Remember When Karya Winna Efendi Bagian 2
ke sini?" Aku khawatir. Anggia ingin aku datang. Adrian butuh seseorang. Entah jawaban mana yang
harus kuberikan. Jadi, aku tidak menjawab. Kuserahkan jaket yang kubawa untuknya, dan dia
tersenyum lagi saat mengenakannya. "Thanks. Lo pulang aja, gue nggak apa-apa."
Nggak apa-apa, katanya" Wajahnya pucat pasi, senyumnya palsu, matanya sedih. Tatapan
kosong yang membuatku takut.
Aku berdiri di sebelahnya, masih tidak mengatakan apa-apa. Diam-diam, menghirup asap
rokok yang dikepulkan Adrian, perlahan teringat akan luka masa lalu yang terkorek,
kenangan yang sama seperti enam tahun silam. Rasa itu membuatku tiba-tiba merasa rindu.
"Kenapa ya, orang-orang yang kita sayang harus pergi begitu cepat?" Tiba-tiba, Adrian
bicara. "Kenapa, hidup nggak bisa adem-ayem" Kenapa bahagia nggak bisa berlanjut lama?"
Aku mengamati hujan yang masih turun dengan derasnya. Titik-titik air yang riuh
mengacaukan kesepian kami. "Kita jadi takut merasakan bahagia karena kalau terlalu
bahagia, suatu saat semua itu bisa hilang dan menjadikan kita hampa."
Adrian mengangguk. "Tadi, Nyokap lagi pergi sebentar buat beli makanan. Katanya, dia
seneng anak-anaknya udah pada gede, udah bisa jaga diri sendiri. Jadi, dia nggak usah
khawatir lagi kalau dia nggak ada."
Aku berjongkok, memeluk lutut. Udara semakin dingin. "Waktu hidup manusia itu nggak
pasti. Kita nggak punya kemampuan untuk nentuin masa dan arah hidup kita.... kalau yang di
atas bilang waktu kita selesai, kita harus lepas tangan. Itulah ironisnya kehidupan. Hidup ini
milik kita, juga bukan milik kita sendiri."
"Ya, begitulah manusia."
Aku berpaling menatap Adrian, yang masih mengisap rokoknya dengan tenang. Ketenangan
yang jarang kutemukan pada dirinya yang ceria; ketenangan yang sangat mengerikan. Karena
tiba-tiba aku merasakan cahaya mata dan kesepian yang sama, seperti enam tahun yang lalu.
Tidak ada yang bisa menyelamatkan siapa pun dari rasa semacam itu.
"Kamu nggak usah pura-pura." Entah dari mana kata-kata itu muncul. Adrian mendongak,
seperti tidak menyangka kata-kata itu akan muncul lugas dari mulutku.
"Lo berharap gue bereaksi seperti apa" Nangis meraung-raung ditinggal Nyokap" Menghibur
anggota keluarga yang tertinggal" Langsung turun tangan ngurusin masalah pemakaman?"
Suaranya tiba-tiba meninggi dengan emosi yang memuncak. "Atau lo mau gue cari bajingan
yang nabrak Nyokap, terus langsung gue bunuh" Yang mana yang harus gue lakuin, Freya?"
Rokok telah jatuh ke tanah, bercampur dengan air hujan. Aku hanya bisa balik memandang
matanya, membiarkannya merasakan segalanya yang harus ia rasakan.
"Nyokap gue juga meninggal, enam tahun yang lalu."
Adrian terdiam, masih berusaha menata emosi.
"Nyokap gue yang sekarang bukan ibu kandung. Dia menikah sama bokap gue tiga tahun
lalu. Nyokap gue sakit parah, semua harta benda keluagra dijual habis untuk biaya
pengobatannya. Tapi, beliau tetap meninggal." Aku menarik napas dan mengembuskannya
pelan-pelan. "Bokap menikah lagi dengan orang yang menjadi ibu tiri gue sekarang. Butuh
setahun sampai gue bisa nerima dia sebagai ibu, dan bukan pengganti. Butuh waktu buat
kembali percaya lagi, kalau gue pantes bahagia."
Tubuh Adrian mulai gemetar. Sama seperti waktu itu, enam tahun yang lalu, saat aku
sendirian duduk di tempat yang sama, menangis sendirian sampai seseorang datang
menjemputku. Sampai tangis mereda, dan kehilangan kemampuan untuk menangis. Aku
mengerti. Perlahan, aku merengkuh tubuhnya yang basah, merasakan gemetar itu, merasakan beban
yang disimpannya sendirian.
"Saat itu, gue bilang sama diri sendiri, Nyokap pasti pengin gue tetap kuat dan nggak nangis.
Tapi, gue belajar, bahwa pada saat-saat seperti ini, lo hanya harus menjadi diri sendiri.
Lakukan apa yang lo mau, rasain apa yang harus lo rasain."
Dan, air mata mulai membasahi pundakku. Aku memeluknya sepanjang malam, memeluknya
hingga dia berhenti mengigil, dan ia balas merengkuhku hingga hangat dan tenang
menyentuh jiwanya. *** ANGGIA POV Aku duduk di samping Moses yang sedang menyetir perlahan di jalan tol menuju Jakarta.
Sesekali, aku menarik cardigan tipis yang kukenakan rapat-rapat. Hujan masih terus turun
dengan derasnya, reaksi dengan udara menimbulkan kabut di kaca mobil. Radio masih terus
menyiarkan berita kecelakaan dan kondisi lalu-lintas. Aku melirik Moses sekilas,
pandangannya lurus ke depan dan pegangannya pada setir terlalu erat, tetapi ekspresi
wajahnya datar tanpa emosi.
Dua jam yang lalu, aku iseng mencuri waktu untuk menelepon Adrian dari telepon hotel
tempat kami menginap. Dalam pertemuan OSIS yang harusnya berlangsung sampai lusa ini,
ponsel kami disita dan aku kesulitan menghubungi Adrian dari Bandung. Padahal, aku
kangen suaranya. Kangen mengobrol sebelum tidur dan mengakhirinya dengan ucapan I love
you. Butuh beberapa kali dering sampai telepon rumah Adrian diangkat. Suara Mbok Rumi
gemetaran ketika menjawab telepon.
"Mbok, ini Anggia. Adrian ada?"
Senyap. Sepertinya rumah juga sedang kosong. Tidak terdengar suara Adrian main game di
ruang keluarga, atau suara berita yang ditonton ayahnya tiap malam. Baru pukul sepuluh
malam, dan biasanya keluarga Adrian jarang tidur sebelum pukul dua belas.
Ketika aku mengulang pertanyaanku, hanya tangis Mbok Rumi yang terdengar sambil
mengabarkan perihal kecelakaan Ibu Adrian.
Awalnya, aku nggak percaya. Memastikan berkali-kali sampai aku terduduk lemas dan
berusaha mencerna kabar buruk itu. Aku langsung memutar nomor ponsel Adrian, yang
diangkat pada dering pertama.
"Yan" Kamu dimana" Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" Adrian nggak menjawab. "Aku
segera ke sana. Kamu tunggu aku, ya."
Suara Adrian begitu pelan, hampir nggak kedengaran di tengah bahana hujan dan riuh orang
berbicara di sekitarku. "Iya."
Klik. Telepon dimatikan, dan ponsel-nya nggak bisa dihubungi lagi setelah itu. Mungkin
dimatikan. Selanjutnya, aku dan Moses bersikeras untuk segera kembali ke Jakarta. Kami terpaksa
meminjam mobil dari kenalan Moses di Bandung karena kami datang ke sini dengan bus
sekolah. Untungnya lalu-lintas nggak terlalu macet, tetapi langit yang gelap dan hujan deras
memperlambat perjalanan kami.
"Tenang aja." Suara Moses memecah keheningan. Mungkin dia merasakan kegelisahanku.
"Hmm." Aku menekan-nekan tombol radio dengan tak sabar. "Gue ganti stasiun radionya,
ya" Dengerin berita kecelakaan bikin gue gugup."
Moses hanya mengangguk singkat, membiarkanku memilih. Lagu instrumental piano mulai
mengalun. Setidaknya, ini lebih menenangkan.
"Ada Freya di sana. Pasti baik-baik aja." Moses berkata lagi, seakan bisa membaca pikiranku.
Aku meremas-remas tangan, masih cemas. "Gue takut Adrian ngamuk. Lo kan tahu sendiri
dia orangnya emosian. Dia pasti...." Aku nggak sanggup melanjutkan. Hancur. Kata itu yang
barusan akan kukatakan. "Ada Freya. Jangan khawatir," ulangnya yakin.
Ya, benar. Freya akan menjaga Adrian supaya dia nggak gegabah. Tolong jaga Adrian,
begitu yang kukatakan kepadanya sebelum kami menyusul ke Jakarta. Dan, dia sudah
menyanggupinya walau aku tahu betapa bencinya Freya pada rumah sakit.
Freya nggak suka segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah sakit, baunya, rumah duka,
pemakaman. Aku hanya pernah mendengar sekilas ceritanya dari Erik. Sejak kepergian
ibunya, Freya anti dekat-dekat dengan yang namanya rumah sakit. Dia jarang mau pergi ke
sana, kecuali benar-benar terpaksa. Waktu aku masuk rumah sakit untuk operasi usus buntu
tahun lalu, baru aku tahu cerita yang sebenarnya.
Yang benar-benar tahu keseluruhan ceritanya adalah Erik. Aku dan Moses yang sudah
mengenalnya selama dua tahun bahkan nggak mampu mengorek luka lampau itu dan
mendengarnya dari mulut Freya sendiri. Semua disimpannya rapat-rapat, seperti tameng,
seperti rahasia. Apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan, kami nggak tahu jelas.
Akhirnya, aku memutuskan untuk nggak memaksa. Mungkin hal-hal semacam itu lebih baik
tidak dibicarakan. Udara semakin sejuk. Moses nggak mematikan AC mobil karena embun dan kabut kian tebal
merayapi kaca mobil dan menghalangi pandangan. Mobil berhenti di depan lampu merah,
sebentar lagi kami akan tiba.
Mendadak, aku merasa takut, ingin menangis. Ingin segera memeluk Adrian, ingin memberi
tahunya kalau semuanya akan baik-baik saja. Ingin melihatnya tersenyum dan bukan
menangis. Ingin segera sampai di sana.
Tanpa kusadari, air mata mulai berguklir ke pipi. Aku terisak, menutupi muka dengan kedua
tangan. Tangan yang lembut tiba-tiba mengusap rambutku. Perlahan, bahkan ujung jarinya hampir
tidak menyentuhku. Aku membiarkan Moses membelai kepalaku sekali, dua kali, mencoba
menenangkanku dengan caranya sendiri, tanpa sepatah kata pun.
Lalu, kamu melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
*** MOSES POV Kami tiba di rumah sakit setelah tiga jam perjalanan yang melelahkan. Aku harus ekstra hatihati karena jalanan sangat licin. Anggia yang duduk di sebelahku terus menangis, membuatku
serbasalah. Aku tidak pernah melihat seorang gadis menangis, dan bingung bagaimana
caranya bersikap jika seorang perempuan menangis di depanku. Apa yang harus aku katakan"
Atau, apakah aku seharusnya membiarkan dia menangis sampai puas"
Akhirnya, aku melakukan apa yang dulu sering dilakukan kakak perempuanku, setiap kali
aku menangis jika ayah dan ibu terlalu sibuk untuk pulang ke rumah. Kakak sering membelai
kepalaku, mengelusnya lembut hingga aku berhenti menangis. Aku suka belaian itu,
membuatku merasa lebih baik setiap kali Kakak melakukannya.
Anggia berlari ke dalam rumah sakit tepat setelah aku memarkir mobil pinjaman itu. Kulihat
mobil Freya terparkir di sana; berarti dia sudah menunggu di sana hingga pukul dua pagi. Dia
tampak sedang duduk di ruang tunggu depan. Wajahnya letih, tetapi tidak ada sisa tangis di
sana. Dia terlihat.... tenang. Adrian duduk di sampingnya, memegang segelas air putih.
Wajahnya lebih pucat dari kami semua, matanya merah dan tangannya terkepal di
sampingnya. "Adrian!" Anggia langsung menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Tangisnya pecah
dan Adrian mengelus-elus kepalanya, mencoba menenangkannya. Freya menangkap
tatapanku dan tersenyum tipis, lalu mengajakku ke luar dari sana.
"Freya," panggil Adrian sesaat sebelum kami pergi. Freya berbalik. "Thanks."
Freya hanya tersenyum simpul.
Kami berdua berhenti di area parkis, bersandar di kap mobilnya dambil memandang langit
yang semakin kelam. Hujan sudah berhenti sejak tadi, tetapi udara membawa rasa yang lain;
bau tanah yang becek, antiseptik yang menyengat.
"Gimana Adrian?"
