Ceritasilat Novel Online

Thalita 4

Thalita Karya Stephanie Zen Bagian 4


tadinya dia cuma berniat curhat dan minta pendapat soal keinginannya pindah ke
sekolah Cheryl, tapi mereka sekarang malah bertengkar!
"Ya ampun" susah banget ngomong sama lo! Pikirin baik-baik dong, Lit, dia udah
berusaha keras! Bersedia masuk rehab itu nggak gampang! Lo lihat aja mantannya
Thalita, si Andra, dia nggak pernah mau masuk rehab, dan apa jadinya dia" Mati! Dan
asal lo tahu, di rehab Cheryl juga bukannya santai-santai, dia berjuang. Nggak pantas
ya dia dapat kesempatan lagi setelah semua usahanya itu" She deserves the second
chance!" "Whatever lah, Darren! Kalau dia memang mau jadi anak baik setelah lepas dari
narkoba, kenapa dia ke sini" Kenapa dia mengusik lo lagi" Dia bisa aja jadi anak baik di
luar sana, dengan nggak mengganggu lo lagi! Dengan menata hidupnya lagi tanpa
perlu melibatkan lo di dalamnya. Nah, kalau dia melakukan itu, gue akan beranggapan
dia pantas dapat kesempatan kedua. Tapi nyatanya. Nggak, dia nggak berusaha jadi
manusia yang lebih baik. Dia datang ke sini dan membuat lo putus sama Thalita. Dia
merebut pacar orang!" Tatyana terengah-engah setelah menumpahkan semuanya itu.
Seolah dia gunung berapi yang baru meletus, mengeluarkan lahar kekesalan dan
kemarahannya yang lama disimpan.
"Itu bukan salah dia, gue yang memutuskan?"
"Bagus, belain aja dia terus! Dengar ya, gue nggak mau lagi lo ngebahas dia di
depan gue, gue muak! Dan kalau nilai-nilainya memang jelek, suruh aja dia cari guru
les. Ngapain harus lo yang pindah ke sekolahnya dan tutoring dia" Stupid!"
Tatyana membanting remote control TV yang dipegangnya ke karpet, membuat titiktitik debu yang menempel di sana beterbangan. Dia menatap Darren tajam, lalu
beranjak ke kamarnya dengan marah dan membanting pintu keras-keras, masih nggak
habis pikir kenapa abangnya begitu dibutakan oleh cewek bernama Cheryl itu.
*** Pagi itu Thalita shock luar biasa.
Waktu mobilnya melintasi sekolah swasta yang terletak nggak jauh dari sekolahnya,
Thalita melihat Darren berboncengan dengan seorang cewek, yang nggak perlu
diragukan lagi pasti Cheryl.
Persis di depan gerbang sekolah, Darren berhenti. Cheryl turun dari boncengan,
melepas helmnya, dan mengembalikannya ke Darren. Thalita menelan ludah. Itu helm
yang dulu sering dipakainya" Helmnya" sekarang itu helm Cheryl"
Seperti ada yang baru menghantam dadanya ketika melihat itu. Cheryl sudah
merebut semua miliknya dulu. Cowoknya, masa-masa indah yang seharusnya masih
dia miliki bersama Darren, bahkan hal sepele seperti helmnya" Cheryl sudah
menggantikannya. Thalita sampai terpaksa menepikan mobilnya, terlalu shock untuk terus menyetir
setelah melihat pemandangan itu. Untung saja mobilnya Honda Jazz hitam, jenis mobil
yang cukup pasaran di Jakarta, dan kelihatannya Darren nggak memperhatikan mobil
itu menepi di seberang jalan tempat cowok itu menurunkan Cheryl.
Dari tempatnya berhenti, Thalita bisa melihat dengan jelas wajah Cheryl yang
sumringah, juga senyum Darren yang terus mengembang. Darren mengulurkan
tangannya untuk merapikan anak rambut Cheryl yang berantakan setelah helmnya
dilepas, dan Thalita makin nelangsa melihatnya.
Seharusnya gue yang ada di posisi itu, bukan Cheryl" batin Thalita pahit.
Dan tiba-tiba saja, seolah ada yang memutar tape recorder persis di telinganya,
Thalita teringat kata-kata Darren di mobil dulu"
"Tha, kamu nggak ngerti" Ini sulit banget buat aku" Coba kamu bayangin ada di posisi
aku. Saat kita pacaran, lalu" lalu seandainya Andra datang ke rumahmu dengan kondisi yang
sehat, dan dia bilang dia masuk rehab demi kamu, dan dia sembuh, siapa yang akan kamu
pilih?" Seandainya dulu Andra rela masuk rehab demi Thalita" Seandainya dulu Andra
sembuh" apa Thalita akan tetap memilih Darren"
Dan perasaan itu menghantamnya begitu kuat sampai rasanya dia nyaris tercekik.
Dia juga akan memilih Andra.
Sekarang dia mengerti. Dia mengerti apa yang dimaksud Darren waktu itu. Thalita
dulu menerima Darren, karena Andra sudah nggak ada. Darren dulu memilih Thalita,
karena Cheryl nggak ada. Mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang mereka
sayangi, dan di tengah kekosongan itu ada orang lain yang datang, menawarkan
perhatian dan kasih sayang" lalu mereka mengira dengan begitu akan melupakan
yang lama, tapi ternyata nggak"
Andra memang nggak mungkin kembali lagi karena dia sudah meninggal, tapi
Cheryl?" Dia bisa kembali kapan saja, sadar benar bahwa Darren belum melupakan
dia, lalu merebutnya kembali"
Thalita menarik napas dalam-dalam. Sekarang dia bnear-benar mengerti. Darren
melakukan hal yang benar. Cowok itu nggak mau membohongi dirinya sendiri dengan
pura-pura terus bersama Thalita, padahal ada Cheryl menunggunya. Dia nggak mau
lebih menyakiti Thalita dengan membiarkannya "tergantung" di antara dirinya dan
Cheryl. Darren memberi Thalita kebebasan untuk memilih. Dia membiarkan Thalita
yang minta putus darinya"
Dan Thalita tahu, seharusnya dia nggak menyalahkan Darren karena itu.
Seharusnya dia malah berterima kasih. Darren sudah berbuat sebisanya untuk Thalita
setelah Andra meninggal, membuat Thalita melihat bahwa tanpa Andra pun dia masih
tetap bisa survive. Sekarang, Thalita harus membuktikan, tanpa Darren pun dia juga
tetap bisa survive" Pelan-pelan, Thalita menyalakan mesin dan menginjak gas, kembali menjalankan
mobilnya. Untuk pertama kalinya sejak putus dari Darren, ia merasa hatinya ringan.
*** Darren celingak-celinguk di depan gerbang sekolah Cheryl. Jam pulang sekolahnya
sudah lewat dari tadi, tapi Cheryl belum juga kelihatan batang hidungnya. Darren juga
sudah coba telepon, tapi tersambung ke mailbox mulu.
Sekarang dia jadi kelihatan kayak orang bego karena ngejogrok di depan sekolah
orang, bingung harus ngapain. Dia nggak kenal satu pun teman Cheryl di sekolah itu.
Yang dikenalnya cuma teman-teman Cheryl di sekolahnya yang dulu. Itu pun kalau
mereka masih bisa disebut "teman", karena menurut cerita Cheryl, mereka langsung
menjauhinya begitu tahu Cheryl masuk panti rehabilitasi narkoba. Mereka
menjauhinya, bukan men-support-nya.
Darren nggak menyalahkan teman-teman Cheryl. Dia tahu, mereka juga berada
dalam posisi yang nggak enak. Serbasalah. Kalau dekat-dekat, takut ikut terjerumus.
Kalau menjauhi, nanti dibilang nggak setia kawan. See" Semua pilihan ada dampak
negatifnya. Karena itulah Darren benar-benar bersyukur Cheryl sudah sembuh sekarang.
Cheryl akan bisa menata hidupnya lagi, bisa memulai dari awal lagi. Dan Darren akan
membantunya. Dia nggak akan membiarkan Cheryl berjuang sendiri.
Darren berdiri dari jok motor yang didudukinya, dan berjalan mondar-mandir di
depan gerbang. Cheryl masih belum nongol juga. Apa mungkin ada pelajaran
tambahan ya" Dia kan sedang butuh menaikkan nilai-nilainya, jadi mungkin ada guru
yang berbaik hati memberi pelajaran ekstra sepulang sekolah. Dan HP Cheryl mungkin
low batt" Sampai akhirnya sudah satu jam lebih Darren menunggu, tapi Cheryl belum juga
muncul. Padahal sekolah sudah mulai sepi. Darren akhirnya mengambil inisiatif untuk
masuk ke dalam, mencari Cheryl.
Darren mengunci sepeda motornya, lalu berjalan memasuki sekolah. Setelah lorong
yang berbelok dua kali, dia sampai di bagian dalam. Lapangan basket menghampar di
depannya, dikelilingi bangunan sekolah yang berbentuk huruf L. Panas terik dengan
debu beterbangan, tapi masih ada beberapa cowok yang bermain basket di sana.
Cowok-cowok itu mendongak dan jadi saling berbisik begitu menyadari keberadaan
Darren. Karena ogah banget dianggap penyusup, Darren berinisiatif mendatangi
mereka, dan langsung menanyakan Cheryl.
"Ehm, sori, gue lagi nyari Cheryl, anak sekolah ini. Kalian lihat dia nggak?"
"Cheryl" Yang ngobat itu?" tanya salah satu di antara para cowok itu, yang
bertubuh paling gendut. Darren langsung merasa urat di bawah matanya berkedut,
yang sering terjadi kalau dia akan marah besar.
Beberapa teman si gendut meliriknya dengan tajam, tapi ia cuma mengedikkan
bahu dan kembali meneruskan main basketnya yang sempat tertunda gara-gara diajak
bicara Darren tadi. "Eh, sori, nggak usah dengerin dia, dia emang suka ngaco," kata cowok jangkung
yang berdiri persis di depan Darren. Darren tersenyum datar. "Cheryl yang anak
pindahan itu kan maksud lo" Cheryl Davina?"
Darren mengangguk. "Tadi sih pas bubaran sekolah gue lihat dia nyegat taksi di depan sekolah?"
Kening Darren langsung berkerut. "Nyegat taksi" Terus dia" pergi, gitu?"
"Kayaknya sih. Tapi gue nggak tahu ke mana. Pulang, kali. Buru-buru banget dia."
Darren makin bingung. Masa sih Cheryl pulang duluan tanpa bilang-bilang dia
dulu" Sekolah Cheryl memang bubarannya lebih cepat, tapi sebelum ini juga Cheryl
selalu menunggu Darren datang menjemput. Nggak pernah dia pulang duluan kayak
gini, apalagi tanpa bilang-bilang.
Mungkin Cheryl" sakit" Ya, kalau sakit pasti dia nggak bisa menunggu Darren. Dia
pasti harus secepatnya pulang ke rumah dan istirahat. Kalau gitu, Darren harus cepatcepat ke sana.
"Oh, gitu. Ya udah, thanks ya."
Cowok jangkung itu tersenyum, dan Darren bergegas menuju gerbang sekolah
tempat motornya diparkir tadi.
*** Tante Alena, mama Cheryl, yang membukakan pintu waktu Darren sampai di sana.
Darren sudah lumayan akrab sama Tante Alena dan keluarganya. Mereka
bahkan sayang banget sama Darren, karena Darren-lah satu-satunya yang masih mau
berteman, bahkan pacaran, dengan Cheryl setelah Cheryl keluar dari panti rehabilitasi.
Teman-teman Cheryl yang lain sudah ngibrit entah ke mana.
"Lho, Cheryl-nya mana, Darren?" tanya Tante Alena setelah Darren melepas
helmnya. Darren melongo dengan sukses. "Lho" Cheryl nggak di rumah, Tante?"
"Hah" Nggak" Cheryl belum pulang sama sekali. Tante kira dia sama kamu?"
Tante Alena jadi ikut bingung.
"Nggak" tadi saya ke sekolahnya, saya tungguin lama tapi dia nggak keluarkeluar. HP-nya juga mati. Saya tanya ke temen sekolahnya, katanya Cheryl nyegat taksi
di depan sekolah begitu bubaran. Saya kira dia pulang?"
Tante Alena sekarang kelihatan gelisah. Cheryl memang bukan anak kecil lagi.
Kalau nyasar dia pasti tahu jalan pulang. Tapi yang jadi masalah adalah kondisinya.
Dia baru keluar dari panti rehabilitasi narkoba, kondisinya masih belum stabil. Dia
masih sangat rawan untuk pergi ke mana-mana sendiri tanpa pengawasan. Gimana
kalau dia ketemu dengan teman-teman sesama pemakainya dulu" Dengan bandar
narkoba yang jelas masih mengincarnya dan pasti berusaha menjeratnya kembali"
Darren rupanya menyadari juga apa yang ada di pikiran Tante Alena. Dia harus
mencari Cheryl sekarang, secepatnya.
"Biar saya cari Cheryl, Tante." Darren menyalakan mesin motornya lagi, dan Tante
Alena dengan terburu-buru membuka kembali pintu pagar yang nyaris ditutupnya.
"Tolong ya, Darren, tolong?"
"Iya, Tante, iya."
Darren hampir saja memundurkan motornya keluar dari halaman rumah Cheryl,
waktu dia mendengar ada yang bertanya di belakangnya.
"Lho" Ada apa ini?"
Darren menoleh, dan Cheryl berdiri persis di hadapannya, dengan wajah tanpa
dosa. "Cheryl! Kamu ke mana aja, Cher" Mama bingung sekali waktu Darren ke sini
mencari kamu! Mama kira kamu lagi sama-sama Darren!" Tante Alena spontan
memeluk Cheryl, seolah anaknya itu sudah hilang berhari-hari. Cheryl menatap
Darrren dari atas bahu mamanya (yang memang lebih pendek dari dia), dengan
ekspresi bertanya-tanya. "Kamu nggak apa-apa kan, Cher" Kamu baik-baik aja?" tanya Tante Alena lagi,
sambil meneliti Cheryl dari atas ke bawah dengan cemas.
"Iya, Ma, aku nggak kenapa-kenapa kok. Aku baik-baik aja. Nih lihat," Cheryl
mengembangkan tangannya sedikit, bermaksud untuk menggoda mamanya. Tapi baik
mamanya maupun Darren sama sekali nggak menganggap itu lucu.
"Kamu dari mana, Cher?" tanya Darren, tepat sasaran.
"Aku, eh" aku dari toko buku."
"Toko buku?" Darren nggak tau harus ngomong apa mendengar jawaban ajaib itu.
Sama seperti "belajar", "toko buku" juga nggak akan cocok berada dalam satu kalimat
dengan nama Cheryl. "Kamu ngapain di toko buku?"
"Ya" ya beli buku!"
"Buku apa?" desak Darren. Tante Alena sekarang menatap Darren dan Cheryl
bergantian, dengan tatapan bingung.
"Buat referensi tugas biologi aku?"
Darren terdiam. Kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya sekarang cuma
satu: bingung! Cheryl ke toko buku untuk beli buku referensi tugas biologi"
Tapi Darren mendadak sadar, Cheryl kan sedang berusaha keras memperbaiki
nilainya, jadi mungkin banget dia ke toko buku tadi. Dan Darren nggak mau sikapnya
jadi menimbulkan kesan dia nggak percaya sama Cheryl. Dalam kondisi begini kan dia
harusnya mendukung Cheryl, bukan malah meragukannya.
"Huff" kamu itu, kok nggak bilang-bilang dulu sih kalau mau ke toko buku" Kan
bisa aku anterin" Lagian, aku bingung banget nunggu kamu di sekolah tadi. Aku
tunggu satu jam lebih, kamu nggak keluar-keluar. Anak sekolahmu bilang dia lihat
kamu nyegat taksi setelah bubaran. Aku kan jadi khawatir kamu kenapa-kenapa,
Cher?" Darren menyentuh lengan Cheryl pelan.
"Iya, Cheryl, HP-mu juga nggak bisa dihubungi"," tambah Tante Alena.
"Iya, sori" Aku buru-buru soalnya. Aku butuh buku ini buat tugas yang harus
dikumpulin lusa. Aku kira aku bisa ke toko buku sebentar sambil nunggu kamu
datang. Kan toko bukunya nggak terlalu jauh" tapi tadi taksiku kena macet. Pas aku
nyampe di sekolah lagi, kamu udah nggak ada" Terus aku baru tahu ternyata HP-ku
low batt. Udah mati di dalam tas."
Darren menghela napas. Dia kasihan juga melihat Cheryl dimarah-marahi begini,
padahal cewek itu pergi untuk cari buku bahan referensi, dan kebetulan saja HP-nya
low batt, jadi dia nggak bisa ngasih kabar atau dihubungi.
"Ya udah, nggak papa. Tapi lain kali, kalau kamu mau pergi ke mana-mana habis
pulang sekolah, jangan pergi sendirian ya" Tunggu aku aja. Biar kejadian kayak gini
nggak keulang lagi."
Cheryl kelihatannya sudah akan protes. Dia merasa diperlakukan kayak tahanan
rumah, ke mana-mana harus lapor dulu. Dia kan bukan anak kecil lagi!
Tapi akhirnya Cheryl memilih mengiyakan saja apa yang diminta Darren. Daripada
ribut. *** Kejadian Cheryl pergi tanpa bilang-bilang dulu itu mau nggak mau bikin Darren
kepikiran juga. Dia jadi makin berniat untuk pindah sekolah. Cheryl butuh bantuan
untuk belajar, dan pasti lebih manjur kalau Darren selalu ada di dekatnya untuk
membantu dia. Darren kan pintar. Dia bisa menjelaskan ke Cheryl kalau ada pelajaran
yang nggak dimengerti cewek itu.
"Ren, Darren, sini deh!" Tatyana berteriak memanggil Darren dari ruang keluarga.
Darren langsung menuju ke sana.
"Apaan?" "Tuh" lihat deh." Tatyana menuding ke arah TV, dan Darren berusaha melihat apa
yang sedang ingin ditunjukkan Tatyana.
Channel TV yang disetel Tatyana entah sedang menayangkan apa. Kelihatannya sih
berita" Di TV terlihat seorang ibu setengah baya yang menggendong bayi yang
kelihatannya baru berusia beberapa minggu. Yang membuat Darren melotot, bayi yang
digendong ibu itu hanya punya satu kaki dan satu tangan.
Entah reporter entah presenter acara itu menanyakan beberapa hal kepada si ibu.
Rupanya bayi yang digendong ibu itu adalah cucunya, putri dari putrinya. Si ibu
menceritakan penyebab cucunya lahir cacat" karena putrinya, ibu dari bayi itu, dulu
adalah pengguna narkoba. Darren seperti mengejang.
Sang ibu di TV terus diwawancarai. Dia menceritakan, putrinya masih muda ketika
mulai terjerat narkoba, masih SMA. Setelahi itu, putrinya yang alim mendadak berubah
jadi liar. Yang tadinya selalu punya nilai bagus di sekolah jadi terancam nggak naik
kelas. Kelakuannya pun mulai mencurigakan, sampai puncaknya dia kepergok mencuri
uang simpanan milik ibunya, dan menggunakannya untuk beli narkoba.
Waktu semua itu terbongkar, ternyata sudah terlambat. Putri ibu itu sudah hamil
dengan pacarnya yang juga sesama pecandu. Tentu saja, pacarnya nggak mau
bertanggung jawab, dia kabur. Ironisnya lagi, ketika usia kehamilan putri ibu itu
mencapai lima bulan, ia tiba-tiba jadi gila. Dokter yang memeriksa mendiagnosis
adanya kerusakan pada otaknya, yang diakibatkan pemakaian obat-obatan terlarang
dalam frekuensi dan dosis tinggi, bahkan pada masa kehamilannya. Dia juga sudah
sering melakukan usaha bunuh diri, tapi selalu berhasil dicegah oleh keluarganya.
Sampai akhirnya dia melahirkan, tapi ternyata bayinya cacat.
"Lo mau, bernasib kayak gitu?" tanya Tatyana.
Darren melotot. "Maksud lo apa, ngomong kayak gitu?"
"Yah, katakanlah worst situation happen" Lo MUNGKIN nikah sama Cheryl, lalu
kalian punya anak, siapa yang tahu bakal seperti apa anak itu nanti" Kita nggak tahu
kan sudah seperti apa dampak kerusakan akibat semua drugsyang Cheryl pakai?"


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"HEI! Berapa kali sih harus gue bilang, Cheryl udah bersih!" Darren emosi.
"Iya, kalau itu memang bener dia nggak ngobat lagi. Dan kalaupun bener, sudah
seperti apa kerusakan di organ-organnya, kita nggak tau, kan" Gue bukannya mau
nakut-nakutin, Ren, tapi ada kemungkinan Cheryl, bersama lo, punya anak kayak bayi
tadi?" Darren melongo, bener-bener nggak tau harus ngomong apa. Tatyana kok jadi
ngaco gini sih" "Ren, walaupun Cheryl bersih, dia tetap aja" bekas pecandu. Gue bukan mau
semakin menjelek-jelekkan dia atau gimana, tapi kita sama-sama tahu seperti apa dia,
kan" Dia bukan cuma nge-drugs, dia juga ngerokok, suka minum-minum, nongkrong di
diskotek. Gimana dia bisa punya keturunan yang baik kalau di dalam tubuhnya sudah
rusak begitu?" "Alita"," Darren tiba-tiba merasa mual mendengar semua itu.
"Lo memang nggak bakal merit sama dia dalam waktu dekat, tapi kalau lo berniat
melakukan hal itu di masa depan pun, kondisinya masih akan tetap sama. Cheryl
pernah pakai narkoba, itu nggak bisa lo sangkal. Tolonglah, Ren, gue nggak lagi
mengada-ada. Lo lihat sendiri di TV tadi, risikonya akan terlalu besar kalau lo tetap
memilih Cheryl?" "Oh, jadi gue harus membuang dia gitu aja, itu maksud lo" Dan bikin dia putus asa"
Dan mungkin tadinya dia sudah tobat dan bersih, tapi karena stres dia kembali lagi jadi
pemakai, gitu?" "Ren, gue ngomong gini demi kebaikan lo sendiri" Gue care sama masa dpean
lo?" Tatyana memegang bahu Darren dan mengguncang-guncangnya. "Gue cuma
kepengin lo melihat risiko apa yang bakal lo ambil di masa depan kalau lo tetap dengan
pilihan lo sekarang?"
"Banyak anak yang cacat padahal orangtuanya bukan junkies" Dan nggak semua
anak junkies itu cacat," denial Darren keluar dengan sendirinya. Ia sendiri kaget
mendengar nada tajam dalam suaranya.
"Ck!" Tatyana berdecak. "Memang, tapi harus gimaan gue membuka mata lo, kalau
pecandu, atau bekas pecandu, punya kemungkinan yang lebih besar untuk itu,
daripada mereka yang sama sekali nggak pernah pakai narkoba" Ayolah, Darren, lo
bisa melihat itu semua. Jangan membutakan mata lo sendiri?"
Darren melepaskan tangan Tatyana yang mencengkeram bahunya, dan
menurunkan tangan itu. "Gue nggak mau ngebahas itu lagi."
Lalu ia pergi meninggalkan Tatyana di ruang keluarga. Tatyana hanya bisa
menghela napas dalam-dalam. Tadinya dia kira tayangan di TV itu bisa membantunya
menyadarkan Darren tentang risiko yang bakal dihadapi abangnya itu jika masih
bersama Cheryl di masa depan. Dan bukan, Tatyana bukan melakukan itu karena rasa
bencinya pada Cheryl, atau karena ia kepengin lihat Darren balik sama Thalita, tapi
semata-mata karena ia peduli pada darren.
Biar brengsek kayak apa pun, Darren kan tetap kakaknya.
*** Acha bingung setengah mati waktu melihat Thalita bersenandung riang siang itu.
"Tha" Lo kok" hepi?"
Thalita, yang sedang memasukkan baju-bajunya yang habis disetrika ke dalam
lemari, menoleh dengan wajah bingung.
"Kenapa lo harus bingung lihat gue hepi?"
"Ng" yah, karena" belakangan ini lo selalu bermuram durja?"
Thalita nggak tahan untuk nggak ketawa. "Bermuram durja" Ya ampun Acha, lo
habis baca novel-novel Harlequin" Pilihan bahasa lo aneh banget deh?"
Thalita memasukkan lagi baju-bajunya ke lemari, nggak memedulikan Acha yang
sekarang sudah masuk ke kamarnya dan memandangnya penuh selidik.
"Apa?" tanya Thalita lagi, akhirnya merasa terganggu juga dilihatin kayak gitu.
"Lo lagi jatuh cinta, ya?"
"Hah" Nggak" gue nggak lagi jatuh cinta. Apaan sih" Dan tadi nanya aneh-aneh
mulu. Udah sana! Gue masih banyak kerjaan nih. Mau bersih-bersih kamar habis ini."
Ini juga aneh. Sejak diketahui putus dari Darren, dan (berasal keterangan dari Jennie
yang dikorek Acha) itu karena Darren memilih kembali pada mantan pacarnya, Thalita
selalu mengurung diri di kamar. Dia menjadikan kamar seperti "sarangnya", melarang
Bik Nah masuk dan membersihkannya. Sudah bisa diduga sendiri kan seperti apa
kondisi kamar itu" Berantakan, penuh sampah, bau apek. Tapi sekarang Thalita mau
bersih-bersih" What a surprise!
"Tha, Tha, jelasin ke gue" lo kenapa sih" Kenapa lo mendadak mau beresin kamar
lo" Kenapa lo jadi nyanyi-nyanyi gini" Apa Darren" Darren balikan sama lo?"
Thalita diam sesaat, bikin Acha makin gemas kepengin tahu jawabannya. "Nggak,
Darren nggak balikan sama gue."
"Terus kenapa lo?" Aduh, sebelumnya sori ya, tapi lo jadi aneh kayak kemarinkemarin kan gara-gara Darren" jadi kalau sekarang lo udah kembali?"
"Cha, ini nggak ada hubungannya sama Darren. Yah, ada sih" tapi ini lebih ke guenya."
"Maksud lo?" "Yah, kelakuan childish gue yang kemarin itu kan" karena gue masih nggak bisa
terima Darren gitu aja ninggalin gue, tapi sekarang gue udah bisa terima?"
"Kenapa tiba-tiba?""
"Sorry, it"s a lil bit private," potong Thalita sambil nyengir.
"Ah, gaya lo!" Acha melempar salah satu boneka yang ada di atas ranjang Thalita
pada pemiliknya, tapi Thalita dengan sukses mengelak. Boneka itu jatuh persis di atas
tumpukan baju kotor Thalita di sudut kamar.
"Hehe" yang penting gue udah normal lagi, ya kan?"
"Iya sih" tapi, Tha, gue cuma berharap setelah ini lo lebih selektif lagi milih cowok,
ya" Bukannya apa-apa, tapi lo dulu pernah bilang kalau gue bisa percaya pada
seseorang untuk nggak membuat lo sakit hati, orang itu adalah Darren. Tapi nyatanya"
Dia malah bikin lo lebih down daripada Andra dulu. Gue cuma nggak bisa ngeliat lo
down untuk ketiga kalinya?"
Thalita bengong. Dia nggak menyangka adiknya yang usil dan bawel itu ternyata
care banget sama dia. "Cha?" "Ya?" tanya Acha serius. Dia masih berharap Thalita mau cerita kenapa sekarang
kakaknya itu sudah bisa menerima fakta bahwa Darren mencampakkannya.
"Kayaknya lo bener-bener nggak boleh baca Harlequin lagi deh?"
"Hah" Awas lo ya! Sialan! Kurang ajar!" Acha langsung meraih apa pun yang
berada dalam jangkauannya dan melemparkannya pada Thalita. Thalita cuma bisa
ngakak, kesenangan berhasil menjaili Acha lagi.
*** "Hei?" "Thalita" How are you doing?" Jennie excited banget mendengar suara Thalita di
telepon. Sudah lama banget Thalita nggak mengontaknya. Terakhir waktu Thalita
curhat plus nangis bombai karena dicampakkan Darren. Jennie sempat berusaha
mengontak Thalita beberapa kali lagi setelah itu, tapi Thalita seperti menutup diri.
Bukan hanya dari dirinya, Jennie tahu, tapi dari orang-orang sekitarnya juga. Jennie
kepengin menolong, tapi entah kenapa suara hatinya bilang untuk membiarkan Thalita
sendiri dulu, seenggaknya sampai dia lebih tenang.
"Gue baik. Jen, nggg" gue udah nggak marah lagi sama Darren."
Jennie bengong. "Kok?"
Thalita lalu menceritakan kejadian itu, gimana dia melihat Darren dan Cheryl di
depan gerbang sekolah Cheryl, dan gimana dia seolah tersadar dia pun akan
mengambil keputusan yang sama seandainya ada pada posisi Darren. Darren nggak
salah, cowok itu justru sudah mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya dan
Thalita. "Tha, gue salut sama lo?"
"Oya" Kenapa?"
"Lo udah bisa berpikir dewasa sekarang. Memang ini yang terbaik, Tha. Lo harus
bisa maafin Darren. Jangan nyiksa diri lo sendiri dengan terus-terusan marah sama dia.
Terus-terusan menutup diri lo" Lo harus bisa balik lagi seperti Thalita yang dulu.
Tougher, kalau bisa."
Thalita tersenyum, biarpun dia tahu Jennie nggak bisa melihatnya.
"Yes, I will." DUA BELAS "Bapak akan bagi kalian dalam kelompok" Satu kelompok dua orang. Tugas kali ini,
temanya tentang Kasih Mula-Mula. Kalian bikin makalah dan presentasi tentang apa
itu kasih mula-mula, dan bagaimana agar kita senantiasa memilikinya dan dapat
mewujudkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Bapak juga
mau kalian melakukan satu hal untuk mempraktikkan kasih mula-mula itu. Boleh
kunjungan ke panti asuhan, melakukan kerja sosial, atau hal-hal lainnya. Nanti harus
ada laporannya." Thalita, yang sedang memasukkan buku-bukunya ke tas karena jam pelajaran
hampir berakhir, langsung mendongak begitu mendengar suara Pak Lukas, guru
agamnya. Kelompok" Oh tidak" jangan-jangan"
"Atau sebaiknya kelompoknya sama aja dengan yang di kelas satu dulu, ya?" tawar
Pak Lukas. "Setuju!" Verina mengangkat tangan dengan bersemangat. Ya iyalah, kalau
kelompoknya sama dengan yang dulu kan dia bisa sekelompok lagi dengan Andika,
pacarnya. Bisa kerja kelompok sambil pacaran!
"Aduh, jangan deh, Pak," rengek Rudy. Dia mengerling ke Gio yang duduk di arah
jam lima dari bangkunya, dan bergulik sendiri. Dulu dia sekelompok dengan Menteri
Penerangan alias biang gosip sekolah itu, dan benar-benar merepotkan! Amit-amit
jabang baby deh kalau sekelompok lagi! "Diatur kelompok baru aja, Pak."
Pak Lukas menoleh menatap jam yang terpasang di dinding kelas. "Waktunya
nggak cukup untuk buat kelompok baru. Kelompoknya sama saja seperti yang dulu. Ini
tugas kelompok untuk minggu depan, makalah dan presentasi. Temanya ada di bab
tujuh belas, oke?" Tepat setelah Pak Lukas bilang begitu, bel pulang berdentang. Semua anak di kelas
itu langsung membereskan buku dan alat tulisnya, udah kebelet kepengin pulang.
Hanya Thalita yang tercenung di bangkunya. Kalau kelompoknya sama kayak dulu,
berarti dia satu kelompok dengan" Darren.
Kelas nyaris kosong, waktu Thalita akhirnya sadar dari lamunan, dan berdiri dari
bangku. Yah, sudahlah, mau gimana lagi" Ini kan untuk tugas sekolah, dan dia kan
udah memaafkan Darren, jadi mungkin hanya akan terasa canggung nanti kalau
mereka kerja kelompok. Nggak ada perasaan lainnya.
"Tha?" Thalita menoleh. Tatyana ternyata belum ngabur dari kelas seperti yang lainnya.
Sugeng juga. Dia pasti masih menunggu Tatyana.
"Ya?" "Lo" nggak papa, kan" Sekelompok sama?" Tatyana terdiam, dia ingat, Thalita
pernah memintanya untuk nggak menyebut-nyebut lagi nama Darren di depannya. It
hurtsso bad, kata Thalita dulu.
"Darren?" Thalita membantu menyelesaikan kalimat Tatyana. "Nggak papa."
"Oh" oke deh kalau gitu. Tadinya gue takut lo keberatan atau gimana, dan gue
mau aja tukeran biar sekelompok sama lo, dan Sugeng sama Darren?"
"Nggak papa, Na. I"m okay kok."
"Nanti kalau Darren rese, nyebelin, atau nyakitin bilang ke gue ya" Biar gue jambak
tu anak!" "Hehehe, iya gampang. Ya udah, kita pulang yuk" Mau jalan bareng ke parkiran
nggak?" *** Meski Thalita udah maafin Darren, dia masih canggung juga untuk ngomong sama
cowok itu, biarpun dalam rangka ngebahas tugas kelompok agama mereka. Dia
bingung gimana harus memulai pembicaraan, dan takutnya dikira masih ngarep kalau
ia menawarkan rumahnya untuk tempat kerja kelompok. Tapi kalau minta di rumah
Darren, ntar juga dikira masih ngarep. Serbasalah banget deh pokoknya. Jadi Thalita
cuek aja, membiarkan Darren yang inisiatif membahas duluan.
Untungnya, Darren menangkap gelagat itu, dan siang itu dia nyamperin Thalita
yang lagi baca TeenLit terbaru di reading corner perpus sekolah mereka. Tempat yang
sama saat mereka pertama mengobrol dulu.
"Hei?" Thalita mendongak, agak kaget melihat Darren, tapi lalu dia ingat, Darren pasti
berniat membahas tugas kelompok mereka.
"Hei. Ada apa?"
"Ng" gue mau ngebahas tugas kelompok kita."
Tuh kan. Bener. "Oh iya. Boleh. Gimana, gimana?"
"Ng" mau kerja kelompoknya kapan" Di mana?"
"Terserah lo." Thalita mengedikkan bahu.
"Oh" gitu ya. Sabtu siang aja ya kalau gitu" Di rumah lo?"
Bagus, dia yang pilih tempat, jadi Thalita nggak perlu takut dianggap masih ngarep
atau apa. "Sounds good." "Lo" nggak ada acara kan, hari Sabtu?"
Thalita mengernyit. Apa maksudnya" Apa Darren bermaksud menyelidiki apa dia
ada acara malam mingguan" Apa dia sudah punya pacar lagi, gitu maksudnya?"
"Bukannya gue yang seharusnya nanya gitu ke lo?" tanya Thalita.
Darren salting. "Ng" bukan gitu maksud gue, tapi" Ya udahlah, sampai ketemu
hari Sabtu ya." Dan Darren pergi dari situ, mungkin sudah nggak tahan dengan suasana yang
canggung. Thalita menghela napas. Hhh" kalau sekarang mengobrol lima menit begini
aja mereka serba-salting, gimana besok Sabtu saat kerja kelompok, ya"
*** "Ngapain lo ke sini?"?"
Thalita nyaris terlompat dari kursinya gara-gara mendengar teriakan Acha barusan.
Sialan Acha, geramnya dalam hati, ngapain sih siang bolong gini jerit-jerit"! Bikin kaget
aja! Thalita nyaris melanjutkan membaca buku yang tadi dibacanya sebelum terkagetkaget karena teriakan Acha, waktu dia menyadari sesuatu. Jangan-jangan yang Acha
teriakin tadi" Thalita kontan melempar bukunya ke sofa, dan berlari menuju pintu depan.
Dugaannya benar, di depan pagar Acha sedang berkacak pinggang dan memelototi
Darren. "Kok setelah yang lo lakuin ke Thalita, lo berani nongol lagi di sini"!" bentak Acha.
"Mau cari mati ya lo"! Nggak tau malu! Kalau aja badan lo nggak lebih gede dari gue,
udah gue banting lo!"
Thalita melongo, dan secepat kilat berlari ke pintu pagar.
"Chaaa, stop, Cha. Stoooop!" Thalita berdiri di antara Acha dan Darren, seolah
sedang melerai perkelahian yang seru. "Jangan ribut-ribut gini ah. Nggak enak
didenger tetangga." "Biarin aja! Biar semua orang tau, gimana brengseknya" cowok ini!" Acha
menuding Darren dengan bernafsu. Thalita menoleh, berusaha mencari tahu ekspresi
Darren. Cowok itu terlihat bingung, ada sedikit rasa pasrah yang terpancar di
wajahnya. Mungkin dia memang sudah menduga bakal mendapat kelakuan seperti ini
kalau bertemu anggota keluarga Thalita.
Mungkin seharusnya kerja kelompoknya di rumah Darren, batin Thalita. At least
Tatyana nggak bakal mendamprat gue di depan rumahnya kalau gue datang ke sana,
seperti yang dilakukan Acha sekarang.
"Cha, udahlah" Darren dateng ke sini buat kerja kelompok?"
"Hah" Kerja kelompok" Lo masih mau, kerja kelompok sama dia"! Yang bener aja,
Tha!" "Bukan mau gue. Gurunya yang nentuin kelompok, puas" Udah, lo masuk aja sana
deh." Acha diam di tempatnya, pasang tampang seperti anak kecil ngambek yang
dilarang main keluar oleh ortunya karena harus tidur siang, tapi lalu dia masuk rumah
dengan langkah kaki mengentak-entak kesal.
"Sori ya," kata Thalita setelah Acha pergi. "Gue lupa bilangin Acha kalau lo mau
datang. Ngg" tepatnya, gue lupa lo mau datang."
"Nggak papa, Tha. Wajar dia marah kayak gitu. Setelah" apa yang gue perbuat
sama lo." Thalita menggeleng kecil. "Masuk yuk."
Darren mengangguk, dan memasukkan motornya ke carport rumah Thalita. Mereka
lalu berjalan ke dalam rumah.
"Bentar ya, gue ambil laptop dulu. Lo duduk aja." Thalita meninggalkan Darren di
ruang tamu, dan beranjak ke kamar mengambil laptopnya.
"Kayak dulu aja, lo yang cari bahan, gue yang nyusun, gimana?" tawar Thalita
setelah ia kembali sambil membawa laptop.
"Oke." Darren duduk di sofa dan menyalakan laptop, sementara Thalita ke dapur untuk
mengambilkan minum. Udara gerah banget siang ini, Darren pasti haus"
Eh, kok gue jadi merhatiin dia" pikir Thalita gusar. Dia kan bukan pacar gue lagi"
Yah, anggap aja gue melakukan ini karena gue tuan rumah yang baik. Masa tamu
nggak dikasih minum"
Waktu Thalita kembali ke ruang tamu, Darren sudah asyik surfing bahan tugas di
Internet. Thalita duduk di sebelah Darren, tapi sengaja menyisakan space di antara
mereka. Dua menit pertama, dia memperhatikan aja apa web-web yang dibuka Darren.
Dua menit berikutnya, dia sudah mulai gelisah, dan mengambil majalah Mama entah
tahun berapa yang ada di rak di bawah meja tamu. Tapi baru sebentar membolak-balik
halaman majalah itu, Thalita sudah bosan. Rasanya aneh banget, berada satu ruangan


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mantan pacar, dengan kebisuan yang mencekik.
"Ng" Tha?"
Untuk kedua kalinya hari ini, Thalita terlonjak dari sofa. "Ya?"
"Ini udah semua bahannya. Lo bisa mulai nyusun."
"Oh. Iya iya?" Darren bergeser dari tempatnya duduk, memberi tempat pada Thalita di depan
laptop. Thalita membaca bahan-bahan itu sebentar, tapi waktu dia membuka new
document di MS Word, Darren memanggilnya lagi.
"Tha?" "Ya?" "Gue bener-bener minta maaf?"
Jari-jari Thalita yang siap mengetik terhenti beberapa senti di atas keyboard,
menggantung di udara. Dia tahu untuk apa Darren ingin minta maaf.
"Gue udah maafin lo kok."
"Bener?" Darren terdengar kaget, jadi Thalita menoleh menatapnya. Cowok itu
benar-benar kaget, ternyata.
"Kalau belum, nggak mungkin dong gue ngizinin lo menginjakkan kaki di rumah
gue. Kalau belum, mungkin gue bakal langsung menolak begitu Pak Lukas bilang ingin
pembagian kelompok tugas seperti yang dulu."
Darren diam sesaat. "Ah" iya. Makasih ya, Tha. Gue bener-bener merasa bersalah
sama lo, tapi" gue rasa ini lebih baik daripada kita tetep pacaran tapi gue selalu
mikirin Cheryl, ya kan?"
"Yep. This is much much better."
Lalu mereka duduk dalam diam lagi, sementara Thalita mulai mengetik makalah
tugas. Sampai akhirnya HP Darren berbunyi. Ada telepon masuk.
"Halo?" Darren menjawab panggilan masuk itu. "Hah" Dia nggak bilang ke mana,
Tante" Aduh" nggak, dia nggak bilang sama saya" Dia nggak lagi sama saya" Iya,
Tante, saya cari dia sekarang" Iya, nanti saya kabari begitu ketemu" Makasih, Tante."
Darren memutus sambungan telepon, wajahnya gelisah.
"Ada apa?" tanya Thalita penasaran.
"Cheryl" Cheryl pergi dari rumah?"
"Pergi dari rumah?"?" Thalita melotot. "Minggat, maksudnya?"
"Ng" bukan minggat. Dia nggak bawa baju atau apa, tapi dia pergi nggak bilangbilang mau ke mana" Dan HP-nya nggak aktif?"
Thalita mengernyit. "Mungkin dia ke rumah temennya" Atau keluar sebentar, ada
keperluan?" Darren menggeleng sedih. "Tha, dia nggak punya temen lagi. Semua temennya
menjauh setelah dia masuk rehab. Di sekolah yang baru juga dia dijauhi" Dan dia
seharusnya nggak boleh ke mana-mana tanpa ditemani. Kondisinya masih labil, dia
rawan terjerat narkoba lagi?"
Thalita menelan ludah. Dia nggak menyangka kondisi Cheryl ternyata begitu buruk.
Bahkan keluar rumah pun harus ditemani karena masih rawan terjerah narkoba lagi"
Pantas Darren begitu ingin ada di dekat Cheryl. Melindunginya. Menjaganya.
"Sori, Tha, tapi" gue cabut sekarang nggak papa ya" Nyokapnya Cheryl minta
tolong gue cari dia. Nyokapnya nggak bisa keluar rumah sekarang, siapa tahu Cheryl
pulang saat dia nggak ada" Tugas kelompoknya, bisa kan?""
"Iya, iya, nggak masalah. Lo pergi aja, nanti gue selesaikan tugasnya."
"Makasih ya?" Lalu Thalita mengantar Darren sampai ke depan rumah, dan menyaksikan Darren
memacu motornya dengan kecepatan tinggi, membuktikan betapa khawatirnya dia
pada Cheryl" *** Darren memejamkan mata, dan menghela napas gelisah. Cheryl belum ketemu juga,
dan HP-nya masih nggak aktif. Padahal Darren sudah mencarinya ke mana-mana,
mulai dari lingkungan sekolahnya, kafe yang sering mereka datangi berdua, bahkan ke
pub yang seingat Darren dulu jadi tempat dugem langganan Cheryl, tapi semuanya
nihil. Pub itu bahkan masih tutup, karena jelas nggak ada orang yang dugem di siang
hari. Hampir tiga jam Darren mencari Cheryl ke sana kemari, tapi nggak ada sedikit pun
tanda keberadaan cewek itu. Dia sudah dua kali menelepon ke rumah Cheryl, yang
selalu dijawab dengan terburu-buru oleh Tante Alena yang cemas menunggu kabar,
tapi ternyata Cheryl belum pulang juga.
Sampai akhirnya Darren memutuskan pulang dulu ke rumah, karena nggak tahu
lagi harus mencari ke mana.
"Kamu ke mana, Cher?"" Darren mengusap wajahnya lagi, menenggelamkan diri
di kursi teras. "Kenapa sih kamu menghilang kayak gini?"
Tiba-tiba HP Darren berbunyi nyaring. Caller ID-nya menunjukkan itu telepon dari
rumah Cheryl. Darren mendesah. Pasti Tante Alena lagi, yang ingin menanyakan
apakah Darren sudah berhasil menemukan Cheryl atau belum.
"Ya?" "Darren" Cheryl sudah pulang!"
Punggung Darren langsung tegak. "Kapan, Tante" Dia bilang dari mana?"
"Baru saja. Dia bilang dari rumah temannya, kerja kelompok" Ini, anaknya ada.
Kamu mau bicara sama dia?"
"Iya, Tante, kalau boleh?"
Gagang telepon di seberang sana tampaknya berpindah tangan.
"Halo?" "Halo, Cher" Kamu ke mana aja" Kamu baik-baik aja, kan?"
"Iya, Ren, aku baik-baik aja. Aku ke rumah temen, kerja kelompok?"
"Aduh, aku cemas banget mikirin kamu?" Darren menghela napas dalam-dalam
lagi, tapi kali ini karena lega. Kalau menuruti kata hatinya, dia kepengin ngomel sama
Cheryl, tapi dia nggak mau Cheryl jadi makin suntuk. Yang penting sekarang dia udah
pulang. "Terus, HP kamu kok nggak bisa dihubungi?"
"Iya" ng" low batt?"
Alasan yang sama seperti waktu pertama kali Cheryl menghilang. Standar. Klise.
"Lain kali jangan lupa nge-charge baterainya ya" Aku susah banget kalau kamu
nggak bisa dihubungi. Kamu juga nggak bilang ke mama kamu waktu mau pergi
tadi?" Walaupun nggak puas dengan alasan Cheryl, Darren nggak mau jadi cerewet
dengan mengomeli Cheryl. "Aku udah bilang kok ke Mama waktu mau berangkat, tapi Mama aja yang nggak
denger?" Terdengar sedikit ribut-ribut, sepertinya Cheryl dan mamanya berdebat.
"Halo" Cheryl" Kamu masih di sana."
"Mmm" iya."
"Ya udah. Sekarang kamu istirahat aja ya. Kau pasti capek."
"Oke." "Bye, hun?" Cheryl menutup telepon tanpa membalas ucapan Darren. Tapi Darren maklum,
pasti Cheryl masih suntuk karena habis berdebat dengan mamanya tadi. Dia juga pasti
capek. Nggak papa lah, yang penting Cheryl sudah pulang, dan dia baik-baik aja.
Tapi Darren masih merasa ada yang ganjil. Kenapa sih Cheryl sekarang suka
menghilang dan nggak bisa dihubungi begini" Bukannya Darren nggak percaya sama
semua alasan yang diajukan Cheryl, tapi feeling-nya merasakan ada yang nggak beres.
"Hoi! Kenapa lo?"
Darren menoleh. Tatyana sedang memandanginya dengan wajah bingung.
"Kenapa apanya?"
"Lo tuh jalan mondar-mandir terus dari tadi, nggak nyadar ya?"
Kali ini ganti Darren yang bingung. Masa sih dia tanpa sadar udah jalan mondarmandir sambil memikirkan Cheryl tadi"
"Lo ada masalah?" Tatyana berjalan mendekat dan menepuk bahu Darren pelan.
Darren menimbang-nimbang dalam hati, apa sebaiknya dia cerita ke Tatyana ya
soal kelakuan aneh Cheryl belakangan ini" Mungkin Tatyana punya saran, atau bisa
memberi Darren jalan keluar. Siapa tau Cheryl sedang menghadapi masalah yang
hanya dimengerti cewek. Nah, Tatyana kan cewek, pasti dia lebih ngerti daripada
Darren. "Ngg" gini, Lit?"
"Ya?" alis Tatyana terangkat, kentara banget penasaran.
Darren nyaris membuka mulut, waktu dia ingat bagaimana bencinya Tatyana pada
Cheryl. Bagaimana Tatyana selalu mengambil setiap kesempatan yang ada untuk
membuktikan pada Darren betapa bejatnya Cheryl itu. Gimana nggak pantasnya
Darren untuk kembali pada Cheryl.
Dan kata-kata Darren tertelan lagi.
"Itu, gue lagi pengin makan es krim, tapi lagi nggak punya duit. Lo beliin dong di
supermarket depan," katanya asal. Cuma itu tadi yang sempat melintas di otaknya.
"Hah" Lo mondar-mandir dari tadi itu cuma karena kepengin makan es krim tapi
nggak punya duit?"" Ya ampun, Darren, please deh! Nggak make sense banget gitu lho!"
Tatyana lalu menghilang lagi ke dalam rumah sambil geleng-geleng kepala. Darren
cuma bisa menatap punggung adiknya itu.
Sori, Lit, gue belum bisa cerita ke lo, katanya dalam hati. Gue nggak bisa denger lo
jelek-jelekin Cheryl lagi.
TIGA BELAS "Cher?" Cheryl tersentak dari lamunannya. "Ya?"
"Kamu ngelamun, ya?" tanya Darren, antara geli dan bingung.
"Mmm" iya, sori" tadi aku?" Cheryl terdiam sesaat. "Aku kepikiran ulangan
kimia di sekolah?" "Oya" Kenapa" Susah ngerjainnya?"
"Ng" nggak juga sih" Eh, tadi kamu bilang apa emangnya?"
"Oh. Aku nanya, gimana hasil kerja kelompokmu kemarin" Ada tugas apa
emangnya?" "Oh itu" itu" tugas mading! Iya, iya, tugas mading! Pelajaran bahasa Indonesia!"
Darren mengalihkan perhatian sesaat dari jalanan macet di depannya pada Cheryl,
dan ternyata cewek itu sudah melamun lagi. Ditambah, Darren baru memerhatikan,
wajah Cheryl pucat pasi" bibirnya pecah-pecah. Matanya juga merah, dan berulang
kali dia meringis seolah menahan nyeri. Hari ini dia juga pakai jaket, nggak biasanya"
"Cher" Kamu sakit, ya?"
"Eh" Nggak, aku nggak papa."
"Kamu pucat banget lho" terus, kamu kayak nahan sakit gitu."
"Masa sih" Mungkin aku kurang zat besi aja. Aku" aku lagi datang bulan,
soalnya" Terus perutku, kram."
Demi mendengar kata-kata "datang bulan", Darren nggak berkomentar lagi. Yang
pernah dia dengar dari Tatyana adalah, kalau cewek lagi datang bulan, sebaiknya dia
nggak digerecokin, karena salah-salah, cewek itu bisa jadi segalak macan!
*** Darren dan Thalita baru saja selesai mempresentasikan tugas agama mereka, dan dapat
aplaus yang cukup meriah. Waktu Thalita duduk kembali di bangkunya, Nita
menyikutnya keras-keras. "Auw!" Thalita memelototi Nita. "Ada apa sih" Sakit, tau!"
"Kok lo udah baikan gitu sih sama darren" Tadi akrab banget pas presentasi!" Nita
merepet. "Apa jangan-jangan" kalian udah balikan, ya?"
"Sembarangan!" Thalita mendesis. "Gue cuma nggak kepengin marah terus-terusan
aja, Nit" Kalaupun gue sama dia udah nggak pacaran lagi, dan dia pernah nyakitin
gue, bukan berarti kami harus diem-dieman terus, kan?" Thalita memang belum cerita
ke temen-temen sekolahnya bahwa dia udah maafin Darren, lagi males aja cerita. Yang
tahu cuma Jennie. Nita tercenung. "Oh" gitu ya" Tapi bener kan, ini bukan karena kalian balikan
lagi?" "Ya ampuuuun, udah dibilangin nggak. Kenapa sih" Kok kekeuh banget nanyanya?"
"Ya soalnya kalau balikan lagi kan gue kepengin majakin Sushi Tei?"
Thalita langsung menoyor kepala Nita. Dasar, sama aja kayak Acha. Kalau udah
urusan perut, baru dia mau repot!
*** "Cher, ke dokter, ya?" Darren meraba kening Cheryl. Nggak panas, tapi cewek itu
terlihat menggigil dan menahan sakit terus sedari tadi.
"Nggak, nggak usah?"
"Tapi kamu udah menggigil gini. Kayak nahan sakit. Kamu mau demam nih?"
Sudah satu minggu lebih sejak Darren memergoki Cheryl pucat dan Cheryl
mengaku itu karena dia sedang datang bulan, tapi sekarang Cheryl menunjukkan gejala
yang sama. Nggak mungkin dong Cheryl masih datang bulan" Biarpun Darren cowok,
dia tahu cewek datang bulan nggak selama itu.
"Ke dokter yuk" Aku anterin?" Cheryl pasti beneran sakit, batin Darren.
"Nggak usah" ini karena aku kecapekan belajar aja. Sering begadang kalau mau
ulangan?" Darren menghela napas. Dia sedih tapi juga bangga melihat gimana kerasnya
Cheryl berusaha memperbaiki nilai-nilainya. Sayang, keinginan Darren pindah ke
sekolah Cheryl, untuk membantu cewek itu belajar, gagal karena ditentang papanya.
Ribet dan mahal, katanya. Nanti harus membayar uang gedung lagi lah, ini lah, itu lah.
Papa Darren memang orangnya nggak suka ribet, dan dia ogah banget membayangkan
harus beribet ria mengurus tetek-bengek pindah sekolah hanya karena anak lakilakinya kepingin satu sekolah dengan pacarnya. Kalau Cheryl memang kesulitan
belajar, kata papa Darren, dia boleh datang ke rumah mereka kapan pun dia mau,
supaya Darren bisa membantunya.
Yeah, asal Tatyana lagi nggak ada di rumah aja, batin Darren. Kalau dia ada, boroboro deh belajar, Cheryl pasti udah ditendang sebelum kakinya menginjak ubin teras
mereka! "Ren, Ren, puter balik, Ren!" Cheryl tiba-tiba berseru, membuat Darren kaget
setengah mati. Mobil yang disetirnya jadi oleng sesaat.
"Aduh, Cher, kamu ngagetin aja! Ada apa sih?" Darren setengah mengomel setelah
berhasil mengendalikan kemudinya.
"Puter balik, Ren, cepeeett"," Cheryl setengah merengek, membuat kening Darren
berkerut. "Ada apa sih" Ada barang kamu yang ketinggalan di sekolah?"
"Nggak" itu" ada razia" Udah, cepetan puter balik"."
Darren memandang lagi ke depan, dan benar saja, di depan mereka sedang ada
razia. Semua kendaraan yang lewat di jalan itu dihentikan dan minta menepi.
"Oh" razia biasa. Tenang, aku bawa SIM sama STNK kok?"
"Bukannya gitu, tapi?" Nggak tahu kenapa, Cheryl jadi blingsatan luar biasa,
seolah yang ada di depan mereka sekarang bukan razia polisi, tapi rumah penjagalan.
"Plis, Ren, puter balik?"
Tapi Darren nggak sempat menuruti permintaan Cheryl, atau bertanya lagi kenapa
Cheryl segitu ngototnya, karena mobilnya keburu dihentikan seorang petugas polisi
yang sedang melakukan razia.
"Selamat siang, Mbak, Mas," sapa petugas itu ketika Darren menurunkan jendela di
sisi Cheryl dengan power window.
"Selamat siang, Pak."
"Maaf, mengganggu sebentar. Kami sedang mengadakan razia di daerah ini."
"Oh, nggak apa-apa, Pak. Ini" SIM dan STNK saya?" Darren mengeluarkan SIM
dan STNK dari dompet, dan menyerahkannya pada polisi itu.
"Baik, terima kasih." Polisi itu mengembalikan kedua kartu yang dipegangnya pada
Darren setelah selesai mengecek. "Tapi kami bukan hanya memeriksa kelengkapan
surat pengendara. Kami juga sedang mengadakan razia NAZA. Boleh kami izin untuk
memeriksa mobil Mas?"
Darren mengangguk. Razia NAZA, Narkotik dan Zat Adiktif, belakangan memang
sedang marak, tapi baru kali ini Darren terjaring. Walaupun begitu, dia sama sekali
nggak takut. Dia kan bersih.
"Bisa minta tolong turun sebentar dari mobil, Mas, Mbak?"
Darren mengangguk, dan mengajak Cheryl turun dari mobil. Aneh, Cheryl
kelihatan takut, dan gelisah"
Dua petugas polisi mengecek mobil Darren. Mereka mengintip ke bawah jok,
memeriksa laci-laci yang ada pada dasbor, menyenteri celah-celah tersembunyi di
dalam mobil, pokoknya nggak ada yang terlewatkan.
"Maaf, boleh sekarang kami memeriksa tas Mbak dan Mas?"
Darren mengangguk, dan salah satu petugas mengambil tas Darren yang ada di jok
belakang mobil, lalu menggeledahnya. Setelah selesai, petugas itu memasukkan
kembali buku-buku pelajaran Darren dengan rapi. Rupanya dia sangat profesional
dalam melakukan razia, teliti tapi tetap membuat orang lain merasa nyaman.
"Maaf, Mbak, boleh kami periksa tasnya?" petugas polisi yang pertama tadi
mengulurkan tangannya, meminta tas Cheryl. Cheryl diam kaku, seolah nggak
mengerti apa yang dibicarakan petugas itu.
"Mbak, boleh kami periksa tasnya?" ulang petugas polisi itu. Cheryl mengerling ke
Darren, dan Darren semakin bingung. Kok Cheryl bertingkah aneh begini" Apa dia
membawa barang pribadi yang akan membuatnya malu jika diketahui orang lain"
Pembalut, mungkin" Tapi itu kan biasa saja. Sangat normal kalau ada siswi SMA
membawa-bawa pembalut dalam tasnya.
Benar-benar aneh. Jiwa Cheryl seperti nggak berada di situ, kayak melayang-layang
entah di mana. Tapi dia diam saja waktu akhirnya petugas polisi yang berinisiatif
mengambil tasnya. Rasanya baru sepersekian detik berlalu, waktu Darren mendengar seruan
menggelegar. "ANGKAT TANGAN! MERAPAT KE MOBIL!"
Darren dan Cheryl didesak sampai menempel ke sisi kiri mobil Darren, tangan
mereka terangkat ke atas.
"Lho" Lho" Ada apa ini, Pak?" tanya Darren bingung.


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara kami tangkap karena kedapatan membawa narkotika!" Polisi yang tadi
mengambil tas Cheryl berseru lantang. Tangan kanannya mengacungkan bungkusan
plastik transparan. Di dalamnya, Darren dapat melihat dengan jelas, bubuk-bubuk
putih yang memancarkan kilau memuakkan.
Sabu. Seperti ada tornado yang menghantamnya, Darren menoleh secepat kilat pada
Cheryl, tapi cewek itu sekarang menunduk dalam diam, sama sekali nggak berani
menatapnya. "Cher"," desis Darren nggak percaya. "Kamu bilang, kamu udah bersih?"
Seperti ada yang meninju-ninju perut Darren, rasa sakitnya menyebar ke seluruh
tubuh. Nggak pernah Darren merasa dikecewakan dan sakit hati seperti ini seumur
hidupnya. Mungkin dulu, waktu mamanya pergi meninggalkan dia, Tatyana, dan
Papa, demi selingkuhannya. Mungkin waktu Cheryl pertama menolaknya dulu, karena
Darren nggak cukup "jantan" untuk mencicipi narkoba. Tapi entah kenapa sekarang
sakitnya terasa lebih hebat dari itu semua. Ia memercayai Cheryl, membelanya jika ada
yang mengolok-olok, meninggalkan Thalita karena Cheryl kembali"
Darren sudah memberi Cheryl kesempatan kedua, tapi Cheryl menyia-nyiakannya
begitu saja. *** Darren menyandarkan punggungnya di kursi ruang tunggu Polda Metro Jaya. Ia dan
Cheryl baru saja menjalani tes urine tadi, untuk mendeteksi kandungan narkotika
dalam diri mereka. Darren bersih, tentu saja. Tapi tes urine Cheryl menunjukkan dia
positif pemakai. Seisi dunia serasa runtuh di atas kepala Darren, menghujaninya. Dia percaya pada
Cheryl, hanya karena Cheryl tiba-tiba datang dan bilang ia sudah "bersih". Dia percaya
pada Cheryl, meskipun Cheryl begitu saja muncul setelah menyakitinya dulu. Dia mau
menerima Cheryl lagi, melindunginya, menjaganya, menemaninya saat tak ada lagi
yang mau menjadi temannya, tapi ternyata Cheryl belum berubah"
Darren masih nggak bisa percaya pada pengakuan Cheryl yang didengarnya di
dalam tadi. *** "Kamu udah bohongin aku, Cher," desis Darren, perasaannya campur aduk antara marah,
kecewa, sedih, dan bingung.
"Sori, Ren. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu, hanya saja" aku nggak bisa
mengendalikan tubuhku. Aku kesakitan kalau nggak nyabu, tubuhku nagih. Kamu nggak tahu
gimana sakitnya. Kalau aku boleh mati setiap kali aku sakaw, tentu aku akan lebih memilih mati.
Rehab yang pernah kuikuti memang membantu memulihkan untuk sementara, tapi belakangan
ini tubuhku menagih sangat hebat?"
"Jadi selama ini" wajah pucatmu, ekspresimu yang sering menahan sakit itu?"
"Ya. Aku lagi sakaw waktu itu. Tapi aku berusaha menutupinya dari kamu. Aku nggak mau
kamu tahu, dan akhirnya" akhirnya kamu ninggalin aku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi
selain kamu, Ren. Akan jadi apa aku ini kalau kamu pergi?"
Darren menelah ludah. Kalau dalam kondisi normal dia mendengar kata-kata itu, pasti dia
sudah menenangkan Cheryl. Tapi sekarang ia justru merasa muak.
Darren bukan tipe bajingan yang akan menjauhi seorang cewek kalau ternyata cewek itu
punya rahasia yang memalukan. Masalahnya sekarang adalah, Cheryl sudah membohonginya.
Dan dia nggak tahu apa dia masih bisa memaafkan Cheryl lagi setelah ini.
"Terus" kalau kamu sering menghilang belakangan ini, itu ada hubungannya?""
"Ya. Ada." Cheryl menghela napas dalam-dalam. "Aku kerja pada bandarku. Jadi kurir.
Mengantarkan barang pesanan orang."
Barang, pikir Darren. Sabu. Saat-saat Cheryl pergi dari rumah tanpa kabar dan HP-nya
nggak aktif, dia mengantarkan sabu pada junkies lainnya. Mendistribusikan narkoba.
Menyebarkan racun pada manusia-manusia lainnya.
"Kenapa?""
"Bukannya udah cukup jelas?" tanya Cheryl pahit. "Aku nggak bisa lepas dari sabu,
biarpun aku sudah direhab. Tubuhku terus menagih, dan aku bisa apa selain memenuhinya"
Tapi sabu bukan barang murah yang gampang didapat. Harganya selangit, sementara aku
nggak punya uang. Nggak mungkin mengandalkan uang saku dari ortuku?" Cheryl tertawa
miris. "Imbalanku dari mengantar barang bukan uang, tapi barang juga?"
Ini benar-benar seperti mimpi buruk yang paling buruk dalam hidup Darren. Kenapa dia
selama ini nggak menyadari semua itu" Nggak bisa mereka-reka semua itu" Dia sudah
merasakan ada sesuatu yang ganjil, tapi bagian dalam dirinya selalu bilang itu perasaannya
saja. Darren terlalu takut menghadapi kemungkinan bahwa Cheryl nggak semanis yang
dijanjikannya ketika kembali dulu. Darren ingin semuanya baik-baik saja, dan mendorong
otaknya agar menciptakan sugesti serupa, padahal kenyataannya nggak begitu.
Dan kini Cheryl akan menghadapi hari-hari yang sangat panjang di balik jeruji penjara.
*** "Ren! Darren!" Darren merasa ada yang mengguncang-guncang bahunya, dan ia menoleh. Tatyana
menatapnya dengan mata sembap. Di belakangnya ada Papa, Sugeng, dan" Thalita.
"Lit"," Darren memanggil Tatyana.
"Lo nggak papa" Ya Tuhan, gue cemas banget! Gue nyaris pingsan berdiri waktu
ada polisi yang menelepon ke rumah dan bilang lo ditahan karena kedapatan
membawa narkoba!" "Bukan gue yang bawa narkoba, Lit?"
"Jadi" Mereka salah tangkap?" Darren menggeleng. "Maksud lo" Astaga" yang
bawa narkoba itu" Cheryl?"
"Ya." Darren menunggu Tatyana mengeluarkan sejuta makian dari bibirnya untuk
Cheryl, tapi ternyata adiknya itu nggak berkomentar lagi. Dia hanya menatap Papa,
Sugeng, dan Thalita bergantian, dengan mulut yang masih menganga lebar.
"Sekarang gue baru sadar, dia sudah bohongin gue selama ini. Dia menyia-nyiakan
kesempatan yang gue kasih gitu aja. Dia nggak mau berusaha, nggak mau berjuang,
seperti yang udah gue lakukan demi dia?"
Dan tanpa bisa dicegahnya, Darren menangis. Ia marah, kecewa, malu, putus asa,
dan sedih pada saat yang sama. Kenapa dia bisa begitu bodoh" Kenapa dia mau saja
menerima Cheryl tanpa mempertimbangkannya masak-masak lebih dulu" Kenapa dia
bisa begitu saja tertipu mulut manis dan janji-janji Cheryl"
"Gue bego banget" tolol" bodoh?" Darren menghujani kepalanya sendiri dengan
tinju. "Ren, udah, Ren?" Tatyana berusaha menahan tangan Darren agar cowok itu
berhenti menyakiti dirinya sendiri, tapi gagal. Tenaganya kalah jauh dari Darren.
"Seharusnya gue dengerin semua kata-kata lo, Lit" Seharusnya gue percaya semua
yang lo bilang dulu?" Darren makin keras memukuli dirinya, seolah dengan begitu
dia bisa menebus kebodohan yang telah dilakukannya.
"Pa, Sugeng" tolong dong"," Tatyana masih berusaha memegangi tangan Darren.
Dia sendiri sekarang berlinang air mata. Dia nggak menyangka kondisi Darren akan
sehancur ini. Tapi Thalita sudah bertindak sebelum papa Tatyana atau Sugeng maju dan ikut
memegangi lengan Darren. Dia mencengkeram lengan Darren kuat-kuat, membuat
Tatyana ternganga di sela tangisnya.
"Ren, cukup," desis Thalita tajam.
Entah Darren kaget setengah mati lalu kehilangan tenaganya, atau cengkeram
Thalita yang memang sangat kuat, Darren berhenti memukuli kepalanya sendiri.
"Gue dulu juga kacau waktu Andra meninggal. Gue merasa nggak berguna, nggak
bisa menolong dia. Tapi waktu itu lo ada buat gue, dan lo yang bantu gue melewati
masa-masa sulit itu, memulihkan lagi kepercayaan diri gue. Di mana Darren yang gue
kenal waktu itu?" "Tha, gue?" "Ingat nggak, lo udah ninggalin gue demi cewek bernama Cheryl ini" Lo kenal
Cheryl, lo tahu persis seperti apa dia, tapi lo tetap berani mengambil risiko. Sekarang,
gue pengin lihat lo berani juga menghadapi risiko ini. This was your choice, Darren!"
Tatyana makin bengong. Dia nggak menyangka Thalita bakal sevokal ini. Tadi
kebetulan Thalita sedang ada di rumah Tatyana untuk mengembalikan catatan agama,
ketika ada telepon dari Polda. Mendengar Darren terjerat razia narkoba dan sekarang
ada di kantor polisi, Thalita memaksa ikut. Tatyana sama sekali nggak mengira, cewek
inilah yang berhasil mengontrol keadaan.
"Tapi gue harus gimana?"" Darren bertanya dengan suara lemah.
"Harus gimana?"?" Thalita mendelik marah. "Lo harus terima kenyataan! Dan
menghadapinya sebagai seorang cowok, bukan duduk dan nangis bombai di sini,
menyesali pilihan yang lo ambil. Itu nggak akan mengubah apa-apa, tau!"
Sekarang semuanya terdiam, seolah Thalita adalah sekjen PBB yang sedang
berpidato, dan seisi ruangan hening demi mendengar pidatonya.
"Gue akan bantu lo melalui semua ini," kata Thalita. "Asal lo janji, lo juga akan
berusaha." *** Begitu Tatyana, Darren, dan papa mereka menghilang ke dalam rumah, Thalita
langsung terbirit-birit masuk ke mobilnya. Di dalam sana, ia memaki-maki dirinya
sendiri. "Ya ampuuuuuunnn, ngomong apa gue di kantor polisi tadi?"" Kenapa gue jadi
marah-marahin Darren" Apa gue udah gila?"" Orang lagi emosi gitu gue marahmarahin! Untung dia nggak gebukin gue! Aduh, Tuhan, kok aku jadi gila begini?"?"
Thalita menjambaki rambutnya sendiri, lalu ia menyalakan mesin mobil.
"Bilang semua ini risiko yang Darren pilih sendiri, dan dia harus berani
menghadapinya, dan gue bakal bantu dia" what was I talking about"! Bisa-bisanya gue
nyerocos tanpa pikir panjang dulu" Stupid stupid stupid!!! Mampus, habis ini gue
nggak akan pernah berani muncul di depan Darren lagi, malu bangeeeettt!"
Lalu Thalita menjalankan mobilnya, berusaha menjauh dari rumah Darren
secepatnya. Mungkin itu bisa membantu melupakan kata-kata tolol dan asal bunyi
yang diucapkannya sewaktu di kantor polisi tadi.
*** "Tha, Tha, beneran Cheryl ditahan di kantor polisi?"?" Gio langsung menghambur ke
arah Thalita, padahal Thalita baru saja keluar dari mobil. "Gimana ceritanya" Darren
gimana" Dia nggak masuk hari ini?" serbu Gio.
"Yo, udahlah" Gue nggak pengin ngomongin itu?"
Thalita mengambil tasnya dari jok belakang mobil, lalu, tanpa memedulikan Gio
lagi, berjalan menuju kelas. Dia bisa merasakan tatapan-tatapan yang menghunjam
padanya. Mereka, orang-orang itu, batin Thalita, nggak bisa merasakan gimana sakit hatinya
Darren. Orang yang dia pilih, yang dia bela mati-matian, justru membohonginya.
Membodohinya" Entah bagaimana, berita tertangkapnya Cheryl bisa menyebar di sekolah. Thalita
sendiri bingung. Iya kalau Cheryl selebriti, mungkin warga sekolah ini tahu dari siaran
infotainment. Nah ini, mereka tahu dari mana, coba" Tapi sekali lagi Thalita
memutuskan untuk mengabaikannya. Nggak ada gunanya juga dia susah-susah
mencari tahu siapa informan berita itu, walau kali ini Thalita menyesali fakta bahwa
Darren termasuk cowok populer di sekolah. Tentu saja banyak die-hard fans-nya yang
dengan sukarela mengorek info tentang dia, bahkan dalam momen seburuk ini
sekalipun. *** Thalita nyaris nggak bisa memercayai matanya saat melihat kondisi Darren sore itu.
"Dia nggak mau makan dari pagi, Tha"," bisik Tatyana pahit. "Seharian dia
ngurung diri terus di kamar."
Thalita menghela napas. Dia nggak pernah membayangkan dampak ditangkapnya
Cheryl akan jadi sedahsyat ini. Yang ada di hadapan Thalita sekarang adalah Darren
yang pucat, lemas, dan terbaring hampa di atas ranjang, seperti orang yang kehilangan
harapan. Padahal Thalita kira, bentakan-bentakannya kemarin itu bakal sedikit
menyadarkan Darren. Darren dan Tatyana hari ini nggak masuk sekolah. Thalita berasumsi, itu karena
mereka nggak mau diberondong pertanyaan oleh teman-teman sekolah jika mereka
muncul. Lama-lama, Thalita jadi merasa ini tabiat Darren dan Tatyana, nggak masuk
sekolah ketika ada masalah. Dulu, ketika Cheryl muncul, mereka nggak masuk sekolah
beberapa hari. Sekarang ketika Cheryl ditangkap, mereka juga nggak masuk sekolah.
Darren jelas masih terlalu shock untuk sekolah lagi, dan Tatyana"sebagai orang
terdekat Darren"tentu saja ogah masuk sekolah sendirian dan berpotensi untuk
dicecar oleh para bigos sotoy atau para fans Darren yang ingin mencari info tentang
idolanya. "Keadaan di sekolah gimana, Tha?"
Thalita mengusap wajahnya. "Yah" begitulah. Gio sudah menerjang gue dengan
pertanyaan begitu gue keluar dari mobil tadi pagi."
"Ck, Gio," Tatyana berdecak. "Gue rasa di masa depan dia mungkin banget jadi
wartawan infotainment, nafsu mencari beritanya gede banget!"
Kedua cewek itu tertawa kecil, tapi Darren yang masih nggak bereaksi membuat
mereka sadar, ini bukan saat yang tepat untuk bercanda.
"Ren?" panggil Thalita lembut. "Lo makan dulu, ya" Gue temenin?"
"Gue nggak laper, Tha" Gue nggak mau makan?"
"Ayolah" Lo bukan anak kecil yang harus dipaksa-paksa lagi, kan" Lo nggak
makan pun nggak akan mengeluarkan Cheryl dari penjara?"
"Gue nggak kepengin mengeluarkan dia dari penjara! Gue cuma kepengin memutar
balik waktu, supaya gue nggak perlu melakukan kebodohan dengan percaya sama
semua kata-katanya lagi! Dasar penipu!" seru Darren emosi.
Tatyana memandang Thalita dengan kekhawatiran yang tersirat jelas. Seolah dia
mengatakan, begini-inilah-Darren-sekarang, dan-gue-nggak-bisa-melakukan-apa-apadan-karena-itu-lo-harus-bantuin-gue.
"Tapi kalau lo nggak ngalamin kejadian kayak gini, lo bakal tetap mencintai Cheryl
dalam hati, kan" Lo bakal tetap mungkin meninggalkan gue sewaktu-waktu jika Cheryl
kembali, kan?" Thalita bisa melihat rahang Darren mengeras. Cowok itu menatap Thalita tajam.
"Jadi menurut lo, ada baiknya gue mengalami semua ini?"
"Ya," jawab Thalita pasti. "Sama seperti ada baiknya bagi gue Andra meninggal,
karena gue akhirnya paham dia nggak cukup menyayangi gue untuk bersedia masuk
rehab. Ada baiknya Andra meninggal, karena dengan begitu gue jadi tahu ada cowok
yang jauh lebih baik segalanya daripada Andra, yang selama ini gue abaikan."
Thalita menelan ludah, nyaris nggak percaya semua kalimat barusan terlontar dari
mulutnya. Kenapa dia jadi agak-agak flirting begini" Jadi pintar bicara dan menyusun
kata" Sebelumnya kan dia nggak pernah menang lomba pidato!
"Tapi lo selalu kepengin Andra kembali, kan?" desak Darren. "Walaupun lo
menyadari ada kemungkinan dia membohongi lo?"
Sabar, sabar", Thalita menenangkan dirinya sendiri dalam hati. Darren sekarang
ini sangat labil. Dia cenderung sinis dan menentang omongan semua orang.
Kebohongan Cheryl telah mengubahnya menjadi getir.
"Dulu iya. Sekarang, entahlah. Gue belajar bahwa Tuhan selalu kasih kita yang
terbaik, Ren. Lo nggak ingat kata Pak Lukas minggu lalu" Tuhan nggak akan menguji
kita di luar kemampuan kita. Dia tahu di mana batas kemampuan kita. Seorang guru
SD nggak mungkin memberi murid-muridnya soal ujian anak SMP, karena dia tahu
mereka nggak akan mampu. Kalau guru SD aja tahu di mana batas kemampuan
muridnya, apalagi Tuhan!"
"Mungkin lo mengalami semua ini supaya lo tahu bahwa Thalita-lah cewek yang
pantas buat lo, bukannya Cheryl," Tatyana tiba-tiba menyela. Darren langsung
memelototinya, dan Thalita menyayangkan kata-kata Tatyana yang keluar pada waktu
yang nggak tepat. Biarpun Darren sudah sakit hati banget sama Cheryl, Thalita tahu
bahwa Darren masih bersikap protektif terhadap cewek itu. Dia tetap nggak suka
Cheryl dijelek-jelekkan, kecuali dia sendiri yang melakukannya, dengan tujuan
melindungi harga dirinya sendiri.
"Keluar dari kamar gue deh, Lit," kata Darren pelan, tapi dengan nada yang
menusuk. Tatyana melongo sesaat, lalu keluar dengan sakit hati. Thalita menyusul di
belakangnya. "Na, sabar ya. Dia lagi emosi," hibur Thalita.
"Tapi dia nggak pernah sekali pun ngusir gue dari kamarnya, Tha" Nggak pernah
sekali pun?" Tatyana kelihatan bakal menangis, dan Thalita jadi merasa makin payah.
"Udah, udah" jangan lo masukin hati. Lo kan tahu, walaupun sakit hati, Darren
nggak mungkin begitu saja bisa membenci Cheryl. Dia masih akan memprotes kalau
kita menjelek-jelekkannya?"
"Tapi dia sendiri"," Tatyana memprotes.
"Iya, iya, gue ngerti. Itu cuma upaya Darren untuk menyelamatkan gengsinya. Dia
cowok, dan lo tahu sendiri kan, gimana tingginya gengsi seorang cowok?"
Tatyana diam, tapi untungnya nggak menunjukkan tanda-tanda bakal banjir air
mata lagi. Thalita menghela napas dalam-dalam.
"Kita nggak bisa berharap Darren bisa langsung terima kenyataan ini, Na. Dia perlu
waktu, sama seperti gue dulu perlu waktu untuk recover setelah dia ninggalin gue
untuk kembali sama Cheryl. Yang bisa kita lakukan sekarang cuma membantu supaya
proses recovery itu lebih cepat. Lo ngerti kan, apa maksud gue?"
Tatyana mengangguk. "Makasih ya, Tha" Gue nggak tahu deh harus ngapain kalau
nggak ada lo. Sekarang gue ngerti, kenapa dulu gue kepengin banget lo bisa dekat
sama Darren, sampai gue maksa-maksa lo untuk coba deketin Darren segala. Ternyata
intuisi gue sudah memilih orang yang tepat dari dulu."
Thalita cuma bisa nyengir nggak jelas mendengar puja-puji Tatyana.
*** Proses recovery Darren ternyata berjalan jauh lebih lambat dari perkiraan Thalita. Cheryl
benar-benar sudah menyakiti cowok itu, mengubahnya jadi sosok yang getir dan pahit.
Thalita merasakan banget perubahan itu. Sering kali dia harus menghadapi Darren


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kasar, bukan seperti Darren yang dikenalnya dulu. Mungkin, kalau bukan karena
Thalita adalah cewek yang dikenalnya sebagai cewek baik-baik (setelah mamanya yang
meninggalkan keluarga mereka dan Cheryl yang dua kali menyakitinya), Darren juga
akan antipati sama Thalita. Bisa dibilang, sekarang Thalita-lah satu-satunya cewek yang
dipercayai Darren. Dia lebih memercayai Thalita daripada Tatyana, adiknya sendiri.
Perubahan dalam diri Darren ternyata bukan hanya pada perangainya. Nilainilainya di sekolah juga banyak yang menurun, karena dia banyak bengong saat jam
pelajaran. Seolah keadaan masih kurang parah, Darren juga nggak dipercayai lagi
untuk menjabat kiper utama tim sepak bola sekolahnya. Pelatihnya sering melihat
Darren nggak konsen berlatih, karena itu menganggap Darren nggak lagi punya
keinginan membawa timnya menang. Apa jadinya sebuah kesebelasan kalau kipernya
sendiri nggak niat melindungi gawangnya" Yep, hujan gol saat pertandingan
persahabatan melawan SMA lain. SMA yang salah pula, karena itu SMA tempat Cheryl
sekolah dulu. Jelas Darren makin nggak konsen saat pertandingan.
Akhir ceritanya sudah jelas, Darren dicopot dari jabatan kiper utama kesebelasan
sekolahnya, dan beberapa anggota tim jadi kesal padanya sekarang. Mereka merasa
Darren-lah penyebab kekalahan memalukan yang mereka derita. Sampai ada yang
terang-terangan bilang Darren pasti sudah ikut-ikutan jadi junkies seperti mantan
pacarnya yang sekarang dipenjara, makanya dia jadi suka bengong dan nggak konsen
karena lagi fly. Orang itu Paul, salah satu pemain inti kesebelasan.
Thalita bener-bener ngamuk mendengar semua ocehan itu. Dia sampai nekat
melabrak cowok asbun itu suatu siang sepulang sekolah. Paul dan teman-teman satu
kesebelasannya yang lain sedang mengobrol di koridor sekolah, di depan deretan loker.
"Heh, lo jangan nyebarin info nggak bener ya tentang Darren!" bentak Thalita pada
Paul, penyerang kesebelasan sekolah mereka. Thalita yakin banget, dari dulu Paul
kepengin merebut posisi Darren sebagai kapten tim.
"Wah, Tha, gue bingung" Lo bukannya dicampakkan Darren ya gara-gara cewek
junkies itu" Harusnya lo sakit hati dong sekarang, dan bersenang-senang karena Darren
udah kena batunya akibat perlakuan dia ke lo dulu. Eh" kok lo sekarang malah belain
dia?" cibir Paul. Thalita tertegun. Paul benar, Thalita bisa saja bersikap jahat jika dia mau. Darren
kan udah nyakitin dia, kenapa sekarang dia mau bersusah payah membantu Darren
untuk pulih, bahkan berani melabrak orang-orang yang menghina cowok itu"
Harusnya dia senang dong, karena Darren terbukti telah melakukan kesalahan tolol
dengan meninggalkannya demi Cheryl.
"Iya ya, mestinya gue nggak usah ngebelain dia, ya?" tanya Thalita pada Paul,
berusaha minta penegasan.
"Yoi, Tha. Seharusnya lo seneng karena dia sekarang udah kena karmanya." Paul
menyeringai puas. "Iya?" Thalita terdiam. "Iya, kalau gue jenis orang picik-nggak-tahu-malu-danpenjilat kayak lo!" Thalita menuding Paul dengan marah. Berani-beraninya Paul bilang
kayak gitu tentang Darren! Dia nggak tahu gimana dulu Darren selalu ada untuk
Thalita saat Andra nggak melakukan hal yang sama! Paul nggak tahu gimana dulu
Darren berusaha menyadarkan Thalita, menolongnya agar nggak terpuruk semakin
dalam. Semua orang hanya tahu Darren mencampakkan Thalita, mereka nggak tahu
Darren-lah yang dulu menyelamatkannya"
"Eh, apa maksud lo"!" Paul, yang tadinya shock karena nggak menyangka bakal
dibentak begitu, sekarang jadi emosi. Thalita sudah mempermalukan dia di depan
teman-temannya! Mau ditaruh di mana mukanya"
"Bukannya udah jelas" Gue nggak suka lo ngomongin yang jelek-jelek tentang
Darren! Lo ngelakuin itu karena lo kepingin Darren makin dibenci anak-anak tim
lainnya, kan" Biar lo yang kepilih jadi kapten kesebelasan menggantikan dia?"
Paul menegang, sementara teman-temannya menatap Paul dengan bingung. Bukan
rahasia umum bahwa Paul berambisi jadi kapten kesebelasan mereka, tapi kalau ada
orang yang mengatakan, ng" meneriakkannya secara blakblakan begini sih"
"Watch your mouth," desis Paul geram, tapi Thalita sama sekali nggak berhasil
digertak. Kalau dulu Darren menjadi tameng baginya, sekarang ia juga akan
melakukan hal yang sama! Bodo amat kalau dia pernah dicampakkan cowok itu!
"Chicken," balas Thalita nggak kalah tajam, dan mulai berkotek menirukan hewan
petelur itu. Wajah Paul langsung merah seperti kepiting rebus, beberapa anggota
timnya berusaha menahan tawa di balik punggungnya.
"Lo" berani-beraninya?" Karena terprovokasi gengsinya yang dihancurleburkan
di hadapan teman-temannya, Paul mencengkeram kerah seragam Thalita, dan berusaha
mengangkatnya tinggi-tinggi. Thalita nyaris nggak bisa bernapas. Bukan karena
tercekik, tapi saking takutnya. Dia nggak menyangka Paul bakal seemosi ini. Dan kok
dia bisa lupa Paul itu cowok bertinggi 184 sentimeter dan bertubuh kekar" Dia bisa
membanting Thalita dengan mudah kalau dia mau!
Thalita memejamkan mata. Sebentar lagi dia bakal dibanting ke lantai koridor
sekolah. Mungkin tulang-tulangnya bakal patah semua"
Thalita memang terbanting ke lantai, tapi nggak sekeras yang dibayangkannya.
Justru orang yang jatuh di sebelahnyalah yang terlihat seolah diempaskan dari lantai
dua puluh. Cowok itu terbanting ke lantai dengan suara berdebum keras.
Thalita membuka matanya perlahan, dan melihat di sebelahnya, Paul mengerang
kesakitan di lantai. "Lain kali kalau mau mengkritik, ngomong di depan gue langsung, jangan di
belakang!" bentak sosok yang berdiri menjulang di atas Thalita dan Paul.
Darren membantu Thalita berdiri, dan membersihkan debu yang menempel di
seragam cewek itu. "Lo nggak apa-apa, Tha?"
Thalita mengangguk gugup. Jadi" dalam sepersekian detik yang cepat tadi, Darren
meninju Paul, dan menumbangkan cowok itu ke lantai, sebelum Paul sendiri sempat
melakukannya pada Thalita"
"Asal lo tahu aja, gue nggak akan ngebiarin cowok pengecut kayak lo jadi kapten
kesebelasan gue. This team deserves a better leader!"
Paul berusaha duduk dengan susah payah, menyusut darah yang menitik di sudut
bibirnya, lalu pergi dari situ. Tak satu pun teman satu timnya yang menyusulnya.
Entah karena mereka semua takut dibanting juga oleh Darren seperti tadi atau apa.
*** "Sori ya, Tha, gara-gara gue, lo jadi harus dapat perlakuan kasar kayak gini," kata
Darren. Dia membelai rambut Thalita dengan sayang, perlakuan yang sudah beberapa
bulan ini nggak diterima Thalita, akibat kembalinya Cheryl.
"Nggak papa kok, Ren. Gue juga bego, nekat ngelabrak Paul, lupa badan dan
tenaganya kayak gajah?" Thalita memijit-mijit siku kirinya yang masih terasa sakit
akibat membentur tembok tadi. Biarpun tingkat benturannya telah diminimalisir oleh
Darren saat cowok itu menonjok Paul, tetap aja siku Thalita terasa sakit.
"Tangan lo sakit, ya" Gara-gara jatuh tadi?" Darren berusaha meraih tangan Thalita,
ingin memeriksanya. "Eh" iya. Sedikit. Nggak papa kok, beneran?"
Darren menatap Thalita dan mengangguk pelan. "Ng" Tha, makasih ya, lo udah
ngebelain gue sampe segitunya. Kebetulan tadi gue mau ke loker, dan gue denger lo
marah-marah sama Paul kaerna dia udah nyebarin gosip gue ini junkies. Dan waktu lo
bilang Paul pasti melakukan itu untuk bikin image gue jelek, agar dia yang terpilih jadi
kapten kesebelasan?"
"Mukanya merah banget pas gue ngomong gitu tadi," celetuk Thalita.
Darren tertawa kecil. "I know. Kelihatan kok, meski dari tempat ngumpet gue tadi.
Mmm" sori ya, seharusnya gue tadi nggak usah pakai ngumpet segala. Seharusnya
gue langsung aja menghajar dia begitu dia mulai ngomong kasar sama lo, tapi?"
"Lo penasaran, sejauh apa gue bakal ngebelain lo?" potong Thalita.
Darren langsung salting. "Ng" itu" jadi" yah?"
"Ren, gue tetap, dan akan selalu ngebelain lo, nggak peduli siapa yang harus gue
lawan. Bukan cuma sebagai tanda terima kasih gue karena lo dulu yang membuat gue
punya semangat hidup lagi, tapi juga karena?"
Thalita diam. Tadinya dia nyaris keceplosan bilang bahwa itu karena jauh di dalam
lubuk hatinya dia masih menyayangi Darren, dan dia nggak bisa terima ada orang
yang menjelek-jelekkan cowok yang disukainya itu, tapi kata-katanya terhenti dalam
perjalanan menuju bibir. "Karena apa?" tanya Darren.
"Karena" karena Paul itu cowok yang brengsek, jadi nggak ada salahnya dia dapat
sedikit semprotan dari gue!" sambar Thalita. Untunglah ide itu melintas dengan cepat
di otaknya. "Oh," gumam Darren. "Tapi tetap aja" makasih ya" Setelah perlakuan gue ke lo,
rasanya gue nggak pantas menerima pembelaan kayak gini?"
Thalita hanya tersenyum kecil mendengarnya.
*** Ide itu mendadak muncul di kepala Thalita saat ia nonton TV (atau mungkin lebih
tepatnya, saat Thalita DITONTON TV, karena ia melamun terus di depan TV, nggak
menyimak acara apa yang sedang disiarkan). Dia ingin ketemu Cheryl" Dia nggak
pernah ketemu dan bicara langsung pada cewek itu, dan ada hal yang mendesak yang
harus dikatakannya pada Cheryl sekarang. Ini nggak bisa ditunda lagi.
Tatyana pernah memberitahukan di mana Cheryl ditahan pada Thalita. Thalita
menelepon penerangan, menanyakan nomor telepon LP itu, lalu menelepon ke sana
untuk menanyakan jam dan waktu berkunjung. Petugas yang menjawab teleponnya
memberitahu bahwa waktu kunjungan adalah setiap hari Sabtu, pukul tiga sampai
empat sore. Hari ini hari Jumat, jadi Thalita baru bisa melaksanakan rencananya besok.
Besok, pikir Thalita. Besok gue bakal menyelesaikan semuanya.
*** Jam dua siang keesokan harinya, Thalita memacu mobilnya ke LP wanita tempat
Cheryl ditahan. Ia sampai di sana sepuluh menit sebelum jam kunjungan dimulai.
Setelah melalui proses pemeriksaan yang ribet, Thalita akhirnya bisa menunggu
juga di ruang tunggu LP, sementara Cheryl dibawa dari selnya menuju ruangan itu.
Begitu Cheryl muncul di pintu ruang tunggu, Thalita sudah bisa menebak, inilah
orang yang dicarinya. Tapi, karena belum pernah ketemu dan kenal sama Thalita,
Cheryl menatapnya dengan wajah bingung.
"Sori" Katanya, Mbak cari saya?" tanya Cheryl.
"Mmmh" iya. Cheryl, gue" Thalita."
Demi mendengar nama itu, Cheryl melonjak dari kursi plastik yang didudukinya.
"Ngapain lo ke sini"!" tanyanya galak. "Mau ngetawain gue, ya" Mau nyukurnyukurin gue, hah"!"
Petugas polisi yang melihat perubahan tingkah Cheryl yang drastis langsung
berniat menenangkan cewek itu, tapi Thalita menahannya. Petugas itu akhirnya
mundur kembali ke dinding, tempatnya mengawasi Cheryl tadi. Cheryl kembali
duduk, karena petugas itu memelototinya dengan galak.
"Gue sama sekali nggak punya niat untuk ngetawain atau nyukur-nyukurin lo,"
kata Thalita. "Oh," Cheryl berlagak meludah. "Nggak usah pura-pura deh. Lo pasti seneng kan,
sekarang gue nggak bisa merebut Darren lagi dari lo" Darren pasti benci banget sama
gue sekarang. Dia nggak pernah sekali pun datang menjenguk gue sejak gue
ditahan?" Cheryl terdiam sesaat setelah mengatakan itu, mungkin sadar ia sudah
keceplosan mengungkap sesuatu yang, menurutnya, akan membuat Thalita makin
bersorak gembira. "Ya, dia benci sama lo," kata Thalita lagi, hanya bermaksud untuk memberitahukan
fakta itu pada Cheryl, bukan memojokkannya. "Gue nggak suka ngeliat dia kayak gitu,
Cher?" "Hah" Nggak salah?" tanya Cheryl dengan nada meledek. "Lo nggak suka ngeliat
Darren benci sama gue?"
"Ya, gue nggak suka, karena itu akan membuat dia memendam kebencian itu pada
lo seumur hidupnya. Kebencian itu akan menggerogotinya dari dalam. Gue nggak mau
Darren jadi rusak begitu gara-gara lo. Lo nggak cukup berharga."
Cheryl terlongo. Thalita memang nggak datang untuk menertawainya, tapi semua
yang baru dikatakan cewek itu seolah membuat lidah Cheryl terpaku ke langit-langit
mulutnya. Speechless. "Darren itu orang yang peka, Cher. Dia memendam sakit hati karena nyokapnya
ninggalin dia dan keluarganya demi laki-laki lain saat dia kecil dulu. Dia jadi dingin,
nggak percaya lagi sama perempuan. Tapi saat lo datang, dia mencari, dia menjadikan
lo pengecualian dari kebenciannya, dan berusaha setengah mati untuk mendapatkan lo.
Sayang, lo menolak dia mentah-mentah." Thalita menghela napas dalam-dalam. "Saat
gue pertama kali ketemu dia, dia masih tetap dingin, tapi entah kenapa dia jadi baik
banget, peduli dan melindungi gue saat mantan gue meninggal akibat overdosis?"
Cheryl terdiam, tapi Thalita bisa melihat cewek itu mulai mendengarkannya dengan
saksama. "Ya, mantan gue memang meninggal akibat overdosis narkoba yang sering lo
konsumsi itu. Gue dan Darren merasa senasib, kehilangan cowok dan cewek yang kami
sayangi karena narkoba. Cowok gue, karena meninggal, dan lo, karena narkobalah
jurang yang nggak ingin Darren lompati demi lo. Darren membuat gue merasa
lengkap, dan punya semangat hidup lagi. We were happy, until you were back?"
Thalita merasa tenggorokannya sakit karena bicara terlalu banyak, tapi ia tahu, ia
harus meneruskan semua perkataannya, sampai ke maksud sesungguhnya ia datang ke
sini. "Darren hancur lagi, lebih parah dari yang sudah-sudah. Dan gue nggak bisa" gue
nggak bisa melihat dia hancur kayak gitu" Walaupun dia pernah mencampakkan gue
demi lo, walaupun dia udah nyakitin hati gue?"
Cheryl menggigit bibir. Air mukanya bercampur antara tegang dan" sedihkan ia"
"Gue datang ke sini untuk memohon sama lo, Cher. Kalau nanti lo keluar dari sini,
gue mohon" jangan temui Darren lagi. Bukan karena gue takut lo akan merebut dia
lagi, tapi karena gue nggak akan sanggup melihat dia hancur lagi lebih dari yang
sekarang?" "Seandainya" seandainya gue kembali tapi nggak menghancurkan dia lagi?" tanya
Cheryl, Thalita menangkap harapan dari suaranya.
"Nggak. Gue tetep berharap lo nggak kembali lagi. Kehadiran lo bakal membuat dia
teringat luka lamanya, dan itu akan membuat segala usaha gue untuk membuatnya
memaafkan lo jadi sia-sia." Thalita menatap Cheryl lurus-lurus di matanya, dan melihat
cewek di hadapannya itu kini menelan kekecewaan. "Kalau Darren memang nggak
digariskan untuk gue, gue yakin dengan atau tanpa kehadiran lo sekalipun, suatu saat
kami akan terpisah. Tapi walau gue nggak berstatus sebagai pacar Darren lagi, gue
tetap ingin dia bahagia menjalani hidupnya."
"Jadi?" "Jangan kembali lagi, Cheryl. Lo masih muda, lo bisa menata hidup lo lagi
sekeluarnya lo dari sini. Tapi gue mohon" jangan libatkan Darren di dalamnya."
Cheryl nggak bereaksi, tapi Thalita yakin banget semua kata-katanya sudah
meresap ke dalam diri cewek itu. Dan karena semua tujuannya datang ke tempat ini
telah terlaksana, Thalita nggak melihat ada gunanya lagi ia tetap di situ.
Ia bangun, dan melangkah pergi meninggalkan ruang tunggu LP wanita itu, dan
Cheryl. EMPAT BELAS DUA tahun kemudian" "Ren, lo udah dapet pembicara buat penyuluhan di SMA 44 minggu depan?"
"Udah dong, Darreeeenn!" Darren menepuk dadanya sendiri dengan bangga,
sementara Thalita meleletkan lidah padanya.
"Sugeng jadi ikut kan ntar?"
"Harus! Dia kan magnet utamanya. Acara kita bakal berantakan kalau dia nggak
ada. Tapi tenang, Sugeng kan nggak mungkin mau diomelin Alita satu jam penuh
karena dia nggak datang, hehe?"
Thalita nyengir, dan merapikan kembali brosur-brosur yang baru diterimanya dari
percetakan pagi ini. Brosur itu bergambar ilustrasi-ilustrasi keren yang menghimbau
para remaja untuk menjauhi narkoba. Dan bukan hanya berani mengatakan "TIDAK"
pada narkoba, tapi juga menolong jika ada orang yang dikenalnya memakai narkoba,
agar terlepas dari lingkaran setan itu.
Ya, Darren dan Thalita sekarang aktif dan tergabung dalam WHD atau We Hate
Drugs, sebuah lembaga sosial yang mengimbau kaum muda untuk menolak narkoba.
Sudah satu tahun mereka bergabung, dan banyak seminar yang lembaga mereka
prakarsai berlangsung sukses. Mereka bekerja sama juga dengan beberapa lembaga
rehabilitasi narkoba, yang menyediakan layanan konseling dan rehab bagi para
pemakai yang berniat untuk bersih kembali.
Sejak Thalita dan Darren bergabung dalam lembaga itu, mata mereka makin terbuka
akan fakta banyaknya remaja yang kehilangan orang-orang yang mereka sayangi,e ntah
adik, kakak, pacar, atau malah orangtua, akibat narkoba. Dan mungkin karena melihat
Thalita dan Darren yang masih muda, banyak pelajar SMP atau SMA yang dat
ang dan curhat bahwa ada beberapa orang yang mereka kenal yang tersangkut narkoba. Thalita
dan Darren menerima dengan baik setiap curhatan itu, dan meneruskannya pada para
konselor dan terapis dari lembaga rehabilitasi yang mereka kenal. Banyak junkies yang
akhirnya mau dibujuk, atau punya kesadaran sendiri untuk ikut terapi setelah
diberikan sesi konsultasi dengan para konselor dan terapis itu.
Thalita dan Darren senang, puas karena mereka akhirnya bisa melakukan sesuatu
agar nggak banyak lagi orang-orang yang bernasib seperti mereka, kehilangan orang
yang disayangi karena narkoba. Mereka juga berhasil menyelamatkan banyak remaja
yang tadinya sempat tergoda untuk menjadi pemakai, bahkan beberapa di antara
remaja itu sekarang ikut bergabung jadi aktivis juga di WHD. Mereka tergerak untuk
melakukan sesuatu bagi remaja-remaja lainnya. Thalita dan Darren juga banyak
menjaring kenalan-kenalan mereka untuk ikut bergabung dalam WHD, termasuk Acha,
Nita, dan Jennie. Salah satu kunci dari berhasilnya seminar-seminar dan penyuluhan yang
diprakarsai Thalita dan Darren sebenarnya adalah Sugeng. Lulus SMA, Sugeng


Thalita Karya Stephanie Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan kuliah di fakultas ilmu komunikasi, mendalami bidang broadcast dan
penyiaran, hingga sekarang bisa jadi presenter terkenal meskipun masih kuliah. Tentu
saja, oleh manajemennya Sugeng dilarang memakai nama depannya. Ia sekarang
dikenal dengan nama James McArthur, nama tengah dan belakangnya, tapi ia meminta
orang-orang terdekatnya seperti Darren dan Thalita untuk tetap memanggilnya
Sugeng. Katanya, kalau di dunia kerja kan ia menjual image, dan mungkin masyarakat
belum bisa menerima ada presenter beken yang bernama Sugeng. Ya sudahlah, ia
mengalah" Tapi ia masih tetap ingin jadi Sugeng di lingkup orang-orang terdekatnya.
James McArthur cuma ada di acara TV.
Nah, Thalita dan Darren sering meminta Sugeng jadi moderator sekaligus MC
untuk seminar-seminar mereka. Tentu saja, jumlah peserta jadi membludak. Sebagian
mungkin memang ingin mendengar penyuluhan tentang narkoba, tapi nggak bisa
dimungkiri juga, lebih banyak yang datang hanya untuk melihat Sugeng yang londo
ganteng itu. Jelas, Sugeng memberikan special fee untuk WHD, karena ia teman Thalita dan
Darren, sekaligus masih menjabat sebagai pacar Tatyana. Sering juga kalau habis terima
honor, Sugeng mentraktir tiga orang terdekatnya itu makan-makan di Poke Sushi.
Thalita yang paling hepi, karena selain karena setiap seminar yang dimoderatori
Sugeng sukses, semakin sering ia dan WHD mengundang Sugeng kan berarti semakin
sering juga ia ditraktir Poke Sushi, hehehe.
Mengenai Cheryl, sepertinya cewek itu mendengarkan kata-kata Thalita. Ia nggak
pernah muncul lagi, nggak pernah terdengar kabarnya lagi. Thalita bersyukur, karena
setelah setiap usaha kerasnya untuk memulihkan Darren dan membuatnya jadi orang
yang positif lagi seperti sekarang. Cheryl adalah orang terakhir yang diharapkannya
untuk muncul dan mengacaukan segalanya.
"Tha?" "Hmm?" Thalita masih asyik merapikan brosur-brosur tadi. Ia terkagum-kagum
melihat ilustrasi yang dibuat oleh perusahaan advertising yang menjadi rekanan
mereka. Ilustrasi-ilustrasinya terkesan muda, nggak menggurui, tapi pesannya kena
banget deh! "Nanti malem jadi, kan?"
"Ke bukit Mang Ujang?" tanya Thalita. Sudah lama mereka nggak datang ke bukit
tempat mereka melihat bintang dulu itu, dan Darren sudah berjanji mengajaknya ke
sana malam ini. "Iyaaa" jadi, kan?"
"Jadi. Tapi kamu yang bawa makanannya, ya?"
"Yee, dasar nggak mau rugi!"
Untuk kedua kalinya hari ini, Thalita meleletkan lidahnya pada Darren, lalu
membawa setumpuk brosur keluar dari ruang sekretariat WHD menuju ruang
pimpinan lembaga itu. Kak Isabel, yang masih muda tapi semangatnya benar-benar
menginspirasi Thalita untuk semakin memerangi narkoba, adalah ketua WHD. Kak
Isabel juga kehilangan pacarnya saat kuliah gara-gara narkoba, tapi ia berhasil bangkit
dari situasi itu. Well, Thalita dan Darren sampai saat ini memang masih berstatus teman. Setahun
sebelumnya Thalita disibukkan dengan usaha untuk memulihkan Darren pasca insiden
Cheryl, nggak ada waktu untuk cinta-cintaan. Setahun berikutnya, mereka sibuk
bareng di WHD, dan masih nggak ada waktu untuk cinta-cintaan. Gimana mau
ngomongin cinta" Setiap mereka berduaan, yang dibahas selalu heroin, putaw, sabu,
dan lain sebagainya itu! Nggak mungkin dong disambung-sambungin ke masalah
cinta" Mungkin nanti malam, pikir Thalita sambil senyam-senyum sendiri. Darren nggak
akan tiba-tiba mengajaknya ke bukit Mang Ujang itu kalau bukan karena dia punya
maksud tersembunyi. Ditambah lagi, beberapa hari lalu Thalita dapat bocoran dari Tatyana yang
keceplosan (dan langsung memohon-mohon supaya Thalita nggak membocorkan soal
keceplosannya itu pada Darren karena ia nggak mau diomeli habis-habisan gara-gara
membuat apa pun yang tengah disiapkan Darren jadi nggak surprise lagi), bahwa
Darren memesan lusinan bunga untuk dikirim ke lokasi bukit Mang Ujang tanggal 27
Oktober, yang adalah hari ini, jam tujuh malam.
Entah apa artinya lagi itu, kalau bukan seperti apa yang ada dalam bayangan
Thalita sekarang. Senyum Thalita makin lebar, walaupun ia tahu ada kemungkinan besok bakal
bangkrut karena harus membayar pajak jadian pada Acha, Nita, Jennie, Sugeng, dan
Tatyana di Poke Sushi atau Sushi Tei.
Kecuali, Darren take over the bill, seperti dulu.
Siluman Teluk Gonggo 1 Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Sayembara Maut 2

Cari Blog Ini