Ceritasilat Novel Online

Masa Yang Hilang 1

Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina Bagian 1


www.ac-zzz.tk Pdf by: www.ac-zzz.tk MASA YANG HILANG Penulis: Marisa Agustina Aku harus mengejar kereta ekonomi pukul 05.44, yang sering terlambat.
Kereta yang sama, gerbong yang sama, penumpang yang selalu sama, serta
obrolan dan lirikan mereka yang juga sama. Dari semua yang kuperhatikan, di
stasiun mana pun, aku tak pernah menemukan satu pun pria muda seusiaku
yang cukup menarik. Kalaupun ada, pastinya ada seorang wanita muda di
www.ac-zzz.tk samping pria itu, yang menatap tajam ke arahku. Aku tertawa dalam hati. Ternyata, wajahku bisa diperhitungkan untuk
membuat seorang wanita kebakaran jenggot atau cukup gugup sampai harus
makin mendekap erat lengan sang kekasih, yang sejak tadi sesekali melirikku.
Kadangkala aku merasa kesal, bercampur iba, melihat beberapa pengemis atau
para pedagang yang hilir-mudik di gerbong yang tak terlalu luas. Segala kebo
sananku ini hanya membawaku untuk terus menatap buku setebal 400
halaman, yang sengaja kubawa untuk meng habiskan waktu 1 jam 10 menit,
waktu perjalan anku dari Bogor menuju tempat kerja di Jakarta.
Kalau semua buku itu telah habis kubaca dan aku belum membeli buku lagi, aku
biasanya membeli ko ran seharga Rp1.500. Semuanya kulakukan karena aku
memang suka dan ingin membaca, juga untuk meng usir kepenatan karena
harus meladeni pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari pria-pria anonim di
kereta atau di stasiun. Lagi pula, secara tak langsung, kegemaranku membaca membantu melenyapkan
kekosongan dalam diriku. Mungkin, kekosongan itu terjadi karena kesendirian.
Kesendirian karena selalu "berdiri" seorang diri, tanpa satu orang pria pun
pernah menjadi pelindung atau sekadar memberi inspirasi. Berpikir, menemui
masalah, mendefinisikan masalah itu, kemudian mencari jalan keluar dari
sebuah lorong gelap. Tanpa teman untuk berdiskusi, tanpa kekasih yang bisa
dijadikan sandaran ketika aku merasa lelah. Aku mengerti jika teman-temanku terlalu sibuk untuk menemui aku. Karena,
mereka disibukkan oleh kehidupan cinta dan karier. Namun, di mana
kekasihku" Kapan Tuhan akan mendatangkan seorang pria yang kelak akan
menjadi teman hidupku" Atau, paling tidak, hanya untuk saat ini" Berapa lama
lagi aku harus menahan hati untuk bersabar" Karena, aku bukan manusia yang
bersedia memaksa diri untuk menyerahkan hatiku pada seseorang, hanya demi
sebuah status. Tapi, Tuhan, tanpa bermaksud kurang ajar, kapankah tandatanda
kedatangan pria itu akan muncul" Masih dalam lamunanku di peron Stasiun Bogor itu, kereta yang kutunggu
belum juga datang. Sudah pukul 06.00. Belum juga ada pengumuman, kereta
tersebut akan berada di jalur berapa. Biasanya, kereta menunggu di jalur 7.
Namun, tak jarang berpindah ke jalur 8 atau 6. Membingungkan.
www.ac-zzz.tk Ditambah lagi, saat ini aku seperti kehilangan motivasi bekerja. Reward dari
kantor tidak seberapa. Lingkungannya cukup menye nangkan. Namun, tak
dapat memberi seorang rekan yang memiliki cara berpikir dan visi yang sama.
Aku tak melihat karier dalam pekerjaanku ini. Aku juga ingin berhenti
menunggu kereta di stasiun, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Lihat
saja, pukul 06.00 saja aku masih benar-benar mengantuk. Jauh berbeda dari
situasi 6 tahun lalu, saat aku baru pertama kali bekerja. Pukul 04.00 aku pasti
sudah bangun dengan antusias. Sambil menanti, aku melirik ke beberapa arah. Aku menemukan sesosok wajah
teman SMA-ku dulu. Aku tahu namanya, tapi tak terlalu mengenalnya. Ah,
SMA" masa-masa ketika seharusnya aku menikmati usia remaja. Tapi, yang
kulakukan hanyalah belajar dan menikmati status menjadi pemburu nilai paling
tinggi. Aku bukan murid teladan, tidak pernah ikut olimpiade matematika atau
debat bahasa Inggris, tidak aktif dalam OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler
lainnya. Satu-satunya kegiatan yang ingin kumasuki adalah kegiatan di luar
kelas untuk menambah ilmu matematika, fisika, dan kimia. Tapi, tak sampai setahun aku mundur dari kegiatan itu. Karena, lamakelamaan, kegiatan menjelma menjadi sebuah komunitas religius. Setiap
pembicaraan mereka selalu membuatku mengantuk. Aku tak dapat menikmati
diriku, yang merasa terkekang untuk melakukan apa yang kumau, bahkan
hanya untuk bicara dan bercanda sesuai keinginanku. Aku hanya memiliki
keinginan sederhana, mendapat nilai sempurna, termasuk dalam pelajaranpelajaran "mematikan", seperti ilmu pasti yang tadi kusebutkan.
Begitu terfokusnya aku dulu, sampai tak berpikir untuk melihat sisi lain yang
bisa kunikmati dari dunia remaja. Aku hanya bersekolah, lalu pulang, tidur,
lalu belajar dengan metode SKS (sistem kebut semalam). Malam Minggu tak
ada satu pria pun yang meng hubungi, apalagi mengajak kencan. Lalu, aku
mendapat ranking 1, yang kudapat karena aku tahu kelemahan para saingan.
Satu-satunya pria yang menyukaiku hanyalah seorang pria yang terkenal
karena kebaikannya, yang justru membuatnya jadi bulan-bulanan. Ia memiliki
sikap tubuh yang canggung, penggugup, jarang menyapaku, namun sering
tersenyum dengan cara kekanak-kanakan. Rumahnya dekat dari lingkungan
sekolah. Karena itu, meski sering diejek, ia tak berkeberatan jika rumahnya
dijadikan markas bermain oleh siswa-siswa kelasku. Tentu saja, perasaan
www.ac-zzz.tk sederhananya padaku berkembang menjadi sebuah gosip yang menyebar
cepat. Bukan hanya di kelas kami, tapi sampai di kelas lain dan telinga para
guru. Telingaku cukup panas setiap kali wali kelas, guru sejarah, dan guru ekonomi
menggodaku. Padahal, berdasarkan konsep pangeran tampan berkuda putih ala
dongeng Cinderella, tentu saja aku berharap ada murid pria yang berwajah
lumayan enak dipandang, pintar, baik hati, menerima keadaanku apa adanya,
datang menyatakan perasaannya dan memintaku untuk menjadi kekasih
pertamanya. Namun, kenyataan hanyalah kenyataan. Yang jelas, berita tentang murid
penggugup dan diriku ini jadi menghalangi usahaku untuk tersenyum pada pria
tampan populer di luar kelas. Aku makin tak suka menyumbangkan senyum dan
makin kesal menghadapi urus an percintaan, yang tak menunjukkan titik
terang. Yah" aku menyerah! Mungkin, hanya wanita cantik, ayu, dan punya
nilai rapor paling rendah saja, yang dapat memiliki pria idaman banyak wanita
di sekolah. Sementara aku, pria mana yang mau melirikku" Kuputuskan,
seperti ketika SMP dulu, untuk menikmati dunia yang bisa memberiku
kebanggaan, kepercayaan diri, dan menyadarkanku, betapa bernilai dan
berharganya diriku ini. Ya, kuputuskan untuk hanya jadi murid yang
berorientasi pada pelajaran. Lebih tepatnya adalah pemburu nilai, karena aku
tak begitu suka belajar. Telah begitu lama kutinggalkan masa-masa itu. Dulu, aku merasa keadaanku
baik-baik saja. Murid normal dengan kehidupan normal. Namun, benarkah
demikian" Pukul 06.12, terdengar pengumuman kereta akan datang 5 menit lagi.
Akibatnya, ketika kereta itu datang, para calon penumpang berlarian untuk
memperebutkan bangku kosong. Sungguh kondisi yang tidak enak. Bersyukur,
aku mendapatkan bangku kosong. Walaupun bukan di posisi yang cukup
nyaman, aku cukup menikmatinya. Dalam beberapa menit, kereta akhirnya berangkat. Mataku kemudian
menangkap sepasang pria dan wanita, penumpang kereta yang beberapa kali
kutemui di gerbong yang sama. Beberapa kali aku berusaha untuk bisa kenal
dan ikut berbincang dengan mereka. Namun, tampaknya, wanita itu tak begitu
suka dengan kehadiranku. That"s okay. Aku tahu benar, pria yang kira-kira
www.ac-zzz.tk setinggi 180 cm dan wanita cerewet (yang terlalu mengumbar perhatiannya
pada sang pria) bukanlah sepasang kekasih. Dari pembicaraan mereka, aku
jadi tahu beberapa hal tentang identitas keduanya. Tempat tinggal, jumlah
saudara, suku, dan juga tempat kuliah mereka dulu. Kuliah. Ya, aku pernah memiliki harapan akan masa kuliah. Masa ketika seluruh
idealisme, keinginan egosentris, sikap sok pintar, selalu ingin beradu argumen
dengan siapa pun yang kutemui, mengalami euphoria akan kebebasan yang
akhirnya kumiliki (entah itu kebebasan untuk mengontrol dan mengatur
keuangan, waktu, atau teman), semuanya membuncah di saat yang bersamaan.
Memberikan kepercayaan yang sangat besar dengan manusia bernama teman,
yang akhirnya tak pernah hadir dalam segala kesulitan, mengkhianati rahasia
yang dimiliki bersama, dan saling bersaing dengan sikap individualistis yang
memuakkan. Sederhana, tapi itulah kehidupan kampus yang membuatku makin
merasa sendiri. Mungkin, kondisi ini mengajarkanku bagaimana kerasnya kehidupan nyata. Di
masa itu pula, untuk pertama kalinya aku akhirnya menyukai seorang pria,
walau kemudian perasaan itu hilang dengan sendirinya, entah mengapa.
Mungkin, aku tak bisa menyukai seseorang secara sederhana lagi. Mungkin,
aku sudah tak lagi percaya dengan konsep pangeran tampan berkuda putih
yang sempurna. Tapi, aku benar-benar tak tahu, pria seperti apa yang bisa
membuatku jatuh hati. Suatu ketika, setelah pulang kuliah, aku iseng membuka e-mail, yang sudah
cukup lama tak kubuka. Kuteliti e-mail-e-mail yang masuk. Tanpa kuduga,
datang e-mail dari teman SMA yang penggugup, yang pernah suka padaku. Aku
tertegun. Bukan karena terharu pada tulisannya, juga bukan karena aku
akhirnya bisa merindukannya. Aku hanya merasa menyesal karena pernah
menyia-nyiakan masa SMA. Aku menyesal pernah meninggalkan masa SMA
tanpa sebuah perpisahan yang berkesan dan pergi dengan angkuh karena
harapan tinggiku di kampus terbaik di negeri ini.
Aku ingin sekali dapat kembali ke masa SMA untuk mengulangi sejarah dan
memperbaiki apa yang menjadi penyesalanku saat itu. Teman-teman yang
setia dan tulus, tanpa melihat siapa dan bagaimana sikapku. Teman-teman pria
yang berpotensi menyukaiku, andai aku mau sedikit saja menunjukkan sikap
ramah dan murah senyum. Aku tiba-tiba berdoa agar Tuhan mempertemukan
aku dengan orang jenius, yang bisa menemukan time machine untuk
www.ac-zzz.tk membawaku ke masa lalu. Tapi, untuk apa" Agar aku bisa memperbaiki
kesalahan" Tidak menyesal lagi" Apa yang bisa menjamin aku tak menyesal
dan membuat kesalahan lagi" Ah, mungkin saja, ini hanya masalah rasa sepi, yang baru kuhadapi untuk
pertama kali. Aku bosan pada rutinitas. Tiba di kantor pukul 07.45, lalu naik lift ke lantai 9
menuju ruang kerja, menyalakan komputer, mengambil gelas di pantry, mulai
bekerja pukul 08.00, dan pulang pukul 17.00 atau lebih. Tapi, aku sudah cukup
terbiasa dengan rasa sepi ini, aku sudah lama bersahabat dengannya lebih
dari belasan tahun. Pada akhirnya aku menyadari, bahwa sejak masa sekolah pun sebenarnya aku
memang selalu sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Berangkat dan pulang
sekolah sendiri, jalan-jalan ke toko buku pada hari Minggu seorang diri, dan
berkeinginan untuk tidak dekat dengan seseorang saja pada awal masa kuliah,
walaupun akhirnya harus menjadi bagian dari geng mahasiswi pintar.
Dalam masa emosi paling stabil dan nyaman dengan diri sendiri ini, aku
berusaha bersikap tenang saat usiaku memasuki kepala 3 tanpa karier yang
jelas dan tanpa seorang kekasih yang bersedia melamarku dalam waktu dekat.
Sebenarnya, hatiku cukup gundah. Tapi, kuputuskan untuk berdoa dan
menjalani hidup apa adanya dulu dengan santai. Entah mengapa, hari ini aku duduk di gerbong 7, gerbong kedua dari selatan,
bukan gerbong 8 seperti biasa. Mungkin, aku hanya ingin ganti suasana. Tapi,
aku yakin, tak akan banyak suasana yang berubah dengan hanya pindah satu
gerbong saja. Seperti biasa, aku membuka buku tebal yang siap kubaca, kali ini berjudul
Dante Club karya Matthew Pearl. Aku memang penggemar cerita
menegangkan. Baru membaca 2 halaman, aku merasa seseorang melewati
bangku yang kududuki. Lewat lirikan mataku, aku tahu pria itu berdiri
menyandar di samping kiri bangku yang kududuki. Kalau tak salah lirik, pria ini
cukup tinggi. Tapi, ia kubiarkan saja, tanpa kutatap langsung. Karena, aku tak
pernah punya keberanian untuk menatap langsung ke wajah seorang pria.
www.ac-zzz.tk Bapak bertubuh besar yang tertidur di bangku depan tiba-tiba mengeluarkan
suara yang mengejutkan. Aku langsung melotot terkejut. Sementara orang-orang di depan dan
sekeliling kami tertawa mendengar suara bapak

Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Pak, tidur, mah, di rumah. Jangan di sini," kata seorang bapak lainnya.
"Capek amat, tuh, kayaknya." Dan, masih banyak komentar lucu untuk bapak yang masih tertidur dengan
sangat pulas itu. Tidak sampai semenit aku kembali membaca, bapak itu
kembali mengeluarkan suara tak enak. Aku akhirnya hanya bisa tertawa.
Namun, secara tak sadar aku bertemu pandang dengan pria yang sedari tadi
berdiri bersandar di dekatku. Matanya kecil dan sipit, kulitnya putih, bibirnya
kecil dan merah, tubuhnya tinggi. Ia sedang menatapku dengan sangat tajam.
Sekali lagi aku menatapnya, kali ini tak kusia-siakan kesempatan untuk
melempar senyum yang susah sekali kuberikan pada semua orang. Ia hanya
memberikan senyum tipis sebagai balasan. Karena merasa kesal, aku kembali membaca buku. Sebelum menenggelamkan
diri pada buku, kuputuskan untuk mengusir rasa penasaran pada pria tinggi
manis tadi dengan kembali memandangnya. Kali ini aku memerhatikan detail
pakaiannya. Ia mengenakan sweater abu-abu. Ada kerah putih tersembul dari
balik sweater-nya. Pasti ia mengenakan kemeja putih. Tas ransel yang penuh,
celana panjang abu-abu, dan sepatu hitam yang tersemir hitam dan sangat
mengilap. Tapi, tunggu... aku mengarahkan pandangan ke kakinya. Celana abu-abu" Ha"
Dia masih SMA" Aku mencoba menarik perhatian seorang murid SMA"
Tertarik pada anak SMA" Tidak mungkin! Aku merasa kesal sendiri. Kali ini
aku benar-benar membaca buku itu tanpa menoleh ke arah mana pun, apalagi
kepada anak SMA berpostur dewasa, yang hampir membuatku tertarik lebih
jauh. Gila! Sambil menunggu di stasiun, aku mengingat perjalanan hidup teman-temanku
melalui mailing list. Beberapa teman sudah mengakhiri masa lajang, ada yang
menikah dengan teman satu angkatan, dengan senior, adik kelas, rekan
sekantor mereka, dan entah dengan siapa lagi. Aku tak merasa sedih, juga tak
www.ac-zzz.tk merasa ikut berbahagia. Bagiku itu hanya sebuah bacaan dengan kata
"undangan" atau "invitation" besar-besar. Aku tidak merasa sudah mati rasa, juga tak merasa iri, dan tak merasa ingin
cepat menyusul. Perhatianku hanya teralih pada hal lain yang lebih penting,
yaitu karier. Entah sampai kapan aku akan bertahan. Hanya, memang ada
sedikit rasa pedih, yang sering kusangkal dan kubunuh tanpa pernah bisa mati.
Aku masih berharap, setidaknya memiliki beberapa teman pria yang
kemungkinan salah satunya dapat menjadi kekasih atau teman hidupku.
Aku mengambil napas panjang. Pasrah dengan segala hal yang akan datang
padaku. Lagi-lagi petugas kereta api belum mengumumkan kereta yang akan berangkat
pagi itu. Tiba-tiba saja, 5 menit sebelum kebe rangkatan, diumumkan bahwa
keretaku berada di jalur 5. Jauh dari jalur 7, tempatku menunggu selama
beberapa menit. Sebenarnya, tak begitu jauh. Hanya, aku harus menuruni
tangga yang sangat memperlambat gerak dan langkah. Aku khawatir, tak akan
mendapat bangku kosong. Lebih sial lagi jika kereta pergi meninggalkan aku
karena gerakanku tak segesit dulu. "Glek!" Aku menelan ludah ketika melihat anak SMA yang sama lagi hari itu.
Ternyata, ia memiliki jadwal keberangkatan yang sama denganku. Namun,
rupanya, ia lebih suka menghuni gerbong 7 itu. Dan, kali ini, aku kembali
mendapat bangku di gerbong 7 itu. Bedanya, kali ini anak SMA itu duduk di
sebelahku. Tak bicara sama sekali, sampai akhirnya kereta masuk Stasiun
Bojong Gede. "Sini duduk, Mbak. Lumayan," aku menawarkan sedikit ruang pada seorang
wanita yang dari wajah dan penampilannya sedikit lebih tua dariku.
"Terima kasih, Mbak," jawabnya. Lalu, ia sedikit bicara basa-basi tentang
penuhnya kereta dengan manusia, sulitnya ia tadi masuk, bahkan sulit untuk
bernapas, dan akhirnya ia bingung dengan keberadaan anak SMA yang duduk
di samping kiriku. "Mas, sekolah di mana" Kok, naik kereta" Sekolahnya jauh?" tanya wanita tadi
pada anak SMA itu. www.ac-zzz.tk Aku ikut menatap wajahnya, penasaran dengan jawabannya. "Oh, saya bukan sekolah. Tapi, sedang kerja praktik," jawab anak SMA itu,
sambil memperlihatkan wajah ramah. "Oh...," aku dan mbak yang duduk di samping kananku menjawab bersamaan.
"SMA kejuruan, ya" Berapa lama kerja praktiknya?" tanya mbak tadi lagi.
"Empat "Sejak bulan." kapan?" tanyaku, ikut bertanya karena penasaran. "Dari Juni. Jadi, tinggal 2 minggu lagi," jawabnya lagi. Kali ini kami saling
bertemu pandang dan tersenyum. "Ambil kejuruan "Desain "Praktik "Daerah apa?" grafis." di mana?" Slipi." Jawaban itu adalah jawaban terakhir sebelum aku akhirnya berdiri dan turun
di stasiun tujuan. Sebelum benar-benar turun, aku menoleh ke arah tempatku
duduk tadi tanpa sengaja. Ternyata, aku malah bertemu pandang dengan anak
SMA tadi, yang kini ikut berdiri. Mungkin, ia bersiap untuk turun di stasiun
berikutnya. Peron yang sama, angkutan umum yang sama, pekerjaan yang sama, bahkan
satpam yang selalu menyapaku dengan kata "Bu" yang sama. Benar-benar
membuatku merasa kesal. Sama kesalnya ketika mengenang peristiwa 4 bulan
silam. Kenangan akan seorang pria berwajah manis, usia sekitar 30-an,
memiliki karier yang hebat di sebuah bank terkenal di tanah air, bukan yang
terbaik, tapi cukup terkenal. Ia bahkan mengatakan pernah kuliah di jurusan
yang sama denganku. Hanya, bukan dari universitas yang sama. Beberapa kali
www.ac-zzz.tk kami "kebetulan" bisa pulang bersama. Bahkan, ia pernah dengan agak sedikit
memaksa ingin mentraktirku makan. Entahlah, mungkin aku begitu terlihat naif dan diam, hingga ia begitu
terkejut, ketika di tengah pembicaraan aku menanyakan berapa jumlah anak
yang ia miliki. Ia terdiam dan menjawab dengan suara lemah, "Satu."
Masa aku begitu bodoh sampai tidak bisa sedikit pun mengana lisis bahwa pria
berusia 30-an, berpendidikan baik, berwajah manis, dan memiliki karier
bagus, tidak dilirik oleh satu wanita pun. Apalagi, menurut pengakuannya, ia
orang Bandung, bekerja di Jakarta, tapi tinggal di Bogor. Dalam beberapa
detik saja aku langsung bertanya, mengapa ia tidak kos, mengontrak, atau
membeli rumah di Jakarta saja. Pasti hanya ada satu alasannya: ia bukan lagi
bujangan yang bisa sesuka hati tinggal seorang diri di Jakarta dan menikmati
hidup. Ia adalah pria berkeluarga, yang istrinya mungkin adalah orang Bogor,
lalu mereka membeli rumah di Bogor. Dan, aku benar! Pemikiran yang bagus, Young! Aku memuji diriku sendiri dalam
hati. Anehnya, ia tidak merasa malu sama sekali untuk melakukan aksi-aksi
rayuannya yang kampungan. Bahkan, makin gencar. Mungkin, ia merasa sudah
telanjur basah. Tapi, bukankah aku baru saja berpura-pura mengaku punya
kekasih atau bahkan lebih gawat lagi, calon suami, yang sedang bertugas di
Makassar" Saat itu, kupikir tak ada cara lain, selain menghindar bertemu dengan pria
hidung belang itu lagi. Dan, aku pun menceritakan masalah ini pada teman pria
yang kebetulan memang sedang bertugas di Makassar. "Sorry, namamu yang langsung terlintas di benakku, De. Aku nggak bermaksud
menjerumuskan. Aku cuma ingin keselamatan jiwaku kembali terjamin." Begitu
bunyi SMS-ku pada Ade, yang sebenarnya sudah punya kekasih. Aku hanya
ingin ia berpura-pura menjadi kekasihku. "Nggak apa-apa, kok. Mana nomor teleponnya" Biar aku beri tahu dia. Akan
www.ac-zzz.tk kulabrak dia!" Begitu Ade menjawab. Awalnya, aku menolak memberikan nomor pria itu. Tapi, dalam hati aku ingin
sekali memberikannya. Setelah kupikir-pikir, aku pun memberikan nomor itu
pada Ade. Jelas sekali apa yang kuharapkan dari sikap Ade yang emosional.
Bukan saja mendengar laporan Ade yang telah melabrak pria itu, tapi adanya
rasa bahagia, ketika seorang pria, dalam hal ini Ade, melakukan sesuatu
untukku. Dalam laporannya di hari Jumat siang, ia telah mengancam pria
hidung belang itu. Sikapnya itu kuanggap sebagai sikap pria yang menawarkan
sebuah perlindungan untukku. Sebuah tindakan yang belum pernah diberikan
pria mana pun untukku. Sikap rapuh yang baru kurasakan dan dulu selalu
kuhindari ini ternyata menimbulkan sedikit rasa senang. Sesekali membiarkan
dan memercayai seseorang untuk melakukan sesuatu untukku, rasanya ide
yang sangat bagus. Di hari Jumat yang sama, pria hidung belang itu pun meminta maaf dan
berjanji tak akan menggangguku lagi. Bagus. "Maaf, ya, kalau teman dekatku bersikap agak kasar. Dia memang emosional.
Begitulah sinergi antara dia yang pemarah dan aku yang selalu mengalah."
Begitu bunyi SMS-ku, yang pertama dan terakhir, pada pria hidung belang itu.
Ha... ha...ha.... tertipu dia! Semua kenangan itu telah lama hilang dalam ingatan, hanya sesekali datang,
kala aku sengaja ingin mengingat masa lalu. Ya, aku memang tak ingin
mengingat-ingat masa lalu. Sama halnya dengan keenggananku mengingat nama
Ade, yang telah kuprediksi akan pergi dari perusahaan, kemudian menghilang
sama sekali selama berbulan-bulan, lalu suatu hari tiba-tiba menghubungiku,
hanya karena memintaku mencarikan nomor ponsel beberapa manajer di
perusahaan kami untuk keperluan bisnis. Bahkan, ia tak ingat untuk
menanyakan kabar dan keadaanku. Aku tahu, Ade memang telah memiliki kekasih. Namun, perilaku sok manis dan
sok pedulinya padaku, kini membuatku berpikir, betapa menggelikannya
posisiku dulu, yang dari kacamataku sekarang, hanya melihat diriku sebagai
wanita wanita pengisi kekosongan, selama ia bekerja jauh dari sang kekasih.
Jadi, siapa pun yang menarik perhatian Ade di kantor, tak masalah. Sialnya,
www.ac-zzz.tk pada saat itu, mungkin akulah yang menarik perhatiannya. Kebetulan, kami
sama-sama tinggal di Bogor, sehingga memliki kesempatan untuk banyak
bicara dan mengenal pribadi masing-masing. Ia bertanggung jawab akan
perasaan dan harapan yang tumbuh karena sikapnya yang berlebihan padaku.
Kali ini aku dapat berangkat lebih santai. Mungkin, karena pada hari Kamis
kereta biasanya tak begitu sesak oleh manusia, entah kenapa. Dan, buku
ratusan halaman yang sama dengan hari-hari sebelumnya, kembali siap
kubaca. Baru kubaca selembar saja, tiba-tiba aku menemukan wajah anak SMA yang
kemarin. Kini ia duduk di samping kananku. Gatal juga rasanya ingin menyapa
pria muda ini. Perasaan tak pantas ini seharusnya tak kumiliki, andai saja
wajahnya tak mengingatkanku pada sesuatu. Bukan, bukan seseorang, tapi sesuatu. Ia mengingatkanku akan masa yang tak
pernah kunikmati sama sekali. Ia mengingatkanku akan jenis teman-teman


Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pria di SMA dulu, yang selalu sulit kugapai. Tampan, manis, cute, keren, atau
apa pun istilahnya. Aku jadi sering tertawa geli jika mengingat impianku
mendapatkan seorang kekasih. Saat itu penampilan menjadi kriteria utamaku.
"Jonathan, Mbak." Aku menatapnya bingung. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya,
mengajakku berkenalan. Uluran tangan itu kusambut ragu. Kutatap wajahnya
yang tampan dan bebas dari jerawat. "Mbak siapa?" "Young," tanyanya. jawabku, "Mbak kerja singkat. di mana?" "Jakarta." "Di "Di daerah mana?" Kuningan tanyanya, ingin tahu. Barat." www.ac-zzz.tk Ia tampak berpikir keras dan akhirnya menggeleng, karena tak tahu lokasi
tempatku bekerja. Banyak sekali pertanyaan yang terlontar dari kami berdua. Seolah, kami
sama-sama telah bertahun-tahun memendam rasa ingin tahu. "Pacar Mbak kerja di Jakarta "Oh, juga?" enggak...." "Oh...." "Enggak, aku enggak punya pacar," jawabku, spontan. Tapi, tunggu dulu, dia bertanya tentang pacar" Sudah lebih dari 5 kali aku
mendapat pertanyaan serupa dari 5 pria asing yang kutemui di kereta.
Bedanya, pria-pria itu berusia lebih tua atau seusia denganku. Persamaannya,
pertanyaan itu memiliki asosiasi yang sama persis. Orang yang menanyakan hal
tersebut pastilah tertarik akan statusku, atau, lebih dalam lagi" ia tertarik
dan ingin melakukan pendekatan padaku. Tapi, seorang anak SMA menanyakan hal itu" Apa ia tertarik padaku" Mana
mungkin" Apa aku tidak terlalu tua untuknya" Herannya, mengapa aku harus
memberi tahu bahwa aku tak memiliki kekasih" Jangan-jangan, aku jatuh hati
pada anak SMA ini. Kasihan sekali aku. Ya, aku mulai mengasihani diriku akan
keadaan ini. Rasanya, aku makin terpuruk. "Young, turun di Cawang saja, yuk. Bareng aku," kata Jonathan, dengan sikap
yang lebih akrab, di lain hari. Merasa sudah akrab, ia tak lagi menggunakan
sapaan "mbak". Tapi, aku tak keberatan, karena aku jadi merasa seumur
dengannya. "Nanti aku sulit cari bus. Kalaupun dapat, aku pasti berdiri." "Ya, sudah, aku turun duluan, ya. Nanti, pulangnya kita bareng, ya," katanya.
Entah ia suka padaku, entah ia tahu betul bahwa aku suka padanya dan sedang
www.ac-zzz.tk membuatku gede rasa. Tentu saja, aku jadi bisa merasakan apa yang
dirasakan Demi Moore, ketika mendapat rayuan pria muda tampan seperti
Ashton Kutcher. Aku menceritakan hal yang menurutku sangat aneh itu pada semua rekan
kerjaku. Yang lebih aneh, tak ada yang menertawakan aku.
Sudah jelas aku tak pernah suka pria yang usianya jauh di bawahku. Bahkan,
aku tak pernah menganggap mereka ada. Ketika sekolah, yang kupandang
hanyalah teman satu angkatan dan para senior. Aku juga begitu menikmati
masa-masa ketika aku dan seluruh teman seangkatan menjadi pusat perhatian
kala penggojlokan atau selama setahun pertama kuliah. Maka, aku benar-benar kesal ketika aku harus menjadi senior bagi anak-anak
baru, yang dengan mimik manja, menggelayuti tanganku, meminta tanda
tangan, sambil merendahkan diri, mengucap kalimat wajib, "Pagi, Boss, boleh
kenalan?" Bukan karena aku anak bungsu, bukan karena aku haus perhatian. Tapi, karena
aku cemburu akan semangat muda yang mereka miliki. Aku iri karena waktuwaktu yang pernah kumiliki, telah diambil alih oleh mereka. Jadi, aku tak bisa
memahami diriku sendiri, jika sekarang aku bisa menerima dan dengan
sengaja mendekatkan diri pada seorang anak SMA, yang pengalaman dan
ilmunya masih sangat hijau. Tentu saja, aku tak bisa membicarakan sebuah visi akan masa depan dengan
Jonathan. Baginya, yang penting, ia punya uang saku dan bisa
menghabiskannya untuk membeli sepatu baru. Aku tak dapat mendiskusikan
masa perkuliahanku, hidup bersama teman-teman yang cukup egoistis dan
individualis. Karena, bagi Jonathan, teman adalah teman, teman main basket,
yang tinggi badannya tak kurang dari 178 cm, teman main PlayStation, dan
teman yang bisa diajak membaca komik sampai berjam-jam di sebuah toko
buku. Ia belum merasakan kuliah, belum juga merasakan bekerja sebagai
suatu aktualisasi diri dengan segala rutinitas yang sangat menantang,
sekaligus menjemukan. "Young, aku berkenalan dengan seorang pria di kelasku. Sama-sama mengambil
Master of Communications. Aku iseng bercerita tentang kamu. Kamu mau
www.ac-zzz.tk nggak berkenalan dengannya" Sudah baik, kaya pula!" kata Mira, lewat
pesawat telepon. Ya, Mira memang sering menghubungiku pada jam-jam kerja.
"Aku tanya balik, deh.... Dia mau nggak berkenalan denganku?" jawabku,
sambil berbisik. "Makanya, dia ingin ketemu denganmu dulu," kata Mira. "Kamu yakin dia masih sendiri" Jarang, lho, ada pria yang baik dan kaya, tapi
masih single." "Ada seorang wanita yang sedang dekat dengannya. Tapi, dia mengaku bahwa
wanita itu hanya teman biasa." Aku mengangguk-angguk, tanpa kusadari bahwa Mira tak bisa melihatku.
"Gimana?" "Ya" tanya okelah. Mira Kenapa lagi. tidak?" Bertemu" Terkesan seperti orang yang akan membeli barang, namun ingin
meneliti kualitas barangnya terlebih dahulu. Aku merasa, Mira sangat baik,
karena masih peduli padaku. Tapi, sejak 7 tahun lalu sampai detik ini, aku
belum juga bisa memercayai Mira, bahkan sebanyak 50% saja. Karena, di satu
sisi, ia begitu baik. Namun, di sisi lain, ia tak pernah memberi tahu ketika ia
mendapat pekerjaan sampingan. Setahun lalu, ketika ia mendapat beasiswa,
aku hanya ikut mensyukurinya. Ketika kutanya bagaimana cara ia
mendapatkannya, ia hanya memberiku sekelumit informasi. "Hanya membuat esai pendek, lalu dikirim ke perusahaan yang memberikan
beasiswa." Begitu jawabnya dulu. Aku pun tak berharap ia akan menceritakan secara
detail. Namun, terlihat jelas bahwa ia tak menginginkan ada jejak
kesuksesannya yang masih tersisa untuk bisa kuikuti. Hari pertemuan yang dijanjikan tiba. Tanpa persiapan apa pun, Mira
menarikku kuat-kuat, agar aku mengikuti langkahnya ke sebuah tempat
www.ac-zzz.tk makan. Di situ banyak sekali mahasiswa dan kaum yang merasa dirinya lebih
intelek daripada siapa pun. Kutemui pria itu. Wajahnya lumayan manis. Ia juga tampak baik dan ramah.
Tapi, entah kenapa, aku sangat ragu. Bukannya aku meragukan kebaikan
Tuhan. Hanya, aku sangat yakin, Tuhan tidak sedang menjawab permintaanku
melalui pria tersebut. Dan, ternyata, perasaanku benar. Karena, 2 hari setelah itu, tak ada kabar
dari pria, yang katanya baik dan kaya raya itu. Tak ada kabar pula dari Mira.
Sudah jelas bahwa perkenalan itu tidak berhasil. Aku tak bisa menjaga citra
baik di depan pria itu. Bukan tak ingin berusaha, hanya" untuk apa" Aku
sudah berada pada tahap tak ingin menciptakan kesan baik hanya untuk
menarik perhatian pria. "Young, ternyata dia sekarang berpacaran dengan wanita yang katanya hanya
teman biasa itu. Biasalah... orang kaya memang berjodoh dengan orang kaya
pula. Menyebalkan," kata Mira dengan nada santai. Mungkin, ia khawatir jika
aku merasa sedih. Tapi, apakah ia tak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sebuah
"penolakan" itu" Sudah biasa jika aku tak suka seseorang, sudah biasa jika
orang tak suka padaku. Namun, di usiaku yang tak lagi belia, setelah aku
melalui banyak perubahan positif dan progresif yang cukup berhasil, masih
juga aku mendapat sebuah penolakan. Hanya karena seseorang yang tak
kukenal merasa harus melindungi kekayaan tujuh turunan milik orang tuanya,
sambil mengempaskan diriku ke titik 0. Apakah ia memintaku menyesali keadaan ekonomi keluargaku" Apakah ia
menamparku agar meninjau kembali jenis pekerjaan yang kulakoni selama
hampir 8 tahun dan tak bisa memberikan kekayaan dalam waktu sekejap"
Ataukah, tanpa disadarinya, ia telah memberikan cap, bahwa aku memang
tidak menarik dengan segala kejujuranku" Ya, aku menangis. Bukan karena penolakan, tapi karena sebuah penghinaan
akan harga diriku yang telah lama hancur, akibat menerima begitu banyak
keraguan dari orang-orang sekelilingku, akan bakat, kemampuan, kredibilitas,
bahkan keberuntunganku sekalipun.
www.ac-zzz.tk

Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pria seperti apa, sih, yang kamu sukai, Young" tanya Jona-than tiba-tiba.
Tanpa sadar, ia memegang tanganku yang selalu tertutup blazer. Bukan
karena genit, melainkan karena ia ingin menahan tubuhku agar tidak jatuh.
"Aku sendiri tidak tahu," jawabku, sekenanya. Aku buru-buru menarik
tanganku dari jangkauannya. Aku terbiasa untuk tidak berpegang pada apa
pun dan siapa pun jika berdiri di dalam kereta. Namun, Jonathan melihat itu
sebagai sebuah kesengajaan. Jonathan benar-benar tak mengerti, mengapa aku tak tahu pria seperti apa
yang kusukai. Baginya, itu adalah pertanyaan mudah dan aku seharusnya bisa
menjawabnya dengan mudah pula. Entah bagaimana, aku harus menjelaskan
bahwa pada satu titik tertentu, banyak orang telah melalui banyak waktu,
seperti aku, dan orang-orang yang lebih tua daripada aku sudah tak
menemukan kesenangan dari jenis pertanyaan seperti itu lagi. Pertanyaan
sederhana itu menjadi sebuah untaian kata yang sangat sulit dijawab, sesuatu
yang memerlukan perenungan yang panjang dan dalam. Jonathan tak akan
mengerti hal itu. Maka, aku hanya diam dan tersenyum. "Kenapa, sih, nggak mau pegangan" Nanti jatuh, lho. Atau, kamu nggak bisa
mencapai besi pegangannya, ya?" tanyanya, dengan nada kesal, sambil
tersenyum mencibir. Dengan sombong ia memperlihatkan tangannya, yang mampu menjangkau besi
penutup baling-baling kipas di atap kereta. Maksudnya, ia sedang menghina
tinggi badanku yang bahkan tak sampai 150cm. Meski kesal, aku tertawa. Tiba-tiba saja, kereta melaju lebih kencang,
membuat tubuhku sedikit terempas ke belakang. Kali ini aku dan Jonathan
tertawa karena aku jadi terlihat bodoh. Akhirnya, dengan segala
keterpaksaan dan sedikit rasa senang, aku memegang erat tas ransel yang ia
simpan di depan tubuhnya. "Isinya apa, sih" Kayaknya, penuh sekali tasnya," kataku, agak basa-basi. Ia
hanya tersenyum, senang karena akhirnya aku mau memeganginya. Tapi, ia
juga tersenyum kecut karena hanya tasnya saja yang kusentuh.
Ia buru-buru menjawab pertanyaan basa-basiku itu dengan membuka tasnya
www.ac-zzz.tk dan memperlihatkan seluruh isi tas. Hanya ada buku, tempat minum, dan
saputangan. Aku sedikit melamun dan mengingat hal itu sebagai sesuatu yang
sangat mirip dengan kebiasaanku dulu. Tas besar, banyak membawa buku,
payung, tempat air minum, dan saputangan untuk menyeka keringat. Ah, pria
bertubuh tinggi ini masih SMA. Seketika aku tersadar bahwa ini hanya
kesenangan semu yang tak kuinginkan sama sekali. Sudah lebih dari 5 hari aku berangkat kerja dan bertemu dengan Jonathan.
Pria muda itu selalu datang mengejutkan, ketika aku sedang serius
mendengarkan pengumuman jalur kereta. Setiap hari ia mengenakan jaket
atau sweater. Hari ini ia mengenakan jaket warna cokelat muda. Makin
terlihat tampan dan lebih dewasa. "Pulang nanti, aku yang ke Kalibata atau Young yang ke Cawang?"
"Aku di Kalibata "Yah, dan nanti kamu tetap kita di Cawang," sulit jawabku, ketemu," tenang. katanya. "Apa kita mesti ketemu?" tanyaku, tanpa berniat serius padanya. Pura-pura
bersikap tenang dan dingin. "Kamu "Harus "Ya, nggak mau ketemu, sudah, ketemu ya?" boleh aku?" kali minta ini nomor tanyanya, aku sangat to memperlihatkan handphone?" tanya the point. wajahku. Jonathan. Aku memberitahunya, sambil sedikit ingin tertawa akan sikapnya. Melihat
wajahku, Jonathan ikut tersenyum, seolah lupa dengan jawaban yang tadi
sempat membuat hatinya kecewa. Beberapa wanita dewasa memandangi kami. Dari tatapan mereka, mereka
mungkin berpikir bahwa kami adalah adik-kakak. Tapi, mereka juga tampak
sedikit bingung melihat bahasa tubuh, yang tidak begitu memperlihatkan
adanya pertalian darah atau persaudaraan di antara kami. Namun, apa pun
yang mereka lihat, aku juga tahu arti pandangan beberapa wanita itu pada
Jonathan. Mereka tersenyum dan menarik perhatian Jonathan.
www.ac-zzz.tk Tak ada yang tahu, bahwa di balik jaket yang sengaja untuk menutupi kemeja
putihnya, pria bongsor ini masih anak-anak. Ia tak ingin siapa pun dalam
kereta mengetahui identitas sesungguhnya. Aku hanya geli menanggapi
keadaan ini. Aku juga sering sengaja menyingkap jaket cokelat muda atau
jaket hitam yang selalu ia kenakan, agar semua orang bisa melihat lambang
OSIS di kemeja putih Jonathan. Tapi, Jonathan selalu berhasil menangkap
dan menghindari keisenganku. "Tuh, Mbak itu ngeliatin kamu terus," bisikku pada Jonathan. Kami berdua lalu tertawa tertahan. Geli sekali melihat sikap wanita-wanita itu
pada Jonathan. Rasanya, sudah lebih dari 2 kali kami bertemu dengan para
wanita itu dan mereka masih menunjukkan sikap yang sama. Sementara itu,
beberapa mata penumpang yang lelah berdiri, memandang kami dengan
tatapan sinis. Entah kenapa. "Kalau mengantuk, bersandar di sini saja," kata Jonathan, sambil menawarkan
bahunya. Jelas kutolak mentah-mentah keinginannya itu. Aku pasti sudah gila jika
menikmati kesenangan macam itu. Di sebuah stasiun, yang tidak bisa dikatakan sudah dekat dengan stasiun
tujuanku, aku berdiri dan mempersilakan seorang ibu untuk duduk. Tapi,
sialnya, ibu itu tidak berterima kasih sama sekali, malah bersungut-sungut
melihat kenikmatan yang aku dan Jonathan rasakan selama perjalanan dari
Stasiun Bogor. Aku sebenarnya tak mengharapkan ucapan terima kasih, tapi
sekadar senyuman saja apa susahnya, sih" Jonathan masih duduk dan kurang peka melihat kesulitan beberapa ibu dan
orang dewasa yang berdiri berimpitan. Ia juga tak sadar dengan usia dan
tubuh mudanya, yang seharusnya membuat ia merasa malu dan sungkan untuk
tertidur selama perjalanan, tanpa berbasa-basi sedikit pun pada orang-orang
disekelilingnya. Namun, ketika ia tersadar dari tidur beberapa menitnya,
matanya mulai mencari-cari aku. Ia cukup terkejut melihatku telah berdiri di
hadapannya. Lalu, ia ikut berdiri. Mungkin, merasa malu. www.ac-zzz.tk Bukan hanya saat itu. Akhirnya, beberapa kali ia berinisiatif bersikap sopan,
layaknya seorang pria muda sejati. Bagus. Lagi-lagi aku menceritakan secara detail kejadian-kejadian bersama Jonathan
pagi itu kepada beberapa rekan kerjaku. Kali ini mereka tertawa geli, lalu
menggelengkan kepala. Aku pun tertawa. Dalam tawa itu sebenarnya ada suatu
rasa yang tersirat. Bukan rasa bangga karena ada seseorang menyukaiku, tapi
rasa sedih, karena hanya seorang anak SMA, yang bisa melakukan hal-hal
manis sepele padaku. Aku juga merasa sedikit bahagia. Andai semua orang bisa memahaminya, andai
semua orang tahu bahwa aku begitu menginginkan hadirnya seseorang yang
bisa memanjakanku. Tapi, sikap manja adalah kata yang sangat tidak cocok dan jauh dari
gambaran akan diriku. Kalau ada 10 pria sebaya yang sudah mengenalku
berdiri di depanku dan seluruhnya mendeskripsikan tentang aku, mereka pasti
akan mengatakan bahwa aku cerdas, tegas, serius, pragmatis, dan dingin.
Tanpa bermaksud narsis sama sekali, aku memang selalu mendengar jawaban
itu. Tak ada satu pun yang mengatakan bahwa aku ini wanita yang ceria atau
manis, sensitif dan sentimentil. Jadi, sulit rasanya bagi mereka
membayangkan bahwa aku bisa bermesraan atau luluh karena ucapan romantis
seorang pria. Mungkin, karena itu banyak pria merasa segan dan takut padaku.
Otakku mengatakan bahwa hari ini, seperti biasa, aku akan pulang melalui
Stasiun Kalibata. Namun, naluriku berkata lain. Hari Kamis sore itu aku
bersusah-payah naik bis besar, berdiri berdesakan hanya untuk bisa sampai
Stasiun Cawang. Sudah jelas, aku tak mungkin bisa menjalin hubungan apa pun dengannya. Usia
terpaut sangat jauh, keyakinan dan gaya hidup pun berbeda. Lihat saja, aku
sudah paham benar, jenis manusia seperti apa Jonathan itu. Ia memang tidak
terlalu peduli akan hubungannya dengan sang kekasih, yang terpaksa kandas,
karena keegoisan wanita muda yang tidak juga mengerti, bahwa apa yang
dilakukan Jonathan selama 4 bulan ini adalah demi sebuah kelulusan. Namun,
sudah jelas, ia adalah tipe pria mapan yang selalu kukagumi, sekaligus kuhujat
di semua tahap kehidupanku. Tapi, ya, dalam lubuk hatiku yang paling dalam,
www.ac-zzz.tk aku sangat penasaran terhadap jenis manusia macam itu. Tapi, sudah susah-payah ke Cawang, aku tak menemukan Jonathan. Mungkin,
ia pulang lebih awal. Tentu saja, aku kecewa. Aku berjalan dengan segenap
rasa kesal. Entah mengapa, kali ini aku kesulitan membunuh perasaan kecewa,
yang biasanya hinggap hanya karena aku menemukan satu saja kekurangan
dalam diri pria yang kukagumi.
Gila kamu, Young. Tapi, aku jadi ingin lihat, semanis apa, sih, dia" tanya Sisi,
teman SMA yang masih sering kutemui, seusai pulang kerja.


Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sering di gerbong 6," jawabku. Kami berdua memutuskan masuk ke gerbong 6. Tidak seperti biasa, kali ini
aku menuruti keinginan Sisi, tanpa sadar bahwa mungkin aku akan bertemu
Jonathan. Gerbong itu gelap, dan memaksa kami untuk mendekap erat tas dan
bawaan lain, agar tak ada tangan jail yang mengambil kesempatan dalam
keadaan tak menguntungkan. Bersyukur, sedikit demi sedikit jumlah
penumpang kereta berkurang di setiap stasiun. Ketika hampir tiba di stasiun
tujuan, aku menangkap siluet wajah Jonathan, yang terkena sinar lampu di
gerbong 7. Ia tampak sedang mencari-cari seseorang di gerbong 7. Kalau
boleh kutebak, ia pasti mencariku. "Young, Young, kamu mau ke mana" Orang sibuk berebut bangku, dia malah
pergi," komentar Sisi pada Fina, temanku yang lain. Tapi, aku terus saja berjalan menghampiri Jonathan, yang sedang duduk di
sandaran tangan. Mungkin, ia merasa pegal setelah sekian lama berdiri.
"Hei!" sapaku. "Kok, ada di sini" Mencari aku, ya?" tanya Jonathan dengan wajah yang tibatiba
ceria. "Aku bareng teman-temanku," jawabku. Kutangkap raut wajah kurang nyaman, ketika ia kuperkenalkan dengan 2
temanku, yang sangat aktif menggoda kami. Heran, mereka tidak suka dengan
www.ac-zzz.tk hubungan "aneh" yang kumiliki dengan Jonathan. Tapi, mereka tampak senang
menggoda kami. Jonathan tampak canggung. Entah bagaimana, secara refleks
aku berusaha tak jauh-jauh darinya, hanya untuk memberikan sedikit suasana
nyaman dan "melindungi". "Young, "Soalnya, dia manis juga. kamu Tapi, agak rese, pendiam, sih!" ya?" bisik Sisi. jawabku. Entah kenapa, Sisi yakin bahwa aku memiliki perasaan khusus terhadap anak
SMA itu. Seriuskah" Malam Jumat ini aku duduk seperti biasa di peron stasiun kereta. Sesuai
perjanjian, aku dan Jonathan akan bertemu di Stasiun Kalibata, agar aku tak
perlu susah-susah pergi ke Stasiun Cawang. Baru 10 menit menunggu, aku
melihat Sisi berjalan melewatiku, lalu memanggil namaku. Ia lalu mengajakku
duduk bersama dengan teman-teman keretanya. Aku menolak, seperti biasa. Karena, aku tak terlalu menyukai teman-teman
baru Sisi. Untuk sedikit menghargai Sisi, aku hanya pindah beberapa meter,
namun masih agak jauh dari Sisi dan teman-temannya. Aku sempat bercerita
bahwa aku sudah menghentikan pertemuanku dengan Jonathan. Hubungan apa
pun yang kumiliki dengannya, kurasa itu tidak sehat. Aku sendiri tahu itu.
Tapi, jujur saja, aku masih ingin sedikit menikmatinya. Lima menit kemudian, dari arah utara datang kereta menuju Bogor. Tampak
penuh, tapi tidak sampai bersesakan. Aku melihat sosok Jonathan di dalam
kereta itu. Ia juga melihatku, lalu mulai melangkahkan kaki keluar dari kereta.
Tapi, sebelum ia sempat keluar, aku segera mendorongnya untuk kembali
masuk ke dalam kereta. Sisi berteriak memanggil namaku. Aku hanya melambaikan tangan, tanda ingin
pergi terlebih dahulu. Tapi, aku memasang wajah kesal. Karena, aku terganggu
jika Sisi sering meneriakkan namaku. Mengapa tak sekalian saja ia
menyebutkan nama lengkapku" "Kenapa" Bukannya kita mau naik kereta yang berikutnya saja?" kata
Jonathan, yang tampak bingung. www.ac-zzz.tk "Aku nggak mau kamu berlama-lama di stasiun tadi. Ada teman-teman baru
Sisi di sana." "Lalu, apa hubungannya dengan aku?" "Yang wanita, suka merokok. Yang pria, terkesan sok jago. Ada juga yang
sudah berkeluarga, tapi berselingkuh dengan teman kereta. Bukan lingkungan
pergaulan yang bagus untuk kamu," kataku. Jonathan mengangguk perlahan. Lalu, ia mulai memerhatikan pakaianku hari
ini. "Kamu tampak cantik kalau pakai rok. Jadi tampak seperti wanita sejati," kata
Jonathan, bercanda. Dalam beberapa menit kami sudah bercanda dan bicara banyak hal tidak
penting. Entah mengapa, aku merasakan kesenangan lain, jika berbicara
dengannya. Mungkin, karena aku merasa tak terbebani sama sekali. Tak
seserius ketika dulu aku bicara dengan pria-pria teman kuliah, yang hampir
seluruhnya berpikiran idealis. Bahkan, Mira sudah tertular oleh mereka. Ia
selalu membicarakan keberhasilan teman-teman kami yang sudah jadi orang
penting di berbagai perusahaan asing dan mengambil program master di luar
negeri. Menjemukan jika mendengarkan keseriusan beberapa rekan kerja
yang sering membicarakan pihak lain, tentang suami dan anak-anak mereka,
atau mengenai PHK yang sedang gencar dilakukan perusahaan.
Jonathan hanya seorang pria muda dengan cara berpikir yang sangat
sederhana. Ia tidak begitu suka belajar, lebih suka makan, dan bermain
basket. Segalanya dilakukan tanpa target hidup yang membebani.
Ia tak memberi tahuku nama keluarganya, alamat, nomor telepon rumah, masa
lalu, sejarah keluarga, keinginan, dan cita-citanya. Ia hanya bercerita bahwa
ia adalah anak bungsu, yang akrab dengan sepupu perempuan yang masih
berusia 8 tahun, dan memiliki keinginan jangka pendek untuk melanjutkan
sekolah desain grafis di Bandung, mengikuti jejak kakak perempuannya.
Aku pun tak memberi tahu nama keluargaku. Bahkan, aku tak pernah memberi
tahu nama asliku, kenangan akan masa SMA yang kusesali, pendidikan di
www.ac-zzz.tk tingkat univeristas, tak pernah membeberkan apa-apa yang terjadi dalam
perusahaanku, keinginan melanjutkan S-2, atau yang lebih ekstrem lagi,
keinginanku untuk menikah. Kami hanya dua orang yang bertemu dalam kereta dan saling membicarakan
hal-hal konyol yang sangat menghibur. Aku membahas kejadian-kejadian lucu
yang kutemui saat harus menunggu di Stasiun Cawang. Ia hanya tertawa
tergelak tanpa memedulikan orang-orang sekitar, yang sejak tadi
memerhatikan kami. Kalau sekarang masih ada dalam masa kerusuhan tahun
1998, mungkin kami sudah dibakar sejak tadi. Itulah yang kukatakan pada
Jonathan, dan ia kembali terbahak-bahak sesuka hati. Tak menjaga image,
tak takut kuprotes. Hanya tertawa. "Jadi, Young, hari Minggu kita bertemu di depan toko Matahari depan
stasiun, ya. Sekitar pukul 11" Jangan terlalu siang, nanti macet."
"Kenapa pukul 11" "Pukul terlalu 11 "Mau "Ya," Tidak ke Jonathan siang" 9 saja, gereja menjawab Pukul dengan ya"." dulu, suara pelan saja." dan ya?" wajah serius. "Tumben! Katanya, kamu ke gereja hanya setahun sekali. Hanya saat Natal.
Ada apa, nih?" aku bertanya, sangat penasaran akan kebiasaan barunya.
"Tidak ada apa-apa," kata Jonathan, enggan menjawab pertanyaanku.
"Okay, kita bertemu pukul 11, lalu ke toko buku, lalu ke bioskop. Tapi, aku
benar-benar ingin tahu tentang perubahan yang terjadi pada seseorang. Apa,
sih, yang membuat kamu berubah?" Ia "Hei, "Kamu," diam aku bertanya, jawab apa saja. yang membuatmu Jonathan, berubah?" akhirnya. www.ac-zzz.tk "Aku" Apa yang sudah aku lakukan?" "Memang tidak ada. Tapi, lihat saja, aku punya banyak teman muslim, tapi
jarang ada yang salat." "Lalu?" "Aku melihat kamu sangat beriman. Tak pernah lupa salat." Aku hanya tersenyum. Kalau aku dan beberapa teman wanita seusiaku berdiri
berjejer dan ada satu orang yang menilai kadar keimanan kami, pasti aku
berada di urutan paling akhir. Kini, tiba-tiba saja, ada seseorang, yang tidak
tahu apa-apa tentang diriku, secara tak langsung mengatakan bahwa aku
memberi inspirasi untuk

Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertobat. Aku tak pernah menduga, dari dalam diriku ada sedikit kekuatan untuk
mengubah seseorang. Aku merasa terharu, setidaknya untuk sementara,
sampai waktu 2 minggu akan berakhir esok hari. Ya, esok Jonathan sudah tak
akan lagi bangun pukul 5 pagi untuk pergi ke Jakarta dengan kereta pagi.
Hari ini adalah hari terakhir aku dan Jonathan bisa bertemu. Entah kapan lagi
kami akan bertemu. Tapi, jika menuruti keinginan Jonathan, ia ingin kami
bertemu seminggu sekali. Aku hanya mengiyakan ajakannya. Tapi, aku belum
mempertimbangkannya matang-matang. Mungkin, setiap hari aku akan
menjawab SMS-nya, yang melaporkan segala kegiatan yang ia lakukan,
termasuk masalah tidur siang yang tak nyenyak. Tapi, untuk tampak berduaan
di depan umum, rasanya itu tidak mungkin. "Itu Deni. Dia kakak kelas, yang jauh berada di atasku. Tapi, mungkin, dia
tetap lebih muda daripada kamu. Kamu mau berkenalan dengannya?" bisik
Jonathan sekilas, lalu menyapa pria yang dipanggilnya Deni itu.
Aku sungguh tak mengerti. Oke, dia berusaha memperkenalkan aku pada
seniornya, yang berwajah manis dan sedang duduk tepat di hadapan kami.
Apakah Jonathan tidak menyukaiku" Tapi, tak apa. Aku pun tak berharap
banyak darinya. www.ac-zzz.tk Jonathan dan seniornya itu kemudian bercakap-cakap. Dengan wajah terus
memerhatikan Deni, Jonathan terus menyikut lenganku, ingin tahu apakah aku
mau berkenalan dengannya. Sungguh tak kumengerti, apakah aku harus
menawarkan diri untuk berkenalan dengan Deni" Aku hanya diam dan
berusaha memejamkan mata karena terlalu lelah menatap layar komputer
seharian penuh. Kereta telah memasuki Stasiun Bogor. Aku merasa heran karena Deni pergi
begitu saja meninggalkan kami, tanpa permisi atau tersenyum padaku. Tidak
sopan" Atau apakah ia begitu pemalu" "Kenapa dia pergi begitu saja" Tidak bareng kamu?" aku masih bingung.
"Jalan ke rumahnya tidak searah. Kenapa" Tadi kalian akan kuperkenalkan,
tapi kamu diam saja," kata Jonathan. "Bukan Jonathan begitu. Kok, dia hanya pergi tanpa permisi?" mengangkat jawabku, santai. bahu. Lalu, kami turun dari kereta dan berjalan menikmati malam dengan perut
kosong. Aku berniat makan bakmi di tempat terdekat, di mana pun itu.
"Waktu kamu tidur, dia tadi sempat menanyakan kamu," kata Jonathan.
"Lalu, kenapa kamu tidak mengenalkan dia padaku?" tanyaku, bercanda.
Aku mengerti bahwa ia tak bisa diandalkan sebagai makcomblang, tidak di
usia seperti itu. Tak apalah. Toh, aku tak pernah serius menanggapi
permasalahan tadi. Kalau aku memperkenalkan kalian, nanti kamu akan lupa padaku, katanya
dengan wajah polos, sambil tertawa kecil. Entah bercanda atau tidak, tapi terus terang, kata-katanya itu sedikit
membuatku merasa lega. Kuputuskan untuk tidak membahas masalah Deni ini lagi. Kami hanya makan mi
www.ac-zzz.tk ayam dengan sangat lahap dan aku bersikeras untuk membayarinya, mengingat
bahwa aku yang lebih dewasa dan telah berpenghasilan. Tapi, aku tak
mengerti mengapa wajah Jonathan tampak sedikit kesal, ketika kami
meninggalkan kedai mi itu. "Lain Oh, kali, ternyata, aku aku telah yang menyinggung bayar, ego seorang ya." pria. Aku kembali berjalan dengan senyum mengembang. Jika kelak aku memiliki
pria yang tepat untuk kucintai, mungkin aku akan sangat dibutakan oleh cinta
dan bersedia memberikan segala yang kumiliki, tanpa berpikir banyak.
Menyeramkan, tapi aku mulai berpikir, mungkin aku berpotensi menjadi wanita
seperti itu. Sita, kakak keduaku, hanya tertawa mendengar cerita tentang Jonathan.
Kejadian aneh yang baru dialami salah satu anggota keluarga, yang selama ini
selalu menjalani kehidupan secara baik dan lurus. Kakak pertamaku, Rena,
pada awalnya ikut tertawa. Namun, ketika tahu bahwa selama 30 menit
terakhir aku sibuk berkirim SMS dengan Jonathan, ia agak kesal dan terangterangan memintaku mengusir pikiran aneh yang sedang menghinggapi
kepalaku. Tanpa memedulikan sarannya, aku dan Sita kembali tertawa membahas isi
SMS Jonathan yang terdengar sangat kekanakan, tapi tidak gombal yang
menyedihkan. Lalu, kami juga membahas tentang pasangan selebriti yang
usianya terpaut jauh. "Tidak apa-apa. Siapa tahu berhasil," kata Sita. Komentar nye leneh yang
sesungguhnya tak kuharapkan dari seorang kakak, yang seharusnya memiliki
opini dan jawaban yang lebih bijak dan tak mendukung sikapku. Dalam hal ini
aku justru senang dengan sikap kontra yang ditunjukkan Rena. Hanya, ia
terlalu serius menanggapinya, membuatku merasa tersinggung. Lain lagi komentar Mira. "Kamu gila. Kita mesti serius menghadapi hidup. Itu
semua kesenangan semu. Lebih baik cari yang mau melamar kamu. Jangan cari
masalah." www.ac-zzz.tk Di satu sisi, aku merasa, perkataan Mira sangat masuk akal dan benar. Tapi,
tahu apa ia akan masalah" Aku tahu, banyak sekali masalah yang datang
padanya silih berganti. Tapi, tak pernah ada yang tahu apa masalah yang
kuhadapi. Haruskah aku seperti Mira, yang bisa dengan mudah menceritakan
masalahku pada banyak orang" Menggelikan. Jonathan memang benar. Bogor begitu padat. Aku sendiri terjebak
kemacetan selama 20 menit dalam angkutan kota. Aku bukan hanya
mempertimbangkan dan memikirkan janji untuk bertemu dengan Jonathan,
tapi bahkan bersemangat untuk pergi berdua dengannya. Awalnya, aku merasa bosan selalu berdiam diri, tanpa memiliki kegiatan apa
pun di rumah dan hanya menghabiskan persediaan kue. Aku mulai merindukan
toko buku, mencari buku yang baru beredar. Ya, aku beralasan.
"Sudah "Baru dari 20 tadi?" tanyaku, menit sambil menunggu," kata tersenyum. Jonathan. Kami sama-sama memperhatikan penampilan yang baru kami lihat dalam
pakaian santai, bukan kemeja, blazer, dan tas kerja seperti biasa. Jonathan
kali ini menggunakan kacamata, kaus, dan sepatu olahraga. "Kita mau "Aku, ke sih, "Sesudah mana ingin itu, dulu?" ke tanya toko kita buku nonton, Jonathan. dulu." ya?" Aku mengangguk. Setelah aku menemukan buku yang kucari, kami pergi ke
bioskop terdekat. Secara tak sengaja kami bertemu kakak perempuan
Jonathan, Maria. Aku hanya tersenyum pada Maria dari kejauhan. Ia bahkan
tampak lebih muda dariku. "Tidak ada film yang bagus. Masih mau nonton?" tanyaku. Jonathan mengangguk. Kami lalu menuju tempat penjualan tiket. Tiba-tiba
Jonathan mengeluarkan lembaran seratus ribu, melarangku untuk membayar.
www.ac-zzz.tk Aku hanya tertawa, menyadari bahwa ia baru menerima gaji setelah kerja
praktiknya di Jakarta. Momen ini dijadikan kesempatan untuk mentraktirku.
Aku benar-benar merasa tak enak. Tapi, karena ia begitu memaksa, akhirnya
aku menerima tawarannya. Kami masuk studio 3 yang sangat sepi. Hanya 6 pasangan yang kulihat di dalam
ruang gelap ini. Jonathan memilih tempat duduk di samping dekat tembok.
Hah, hanya 12 orang dalam sebuah ruangan besar gelap di siang bolong" Tidak
lucu. Mungkin, ini karena film yang akan diputar memang tidak terlalu bagus.
Sebuah film sekuel horor Asia yang tak kusuka sama sekali. Jonathan pun tak
begitu menyukainya. Hanya, kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang telah
sengaja kami sediakan untuk menonton. Film sudah berjalan 15 menit. Kami agak terlambat. Tapi, begitu buruknya
film itu, sehingga aku tak merasa ada bagian yang terlewat. Hanya sebuah
film remaja berbalut cerita hantu, setan, buto ijo, dan arwah-arwah buruk
rupa sejenisnya. Tapi, di saat tak terduga, aku kaget melihat munculnya hantu
Asia berwajah pias. Spontan aku menjerit dan menutup mata.
Jonathan tertawa keras. Ia senang melihat tingkah bodohku. Aku bersungut-sungut kesal. Tapi, sampai beberapa menit, aku tetap tak


Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani membuka mata. Dan, Jonathan makin gencar menggodaku. Tiba-tiba,
aku benar-benar tak ingin ini berakhir, sampai kapan pun. Tapi, film buruk tadi telah usai. Dua jam yang sangat singkat. Kami tak tahu
hendak melakukan apa lagi. Jonathan juga belum berniat pulang. Ia
mengajakku ke bagian pakaian untuk sekadar cuci mata, lalu melihat-lihat
sepatu basket yang mahalnya luar biasa, dan mencari kado ulang tahun untuk
sepupu perempuannya yang masih berusia 8 tahun. Aku agak kecewa. Di mataku ia terlihat agak konsumtif. Mungkin, aku terlalu
banyak berharap bahwa suatu saat akan melihat sosok pria dewasa yang
dapat kuandalkan dalam diri Jonathan. Atau, mungkin juga aku terlalu iri pada
banyak pasangan dewasa yang terlihat "normal" di mataku. Aku pamit pada
Jonathan untuk menunggu di luar toko, dengan alasan harus menelepon
www.ac-zzz.tk seseorang di kantor. Ternyata, John memang tidak dewasa. Setelah ini, aku nggak mau ketemu dia
lagi. Ini yang terakhir kali. SMS ini kutulis untuk Sisi. Beberapa detik kemudian, aku menerima SMS
report, yang menunjukkan bahwa SMS itu terkirim pada Jonathan, bukan
Sisi! Aku terkejut bukan main. Mati aku. Kulihat dari jauh, Jonathan sedang
melihat-lihat baju. Karena panik, aku cepat-cepat menghubungi Jonathan.
"Jon, aku salah kirim SMS. Maaf." Napasku masih tersengal-sengal. Setelah sedikit tenang, aku memikirkan
alasan yang akan kuberikan pada Jonathan mengenai SMS tadi.
Ini bukan kejadian bodoh yang pertama kali. Pada Sisi, aku mengirim SMS
yang menyatakan rasa tidak sukaku pada Ade. Aku kecewa melihat tipikal
teman-temannya yang akan ia jodohkan untukku. Orang-orang yang masih
berpikir lokal, sederhana, dan kurang open minded. Ade pikir, yang kuinginkan
dari seorang pria adalah pintar secara akademik. Sebuah salah pengertian yang luar biasa menakutkan. Aku berniat
mengirimkan SMS itu pada Sisi, tapi terkirim pada Ade. Karena, berhari-hari
aku menghabiskan pulsa hanya untuk berkirim SMS dengan Ade.
Sekarang hal itu terulang lagi. Benar-benar bodoh! "Ada apa, sih, Young?" Jonathan keluar dari toko pakaian dengan tergesagesa.
"Nggak ada apa-apa. Cuma salah kirim SMS," jawabku. Sudah. Jonathan hanya mengangguk. Tidak bertanya apa-apa lagi. Tapi, aku
justru penasaran, kenapa dia tidak bertanya lebih lanjut. Lalu, aku
memancing, "Kalau seseorang sudah berumur lebih dari 30 tahun, tapi
bersikap seperti masih 16 tahun, menyedihkan, "kan?" www.ac-zzz.tk "Kamu sedang membicarakan siapa?" "Ah, tidak usah diceritakan. Ini masalah orang dewasa," jawabku, datar.
"Aku tidak boleh tahu?" "Bukannya tidak boleh tahu. Tapi, kamu mungkin akan sulit mengerti apa yang
dirasakan oleh orang seumurku. Nanti kamu bisa pusing," jawabku, sok tua.
Jonathan tetap memaksa, bahkan sampai kami akhirnya tiba di salah satu
tempat makan di mal itu, dia masih tetap memaksaku untuk bicara. Bukannya
aku tak ingin. Tapi, aku masih pusing memikirkan sebuah cerita tragis fiktif,
yang bisa menutupi kesalahan SMS tadi.
Akhirnya, aku merampungkan sebuah cerita dalam otak, lalu kutuangkan dalam
sebuah penuturan yang agak dramatis mengenai mantan kekasih bernama Jon,
yang selama ini kembali berusaha mendekatiku secara sepihak. Begini
ceritanya. "Jon" ini tiba-tiba memperkenalkan aku sebagai kekasihnya di depan rekanrekan kami di kantor. Aku tak membantah, tak juga mengiyakan. Hanya ingin
melihat sampai di mana ia akan bersikap sok kuasa akan diriku. Tapi,
kedekatan kami membuatku merasa terbiasa dengannya. Tanpa sadar, selama
kami sering bersama, orang melihat kami sebagai sepasang kekasih. Aku
sendiri merasa tidak dirugikan oleh semua tindakan "Jon", yang tanpa
persetujuanku. Tapi, setelah "Jon" ditugaskan di Makassar, 3 bulan kemudian ia mengatakan
akan menikah dengan wanita Makassar. Ia melakukan itu karena uang. Aku
kecewa, tapi tak sedih. Ia yang memulai dan ia pula yang mengakhiri. Yang
membuatku sebal, di malam sebelum pernikahannya, ia masih menghubungiku,
mengucapkan kata-kata romantis yang tak sepantasnya diucapkan seorang
pria, yang hendak menikah dengan wanita lain yang ia akui tak pernah ia cintai.
The end. Itulah cerita pendek rekaan, yang kuciptakan selama 10 menit. Aku
mengambil tokoh Ade, mantan rekan kerjaku yang dulu bertugas di Makassar,
sebagai inspirasi tokoh dan karakter "Jon". Mungkin, aku memang terbiasa
www.ac-zzz.tk berbohong sejak dulu, sehingga kata-kata yang keluar meluncur begitu saja
seperti arus air. Atau, mungkin juga, karena begitu mudahnya mengelabui
seorang anak berusia 16 tahun" Entahlah, aku bahkan tak peduli apakah
Jonathan percaya atau tidak dengan cerita karanganku. "Sudahlah, lelaki seperti itu tidak perlu dipikirkan. Mana nomor teleponnya,
biar aku damprat!" Ya, bisa jadi, ia percaya pada ceritaku. Tapi, kata-kata terakhirnya
mengingatkanku pada sikap sok melindungi Ade, ketika kukatakan ada seorang
pria hidung belang mencoba mengelabuiku. Aku termenung sejenak. Apakah reaksi semua pria akan selalu seperti itu,
jika ada seorang teman wanita merasa "tersiksa?" Tak peduli wanita itu adalah
sang kekasih atau hanya sebatas teman" Apakah itu bukan bentuk rasa
sayang yang termanifestasi dalam bentuk perlindungan" Apakah itu hanya
semacam ego kaum pria" Sebuah naluri sok kuat" Kalau pernyataan Ade dulu dan Jonathan tadi hanya diperuntukkan bagi
wanita yang mereka sukai, wajarkah jika aku merasa sedikit bangga dan
senang" Tapi, kalau ternyata itu hanya reaksi spontan semua pria, bisa jadi,
dulu aku hanya seseorang yang terlalu cepat menilai, terlalu cepat
menyimpulkan arti kebahagiaan. Bodoh. Ketika akhirnya kami duduk di sebuah angkutan kota dan hendak pulang,
seorang anak remaja wanita duduk tepat di sampingku. Matanya tak pernah
lepas dari Jonathan, yang duduk di de panku. Ketika penumpang di sebelah
Jonathan turun, Jonathan memintaku untuk duduk di sampingnya. Tanpa pikir
panjang, aku berpindah tempat duduk. Dari tempat dudukku yang sekarang, terlihat jelas bahwa wanita muda itu
terus menatap Jonathan. Aku berpikir, wanita muda itu sangat berani. Aku
tak ingat pernah menatap seorang pria sekuat itu. Lalu, aku bertanya dalam
hati, apakah ia tak sadar dengan keberadaanku. Aku tahu pasti, ia sadar
bahwa aku sedang menatap ke arahnya. Aku mungkin sedikit cemburu.
Mungkin. Tapi, aku justru tersenyum padanya. Ternyata, aku mungkin memang terlalu percaya diri. Karena, walau mungil dan
www.ac-zzz.tk tampak awet muda, wanita-wanita di depanku ini tetap melihatku tidak
sebagai kekasih Jonathan. Entah sebagai kakak atau tante. Kalau tidak, mana
mungkin mereka akan bersikap senekat itu. Aku menoleh pada Jonathan dan sepertinya aku menangkap bahwa Jonathan
menempatkan dirinya dengan nyaman sebagai obyek yang digilai wanita.
Tampaknya, ia menikmati pandangan dari wanita-wanita di sekitarnya. Aku tak
bisa marah sama sekali. Aku merasa tak berhak atas diri dan sikap Jonathan.
Aku merasa, pria muda ini memang milik wanita-wanita itu.
Tiba-tiba aku merasa diriku berada pada posisi penonton, tanpa bisa
menyumbangkan "permainan" apa pun. Lalu, ada rasa kesendi rian yang
menghinggapiku. Dalam sekejap, aku merasa kembali pada ketidaknyamanan,
yang sering membuatku merasa sepi. Rasa sepi, dan mungkin juga cemburu itu, membuatku me lontarkan
pertanyaan-pertanyaan untuk Jonathan. Kutanyakan, di mana ia akan
melanjutkan sekolah, apakah ia akan kuliah di luar kota, apakah ia tak berniat
mengikuti jejakku untuk kuliah di sebuah universitas negeri, apakah ia tak
ingin ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri. "Mau ikut, tapi tidak yakin lulus. Aku tidak sepintar kamu, Young. Bisa jadi,
dengan mudahnya kamu masuk ke universitas favorit." "Siapa bilang mudah" Masuknya mungkin memang tidak terlalu sulit. Tapi,
nanti ada sebuah kehidupan lain yang lebih sulit, yang akan menanti kamu.
Kamu akan menemukan kultur belajar orang-orang yang memang sangat
senang belajar. Lalu, kamu juga akan menemukan teman yang sangat
individualistis. Bahkan, ada saatnya, kamu merasa tidak memahami, mana yang
benar-benar teman dan mana yang hanya berteman karena menginginkan sesu
atu dari kamu. Bukannya menakut-nakuti. Tapi, kehidupan nyata memang
seperti itu. Paling tidak, itulah yang aku alami. Jadi, tak ada salahnya kalau
kamu bersiap-siap." "Ah, aku tidak paham dengan apa yang baru saja kamu ucapkan. Kata-katamu
terlalu super," kata Jonathan, sambil membenarkan rambutnya yang ia tata
dengan gel. www.ac-zzz.tk Aku diam. Aku benar-benar tak mengerti, bagian mana dari kata-kataku yang
tak ia mengerti. Bagian mana pula dari kata-kataku yang bisa dikategorikan
sebagai kata-kata super" Aku sedang bicara dengan siapa sebenarnya"
Rasanya, bahasaku

Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat ringan dan mudah dimengerti. Mendadak aku tersadar. Aku bukan sedang bicara dengan pria seusiaku,
melainkan dengan seorang remaja. Seorang pria muda yang dikelilingi oleh
lingkungan dan dunia yang memanjakannya. Jonathan kembali bicara. Kali ini topik yang ia pilih adalah tempat-tempat
makan terbaik, yang pernah ia kunjungi bersama pamannya. Bukan hanya di
mal, namun juga di pinggir jalan. Aku berusaha memotong pembicaraannya dan mulai membicarakan hal lain.
Kuceritakan pengalamanku makan di sebuah tempat yang cukup murah dan
enak, setelah pergi ke sebuah scholar ship expo untuk program master, yang
ingin sekali kudapatkan. Lalu, pembicaraanku melebar mengenai teman yang
berhasil masuk universitas di Italia, tanpa diminta memasukkan nilai tes
bahasa Inggris. Aku mengatakan, itu merupakan keberuntungan yang luar
biasa dan aku iri oleh keberuntungan temanku itu. Kulihat, dahi Jonathan mengernyit. Ia tak begitu paham akan pembicaraanku.
Lagi-lagi, aku seperti bicara pada udara. Akulah yang kemudian merasa sangat
bodoh. Lalu, kami mulai lagi dengan pembicaraan tentang tradisi pe nguburan
masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan nenek-ka kek Jonathan dulu. Kami
juga membicarakan tentang tradisi kremasi. Namun, ketika pembicaraan itu
selesai, entah mengapa, aku ingin sekali mendengar sebuah visi atau
pandangan akan kehidup an di masa depan, meminta solusi akan masalah pelik
di kantor dan tentang sikap teman kantor yang kurang menyenangkan. Tapi,
hal-hal yang ingin kudengar, tak kudapatkan sama sekali. Kemudian, banyak sekali pembicaraan-pembicaraan ringan, yang awalnya
sangat menyegarkan, namun lama-kelamaan terasa membosankan. Rasanya,
beberapa minggu ini aku terlalu dimanjakan oleh sebuah kenyamanan, yang
pada akhirnya tak berujung pada apa pun. Hanya sebuah kesenangan
sementara, tanpa diimbangi sedikit keruwetan, yang akhirnya membuatku
www.ac-zzz.tk kembali lagi pada titik yang sangat tidak nyaman. Jauh lebih tidak nyaman
daripada sebelumnya. Mungkin, bukan ini yang kucari. Bukan pembicaraan-pembicaraan santai yang
terlalu sering ini yang ingin kudapatkan. Bukan Jonathan sebagai pelabuhan
atau bahkan persinggahan. Mungkin, akhirnya, aku sudah merasa tak terlalu
penasaran dengan kehidup an masa remaja, yang pernah hilang dari dimensi
waktuku dulu. Aku hanya ingin kembali pada kehidupanku, kembali pada diriku yang sedang
kuhadapi sekarang dan hari ini. Di hari Senin yang tak begitu cerah itu, akhirnya semua kembali bekerja,
beraktivitas. Kereta tampak penuh, seperti hari-hari biasa. Aku tak
menemukan Jonathan di gerbong kereta api mana pun. Karena, ia telah
kembali sekolah seperti biasa. Aku sendiri telah kembali pada rutinitas.
Masa-masa tahun baru, yang mengundang banyak kemalasan dan keterlenaan,
sudah berakhir. Aku kembali bertemu dengan bos, rekan kerja, dan
lingkungan kerja yang begitu-begitu saja. Belum ada perubahan
menyenangkan. Sepulang kerja pun aku masih bertemu dengan Sisi dan Fina, masih
membicarakan hal yang sama: Jonathan. "Gila" akhirnya kamu sering pergi dengan Jonathan" Kamu bilang, tidak ingin
berlanjut sampai jauh," tanya Sisi. "Terus terang, dia adalah pria pertama yang mengajakku jalan-jalan, nonton,
makan. Memang, aku sempat merasa senang karena ada yang memerhatikan.
Tapi, lama-kelamaan, aku tidak merasakan adanya chemistry atau kebahagiaan
yang berlangsung lama. Dan, hari itu, aku hanya ingin keluar rumah. Kebetulan,
dia juga sedang ingin jalan-jalan. Jadi, kami pun janjian untuk bertemu,"
jawabku, dengan sedikit penyangkalan. Aku tak mau mengakui bahwa aku
pernah dibutakan oleh cinta terhadap seorang remaja. Memalukan.
"Berhubungan dengan pria seumur memang berbeda dibandingkan dengan pria
yang jauh lebih muda. Walaupun hubungan kita dengan pria yang seumur itu
tidak terlalu serius, tetap masih ada harapan untuk bisa berlanjut. Paling
tidak, kita bisa membayangkan atau memikirkan sebuah pernikahan, keluarga,
dan masa depan. Positifnya, kita jadi rajin menabung untuk bisa mengadakan
pesta pernikahan, seperti yang kita impikan. Bukankah begitu, Si?" kata Fina,
www.ac-zzz.tk serius. Sisi mengangguk. "Dan, semua usaha yang kita lakukan, pengorbanan yang kita tumpahkan untuk
menjaga hubungan itu, terasa tidak sia-sia, mes kipun akhirnya menemukan
kebuntuan," kata Fina, melanjutkan. "Mungkin, kita baru akan menyadari bahwa kita sudah dewasa ketika
mengenal cinta di usia seperti ini," begitu teoriku akan hubungan resmi
sesama orang dewasa yang belum pernah kurasakan. Sisi mengerutkan dahi. "Begini, ketika bertemu Jonathan, hatiku tergetar. Merasa mene mukan cinta
sejatiku. Aku kemudian berpikir, pria seperti Jonathanlah yang aku inginkan.
Pria yang bisa membuat aku merasa senang, tanpa beban yang membuat
pusing. Ia membuatku merasa bisa membayar penyesalan, karena aku tidak
sempat menikmati masa-masa remaja. Terus terang, aku juga mencoba
membuktikan bahwa sebenarnya dulu aku juga bisa mendapatkan pria yang
tampan di sekolah, pria yang menjadi incaran banyak wanita."
Sisi dan Fina masih mendengarkan ucapanku.
Tapi, setelah kucoba masuk ke dalam kehidupannya, hanya untuk mengintip
sedikit, aku sadar itu bukan kehidupanku lagi. Aku tidak menginginkan
kehidupan seperti itu lagi. Aku merasa asing dan merasa selalu berada di luar
dunia Jonathan. Dan, apa pun yang dia pikirkan, semuanya tidak dewasa sama
sekali, segalanya bersifat temporer. Aku baru sadar betapa polosnya mereka.
Betapa bodohnya aku dan kamu dulu. Lagi-lagi, Sisi hanya mengangguk. Fina juga hanya diam. "Pada saat itu juga, aku pikir, hubungan yang hanya didasari rasa cinta saja
adalah sebuah hubungan yang dangkal dan rapuh. Aku malah merindukan
kehidupan yang penuh kepastian, merindukan kerumitan hidup, dan
merindukan teman-teman yang ketika bicara membuat telingaku terasa panas.
Mungkin, karena pada akhirnya aku merasa, hidup dengan segala keindahan
dan kesulitannya, membuat aku merasa lengkap." www.ac-zzz.tk Sisi dan Fina mengangguk, tanda setuju. Aku memang tak pernah puas bicara
dengan mereka. Aku menginginkan sebuah kritik, bahkan kalau perlu sebuah
perdebatan sengit. Aku kembali terdiam, memikirkan ucapanku tadi. Mendadak, pandangan kami tertuju pada seorang pria berwajah tampan, yang
terlihat sangat kelelahan setelah bekerja seharian. Ia duduk di bangku peron
dekat kami. "Kamu Sisi melihat dan Fina apa yang tertawa aku lebar, lihat?" sambil tanyaku, melirik ke berbisik. arahku. Hari-hariku kini tanpa Jonathan. Paling tidak, nyaris tanpa dia. Aku lebih
sering mengobrol dengan Sisi dan Fina, seperti dulu. Dalam perjalanan di
kereta, kami membicarakan tingkah lucu yang dilakukan para penghuni
gerbong kereta. Kami juga mencaci pria-pria dalam kehidupan kami termasuk
cerita fiksi tentang "Jon" yang jadi kenyataan. Aku baru mendengar cerita baru dari teman-teman kantorku. Ade, yang
menjadi inspirasi tokoh "Jon" itu, memang pernah secara langsung, tanpa
meminta izin padaku, mengaku pada Mas Adit, rekan kami sekantor, bahwa
aku adalah kekasihnya. Entah apa maksudnya. Mungkin, ia suka padaku. Tentu
saja, karena berita dari bibirnya sendiri, semua orang pada akhirnya melihat
kami sebagai sepasang kekasih. Aku merasa kesal, sekaligus senang. Membuatku percaya bahwa Ade, yang
telah memiliki kekasih, benar-benar menyukaiku. Itu membuatku sangat rela
untuk memberikan pertolongan-pertolongan kecil yang selalu ia butuhkan.
Hingga akhirnya ia tahu keadaan sederhana keluargaku. Akhirnya, aku tak
sadar, mengapa ia mau ditempatkan di Makassar, yang sebelumnya ia tolak
mentah-mentah. Bodohnya aku. Ia tinggal di rumah kosong milik kekasihnya di sana. Lalu, ia pindah rumah dan
menyewa kamar kos dengan biaya sendiri. Mung kin, ia malu karena terlalu
terlihat mendompleng. Tak lama, ia menikahi kekasih kayanya itu,
www.ac-zzz.tk mengundurkan diri dari perusahaan kami, menghilang dari kehidupanku, tanpa
memberi kabar berita. Lalu, tiba-tiba ia muncul lagi dengan memperdengarkan
suara dan kata-kata gombal ala salesman melalui telepon, untuk minta tolong
menagih surat referensi pada departemen personalia. Dia telah
memanfaatkan aku. Bodohnya aku. Jadi, sebenarnya, ceritaku dulu tidak terlalu fiksi. Mungkin, hanya
memberikan pelajaran berharga padaku untuk tidak banyak membual, yang
pada akhirnya menjadi kenyataan pahit, yang sama persis dengan cerita
fiksiku. Tuhan benar-benar mendengarkan ucapanku saat itu rupanya.
Padahal, itu bukan doa. Tapi, mungkin, Tuhan terlalu tahu betapa aku
menginginkan sebuah cerita cinta dalam hidup, termasuk pelangi dan kerikil
tajam di dalamnya. "Young, kamu tidak sadar bahwa sebenarnya sudah berpacaran dengan Jon?"
tanya Mira. "Tidak seratus persen. Tapi, kadang-kadang aku merasa begitu," jawabku,


Masa Yang Hilang Karya Marisa Agustina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedikit terkejut mendengar ucapan Mira. "Tapi, hubungan kamu dengan anak itu sudah selesai, "kan" Jangan terlalu lama
menempatkan diri dalam posisi nyaman dan semu seperti itu. Hadapi saja yang
sekarang ada di depan kamu. Jangan lari terus!" kata Mira, sok tahu.
"Aku selalu menghadapi masalah-masalahku," jawabku dengan sedikit nada
ragu. "Ya. Tapi, mungkin kamu sedikit egois karena menjadikan dirimu itu sebagai
pusat dari segala masalahmu yang lebih berat. Sesekali, kamu harus lihat ke
sekeliling." "Aku egois?" "Aku tidak pernah mengerti masalahmu. Tapi, apa pun itu, jangan berlamalama
memikirkan hal yang bukan prioritaslah. Karena, inti menjadi dewasa
adalah menempatkan diri sebagai orang yang tahu benar tentang hal-hal yang
ingin dituju dan menjadikannya sebagai prioritas utama," sambung Mira, sok
bijaksana. www.ac-zzz.tk "Masalahnya adalah apakah aku pernah ingin dan memilih jadi dewasa?"
tanyaku, santai. Tapi, rupanya, jawabanku mengejutkan Mira. "Ya, itu hidup kamu. Hanya kamu yang tahu. Kamu pula yang menjalankannya.
Sekarang ini, kita tidak lagi hidup untuk orang lain. Berpacaran dengan pria
paling pintar, hanya agar terlihat keren. Bergaul dengan komunitas religius
agar terlihat sebagai perempuan baik-baik. Rasanya, itu sama sekali bukan
diriku." "Apakah kamu pikir selama ini aku hidup untuk orang lain?" tanyaku, sedikit
kesal. Mira bingung mendengar jawabanku yang mengandung banyak emosi, seolah
aku marah padanya. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Yang jelas, aku hanya
marah pada orang sok tahu, yang sering meragukan aku. Keraguan itu begitu
kuatnya hingga secara perlahan mendorongku untuk ikut meragukan diri
sendiri. Begitu marah pada nasib yang sering kurasakan sangat
mempermainkan aku dalam masalah percintaan. Marah karena pria-pria
berengsek masuk dalam kehidupanku begitu saja, tanpa kuundang, dan
akhirnya meninggalkanku, seperti seonggok sampah. Mungkin, aku juga marah
karena tak juga mendapat cinta yang kuinginkan. Jadi, mungkin, sederhana saja alasan mengapa aku bisa merasa nyaman
bersama Jonathan. Karena, ia membuatku merasa disukai, dan merasa yakin
bahwa aku cukup pantas mendapatkan kasih sayang dari seorang pria.
"Mungkin, ini cuma masalah kesabaran. Meski kamu tidak meminta,
kenyataannya, sekarang kamu hidup dengan banyak masalah, seperti aku juga.
Dan, mau tidak mau, kita membutuhkan sikap dewasa untuk menghadapi itu
semua, Young," sambung Mira. Aku kembali dalam situasi tenang ketika mendengar ucapan terakhir Mira itu.
Akhirnya, aku hanya melemparkan senyum, seolah aku tadi sedang bercanda,
tak serius sama sekali. Mira pun merasa lega melihat senyumku.
Namun, hei, mungkin, situasi panas dan sedikit serius seperti yang baru saja
www.ac-zzz.tk terjadi, adalah situasi yang kini kuinginkan. Rasanya senang bisa memberikan
perlawanan, sekaligus menjawab tantangan dalam pertikaian kecil setiap kali
bertemu. Seperti sebuah proses untuk mengenal masalah dan mencari cara
untuk menye lesaikannya. Mungkin, aku terbiasa dengan itu semua. Mungkin, ini memang dunia nyamanku
yang sekarang. Mungkin, aku memang suka setiap kali Mira mengingatkan
bahwa aku dan dirinya hanya manusia tak sempurna. Entahlah. Tapi, pada akhirnya aku memang berterima kasih akan semua
protes, kritik, dan kesoktahuan Mira akan diriku, yang membuatku selalu
merasa kesal dan jadi ingin membuktikan diri. Ia, dan mungkin terutama
Jonathan, memberikan sumbangan besar dalam membantuku menyelesaikan
masalah penasaran, yang terpendam selama bertahun-tahun. Rasa penasaran
akan sebuah masa, yang benar-benar hanya akan mengisi lembaran lama.
Lembaran yang kelak hanya akan kubuka sesekali saja, hanya untuk dikenang,
tanpa mau lagi terlibat di dalamnya. Dalam waktu beberapa menit aku beradu argumen, sebentar kemudian
bergosip, lalu meratapi nasib hidup, berdebat mengenai banyak perundanganundangan "ajaib" di negeri ini, dan akhirnya membahas karier berbeda yang
kami pilih dalam hidup. Mira lebih suka menjadi peneliti yang mampu
menampung pikiran kritis dan idealisnya, sedangkan aku lebih suka bekerja
kantoran secara rutin. Kehidupan seperti itu mungkin membosankan dan sedikit memiliki variasi
warna. Tapi, memang itulah kehidupan di usiaku yang sesungguhnya dan secara
jujur aku menginginkannya. Seharusnya, aku merasa lega memiliki teman
paling pintar, jujur, dan selalu bicara apa adanya, seperti Mira. Seharusnya,
aku sudah merasa lengkap dengan keberadaan Sisi sebagai teman yang sangat
ceria, ramah, berpikiran sederhana tanpa pendidikan yang terlalu tinggi, dan
menjalankan kehidupan apa adanya. Seharusnya, aku merasa bersyukur bahwa
secara fisik aku tak kurang suatu apa pun. Cukup bisa menarik beberapa pria,
walau hanya untuk menoleh beberapa saat ke arahku. Termasuk, pria muda
seusia Jonathan. Akan ujian. Jadinya, sibuk belajar. Begitu isi SMS Jonathan. www.ac-zzz.tk Belajar yang benar, ya. Semoga sukses. Itu adalah jawaban terakhirku untuk
Jonathan. Tak ingin lagi kudengar kabar darinya. Dan, selama 6 bulan terakhir
ini, aku berhasil menahan diri untuk tidak menghubunginya. Ya, aku kembali menjadi diriku, menjalani segala rutinitas harian, tanpa
berpikir neko-neko. Aku juga bersyukur karena Jonathan sempat hadir dalam
hidupku, menjadi cermin dan tempat menumpahkan kegundahanku di masa
lalu, yang belum pernah kuselesaikan. Aku sudah selesai mengatasi kegelisahan yang timbul karena perasaan jenuh
akan rutinitas hidup, yang berbulan-bulan menye rangku secara bertubi-tubi.
Aku juga tak lagi merasa resah karena belum menemukan pangeranku yang
menunggang kuda putih. Aku yakin, suatu hari, pangeranku pasti akan datang.
Pasti. Meski tak tahu kapan. Tamat Buronan Dari Mataram 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I Piramida Bangsa Astek 2

Cari Blog Ini