Freya mengangkat bahu. "Sedikit lebih baik. Tadi waktu aku datang, dia nggak mau
ngomong apa-apa." "Ibunya?" Freya menunduk lebih dalam. "Ibunya... hampir nggak bisa dikenali. Separuh tubuh dan
wajahnya hancur. Lehernya patah...." Suara Freya makin pelan, tidak ingin melanjutkannya
lagi. Aku menyentuh tangannya. "Sepertinya Adrian syok banget."
"Sudah sewajarnya dia terpukul. Anggia juga nangis dari tadi...."
Freya mendesah. "Kita tunggu mereka di sini, ya" Sampai semuanya beres."
Aku mempererat genggamanku, mencoba berbagi kehangatan dan kekuatan. "Ya, kita tunggu
di sini." ERIK POV Kalau sekarang ada yang tanya sama gue, apa opini gue mengenai seorang Freya, maka gue
akan panjang-lebar cerita tentang dia.
Freya itu sahabat gue sejak kecil, sejak kita masuk SD di tempat yang sama. Sejak kita
berdua jadi tetangga satu kompleks perumahan, dan cerita mengenai bagaimana gue menjadi
satu-satunya orang yang bisa diajak bicara hati-ke-hati olehnya.
Gue akan bilang kalau menganggap Freya layaknya adik perempuan yang paling gue sayangi.
Gadis kecil yang suka menyimpan semuanya sendirian dan enggan bicara tentang perasaan
pribadinya. Dan cuma gue yang bisa membaca pikirannya.
Freya sudah pendiam dari sananya. Namun, enam tahun yang lalu, ibunya meninggal karena
kanker yang baru dideteksi di stadium terakhir, meninggal setelah beberapa bulan perawatan
di rumah sakit. Freya yang tadinya cukup berada menjadi Freya yang hanya bisa sekolah
karena beasiswa dan pertolongan para orangtua murid lain. Ayahnya membuka toko obat
tradisional di rumahnya yang kecil karena bisnis apotek besar yang mereka kelola dulu
terpaksa dijual, begitu pula dengan mobil mewah dan rumah, beserta harta-harta lain yang
digadaikan. Sekarang, keluarganya hanya punya sebuah mobil jip tua yang langganan keluarmasuk bengkel, itu pun hanya kalau terpaksa.
Namun, bukan hanya kemiskinan mendadak yang mendera Freya. Yang lebih mengena
adalah kehilangan ibunya. Saat itu, Freya baru dua belas tahun. Gue ingat, waktu itu dia
kembali dari rumah sakit membawa berita buruk tersebut. Dia mengunci diri di kamar, nggak
keluar berhari-hari, bolos sekolah seminggu. Ayahnya menelepon gue supaya datang, tapi
Freya nggak mau bicara. Sampai akhirnya, enam hari setelah kepergian ibunya, Freya mulai
keluar dari kamar dan memasak. Dia masak makanan kesukaan ayahnya seperti yang sering
diajari ibunya, dan tersenyum seakan nggak terjadi apa-apa.
Di situlah letak bahayanya. Gue tau dia lebih sakit dari itu. Dia lebih ringkih dari
kelihatannya. Lebih ingin menangis dibandingkan kami semua. Sama seperti waktu dia
diledek tiang listrik jelek oleh teman-teman sekelas, dia bertindak seakan dia baik-baik aja,
tapi gue menemukan dia menangis diam-diam sepanjang perjalanan pulang.
Dia terus bilang ke gue, gue baik-baik aja kok, Rik, tapi di balik itu, gue tahu semuanya. Gue
tahu, tetapi nggak bisa berbuat apa-apa. Sama seperti ayahnya yang hanya bisa
memperhatikannya dengan putus asa, kita semua berpura-pura mengikuti caranya,
beranggapan semua udah lewat dan nggak perlu diungkit lagi.
Lalu, ayahnya menikah lagi, dengan wanita yang ditemuinya di toko suatu hari. Freya
tersenyum di setiap foto pernikahan mereka, membawa buket bunga cantik yang
dirangkainya sendiri, tampak seperti anak perempuan paling bahagia di dunia. Namun, sekali
lagi gue tahu, dia sebenarnya lebih sakit hati dari itu. Dia diam saja, dan di antara kami
seperti ada perjanjian tak tertilis untuk berpura-pura bahwa semua lancar apa adanya.
Seiring waktu, saat SMU, Freya berpacaran dengan Moses dan berteman dengan Anggia.
Anggia adalah satu-satunya teman perempuan Freya; bagaikan langit dan bumi, gue juga
bingung kenapa mereka bisa berteman. Freya bilang, Anggia adalah satu-satunya orang yang
nggak melihat dia karena dia pintar, karena dia tinggi, atau apa pun itu. Mereka hanya cocok,
itu saja. Sejak saat itu, Freya sedikit lebih terbuka, lebih banyak bicara. Dia tampak lebih happy,
lebih... apa ya" Normal.
Gue cukup senang karena Anggia yang riang dapat mengundang sisi itu dalam diri Freya
walau Moses sepertinya terlalu protektif dan kaku untuk dapat membahagiakan Freya. Dan,
diam-diam, gue kecewa... karena mungkin dulu gue terlalu pengecut untuk lebih menyelami
hatinya atau mencoba menyembuhkan lukanya.
Akhirnya, gue melihat dia hari ini, berdiri di samping Anggia dan Adrian, mengobrol dengan
mereka. Ibu Adrian baru saja meninggal beberapa saat lalu, dan gue merasa melihat sesuatu
yang lain di mata Freya. Rasa kesepian yang dulu disimpannya rapat-rapat, yang nggak bisa diganggu-gugat orang
lain dan nggak bisa dikorek oleh siapa pun, menguap sedikit demi sedikit. Dia terlihat lebih
manusiawi, terbuka, lepas....
Satu lagi. Gue melihat matanya mengekori sosok Adrian.
Mungkin terlalu prematur bagi Anggia dan Moses untuk merasakan apa-apa mengenai kedua
orang yang dulunya nggak dekat itu. Namun, entah mengapa... gue khawatir. Mereka lebih
dari dua orang yang sama-sama suka musik rock dan buku silat seperti yang gue bagi dengan
Freya selama delapan tahun persahabatan kami.
Freya sendiri tampaknya nggak menyadarinya. Karena itulah, gue khawatir.
*** ANGGIA POV Sudah lewat kurang-lebih seminggu sejak ibunya Adrian meninggal karena kecelakaan. Aku
masih ingat malam itu, bagaikan baru terjadi kemarin.
Malam itu, ayahnya turun tangan mengurus masalah pemakaman, sedangkan kakak laki-laki
Adrian sibuk menenangkan para sanak saudara yang berkumpul di rumah sakit. Adrian diam
menggenggam tanganku, tanpa berkata apa-apa, hanya mencium aroma rambutku sambil
termenung hingga subuh. Dia nggak menangis walau kuliht matanya merah menahan air
mata. Entah kenapa, aku sulit melupakan ekspresi wajahnya yang seperti itu.
Sudah seminggu, tetapi dia masih tetap seperti Adrian pada malam itu.
Sore ini kami nongkrong di Kedai Cumi, tempat kencan favorit kami sepulang sekolah.
Namun, mood-nya sama-sekali berbeda dari kencan-kencan kami yang biasa. Aku duduk di
seberangnya, mencoba menikmati pekatnya mi yang sudah disajikan. Mi berwarna hitam
yang dijual di Kedai Cumi itu adalah makanan favorit Adrian. Dia makan mi ini saat sedang
merayakan sesuatu, saat berduka, saat bosan, saat lapar...
Sekarang pun dia masih makan dengan lahapnya, menyumpit mi yang berminyak dan
berlumur tinta cumi-cumi itu dengan nikmat.
Aku sendiri nggak nafsu makan, hanya sesekali mencoba menelan daging yang terasa
hambar. Padahal, biasanya kami bisa menyantap lebih dari dua kotak mi sendirian, bahkan
kadang sampai berebut. "Aahh...." Adrian menyeruput es tehnya dan bersendawa sekali, keras. "Enakkk.... seperti
biasa." Seperti biasa. Kata-kata itu berdengung di kepalaku. Biasanya, Ibu Adrian akan memasakkan
masakan kesukaan anak bungsunya setiap malam. Sekarang, mereka lebih sering memesan
takeaway dari luar, atau Mbok Rumi yang memasak seadanya karena ayah dan kakak Adrian
jarang pulang. Aku tahu. Aku tahu. Walau Adrian nggak pernah bilang.
"Anggia" Kenapa?"
Aku tersentak. "Eh. Iya, lumayan," jawabku sekenanya. "Udah belajar buat ulangan besok?"
"Belum," responnya dengan mulut penuh mi. "Nanti aja, deh. Kemaren kita juga udah dapet
kisi-kisi, kan."
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau gitu, aku datang ke rumah ya nanti malam. Kita belajar bareng... sekalian aku buatin
makan malam. Oke?" "Mbok Rumi masak, kok." Dia berkilah.
"Nggak sehat kalau setiap hari kamu cuma makan gorengan... malah kadang nggak ada
sayurnya." Aku memulai dengan khawatir. "Apa jadinya kalau setiap hari kamu bergadang
sampai malam, terus telat bangun dan lupa sarapan" Siang makan nggak sehat, malam juga
begitu...." Adrian hanya terkekeh. "Tenang aja, aku banyak stok makanan."
Aku merengut. Stok makanan yang dimaksudnya adalah snack cepat saji yang disimpannya
dalam lemari, begitu banyaknya sampai sering disemutin karena Adrian teledor dan lupa
menghabiskannya. "Junk food lagi... nggak sehat...." Aku kembali mengomel. "Aku masak
aja ya nanti malam.. spaghetti kesukaan kamu."
Aku mendadak terdiam, merasa telah mengatakan sesuatu yang salah. Adrian jarang
memesan spaghetti ke mana pun kami pergi. Dia bilang, buatan ibunya yang paling enak.
Namun, Adrian terus melanjutkan makan, bahkan mengambil bagianku yang tak habis, dan
masih memesan seporsi mi lagi tanpa banyak komentar.
Seakan nggak ada yang salah.
Itu masalahnya. Adrian selalu bertindak seolah-olah nggak ada yang salah.
Aku gemas sekaligus serbasalah melihatnya. Dia tampak tenang, tetapi aku tahu dalam lubuk
hatinya dia pasti menyimpan seribu satu emosi yang enggan diluapkannya padaku, dan aku
khawatir akan melukainya kalau bertanya. Kian hari, dia makin cuek dengan dirinya sendiri,
tenggelam dalam kepura-puraan yang diciptakannya, seperti sekarang ini.
Kubelai rambutnya yang mencuat ke luar dari topi baseball merahnya. Matanya merah
karena kurang tidur. Tubuhnya kurus dan mukanya pucat, tanda-tanda kurang istirahat.
"Aduh..." aku bergumam, lebih kepada diri sendiri, "pasti kamu tidur tengah malam lagi, ya."
"Hmmmm." "Padahal, kita lagi musim ujian. Sebentar lagi, ujian nasional, harus banyak-banyak belajar....
Eh, aku punya ide, gimana kalau kita ajak Moses dan Freya belajar bareng" Lusa aku ajak
mereka ke...." Adrian membanting sumpitnya dengan kasar, lalu menepis tanganku yang sedang membelai
kepalanya. Dia nggak memandangku. "Ayo, kita pulang."
"Kamu kan belum selesai makan.... Porsi kedua belum datang.."
"Kita pulang." Nada itu tegas. Absolut. Nggak bisa dibantah. Sama-sekali bukan seperti
Adrian. Aku nggak kenal Adrian yang seperti ini.
Dia melemparkan beberapa lembar uang puluhan ribu ke atas meja, dan berjalan ke luar.
Awalnya, aku diam saja, masih kaget karena dia nggak pernah begitu sebelumnya, tapi lalu
kusadari, kalau aku tetap di sana, dia benar-benar akan meninggalkanku. Aku bergegas
menyusul. "Yan, kamu kenapa sih?"
Dia nggak memedulikan seruanku, hanya masuk ke mobil dan langsung melaju kencang ke
arah rumahku yang nggak jauh dari sana. Mobil berhenti di depan pagar, mesin menderu-deru
diiringi derak jam digital di dashboard mobil.
"Ada apa?" tanyaku lirih, takut mendengar jawabannya.
"Turun." Perintah itu mengejutkanku. "Aku mau pulang."
Dadaku terasa sesak, dan aku tahu sebentar lagi air mata akan turun. Aku memandang
Adrian, yang masih menunduk, menyembunyikan wajahnya dariku. Aku ingin tahu apa yang
dia rasakan; aku sungguh-sungguh ingin tahu. Hanya saja aku bingung bagaimana harus
bertanya. Akhirnya, aku membuka pintu mobil dan melangkah ke luar. Air mata sudah mengalir bebas
di wajahku, dan aku benci diriku karena begitu cengeng dan penakut. "Aku ada di sini
seandainya kamu butuh seseorang untuk berbagi." Aku berkata padanya sebelum menutup
pintu mobil. "Hati-hati di jalan, ya. Aku sayang kamu."
Pintu mobil dirapatkan. Aku terdiam sambil berdiri di depan pagar rumah, merasa kebas dan
tidak diacuhkan. Mobil itu melaju pergi. Aku ada di sini, Yan. Aku ada di sini.
*** ADRIAN POV Gue menyetir keluar (ralat: mengebut) dari kompleks perumahan Anggia. Sekilas, teringat
akan bulir-bulir air mata yang turun di pipi Anggia, ekspresinya yang terkejut. Mungkin dia
kaget karena gue udah dengan ringannya menyuruh dia turun dari mobil, sesuatu yang nggak
pernah gue lakukan sebelumnya.
Gua nggak pernah sekasar itu sama cewek, apalagi sama Anggia.
Gue juga nggak tahu jelas kenapa gue bisa mengusir dia seperti itu. Gue hanya tiba-tiba
marah karena Anggia kedengeran mirip Nyokap, melakukan hal-hal yang biasanya Nyokap
lakukan, dan semua itu mengingatkan gue akan satu fakta yang menyakitkan: nyokap gue
udah tiada. Anggia nggak akan pernah ngerti rasanya kehilangan orangtua, apalagi Nyokap yang paling
gue sayang. Nyokap yang melahirkan dan menuntun gue ke sekolah waktu kecil, menunggu
sampai gue berhenti menangis, dan menjemput gue tepat waktu. Nyokap yang paling ngertiin
gue, nggak pernah marah meskipun nilai ujian gue hasilnya telor bebek semua, dan gue lebih
seneng main basket dan game daripada belajar. Nyokap cuma pernah bilang sekali, waktu
gue diancam nggak naik kelas enam SD, Adrian, Mama pasti akan kecewa sekali kalau kamu
nggak naik kelas. Nada suaranya waktu itu lembut, tanpa penekanan, nggak ada paksaan.
Hanya ungkapan bahwa beliau kecewa. Sejak saat itu, gue bertekad akan lulus dengan nilai
baik... walau baik bagi kapasitas gue hanyalah nilai pas-pasan. Gue nggak bisa liat beliau
kecewa. Dalam hidup gue, Nyokap adalah nomor satu, lebih dari anggota keluarga gue yang lain. Gue
ngerasa beliau udah ngorbanin segalanya untuk anak-anaknya dari berhenti bekerja untuk
mengurus gue dan Abang, juga menyimpan perasaannya rapat-rapat walau empat tahun lalu
perkawinannya di ambang perceraian karena Bokap ketahuan selingkuh. Nyokap tetap
bersikukuh untuk mempertahankan keluarga kami.
Lalu, tiba-tiba Nyokap pergi begitu aja. Tanpa peringatan. Gue masih inget, beliau janji akan
masak makanan kesukaan gue dan ajak kami sekeluarga liburan ke luar kota kalau gue lulus
ujian nasional. Tapi, apa sekarang beliau masih mampu memenuhi janji itu" Gue benci kalau
gue diingatkan, teringat, dan mengingat segala sesuatu tentang Nyokap. Gue benci, tahu
bahwa Nyokap nggak akan kembali lagi ke sini, seingin apa pun gue ketemu dia lagi. Gue
juga benci karena gue bersikap biasa-biasa aja, padahal seharusnya gue merasa sedih sampai
mau mati. Barusan, Anggia ngingetin gue supaya rajin belajar, jangan tidur larut malam, jangan makan
sembarangan. Gue tau dia khawatir. Sejak minggu lalu, dia selalu mengikuti gue ke manamana dengan pandangan itu. Itu, pandangan penuh simpati dan khawatir dan KASIHAN yang
semua orang berikan ke gue. Gue muak dengan pandangan itu. Anggia juga menelepon gue
tiap sejam sekali kalau gue nggak lagi bareng dia, hanya untuk nanya apa gue baik-baik aja.
Seharisnya, gue bersyukur dan seneng diperhatiin seperti itu. Apalagi, gue memang suka jadi
pusat perhatian. Tapi, gue nggak suka dengan perlakuan semua orang yang berbeda. Moses
yang menepuk pundak gue dan secara langsung ingin bilang, gue turut simpati dengan
kehilangan lo. Teman-teman sekelas yang membuat kartu duka cita dan membawa rangkaian
bunga ke pemakaman. Sanak saudara yang menangis, mengenakan baju serbahitam, nggak
henti-henti menyusut air mata. Bahkan, Anggia juga begitu. Satu orang yang gue harapin
untuk paling mengerti gue justru malah bereaksi sama seperti orang lain.
Hanya satu orang yang menatap gue dengan sorot biasa. Hampa. Seakan mengingatkan
bahwa dia pernah ngerasain hal yang sama. Bahwa dia mengerti.
Adrian, jangan pernah menyakiti hati seorang wanita. Ingat itu.
Sesal mendera saat mengingat Nyokap pernah bilang begitu. Waktu itu, gue anggap lalu
ucapannya, menganggap peringatan itu terlalu berlebihan. Tapi, Anggia... dia yang menangis
dan terus berusaha mengulurkan tangannya kepada gue.
Akhirnya, gue kalut dan membanting setir, memutar mobil untuk kembali. Mobil berhenti di
tempat yang sama. Anggia masih berdiri di depan pagar, satu tangan menggenggam kunci
erat-erat, pundaknya yang mungil berguncang oleh tangis. Gue turun dari mobil dan menarik
Anggia dalam pelukan, merasa menjadi pria terberengsek sedunia.
"Maaf, Anggia," gue berbisik, "maaf... gue bodoh, jahat, kasar. Gue salah. Maaf."
Anggia nggak berkata apa-apa, hanya memeluk gue lebih kencang dan membenamkan
wajahnya di dada gue, menangis tersedu-sedu. Gue hanya bisa balik memeluknya.
*** ERIK POV Sabtu!!!! Hari kebebasan saat gue bisa main bola seharian, nonton TV sampai mata sepet, tidur malesmalesan dan nggak usah pusing tentang PR Fisika atau Kimi yang bikin otak ngejelimet.
Malam ini, gue diculik Freya ke acara movie weekend mereka, duduk di sampingnya yang
sedang asyik menyantap nachos keju. Katanya, hari ini mereka mau mencoba cinema baru di
tengah kota, yang menawarkan konsep mewah, pelayanan serba berkualitas, studio yang lebih
besar, dan janji kepuasan yang lebih tinggi.
Gue dateng karena: 1. Freya bersikeras mengajak gue ikut 'berpetualang' di tempat baru.
2. Plus diam-diam sebenarnya udah cukup lama gue pengin ke sana.
3. Ditraktir. Padahal, gue paling males berbaur dengan mereka saat sesi double date kayak gini, apalagi
berinteraksi dengan Moses yang superkaku atau Adrian yang nempel 24 jam sama Anggia,
seperti kembar siam. Namun, apa boleh buat, kehadiran gue diinginkan di sini.
"Kita nonton film drama aja, yah. Please, please, please." Anggia setengah merengek.
Masalahnya kalau lagi nonton bareng adalah: Moses cuma suka film berbau teknologi dan
teka-teki, kayak Da Vinci Code yang ditontonnya berkali-kali, sedangkan nonton sekali aja
film itu udah bikin gue mumet. Sementara Anggia sukanya nonton rom-com, segala sesuatu
yang romantis, dan Adrian lebih gemar dengan film komedi yang menyenangkan. Gue" Gue
suka banget segala sesuatu berbau ekstrem-action yang mendebarkan, horor yang bikin
penonton teriak-teriak dan saling menyambar teman nontonnya dengan malu-malu mau, dan
film perang yang heroik. Makin banyak darah dan kesadisan yang terlibat, semakin seru gue
tonton. Kalau Freya, dia lebih sering masa bodoh dan ikut aja dengan maunya yang lain.
Bukannya nggak punya pendirian, dia sering bilang, tapi diplomatis.
Moses masih enggan melepaskan pilihan filmnya. "Film drama membosankan. Sesekali, kita
nonton sesuatu yang edukatif kan nggak ada salahnya. Sayang kan, kita coba bioskop baru,
tapi filmnya film rumahan."
Anggia menjulurkan lidah, menarik tangan Adrian supaya berpaling dan mendukung film
romantis. "Yan, ayo dong... banyak yang bilang film itu bagus.... Freya juga suka film drama,
iya kan?" Freya mengangkat bahu, acuh tak acuh.
"Ada sepuluh film yang ditayangin hari ini, tapi kok semuanya berebutan sih?" Sekilas, ia
menyenggol kakiku di bawah meja. "Erik, lo mau nonton apa?"
Kalau boleh milih, gue mau nonton installment terbaru dari franchise film SAW, yang
terkenal sadis, gory, penuh darah, dan segala hal mengerikan lainnya. Tapi, gue tahu, Freya
benci film aneh yang nggak make sense dan sadis. Melumpuhkan mental bangsa, katanya,
setiap kali gue minta ditemenin nonton. Daripada kena jatah ngambeknya Freya, akhirnya
gue menjawab diplomatis ala sahabat gue tersebut, "Terserah Freya aja deh, dia kan yang
paling netral." Semua pasang mata menatap Freya. Yang ditatap celingak-celinguk mengintip jadwal film.
"Ya udah, kita nonton drama aja."
Anggia terpekik senang karena film pilihannya yang dipilih Freya, sedangkan Moses gelenggeleng kepala pasrah. Gue setengah kecewa karena film indie asal Prancis yang dipilihnya,
film yang promosinya nggak gembor-gemboran dan hampir nggak dikenal sama-sekali.
Yaaahh..., seenggaknya aktris utamanya cantik.
Adrian nggak merespons apa-apa. Padahal, Freya kerap kali mengeluh, tiap kali mereka
berempat janjian nonton, Adrian yang paling egois selalu maksa ingin nonton film action.
Karena sering berargumen mengenai pilihan film, akhirnya mereka berempat lebih sering
nongkrong di cafe untuk menikmati live music.
Mungkin dia pengin nyenengin Anggia.
Mungkin sebenarnya dia selama ini cuma pura-pura macho, padahal suka banget film manis.
Mungkin dia lagi fall in love.
Mungkin. Akhir-akhir ini, perasaan gue mengenai Adrian-Freya makin nggak bener. Memang mereka
masih kayak dulu, jarang berbincang, apalagi ngobrol lama. Hanya sekedar sapaan hai jika
berpapasan di lorong sekolah, atau senyum simpul basa-basi. Namun...., entah gimana gue
harus menjelaskannya. Ada sesuatu yang terasa janggal di antara mereka. Dan, hanya mereka yang tahu. Anggia
tampak sama-sekali nggak sadar, dan Moses bukan tipe orang yang cukup sensitif untuk
merasakan hal semacam itu.
Freya bangkit berdiri, disusul yang lain. "Yuk, kita beli tiket." Moses menawarkan diri untuk
mengantre, sedangkan kami berempat menuju counter yang menjual snack.
"Popcorn!!!" Anggia langsung memesan sekotak popcorn karamel manis. Adrian merengut.
"Yang asin aja, Nggi, popcorn asin extrabutter lebih mantep."
Anggia cemberut, bergelayut manja di lengan Adrian. "Yang manis aja Sayang, aku suka.."
Freya menghela napas sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Kita beli
sekotak yang manis, sekotak yang asin. Moses juga suka popcorn karamel."
"Kalo Erik, suka yang mana?" Anggia bertanya manis kepada gue, yang sekilas salah-tingkah
ditembak begitu. "Alergi jagung." Gue menjawab asal, dan Anggia tertawa. Freya tersenyum maklum,
mungkin bosen dengan guyonan gue yang standar. Dia sering mengeluh kalau gue mulai
melontarkan candaan yang kelewat narsis atau jorok. Udah itu-itu doang guyonnya, jayus
lagi, pujinya. Kejam. Kami menuju studio film. Sekilas, gue menangkap Adrian melirik ke arah Freya, lalu
tersenyum. Freya tersenyum balik.
FREYA POV Life is not the amount of breaths you take, it's the moments that take your breath away.
-The Hitch- *** Aku berdiri di depan sebuah kotak besar yang berisi puluhan buku lama, berimpitan dengan
ratusan pengunjung lain yang memenuhi lokasi bursa buku murah di sana. Hari ini, tahap
pertama ujian akhir baru selesai, dan Anggia mengusulkan kami hunging buku diskonan
sebagai aksi balas dendam selepas ujian yang menurutnya memperlemah kinerja otak.
Moses sudah menghilang di balik rak buku Biologi yang digemarinya. Anggia melesat ke
arah novel-novel remaja yang sedang sikon 50%. Aku berkutat di tengah ruangan, mencoba
tak terdorong oleh pengunjung yang seenaknya menginjak kaki orang dan ikut memilih
komik murah di sekitarku.
Panas sekali. Pengap. Sesak. Sudah ada antrean panjang di kasir, sedangkan aku malah
nyasar sendirian di kerumunan orang asing. Komik Tapak Sakti yang kucari-cari masih juga
belum lengkap nomornya. Tiba-tiba, seseorang menoel pundakku. Adrian. Dia sedang tersenyum lebar, memegang
nomor lima yang sedang kucar-cari sejak tadi.
"Wah! Makasih!" Komik ini sudah jarang terbit dan cukup mahal, tapi di bursa buku,
harganya jadi sangat murah. "Memangnya, lo nggak mau beli?"
Adrian berdiri di sampingku, tangannya masih iseng mengubek-ubek isi kotak untuk buruan
selanjutnya. "Lo aja yang beli, nanti gue tinggal pinjam."
"Sialan." Dasar pelit.
Dia ikut tersenyum, tidak sadar aku sedang memperhatikannya. Sudah sebulan lebih sejak
kepergian ibunya, dan Adrian masih seperti biasa. Kadang aku memergoki dia sedang
bengong sendirian. Selebihnya, dia masih Adrian yang ceria. Anggia juga bilang bahwa
Adrian tidak banyak cerita tentang ibunya, dan mereka jarang membicarakannya. Katanya,
dia tidak mau melukai perasaan Adrian.
Adrian sepertinya berkata sesuatu, tetapi suaranya kurang jelas karena kebisingan di sekitar
kami. "Apa?" Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, tapi tiba-tiba seorang ibu dan tiga
anaknya lewat dengan keranjang penuh, membuatku terdorong dan hanpir kehilangan
keseimbangan. Adrian dengan sigap menyambar dan menarikku hingga tubuhku terhempas ke tubuhnya.
"Hati-hati, dong," sahutnya kepada tiga anak bandel yang cengengesan sambil memeluk buku
bergambar mereka. Dia tidak langsung melepasku. Pelukannya hangat; telapak tangannya menekan punggungku
dengan lembut, seolah ingin mendorongku lebih dekat"walau jarak di antara kami sudah
terlalu dekat. Samar-samar, aku bisa mencium aroma cologne yang maskulin, campuran
antara esensi wood dan rempah.
"Kalau sudah begini, rasanya nggak pengin gue lepasin lagi."
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku pasti salah dengar. Pasti.
Aku melepaskan diri dari pelukannya dan menepis tangannya yang masih mencekal
lenganku, takut aku jatuh. Jantungku berdebar tak keruan. "Thanks." Aku berkata, sadar betul
bahwa suaraku bergetas. Aku mencoba menutupinya dengan tawa gugup, tetapi terdengar
dipaksakan. Aku menggumamkan alasan tentang mencari Moses untuk membayar, atau apalah, aku tidak
ingat jelas. Namun, aku ingat berbalik pergi dan meninggalkannya sendirian di sana, tanpa
jawaban. *** ADRIAN POV Gue dududk di balkon sambil merokok. Sebentuk asbak bulat gue letakkan di samping,
menampung entah berapa tumpuk abu dari sesi merokok berkepanjangan sejak tadi sore.
Belakangan ini, banyak yang berubah. Bukan hanya Nyokap yang nggak ada. Bayangan
beliau yang melewati kamar gue sambil negur supaya gue nggak main PS seharian masih
sering menari-nari di pikiran. Barang Nyokap sudah dipak dan disumbangkan, hanya sebotol
parfum milik beliau yang gue simpan di lemari, menyisakan kenangan akan harum Nyokap
yang selalu gue suka. Bahkan, bau Nyokap di rumah udah memudar, digantikan kekosongan.
Bokap masih sibuk di ruang kerjanya; akhir-akhir ini beliau sering lembur sampai malam,
entah mengerjakan proyek apa. Sering kali, pintunya tertutup, tapi gue tahu Bokap bukan
sedang melukis, tetapi merenung.
Abang gue juga mulai jarang pulang, lebih sering menghabiskan waktunya di kosnya di
Depok, yang dekat dengan kampusnya. Di rumah, hanya ada Mbok Rumi, yang masih setia
mengurusi dan memasak makanan kesukaan kami walau kami jarang makan di rumah.
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kadang Mbok juga memasak makanan kesukaan Nyokap.
Bukan hanya keluarga gue yang berubah. Gue sadar, gue juga mulai beruibah.
Terhadap Anggia, terutama. Setiap dia melihat gue, gue merasa dia canggung dan takut.
Takut salah ngomong, takut bakal gue bentak lagi. Dia begitu ingin gue berbagi, tapi gue
nggak bisa. Gue nggak bisa cerita ke Anggia seperti dulu lagi. Pernah sekali, gue coba cerita
tentang rasa kehilangan gue, tapi yang gue lihat di matanya cuma satu: kasihan. Simpati.
Cuma itu. Gue tahu dia ingin memeluk gue dan bikin semua kesedihan gue lenyap, tapi dia
sama-sekali nggak ngerti.
Anggia nggak akan ngertin bahwa dengan kepergian Nyokap, semuanya berubah. Anggia
nggak ngerti bahwa gue butuh waktu untuk diri gue sendiri, untuk menyembuhkan diri, walau
nggak mingkin seratus persen. Yang dia paham dan harapkan dari gue adalah, pelan-pelan
gue akan mengatasi kesedihan ini dan kembali ke diri gue yang dulu. Raut wajahnya bilang
dia ingin gue begitu. Jadi, gue lbih sering berpura-pura nggak terjadi apa-apa.
Gue pikir, gue udah terlalu nyaman dengan Anggia. Gue pikir, gue nggak akan pernah pasang
topeng di depan dia. Dari dulu, dia melihat gue apa adanya, baik sedih maupun senang.
Namun, sekarang gue nggak bisa begitu. Kalau gue sedih, dia akan menyalahkan dirinya
karena nggak bisa mengerti gue.
Dan, ada Freya. Malam itu, dia memeluk gue. Gue masih inget perasaan gue saat it. Waktu
itu, gue nggak bisa mikir; yang ada di otak cuma suara yang mengingatkan kalau Nyokap
udah nggak ada, begitu berulang-ulang seperti gema. Gue pengin teriak supaya suara itu
bungkam, tetapi yang ada, gue malah ngerasa hilang. Hampa.
Pelukan Freya yang membuat gue sadar, gue nggak sendirian. Hangat. Tatapannya
mengandung kesedihan yang sama. Dia mengerti.
Apakah tiba-tiba menyukai seseorang karena dia mengerti itu salah" Apa menyimpan
perasaan yang lain untuk seseorang yang selama ini nggak gue perhatikan itu mungkin"
Kenapa sekarang gue nggak bisa memperlakukan Anggia seperti dulu"
Gue bingung. Tadi siang, di bursa buku, gue keceplosan mengatakan sesuatu yang membuat
Freya kaget. Gue tahu sampai sekarang dia menghindari gue. Tadi, dia langsing tersenyum
kaku dan mencari Moses, pulang tanpa bicara sepatah kata lagi.
Apa gue salah" Kalau gue ngomong yang sebenernya... apa gue salah"
*** Gue meraih telepon, lalu menekan nomor yang barusan gue temukan di buku tahunan sekolah
tahun lalu dengan perasaan galau.
"Halo." Suara Freya agak menggumam, seakan baru terbangun dari tidur. "Halo?" ulangnya
ketika gue nggak segera menjawab.
"Ini gue. Adrian."
Freya terdiam beberapa saat hingga akhirnya menjawab ragu. "Ada apa?"
Gue memaki-maki diri sendiri dalam hati, tiba-tiba lupa mau bicara apa, padahal tadi
rangkaian kata sudah gue susun sebagai persiapan. Gue bagaikan lupa pada skrip dialog
penting sebuah drama, lupa sebait lirik lagu saat menyanyi. Semua jadi kacau-balau.
"Emmm. Tentang tadi sore...." Gue memulai, mencoba menyusun kata yang ingin gue
sampaikan. "Oh." Oke. Freya ingin gue yang melanjutkan. Blank.
"Yang gue bilang tadi sore...." Sekali lagu gue mengutuk diri, skenario gagal total.
"Komiknya ketinggalan." Akhirnya, gue menyelesaikan kalimat dengan sesuatu yang samasekali berlawanan. Sial. Nggak biasanya gue begini.
"Oh." Lagi. "Anggap aja gue pinjemin. Lo telepon cuma untuk bilang itu?"
Bukan, gue membatin. Ada hal lain yang lebih penting. Yang ngeganggu tidur dan mengusik
ketenangan gue akhir-akhir ini. Kejujuran yang entah terkuak sejak kapan, tapi nggak mau
pergi lagi. Yang udah mengetuk pintu hati gue, tapi enggan benar-benar masuk. Gue ingin
cinta itu masuk. Gue pengin bilang, sepertinya gue jatuh cinta sama lo. Gue pengin bilang, sepertinya lo
orang yang gue cari selama ini, secara nggak sadar. Tapi, gue juga takut akan perasaan yang
sama-sekali baru ini. Gue takut merusak segalanya, nggak tahu gimana harus bertindak tanpa
menyakiti semua orang. Gue ingin jujur, tapi ditilik dari reaksi Freya tadi, sepertinya misi ini
nggak mudah. Lagi pula, gue nggak ingin jadi lebih berengsek lagi dari ini. Nggak boleh dan nggak
sepantesnya gue bilang suka sama Freya saat masih berhubungan dengan Anggia. Sementara
Freya masih pacaran sama Moses. Siapa sih yang sebodoh itu sampai bilang hal semacam itu
ke sahabat pacarnya sendiri" Nggak aneh kalau Freya lari tunggang-langgang begitu
mendengarnya. Orang normal mana pun akan berbuat sama. Iya, kan"
Masalahnya, dan lebih gawatnya lagi, gue sama sekali nggak main-main. Kata-kata yang
spontan gue ucapkan tadi, dan masih gue sesali, datangnya dari hati.
"Gue..., kayaknya pengin udahan sama Anggia, Frey." Gue akhirnya berkata lagi, lebih pelan.
Separuh lega telah mengungkapkannya kepada Freya dan secara nggak langsung
mengungkapkan perasaan gue juga, separuh lagi merasa menjadi orang terjahat di dunia.
"Apa?" Freya tersedak napasnya sendiri, kaget. "Kenap" Bukannya selama ini kalian baikbaik aja"'
"Justru karena terlalu baik-baik aja." Gue mengaku. "Gue cerita karena anggap lo sebagai
salah satu teman gue, jadi tolong dengerin dengan objektif. Gue nggak bermaksud nyakitin
Anggia....." "Lo sayang Anggia?" Hanya satu pertanyaan Freya, seakan mau memastikan alasan dari
pernyataan aneh yang barusan dia dengar. Adrian dan Anggia" Pasangan paling top di
sekolah. Apa kata dunia kalau mereka sampai putus" Ya, ya, ya, gue ngerti semua orang
pasti akan bilang begitu.
"Gue sayang. Dulu..., gue jatuh cinta sama Anggia. Sekarang pun, gue masih sayang dia, tapi
rasa itu lebih mirip rasa untuk seorang sahabat dekat yang punya banyak kesamaan. Sayang
gue ke dia sekarang seperti itu."
"Apa lo tahu, gimana sayangnya Anggia sama lo?" Suara Freya tegas, marah, bahkan. "Lo
pasti tau. Dan, sekarang lo mau putusin dia dengan alasan standar seperti itu" Lo bilang lo
nggak cinta dia lagi?"
Gue mendesah. Freya salah paham. Gue salah langkah. "Lo sayang Moses, Frey?"
Freya diam sebelum menjawab. "Ya."
"Kenapa?" Ganti Freya mendesah keras. "Memangnya, kenapa?"
Karena penting bagu gue untuk tahu apa lo bener-bener menyanyangi dia. Bahwa feeling
gue kalau lo berdua nggak cocok itu bener. Tapi gue nggak bisa mengatakan itu. Jadi, gue
nanya, "Lo bener-bener sayang Moses?"
Suara Freya bergetar karena amarah. "Gue dan Moses nggak ada hubungannya dengan lo dan
Anggia." "Jawab aja, Freya."
"Ya, gue sayang Moses." Akhirnya, dia menukas mantap. "Tapi, ini bukan urusan lo. Sori,
gue nggak punya waktu untuk ngobrolin cara-cara lo mutusin Anggia sepihak."
Telepon dibanting. Ya..., gue memang berengsek. Gue akui itu, tapi akan lebih berengsek lagi
kalau gue sampai menipu Anggia dengan perasaan palsu, dan selebihnya, menipu diri sendiri.
Iya, kan" ANGGIA POV Love is a tiny elf dancing merry little jig, and suddenly he turns to you with a machine gun.
-Unknown- *** Malam ini terang sekali. Langit memang tanpa bintang, tapi bulan purnama lebih terang dari
biasanya. Aku duduk di samping Adrian yang sedang menyetir, mendengarkan lagu jazz di
radio. Aku paling suka duduk dalam mobil Adrian, dengan wangi aromaterapi lemongrass yang
dipasangnya di dashboard. Adrian sering menggenggam tangan kananku, sebelah tangannya
di atas kemudi. Dan, dalam perjalanan, kami akan mengobrol seru tentang apa saja, dari
kesukaannya makan, kejadian seru di sekolah, penggemar rahasia yang masih sering
meninggalkan surat di loker, sampai rahasia paling memalukan yang bahkan Freya pun nggak
tahu. Namun, hari ini ada yang lain. Bukan hanya hari ini, tapi beberapa minggu ini.
Dia terus menatap lurus ke jalan, kedua tangannya mencengkeram setir dengan erat. Dia
terlalu fokus pada jalan, tanpa menoleh sedikit pun atau berusaha membuka pembicaraan.
Mungkin dia khawatir dengan hasil ujiannya. Aku tahu Adrian bukannya belajar semalaman
suntuk seperti kami semua, tetapi merokok di balkon sambil baca komik. Dia memang
biasanya jarang peduli dengan pelajaran, tapi nggak pernah senekat itu sampai nggak belajar
di malam sebelum ujian. Aku merasa dia berubah. Kami mulai jarang jalan bareng; dan kalau lagi pergi bareng, Adrian
lebih sering cuek atau bengong. Sepertinya, ada sesuatu yang terus-menerus dipikirkannya,
dan kalau ditanya, dia sering mengalihkan topik pembicaraan atau nggak menjawab.
"Anggia." Aku meraih tangan kirinya dari setir dan meremasnya penuh sayang. "Kenapa, Sayang?"
Adrian tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa."
Kamu larut dalam hening. "Nggi, kalau suatu hari kita putus, gimana?"
Buat pasangan yang selama ini hubungannya selancar jalan tol, saling sayang dan lebih dekat
dari dua orang mana pun, pertanyaan ini nggak terdengar lazim di telingaku. Tangan Adrian
terasa dingin, sedingin pertanyaan yang dilontarkan tiba-tiba itu.
"Maksudnya?" Aku harus bilang apa lagi"
"Yaaah...., cuma nanya aja kok. Iseng aja. Kalau suatu hari kita nggak bareng lagi, bakal
gimana." Iseng. Hatiku perih mendengarnya walau yakin dia hanya sedang bercanda.
"Itu hal yang nggak mungkin terjadi, kan?" Aku melempar balik pertanyaan itu sambil
memaksakan tawa. "Kecuali kamu nggak sayang lagi sama aku."
Adrian diam saja. "Nggak ada segala sesuatu yang pasti di dunia ini, Nggi," ujarnya bijak. Padahal, buat Adrian
segalanya biasa mengalir apa adanya. Take it easy, dia bilang, ke mana pun hidup membawa.
"Kalau aku sih, pasti berusaha supaya kita nggak putus. Kalau kita punya cukup komunikasi,
rasa percaya, dan keinginan untuk mempertahankan hubungan ini, semuanya pasti baik-baik
aja. Semua tergantung diri kita sendiri."
Aku mulai kedengaran seperti psikolog cinta yang berusaha meyakinkan diri sendiri.
Tiba-tiba Adrian tertawa. "Kok, dibawa serius sih, Sayang" Aku cuma bercanda." Dicubitnya
pipiku lembut. "Jangan banyak mikir... itu hanya sesuatu yang terlintas di pikiran, kok.
Everything's gonna be okay."
"Kamu sayang sama aku?"
Begitu sering dia mengucapkannya, tapi hanya sekarang ini aku benar-benar memastikannya.
"Sayang," jawaban itu terdengar otomatis, seperti program auto-default.
Aku tersenyum. "Aku juga sayang sama kamu." Di dunia ini hanya Adrian yang Anggia
sayang, dan aku bahagia.... Selamanya kita akan seperti ini, kamu dan aku.
"Iya." Everything's gonna be okay.
Kata-kata itu membuatku lebih lega.
*** ADRIAN POV Gue duduk di tepi ranjang, memperhatikan Anggia yang sedang mencari-cari CD yang ingin
dipinjamkannya untuk gue. Barusan gue mengantarnya pulang, dan di perjalanan akhirnya
gue bilang ke dia, akan gimana jadinya kalau kita putus.
Kata putus itu udah sejak lama ada di ujung lidah, tetapi gue selalu nggak bisa bilang apaapa. Wajah Anggia langsung pucat begitu gue tanya hal itu, dan dengan suara bergetar dia
bilang bahwa dia yakin, kami berdua akan selamanya begini; saling sayang, saling memiliki.
Namun, gue nggak bisa lagi. Gue jenuh, entah sejak kapan, dan baru gue sadari saat Freya
mengisi kekosongan hati gue. Mungkin Freya hanyalah orang yang tepat yang datang pada
waktu yang salah; saat gue masih bersama Anggia. Bukan salahnya. Bukan salah siapa-siapa.
Cuma perasaan-perasaan ini yang berubah, itu saja.
Gimana aku bisa bilang putus, Nggi, kalau kamu hampir menangis waktu aku
menanyakannya" Kamu tahu aku paling nggak bisa lihat kamu menangis.
"Ketemu CD-nya?" tanya gue sambil selonjoran. Nyaman sekali kamar ini, wanginya manis,
seperti wangi yang gue hirup setiap kali mencium tengkuk Anggia.
"Nih." Anggia menyerahkan CD tersebut, lalu berbaring di samping gue; kami berdua
memandangi langit-langit kamar sambil berpegangan tangan. Kamarnya gelap, hanya disinari
lampu meja yang remang. Lagi-lagi, gue memikirkan Freya.
"Yan." "Mmmm." "Aku sayang kamu."
"Iya." Gue tau, Anggia..., gue tau banget.
"Yan." Dia memanggilku lagi.
"Mmmm." "Jangan pergi."
Kali ini, gue menoleh, nggak langsung menjawab. Kedua matanya terpejam, tangannya
menggenggam erat tangan gue, benar-benar enggan melepaskan tautannya.
Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi.
*** ERIK POV Gue tersedak lemon tea dingin. Airnya muncrat ke mana-mana, tapi Freya yang duduk di
hadapan gue masih tenang nggak bereaksi.
"Apa lo bilang tadi?"?"
Ini respons yang cukup histerikal, bahkan untuk standar gue. Freya malah berkutat dengan
bukunya, sama-sekali nggak melirik gue yang jelas-jelas kelimpungan. Dia memang selalu
enggan mengulang-ulang perkataannya, dan dia tahu gue dengan jelas mendengar setiap kata
yang diucapkannya barusan.
"Adrian bilang suka ke lo?" Suara gue sekarang turun beberapa oktaf, hampir berbisik.
Dia mendelik kesal. "Jangan ngomong sembarangan!"
"Tapi, tadi lo bilang...."
Freya mendesah keras-keras. Mencondongkan badan ke arah gue dan balas berbisik, "Adrian
dan gue nggak ada hubungan apa-apa. Hanya teman, nggak lebih."
Gue pengin ketawa keras-keras. Ironis banget, sih. "Jadi yang kemarin itu apa" Dia meluk lo
karena kesandung" Dia telepon lo bilang mau putus sama ceweknya karena lidahnya
keseleo?" Freya menggeleng. "Semua itu kesalahan besar." Nadanya tenang dan kalem, bikin gue
pengin mengguncang-guncang punggungnya dan berteriak di mukanya, lo buta atau nggak
punya perasaan" Secara nggak langsung, itu kan bentuk pernyataan cinta paling penuh
skandal yang terjadi tahun ini.
Namun, tiba-tiba, gue nggak tertarik lagi dengan cerita heboh itu. Gue lebih tertarik dengan
objek lain: Freya, yang masih duduk dengan santainya di depan gue, seakan nggak terjadi
apa-apa. "Sebenarnya, perasaan lo ke Adrian gimana sih, Frey?"
Kali ini giliran dia yang memucat. Satu hal: Freya SELALU pucat kalau dapat pertanyaan
yang nggak bisa dia jawab. Berani taruhan, kalau sedang minum, dia pasti udah keselek dari
tadi. "Nggak ada perasaan apa-apa. Kan tadi gue udah bilang, kita cuma temenan." Jawabnya
sangat nggak meyakinkan. Gue pandangin dia sampai gerah. "Apa sih, Rik" Nggak percaya"
Bagian mana yang kurang jelas?"
Dua: Freya SELALU senewen kalau dia sedang berusaha menutup-nutupi sesuatu dan hal itu
biasanya semakin membuat bohongnya ketahuan jelas.
"Ngaku aja deh, Frey, gue lagi males basa-basi. Kita sobatan bukan sehari dua hari yang lalu,
kali." Dia masih nggak mau ngaku. Oke. Saatnya mencoba taktik lain.
"Akhir-akhir ini, gue ngeliat lo dan Adrian tambah dekat, terutama sejak nyokapnya
meninggal. Tapi, bukan cuma saat itu. Mungkin udah lama ya lo ngerasa butuh orang lain
selain Moses?" Freya meletakkan bukunya di atas meja, tanda yes! strategi gue berhasil.
"Lo pernah punya cinta pertama, Rik?"
Gue inget cewek manis saat masih SD dulu. Dikuncir dua. Pita merah. Lesung pipit.
Mematahkan hati gue demi cowok bengal kelas sebelah yang punya mainan tamiya lebih
keren. "Iya..., lo inget Acha?"
Pletak. Disambitnya kepala gue dengan sendok. "Itu kan cinta monyet. Maksud gue, cinta
beneran. Saat lo berdebar-debar kalau ketemu seseorang. Mau ngorbanin apa aja buat orang
itu. Yang paling penting, orang itu bahagia... walau lo enggak."
Anggia. Namun, subjek inti pembicaraan ini bukan Erik, tapi Freya. Dan, gue nggak sedang ingin bermellow ria dengan topik cinta gue yang bertepuk sebelah tangan. "Terus inti pembicaraan ini
apa?" Freya menunduk. "Gue selalu merasa... Moses bukan cinta pertama gue, Rik."
HAH" Freya kini mendongak, memperhatikan perubahan mimik wajah gue dengan serius. "Lo tau
apa maksudnya, kan?"
Freya dan Moses jadian, bukan karena Freya jatuh cinta pada Moses. Mungkin dia memang
mencoba untuk jatuh cinta, tapi kalau sampai ngomong begitu, artinya percobaan itu masih
belum berhasil. Moses bukan cinta pertamanya, artinya hati Freya masih belum terbuka untuk
siapa pun. Kecuali... Freya mulai membuka hati pada Adrian. Itulah tepatnya kenapa dia bertele-tele
mengenai konsep cinta pertama, kenapa dia cerita tentang kejadian di toko buku dengan
sedemikian detailnya. Adrian bisa jadi cinta pertama Freya; itu kalau gue nggak salah
menerka isi hati Freya. Dan, biasanya..., gue nggak pernah salah.
Shit. *** FREYA POV Dering telepon yang berkepanjangan membuatku terbangun dan bangkit dari tempat tidur.
Menyeret sepasang kaki yang lemas ini untuk menggapai telepon di atas meja.
"Haloo...." "Freya." "Oh, Anggia." Aku kembali merangkak ke balik selimut. Ah..., hangat rasanya. Mau tidur
lagi. "Ada apa?"
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lagi pengin ngobrol aja.... Pasti lagi bobo siang, ya" Mentang-mentang hari Minggu,
kerjanya tidur terus. Keluar kek, rasain cahaya matahari sore."
"Duh, ngocehnya panjang amat sih, Nggi. Bosen nih keluar terus, lagian lagi bokek, jadi tidur
aja di rumah," gumamku. "Lo sendiri di rumah aja?"
Anggia ketawa. "Ya gitu deh." Suaranya kurang bersemangat.
"Kok, murung?" "Semalam Adrian nanya..., gimana kalau kami putus."
Mataku terbuka. Adrian bilang begitu ke Anggia"
"Nggak tahu maksudnya apa, Frey..., gue jadi nggak tenang."
"Mungkin dia cuma bercanda," tukasku. "Dia kan sering begitu."
Anggia tertawa kecil. "Yah... mungkin. Tapi masa sih, bercanda dengan topik serius gitu?"
"April Mop, kali," jawabku ngasal.
"Yeee, ngigau. Sekarang bulan Juni, Neng."
Aku ikut terkekeh, tapi pikiranku penuh. Kenapa sih Adrian harus makin merusakkan
suasana" Sudah cukup kami menganggap tidak ada yang terjadi hari itu, tapi sepertinya dia
ingin memulai permainannya sendiri. Semakin lama permainan itu semakin tidak lucu.
Adrian dan Freya adalah dua hal yang tidak mungkin.
Setiap kali aku teringat Adrian, selalu wajah Anggia yang pertama kali muncul di kepalaku.
Anggia yang setia menunggu Adrian tiap kali dia latihan basket sambil meneleponku dan
curhat. Pesta ulang tahun kejutan tahun demi tahun, ciuman pertama, Valentine dan cokelatcokelat buatan sendiri, pergi jalan-jalan berdua. Anggia yang awalnya sering nangis kalau
tabiat cuek Adrian sedang kumat. Biasanya, dia akan lebih tenang, setelah satu jam lebih
curhat di telepon sambil sesenggukan, ditemani galonan es krim dan tisu. Selama ini, aku
mendengarkan ceritanya dari A sampai Z, seakan aku sendiri yang menjalaninya.
Dan, di mana komitmen yang sama dari Adrian" Di mana rasa sayangnya, yang cuma sampai
di mulut" "Terus..., Adrian bilang apa lagi?"
"Dia nanya, kalau suatu saat dia nggak ada di sini lagi, bakal gimana." Suara Anggia masih
kurang antusias, tidak seperti Anggia yang biasa.
"Dan, lo jawab apa?"
"Gue bilang, itu sesuatu yang nggak mungkin terjadi." Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan,
"Aneh ya, kok Adrian bisa mendadak ngomong begitu. Padahal, selama ini kami baik-baik
aja. Jujur, gue nggak bisa bayangin kalau dia tiba-tiba pergi. Kalau dia tiba-tiba pergi...."
"Hus." Aku terduduk di atas ranjang, masih memeluk guling. "Jangan ngomong yang anehaneh, ah."
Anggia tertawa, tetapi nadanya serius waktu bilang, "Gue sayang sama Adrian, Frey. Sayang
banget." Sayang. Apakah itu juga satu bentuk rasa yang kupendam untuk Adrian" Haruskah aku
mengakui, bahwa waktu dia memelukku, aku sebenarnya senang seperti ada sesuatu yang
meledak-ledak di hati" Harusnya aku jujur, walau sangat marah dia mempermainkan Anggia
seperti ini, ada saat-saat aku berharap bukan Anggia yang menyandang status sebagai pacar
Adrian, tapi aku. Aku. Namun, Anggia menyayangi Adrian dengan segenap perasaannya. Dan aku harus menjaga
perasaan itu. "Jaga baik-baik perasaan itu, Nggi." Begitu pula yang kusarankan pada Anggia. "Jangan
terlalu khawatir. Sayangi dia, itu sudah cukup."
"Iya..., thanks ya, Freya."
Aku termenung. Teringat Moses. Tangannya yang dingin, tapi tak akan melepaskan
genggaman dengan mudahnya. Moses yang juga senantiasa tampak kesepian. Kita semua
manusia-manusia kesepian. Butuh seseorang untuk mengisi hati yang hampa.
Namun, mengapa Adrian yang sudah punya lebih dari cukup, justru harus mencari lebih"
*** MOSES POV Aku dan Adrian sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Kalau mau dihitung-hitung, kami
sudah bersahabat hampir delapan belas tahun lamanya; sejak kami berdua dilahirkan di
rumah sakit yang sama, pada bulan yang sama pula. Ibu kami adalah teman baik sejak kuliah,
yang lalu menikah dan melahirkan pada bulan yang sama. Mungkin, aku dan Adrian bahkan
tidak memilih untuk berteman, tetapi waktu yang memilih kami untuk dekat sejak detik
pertama kami berdua menjejakkan kaki di dunia.
Kata orang, kami bagai langit dan bumi. Aku dibesarkan di keluarga yang menerapkan
kedisiplinan bagai minum air. Ayah adalah dokter kandungan di sebuah rumah sakit ternama
di Jakarta, sedangkan ibuku membuka praktik di rumah sebagai dokter umum. Kakak
perempuanku juga masuk jurusan kedokteran. Aku belajar baca tulis sejak usia dini, dan
selalu merasa lebih dewasa dibanding teman-teman sebayaku. Sejak kecil, aku sudah tahu
aku akan menjadi dokter seperti anggota keluargaku yang lain. Aku belajar bahwa perlu
ketekunan untuk mencapai hasil yang sempurna. Kami semua hidup dengan jadwal harian
yang tertempel rapi di meja kerja masing-masing. Kami tidak membicarakan perasaan kami.
Kami keluarga yang tenang, datar, dan sangat stabil. Segala sesuatu butuh pertimbangan
rasional. Sementara Adrian hidup dalam keluarga saat ekspresi adalah bentuk kehidupan. Ayahnya
adaalah seorang pelukis. Kadang karyanya masuk galeri ternama, laku terjual dan berhasil
menuai ratusan juta rupiah. Kadang tidak ada satu pun inspirasi menyantol di kepalanya,
gagal menyentuh tangan dan ujung kuasnya, meninggalkan kekosongan selama berbulanbulan pada kanvas putihnya. Almarhumah ibunya membuka toko bunga kecil di rumah
sehingga rumah mereka penuh dengan berbagai variasi bunga, dari anyelir, anggrek hingga
mawar berbagai warna. Kehidupan mereka naik turun, dari harus mengencangkan ikat
pinggang agar bisa mengirit uang makan hingga membeli mobil baru saat bisnis sedang
subur. Adrian hidup dengan kebebasan dalam berperilaku dan berbicara.
Di luar perbedaan kami, kami adalah tim yang kompak. Aku yang menepuk-nepuk
pundaknya ketika ia kalah dalam pertandingan basket pertamanya. Dia yang mengantarkan
catatan pelajaran yang ketinggalan ketika aku sakit dan absen sekolah. Aku yang
menyampaikan pesan bahwa Adrian tidak ada di rumah saat gadis-gadis yang datang purapura membeli bunga di rumahnya, begitu pula dia yang tertawa geli saat perempuan yang
suka kepadaku meninggalkan surat cinta di kolong mejaku. Air dan minyak. Tidak larut,
tetapi saling menemani. Kami saling mengenal luar dalam, jadi terasa janggal saat dia
menanyakan sesuatu yang tidak biasa, hari itu.
"Mos, hubungan lo ama Freya udah sejauh apa, sih?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Adrian sore itu, selepas kami berdua bermain basket one
on one di lapangan dekat rumahnya, jelas-jelas bikin kelabakan. Malu, iya, karena selama ini
ciuman pun belum. Lagi pula, aku bukan tipe cowok yang suka gembar-gembor masalah
percintaan dan 'petualangan' pribadi ke siapa pun, tak terkecuali kepada Adrian.
Satu lagi. Mengapa tiba-tiba dia bertanya begini" Biasanya dia cukup cuek dengan urusan
pribadi orang lain, apalagi dia tahu betul aku tidak suka membicarakannya.
"Moses, jangan berlagak nggak denger, deh." Adrian menimpukku dengan bola bundar di
tangannya, yang sedikit terlambat kutangkap sehingga menghantam dadaku dan jatuh ke
lantai semen. Aku menatapnya, bingung harus menjawab apa. "Kayak biasa aja."
"Maksudnya?" Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata. Capek sedari tadi kalah skor dari
Adrian; sekarang pun adu mulut juga pasti kalah telak. "Yaaa..., seperti pasangan pada
umumnya. Jalan bareng, seringnya ngobr
ol di teras rumahnya, atau ke perpustakaan umum
berdua. Lo kan tahu. "Boring banget, sih," celanya sambil tertawa. "Cuma itu?"
"Mau tau aja," balasku tak acuh.
Adrian geleng-geleng sambil menepuk bahuku, seakan kasihan. "Kalau lo sih, gue yakin pasti
ciuman pertama aja gagal total. Atau jangan-jangan, belum pernah, lagi."
Mukaku agak memerah. Ini topik yang sangat tidak relevan. Namun, mata Adrian cukup jeli
membaca perubahan raut wajah, dan tawanya meledak tanpa ampun. "Hahahahahahaha.
Bener kan kata gue..., serius lo, belum pernah cium Freya" Mati gue. Ini anak entah norak
atau kuper...." "Sialan." Aku menendang kakinya tapi dia masih tertawa tanpa henti. "Bukan urusan lo. Gue
menghargai Freya, jadi nggak sembarangan nyentuh dia."
Tawa Adrian surut. Ekspresinya sulit dibaca. "Cewek suka diperlakukan dengan lembut, tapi
bukan berarti mesti ditinggal haus belaian begitu."
"Belum tepat waktunya."
"Tapi, lo serius kan, sama dia?"
"Ya serius, lah." Aku mencabuti rumput ilalang tanpa memandangnya. Kok, Adrian rese
sekali ya, hari ini"
Adrian ikut duduk di sebelahku, menenggak habis isi kaleng minuman dingin yang
dibawanya. "Freya juga serius sama lo, kan?"
Pernyataan itu lebih terdengar seperti pertanyaan. Dan, sesuatu yang tidak bisa kujawab. Jadi
gue harus lebih hati-hati dalam memilah kata. "Kadang, gue nggak ngerti perasaan dia. Gue
tahu, sifat Freya memang introvert, makanya dia nggak terlalu banyak omong tentang
hubungan kami dan perasaannya. Tapi, gue rasa hubungan kami selama ini baik-baik aja."
Solid. Dua tahun yang solid.
"Menurut lo... perasaan bisa berubah?"
Aku mengangkat kepala. "Maksudnya?"
"Perasaan kita tahun lalu, bisa berbeda dengan perasaan kita sekarang. Tapi..., kita nggak bisa
mengubah apa yang pernah terjadi dulu. Semua berubah begitu aja, sedangkan kita sebagai
manusia hanya bisa mengikuti arus."
Aku mengamati Adrian, sulit memahami apa yang sedang dipikirkannya. Tidak biasanya dia
bicara seperti ini. Dari tadi polahnya sangat aneh; seakan ada sesuatu yang dirahasiakannya
tapi sangat ingin dia ceritakan sampai tuntas. Karena interogasi langsung lebih sesuai untuk
Adrian, aku langsung bertanya, "Lo lagi ada masalah sama Anggia?"
Untuk sesaat, dia tidak menjawab, cukup untuk membuktikan bahwa aku sudah tepat sasaran.
"Yaaah..., gue ngerasa perasaan gue nggak sama lagi. Gue jenuh, Mos. Gue tau
kedengerannya jahat banget, tapi itu yang gue rasain."
"Selama ini, lo nggak nyangka perasaan itu bisa berubah, ya?"
Adrian diam berpikir. Dia adalah tipe orang yang membabi-buta merasakan. Percaya pada
kata selamanya. Bukannya hal tersebut salah, hanya menurutku tidak realistis.
"Dulu..., gue pikir gue udah ketemu soulmate. Tapi, lama-kelamaan, gue merasa kita makin
mejauh." Dia terduduk. "Bisa nggak ya, kalau kita ternyata punya lebih dari satu soulmate"
Ternyata ada seseorang di luar sana yang tepat untuk kita."
"Jadi, gara-gara soulmate kedua ini, perasaan lo untuk Anggia berubah?"
Raut wajahnya sejank berubah, tapi lalu lanjut tertawa. "Gue cuma nanya, Mos. Kok
interpretasi lo terlalu canggih, sih?"
Aku mengangkat bahu. "Siapa tau. Kalau menurut gue sih, daripada lo terus membohongi
Anggia dan diri lo sendiri, lebih baik akhiri aja sekalian."
Adrian berbalik menatapku. "Mungkin akan lebih mudah kalau gue dan dia cuma sampai
tahap pegangan tangan kayak Moses yang katro." Aku menunggu kelanjutan perkataannya,
tapi ketika dia bicara, aku malah tidak bisa berkata apa-apa. "Gue dan Anggia udah tidur
bareng, Mos. Waktu liburan ke Bali akhir tahun lalu."
"Hah"!" "Yah...." Adrian antara ingin dan malas menjawab. "Gue agak nyesel juga sih, udah
ngelakuin itu." "Terus kenapa waktu itu lo lakuin juga?"
Adrian mengangkat bahu. "Nafsu, mungkin. Yang jelas waktu itu gue pengin tau. Gue
penasaran." "Lo sadar betul ada tanggung jawab yang lo bawa setelah hari itu."
"Waktu itu gue nggak terlalu mikirin karena kita lakukan atas dasar suka sama suka. Gue
nggak sadar bahwa tanggung jawab itu harus gue pikul seumur hidup, Mos. Gue bener-bener
nyesel sekarang karena gue nggak dengerin kata hati, hanya nurutin nafsu. Gue tau harusnya
gue nggak begini, toh semuanya udah terjadi. Tapi, gue bingung, gue merasa bersalah sama
Anggia, dan gue nggak mau hal itu ngebayang-bayangin gue seumur hidup."
Aku menarik napas, tidak siap dengan pengakuannya sama-sekali. "Terus..., Anggia
gimana?" "Anggia..." Adrian menutup mata. "Anggia merasa dengan ngasih itu, udah menjadi suatu
bentuk komitmen antara kita berdua. Bahwa kita udah membangun masa depan berdua. Gue
rasa dia nggak menyesal...dia hanya memperlakukannya sebagai janji bahwa gue akan
selamanya ada di sisinya."
"Gimana pun lo harus tanggung jawab." Hanya itu nasihatku untuk Adrian karena aku
menjunjung tinggi kejujuran dan kredibilitas seseorang. Aku percaya, seseorang menuai apa
yang dia tabur. "Gue tau." Dan, kami tidak pernah membicarakannya lagi.
Terus terang, aku tidak setuju dengan apa yang diperbuat Adrian dan Anggia. Kadang,
kasihan juga melihat Adrian terikat pada Anggia hanya karena sebuah kesalahan fatal.
Sampai sekarang pun, aku masih sering bertanya-tanya dalam hati.
Kalau saja hal ini tidak menjadi beban pikirannya, apa Adrian benar-benar akan
meninggalkan Anggia"
** Terkadang, aku berharap dapat membaca hati orang. Melongok ke dalam sanubari
mereka,membaca apa yang tertulis di sana. Menghirup dalam-dalam. keraguan mereka,
mengecap asa yang tidak diucapkan, dan menggali alasan di setiap debar perasaan mereka.
Dan hari ini, ketika aku sedang bersama Freya yang sedang leyeh-leyeh di atas kursi rotan di
teras rumahnya, aku merasa ingin membaca hatinya lebih dari apa pun. Aku berpura-pura
sedang membaca koran pagi, tapi sebenarnya aku mengamati dia diam-diam dengan sudut
mataku. Dia tampak tegang sedari tadi, sering tersandung dan lupa apa yang barusan dia katakan. Di
tengah percakapan, dia sering bengong sampai akhirnya bertanya hah" apa" berulang-ulang.
Aku menyentuh pipinya gemas, tapi dia seperti baru dipecut, mundur kaget dengan waajah
merona. Seperti tidak pernah disentuh sebelumnya. Aneh.
Kalau aku bisa membaca pikirannya, aku ingin tahu apa saja yang dia rasakan sekarang.
Mengapa begitu asing di hadapanku. Mengapa tampak muram" Mengapa senyumnya agak
dipaksakan. Kenapa bahasa tubuhnya canggung.
Aku bukan Adrian yang bisa memeluk Anggia dengan bebas. Memegang tangan Freya saja,
aku sudah berkeringat dingin. Apa lagi menciumnya" Aku bergidik mengingat Adrian yang
beberapa hari yang lalu mencurahkan rahasianya yang paling dalam, bahwa dia dan
Anggia.... Singkat kata, aku tidak bisa seperti itu. Aku ingin melindungi Freya seutuhnya, menjaga hati
dan tubuhnya sebisa mungkin. Sampai dia menolak untuk kujaga.
"Mos?" Pikiran semuku buyar. "Ya?"
Freya memandangku bingung, sebuah senyum terukir di wajahnya. "Koran kamu kebalik
tuh." Aku lekas-lekas membalik koran di tangan. Malu. Aku mencoba menutupinya dengan tawa.
"Lagi nggak konsen, nih."
"Mikirin apa?" Freya ikut meletakkan komik yang sedang dibacanya, lalu mencondongkan
tubuh ke arahku, siap untuk mendengarkan.
"Cewek itu paling suka diapain, sih?"
Pertanyaan naif itu tiba-tiba keluar begitu saja; langsung kusesali karena itu pertanyaan
paling bodoh dan irasional yang mungkin pernah kutanya.
Freya tidak tertawa, hanya tampak sedang berpikir. "Cewek... suka dibelai sayang. Suka
diajak ke tempat-tempat romantis, seperti pegunungan teduh atau lihat matahari terbenam di
pantai... suka diajak melihat indahnya malam sambil candlelight dinner romantis, suka
dibelikan bunga dan cokelat. Tapi, nggak semua cewek kayak gitu...."
"Kalau kamu?" Freya tersenyum lagi. "Aku?"
Aku mengangguk. "Aku suka diajak makan roti bakar malam-malam, pakai saus cokelat yang banyak. Aku suka
bakpao talas hangat sambil minum teh melati. Aku suka jalan-jalan di bawah gerimis, suka
hunting buku murah, suka nonton film sambil makan popcorn mentega, suka duduk di
perpustakaan dan baca buku sepuasnya."
Aku sudah tahu semua itu tentang dirinya, dari kesukaannya makan penganan hangat sampai
udara dingin dan benda-benda yang disukainya. Freya suka embung pagi di dedaunan pohon
yang tumbuh di terasnya. Freya suka memandangi hujan, dan menebak bentuk awan. Tapi,
bagaimana dengan apa yang dia rasakan" Apakah dia diam-diam ingin dipeluk juga" Dicium"
Disentuh" Freya meniup-niup teh yang baru diseduhnya. Tampak begitu rapuh. Begitu indah. Tanpa
sadar aku berlutut di hadapannya, mendekap kedua belah tangannya yang hangat dengan
tanganku yang dingin, dan memandangi kedua bola matanya yang tampak sedih.
Ketika aku menciumnya, aku seperti dapat menyentuh dasar hatinya yang paling dalam.
Hanya kecupan pertama yang manis, singkat dan hangat. Mungkin perbuatan sejenis ini yang
dikategorikan romantis. "Aku sayang kamu, Freya."
Dan, ketika aku mengucapkannya, aku memaknainya.
*** FREYA POV Lima detik. Aku seakan terhipnotis. Mataku terbelalak kaget. Bibir Moses meninggalkan
jejak di bibirku. Inikah rasanya ciuman" Bukankah kata semua orang, rasanya manis"
Aku terkejut. Tak mampu bergerak. Statis.
Moses berhak mendapatkannya. Dia pacarku. Sudah dua tahun dia yang mengisi hari-hariku.
Tapi, dalam hati, ada sesuatu yang berontak, sesuatu yang terus-menerus membatin, bukan
dia, bukan dia. Aku tidak bisa menjelaskan kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasa yang berkecamuk di
hati saat ini. Bukan dia. *** Mereka yang Pergi ANGGIA POV Sebentar lagi waktu kelulusan tiba. Kami semua mulai memasuki periode ujian akhir. Kami
masih memakai seragam putih abu-abu yang sama, hanya saja senioritas kami ditandai
dengan pudarnya logo sekolah yang tercetak di bagian saku kemeja, juga dengan makin
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendeknya rok dan celana kami.
Sudah banyak yang berubah sejak tiga tahun lalu saat aku menginjakkan kaki di sekolah ini.
Saat pertama melihat Adrian bermain basket di lapangan, bersimbah keringat, tapi terlihat
sangat tampan. Berkenalan dengan Freya. Berpartisipasi dalam kegiatan OSIS bersama
Moses. Jatuh cinta. Pacaran. Bersahabat.
Bukan hanya aku yang berubah, tapi seluruh komponen dalam duniaku. Bahkan Adrian yang
kukira nggak akan pernah berubah. Ternyata, dia bukan hanya cinta monyetku di bangku
sekolah. Ternyata aku benar-benar menyayanginya seperti seorang wanita. Namun, akhirakhir ini kami tak sama. Dia lebih sering merokok dibanding dulu. Sering termenung. Lebih
sering mendekam dalam diam yang sulit kusentuh.
Kadang aku takut dia akan pergi.
"Nggi, mau teh kotak?"
Freya menunduk, menempelkan kotak teh melati dingin di lenganku. "Thanks." Aku
menerimanya. Kami berdua duduk di bangku panjang di samping lapangan, menonton Adrian
bermain basket dengan murid lain.
"Gue dan Moses akhirnya...." Freya menggumam, lalu berhenti. "Hmmm. Begitu lah."
Aku menyeringai. "Udah ciuman, maksud lo?" Wajahnya sontak memerah. Aku terkikik,
sampai dia menyenggolku dengan siku. "Aduh! Hahahahaha. Akhirnya, Frey... selamat
yah...." "Apa perlu sekalian makan-makan buat ngerayainnya?" sindirnya sambil mencibir, tapi
akhirnya dia tersenyum juga.
"Gimana rasanya" Manis" Mau terbang ke awang-awang?" Aku menggodanya lagi.
Freya mengedikkan bahu. "Biasa aja, nggak seperti yang diomongin orang. Apa ada yang
salah sama gue ya?" Aku manggut-manggut maklum, layaknya dokter cinta. "Normal, deh. Pasti lo kaget karena
Moses yang biasanya nggak romantis bisa begitu."
"Mungkin," jawabnya, kurang yakin.
"Untuk setiap orang, rasanya pasti beda."
"Kalau lo sama Adrian, gimana?" Tiba-tiba, Freya bertanya penasaran kepadaku, tapi
mukanya langsung merah padam lagi. "Maksud gue, saat ciuman pertama?"
Kali ini, aku sedikit tersipu. Teringat malam itu. Adrian memboncengku dengan motor
besarnya. Rasanya sangat bebas; angin sepoi-sepoi, suara mesin menderu-deru, aku yang
memeluk pinggangnya erat-erat. Ketika kami berhenti di depan rumahku, dia melepaskan
helm kuningku dan mengecupku sekali, dua kali.
Indah. Karena dia istimewa.
"Buat gue, ciuman pertama sama Adrian memang romantis. Rasanya kayak lo tau bahwa dia
memang orang yang tepat untuk lo."
Freya menyelonjorkan kakinya ke tanah. "Hmmmm. Enak kali ya punya perasaan kayak gitu.
Nyaman sama seseorang. Saling mencintai dan dicintai."
Dulu, aku dan Adrian memang begitu. Sekarang, rasanya aku hampir nggak mengenalinya
lagi. Aku memperhatikan dia yang kini sedang melempar bola ke arah keranjang, dan masuk
dengan anggun seperti biasa. Seperti pada saat dia menyatakan cinta, beberapa tahun yang
lalu. Kini, terasa sudah sangat lama.
"Kenapa sih orang harus berubah?" Pertanyaan itu tanpa sadar kugumamkan keras-keras.
Freya menatapku bingung, tapi lalu tersenyum lembut. "Masih masalah yang sama?"
Aku mengangguk. Sampai sekarang hal itu masih membuatku khawatir, panik, seolah dia
akan pergi kapan saja dia mau, tanpa aku ketahui.
"Adrian masih agak tertutup." Aku memulai sesi curhatku.
"Sejak kepergian nyokapnya, kan" Lo nggak bisa salahin dia, Nggi."
Aku meremas kotak teh yang sudah kosong dengan frustasi. "Mau sampai kapan sih, Frey,
dia mau kayak gitu" Dia nggak bisa terus-terusan berduka. Nggak bisa terus-terus menutup
diri dari gue. Gue juga sakit hati kalau lihat dia begini terus."
Freya diam saja. "Sampai kapan pun, luka dari kehilangan seseorang mungkin nggak akan sembuh, Nggi."
*** FREYA POV Allie: They fell in love, didn't they"
Duke: Yes, they did. -The Notebook- *** Aku menyandang ransel putih yang sudah agak kusam itu di pundak, lalu bersiap pulang.
Pelajaran Bahasa Indonesia berakhir lebih cepat dari biasanya, sedangkan Moses ada rapat
OSIS untuk melaksanakan kampanye pemilihan ketua baru karena tahun ini kami akan lulus.
Aku duduk sendirian, menunggu bus kota yang biasa kutumpangi. Kata-kata Anggia kemarin
masih terngiang di telingaku. Gue nggak bisa ngertiin Adrian akhir-akhir ini, Frey. Gue takut
kehilangan dia. Karena demi dia gue rela menyerahkan segalanya.
Ya, memang Adrian ditakdirkan untuk Anggia. Aku selalu percaya itu. Namun, kenapa di
saat-saat seperti ini Adrian justru berubah dan berpaling dari Anggia" Mengapa sekarang
Anggia nggak bisa lebih mencoba mengerti Adrian"
Aku merelakan Adrian untuk Anggia. Sejak awal, dia bukan milikku.
Bunyi klakson mobil yang keras mengejutkanku. Adrian duduk di balik setir, kaca mobilnya
diturunkan. "Freya, gue anter pulang, yuk."
Aku menggeleng. "Gue naik bus aja."
"Ayo," ulangnya, tak bergerak maju sejengkal pun. Berhentinya mobil Adrian di tengah jalan
menyebabkan macet panjang di belakangnya. Pengemudi lain mulai membunyikan klakson
dengan tak sabar. "Nggak usah, gue bisa pulang sendiri." Aku masih bersikukuh, tapi sangat tidak tahan
mendengar suara klakson mobil yang lain. Beberapa bahkan menurunkan jendela dan
berteriak agar Adrian maju atau setidaknya parkir.
"Gue nggak akan ke mana-mana sampai lo naik, Freya."
Akhirnya, aku menyerah dan naik ke mobilnya, sedikit membanting pintu karena kesal.
"Nah, begitu dong, penurut. Coba dari tadi... gue nggak bakal dimarahin orang-orang di
belakang." "Keras kepala banget, sih," gerutuku. Dia tertawa kecil.
"Yang keras kepala sebenarnya siapa?" balasnya lembut.
Aku terdiam. Sudah lama tidak melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Tidak mendengar dia
bicara dengan lembut. Aku kangen. Ah. Tidak seharusnya aku berpikir begitu.
"Gue harus ke toko buku sebentar. Turunin gue di mal aja."
Adrian menggeleng. "Gue anterin. Lagian sekarang lo jadi tanggung jawab gue. Moses bisa
ngamuk kalau gue turunin lo sembarangan."
Aku mengembuskan napas, kesal. "Lo anterin gue hanya karena Anggia nggak ada, kan?"
Adrian masih tetap tenang menyetir. "Nggak ada hubungannya sama Anggia."
"Sebenernya mau lo apa, sih?" Pertanyaan ini, aku tanyakan untuk Anggia. "Maksud lo apa,
nyinggung masalah putus ke Anggia, bikin dia sedih" Berubah sikap ke Anggia, seenaknya
nyakitin perasaan dia. Lo pikir ini permainan yang seru, mempermainkan perasaan semua
orang" Lo tau nggak lo lagi ngapain?"
"Lo mau jawaban jujur atau bohong?" Gayanya masih sangat tenang, sama sekali tidak
memedulikanku yang sudah berapi-api. Dia tidak menunggu jawabanku, tapi melanjutkan
perkataannya, "Jawaban bohong. Gue sayang sama Anggia dan mau melewatkan hidup
sampai tua dengan dia. Dia cinta pertama dan terakhir gue. Dan, gue baik-baik aja. Gue bisa
hidup tanpa mikirin nyokap gue, gue bisa menghadapi bokap yang terus mengurung diri di
kamar, gue nggak peduli sama abang gue yang jarang pulang. Dan lo, Freya." Suaranya agak
bergetar saat menyebut namaku. "Dan lo, lo bukan siapa-siapa buat gue. Lo nggak lebih dari
pacar Moses. Lo puas dengan jawaban itu?"
Untuk sesaat, aku tersentak. Saat menemukan suaraku kembali, aku sudah gemetaran. "Lo
kekanak-kanakan, Adrian. Berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang
udah terjadi." "Atau lo mau jawaban jujur?" Dia melanjutkan dengan nada datar yang sama, tak
menggubrisku. "Gue jatuh cinta sama pacar sahabat gue sendiri. Gue berusaha untuk
berhenti, tapi gue nggak bisa, gue mau melepaskan Anggia, tapi gue nggak bisa nyakitin dia
lebih jauh lagi. Gue nggak tahan hidup dengan topeng... gue nggak bisa jadi diri sendiri. Gue
capek." Mobilnya meluncur dengan cepat, lalu menepi di jalan yang sepi dengan mendadak. Dia
mencekal tanganku erat-erat, suaranya serak sarat emosi, berusaha menjelaskan sekali lagi.
"Lo ngerti gimana hidup penuh kepura-puraan, Freya, lo orang yang paling tahu tentang itu.
Udah berapa tahun lo mau bohongi semua orang di sekitar lo. Bahwa lo baik-baik aja" Gue
sekarang hidup seperti lo. Bohongin Anggia, bohongin Moses, bohongin diri gue sendiri,
bahwa gue jatuh cinta sama orang yang nggak seharusnya gue sayang!"
Cekalan tangannya semakin erat, kini terasa sakit. Matanya sarat dengan kesepian, kesedihan
yang aku sendiri kenali dengan begitu dalam. Ya, kita sama. Kita berdua hidup dalam kepurapuraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri.
"Jujurlah, Freya. Gue hanya minta satu hal. Jujur, sama diri lo sendiri."
Air mata membanjiri pelupuk mataku. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak mau teringat
akan segala kenangan buruk, dikenal sebagai anak piatu, si pendiam yang antisosial. Freya
yang nggak gaul dan nggak cantik, tanpa kelebihan apa pun selain otaknya yang encer. Yang
membenci dirinya sendiri, karena menjadi seperti ini.
Jujur. Air mata pertama menetes di tangan Adrian. Responsnya bagai terkena air panas, langsung
melepaskan genggamannya yang kini meninggalkan bekas merah di pergelangan tanganku.
Dia mendekapku dalam pelukannya, berkali-kali berbisik, "Maaf, Freya. Jangan nangis.
Maaf." Aku terisak dalam pelukannya, merasa ingin melepaskan semua. Ingin jujur, ingin
melepaskan semua, menumpahkan galau yang selama ini tersimpan rapi dalam hati. Karena
hanya dia yang tahu. Hanya dia yang memegang kunci untuk melepaskan semuanya, dan
menemukan diriku yang sesungguhnya di sana.
Entah berapa lama kami berdua berpelukan di dalam mobilnya. Matahari sudah terbenam
ketika aku melepaskan diri, mengusap mata yang sembap oleh air mata, memandang dia yang
baru saja mengungkapkan isi hatinya.
"Gue sayang lo, Freya. Mungkin ini klise, tapi gue nggak main-main."
Adrian merengkuhku lebih dekat, menyapukan bibirnya di dahiku, mengecup kedua mataku
yang terpejam rapat, berhenti di bibirku, melumatnya dalam-dalam. Hangat dan manis.
Sentuhan jemarinya di pipiku terasa lembut. Begitu nyata, tetapi juga bagaikan mimpi. Seribu
satu ledakan perasaan bermain-main bebas.
Seharusnya, aku mendorongnya menjauh. Seharusnya, aku tidak naik mobil ini. Seharusnya,
aku tidak menumpahkan isi hatiku. Seharusnya, aku tidak jatuh cinta padanya.
Namun, kini semua sudah terlambat.
MOSES POV Aku masuk ke cafe, mencari-cari siluet Freya yang pastinya sudah duduk di kursi kami yang
biasa. Dia ada di sana, duduk tenang dalam balutan jeans belel kesayangannya, memegang
segelas cola dingin di tangan. Anggia ada di sampingnya, tertawa pada sesuatu yang
dikatakan Adrian, lalu bangkit menuju toilet.
Telat lagi, Moses, sampai nggak bisa menjemput Freya, aku memarahi diri sendiri. Beberapa
minggu ini, aku mendapat kerja part time di sebuah klinik. Semacam magang, shift malam
setelah sekolah dan akhir pekan dari pagi hingga sore. Pengalaman yang kudapat sejauh ini
sungguh berharga, dan akan terlihat bagus di resume-ku, tapi sebenarnya di balik alasan yang
kuungkapkan pada Freya saat itu, ada sesuatu yang lain yang membuatku menerima
pekerjaan tersebut. Aku butuh uang. Bukan, bukan untuk membayar uang sekolah yang menunggak. Bukan untuk tabungan masa
depan. Namun, untuk sebuah kado istimewa untuk Freya. Ulang tahunnya tinggal sebulan
lagi. Aku membayangkan sebentuk cincin platinum. Agak mahal, memang, tapi aku pernah
melihat Freya memandanginya sewaktu kami melewati etalase perhiasan di sebuah mal.
Cincin yang menurutku sangat 'Freya', polos tanpa hiasan batu-batuan apa pun.
Aku ingin segera menyematkan cincin itu di jari manisnya dan melihatnya tersenyum.
Aku menghampiri Freya dan mendaratkan kecupan ringan di pipinya. Freya agak terkejut dan
pipinya merona merah. Ternyata, menunjukkan rasa sayang dengan kejutan kecil semacam
itu bagus juga. Tadinya aku sangat anti pada yang namanya ciuman di depan umum, pelukan
dan merangkul. Namun, ternyata efeknya sangat besar, selain bisa melihat sosok Freya yang
tersipu, aku merasa lebih dekat dengannya.
"Hei," sapanya, masih dengan senyum tersipu. "Aku udah pesan minuman untuk kamu tadi."
Diserahkannya secangkir macchiato hangat kesukaanku. Freya yang paling tahu.
"Duh. Dunia serasa milik berdua." Adrian menghajar punggungku dengan bercanda. Tapi
sakit juga, karena tenaganya cukup besar. Wajahnya tersenyum, tapi matanya tidak. Mungkin
dia masih pusing dengan masalahnya. Akhir-akhir ini, dia dan Anggia rasanya sering
bertengkar, ribut-ribut kecil yang bikin Adrian 'melarikan diri' ke rumahku hanya untuk
sekedar ngobrol dan merampok makanan di kulkas. Kasihan juga, di rumahnya lebih sering
kosong. Jadi walau waktu belajarku terganggu, aku merelakan sedikit dari kesibukanku
untuknya. "Iya, sampe nggak sadar ada orang yang menyebalkan," balasku sambil tertawa.
"Sial." Adrian menggerutu, menenggak habis root beer di hadapannya. "Jangan pacaran di
depan gue, dong. Gue masih belum terbiasa dengan Moses yang kayak gini."
Aku bertukar pandang dengan Freya, tapi dia diam saja. Semakin lama, Adrian semakin
sensitif. Ini artinya masalahnya dengan Anggia sudah cukup parah. Mungkin aku harus
meluangkan waktu untuk menemaninya main PS walau dia selalu menang dan aku tidak
pandai bermain, setidaknya permainan itu selalu membuatnya lebih tenang.
Itulah gunanya sahabat cowok, bukan"
*** FREYA POV Pelajaran Biologi berjalan seperti biasa. Jika waktu kelas satu kami membedah katak dan
tikus, di kelas tiga kami lebih banyak mempelajari teori yang agak membosankan. Aku terus
menguap sepanjang hari, mungkin kurang tidur.
Wajahku masih sering panas jika teringat ciuman Adrian. Sudah beberapa waktu berlalu,
tetapi masih segar dalam ingatan. Rahasia itu kami simpan rapat-rapat. Aku masih
menganggap segala sesuatu berjalan seperti biasanya"aku dan Moses, Anggia dan Adrian.
Kupandangi wajahku yang pucat di cermin kamar mandi. Membasuhnya dengan air dingin
beberapa kali, setidaknya untuk membangunkanku walau sedikit.
Tiba-tiba, Anggia menghambur masuk ke toilet, sebelah tangan menutupi wajahnya.
Tubuhnya gemetaran. "Anggia" Ada apa?" Aku buru-buru menghampirinya, tapi dia masih tidak bersuara,
menutupi wajah dan memunggungiku. Baru kusadari, dia menangis. Aku menggosok-gosok
punggungnya lembut, berusaha menenangkannya. Kadang, kalau sedang PMS, Anggia sering
sensitif dan mudah tersinggung. Mungkin hari ini dia sedang haid.
Namun, dia menepis tanganku kasar, isakannya semakin keras seakan dari tadi dia berusaha
menahannya sekuat tenaga. Aku mendengar langkah kaki dan segera membimbingnya masuk
ke salah satu kubikel toilet, memeluknya agar ia lebih tenang. Aku tahu dia tidak ingin
ketahuan sedang menangis.
"Ada apa sih, Nggi?" Aku bertanya pelan. Dia masih berusaha menepis tanganku dan
melepaskan diri dari pelukanku. Dia tidak menjawab, menutup wajah dengan tangan, dan
terus menangis. Air mata sudah merembes keluar, membasahi wajahnya. Aku mengelus-elus
rambutnya, kebingungan. Aku tidak tahu bagaimana menenangkan orang yang sedang kalut
dan menangis histeris, apa lagi jika Anggia menunjukkan penolakan seperti ini.
"Adrian." Samar-samar aku mendengarnya berkata di tengah tangisnya. Dia terus mengulangulang nama itu sambil terisak.
Pundakku basah oleh air matanya. Tanpa kusadari, air mata juga meleleh perlahan di pipiku.
"Maaf ya, Anggia, maaf."
Tanpa dapat kuhentikan, Anggia berlari keluar dan memanggil taksi; masih menangis,
menumpahkan seluruh kesedihannya sendirian. Aku memandangnya menghambur masuk ke
taksi yang lalu meluncur cepat keluar gerbang sekolah, dia tidak menoleh sedikit pun. Aku
yang menghancurkan segalanya, tapi ironisnya aku juga masih menganggap diriku sendiri
sebagai sahabatnya. Sungguh, aku tidak pantas.
*** ADRIAN POV "Adrian?" Gue menoleh, mendapati Freya sudah berdiri di ambang pintu. Kelas sudah kosong,
kebanyakan murid sudah pulang. Gue tahu sejak tadi Freya membolos kelas terakhir. Anggia
nggak kelihatan batang hidungnya. Dan gue juga tahu, kenapa Freya mencari gue.
"Ini tentang Anggia, kan."
Freya mengangguk mengiyakan dan berjalan menghampiri gue yang sedang duduk di tepi
jendela, memperhatikan murid-murid lain yang sedang aktif di lapangan. "Anggia...." Freya
buka suara. "Tadi dia pulang naik taksi. Dia nggak berhenti nangis." Suaranya melembut,
seakan menyayangkan keputusan gue. "Lo ngomong apa ke Anggia, sampai dia nangis
begitu?" "Gue kasih tau dia yang sebenernya," jawab gue seadanya, dan ekspresi Freya berubah keruh.
"Kenapa?" Cuma itu yang keluar dari mulutnya.
"Lo masih mau melanjutkan kebohongan ini?" Gue balik bertanya, separuh menantang.
Pedang Kunang Kunang 10 Goosebumps - Mesin Tik Hantu Pendekar Aneh Naga Langit 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama