Ceritasilat Novel Online

Semoga Bunda Disayang Allah 4

Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye Bagian 4


Tadi menghabiskan waktu di kamarnya menulis di kertas-kertas. Menumpuknya. Sudah sebelas senti tingginya sekarang. Bunda sempat bergabung sebentar dengan Salamah, Mang Jeje dan pembantu lainnya yang berkumpul di ruang belakang sebelum ke kamar Melati. Bertanya tentang keperluan rumah, masalah, dan sebagainya. Salamah, Mang Jeje dan pembantu lainnya sedang asyik membicarakan festival kembang api minggu depan. Salamah selalu semangat setiap kali bicara soal festival kembang api tersebut. Ikut berbincang sebentar, lantas Bunda naik ke lantai dua. "Boneka yang in-dah.... Terima-kasih sudah memberikannya pada Melati, anakku!" Bunda mengusap pipinya. Terharu. Tidak sengaja ikut mendengarkan kalimat-kalimat Karang. Karang mengangguk pelan. Menyilahkan Bunda masuk. Jadwal kunjungan malamnya. Bunda
melangkah mendekat, tapi ia tidak langsung menyelimuti Melati, memastikan putri kecil-nya sudah tidur seperti biasanya. Bunda justru duduk di tepi-tepi ranjang. Menatap lamat-lamat Karang. "Maukah kau menceritakannya padaku...." Bunda berkata lembut, menyentuh lengan Karang penuh penghargaan.
Karang mengangkat wajahnya. Cerita apa" "Kanak-kanak yang lumpuh-layu itu...." Tersenyum. Karang mengusap rambut gondrongnya. Diam sejenak. Berpikir. Menggeleng sopan. Entahlah, dia tidak tahu apakah ingin bercerita tentang itu atau tidak malam ini. Entahlah, apakah dia ingin berbagi cerita itu kepada seseorang. Mungkin akan disimpannya sendiri selamanya. Lumpuh-layu" Bunda menyebutkannya" Bagaimana ia tahu" Itu pasti karena Kinasih yang cerita. Wajah Karang memerah, sekelbat wajah cantik berkerudung lembut itu lewat lagi.
Bunda mengangguk melihat gelengan itu. Tidak apa-apa. Hening beberapa detik. Bunda membalik badannya, menyelimuti Melati. Gadis kecil itu sudah hampir jatuh tertidur, jadi tidak berontak marah seperti biasanya kalau tahu ia diselimuti. Merapikan bantal-bantal di bawah kaki Melati. "Umurnya juga enam tahun waktu itu, Nyonya...." Karang tiba-tiba berkata pelan, hatinya yang sedang terbuka akhirnya menuntunnya untuk bercerita. Setelah berpikir sejenak, mungkin tak ada saiahnya, itu bisa menjadi simbol penerimaan berikutnya. Mungkin tak ada salahnya berbagi,
bukankah Bunda HK selalu menghargainya. Bunda menoleh, tersenyum, bersiap mendengarkan. "Qintan seperti Melati, Nyonya. Wajah menggemaskan. Seringainya. Tatapan matanya. Kerut wajahnya.... Qintan penuh rasa ingin-tahu. Setiap detik selalu berisik bertanya. 'Kenapa malam gelap, Kak Karang"' 'Kenapa ayam kakinya dua"' 'Kenapa Kak Karang suka pakai sweater hitam"' Dan kenapa-kenapa lainnya...." Karang tersenyum. Wajah Qintan seperti terukir di udara. "Rambutnya lurus hitam legam sehitam matanya.... Giginya kecil-kecil seperti gigi Melati. Bedanya, gigi Qintan tanggai satu, lucu sekali melihatnya.... Ia amat suka mendengar cerita. Suka nyeletuk. Sok-dewasa. Suka sok-ngatur teman-temannya. Dan pandai sekali menipu, ah, tukang jahil...." Karang tertawa kecil.
"Aku mengenalnya saat ia berumur tiga tahun. Ditelantarkan panti asuhan yang merawatnya. Karena, karena kanak-kanak itu cacat. Amat merepotkan.... Ia tinggal di Taman Bacaan pertama yang kami bangun. Meski kecil, ia punya kamar sendiri. Malah mengatur sendiri perabotannya, ia suka dengan warna biru.
"Qintan anak yang aktif, selalu bergerak kemana-mana meski kedua kakinya mulai dari lutut hingga ujung jari lumpuh. Sempurna lumpu-layu.... Kaki-kaki itu sebenarnya terlihat normal. Hanya sedikit lebih kecil karena tidak pernah digerakkan. Menurut dokter, syaraf-syaraf motoriknya terjepit. Membuat gadis kecil itu tidak bisa melangkah meski
hanya untuk menggerakkan jempol kakinya.
Qintan memakai dua tongkat di ketiak. Suara tongkatnya amat khas. Karena Qintan suka menggerakkannya berirama saat berjalan. Anak itu kreatif. Amat lateral.... Dan ia suka bernyanyi, meski suaranya cempreng. Berisik. Suka mengejar capung di halaman Taman Bacaan meski geraknya lamban dan sering jatuh berdebam...." Karang tertawa kecil lagi, mengusap rambut gondrongnya. Diam sejenak. Matanya sempurna mengukir kembali kenangan itu.
Seperti bisa melihat Qintan yang berlarian mengejar capung. Qintan yang sibuk bikin gaduh di kelas bercerita. Qintan yang bernyanyi di teras atas, tidak peduli meski disuruh kakak-kakak relawan diam. "Dan kau membuatnya bisa beiari...." Bunda tersenyum, berkata pelan, memecah senyap. Karang menggeleng, "Tidak. Aku tidak pernah membuatnya bisa berlari, Nyonya....
Keinginannya-lah yang membuatnya bisa berlari. Aku hanya bercerita tentang banyak hal. Membuatnya mengerti tentang makna berusaha. Proses belajar. Mimpi-mimpi. Cita-cita.... "Hingga suatu malam kanak-kanak itu memegang lenganku, memotong ceritaku tentang kanak-kanak yang cacat sepertinya, Qintan menatap wajahku lamat-lamat, lantas berkata dengan suara serak tapi sungguh menggetarkan, 'Qintan akan berlari.... Qintan akan beriari seperti dia, Kak Karang... seperti cerita Kak. Karang!' Ya Tuhan, wajahnya bercahaya oleh keinginan yang kuat, wajahnya
seperti bercahaya saat mengatakan kalimat itu.... Dan kanak-kanak itu sungguh selalu melakukan apa yang ia ucapkan....
"Esok paginya, ia melepas tongkatnya. Merangkak turun dari lantai dua. Merangkak ke mana saja. Ya Tuhan, aku bahkan menangis saat melihat ia pertama kali merangkak turun dari kamarnya.... Gadis kecil itu sengaja menyembunyikan sendiri tongkatnya. Ia belajar berdiri. Jatuh berkali-kali tak terhitung. Ia belajar melangkah. Tak peduli meski tubuhnya penuh lecet. Ia memaksa syaraf-syaraf itu kembali bekerja. Ia memaksa syaraf-syarafnya bekerja keras. Benar-benar mengharukan.... "Umurnya baru enam tahun. Nyonya, tapi Qintan sungguh mengerti dan bangga atas sebuah proses belajar.... Ia mengerti benar tentang makna kata mimpi-mimpi. Cita-cita. Pengharapan. Membuat seluruh relawan di Taman Bacaan terpesona. Ya Tuhan, mengharukan sekaii melihatnya belajar berjalan.
"Andaikata kejadian itu tidak pernah terjadi, andaikata takdir kejam itu tidak pernah terjadi, Qintan bahkan bisa melakukan hal yang lebih hebat dari itu, Nyonya.... Aku tahu itu. Aku tahu sekali itu. Lihatlah, enam bulan sejak cerita itu, Qintan tersenyum sumringah pamer kalau ia sudah bisa berjalan mengelilingi ruang baca, masih sering jatuh, masih sambil memegangi dinding, tapi ia tertawa riang bersama tepuk-tangan anak-anak yang menyemangatinya.
"Aku tidak pernah membuatnya bisa berlari, Nyonya.
Ti-dak per-nah.... Keinginannya-lah yang membuat Qintan bisa berlari.... Keinginannya-lah yang membuat Qintan bisa berlari...."
Diam sejenak. Kamar biru itu lengang lagi. Karang mendongak menatap langit-langit kamar. Dia tidak ingin Bunda HK melihatnya menangis. Qintan, yatim-piatu yang bahkan tidak pernah melihat wajah Ayah-Ibu-nya. Belajar memaknai hidup dan kehidupan. Kehadirannya membuat seluruh Taman Bacaan seperti bercahaya. Tapi mengapa Engkau tega sekali ya Allah, tega merenggutnya dengan cepat. Melalui kejadian yang amat menyakitkan pula. Apakah hidup ini adil" Karang tergugu pelan. Ya, hidup ini selalu adil. Kami-lah yang terlalu bebal, terlalu bodoh untuk mengerti. Bagaimana mungkin urusan ini tidak, adil" Lihatlah, tanggal kejadian tenggelamnya perahu itu sama persis dengan tanggal kejadian saat Melati terkena lemparan piringan terbang, brisbee. Tanggal lahir Qintan sama persis dengan tanggal lahir Melati. Hanya dibedakan oleh tiga tahun. Entah apa maksud-Mu atas semua kebetulan-kebetulan itu.... Bunda tersenyum mengangguk, menyentuh lembut lengan Karang, memotong keheningan kamar, "Ya.... Kau benar. Keinginannyalah yang membuat Qintan bisa berlari. Keinginan yang kuat.... "Sudah larut, kau seharusnya juga tidur, anakku! Matamu merah kurang tidur, bukan" Suaramu juga serak. Lenganmu sedikit terasa panas. Kau sakit" Apa perlu besok aku panggilkan Kinasih?" Karang terbatuk. Seketika memerah mukanya!
Tarian Aurora Hari ke-19. Tiga hari lagi berlalu sejak Karang memberikan boneka panda milik Qintan kepada Melati. Antusiasme Karang tumbuh tak berbilang. Tiga hari terakhir Karang melakukan apa saja untuk mencari tahu caranya! Waktunya semakin sempit. Dia kembali menemani Melati. Menggunakan seluruh pengetahuan dari buku-buku itu, catatan-catatan itu. Mengajari Melati tentang benda-benda. Berteriak-teriak setiap kali Melati melempar benda benda tersebut. Memaksa mencengkeram keramik, merasakan bentuknya, menyebut namanya. Sayang, gadis kecil itu seperti biasa berontak marah. Ia jelas tidak suka dipegang-pegang. Tidak suka disuruh-suruh. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar cepat. Rambut ikalnya bergerak gerak seiring dengus nafasnya. Mulutnya menggerung kencang. Melawan. Kakinya menghentak hentak lantai. Dan dalam sekejap berusaha mengibaskan tangan Karang. Berusaha melempar setiap benda. Bahkan Melati tega melempar boneka panda itu.
"KAU TIDAK BOLEH MELEMPARNYA!"
"BAAAA.... BAAAA!" Melati tak kalah galak ikut
berteriak. "KAU TIDAK-" Melati sudah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Karang. Berlari sedikit terhuyung. Perban di kakinya sudah dilepas kemarin. Jadi ia lebih leluasa untuk lari. Tangannya terjulur ke depan, seperti moncong musang mencari semut di dalam lubang, bergerak meraba-raba udara. Berusaha kabur. "KEMBALI!" Karang menghardik. "BAAA-"
"KAU MAU KEMANA?"
"BAAA.... BAAA!!" Melati tidak peduli. Sama tidak pedulinya kalau ia jatuh terduduk tersandung entahlah. Gadis kecil itu bangkit dengan cepat, meringis, lantas berlari lagi.
Tiga hari terakhir Karang mengumpulkan benda apa saja. Mulai dari yang lembut, kasar, tajam, tumpul, besar, kecil, apa saja. Dia ingin kanak-kanak itu mengenali teksturnya, bentuknya. Memaksa Melati menyebut 'nama'-nya. Karang memaksa syaraf, panca indera, perasaan, apapun itu namanya yang masih tersisa di kepala dan seluruh tubuh Melati untuk bekerja keras.
Sayang. Sejauh ini semua terlihat sia-sia. Percuma! Kanak-kanak itu memang mengenali tekstur dan bentuk benda-benda yang diberikan padanya. Tapi tetap ia tidak tahu. Tidak mengerti sedikit pun benda-benda itu. Apa yang dipikirkan olehnya amat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh orang
yang bisa melihat atau mendengar penjelasan tentang benda itu.
Kalian bersepakat itu kursi! Kursi untuk duduk. Itu kursi plastik. Itu kursi kayu! Itu sofa empuk. Kalian punya kesempatan untuk menterjemahkan pengetahuan itu melalui mata. Kalau pun tidak, kalian berkesempatan mengetahuinya dari mendengar penjelasan, membaca buku, dan sebagainya. Menyimpan 'pengetahuan' itu dalam memori kepala. Lantas menggunakannya berkali-kali setiap melihat kursi. Itu kursi plastik, itu kursi kayu, itu kursi rotan (meski kalian tidak pernah melihat kursi dari rotan misalnya, kalian dengan segera bisa mengambil kesimpulan itu 'kursi' + 'rotan' saat melihat ada 'sebuah bentuk kursi' yang 'terbuat dari rotan').
Bedanya, Melati tidak punya cara untuk menterjemahkannya. Tidak punya cara untuk menyimpan di memori kepalanya. Apa yang ia pikirkan tentang benda-benda amat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Karang, Bunda, Salamah, dan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak punya cara untuk mengetahui kesepakatan orang-orang kalau benda itu adalah kursi (aksioma). Yang ia tahu, harus duduk di sana kalau mau makan. Sesederhana itu pemahamannya. Apalagi benda-benda yang lebih rumit.
"CARANYA! CARANYA!" Karang mendengus mengkal setiap kali Melati melempar benda-benda yang dipegangnya. Es mambo, agar-agar lembek, topi, buku, pensil tumpul, gagang telepon, gelang karet,
serbet, handuk, baskom, jam tangan, teko plastik, obeng, kabel, kawat, benang, boneka panda dan benda-benda lainnya.
"JANGAN DILEMPAR! JANGAN DILEMPAR!!!" "BAAAA...." Melati mendelik galak. Tidak peduli. "TIDAK BISAKAH KAU MENGERTI"!!!" "BAAA...." Melati berteriak tambah galak. Begitu saja tiga hari terakhir. Semakin memaksa Karang, tambah melawan Melati. Tak ubahnya seperti tikus dan kucing. Sibuk berkejaran di koridor kosong. Bedanya si tikus bisa berteriak kencang-kencang. Membuat rusuh seluruh rumah. Membuat terbang burung-burung gelatik di air mancur taman rumput. Membuat Salamah mengurut dada berkali-kali. Ber-istigfar tak kalah keras. Membuat Mang Jeje lupa mematikan keran air. Membuat Bunda tertunduk pelan di pembatas anak tanggal pualam. Berbisik tentang berlarik asa. Janji-janji kemudahan: bertahanlah, anakku.... bersabarlah. Kau harus memiliki keinginan yang kuat itu, sayangi Ke-i-ngi-nan yang ku-at.... Hari ke-19. Menjelang senja, Karang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan benda terakhir sekaligus terlarang. Dia tidak punya pilihan lain lagi. Maka Karang menyalakan lilin besar di atas meja. Sore ini dia terpaksa mencungkil kemampuan berkomunikasi Melati dengan api! Jika benda-benda yang bertekstur tidak ada gunanya, siapa tahu api bisa menghancurkan tembok penghalang itu. Siapa tahu api bisa menemukan caranya! Nyala lilin terlihat beriap-riap. Merah....
Tangan Melati seperti biasa setiap duduk di kursi plastiknya mulai terjulur meraba-raba ke depan. Ke atas meja kecil. Menyentuh benda itu. Karang menggigit bibir. Tegang. Berbisik ke langit-langit kamar. Kau harus tahu caranya.... Kau harus tahu caranya mengenal benda-benda, tahu caranya berkomunikasi, memiliki akses mengenal dunia dan seisinya.... Aku mohon, caranya! Caranya! Telapak tangan Melati yang imut perlahan menyentuh nyala api. Mukanya mengernyit. Berpikir cepat bagai desing peluru. Panas! Kali ini benda yang dipegangnya aneh sekali. Tidak berbentuk. Tapi terasa panas. Apa ya" Bagaimana cara memegangnya" Bagaimana cara melemparnya" Kan, nggak bisa dipegang" Jemari Melati bergerak-gerak. Seperti hendak meremas, Karang sedikit menurunkan posisi batang lilin agar tidak disentuh Melati.
Sedetik. Lima detik. Bosan memikirkannya. Melati malah acuh tak acuh membiarkan saja telapak tangannya di sana. Nyengir, meski dahinya mulai terlipat. Sakit. Panas. Nyala lilin mulai membuat merah telapak tangannya. Enam. Tujuh. Delapan detik....
Karang yang menyimak dengan wajah tegang, mendesis. Percuma. Ini semua sia-sia. Menyambar lilin itu dengan cepat. Tidak. Dia tidak akan membiarkan telapak tangan Melati terbakar. Sejengkel apapun dia, se-keras kepala apapun dia untuk menemukan caranya, dia tidak akan membiarkan kanak-kanak ini terluka lagi. Melati
sedikit pun tidak bereaksi seperti yang diharapkannya.
"BAAAA.... BAAAA!" Melati seperti tombol listrik yang ditekan, langsung menggerung marah. Berteriak kencang-kencang. Maksud teriakannya apalagi kalau bukan: mana benda yang tadi" Karang menggeleng. Mematikan nyala lilin. Menjauhkannya.
"BAAA.... BAAAA!" Melati berteriak lebih kencang. Menendang-nendang meja plastik di depannya. Mana benda yang aneh tadi"
Karang hanya menatap datar. Menggeleng. Membiarkan Melati mengamuk sesuka hatinya. Puas menendang-nendang meja dan menghentakkan kaki kanak-kanak itu mulai berjalan sembarang arah. Berteriak tambah kencang. Karang menghela nafas panjang untuk ke sekian kali. Membiarkan. Tidak mengejar. Dia justru menyeka dahi. Apakah tembok itu benar-benar tidak ada celahnya, ya Tuhan" Apakah sama sekaii tidak ada" Lantas di mana janji-janjiMu yang tergurat di kitab suci" Di mana janji-janji itu" Setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan" Di mana kemudahan urusan ini"
Matahari senja bersiap menghilang di balik barisan bukit. Langit terlihat Jingga sepanjang mata memandang. Hamparan lautan yang beriak tenang terlihat ikut Jingga. Juga gumpalan awan yang bagai kapas Jingga. Burung camar melenguh terbang pulang ke sarang. Disambut ciap riang anak-anak mereka yang belum pandai terbang. Benar-benar
siluet senja yang hebat. Dari lereng bukit ini, persawahan yang menguning, genteng cokelat atap-atap rumah penduduk, gedung-gedung mengkilat tinggi terlihat menawan. Melati sudah duduk di pojok koridor. Memeluk lutut. Setengah jam berlalu. Melati lelah berlari berkeliling. Lelah berteriak. Lelah memukul-mukul dinding. Kanak-kanak itu lelah. Seperti biasa kalau ia lelah, memutuskan duduk sendiri di pojok. Bukan. Bukan di bawah anak tangga pualam favoritnya selama ini. Rambut ikal mengombaknya luruh ke dahi. Baju terusan putih berendanya basah oleh keringat. Mata hitam biji buah lecinya berputar redup. "Baaa.... Maa.... M-a-a-a." Melati menggerung pelan. Ia mengkal. Ia sebal. Ia frustasi. Ia tidak mengerti. Gelap. Kosong. Hitam. Lengang. Jika kalian bisa melihat setengahnya saja apa yang sedang dirasakan oleh Melati, itu sudah cukup untuk membuat kalian sesak, sudah cukup membuat nafsu makan kalian hilang sepanjang hari. Karang yang sejak Melati ngamuk lilinnya diambil tadi hanya duduk menatap datar kelakuannya, beranjak mendekat. Menghela nafas, duduk di sebelah Melati. Ikut memeluk lutut. Meniru pose duduk Melati. Kecuali gerungan mulut dan tangan imut yang meraba-raba mengikuti guratan tekstur keramik.
"Satu hari lagi berlalu, sayang...." Karang berkata pelan, menatap langit-langit koridor. Cahaya matahari senja menerabas jendela kaca. Membentuk garis Jingga di lantai keramik. Padu
padan yang Indah. Terlihat memesona. "Baaaa.... M-a-a-a-a..." Melati 'menoleh' ke Karang. Inilah yang tidak pernah disadari Karang, gadis kecil itu empat minggu terakhir pelan tapi pasti belajar satu hal. Ia selalu menyadari kehadiran Karang. Entahlah bagaimana caranya, ia bisa merasakan di mana Karang berada (makanya ia selalu bisa kabur dari Karang). Wajahnya reflek selalu menghadap ke arah yang benar. Meski ia tidak bisa melihat Karang, meski ia tidak bisa mendengar suara Karang.
"Aku tahu, kau sama frustasinya denganku.... Sama sebalnya. Sama marahnya. Tapi kita tidak berboleh putus-asa, sayang. Tidak boleh!" Karang menelan ludah, terdiam sejenak.
"Aku tahu, tembok yang kita hadapi tinggi sekali. Tidak ada cara untuk melewatinya. Tidak ada celah. Sama sekali tidak. Kecuali dengan menghancurkannya berkeping-keping. Kau harus terus berjuang. Terus bersabar...." "Baaa.... M-a-a-a...." Melati menggerung lirih. "Ya Tuhan, apakah anak ini harus sendirian menerabas padang-onak berduri itu" Sendirian menaklukan hutan rimba penuh jurang menganga" Sendirian mengarungi samudera dalam yang penuh hiu dan gurita pemangsa?"
"M-a-a-a...." Entah mengapa, tiba-tiba kepala Melati luruh ke bahu Karang. Kanak-kanak itu terlampau lelah.
Karang mendesah. Lembut mendekap kepala Melati. Rambut ikal kanak-kanak itu mengenai wajah.
Menciuminya. Meski Melati jarang mandi, rambutnya wangi. Semerbak wangi kanak-kanak. Dan sekejap. Sekejap perasaan itu melompat ke kepala Karang. Bagai sentrum sejuta voltase.
Sempurna untuk ke kesekian kalinya Karang bisa berpikir, melihat, mendengar, merasakan persis seperti yang sekarang Melati rasakan. Dia sekarang juga melihat gelap itu. Dia menatap kosong. Hitam. Seperti berdiri sendirian di ruangan yang gelap total. Rasa ingin tahu itu. Energi besar yang tak kunjung terlepaskan. Sebal. Mengkal. Frustasi... dan, dan ke-rin-du-an.... Karang tercekat! Ini bentuk jenis perasaan baru yang ada di kepala kanak-kanak ini.
Gadis kecil ini rindu. Rindu mengenal siapa saja. Ayah. Ibu. Teman. Karang menggigit bibir. Ya Tuhan, dulu dia juga amat rindu. Rindu pada Ayah-Ibu yang tidak pernah dimilikinya. Dia pikir masa lalunya sudah cukup menyedihkan. Tapi, lihatlah gadis kecil ini....
"Ya Tuhan, kanak-kanak ini baru enam tahun.... Baru enam tahun. Lihatlah! Hidupnya gelap. Kosong. Yang ada di sekitarnya hanya hitam.... H-i-t-a-m! Tidak ada warna. Tidak ada!" Karang mendesis lemah, matanya terpejam, tertunduk dalam-dalam, "Ya Tuhan, ia rindu... bahkan ia rindu ingin mengenal-Mu...."
Senja semakin merah. Semburat cahaya Jingga yang mengenai lantai keramik semakin memanjang. Ornamen di jendela kaca besar lantai dua membuatnya berpendar-pendar. Karang menatap
lamat-lamat pertunjukan cahaya itu. Hatinya kebas. Sedih.
"Maukah kau mendengar sebuah kisah hebat, Melati" Kisah yang secara turun-temurun disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya...." Karang menyeka dahinya yang berkeringat, terdiam sebentar, matanya tetap menatap siluet cahaya senja di lantai. "Lihatlah tarian cahaya di keramik. Melati. Begitu indah. Andaikata kau bisa melihatnya.... Tapi tahukah kau, ada sebuah pertunjukan cahaya yang lebih indah dibandingkan apapun di dunia ini.... Kau tahu itu" Ya! Itulah aurora! Berjuta warna menari di angkasa. Seperti saputan sejuta warna-warni kuas, seperti tarikan sejuta pelangi. Saling melengkapi, saling menambahi. Gradasi cahaya yang hebat, komposisi yang sempurna. Pertunjukan cahaya yang terjadi justru persis di gulitanya malam, persis saat sumber cahaya menghilang. Sungguh kontras yang mengagumkan. Malam dingin-bersalju dihiasi gemerlap cahaya yang hangat dan menyenangkan....
"Kau tahu asal-usul aurora, sayang" Tidak" Baiklah, akan aku ceritakan. Cerita yang indah.... Aurora hanya terjadi di kutub bumi. Jauh, jauuuh di ujung dunia. Tempat yang selalu terbungkus es. Kau harus memakai jaket tebal, baju berlapis-lapis, sarung tangan besar, kalau tidak, pasti menggigil. Tempat itu amat dingin. Gumpalan es membungkus ujung-ujung ranting pepohonan. Salju membuat kaki terbenam hingga lutut. Siangnya dingin, apalagi di
malam hari. Dulu, duluuu sekali penduduk di sana tidak pernah melihat aurora. Belum ada saat itu. Hingga peristiwa menyedihkan itu terjadi...." Karang menelan ludah, diam sejenak. Dia sedang memikirkan kalimat-kalimat berikutnya. Cerita-cerita ini mengalir begitu saja. Sama seperti cerita-cerita sebelumnya.
"Alkisah, tinggallah satu keluarga miskin di antara mereka.... Tidak. Di sana ukuran miskin atau kaya bukan hanya dari pakaian mahal, rumah besar, atau makanan mewah. Tapi miskin atau kaya amat ditentukan dari kepemilikan api. Api untuk menghangatkan diri di malam hari. Api yang memberikan udara hangat dan nyaman.... Keluarga itu tidak memilikinya. Hanya orang-orang tertentu yang menguasai api, hanya golongan tertentu yang diijinkan membuat api. Keluarga itu tidak. Itu sudah aturan main turun-temurun....
"Keluarga itu tidak besar. Terdiri dari Ayah, Ibu, dan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu seumuran kau, Melati.... Enam tahun. Wajahnya bulat penuh cahaya kebaikan, perangainya santun penuh sifat memesona. Juga seperti kau suatu saat nanti, gadis kecil kita itu rajin membantu Ibu-nya, benar-benar anak yang bisa diandalkan...." Karang tersenyum, mengelus lembut rambut ikal Melati. "Setiap kepala keluarga di perkampungan salju itu bekerja sebagai pemburu. Maka itulah pekerjaan Ayah, berburu rusa, berburu binatang salju, ikan, apa saja yang bisa di makan. Sedangkan Ibu bertugas menjaga rumah, memasak binatang hasil
tangkapan suaminya, menyamak kulit, membuat pakaian-pakaian tebal....
"Suatu ketika, tibalah masa-masa sulit itu. Enam bulan berlalu, badai musim dingin terus mengungkung perkampungan.... Padahal lazimnya hanya tiga-empat bulan saja. Membuat sulit kehidupan. Benar-benar membuat semuanya sulit.... Tidak ada lagi rusa di hutan dekat perkampungan. Danau yang biasanya bisa digunakan untuk mencari ikan sempurna membeku. Sulit sekali mencari binatang liar untuk dimakan, persediaan makanan musim panas sudah menipis. Seluruh perkampungan menghadapi masalah serius.
"Dan lebih serius lagi bagi keluarga miskin itu. Tidak ada makan, tidak ada api, itu sama saja malam-malam mereka harus dilalui dengan penderitaan. Malam-malam terasa lebih panjang. Menggigil kedinginan.... Tapi gadis kecil kita tidak pernah mengeluh. Meski gelap, meski dingin, ia menyibukkan diri bersenandung. Menatap langit gelap tertutup badai lewat jendela iglo. "Bertanya banyak hal pada Ayah-Ibu-nya. Tentang mengapa malam tidak terasa hangat seperti siang. Mengapa malam tidak ada cahaya yang memesona seperti matahari. Mengapa dunia tidak siang saja selamanya... biar mereka tidak kedinginan, biar mereka tidak perlu peduli lagi dengan nyala api.... Perut gadis kecil itu lapar, tapi ia tidak ingin membebani Ayah-Ibu-nya dengan keluh-kesah. Hanya bertanya, sambil bersenandung riang. "Gadis kecil itu bisa bersabar dengan situasi buruk
itu.... Meski ia tidak pernah kunjung mengerti mengapa iglo lainnya terlihat terang dengan cahaya api, sedangkan iglo mereka tidak. Dulu ia suka bertanya hal itu, tapi Ayahnya hanya bilang soal siapa yang berhak, siapa yang tidak. Ayahnya malah menjawab dengan intonasi marah. Seolah bertanya urusan itu amat dilarang. Entahlah.... Membuatnya takut bertanya lagi. Takut karena katanya bakal muncul naga raksasa yang mengamuk membakar seluruh pedesaan jika ada yang berani tanya-tanya soal aturan main tersebut.
"Masalahnya, tanpa kita tahu, tanpa kita siap terlebih dahulu, situasi bisa memburuk kapan saja.... Di bulan ke sepuluh sejak badai salju mengungkung pedesaan, Ayah-nya yang pergi berburu suatu hari tidak pernah kembali lagi. Ditunggu semalaman, tidak juga pulang-pulang. Seminggu. Sama saja. Sebulan. Tetap begitu.... Maka serunai kesedihan mulai menguar dari iglo mereka. Gadis kecil itu menunggu senyap di depan jendela setiap malam. Siapa tahu Ayah-nya pulang membawa rusa, membawa kelinci salju. Siapa tahu Ayah-nya membawa ikan-ikan besar.... Tidak ada. Sama sekali tidak ada kabar kecuali berita kalau Ayah-nya terlalu berani berburu, pergi hingga batas hutan yang banyak beruangnya. "Gadis kecil kita sedih sekali. Tak terkatakan. Menunggu kosong di bawah bingkai jendela, berharap siapa tahu siluet tubuh Ayahnya terlihat di gerbang hutan....
"Tapi ia tidak ingin rasa sedihnya menambah
kesedihan Ibu-nya. Lihatlah, ibunya yang hamil tua terbaring lemah di atas ranjang. Sebulan terakhir jatuh sakit. Membuat semakin sulit situasi.... Ibunya tidak bisa melakukan apa pun, bergerak saja susah. Maka gadis kecil itu mulai mengambil alih pekerjaan rumah. Menyelimuti Ibu-nya yang setiap malam menggigil. Membersihkan salju yang menumpuk di depan pintu. Memetik dedaunan yang tersisa. Memandang sedih perut buncit Ibu-nya yang mengandung adik yang selalu diharap-harapkannya....
"Hingga suatu malam, demam Ibu-nya semakin parah. Gadis kecil itu memutuskan untuk meminta pertolongan. Pergi ke iglo lainnya yang terlihat bercahaya. Ia ingin meminta nyala api. Ia ingin Ibu-nya hangat malam ini.... Tapi hanya kata-kata penolakan kasar tidak dimengerti yang ia terima. Ada yang berhak. Ada yang tidak. Gadis kecil itu tidak pernah paham mengapa dunia harus tercipta dengan perbedaan. Ia hanya butuh nyala api kecil, untuk membuat Ibu-nya hangat, sesederhana itu, tidak-lebih tidak-kurang....
"Malam itu, gadis kecil kita tertatih-tatih berlari dari satu iglo ke iglo lainnya, di tengah badai salju yang menggila, tubuhnya kuyup, kakinya gemetar melewati tumpukan salju hingga paha. Benar-benar percuma, tidak ada yang peduli. Meski ada yang bersimpati, tapi keluarga itu terlalu takut untuk melanggar pantangan.
"Menjelang tengah malam, gadis kecil kita sambil menangis kembali. Tidak ada. Benar-benar tidak ada
nyala api untuk Ibu-nya. Malam ini ia akan melihat lagi pemandangan menyedihkan tersebut. Suara gemeletuk gigi Ibu-nya, tubuh yang menggigil.... Gadis kecil itu menangis, bergerak mendekat ingin memperbaiki selimut Ibu-nya yang tersingkap.... "Tapi ia keliru. Sungguh keliru! Tidak ada gemeletuk gigi itu lagi. Tidak ada tubuh yang menggigil itu lagi. Yang ada hanya lengang. Sepi. Ibu-nya sudah pergi. Selama-lamanya. Tak kuasa menanggung lebih panjang penderitaan...." Karang terdiam sejenak, mengusap lembut rambut Melati. Kanak-kanak itu masih bersandar di bahunya. Menggerung lirih. Seperti takjim mendengarkan cerita.
"Malam itu, situasi benar-benar berubah buruk. Ibu-nya meninggal. Gadis kecil itu menangis tersedu di depan tubuh Ibu-nya yang sudah membeku. Menciumi wajah kaku Ibu-nya. Berseru tentang, 'Jangan tinggaikan aku sendiri.... Aku mohon, Ibu jangan pergi!' Amat menyakitkan melihatnya. Dan lebih menyakitkan lagi saat melihat gadis kecil itu mendongak menatap langit yang gelap oleh badai. Gadis kecil itu jatuh terduduk bertanya ke kelamnya langit: mengapa dunia diciptakan dengan perbedaan. Mengapa manusia bangga sekali dengan perbedaan. Kasta. Kemuliaan. Yang satu lebih hebat, lebih dihargai, lebih segalanya, sementara yang lain tidak. "Gadis kecil itu benar sekali, Melati.... Mengapa dunia diciptakan dengan perbedaan. Yang satu dilebihkan dari yang lain.... Ada yang bisa melihat,
bisa mendengar, ada yang tidak. Ada yang tampan, cantik, ada yang tidak. Ada yang pintar, cerdas, ada yang tidak. Apakah semua itu adil" Apakah semua takdir itu adil" Padahal bukankah semua pembeda itu hanya semu. Tidak hakiki. Ketika waktu menghabisi segalanya, bukankah seluruh manusia sama....
"Entahlah, ia tidak mengerti banyak hal, yang ia ingin penjelasan hanyalah urusan sederhana: mengapa keluarga mereka tidak berhak memiliki nyala api, hanya itu.... Gadis kecil itu tersungkur meminta penjelasan. Mengapa Tuhan tidak menciptakan nyala api yang terang benderang bagi semua. Menciptakan cahaya di malam hari. Cahaya yang indah-memesona. Cahaya yang membuat hangat dan nyaman bagi siapa saja yang melihatnya di tengah udara dingin dan rasa sepi. Cahaya yang dimiliki oleh setiap orang. Tidak hanya untuk yang berhak, tidak hanya untuk yang boleh.... "Menjelang pagi, gadis kecil itu terhuyung keluar dari iglo. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, jadi buat apa tinggal di iglo itu lagi. Pergi. Gadis kecil itu memutuskan pergi... pergi dari perkampungan yang tidak pernah dimengertinya. Pergi mencari jawab atas pertanyaannya. Tidak ada yang tahu kemana gadis kecil itu pergi. Tidak ada. Ia menghilang sejak pagi itu. Raib ditelan bumi....
"Yang penduduk desa itu tahu, sehari setelah kepergian gadis kecil itu, mendadak badai salju yang mengungkung desa mereka hampir setahun
lenyap.... Dan belum habis keterkejutan mereka, mendadak di tengah gelap-gulita malam, seberkas cahaya indah muncul menghias angkasa.... Itulah aurora. Melati.... Tahan cahaya yang sungguh indah. Berpilin. Berpadu. Seperti sejuta pelangi.... Itulah aurora! Memberikan perasaan hangat dan nyaman bagi yang melihatnya. Menjadi penghibur di malam dingin dan senyap. Itulah auroa, Melati...." Karang tersenyum mengakhiri ceritanya, mencium lembut rambut ikal Melati.
Kanak-kanak itu menggerung. Seolah bisa mendengar.
Matahari sudah menghilang di balik bukit. Gelap. Koridor kosong lantai atas terlihat remang. Lampu-lampu di lantai bawah sudah dinyalakan Salamah. Lampu-lampu di taman sudah dinyalakan Mang Jeje. Satu hari iagi berlalu. "Benar-benar hari yang melelahkan, Melati. Aku tahu, kau sama frustasinya denganku. Sama sebalnya. Sama marahnya. Tapi kita tidak boleh berputus asa, sayang.... Tidak boleh. Kita akan menemukan caranya. Menemukan caranya agar kau bisa mengenal dunia dan seisinya.... Jika tidak, itu bisa jadi akan membuat banyak orang tidak percaya lagi dengan janji-janji Tuhan. Dan kita tidak ingin itu terjadi...." Karang berbisik lembut di telinga Melati. Berdiri membimbing Melati....
Malam ini Karang tidak menemani Melati di kamar. Bunda yang menemani. Karang tidak mengantar tidur kanak-kanak itu dengan dongeng.
Dia sudah melakukannya tadi sore. Memutuskan berjalan-jalan di halaman rumput. Menyapa Mang Jeje yang sedang mengelap ayam kate putih-nya. Karang tertawa. Tidak, dia tidak mentertawakan Mang Jeje yang amat serius mengurus ayam itu, dia tertawa lebih karena baru tahu kalau helai bulu yang ada di kamar Melati ternyata helai bulu ayam (bukan burung).
Karang penat. Urusan Melati membuatnya lelah. Berjalan-jalan seperti ini sedikit banyak membuatnya lega. Tertawa sesaat barusan juga membantunya lebih rileks. Besok hari ke-20. Dan dia tidak kunjung menemukan caranya. Entahlah apa yang akan terjadi esok-lusa. Tuan HK pulang dua hari lagi. Waktunya semakin terbatas. Karang mengusap wajahnya, menatap lurus pepohonan yang seperti biasa dipenuhi pertunjukan cahaya kunang-kunang.
Hari ini dia sudah menggunakan benda terakhir itu. Dan ternyata tidak ada gunanya. Kanak-kanak itu tidak bereaksi seperti yang diharapkannya. Syaraf, panca-indera, kemampuan berkomunikasi, perasaan, entahlah namanya yang masih tersisa di tubuh Melati tetap tidak terpancing keluar. Tidak bergeming. Apakah semua akan berakhir seperti ini" Melati harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya hanya menjadi beban bagi orang lain" Karang mendesah. Beban" Tuan dan Bunda HK bisa saja membayar mahal 'seratus pembantu' untuk Melati, tapi itu jelas bukan solusi baiknya. Karang menatap langit. Wajah Qintan seperti
menyemburat di sana, seperti terlukis sempurna di hadapannya. 'Qintan akan berlari.... Qintan akan beriari seperti dia, Kak Karang... seperti cerita Kak Karang!' Karang tersenyum. Lihatlah, gigi tanggal itu. Wajah imut-menggemaskan itu. Ya Tuhan, jika semua urusan ini memang adil, Kau akan membuat Melati bisa membaca. Membuat Melati bisa menulis. Bahkan Kau sungguh akan menakdirkan gadis kecil ini bisa melakukan hal-hal besar yang justru tidak bisa dilakukan orang-orang yang bisa melihat dan mendengar dalam hidupnya. Karang berbisik lirih. Menyimpul doa ke langit-langit malam....
Malam semakin matang. Deru jangkrik dan uhu suara burung hantu perlahan menghilang, menyisakan denging ribuan kunang-kunang. Karang menghela nafas, melangkah kembali ke teras depan rumah. Mang Jeje sudah masuk kamarnya. Juga pembantu lainnya. Bunda masih di kamar biru Melati. Tiduran di belakang. Membelai lembut rambut ikal permata hatinya. Bernyanyi. Bunda malam ini meniru kebiasaan Karang. Ia tak pandai bercerita, tapi menyanyi" Ah, Bunda jago. Kan, dulu pernah menang lomba seriosa di RRI. Jadi malam ini ia melantunkan lagu nina-bobo buat Melati.
Karang melewati ruang tengah lantai satu yang kosong.
Melewati koridor yang kosong" Ternyata tidak. Di depan jendela besar yang menghadap hamparan perkotaan, di sana Salamah sedang berdiri
sendirian. Menatap lurus ke depan.
Karang menyeringai, berhenti sebentar. Melangkah
mendekat. "Apa yang kau lihat?"
Salamah terkaget-kaget. Hampir berteriak, "MALING!" (kan ia raja panikan, dan cara Karang menegur barusan jelas-jelas mengejutkan Salamah). Menatap Karang sedikit semaput. Menarik nafas panjang. Hossh. Menarik nafas panjang sekali lagi. Hosssssh....
"Ppelabuhan yang indah, bukan?" Karang nyengir. Menahan tawa. Sebenarnya sedikit kasihan melihat ekspresi pias muka Salamah.
Salamah mengangguk patah-patah. Reflek saja. Bukan mengangguk menjawab pertanyaan Karang. Hossh. Hossh. Nafasnya mendingan. Ia menyeka keringat di dahi.
"Kenapa kau belum tidur selarut ini?" "Ergh, eee, anu-" Muka Salamah memerah. Kenapa pula ada yang tanya-tanya kenapa ia belum tidur malam ini. Inilah masalahnya, seharusnya pertanyaan itu mudah dijawab, kan" Tapi Salamah yang setengah jam lalu sibuk bengong sambil tersipu malu menatap pelabuhan dari kejauhan mendadak jadi salah tingkah. Aduh, kan malu kalau sampai ketahuan....
"Siapa lelaki 'malang' itu?" Karang bertanya rileks, ikut menatap lurus ke depan. Ke arah pelabuhan kota yang terlihat terang, dua fery besar bertingkat membuang sauh di sana. Lampunya gemerlap. Musim-musim sekarang, malah terkadang ada
dua-tiga kapal pesiar yang ikut merapat. Sengaja menanti festival kembang api.
"Ergh, eee, lelaki malang" Siapa" Ee, maksud Pak Guru?" Wajah Salamah benar-benar memerah. Terbata-bata salah-tingkah. Ah-ya, Salamah tiga minggu terakhir selalu memanggil Karang dengan sebutan: 'Pak Guru'.
"Siapa lagi" Lelaki yang ingin kau temui minggu depan ketika festival kembang api di kota, kan?" Karang menyeringai, tertawa. Lihatlah, Salamah sempurna menggeleng seperti anak kecil yang membantah dituduh mencuri mangga, padahal kantung-kantungnya penuh sesak oleh barang bukti. "Ergh, festival, festival... anu...." Salamah menggaruk rambut. Kok, Pak Guru tahui "Tentu saja aku tahu, Salamah. Seluruh anggota rumah besar ini juga tahu. Bukankah dua minggu terakhir kau selalu membawa-bawa fotonya. Sembunyi-sembunyi menatapnya. Tersenyum malu memeluk guling. Tersipu memerah saat menatap hamparan kota. Menatap sendirian cahaya ribuan kunang-kunang.... Bagaimana aku tahu" Hanya Melati yang tidak tahu. Itu pun karena ia tidak bisa melihat perangai 'aneh'-mu.... Ngomong-ngomong, boleh aku lihat fotonya yang ada di saku bajumu?" "NGGAK! NGGAK BOLEH!" Salamah panik, berseru kencang seketika. Menggeleng.... Sekejap. Mukanya sempurna bagai kepiting rebus. Ketahuan deh! Benar-benar ketahuan.
Karang tertawa. Mengangkat bahu. Ini bisa jadi selingan yang baik. Jahil menganggu Salamah. Tapi
kadar sinisme Karang jauh-jauh hari sudah berkurang banyak. Malam ini dia bahkan seperti masa-masa itu, wajahnya dipenuhi gurat kebaikan, suka mendengarkan, kesenangan bergurau, bersimpati dan berbagi tanpa pretensi. "Kalau aku tidak salah, kalian hampir menikah tiga tahun silam, bukan?" Karang bertanya lembut. Menatap wajah Salamah yang tertunduk malu. Salamah, gadis berumur tiga puluh tahun itu mengangguk pelan. Ya, mereka dulu hampir menikah. Tapi kejadian Melati yang hampir loncat dari teras lantai dua merubah semuanya. Demi melihat Bunda yang menangis di tengah sakit parahnya, thypus, menyaksikan kepanikan yang terjadi, rusuh saat itu, Salamah memutuskan untuk sempurna mengabdi pada keluarga ini. Sama seperti kakek-buyutnya, kakeknya, dan ayahnya. Ia berikrar dalam hati tidak akan pernah meninggalkan Bunda walau sedetik. Gadis itu benar-benar pembantu yang setia. Pekerja yang baik. Karang tersenyum, "Kau keliru, Salamah.... Tidak seharusnya kau membatalkan pernikahan itu. Siapa bilang pengabdianmu akan berkurang setelah menikah" Tidak. Kau bisa tetap tinggal di sini, kan" Lagipula, kalau mau berpikir, jika kau tidak menikah, lantas siapa yang akan meneruskan tradisi keluargamu yang hebat" Almarhum kakek-buyut, kakek, dan ayah-mu jangan-jangan malah marah besar jika tahu tradisi hebat itu terhenti setelah kau."
Salamah mengangkat kepalanya. Marah" Tradisi"
Menelan ludah. Ia belum mengerti benar maksud kalimat Karang.
"Dengan menikah, kau akan punya anak, Salamah. Siapa yang akan menemani Melati kalau kau. Bunda, Tuan HK dan anggota keluarga ini juga sudah pergi" Anak-anakmu, bukan" Meneruskan tradisi pengabdian keluarga yang panjang tersebut. Nah, tidak sepatutnya kau membatalkan pernikahan itu...."
Salamah terdiam. Benar juga.
"Kau pasti berkenalan dengan pemuda tidak
beruntung itu persis saat festival kembang api....
Tidak, aku hanya menebak soal itu, aku sama sekali
tidak tahu." Karang tertawa, melihat ekspresi
'menyeringai' lagi Salamah, "Minggu depan kau
punya kesempatan baik untuk bertemu dengannya!
Festival kembang api. Itu s
aat yang tepat untuk merajut kembali semua cerita...."
Salamah diam sejenak. Lantas mengangguk pelan.
Itu benar. Ia setiap hari selama sebulan ini berharap
bertemu dengannya saat festival kembang api
minggu depan. Merajut" Merajut baju"
Karang melangkahkan kakinya. Beranjak
meninggalkan Salamah yang masih termenung,
memikirkan kalimat Karang barusan.
"Pak Guru.... Sebentar!"
Karang menoleh. "Anu... anu...."
Ya. Ada apa" "Boleh, boleh Salamah pinjam mesin ketik Pak Guru untuk menulis surat, eee, menulis surat buat,
buatnya...." Salamah menggigit bibir, tersipu malu. Sudah kadung ketahuan, kan"
"Boleh. Kau bisa ambil kapan saja di kamarku." Karang tertawa, mengangguk. Teringat kertas yang dulu diketik Salamah sembunyi-sembunyi. Melangkahkan kakinya lagi. "Pak Guru.... Sebentar!" Karang menoleh lagi.
Salamah diam sejenak, menyeka dahinya, kali ini sedikit tertunduk, "Maaf, maaf dulu Salamah pernah melaporkan Pak Guru ke Tuan HK. Soal, soal botol itu-" Intonasi suara Salamah sedikit bergetar. "Tidak apa-apa, Salamah. Lupakan saja!" Karang tersenyum, melambaikan tangannya, "Kau pembantu yang baik di rumah ini, sudah seharusnya kau melakukan itu."
"Pak Guru, Pak Guru tidak marah" Tidak dendam pada Salamah?"
Karang mengangkat bahunya, menggeleng. Salamah tersenyum senang. Ah, ternyata dulu ia sungguh keliru menilai pemuda ini. Lihatlah, meski rambutnya masih gondrong, wajahnya malam ini terlihat begitu bersahabat. Matanya meski tajam, terlihat amat menawan, begitu menyenangkan menatapnya. Wajahnya juga ganteng.... Gan-teng" Ah, gantengnya Pak Guru sih masih kalah sama pacar-nya itu. Salamah nyengir lebar. Karang melanjutkan langkah. "Pak Guru.... Sebentar!" Karang menoleh untuk yang ke-tiga kalinya. "Apa, a-pa...." Salamah menggigit bibir. Tertahan.
Ya! Ada apa" Karang bertanya lewat kernyitan mata, tersenyum.
"A-pa Me-la-ti... apa Melati akan sembuh, Pak Guru?"
Karang menghela nafas. Terdiam. Berpikir. Lantas menggeleng pelan. Muka Salamah seketika kecewa. Raut wajahnya terlipat tiga.
"Maafkan aku, Salamah. Melati mustahil sembuh, itu kenyataan. Menyakitkan memang...." Karang berkata pelan, "Tapi ia tetap akan bisa melihat meski tanpa mata, Salamah.... Ia tetap akan bisa mendengar meski tanpa telinga. Ia bahkan bisa melakukan hal-hal hebat yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh kita.... Yakinlah! Itu pasti akan terjadi."
Salamah mengangkat kepalanya. Kalimat Karang yang meski pelan tapi bertenaga menusuk hatinya. Penuh janji. Penuh semangat. Salamah menelan ludah, "Maksud Pak Guru, sama... sama seperti kita melempar bola ke dinding itu?"
Karang mengangguk, tersenyum. Ya!
Kesempatannya masih amat besar. Salamah ikut tersenyum lebar. Mengangguk yakin. Karang melanjutkan langkahnya. Kali ini tanpa interupsi. Malam semakin tinggi. Karang pelan menaiki anak tangga pualam. Pembicaraan barusan dengan Salamah membuatnya berpikir banyak. Pertama soal Melati. Tidak. Melati tetap masih punya kesempatan. Setidaknya besok masih ada waktu sebelum Tuan HK pulang. Keajaiban itu pasti datang di detik-detik terakhirnya. Meskipun ia tidak tahu,
metode pengajaran apa lagi yang akan digunakannya besok. Dia sudah menggunakan pamungkasnya. Karang mendesah sedikit resah. Kedua soal: Saat yang tepat untuk merajut kembali semua cerita.... kalimat yang disampaikannya pada Salamah tadi. Muka Karang mendadak bersemu merah. Wajah cantik berkerudung lembut itu tanpa tercegah melintas. Tersenyum amat manisnya.
Keajaiban Telapak Tangan Sayangnya, Karang keliru. Tidak ada. Esok harinya ternyata benar-benar tidak ada lagi kesempatan itu. Waktu yang tersisa baginya habis sudah. Tanpa ada perpanjangan waktu (lagi). Peluit panjang tanda berakhirnya permainan sudah dibunyikan. SelesaiPagi itu gerimis membungkus kota. Membuat syahdu suasana. Jutaan larik bilur air turun satu per-satu. Lengang. Payung-payung terkembang. Warna warni. Orang-orang bergegas. Anak-anak yang berangkat sekolah. Pekerja kantoran yang menunggu jemputan. Petani yang memakai jas hujan. Pelelangan ikan dekat pelabuhan yang basah. Udara terasa dingin.
Melati pagi ini sarapan bersama Bunda, Karang, Salamah, Mang Jeje dan pembantu lainnya di ruang makan besar. Gadis kecil itu begitu takjim menyendok makanan. Wajahnya menyeringai lebar. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar, senang menatap mangkuk sup jagung di depannya. Rambut ikal mengombak Melati bergerak seiring tangannya berhasil menyendok. Kepalanya terangguk-angguk
riang. Riang dengan meja dan kursi yang dikenalinya. Riang dengan suasana di sekitarnya. Amat menggemaskan melihat kanak-kanak itu makan.
Bunda menatapnya sambil tersenyum. Menunggu, apakah Melati ingin nambah atau tidak. Gadis kecil itu akan menyentuhkan pelan sendoknya ke pinggiran mangkok kalau ia masih lapar. Ting! Ting! Dan Bunda lembut menuangkan sup tambahan. Salamah juga terlihat riang di meja makan. Sibuk bilang soal festival kembang api minggu depan. Sibuk berceloteh. "Bukankah kita sering pergi ke sana bersama-sama, Salamah" Tidak perlulah kau uiang-uiang ceritanya. Semua sudah tahu sendiri!" Mang Jeje memotong, sebal, karena ceritanya tentang ayam kate-nya yang sudah tumbuh lagi bulu-bulunya terganggu (dulu dicabuti Melati). Tapi meski Salamah mendengus sirik pada Mang Jeje yang tidak sensitif (dan sebaliknya Mang Jeje juga mendengus sirik padanya), sarapan itu berjalan menyenangkan. Karang takjim menghabiskan sup jagungnya. Tidak banyak berkomentar. Melati mengangkat muka. Sendok terakhir yang tiba di mulutnya kosong. Itu berarti mangkoknya sudah habis. Menyeringai lebar. Masih lapar. Pelan memainkan sendok. Ting! Ting! Bunda tersenyum. Segera memajukan badan, berusaha menyendok sup jagung dari mangkok besar. Saat itulah, sarapan pagi itu tidak berjalan menyenangkan lagi. Saat itulah, peluit panjang itu berbunyi. Membuat sarapan berubah jadi kacau balau. Seketika.
"Se-la-mat pa-gi, semua!" Tuan HK melangkah melewati bingkai pintu ruang makan besar, tersenyum lebar sekali.
Semua kepala tertoleh. Sekejap. Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Tertegun. Bunda benar-benar kaget (apalagi Salamah). Tuan HK melangkah mendekat, tidak menyadari kalau ada komposisi yang keliru di ruang makan besar rumah mewahnya. Masih tertawa lebar. Wajahnya terlihat sumringah. Kejutan. Hei! Semua terlihat amat terkejut melihatnya datang. Sukses besar. Dia memang sengaja melakukannya. Merencanakannya dari Frankurt dua hari lalu. Pulang sehari lebih cepat dari jadwal.
Sengaja tidak meminta Beno menjemput. Naik taksi sendiri dari Bandara. Menyelinap ke dalam rumah. Sempat bingung menatap tumpukan barang di ruang tengah, tapi antusiasmenya untuk membuat kejutan mengurungkannya bertanya. Terus masuk ke ruang makan. Mereka pasti sedang makan. Dan Tuan HK tidak keliru soal itu. Yang dia keliru menduga adalah: ketika matanya melihat salah-satu kursi di meja makan itu. Diduduki oleh seseorang. Seseorang yang tiga minggu lalu amat dibencinya. Karang!
"Kau... Ka-u...." Tuan HK mendadak seperti orang tercekik, matanya mendelik. Cepat sekali tensi pembicaraan meninggi. Cepat sekali ruang makan besar itu terasa pengap. Mengusir jauh-jauh udara dingin dan nyaman dari luar.
Karang juga tidak kalah kagetnya. Bukankah"
Bukankah Tuan HK baru pulang besok" Terkesiap, meski berusaha tetap tenang. Mang Jeje dan pembantu lainnya mengkerut di atas kursi masing-masing, menelan ludah, takut. Salamah" Hampir jatuh masuk ke bawah meja besar, untung ia mencengkeram ujung-ujung meja. Bunda gemetar. Berusaha berdiri. Gugup. Bingung. "KAU! APA YANG KAU LAKUKAN DI RUMAHKU! DI RUANG MAKAN KELUARGA KAMI!" Dalam hitungan seperseribu detik, Tuan HK sudah berteriak tanpa tedeng aling-aling. Membuat terbang burung gelatik yang sedang bercengkerama di air mancur halaman rumput. Mengagetkan semuanya. Tuan HK melempar sembarang tas kulit mahalnya ke lantai. Melempar bungkusan plastik yang berisi oleh-oleh dari Frankurt. Kejutan" Kali ini dialah yang benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin pemuda sialan ini masih berada di rumahnya" Bukankah setiap dua hari dia menelepon selama tiga minggu terakhir, istrinya bilang kalau pemuda ini sudah pergi. Melati baik-baik saja. Wajah Tuan HK menggelembung. Salamah" Salamah juga bilang seluruh anggota keluarga baik-baik saja. Semuanya dusta! Semuanya seperti berkomplot menipu dirinya. "KAU!! PERGI DARI RUMAH INI!" Tuan HK beringas melangkah mendekati kursi Karang. Buku-buku tinjunya terlihat. Wajahnya memerah oleh amarah. Bunda gagap. Segera melangkah. Berusaha mencegah suaminya. "Jangan, yang.... Ja-ngan!"
"BAGAIMANA MUNGKIN KAU MEMBOHONGIKU?""
Tuan HK membentak istrinya. Dia benar-benar tidak terkendali sekarang.
"Aku, aku bisa menjelaskannya, yang.... Apa yang kau lihat, tidaklah sama seperti tiga minggu lalu. Sungguh! Berikan aku waktu satu menit untuk menjelaskannya!"
"Omong-kosong! Apa yang sebenarnya kalian rencanakan" Apa yang kalian sembunyikan dariku!" Tuan HK mendesis kencang.
"Tuan, Tuan.... Bunda benar, Tuan!" Salamah mendecit, mencoba membantu demi melihat wajah Bunda yang mengkerut ketakutan. Belum pernah ia melihat Bunda begitu takut dengan Tuan HK. Padahal, bukankah mereka selama ini rukun dan bahagia.
"DIAM, SALAMAH!"
Salamah gemetar dibentak seperti itu. Seperti melihat Gubernur Jenderal VOC jaman bahuela yang galak dan kejam tak berbilang. Ia memegang erat-erat ujung meja (yang malah membuat meja itu ikut bergetar). Sementara Tuan HK sudah kasar mendorong istrinya, tidak peduli. Berhasil mendekati kursi Karang. Tangannya tanpa permisi, mencengkeram kerah sweater hitam Karang. "Sa-bar, yang.... A-ku mo-hon. Berikan aku kesempatan untuk menjelaskan-" Bunda berusaha menarik tangan suaminya.
"Kau! Kau pergi sekarang juga dari rumah ini!" Tuan HK mendesis tajam, tidak mendengarkan keluh tertahan istrinya. Wajah Tuan HK hanya terpisah dua senti dari wajah Karang. Cengkeraman
tangannya di kerah sweater membuat Karang tersedak.
"Aku mohon, yang...."
"Kau pergi sekarang juga!" Desisan Tuan HK bagai seekor ular kobra yang penuh oleh gelembung kemarahan.
"Aku mohon, dengarkan aku, yang.... Karang sudah melakukan banyak hal. Jangan, jangan usir dia.... Berikan aku satu menit untuk menjelaskan semua." Bunda terbata-bata menarik tangan itu, yang justru semakin membuat Karang tercekik. "....Lihat, lihatlah Melati, putri kita sudah bisa makan dengan sendok. Lihatlah, aku mohon.... Melati juga sudah bisa makan sambil duduk di kursi, lihatlah.... Putri kita sudah bisa melaku-" Kata-kata Bunda mendadak terputus. Tercekat.
Tuan HK demi mendengar intonasi suara istrinya seperti orang yang terjerat tali di leher, menoleh. Menoleh ke arah jemari istrinya tertunjuk. Kosong. Kursi yang seharusnya ditempati Melati kosong. "MELATI" MELATI!?"" Bunda berseru. Panik sekali. Rusuh. Lagi-lagi ruang makan besar itu rusuh. Episode kedua. Salamah sampai benar-benar semaput menahan panik. Mang Jeje dan pembantu lainnya bersitatap takut sama lain. Tuan HK melepaskan cengkeramannya. Menatap bingung. Ada apa"
"Melati anakku.... DI MANA MELATI"!" Bunda berteriak. Tubuhnya gemetar oleh perasaan gentar. Teringat kejadian tiga tahun lalu. Mereka sibuk.
Melati juga sibuk, terlupakan.
Cengkeraman Tuan HK terlepas. Karang yang akhirnya bisa bernafas iega segera berdiri dari duduknya. Menyeka dahi. Di mana kanak-kanak itu. Menoleh cepat ke segala arah.
Tadi ketika semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Ketika meja makan itu ribut oleh teriakan marah Tuan HK, seruan tertahan Bunda, decit suara Salamah, Melati yang sebal menunggu mangkuknya terisi kembali beranjak turun dari kursi. Dia tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Sama sekali tidak. Jadi malah rileks berjalan sembarang arah. Tangannya terjulur meraba-raba udara. Menggerung pelan, tidak peduli dengan keributan. Kanak-kanak itu melangkah menuju pintu keluar tanpa disadari siapa pun. Menuju halaman rumput yang terpotong rapi. Menuju ke arah suara gerimis hujan. Menuju ke sumber udara dingin yang menggantung di luar. Dari dulu ia penasaran sekali soal itu. Dingin. Tangannya dulu setiap malam merasakan dingin jendela kaca. Sekarang tangannya dingin oleh sesuatu.
Mendorong pintu keluar yang langsung menuju taman. Wajahnya seketika diterpa angin yang membawa butiran air kecil-kecil. Menyenangkan. Gadis itu menyeringai senang, menggerung pelan. Berjuta larik bilur air langsung membungkus tubuhnya saat ia menjejak halaman rumput. Bilur air kecil-kecil. Menerpa wajahnya. Membuat butiran kristal. Seperti embun.
Kanak-kanak itu tersenyum. Ini benar-benar menyenangkan. Hei! Disebut apakah benda yang sedang menerpa wajahnya.... Melati ingin tahu! Dingin. Tangannya terbentang lebar-lebar. Wajahnya tengadah. Kakinya terus melangkah sembarangan....
"DI MANA MELATI! DI MANA ANAKKU!!" Bunda berteriak panik sekali lagi di ruang makan besar. Kecemasan melandanya. Jangan-jangan anak itu tidak sengaja masuk ke-manalah. Loncat ke-manalah. Jangan-jangan seperti dulu saat ia sakit terbaring lemah, saat orang sibuk memperhatikannya, kanak-kanaknya yang
terlupakan hampir loncat dari teras lantai dua. Mang Jeje dan pembantu lainnya sibuk bergerak ke sana- ke mari. Ada yang berlarian naik ke lantai atas. Bergegas menaiki anak tangga pualam. Ada yang terburu-buru ke ruang makan kecil. Dapur. Ruang tengah. Sibuk mencari. Tuan HK bingung. Lah" Kenapa semua mendadak pergi meninggalkannya. Apa yang tadi istrinya bilang" Melati makan dengan sendok" Duduk di kursi. Mana Melatinya" Apa maksud semua ini. Dia benar-benar terkejut! Jadi siapa dong yang sebenarnya ngasih surprise"
Kanak-kanak itu sudah tersenyum lebar.... Kakinya yang tanpa sandal kepala kelinci menjejak rumput taman. Telapak kakinya merasakan basah. Dingin. Mata hitam biji buah lecinya berkerjap-kerjap. Rambut ikal mengombaknya berkilau oleh puluhan tetes air kecil-kecil yang mengggelantung. Seperti embun di ujung dedaunan.
Melati menggerung pelan. "Baaa.... Maaa...." Semua ini amat menyenangkan. Karang melangkah keluar dari pintu pembatas taman. Selintas melihat pintunya sedikit terbuka, langsung menuju ke sana. Bunda yang melihat Karang keluar, segera menyusul dari belakang. Tuan HK yang sempat melihat punggung Bunda, ikut menyusul. Dia tidak tahu mau melakukan apa. Jadi lebih baik mengikuti istrinya. Melati sudah duduk di hamparan rumput taman. Duduk persis di sebelah air mancur tempat burung gelatik biasa mandi. Air mancur berbentuk tiara bertingkat lima itu mengalirkan air bening ke sekelilingnya. Gemericik berbunyi pelan. Memercik lembut mengenai wajah Melati. Kristal air yang berkilauan.
Karang melihat tubuh yang duduk jongkok itu. Bergegas mendekat. Tapi lebih cepat langkah Bunda. "Apa, a-pa yang kau lakukan, sayang...." Bunda berseru amat cemas, "Hujan! Di luar sedang hujan, Melati. Kau bisa kedinginan...."
Bunda semakin dekat. Tangannya terjulur ingin memeluk putrinya. Ingin menggendong tubuh yang mulai basah itu. Membawanya masuk ke dalam. Tangan Melati juga sudah terjulur. Ke arah air mancur. Merasakan percik air. Merasakan aliran air di sela-sela jemari, di telapak tangannya. Dingin. Lembut. Menyenangkan.
"Apa yang kau lakukan, sayang-" Bunda menahan tangis.
"JANGAN! Jangan dekat-dekat, Nyonya-" Karang
yang sempat menatap wajah Melati mendadak berseru.
Sejuta voltase sentrum listrik itu tiba-tiba menyambar kepalanya. Meski tidak menyentuh tubuh kanak-kanak itu, meski tidak mendekap, ia tiba-tiba bisa merasakan apa yang sedang terjadi di kepala Melati untuk ke sekian kalinya. Meski yang satu ini benar-benar berbeda.... Karang tiba-tiba jatuh tersungkur.
Bunda menoleh. Menatap Karang yang terjatuh dengan tatapan bingung. Apanya yang jangan" Lihatlah, Melati basah oleh gerimis. Nanti bisa sakit flu. Tuan HK mendekat, sepuluh langkah di belakang mereka. Tambah bingung melihat semua kejadian. "Biarkan, Nyonya.... Biarkan Melati-" Karang berseru lirih. Kepalanya berdenyut kencang. Sakit sekali! Gerakan tangan Bunda yang hendak memeluk Melati terhenti di udara. Bunda menelan ludah. Menatap Karang. Pindah menatap wajah kanak-kanaknya yang seperti bersenandung, menggerung pelan bermain air dengan telapak tangannya. Saat itulah!
Saat itulah, keajaiban Tuhan kembali mampir di rumah lereng bukit itu. Saat itulah, keajaiban Tuhan berkenan datang untuk ke sekian kalinya.... Kali ini tidak hanya selintas. Tidak hanya sekerjap. Ya Tuhan, kali ini Engkau sungguh menumpahkan berlaksa kasih-sayangMu di muka bumi. Jika kami bisa melihat kasih-sayang itu bak pendar cahaya, maka Kau sungguh membuat kemilau indah tiada-tara di langit-langit taman rumput itu
sekarang. Seperti tarian sejuta aurora! Sejuta aurora di gulitanya malam. Indah-memesona tak-terkatakan!
Dan itulah yang sedang dilihat Melati saat ini. Ketika telapak tanganya terjulur ke depan. Ketika air mancur membasuh lembut telapak tangannya. Mengalir ringan di sela-sela jemarinya. Gelap itu mendadak digantikan tarian sejuta aurora. Kanak-kanak itu sempurna tergugu. Tidak. Ia tidak pernah melihat cahaya seindah ini. C-a-h-a-y-a. Ia bisa melihatnya....
Ya Tuhan, begitu menggetarkan melihat ekspresi wajah kanak-kanak itu saat Kau berbaik hati mengajarkannya melihat lagi. Saat kau berbaik hati mengajarkannya mendengar lagi. Kami lahir lemah, tanpa daya. Itu benar sekali. Kami lahir tidak melihat, Kau berikan mata. Kami lahir tuli, Kau berikan telinga. Kami lahir bisu. Kau berikan mulut. Kami lahir tak bergerak, Kau berikan kaki. Ya Tuhan, bahkan meski kami lahir tanpa itu semua, Kau sungguh tetap membuat kami bisa melihat, bisa mendengar, bisa bicara, dan bisa bergerak. Kami saja yang bebal untuk memahaminya.... "Baaa.... B-a-a-a...." Melati menggerung pelan. Karang berusaha mendekat. Matanya basah. Dia menjadi saksi utuh atas keajaiban ini. Karena dia sempurna bisa merasa, berpikir, melihat, dan mendengar seperti apa yang dirasakan, pikirkan, lihat, dan dengar oleh Melati sekarang. "B-a-a-a...." Kanak-kanak itu kembali menggerung pelan. Wajah bundarnya menyeringai. Tangannya
masih terjulur ke depan. Mata hitam biji buah lecinya terlihat amat menawan.
Karang gemetar merengkuh tangan Melati yang satunya (yang tidak terjulur). Dia mengerti sudah. Caranya! Caranya! Caranya itu! Telapak tangan Melati. Akhirnya sisa-sisa panca indera itu kembali. Melalui telapak tangan Melati. Air mancur yang mengalir lembut di tangan dan sela jari berhasil mencungkilnya.
"A-i-r!" Karang gemetar menuliskan huruf demi
huruf itu di telapak tangan Melati.
"Ba-aa-aa...." Melati mengangkat kepalanya.
Matanya berkerjap-kerjap menatap Karang.
Kepalanya bergerak-gerak. Bagai desing komet
kesadaran itu datang. Bagai tembakan meteor
pengertian itu tiba. Melati menyeringai.
Pengetahuan itu melesat ke kepalanya.
"A-i-r...." Karang gemetar sekali lagi menuliskan
huruf-huruf itu. "Ba-a-aa...." Melati menggerung pelan. Kemampuan itu tiba sudah. Seluruh permukaan telapak tangan Melati bak merekah oleh simpul syaraf yang berjuta kali lebih sensitif dibandingkan siapa pun. Ada mata di situ. Ada teiinga di situ. Ada mulut Melati di situ. Karang mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya. Berkata sekali lagi dengan suara bergetar, "A-i-r...."
"Ba-aa-aaa...." Melati mendadak tersenyum riang. Senyuman yang utuh setelah sekian lama terkungkung oleh rasa frustasi. Ia mengerti sudah. Ia tahu sudah. Nama benda yang dingin dan
menyenangkan ini adalah: air. Benda yang menerpa wajahnya. Kecil-kecil. Yang membasuh telapak tangannya. Yang mengalir lembut di sela-sela jemarinya. Yang membuat kaki kecilnya basah tapi terasa nyaman. Yang sejak dulu membuatnya selalu penasaran. Namanya a-i-r. "Baaa.... Baaaa...."
Karang sudah memeluk tubuh gadis kecil itu erat-erat. Menangis.
Bunda gemetar menyentuh lengan Karang. "A-pa.... A-pa... yang terjadi, anakku?" Bertanya bingung, meski ekspresi wajahnya bersiap buncah tak-tertahankan setelah melihat senyuman pertama Melati.
Bukan Karang yang menjawab, tapi Melati. Kanak-kanak itu yang merasakan kehadiran Bunda di dekatnya meraba-raba wajah Bunda. Mata hitam biji buah lecinya terlihat bercahaya. Rambut ikal mengombaknya bergerak-gerak. Telapak tangan Melati merasakan kerut wajah keibuan, rambut panjang, pipi halus, lentik bulu mata, bibir, telinga.... "Ba-aa-aaa...." Melati menggerung, menoleh ke Karang. Bertanya.
"B-u-n-d-a...." Karang meraih telapak tangan
kanak-kanak itu, menuliskan huruf demi hurufnya.
"Ba-aa-aaa...." Telapak tangan Melati yang bebas
terus meraba-raba wajah Bunda.
"B-u-n-d-a...." Karang meletakkan telapak tangan
itu ke mulutnya. Bergetar. Getaran bibir itu masuk
ke dalam memori kepala Melati.
Dan Kanak-kanak itu kembali tersenyum. B-u-n-d-a.
Ia tahu! Bunda sudah menangis haru memeluk putrinya. Ya Tuhan, ia belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi demi melihat senyum putrinya. Senyum pertama anak semata wayangnya. Merasakan jemari kanak-kanak itu lembut menyentuh wajahnya. Gerungan pelannya. Gerungan putri-nya yang seperti sedang memanggilnya lembut. Bunda tergugu, tersedu haru....
Tuan HK mendekat. Bingung nian dengan semuanya. Duduk jongkok dekat Melati. Entah mau melakukan apa. Dia hanya meniru apa yang sedang dilakukan Bunda. Sekarang tangan kanak-kanak itu terjulur kepadanya. Melati juga merasakan kehadiran Tuan HK. Jemari itu terjulur meraba-raba wajah Tuan HK. Kumisnya. Gurat 'kasar' pipinya. Dagunya yang kokoh. Hidungnya yang mancung. Ini apa ya" Ini siapa ya" "Ba-aa-aaa...." Melati bertanya. Karang kembali menuliskan huruf-huruf itu di telapak tangan Melati. Mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya. "A-y-a-h...."
"Baaa...." Melati menggerung senang. Mengangguk-angguk.
Pagi itu. Saat gerimis indah membasuh kota. Saat berjuta kebaikan-Mu turun membasahi bumi. Kebaikan satu malaikat untuk setiap tetes air hujan. Saat itulah Melati akhirnya bisa mengenai. Mengenal kata air. Mengenal 'Bunda'. Mengenal 'Ayah'.
Kanak-kanak itu sekarang meraba-raba wajah Karang.
"Ba-aa-aaa...." Bertanya. Siapa"
Karang sudah menyeka matanya. Berbisik:
terima-kasih. Tuhan! Sisa siang itu dihabiskan dengan suasana yang tidak pernah terbayangkan oleh Bunda sebelumnya. Perasaan bahagia. Senang. Haru. Tangis. Tawa. Buncah jadi satu. Tuan HK juga urung marah. Bagaimanalah dia akan marah" Setengah jam masih bingung, duduk tidak mengerti di ruang makan besar, menatap datar kantong-plastik oleh-olehnya yang berantakan. Beruntung, Bunda yang akhirnya berhasil mengendalikan rasa senang 'berbaik hati' menjelaskan. Dengan kalimat patah-patah, sedikit tersengal. Loncat sana, loncat sini. Melati setelah tahu ia bisa mengenali benda-benda melalui telapak-tangannya, menghabiskan siang dengan bertanya bagai seratus senapan mesin otomatis yang ditembakkan ke udara bersama sama. Menggerung tiada henti. Menyeringai tiada henti. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar riang. Senyumnya mengembang. Memperlihatkan gigi kelincinya. Apa saja yang dipegangnya, maka ia akan menoleh ke Karang. Bertanya. Sandal jepit Mang Jeje. Bebungaan. Daun. Daun. Dan daun (kan, bentuk daunnya beda-beda). Ranting. Batu. Selang. Keran air. Pohon. Rumput. Bahkan ayam kate Mang Jeje yang entah mengapa selalu ngintil di kaki Melati setiap kali kanak-kanak
itu ada di taman. Melati menyeringai mengangkat ayam kate itu. Menggerung pelan. Tidak. Kali ini ia tidak sibuk mencabuti bulu-bulunya. Ia belum bisa membayangkan secara utuh seperti apa bentuk benda-benda, lima tahun lagi ia baru sempurna tahu dan sempurna bisa melukiskannya di memori kepalanya. Tapi bagi Melati yang dasarnya cerdas, otaknya yang memang cemerlang, akses baru itu membuatnya cepat mengerti. Semua benda ini tidak buat dilempar.
Masuk ke dalam rumah, lebih banyak lagi yang ia tanya. Keset. Gagang pintu. Pintu. Pot kembang. Keramik. Keramik. Dan keramik (kan, keramiknya juga banyak dengan ukuran beda-beda). Karang yang mengikuti langkahnya tak lelah menjawab. Andai saja gadis kecil itu sudah bisa bicara, yang baru terjadi satu tahun lagi dengan metode Tadoma (bicara dengan gerakan tangan, menyentuh bibir dan leher orang lain), maka Karang bisa 'terbenam' oleh rasa ingin tahunya. Kanak-kanak itu berjalan sembarangan arah, dan setiap tangannya menyentuh sesuatu sembarangan ia akan bertanya. Dalam hitungan menit, bentuk pertanyaan itu bukan lagi soal apa" Tapi turun ke level kedua, ketiga dan seterusnya. Sulit. Karang tentu saja kesulitan mengartikan gerungan pelan Melati. Mereka belum bersepakat banyak hal tentang itu. Kesepakatan simbol komunikasi mereka belum ada, tapi bentuk pertanyaan itu sudah ada. Sekali-dua Karang benar menebak apa sebenarnya pertanyaan Melati. Lebih banyak lagi yang keliru. Sekali dua Melati juga bisa
mengerti penjelasan Karang. Tapi lebih banyak lagi yang salah. Namun apa pun itu, mereka sudah punya cara untuk berkomunikasi. Melati sudah punya cara untuk mengenal dunia dan seisinya. Tentu saja butuh waktu untuk menyempurnakannya. Kursi! Kursi apa" Gadis kecil itu meraba-raba kursi plastik miliknya. Buat apa" Oh, duduk. Duduk itu seperti ini, ya" Terbuat dari apa" Tersenyum, ah-ya ini yang dua minggu terakhir ia kenali dan duduki, bukan" Mengangkatnya. Mengerak-gerakkannya. Mengapa kursi tidak bisa bergerak sendiri seperti ayam kate Mang Jeje" Ah-ya siapa Mang Jeje" Tukang kebun" Kebun itu apa" Tukang itu apa" Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Kemajuan anak itu selama sehari sungguh mencengangkan. Ia bisa dengan cepat merangkaikan banyak penjelasan. Menjelang senja, saat ia akhirnya kelelahan bergerak ke sana ke mari, gadis kecil itu beranjak duduk di bawah anak tangga pualam. Tempat favoritnya. Tidak. Ia tidak duduk memeluk lutut, posisi favoritnya. Melati sekarang duduk mejulurkan kedua kakinya. Bersandar ke dinding. Mulutnya menggerung pelan, bersenandung.
Tangannya memeluk erat boneka panda milik Qintan. Tadi sibuk bertanya tentang boneka itu. Adalah dua puluh pertanyaan hanya soal itu. Hingga ia mengerti kalau boneka panda itu adalah: temannya.
Menyeringai, Melati menyeka dahinya yang berkeringat. Baju putih berenda dan bermotif
bunganya terlihat basah. Tapi Melati tidak peduli, ia sedang senang. Rambut ikal mengombaknya bergerak-gerak pelan mengikuti gerakan tubuh dan gerungan. Gigi-gigi kelincinya terlihat. Mata hitam biji buah lecinya berputar bercahaya. Karang yang juga lelah tersenyum, melangkah mendekat. Duduk di sebelah Melati. Ikut menjulurkan kaki.
"Ba-aa-aaa...." Gadis kecil itu mengangkat kepalanya. Menggerung riang. Menoleh. Melepaskan boneka panda. Tangannya terjulur ke arah Karang. Seperti kanak-kanak yang senang dengan kehadiran seseorang. Senang dengan janji hadiah. Oleh-oleh. Karang mengenggam jemari kanak-kanak itu. Tangan Melati yang satunya bergerak-gerak. Menyentuh rambut Karang.
Memainkan jemarinya. Menggerung pelan. Ini apa" Ah-ya ini kan sama seperti punya Melati. Tertawa, menyentuh rambut ikal miliknya. Ergh, beda! Yang satu enak sekali sela-sela jemarinya meluncur, yang satu nyangkut berkali-kali. Melati mendongak, mengangguk-angguk. Karang tersenyum menatap wajah bundar itu. Melati lembut menyentuh sweater Karang. Menggerung. Ini apa" Sweater hitam. Hitam" Apa itu hitam" Warna. Apa itu warna" Gadis kecil itu bagai mitraliur kembali melontarkan rentetan pertanyaannya. Seolah lupa dengan rasa lelahnya.
Karang mendesah pelan, tadi dia hanya ingin mendekap kepala Melati. Dia ingin mengajak gadis kecil itu berhenti sejenak. Ia tahu, energi besar
yang akhirnya terlepaskan itu membuatnya tak sabaran. Membuat Melati ingin tahu segalanya. Tapi selalu ada waktu untuk berhenti sejenak. Berhenti untuk berbisik tentang rasa terima-kasih. Berbisik tentang rasa-syukur ke langit-langit kamar. Karang ingin mengajarinya makna kata-kata itu. Mengajarinya tentang hakikat kata-kata itu. Tapi Melati kembali sibuk dengan rasa ingin tahu. Karang mencium rambut ikal Melati. Berbisik.... Terima-kasih, Tuhan! Kau sungguh
bermurah-hati.... Festival Kembang Api Satu minggu berlalu. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, satu minggu terasa berlalu lebih cepat di rumah besar lereng bukit itu. Wusssh.... Macam mobil balap. Malam ini festival kembang api di pelabuhan kota. Festival terbesar yang pernah ada. Pertunjukan kembang api paling spektakuler di seluruh pulau. Diadakan setiap tahun. Di malam tahun baru kalender China. Mengundang perhatian begitu banyak pengunjung. Malam ini, malah sudah ada lima kapal pesiar dari luar kota yang membuang sauh di teluk kota. Ingin ikut menikmati pesona festival kembang api tersebut.
Melati sejak tadi pagi berlonjak-lonjak riang. Bangun pagi-pagi. Turun dari kamar birunya dengan cepat. Sarapan dengan cepat. Semangat menuju ruang tengah tempat belajarnya. Belum apa-apa, ia sudah menggerung, memegang tangan Karang erat-erat: Nanti malam jadi kan ke festival kembang api"
Karang tertawa lebar. Mengangguk. Tuan HK yang bersiap berangkat ke pabrik ikut tertawa lebar.
Lihatlah, Melati sudah 'menari-nari' Kepalanya mengangguk-angguk riang. Mata hitam biji buah lecinya bercahaya. Rambut ikal mengombaknya bergerak-gerak seiring gerakan riang tubuhnya. Tuan HK mencium kening Melati, berpamitan. "Nanti sore Ayah pulang jam lima, sayangi Kita akan pergi bersama-sama ke festival. Ayah, Bunda, Pak Guru Karang, Salamah, Mang Jeje, semuanya ikut...." Melati mengangguk-angguk lebih kencang. Sejak gadis kecil itu punya akses untuk mengerti, ia tidak marah lagi tubuhnya dipegang-pegang. Ia sudah tahu pegangan itu lembut. Tidak akan mengganggu, apalagi menyakitinya. Tuan HK mencium kening Bunda. Mengangguk ke arah Karang, tersenyum. Tidak. Tentu saja Tuan HK tidak marah-marah lagi. Bahkan sebenarnya, kalau Karang masih suka mabuk-mabukan sekalipun, Tuan HK mungkin bisa menerimanya. Seminggu terakhir, hatinya juga buncah melihat kemajuan Melati. Tidak pernah terbayangkan putrinya yang tuli, bisu, dan buta akan memeluknya, menggerung pelan memanggil namanya.
Tuan HK yang dikenal amat teguh dengan prinsip-prinsip hidup dan keyakinan ke-lelakian-nya itu, bahkan menangis tertahan saat pertama kali melihat Melati makan dengan sendok, duduk di kursi, lantas menggerung minta tambah. Semua ini terasa melegakan. Bukan main. Putrinya sungguh berubah. Tidak terbayangkan. Jadi Tuan HK gencatan senjata, berdamai tanpa syarat dengan Karang. Sekarang menatapnya penuh penghargaan.
Pemuda yang dulu sangat kasar, mulut buncah tak tahu diri, cambang dan rambut gondrong tidak terurus, berubah seperti malaikat di matanya. Dia ikut memanggil Karang seperti yang dilakukan Salamah dan seluruh anggota rumah mewah itu: Pak Guru. Hanya Bunda yang selalu memanggil Karang dengan sebutan: anakku. Seminggu ini, dengan pecahnya simpul komunikasi itu, pekerjaan Karang meski masih sulit tapi sudah kelihatan titik-terangnya. Masih butuh waktu yang panjang, kesabaran, dan kerja-keras untuk membuat Melati sempurna mengerti dan bisa berkomunikasi seperti anak normal lainnya. Tapi Melati memiliki keinginan yang kuat itu. Ia duduk takjim di ruang tengah yang disulap menjadi tempat belajarnya. Karang mulai mengajari kanak-kanak itu bicara. Dengan menggunakan simbol-simbol, gerakan-gerakan tangan, menyentuh bibir dan leher lawan bicaranya, merasakan getaran suara. Melati mengikuti gerakan tangan Karang (sebenarnya Karang yang mengerak-gerakkan tangannya). Belajar satu demi satu kata, satu demi satu kalimat. Melati lapar. Melati haus. Melati ingin ke sana. Meiati ingin ke sini. Meiati ingin mandi. Meiati ingin bermain....
Belajar tentang benda-benda. Tahu gunanya. Mengerti buat apa. Mendengarkan cerita Karang (dengan menyentuh bibir Karang). Kanak-kanak itu antusias belajar. Berjuta rasa ingin tahunya akhirnya menemukan jalan keluar. Dan itu amat menyenangkan.
Seminggu terakhir kemajuannya amat mengagumkan. Melati bahkan bisa memakai baju sendiri. Pergi ke kamar mandi sendiri. Mengambil mangkok makanannya sendiri. Menyendok sup jagungnya sendiri. Ia memaksa melakukannya sendiri. Karang mengangguk ke Bunda yang terbiasa selalu reflek ingin membantu, biarkan saja. Itu akan membuat Melati cepat mandiri.
Maka satu minggu berlalu tanpa terasa, bahkan kemarin sore Karang sudah memulai pelajaran huruf baginya. Huruf Braille. Gadis kecil itu mengangguk-angguk riang menyentuh
satu-per-satu huruf timbul itu. Menggerung pelan. Tangannya yang bebas meraba-raba mulut Karang yang mendesiskan nama huruf-huruf. Ikut mendesis. "Baaaa.... Maaa...." Kosa-kata Melati tetap hanya dua itu: baaa dan maaa. Telinganya yang tidak bisa mendengar, memiliki keterbatasan untuk menemukan bentuk suara lain. Ia tidak bisa menambah lagi bentuk suara-nya. Tapi intonasi, langgam, getar, dan sebagainya jelas sudah mulai berbeda.
Karang meminta Bunda, Tuan HK, Salamah, Mang Jeje dan siapa saja di rumah itu bergantian melihatnya mengajari Melati. Ikut belajar bersama Melati. Agar mereka juga tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan Melati. Membedakan maksud gerakan tangannya. Mengerti maksud getar suaranya. Bunda dan Salamah paling rajin ikut, malah setiap hari.
Bunda takjub saat menyadari kalau perbedaan
intonasi suara yang dikeluarkan oleh Melati merupakan kata-kata, kalimat. Bahkan perbedaan gerungan kecil saja bisa membuat perbedaan satu kalimat panjang. Tidak mudah untuk mengerti, dan memang semuanya butuh proses. Tapi Bunda antusias dan tak bisa menahan tangis haru saat pertama kali mengenali "Baaa..." yang itu, yang getar suara dan langgamnya seperti itu, maksudnya adalah: Bunda.
Satu minggu berlalu. Hari ini Melati lebih banyak bertanya tentang festival kembang api nanti malam. Karang juga memindahkan tempat belajar mereka di halaman rumput. Karena Salamah adalah satu-satunya selain Melati yang juga amat senang dengan prospek acara festival nanti malam, maka Salamah yang duduk di sebelah Melati. Menjawab pertanyaannya. Mereka duduk di atas hamparan rumput terpotong rapi. Melati senang bermain-main di atasnya. Sudah sibuk 'mengejar-ngejar' ayam kate Mang Jeje. Tadi bosan mendengar jawaban Salamah, yang itu-itu saja (kemampuan Salamah bicara dengan Melati kalah jauh dengan Bunda, apalagi dengan Karang). Mending ia lari ke sana ke mari. Lebih menyenangkan. Pak Guru Karang lagi gunting rambut gondrongnya, jadi tak boleh diganggu.


Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima-kasih, Pak Guru!" Mang Jeje berkata dengan suara sedikit bergetar, sementara tangannya cekatan menggunting rambut gondrong Karang. Mang Jeje memang 'buka salon' di rumah besar itu. Anggota keluarga lainnya kalau ingin
potong rambut, juga selalu ke Mang Jeje. Di halaman rumah.
"Terima-kasih buat apa?" Karang mematut-matut lewat cermin.
Mang Jeje berhenti sebentar. Menatap Melati yang jatuh-bangun mengejar ayam kate-nya. Melati sih tidak tahu persis di mana ayam itu, hanya menebak. Tapi karena ayam itu selalu ngintil di kakinya, ia dengan mudah tahu di mana posisinya. "Mamang sekarang tahu kenapa harus menggunting rumput ini setiap minggu.... Dulu Pak Guru kan pernah bilang, 'Percuma kau memotong rumput halaman Ini! Hanya untuk menunggunya tumbuh lagi, kemudian memotongnya lagi!'...." Suara itu semakin bergetar.
Karang menolehkan kepalanya. Menatap wajah Mang Jeje, lelaki setengah baya dengan raut muka sederhana. Terlihat terharu"Tiga tahun lamanya buat apa coba Mamang memotong rumput ini, membuatnya indah setiap hari.... Hari ini Mamang bisa melihat Melati berlarian di atasnya. Rasanya bahagia sekali. Bahkan Mamang tidak peduli kalau harus disuruh memotong rumput ini tanpa henti, sepanjang Melati bisa bermain senang di atasnya...." Mang Jeje menyeka ujung-ujung matanya.
Karang tersenyum. Mengangguk. Itu benar. Lihatlah, Melati masih jatuh-bangun mengejar ayam kate Mang Jeje. Terlihat senang berlarian di atas hamparan rumput yang terpotong rapi. Karang berdehem, menunjuk rambutnya yang setengah
terpotong. "Ergh, ma-af...." Mang Jeje tertawa, "Maaf jadi lupa!" Meneruskan menggunting rambut Karang. Sepuluh menit berlalu, Melati yang lelah berlarian sudah mendekati Bunda yang tengah menggunting bunga-bunga. Tangan Melati menggenggam erat baju Bunda. Menggerung pelan. Bunda bercerita entahlah. Mengajaknya bicara. Gadis kecil itu mengangguk-angguk sok-tahu. Sementara Salamah masih duduk asyik dengan wajah tersipu merahnya. Sibuk memikirkan prospek pertemuannya nanti malam dengan seseorang.
Hari ini benar-benar semua terasa menyenangkan...
Tuan HK pulang pukul 16.00. Lebih cepat satu jam.
Melati sedang sibuk di kamar biru. Berteriak-teriak soal baju yang dipakainya. Meiati tidak mau. Bajunya nggak asyik buat lari. Bunda dan Salamah sedang memakaikan gaun festival padanya. Tangan Melati bergerak-gerak. Meiati tidak mau. Bunda dan Salamah yang mengerti maksud gerakan tangan itu berpandangan. Kan, itu kostum mereka malam ini" Biar terlihat seragam. Biar terlihat seru di jalanan kota nanti. Semua orang keluar dengan kostum merah-merah. Membuat ramai seluruh kota. "Baaa...." Melati mendengus sebal, gaun itu terlalu menjuntai. Ia tidak suka. Nggak asyik buat lari. Bunda tersenyum, berpikir sejenak, lantas melepasnya. Tidak apa-apa putrinya memakai baju lain, sepanjang putrinya senang. Siapa pula yang
bilang mereka harus seragam pergi ke festival kembang api" Melati mengangguk-angguk saat Bunda memakaikan baju terusan lengan pendek seperti biasanya.
Pukul 17.30, semua sudah siap. Menunggu di teras depan. Mang Jeje ngomel lagi. Berteriak tidak sensitif, "Apa sih yang Salamah siapkan?" Salamah lama banget baru keluar dari kamar. Membuat yang lain jengkel menunggu. Kecuali Melati yang sibuk menekan-nekan klakson mobil. Sibuk bertanya apa saja isi mobil. Stir. Persneling. Spion. Jok ('Ini kursi juga, ya"'). Dashboard. Gadis kecil itu amat antusias, karena ini jalan-jalan pertamanya ke luar dari rumah.
Beberapa menit berlalu, dua mobil beriringan menuruni lereng bukit. Matahari bersiap tenggelam. Langit terlihat Jingga. Bersih dari gumpalan awan. Malam ini sepertinya akan cerah. Dan itu kabar baik buat festival kembang api. Festival sebenarnya baru akan dimulai dua jam lagi. Tuan dan Bunda HK sengaja turun lebih cepat. Ada beberapa tempat yang harus dikunjungi terlebih dahulu. Yang pertama, rumah di gang-gang sempit itu. Permintaan Bunda. Berkunjung sebentar. Rusuh benar komplek padat itu saat mereka tiba. Pssst... pssst... pssst... kepala-kepala ingin tahu tertoleh. Keluar melongok dari jendela lantai dua ('Katanya mau bagi sembako" Menyahut. Kenapa nggak ada truk-nya"' Yang lain ikut menyahut 'Kayaknya masih survei"' 'Seprei" Loh, katanya bagi-bagi semen"'). Melati turun sendiri dari mobil. Dibimbing
Bunda masuk ke rumah. Tidak peduli dengan desis ibu-ibu yang seperti wartawan pencari gosip selebritis ngetop.
Kejutan. Ibu-ibu gendut tidak kuasa menahan tangis. Kali ini ia bisa memeluk Karang. Lihatlah, anak-asuh yang dulu amat dibanggakan suaminya sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi wajah kusut mabuk-mabukan setiap malam. Tidak ada lagi eskpresi tak-peduli dan mulut penuh sarkasme. Wajahnya kembali bercahaya oleh kebaikan. Wajah yang menyenangkan. Ibu-ibu gendut juga memeluk Melati. Menatap lamat-lamat kanak-kanak yang sekarang menggerung bertanya tentang: kenapa tubuh orang yang sedang dipegangnya besaaar sekaii.
Bunda dan Karang yang mengerti maksud gerakan tangan dan gerungan Melati tertawa kecil. Bunda menyalami ibu-ibu gendut dengan tatapan penuh penghargaan. Mengucap banyak terima-kasih. Ibu-ibu gendut menggeleng, "Tidak. Suamiku akan senang sekali melihat ini. Nyonya. Justru Nyonya-lah yang membantu banyak. Lihatlah, jagoan-nya berubah banyak sekali...." Bunda tersenyum, meski tidak mengerti. "Ah-ya, aku punya hadiah untuk Melati...." Ibu-ibu gendut teringat sesuatu. Rajutannya yang baru jadi. Ia sejak sebulan lalu tidak tahu mengapa ingin merajut sweater untuk anak-anak, tidak ada yang memesannya. Ternyata hari ini ada gunanya. Rajutan itu baru selesai tadi pagi. "Buat Melati...." Menyerahkan sweater biru.
Melati mengganguk-angguk. Maksudnya: Melati bilang terima-kasih. Merabanya. Sama seperti punya Pak Guru. Sweater 'hitam'. Nyengir. Memakainya.
Dua mobil itu meninggalkan gang-gang sempit setelah malam tiba. Lagi-lagi diikuti oleh pssst... pssst... pssst tetangga. Ibu-ibu gendut menolak ajakan Bunda HK menonton pertunjukan kembang api dari pelabuhan. Sejak sepuluh tahun terakhir ia menonton pertunjukan itu sendirian dari jendela kamarnya. Berharap malam ini, suaminya yang dulu suka sekali mengajak anak-anak asuhnya menonton pertunjukan itu 'hadir' bersamanya. Ah! Masih ada waktu satu jam lagi. Saatnya makan-malam. Karang berpikir mereka akan makan bersama di salah-satu rumah makan dekat pelabuhan tempat pusat pertunjukan. Ternyata tidak. Mobil itu justru mengarah ke tengah kota. Dia terlambat untuk bertanya. Terlambat untuk tahu, saat menyadari dua mobil itu masuk ke salah-satu gerbang rumah besar. Tidak masalah dengan rumah itu. Tidak masalah dengan halamannya yang juga luas. Yang masalah, lihatlah di teras depan, berdiri tiga orang menunggu....
Dokter Ryan, istrinya, dan tentu saja Kinasih. Tuing! Muka Karang seketika memerah. Beruntung, tidak ada yang memperhatikan. Semua sibuk turun dari mobil. Melati malah sok-tahu menarik Karang untuk turun. Menggerung pelan. Baaa.... Buruan. Karang mengusap wajah kebasnya. Dia tidak tahu kalau mereka akan makan malam di sini sebelum
pertunjukan. "Ba-aa-aaa...." Melati berseru-seru. Ayo turun, Pak Guru!
Bunda yang sudah di teras menoleh, melihat Melati yang masih berdiri di pintu mobil, berusaha menarik tangan Karang.
Karang menelan ludah. Sedikit canggung. Mendesis pelan, lantas melangkah turun. Entahlah siapa membimbing siapa. Melati menarik-narik tangan Karang. "Baaa..." Ayo, Melati sudah lapar. "Ah, kau tentu belum mengenal Pak Guru Karang, Ryan!" Tuan HK memegang bahu Dokter Ryan bersahabat (mereka masih terhitung kerabat dekat), tertawa lebar memperkenalkan Karang. "Tentu saja sudah, HK!"
"Sudah" Bukankah selalu Kinasih yang ke rumah?" "Aku memang belum pernah melihatnya secara langsung, tapi sebenarnya percaya atau tidak aku bahkan bisa melukis wajahnya.... Kinasih setiap hari sibuk bercerita di rumah." Dokter Ryan, yang lima tahun lebih tua dibanding Tuan HK tertawa lebar. Menjabat tangan Karang yang berkeringat. "Untuk ukuran seseorang yang tidak. memiliki pendidikan akademis mendidik anak-anak, kau benar-benar hebat. Karang! Aku tersanjung bisa bertemu denganmu." Dokter Ryan tersenyum. "Dia memang tidak punya itu, Ryan. Tapi dia memiliki hal yang jauh lebih penting...." Bunda menimpali.
Kepala-kepala tertoleh ke Bunda. Ingin tahu"Dia mencintai anak-anak, Ryan. Bukan! Bukan
karena mereka terlihat menggemaskan, tapi karena
menyadari janji kehidupan yang lebih baik selalu
tergenggam di tangan anak-anak...."
Entahlah, Karang tidak utuh mengikuti percakapan
hangat tersebut. Lehernya mendadak kaku. Dari
tadi ingin sekali menoleh. Menoleh seseorang. Tapi
lehernya lagi 'sakit', bukan" Jadi bagaimanalah"
Rombongan bergerak masuk ke dalam. Dipimpin
Melati yang sekarang sibuk menarik tangan Bunda.
Karang tertinggal di belakang. Dengan wajah kebas.
Wajah memerah. Salah-tingkah.
"Kau akan masuk atau menunggu di luar?"
Wajah cantik berkerudung lembut itu menegurnya.
Wajah yang tersenyum manis. Karang menelan
ludah untuk ke sekian kali.
Makan malam yang menyenangkan. Dokter Ryan dan istrinya berkali-kali menggeleng seolah tidak percaya menatap Melati yang takjim menghabiskan pasta mie-nya. Gadis kecil itu bertingkah amat manis. Wajah lucunya terlihat menggemaskan. Menyeruput satu helai mie yang panjang. Tertawa. Hanya sekali ia membuat 'keributan'. Saat memaksa sendiri mengambil air minum. Pegangannya terlepas. Terlalu berat. Tangan Karang bergerak cepat menyambar teko keramik. Bersamaan dengan tangan Kinasih.
PYAR! Keramik itu pecah-berantakan. "Ba-aa-aaa...." Melati menggerung pelan. Maksudnya, kan bukan Melati yang mecahin. Harusnya nggak pecah kalau Pak Guru Karang dan
Kinasih tidak mendadak menghentikan gerak tangan mereka menangkap keramik itu. Masalahnya yang Melati tidak lihat, tangan Karang dan Kinasih tidak sengaja bersentuhan, membuat terhenti semuanya. Tapi keributan itu cepat dibereskan. Makan malam terus berlanjut. Yang tidak segera beres itu 'keributan' di hati Karang.
Pukul 19.15, tiga mobil meluncur keluar halaman. Dokter Ryan dan keluarganya ikut serta, menuju pelabuhan. Di sanalah festival kembang api dipusatkan. Di atas teluk kota.
Melati berseru-seru senang. Duduk dengan kaki dan tangan yang terus bergerak-gerak. Ia tidak bisa melihat secara langsung keramaian yang ada di depannya. Tidak bisa melihat warna-warni pakaian orang yang memadati jalanan. Tidak bisa melihat gemerlap pertunjukan lampu sorot. Melati juga tidak bisa mendengar secara langsung dentum kembang api yang mulai melesat melukis langit. Tidak bisa mendengar seruan tertahan, seruan kagum penonton yang terpesona. Tapi Melati bisa melihat dan mendengar melalui teiapak tangan-nya. Karang dan Bunda yang duduk di sebelahnya bergantian melukiskan bentuk berpuluh-puluh kembang api yang melesat ke langit-langit kota. Ada yang seperti bola pijar besar. Ada yang mekar seperti bunga. Ada yang berpilin seperti dua ekor naga. Ada yang pecah membentuk konstelasi bintang-bintang. Ada yang mekar bekali-kali seperti kelopak bawang. Melati menggerung pelan. Kepalanya terangguk-angguk. Ia bisa memvisualisasikan sendiri bentuk kembang api itu dari guratan jemari Karang dan Bunda di telapak tangannya. Ia juga bisa membayangkan seperti apa dentum bunyinya. Dan tentu saja Melati bisa merasakan atmosfer kegembiraan yang ada. Melati tertawa. Rambut ikalnya bergerak-gerak. Ini semua menyenangkan.
Adalah setengah jam pertunjukan kembang api menghias langit. Ditingkahi dengan pesona lampu sorot ribuan watt. Malam itu, kota indah pesisir pulau itu terlihat bercahaya....
Selepas pertunjukan kembang api, festival yang sesungguhnya baru saja dimulai. Semua larut dalam kegembiraan. Semua warga turun memadati jalanan. Meniup terompet. Memainkan konfeti. Pita-pita panjang. Penjaja makanan memenuhi sudut-sudut kota. Pedagang souvenir dan hiasan unik berderet-deret memanjang. Pertunjukan seni khas tahun baruan China digelar di jalanan. Semalam suntuk. Jalanan ramai oleh pengunjung. Riang saling menyapa satu-sama-lain. Riang bertegur-sapa dengan kerabat lama. Teman lama. Tetangga lama. Juga 'pacar' lama. Itulah yang dilakukan Salamah sekarang. Sejak tadi sudah pamit. Tersipu malu bilang ingin ketemu seseorang. Bunda tertawa kecil, mengangguk. Mang Jeje dan pembantu lainnya juga sudah memisahkan diri. Mereka juga ingin bertemu dengan teman-teman dan kerabat lama. Saling bertanya kabar. Tuan HK, Bunda, Karang, Melati, dan keluarga Dokter Ryan berjalan menyelusuri jalanan. Lampu
hias bertebaran sepanjang jalan. Karena Tuan HK amat dikenal di kota itu, maka banyak yang menyapa. Sudah tiga tahun terakhir keluarga HK tidak ikut festival kembang api. Kejutan. Dan lebih mengejutkan lagi melihat Melati ada bersama mereka. Lihatlah! Gadis kecil itu terlihat nyaman berada di tengah keramaian. Kepalanya menoleh kesana kemari seperti bisa melihat. Mengangguk-angguk seperti bisa mendengar. Sama sekali tidak terlihat keterbatasannya. Satu-dua yang terhitung masih kerabat, kolega bisnis, teman dekat menyempatkan mengusap-usap rambut Melati, bahkan sekali-dua mencubit pipi tembamnya. Melati awalnya sih tidak peduli. Asyik-asyik saja. Tapi lama-kelamaan ia jengkel juga di cubit-cubit. Menggerung marah. "BAAA...." Sakit tahu! Meiati tidak suka. Yang lain tertawa melihat ulahnya.
Malam semakin tinggi. Suasana tambah ramai.
Melati duduk ditemani Bunda, Tuan HK, Dokter Ryan dan istrinya di bawah salah-satu kanopi payung. Menghabiskan es krim besar. Karang" Kinasih" Keramaian ini tidak sengaja membuat Karang dan Kinasih terpisah dari rombongan. Bagaimana tidak" Yang lain sibuk menyapa, bertegur-sapa ramah dengan pengunjung lain, mereka berdua justru sibuk. saling melirik, sembunyi-sembunyi.
(Tidak) sengaja tertinggal dari rombongan. Berdua sekarang berdiri di tepi pelabuhan. Menatap lurus ke
depan, ke arah lima kapal pesiar yang membuang sauh persis di tengah-tengah teluk. Kapal-kapal itu terlihat gemerlap oleh cahaya. Pemandangan yang hebat. Apalagi bintang-gemintang berserakan di atas sana, bersama bulan sabit menjadi kanvas pertunjukan.
Mereka sejak lima belas menit lalu hanya berdiam diri. Membiarkan angin malam membelai rambut. Senyap dalam keramaian.
Karang mengusap wajahnya. Ternyata susah sekali untuk memulai pembicaraan ini. Apa yang harus dia katakan"
Kinasih tersenyum lebar tetap memandang ke depan. Bagi Kinasih, pergi malam ini bersama Karang (dan yang lainnya) sudah amat menyenangkan. Apalagi sekarang berdiri berdua, meski terpisah jarak tiga langkah (seperti temanan yang lagi musuhan). Ia sudah bahagia dengan banyak hal. Jadi ia tidak memikirkan untuk bicara apapun sekarang, selain menikmati kebersamaan ini. Karang sebaliknya. Dia ingin bicara. Mengajak gadis berkerudung lembut di sebelahnya bercakap-cakap. Sudah lama sekali mereka tidak melakukannya. Ingin bertanya kabar. Ingin bertanya banyak hal. Entahlah. Apa saja.... Tapi mulutnya seperti tertutup.
Salah satu kapal pesiar membunyikan dengking suara 'klakson'nya. Buuungggg.... Mendengung panjang. Membuat pengunjung yang memadati pelabuhan berseru sorak-sorai membalasnya, meniup terompet. Karang menyeka dahi. Menoleh,
menatap wajah gadis berkerudung di sebelahnya. Lihatlah, wajah yang teduh, wajah yang tersenyum bahagia. Karang menelan ludahnya. "Ergh...."
Kinasih menoleh. Ya"
Karang menelan ludah. Kinasih menatapnya. Menunggu.
"Ergh, a-ku...." Karang tertegun sejenak menatap wajah itu, lantas sekejap tersenyum, "Aku juga rindu padamu-"
Salah satu kapal pesiar lainnya ikut membunyikan dengking suara 'klakson'nya. Tidak mau kalah. Buuungggg....
Saat yang tepat untuk merajut kembali semua cerita.
Epilog Malam itu, Senin, 21 Mei. Lima hari sejak festival kembang api yang meriah. Gerimis membasuh kota. Sebenarnya bulan-bulan ini sudah masuk musim kemarau, tapi satu-dua kali hujan masih singgah mengirim kebaikan langit. Membuat udara terasa sejuk dan menyenangkan. Bunda menemani Melati tidur. Bercerita (Bunda memang belum jago mendongeng seperti Karang, tapi ia sekarang sudah punya puluhan koleksi buku dongeng). Tangan Melati terjulur menyentuh bibir Bunda. Menggerung pelan mendengarkan. Satu-dua ia bertanya, memotong. Bunda tersenyum menjelaskan. Melanjutkan cerita lagi. Terpotong lagi. Kanak-kanak itu selalu antusias mendengarkan cerita, meski sekarang ia sebenarnya baru menebak-nebak maksud getar suara Bunda; baru lima tahun lagi ia utuh mengerti ribuan kata-kata dengan menyentuh bibir lawan bicaranya. Malam yang larut membuatnya mengantuk. Melati menguap lebar. Bunda terus bercerita sambil menatap lembut wajah menggemaskan putrinya. Bundar. Pipi tembam. Rambut ikalnya luruh di dahi.
Mata hitam biji buah lecinya redup. Sekali terpejam, sekali terbuka.
Lima hari terakhir banyak sekali kejadian seru yang dialami putri cantiknya. Bunda tersenyum. Persis ketika semua sibuk naik mobil, bersiap pulang dari festival kembang api lima hari lalu, saat itulah ia baru menyadari Melati sudah hilang di sampingnya. Padahal beberapa detik lalu masih sibuk menggerung, bersenandung.
Membuat rusuh satu pelabuhan. Semua ikutan mencari Melati. Petugas keamanan juga dilibatkan. Bunda panik sekali. Berseru-seru. Menangis tertahan. Bagaimanalah kalau putrinya kenapa-napa di tengah keramaian. Bagaimanalah kalau ia tidak sengaja terjatuh di dermaga" Terjepit apalah" Tertimpa apalah"
"Tenang, Nyonya! Anak itu bahkan bisa menaklukkan seluruh kota! Ia akan baik-baik saja!" Karang mencengkeram tangannya, mencoba menenangkan. Tapi bagaimanalah ia akan tenang" Hanya Karang, ia, suaminya, Salamah, dan anggota keluarga mereka yang tahu cara berkomunikasi dengan Melati. Bagaimana kalau....
Malam itu, hilangnya Melati membuat sisa festival kembang api jadi terganggu. Seluruh pelabuhan diperiksa ramai-ramai.
Menjelang shubuh, ketika semua sudah lelah mencari, ketika petugas keamanan bersiap mengerahkan anggotanya lebih banyak. Bunda yang tertatih dibimbing Karang dan Tuan HK akhirnya menemukan kanak-kanak itu. Lihatlah, gadis kecil
itu sedang sumringah, tertawa lebar. Berdiri di antara nelayan yang baru pulang dari melaut di pelelangan ikan.
"Wooiii, ADA HIU!" Terdengar teriakan kencang. Antusias.
Nelayan-nelayan lain segera merapat, mendekat ingin tahu. Selalu menarik melihat ada yang pulang membawa 'hiu'.
Melati sudah menyeruak di tengah-tengahnya. Tertawa-tawa sok-tahu memeluk ikan hiu itu. Yang besaaar sekali. Menggerung. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. Membuat nelayan-nelayan di sekitarnya bingung, siapa pula anak kecil ber-sweater biru ini" Tiba-tiba menyibak orang-orang. Sok-penting menarik-narik ikan hiu itu. Bunda berlarian melihat putrinya, menangis memeluk Melati. Gadis kecil itu malah menggerung rileks: Bunda, ada ikan, besaaar banget! Tertawa lebar.
Bunda tersenyum mengenang kejadia lima hari lalu itu, sejenak terhenti dongeng-nya. Menatap lembut wajah Melati. Membelai rambut ikal mengombak putri semata wayangnya. Mata Melati sudah semakin redup. Lebih banyak terpejam dibandingkan terbukanya sekarang. Sebentar lagi ia akan tertidur.... Setamat tidur.... Mimpi yang indah, sayang, Bunda berbisik pelan di telinga Melati, tersenyum. Mimpi indah seperti dongeng-dongeng yang pernah diceritakan Pak Guru Karang.... Pernah" Pak Guru Karang"
Dua hari lalu Melati merajuk. Benar-benar merajuk.
Lebih besar dan lebih heboh dibandingkan sebelum ia tahu cara berkomunikasi. Membuat susah seluruh isi rumah. Penyebabnya sederhana saja. Karang memberitahu kalau dia akan kembali ke ibu-kota (bersama Kinasih). Ada banyak pekerjaan yang tertunda di sana. Ada banyak yang harus dia kerjakan di sana. Melati seketika berteriak-teriak marah. "BAAAA.... MAAAA...." Pak Guru Karang tidak boleh pergi. TIDAK BOLEH. Untuk pertama-kalinya Melati mengenal kosa-kata pergi, dan itu langsung terasa menyakitkan.
Tapi Karang harus pergi. Melati memang anak pertama yang ia tangani setelah kejadian tiga tahun lalu itu. Tapi jelas bukan anak terakhir yang berhak mendapatkan janji masa depan yang lebih baik. Karang memutuskan kembali ke ibu-kota. Bunda bisa menjadi guru yang baik bagi Melati. Bunda akan belajar banyak, bersamaan dengan Melati belajar.
Maka marah tak tertahankan-lah kanak-kanak itu. Selama dua hari merajuk tanpa henti. Menolak bicara dengan Karang. Menolak bertemu. Menolak makan. Apa saja. Bahkan ia ikut membenci Kinasih saat gadis berkerudung itu datang. Ia tidak suka sendirian. Ia sudah bertahun-tahun mengerti bagaimana rasanya sendiri di dalam kamar kosong dan gelap itu. Saat ia tahu, saat ia mengerti, seseorang yang selalu amat ia hafal kehadirannya, seseorang yang membantu memberikan sejuta cahaya aurora, justru memutuskan pergi. Tuan HK sampai perlu 'membujuk' Karang. Menjanjikan
banyak hal. 'Memohon'. Sayang, keputusan itu sudah bulat. Karang harus pergi.
Bunda bisa menerima situasinya, meskipun ia sungguh berharap Karang akan selalu bersama Melati. Ia mengerti, ada banyak kanak-kanak lain yang membutuhkan Karang. Bunda hanya bisa menatap sedih putrinya yang duduk memeluk lutut di bawah anak tangga pualam sepanjang hari. Melati benar-benar keras-kepala. Ia bahkan pura-pura tidak bisa 'bicara' lagi dengan seluruh anggota keluarga selama dua hari terakhir. Berteriak-teriak persis seperti sebelum ia tahu cara berkomunikasi.
Tapi tadi sore, saat Karang bersiap dengan koper lusuh dan mesin ketik tuanya. Saat Kinasih datang menjemput. Saat mereka siap pergi menumpang kereta malam. Entah mengapa gadis kecil itu berlari turun dari kamar birunya. Tersandung. Jatuh berdebam. Berdiri lagi. Berlarian mengejar Karang yang sudah bersiap menaiki mobil. Mengejar Karang yang tadi menelan ludah kecewa karena gadis kecil itu mengurung diri di kamar biru. Menolak bertemu. Saat Karang sudah membuka pintu mobil, Melati menggerung, berteriak-teriak dari ruang tengah. Menangis. Kanak-kanak itu menangis. Memanggil. Melangkah terhuyung. Kakinya tadi terkena anak tangga, sakit sekali. Berusaha mendekat. Membuat semua kepala tertoleh. Bunda seketika menangis melihat putrinya. Tuan HK mengusap ujung-ujung matanya.
Lihatlah, gadis kecil itu menggenggam erat-erat ayam kate putih Mang Jeje. Mulutnya menggerung-gerung. Tangannya bergerak-gerak membuat tanda. Pipinya basah.... "Baaa.... Maaa.... Baa, maaa." Karang jongkok. Mencium kening Melati. Sore ini, Melati ingin melepas ayam kate Mang Jeje. Sebagai simbol. Sebagai wujud penghargaan.... Ia benci sekali Karang pergi. Ia benci sekali. Tapi ia ingin melepas kepergian Karang dengan penuh-pengharapan. Semoga perjalanan Pak Guru Karang baik-baik saja. Ia melepas seekor burung untuk. Karang (meski tidak untuk Kinasih). Ia ingin melepas burung benaran awalnya, tapi di rumah kan tidak ada burung.
"Baaa.... Ma...." Gadis kecil itu menangis. Menjelaskan maksudnya. Patah-patah. Lantas sekejap, bergetar membuka tangannya, membiarkan ayam kate Mang Jeje terbang (sebenarnya loncat)....
Karang mendekapnya. Berbisik rasa terima-kasih. Bunda menghela nafas pelan. Ah, lima hari terakhir banyak sekali kejadian seru yang dialami putri semata wayangnya. Bunda pelan menyelimuti Melati. Mengecup lembut dahinya. Putrinya sudah jatuh tertidur. Seperti malaikat kecil. Hari-hari terakhir meski di sana sini banyak hal mengharukan, membuat panik, tegang, susah, tapi semuanya berjalan penuh harapan dan janji masa depan yang lebih baik. Perubahan-perubahan.... Bunda berjinjit turun dari ranjang, biar tidak berisik
mengganggu tidur putrinya. Lantas beranjak melangkah meninggalkan Melati.
"Baaa...." Gadis kecil itu tiba-tiba menggerung pelan. Bunda menoleh. Bukankah Melati sudah tidur" Mata Melati terbuka lagi. Tangannya bergerak pelan. "Ada apa, sayang?" Bunda tersenyum, naik lagi ke atas tempat tidur. "Baaaa...."
Ya, apa, sayang" Bunda menunggu. Ia tahu gerungan Melati barusan maksudnya adalah kata: Bunda. Menatap tersenyum wajah Melati. "Baaa, maaa.... Baa.... Maa...." Melati menggerung pelan, nyengir, memperlihatkan gigi-gigi kelincinya. Bunda tertegun. Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Meski pelan, jika kalian tahu artinya, gerungan itu sungguh membuncah hati.
Ya Allah, dulu ia selalu bermimpi putri semata wayangnya akan menyebutkan kalimat indah itu. Dulu ia bermimpi... bahkan ia kemudian malah membenci mimpi-mimpi itu karena seluruh sisa pengharapan sepertinya akan berakhir sia-sia.... Malam ini tidak lagi. Sungguh tidak lagi. Bunda mendekap erat-erat tubuh 'malaikat kecil'-nya. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Sungguh, ia terharu sekali. Sungguh hatinya seperti mencair. Merekahkan perasaan bahagia tiada tara. Terima kasih ya Allah! Terima kasih. Mungkin kami tidak akan pernah mengerti di mana letak keadilan-Mu dalam hidup. Karena mungkin kami terlalu bebal untuk mengerti. Terlalu 'bodoh'. Tapi kami tahu satu hal, malam ini kami meyakini satu
hal, Engkau sungguh termurah hati. Engkau sungguh maha pemurah atas seluruh hidup dan kehidupan.
Lihatlah, kanak-kanak berumur enam tahu, kanak-kanak yang buta, tuli, sekaligus bisu itu. Kanak-kanak yang seolah-olah dunia terputus darinya, baru saja mengatakan kalimat indah itu! "Bunda, met bobo, juga.... Moga Bunda disayang Allah...."
CATATAN: Cerita ini diilhami kisah nyata Hellen Adams Keller (Alabama, 1880-1968). Keller lahir 27 Juni 1880, Ivy Green, Tuscumbia, dengan ayah Kapten Arthur H Keller dan ibu Kate Adams Keller. Ia sebenarnya tidak terlahir buta dan tuli (sekaligus bisu), hingga usia 19 bulan ketika semua keterbatasan itu datang.
Tahun 1886, ibunya yang terinspirasikan sebuah catatan Charles Dickens dalam American Notes tentang pendidikan yang sukses untuk anak buta-tuli memutuskan pergi ke Baltimore. Menemui Alexander Graham Bell, seorang penemu besar yang saat itu juga sedang menangani anak-anak tuli.
Bell menyarankan pasangan itu ke Institute Perkins for The Blind, di Boston, Massachusetts. Institut itu kemudian mengirimkan Anne Sullivan, yang juga bermasalah dengan penglihatan dan baru berusia 20 tahun untuk menjadi guru Helen. Maka dimulailah hubungan selama 49 tahun yang menakjubkan tersebut.
Sullivan mendapatkan ijin ayah Helen untuk
meng-isolasi gadis kecil yang nakal, tidak disiplin itu di taman rumah mereka. Setelah begitu banyak kesulitan, Helen akhirnya menemukan cara untuk berkomunikasi ketika ia menyadari gerakan jari gurunya di telapak tangan bersamaan dengan aliran air sebagai simbol dari kata: air. Kemampuan yang kemudian membuatnya menghujami gurunya dengan begitu banyak pertanyaan. Apa saja.
Tahun 1890, Hellen mulai belajar bicara dengan menggunakan metode Tadoma, ia juga kemudian menguasai membaca huruf Braille dalam lima bahasa: Inggris, Perancis, Jerman, Yunani dan Latin. Tahun 1904, pada umur 24 tahun, Helen lulus dari Radcliffe dengan gelar magna cum laude, menjadi orang pertama buta di seluruh dunia yang lulus dari universitas.
Helen menjadi pembicara dan penulis yang amat terkenal di dunia. Ia aktivis kemanusiaan, mendirikan Hellen Keller International untuk mencegah lebih banyak lagi kasus kebutaan di masyarakat. Mengelilingi lebih dari 39 negara bersama gurunya. Memiliki teman dan kolega yang amat terkenal mulai dari Lyndon B Johnson, Alexander Graham Bell, Charlie Chaplin dan Mark Twain.
Kisah hidupnya sudah difilmkan berkali-kali. The Miracle Worker (1962), mendapatkan penghargaan Oscar untuk pemeran artis terbaik (Anne Bancroft yang memerankan Anne Sullivan), dan pemeran artis pendukung terbaik (Patty Duke yang memerankan Hellen Keller).
Film India yang berjudul Black (yang menjadi dasar utama pembuatan novel ini) juga berdasarkan cerita
Hellen Keller. Mendapatkan pernghargaan film terbaik India tahun 2005. Mendapatkan 11 penghargaan, terbanyak sepanjang sejarah perfilman. Tidak ada tari-tarian, tidak ada nyanyian, tidak ada pernak-pernik stereotype film India yang kalian kenal selama ini. Yang ada hanya sebuah cerita yang amat mengharukan....
Hellen menulis sebelas buku dan sejumlah artikel, warisannya pada dunia. Tapi di atas itu semua, Hellen mewariskan semangat hidup luar biasa yang pernah ada. Optimisme. Courage. Ia bisa melakukan banyak hal dibandingkan orang-orang yang justru bisa melihat dan bisa mendengar. Gadis kecil yang buta, tuli (sekaligus juga bisu). Yang seolah terputus dunia dan seisinya. Melakukan banyak hal! Kita" Ah, urusan ini seharusnya membuat malu dan berpikir....
(informasi tambahan, lihat: ht0://en.wikipedia. org/wiki/hellen_keller)
9.931 Hari Ketika menyelesaikan naskah novel ini, umurku sudah 9.931 hari. 61 hari lagi genap 10.000 hari. Itu akan terjadi pada hari Jum'at, 6 Oktober 2006, Aku tidak merayakan hari itu. Hanya di dua-pertiga malamnya berniat mengambil selembar kertas, sepotong pensil. Berniat menuliskan semua waktu yang pernah ku-sia-siakan, Semua hari yang sengaja atau tidak pernah ku telantarkan. Pasti daftarnya akan panjaaang sekali, Ini novel kedua yang bercerita tentang anak-anak dan diterbitkan Penerbit Republika. Kalian amat direkomendasikan untuk membaca "Hafalan Shalat Delisa". Sepotong cerita mengharukan tentang kanak-kanak. Novel yang saat menuliskannya, benar-benar menguras seluruh energi spritiual. Ah, dalam urusan ini, aku jelas lebih banyak belajar pada mereka dibandingkan mereka belajar dariku. Buat kalian yang ingin mengirim saran, kritik, komentar, cerita, apa saja silahkan kirim email ke maibelopah@yahoo.com, atau mengunjungi www.friendster.com juga dengan alamat email yang sama. Aku dengan senang hati berusaha untuk selalu membalas pesan yang terkirim. Terima-kasih banyak buat siapa saja yang berbaik
hati membuat resensi, rekomendasi, dan sebagainya novel-novel ini, Semoga bagai air yang mengalir melalui talang-talang rendah, bagai deru pesawat yang bisa didengar siapa saja, kebaikan yang datang dari cerita ini bisa tersampaikan ke banyak orang. Amin.
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Manusia Penyebar Kutuk 2 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Pendekar Tanpa Tanding 2

Cari Blog Ini