Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar Bagian 1
Yasmi Munawwar Bidadari Menara Ketujuh situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Penerbit Ndok Asin NdokAsin.Co.Cc Di share kembali oleh http://ac-zzz.blogspot.com/
ac-zzz.blogspot.com Bidadari Menara Ketujuh .............................................................................................................
Yasmi Munawwar Penerbit Ndok Asin Bintaro, 2011 Bidadari Menara Ketujuh Cetakan pertama e-book : Mei 2011
Desain sampul : just_hammam
Background cover : http://3.bp.blogspot.com/_sp0zvAiWJcE/TMYhdbzZglI/AAAA
AAAAACM/X6CaZR3scTk/s1600/berdoa.jpg
Lisensi Dokumen: Copyright ? 2011-2012 NdokAsin.Co.Cc
Seluruh dokumen di NdokAsin.Co.Cc dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit),
dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan
pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak
diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin
terlebih dahulu dari NdokAsin.Co.Cc
Belum pernah dicetak Bagi yang ingin mencetak sesuai lisensi, dipersilakan
BAGIAN 1 Senja telah mengukir kejayaannya di ufuk barat. Di antara
warna pelangi yang merekah seperempat lingkaran singgasananya terbangun. Renai hujan di pucuk-pucuk pinus
menjadi rahmat bagi semut merah yang lama merindukan air
dari langit. Wajah hutan pinus yang berdebu perlahan tersaput
tetesan air dari pasukan awan sore itu. Namun, istana senja
dengan mahligai mega-meganya tetap menawan tak terkalahkan. "Tantri! Tantri," dari dalam bilik bambu yang reot samarsamar terdengar seorang wanita kurus yang sudah setengah
baya memanggil anak gadisnya.
"Ya, Bu," jawabnya singkat. Lalu gadis kecil berumur
enambelas tahun itu melangkah menuju bilik ibunya,"ada apa
ibu memanggil saya?"
"Duduklah di sini, nduk." Kata wanita setengah baya itu
sambil memandang tepian ranjang bambu tempatnya terbaring
lemah. Tantri adalah anak semata wayang bagi bu Diah yang sudah
satu tahun ini terbaring lemah karena penyakit jantung.
Kemiskinan yang membelenggu kehidupannya memaksanya
harus terkurung di dalam bilik bambu itu tanpa dapat berbuat
banyak. Untuk menghidupi anak semata wayangnya pun dia
1 sudah tak mampu. Padahal mencari nafkah untuk puterinya itu
harusnya sudah menjadi tanggung jawabnya setelah setengah
tahun yang lalu pak Rahman suaminya meninggal karena
jatuh dari pohon Enau saat ia hendak mengambil air nira hasil
deresan-nya. "nduk, apakah kamu sudah selesai mencari kayu bakar untuk
pesanan pak Karman?"
"sudah bu, Alhamdulillah masih ada juga persediaan jika
nanti ada tetangga yang memesan kayu bakar lagi."
"Terimakasih nduk, kamu anak yang sangat berbakti. Maafin
ibu, karena ibu tidak bisa berbuat yang terbaik untuk
kehidupanmu semoga Allah menempatkanmu di tempat yang
mulia di sisiNya karena baktimu pada orang tua." Ujar bu
Diah sambil meneteskan air matanya.
Gadis kecil itu pun kembali terkenang masa-masa indah saat
ayahnya masih hidup, dia leluasa untuk bermain bersama
teman-teman sebayanya. Tapi, semua itu kini hanya tinggal
sebuah jejak kenangan yang hanya dapat di selipkan dalam
hatinya. Saat ini dia di hadapkan dengan kehidupan yang
keras, ia harus mencari kayu bakar setiap hari untuk sekedar
dapat membeli beras dan ikan asin. Malam harinya dia musti
belajar ngaji pada seorang ustadz di langgar timur. "Tantri,
Tuhan tidak akan memberi cobaan pada hamba-Nya
melainkan Dia sudah memperhitungkan kemampuan hamba2
Nya itu." Pesan ustadznya itulah yang selalu menguatkan
hatinya untuk menjalani kerasnya hidup dalam kemiskinan.
Apalagi di zaman edan ini susah mencari kerja bagi wanita
yang hanya tamatan MTS seperti Tantri. Kehidupan yang
miskin itu tak membuatnya terpuruk, malah di sela-sela
malam dia masih sempat terbangun sekedar untuk bersujud
pada Sang Pencipta. "Bu, jangan pernah berkata itu lagi. Tantri tidak merasa
disusahkan oleh ibu, ya smoga kedepannya kita dapat hidup
lebih mapan dari sekarang ini. Bukankah Dia Maha Kaya
yang kekayaan-Nya meliputi seluruhnya?"
"Benar nak, tak ada satupun mahluk di bumi ini yang
terlewatkan dari menerima rahmat-Nya."
Bilik itu kembali sunyi, ada beberapa tetes air mata di pipi ibu
dan anak itu. Kemiskinan telah menyeret mereka dalam
kepedihan relung hati. Namun, jauh di dasar jiwa mereka
masih tersimpan semangat dalam melewati duri-duri perjuangan untuk mempertahankan hidup. Peluh telah
berpadu dengan do"a, lelah telah bersatu dengan ikhtiar.
Perlahan malam telah merayapi tanah jawa, gedung-gedung
pemerintahan di kota Nampak terang dengan aneka macam
bolam. Ruangan tanpa penghuni di malam haripun tak lepas
dari cahaya yang begitu terang, tetapi tidak dalam gubuk kecil
3 itu karena yang ada hanyalah sebuah pelitad yang mulai redup
kehabisan minyak. Di sebuah surau pun hanya ada dua buah lampu Petromak
yang digunakan menerangi ayat-ayat suci Al Qur"an ketika
santri-santri itu belajar untuk membacanya. Seorang kyai yang
sudah sepuh tampak membaca ayat-ayat Al Qur"an dengan
tenang. Jenggot dan kumisnya yang sudah memutih dengan
surban yang dikalungkan seolah berpadu mendukung kearifannya. Suaranya masih nyaring ketika ia mulai
membaca ayat-ayat suci tersebut. Makhraj dan tajwidnya juga
terdengar fasih, hati akan menjadi bergetar saat melafadzkan
firman Allah itu. Pengajian itu di bagi menjadi sembilan
kelompok dimana tiap kelompok itu terdiri dari lima sampai
tujuh santri yang dipimpin serta diajar langsung oleh santri
yang dianggap sudah mumpuni dalam ilmu baca Al Qur"an
dan juga ilmu-ilmu lain yang diajarkan oleh sang kyai. Jadi
tampak jelas sekali di dalam surau tersebut meskipun
sederhana system organisasinya sudah terlihat jelas.
"Tantri!" kyai itu memanggil santrinya yang baru saja usai
membaca surah Annisa yang di simak oleh ustadz Heru
sebagai pemimpinnya. "Dalem Kyai," jawab gadis itu sambil menghadap pada Kyai
Rahman. Beberapa pasang mata memandang ke arahnya,
betapa tidak. Kejadian itu sangat jarang dilakukan oleh Kyai
4 Rahman. Biasanya beliau kalau ada keperluan langsung
memanggil salah satu pemimpin santri. Namun, saat Tantri
sudah berada di hadapan Kyainya secara perlahan santri-santri
yang lain sudah memalingkan wajahnya dan juga telinganya.
Mereka semua ingat pesan sang Kyai, "mendengar pembicaraan yang bukan menjadi haknya itu tidak baik,
apalagi mengatakan hal-hal yang bukan haknya untuk
mengatakannya. Karena telinga itu akan menjadi sumber
malapetaka ketika lidah juga sudah mencuri apa yang sudah di
dengar oleh telinga."
"Tantri, ketahuilah nak keabadian itu tidak ada di dunia ini.
Kekayaan dan juga kemiskinan itu sejatinya hanyalah sebuah
bahan ujian yang diberikan Tuhan bagi mahluknya," Tantri
yang tidak biasanya mendapat wejangan seperti itu hatinya
terasa damai, apalagi wejangan itu di dapatnya langsung dari
Kyainya sendiri. Ada setetes rona kebahagiaan di wajahnya
mendengarkan wejangan tersebut, tak terasa beberapa tetes air
mata telah membasahi pipinya. "aku sudah sering melihat dan
mendengar baktimu kepada orang tuamu, itu semua sudah
menjadi bukti bahwa kamu sudah menjalankan apa yang
diperintahkan oleh Allah. Jangan bersedih dengan keadaan
yang slama ini kau alami karena segala sesuatunya sudah
tertulis sebelum engkau dilahirkan di bumi ini. Dan ketahuilah
bahwasanya Tuhan juga memberikan ujian karena Dia juga
5 tahu kepada siapa dia harus memberikan ujian tersebut.
Banyak rahasia-rahasia-Nya di balik apa yang sudah menjadi
ketentuan-Nya oleh karena itu bersabarlah dan selalu belajar
untuk merasa ikhlas atas tiap-tiap sesuatu yang engkau terima,
karena dengan anugrah keikhlasan dalam hati nabi Ibrahim
AS tidak dapat terbakar oleh panasnya api, karena anugrah
keikhlasan dalam hati juga, nabi Ayyub AS tetap beribadah
dalam sakitnya dan karena anugerah keikhlasan dalam hati itu
juga nabi yusuf terhindar dari perbuatan Zina yang oleh moral
tidak dibenarkan. Ikhlas juga yang mendasari ketabahan
Rosulullah Muhammad ketika beliau kehilangan istrinya Siti
Khadijah. Ingatkah kamu ketika Rosulullah Muhammad
mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar"
Semua itu menggambarkan bahwasanya orang yang dicintai
Allah sekalipun tidak pernah luput dari yang namanya ujian.
Namun, tidak ada beban yang mampu meggoyahkan
kedamaian hati meskipun azab dan sengsara yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada Beliau. Beliau malah
menganggap azab dan sengsara itu sebagai bukti kekuasaan
Dia Yang Maha Bijaksana, karena sejatinya tidak ada yang
sia-sia dari apa yang pernah di ciptakan-Nya."
"Matur nuwun Yai Atas nasehatnya," suaranya melemah.
Lalu katanya, "memang kemiskinan yang selama ini saya
rasakan teramat berat yai. Namun, disisi lain saya bersyukur
6 karena Allah masih tidak henti-hentinya merahmati saya
dengan nikmat batin."
"Syukurlah kalau kamu juga memahaminya, nak. Sekarang
pulanglah! Biar kamu diantar oleh empat orang ustadzmu.
Bersabarlah! Karena kesabaran itu tidak ada batasnya dan
kesabaran." Mendengar petuah kyainya yang terakhir itu, dadanya menjadi
sesak seketika. Banyak pertanyaan keanehan yang ia rasakan
menghunjam jantungnya,"Malam ini aku tiba-tiba dipanggil
oleh yai untuk mendapatkan petuah yang sangat jarang
dilakukan. Dan tiba-tiba juga aku diperkenankan untuk pulang
dan diantar langsung oleh ustadz, apa maksud yai
sebenarnya?" Katanya dalam hati.
Di sepanjang jalan ia masih merenungi kejadian yang terasa
janggal itu. Berbagai syak wasangka di hatinya mulai
menggerayangi. Keempat ustadz yang sengaja diperintahkan
untuk mengiringinyapun di sepanjang jalan tak berkata apaapa. Hanya suara langkah kaki mereka berlima saja yang sejak
tadi berusaha memecah kesunyian.
Sesampainya dihalaman gubuk yang menjadi tempat tinggalnya, Tantri menjadi sadar dan mulai mengerti arah
Wejangan kyainya. Dan tanpa pikir panjang lagi dia langsung
masuk kedalam gubuk yang gelap gulita itu.
7 "Ibu!ibu!" Tak ada jawaban apapun dari dalam bilik ibunya.
Ia pun segera meminjam obor yang ada di genggaman salah
seorang ustadz yang mengantarnya itu. Air matanya meleleh
turut membasahi jantungnya, hingga detaknya menjadi
kencang tak beraturan. Kelima ustadz itu masih belum juga
mengerti apa yang telah terjadi, mereka hanya berpandangan
satu sama lain. "Ustadz Fahri, apa sebenarnya yang sudah terjadi?"
"Entahlah utadz Imran, aku juga bingung sejak keberangkatan
kita dari musholla, seolah-olah ada sesuatu yang sangat
penting. Liat sajalah Tantri sepertinya dia memendam sesuatu
yang kita sendiri tak mengerti. Namun, dari tetesan air
matanya kita hanya mampu menebak jika ia sangat sedih.
Mari kita minta izin untuk masuk ke rumahnya dan
menanyakan apa sebenarnya yang terjadi."
"Baiklah ustadz."
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba dari dalam gubuk itu terdengar teriakan Tantri yang
menusuk hati, tangisnya pecah di antara balutan cahaya obor.
Kelima ustadz yang mengantarnyapun menjadi paham setelah
dari arah pintu terlihat Tantri memeluk ibunya yang sudah tak
bergerak lagi. "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un." Kata
mereka dalam hati. "Assalamu'alaikum warohmatullah." Kelima
meminta izin untuk masuk.
8 ustadz itu "Wa'alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh," jawab
Tantri di sela-sela tangisannya. Lalu katanya," Ustadz,
silahkan masuk, aku sekarang menjadi paham kenapa kyai
tadi memanggilku. Ternyata Allah telah memanggil Ibu
ustadz." Tangisnya semakin menjadi-jadi. Di peluknya jasad
ibunya yang tak sanggup lagi bergerak.
"Sabarlah Tantri, setiap jiwa yang hidup itu pasti akan mati.
Segalanya sudah di atur oleh-Nya jauh sebelum kita
dilahirkan di bumi ini." Ujar ustadz Bahri menenangkan
Tantri. Namun, sepatah katapun tak juga keluar dari bibirnya.
Hanya deru air mata yang tercurah dari dasar hatinya. Sebagai
seorang gadis remaja, kehilangan seorang Ayah ibarat
kehilangan kesempatan menikmati syurga. Tapi kali ini dia
kehilangan syurga itu sendiri, dan terasa lengkaplah
penderitaan yang ia alami. Jurang kemiskinan sudah mendera
batiinya siang dan malam, kini cambuk yatim piatu
membawanya mengarungi neraka dunia yang panasnya
laksana api pemujaan suci orang Qurais pada jaman jahiliah.
Tak ada pegangan untuk melangkah, tak ada tempat lagi untuk
berbagi perasaan. Hanya padang duka yang mesti ia lalui
setiap hari untuk memperdagangkan nasip dan penanggungan
hati. "Assalamu"alaikum." tiba-tiba dari luar gubuk itu terdengar
suara Kyai Farid memberi salam. Kontan saja kelima ustadz
9 dan juga Tantri menjawab salam Kyai mereka. Di belakangan
kyai Farid tampak beberapa orang santri lainnya, dan juga
beberapa tetangka Tantri. Kedatangan kyai Farid yang penuh
wibawa itu sedikitnya telah mampu menghibur kesedihan
yang tumbuh di hati santrinya yang sedang berduka itu.
"Tantri, kami turut berduka cita atas meninggalnya ibumu.
Semoga Allah menempatkan beliau di tempat yang tinggi di
sisi-Nya. Biarlah besok pagi jenazah ibumu dimakamkan,
bebarapa orang santri akan saya tempatkan disini untuk
berjaga-jaga sampai esok pagi. Biarlah penyelenggaraan acara
pemakamannya kami yang mengurus, yang terpenting
sekarang tabahkan hatimu nak." Ujar kyai Farid sambil
mengelus kapala santrinya itu. Mendengar ucapan sang kyai,
Tantri mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
kesediaan kyai Farid untuk menyelenggarakan pemakaman
ibunya. Usai mengarahkan santriwan dan santri watinya kyai
Farid berpamitan untuk pulang.
Malam itu menjadi malam yang paling berat yang pernah
dilalui oleh Tantri. Kelam seakan pecah dan menghimpit
batinnya yang seketika rapuh oleh keadaan. Lantunan ayatayat suci Al Qur"an turut mengiringi kepergian Ibunya, ia
memaksakan diri membaca Surah Yasin dengan air mata yang
tak berhenti meleleh membasahi pipinya. Kepergian keluarga
satu-satunya teramat berat ia rasakan. Hidup sebatang kara di
10 atas muka bumi merupakan pengalaman pertamanya yang
harus ia jalani tanpa dapat lagi memilih karena memang tiada
lagi pilihan. Takdir Allah yang berlaku atas Tantri tak dapat di
tolak oleh kemajuan teknologi sekalipun. Hanya dengan
keikhlasan hati sajalah kiranya manusia dapat memetik segala
hikmah di balik rencana Tuhan yang sesungguhnya.
11 BAGIAN 2 Terik matahari yang semakin menyengat itu mengiringi
pemakaman jenazah bu Diah. Gundukan tanah yang kemerahmerahan dan basah itu menjadi saksi bahwasanya jasad
manusia itu sejatinya adalah bumi yang mereka pijak selama
ini. Jasad itu kembali pada zat penyusunnya bersama Ruh
yang juga kembali pada Pemiliknya. Lalu apakah manusia
akan mengingkarinya dan masih mau membusungkan dada di
atas muka bumi ini" Subhanallah.
Usai menyelenggarakan pemakaman, Kyai Farid meminta
pada orang-orang yang turut dalam prosesi penyelenggaraan
jenazah untuk bersedia melakukan do'a bersama. Tempat dan
waktunya dilaksanakan di Langgar Wetan bakda sholat isya.
Para peziarah tersebut kembali pulang setelah mendapatkan
informasi yang disampaikan oleh kyai Farid. Di pemakaman
itu Tantri tidak turut serta karena ia hawatir tidak kuat
menyaksikan pemakaman ibunya. Tantri bersama beberapa
santri wati yang lain tetap berada di rumah duka. Dari
bibirnya lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an terdengar merayu
Tuhan, penuh haru dan terdengar sedih mengiba. Beberapa
santriwati yang lainnya juga turut membaca surah-surah dari
kumpulan mushaf. Beberapa saat kemudian kyai Farid datang
12 ke rumah duka itu dan menyampaikan kalau acara do'a
bersama dilakukan di Langgar Wetan.
"Tantri, jangan berlama-lama bermesrahan dengan duka.
Seolah-olah kamu tidak iklas menerima apa yang sudah di
gariskan Gustimu. Bukankah sudah pernah kujelaskan
sebelumnya?" Ujarnya pula.
"Ya Yai, Entah rencana apa lagi yang akan diberikan Gusti
pada hambanya yang hina ini. Cobaan ini saja saya rasakan
sudah diluar batas kemampuan saya sebagai manusia biasa,
semoga saja Gusti tidak membutakan hati saya sehingga saya
masih dapat selalu ikhlas menerima takdir baik dan buruknya.
Karena saya juga memahami tidak dapat bergerak benda di
muka bumi ini meskipun sebesar zarrah kecuali atas izinNya."
"Betul Tantri, kita hanya sebagian kecil dari rencana-rencana
indah Gusti itu sendiri. Sekarang bersiaplah nak, bersiaplah
untuk keLanggar Wetan. Bantulah Umi membuat jajanan
untuk di suguhkan pada tamu sebagai ucapan rasa terimakasih
karena turut mendo'akan almarhumah ibumu. Dan satu hal
lagi Tantri, semalam saya sudah berunding dengan Umi. Kami
sepakat mengangkatmu sebagai puteri kami. Seperti yang
kamu ketahui Tantri, bapak sudah tidak memiliki anak lagi
sejak neng Dewi dipanggil untuk menghadap padaNya. Dan
jika kamu bersedia sejak saat ini kau ku angkat sebagai
13 puteriq. Apakah engkau bersedia nak?" Ujar kyai Farid sambil
mengembangkan senyumannya.
Tawaran kyai Farid padanya bagaikan hujan deras yang pada
penghujungnya disertai hiasan pelangi setengah lingkaran di
tengah-tengah kemarau panjang. Namun, disisi lain ia seolah
tak percaya dengan rahmat yang diterimanya itu. "Apakah
kyai tidak salah memilih seseorang yang akan dijadikan
sebagai anak?" "Tidak salah tantri, bkankah ini juga sebagai rencana Gusti
seperti yang engkau pahami itu. Gusti sudah mengirimkanmu
pada hati kami, dan itu artinya Gusti Allah juga sudah punya
rencana Indah untukmu dan juga untuk kami." Kyai Farid
menerangkan dengan penuh kasih sayang.
Airmata Tantri kembali mengalir membasahi pipinya,
seketika itu juga dia mencium tangan kyai Farid,"Alhamdulillah yai, di dalam dukaku ini Gusti mash
mengirimkan malaikatnya kepa hambanya yang hina ini.
Terimakasih yai, saya bersedia menjadi puteri yai dan semoga
saya tidak akan mengecewakan yai. Insya Allah."
"Amin, ayo lekas bersiap-siap dan kalian santriwati boleh
kembali pulang ke rumah masing-masing. Nanti ba'da sholat
Asyar kalian bantu-bantu umi diLanggar Wetan." Ujar kyai
Farid pada Tantri dan santrinya yang lain.
14 Matahari sudah naik hampir di atas kepala, angin menerpa
jilbab Tantri yang acak-acakan. Ada sedikit rasa berat baginya
untuk meninggalkan gubuk yang sudah menaunginya lebih
dari enam belas tahun itu. Berbagai kenangan bersama
keluarganya terukir bersama dinding-dinding gubuk itu yang
telah rapuh dan mulai berlubang. Gubuk tua itu adalah saksi
bisu belenggu kemiskinan, gubuk tua itu juga adalah saksi
betapa dahsyatnya ujian Allah pada hamba-Nya.
Sesampainya di Langgar Wetan, kedatangan kyai Farid
bersama Tantri yang sudah menjadi puteri angkatnya
disambut hangat oleh Umi yang tak lain adalah istrinya yang
bernama Siti Hajar. Umi langsung memeluk Tantri saat mulai
masuk kehalaman rumah kyai Farid,"Tantri, terimakasih nak
sudah bersedia menjadi puteri kami," ujar Umi sambil
menciumi kening Tantri di antara tangis keharuan yang
menyesakkan dada. Lalu katanya,"mulai sekarang anggaplah
Umi dan Abah sebagai kedua orang tuamu. Memang
kedudukan kedua orang tuamu tetap yang menjadi nomor satu
di hatimu. Setidaknya anggaplah kami sebagai pengganti
mereka setelah Allah memanggilnya. Jangan sungkan di
rumah ini, sekarang rumah ini menjadi rumahmu juga.
Makanlah apa yang kami makan dan beribadahlah dengan
lapang dirumah ini nak."
15 "Terimakasih Umi, Abah. Saya tidak tau harus dengan cara
apa harus membalas budi baik yang telah saya terima slama
ini. Semoga Allah membalas kebaikan Umi dan Abah dengan
kenikmatan di sisi-Nya."
"Aminn." Ujar kyai Farid beserta Umi Siti Hajar hampir
bersamaan. "Ayo masuk kedalam nak, tidak baik anak gadis berlamalama di luar." Umi membimbing puterinya dengan penuh
kasih sayang. Siang itu untuk pertama kalinya Tantri memasuki gedung
berlantai dua yang tak lain adalah rumah barunya. Sesui
petunjuk kyai Farid akhurnya Tantri menempati kamar Bekas
puterinya yang sudah lebih dahulu menghadap Allah. Kamar
itu masih tertata rapi, ada beberapa bingkai foto almarhumah
Dewi Masyithah yang terpajang di dinding kamar tersebut.
Lemari pakaian dan meja rias juga berpadu dalam kesatuan
yang tampak menawan. Beda dengan rumah tinggalnya yang
baru beberapa jam saja ditinggalkannya. Kini ia tak lagi
duduk di tepi dipan bambu yang sudah reot, melainkan telah
duduk ditepi ranjang kayu yang berukir indah bagai ranjang
puteri kerajaan. Kasurnya yang empuk berpadu dengan seprei
bercorak bunga-bunga tampak menggoda melihatnya untuk segera berbaring di atasnya.
16 hati yang "Alhamdulillah ya Robb, telah kau limpahkan rahmat-Mu
pada hamba yang fakir ini." Ujarnya dalam hati.
Tanpa terasa ada tetesan bening dari kelopak matanya,
bayangan wajah ibu dan ayahnya kembali hadir di benaknya.
Kisah perjalanan hidup yang dibuai kemiskinan kembali
tampak bagai layar TV yang terpampang di depannya,"Ibu,
bapak! Seandainya saja ujian Tuhan tidak berupa kemiskinan,
mungkin kisah kehidupan kita tak seperti ini. Tapi biarlah kita
ikuti apa maunya Rabb, semoga Rabb menempatkan kalian di
tempat yang layak bersama-Nya." Tantri tak kuasa menahan
airmatanya yang terus mengalir di antara belenggu perasaannya. Sepercik keikhlasan yang ia milikilah yang
mampu membuatnya bertahan untuk tetap berdiri di atas
nuraninya. Beban hidup yang ia rasakan secara alami dapat
dia tanggung seperti mahluk-mahluk lain yang juga diberi
cobaan berat. Namun, batinnya selalu mengacu pada takdir
yang telah di gariskan Rabb kepadanya bukan atas dasar
percaya pada kekuatan dirinya sendiri.
"Nak, marilah kita makan dulu. Setelah itu kita jamaah sholat
dzuhur di langgar. Sudahlah nak, jangan bersedih lagi. Betapa
besar kekuatan yang ada pada kita, seberapa tinggi cita-cita
kita dan juga keinginan kita untuk dapat mengembalikan
sesuatu yang sudah diambil Allah dari kita itu tidak akan
pernah terjadi nak. Karena perbuatan Allah tidak di dasarkan
17 oleh perbuatan mahluk. Tetapi perbuatan mahluklah yang
berdasarkan perbuatan Allah. Jadi ikhlaskanlah apa yang
menimpa dirimu seperti kamu mengikhlaskan keringatmu
mengalir ketika kamu bekerja. Ikhlaskanlah apa yang
menimpamu seperti engkau ikhlas menghirup udara yang
sudah disediakan Allah di alam raya ini."
"Iya umi, terimakasih atas nasehatnya slama ini. Saya ikhlas
sepertihalnya mengikhlaskan air mata ini ketika mendapat
musibah. Apalah dayaku Umi jika tidak ikhlas menerima
semua ini, karena seperti kata Umi perbuatan Allah tidak
didasarkan oleh perbuatan mahluk-Nya. Saya tidak mungkin
menuntut Allah atas apa yang sudah digariskan oleh-Nya."
Mendengar jawaban itu Umi memeluk erat puterinya dengan
penuh rasa haru, dan merekapun akhirnya melangkah menuju
ruang makan. Dan keluarga itupun makan siang bersama.
Dengan lauk Ayam kecap dan semur Jamur kesukaan kyai
Farid. Ada kenikmatan tersendiri yang mereka rasakan, rasa
syukur tak lupa mereka haturkan pada Gusti junjungan
mereka yang tak henti-hentinya melimpahkan rahmat pada
mereka. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari Langgar Wetan.
Suara yang tak asing lagi di telinga ketika waktu dzuhur telah
sampai pada garis start-nya. Ustadz Hamid melantunkan
lafadz Laa ilaaha illallah dengan merdu mendayu-dayu.
18
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seolah panah yang menembus jantung dan memaksa Ruh
untuk kembali pada hakikatnya. Wajah-wajah mulai dibasuh,
sensasi kesegaran yang ditibulkan dari Wudhu diharapkan
mampu membawa hati dalam keadaan damai saat beribadah.
