Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 3
"Gimana Nik?" tanya Wulan datang menghampiri Niken di luar kelas.
"Bagus, kita bisa ikutan di acara festival. Universitas dan sekolah dari luar Jawa juga bakal ikut
ambil bagian, lho. Pasti ramai nih. Temanya "Generasi Muda dalam Pembangunan". Aku nggak
tau kapan susunan panitia harus final, tapi yang jelas nggak dalam waktu dekat ini lah. Karena
kan minggu depan udah mulai test kenaikan kelas." lapor Niken berapi-api.
"Maksudku bukan itu. Maksudku dia?" kata Wulan sambil menunjuk ke arah Pandu.
"Lha bagaimana" Udah kamu sampaikan yang aku pesan?" tanya Niken.
"Ya sudah. Makanya itu aku bingung."
"Ya sudah kalau sudah. Berarti sudah beres. Makasih ya Wulan." Niken tersenyum.
Wulan cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken nggak sempat ngomong apa-apa ke
Pandu karena bel sudah berbunyi.
* Setelah bel pulang sekolah, Pandu tidak tahan lagi untuk tidak angkat bicara.
"Fei, kamu bisa tinggal di kelas sebentar?"
"Bisa saja. Apalagi kalo kamu nggak berdiri-berdiri begini kan aku juga nggak bisa lewat." kata
Niken geli. "Kamu ini bagaimana, sih" Tersambar geledek tadi malam" Kena amnesia?"
"Kamu sudah baca yang aku tulis semalam?" tanya Niken seperti nggak mendengar yang
barusan Pandu bilang. "Itu yang aku ingin ngomong." jawab Pandu.
"Sudah apa belum?" tanya Niken lagi.
"Sudah dong. Tapi aku nggak mengerti maksudmu. Lebih baik kamu bicara pakai bahasa yang
bisa aku mengerti saja, deh."
"Wah, nggak seru, dong, kalau aku mesti menjelaskan segala-galanya. Apa tujuannya aku
menulis puisi coba" Dianalisa sendiri lah?" kata Niken geli, dan berusaha mengelak.
"Oke, nih aku baca lagi. Sekaligus aku berikan analisaku. Kalau salah jangan marah ya, kamu
tahu sendiri bakat puisiku minus."
"Mulai sana." Pandu membuka lagi kertas yang dilipat empat itu.
Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam "Kita itu maksudnya kamu sama aku kan?" tanya Pandu memastikan.
"Aduh pinteeeeeerrr" Kalau sudah besar mau jadi penerbang ya?" ledek Niken.
Pandu tersenyum geli. "Memang gila ini anak", batinnya.
"Kita, menggapai dunia, tapi dunia tak tergapai, bukan salah siapa-siapa" Hmm" Kayaknya
ini aku bisa menangkap. Kamu bilang, kemarin kita putus tapi kamu nggak nyalahin siapasiapa, gitu kan?"
"Kira-kira begitu intinya. Tapi nggak cuma itu. Tangan-tangan kecil kita, kata "kecil" di situ
menunjukkan fakta bahwa tangan kita masih terlalu kecil untuk menggapai "dunia" saat ini."
"Jadi?" "Jadi, aku sayang kamu, kamu sayang aku. Tapi ada hal-hal lain yang di luar jangkauan kita
yang nggak memungkinkan kita untuk bersatu saat ini."
"Aku mengerti sekarang. Aku lanjutin ya?"
Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih
"Awas kamu kalo tanya "Melati itu siapa?"!" ancam Niken.
"Nggak. Aku ngerti koq. Yang kamu maksudkan di sini cinta kan" Tapi yang aku nggak
mengerti adalah apa maksud kamu bilang sabar menanti?"
"Aduh" bener-bener blo"on deh. Perasaan aku menulis puisi itu pakai bahasa Indonesia. Apa
sebegitu susah dimengerti sih?"
"Oke-oke. Aku mikir lagi." kata Pandu sambil memutar otaknya. Payah, seperti ujian bahasa
Indonesia saja. "Gabungin sekalian sama dua baris di bawahnya." kata Niken memberi petunjuk.
Sepercik gerimis pemuas dahaga
Cukup untuk melati selamanya
"Nyerah deh, Fei. Aku sepertinya mengerti maksud kamu, tapi nggak sesuai dengan kenyataan
bahwa kita sekarang udah nggak pacaran."
"Kamu udah ada di arah yang bener. Kamu tadi bilang kamu mengerti maksudku, apa yang
kamu mengerti?" "Kamu berusaha bilang, kamu bakal tetap sayang sama aku, dan mau menungguku. Aku
nggak ngerti dua baris selanjutnya, tapi itu kan kira-kira intinya?"
"Ah, susah deh main teka-teki sama kamu. Aku jelasin saja deh."
"Puji Tuhan!" kata Pandu menghela napas lega.
Niken tertawa. "Setelah kamu pulang, aku menangis terus. Aku nggak tau berapa lama aku menangis, tapi
sampe agak larut sih. Aku berusaha menenangkan diri dengan menulis puisi, tapi nggak ada
kata-kata yang keluar. Semakin aku berusaha melupakan kesedihanku dengan memikirkan
sesuatu, semakin aku teringat kamu."
"Sejauh ini masih bisa aku mengerti, karena aku juga mengalami hal yang sama. Lantas?"
"Waktu itu aku memikirkan, betapa jelek nasibku, sangat ironis sekali. Aku yang nggak pernah
ingin jatuh cinta, yang tahu apa akibatnya kalau aku jatuh cinta, akhirnya jatuh cinta juga, dan
segera sesudah aku memberikan hatiku, aku mengalami akibat yang aku sudah tahu
sebelumnya." "Fei" Maaf kalau aku melukaimu. Aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Aku benar-benar
sayang sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak akan pernah percaya lagi sama aku abis
kejadian semalam." "Aku tahu itu. Aku baru sadar setelah Oma masuk. Justru karena kamu sayang sama aku,
maka kamu ambil keputusan semalam. Aku sangat menghargai pengorbananmu, Ndu. Dan itu
bukan membuat aku jadi patah hati, tapi justru bangga, dan aku jadi tambah sayang sama
kamu." "Tapi aku nggak pengen kamu tambah sayang sama aku, karena kamu bakal tambah kecewa
dan susah melupakanku."
"Kamu nggak bisa mencegah itu. Aku sendiri juga nggak bisa. Kamu tahu burung albatross
nggak, Ndu?" "Tahu. Yang tinggalnya di daerah dingin."
"Burung albatross itu seumur idup cuma satu pasangannya. Mereka menunggu sampai
menemukan pasangannya, trus abis itu hidup berdua selama-lamanya. Sebelum yang cewek
datang, yang cowok bikin sarang dulu, terus memanggil ceweknya untuk datang, untuk
tinggal di sarang yang baru saja dia buat. Bahkan bila terbang berdua pun, harmonis sekali.
Kalau yang satu berubah arah 10 derajat, yang satu mengikuti arahnya, seperti dua garis
sejajar di angkasa."
Pandu masih diam saja mendengarkan Niken ngomong dengan matanya yang berbinar-binar.
"Aku pengen seperti burung albatross itu. Aku sudah menemukan cinta sejatiku. Aku nggak
perlu harus memilikinya sekarang, kalau sekarang memang bukan waktu yang tepat. Aku mau
menunggu sampai saat yang tepat itu datang. Sampai kita bisa bersama lagi."
"Jadi kamu nggak bermaksud ngelupain aku?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Sama sekali nggak. Baca bait selanjutnya."
Pandu menurut. Jika kita tak putus sabar
Di hari mendatang Dunia pasti "kan tergenggam
Tangan-tangan kecil kita "Kamu bilang, suatu saat nanti kita pasti bersama lagi, begitu?"
"Tepatnya, aku cuma ingin bilang, aku akan terus mencintaimu. Kamu sudah berhasil
menunjukkan padaku betapa kamu sayang aku. Tangan-tangan kita tetap kecil, nggak
berubah. Tapi dengan kesabaran, suatu saat nanti pasti kita bisa raih apa yang kita mau."
"Kamu mau terus mencintaiku sampai kapan" Bagaimana kalau kita nggak akan pernah punya
kesempatan untuk bersama lagi?"
"Seperti burung albatross tadi, selamanya. Kalau aku nggak punya kesempatan untuk bersama
lagi, setidaknya aku sudah puas sudah menemukan cinta sejatiku."
Pandu tertegun. Dia tidak menyangka Niken sekuat ini.
"Fei, kamu pernah bilang, kamu bakal jadi orang yang terbodoh dalam masalah cinta" Kamu
salah, Fei. Aku belum pernah denger orang bilang begini. Di film-film sekalipun. Baiklah kalau
kamu memang yakin. Aku pun akan menyimpan segala rasa cintaku untukmu selamanya.
Kamu baru saja memberikan aku kekuatan untuk itu."
"Nah, sudah mengerti, kan" Aku boleh pulang sekarang" Nanti orang-orang mengira kita
pacaran lho?" goda Niken.
"Oh ya" Kita nggak mau itu terjadi. Ya kan?" kata Pandu yang berdiri bersandarkan meja
sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Fei?" kata Pandu pelan waktu Niken lewat di hadapannya.
"Apa lagi?" tanya Niken.
Pandu lalu dengan sigap meletakkan tangan kanannya di punggung Niken dan mendorong
punggung Niken ke arahnya. Kurang dari sedetik kemudian, wajah Niken sudah berhadaphadapan dengannya. Ditatapnya lekat-lekat sepasang mata yang membuatnya jatuh cinta itu.
Lalu pelan-pelan Pandu mendekatkan bibirnya ke pipi Niken. Niken sama sekali nggak bisa
bergerak atau berkata apapun. Dia cuma bisa memejamkan matanya sambil tersenyum.
Sebuah ciuman manis yang menggetarkan hati. Ciuman pertama buat keduanya.
Niken masih memejamkan matanya waktu Pandu menarik kembali bibirnya dari pipi Niken tiga
detik kemudian. Dia baru membuka matanya saat Pandu memegang dagunya.
"Sayang sekali kamu tadi nggak bisa merasakan gimana rasanya dicium kamu." kata Niken
kemudian sambil tersenyum manis.
Niken lalu pelan-pelan mencium pipi kanan Pandu sambil agak jinjit. Bibir mungilnya sudah
mendaratkan ciuman tipis yang di pipi Pandu terasa hangat dan lembut.
"Aku yakin nggak semanis ciuman kamu barusan." jawab Pandu setelah Niken selesai.
"Aku kan cuma menirukan yang kamu lakukan. Pembalasan namanya." jawab Niken.
"Nah, sekarang, kalau ada yang melihat kita, pasti kita benar-benar dikira pacaran." kata
Pandu tersenyum lebar. "Oh ya, lupa. Terus bagaimana, dong?"
"Ya kamu pulang dong, cepetan kabur sana." kata Pandu sambil ketawa.
"Oke, aku pulang dulu yah, my friend." kata Niken tersenyum, lalu mencium pipi Pandu yang
kiri, lalu berkata "Yang sebelah sini iri nanti."
Niken baru saja membalikkan badannya saat Pandu menariknya kembali.
"Bilang aja kamu minta dicium lagi." katanya. Niken ketawa.
Pandu lalu mencium pipinya lagi. Kali ini sedikit lebih lama dari yang tadi.
"Ndu, kita ini jadinya pacaran lagi apa nggak sih?" tanya Niken.
"Nggak. Kita cuma saling cinta."
* Kuyakin dalam hatiku kau satu yang ku perlu
Kurasa hanya dirimu yang membuatku rindu
Bila saat nanti kau milikku,
Kuyakin cintamu takkan terbagi takkan berpaling
Karena ku tahu engkau begitu"
Hingga ku pasti menunggu selama apapun itu
Demi cinta yang kurasakan, yang hanyalah kepadamu
Percayalah ku sungguh-sungguh mengatakan semua
Yakinkan hatimu kau milikku
Karena ku tahu engkau begitu"
* Selama berbulan-bulan, Niken dan Pandu sama-sama sabar memendam impian mereka untuk
bersama. Sekarang mereka telah naik ke kelas tiga. Seharusnya anak kelas tiga tidak boleh
punya menghabiskan banyak waktu di luar pelajaran, termasuk kegiatan organisasi sekalipun.
Walaupun begitu, Niken mendapat sedikit dispensasi, karena dia jadi ketua panitia acara
festival akbar di Universitas Diponegoro. Lagipula nilai-nilai Niken tidak sedikitpun terpengaruh
dengan kegiatan-kegiatan ekstranya. Waktu naik kelas yang lalu, Niken meraih ranking
pertama, Pandu cuma terpaut tipis di belakangnya, ranking dua. Acara puncak festival kali ini
adalah pawai bunga. Peserta festival harus mendekor kendaraan berangkaikan bunga. Acaraacara lain yang berlangsung selama seminggu penuh itu antara lain lomba memasak, lomba
matematika, fisika, kimia, komputer, lomba band, acapella, adu-debat, dan masih banyak lagi.
Festivalnya tinggal dua hari lagi. Semua sudah siap. Rancangan dekor untuk kendaraan bunga
juga sudah siap. Kendaraan bunga harus didekor di lapangan pada satu hari sebelum hari
terakhir festival, karena pawai bunganya di hari terakhir festival, maklum acara puncak.
Ujian kelulusan nasional tinggal tiga bulan lagi. Menjelang ujian, hampir setiap hari ada test
atau ulangan. Sebagai persiapan ujian. Sampai rasanya sudah hafal semua bahan pelajaran
dari kelas satu sampai kelas tiga. Untung sekali kegiatan di sekolah begitu banyak menyita
waktu Niken dan Pandu sehari-hari, jadi keduanya sama-sama tidak begitu memikirkan
masalah mereka. Papa dan Mama pun sepertinya percaya akan kata-kata Oma, sehingga sama
sekali tidak pernah menyinggung-nyinggung nama Pandu lagi.
Niken bahkan menurut saja mengisi formulir-formulir pendaftaran untuk berbagai universitas
di Amerika. Namun tekadnya sudah bulat, dia cuma ingin masuk fakultas kedokteran di
Universitas Indonesia, di Jakarta. Pandu pun tidak tahu rencana Niken ini, karena Niken yakin,
seandainya dia bilang ke Pandu, Pandu pasti akan memaksa-maksa dia lagi untuk ke Amerika
saja. Niken merasa keputusan yang diambilnya ini adalah yang terbaik, dan tanpa desakan
atau paksaan pihak manapun. Keberadaan Pandu pun tidak masuk dalam pertimbangannya
dalam mengambil keputusan. Ini adalah impiannya dari kecil, dan siapapun tidak bisa
menghalanginya. Sore ini adalah latihan terakhir buat band yang akan tampil, termasuk band dadakan yang
dibentuk Pandu dan kawan-kawan khusus buat acara festival kali ini.
Niken sebagai ketua panitia harus melihat seluruh acara latihan terakhir, termasuk band Pandu
ini. Ada tiga band yang akan tampil dari SMA Antonius.
Niken kali ini tidak mengambil bagian sama sekali di lomba band, karena dia lebih ingin
berkonsentrasi di lomba kimianya. Lagipula dia tidak punya banyak waktu untuk latihan,
karena mengorganisasi seluruh acara festival benar-benar sudah menyita banyak waktunya.
Belum lagi harus belajar untuk ujian.
Hari ini Niken bisa lebih relaks, karena tugasnya hari ini cuma menonton latihan terakhir.
Banyak sekali anak-anak yang supportif hadir sore ini, terutama karena mereka ingin melihat
band sekolah mereka sebelum tampil di lomba. Pandu sengaja tidak membentuk band dengan
keyboad, karena dia sendiri juga tidak punya banyak waktu untuk latihan. Pandu sebenarnya
juga tidak ingin ikut andil di band, karena dia juga mengikuti lomba matematika dan aduargumentasi. Tapi akhirnya setelah dipaksa-paksa, dia mau jadi vokalis utama.
Niken yang duduk di baris paling depan tak bisa melepaskan perhatiannya dari Pandu di
panggung theatre yang terlihat manis sekali. Kocak sekali gaya Pandu di panggung, sesuai
dengan lagu yang dinyanyikannya.
Sambil terus menyanyi, Pandu berjalan turun panggung ke arah Niken, lalu menyanyi di
depannya, sambil menyambut tangan kanan Niken sambil tersenyum. Niken malu sekali,
apalagi anak-anak yang lain bersorak-sorai semua. Dasar Pandu tidak tahu malu. Pandu terus
menyanyi sambil menarik tangan Niken untuk berdiri. Niken menggeleng-geleng sambil
melotot. Tapi karena didorong-dorong teman-teman kiri-kanan dan belakangnya, mau tak mau
Niken berdiri juga. Pandu menuntunnya sampai kira-kira dua langkah dari kursi tempat Niken
duduk. Niken jadi geli melihat Pandu yang menyanyi tepat di hadapannya sambil
menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Anak-anak spontan tepuk tangan dan bersuit-suit setelah Pandu selesai menyanyi. Niken
kembali duduk. Mukanya merah padam karena malu. Untung sekali lagu Pandu tadi
mengakhiri acara latihan terakhir band sore ini. Jadi anak-anak lalu bubar jalan.
"Kamu payah tadi, Ndu?" kata Niken setelah agak sepi.
"Payah bagaimana" Jelek nyanyinya?"
"Bagus koq nyanyinya. Tapi nanti kita dikirain pacaran lagi?"
"Nggak lah" Kamu nggak sadar kamu satu-satunya cewek yang duduk di baris paling depan
tadi" Tenang saja" Mereka pasti nggak curiga."
"Sudah siap lomba matematikanya, Ndu?" tanya Niken.
"Yah mau dipersiapkan seperti apa lagi" Hampir tiap hari ada ulangan matematika. Itu sudah
bisa dibuat persiapan kan" Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku ditraining terus sama Bu Ndari di lab kimia. Lombanya kan teori dan praktek. Teori sih
jauh lebih mudah daripada praktek. Tapi sepertinya aku sudah cukup menguasai bahan lah"
Waktu ujian praktikum kimia kemarin aku dapat nilai bagus koq."
"Iya, aku juga denger. Selamet yah. Aku denger kamu dapet nilai tertinggi seangkatan buat
ujian praktikum kimia sekaligus biologi. Yang kimia terutama, kamu nomer satu, sementara
nomer duanya nilainya lumayan jauh di bawahmu. Aku doain semoga sukses lah lombanya."
"Lomba argumentasimu tiap hari ya, Ndu?"
"Iya, soalnya pesertanya banyak, dan pake sistem gugur. Lumayan deg-degan juga, soalnya
topiknya bakal ditentukan saat session itu, dan juga diundi pro atau kontranya. Semoga aja
nggak dapet bahan yang aneh-aneh. Aku sudah rajin baca koran dan dengerin berita di teve
setiap hari sih." "Wah, dengerin berita akhir-akhir ini justru bikin aku deg-degan. Bagaimana tidak" Demo di
mana-mana. Suasananya tambah hari tambah panas deh. Untung Semarang nggak pernah
ada demo yang pake acara bakar-bakaran. Kantor papa yang di Solo kena korban bakarbakaran massal lho."
"Oh ya" Fei" aku juga jadi kuatir, karena target mereka tuh terutama orang keturunan Cina.
Kamu jelas-jelas kelihatan kalo keturunan Cina. Aku takut kalau?"
"Heh" jangan ngomong yang nggak-nggak, dong. Aku bisa jaga diri sendiri. Kamu tahu nggak
kalo aku bisa karate" Nggak ahli sih, tapi pernah belajar sama Opa waktu kecil."
"Kamu belajar karate waktu kecil" Kamu nakal ya waktu kecil?" tanya Pandu heran.
"Wah, nakal sekali. Lawanku cowok berbadan besar-besar. Semakin besar badannya, apalagi
yang gendut-gendut, semakin aku tertarik untuk menjatuhkan. Tapi aku nggak asal bertarung.
Aku cuma melawan kalo dilawan duluan. Itu prinsip yang diajarkan Opa."
"Hah" Kamu jago berkelahi?"
"Pertamanya nggak. Aku masih inget, waktu itu di SD ada anak cowok sombong sekali, dia
selalu iri karena aku dapat nilai bagus. Terus suatu hari, buku catatanku yang di meja disobeksobek sama dia. Aku marah, tapi nggak bisa apa-apa karena dia berbadan besar. Trus aku
lapor sama Opa. Lalu aku diajari karate itu tadi."
"Trus besoknya kamu pukuli dia?" tanya Pandu tertarik akan cerita Niken yang seru.
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, nggak. Aku kan sudah janji sama Opa untuk nggak memulai perkelahian. Kira-kira
seminggu setelah kejadian buku sobek itu, dia mengganggu salah satu teman cewekku sampai
temanku menangis. Trus aku belain temanku itu. Trus dia tantang aku. Ya aku jawab
tantangannya. Trus udah deh, berkelahi, ditonton anak banyak. Ada rasa puas waktu itu
karena aku berhasil bikin biru matanya."
"Kamu menakutkan juga ya, Fei. Aku aja waktu SD nggak pernah berkelahi."
" "Aku sering sekali. Tiap sehabis berkelahi aku pasti masuk ruang guru. Dinasehati untuk tidak
berkelahi. Aku nggak pernah merasa bersalah karena aku nggak pernah yang memulai. Mama
pasti marah-marah abis itu karena dia jadi sering dipanggil guru." kata Niken mengenang
masa kecilnya yang heboh.
"Trus kapan kamu berhenti berkelahi?"
"Sampai semua anak cowok sombong yang di sekolah satu-satu sudah bertarung denganku,
dan semua kapok untuk memulai lagi. Akhirnya keadaan aman dan damai." kata Niken sambil
tertawa terbahak-bahak. "Kamu pasti ditakuti cowok-cowok di sekolahmu yah?"" tanya Pandu geli. Kalimat Niken tadi
berkesan seakan-akan Niken seorang pahlawan pembela kebenaran dan keadilan.
"Kira-kira begitulah."
"Cicimu juga jago berkelahi?" tanya Pandu.
"Nggak. Cici tu pendiam. Kalem sekali dari kecil. Bisa jadi waktu dilahirkan nggak menangis
juga. Kalo nggak disapa nggak akan bicara duluan. Pemalu sekali. Papa selalu bilang, koq aku
nggak bisa seperti cici. Aku selalu saja buat onar. Bikin malu keluarga. Pokoknya aku sama cici
tu bertolak belakang sekali, lah. Cici nggak begitu pandai di sekolah. Kasihan sekali dia dari
kecil hari-harinya penuh acara les."
"Memangnya kamu nggak?"
"Nggak. Aku dari kecil suka memberontak. Aku nggak mau les kalo merasa nggak ada
gunanya. Aku lebih suka belajar sendiri. Akhirnya aku cuma les Inggris dari kecil, karena aku
merasa butuh seorang guru untuk latihan conversation. Selebihnya aku les bidang-bidang
yang aku sukai, termasuk renang, piano, saxophone, nge-drum, dan lain-lain. Itu pun aku
daftar-daftar sendiri di sekolah musik. Tadinya mama cuma suruh aku les piano di sekolah
musik. Trus setelah itu aku yang daftar-daftar sendiri."
"Aku nggak pernah les piano, lho?" kata Pandu mengaku.
"Trus kamu bisa canggih main piano dari mana?" tanya Niken keheranan.
"Waktu masih kecil di Yogya, aku tetanggaan sama Mas Baron Kanginan."
"Baron Kanginan yang pemain piano klasik yang sering main di konser nasional itu?" tanya
Niken kaget. "Iya. Waktu aku kecil dulu, Mas Baron belum ngetop. Dia cuma ikut ngeband kecil-kecilan di
kampusnya. Aku sering mendengar dan melihat dia main piano dari jendela kamarku yang
berhadap-hadapan dengan kamarnya. Suatu hari dia memanggilku. Trus dia menawari aku
untuk mengajari aku main piano. Tentu saja aku mau sekali."
"Wah" beruntung amat kamu bisa diajari langsung sama Baron Kanginan. Pantas saja kamu
punya gaya main piano yang lain dari orang kebanyakan. Baron Kanginan kan unik sekali."
"Piano yang di rumah itu juga pemberian Mas Baron sebelum dia pindah ke Jakarta. Dia bilang
waktu itu dapat tawaran konser. Dia nggak bakal sanggup memindah piano seberat itu ke
Jakarta, makanya dia hadiahkan ke aku."
"Kamu masih sering kontak sama dia?"
"Masih. Kadang-kadang dia masih kangen Yogya, terus ya menginap di rumahku. Sejak pindah
ke Semarang, aku belum pernah bertemu dia lagi. Tapi dia tahu koq kalau kita pindah
Semarang. Dia kan hampir seumur sama kak Darmawan yang di Jakarta. Mereka masih sering
kumpul-kumpul katanya."
Niken cuma manggut-manggut.
"Manggut-manggut seperti burung pelatuk saja kamu, Fei. Sudah sore lho. Nanti kamu dicariin
mama kamu, lho?" kata Pandu mengingatkan.
"Aku musti di sini sampai anak-anak perlengkapan selesai memindahkan alat-alat ke gudang."
"Biar aku aja. Nanti aku laporan ke kamu. Kamu capek kan dari tadi siang belum pulang
rumah?" "Nggak. Ini tanggung jawabku, Ndu. Mana bisa aku serahkan ke kamu?"
"Ya sudah. Aku temani." Pandu yakin tidak akan bisa melawan kehendak tuan putrinya ini.
"Niken, kunci gudangnya kamu yang tanggung jawab, kan?" tanya Rudi.
"Iya. Sudah selesai semua ya?"
"Sudah barusan. Anak-anak sudah pada mau pulang. Ini kuncinya. Aku pulang duluan ya?"
kata Rudi sambil menyerahkan kunci ke Niken.
"Iya. Makasih ya Rud." kata Niken sambil memutar-mutar kunci itu di jarinya.
"Fei, ikut aku yuk?"
"Mau ngapain?" "Ikut aja?" kata Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
"Iya," iya?" kata Niken sambil melepaskan gandengan Pandu, takut ada orang yang melihat,
lalu mengikuti langkah Pandu.
Rupanya Pandu berjalan menuju ruang musik lewat belakang.
Lalu dia duduk di kursi piano. Pelan-pelan dibukanya penutup piano itu.
"Besok kamu ulang tahun kan?"
Niken mengangguk. Tujuh belas tahun. Sudah sebulan ini dia bertengkar dengan Papa karena
menolak merayakan ulang tahunnya secara besar-besaran seperti anak-anak gadis yang lain.
Akhirnya Papa nggak bisa apa-apa karena Niken mengancam untuk nggak akan datang kalau
Papa nekad mengadakan pesta apapun untuknya. Niken cuma ingin makan di rumah saja,
mengundang Oma dari Kudus.
"Besok hari Minggu, kita mungkin nggak bakal sempet ketemu. Aku ingin ngasih kado hari ini.
Boleh kan?" Niken mengangguk lagi. Pandu lalu mulai sibuk dengan pianonya. Mendengar intro lagu yang sangat dikenalnya, Niken
lalu ikut duduk di kursi piano yang memang cukup panjang untuk buat berdua itu. Tangan
kanannya ikut memainkan variasi melodi. Pandu lalu menyanyi. Niken tidak ikut menyanyi
karena suaranya tidak pas dengan tangga suara yang dipilih Pandu. Terlalu rendah untuknya.
Dia lebih suka menikmati suara empuk Pandu sambil ikut iseng memainkan piano bagian
kanan. Tangan kanan dan kiri Pandu begitu lincah di atas piano. Pasti dia sudah latihan
dahulu. Susah memainkan lagu Guns "n Roses ini dengan piano, lebih gampang
memainkannya dengan gitar.
Shed a tear "cause I"m missin" you
I"m still alright to smile
Girl, I think about you every day now
Was a time when I wasn"t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt you"re in my heart now
Said, woman, take it slow, it"ll work itself out fine
All we need is just a little patience
Said, sugar, make it slow and we come together fine
All we need is just a little patience
I sit here on the stairs "cause I"d rather be alone
If I can"t have you right now, I"ll wait, dear
Sometimes I get so tensed but I can"t speed up the time
But you know, love, there"s one more thing to consider
Said, woman, take it slow and things will be just fine
You and I"ll just use a little patience
Said, sugar, take the time "cause the lights are shining bright
You and I"ve got what it takes to make it"
"Makasih Ndu?" kata Niken saat Pandu selesai memainkan seluruh lagu. "Ini hadiah ulang
tahun terindah yang aku terima."
"Tunggu. Aku masih punya satu lagi." kata Pandu. "Copot sepatumu."
Walaupun keheranan, Niken menurut juga, lalu mencopot sepatunya.
"Kaos kakinya juga."
"Kamu mau apa sih, Ndu?" tanya Niken heran.
Pandu yang tidak sabar lalu berlutut di bawah kaki Niken, sambil mencopot kaos kaki Niken
sendiri. Lalu dia merogoh saku celananya, sebentuk cincin ada di tangannya. Niken masih tak
mengerti. Pandu lalu memakaikan cincin itu di jari telunjuk kaki Niken.
"Oh..!" Niken terpekik. "Toe ring?" kata Niken setelah mengerti.
"Kalau aku kasih cincin di tangan kan aneh, kita kan nggak pacaran. Makanya aku kasih cincin
buat kaki aja. Orang-orang juga jarang melihiat. Jadi nggak akan ada yang tanya." kata Pandu
menjelaskan. "Makasih sekali lagi, Ndu" Nggak akan aku copot dari jari kakiku." kata Niken.
"Selamat ulang tahun, Fei Fei." kata Pandu sambil mencium pipi kiri Niken. Ini ketiga kalinya
Pandu mencium pipi Niken. Dua kali waktu di kelas 2C. Niken masih belum lupa bagaimana
rasanya yang pertama dan kedua dulu. Niken memejamkan kedua matanya. Rasanya persis
sama seperti yang kali ketiga ini.
Pandu masih menatap wajah Niken yang begitu halus. Mata Niken masih terpejam erat.
Wajahnya terlihat begitu polos. Pandu baru ragu-ragu ingin mencium bibir mungil Niken, saat
Niken membuka matanya. Sadar bahwa Pandu hendak menciumnya, Niken malah mencium
Pandu duluan. Walaupun agak kaget, Pandu pun balas menciumnya.
Sepuluh detik kemudian, Pandu melepaskan ciumannya.
"Fei," Kamu nggak perlu menciumku untuk bilang kamu sayang aku. Aku juga nggak harus.
Maksudku, jangan merasa terpaksa karena kamu takut aku nanti bilang kamu nggak sayang
aku kalau kamu nggak mau cium aku. Aku akui aku tadi memang ingin mencium kamu, tapi
aku takut kamu bakal bereaksi lain."
"Terpaksa" Koq kamu bisa bilang begitu?"
"Kamu kan tadinya anti cowok, lagipula aku waktu itu pernah menawarkan untuk nggak
pernah menyentuhmu. Ini berarti aku melanggar tawaranku sendiri."
"Apa aku pernah menerima tawaranmu itu, Ndu" Kamu nggak melanggar apa-apa koq.
Lagipula yang kita lakukan sekarang ini cuma mengungkapkan rasa sayang kita satu sama
lain. Dan aku tahu kita berdua sama-sama tahu batas-batas koq. Aku tapi benar-benar
menikmati perasaan dicium kamu. Rasanya damai, dan aku seperti lupa segalanya. Bahkan
lupa bahwa sekarang ini kita nggak berstatus pacaran."
"Jadi kamu suka?"
"Ah, sudah diam, sekarang cium aku lagi. Nanti kamu bakal tahu sendiri aku suka apa nggak."
Dan Pandu pun melakukan apa yang Niken bilang.
* Perhaps I had a wicked childhood
Perhaps I had a miserable youth
But somewherein my wicked, miserable past
There must"ve been a moment of truth
For here you are, standing here, loving me
Whether or not you should
So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good
Nothing comes from nothing
Nothing ever could So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good"
* :: Mata Elang : Chapter 6
Ini hari ulang tahun Niken. Tapi Niken sibuk mengepak pakaian dan barang-barangnya ke
koper sambil marah-marah. Ada apa gerangan" Oma pun tak kuasa menahan Niken untuk
tidak pergi. Niken sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal di rumah lamanya, yang
memang tidak dijual karena biasanya disewakan. Tapi kebetulan sudah dua bulan ini tidak ada
yang menempati. Kembali ke persoalan mengapa Niken marah. Pasalnya, Papa baru saja mengumumkan akan
menikahi Tante Mia. Itu sama sekali tidak berarti menceraikan Mama. Jadi Tante Mia mulai
hari ini bakal tinggal di rumah. Niken marah besar. Satu, ini semua terjadi secara tiba-tiba.
Tidak ada yang merencanakan Tante Mia bakal tinggal di rumah ini sampai hari kemarin.
Kedua, waktu ditanya Tante Mia bakal tidur di kamar mana, Papa juga masih bingung.
Jawabnya, mungkin di kamar Tasya. Apa-apaan" Hal yang paling menjengkelkan, Papa tahu
betul Niken benci setengah mati sama Tante Mia. Apakah Papa nggak bisa cari hari lain yang
lebih pantas untuk mengumumkan berita seperti ini, mengingat ini hari ulang tahunnya"
"Fei Fei, ayolah jangan marah-marah begitu?" bujuk mamanya. Oma masih menghalanghalangi di pintu dengan kursi rodanya.
"Ma, mama juga mestinya marah dong. Sejak kapan mama kehilangan semangat untuk
mempertahankan keluarga ini" Kenapa mama seperti menyerah begitu saja" Apa sih
istimewanya Tante Mia" Biasanya yang Fei denger tu oom-oom serong sama cewek-cewek
ABG, atau tante-tante yang lebih muda. Tante Mia cuma beda umur 2 tahun sama Mama.
Malah Tante Mia tu keliatan lebih tua dari Mama. Fei benar-benar nggak mengerti." Niken
masih mengomel sambil terus memindahkan barang-barangnya dari lemari ke koper.
"Ceritanya panjang, Fei." Oma yang jawab. "Oma akan ceritakan semuanya kalau kamu
berjanji untuk tinggal."
Niken berpikir sejenak sambil menatap omanya. "Oma, sebenarnya Fei nggak sungguhsungguh ingin tahu. Fei sudah muak. Papa mau berbuat apa saja aku sudah nggak peduli
lagi." katanya kemudian sambil terus mengepak pakaiannya ke dua buah kopernya.
"Fei, seandainya saja kamu anak laki-laki?" keluh mamanya pelan.
Niken tersentak. "Memangnya kenapa, Ma?" katanya, menghentikan proses memasukmasukkan barang-barangnya.
"Cerita singkatnya begini. Sesudah kamu lahir, mamamu sempat keguguran sekali. Sesudah
itu dokter bilang, mamamu sudah tidak mungkin bisa punya anak lagi. Papamu kecewa sekali
karena dia sangat menginginkan anak laki-laki untuk meneruskan usahanya." kata Omanya
menjelaskan. "Terus memangnya kenapa?" tanya Niken lagi, mengulangi pertanyaannya.
"Lalu Papamu jengkel, sering uring-uringan dan mulai jarang pulang. Ternyata dia diam-diam
menikahi Tante Mia, karena yakin kalau terus terang sama Mama, Mama pasti tidak setuju.
Kejadian ini sudah bertahun-tahun yang lalu. Kamu bahkan sudah punya adik laki-laki sekitar
tiga tahun lebih muda, Fei." lanjut Mama. "Mama pun baru tahu sekitar lima tahun yang lalu,
saat semuanya sudah terlambat." kata Mamanya menambahkan.
"Papa begitu pandai menyimpan kebusukannya." kata Niken geram. "Ayolah, Mama. Ikut aku
pergi dari rumah ini. Rumah ini bakal terasa asing dengan adanya Tante Mia di sini."
"Nggak bisa begitu, Fei. Biar bagaimanapun Papamu itu suami Mama. Mama harus tetap
tinggal di sini." kata Mama.
"Walaupun Papa sudah mengkhianati Mama seperti ini?" tanya Niken.
Mama mengangguk pelan. Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ma, tapi Fei Fei harus pergi. Rumah ini sudah bukan
rumah Fei lagi. Kalau boleh, Fei untuk sementara ingin tinggal di rumah Jalan Kenanga. Boleh,
Ma" Kalau nggak boleh, Fei akan ke rumah Wulan."
"Fei, Mama butuh kamu di sini. Cuma kamu satu-satunya yang Mama miliki saat ini."
Niken lalu memeluk mamanya. Ini pelukan pertamanya setelah sekian lama. Niken sudah lupa
kapan terakhir dipeluk atau memeluk mamanya. Mungkin waktu masih kecil dulu.
"Ma, Mama tahu sendiri Fei orangnya seperti apa. Setiap hari bisa bentrok sama Tante Mia
kalau Fei di sini. Suasana bakal tambah kacau. Buat Fei Fei apalagi. Bentar lagi udah mau
ujian. Fei harus pergi." jawab Niken mantap.
"Baiklah. Kamu benar juga. Mama jadi ingat, rumah di Jalan Kenanga itu atas nama Mama.
Nanti Mama akan ke notaris, menghibahkan rumah itu ke kamu. Mama takut kalau rumah itu
bakal dipindahtangankan secara paksa ke Tante Mia sebagai cara Papamu untuk memaksamu
pulang." "Terserah mama. Pokoknya Fei butuh tempat tinggal sampai lulus SMA nanti. Dan Fei nggak
mau tinggal di rumah ini."
"Pamit sama Papa dulu, Fei?" saran Omanya sewaktu Niken sudah siap akan berangkat.
"Males ah?" jawab Niken ogah-ogahan.
"Ayolah, Fei. Bilang saja nanti sesudah ujian kamu pulang kemari lagi. Nanti Mama yang
jelaskan ke Papa, supaya Papa nggak marah sama kamu." bujuk Mama.
Dengan wajah cemberut, Niken akhirnya setuju untuk berpamitan dengan Papa.
"Fei pergi dulu untuk sementara ya, Pa. Sampai kelar ujian nanti."
"Baiklah," kata Papa mengijinkan. "Tante Mia koq nggak dipamitin?" tanya Papa melihat Niken
langsung nyelonong pergi.
Niken pura-pura tidak dengar, dan berjalan menuju garasi. Dibukanya bagasi mobilnya. Kedua
koper besar-besar itu ditaruhnya di bagasi. Lalu cepat-cepat menstater mobilnya pergi.
* Hari keenam festival akbar. Besok pemenang lomba selama festival akan diumumkan. Sore ini
banyak sekali anak-anak di lapangan dan gedung kampus Universitas Diponegoro,
mempersiapkan acara puncak besok. Kontingen dari masing-masing sekolah sibuk mendekor
kendaraan bunganya masing-masing. Kampus universitas jadi bau wangi. Macam-macam
bunga ada di situ. Jadi walaupun lelah, semua kelihatan bersemangat. Terutama Niken. Di hari
ketiga, dia lolos ke babak praktek lomba kimia. Entah bagaimana nanti hasil akhirnya, tapi
menurutnya sendiri sih lumayan. Pandu tidak berhasil lolos masuk final adu debat, tapi
kelihatannya dia bakal sukses di lomba matematika tingkat SMA. Keduanya sama-sama
menjadi anggota pendekor kendaraan bunga buat pawai besok. Sayang sekali Niken tidak
sempat melihat Pandu manggung saat lomba band kemarin lusa, karena bertepatan waktunya
dengan babak praktek lomba kimianya.
"Niken!!" Niken menoleh mendengar ada yang memanggil namanya. Jimmy rupanya. Lari-lari dari jauh
menghampirinya. Spontan Niken berdiri. "Ada apa, Jimmy" Koq kamu kayak dikejar-kejar setan begitu?" tanya Niken.
"Pucat sekali mukamu, Jim," kata Wulan yang duduk di sebelah Niken.
Jimmy lalu menarik Niken agak menjauh dari kerumunan anak-anak. Pandu yang kebetulan
melihat ikut mendekat. "Niken, aku baru saja ditelepon Mama. Kompleks rumah kita di Kinanti diserbu massa
demonstran. Mama sempat lari lewat belakang. Waktu lewat rumahmu, katanya rumahmu
sudah dibakar massa. Mama pesan aku untuk memberitahu kamu untuk jangan pulang ke
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah." Jimmy memaksudkan rumah gedongan Niken yang memang satu kompleks dengan
rumah tinggal Jimmy. Niken kaget sekali mendengar berita buruk Jimmy. Gunting yang dipegangnya jatuh ke tanah.
Untung tidak mengenai kakinya.
"Sudah, gitu dulu yah. Aku diajak mengungsi ke Bali sama Mama. Aku mau ke airport ketemu
Mama sekarang. Bye Niken?" kata Jimmy lalu cepat-cepat lari.
Niken masih terbengong-bengong menatap Jimmy dari kejauhan. Galau sekali hatinya.
Lalu dia mulai berjalan menuju arah Jimmy lari.
"Hey, mau ke mana kamu, Fei?" cegah Pandu sambil meraih lengan Niken. Langkah Niken
terhenti. "Aku mau ke Kinanti, Ndu."
"Ngapain ke sana" Jimmy spesial kemari bilang kamu jangan ke sana koq, kamu malah mau
ke sana, gimana sih?"
"Mama, Oma, Papa, semua ada di sana, Ndu. Aku harus ke sana." jawab Niken emosi.
"Trus kamu kalo ke sana lantas bisa apa, Fei" Mau cari mati?" balas Pandu ikutan emosi.
"Lalu bagaimana dong" Aku nggak bisa diam saja di sini, kan"!"
"Tunggu sampai keadaan tenang, nanti aku temani kamu ke sana. Gimana?" Pandu berusaha
menyarankan. "Nanti-nanti bisa terlambat." Niken masih ngotot.
"Kamu bahkan nggak tau apa mereka berhasil melarikan diri sebelum demonstran masuk.
Kamu kan yang bilang sendiri Papa-Mamamu jarang di rumah" Omamu mungkin sekarang
sudah ada di Kudus. Kamu nggak tau kan" Yang penting kamu tenang dulu. Kalo sudah
tenang kan bisa berpikir jernih?"
Pandu belum selesai ngomong saat tiba-tiba saja mereka dikagetkan oleh suara tembakan.
Spontan anak-anak yang berdiri termasuk Pandu dan Niken langsung tiarap di tanah. Suara
tembakan itu terus dar-der-dor berkali-kali. Keras sekali. Pasti sumbernya tidak jauh dari sini.
"Ada apa ini, Ndu?" tanya Niken bingung.
"Entahlah." Sebentar kemudian mereka mendengar suara ibu-ibu, mungkin salah satu dosen di kampus
itu, dari atas podium, "Anak-anak, lari semua, lari selamatkan diri masing-masing"!" Suaranya
terhenti bersamaan dengan bunyi dor yang keras.
Dikomando begitu, semua anak-anak di lapangan lari menuju pintu gerbang. Tapi ternyata
justru massa demonstran ada di pintu gerbang, siap masuk ke arah dalam. Semua lalu lari
terbirit-birit masuk kembali ke lapangan, tanpa tahu arah.
"Ayo Fei, ikut aku!" ajak Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
Mereka lalu lari ke arah pintu gerbang parkir belakang, satu-satunya pintu keluar lain yang
Pandu tahu, karena dia selalu masuk lewat situ dengan sepedanya.
Mereka sudah hampir sampai ke pintu gerbang saat mereka mendengar suara lantang yang
menyuruh semua tiarap. Pandu dan Niken sama-sama tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba lengan Niken dicekal dari samping.
"Mau lari ke mana, nona manis?" Suara laki-laki bertubuh tegap yang membawa gobang itu
sungguh sangat menyeramkan.
"Dia mau lari lewat pintu belakang." jawab Pandu dengan nada galak. Niken bingung menatap
wajah Pandu. Pandu pura-pura tidak tahu Niken menatapnya. "Untung saya menangkapnya."
lanjut Pandu lagi. "Baiklah. Bawa dia ke bangsal utama tempat semua gadis-gadis." suruh laki-laki itu.
"Dia cantik, kamu beruntung sekali", kata laki-laki garang itu mengedipkan matanya ke arah
Pandu. Pandu lalu mencekal lengan Niken, balik kanan, lalu membawanya menuju ke bangsal.
"Apa-apaan, Ndu?" bisik Niken.
"Sssh" Diam saja. Aku akan pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kamu. Sepertinya
aku aman di sini." kata Pandu.
"Hey, terus jalan, jangan berhenti." seru laki-laki itu galak melihat Pandu dan Niken berjalan
pelan-pelan. "Fei, di hitungan ke tiga, kamu lari ke arah pintu gerbang belakang itu. Kayaknya yang jaga
cuma si galak itu. Aku pasti bisa lari dari sini. Percayalah." bisik Pandu.
"Kamu bermaksud ingin berkelahi dengan si galak itu, lebih baik jangan. Jangan nekad, Ndu.
Apa yang membuat kamu mengira kamu bakal menang melawan dia?" jawab Niken balas
berbisik. "Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Lakukan saja apa yang aku bilang tadi.
Kita nggak punya banyak waktu, dan nggak punya pilihan lain. Oke?"
"Baiklah." "Satu, dua, tiga!"
Niken cepat-cepat balik kanan lalu lari menuju ke arah pintu gerbang.
Pandu pelan-pelan lari, pura-pura mengejarnya. Di luar dugaannya, ternyata lumayan banyak
penjaga di pintu gerbang belakang. Tidak cuma satu si galak itu.
"Berhenti!" teriak Pandu. Salah seorang penjaga menangkap Niken. Pandu lalu
menghampirinya lagi. "Terima kasih. Dia akan saya bawa ke bangsal sekarang." kata Pandu sambil membawa Niken
kembali. Untung tidak ada yang curiga. Mereka pasti mengira Niken ingin melarikan diri dan
Pandu mengejarnya. "Fei, banyak sekali orang di sini. Rasanya kita nggak mungkin bisa lari dari tempat ini." bisik
Pandu dengan nada kuatir setelah agak jauh dari pintu gerbang.
"Ndu, selamatkan saja dirimu. Pergi dari sini sebelum mereka tahu bahwa kamu bukan salah
satu dari mereka. Jangan berusaha menyelamatkanku. Aku yakin aku bakal baik-baik saja."
Niken balas berbisik. Baik Niken maupun Pandu tahu bahwa kata-kata Niken tadi sama sekali
tidak berdasar pada kenyataan.
Semakin dekat ke arah bangsal, suasana semakin terasa mencekam. Jeritan terdengar
menggaung dari arah dalam bangsal. Hati Pandu terasa tersayat-sayat mendengarnya,
terutama memikirkan bahwa salah satu dari jeritan itu mungkin saja bakal keluar dari mulut
Niken. "Fei, aku akan tetap tinggal di sini. Akan aku pikirkan bagaimana cara menyelamatkanmu.
Jangan putus harapan, ya?" katanya sambil mengantar Niken masuk ke dalam bangsal.
Niken terpekik saat pintu bangsal terbuka. "Ndu, aku takut?" bisiknya sambil
menyembunyikan kepalanya di dada Pandu. Pandu merasa bersalah karena tak berdaya, tak
bisa berbuat apa-apa. Dilihatnya sekeliling. Di bangsal kotor itu banyak baju-baju kotor
berserakan, berlumuran darah. Banyak mayat gadis-gadis telanjang, sepertinya mereka habis
diperkosa, lalu dibunuh. Ada banyak juga yang masih hidup, tapi melihat kondisi mereka,
sepertinya mereka lebih memilih mati.
"Fei, aku nggak sanggup meninggalkan kamu di sini. Kita keluar sama-sama, atau mati samasama. Aku nggak akan keluar tanpa kamu."
Niken masih tak bisa berkata apa-apa. Yang dilihatnya barusan adalah pemandangan yang
paling mengerikan dalam sejarah hidupnya. Jauh melebihi adegan film-film horor sekalipun.
Ini begitu nyata, begitu dekat di pelupuk mata.
"Aku ada akal. Ikut aku." kata Pandu tiba-tiba, sambil menarik lengan Niken untuk bergerak
menjauhi tempat mengerikan itu. Niken yang kepalanya masih sempoyongan karena shock
cuma bisa mengikuti Pandu yang menggandeng tangannya.
Sambil berjalan, Pandu berbisik menjelaskan, "Aku ingat waktu lomba debat, dari jendela
ruang kelas yang dibuat debat aku bisa melihat jalan ke luar. Dan ruang kelas itu kalo nggak
salah, nggak jauh dari bangsal ini. Kita mungkin bisa keluar lewat jendela. Ayo!" Setengah
berlari, setengah berjingkat-jingkat, Niken mengikuti langkah Pandu. Mereka tak ingin gerakgerik mereka terdengar siapapun, karena itu berarti "skak-mat".
"Sial! Ruangannya dikunci!" keluh Pandu saat sampai di depan ruang kelas itu. Dipukulnya
daun pintu ruangan itu dengan kesal.
"Minggir, Fei." katanya kemudian.
Niken mundur selangkah. Pandu berlutut, lalu membenturkan sikunya di kaca pintu bawah. Kaca gelas itu langsung
berhamburan. Suara pecahnya kaca begitu keras, pasti menarik perhatian orang.
"Cepat masuk!" Pandu membantu Niken masuk lewat pintu kaca yang sekarang sudah pecah
bagian bawahnya. "Lekas buka jendelanya" kata Pandu saat Niken sudah masuk ke dalam
ruang kelas. Pandu lalu masuk juga ke dalam ruang kelas itu, sementara Niken membuka jendela untuk
keluar dari tempat berdarah itu.
Jantung mereka berdebar kencang karena mereka dapat mendengar dengan jelas ada suara
langkah kaki yang semakin lama semakin keras.
"Loncat, Fei! Keluar! Sekarang!" kata Pandu sambil setengah mengangkat tubuh Niken,
membantunya untuk memanjat keluar dari jendela.
Akhirnya Niken berhasil menjejakkan kembali kakinya ke tanah, di luar kelas.
Dari kaca jendela dia bisa melihat sesosok bayangan yang menuju ke arah kelas.
"Awas, Ndu! Ayo cepat!" buru Niken sambil menggapai-gapaikan tangannya ke arah Pandu.
"Lari Fei, pergi ke rumahku. Di sana kamu aman. Aku temui kamu di rumah. Bilang ibu untuk
jangan kuatir." kata Pandu.
Niken cepat-cepat lari. Semenit kemudian dia dikagetkan oleh suara tembakan. Datangnya
dari arah ruang kelas. Langkah larinya terhenti. Tapi kemudian dia lari lagi karena melihat ada
orang yang keluar dari jendela kelas, siap untuk mengejarnya. Kebetulan Niken menemukan
sepeda yang tergeletak di tengah jalan. Diraihnya sepeda itu cepat-cepat, lalu dikayuhnya
sekuat tenaga. * Sesampainya di rumah Pandu, Niken mengetuk-ngetuk pintu pagar dengan tidak sabar.
Ibu Pandu yang membuka pintu.
"Oh Niken, ayo masuk. Pandu tidak ada di rumah?" katanya sambil membuka pintu.
"Niken tahu. Niken baru saja bersama Pandu?" jawab Niken. Nafasnya masih tak teratur.
Jantungnya masih berdegup dengan kencang.
"Ibu nggak dengar ada ramai-ramai di kampus Undip?"
"Masya Allah" Kamu nggak apa-apa, Niken?" tanya Ibu Pandu.
"Pandu yang menolong saya keluar. Katanya saya disuruh kemari, karena saya lebih aman di
sini. Dia juga menyuruh saya untuk menyampaikan ke ibu untuk jangan kuatir. Tapi saya pun
nggak tahu apakah Pandu bisa selamat apa nggak. Mestinya saya nggak menuruti katakatanya untuk lari duluan." kata Niken menyesal, sambil terisak.
Ibu Pandu lalu memeluk Niken. Niken menangis di pelukan Ibu Pandu. Rasanya seluruh
tenaganya sudah habis terkuras. Tak sanggup lagi untuk berbuat apa-apa.
"Kamu tenang saja dulu di sini. Ibu yakin, kalau Pandu bilang dia akan baik-baik saja, maka
dia akan baik-baik saja."
Tangis Niken makin keras. Dia teringat suara tembakan terakhir yang didengarnya tadi. Tapi
dia menurut saja waktu ibu Pandu menuntunnya masuk ke dalam.
Sebelum sampai di dalam rumah, Niken pingsan.
* Waktu membuka matanya lagi, Niken terperanjat melihat Pandu duduk di kursi di dekatnya.
"Sudah sadar, Fei?" tanya Pandu sambil tersenyum manis.
"Koq kamu sudah ada di sini?" tanya Niken heran.
"Kenapa" Kirain aku sudah mati ya?" gurau Pandu.
"Nggak lucu ah, ngomong seperti itu." Niken cemberut.
"Gini lho ceritanya. Persis sesudah kamu pergi, ada dua orang yang masuk ke kelas. Seorang
bermaksud menembakku, seorang berusaha melompat jendela untuk mengejarmu. Tapi
sebelum dia sempat menembakku, salah seorang anggota aparat polisi sudah ada di depan
pintu, menembak orang yang hendak menembakku tadi. Yang melompat jendela akhirnya
terkejar setelah beberapa meter, tapi kamu sudah jauh."
"Tanganmu nggak papa, Ndu?" tanya Niken setelah melihat siku Pandu dibalut perban.
"Nggak papa, koq. Cuma agak perih kena pecahan kaca aja."
Niken lalu diam saja. Lega sekali rasanya Pandu selamat.
"Kenapa lagi" Kecewa yah aku nggak mati?" kata Pandu bercanda lagi.
"Aku sudah bilang, nggak lucu guyonan seperti ini. Apalagi tadi kita memang benar-benar
sudah hampir mati." "Maaf, maaf. Tapi asyik juga melihat kamu tiduran di ranjangku begini." kata Pandu dengan
matanya yang nakal. "Sialan." kata Niken lalu duduk di ranjang.
"Kamu tahu nggak kita itu beruntung banget" Nggak banyak orang yang selamat dari
peristiwa di kampus tadi siang. Korban nyawa banyak sekali. Untunglah Wulan juga selamat.
Aku tadi ketemu dia waktu petugas kesehatan membalut lukaku. Dia kena luka bakar, karena
sembunyi di salah satu kendaraan bunga buat pawai. Tadinya sih aman-aman saja, sampai
saat-saat terakhir ada yang berusaha menyulut api di semua kendaraan bunga. Tapi dia nggak
papa koq. Sekarang sudah pulang ke rumah."
"Syukurlah." kata Niken.
Pandu tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Oh ya, aku juga punya kabar tentang keluargamu,
Fei." "Bagaimana, Ndu" Apa mereka selamat?"
"Menurut keterangan dari Bapak, tak ada satu orangpun yang berhasil selamat keluar dari
rumahmu sebelum rumahmu dibakar habis. Tapi Omamu sudah berhasil dihubungi, dia baikbaik saja di Kudus."
"Bagaimana dengan Mama dan Papa?" tanya Niken.
"Fei, kamu mesti tabah?"
"Kamu nggak bercanda, Ndu?"
Pandu menggeleng lemah. Niken langsung meledak tangisnya. Pandu mendekat, lalu
membiarkan Niken menangis tersedu-sedu di pundaknya.
"Mereka nggak pernah ada di rumah. Kenapa juga mereka mesti ada di rumah saat kejadian
naas itu?" kata Niken penuh sesal di sela-sela isak tangisnya.
"Kata Oma, kalau situasi sudah membaik, dia akan datang ke Semarang. Tapi sementara
kamu tinggal di sini dulu." kata Pandu.
"Aku pulang ke Kenanga saja, Ndu. Nggak enak ah tinggal di sini. Ngerepotin."
"Jangan aneh-aneh kamu. Kalau terjadi apa-apa lagi gimana" Kamu sendirian di sana" Yang
bener aja." kata Pandu tidak setuju. "Tadi Ibu juga menawari kalau kamu mau tinggal di sini
sementara, sampai situasi benar-benar aman. Aku bisa tidur di depan teve. Aku kadangkadang tidur di situ koq."
"Baiklah. Melihat kamu ngotot begini kayaknya aku nggak punya pilihan lain kecuali melarikan
diri dari rumahmu, dan rasanya aku belum cukup sinting." kata Niken. "Tapi aku butuh
barang-barang dari rumahku. Baju, seragam sekolah, dan lain-lain. Kenanga aman nggak sih?"
tanya Niken. "Demonstrasi siang tadi nggak merembet sampai daerah Kenanga koq. Gampang, nanti pas
Bapak mau dinas sore, sekitar satu jam lagi, kita bisa dianter ke rumahmu naik mobil,
pulangnya naik mobil kamu. Gimana?"
Niken mengangguk setuju. Benar-benar hari yang melelahkan.
* Sekitar sebulan setelah hari naas itu, suasana di kota Semarang kembali normal. Acara
puncak, pawai kendaraan bunga itu tentu saja dibatalkan. Para pemenang lomba diumumkan
lewat surat kabar. Sayang sekali acara akhir yang seharusnya mengakhiri sepekan kompetisi
yang bagus itu harus menjadi hari kelabu yang penuh duka. Bunga-bunga yang masih segar
tidak lagi dijadikan untuk ajang pamer, melainkan untuk mengubur jazad para korban. Yang
lebih ironis lagi, sebagian besar para pembuat onar hari itu masih belum berhasil ditangkap
pihak yang berwajib, dan sepertinya kasus ini akan ditutup begitu saja karena terlalu banyak
tersangka yang buron, dan terlalu susah untuk membuktikan keterlibatan masing-masing
dalam peristiwa berdarah itu.
Niken mendapat tempat kedua di lomba kimia, sedangkan Pandu menang lomba matematika.
Rasanya menang lomba kali ini sama sekali tidak ada artinya mengingat kenangan pahit yang
sampai sekarang masih terus menghantui mimpi Niken di malam hari.
Niken sudah kembali ke rumahnya di Kenanga. Oma sejak minggu lalu datang ke Semarang
karena dijadwalkan besok sore untuk ikut hadir dalam pembacaan warisan keluarga
Tjakrawibawa. Lumayan sejak ada Oma, Niken jadi tidak merasa kesepian. Lamunannya selalu
melayang ke papa-mama, juga cici-nya. Rasa nelangsa karena rasanya sudah tidak punya
siapa-siapa lagi, kecuali Oma tersayangnya.
"Niken, lihat siapa yang datang..." suara manis Oma membuyarkan lamunannya.
Pandu melongokkan wajahnya yang kocak dari belakang punggung Oma. Niken tersenyum.
Anak ini memang selalu tahu cara membuat orang senang, batinnya.
"Yuk ke teras belakang aja." ajak Niken.
"Kangen tidur di ranjangku nggak?" tanya Pandu iseng.
"Nggak. Ranjang kamu bau." jawab Niken seenaknya.
Pandu melongo. Membelalakkan matanya lebar-lebar. "Bau apa?" tanyanya kemudian.
"Bau... apa ya" Susah menjelaskannya." Niken pura-pura berpikir.
"Ya kalau begitu kamu perlu sering tidur di situ untuk melenyapkan baunya. Mulai besok,
bagaimana?" tantang Pandu.
"Boleh..." Niken tidak pernah takut menerima tantangan.
"Oh.." lanjutnya, "Nggak bisa, Ndu. Besok ada hal penting yang harus aku lakukan."
"Hal penting?" Pandu mengernyitkan dahinya.
"Iya. Pembacaan warisan. Aku sebetulnya sama sekali nggak tertarik untuk datang. Pengacara
Papa, Pak Suyudi itu yang memaksa semua orang yang tercantum namanya di dalam daftar
warisan harus datang."
"Kenapa kamu nggak mau datang?" tanya Pandu lagi.
Niken diam saja. Dia juga tidak tahu jawabannya. Malas" Seharusnya tidak. Ini mungkin
kewajiban terakhir yang harus dilakukannya sebagai anak papanya. Masih sakit hati" Sakit hati
apa" Semua itu sudah jauh dari benaknya. Tidak perlu diusir juga sudah pergi sendiri. Yang
ada sekarang hanya perasaan bersalah, karena selama ini sebagai anak dia merasa tidak
pernah dekat dengan papa maupun mamanya. Tidak sempat menunjukkan pengabdiannya
sebagai anak. Dan sekarang sudah terlambat.
Seakan tahu yang dipikirkan Niken, Pandu menepuk-nepuk punggung Niken dengan halus.
Tanpa sadar air mata Niken mengalir ke pipi.
"Sudahlah Fei. Kamu pasti mikir, aku ini arogan sekali ya" Tadi kamu sudah bisa tertawa-tawa.
Sekarang aku datang, kamu malah nangis. Aku memang nggak berguna. Sssh.. sudah..
jangan menangis lagi."
Niken masih sesenggukan. Kalau sudah menangis begini jadi susah berkata-kata.
"Fei," kata Pandu sambil masih menepuk-nepuk punggung Niken. "Papi dan mami kamu pasti
juga merasa bersalah meninggalkan kamu sendirian seperti ini. Jangan menambah rasa
bersalah mereka dengan terus-menerus larut dalam kesedihanmu. Kamu musti bangkit. Kamu
musti kuat." Niken mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandu yang duduk di sampingnya.
Pandangan mata Pandu begitu teduh, begitu nyaman. Seolah menghipnotisnya dengan katakata "Semuanya akan baik-baik saja." Pelan-pelan isaknya berhenti.
"Lagipula, seperti yang aku sudah bilang dari dulu-dulu, kamu masih ada aku. Selamanya.
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kamu usir aku sekalipun, aku akan tetap setia menjagamu. Aku nggak akan ke mana-mana."
Tersenyum, Niken memeluk Pandu. Hangat sekali rasanya dalam pelukan Pandu. Kalau katakata Pandu tadi benar, dunianya bakal sempurna sekali, selamanya.
"Memangnya kamu kira aku mau ke mana?" tanya Niken blo'on.
"Nggak tahu. Tapi aku harap juga nggak kemana-mana." sahut Pandu.
"Gimana kalau aku mau pipis" Kan musti ke WC. Masa' suruh di sini terus?" Niken tambah
menjadi-jadi pura-pura blo'onnya.
"Niken!!!!" Niken yang sekarang sudah hafal, kalau Pandu memanggilnya 'Fei' itu berarti
situasi biasa dan aman-aman saja. Kalau dia panggil "Niken", itu berarti situasi sudah
memanas. "Kamu nakal ya" Sebentar nangis, sebentar godain. Minta dicium apa?" kata Pandu sambil
memegang dagu Niken dan memonyongkan mulutnya.
"Hus Pandu..." kata Niken menyingkirkan tangan Pandu dari dagunya, walaupun dengan
setengah hati. "Ingat status kita sekarang apa" Aku bukan pacarmu. Nggak boleh cium-cium!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu. Setelah menepiskan tangan Niken, dipegangnya lagi
dagu mungil itu. "Nggak ada yang tahu ini. Selama nggak ada yang lihat, kita aman kan?"
lanjutnya dengan nada nakal.
"Kan ada.." "Oma?" Belum sempat Niken menjawab, Pandu sudah menyahut. "Oma kan merestui kita. Dia
senang malah kalau kita jadian."
"Pandu!!!" Gantian Niken yang teriak. Ternyata Pandu itu cepat sekali geraknya. Terutama
kalo soal mencuri ciuman. Secepat kilat bibirnya sudah menyentuh bibir Niken. Di luar
dugaannya, Niken spontan menjauhkan tubuhnya.
"Jangan, Ndu." sahut Niken tertunduk.
"Kenapa?" tanya Pandu hati-hati.
"Aku nggak tahu." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya yang kelihatan berat sekali itu.
"Jangan bohong." sahut Pandu. Diangkatnya dagu Niken supaya dia bisa menatap wajahnya.
"Kalaupun kita nggak pacaran, kita bersahabat. Kamu kan bisa bilang apa saja yang kamu
mau. Jangan kuatir aku nggak akan tersinggung."
Niken terdiam. "Sungguh, Pandu. Aku juga masih belum tahu jelas perasaanku. Yang jelas, semenjak papamama meninggal, aku jadi sering berpikir, aku ini anak yang nggak berbakti. Kalau aku bisa
memutar ulang kejadian hari itu, aku mungkin akan berkata lain."
"Semuanya sudah ..."
"Aku belum selesai." Sebelum Pandu selesai bicara, Niken sudah memotongnya.
"Aku mungkin akan berkata: Papa, Fei akan belajar mencintai Tante Mia seperti keluarga
sendiri, kalau itu yang Papa mau. Fei akan pergi ke Amerika kalau itu yang papa mau..."
"Fei nggak akan lagi ketemu Pandu kalau itu yang papa mau?" sahut Pandu menebak arah
jalan otak Niken. Niken sudah akan menundukkan kepalanya kalau saja Pandu tidak menahan dagu Niken
dengan tangannya. Keduanya sama-sama tidak berkata apa-apa sesudah itu. Niken tidak bisa berkata apa-apa
karena jujur saja memang kata-kata Pandu itu persis yang akan dia katakan. Walaupun dia
tahu untuk melupakan Pandu, akan membutuhkan seluruh masa kehidupannya di dunia ini.
Pertemuan mereka begitu singkat, kurang lebih setahun, tapi sudah menorehkan makna yang
sangat tajam di hatinya. Sedangkan Pandu, dia masih terkejut akan kata-kata Niken tadi. Dia tak menyangka Niken
sanggup bilang begitu. Walaupun memang secara de facto selama ini mereka tidak pernah
pacaran, tapi dia tahu persis Niken sayang dia, dan Niken pun sudah paham betul akan
perasaannya. Selama ini yang menjadi kendala hanya orang tua Niken yang tidak menyetujui
hubungan mereka. Setelah melalui berbagai peristiwa, sekarang justru setelah orang tuanya
meninggal, Niken malah berubah arah. "Benar-benar memusingkan!" batin Pandu.
"Aku sudah bilang, aku nggak tahu. Kamu yang memaksa." kata Niken kemudian, setelah
keduanya terdiam beberapa lama.
Pandu tidak menjawab. Dilepaskannya dagu Niken, dan beranjak pergi.
"Ndu!" panggil Niken sambil mengikutinya. "Jangan pergi dulu. Aku ingin tahu apa yang kau
pikirkan." "Aku yakin kamu sudah tahu persis apa yang kupikirkan. Aku pulang dulu." jawab Pandu
singkat, dan meninggalkan Niken sendirian di ruang tengah.
Limbung, Niken terduduk di kursi. Pikirannya kembali melayang ke papa-mamanya. Peristiwa
setragis ini, biasanya cuma ada di tv, batinnya berteriak, "Aku pasti berdosa besar sampai
dihukum seperti ini!"
:: Mata Elang : Chapter 7
"Wulan, ada yang nyari tuh!" ibu Wulan mengetuk kamarnya. Wulan yang sedang
mengerjakan soal-soal kimia sambil mendengarkan radio, jadi bingung. "Siapa, Bu" Malammalam begini?"
"Cowok. Ganteng. Cepet temuin sana." goda ibunya.
"Oooh.. Kamu toh, Pandu! Ada apa malam-malam mencariku?" Walaupun Wulan lega yang
mencarinya ternyata cuma Pandu, heran juga melihat Pandu ada di rumahnya malam ini.
"Lagi bingung, nih." kata Pandu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Bingung apa" Ujian kimia besok ya" Mustinya kamu ke rumah Niken, dia kan yang jago
kimia." tebak Wulan.
"Aku bahkan tidak bisa konsentrasi untuk belajar. Ini lebih serius dari ujian kimia." jawab
Pandu masih dengan tampang bingungnya.
"Lalu?" "Kamu sering ngobrol sama dia akhir-akhir ini?" tanya Pandu.
"Semenjak EBTANAS mulai awal minggu ini sih nggak. Memangnya ada apa" Niken kenapa?"
"Dia nggak papa, kayaknya. Aku nggak tahu. Dia sepertinya paling ahli bikin orang patah
hati." jawab Pandu dengan nada sinis.
"Patah hati" Aduh,... ada apa pula ini" Setahuku Niken bukan tipe orang yang suka menyakiti
hati orang. Lagipula, terakhir aku cek, dia bukannya masih cinta mati sama kamu?"
"Terakhir aku ketemu dia, dia bilang ga mau ketemu aku lagi tuh." keluh Pandu.
"Ha" Kenapa dia bisa berubah drastis begitu?"
Pandu mengangkat bahunya. Pandangan matanya kosong menatap ke arah pintu depan.
Wulan menggoyang-goyangkan tangannya persis di depan wajah Pandu.
"Malah melamun!" ujarnya kemudian.
Pandu tersontak kaget. "Sorry.." Cuma itu saja yang terucap dari bibirnya, lalu seakan-akan
hendak kembali lagi ke lamunannya.
"Jadi tujuan kamu kemari cuma mau melamun" Kalau begitu aku tinggal masuk ya, masih
banyak soal-soal kimia yang masih ingin aku kerjakan," desak Wulan, dengan harapan dengan
begitu Pandu akan mengatakan apa sebenarnya tujuan dia ke rumahnya malam ini.
"Aku nggak tahu lagi musti berbuat apa, Wulan." Pandu mendesah panjang. "Sepertinya dia
sudah nggak butuh seorang Pandu lagi. Rasanya aku ini hanya beban untuknya. Seolah-olah
hubunganku dengannya adalah dosa yang menyebabkan terenggutnya nyawa orang-tuanya."
"Astaga, Pandu! Koq kamu bisa berpikiran buruk seperti ini sih" Dapat dari mana pikiran
sejelek ini?" "Dari Niken. Dia sendiri yang bilang..."
"Nggak mungkin. Nggak mungkin Niken bilang begitu. Nggak mung..."
Pandu menyela, "Aku juga nggak akan percaya kalau nggak mendengarnya sendiri, Wulan.
Sungguh, ini kata-kata Niken sendiri."
Wulan terdiam. "Memang akhir-akhir ini Niken terlalu larut dalam kesedihannya," pikirnya
dalam hati. "Ndu.." kata Wulan setelah berpikir beberapa saat. "Orang yang sedang galau pikirannya
seperti Niken ini, omongannya sering yang nggak-nggak. Ditelan mentah-mentah dulu lah,
Pandu. Beri dia waktu. Aku saja nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggal
kedua orang tua sekaligus. Aku masih ada ibuku. Di saat-saat seperti ini, dia butuh kamu
sebagai tiang sandaran, Ndu. Cobalah untuk menahan emosi. Aku yakin Niken sama sekali
tidak bermaksud menyakiti perasaanmu."
Menghadapi wajah putus-asa Pandu, Wulan jadi tidak yakin lagi akan yang kata-kata yang
baru saja diucapkannya sendiri. Rasanya terlalu berat untuk membiarkan Pandu sakit hati
seperti ini terus-terusan. Tapi di lain pihak dia juga yakin Niken pasti merasakan hal yang
sama. Pelan-pelan Pandu mencerna kata-kata Wulan yang masih terngiang-ngiang di telinganya.
Direkam dan diputarnya di otak perlahan-lahan, berkali-kali. Wulan masih terdiam, tidak berani
mengganggu Pandu bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang khusuk bermeditasi.
"Baiklah Wulan. Aku permisi pulang dulu." kata Pandu sambil berdiri.
"Lho?" ujar Wulan bingung.
"Oh ya, terima kasih. Rasanya kata-katamu itu pas sekali. Aku mungkin tadi cuma butuh orang
untuk menyadarkanku akan hal ini." kata Pandu kemudian.
"Ooh..." Wulan menghela napas lega. "Syukurlah kalau aku tadi mengatakan hal yang benar."
batinnya. "Terima kasih sekali lagi, Wulan. Maaf sudah mengganggu jam belajarmu."
"Jangan sungkan-sungkan begitu, Ndu. Aku yakin kalau aku punya masalah kamu pasti juga
akan meluangkan waktumu untuk menolongku sebisamu, kan?"
Pandu mengangguk sambil tersenyum. Semakin lega Wulan melihat senyum di wajah Pandu.
Setelah Pandu lenyap dari pandangannya, Wulan mengutuki sahabatnya itu dalam hati "Aduh
Niken! Ada apa denganmu kali ini"!"
* Sudah lima menit Niken menunggu di dalam ruangan ber-AC ini. Ada seorang anak laki-laki
seumurnya yang dari tadi menatapnya dengan penuh rasa benci.
"Siapa sih itu, Oma" Koq pandangan matanya nggak enak begitu?" bisik Niken ke Oma yang
duduk di sebelahnya. "Itu anak Papamu sama Tante Mia. Anak yang paling besar. Ada dua lagi adiknya, perempuan
semua. Kayaknya tidak dijadwalkan untuk hadir, karena dianggap masih terlalu kecil."
Niken lalu berpikir sebentar, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah anak laki-laki
itu. "Hallo, siapa namamu?" tanya Niken ramah.
Anak laki-laki itu diam saja. Tidak berniat sama sekali untuk menjawab, malah melengos.
Tidak putus asa, Niken pindah ke kursi sebelah satunya. "Namaku Niken. Keluargaku biasa
panggil aku Fei Fei. Kamu boleh panggil aku apa aja." kata Niken sambil menyodorkan
tangannya untuk berkenalan.
Diliriknya Oma yang memperhatikannya terus. Niken lalu tersenyum.
Melihat senyum Niken yang begitu ramah, akhirnya anak itu membuka mulutnya.
"Namaku Hendri. Keluargaku biasa panggil aku Hendri. Kamu boleh panggil aku Hendri."
"Kocak juga kamu rupanya." kata Niken tersenyum lebar.
"Aku sebenarnya ingin menemuimu setelah pemakaman sebulan yang lalu." lanjut Niken.
"Tapi kamu sepertinya menghindariku terus. Enggak jadi deh akhirnya. Aku cuma ingin
mengucapkan bela sungkawa karena kamu kehilangan kedua orangtuamu, sama seperti aku.
Cuma aku yang bisa mengerti persis bagaimana perasaanmu, harus kehilangan kedua orangtuamu."
"Kamu nggak tau gimana rasanya. Aku nggak pernah dekat sama Mami apalagi Papi. Aku
nggak begitu sedih koq."
"Kalau begitu aku benar-benar tahu persis perasaanmu. Karena aku juga nggak pernah dekat
sama Papa Mama. Tapi aku tetap saja sedih, terutama kalau mengingat kata terakhir yang aku
ucapkan pada Papa adalah selamat tinggal untuk sementara. Menyesal sekali kata terakhir itu
aku ucapkan dengan penuh kebencian, lebih tepatnya kekecewaan. Lebih menyesal lagi
karena aku tidak sempat berbaikan kembali. Aku yakin kamu pasti merasa hal yang sama, ya
kan?" "Aku dari awal memang nggak suka rencana Mami mau tinggal di Semarang. Makanya aku
nggak ikut ke Semarang. Mami duluan yang ke Semarang. Rencananya sesudah naik kelas
nanti aku bakal dipindah ke Semarang. Aku masih ngotot nggak mau. Sejak Mami pergi dari
Malang, aku sama sekali nggak mau ngomong sama Mami. Aku masih marah."
"Dan waktu kamu dengar kejadian naas itu, rasanya menyesal sekali kamu nggak sempat
minta maaf sama Mami kan" Banyak hal yang aku sesali, Hendri. Aku bahkan menyesal tidak
memberikan kesempatan buat diriku sendiri untuk lebih mengenal Tante Mia. Aku benci sekali
sama Tante Mia karena telah menghancurkan keharmonisan rumah tangga keluargaku.
Walaupun aku juga sadar, keharmonisan itu pasti sebetulnya sudah hancur sebelum ada Tante
Mia." "Kamu tahu" Aku juga benci sama Papi, setelah tahu bahwa ternyata Papi itu punya istri
pertama. Aku baru tahu nggak lama sebelum Mami mau pindah ke Semarang. Sejak itu aku
benci Papi dan segala sesuatu yang berbau Tjakrawibawa, termasuk kamu, saat aku
mendengar bahwa Papi punya anak perempuan dengan istri pertamanya. Rasanya
kebencianku itu nggak beralasan. Maafin aku, ya. Eh, aku boleh panggil kamu cici?" tanya
Hendri, yang ternyata memanggil papa Niken "papi".
Niken heran. Kenapa Hendri mau manggil dia cici" Baru saja dia akan bertanya "Kenapa?"
sebelum akhirnya sadar bahwa status Hendri itu termasuk adiknya. "Telat mikir. Bodoh sekali".
"Tentu saja boleh. Belum pernah ada yang memanggilku cici sebelum ini."
"Hendri, dengerin aku. Seandainya Papa mewariskan apapun padaku, aku akan berikan
padamu. Aku nggak butuh apapun dari Papa. Rumah di Jalan Kenanga itu punya Mama, dan
kebetulan sudah jadi hak milikku. Itu sudah lebih dari cukup buatku."
"Cie, aku juga baru mau mengatakan hal yang sama. Aku nggak ingin pindah dari Malang. Di
Malang aku tinggal sama Oma dan Opa dari Mami. Uang tabungan Mami cukup-cukup sekali
buat menghidupi seratus anak. Jadi aku bermaksud menolak warisan apapun dari Papi. Jangan
berikan padaku. Aku nggak mau."
"Nah lho" bagaimana ini?" tanya Niken bingung.
"Dilihat aja nanti. Belum tentu diwarisi juga." kata Hendri tersenyum.
Niken jadi teringat Omanya yang duduk sendirian. Niken lalu berjalan ke arah Oma,
mendorong kursi rodanya jadi Oma bisa duduk di sebelah Hendri juga.
"Oma, ini Hendri." kata Niken mengenalkan.
"Bagaimana sih kamu, Fei" Oma tuh sudah kenal. Tadi Oma juga sudah bilang?" kata Oma
geli. "Oh, iya. Lupa." kata Niken sambil menepuk dahinya.
Kebetulan yang dijadwalkan untuk hadir sudah hadir semua. Lalu acara pembacaan warisan
dimulai. Dimulai dari warisan Papa, lalu Mama, lalu Tante Mia. Seperti dugaan Niken, semua
milik Mama diwariskan untuknya, kecuali rumah tinggalnya di Kebumen yang memang sudah
dihuni oleh Oom Yongki, adik mama. Mobil BMW yang memang diatasnamakan Mama, jadi
milik Niken. Juga harta benda Mama di bank termasuk deposito, tabungan dan simpanan
emas. Niken bahkan tidak tahu bahwa Mama memegang polis asuransi jiwa, jadi Niken
sebagai ahli waris mamanya mendapat hak penuh atas asuransi jiwanya.
Semua harta millik Tante Mia tidak semua diwariskan ke Hendri, melainkan dibagi tiga.
Sesudah adik-adiknya besar, baru mereka berhak mendapatkan warisannya masing-masing.
Tapi sepertiganya langsung diberikan pada Hendri. Termasuk dua rumah di Surabaya dan
beberapa mobil mewah. Sampai saat pembacaan warisan Papa, tidak ada satupun orang yang protes.
Papa mewariskan banyak hal ke banyak orang. Sepertinya seluruh keluarganya mendapat
jatah yang adil. Untuk adik-adiknya, untuk Oma, bahkan teman-temannya. Barang-barang
yang diwariskan termasuk saham-saham miliknya, tanah di beberapa tempat termasuk
apartemennya yang di Jakarta, uang, dan masih banyak lagi barang kecil-kecil yang
sayangnya sudah hangus bersama terbakarnya rumah Kinanti.
Untuk Niken, Papa memberikan rumah Kinanti, yang sekarang tinggal berharga tanah. Papa
lebih banyak memberikan warisannya pada Hendri, termasuk uang tabungan pribadinya,
karena dia anak laki-laki satu-satunya. Niken merasa lega. Dia sudah punya rencana bagus
untuk memanfaatkan warisan Papa. Tanah Kinanti akan dia jual dan uangnya akan dia
gunakan untuk menolong korban demonstran di hari naas itu. Walaupun uang mungkin tidak
akan cukup untuk melupakan dan menebus kejadian naas itu, tapi pasti sedikit banyak akan
membantu meringankan beban banyak orang.
Warisan Mama yang jumlahnya tidak sebanyak warisan Papa, akan digunakannya untuk
membiayai kuliah kedokterannya sampai selesai. Beres, kan"
Segera setelah selesai pembacaan warisan, Hendri langsung maju ke depan dan berbisik-bisik
pada bapak Notaris. Setelah itu dia duduk kembali.
"Kenapa, Hen?" tanya Niken.
"Aku ingin mewariskan warisan Papa itu untuk dibagi rata buat kedua adikku setelah besar
nanti. Biar mereka nanti yang memutuskan kegunaan warisan Papa itu." kata Hendri.
"Benar-benar ironis?" gumam Oma.
"Maksud Oma?" tanya Niken.
"Papamu itu dari muda ingin punya anak laki-laki untuk diwarisi kalau dia sudah meninggal.
Sesudah dia tidak ada, anak laki-laki satu-satunya malah tidak mau diwarisi. Apa bukan ironis
namanya?" "Warisan Papi untuk kamu mau diapain, cie?" tanya Hendri.
"Oh, aku sudah putuskan untuk menghabiskan semuanya untuk korban demonstran waktu
lalu. Rasanya lebih tepat untuk itu." kata Niken.
"Oma bangga sekali punya cucu-cucu seperti kalian. Hendri, kamu harus mengajari adikadikmu supaya bisa seperti kamu." kata Oma sambil memeluk kedua cucunya.
* Sabtu kemarin adalah hari terakhir ujian nasional. Hari ini hari Senin. Murid-murid kelas tiga
terlihat begitu ogah-ogahan datang ke sekolah. Bahkan daftar murid terlambat hari ini
mendadak berlipat ganda dari hari-hari biasanya. Sepertinya energi mereka sudah terkuras
habis minggu lalu. Beberapa anak bahkan tak terlihat batang hidungnya. Gedung kelas tiga
terpisah dari gedung induk SMA Antonius. Hari ini murid-murid diharuskan datang karena ada
acara kerja bakti membersihkan kampus selama tiga hari berturut-turut. Dari tadi pagi anakanak kelas tiga terlihat menggerutu sambil mengutuki orang-orang yang bertanggungjawab
atas ide gila kerja bakti ini. Untunglah tak satupun dari mereka yang mengetahui siapa otak
dibalik ide gila tersebut. Kalau sampai ada yang tahu, pasti saat ini orang tersebut sudah lari
pontang-panting dikejar-kejar anak seangkatan. Atau mungkin juga tidak. Tak terlihat ada
satupun anak yang mempunyai energi cadangan untuk mengejar kambing sekalipun.
Kecuali Pandu. Anak itu dari tadi sibuk mondar-mandir dari ruang soundsystem ke ruang
musik. Kegiatan anehnya ini luput dari perhatian semua orang, karena semua anak sedang
sibuk, atau pura-pura sibuk bekerja bakti membersihkan ruang-ruang kelas.
Tiba-tiba.... "Test... test.. Dengar semua suara saya?" Suara Pandu terdengar dari seluruh loudspeaker
yang ada di gedung kelas tiga, yang memang biasanya digunakan untuk pengumuman.
Kegiatan kerja bakti jadi mendadak berhenti total. Mendengarkan pengumuman jauh lebih
menarik daripada kerja bakti. Beberapa anak berdoa komat-kamit agar pengumuman itu akan
berbunyi "Anak-anak kelas tiga boleh pulang sekarang".
"Rekan-rekan Antonians, hari ini saya Pandu, dengan seijin kepala sekolah, akan menjadi radio
DJ dadakan untuk menemani teman-teman yang sedang sibuk bekerja bakti dengan alunan
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musik. Maaf untuk sementara tidak bisa menerima request lagu, berhubung kompilasi lagu
yang ada saat ini sangat terbatas jumlahnya. Akan tetapi jangan kuatir, selera teman-teman
pasti terpenuhi. Di sini saya sudah sedia tembang-tembang instrumental, jazz, pop, rock,
klasik, dan dangdut. Lagu pertama yang akan saya putar ini adalah rekaman suara saya
sendiri. Jangan takut, cuma satu lagu ini saja yang belum dirilis ke publik. Saya harus
mengucapkan terima kasih pada Mas Baron Kanginan yang mengiringi lagu ini dengan alunan
pianonya, juga membantu merekam ke kaset. Lagu ini saya persembahkan untuk orang yang
selama ini memenuhi otak dan hati saya, meski waktu mengerjakan soal-soal ujian. Fei, lagu
ini buat kamu.." Niken yang sedang berdiri di atas meja membersihkan kaca jendela, tersontak kaget.
Walaupun tidak ada anak yang tahu 'Fei' itu namanya, tapi dia tahu. Dua tiga detik setelah
Pandu selesai berbicara, jantung Niken berdebar keras berusaha menduga-duga lagu apa
kiranya yang akan dimainkan anak nekad ini. Begitu Niken mendengar intronya yang
dimainkan dengan piano, Niken tercenung. Lagu ini lagu kesayangan papanya! Dan sangat
dikenalnya.. Tapi... bagaimana mungkin... Pandu kan tidak bisa bahasa...?"
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni mei you li you mei you yuan yin
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni cong jian dao ni de na yi tian qi
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wu jing de ye pei wo du guo
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wo hua zhe shou zai feng zhong chan dou
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni zai hei ye li qing ting ni de sheng yin
Walaupun semenjak kecil Niken biasa mendengar papa-mamanya bercakap-cakap dalam
bahasa Mandarin, Niken tidak pernah benar-benar berusaha belajar dan mengerti artinya.
Butuh konsentrasi penuh untuk menghayati lirik lagu tersebut dan memahami maksudnya.
Sulit, tapi bukan di luar jangkauan kemampuannya.
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
tanpa alasan, tanpa sebab
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
Sejak hari pertama ku berjumpa denganmu
Tahukah kau, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan malam tak berujung menemaniku
Tahukah kamu, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan tanganku gemetar mengayuh di tengah2 angin
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
di kegelapan malam kudengar suaramu
Campur aduk perasaannya saat ini. Niken jadi menyadari betapa kangen dirinya untuk dipeluk
papanya. Meskipun Niken tak pernah merasa dekat secara pribadi dengan papanya, papanya
tetap papanya. Niken tak menyangka bahkan suara papanya pun masih dapat diingatnya
dengan jelas. Suara serak dan batuk-batuknya di pagi hari, siulan dan senandung kecil
papanya dari dalam kamar mandi tiap pagi dan sore bila suasana hatinya sedang enak.
Mamanya sebaliknya bersuara sumbang dan tidak bisa mengikuti ritme, tidak hobi menyanyi
seperti papanya. Sewaktu kecil, Niken pernah melihat mamanya berdiri terpaku di depan
kamar mandi selagi papanya menyanyi-nyanyi kecil di "studio mini"nya itu. Seperti apa wajah
mama waktu itu jadi tergambar jelas di ingatannya sekarang. Wajah yang mendambakan
kehangatan dan memimpikan lagu-lagu yang dinyanyikan suaminya itu ditujukan untuknya.
Niken baru menyadari sekarang bahwa sejauh-jauhnya hatinya dari orang-tuanya, banyak hal
dari mereka yang secara tidak langsung berimbas besar di dirinya. Heran bercampur bangga
pada dirinya sendiri karena dia sanggup mengingat hal-hal kecil seperti itu, hanya dengan
mendengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Pandu. "Pandu!" serunya dalam hati.
Bahkan beberapa saat dalam lamunannya tadi dia lupa bahwa suara yang sedang mengalun
lembut dari loudspeaker murahan itu adalah suara yang paling dikangeninya saat ini.
"Terima kasih, Pandu?" batinnya lagi. Tak disadarinya air matanya mengalir pelan di pipinya.
Didengarkannya lagi lagu itu dengan sepenuh hatinya dengan mata berkaca-kaca. "Pandu
pasti sudah latihan mati-matian sebelumnya", pikirnya. Pasti sulit menyanyikan lagu ini dengan
lafal yang benar, terutama buat orang seperti Pandu yang sama sekali tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun dalam bahasa Mandarin. Entah dia belajar dari siapa. Yang
jelas bukan darinya. Niken pasrah, membiarkan perasaannya larut dibuai oleh lagu romantis
Pandu. Perasaan yang sudah lama ditekan dan dihalang-halanginya untuk muncul ke
permukaan, kali ini dibiarkannya lepas, liar tanpa kontrol. Dan harus diakuinya, perasaan ini
indah dan sangat memanjakan dirinya.
Sendirian di dalam ruang soundsystem, Pandu memejamkan matanya untuk menenangkan
debar jantungnya. "Kira-kira Niken sedang apa sekarang, ya?" Jantungnya yang berdegup
keras ini bukan karena grogi suaranya terdengar di seluruh pelosok gedung kelas tiga, tapi
karena lagu ini adalah cerminan murni dari suara hatinya yang menginginkan hanya seorang.
Niken. Dia sudah membayangkan kemungkinan terburuknya. Niken tambah benci padanya
dan tak ingin mengenalnya lagi. Sepertinya itu resiko yang harus diambilnya, untuk membuat
gadis bodoh yang amat dicintainya itu mengerti akan perasaannya. Bahwa dia tidak akan
gentar mencintai Niken sampai kapanpun, sampai Niken berhenti mencintainya sekalipun. Tapi
tentu saja dia mengharapkan reaksi positif dari Niken. Tidak harus sekarang, asalkan suatu
saat dalam masa hidupnya.
Larut dalam lamunannya, Pandu tak menyadari lagu itu sudah selesai sekitar semenit yang
lalu. Keheningan itu memecahkan lamunannya.
Cepat-cepat memencet tombol "stop" untuk menghentikan putaran kasetnya, Pandu mulai
bercuap-cuap lagi. "Demikianlah maestro yang memang karyanya sudah tak asing lagi di telinga rekan-rekan
sekalian. Maksud saya tentunya Mas Baron Kanginan. Malu sebenarnya suara saya diiringi Mas
Baron. Tapi apa boleh buat, untuk menyanyikan lagu dalam bahasa asing saja sudah sulit,
apalagi latihan pianonya. Untung ada Mas Baron yang mau membantu. Maaf tadi sunyi senyap
setelah lagu selesai. Maklum DJ masih belum profesional. Baiklah! Tanpa panjang lebar lagi,
saya putar lagu kedua, ini Aerosmith, Crazy...." Tangan Pandu sibuk menempatkan kaset pada
slotnya, lalu menekan tombol "play".
Niken sudah lama berdiri di luar ruang soundsystem sambil mengetuk-ngetuk pintu kayu itu.
Sepertinya suara di dalam soundsystem terlalu keras sehingga ketukannya tak terdengar oleh
Pandu. Tak sabar, digedornya pintu itu dengan kedua tinju tangannya. Mendengar gedoran
pintu, Pandu meloncat dari kursinya dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Niken langsung memberikan senyumannya yang terlebar untuk Pandu.
Seperti terhipnotis, Pandu pun ikut tersenyum lebar.
Ketika dua detik kemudian senyum lebar Niken yang manis berubah menjadi tertawa kecil,
Pandu tergelitik untuk bertanya "Koq malah tertawa?"
"Habis kamu lucu sekali." sahut Niken masih tergelak.
"Lucu bagaimana?" Pandu mengerutkan alisnya.
"Ya yang tadi itu. Kamu lucu bisa nyanyi lagu mandarin segala. Dari semua kegilaanmu selama
ini, rasanya yang kali ini bisa meraih penghargaan tertinggi. Ngomong-ngomong, aku boleh
masuk nggak?" tanya Niken sambil melirik ke dalam ruang soundsystem.
Setelah dipersilahkan masuk dan Pandu menutup pintunya kembali, Niken menatap Pandu
yang masih menyandarkan punggungnya di pintu. Membaca wajah Pandu yang penuh tanda
tanya, Niken tersenyum lagi, berusaha menghapus kegugupan dari wajah Pandu. Tapi
ternyata tak semudah itu melenyapkan ketegangan itu hanya dengan sebuah senyuman.
"Bagus tadi lagunya, Ndu" Suara Niken memecah kesunyian.
"Terima kasih, Fei. Tapi kita berdua sama-sama tahu, bukan tanggapan seperti itu yang ingin
kudengar darimu." "Kamu tahu arti lagu tadi?" Pertanyaan bodoh, Niken! serunya dalam hati.
Pandu melongo. "Tentu saja aku tahu arti lagu itu luar kepala. Buat apa aku nyanyi kalau
nggak tahu artinya?"
"Maaf,.. Bukan itu sebenarnya yang hendak aku katakan. Entah kenapa yang keluar di mulut
jadi lain.." keluh Niken.
Perhatian Pandu mendadak terpusat ke arah putaran kasetnya. Mengikuti arah pandangan
Pandu, Niken hendak mengingatkan Pandu bahwa lagu Aerosmith ini sebentar lagi selesai.
Pandu langsung mengetahui apa yang hendak Niken katakan. "Tenang saja. Kaset itu isinya
lagu-lagu kompilasi. Biarkan saja berputar sampai habis. Sekarang aku lebih tertarik ingin
mendengar apa yang ingin kau katakan."
"Kamu tahu" Lagu tadi... Papa sering mendendangkannya..."
Deg! Sesaat Pandu limbung mendengar kata-kata Niken. Tanggapan Niken ini jauh di luar
dugaannya. "Fei..." Pandu mendekat. "Sama sekali aku tak bermaksud mengkorek lukamu..."
"Kamu selalu begitu. Tidak pernah membiarkan aku selesai bicara. Aku juga tidak bilang kamu
mengkorek luka, koq."
Pandu membisu. Dibiarkannya Niken menyelesaikan kata-katanya kali ini.
"Mendengarkan lagumu tadi, aku jadi menyadari dua hal penting. Pertama, bahwa Papa dan
Mama justru sekarang malah tambah dekat di hatiku. Aku bukan anak yang tak berbakti.
Sampai kapanpun mereka tetap papa-mamaku, yang memang jauh dari sempurna. Seperti
aku pun yang tak sempurna. Tapi aku harus menemukan jati diriku sendiri, kemauanku
sendiri. Aku tak pernah ingin hidup di bawah bayang-bayang mereka selama mereka hidup,
dan aku tidak ingin memulainya sekarang."
Wajah Pandu berubah cerah. Di luar perkiraannya, lagu tadi sudah menyelamatkannya lebih
dari yang dia harapkan. "Yang kedua?" tanya Pandu kemudian.
"Aku jadi menyadari betapa sulit mengenyahkanmu dari hidupku. Apapun yang kulakukan,
sepertinya tak membuatmu menjauhiku. Justru sebaliknya. Benar-benar mengesalkan!"
Pandu menatap mata bening Niken. Rasanya tak salah bila dia menyimpulkan bahwa di situ
ditemukannya penyesalan, kepercayaan dan harapan. Penyesalan akan keraguan dan sikapnya
sendiri, kepercayaan akan cinta Pandu, dan harapan akan kebahagiaannya bersama Pandu.
Ditemukannya pula jawaban atas semua pertanyaannya.
Secara refleks, Pandu menarik pinggang Niken ke arahnya bak penari salsa. Ingin rasanya
memeluk dan mencium Niken saat itu juga. Untung dia ingat ini di ruang sound system, di
sekolah, pada jam pelajaran pula. Bisa berabe kalau sampai ada orang tahu. Mereka bisa
dikeluarkan dari sekolah sebelum hasil ujian diumumkan!
Dengan berat hati dilepaskannya pinggang Niken dari pegangannya.
"Sebetulnya aku datang kemari cuma ingin berkomentar satu hal. Kenapa jadi berlarut-larut
dan melenceng dari tujuan awal begini?" Niken menepuk dahinya.
"Komentar apa?" tanya Pandu tertarik.
"Di kegelapan malam kamu sering mendengar suaraku?" tanya Niken sambil tertawa keras
sekali. "Menakutkan sekali! Kalau aku jadi kamu, aku akan bawa-bawa pisau dapur tiap mau
tidur! Kamu kira aku tuyul"!"
* "Mari masuk Niken. Pandu lagi tidur siang tuh. Katanya capek setelah tiga hari kerja bakti di
sekolah. Dibangunkan saja. Sudah jam setengah lima sore ini." kata Ibu Pandu saat melihat
Niken datang. "Hei, bangun, jangan ngorok terus!" kata Niken, mengagetkan Pandu yang sedang tidur
dengan pulas. Niken lalu menyalakan lampu kamar Pandu.
"Kamu kejam deh. Masih pegal-pegal nih!" Pandu mengomel. Sepertinya dia belum betul-betul
bangun. "Jalan-jalan yuk." ajak Niken.
"Malas ah?" kata Pandu bersiap-siap mau bobok lagi.
Niken cepat-cepat menarik bantalnya. Buk! Kepala Pandu membentur kasur.
"Apa-apaan sih kamu, Fei" Aku ngantuk nih?" kata Pandu sambil memohon-mohon Niken
untuk mengembalikan bantalnya.
"Ayo lah" aku sudah sampai di sini masa" diusir sih" Cuaca di luar cerah tuh. Ayo keluar
yuk?" ajak Niken lagi.
"Ah, kamu memang kalo udah ada maunya?" Pandu mengomel sambil beranjak berdiri.
"Oke, aku mandi dulu, kamu baca-baca majalah tuh" lanjut Pandu sambil menunjuk tumpukan
majalah di lemari bukunya.
Setelah Pandu keluar kamar, Niken mengamati kamar Pandu dengan cermat. Nggak banyak
berubah sejak terakhir dia kemari. Kamar kecil Pandu ini nggak begitu rapi, tapi nggak acakacakan. Paling mejanya aja yang penuh buku, sampai nggak ada tempat lagi untuk menulis.
Wajar saja karena baru saja selesai musim ujian. Tapi diluar itu semuanya rapi. Tidak ada
pakaian kotor di lantai, tidak ada makanan atau minuman di kamarnya. Eh, ada juga foto
Niken di meja kecil dekat tempat tidurnya. Niken tersenyum sambil menyambar salah satu
majalah yang tadi ditunjuk Pandu.
"Kamu keluar dulu, gih." kata Pandu mengagetkan Niken.
"Kamu koq kilat mandinya?" tanya Niken.
"Ya ini udah selesai. Sekarang aku mesti ganti baju. Makanya kamu keluar dulu deh." kata
Pandu sambil mengusir-usir Niken keluar dari kamarnya. Tadi dia lupa membawa pakaiannya
ke kamar mandi, seperti biasanya, jadi sekarang dia cuma membalutkan handuk di
pinggangnya. Rambutnya basah habis keramas.
Diam-diam Niken mengamati Pandu yang bertelanjang dada. Seksi juga, berotot lagi. "Hihi?"
Niken tertawa dalam hati.
"Eh" cepetan dong. Kamu koq malah bengong?" kata Pandu lagi.
"Iya iyaa" Galak amat! Ini aku keluar." kata Niken keluar kamar sambil masih tertawa-tawa.
Begitu Pandu keluar kamar, Niken yang tak sabar langsung menggandengnya keluar rumah.
"Pamitan sama ibumu, cepat. Aku tadi sudah."
Sambil jalan, karena masih ditarik-tarik dengan paksa oleh Niken, Pandu berpamitan "Bye Bu"
doakan aku kembali utuh ya?" gurau Pandu. Habisnya Niken seperti menarik-narik kambing
ke balai penyembelihan binatang.
"Ada apa sih?" tanya Pandu saat mereka sudah ada di mobil Niken.
"Nih" baca nih?" kata Niken menunjukkan sepucuk surat berkop Universitas Indonesia.
Pandu lalu membaca surat itu dengan cermat. Sampai di alinea terakhir, dia lalu tersenyum.
"Wah" selamat, Fei, kamu lolos PPKB! Nggak usah ikut UMPTN! Hebat. Jarang lho orang yang
lulus PPKB buat FKUI!" kata Pandu berteriak-teriak.
"Makanya itu aku pengen merayakan hari bersejarah ini. Catat, ini tanggal 15 Mei."
"Nggak cuma kamu lho yang lolos PPKB." kata Pandu serius.
"Siapa lagi?" tanya Niken.
"Aku." kata Pandu sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu" Yang benar, Ndu?" tanya Niken nggak percaya.
"Eh, nggak percaya. Aku juga baru mendapat suratnya kemarin. Mau aku ambilkan di rumah?"
tanya Pandu. "Aku malah mendapat keringanan uang SPP untuk tahun pertama dari
Depdikbud. Nanti tahun kedua tergantung evaluasi prestasiku di tahun pertama di ITB, begitu
katanya." "Wah" selamat yah" Ini betul-betul perlu dirayakan. Kamu mau ke mana" Ada ide?" tanya
Niken. "Kamu kan yang dari tadi teriak-teriak ingin jalan-jalan. Aku kirain kamu sudah ada rencana
mau ke mana?" tanya Pandu geli.
"Aku kan cuma tanya kamu ingin ke mana. Siapa tahu kamu punya ide lebih baik. Kan baik
aku menawarkan, kan" Kalo nggak ada ide ya aku kembali ke rencanaku semula."
"Memangnya menurut rencana jahatmu semula kamu mau ke mana?"
"Jahat" Ada deh?" kata Niken sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Oke lah. Aku ikut saja." kata Pandu lalu memejamkan matanya.
"Sialan, kamu malah bobok lagi" Dasar tukang ngorok!" Niken mulai mengomel lagi.
"Memangnya aku tadi ngorok?" tanya Pandu serius.
"Wah, keras sekali?" kata Niken sambil tertawa geli.
"Seriusss?"!" tanya Pandu lagi.
"Serius!" jawab Niken ikut-ikutan pasang tampang serius.
Pandu lalu diam saja. Malu, dong.
"Memangnya kenapa sih kalo ngorok?" tanya Niken.
"Nggak enak saja. Selama ini kan aku bobok sendirian, jadi ngorok juga nggak masalah. Tapi
misalnya aku menginap di tempat orang, atau kalau udah kawin nanti, kan kasihan istriku
kalau aku ngorok setiap malam. Bisa nggak bisa bobok dia."
Niken tambah kencang ketawanya.
"Culun sekali kamu, Ndu. Kamu pasti tadi capek aja, jadi mengorok. Waktu sebulan aku di
rumahmu aku kadang-kadang keluar kamar ambil minum, kamu juga tenang-tenang saja koq
tidurnya. Lagipula, kurasa kau butuh istri yang seperti aku?" kata Niken sambil tersenyum.
"Kenapa?" "Begitu kepalaku menempel bantal, aku pasti langsung tertidur. Makanya sebelum menyentuh
bantal aku pasti bikin puisi dulu. Kalo nggak bisa-bisa batal nggak bikin puisi melulu setiap
hari." "Tapi bagaimana bisa kawin sama kamu" Kita pacaran saja nggak?" kata Pandu.
"Lho" Kita tu nggak pacaran tho?" tanya Niken bengong.
"Bagaimana sih" Kan kamu dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu."
"Lha trus yang kemarin di ruang soundsystem, kamu kira aku ngapain?"
"Kamu kan cuma datang mengomentari laguku..."
"Ah, Pandu, kamu emang bodoh sekali! Kamu nggak mau ya pacaran sama aku?"
"Lho" Apa aku pernah bilang nggak mau" Aku justru yang selama ini bilang cinta ! Ingat
laguku kemarin lusa ?"
Niken lalu terdiam. Pas dia lagi mau berbicara sepatah kata, kebetulan Pandu juga mau
mengatakan sesuatu. "Kamu duluan, deh." kata Niken sambil mengganti persneleng empat.
Mata Elang Karya Hey Sephia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nggak. Kamu saja duluan."
"Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi kecuali kamu, Ndu. Akhir-akhir ini aku sering merasa
kesepian banget di rumah. Jadi inget cici, mama, papa. Aku merasa beruntung masih punya
kamu. Rasanya Tuhan mengirimkan kamu pada saat yang tepat?"
"Fei" awas sepeda motor!" teriak Pandu. Niken kaget. Rupanya dia tak sadar melamun.
"Kamu melamun ya?" tanya Pandu setelah Niken meminggirkan mobilnya.
Niken menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
"Bahaya nich" Kamu berhenti dulu lah kalo mau ngobrol. Atau aku yang nyetir ya" Kamu mau
ke mana sih?" usul Pandu.
"Yah sudah, kita berhenti di sini dulu aja. Mumpung di bawah pohon rindang. Angin semilir
lagi. Wah. Seandainya aku bawa buku puisiku, bisa bikin puisi nih?" gumam Niken melantur.
"Fei, kamu pakai parfum ya?" tanya Pandu.
"Nggak." kata Niken sambil mencium-cium bajunya. "Kenapa memangnya?"
"Wangi." "Wangi" Swear deh aku nggak pake parfum."
"Nah kan,... kamu nggak bisa bilang kita selama ini pacaran, karena aku saja nggak tahu
bahwa tanpa parfum tu kamu wangi sekali. Aku baru tahu sekarang. Dan aku suka sekali. Aku
ingin tahu hal-hal kecil seperti ini yang aku belum tahu. Misalnya, apa film kesukaanmu, apa
makanan kesukaanmu, siapa cinta pertamamu, dan bahkan kamu belum sempat menjawab
pertanyaanku yang dulu, siapa tokoh idolamu selain Sun Tzu."
"Aku juga nggak tahu banyak tentang kamu di hal-hal yang kecil seperti itu, rasanya kita cuma
perlu lebih banyak meluangkan waktu berdua. Seperti sekarang ini. Atau seperti waktu di
dalam ruang soundsystem. Bicara dari hati ke hati. Itu kan yang namanya pacaran" Tapi, kalo
kamu cuma ingin tahu aja, film kesukaanku "Gone with the wind", makanan favoritku bakmi,
tokoh idolaku selain Sun Tzu adalah cici, dan cinta pertamaku, tentu saja kamu. Pakai acara
tanya segala." "Memangnya kamu nggak pernah naksir siapa-siapa sebelum aku?" tanya Pandu.
"Nggak." Niken menggeleng mantap. "Kamu pernah naksir cewek ya?" tanya Niken.
Pandu mengangguk. "Bu Fani, guruku waktu SD kelas dua."
"Hah"! Guru SD" Ah, kamu yang benar saja?"
"Bener! Bu Fani tu sabaaarrr sekali. Aku inget aku sempat sering datang ke sekolah pagi-pagi
sekali, sengaja cuma ingin membersihkan kelas, demi ingin mendapat pujian Bu Fani sewaktu
dia masuk ke kelas. Tapi cuma sebentar saja sih naksirnya, karena terus aku tahu Bu Fani
sudah punya suami. Kalau aku ingat-ingat lagi, bodoh sekali aku. Seandainya saja waktu itu
dia belum punya suami, trus memangnya aku bisa apa" Akunya masih anak kelas 2 SD!"
"Wah" kamu centil juga ya kelas 2 SD sudah pakai acara naksir-naksiran segala" Aku waktu
SD kan masih benci sekali sama semua cowok di sekolahku".
"Masa" nggak pernah ada satupun orang yang kamu kagumi, Fei" Seperti Bu Fani-ku gitu?"
Niken berpikir sebentar. "Nggak. Kamu yang pertama kali bikin aku seperti ini." jawabnya
mantap. "Kamu nggak keberatan pacaran sama aku, Fei?"
"Memangnya kenapa, Ndu?"
"Kamu nggak pernah merasa, sering kali pas aku boncengin kamu naik sepeda, atau kita
jalan-jalan ber dua, selalu saja dapat tatapan aneh dari orang-orang" Mereka seperti melihat
ikan pacaran sama burung, yang nggak punya tempat di mana-mana untuk bersama. Ikannya
nggak bisa tinggal di udara, burung nggak bisa tinggal di air."
"Jadi kamu merasa nggak nyaman jalan sama aku?" tanya Niken.
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu?" Pandu bingung mesti menjawab bagaimana tanpa menyinggung perasaan Niken. Memang
nyata-nyata perbedaan kulit mereka begitu jelas.
"Baiklah, Ndu. Aku mengerti." kata Niken sambil hendak menstater mobilnya lagi.
"Lho, tunggu dulu." kata Pandu merebut kunci mobil dari tangan Niken. "Sabar dong, non. Aku
masih bingung mau ngomong apa."
"Kenapa mesti bingung" Tinggal ngomong saja. Bilang saja, Fei, aku nggak nyaman pacaran
sama kamu." Niken cemberut.
"Aku nggak bisa bilang begitu karena aku belum pernah benar-benar pacaran sama kamu.
Lagian aku sudah bilang, bukan begitu maksudku. Aku cuma pengen kamu jujur sama aku.
Kalo aku jawab duluan, apa aku merasa nyaman, kalau kamu merasa nggak nyaman, nantinya
kamu nggak enak bilang terang-terangan, karena aku sudah duluan bilang nggak papa."
"Jadi kamu nggak papa?"
"Pandangan orang-orang itu sesuatu yang nggak bisa dihindari, kemana pun kita pergi. Aku
sih selalu merasa nyaman, karena aku tahu persis cewek yang aku boncengin atau yang jalan
bareng aku ini manis sekali, dan orang-orang itu cuma iri karena nggak bisa boncengin atau
jalan bareng cewek semanis kamu."
"Ah, gombal!" Jawaban Pandu tadi cukup untuk membuat pipi Niken panas karena malu.
"Lho" Kamu tadi kan tanya, tuh sudah aku jawab. Koq malah aku dibilang gombal, ya sudah
deh." "Jadi menurutmu aku ini manis?" tanya Niken lagi. Rupanya masih belum puas dipuji dia. Ingin
pipinya tambah merah. "Memangnya nggak pernah ada orang yang bilang kamu itu manis sekali?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Yah sekarang aku kasih tahu. Waktu pertama kali aku melihatmu, dengan tampangmu yang
sok judes di kelas waktu itu, kamu sudah keliatan manis. Makin aku mengenalmu, kamu
terlihat semakin manis di mataku."
"Ngomong-ngomong soal mata, pertama kali lihat kamu di kelas waktu itu, satu-satunya yang
menarik perhatianku cuma matamu. Wulan waktu itu bilang mata kamu tajam kayak mata
elang. Lalu aku perhatikan, memang iya. Sorot matamu tajam sekali, tapi kalau kamu
memandangku terlihat begitu lembut."
"Koq setelah itu kamu sering panggil aku mata jangkrik" Memangnya matanya jangkrik seperti
mata elang?" "Naaaah" aku nggak mau mengakui kalo matamu tu yang terindah yang pernah aku lihat.
Terutama sama Wulan. Gengsi dong."
"Jadi kamu juga cuek dengan pandangan aneh orang-orang itu?"
"Aku sudah biasa koq. Kalo jalan-jalan sama Wulan juga begitu. Kalau lagi iseng, aku kagetin
mereka, "Ngapain lihat-lihat"!" Lagipula mereka pasti melihat kita begitu serasi, Ndu, makanya
mereka seperti itu. Mereka iri melihat pundakmu yang pas sekali buat kepalaku. Juga
tanganku yang pas sekali melingkar di pinggangmu kalau kamu boncengin." kata Niken
tersenyum. "Fei, diinget-inget yah, ini tanggal 15 Mei, tanggal yang bersejarah. Karena mulai hari ini, Fei
Fei resmi jadi calon istri Pandu."
"Apa"! Calon istri"!"
"Nggak mau?" "Aaa" aku" Tapi?" Niken gelagapan.
Pandu ketawa sekeras-kerasnya. Niken jadi bingung. Dipukul-pukulnya pundak Pandu.
"Awas kamu ya Ndu. Kamu mempermainkan aku!"
"Nggak, aku nggak akan pernah mempermainkan kamu. Aku serius koq. Aku pacaran cuma
ingin sekali. Kamu sudah pas sekali buatku, Fei. Kamu bahkan jauh lebih bagus dari kriteria
cewek yang selama ini aku dambakan. Aku nggak ingin kehilangan kamu." kata Pandu sambil
menepiskan poni di dahi Niken.
"Aku bersyukur kamu masuk dalam hidupku, Ndu. Kamu memperkenalkan sisi lain di diriku
yang aku sendiri tadinya nggak kenal. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bener-bener bakal
kawin sama si Jimmy. Aku nggak akan dapat kesempatan untuk mengenal apa itu cinta, dan
betapa indahnya saat-saat bersamamu seperti ini."
"Bagus kalau begini..." kata Pandu lagi. "Malam-malam nanti aku nggak akan lagi dengar
suara tuyul!" goda Pandu teringat akan komentar sadis Niken kemarin lusa.
Niken tersenyum. "Kamu yang tuyul, perampok!"
"Koq bisa?" "Merampok semua isi hatiku. Nggak tersisa sedikitpun. Padahal waktu pertama kali aku lihat
kamu tuh kesannya kamu cowok playboy, yang punya banyak cewek di mana-mana."
"Hah" Playboy" Jadi aku punya tampang playboy?"
"Iya." "Huh. Tampang ganteng-ganteng begini dibilang tampang playboy."
"Lha" justru karena ganteng itu?"
"Jadi kamu setuju dong kalo aku ganteng?" goda Pandu.
"Nggak tau, ah. Kamu suka sekali memutar-balikkan kata-kataku."
"Ya sudah deh kalo emang aku punya tampang playboy. Tapi aku nggak lho. Kamu saja
beruntung bisa jadi pacar pertamaku lho. Dan yang terakhir, I hope?"
"Oke, sudah cukup rayuan gombalnya. Sekarang aku harus ngebut karena kalau tidak kita
akan terlambat." kata Niken sambil menstater mobilnya lagi setelah merebut kunci kontaknya
dari tangan Pandu. "Mau ke mana sih kita?"
"Sudah aku bilang, liat saja nanti."
* Ternyata tadi Niken mengajak Pandu ke gereja. Misa Sabtu sore. Ada-ada saja Niken. Pakai
acara rahasia-rahasiaan segala tadi. Cuma mau ke gereja saja.
"Mau ke mana nih" Sekarang aku nggak ada rencana mau ke mana-mana lagi. Mau makan di
mana?" tanya Niken. "Kamu mau ke gereja saja pake mengedipkan mata segala. Dasar. Aku kirain mau ke mana.
Pantas kamu rapi sekali. Untung aku juga pakai baju rapi." Pandu setengah mengomel.
"Ya kalo kamu tadi aku liat nggak pakai baju yang rapi ya aku suruh ganti lagi dong. Ayo nih,
ke kiri atau ke kanan" Mau ke mana kita?" kata Niken sampai di ujung Jalan Pemuda.
"Makan nasi goreng babat suka?" tanya Pandu.
"Suka dong" tapi mampir ke Kenanga yah, aku mau ganti sandal saja. Nggak enak pakai
sepatu begini. Panas."
Pandu mengangguk. Sambil membuka pintu rumahnya, Niken berkata, "Kamu duduk di sofa ruang tengah sana.
Empuk." "Fei, aku boleh pinjam telfonnya?" tanya Pandu.
"Boleh aja. Itu wireless di meja." tunjuk Niken. "Aku tinggal masuk kamar dulu ya?" lanjut
Niken. "Sudah selesai telefonnya?" kata Niken saat keluar kamar lagi.
"Sudah. Makasih ya."
"Dengerin radio saja ya, bosan aku dengerin CD kamu." pinta Pandu waktu mereka sudah di
mobil lagi. "Bagus juga, ini Boss FM jam segini biasanya adanya acara kuis. Aku sering iseng ikutan jawab
sendiri, tapi nggak pernah ikutan telefon. Males. Aku bisa diledekin anak-anak Boss kalo salah
jawab." ?" Acara kuis hari ini kita tunda lima menit, karena permintaan dari sohib karib kita. Niken,
kalo kamu dengerin, yang satu ini buat kamu."
"Hah" Koq bisa begini?" batin Niken bingung sambil mengeraskan volume radionya. "Itu suara
Mbak Merlina. Biasanya dia kan nggak memandu acara kuis. Lagian apa-apaan kasih salam ke
aku, tumben amat" Koq tahu bisa kalo aku bakal dengerin radio malam ini?"
Dia langsung sadar. "Pasti Pandu!" katanya sambil menatap wajah cowok yang duduk di
sampingnya itu. Pandu sedang asyik menikmati lagu "Nothing else matters"-nya Metallica itu sambil ikut
nyanyi. "Hey," kata Niken sambil menguncang-guncangkan tubuh Pandu. "Ini kerjaan kamu yah?"
tuduhnya. "Yee" ge-er amat. Yang namanya Niken kan nggak cuma kamu. Tapi ini lagu bagus, jangan
dipindah channelnya." kata Pandu.
Niken mengerutkan keningnya. "Kalau bukan Pandu, lalu siapa" Yah mungkin saja Niken yang
lain", pikirnya. So close no matter how far
Couldn"t be much more from the heart
Forever trusting who we are
And nothing else matters Never opened myself this way
Life is ours, we live it our way
All these words I don"t just say
And nothing else matters " "Niken sayang," Suara Pandu muncul dari radio!, pekik Niken dalam hati. Nah! Dia lalu
menatap tajam mata Pandu yang tersenyum-senyum aneh.
"Inget waktu aku proklamasi cinta di tengah lapangan, kira-kira setahun yang lalu" Aku masih
menyimpan kertasnya. Sekarang aku akan proklamasi sekali lagi, kali ini aku serius, dan ini
untukmu. Oh, ya. Lagu Metallica yang di background ini juga requestku."
Yayangku," Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku.
Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak doyan makan garagara mikirin kamu.
Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu.
Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari saja.
Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda.
Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam.
Meringkik Di Lembah Hantu 2 Goosebumps - Ksatria Hantu Pukulan Naga Sakti 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama