Ceritasilat Novel Online

Alexs Wish 1

Alexs Wish Karya Elcy Anastasia Bagian 1


Part 1 JAUH di suatu tempat, di langit tak terbatas, ada dua
kerajaan besar bernama Asteria dan Malvera.
Asteria negeri yang penuh kesederhanaan, baik
kerajaan maupun rakyatnya. Walaupun begitu,
negeri ini tetap saja terlihat menyenangkan dan
sangat nyaman dihuni. Lingkungannya sangat bersih
dan teratur. Bunga bermekaran di sepanjang jalan
dan taman di seluruh penjuru negeri. Bangunan
kerajaan yang megah dan besar terlihat asri dengan
taman yang mengelilinginya. Sikap bersahabat
seluruh penghuni kerajaan menambah kehangatan
negeri yang dihuni para malaikat ini.
Sementara Malvera adalah negeri yang penuh
kemewahan. Bangunan-bangunan megah, yang
nggak jarang dihiasi kilauan emas, memenuhi tiap
sudut negeri yang dihuni para setan itu. Namun
nggak seperti Asteria yang nyaman dan asri, negeri
megah Malvera malah terkesan kaku dan
menakutkan. Sejauh mata memandang hanya ada
tembok-tembok kaku dan dominasi warna hitam.
Nggak tampak serangkai bunga pun di negeri ini.
Malaikat dan setan adalah dua makhluk yang
menghuni dunia langit. Kehidupan di langit sama
dengn di bumi. Di sana terdapat pemerintahan yang
mengatur negeri, perkantoran, sekolah, dan
sebagainya. Dan di sana juga terdapat kendaraan
yang sama seperi di bumi.
Sosok malaikat dan setan juga sama sepert sosok
manusia penghuni bumi. Bedanya, sementara
manusia bisa memilih apa-apa sendiri"seperti
pakaian yang harus dipakainya, sekolah tempatnya
belajar, negeri tempatnya tinggal, berteman dengan
siapa saja yang diinginkannya"makhluk langit
nggak punya kebebasan itu. Meski sosok mereka
sama, merka diharuskan hidup di dua kerajaan yang
berbeda, dengan wajah dan penampilan berbeda.
Malaikat umumnya berwajah biasa dan berpakaian
sederhana. Pakaian yang mereka kenakan umumnya
berwarna soft, kalo nggak putih sekalian. Sementara
setan umumnya berwajah cantik dan tampan.
Kebanyakan dari mereka sering menghiasi wajah
dengan riasan hitam dan merah. Mereka juga senang
sekali memakai pakaian dengan warna-warna
mencolok. Meski nggak sedikit yang hobi memakai
pakaian serba hitam. Dalam kesehariannya, malaikat bertugas
memengaruhi manusia berbuat baik agar masuk
surga, sementara setan bertugas memengaruhi
manusia berbuat kesalahan biar jadi penghuni
neraka. Begitulah yang terjadi sepanjang masa.
Masing-masing makhluk langit itu melakukan tugas
menurut bangsanya. Namun tujuh belas tahun lalu terjadi kasus
menggemparkan di antara kedua kerajaan langit
tersebut. Michael Sawa, yang biasa dipanggil Mike,
putra mahkota kerajaan setan, diam-diam menikahi
malaikat bernama Alisa. Begitu masalah ini
terbongkar, kedua kerajaan sibuk memperebutkan
status bangsa pasangan itu. Kerajaan malaikat nggak
mau salah seorang kaumnya menjadi setan. Kerajaan
setan apalagi. Terlebih karena Mike putra mahkota
tunggal. Karena keributan terus berlanjut, akhirnya Sang
Bijak, penguasa tunggal seluruh alam, turun tangan.
Dia meminta Mike dan Alisa memilih sendiri. Mike
yang lebih dulu memilih, mutusin dia akan pindah ke
kerajaan Asteria dan menjadi malaikat.
Westana Sawa, sang raja kegelapan, tentu nggak
mau begitu saja kehilangan pewaris kerajaannya.
Dia menyetujui kepergian Mike dengan perjanjian
yang disepakati bersama. Bunyi perjanjian itu: jika
Mike mempunyai anak laki-laki, anak tersebut harus
diserahkan kepada kerajaan setan.
Bua tahun setelah menihkah, Mike dikaruniai putra
yang dinamakan Federic Sawa, sejak kecil
ditasbihkan menjadi bangsa setan dan diangkat
menjadi putra mahkota tunggal kerajaan Malvera.
Eric pun dididik kakeknya secara keras untuk
menjadi setan sejati dan raja kegelapan seperti
dirinya. *** Lima belas tahun pun berlalu. Kini Eric sudah
remaja. Dia memiliki ketampanan kaum setan.
Tubuhnya jangkung dan tegap, rambut lurus yang
ditata hingga nutupin sebagian wajah, dan
tatapannya tajam. Dia juga suka membuat
kekacauan, sifat dasar penghuni kerajaan setan. Raja
Westana sangat senang dengan calon pengganti
dirinya ini. Namun belakangan, berembus isu di kerajaan setan
yang mengatakan Eric memiliki hati malaikat. Konon
dua penjaga kerajaan setan pernah melihat Eric
menolong manusia. Atas isu ini kemudian Ketua Dewan kerajaan
Malvera memanggil Eric untuk menemuinya. "Kau
telah melakukan perbuatan baik yang melanggar
hukum kerajaan setan, tapi karena kau adalan calon
pewaris tunggal kerajaan, kau akan diberi
kesempatan untuk membuktikan bahwa kau tidak
memiliki hati malaikat. Kau akan menghadapi
sebuah ujian, dan jika gagal, kau akan diusir dari
kerajaan setan," kata Ketua Dewan dengan senyum
sinis, belum apa-apa sudah yakin Eric gagal.
"Hahaha, itu nggak bakal terjadi!" Eric tertawa, balas
meremehkan "Sang Biijak sudah menyetujui rencana ini," kata
Ketua Dewan, menghentikan tawa Eric.
Eric terdiam, Sang Bijak adalah penguasa tunggal
semesta. Jika Sang Bijak sedah menyetujui hal ini,
artinya Kakek juga setuju. Nggak ada yang pernah
membantah Sang Bijak. Eric nggak bisa berkutik.
"Ini soal ujianmu," kata Ketua Dewan. Tangannya
terangkat dan melakukan gerakan menjatuhkan
sesuatu. Mendadak entah dari mana, jatuhlah buku
yang tebal banget ke tangan Eric. Saking tebalnya,
Eric nyaris terjungkal saat menangkapnya.
"Baca soalnya, dan cepat kerjakan."
Eric berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil
terbengong-bengong melihat buku yang tebalnya
lebih dari dua puluh sentimeter ini.
"Sekarang?" tanya Eric nggak yakin. Dia nggak suka
kerja keras, hobinya Cuma bermalas-malasan. Dan
sekarang dia harus ikut ujian" Ada berapa soal di
buku setebal ini"! Eric menggerutu sendiri.
"Ada batas waktu mengerjakan soal di dalam buku
ini, baca saja aturannya. Lebih cepat kauselesaikan,
tentu lebih baik." "Setebal ini isinya soal semua?"
"Itu ujianmu." "Sebanyak ini?"
Ketua Dewan mengangguk. Lalu tanpa basa-basi lagi,
dia mengetukkan palu. "Sidang ditutup!" serunya
nyaring. Seketika para anggota dewan lain bergegas
merapikan tas kerja mereka dan meninggalkan
ruang sidang. Eric melongo melihat dirinya ditinggal begitu saja.
Padahal dia ingin minta pengurangan jumlah soal
ujian. Uuugh! Eric hanya bisa menarik napas kesal.
Nggak percaya dirinya harus ikut ujian segala,
apalagi dengan soal sebanyak ini.
Semua cuma gara-gara isu! Gerutu Eric dalam hati.
Padahal ia yakin banget dirinya pangeran kegelapan
dan setan sejati. Nggak mungkin kan, dia mau
ngelepasin posisinya sebagai calon raja kegelapan"
Yang benar saja! Jadi raja kegelapan itu kan berartii
punya istana mewah, kerjanya cuma bermalasmalasan, punya semua kekuasaan jahat, dan
ditakuti. Nggak rela banget kalau gara-gara gosip
yang nggak terbukti dia sampai kehilangan semua
itu... *** Dengan lunglai Eric melangkah keluar dari ruang
sidang dewan kerajaan. Di luar, dia langsung
mengomel panjang-pendek pada Slash, teman yang
mengantarnya ke sini. "Bayangin, Slash, gue diharusin ikut ujian. Masa
pangeran disuruh-suruh kayak gini?" gerutu Eric
sambil menyerahkan bukunya ke tangan Slash.
Slash yang spontan menyambut buku itu, langsung
terjungkal saking beratnya. Sementara Eric terus
saja berjalan ke mobil. "Setan-setan di dewan itu payah semua. Masa isu
kayak gitu mereka percaya?" Eric masih terus
mengomel. Dia membuka pintu mobil Slash dan
duduk di bangku sebelah setir.
Tanpa bicara, Slash membuka pintu mobil dan
melemparkan buku tebal itu ke pangkuan Eric, lalu
menyalakan mesin. "Tau nggak, ini soal ujian. Coba lihat, tebal banget,
kan"! Gila aja yang nagsih soal ujian sebanyak ini,"
Eric masih protes. Slash masih diam. Cowok ini aslinya memang
pendiam. Wajahnya pun sering terlihat bete. Giliran
bicara, kalo nggak ketus pasti menggerutu. Slash dan
Eric bukan sahabat sejati, tapi mereka berteman dari
kecil. Sampai sekarang pun mereka tetap berteman
meski jarang akur. "Kata dewan kerajaan kalo nggak lulus, gue akan
diusir dari kerajaan setan dan nggak bisa jadi raja!"
"Baguslah," kata Slash, berkomentar untuk pertama
kalinya. "Bagus"!" "Setan suka kegagalan, termasuk kalo temannya
gagal jadi setan hahaha," Slash malah tertawa keras.
"Jadi menurut lo, gue nggak bakal lulus"!" Eric mulai
tersinggung. Slash mengangguk. "Oke, gue akan ngerjain soal ujian ini. Lo lihat aja,
gue pasti bisa!" kata Eric sambil membalik lembar
pertama buku tebal tersebut. "Di belakang lembar
ini tercantum catatan hidup seorang manusia. Tugas
anda adalah... minta manusia itu menyerahkan
nyawanya dan jerumuskan dia ke dalam neraka.
Caranya terlampir di belakang. Waktu anda tiga
puluh hari. Kontrak kematian terlampir di halaman
terakhir. Selamat ujian..." Eric membacakan soal
tersebut. "Segampang ini"!" tanyanya takjub.
Mengganggu manusia adalah masalah gampang bagi
kaum setan, karena tugas mereka memang itu. Yang
agak berbeda dalam soal ini mungkin cuma masalah
kontrak kematian. "Ada dua cara untuk membuat manusia
menandatangani kontrak ini. Pertama, bujuk dia
dengan mengabulkan permintaannya, dan kedua,
paksa dia dengan kekerasan supaya mau tanda
tangan," kata eric sambil membalik halaman dua di
buku ini. "Jadi buku setebal ini soalnya hanya itu"! Tau gitu
ngapain gue capek-capek ngomel dari tadi" Ini sih
gampang banget." Eric tertawa meremehkan.
"Siapa manusia itu?" tanya Slash dengan suara datar.
Dia nggak terpengaruh sedikit pun dengan
kegembiraan Eric. Eric membalik lembar buku itu lagi. Tampak foto
seorang cewek. Tawa Eric langsung terhenti.
Slash melirik sekilas, "Cewek" Kok Dewan Kerajaan
mencari sasaran semudah itu?" gerutunya.
Eric diam saja. Cewek itu mengingatkannya
pada...pada siapa ya"
"Berapa umurnya?"
Eric mencari keterangan usia di buku itu. "Lima
belas," katanya pelan. Dalam hati dia malah pengin
protes kenapa baru lima belas tahun udah harus
mati" Slas malah kesal mengetahui usia cewek itu masih
lima belas tahun. Di kalangan setan, ngerjain remaja
lebih mudah, karena umumnya pikiran mereka
masih gampang dipengaruhi. "Ah, makin gampang
aja. Kok dewan ngasih soal semudah itu sih?"
Eric nggak berkomentar. Sekarang gantian dia yang
jadi pendiam. "Hei, ngapain lo diam?" Slash mulai sadar perubahan
sikap temannya. "Jangan-jangan lo bukan setan, ya?"
sindirnya. "Siapa bilang" Gue ini setan sejati dan pasti jadi raja
Malvera!" tegas Eric biar terkesan pede. Namun pas
melihat buku ujian itu lagi, wajahnya malah murung.
"Tunggu apa lagi" Buktikan ke semua setan itu!" kata
Slash sambil menghentikan mobilnya seolah sudah
tidak sabar ingin menurunkan Eric biar langsung
pergi ke bumi. Part 2 JAM 04.57. Alexandra Alfarez tersentak dari tidurnya tiga menit
sebelum weker di kamarnya berbunyi.
Alex, begitu cewek kelas satu SMA itu biasa disapa,
memang sengaja bangun pagi. Sebisa mungkin lebih
pagi dibandingkan biasanya. Dia bangun pagi,


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mandi, dan menyiapkan keperluan sekolah
secepatnya. Setelah itu, dia mengendap-endap
menuju garasi. Ada motor 250 cc di sana, yang
langsung di dorong Alex perlahan keluar garasi.
"Alex, bangun!" terdengar teriakan Mama dari dalam
rumah. Pasti Mama mengira dia belum bangun,
karena belum juga muncul di ruang makan. Jam
segini biasanya Mama sedang membuat sarapan dan
Alex kadang membantunya. "Alex, kamu udah bangun, belum" Nanti terlambat,"
kata Mama lagi. Alex nggak menyahut sama sekali. Dia malah
semakin cepat mendorong motornya keluar
gerbang. "Alex"!" teriak Mama yang tiba-tiba sudah berdiri di
depan pintu. Wajah Mama tampak penuh amarah.
Alex pura-pura nggak lihat, dia malah menyalakan
mesin motornya. "Alex, jangan bawa motor itu! Berapa kali Mama
bilang, nanti kamu bisa celaka! Alex! Alex....!"
Alex nggak mendengar lagi ucapan mamanya. Ia
menginjak pedal motor dan memutar gas di setang
kanannya. Dengan cepat ia melaju meninggalkan
rumahnya. Sudah lima bulan terakhir ini Alex berusaha
berangkat sekolah naik motor sport berwarna
dominan hijau ini. Aslinya motor itu punya Oom
Fadly, adik Mama. Karena Oom Fadly ditugasin
belajar di luar negeri oleh kantornya, motornya
dititip di rumah Alex. Maksudnya sih biar bisa
dipakai Adrian, kakak laki-laki Alex, buat kuliah.
Tapi karena kakak Alex tinggal di kos-an dan nggak
mau bawa motor itu, Alex-lah yang membawanya.
Bahkan akhirnya motor itu jadi milik Alek, karena
dia minta sama oomnya dan dikasih.
Alex memang senang sekali dengan motor yang
kecepatannya bisa dengan mudah dipacu di atas
seratus kilometer per jam itu. Berada di atas motor
sekencang itu membuatnya merasa "dekat" dengan
seseorang. Ayahnya. Alex nggak pernah kenal papanya. Orangtuanya
bercerai, dan Papa pergi dari rumah saat Alex masih
berusia tiga tahun. Apa sebabnya, Alex nggak tahu.
Yang pasti sampai usia lima belas tahun saat ini, Alex
nggak pernah ketemu papanya lagi. Satu-satunya
yang Alex ingat soal papanya adalah punggung Papa
saat meninggalkan rumah terakhir kalinya.
Punggung yang terkesan lebar dan kokoh.
Setelah Papa pergi, semua tentang papa seolah jadi
hal terlarang di rumah. Mama menyingkirkan
semua, barang, maupun foto yang berhubungan
dengan Papa. Mama juga sepertinya marah kalau
Alex bertanya soal Papa. Yang Alex tahu, sampai saat
ini papanya masih hidup. Tapi berada di mana atau
bagaimana keadaannya, Alex nggak tahu.
Alex juga malas sering-sering bertanya soal Papa,
karena cuma akan bikin Mama marah. Jadi semua
soal Papa dipendamnya dalam-dalam. Untung Alex
masih sempat menyelamatkan foto Papa yang dia
temukan di rumah neneknya. Di foto itu Papa
tampak duduk di atas motor balap.
Makanya Alex senang sekali dengan motor sport
pemberian Oom Fadly. Dia nggak sekadar memakai
motor itu menjadi alat transportasinya ke manamana, tapi juga suka main kebut-kebutan di jalanan,
di arena balapan ilegal. Yang semakin membuat
kemarahan Mama menjadi-jadi.
"Alex, kamu tuh gimana sih" Kebut-kebutan itu
berbahaya. Buat anak laki-laki aja udah bahaya,
apalagi buat anak perempuan! Nanti kamu bisa
mati!" begitu hardik Mama tiap kali tahu Alex baru
kebut-kebutan naik motor.
Biasanya Alex cuma bisa diam. Tapi bukan berarti
dia kapok. *** Motor Alex melaju menuju SMA Harapan. Sudah satu
semester dia jadi siswa di SMA ini. Tapi boleh
dibilang, Alex nggak suka sekolahnya. Anak-anak di
sekolah ini sepertinya menganggap Alex cewek aneh
dan takut padanya. Nggak tahu kenapa. Mungkin
karena dia pendiam, jarang tersenyum, dekil, naik
motor sport, dan sering muncul di sekolah dengan
tangan dan kaki pakai plester perban. Alhasil,
selama SMA, dia cuma punya dua teman: Mimi dan
Elmo. Dua-duanya juga orang aneh, mungkin malah
lebih aneh dibanding Alex... hehehe.
Motor yang dikendarai Alex mulai mendekati SMA
Harapan. Tiba-tiba saja ada motor lain yang melintas
kencang mendahuluinya. Alex cuma menahan napas melihat motor itu. Motor
biru bertipe sama dengan motor Alex itu milik Kian.
Cowok itu juga masih kelas satu, sama kayak Alex.
Bedanya, Kian kelas 1-1, sementara Alex kelas 1-7.
Bedanya lagi, cowok itu populer di sekolah. Semua
anak di SMA Harapan terutama cewek kenal sama
Kian. Secara fisik, semua kompak bilang Kian keren.
Cowok itu tinggi, cakep, jago basket, dan senyumnya
menawan. Alex tiba di parkiran motor. Begitu melepas
helmnya, dia nggak sengaja menoleh ke samping.
Tampak Kian menatapnya sinis. Alex langsung
buang muka dan pergi secepatnya dari parkiran. Dia
benci pada cowok yang menatapnya sinis itu. Bagi
Alex, dijauhi anak-anak lebih baik daripada ditatap
sengan tatapan permusuhan seperti yang dilakukan
Kian barusan. Alex nggak begitu paham kenapa Kian bersikap
seperti itu padanya. Mungkin karena Alex pernah
ngalahin cowok itu balap motor. Bukan balapan
sungguhan sih. Hanya keisengan anak-anak sekolah
mereka suatu sore sehabis latihan basket, yang
ngomporin Alex dan Kian buat nguji kecepatan
motor mereka. Saat itu motor Alex yang menang,
dan Kian "ditertawakan" Elmo.
"Wah, lo kalah ama cewek, Kian," kata Elmo saat itu.
Alex yakin Elmo nggak bermaksud mengejek. Satu
hal menurut Alex yang bikin Elmo sulit bergaul ialah
gaya bicaranya. Elmo pada dasarnya pendiam, tapi
sekalinya bicara pasti terkesan seperti menyindir.
Soalnya pemilihan kata Elmo terlalu jujur, diucapkan
tanpa melihat situasi. Sehingga banyak anak yang
salah paham dan tersinggung. Termasuk Kian.
Sejak kasus balapan itu, Kian yang sebelumnya juga
bukan teman mereka (karena memang nggak
pernah kenal) musuhin Elmo, Mimi, dan juga Alex.
Tiap papasan cowok itu nggak pernah negur. Alex
juga nggak mau negur duluan, takut diketusin. Jadi
yang Alex lakukan tiap ketemu cowok itu adalah
menghindar. Bruuk!!! Alex menabrak seseorang, eh, bukan satu,
tapi tiga orang sekaligus! Niken, Moniq, dan leony.
Cewek-cewek paling "wah" di kelasnya. Nggak hanya
di kelas, tapi mungkin juga di seantero SMA
Harapan. Itu karena mereka yang paling populer,
selalu ngikutin tren kecantikan terkini dan memakai
barang-barang mahal mulai dari tas, sepatu, jam
tangan, gelang, pokonya semua yang lagi ngetren.
Kebetulan juga sih ketiga cewek itu cantik. Niken
bahkan pernah jadi finalis model majalan remaja.
Moniq dan Leony juga pernah ikutan sesi foto untuk
lembar mode majalah. Cuma sekali sih, tapi karena
di SMA Harapan ini Cuma mereka bertiga yang
pernah difoto buat majalah, cewek-cewek itu sudah
kayak selebritis. "Uh, si Alex! Kalo jalan lihat-lihat dong"!" hardik
Niken sinis sambil merapikan tata rambutnya yang
nggak kusut. Alex diam saja. Sebenarnya dia pengin langsung
minta maaf, tapi karena tiga cewek di depannya
kompak melotot seperti mau mengeroyok, dia lebih
memilih kabur tanpa bicara apa pun.
"Dasar cewek aneh!" gerutu Leony yang sempat
terdengar. "Dandanannya aneh gitu, dia pasti nggak pernah
baca majalah remaja," tuduh Niken menyahuti.
"Berarti dia nggak tahu kita pernah masuk majalah"
Come on, ketinggalan zaman banget nggak sih?"
gerutu Moniq lebih prihatin.
Alex yang mendengar semua itu nggak peduli, dia
terus saja berjalan... "Halo, Kian. Lo makin cakep aja deh," kata Niken
yang mau nggak mau menghentikan langkah Alex
dan membuatnya menoleh. Tampak Kian dicegat tiga cewek centil itu. Dan dari
pandangan Alex, cowok itu ngobrol dan tertawa
bareng cewek-cewek itu. Akrab banget. Sepertinya
Kian juga gembira ketemu mereka. Ya iya lah,
mereka kan cantik-cantik. Semua cowok pasti suka
sama mereka, keluh Alex dalam hati. Seandainya gue
jadi salah satu anggota geng mereka, mungkin Kian...
Alex nggak mau nerusin ucapannya.
Belakangan ini ada yang salah pada diri gue, batin
Alex. Gimana nggak, cowok yang selalu membuat
Alex menjauh itu tiba-tiba selalu ada di pikirannya.
Entah kenapa, Alex ingat wajah tersenyum cowok
itu, padahal senyum itu dilihatnya dari jauh dan
bukan untuknya (seperti saat ini Kian tersenyum
dan tertawa dengan tiga cewek cantik itu, tapi Alex
malah mengkhayalkan seolah cowok cakep itu
tersenyum padanya). Senyum Kian, sosok Kian berlari di lapangan basket,
wajah Kian saat melepas helm, dan sebagainya
memenuhi memori otak Alex. Semua kebencian yang
Alex ingat tentang cowok itu sekarang berganti
dengan semua hal manis. Sialnya, semua hal manis
seperti senyum, wajah cakep, dan sosok keren Kian
itu nggak pernah ada buat Alex....
Alex pun cuma menunduk pasrah dan melanjutkan
langkah menuju toilet. Dia harus melepas celana
jinsnya dan memakai rok sekolah (tiap bawa motor
Alex selal pakai jins). Lalu Alex pun melangkah ke
kelas 1-7, kelasnya. "Hai, Alex, wajah lo kayak habis bangun dari mimpi
buruk aja," kata Elmo yang sudah ada di kelas,
menyapanya. Alex diam saja, dan terus berjalan ke bangkunya.
Entah mana yang lebih buruk: mimpi buruk atau
mikirin indah-indah tentang orang yang justru benci
sama gue, keluhnya dalam hati. Tentu saja yang Alex
maksud itu Kian. Lonceng tanda pelajaran dimulai berbunyi. Pertanda
jam-jam membosankan buat seorang Alex dimulai.
Alex nggak pernah suka pelajaran sekolah. Nilai
rapornya selalu jelek. Dari dulu guru-guru selalu
menganggapnya anak bermasalah, menatapnya
curiga, dan nggak pernah memedulikannya. Buat
para guru, penampilan, sikap, dan latar belakang
keluarganya sudah cukup untuk dicap sebagai anak
bermasalah. Gue benci hidup gue, keluh Alex dalam hati.
*** Begitu pulang sekolah, Mama sudah menunggu Alex
di depan pintu. Sejenak Alex heran. Ada apa sampai
Mama sudah ada di rumah jam segini" Seharusnya
Mama masih di kantornya. Mama Alex bekerja
sebagai arsitek di salah satu perusahaan properti
milik swasta dan biasanya sibuk banget.
Ah, paling-paling Mama pulang khusus buat marahin
gue, gumam Alex dalam hati.
Dan tuduhan Alex itu langsung terbukti begitu
motornya berhenti. "Sudah berapa kali Mama bilang sama kamu, Alex,
jangan bawa motor itu"!" hardik Mama langsung.
Alex diam saja. "Kamu kenapa sih, bandel banget kalo dibilangin"
Tiap kamu bawa motor itu pasti kamu ngebut. Mau
cari mati, apa"!" omel Mama lagi.
"Alex nggak ngebut ko, Ma," bantah Alex.
"Kata siapa" Semua tetangga di sini bilang kalo kamu
bawa motor kencang banget."
"Ah, mereka cuma mengarang-ngarang aja," kata
Alex, pura-pura nggak merasakan tuduhan itu. Dia
melenggang masuk ke kamar dan mengganti
seragam sekolahnya dengan kaus dan kembali
memakai jaketnya. "Hei, mau ke mana lagi kamu?" kata Mama yang
mengikuti Alex ke kamar. "Belajar kelompok di tempat teman," Alex
mengarang alasan. "Belajar kelompok"! Alex, jangan bikin Mama
tertawa. Mama ini nggak bisa kamu bohongi. Belajar
di sekolah saja kamu malas. Lihat nilai ulangan
kamu"semuanya hancur. Sekarang kamu bilang
mau belajar kelompok di rumah teman"!" sindir
Mama. Alex nggak menggubris ucapan Mama. Dia terus saja
melangkah keluar rumah dan kembali menaiki
motor. "Alex! Alex! Mama bilang..." ucapan Mama cuma Alex
dengar sampai di situ, karena dia sudah melaju
dengan motornya.

Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex sengaja pergi dari rumah, karena kalo dia ada di
rumah, Mama akan terus memarahinya tanpa henti.
Hubungan Alex dan ibunya memang agak nggak
begitu bagus. Semua hal sepertinya selalu jadi bahan
pertengkaran di antara mereka. Makanya, kadang
lebih baik kalo nggak ketemu aja sekalian.
Biasanya waktu Mama pulang kerja malam, Alex
sudah mengurung diri di kamar. Dan jika pagi tiba,
Alex sudah lebih dulu berangkat sekolah.
Alex nggak ngerti juga kenapa dirinya dan Mama
nggak pernah akur. Mungkin karena ada sisi pribadi
Alex yang marah pada Mama karena telah
membuatnya hidup tanpa ayah.
Sama Adrian, kakak cowoknya, Alex juga nggak
dekat. Kakaknya yang pintar itu terlalu sibuk dengan
buku dan komputernya. Sejak kuliah, Rian kos di
dekat kampusnya dan jarang banget pulang. Makin
lengkaplah alasan Alex buat nggak betah berada di
rumahnya sendiri. *** Alex melajukan motornya menuju Jalan Kahyangan.
Jalanan ini merupakan tempat nongkrong
favoritnya. Di jalan inilah balapan ilegal sering
dilakukan. Hampir tiap hari, ada saja anak-anak yang
mencoba mengadu kecepatan motornya. Paling
sering malam, meskipun siangnya jalanan lurus
sejauh lima ratus meter yang terletak di pinggir kota
ini agak sepi. Tetapi memang lebih seru balapan
malam. Alex suka ke sini karena bengkel Garage
tempat dia memodifikasi motor terletak di jalan ini.
Tapi siang ini Alex cuma nongkrong di kafe yang
terletak persis di samping bengkel.
Kebetulan belum makan siang, Alex pun memesan
makanan dan melahapnya sendirian. Siang-siang
begini, Kafe Garage yang masih satu pemilik dengan
yang punya bengkel memang sepi. Anak-anak motor
baru ramai ke sini kalau sudah sore. Saat ini yang
ada di kafe cuma Alex, Galang, dan dua temannya
yang Alex nggak kenal, serta seorang cewek yang
masih pakai seragam SMA. Cewek yang pasti bukan
anak motor ini (karena dia tipe cewek cantik seperti
geng Niken di kelasnya) berkali-kali melihat jam dan
HP-nya. Cewek berambut pendek itu seperti sedang
menunggu seseorang. "Mana sih dia?" gerutu cewek itu yang sempat
terdengar Alex. Alex nggak memedulikan cewek itu, dan kembali
menikmati nasi gorengnya.
Tiba-tiba terdengar deru motor yang tak lama
kemudian berhenti di depan kafe. "Hah... akhirnya,"
kata cewek itu sambil bergegas keluar.
Alex nggak sengaja menoleh keluar. Karena kafe ini
sekelilingnya kaca, dia bisa melihat dengan jelas apa
yang terjadi di luar. Motor di depan kafe itu mirip
motor Alex, cuma beda warna saja. Hei, itu kan
motor... Alex nggak jadi nerusin tebakannya, karena
pengendara motor itu keburu membuka helm, dan
ya, dia memang Kian. Cewek cantik yang masih berseragam itu segera
mendekati Kian dan mengangsurkan gelas plastik
berisi jus yang dipegangnya ke Kian.
Alex nggak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Yang tampak di mata Alex, dua orang itu terlihat
akrab banget. Tangan si cewek dengan santai
bersandar di bahu Kian, dan tanpa canggung
mengelap tetesan air yang jatuh di dagu cowok itu
dengan tangannya. Cewek itu pacar Kian..." tanya Alex nggak percaya
dalam hati. Sejenak Alex memperhatikan cewek berambut
pendek yang garis wajahnya cantik itu. Selain cantik,
selalu ada tawa menghiasi wajah cewek itu, sehingga
mengesankan dia orang yang menyenangkan. Nggak
heran Kian suka padanya. Dibanding Niken cs,
cewek ini pasti lebih menarik buat Kian. Niken,
Moniq, dan Leony memang cantik, tapi mereka kan
angkuh, sementara cewek di depan Kian ini benarbenar menyenangkan. Dibanding Alex...
Hanya dalam mimpi. Begitu pun peluang gue
dibanding cewek itu tipisss banget! Keluh Alex
dalam hati. Kian kembali memakai helmnya dan cewek cantik
itu duduk di belakangnya. Dua orang yang menyita
perhatian Alex ini pun pergi dari depan kafe.
Alex menarik napas, ada perasaan nggak menentu di
hatinya sekarang. Selama ini dia nggak tahu Kian
sudah punya pacar. Di sekolah Alex selalu melihat
cowok itu jalan sendirian. Tapi mungkin saja kan, dia
punya cewek yang nggak satu sekolah dengannya.
Hei, dia mau punya cewek atau nggak, apa
urusannya sama gue! Tegur Alex pada diri sendiri.
Stop, gue nggak boleh mikirin Kian lagi. Mau
senyumnya bagus kek, mau tampangnya cakep kek,
mau keren kek, mau jago basket atau apa pun juga,
gue nggak peduli lagi! Teriak Alex dalam hati.
Teriaknya sih dalam hati, tapi sendok yang nggak
berdosa jadi korban dilempar Alex dengan kasar ke
piringnya. Prang! Untung piringnya nggak pecah.
Alex berdiri dan meninggalkan begitu saja
makanannya yang belum habis. Selera makannya
seketika hilang. Alex pun terlihat jauh lebih kesal
daripada saat dimarahi mama tadi. Perasaannya jadi
marah nggak menentu. Dia keluar dari kafe itu dan
duduk di motornya. Alex tahu nggak ada gunanya kesal dan marah. Kian
bukan siapa-siapanya Alex. Tapi saat ini otak Alex
nggak bisa kompromi sama hatinya yang sakit
melihat cewek lain bersandar ke Kian.
"Hai, Lex!" tegur Galang, cowok yang tadi juga makan
di Kafe Garage. Cowok itu merupakan anak motor
yang sering nongkrong di sini, makanya Alex kenal.
"Lex, kenalin teman gue, Kaka ama Rio," kata Galang
lagi sambil menunjuk dua cowok di dekatnya.
Alex cuma diam. Dia mengamati teman Galang itu
satu per satu. "Rio nggak percaya waktu gue bilang lo bisa balap,
Lex. Katanya mana ada cewek yang bisa bawa motor
sambil ngebut." "Oh, ya?" komentar Alex sinis.
"Gue bilang aja, lo tantangin Alex kalo berani," kata
Galang lagi. "Kapan?" Alex malah langsung menjawab tantangan
cowok itu. "Nanti malam," kata Rio.
Alex melihat ke arah jalanan yang siang ini
sepertinya lebih sepi daripada biasanya.
"Kenapa nggak sekarang aja?" tantang Alex lagi.
"Sekarang?" Rio tampak kaget.
"Jalanan sepi kok. Gimana?" Alex malah semakin
ingin secepatnya memacu motornya. Rasa kesal
membuatnya ingin secepatnya mencari
pelampiasan. Cowok bernama Rio itu tampak terdiam sesaat, lalu
akhirnya mengangguk. "Oke deh, gue ambil motor dulu," kata cowok itu
sambil berjalan ke dalam bengkel.
Alex mendorong motornya ke pinggir jalan,
mengikuti Rio yang sudah lebih dulu tiba di sana
untuk menempati tempat start.
"Peraturannya, mulai dari sini, putar di tugu
pertigaan itu, lalu balik lagi ke sini. Siapa yang
duluan tiba lagi di sini, itulah pemenangnya!" Galang
menjelaskan lintasan yang harus dilalui Alex dan
Rio. Alex melihat ke Rio, cowok itu mengangguk,
pertanda dia memahami aturannya. Alex memakai
helmnya, begitu juga Rio. Galang berdiri di antara
motor Alex dan Rio. Cowok itu merentangkan kedua
tangan untuk aba-aba start.
"Satu, dua, tiga!"
Alex langsung memacu kencang motornya. Dalam
sekejap petunjuk kecepatan di depannya melesat
naik. Motornya melaju kencang. Alex melihat ke
spion kanan, melihat Rio berada di belakangnya.
Seulas senyum sinis terukir di wajah Alex, dia akan
memenangi pertandingan ini. Namun nggak lama
kemudian, dalam hitungan detik, cowok itu
menjejeri motor Alex, dan berhasil melewatinya.
Alex nggak bisa diam melihat semua itu. Dia pun
makin menambah kecepatan motornya.
"Gue harus menang!" teriak Alex menyemangati
dirinya sendiri. Alex terus menambah kecepatan motornya. Dia
nggak peduli dengan angin kencang yang terasa
menusuk tubuhnya. Dia harus bisa mendahului Rio.
Kalau dia menang, rasa sakit hatinya melihat Kian
tadi mungkin akan sedikit terbayar.
Usaha Alex untuk menang sepertinya nggak sia-sia;
dia berhasil melewati Rio. Senyum kemenangan
mulai muncul di wajah Alex. Namun tiba-tiba... entah
mengapa, motornya sulit dikendalikan. Motornya
sempat oleng ketika ia dengan panik berusaha
menginjak rem. Tapi... tapi... remnya blong!
Motornya meluncur tak terkendali. Di tengah
kepanikannya, Alex membanting setir. Motornya
oleng hebat, dan dia refleks melepas pegangannya di
setang supaya tidak terseret motornya lebih jauh.
Alex bisa merasakan tubuhnya terempas keras di
aspal. Setelah itu semuanya gelap
Part 3 ALEX nggak tau apa yang terjadi pada dirinya. Tibatiba saja dia berada di lorong gelap. Nggak ada
cahaya atau apa pun yang terlihat di sekitarnya. Dia
melangkah seorang diri di tempat ini.
Apa gue udah mati" Tanya Alex pada diri sendiri.
Alex nggak tahu jawabannya. Kakinya terus
melangkah untuk mencari tahu dia ada di mana saat
ini. Tapi tetap nggak ada petunjuk apa pun.
Lorong hitam yang dilalui Alex berakhir. Sekarang
langkahnya berada di tempat yang terang banget.
Semuanya terlihat berselubung kabut putih, seperti
penuh asap. Kayak dunia langit aja, pikir Alex. Ia ingat dalam
salah satu buku cerita anak-anak yang pernah
dibacanya, saat mati orang digambarkan berjalan di
lorong gelap dan menemukan tempat luas berwarna
putih dan penuh asap. Apa ini artinya gue... hampir mati"
"Tidak!!!" teriak Alex sekuat tenaga. Meski pernah
bilang dia benci hidupnya, tetap saja dia nggak
pernah kepikiran soal kematian.
Alex langsung cemas. Suaranya habis. Janganjangan... sebentar lagi semua yang ada di dirinya
akan hilang perlahan-lahan. Mula-mula kakinya akan
terasa ringan, lalu hilang. Terus tangannya
menghilang, diikuti badannya... dan terakhir
kepalanya yang hilang jadi asap. Setelah semua itu,
nggak ada lagi yang namanya Alex!
Namun sebelum semua itu terjadi, Alex mendengar
sesuatu. "Kamu harus mengikuti aturannya. Minta nyawanya,
bukan menrenggutnya begitu saja! Cara seperti ini
tidak akan membuatmu lulus ujian!" Terdengar
suara seorang laki-laki yang sepertinya sudah lanjut
usia. Suaranya sarat kemarahan.
"Apa bedanya, Raja" Yang penting di sudah mati,
maksudku segera mati," bantah suara lain.
Sepertinya yang ini suara cowok remaja gitu.
Alex mencari-cari asal suara tersebut, tapi tetap
nggak menemukan seorang pun. Yang bisa
dilihatnya hanya dirinya sendiri. Pembicaraan kedua
orang itu masih terus berlanjut.
"Turun ke bumi, dan ikuti ujianmu dengan benar.
Jika tidak lulus, hakmu sebagai putra mahkota akan
dicabut Dewan!!!" terdengar suara menggelegar.
Marah banget, sepertinya.
"Tapi aku kan pangeran kegelapan, buat apa aku
harus susah payah"!" protes cowok itu lagi.
"Cepat pegi, sebelum Dewan tahu ulahmu!"
Nggak terdengar suara cowok itu membantah.
Itu kalimat terakhir yang Alex dengar dari suara
laki-laki yang dipanggil "Raja" oleh si cowok muda.
Apa maksud pembicaraan mereka" Raja... hmmm,
apa tempat ini merupakan kerajaan"
Alex nggak bisa melihat apa-apa. Juga nggak
mendengar suara apa pun lagi. Dirinya kembali
sendirian di sini. Alex yang takut dirinya akan
menghilang begitu saja, berusaha terus
melangkahkan kakinya. Dia berharap bisa
menemukan jalan keluar dari tempat ini. Namun
sejauh apa pun dia melangkah, tetap yang
ditemuinya hanyalah cahaya terang dan asap putih
di sekelilingnya. Di mana sih sebenarnya tempat ini" Tanya Alex
sambil melihat sekeliling. Dia sudah putus asa
setelah lagi-lagi hanya asap putih dan kesendirian
yang ditemuinya. "Mungkin ini memang akhir dari seorang Alexandra
Alfarez," Alex akhirnya pasrah.
Tiba-tiba... Alex melihat cahaya merah menerpa
dirinya. Cahaya itu sangat menyilaukan, Alex sampai


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyipitkan mata saking perihnya. Bukan hanya
perih, cahaya itu juga terasa berat. Sangat berat,
sampai Alex terjatuh. Dia nggak merasakan
tubuhnya lagi. "Alex, Alex, bangun, Sayang..." terdengar suara
samar-samar. Mama..." apakah itu suara Mama" Alex yakin itu
suara ibunya. Dengan segenap kekuatan yang
tersisa, ia berusaha memaksa matanya membuka.
Tampak cahaya terang dan berwarna putih. Hanya
saja kali ini tidak menyilaukan seperti yang di lorong
tadi. Hah"! Alex malah melongo menyadari dirinya
terbaring di tempat tidur rumah sakit.
"Sayang, syukurlah kamu sudah sadar," kata Mama,
memeluknya sambik terisak-isak.
Alex masih melongo. Dia heran melihat dirinya
benar-benar terbaring di kamar rumah sakit, bahkan
tangannya ditusuk selang infus segala. Meski samasama terang dan putih, ini jelas bukan seperti tepat
barusan yang dikunjunginya.
"Janji sama Mama, jangan naik motor lagi ya,
Sayang," pinta Mama dengan suara memohon sambil
menatap Alex. Alex hanya diam melihat ibunya. Saat ini dia belum
bisa mengatakan apa-apa pada Mama. Dia masih
sangat kebingungan. Seorang dokter dan dua perawat masuk ke kamar
Alex. Para petugas medis itu langsung memegang
lengannya sampil memperhatikan layar monitor
denyut jantung di meja. "Bagaimana anak saya, Dok?" tanya Mama dengan
suara cemas. Padahal ibunya lihat sendiri, Alex
sudah sadar. "Anak Ibu nggak apa-apa. Silahkan tunggu di luar
sebentar. Saya akan mencoba memeriksa keadaan
Alexandra. Nanti saya jelaskan hasil pemeriksaannya
pada Ibu," kata Dokter yang usianya sepertinya lebih
tua daripada Mama itu. Mama Alex pun keluar dari ruang gawat darurat.
Alex sedikit lega karena nggak perlu membahas soal
motor dengan Mama saat ini.
Dokter dan dua perawat itu terus memeriksa kondisi
Alex. Mulai dari cek jantung, denyut nadi, tekanan
darah, sampai mengetuk sendi-sendi Alex seperti
kaki dan lengannya, untuk memeriksa refleksnya.
Sementara Alex sendiri merasa dirinya baik-baik
saja. Nggak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang
terasa sakit. Bahkan saat Alex lihat, tangan, kaki, dan
wajahnya juga nggak ada bekas luka. Padahal
biasanya Alex jatuh sedikit saja sudah perlu pakai
plester perban. Ini malah mulus. Aneh.
Kecelakaannya kan parah banget, mengingat ia
sampai nggak sadarkan diri.
"Dok, berapa lama saya pingsan?" tanya Alex ingin
tahu. "Sekitar 48 jam."
"Saya nggak apa-apa, Dok?" tanya Alex, ingin
memastikan keadaan dirinya.
"Sampai saat ini saya belum menemukan kelainan
apa-apa pada dirimu. Sepertinya kamu baik-baik
saja. Benar-benar mukjizat," kata Pak Dokter, yang
membuat Alex bingung. "Mukjizat?" "Biasanya banyak akibat yang terjadi pada korban
kecelakaan, terutama kendaraan bermotor. Tapi
sudahlah, yang penting kamu selamat. Jangan
diulangi lagi ya," kata Pak Dokter. Kalimat terakhir
itu mirip dengan ucapan Mama.
Alex hanya menghela napas.
Thank God, gue bisa kembali ke hidup seorang
Alexandra, katanya pasrah.
Part 4 SETELAH tiga hari absen, pagi ini Alex kembali ke
sekolah lagi. Cuma kalau biasanya dia pergi ke
sekolah naik motor kebanggaannya, kali ini ia
diantar Mama. Motornya sendiri terpaksa menginap
di bengkel. Ke sekolah diantar Mama sebenarnya merupakan
hal yang paling Alex hindari. Soalnya Mama biasanya
menceramahinya sepanjang jalan.
"Mama paling nggak suka kamu bawa motor itu,
Alex. Apa gunanya coba, kebut-kebutan di jalanan"
Nggak ada, kan"! Cuma bikin kamu luka dan masuk
rumah sakit," kata Mama untuk yang keseratus
kalinya Alex dengar sejak siuman.
Alex hanya diam. "Coba cari hobi yang bermanfaat seperti main
basket, majalah dinding, atau melukis," saran Mama
yang hanya dijawab Alex dengan kebisuan.
"Mama nggak pernah ngerti kenapa kamu suka
motor itu. Kamu itu anak perempuan, Lex!" omel
Mama lagi. Alex masih diam. Kalau dia jawab alasannya suka
sama motor itu, Mama pasti akan kehilangan katakata saking marah besar dan juga sedihnya.
Untung sekolah sudah di depan mata, sehingga Alex
bisa turun dan omelan Mama bisa segera berakhir.
Meski kesal mendengar omelan Mama, Alex tidak
membantah. Ia takut mamanya semakin marah.
"Ma, Alex pamit," katanya saat mobil sudah berhenti.
"Hati-hati," jawab Mama. "Oh ya, Lex, nanti pulang
sekolah kamu langsung pulang ke rumah, ya" Kamu
nggak boleh pergi ke mana pun hari ini, karena nanti
malam kita ada acara," lanjut Mama lagi.
"Acara apa?" tanya Alex heran.
"Syukuran kamu sudah sembuh. Mama mau kita
makan malam bareng. Kakakmu juga sudah Mama
kasih tahu, nanti sore habis kuliah Rian pulang,"
jelas Mama. "Oh." Alex pun mengangguk.
Mobil Mama kembali melaju.
Alex melangkah ke gerbang sekolah. Hal pertama
yang dai lakukan adalah menoleh ke parkiran motor.
Ingin melihat motornya" Tentu saja bukan. Dia ingin
tahu apakah cowok sinis yang membawa motor biru
itu sudah datang atau belum. Bukan kenapa-kenapa,
Alex hanya sekadar ingin tahu. Sudah tiga hari Alex
nggak melihat wajah cowok itu. Cuma ingin tahu,
ada nggak yang berubah dari cowok itu"
Sebelum Alex sempat menemukan motor biru itu,
tahu-tahu... BRUKK!!! Ia menabrak, bukan satu,
bukan dua, tapi tiga orang sekaligus. Lagi?""
"Alex lagi! Lo tuh jalan lihat-lihat kenapa sih, Lex?"
Niken langsung melabraknya.
"Ng..." Alex baru mau bilang sori, tapi tiga cewek
canti itu udah ninggalin dia.
"Eh, eh, Eric datang!" pekik Leony yang sempat
terdengar Alex. Alex menoleh, ingin tahu siap yang dimaksud Leony.
Sebuah mobil merah yang sudah dimodifikasi
berhenti di parkiran. Ada gambar percikan api di
kedua sisi mobil. Wah, mobilnya keren juga, kayak mobil balap, kata
Alex dalam hati. Siapa di SMA Harapan yang
membawa mobil itu" Perasaan Alex baru lihat sekali
ini. Dari dalam mobil turun seorang cowok berkacamata
hitam dengan bingkai silver. Cowok jangkung itu
memakai seragam SMA yang dilapisi jaket oranye.
Dia juga pakai kalung bling-bling yang cukup besar.
Mungkin gara-gara jaket, kacamata, dan perhiasan
bling-bling itulah dari jauh cowok itu terlihat
bersinar. Alex merasa nggak pernah melihat cowok yang
langsung disambut ramah oleh ketiga cewek
tersebut. Nggak sengaja Alex melirik ke sampingnya.
Ternyata bukan cuma Alex sendiri yang menonton
cowok "bersinar" itu, tapi Kian juga. Namun sial bagi
Alex, begitu dia memandangi Kian, cowok itu malah
berjalan ke arahnya. Alex langsung panik. Ia berbalik dan lari ke kelasnya.
"Alex! Lo udah sembuh?" kata Mimi yang kebetulan
ada di kelasnya. Cewek itu memang sering ke kelas
1-7. Mimi langsung memeluk Alex kegirangan.
"Hebat juga lo, Lex. Padahal menurut teori medis
lebih dari 2x24 jam nggak sadar bisa berakibat fatal.
Kalo nggak lewat, berarti kerusakan sistem saraf
tubuh. Lah ini lo sehat-sehat aja," kata Elmo, seperti
biasa cenderung blak-blakan.
"Thanks, Mo," jawab alex atas sambutan aneh itu.
"Untung lo baik-baik aja, Lex," kata Mimi sambil
mengetuk-ngetuk bahu, lengan, dan kaki Alex seperti
dokter yang memeriksa keadaan Alex pas siuman.
Gerak-gerik teman Alex yang satu ini memang aneh.
Dia suka berlagak seperti apa yang ada di
pikirannya. Kali ini sepertinya Mimi menganggap
dirinya dokter ahli. "Aduh, sakit kali, Mi," protes Alex. Habis Mimi
memukulnya terlalu keras.
"Hehe, sori. Oh ya, Lex, lo tahu nggak, ada info
terbaru," kata Mimi lagi, mulai ngegosip.
"Info apa?" tanya Alex sambil meletakkan tas di
bangkunya. "Ada anak..." Mimi baru ngomong segitu ketika tibatiba saja cowok "bersinar" yang naik mobil keren
tadi memasuki kelas. "Hai, Alexandra. Lo udah sembuh?" kata cowok itu
sambil membuka kacamata hitamnya.
Alex, yang nggak merasa kenal sama cowok itu,
mengangguk saja. "Oh, bagus. Sembuh dari koma akan membuat lo
punya kehidupan baru. Percaya deh sama gue," kata
cowok itu sambil dengan sok akrab menepuk bahu
Alex segala. Alex cuma melongo. "Oke deh, gue mau ke kantin dulu," kata cowok itu,
padahal nggak ada yang nanya. Cowok bersinar" itu
menaruh tasnya di samping tas Alex dan pergi
keluar. "Siapa dia?" tanya Alex yang masih melongo.
"Eric!" jawab Elmo dengan suara yang terdengar
bete. Sepertinya teman Alex ini nggak suka sama si
cowok baru. Ya, umumnya cowok kan nggak suka
lihat cowok "wah" seperti cowok kinclong barusan.
"Siapa?" tanya Alex masih belum mengerti.
"Anak baru," jawab Mimi.
Alex lalu menoleh ke Elmo. Kalau ada anak baru di
kelas mereka, Elmo pasti tau informasi tentang
cowok itu. "Info terbaru yang dimaksud Mimi itu, ya si Eric
barusan. Nama lengkapnya Frederic Sawa, pindahan
dari luar negeri, warna favoritnya merah..."
"Warna favorit?"Alex merasa aneh mendengarnya.
"Dia memang bilang begitu pas pengenalan diri."
"Sekalian aja tinggi badan, hobi, cita-cita," sindir
Alex. "Dia mau bilang begitu sih, tapi Bu Anita sudah
motong duluan dan nyuruh Eric duduk," kata Elmo,
dengan lugunya malah membenarkan.
Alex cuma meringis, sepertinya teman sebangku
barunya cukup "ajaib".
"Sepertinya dia baik ya, Lex, buktinya tadi dia nyapa
lo duluan," komentar Mimi.
"Mi, dia anak baru, memang dia yang harus nyapa
duluan, kali," kata Alex mengingatkan.
"Ah, biasanya siapa pun nggak ada yang peduli ama
kita, Lex," kata Mimi balik mengingatkan.
Alex diam saja. Mimi ada benarnya. Mereka bertiga
anak-anak yang nggak terlihat di sekolah ini, alias
dianggap pecundang. "Eric tinggal dekat rumah lo," kata Elmo lagi nambah
info. "Masa sih?" "Iya, di ujung kompleks rumah lo," tambah Mimi.
"Rumah kosong itu?"
"Sekarang itu rumah Eric. Kemaren gue lewat situ,
benar kok rumah itu sudah diisi," jelas Mimi lagi.
Alex cuma angkat bahu. Nggak ada urusannya sama
dia, Eric mau tinggal di mana. Toh Alex nggak kenal
dia. Mungkin Mimi dan Elmo membahasnya cuma
karena nggak ada bahan pembicaraan baru.
*** Jam-jam membosankan di sekolah berlangsung
seperti biasanya. Guru menerangkan pelajaran demi
pelajarann di depan kelas dan Alex mengikuti
dengan setengah hati. Cuma satu yang berbeda hari
ini, yaitu teman sebangku baru Alex, Eric. Cowok itu
selalu tersenyum saat tanpa sengaja Alex menoleh
padanya. Alex yang jarang banget dapat senyuman dari siapa
saja (ada juga kening orang-orang berkerut begitu
melihatnya), cuma bisa meringis. Mungkin Eric tipe
orang yang ramah dan murah senyum, pikir Alex
soal sikap cowok itu. Tadi Alex sudah melihat mobil, jaket oranye, dan
kacamata hitam berbingkai silver Eric, sekarang Alex
bisa melihat dari jarak dekat sepatu cowok itu"
warnanya merah dengan garis silver. Buat ukuran
cowok, pemilihan warna barang-barang Eric itu
menurut Alex agak luar biasa... atau Eric memang
sengaja begitu biar menarik perhatian orang-orang"


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sok nyentrik, gitu. Entahlah, Alex juga nggak tahu.
Kalau kata Alex sih, tanpa benda-benda berwarna
mencolok itu pun Eric sudah menarik perhatian
anak-anak SMA Harapan, terutama cewek-cewek.
Bagaimana tidak, cowok itu cakep, tinggi, ramah, dan
pintar. Hal terakhir baru Alex sadari sejak jam
pelajaran pertama, cowok itu selalu menjawab
pertanyaan guru dan sering menawarkan diri pergi
ke depan kelas untuk mengerjakan soal.
Apa lagi yang kurang dari Eric" Sepertinya nggak
ada. Makanya nggak heran, pas jam istirahat tiga
cewek cantik dari geng Niken langsung mendekati
cowok itu. Alex memilih keluar dari kelas dan
menghampiri kelas Mimi. Sebenarnya sih bukan
kelas sahabatnya itu tujuan utama Alex, tapi
lapangan basket yang terletak di depan kelas Mimi.
Di lapangan basket itu tiap jam istirahat ada... Kian.
Yap, mau secakep atau sebaik apa pun si anak baru,
buat Alex tetap saja musuhnya ini lebih menarik
perhatiannya. Alex melihat Kian sudah ada di lapangan basket
bersama anak-anak basket lainnya. Memang sudah
menjadi kebiasaan mereka untuk selalu mengisi
waktu jam istirahat dengan melempar-lemparkan
bola ke ring. "Alex, ke kantin yuk!" ajak Mimi yang baru keluar
dari kelasnya. "Nggak deh, Mi, gue kenyang," jawab Alex sementara
matanya tetap saja fokus melihat ke lapangan
basket. Tampak Kian melambai dan tersenyum pada
cewek-cewek yang kebetulan lewat dan
menyapanya. Kenapa sih dia nggak pernah senyum ke gue, desis
Alex kesal. Dalam hati aja sih...
"Lo lihatin siapa sih, Lex?" tegur Mimi.
"Nggak ada," jawab Alex tanpa menoleh sama sekali.
Dia masih saja melihat ke lapangan basket.
"Kian?" tebak Mimi yang spontan membuat
perhatian Alex teralihkan. Selama ini nggak ada satu
orang pun yang tahu Alex suka sama Kian. Dan bagi
Alex, nggak ada satu orang pun yang boleh tahu.
"Kian" Buat apa gue lihatin dia?" tanya Alex balik.
Mimi angkat bahu. "Mana gue tahu."
"Kian itu kan cowok brengsek!" sergah Alex tegas
buat menutupi rahasianya.
Mimi nggak berkomentar apa-apa. Raut wajah
cewek itu malah tampak cemas melihat ke Alex...
tepatnya ke belakang Alex!
"Lo bilang apa, Lex?" terdengar bunyi suara serak
cowok. Kian. Mati gue, batin Alex cemas, tapi buru-buru
pasang tampang datar untuk menutupi perasaannya.
"Gue nggak bilang apa-apa," kata Alex berlagak cuek
dan sombong. "Lo pikir gue nggak punya kuping, apa?" sindir Kian
sambil mengambil bola basket yang kebetulan
banget jatuh dekat kaki Alex. "Heran gue, baru juga
sembuh dari kecelakaan. Lo bukannya berubah, tapi
malah makin belagu," tambah Kian lagi.
"Belagu"!" tanya Alex kesal.
Kian diam, menatap Alex sinis.
"Hei, kalo lo kalah balapan ama cewek akui aja,
bukan malah main tuduh gue belagu segala," balas
Alex sengaja menyindir. Dia terpaksa mengungkitungkit cerita lama supaya imejnya terjaga. Jaim, gitu.
"Gue nggak pernah kalah ama lo!" Kian menuding
bahu Alex. Lama-lama cewek ini bikin emosi juga
nih. "Nggak pernah?" cemooh Alex. "Lah yang waktu itu
apa dong namanya?" "Lo benar-benar menyebalkan!" teriak Kian. Nggak
jelas kenapa, ia jadi marah banget.
"Lo juga!" balas Alex nggak mau kalah.
Kian sepertinya hendak membalas ucapan Alex lagi,
tapi temannya keburu datang.
"Ki, udah," kata cowok itu, menarik Kian balik lagi ke
lapangan basket. Alex mengembuskan napas perlahan. Pas menoleh,
dia baru sadar selain Mimi, di dekatnya ternyata
sudah ada Elmo, Niken cs, dan Eric! Keenam orang
itu menatapnya aneh. "Lo nggak apa-apa, Lex?" Eric yang bersuara duluan.
Cowok ini memang persis tebakan Alex"ramah"
dan sekarang ditambah lagi penuh perhatian. Tapi
karena Alex lagi bete, jawabannya malah jadi jutek
nggak jelas. "Kian benar-benar brengsek!" kata Alex sambil buruburu pergi, meninggalkan keenam orang itu yang
lagi-lagi menatapnya aneh.
Alex berjalan kembali ke kelasnya. Begitu tiba di
bangkunya, dia langsung membereskan bukubukunya dan menyandang ransel.
"Lho, Lex, lo mau ke mana?" tanya Mimi yang
ternyata menyusulnya. "Cabut!" "Lex, masa sih cuma gara-gara keributan kecil kayak
gitu aja lo mau bolos sekolah" Lo kan udah tiga hari
nggak masuk?" "Keributan kecil, lo bilang" Bagi gue itu masalah!
Masalah besar!!!" tegas Alex, tanpa sadar berteriak
di depan wajah Mimi. Kening Mimi mengernyit. Elmo yang baru muncul di
kelas juga heran melihatnya.
"Kian brengsek!" kata Alex sambil meneruskan
langkahnya keluar kelas. "Jangan-jangan ini gara-gara kecelakaan. Saraf emosi
Alex yang biasanya nggak berfungsi, sekarang malah
aktif, jadi pemarah deh dia," Elmo berhipotesis.
Meski mendengar ucapan itu, Alex tetap saja
berjalan ke gerbang sekolah. Dia benci sekolah dan
sekarang, dia benci banget ada di sekolah ini garagara cowok bernama Kian. Selama ini Kian nggak
pernah bicara pada Alex, tapi sekalinya bicara, katakata cowok itu nyelekit banget. Dasar brengsek!
Umpat Alex dalam hati. Tapi kalau dipikir-pikir lagi... sebenarnya apa sih
yang membuatnya mengecap Kian brengsek" Apa
gara-gara ucapan cowok itu atau gara-gara memori
otak Alex yang menyimpan adegan Kian berduaan
cewek lain di depan Kafe Garage" Kok sepertinya
yang terakhir ya" "Alex, Alex tunggu!" terdengar suara cowok
memanggilnya. Bukan suara Kian, sayangnya. Tapi
Eric. Alex terpaksa menghentikan langkahnya.
"Lo nggak apa-apa, Lex?" tanya cowok itu,
memastikan keadaan Alex. "Gue mau pulang!" kata Alex ketus membalas
perhatian cowok itu. Tapi sikap Eric tidak berubah.
"Gue antar, ya?" kata Eric sambil menunjuk ke arah
mobilnya. Alex melihat ke mobil merah tersebut. Sekilas dia
melihat ada kucing hitam di dalam mobil. Tapi
berhubung emosi, dia nggak berminat nanya kenapa
ada kucing di mobil anak baru itu dan apa kucing itu
nggak mati ditinggalin di dalam mobil berjam-jam
gitu. "Gue pulang sendiri aja!" kata Alex, meneruskan
langkah tanpa memedulikan Eric. Dia keluar gerbang
dan menyetop bus yang lewat.
Dari sekolah, Alex langsung menuju rumahnya.
Sebenarnya dia ingin jalan-jalan, tapi karena
motornya di bengkel, dia memilih pulang saja.
Tiba di rumah, nggak ada siapa-siapa yang Alex
temui. Mama pasti masih di kantor dan di rumah
mereka memang nggak ada pembantu. Jadi begitu
pulang, Alex langsung mengurung diri di kamar
sambil terus merutuki Kian.
Kenapa sih Kian kayak gitu" Coba dia baik-baik sama
gue, kan gue juga nggak jadi salting dan ngucapin
kata-kata kasar ke dia. Gue bakal bermanis-manis
sama dia, dan siapa tahu dia membalas rasa suka
gue, kan kami bisa jadian. Kalau gini sih boro-boro
jadian, jadi teman aja belum tentu. Kayaknya waktu
gue di rumah sakit pun dia nggak pernah ngejenguk
deh. Padahal kan bisa dibilang gue kecelakaan garagara "panas" lihat dia sama cewek genit gitu. Berarti
dia punya andil dalam kecelakaan gue... Eh, udah
nengok nggak, sikapnya bete gitu lagi, repet Alex
panjang-lebar. Gambar chibi Kian yang semula cakep
dan menggemaskan habis dicorat-coret Alex.
Sebenarnya sih percuma Alex ngomel, Kian nggak
akan dengar. Kalaupun cowok itu dengar palingpaling Kian bakal bilang, "Emang lo siapa?" Kian kan
sudah punya cewek... "Ah, hidup ini mengesalkan!" rutuk Alex sendiri.
Part 5 SAMPAI menjelang malam, Alex masih mengurung
diri di kamarnya yang terletak di lantai atas. Dia
nggak keluar-keluar dari kamar, baik buat ngambil
makanan atau apa pun. Sore tadi pas Mama pulang
kerja, Mama sempat teriak memanggil Alex turun
buat bantuin nyiapin makan malam. Tapi Alex malah
sengaja pura-pura nggak dengar. Mama pun
berhenti memanggil, mungkin Mama pikir Alex
ketiduran. "Alex, ini sudah jam tujuh, sebentar lagi kita makan
malam," kata Mama sambil mengetuk pintu
kamarnya. Alex melihat ke jam dinding kamarnya, memang
sudah jam tujuh malam. "Ya, Ma, bentar lagi Alex turun," kata Alex dengan
suara terpaksa. Alex mengembuskan napas dengan malas. Mau
nggak mau dia harus turun dan makan malam
bersama Mama dan Rian. Duduk bertiga, mendoakan
hidup mereka, terutama keselamatan Alex. Itulah
yang selalu dilakukan keluarganya tiap kali Alex
berurusan dengan rumah sakit.
Tiba di ruang makan, Alex melihat Mama sedang
menata meja makan. Sejenak Alex bengong melihat
meja makan yang cantik banget itu. Dia tahu
mamanya arsitek yang selain bisa merancang rumah
juga jago menata ruangan. Tapi apa nggak
berlebihan, untuk acara kecil seperti makan malam
keluarga aja Mama menata meja sampai sebagus ini"
Ada lilni, bunga, lipatan serbet cantik, dan peralatan
makan yang matching satu sama lain. Belum lagi
berbagai jenis makanan yng terhidang di meja.
"Ma, kenapa sih harus repot-repot seperti ini?"
protes Ales melihat hasil karya mamanya. Terlalu
bagus buat sekadar makan malam.
"Kita kan jarang makan sama-sama, Lex" kata Mama.
Ya memang jarang sih, malah boleh dibilang langka.
Mama biasanya pulang kerja malam, sehingga Alex
sering makan sendirian, sementara Rian yang udah
nggak tinggal di sini juga jarang nengok rumah.
"Ma, kenapa piringnya ada empat?" tanya Alex, baru
sadar meja makan tersebut ditata untuk empat
orang. "Ada teman Mama yang mau ikut makan sama kita,"
kata Mama sambil masih saja sibuk menata meja.
"Teman?" Alex jadi curiga. Siapa teman yang
diundang Mama" Jangan-jangan...
"Oom Iwan." "Oom Iwan?" Alex nggak merasa kenal dengan nama
itu. "Teman Mama, mantan klien. Rumahnya Mama yang
rancang tahun lalu. Oom Iwan mau kenal sama
kamu. Sekarang dia lagi ada di jalan, jemput Rian
dulu di kos, baru bareng ke sini. Oom Iwan sudah
kenal sama Rian, tapi belum kenal sama kamu.
Kemaren waktu kamu dirawat dia sempat datang
menjenguk, cuma karena kamu belum sadar, kamu
nggak tau. Makanya Mama ajak Oom Iwan ke sini
biar kenal sama kamu," jelas Mama panjang-lebar.
Alex terdiam menatap Mama. Ucapan Mama barusan
sudah langsung menjawab kecurigaan Alex, Oom
Iwan itu pasti teman istimewa mamanya. Dan bukan
nggak mungkin... Kecurigaan Alex semakin menjadi jelas saat Oom
Iwan dan Rian datang. Mama menyambut
"temannya" itu dengan wajah ceria sekali. Alex
nggak pernah melihat Mama sesenang itu.
"Alex, kemari, Sayang. Kenalin, ini Oom Iwan," kata
Mama dengan suara lembut beanget memanggil
Alex. Padahal biasanya Mama selalu berteriak dan
marah-marah pada Alex. Dengan langkah terpaksa, Alex mendekati pintu
depan dan melihat laki-laki yang disebut Oom Iwan.
Laki-laki itu kira-kira seusia ibunya, tubuhnya tinggi,
kurus, dan berkulit agak kecokelatan.
Penampilannya sama dengan eksekutif perusahaan
pada umumnya. Berkemeja mahal, wangi, dan pakai
kacamata. "Hai, Alexa, Oom senang lihat kamu sudah sembuh,"
kata Oom Iwan sambil menjabat tangan Alex.
Alex diam saja. Dia paling nggak suka dipanggil
"Alexa". Nama itu menurut Alex terkesan cewek
banget alias manja. "Oh, ya, Oom bawa hadiah buat kamu," kata Oom
Iwan sambil mengangsurkan tas kertas di tangannya
kepada Aelx. Alex diam saja, nggak berusaha mengambil tas itu.
Mama Alex buru-buru menengahi dengan menarik
tangan Alex supaya menerimanya.


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semoga kamu suka," kata Oom Iwan lagi.
Alex melirik sekilas ke dalam tas kertas tersebut.
Isinya boneka beruang. Halah, sejak kapan gue suka
boneka"! Gerutu Alex dalam hati. Dia langsung ingat,
ada boneka malaikat cewek di meja kamarnya di
rumah sakit waktu Alex sadar dari koma. Itu pasti
pemberian Oom Iwan juga, tuduh Alex. Hanya itu
benda pemberian yang nggak Alex kenali
pengirimnya saat di rumah sakit. Yang lainnya Alex
hafal semua. Majalah dan komik pasti dari kakaknya,
bunga dari Mimi, dan Elmo membawa buah-buahan.
Hanya itulah orang-orang selain Mama yang selalu
menjenguknya,. "Sebaiknya kita langsung ke ruang makan saja. Mari,
Mas," kata Mama menghapus lamunan Alex. Tampak
Mama menggandeng tangan laki-laki itu ke ruang
makan. Alex mengernyitkan kening. Sppertinya Oom Iwan
itu bukan sekadar teman istimewa, tapi lebih dari
itu. Dalam waktu dekat kemungkinan laki-laki itu
akan menjadi suami Mama. Duh, jangan sampai deh!
"Kapan-kapan kita berempat makan di luar aja, biar
nggak ngerepotin kamu masak semua ini, Wi," kata
Oom Iwan pada Mama saat mereka berempat mulai
makan. Idih. Belum apa-apa laki-laki itu sudah bersikap
seperti keluarga ini aja, desis Alex dalam hati.
"Nggak apa-apa, Mas. Sekali-sekali ini. Biasanya kita
juga makan di luar, ya kan, Lex?" kata Mama dengan
senyuman yang malam ini terasa sering banget
diumbar. Dari tadi, sejak laki-laki itu datang, Mama
selalu ceria. Bukan hanya Mama, tapi Kak Rian yang
biasanya berwajah murung juga terlihat ceria.
Sementara Alex yang baru kali ini melihat laki-laki
itu dan langsung diberi tontonan sikap manis Mama
dan kakaknya terhadap Oom Iwan, hanya bisa
menebak-nebak heran dalam hati"kenapa begtu
cepat laki-laki itu diterima keluargamya"
"Oom dengar kamu suka balap motor ya, Lexa?"
tanya Oom Iwan, berbasa-basi pada Alex.
Alex diam saja. Sepertinya oom Iwan sedang
berusaha membuat dirinya disukai Alex.
"Alex sering kebut-kebutan di jalanan, nggak bisa
dibilangin," kata Mama, menambahkan informasi
soal "hobi" Alex.
"Daripada kebut-kebutan di jalan raya, mending
kamu ikutan klub motor sport, Lexa. Teman Oom
anaknya ada yang ikut klub itu, mereka punya
agenda latihan dan pertandingan yang teratur. Lebih
aman balapan legal daripada ilegal. Kalo kamu mau,
nanti Oom daftarin."
"Nggak usah, makasih," jawab Alex singkat dan
bernada kesal. Dia paling nggak suka orang yang
bersikap baik karena ada maunya.
"Balapan motor kurang bagus buat anak perempuan.
Kamu punya hobi lain, Lex" Melukis, misalnya?"
"Nggak," jawab Alex berbohong. Padahal
menggambar termasuk hal yang sering dilakukan
Alex di waktu luang. Terutama gambar chibi-chibi
seperti yang ada di dalam komik Jepang. Alex suka
karena lucu aja ngeliatnya.
"Kalo musik" Kamu suka musik apa?" Oom Iwan
masih terus berusaha mencari perhatian Alex. Dari
caranya yang tetap tenang dan berusaha bicara baikbaik pada Alex, ketahuan banget dia berharap Alex
bisa menyukainya sehingga dia bisa cepat menjadi
ayah Alex. "Nggak suka musik!"
"Kalo.." "Oom, saya nggak suka apa-apa!" tegas Alex. Dia
muak dengan basa-basi yang dipaksakan seperti ini.
Oom Iwan tampak tetap tenang.
Mama Alex mendelik, menegur sikap nggak
sopannya. Alex menunduk dan diam saja.
Begitu selesai makan malam, Alex langsung keluar
dari ruamahnya. Dia nggak mau berbaik-baik pada
laki-laki itu. Dia nggak mau Oom Iwan jadi ayahnya!
Itulah sebabnya dia langsung nggak suka terhadap
teman mamanya itu. Dia nggak mau siapapun jadi
ayahnya, selain Papa. Lagi pula jika dibandingin,
papanya pasti jauh lebih dbaik daripada Oom Iwan.
Dari segi wajah, cakepan Papa. Badan Papa yang
Alex lihat difoto juga jauh lebih gagah dibanding
Oom Iwan. Papanya kekar, sementara Oom Iwan
kerempeng. Tapi apa yang Alex bisa lakukan, ketika papanya
sendiri nggak pernah muncul dan Mama menghapus
semua hal tentang Papa dari hidup mereka" Alex
nggak pernah kenal papanya dan sekarang akan ada
orang lain yang tiba-tiba menggantikan posisi itu...
Keluhan Alex makin lama makin panjang. Kakinya
terus melangkah tanpa tujuan di jalan kompleks
rumahnya. Tadi dia menggerutu seharian soal Kian, sekarang
tambah lagi soal calon ayahnya.
"Hidup ini memuakkan!" rutuk Alex sendirian.
Part 6 RUMAH besar di jalan Meranti yang baru dihuni tiga
hari itu tampak lengang pada malam hari. Nggak ada
tanda-tanda kehidupan dari rumah itu, selain mobil
merah dengan gambar nyala api di bodinya yang
terparkir di depan rumah. Tapi jangan tanya seperti
apa bagian dalam rumah tersebut. Penuh barang
mewah, dan nggak sedikit diantaranya yang terbuat
dari emas dan perak. Ruangan dalam rumah itu
didominasi warna merah, hitam, dan warna
mengilat seperti emas dan perak. Sepintas ruangan
dalam rumah itu mirip puri atau istana dalam bukubuku dongeng. Tapi tentu saja ini bukan istana
dongeng. Ini kediaman baru Frederic Sawa, sang
pangeran kegelapan. Setelah gagal dengan cara licik supaya lulus ujian,
Eric terpaksa harus turun juga ke bumi. Awalnya
karena ingin cepat lulus, Eric merekayasa
kecelakaan Alex dan mengantar cewek itu ke
kematian. Tapi begitu kakeknya, Raja Sawa,
mengetahui hal tersebut, dia langsung mengambil
alih dan mengemballikan Alex ke kehidupannya dan
menyuruh Eric turun ke bumi secepatnya dan
menuntaskan ujiannya. Eric pun terpaksa menurut.
Turun ke bumi. Artinya Eric harus menyamar
menjadi manusia dan punya kehidupan seperti
manusia. Eric pun menyewa rumah besar, dan
dengan kemampuan sejenis sihir yang dikuasainya,
dia menata bagian dalam rumah tersebut seperti
Istana Malvera. Merah, gelap, dan mewah. Bagian
luar rumah tetap dibiarkan Eric seperti semula, biar
nggak terkesan mencolok. Bagaimanapun, dia
sedang menyamar, jangan sampai mengganggu
kehidupan manusia lain. Sebagai anak usia lima belas tahun, Eric harus
sekolah. Dia pun membuat identitas baru sebagai
pelajar pindahan dari luar negeri. Dan supaya
meyakinkan, Eric pun mengaku punya darah
campuran Asia dan Eropa. Orangtua rekayasa Eric
masih di luar negeri dan akan segera menyusulnya
ke Jakarta. "Eric, cepat kerjakan tugas lo, gue udah bosan di
bumi," gerutu Slash sambil menatap keluar jendela
rumah. Sementara Eric malah berbaring di sofa
empuk sambil asyik ngobrol di telepon dengan
Niken. "...orangtua gue masih di Paris, mungkin bulan
depan mereka baru pulang," kata Eric, menjelaskan
soal orangtuanya kepada Niken. Dalam hati dia
bilang, bulan depan gue nggak si bumi lagi.
"Eric!!!" tegur Slash.
"Nik, udah dulu ya, gue ada urusan lain nih. Nggak, lo
nggak bisa datang ke rumah gue sekarang. Gue ada
urusan, penting banget. Sori teleponnya gue tutup.
Dah, Niken," kata Eric sambil menutup telepon.
Akhirnya. Setelah tiga jam, gitu lho...
Slash menatap sahabatnya itu dengan kesal. Gimana
dia nggak kesal, sudah lebih dari 24 jam Alex, cewek
yang menjadi bahan ujian dewan kerajaan setan,
siuman. Tapi bukannya berusaha mendekati cewek
itu untuk menandatangani kontrak kematiannya, eh
Eric malah bersantai-santai. Padahal selama di bumi,
tiap kali keluar dari rumah besar ini Slash harus
berubah menjadi kucing hitam. Soalnya kalau
berwujud manusia seperti Eric, artinya dia harus
punya identitas baru, dan berusaha hidup normal
seperti manusia: harus sekolah, bersosialisasi, dan
sebagainya. Dia nggak mau bersussah payah kayak
gitu. Ujian ini untuk Eric, bukan dia. Karena Eric
mencoba curang dengan ujiannya, Raja Sawa marah.
Dan Slahs yang kebetulan mengantar Eric dituduh
telah memengaruhi Eric. Akibatnya dia disuruh
menemani Eric melakukan tugasnya di bumi. Sial.
"Sabar Slash, bukannya lo sendiri yang bilang ujian
ini mudah," Eric mengingatkan ucapan Slash dulu.
"Seberapa pun mudahnya, lo nggak akan lulus kalo
lo nggak usaha," sindir Slash.
"Bersikap manis sama manusia itu bagian dari
usaha, Slash, biar mereka percaya sama gue. Lo tau
nggak, di bumi ini gue dibilang cool. Lo tau apa
artinya" Tampan, keren, dan disukai cewek-cewek,"
kata Eric bangga. "Lo itu pangeran kegelapan. Semuanya lo punya,
bukannya itu jauh lebih hebat?" kata Slash.
"Nggak ada setan di negeri kita yang bilang gue
cool," Eric ngotot. Dia tetap suka kata cool itu. Ya,
iyalah, di kerajaan setan mana ada yang saling
memuji. Mereka cuma bekerka sama bikin kejahatan
dan nggak pernah peduli pada hal-hal baik,
termasuk memuji temannya. Yang menyenangkan di
kalangan setan adalah hal-hal jelek. Kalu bagus, itu
malah berarti kesalahan. Buktinya, isu menyukai
bunga saja sudah bisa menyeret Eric dalam masalah
dan menyebabkannya dihukum.
"Cewek-cewek di negeri kita lebih cantik daripada
cewek-cewek di bumi," Slash membandingkan.
"kalo di negeri malaikat?" tanya Eric iseng. Dia
sengaja ingin menguji apakan Slash tahu negeri
tetangga mereka itu. "Mana gue tau, gue nggak pernah ke sana!" tegas
Slash. Eric menarik napas. Sebagai setan, mereka memang
dilarang pergi ke negeri malaikat. Sejak kasus ayah
Eric, perbatasan negeri itu dijaga ketat oleh kedua
belah pihak. Jarang sekali yang bisa melewatinya,
meskipun bukan berarti tidak ada.
"Udah, cepetan. Gue udah bosan di sini. Cepat kerjain
tugas lo!" Slash kembali bete.
"Iya, iya. Oke, gue akan temui Alex sekarang. Bujuk
dia buat nandatanganin kotrak kematian, lalu kita
kembali ke langit. Beres, kan?" kata Eric enteng
sambil meraih jaket oranyenya di sofa dan berjalan
keluar rumah. Slash berubah wujud menjadi kucing dulu, lalu
mengikuti langkah Eric. *** Capek jalan kaki tanpa tujuan, Alex duduk di bangku
taman kompleks rumahnya. Seandainya motornya
ada, Alex pasti sudah memacunya keliling kota, atau
mungkin sampai ke luar kota sekalian, mengingat
dia emosi banget saat ini.
Alex melamun sendirian, matanya menatap langit
hitam di atasnya. Mungkin di sana lebih baik daripada di sini, desisnya
dalam hati. Nggak ada gunanya gue hidup, nggak ada
satu pun yang gue suka yang gue dapatkan, dan
nggak ada orang yang merasa gue berarti bagi
hidupnya. Seorang Alex mati pun nggak ada yang
bakal merasa kehilangan...
"Hai, Alex!" suara cowok membuyarkan
lamunannya. Alex menurunkan pandangannya. Tampak cowok
cakep berdiri di depannya dengan wajah tersenyum
ceria. "Eric" Ngapain lo di sini"!" tanya Alex heran.
"Nggak ngapa-ngapain, cuma jalan-jalan aja. Rumah
gue di sana," tunjuk Eric ke ujung jalan. "Gue lagi
keliling naik mobil, trus lihat lo di sini. Lo lagi
ngapain, Lex?" tanya Eric balik.
"Nggak ngapa-ngapain. Rumah gue di blok belakang.
Gue cuma lagi malas di rumah aja, ada tamu," jawab
Alex seadanya. "Gue boleh duduk di sini?" tanya Eric sambil
menunjuk tempat kosong di sebelah Alex.
"Duduk aja, ini tempat umum kok," jawab Alex ketus
seperti biasa. Sebenarnya dibanding semua orang
yang dikenalnya, Eric termasuk yang paling ramah.
Cuma karena sedang kesal, tetap saja cara bicara
Alex seperti orang bete. "Lex, lo percaya nggak kalo gue bilang gue ini devil
alias setan?" kata Eric membuka percakapan.
"Tampang lo terlalu cakep buat jadi setan,"
komentar Alex. "Setan itu memang harus berwajah cantik dan
tampan, Lex, kalo nggak gimana dia bisa menggoda


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menusia, coba?" kata Eric lagi.
"Ah, lo bisa aja," Alex tertawa menanggapi lelucon
itu. Mata Alex tetap memandang ke langit.
"Gue nggak bercanda, Lex. Gue serius," kata Eric
tanpa tawa sedikit pun. Alex menoleh sesaat, lalu menggeleng. "Lo cukup
pintar nyenangin orang lain, Ric."
"Kalau gini bisa bikin lo percaya?" kata Eric dengan
suara yang terdengar meyakinkan banget.
Alex tetap cuek, pandangannya sekarang beralih ke
jalanan kompleks yang sepi pada malam seperti ini.
Tiba-tiba Alex melihat cahaya merah menyilaukan
dari sampingnya. Dia ingat pernah melihat cahaya
semerah dan sekuat itu saat terbaring koma di
rumah sakit. Alam bawah sadarnya membawanya
berjalan di lorong hitam, bertemu dunia yang
semuanya tampak putih, lalu ada cahaya merah, dan
sesudah itu dia siuman. Cahaya merah itu memudar dan tampaklah Eric di
samping Alex. Alex langsung berdiri saking
kagetnya. Di depannya tampak Eric berjas hitam,
kemeja merah, bersayap hitam, dan ada tanduk
merah di kepalanya. Eric seperti... setan.
"Kalau gini lo baru percaya?" tanya Eric sekali lagi.
Alex mundur selangkah, terheran-heran. Kenapa
Eric bisa berubah begitu"
Cahaya merah yang menyilaukan itu hilang. Eric
kembali ke sosoknya semula dengan jaket oranye,
jins biru, dan sepatu kers merah.
"Ini sulap?" tanya Alex dengan kening yang masih
mengernyit. "Alex, tadi itu sungguhan. Gue ini setan," kata Eric,
masih berusaha meyakinkan Alex jati dirinya.
"Anak-anak di sekolah tahu lo bisa sulap?" tanya
Alex lagi. Alex masih sulit percaya ucapan maupun
penglihataan tentang Eric saat ini. Ia yakin Eric pasti
punya trik khusus. "Ya nggaklah, Lex. Gue ini beneran setan. Tujuan gue
ke bumi cuma untuk lo, untuk bantu lo bersenangsenang."
"Gue...?" tanya Alex makin nggak ngerti. Sedetik lalu,
yang Alex tahu Eric itu cowok cakep yang ramah
banget padanya. Kenapa sekarang tiba-tiba cowok
ramah itu jadi mengaku-aku diri setan"
"Lo seharusnya udah mati, Lex. Ingat lo pernah jalan
di lorong hitam, lalu bertemu dengan dunia yang
semuanya seba putih?" tanya Eric.
Alex terdiam. Bagaimana cowok itu bisa tahu soal
itu" "Cahaya merah yang bikin lo balik ke bumi itu
adalah kakek gue. Dia raja setan. Lo dihidupin
kembali biar lo bisa memilih sendiri, mau hidup atau
mati," jelas Eric. Alex menatap cowok itu dengan lebih seksama. Apa
sebenarnya tujuan Eric mengatakan semua itu"
"Kalo lo mau hidup, jalanilah kehidupan lo yang
membosankan. Sementara kalo lo ingin mati, gue
akan bantu lo bersenang-senang sebelum mati."
"Bersenang-senang sebelum mati?" Alex
memastikan pendengarannya.
"Dewan Kerajaan Setan memilih lo biar dapat
tawaran kehidupan yang menyenangkan sebelm
mati," kata Eric lagi.
Alex terdiam. Saat ini dia memang sedang banyak
masalah dan benci banget dengan hidupnya.
Tawaran eric ini terdengar... menggiurkan banget!
"Hei, Alex! Hidup ini nggak menyenangkan, kan"
Jadi, hidup ataupun mati, apa bedanya buat lo?" kata
Eric. Cowok menebak dengan tepat isi hati Alex.
"Toh akhirnya lo akan mati juga, Lex," kata Eric,
menekankan kata "mati".
"Semua orang akan mati," Alex berusaha tetap cuek.
"Betul. Makanya gue mau ketemu lo. Tanda tangani
kontrak kematian ini, dan gue akan ngabulin
keinginan lo. Apa saja yang lo inginkan. Gimana?"
tanya Eric sambil menyodorkan buku setebal Kamus
Webster ke depan Alex. "Lo bawa-bawa kamus itu dari rumah?" tanya Alex
heran. Kenapa tiba-tiba ada buku setebal itu di
tangan Eric" "Alex, udah gue bilang, gue ini setan. Gue bisa bantu
ngabulin apa saja keinginan lo sebelum lo mati.
Syaratnya mudah, Lex, lo bener-bener tinggal tanda
tangani saja kontrak kematian ini." Eric kembali
menyodorkan buku tebal tersebut. Kali ini tiba-tiba
saja seperi sulap, sudah ada bolpion di atas buku itu.
Alex mulai memikirkan ucapan Eri. Mungkin nggak
sih cowok ini benar-benar titisan setan seperti di
film-film" Tapi masa iya sih" Ini sama nggak
mungkinnya dengan manusia yang ngaku-aku setan,
kan" Kayaknya kurang kerjaan banget. Apa mungkin
sebenarnya Eric ini malaikat"
"Lex, malaikat itu nggak akan bantu lo bersenangsenang, mereka cuma bantu lo tabah, nyuruh lo
sabar setiap lo dapat masalah. Gue sebaliknya," kata
Eric, membaca pikiran Alex. "Ayolah, Lex, lo bisa
bersenang-senang gitu lho. Seumur hidup lo nggak
pernah dapet apa yang lo inginkan, kan?" bujuk Eric
lagi. "Emang lo tau apa yang gue inginkan?" Alex sengaja
coba menguji. "Kian, salah satunya," tebak Eric yang bikin Alex
melongo. "Tau apa lo soal Kian" Gue benci cowok itu. Lo nggak
lihat tadi di sekolah, gue berantem ama dia?" Alex
berusaha menghindar. "Ya, tapi gue juga lihat lo sengaja ke lapangan basket
demi merhatiin Kian diam-diam."
"Gue nggak merhatiin dia!" bantah Alex tegas.
"Ayolah, Lex, lo nggak bisa bohongin gue. Gue tau
semua tentang lo. Pikirkanlah, Kian bisa jadi pacar
lo. Lo tinggal bilang apa aja permintaan lo, dan gue
tinggal bilan zettha archapen, maka permintaan lo
akan langsung terwujud," kata Eric lagi.
"Zettha archapen?" tanya Alex heran.
"Itu mantra. Zetta archapen! Dan klik," Eric
menjentikkan jari, "keinginan lo langsung terkabul."
Alex menatap cowok cakep di sebelahnya. Alex jelas
nggak mau percaya sedikit pun ucapan cowok itu.
Mungkin saat ini Alex sedang ngelindur atau
bermimpi dengan semua yang dilihatnya barusan.
Tapi karena penasaran, Alex akhirnya bertanya juga.
"Benar nih, lo bisa kabulkan apa pun keinginan gue?"
Part 7 ERIC mengangguk yakin. "Berapa lama?" tanya Alex masih penasaran. Dia
kembali duduk di bangku taman demi mendengar
penjelasan Eric. "Sebulan. Tapi waktunya sudah terpotong tiga hari
karena lo kecelakaan, jadi tinggal 27 hari lagi," kata
Eric. "Apa pun?" tanya Alex meyakinkan.
"Batasnya tiga permintaan ya."
"Cuma tiga"!"
"Alex, tiga aja udah lebih dari cukup, kali. Contoh nih,
pertama jadian sama Kian, kedua jadi kaya, ketiga
jadi terkenal. Itu kan sudah berarti semuanya, Lex,
sudah lebih dari cukup," Eric menjawab kekagetan
Alex. "Tolong jangan sebut-sebut nama cowok brengsek
itu lagi," protes Alex.
Eric malah tersenyum. "Kalau gue punya tiga permintaan, Kian nggak akan
masuk daftar gue!" tegas Alex.
Eric masih tersenyum penuh arti. Sepertinya cowok
itu sangat yakin soal Kian.
"Benar, lo bisa ngabulin permintaan gue?" tanya
Alex, mastiin sekali. "Tanda tangani kertas ini, dan mintalah sesuatu,
pasti akan gue kabulin," kata Eric s
ambil membalik lembar buku tebal tersebut, dan terbukalah halaman
yang berisi kontrak kematian atas nama "Alexandra
Alfarez". Di bagian bawah halaman itu ada kolom
untuk ditandatangani. Membaca semua itu bikin
Alex yang semula bingung jadi cemas.
"Ini bohong-bohongan, kan" Lo becanda, kan?" tanya
alex, nggak mau percaya semua ini sungguhan. Masa
ada orang, setan, malaikat, atau apalah sebutannya,
yang minta nyawanya dengan imbalan mengabulkan
tiga permintaan. Jangan-jangan ini sungguhan....
"Ini gila, nggak masuk akal. Hari ini masalah gue
udah kelewat banyak. Pikiran gue stuck. Udah ah,
mending gue pulang dan tidur," kata Alex, beranjak
dari bangku taman tersebut.
"Lex, lo punya waktu buat mikirinnya kok, tapi
jangan lama-lama. Semakin lama lo ragu, waktu lo
buat senang-senang semakin dikit," Eric
mengingatkan. Alex nggak menggubris ucapan cowok itu. Dia
memang pernah berpikir untuk mati, tapi nggak
pernah berpikir dengan cara seperti yang
ditawarkan Eric. "Lex, jangan bilang pada siapa pun tentang apa yang
kita bicarakan!" kata Eric setengah berteriak karena
jarak Alex sudah cukup jauh.
Langkah kaki Alex berhenti. "Kenapa?" tanyanya
sambil melihat ke Eric. "Nanti lo dibilang gila. Ini hanya rahasia kita," kata
Eric lagi. Alex meringis. "Ya, memang gila," katanya
pelan sambil meneruskan langkah. Sekilas Alex
melihat ke mobil Eric. Ada kucing hitam di
dalamnya, lagi minum softdrink seperti manusia
dalam posisi duduk dan memegang kalengnya
dengan tangan. Hah"!
Alex makin mempercepat langkah menuju rumah.
Malam ini benar-benar gila!!! Teriaknya dalam hati.
*** Eric berjalan lunglai menuju mobilnya. Dia sudah
berusaha mengikuti cara pertama untuk lulus ujian,
yaitu membujuk dan mencoba mengabulkan
permintaan "korban"-nya. Dia juga sudah hafal
kalimat "Zetta archapen" yang jadi mantra pengabul
permintaan. "Gimana, dia udah tanda tangan?" tanya Slash yang
sudah kembali ke wujud manusia.
"Belum," jawab Eric pelan.
"Membujuk dia aja lo nggak bisa?" tanya Slash nggak
percaya. "Alex bukan orang yang mudah dipengaruhi," Eric
beralasan. "Bujukin apa kek. Kabulkan apa aja yang dia mau!"
suruh Slash kesal. "Gue udah nawarin buat ngabulin tiga permintaan
sebagai ganti nyawanya, Alex malah bilang semua ini
gila." "Hah" Cuma tiga?"
"Ya, nggak mungkin kan tiga ratus, waktunya cuma
tinggal 27 haru. Nggak mungkin mintanya banyakbanyak," jelas Eric, nggak terima dipersalahkan.
"Berapa kek, selain tiga. Tujuh atau sepuluh, biar
lebih menarik." "Tiga juga sudah lebih dari cukup. Capek gue
banyak-banyak," kata Eric, nggak mau mengganti
rencananya. "Terus, sekarang gimana" Gue bosan tuh jadi
kucing." "Sabar sebentar bro. Gue yakin Alex akan berubah
pikiran." "Kalau nggak?" "Kita ini kan setan. Kalau cara "baik-baik" nggak
mempan, kita pakai cara..."
"Kekerasan!" Slash menyelesaikan ucapan Eric
sambil tertawa culas. Eric ikut tertawa. Lalu, tanpa sepengetahuan temannya, tawa gembira
itu berganti dengan tawa getir....
*** Alex tiba di rumahnya. Begitu sampai di depan
pagar, ia berpapasan dengan Oom Iwan yang baru
mau pulang. Ada Mama dan Kak Rian yang
mengantar laki-laki itu. "Hai, Lexa, kamu mau ikut main boling Minggu
sore?" tanya oom Iwan begitu melihat Alex. Wajah
laki-laki itu tetap berseri menyapa Alex, seolah
nggak merasa pernah diketusin.
"Nggak," jawab Alex singkat.
"Tapi, Lex, hari Minggu kan kamu libur, apa salahnya
kita keluar sama-sama, " Mama ikut nimbrung.
"Alex nggak mau," kata Alex sambil terus masuk ke
rumahnya, dan langsung menuju kamarnya.
Di dalam kamar, mata Alex langsung terfokus
melihat boneka pemberian Oom Iwan tadi dan
boneka malaikat yang diberikannya saat Alex
dirawat. Kedua boneka yang nggak bersalah itu
langsung direnggut Alex dan hendak dibuangnya
keluar jendela. "Mo ngapain lo, Lex?" tanya Kak Rian yang baru
masuk ke kamar Alex, kaget.
"Mau gue buang, sebal gue lihat laki-laki itu," kata
Alex kesal. "Apa hubungannya boneka itu sama Oom Iwan?"
tanya Kak Rian dengan wajah heran.


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia yang ngasih, kan?"
"Boneka beruang itu ya, tapi malaikat itu bukan."
"Bukan" Tapi ini ada di rumah sakit."
"Teman lo mungkin yang ngasih," jelas Kak Rian
singkat. Alex diam sesaat. Teman gue yang mana yang nagsih
boneka ini" Batinnya heran.. yang pasti bukan Elmo
ataupun Mimi. "Lagian emang apa hubungan boneka itu sama Oom
Iwan?" tegur Kak Rian, kembali ke masalah semula.
"Nggak ada." "Ya udah, nggak usah dibuang."
Alex dengan terpaksa menaruh kembali boneka itu
di meja. "Duduk bentar, Lex, gue mau bicara," kata Kak Rian
serius sekali. Sifat Alex dan kakaknya ini sama sekali
berbeda. Rian tipe anak baik-baik, pintar dan patuh
banget sama Mama. Segala pujian selalu diberikan
pada Rian, sementara segala teguran untuk Alex.
Tapi Alex nggak pernah iri pada Rian. Malah, dalam
hati dia menyayangi kakaknya itu. Meski
kelihatannya Rian jarang banget peduli pada Alex.
Sama seperti Mama, yang cuma bicara pada Alex
kalau ada masalah. "Kalo soal Oom Iwan, gue nggak mau dengar. Dia
bakal jadi ayah kita, kan?" tuduh Alex langsung.
Kak Rian diam sesaat. "Kemungkinan besar. Tapi apa
salahnya, Lex, dia duda dan nggak punya anak.
Istrinya meninggal dua tahun lalu. Kelhatannya Oom
Iwan baik..." "Baik karena ada maunya. Semua orang juga gitu,"
sergah Alex memotong ucapan kakaknya.
"Lo nggak boleh pukul rata kayak gitu dong, Lex.
Belum tentu semua orang sama seperti yang lo
pikirin." "Pokoknya gue nggak suka sama Oom Iwan!" tegas
Alex lagi. Kak Rian menatap Alex sesaat, dan geleng-geleng. Ia
prihatin melihat sikap Alex yang keras kepala itu.
Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, Rian keluar begitu
saja dari kamarnya. Begitu Rian pergi, Alex melemparkan kedua boneka
tanpa dosa itu ke lantai. Dia mendengus kesal.
"Huh, kenapa sih semuanya nggak seperti yang gue
mau"!" Tiba-tiba Alex teringat penawaran Eric di taman
tadi. Tukarkan nyawa dengan tiga permintaan.
Hmm... Alex jadi memikirkan tawaran itu.
Buat apa terus hidup kalau nggak menyenangkan
kayak gini" Lagian semua orang kan juga bakal mati.
Dan kalau sebelum mati gue bisa bersenangsenang....
"Tidak!" teriak Alex dengan gelengan yang sangat
kencang. "Lagi pula, nggak ada yang gue inginkan
kok." Nggak ada" Alex terdiam. Kepalanya berpikir keras.
Pastinya ada sesuatu yang paling dia inginkan....
Part 8 PAGI ini Alex masih diantar Mama ke sekolah. Begitu
kaki Alex nginjak gerbang sekolah, hal pertama yang
dilakukannya adalah menatap parkiran mobil. Kalau
biasanya hal pertama yang dilakukannya adalah
menatap parkiran motor (memarkir motornya
sendiri sekalian mencari Kian), sekarang ia malah
mencari Eric. Tapi mobil yang paling keren di SMA
Harapan itu belum kelihatan. Berarti Eric belum
datang. Alex terus melangkah menuju kelasnya, tapi
matanya tetap saja melihat ke arah parkiran. Ia
penasaran, benar nggak sih cowok itu setan"
Bruk! Langkah kaki Alex menabrak seseorang"kali
ini benar-benar cuma satu orang. Heran, belakangan
ini hampir tiap pagi jalan di sekolah, dia pasti nabrak
orang. "Lo tuh kalo jalan lihat-lihat, napa?" Alex langusng
emosi begitu tahu orang yang ditabraknya itu Kian.
Seharusnya dia memang minta maaf, tapi berhubung
masih jengkel soal kemarin, malah Alex yang marah
duluan. "Gue" Bukannya lo sendiri yang ngak lihat-lihat"
Atau jangan-jangan lo memang sengaja?" sindir Kian
kesal. "Sengaja" Ngapain gue sengaja nabrak lo"!" Alex
makin emosi dituduh begitu.
"Mana gue tau," kata Kian sambil mengumpulkan
buku-bukunya yang jatuh dan terus pergi.
"Orang aneh," Alex sempat-sempatnya berkomentar.
Kian kontan berbalik lagi. "Lo tanya sama anak-anak
satu sekolah ini, siapa yang aneh. Gue atau lo?"
"Peduli apa?" kata Alex, tetap nggak mau kalah.
Karena emosi, sesaat dia lupa cowok di depannya ini
sebenarnya orang yang selalu dipujanya dalam hati.
"Pagi, Alex!" tegur Mimi, menghapus tatapan marah
Alex pada Kian. Tanpa bicara apa-apa lagi, Kian langsung berderap
pergi. "Lo kenapa sih masih berantem sama dia?" tegur
Mimi. "Tauk!" jawab Alex, masih kesal.
"Lo udah sembuh belum sih, Lex?" tanya Mimi yang
masih menatapnya heran. "Hei, denger ya. Gue baik-baik aja. Teori Elmo itu
salah!" teriak Alex sambil ninggalin Mimi sendirian.
Hebat, sekarang gue benar-benar seperti orang yang
bosan hidup! Kata Alex kesal dalam hati.
Begitu Alex masuk kelas, dia melihat bangkunya
diduduki Niken. "Lex, gue duduk di sini ya, lo di belakang aja," kata
cewek itu begitu melihat Alex.
"Pindah!" bentak Alex ketus. Padahal biasanya dia
nggak pernah marah pada teman-teman sekelasnya.
Mungkin karena terlalu banyak masalah yang
dialaminya, saraf Alex langsung tegangan tinggi hari
ini. "Lo bilang apa, Lex?" tanya Niken, si cewek paling
populer di sekolah, nggak yakin pada
pendengarannya. "Pindah!" ulang Alex, tetap sama ketusnya.
"Kalo gue nggak mau?" tantang Niken nggak mau
kalah. Alex yang sedang dibakar emosi, langsung menarik
paksa cewek itu dari bangkunya. Begitu tempat
duduknya kosong, tanpa rasa bersalah Alex duduk di
situ. Niken benar-benar terperangah menatap Alex.
"Dasar gila!" kata cewek cantik itu kesal. Lalu dengan
terpaksa Niken berjalan ke bangkunya yang terletak
di deretan belakang. Semua mata di kelas 1-7 menatap takjub pada Alex.
Termasuk Elmo. "Dampak kecelakaan itu ternyata banyak banget
buat lo ya, Lex," komentar cowok itu yang sempat
Alex dengar. Alex diam saja, nggak peduli.
Eric yang baru datang, masuk ke kelas sambil
menyapa ramah, "Pagi semua!"
Alex mengangkat wajahnya. Eric tersenyum seperti
biasa. "Pagi, Alex," kata cowok itu sambil duduk di
sebelahnya. Alex diam saja. Keadaan kelas pun tetap sunyi, nggak
ada yang mau membalas sapaan Eric. Semua anak
sepertinya masih "terkesima" dengan scene Niken
dan Alex barusan. "Gue ketinggalan apa nih, Lex?" bisik Eric. Ia bisa
merasakan keadaan kelas yang agak aneh pagi ini.
Alex mengangkat bahu. Dia nggak mau
membahasnya. Eric pun nggak nanya-nanya lagi.
Cowok itu ngeluarin buku dari ranselnya dan mulai
membaca. Alex melirik ke sampingnya. Eric terlihat biasa saja.
Sama seperti saat Alex melihatnya pertama kali.
Sama seperti anak-anak cowok lainnya. Tapi
bukannya tadi malam Eric mengaku...
"Ric, yang lo bilang tadi malam itu benar?" Alex ingin
mastiin. "Tanda tangani dulu kontrak itu dan mintalah
sesuatu. Lo akan tau sendiri, gue bercanda atau
serius," jawab Eric.
"Ngng... gue bisa bicara sebentar ama lo?" tanya Alex
agak ragu. Meski kemarin malam sudah matangmatang memikirkannya, dia nggak mau terpengaruh
oleh Eric. Tapi pagi ini, sisi lain dari dirinya malah
menginginkan tawaran Eric itu.
Eric jalan keluar kelas duluan. Alex mengikuti cowok
itu dari belakang. Mereka lalu berhenti di koridor
belakang sekolah yang agak sepi.
"Ada apa, Lex?" tanya Eric.
"Gue pengin lo ngejelasin lagi ucapan lo kemaren,"
pinta Alex. Ia pengin memastikan sekali lagi maksud
perkataan Eric tadi malam.
"Oke. Alex, gue ini setan. Dan lo manusia yang
terpilih buat gue bantu bersenang-senang sebelum
mati," jelas Eric, masih sama seperti yang
dikatakannya kemarin. Berarti benar. Berarti semalam dia nggak mimpi.
Bisa jadi semalam cowok itu benar-benar memakai
baju merah, punya sayap hitam, dan bertanduk.
"Kenapa gue yang dipilih?"
"Gue nggak tau juga kenapa. Setahu gue bisa siapa
saja, kebetulan aja orangnya elo."
"Kalo gue nggak mau?" tanya Alex.
"Terserah elo. Yang rugi kan elo, bukan gue," kata
Eric tersenyum. Alex menatap Eric sesaat. Senyum cowok itu seolah
mengatakan, rugi banget kalo nggak lo ambil
kesempatan ini, Lex. "Seperti apa rasanya mati?" tanya Alex. Tawaran
kematian Eric benar-benar menggoda. Ambil atau
nggak, ya" "Lo nggak tinggal di bumi, tapi di langit. Kalo lo baik,
lo masuk surga, kalo nggak, berarti lo bakal hidup di
neraka. Nggak ada bedanya sih,Lex, antara hidup
dan mati. Asyik malah, karena semua yang lo benci
di dunia, lo tinggalin," jelas Eric lagi.
Alex mencoba berpikir sesaat. Emang
menyenangkan meninggalkan orang yang kita benci,
tapi bagaimana dengan orang yang kita sayangi"
"Memang orang yang lo sayangi, sayang sama lo?"
sindir Eric. "Gue nggak menyayangi siapa-siapa," bantah Alex,
sengaja berbohong. Dia paling nggak suka disindir
seperti itu. Eric menoleh, dan mengarahkan pandangannya ke
lapangan basket. Tampak Kian lagi memutar bola
basket di jarinya, berlagak di depan beberapa cewek.
Nggak cuma memutar bola basket, tapi juga
beberapa gerakan free style lainnya. Dan cewekcewek yang melihatnya heboh memuji cowok cakep
itu. "Tukang pamer," gerutu Alex kesal. Di depan cewekcewek lain Kian baik banget, tapi di depan Alex"
Ngebetein abis. "Dia bisa jadi salah satu permintaan lo, lho," Eric
mulai berusaha memengaruhi.
"Sekali lagi gue kasih tau ya, kalo gue punya tiga
permintaan, dia nggak akan termasuk dalam daftar
gue!" bantah Alex. Eric malah tertawa kecil. "Alex... gue tau tentang lo.
Ingat buku tebal yang lo bilang kamus tadi malam
itu?" tanya Eric mengingatkan.
"Memangnya kenapa?"
"Sebagian isinya riwayat hidup lo. Kapan lo lahir,
siapa keluarga lo, siapa yang lo taksir, semua ada di
dalamnya." "Lo baca semua?" tanya Alex nggak percaya. Masa
semua tentang hidupnya ada orang yang tahu. Oh
iya, Eric kan ngakunya bukan orang, batin Alex
dalam hati. "Ya nggak lah, Lex. Bukunya tebal banget gitu. Gue
cuma membalik beberapa lembar. Halaman apa yang
kebetulan terbuka aja yang gue baca."
Alex diam. Dia kembali berpikir. Ucapan Eric
memang kedengarannya meyakinkan, tapi semua ini
nggak masuk logika. Alex nggak mau dijadikan
bahan tertawaan oleh anak baru ini.
"Gue bukan anak baru, Lex, gue ini setan," kata Eric,
untuk kesekian kalinya seolah bisa membaca isi
pikiran Alex. "Gue turun ke bumi cuma buat nawarin
kontrak kematian itu sama lo. Gue ini lagi
menyamar. Waktu gue cuma tiga puluh hari, dan
sudah empat hari berlalu. Terserah lo, lo ambil atau
nggak." Alex kembali melihat ke arah lapangan basket.
"Pasti terkabul?" tanya Alex, ingin memastikan
sekali lagi. "Gue jamin. Ayolah, lex, hidup lo nggak pernah
menyenangkan, kan" Sekarang lo bisa bersenangsenang sebelum mati. Bisa punya cowok yang lo
sukai, uang yang banyak, terkenal..." Eric terus
membujuk Alex. Alex diam sesaat. Otaknya berpiki keras. Hei, hidup
gue kan memang nggak menyenangkan! Teriak Alex
dalam hati. Jadi buat apa dipertahankan"
"Kontraknya lo bawa?" Itulah kalimat yang akhirnya


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari mulut Alex. Eric menoleh dan menatap Alex dalam-dalam.
Alex pun mengangguk. "Ikut gue ke mobil," kata cowok itu sambil berjalan
ke depan, ke arah parkiran.
Alex masih terdiam sesaat, agak ragu. Tapi akhirnya
diikutinya juga Eric. *** Alex mengikuti Eric masuk ke mobilnya. Begitu
duduk, Alex mendengar ada suara menyapanya.
"Hai, Lex!" Alex menoleh melihat sekelilingnya. Dia yakin Eric
nggak bicara dan di mobil ini nggak ada siapa-siapa.
Cuma si kucing hitam yang duduk di bangku
belakang. Eric membuka laci mobilnya dan ngeluarin buku
setebal kamus yang Alex lihat tadi malam.
"Tanda tangani di sini," kata cowok itu,
membukakan halaman kontrak.
Alex meraih bolpoin yang terletak di atas kertas itu
dan... "Lo yakin mau melakukan ini, Lex?" tanya Eric
sambil tiba-tiba menjauhkan kertas tersebut.
"MIAAUW!" Terdengar raungan keras kucing dari
bangku belakang mobil. Alex terlonjak kaget. Kenapa
kucing itu sepertinya marah, ya"
Tanpa bicara Eric kembali menyodorkan kertas
tersebut ke Alex dan dalam satu tarikan napas,
kontrak itu selesai ditandatangani Alex.
"Thanks, Lex," terdengar lagi cuara cowok, tapi
bukan suara Eric. Alex sejenak menoleh ke sekeliling mobil itu. Lagilagi, selain mereka, yang ada cuma kucing hitam.
Lalu ia menatap Eric. "Selesai," kata Eric. "Sekarang, ayo kita balik ke
kelas, Lex. Bentar lagi pelajaran pertama dimulai."
Alex buru-buru keluar dari mobil mewah tersebut.
Dia dan Eric kembali berjalan ke kelas.
"Ric, kucing hitam itu kucing lo?" tanya Alex,
penasaran dengan si kucing hitam di mobil tadi.
"Sahabat." "Sahabat?" tanya Alex heran.
"Iya, sahabat... biasa kan, bersahabat dengan
binatang." "Tapi apa nggak bahaya ninggalin dia di mobil"
Panas kan, Ric, kasihan," jelas Alex.
"Dia kucing dari negeri setan, udah biasa panas,"
kata Eric tetap santai. Alex dan Eric kembali ke kelas mereka. Begitu
masuk, mata Alex langsung bertubrukan dengan
mata Niken, Moniq, dan Leony yang menatapnya
penuh kebencian. "Lo udah pikirin apa permintaan pertama lo?" tanya
Eric begitu duduk di bangkunya.
"Udah," kata Alex yakin.
"Apa?" "Gue mau jadi anggota geng-nya Niken."
"Zetta archapen, permintaan lo akan terwujud," kata
Eric, bersamaan dengan berbunyinya lonceng jam
pertama Part 9 SAAT jam pelajaran pertama, kedua, dan ketiga
berlalu, nggak ada tanda-tanda permintaan Alex
akan terkabul. Niken, Moniq, dan Leony tetap duduk
di bangku belakang, cewek-cewek itu tetap ngobrol
bertiga di sela-sela pergantian pelajaran.
"Lo ngerjain gue ya, Ric?" tanya Alex saat bel jam
istirahat berbunyi. Eric malah tersenyum misterius.
"Sori, gue perlu ngomong sebentar sama Alex.
Pinjem dia bentar ya, Ric?" tegur Niken tiba-tiba.
Alex menoleh, kaget melihat Niken ada di depannya,
apalagi dengan wajah serius seperti ini. Biasanya
tiap melihat Alex, cewek itu akan pasang tampang
sinis atau kalau nggak memandang remeh. Janganjangan permintaannya benar-benar terkabul.
"Silahkan," kata Eric, yang langsung berdiri dan
pergi dari bangkunya. Tapi sebelumnya cowok
cakep yang mengaku devil itu mengacungkan
jempolnya buat Alex. "Gue minta maaf atas kejadian tadi pagi," kata Niken
saat Eric sudah keluar dari kelas. Saat ini keadaan
kelas nggak begitu rame. Setengah dari anak 1-7
sudah keluar dari kelas buat istirahat.
"Tadi pagi?" tanya Alex nggak begitu ngerti.
Perasaan alex duluan yang ngomong ketus. Apa
sikap Niken ini bagian dari terwujudnya permintaan
gue" Sepertinya begitu. Karena ucapan Niken berikutnya,
"Ya, gue salah udah ngambil bangku lo tanpa izin.
Sori ya, Lex," kata Niken, terdengar bersahabat
banget. Alex cuma mengangguk sambil meringis dalam hati.
Ini benar" "Lo mau ikut kita ke kantin, Lex?" ajak Niken yang
terdengar sangat ajaib di kuping Alex. Selain Niken,
di depannya sekarang juga ada Moniq dan Leony.
"...duluan aja deh," Alex berusaha menolak. Dia
masih canggung "bersahabat" dengan tiga cewek
paling populer di SMA Harapan.
"Oke deh, tapi ntar pulang lo bareng kita, ya?" kata
Niken. Lagi-lagi kata-kata cewek itu membuat Alex
terperangah. Setahu Alex, tiga cewek itu pulang dan
pergi sekolah naik mobil Niken. Nggak ada anak lain
yang diizinkan nebeng. Sekarang cewek itu nawarin
Alex" Wah... keinginan gue asli terkabul nih!
Meski begitu, Alex masih grogi. "Kita lihat nanti aja."
Niken tersenyum, lalu bersama dua cewek cantik
lainnya pergi keluar kelas.
Alex membalas senyum itu dengan meringis. Gila, ini
sungguhan, ujarnya takjub dalam hati.
"Hai, lex, ngapain cewek-cewek itu sama lo"
Berantem?" tegur Mimi yang muncul di kelasnya.
"Tadi pagi sih iya, tapi barusan udah minta maaf
kok," jelas Alex seadanya.
"Siapa?" "Niken." "Niken"!" Mimi terperanjat. Memang sih, yang paling
sombong dari tiga cewek cantik itu Niken.
Alex mengangguk. "Tumben," komentar Mimi kagum.
Alex cuma angkat bahu. Dia nggak mungkin
mengatakan yang sesungguhnya pada Mimi.
Sobatnya itu nggak bakal mengerti. Jadi mending
kontrak kematian itu hanya Alex dan Eric saja tahu.
*** Jam istirahat kali ini Alex nggak nongkrong di
pinggir lapangan basket lagi. Dia malas bertemu
dengan Kian. Mimi dan Elmo mengajak Alex ke
kantin. Begitu Alex duduk, matanya langsung
bersirobok dengan Niken yang duduk di meja dekat
jendela. Cewek itu langsung melambai.
"Lex, duduk sini!" panggil Niken.
Alex menggeleng. "Gue di sini aja," katanya
canggung. "Tumben Niken ramah banget," komentar Mimi yang
menyaksikan adegan Niken mengajak Alex.
"Tau," alex mengangkat bahu. Dia tetap duduk dan
makan nasi goreng yang dipesannya.
"Mo, lo tau nggak, tadi Niken minta maaf ke Alex,"
lapor Mimi. Waktu Niken minta maaf, Elmo memang
sudah nggak ada di kelas.
"Sebenarnya bukan hal yang aneh," kata Elmo
seperti biasanya. "Bukan?" "Ada titik-titik tertentu yang memunculkan
kesadaran manusia atas kesalahannya. Itu yang
sekarang terjadi pada Niken," kata Elmo sok tahu.
Alex nggak memedulikan teori cowok itu. Dari dulu
Elmo sering punya hipotesis tanpa dasar yang jelas.
Tapi kayaknya nggak ada hipotesis yang bisa
menjelaskan soal Niken dan Alex saat ini.
Niken kembali melambai dan menawarkan roti
bakarnya pada Alex. Alex menggeleng. Sumpah, dia canggung banget
dengan semua kebaikan cewek itu padanya.
"Kayaknya ada yang salah dengan Niken," desis Mimi
yang ikut memperhatikan Niken. "Tapi nggak boleh
berprasangka jelek. Malah bagus kan kalo Niken baik
sama lo, Lex," kata Mimi lagi.
"Ah, gue nggak mikirin," Alex berlagak menolak
"teman" barunya.
Mimi nggak membahas lagi soal sikap Niken. Cewek
itu mulai melahap makanannya. Begitu juga Elmo.
*** Setelah kasus minta maaf pas jam istirahat, lalu
mengajak duduk semeja pas ketemu di kantin,
sekarang saat bubaran kelas Niken langsung
menghampiri Alex. "Lex, lo pulang bareng kita, ya?" kata cewek itu
mencegat langkahnya. Alex sedang jalan bareng
Mimi dan Elmo. Sejak motornya masuk bengkel, Alex
selalu pulang bareng dua temannya itu, nebeng
mobil Elmo. "Gue sama..." Alex nggak enak sama dua temannya.
Namun belum selesai dia bicara, Mimi sudah
mendorongnya ke dekat Niken.
"Oh, Alex mau ikut kok," kata Mimi sambil sempatsempatnya ngedipin mata ke Alex.
Alex menatap temannya heran.
"Lex, kapan lagi lo bisa teman mereka" Semua anak
berharap jadi teman mereka. Ayo, lex, mumpung
Niken merasa bersalah sama lo," bisik Mimi pada
Alex. Cewek itu masih percaya teori Elmo, bahwa
Niken baik pada Alex karena merasa bersalah.
Alex menoleh ke arah Niken. Cewek yang biasanya
sombong banget itu malah tersenyum.
"Ngng... oke deh," akhirnya Alex mau juga.
"Asyik!" kata Niken riang banget, seolah Alex teman
favoritnya, sehingga kesediaan Alex ikut merupakan
kebanggaan baginya. Hmm... ini menyenangkan juga, komentar Alex
dalam hati. Alex pun ikut naik mobil Niken, bersama tiga
"sahabat" barunya. Sebelum kedatangan Eric, mobil
Niken lah yang paling keren di sekolah ini. Itulah
sebabnya hampir semua anak selalu menoleh tiap
tiga cewek cantik itu lewat. Gimana nggak, mereka
cantik, kaya, dan elegan. Dan sekarang geng yang
biasanya berjumlah tiga orang itu akan menjadi
empat orang! *** Bubaran sekolah, Eric masuk ke mobilnya setelah
melempar senyum pada cewek-cewek yang
menyapanya sepanjang koridor. Di bumi dia cepat
populer di kalangan cewek-cewek. Tapi Eric tetap
bertindak sewajarnya. Nggak membiarkan satu
cewek pun jadi pacarnya. Dia di bumi kan cuma
sebentar. Kalau dia sampai punya pacar, bisa berabe.
Karena nanti begitu tugasnya selesai di bumi Eric
akan menghilang begitu saja dan meninggalkan
semuanya. "Apa lo nggak bisa pulang sedikit lebih cepat?"
gerutu Slash begitu Eric duduk di belakang setir. Bel
bubaran kelas sudah berbunyi setengah jam lalu,
tapi sobatnya baru muncul ke mobil sekarang.
"Sabar, Slash, gue kan cuma ngobrol sebentar saja."
"Kayaknya lo suka bergaul sama manusia-manusia
itu. Jangan-jangan tuduhan Dewan soal lo yang
berhati malaikat itu benar," sindir Slash,
mengingatkan pada kasus yang menimpa eric,
sehingga mereka berdua dikirim ke bumi.
"Gue ini setan sejati, Slash. Lo nggak percaya banget
sih ama teman lo sendiri"! Dukung gue napa," protes
Eric. "Mendukung lo" Hei, gue yang harus jadi kucing dan
dikurung berjam-jam di mobil gara-gara lo. Lo pikir
nggak panas apa di sini?" gerutu Slash.
"Negeri kita kan juga panas, Slash, kayak baru kenal
yang namanya panas aja," ejek Eric. Negeri di langit
memang sama dengan di bumi, ada siang dan ada
malam. Cuma di Malvera kalau siang memang panas
banget, habis dekat banget dengan matahari sih.
"Ya, memang. Tapi kan gue butuh oksigen,
sementara di mobil ini nggak ada!" teriak Slash
emosi. "Tenang, bro. Harusnya lo ngasih gue selamat,
congrats karena berhasil membuat Alex
menandatangani kontrak kematiannya. Bentar lagi
gue lulus ujian dan kita bisa kembali ke langit," kata
Eric sambil menjalankan mobil.
Emosi Slash mereda. "Ya, lo benar," kata kucing
hitam itu, menyatakan persetujuan untuk pertama
kalinya. "Ini harus dirayakan, Ric. Lo harus traktir
gue makan!" "Beres!" "Sebentar lagi gue akan kembali ke rumah gue. Gue
rindu kamar gue, mobil gue, dan si Draco," kata Slash
mengingat rumah, mobil, dan juga kucing hitam
peliharaannya. Slash benar-benar merindukan negeri Malvera.
Sementara Eric" Nggak ada satu pun yang


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diucapkannya soal negeri yang panas itu.
Part 10 MOBIL Niken meluncur hingga di depan rumah Alex.
Begitu berhenti, ketiga cewek yang baru pertama
kali melihat rumah Alex itu agak kaget.
"Rumah lo di sini, Lex" Gue baru tau kalo ternyata
rumah kita dekat. Gue tinggal di Kompleks Pesona,
di sebelah kompleks ini," kata Niken.
"Oh, gue juga baru tau," kata Alex bohong. Padahal
dia sih udah dari dulu tau Niken tinggal di
perumahan mewah di sebelah kompleks rumah Alex
yang termasuk perumahan elite juga. Motor Alex
sering berpapasan dengan mobil Niken di jalan
depan kompleks. Niken aja yang nggak pernah ngeh.
"Gue nggak nyangka lo tinggal di sini. Eric tinggal di
kompleks ini juga, kan?" kata Moniq, yang malah
lebih tahu rumah si anak baru ketimbang rumah
Alex yang sudah satu semester dikenalnya.
"Ya, rumahnya di blok depan, tadi kita lewatin kok,"
jelas Alex. "Kalian mau mampir?" Alex menawarkan
ketiga teman barunya main ke rumah. Itu tawaran
yang sangat bersahabat, kan"
"Mampir?" "Rumah gue kosong, nggak ada siapa-siapa. Nyokap
gue kerja, bokap gue nggak tinggal di sini, dan kakak
gue kos," jelas Alex.
"Kosong" Kalo gitu boleh deh," kata Niken sambil
turun dari mobil, mendului Alex sendiri.
Ketiga cewek itu lalu diajak Alex melihat sekeliling
rumahnya. Niken, Moniq, dan Leony sepertinya
kaget melihat tempat tinggal Alex. Soalnya selama
ini yang tampak di mata mereka kan Alex biasabiasa aja, belum lagi kalau dilihat dari jaket dekil
yang nggak pernah diganti-ganti alias selalu dipakai
Alex itu, kesannya Alex anak dari keluarga
sederhana. Jadi, nggak nyangka aja ternyata rumah
Alex keren begini. "Siapa yang desain rumah lo, Lex?" tanya Moniq
masih kagum. "Nyokap gue." "Nyokap?" "Dia arsitek," kata Alex.
"Oh, pantas. Keren lho desainnya."
"Thanks." Alex lalu mengajak mereka ke kamarnya. Kalo tadi
ketiga anak itu kagum pada arsitektur dan interior
rumah Alex, sekarang sepertinya mereka nggak
begitu suka melihat isi kamar Alex.
"Kok meja rias lo kosong sih, Lex" Memangnya lo
nggak pernah dandan?" tanya Moniq kaget melihat
meja rias Alex yang cantik tanpa satu pun peralatan
make-up. Alex menggeleng. "Beli dong. Cewek itu harus dandan," Moniq
menyarankan. Alex tersenyum mendengarnya. "Nanti deh, gue
beli." "Lemari lo segede gini kok isinya cuma kaus sama
jins belel doang?" tanya Leony, sama kagetnya
dengan Moniq begitu membuka lemari pakaian Alex.
"Ya, gue nggak sempat belanja," Alex beralasan.
"Nggak sempat" Memang selain sekolah lo ngapain
lagi sih?" tanya Niken. "Oh, gue tau. Pasti lo sibuk
sama motor itu, kan?" ujarnya menjawab
pertanyaannya sendiri. Alex cuma meringis. Dia memang cinta motor itu
karena merasa bisa lebih dekat dengan Papa. Tapi
nggak selalu waktunya habis untuk itu. Pulang
sekolah dia lebih sering mengurung diri di kamar,
nggak ada kegiatan berarti. Paling-paling cuma
menggambar. "Ini siapa yang bikin, Lex?" tanya Leony saat
menemukan kertas-kertas gambar Alex di meja.
Tampaknya semua sisi kamar Alex dibongkar ketiga
cewek itu. "Gue." "Lo bisa gambar?" Lagi-lagi Alex mendengar nada
kagum dalam suara cewek-cewek itu.
"Ah, cuma bisa gambar seperti itu aja, nggak bagusbagus amat."
"Tapi lucu kok. Eh, gambar ini kenapa lo coretcoret?" tanya Leony sambil menunjukkan gambar
chibi-chibi yang habis dicoretin Alex.
"Eh, kayaknya ini gambar cowok deh. Siapa, Lex?"
tanya Niken, cepat menyadari gambar di balik semua
coretan itu. "Bukan siapa-siapa," elak Alex sambil meraih
gambar chibi Kian dan buru-buru memasukkannya
ke laci. "Nik, kayaknya Alex harus kita make over deh," kata
Moniq tiba-tiba, mengganti bahan pembicaraan.
"Make over?" tanya Alex heran.
"Ganti penampilan, Lex. Lo itu harus jadi cewek. Gue
yakin kalo lo didandani, cowok mana pun pasti
menoleh kagum waktu lo lewat."
"Gue setuju!" kata Leony, mendukung saran Moniq.
"Ayo, berangkat sekarang aja. Kita ke rumah gue
sebentar buat ganti baju, lalu langsung cabut," kata
Niken langsung semangat mau pergi.
Alex terdiam sesaat. Sihir macam apa yang
diciptakan Eric, sampai bisa membuat ketiga cewek
cantik ini langsung bersikap seolah Alex sahabat
mereka, bagian dari mereka" Sepertinya semua hal
yang nggak oke dari dirinya, termasuk soal
penampilan, mereka bantu perbaiki supaya Alex
kelihatan lebih oke. "Lex, cepat ganti baju lo! Kita tunggu di bawah,"
tegur Niken membuyarkan lamunan Alex.
Alex mengangguk dan cepat-cepat mengganti
seragam sekolahnya dengan kaus dan jins. Dia lalu
mengunci kembali rumahnya dan pergi bersama
ketiga sahabat barunya. *** Untuk pertama kalinya Alex jalan bareng Niken,
Moniq, dan Leony. Sekarang Alex merasa sepertinya
sudah benar-benar menjadi sahabat Niken cs.
Permintaan pertamanya benar-benar terkabul.
Mobil Niken berhenti di salon Violet. Kata Niken,
salon ini merupakan langanannya. Perawatan apa
pun yang menyangkut penampilan, mulai dari
potong rambut, perawatan wajah dan tubuh,
menikur pedikur, di sinilah tempat yang didatangi
Niken dan sahabat-sahabatnya. Itu berarti Alex juga
termasuk. Alex bukannya nggak pernah ke salon. Mamanya
sering mengajaknya pergi. Tapi kebanyakan ajakan
itu Alex tolak. Dia malas saja pergi dengan ibunya.
Sementara teman Alex nggak ada yang bisa diajak
pergi ke salon. Elmo kan cowok, sedangkan Mimi
biasa meminta tolong kakaknya sendiri buat potong
rambut di teras belakang rumah. Makanya model
rambut Mimi jadi unik, saking sering jadi bahan
percobaan. "Hai, ini teman gue Alex. Ana, tolong bikin dia jadi
cantik ya," pinta Niken pada salah seorang pegawai
salon. Kalau dilihat dari tas perlengkapan potong
rambut yang bertengger di pinggangnya, sepertinya
dia hair stylist. "Beres, honey," kata sang hair stylist bernama Ana
itu sambil memperhatikan Alex dari ujung kepala
sampai ujung kaki. "Ini teman lo, Nik?" tanyanya
langsung nggak percaya. Hair stylist di depan Alex
ini sebenarnya cowok. Tapi seperti kebanyakan
pekerja seni kecantikan, dia kayaknya merasa lebih
cocok jadi cewek. Alex sempat bingung harus
manggil dia Mas atau Mbak. Tapi karena katanya
namanya Ana, ya sudah, anggap saja dia cewek.
"Please, bikin dia jadi cantik," pinta Niken sekali lagi.
Hair stylist itu memperhatikan Alex sekali lagi, baru
kemudian dia tertarik mendandani Alex. "Siapa
namamu, Sayang?" "Alex." "Alex sayang, badan lo tinggi, tulang pipi lo bagus,
rambut lo juga bagus," kata Ana mengomentari fisik
Alex. Kok hair stylist ngomentarin soal tualng pipi
dulu baru rambut sih" Aneh. Apa mungkin selain
hair stylist, dia ahli make up juga" Pikir Alex.
Setelah meminta Alex duduk di depan cermin, Ana
pun mulai memotong rambut Alex dengan model
yang dirasanya sesaui dengan wajah Alex. Selesai
menata rambut Alex, Ana lalu mulai mendandani
wajah Alex. Tebakan Alex tadi benar, Ana ternyata
memang ahli make up juga. Alis Alex yang
berantakan dirapikan, pipinya dikasih blush on pink,
bibirnya dibubuhi lipstik, dan matanya diberi eye
shadow warna pink dan putih, katanya biar terkesan
lebih cerah. Setelah urusan rambut dan make up
wajah selesai, kuku Alex yang banyak bekas hitam
terkena oli motor itu dibersihkan dan diberi kuteks
pink juga. "Alex, lo cantik bangeeeet!" kata Leony seakan nggak
percaya meihatnya. Alex melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia
terlihat seperti cewek-cewek yang ada di halaman
mode majalah remaja. Apa itu berarti bagus"
Tanyanya dalam hati. Alex pribadi sih nggak pernah peduli pada
penampilannya. Tapi kalau kata sahabat-sahabat
barunya benar, bahwa dengan penampilan seperti
ini cowok-cowok bakal meliriknya, dia nggak
keberatan. Meski dia nggak perlu perhatian dari
banyak cowok. Cukup satu cowok saja.
"Rambut oke, make up oke, tapi kayaknya masih ada
yang kurang deh," kata Moni. Sepertinya dari tadi dia
yang paling gatal untuk mengubah penampilan Alex.
"Bajunya," cetus Leony, langsung tahu apa yang
kurang dari Alex. "Betul, baju. Lo harus pake baju yang berkelas dikit,
Lex, jangan T-shirt biasa kayak gini. Come on, girls,
kita shopping," kata Niken sambil mengajak cabut
dari salon Violet. Alex membayar lebih dulu tagihan salonnya. Karena
dia sahabat Niken, dia dapat diskon yang lumayan.
Salah satu keuntungan lain berteman dengan Niken
cs, batin Alex... *** Alex, Niken, Moniq, dan Leony pergi ke salah satu
mal, langsung menuju konter pakaian bermerek.
Tiga sahabat Alex itu memilihkan pakaian yang
menurut istilah mereka "lucu-lucu". Artinya kurang
lebih baju bermerek, mahal, dan potongannya nggak
pasaran. Alex nggak pernah memilih baju seperti saat ini. Dia
jarang banget ke mal. Kalau pun ke mal, paling cuma
makan doang. Dan kalau perlu belanja pakaian, itu
cuma sebatas kaus, jins, dan jaket. Hanya itu. Baru
sekali ini dia punya "konsultan penampilan" seperti
tiga sahabat barunya ini.
"Nah, benar kan gue bilang. Lo cantik, Lex," kata
Moniq senang. "Kalo dilihat-lihat, lo malah lebih cantik daripada
Niken," kata Leony ikut berkomentar.
"Ah, nggak mungkinlah," bantah Alex langsung.
Mereka sekarang kan sahabat, sesama sahabat
nggak boleh saling menjatuhkan.
"Emang dasarnya lo cantik kok, Lex. Pantas Eric
cepat tertarik ama lo," kata Niken, tiba-tiba
membawa nama si anak baru.
"Eric?" tanya Alex heran.
Moniq dan Leony mengangguk.
"Niken kan naksir Eric," kata Moniq buka rahasia.
"Eric"!" tanya Alex kaget. Tapi cowok itu kan...
"Nggak usah marah lah, Lex. Kalo lo suka juga nggak
apa-apa kok. Gue cuma suka aja lihat dia, keren. Gue
nggak naksir-naksir banget. Gue kan nggak kenal
siapa Eric," bantah Niken.
"Gue nggak naksir dia kok," Alex cepat-cepat
meluruskan. "Gue cuma suka sedikit, belum sampai punya
perasaan istimewa. Menurut gue, naksir cowok itu
harus jelas. Bukan begitu kenal, cakep, langsung
naksir begitu aja. Harus kenal dulu, harus jelas dia
siapa, baru deh jadian. Kalo nggak kenal, tahu-tahu
dia punya cewek lain, bikin sakit hati, kan?" jelas
Niken lagi. Alex mengangguk. Dia langsung ingat pernah lihat
Kian dan cewek lain! "Lagi pula, Eric itu tipe cowok misterius, tiap gue
tanyain jawabannya berbelit-belit, dan jarang
jawabannya sama. Aneh, kan" Makanya gue udah
malas deketin dia, mending gue dikejar cowok
daripada ngejar cowok," cerita Niken lagi.
Berhenti naksir Eric" Baguslah, Nik. Dia kan setan,
kata Alex dalam hati. *** Begitu urusan mengubah penampilan selesai, Alex
dan tiga sahabatnya makan di kafe. Kalau biasanya
kafe yang Alex datangi cuma Garage, yang isinya
anak-anak motor atau orang yang menunggu mobil
atau motornya diperbaiki di bengkel sebelah, kafe
ini kafe gaul yang didatangi cewek-cewek modis dan
cowok-cowok keren. Pembicaraan juga bukan soal
oli mesin, tapi ceputar masalah cowok.


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut gue, cowok paling keren di sekolah kita,
kalo dibikinin chart nih, tempat pertama itu Eric,
kedua... Kian," Niken mulai ngegosip.
"Kian?" Alex pura-pura kaget. Meski menurut dia,
cowok itu harusnya ada di posisi pertama.
"YA, Kiano, cowok yang ribut ama lo itu," kata Niken
seolah perlu mengingatkan Alex siapa Kian.
"Oh, si brengsek itu," komentar Alex berlagak
sombong. Tentu saja dia nggak mau rahasianya
ketahuan. "Alex, Kian itu nggak brengsek. Lo nggak kenal dia
sih. Aslinya Kian itu baik, lucu malah. Saking
seringnya tertawa, kita sampai sulit tahu isi hatinya.
Misalnya siapa cewek yang dia suka," kali ini Moniq
ikutan membela Kian. "Gue tau," potong Alex.
"Hah" Yang bener?"
"Gue pernah lihat dia jemput cewek di kafe samping
bengkel motor gue. Cewek itu bukan anak sekolah
kita," kata Alex, sedikit bangga karena menjadi
sumber informasi saat ini. Meski hatinya tetap saja
panas kalau ingat peristiwa itu.
"Anaknya kecil, rambutnya pendek?" tebak Niken.
Alex mengangguk. "Oh, itu sih si Lala, anak SMA Persada. Dia teman
Kian dari SMP, mereka cuma sahabaran kok," jelas
Niken. "Masa sih" Kayaknya dekat banget deh," protes Alex
masih nggak percaya. Dalam hati, dia malah lega
banget mendengar informasi itu.
"Gue pernah tanya langsung ke Kian, dan
jawabannya begitu. Kalo Lala-nya sendiri sih gue gak
tau. Mungkin aja cewek itu suka, tapi sepertinya Lala
bukan cewek istimewa buat Kian," tambah Niken.
"Ngapain sih kita ngebahas Kian, emang di sini ada
yang naksir cowok itu?" Alex sengaja motong
pembicaraan, ingin mastiin dulu.
Niken, Moniq, dan Leony kompak menggeleng.
Alex bernapas lega. "Jadi, kenapa kita ngomongin
Kian?" "Nggak ada alasan. Gue cuma iseng aja bikin chart.
Soal Kian, siapa tau lo tertarik sama cowok itu,Lex,"
tunjuk Niken pada Alex. "Gue?" Alex berlagak kaget mendengarnya.
"Ya, lo cocok sama Kian, lagi," Moniq ikut-ikutan
mendukung ucapan Niken. "Gue selalu emosi kalau melihat dia, habis sering
diketusin sih," Alex masih berlagak menolak ucapan
teman-temannya. "Ah, itu sih lo juga yang salah, Lex. Abis lo kalo
ketemu dia, tampang lo langsung jutek gitu. Coba
sekali-sekali senyum, gue yakin Kian bakal luluh
sama lo," Leony menimpali.
Alex masih menggeleng. "Gue musuhan ama dia."
"Terus menurut lo cowok seperti Kian itu benernya
lebih enak dijadiin apa, musuh apa pacar?" tantang
Niken. Alex terdiam, lalu seulas senyum simpul tersungging
di wajahnya. "Gue benar, kan?" kata Niken, senang sarannya
diterima Alex. "Ya sih, Nik, tapi kayaknya sulit deh." Alex akhirnya
mau juga basa-basi curhat soal Kian.
"Siapa bilang" Sekarang lo cantik, gaul, badan lo
tinggi, lagi. Lo pasti bisa dapatin Kian. Nggak cuma
Kian sih, cowok-cowok keren lain juga bisa. Lo
tinggal tunjuk aja," kata Niken biar Alex pede.
Alex menatap Niken dan dua teman di depannya ini,
seolah masih nggak percaya. Mereka baik-baik
banget, ngertiin dia banget, sahabat baik banget.
Nggak sia-sia 26 hari terakhir hidup gue diisi dengan
sahabat seperti mereka! Alex berteriak girang dalam
hati. *** Alex diantar Niken pulang ke rumahnya jam tujuh
malam. Mama yang sudah pulang kerja, agak kaget
melihat penampilan anaknya yang jadi cantik dan
cewek banget. "Sayang, kamu baik-baik aja?" tanya Mama dengan
kening mengernyit. "Nggak pernah sebaik ini, Ma," kata Alex sambil
terus naik ke kamarnya. Namun dia masih sempat
mendengar ucapan ibunya. "Kamu jatuh cinta, Sayang?"
Alex nggak mau jawab pertanyaan itu sekarang.
Permintaan satu telah terpenuhi. Saatnya
memikirkan permintaan kedua..
Part 11 PAGI ini Alex dijemput Niken berangkat sekolah.
Padahal Alex nggak minta. Tepat saat Mama mau
ngeluarin mobil dari garasi, sahabat baru Alex itu
muncul. Tiba di sekolah, Mimi yang menyaksikan kejadian
langka itu mengernyitkan kening. Belum lagi melihat
penampilan baru temannya itu.
"Lo berangkat bareng Niken?" tanya Mimi nggak
percaya. Alex mengangguk. "Ternyata rumah Niken sama
rumah gue dekat," Alex beralasan biar kerutan di
kening Mimi hilang. "Kalo gue boleh tau, apa sih salah Niken sama lo
sampai dia minta maaf kemaren?" tanya Mimi heran.
"Dia dudukin bangku gue tanpa izin."
"Hah" Hanya itu"!" Mimi makin heran.
"Alex, ayo!" ajak Leony sambil menarik tangan Alex
biar jalan bareng tiga cewek itu. Alex pun nggak
sempat lagi menjawab sederet pertanyaan Mimi
selanjutnya. "Alex, tas lo baru ya" Sepatu lo juga"! Hei, lo potong
rambut "!" tanya Mimi beruntun. Alex memang
belum sempat cerita soal sahabat-sahabat barunya
pada Mimi. "Hai, Eric! Lihat, Alex jadi cantik kan?" Niken
memamerkan Alex yang tampil baru ke depan Eric.
Mereka berempat menghampiri mobil cowok itu
yang baru saja berhenti. Eric keluar dari mobilnya dan tersenyum. "Dari
pertama lihat gue tau kok Alex cantik," kata Eric.
Tatapannya seolah bilang, Lex, ingat, persahabatan
lo ini berkat gue. "Tuh kan, lo nggak percaya sih," kata Niken sambil
merangkul bahu Alex. Benar-benar teman sejati
banget. "Eh, eh, itu Kian!" kata Moniq mengalihkan
perhatian. "Kian!" panggil cewek itu nyaring.
Kian baru saja memarkir motor birunya datang
menghampiri mereka yang masih berada di dekat
mobil Eric. "Hai semua, pagi!" sapa Kian dengan senyumnya
yang ceria. Wah, senyum Kian memang bagus, bikin dia
kelihatan makin cakep, kata Alex dalam hati. Ini
pertama kalinya dia melihat Kian tersenyum dari
dekat. Semoga wajah gue nggak merah saat ini,
gumam Alex dalam hati. Senyum Kian tiba-tiba hilang begitu melihat (atau
sadar) salah satu anak yang anak di depannya
adalah Alex. Kening cowok itu langsung mengernyit
aneh. "Ki, Alex kirim salam," kata Niken yang langsung
disikut Alex. Kian langsung tertawa tertawa mencemooh.
"Hahaha, pagi-pagi lo udah becanda, Nik," kata
cowok itu sambil berlalu meninggalkan mereka.
Wajah Alex pasti benar-benar merah saat ini. Bukan
karena ge-er, tapi karena panas melihat cowok yang
memusuhinya itu. Padahal dia bela-belain berubah
seperti ini demi cowok itu.
"Tenang, Lex, cowok kalo menghindar seerti itu
pertanda ada apa-apanya," kata Niken menepuknepuk bahu Alex, ngasih spirit.
"Ada apa-apanya?" tanya Alex nggak ngerti.
"Dia suka sama lo, tapi nggak mau ngaku," malah
Moniq yang jawab. Kali ini Alex yang balas tertawa, biar nggak tengsin
banget. "Hahaha, itu hal terlucu yang pernah gue
dengar." "Kayaknya kita harus ke kelas deh , bentar lagi bel,"
kata Leony sambil mendahului jalan menuju kelas
mereka. Pembahasan soal Kian pun berhenti.
Alex jalan paling belakang bersama Eric.
"Udah punya permintaan kedua, Lex?" tanya cowok
itu pelan. Alex yang masih kesal karena ditertawakan Kian
nggak jawab apa-apa. "Oke, pikirkan dulu baik-baik. Tapi sebaiknya cepat,
Lex, biar lo bisa lebih lama bersenang-senang," Eric
mengingatkan. Alex tetap diam. Saat ini dia memang kepikiran
permintaan keduanya. Gimana kalo minta Kian jadi
pacarnya" Tapi nggak ah. Kalo gue ingin dapatkan
cinta, sebaiknya dari orang yang menyukai gue,
bukan dari orang yang musuhin gue, kata Alex dalam
hati. Sementara Alex sibuk memikirkan permintaan
keduanya, anak-anak lain yang melihat Alex jalan
bersama Niken cs malah mengernyitkan kening.
"Mi, itu Alex, kan?" tanya Rika, anak kelas Mimi yang
nggak sengaja memperhatikan Alex.
Mimi yang ditanya diam saja. Dia sendiri juga
bingung melihat sahabatnya yang tiba-tiba berubah.
"Sejak kapan Niken mau temanan sama anak aneh
itu?" tanya Rika lagi.
Mimi bukannya menjawab, malah langsung ngeloyor
pergi ke kelasnya. Biar gimana Alex kan temannya,
masa dikatain aneh. *** Alex belum menemukan permintaan keduanya,
padahal sisa hidupnya sesuai perjanjian tinggal 24
hari lagi. Keasyikan main bersama tiga sahabat
barunya seolah bikin dia lupa dirinya masih dua
permintaan lagi. Malam Minggu ini, Alex juga jalan bareng sahabatnya
yang cantik-cantik itu. Kalau biasanya malam
Minggu Alex hanya mengurung diri di kamar dan
menggambar sosok Kian, sekarang dia nongkrong di
kafe bareng geng barunya. Alex nggak tahu kenapa
tiga cewek cantik ini nggak ada satu pun yang punya
pacar. Mungkin karena mereka bingung mau milih
cowok mana yang harus dijadiin pacar.
Baru mereka duduk, tiga cowok kelas dua di SMA
mereka langsung mendekati.
"Hai, cewek-cewek cantik. Nik, kenalin dong ama
teman lo," sapa salah seorang cowok sambil melirik
ke Alex. Alex tahu cowok itu wakil ketua OSIS. Tiap sekolah
mereka bikin acara, tampang cowok itu selalu ada di
samping ketua OSIS. Tapi Alex nggak tau siapa
namanya. "Ini teman sekelas gue," kata Niken menjawab
tatapan penasaran cowok itu.
"Anak SMA kita" Masa sih" Kok gue gak pernah
lihat?" tanya cowok itu langsung heran.
"Ini Alexandra."
"Alexandara?" Kelihatan banget si wakil ketua OSIS
masih belum mengenali. "Alex, yang sering bawa motor sport warna hijau itu
lho. Satu-satunya cewek yang bawa motor seperti itu
ke sekolah kita," kata Leony memberi clue.
Wajah wakil ketua OSIS itu malah lebih heran
daripada sebelumnya. Tapi seketika seulas senyum
hadir di wajahnya. "Lo kelihatan beda banget. Sumpah, gue nggak
ngenalin," kata cowok itu.
"Kayaknya Alex juga nggak ngenalin lo," kata Leony
yang sepertinya bisa menebak isi pikiran Alex saat
ini. "Tau kok," bantah Alex cepat. Dia nggak mau
kelihatan nggak gaul di sekolah. "Dia wakil ketua
OSIS." "Namanya?" tuntut Leony.
Alex diam, lalu tersipu malu.
"Nggak apa-apa kok, Lex. Nama gue Dimas, teman
gue Putra dan Yogi," kata cowok itu menyalami
tangan Alex, begitu juga dengan Putra dan Yogi. Tiga
cowok itu tampak biasa saja mengetahui perubahan
Alex. Malah mereka terlihat senang.
"Kami ikut duduk di sini, ya?" pinta Dimas. Tanpa
menunggu jawaban, tiga cowok itu sudah duduk di
meja mereka. Teman ngobrol Alex yang semula tiga orang berubah
menjadi enam orang. Niken, Moniq, dan Leony
sepertinya sudah biasa ngobrol bareng cowokcowok kakak kelas mereka itu, sementara Alex
nggak. Ngobrol sama cowok satu angkatan pun dia
nggak pernah. Paling cuma sama Elmo, itu juga
sering nggak nyambung saking omongan cowok itu
sulit dimengerti. Jadi sekarang kelihatan bangetlah
kalau Alex merasa canggung.
"Motor lo mana, Lex" Kok kayaknya beberapa hari
ini gue nggak pernah lihat?" tanya Dimas yang
duduk persisi di sampingnya. Kursi kafe ini berupa


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangku menyatu yang berbentuk huruf U atau
setengah lingkaran. Kalau mereka duduk bertujuh,
kebayang kan sempitnya" Niken, Moniq, dan Putra
langsung memilih menambah meja. Tiga orang itu
pindah meja. "Di bengkel, rusak parah sehabis gue pakai. Minggu
lalu gue kecelakaan."
"Oh, gue malah baru denger. Tapi lo nggak apa-apa,
kan?" kata cowok itu, terdengar ramah banget di
telinga Alex. Kalo dia harus bikin chart, cowok in
menempati tempat kedua sifat ramahnya setelah
Eric. "Baik-baik aja kok."
"Baguslah." Alex cuma mengangguk. "Tapi lo benar-benar kelihatan beda deh," kata
Dimas sambil sekali lagi menatap Alex.
"Lebih baik atau lebih buruk?" Alex mulai berani
juga menanggapi. "Lebih cantik. Cantik banget, malah," kata Dimas
tersenyum. "Thanks," kata Alex sambil tersenyum sedetik
melihat cowok itu. Seandainya Kian yang berkata
seperti itu, Alex setengah memohon dalam hatinya.
"Lex, mau turun nggak?" tanya Dimas tiba-tiba,
menghapus lamunan Alex. "Turun?" "Dance." Mendengar kata itu, Alex spontan menggeleng. Ya
nggak mungkinlah Alex yang beberapa hari lalu
masih seperti jagoan itu bisa nge-dance.
"Ayolah," ajak Dimas sekali lagi.
Alex kembali menggeleng. "Ayo dong, Lex, sekali-sekali juga." Leony yang
mendengar Dimas mengajak Alex ikut
mendorongnya. Daripada dipaksa Leony terus, Alex mau juga berdiri
dan menyambut uluran tangan Dimas. Musik yang
diaminkan di kafe ini dari tadi memang terdengar
smooth dan jazzy. Tipikal musik yang memang enak
buat nge-dance. "Gue nggak bisa nge-dance, nggak pernah," kata Alex
jujur. "Nggak apa-apa kok, Lex," kata Dimas sambil
menggenggam tangan Alex. "Lo cuma perlu berdiri
di depan gue aja." Alex pun nurut. Ia berdiri di depan Dimas dan
melihat cowok itu terus memperhatikannya. Kenapa
bukan Kian yang speerti ini" Keluh Alex lagi dalam
hatinya. "Lo punya pacar, Lex?" tanya Dimas setelah sekian
lama menatapnya. Alex agak kaget mendengar pertanyaan itu. Dia baru
kenal Dimas beberap menit lalu, dan sekarang
cowok itu langsung berani menanyakan hal-hal yang
sifatnya pribadi. Mungkin karena statusnya di
sekolah senior Alex. "Nggak," jawab Alex jujur banget.
Senyum dimas makin lebar. "Lo mau nggak kalo kita
lebih sering ketemu?" tanya cowok itu.
"Kita kan satu sekolah, pasti sering ketemu."
"Maksud gue bukan itu, Alex," tegur Dimas. Cowok
itu kayaknya nggak suka Alex bercanda saat ini.
"Gue... gue lagi suka seseorang." Alex mengaku juga
akhirnya. "Oh, ya" Siapa?"
"Rahasia." "Di mana dia sekarang?" tanya Dimas seolah
menguji. Ini kan malam Minggu, seharusnya orang
yang Alex taksir ada di dekatnya.
Alex mau bilang nggak tahu, tapi seketika matanya
malah melihat Kian masuk ke kafe ini bersama
beberapa anak basket sekolah mereka. Dia ada di
sana, Alex ingin bilang begitu. Tapi nggak berani.
Kian yang nggak sengaja menoleh langsung kaget
melihat Alex. Mata cowok itu lebih sinis daripada
biasanya. Alex nggak tau apa makna tatapan cowok itu. Yang
dia tahu, dia cepat-cepat melepaskan tangannya dari
genggaman Dimas. Semua perubahan penampilan
Alex dilakukannya demi Kian, dan sekarang cowok
itu malah menangkap basah Alex berduaan dengan
Dimas. Gawat! Kian dengan sinis langsung pergi begitu saja dari
kafe ini. Bahkan tanpa pamit pada gengnya yang
kelihatan bingung melihatnya.
Sungguh sia-sia semua yang gue lakukan, keluh Alex
dalam hati. Semakin jauhlah usaha Alex untuk
membuat Kian menyukainya.
*** Hari Minggu ini Alex kembali mengurung diri di
kamar. Gengnya nggak bisa diajak jalan karena
Moniq ada acara keluarga. Jadi, kembalilah Alex ke
kebiasaannya dulu. Melamun dan menggambar Kian.
Sudah berlembar-lembar gambar Alex hasilkan. Dia
jadi mulai mempertimbangkan, gimana kalau
permintaan keduanya Kian saja, habis, sudah susah
payah Alex mengubah penampilan, cowok itu nggak
juga meliriknya. Apa lagi setelah kejadian tadi
malam. Pasti makin membuat Kian nggak tertarik
padanya. "Alex, kamu udah siap-siap belum?" tegur Mama dari
balik pintu. Siap-siap apa sih" Tanya Alex dalam hati. Dia melihat
jam di dinding, jam tiga sore. Ya ampun! Pasti Mama
mau memaksanya ikut main boling sama Oom Iwan.
Ugh, satu masalah belum kelar, sudah ditambah
masalah baru lagi. "Ma, Alex nggak mau ikut," kata Alex begitu
membuka pintu kamarnya. "Mau ngapain kamu sendirian di rumah?" Mama
malah balik nanya. "Alex capek, Ma, mau tidur," Alex mencari alasan.
Habis kalau dia bilang terus terang alasannya nggak
mau pergi, Mama pasti bakal ngomel panjangpendek.
"Mandi, ganti bajumu. Sebentar lagi Oom Iwan
datang." Suruh Mama tanpa memedulikan alasan
Alex. "Alex nggak mau ikut, Ma," tolak Alex sekali lagi.
"Cepat, Alex! Sekalian kita mau ke kos kakakmu,"
kata Mama seolah-olah itu doktrin yang wajib
dipatuhi. Alex dengan sangat terpaksa pergi ke kamar mandi.
Dia nggak mau ribut dengan mamanya saat ini.
Usianya tinggal 23 hari lagi, dia nggak mau Mama
mengenangnya sebagai anak nakal. Bagaimanapun,
Alex sering berantem sama mamanya, tapi dalam
hati Alex sangat menyayanginya.
*** Pada Minggu sore ini, rumah Eric yang besar
mendapat kunjungan seorang teman sekolahnya di
bumi, teman pertama yang mampir ke rumah Eric.
Teman lainnya begitu menelepon mau datang,
langsung dia tolak denagan berbagai alasan. Kalau
sudah terlanjur datang seperti saat ini, otomatis dia
harus berusaha agar teman itu jangan sampai masuk
ke rumahnya. Dia nggak mau anak-anak sekolahnya kebingungan
melihat interior rumahnya yang serbanerah, hitam,
dan dipenuhi barang mahal seperti emas dan perak.
Belum lagi nanti bakal ada pertanyaan soal
orangtuanya, soal dengan siapa ia tinggal di rumah
sebesar ini, dan lain sebagainya. Sulit bagi Eric
menjawab semua itu, lama-lama nanti malah
ketahuan dia bukan manusia.
"Hai, Ki, tumben lo ke sini," sapa Eric begitu tahu
siapa pengendara motor yang berhenti di depan
gerbangnya. Kian. "Gue cuma kebetulan lewat aja. Gue dari rumah
Niken, rumahnya dekat sini kok," jelas Kian.
"Yang dekat dari sini kayaknya rumahnya Alex deh,"
Eric mengingatkan. "Alex" Ngapain gue ke rumah cewek itu?" tanya Kian
sambil tertawa kencang. Eric sejenak bingung melihatnya. Rasanya nggak ada
hal yang lucu, tapi kenapa teman buminya ini
tertawa" "Gue cuma numpang istirahat sebentar. Capek
banget. Gue habis keliling kompleks ini, panas
banget ternyata," kata Kian sambil membuka helm
dan turun dari motornya. Habis keliling kompleks ini" Tanya Eric heran dalam
hati. Bukannya rumah Niken di kompleks sebelah"
Ngapain Kian malah keliling kompleks ini" Wah,
teman buminya ini pasti merahasiakan sesuatu!
Kian duduk sebentar di batu pinggir gerbang rumah
Eric. Cowok itu kelihatan banget seperti punya
masalah. Gerak-geriknya aneh. Duduk sebentar, lalu
berdiri lagi, dan melihat ke arah jalanan.
"Lo janjian sama seseorang, Ki?" tanya Eric.
"Nggak!" jawab cowok itu singkat, lalu kembali
duduk lagi. "Mau gue ambilin minum?"
"Nggak perlu... gue mau pergi aja deh," kata Kian
sambil kembali naik ke motornya dan pergi begitu
saja dari rumah Eric. Itu anak kenapa sih" Tanya Eric makin heran.
*** Alex baru saja selesai berpakaian saat mendengar
Mama berteriak lagi. "Alex, lihat Oom Iwan bawa apa buat kamu!" kata
Mama, yang bikin Alex terpaksa turun meski dengan
muka cemberut. Dia nggak suka banget melihat lakilaki yang akan mendampingi mamanya itu.
"Kamu kelihatan beda, Lexa. Potong rambut, ya?"
tegur Oom Iwan begitu melihat Alex.
Alex diam saja. Ia sama sekali nggak ada urusan
dengan laki-laki itu. Dan tahu hadiah apa yang
dibawanya buat Alex kali ini" Boneka lagi!
"Kita berangkat sekarang"!" tanya Oom Iwan seolah
itu perintah. Coba ya, belum jadi suami mamanya
saja, laki-laki itu sudah bersikap seolah dia kepala
rumah tangga rumah ini. "Ma, Alex..." Alex masih mencoba menolah pergi
sekali lagi. Tapi mata Mama langsung melotot.
"Ngng... Alex taruh boneka ini dulu ke kamar terus
ambil jaket dan Hp," kata Alex terpaksa.
Tiba di kamarnya, Alex melempar boneka itu begitu
saja ke atas tempat tidurnya dan mondar-mandir. Ia
mau saja menyenangkan Mama, tapi ... ugh, pasti
mengesalkan banget ikut sama laki-laki itu. Hidup
gue tinggal 23 hari, kenapa masih saja gue ngalamin
hal yang mengesalkan" Tidak! Tidak bisa!
Alex langsung meraih Hp-nya dan menelepon Eric.
"Eric, gue Alex!" teriak Alex saking antusiasnya.
"Iya, Alex! Nomor telepon lo udah gue simpen."
"Gue punya permintaan kedua."
"Apa?" Alex menarik napas, berusaha menenangkan diri
sesaat. "Gue mau Kian jadi pacar gue," katanya pelan
banget. Tawa Eric di seberang telepon langsung terdengar.
"Eric, gue serius," tegur Alex.
"Tebakan gue terbukti benar, kan?" cowok devil itu
masih tertawa. Tiba-tiba Alex mendengar teriakan mamanya dari
bawah. "Alex, kamu ngapain, sayang" Lama banget!"
"Ya, Ma, bentar!" Alex balas berteriak.
"Keinginan lo akan terwujud. Zettha..." Eric baru
bicara segitu, Alex sudah mendengar Mama
berteriak lebih keras. "Iya, iya! Aduh, nggak sabaran amat sih!" gerutu
Alex. "Ric, udah ya, bye!" kata Alex, terpaksa
menutup teleponnya. Dia harus turun dulu, beralasan sama Mama supaya
menunda waktu, atau lebih bagus lagi jika nggak jadi
pergi. Biar Alex bisa menunggu permintaan
keduanya terwujud. Jika sukses seperti permintaan
pertamanya, alangkah bahagianya Alex.
Begitu alex turun, dia malah melihat wajah
mamanya tersenyum usil menatapnya. Ada apa lagi
ini" "Ada teman kamu di luar," kata Mama sambil
Badai Awan Angin 3 Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Menuntut Balas 17

Cari Blog Ini