Remember When Karya Winna Efendi Bagian 3
"Atau..., lo lebih suka menganggap semua ini nggak pernah terjadi?"
Freya tercenung. Ada bekas air mata di wajahnya, dan gue pengin banget mengusapnya.
Namun, bahasa tubuhnya menunjukkan penolakan yang tegas.
"Bayangin perasaan Anggia," bisiknya pelan. "Dia sayang sama lo, tapi tiba-tiba diputusin
sepihak karena lo ketemu orang lain dan perasaan lo berubah. Pikirkan Moses, yang susahpayah berusaha demi gue, orang paling baik yang pernah gue kenal... dan ternyata pacarnya
jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri... orang yang udah dia anggep saudara." Lalu, "Kita
nggak boleh egois, Yan."
Gue menghela napas, berat. Apa yang dikatakan Freya memang ada benarnya; tapi segala
sesuatu memiliki dua sisi. Gue bukan orang yang bisa terus berpura-pura.
"Apa itu lebih baik daripada pacaran tanpa rasa sayang" Hanya status semata" Baik Anggia
maupun Moses nggak pantes dibohongin, Freya. Mereka terlalu berharga untuk nggak tahu
yang sebenarnya." Anggia. Raut wajah yang nggak pernah gue liat sebelumnya... entah marah, entah sedih,
entah kecewa. Tadi siang saat waktu istirahat kedua, gue duduk di pojokan kami yang biasa sambil makan
roti. Anggia sedang membaca selembar surat beramplop merah jambu, yang tadi pagi
diterimanya di loker. "Liat nih, surat dari anak baru di kelas kita." Anggia mengacungkannya sambil tertawa.
"Mungkin dia nggak tau kita pacaran, jadi masih terus ngirimin surat ini buat aku."
Gue menatap Anggia, berusaha memahami dia seperti dulu, menyayangi dia seperti dua tahun
lalu, tapi gue merasa hampa. "Balas suratnya dong," jawab gue sekenanya waktu itu, separuh
bercanda, separuh nggak main-main.
Dia cemberut. "Kamu mau aku balas suart cinta dari orang lain?"
Gue tersenyum, kaku. "Mungkin ada cowok lain yang lebih pantes dapetin kamu, Nggi."
Senyum itu pupus, sudut bibir yang tadinya terangkat kini berubah datar. "Maksud kamu?"
Gue merobek plastik roti cokelat yang kedua, berusaha agar nada suara gue tetap netral. "Aku
bukan orang yang cocok buat kamu."
"Kamu yang nggak cocok, atau aku yang udah nggak cocok lagi untuk kamu?" Pertanyaan itu
mengejutkan, karena Anggia bertanya dengan serius dan tepat sasaran, seakan dia sudah lama
tahu. Sebelumnya, udah banyak sekali pertanyaan sejenis yang gue alihkan dengan bohong. Udah
terlalu sering gue tutupi yang sebenarnya dengan bualan manis untuk membesarkan hati
Anggia. Namun, hari ini, gue nggak kepengin bohong. Gue nggak mau menutupi,
mengalihkan pembicaraan, dan lari dari masalah yang gue buat sendiri. Jadi gue
memberanikan diri untuk menjawab, "Kita berdua udah nggak seperti dulu."
Kilatan mata Anggia awalnya adalah amarah, lalu baru luka yang gue tangkap di raut
wajahnya. "Kamu sayang aku, Yan?" Ketika gue nggak langsung menjawab, dia bertanya
sekali lagi, "Kamu masih sayang aku?"
Gue ingin dengan jujur bilang tidak, tapi mungkin itu akan sangat menyakitinya. Jadi gue
jawab, "Nggak tau."
Diam. Gue menutup mata. Maaf, Anggia. Saat ini kamu pasti sangat sedih.
"Berapa lama kamu mau nunggu untuk kasih tahu aku yang sebenarnya?" Suaranya begitu
tenang. Begitu gue membuka mata, dia sedang tersenyum sedih. "Sebenarnya... kamu suka
sama orang lain, iya kan?"
Gue bingung harus menjawab apa. Kasih tahu dia yang sebenarnya" Tapi, dia pasti akan
tanya siapa orang itu, dan persahabatannya dengan Freya bisa hancur. Bukankah gue dan
Freya setuju menutup rahasia ini rapat-rapat dan menjalani semuanya seperti biasa"
"Orang itu Freya, kan?"
Gue mengangkat muka, masih enggan menjawab. Namun, wajah gue membeberkan
segalanya. Dia tahu. Anggia tersenyum sepintas, lalu menunduk. "Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku kenal
kamu, Yan. Sebenarnya kamu nggak perlu bohong... aku tahu kok, setiap kali kamu
berbohong." Suaranya mulai bergetar, namun tetap melanjutkan perkataannya. "Waktu kamu
bohong bilang ada acara di rumah karena malas keluar, waktu kamu ngerokok, tapi nggak
mau aku tahu, waktu kamu bilang kamu baik-baik aja walau sebenernya enggak... aku tahu
semuanya." Hati gue seakan ikut remuk, ketika melihat air mata pertama jatuh. "Nggi, aku...."
"Aku ke WC sebentar ya." Dia menukas cepat dan berlalu. Gue bahkan nggak mengejarnya.
Gue tahu, gue udah nyakitin Anggia. Tapi, gue juga merasa lega. Dia pantas mendapatkan
cowok lain yang bisa bikin dia bahagia, dan orang itu bukan gue.
"Anggia pernah bilang kalau dia nggak bisa bayangin hidupnya tanpa lo." Freya berkata
sambil menatap ke luar jendela, membuyarkan lamunan gue. "Kalau lo pergi, dia...."
Gue mengangguk. Dia nggak perlu melanjutkan. "Gue pernah mikir, gue nggak akan pernah
pergi dari Anggia. Bahwa dia cinta pertama dan terakhir gue. Tapi, ternyata gue salah."
Freya menatap gue dengan pandangan sedih. "Lo juga bisa salah tentang gue. Suatu hari nanti
lo akan bangun pagi dan mikir, kalau selama ini lo salah tentang gue."
Gue tersenyum. "Mungkin. Tapi sekarang gue yakin, kalau gue memang sayang sama lo.
Cuma itu yang penting."
Freya diam di samping gue, menatap hujan rintik-rintik yang mulai turun, membasahi kaca
dan butir-butirnya mengalir ke bawah, seperti air mata.
*** ANGGIA POV Hujan di luar semakin lebat saja. Aku menatap ke luar, segalanya berwarna abu-abu; rintik
hujan menutupi pandangan dan sakit kepalaku masih mendera. Lebih parah lagi, aku masih
nggak bisa berhenti menangis.
Setelah pulang dengan taksi tadi, aku mengunci pintu kamar rapat-rapat dan berdiri di
samping jendela, menatap ke luar dengan pandangan hampa. Air mata masih mengalir dari
tadi, tetapi aku terlalu kacau untuk peduli. Rasa sakit di dada juga masih terasa walau aku
berharap sakit itu cepat hilang dan nggak kembali lagi.
Adrian. Aku butuh Adrian supaya sakit ini hilang.
Seharusnya aku sudah tahu, bahwa dia memang sudah berubah. Hanya saja, aku sulit
merelakan. Sulit memberi tahu diri sendiri bahwa semua orang bisa berubah, dan aku harus
menerimanya. Namun, yang menyakitkan ternyata bukan kenyataan bahwa aku harus
melepaskan dia, tapi mendengar dari mulutnya sendiri bahwa sebenarnya kami berdua bukan
apa-apa. Dia sudah lama berhenti mencintai aku, sedangkan aku menyayanginya seperti tidak
akan berakhir. Mungkin kita udah nggak cocok lagi. Apa maksudnya" Selama ini kami baik-baik aja.
Setelah nggak cocok lagi, apa berarti kami lalu nggak mencoba dan berhenti begitu saja"
Dan, dia nggak menyanggah saat aku menyebut nama Freya.
Aku tahu kadang matanya mengekori sosok Freya. Pernah sekali dia salah menyebut namaku,
saat kami sedang nonton di bioskop, dan saat kupanggil namanya, dia menyahut, "Ada apa,
Freya?" Bukan Anggia, tapi Freya.
Tadinya, aku menganggapnya nggak sengaja karena kami memang sering nonton berempat
dan kadang-kadang Freya duduk di samping Adrian. Namun, bukan hanya itu. Malam itu di
rumah sakit, Adrian mengenakan jaket yang aku tahu bukan miliknya, dan sampai sekarang,
jaket putih itu masih tergantung rapi di lemari pakaiannya. Malam itu, dia hanya duduk di
sampingku tanpa bilang apa-apa, padahal aku melihat bekas air mata di wajahnya. Mungkin
hanya Freya yang pernah benar-benar melihat Adrian menangis. Kenapa bukan aku"
Ponsel yang kuletakkan sembarangan di atas ranjang berbunyi. Dengan malas, aku
meraihnya, melihat caller ID. Freya.
Kenapa bukan Adrian yang meneleponku sekarang, mengkhawatirkan keadaanku" Kenapa
bukan Adrian yang menelepon untuk minta maaf, justru Freya"
Telepon terus berdering. Aku mendiamkannya.
Aku ingin tetap menunggu Adrian.
*** ERIK POV Gue sedang menenteng bola dan setengah berlari ke arah lapangan ketika gue menangkap
siluet Freya di balik jendela kelas 3 IPS. Gue mengernyit; matahari memang masih
menyilaukan walau sudah sore. Tapi bener, gue nggak salah lihat... itu Freya, berdiri di
samping Adrian dengan punggung yang membelakangi lapangan. Gue nggak bisa melihat
wajahnya, tetapi pasti ada apa-apa. Gue menunggu di bawah tangga sampai Freya
melewatinya. "Hey." Gue sapa begitu dia melintas dengan tas putihnya. Freya berbalik, agak kaget, dan
refleks tersenyum pada gue. Gue tau senyum itu; artinya dia lagi nggak mood buat senyum,
tapi terpaksa karena malas menjelaskan kenapa wajahnya nggak sedap dipandang.
"Hai, Rik." "Buru-buru?" tanya gue. Dia menggeleng. "Kantin yuk, sebentar."
"Tapi lo kan ada ekskul bola." Dia menunjuk ke arah lapangan. Anggota tim gue sudah mulai
main. Gue mengangkat bahu. "Ketua tim boleh telat, dong."
Freya menatap gue dengan pandangan nelangsa. "Sejujurnya gue lagi nggak mood ngobrol,
Rik." "Lima belas menit. Gue traktir es Milo kesukaan lo."
Freya akhirnya mengiyakan dan mengikuti gue ke kantin. "Ayo cerita ada apa," perintah gue.
Ia memberikan senyum terpaksa itu sekali lagi, berusaha untuk ngeles. "Nggak usah purapura senyum bajing deh, Frey, cepet cerita."
Dia mendorong gelas berisi Milo dingin itu sambil mengembuskan napas lelah. "Anggia tau
kalo Adrian suka sama gue. Dan, mereka...." Freya tampak nggak sanggup menyelesaikan
perkataannya barusan. Gue tersedak siomay tahu yang sedang gue kunyah. Benar-benar tersedak, sampai Milo Freya
habis gue tenggak. Dengan masih terbatuk-batuk, gue ingin memastrikan satu hal yang
pertama kali muncul di benak gue ketika mendengar cerita Freya, "Adrian dan Anggia
sekarang udah putus"!"
"Ssshhh." Freya menepis tangan gue yang mencekal lengan bajunya dengan kesal. "Jangan
keras-keras. Gue nggak mau ini jadi skandal."
Gue bukannya kaget Anggia tahu tentang Adrian dan Freya. Anggia kan, nggak buta. Gue aja
yang nggak seberapa dekat dengan Adrian bisa tahu, apa lagi Anggia yang menyandang
status pacarnya. Pasti dia merasa ada yang salah. Tapi, Anggia dan Adrian putus" Ini berita
baru. Dan pastinya akan mengarah ke konflik yang lebih besar bagi seluruh pihak yang
terlibat, dan maksud gue adalah Moses dan Freya.
"Adrian ngomong apa lagi" Terus lo jawab apa" Sekarang Anggia gimana?" Gue
mendararkan pertanyaan bertubi-tubi kepadanya, dan Freya balik memelototi gue supaya
menurunkan volume suara. "Gue juga nggak tau." Akhirnya dia menjawab pelan. "Kok semua bisa jadi kacau begini"
Nggak ada seorang pun yang tahu tentang gue dan Adrian."
"Kita semua bukan orang bego, Frey," gue berusaha membuatnya mengerti, "kita punya mata,
dan yang paling penting lagi, kita semua punya hati. Apa yang lo sembunyiin, mungkin
Anggia udah tau duluan dari kapan-kapan."
"Menurut lo, gue harus jujur ke Anggia tentang hal ini?"
Gue menggaruk kepala yang nggak gatal. Gimana yah ngomongnya ke Freya supaya dia
mengerti" "Gini deh." Akhirnya gue mencoba mengilustrasikan, "Coba lo tempatin diri
sendiri sebagai Anggia, dan Anggia jadi lo. Suatu hari Adrian bilang, dia suka sama sahabat
lo sendiri. Perasaan lo bakal gimana?"
Freya memiringkan kepala, meringis. "Sakit, itu jelas."
"Dan lo pasti pengin tau kan, perasaan Adrian sepihak, atau Freya juga membalas perasaan
itu?" Freya mengangguk lagi, lemah. Dia sudah mengerti. Gue mengunyah siomay terakhir lalu
melemparkan pertanyaan lain, "Nah, sekarang sebagai Anggia, lo berharap Freya akan bilang
apa?" Freya terdiam sekarang. Memang nggak mudah, tapi gue yakin dia tahu jawabannya. Freya
akan mengucapkan kebohongan terakhir yang dia ketahui akan menjadi yang terbaik untuk
mereka berempat. Gue nggak pernah merasa kebohongan ini salah. Karena saat gue menanyakan, lo ingin
semua ini berakhir gimana" dia sendiri sudah tahu jawabannya dengan sangat jelas. Freya,
ini cerita lo. Lo pengarangnya, jadi tentuin ending lo sendiri, dengan cara lo sendiri.
Atau mungkin karena gue sayang Anggia, jadi gue nggak pengin liat hatinya hancur"
ANGGIA POV Aku masih duduk di depan kanvas begitu hujan berhenti. Sudah sore, kelas pasti sudah bubar.
Freya dan Adrian, apakah akan pulang bersama"
Kanvas putih di hadapanku sudah tergambar separuhnya. Sebentuk tubuh sudah kulukis, dia
yang sedang bermain basket. Goresan wajah Adrian, yang kutuangkan dalam cat warnawarni. Lukisan itu belum selesai.
Apakah lukisan ini pantas kuselesaikan"
Bel rumah berbunyi. Tak lama kemudian, terdengar suara si mbok dari luar kamarku. "Non,
ada Non Freya...." Aku membiarkan dia masuk.
Aku tahu, melihat Freya akan membuatku semakin sedih. Cewek yang sekarang disukai
Adrian bukan aku, tetapi dia. Tapi, aku ingin memastikan satu hal, dan untuk itu aku
membutuhkannya. Aku punya begitu banyak pertanyaan. Apa yang telah mereka lakukan di belakangku" Apa
yang selama ini direncanakan Adrian" Apa Freya juga menyukai Adrian" Aku ingin menutup
telinga rapat-rapat, tetapi suara itu terus bergema. Dugaan-dugaan rancu membuatku kian
kalut. Freya melangkah masuk, tersenyum kecut saat melihatku. Aku mencoba tersenyum balik.
Apa yang dilihat Adrian dalam diri seorang Freya..." Apa karena dia dapat mendengarkan
keluh kesah dengan lebih sabar" Aku kalah apa"
"Lo nggak apa-apa?" Dia bertanya, mengambil posisi di atas karpet, agak jauh dariku.
Nadanya hati-hati. Aku mengangguk, mengikuti permainan ini dengan baik. "Nggak apa-apa kok."
"Nggi," panggilnya lagi, setelah diam memandangiku melukis. "Lo dan Adrian... nggak apaapa?"
Aku masih terus melukis, ingin berhenti mendengarkan setiap kata yang menorehkan lebih
banyak luka, lagi dan lagi. Apa yang Adrian bilang tadi sangat jelas, nggak mungkin salah.
Kita udah nggak seperti dulu. Diam. Aku nggak mau dengar lagi.
"Kalian... putus?" tanyanya, lirih.
Aku meletakkan kuas dan memperhatikan wajahnya yang berubah pucat. Apa itu ekspresi
yang tulus" Atau hanya dibuat-buat"
"Memangnya kenapa?" Jawaban itu kedengarannya defensif, marah. Ingin rasanya benci pada
Freya. Kenapa dia harus simpati padaku sekarang" Mungkin bahkan bukan simpati yang dia
rasakan"lebih tepatnya, kasihan. Aku paling benci dikasihani.
"Kalian ribut gara-gara gue kan, Nggi?"
Senyumku mengembang, padahal aku ingin menangis. "Lo suka sama Adrian?" Sekarang
hanya itu yang ingin kuketahui. Perasaan sepihak-kah" Atau mereka berdua memang saling
suka" Aku ingin tahu. Aku harus tahu.
Ah. Lagi-lagi pikiranku melantur.
"Jawab, Freya. Suka, kan?" Kuulangi pertanyaan itu. "Lo nggak usah bohong. Gue udah
capek dengerin semua orang bohong sama gue."
Freya menghela napas. "Pertama-tama memang ada rasa ketertarikan, gue akui itu. Tapi
hanya itu.... Nggak lebih."
Aku menatapnya, mencari-cari jejak kebohongan yang mungkin bersembunyi di balik kelam
hitam bola matanya. Mencurigainya sepenuh hati memperhatikan bahasa tubuhnya yang
mungkin dapat menguak yang sesungguhnya. Aku nggak tahu apa dia sedang berbohong
padaku atau sedang berkata jujur. Bukannya aku nggak mau percaya... aku takut percaya.
"Perasaan gue ke Adrian cuma rasa kagum... kayak cewek-cewek kelas sebelah yang selalu
iri sama hubungan kalian. Gue iri, Nggi. Kalian punya hubungan yang sempurna, yang nggak
gue miliki sama Moses. Tapi, sekarang gue sadar... seharusnya rasa iri itu nggak pernah ada."
Aku ingin percaya, Freya.
Sepertinya dia tahu aku masih skeptis karena dia lalu melanjutkan, "Gue sayang Moses. Gue
nggak pernah ada maksud terselubung, untuk selingkuh apalagi. Gue memang salah udah
pernah menyimpan perasaan lain buat Adrian, itu nggak sepatutnya. Tapi, gue cuma anggep
dia temen baik. That's all." Dia mengambil napas dalam-dalam dan mengucapkan pernyataan
terakhir dengan pasti, "Gue anggap dia sebagai pacar sahabat yang paling gue sayang."
Aku masih memandangnya lekat-lekat. Benar apa yang kamu bilang, Freya" Gimana
caranya supaya aku bisa percaya"
"Gue salah apa, Frey?" Aku nggak mampu menyembunyikan nada terluka dari pertanyaan
itu. Jika sebuah hubungan berubah... bukankah berarti ada sesuatu yang salah dalam
hubungan itu" salahku apa..."
"Gue minta maaf, kalau lo menyalahartikan hubungan gue dan Adrian sehingga kalian jadi
salah paham begini. Akhir-akhir ini, dia masih sulit menyesuaikan diri dengan keadaan yang
sekarang... jadi lo berdua nggak sedekat dulu. Dia yang berubah, Nggi. Bukan berarti lo yang
salah. Coba ngertiin dia... dan biar dia ngertiin lo." Freya membelai rambutku, seperti yang
biasa dilakukannya kalau aku sedang bad mood, sedih, kesel, apa pun itu yang membutuhkan
pundaknya sebagai tempat bersandar. Tapi, aku nggak bisa menganggap segalanya sama lagi.
Aku meraih selembar foto dari bingkai perak di atas meja. Adrian dan aku, hari pertama
liburan kami ke Bali, berdua. Freya mengambil foto itu dari tanganku.
"Gue dan Adrian bukan pacaran maen-maen, Frey." aku berkata, memainkan bidak catur
terakhir untuk memenangi pertandingan ini, satu-satunya cara untuk membuat Freya mundur
teratur, sekaligus jalan terakhir yang akan membawa Adrian kembali. "Malam itu, pas liburan
ke Bali berdua, kita udah make love."
Wajah Freya menegang, tetapi hanya sebentar. Dia kembali tersenyum. Senyum itu
dipaksakan. Aku sudah cukup mengenal dia untuk menyadarinya. "Adrian nggak akan ke
mana-mana. Dia pasti kembali. Semua ini dari awal cuma salah paham. Maaf, ya.
Aku sudah menang. *** FREYA POV How much do you still want me to love you"
-Toto, Lea- *** Aku berjalan keluar dari rumah Anggia dengan langkah gontai. Masih terkejut dengan
pengakuan Anggia barusan. Dia dan Adrian....
Tadi Anggia kelihatan begitu hancur. Dia diam saja di depan kanvasnya, memainkan kuas,
mencelupkannya terus-menerus pada warna hitam pekat, tapi tidak kunjung menyapukannya
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada lukisan yang baru separuh selesai itu. Seakan-akan, kapan saja dia akan mencoreng
garis hitam besar di atas kanvas dan merusakkan semuanya.
Awalnya, aku tahu dia sama-sekali tidak percaya padaku. Tapi, lama-kelamaan, dia melunak.
Dan, aku sudah berjanji untuk tidak pernah merebut Adrian dari sisinya karena hanya itu
yang dapat mempertahankan hubungan mereka.
Sejak awal, Adrian memang bukan untukku.
Sebuah mobil meluncur mulus ke arah perumahan Anggia, lalu berhenti di dekatku. Aku
mendongak, agak terkejut, dan melihat Adrian keluar dari mobil. Wajahnya cemas. "Lo abis
dari rumah Anggia" Gimana dia?"
Benci. Aku benci melihat Adrian, sangat benci. Anggia sudah menyerahkan semuanya, tapi
itu saja tampaknya masih belum cukup untuk Adrian.
"Udah mendingan. Lebih baik lo jenguk dan minta maaf ke Anggia, bahkan kalo lo harus
berlutut dan memohon sekali pun, lo tetap harus minta maaf."
Adrian mengulurkan sebelah tangan untuk menyentuhku, tetapi kutepis kasar. Dia
terperangah. "Lo kenapa" Kok marah?"
"Gue salah menilai lo." Cowok tidak bertanggung jawab. Pengecut. Mementingkan diri
sendiri. "Setelah apa yang udah lo lakukan sama Anggia, sekarang lo pergi nggak
bertanggung jawab. Pergi minta maaf dan jangan pernah sakitin sahabat gue lagi."
Muka Adrian pias seketika. "Anggia bilang..?"
Aku mengusap air mata yang tanpa sadar telah mengalir bebas. "Semua ini sebuah kesalahan,
dan gue akan anggap nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Gue nggak bisa nyakitin
Anggia dan Moses lagi...."
Wajah Moses terbayang di benakku. Dia tidak boleh sampai tahu.
"Freya." Adrian memegang tanganku dan enggan melepaskannya walau berusaha kutepis.
"Itu yang kamu mau?"
Wajahnya tampak sedih, memandangku seakan untuk terakhir kalinya. Pertanyaan itu
mengandung begitu banyak arti. Kami berdua sama-sama tahu jawabannya, tetapi kali ini
Adrian memberikanku kesempatan terakhir untuk menjawabnya, untuk mengambil
keputusan, untuk memulai atau mengakhiri.
Aku mengangguk. Menepati janji kepada Anggia, ingin melindunginya, ingin setia kepada
Moses, ingin menghargai diri sendiri, dan ingin memberikan kesempatan kedua pada Adrian
untuk memperbaiki apa yang telah berubah.
"Kita akhiri saja sekarang."
Adrian memandangku lama, sampai akhirnya dia mengangguk, menerima keputusanku.
"Oke. Gue akan anggap... nggak ada apa-apa di antara kita berdua." Dia mengulurkan sebelah
tangan untuk menjabat tanganku. "Deal" Gue akan kembali ke Anggia dan menyayangi dia
dengan sepenuh hati. Gue nggak tahu apa gue bisa, tapi gue akan coba. Dan lo.. lo tetap
jalanin hubungan dengan Moses, seperti nggak terjadi apa-apa. Itu kan yang lo mau?"
Benar. Tapi, kenapa rasanya begini sakit"
Tanganku gemetar menyambut jabatan tangannya. Dengan sekali tarik, ia merengkuh
tubuhku ke pelukannya, lalu berbisik di telingaku, "Terakhir kali gue peluk lo seperti ini,
Freya. Selamanya mungkin nggak akan bisa lagi."
Setetes air matanya menyentuh leherku, dan aku mengucapkan selamat tinggal dalam hati.
*** MOSES POV Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela mobilku. Entah kenapa seharian ini hujan terus,
padahal tadi sempat berhenti sebentar. Meeting OSIS telah selesai, ketua baru sudah dipilih,
dan aku mengundurkan diri dengan lega. Sebentar lagi, persiapan ujian nasional dimulai, dan
murid-murid kelas tiga harus bekerja ekstra keras demi kelulusan.
Aku terpaksa mengantar portofolio OSIS milik Anggia ke rumahnya karena hari ini dia bolos
meeting, padahal posisinya sebagai sekretaris sangat penting. Aku juga harus menyelesaikan
beberapa laporan yang belum diselesaikannya. Freya bilang, Anggia tidak enak badan, jadi
pulang lebih awal. Kompleks perumahan Anggia sangat asri. Rumahnya yang paling besar di kompleks itu.
Walau aku hanya pernah ke sana sekali, aku masih ingat interiornya yang mewah. Kebunnya
luas dengan garasi berisi empat mobil mewah yang berjejer rapi, pos satpam kecil di tepi
pekarangan, dan pagar tinggi besar yang melindungi rumah besar di dalamnya. Anggia
memang lebih beruntung dibanding kebanyakan orang, tapi kurasa bahkan materi tidak bisa
menjamin kebahagiaannya karena saat ini dia mulai kehilangan hal-hal yang lebih penting.
Aku melihat sedan hitam terparkir sembarangan di pinggir jalan, tak jauh dari rumah Anggia.
Seperti mobil Adrian karena sedan itu sudah dimodifikasi bagian depan dan belakangnya.
Aku memperlambat laju mobil, sedikit merunduk untuk melihat plat mobilnya. Kaca
jendelaku buram oleh air hujan.
Dua sosok tubuh sedang berpelukan.
Itu Adrian, kan" Tidak salah lagi, pasti Adrian, dengan punggungnya yang lebar dan tubuh
yang tinggi. Orang itu juga mengenakan seragam sekolah kami. Gadis di pelukannya tidak
terlalu jelas kelihatan, mungkin Anggia. Apa mereka bertengkar di jalan, ya" Aku hampir
berhenti, tapi tidak jadi. Mereka pasti butuh privasi. Lebih baik langsung kutitipkan
portofolio ini di rumah Anggia; tidak ada bedanya.
Aku hampir melaju melewati mereka ketika Adrian melepaskan pelukannya. Gadis yang
bersamanya itu mendongak. Heh. Itu... Freya" Rambut pendek, tubuh kurus tinggi.....
Klakson mobil di belakangku membuatku kaget. Aku segera memarkir di depan mobil
Adrian, lalu turun. Mereka berdua terlonjak kaget oleh bantingan pintu mobilku. Lebih
terkejut lagi, pasti, karena melihatku.
Mataku menangkap tangan Freya, masih digenggam Adrian.
"Ada apa?" Suaraku serak, meminta penjelasan. Apa yang sedang mereka lakukan" Tadi
pelukan di jalan, sekarang berpegangan tangan. Dan, kenapa Freya seperti habis menangis"
Wajah Freya pucat pasi, demikian juga dengan Adrian. Sorot matanya sendu, seperti yang
tidak pernah kulihat sebelumnya.
"Ada apa?" Aku mengulangi pertanyaan itu, pada waktu yang bersamaan sangat takut untuk
mendengar jawabannya. "Nggak apa-apa, cuma nggak enak badan...." Freya menukas cepat-cepat, gugup. "Aku mau
pulang, Mos. Adrian mau ke rumah Anggia."
"Tadi..." kalian sedang apa"
"Nggak ada apa-apa." Freya mengulang, tapi aku tetap berdiri di sana dengan perasaan tak
enak, menunggu penjelasan. Aku yakin ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.
Untuk sesaat, mataku bertemu pandang dengan Adrian. Kami saling menatap, lama, sampai
akhirnya dia berkata, lirih.
"Moses, gue sayang Freya."
Langkah Freya terhenti. Sama seperti detak jantungku. Berhenti satu detik.
Mungkinkah aku salah dengar" Atau Adrian cuma bercanda"
Jika bercanda, kenapa raut wajahnya begitu serius"
*** FREYA POV Di sepetak tanah kosong, tak jauh dari kediaman Anggia, dengan hujan gerimis yang turun,
kami bertiga berdiri lunglai dengan perasaan yang kacau.
Entah bagaimana Moses tiba-tiba kebetulan melewati kompleks perumahan ini dengan
mobilnya. Melihat aku dan Adrian berpelukan. Klise, memang, tapi itulah yang terjadi.
Ketidaksengajaan menjadi kebetulan; mungkin itu takdir yang disengaja karena kami
memang sudah tidak diperbolehkan bohong lagi.
Moses masih berdiri memandang kami berdua, meminta penjelasan. Tangannya terkepal, air
hujan membasahi kaca matanya, tapi dia tetap berdiri di sana, menunggu. Aku harus bilang
apa" "Gue sayang Freya." Adrian akhirnya mengakui. Aku sangat menyayangkan keputusannya
berkata jujur. Aku membencinya karena telah mengakui segalanya, yang berarti melukai
perasaan kami semua. Aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup berkata jujur, dan
membiarkan Adrian yang selalu melakukannya untukku. Aku tidak suka rasa sakit ini,
menusuk-nusuk hatiku dan tidak mau pergi.
"Gue nggak tahu sejak kapan, tapi gue sayang Freya. Anggia udah tahu yang sebenarnya.
Gue salah sama kalian berdua. Maaf."
Rahang Moses mengeras, wajahnya menegang. "Kalian pacaran di belakang gue dan
Anggia?" "Bukan begitu!" Aku menjawab cepat. Bukan begitu kejadiannya. Moses salah paham.
"Jadi?" Moses tertawa getir, matanya menatap kami tajam, sekali lagi meminta kejujuran.
"Kalau nggak pacaran, terus diam-diam salinng sayang" Diam-diam jalan bareng" Atau
bahkan udah ciuman?"
Tidak ada yang menjawab. Semua sudah terungkap.
"Oh, jadi begitu." Moses menyindir, suaranya semakin parau. "Kapan dong mau ceritacerita?"
Bukan maksudku untuk menutupi kesalahan dari Moses, tetapi saat itu aku merasakan
keinginan yang amat sangat untuk melindunginya. Aku tidak ingin hubungannya dengan
Adrian berantakan hanya karena kesalahan dua orang egois. Namun, jauh di lubuk hatiku,
aku tahu sebenarnya aku hanya takut dia membenciku. Aku takut dia mengetahui seperti apa
aku yang sebenarnya. "Mungkin gue cuma kalian anggap orang tolol. Kalau tadi nggak kepergok, mungkin besokbesok udah pacaran di belakang gue dan Anggia. Mungkin selamanya nggak akan ada yang
tahu, kalau kalian pintar menyembunyikannya. Iya, kan?"
"Bukan begitu, Mos." Adrian berusaha menjelaskan. "Loe kan sahabat gue...."
"Gue nggak butuh sahabat macam lo." Moses menyahut tenang, lalu menarikku ke dalam
mobil, membanting pintunya keras, dan duduk di balik kemudi. Mesinnya dinyalakan, lalu
mobil melaju cepat keluar dari kompleks perumahan itu.
Bayangan Adrian masih terlihat dari kaca spion, makin lama makin samar, dan hilang begitu
mobil berbelok. *** ADRIAN POV Tangan gue berhenti di gagang pintu kamar Anggia. Mama Anggia tadi menatap gue dalamdalam lalu mengangguk, seakan udah tahu apa yang terjadi. Gue ingin melanjutkan apa yang
diinginkan Freya, seperti tadi dia bilang ke gue, bahwa semua ini harus berakhir.
Gue ingin tanya balik ke Freya, apa yang berakhir" Selama ini, bahkan nggak ada hubungan
apa pun yang berhasil kita mulai. Tapi, gue diam saja, nggak kepingin ada air mata lagi. Gue
harus melanjutkan hidup, kembali seperti sebelum gue merusakkannya.
Dan, Moses. Freya mungkin akan membenci gue karena udah membeberkan seluruh rahasia
kita. Namun, di satu sisi... gue merasa berutang sama Moses. Gue merasa bersalah. Dia harus
tahu yang sebenarnya, walau artinya gue akan memperumit kekacauan ini.
Tadi dia menatap gue dengan tajam, menunjukkan secara gamblang semua dosa-dosa yang
udah gue lakukan. Seolah ingin menuduh, gue udah menghancurkan hidup Anggia, hidup
Freya, hidupnya, dan gue masih meminta lebih.
Anggia duduk diam di depan kanvas, mengenakan kaus putih hasil lukisan gue. Waktu
anniversary pertama, kami masing-masih melukis di atas sehelai kaus putih sebagai kado
untuk satu sama lain. Lukisannya indah"wajah gue digambarnya dengan begitu sempurna.
Sementara karya gue acak-acakan, bentuk yang menyerupai seorang gadis dengan gaun
merah dan senyuman lebar, tapi Anggia bilang itu lukisan terindah yang pernah dia lihat. Kini
dia memakai kaus itu lagi, kali ini dengan muka habis menangis.
"Anggia." Dia menoleh, lalu tersenyum. Dia sedang menangis, tapi bibirnya menyunggingkan senyum.
Nggi, gue harus gimana"
Gue menghampiri dia dan memeluknya erat. "Maaf ya, Anggia. Cuma kamu yang seharusnya
ada di sini... sekarang, besok, dan sampai kapan pun. Janji kita begitu, kan?"
Ya, janji itu. Gue pernah berjanji begitu.
Dia diam saja, tapi gue merasakan anggukan kepalanya.
Kita akhiri semuanya di sini, bahkan untuk hal yang belum dimulai sekali pun. Biarlah
Anggia menganggap semuanya sudah selesai, bahwa sebenarnya memang tidak ada yang
perlu dia risaukan. *** MOSES POV I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
But you deserve so much more
-Air Supply, Goodbye- *** Freya duduk diam di sampingku, meletakkan tangan di pangkuan dan tak berbicara sepatah
kata pun. Kalau dia mendengar lebih jeli lagi, mungkin dia akan mendengar detak jantungku
yang tak keruan. Sedikit banyak aku sudah mengerti, bahwa ternyata telah ada yang terjadi antara dia dan
Adrian. Hanya aku yang kurang peka. Aku yang tidak sadar, tidak menduga, dan tidak mau
tahu. Akhirnya, aku menyadari, kenapa selama ini aku tidak bisa membaca pikiran Freya.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya saat dia tersenyum padaku. Aku tidak tahu
perasaannya saat dia menangis. Bahkan, aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
Aku memang bukan orang yang tepat untuknya. Hatinya bukan untukku karena itulah dia
sering terlihat begitu asing. Jawaban itu yang paling tepat menjadi alasan sakit hati ini.
"Maaf." Kata itu meluncur dari mulutnya. Aku ingin menangis.
"Untuk apa?" Dia diam saja. Tidak usah dijelaskan, aku sudah tahu.
Aku berhenti di depan rumahnya. Langit begitu gelap.
"Habis pulang, mandi air hangat, jangan terlambat makan dan tidur lebih awal." Aku
mengucapkannya dengan sedikit terbata-bata. Tidak akan ada kesempatan lagi untuk
mengucapkan hal yang sama lain kali. Dia mengangguk.
"Freya." Hening. "Kamu sayang dia?"
Dia mendongak, tak juga menjawab, tapi segalanya sudah cukup jelas terlukis di wajahnya.
"Lebih baik kita putus saja." Kalimat itu tergantung di bibirku. Kalimat yang paling tidak
ingin kuucapkan. Freya mengangguk lagi, membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke rumah.
"Freya." Dia menoleh ke belakang. "Aku tetap sayang kamu."
Dia mengangguk dengan senyum sedih di wajahnya. "Ya, aku tahu." Dia masuk ke rumah,
menutup pintu rapat-rapat dan tidak keluar lagi.
Aku menangis diam-diam dalam mobil. Kenapa tidak bisa mencintaiku, Freya"
ADRIAN POV Semalaman, gue nggak bisa tidur, terus terbangun dengan bersimbah keringat. Wajah Anggia
yang sedih, raut Moses yang kecewa, dan Freya... yang mungkin nggak akan pernah bisa gue
raih, semuanya muncul silih berganti dalam sebentuk mimpi putus sambung yang sulit gue
pahami maknanya. Pagi tiba lebih lambat dari biasanya. Gue menggosok bersih badan gue, muak dengan bau
tembakau yang menyelimuti tubuh, bahkan bantal gue. Siap-siap berangkat ke sekolah, walau
tahu gue bakal datang kepagian. Baru pukul enam lewat lima menit.
Dari jauh gue sudah melihat Moses, tenggelam di balik buku Kimia, mengenakan kacamata
bacanya yang tebal. Freya yang seharusnya duduk di sampingnya belum hadir, tapi Moses
tampak biasa aja. Mungkin dia mau memaafkan Freya. Mungkin dia masih bisa maafin gue.
"Mos." Gue hampiri dia. Dia mendongak, tanpa ekspresi. "Gue mau ngomong sama lo."
Tanpa gue duga, dia setuju dan mengikuti gue ke kebun belakang sekolah. "Ada apa?"
"Gue tau lo masih marah." Gue membuka percakapan. Nggak ada gunanya berbelit-belit
kalau bicara dengan Moses. Lebih baik apa adanya.
"Gue nggak marah," sahutnya tenang.
"Bagus deh." Gue tersenyum lega. Sudah gue duga, dia bukan pendendam; selalu
menyelesaikan masalah dengan tangan dan kepala dingin.
"Gue nggak marah," ulangnya dengan lebih pelan, "tapi gue nggak bisa maafin. Gue nggak
bisa lupa. Dan gue rasa gue nggak akan bisa jadi temen lo seperti dulu lagi."
Gue memandang Moses, kaget. Tatapan matanya tenang, emosi yang bergejolak dalam
hatinya nggak terpancar di sana.
"Mos, gue nggak mau berantem sama lo gara-gara masalah cewek. Gue balik ke Anggia dan
nggak akan ganggu Freya lagi."
"Dan dengan begitu, lo anggap semua masalah ini selesai?"
Gue memandang rumput ilalang dengan frustasi. "Ya, gue tau gue salah. Makanya, gue ajak
lo ngomong, untuk minta maaf. Gue dan Freya nggak ada hubungan apa-apa. Gue nggak mau
kita berhenti berteman hanya karena masalah kecil."
Moses mengangkat muka dengan angkuh. "Masalah kecil, lo bilang" Cuma gara-gara
masalah cewek" Ini bukan cewek biasa, Adrian. Lo lagi ngomongin Freya." Dia
menggelengkan kepala, seakan gue anak kecil yang sulit dimengerti. "Perubahan hati itu lo
anggap sebagai masalah kecil, kan" Segala sesuatunya selalu lo lakukan seenaknya. Lo
pernah mikir konsekuensinya sebelum bertindak?"
Kata-kata pedas semacam itu nggak gue harapkan akan keluar dari mulutnya. Dan dia belum
selesai. "Sebelum lo mainin Anggia, apa lo mikir gimana perasaan dia" Sebelum lo bilang
cinta ke Freya, apa lo mikirin gimana perasaan dia" Apa lo pernah mikirin perasaan gue" Lo
bilang kita sahabat. Lo juga bilang lo sayang Anggia. Tapi, semua itu lo anggap mainan. Gue
nggak butuh sahabat yang kayak gitu."
Ironisnya, Moses nggak pernah mengkritik gue seperti ini sebelumnya. Memang dia nggak
selalu setuju dengan kelakuan gue, tapi dia nggak pernah memperlihatkan muak dan benci
sedalam sekarang. "Lo ngomong gitu, apa mikirin perasaan gue?" Apa lo mikir kalau gue juga merasa bersalah
udah ngambil sesuatu yang paling dijaga Anggia, yang diberikannya secara tulus kepada gue"
Apa lo mikirin gue yang ngerasa jadi. Manusia paling berengsek di dunia, tapi gue nggak bisa
berhenti sayang Freya seberapa keras pun gue berusaha"
Moses tersenyum, tetapi senyumnya dingin; sedikit mengejek, bahkan. "Lo mungkin nggak
bisa kontrol perasaan lo, , tapi lo bisa kontrol perbuatan lo." Itu caranya untuk bilang kalau
gue nggak dewasa, dan gue harus berhenti beralasan.
Gue diam saja ketika dia berlalu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, gue ucapkan katakata terakhir gue untuknya, "Gue sayang Freya, Mos. Gue bener-bener sayang dia."
Yang nggak gue duga adalah Moses berbalik, mencekal lengan gue, dan menghajar pelipis
gue dengan kepalan tangannya. Nggak terlalu kuat, tapi gue tahu seluruh kemarahannya
tertumpu di sana. Nggak terlalu sakit, tapi gue sadar dia benar-benar ingin melukai gue. Dan
gue pun memukulnya balik, dengan frustasi yang sama. Gue benci lo, Mos, karena lo yang
akhirnya bersama Freya. Gue benci karena hidup gue berantakan dan lo bilang semua ini
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gue yang salah. Kami saling memukul. Sakit di wajah gue berdenyut-denyut. Gue balas menghajarnya, dan
dia meringis kesakitan saat gue meninju perutnya.
Kami terus berkelahi bagai dua binatang liar, hingga gue mendengar seorang murid berteriak,
dan suara Freya memekik tertahan.
"Berhenti! Adrian! Moses! Berhenti!"
*** FREYA POV Pagi ini adala hari yang berat. Terpaksa membuka mata ketika cahaya matahari menembus
tirai di kamar, terseok-seok mengambil handuk, lalu berjalan ke kamar mandi. Ingin terus
meringkuk dalam selimut yang hangat, memejamkan mata dan tidak terbangun selamanya,
meneruskan mimpi yang tidak akan pernah terjadi di kenyataan.
Namun, ternyata berusaha menahan perasaan tidak lebih berat dari harus mengakuinya. Dan
lagi, hari ini harus melihat Moses, Adrian dan Anggia.
Suara seseorang nyaring berteriak ketika aku sampai di pintu gerbang sekolah. "Moses dan
Adrian berantem di kebun belakang!"
Dalam hidupku, belum pernah aku lari secepat sekarang. Aku mengikuti langkah puluhan
murid lain yang penasaran ingin melihat.
Aku menemukan keduanya sedang bergulat di atas tanah, tubuh mereka kotor. Wajah Adrian
babak belur, begitu juga Moses yang kacamatanya telah patah, tergeletak di atas rumput liar.
"Berhenti!" Mereka tidak mendengar dan tetap saling memukul. Dasar bodoh! Apa yang mereka
perebutkan, seperti dua orang anak kecil" Apa yang mereka ingin menangi" Apa cinta dan
persahabatan sebuah piala, dan hanya satu yang berhak mendapatkannya"
Aku membuang ranselku ke atas rumput dan berlari ke arah mereka, berusaha memisahkan.
Perkelahian ini imbang"walau Moses tidak pernah berkelahi, kini dia sedang berusaha
sekuat tenaga, tidak rela menyerah. Aku berdiri di antara keduanya, harus menghentikan
semuanya. "Berhenti!" Entah tangan siapa yang melayang, mengenai ujung mataku. Rasanya pedas, lalu pedih, lalu
hampa. Diam. Segala sesuatu seperti diperlambat. Dan, aku mengecap darah di ujung bibirku.
"Freya!" Entah itu suara siapa. Perlahan, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di atas
tanah. Rasanya sakit berdenyut-denyut. Sesosok tubuh memelukku erat-erat, sontak
membopongku pergi. Aku memejamkan mata. Ingin istirahat, ingin tertidur selamanya di
balik selimut hangat. Bermimipi, bahwa kita bertemu lagi di sana.
*** ANGGIA POV Aku datang terlambat, seperti biasa. Malas memulai hari.
Namun, ternyata kelas kosong. Penasaran melihat hampir seisi murid kelas tiga berlari
menuju kebun sekolah, aku mengikuti mereka. Begitu tiba di sana, aku melihat Freya. Adrian
sedang melayangkan tinjunya ke arah Moses. Freya melompat ke tengah mereka, berusaha
melerai, dan tangan Adrian yang terkepal tepat mengenai wajah Freya. Darah mulai
mengucur dari luka itu, dan ketika aku meneriakkan namanya, dia sudah kehilangan
kesadaran. Adrian memeluk tubuh Freya erat-erat, menggendongnya menuju UKS. Moses terduduk di
atas tanah, memandangi punggung Adrian yang semakin menjauh. Aku bukan orang bodoh.
Tentu saja pertengkaran ini untuk Freya. Bukan hanya menulut ego mereka, tapi juga
mempertarungkannya di atas persahabatan.
Kemarin, Adrian berkata dia akan menepati janji dulu; untuk bersamaku sekarang dan
selamanya. Namun, janji itu kini terasa terlalu usang, kata-kata yang diucapkan sudah
kadaluwarsa. Adrian mengucapkanya karena terpaksa, dan seperti orang bodoh aku
mengangguk menyetujuinya, bersuka-cita untuk segala alasan yang salah.
Seberapa keras pun dia mencoba untuk berbohong, pandangan matanya saat melihat darah di
wajah Freya tadi bukan pura-pura. Saat dengan panik dia melupakan luka tubuhnya sendiri
dan bergegas membawa Freya pergi, itulah perasaannya yang sebenarnya. Dia bahkan nggak
sadar aku ada di sana. Aku menghampiri Moses, menyerahkan selembar saputangan.
Dia mengambilnya untuk menyeka keringat dan darah di wajah.
"Freya dan Adrian memang ada apa-apa, kan?" Aku bertanya lirih.
Moses diam saja. Nggak perlu dijawab. Aku pun sudah tahu.
*** ADRIAN POV Gue dan Moses diskors tiga hari. Untuk gue, mungkin ini udah biasa, karena gua juga sering
bolos dan pernah sekali menghajar murid kelas sebelah yang menyingkap rok Anggia waktu
kelas satu dulu. Namun, buat Moses, si sempurna peraih nilai tertinggi dan rekor ketua OSIS
paling berhasil di sekolah ini, skors adalah pengalaman pertamanya yang nggak terlalu
menyenangkan. Lebih parahnya lagi, gosip menyebar dengan cepat. Ada yang bilang gue dan Moses
bertengkar memperebutkan Anggia sebagai bunga sekolah. Ada yang bilang karena Freya.
Ada yang bilang gue dan Anggia udah putus. Segala jenis gosip ngalor-ngidul sudah tersebar,
dan gue tahu sekarang Anggia sedang pura-pura nggak peduli.
Freya masih terbaring di UKS. Tadi gue nggak sengaja melukainya, nggak melihat dia yang
tiba-tiba melompat ke tengah-tengah gue dan Moses. Untung lukanya nggak parah, hanya
sedikit sobek di ujung matanya, dan sekarang sudah diperban.
Gue memang bego. Di saat seperti ini pun, gue masih berharap.
Matanya terbuka. Dia memaksakan seulas senyum.
"Maaf, Frey. Gue nggak sengaja."
"Mmm," gumamnya. "Kamu mau bunuh Moses, ya?"
Gue ketawa. Udah pingsan masih bisa bergurau. Dan, ucapan kamu yang digunakannya untuk
pertama kali terasa akrab, hangat.
"Pergilah." Tangannya yang terkulai lemah mendorong gue pergi.
"Kalau gue pergi, selamanya gue nggak akan bisa ada di sini kayak gini lagi untuk lo." Gue
ingin memastikan untuk terakhir kalinya, apa dia masih memilih Moses.
Dia menekan tangan gue dengan jarinya. "Pergi."
Hati gue bagai tersundut ujung rokok. Pelan-pelan, terbakar menjadi abu. "Baik-baik ya sama
Moses." Gue terpaksa bilang begitu.
Freya tersenyum hambar. "Gue dan Moses udah putus, kok."
*** MOSES POV Skors tiga hari adalah hukuman perbuatanku yang menyulut pertengkaran dengan Adrian.
Tadinya, aku tidak menyangka akan ada suatu emosi yang tiba-tiba menggelegak dalam
diriku, yang membuatku langsung melayangkan tinju padanya. Aku tidak menyangka dia
akan melawan dan membalas pukulanku. Aku juga tidak menyangka Freya akan terkena
pukulannya. Namun, itu semua sudah bukan urusanku. Aku tidak bisa peduli kepada Freya lagi, karena
hubungan kami sudah berakhir.
Kukira, aku akan baik-baik saja setelah mencba menenangkan diri semalaman. Bahwa aku
sudah cukup dewasa untuk menerimanya, untuk melepaskan lalu bergerak maju tanpa
menoleh ke belakang. Namun ternyata melihat sosoknya masih membawa sakit tersendiri
bagiku"sakit yang tak dapat dideskripsikan.
Melihatku juga akan menjadi beban tersendiri bagi Freya. Jika ada sebuah cara untuk
melindunginya, mungkin menjauh adalah cara yang terbaik.
Tadi, Adrian membabi-buta menggendong Freya ke UKS. Aku sendiri terpaku diam, merasa
kebas. Anggia lalu berjongkok di hadapanku, menyerahkan saputangannya. Di matanya tak
terpancar sedikit pun rasa kasihan, hanya tersirat pengertian yang dalam. Dia juga mengalami
hal yang sama. "Mos." Suara Adrian mengejutkanku, tapi aku enggan berbalik untuk menghadapinya. Kulit
kami sudah sama-sama biru lebam, tangan dan tubuh kami penuh biru luka. "Kali ini lo mau
dengerin gue ngomong, atau mau adu jotos lagi?"
Akhirnya, aku berbalik, sebuah cara yang lebih dewasa daripada ngambek seperti anak kecil.
Sebelah matanya telah diperban, salah satu hasil pukulanku tadi. "Mau ngomong apa lagi?"
"Gue mau minta maaf."
Terus terang, aku bukan tipe orang yang mudah memaafkan. Aku tidak ingin mendendam,
tapi tidak bisa begitu saja melupakan segalanya yang telah terjadi. Dia sudah tidak jujur.
Selama ini, kami berbagi cerita, tapi tak sekali pun dia menyebut nama Freya hingga akhirnya
kupergoki mereka berdua. Itukah arti persahabatan di matanya"
Begitu juga dengan Freya. Dia selalu diam dan menyimpan perasaannya sendiri.
Kenapa aku harus memaafkan mereka yang jelas-jelas berbohong, seratus persen sadar apa
yang sedang mereka lakukan"
"Gue merasa beralah sama lo dan Anggia. Mungkin lo nggak akan bisa maafin gue dan
Freya, tapi gue mau pastiin satu hal. Gue dan Freya nggak pernah pacaran diam-diam di
belakang kalian. Kita nggak sehina itu, Mos. Dan, selamanya, kita nggak akan punya
hubungan khusus." Aku membuang muka. "Apa maksudnya?"
Adrian menghela napas. "Lo pasti udah ngerti maksud gue." Gue dan Anggia, lo dan Freya.
Itu yang dia siratkan. Freya pasti sudah memberi tahu dia perihal putusnya kami.
Aku ingin menertawakan kesederhanaan pola pikirnya. Dipikirnya manusia itu barang, bisa
ditukar dan diambil kapan pun kita mau. Betapa kekanakannya dia, betapa naif.
"Masalah gue dan Freya bukan urusan lo."
Adrian menggeleng, menyayangkan perkataan itu. "Dia butuh lo."
"Ha!" Aku tertawa sinis mendengarnya. "Dia butuh gue, tapi hatinya bukan buat gue.
Mungkin gue bisa pacaran sama dia, tapi perasaannya nggak akan pernah jadi milik gue.
Lebih baik gue lepasin dia."
"Gue harus tetap ada di sisi Anggia...."Suara Adrian semakin pelan. "Gue nggak bisa...."
Ya, aku mengerti, tentu saja. Anggia tidak sekuat kelihatannya. Jika Adrian
meninggalkannya, entah hal bodoh apa yang bisa gadis itu perbuat.
"Terserah lo mau ngapain. Itu bukan urusan gue."
Pandangan Adrian mengiba"pertama kalinya dia memandang gue dengan tatapan seperti itu.
"Gue bener-bener minta maaf. Apa kita nggak bisa sahabatan lagi kayak dulu?"
Itu hal sulit yang lo minta dari gue, Adrian. Udah terlalu banyak yang lo ambil dari gue. Jadi
sebagai jawabannya, aku berlalu dan meninggalkannya di sana, tanpa sepatah kata lagi di
antara kami. *** FREYA POV Losing you is painful to me
-Air Supply- *** Sulit rasanya menyimak pelajaran dengan tenang ketika sakit di pelipis masih berdenyutdenyut. Moses duduk di sampingku dengan tenang, menyalin dari papan tulis tanpa menoleh
sedikit pun. Sesekali, terdengar bisikan usil dari bangku belakang, perkataan tak enak didengar seperti, lo
denger tadi" Moses dan Adrian berantem buat Freya! Kami berdua berusaha sebisa mungkin
untuk pura-pua tidak mendengar.
Di kantin lebih parah lagi. Suara-suara berdengung menggosipkan kejadian tadi pagi, tanpa
peduli bahwa kami berempat ada di sana, sudah muak dengan cerita asal-asalan yang mereka
sebarkan. Erik duduk di sampingku dengan pandangan simpati, menepuk-nepuk pungungku
dan menawarkan diri untuk mengantre di kantin supaya aku dapat menyendiri di sudut.
"Jadi, lo dan Moses putus?" tanyanya dengan suara prihatin. Gue mengangguk. Sejujurnya,
ada sedikit rasa sedih yang menyelinap. Tak dapat lagi mendengar suara Moses
mendiskusikan pelajaran, senyumnya yang kalem, kebaikannya. Lebih sedih lagi karena
akulah yang telah menyakiti hatinya. Namun, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku
paham sisi terdalam dirinya tidak bisa menerima dan memaafkan. Sejak pagi, dia tidak bicara
sepatah kata pun, hanya menulis dan menulis seakan aku tak ada di sana.
"Udahlah...." Erik menyodorkan sepiring tahu goreng. "Makan nih, dari pagi lo belum makan
apa-apa." "Thanks, Rik." "Lo dan Adrian gimana?"
"Tuh, Adrian, lagi duduk sama Anggia di sana." Aku berusaha bercanda, tapi lelucon itu
terdengar hambar. Erik memandangiku dengan serius.
"Jadi, kesimpulan dari semua ini apa?"
"Apanya?" Dia mengibaskan tangan dengan tak sabar. "Yaa..., ini semua. Lo berempat berkorban, tapi
tetap aja menderita."
Aku tersenyum. "Adrian dan Anggia punya happy ending, kan?"
Erik memandang sekilas ke arah mereka berdua, lalu kmbali menatapku. "Lo pikir mereka
bahagia?" Mungkin tidak, hati kecilku berjata. Tapi,
aku diam saja. "Anggia lewat. Gue tinggal, ya?" Erik menenggak habis minuman di mejanya sebelum
berlalu. Anggia sedang berjalan ke arah kami, tapi menghindari kontak mata denganku.
"Nggi." Dia menoleh. Lidahku kelu, tak tahu harus bilang apa.
"Adrian... kalian balikan lagi, kan?"
Tolong bilang iya. Tolong bilang iya.
Sepintas dia tersenyum. "Iya." Sepertinya dia tidak terlalu ingin bicara padaku. Kemudian,
matanya menangkap luka di dahiku. "Luka itu masih sakit?"
"Udah mendingan."
"Bagus deh." Dia tersenyum lagi, tapi matanya sama sekali tidak tersenyum.
"Lo masih marah, Anggia?"
Anggia mengangkat bahu. "Enggak, kok. Kenapa harus marah?"
Aku tidak bisa menjawab. "Gue ke toilet dulu, ya, Frey. Bye."
Tanpa menunggu jawaban, dia berlalu dari hadapanku. Kemarin kehilangan Moses.
Sekarang, mungkin aku sudah kehilangan Anggia juga.
*** Graduation MOSES POV Hari ini adalah hari terakhir aku mengenakan seragam sekolah ini. Hari kelulusan akhirnya
tiba setelah bulan-bulan berat yang penuh dengan mengulang pelajaran, teori, mingguminggu ujian, dan menunggu hasil dengan deg-degan.
Nilai Freya masih tetap baik seperti biasa walau sedikit merosot dari prestasinya yang
terdahulu. Sementara aku tetap meraih nilai keseluruhan terbaik, seakan hal-hal belakangan
terjadi tidak berpengaruh pada konsentrasiku.
Karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Aku tidak baik-baik saja. Aku tidak ingin meninggalkan sekolah ini dengan membawa
dendam, luka, dan perih di hati. Jika suatu saat aku mengenang masa-masa SMU, aku tidak
ingin mengatakan aku pernah membenci teman terbaikku.
Kenapa masih sulit melupakan walaupun sudah terluka"
Pertanyaan itu terus-menerus mendera, setiap malam sebelum aku mencoba tidur, setiap pagi
saat bertemu pandang dengan Freya, setiap kali melihatnya menunggu bus sendirian.
Apakah aku menyesal"
Kadang aku menyesal sore itu, keputusan untuk mengucapkan selamat tinggal. Hingga saat
ini, sesal itu masih membekas, tapi aku tidak bermaksud menarik perkataanku kembali. Aku
terlalu angkuh untuk memintanya kembali, mungkin. Ego ini yang membuatku tidak
mengacuhkannya, mematung setiap kali dia melintas, tidak pernah ingin memaafkan.
Freya, dia terus mencoba. Mencoba menyapa Anggia bahkan saat Anggia dan Adrian lewat
sambil bergandengan tangan, mencoba tersenyum saat Anggia pura-pura tak melihat,
mencoba mengucapkan selamat pagi meski tak kubalas. Aku tahu hatinya tersayat setiap kali
dia mencoba, tapi dia terus melakukannya.
Betapa bodohnya dia. Dan, bodohnya aku, yang semakin sakit dengan membencinya.
Memaafkan bukan berarti kalah.
Begitu juga dengan menerima, melepaskan, dan mencintai. Aku baru saja menyadarinya. Aku
tidak ingin melewati hari terakhir sekolah dengan keadaan seperti ini. Aku capek setiap hari
berusaha menghindari mereka. Dan, jika mata kami bertemu pandang, aku tidak ingin lagi
pura-pura sibuk atau tidak melihat. Sudah terlalu munafik aku berbuat seperti itu.
Murid-murid kelas tiga berseliweran dalam seragam kotor yang kini berwarna-warni dengan
semprotan pilox. Aku memandang Freya dalam kemejanya yang masih putih bersih, rok abuabunya masih polos tak ternoda warna. Dia menggenggam spidol biru di btangannya,
walautak ada seorang pun yang menghampirinya untuk menorehkan tanda tangan di atas
seragamnya. Aku menarik napas panjang, memantapkan hati untuk berbicara dengannya.
Freya tampak kaget ketika aku menepuk pundaknya, lalu mencoba tersenyum. "Hai, Moses."
Sudah berapa lama aku tidak mendengar suaramu memanggil namaku"
Aku sudah tidak ingat. "Selamat yah, lagi-lagi dapat nilai tertinggi. Kamu memang hebat." Pujian itu tulus. Aku
mengangguk, lidahku seakan kelu tidak bisa berkata sepatah pun. "Kamu mau masuk
universitas mana?" "Universitas Indonesia." Ah. Akhirnya aku bisa menjawabnya.
Freya tampak terkejut, tapi senang. "Aku juga masuk UI. Jurusan kedokteran. Kamu?"
Jawabannya juga membuatku kaget. Dan, senang. "Sama, aku juga."
Hening. Bingung harus berbuat apa, akhirnya aku meraih spidol yang ada di tangannya dan
bertanya, "Mau ditandatanganin di mana?" Freya menunjuk bahunya. Aku menuliskan
namaku di sana, meninggalkan bekas permanen.
"Mos," panggilnya lembut. "Aku mau minta maaf..."
Tanpa sadar, aku menyentuh bibirnya dengan ujung jariku, memohon padanya untuk diam.
"Jangan bilang apa-apa. Aku yang minta maaf."
Freya memiringkan kepalanya. "Kamu nggak salah. Kenapa harus minta maaf?"
"Karena sulit unutk memaafkan."
Tawa kecilnya membuatku lebih rileks. "Kamu nggak salah apa-apa, Mos. Aku yang salah,
karena nggak bisa lebih mengerti kamu, dan nggak bisa sayang kamu sebagaimana aku harus.
Karena sudah menyakiti hati kamu. Kamu nggak pantas kuperlakukan begitu."
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jauh di dasar hatiku, sejujurnya aku sadar... aku bukannya tidak bisa memaafkan dia karena
tidak bisa menerima fakta bahwa dia sudah jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Sama-sekali
bukan karena itu. Aku marah padanya karena dia tidak pernah mencintaiku. Marah pada diri
sendiri karena aku tidak dapat membuatnya sayang padaku.
Namun, ternyata ada beberapa hal yang jatuh di luar kuasaku. Ada beberapa hal yang tidak
bisa kupaksakan, dan hati Freya bukanlah rumus Matematika yang bisa dengan mudah
kupecahkan. Bukan teori Fisika yang dapat kutelusuri, atau kuciptakan atas nama diriku. Dia
bukan benda untuk dimiliki.
Begitu aku menyadarinya, hanya satu bhal yang bisa kuperbuat. Memaafkan. Memaafkan diri
sendiri, juga memaafkan Freya dan Adrian.
"Kita tetap jadi teman kan?"
Freya mengangguk, tersenyum lebar. "Tentu saja."
Ketika aku meminta untuk memeluknya, dengan lembut tangannya melingkar di pinggangku,
dan kami berpelukan sebagai sahabat. Hangat. Aku mencium aroma cologne yang
dipakainya, membuatku rindu akan masa lalu.
Aku masih menyayanginya. Lebih dari apa pun.
*** ADRIAN POV A friendship that can be ended didn"t even stant
-Mellin de Saint-Gelais, Oeuvnes po?tiques"Moses! Adrian! Ayo foto bersama!" Tangan Deva, eks wakil ketua OSIS, menarik gue dan
Moses serentak, lalu menjejerkan ka,i dalam suatu barusan. Moses nggak merespons,
memandang lensa kamera dengan kaku, seperti biasa memperlakukan gue seolah gue kasat
mata. Nggak ada di sana. "Senyum dong, Mos, mukanya serem banget," komentar Deva sambil memberi aba-aba
untuk menjepret foto kami berdua.
Gue melirik ke arah Moses, yang kelihatan necis dalam seragamnya yang masih rapi walau di
sekitar kami nggak ada satu pun murid kelas tiga yang seragamnya nggak dipenuhi coretan
aneka warna. Ada beberapa hal yang nggak pernah berubah.
"Ini mungkin jadi saat terakhir kita foto berdua, Mos," gue menggumam. "Kita nggak akan
ketemu lagi. Kalau pun kita ketemu lagi, lo akan pura-pura nggak pernah kenal gue. Iya,
kan?" Lo mau selamanya benci sama gue, Mos" Gue nggak pengin kehilangan sahabat sebaik lo.
Cuma dia yang ngerti walau gue lagi bete dan nggak banyak omong. Cuma dia yang bisa
baca pikiran gue hanya dengan sekali pandang. Cuma dia yang ngerti selera humor gue,
walau kadang dia malas nanggepin. Saran-sarannya selalu jitu; dia punya visi ke depan yang
tegas dan dewasa, kalau dibanding dengan teman-teman sebaya kami yang lain.
"Pernah nggak, lo merasa menyesal?"
Pertanyaannya membuat gue terdiam. Namun, gue udah punya jazwaban sendiri. "Gue nggak
pernah menyesal sama-sekali."
Dia menunduk, nggak ingin bertemu mata dengan gue.
"Gue nggak pernah nyesel udah pernah sayang sama Anggia. Gue juga nggak nyesel karena
menyayangi Freya. Gue nggak pernah menyesali kata hati gue. Tapi..., gue tetap merasa
bersalah ke lo, Mos. Gue merasa bersalah, hubungan kita berempat jadi seperti ini. Gue
nggak bermaksud untuk sengaja nyakitin lo. Mungkin lo anggep gue Cuma bicara bullshit,
tapi gue benar-benar minta maaf."
"Lo masih sayang sama Freya?"
Gue memilih untuk nggak menjawab pertanyaan itu. "Gue belajar, bahwa ada beberapa hal
yang ternyata nggak bisa dipaksakan."
Moses bergeming dalam diam. Gue menyerah. Udah berkali-kali gue berusaha meminta
maaf, tapi dia tetap keras kepala. Mungkin ini bisa jadi usaha gue yang terakhir, selagi gue
masih bisa ketemu dia. Gue menepuk pundaknya ringan sambil berkata, "Semoga sukses,
Mos." Baru saja gue akan berbalik meninggalkannya yang masih mematung, saat dia menarik ujung
seragam gue. Gue berbalik, melihat dia sedang tersenyum.
"Kapan-kapan kita main bola lagi, ya."
Untuk ukuran seorang Moses, gue yang paling ngerti, kata-kata itu merupakan beban yang
lebih berat dari sekedar ucapan maaf. Itu caranya meambaikan bendera outih mengakhiri
peperangan, caranya mengucakan kata damai. Jadi gue pun tertawa, ingin memeluknya, tapi
nant disangka homo. Lagi pula, dia paling benci gue peluk-peluk. Gue bukan teddy bear,
selalu dia mengomel begitu.
"Sebenernya kadang gue pengin banget nonjok lo sekali lagi, Mos, biar lo sadar dan berhenti
marah sama gue." Nada suaranya ketika menjawab gue memang datar nggak beremosi, tapi seulas senyum
tersungging di wajahnya. "Gue juga pengin banget nonjok muka coverboy lp. Mario, tapi
sayangnya lo tetep sahabat gue ang paling baik."
Kali ini, gue benar-benar memeluknya, tak menghiraukan protesnya yang berusaha
melepaskan diri. *** FREYA POV Erik membuka tutup spidol dan dengan lincah mencoretkan sepotong kalimat di atas
seragamku. "Hei, hei, lo tulis apa?" Aku berusaha memalingakan muka untuk membaca tulisannya di
punggungku, tapi masih saja tidak terbaca.
Erik tertawa ngakak, puas bisa mengerjaiku untuk kesekian kalinya. "Gue tulis omongan
jorok sekali pun, lo nggak akan bisa liat."
Aku memukul lengannya keras-keras. Lalu berhenti, mengambil sejenak waktu untuk
memperhatikan sekeliling-suasana yang tidak akan pernah kudapatkan lagi, waktu yang tidak
akan kulalui lagi. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sentimentil.
"Setelah hari ini, gue nggak akan bisa makan siang di kantin setiap hari bareng lo, Rik."
"Lo bisa main ke kampus gue, ikut menyelinap ke kelas."
Aku mulai tersenyum. "Atau lo bisa ke rumah gue."
Erik nyengir. "Sip."
"Gue pasti bakal kangen banget sama lo." Kupandang dia lekat-lekat. Ternyata, begitu besar
sayangku pada berandal yang satu ini.
Erik hanya tertawa cengengesan. "Ah, kayak gue mau pergi jauh aja, padahal rumah gue
tetap Cuma berjarak beberapa meter dari rumah lo." Dilihatnya mataku mulai berkaca-kaca.
"Udah ah, jangan nangis. Malu ih..., udah gede masih cengeng."
"Eriiiiiiiiiiik..." Aku memeluk lengannya, mengusap sedikit air mata yang mengucur jatuh ke
pipi. Tiba-tiba, Erik berubah serius. "Frey, gue punya satu resolusi penting."
Aku melepaskan pelukanku. "Mau pindah kampus gue?" nilai ujiannya pas-pasan, jadi bisa
dibilang beruntung dia tidak sampai tinggal kelas. Setelah beberapa minggu camping di
rumahku sampai malam, kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil.
"Bukan, bukan masalah itu." Dia mengibaskan tangan seolah sekolah adalah hal terakhir
dalam pikirannya. "Gue pengin nembak Anggia."
Aku tersentak. "Anggia udah punya Adrian, Rik. Kepala lo nggak kebentur terus amnesia,
kan?" Erik menjitak kepalaku, separuh main-main. "yeee... dibawa serius malah bercanda. Adrian
nggak pantes buat Anggia. Lagian, gue bukannya pengin ngerusak hubungan mereka. Gue
hanya ngerasa ini kesempatan terakhir gue untuk mengungkapkan isi hati."
Gue nggak mau nyesel. Frey.
Kata-katanya itu terus terus terulang di kepalaku, saat ia melenggang pergi dengan sekotak
spidol warna-warninya. Apakah itu keputusan yang tepat" Apakah sungguh akan ada yang
tersesali jika ada beberapa hal yang tak terucapkan
Sekilas, kupandang Adrian yang sedang tertawa-tawa di ujung lapangan bersama anggota tim
basketnya. Mata kami bertemu pandang dan aku tersenyum. Seulas senyuman selamat
tinggal. Dia bals tersenyum. Dan dengan itu, aku pun mengucapkan selamat tinggal yang sesungguhnya.
Karena ada beberapa hal yang lebih baik tidak terucap.
*** ANGGIA POV But I"m just a girl, standingin front of a boy, asking him to love her.
-Julia Roberts, Nothing HillSeragamku sudah coreng-moreng dengan coretan spidol, gambar-gambar dan pesan selamat
tinggal oleh teman-teman. Aku juga telah melukis karikatur wajah mereka di atas seragam,
yang lepas hari ini nggak akan dipakai lagi. Dibuangkah" Disimpan dalam kardus di
gudangkah" Atau mendapat tempat istimewa di dalam leari" Entah.
Begitu cepat waktu berlalu, aku harus akui hari kelulusan ini adalah the best part og being in
high school. Hari saat kami semua mengendurkan dasi, menggulung lengan kemeja, dan
sesuka hati mewarnai seragam masing-masing dengan pilox. Dan guru-guru nggak akan
memarahi. Dan kami bebas melakukan apa pun yang kami mau.
Because this is our day. "Sini! Sini!" Aku ditarik-tarik ole teman-teman untuk berpose di depan kamera digital yang
dibawa Angel. Namun, mataku masuh terus memandang Freya, yang masih duduk menunduk
di sudut lapangan. Sendirian.
Mungkin Adrian nggak sadar, tapi aku melihatnya mencuri-curi pandang ke arah Freya.
Setiap kali kami melintas, matanya mengekori bayang Freya. Mungkin dia berusaha sekeras
mungkin untuk ngga melakukannya, tapi toh kami berdua sama-sana sadar satu hak.
Adrian betul-betul jatuh cinta kepada Freya.
Seberapa keras pun aku berusaha melupakannya, berpura-pura nggak terjadi apa-apa, tetap
aja itu nggak mengubah kenyataan.
"Hei." Napas Adrian menggelitik telingaku begitu dia melingkarkan tangan di pinggangku.
Seragam putihnya sudah berubah menjadi campuran warna abstrak dengan coretan cakar
ayam warna hitam. Aku menangkap tulisan friends forever di sudut lengan, nomor telepon di
ujung kerah, dan beberapa tulisan kacau lain yang nggak terbaca. Aku mengambil spidol
merah, menggambarkan hati mungil di bagian dada, dan menuliskan namaku di sana.
Jadi aku akan selalu ada di hati kamu.
Kubiarkandia menggenggam tanganku, tersenyum, menangis, tertawa, semuanya. Mulai hari
ini, kami bukan murid SMU lagi. Kami akan meneruskan hidup masing-masing, terpisah,
mungkin jarang atau bahkan nggak ketemu lagi.
"Hei, kok nangis, sih." Adrian mengusap air mataku, lembut. "Kita kan bukannya nggak bisa
ketemu lagi." Aku masih sesenggukan. "Iya... tapi aku kan nggak bisa liat kamu main basket di lapangan
ini. Nggak bisa makan siang bareng di tangga. Nggak bisa pacaran di kebun belakang
sekolah, ngumpet-ngumpet biar nggak ketahuan." Loker yang kami bagi selama tiga tahun.
Pernyataan cinta. Semua. Semua.
Adrian menyentil ujung hidungku sambil terkekeh. "Tapi, kita masih bisa pergi bareng.
Melukis bareng. Makan di Kedai Cumi bareng."
Aku memandangnya lekat-lekat, merasa seperti anak kecil yang butuh diyakinkan. Benarkah"
"Kita bakal kayak gini terus, kan, Yan?"
Adrian mempererat pelukannya. "Kamu ngomong apa sih, Sayang?"
Iya, kan" Dia mengangguk. Untuk sekarang, hanya jawaban itu yang aku butuhkan.
*** ERIK POV Anggia tersenyum ketika melihat gue berjalan menghampirinya.
"Hai, Erik! Selamat atas kelulusannya. :Tanpa diminta, dia mencoretkan namanya di atas
seragamku dengan spidol pink di tangannya
Untuk beberapa saat, kami berbasa-basi tentang universitas, jurusan, nilai, liburan... tapi
semua itu nggak penting. Hanya ada satu hal yang ingin gue tanyakan.
"Lo bahagia, Nggi?"
Dia tercenung, nggak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut gue. Mungkin juga, nggak
ada yang pernah menanyakan hal itu kepadanya. Dan, dia sendiri belum pernah benar-benar
memikirkannya. Lama, sampai dia akhirnya tersenyum tipis. "Gue bahagia."
"Walau lo nggak sahabatan sama Freya lagi?"
Ekspresi wajahnya berubah. "Gue belum siap ketemu Freya lagi," dia mengaku. "Mungkin
gue jahat, tapi...."
Gue tunggu dia sampai menyelesaikan kalimatnya, tapi dia nggak bisa melanjutkan. "Walau
Adrian nggak sepenuhnya menyayangi lo?"
Lagi-lagi, dia mengangguk dengan senyum sedih menghiasi wajahnya. "Ya. Gue masih ingin
berharap." Reality check. Lo butuh kenyataan, Nggi, bukan fairy tale yang selalu berahir indah. Ini
hidup, Nggi. Gue bukannya mau bikin lo bingung, tapi.....
"Gue sayang lo."
Pernyataan barusan jujur, dari hati. Lama, gue menganggap rasa suka utuknya hanya sekedar
naksir cewek cakep dari kelas sebelah. Gue kira, perasaan gue untuk dia sedangkal jumlah
percakapan yang kami miliki bersama. Gue kira, gue hanya sebatas suka melihat senyumnya,
wajahnya yang imut, sikapnya yang ramah.
Namun, hari ini gue sadar, perasaan gue untuk dia ternyata lebih dari semua itu. Lebih dari
sayang yang gue sangka gue ingin melindungi dia. Gue sayang dia-apa pun yang telah terjadi.
Dan kalau gue nggak ngomong sekarang, selamanya gue akan menyesal.
Anggia menatap gue. Sedih. "Maaf ya, Erik. Gue nggak bisa terima perasaan lo."
"Gue nggak berharap perasaan gue diterima."
Dia terhenyak, bingung. "Gua hanya ingin lo bahagia... dengan semua pilihan lo. Apa pun kondisinya."
Cinta itu nggak memiliki, Nggi. Begitu pula dengan gue; walaupun sekarang rasanya sakit.
*** [Epilog] ANGGIA POV Aku membalas lambaian Adrian yang kelihatan agak mabuk akibat alkohol yang kami
tenggak malam itu, lalu menutup jendela mobil. Pricilla masih merokok di sampingku, duduk
di balik setir dengan tenang dan nggak tampak mabuk sekali pun. Kami baru saja merayakan
pertunagan Pricilla dengan kekasihnya Kenneth.
Pricilla adalah teman baikku di London. Nggak terasa, udah dua tahun berlalu sejak kami
semua lulus SMU. Aku melanjutkan kuliah di bidang seni atas rekomendasi kenalan Papa di
London, sedangkan Adrian menyusulku ke sini walau dia mengambil jurusan yang berbeda.
Mungkin, kami berdua menganggap London sebagai tempat yang sempurna untuk melupakan
apa yang terjadi di kala SMU, tetapi kurasa... sebenarnya akulah yang sedang melarikan diri.
"Adrian seems a little strained." Pricilla membuka pembicaraan.
"He"s just a little tipsy." Aku memberi alasan.
Pricilla mengembuskan asap rokoknya. "No, I mean, he seems like he has a lot in mind."
Kini, giliranku menghela napas. Dia tahu sekilas cerita waktu SMU dulu, tapi nggak
seluruhnya. "To be honest." Aku mengakui kepada Pricilla, "I don"t think he still loves me."
"You mean he"s still in love with that girl, what"s her name... Freya?"
Nama yang disebut Pricilla membuatku kurang nyaman. Sampai sekarang, aku dan Freya
putus hubungan. Hilang kontak. Waktu kelulusan, aku pulang sebelum dia sempat bicara
denganku. Aku menghindarinya, terus dan terus, seperti berlari dalam lingkaran. Dan kini,
aku enggan menjawab pertanyaan Pricilla.
"I gave up everything for Adrian. Do you have any idea how that feels?"
Pricilla diam saja mendengarnya, masih terus menyetir. Ketika berhenti di lampu merah, dia
berpaling kepadaku dan bertanya, "Did you regret it?"
"Menyesal?" Aku bertanya balik, lalu menggeleng. "Of course not."
Pricilla tersenyum. "Then why are you acting as if you"re a victim"
Aku terdiam, berusaha mencerna kalimatnya baik-baik.
"When you make decisions, you deal with consequences. Kamu memberikan segalanya untuk
Adrian dengan tulus, jadi jangan mengharapkan timbal baliknya. Don"t blame it on him.
Don"t expect anything in return."
"I guess I just can"t live without him." Aku menutup wajah dengan telapak tangan, kembali
teringat Adrian dan Freya. Apakah sebenarnya mereka yang jadi korban" Korban
keegoisanku yang mencoba mengikat Adrian dengan segala cara, hanya supaya dia tetap ada
di sisiku" Pricilla membunyikan klakson sekali. "Being able to live with or without someone is just a
matter of perspective," ujarnya bijak, dan lagi-lagi aku terhenyak.
"Kalau kamu dan Kenneth berpisah sekarang, is it going to be alright for you?" Aku ingin
tahu. Pricilla menyentuh lenganku dengan ujung jemarinya yang dingin. "Anggia, as women, we
need to protect ourselves from getting hurt. But sometimes hurt is inevitable that we just have
to deal with it." Kali ini, Pricilla nggak berkata lebih lanjut, membiarkanku tenggelam dalam bau asap rokok
yang menyesakkan, dan seribu satu pikiran yang menyatu. Sebenarnya selama ini, aku
berjuang untuk kebahagiaan siapa" Kebahagiaan Adrian, atau kebahagiaanku sendiri"
*** FREYA POV Aku mengangkat telepon yang sejak tadi berdering, tergesa sambil mengetik tugas kuliah
untuk besok. Sudah hampir pukul sepuluh malam, dan tugas itu bahkan belum selesai
setengahnya. "Halo?" Tidak ada jawaban. "Halo?" Aku mengulang, mulai tak sabar.
"Freya?" Aku hampir menjatuhkan gagang telepon, saking terkejutnya. Suara itu sudah terlalu lama tak
kudengar, tapi masih kukenal dengan baik.
"Anggia?" "Betul!" Suara itu terdengar ceria. Bahagia. "Apa kabar?"
"... Baik," jawabku, terbata.
Hening. Di ujung sana, Anggia terdengar seperti sedang menggigit-gigit ujung pensil,
kebiasaannya jika sedang gugup, seakan dia menyesal telah menelepon. Akhirnya, dia
Remember When Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali bicara. "Denger-denger, sekarang lo kuliah di kedokteran."
"Ya," aku menjawab, sama gugupnya. "Moses juga."
"Oh." Sudah dua tahun berlalu sejak kelulusan SMU. Aku dan Moses masuk jurusan kedokteran;
kami berdua dibekali dengan beasiswa penuh karena nilai yang mendekati sempurna.
Sekarang, kami sering berangkat ke kampus bersama, mengerjakan tugas bareng, seperti
sahabat dekat. Aku sudah jarang bertemu dengan Erik, tapi cowok yang satu itu memilih jurusan Teknik
Industri di sebuah universitas swasta. Kadang, kami berdua masih mampir ke sekolah lama
untuk sekedar makan pisang goreng dan minum es cokelat.
Aku sudah tidak pernah lagi melihat Anggia dan Adrian sejak hari kelulusan, dan ketika aku
akhirnya menguatkan hati untuk mengunjungi rumah anggia, Mama Anggia memberi tahu
bahwa Anggia sudah pindah ke Inggris. Sampai sekarang aku masih menyesal tidak
mengunjunginya lebih awal, untuk meminta maaf.
Katanya, Anggia telah pergi ke London, masuk universitas kesenian di sana untuk belajar
seni lukis. Adrian, yang menyusulnya, dikabarkan sedang menuntut ilmu di bidang bisnis.
Apakah sekarang dia masih sering bermain basket"
Pikiran itu menguap begitu saja, segera kutandaskan jauh-jauh.
"Gimana kuliah di sana?" Aku membuka percakapan.
Anggia mendesah. "Berat. Udah masuk semester empat, dan kami semua harus bikin lukisan
untuk exhibition awal tahun depan, hasilnya dinilai pula."
Aku tersenyum, rindu dengan Anggia yang biasanya bercerita tanpa henti. "Lo
kedengerannya bahagia."
Anggia tak menjawab, seolah tahu ada sesuatu yang ingin kutanyakaan, tapi tak berani
kuucapkan. "Adrian baik-baik aja, kalau itu yang ingin lo tanyakan," katanya.
Aku terdiam. Teringat akan kejadian dua tahun lalu, keputusan yang akhirnya membuat
Anggia dan Adrian pindah ke London tanpa melihat ke belakang lagi.
"Lo masih sayang Adrian, Freya?"
Aku tertawa gugup, seketika melupakan tugas yang masih terbengkalai. "Lo telepon untuk
nanyain gue ini?" "Gue telepon untuk minta maaf."
Aku memijat kening, tiba-tiba merasa sangat lelah. "Gue yang salah, Nggi."
"Gue yang minta maaf... karena ngejauhin lo begitu aja."
"Gue yang salah," ulangku lagi.
"Kenapa waktu itu lo nggak bilang kalo lo sayang dia, Freya" Kenapa waktu itu lo harus
bohong?" "Karena lo sahabat gue, Nggi. Gue rela kehilangan yang lain, daripada gue harus kehilangan
lo." Di ujung telepon, Anggia tidak bisa menahan air mata yang jatuh. Hatiku sakit mendengar
isakannya. Teringat segalanya yang telah terjadi; bahkan setelah dua tahun rasa sakit itu
masih membekas. Mengapa setelah semuanya berlalu, hatiku masih perih saat mengingatnya"
"Lo tau kenapa gue marah" Gue marah karena lo nggak jujur sama gue." Anggia melanjutkan
dengan suara parau. "Gue kecewa. Bahkan sampai sekarang pun lo nggak pernah mau bilang
yang sejujurya, apa yang lo rasain...."
"Gue nggak bisa."
"Adrian masih sayang sama lo." Akhirnya, Anggia berkata. "Dia akan balik ke Jakarta hari
Kamis. Dia sampai di bandara pukul tujuh pagi. Kalau lo masih sayang sama dia, tolong
temuin dia. Sampaikan semua yang ingin lo katakan.. yang nggak pernah lo sampaikan dua
tahun lalu." "Gue nggak punya apa-apa untuk disampaikan ke Adrian." Aku sudah tidak ingin berharap.
Tidak ingin mengulang apa yang sudah lewat. Semuanya sudah berlalu.
"If you can"t do it for me, at least do it for yourself, Freya. Jangan ada kata sesal." Nada
Anggia melembut. "Gue putus sama Adrian. Cuma ini yang bisa gue lakukan untuk lo."
Sebelum koneksi telepon tersebut terputus, Anggia sempat bertanya. "Kita tetap teman, kan,
Freya?" Aku mengiyakan, lalu menelungkupkan kepala di atas meja dan menangis.
*** ADRIAN POV She"s out of my life
I don"t know wheter to laugh or cry
-Josh Groban, She"s Out of My Life*** Bermalam di pesawat sangat melelahkan. Gue berusaha tertidur dalam posisi duduk yang
sangat nggak nyaman, berimpitan dengan penumpang lain yang tidur dan mendengkur
seenaknya. Gue berusaha membaca majalah, tapi mata gue pedih karena lelah dan remang
cahaya lampu kuning yang disediakan di cabin. Gue memejamkan mata, dan teringat Freya.
Entah di mana dia sekarang. Terakhir kali, gue mendengar kabar dari Deva kalau Freya dan
Moses kuliah di tempat yang sama. Waktu itu gue sempat ngerasa khawatir, apakah mereka
pacaran lagi" Kini, Freya adalah halaman Facebook yang jarang di-update. Gue sering me-refresh
halamannya, sekedar berharap ada posting baru yang mengabarkan keadaannya, tapi nihil.
Gue juga teringat Anggia. Beberapa hari yang lalu, dia mengajak gue ke sebuah pasar malam.
Kami berdua memandang kembang api yang meledak-ledak di langit, dan dia memeluk gue
erat, seolah kami nggak akan ketemu lagi. Hari itu, dia bilang, dia ingin kita berdua jujur
pada perasaan masing-masing.
"Kamu nggak usah bilang apa-apa... aku udah tahu. Maaf ya, Yan, selama ini aku tahu tapi
pura-pura nggak tahu."
Dia tahu gue sering pura-pura nggak dengar ketika nama Freya disebut. Dia tahu gue purapura tegar, pura-pura mencintai, pura-pura bahagia.
Gue ingin memberikan argumen, ingin memenangkan hatinya, seperti yang selalu gue
lakukan beberapa tahun ini. Namun, dia terlalu mengenal gue. Tatapannya seakan melucuti
kebohongan gue satu-persatu.
"Kalau kita putus, kita tetap akan jadi sahabat baik, kan" Kita nggak akan pura-pura nggak
kenal kalau berpapasan, kita nggak akan saling lupa... ya kan?"
Gue bisa melihat luka dikilatan matanya ketika mengucapkan semua itu. Dan gue hanya bisa
mengangguk lemah. Dia berdiri di samping gue, menangis tanpa suara. Bahasa tubuhnya
menunjukkan dia nggak ingin disentuh.
"Kita putus, ya." Dia memaksakan diri untuk tersenyum di balik air matanya. "Aku mau
relain... kamu dan Freya. Asal kamu janji akan bahagia."
"Maaf, Anggia." Untuk semua yang sudah terjadi. Untuk janji-janji yang nggak gue penuhi.
Permintaan terakhirnya adalah supaya gue menemaninya malam itu, menonton kembang api
yag menari-nari di langit.
Anggia bilang, dia lega udah menyampaikan apa yang sejak dulu ingin dikatakannya, sesuatu
yang seharusnya disampaikannya, tapi nggak pernah dilakukannya karena nggak punya
cukup keberanian. Dia bilang, dia ingin berdamai, dengan Freya dan dengan dirinya sendiri.
Dia bilang, setiap akhir adalah sebuah permulaan yang baru. Sometimes things fall apart so
other things can come into place.
Dan, gue memercayainya. *** MOSES POV Aku sedang mengetik bahan untuk makalah ketika sebuah pesan singkat muncul di layar
komputerku. Aku membaca pesan itu, dari Adrian.
Mos, Anggia putusin gue. Pesan itu membuatku lega. Akhirnya, Anggia menentukan pilihannya, setelah sekian tahun
bersama seseorang yang dia tahu tidak bisa mencintainya. Aku pun mengetik balasannya.
Jadi" Langkah selanjutnya apa"
Adrian mengetik jawabannya dengan cepat.
Gue bakal balik ke Jakarta dalam waktu dekat ini.
Aku menarik napas. Untuk Freya" Adrian tidak menjawab lagi setelah itu. Aku berhenti mengetik dan menunggu. Selama ini,
Freya memang terlihat baik-baik saja. Namun, dia tampak antusias setiap kali mendengar
ceritaku mengenai Anggia dan Adrian, yang kudapatkan dari e-mail e-mail pendek Adrian
yang sesekali menyambangi inbox-ku. Selama ini sudah ada beberapa lelaki yang berusaha
mendekatinya, tapi tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Semua itu membuatku
percaya, dia masih menyimpan rasa untuk Adrian.
Kembalilah untuk Freya. Aku mengetik kalimat itu.
Anehnya, aku benar-benar berharap Adrian akan kembali untuk Freya.
Sudah terlalu lama senyum tidak terukir di wajahnya.
*** FREYA POV Pagi ini, aku bangun dengan malas-malasan. Masih pukul enam pagi, tapi pintu kamarku
sudah digedor-gedor. Aku membuka pintu dalam keadaan setengah siap, muka penuh sabun
cuci muka dan rambut berantakan.
Moses dan Erik sudah berdiri di ambang pintu, tidak sabar.
"Ada apa sih pagi-pagi?" gerutuku. "Hari ini kan gue naik bus ke kampus."
"Nggak usah, gue anterin," tukas Erik. "Kok belum siap, sih" Udah jam berapa nih?"
Aku menunjuk jarum jam yang merangkak lambat. "Baru pukul enam lewat lima menit! Hari
ini kan kita kuliah siang, Mos?"
Moses mengangkat bahu. "Dosen tadi SMS, bilang jadwal mendadak diganti jadi pukul
tujuh." Hah" Sebagai asisten dosen, Moses memang selalu mendapat info terbaru, termasuk
mengenai perubahan jadwal kuliah. Tapi, kenapa dia tidak meberi tahu aku lebih awal" Aku
buru-buru mencuci muka, menyikat rambut seadanya dan menyambar tas. Kamu berlari kecil
ke arah mobil, tapi aku baru menyadari satu hal ganjil dari seluruh setting ini.
"Terus ngapain Erik ikut?" Kulirik dia dengan curiga.
"Hari ini gue nggak kuliah. Boleh dong, gue ikutan?"
Moses tersenyum simpul, membenarkan perkataan tersebut. Erik menyetir cepat, masuk tol
dan tidak berhenti. "Eh, Rik, lo salah jalan. Ini bukan arah ke kampus...." Erik diam saja, masih memandu mobil.
Moses juga tidak berkomentar.
Dan tiba-tiba aku sadar, apa yang sedang mereka lakukan. Mereka sedang berkomplot
membawaku ke bandara untuk menjemput Adrian yang hari ini pulang ke Jakarta. Hari itu,
aku sudah memutuskan untuk melepaskan Adrian. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa
aku akan melupakannya, bahwa dia selamanya hanya akan menjadi bagian dari lembaram
buku masa laluku. Aku tidak akan membiarkan diriku terjerumus lagi. Demi Anggia, dan
demi diriku sendiri. "Kalau kalian mau jemput Adrian, lebih baik turunin gue di sini. Biar gue pulang naik taksi."
"Lo harus ikut turun." Erik menyahut, tegas.
"Temuin Adrian, Freya. Sekali ini aja." Moses meminta dengan tenang, tangannya di bahuku.
"Buat apa?" "Menyelesaikan semuanya." Jawaban Moses singkat, dan Erik setuju dalam diam.
Mobil berhenti di area parkir bandara. Moses dan Erik menuntunku masuk. Aku tidak ingin
masuk, tapi sesuatu membuatku terus berjalan masuk, mencari-cari sosok seseorang. Aku
memandang kerumunan penumpang pesawat yang baru lepas landas dari London, tanganku
berketingat karena gugup.
Perasaanku tidak menentu. Aku tidak siap bertemu Adrian, tidak siap ada di sini. Aku tidak
punya apa pun untuk disampaikan padanya, hanya ingin memintanya menjaga Anggia baikbaik, jangan sampai Anggia menangis lagi. Tidak apa-apa, asal Anggia bahgia....
Namun, suara kecil dalam hatiku mengatakan, aku sangat ingin bertemu dengannya..
Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihatnya keluar dari gerbang. Dia masih jangkung
seperti dulu, bahkan lebih tinggi dari yang terakhir kuingat. Rambutnya kecokelatan, agak
panjang menutupi telinga. Senyumnya masih sama. Dia masih seperti dulu.
Senyum membeku di wajahnya ketika dia melihat Moses. Lalu Erik. Lalu menyapukan
pandangan kepadaku. Aku berdiri di tengah bandara yang ramai sesak dengan orang, manusia yang melambaikan
selamat tinggal, dan orang-orang yang baru saja bertemu kembali. Pikiranku kosong, seribu
satu hal yang tadinya kupikirkan mendadak lenyap. Sudah bertahun-tahun kuyakinkan diri
sendiri bahwa aku telah melupakan pria ini, tetapi begitu dia muncul, aku menyangkal semua
pernyataan itu dalam hati. Aku masih menyayanginya.
"Freya." Suara itu. Aku merindukannya. Tanpa terasa, air mata menetes, bulir bening mengalir di pipiku tanpa
dapat kuhentikan. "Selama ini..., kamu baik-baik saja?"
Ada berapa banyak hal yang belum sempat aku sampaikan, Adrian"
Dia menatapku, seakan menunggu jawaban, tapi tak sepatah pun keluar dari mulutku.
Kupejamkan mata, teringat ucapan Anggia-jangan sampai ada sesal lagi, Freya, dan
kurasakan dorongan pelan Moses di pundakku membawaku selangkah lebih dekat kepada
Adrian-bentuk dukungannya sebagai seorang sahabat.
Yang perlu kulakukan adalah merapatkan jarak di antara kami. Mencari keberanian itu,
mengambil kesempatan itu, mengucapkan tiga kata itu. Namun, aku justru diam terpaku, tak
sanggup berkata maupun berbuat apa-apa.
Sudah dua tahun kita terlambat, Adrian. Masihkah kita punya kesempatan untuk
memperbaikinya" "Mungkin udah terlambat untuk aku buat ngomong ini, tapi aku sayang kamu, Freya."
Aku juga sayang kamu. "Maaf, waktu itu aku nggak cukup kuat untuk melindungi kita semua. Untuk melindungi
Anggia, Moses, dan kamu."
Maaf, karena aku yang terlebih dulu melepaskan kamu.
Ketika dia memelukku, aku tidak cukup kuat untuk menolaknya. Tidak cukup kuat untuk
membohongi diri sendiri bahwa selama ini dia tidak berarti apa-apa untukku. Aku terisak di
balik pelukannya yang hangat, menemukan satu-satunya hal yang selama ini kami cari.
"Jangan pergi lagi."
Hanya itu jawaban yang dapat kuberikan padanya. Namun, jawaban itu ternyata cukup
untuknya karena dia mengangguk dan mempererat pelukannya.
Ada suatu saat kita tidak dapat memilih yang terbaik. Ada suatu saat di mana kita berbuat
kesalahan, dan hidup dalam kenangan penuh penyesalan. Tapi saat ini, aku hanya ingin
mengikuti kata hati-ke mana pun ia membawaku.
Dan kali ini, ia membawaku menuju cinta.
*** Senja Jatuh Di Pajajaran 4 Lima Sekawan Melacak Topeng Hitam Naga Berkepala Empat 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama