I For You Karya Orizuka Bagian 2
harus diambil setelah ini. ia jarang ke daerah ini, jadi ia harus sedikit kreatif.
Surya masih terus berpikir saat tak sengaja mendapati Cessa sedang asyik
memperhatikan orang-orang di dalam angkot dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Mungkin ia sedang takjub melihat orang-orang, tanpa menyadari kalau
perbuatannya itu tidak sopan. Salah-salah, Cessa bisa dianggap sedang
merendahkan mereka. Surya memandang sekitar dan melihat empat laki-laki dengan umur
berbeda-beda sedang balas menatap Cessa, tampak sama sekali tidak
keberatan. Salah satu di antaranya, yang juga mengenakan seragam SMA,
malah sedang menggeser duduknya mendekati Cessa. Surya mengira Cessa
akan menggeser duduknya menjauh, tetapi anak itu tidak bergerak sesenti pun
dan malah menatap anak laki-laki tadi balik.
Sebelum anak laki-laki tadi sempat menempel kepada Cessa, Surya bangkit
dan pindah ke samping Cessa, menyelip di antara mereka. Cessa menatap
Surya bingung, sementara Surya sebisa mungkin menatap ke arah lain. Dalam
hati, ia merasa sedikit bersalah membiarkan seorang tuan putri naik kendaraan
seperti ini. Angkot sedang terkena lampu merah saat seorang bocah naik sambil
membawa gitar kecil. Mata Cessa segera melebar saat melihatnya.
"Hei, orang tuamu ke mana?" tanya Cessa sebelum anak itu sempat
bernyanyi. "Saya gak punya bapak, Mbak. Ibu saya sedang bekerja," jawab anak itu
polos, lalu mulai membawakan intro lagu "Mau Dibawa ke Mana" milik
Armada. Suara merdu dan alunan gitar segera memenuhi angkot itu, membuat
kepala-kelapa terangguk dan sepatu-sepatu terentak pelan mengikuti irama.
Cessa sendiri sudah tersihir padanya.
"Suara kamu bagus sekali," komentar Cessa kagum setelah anak itu selesai
bernyanyi. Surya menatap Cessa yang masih tampak terpesona, lalu menyodorkan
selembar uang dua ribu pada anak tadi. Sambil mengucapkan terima kasih,
anak itu mengangguk dan melompat ke luar, mencari kendaraan lain yang
bersedia mengangkutnya. Sepanjang sisa perjalanan, Surya dapat dengan bebas memperhatikan Cessa
yang tampak tertarik pada apa pun yang ia lihat. Sebenarnya, Surya ingin
menjawab pedas setiap pertanyaan bodoh yang diajukan anak perempuan itu,
tetapi harum sampo yang masuk ke paru-paru dan sepasang mata hazel yang
membius itu selalu mencegahnya dan malah membuatnya mabuk kepayang.
Sekarang, Surya sudah menyetop angkot dan melompat ke luar. Ia
menghirup udara segar banyak-banyak, berusaha melepaskan diri dari
pengaruh wewangian tadi. Cessa sendiri sedang menunduk untuk keluar
angkot. Tangannya refleks terulur, meminta untuk dipegang. Sekilas, Surya
melihat titik menghitam pada punggung tangan itu. Mungkin, tadi anak
perempuan itu terantuk sesuatu.
Surya menatap Cessa datar. "Perlu gelar karpet merah juga?"
Walau demikian, Surya tetap menyambut jemari kurus milik Cessa dan
membawanya turun. Saat melakukannya, Surya menyadari bahwa tangan anak
perempuan itu terasa rapuh. Rambutnya yang halus pun sudah mulai basah
oleh keringat. Mendadak, Surya teringat kepada Benji. Anak laki-laki itu
mungkin akan histeris kalau melihat Cessa seperti ini.
Tiba-tiba, Cessa mengangkat kepala, senyum tersungging di bibirnya.
"Rumah lo yang mana?"
Surya segera tersadar dan melepas pegangannya. "Masih jauh," jawabnya,
lalu mulai melangkah menuju sebuah gang tak jauh dari jalan utama.
Selama beberapa saat, Surya menyangka Cessa masih ada tepat di
belakangnya. Saat tak mendegar apa pun, Surya menoleh, dan melongo begitu
mendapati Cessa berada lima meter di belakangnya, tampak kepayahan.
"Yang bener aja...," gumam Surya, tak habis pikir. Ini baru setengah
perjalanan ke rumahnya, anak perempuan itu sudah tampak kelelahan"
Sambil menghela napas, Surya menghampiri Cessa. Anak perempuan itu
tampak sudah kacau. Wajahnya semerah udang rebus dan keringat sudah
membanjiri wajahnya. Mau tidak mau, Surya merasa kasihan. Tetapi, bukan
berarti ia harus menggendong Cessa, kan"
Saat baru memikirkan kemungkinan itu, Surya melirik pedagang buah yang
lewat dan menggeleng pelan. Ia tak akan menggendong anak perempuan itu
karena terlalu memalukan.
"Sori," kata Cessa, napasnya terengah-engah. "Jalannya boleh pelan-pelan?"
Mata Surya menyipit. "Lo nggak biasa jalan?"
Cessa menggeleng. "Nggak sejauh ini."
Sebenarnya, Surya tergoda untuk mengatakan bahwa perjalanan ini belum
seberapa, tetapi ia memilih diam.
Anak perempuan itu tampak benar-benar kelelahan juga kepanasan. Surya
menghela napas, lalu membuka ransel dan mengeluarkan jaket. Setelah
menatap ragu selama beberapa saat, Surya memakaikan jaket itu di atas
kepala Cessa. Sejenak, Cessa terpaku. Ia tak menyangka Surya akan meminjamkan jaket
untuk melindunginya dari terik matahari.
"Kenapa" Lo nggak suka dipinjemin jaket orang miskin?" tanya Surya
menyadarkan Cessa. Cessa segera menggeleng. "Nggak. Suka, kok."
Kaget dengan jawaban Cessa, Surya membuang muka. "Yah, lo jalan duluan
aja. Gue di belakang."
"Nggak apa-apa" Gue jalannya lambat."
"Nggak apa-apa. Selambat apa pun lo jalan, gue ikutin," kata Surya, lebih
karena tidak ingin menggendongnya.
Alih-alih mulai berjalan, Cessa malah menatap Surya lekat, seperti ingin
menangis. Surya balas menatapnya bingung, dan saat ia baru mau bertanya,
Cessa membalik badan dan mulai berjalan lagi. Dari belakang, Surya hanya bisa
memperhatikan jalannya yan setara kecepatan kura-kura. Surya harus
menunggunya dua meter untuk mulai melangkah.
Benar-benar seorang tuan putri.
Benji menatap cemas jam tangannya. Ia sudah sampai ke rumah Surya
semenjak satu jam lalu, tetapi Cessa dan Surya belum juga terlihat. Benji
mengeluarkan ponsel dan menekan tombol satu. Telepon tersambung ke
ponsel Cessa, tetapi hanya terdengar nada dering, telepon tidak diangkat.
Benji kembali menatap ke luar pintu. Matahari sedang bersinar terikteriknya. Tadi, ia tidak membekali Cessa payung. Apa anak perempuan itu baikbaik saja" Apa Surya menjaganya" Benji merasa menyesal sudah membiarkan
Cessa pergi bersama Surya.
"Kalo segitu khawatirnya, kenapa tadi dibiarin?"
Suara Bulan menyadarkan Benji. Anak perempuan itu sudah berdiri di
hadapannya dengan secangkir minuman yang mengepul.
"Kenapa Kakak biarin Kak Cessa pergi sama Kak Surya?" Bulan mengulang
pertanyaannya. "Cessa bisa stres kalo permintaannya nggak diturutin." Benji kembali
menatap ke luar pintu. "Gue nggak mau itu terjadi."
Bulan menatap Benji, lalu mengangguk-angguk pelan walaupun sebenarnya
tidak begitu mengerti. Ia meletakkan cangkir yang dibawanya ke meja depan
Benji. "Ini, diminum. Jahe hangat. Bisa membuat perasaan Kakak lebih rileks," kata
Bulan, berhasil membuat Benji mengalihkan pandangan dari pintu.
"Jahe?" ulang Benji, tak yakin mau meminumnya. Namun, aroma harum
yang menguar dari uap minuman itu menggugah seleranya. Benji mengangkat
cangkir itu, menghirup aromanya, lalu menyeruput isinya. Diam-diam, Benji
mengagumi rasa enak yang menyesap masuk dari mulutnya.
"Gimana?" tanya Bulan, penasaran. Minuman itu adalah minuman favorit
almarhum ayahnya. Hampir setiap sore, ibunya membuatkan minuman itu.
Katanya, baik untuk menghilangkan stres pada tubuh.
"Enak sekali," komentar Benji, sekali lagi menyeruput jahe itu. Seperti kata
Bulan, perasaannya menjadi sedikit lebih tenang. Perutnya pun terasa hangat.
Untuk pertama kalinya, Benji menyadari, bahwa saat ini ia sedang berada di
dalam rumah sederhana milik Surya dan Bulan, duduk di atas sofa yang
kulitnya sudah mulai mengelupas. Benji pun menatap sekeliling. Rumah ini
mungil, tetapi terawat. Namun, sedari tadi Benji merasa seperti ada yang
kurang. Saat melihat sebuah figura yang terpajang di lemari, Benji pun paham.
"Orangtua kalian ke mana" Kerja?" tanya Benji, membuat Bulan tersenyum.
"Sudah nggak ada," jawab Bulan. "Meninggal karena kecelakaan lalu lintas,
tiga tahun lalu." Benji mengerjap. "Oh. Sori, gue... nggak tahu."
"Nggak apa-apa." Bulan menggeleng, lalu bangkit. "Aku ke dapur dulu, ya,
Kak. Mau masak untuk makan malam."
"Masak?" Benji menggumam, tetapi Bulan sudah keburu menghilang di balik
lemari. Penasaran, Benji pun bangkit dan melangkah semakin jauh ke dalam
rumah. Di belakang lemari panjang, terdapat sebuah dapur kecil. Di sana, Bulan
tampak sedang sibuk. Dalam diam, Benji memperhatikan Bulan yang sedang mengeluarkan sayur
mayur dari lemari es yang sudah berkarat. Anak perempuan itu lalu
mencucinya di bak cuci. "Lo bisa masak?" tanya Benji, membuat kol yang sedang dicuci Bulan
terlempar. Bulan menoleh, kaget setengah mati melihat Benji bersandar di dinding
dapur sambil manatapnya. Tadi Bulan memutuskan untuk masuk karena tak
ingin berlama-lama mengobrol dengan anak laki-laki itu. Kenapa ia malah
mengikutinya ke sini"
"Bisa," jawab Bulan sambil memungut kol yang sudah menggelinding di
lantai dan kembali mencucinya, berusaha tidak memedulikan keberadaan
makhluk terindah yang pernah menempel di tembok rumahnya.
Benji sendiri mengangguk-angguk takjub, tak menyangka. Ibunya sendiri tak
pernah memasak. Benji malah tak ingat pernah melihat beliau di dapur. Itulah
sebabnya, melihat punggung wanita yang benar-benar memasak seperti ini
adalah pengalaman baru baginya. Rasanya, entah mengapa menyenangkan.
Benji masih asyik memperhatikan punggung Bulan saat anak perempuan itu
meraih pisau panjang dari rak piring. Mata Benji segera melebar saat melihat
Bulan menggunakannya untuk memotong kol.
"Lo... bisa masak sendiri?" tanya Benji.
"Iya." Bulan mengambil jeda sejenak. "Semenjak ibu nggak ada, aku yang
masak. Lumayan untuk menghemat biaya makan."
"Lo nggak takut?" tanya Benji lagi, membuat Bulan berhenti memotong
untuk menatapnya bingung. "Lo nggak takut kena pisau?"
Bulan tertawa renyah. "Mau gimana lagi. Untuk masak kan harus pakai
pisau." Benji mengangguk-angguk, tetapi matanya masih tertancap pada pisau yang
berkilat tajam. Selama ini, ia tidak pernah melihat anak perempuan seusia
Bulan yang sudah memasak. Jadi, pemandangan ini terasa menarik sekaligus
membuat ngilu. Walaupun Bulan memotong kol itu dengan cekatan, perasaan asing
menelusup ke hati Benji. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Benji
merasakan dorongan kuat untuk melindungi perempuan lain selain Cessa.
"Kalo gue jadi Surya, gue nggak akan ngebiarin lo masak," seloroh Benji, lagilagi membuat Bulan berhenti memotong. "Gue akan ngelakuin apa pun supaya
lo gak megang alat berbahaya kayak gitu."
Selama beberapa saat, Bulan menatap Benji nanar. Saat pertama kali
melihatnya di sekolah, Bulan memang segera mengagumi sosok Benji yang
tampan dan berkharisma. Ia pun cukup senang hanya dengan memandangnya
dari jauh. Harusnya, ia merasa senang karena Benji sekarang ada di sini, di rumahnya
yang mungil. Tetapi, kata-kata Benji barusan membuatnya menyadari sesuatu.
Seperti pangeran dalam dongeng, Benji terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Dan, walaupun Benji nyata, rasanya justru menyakitkan karena ia terlalu tinggi
untuk digapai. Benji dan Bulan masih saling tatap saat terdengar suara-suara dari depan.
Otak Benji langsung mengirim sinyal bahwa itu adalah Cessa, jadi ia segera
berderap ke ruang tamu. Namun, anak perempuan itu tak tampak di mana
pun. "Cessa mana?" tanya Benji kepada Surya yang baru melepas ransel.
Surya menatap Benji tak suka, lalu mengedikkan dagu ke luar. "Lama banget
jalannya, persis putri Solo."
Mata Benji melebar, tak percaya. "Jalan...?"
Surya baru mau mengangguk saat Benji berderap ke arah pintu,
menabraknya, lalu berlari ke luar. Begitu melihat Cessa tertatih di pekarangan,
jantung Benji terasa mencelos.
"Cessa!" Benji berlari ke arah Cessa yang sudah banjir keringat. "Kamu nggak
apa-apa?" Cessa segera menggeleng, senyum tersungging di bibir mungilnya. "Ben, tadi
seru banget. Di angkot ada anak keci?"
"ANGKOT?"?" seru Benji, memotong kata-kata Cessa. Detik berikutnya, ia
melemparkan pandangan ganas kepada Surya yang menonton mereka dari
pintu. "Kita disasarin sopir taksi. Daripada buang dui?"
"Gue nggak akan pernah biarin lo pergi bareng Cessa lagi," potong Benji
geram. "Lo nggak bisa pegang janji. Lo bukan laki-laki."
Surya balas menatap Benji tajam. "Cuma karena gue sayang buat bayar taksi
penipu, lo bilang gue bukan laki-laki?"
"Lo pikir masalahnya itu?" Benji menyahut. "Kalo Cessa kenapa-napa, lo bisa
tanggung tawab?" "Baru kali ini gue liat orang kaya yang lebaynya kebangetan kayak kalian
berdua." Surya menggeleng tak habis pikir. "Kenapa sih, dia harus dijaga kayak
putri raja gitu?" "Apa harus ada alasan untuk menjaga perempuan?" Pertanyaan balik dari
Benji membuat Surya terdiam.
Jika saat ini Cessa tidak tampak benar-benar kelelahan, Benji mau saja
meneruskan debat dengan Surya. Namun, prioritas Benji kali ini adalah Cessa.
Ia harus membawa Cessa pergi dari situ. Benji melangkah masuk ke rumah"
memastikan ia kembali menabrak Surya"dan menyambar ransel beserta kunci
mobil. Sekilas, pandangannya bertemu dengan Bulan yang tampak bingung.
"Ayo, Cess, kita pulang." Benji segera merangkul Cessa. "Kamu bisa jalan?"
Masih tidak terbiasa dengan segala perlakuan Benji kepada Cessa, Surya
segera memutar bola mata. Benji memadu Cessa ke mobil, lalu membukakan
pintu untuknya. Sebelum masuk, Cessa menoleh kepada Surya. Tanpa sadar,
Surya menegakkan punggung, seolah dengan demikian ia bisa melihat ekspresi
Cessa lebih jelas, melewati pagar tumbuhan yang hanya sebatas lutut.
"Makasih ya untuk hari ini." Cessa tersenyum senang. "Sampai ketemu
besok." Sambil melambai, Cessa masuk ke mobil. Surya sendiri hanya termangu,
tidak tahu bagian mana yang membuat Cessa merasa harus berterima kasih
kepadanya. Di belakangnya, Bulan menatap ke satu arah. Benji sekarang sudah
masuk ke dalam mobil tanpa sekali pun menoleh lagi.
Saat mobil putih itu menghilang, Surya membalik badan dan menatap Bulan
yang masih terpaku. "Kenapa?" tanya Surya bingung sementara Bulan segera menggeleng dan
kembali ke dapur. Berusaha untuk menghilangkan bayangan Benji yang panik saat melihat
Cessa, Bulan meraih pisau untuk lanjut memasak. Alih-alih melupakan,
sekarang Bulan justru kembali teringat kata-kata Benji tadi.
"Mau masak apaan?" Surya mengintip dari balik bahu Bulan, menatap kos di
atas talenan. "Sop," jawab Bulan tanpa semangat.
Surya mengangguk-angguk, lalu melangkah ke kamar, bermaksud untuk
mengganti baju. "Kak." Bulan tiba-tiba memanggil, membuat langkah Surya terhenti. Bulan
menatap kakak laki-lakinya itu. "Hari yang aneh, ya."
Surya balas menatap Bulan, lalu mengangguk dan masuk ke kamar. Hari ini,
memang benar-benar aneh. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya, ia
bermimpi untuk melihat seorang Cessa di dalam angkot dan berjalan di
lingkungan rumahnya yang kumuh.
Mau tidak mau, Surya juga mengingat Benji yang tadi memarahinya karena
membiarkan Cessa melakukan semua itu. Tidak seperti Bulan, Cessa memang
tampak rapuh. Namun, apa perlu Benji melindunginya sampai seperti itu"
Surya menjatuhkan diri pada kasur kapuk, lalu mengeluarkan buku yang tadi
ia beli, memutuskan untuk tidak mau tahu lagi pada dua anak orang kaya itu.
Mereka bisa berpikir semau mereka. Surya tidak punya waktu untuk membuat
mereka sadar bahwa ada kehidupan lain di luar sana yang mereka tidak tahu.
Saat ini, Surya hanya harus fokus pada pendidikannya, membuktikan diri
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan prestasi, bukan omongan.
Dan, ia serius. ***** Cessa menatap langit-langit kamarnya yang berkilauan seperti bintang di
langit. Benaknya masih bermain-main di kenangan tadi siang, saat ia pulang
bersama Surya. Selama tujuh belas tahun hidupnya, baru kali itu ia berjalan di
tepi danau, naik angkutan umum, dan melihat anak kecil bersuara indah yang
menjadi pengamen. Sebelumnya, ia tidak pernah menyadari itu semua. Selama
ini ia hanya sibuk bermain game atau tidur di perjalanan pulang dan pergi
sekolah, tanpa menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Kejadian tadi siang
sudah membuka matanya. "Selambat apa pun lo jalan, gue ikutin."
Senyum Cessa mengembang saat mengingat kata-kata Surya. Bagi orang
lain, mungkin kata-kataitu tidak ada artinya. Namun bagi Cessa, kata-kata itu
sangat berarti. Begitu berarti hingga ia nyaris menangis saat mendengarnya
tadi. Saking asyiknya melamun, Cessa sama sekali tidak merasakan dinginnya
kantong es yang menusuk kedua lututnya. Ia pun tidak sadar Benji ada di
sampingnya, menatapnya cemas, dalam hati mengumpat dirinya sendiri yang
membiarkan Cessa pulang bersama Surya.
Dari kejadian hari ini, Benji jadi tahu, Surya tidak bisa dipercaya. Anak lakilaki itu membiarkan Cessa naik angkutan umum yang sering ugal-ugalan,
belum lagi membiarkan Cessa bejalan jauh di bawah sengatan matahari.
Tangan Benji terkepal keras. Selama tujuh belas tahun hidupnya, ini adalah
kesalahan paling fatal yang pernah ia lakukan. Walaupun Dirga tidak di sini
untuk memarahinya"ia sedang dalam perjalanan bisnis ke Bali"tetap saja
Benji merasa menyesal. Mendengar nada kecewa dari suara pria itu jauh lebih
membuatnya sakit hati daripada mendapat tamparan langsung di pipi.
"Ben." Benji tersadar saat mendengar suara Cessa. Anak perempuan itu masih
menatap langit-langit yang berkerlip indah dalam keremangan kamar. Dirga
menyewa desainer interior khusus untuk membuat langit-langit tersebut,
lengkap dengan segala konstelasi yang ada.
"Jatuh cinta itu... seperti ini?"
Mata Benji melebar saat mendengar pertanyaan Cessa. Bahkan, dalam
keremangan seperti ini, Benji bisa melihat rona di pipinya.
Cessa menoleh karena Benji tak kunjung menjawab. "Jatuh cinta yang
mereka bilang di film-film itu, Ben. Apakah seperti ini" Hanya dengan
mengingatnya aja bisa bikin deg-degan?"
Benji menatap Cessa nanar. "Aku... nggak tau, Cess."
Benji tidak berbohong"ia memang tidak tahu. Di film-film remaja Disney
yang sering mereka tonton, tokohnya sering merasakan jatuh cinta. Benji dan
Cessa bahkan pernah mendiskusikan ini sebelumnya. Saat jatuh cinta,
seseorang akan berdebar-debar, pipinya merona, dan tidak bisa melihat siapa
pun selain orang yang ia sukai. Walaupun tahu gejalanya, mereka sama sekali
tak pernah mengalaminya, sampai saat ini.
"It feels so good." Cessa kembali menatap konstelasi Cassiopeia, mengingat
saat Surya meminjamkan jaket untuk melindunginya dari matahari. "Rasanya
kayak... kayak kamu nggak butuh apa-apa lagi. Kayak, kamu mememukan obat
untuk segalanya. Dan... kamu berusaha untuk kelihatan normal di depannya."
Selama beberapa saat, Benji tidak mengedip. Ia menatap Cessa lama,
mencerna segala kata-katanya. Apa yang ia dan Dirga khawatirkan saat Cessa
meminta masuk sekolah formal sekarang terbukti. Cessa jatuh cinta.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan hal itu. Kata Dirga, jatuh cinta
adalah hal yang normal. Manusiawi. Namun, semenjak Cessa dan Benji
bertemu tujuh belas tahun lalu, mereka sudah terikat oleh sesuatu yang
membuat mereka harus selalu bersama. Dan, itu bukan sesuatu yang bisa
mereka tentukan sendiri. Sekarang, setelah Cessa jatuh cinta pada orang lain selain dirinya, Benji tidak
tahu harus bagaimana. Daripada cemburu, Benji lebih merasa kesal pada
dirinya sendiri. Ia membiarkan orang lain menerobos masuk ke gelembung
aman yang selama ini ia ciptakan untuk melindungi Cessa.
Itu kesalahannya. BAB 9 Why do stars fall down from the sky
every time you walk by"
Just like me, they long to be close to you.
[The Carpenters"Close to You]
Bel masuk sekolah belum berdering, tetapi seperti biasa, Surya sudah sibuk
dengan bukunya. Semalam, ia berhasil menamatkan buku tentang
pemerintahan Orde Baru yang dibelinya tempo hari, dan sekarang ia sibuk
membaca ulang buku tentang sejarah Budi Utomo yang nanti akan
dikembalikan ke perpustakaan. Karena tak mau membuang uang dengan
menyalin buku, ia menyalinnya ke dalam otak. Otak manusia terdiri dari
seratus miliar neuron, jadi harusnya bukan masalah untuk memindahkan
segala data itu ke dalam otaknya.
Surya masih dalam mode menyalin buku saat terdengar kasak-kusuk di
sana-sini. Yakin itu pasangan Benji dan Cessa, Surya tak repot-repot melihat.
Anak-anak kelasnya itu mungkin senang melihat Cessa lagi karena ia sempat
izin selama satu hari. Saat bisikan itu tak kunjung berhenti, Surya mendongak. Itu memang Cessa
dan Benji, jadi Surya kembali membaca buku. Namun, detik berikutnya, Surya
kembali mengangkat kepala. Ia menatap Cessa yang sudah berdiri di
hadapannya, lalu menganga, tak percaya. Sekarang, iatahu apa yang membuat
kelas ini sedikit lebih heboh dari biasanya.
Cessa tersenyum padanya. "Selamat pagi."
"Kenapa...." Surya memilih tidak membalas sapaan itu. Matanya tertancap
pada apa yang dikenakan Cessa. "Kenapa lo pake itu?"
Semua orang sekarang menatap Surya dan Cessa, bersemangat akan
kemungkinan drama lain. Benji mengawasi mereka dari bangkunya, tahu
bahwa sesuatu akan terjadi begitu melihat Cessa keluar kamar tadi pagi.
Cessa menatap jaket longgar yang dikenakannya, lalu menatap Surya seolah
tak ada yang terjadi. "Emang kenapa" Nggak boleh?"
Sebelumnya, Surya tidak pernah menganggap jaket itu jelek. Namun
sekarang, saat Cessa mengenakannya, jaket itu mendadak terlihat sangat kotor
dan tak pantas. Tak pernah Surya merasa semalu ini selama memilikinya.
"Lepasin," gumam Surya, membuat mata Cessa melebar.
"Kenapa?" "Jaket itu kotor," jawab Surya, risih dengan pandangan anak-anak lain.
"Lepasin." "Nggak kotor, kok." Cessa menggeleng, lalu memeluk lengannya sendiri.
"Gue suka aromanya."
Surya melongo. "Ha...?"
Anak-anak semakin ramai berbisik sementara Cessa duduk tenang di
bangkunya. Surya sendiri masih belum bisa bernapas normal"kata-kata Cessa
barusan membuatnya seperti tersengat listrik jutaan volt. Ia tidak pernah tahu
ia punya aroma. Sekarang, ia menyesal setengah mati meminjamkan jaket itu
kepada Cessa. Setelah ini, ia bersumpah untuk mencuci jaketnya setiap habis
pakai. Surya masih mengawasi Cessa dalam balutan jaketnya saat Abdul, guru
Fisika mereka, masuk kelas. Tanpa harus mengucapkan apa pun, Abdul berhasil
membuat semua anak duduk di bangku masing-masing. Aura Abdul yang
suram memang membuat semua anak segan padanya, malas mencari garagara.
"Baiklah. Saya mau membagikan hasil ulangan kemarin." Abdul memulai
pelajaran tanpa mengucapkan selamat pagi. "Setengah dari kelas ini harus ikut
ramedial." Ia menucapkannya dengan begitu datar, membuat semua anak hanya bisa
saling pandang cemas. Abdul lantas membagikan hasil ulangan itu dengan
memanggil satu per satu nama semua anak.
"Princessa." Cessa bangkit saat namanya disebut, lalu melangkah ke arah gurunya itu.
Abdul menyerahkan hasil ulangan Cessa dengan wajah sedikit garang dari
biasanya, tetapi Cessa membalasnya berani.
"Kamu harus belajar lebih giat lagi," kata Abdul, membuat Cessa mengerjap.
Abdul tak pernah berkomentar pada siapa pun sebelumnya.
Penasaran, Cessa membalik hasil ulangannya. Tiga puluh enam dari seratus.
Tak heran, Abdul memberinya petuah khusus. Sambil menggigit bibir, Cessa
melangkah kembali ke bangkunya diiringi tatapan bingung dan penasaran
teman-teman sekelasnya. Saat matanya bertemu dengan mata Surya, Cessa
buru-buru mengalihkan pandangan dan duduk, malu.
"Surya." Abdul menyebut nama pada kertas terakhir. "Nilai sempurna."
Surya baru bangkit dari bangku saat Abdul mengumumkan informasi
tambahan yang menghebohkan itu. Teman-temannya segera berdecak kagum,
tak habis pikir pada kemampuan Surya mengalahkan soal yang dibuat Abdul di
dalam gua selama tiga hari tiga malam"istilah anak-anak untuk soalnya yang
sulit setengah mati. Surya menerima hasil ulangan dari Abdul yang memandangnya dengan
tatapan rumit. Seolah bangga, tetapi sekaligus tak rela soal yang dibuatnya
dengan susah-payah ternyata masih bisa ditaklukan. Tak ingin berlama-lama di
depan kelas, Surya segera berjalan kembali ke bangkunya. Ia bisa menangkap
tatapan kagum Cessa, tetapi berusaha untuk tidak peduli. Saat Surya baru
duduk, Cessa memutar tubuhnya.
"Lo pintar banget," puji Cessa.
Surya bisa merasakan kupingnya memerah, jadi ia melengos. "Biasa aja."
Cessa baru berhenti menatap Surya saat Abdul berdeham.
*** Cessa mendorong pintu perpustakaan dengan sekuat tenaga, lalu mengintip
ke dalam. Setelah tadi memohon-mohon kepada Benji, akhirnya ia bisa
kembali ke sini. Benji memang tampak sangat tidak setuju, tetapi Cessa bisa
meluluhkan hatinya dengan berjanji akan segera menelepon bagitu terjadi halhal yang tidak diinginkan.
Sambil menatap sekeliling, Cessa melangkah masuk ke perpustakaan. Surya
tidak tampak di manapun. Semenjak Cessa ke sini, anak laki-laki itu sering tak
kelihatan. Cessa pernah menghabiskan jam istirahat hanya untuk mencarinya
di antara rak perpustakaan.
Perpustakaan hari ini begitu lengang. Hanya ada dua anak duduk di meja,
sibuk dengan buku yang dibaca. Tak seorang pun menyadari kehadiran Cessa
yang masih sibuk menoleh ke kiri dan kanan, memncari sosok Surya.
Dalam diam, Cessa melangkah ke rak buku-buku fiksi, mengintip lorong di
kiri dan kanannya yang sepi .
Perputakaan ini persis labirin. Surya pernah menjelaskan, koleksi
perpustakaan ini sebagian besar berasal dari para alumni yang merangkap
sebagai donatur. Tanpa sengaja, Cessa menemukan sosok Surya yang sedang berjalan dari
balik rak buku antropologi. Sambil mengendap, Cessa mengikutinya. Anak lakilaki itu berbelok di rak buku astronomi, mengamati buku-buku, menarik satu
dan duduk di lantai. Cessa mengamatinya yang tampak asyik membaca. Cahaya
matahari yang menelusup dari dedaunan di jendela membuat pemandangan
itu semakin terasa indah baginya.
Sudut bibir Cessa perlahan terangkat. Surya yang tenggelam dengan
bukunya selalu menarik untuk dilihat. Sikapnya yang tidak peduli pun seperti
memikatnya. Selama ini, Cessa selalu dilindungi. Selalu dijaga dari hal-hal yang
mungkin berbahaya. Namun, tidak saat ia bersama Surya. Surya membuatnya
merasa... normal. Surya sedang memijat lehernya yang pegal saat menyadari kehadiran Cessa.
Anak perempuan itu ada di balik rak, berdiri diam sambil menerawang. Surya
segera mengelus dada, hampir saja salah mengira anak berkulit pucat itu
sebangsa makhluk halus. "Lo ngapain sih, berdiri di situ" Bikin kaget aja," gerutu Surya, jangtungnya
masih berdebar kencang. Cessa melangkah keluar tempat persembunyiannya, lalu menghampiri
Surya. "Lagi baca apa?"
"Big Bang Theory." Surya menunjukkan sampul buku yang sedang
dibacanya, lalu menatap Cessa heran. "Lo kenapa ke sini lagi" Nggak dilarang
sama pangeran lo?" Cessa menggeleng, lalu duduk di samping Surya. Tak memedulikan tampang
bingung Surya, Cessa memperhatikan buku yang dipegang laki-laki itu.
"Tentang apa?" tanyanya, membuat Surya menghela napas.
"Lo tahu big bang , kan?" tanya Surya, tetapi Cessa menelengkan kepala.
"Ledakan besar" Salah satu teori dari alam semesta?"
Alih-alih menjawab, Cessa malah mengerjap, sama sekali tidak tahu apa
yang sedang Surya bicarakan. Surya sendiri menggeleng-geleng tak habis pikir,
mendadak ingat saat pembagian hasil ulangan Fisika tadi pagi.
"Lo nggak pernah belajar apa gimana, sih?" tanya Surya akhirnya.
"Pernah." Cessa menjawab. "Tapi nggak ingat."
Surya memicing. "Kenapa?"
"Dari kecil, gue nggak boleh mikir banyak-banyak. Jadi, gue belajar sebisa
gue aja." Ucapan Cessa sukses membuat Surya melongo. Menurutnya, orang-orang
kaya ini semakin lama dikenal, semakin tidak masuk akal. Setelah tidak biasa
berjalan kaki, sekarang ia tidak biasa belajar" Apa lagi, apa dia juga tidak biasa
mandi sendiri" "Tapi, gue tertarik dengan bintang." Mata Cessa mendadak berbinar.
"Saking sukanya, Ayah bikin langit-langit kamar gue berbintang."
"Kenapa?" Surya tiba-tiba ingin tahu.
"Ayah pernah bilang gue salah satu dari bintang-bintang itu," kata Cessa.
"Katanya, gue adalah bintang yang paling terang di antara seluruh bintang di
atas sana." Surya menatap Cessa lama. "Lo tau, ada berapa bintang di atas sana?"
"Satu juta?" tebak Cessa, membuat Surya mendengus.
"Ada ilmuwan yang membuat pernyataan bahwa bintang di angkasa raya
jumlahnya sepuluh kali lipat butiran pasir di bumi," jelas Surya, membuat Cessa
menganga. "Lo bisa hitung berapa butir pasir yang ada di bumi?"
Cessa segera menggeleng. Surya berusaha untuk tidak terlihat geli melihat tampang takjub Cessa.
"Jumlahnya bintang ada dua puluh juta pangkat dua puluh dua."
"Sebanyak itu?" Cessa terpekik, tak percaya. "Berapa nolnya?"
Surya mendengus melihat Cessa yang coba menghitung dengan jari.
"Seharusnya, lo jangan mau disebut bintang paling terang."
"Memangnya kenapa?" Cessa sedikit tersinggung sementara Surya terkekeh.
"Bintang paling terang itu paling cepat mati."
Jantung Cessa terasa mencelos saat mendengar kata-kata Surya. Jari-jarinya
berhenti menghitung. Surya sendiri tampaknya tidak sadar.
"Bintang paling terang adalah yang suhunya paling tinggi. Karena dia
terbakar dengan cepat, bahan bakarnya pasti cepat habis. Kalau massanya
sudah habis, dia akan meledak."
Kepala Cessa tertunduk. Ia sama sekali tak tahu kalau kata-kata yang selama
ini membuatnya bahagia ternyata mengandung arti yang sama sekali berbeda.
"Dan, kamu tahu bintang yang meledak bisa jadi apa?" Surya menoleh
kepada Cessa, bermaksud menggoda. "Black hole. Lubang hitam. Miris sekali,
kan?" Begitu melihat mata Cessa berkaca-kaca, Surya segera menutup mulut, tahu
bahwa gurauannya sudah berlebihan.
"Mungkin bokap lo gak tahu apa-apa soal ini." Surya coba menghibur Cessa.
"Mungkin... dia nggak melihatnya dari sisi Fisika."
"Fisika... menyebalkan, ya." Cessa bergumam pelan.
Seperti kata Surya, ayahnya pasti tidak tahu menahu mengenai fakta di balik
bintang paling terang itu. Cessa tidak akan menyalahkannya. Surya juga tidak
bersalah karena mengatakan itu semua. Anak laki-laki itu tidak tahu apa-apa
tentangnya. Dan, harusnya memang tidak perlu tahu.
*** Semenjak Cessa memutuskan untuk ke perpustakaan setiap jam istirahat,
Benji jadi seperti kehilangan pekerjaan. Belum lagi Piko sedang dibawa ke
dokter hewan karena mengalami gangguan kesehatan. Sepintas, Benji
mendengar burung malang itu terlalu banyak diberi makan. Benji sama sekali
tak tahu bahwa semenjak ia menjalin hubungan dengan burung itu, anakanak perempuan pun ingin melakukan hal yang sama dengannya.
Benji menatap kosong sangkar Piko, lalu menghela napas. Sebenarnya, Benji
tidak ingin mengizinkan Cessa kembali berada dekat dengan Surya. Anak lakilaki itu bisa saja menyakitinya lagi. Setelah tragedi Senin itu, Benji sudah
mencoba untuk melarangnya, tetapi Cessa bersikeras. Jika Cessa sudah punya
kemauan dan tidak dipenuhi, ia akan terus memikirkannya hingga tubuhnya
demam. Pusing dengan pikirannya sendiri, Benji melangkah ke arah kantin,
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermaksud untuk membeli minuman. Kantin itu tampak ramai oleh anak-anak
dari berbagai kelas yang sibuk berceloteh. Menghindari keramaian, Benji
segera melipir ke arah Kelly. Saat melihat keranjang roti yang masih terisi
setengah, ia teringat kepada Bulan.
"Bu, Bulan nggak ke sini?" tanya Benji kepada Kelly yang sedang sibuk
menghitung uang. "Enggak, dia lagi latihan. Mau ada lomba katanya."
Benji mengernyit. "Lomba" Latihan apa?"
Kelly mengangkat kepala dari kumpulan kuitansi, lalu tersenyum. "Lihat aja
sendiri di lapangan belakang."
Benji mengangguk-angguk. Entah mengapa, ia jadi penasaran pada kata-kata
Kelly. Setelah membeli air mineral, ia melangkahkan kaki menuju lapangan
belakang sekolah yang tak pernah diinjaknya lagi semenjak ospek hampir tiga
tahun yang lalu. Lapangan itu adalah sebuah lapangan rumput tempat anakanak ekskul bola dan baseball sering berlatih. Bulan tidak tampak seperti anak
yang atletis, jadi Benji tidak yakin ingin melihat anak perempuan itu
dalam jersey dan berlari-lari mengejar bola.
Langkah Benji mendadak terhenti saat ia melihat seseorang di tengah
lapangan. Tidak, ia tidak sedang melihat jersey maupun bola. Ia sedang melihat
seorang anak perempuan yan berdiri anggun di tengah lapangan, terfokus
pada sebuah bantalan target puluhan meter di depannya. Dengan konsentrasi
penuh, anak itu menarik busur yang dipegangnya, membidik dan melepaskan
anak panah yang segera melesat ke arah bantalan. Melihat anak panah itu
melesat di depan matanya dengan kecepatan puluhan kilometer per jam, Benji
seolah sedang menonton adegan dalam film.
Bulan menurunkan busurnya, lalu menatap puas anak panah yang
menancap di lingkaran kuning bagian luar. Sedikit lagi berlatih, ia yakin bisa
memanah lingkaran terdalam bantalan itu. Bulan baru hendak mengambil anak
panah kedua dari kantong panahnya saat menyadari kehadiran Benji.
"Kak Benji?"" teriak Bulan dari tengah lapangan, terkejut setengah mati.
"Lagi apa?" Benji segera menguasai diri. "Eh, nggak. Tadi gue lagi iseng aja jalan ke
belakang. Lo lagi latihan?"
"Iya, aku lagi latihan untuk lomba," jawab Bulan sambil menghampiri Benji,
lengkap dengan peralatan panahan yang menempel di tubuhnya.
Benji mengamati busur yang masih dipegang Bulan dan lengan yang
dilindungi arm protector. "Lo ini apa, Legolas versi cewek?"
Bulan terkekeh, lalu menatap ke belakang Benji. "Kakak nggak sama Kak
Cessa?" "Cessa di perpus," jawab Benji, matanya masih mengamati sosok Bulan.
"Seriously. What kind of girl are you?"
Sebelumnya, Benji tidak pernah melihat anak perempuan semandiri Bulan.
Ia hidup di lingkungan yang menghormati wanita, menganggap wanita adalah
kaum yang harus dilindungi. Sekarang, saat melihat Bulan, ia jadi berpikir,
bagaimana cara melindungi wanita ini" Sebagai laki-laki, Benji mendadak
merasa kecil. "Kak, aku harus latihan lagi," kata Bulan, menyadarkan Benji.
"Kenapa lo ikut olahraga berbahaya kayak gini?" Pandangan Benji naik ke
mata Bulan yang mengerjap. "Lo nggak ikut mading aja atau... KIR gitu?"
Bulan balas menatap Benji, lalu tersenyum. "Aku bukan Kak Cessa."
Kata-kata Bulan membuat Benji terdiam. Bulan benar, anak perempuan itu
dan Cessa sangat berbeda. Dengan busur dan anak panah seperti ini, Bulan
seperti tak memerlukan perlindungan macam apa pun dari siapa pun.
Berusaha untuk tidak memedulikan Benji yang masih menonton, Bulan
kembali ke tengan lapangan dan mencoba fokus pada bantalan target empat
puluh meter di depannya. Lomba minggu depan adalah kesempatan bagus
untuk membuktikan diri. Selain ia akan mendapat piagam untuk portofolio,
hadiahnya pun cukup besar. Bulan tidak punya waktu untuk memikirkan
perasaannya bagaimanapun juga tak akan pernah bersambut.
Setelah menghela napas mantap, Bulan mengambil sikap, mengangkat
busur, mengangkatnya, lalu melepas anak panah yang melesat tanpa basa basi
menuju bantalan. Anak panah itu berhasil menancap di lingkaran berangka
sepuluh. "Whoa." Benji tak yakin tahu berapa nilai yang didapat Bulan barusan, tetapi
ia tahu kalau anak panah menacap di tengah-tengah target, itu berarti bagus.
Benji kembali menatap kagum Bulan yang sekarang berjalan menuju
bantalan target untuk mencabut anak-anak panah yang sudah menancap. Benji
buru-buru menghampirinya, lalu mencabut anak-anak panah itu sebelum
Bulan melakukannya. Bulan menatap Benji bingung.
"Gue bantuin." Benji memasukkan anak-anak panah itu ke kantong di
punggung Bulan. "Lo di sana aja."
Sedapat mungkin, Bulan menahan debaran di dadanya. Lagi-lagi, Bulan
seperti sedang bermimpi di siang bolong. Orang yang selama ini ia kagumi
sekarang ada di dekatnya, menonton dan membantunya latihan. Semuanya
terasa tidak nyata, seperti yang sudah-sudah.
"Kok, bengong?"
Bulan buru-buru menggeleng. "Emangnya nggak apa-apa" Kak Cessa
gimana?" "Nggak apa-apa. Selama Cessa di perpus, dia aman." Benji mengelus
bantalan target yang sudah berlubang di sana-sini. "Jadi, selama istirahat, gue
bakal nonton lo latihan. Lebih asyik daripada ngajak ngobrol Piko."
Bulan menggigit bibir bawahnya. Benji akan ke sini setiap hari"
"Nggak apa-apa, kan, kalo gue tonton?" Benji menoleh kepada Bulan. "Atau
lo keberatan?" Bulan tak langsung menjawab. Ia sama sekali tak keberatan, tetapi di sisi
lain, ia takut. Ia takut jika anak laki-laki itu terus bersikap baik padanya, ia akan
benar-benar jatuh cinta. "Lan?" Suara Benji menyadarkan Bulan. Bulan menggeleng pelan, tak tahu apa
sudah membuat keputusan yang benar.
BAB 10 I For You (Bab 10) 7 Januari 2014 pukul 16:56
We each listened to our hearts beating to different tempos.
As if things were meant to be this way from the start.
[Mr. Children"Proof]
Selama beberapa hari ini, Cessa dan Benji memiliki kesibukan masingmasing. Cessa asyik mendapat pengetahuan baru dari Surya di perpustakaan,
sementara Benji sibuk menonton Bulan latihan memanah. Jika biasanya
mereka jarang mengobrol saat dalam perjalanan menuju sekolah, sekarang
mereka berlomba-lomba bercerita. Cessa menceritakan bagaimana alam
semesta tercipta, sementara Benji tentang cara penjurian olahraga panahan.
Sekarang, saat bel istirahat berbunyi nyaring, keduanya tampak terlalu
bersemangat. Cessa membereskan buku-bukunya dengan terburu-buru, lalu
membalik badan. "Ayo," ajak Cessa dengan wajah berseri, sementara Surya menatapnya
datar. Setelah Cessa menarik tangannya, Surya pun bangkit dengan ogah-ogahan.
Anak-anak di kelas mereka melihat pemandangan itu dengan takjub. Bahkan,
Benji tampak tidak keberatan dan mengikuti mereka beberapa langkah dari
belakang. Dan kalau biasanya setelah Cessa masuk Benji menunggu di depan
perpustakaan, sekarang ia lebih sering berada di lapangan belakang sekolah.
Surya mangikuti Cessa menuju rak astronomi sambil menatap tangannya
yang tergandeng erat. Selama beberapa hari ini, anak perempuan itu selalu ada
di sampingnya, mendengarkan dengan seksama pengetahuan yang ia dapat
dari buku. Surya merasa menjadi semacam penerjemah bahasa tulisan ke
dalam bahasa lisan. Awalnya Surya memang merasa diberdayakan, tetapi
akhir-akhir ini, ia melakukannya dengan sukarela. Seperti sudah ikhlas dan hal
itu membuatnya merasa nyaman. Malah, kadang Surya juga merasa bangga
bisa memamerkan pengetahuannya yang luas.
"Hari ini belajar apa?" tanya Cessa, menyadarkan Surya. "Astronomi lagi"
Atau Sejarah?" Surya menggaruk kepala yang tak gatal, lalu melangkah ke sebuah rak. Ia
sudah tak punya ide, pengetahuan apa lagi yang harus ia tanam ke kepala anak
perempuan itu. "Surya, lo tahu soal mereka?" Surya memutar kepala, lalu melihat buku di
tangan Cessa : Seri Mamalia. Entah bagaimana anak perempuan itu bisa
menemukannya. "Sedikit," jawab Surya, membuat senyum Cessa mengembang.
"Apa sih yang nggak lo tau?" Cessa berkata kagum, lalu segera duduk dan
menepuk lantai di sebelahnya. "Ayo duduk."
Sambil menghela napas, Surya duduk di sampingnya. Walaupun sedikit
enggan, entah mengapa Surya juga ingin melakukannya. Ia ingin anak
perempuan itu tahu lebih banyak. Ia tidak ingin anak perempuan itu terlihat
bodoh. Detik berikutnya, Surya mendengus, geli dengan pikirannya sendiri.
Mengapa ia harus melakukannya" Mengapa ia tidak ingin Cessa terlihat
bodoh" Bukankah itu justru menyenangkan, melihat orang kaya, tetapi bodoh"
Alis Cessa terangkat. "Kenapa?"
"Lo... pernah berpikir nggak, kalau Tuhan itu adil?" tanya Surya tiba-tiba,
membuat Cessa mengerjap. Cessa tersenyum, lalu mengangguk. "Pernah. Buktinya, Tuhan menciptakan
lo. Lo miskin, tapi sangat pintar."
"Tepat sekali." Surya menempelkan telunjuknya pada dahi Cessa. "Dan, lo
sebaliknya." Cessa mengelus dahi yang tadi diketuk Surya, lalu terkekeh"sama sekali tak
terlihat tersinggung. Surya sendiri sedang berpikir apa yang membuatnya
melakukannya. Apa mungkin ia merasa sudah terlalu nyaman hingga berani
menyentuh anak perempuan ini"
"Lo tau" Sebelum ketemu lo, gue pikir orang miskin itu nggak berguna,"
seloroh Cessa, membuat Surya menatapnya penasaran. "Ini semua karena ibu
kandung gue." Mata Surya melebar saat mendengar perkataan Cessa. Cessa sendiri malah
sudah menerawang. Cessa menoleh kepada Surya, lalu tersenyum miris. "Gue anak angkat."
Surya meneguk ludah, sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Selama
beberapa saat, ia terdiam, tak yakin ingin tahu lebih banyak. Ia takut cerita itu
akan membuka luka lama Cessa.
"Waktu gue lahir, gue ditinggalin di rumah sakit oleh ibu kandung gue.
Alasannya, dia nggak punya cukup uang untuk nebus gue." Cessa kemudian
menggigit bibir, kembali teringat masa lalunya yang perih.
"Ibu kandung lo... apa" Bule miskin?" tanya Surya, tak mengerti. Menurut
kabar burung, Cessa dialiri darah Prancis. Memang, tidak semua orang barat
kaya, tetapi hampir semua memiliki asuransi. Cessa harusnya tidak
ditelantarkan seperti itu.
Cessa menggeleng, lalu menatap Surya nanar. "Dia... PSK."
Surya berusaha menahan mulutnya untuk tidak terbuka, tetapi sepertinya ia
gagal. Kata-kata jujur yang keluar dari mulut Cessa membuatnya terkejut.
"Orangtua gue menceritakan itu semua waktu gue sadar kalo gue nggak ada
kemiripan sama mereka. Walaupun mereka awalnya nggak mau, akhirnya
mereka cerita karena gue paksa. Gue mau tahu yang sebenarnya dari mereka,
bukan orang lain." Surya mengangguk-angguk pelan, mendengarkan Cessa dengan seksama.
"Pelan-pelan, mereka menjelaskan semuanya sama gue. Kata mereka,
menurut rumah sakit tempat gue dilahirkan, ayah kandung gue seorang turis."
Cessa meneruskan, entah mengapa membuat hati Surya terasa sakit. "Dan dia
mungkin nggak tahu menahu kalo gue ada."
Sekarang Surya tahu yang membuat Cessa seperti membencinya di hari
pertama mereka bertemu. Selama ini, Cessa hanya tahu satu jenis orang
miskin, dan itu adalah ibu kandungnya sendiri yang membuangnya di hari
kelahirannya. Cessa menarik napas untuk menahan tangis, lalu menghelanya pelan. "Yang
bikin gue kesel bukan masalah ibu kandung gue PSK, tapi kenapa dia nggak
berjuang demi gue, seperti ibu pengemis yang kemarin itu. Kenapa dia
ninggalin gue sendirian di rumah sakit...."
"Mungkin itu takdir yang sudah digariskan Tuhan buat lo," tandas Surya.
"Dengan begitu, lo bertemu orangtua angkat lo, dan lo jadi kaya. Tuhan
memang adil, kan?" Untuk beberapa saat, Cessa terdiam, memikirkan kata-kata Surya. Cessa
memang sangat bersyukur orangtuanya mengangkatnya sebagai anak, tetapi
bukan itu yang ia permasalahkan.
"Tapi... gue nggak mau jadi kaya," desah Cessa.
"Gue juga nggak pernah minta untuk jadi miskin." Surya menyandarkan
kepala ke rak dan menatap langit-langit perpustakaan. "Tapi gue yakin, ada
alasan di balik ini semua. Ini adalah ujian yang harus kita hadapi."
Cessa menelengkan kepala. "Ujian?"
"Ujian hidup." Surya menoleh kepada Cessa. "Lo harus mensyukuri apa yang
lo punya sebelum semuanya hilang."
Cessa menatap Surya lama. Dari Benji, ia tahu bahwa kedua orang tua Bulan
dan Surya sudah tiada. Mulut Cessa sudah separuh terbuka"bermaksud
bertanya"saat Surya mengacak rambutnya dan membenarkan posisi duduk.
"Nah, mau ngobrol apa tadi" Mamalia?"Surya menarik buku dari tangan
Cessa, namun Cessa segera merebutnya kembali.
"Gue juga pengen tau." Cessa menatap lurus mata Surya. "Gue juga pengen
tahu lebih banyak tentang lo."
Surya balas menatap sepasang mata hazel itu. "Kenapa?"
"Itu..." Cessa kehilangan kata-kata. "Karena gue... suka."
Mungkin ini hanya perasaan Surya, namun selama beberapa detik, ia seperti
tak bisa mendengar apa pun selain setak jantungnya sendiri. Otaknya pun
seperti tak bisa bekerja. Jika biasanya ia mampu manghapal satu buku dalam
satu jam, sekarang ia tak bisa mencerna satu kata pun dari kalimat sederhana
yang baru saja keluar dari mulut Cessa.
Surya meneguk ludah. "Lo tau, mamalia apa yang paling besar di dunia?"
Mata Cessa melebar. "Eh?"
"Mamalia paling besar di dunia itu paus biru." Surya lantas mendengus.
"Pasti lo nggak tau kalo paus itu mamalia."
Cessa tampak bingung. "Kok jadi paus..?"
Alih-alih menjawab, Surya malah memberikan fakta menarik seputar
mamalia, sama sekali tak memberikan kesempatan Cessa untuk kembali pada
topik tadi. Cessa memperhatikan Surya yang sekarang sibuk membahas kuda
nil. Apa ia tadi salah bicara"
"Ayo, pulang bareng."
Surya menatap Cessa yang sudah mengadangnya sebelum ia sempat
melangkah ke luar kelas. Setelah anak perempuan itu melakukan pengakuan
cinta di perpustakaan, sebenarnya Surya ingin menghindarinya. Entah
mengapa, Surya merasa tidak nyaman. Anak perempuan itu memang cantik
dan sebagainya, tetapi itulah tepatnya mengapa Surya tidak nyaman.
Semuanya terlalu sulit dipercaya hingga terasa seperti mimpi. Terbangun dari
mimpi seindah ini, pasti akan sangat menyakitkan. Surya tidak perlu rasa sakit
yang lain. "Gue juga udah ajak Bulan. Dia bilang oke." Benji tahu-tahu muncul di
belakang Cessa, lengkap dengan keranjang roti. "Dia bilang nanti nyusul ke
mobil." "Ha?" seru Surya, lalu segera berdecak. Untuk apa Bulan menyanggupinya"
"Udah, ayo, nggak usah malu-malu." Cessa nyengir, lalu menggamit
lengannya menuju parkiran sekolah. Surya melangkah juga walaupun ogahogahan.
Mobil putih mengilap Benji tampak terparkir indah di samping pos satpam.
Surya bahkan yakin, satpam itu juga mengelapnya saat sempat.
Rasanya, sudah lama semenjak tragedi saat Surya pulang bersama Cessa.
Saat itu, Benji memarahinya karena membiarkan Cessa pulang naik angkot, dan
semenjak itu Surya tak pernah menyanggupi keinginan Cessa untuk pulang
bersama. Surya mengamati Benji yang sedang membuka bagasi mobil. Akhir-akhir ini,
anak laki-laki itu tak lagi cerewet. Ia melepas Cessa dengan mudah ke
perpustakaan, tak lagi menatap sampai matanya merah di lab Biologi, dan
sekarang ia bahkan tak keberatan untuk pulang bersama-sama. Surya tak
pernah tahu apa yang terjadi, hingga Bulan datang membawa keranjang
kosong. Senyum Benji segera merekah begitu melihat Bulan yang tampak manis
dengan rambut kuncir kudanya. Dengan tangkas, ia meraih keranjang itu dan
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasukkannya ke bagasi. "Lama ya, Kak" Aku habis ketemu pelatih dulu," kata Bulan kepada Cessa
yang segera menggeleng. "Nggak, kok. Kata Benji, lo mau ikut lomba panahan ya" Benji sering banget
cerita soal lo," kata Cessa membuat Surya dan Bulan serentak menatap Benji.
Benji malah tersenyum santai. "Kamu juga harus lihat, Cess. Bulan sangat
keren kalau sudah pegang panah."
Sementara Bulan berusaha keras untuk tidak tersipu, tatapan Surya kepada
Benji semakin tajam. Rasa-rasanya Surya tahu apa yang membuat anak laki-laki
itu mengendurkan penjagaannya kepada Cessa.
Benji menangkap tatapan Surya, tetapi segera mengalihkan pandangan.
"Ayo, pada masuk," ajaknya sambil menghilang di pintu pengemudi.
Surya menatap mobil putih itu, tak yakin ingin ikut. Ia lantas meraih tangan
Bulan yang seperti terhipnotis.
"Kamu kenapa mau aja diajak pulang bareng?" tanya Surya, membuat Bulan
segera salah tingkah. Surya menatap Bulan tak percaya. "Jangan bilang...
kamu...." "Surya! Bulan! Ayoooo!" seru Cessa dari dalam mobil, menyadarkan Surya
dan Bulan. Bulan menatap Surya penuh rasa bersalah, tetapi tetap melangkah ke mobil
dan masuk. Sambil menggeleng-geleng tak percaya, Surya mengikutinya masuk
ke mobil yang dipenuhi interior mewah itu. Benji meliriknya dari spion tengah,
jadi Surya mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Saat kedua orangtuanya masih hidup, Surya selalu merengek supaya mereka
memberinya mobil untuk ulang tahunnya yang ketujuh belas, tak peduli walau
mereka harus mengangsur. Mereka menyanggupi asal Surya giat belajar, tetapi
Surya tak pernah melakukannya. Dulu, Surya selalu yakin mereka masih akan
ada saat ulang tahun ketujuh belasnya, dan memberikannya mobil itu
walaupun ia tak pernah belajar. Namun sekarang, semuanya hanya tinggal
kenangan, tak akan pernah kembali.
Mendadak, Surya rindu naik angkutan umum.
*** "Mau minum apa, Kak?"
Surya menatap tak suka Bulan yang menawarkan minum kepada Benji dan
Cessa. Sesudah ini, Surya akan berbicara serius dengannya. Surya harus tahu
bagaimana sebenarnya perasaan Bulan kepada Benji, dan mencegahnya
sebelum terlambat. "Apa aja, Lan," jawab Cessa ceria.
"Air biasa aja." Benji segera meralat Cessa. "Jangan panas, jangan dingin."
Dari sudut mata, Surya bisa melihat Cessa yang mencibir kepada Benji. Surya
benar-benar tidak habis pikir pada kedua anak itu. Bagaimana bisa Cessa
menyatakan cinta padanya, sementara ia sendiri sudah memiliki Benji"
Pusing, Surya melangkah ke kamar. Ia mau mengganti baju dan menyepi
untuk beberapa saat, membenahi pikiran dan hatinya yang terasa kacau. Bulan
melewatinya sambil membawa dua gelas air putih, lalu meletakkannya di meja.
"Surya ke mana, Lan?" tanya Cessa setelah meminum habis airnya.
"Ganti baju, mungkin," jawab Bulan, walaupun melihat jelas ekspresi
kakaknya saat tadi berpapasan. Ia pasti terlalu malas untuk mengobrol
bersama dan memilih untuk belajar.
"Dia emang begitu, ya?" Benji membuka mulut. "Dari lahir udah bisa ngeja?"
Bulan terkekeh mendengar pertanyaan Benji. "Nggak sama sekali. Waktu
SMP malah pernah ranking paling bawah."
"Serius?"" seru Benji dan Cessa bersamaan, membuat Bulan semakin geli.
"Serius. Dia berubah drastis setelah orangtua kami meninggal," kata Bulan,
senyum di wajahnya memudar. "Dulu, dia menjanjikan sesuatu yang dia nggak
pernah lakukan." "Belajar?" tebak Cessa, membuat mata Bulan melebar.
"Kok, tahu?" tanyanya takjub. "Iya, Kak Surya dulu janji mau belajar, tapi...
yah, kedua orangtua kami keburu nggak ada. Sekarang, yang ada di otak dia
cuma belajar." Benji dan Cessa mengangguk-angguk pelan.
"Lagi pula, tabungan orangtua kami hampir habis. Kami harus pintar-pintar
berhemat," Bulan melanjutkan. "Kak Surya bertekad dapat beasiswa untuk
kuliah nanti, jadi dia belajar mati-matian."
"Wow." Benji bergumam, mendadak bersimpati pada Surya. "Gue nggak
tahu." Cessa sendiri sudah tenggelam dalam pikirannya, teringat kata-kata Surya
saat di perpustakaan tadi siang. Ternyata, ini ujian yang sedang dihadapi Surya.
Surya harus kehilangan orangtuanya di usia muda dan sekarang harus belajar
mati-matian demi mengubah nasibnya. Tak sepertinya dan Benji, Surya dan
Bulan benar-benar mandiri.
"Permisi, Neng Bulan."
Suara berat seorang laki-laki membuat semua menoleh berbarengan ke arah
pintu. Seorang pria tengah baya berkumis tebal berdiri di ambang pintu,
menatap mereka semua dengan mata setajam elang.
"Eh, Pak Kusno." Bulan segera bengkit, tampangnya kaget.
"Saya mau nagih uang kontrakan," kata Kusno tanpa basa-basi, tidak peduli
Bulan sedang kedatangan tamu. Tadi, saat melihat mobil mewah lewat depan
rumahnya dan berhenti di rumah ini, ia segera memutuskan kemari.
"Saya bayar habis bulan ini ya, Pak" Uang dari kantin belum turun." Bulan
memohon. "Biasanya juga kan habis bulan..."
"Iya, tapi saya sedang butuh uang, nih," desak Kusno. "Saya harus bayar
uang sekolah anak-anak."
"Saya paham, Pak, tapi?"
"Berapa, Pak?" Bulan dan Kusno menoleh berbarengan ke arah Benji yang bertanya kalem
dari sofa. "Berapa uang kontrakannya?" tanyanya lagi.
"Tujuh ratus ribu." Kusno menjawab walaupun tak yakin akan berguna.
Namun, Benji sudah bangkit, mengambil dompet dari saku dan
mengeluarkan tujuh lembar seratus ribuan dari sana, sama sekali tak
menyadari Kusno dan Bulan yang sama terbengong-bengong.
"Ini, Pak." Benji menyerahkan uang itu pada Kusno.
"Eh, i-iya. Terima kasih." Kusno menerima uang itu, melirik Bulan. "Kalo gitu,
uang kontrakan bulan ini sudah, ya. Mari."
Kusno lantas pergi begitu saja, meninggalkan Bulan yang masih melongo di
depan pintu. "Siapa, Lan?" Seperti horor, Bulan merasakan bulu romanya meremang ketika mendengar
suara Surya dari belakangnya. Perlahan, Bulan membalik badan dan menatap
Surya yang sudah berganti baju, tampak bingung.
"Pak Kusno, Kak," jawab Bulan takut-takut. "Nagih uang kontrakan."
Surya mengangguk-angguk. "Udah dibilang kan, akhir bulan?"
"Udah gue bayarin," jawab Benji sebelum Bulan sempat menjawab. Bulan
segera menggigit bibir, tahu perang dunia akan segera terjadi.
Surya sendiri melongo parah. "Udah lo apain?"
"Udah gue bayarin," ulang Benji dengan santainya. "Lo boleh bayar kapankapan aja."
"Tunggu-tunggu." Surya merasa ada yang salah dengan ini semua. "Lo
bayarin uang kontrakan gue" Tujuh ratus ribu?"
Benji mengangguk , seolah hanya baru membayari Surya sepiring siomay.
"Anak SMA mana yang bawa uang tunai segitu banyak?" seru Surya, tak
habis pikir. "Gue selalu bawa uang untuk keperluan mendadak," balas Benji, tak merasa
salah. "Tapi... tujuh ratus ribu...," Surya mendadak pening. Ia tak suka berutang,
terutama pada anak laki-laki ini.
"Santai aja, Ya, dibayar kapan-kapan aj?"
Benji segera menutup mulut begitu Surya menatapnya tajam sambil
mendesis. Menurut Surya, bagi orang kaya seperti Benji, sangat mudah untuk
mengembalikan uang. Mungkin bagi mereka, uang layaknya daun, banyak dan
bisa dihambur-hamburkan begitu saja.
"Gue tahu!" Semua orang sekarang menatap Cessa yang sudah bangkit dengan
bersemangat. "Lo nggak mau berutang sama Benji, kan?" tanya Cessa membuat Surya
segera mengangguk. "Kalo gitu, gimana kalo lo ngajarin gue sama Benji" Les
privat?" Surya tak melihat di mana yang bagus dari usul itu, tetapi Benji sudah
menyambutnya dengan baik.
"Ide bagus, Cess," kata Benji senang, sengaja melirik Bulan.
"Ide bagus nenek lo," tandas Surya, membuat semua orang menatapnya
lagi. "Gue nggak ada waktu."
"Kalo gitu, siniin." Benji menadahkan tangan di depan wajah Surya. "Tujuh
ratus ribu gue." Begitu Surya mendecak, Benji tahu ia sudah menang. Hari ini, ia dan Cessa
akan belajar bersama Surya di rumah ini. Dan entah mengapa, Benji merasa
menang. Akhirnya, Benji akan bisa mencicipi masakan Bulan.
*** Mungkin keinginan Benji harus ditunda dulu karena Bulan malah pergi untuk
mengecek arena lomba sebelum bertanding besok. Sekarang, di rumah ini
hanya ada Benji, Cessa dan Surya. Sedari tadi, Surya tampak luar biasa bad
mood, mungkin masih belum menerima kenyataan.
Mereka sekarang sedang belajar Fisika, karena ulangan Cessa dan Benji
tempo hari merah. Surya memperhatikan dua anak yang tampak mengerutkan
dahi membaca buku cetak itu.
Surya menggeleng tak habis pikir. "Sebenarnya, kalian kenapa masuk IPA,
sih...." "Ayahnya Benji pengen dia jadi arsitek." Cessa menjawab, membuat Surya
mengangkat kepala dari buku untuk menatap Benji.
"Lo mau jadi arsitek?" tanya Surya.
Benji mengangkat bahu. "Gue belum tahu."
Surya mengangguk-angguk sambil membalik-balik halaman buku itu,
pikirannya melayang. Sepertinya, Benji tidak punya kebebasan untuk
menentukan sendiri apa yang ia inginkan. Mereka sudah kelas dua belas
namun ia masih belum tahu mau jadi apa.
"Kalo lo mau jadi apa?" Benji balik bertanya.
"Gue pengen jadi programmer," jawab Surya, menunggu reaksi kedua anak
itu. Namun, baik Benji maupun Cessa tampak sama-sama tak paham. "Yang
bikin program komputer itu?"
"Ah." Benji segera mengangguk-angguk. "Lo suka main komputer?"
"Dulu." Surya menerawang selama beberapa saat, lalu segera berdeham.
"Yang jelas gue mau ambil Teknik Informatika ITB."
"ITB?"" Benji dan Cessa menyahut bersamaan, mata mereka sama-sama
terbelalak. "Yah, makanya, sebenernya gue nggak ada waktu buat ngajarin kalian."
Surya menyampaikan poin yang ia maksud. "Jadi?"
"Gue juga mau masuk ITB, ah!" seru Cessa, membuat Surya kehilangan katakata.
"Anu..." "Ada jurusan fashion, nggak?"
Surya menatap Cessa yang sudah terlanjur bersemangat, tak tega
menghancurkan semangatnya, Surya lantas melirik Benji yang sama-sama
menatap Cessa khawatir, lalu mendengus bagitu tatapan mereka bertemu.
Surya yakin, Benji juga pasti berpikiran yang sama dengannya.
"Ya udah, ayo belajar lagi," kata Surya sambil membuka bukunya lebarlebar.
Dalam beberapa menit, Surya sudah asyik dengan penjelasannya mengenai
dispersi cahaya. Di sebelahnya, Benji sudah khusyuk memperhatikan. Hanya
Cessa yang sibuk menyusuri wajah Surya dari jarak dekat, memperhatikan
alisnya yang tebal dan bulu matanya yang lentik.
"Untuk mencari sudut dispersi, kita harus..."
Surya sedang melirik Cessa sedikit saar ia menyadari anak perempuan itu
sedang menatapnya kosong.
Surya segera mendesah. "Lo niat belajar nggak, sih?"
"Eh?" Cessa tersadar, lalu mengangguk cepat. "Sudut dispenser, kan?"
Sejenak, Surya dan Benji terdiam mendangar jawaban itu. Detik berikutnya,
tawa mereka menyembur. Cessa sendiri tak tahu di mana yang lucu, jadi ia
hanya menatap dua anak laki-laki itu bingung.
Butuh beberapa menit bagi Surya untuk bisa menguasai diri. Setelah
kepergia orangtuanya, ia tidak pernah tertawa selepas ini. Rasanya benarbenar menyenangkan. Untuk beberapa saat, stessnya terasa berkurang.
"Kalian kok, jahat sih." Cessa segera cemberut.
"Sori, Cess." Benji menyeka air mata dari sudut matanya. "Abis, kocak
banget." Tepat pada saat itu, Bulan muncul di pintu sambil membawa beberapa
kantong plastik. Ia menatap heran semua orang. Bulan bahkan melihat
kakaknya sedang tertawa, hal yang tak pernah dilihatnya selama tiga tahun
terakhir. "Ada apa nih" Kayaknya seru," tanya Bulan penasaran. Surya segera
berdeham begitu menyadari kehadirannya.
"Bulaaaan. Mereka tega banget ngetawain gue!" Cessa segera mengadu,
membuat Surya dan Benji kembali terkekeh. Mau tak mau, Bulan juga ikut
tersenyum. Sudah terlalu lama ia tak melihat kakaknya ceria seperti ini.
"Kalian tunggu, ya, tadi aku beli soto ayam. Kita makan malam bareng," kata
Bulan lalu melangkah ke dapur.
"Gue bantuin." Benji pun bangkit dan mengekor Bulan.
Surya mengawasi mereka, curiga. Di sampingnya, Cessa masih membacabaca buku, mencari di mana letak kesalahannya.
"Oh, dispersi." Cessa bergumam, lalu mengetuk kepalanya sendiri.
Surya menoleh dan memperhatikan Cessa. Dalam jarak sedekat ini, harum
shampo Cessa benar-benar mengambil alih udara di sekitarnya. Ingatan Surya
terlempar pada kejadian tadi siang, saat anak perempuan itu menyatakan
cinta. Cessa menoleh pada Surya, bermaksud membahas soal dispersi, namun
tatapan Surya mengurungkannya. Selama beberapa saat, Surya dan Cessa
saling tatap. Kata-kata Cessa tadi siang sebenarnya membuat hati Surya melambung.
Seumur hidupnya, tidak pernah Surya merasa sebahagia ini saat ditembak anak
perempua. Serril, kakak kelasnya, tahun lalu menyatakan cinta dan Surya
menolaknya tanpa kesulitan berarti. Namun, Cessa bukan Serril. Walaupun
sama-sama cantik, mereka seperti berbeda liga. Serril cantik untuk kalangan
manusian, Cessa cantik untuk kalangan dewa-dewi. Dan normalnya sorang
manusia waras tidak akan berusaha mendapatkan dewi, kan" Walaupun dewi
itu menyerahkan diri"
Mendadak, Surya merasa tenggorokannya kering. "Lo sama Benji..."
"Gue sama Benji nggak seperti yang lo bayangin," potong Cessa.
Surya mengangguk-angguk pelan walaupun belum paham benar. Namun,
melihat Benji yang seperti tidak keberatan saat Cessa bersamanya, dan
bagaimana sekarang ia mendekati Bulan, rasanya kata-kata Cessa masuk akal.
"Tapi... kenapa gue?" gumam Surya. Kenapa Cessa menyukainya yang miskin
dan tak menarik" Apa kelebihannya dibanding Benji"
Cessa mengerjapkan mata, membuat Surya terhipnotis semakin dalam.
Mungkin Surya seorang laki-laki yang dangkal, yang hanya melihat perempuan
dari fisik. Walaupun demikian, ada hal yang berbeda dari Cessa. Surya tertarik
pada dirinya bukan hanya karena ia cantik, namun karena ia terlihat rapuh.
Surya ingin melindunginya, walaupun tak yakin apa ia bisa.
Cessa menatap Surya lama. "Apa harus selalu ada alasan?"
Mendengar jawaban Cessa, Surya terdiam. Ia memang tidak ingin
mendengarnya. Ia nyaris tidak peduli. Seorang Cessa menyukainya, itu sudah
mukjijat. Buat apa mendengar alasannya"
"Gue..." "Ini dia!" Suara Bulan membuat Surya urung meneruskan kalimatnya. Surya segera
berdeham lalu memisahkan diri dari Cessa. Bulan menatap keduanya bingung,
lalu meletakkan semangkuk soto panas ke tengah-tengah meja. Di
belakangnya, Benji membawa piring dan sendok.
Pandangan Surya lekat kepada Benji yang tampak giat. Benji sendiri tak
memedulikannya, tampak bersemangat dengan semangkuk soto yang harum
itu. "Gue suka soto ayam," komentarnya bahagia. "Gue jarang banget makan
ini." Surya memutar bola mata. "Pastinya."
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo semua makan," kata Bulan ceria sambil membagikan piring. "Maaf ya
kalo cuma ada ini." "Nggak apa-apa, kok." Benji menyendok sedikit nasi ke piring, lalu
menyerahkannya kepada Cessa. Sama sekali tak menyadari Surya dan Bulan
sempat saling lirik. "Kita malah senang, biasanya di rumah makanannya
membosankan." Sambil mengangguk-angguk, Bulan menatap Cessa yang tampak bingung
hendak menyendok apa. "Pake sambal, Kak. Lebih maknyus!" tawar Bulan sambil mengangkat
mangkuk sambal. Cessa baru akan menyendok sambal itu saat Benji melihatnya.
"Jangan!" seru Benji, mengejutkan semua orang. Benji berdeham, lalu
menatap Cessa khawatir. "Cessa nggak bisa makan pedas."
Bulan segera terlihat salah tingkah. "Oh, gitu ya. Maaf, Kak."
Cessa hanya mendesah, terlihat kecewa. Ia ingin mencicipi bagaimana
rasanya sambal. Tanpa sengaja, pandangannya bertemu dengan Surya. Anak
laki-laki itu menatapnya tajam, lalu kembali menyendok kuah soto tanpa
minat. "Oh iya. Ini Kak, ada emping." Bulan menyodorkan kaleng berisi emping
melinjo kepada Cessa, mencoba mencairkan suasana.
Tangan Cessa sudah berada di atas toples saat Benji tahu-tahu merebut
kaleng itu dari tangan Bulan. Lagi-lagi, perhatian semua orang terarah
padanya. "Cessa juga nggak bisa makan emping." Benji buru-buru menjelaskan.
Surya membanting sendok, tak tahan lagi. "Lo apaan, sih" Babysitter?"
Benji menatap Bulan dan Surya bergantian. "Gue harus menjaga Cessa. Itu
aja." Selama beberapa saat, keheningan yang canggung menyeruak di ruangan
berukuran tiga kali tiga itu. Semuanya menatap Benji tak mengerti, kecuali
Cessa yang hanya tertunduk.
Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka tidak akan pernah tahu.
BAB 11 Cessa berlari kecil mengikuti langkah Surya yang besar-besar. Saat ini sedang
jam istirahat, dan seperti biasa mereka berada di perpustakaan. Sudah
beberapa menit, Surya menghindari Cessa dengan berjalan berkeliling dengan
modus mencari buku. Namun, anak perempuan itu tampak bersikeras
mengekorinya. Surya berhenti mendadak, membuat Cessa menabrak punggungnya pelan.
Surya lantas membalik badan. "Mau apa sih?"
"Mau ngomong," jawab Cessa, membuat Surya menghela napas.
"Lo nggak tahu apa yang lo bilang kemarin."
"Gue tahu." Cessa tampak keras kepala. "Gue bilang, gue suka sama lo."
"Ssshhh!" Surya segera mendesis. Ia menoleh sekeliling, namun
perpustakaan itu tampak sesepi biasanya. "Lo kenapa, sih?"
"Lo yang kenapa." Cessa mengerucutkan bibir. "Kenapa ngehindar terus?"
Semenjak pulang belajar bersama semalam, Surya selalu menghindari Cessa.
Tadi pagi saat Cessa menyapanya selamat pagi, Surya tidak menjawab. Saat
praktik Biologi, ia hanya sibuk bekerja dan menyuruh Cessa duduk diam. saat
bel istirahat berdering pun, anak itu tidak menunggunya dan langsung melesat
ke luar kelas begitu saja.
Surya membasahi bibir. "Denger ya. Lo sama gue itu nggak bakalan cocok."
Cessa menatap Surya tak mengerti. "Maksudnya?"
"Lo dan gue. Air dan api. Langit dan bumi. Paham?"
Selama beberapa saat, Cessa hanya bisa menatap Surya. Surya sendiri sudah
membalik badan, barusaha pergi. Selama obrolannya dan Cessa tidak
menyangkut ke arah itu, ia masih bisa berada di dekatnya. Namun, dari tadi
pagi, anak perempuan itu sudah menerornya melalui tatapan, meminta
jawaban atas pernyataan cintanya kemarin. Dan sekarang, Surya sudah
membuatnya jelas. Kalau Surya beruntung, Cessa bisa membatalkan acara
belajar bersama yang sudah direncanakannya sepihak sore nanti.
"Apa kita segitu berbeda?" tanya Cessa, membuat langkah Surya terhenti.
Surya berbalik, lalu menatap Cessa yang bergeming di tempatnya tadi.
"Apa kita segitu berbeda?" ulang Cessa, matanya menatap Surya nanar.
"Gimana pun kita gak akan bisa bersatu, begitu?"
Surya mengangguk. "Iya."
"Itu kata siapa" Otak kamu atau hati kamu?"
Mata Surya melebar saat mendengar pertanyaan Cessa. Sebelumnya, Cessa
tidak pernah bertanya hal-hal seperti ini. cessa yang ia tahu adalah Cessa yang
pemikirannya simpel, cenderung bodoh dan tidak pernah rumit.
"Gue..." Surya meneguk ludah. "Gue harus fokus sama pelajaran gue. Gue
nggak ada waktu untuk pacaran."
Cessa hanya menatap Surya kosong. Surya jadi teringat acara belajar
bersamanya semalam dan semua perlakuan khusus Benji terhadap Cessa.
Melihatnya saja membuat Surya merasa muak. Surya tidak ingin berpacaran
dengan anak perempuan yang dilindungi laki-laki lain.
Surya ingin segera menyudahi pembicaraan ini. "Kalaupun gue mau pacaran,
gue mau sama cewek mandiri. Yang nggak manja kayak lo."
Cessa mengerjap, kehilangan kata-kata.
"Gue lagi mati-matian belajar untuk dapet beasiswa. Gue nggak bisa terusterusan ngurusin lo, lo paham, kan?"
Cessa menggigit bibir, menahan tangis. Surya sendiri tahu ia sudah
keterlaluan, namun ia harus melakukannya. Ia tidak bisa terus terbawa
suasana. Ada banyak hal yang membuatnya tidak bisa berpacaran dengan
Cessa. "Gue... ngerti," gumam Cessa lirih. "Kalau itu alasannya, gue ngerti."
Surya menatap Cessa yang seperti hendak menangis. "Sori, Cess."
Cessa segera menggeleng. "Bukan salah lo, kok."
Semua ini memang bukan kesalahan Surya. Cessa yang terlalu lemah. Cessa
yang terlalu manja. Cessa yang tidak seperti kebanyakan anak perempuan
lainnya. Namun, sekeras apa pun ia berusaha, ia tak akan bisa berubah. Kalau
itu adalah alasan mengapa Surya tak bisa menerima cintanya, Cessa juga tak
bisa berbuat apa-apa. Walaupun Cessa berusaha setengah mati, tetapi air matanya menitik juga.
Cessa segera menyekanya dengan punggung tangan.
"Ini... kali kedua gue nangis." Cessa memaksakan senyum di antara air mata
yang mengalir. "Yang pertama waktu anjing kesayangan gue mati."
Surya menatap Cessa nanar, tidak tahu bagaimana harus mendengarnya.
"Sejak saat itu, gue nggak boleh punya peliharaan lagi," lanjut Cessa.
"Mungkin sekarang... gue nggak boleh suka sama siapa pun lagi."
"Lo kan punya Benji. Kenapa harus gue?"
"Gue sama Benji itu... hubungan kami bukan seperti itu."
"Kalo bukan seperti itu terus seperti apa?" Surya hampir menyahut. "Kalau
tiap hari bareng-bareng, dia selalu larang lo ini-itu, dia yang menentukan apa
yang terbaik buat lo. Terus dia itu apa?"
Cessa menunduk, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Hubungannya
dan Benji terlalu rumit, jadi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Sambil mendesah, Surya menatap Cessa. "Kalo gue pacaran sama lo, apa dia
bakal pergi?" Setelah terdiam beberapa saat, Cessa menggeleng pelan. Surya mendengus,
tak habis pikir dengan semua ini.
"Lo pikir ini masuk akal?" tanya Surya, membuat Cessa menggeleng lagi.
"Terus lo mau gue gimana?"
"Lo harus percaya sama gue." Cessa menatap Surya memohon. "Gue cuma
suka sama lo." Selama beberapa saat, Surya menatap mata Cessa yang masih berkaca-kaca.
Surya masih tidak tahu apa yang terjadi. Sebenarnya, apa hubungan antara
Cessa dan Benji hingga mereka tidak bisa berpisah walaupun tidak saling
menyukai" Namun pada titik ini, Surya seperti ingin mencoba untuk tidak peduli. Cessa
sudah menyatakan cinta padanya. Harusnya itu yang penting. Harusnya ia tidak
memedulikan Benji. Ia juga bisa melindungi Cessa dengan caranya sendiri.
"Ah." Cessa tiba-tiba menyadari sesuatu. "Lo kan lagi belajar, ya" Masih aja
gue ngomongin yang beginian."
Selama ini, Cessa tidak tahu Surya sedang belajar mati-matian untuk
beasiswanya. Sekarang setelah ia tahu, Cessa benar-benar merasa egois karena
masih memintanya mengajarkan banyak hal yang tidak penting dan
membebaninya dengan perasaannya.
"Selama ini gue ganggu, ya?" Cessa menatap Surya penuh rasa bersalah.
"Maaf ya, gue nggak sadar. Gue emang bodoh."
Cessa baru akan mengetuk kepalanya sendiri saat tangan Surya
menghentikannya. "Lo nggak ganggu," kata Surya pelan, masih menggenggam tangan Cessa
yang gemetar. "Kalo... kalo gue tetep dateng ke sini, nggak apa-apa?" tanya Cessa. "Gue
bakal duduk jauh-jauh, kok. Gue nggak akan ganggu. Gue nggak akan tanyatanya lagi. Boleh ya?"
Entah mengapa, hati Surya terasa sakit mendengar kata-kata Cessa.
"Lo juga nggak usah peduliin gue lagi. Lo fokus sama pelajaran aja." Cessa
berusaha tersenyum dengan bibir bergetar. "Gue suka lo dari jauh aja. Kalo
gitu, boleh kan?" Surya menatap Cessa nanar. Mungkin Tuhan tengah menanbahkan ujiannya
dalam bentuk makhluk indah yang ada di depannya ini. Walaupun tak yakin
bagaimana, Surya yakin bisa melewatinya, seperti ia melewati ujian lainnya.
"Princessa Setiawan," gumam Surya. "Gimana gue bisa nggak peduli lagi?"
Cessa menatap Surya bingung, namun, anak laki-laki itu malah tersenyum
sambil menyeka air mata di pipinya dengan lembut.
"Kalo dulu lo pernah nangis untuk pertama kalinya, ini yang terakhir. Lo
janji?" Sambil menahan tangis, Cessa mengangguk. Namun, seiring dengan
anggukannya, air matanya malah tumpah tak tertahankan. Untuk pertama
kalinya, Cessa merasakan kebahagiaan yang benar-benar menyesakkan. Ia baru
tahu kalau terlalu bahagia juga bisa membuatnya menangis.
Surya mengacak rambut Cessa penuh rasa sayang. Ia tidak tahu apa
keputusannya tepat, namun saat ini, inilah yang ingin ia lakukan. Ia tidak mau
melihat Cessa duduk di kejauhan. Ia tidak mau tidak menceritakan zaman
purba kepada Cessa. Ia tidak rela.
Kalau mau jujur, Cessa membuatnya tersenyum di antara kepenatan belajar.
Hanya dengan melihatnya, Surya merasakan energi baru. Ia jadi terpacu untuk
memperlihatkan yang lebih baik lagi supaya Cessa bisa kagum. Setiap malam,
Surya membaca lebih banyak buku agar mendapat lebih banyak pengetahuan
untuk dibagi padanya. Surya tahu benar perasaannya sendiri. Jadi, ia harap ia membuat keputusan
yang tepat. Benji melangkah ke luar mobil, lalu menatap sekeliling. Kompleks olahraga
itu tampak padat di Sabtu sore. Di kejauhan, Benji melihat lapangan panahan
yang sudah ramai oleh para peserta. Benji mempercepat langkah, takut
terlambat. Begitu mendapat tempat duduk, Benji segera mencari sosok Bulan. Tak
berapa lama, ia menemukannya, sedang mengobrol bersama seorang pelatih
dari sekolah mereka. Anak perempuan itu tampak gagah dengan segala
pelindung tangan dan topi yang dikenakannya.
Melihat figur itu, sudut bibir Benji tertarik ke atas. Berkebalikan seratus
delapan puluh derajat dengan Cessa, Bulan seperti seorang ksatria wanita.
Anggun, mandiri, juga penuh kharisma. Ia tak akan membutuhkan siapa pun
untuk melindunginya. Benji jadi teringat kepada Cessa. Kemarin, Benji kaget setengah mati begitu
mendapati wajah sembapnya keluar dari perpustakaan. Benji sudah akan
membuat perhitungan dengan Surya saat Cessa malah tersenyum bahagia,
menyampaikan kabar yang tak kalah bahagia"buatnya sendiri. Benji harus
berpikir selama beberpa saat sebelum akhirnya paham bahwa Cessa sudah
berpacaran dengan Surya. Seumur hidupnya, tidak pernah terpikir oleh Benji untuk memiliki kehidupan
pribadi seperti itu. Benji yakin, Cessa juga demikian. Mereka tidak pernah
mendengar dongeng yang mengisahkan pangeran dan putri tidak berjodoh dan
malah menemukan cintanya masing-masing.
Sekarang, saat mereka menemukan orang-orang yang membuat darah
berdesir seperti yang sering mereka tonton di film, mereka harusnya terlepas
satu sama lain. Tetapi, Benji dan Cessa bukan hanya teman sepermainan.
Mereka lebih daripada itu. Mereka tidak akan terlepas begitu saja walaupun
mereka menemukan cinta masing-masing.
Banji menatap Bulan yang tampak sedang bersiap-siap di lapangan. Sejurus,
pandangan mereka bertemu. Benji segera melambai singkat, memberi
semangat padanya. Bulan sendiri tampak salah tingkah, lalu berusaha untuk
fokus pada pertandingan. Awalnya, Benji hanya merasa penasaran pada anak perempuan itu.
Mungkin, sama seperti apa yang dirasakan Cessa saat ia bertemu dengan Surya
untuk pertama kalinya. Lama kelamaan, Benji merasakan hal yang berbeda.
Tepatnya pada hari saat ia melihat Bulan memanah. Bulan seperti memanah
hatinya, walaupun mungkin tidak sengaja melakukannya.
Benji geli sendiri memikirkan kata-kata "memanah hati". Ia merasa gombal,
namun itulah yang ia rasakan. Bulan membuatnya tidak bisa melepaskan
pandangan kagum. Anak perempuan itu begitu kuat dan mengagumkan. Pada
saat bersamanya, Benji tidak harus menjadi serba tangguh sehingga bisa
membuatnya menikmati suasana. Dan, anehnya, Benji menyukai dirinya
seperti itu. "Selanjutnya, peserta nomor 5, dari sekolah Pelita Kita, Rembulan Dwi
Tamara." Pengumuman dari pengeras suara menyadarkan Benji. Bulan tampak sudah
siap di tengah lapangan, memunggunginya. Setelah menatap bantalan target
empat puluh meter di depannya, Bulan mengangkat busur dan mulai
membidik. Detik berikutnya, ia melepaskan anak panah yang melesat tanpa
ragu ke arah bantalan dan mendarat di lingkaran terdalam.
Semua orang segera bangkit, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Benji sendiri sudah terhipnotis, mulutnya sudah separuh terbuka. Sekarang,
Benji benar-benar merasa hatinya adalah bantalan itu.
Tepat sasaran. *** "Aku bener-bener kaget lho pas tadi liat Kakak."
Bulan mengenakan sabuk pengamannya sementara Benji menyalakan mesin
mobil. Pertandingan sudah berakhir dan Bulan berhasil memenanginya dengan
gemilang. "Kan, gue bilang gue pasti dateng."
Bulan melirik Benji yang sudah mulai fokus pada jalanan di kompleks
Senayan yang mulai gelap dan padat. Bulan sama sekali tak menyangka Benji
akan datang menontonnya. Ia pikir, kata-kata Benji saat latihan terakhir
kemarin hanya basa-basi. "Lo nggak apa-apa gue anter pulang" Nggak ikut rombongan sekolah?"
tanya Benji. Bulan menggeleng. "Nggak apa-apa. Paling besok aku dikeroyok massa."
"Kenapa" Bukannya lo menang?" Benji tak paham.
"Bukan karena masalah itu." Bulan menyeringai, teringat ekspresi temantemannya saat Benji mengajaknya pulang bersama. "Karena Kakak."
"Karena gue?" Mata Benji melebar. "Emang gue kenapa?"
"Kakak kan..." Bulan tergoda untuk meneruskannya dengan "ganteng, kaya,
baik, sempurna" dan segudang kata sifat lain. "Terkenal."
Benji terkekeh. "Terus kenapa" Lo juga terkenal. Lo Srikandi sekolah kita."
Bulan hanya tersenyum kaku. Seterkenal apa pun dirinya di sekolah, ia tetap
merasa tidak pantas bersanding dengan Benji. Seorang Cessa pun membuatnya
semakin malu. "Kak Cessa mana?" Bulan membelokkan topik.
"Di rumah." Benji menjawab ringan. "Lagi istirahat."
"Dia tahu Kakak nonton aku?" tanya Bulan lagi.
"Tahu, malah dia titip salam. Dia sebenernya pengen banget liat kamu, tapi
aku nggak kasih." Benji memutar setir mobil untuk berbelok. Cessa memang
ingin menonton Bulan, tetapi tadi anak perempuan itu tampak terlalu lelah
untuk ikut pergi. Bulan mengangguk-angguk, mendadak merasa seperti seorang istri muda.
Detik berikutnya, Bulan menggeleng malu sendiri karena pemikirannya
barusan. "Surya udah cerita sama kamu belum?"
Bulan menatap Benji, bingung. "Cerita apa?"
"Kalo dia sama Cessa udah pacaran?" tanya Benji lagi sesantai yang sudahsudah, membuat Bulan menganga. Benji mendengaus saat melihat ekspresi
Bulan. "Berarti belum, ya."
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"APAA?"?"" seru Bulan, walaupun tahu itu terlambat. "Kak Surya pacaran
sama Kak Cessa?""
Benji tergelak. "Reaksi lo terlalu telat!"
"Tap-tapi... Kakak kan..." Bulan masih tak mengerti. "Kak Benji nggak apaapa?"
Tawa Benji segera terhenti begitu mendangar pertanyaan Bulan. Ia tidak
merasakan apa-apa kecuali bingung. Pikiran dan perasaannya terlalu kusut
hingga ia bingung dari mana harus mengurai. Satu-satunya yang terpikirkan
olehnya saat mendengar kabar Cessa dan Bulan berpacaran adalah Bulan.
Karena itulah ia ada di sini.
Benji baru akan membuka mulut saat ponsel yang terpasang
di dashboard bergetar. Wajahnya berubah pucat saat mengenali nomor pada
ponsel itu. Ia segera menepikan mobil, lalu mengangkatnya.
"Halo?" Benji menjawab tegang. "Iya benar. Oh, baik. Iya, saya ke sana
sekarang." Setelah memutuskan sambungan, Benji menghirup napas lega. Saat tadi
melihat nomor itu pada ponselnya, ia pikir jantungnya berhenti berdetak. Ia
sungguh bersyukur karena itu bukan telepon yang diduganya.
"Kenapa, Kak?" tanya Bulan cemas.
Benji menggeleng. "Lan, kalo gue nggak langsung nganter lo pulang, nggak
apa-apa" Gue harus ke suatu tempat dulu."
Walaupun tak tahu Benji harus ke mana, Bulan segera mengangguk.
Sebenarnya, Bulan juga tak ingin cepat pulang. Ia ingin selamanya bersama
Benji seperti ini, berdua saja.
Lagi-lagi, Bulan mengharapkan sesuatu yang tak terjadi.
*** Bulan menatap koridor sebuah rumah sakit yang sibuk. Saat Benji tadi
berbelok ke rumah sakit ternama di pinggiran Jakarta ini, ia pikir ada seseorang
yang sakit. Namun, mereka tidak pergi ke UGD ataupun ke kamar pasien.
Mereka sekarang berada di depan sebuah ruangan di mana terdapat beberapa
ranjang pasien yang kosong.
"Kakak sakit?" tanya Bulan khawatir begitu Benji melangkah masuk.
Benji tersenyum. "Nggak, tenang aja."
"Eh, Benji. Baru datang?"
Seorang perawat wanita berusia pertengahan tiga puluhan berwajah ramah
menyambut mereka dari balik meja di pojok ruangan. Perawat itu
menghampiri mereka dengan senyum mengembang. Bulan membaca nama
pada pengenal yang tersemat di dadanya : Lestari.
"Iya, Sus." Benji mengeluarkan sebuah kartu dari dompet dan
menyodorkannya pada Lestari. "Kali ini siapa?"
"Anak kecil, pendarahan perut," jawab Lestari sambil meletakkan kartu itu
ke atas meja, lalu menyadari bahwa ada seorang perempuan di ruangan itu.
Lestari menatap Benji bingung. "Siapa...?"
"Ah, saya Bulan." Bulan segera memperkenalkan diri.
Lestari menyambut tangan Bulan, lalu melirik Benji penuh arti. "Pacar, ya?"
Alih-alih menjawab, Benji malah tersenyum simpul sambil menggulung
lengan cardigan-nya. Bulan yang tadinya panik mau menjawab, malah bingung
melihat reaksi Benji yang santai-santai saja.
"Dia butuh berapa kantong, Sus?" Benji malah bertanya hal lain, seperti tak
keberatan dengan kata-kata Lestari sebelumnya. Ia pun berbaring nyaman di
atas ranjang. "Butuhnya dua, tapi cuma kurang satu lagi, kok. Nggak apa-apa kan, Ben?"
tanya Lestari sambil menggiring sebuah kereta dorong berisi alat-alat medis
dan duduk di samping Benji.
"Nggak, kok. Terakhir beberapa bulan lalu." Benji memperhatikan Lestari
yang mulai mengecek tekanan darahnya.
"Tiga bulan lalu." Lestari terkekeh. "Makanya, saya panggil sekarang."
Sementara Lestari mengecek kadar hemoglobinnya, Benji melirik Bulan yag
masih tampak kebingungan. "Sori ya, Lan, sebentar. Lo duduk dulu aja," kata
Benji, lupa menjelaskan pada anak perempuan itu.
Bulan mengangguk, lalu duduk di kursi depan meja Lestari. Mata Bulan
tertumbuk pada kartu donor Benji di meja. "Kakak sering donor darah?"
"Iya. Lo takut jarum?" tanya Benji.
"Nggak," jawab Bulan, membuat Benji terkekeh.
"Udah gue duga," katanya. "Nanti kalo udah cukup umur, lo juga donor ya.
Selain bagus buat tubuh, lo juga bisa bantu banyak orang."
Bulan mengangguk sambil memperhatikan darah Benji yang mulai mengalir
ke dalam selang menuju kantong darah. Selain tampan dan kaya, Benji rupanya
juga berhati mulia. Selama beberapa saat, Bulan hanya menatap Benji yang berbaring sambil
menatap langit-langit. Kesempatan bagus seperti ini sangat jarang untuk bisa
didapatkan. Bulan bisa memperhatikannya dengan bebas.
"Sudah, Ben." Lestari menarik jarum dari lengan Benji, lalu menempelkan
kapas dan plester. "Kamu tiduran dulu aja, saya ambil susu. Pak Thamrin juga
kayaknya bikin kacang hijau."
Benji mengangguk, lalu menurunkan lengan cerdigannya. Lestari
membereskan peralatannya sementara Bulan bangkit dan menghampiri Benji.
Tanpa sengaja Bulan membaca tulisan pada kantong darah yang dibawa Lestari
pergi. "AB negatif?" gumam Bulan, lalu menatap Benji. "Golongan darah Kakak AB
negatif?" Benji tampak terkejut karena Bulan sempat membaca kantong tersebut,
lantas tersenyum dan mengangguk.
"Kak Surya pernah bilang, AB itu golongan darah paling langka di dunia,"
kata Bulan lagi, mengingat trivia yang pernah kakaknya ceritakan saat makan
malam. "Tapi, AB rhesus negatif... itu jauh lebih langka lagi, kan?"
Benji masih tersenyum. "Tepat sekali. Hanya sekitar 0,45 persen penduduk
dunia yang golongan darahnya AB rhesus negatif. Makanya, status gue di sini
donor panggilan." "Wah." Bulan tampak benar-benar takjub. Ia memang pernah mendengar
tentang rhesus dari Surya, tetapi ia tidak pernah benar-benar bertemu dengan
mereka yang memiliki rhesus negatif. Menurut Surya, banyak orang-orang di
Indonesia yang sama sekali tidak tahu rhesusnya. Padahal, jika harus
ditransfusi, akan berbahaya jika rhesusnya tidak sama.
"Surya pintar sekali ya, sampai tahu hal yang begitu." Benji berusaha duduk.
"Mungkin gue nggak harus begitu khawatir kalo dia yang sama Cessa."
Mendadak, Bulan kembali mengingat kejadian tadi.
"Kak," kata Bulan, membuat Benji menatapnya. "Tadi... pas suster Lestari
bilang aku pacar Kakak, kenapa Kakak nggak menyangkal?"
Benji terdiam untuk beberapa saat. "Harus disangkal?"
"Tapi, kalo nggak disangkal, suster Lestari bisa nyangka aku beneran pacar
Kakak." "Kalo gitu, memang kenapa?"
Mulut Bulan separuh terbuka saat mendengar kata-kata Benji. Benji sendiri
malah tampak santai, seolah tak melihat jurang yang dipersoalkan Bulan.
Mungkin inilah perbedaan antara manusia dan bangsa dewa.
"Ya, a-aku kan bukan pacar Kakak." Bulan mulai tergagap, malu sendiri
mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Benji menatap Bulan lama. "Memangnya, lo keberatan?"
"Bu-bukan gitu!" Bulan menyahut, lalu segera menutup mulutnya sendiri.
Benji tersenyum. "Ya udah, kalo gitu nggak ada masalah, kan?"
"Ada." Bulan berhasil menarik kakinya sendiri sebelum melangkah ke jurang
itu. "Kakak dan aku terlalu... berbeda."
"Apanya?" "Segalanya." Selama beberapa saat, ruangan itu terasa kosong. Hanya langkah-langkah di
koridor yang terdengar sayup. Benji dan Bulan saling tatap lama, menjajaki isi
kepala masing-masing melalui mata.
"Lo benar. Kita memang beda." Benji mengangguk-angguk pelan, sementara
Bulan mulai merasa menyesal. "Tapi, coba pikir, kita punya kesamaan?"
Bulan mengernyit, tampak berpikir. "Kita sama-sama...."
Setelah berpikir selama beberapa saat, Bulan merasa jantungnya berhenti
berdetak. Bulan tidak berani berpikir bahwa Benji menyukainya. Namun, katakatanya, tatapannya, perlakuannya benar-benar membuatnya salah paham.
Apa ia salah paham" "Kenapa kita nggak fokus sama kesamaan kita?" Benji tersenyum lagi pada
Bulan. "Kenapa harus sibuk mengurusi perbedaan?"
Seperti mantra, kata-kata Benji barusan menyihir Bulan. Bulan jadi tidak bisa
bersuara, berpikir, maupun sekedar bernapas.
"Bulan." Benji meraih tangan Bulan, lalu menggenggamnya. "Ayo, kita
coba." Walaupun Bulan tahu ada jurang yan menganga di antara mereka, Bulan
tetap melangkah. Masalah apa ia akan jatuh atau Benji akan menangkapnya
sebelum sempat sampai ke dasar, Bulan tidak lagi peduli. Rasa hangat dari
ganggaman Benji yang menjalari aliran darahnya membuatnya yakin.
Akhirnya, Bulan pun mengangguk.
BAB 12 Broken up, deep inside. But you won't get to see the tears I cry
behind these hazel eyes. [Kelly Clarkson"Behind These Hazel Eyes]
Sekolah Pelita Kita sedang dilanda kehebohan. Setelah apa yang terjadi di
lapangan panahan tempo hari, gosip menyebar dengan cepat. Semua orang
sibuk membicarakan Benji yang sudah berpacaran dengan Bulan, dan Cessa
yang sudah lebih dulu bersama Surya.
Alih-alih merasa terganggu, Benji dan Cessa malah menikmati saat-saat ini.
Jika biasanya mereka masuk sekolah dengan perasaan nyaris datar, sekarang
senyum selalu terkembang di wajah mereka. Walaupun, senyum itu bukan
anak-anak di sekolah, mereka jadi tampak lebih ramah dan membumi.
"Pa-pagi, Cessa."
Seorang anak laki-laki kelas 12 yang tak pernah Cessa lihat sebelumnya,
menyapanya saat ia hendak masuk ke kelas.
Cessa balas tersenyum manis. "Pagi."
Andres, anak itu, segera merasa lututnya lemas. Selama ini ia mengagumi
Cessa, namun aura tuan putri anak perempuan itu dan Benji yang selalu ada di
sampingnya membuat selalu tidak berani bahkan hanya untuk menyapa.
Cessa sendiri sudah masuk ke kelas dengan langkah ringan, segera
menghampiri Surya yang seperti biasa, sibuk dengan bukunya.
"Pagi." Cessa menyapa Surya yang segera mendongak. Detik berikutnya,
Surya mendecak. "Kenapa pake itu lagi, sih?" gerutu Surya begitu melihat Cessa yang kembali
mengenakan jaket usangnya.
"Biarin." Cessa menjulurkan lidah. "Baca buku apa hari ini?"
Surya mendesah, tak bisa menghentikan anak perempuan itu untuk berbuat
sesukanya. "Biologi. Lo tau, kalo kita buka semua DNA yang ada di sel kita, kita
bisa sampai ke bulan 6000 kali?"
Cessa menganga. "Yang bener?"
Surya mengangguk, dalam hati senang karena lagi-lagi trivianya berhasil
membuat Cessa kagum. Buku DNA yang dibacanya semalam ternyata berguna.
"DNA itu semacam blueprint dari kehidupan semua organisme. Semua..."
Beberapa meter dari sana, Benji memperhatikan Suya yang asyik
menjelaskan tentang DNA kepada Cessa yang tampak tertarik. Selama ini,
Cessa tak pernah tertarik untuk belajar. Sepertinya, dalam hal ini Benji harus
berterima kasih pada Surya.
Benji menghela napas, lalu menatap keluar jendela. Semalam, Benji sibuk
berpikir di kamarnya. Apakah benar keputusannya membiarkan Cessa
berpacaran dengan Surya" Dan, dirinya sendiri dengan Bulan" Namun, semakin
dipikir, Benji semakin egois. Ia semakin tidak ingin peduli. 17 tahunnya sudah
dihabiskan dengan tanggung jawab yang tidak melibatkan cinta. Ia menyukai
Cessa, tetapi tidak pernah sebagai seorang perempuan.
Perempuan yang sedang dipikirkan Benji sekarang lewat di depan kelasnya.
Darah Benji berdesir saat melihat Bulan sedang mengobrol dengan temannya
sambil menenteng pelindung tangan. Setelah memenangi lomba, anak
perempuan itu tetap berlatih di pagi hari sebeum masuk sekolah. Benar-benar
pengecualian. Tanpa sengaja, Bulan menangkap pandangan Benji. Benji segera melempar
senyum, yang dibalas canggung. Detik berikutnya, anak itu menabrak Omar
yang entah bagaimana sudah berada di depannya.
"Ouch," gumam Benji, yyakin Bulan merasa pening karena telah menabrak
tubuh six packs yang kadar kelentingannya setara dinding beton.
"Maaf, Pak." Bulan mengelus dahi sementara temannya tergelak. Bulan
melirik Benji yang nyengir geli, lalu segera menarik tangan temannya dan
berderap pergi. Omar sekarang sudah melongokkan kepala dari pintuu kelas. "Mau sampai
kapan kalian di sini" Sana ganti baju!"
Anak-anak segera menyambar seragam olahraga masing-masing, lalu berlari
ke ruang ganti dan kamar kecil. Tak biasanya Omar menjemput mereka. Ini
berarti ia sedang dalam keadaan bad mood, dan tak seorang pun ingin
membuatnya semakin senewen.
Surya mengambil seragam olahraga dari tas, lalu bangkit dan menatap
Cessa. "Lo nggak olahraga lagi?"
Cessa membuka mulut, lalu melirik Benji yang masih berada di dalam kelas.
Benji menggeleng tak kentara, namun segera melangkah ke luar begitu Surya
menatapnya tajam. "Lo perlu izin dia untuk olahraga?" Surya sekarang menatap Cessa yang
tampak serbasalah. "Gue..." Kata-kata Cessa terhenti di tenggorokan.
Surya mengangguk-angguk, lalu berderap ke luar kelas tanpa banyak bicara
lagi. Dari awal, Surya tahu semua ini tidak mudah. Namun, ia akan mencari
jalan keluarnya. Cessa hanya harus bersandar kepadanya, bukan orang lain.
***** Anak-anak XI IPA II sudah selesai berganti baju dan sekarang sedang berjalan
sambil bercengkerama ke arah lapangan. Benji baru masuk kelas saat tak
melihat Cessa di mana pun. Heran, Benji melongok ke luar. Cessa juga tak
terlihat di antara kerumunan anak-anak perempuan.
Tahu-tahu, Surya masuk kelas, baru selesai mengganti bajunya. Benji segera
menahannya. "Lo tahu Cessa ke mana?" tanya Benji.
Surya menggeleng, membuat Benji mulai panik. Ia buru-buru meletakkan
seragam di atas meja, bermaksud mencari Cessa. Namun, Surya
mengadangnya. "Lo tau" Lo kadang nggak masuk akal."
Benji menatap Surya bingung. "Gue nggak ada waktu. Gue harus nyari
Cess?" "Dia udah besar, udah 17 tahun," potong Surya tajam. "Gue yakin lo udah
tahu kalau dia sekarang cewek gue. Apa masuk akal kalo lo masih belagak jadi
pangerannya?" "Masalahnya?" "Lho, kok masih di sini?"
Suara Cessa memotong kata-kata Benji. Kedua anak laki-laki itu memutar
kepala bersamaan ke arah Cessa yang sudah berganti dengan seragam
olahraga yang tampak masih baru. Ia baru saja membelinya di koperasi
sekolah. "Cess" Kamu?" Benji segera kehilangan kata-kata.
"Aku mau coba olahraga." Cessa berkata dengan mata berbinar, berharap
Surya akan bangga padanya.
"NGGAK BISA!" Benji menyahut, membuat Surya segera menatapnya tajam.
"Ya, lo harus tahu, Cessa nggak bisa?"
"Benji!" Kali ini, Cessa yang memotongnya, seperti mengingatkan Benji.
"Sekali ini aja."
Masih keras kepala, Benji menggeleng. Ia baru akan kembali melarang saat
Surya malah menarik anak perempuan itu pergi. Benji segera mengikuti
mereka dengan waswas. Cessa tidak bias melakukan olahraga apa pun selain
renang. Benji akan melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Lapangan sudah dipenuhi oleh anak-anak yang berbaris. Saat melihat Cessa
dalam balutan seragam olahraga, mereka serempak menganga, termasuk
Omar. "Kamu yakin, Cessa?" tanya Omar, sekedar meyakinkan.
"Yakin, Pak!" jawab Cessa ceria.
Omar melirik Benji yang menggeleng keras. "Kalo gitu" kamu ikut
pemanasan saja."
I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cessa mengangguk senang, lalu mulai melangkah ceria. Anak-anak segera
berbisik seru saat Cessa masuk ke barisan. Benji masih mengawasinya cemas,
tatapan Surya memotongnya. Benji paham perasaan anak laki-laki itu, tetapi ia
juga tidak bisa melupakan tanggung jawabnya begitu saja.
Selama pemanasan, tak sedetik pun Benji melepaskan tatapannya dari
Cessa. Anak perempuan itu tampak ceria bersama anak-anak perempuan lain,
bersemangat soal sesuatu yang baru pertama kali dilakukannya. Anak-anak lain
pun menyambutnya dengan baik.
"Oke, hari ini kita akan bermain basket!" seru Omar setelah pemanasan
selesai. "Tim putra lebih dulu!"
Setelah Omar memanggil nama-nama yang akan bermain, anak-anak yang
tidak dipanggil duduk dengan tertib di pinggir lapangan untuk menyaksikan.
Karena Benji ikut di dalam salah satu tim yang dipanggil, Cessa jadi tidak punya
teman. Cessa baru akan melangkah ke tempat ia biasa duduk saat seseorang
meraih tangannya. "Duduk di sini aja, bareng-bareng," ajak Friska sambil tersenyum. Di
belakangnya, anak-anak perempuan lain sudah nyengir lebar sambil melambailambai. "Kan garing duduk sendirian."
Cessa segera mengangguk, senang mendapat tawaran itu. Baru kali ini ia
berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya selain Benji dan Surya. Rupanya,
anak-anak itu ramah dan mau menerimanya.
Dari tengah lapangan, Benji menatap Cessa yang sudah duduk dikelilingi
oleh teman-teman sekelasnya. Benji tak pernah melihat wajah anak
perempuan itu secerah ini. Pemandangan itu, di mana Cessa bisa memiliki
teman selain dirinya, benar-benar seperti mimpi.
Tahu-tahu, perutnya seperti dihantam sesuatu. Benji menoleh, lalu menatap
Surya yang sedang berdiri di hadapannya, baru saja melempar bola padanya.
"Lawan lo di sini," kata Surya dingin.
Benji menghela napas. Ia harus memberi tahu sesuatu kepada Surya kalau
tidak ingin ini terjadi terus-menerus.
Omar meniup peluit. Selama 15 menit, permainan berlangsung seru. Benji
yang berperan sebagai forward dan Surya sebagai guard membuat mereka
Perempuan Lembah Hitam 3 Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin Wasiat Kematian 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama