Ceritasilat Novel Online

The Bridesmaids Story 1

The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata Bagian 1


The Bridesmaid"s Story
IRENA TJIUNATA Ucapan Terima Kasih Hai!!! Ketemu lagi di novel saya yang kedua ini. Senang sekali akhirnya novel ini
bisa terbit. " Saya mulai menulis novel ini tahun 2006. Rencananya, The Bridesmaid"s Story
adalah sebuah kisah yang dapat mengenang kerepotan yang terjadi menjelang pesta
pernikahan saya pada tahun itu. Akan tetapi, karena saat itu saya sedang sibuk
menyelesaikan kuliah S2, ribet mengurus suami dan anak yang ketika itu masih
bayi, jadilah penyelesaiannya tertunda sampai tahun 2009 kemarin. Bab-bab terakhir
novel ini juga saya selesaikan di rumah sakit sambil menjaga anak saya yang sedang
diopname. Pokoknya, novel ini benar-benar penuh kenangan!
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang
selalu menyertai saya dalam setiap proses penulisan. Terima kasih atas bakat yang
Kaulimpahkan ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga saya, terutama kepada:
" Mama tercinta Sialy Maria (yang telah banyak membantu dalam merawat
dan mengasuh Oscar, terutama saat saya sedang sibuk berat)
" Suami tersayang Ronal Octavianus (yang telah memberikan pernikahan
terindah untuk saya) " Anak terganteng Oscar Asairo Hogan (yang telah mencerahkan hari-hari saya
dengan senyum gantengnya).
Mereka adalah pusat semesta saya, pusat eksistensi saya, dan pusat seluruh
hidup saya. Love you all so much!
Terima kasih juga buat editor saya Mbak Vera yang sangat sabar menghadapi
saya. Mungkin saya penulis paling cerewet yang pernah ditemui Mbak Vera ya.
Hehehe... Thanks ya, Mbak!
Terima kasih juga buat Mbak Maryna, yang sudah menggambar ilustrasi cover
novel ini. Akhirnya, kesampaian juga cita-cita saya punya novel yang covernya
digambar Mbak Maryna. Thanks ya, Mbak Ryna!
Tak terlupa, terima kasih banyak buat GPU yang telah menerbitkan novel kedua
ini. Setelah ini, tolong terbitkan novel ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh,
ke..., ke..., ke... berikutnya ya! "
Juga, terima kasih banyak untuk kalian yang sudah membaca novel saya ini.
Saya sangat bersyukur akan apresiasi dari kalian, baik yang nitip salam untuk
tokoh-tokoh novel saya, yang memberikan pujian, yang memberikan komentar,
bahkan yang mengkritik. Terima kasih semuanya! Saya akan selalu berusaha
memberikan hanya yang terbaik bagi kalian. Janji!
Irena 1 KRRIING... Krriingg...! "Haahh"!" Kesya Artyadevi, pemilik suara serak tadi, belum sadar sepenuhnya.
Jiwanya masih sibuk berkelana di dunia mimpi.
"Kesya, ini Cecil! Kamu udah bangun belum"!"
Tentu saya Kesya sudah bangun. Memangnya siapa yang mengangkat telepon
kalau bukan Kesya" Lagi pula, diteriaki dengan suara kencang seperti itu, Kesya jadi
sadar seratus persen dari tidur panjangnya.
"Iya iya, Cil. Aku udah bangun. Ngapain sih pagi-pagi begini telepon" Aku
masih capek nih!" protes Kesya, masih dengan suara serak. Dia baru tidur jam dua
pagi karena harus menyelesaikan pesanan perhiasan dari seorang pelanggan.
"Kesh, temani aku sarapan ya! Sekalian ada pengumuman penting yang mau
aku kasih tau!" Cecilia Almira Saraswati, sahabat Kesya sejak TK, tidak
memedulikan protes Kesya.
Dahi Kesya mengernyit bingung. Tumben Cecil semangat amat. Dia sendiri
masih ingin meringkuk di dalam selimutnya.
Kesya menghela napas. "Iya, tapi aku mandi dulu ya..."
"Oke! Tapi nggak pake lama. Lima menit lagi aku akan jemput kamu!"
"Iya." Kesya meletakkan teleponnya. Dia bangun dari ranjang, menggeliat sebentar,
lalu melepas baju tidur. Dia berjlana ke kamar mandi yang juga terletak di dalam
kamarnya. Setelah semuanya selesai, dia duduk di depan meja rias. Bersiap untuk
mempercantik wajahnya. Kriingg... Kesya menghela napas. Pasti si Cecil lagi. Heran juga sama gadis yang satu ini.
Kesya sudah menjadi sahabat Cecil sejak mereka sama-sama duduk di bangku TK,
tapi sampai sekarang, ketika mereka sama-sama telah menginjak usia 26 tahun, sifat
nggak sabaran Cecil bukannya sembuh malah betah bermukim di pribadi gadis itu.
Kesya mengangkat telepon dan langsung menyambar, "Iya, Cil. Aku udah siapsiap kok..."
"Ehm, hhaa... llooo... Kesya..."
Jantung Kesya berdetak dua kali lebih cepat daripada sebelumnya saat ia
mendengar suara yang sama sekali berbeda dengan suara Cecil yang meledak-ledak.
Suara ini terdengar gugup, suara gugup yang disukai Kesya.
"Ehm... Jansen... tumben telepon pagi-pagi. Ada apa?"
"Oohh... ehm... nggak apa-apa sih. Cuma... cuma pengin denger suara kamu...,"
sahut laki-laki gugup yang dipanggil Jansen itu.
Walau cuma begitu, Kesya sudah senang banget.
"Kamu... kamu lagi ngapain?" Jansen bertanya.
"Lagi siap-siap. Cecil minta ditemenin sarapan."
"Ooh gitu..." Kesya terdiam. Kehabisan bahan pembicaraan.
"Oh ya... foto kamu sudah jadi. Kapan kamu mau ambil?"
Kesya tersenyum. Jansen seorang fotografer. Fotografer pribadi Kesya, tepatnya.
Hehehe... Entah mengapa, kalau Jansen yang mengabadikan gambar Kesya, pasti
jadinya akan bagus sekali. "Oh... yang waktu itu ya" Gimana" Bagus?"
"Ya... ya pasti bagus lah. Kamu... Kamu kan ayu..." Suara Jansen terdengar
berdeguk. Seperti suara seorang yang sedang menelan ludah.
Kesya tersenyum kecil. Diam-diam menikmati kegugupan Jansen.
"Oke deh. Nanti kalau keburu, pulang dari ketemu Cecil aku ambil deh."
"Oke kalau... kalau begitu. Udahan dulu deh... Sampai... sampai nanti ya..."
Ting tong... Masih sambil tersenyum kecil, Kesya membuka pintu.
"Morning, Kesya..." Cecil langsung memeluk Kesya dengan hangat. Kesya
tersenyum lebih lebar lagi. Cecil selalu begitu. "Kamu sudah siap, kan?" tukas Cecil,
tanpa memperhatikan senyum Kesya yang masih lebar banget. Tampaknya Cecil
benar-benar punya pengumuman penting pagi ini.
Kesya mengangguk. Dia mengambil tasnya kemudian keluar mengikuti Cecil.
Jalanan Minggu pagi masih lenggang. Sudah jelas! Siapa sih yang mau bangun
pagi-pagi di hari Minggu" Setelah satu minggu bekerja gila-gilaan, hari Minggu
adalah hari "balas dendam" untuk tidur sampai puas!
Kesya duduk di samping Cecil. Sebenarnya dia masih ngantuk banget. Kemarin
malam dia terpaksa menyelesaikan rancangan kalung dari seorang anak
konglomerat. Pesanan itu bisa dibilang dadakan juga, tapi bayarannya lumayan.
Makanya Kesya mati-matian menyelesaikan rancangan kalung itu sampai larut
malam. Mereka sarapan di kafe dekat apartemen Kesya. Seporsi nasi goreng dan
secangkir kopi latt? cukup menyegarkan mata Kesya. Cecil hanya memesan
semangkuk bubur ayam. Kesya melirik mangkuk bubur ayam Cecil, lalu matanya
beralih ke tubuh langsing Cecil. Kesya menggeleng, dirinya tidak mungkin akan
kenyang kalau cuma makan bubur ayam seperti itu.
"So" Pengumuman penting apa" Kamu dapat promosi di kantor" Kamu menang
undian satu miliar" Kamu dapat hadiah undian jalan-jalan keliling dunia" Atau
malah jalan-jalan keliling Planet Mars?" tanya Kesya sambil menyuap nasi
gorengnya. Rambutnya terlepas dari selipan telinganya. Jatuh terjuntai lemas
menutupi pipinya. Kesya kembali menyelipkan rambutnya ke balik telinga.
Cecil tersenyum. Tangannya juga ikut terangkat dan menyibak rambut
keritingnya. Mata Kesya menyipit. Apa itu di jari manis Cecil"
Cincin" Cincin berlian"! Kesya melotot. Napasnya tertahan, matanya berbinar-binar, menangkap
kebahagiaan di wajah Cecil. "Cecil..."
Cecil mengangguk penuh semangat. Tawanya lebar sekali. Kesya sampai silau
melihat cerahnya senyum itu.
"Iya! Aku dilamar Arlo kemarin!!!" ujarnya penuh semangat.
Mata Kesya berkedip-kedip haru. Akhirnya! Akhirnya!!! Setelah sepuluh tahun
pacaran. Setelah sepuluh tahun yang penuh badai topan (mengingat Cecil adalah
drama queen yang sangat emosional). Setelah sepuluh tahun putus-sambung.
Akhirnya mereka akan menikah juga!
"Selamat!" Kesya merangkul Cecil. "Aku senang sekali! Gimana ceritanya?"
Cecil masih tersenyum lebar. "Aku udah cerita kan, kemarin kami ikut tur
keliling kota tua..."
Kesya mengangguk. Hari Sabtu kemarin, Alvaro Nicholai Andersen, biasa
dipanggil Alo"yang karena kesibukannya mengurusi perusahaan keluarga di
Singapura lebih banyak berada di negeri Singa itu"pulang ke Jakarta dan mengajak
Cecil tur keliling kota tua Jakarta.
"Waktu lagi liat-liat di dalam museum, Alo bilang dia mau ke toilet. Lalu, tibatiba, aku dengar ada yang manggil-manggil namaku dari pengeras suara. Ternyata
itu Alo. Dia pake megaphone punya si tour guide. Aku kaget banget. Dia bilang, "Cecil,
will you marry me?" Kemudian, dia berlutut di hadapanku dan membuka kotak cincin
ini." Cecil memperlihatkan sebentuk cincin berlian yang indah sekali.
Sebagai seorang perancang perhiasan, Kesya tahu benar kualitas cincin itu.
Buatannya benar-benar halus dan sempurna. Alo benar-benar tahu cara mengambil
hati Cecil. Apalagi acara lamarannya yang menarik perhatian banyak orang seperti
itu. Seorang drama queen seperti Cecil pasti akan sangat senang mendapat perlakuan
seperti itu. "Jelas aku nggak bisa nolak. Aku juga nggak bisa bilang apa-apa. Aku speechless
saking kagetnya. Aku cuma bisa ngangguk. Terus Alo memasang cincin ini dan
mengangkat tangan aku, terus... dia cium aku..." Cecil melanjutkan ceritanya sambil
tersipu-sipu. Tangannya kembali terangkat, menyentuh rambut keritingnya,
sekaligus memperlihatkan cincin pertunangannya.
Kesya tertawa. Walaupun tersipu malu begitu, dia tahu banget Cecil pasti
sangat menikmati perhatian orang-orang.
"Semua orang ngeliatin kami begitu. Semua orang tepuk tangan dan kasih
selamat ke kami. Aku senang sekali..."
Kesya tersenyum. Dia ikut bahagia melihat binar di wajah Cecil. Sahabatnya ini
benar-benar sedang bersinar bahagia. Kesya dapat merasakan aura kebahagiaan
yang terpancar kuat dari seluruh pori-pori tubuh Cecil.
"Lalu, kapan big day-nya?"
"April tahun depan!" desah Cecil bahagia.
Kesya menghitung dalam hati. Sekarang bulan Oktober, berarti hanya tersisa
enam bulan. "Udah mulai ngurusin segala pernak-perniknya" Katanya repot banget tuh..."
Kesya mengutip artikel-artikel yang pernah dia baca di majalah pernikahan.
Menurut artikel itu, setidaknya satu tahun sebelum hari pernikahan, semua
persiapan harus sudah mulai dilakukan. Mulai dari pemesanan gedung, gaun,
gereja, katering, ini, itu... banyak banget deh!
Cecil menggeleng. "Belum lah. Baru juga dilamar. Makanya aku butuh bantuan
kamu..." Alis Kesya terangkat. Dia menangkap maksud tertentu dalam nada suara Cecil.
"Aku mau kamu jadi bridesmaid-ku," ujar Cecil sambil menggenggam tangan
Kesya. "Kamu sudah jadi temanku sejak kita masih TK, masih sama-sama ingusan,
dan masih sama-sama suka nangis kalau ditinggal mama-mama kita. Selama ini,
kamu sahabatku yang terbaik. Kamu yang paling ngerti aku. Kamu juga yang paling
tahu perjalanan pacaranku sama Alo. Kamu yang paling pantas jadi bridesmaid-ku.
Mau ya, Kesh..." Kesya menghela napas. Mendengar pernyataan Cecil seperti itu, ditambah
tatapan memohon dan mata yang bersinar sayu, siapa yang bisa menolaknya" Lagi
pula, dia memang akan dengan senang hati ikut ambil bagian dalam hari besar
sahabatnya. Tanpa diminta menjadi bridesmaid pun, dia pasti akan membantu Cecil.
Kesya mengangguk dan tersenyum.
Cecil tersenyum lebih lebar dan merangkul Kesya erat.
*** Saat Kesya kembali ke apartemennya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam. Biasa deh, kalau sudah pergi dengan Cecil, Kesya pasti tidak bisa pulang
cepat. Ada aja alasan Cecil untuk menahannya berlama-lama di jalan. Cecil juga
ikut. Dia akan menginap di apartemen Kesya. Rencananya mereka akan
membicarakan konsep pernikahan Cecil yang tinggal enam bulan lagi.
"Eh, apa tuh?" Cecil memungut sebuah amplop cokelat besar dari lantai.
Kesya mengambil amplop itu dari tangan Cecil. Belum sempat dia
membukanya, lagu Love of My Life mengalun lembut dari ponsel Kesya. Itu nada
dering pribadi untuk Jansen.
"Halo..." "Ha... halo, Kesh..." Suara gugup Jansen terdengar dari ujung sambungan.
"Siapa?" tanya Cecil tanpa suara.
"Jansen," jawab Kesya juga tanpa suara.
"Ka... kamu lagi ada di mana?"
"Nyalain speaker phone-nya," kata Cecil pada Kesya, tentu tanpa suara. Kesya
terpaksa memecah konsentrasinya antara menjawab pertanyaan Jansen dan
menjawab pertanyaan Cecil.
"Aku baru pulang nih sama Cecil."
"Kok... kok lama banget?"
Cecil bergerak-gerak di hadapan Kesya. Wajahnya tampak tidak sabar.
"Mau ngapain sih?" Kesya menggerakkan bibirnya tanpa suara sambil melotot
sebal. Sahabatnya memang agak antipati dengan Jansen. Menurut Cecil, Jansen sama
sekali bukan tipe pacar yang cocok untuk Kesya, tapi... tahu apa sih dia"
"Aku pengin denger dia ngomong apa," jawab Cecil tanpa suara, sambil
tersenyum jail. "Iya nih, biasa deh Cecil. Kalau udah keluar pasti lama," Kesya kembali
berbicara dengan Jansen. Cecil merebut ponsel Kesya dan menekan tombol speaker phone. Suara Jansen
terdengar dengan jelas oleh Cecil.
"Aku... aku tadi ke tempat kamu..." Jansen terdiam, tampak kesulitan mengatur
napas. Cecil terkikik geli mendengar napas Jansen yang Senin-Kamis.
"Cecil!" bisik Kesya sambil melotot tajam ke arah Cecil.
"Aku... aku tunggu-tunggu, udah... udah hampir dua jam, tapi... tapi kamu
nggak pulang-pulang."
"Dua jam" Selama itu?" Kesya terkejut."Kenapa kamu nggak telepon aku aja?"
"Oh, iya ya... tadi nggak kepikiran telepon kamu... Hehe..." Tawa Jansen
terdengar serbasalah. "Memang kamu mau ngapain ke rumahku?"
"Aku... aku mau nganterin foto kamu. Tadi pagi kan aku udah bilang foto kamu
sudah jadi..." "Terus, sekarang fotonya di mana?"
"Aku... aku tadi udah selipin di bawah pintu apartemen kamu. Masih ada satu
lagi sih, tapi... tapi tadi aku lupa bawa..."
Cecil masih terus cekikikan. Sekarang ditambah lagi dia meniru-niru tingkah
Jansen kalau lagi gugup, mengedip-ngedipkan matanya dengan cepat.
"Oh, aku udah terima fotonya. Yang amplop cokelat, kan?" Kesya mengambar
amplop cokelat yang masih berada dalam genggaman Cecil.
"Eh... iya. Betul. Yang amplop cokelat," Jansen membeo.
Cecil tetap cekikikan geli.
Kesya mencubit paha Cecil. Lumayan keras juga sampai gadis itu menjerit.
"Lho... itu suara siapa?"
"Ooh... ehm... itu Cecil. Matanya lagi kelilipan..."
"Kelilipan" Kelilipan apa?"
"Kelilipan gajah!" sahut Cecil sebal. Kelilipan apa kok masih ditanyain" Ya
kelilipan kan biasanya kelilipan debu. Mana pernah ada orang kelilipan yang lainlain"
"Sekarang gajahnya udah keluar?" tanya Jansen.
Haah"! Cecil cekikikan lagi. Parah banget si Jansen ini! Masa dia percaya begitu saja
omongan ngawur Cecil"
"Nggaklah...," ujar Kesya, berusaha menyelamatkan Jansen. "Cecil kalo
bercanda emang suka keterlaluan," tambahnya sambil melirik sebal ke arah Cecil.
"Oke deh, kapan-kapan aku ambil fotok uyang lainnya ya."
"O... oke deh. Good night, Kesya yang ayu...," ujar Jansen dengan lembut.
Okay, that"s it! Tanpa bisa ditahan-tahan lagi, meledaklah tawa Cecil. Kesya
melotot ke arha Cecil sambil buru-buru mematikan ponselnya.
"Cecil! Kamu nih apa-apaan sih" Kenapa kamu ngetawain Jansen gitu"!"
geramnya. Cecil masih terus tertawa. "Kesya... Kesya... Kamu nemu di mana sih cowok


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ajaib kayak gitu" Gugupan, badan kurus kerempeng, sama sekali nggak seksi. Terus
tadi" Kesya yang ayu"! Well, that"s so sweet... tapi pada tahun empat puluhan!" Cecil
tertawa lagi. "Oh, come on, Kesh...," ujar Cecil saat melihat keruh di wajah Kesya. "Mana ada
sih cowok zaman sekarang yang ngerayu cewek dengan kata-kata seperti itu" Heran
aku, kok kamu masih betah aja sama dia?" Cecil mengernyit geli. "Kesya yang ayu...,"
dengusnya. Kesya terdiam. Memang Jansen agak unik. Yah, bisa dibilang agak ketinggalan
zaman. Tapi, memangnya kenapa" Kesya suka sama Jansen. Jansen bisa membuat
Kesya tampak cantik dari balik lensa kameranya.
Kesya bertemu Jansen pertam akali dua tahun yang lalu. Saat itu ada pameran
perhiasan emas di universitas tempat dia belajar dulu. Kesya mendapat undangan
plus tiket ke Jepang. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Kesya pun
menghadiri pergelaran itu. Di sana dia bertemu Jansen, fotografer kikuk yang
kebetulan diundang untuk meliput acara itu. Tanpa sengaja, Jansen membidik
Kesya dengan kameranya. Keesokan harinya, Jansen mati-matian mencari Kesya untuk memberikan hasil
bidikannya. Bagi Kesya, itu pengalaman yang sangat romantis. Walaupun Jansen
waktu itu amat sangat gugup (dia bahkan menjatuhkan kamera mahalnya!), hasil
bidikannya amat sangat indah. Dalam foto itu Kesya tampak sedang serius
memperhatikan salah satu perhiasan yang dipajang di sana. Kecantikannya yang
natural terpancar dengan kuat dalam bidikan itu. Sejak saat itu mereka
berhubungan, dan sejak saat itu Kesya merasa jatuh cinta pada Jansen.
Kesya tersenyum kecil mengingat pertemuannya dengan Jansen. Saat tersadar,
dia melirik amplop cokelat yang masih berada dalam genggamannya. Perlahan
dibukanya amplop cokelat itu.
Kesya menahan napas. Foto itu diambil Jansen ketika cowok itu tiba-tiba datang
ke apartemennya pada suatu pagi. Saat itu Kesya sedang sibuk membuat sarapan
untuk dirinya sendiri. Di foto itu Kesya sedang memegang panci; sebuah sendok
dimasukkan ke dalam mulutnya yang tersenyum. Kesya ingat, waktu itu dia sedang
mencicipi bubur ayam yang dia buat.
Kesya tersenyum. Dia tampak sangat cantik di foto itu...
*** Kesya memperhatikan daftar yang telah mereka"dia dan Cecil"buat. Hari sudah
larut malam, Cecil sudah tidur kelelahan setelah mendiskusikan ide-ide pesta
pernikahannya. Kesya menyalakan laptop dan mengecek e-mail. Rutinitasnya
sebelum tidur. Iseng-iseng dia juga browsing situs bridesmaid101.com. Dia telah
dipercaya Ceci luntuk menjadi bridesmaid-nya, maka dia harus menjalankan
tugasnya sebaik mungkin. Dari situs itu Kesya baru tahu bahwa tugas seorang bridesmaid bukan hanya
membantu pengantin pad ahari pernikahan. Jauh sebelum itu, seorang bridesmaid
bertugas membantu pengantin dalam mempersiapkan pestanya. Well, oke. Itu sudah
dilakukannya saat ini. Dia memperhatikan corat-coret rancangan pesta pernikahan
Cecil. Dia mulai merasa menyukai tugas ini.
Seorang bridesmaid juga harus menjadi sahabat yang paling baik di saat-saat yan
gmungkin akan menjadi momen yang paling emosional dalam kehidupan seorang
wanita. Kesya mengernyit. Dia melirik Cecil yang tertidur pulas di sofa. Hmmm...
tampaknya ini akan menjadi salah satu tugas yang cukup sulit.
Pada hari-hari biasa, Cecil sudah menjadi seorang yang emosional. Menjelang
pernikahannya, dia pasti akan menjadi amat sangat emosional, double emosional.
Dan berada di dekat Cecil yang emosional akan menjadi sangat sulit.
Kesya menghela napas. Cecil sahabatnya sejak kecil. Dia akan menjadi sahabat
yang baik dengan berada di saat-saat tersulit Cecil.
Kesya kembali membaca tulisan dalam situs itu. Oh ya, dia juga harus
mempersiapkan dirinya sendiri. Bridesmaid juga harus tampil cantik pada acara
pernikahan. Hei... dia baru tahu bahwa seorang bridesmaid dipakaikan baju yang
mirip dengan si pengantin untuk mengecoh roh jahat yang mungkin akan mengusik
si pengantin. What"! Jadi maksudnya, kalau ada roh jahat yang akan mengusik si pengantin, maka
yang akan kena tulah adalah bridesmaid-nya"!
Kesya bergidik ngeri. Diusirnya pikiran itu dari dalam benaknya. Dia sudah
menerima tugas ini. Tugas terhormat bagi seorang sahabat sejati. Dan dia akan
melaksanakan tugasnya sebaik mungkin.
*** "Ayo dong, Kesh! Cepetan!" Cecil setengah menarik Kesya.
"Sabar sebentar, Cecil..." Kesya pasrah saja tangannya ditarik Cecil. Sebenarnya
dia sudah berjalan di atas kecepatan normalnya, tapi tetap saja bagi Cecil itu masih
kurang cepat. Yang pertama kali harus mereka lakukan, menurut Cecil, adalah hunting gaun
pengantin. Oleh karena itu, hari ini Kesya menemani Cecil melihat-lihat gaun
pengantin. Ini sudah menjadi salah satu tugasnya sebagai seorang bridesmaid. Cecil
mengajaknya ke Bride"s World, bridal yang paling lengkap di Jakarta. Katanya, Cecil
mendapat rekomendasi dari seorang temannya yang baru saja menikah. Kesya agak
berdebar-debar juga. Dia belum pernah masuk ke bridal mana pun. Dia menerkanerka seperti apa bentuk bridal.
"Selamat pagi, Mbak Cecil. Selamat datang di Bride"s World. Apa kabar" Nama
saya Anita. Saya yang akan membantu Mbak Cecil di sini," sapa seorang gadis
cantik yang mengenakan seragam Bride"s World.
Cecil langsung mencium pipi kiri dan pipi kanan Anita. Satu kebiasaan yang
tidak terlalu disukai Kesya. Padahal Cecil, sama juga seperti Kesya, baru pertama
kali bertemu Anita di sini. Ngapain juga pake cium pipi kiri dan kanan" Kesannya
kok sok akrab. Kalau memang sudah akrab, Kesya lebih memilih sebuah pelukan
yang hangat daripada acara cium pipi basa-basi seperti itu.
"Baik, baik...," jawab Cecil sambil tersenyum lebar. "Eh, ini kenalin. Kesya. Dia
nanti yang bakal jadi bridesmaid. Dia sahabat aku..."
"Selamat pagi, Mbak Kesya..." Anita sudah mencondongkan tubuhnya, siap
untuk bercipika-cipiki dengan Kesya. Namun, Kesya segera mengulurkan
tangannya. Anita tampak sedikit terkejut, tapi sambil menebar senyum manis, dia
membalas uluran tangan Kesya dengan profesional.
"Hari ini saya mau lihat-lihat baju pengantin ya...," ujar Cecil.
"Oohh... mari silakan. Madame Daphne sudah menunggu di atas..."
"Madame?" bisik Kesya pelan, merasa terganggu dengan julukan yang diberikan
di depan nama perancang busana itu. "Kok kayak panggilan untuk peramal sih?"
"Sst..." Cecil menatap tajam ke arah Kesya. "Orangnya memang rada unik."
Kesya mengangguk-angguk. Sambil menapaki tangga, dia berusaha merekareka seperti apa rupa Madame Daphne yang menurut Cecil unik itu.
Anita mengajak mereka ke lantai dua gedung itu. Pintu diketuk, dan seorang
wanita paruh baya membuka pintu dari dalam.
"Hai, Cecil...," sapa wanita itu dengan suara berbisik.
"Halo, Madame Daphne...," balas Cecil tak kalah ramah.
Kesya melongo. Ini yang namanya Madame Daphne"! Wanita paruh baya ini
mengenakan pakaian ala gadis-gadis Gipsi, lengkap dengan bandana yang
menutupi rambutnya. Di lehernya tergantung berlapis-lapis kalung. Bukan kalung
lapis yang sedang ngetop belakangan ini. Kalung-kalung itu tampak menyeramkan.
Ada kalung yang menyerupai taring ular, duri-duri mawar yang tajam, sampai
motif tengkorak. Belum lagi riasan wajahnya, Madame Daphne membingkai
matanya dengan celak yang sangat hitam. Bibirnya tertutupi listrik yang juga
berwarna hitam. Dengan dandanan seperti ini, rasanya Madame Daphne tidak
cocok berprofesi sebagai desainer baju pengantin yang berpengalaman. Madame
Daphne, hmmm... Madame Daphne mungkin lebih tepat, lebih cocok berprofesi
sebagai cenayang! Hmm... mungkin itu sebabnya dia dipanggil Madame Daphne...
Cecil menyikut rusuk Kesya. Kesya pun tersadar, lalu menutup mulutnya yang
sedari tadi masih terbuka lebar.
"Kenalkan... ini Kesya, bridesmaid saya..." Cecil mendorong tubuh Kesya maju ke
depan. Madame Daphne tersenyum sangat lebar. Pipinya yang diberi blush-on
merah terang tampak bergerak-gerak.
"Hmmm... bridesmaid-nya juga cantik ya... Kalian berdua memang sama-sama
cantik..." Kesya tersenyum dan mengulurkan tangan. Madame Daphne membalas uluran
tangan Kesya dengan jabatan yang erat. Kalungnya bergemetaran ketika Madame
Daphne bergerak. "Hari ini saya mau liaht-lihat baju pengantin, Madame...," ujar Cecil sambil
tetap tersenyum cerah. Keinginan untuk melihat-lihat gaun pengantin rancangan
Madame Daphne telah membuatnya berseri-seri sepanjang hari. Cecil sangat
mengagumi Madame Daphne. Perancang busana yang satu ini kepiawaiannya telah
diakui dalam skala internasional. Madame Daphne sering memenangkan berbagai
lomba perancang busana tingkat internasional. Prestasinya yang terakhir adalah
merancang gaun pengantin dari kulit jagung.
"Ooh... silakan... Ini desain-desain terbaru saya. Kamu boleh lihat-lihat sampai
puas..." Madame Daphne menggandeng tangan Cecil, membawanya ke ruang
koleksi baju pengantin rancangannya. Cara jalannya sangat misterius. Rok panjang
lipit yang dikenakannya menutupi kakinya. Kesya mengikuti kedua perempuan itu
sambil memandang ke arah rok lebar Madame Daphne, berusaha mencari sepasang
kaki dari balik rok itu. Apa jangan-jangan dia memang nggak punya kaki ya" Kesya
bergidik ngeri. Suara tawa tertahan di sebelahnya membuat Kesya tersadar. Rupanya Anita.
Gadis itu masih berdiri di sana dan sekarang sedang memperhatikan Kesya sambil
terkikik geli. Wajah Kesya memerah, pasti dia kelihatan konyol banget tadi! Atau
malah bodoh banget! Waah... lebih parah dong.
Kesya buru-buru memperbaiki sikapnya, tidak mau kelihatan konyol lagi. Dia
memandang ke sekeliling ruangan dan baru menyadari betapa megahnya ruang
pengepasan gaun pengantin ini. Ruangannya sangat besar. Di kanan-kiri terpasang
kaca yang sekaligus berfungsi sebagai dinding. Siraman lampu kuning membuat
ruangan ini terasa nyaman.
Madame Daphne membuka salah satu kaca besar di sisi ruangan.
Oohhh... rupanya kaca itu bukan kaca biasa. Terdapat lemari besar di baliknya.
Di dalam lemari itu tersimpan banyak sekali gaun pengantin.
"Hmmm... what kind of wedding gown do you like, dear?"
Cecil duduk di salah satu bangku panjang yang memang diletakkan di tengahtengah ruangan. Kaki jenjangnya disilangkah dengan anggun.
"Hmmm..." Dia memuntir-muntir rambut keriting pendeknya. "I want to look
sexy, but gorgeous!"
Madame Daphne tersenyum misterius.
Kesya bergidik lagi melihat senyum itu.
"Bagaimana kalau yang ini?" tanyanya sambil mengeluarkan sebuah gaun
pengantin dari plastik penutupnya.
Gaun berwarna putih yang terbuat dari bahan brokat itu memang terlihat sangat
indah. Modelnya sederhana dan sangat bersahaja. Benar-benar indah!
"Ayo, coba yang ini dulu...," ajak Madame Daphne. Tangannya melambai
kepada Anita yang langsung sigap datang. Cecil masuk ke ruang kecil di sudut
ruangan, diikuti oleh Anita.
"Kesya, kamu tunggu di sini dulu ya...," pinta Cecil.
Kesya mengangguk, lalu duduk di bangku panjang yang tadi diduduki Cecil.
Cukup lama juga Cecil dan Anita berada di dalam ruang ganti itu. Malas duduk
terus, Kesya bangkit dan melihat-lihat koleksi gaun pengantin rancangan Madame
Daphne. Jiwa desainernya mulai bangkit melihat gaun yang indah-indah itu. Di
dalam otaknya berkelebat berbagai macam desain perhiasan. Semuanya saling sikut,
saling dorong memenuhi rongga kepalanya. Semuanya terinspirasi dari gaun
pengantin yang indah-indah ini.
Suara gemeresik gaun menyadarkan Kesya dari baku hantam ide di kepalanya.
Cecil telah keluar dari balik ruang pengepasan. Tampak sangat cantik dengan gaun
pengantin indah itu! "Gimana?" tanya Cecil pelan.
Kesya tersenyum lebar. "Bagus banget, Cil!" pujinya.
Wajah Cecil tidak tersenyum. "Aku nggak suka bahannya. Kelihatannya berat.
Aku jadi kelihatan gendut deh!"
Dahi Kesya mengernyit. "Gendut"!" Kesya memperhatikan tubuh Cecil dari atas
sampai bawah. Hmm... tidak tampak sedikit pun timbunan lemak. "Kamu
kerempeng gitu kok dibilang gendut"! Gimana bisa gendut sih, Cil"!"
Cecil tambah cemberut lagi. "Aku nggak suka deh. Nggak cocok di badanku."
Kesya mengangkat bahu. Dia masih tetap merasa gaun itu sangat indah dipakai
Cecil. "You"re the bride. Ya terserah kamu aja..."
"Ya udah, kita lihat yang lain aja ya...," ajak Madame Daphne sambil mengambil
gaun yang lain lagi. Kali ini, menyesuaikan pilihannya dengan komentar Cecil
barusan, gaun pengantinnya terbuat dari bahan sutra yang ringan dan lembut.
Beberapa menit kembali dihabiskan Cecil dan Anita di balik ruang ganti. Ketika
keluar, lagi-lagi Kesya merasa gaun yang dipakai sangat cocok dengan lekuk tubuh
Cecil. "Bagus...," puji Kesya.
Namun, lagi-lagi tidak ada senyum di wajah Cecil. Dia menatap pantulan
bayangannya di cermin raksasa dengan dahi mengernyit dan mulut memberengut.
Lalu dia berbalik menatap Kesya dan Madame Daphne.
"Gaun ini terlalu simpel. Aku nggak merasa kayak putri!" keluh Cecil sambil
menatap pantulan dirinya di cermin.
Kesya menghela napas. It"s gonna be a long day..., desahnya dalam hati.
Benar, kan"! Waktu Cecil bilang terima kasih kepada Madame Daphne, waktu
sudah menunjukkan pukul enam sore. Dan selama itu Cecil sudah mencoba 27 gaun
pengantin rancangan Madame Daphne. Selama itu juga Kesya sudah beberapa kali
mengganti posisi duduknya. Dari duduk manis ala putri bangsawan Inggris: duduk
dengan kaki dirapatkan, posisi menyamping ke kanan. Duduk gaya sekretaris seksi:
duduk tegak, posisi menyamping, dengan satu kaki menopang kaki lainnnya.
Duduk ala cowok macho: kaki membuka lebar, badan condong ke depan dengan
kedua siku menumpu pada masing-masing lutut"oh ya, tidak lupa jemari tangan
saling ditautkan. Sampai duduk kelelahan: duduk dengan punggung direbahkan ke
sandaran kursi, kepala terkulai lemas di atas sandaran kursi, satu tangan tergeletak
lemah hampir menyentuh lantai, dan tangan lainnya ditaruh di atas perut, kaki
diselonjorkan ke depan, tidak peduli orang yang mau lewat di depannya tersengkat
jatuh! Dan... setelah mencoba begitu banyak gaun, Cecil belum dapat memutuskan
gaun mana yang akan dipilihnya. Benar-benar deh Cecil! Untung Madame Daphne
wanita yang sabar. Katanya, calon pengantin memang tidak pernah langsung
menetapkan gaun pilihannya. Perlu beberapa kali melihat-lihat, baru kemudian
dapat yang cocok. Madame Daphne sepertinya sudah berpengalaman menghadapi
calon pengantin yang terkadang tidak dapat ditebak kemauannya.
Kesya hampir tidak mendengar ketika Cecil mengajaknya keluar dari Bride"s
World. Pikirannya sudah setengah melayang. Dia menyesal sekali kenapa buku
sketsanya ketinggalan di apartemen. Biasanya kalau menunggu lama begini, Kesya
suka mengisi waktu dengan menggambar apa saja di buku sketsanya. Lumayan,
siapa tahu hasil coretan isengnya itu bisa membuahkan perhiasan yang dapat dijual
di toko perhiasannya, Kesya"s Collection.
"Hah?" tanyanya setengah tidak sadar pada Cecil yang sudah berdiri di
depannya. Penampilan Cecil masih tampak anggun tidak bercela. Lipstiknya masih
tetap menempel dengan sempurna. Rambut keritingnya tetap rapi. Wajahnya tetap
segar dan berseri-seri. Padahal mereka sudah berada di sana selama, Kesya
mengejek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ya ampun... sudah hampir
tujuh jam!!! Dengan lesu Kesya mengikuti Cecil keluar dari Bride"s World. Benar-benar
tanpa semangat, dia mengikuti Cecil berjalan ke Peugeot 307 merah milik
sahabatnya itu. Komentar Cecil tentang ke-27 gaun pengantin yang dicobanya tadi
hanya ditanggapi Kesya dengan hah, huh, he-eh, dan sesekali oh ya...
Kesya benar-benar tidak ada tenaga sekarang....
2 JAM sudah menunjukkan pukul 17.30. Kesya masih berada di ruang kerjanya. Dia
masih menyelesaikan sketsa rancangan barunya. Sketsa itu terinspirasi dari gaungaun pengantin yang dilihatnya saat menemani Cecil mengepas gaun pengantin.
Untung sekali Kesya dianugerahi daya ingat yang luar biasa sehingga walaupun
stres dan kelelahan berat saat menghabiskan waktu tujuh jam untuk menunggu
Cecil mengepas baju pengantin, otaknya masih dapat berkarya secara kreatif.
Hasil karya terbarunya kali ini adalah sebuah bros berbentuk lima buah berlian
indah yang tersusun rapi vertikal. Tepinya dihiasi emas putih yang berbentuk
ranting-ranting kering. Kesya memperhatikan sketsa rancangannya, kemudian
menambahkan sedikit detail untuk mempermanisnya.
"Bu Kesya..." Sebuah suara centil terdengar dari pintu ruang kerjanya. Itu Mona,
salah seorang penjaga tokonya. "Ada telepon di line tiga," ujar Mona sambil
tersenyum manis. "Thanks, Mona," ujar Kesya juga sambil tersenyu. "Halo..."
"Kesya, can you please do me a favor?"
Kesya menghela napas. "Ya, Cecil..."
"Alo rencana mau ngepas jas hari ini. Dia minta aku temenin, tapi aku nggak
bisa. Ada rapat dengan Pak Anto, pemilik hotel. Nggak bisa ditinggal sama sekali...
Dan kamu tau sendiri, biasanya meeting sama pemilik hotel bisa alot banget!"
Dahi Kesya mengernyit. "Bukannya memang seharusnya kamu yang nemenin


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alo ngepas jas?" "Aduh, tolong deh. You are my bridesmaid..."
"Tapi..." "Aduh, meeting-nya udah mau mulai. Thanks before ya, Kesh..."
Dan telepon pun diputus. Sekali lagi Kesya menghela napas. Dia menyimpan sketsa rancangannya di
brankas ide, untuk disempurnakan nantinya. Kemudian dia mengambil tas
tangannya dan beranjak keluar dari toko.
Groom"s Bestfriend terletak di salah satu pusat pertokoan di tengah kota Jakarta.
Alo, tunangan Cecil, sudah tiba di sana. Dia kini sedang melihat-lihat model jas
pengantin dalam buku. "Hai, Alo...," sapa Kesya.
Alo mendongak, tampak terkejut dengan kehadiran Kesya.
"Hai, Kesh..." Alo memeluk hangat Kesya. "How are you?"
"Fine... Selamat ya, untuk pertunangan kamu dan Cecil. I"m so happy for both of
you." Kesya balas memeluk Alo. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan Alo,
teman semasa SMA-nya ini. Kesya tahu dari Cecil bahwa Alo baru kemarin tiba di
Jakarta. Beristirahat beberapa minggu dari kesibukannya memimpin medan perang
di perusahaannya. Itu istilah Cecil. Menurut Kesya sih istilah itu terlalu berlebihan.
Biasa deh Cecil. "Thanks. Mana Cecil?" tanya Alo sambil melihat ke belakang Kesya. Mencari
sosok Cecil. "Lho" Cecil nggak bilang, ya?" tanya Kesya.
"Bilang apa?" giliran Alo yang bertanya.
"Dia nggak bisa datang. Ada meeting dadakan dengan pemilik hotel, makanya
dia suruh aku ke sini untuk temenin kamu..."
Kepala Alo terangguk-angguk. Agak risi juga Kesya melihat penjaga toko
mencuri pandang ke arahnya. Mungkin dia berpikiran bahwa Kesya adalah calon
pengantin Alo. "Saya bridesmaid-nya...," ujar Kesya menjawab pertanyaan tersirat si penjaga
toko. Alo tersenyum melihat ulah Kesya. "I"m so glad that you can be with me. Aku suka
bingung kalau disuruh milih-milih begini. Jadi bingung sendiri!" ujarnya sambil
melihat-lihat katalog bahan.
"Emangnya kamu mau model jas yang seperti apa?" Kesya berusaha membantu.
"Hmm... yang biasa aja. Yang nyaman dipakainya."
Kesya tersenyum. Khas Alo banget. Alo memang orangnya nggak suka yang
ribet-ribet. Yang penting dia harus merasa nyaman.
"Hmm... gimana kalo model yang ini?" tanya Kesya.
Alo memperhatikan gambar jas yang ditunjuk Kesya. "Boleh deh," ujarnya.
Setelah menentukan model dan bahannya, Alo langsung diukur oleh penjahit.
Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menyelesaikan tugasnya.
Alo laki-laki yang sangat kooperatif.
"Apa kabar orangtua kamu?" tanya Alo. Tubuhnya masih diukur oleh penjahit.
"Thanks for asking. Mereka baik-baik aja."
Alo tersenyum. "Gimana dengan kamu" Kapan kamu nyusul aku dan Cecil?"
Wajah Kesya sedikit berubah mendengar pertanyaan Alo. Sebuah pertanyaan
yang sebenarnya biasa saja, tapi bagi Kesya, pertanyaan itu supersensitif. Dia
memaksakan seulas senyum.
"Kamu gimana sih" Calon aja aku belum punya," jawab Kesya.
"Lho, yang namanya Jansen itu siapa" Cecil sering nyebut-nyebut nama dia
lho..." Kurang ajar Cecil! Pasti dia cerita yang jelek-jelek tentang Jansen! maki Kesya dalam
hati. "Apa pun yang kamu dengar dari Cecil, jangan percaya deh. Pasti nggak bener!"
Alo tersenyum. "Hmmm, by the way, siapa yang jadi bestman-nya?" tanya Kesya. Daripada Alo
terus membicarakan topik sensitif itu, lebih baik Kesya mengubah topik
pembicaraan. "My best friend. Namanya Marco. Seharusnya dia juga bikin jas hari ini, tapi aku
belum berhasil mengontak dia. Dia orang sibuk," Alo menjawab sambil tersenyum.
Kesya mengangguk-angguk. Marco... namanya bagus juga, pikirnya.
*** "Ayo, lihat ke arah kanan... Ya, begitu. Satu... dua... tiga..."
Jepret! Dan lampu flash pun menyala terang.
Kesya memperhatikan Jansen sambil bersandar di dekat pintu. Lagu This Lovenya Maroon 5 mengalun cukup keras dari CD player. Jansen sedang bersemangat
sekarang. Setiap kali bekerja, cowok itu harus ditemani musik. Jenis musik yang
didengarkan mengindikasikan perasaan hatinya.
"Mbak Kesya..." Lindi, pengarah gaya yang sering bekerja sama dengan Jansenlah yang pertama kali menyadari kehadiran Kesya. Jansen terlalu sibuk membidik
modelnya sehingga tidak menyadari kehadiran Kesya.
Kesya mengangguk singkat sambil menempelkan telunjuk di bibir. Tanda agar
kehadirannya jangan sampai mengganggu kerja Jansen.
Lindi mengangguk pelan, lalu kembali pada kesibukannya membantu Jansen.
Dua puluh menit kemudian, sesi pemotretan itu akhirnya selesai.
"Terima kasih ya...," ujar model cantik itu sambil mengecup pipi Jansen. Jansen
terkejut mendapat perlakuan seperti itu. Meja plastik yang menjadi salah satu alat
peraganya tanpa sengaja tersenggol dan jatuh dengan bunyi keras.
Catherine, model cantik itu, tersenyum melihat kekikukan Jansen. Tapi dia
sudah terbiasa menghadapi fotografer itu. Dengan santai dia melenggang ke kamar
ganti. "Eh, Mbak Kesya... apa kabar?" Catherine tampak baru menyadari kehadiran
Kesya. Dia langsung membenturkan pipinya ke pipi Kesya. Lagi-lagi tindakan sok
akrab yang sangat dibenci Kesya.
"Baik. Kamu sendiri gimana?" Kesya berusaha menjawab basa-basi Catherine.
"Naik dua kilo...," desahnya pelan.
Haah"! Kesya melongo heran. Sepertinya tadi dia menanyakan bagaimana kabar
Catherine. Kenapa jawabannya malah naik dua kilo"
"Yah... gara-gara belakangan ini banyak party-party yang harus aku host-in,
jadinya badanku melar dua kilo... Lihat deh perutku, tambah gendut, kan?" ujarnya
sambil menunjuk ke arah perutnya.
Kesya tambah melongo. Perut yang ditunjuk Catherine tampak rata.
Aneh! Orang udah kayak penderita anoreksia gitu kok masih dibilang kegendutan!
Apa sih maunya para model ini"
Tanpa memedulikan kebingungan Kesya, Catherine melenggang pergi.
Kesya menghampiri Jansen, masih dengan tatapan heran. Jansen tersenyum
gugup melihat mimik bingung Kesya.
"Begitulah model-model itu... selalu... selalu yang dipedulikan hanyalah berat
badan mereka...," komentarnya sambil membereskan peralatannya. Salah satu lensa
kamera tergelincir dari tangan Jansen. Hampir saja jatuh. Untung Lindi sigap
menangkap lensa itu sebelum mencium lantai.
Jansen tersenyum lebih gugup lagi. Kini dia menggosok lensa itu berulangulang.
Kesya ikut tersenyum. "Kasihan juga ya mereka...," ujarnya, berusaha
menetralisir suasana canggung itu.
"Siapa?" tanya Jansen. Wajahnya terlihat bingung. Kacamatanya melorot di
hidungnya yang berminyak.
"Model-model itu...," jawab Kesya ikut bingung.
"Lho, memangnya kenapa?" Jansen masih melongo seperti anjing ompong yang
dikasih tulang keras untuk makan malamnya.
Dahi Kesya mengernyit. Tadi kita sedang membicarakan model-model, kan" pikirnya
bingung. Apa aku yang salah tanggap"
"Tadi kan Mbak Kesya dan Mas Jansen lagi ngomongin soal model-model yang
mati-matian menjaga berat badan," Lindi berusaha mengingatkan.
"Ooh iya ya...," Jansen mengangguk-angguk. "Iya, itu kan aset terbesar mereka.
Kalau sampai badan mereka melar, bisa-bisa mereka nggak laku lagi...," timpal
Jansen lagi. "Omong-omong, tadi itu sesi pemotretan buat apa sih?"
"Buat majalah fashion. Gaun malam gitu deh..."
"Bagus-bagus ya bajunya," ujar Kesya sambil memegang-megang beberapa baju
yang tadi diperagakan Catherine.
"Iya, Mbak Kesya. Ini baju rancangan Madame Daphne... perancang busana
terkenal itu. Dia itu sebenarnya perancang gaun pengantin, tapi sekarang mau cobacoba merancang gaun malam juga," timpal Lindi.
"Ooh... Madame Daphne..." Kesya mengangguk-angguk. "Aku pernah ketemu
dia." "Yang bener, Mbak?" Mata Lindi berbinar.
Kesya mengangguk. "Sahabatku mau menikah. Dia berencana memakai
rancangan gaun pengantin Madame Daphne untuk pernikahan. Rancangan dia
memang bagus-bagus sih."
"Wah, saya ngefans banget sama dia. Orangnya gimana, Mbak Kesya?" tanya
Lindi penuh semangat. "Hmm..." Kesya bingung. Masa dia harus bilang idola Lindi itu orang yang unik
mendekati aneh" Nggak mungkin dong. Apalagi melihat binar silau di mata Lindi.
Nggka tega rasanya harus berkomentar seperti itu...
"Hmmm dia orang yang... yang kreatif, bertanggung jawab, tidak pernah
terlambat membayar pajak, dan selalu membuang sampah pada tempatnya..."
Lho, lho, lho" Gitu deh jadinya kalau Kesya harus berkata tidak yang sebenarnya. Sejak kecil
Kesya tidak pernah bisa berbohong. Kalaupun harus berbohong, akhirnya ya... yang
keluar dari mulutnya adalah hal-hal aneh yang tidak masuk akal.
"Benar, Mbak Kesya" Wah... saya yakin Madame Daphne pasti orang yang taat
pajak!" ujar Lindi. Keceriaan di wajahnya tidak berkurang sedikit pun.
Kesya jadi bingung... Masa sih Lindi percaya apa yang baru saja dikatakannya"
"Lain kali, kalau Mbak Kesya ketemu Madame Daphne lagi, saya minta titip
tanda tangannya ya, sekalian fotonya," ujar Lindi bersemangat.
Kesya mengangguk, sebagian karena tidak tega melihat keceriaan di wajah
Lindi, sebagian lagi takjub karena Lindi begitu saja percaya dengan apa yang
dikatakannya. Lindi berlalu pergi, masih dengan keceriaan yang terus menempel di wajahnya.
Kesya memandang kepergian Lindi, masih dengan tatapan tidak percaya.
"Wah, hebat ya si Madame Daphne. Aku selalu respek pada orang-orang yang
tidak membuang sampah sembarangan...," komentar Jansen.
Haah" Jadi Jansen juga percaya"!
"Smile...," ujar Jansen sambil mengarahkan kamera Polaroidnya ke arah Kesya.
Kesya tidak jadi menyuarakan kebingungannya dan... jepret...!
Tidak sampai dua detik, hasil foto yang diambil Jansen itu keluar. Jansen
mengibas-ngibaskan lembar foto itu, lalu memberikannya kepada Kesya.
"Ayu," ujarnya sambil menaikkan kacamatanya yang melorot di hidung.
Kesya memperhatikan ekspresi wajahnya dalam foto itu. Selalu bagus jadinya
kalau Jansen yang membidiknya. Entah kenapa, tapi kalau dipotret oleh orang lain,
hasilnya tidak pernah secantik ini.
*** Tulisan besar itu terpampang di pintu masuk JCC. Gedung megah nan besar itu
ramai oleh pengunjung yang berbondong-bondong datang menyaksikan pameran
yang telah 25 kali diselenggarakan. Pameran besar yang diadakan dua tahun sekali
itu memang sangat dinanti-nantikan para pencinta perhiasan. Ada yang memang
berniat membeli perhiasan, ada juga yang hanya iseng-iseng cuci mata.
"Gila... rame juga ya orangnya...," ujar DeeDee sambil tersenyum penuh gairah.
Kesya tersenyum. DeeDee itu adik kelasnya saat dia menuntut ilmu sebagai
desainer perhiasan di Jepang. Nama aslinya Diana Divia, tapi biasa dipanggil
DeeDee. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya dan pulang ke Jakarta untuk
menimba pengalaman sebagai asisten Kesya.
"Kamu ikutan pameran juga kan, Kesh?" tanya DeeDee.
Kesya mengangguk. Dia dan teman-temannya di Asosiasi Perancang Perhiasan
Indonesia (APPI) memang diharuskan mengikutsertakan karya mereka dalam
pameran. Hal ini dilakukan agar kreativitas mereka tetap terasah, sekaligus agar
nama mereka dikenal masyarakat luas.
"Kamu pasti suka deh ngeliat pameran ini. Banyak perancang ngetop yang juga
ikutan pameran," ujar Kesya.
DeeDee mengangguk penuh semangat. Poninya ikut bergoyang. Antusiasme
terpancar dari wajahnya, membungkus seluruh tubuhnya bagai sinar aura. Berdua
mereka masuk ke dalam gedung JCC. Karena ramai, Kesya terpaksa memarkir
mobilnya agak jauh dari pintu masuk utama. Sekarang mereka berdua berjalan
menuju pintu masuk, agar tersandung-sandung karena jalanan yang tidak rata plus
sepatu high-heels yang bikin repot.
Kesya berdandan ekstra hari ini. Maklum, kalau ada pameran begini, biasanya
para customer juga akan berbondong-bondong datang. Kesya harus menjaga citranya
sebagai desainer muda yang profesional di hadapan para customer-nya. Salah
satunya adalah dengan menjaga penampilan.
Dentingan piano mengalun lembut di dalam ruangan besar itu. Banyak sekali
etalase kaca yang ditata apik. Lampu kuning membuat perhiasan-perhiasan yang
dipamerkan tampak berkilauan indah.
"Waah!" DeeDee menahan napas.
"Kamu tuh nggak berubah ya," ujar Kesya sambil tersenyum. Kesya ingat,
ketika dia memperlihatkan hasil karyanya yang pertama kepada DeeDee, ekspresi
gadis ini juga seperti ini. Seperti anak kecil yang kegirangan dikasih balon.
"Tapi ini memang bagus banget, Kesh!" Mata DeeDee sibuk melahap apa saja
yang tersaji di hadapannya. "Yang mana desain kamu?"
"Itu." Kesya menunjuk ke arah stand yang memang sengaja disewa oleh APPI.
DeeDee bergegas menghampiri stand yang ditunjuk Kesya.
Sepuluh buah perhiasan tertata rapi dalam etalase bermandikan sinar kuning
dari lampu sorot. Tulisan Kesya Artyadevi tercantum dalam label yang diletakkan di
tengah-tengah deretan perhiasan itu.
"Sebenarnya masih ada lima lagi, dua kalung dan tiga cincin, tapi belum selesai
dengan sempurna. Baru sampai proses finishing, tapi sudah harus pameran,"
jelasnya. "Waah! Bagus-bagus banget...," desah DeeDee, kedua tangannya menangkup
pipi dengan gaya dramatis. "Kapan ya aku bisa seperti kalian?" Kali ini matanya
menerawang. "Pasti bisa asal kamu mau berusaha!" ujar seorang laki-laki yang baru keluar
dari dalam stand. "Hai, Tom." Kesya memeluk erat laki-laki itu. "Kebagian giliran jaga stand, ya?"
Tom mengangguk. "Habis yang lain pada nggak bisa. Kamu juga nggak bisa,
kan?" tanyanya. Kesya tersenyum. Akhir-akhir ini waktunya memang tersita untuk membantu
persiapan pesta pernikahan Cecil.
"Kesya!" Sebuah suara melengking membuat kepala mereka bertiga menoleh.
Rasanya tidak hanya kepala mereka bertiga yang menoleh, melainkan hampir
semua kepala yang berada di dalam ruangan itu ikut menoleh, mencari asal pemilik
suara melengking seperti banshee itu.
Seorang wanita gemuk dengan dandanan yang kelewat berlebihan berjalan
dengan penuh semangat ke arah mereka bertiga.
"Kesya! Saya sudah yakin kamu pasti akan ada di sini! Yakin sekali kamu pasti
akan ada di sini," ujarnya sambil membenturkan pipinya yang hampir seluruhnya
tertutup blush-on merah menyala itu ke pipi Kesya. Kesya langsung merasakan
gatal-gatal di pipinya, tapi ditahannya keinginan untuk menggaruk atau sekadar
mengusap pipi. Wanita gemuk ini adalah Nyonya Juliet Anggoro, salah satu
customer penting Kesya. "Hai, Nyonya Juliet...," sapa Kesya.
"No no no... Jangan panggil saya Nyonya sekarang... Jangan panggil Nyonya...,"
ujarnya. Dia memang terbiasa mengatakan segala sesuatunya lebih dari satu kali.
Telunjuk gemuk Nyonya Juliet Anggoro bergerak ke kanan dan ke kiri. Kesya
langsung teringat wiper mobilnya. Kepala Nyonya Juliet Anggoro yang ditumbuhi
rambut keriting lebat tampak bertambah besar dengan hiasan rambut yang banyak.
Sekarang kepala itu bergoyang-goyang mengikuti perkataannya. DeeDee menatap
kepala itu dengan khawatir, takut kalau-kalau kepala itu terlepas dari lehernya.
"Apa Anda sekarang berubah menjadi nona?" tanya Kesya bingung.
Nyonya Juliet tertawa terbahka-bahak. Kalau tadi Kesya merasa bahwa hampir
semua kepala yang berada di gedung pameran JCC ini menoleh memandangi
mereka, sekarang Kesya yakin semua orang di JCC ini pasti sedang penasaran
mencari-cari sumber tawa melengking ini.
"Aah... kamu lucu sekali, dear. Lucu sekali... Tidak, saya tidak bercerai dengan
Tuan Anggoro. Tidak bercerai. Mana mungkin saya bisa bercerai dengan dia" Kalau
saya bercerai, dari mana saya bisa dapat uang" Dari mana saya dapat uang?"
Kesya mengangguk sambil memaksakan seulas senyum. Dia merasa risi dengan
tingkah laku Nyonya Juliet sekarang.
"Panggil saya Madame Juliet. Madame Juliet Anggoro."
Madame"! Again"! Kenapa sih sekarang semua wanita menambahkan embel-embel "Madame" di


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan nama mereka"! Waktu itu Madame Daphne, sekarang Madame Juliet" Who"s
next" Madame Kesya Artyadevi?""
Kesya menggeleng. Rasanya tidak cocok kalau dia juga menambahkan sebutan
"Madame" di depan namanya!
"Ingat ya, dear... Madame... Madame Juliet Anggoro...," ujar Nyonya, eh...
Madame Juliet sambil mengejap-ngejapkan bulu mata panjangnya, hasil bonding
jutaan rupiah. "Hmmmpppfffftttt..." Dari sebelah, terdengar suara seperti tersedak. Kesya
yakin itu suara DeeDee dan Tom yang sedang setengah mati menahan tawa.
Kesya buru-buru menyikut mereka. Dia sendiri juga sudah tidak dapat menahan
tawa. Aksi Madame Juliet memang sudah kelewat berlebihan. Tingkahnya sudah
seperti kucing betina di musim kawin. Lirik sana, lirik sini. Tebar pesona ke manamana.
"Hmmmfffttt... maaf, Madame, saya permisi ke toilet dulu...," ujar Kesya sambil
buru-buru menarik tangan DeeDee.
"Aahh... pipis memang kegiatan yang menyenangkan ya. Sangat
menyenangkan! Begitu semuanya sudah keluar... hmmm... Rasanya memang sangat
lega. Sangat lega!" komentar Madame Juliet dengan volume suara ekstra keras!
Wajah Kesya merah padam. Perlu nggak sih menjelaskan kegiatan buang air
kecil secara begitu mendetail" Apalagi dengan suara tinggi melengking begitu!
Kalau tidak ingat Madame Juliet adalah salah satu customer yang cukup penting,
ingin rasanya Kesya menonjok wajah bulatnya!
"Nah, siapa laki-laki tampan ini" Siapa laki-laki ini?" Kini pandangan Madame
Juliet beralih kepada Tom yang langsung pucat pasi.
Kesya dan DeeDee tidak tahan lagi. Mereka buru-buru berlari ke toilet dan
tertawa terbahak-bahak di sana.
"Kamu lihat nggak mukanya si Tom begitu Nyonya, eh... Madame Juliet
ngelihat ke arahnya?" komentar DeeDee masih sambil cekikikan.
Kesya mengangguk-angguk, terlalu sibuk terkikik untuk mengeluarkan sepatah
kata dari mulutnya. Bahkan dia tidak dapat menegakkan tubuh lagi. Sambil terus
tertawa, sebelah tangannya memegangi perut dan tangan sebelah lagi menopang
tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk menahan geli.
"Ketemu di mana sih customer seajaib dan sevulgar itu?" ujar DeeDee masih
sambil tertawa heboh. Dia masih teringat betapa detail Madame Juliet menerangkan
aktivitas berkemih tadi. "Orang-orang kaya, tingkah lakunya suka aneh-aneh, hmmfffttt..." Kesya tidak
berhasil menyelesaikan kalimatnya. Rasa geli kembali membuncah di dadanya,
terutama mengingat wajah pasrah Tom saat didekati Madame Juliet Anggoro.
Di samping kehebohan yang ditimbulkan oleh Madame Juliet, semua acara
pameran itu berjalan lancar. Kesya mengajak DeeDee berkeliling, memperlihatkan
perhiasan yang memesona. Dia juga memperkenalkan DeeDee kepada beberapa
temannya. DeeDee senang sekali. Duduk beberapa jam di pesawat dari Jepang ke
Indonesia ternyata tidak menyurutkan semangatnya. DeeDee memang tidak mainmain kalau sudah menyangkut topik perhiasan. Menjadi desainer perhiasan terkenal
adalah impiannya, dan hal ini pasti akan dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
"Kesh!" Kesya menoleh mendengar namanya dipanggil. Tampak Cecil dan Alo berjalan
menghampirinya. Kesya tersenyum dan menghampiri mereka. Cecil dan Alo
bergantian memeluk erat Kesya.
"Kami udah lihat hasil karya kamu. Bener-bener bagus!"
"Thanks." Kesya tersenyum lebar. "Oh ya, masih inget DeeDee?" Kesya menarik
tangan DeeDee. "Hai, DeeDee, apa kabar?" Cecil merangkul DeeDee. Cecil dan DeeDee sudah
saling mengenal. Dua tahun lalu, ketika Kesya pulang ke Indonesia karena libur
akhir tahun, DeeDee ikut dan menginap di rumah Kesya. Sejak itulah, DeeDee
mengenal Cecil. Sementara dengan Alo, baru kali ini DeeDee bertemu muka.
Selebihnya, dia kenal Alo lewat cerita Kesya dan Cecil.
"Baik, baik... By the way, selamat ya atas pertunangan kalian." DeeDee
menyalami Cecil dan Alo. Cecil dan Alo sama-sama mengangguk. "Kamu harus datang juga ya, di acara
pernikahan kami." Sekarang ganti DeeDee yang mengangguk.
"Tinggal di mana selama di Jakarta?" tanya Cecil.
"Aku tinggal di apartemen Kesya. Untuk sementara dulu deh..." DeeDee
tersenyum jail. "Kalian lihat-lihat doang atau niat beli?" tanya Kesya.
Cecil mengerling kepada Alo. "Rencananya sih mau liat-liat cincin kawin..."
"Tapi aku dan Cecil ingin kamu yang mendesain cincin kami...," ujar Alo.
Kesya mengangguk. "Oke. Silakan liat-liat dulu. Siapa tau ada model yang
kalian suka. Nanti aku modifikasi dengan rancangan pribadiku sendiri..."
"Thanks ya, Kesh..."
Cecil menggandeng tangan Alo lalu berjalan ke stand cincin kawin.
"Kesh, aku ke sana dulu ya..." DeeDee menunjuk ke sebuah stand yang
memajang aneka bros. Kesya mengangguk. "Aku di sini aja ya." Kakinya sudah lumayan pegal karena
sedari tadi menemani DeeDee berkeliling ruang pameran yang luas ini.
"Kesya..." Kesya berpaling ketika mendengar namanya dipanggil.
Jansen!!! Kesya tersenyum lebar. Ia memang mengundang Jansen untuk datang ke
pameran ini, tapi kata Jansen dia tidak bisa datang karena harus melihat lokasi
pemotretan. "Hai, Jansen...!" sapa Kesya ceria. "Katanya nggak bisa datang" Gimana dengan
lokasi pemotretannya?"
Jansen tersenyum gugup. "Oohh... itu... nggak jadi. Aku... aku memutuskan
untuk datang ke pameran kamu aja..."
Kesya tersenyum manis. Jansen kembali tersenyum gugup. Seperti biasa, dia menenteng kamera mahal
dan, seperti biasa juga, entah bagaimana saat melihat senyum Kesya, kamera itu
tergelincir dari bahunya. Kesya tertawa diam-diam, menikmati kegugupan Jansen.
Kesya sedang berjalan di sisi Jansen, memperlihatkan karya-karya yang
dipajang di stand APPI, ketika seorang wanita paruh baya mendekat.
Kesya memberi isyarat kepada Jansen bahwa dia harus melayani wanita itu.
"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kesya. Tom sedang ke
kamar kecil, dan minta tolong Kesya untuk menggantikannya. Kesya
memperhatikan wanita ini. Gayanya classy, cantik, dan anggun sekali. Rambutnya
digelung tinggi. Wanita paruh baya ini kini sedang memperhatikan dengan serius
beberapa perhiasan yang dipajang di dalam etalase stand APPI.
"Boleh saya lihat yang itu...," tunjuknya.
Kesya tersenyum lebar. Perhiasannyalah yang tengah ditunjuk oleh wanita
anggun ini. "Sebentar ya, Bu." Kesya mengeluarkan perhiasan yang diinginkan wanita itu
dan meletakkannya pada piring beludru warna biru.
Wanita anggun itu meraba kalung hasil rancangan Kesya dengan penuh
perasaan. "Ini harganya?" tanya wanita anggun itu sambil menunjuk bandrol harga yang
tergantung. Kesya mengangguk. Hatinya berdebar-debar. Berdoa dalam hati agar wanita
anggun ini tertarik untuk memiliki kalungnya.
"Ini permata asli?" tanyanya.
Kesya mengangguk lagi. "Yang terbaik dari jenisnya."
Wanita anggun itu mengangguk-angguk. Dia mengeluarkan lensa kecil dari
balik tas elegannya. Memperhatikan karat, hasil potongan, dan jenis berlian itu dari
balik lensanya. Tampak sangat ahli.
"Oke. Saya ambil yang ini..."
Yesss! jerit Kesya dalam hati. Perasaan bersemangat yang biasa dia rasakan saat
perhiasan rancangannya berhasil terjual kembali dia rasakan. Dengan penuh
semangat Kesya menyelesaikan urusan jual-beli itu.
"Ini, Bu," ujarnya sambil menyerahkan perhiasan yang telah dibungkus cantik
itu. Wanita anggun itu tersenyum. "Kamu perancangnya, ya?"
Kesya mengangguk sambil tersenyum. "Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Ekspresi bangga di wajahmu yang memberitahu saya," jawabnya sambil
tersenyum. Dia mengeluarkan selembar kartu nama dari balik tasnya. "Ini kartu
nama saya." Nama "Lidya Sostronegoro" tercantum di situ. Rupanya ibu classy itu kolektor
perhiasan. "Terima kasih, Bu Lidya," ujar Kesya.
Ibu Lidya Sostronegoro mengangguk dan berlalu sambil membawa bungkusan
perhiasan rancangan Kesya.
"Sold out?" Kesya berpaling dan mendapati DeeDee sedang menatapnya penuh harap.
"Iya dong..." Kesya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk
huruf V untuk Victory. 3 KRRRIIINGGG...! "Halo..." "Kesh!" "Ya, Cecil..." "Can I borrow a gun?"
Mata Kesya langsung melotot. Gun"! Buat apa Cecil mau pinjam senjata"
"Are you okay, Cil?" tanya Kesya hati-hati.
"No! I just want to die!"
"Cecil... kenapa sih?"
"Inget Finna?" Dahi kesya mengernyit, dan gambaran soal wanita dengan gigi tonggos dan
rambut panjang keriting tampak bergoyang dombret di pelupuk matanya. Yah,
Finna nggak benar-benar bergoyang dombret sih, tapi Kesya nggak punya istilah
lain untuk menggambarkan Finna. Senyum menyebalkan dan suara cemprengnya
memenuhi rongga kepala Kesya.
"Kenapa dia?" tanya Kesya dengan suara penuh ketakutan.
"Dia datang hari ini...," jawab Cecil lemah.
"Then?" Kesya berdebar menunggu kelanjutan cerita Cecil.
"Dia maksa-maksa jadi panitia untuk acara wedding-ku. Can you imagine that"!"
suara Cecil terdengar sudah mau menangis.
Pandangan Kesya langsung berkunang-kunang. Finna, sepupu jauh Cecil yang
nyebelin banget. Selalu omdo, omong doang. Orangnya nggak pernah mau kalah.
Selalu membanggakan pacarnya yang keturunan Inggris asli, dan dengan nada sinis
selalu menambahkan bahwa pacarnya itu bukan Inggris campuran seperti Alo.
Padahal Finna tidak pernah sekali pun membawa pacarnya ke acara keluarga. Kesya
dan Cecil bahkan meragukan bahwa Finna memang sungguh-sungguh punya pacar.
Abis, cuma omong doang! Nggak pernah sekali pun mereka melihat si cowok
peranakan Inggris aslinya itu!
Kesya masih ingat pengalaman mengerikan yang pernah dia alami bersama
Finna. Waktu itu mereka masih sama-sama SD. Ketika acara pesta perpisahan, Finna
bilang dress code yang ditentukan adalah kostum halloween. Jadilah Kesya dan Cecil
datang ke pesta perpisahan dengan mengenakan kostum genderuwo dan kostum
suster ngesot. Dan apa yang terjadi" Ternyata mereka dikerjain habis-habisan oleh
Finna. Tidak ada dress code halloween di pesta perpisahan mereka. Anak-anak
perempuan lainnya tampak cantik dan menawan dalam balutan gaun ala putri
kerajaan. Finna sendiri tampil lumayan, yah... tidak ada gaun yang dapat
membuatnya cantik jelita dalam seketika, apalagi dengan gaun kuning gading yang
dijahit mamanya. Waktu itu Kesya menangis tersedu-sedu karena cowok yang
disukainya langsung terbirit-birit melihat penampilannya.
"Kesh... kamu masih dengerin aku nggak sih?"
Teriakan Cecil membuat Kesya tersadar dari lamunannya.
Seolah baru saja memijakkan kaki di bumi setelah sepuluh tahun berada di
bulan, panic attack langsung melanda Kesya. Bayangan mengerikan tentang segala
macam aturan konyol, yang pasti akan diterapkan Finna, menari-nari di depan
matanya. Mungkin malah nanti dia akan dipaksa mengenakan gaun bridesmaid warna
hitam! Atau lebih parah lagi, Finna dengan sadis memaksanya untuk menanggalkan
seluruh pakaiannya baru kemudian mendampingi Cecil berjalan ke altar!
Oh no! Gila! Ini nggak bisa dibiarkan terjadi!
"Aduh, Cil. Kamu nggak bisa nolak, ya?" tanya Kesya memelas. Dia benar-benar
tidak ingin bekerja sama dengan Finna. Karena sudah cukup baik mengenal Finna,
dia tidak meragukan bahwa salah satu bayangan mengerikan yang dipikirkannya
akan benar-benar terjadi!
"I wish I could!" jerit Cecil. "Si nenek sihir itu langsung bilang ke mamaku dia
mau jadi panitia. Katanya dia sekarang membuka jasa sebagai wedding organizer di
Amerika. Mamaku juga, payahnya, langsung percaya aja. Sekarang mamaku
menurunkan titah untuk menjemput Finna di bandara dan menceritakan secara
detail rencana pernikahanku!" kata Cecil kesal.
"Kalo Finna jadi salah satu panitia kawinan kamu, aku nggak mau jadi
bridesmaid kamu!" teriak Kesya cepat.
"Kamu udah gila ya, Kesh?" bentak Cecil. "Aku udah bete banget karena dia
tiba-tiba memproklamirkan diri jadi salah satu panitia pernikahanku, sekarang
kamu mau mengundurkan diri jadi bridesmaid-ku. Can you just shoot me on my head"
Make it double then!" kata Cecil, sekarang terdengar frustrasi.
Kesya terdiam. "Kesya...," bisik Cecil lirih.
Wah, mulai deh! Kesya paling nggak tahan kalau Cecil sudah mengatur volume
suaranya sampai lirih begini. Dia pasti tidak akan tega menolak permintaan Cecil.
Tapi, tidak untuk kali ini.
Aku harus kuat! bisik Kesya dalam hati. Aku nggak mau deket-deket, apalagi
berurusan dengan Finna! "Nggak, Cil. Aku nggak bisa kalo ada Finna di deket-deket kamu," ujar Kesya
dengan suara yang dibuat setegas, setegar, dan sekuat mungkin.
"Kesya..." Cecil masih belum menyerah. Kali ini bisikannya bahkan lebih lirih
daripada sebelumnya. "Nggak, Cil. Aku bener-bener nggak bisa. Kamu tahu sendiri kayak apa Finna
itu..." Kesya masih terus mencoba bertahan.
"Please, Kesh... for our friendship?" Suara Cecil kini hanya berupa bisikan. Bahkan
lebih lirih daripada sebelumnya.
Damn it, Cecil! Kenapa sih mesti bawa-bawa persahabatan di saat-saat seperti ini"
Kesya menarik napas panjang. Tangannya meremas rambut. Pertahan dirinya
mulai runtuh, tetapi dia tetap menguatkan hati untuk terus berkata tidak.
"Kesya... kamu satu-satunya sahabat dekatku. Aku nggak akan mungkin
melewati semua kerepotan ini tanpa support dari kamu. Kamu tahu betapa raphunya
aku. Aku nggak akan bisa kuat kalau kamu nggak mau bantuin aku. Aku nggak
akan kuat kalau kamu nggak ada di sampingku. Aku juga nggak akan bisa ngapangapain kalau kamu nggak mau jadi bridesmaid-ku. Atau..."
Kesya bisa mendengar Cecil menghela napas.
Atau apa" "Atau... aku nggak jadi married aja kali ya?" sambung Cecil putus asa.
Hah"! Sudah gila kali ya si Cecil" Masa hanya karena Kesya tidak mau jadi
bridesmaid-nya, lalu dia jadi batal menikah"
"Cecil! Ngaco kamu!" bentak Kesya marah. "Masa cuma gara-gara gitu doang
terus kamu..." "Ya udah, aku nggak peduli!" sambar Cecil. "Kalau kamu nggak mau jadi
bridesmaid-ku, mendingan aku nggak usah married aja sama Alo! Biarin aja! Biar kita
bubar jalan aja! Biar nanti semua orang..."
"Oke, oke!" potong Kesya kesal. Dia kembali meremas-remas rambutnya. "Aku
tetap akan jadi bridesmaid kamu. Puas"!" ujarnya setengah berteriak.
Nada suara Cecil langsung berubah ceria.
"Banget!" Sialan Cecil! *** Satu jam kemudian, mereka sudah berada di bandara.
Cecil berdiri di balik pembatas besi hitam. Tubuhnya yang mungil tampak kalah
tinggi dibandingkan orang=orang lainnya. Kesya berdiri di sampingnya. Mengutukngutuk dalam hati kenapa dia mau-maunya menemani Cecil menjemput Finna.
"Lama banget sih?" dumel Cecil untuk yang ke-157 kalinya.
"Kita pulang aja deh ya...," balas Kesya juga untuk yang ke-157 kalinya.
Cecil mendelik ke arah Kesya. "Nggak ada ide yang lebih bagus ya?" bentaknya
kesal karena itu ide yang diulang-ulangKesya selama setengah jam terakhir ini.
"Ada. Aku pulang naik taksi, biar kamu nungguin Finna di sini sendirian!"
tantang Kesya sambil berkacak pinggang.
Cecil berbalik. Mata bulatnya melotot lebih besar ke arah Kesya. Tapi baru saja
dia hendak membalas perkataan Kesya, tiba-tiba sepasang tangan kurus menutup
kedua matanya. "Siapa ini?" tanya Cecil. Dia paling nggak suka main tebak-tebakan gini. Kayak
anak kecil saja! Kesya melirik si empunya tangan dan mendengus pelan.


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba tebak siapa ini?" ujar si empunya tangan kurus itu.
Nggak usah mikir pun pasti Cecil tahu siapa si empunya suara mendesah itu.
Suara mendesah yang dibikin-bikin itu (maksudnya sih biar kedengaran lebih seksi,
tapi jadinya malah terdengar seperti suara ngeong kucing ketika musim kawin!)
sudah dihakpatenkan oleh Finna!
"Hai, Finna...," sapa Cecil, masih dengna mata ditutup tangan kurus Finna.
"Hai, Cecil! My beautiful cousin! Si calon pengantin!" Finna membalik tubuh
Cecil dan memeluknya erat.
Kesya mendengus melihat adegan artifisial itu. Dulu Finna tidak pernah sudi
berpelukan dengan Cecil. Menurut Finna, keluarga Cecil kurang berkelas
dibandingkan keluarganya. Mungkin karena sekarang diberi tempat kehormatan
untuk menjadi salah satu anggota panitia dalam pernikahan Cecil, Finna sudi
memberikan pelukan erat kepada Cecil.
Kesya memperhatikan penampilan Finna. Sejak empat tahun yang lalu Finna
tinggal di Amerika, mengurusi usahanya yang, katanya, bergerak di bidang wedding
organizer. Tidak ada yang berubah setelah empat tahun ini. Tubuh Finna tetap kurus
tanpa daging, seperti orang kurang makan. Rambutnya tetap keriting panjang.
Wajahnya tetap over make-up, walaupun semua make-up itu tidak akan pernah
menandingi kehebohan gigi tonggosnya.
"Hai, Kesya..." Kini giliran Kesya yang dipeluk dengan erat.
Kesya memaksakan sebuah senyum di wajahnya. Susah banget! Karena
memang saat ini Kesya sedang tidak ingin tersenyum. Kalau tidak memikirkan
kesopanan, mungkin dia sudah muntah!
"Kita berdua akan jadi bridesmaid yang cantik di pesta pernikahan Cecil."
Tubuh Kesya menegang dalam pelukan lengan kurus Finna. Apa maksudnya"
"Aku juga jadi bridesmaid-nya Cecil!" ujar Finna dengan suara sengau. Dia
tertawa terkikik-kikik. "Mama kamu yang bilang begitu, Ceil."
Kesya mengernyit, tidak melihat sisi lucu dari pernyataan Finna. Malah
sebaliknya, dia merasa ketakutan sekali! Tatapan do-you-have-any-idea-about-this"
Kesya menghunjam Cecil. Cecil menggeleng lemah. Ya... lebih baik dia nggak tahu apa-apa. Kalo sampai dia tahu sesuatu tapi nggak ngasih
tahu aku, I will kill her! pikir Kesya sadis.
*** "Yah... begitu deh kira-kira. Yang paling berkesan buatku itu waktu aku harus
organize wedding party-nya Angelina Jolie-Brad Pitt. Mereka kan udah seleb terkenal
gitu. Mereka juga bisa dibilang seleb yang agak eksentrik. Jadi mereka mau pestanya
yang bener-bener berkesan banget. Extravaganza gitu! Mereka muter-muter nyariin
WO yang bisa mewujudkan pernikahan impian mereka, tapi akhirnya mereka balik
ke aku juga..." Finna terkikik-kikik lagi. Rambut keritingnya bergoyang-goyang
heboh. Tubuhnya juga ikut heboh bergerak-gerak. Sesekali dia membalikkan
tubuhnya menghadap Kesya yang duduk sendirian di kursi belakang.
Cecil melirik Kesya dari kaca spion. Yang dilirik balas melirik dengan tatapan
pasrah. "Terus ada lagi yang seru juga, waktu aku organize wedding party-nya Nicole
Kidman. Bener-bener berkesan deh. Mereka cuma mau pesta sederhana yang hanya
dihadiri orang-orang terdekat. It"s so repot, you know" Soalnya si Nicole itu maunya
banyak. Pokoknya dia mau yang terbaik untuk tamu-tamunya. Jadi semuanya
nggak boleh sembarangan...
"Blah blah blah..."
Sejak naik ke mobil Cecil, Finna tidak berhenti bercerita soal kehebatannya
sebagai WO sukses di Amerika. Mulai dari pestanya Britney Spears-lah, Christina
Aguilera-lah, Rihanna-lah, Angelina Jolie-Brad Pitt-lah, sampai yang terakhir ini,
pestanya Nicole Kidman. "Kamu ngurusin pesta gunting kuku Tinkerbelle-nya Paris Hilton, nggak?"
tanya Kesya iseng. "Tinkerbelle?" sejenak, dahi Finna mengernyit bingung, namun kemudian
senyum gigi tonggosnya terpancang di wajahnya. "Ooh... adiknya Paris Hilton yang
masih baby itu, ya" Iya... waktu itu aku juga sempet..."
Dan Kesya tidak mendengar lagi. Dia harus konsentrasi menahan tawa yang
seketika akan menyembur keluar. Dia melirik ke arah Cecil, dan tampaknya
sobatnya itu juga sedang melakukan hal yang sama.
Siapa juga tahu bahwa Tinkerbelle itu anjing Chihuahua-nya Paris Hilton, bukan
adiknya! Ketauan banget si Finna itu bohong besar!
"Sampai juga...," ujar Cecil penuh kelegaan. Entah itu kelegaan karena mereka
sudah hampir dua jam duduk saja di dalam Civic metalik Cecil atau kelegaan karena
berhasil keluar dari kebisingan suara serak Finna. Menurut Kesya, sudah pasti lega
karena berhasil keluar dari kebisingan suara serak Finna.
Tante Renata dan Oom Balgi, papa dan mama Cecil, sudah menunggu mereka
di sebuah restoran sea food. Tante Renata dan Oom Balgi sengaja mengundang
mereka makan siang untuk menghormati kedatangan Finna. Orangtua Finna juga
hadir di sana. Mama Finna adalah sepupu Tante Renata.
"Selamat siang, Tante dan Oom sayang..." Sok akrab, Finna langsung memeluk
kedua orangtua Cecil. "Hai, Mom! Hai, Pap!" sapa Finna pada kedua orangtuanya. Mama dan papa
Finna juga memiliki bentuk gigi seperti gigi Finna. Bentuk gigi itu rupanya
diturunkan dari orangtuanya. Mama Finna juga memiliki rambut keriting seperti
Finna. Oom Balgi berjengit melihat penampilan Finna yang sangat mencolok mata itu.
Kesya tersenyum kecil. Tidak heran Oom Balgi berjengit. Penampilan Finna
memang superunik, kalau tidak mau dibilang superaneh. Gadis itu mengenakan
atasan tank top berwarna kuning cerah dan bawahan rok supermini berwarna merah
terang. Dari jauh dia tampak seperti pisang yang berdiri di atas apel merah. Yang
paling menggelikan adalah, kentara sekali usahanya untuk bisa kelihatan seksi,
padahal dengan tubuh sekurus itu apa yang bisa diharapkan orang-orang selain
tulang belulang yang menonjol keluar"
Kesya menggeleng, berusaha mengingatkan dirinya sendiri agar tidak
berpikiran terlalu kejam terhadap Finna. Dia menghela napas dan duduk di salah
satu kursi yang masih kosong.
Sementara Finna mulai mengoceh dengan suara nyaringnya, Kesya mendesah
pasrah. "Hhhh... it"s gonna be another long day...."
*** "Kamu beneran mau jadi bridesmaid, ya?" tanya DeeDee sambil menyelonjorkan
kakinya di atas sofa pink di apartemen Kesya.
Kesya mengangguk sambil memasukkan suapan besar es krim ke mulutnya.
Hmmm... makan es krim sehabis menjalani hari yang melelahkan memang benarbenar nikmat. Malam itu, Kesya dan DeeDee baru saja selesai makan malam. Kesya
menghadiahi dirinya sendiri satu porsi besar es krim rum raisin.
"Kamu nggak takut?"
Pertanyaan DeeDee membuat dahi Kesya mengernyit.
"Takoh apoah?"" tanyanya tidak jelas dengan mulut masih penuh es krim.
DeeDee geleng-geleng kepala melihat kelakuan seniornya itu. Walaupun usia
mereka berbeda dua tahun, kelihatannya Kesya malah terlihat lebih kekanakkanakan daripada dirinya.
"Pernah dengar nenek bilang, "Sekali jadi bridesmaid, selamanya akan terus jadi
bridesmaid?"" Kesya menggeleng. "At least, nenekku nggak pernah usil bilang-bilang begitu,"
sahutnya sambil nyengir lebar.
"Kesya!" DeeDee melempar bantal yang sedang dipeluknya ke arah Kesya.
Kesya buru-buru menyelamatkan... mangkuk es krimnya. Buukkkk! Bantal itu
mendarat dengan posisi tidak menyenangkan di wajahnya, tapi Kesya tetap
tersenyum. Mangkuk es krimnya selamat!
"Aku serius nih!" DeeDee menyibak poni yang menutupi wajahnya. "Apalagi
kamu kan sekarang belum punya cowok. Jangan-jangan nanti kamu bakalan jadi
bridesmaid terus." Kesya mendelik galak ke arah DeeDee. "Siapa bilang aku nggak punya cowok"
Aku punya kok...," ujarnya tersinggung. Dia buru-buru memasukkan suapan besar
es krim ke dalam mulutnya.
"Siapa" Si Jansen?" DeeDee juga menyuap es krimnya. "Itu mah bukanc owok
kamu, bukan pacar. Itu baru TTM, teman tapi mesra. Lagian kamu yakin mau
pacaran sama Jansen?" sembur DeeDee.
"Emangnya kenapa?" tanya Kesya.
"Jangan tersinggung ya, tapi Jansen tuh nggak banget deh! You deserve better than
him!" ujar DeeDee serius.
Mata Kesya mendelik lebih lebar ke arah DeeDee. "Jangan sembarangan ya kalo
ngomong! Aku sayang kok sama dia, dan... aku tahu dia juga sayang sama aku..."
"Kalau begitu, kenapa kalian berdua masih belum jadian sampe sekarang?"
potong DeeDee. Mulut Kesya terkunci rapat. Mati kutu.
Kesya tahu Jansen sangat menyukainya dan dia juga menyukai Jansen, tapi
sampai detik ini belum pernah sekali pun laki-laki itu serius mengajaknya
berpacaran. Belum pernah sekali pun magic words "I love you" terungkat dari mulut
Jansen. Kesya menghela napas panjang. Matanya menerawang ke jendela besar di
apartemennya. Sebenarnya telah muncul sebersit rasa khawatir dalam hatinya.
Apalagi kini, perlahan-lahan satu per satu sahabatnya telah menikah, merajut hidup
baru dengan pasangan pilihan. Sementara Kesya... masih saja sendiri. Kadang dia
merasa kesepian juga. Bilangnya saja dia punya banyak teman, tidak perlu takut
kesepian, tapi ada saat-saat semua temannya sibuk dengan urusan masing-masing.
Dan apabila saat itu tiba, mau tidak mau Kesya harus cukup puas dengan
kesendiriannya. "Kesh... udah deh, soal Jansen nggak usah dipikirin." Perkataan DeeDee
membuyarkan lamunan Kesya. "Malah bagus kalo dia belum pernah nembak kamu.
Aku kan udah bilang, you deserve better than him. Dia tuh nggak cocok buat kamu!"
Lalu, siapa yang cocok buat aku" Kenapa sampai sekarang belum muncul-muncul juga"
*** Ruang kerja Kesya yang cukup besar terasa sejuk. Kesya duduk di balik meja
kerjanya, sebuah meja kayu yang dipelitur dengan halus. Lampu meja
memancarkan sinar kuning lembut, cukup menenangkan hati.
Kepala Kesya menunduk di atas meja. Sudah cukup lama kepalanya menunduk
dengan posisi yang sama. Sebuah lensa khusus untuk melihat berlian terpasang
miring di dahinya. Dia sedang mengerjakan sebuah proyek baru. Putri Gubernur
Palembang akan menikah bulan depan, dan Kesya sedang mengerjakan hadiah
untuk putri gubernur itu. Hadiah dari sesama orang penting tentu saja harus
dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.
Tok tok tok...! Kesya mengembuskan napas dengan kesal. Dia sama sekali tidak ingin
diganggu. Rasanya tadi dia sudah memberi instruksi cukup jelas kepada Mona.
"Ya!" sahutnya dengan suara cukup tinggi. Kalau sedang berkonsentrasi penuh,
Kesya merasa sangat marah kalau diganggu.
Kepala Mona tersembul takut-takut. Dua tahun menjadi pegawai Kesya, dia
sudah cukup hafal dengan perangai bosnya itu, tapi saat ini dia benar-benar tidak
berdaya. "Maaf, Bu Kesya, saya tahu Ibu nggak mau diganggu, tapi saya nggak tahu
harus gimana lagi...," ujarnya memelas.
"Ada apa?" tanya Kesya tidak sabar.
"Anu... itu... Aduh, gimana ngomongnya ya?" Mona garuk-garuk kepala yang,
Kesya yakin seratus persen, tidak terasa gatal.
"Ada apa sih"!" bentak Kesya tidak sabar. Mood-nya tambah lenyap mendengar
ucapan Mona yang muter-muter nggak jelas.
Mona makin mengerut dengan sikap Kesya, dan bicaranya jadi tambah
ngelantur. "Saya sudah bilang berkali-kali bahwa Bu Kesya nggak mau diganggu, tapi dia
memaksa terus. Katanya, kalau saya nggak mau bilang ke Bu Kesya, saya akan
dipecat, diadukan ke Komnas HAM, dianggap melecehkan dia..."
Lho, lho, lho" Mona ngomong apaan sih sebenarnya" Kenapa sampai bawabawa Komnas HAM segala"
"Mona! Kamu tuh kenapa sih" Nggak bisa ngomong langsung ya" Mood-ku jadi
hilang nih! Gara-gara kamu!"
"Anu, itu, ada yang namanya Finna Salsabila telepon. Dia memaksa untuk
ngomong sama Bu Kesya."
Finna" Mau ngapain dia"
"Bilang aku nggak ada di tempat!" jawab Kesya sambil mengibaskan tangan.
"Saya udah bilang itu dua puluh lima kali, Bu Kesya...," sahut Mona, setengah
menangis. "Tapi yang namanya Finna itu juga udah dua puluh lima kali telepon ke
sini. Ini kali kedua puluh enam dia telepon. Dan seperti yang saya bilang, kalau Bu
Kesya nggak mau ngomong sama dia, dia mau ngaduin saya ke Komnas HAM!"
Kesya geleng-geleng kepala sendiri. Pegawainya ini sebenarnya tahu nggak sih
apa itu Komnas HAM" Kok percaya begitu saja sama kata-kata si Finna.
"Kamu nggak akan dilaporin ke Komnas HAM!" ujar Kesya. "Kalau kamu
dilaporin, saya pasti akan membela kamu, karena saya itu bos kamu. Saya
bertanggung jawab atas diri kamu!"
Wajah Mona berubah riang. "Bener, Bu Kesya" Wah, Bu Kesya benar-benar bos
yang baik ya!" Dan dia pun berlalu dari ruang kerja Kesya.
Kesya mengembuskan napas kesal. Konsentrasinya sudah buyar! Mood-nya
sudah hilang! Dia berjalan ke jendela berukuran sedang. Dari sana dia dapat
mengamati kesibukan kota Jakarta. Cukup lama Kesya berdiam di sana, berusaha
mengumpulkan kembali konsentrasinya yang menguap bersamaan dengan ocehan
Mona yang tidak keruan. Ketika Kesya sudah duduk kembali di kursi kerjanya, bersiap melanjutkan
pekerjaannya, pintu ruang kerjanya kembali diketuk.
Kesya menggeram marah. "Mona! Saya sudah bilang, saya nggak mau
diganggu!" Tapi, Mona malah menerjang masuk dan buru-buru mengangkat telepon di
ruang kerja Kesya. Dia menempelkan telepon itu ke telinga Kesya.
"Kalau begitu Bu Kesya ngomong sendiri sama yang namanya Finna ya...,"
ujarnya sambil buru-buru kabur keluar.
"HALO!" sapa Kesya. Untung saja Finna tidak berdiri di sini. Kalau Finna ada di
hadapannya, dia akan melumat-lumat tubuh ceking Finna!
"Aih, Kesya..." Suara sengau Finna terdengar garing di telinga Kesya. "Galak
amat sih?" "Ada apa, Finna" Aku lagi sibuk banget nih!"
"Sesibuk apa sih sampai nggak bisa diganggu?" Finna tertawa sengau, mungkin
maksudnya supaya terdengar seksi, tapi di telinga Kesya terdengar seperti lenguhan
orangutan jantan di Taman Safari.
"Finna! Aku benar-benar lagi sibuk! Kalau kamu nggak mau langsung bilang
apa maumu, aku akan langsung tutup telepon ini!"
"Deuuu... segitu aja marah. Jangan gampang marah-marah gitu dong. Nanti
kamu cepet tua lho... Kasian kan kalau kamu kelihatan tua. Nanti cowok-cowok
tambah nggak mau lagi sama kamu..."
Damn it! Apa maunya si Finna, sampai ngomong seperti itu"
Finna tertawa mendengar leluconnya sendiri.
"kalau kamu telepon cuma untuk ngomong begitu doang, rasanya nggak
penting banget deh!"
Finna tertawa lagi. "Nggak deh. Sebenarnya aku mau ngajak kamu pilih
dekorasi pelaminan buat Cecil!"
Sambil menahan amarahnya, Kesya menjawab lagi, "Buat apa" Itu kan urusan
Cecil dan Alo!" "Lho lho lho, nggak bisa begitu, Kesya sayang... Kita berdua kan bridesmaid-nya,
jadi kita juga harus bertanggung jawab dalam pemilihan dekorasi pelaminannya..."
Dahi Kesya mengernyit. Rasanya Cecil tidak pernah memberitahukan bahwa
salah satu tugas bridesmaid adalah membantumu memilih dekorasi pelaminan!
"Cecil nggak pernah bilang begitu!"
"Sekarang Finna yang bilang! Sama aja, kan?"
Kesya menggeram marah. Tuuttt... tuuuttt... tuuuttt... Terdengar nada sela.
"Tunggu sebentar!" Kesya menekan line 2. "Halo!" bentak Kesya. Kesabarannya
kini sudah benar-benar berada di ambang batas. Seenaknya saja Mona menghubungkan line teleponnya. Kesya sudah memberikan perintah yang sangat jelas
bahwa hanya segelintir orang penting yang boleh langsung terhubung dengan line
teleponnya. Selebihnya harus disortir dulu oleh Mona.
"Kesya! Begitu ya cara kamu ngomong sama Mama?" terdengar suara ibunya.
Kesya mendengus kesal. Oke, Mama termasuk salah satu orang penting yang
dimaksud tadi, tapi kali ini Kesya benar-benar tidak ada tenaga lebih untuk
berargumen. "Kenapa kamu udah beberapa minggu ini nggak pernah telepon ke rumah"
Kamu sudah lupa ya, kamu punya seorang ibu tua dan seorang ayah tua yang selalu
menanti-nantikan kabar dari anak gadisnya yang tinggal sendirian di Jakarta" Jauh
terpisah dari orangtuanya?"
Kesya mengerang pelan, "Aduh, Mama, nggak usah berlebihan gitu deh..."
"Kamu yang berlebihan! Berminggu-minggu nggak ngasih kabar ke orangtua
kamu! Mama nggak tahu apa muka kamu udah berubah jadi kotak atau persegi,
atau masih tetap lonjong seperti dulu!"


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke! Mukaku masih tetep lonjong seperti dulu, cuma sekarang kupingku rada
kegedean karena harus dengerin omelan Mama."
"Mama bukannya ngomel! Mama cuma mau ngingetin kamu! Kamu tuh
seharusnya sering-sering telepon ke rumah. Ceritain kabar kamu, nanyain kabar
papa dan mamamu! Mama dan Papa punya anak, tapi serasa nggak punya anak!"
"Iya, Ma, iya!" jawab Kesya tidak sabar.
"Mama dengar kamu jadi bridesmaid-nya Cecil, ya?" Suara Mama kini terdengar
melunak. Kesya menghela napas. Kali ini lebih panjang.
"Iya." Dia sudah tahu ke mana ujung pembicaraan ini akan bermuara.
"Cecil saja sudah mau menikah. Kapan kamu mau serius cari pacar?"
Nah kan, benar! Itu lagi, itu lagi! Selalu saja itu yang ditanyakan Mama.
Memangnya salah Kesya kalau tidak ada cowok yang bilang cinta kepadanya" Masa
dia harus mengemis cinta kepada cowok-cowok untuk menunjukkan kepada Mama
bahwa dia serius cari pacar" Kesya serius cari pacar! Serius banget malah. Tapi,
cowok-cowok aja yang nggak tahu pada ngumpet ke mana!
"Hei! Kamu denger omongan Mama nggak sih?" Suara Mama kembali
meninggi. "Denger, Ma. Aku bahkan sudah hafal banget sama omongan Mama."
"Jadi begitu ya?" Suara mamanya terdengar bergetar.
Wah, repot deh! pikir Kesya. Kalau sudah mengeluarkan getaran, berarti Mama
sudah tersinggung dan siap-siap meledak.
"Kalau dibilangin Mama, kamu selalu nggak senang! Padahal Mama kan cuma
khawatir sama kamu. Kalau nggak senang ya sudah, nggak usah jadi anak Mama
saja!" Klik! "Aaarggghhh!" Kesya berteriak kesal.
"Kesya! Halo... Halo..."
Itu suara Finna. Dia masih setia menunggu Kesya di line 1!
"Ya, Finna!" "Kamu kenapa sih teriak-teriak kayak Tarzan gitu" Kayaknya kamu punya
masalah kepribadian, ya" Tadi kamu marah-marah, sekarang kamu teriak-teriak.
Mungkin kamu butuh bantuan psikolog?"
Praaaakkkk! Kesya membanting gagang telepon kembali ke tempatnya.
Finna sialan! Sekarang dia bilang aku gila!
Kkrrriiinnnggggg! Kesya menutup telinganya. No more telephone!
Krrriiiinnnngg! Krrrriiiinnnngggg! Kkkrrrriiinnngggg!
Tapi, rupanya telepon itu tidak menyerah begitu saja. Telepon itu dengan gigih
terus berbunyi. Memanggil-manggil Kesya. Usahanya bahkan lebih gigih
dibandingkan pendemo yang biasanya suka mangkal di Bundarah HI.
Kkkkkkkkkkkrrrrrrrrriiiiiiiiiinnnnggggggggg!!!
Tuh kan, telepon itu masih bunyi.
"Aku nggak mau terima telepon!" teriak Kesya. Dia membanting teleponnya,
tapi tanpa sadar tangannya menekan tombol speaker phone. Segera sebuah suara
berat laki-laki memenuhi ruangan itu.
"Halo" Kesya?"
Kesya segera memandang telepon itu. Suara siapa itu" Rasanya dia tidak pernah
mengenal laki-laki dengan suara seperti ini" Suaranya berat dan enak sekali
didengar. Ragu-ragu, Kesya menjawab sapaan suara berat itu, "Ya, ini Kesya. Kamu siapa
ya?" "Saya Marco, bestman-nya Alo."
Marco" Bestman-nya Alo"
"Ya, ada apa?" "Saya baru datang dari Singapura. Pesawat saya baru saja tiba, tapi tidak ada
yang bisa menjemput saya. Kamu bisa tolong jemput saya?"
"Enak saja! Memangnya saya sopir kamu"!" bentak Kesya marah.
"Waaah... suara kamu keras sekali ya." Terdengar tawa kecil dari seberang.
Kesya tidak suka ditertawakan, apalagi saat dia sedang merasa marah. Dia jadi
tambah marha. "Jangan ngetawain saya!"
"Ehm, sori. Tapi saya benar-benar tidak tahu jalan. Saya juga tidak ingin naik
taksi sendirian. Jadi please, jemput saya sekarang."
"Enak aja! Ka..."
Tuut tuut tuut tuut. Lho" Lho" Lho"
"Kurang ajar!" maki Kesya lalu membanting teleponnya. Laki-laki ini harus
diberi pelajaran! Kesya menggerutu dalam hati. Dia segera menyambar kunci mobil
dan dengan langkah lebar keluar dari kantornya.
Kesya menghampiri meja Mona. Mona langsung mengerut ketakutan melihat
Kesya datang mendekat. "Kalau lain kali kamu tidak meng-cut telepon untuk saya, kamu akan saya
pecat!" 4 KESYA mendengus kesal. Sudah dua jam dia keliling-keliling mencari alamat yang
secara tidak jelas diucapkan oleh bestman Alo ini.
Dua jam lalu, ketika Kesya sampai di bandara, bestman Alo yang bernama Marco
Raphael Eagan ini langsung melemparkan travel bag-nya ke dalam bagasi mobil
Kesya. "Jalan Disco, Kelapa Gading...," begitu dia bergumam tidak jelas lalu
mengempaskan tubuhnya di samping Kesya.
Kesya sungkan untuk bertanya lagi. Nanti disangkanya dia gadis kampungan
yang tidak tahu jalan di kota Jakarta ini. Dengar-dengar dari cerita Alo, sejak kecil
Marco tinggal di Singapura. Orangtuanya orang Indonesia, tapi mereka sudah lama
bermukim di Singapura. Marco sendiri lahir di Singapura. Sekarang dia juga bekerja
di sana. Kali ini dia ke Jakarta untuk menyelesaikan sebuah proyek, sekaligus
menjadi bestman dalam pernikahan Alo.
Namun, putar sana putar sini, Kesya akhirnya menyerah juga. Dia berpaling,
merasa kesal karena Marco sejak tadi tidak membantu menunjukkan jalan sedikit
pun. Dan saat melihat kedua kelopak mata Marco yang terpejam rapat, hati Kesya
tambah kesal. Cowok kurang ajar! makinya dalam hati. Emangnya aku sopirnya" Aku capek-capek
nyetir, muter-muter cari alamat yang nggak jelas. Mana jalanan macet, lagi! Eh, dia malah
enak-enakan tidur! makiannya bertambah dahsyat.
Jengkel, Kesya terus memperhatikan Marco yang masih tetap tertidur pulas.
Berpikir untuk menjitak kepala Marco.
Jalan di depannya agak tersendat, jadi Kesya agak leluasa untuk memperhatikan
pendampingnya dalam acara pernikahan Cecil. Kesya tertawa dalam hati.
Pendamping yang mendampingi pendamping pengantin. Hihi... lucu juga.
Dddiiinnnn...! Kesya tersentak kaget. Buru-buru dimajukannya mobilnya. Berhenti lagi. Pelanpelan, Kesya melirik ke arah Marco lagi. Laki-laki itu masih tidur. Gila! Pulas sekali
tidurnya. Dasar kebo! Ehm... tapi... kalau diperhatikan, Marco keren juga. Alisnya tebal. Rahang
perseginya tampak kebiru-biruan, kentara habis dicukur. Bibir penuhnya tampak
merah. Kata orang, laki-laki yang berbibir penuh adalah laki-laki yang tidak pernah
bohong. Mereka juga sering memberi pujian kepada wanita pujaannya.
Ups, sudah maju lagi. Kesya melirik Marco lagi. Napas teratur laki-laki itu menandakan dia masih
tertidur pulas. Kira-kira, dia udah punya pacar belum ya"
Kesya terkejut. Lalu menggeleng kuat-kuat. Pikiran dari mana itu"
Kesya kembali berpaling memperhatikan Marco. Kali ini cukup serius sampai
dahinya berkerut-kerut. Kaus polo kuning yang Marco kenakan tampak menonjolkan maskulinitas tubuhnya. Di tangannya tampak urat-urat yang menonjol.
Hmmm... tipe pekerja keras. Kesya suka laki-laki pekerja keras.
Ups, buru-buru diralatnya lagi pikiran itu. Dihapusnya sampai tidak tersisa lagi.
Kalau melihat kesan pertama saat bertemu tadi, Marco tampaknya laki-laki yang
suka tebar pesona. Yang sangat mengagung-agungkan maskulinitasnya. Yang gila
olahraga, gila film-film action yang hanya menampilkan adegan berantem terus, gila
nonton pertandingan tinju atau WWF yang penuh dengan sadisme.
Hiiyyy...! Kesya bergidik. Dia tidak akan pernah mau berurusan dengan lakilaki semacam itu.
Kesya jadi ingat Jansen. Laki-laki bertubuh kecil yang tidak pernah sok-sok tebar
pesona itu menyukai musik dan teater, sama seperti dirinya. Jansen juga tidak suka
film action. Dia lebih memilih film drama daripada action.
Tapi, Jansen tidak segagah Marco...
Kesya terkejut. Dari mana lagi datangnya pikiran itu"
Diiinnn! Dddiiinnnn! Dddiiinnn!
Aduh! Jalan di depannya sudah lengang lagi. Buru-buru Kesya memajukan
mobilnya lagi. Suara tawa kecil di sebelahnya membuatnya menoleh kaget.
Kelopak mata Marco masih terpejam rapat, tapi sudut-sudut bibirnya tertarik ke
atas dengan seksi, membentuk seulas senyum kecil.
Dada Kesya berdebar-debar. Marco tampak lebih macho lagi!
"Dari sepuluh menit yang lalu, kamu sudah lima kali menoleh untuk
memperhatikan aku. Berarti tiap dua menit sekali, kamu ingin melihatku." Tiba-tiba
Marco berbicara! Dada Kesya berdebar lebih kencang. Sialan! Rupanya sejak tadi laki-laki ini
pura-pura tidur. Kini hawa panas terasa mengalir naik ke wajah Kesya. Dia
ketahuan sedang memperhatikan Marco. Aduh malu banget deh! Jangan-jangan
Marco pikir, aku gadis kesepian yang sangat mendambakan laki-laki.
Aduh, pikiran dari mana lagi itu" Kok jadi kayak iklan-iklan kontak jodoh di
tabloid sih" "Kenapa" Kamu suka ya, ngeliatin aku?" Kini mata Marco sepenuhnya terbuka,
tapi Kesya malah tidak berani memalingkan wajah. Hawa panas yang lebih panas
daripada terik matahari di Gurun Sahara kini menyerbu wajahnya. Wajahnya pasti
merah seperti lobster matang.
Marco tertawa kecil lagi. Kali ini dia menertawakan wajah Kesya yang memang
merah seperti lobster matang.
Kesya mengutuk dalam hati. Memaki-maki dirinya sendiri kenapa dia harus
satu mobil dengan laki-laki brengsek ini. Dan lebih memaki-maki dirinya sendiri
kenapa dia harus memperhatikan laki-laki brengsek ini lima kali dalam sepuluh
menit terakhir! "A... aku nggak tau Jalan Disco ada di mana. Aku mau tanya, tapi aku lihat
kamu tidurnya nyenyak banget. Jadi aku nggak enak banguninnya...," ujarnya
mencari-cari alasan. Marco masih tersenyum. Senyum seksi yang menggoda.
Dug! Dug! Dug! Dug dug dug dug dug dug!!!
Sialan! Siapa sih yang mukul beduk dalam hatiku! maki Kesya pelan.
"Belok sini," ujar Marco.
"Hah sini?" Kesya buru-buru membelokkan setir mobilnya.
"Lurus saja sampai ujung sana...," ujar Marco lagi.
Kesya mematuhi petunjuk Marco sambil tetap memandang lurus ke depan. Dia
masih tidak berani menatap Marco. Masih mengutuki orang yang memukuli beduk
dalam hatinya. "Stop depan saja..."
Kesya melongo. Ini toh yang namanya Jalan Disco" Yang dilihat Kesya hanya
sebidang tanah kosong yang cukup luas. Mau ngapain Marco ke sini" Tadi, pikir
Kesya, Marco minta diantarkan ke tempat menginapnya di Jakarta. Tapi ini...
"Eh, tunggu...," seru Kesya saat Marco membuka pintu di sampingnya.
"Tolong buka bagasinya."
Kesya membuka bagasinya lalu mengikuti Marco.
Dari travel bag-nya, laki-laki itu mengeluarkan sebuah kamera digital. Dia lalu
berjalan mendekati tanah kosong itu. Memotret dari berbagai sudut. Berhenti.
Melihat-lihat. Berjalan ke tengah. Lalu memotret lagi. Berhenti. Melihat-lihat ke atas,
lalu memotret lagi. Kesya bersandar pada mobilnya. Masih bingung akan apa yang dilakukan
Marco. Tapi dia memutuskan untuk diam saja. Tidak mau banyak bicara kepada
laki-laki ini, terutama setelah kejadian memalukan tadi.
Marco tampaknya telah menyelesaikan urusannya. Dia memasukkan kamera
digitalnya ke dalam travel bag. Setelah menutup bagasi, dia masuk ke mobil Kesya
lagi. Dengan hati dongkol, Kesya juga ikut masuk ke mobil. Mobil-nya!
"Ke Apartemen Magenta...," ujar Marco tanpa sempat Kesya bertanya.
Kesya mendengus kecil. Mereka bermobil dalam diam. Dari Jalan Disco sampai
ke Apartemen Magenta makan waktu dua jam.
Saat tiba di Apartemen Magenta, Kesya lelah luar biasa. Tubuhnya penat.
Matanya mengantuk. Dia menghela napas panjang, teringat perjalanan yang masih
harus dia tempuh untuk pulang ke apartemennya sendiri. Tapi... Aneh! Kok
sepertinya Kesya mengenali pemandangan di sini...
Kesya, setengah linglung, memajukan mobilnya ke parking booth. Dia
menurunkan kaca jendela mobilnya.
"Selamat malam, Bu Kesya...," sapa petugas parkir dengan akrab. "Kok malam
baru pulang, Bu?" Kesya tersenyum bingung. "Iya nih, tadi ada urusan..." Kesya setengah bingung
setengah tidak percaya, karena dia juga merasa mengenali wajah petugas parkir
Apartemen Magenta dan dikenali oleh si petugas parkir itu.
Celingak-celinguk, dia melihat ke sekeliling lagi. Rasanya dia benar-benar
familier dengan lingkungan apartemen ini.
Tiba-tiba Kesya tersentak. Seolah mendapat pencerahan, matanya bersinar
tajam. Ini kan... Apartemen Magenta" Apartemen Magenta kan apartemennya!
"Kamu akan tinggal di sini?" seru Kesya terkejut.
Marco mengangguk pelan. "Selama di Jakarta, sampai selesai pesta pernikahan,
Alo dan Cecil menyarankan agar aku tinggal di Apartemen Magenta."
"Apartemen nomor berapa?" buru Kesya cepat.
"1525." 1525! Itu kan terletak di sebelah apartemennya!
"Itu tepat di sebelah apartemenku!" jerit Kesya.
Alis Marco terangkat. "Oh, bagus kalau begitu," ujarnya santai.
Bagus" Apanya yang bagus" Kesya kesal sekali dengan ulah Alo dan Cecil yang
mencarikan bestman mereka apartemen tepat di sebelah apartemen Kesya, tanpa dia
sendiri tahu apa-apa soal itu.
"Kamu nggak bisa tinggal di sana!"
"Kenapa nggak bisa?" Marco balik bertanya.
"Karena... karena..." Kesya kebingungan. Tidak tahu alasan apa yang harus
diutarakan. Benar juga ya, kenapa Marco tidak boleh tinggal di apartemen sebelah
Kesya" Tidak ada alsan yang jelas untuk melarang. Kesya hanya tahu, dia tidak suka
berdekatan dengan Marco, laki-laki tukang tebar pesona ini.
Marco tersenyum lagi. Senyum seksi yang, lagi-lagi, membuat dada Kesya
bergemuruh kencang. "Karena kamu takut jatuh cinta sama aku, ya?" tanya Marco enteng.
Deg! Wajah Kesya berubah merah lagi. Kali ini warnanya seperti warna tomat
matang. "Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu?" tantang Kesya. Matanya membulat,
menatap berani ke arah Marco. Padahal, kalau menuruti kata hatinya, Kesya sudah
mau menghilang saja ditelan bumi saking malunya.
Marco tersenyum lebih lebar. "Karena aku seksi," jawabnya sambil
mengedipkan sebelah mata. "Dan... karena kamu telah memperhatikan aku setiap
dua menit...," tambahnya dengan senyum menggoda.
"Gila!" maki Kesya.
Mobil Kesya telah terparkir sempurna. Marco turun tanpa berkata lagi. Dia
mengambil tas dari bagasi yang telah dibuka Kesya, lalu berjalan menuju lift. Kesya
mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Tiinggg... Mereka berdua masuk lift. Jemari Marco menekan tombol 15. Kesya merasakan
lift bergerak naik. Dia masih merasa kesal. Sebenarnya bukan kesal karena Marco
tinggal di sebelah apartemennya. Dia kesal lebih karena Cecil dan Alo, tapi Kesya
percaya ini semua adalah ide Cecil, tidak memberitahunya apa-apa mengenai
pengaturan ini. Dalam hati dia berjanji akan mencabik-cabik Cecil besok pagi, segera
setelah fajar mulai menyingsing!
Tiiinnngg... Mereka berbelok, berjalan sedikit, lalu berhenti. Eh" Lho, kok berhenti di
apartemen nomor 1523" Marco menekan bel pintu.
"Eh..." Kesya tidak jadi berkomentar karena DeeDee telanjur membuka pintu.
"Siapa?" Itu suara DeeDee.
Pintu terbuka dan kepala DeeDee menyembul dari dalam apartemen. Gadis itu
memegang sumpit. Dari pintu yang terbuka, tampak semangkuk mi yang
mengepulkan asap diletakkan di atas meja pendek, di ruang tamu, di depan televisi.
Kebiasaan jelek DeeDee, makan selalu sambil nonton televisi!
"Mau cari Kesya, ya" Kesya-nya belum pu..." Kalimat DeeDee tidak selesai.
Berhenti menggantung seakan menguap di udara. DeeDee sendiri berdiri mematung
memperhatikan sosok Marco yang menjulang, dua kepala lebih tinggi daripada
dirinya. Matanya berbinar-binar tanpa berkedip. Sumpit yang tadi dipegangnya


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjatuh satu, sementara yang satu lagi masih menempel di mulutnya. Tadi, DeeDee
berbicara sambil memasukkan sumpit ke dalam mulutnya.
"Halo...," sapa Marco sambil tersenyum.
DeeDee, seolah terhipnotis, memandangi Marco tanpa berkedip. Dia tidak
membalas sapaan Marco, hanya terpukau memandang sosok pria itu.
"Saya Marco, bestman-nya Alo. Saya akan tinggal di apartemen sebelah selama
berada di Jakarta. Hmm... sampai acara pernikahan Alo dan Cecil selesai." Marco
menyelesaikan monolog perkenalannya.
"Good night, Kesya." Marco mengangguk sopan ke arah Kesya. "Good night,
DeeDee." Kini Marco mengangguk ke arah DeeDee. Kemudian dia melenggang
masuk ke apartemn nomor 1525. Begitu pintu apartemen 1525 menutup, DeeDee
langsung bereaksi. "Dia tahu namaku!" pekiknya senang.
"Then what?" Kesya mencibir sambil masuk ke apartemennya.
"Kenapa dia nggak tinggal di sini aja?" DeeDee masih memekik.
"Sssst!" Kesya menegurnya. Takut pekikan DeeDee terdengar sampai ke
sebelah dan membuat Marco kege-eran. "Apa-apaan sih kamu" Dia nggak mungkin
tinggal di sini!" "Kenapa?" "Aku nggak akan mengizinkan!"
"Kenapa nggak?"
"DeeDee!" bentak Kesya. "Kamu ngaco ya. Masa kamu membiarkan orang asing
seperti dia tinggal sama-sama kita!"
"Orang asing yang seksi." DeeDee tersenyum lebar.
"Sinting!" maki Kesya lalu masuk ke kamarnya.
DeeDee menyusul langkah Kesya. Makan malamnya segera terlupakan.
"Kamu yang sinting kalau menolak cowok seseksi itu menginap di apartemen
ini!" balas DeeDee tak kalah sengitnya.
"Gila!" Kesya memperkaya kosakata makiannya sambil menggeleng-geleng.
"Di mana sih, Alo ketemu cowok seksi kaya gitu?" DeeDee mengempaskan
tubuh di ranjang. Kesya lagi-lagi geleng-geleng kepala.
"Marco sahabatnya Alo, makanya bisa jadi bestman-nya Alo."
"Dia seksi banget lho, Kesh...," desah DeeDee.
Kesya mencebikkan bibir. "Apaan?" cibirnya. "Cowok tukang tebar pesona!
Cowok model begitu sangat mengagungkan maskulinitasnya! Nggak banget! Itu
bukan tipeku sama sekali!"
DeeDee terdiam memandang Kesya. Tidak memedulikan makian Kesya.
"Aku punya feeling dia bakal jadian sama kamu deh..."
Kesya melotot, menampilkan ekspresi terhina mendengar ucapan DeeDee
barusan, tapi hatinya berdebar juga.
"Feeling kamu salah banget kalau begitu! Aku nggak mau!" bantahnya.
"Mendingan Jansen...," tambahnya pelan.
DeeDee menggeleng-geleng. Gayanya persis nenek Kesya waktu Kesya kecil
menolak makan nasi. "Kesya, Kesya... Dibandingin Jansen, Marco jelas jauh ke mana-mana. Dia
seratus ribu kali lebih baik daripada Jansen."
"Sinting!" Kesya melemparkan guling ke arah DeeDee. Dia lalu keluar dari
kamar tamu, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Saat
tangannya terulur hendak memegang hendel pintu, tiba-tiba terdengar suara bel
pintu. Kesya berjalan ke pintu dan melihat dari lubang siapa orang yang berkunjung
malam-malam begini. Ternyata Marco! Mau apa dia"
Kesya membuka pintu. Alisnya terangkat saat melihat Marco menyodorkan
sebuah bungkusan. "Apa ini?" tanyanya. Harum makanan menguar dari bungkusan
itu. "Aku pesan makanan untuk kamu. Dari tadi kamu belum makan malam, kan?"
Kesya tertegun. Tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Good night." Marco mengangguk sopan, lalu berlalu.
"Siapa?" kepala DeeDee menyembul dari dalam kamar Kesya.
"Marco," jawab Kesya pelan. "Dia bawain makan malam untukku. Katanya aku
belum makan malam." "Wuaahh! Perhatian banget dia!" DeeDee melonjak kegirangan.
Dug! Dug! Dug! Pemukul beduk dalam hati kesya beraksi lagi!
*** Krriingggg! Kesya meraih gagang telepon yang terletak tepat di sebelahnya. "Halo..."
"Ha... halo..."
Suara Jansen! Kesya mengecilkan volume televisi. Butuh usaha cukup keras untuk
mendengarkan percakapan terpatah-patah Jansen. Biar begitu, Kesya sangat
menikmatinya. "Hai... Udah malem kok belum tidur?" Kesya melirik jam yang terpasang di
dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh.
"Ka... kamu sendiri kok belum tidur?"
"Aku?" Kesya memperhatikan sketsa perhiasan di pangkuannya. "Aku habis
makan malam, tiba-tiba dapet ide, jadi buru-buru digambar. Kalau nggak, nanti
keburu lupa." Jansen tertawa kecil. Praannggg...! "Lho, suara apa tuh?" tanya Kesya terkejut.
"Ooh... itu... itu piring makanku pecah."
Ya ampun Jansen! Di telepon pun masih bisa gugup begitu!
Kesya tersenyum kecil. "Kamu juga baru selesai makan?"
"I... iya nih. Ba... baru aja se... selesai kerja." Jansen tertawa lemah.
"Oh gitu..." Hening. Baik Kesya maupun Jansen tampaknya kesulitan menemukan topik
pembicaraan yang bagus. Akhirnya Jansen yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka.
"Kesya... besok sore kamu ada kerjaan nggak?" Jansen terdengar berusaha mengatur
napasnya. Kesya berpikir sebentar. "Kayaknya nggak deh. Emangnya kenapa?"
"Besok aku disuruh motret di konser grup musik jazz La Rouge yang dari
Prancis itu. Terus aku dapat tiket dua. Kamu mau ikut?"
Wah... ada kemajuan. Jansen sudah berani mengajaknya nge-date!
Kesya tersenyum senang. "Boleh. Kamu mau jemput aku jam berapa?"
"Aku... aku jemput kamu dari tempat kerja kamu jam lima aja, ya..."
"Oke... Sampai besok ya..."
"Hmm... I... iya. Good night, Kesya yang ayu..."
Kesya meletakkan gagang telepon sambil tersenyum-senyum.
Kriingg! Telepon berbunyi lagi.
"Kesya..." Kali ini suara Marco yang terdengar.
Kesya tersentak. Dari mana Marco tahu nomor teleponnya"
"Kok kamu tahu nomorku?"
"Nomor teleponmu, nomor ponselmu, alamat kantormu, alamat e-mail-mu, hobi
kamu, makanan kesukaanmu, warna kesukaanmu. Pokoknya apa yang kamu suka
dan kamu nggak suka, aku tahu semuanya." Marco terdengar tertawa kecil. "Kamu
pikir aku nggak akan menyelidiki dulu siapa pendampingku dalam acara
pernikahan Alo dan Cecil nanti?"
Menyelidiki" Apa maksudnya tuh" Memangnya aku ini psikopat yang harus
diwaspadai" pikir Kesya meradang.
"Oke," potong Kesya kesal. Dia tidak ingin berdebat lagi dengan Marco. "Jadi
kamu mau apa sekarang?"
"Cuma mau tanya apa kamu sudah makan," suara Marco melembut.
Kesya tertegun. Menatap piring kosong di hadapannya yang belum sempat
dibereskannya. Makanannya enak. Chinese food kesukaannya.
"Halo?" "Udah," Kesya buru-buru menjawab. "Aku udah makan. Thanks ya makanannya. Aku suka."
Terdengar suara tawa Marco. "Besok sekitar jam lima, temani aku pergi ya,"
pinta Marco. "Nggak bisa!" Begitu seriusnya Kesya menolak ajakan Marco, kepalanya sampai
ikut menggeleng. Padahal tentu saja Marco tidak dapat melihat apa yang
dilakukannya. "Kenapa nggak bisa?" Marco masih berkeras.
"Aku... aku ada janji." Mengingat ajakan Jansen tadi, hati Kesya jadi membesar
dua kali lipat. Dia bahagia sekali.
"Sama siapa" Pacar" Mau nge-date, ya?" Marco masih belum menyerah.
Apa-apaan sih laki-laki ini" Bukannya mereka baru kenal" Kok Marco kesannya
sudah akrab sekali dengan Kesya. Lagi pula, kenapa juga dari tadi dia selalu mau
tahu urusan Kesya" "Halo, Kesya" Kok kamu nggak jawab" Berarti benar ya sama pacar" Nge-date
ke mana" Aku ikut dong..."
Kesya tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
"Kamu mau ikut" Nggak salah nih?" sergah Kesya.
"Emang kenapa" Aku mau tau gimana sih pacar kamu." Suara Marco terdengar
penuh percaya diri. Huh! Terlalu percaya diri. Rasa simpati yang sejenak memenuhi hati Kesya
langsung menguap tidak berbekas.
"Jangan aneh-aneh deh!" tukas Kesya.
"Galak amat...," komentar Marco usil. Kembali terdengar suara tawa.
"Udah ah, aku mau tidur!"
"Night, Kesya!" seru Marco, masih sambil tertawa.
Kesya mencibir, lalu menutup telepon.
Laki-laki yang aneh! Tapi tak urung hati Kesya berdesit juga mengingat
percakapannya dengan Marco. Ada sesuatu yang berbeda pada laki-laki itu. Entah
apa... Mungkin kepercayaan dirinya saat berhadapan dengan Kesya" Cara bicaranya
yang santai dan penuh canda sangat berbeda jauh dengan Jansen. Kesya tidak
pernah sekali pun mendengarkan nada bicara yang penuh percaya diri saat
berbicara dengan Jansen. Tetapi Marco" Seolah dia sangat yakin akan apa yang
dibicarakannya. Seolah dia yakin bahwa dia dapat menaklukkan dunia. Begitu
yakin, begitu tegas. Berbeda jauh dengan Jansen yang selalu gugup dan hati-hati.
Dug dug dug dug! Waduh! Ada yang memukul beduk di hatinya lagi! Kalau terus-terusan begini,
Kesya pasti harus diopname! Baru tiga kali berdekatan dengan Marco"siang tadi
saat dia menjemputnya, lalu malam tadi saat Marco membawakannya makan
malam, dan barusan saat Marco meneleponnya"jantung Kesya sudah berdebardebar tidak keruan.
Tenang, Kesh... Marco itu bukan tipe cowok kamu. Kamu nggak suka tipe cowok suka
tebar pesona kayak dia. Buat kamu, Jansen lebih baik..., ujar hati kecil putihnya.
Tapi... Jansen nggak sepede Marco. Kayaknya Marco lebih bisa nglindungin aku...
Memanah Burung Rajawali 26 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Kitab Pusaka 15

Cari Blog Ini