Wewangian diharapkan dapat membantu jiwa dan pikiran
menembus medan ikhlas sehingga penghayatan dari bacaan
shalatnya mampu merengkuh jiwa dalam kekhusu'an.
Merekapun rukuk dipimpin oleh kyai Farid, sujud di antara
hamba-hamba yang sujud. Hanya kepada Gusti Allah saja,
bukan kepada Jin dan Manusia, bukan kepada harta kekayaan,
bukan kepada pangkat dan jabatan.
Usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah di Langgar
Wetan, Tantri bersama Umi Siti Hajar bersiap-siap membuat
beberapa menu hidangan yang akan disuguhkan pada jamaah
yang turut mendoakan almarhumah ibu Diah. Sebagai ucapan
terimasih atas do'a yang telah mereka haturkan ke hadirat
Allah, suguhan tersebut dibuat dalam bentuk jajanan dan juga
bungkusan makanan yang dapat dibawa pulang untuk
keluarga orang yang turut mrndoakan. Karena keizinan Allah
untuk membuat orang-orang
itu berkumpul dan berdo'a
pertanda mereka akan memperoleh apa yang mereka hajatkan.
Sekalipun apa yang mereka hajatkan tidak dikabulkan oleh
Allah itulah takdir yang mesti diikhlaskan karena perbuatan
Allah pada hakikatnya tidak berdasarkan apa yang telah
19 dilakukan mahluk. Tetapi perbuatan mahluk itu sendiri
merupakan keizinan dari Allah dan bagian dari perbuatan
Allah. tidak ada daya dan upaya kecuali atas izin Allah.
Kebiasaan memberi suguhan ini tidak wajib dalam ajaran
Rosulullah muhammad. Namun, tidak ada salahnya bagi
orang yang mampu untuk bersedekah.
Tantri pun ikut menyibukkan diri di dapur membantu Umi Siti
Hajar, iapun mencoba menyiapkan kopi bubuk yang akan di
seduh sebagai kawan jajanan yang disuguhkan.
Senja, lepaskan belenguku.
Ukirkan asa di antara warna-warnamu.
Ketika sepasang tangan menengadah dalam himpitan rahmat.
Ketika mata memandang kemilau bumi dalam redupnya
cahaya pelita. Senja, biarkan ku gapai Penciptamu karna aku punya
perhitungan tersendiri dengan-Nya yang hampir terselesaikan.
Bersama sembah sujudku pada Penciptamu.
Biarlah dosa dan pahala bersatu dalam secangkir kopi yang ku
seduh dari bara neraka ini.
Waktu yang dinantipun telah tiba, jamaah yang akan
melaksanakan do'a bersama sudah berkumpul. Umi Siti Hajar
beserta Tantri dan santriwati lainnya dibantu oleh tetanggatetangga sebelah rumah itu tampak sibuk di dapur. Mereka
20 membagi tugas masing-masing, ada yang membungkus nasi,
lauk. Ada yang mengiris kue lapis, bolu, dan juga kue lemper.
Dan Tantri saat itu kebagian tugas menyeduh kopi.
Sayup-sayup terdengar kyai Farid membacakan do'a untuk
almarhumah ibu Diah. Tantri yang mendengarnya dari dapur
turut menengadahkan tangannya dan mengamini do'a tersebut.
Jamaah diLanggar Wetan juga turut mengamininya dengan
berbagai macam suasana. Ada yang dalam keadaan khusuk,
ada yang dalam keadaan setengah kantuk dan ada juga yang
sedang tersenyum saling berpandangan satu sama lain. Sebuah
keadaan yang alami, tergantung sebatas mana Allah memberi
kepahaman bagi mereka. Hidangan telah disuguhkan, sambil menikmati suguhan itu di
antara mereka ada yang bersenda gurau. Ada juga yang
menceritakan kehidupan bu Diah bersama Tantri saat-saat
mengarungi hidup tanpa suaminya. Melihat situasi tersebut
kyai Farid dengan bijaksana meminta waktu sebentar untuk
menyampaikan beberapa informasi penting.
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," jamaah
pun hampir bersamaan menjawab salam kyai Farid. Lalu
ujarnya pula," Jamaah sekalian yang sama-sama berbahagia.
Saya mohon waktunya sejenak. Ada beberapa informasi yang
akan saya sampaikan mengenai Langgar Wetan ini. Alhamdulillah ada seorang yang bersedia menyumbangkan
21 hartanya untuk membangun langgar ini menjadi sebuah
pondok pesantren. Beliau juga akan membangunkan masjid
untuk menggantikan fungsi langgar ini. Dan saya insya Allah
akan mewakafkan tanah saya ini untuk rencana pembangunan
pondok pesantren tersebut. Alhamdulillah juga kemarin uang
tunai untuk pembangunan pondok pesantren tersebut sudah
dicairkan sebesar sembilan ratus limapuluh juta rupiah. Jadi
untuk pengurus-pengurus langgar dan masyarakat yang
lainnya jika berkenan saya minta kesediaannya untuk dapat
membantu mewujudkan hal tersebut."
Informasi dari kyai Farid disambut dengan ucapan hamdalah
dan hati yang sanagat gembira oleh para jamaah,"Yai, kalau
boleh tau siapa dermawan itu" Alangkah mulia perbuatannya
itu." Ujar salah satu dari mereka.
"Saya minta maaf bapak-bapak sekalian. Saya tidak bisa
menjawabnya, karena beliau berpesan jangan di beritaukan
kepada siapapun mengenai siapa beliau. Yang terpenting
adalah bagaimana kesiapan kita untuk mewujudkan pondok
pesantren tersebut dengan sumbangan sebesar sembilan ratus
lima puluh juta rupiah itu. Dan kalau hadirin sekalian
bersedia, saya mengundang jamaah semua untuk menghadiri
musyawarah pembentukan panitia pembangunan pondok
pesantren ini besok ba'da sholat asyar. Dan saya juga
22 mengundang siapa saja yang mau ikut serta berperan aktif
dalam pembangunan pondok pesantren ini."
"Subhanallah!" Sambut yang lainnya.
"Informasi yang ke dua, ini mengenai Tantri," kyai Farid
berhenti sejenak menunggu jamaah tenang. Lalu ujarnya,"Saya dan Umi sudah sepakat untuk mengangkat dia
sebagai puteri kami. Dan insya Allah kami akan menyekolahkan dia kembali pada tahun ajaran baru nanti.
Selebihnya biarlah Allah yang menentukannya."
"Alhamdulillah,"
ujar jamaah tersebut."Alangkah beruntungnua Tantri, dia diangkat sebagai anak oleh kyai
Farid." Salah satu ustadz di langgar itu menambahkan.
Kebahagiaan itu tidak hanya sampai di kalangan jamaah
tersebut. Sesampainya dirumahpun jamaah yang turut
mendoakan almarhumah bu Diah kembali menyampaikan
kabar gembira tersebut kepada sanak saudara mereka.
Keesokan harinya terbukti kekompakan warga dusun Cendana
Wungu dalam menghadiri musyawarah pembentukan panitia
pembangunan pondok pesantren. Musyawarah
tersebut dihadiri oleh golongan Tua dan juga golongan muda, baik
laki-laki maupun perempuan. Langgar Wetan yang luas
tersebut hampir tidak dapat menampung jamaah yang
menghadiri musyawarah pembentukan panitia, akhirnya
sebagian dari mereka terpaksa berada di teras langgar.
23 "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," kyai Farid
mengawali pembicaraan dalam musyawarah tersebut. Lalu
ujarnya,"terimakasih atas kehadiran bapak-bapak, ibu-ibu dan
adik-adik sekalian. Seperti yang pernah saya utarakan
semalam, bahwasanya kita akan melakukan musyawarah
pembentukan panitia pembangunan pondok pesantren. Dan
sebelum kita memulai musyawarah, saya terlebih dahulu akan
memberikan struktur organisasi kepanitiaannya. Setelah itu,
kita akan bermusyawarah untuk mencapai mufakat." Kyai
farid membuka selembar kertas yang berisi struktur organisasi
kepanitiaan pembangunan pondok pesantren. Lembaran kertas
itupun diberikan kepada salah satu santrinya untuk digambarkan di papan tulis.
"Kyai, kalau saya boleh tau apa nama pondok pesantren yang
akan kita dirikan ini" Lalu apa nama masjidnya?" Ujar haji
Romli setelah beberapa saat membaca struktur keorganisasian
itu. "Baiklah saudara-saudara sekalian, terus terang saja sampai
saat ini saya masih belum punya gambaran untuk nama-nama
itu. Nah, di kesempatan kita kali ini bagaimana kalau kita
musyawarahkan saja, siapapun yang punya usul untuk namanama tersebut akan kita tampung. Asal namanya bagus dan
bermakna, kita akan pilih itu, bagaimana?"
24 Para peserta musyawarahpun sependapat dengan kyai Farid.
Akhirnya musyawarahpun diawali dengan pemilihan ketua
panitia. Dan sesuai kesepakatan Haji Romli lah yang menjadi
ketua panitia, dengan wakilnya Ustadz Imran. Selanjutnya
dipilihlah untuk bendahara, dan pengelolaan dananya di
tangani oleh ustadz Bahri dan Siti Hamidah.
"Untuk penetapan nama pondok pesantren dan masjid, serta
bagaimana bentuk konstruksinya kita akan musyawarahkan
lagi besok dengan waktu dan kesempatan yang sama.
Berhubung waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi dan kurang
lebih satu jam mendatang sudah memasuki waktu sholat
maghrib. Selanjutnya besok kita akan menentukan dan
memikirkan masalah konstruksi dan juga siapa yang akan
menjadi tukang untuk pembangunan ini. Oleh karena itu
sesampainya dirumah, kita akan sama-sama memikirkan hal
ini. Terimakasih atas partisipasi dari semuanya, musyawarah
ini saya tutup. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh." Kyai Farid mengakhiri musyawarah tersebut.
"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh." Jawab
peserta musyawarah hampir bersamaan. Peserta musyawarah
tersebut pun akhirnya kembali kerumah masing-masing
dengan perasaan senang. 25 BAGIAN 3 Surya mulai menepi dipenghujung hari. Titik-titik merah
mulai merata di hamparan mega-mega senja. Kemegahan
cahaya matahari telah jatuh ke dalam hati mengukir waktu.
Para petani baru saja menuai padi di sawah mereka, pulang
bersama gabah-gabah yang diletakkan di punggung kuda.
Kuda memang masih menjadi salah satu kendaraan tradisional
yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat meskipun jumlahnya sudah jauh berbeda dengan saat-saat
tahun tujuh puluhan. Kehidupan masyarakat yang sebagian
makmur dengan hasil persawahan memang merupakan
anugerah tersendiri. Namun, di sudut-sudut desa masih ada
saja kehidupan yang serba kekurangan. Sawah yang
membentang luas nan hijau bagaikan syurga dunia yang dapat
memenuhi usus-usus pemiliknya. Sawah yang luas itu juga
dapat menjadi mimpi-mimpi indah bagi kaum-kaum yang
serba kekurangan dalam kesehariannya. Dan beruntunglah
bagi mereka yang hatinya selalu penuh dengan syukur
meskipun raganya terbelenggu kelaparan.
Malam pun semakin larut dalam cengkraman sepi yang
membeku di antara embun-embun bening. Langgar Wetan
yang beberapa saat lalu ramai digunakan untuk acara do'a
bersama kini nampak lengang. Hanya ada sebuah lampu
26 kaleng yang menerangi sebagian ruangannya. Di sudut kanan
ruangan terlihat samar-samar sebuah lemari berisi mushafmushaf dan juga beberapa kitab yang biasa digunakan kyai
Farid untuk mengajar santrinya yang sudah mumpuni.
Sedangkan di sudut kiri nampak sosok insan yang tenggelam
dalam medan tafakkurnya. Kekosongan jiwa telah berganti
pemahaman akan jati diri kehambaan, keegoan diri telah
berganti rasa syukur yang mengalir bersama nafas kearifannya. Raganya tetap berada ditempatnya, namun
batinnya telah keluar menembus hijab-hijab yang mengotori
jiwanya. Dan kini ia tidak memandang lagi pada dirinya, tidak
memandang pada alam di sekelilingnya, dan
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak memandang kehidupan yang serba mendua. Jiwanya telah
mati dari kepekaan kelima indera. Jiwanya tak terlena lagi
dengan pahala dan buaian dosa. Jiwanya tak memandang pada
syurga dan neraka. Jiwanya tak tenggelam dalam malam yang
semakin larut itu, juga kepada terangnya sinar matahari yang
akan hadir esok hari. Karena jiwanya telah kembali pada-Nya,
yang selalu besertanya pada awal sampai pada akhirnya.
"Tantri, coba kamu liat di langgar apa abahmu masih di sana.
Malam ini abahmu ada janji sama Haji Saiful. Coba ingatkan
jika abahmu lupa." Kata Umi sambil melipat pakaian.
27 "Baik, umi." Tantri yang mulanya berbaring di kamarnya kini
melangkahkan kakinya menuju langgar yang tak berapa jauh
dari rumah itu. Sesampainya di langgar ia tak langsung mendekati abahnya,
ia hanya menunggu di belakang abahnya dengan jarak
beberapa depa saja. "Pulanglah nak, sebentar lagi abah juga
akan pulang." Ujar kyai Farid tiba-tiba dan agak mengagetkan
Tantri. "Baiklah bah, tapi apakah Tantri boleh bertanya
sesuatu sama abah?" Dengan agak gugup gadis itu mendekati
abahnya. "Suatu saat engkau akan mengerti anakku. Ketika hatimu
sudah terbebas dari keinginan-keinginan dunia yang selalu
menipu. Saat batinmu telah terbebas dari buaian perasaan
nikmat dan pahit, saat batinmu telah terbebas dari
kebahagiaan dan juga kedukaan."
Mendengar jawaban dari pertanyaan yang belum sempat
terucap itu, Tantripun hanya berdiam diri dan berusaha
meresapinya dalam hati. Kejadian yang ganjil di luar batas
kemampuan manusia biasa dari abahnya membuat dia selalu
berfikir.Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika Dia
telah memberikan pemahaman kepada orang yang dipilih-Nya
takkan ada seorangpun yang dapat mengingkarinya termasuk
malaikat-malaikat-Nya. Maha Besar Allah, Guru di atas guru
yang ilmu-Nya meliputi segala ciptaan-Nya.
28 Tak berapa lama kemudian, haji Saiful datang mengendarai
motor Trail kesayangannya. Kyai Farid yang sudah menunggunyapun menyongsong tamunya itu di depan pintu.
"Assalamu'alaikum yai." Sapa haji Saiful sambil mengulurkan
tangannya. "Wa'alaikum salam warohmatullah, mari masuk. Silahkan
duduk." merekapun duduk saling berhadapan.
"Terimakasih yai," haji saiful membenahi letak kopiahnya.
Lalu katanya,"yai, bagaimana musyawarah pembentukan
panitianya tadi" Saya minta maaf tidak sempat untuk hadir
bersama-sama dengan yang lainnya."
"Alhamdulillah, tapi masih ada beberapa kendala lagi. Kami
masih belum tau gambaran masjid yang akan kami buat
seperti apa, juga konstruksinya bagaimana. Tukang-tukang
yang menjadi penanggung jawabpun masih belum ada, jadi
insya Allah besok masih akan dilanjutkan kembali musyawarahnya." "Kebetulan sekali yai, ada tetangga saya yang pekerjaannya di
bidang itu. Mungkin jika dia bersedia, kita dapat memintanya
untuk menjadi arsitek pembangunan pondok pesantren.
Selebihnya saya tidak berani untuk merekomendasikannya."
"Baiklah pak Haji, terimakasih atas informasinya. Jika bisa
orang tersebut bapak suruh datang besok di Langgar Wetan
untuk turut musyawarah."
29 "Insya Allah yai. Ohya yai, bagaimana masalah pembicaraan
kita tentang Tantri?"
Kyai Farid tidak segera menjawab pertanyaan itu, dia
merenung sejenak. Pembicaraan tentang Tantri tadi pagi pagi
itu ternyata harus berlanjut malam harinya. "Pak Haji Saiful,
mengenai Tantri, " kyai Farid tidak melanjutkan kata-katanya.
Beliau memandang Haji Saiful yang sudah tidak sabar
menanti apa yang akan disampaikan oleh beliau. "Tanpa
mengurangi rasa hormat saya, kami selaku orang tua
angkatnya menolak lamaran Haji Saiful tersebut. Kami masih
berniat ingin melanjutkan pendidikan Tantri. Seperti yang pak
Haji sendiri ketahui, Ilmu itu pada dasarnya sangat di
butuhkan untuk individu seseorang. Dalam hal apapun
individu itu tak pernah lepas dari ilmu itu sendiri, dengan
disadari atau tidak. Contoh kecil, Elang yang terbang gagah
itu pun tidak terlepas dari ilmu. Sejak masih baru menetas dia
di perlihatkan cara induknya terbang. Setelah bulu-bulunya
genap dia diajar mengepakkan saya secara perlahan oleh
induknya. Jadi dengan segenap kerendahan hati, kami harap
masalah ini dapat dimaklumi."
Mendengar keputusan tersebut, Haji Saiful menghela nafas
panjang. Ia pun membenahi posisi duduknya. "Yai, terimakasih atas pemahaman yang baru saja saya dapatkan itu.
Saya pun dapat memaklumi hal itu. Baiklah karena saya sudah
30 tau jawabannya, alangkah baiknya kalau kita membahas
rencana pembangunan pondok pesantren saja."
Akhirnya pertemuan itupun berlangsung dengan membahas
masalah-masalah terkait rencana pembangunan pondok
pesantren. Pembicaraan merekapun menjadi hangat manakala
sudah membahas tentang rencana kerja yang akan dilakukan
demi terwujudnya pembangunan pondok pesantren. Untuk
sejenak pembicaraan itu dapat mengalihkan pembicaraan
mengenai lamaran yang ditujukan untuk Tantri. Maklumlah,
sejak ditinggal isterinya dua tahun lalu Haji Saiful tetap
menduda. Namun, setelah mengetahui kalau Tantri telah
diangkat oleh kyai Farid sebagai anaknya tiba-tiba ada niatan
dalam hati Haji Saiful untuk mempererat tali silaturrahmi
dengan kyai Farid. Setelah merasa perbincangan mereka cukup, Haji Saiful
mohon diri untuk pamit. Malam itu menjadi malam yang
begitu pekat untuk Haji Saiful. Namun, apa hendak dikata
maksud hatinya sudah mendapat jawaban yang tak dapat
disangkal lagi ataupun di rubah lagi. Keputusan sudah bulat
dan ibarat sebutir telur telah menetas menjadi ayam yang
tidak mungkin dapat lagi di jadikan telur mata sapi.
Sementara Tantri yang sempat mendengar pembicaraan
abahnya dengan Haji Saiful hanya dapat mengucapkan syukur
Alhamdulillah dan memuji kearifan abahnya. Tak terasa ada
31 tetesan air mata bahagia yang mengalir dari sudut matanya.
Sebuah senyuman tersungging dari bibir indahnya. Memang
tak dapat disangkal, kecantikan alami Tantri seolah-olah
muncul seketika setelah dia diangkat menjadi putri kyai Farid.
Wajahnya yang dulu kusut kini telah cerah setelah tinggal
beberapa hari di rumah barunya. "Ya Allah terimakasih atas
anugerahmu kepada hamba." Ujarnya dalam hati.
Malam semakin pekat, suara jangkrik yang mengerik
menambah kesyahduan jiwa yang dibalut mimpi. Tetesan
embun telah lama membasahi dedaunan. Kelelawar beterbangan di atas pohon Durian yang sedang berbunga. Di
dalam kelamnya malam itu jiwa-jiwa telah banyak yang
terhanyut dalam permainan mimpinya. Namun, di sudut
Langgar Wetan nampak seorang hamba yang sujud melepas
kerinduannya pada Pencipta semesta alam. Sujud sebagai
kesadaran akan hakikat dirinya, sujud sebagai rasa syukur atas
segala rahmat yang tanpa diminta telah dianugerahkan
kepadanya. Tak terasa perjalanan malam sudah hampir saja tiba di
penghujungnya. Kokok ayam di kejauhan mulai terdengar
bersahut-sahutan. Sayup-sayup suara sholawat dari menara
masjid yang letaknya satu kilometer dari Langgar Wetan
mulai terdengar. Beberapa santri Langgar Wetan yang hendak
melaksanakan sholat subuh mulai berdatangan. Sebagian
32 muslim yang ada di sekitar Langgar Wetan juga turut
berdatangan satu persatu. Sebagian yang sudah berwudhu dari
rumah mereka langsung masuk ke dalam Langgar. Sebagian
lagi yang belum berwudhu langsung menuju ke sumur yang
jaraknya delapan belas meter dari langgar untuk berwudhu.
Mu"adzin beberapa saat yang lalu telah mengumandangkan
seruan untuk sholat. Jamaah pun telah berkumpul semua di
dalam langgar. Kini tiba saatnya bagi muadzin tersebut
mengumandangkan Iqmah pertanda sholat akan segera
dimulai. Jamaah laki-laki dan wanita pun berbaris di shaf
masing-masing. Merekapun melakukan takbiratul ikhram
dipimpin oleh kyai Farid. Kepasrahan jiwa mereka berpadu
dalam embun-embun subuh yang membasahi dedaunan di
antara aroma mahkota kembang melati yang merekah. Jiwa
mereka menembus batas keikhlasan dalam ibadahnya tanpa
ada paksaan belenggu kewajiban dan juga janji-janji
kenikmatan syurgawi. Beberapa saat kemudian fajar pecah dilangit timur. Keindahan
cahayanya mengantarkan jiwa pada kedamaian pagi yang
ceria. Kicau burung prenjak menyambut pagi laksana therapi
hati dalam mencapai ketenangan batin. Suara-suara alam yang
di perdengarkan Tuhan menetralkan dua sisi gelombang otak
sehingga perasaan tentram senantiasa tersekap dalam benak
yang kehausan akan setetes kebahagiaan. Angin sepoi-seopoi
33 yang menggerakkan rumpun padi di sawah membawa aroma
alam yang membentur pipi dengan kelembutan. Belaian manja
sang bayu pagi itu menciptakan kesegaran bagi sekujur tubuh
yang ikhlas menerimanya. Lalu apakah salah jika Tuhan
bertanya, "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?" "Abah, mari kita sarapan. Alhamdulillah sudah siap
sarapannya." Ujar Tantri pada kyai Farid yang sedang duduk
di teras sambil membaca Al Futuhaat Al makiyyah karya ibnu
Al Arabi. "Baiklah nak," kyai Farid lalu beranjak dari tempat duduknya
dan melangkah ke ruang makan diikuti oleh Tantri.
"Alhamdulillah hari ini kita masih bisa makan makanan yang
nikmat. Entahlah esok hari, mungkin kita melihatnya pun
tidak bisa jika Allah menghendaki." Ujarnya pula.
Keluarga kecil itupun akhirnya sarapan bersama dengan
penuh keceriaan dan rasa syukur yang selalu dipanjatkan
kehadirat Allah Yang Maha Pemurah. Peluh yang keluar
menyertai rasa nikmat yang mereka rasakan telah bersatu
dengan nafas syukur yang terhembuskan. Butiran nikmat tak
tersisa di piring mereka, seteguk demi seteguk air melengkapi
kenikmatan tersebut. "Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan
yang memberikan nikmat pada jasmani dan ruhani."
34 Usai sarapan bersama Tantri membantu Umi membereskan
piring-piring. Lalu ia mencuci piring tersebut dan ditiriskan di
rak yang sudah disediakan. Tak berapa lama kemudian di
halaman langgar wetan telah parkir kendaraan roda empat
yang sudah setengah tua. Pengemudinya langsung menuju
rumah kyai Farid, "Selamat pagi pak kyai." Pemuda yang
baru datang itu tetap berdiri di depan pintu menunggu kyai
Farid mempersilahkannya masuk.
"Selamat pagi juga. Mari silahkan masuk nak, silahkan
duduk." "Terimakasih pak yai. Saya minta maaf sebelumnya pak yai,
mungkin kehadiran saya ini mengganggu."
"Oh tidak dek. Sama sekali tidak mengganggu, kalau boleh
saya tau apa keperluan anak sama saya?"
"Begini pak yai, saya sempat mendengar desas-desus dari
warga di daerah barat. Katanya langgar wetan ini mau
dibangun ya pak yai?"
"Betul sekali nak."
"Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri sebelum kita
berbicara lebih lanjut. Nama saya Lucas Christianto, saya
berniat ingin membantu keperluan langgar ini jika diperkenankan. Kebetulan saya memiliki kakak di kota
Probolinggo yang memiliki toko bangunan. Tapi jujur saja
pak yai, saya seorang Kristen hanya beberapa bulan yang lalu
35 kakak saya telah masuk Islam setelah menikah dengan
seorang wanita yang berasal dari malang. Saya hanya ingin
sekedar membantu semampu saya, jika tenaga saya juga di
butuhkan saya sangat bersedia membantu."
"Oh terimakasih nak Lucas, saya sangat senang atas
informasinya ini. Jika nak Lucas tidak keberatan untuk
membantu saya juga sangat senang menerima uluran tangan
nak Lucas untuk terwujudnya pembangunan pondok pesantren
ini." Sambut kyai Farid dengan penuh keramahan.
"Oh ya pak yai, saya juga punya teman yang kebetulan dia
adalah tukang bangunan yang sudah seringkali mengerjakan
proyek di kota-kota besar. Maaf pak yai, saya memberikan
informasi ini karena saya juga mendengar jika dalam
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musyawarah kemarin pak yai dan anggota yang lain kesulitan
mencari tukang bangunan di daerah sini yang memang sudah
mahir." "Betul sekali nak Lucas, saya sangat berkenan dengan
informasinya. Jika nak Lucas dan temannya itu tidak
keberatan. Saya mengundang nak lucas untuk menghadiri
musyawarah nanti sore sekitar jam setengah emapat." Ujar
kyai Farid sambil melemparkan senyumannya.
"Biklah pak kyai atas kesediaannya menerima informasi saya
ini. Kalau begitu saya mohon pamit, kebetulan saya masih ada
beberapa pekerjaan di rumah yang harus saya selesaikan."
36 Lucas pun akhirnya meminta diri dan dan diantar langsung
oleh kyai Farid sampai di halaman rumah.
Ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan oleh kyai Farid,
"Mudah-mudahan pembangunan pondok pesantren ini dapat
berjalan dengan baik." Ujarnya dalam hati.
Kecerahan mentari pagi masih kini mulai menusuk menembus
kulit ari. Di atas pohon Randu di dekat langgar itu burung
prenjak melompat dari ranting satu ke ranting lainnya. Satu di
antara kawanan burung itu membawa ulat di paruhnya dan
seperti sedang memikat pasangannya dia memainkan ulat itu
di paruhnya sambil berkicauan. Suasana yang alami nampak
menghiasi alam semesta dengan berbagai keindahan dan
kerapian susunan yang diciptakan Tuhan Semesta Alam.
Sementara di rumah Haji Saiful tampak suasana yang
berbeda, dengan kaki yang diangkat di atas meja tangannya
memegang rokok. Pandangannya nampak kosong dan raut
wajahnya yang sedih tampak menghiasi. Penolakan lamarannya oleh kyai Farid dirasakan teramat pedih. Namun,
dia berusaha untuk ikhlas hanya saja terasa berat rasa itu dapat
hinggap di hatinya. "Selamat Siang pak Haji." Tiba-tiba ada pemuda yang
berpakaian rapi mengetuk pintu rumah Haji Saiful.
"Selamat pagi, Oh nak Candra apa kabar nak Candra?"
sambut Haji Saiful dengna ramah.
37 "Baik pak. Oh ya kata tante saya bapak tadi datang ke rumah
ya?" Candra mengawali pembicaraan mereka dengan logat
bali yang masih kental. "Iya nak Candra, betul sekali. Tadi bapak mampir ke sana,
kebetulan kalau nak candra bersedia ada proyek yang
mungkin dapat diselesaikan."
"Kalau boleh saya tau, proyek apa itu pak?"
"Begini nak Candra," Haji Saiful berhenti sejenak sambil
mematikan sebatang rokoknya yang sudah tinggal setengah.
Lalu katanya, "kebetulan di Langgar Wetan akan di bangun
masjid dan pondok pesantren, tapi di sisi lain kami
kebingungan untuk mencari arsitek dan tukang bangunannya
yang bisa mengarahkan dalam proses pembangunannya. Terus
terang saja, kalau masalah tenaga kasar kami bisa
menyediakan. Namun, untuk tenaga ahli yang dapat
mengarahkannya kami sangat kesulitan untuk itu. Jika nak
Candra bersedia, masalah bayarannya nanti dapat kita
bicarakan dalam musyawarah nanti sore sekitar jam tiga lewat
di Langgar Wetan." "Terimakasih pak untuk informasinya. Saya sangat bersedia
pak, tapi bagaimana tanggapan masyarakat muslim yang
lainnya" Karena bapak tau sendiri saya adalah ummat hindu
yang taat, sedangkan yang akan saya bangun ini merupakan
tempat ibadah bagi ummat Muslim itu sendiri. Bagi saya
38 sebenarnya itu tidak menjadi masalah jika ummat Muslim
setempat tidak mempermasalahkan hal ini, dan masalah
bayarannya tidak perlu dipikirkan."
"Baiklah nak Candra, masalah itu nanti kita bicarakan dalam
musyawarah nanti sore. Mudah-mudahan saja semuanya
berjalan lancar nak Candra." Ujar Haji Saiful agak sedikit
ragu setelah mendengar penjelasan Candra yang tidak sempat
terpikirkan sebelumnya. "Mudah-mudahan saja pak Haji. Dimana kita nanti bertemu?"
"Baiknya nanti saya yang menjemput nak Candra, karena
perjalanan kita se arah dengan Langgar Wetan."
"Baiklah pak Haji kalau begitu saya pamit dulu, selamat
siang." "Selamat siang nak Candra, hati-hati di jalan." Candra pun
menarik gas sepeda motornya dan melaju di jalan raya. Ada
sedikit keraguan dalam hatinya mengenai tawaran Haji Saiful
tadi. Sesampainya di rumah dia juga tak berhenti memikirkan
hal tersebut, karena masih baru baginya untuk menangani
pembangunan masjid dan pondok pesantren. Sementara dia
belum pernah membuat desainnya untuk pembangunan tempat
ibadah itu. Jika yang ia desain adalah pure atau kantor dan
rumah-rumah pejabat itu sudah biasa dia lakukan. Namun,
mendesain pembangunan masjid dan pondok pesantren sama
sekali belum pernah terlintas di benaknya.
39 Waktu yang dinanti-nantipun tiba, ummat muslim di sekitar
langgar kidul sudah berkumpul di Langgar Wetan. Haji Romli
sebagai ketua panitia pembangunan masjid dan pondok
tersebut sudah sejak masuk waktu sholat asyar berada di
tempat itu. Ustadz Imran, ustadz Bahri dan Siti Hamidah pun
sudah sejak awal datang untuk menghadiri musyawarah
tersebut. Lucas dan temannya yang dijanjikan juga sudah
nampak hadir di Langgar itu. Namun, wajah mereka nampak
kurang berkenan. Mereka lakasana orang asing yang tersesat
di semak belukar yang siap mengantar ke jurang yang paling
dalam. Di antara anggota musyawarah yang memang
mengenal Lucas dan temannya itu merasa tidak senang
dengan kehadiran mereka itu.
"Jabir, kenapa kafir-kafir itu datang juga langgar kita" Apa
mereka mau bertaubat?" seru Gufron pada teman di
sebelahnya. "Entahlah, mungkin mereka mau kerjasama membuat patung
Yesus." Jawab Jabir sekenanya.
"Apa otak mereka sudah sinting hadir di sini" sudah tau ini
musyawarah pembangunan masjid dan pondok pesantren
bukan pembangunan gereja atau wihara."
"Sudahlah jangan bicara seperti itu, mungkin juga mereka ada
keperluan sama kyai Farid." Sela salah seorang lagi dari
belakang. 40 "Tau apa kamu gendut, diam saja." Hardik Gufron pada anak
muda yang badannya sedikit gemuk dan pipinya tembem.
Perbincangan sebagian orang itu sempat terdengar oleh Lucas
dan temannya. Hati mereka terasa teriris mendengar sindiransindiran
itu. Namun, sekuat hati mereka berusaha menahannya. Ada sedikit rasa penyesalan bagi Lucas
menghadiri majelis tersebut. Begitu juga dengan Budi
darmawan, temannya yang beragama Budha itu. Namun,
disisi lain dia berusaha untuk sebisa mungkin sabar
menghadapi semua itu. Pembicaraan mengenai mereka berdua
kini sudah hampir ke seluruh anggota musyawarah, Haji
Romli juga sebagai ketua panitia sedikit tersulut dengan
kehadiran mereka. Pembicaraan mengenai kehadiran Lucas
dan Budi terus berlangsung, sebagian besar dari mereka tidak
berkenan. Tapi, bagi beberapa orang yang pernah melihat
hasil kerja Budi saat membangun rumah atau perkantoran
dalam hati kecil mereka mengakui kalau hasil kerjanya bagus
sampai pada akhirnya kyai Farid memasuki majelis musyawarah itu. "Assalamu"alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh."
"Wa"alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh" jawab
orang-orang yang hadir di majelis itu hampir bersamaan."
"Bagaimana jamaah semuanya, apakah sudah siap untuk
memulai musyawarah kita kali ini?" kyai Farid memandangi
41 jamaah yang ada di majelis tersebut. Pandangannya berhenti
pada Lucas dan Budi. Lalu kyai Faridpun melemparkan
senyum pada mereka yang dibalas dengan senyuman pula.
"Maaf yai, apa maksud dari kedatangan Lucas dan pak Budi
di dalam majelis kita ini" Bukankah mereka berdua itu kafirkafir yang tidak pantas untuk menginjakkan kaki di Langgar
Wetan yang kita gunakan untuk sujud ini?" haji Romli dengan
ketidak puasannya mengungkapkan uneg-uneg yang mengganjal hatinya. "Betul yai, orang-orang seperti mereka sudah selayaknya
tidak mencampuri pekerjaan kita ini. Orang seperti mereka itu
tidak semestinya ada di langgar kita ini." Gufron menambahkan. Jamaah yang lainnya pun turut membenarkan uacapan Haji
Romli dan Gufron. Sementara kyai Farid yang mendengar
ucapan ucapan-ucapan itu nampak tenang dengan dihiasi
senyum yang mengembang di bibirnya. Beliau menghela
nafas dalam-dalam secara perlahan, beliau sudah menduga hal
semacam ini akan terjadi. "Baiklah Haji Romli, untuk
mengetahui alasannya alangkah baiknya kalau kita mendengarkan jawaban dari mereka. Silahkan nak Lucas!"
Lucas tampak sedikit tegang dengan keadaan yang semakin
panas itu. Hatinya yang sudah dari tadi panas kini bertambah
42 lagi mendidih dengan kata-kata yang dilontarkan oleh haji
Romli dan Gufron, "Maaf bapak-bapak sekalian, kedatangan saya sebelumnya
sudah mendapat persetujuan kyai Farid. Tadi pagi saya datang
kepada bapak kyai untuk menawarkan sebuah kerja sama,
kebetulan ada kakak saya di Probolinggo yang memiliki toko
bangunan yang lengkap dan harganya juga sedikit lebih
murah. Jadi saya menawarkan bantuan untuk mejadi perantara
antara pihak kakak saya dengan panitia-panitia pembangunan
pondok pesantren dan masjid di tempat ini. Niatan saya hanya
sekedar membantu, tidak ada selebihnya."
"Hei anak muda, urusan pondok pesantren dan masjid ini
menjadi urusan kami. Terus terang kami masih bisa meminta
bantuan saudara-saudara kami sesama muslim. Dan kami di
sini tidak bersedia menerima bantuan dari orang yang tidak
seiman dengan kami. Jadi sebelum kami berubah pikiran kami
persilahkan kalian untuk kembali." Ujar haji Romli dengan
ketidak puasannya. "Tunggu-tunggu, mereka berdua adalah tamu saya. Sebaiknya
kesenjangan ini kita selesaikan bersama dengan pikiran yang
tenang." Ujar kyai Farid dengan penuh kebijaksanaan.
"Betul, pak Haji Romli. Kedatangan kami kesini bukan untuk
mencari permusuhan, kami datang kesini dengan niatan untuk
membantu kesulitan yang ada di majelis ini dan mudah43
mudahan saya bisa sedikit membantunya. Bukankah Tuhan
yang Saudara-saudara sembah itu pernah menjelaskan dalam
firman-nya "tolong menolonglah kalian dalam perbuatan baik"
lalu apa lagi yang mesti di permasalahkan. Bukankah
pendirian rumah ibadah ini merupakan perbuatan yang baik"
Bukankah pendirian pondok pesantren untuk majelis ilmu
tersebut juga perbuatan yang baik" Kami datang bukan untuk
mencampuri masalah doktrin-doktrin agama, karena kami
juga sadar seperti yang pernah disampaikan rosul anda yang
bijak sana itu. Kalau saya tidak salah "bagimu agamamu dan
bagiku agamaku" bukankah begitu?"
Mendengar ucapan pak budi tersebut kyai Farid tersenyum,
sementara Haji Romli dan Gufron semakin panas hatinya.
Keringat Haji Romli membasahi kening, sementara tangan
kanannya meremas-remas selembar kertas. Jamaah yang lain
pun sebagian yang sejak awal kurang senang dengan
kehadiran Lucas dan Budi wajahnya menjadi merah padam
menahan amarah. Tiba-tiba diantara ketegangan itu muncullah
Haji Saiful bersama I gusti Candra. Setelah mengucapkan
salam mereka berduapun duduk disamping Lucas dan pak
Budi. "Pak Haji Saiful, kenapa juga bapak membawa orang kafir
kemari" Apakah bapak sengaja ingin menjadikan kegiatan
44 pembangunan pondok pesantren ini menjadi berantakan
karena tidak satu misi dengan kita?" hardik Haji Romli.
"Maaf pak Haji Romli, bukan maksud saya seperti itu. Saya
hanya berusaha melengkapi kekurangan kita. Selebihnya
biarlah kyai Farid yang menentukan."
Melihat gelagat yang tak baik itu kyai Farid meminta agar
jamaah menenangkan diri. "Saudara-saudara sekalian, apa
yang diucapkan pak Budi itu benar adanya. Tidak semestinya
kita menamkan benih pertikaian di dalam majelis ini. Segala
amal perbuatan itu tergantung niatnya, jika niatnya baik insya
Allah hasilnya juga baik. Pemahaman mengenai ajaran agama
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga tidak boleh dipahami dengan salah kaprah. Kedatangan
rosulullah Muhammad juga bukan untuk mengimankan semua
penduduk bumi ini, tetapi beliau dengan tegas bersabda
kedatangannya untuk menyempurnakan ahlak. Jadi jika kita
mau saling tolong-menolong dalam hal kebaikan insya Allah
Ridho Allah senantiasa bersama kita. Selebihnya keimanan
kita pada Tuhan Semesta alam biarlah nurani kita yang tau
dan biarlah Tuhan sendiri yang menilainya. Belum tentu
mereka lebih buruk dari saudara-saudara dan belum tentu juga
saudara-saudara lebih buruk dari mereka. Hanya Allahlah
yang berhak menilainya. Siapakah diantara saudara-saudara
ini yang menganggap mereka salah dalam memilih jalan
45 hidup mereka atau salah dalam memilih agamanya?" ujar kyai
Farid dengan penuh kebijaksanaan.
"Bagaimana kyai tidak menyalahkan mereka, sedang mereka
menyembah patung dan yang lainnya mempertuhankan Isa
AS?" Haji Romli tidak puas dengan apa yang sudah
disampaikan oleh kyai Farid.
"Perlu dipahami bahwasanya agama itu bukan diturunkan
untuk saling mengklaim siapa yang benar atau siapa yang
salah. Siapa yang lebih unggul atau siapa yang kalah. Agama
juga diturunkan bukan untuk saling berperang dan saling
menyerang. Agama di turunkan oleh Tuhan bukan untuk
saling di perdebatkan, tapi dipahami dan di mengerti apa yang
ada di dalamnya. Di amalkan ajaran-ajarannya dengan penuh
keikhlasan. "Maka apakah mereka mencari agama yang lain
dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri
segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan" itu firman Allah dalam surah Ali Imran ayat
delapan puluh tiga. Pak haji Romli, milik siapakah bumi
seisinya ini?" "Milik Allah yai," ujar haji romli.
"Jika kita memahami bahwasanya apa yang ada di penjuru
langit dan bumi ini milik Allah, kenapa kita tidak ikhlas
menerima kehendak Allah yang menciptakan aneka perbedaan
46 di antara kita" Kenapa kita juga harus mempermasalahkan
perbedaan agama yang hanya kita pandang melalui mata kasar
kita" Bukankah saudara-saudara juga memahami bahwasanya
Allahlah yang berperan atas segala sesuatu termasuk jalan
kebaikan ataupun jalan kefasikan itu. Lalu mengapa kita harus
tidak ikhlas menerima takdir Allah itu. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu
tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat
memberi petunjuk kepadanya. Jadi saya harap hal itu dapat
dipahami dengan sebenar-benarnya dengan menggunakan
hati, bukan dengan keegoan kita sebagai manusia biasa karena
sejatinya kebenaran dan kesalahan itu merupakan takdir dari
Allah. Allah menciptakan segala sesuatu bukan dengan siasia tetapi dengan maksud yang jelas, dengan tujuan yang jelas,
dan juga karena sesuatu yang jelas. Dan kejelasan itu adalah
kehendak-Nya yang tak dapat dibantah dengan apapun.
Karena perbuatan Allah tidak di dasarkan oleh perbuatan
mahluk. Tetapi perbuatan mahluklah yang berdasarkan
perbuatan Allah. Oleh karena itu pesan saya, berusahalah
untuk ikhlas menerima ketentuan Tuhan atas segalanya. Dan
kembalilah menjadi jiwa-jiwa yang sempurna yang tak dapat
dibandingkan dengan surga atau neraka hati, karena hanya
47 jiwa yang sempurna yang akan kembali dengan damai kepada
Tuhannya." "Terimakasih yai atas pencerahannya. Dan nak Lucas serta
pak Budi, saya mohon maaf atas ucapan-ucapan saya yang
tidak berdasar tadi. Sekali lagi saya mohon maaf." Ujar Haji
Romli dengan mengulurkan tangannya kepada Lucas dan pak
Budi. Uluran tangan dari Haji Romli menyentuh hati mereka
berdua, dan dengan senyum keduanya menyambut uluran
tangan Haji Romli. Jamaah dalam langgar itu pun kembali
tenang dan saling berpandangan menahan hati yang haru.
"Kyai Farid, alangkah halus ajaran Islam itu. Dapatkah kita
jika ada kesempatan saling bertukar pikiran?" ujar pak Budi
kepada kyai Farid yang hanya beberapa depa saja dari
tempatnya duduk. "Ajaran yang dibawa Sidarta Gautama juga sangat halus pak
Budi. Oleh karena itu tidak sewajarnya seseorang mempelajari
agama itu hanya dengan pikirannya, tetapi dengan hati.
Sehingga tidak salah kaprah dalam memahaminya, dan salah
kaprah itulah yang membuat ummat satu dan yang lainnya
menjadi saling bertentangan saling mengklaim pribadi
merekalah yang benar dan salah. Waya-Dhamma-SangkharaApamadena-Sampadetha yang berarti Semua yang terbentuk
tak ada yang abadi (termasuk butir-butir pikiran). Agama,
48 kefanatikan dan juga segala sesuatu yang ada di semesta alam
ini tidak ada yang abadi, hanya Tuhan sajalah yang abadi oleh
karena itu segalanya mesti dikembalikan pada Tuhan agar
tidak ada lagi pertentangan masalah konsep pemahaman yang
diatas namakan Tuhan, agama dan sebagainya. Karena segala
sesuatu termasuk agama yang seringkali di perdebatkan itu
dan juga seluruh manusia baik yang beragama islam, hindu
dan juga kristen atau agama yang pak Budi anut pada
akhirnya juga akan kembali pada Tuhan karena segalanya
berasal dari Tuhan. "ketahuilah para bikkhu bahwa ada
sesuatu Yang Tidak Dilahirkan,Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para bikkhu, apa bila
tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin
kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bikkhu, karena
ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk
terbebas dari kelahiran, penjelmaan pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu" bukankah begitu pak budi"
Dan yang dimaksud Itu, Dia jugalah yang kami sembah dan
disembah oleh ummat-ummat agama lain."
49 "Betul sekali yai, nampaknya yai juga memahami ajaran sang
Budha" Kalau saya tidak salah itu pernyataan dari buddha
yang terdapat dalam kitab Sutta Pitaka."
"Tidak juga, saya hanya memahami apa yang sudah di ajarkan
Tuhan pada saya, selebihnya saya hanyalah manusia yang
bodoh." Ujar kyai Farid dengan senyum khasnya yang
mengembang. Igusti candra dan yang lainnya sempat mendengarkan
penjelasan dari kyai Farid. Mendengar penjelasan itu hati I
gusti candra menjadi tenang. Kegelisahan yang dibawanya
sejak dari rumah Haji Saiful kini terpecahkan. Hatinya
kembali menjadi damai dan tentram berada di antara ummat
muslim yang sejatinya mereka adalah saudara-saudara
mereka, saudara karena sama-sama menyadari bahwa ciptaan
Han Bu Kong 12 Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian Dibalik Keheningan Salju 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama