unjuk band yang diadakan oleh Boss FM.
Mereka melakukan tour band ini karena hobi dan untuk cari pengalaman saja. Mumpung
masih muda ini. Tinggal satu jam lagi sebelum mereka manggung. Aneh, Niken belum datang. Anak-anak pada
gelisah. Mereka tidak bisa tampil tanpa drummer. Apalagi hari ini Niken bakal jadi vocalist
utama di salah satu lagu mereka. Hendro, yang pegang melodi gitar, sekaligus penanggung
jawab band, berusaha mengontak Niken ke nomer rumahnya, tapi dijawab tidak ada di rumah.
Kemana pula anak satu ini"
Mendengar Hendro ribut-ribut mencari Niken, Pandu diam-diam menghilang. Lho" Dia
berusaha mencari telepon umum. Dia tahu nomer telepon yang ada di kamar Niken. Niken
yang kasih. Tapi dia sudah disumpah untuk tidak memberitahukan nomer itu ke siapapun.
Cuma Wulan dan Pandu yang tahu.
"Fei?" "Pandu, aku sudah tunggu-tunggu telfon kamu dari tadi. Aku nggak bisa keluar. Mama curiga
kalau aku mau pergi main band. Aku sudah dilarang dari dulu-dulu, tapi tetep aja nekad.
Mama tahu dari Jimmy, sialan bener tu anak pake acara lapor-lapor ke mama segala. Kunci
mobilku disita, ada di kamar mama nih. Kamu bisa jemput aku?" Niken sepertinya lega sekali
mendengar Pandu meneleponnya.
"Jemput kamu" Jemput pake apa?" Pandu bingung.
"Kamu kan punya sepeda. Tolong dong, aku nggak enak sama yang laen. Aku kepengen
banget manggung hari ini." desak Niken.
"Gimana caranya kamu keluar?"
"Ngg" aku bisa keluar lewat jendela. Tepat seperempat jam lagi, aku tunggu kamu di ujung
jalan Merdeka, tau kan" Yang ada warung baksonya" Aku bakal ada di sekitar situ. Makanya
kamu cepetan jalan sekarang."
"Oke deh. Kamu hati-hati yah?"
Jantung Niken berdebar keras. Belum pernah dia mau melarikan diri dari rumah seperti ini.
Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya yang menuju ke arah luar. Dengan berhati-hati,
kakinya satu per satu keluar dari jendela. "Huh," gerutunya. "Mau main band saja susah
amat!" Dia tidak bisa keluar lewat pintu gerbang, karena satpam selalu jaga di pintu depan, dia bakal
ketahuan, dong. Niken harus melompat pagar samping.
"Tinggi juga, oi?" katanya dalam hati. Setelah berdoa singkat komat-kamit, Niken mulai
memanjat pagar yang tingginya dua kali lipat tingi badannya itu.
"Sukses!" serunya dalam hati waktu melompat di atas kedua kakinya di tanah lagi. Lari, Niken!
Lari! Belum sampai di ujung jalan, Niken sudah bisa melihat Pandu duduk di atas sepedanya. Lega
sekali dia melihat Pandu hari ini.
Pandu mengayuh sepedanya ke arah Niken. Niken langsung melompat ke atas boncengannya
waktu Pandu mendekat. "Kita nggak punya banyak waktu. Ayo." ajak Niken.
"Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama ortu kamu?" tanya Pandu
heran. "Wah, dari awal aku memang nggak bilang kalo aku ikut nge-band. Mereka bisa bunuh diri
kalo tau aku sudah setahun nge-band." jawab Niken, masih terengah-engah.
"Lantas, kenapa kamu nekad?"
"Entahlah. Mungkin karena kutukan. Boleh dibilang aku sebenarnya tipe pemberontak. Aku
benar-benar bisa enjoy dan lepas saat main band. Nggak salah, kan" Nggak ngerti deh,
kenapa mereka larang-larang aku begitu. Aku tahu mana yang benar, mana yang salah.
Menurutku, main band bukan hal yang jelek. Makanya aku tetap lakukan walaupun tahu
mereka bakal marah besar."
"Kamu kelihatannya diproteksi ketat sama mama-papa kamu ya?"
"Ya. Tapi sebenarnya papa-mama nggak ada di rumah tadi. Tapi rumah dijaga ketat. Persis
seperti penjara. Mama pergi sama temannya, nggak tau ke mana, setengah jam yang lalu dia
berangkat. Papa sih memang selalu pergi ke luar kota, ngurus bisnis."
"Kamu tau kan kalo kamu boleh telfon aku kapan aja kalo kamu kesepian?" tanya Pandu
memastikan. "Tahu, tahu" Cepetan ah, jangan sama ngobrol melulu. Nggak sampai-sampai nanti."
"Kalo gitu, pegangan yang erat. Aku mau ngebut." kata Pandu seraya mengayuh sepedanya
lebih kencang. Niken pegangan di besi boncengan sepeda Pandu. Tapi tetap berasa mau jatuh. Saat benarbenar mau jatuh, Niken meraih pinggang Pandu, dan memegangnya erat-erat.
Pandu yang duduk di sadel cuma senyum-senyum saja.
"Belum pernah bonceng sepeda yah?" tanya Pandu geli.
"Belum. Aku bisa naik sepeda, tapi belum pernah bonceng. Apalagi bonceng orang usil seperti
kamu." "Aku sudah bilang tadi, pegangan yang erat. Kamu malah nggak pegangan koq. Salah sendiri."
"Aku nggak tahu kalau maksud kamu pegangan itu pegangan pinggang kamu." bela Niken.
"Mau pegang apa lagi selain pinggangku?" tanya Pandu tambah geli.
Niken diam saja. Dia sudah cukup malu dengan memegang pinggang Pandu. Tapi dengan
begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak berasa mau jatuh lagi.
"Kamu udah sering boncengin cewek yah?" tanya Niken penuh selidik.
"Sering sekali." kata Pandu ketawa.
"Siapa aja?" tanya Niken.
"Ibuku." Niken bermaksud menjitak kepala Pandu, kalau saja ia tak berasa mau jatuh lagi karena lepas
satu tangan dari pinggang Pandu. Buru-buru didekapnya lagi pinggang Pandu erat-erat.
"Sialan kamu Pandu!" teriaknya.
* Acara band tadi berlangsung dengan sukses. Mbak Merlina, salah satu penyiar radio Boss FM
yang sudah lama Niken kenal yang bilang. Hari ini mereka luber pengunjung, band yang
bersedia tampil juga banyak. Tiga jam mendengarkan musik rock benar-benar memuaskan
hati. Sekarang ini masalah yang ada buat Niken tinggal bagaimana caranya pulang. Pasti
orang rumah sudah pada menyadari bahwa Niken raib dari rumah. Mereka pasti juga sudah
lapor ke Mama. Bukan tidak mungkin mama sekarang ada di kamarnya, menunggunya pulang
dengan penuh amarah. "Nik, apa kamu bakal nggak nge-band lagi setelah ini?" tanya Pandu.
"Nggak dong. Aku cuma harus ekstra hati-hati mulai dari sekarang. Masalahnya sekarang aku
harus pulang." "Aku nggak masalah mengantar kamu pulang, Niken" kata Pandu menjelaskan. "Tapi kamu
mesti siap mental dimarahin. Walaupun seharusnya kamu sudah siap mental dari waktu
minggat tadi." "Iya. Kayaknya nggak ada jalan lain." kata Niken masih berusaha berpikir keras.
"Aku punya akal!" kata Niken tiba-tiba. "Antarkan aku pulang." katanya seraya memegangi
boncengan sepeda Pandu, siap-siap untuk naik.
"Baiklah," kata Pandu. "Apa rencanamu?" katanya sambil mulai mengayuh sepedanya.
"Mereka nggak mungkin mencari di seluruh pelosok rumah. Aku akan ke rumah tetangga
sebelah, aku kenal baik sama mereka. Mereka baik sekali. Dari tetangga sebelah, aku bisa
panjat ke atap rumahku. Dari atap, aku bisa turun lewat tangga belakang. Kalau ditanya dari
mana, aku jawab, dari atap. Merenung, cari inspirasi buat bikin puisi. Mereka pasti percaya,
deh." "Kamu memang gila, Fei!"
:: Mata Elang : Chapter 2
"Niken, ini buku catatan sejarahmu yang aku pinjam?" kata Jimmy dari luar jendela, sambil
menyodorkan buku catatan Niken. Setelah Niken menerimanya, Jimmy cepat-cepat pergi.
"Aneh. Baru kali ini dia nggak berusaha berlama-lama di dekatmu, Niken. Kamu nggak merasa
aneh?" tanya Wulan. Pandu mengiyakan.
"Pasti ada apa-apanya," kata Pandu. "Coba dilihat bukumu."
Niken membuka bukunya. Tidak ada apa-apa. Aman-aman saja. Eh" tunggu" ada amplop
biru yang diselipkan di sampul mikanya.
"Nah" betul kan sangkaanku?" kata Pandu berbangga hati.
Masih bingung, Niken membuka amplop kecil itu. Ada secarik kertas di dalamnya. Dibuka dan
dibacanya pelan-pelan. Niken, kamu cantik sekali hari ini.
"Apa katanya?" tanya Wulan tidak sabar.
"Cuma sebaris" kata Niken sambil menunjukkan isi surat itu kepada Wulan. Pandu ikut
mengintip. Ditatapnya wajah Niken dengan serius dan seksama.
"Apa-apaan kamu, Ndu?" tanya Niken jengah.
"Memastikan si Jimmy bener apa salah. Aku lihat hari ini kamu biasa-biasa saja. Sama seperti
kemarin. Wajah manis, rambut dikuncir satu, rapi di belakang, dengan pita kuning. Baju kamu
juga biasa aja. Wah, sepertinya dia salah tuh?" kata Pandu bercanda.
"Dasar mata jangkrik!" kata Niken menggerutu.
"Mata jangkrik?" tanya Pandu bingung.
Wulan tertawa terbahak-bahak. Pandu tambah bingung.
"Siapa mata jangkrik" Aku?" tanya Pandu.
"Nggak merasa tho?" tanya Niken acuh.
"Seperti apa sih mata jangkrik itu?" tanya Pandu.
"Seperti yang kamu punya!" kata Niken sambil menjitak kepala Pandu.
"Kamu masih marah sama Jimmy, Nik?" tanya Pandu kemudian, sambil mengusap-usap
kepalanya yang sebetulnya tidak begitu sakit itu.
"Nggak koq. Mama bilang, aku nggak boleh marah sama dia, karena ada kemungkinan,
kemungkinan besar malah, papa berniat menjodohkan aku dengan Jimmy. Jimmy itu anak
salah satu partner bisnis papa."
Pandu terkejut. Wulan juga.
"Kamu suka sama Jimmy, Nik?" tanya Wulan.
Niken mengangkat bahu. "Nggak tau. Kata mama, aku musti mendekatkan diri padanya.
Nggak harus pacaran, cuma mengenalnya lebih dekat. Biar bagaimana dia bakal jadi calon
suamiku." Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pandu," Percakapan mereka terhenti karena sapaan dari luar jendela. Semua menoleh. Ratna
rupanya. "Aku boleh minta tolong sama kamu, Ndu?" tanya Ratna dengan nada super-manjanya.
"Kalo aku memang bisa bantu, aku pasti bantu." jawab Pandu ramah.
"Tolong ajari aku kalkulus dong, aku sama sekali nggak ngerti. Besok Kamis ada ulangan
matematika kalkulus."
"Boleh," kata Pandu yang memang jago matematika. "Di mana?"
"Aku bisa datang ke rumahmu, supaya kamu nggak usah susah-susah ke rumahku. Sore ini
bagaimana?" "Baiklah. Jam tiga?"
"Oke. Sampai ketemu nanti sore." kata Ratna centil, sambil berlalu.
"Ndu, ini sudah ketiga kalinya aku dengar Ratna minta tolong tentang kalkulus. Memangnya
dia benar-benar bodoh?" tanya Niken.
"Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan. Jadi lupa semua, harus diulang kembali. Setiap
ada bahan baru juga begitu." kata Pandu menjelaskan.
"Cantik-cantik tapi bodoh?" kata Wulan geli.
"Kalo aku bilang, dia nggak bodoh koq. Aku pernah ambil dia di panitia acara seminarku. Dia
cukup berpotensi. Otaknya jalan. Feelingku sih ini cuma cara dia untuk mengambil hatimu aja
Ndu." kata Niken. "Apapun alasannya, aku cuma berbaik hati menolong dia. Aku nggak ada maksud-maksud
lain." kata Pandu tegas.
"Aku tau kamu nggak ada maksud-maksud lain. Siapa yang nuduh" Aku bilang, dia yang
punya maksud terselubung." kata Niken.
Pandu hanya diam saja. Kata-kata Niken masuk akal. Tapi dia tidak mungkin menolak
menolong teman. "Kata Bapak, kalau kita punya kelebihan, kita harus menggunakan kelebihan
itu untuk menolong sesama." demikian kata Pandu kemudian.
* Hari masih pagi. Pandu bersiul-siul sambil mengayuh sepedanya dengan riang melintasi pintu
gerbang timur sekolah. Melihat Wulan berdiri di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya.
Wulan setengah berlari ke arah Pandu.
"Ada apa Wulan?"
"Niken. Dia meneleponku tadi malam. Katanya mulai hari ini dia bakal diantar-jemput Jimmy.
Setiap hari. Termasuk ke kegiatan-kegiatan sekolah. Termasuk latihan band katanya."
"Bukannya papa-mama Niken nggak setuju dia nge-band?" tanya Pandu heran.
"Iya. Tapi sekarang mereka mengijinkan dengan syarat Jimmy harus ikut kemana pun Niken
pergi." "Oooh?" desah Pandu. "Niken yang malang. Seandainya saja aku bisa menolongnya."
"Salah. Aku juga tadinya berpendapat begitu. Niken ternyata sama sekali nggak ingin aku
membantunya. Dia menuruti keinginan ortu-nya itu dengan senang hati. Aku berkali-kali
tanya, apa dia suka sama Jimmy. Jawabnya selalu nggak."
Pandu menimpali, "Aku nggak ngerti gimana cewek sepandai Niken bisa jadi bodoh sekali
dalam masalah seperti ini. Seakan-akan dia sama sekali tidak ingin mengenal dan merasakan
apa itu cinta. Aku sendiri memang belum pernah, tapi aku ingin sekali mengenal dan
merasakan apa itu cinta."
"Ndu, aku memberitahumu, cuma sekedar memperingatkan, jangan sekali-sekali kamu
menentang atau mempermasalahkan hal ini di depan Niken. Aku sudah mencoba semalaman
kemarin meyakinkan dia, buntut-buntutnya dia malah marah-marah. Ya sudah, aku akhirnya
menyerah." "Baiklah. Kita harus dukung Niken. Walaupun aku masih tetap merasa keyakinan Niken ini
perlu diluruskan. Kalau dia memang bahagia seperti itu, yah kita mau nggak mau sebagai
temannya harus dukung dia, kan?"
"Itu dia mobil Jimmy, Ndu." kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang.
Benar saja, Niken ikut turun dari mobil itu setelah diparkir tidak jauh dari gerbang timur itu.
Melihat kedua temannya ngumpul di dekat situ, Niken berlari kecil ke arah mereka.
"Hallo friends?" sapa Niken.
"Punya bodyguard baru kamu yah?" Pandu meledek.
"Mama yang suruh. Mama bilang, Jimmy bisa dipercaya. Perjanjiannya, aku tetep nggak mau
pacaran. Cuma aku harus mau membiasakan diri dengan Jimmy."
"Jadi kamu sudah pasti akan kawin sama Jimmy?" tanya Pandu.
Niken mengangguk pelan. Pandu berkata lagi, "Aku masih nggak mengerti?"
Wulan langsung menyeletuk, mengingatkan pembicaraan mereka barusan, "Pandu?"
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak papa, Ndu, kamu mau ngomong apa?" tanya Niken.
"Aku nggak mengerti. Kamu udah pasti kawin sama Jimmy, tapi kamu nggak mau pacaran
sama dia. Apa maksudmu?"
"Aku nggak cinta sama dia. Kenapa mesti pacaran sama dia" Karena pada akhirnya aku bakal
kawin sama Jimmy, aku harus mulai membiasakan diri sama dia. Kawin kan gak harus saling
mencintai." Pandu baru saja mau bilang, "Harus, dong!", tapi Wulan sudah duluan menonjok perut Pandu
dengan sikunya. "Sudah bikin pe-er Pak Heri, Nik?" tanya Wulan mengalihkan bahan pembicaraan.
"Pe-er yang mana?" tanya Niken.
"Bikin essay tentang biografi seorang pahlawan?" Pandu mengingatkan.
"Aduh! Iya! Aku lupa. Mati aku. Koq bisa pikun begini sih" Gimana nich?" kata Niken panik.
"Tenang, tenang, Nik?" kata Pandu. "Pelajaran bahasa masih jam ke lima. Kamu masih ada
waktu untuk bikin essay itu."
"Dapat biografi pahlawan-nya dari mana dong?" kata Niken hampir putus asa.
"Begini saja deh. Aku kebetulan punya ide lain untuk bikin essay. Kamu boleh menyalin
essayku, aku buat baru lagi dengan tokoh yang lain." kata Pandu menyarankan.
"Kamu baek sekali, Ndu! Kebetulan gaya nulis kamu sama Niken hampir sama. Pasti tidak
akan ketahuan. Ide bagus tuh, Nik" kata Wulan.
"Aku nggak enak, Ndu. Kamu musti nulis ulang lagi," kata Niken.
"Ide sudah ada di kepala. Sementara kamu nyalin essayku, essay baruku pasti sudah selesai."
kata Pandu mantap. "Tunggu apa lagi?" tanya Wulan. "Mumpung belum bel masuk nih, cepetan gih, bikin!"
* "Pandu Prasetya, kemari!" panggil Pak Heri dengan nada galak.
"Saya, Pak." jawab Pandu sambil melangkahkan kaki menuju ke depan kelas.
"Aku suruh kamu mengarang tentang pahlawan, kenapa kamu mengarang tentang ibumu?"
bentak Pak Heri. Niken menggigit bibirnya. Dia merasa bersalah sekali sudah mengambil essay Pangeran
Diponegoro-nya Pandu. Sudah terlambat sekarang. Tapi mengapa Pandu terlihat tenangtenang saja"
"Bapak nggak bilang kan, pahlawan-nya harus sudah mati apa masih hidup. Ibu itu pahlawan
saya. Kalau bapak baca lebih jauh, bapak bisa merasakan jiwa kepahlawanan ibu saya. Ibu
yang melahirkan saya dan ke-empat kakak laki-laki saya. Ibu yang dengan penuh jerih-payah
membesarkan kami, dengan uang gaji bapak yang pas-pasan. Waktu saya masih kelas satu
SD, saya sering mengomel karena baju seragam saya jelek sekali, karena lungsuran dari kakak
saya yang nomer tiga. Setiap pulang sekolah, selalu saja ada tambahan lubang di baju
seragam saya. Ibu selalu dengan hati-hati menambal lubang itu. Suatu hari, ibu mengejutkan
saya dengan membelikan baju seragam baru. Saya sangat senang sekali. Saya tidak tahu
kalau ibu menabung selama enam bulan hanya untuk membeli baju seragam saya itu.
Sekarang bapak bilang, kalau bukan jiwa pahlawan, kata apa yang cocok untuk diberikan pada
ibu saya itu?" pertanyaan retorik Pandu itu menyudahi kotbah panjang-lebarnya.
Pak Heri mengangguk-angguk puas. Ia bahkan bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman
sekelasnya. Niken yang paling keras tepuk tangannya. Pandu sahabatnya ini memang tidak
hanya rupawan, tapi manis juga hatinya.
* Acara Gelar Seni merupakan event tahunan yang sudah dilangsungkan sejak jaman dahulu
kala di SMA Antonius. Tahun lalu, waktu kelas satu, Niken dipilih menjadi salah satu anggota
panitia bidang acara panggung. Tahun ini dia terpilih menjadi koordinator bidang yang sama.
Pandu jadi salah satu anggota tim perlengkapan, atau dalam bahasa lain, tim angkut-angkut
barang. Niken mendapat banyak bantuan, terutama dalam hal promosi acara, dari Mbak Merlina dan
kawan-kawan penyiar radio Boss. Anak-anak radio Boss 'rame-rame'. Dulu, waktu Niken masih
boleh pergi keluar sendiri naik mobil, dia sering mampir malam-malam kumpul di radio Boss.
Kadang-kadang malah jadi penyiar dadakan, kalau kebetulan ada yang sedang sakit. Akhirakhir ini Niken merasa kegiatannya jadi dibatasi lantaran kemana-mana harus membawa
Jimmy. Seperti tuyul saja tu anak mengikutinya ke mana-mana. Walaupun Jimmy sering
bilang, dia kapan aja, ke mana pun, jam berapa pun, mau menemani Niken, tapi sungkan juga
mengajak-ajak Jimmy keluar malam ke radio Boss, misalnya. Makanya, kalo mama-papa lagi
keluar kota, Niken curi-curi pergi jalan-jalan sendiri ke luar. Refreshing. Seperti hari Sabtu
malam ini. Dia janji akan menjemput Pandu ke radio Boss malam ini. Wulan sebetulnya mau
ikut, tapi ibunya sedang sakit flu, jadi dia mesti menjaga dua adik kecilnya di rumah.
Jam delapan malam. Dengan alasan mau fotocopy, Niken sukses mengelabui satpam yang
berjaga di pintu gerbang. Lolos! Niken cepat-cepat tancap gas sebelum satpam berkumis yang
galak itu berubah pikiran. Niken belum pernah ke rumah Pandu, tapi Pandu sudah berkali-kali
memberi tahunya, pakai acara menggambar peta pula. Lagipula Pandu bilang, dia akan
menunggunya di depan rumah, jadi tidak susah kan semestinya untuk menemukan anak
jangkrik di gelap malam begini"
Begitu Pandu masuk mobil, langsung kena damprat.
"Sial lo Pandu ya! Masa" kamu kasih petunjuk lewat jalan satu arah, aku disuruh lewat arah
yang berlawanan, gimana sih?"
Pandu bingung. Ngomong apaan sih Niken ini"
Niken masih ribut-ribut, "Ini jalan depan rumahmu, kan satu arah. Kamu kasih petunjuk aku
masuk dari arah gang yang salah! Tu di mulut gang ada tanda dilarang masuk!"
"Oooooooooooooh?" Pandu menepuk dahinya. "Sori, Fei. Aku kan biasanya naik sepeda, jadi
itu route terdekat, begitu. Aku lupa kalo gang ini arahnya dari sebelah sono," kata Pandu geli
melihat Niken komat-kamit terus.
"Ah blo"on amat kamu, kasih petunjuk ke rumah sendiri saja salah." Niken masih mengomel.
"Yang penting kan sampai, ya kan" Nanti pulangnya aku lewatin jalan mobil deh." kata Pandu
yang tak sanggup menahan gelinya melihat Niken sewot begitu.
"Kamu punya kaset yang laen?" tanya Pandu, mendengar lagu pop slow yang diputar Niken.
"Protes melulu sih"!"
"Ngantuk dong, dengerin lagu slow begini. Ini lagu apaan sih?" tanya Pandu.
"John Denver. Annie"s song. Aku suka. Jangan diganti."
"Gak punya kaset yang lain?"
"Nggak." jawab Niken singkat.
"Ah masa"!"
"Bener. Orang ini CD-player. Kamu masukin kaset yah nggak cocok lubangnya" kata Niken
geli. "CD yang laen dong!" Pandu tak kalah protesnya.
"Ribut amat sih" Dinikmati gitu lho?"
"Aku kirain kamu suka lagu-lagu rock. Ternyata lagu cengeng begini kamu juga suka, ya?"
"Aku suka apa saja yang berbau musik." kata Niken cuek sambil nyanyi.
You fill up my senses Like a night in a forest Like a mountain in springtime
Like a walk in the rain Like a storm in the desert
Like a sleepy blue ocean You fill up my senses Come fill me again" Diam-diam Pandu mengamati cerianya wajah Niken malam ini. Enak juga ternyata lagunya,
walaupun slow begini, apalagi kalo Niken ikut nyanyi. Suara Niken empuk sekali, bak bantal
dari busa. Makanya kontras sekali kalo dia menyanyi lagu-lagu rock. Kontras bukan berarti
jelek. Kombinasi yang bagus. Suara lembut dan musik kasar. Niken memang punya bakat
besar di bidang musik. Dia sering melihat Niken saat latihan bareng Hendro dan Bram,
mengarahkan melodi gitar mereka. Dia pribadi juga sering mendapat masukan positif dari
Niken buat variasi keyboardnya. Dengan hobinya menulis puisi, Niken pasti bisa jadi komposer
lagu tenar. Apalagi dengan suara dan wajahnya yang saingan manisnya.
"Sori" kamu ngantuk ya dengerin lagu slow begini?" tanya Niken yang jadi merasa berdosa
melihat Pandu terbengong-bengong.
"Nggak. Aku ternyata bisa enjoy koq. Masih punya banyak lagu slow?" tantang Pandu.
"Kalo mau dengerin lagu rock, lebih baik sekarang saja. Di Boss Radio, mereka seringnya
putar lagu-lagu cengeng lewat jam 9 malam."
"Nggak masalah. Aku pengen tau gimana kehidupan penyiar yang sebenarnya. Makanya aku
langsung mau waktu kamu ajakin. Eh, ngomong-ngomong mana bodyguard kamu?" goda
Pandu. "Jimmy" Aku bosan ngeliat dia terus. Sudah lama aku puasa nggak ke radio Boss karena dia."
gerutu Niken. "Nggak boleh bosan dong. Nanti kalo udah kawin musti liat dia tiap hari, 24 jam lagi!" kata
Pandu geli. "Kawin" Siapa yang mau kawin?"
"Ya kamu, dong" Aku calon saja belum ada. Kamu kan yang katanya sudah pasti kawin sama
si Jimmy?" "Iya, tapi kan nggak dalam waktu dekat ini. Paling-paling lima belas tahun lagi." kata Niken
dengan gaya super cueknya.
"Lima belas tahun"! Wah" semoga aja si Jimmy tahan bantingan, mau nunggu kamu selama
itu." kata Pandu kaget. Lima belas tahun, berarti mereka bakal berumur 32 tahun dong!
"Biarin. Nggak kawin juga nggak papa. Eehh" yang jual martabak sukaanku masih buka.
Mampir sebentar beli martabak yah?" kata Niken sambil meminggirkan Honda civicnya.
Sebentar kemudian Niken sudah kembali dengan membawa dua plastik besar penuh
martabak. "Banyak bener kamu belinya, Fei?" tanya Pandu heran.
"Buat anak-anak radio Boss. Kamu gak mau?"
"Mau juga sih?" Mata Pandu berbinar-binar melihat martabak. Hidungnya peka sekali kalo
mencium bau makanan enak.
Niken lalu membuka satu bungkus martabak. Di baginya menjadi dua, separuh diberikan ke
Pandu, yang separuh langsung masuk ke mulutnya.
"Kamu jago makan juga yah?" tanya Pandu dengan mulut penuh martabak.
Niken cuma mengangguk-angguk. Mulutnya juga penuh makanan, tidak bisa menjawab.
Tangannya yang satu di kemudi, yang satu memegang martabak.
"Persneleng tiga," perintah Niken.
"Hah" Apa?"
"Blo"on, pindahin ke persneleng tiga, sekarang." kata Niken.
Pandu cepat-cepat memindah persneleng dari gigi dua ke gigi tiga.
"Wah" bahaya nich sopir lagi asyik makan martabak!" kata Pandu setelah shocknya reda.
"Gigi empat." sahut Niken tanpa menanggapi komentar usil Pandu.
Pandu menuruti saja perintah Niken. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan pada
Niken, tapi lebih baik tidak usah saja, pikirnya.
* "Mbak Merlina baik yach, tadi kita dikenalin sama Jabrique, grup rock lokal yang lumayan
tenar. Gelar Seni kali ini bakal meriah banget karena Jabrique janji mau muncul." kata Niken
sepulangnya dari Radio Boss. Dia kelihatan girang sekali.
Pandu sibuk menggeledah semua CD koleksi Niken. Gila koleksinya dari Mozart sampe metal
ada semua. "Setel yang ini dong?" kata Pandu sambil mengacungkan cover CD Bryan Adams.
"Sorry, Ndu, itu covernya doang. CD-nya ada di kamarku. Kamu mau nggak mau mesti
dengerin lagu2 yang ada di jukeboxku. Ada 5 cd koq, kamu pencet-pencet aja tombol ini
sendiri, sampe nemu CD yang kamu suka." kata Niken sambil memencet satu tombol di car
stereonya. "Yak ini aja deh!" kata Pandu waktu mendengar intro lagu Nirvana, Come as you are."
"Fei?" "Apa?" "Kamu koq nggak keliatan sedih?" tanya Pandu takut-takut.
"Lha kenapa koq mesti sedih?" tanya Niken heran.
"Aku baru aja denger tadi sore, katanya papa kamu punya simpanan di Malang yah?"
"Ah, kalo itu aku sudah tahu dari dulu koq. Kamu baru tahu sekarang yah?" kata Niken seakan
tak peduli. "Iya. Nggak sedih?"
Niken mendesah. "Kamu sungguh-sungguh ingin tahu?"
"Ya sungguhan dong, aku kan temen kamu. Kalo kamu sedih, aku pengen hibur kamu?"
"Aku nggak papa koq. Awalnya sih terang sedih. Aku sudah tahu sekitar empat tahun yang
lalu, lebih malah. Sudah lama kan" Sebelum cici ku meninggal. Cici yang bilang ke aku. Dia
marah besar waktu itu. Semua hadiah miliknya yang dari papa dibuang ke lantai. Yang barang
pecah belah ya jelas pecah. Ribut sekali rumah waktu itu. Trus dia minggat sebulan gak balikbalik. Ya gara-gara minggat itu dia kenal sama si Edi, anak pejabat itu. Waktu itu aku nggak
sesedih cici. Cuma kecewa saja, koq papa tega berbuat begitu. Kasian mama. Dia kuatir sekali
waktu cici minggat."
Niken menghela napas panjang. "Tadinya aku benci sama si wanita lain itu. Koq jahat, sudah
tahu papaku sudah menikah, sudah punya anak dua, koq ya nekad aja. Usut punya usut,
ternyata wanita itu juga sama-sama nggak tahu kalo papaku itu sudah punya keluarga. Jadi
sama-sama dibohongin, gitu. Yang jahat memang papaku."
"Kamu hebat, Fei, bisa kuat begitu. Kalau saja hal seperti itu terjadi di keluargaku, aku bisa
gila." kata Pandu jujur.
"Ya, karena kamu dibesarkan di keluarga yang harmonis. Tuhan nggak akan kasih salib yang
nggak bisa dijalani, Ndu. Sejak kecil, aku jarang ketemu papa. Mama sih tadinya selalu di
rumah. Sejak empat tahun yang lalu itu, mama jadi jarang ada di rumah juga. Mungkin itu
juga yang bikin cici jadi gak betah di rumah, trus main sama Edi jelek itu."
Pandu menatap mata Niken lekat-lekat. "Kamu sendiri?"
"Sejak cici meninggal, aku jadi tau kalo cici udah milih jalan yang salah. Aku nggak mau
seperti dia. Sedih itu bisa dilampiaskan ke hal-hal yang laen. Belajar, misalnya, dengerin
musik, berenang, jogging, nge-band..." kata Niken sambil senyum.
"Aku nggak bisa bayangin betapa bosannya kamu di rumah. Abis pindah Semarang, aku juga
kesepian banget. Setidaknya aku masih ada ibu?" kata Pandu menerawang.
Tiba-tiba ada nada bersemangat di kalimat Pandu, "Kamu ada acara apa Jum"at tanggal 14
bulan depan?" "Gak ada acara apa-apa. Emang kenapa?" tanya Niken.
"Hari Jum"at tanggal 14 bulan depan, ibuku ulang tahun. Kakak-kakakku mau datang semua
dari luar kota. Daripada bengong di rumah, kenapa kamu nggak ikut ngerayain ulang tahun
ibuku" Ibu belum punya banyak teman di Semarang, jadi bakal cuma acara keluarga aja. Mau
ya?" tanya Pandu menawarkan.
"Makasih, Ndu. Kamu baek. Aku tau niatmu baik, pengen menghibur aku, biar aku nggak
kesepian. Tapi nggak usah, ah." tolak Niken baik-baik.
"Kenapa nggak?"
"Ndak enak dong, aku nanti ngabis-abisin makanan lho?" goda Niken.
"Nggak papa. Ayolah?" ajak Pandu setengah memaksa.
"Baiklah." kata Niken akhirnya. "Jam berapa aku harus sampe sana?"
"Jam 6 bagaimana" Kamu bisa ikut bantu-bantu nyapu, ngepel, masak-masak dulu?" kata
Pandu dengan senyumnya yang nakal.
"Serius nich?" "Fei, kamu musti mikir, gimana kamu bisa keluar rumah tanpa Jimmy?" tanya Pandu
mengingatkan. "Oh" iya! Aduh, anak jelek itu lagi." keluh Niken.
"Gini deh" Aku ada akal." kata Pandu sambil tersenyum licik. "Kali ini kita harus jahat sedikit.
Jum"at pagi itu, aku bisa bawa mobil kakakku ke sekolah. Aku kerjain mobil Jimmy siang itu
sebelum pulang sekolah, jadi aku bakal anterin kamu dan Jimmy pulang. Aku akan pura-pura
nggak begitu bisa nyetir, apalagi ke daerah atas, jadi aku akan suruh Jimmy nyetir mobilku
sampe ke rumahmu." "Oh" pinter juga kamu, Ndu! Jadi satpam bakal mengira itu mobil Jimmy, dan sorenya kamu
bisa jemput aku pake mobil yang sama. Aku bakal siap di depan pintu gerbang, jadi kamu
nggak usah turun mobil. Aduh, Pandu baek, deh!" kata Niken langsung mengerti rencana licik
Pandu, sambil mencubit pipi Pandu gemas.
"Namanya juga Pandu?" kata Pandu sambil menepuk dadanya.
* Siang itu, rencana bulus mereka berjalan dengan mulus. Jimmy sama sekali tidak menaruh
curiga. Satpam apalagi. Sorenya, satpam yang mengenali mobil yang tadi siang, membiarkan
saja Niken pergi, mengira Jimmy yang datang menjemputnya. Begitu Niken masuk mobil,
Niken dan Pandu nggak bisa menahan ketawa.
"Aduh, aku udah deg-degan terus nungguin kamu?" kata Niken.
"Aku malah santai saja. Lebih deg-degan waktu jemput kamu nge-band itu." kata Pandu
sambil melirik Niken. Sekilas dia bisa melihat Niken pake rok. Apa" Niken pake rok" Penasaran,
kali ini dia nggak melirik lagi, tapi menatap dengan jelas, sambil mengucek-ucek mata. Dia
nggak salah lihat. Niken sore ini pake rok katun biru muda sederhana, rambutnya dikepang
tempel di belakang. Rapi sekali. Wajahnya tampak polos sekali dan cantik sekali walaupun
tanpa make-up. "Aku bawa kado buat ibumu" kata Niken mengagetkan lamunannya.
"Ah, kamu ngado segala. Mestinya nggak usah, Fei."
"Nggak papa. Nggak repot koq. Cuma kain."
"Hey, jangan gigit-gigit jari gitu dong" jelek?" kata Pandu sambil berusaha menyingkirkan
jemari Niken jauh dari mulutnya.
"Sorry" aku memang begini kalo nervous." Niken mengaku.
"Nervous?""
"Iya" aku belum pernah ketemu ibumu, sekarang aku malah bakal ketemu seluruh
keluargamu. Gile?" "Alaaa" mau ketemu ibuku aja nervous. Malu-maluin. Eh,aku kasih tahu nih, untung kamu
bukan pacarku. Pasti kamu bakal disorot habis-habisan kalo kamu memang pacarku. Itu udah
dialami oleh semua kakak-kakak iparku. Jadi kamu santai saja. Ibu tahu kalau kamu cuma
teman koq." "Iya. Kenapa sih mesti nervous begini" Kayak mau ketemu camer saja. Padahal waktu aku
pertama kali mau ketemu camer malah nggak nervous kayak gini." kata Niken ketawa ngikik.
"Emang kamu udah pernah ketemu camer?"
"Udah. Mama-papanya Jimmy maksud kamu kan" Sudah dong. Mereka datang ke rumah. Aku
sama sekali nggak nervous. Cuek saja. Pada dasarnya karena aku nggak respek sama papanya
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jimmy, maupun sama mamanya. Itu keluarga jauh lebih hancur-hancuran daripada
keluargaku." "Nah" kita udah nyampe. Turun yuk." ajak Pandu sambil turun dari mobil.
Rupanya Niken masih belum ilang nervousnya. Pandu lalu membuka pintu dari luar.
"Hoi, manja sekali minta dibukain pintu segala, tuan putri" Minta dituntun masuk juga nih?"
Pandu meledeknya. "Enak saja. Aku bisa jalan sendiri."
Pandu meraih lengan Niken, mencegahnya untuk terus jalan.
"Tunggu. Sebelum kamu masuk ke rumahku, kamu mesti maklum, rumahku ini nggak rumah
gedongan kayak rumahmu?"
"Kamu lebih baik berhenti ngomong, sebelum kamu bikin aku tersinggung." kata Niken.
"Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku?"
"Aku tau koq maksudmu. Aku yakin rumahmu ini jauh lebih indah daripada rumah
gedonganku. Kamu nggak usah takut lah. Aku udah sering ke tempat yang jauh lebih buruk
dari ini, rumah Wulan misalnya. Aku malah sering nginep sana dulu. Jadi kamu nggak usah
takut aku bakal merasa nggak nyaman."
Pandu takjub mendengar jawaban Niken yang begitu tegas.
Belum sampe di pintu depan, ibu Pandu sudah menjemput keluar.
"Silahkan masuk, wah, senang sekali kita kedatangan tamu." sambutnya ramah.
"Kenalin, bu. Ini Niken, teman Pandu. Nik, ini ibuku." kata Pandu.
"Panggil saja ibu. Nama saya Sulastri." kata ibunya Pandu menjabat tangan Niken.
"Selamat ulang tahun, Bu." kata Niken sambil menyerahkan kadonya.
"Waduh, repot-repot lho, nak Niken ini. Ayo Pandu, diajak masuk dong."
Pandu lalu mengenalkan satu-per-satu anggota keluarganya yang lagi berkumpul di situ
semua. Ayah Pandu, Pandu Pahlawan. Kakaknya yang nomer satu, Pandu Darmawan, dan istrinya,
Sandra. Yang nomer dua, Pandu Sanjaya, dan istrinya Marini. Kakaknya yang nomer tiga, yang
minjemin mobil, Pandu Wardhana, dan istrinya Adriana. Yang nomer empat Pandu Aditya
belum menikah dan belum punya pacar.
Kakak-kakak Pandu semua ganteng-ganteng. Terutama yang nomer satu. Katanya dia pernah
menang lomba wajah di majalah Mode. Nggak mengherankan. Memang ganteng sih. Alisnya
tebal dan tajam, tulang rahang dan pipinya yang menonjol memberi aksen gagah di wajahnya.
Itu semua pasti didapat dari ayah Pandu yang memang gagah, dan ibunya yang lembut dan
melankolis. Susah juga menghafal nama mereka, terutama karena namanya Pandu semua! Kakaknya yang
nomer satu sudah punya anak, masih umur dua tahun, nggak bosen-bosen berceloteh, ngajak
omong Niken. Lagi in the mood kali. Namanya Yunita. Sebentar saja Niken sudah akrab
dengan Yunita. Rupanya Yunita sangat tertarik dengan pita rambut Niken. Niken lalu melepas
pitanya, dan Yunita menerimanya dengan senang hati. Niken malah lalu iseng menguncir
rambut Yunita dengan pitanya.
Makanan malam itu sederhana, sayur lodeh, goreng-gorengan, dan ca kangkung. Niken sudah
tambah ca kangkung dua kali. Dia sangat menikmati suasana rumah Pandu malam itu.
Mungkin karena di rumah dia jarang, atau boleh dibilang hampir nggak pernah ada acara
makan malam bareng. Apalagi karena keluarga Pandu begitu ramah menerima Niken. Mereka
seolah-olah tidak menganggap Niken sebagai tamu, melainkan seperti kedatangan teman
lama. Melihat keluarga Pandu begitu harmonis, Niken sebetulnya merasa rendah diri. Tapi
sebentar saja rasa rendah diri itu hilang, karena asyik mengobrol dengan Pandu dan kakakkakaknya.
Kalau sedang bersenang-senang memang waktu tidak terasa jadi berjalan begitu cepat. Tahutahu saja sudah jam setengah sepuluh malam. Niken harus pulang sekarang. Kalau tidak
kereta kencananya akan berubah menjadi labu!
Setelah berpamitan, termasuk sama si kecil Yunita, Niken dan Pandu undur diri.
"Makasih Ndu, kamu bener-bener bikin aku seneng malam ini. Aku udah lupa kapan terakhir
kali aku merasa seperti ini." kata Niken. Hatinya berbunga-bunga.
"Aku juga terima kasih kamu mau datang. Suasana rumahku jadi tambah meriah ada kamu."
Waktu mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Niken, Niken terpekik kaget.
"Kenapa, Fei?" "Tuh" papa ada di teras depan." kata Niken menunjuk ke arah teras rumahnya.
"Mati deh aku. Gimana nih?" lanjut Niken, seakan tidak mau turun. Seandainya saja waktu
bisa berhenti pada saat ini, berhentilah!
Papanya berdiri, menuju ke arah pintu gerbang.
"Ayo turun, Fei. Aku temeni." kata Pandu berusaha membesarkan hati Niken.
Keduanya lalu turun dari mobil.
"Niken! Masuk!" bentak papa Niken galak.
"Selamat malam Pak Tjakrawibawa. Hari ini ibu saya ulang tahun. Niken saya undang karena
Niken sa tu-satunya teman baik saya di sekolah." kata Pandu tanpa rasa takut.
"Hmm" Niken, masuk!" ulang papa Niken dengan nada yang sama.
"Pak, tolong jangan marahi Niken. Ini semua ide saya." kata Pandu.
"Niken, kamu sudah lupa janji kamu untuk nggak pacaran"!"
"Nggak Pa. Kami nggak pacaran koq. Pandu cuma temen baek. Bener Pa!" kata Niken
membela diri. "Sudah, nggak usah banyak omong. Masuk!"
Niken lalu cepat-cepat masuk.
"Selamat malam, permisi Pak." Pandu pamitan dengan sopan.
"Jangan pernah datang-datang lagi ke sini. Niken nggak pantas sama laki-laki seperti kamu."
Pandu diam saja, lalu pergi.
* Sampai di rumah, keluarga Pandu sudah tidak sabar menunggu Pandu pulang. Mereka sudah
ingin berkomentar tentang cewek yang baru saja bertandang di rumah mereka.
"Ndu," kata kakaknya begitu Pandu melewati ruang tengah. "Manis sekali Niken itu."
"Manis, tapi papanya galak banget." keluh Pandu.
"Kenapa emangnya?"
"Tadi aku ketemu papanya, aku diusir, coba. Katanya, aku nggak pantas buat Niken. Aku
rasanya marah sekali sekarang. Pertama, aku kasian sama Niken tertekan sekali di rumah.
Kedua, Niken berhak menentukan pasangannya sendiri, walaupun tololnya Niken sendiri nggak
tau itu. Ketiga, aku bukan pacarnya Niken, meski aku yakin, beruntung sekali orang yang bisa
pacaran sama orang seperti Niken." jawab Pandu geram.
Ibunya menimpali, seolah tak mendengar keluh kesah Pandu yang barusan. "Niken lain sekali
dengan Ratna, cewek yang sering kemari itu, Ndu."
"Ibuuu".!" Pandu merengek. "Sudah aku bilang berkali-kali, Niken itu bukan pacarku, dan dia
nggak ada niatan untuk pacaran sama aku, atau sama siapapun."
"Ibu hanya berkomentar koq," kata ibunya membela diri. "Ratna itu orangnya lemah lembut,
nggak penuh gairah hidup seperti Niken. Hal yang paling aku suka dari Niken, dia rendah hati
walaupun anak orang kaya. Malahan, hari ini dia nggak keliatan seperti anak orang kaya. Satu
hal yang aku nggak suka dari Ratna, dia suka sekali merayu kamu. Niken sama sekali nggak."
"Ya jelas aja, karena Niken nggak suka hal-hal yang berbau pacaran." jawab Pandu.
"Kalau begitu Ratna itu pacarmu?" tanya bapaknya.
"Bukan juga. Aduh" koq jadi pada tanya yang aneh-aneh sih?" Pandu merasa jengah.
"Kenapa kamu koq nggak suka Ratna?" tanya bapaknya lagi.
"Yah" nggak tau ya" Ratna itu, terlalu dependen sama orang. Dia nggak pernah bisa
mandiri. Lagian aku memang nggak sreg sama dia. Udah ah, tanya-tanya melulu, orang lagi
kesel abis ketemu papanya Niken itu lho!"
"Kalo kamu nggak berani pacaran sama Niken, aku boleh nyoba?" goda Aditya.
Semua pada ketawa. "Aku sudah bilang, Niken itu orang yang unik. Dia nggak percaya sama
yang namanya pacaran. Dia sudah dijodohin koq sama papanya." kata Pandu sambil melepas
sandalnya. "Hah" Dan Niken menurut saja?" tanya kakak-kakak iparnya hampir berbarengan.
"Iya. Kakaknya meninggal, bunuh diri, gara-gara pacaran terlalu bebas. Semenjak itu dia jadi
antipati sama kata "cinta"."
"Lha kamu sendiri suka nggak sama Niken?" tanya bapaknya ingin tahu.
"Nggak tau ya, aku selama ini nggak pernah ngeliat Niken sebagai orang yang bisa aku pacari,
jadinya ya rasa sayang nggak pernah tercetus."
"Wah, sayang lho" padahal Niken itu maniiiiis sekali. Mungil. Matanya sipit, mungil. Mulutnya
mungil. Idungnya juga mungil. Aku suka deh yang mungil-mungil begitu." kata Aditya
bercanda. "Aku juga?" gumam Pandu tanpa sadar.
"Ha ha" ! Jadi kamu suka sama Niken dong"!" Aditya menggoda adiknya.
"Ah! Dasar! Aku capek nih. Hatiku gerah sekali rasanya. Aku mau tidur aja." kata Pandu
menuju ke kamarnya dengan langkah gontai. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, sedang apa
ya Fei Fei sekarang"
Dia lalu balik lagi ke ruang tengah, mengambil sandalnya, terus keluar lagi.
"Ndu, mau ke mana kamu?" tanya bapaknya.
"Mau ke wartel di ujung jalan." jawabnya sambil terus berjalan.
"Ada apa ke wartel?" tanya bapaknya lagi.
"Telepon." jawab Pandu singkat.
"Koq nggak pake telfon rumah aja?" tanya ibunya.
"Nggak, ah. Nanti aku digodain terus."
Yang lain lalu tambah cekikikan. Sudah jam setengah 11 malam, tapi rumah Pandu masih
ramai sekali seperti pasar malam. Telepon ada di ruang tengah. Bisa tidak dengar apa-apa
kalo telepon Niken dari rumah.
"Fei Fei?" Pandu menelepon telepon kamar Niken.
"Ndu?" suara Niken kedengaran seperti barusan menangis.
"Kamu habis dimarahi ya" Sorry ya Fei" gara-gara aku, kamu jadi disemprot papa kamu."
"Nggak Ndu. Aku senang koq malam ini. Aku malah yang mau minta maaf, papaku kasar
sekali sama kamu tadi."
"Udahlah, Fei. Aku udah biasa koq. Kamu jangan nangis dong" Aku belum pernah melihat
kamu nangis seperti ini. Aku jadi merasa bersalah, kamu menangis karena aku."
"Aku nangis karena aku baru sadar, koq bahagia tu susah amat dapatnya. Untuk senangsenang barang semalam aja, aku mesti berbohong, mesti dimarahi habis-habisan sama papa.
Kamu beruntung sekali, Ndu."
"Kamu welcome kapan aja ke rumahku, Fei."
Niken terdiam. "Aku dilarang keras ke rumahmu. Papa ngancam, kalo sampe kejadian malam
ini terulang lagi, aku bakal dimasukin ke sekolah asrama. Mending mati aku daripada masuk
asrama. Jadi malam ini adalah yang terakhir kali kamu melihat aku di rumahmu. Aku nggak
berani lagi. Terima kasih buat malam yang indah tadi, Ndu. Aku nggak akan pernah lupa."
kata Niken setengah terisak.
"Sudah" jangan nangis lagi, dong. Fei, aku percaya, di mana ada kemauan, pasti ada jalan.
Kamu harus yang sabar. Percaya deh, banyak jalan untuk meraih kebahagiaan. Tinggal kita
mau ambil kesempatan yang ada atau nggak. Aku pasti bantu kamu, kapan saja."
Mendengar itu, Niken seperti mendapat separuh kekuatannya kembali. "Benar juga yang kamu
bilang, Ndu. Setidaknya aku masih punya kamu."
"Nah" gitu dong. Supaya kamu lega, sepertinya aku musti bilang sesuatu. Tadi, begitu aku
pulang, aku langsung diinterogasi. Kayak kamu tu pacarku aja, Fei. Semua bilang kamu cantik.
Malah Mas Adit bilang dia naksir kamu. Tapi kamu tadi memang manis deh, keliatan laen dari
biasanya. Mungkin karena kamu pakai rok. Gimana" Sudah tambah oke sekarang?" tanya
Pandu yang kata-katanya selalu terdengar manis di telinga Niken.
Niken tertawa kecil. "Ada-ada saja, ah. Tapi makasih Ndu. Aku udah nggak sedih lagi koq."
"Sungguh, nih?"
"Iya iya" Jangan kuatir. Bukan Niken namanya kalau nggak tahan banting."
"Ya udah, kalo gitu aku udahan dulu. Ngantuk nih" Aku mesti pulang trus langsung bobok."
"Pulang" Emangnya kamu ini di mana?" tanya Niken bingung.
"Di wartel non! Cari mati deh kalo aku telfon dari rumah. Rumah masih ramai sekali, lagi. Aku
bisa habis digodain mereka seperti tadi. Mending jalan sedikit ke wartel." gerutu Pandu.
"Ya sudah, pulang sana. Makasih sekali lagi Ndu, dan maaf atas sikap papaku tadi."
"Nggak aku masukin hati koq. Selamat tidur, Fei Fei"
* Siang itu, saat jam pulang sekolah, Wulan terengah-engah menghampiri Niken yang sedang
sibuk di theatre, mengurus gladi bersih buat acara panggung Gelar Seni besok.
"Nik! Niken!!" panggil Wulan sambil berlari menuju panggung.
"Ada apa, sih?"
Wulan sibuk mengatur nafasnya. Niken mengisyaratkan pada anak-anak soundsystem untuk
istirahat sejenak. "Pandu, Nik! Dia sama Jimmy ada di halaman parkir belakang, berantem kata anak-anak.
Mereka pada ramai-ramai mau nonton di sana. Cepetan dong!"
"Hah"!" Niken spontan menaruh mapnya di tangga panggung, langsung lari menuju ke
halaman parkir motor dan sepeda di belakang sekolah.
Belum sampai halaman parkir, dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut.
Niken mempercepat larinya. Wulan yang sudah kelelahan cuma bisa mengikutinya dari
belakang. Sesampai di situ, Niken tidak bisa melihat apa-apa, karena banyak orang berkerumun di situ.
Susah payah dia berusaha menembus kerumunan ke arah tengah.
Benar saja, Pandu dan Jimmy ada di tengah-tengah kerumunan. Pipi Pandu merah kena
jotosan. Ada darah di sudut bibirnya. Baju mereka kotor dan amburadul. Rambut keduanya
acak-acakan. "Stop, stop! Apa-apaan sih kalian ini?" teriak Niken, karena suasana masih begitu bising.
"Dia yang mulai." Telunjuk Pandu mengarah ke Jimmy.
"Aku nggak mau tau siapa yang mulai. Sudah, ayo ikut aku ke UKS."
Keduanya tidak ada yang beranjak dari tempat mereka berdiri masing-masing. Niken
mengulangi lagi, "Mau ikut aku ke UKS apa nggak?"
"Aku nggak akan pergi dari sini sebelum masalah ini diselesaikan." kata Jimmy ngotot.
"Masalah apa" Dan bisakah itu diselesaikan dengan cara kayak gini?" tanya Niken.
"Kamu masalahnya!" tuding Jimmy. Niken tersontak kaget.
"Aku?" tanya Niken.
"Iya. Kamu, Niken. Dia menuduh aku yang enggak-enggak sama kamu kemarin malam.
Katanya aku ngerebut pacarnya. Dia bilang, Niken itu hak miliknya dia. Nggak ada orang lain
yang boleh sentuh dia. Aku bilang, Niken itu bukan hak milik siapa-siapa. Dan lagi, aku sama
Niken cuma berteman. Eh" dia nggak percaya malah nantang." jawab Pandu emosi.
"Aku cuma bilang, kamu harus menjauhi Niken, dia milikku. Kamu ngotot nggak mau koq.
Siapa yang nggak emosi?" balas Jimmy.
"Stop. Sudah cukup. Muak aku mendengarkan argumen kalian. Jimmy, Pandu benar. Aku
sama dia cuma teman, dan aku belum menjadi hak milik kamu. Aku juga nggak mau Pandu
jauhi aku." kata Niken membela Pandu, setelah mengetahui duduk permasalahannya.
"Ya sudah kalo memang maumu begitu. Tapi aku nggak berani tanggung-jawab kalo papamu
sampai tahu kamu belain Pandu dalam masalah ini." kata Jimmy setengah mengancam.
"Tunggu!" kata Pandu. "Jangan bawa-bawa papa Niken di sini. Ini masalah antara kita. Kamu
nggak boleh campur aduk begitu, dong!"
Anak-anak masih ribut. Niken merasa jengkel sekali. Apalagi setelah mendengar ancaman
Jimmy tadi. "Bubar! Semuanya bubar!" kata Niken dengan suara lantang.
Mereka semua lalu bubar jalan, Niken kalo sudah marah gempar, deh. Tinggal Jimmy, Pandu
dan Niken yang ada di situ.
Niken merogoh saku bawahannya, lalu memberikan tissue, satu buat Pandu, satu buat Jimmy.
"Jim, aku bener nggak ada apa-apa sama Pandu. Kita cuma teman baik. Aku nggak pernah
larang kamu bergaul dengan siapapun, kan" Kenapa kamu nggak beri aku kebebasan yang
sama?" "Niken, akuilah. Kita pun nggak pacaran. Status kita cuma sedikit lebih baik dari kamu dan
Pandu. Kamu bisa bilang kamu nggak ada apa-apa sama Pandu. Tapi kamu juga bisa bilang
kamu nggak ada apa-apa sama aku. Aku cuma ingin kamu hargai aku sedikit."
"Apa yang kamu mau" Pacaran sama aku" Aku udah bilang, aku nggak bisa pacaran sama
kamu, karena aku nggak cinta sama kamu."
"Itu karena kamu nggak pernah mau berusaha untuk itu." sanggah Jimmy.
Niken diam saja. Demikian juga Pandu.
"Kamu sama sekali nggak pernah tersenyum kalo ketemu aku. Apapun yang aku lakukan,
kamu nggak pernah terhibur. Belakangan ini aku perhatikan, kamu selalu ceria setiap ketemu
Pandu. Siapa yang nggak jengkel?"
"Kami punya banyak kesamaan,?"
Belum sempat Niken melanjutkan kata-katanya, Jimmy sudah menyerobot. "Apa katamu"
Banyak kesamaan" Yang aku lihat justru banyak perbedaan. Dia anak Jawa, Niken. Bukan
chinese seperti kita."
Muka Niken memerah. Telinganya memanas.
Niken nggak bisa bilang apa-apa karena jengkel sekali, sekaligus malu sama Pandu.
Pandu yang lalu menyahut, "Benar sekali kamu, Jim. Kamu cuma punya satu kesamaan sama
Niken. Sama-sama bermata sipit. Lain dari itu tidak. Niken berjiwa besar, berhati mulia,
temannya banyak. Kamu" Jiwamu kerdil, hatimu busuk, temanmu cuma sebatas orang yang
ingin memanfaatkan kekayaanmu!"
Kata-kata Pandu tadi walaupun memang benar adanya, terdengar begitu pedas di telinga.
Jimmy mulai bergerak mendekati Pandu, bermaksud menjotosnya lagi.
Niken mencegahnya. "Jimmy, sudahlah. Rasanya kita berdua nggak ada harapan lagi. Aku
akan minta mama untuk membatalkan semuanya."
"Niken" Jangan bilang begitu dong. Maafin aku, aku tadi termakan emosi. Kamu boleh
berteman dengan Pandu, ayolah. Maafkan aku." bujuk Pandu yang kaget mendengar katakata Niken.
"Pergilah, Jimmy. Sudah nggak ada apa-apa antara kita." Muak sekali Niken melihat wajah
Jimmy. Merasa sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi, Jimmy lalu berkata, "Baiklah, Niken. Tapi aku
nggak akan pergi sebelum bilang sesuatu yang aku mau bilang dari dulu. Kamu perlu belajar
mencintai orang, Niken. Kalau nggak, kamu nggak akan pernah bahagia."
Setelah Jimmy pergi, Pandu duduk di trotoar dekat Niken. "Kamu nggak papa, Fei?"
Niken diam saja. Dia masih memikirkan kata-kata Jimmy barusan.
"Fei!" "Hah" Apa" Kamu ngaget-ngagetin aku aja, Ndu!" Niken terkaget dari lamunannya.
"Kamu nggak papa, kan?" Pandu mengulangi pertanyaannya.
"Yang papa tu kamu. Tuh liat, bibirmu berdarah gitu. Nggak sakit, apa?" kata Niken sambil
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil tissue satu lagi dari sakunya. Pelan-pelan luka di bibir Pandu dia bersihkan dengan
tissuenya. "Aduuh"!" Pandu mengerang kesakitan.
"Sakit ya" Salah sendiri, kenapa mesti berantem sama Jimmy" Sekarang yang sisa tinggal
sakitnya, kan?" "Pelan-pelan dong!" Pandu masih mengaduh-aduh.
"Ya ini udah pelan-pelan, tahu" Kamu tahan sedikit lah. Manja bener."
Baru kali ini Pandu melihat wajah Niken begitu dekat. Dari dekat gini jadi tambah jelas
manisnya. Wajah Niken bersih tanpa noda sedikitpun. Nggak ada jerawat, bisul, atau kurap.
Niken jadi sadar Pandu dari tadi memperhatikannya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Jujur aja, kamu manis sekali, Fei. Cowok yang berhasil dapetin kamu bakal beruntung
banget. Aku juga nggak nolak kalo diberi koq."
"Heh! Kalo ngomong yang bener!"
"Duh! Jangan kasar gitu dong, perih nih!" kata Pandu memegangi dagunya.
"Makanya jangan macem-macem." kata Niken mengancam.
"Aduh, iya deh" Iya?" Pandu pasrah sambil memonyongkan bibirnya untuk dibersihkan
lukanya. Niken tiba-tiba teringat sesuatu, "Oh! Iya! Aku musti segera kembali ke theatre. Aku belum
selesai ngatur gladi bersih buat besok. Aku mesti double cek ke Jabrique apa mereka jadi
tampil. Kemarin sih mereka bilang jadi."
"Aku boleh ikut lihat gladi bersihnya?"
"Lihat nggak boleh. Harus ikut bantu angkut-angkut."
"Kalau nggak males, ya..." katanya sambil mengikuti Niken ke theatre.
Untung anak-anak masih sabar nunggu di dekat panggung. Juned, salah satu anak yang tugas
MC besok, melapor. "Niken, anak dekorasi hari ini mau ngelembur sampe malem. Speakerspeaker ini mau ditaruh dimana?"
"Ditaruh di belakang panggung aja, jadi besok gampang ngeluarinnya lagi. Kamu udah latihan
sama Heni?" "Tuh di belakang panggung. Dia grogi banget, dia maunya semua naskah ditulis, katanya mau
dihafalin di rumah. Aku udah bilang, itu nggak baik. Lupa satu nanti lupa semua. Mending
rileks aja. Coba deh kamu yang ngomongin."
"Ya kamu yang sabar ngelatih dia. Maklum lah, dia kan masih kelas satu, baru pertama kali ini
dia MC di panggung. Aku nggak akan pilih dia kalo aku nggak yakin dia mampu. Kamu mesti
bisa bikin dia nyante, lebih percaya diri. Oke?"
"Oke deh." kata Juned menuju ke belakang panggung.
"Mber!" panggil Niken. Yang dia maksud Hengki, yang panggilan akrabnya memang
"comberan". Itu gara-gara waktu perploncoan awal masuk SMA dulu, dia memaki diri sendiri
waktu jatuh di comberan. Kebetulan salah satu orator berdiri di dekatnya. Dengan alesan itu
comberan di SMA Antonius, termasuk barang langka, harus dicintai. Terus dia disuruh duduk
di comberan, sambil minta maaf karena sudah memaki-maki comberan. Sejak itu dia dipanggil
comberan. Hengki itu yang dia tugaskan penanggung jawab tim dekorasi panggung.
"Mber, kata Juned, anak-anak dekor mau ngelembur yah" Kamu yakin betul mereka mau
ngelembur" Aku nggak mau mereka nanti mengomel di belakang lho?"
"Bener koq, Niken. Mereka malah merasa nggak enak sendiri karena belum selesai sampe hari
H minus satu. Mereka yang minta untuk diijinkan kerja sampe selesai. Tapi kayaknya nggak
bakal sampe malem, koq. Paling sore nanti udah kelar semua."
"Baiklah kalo gitu. Aku nanti bilang Mas Manto, yang jaga sekolah."
"O, iya, Niken. Sandra baru aja pulang. Dia kan kamu tugasi mengatur jalannya acara gladi
bersih hari ini. Baru aja selesai setengah jam yang lalu. Dia pesan ke aku, dia harus pulang
cepetan. Tapi pelaksanaan nggak jauh beda dari jadwal. Nggak molor-molor. Semua band
pendukung termasuk Jabrique juga sudah dia hubungi. Semua oke."
"Bagus. Endang jadi menari besok?"
"Wah, nggak tau. Sandra nggak bilang. Aku sih denger kalo dia sakit. Eh, Wulan tadi pesan,
dia mau beli makanan buat anak-anak, nanti balik kemari lagi. Tanya ke dia deh, mungkin dia
tau." "Oke. Aku nanti pulangnya sesudah anak dekor kelar, koq."
"Nggak usah, Niken. Kamu pulang aja. Kamu dari pagi tadi udah di sini terus. Suara kamu aja
udah serak-serak banjir begitu. Ntar besok nggak layak tampil lho?"
"Nggak papa. Aku nggak bisa tenang sebelum segalanya selesai. Kalo pulang bisa-bisa aku
balik ke sini lagi. Lagian aku kan bisa bantu-bantu."
"Silahkan aja. Eh, Ndu. Kita butuh tambahan tenaga dari regu perlengkapan. Kita lagi dalam
rangka mau mindah-mindahin perlengkapan band dari panggung, biar anak-anak dekor
kerjanya lebih leluasa."
"Siap boss. Ruangan ini juga perlu dibersihin, apalagi sesudah kalian selesai ndekor nanti pasti
tambah banyak sampahnya. Aku siap bantu sampai kelar nanti."
"Makan makaaaaaaann?" teriak Wulan. Dengar kata makan, anak-anak menghambur ke arah
Wulan dan dengan suka rela membawakan kantong-kantong plastiknya berisikan nasi goreng
itu. "Nggak salah kamu di seksi konsumsi, Wulan. Kamu nggak pernah biarin kita-kita ini
kelaparan?" puji Pandu.
Wulan menyeret Niken menjauh dari yang lain. "Nik, si Endang gak jadi nari besok. Acaranya
diganti Sulis yang setelah dipaksa-paksa mau juga manggung komedi sendirian."
"Oh" ya sudah" Sebenere nggak usah diganti juga kita udah cukup punya banyak acara
koq." "Nik, tadi Jimmy sama Pandu gimana" Sudah gencatan senjata?" tanya Wulan dengan nada
kuatir. "Ruwet dah, Lan. Jimmy keterlaluan banget. Akhirnya aku suruh dia pergi. Acara perjodohan
akan aku batalkan." "Separah itu, heh?"
Niken mengangguk. "Si Pandu suka sama kamu?"
"Nggak. Siapa yang bilang?" tanya Niken heran.
"Lha tadi, kenapa mereka berkelahi?"
"Itu mah karena Jimmy yang kelewat cemburu aja."
"Nik, kalo misalnya, ini cuma misalnya lho ya. Misalnya Pandu suka sama kamu, kamu mau
nggak sama dia?" "Nggak. Aku kan udah bilang, aku nggak mau pacaran."
"Sungguh, nih?" tanya Wulan.
"Sungguhan. Kenapa sih" Kamu naksir dia yah?" Aaah" Wulan naksir Pandu rupanya yah?"
goda Niken. "Bukan aku. Ratna. Dia tadi nangis waktu dengar Pandu berantem sama Jimmy gara-gara
kamu. Tau sendiri lah si Ratna. Cengengnya minta ampun. Dia pake acara mendekam di kapel
segala lho. Nangis sehabis-habisnya di situ. Sampe romo sama koster yang lagi bersih-bersih
di sakristi jadi bingung dibuatnya. Kalo kamu nggak keberatan, aku mau kamu ngomongin
Pandu soal Ratna. Soalnya dia kayaknya masih di kapel sekarang ini. Nggak mau keluarkeluar. Nggak mau makan segala. Siapa tau Pandu bisa bujuk dia" Tolong Nik?"
"Kenapa kamu nggak bilang ke Pandu sendiri?"
"Ayolah, gampangan kamu yang bilang ke dia. Dia pasti menurut sama kamu." bujuk Wulan.
"Iya deh, nanti aku bilangin. Tapi dia harus angkut-angkut speaker gede-gede itu dulu sama
anak-anak. Abis itu ya?"
"Ndu?" sapa Niken waktu Pandu baru saja selesai angkut-angkut, sambil menyodorkan tissue
untuk mengelap keringatnya.
"Kamu hari ini promosi tissue apa gimana sih" Aku udah ngabisin tiga tissuemu hari ini."
"Kayaknya kamu butuh satu lagi deh." kata Niken sambil menyodorkan satu tissue lagi. "Tapi
yang ini buat Ratna."
"Ratna?" tanya Pandu bingung.
"He"eh. Dia nangis sesiangan di kapel tuh."
"Trus apa hubungannya sama aku?"
"Erat sekali. Dia nangis lantaran tau kamu berantem sama Jimmy tadi, dan dia tau itu garagara aku. Sama seperti Jimmy, dia pasti merasa sedikit banyak cemburu. Banyak, mungkin."
"Lantas, aku bisa apa?" tanya Pandu masih tak mengerti.
"Tu anak belum makan siang, dari tadi menangis terus, bikin bingung orang. Kalo nggak
cepat-cepat ditolong, dia bisa pingsan, kehabisan tenaga karena belum makan, atau lebih
parah, kehabisan air mata."
"Aku nggak berminat meladeni dia hari ini. Capek." jawab Pandu ogah-ogahan.
"Ayo, dong. Aku juga merasa bersalah, nih. Paling nggak, temui dia. Jelasin kalo nggak ada
apa-apa antara kita. Jadi dia nggak salah paham, dan yang penting nggak menangis terus."
"Kamu sungguh-sungguh ingin aku deketi dia, Fei?"
"Kata Wulan sih, dia cinta sama kamu. Nggak tau gimana koq dia bisa cinta sama orang
konyol kayak kamu, tapi kenyataannya emang iya. Ratna cantik, lembut. Itu kan kriteria cewek
idamanmu, kalo nggak salah. Kenapa nggak diembat aja?"
"Baiklah. Aku akan bujuk dia untuk pulang dan nggak nangis lagi. Rasanya nggak bakal susah
sih. Nanti aku balik ke sini lagi."
"Ndu, nggak usah cepat-cepat kembali kesini juga nggak papa. Kamu bakal aku butuhin lagi
nanti kalo anak-anak dekor selesai."
Pandu mengangguk ragu, lalu berlalu dari situ, menuju ke arah kapel di depan.
:: Mata Elang : Chapter 3
Ini hari Minggu sore, hampir malam. Gelar Seni sudah secara resmi dibuka tadi pagi. Niken
seharian tadi sudah banjir keringat karena dari tadi sibuk mondar-mandir, lari kesana kemari.
Rambutnya dikuncir ekor kuda di belakang, jadi tidak mengganggu. Dari tadi siang dia tidak
sempat pulang. Niken sengaja bawa baju ganti, jadi dia tadi bisa mandi dan ganti baju di
kamar mandi sekolah, untuk acara band nanti malam. Bandnya akan menjadi acara
pembukaan pentas band malam ini. Acara puncaknya sih Jabrique band.
"Niken, si Heni demam panggung, tuh, aku udah berusaha nenangin dia, tapi kayaknya gagal
total. Tolong dong?" keluh Juned. Niken mengangguk mengerti, lalu menghampiri Heni yang
duduk di belakang panggung yang sedang komat-kamit menghafal naskahnya, seperti sedang
menghafal mantera saja. Melihat Niken datang menghampirinya, Heni langsung berdiri dan mengeluh, "Niken, kamu
gantiin aku jadi MC hari ini ya. Aku nggak sanggup. Aku takut?"
"Kenapa mesti takut?" Niken memegangi tangan Heni. Dingin sekali tangannya. Keringat
dinginnya sudah membuat kertas naskah yang dipegangnya jadi bergelombang dan kucel.
"Aku udah bilang sama Juned, aku nggak mungkin milih kamu jadi MC kalo aku nggak yakin
sama kemampuanmu. Aku tahu kamu bisa, Heni!" lanjut Niken dengan nada mantap.
"Kamu sepertinya sudah salah pilih, Niken. Aku nggak bisa...."
"Kamulah yang nggak sadar sama kemampuanmu sendiri, Hen. Buang deh itu naskah. Kamu
mesti ngomong dari dalam hati kamu."
Pandu yang juga berdiri di dekat situ, sedang mempersiapkan diri untuk manggung di acara
pertama, membisikkan sesuatu pada Niken. Lalu dia berlalu.
Sebentar saja dia datang lagi, membawa Galih. Tanpa ba bi bu, Galih mencium pipi Heni, lalu
cuma menganggukkan kepala, terus pergi lagi.
Niken bengong. Heni apalagi. Tapi kemudian, Heni meremas kertas naskahnya, lalu berkata,
"Ayo, aku udah siap. Mana Juned?"
Niken tambah bengong. Semenit kemudian, Heni dan Juned sudah asyik bercuap-cuap di atas
panggung. Niken yang menonton dari pinggir panggung masih terbengong-bengong.
"Itu yang namanya kekuatan cinta." bisik Pandu.
Niken masih bengong, menatap wajah Pandu, meminta penjelasan.
"Aku tau Heni sudah lama naksir Galih. Galih juga suka sama Heni, tapi nggak tau kalo Heni
naksir dia, jadi nggak berani ngomong. Hari ini aku sudah jadi mak comblang yang baik kan?"
kata Pandu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Niken lalu tertawa terbahak-bahak. "Terus kenapa Galih nggak bilang apa-apa sama Heni?"
"Cinta nggak butuh kata-kata, Fei. Heni tahu sekarang kalo Galih juga cinta sama dia. Itu saja
cukup." Niken kembali ke kebengongannya. Pandu mau tidak mau harus mengagetkannya, karena
Heni dan Juned sudah menyebut-nyebut band mereka.
"Hoi! Mau manggung sekarang apa tahun depan?"
"Oh"! Ya sekarang dong!" kata Niken menyambar stick drum-nya di meja.
Baru aja Niken keluar dari panggung, Sandra dengan wajah pucat sudah menyambutnya
dengan berita buruk. "Niken, aku baru aja dikontak manager Jabrique. Mereka nggak bisa manggung malam ini
karena ada komitmen lain. Bull shit, lah. Gimana nih" Padahal Jabrique udah dijadwalkan
nyanyi 2 lagu malam ini. Gimana dong, Niken"!"
Kepala Niken jadi pusing mendadak. Seperti drum yang dipukul-pukul rasanya, tapi tanpa
ritme yang jelas. "Kasih aku waktu buat mikir, San. Aku keluar panggung dulu. Sumpek."
Niken keluar lewat pintu panggung belakang. Pandu mengikutinya.
"Koq Jabrique nggak bertanggung jawab begitu, sih?" Pandu mengomel.
"Ini salahku. Mestinya aku punya back-up plan buat ini. Seharusnya aku tahu mereka bisa
membatalkan sewaktu-waktu. Mereka kan band terkenal. Teman-teman pasti kecewa semua.
Aduh, kepalaku jadi pusing deh. Aku nggak tau mesti gimana." sahut Niken jujur.
Baru kali ini Pandu mendengar Niken nggak tahu harus berbuat apa. Biasanya Niken pasti
punya jalan keluar. "Rileks, Fei. Kalo rileks kita pasti nemuin jalan keluar." kata Pandu berusaha menghibur,
sambil mendekat ke arah Niken. Kedua tangannya diletakkan di bahu Niken, kiri dan kanan,
lalu mulai memijit-mijit bahu Niken.
Niken memejamkan matanya. Enak sekali dipijit begini. Apalagi kalau sedang pusing seperti
sekarang. Angin malam semilir membantu menenangkan suasana hatinya. Pikirannya
melayang ke ciuman Galih tadi.
Pandu ikut memejamkan matanya, ikut berpikir, sementara tangannya masih memijit bahu
Niken. Kasihan Fei Fei, dia pasti capek seharian sibuk terus, kata Pandu dalam hati. Hari ini dia
melihat sisi lain dari Niken. Niken bisa juga merasa tak berdaya. Entah setan dari mana, tibatiba saja dia bisa merasakan sesuatu yang harusnya dia ketahui sejak pertama ketemu Niken.
Cinta! "Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" Pandu mengutuk dirinya dalam hati. Walaupun
belum pernah merasakan ini sebelumnya, dia yakin ini tak lain dan tak bukan adalah cinta.
Ibunya benar, cinta itu datangnya nggak terduga-duga, dan kalau sudah datang tak bisa
diusir-usir. Kalau saja ibu ada di sini sekarang, ibu pasti tahu apa yang harus dilakukannya.
Haruskah dia bilang terus terang sama Niken" Dengan resiko berat harus kehilangan
persahabatannya" Atau tidak usah bilang, dengan resiko kehilangan kesempatan memperoleh
cinta sejati" Aduh, kepala Pandu jadi ikut pusing.
"Ndu, kamu udah menemukan jalan keluar belum?" Niken membuyarkan angan-angannya.
"Belum." sahut Pandu singkat. "Tapi aku sudah menemukan yang lain," serunya dalam hati.
"Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum jadwal manggung buat Jabrique. Ide apapun aku
bakal pertimbangkan deh, karena aku sama sekali blank, aku nggak punya ide sama sekali."
"Sssh" jangan berpikir yang buruk-buruk dulu. Cobalah menikmati suasana malam ini." kata
Pandu masih memejamkan matanya.
Pendekar Pedang Kail Emas 2 Pendekar Hina Kelana 4 Tiga Iblis Pulau Berhala Menuntut Balas 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama