Ceritasilat Novel Online

Thalita 3

Thalita Karya Stephanie Zen Bagian 3


*** Thalita menerima arum manis yang disodorkan Darren, dan langsung mencuili benda
itu dengan penuh semangat. Malam ini mereka sedang jalan-jalan di pasar malam yang
kebetulan ada di dekat kompleks perumahan Thalita. Thalita jelas girang banget,
soalnya udah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia ke pasar malam. Bukan berarti
sebelum-sebelum ini nggak ada, tapi Thalita kan bete aja gitu kalau ke pasar malam
sendirian. Gimana kalo di situ ada mas-mas jablay iseng yang doyan gangguin cewek
yang datang sendirian kayak dia"
Satu jam yang lalu Thalita agak kaget waktu Darren bilang mau mengajaknya ke
sini. Darren bilang sih, dia tadi melewati pasar malam ini dalam perjalanan ke rumah
Thalita, dan mendadak jadi punya ide untuk mengajak Thalita jalan-jalan ke situ.
Yah, seperti sudah diduga, intensitas Darren main ke rumah Thalita memang
semakin sering, dan semakin membuat Acha curigation (ini istilah ngaco anak bengal ini
sendiri untuk mendefinisikan perasaannya, karena mana ada sih kata curigation di
kamus bahasa Inggris mana pun") Darren dan kakaknya sudah jadian. Papa-Mama
juga sumringah karena melihat Thalita nggak kehilangan semangat hidup lagi sejak
meninggalnya Andra. "Sayang ya, di sini ukuran permainannya mini semua, kita jadi nggak bisa naik
deh," celoteh Thalita sambil menunjuk komidi putar yang jelas-jelas memasang tulisan
"untuk anak usia 3-10 tahun" yang ada di depan mereka.
"Emang kenapa" Lo masih kepingin naik?" tanya Darren geli.
"Iya sih" tapi daripada permainannya jebol dan gue dimintain ganti rugi sama
yang punya, mending nggak usah deh, hehe?"
Darren tertawa. Dia udah sangat terbiasa dengan segala tingkah Thalita yang polos
dan lucu itu, terutama sejak frekuensi mereka bareng meningkat seminggu belakangan
ini. Dan ia sangat menikmati semua itu.
Lalu, tiba-tiba Darren teringat obrolannya dengan Tatyana kemarin, dan dia nggak
bisa menahan diri untuk bertanya.
"Tha, gue mau nanya sesuatu, boleh?"
Thalita berhenti mencuili arum manisnya, dan menatap Darren. Mau nanya apa
dia" batin Thalita heran. Jangan-jangan" dia mau nembak gue sekarang" Haduh,
Tuhan, tolong! "Mmm" boleh" Nanya aja"," jawab Thalita, deg-degan karena sama sekali nggak
punya persiapan kalau dugaannya soal apa yang bakal ditanyakan Darren ternyata
benar. "Apa dulu lo sama Tatyana pernah bikin" suatu kesepakatan?"
Kalau saja mulut Thalita masih penuh dengan arum manis, dia pasti sudah
tersedak. Untung semua arum manis di dalam mulut sudah habis ditelannya, jadi dia
sekarang hanya bengong. "Eh" ng" kesepakatan apa maksud lo?" tanya Thalita sok nyantai. Dia nggak tahu
kalau Darren sebenarnya udah tahu semuanya dari Tatyana.
"Hmm" sebenernya gue agak malu ngomongnya, tapi" kesepakatan itu tentang
Tatyana yang minta lo untuk pedekate gue."
Sekarang, nggak peduli ada atau nggak ada arum manis di dalam mulutnya, Thalita
benar-benar tersedak. "Uhukkk" Uhukkkk?"
"Eh, Tha, lo nggak papa?" tanya Darren khawatir. Dia menepuk-nepuk punggung
Thalita lembut, dan jadi merasa nggak enak karena udah mengajukan pertanyaan yang
bikin Thalita tersedak saking kagetnya.
"Uhukk" nggak papa. Nggak papa?"
"Sori, pertanyaan gue bikin lo kaget, ya?"
"Mmmhh" iya" sedikit?" Thalita menggigit bibirnya.
"So" Itu bener apa nggak?"
Thalita memutar otak. Aduuhh" kalau gue jawab jujur, nanti Darren tahu dan dia
bisa ngamuk sama Tatyana" batin Thalita bingung. Tapi gue juga nggak enak harus
bohong sama dia" Darren rupanya bisa melihat tampang Thalita yang pusing tujuh keliling, jadi dia
menambahkan, "Tenang aja, sebenernya Tatyana sendiri udah cerita ke gue. Gue cuma
pengin mastiin aja ke lo."
Hah" Jadi dia udah tahu" Dan cuma pengin mastiin aja" pikir Thalita keki.
"Yah" kalau lo udah tahu sih, gue mau ngomong apa lagi" Itu bener?" Thalita
menelan ludah. Dia merasa malu sekali. "Eh, tapi gue sama Tatyana udah membatalkan
kesepakatan itu kok," tambahnya cepat, takut Darren mengira sekarang mereka dekat
karena Thalita masih "utang" menepati janji pada Tatyana.
"Iya, Tatyana juga bilang gitu kok." Darren menendang batu-batu kecil yang
kebetulan berada di depan kakinya. "Jadi" sekarang ini kita bisa dekat bukan karena
lo dipaksa Tatyana, kan?" tanya Darren memastikan.
Thalita kontan menggeleng. "Nggak lah, Ren?"
Darren tersenyum, sementara Thalita masih merasa nggak enak dalam hatinya.
"Sebenernya," lanjut Thalita, "kalau boleh jujur, gue memang dulu awalnya
berusaha deketin lo karena disuruh Tatyana. Dia nggak tega lihat lo kecewa terusmenerus sama cewek yang bikin lo patah hati dulu itu. Tapi setelah gue kenal elo" gue
justru merasa berterima kasih sama Tatyana. Kalau dulu dia nggak nyuruh gue,
mungkin gue nggak akan tahu lo ternyata orang yang menyenangkan banget."
"Oh, jadi gue nggak kelihatan menyenangkan ya kalo dari luarnya aja?"
"Haha" bukan gitu. Tapi lo kan" cakep. Idola sekolah. Dan biasanya cowokcowok semacam itu tuh belagu banget. Snob. Gue nggak nyangka aja lo ternyata orang
yang care sama temen dan friendly banget."
Darren tampak terpukau karena Thalita barusan memujinya.
"Tapi sekarang udah ketahuan kan kalo gue humble, nggak sok seperti yang lo
bayangin sebelumnya?"
"Itulah. Dan gue senang banget bisa kenal Darren yang humble itu," kata Thalita
lucu, sengaja menekankan suaranya pada kata "humble".
"Gue juga seneng banget karena lo ngasih gue kesempatan untuk bisa mengenal lo.
Makasih ya, Tha." Thalita cuma bisa merah padam seperti kepiting rebus waktu dia menyadari tangan
Darren sudah melingkari bahunya. Rasanya aneh, tapi juga" hangat. Sama seperti
ketika Darren memeluknya sebelum-sebelum ini.
Dengan heran Thalita tersadar, perasaan hangat seperti inilah yang dulu dimilikinya
kalau Andra ada di dekatnya. Sekarang ada orang lain yang mampu menghadirkan
perasaan yang sama di hatinya setelah Andra nggak ada.
*** Darren menghentikan motornya di tepi jalan, tepat di puncak bukit. Thalita turun dari
jok motor dan melepas helm teropongnya. Angin dingin menerpa, tapi Thalita nggak
sempat menggigil, karena dia sudah keburu melongo saat dihadapkan pada
pemandangan indah yang membentang di depannya.
Malam ini Darren bilang mau menunjukkan sesuatu yang indah pada Thalita.
Tadinya Thalita bingung "sesuatu" itu apa. Tapi sekarang dia tahu, pasti yang
dimaksud Darren pemandangan lembah dengan lampu-lampu beraneka warna dari
rumah-rumah penduduk di bawah sana.
Mereka sudah berkendara satu jam lebih dari rumah Thalita, dan pastinya sekarang
berada di luar Jakarta, entah di kawasan apa, tapi yang jelas udaranya masih sejuk.
Thalita bahkan bisa mendengar suara jangkrik bersahutan di sekitarnya.
"Lo suka?" tanya Darren.
"Ini" ini bagus banget, Ren" Dari mana lo tahu ada tempat sebagus ini?"
"Dari sopir gue waktu kecil, namanya Mang Ujang."
Thalita mengangkat alis, heran. Darren tahu tempat sebagus ini dari sopirnya
semasa kecil" "Lo pasti masih ingat ortu gue udah cerai?" tanya Darren.
Thalita mengangguk. "Jauh sebelum itu, sejak bertahun-tahun sebelumnya, Papa dan Mama udah sering
bertengkar. Mereka selalu adu mulut di rumah, apalagi setelah Mama ketahuan
berselingkuh. Waktu itu" gue sendiri nggak tahu gimana gue bisa melalui masa-masa
itu. Tapi yang gue ingat adalah, setiap malam saat Mama nggak pulang dan Papa
memilih untuk mendekam di kantornya, gue dan Tatyana menangis sepanjang malam
di kamar. Besoknya kami bangun dan ke sekolah dengan mata bengkak?"
Darren tertawa kecil, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Thalita sampai
bingung harus ngomong apa, jadi dia membiarkan Darren melanjutkan ceritanya.
"Mang Ujang selalu sedih kalau melihat mata gue dan Tatyana bengkak setiap dia
mengantar kami ke sekolah. Jadi suatu malam, waktu Papa dan Mama nggak ada di
rumah seperti biasa, dia mengajak kami jalan-jalan" ke sini."
"Ke sini?" "Iya. Dia bilang, semasa remajanya dulu, apalagi sewaktu ayahnya baru meninggal,
dia selalu ke sini untuk memandangi lampu dan mendengar suara jangkrik setiap
malam. Kadang menghitung bintang juga. Semua itu dia lakukan untuk melupakan
rasa sedihnya, and it works. Jadi dia pengin gue dan Tatyana bisa melakukan hal yang
sama. At least, kalau ada sesuatu yang terlalu indah di depan mata untuk dikagumi, gue
dan Tatyana nggak akan ingat kenangan buruk tentang ortu kami lagi."
Darren merentangkan tangannya lebar-lebar dan menghela napas dalam, seolah
ingin menyimpan seluruh udara sejuk yang ada di bukit itu ke dalam paru-parunya.
"Sejak itu, gue dan Tatyana nggak pernah menangisi ortu kami lagi. Kami diajak ke
sini setiap malam, dan Mang Ujang mengajak kami ngobrol segala macam, sampai
kadang gue merasa" gue lebih menyayangi dia daripada menyayangi bokap gue
sendiri?" "Mang Ujang baik banget, ya" Gue jadi kepengin ketemu dia?"
"Gue juga, Tha. Di saat-saat sedih, gue selalu ingat dia. Sayang, kami nggak pernah
bisa ketemu lagi?" "Kenapa" Mang Ujang pindah ke kota lain?"
"Iya. Sekitar empat tahun yang lalu, Mang Ujang nikah, setelah itu dia pindah ke
Banda Aceh bersama istrinya. Tapi?"
"Lo lose contact sama dia?" tebak Thalita.
Darren menggeleng. "Mang Ujang, juga istrinya" termasuk di antara ribuan korban
tewas dalam bencana tsunami di Aceh?"
"Ya Tuhan," gumam Thalita pahit.
"Gue bener-bener nggak tahu harus gimana waktu itu. Gue nggak habis pikir
kenapa orang sebaik Mang Ujang bisa bernasib begitu buruk, sementara banyak orang
jahat di dunia ini punya nasib yang jauh lebih baik."
"Yah" we never know. Itu kan rahasia Tuhan, Ren. Banyak rencana Tuhan yang
memang nggak bisa dinalar logika manusia."
"Iya juga sih. Dan dengan kejadian itu gue jadi bisa lebih kuat, plus ingat untuk
sering-sering datang ke tempat ini lagi, sekadar mengingat gimana baiknya Mang
Ujang dulu ke gue dan Tatyana."
"Terus" kenapa lo sekarang ngajak gue ke sini?"
"Karena dulu gue pernah janji sama Mang Ujang, kalau suatu saat gue kenal
seseorang yang istimewa buat gue, gue akan mengajaknya ke tempat ini."
Thalita mendongak, dan sekali lagi memandangi pemandangan luar biasa yang
terpampang di hadapannya. Ini semua memang indah, tapi mendengar Darren
menganggapnya istimewa entah mengapa membuat semua pemandangan itu jadi
terlihat sejuta kali lebih indah.
*** Thalita menutup pintu depan rumah dengan senyum yang masih mengembang lebar.
Dia nggak menyadari ada seseorang yang menunggunya di ruang tamu.
"Hei." Thalita menengok, dan melihat Acha berdiri di belakangnya dengan tampang
penuh rasa ingin tahu. Idiihhh"
"Apa?" "Gue to the point aja ya, sebenernya lo sama Darren udah jadian belum sih?"
Kalau ini di dalam komik, pasti sudah muncul gambar keringat segede gaban di
kepala Thalita. "Emang kenapa?" tanya Thalita nggak minat. Di sekolah, Nita merongrongnya
dengan pertanyaan ini, eh" sekarang di rumah, Acha juga melakukan hal yang sama!
"Ya kan kalau udah jadian, ada pajaknya," jawab Acha sambil mengedip usil.
Oohh" ternyata ini maksud Acha nanya-nanya! gerutu Thalita dalam hati. "Kalau
udah urusan perut aja, dia mau repot!
"Gue belum jadian kok."
"Ah" jangan bohong!" Acha maju beberapa langkah dan menepuk bahu Thalita
kuat-kuat. "Atau lo mau menghindar dari kewajiban nraktir" Jangan harap ya! Dulu
waktu gue baru sepuluh menit jadian sama Ruben, lo udah nodong traktiran! Jadi
jangan kira sekarang gue nggak akan melakukan hal yang sama!"
"Apaan sih" Orang gue jawab jujur, juga!" Thalita mulai sewot.
"Eh" Jadi bener nih belum jadian" Tapi, Tha, kok gue lihat kalian dekeeettt banget
gitu. Dan itu kan" udah hampir dua bulan" Masa Darren masih pedekate sih"
Kelamaan tau! Lo bisa keburu basi ntar!"
Thalita terdiam, dalam hati mengakui kata-kata Acha ada benarnya juga. Sudah
hampir dua bulan sejak Darren meminta kesempatan pada Thalita untuk menggantikan
Andra, tapi sampai sekarang Darren belum nembak juga.
Bukannya Thalita mau buru-buru ditembak sih, tapi kan"
Okeee" sekarang dia memang MENGHARAP Darren bakal segera menyatakan
perasaannya. Soalnya, jujur aja nih, Thalita mulai gerah sama pertanyaan orang-orang
di sekitarnya soal status dia dan Darren. Dibilang belum jadian, nggak ada yang
percaya. Tapi dibilang jadian juga belum, dan Thalita nggak mau sok berkoar-koar. Bisa
gawat kan kalau Darren tahu soal ini dan buntut-buntutnya malah ilfil"!
Selain itu" Thalita juga menyadari, dia sudah benar-benar sayang sama Darren.
Cowok itu selalu ada di dekatnya saat dia butuh, dan selalu bisa mengerti dia. Seperti
menemukan pengganti Andra dalam sejuta kali lebih baik. Dan Thalita nggak bisa
membayangkan kalau nantinya dia bakal kehilangan Darren. Sama siapa lagi dia bisa
ngobrolin bola sampai berjam-jam" Sama siapa lagi dia bakal menjelajah kafe-kafe
seantero Jakarta" Cowok mana lagi yang bisa membawanya ke puncak bukit indah dan
menyebut dirinya "istimewa?" Cowok mana lagi kalau bukan Darren"
"Tha! Eeehh" malah ngelamun ini anak!" Acha mengomel. "Darren udah nunjukin
tanda-tanda bakal nembak belum sih"!"
"Udahlah, Cha, lo nggak usah heboh gitu deh. Gue nggak mau jadi kepikiran garagara semua omongan lo barusan. Gue udah cukup hepi kok sama kondisi gue yang
sekarang." "Iya sih lo hepi, tapi gue gemeesss! Gimana kalau?"
"Tenang aja, gue yakin Darren nggak punya niat buruk atau bermaksud mainin gue
kok. Mungkin dia" cuma nunggu waktu yang tepat aja. Who knows?"
Acha terdiam. Thalita melihat adiknya itu dua kali menghela napas dalam-dalam.
"Gue nggak bermasuk ngerecokin, Tha, gue cuma" nggak mau lihat lo sedih
lagi?" "Sedih lagi" Kenapa gue harus sedih?"
"Yah" kalau Darren ternyata cuma mau HTS aja sama lo, dan lo jadi patah hati"
padahal gue udah seneng banget lo deket sama Darren sekarang. Dia kan orang yang
bisa membuat lo bersemangat hidup lagi setelah Andra meninggal."
Thalita bengong, terpukau kata-kata Acha. Dia nggak pernah tau adiknya ternyata
perhatian banget sama dia. Padahal Acha yang dikenalnya selama ini adalah Acha yang
suka usil dan mengganggunya dalam segala hal.
"Jangan khawatir, Cha. Kalau lo harus percaya sama seseorang untuk nggak
membuat gue sedih, orang itu adalah Darren."
*** "Gue harus gimana dong?" Gara-gara kepikiran semua omongan Acha, Thalita jadi
nggak bisa tidur. Akibatnya, dia menelepon Jennie tengah malam, membuat sobatnya
itu entah mendengarkan entah tidur di telepon seberang sana.
"Jeeeeennn" gue harus gimana" Tadinya gue nggak mikir sampai ke sini. Tapi
kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya emang udah terlalu lama deh" Hampir dua bulan!
Padahal gue baca di majalah C-Girl minggu ini, jangka waktu pedekate cowok ke cewek
itu rata-rata cuma dua minggu!" Thalita mencerocos panjang-lebar. Mau nggak mau
akhirnya Jennie merespons juga, walaupun dia bicara dengan mata masih terpejam.
"Hoaahhmmm" itu kan RATA-RATA, jadi nggak harus semua cowok pedekate
dalam jangka waktu segitu."
"Iya, tapi rata-rata kan berarti mayoritas! Dan yang mayoritas itu biasanya yang
normal! Gue jadi takut?"
"Udahlah, jangan dipikirin lagi! Ini sama kayak standar di kalangan cewek. Kalau
ukuran bra rata-rata cewek umur enam belas tahun adalah 34A, memangnya dengan
begitu cewek yang ukurannya cuma 32 berarti nggak normal" Terus gimana yang 36B"
Nggak normal juga?" Thalita nggak bisa menahan diri untuk nggak ngakak habis-habisan. Jennie ini!
Dalam kondisi setengah tidur aja dia bisa bikin perumpamaan dahsyat!
"Teruuuusss" gue harus gimana?"
"Ya udah sabar aja, kaleeee. Darren kan jelas-jelas menunjukkan dia suka sama lo.
Perhatian, sering ngajak jalan, dan dia juga terang-terang minta kesempatan ke lo untuk
berusaha menggantikan tempat Andra! Itu udah cukup menunjukkan dia suka sama lo,
tau nggak" Soal peresmian status sih tinggal masalah waktu. Lo-nya aja yang nggak
sabaran!" "Jadi, gue nunggu aja nih?" Thalita berusaha memastikan sekali lagi, berharap
Jennie punya saran yang lebih tokcer. Ngasih guna-guna ke Darren biar cowok itu
nggak pedekate kelamaan, mungkin.
"Lhaelaahh" masih nanya" Ya udah tunggu aja! Kecuali lo emang udah ngebet dan
mau nembak duluan, gue rasa itu boleh juga."
"Ih" Jennie! Ya nggaklah! Gue tuh tipe cewek "penunggu", tau nggak?"
"Penunggu kuburan" Hwahahaha"!" Jennie terbahak. Thalita jadi manyun.
"Udahlah, Neng, nyatai aja, oke" Gue seneng banget ngeliat lo yang sekarang, dan gue


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi berterima kasih juga sama Darren karena udah bikin lo bisa punya semangat hidup
lagi. Tapi kalau lo mau nunggu ditembak, ya lo sabar aja" Dalam waktu dekatlah,
prediksi gue." Thalita terdiam. Malam ini saja sudah dua orang terdekatnya yang mengatakan
mereka sangat bersyukur ada cowok bernama Darren di dekat Thalita: Acha dan
Jennie. Berarti Darren memang sudah mendapat tempat di hati orang-orang terdekat
Thalita. Dan gimana mungkin Darren nggak mendapat tempat di hati Thalita juga"
"Ya udah ya, gue mau tidur lagi nih! Ngantuk! Dadahhh!"
Tanpa menunggu jawaban Thalita lagi, Jennie menutup teleponnya.
"Huuuh! Ya sudahlah" Kok gue jadi pusing gini" Emang gue sekarang sayang
banget sih sekarang sama Darren" tapi kok kayaknya gue jadi ngebet gini, ya" Hii"
jadi serem sama diri sendiri!" Thalita bergidik, lalu membenamkan diri ke balik
selimut. Dalam waktu kurang dari lima menit, dia sudah terlelap.
*** Menurut nasihat Jennie, Thalita berusaha lebih sabar kalau ada di dekat Darren.
Berulang kali cowok itu menunjukkan gelagat mau nembak, tapi ujung-ujungnya
malah dia cuma melakukan tindakan manis, seperti memberi Thalita bunga atau
mengajaknya menjelajahi kafe-kafe yang terkenal dengan menunya yang sedap-sedap.
Thalita juga berpikir, bego banget dia kalau malah kepikiran soal kapan-Darrenakan-menembaknya ini terus-menerus, karena bisa-bisa dia jadi nggak menikmati
setiap momen bersama Darren.
Akhirnya Thalita berusaha nyantai, dan setiap kali kepikiran soal itu menyerbu
otaknya, dia sudah punya berbagai alasan. Lagi pula, Thalita tahu, ada kemungkinan
Darren kepengin lebih memantapkan hatinya dulu sebelum nembak. Gimanapun juga,
Darren dulu pernah ditolak oleh cewek pertama dan satu-satunya yang pernah
ditembaknya! Apa mungkin sekarang dia takut bakal ditolak juga"
Ah, pikir Thalita, apa gue masih terkesan kaku ya kalau dekat dia" Atau dia takut
gue masih terbayang-bayang Andra" Memang sih, gue belum ngelupain Andra
sepenuhnya, tapi gue udah mulai bisa terima kenyataan. Sekarang gue tahu, kalau dulu
Tuhan memanggil Andra pulang, itu supaya gue punya alasan untuk melupakan
Andra, dan punya kesempatan untuk menikmati masa-masa indah sama cowok lain
yang lebih baik segalanya daripada dia"
"Hei, Tha, berangkat sekarang?"
Lamunan Thalita buyar seketika, karena Darren sudah berdiri di hadapannya.
Malam ini mereka memang punya rencana nonton bola di acara Nonton Bareng di
Random Cafe. Kebetulan sedang ada Final Liga Champions yang sangat seru antara
Manchester United dan Chelsea, jadi kafe ini mengadakan acara nonton bareng.
"Eh, lo udah datang," gumam Thalita nggak penting. Kan jelas-jelas Darren udah di
depan matanya. "Iya deh, berangkat sekarang aja."
Mereka berpamitan pada ortu Thalita, lalu berangkat ke Random Cafe. Lalu lintas
nggak begitu padat, jadi dalam waktu kurang dari setengah jam mereka udah sampai
di sana. Kafe itu terlihat ramai dari luar. Kelihatannya banyak penggemar The Red
Devils dan The Blues yang sudah berkumpul di dalam sana.
"Wah, rame banget, ya?" gumam Thalita, melihat lahan parkir yang penuh.
"Iyalah. Final Liga Champions. Gengsinya gede dan pertandingannya bakal seru,
makanya penontonnya rame."
Thalita menyerahkan helm yang tadi dipakainya pada Darren, lalu mereka berjalan
memasuki Random Cafe. Suasana di dalam ternyata sudah ramai sekali. Ada presenter
yang sedang mengadakan kuis, juga bolamania yang berlomba mengungkapkan
prediksi masing-masing untuk pertandingan nanti.
Thalita berjalan mengikuti Darren melewati orang-orang yang penuh sesak di
Random Cafe. Dia heran mendapati mereka berjalan menuju meja terdepan, tempat
mereka bisa mendapat pandangan tanpa gangguan ke giant screen yang nantinya akan
dipakai menyiarkan acara.
Waiter datang, dan langsung mengangkat papan bertuliskan RESERVED yang
tadinya terpasang di atas meja.
"Ren, emangnya lo udah reservasi, ya?" tanya Thalita heran. DIa pernah beberapa
kali datang ke acara nonton bareng seperti ini, dan dia tahu pasti bahwa memesan meja
sebelum acara, apalagi kalau posisi meja tersebut strategis, pasti menghabiskan uang
yang nggak sedikit. "Iya. Habis kalau nggak, ntar kita nggak dapat tempat, lagi. Lo lihat deh, acara
belum mulai aja tempatnya udah penuh gini. Kalau gue nggak reservasi, bisa-bisa kita
cuma dapat tempat di sana tuh!" Tangan Darren menunjuk ke bagian belakang kafe,
yang jelas memiliki tingkat kenyamanan jauh di bawah tempat mereka sekarang.
"Iya sih" tapi kenapa lo reservasi meja paling depan?"
"Mmm" nggak papa sih. Gue cuma pengin mastiin lo dapat tempat terbaik aja,"
jawab Darren. Thalita speechless mendengar jawaban itu. Wow! Dia nggak pernah dapat perlakuan
semanis ini sebelumnya! Sekali lagi waiter datang, dan meletakkan dua botol coke di atas meja, lengkap
dengan dua gelas besar berisi es batu. Dia juga meletakkan sekeranjang french fries
kuning keemasan yang kayaknya yummy banget.
"Ada pesanan tambahan, Mas?" tanya waiter itu.
Darren dan Thalita sama-sama menatap kartu berisi daftar menu yang ada di atas
meja. "Lo mau pesan, Tha?"
Thalita menggeleng. "Kan udah ada french fries nih." Dia menuding keranjang
mungil di hadapan mereka.
"Ya itu kan cuma camilan. Nanti lo nggak kenyang. Pesan lagi, ya" Mumpung
bolanya belum mulai?"
Thalita jadi bingung, dan dia juga nggak bisa menutupi rasa mupengnya melihat
tulisan Cajun Calamari, Omelette with Onion and Sausages, Club Sandwich, dan lain
sebagainya di kartu menu di hadapannya itu.
"Mmm" kalau gitu Club Sandwich satu deh," pesannya. Sang waiter dengan sigap
mencatat pesanan Thalita dalam notes mungil yang ada dalam genggamannya.
"Saya Cajun aja deh kalau gitu," Darren ikut memesan.
Waiter itu mencatat sekali lagi, lalu beranjak dari situ. Lima belas menit kemudian
dia kembali sambil membawa pesanan Darren dan Thalita, menguarkan aroma sedap
yang membuat perut Thalita meronta-ronta.
Begitu sandwich itu terhidang di hadapannya, Thalita langsung melahapnya. Dia
nggak ingat lagi untuk memotongnya menjadi potongan kecil-kecil, hal yang PASTI
akan dilakukan sejuta cewek jaim lainnya kalau mereka makan semeja dengan cowok
seperti Darren. Untunglah, Darren kayaknya nggak keberatan dengan kelakuan Thalita
yang selebor itu. Tepat ketika makanan mereka habis, acara dimulai. Thalita langsung asyik
menyimak para komentator yang memberikan prediksi-prediksi, dan dia semakin
nggak berkedip ketika pertandingan dimulai. Sesekali dia mengomel kalau tendangan
Christiano Ronaldo jauh di atas mistar gawang, atau kalau ada pemain Chelsea yang
berusaha menyerang gawang MU. Saking asyiknya, Thalita nggak sadar Darren
beberapa kali memandanginya diam-diam.
Akhirnya pertandingan itu selesai juga. Berakhir dengan adu penalti yang benarbenar menegangkan. MU akhirnya menang penalti dengan skor 6-5. Thalita turun dari
kursi tinggi yang didudukinya, lalu meregangkan badan sedikit (lagi-lagi tindakan
yang nggak mungkin dilakukan cewek jaim mana pun di depan Darren!). Dia melihat
Darren memanggil waiter, lalu waiter yang tadi mengantarkan pesanan mereka datang
sambil membawa buku kecil bersampul kulit cokelat berisi bill mereka.
Darren membuka buku cokelat itu, tapi tak sampai lima detik dia sudah
menutupnya lagi, seakan-akan ada gambar horor di dalam buku itu. Sekali lagi dia
membukanya, dan kali ini ekspresinya berubah. Dia kelihatan seperti orang khawatir,
dan Thalita sampai bisa membayangkan sebentar lagi bakal ada bulir-bulir keringat
yang muncul di dahi Darren.
"Ren" Lo nggak papa?" tanya Thalita, keningnya berkerut.
"Mmmhh" nggak, gue nggak papa. Everything"s alright," jawab Darren dengan
nada yang sama sekali nggak meyakinkan. Dan dari cara Darren melirik waiter yang
sedang menunggu di sebelah mereka, Thalita yakin, everything isn"t alright.
"Ada yang nggak beres, ya?"
"Ah, nggak kok. Semuanya beres. Iya" beres?" Darren tersenyum, tapi itu jelas
senyum yang dipaksakan. Apalagi cowok itu terlihat mulai merogoh-rogoh saku celana
jinsnya, dan tampangnya semakin kecut. Gelagatnya benar-benar aneh!
Akhirnya Thalita paham apa yang nggak beres itu, karena Darren terus-terusan
melihat ke arah buku bill yang ada di meja.
Mati gue! rutuk Thalita dalam hati. Apa uang Darren nggak cukup buat bayar billnya" Ya ampuuunn" ini gara-gara gue sih, pakai pesan club sandwich segala! Padahal
kan gue tau di Random ini makanannya mahal-mahal. Dan karena ingin
menyenangkan gue juga, Darren sampai bela-belain reservasi meja paling depan! Pasti
sekarang tagihannya gede banget. Haduh, gue emang bisanya nyusahin orang doang!
"Mmm" Ren, apa" apa ada masalah sama" bill-nya?" tanya Thalita dengan suara
rendah. Dia sebenarnya gambling juga bertanya seperti ini. Gimana kalau Darren malah
merasa terhina karena Thalita menganggapnya nggak sanggup membayar bill mereka"
Cowok kan biasanya punya gengsi selangit! Tapi" kalau Thalita nggak nanya, dia bisa
mati penasaran di sini! Lagi pula, dia nggak keberatan kok kalau harus ikut membayar.
"Nggak kok, Tha, nggak ada masalah sama bill-nya. Nggak ada masalah sama apa
pun. Semuanya baik-baik aja kok."
Thalita mengernyit, seperti melihat ibu-ibu yang hamil tua mengerang kesakitan
karena kontraksi menjelang melahirkan, tapi malah mengaku-aku dia mengaduh
karena jarinya baru saja terjepit pintu.
"Lo" yakin?"
Darren menggigit bibir, dan sekarang dia kelihatan benar-benar ketakutan. "Yah"
sebenarnya gue nggak yakin-yakin amat?" jawabnya lirih.
Thalita mencelos. Benar kan dugaannya! Darren pasti bersikap aneh begini garagara bill mereka yang overbudget!
"Kurang berapa?"
"Apanya?" tanya Darren bingung.
"Eh" uangnya"," kata Thalita sambil mulai mengoprek-oprek isi tasnya, dan
mengeluarkan dompet. Dia memaki-maki dalam hati karena dia tadi sengaja nggak
membawa uang banyak, plus meninggalkan kartu debitnya di rumah! Goblok pangkat
sejuta! "Itu" anu?" Darren tergagap, tangannya menuding buku bill mereka. Si waiter
yang berdiri di sebelah mereka kelihatannya udah nggak sabar untuk menggiring
mereka ke air comberan di belakang sana dan memaksa mereka kerja rodi semalaman
dengan mencuci piring karena nggak sanggup bayar tagihan. Dari ekspresi si waiter,
Thalita bisa memperkirakan waiter itu pasti sedang mengomel kalau-nggak-sanggupbayar-ya-jangan-pesan! dalam hatinya.
Takut-takut, Thalita meraih buku bill itu. Dalam hati dia berdoa, semoga tagihannya
nggak besar-besar amat, dan berapa pun yang dia bawa sekarang, bisa dipakai untuk
menutupi kekurangannya. Tangan Thalita gemetar sewaktu membukanya, dan dia melongo begitu sudah
membaca apa yang tertulis di dalam buku bill itu.
Bukan, bukan tagihan yang selangit. Di situ malah nggak tertera tagihan apa pun,
atau daftar makanan yang sudah mereka pesan tadi. Yang ada malah kertas kalkir
berwarna biru lembut yang berkilau, dengan huruf-huruf perak yang membentuk
tulisan: Would you be my girl"
Thalita menurunkan buku bill itu dari hadapan wajahnya, dan dia mendapati
Darren yang tersenyum, walaupun dia masih bisa menangkap serbesit rasa nervous di
senyum itu. Wajah si waiter yang tadi sepertinya nggak sabar menyeret mereka ke bak
cuci piring juga sekarang berubah jadi berseri-seri, kayak anak kecil yang baru
dibelikan es krim satu wadah penuh dan diizinkan menghabiskannya. Dan entah
Thalita berhalusinasi saking kagetnya atau apa, dia juga menyadari seluruh waiter di
Random Cafe, bahkan beberapa pengunjung yang belum pulang, sekarang menatapnya
dengan pandangan berterima kasih karena sudah mengizinkan mereka menyaksikan
adegan romantis secara live.
"Ini?" "Maaf ya, aku sampai harus bikin kamu khawatir kayak tadi," kata Darren sambil
tersenyum. Thalita bengong mendengar Darren menggunakan aku-kamu dalam kalimatnya.
Selama ini kan mereka selalu ngomong pakai lo-gue, kenapa sekarang?" Ah ya,
Darren kan baru saja menembaknya. Dan kalau mereka jadian (in case THalita
menjawab "ya"), nggak mungkin mereka masih tetap bicara dengan lo-gue, kan"
"Ren, ini?" "What"s your answer?"
Thalita menelan ludah. Dia nggak bisa bohong. Sudah beberapa minggu belakangan
ini dia menunggu untuk bisa menjawab pertanyaan itu, tapi sekarang, saat pertanyaan
itu benar-benar diajukan, rasanya lidah Thalita mendadak kelu" Apalagi, di sekitarnya
sekarang penuh dengan orang yang memandangi mereka, yang dengan nggak sabaran
menunggu jawaban keluar dari mulut Thalita. Bahkan, Thalita bisa menangkap dengan
ekor matanya, di pojok kiri sana ada cewek yang kelihatannya gemas sekali ingin
berteriak "YA!" pada Darren. Sayang, cewek itu punya satu masalah. Pertanyaan itu
ditujukan pada Thalita, bukan padanya. Jadi, sudah jelas dia sama sekali nggak punya
hak untuk menjawab. "Udaaahhh" terima aja! Lama amiirr jawabnya! Gue mau pulang nih! Ngantuk!"
seru seseorang entah siapa dari belakang Thalita. Kayaknya dia nggak sabaran banget
menunggu Thalita memberikan jawaban. Celetukan orang itu jelas memancing tawa
seisi kafe. Thalita dan Darren sendiri juga nggak tahan untuk nggak nyengir.
Tapi situasi itu cuma berlangsung selama beberapa detik, karena sesaat sesudah itu,
Thalita jadi tegang lagi.
"Tha?" panggil Darren. "Kamu" belum bisa ngelupain Andra" Aku belum berhasil
menggantikan dia?" Thalita mengerjap, berusaha setengah mati untuk nggak melakukan tindakan bodoh
di sini saking kacau-balaunya perasaannya.
Dia jelas nggak mau diingat sebagai cewek
yang membentur-benturkan kepalanya di meja kafe karena ditembak seorang cowok
charming macam Darren di depan begitu banyak orang, kan"
Dalam pikirannya, Thalita berusaha mem-flash back semua momen yang pernah
dilaluinya bersama Darren. Saat pertama mereka kenal, kerja kelompok yang sukses,
traktiran di Coffee Bean, ketemu Andra, lalu saat Darren menjenguk Thalita yang
dikiranya sakit, Darren yang meminta untuk diberi kesempatan"
"Aku mau," jawab Thalita akhirnya, yang disambut sorak-sorai, tepuk tangan, dan
siulan seisi kafe. Dan tiba-tiba saja confetti berjatuhan ke lantai, juga balon yang minta
ampun banyaknya, seolah sedang ada pesta ultah sweet seventeen! Thalita menengadah
dan bengong begitu melihat semua benda itu ternyata berasal dari jaring yang tadinya
dipasang di langit-langit kafe. Rupanya Darren memang sudah mempersiapkan
semuanya ini! Khusus untuk Thalita!
Setelah semua confetti dan balon itu bertebaran di lantai, Darren langsung memeluk
Thalita erat-erat. Kepala Thalita menempel ke dada cowok itu, sampai-sampai Thalita
bisa mendengar degup jantung Darren. Seperti biasanya, pelukan Darren terasa hangat,
dan Thalita benar-benar bersyukur karena cowok ini sekarang miliknya.
Officially. *** "Achaaa" jangan yang piring merah dong! Yang putih aja! Atau biru deh!"
"Biarin, wee! Mumpung ditraktir! Ya nggak, Jen?"
Jennie mengangguk bersemangat. "Iya, Cha, betul banget! Kalau kita makan sendiri
sih emang harus piring biru-putih melulu! Tapi kalau ditraktir, mau piring hitam,
piring merah, atau piring emas sekalipun okeeee! Atau dragon roll aja sekalian!" Jennie
terus mengunyah di sela kalimatnya.
Thalita cuma bisa mendengus jengkel.
Siang itu Thalita memang dipaksa membayar pajak jadian oleh Acha, jadi dia
memutuskan untuk mengajak Jennie, juga Nita, supaya dia bisa sekalian melunasi
pajak jadian pada semua orang itu. Daripada nanti dia harus mentraktir mereka satu
per satu, bisa-bisa budget-nya membengkak. (Tapi kalau melihat kondisi sekarang,
justru kayaknya pilihan untuk mentraktir Jennie dan Acha bersama-sama adalah
pilihan yang buruk. Kedua anak itu seperti berlomba mengganyang sushi-sushi yang
berada di sushi bar di depan mereka.)
Akhirnya, menuruti kemauan Acha, mereka semua pergi ke Sushi Tei di Pondok
Indah Mall. Dan sepanjang acara makan itu, Acha sudah menghabiskan dua piring
hitam, tiga piring merah, dan satu piring emas. Padahal piring hitam, merah, dan emas
dipakai untuk menghidangkan jenis-jenis sushi termahal yang dijual di restoran itu!
Thalita sampai ketar-ketir sendiri melihat kerakusan Acha. Belum lagi Jennie, yang
menghabiskan dua piring putih, satu piring biru, dua piring hitam, dan dua piring
merah. Nggak cuma itu, mereka juga menolak minum ocha (yang sebanyak apa pun
kamu minum tetap GRATIS), dan malah memesan jus yang harganya pasti enam kali
lipat harga jus di counter jus langganan Thalita di sekolah! Untunglah, Nita masih
cukup tahu diri untuk nggak serakus dua cewek yang baru dikenalnya itu. Dia cuma
menghabiskan dua piring biru dan satu piring pink. Plus, dia bersedia dicekoki ocha
terus-terusan tanpa menggerundel. Thalita sendiri nggak memesan apa-apa. Bukan
karena dia nggak lapar, tapi karena dia takut uang yang dibawanya nggak cukup kalau
dia ikut-ikutan memesan juga!
Acha baru saja mau mengambil satu piring merah dengan ornamen emas dari sushi
bar bergerak yang ada di hadapannya (Tidaaaakkk! jerit Thalita dalam hati. Yang piring
merah ornamen emas itu kan harganya selangit!!), namun tangan Acha terhenti
sebelum menyentuh piring itu. Si piring merah dengan ornamen emas yang cantik itu
berlalu pergi, masih terpajang manis di atas sushi bar, dan Thalita bersyukur setengah
mati dalam hati karena menduga Acha sudah kenyang sampai membatalkan niatnya
untuk nambah lagi. Sayang, dugaan Thalita salah. Acha belum kenyang, dia hanya
sedang terlongong bengong.


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Darren," ucap Acha lirih.
Thalita bereaksi. "Apa" Lo masih mau minta traktir sama Darren juga?" tanya
Thalita galak. "Kok tega sih lo" Ini aja lo udah makan banyak banget! Cukup gue aja
deh yang lo mintain traktir, jangan Darren juga!"
"Bukannya gitu! Tapi" ohh damn! Menunduk!" Acha menyambar kepala Thalita,
dan menariknya sampai nyaris menempel ke meja mereka.
"Acha! Heiiii! Lepasin gue!" Thalita setengah mati meronta karena kepalanya jadi
nggak bebas lagi akibat ditahan tangan Acha.
"Jen, sembunyikan Nita, bahaya kalau Darren tahu Nita ada di sini!" seru Acha
tanpa memedulikan protes Thalita tadi. Jennie menurut, dan tanpa ampun melakukan
hal yang sama pada Nita, seperti yang dilakukan Acha pada Thalita.
"Heeiii" ini kenapa sih" Jangan sampai Darren lihat Nita di sini" So what gitu
loohhhh! Tapi" tunggu! Jangan bilang! Darren ada di sini?" tanya Thalita bingung.
"Sssttt! Lo diam kenapa sih" Dia emang ada di sini, duduk cuma dua meja dari kita!
Dan dia sama cewek! Cewek cantiiiiikk banget!"
Kalau saja bola mata Thalita bisa copot, mungkin sekarang kedua bola mata itu
sudah bergelindingan di meja mereka.
"Hah" Darren sama cewek" Di sini?" Nita terdengar nggak percaya. Dia tak
berkutik di bawah kuasa tangan Jennie.
"Eh, tapi" yang mana sih Darren" Yang mana?" tanya Jennie bingung. Dia
memang satu-satunya di antara mereka berempat yang belum tahu tampang Darren.
"Itu" yang pakai polo shirt putih! Yang ceweknya pakai tank top pink!" sembur
Acha. Jennie menoleh mencari-cari, lagaknya bak burung elang baru dikasih tahu
kandang yang penuh berisi anak ayam.
"Kurang ajar dia! Baru jadian sama Thalita berapa hari udah berani-beraninya
selingkuh!" geram Jennie. "Mesra pula sama ceweknya!"
"Iya! Minta dilabrak tu orang!" Acha mengompori. "Biar kita tangkap basah aja dia
sekarang!" "Boleh!" Jennie manggut-manggut. "Tapi, Cha, kita kan mesti mantengin dia dulu.
Nanti kalau dia lebih mesra sama tu cewek, baru kita pergokin. Dan lo juga harus
ngumpet. Dia kan tahu tampang lo!"
Acha seperti baru tersadar dia baru aja melakukan hal luar biasa bodoh. Dia
menyuruh Thalita dan Nita yang tampangnya dikenal Darren untuk sembunyi, tapi dia
sendiri masih duduk-duduk tenang pamer wajah di situ. Benar-benar seperti burung
unta yang memasukkan kepalanya dalam lubang tapi pantatnya jelas-jelas masih
menyembul keluar deh! Tanpa dikomando dua kali, akhirnya Acha menempelkan
kepalanya di meja juga. Dia nggak tahu tindakannya itu jadi membuatnya lupa
memegangi kepala Thalita. Alhasil, Thalita duduk tegak lagi, dan melihat Darren yang
cuma semeter darinya. Darren benar-benar lagi bareng cewek, dan Thalita jadi nggak
tau harus berkata apa-apa.
Celakanya lagi, tepat saat itu Darren balik menatapnya.
"Yah" dia lihat gue," gumam Thalita tanpa sadar. Kepala Acha, juga Nita,
langsung menyembul keluar lagi karena mendengar gumaman Thalita.
"Aaahh! Stupid lo, Tha! Dia bisa langsung kabur sebelum kita nge-gep dia!" Acha
menonyor kepala kakaknya.
Thalita diam saja, karena dia masih beradu tatap dengan Darren. Anehnya, cowok
itu sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda cowok yang salting karena kepergok
selingkuh oleh pacarnya. Dan Thalita baru tau kenapa wajah Darren terlihat begitu innocent, saat dia sadar
siapa cewek yang bersama cowoknya itu.
"Thalita! Haaaaiii!" panggil Tatyana, yang langsung melangkah lebar-lebar ke meja
Thalita. "Eh! Ada Nita! Hai, Nit!" Dia menyala Nita juga. "Kalian" berempat aja?"
"Cih," gerutu Acha, kepergok bukannya malu, malah SKSD."
Thalita melotot mendengar gerutuan Acha.
Tatyana mengernyit. "Sori, tapi apa gue yang lo maksud SKSD" Karena gue beneran
kenal sama Thalita dan Nita, jadi gue nggak SKSD," jelas Tatyana, tapi ekspresinya
bingung. "Iya, tahu nih, malah sok akrab!" Jennie menambahkan, sementara Acha manyun.
Nita sedang berjuang menahan tawa, wajahnya geli setengah mati.
"Ehem!" Thalita memutuskan angkat bicara sebelum suasana makin kacau.
"Kenalin, ini Tatyana, adiknya Darren. Na, ini Acha, adik gue. Dan itu Jennie, temen
gue sejak SMP." Wajah Acha dan Jennie langsung pucat, seolah mereka dipaksa makan otak sapi
mentah di acara Fear Factor.
"Haii" gue Tatyana," kata Tatyana sambil mengulurkan tangannya pada Acha,
yang disambut cewek itu dengan wajah merah padam. Tatyana menyalami Jennie juga,
dan cewek itu benar-benar terlihat salting. Thalita nggak tahu harus malu atau ketawa
melihat tingkah adik dan sobatnya itu.
"Sori, Na, tapi tadi mereka berdua ini salah sangka. Dikiranya lo selingkuhan
Darren." Mata Tatyana yang dipagari bulu mata lentik itu membola, tapi dia lalu terkikik
geli. "Ya ampuuunn" apa gue ada tampang ngebet sama Darren" Maaf ya, tapi gue
nggak mau mengalami incest. Lagian, Darren jelas bukan tipe gue. And he"s taken, of
course." Tatyana mengedip pada Thalita, membuat pipi Thalita memerah.
"Sori, gue nggak tahu," kata Acha lirih.
"Iya, gue juga. Sori yaa?" Jennie menambahkan.
"Nggak papa. Gue ngerti kalian cuma bersifat protektif aja terhadap Thalita. Kalau
gue ada di posisi kalian, gue juga pasti akan melakukan hal yang sama kok." Tatyana
tersenyum lagi. "By the way, ini ada acara apa nih kok kayaknya lagi makan-makan
untuk ngerayain sesuatu?" Tatyana terlihat penasaran melihat tumpukan piring Acha
dan Jennie yang membentuk menara kembar. Mungkin kalau dibiarkan terus nambah,
tinggi tumpukan piring kedua cewek itu bakal menyaingi Menara Petronas.
"Biasa" pajak jadian," jelas Thalita.
"Wah! Sama dong! Gue juga lagi nagih pajak Darren, hehe!" Tatyana nyengir lebar.
"Kita gabung aja, ya" Mau nggak?"
"Boleh." "Ren, sini!" Tatyana memanggil Darren, yang kayaknya sengaja menunggu girls talk
ini selesai. Darren mendekat, dan dia langsung duduk di sebelah Thalita, membuat pipi
cewek itu kembali merah padam.
"I"m taking over the bill," bisiknya pada Thalita, tapi sayang cukup keras untuk
terdengar Acha. "Seriuuus lo?" Mata Acha membelalak. "Jadi gue boleh nambah lagi?"
"Boleh banget." Darren tersenyum.
"Siipp lah! Itu baru calon kakak ipar yang baik! Ronde berikutnya, Jen!" Acha
mengomando Jennie, dan mereka berdua langsung berlomba mengambil piring-piring
sushi dari bar lagi. Kali ini bahkan Acha mendapatkan piring merah berornamen emas
yang tadi sempat dilewatkannya gara-gara melihat Darren.
Thalita cuma bisa geleng-geleng kepala.
SEMBILAN Seperti yang bisa diduga, berita jadian Darren dan Thalita langsung jadi hot gossip di
SMA Persada Bangsa. Semua bibir di sekolah itu kayaknya sampai dower
membicarakan dua orang itu. Yah, memang sih mereka udah sering melihat dua orang
itu jalan bareng, tapi tetap aja fakta kedua orang itu"yang selama ini selalu
menyangkal namun akhirnya jadian juga"bikin anak-anak SMA Persada Bangsa
heboh. Alasan lainnya" 3. Darren kan termasuk salah satu most wanted guys di sekolah itu
4. Sementara Thalita cuma cewek biasa. Manis sih iya, tapi jelas masih agak
"jomplang" kalau dijejerkan dengan Darren.
5. Selama ini, Darren nggak pernah jadian dengan cewek mana pun, dan terkenal
dengan reputasi "freezer kulkas"-nya, jadi sekalinya dia jadian sama cewek, langsung
deh bikin heboh. 6. Selain itu, para fans Darren terlihat seperti orang-orang tanpa semangat hidup
setelah dapat kepastian idola mereka udah jadian. Hilangnya semangat sebagian besar
murid cewek di sekolah itu jelas membuat guru-guru heboh juga melihat keadaan
murid-murid mereka. Buntutnya, mereka malah ikut ngomongin Thalita dan Darren.
Thalita benar-benar risi sama semua orang yang membicarakannya itu, dan jadi
menyesal karena sudah mengakui terang-terangan pada Gio (Bayangkan! GIO! Sang
corong gosip sekolah!) bahwa Thalita dan Darren sudah jadian pada saat cowok itu
bertanya. Kesalahan fatal sekali, karena dalam waktu sehari saja, berita itu sudah
menyebar ke seluruh sekolah. Reputasi Gio sebagai corong gosip memang nggak perlu
diragukan lagi. "Halooo penganten baruuu!" seru Gio kenes begitu melihat Thalita turun dari
boncengan motor Darren. Thalita yakin, Gio sengaja menunggu di parkiran motor ini
untuk menggodanya dan Darren. Dasar kurang kerjaan!
"Halo juga seksi publikasi," balas Darren.
Thalita terkikik. Jelas Darren terganggu juga oleh ulah cowok centil di depan
mereka ini. Sayang, Gio kayaknya sama sekali nggak merasa tersindir. Itu terbukti
dengan senyumnya yang masih terus mengembang lebar.
"Mesra banget nih, ke sekolah barengan begini," goda Gio lagi.
Thalita geleng-geleng kepala. "Ya kan kita pacaran, wajar dong kalo ke sekolahnya
barengan. Kalo nggak barengan, nah" baru deh boleh lo gosipin!"
Gioi manyun, nggak suka karena celotehannya ternyata dibalas Thalita dengan
jutek. Dia nggak nyadar memang dianya aja yang bego. Mana mungkinlah orang yang
lagi pengin berduaan terus direcokin bisa membalas dengan lemah lembut" Yang ada
jadi geregetan pengin ngusir!
"Ya deh, ya deh" gue cabut?" Gio pergi dari situ dengan tampang ditekuk,
sementara Thalita dan Darren cekikikan melihatnya.
"Kita harus sabar nih, seminggu ini bakal digodain terus," kata Darren sambil
melepas jaketnya. "Nggak papa deh, udah risiko. Lagian, aku juga salah, kok bisa-bisanya cerita sama
Gio kita udah jadian." Thalita garuk-garuk kepala.
"It"s okay, Tha. Cepat atau lambat juga orang-orang bakal tahu, kan?" Darren
merangkul Thalita dan mereka berjalan menuju koridor sekolah.
"Iya sih" tapi kalau taunya lewat Gio, pasti udah ada bumbu-bumbunya?"
"Nggak papa dong, kan bumbu-bumbu cinta, hehe?" Darren nyengir.
Thalita langsung menoyor kepala cowoknya itu. "Idiihhh" Darreeeennn" Norak,
tau!" *** Thalita benar-benar menikmati hari-harinya bersama Darren, terlepas dari betapa
kekinya dia mendapati fans-fans Darren di sekolah selalu mencibir setiap kali dia lewat.
Untung aja jurus cuek, hasil ajaran Acha, yang dipraktikkannya cukup sukses. Meniru
kata-kata Acha nih, terserah deh para fans Darren itu mau sejutek apa, toh Darren
sekarang udah jadi cowok Thalita, dan cewek-cewek itu jelas nggak bisa berbuat apaapa. Cibiran mereka itu kan refleksi dari perasaan minder dan kecewa karena bukan
mereka yang dipilih Darren. Kalau dipikir-pikir, bener juga omongan si Acha.
Jadi, Thalita semakin menikmati status barunya sebagai cewek Darren. Cowok itu
benar-benar baik, perhatian, pengertian, setia"pokoknya kalau kamu punya daftar
kriteria cowok idaman, Darren bakal memenuhi 99%-nya deh! Lebih-lebih lagi, Thalita
tahu Darren cinta banget sama dia. Gimana nggak, Darren kan selalu ada untuk
menghiburnya, bahkan saat Andra dulu masih ada.
Thalita sadar, Andra dulu nggak cukup menyayanginya, karena cowok itu nggak
mau meninggalkan semua drugs-nya walaupun Thalita memohon-mohon. Tapi Darren
beda. Dia nggak cuma bilang dia sayang sama Thalita, tapi dia juga membuktikannya.
Darren adalah jenis cowok yang nggak banyak menuntut. Dia sepertinya sangat
mengerti suasana hati Thalita. Waktu Thalita lagi asyik membahas pertandingan Liga
Champions sama cowok-cowok sekelasnya, Darren nggak lantas jadi cemburu. Dia juga
nggak posesif, atau memaksa Thalita melakukan ini-itu yang nggak Thalita suka.
Waktu Thalita lagi PMS dan mood-nya jelek banget sampai-sampai yang bisa
dilakukannya cuma tiduran di ranjang sambil dengerin lagu-lagu mellow, Darren nggak
bolak-balik menelepon atau apa, tapi malah mengirim sekotak besar Ferrero Rocher ke
rumah Thalita. Nah, kurang lengkap apa lagi coba nih cowok" Mungkin nih, kalau Cinderella,
Sleeping Beauty, atau putri-putri dongeng lainnya itu ada di kehidupan nyata, mereka
bakal sirik setengah mati sama Thalita, karena pangeran mereka ternyata masih kalah
baiiiiiikkkk dan pengertian dibandingkan Darren.
Sampai akhirnya hari itu datang".
*** Darren nggak menjemput Thalita untuk ke sekolah bareng, padahal jam sudah
menunjukkan pukul 06.20, sementara bel sekolah Thalita pukul 06.30.
"Aduuuuhhhh" mana sih Darren?"?" gerutu Thalita sambil mondar-mandir di
teras rumah, persis bapak-bapak yang menunggui istrinya dalam kamar bersalin. Dia
juga melirik arlojinya berkali-kali, lalu mengentak-entakkan kaki dengan gusar.
"Udah ditelepon belum, Darren-nya?" tanya Mama, yang kayaknya mulai sebal
juga melihat Thalita mondar-mandir di teras.
"Udah, tapi mailbox mulu!" sahut Thalita sewot. "Aduuuhhh" bakal telat nih!"
"Ya udah, kalau gitu kamu berangkat sendiri gih ke sekolah, daripada nanti telat
beneran." "Terus nanti kalau Darren datang, gimana?"
"Ya Mama bilang kalau kamu udah berangkat duluan."
"Iihh" Mama! Ngasih solusi yang bagusan dikit, napa?" Thalita ngedumel.
"Lha, solusi Mama kurang bagus apa, coba" Toh nanti kalau Darren ke sini kan dia
bisa langsung ke sekolah. Lagian, bisa aja dia telat jemput kamu karena ban motornya
kempis. Iya, kan?" "Tapi kan dia bisa SMS atau telepon," Thalita cemberut.
"Ah, udahlah, malah jadi Mama yang berantem sama kamu! Mau berangkat
sekarang atau nggak" Nanti telat beneran, tahu rasa!" Mama kehilangan kesabaran, lalu
masuk ke rumah dan meninggalkan Thalita sendirian di teras.
"Sebel! Orang lagi pusing kok malah dimarahin!" Thalita menjatuhkan diri ke kursi
plastik di teras dan duduk sambil cemberut di sana.
Sepuluh menit dia menunggu, Darren belum datang juga. Dia beneran bakal telat.
Tiga puluh menit" Satu jam" Darren masih belum datang, dan tetap nggak bisa
dihubungi. Thalita habis kesabaran. Dia berjalan ke kamarnya, lalu mengunci diri di
sana. Ngambek. *** Hari sudah sore waktu Thalita akhirnya memutuskan keluar kamar. Perutnya udah
nggak bisa diajak kompromi lagi, dan sedang menciap-ciap dengan hebohnya menagih
asupan pangan mereka. Sebodo amat deh kalau Darren nggak datang atau
menghubunginya seharian ini, yang penting sekarang dia makan!
Thalita berjalan ke meja makan, dan membuka-buka tudung saji yang ada di sana,
tapi ternyata dia masih nggak bisa mengalihka pikirannya dari Darren.
Cowok itu ke mana, ya" Tadi Nita SMS, ngasih tahu Darren juga nggak masuk, dan
beberapa anak sempat berasumsi Darren dan Thalita sengaja membolos bareng cuma
supaya bisa kencan. Tapi ternyata Tatyana juga nggak masuk, padahal Sugeng ada di
sekolah, dan itu menggugurkan praduga bahwa Darren-Thalita dan Sugeng-Tatyana
punya rencana double date dan sengaja membolos bareng-bareng.
Satu poin itu saja sudah membuat Thalita pusing lagi. Sampai-sampai rasa laparnya
tadi seperti lenyap, biarpun di meja ada udang goreng tepung yang tampilan dan
aromanya sangat menggiurkan.
Poin kedua, kalau Darren emang sakit, kenapa dia sama sekali nggak menghubungi
Thalita" Dihubungi juga nggak bisa. Ditelepon di rumahnya juga nggak ada yang
mengangkat. Thalita sampai sempat kepikiran Darren dan Tatyana mungkin
kecelakaan atau apa, tapi dia menepis dugaan ngaconya itu jauh-jauh, dan langsung
berdoa semoga kedua orang yang disayanginya itu nggak kenapa-kenapa.
Sebenarnya siang tadi Thalita juga kepengin menyusul ke rumah Darren, sekadar
pengin tahu keadaan cowok itu, tapi dia tahu dia lagi emosi. Dan ketemuan sama
Darren saat lagi emosi sama aja dengan menyulut pertengkaran. Thalita nggak mau
berantem sama Darren, apalagi kalau dia ingat betapa pengertiannya cowok itu selama
ini. Mungkin Darren lagi ada masalah dan bener-bener nggak pengin diganggu"
Tapi kalau gitu" kenapa Tatyana ikut menghilang juga" HP cewek itu nggak aktif
waktu Thalita berusaha meneleponnya.
"Ke mana sih mereka berdua itu?" Thalita duduk di kursi meja makan dan
menopangkan dagunya di tangan. Otaknya berpikir keras.
Masalah apa yang sebegitu beratnya sampai bikin Darren dan Tatyana nggak bisa
atau nggak mau diganggu" Apa masalah keluarga"
Thalita terkesiap begitu satu dugaan muncul di kepalanya.
"Apa" nyokap mereka tiba-tiba muncul lagi?" pikir Thalita dengan kening
berkerut. Dia tahu betapa Tatyana dan Darren nggak sudi bertemu ibu mereka lagi, dan
mungkin perempuan itu tiba-tiba muncul dan mengakibatkan kedua orang itu shock!
Siapa tau" "Ya Tuhan, kalau sampai dugaan gue benar, pantas aja Darren sama Tatyana nggak
bisa dihubungi" Mereka mungkin lagi terguncang, dan butuh waktu untuk sendiri?"
Thalita mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, lalu menghela napas.
Selama ini, Darren udah menjagi pacar yang baik baginya. Cowok itu sangat
pengertian dan nggak pernah memaksa Thalita untuk melakukan apa pun. Mungkin
sekarang saatnya Thalita membuktikan dia juga bisa jadi pacar yang baik, dengan
membiarkan Darren sendiri untuk sementara. Besok lusa, kalau masih belum ada kabar
juga, baru dia akan nekat mendatangi rumah Darren.
Satu yang jelas, cowok itu nggak mungkin lagi mengurung diri di kamar sambil
mendengarkan lagu mellow akibat mood yang jelek saat PMS, kan"


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena orang paling sabar sedunia pun bisa jadi sangat galak kalau diganggu dalam
masa PMS. Dan karena kemungkinan Darren mengalami itu nol persen, Thalita bisa
sedikit lega. Seenggaknya, dia nggak bakal mendapat sambitan sandal kalau nekat
mendatangi rumah cowoknya itu.
*** "Tatyana?" Pak Adam celingak-celinguk dari balik buku absensi yang dipegangnya.
"Tatyana nggak masuk lagi, ya" Sudah dua hari nih?"
"Nggak, Pak," nyaris seisi kelas kompak menjawab.
"Sugeng, kamu tahu kenapa Tatyana nggak masuk?" tanya Pak Adam pada Sugeng.
"Nggak, Pak. Dari kemarin saya coba menghubungi HP-nya juga nggak bisa."
Thalita menatap Sugeng dengan heran. Cowok itu balik menatapnya dan
mengedikkan bahu. Rupanya Tatyana juga nggak ngasih kabar ke cowoknya sendiri, batin Thalita
bingung. Ke mana ya Tatyana dan Darren"
"Wah, kalau Tatyana dua hari nggak masuk tanpa penjelasan begini, terpaksa
Bapak tulis absen," kata Pak Adam sambil menulis sesuatu di buku absensinya. "Atau
nanti Bapak coba tanyakan ke kakaknya di kelas X-6. Darren kan, ya?"
"Darren juga udah dua hari nggak masuk dan nggak bisa dihubungi, Pak," celetuk
Thalita. Pak Adam, dan nyaris seisi kelas, menatap Thalita dengan tatapan ingin tahu.
"Sungguh?" tanya Pak Adam. Thalita mengangguk. "Nggak ada yang tahu cara
mengontak mereka berdua ya?"
Banyak yang saling pandang dengan teman sebangku dan menggeleng. Kalau
Sugeng yang pacar Tatyana dan Thalita yang pacar Darren saja nggak bisa mengontak
dua anak itu, bagaimana yang lainnya"
"Ya sudah, nanti kalau ada yang dapat kabar tentang Tatyana, atau Darren, tolong
kasih tahu Bapak ya."
Terdengar gumaman dari seluruh anak itu. Thalita hanya diam, otaknya berpikir
keras. *** Thalita berjalan memasuki kelasnya dengan perasaan nggak tentu. Sudah tiga hari
Darren menghilang tanpa kabar, dan ia mulai habis kesabaran. Hari ini, sepulang
sekolah, dia bakal mendatangi rumah cowok itu. Darren nggak boleh kayak gini terusterusan. Emangnya dia kira Thalita nggak khawatir"
Langkah Thalita terhenti di depan pintu kelas, karena melihat sesosok orang yang
berada di dalam kelas itu.
Bukan Darren, tapi Tatyana. Cewek itu sedang menelungkupkan kepala di meja,
tapi Thalita bisa mengenali Tatyana dari rambutnya yang panjang dan tergerai indah.
Nggak ada lagi di kelasnya yang punya rambut sebagus itu selain Tatyana.
Dan kalau Tatyana saja sudah masuk, berarti"
Thalita berlari menuju kelas X-6 tanpa meletakkan tasnya dulu di kelas. Dia sudah
nggak sabar kepingin ketemu Darren, itu juga kalau cowok itu memang benar ada di
kelasnya! Thalita sampai di depan kelas X-6, dan melongokkan kepalanya ke dalam.
Dugaannya nggak salah, Darren ada di sana, sedang terduduk di bangkunya dengan
ekspresi yang nggak bisa dijelaskan. Hanya ada Darren di dalam kelas itu, mungkin
yang lainnya pada belum datang karena masih pagi.
"Ren?" panggil Thalita pelan. Darren mendongak, dan dia cuma tersenyum kecut
menatap Thalita. "Hai, Tha." "Kamu?" Thalita kehabisan kata-kata. "Kamu ke mana aja" Kenapa kamu nggak
kasih kabar ke aku tiga hari ini" Kenapa aku juga nggak bisa menghubungi kamu?"
"Maaf." "Iya, aku maafin, tapi kamu ke mana tiga hari ini" Aku khawatir banget, Ren"
Tatyana juga nggak bisa dihubungi, aku pikir kalian kenapa-kenapa?"
"Nggak, aku sama Tatyana nggak kenapa-kenapa kok."
"Terus" Kamu" sakit?"
Darren menggeleng. "Nggak. Udah, jangan dipikirin ya. Aku minta maaf banget
udah bikin kamu cemas, tapi" udahlah, nggak usah dibahas lagi. Yang penting
sekarang aku udah ada di sini, kan?"
Thalita menatap Darren lurus-lurus. Cowok ini seperti menyembunyikan sesuatu"
tapi apa" Apa masalah keluarga, dan dia nggak kepingin membahasnya dengan
Thalita" Akhirnya, mengingat dia berniat jadi pacar yang baik untuk Darren, Thalita
mengangguk. Dalam hatinya, dia memang masih penasaran, tapi ya sudahlah. Benar
kata Darren, yang penting cowok itu sekarang sudah ada di sini. Soal apa yang
menyebabkannya menghilang tiga hari belakangan ini, itu bisa dipikirkan nanti.
*** "Tha, Darren udah masuk, ya" Tadi gue lihat dia di kantin," kata Nita.
"Iya. Gue juga udah ketemu sama dia kok tadi."
"Mm" dia nggak masuk kenapa sih" Sakit" Abis, gue lihat kayaknya dia tuh lesu
banget gitu. Kayak orang nggak bersemangat. Atau dia lagi ada masalah?"
Thalita menghela napas. "Nggak tau deh, Nit. Dia nggak mau cerita sama gue?"
"Nggak mau cerita gimana?" Nita mengernyit.
"Ya nggak mau cerita kenapa dia nggak masuk dan nggak bisa dihubungi tiga hari
ini. Dia bilang yang penting kan sekarang dia udah ada di sini, tapi gue masih aja
penasaran?" "Kalau menurut gue," Nita terdiam, dia menoleh ke arah bangku Tatyana yang ada
di arah jam dua dari tempat duduknya. "Darren lagi ada masalah keluarga."
Thalita menatap Nita penuh tanda tanya. "Kok lo bisa berasumsi gitu?"
"Yah" lo lihat aja, Tatyana juga nggak masuk tiga hari, dan sekarang mereka samasama masuk dengan tampang suntuk begitu. Apa lagi sebabnya kalau bukan masalah
keluarga" Nggak mungkin karena mereka kena malaria barengan, kan?"
Thalita diam. Kata-kata Nita sepertinya masuk akal. Mungkin itulah sebabnya
Darren nggak mau cerita sama dia. Mungkin Darren malu akan kondisi keluarganya.
Atau" ini berhubungan dengan nyokapnya yang sangat dia benci, makanya dia nggak
sudi membahasnya" Thalita masih penasaran. Dia memutuskan untuk mengajak Tatyana bicara jam
istirahat nanti. *** Jam istirahat, Thalita menghampiri bangku Tatyana. Cewek itu masih bertampang
nggak bersemangat seperti tadi pagi. Thalita jadi ragu untuk mengajaknya bicara.
Gimana kalau mood Tatyana sedang jelek-jeleknya, dan Thalita nanti malah disemprot
karena dianggap terlalu pengin tau urusan orang lain"
"Eh, Tha, lo ngapain di situ?"
Thalita tersentak. Tatyana rupanya menyadari dirinya sedang diperhatikan, jadi dia
menoleh dan mendapati Thalita berdiri hanya dua langkah dari bangkunya, dengan
tampang yang sulit dijelaskan.
"Mmm" eehh, nggak" gue cuma mau nanya kenapa lo nggak ke kantin, hehe?"
Thalita cengengesan nggak jelas. Dia sadar basa-basinya barusan parah banget.
"Ah, lo pasti mau nanya-nanya ke gue, ya?" tembak Tatyana langsung. Thalita jadi
salting mendengarnya. Ketahuan deh" Tapi baguslah, dia jadi nggak perlu susahsusah menjelaskan maksudnya lagi pada Tatyana.
"Iya sih sebenernya. Itu pun kalau boleh?"
"Darren nggak cerita ke lo?"
Thalita menggeleng. Itulah kenapa gue pengin tau dari lo, Na, Thalita membatin.
Tatyana terlihat menghela napas. "Anak itu! Padahal gue udah bilang sama dia
supaya jujur sama lo, tapi ternyata dia bener-bener keras kepala! Gue nggak habis pikir
kenapa dia bisa segitu nyebelinnya!"
"Jujur" soal apa?"
"Emang dia bilang apa ke lo waktu lo tanya kenapa dia nggak masuk tiga hari
kemarin?" "Dia" dia bilang itu nggak usah dibahas, soalnya yang penting kan dia udah
masuk lagi sekarang."
Tatyana langsung cemberut mendengar itu. Malah, dia melengos.
"Na, lo" mau nggak jelasin ke gue apa yang sebenernya terjadi" Kenapa lo sama
Darren nggak masuk tiga hari" Kenapa kalian juga nggak bisa dihubungi?"
Tatyana terlihat seperti baru menelan sesuatu yang mengerikan. Wajahnya tiba-tiba
pucat. "Mm" Tha, gue" gue rasa, gue nggak berhak untuk menjelaskan ke lo. Darren
yang harus menjelaskan semua itu ke lo, Tha, bukan gue?"
"Tapi Darren nggak mau!" bentak Thalita. Lalu sedetik kemudian dia menutup
mulutnya rapat-rapat, sadar dia sudah membentak Tatyana. "Sori, Na. Gue tadi"
emosi." "Gue ngerti. Nggak papa. Gue juga pasti sewot kalau jadi lo. Tapi beneran, Tha, gue
nggak bisa ngejelasin ke lo" Gue takut salah bicara" Gue nggak mau memperkeruh
masalah ini, jadi tolong" lo ngertiin gue, ya?"
Thalita mengangguk. Perasaannya makin kacau-balau sekarang, padahal tadi dia
kira bicara dengan Tatyana akan membuat semua masalahnya jelas.
*** "Terus Acha bilang aku seharusnya mulai diet, soalnya udah banyak lemak bertumpuk
di pinggangku. Nyebelin nggak sih?" Thalita mengadu pada Darren ketika mereka
berdua duduk di pojok kantin sekolah pada jam istirahat.
Thalita menoleh menatap Darren, mengharap cowok itu memberikan respons atas
semua celotehnya barusan, tapi ternyata dia malah mendapati Darren sedang
menerawang. Boro-boro memberi respons, Thalita yakin cowoknya itu pasti sama
sekali nggak mendengar ceritanya barusan!
"Ren?" Darren masih tetap diam. Dugaan Thalita benar, perhatian cowok itu sedang
terpusat pada sesuatu yang lain, bukan padanya.
"Darren?" Kali ini Thalita menyentuh lengan Darren lembut, dan dia benar-benar
bingung karena Darren langsung terlonjak kaget.
"Aduh, Tha, kamu ngagetin aja deh!" serunya dengan nada yang" kasar.
"Sori," kata Thalita pelan. "Tapi aku udah panggil kamu berulang kali dan kamu
nggak ngasih respons, makanya?"
"Iya, tapi nggak berarti kamu harus ngagetin aku!"
Thalita jadi makin bengong melihat Darren marah-marah. Harusnya kan dia yang
marah karena Darren nyuekin dia, kenapa sekarang malah terbalik begini"
"Iya, aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud?"
"Udahlah!" potong Darren dengan intonasi tinggi. Setelah mengatakan itu, dia pergi
dari situ tanpa bilang apa-apa lagi pada Thalita. Thalita cuma bisa cengar-cengir
dengan perasaan kacau karena mendapati beberapa pasang mata yang menoleh penuh
rasa ingin tahu ke arahnya.
*** "Suer, Jen, gue nggak tahu kenapa dia sekarang berubah jadi aneh gitu?"
"Lo punya salah kali sama dia?"
"Salah apa" Lagi pula, kalau emang bener gue punya salah, gue bakal dengan
senang hati minta maaf, asalkan dia mau bilang apa kesalahan gue itu?"
"Yah, makanya coba sekarang lo ingat-ingat, apa lo punya salah sama dia?" Jennie
berusaha men-support Thalita. Dia tahu banget sobatnya itu sekarang sedang down. Ini
kan pertengkaran perdana Darren dan Thalita setelah mereka jadian, pastinya Thalita
lagi butuh banget tempat curhat, plus sahabat yang bisa men-support-nya.
"Ah, nggak tahulah gue" Gue rasa dia emang berubah banget sejak tiga hari
menghilang tanpa kabar itu."
"Dan dia masih belum mau bilang sama lo apa yang terjadi dalam tiga hari itu?"
"Boro-boro deh, Jen. Gue takut dia malah semakin marah sama gue kalau gue
singgung soal itu. Orang diajak ngomong baik-baik kayak tadi aja judes banget, gimana
kalau gue tanya soal tiga hari menghilangnya itu?"
"Iya juga ya?" "Gue nggak nyangka dia bisa jadi kayak gini. Padahal dulu, dia baiiikk" banget
sama gue. Romantis. Perhatian. Sekarang aja setelah jadian, dia malah jadi kayak
gini?" "Sabar ya, Tha" Mungkin dia lagi ada masalah."
"Ya tapi kenapa dia nggak mau cerita sama gue" Seenggaknya kan gue jadi nggak
usah bingung mikirin dia yang aneh begini?"
"Ada beberapa masalah yang kadang orang kepengin menyimpannya sendiri, Tha.
Mungkin Darren sedang menghadapi masalah macam itu. Lo harus bisa ngertiin dia?"
Thalita tercenung. Gue berusaha ngertiin Darren, tapi kenapa Darren nggak
berusaha ngertiin gue juga" Kenapa dia nggak bisa memahami perasaan gue" Apa dia
nggak tahu gue segitu bingungnya mikirin dia"
*** "Ren, kamu itu kenapa sih?" tanya Thalita kesal setelah untuk kesekian kalinya darren
melamun saat Thalita mengajaknya bicara dalam perjalanan pulang sekolah siang itu.
"Aku" Aku nggak apa-apa. Emang aku kenapa?"
"Kamu nggak nyadar kamu kenapa"! Kamu jadi aneh sejak menghilang tanpa kabar
tiga hari itu, tahu nggak"!"
Darren terdiam, wajahnya tiba-tiba memucat. Dia menghentikan mobilnya di tepi
jalan. "Sebenarnya tiga hari itu kamu ke mana?" desak Thalita. "Aku bisa ngerti kalau
kamu jadi kayak gini karena kamu ada masalah atau apa, tapi seenggaknya kamu cerita
ke aku dong. Aku itu bingung sama sikapmu?"
Thalita nggak berniat menangis, tapi ternyata air matanya menitik begitu saja di
luar kendalinya. Mungkin inilah puncak rasa kesalnya pada perubahan Darren. Dia
nggak tahan penasaran lebih lama lagi. Pokoknya hari ini dia harus mendesak Darren
untuk menjelaskan semuanya. Harus!
"What you don"t know won"t hurt you, Tha?"
"Oohh" bullshit! Apa pun itu, nggak akan lebih melukai aku daripada sikapmu
yang aneh belakangan ini!"
"Kamu yakin kamu mau dengar apa yang terjadi sebenarnya?"
Sesaat tiba-tiba ada perasaan takut menyusup dalam hati Thalita. Kenapa Darren
bilang Thalita akan terluka setelah mendengar penjelasan dari cowok itu" Apa yang
sebenarnya terjadi" Apa dia benar-benar bisa menerima apa pun penjelasan Darren
nanti" "Aku nggak akan kenapa-kenapa. Kamu cerita aja."
"Oke. Hari pertama aku menghilang tanpa kabar itu, sebenarnya aku udah mau
berangkat untuk jemput kamu, tapi waktu aku keluar dari rumah" di depan pintu
udah ada Cheryl?" "Cheryl?"" Thalita memutar otaknya.
Cheryl adalah" cewek yang membuat Darren patah hati sampai dia tanpa sadar
jadi "dingin" pada cewek-cewek lain.
Cheryl adalah" cewek yang Darren kira bisa membuatnya lupa dengan
kekecewaannya pada ibunya yang berselingkuh, tapi ternyata malah membuat luka
hatinya makin dalam. Cheryl adalah" cewek yang menantang Darren mencoba drugs"
"Ngapain" ngapain dia ke rumahmu?" suara Thalita bergetar.
Ingatan Darren kembali pada hari itu, saat dia nyaris terlonjak mendapati Cheryl di
depan rumahnya. Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.
*** "Mau apa lo ke sini?" tanya Darren dengan suara tercekat karena menahan marah.
"Gue butuh ngomong sama lo," jawab Cheryl tanpa beban.
Darren hanya bisa melongo mendengar jawaban itu. Lebih-lebih lagi, dia kaget banget
melihat Cheryl, yang penampilannya sudah sangat berbeda dengan yang terakhir diingatnya.
Cheryl nggak lagi terlihat seperti pecandu narkoba yang kurus kering dan tanpa semangat
hidup. Cheryl terlihat" cantik. Matanya berbinar, dan dia tersenyum menatap Darren.
"Ren, kok lo belum berangkat jemp?" Tatyana muncul di pintu, kata-katanya terputus
begitu saja melihat siapa yang ada di hadapannya. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada
supersinis. Dia bahkan bergidik melihat Cheryl.
"Hai, Na," sapa Cheryl sambil tersenyum. Kelihatannya dia nggak terganggu dengan nada
sinis dalam suara Tatyana. "Long time no see."
"Foreverno see lebih baik," sambar Tatyana galak.
Cheryl bukannya keder, dia malah tertawa mendengar kata-kata Tatyana itu. "Lo masih
benci sama gue?" "Tunggu matahari suhunya nol derajat dulu, baru gue nggak benci sama lo!"
"Wah, masih lama dong?" Cheryl nyengir, sementara Tatyana kelihatannya nyaris meledak.
"Sudahlah" gue ke sini untuk minta maaf."
"Siapa yang butuh?" Tatyana nyolot. "Asal lo tau aja ya, kedatangan lo ke sini tuh nggak
akan berarti apa-apa buat Darren! Dia udah ngelupain lo! Bagi dia, lo tuh cuma masa lalu!
Masa lalu yang buruk!"
Kali ini ekspresi Cheryl berubah. Kata-kata Tatyana sepertinya berhasil mengusiknya.
"Benar, Ren" Lo udah ngelupain gue" Bagi lo, gue cuma masa lalu yang" buruk?"
Darren nggak menjawab. Dia hanya menatap Cheryl dalam-dalam. Tatyana sampai harus
menyikut kakaknya itu agar bersuara lagi.
"Kenapa lo diem"!Jawab sana!"
"Lo nggak bisa jawab?" tanya Cheryl halus. "Apa karena Tatyana benar" Atau memang lo
masih sayang sama gue?"
"Ehhh" mimpi ya lo!" seru Tatyana. "Nggak ada tuh yang namanya Darren masih sayang
sama lo! Dia sekarang udah punya cewek, tau! Dan ceweknya itu, sejuta kali lebih baik daripada
lo! Jadi mending lo nggak usah ganggu Darren lagi, morfinis!"
Setelah rentetan makian itu, semuanya diam. Cheryl menunduk dan menggigit bibirnya,
terlihat hampir menangis. Darren, seperti sebelumnya, masih saja belum berkata-kata.
"Gue minta maaf, Ren," kata Cheryl lainnya. "Gue nggak pernah tahu lo sayang banget
sama gue" Gue kira, dulu lo cuma kasihan sama gue yang broken home ini. Dan gue juga
menganggap lo nggak pernah bisa mengerti gue, karena lo nggak mau ikut masuk dunia drugs
gue" Tapi sekarang gue baru sadar, ternyata elo-lah yang benar-benar sayang sama gue, dan"


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan gue kehilangan lo saat lo nggak ada" Gue sayang sama lo, Ren."
"Ahhh" ngasal!" Tatyana berjalan ke arah Cheryl dan mendorong bahu cewek itu, sampai
Cheryl terpaksa mundur beberapa langkah agar nggak terjatuh. "Lo kira, sebegitu gampangnya
minta maaf dan bilang lo sayang sama Darren" Gue kasih tahu ya, jangan mimpi!"
Cheryl menyeka air matanya yang sekarang sudah membanjir. "Gue tahu gue salah, dan gue
bener-bener nyesel, tapi" apa nggak ada kesempatan kedua buat gue" Gue sampai masuk rehab
dan bersih total dari drugs untuk nunjukin ke Darren kalau gue sungguh-sungguh?"
Tatyana tercekat, apalagi Darren.
"Lo" serius, Cher?" tanya Darren penuh harap. Cheryl mengangguk dalam tangisnya.
"Keluar," desis Tatyana. "Keluar dan jangan pernah datang ke rumah ini lagi!" Dia
mendorong Cheryl sampai ke pintu pagar. "Lo boleh aja menancapkan paku ke hati Darren dan
mencabutnya lagi, berusaha menyembuhkannya, tapi bekasnya nggak akan pernah hilang,
goblok! Jangan ganggu abang gue lagi!"
Cheryl sekarang telah berada di luar pagar, yang digembok Tatyana dengan emosi. Cheryl
menatap Darren tanpa mengatakan apa-apa, tapi tidak beranjak pergi. Dia masih tetap berdiri di
depan pagar, seolah ada yang mengelem kakinya di sana.
"Masuk, Ren. Jangan keluar sebelum dia pergi."
"Tapi, Lit?" "Nggak ada tapi-tapian. Lo nggak boleh terpengaruh omongan dia! Masuk!" Tatyana
setengah menyeret Darren masuk ke rumah.
Sesampainya mereka di dalam rumah, Tatyana mengunci pintu dan menutup semua tirai.
"Lo nggak pantes mikirin dia lagi, Ren! Lo nggak inget dia pernah ngejek lo habis-habisan
dulu" Ngejek lo karena lo nggak berani nyoba drugs! Dia itu cewek nggak bener!" kata Tatyana
begitu dia sudah menutup semua pintu dan tirai jendela.
"Tapi tadi" dia bilang dia udah sembuh."
"Sembuh" Memangnya kenapa kalo dia sembuh" Itu urusan dia sendiri! Dia mau tetep
berkubang di drugs juga itu urusan dia, nggak ada hubungannya sama lo!"
"Lit" Dia bilang dia sayang sama gue, dia masuk rehab demi gue?"
"So?" "Gue?" "Oh no" Ren, lo masih suka sama Cheryl"!"
Darren terdiam. "Jawab gue! Lo pasti masih suka sama dia, ya kan?"
"Dia" dia cewek pertama yang gue suka, Lit. Gimanapun juga, dia masih punya tempat di
hati gue?" Darren menelungkupkan kedua tangan ke wajahnya. Rasanya aneh sekali, setelah dia susah
payah berusaha melupakan Cheryl, sekarang justru cewek itu muncul lagi"
"Terus, Thalita gimana" Setelah dia percaya sama lo, mau menerima lo setelah trauma sama
cowoknya, sekarang lo mau bikin dia merasa dilukai lagi" Lo mau bikin Thalita kehilangan lagi"
Dulu, dia kehilangan cowoknya karena drugs, apa sekarang lo mau dia kehilangan cowoknya
karena seorang cewek pecandu drugs?"?"
"Cheryl udah sembuh, Lit! Jangan terus-terusan menyebutnya pecandu!"
"Oh ya, udah jelas sekarang, lo masih suka sama dia. Thalita cuma mainan aja buat lo, lo
nggak pernah benar-benar sayang sama dia, ya kan" Gue jadi menyesal udah membuatnya kenal
sama cowok brengsek kayak lo!"
*** "Jadi?" Thalita seperti kehabisan napas. "Apa kamu?"
"Cheryl tetap datang ke rumah selama tiga hari berturut-turut, dan aku nggak tega
melihatnya kayak gitu, Tha" Dia udah berusaha keras demi aku, dia?"
"Lalu aku" Aku harus gimana?"
Darren menatap Thalita, nanar. "Kalau aja aku benar-benar bisa memilih di antara
kalian. Dia orang yang pertama aku sayangi, Tha" Tapi aku juga sayang sama
kamu?" "Stop, Darren! Stop! Kamu tinggal bilang, siapa yang kamu pilih. Kalau kamu
memilih Cheryl, aku?"
"Tha, kamu nggak ngerti" Ini sulit banget buat aku" Coba kamu bayangin ada di
posisi aku. Saat kita pacaran, lalu" lalu seandainya Andra datang ke rumahmu dengan
kondisi yang sehat, dan dia bilang dia masuk rehab demi kamu, dan dia sembuh, siapa
yang akan kamu pilih?"
"Tentu saja aku milih kamu!" teriak Thalita histeris. "Andra boleh aja masuk rehab
demi aku, dia boleh aja sembuh, tapi dia nggak ada saat aku butuh dia! Kamu yang
ada! Itu saja sudah cukup untuk menunjukkan siapa yang benar-benar sayang sama
aku!" "Tapi kalau Andra sembuh demi kamu, apa kamu?"
"Udah, Ren, cukup! Kalau itu semua cuma alasanmu supaya aku mengerti kenapa
kita harus putus, aku terima. Sekarang kamu bebas. Kamu boleh kembali ke Cheryl,
atau ke cewek mana pun, terserah kamu."
Setelah mengatakan itu, Thalita membuka pintu mobil Darren, dan turun dari
mobil. Dia berjalan menuju halte busway terdekat dengan mata berlinang. Air matanya
makin deras begitu dia menyadari Darren sama sekali nggak menyusulnya, apalagi
mengatakan dia memilih Thalita dan bukannya Cheryl. Cowok itu malah berlalu pergi
dengan mobilnya. Meninggalkan Thalita yang sakit hati dan terduduk lemas di halte.
Sakit hati yang lebih parah dibanding yang pernah dibuat Andra padanya dulu.
*** Sama seperti berita jadian mereka yang tersebar heboh di seluruh sekolah, berita
putusnya Darren dan Thalita juga jadi hot gossip. Dua orang itu, yang tadinya ke manamana selalu nempel kayak iPod dan earphone-nya, mendadak berubah saling
menghindar, seolah masing-masing punya penyakit menular, dan yang lain nggak mau
ketularan. Kalau udah begitu, semua orang jelas bisa menebak bahwa dua orang ini putus.
Dan bukan cuma itu, tapi para bigos juga berubah super-agresif dalam hal mencari info
dalang putusnya hottest couple sekolah itu. Sayang, usaha mereka semuanya mentok,
karena Darren dan Thalita sama-sama nggak mau bicara. Thalita langsung ngacir
begitu ada yang menyebut-nyebut nama Darren, sementara Darren suka sok tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan kalau ada yang menyinggung Thalita di depannya.
"Tha, ke kantin yuk?" tawar Nita.
Thalita menggeleng. "Lo sendiri aja ya, Nit" Gue lagi males?"
"Tapi ntar lo sakit kalau nggak makan."
"Nggak, tenang aja."
"THALITA!" Thalita dan Nita langsung mendongak ke pintu kelas begitu mendengar teriakan
itu, dan mereka mendapati Gio ada di sana, ngos-ngosan dan mandi keringat.
"Ada apa sih, Yo?"
"Udah, lo ikut gue!" Gio nggak memedulikan napasnya yang masih ngos-ngosan
ataupun protes Thalita, tapi dia langsung menarik cewek itu menuju halaman parkir
mobil sekolah. Nita mau nggak mau mengekor di belakang mereka.
"Ada apa sih?" tanya Thalita begitu Gio akhirnya berhenti menyeret-nyeretnya, dan
mereka sekarang berada di balik sebuah pohon besar di halaman parkir.
"Ssttt" jangan ribut-ribut! Tuh, lihat!"
Thalita mengernyit, tapi dia melongokkan juga kepalanya dari balik pohon, melihat
ke arah yang ditunjuk Gio. Ia terdiam begitu melihat apa yang dimaksud Gio.
Darren sedang duduk di atas kap mobil, bersebelahan dengan seorang cewek
berambut pendek model bob yang wajahnya manis sekali, dan Darren merangkul bahu
cewek itu erat-erat. Thalita nggak pernah melihat cewek itu sebelumnya, tapi biarpun
begitu, dia bisa menebak siapa cewek itu.
"Cheryl"," desis Thalita tanpa sadar.
Nita mendelik mendengar nama itu. Thalita memang cerita padanya tentang
bagaimana dia dan Darren putus, dan mengetahui orang yang bernama Cheryl itu ada
di dekat mereka membuat Nita jadi gerah!
"Gue nggak nyangka Darren cepet banget dapat pacar baru setelah putus dari lo,"
Gio mulai berceloteh. "Tadi gue mau ambil buku fisika gue yang ketinggalan di mobil,
taunya pas gue lewat sini, gue lihat mereka, jadinya yah" gue panggil lo aja."
Bletakk! "Auuuww!" Gio memegangi ubun-ubunnya, yang baru saja dijitak Nita.
"Kalau lihat yang beginian lagi, nggak usah bilang-bilang ke Thalita deh!" Nita
marah-marah. "Kayak Thalita bakal peduli aja gitu lhooo! Iya kan, Tha?" Nita menoleh
ke arah Thalita, tapi dia jadi kehilangan kata-kata begitu melihat Thalita ternyata udah
banjir air mata. "Eh, Tha, maafin gue yaa" Gue sama sekali nggak ada maksud bikin lo sedih.
Tadinya gue cuma mau" Argghhh" emang bego banget gue! Bego!!!" Gio menjitaki
kepalanya sendiri. Dia jadi panik karena melihat Thalita menangis.
"Tha, jangan nangis ya"," Nita berusaha membujuk Thalita, tapi sobatnya itu
masih terus menangis. "Gue ngerti lo pasti sakit hati, tapi kalau Darren emang ternyata
kayak gitu, lo harus bersyukur karena udah bisa lepas dari dia?"
"Tapi gue sakit hati, Nit" Dia lebih milih Cheryl dibanding gue?"
"Udah, nggak usah mikirin dia lagi. He"s not that worth." Nita memeluk Thalita,
berusaha menenangkannya. Sambil melakukan itu, dia memelototi Gio, nggak habis
pikir kenapa cowok satu ini segitu gobloknya membawa Thalita ke sini untuk
menonton Darren pacaran. Gio, yang merasa bersalah, menjitaki kepalanya lagi.
SEPULUH Ujian akhir semester sekaligus kenaikan kelas berhasil sedikit mengalihkan perhatian
Thalita dari Darren. Sepanjang tahun ajaran ini, nilainya lebih banyak jelek daripada
bagus, karena banyak masalah. Mulai dari kesedihannya karena harus putus dari
Andra, kemurungannya saat Andra meninggal, sampai ke hari-hari ketika dia lebih
banyak gelisah memikirkan Darren yang kelamaan pedekate tapi belum nembaknembak.
Nilai Thalita hanya bagus saat ia jadian sama Darren, saat hari-hari terasa indah dan
bahagia, dan ia bisa berkonsentrasi penuh pada pelajarannya di sekolah. Tapi ketika
Cheryl muncul lagi" nilai-nilai Thalita mencapai titik terendah.
Untung, Thalita tersadar tepat pada waktunya. Walaupun masih terpuruk, dia tahu,
sekolahnya harus tetap menjadi prioritas. Sebodo amat dengan patah hati, itu bisa
diurus belakangan. Yang penting sekarang naik kelas dulu!
Selepas minggu ujian yang melelahkan, Thalita mendapati usaha kerasnya untuk
belajar ternyata nggak sia-sia. Nilai-nilainya cukup lumayan, at least sanggup mengatrol
nilai-nilai jeleknya sebelum ini hingga memenuhi standar untuk naik kelas.
Tapi, setelah itu ia tetap berkubang dalam keterpurukannya. Sebulan libur kenaikan
kelas hanya dihabiskannya dengan diam di rumah, berusaha mengusir bayang-bayang
Darren yang lebih memilih Cheryl ketimbang dirinya, tapi Thalita lebih banyak gagal
daripada berhasil. Bahkan ketika semua itu terasa menyesakkan, waktu terus berjalan. Tahun ajaran
baru dimulai, dan Thalita menjalaninya dengan setengah hati. Semuanya terasa lebih
gelap daripada ketika Andra meninggal. Tapi karena telah melaluinya, Thalita tahu,
satu-satunya cara menghilangkan perasaan itu adalah dengan terus menjalaninya. Suka
atau tidak, waktu terus berputar, ia hanya bisa berharap kata-kata time heals sekali lagi
akan berlaku dalam hidupnya.
Untunglah, Thalita nggak sekelas sama Darren di tahun ajaran baru ini. Ia nggak
bisa membayangkan gimana kalau itu sampai terjadi Ia memang masih tetap sekelas
dengan Tatyana, dan meski setiap pelajaran agama kelasnya dan Darren akan digabung
seperti dulu, Thalita nggak keberatan. Memangnya ia bisa apa" Mungkin berada dalam
satu ruangan bersama Darren selama dua kali dalam seminggu masih akan bisa
diatasinya. *** Sejak putus dari Darren, Thalita jadi jarang ngobrol sama Tatyana. Tatyana juga
sepertinya jadi canggung setiap kali ada di dekat Thalita. Sering kali dia lebih memilih
menjauh dari Thalita kalau mereka kebetulan ada di tempat yang sama. Sebenarnya,
Tatyana kepengin minta maaf sama Thalita untuk semua kelakuan Darren yang
brengsek itu, tapi kata-katanya selalu tertelan lagi setiap kali dia berniat melakukannya.
Kalau melihat wajah Thalita yang sekarang selalu suram itu, Tatyana jadi merasa benci
pada dirinya sendiri. Kenapa dia nggak pernah tahu abangnya ternyata brengsek"
Kenapa dia malah mendorong Thalita untuk dekat sama Darren dulu" Dia nggak
bakalan melakukan itu kalau aja dia tahu Darren bakal menyakiti Thalita" Dia kan
juga cewek, dia bisa mengerti gimana perasaan Thalita sekarang. Tatyana bisa terima
kalau Thalita jadi membencinya juga.
Sampai suatu hari, Tatyana nggak tahan lagi. Dia merasa harus minta maaf sama
Thalita. Yah, walaupun itu nggak akan mengubah apa-apa, at least dia bisa sedikit
mewakili abangnya yang sialan itu untuk minta maaf.
"Tha, gue mau minta maaf?"
Thalita mendongak menatap Tatyana, dan mengerutkan keningnya. "Untuk apa?"
Tatyana gelagapan dia nggak menyangka Thalita bakal seketus ini. Tapi dia salah
sangka Thalita nanya kayak gitu bukan bermaksud sinis, tapi dia memang bener-bener
bingung kenapa Tatyana tiba-tiba minta maaf. Seingatnya Tatyana nggak punya salah
apa-apa ke dia. "Gue ngerti kenapa sikap lo jadi kayak gitu ke gue, Tha" Gimanapun juga, gue
salah satu penyebab lo sakit hati kayak gini" Kalau aja gue dulu?"
"Tunggu, tunggu! Lo salah sangka, Na. Tadi gue nanya "untuk apa" itu karena gue
bener-bener nggak ngerti kenapa lo mendadak minta maaf ke gue."
"Oh," gumam Tatyana. Dia baru ngeh sekarang, dan jadi agak malu juga karena
tadinya mengira Thalita bersikap ketus ke dia. "Ng" anu" minta maaf soal Darren?"
"Kenapa lo harus minta maaf soal Darren?"
"Mmm" yah" lo tahu lah" kan bisa dibilang dulu gue yang mendorong lo untuk
dekat sama Darren. Sampai akhirnya kalian dekat beneran dan jadian. Lalu Darren"
yah, Darren nyakitin lo kayak gini" Gue merasa bersalah banget?" Tatyana meremas
jemarinya sendiri. Rasanya berat banget bicara seperti tadi di depan Thalita, tapi
Tatyana tahu dia harus melakukannya. Kalau nggak, dia akan merasa bersalah terus
seumur hidup. "Na, lo bukan Darren, kan?"
"Eh?" Tatyana bingung, nggak menangkap maksud kata-kata Thalita.
"Yang nyakitin gue tuh Darren, bukan lo. Harusnya dia yang minta maaf ke gue,
bukan lo" kata Thalita datar. Thalita sendiri nggak tahu kenapa belakangan ini dia jadi
datar begitu. Dia menganggap itu sebagai tameng yang dimunculkannya untuk
melindungi diri sendiri. "Iya sih?" Tatyana jadi makin merasa nggak enak. "Tapi gue tahu dia terlalu
pengecut" Dia nggak akan mau datang ke lo dan minta maaf buat segala kebodohan
yang udah dia lakukan. Dan kalau lo nggak mau maafin dia, gue bisa ngerti kok.
Mungkin lo juga nggak bisa maafin gue?"
"Iya, gue nggak bisa maafin lo."
Tatyana mendongak, sedikit takut menatap Thalita tapi dia memberanikan diri.
"Gue nggak bisa maafin lo, karena memang nggak ada yang perlu dimaafin, Na."
Untuk kedua kalinya, Tatyana kaget. Dia bingung, kenapa Thalita jadi jago bermain
kata-kata begitu. "Lo minta maaf karena menganggap diri lo lah yang membuat gue bisa dekat sama
Darren, tapi gue sama sekali nggak menganggap itu salah lo. Ingat kan, gue bisa aja
menolak waktu itu. Gue bisa aja benar-benar menjauhi Darren, tapi nyatanya" Gue
malah memilih untuk mendekati dia. Gue sendiri yang membiarkan diri gue dibodohi,
dan itu bukan salah lo. Gue yang nggak bisa melihat ternyata Darren nggak benarbenar sayang sama gue. Gue nggak bisa melihat ternyata dia" dia masih menyimpan
Cheryl dalam hatinya."
Tatyana speechless mendengar semua kalimat Thalita barusan. Dia jadi kepengin
nangis. Bukan karena lega banget Thalita nggak menyalahkan dia, tapi karena terharu.
Setelah disakiti seperti ini pun, Thalita masih nggak menyalahkannya, nggak
menyalahkan Darren. "Tha" lo baik banget" Gue nggak pernah tahu ada orang sebaik lo" Kalau aja ada
yang bisa gue lakukan untuk?"
"Hmm" gimana kalau" lo nggak mengungkit Darren di depan gue lagi" It hurts
me so bad, soalnya."
Tatyana diam sesaat, tapi lalu mengangguk. Dia sadar satu sekolah dengan Darren
dan memiliki kemungkinan untuk bertemu cowok itu setiap hari saja bukan hal yang
gampang. Mungkin Thalita sudah belajar berpura-pura Darren itu tembok kalau
mereka kebetulan berpapasan, Tatyana nggak tahu. Tapi pasti akan lebih mudah lag
bagi Thalita untuk menyembuhkan lukanya, kalau Tatyana nggak menyinggungnyinggung Darren lagi di depannya.
"I promise," janji Tatyana.
*** Waktu Thalita pulang sekolah, ia mendapati rumahnya kosong. Cuma ada pembantu.
Acha nggak tahu udah keluyuran ke mana. Mama dan Papa yang biasanya sudah
pulang kantor jam segini pun nggak kelihatan batang hidungnya.
"Mama sama Papa belum pulang, Bi?" tanya Thalita ke pembantunya.
"Oh, tadi telepon, Non. Katanya malam ini masaknya untuk Non sama Non Acha
aja, soalnya Bapak sama Ibu mau langsung ada acara. Makan di sana, katanya.
Pulangnya malam." "Oh." Thalita mengangguk. Mama dan papanya memang punya perusahaan kecil
sendiri, distributor original spare part untuk salah satu merek sepeda motor top di
Indonesia. Penjualan mereka lumayan besar, jadi sering kali mereka dapat undangan
kalau si produsen sepeda motor itu punya gawe. Entah di hotel, stasiun TV atau apalah.
Thalita beberapa kali ikut, lumayan juga bisa makan enak dan nonton Ungu atau artisartis lainnya dengan gratis tanpa perlu berdesak-desakan.
"Non mau makan sekarang atau nanti aja" Biar sup kacang merah sama ayam
gorengnya Bibi panasin?"
"Ng" nggak usah, Bi. TAdi aku udah makan di sekolah, kayaknya nggak makan
lagi. Acha juga kayaknya makan dil uar tuh. Bibi beresin aja meja makannya."
"Oh" iya deh, Non. Tapi nanti kalau Non mendadak lapar, panggil Bibi aja, ya"
Bibi di belakang, nonton sinetron?"
Thalita tersenyum sedikit, dan mengangguk. Biar deh malam ini dia nggak
merepotkan dan mengganggu keasyikan pembantunya nonton sinetron. Toh dia


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang nggak lapar, dan nggak nafsu makan.
Thalita naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada, dan langsung mengempaskan
diri ke ranjang. Rasanya seluruh tubuhnya pegal, padahal hari ini dia nggak ngapangapain. Dan sungguh aneh, hatinya juga masih terasa sakit akibat Darren nggak
menyusulnya di halte waktu itu.
Sudah hampir dua bulan sejak kejadian itu, tapi Thalita serasa masih bisa melihat
semua itu di depan matanya. Darren yang lebih memilih Cheryl daripada dia" Darren
yang membiarkan Thalita turun di halte begitu saja tanpa menyusulnya sama sekali"
Mungkin dia lega karena Thalita tahu diri juga setelah mendengar cerita tentang
Cheryl, dan dengan begitu dia nggak perlu memutar otak lagi mencari cara untuk
minta putus dari Thalita.
Tapi entah kenapa rasanya begitu sakit"
Darren-lah yang dulu menopangnya ketika Andra meninggal. Darren-lah yang
dengan hati-hati mendekatinya, pelan tapi pasti, menawarkan diri untuk menggantikan
Andra. Darren yang ganteng, tapi humble dan pengertian. Darren yang selalu ada.
Disakiti oleh cowok macam itu jelas akan terasa lebih sakit daripada disakiti cowok
brengsek. Lukanya menusuk lebih dalam.
Thalita merasa dia sudah dibawa terbang tinggi selama kebersamaannya dengan
Darren, tapi kemudian dia dijatuhkan lagi setelah kedatangan Cheryl. Sakitnya lebih
terasa kecewanya lebih dalam, dan ada sejuta pertanyaan "kenapa" di otaknya yang
ingin dia ajukan, tapi dia tahu itu nggak akan ada gunanya.
Darren memilih Cheryl, bukankah itu sudah jelas"
Kenapa dia masih harus bicara banyak-banyak lagi ke Darren, kalau akhirnya pun
dia tahu dia akan sampai pada kenyataan itu"
Akan lebih mudah jika ia memutuskan untuk melupakan cowok itu saja, dan
bangkit lagi. Dulu kan dia pernah terpuruk juga, tapi buktinya dia bisa bangkit lagi,
kan" Hanya saja Thalita ragu" Dulu waktu dia jatuh karena Andra, ada Darren yang
membantunya berdiri. Tapi sekarang" saat dia jatuh karena Darren, siapa yang akan
membantunya berdiri"
Tiba-tiba saja Thalita merasakan matanya panas, dan air mata berkejaran menuruni
pipinya. *** Pagi itu Thalita berencana online dulu sebelum bel sekolah. Kepengin ngecek e-mail,
siapa tahu ada e-mail yang menarik dalam inbox-nya.
Thalita masuk ke lab komputer, yang pagi itu masih kosong melompong, dan
menyalakan komputer favoritnya. Tapi belum sampai logo Windows menghilang dari
layar, pintu lab terbuka, dan Darren berdiri di sana.
"Eh," gumam Darren, kayaknya sih nggak menyangka bakal melihat Thalita di
sana. Thalita cuma balas melihat Darren tanpa bilang apa-apa. Menurutnya, lebih baik dia
diam. Dia takut kalau bicara nanti, dia justru mengeluarkan sejuta pertanyaan
"kenapa" yang disimpannya itu.
"Ng" sori, gue nggak tahu lo di sini"," kata Darren lagi, canggung.
Thalita berusaha mengalihkan perhatiannya ke layar komputer lagi, yang sekarang
sudah menampilkan desktop, tapi tetap aja kata-kata Darren barusan terasa
mengusiknya. Darren mengucapkannya seolah" Thalita memang orang yang
dihindarinya. Mungkin yang nggak kepengin dilihatnya bahkan sampai sejuta tahun
cahaya sekalipun. Tapi Thalita nggak menyalahkan Darren. Dia juga bukannya nggak menghindari
cowok itu, kan" Sering dia mendekam di kelas saat jam istirahat, hanya supaya nggak
perlu ke kantin, dan menghindari kemungkinan berpapasan dengan Darren di koridor.
Tapi kalau kamu pernah tertusuk jarum, bukannya wajar kalau kamu sebisa mungkin
berusaha nggak menyentuh jarum lagi" Seperti itulah yang Thalita rasakan. Kalau
Darren, memangnya dia punya motif untuk menghindari Thalita" Nggak ada, kecuali
mungkin perasaan bersalah.
"Mmm" yah" gue pergi aja deh" Bye?"
Darren menutup kembali pintu lab komputer dan berlalu dari situ. Thalita terpaku
di tempatnya. Rupanya hubungannya dengan Darren memang sudah sedingin dan
secanggung ini, nggak akan bisa dipulihkan lagi.
Padahal dulu, di ruangan inilah Darren menghiburnya setelah Thalita menerima ecard dari Andra, dan dia jadi cengeng mendadak. Di ruangan inilah dulu Darren
ngumpet dari Gio sang bigos sekolah, dan tanpa sengaja malah mendapati Thalita yang
lagi nangis. Tapi sekarang ruangan ini malah jadi ruangan tempat Darren muncul, tapi
pergi lagi setelah melihat Thalita ada di sana"
Thalita nggak tahu harus gimana. Ia mematikan komputer yang tadi dinyalakannya,
dan keluar dari lab. SEBELAS Darren sampai harus mengerjap dua kali untuk memastikan dia nggak salah lihat. Tapi
yang dilihatnya masih tetap sama. Cheryl hari ini pucat sekali"
"Cher, kamu nggak papa?"
"Nggak papa?" Cheryl mendongak dan menatap Darren dengan ekspresi bingung
yang aneh. "Tentu aja aku nggak papa. Kenapa kamu nanya kayak gitu?"
"Kamu kelihatan" pucat banget."
Darren bisa melihat Cheryl menelan ludah. "Oh, mungkin ini gara-gara aku belajar
semalam." "Belajar?" Darren makin bingung. Cheryl dan "belajar" bukanlah dua kata yang
akan cocok jika dipadukan dalam satu kalimat. Darren tahu, Cheryl menganggap
sekolah lebih untuk formalitas saja, plus karena dia nggak mau kalau kebetulan
bertemu teman ortunya atau saudara jauhnya dan ketika ditanya "sekolah di mana?"
dia cuma bisa menjawab "aku nggak sekolah". Orang yang bertanya itu pasti bakal
menatapnya dengan pandangan aneh.
Cheryl lebih tua setahun dari Darren. Harusnya sekarang dia duduk di kelas dua
belas, tapi kecanduan narkoba dan proses rehab yang diikutinya ternyata membuatnya
nggak naik kelas tahun ajaran lalu. Jadi tahun ini dia terpaksa mengulang lagi tingkatan
yang sama, tapi di sekolah yang berbeda, karena sekolah lamanya
sudah menendangnya keluar begitu tahu dia pecandu.
"Iya. Aku ada ujian kimia hari ini. Aku harus buktikan ke guruku kalau aku bisa,
Ren. Aku nggak mau diremehkan terus?"
"Oh." Darren tersenyum kecil dan mengacak rambut Cheryl dengan sayang. "Iya,
kamu harus belajar yang giat ya" Kita tunjukin kamu pantas dapat kesempatan kedua.
Kita tunjukin kamu sekarang adalah Cheryl yang baru."
"Thanks ya" You know, that"s why I came back to you."
*** "Lit, lo tahu nggak" gue kepikiran satu hal," kata Darren sewaktu dia ketemu Tatyana
di rumah malam harinya. "Apa" Akhirnya lo nyadar udah melakukan kebodohan dengan balik sama
Cheryl?" tanya Tatyana galak. Setelah ngobrol sama Thalita waktu itu, Tatyana jadi
makin kesal sama Darren, dan makin benci pada Cheryl. Coba lihat dong, apa yang
sudah dua orang brengsek itu lakukan ke cewek sebaik Thalita" pikir Tatyana kesal.
"Gue sama sekali nggak nyesal," sergah Darren jengkel.
"You will." Tatyana menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga lalu menyalakan TV.
Dia sengaja mengeraskan suara TV itu, supaya nggak usah mendengar lagi sampah apa
pun yang bakal diocehkan Darren sekarang.
"Okay, enough "bout that stuff. Gue bener-bener butuh lo dengerin gue sekarang."
"Ngomong aja." Tatyana masih sok asyik dengan remote control TV-nya.
Darren cukup pintar untuk nggak membiarkan aksi cuek Tatyana menghalangi
niatnya untuk bicara. Lebih baik to the point aja.
"Gue kepengin pindah sekolah. Ke sekolah Cheryl."
"LO UDAH GILA?"?"
Sekali lagi Darren mengabaikan reaksi Tatyana, walau dia senang juga kali ini katakatanya berhasil membuat Tatyana memperhatikan, bukannya cuek bebek seperti tadi.
"Gue serius. Gue kepengin bantuin Cheryl. Dia agak" kesulitan sama pelajaranpelajarannya?"
"Pantes aja, otaknya pasti udah bolot gara-gara semua drugs itu. Oh, dia memang
asalnya udah bolot sih, sekarang pasti bolotnya makin menjadi-jadi."
Darren langsung menatap Tatyana tajam, tapi Tatyana cuma mengedikkan bahu.
Dia begitu bencinya sama Cheryl sekarang, yang terlihat di matanya hanya sisi negatif
cewek itu saja. "Lo nggak boleh ngomong kayak gitu."
"Boleh aja, ini kan mulut gue sendiri! Dan kalau lo udah lupa, gue benci banget
sama dia! Dia yang dulu ngerusak lo, sampai lo jadi manusia dingin nggak
berperasaan! Dan ketika lo udah mulai normal kembali, seenaknya aja dia datang dan
merebut lo! Apa yang lo lihat dari cewek kayak dia Darren" Please deh!
"Lit, udah berapa kali gue bilang, dia udah berubah. Dia bukan Cheryl yang dulu
lagi. Tuhan aja mau maafin dosa-dosa kita, dosa-dosa lo, masa sih lo nggak mau maafin
kesalahan orang lain?"
"Nggak usah bawa-bawa Tuhan deh. Dosa lo nyebut nama Tuhan dengan
sembarangan! Lagian, salah Cheryl sendiri kenapa dia segitu nyebelinnya! Bukan salah
gue kalau nggak bisa maafin dia!"
Darren jadi bingung kenapa Tatyana jadi mempersulit keadaan kayak gini. Padahal
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 7 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Beruang Salju 10

Cari Blog Ini