Ceritasilat Novel Online

Mata Elang 2

Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 2


"Ndu, jangan tidur kamu ya!" ancam Niken.
"Nggak nggak" jangan kuatir. Aku sedang ikut berpikir koq. Kamu coba tenang dulu, lah."
Setelah diam selama kurang lebih lima menit, Pandu membuka matanya.
"Aku ada ide! Fei, apapun yang terjadi, percaya deh sama kata-kataku. Aku bakal kembali
tepat di saat yang ditentukan, dengan solusiku. Aku sekarang harus pergi dulu. Kamu tunggu
di sini." "Hey" tunggu. Aku ikut dong."
"Kamu di sini aja. Anak-anak di sini butuh dukunganmu. Percaya deh. Aku sudah punya solusi
yang tepat. Kamu nggak usah kuatir, ok?" kata Pandu sambil berlari ke arah depan.
* Sudah saatnya. "Mata jangkrik itu di mana sih?" gerutu Niken.
"Niken, liat tuh Pandu manggung." kata Sandra menunjuk ke arah panggung.
Benar katanya. Dia muncul dari depan panggung dengan menenteng keyboard.
"Gila tu anak. Tampil tanpa persiapan lagi. Moga-moga aja nggak kacau-balau."
Well it"s been building up inside of me for oh, I don"t know how long
I don"t know why but I keep thinking something"s bound to go wrong"
Don"t worry baby" Don"t worry baby"
"But I can"t back down now because I pushed the other guys too far"
Don"t worry baby" Don"t worry baby"
Dari samping panggung Niken dapat mendengar jelas suara Pandu. Maklum, speaker ada di
dekat situ. Suaranya begitu jernih, Niken jadi merasa tenang sekarang. Sepertinya Pandu
sudah menyelamatkan shownya malam ini. Tanggapan anak-anak yang nonton di depan
panggung pun sangat positif. Histeris, malah.
Selama menyanyi, Pandu sesekali menoleh ke arah Niken berdiri. Niken selalu tersenyum
manis setiap tahu Pandu menoleh ke arahnya.
Nggak cuma itu, karena Pandu tau Jabrique dijadwalkan nyanyi dua lagu malam ini, dia
menyanyi lagi setelah lagu itu selesai, kali ini lagu REO Speedwagon. Pandu sangat ahli
memainkan keyboardnya. I can"t fight this feeling any longer
And yet I"m still afraid to let it flow
What started out as friendship has grown stronger
I only wish I had the strength to let it show
I tell my self that I can"t hold out forever
I said there is no reason for my fear
"Cause I feel so secure when we"re together
You give my life direction
You make everything so clear
And even as I wander I"m keeping you in sight
You"re a candle in the window
On a cold, dark winter"s night
And I"m getting closer than I ever thought I might
And I can"t fight this feeling anymore
I"ve forgotten what I started fighting for
It"s time to bring this ship into the shore
And throw away the oars, forever
"Cause I can"t fight this feeling anymore
I"ve forgotten what I started fighting for
And if I have to crawl upon the floor
Come crushing through your door
Baby, I can"t fight this feeling anymore"
Seusai lagu itu, dia membungkuk memberi hormat dan menebar ciuman pada penonton
dengan tangannya. Sambutan penonton begitu meriah, semua tersepona oleh lagu-lagu
Pandu tadi. Niken dari belakang panggung lega sekali.
Begitu Pandu sampai di belakang panggung, langsung dipeluknya.
"Terima kasih, Ndu, showmu bener-bener sudah menyelamatkan malam ini. Aku nggak tau
mesti bilang apa. Aku lega sekali." kata Niken sambil berteriak-teriak histeris.
"Jangan senang-senang dulu. Aku musti ngomong sesuatu sama kamu. Keluar yuk." ajak
Pandu, yang walaupun senang dipeluk Niken harus dengan berat melepasnya.
"Ada apa sih, Ndu" Kamu boleh ngomong apa aja deh. Aku bener-bener ngerasa bersyukur
punya kamu." "Lagu tadi" Aku sungguh-sungguh menyanyikannya." kata Pandu.
"Lalu" Maksudmu" Hmm.. Aku nggak ngerti maksud kamu." Wajah Niken yang tak berdosa
benar-benar menggambarkan kebingungan.
"Aku sayang kamu, Fei. Sebelum kamu protes, aku mesti bilang, aku juga baru menyadarinya
sejam yang lalu." kata Pandu mengungkapkan isi hatinya. Nah, segalanya sudah terucap.
"Ndu, kamu mestinya kenal sifatku lebih dari ini. Kamu tau sendiri aku?"
"Aku tahu. Kamu sering bilang. Kamu nggak percaya sama yang namanya cinta atau pacaran
atau apapun sinonimnya, dan segala tetek bengeknya. Aku sangat paham. Makanya aku juga
baru nyadar sekarang, karena mungkin aku nggak pernah berpikir ke situ juga. Tapi aku juga
tau, orang sebaik kamu layak dicintai, dan layak untuk berbahagia. Aku cuma ingin dapat
mencintaimu, dapat bikin kamu bahagia..."
"Stop, Pandu. Aku nggak mau denger lagi." kata Niken sambil menutup kedua telinganya.
Pandu memegang kedua tangan Niken, menjauhkannya dari telinganya.
"Kamu harus mau dengar, Fei. Bahkan Jimmy pun bisa bilang, kamu harus mau belajar
mencintai. Membuka dirimu. Kamu berhak dan sangat layak dicintai, Fei."
"Aku nggak bisa percaya sama diriku sendiri. Selama ini aku bisa jaga diriku sendiri baik-baik.
Cinta bakal merusak segalanya. Termasuk persahabatan kita. Ayolah, Ndu, tarik kembali katakatamu." pinta Niken dengan memelas.
"Aku bisa saja menarik kata-kataku. Tapi aku nggak bisa menipu diriku sendiri, Fei. Aku cinta
sama kamu. Maksudku cinta, adalah selamanya, Fei. Aku belum pernah merasa seperti ini.
Aku merasa seperti mati-hidupku ada di tanganmu sekarang."
Niken menengadah ke arah langit. Pandu jadi tahu apa yang ada di otak kecil Niken sekarang.
"Kamu berpikir tentang kejadian buruk yang menimpa kakakmu" Kamu harusnya tahu, aku
bukan cowok semacam itu."
"Bagaimana aku bisa tahu" Aku yakin cici waktu itu juga mengira pacarnya yang brengsek itu
sangat mencintainya." Harus diakui Niken cukup kaget karena Pandu sanggup membaca
pikirannya. "Baiklah. Bagaimana kalo aku berjanji nggak akan pernah menyentuhmu. Aku nggak perlu itu
untuk mengungkapkan cintaku, Fei. Aku bilang ini dengan tulus hati. Kamu bisa percaya sama
aku, Fei. Aku nggak pernah mengecewakan kamu kan?"
"Kalo kamu butuh cinta, kenapa nggak ambil yang available saja. Ratna misalnya."
"Kamu nggak paham-paham juga, ya, Fei" Aku nggak cinta sama Ratna. Aku cintanya sama
kamu. Cinta itu nggak bisa dipaksain. Fei, aku nggak minta kamu jawab sekarang. Aku tahu
kamu belum siap, karena kamu belum pernah mengenal apa itu cinta. Aku berharap, mungkin,
dengan melihat caraku mencintaimu, kamu bisa melihat bahwa ada cinta yang suci, yang
layak diperjuangkan. Aku cuma ingin kamu nggak menolak aku sekarang ini."
"Aku nggak tau mesti bilang apa, Ndu. Kamu seharusnya nggak bilang begini. Kamu merusak
segala-galanya. Aku kira kamu temanku. Ternyata kamu menusukku dari belakang dengan
embel-embel cintamu." kata Niken sambil berlari berlalu dari situ.
Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengikuti Niken saat ini juga percuma,
dia yakin tidak akan bisa meyakinkan gadis yang teramat keras kepala ini. Wulan yang baru
mau menyelamati Niken atas suksesnya acara mereka malam itu, melihat Niken berlari keluar
jadi mengurungkan niatnya. Dia menatap Pandu yang masih berdiri terpaku di belakang
panggung. Pasti ini ulah Pandu, pikirnya.
"Kamu apain dia, Ndu?" tuduh Wulan.
"Aku cuma berusaha jujur sama dia, kalo aku sayang sama dia?" kata Pandu masih menatap
Niken yang bayangannya semakin kecil menjauh.
"Kamu cinta sama Niken" Aduh, Ndu" kamu koq nambah-nambahin masalah sih?" keluh
Wulan. "Kamu udah pernah diceritain Niken tentang kakaknya" Tentang niat perjodohannya?"
"Sudah, sudah. Sudah semua. Aku nggak bisa mencegah semua itu terjadi, Wulan. Aku?"
"Seandainya Niken cinta sama kamu pun, dia nggak akan berani melawan papanya. Papanya
bisa shock kalo tau hal ini."
Pandu diam saja. Dia masih bingung. Bukan bingung akan perasaan cintanya, itu dia sudah
yakin. Bingung mesti berbuat apa. Musti bersikap bagaimana terhadap Niken.
"Wulan, kamu pernah bilang, kamu nggak yakin Niken benar dalam prinsipnya yang nggak
mau menerima cinta. Aku benar-benar cinta sama dia, Wulan. Boleh percaya boleh nggak, tapi
aku belum pernah jatuh cinta, dan belum pernah pacaran. Mungkin itu juga sebabnya dia
nggak bereaksi tadi, karena aku nggak tau bagaimana caranya merayu cewek" Aku butuh
bantuanmu?" "Tunggu. Kamu bilang apa tadi" Kamu belum pernah pacaran?" tanya Wulan berusaha
mengoreksi. "Kamu boleh tanya sama ibuku, sama siapa saja yang pernah kenal aku. Aku belum pernah
jatuh cinta. Persahabatanku sama Niken itu hubungan terdekatku dengan seorang cewek. Itu
juga lantaran aku nggak sadar aku sudah jatuh cinta sama dia sejak awal jumpa. Sekarang
aku baru sadar, dan perasaan itu sungguh indah, tapi sangat menusuk, sakit sekali. Apalagi
kalau memikirkan dia bakal menjauhi aku. Oh, Wulan, kamu harus bantu aku."
"Aku nggak tau mesti bantuin gimana. Niken itu orang yang susah di hal-hal seperti ini. Aku
nggak bisa bantuin kamu sebelum aku yakin Niken juga cinta sama kamu."
"Aku cuma butuh kamu bantuin aku untuk meyakinkan dia untuk mau membuka dirinya. Kalau
pada akhirnya terbukti bahwa dia nggak mencintaiku, akan ada seorang cowok yang
beruntung yang bisa memilikinya, membahagiakan dia. Kamu percaya Niken layak
mendapatkan itu kan?"
"Iya sih. Baiklah. Aku nggak berani janji apa-apa, melihat kondisinya seperti ini sekarang.
Kata-katamu tu selalu meyakinkan. Aku nggak tahu kenapa Niken nggak mau percaya sama
kamu. Semoga saja kamu nggak bohongin aku."
"Aku nggak akan pernah main-main sama yang namanya cinta. Dosa kata ibuku. Kamu bisa
percaya deh sama aku tentang yang satu ini."
"Duh, Gusti, kamu punya banyak pilihan, kenapa juga hatimu mesti memilih jatuh cinta sama
orang yang sulit, Pandu?"
Pandu hanya bisa membisu. Campur aduk perasaannya saat ini. Bahagia, karena baru saja
menyadari perasaan hatinya. Berbunga-bunga, penuh rasa cinta. Di saat yang sama juga
merasa sedih, karena tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya yang meluap-luap itu pada
gadis yang dicintainya. Juga bingung, karena mungkin rasa cintanya ini bakal membuat gadis
itu menderita. * Malam itu juga, Pandu menceritakan segala-galanya pada ibunya. Ibunya sabar, diam
mendengarkan. Di tengah-tengah keputusasaannya, Pandu bahkan sempat menangis.
Terakhir kali ibunya melihat Pandu menangis waktu kelas 1 SD, waktu kakeknya meninggal.
Pasti Pandu sangat mencintai gadis ini.
"Ibu nggak heran kamu jatuh cinta sama Niken." kata ibunya kemudian.
"Ibu nggak keberatan, walaupun Niken bukan gadis Jawa?" tanya Pandu.
"Tentu saja nggak. Kamu sudah Ibu besarkan, Ibu didik dengan pengertian bahwa semua
manusia itu sama di mata Tuhan. Ibu bangga, kamu bisa melihat jati diri Niken dari balik
perbedaan kulitnya. Ibu pun bisa melihat Niken sebagai seorang gadis yang teramat cantik,
karena kecantikan dari dalam dirinya."
"Bagaimana aku bisa yakin kalau ini benar-benar cinta, Bu" Bukan sekadar perasaan
sementara saja?" tanya Pandu.
"Itu kamu harus bisa merasakannya sendiri. Ibu nggak bisa menilai. Ibu cuma bisa
menyarankan, ikuti kata hatimu."
Ibunya lalu menghibur Pandu dengan bercerita tentang jaman ibu pacaran sama bapak dulu,
cerita-cerita cinta kakak-kakaknya, dengan segala perjuangannya masing-masing. Dengan
mendengarkan cerita ibunya, Pandu jadi semakin yakin dia perlu memperjuangkan cintanya,
karena cinta itu hal yang paling mulia di dunia ini, yang layak untuk dipertaruhkan.
* Hari Senin, tanggal 17. Anak-anak bersiap-siap untuk mengikuti upacara bulanan yang selalu
diadakan tiap tanggal 17. Niken tadi sudah sampai sekolah jam setengah tujuh kurang, tapi
lupa kalau hari ini tanggal 17, jadi tadi tidak memakai seragam upacara. Lantas pulang lagi,
ngebut, ganti baju seragam lalu kembali ke sekolah lagi. Sampai sekolah jam tujuh kurang
lima menit, bertepatan dengan bel pertama masuk. Pintu gerbang hampir saja ditutup. Niken
cepat-cepat lari ke dalam kelas, untuk menaruh tas sekolahnya. Dari jauh dilihatnya koridor
sudah sepi, semua anak sudah mulai berbaris di lapangan, rupanya. Setelah menaruh tasnya
dari luar jendela, dia berbalik ke arah lapangan. Dilihatnya Pandu baru saja keluar dari WC
putra. Berusaha menghindar, dia balik kanan, masuk ke dalam kelas lagi. Rupanya Pandu
cukup awas matanya. Maklum, mata elang ini.
"Fei," panggil Pandu cepat. "Untung ada kamu. Tolongin dong aku dari tadi di WC berusaha
pake dasi ini nggak bisa-bisa." kata Pandu dengan nada putus asa.
Niken ragu-ragu mendekat. Dia lalu tersenyum geli melihat dasi Pandu yang kucel karena
terlalu banyak dilipat-lipat.
"Kenapa nggak dipakai dari rumah dasinya" Kan bisa minta tolong ibumu?" tanya Niken sambil
menerima dasi dari tangan Pandu.
"Panas dong pake dasi dari rumah, apalagi aku naik sepeda." kilah Pandu.
Niken yang sedari kecil sering melihat papanya memakai dasi, ilmu pasang dasi bukanlah hal
yang baru untuknya. Niken lalu menaikkan kerah baju Pandu. Sekilas, tak sengaja ditatapnya wajah Pandu. Alisnya
yang tebal, mata coklatnya benar-benar menawan. "Aduh, kenapa jadi deg-degan begini, sih?"
keluhnya dalam hati, lalu memusatkan perhatiannya pada dasi yang menggantung di leher
Pandu. "Malu-maluin ah, cowok nggak bisa pakai dasi." kata Niken, matanya masih tertumbu pada
dasi Pandu. "Emang cowok harus bisa pake dasi" Aku belum pernah ke acara di mana aku harus pake dasi
koq." bela Pandu. "Nih" sudah jadi. Gimana" Bagus nggak?" tanya Niken sambil merapikan hasil karyanya.
"Perfect. Makasih ya Fei. Oh ya" tentang kemarin?"
"Tolong jangan sebut-sebut tentang kemarin, Ndu. Please."
"Aku cuma mau minta maaf, kalau aku sudah sakiti hati kamu kemarin. Tapi aku benar-benar
serius, Fei." lanjutnya.
Niken diam saja, membeku.
"Keluar, yuk. Upacara sudah hampir mulai, tuh!" kata Pandu mengingatkan.
* Selesai upacara, seisi sekolah jadi gempar karena Ratna kehilangan gelang emasnya yang dia
tinggal di laci mejanya. Bodoh benar Ratna, dia memang sering menaruh barang-barang
berharga di laci. Uang, gelang, dan lain-lain.
Kepala sekolah mengumumkan akan mengadakan penggeledahan segera. Dari kelas satu
sampai kelas tiga. Semua kelas akan digeledah total sampai gelang Ratna ketemu.
Anak-anak berkumpul di depan kelasnya masing-masing. Niken melihat Jimmy lewat. Jimmy
yang juga melihatnya memandang Niken dengan tampang licik. Niken mengernyitkan dahinya.
Instingnya langsung bekerja.
"Pandu!" Niken memanggil Pandu yang berdiri tidak jauh dari situ.
"Perasaanku nggak enak. Bisa jadi ini adalah akal-akalannya Jimmy. Coba cek tas kamu, Ndu."
kata Niken mengajak Pandu masuk kelas, ke arah meja mereka.
Pandu mengecek seisi tasnya. Tidak ada apa-apa. Tak ada satupun barang yang hilang,
maupun barang yang mencurigakan.
"Cek ulang," perintah Niken. "Aku nggak mungkin salah." gumamnya. "Pasti ada apa-apanya,
nih." Niken lalu melongok ke laci meja Pandu.
"Astaga, Pandu!"
Pandu terkejut, ikut melongok ke arah lacinya. Tidak cuma gelang Ratna yang ada di situ.
Uang dalam jumlah besar juga ada di situ. Pandu dan Niken saling menatap, tidak percaya.
"Fei, aku nggak pernah?" kata Pandu bingung.
"Aku percaya. Kamu nggak akan mencuri. Sekarang bagaimana kita menghapus bukti ini, dan
cepat!" kata Niken panik.
"Ndu, pindahin semua uang ke laciku. Aku bisa mengaku itu uangku. Ayo cepat." katanya.
Good idea. Selesai memindahkan semua uang kertas itu ke laci Niken, mereka baru nyadar.
"Gelangnya"!" kata mereka hampir bersamaan.
"Taruh di laciku aja, Ndu. Siapa tau mereka percaya bahwa itu gelangku." kata Niken.
"Nggak. Aku nggak akan lakukan itu. Terlalu beresiko, Fei." kata Pandu sambil memegangi
gelangnya. "Lebih beresiko kalo ada di lacimu, Ndu. Ayo dong, berikan padaku."
"Jangan!" "Nggak usah berebut, serahkan pada saya." tiba-tiba Pak Yusril sudah berada di ruang kelas.
Seperti tercekik, mereka tak bisa berkata apa-apa. Pandu menyerahkan gelang itu pada Pak
Yusril dengan gemetaran. "Kalian berdua, ikut saya ke kantor."
Dengan langkah lunglai dan kepala tertunduk, mereka berdua mengikuti Pak Yusril ke kantor
kepala sekolah. "Niken, kamu tunggu di luar. Saya mau bicara dengan Pandu dulu."
Niken lalu duduk di kursi di luar kantor kepala sekolah dengan cemas. Dari luar tidak
terdengar apa-apa. Setidaknya Pandu tidak dibentak-bentak, pikirnya. Kalau dibentak pasti
terdengar dari luar ruangan. "Kasihan Pandu. Jimmy kurang ajar," pikir Niken geram.
Setengah jam kemudian, pintu terbuka kembali.
"Pandu, kamu tunggu di luar. Niken, masuk."
Setelah menutup pintu, Niken duduk di depan meja Pak Yusril.
"Ceritakan apa yang kamu tahu." kata Pak Yusril.
"Ini semua ulah Jimmy, Pak. Dia yang memfitnah Pandu. Saya nggak punya buktinya
sekarang, tapi Pandu nggak bersalah."
"Benarkah itu" Kenapa Jimmy mau memfitnah Pandu?" tanya Pak Yusril.
"Karena Jimmy cemburu sama Pandu. Ceritanya panjang, Pak. Mereka hari Sabtu kemarin
berkelahi di lapangan parkir setelah pulang sekolah. Ini pasti akal-akalannya Jimmy, Pak. Saya
tidak mencuri gelang itu. Pandu juga tidak mungkin."


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh sekali." kata Pak Yusril kemudian. "Karena Pandu baru saja mengakui semua
perbuatannya." "Apa"!" "Pandu bilang, kamu tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Kamu cuma berusaha
menyadarkan dia bahwa mencuri itu salah. Dia yang melakukan semua ini. Dia pun sama
sekali tidak menyebut nama Jimmy. Dia mencuri gelang itu waktu anak-anak sudah keluar
semua ke lapangan pagi tadi."
"Dia bohong, Pak. Saya bersama dia tadi sebelum upacara. Di kelas 2C. Waktu saya masuk,
dia dari WC putra, dan dia mengaku sudah lama di WC karena nggak bisa pake dasi. Terus
saya yang memakaikan dasinya. Dia ke lapangan bersama saya, Pak."
"Kamu tahu hukuman apa yang harus saya berikan untuk pencuri?" Pak Yusril bertanya lagi.
Niken menggeleng lemah. "Skors seminggu untuk pertama kali ketahuan. Kedua kali dikeluarkan." jawab Pak Yusril
tegas. "Pak, ini masalah serius. Saya belum pernah berbohong, terutama dalam masalah kritis seperti
ini. Saya tidak akan membela Pandu jika saya yakin Pandu bersalah. Ini hampir ujian naik
kelas, Pak. Kalau diskors, Pandu?"
"Pandu sudah mengakui perbuatannya, Niken. Kalau kamu bisa menunjukkan bukti-bukti
bahwa dia bukan pencurinya, saya bersedia mencabut hukuman itu."
"Saya tahu Jimmy pencurinya. Tapi saya tidak punya bukti apa-apa sekarang." kata Niken
lemas. "Saya tidak ada jalan lain, Niken. Hukuman Pandu mulai besok pagi. Kalian berdua kembali ke
kelas." Di luar pintu, Niken melihat Pandu duduk tertunduk di kursi.
"Ndu, kenapa kamu bilang begitu sama Pak Yusril" Kenapa kamu mengaku bersalah kalau
kamu nggak berdosa?"
Pandu diam saja. Dia lalu melangkah menuju ke kelas.
"Pandu. Jawab dong. Kita bisa sama-sama mencari bukti bahwa Jimmy pencurinya. Kamu
nggak perlu mengakui sesuatu yang bukan kesalahanmu." kata Niken sambil berusaha
mengikuti langkah Pandu. "Fei, dengar. Pikir dong. Kalau aku nggak akui ini, masalah ini bakal diekspose besar-besaran.
Besar kemungkinannya kamu ikut diskors. Kita cuma bisa lebih hati-hati di lain waktu, jadi
tidak terjebak seperti ini lagi. Yang sudah terjadi ya sudah. Jimmy pasti sudah memikirkan
segala-galanya. Bagaimana kamu bisa menemukan bukti bahwa dia yang mencuri" Kamu
nggak punya bukti apapun untuk memulai tuduhanmu. Semua bukti mengarah ke aku. Ini
jalan keluar terbaik, percayalah, Fei. Jangan perpanjang masalah ini."
"Kamu bisa minta waktu untuk membuktikan ketidakbersalahanmu, Ndu. Aku pasti akan
bantu." cegah Niken.
"Berapa lama, Fei" Seminggu, sebulan, dua bulan" Pak Yusril tidak akan setuju. Dia pasti
menganggap aku pencuri yang berusaha melepaskan diri dari hukuman, dan kamu berusaha
menolong pelarianku. Sudahlah, Fei. Lupakan saja."
Niken terpana. Dari kata-kata Pandu, Niken bisa jelas menangkap bahwa Pandu mengaku
cuma dengan maksud untuk melindunginya. Kenapa dia harus berbuat seperti itu"
"Ndu, tunggu!" kata Niken mengikuti Pandu. "Aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku nggak
butuh pertolonganmu untuk membelaku, Ndu. Kamu nggak perlu berkorban seperti ini."
"Fei, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai ikut diskors. Aku melihat
ini satu-satunya cara untuk melepaskan kamu dari segala tuduhan. Sudahlah, Fei, kamu nggak
akan pernah mengerti."
"Karena yang kamu bilang kemarin, karena kamu sayang sama aku?" tanya Niken lagi.
Pandu menatap wajah Niken lekat-lekat. Wajah yang begitu polos dan tanpa dosa.
Digenggamnya kedua lengan Niken dengan kedua tangannya.
"Aku pun nggak tahu, Fei, kenapa aku berbuat seperti ini. Kamu boleh bilang aku gila.
Memang kenyataannya begitu. Kamu satu-satunya cewek yang bikin aku seperti ini, Fei. Aku
mengerti kamu nggak mau tahu. Tapi aku nggak akan pernah menyesali keputusanku ini.
Suatu saat aku akan membuatmu percaya, cinta suci itu ada, dan layak diperjuangkan."
Sesudah berkata-kata, Pandu cepat-cepat berlalu ke kelas. Niken mengikutinya dengan
langkah pelan-pelan di belakang. Ada perasaan asing menyelimuti hatinya waktu Pandu
ngomong tadi. Belum pernah ada orang yang rela berkorban buat dia seperti ini. Dia
dibesarkan di lingkungan yang kurang toleransi, dimana tiap orang harus berjuang untuk
kepentingannya sendiri. Lingkungan yang memproteksi dirinya dari luar, sehingga dia tak
pernah merasa kecewa, tak pernah merasa kekurangan, selalu berkecukupan, tapi di lain
pihak haus akan kebebasan dan kebahagiaan yang tidak pernah didapatnya dari pojok
manapun di rumahnya. Dalam waktu berbulan-bulan belakangan ini, Pandu secara tidak
langsung telah mengajarkannya untuk menghargai hal-hal kecil yang menyentuh hatinya.
Pandu telah mengenalkannya pada sisi lain di dunia ini yang membuatnya bahagia. Pandu tadi
bilang, dia satu-satunya cewek yang bikin Pandu seperti itu, otak Niken menganalisa, Pandu
juga satu-satunya orang yang bikin Niken jadi seperti ini. Pandu yang baik, Pandu yang
ganteng, Pandu yang" mata elang"
* Siang itu Niken mengajak Wulan main ke rumahnya, seperti biasanya. Ngobrol-ngobrol di
kamar, Wulan suka sekali membaca puisi-puisi Niken. Terutama akhir-akhir ini, setelah kenal
Pandu, Niken lebih sering menulis puisi-puisi ringan yang riang, dibanding puisi-puisinya
terdahulu yang membuat orang sedih saja.
"Wulan, kamu sudah pernah jatuh cinta" Jatuh cinta tu rasanya seperti apa sih?" tanya Niken.
"Kamu nggak pernah ngomong seperti ini, Nik. Tumben. Kesambet apa sih?" Wulan balas
bertanya. Niken diam saja, tapi wajahnya memelas, seakan berkata, "Jawab dong?"
"Sama seperti kamu, aku juga belum pernah jatuh cinta. Naksir sering, tapi jatuh cinta...
sepertinya belum pernah. Kenapa sih tanya-tanya?"
"Emang apa bedanya naksir sama jatuh cinta?" Niken tidak mau menjawab, malah bertanya
lagi. "Blo"on benar ini anak. Naksir tu cuma sekadar suka karena dia ganteng, atau karena salah
satu kelebihan di dirinya. Biasanya ya karena ganteng itu tadi. Misalnya, aku naksir Brad Pitt,
gitu. Nggak berarti aku pengen pacaran sama dia. Brad Pitt kayaknya contoh kejauhan deh.
Misalnya Mas Bayu, tetangga sebelah rumahku. Kalo ngeliat dia rasanya gimanaaa gitu. Tapi
ya cuma sebatas itu aja. Nggak ada niatan untuk menyayang atau disayang sama dia."
"Trus kalo cinta yang kayak gimana?"
"Reaksi orang terhadap cinta tu lain-lain, Nik. Ada yang nggak suka makan, nggak bisa tidur,
mikirin si jantung hati. Ada yang malah makan terus, tidur juga pulas, karena mimpiin si
jantung hati. Jadi aku nggak bisa jelasin definisinya, karena terlalu abstrak dan tiap orang lainlain reaksinya."
"Oke" Kasih contoh cinta jadi aku bisa ngerti dong." kata Niken.
"Banyak dong" Romeo and Juliet, yang paling terkenal. Mati demi membela cinta. Cinta yang
aku pernah rasakan adalah cinta ibuku. Aku nggak pernah ketemu bapakku. Tapi ibu
mencurahkan segala cintanya pada aku dan adikku. Ibuku yang seorang diri menjadi ibu dan
bapakku sekaligus. Masih banyak contoh-contoh lain, Nik. Yang pasangan-pasangan terkenal
legendaris biasanya karena mereka mati tragis membela cinta. Ya seperti Sam Pek dan Eng
Tay, Roro Mendut dan Pronocitro. Cinta yang paling terkenal, cinta Yesus yang rela mati
menebus dosa manusia, makhluk yang dicintainya."
"Hmm?" Niken cuma menggumam.
"Mereka terkenal karena seakan-akan mereka telah menjadi pahlawan cinta. Memperjuangkan
cinta mereka sampai titik darah terakhir. Membuktikan bahwa cinta sejati itu benar-benar ada
dan mereka nggak segan-segan mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya."
"Jadi yang dialami kakakku, itu bukan cinta?" tanya Niken ragu-ragu.
"Menurutku itu cinta juga. Sepihak tapinya. Kakakmu benar-benar cinta mati sama cowok itu,
tapi si cowok bajingan itu cuma mempermainkan dia aja. Kalo kamu mau cerita yang
sebenarnya, kenapa nggak tanya saja sama itu cowok" Dia kan saksi hidup. Kenapa kamu
nggak tanya ke dia?" Wulan menyarankan.
"Kenapa aku nggak pernah mikir itu, Wulan" Pinter juga kamu." Niken mengacungkan
jempolnya. "Wulaaan?" kata Wulan sambil menepuk dadanya.
"Aku telfon dia sekarang yah?" kata Niken.
"Silahkan saja. Aku perlu keluar?" tanya Wulan.
"Nggak usah. Kamu di sini aja, kalo ngantuk tidur aja, Wulan." saran Niken. "Aku ke kamar cici
dulu, pasti nggak susah untuk menemukan nomor telepon Edi." lanjutnya.
Memang tidak susah mencari nomer telepon Edi di kamar Tasya, kakak Niken. Namanya jelas
ada di address book Tasya, di baris nomor satu, pula. Setelah mendapatkan nomer
teleponnya, Niken balik lagi ke kamarnya, lalu mengambil gagang telepon wireless di
kamarnya. "Hallo, bisa bicara dengan Edi?"
"Ya, ini Edi. Ini siapa yah?" tanya Edi. Jelas saja itu Edi, orang Niken menelepon nomor
telepon genggamnya. "Namaku Niken." kata Niken. Dia ingin tahu apakah Edi mengenal namanya.
"Niken" adiknya Tasya?" tanya Edi. Halus sekali suaranya waktu menyebut nama Tasya.
"Betul." "Apa yang bisa aku bantu, Niken?" tanya Edi sopan. Niken tidak menyangka Edi bisa sesopan
ini. Terakhir kali bertemu Edi, dia tidak seperti ini. Sombong sekali.
"Aku ingin keterangan darimu. Aku ingin tahu, apakah cici itu benar-benar cinta sama kamu,
dan apakah kamu nggak cinta sama cici, sampai dia mati bunuh diri?" tanya Niken to the
point. "Tasya" dia sangat mencintai aku. Rasanya aku nggak akan mungkin bisa menemukan orang
yang mencintai aku seperti dia. Aku" walaupun malu, aku harus mau mengakui, aku nggak
menganggap serius Tasya waktu itu. Aku terlalu bejat. Aku menganggap Tasya terlalu naif,
mengumbar kata-kata cinta. Aku sendiri nggak pernah mengerti apa sebenarnya cinta, dan
belum pernah merasakannya, sampai saat sudah terlambat." kata Edi pelan.
"Lantas kenapa kamu bunuh dia secara nggak langsung" Dia hamil, Edi, kamu tau kan?"
tuding Niken emosi. "Aku tahu. Aku memang benar-benar bajingan. Nggak seharusnya aku mempermainkan
cintanya. Aku yang memaksa dia untuk menyerahkan kehormatannya padaku. Yang ada di
kepalaku waktu itu cuma kenikmatan seksual belaka, sementara dia mengira aku
mencintainya. Waktu aku tahu dia hamil, aku tahu nggak mungkin ada orang lain yang bisa
menghamili dia selain aku. Aku panik. Aku nggak mau mengorbankan masa depanku. Tasya
sendiri malah sudah siap untuk menikah, dan lain-lain. Aku egois sekali. Aku usir dia dari
rumahku, aku nggak mau mengakui perbuatanku. Dia menangis memohon-mohon malam itu."
"Kamu nggak berperasaan, Edi."
"Benar. Aku memang jahat. Mungkin kamu nggak tau, tapi dia jatuh di depan rumahku malam
itu. Hujan deras. Dia keguguran. Aku bawa dia ke rumah sakit. Ada sedikit perasaan lega
waktu itu, mengetahui bahwa aku nggak harus bertanggung-jawab?"
"Keguguran" Jadi kenapa dia bunuh diri?" Niken bingung.
"Dia sakit hati karena perlakuanku. Dia berkali-kali bilang dia mencintaiku. Aku bilang, aku
nggak sanggup mencintainya, apalagi menikahinya. Aku sakiti perasaannya lagi. Aku bahkan
bilang, aku hanya mempermainkannya. Terakhir kali aku bertemu dia ya di rumah sakit itu.
Aku pergi, meninggalkan dia sendirian di kamar. Aku nggak tahu bagaimana dia bisa pulang
ke rumah malam itu. Naik taksi, mungkin."
Edi lalu melanjutkan, "Aku shock waktu mendengar Tasya bunuh diri. Aku nggak menyangka
dia benar-benar mencintaiku. Saat itu aku baru sadar bahwa aku juga mencintainya. Tapi
sudah terlambat. Aku sudah mengecewakannya dengan keegoisanku. Sepeninggal Tasya, aku
sama sekali nggak pernah pacaran apalagi menyentuh cewek lagi. Aku selalu ingat
kekejamanku padanya. Di setiap cewek yang kutemui, aku bisa melihat mata Tasya yang
penuh cinta, yang kecewa, yang mau mengorbankan segala-galanya untukku. Walaupun kamu
bukan orang yang tepat, aku ingin meminta maaf, Niken. Maaf aku merenggut nyawanya. Aku
seharusnya melindunginya, bukan melukainya." kata Edi penuh rasa penyesalan.
Niken jadi bingung. Dia nggak mengharapkan jawaban seperti ini dari Edi.
"Seandainya cici masih hidup sekarang, apa yang bakal kamu lakukan?" tanya Niken
kemudian. "Oh, Niken, seandainya saja aku dapat kesempatan kedua, aku akan bilang bahwa aku juga
mencintainya sepenuh hatiku, aku akan minta ampun, telah menyakiti hatinya. Tau nggak,
Niken" Aku hampir saja ikut bunuh diri seminggu setelah Tasya dikubur, setelah aku
menyadari bahwa aku juga mencintainya. Terus kakakku yang menyadari ada yang nggak
beres, aku masuk terapi. Terapi itu benar-benar menolongku, lah. Sekarang aku bisa hidup
normal lagi. Aku sekarang banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Banyak orang yang datang
padaku minta nasehat. Setiap kali ada yang meminta nasehat tentang cinta, aku selalu
mengatakan, kesempatan itu datang hanya sekali. Renggut kesempatan itu dan jangan
lepaskan lagi." jawab Edi mantap.
"Edi, aku yakin cici bahagia di alam sana melihat kamu sudah berubah. Cintanya juga telah
kau balas. Rasanya kamu sudah cukup meminta maaf. Sorry anggapanku tentang kamu
selama ini begitu jelek."
"Wajar aja, Niken. Aku sangat mengerti, koq. Aku memang bajingan, bejat dan tidak tahu diri.
Semua kata-kata jelek lah. Cocok buat aku. Aku bahkan nggak mengerti kenapa gadis semanis
Tasya bisa mencintai bajingan seperti aku. Aku benar-benar merasa beruntung pernah
merasakan cinta tulus Tasya."
"Baiklah, Edi. Rasanya udah cukup keterangan yang aku perlukan dari kamu." kata Niken lega.
"Niken, makasih kamu mau meneleponku. Aku sudah lama menunggu kabar dari keluarga
Tasya. Aku sudah lama ingin minta maaf. Pernah aku datang ke rumahmu, belum sempat
bilang apa-apa, sudah diusir satpam. Kalo kamu butuh bantuanku, apa saja, aku pasti dengan
senang hati membantumu, Niken." janjinya.
"Nggak perlu, Edi. Kata-katamu tadi sudah sangat membantuku keluar dari kepompongku.
Terima kasih, Edi. Selamat siang."
* Di kamarnya, Niken tidak bisa tidur malam itu. Dia sibuk memutar otaknya, bagaimana cara
membuktikan bahwa Jimmy-lah pelaku pencurian gelang itu. Dia harus bisa membuktikan
bahwa Pandu tidak bersalah. Tapi bagaimana caranya"
Kalau Jimmy pelakunya, berarti Jimmy ada di kelas 1D pada saat anak-anak sudah berkumpul
di lapangan. Untuk balik lagi ke lapangan, Jimmy harus melewati kelas 2C, di mana Pandu dan
Niken berada sebelum upacara mulai. Kapan dia menaruh gelang dan uang itu di laci Pandu"
Niken berpikir lagi, mereka adalah dua orang terakhir yang memasuki lapangan, karena segera
sesudah mereka masuk ke barisan, upacara segera dimulai. Niken nggak memperhatikan
apakah Jimmy ada di lapangan waktu itu. Tapi yang jelas, Jimmy tidak mungkin sempat
mengambil gelang di kelas 1D, lantas ke kelas 2C, menaruh gelang dan uang di laci Pandu,
sebelum Niken masuk ke kelas 2C. Jam tujuh kurang 5 menit dia sampai sekolah. Anak-anak
baru saja mulai berbaris karena bel baru saja berbunyi. Kalau asumsinya betul, Jimmy pasti
ada di kelas 1D waktu Niken menaruh tasnya. Waktu akan menaruh gelang dan uang di laci
Pandu, Jimmy pasti melihat Niken dan Pandu di kelas. Jadi dia mengurungkan niatnya. Dia
baru bisa menaruh uang itu setelah Niken dan Pandu keluar dari kelas. Karena pintu besar ke
arah lapangan dari arah 2C ditutup segera sesudah Niken dan Pandu lewat, Jimmy harus lewat
pintu kecil samping kantin.
Bingo! Ya. Besok dia harus bertanya sama ibu yang jaga kantin, apa dia melihat Jimmy lewat
situ setelah upacara dimulai.
* "Jadi ibu tidak melihat Jimmy, anak kelas 2A itu lewat sini?" tanya Niken menegaskan.
Ibu kantin menggeleng. Niken memutar otaknya lagi. Bagaimana mungkin" Apa teorinya
salah" "Tolong diingat-ingat lagi, Bu. Ibu tahu Jimmy, yang tinggi, kulitnya putih, kurus, sipit, kan?"
"Iya. Ibu sering lihat dia beli makanan di kantin."
"Dan dia nggak lewat sini kemarin pagi?"
"Endak." "Ibu yakin?" tanya Niken sekali lagi.
"Yakin. Mata ibu masih awas." Ibu kantin terlihat jengkel karena Niken berkali-kali
menanyakan hal yang sama.
"Sayang sekali. Ibu kenal Pandu" Pandu diskors gara-gara tingkah Jimmy." keluh Niken.
"Pandu yang ganteng itu" Pandu yang pernah pidato di lapangan tentang cinta itu" Dia anak
yang baik sekali, satu-satunya anak yang sering beri persenan, padahal ibu tahu dia bukan
dari golongan orang kaya."
"Iya. Pandu yang ganteng itu." kata Niken tersenyum, ingat efek aksi balas dendamnya.
"Pandu, dia difitnah sama Jimmy, dijebak seakan-akan dia mencuri gelang."
Ibu kantin menggeleng-geleng. "Astaga-naga" Anak sebaik Pandu tidak mungkin mencuri
gelang." "Itu juga keyakinan saya, Bu. Saya tahu Pandu tidak bersalah. Tapi saya nggak punya bukti
untuk melepaskan Pandu dari hukumannya."
"Kalau Jimmy lewat sini, memangnya bisa membantu Pandu?"
"Bisa sekali. Karena itu berarti membuktikan teori saya bahwa Jimmy terlambat mengikuti
upacara, dan dia orang terakhir yang masuk lapangan upacara dari arah gedung kelas.
Padahal saya tau persis, Jimmy nggak terlambat datang, malah dia datang pagi-pagi, karena
saya papasan dengan dia jam setengah tujuh kurang."
"Sebetulnya," Jimmy memang lewat sini?" kata ibu kantin ragu-ragu.
"Dua kali malah. Dia lewat sekali, lalu balik lagi, memberi sejumlah uang, lalu memaksa saya
untuk berjanji tidak mengatakan kepada siapa-siapa kalau dia datang terlambat. Katanya, dia
bisa dihukum kepala sekolah kalau ketahuan terlambat." lanjut ibu kantin.
"Jadi benar Bu" Jimmy betul-betul lewat sini?"
"Iya. Saya nggak berani bilang karena Jimmy sudah memberi banyak uang. Seratus ribu
rupiah." kata ibu kantin jujur.
Niken lalu merogoh sakunya. Dia cuma punya punya dua puluh ribu rupiah hari itu.
"Ini Bu?" kata Niken seraya memberikan uang itu pada ibu kantin.
"Jangan,?" ibu kantin menolak. "Saya cuma ingin menolong Pandu. Dia anak baik. Tolong
kalau ketemu Jimmy, kembalikan uang ini." kata ibu kantin malah memberikan uang seratus
ribu pada Niken. "Jangan, Bu. Jimmy punya banyak uang di gudangnya. Saya ingin ibu terima uang ini juga.
Saya cuma bawa segini hari ini?"
Ibu kantin menatap mata Niken. Niken mengangguk-angguk.
"Salam buat Pandu kalau ketemu, yah" Semoga keterangan dari saya membantu."
"Saya usahakan, Bu."


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* Niken pagi itu juga menemui Pak Yusril. Setelah berbincang-bincang lama sekali, memanggil
ibu kantin segala, setelah ditimbang-timbang, Pak Yusril akhirnya percaya bahwa Jimmy yang
memfitnah Pandu, dan Pandu tidak bersalah. Pagi itu juga Jimmy dipanggil Pak Yusril, dan
dipaksa mengaku. Rupanya karena bukti-bukti cukup kuat menuduhnya, juga takut pada Pak
Yusril, Jimmy mengakui perbuatannya. Surat skors langsung keluar. Besok pagi Jimmy bakal
memulai masa hukuman skorsnya. Tiga minggu. Seminggu karena telah mencuri gelang
Ratna, seminggu karena memfitnah Pandu, dan seminggu lagi karena telah menyuap ibu
kantin untuk mengubur dosa-dosanya.
Niken tersenyum puas. Usaha detektif kecil-kecilannya berhasil dengan gemilang.
Surat pembatalan skors Pandu sudah ada di tangannya. Nanti siang dia akan
menyampaikannya sendiri ke rumah Pandu.
Seharian ini dia sama sekali tidak bisa konsentrasi ke pelajaran. Apalagi kalau menyadari
bangku kosong Pandu di sebelahnya. Jadi kangen sama Pandu. Kangen celotehnya, candanya
yang ceplas-ceplos. Baru sehari Pandu tidak masuk sudah kangen. Bagaimana jadinya kalau
sampai seminggu. Bu Tanti yang lagi menjelaskan "Mitosis" nggak menarik lagi buatnya. Lagu
"Fallen" yang didengarnya tadi pagi di radio terngiang-ngiang terus di telinganya.
I can"t believe it"
You"re a dream coming true
I can"t believe how I have fallen for you And I was not looking, was content to remain And it"s ironic To be back in the game You are the one who"s led me to the sun
How could I know that I was lost without you
And I want to tell you You control my brain And you should know that You are life in my veins "Niken!" suara Bu Tanti mengagetkannya.
"Ya Bu?" "Kamu belum menjawab pertanyaan saya."
"Mati aku!" seru Niken dalam hati. "Tanya apa sih dia, aku koq nggak denger sama sekali?"
bisik Niken ke Memed, yang duduk di depannya. Memed nggak dengar-dengar.
"Maaf, Bu, saya tadi tidak mendengar, mohon diulangi lagi pertanyaannya." akhirnya Niken
harus mengakui ketuliannya.
"Saya tadi tanya, kamu sedang memikirkan sebelah kamu yang hilang ya?" tanya Bu Tanti
sambil tersenyum geli. Sekelas langsung riuh-rendah. Waktu Bu Tanti tanya pertama kali tadi, mereka sudah
cekikikan. Eh, Niken malah pakai acara tanya lagi. Dua kali ketawa, deh. Niken memang
konyol. Biarkan saja. Baru kali ini jatuh cinta, sih. Mohon maklum, saudara-saudara.
:: Mata Elang : Chapter 4
Pandu sedang suntuk sendirian di kamarnya. Acara radio tidak ada yang menarik. Lagu-lagu
yang diputar lagu cengeng semua. "Talk show murahan yang sering diadakan beberapa
stasiun radio benar-benar membuat perut mulas", gerutu Pandu sambil mematikan radionya.
Kamar dikuncinya dari dalam. Ibunya sudah memanggil-manggil sejak setengah jam yang lalu
untuk makan siang, tapi dia selalu menjawab belum lapar. Memang belum lapar, koq.
Di ranjangnya tersebar foto-foto Niken. Iya. Foto Niken waktu acara ulang tahun ibunya. Baru
saja diafdruk, selesai kemarin sore. Ditatapnya sekali lagi salah satu foto di mana Niken
terlihat jelas. Niken dengan senyumnya yang manis. Dia kelihatan feminin sekali. Semakin
lama melihat fotonya, dia semakin suka. Semakin batinnya tersiksa. "Aaaah, Fei Fei" kenapa
kamu begini mempesona?"
"Hey, suara apa itu?" pikir Pandu dalam hati. Ada yang bermain piano. Seingat Pandu, di
rumah ini tidak ada yang bisa main piano selain dirinya sendiri. "Siapa pula yang main piano?"
Tertarik, dia lalu keluar kamar, menuju ke ruang tengah.
Alangkah terkejutnya Pandu melihat Niken sedang asyik memainkan jari-jemarinya yang lentik
di piano usang miliknya. Niken pun mulai menyanyi.
I only see things black and white, never shades of grey
My eyes don"t work that way, no"
I can"t imagine fantasies, they never cross my mind
Could be why I"m lonely time to time
Only you, if only you could reach me now
Can you teach me how Teach me how to dream, help me make a wish
If I wish for you, will you make my wish come true"
I"m a stranger here, stranger than it may seem
Take me by the heart"
Teach me how to dream You lift me up and give me hope every single day
I never dream that I could feel this way
When I"m down I know where I"m gonna turn
Oh, I"ve got so much to learn"
When I turn out the light, I turn to you for my inspiration
As long as we"re together, you and me, we"re gonna dream forever"
Pandu menunggu dengan sabar sampai Niken selesai memainkan seluruh lagu, baru dia
mendekatinya. "Kamu" ngapain sih ke mari" Katanya nggak boleh ke sini lagi?"
"Aku bilang mau ke rumah Wulan." jawab Niken. "Aku ada hal penting yang harus aku katakan
langsung padamu." Niken lalu menelan ludahnya. "Pandu,... rasanya... aku.. juga sayang
kamu..." Pandu tidak semudah itu percaya kata-kata Niken. Dia tersenyum, lalu menggeleng-geleng.
"Jebakan apa lagi nih?" tanyanya.
"Lho" Bagaimana sih" Nih, aku bawa surat dari kepala sekolah. Surat pembatalan skorsmu.
Aku berhasil buktikan bahwa Jimmy biang keladinya. Dia diskors tiga minggu, Ndu. Tiga
minggu!" kata Niken jingkrak-jingkrak kegirangan.
"Koq bisa?" Pandu masih terheran-heran sambil membaca surat yang dibawa Niken.
"Nikeeenn" detektif ulung" kata Niken bangga.
"Makasih Fei." kata Pandu kemudian.
"Tapi aku tidak mengharapkan terima kasih. Aku pengen kamu minta maaf." kata Niken
pasang tampang serius. "Salah apa lagi aku sekarang?" tanya Pandu.
"Kamu sudah berikan perasaan asing yang aneh yang aku nggak pernah rasakan sebelumnya.
Aku nggak tau cara mengontrolnya."
"Kalau kamu bilang itu kesalahan, rasanya itu kesalahan bersama, Fei. Kamu juga berikan
perasaan yang sama duluan ke aku. Jadi aku nggak perlu minta maaf, kecuali kamu minta
maaf dulu ke aku." kata Pandu tersenyum.
"Aku takut, Ndu?" kata Niken sambil menundukkan kepalanya.
Pandu lalu lebih mendekat sampai bisa memegang dagu mungil Niken. Diangkatnya wajah
Niken pelan-pelan dengan tangannya.
"Yang kamu bilang tadi.. kamu... serius mencintaiku, Fei?"
Niken mengangguk pelan, berusaha menunduk lagi. Pandu cepat-cepat mengangkat wajah
Niken lagi. "Kalau begitu kamu nggak perlu takut, Fei. Yang kita rasakan ini sesuatu yang teramat indah.
Aku nggak takut. Fei, apapun yang terjadi, aku nggak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku
nggak akan pernah menyerah. Percayalah."
Niken menatap mata elang Pandu yang menyorot tegas. Ada keteduhan di sana. Dia yakin,
seandainya dia ditakdirkan untuk mencintai satu orang saja di dunia ini, dia tidak akan pernah
menyesal memilih Pandu. "Aku percaya koq. Kalo nggak percaya, aku nggak mungkin datang kemari hari ini. Oh iya,
Ndu. Berhubung aku belum pernah jatuh cinta, bahkan tadinya aku tidak pernah bermaksud
untuk jatuh cinta, ini semua terjadi begitu saja di luar kendaliku, pasti aku bakal berbuat
banyak kesalahan. Aku mungkin orang yang paling bodoh tentang hal-hal yang berkaitan
dengan perasaan. Kalo aku salah, tolong jangan marah, ya?"
Pandu tersenyum lebar. "Gadis bodoh. Aku juga belum pernah jatuh cinta. Kita belajar samasama. Cuma satu langkah awal yang harus kamu ingat. Jangan tutup pintu hatimu. Maka
segalanya akan berjalan dengan natural, asal kamu mengikuti kata hatimu."
"Ndu, kamu bisa jelasin, bagaimana aku bisa jatuh cinta sama kamu?" tanya Niken.
"Koq kamu malah tanya aku" Aku juga heran. Masuk akal buat aku untuk jatuh cinta sama
kamu. Tapi kamu jatuh cinta sama aku" Suatu hal yang aku pikir tadinya impossible. Aku
seperti mimpi saja."
"Hey" Kenapa masuk akal buat kamu untuk jatuh cinta sama aku, tapi nggak buat aku?" tanya
Niken heran. "Karena kamu punya pendirian yang kukuh, bahwa seumur idup kamu gak bakal jatuh cinta.
Rasanya itu sudah harga mati yang gak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan aku memang dari
kecil punya impian untuk menemukan cinta sejatiku. Seperti Sang Pangeran di cerita
Cinderella." "Yep. Salah satu cerita yang aku paling benci." kata Niken.
"Lho" Semua orang suka Cinderella. Baru kali ini aku denger ada orang benci Cinderella.
Emangnya kenapa?" Pandu menyatakan keheranannya.
"Keenakan pangerannya. Masa" dia boleh milih dari sekian banyak cewek se-kerajaannya
untuk dijadiin istri" Wah, kalo aku hidup di jaman itu, pasti aku boikot nggak mau datang.
Enak saja. Kayak mau beli baju aja. Dicoba-coba dulu, dansa-dansa dulu. Makanya aku gak
suka cerita model-model seperti itu. Kayak cerita Ande-ande lumut. Wah. Itu juga pelanggaran
hak asasi wanita tuh!" Niken protes.
"Hmm" kalo aku pangerannya, dan kamu Cinderella-nya, biar kamu boikot nggak mau datang
pun aku akan cari kamu sampe dapat." kata Pandu sambil ketawa. Mau tak mau Niken jadi
tersipu-sipu mendengar kalimat Pandu barusan.
Lalu dia meneruskan, "Gini lho, moral cerita Cinderella itu, dari sekian banyak cewek cantik
yang bisa saja dipilih Pangeran, Pangeran cuma milih Cinderella, atas dasar cinta. Hampir
sama moral ceritanya dengan Ande-ande Lumut." Pandu mencoba menjelaskan. Dia tidak
terima begitu saja cerita Cinderella-nya diprotes oleh Niken.
Niken masih kurang puas. "Ya, tapi kan nggak perlu pake cara seperti itu. Lihat cerita Putri
Salju. Pangerannya yang datang ke hutan, mencari-cari Putri Salju, mencari cintanya. Itu baru
namanya cinta sejati."
"Hmm" tapi kayaknya kamu lebih cocok jadi Cinderella." kata Pandu.
"Kenapa?" "Karena ukuran kaki kamu kecil sekali. Pangeran jadi mudah mencarimu." kata Pandu sambil
tertawa lepas. "Tapi kamu nggak cocok tuh jadi pangerannya."
"Kenapa?" Pandu curiga, Niken pasti bermaksud membalas ejekannya.
"Karena kamu lebih cocok jadi tikus dapur. Nakal, usil, licik, bau lagi!" Niken gantian yang
tertawa terbahak-bahak. "Tertawanya berhenti dulu..." Ibu Pandu menengahi. "Pandu belum makan siang tuh.
Dari tadi disuruh makan jawabannya 'ogaaah' melulu" lanjut Ibu Pandu.
"Oh iya. Sampe lupa nggak tanya. Kalo belum makan, makan di sini saja, Fei." kata Pandu
menawarkan. "Tapi Ibu cuma masak kering tempe lho?" Ibu Pandu setengah berbisik.
"Niken juga belum makan, sih. Niken tapi belum pernah makan kering tempe. Sering dengar,
tapi belum pernah makan."
"Kalau lapar ya makan saja dulu. Siapa tau suka." kata Ibu Pandu.
"Wah, Bu. Mestinya jangan ditawari. Niken itu apa-apa suka. Ngabis-ngabisi malah, kalo udah
suka." ledek Pandu. "Nggak papa diabisin kalo suka ya malah bagus" kata Ibu Pandu.
Niken cuma mesam-mesem sambil bilang terima kasih.
Setelah secicip, ternyata Niken suka sekali kering tempe. Entah karena Ibu Pandu yang jago
masak, atau karena memang pada dasarnya Niken rakus, pokoknya yang jelas siang itu Niken
makan kenyang. * "Pandu" tunggu dong!" teriak Ratna menyusul Pandu yang sedang berjalan membarengi
Niken ke kantin saat istirahat pertama.
Mereka berdua berhenti dan menoleh.
"Ada apa, Ratna?" tanya Pandu setelah dekat.
"Besok aku ada ulangan matematika lagi. Ulangan yang lalu aku dapet jelek. Tolong dong,
Pandu?" rengek Ratna manja.
"Sudah dua kali ulangan matematika ini kamu dapat jelek, Ratna. Aku bukannya nggak mau
menolong, tapi apa gunanya pertolonganku kalo kamu tetap saja dapat nilai jelek?" tanya
Pandu. "Aku nggak punya orang lain yang sanggup membantu aku. Please?"
"Ratna, tujuan kamu minta tolong aku kan supaya dapet bagus, ya kan" Aku sudah berusaha
semampuku untuk mengajari kamu, tapi nyatanya nggak ada hasilnya koq. Ini mungkin
salahku, aku yang nggak sanggup mengajari kamu, Ratna." jawab Pandu.
"Ayo, dong. Aku berjanji akan lebih berkonsentrasi. Bagaimana?"
"Kamu minta tolong Bu Lidya, guru matematika-mu, deh. Mungkin dia punya solusi yang lebih
baik buat kamu. Siapa tahu dia mau meluangkan waktu untuk mengajari kamu?" saran Pandu.
"Nggak mau. Bu Lidya galak dan benci sama aku. Dia kasih nilai jelek terus. Tolong aku, dong
Pandu?" rengek Ratna lagi.
"Tolongin dia, lah, Ndu." jawab Niken yang jadi jengah melihat Ratna merengek melulu.
"Aku bukannya nggak mau menolong, Niken. Tapi aku merasa usahaku bantuin dia selama ini
nggak ada hasilnya." keluh Pandu.
Setelah diam sesaat, Pandu berkata lagi, "Aku ada jalan lain. Niken juga pandai matematika.
Siang ini kamu ada acara apa, Niken?" tanya Pandu.
"Hah?" Niken kaget. "Aku" ada acara apa yah" Aku ada extra badminton di lapangan indoor
belakang jam tiga sore. Emangnya kenapa?" tanya Niken curiga.
"Nah, aku juga ada basket jam tiga di lapangan luar. Kita kumpul di rumahku, sekalian makan
siang, jam setengah tiga semuanya harus sudah kelar. Kamu pulang, aku sama Niken kembali
ke sekolah. Gimana?"
"Ide jelek." kata Niken.
"Lho" Jelek gimana?" tanya Pandu.
"Aku harus pulang dulu." kata Niken. Aku kan nggak bisa latihan badminton pake baju begini.
Lagipula, raketku juga di rumah. Mau main badminton pakai tangan kosong?" tanya Niken
geli. "Tuh, kan" Niken nggak bisa. Kamu saja, Ndu. Yaaa?" bujuk Ratna.
"Tunggu. Nik, kamu abis badminton ngapain?" tanya Pandu.
"Pulang." jawab Niken singkat.
"Ya tau, pulang. Maksudku ada acara apa gitu?"
"Gak ada acara apa-apa."
"Sama dong. Mau nge-date sama aku, Neng?" tanya Pandu becanda.
Niken tertawa kecil. Dasar Pandu usil.
Pandu melanjutkan, "Begini,... maksudku, Ratna bisa ke sekolah atau ke rumahku, terserah
dia, sesudah jam setengah enam. Kamu selesai badminton jam 5 kan, Nik?"
Niken mengangguk. "Iya."
"Setuju, Ratna?" tawar Pandu.
"Baiklah. Aku nggak punya pilihan lain, kan?" tanya Ratna.
Pandu mengangguk. "Bu Lidya." Pandu lalu ketawa. Gimana nggak ketawa melihat wajah
Ratna seperti habis menggigit cabe rawit.
"Jadi nanti sore jam setengah enam aku ke rumahmu yah. Makasih Pandu?" kata Ratna
manja sambil nyelonong pergi.
Setelah Ratna berlalu, Niken memukul bahu Pandu.
"Apa-apaan sih, Ndu, mengajak aku ikut-ikutan mengajari si cengeng itu?" tanya Niken.
"Aku capek mengajari dia, Fei. Aku harus terus-menerus mengulang yang aku ajarkan mingguminggu sebelumnya. Begitu terus. Lumayan kalo dia lantas mendapat nilai bagus, gitu, paling
tidak kan aku jadi merasa berjasa. Ini nggak. Jadi aku merasa buang-buang waktu saja."
"Sudah tahu begitu koq malah ajak-ajak aku." Niken merengut.
"Memangnya kamu nggak cemburu ngeliat Ratna seminggu sekali datang ke rumahku"
Frekuensinya lebih pasti dan lebih sering daripada kamu ke rumahku lho?" goda Pandu.
"Nggak tuh." jawab Niken sambil mengambil segelas es teh manis di meja kantin, lalu
menyerahkan uang dua ratus perak ke ibu kantin sambil tersenyum.
"Masa nggak, sih" Gimana kalau nanti kamu nggak usah ikut ke rumahku, nanti aku mau
boncengin Ratna ke toko buku, beli buku matematika, trus pulangnya beli es krim?" goda
Pandu lagi. Masih kurang puas dia rupanya.
"Berani"!" ancam Niken sambil melotot.
"Sarana transportku cuma sepeda, jadi mau nggak mau aku harus boncengin dia kalau mau ke
toko buku. Beli es krim kan karena ada toko es krim di sebelah toko buku."
Niken merengut lagi. "Kamu sungguh-sungguh mau ke toko buku?" tanya Niken kemudian.
Pandu tidak tahan lagi menahan tertawanya. "Nggak dong. Aku cuma becanda, Fei. Kamu lucu
deh." Niken tambah cemberut. "Sorry" sorry?" kata Pandu masih menebar senyum-senyum nakalnya. "Sebagai permintaan
maaf, nanti sore setelah pulang badminton kita mampir beli es krim sebelum pulang. Aku
boncengin. Mau?" Niken tersenyum lebar. Tentu saja dia mau.
* "Bagaimana tadi latihan badmintonnya?" tanya Pandu sambil menuntun sepedanya.
"Aku single lawan Yeni, menang. Double sama Jeremy, kalah tipis sama Septi dan Komang.
Aku emang nggak pernah sukses kalo suruh main double. Apalagi kalo lawan cowoknya cepat
kayak Komang. Komang jago di double." keluh Niken.
"Pak Mahmud tadi melatih three-on-three. Lebih asyik daripada main basket biasa. Lebih
cepat." kata Pandu sambil mengelap keringatnya.
"Mobilku aku tinggal di sini saja yah?" tanya Niken.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya. Nanti aku anterin kamu balik ke sini lagi dari rumahku. Paling jam tujuh udah selesai."
kata Pandu. Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kedai es krim mereka terus mengobrol.
"Kamu masih sering bikin puisi, Fei?" tanya Pandu.
"Iya. Tiap malam sebelum tidur."
"Memangnya kalau nggak bikin puisi nggak bisa tidur?"
"Bisa. Cuma seringnya belum mengantuk, jadi daripada nganggur ya bikin puisi."
"Kamu koq bisa yah bikin puisi gitu. Bagus-bagus lagi puisimu. Setidaknya satu yang pernah
aku baca itu. Aku dulu waktu di SMP pernah disuruh bikin puisi sebagai salah satu tugas untuk
pelajaran bahasa Indonesia. Gagal total. Aku disuruh bikin puisi tentang pemandangan.
Berhubung waktu itu aku sedang di rumah saja, dan rumahku itu dekat pasar, jadi
pemandangan yang aku lihat ya pemandangan pasar. Seperti ini nih kira-kira."
"Pasar Bringharjo yang bau
Banyak sapi-sapi bau Daging-daging bau Laler hinggap di tempat-tempat bau
Tak heran rumahku jadi ikut bau"
Niken ketawa. Lucu sekali Pandu berteriak-teriak bau.
"Aku masih ingat betul ekspresi guru bahasa Indonesia-ku waktu itu. Bu Rosiana. Aku
langsung dikasih nilai lima. Untungnya cuma sekali itu aku disuruh bikin puisi. Benar-benar
perjuangan berat deh bikin satu puisi seperti itu saja."
"Aku bikin puisi tu cuma menulis apa yang terlintas di otak. Nggak harus dengan kata-kata
yang indah. Yang penting bermakna dalam." kata Niken.
"Fei, apa sih yang kamu nggak bisa" Kamu tuh apa-apa bisa. Aku nggak bisa bikin puisi,
nggak bisa njahit, nggak bisa masak. Kayaknya kamu tuh segala bisa."
"Hmm" apa yah yang aku nggak bisa" Tadinya aku kirain aku nggak bisa pacaran. Tapi kamu
udah buktiin bahwa aku salah. Aku cuma nggak mau nyoba aja." Niken berpikir sejenak.
"Kamu bisa berenang?" tanya Pandu.
"Bisa. Waktu kecil aku les berenang. Di rumah ada kolam renang. Harus bisa renang, dong.
Gimana kalau nggak sengaja kecebur?"
"Kamu bisa menggambar?"
"Nggak ahli kayak Pablo Picasso, tapi kalo cuma bikin wajah orang gitu aja sih bisa."
"Bisa masak?" "Masak yang dimasak pembantuku, aku bisa semua, karena kalo liburan aku sering nganggur,
jadi terus ke dapur, ngeliat mereka masak, terus ikut bantu-bantuin. Masakan favoritku, sup
bakso soun." "Menjahit?" "Waktu SMP kan ada pelajaran menjahit. Tadinya ya nggak bisa. Terus gara-gara harus bisa
pas SMP itu, aku akhirnya bisa juga. Wulan yang ngajari."
"Ah" aku tahu yang kamu nggak bisa. Kamu bisa ngomong Jawa?"
Niken tersenyum. "Ampun ngenyek nggih, Mas. Kulo laer ing tanah Jawa, kudu saged
ngomong Jawa. Panjenengan saged nulis ngangge aksara Jawa?" Aksen bahasa Jawa Niken
pun walaupun agak kaku tapi nggak begitu jelek.
Pandu tercengang. "Kamu bisa nulis Jawa juga" Trus apa dong yang nggak bisa?"
"Oh, ya. Aku nggak bisa ngganti ban serep mobilku. Pernah ban mobilku bocor di sekolah, aku
harus minta tolong bapak tukang parkir untuk bantuin aku ganti ban serep."
"Kalau itu wajar lah karena kamu perempuan. Yang kamu nggak bisa, tapi nggak
membutuhkan tenaga cowok, apa dong?"
"Oh. Aku tahu. Tapi jangan diketawain yah. Aku nggak bisa dandan. Sama sekali nggak bisa.
Aku tahu hasil akhirnya harus seperti bagaimana, tapi aku nggak tahu gimana caranya menuju
ke hasil akhir itu. Pernah aku coba iseng-iseng, waktu pesta ulang tahun mama, sekitar 2
tahun yang lalu. Pakai segala macam peralatan make-up mama. Coreng-moreng persis pemain
opera Cina. Putus asa, aku nggak pernah berusaha mencoba lagi. Aku bahkan nggak punya
satupun peralatan make-up sendiri. Lipstik sekalipun."
"Memangnya Mama kamu nggak pernah ngajarin?"
"Nggak. Tapi Mama punya ide bagus. Tiap kali mau ke pesta yang butuh make-up, aku ke
salon. Masalah selesai, kan?"
"Wah. Aku nggak bisa bantuin kamu, deh. Aku bahkan nggak punya kakak perempuan yang
bisa aku tanyain. Ibu juga nggak pernah pake make-up. Sorry deh."
"Nggak masalah. Aku nggak merasa rendah diri koq. Seperti yang aku bilang, aku sudah
punya solusinya." "Bagaimana kalau kamu nggak punya banyak duit, jadi nggak bisa ke salon tiap kali mau ke
pesta?" "Nggak tiap pesta aku ke salon koq. Cuma kalau pesta besar-besaran. Paling setahun satu-dua
kali. Kalo aku emang dilahirkan di keluarga yang lain, yang nggak punya banyak duit, pasti
sekarang ini aku bisa dandan. Memang nasibku harus begini, Ndu."
"Kamu koq kesannya merana karena punya banyak duit. Orang tu biasanya sedih karena
nggak punya duit. Kamu yang punya banyak duit malah sedih."
"Kenyataannya, aku selalu bisa menemukan jawaban dari "tapi seandainya aku tidak kaya"
setiap aku menemukan keberuntunganku karena jadi anak orang kaya."
"Misalnya?" "Oke. Sebutkan keuntungan jadi orang kaya. Apa saja lah yang terlintas di otakmu sekarang."
"Kamu punya rumah besar dengan fasilitas yang komplit?"
"Rumah besar bener-bener bikin aku merasa kesepian. Fasilitas yang komplit, itu memang
membantu aku untuk melepaskan diri dari kesepian. Kembali ke pertanyaan semula,
seandainya, sendainya saja aku tidak kaya, aku nggak butuh rumah besar, apalagi fasilitas
yang komplit itu, karena aku nggak bakal kesepian."
"Oke, oke. Kamu jadi sedih kan" Aku nggak pengen bikin kamu jadi sedih."
"Aku nggak sedih koq. Karena sekarang aku sudah ada kamu." kata Niken sambil memeluk
pinggang Pandu dari boncengannya.
Kebetulan dua detik kemudian, mereka pas sampai di depan rumah Pandu. Ratna sudah
menunggu di teras depan. Melihat Pandu dan Niken berboncengan, apalagi pegangan Niken di
pinggang Pandu begitu kencang, hati Ratna terbakar api cemburu. Rupanya dia belum sempat
mendengar berita bahwa Pandu sudah jadian sama Niken. Cepat-cepat dia keluar lagi, ke arah
mobilnya, bermaksud ingin pulang.
"Lho, lho, lho" Ratna, kamu mau ke mana?" tanya Pandu heran.
"Pulang." jawab Ratna singkat.
"Sorry kita dateng terlambat. Tapi cuma telat lima menit saja koq." kata Pandu bingung sambil
melirik jam tangannya. "Jadi kamu sekarang pacaran sama Niken?" tuding Ratna tanpa basa-basi.
Walaupun heran akan reaksi Ratna, Pandu mengangguk-angguk.
"Niken, kamu tuh nggak boleh pacaran kan sama papa-mama kamu" Mereka tahu kamu
pacaran?" Ratna berbalik menuding Niken. Gosip yang didengarnya cukup up-to-date juga
ternyata. "Ratna, kami belum lama pacaran koq. Baru dua minggu. Papa-mama Niken belum tahu
tentang ini. Ratna, tolong jangan bikin gara-gara." Pandu yang menjawab.
"Aku nggak akan bikin gara-gara. Tapi lambat laun mereka pasti tahu. Lagipula mereka berhak
untuk tahu. Tapi sekarang aku mau pulang. Aku nggak peduli mau dapet berapa ulangan
matematika besok, tapi aku mau pulang sekarang."
Pandu cuma bisa mendesah menatap mobil Ratna yang melaju terburu-buru. Dia lalu
menggenggam jemari Niken. "Kamu nggak papa kan, Fei?"
Niken menggeleng. "Aku juga mau pulang, Ndu. Capek. Karena aku nggak perlu ngelesin si
Ratna, anterin aku balik ke sekolah dong?"
"Oke. Yuk naik." ajak Pandu. Dari suaranya sama sekali tidak terdengar nada keberatan
karena harus bolak-balik dari sekolah, ke rumahnya, lalu balik lagi ke sekolah lagi tanpa
istirahat. "Kamu suka es krim vanilla ya, Fei?" tanya Pandu memecah kesunyian. Niken dari rumahnya
tadi sudah lima menit tak melontarkan sepatah kata pun.
"Nggak juga. Aku suka es krim apa aja kecuali strawberry. Cie Tasya cuma suka mocha.
Sampe bosan aku melihat es krim mocha di lemari es. Besok hari ulang tahun Cie Tasya. Tadi
pagi mama sudah beli es krim mocha satu dus. Bunga matahari kesukaan cie Tasya juga
sudah dipesan. Aku yakin rumahku pasti sore ini sudah penuh bunga matahari. Terutama
kamar cie Tasya?" "Ulang tahun yang keberapa, Fei?"
"Dua puluh satu."
Setelah diam lagi sejenak, Niken tiba-tiba berseru, "Oh, aku ingin mengundang Edi, bekas
pacar kak Tasya itu untuk datang ke rumah besok!"
"Hah?" Pandu jadi kaget. "Gila kamu, Fei" Kamu bercanda kan?"
"Nggak. Aku yakin sekali Edi sudah berubah, berubah menjadi cowok yang diinginkan kak
Tasya. Nanti sampai di rumah aku akan telepon dia."
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya. Cewek yang satu ini kalo sudah ada maunya, susah
diberitahu. Tapi kekeras-kepalaannya inilah salah satu di antara jutaan sisi menarik Niken.
"Kalo terjadi perang gimana?" tanya Pandu berusaha menakut-nakuti.
"Ya biar aja. Sudah lama nggak ada perang di rumah. Biar ramai." ujar Niken cuek.
"Terserah kamu, lah. Asal kamu jangan undang aku aja."
"Kenapa" Takut nih ye" Mana bisa praktek siasat perang Sun Tzu kalo nggak pernah maju ke
medan perang?" ejek Niken.
"Tapi yang bakal terjadi besok di rumahmu itu bukan perang beneran. Perang mulut. Idih! Aku
nggak mau ikut campur lah."
"Bagaimana kalo aku undang" Masa" kamu menolak undanganku" Kamu kan belum pernah
masuk ke rumahku?" ledek Niken. Dia sebetulnya juga tidak sungguh-sungguh berniat
mengundang Pandu. Cari maut namanya.
"Aku akan datang kalau kamu undang. Kapan aja aku siap. Kamu kan yang belum siap
mengenalkan aku sebagai pacar ke keluargamu?" Sebenarnya Pandu gentar juga, sih. Tapi
nggak mau kalah, dong. "Oke. You"re officially invited. Besok datang jam tujuh malam. Aku akan suruh Edi jemput
kamu." Pandu langsung menghentikan sepedanya.
"Serius nih?" tanyanya sambil memegang bahu Niken.
Niken mengangguk ragu. Pandu langsung menjitak kepalanya pelan. "Jangan ngomong
sesuatu yang kamu tahu bakal kamu sesali di kemudian hari, Fei."
"Ndu, yang dibilang Ratna tadi benar juga. Cepat atau lambat papa-mama pasti tahu. Temantemannya banyak. Lebih baik tahu dari aku langsung, daripada dari gosip orang lain." kata
Niken. "Kalau kamu memang siap, aku juga siap, Fei." kata Pandu yakin.
"Sungguh, Ndu" Bagaimana kalau kamu diusir lagi sama papa?"
"Diusir ya pulang, dong. Itu kan rumahnya dia. Aku bisa apa coba?"
"Aku pokoknya bakal belain kamu, Ndu. Aku nggak akan ijinkan papa ngusir kamu lagi. Kamu
bakal makan malam di rumahku. That"s final. Tapi papaku bisa benar-benar kejam, katakatanya bisa jadi begitu menyakitkan. Aku takut kamu sakit hati, trus nggak mau ketemu aku
lagi." "Aku nggak akan menyerah kalau selama kamu nggak menyerah, Fei."
"Fei Fei!!" Suara itu terdengar begitu familiar di telinga Niken.
"Mama?"" Niken terkejut sekali melihat mamanya naik mobil BMW-nya lewat di dekat
sekolahnya. "Oh, tentu saja!" seru Niken dalam hati, menyadari kebodohannya. "Salon mama
kan dekat sini." "Masuk ke mobil, sekarang!" bentak mama sambil membuka pintu mobil dari dalam.
"Ma, mobilku di lapangan parkir, tinggal dekat situ." kata Niken menunjuk ke arah lapangan
parkir. "Nanti biar diambil Pak Isyur. Pak Isyur, nanti ambil kunci mobil dari non Niken." kata mama
ke Pak Isyur, salah satu sopir keluarganya. "Ayo, masuk." desak mama.
Niken menatap wajah Pandu sekilas sebelum masuk ke mobil. Walaupun wajah itu begitu
diliputi ketegangan, tetap saja berusaha tersenyum untuk membesarkan hati Niken tanpa
berkata-kata. Mama langsung membentak Niken begitu pintu mobil ditutup.
"Itu cowok yang diusir papa kapan hari ya?"
Niken mengangguk lemah. "Diadili lagi deh," pikirnya.
"Kamu sudah lupa, janji-janji sendiri nggak mau pacaran" Kamu apa-apaan boncengan sama
cowok dekil itu" Nggak tahu malu!"
"Namanya Pandu, Ma. Bukan cowok dekil." bela Niken.
"Kamu sudah lupa apa yang terjadi pada kakakmu?"
"Gimana bisa lupa, sih Ma" Tapi mama tau nggak, Edi pacar cici tu sekarang sudah berubah
jadi anak baik-baik, sejak cie Tasya meninggal. Dia benar-benar berubah, Ma. Cinta Cie Tasya
yang merubah Edi." "Mau berubah kek, mau mati kek, mama nggak urusan. Penyesalannya nggak bisa
mengembalikan Tasya, kan?" jawab mama sinis.
"Ma, rasanya sudah waktunya kita maafin Edi. Edi memang salah besar dulu. Tapi aku sangat
berterima kasih sama Edi, karena dia sudah membuka mataku, bahwa cinta itu memang ada.
Cie Tasya benar-benar cinta sama Edi, dan sekarang cintanya sudah bersemi."
"Sudah mulai bisa ngomong cinta-cintaan kamu sekarang, ya" Lantas mau menasehati orang
tua?" "Bukan begitu maksud Fei Fei, Ma. Fei sayang banget sama Pandu. Fei cuma pengen mama
bisa ngerti. Percaya deh, Ma. Fei nggak akan berbuat kesalahan yang sama seperti cici."
"Mestinya kamu sudah bisa mengerti sekarang, cinta itu nggak ada gunanya. Lihat cicimu,
lihat mama. Pokoknya kamu nggak boleh pacaran, apalagi sama anak dekil itu."
"Kenapa memangnya koq terutama Pandu?" desak Niken.
"Dia bukan dari golongan kita, Fei Fei. Apa kamu tidak sadar" Kamu cuma bakal menderita
kalau sama dia. Tidak ada bibit, bebet ataupun bobot yang bisa dipandang. Kamu bisa pilih
cowok yang lebih baik, yang dari golongan kita."
"Golongan kita" Golongan apa yang mama maksud" Golongan yang mendewakan materi"
Golongan orang-orang berduit dan berdasi" Golongan yang memandang rendah golongan lain
karena merasa golongannya yang terbaik" Atau cuma semata-mata karena Pandu orang Jawa,
Ma?" tanya Fei Fei emosi. Sudah lama dia ingin mengungkapkan perasaan muaknya terhadap
aksi penggolong-golongan ini.
"Fei Fei! Mama sudah cukup toleran membiarkan kamu bergaul dengan Wulan anak pembantu
itu. Seharusnya mama tahu, dia cuma membawa dampak buruk buat kamu. Kamu sekarang
berani melawan orang tua, ya"!"
Mereka terus perang mulut sampai depan garasi. Masuk ke rumah, kebetulan ada Papa di
rumah, sedang membaca koran di ruang tengah. Maklum, besok ulang tahun Tasya. Biasanya
Papa memang selalu ada di rumah setiap hari ulang tahun Tasya. Tasya itu adalah anak
kesayangan Papa. Papa nggak pernah memarahi Tasya. Kesalahan apapun yang Tasya buat,
Papa selalu belain. Mama langsung melapor tentang kejadian barusan. Papa langsung naik pitam.
"Seingat Papa, Papa sudah memperingatkan kamu untuk tidak dekat-dekat sama cowok
berandal itu." kata Papa. "Kamu sengaja mau melawan orang tua ya"!" Papa membentak.
Niken tersentak kaget. "Dia bukan cowok berandal, Pa. Bukan juga cowok dekil, Ma. Namanya Pandu. Fei sayang
sama dia, Pa, Ma?" "Sayang,.. sayang?" Memangnya anak sehijau kamu tahu arti kata sayang?" tanya Papa sinis.
Niken jengkel sekali diperlakukan seperti ini. Seperti anak kecil saja.
Niken lalu menjawab, "Tentu saja tahu. Fei sudah besar, Pa. Tahu mana yang benar, mana
yang salah. Apapun arti kata sayang atau cinta itu, Fei nggak pernah dapat dari Papa.
Rasanya Papa yang perlu bertanya pada diri sendiri, apa arti cinta itu. Cinta itu personal. Cinta
berarti setia. Nggak mungkin bisa yang tadinya cinta terus lama-lama nggak cinta. Apalagi
mencintai orang lain dan membuat orang yang dicintai luka. Fei yakin itu bukan cinta, ya kan
Pa?" Papa geram. Ditamparnya pipi Niken.
"Kamu sudah berani mengkuliahi orang-tua, ya"!"
"Berani karena aku tahu aku benar. Selama ini aku diam saja, tidak pernah berkomentar
apalagi protes tentang Tante Mia, simpanan papa yang sering kemari itu. Diam bukan berarti
aku nggak bisa menilai. Karena Papa nggak tahu apa artinya cinta, Papa nggak berhak
melarang atau menceramahi aku untuk nggak pacaran sama Pandu." kata Niken sambil
menangis lalu lari masuk kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Perih sekali pipinya. Dia
masuk kamar bukan cuma karena ingin menangis, tapi juga karena mendengar sayup-sayup
bunyi telepon di kamarnya.
"Fei?" Sudah bisa ditebaknya, Pandu.
Niken tidak bisa menjawab karena sibuk mengatur napasnya. Pandu bisa mendengar isak
tangis Niken lewat telepon.
"Sudah" cup" jangan menangis, sayang. Seperti habis digebukin saja, Fei." kata Pandu
berusaha bercanda untuk membuat Niken tertawa. Tapi Niken malah tambah kencang
menangisnya. "Hey, Fei" Kamu nggak diapa-apain kan sama Mama kamu?" tanya Pandu heran. Dia belum
pernah mendengar Niken menangis seperti ini.
"Nggak." "Sungguh?" "Hmm" Cuma ditampar sama Papa. Sekali."
"Ya ampun?" Pandu mengelus dadanya. Kasihan sekali Fei Fei, katanya dalam hati.
"Fei," kalau kamu nggak kuat, kapan saja kamu boleh menyerah. Kamu tinggal bilang terus
terang. Aku sangat mengerti koq."
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba dia sadar, dengan menggelengkan
kepalanya, bagaimana Pandu bisa tahu" Dia lalu tertawa sendiri.
"Koq ketawa sih?" Pandu jadi tambah bingung.
"Nggak. Aku barusan geleng-geleng. Trus aku mikir, bagaimana kamu bisa tahu kalo aku
geleng-geleng, kalo aku nggak sambil ngomong?" katanya geli. "Aku belum mau menyerah
koq, Ndu. Doain semoga aku bisa kuat ya, Ndu. Aku nggak ingin menyerah sampai kapanpun.
Ingat nggak, Ndu, aku pernah bilang, mau hepi itu susah buat aku. Butuh banyak
pengorbanan. Kamu juga mesti sabar, yah?"
"Fei, kamu pernah tanya, seperti apa sih tipe cewek idamanku. Sekarang aku tahu. Yang
persis seperti kamu, Fei. Semuanya yang ada di dalam dirimu aku suka. Aku sanggup
menunggu kamu selama apapun. Untuk mendapatkan yang terbaik, orang mesti sabar."
Niken tersenyum puas. Lega sekali rasanya.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ndu, kamu tetap datang besok sore, yah" Aku belum sempat telepon Edi, sih. Setelah ini
nanti aku telfon dia."
"Kamu yang undang, aku pasti datang."
"Aku cuma pesan sekali lagi, kamu mesti ekstra sabar. Tadi saja di depanku mama sudah
ceramah tentang golongan. Besok sore bisa tambah ganas, Ndu."
"Aku heran gimana cewek sebaik kamu bisa lahir dari lingkungan rasialis seperti itu. Kamu
pasti anak pungut, Fei." goda Pandu.
"Iya. Anak keluarga Pandu."
"Huh. Kamu nggak mirip papa-mamaku sama sekali. Nggak mungkin, lah. Lagipula, kalo kamu
anak keluarga Pandu, berarti kita saudara, dong. Mana boleh pacaran. Ngaco kamu, Fei!"
"Ya sudah deh. Aku mau telepon Edi. Jangan lupa berdoa malam ini. Kalo perlu berdoa
novena." "Iya deh, nanti aku minta ibuku ikut berdoa. Biasanya doa ibuku tu selalu terkabul."
Niken lalu menutup teleponnya. Lalu menelepon Edi. Edi senang sekali Niken mau
mengundangnya datang untuk merayakan hari ulang tahun Tasya. Niken sudah
memperingatkan bahwa orangtuanya masih menyimpan dendam kesumat padanya, dan Niken
tidak akan menyalahkan kalau Edi tidak bersedia datang. Edi sepertinya tidak perduli. Dia
berjanji datang besok sore, setelah menjemput Pandu.
Seraya meletakkan gagang telepon, Niken menatap cermin di hadapannya. Pipinya masih
merah. Dipegangnya pelan-pelan. "Aduh!"
Dia lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuknya.
Kelelahan, Niken ketiduran.
* Niken terbangun karena teleponnya berbunyi lagi.
"Hallo?" kata Niken sambil menoleh ke arah jam weker di sebelah tempat tidurnya. Jam
setengah dua belas malam.
"Fei!" Suara Pandu masih kedengaran segar-bugar.
"Ini sudah hampir tengah malam, yo. Kamu nggak bobok?" tanya Niken.
"Kangen. Aku lagi dengerin radio, dengerin lagu trus jadi inget kamu. Sampe aku rekam di
kaset lagunya. Nih dengerin?"
My heart is filled with so much love
And I need someone I can call my own
To fall in love that"s what everyone"s dreaming of
I hold this feeling, oh so strong
Life is too short to live alone without someone to call my own
I will care for you, you will care for me
Our love will live forever
Shower me with your love"
I close my eyes and pray all my wishes come true
Every night I go to sleep
Until you"re mine I"ll wait for you endlessly
Can"t you see Fairy tales, they do sometimes come true
If you believe, it could happen to you
Like the stars that shine, way up in the sky
Our love will live forever
"Fei, karena aku, kamu ditampar papa kamu. Aku janji, aku nggak akan pernah sakitin kamu."
"Yah nggak sakitin tapi bangunin orang lagi tidur nyenyak." gerutu Niken.
"Aku gak bisa bobok" Inget kamu?"
"Lha aku udah bobok, nih."
"Mimpiin aku nggak?"
"Nggak." "Makanya aku telfon. Aku harus memastikan kamu mimpiin aku."
"Iya" iya" lagipula kamu koq tumben senang dengerin lagu melankolis begini sih?"
"Gara-gara kamu."
"Koq?" "Semenjak kenal kamu aku jadi suka dengerin lagu-lagu cengeng begini. Cocok sama suasana
hati. Nggak tau kenapa."
Niken cekikikan. "Sudah berdoa?" tanya Pandu.
"Oh, iya belum. Aku ketiduran setelah telepon Edi tadi. Besok sore kamu bakal dijemput dia.
Jadi siap-siap saja."
"Tuh kan.. untung kan aku telepon, mengingatkan kamu untuk berdoa. Udah berdoa sana,
trus bobok. Met bobok, sayang?"
"Centil ah sayang-sayangan segala." Niken tersipu malu.
"Memang sayang koq."
* Dari pulang sekolah sampai sore ini, Pandu sibuk membongkar lemari pakaiannya. Tidak puas,
dia mengobrak-abrik lemari bapaknya juga. Tujuannya cuma satu. Menemukan pakaian yang
pantas untuk dipakai ke rumah Niken malam ini. Sebetulnya banyak pilihan. Cuma karena
bingung dan senewen, rasanya dari tadi tidak ada yang pas. Ibunya sampai ikut-ikutan pusing
memilihkan ini-itu. Lebih pusing lagi melihat kamarnya yang ikut berantakan. Kakak-kakaknya
selama ini jatuh cinta ya jatuh cinta, tapi tidak pakai acara membongkar seisi rumah seperti
ini. "Pras, ini bagus nih?" kata ibu menunjuk hem biru muda lengan panjang dari timbunan
celana-celana panjang. "Nggak" jelek ah, Bu." Pandu menolak.
"Bagaimaina dengan yang ini?"
Pandu menoleh lagi. Hem batik biru lengan panjang yang ada di tangan ibu itu keren juga.
Tapi apakah cukup keren untuk acara malam ini"
Pandu menggeleng ragu. "Pras, sudahlah. Capek sudah ibu melihat kamu bongkar-bongkar begini. Nanti pasti ibu juga
yang beres-beres. Lagipula, Niken juga pasti tidak menginginkan kamu datang sebagai orang
lain. Tunjukkan jati dirimu, Pras, jati diri yang dicintai Niken. Supaya papa-mamanya Niken
bisa melihat seperti apa Pandu yang diidolakan anaknya itu."
"Begitu ya, Bu" Jadi batik ini bagus ya, Bu?" tanya Pandu masih bingung.
Ibunya tersenyum. "Tentu saja. Itu yang ibu berusaha bilang dari satu jam yang lalu." Lalu ibu
meneruskan, "Ini sudah jam lima, lho. Kamu lebih baik mandi dulu. Percuma pakai baju
bagus-bagus kalo bau kecut."
"Oh, ya." Pandu lalu berdiri. Lututnya terasa kaku setelah hampir dua jam penuh duduk di
lantai. "Edi tadi telfon bilang mau jemput jam lima."
* Sementara itu, di rumahnya, Niken pun sedari tadi mendekam di kamarnya. Hatinya degdegan. Sudah dari tadi deg-degannya. Semakin mendekati jam tujuh, semakin kencang debar
jantungnya. Sambil menyisir rapi poni di dahinya, komat-kamit Niken melontarkan doa.
"Biarlah malam ini terjadi sesuai keinginanmu, Tuhan."
Jam tujuh kurang seperempat. Pelan-pelan Niken keluar kamarnya setelah melongok terlebih
dahulu. Merasa aman, dia lalu melangkah ke ruang tengah.
"Oma"!!" Begitu melihat neneknya di ruang tengah, Niken langsung lari memeluk nenek
tercintanya itu. Oma Lilian itu mama-nya papa. Satu-satunya anggota keluarganya yang bisa dikategorikan
"manusiawi". Sayang sekali Oma kena stroke tahun lalu, jadi sekarang dia harus menghabiskan
sisa hidupnya di atas kursi roda. Sayang sekali Oma ini terkenal dengan sikap keras kepalanya.
Sudah berkali-kali papa dan mama memaksa Oma untuk tinggal bersama mereka, tapi Oma
tidak pernah mau. Oma lebih suka tinggal di rumah kecilnya di Kudus. Dan Oma bisa marah
besar kalau ada yang menyinggung-nyinggung untuk menjual saja rumah Kudus. Di surat
wasiatnya, Oma sudah menulis, rumahnya di Kudus itu sampai kapan pun tidak boleh dijual.
Nanti kalo Oma wafat, rumah itu boleh dipakai untuk tujuan sosial. Pokoknya rumah itu tidak
boleh dijual. Di Kudus Oma punya taman bunga anggrek. Walaupun sekarang sudah agak susah untuknya
merawat bunga-bunga anggreknya, Oma masih selalu menyempatkan diri merapikan
tamannya setiap hari. Niken sering ke Kudus kalau liburan. Daripada menganggur di rumah.
Dari kecil Niken selalu dekat dengan Omanya. Tasya juga dulu dekat sama Oma.
"Kapan datang, Oma?" tanya Niken.
"Tadi siang, dijemput papamu. Rumahmu hari ini semarak sekali, Fei Fei. Kuning-kuning
bunga matahari. Kamu juga memakai baju kuning-kuning. Kamu memang manis?" kata Oma
sambil mencubit pipi Niken dengan sayang.
"Oma, aku hari ini mengundang dua orang yang sangat dibenci papa-mama. Oma bantuin Fei
Fei ya?" pinta Niken manja.
"Tergantung, siapa dulu orangnya."
Ragu-ragu, Niken cerita ke neneknya, "Orang yang pertama, namanya Edi."
"Edi yang pacarnya Tasya?" tanya Oma langsung bisa menebak.
Niken mengangguk. "Yang kedua?" tanya Oma.
"Oma koq nggak tanya, kenapa Niken mau mengundang Edi?" Niken heran.
Omanya tersenyum lebar. "Edi anak yang baik. Oma sering bertemu dengannya di kuburan
Tasya. Dia sering berlama-lama di situ. Kita sering bicara dari hati ke hati. Bukannya kamu
dulu yang benci sekali sama dia?" tanya Oma.
"Itu dulu. Sebelum Fei tau kalo Edi itu sudah berubah jadi orang yang baik. Rasanya sudah
waktunya kita memaafkannya."
"Bagus. Oma tidak pernah bilang sama kamu, karena Oma tahu kamu dulu dendam kesumat
sama dia. Oma bangga punya cucu seperti kamu, Fei. Oke, sekarang siapa yang kedua?"
tanya Omanya lagi. Niken gantian yang tersenyum tersipu-sipu. Melihat gelagat, Oma langsung menebak, "Pacar
kamu ya?" Lagi-lagi Niken cuma bisa mengangguk-angguk.
"Papa-mama tahu?" bisik Oma.
"Dua-dua sudah pernah melihat orangnya, sih. Namanya Pandu, Oma. Pandu Prasetya."
"Orang Jawa yah?" tanya Oma.
"Koq Oma tahu?" Niken mengkerutkan wajahnya. Oma hari ini seperti tukang ramal saja.
"Nebak aja, dari namanya. Trus gimana?"
"Ya Oma pasti tau lah cerita selanjutnya. Papa sama Mama nggak ada yang setuju Fei pacaran
sama Pandu. Padahal Fei sayang banget sama Pandu. Pandu juga sayang sama Fei koq."
Oma tersenyum lagi. Agak aneh juga mendengar cucunya yang keras kepala ini jatuh cinta.
Pasalnya, Niken dari kecil selalu benci sama anak laki-laki, apalagi anak laki-laki yang sok
jagoan. Waktu kecil pun Niken sering berkelahi dengan anak laki-laki. Berkali-kali Mamanya
dipanggil guru SD Niken. Ini mungkin salah satu sebab Papa lebih menyukai Tasya yang
pendiam dan tidak pernah membuat onar. Tapi dari kecil Oma bisa melihat Niken itu orang
yang kuat, dan selalu berpegang teguh pada prinsipnya. Sayang sekali beda umur Tasya dan
Niken cukup banyak, empat tahun. Seandainya saja cuma beda setahun, misalnya, Niken pasti
bisa melindungi Tasya. Kekeras-kepalaannya sudah terkenal seantero jagat. Niken paling benci
ikut acara-acara keluarga. Oma pernah tanya kenapa, dan jawabannya sangat memuaskan.
Waktu itu Niken masih berumur sepuluh tahun. Prestasinya di kelas sangat membanggakan, di
bidang apapun. Jawaban yang membuat Oma tertarik waktu itu, adalah "Acara keluarga
seperti ini cuma dijadikan ajang unjuk diri. Unjuk keluarga. Ini lho aku yang terbaik. Anakku
masuk ke sekolah favorit, universitas favorit. Anakku menikah dengan konglomerat kelas
kakap. Memuakkan." Sejak saat itu, Oma tahu bahwa Niken itu punya pribadi yang lain dari
orang kebanyakan. Sungguh mengherankan mengingat Niken dimanjakan dari bayi.
"Kamu sudah pikirkan baik-baik, Fei?" tanya Oma.
Niken mengangguk tanpa ragu.
"Baiklah, kalau kamu memang mantap, Oma pasti dukung. Jadi penasaran, seperti apa sih,
orang yang berhasil mengambil hati cucuku yang konon tidak pernah jatuh cinta ini?" goda
Omanya. Niken tertawa kecil. Senang sekali mendapat dukungan tulus dari Oma. Lega sekali Niken,
setidaknya dia masih punya Oma yang mau mengerti.
"Non, ada tamu buat non Fei Fei." lapor salah satu pembantu rumah tangganya.
Niken tersenyum menatap Omanya, lalu mendorong kursi rodanya ke arah ruang tamu.
Pandu melangkah ragu-ragu masuk ke ruang tamu dari pintu luar.
Rumah Niken benar-benar besar dan megah. Atau dengan kata lain, mewah. Isi ruang tamu
ini mungkin kalau dikalkulasi ada berpuluh-puluh juta rupiah. Lampu kristal chandelier yang
menggantung manis di tengah-tengah ruang tamu dengan cahaya lampunya yang redup
benar-benar terlihat" mahal. Vas antik di pojok ruangan itu pasti harganya mahal sekali.
Ubinnya dari marmer, mengkilap, sampai-sampai Pandu bisa melihat bayangan wajahnya
sendiri di lantai. Kursi sofanya yang berwarna hitam terlihat begitu empuk. Bisa tertidur kalau
duduk di situ barang lima menit.
"Ndu!" sapaan ramah itu terdengar begitu melegakan di telinganya.
"Fei Fei" Ini buat kamu" Hadiah buat kamu karena hari ini kamu keliatan cantik banget."
kata Pandu sambil menyerahkan serangkaian bunga ke tangan Niken.
"Sudah sempat research dia rupanya," bisik Oma sambil menyenggol siku Niken setelah
melihat bunga yang diberikan Pandu itu lily putih.
Niken tersipu malu. Iya, bagaimana Pandu bisa tahu kalau dia suka bunga lily putih"
Pandu mendengar bisikan Oma tadi. Dia lalu ikut berbisik, "Aku dapat bocoran dari Wulan."
Tapi dari mana dia tahu kalo Niken bakal terlihat cantik malam ini" Mudah saja, Niken kan
memang selalu terlihat cantik.
"Ndu, kenalin, ini Omaku. Oma, ini Pandu yang tadi Fei bilang."
Pandu lalu menjabat tangan Oma. Tangan Pandu dingin sekali. Maklum, nervous, mau ketemu
camer. "Papa-mamanya Niken itu cuma manusia, bukan macan. Jadi kamu nggak usah takut." saran
Oma yang bisa mencium kegugupan Pandu.
Pandu mengangguk. "Dan ini Edi. Oma rupanya sudah kenal baik sama Edi. Ce-es malah." gurau Niken.
"Mari masuk." ajak Oma.
Niken lalu mendorong kembali kursi roda Oma masuk ke ruang tengah. Rupanya Papa dan
Mama sudah ada di ruang tengah.
"Ma, Pa, kenalkan ini Pandu?"
"Siapa yang suruh kamu undang dia" Dan cowok tengik itu?" kata Papa sambil menunjuk ke
arah Pandu dan Edi. "Aku yang undang mereka." Oma menjawab dengan tegas. "Suka atau tidak suka, hari ini
mereka akan makan malam bersama kita. Kamu berdua tinggal pilih. Makan malam dengan
tampang cemberut seperti itu sepanjang malam, atau berusaha untuk tersenyum sesekali."
"Tapi mam?" sahut Papa protes.
"Aku ingin makan malam dengan tenang. Jadi sebaiknya kalian jaga kelakuan masing-masing."
Oma memperingatkan sekali lagi.
Nggak punya pilihan lain, Papa cuma diam saja. "Cuma makan malam. Sesudah itu aku nggak
janji apa-apa." kata Papa kemudian.
"Kalau begitu ayo kita mulai makan sekarang." ajak Mama. Rasanya Mama juga sudah tidak
sabar menanti makan malam selesai.
Menu masakan malam ini masakan kesukaan Tasya semua. Sup kepiting, bakmi goreng,
kodok goreng mentega, dan bu yung hai. Melihat sup kepiting di hadapannya, Edi jadi teringat
Tasya. Dari tadi dia masih belum bisa menghabiskan sendokan keduanya.
"Nggak suka sup kepitingnya, Edi?" tanya Niken.
"Suka" suka koq. Permisi, aku mau ngecek mobilku?" Alasan rendahan. Semua orang juga
tahu kalau Edi nggak betul-betul berniat ngecek mobilnya. Niken baru saja mau beranjak
mengikuti Edi, kalau saja Oma nggak memperingatkan dengan tatapannya yang bilang
"jangan". Oma yang lalu memutar kursi rodanya menuju ke arah luar.
"Pura-pura saja." umpat Papa.
"Pa, ayolah. Masa" Papa nggak melihat perubahan Edi yang drastis" Dia nggak lagi sombong
seperti dulu. Edi yang sekarang benar-benar simpatik. Bahkan Oma pun bilang begitu."
"Aku tidak tahu bagaimana caranya Oma bisa mendukung kamu, tapi Mama tetap nggak bisa
maafin Edi, dan sebelum kamu lebih jauh, lebih baik kamu lupakan saja rencana pacaranmu
itu." kata Mama. "Tante, saya bisa mengerti sikap proteksi Tante dan Oom terhadap Fei Fei. Menurut saya
wajar saja, mengingat kejadian tragis yang menimpa Tasya. Tapi Fei Fei bukan Tasya, dan
saya juga bukan Edi. Fei Fei cewek pertama, dan bukan tidak mungkin bakal jadi yang
terakhir, yang saya cintai. Yang kami perlukan saat ini cuma sedikit kelonggaran waktu untuk
membuktikan bahwa cinta kami layak untuk dihargai."
"Omong kosong!" Papa menggebrak meja makan. Niken kaget sekali. Piring-piring di dekat
Papa sampai ikut meloncat. Ikut kaget juga, mungkin.
"Kamu cuma ingin mengeruk kekayaan keluarga kami, kan" Karena Fei Fei anak kami satusatunya, dia ahli waris tunggal. Seperti mendapat durian runtuh, kan?" ejek Papa dengan nada
yang teramat sinis. Pandu sudah siap dengan hinaan seperti itu. Bahkan tadi dia sudah mempersiapkan diri untuk
hinaan yang lebih jelek dari itu. Ini belum seberapa.
"Papa, sudah cukup!" Niken tidak terima Pandu diejek seperti itu.
"Saya nggak butuh kekayaan Niken. Saya yakin bisa berhasil dengan usaha saya sendiri. Saya
punya modal yang cukup untuk itu. Otak, kemauan, dan kemampuan. Kalau memang
membantu, saya bersedia tanda tangan hitam di atas putih, menyatakan bahwa saya nggak
akan memperoleh duit sepeser pun dari Fei Fei, bahkan misalnya kami menikah nanti, justru
saya yang akan memberi uang pada Fei Fei, bukan menerima. Bagaimana, Oom?" kata Pandu
menawarkan, masih dengan nada sopan.
"Muluk-muluk." kata Papa. "Apa kerjaan ayahmu?" tanya Papa.
"Polisi." "Salah, saya sudah cek. Polisi rendahan, dengan gaji pas-pasan."
Pandu diam saja. Memang kenyataannya begitu. Mau apa"
"Kamu ke sekolah naik apa?" tanya Papa lagi.
"Sepeda." "Kalo sepeda rusak, naik apa?"
"Ya dibikin betul. Kalo tidak bisa ya jalan. Dianugerahi kaki sama Tuhan, sayang kalau tidak
digunakan." "Fei Fei dari kecil selalu naik mobil ke mana-mana. Tidak pernah hidup kekurangan. Kamu
tidak akan bisa membahagiakan dia."
"Papa! Papa nggak tanya, apa selama ini Fei bahagia" Nggak pernah hidup kekurangan bukan


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berarti bahagia, Pa!" protes Niken.
Pandu lalu menengahi, "Terlalu dini untuk menilai apakah saya bisa membahagiakan Fei Fei
apa nggak." "Betul, Pa. Pandu itu termasuk orang pandai di sekolah. Nggak pernah mengalami kesulitan di
bidang studi apapun. Dia punya masa depan yang cerah." kata Niken seperti orang jual jamu.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Sesudah SMA, kamu mau melanjutkan kuliah di mana?" tanya
Papa lagi. "Dari kecil saya ingin masuk ITB. Kalau bisa saya ingin mendapat beasiswa untuk kuliah di
sana, jadi tidak merepotkan ibu sama bapak." jawab Pandu jujur.
"Nah, Fei Fei itu bakal sekolah di luar negeri. Amerika." kata Papa.
"Oh ya"!" tanya Niken terkejut. "Siapa yang bilang" Koq aku malah belum tahu" Apa aku
nggak berhak untuk memutuskan di mana aku mau kuliah?" Pertanyaan Niken keluar bertubitubi.
"Mama yang bilang. Kamu bakal masuk Universitas di Amerika. Titik." kata Mama.
"Nggak. Fei nggak mau. Apa enaknya kuliah di Amerika" Dari dulu Fei nggak pernah mimpi
ingin kuliah di luar negeri koq." Seperti biasanya, Niken dan kemauannya yang keras.
"Ini demi masa depanmu, Fei." kata Mama lagi.
Niken cemberut. Segala sesuatu selalu sudah diputuskan tanpa didiskusikan terlebih dahulu
dengan yang bersangkutan. Dirinya!
"Kalau kamu memang mencintai Fei Fei, kamu mestinya mendukung dia untuk kuliah di
Amerika demi masa depannya." kata Papa kepada Pandu.
Pandu terdiam. Kata-kata Papa Niken ada benarnya. Apalagi kalau Niken tidak mau kuliah di
Amerika cuma karena demi dia. Tidak adil buat Niken. Dia cewek yang cemerlang. Dia harus
mendapat kesempatan meniti karier setinggi mungkin.
"Fei, yang dibilang papa kamu benar juga. Aku nggak berhak berdiri di tengah jalan,
menghalang-halangimu." Pandu lalu berdiri. "Selamat malam. Terima kasih atas undangan
makan malamnya. Selamat tinggal, Niken."
"Tunggu, Pandu?" Niken mengikuti Pandu yang sudah sampai di ruang tamu.
Merasa diacuhkan, Niken lalu memegang lengan Pandu.
"Ndu. Dengerin aku dulu, kenapa sih" Sampai dua menit yang lalu, aku nggak tahu kalau aku
bakal kuliah di Amerika. Nggak pernah ingin, nggak pernah terpikir pula. Selama ini aku selalu
memikirkan kuliah di UI. Ambil kedokteran. Dari kecil aku cuma ingin jadi dokter. Kamu nggak
berdiri di tengah jalanku, Ndu. Kalau kamu pergi, kamu justru membawa pergi impianku."
"Fei, coba pikirkan. Aku nggak ingin suatu saat aku, atau kamu, bertanya-tanya, seandainya
saja waktu itu Niken kuliah di Amerika"."
"Aku nggak akan pernah begitu, dan nggak akan pernah membuat kamu merasa seperti itu.
Jujur saja aku nggak suka mendengar ide kuliah di Amerika. Sama sekali nggak ingin. Sama
sekali bukan karena kamu, juga. Percaya deh, aku cukup keras kepala. Kamu pun tahu. Kalau
aku memang ingin kuliah di Amerika, nggak ada seorangpun atau apapun yang bisa
mencegahku." jawab Niken tegas.
"Fei, ini kesempatan bagus buat kamu, buat masa depan kamu. Aku nggak mau jadi
penghalang. Kamu bisa bilang nggak menyesal sekarang, tapi nanti-nanti" Aku yang bakal
menyesal, pasti. Menyesal karena orang yang penuh bakat seperti kamu nggak berusaha
sebisa mungkin untuk mengembangkan kemampuanmu."
"Kenapa orang-orang selalu ingin memutuskan perkara untukku" Apa aku nggak bisa
mengambil keputusan sendiri" Apa orang lain, termasuk kamu, tahu apa yang terbaik
untukku?" "Dalam hal ini, ya. Saat ini aku bisa melihat, kuliah di Amerika adalah yang terbaik untukmu.
Seandainya aku ada di posisimu sekarang, aku pasti mengambil kesempatan itu tanpa pikir
panjang. Sorry, Fei. Aku mesti pulang sekarang. Terima kasih makan malamnya. Good night?"
Edi dan Oma rupanya mendengarkan percakapan barusan, karena mereka tepat berada di luar
ruang tamu. "Aku antar, Pandu. Aku juga ingin pulang." kata Edi.
"Nggak usah, Edi. Aku nggak ingin mengacaukan kesempatanmu untuk menjalin hubungan
baik dengan keluarga Tasya."
"Aku sudah punya hubungan baik dengan Oma dan adiknya Tasya. Itu sudah cukup buatku.
Aku ternyata belum cukup kuat untuk melepas Tasya." Jelas sekali Edi barusan menangis.
Matanya merah. "Ayolah, aku antar pulang sekarang." lanjut Edi lagi. "Permisi, Oma, Niken. Sup kepitingnya
enak sekali. Terima kasih sudah memberiku kesempatan."
"Selamat malam, Oma." kata Pandu berpamitan. "Senang sekali ketemu Oma. Sekarang saya
tahu dari mana Niken mendapat segala kualitas baiknya."
"Ndu,?" Niken nggak tau lagi mesti ngomong apa. Sepertinya Pandu sudah yakin sekali pada
keputusannya. Niken jadi berasa ingin menangis. Cengeng sekali, kutuknya dalam hati. Niken
lalu berlari ke kamarnya.
Pandu menoleh mendengar langkah lari Niken. Ditatapnya sampai bayangannya menghilang.
:: Mata Elang : Chapter 5
"Fei Fei?" Oma mengetuk pintu kamar Niken. Niken sudah dua jam tidak keluar kamar. Dari
luar, terlihat lampu di kamarnya masih terang-benderang.
Niken mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir terus tanpa henti. "Tidak ada salahnya
membuka pintu buat Oma", pikirnya.
Masih memeluk boneka Sylvester-nya yang besarnya setengah badannya, Niken memutar
kunci pintu kamarnya. Begitu Oma masuk, buru-buru dikuncinya lagi pintu itu.
"Wah" kasihan tuh Sylvester jadi basah?" kata Oma berusaha menghibur cucu tersayangnya
itu saat melihat wajah Niken yang basah air mata dan bibir mungilnya cemberut. Dari kecil
kalau marah Niken selalu memonyongkan bibirnya yang memang merah itu.
"Oma, mestinya aku tahu aku bakal sakit begini kalau jatuh cinta. Ini semua salahku sendiri.
Aku bodoh sekali." "Yang Oma tahu, Pandu tadi pasti benar-benar sayang sama kamu. Dia mau datang ke
rumahmu walaupun tahu dia bakal dicaci-maki habis-habisan. Itu berarti cintanya untukmu
lebih berharga buatnya daripada harga dirinya. Sesuatu yang untuk cowok biasanya sangat dia
junjung tinggi." Niken masih diam saja, memikirkan baik-baik kata-kata yang barusan Oma bilang.
Oma melanjutkan, "Dia bahkan rela melepaskan sesuatu yang sangat berharga buat dia itu,
cintanya, demi masa depanmu. Demi yang dia pikir terbaik untukmu. Jadi dia pergi itu bukan
karena dia berhenti mencintaimu, tapi karena dia teramat sangat mencintaimu, Fei Fei. Kamu
mestinya tidak boleh bersedih."
"Tapi Fei nggak pengen koq kuliah di luar negeri. Fei pengen masuk fakultas kedokteran di UI.
Fei kan juga sudah sering bilang sama Oma, kan" Papa pasti juga tahu kalau selama ini
mendengarkan apa yang Niken katakan. Selama ini Fei berusaha keras susah-susah
mengumpulkan nilai-nilai bagus cuma untuk masuk UI. Katanya susah banget masuk UI kalo
nggak benar-benar siswa teladan. Fei nggak bisa berubah arah begitu saja. Papa memang
selalu begitu." Niken mengomel panjang lebar.
"Oma tahu. Dari dulu kamu selalu bilang ingin masuk FKUI. Papamu mungkin nggak tahu,
karena dia tidak pernah di rumah. Saran Oma, kamu lakukan apa yang kamu inginkan. Ambil
keputusan terbaik yang kamu bisa, sesudah itu, jalani keputusan itu dengan sepenuh hati."
"Bagaimana dengan Pandu?"
"Oma lihat, Papa dan Mamamu benar-benar tidak setuju saat ini melihat kamu dan Pandu
pacaran. Selama kamu masih sama Pandu, Papamu pasti berusaha untuk melepaskan kamu
dari dia. Mungkin akibatnya akan fatal. Terutama buat Pandu. Papamu bisa saja menghalalkan
segala cara untuk memisahkan kamu dan Pandu. Kamu mungkin bakal menyesal kalau
meneruskan hubungan kamu sama Pandu sekarang. Mungkin ini yang terbaik. Kita lihat saja
bagaimana nanti. Oma janji akan bantu kamu. Kamu tenang saja."
"Janji Oma?" "Ya, janji. Yang jelas nanti Oma akan lapor ke papamu bahwa kamu sudah putus hubungan
sama Pandu. Jadi keadaan aman terjamin dulu. Oma belum punya ide sekarang ini bagaimana
caranya membantumu. Tapi pasti beres deh?"
Ada sedikit kelegaan di hati Niken.
"Lagipula," lanjut Oma lagi. "Oma lihat Pandu begitu mencintaimu. Rasa sayang itu tidak bisa
cepat hilang seperti ditiup angin. Kalau memang jodoh nanti pasti kembali lagi."
"Fei juga sayang sama Pandu. Kenapa sih susah amat sudah sama-sama sayang tidak bisa
bersatu?" keluh Niken.
Oma tersenyum sambil mengelus-elus rambut Niken.
"Mau denger cerita cinta Oma?"
Niken mengangguk, tertarik.
"Kamu tahu kan kalau Oma itu juga anak orang kaya, walaupun nggak sekaya kamu
sekarang?" Niken bingung. "Tapi kata Papa, waktu Papa masih kecil, papa nggak punya duit, makanya
Papa bisa berhasil seperti sekarang ini karena gemblengan dari Opa?"
"Iya. Tunggu dulu. Oma belum selesai cerita, kan. Baru saja dimulai. Oma itu anak saudagar
kaya di Pati. Opa itu cinta pertama Oma. Oma ketemu dia tahun 1943, waktu Oma masih
umur enam belas tahun. Dia anak pengusaha saingan ayah Oma. Karena tahu bakal dilarang
pacaran, terutama karena waktu itu jarang orang pacaran. Oma bahkan sudah dijodohkan
sama anak seorang juragan beras yang kaya dari Juana."
"Wah" Oma pacaran juga, yah" Terus, bagaimana jadinya?" Niken tambah tertarik.
"Waktu itu jaman perang. Tiga tahun kami pacaran sembunyi-sembunyi, tidak ada orang yang
tahu. Tahun 1946, rumah dan pabrik ayah Opamu yang memang letaknya bersebelahan,
terbakar habis. Sejak saat itu, Oma nggak pernah dengar lagi kabar Opa selama setahun lebih.
Sementara itu, Oma sudah hampir dinikahkan sama pria Juana itu. Mendadak sebulan
sebelum pesta pernikahan, Opamu muncul di rumah. Sehat walafiat."
"Lalu?" tanya Niken.
"Lalu, dia melamar Oma. Tentu saja tidak diperbolehkan. Apalagi semua tahu kalau Opa-mu
bukan lagi anak orang kaya, karena ayahnya sudah bangkrut karena kebakaran itu. Opamu
rupanya selama setahun bekerja memeras keringat sampai bisa membeli rumah kecil di Kudus
itu. Baru dia berani melamar Oma. Oma tidak peduli tidak direstui orang tua, besoknya Oma
sama Opa menikah catatan sipil. Karena peristiwa itu, Oma sama sekali tidak mendapat hak
warisan keluarga. Oma tidak peduli. Oma tidak butuh warisan."
"Ooh" pantesan Oma ngotot nggak mau jual rumah Kudus. Rupanya rumah bersejarah, ya?"
"Jadi kamu dengar sendiri, Oma juga pernah mengalami seperti yang kamu alami sekarang.
Mencintai tapi tida memiliki. Oma bahkan tidak tahu Opamu masih hidup selama setahun
lebih. Tapi kami berdua sama-sama mencintai, jadi bisa bersatu lagi."
Niken nggak percaya ternyata Oma-nya ini punya kisah cinta yang seru.
"Melihat kamu sekarang, Fei, Oma jadi seperti melihat diri Oma sendiri waktu Oma masih
muda. Kamu mesti yakin sama keinginanmu sendiri. Pasti kamu dapat jalan. Kamu boleh
percaya deh kata-kata Oma. Lihat Oma. Saksi hidup bahwa cinta itu ada."
"Terus cowok Juana itu bagaimana nasibnya, Oma?" tanya Niken geli.
"Oh, dia juga nggak betul-betul ingin menikahi Oma. Dia juga terpaksa koq dijodohkan.
Sesudah Oma menikah sama Opamu, dia pernah datang ke rumah, berterima kasih."
"Wah, jadi pada jaman orang pada dijodohin, Oma sudah berani pacaran. Oma pasti nakal
sekali yah?" goda Niken. "Tapi Oma hebat deh, pacaran backstreet 3 tahun nggak ketahuan.
Oma top deh." kata Niken sambil mengacungkan jempolnya.
"Ada-ada saja kamu ini, Fei."
"Makasih ya Oma, Fei jadi terhibur abis denger cerita Oma. Sekarang Oma pasti capek. Oma
tidur sama Fei Fei ya malam ini. Biar Sylvester tidur di lantai."
"Kasian, sudah basah masih tidur di lantai lagi. Masuk angin dia nanti?" gurau Oma.
* "Ndu!" panggil Wulan saat istirahat pertama.
"Kalau kamu mau mengkuliahi aku tentang Niken, urungkan saja niatmu, Wulan. Aku lagi
nggak mood." kata Pandu.
"Nggak. Aku ke sini disuruh Niken."
"Disuruh Niken" Kemana dia" Koq hari ini nggak masuk?" kata Pandu sambil menunjuk kursi di
sebelahnya. "Dia masuk koq pagi-pagi tadi. Trus dipanggil Pak Yusril, katanya kita mau ikut ambil bagian di
acara festival di Universitas Diponegoro tahun ini, kayaknya masih 10 bulan lagi sih. Bakal jadi
acara besar-besaran, kayaknya. Ini dia keluar, ke Undip, mengurus pendaftaran dan tetek
bengeknya. Aku cuma disuruh kasih ini ke kamu." kata Wulan sambil menyodorkan sepucuk
surat. Wulan terus berdiri di depannya selama Pandu membaca yang ditulis Niken. Rupanya bukan
surat, tapi puisi. Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih
Sepercik gerimis pemuas dahaga
Cukup untuk melati selamanya
Jika kita tak putus sabar
Di hari mendatang Dunia pasti "kan tergenggam
Tangan-tangan kecil kita "Apa katanya?" tanya Wulan.
"Kenapa?" tanya Pandu. "Dia bilang apa ke kamu?"
"Aku tahu semalam kamu diundang makan malam. Aku pernah diundang makan malam,
suasananya benar-benar nggak enak. Makanya belakangan aku nggak pernah mau datang
kalau ada papa-mamanya. Kemarin kamu dibantai ya?"
"Nggak." jawab Pandu singkat. "Memangnya Niken bilang apa ke kamu?"
"Pagi tadi dia cerita panjang lebar tentang kisah cinta neneknya. Dengan wajah ceria dia
meyakinkanku bahwa cinta sejati itu bener-bener ada, dan dia nggak akan berhenti sampai dia
berhasil mendapatkannya kembali. Aku sama sekali nggak ngerti maksudnya. Makanya aku
tanya ke kamu ini." "Dia" Wulan, aku juga jadi nggak mengerti sekarang." Pandu jadi ikutan bingung. "Kemarin
malam, aku sudah ucapkan selamat tinggal ke dia. Koq sekarang?""
"Selamat tinggal" Maksudmu?"
"Gini deh. Kemarin, satu-satunya alesan yang berhasil membuat aku pulang cuma karena
Niken mau disekolahkan di luar negeri. Dan aku merasa bakal jadi penghalang prestasi Niken
kalau aku terus pacaran sama dia. Jadi aku pulang, dan aku lepaskan dia. Semalaman aku
nggak bisa tidur. Aku bahkan menangis kemarin malam, karena nggak tahu aku mesti sedih
atau gembira." "Kalau kemarin dia putus sama kamu, kenapa dia nggak keliatan seperti orang habis putus?"
tanya Wulan. "Itu dia yang bikin aku bingung. Jangan-jangan dia nggak mengerti maksudku. Tapi setahuku
dia paham betul koq. Terakhir kali aku tinggal juga nangis koq. Bukannya aku ingin dia
menangis, tapi koq dia masih bicara tentang cinta sih?" kata Pandu seakan-akan bertanya
pada diri sendiri. "Lantas, dia bilang apa di suratnya?" tanya Wulan tambah bingung.
"Bukan surat, tapi puisi. Nih, baca aja sendiri. Pasti tambah pusing seperti aku setelah baca
deh." Wulan lalu membaca puisi yang ditulis Niken kemarin malam.
Dia lalu mengernyitkan dahinya. Alisnya naik turun.
"Ndu, sungguh tadi pagi dia itu kelihatan hepi koq. Puisinya juga nggak menunjukkan tandatanda kesedihan. Sejak kenal kamu, puisi Niken memang selalu bernada hepi. Tidak terkecuali
yang ini. Eh, itu dia datang." kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang. Niken sedang
berjalan masuk membawa setumpuk map di tangannya.
Pendekar Jembel 1 Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Petualang Asmara 18

Cari Blog Ini