Ceritasilat Novel Online

Alexs Wish 2

Alexs Wish Karya Elcy Anastasia Bagian 2


menunjuk pintu depan. "Pantas kamu nggak mau
ikut Mama, ternyata ada janji lain, ya?" kata Mama
menganalisis sendiri. Alex bingung apa maksud ucapan mamanya. Untuk
memastikan, dia berjalan ke pintu dan mengintip
dari celah buat melihat siapa yang datang. Begitu
melihat "teman" yang dimaksud Mama, dia langsung
terkesiap kaget. Cepat banget mantra Eric bekerja!
Part 12 ALEX menarik napas berkali-kali buat menenangkan
diri, tapi nggak bisa. Degup jantungnya tetap aja
nggak karuan. Padahal Alex tahu kedatangan Kian ke
rumahnya akibat "Sihir" Eric.
Mama dan Oom Iwan yang melihat sikap Alex malah
tersenyum dan geleng-geleng. Daripada mendengar
sindiran dua orang tua itu, Alex memberanikan diri
membuka pintu depan. "Hai," sapa Alex. Saking groginya, suara Alex
terdengar jelek banget. Lalu seketika dia ingat saran
Niken yang menyuruhnya tersenyum di depan Kian.
Alex pun berusaha memasang wajah tersenyum.
"Hai," sapa Kian sama kakunya dengan Alex. Gimana
nggak kaku, selama ini kalo ketemu mereka selalu
menunjukkan sikap bermusuhan. Sekarang, meski di
bawah pengaruh "sihir", tetap aja nggak bisa
langsung mesra seratus persen.
"Ada apa, Ki?" Alex memilih mengajak ngobrol
duluan, daripada senyum-senyum garing.
"Nggak ada, gue cuma kebetulan lewat kok."
"Oh..." "...Nggak juga ding, gue memang sengaja nyari lo,"
kata cowok itu, meralat ucapannya.
"Nyari gue?" tanya Alex memastikan. Sepertinya
permintaan kedua Alex benar-benar mulai bekerja
nih. Kian mengangguk. "Ada yang mau gue omongin ama
lo." "Mau masuk?" kata Alex sambil menunjuk pintu di
belakangnya. Kayaknya nggak nyaman berdiri, lebih
baik duduk biar lebih tenang membahas apa pun
yang hendak dibicarakan Kian.
Kian menggeleng. "Gimana kalo kita pergi" Jalan,
maksud gue. Lo mau?" Cowok itu kelihatan banget
masih grogi. Alex yang tahu semua ini karena "sihir" Eric,
mengangguk yakin. Kian tampak lega melihatnya.
"Ntar, gue pamit sama Mama dulu," kata Alex sambil
kembali masuk ke rumah. Begitu masuk, Alex menemukan mamanya dan Oom
Iwan berdiri persis di belakang pintu. Tapi Alex
malas mengomentari sikap kedua orang yang pasti
habis mengintipnya itu. "Ma, Alex pergi sama teman Alex, ya?" pintanya.
Mama mengangguk. "Alex pamit, Ma," katanya sambil mencium tangan
Mama. Tapi begitu melihat Oom Iwan, Alex cuma
bicara dengan suara terpaksa. "Alex pamit, Oom."
"Hati-hati, dan jangan pulang kemalaman," kata Oom
Iwan. Heran, laki-laki itu sudah bersikap seperti
ayah Alex saja. Pede banget.
Cuma, karena saat ini Alex lagi senang, dia nggak
mau mikirin sikap Oom Iwan itu. Dia kembali keluar
rumah, menemui Kian dan pergi bareng cowok itu
naik motor. Ini pasti akan menjadi hari terindah dalam hidup
gue! Teriak Alex senang dalam hati.
*** Semula Alex dan Kian jalan di mal, tapi karena nggak
ada tujuan membeli atau mencari sesuatu, cowok itu
ngajak Alex nonton film. Nonton" Mendengar kata
itu saja Alex sudah shock duluan. Berjalan di
samping Kian saja dari tadi dia canggung, dan
sekarang dia harus duduk di samping cowok itu
dalam kegelapan bioskop"
Sepanjang film diputar, Alex nggak tahu jalan
ceritanya. Pikirannya malah sibuk menebak-nebak
kapan Kian nembak dia, gimana cara cowok itu
nembak nanti, seperti apa rasanya pacaran, dan
semua hal lain yang berhubungan dengan menjadi
pacar Kian. Alex menoleh ke sampingnya dan mendapati Kian
sedang memperhatikannya! Lagi-lagi, meski tahu
sikap Kian itu akibat "bantuan" Eric, Alex yang pada
dasarnya memang jatuh cinta sama cowok itu,
langsung gelagapan, popcorn di tangannya tumpah
begitu saja. "Kenapa, Lex?" bisik Kian pelan di kuping Alex.
Alex nggak menjawab. Mendengar suara Kian
sedekat itu, badannya langsung panas-dingin.
Sampai-sampai gelas plastik di tangannya terlepas,
isinya tumpah ke bajunya.
"Kamu sakit?" tanya Kian sambil memeriksa lengan
dan tangan Alex. Alex menggeleng. Dia malah semakin nggak
menentu dipegang Kian begini.
"Kita keluar aja yuk," ajak Kian sambil menarik
tangan Alex keluar dari studio.
Gue digandeng Kian! Pekik Alex kegirangan dalam
hati. Dia pun sibuk mengendalikan emosinya agar
jangan salah tingkah dan bertindak konyol lagi.
Setelah insiden di dalam bioskop itu, Kian mengajak
Alex makan di food court yang terdapat di dalam mal
tersebut. Kalau tadi dalam kegelapan, sekarang Alex
berhadapan dengan Kian di bawah cahaya terang
lampu. Cowok itu makan dan duduk persis di depan
Alex, sehingga Alex bisa memperhatikan dengan
jelas seperti apa wajah cowok cakep yang akan
segera jadi pacarnya ini. Hasilnya, Alex jadi semakin
salah tingkah. "Kenapa?" Kian mulai merasa aneh melihat sikap
Alex. "Nggak..." Alex mencoba kembali menikmati
makanan di depannya. "Lex, gue boleh nanya?" tanya Kian tiba-tiba.
"Nanya apa?" Alex menatap cowok itu. Inilah saatnya
mulai membahas soal cinta. Ehem.
"Lo merasa aneh nggak, tiba-tiba gue ajak jalan,
nonton, dan makan kayak gini?"
Alex diam sesaat. Tentu saja kalau dipikir dengan
logika semua ini aneh, tapi ini kan gara-gara...
"Nggak!" jawab Alex yakin.
"Nggak?" Kian langsung heran.
Alex langsung sadar dia salah bicara. "Nggak,
maksud gue, gue nggak mau musuhan terus ama lo.
Jadi kalo lo baik, gue juga mau baik," jelas Alex
sewajarnya. Kian tersenyum. "Baguslah, gue tadi takut banget
ngajak lo pergi. Ternyata lo nggak..."
"Apa" Seram, menakutkan, begitu?"
Kian kembali tersenyum. Alex senang sekali melihat
pemandangan di depan matanya ini.
"Maafin gue. Tapi sekarang gue nggak akan
berpikiran seperti itu lagi. Karena ternyata lo baik."
"Thanks." "Gue boleh sering-sering ngajak lo pergi?" tanya
Kian lagi. Sebenarnya ucapan cowok itu masih jauh
dari harapan Alex. Tapi mengingat proses
terwujudnya permintaan pertama Alex sepertinya
bertahap, berarti sekarang juga begitu. Ia masih
harus bersabar menunggu kata cinta dari Kian.
Alex mengangguk. Kian lagi-lagi tersenyum.
Sebenarnya melihat senyum cowok itu sudah lebih
dari cukup buat gue, bisik Alex dalam hati.
*** Sementara itu, Eric menghabiskan malam Minggu
dengan duduk di teras belakang rumah dan menatap
langit di atasnya. Tempat tinggalnya seharusnya di
sana, di balik langit itu, di negeri kegelapan... atau
mungkin juga di negeri putih.
Eric geleng-geleng. Dia nggak boleh memikirkan hal
terakhir. Ibunya berasal dari tempat itu, dan
sekarang ayahnya juga di sana. Apa keajaiban
tempat itu sampai ayahnya memilih meninggalkan
semua kemewahan, kekuasaan, dan segala
kegelapan yang bisa dimilikinya"
Eric nggak tahu jawabannya. Dari kecil dia hidup
sebagai setan dan nggak pernah
mempermasalahkannya. Tapi belakangan ini, dia
mulai mempertanyakan jati dirinya. Apakah dia
setan atau malaikat"
Eric menurunkan pandangannya. Dia melihat ke
depan kakinya. Ada bunga di sana. Di rumah
buminya ini memang terdapat bunga yang sudah
ditanam dari dulu oleh pemilik rumah sebelumnya.
Matanya tertegun melihat bunga itu. Ada cerita
tentang bunga yang dimilikinya...
"Berapa lama lagi kita harus di sini?" tanya Slash
yang tiba-tiba muncul. Eric yang hendak menyentuh bunga di depannya
segera mengurungkan niatnya. "Dua puluh tiga hari
lagi," jawabnya sambil mengalihkan pandangan.
"Lama sekali waktu berjalan," omel Slash seperti
biasa. "Mungkin," jawab Eric.
"Mana Alex" Dia nggak ngajuin permintaan lagi?"
"Udah. Tadi dia nelepon gue, tapi terus keputus. Dari
tadi gue tungguin dia nggak nelepon balik. Mungkin
dia lupa saking sibuk mendengar omelan mamanya,"
jelas Eric yang memang sempat mendengar teriakan
mama Alex di telepon tadi.
"Gue lihat Alex itu bukan sosok istimewa, hidupnya
juga nggak menyenangkan. Sepertinya dia memang
ingin mati. Tapi kenapa Dewan menjadikan dia
bahan studi kasus?" tanya Slash heran. "Kayaknya
semua ini terlalu mudah."
"Gue juga merasa begitu. Mungkin soal ujian gue
sengaja dibuat mudah buat mastiin gue tetap jadi
putra mahkota dan raja kegelapan berikutnya!" kata
Eric bangga sambil tertawa.
Slash malah mengernyitkan kening melihat Eric.
"Jangan terlalu yakin, feeling gue pasti ada hal-hal
yang akan menjebak lo," Slash memperingatkan.
Tawa Eric langsung terhenti. Sekarang gantian Slash
yang tertawa. "Kenapa lo tertawa?" tanya Eric heran.
"Kita kan setan, dan setan senang kegelapan,
termasuk jika temannya gagal," kata sahabat Eric itu
sambil kembali ke dalam rumah.
Eric terdiam. Sudah dua kali dia mendengar Slash
berkata seperti itu, benarkah dia nggak bisa lulus
ujian ini" *** Entah Eric nanti lulus ujian atau nggak, cewek
berusia lima belas tahun yang menjadi subjek studi
kasusnya tengah berbunga-bunga. Alex diantar Kian
pulang jam dlapan malam. Meski sudah mengantar
Alex sampai ke depan pintu, cowok itu belum juga
beranjak pergi. "Lex, gue boleh ngomong sesuatu nggak ama lo?"
tanya Kian. "Boleh," jawab Alex sambil tersenyum. Ini saat-saat
yang ia tunggu dari tadi. "Mau ngomong apa, Ki?"
tanyanya balik. "Nggak, gue... gue..." Kian malah tampak kesulitan
mau mengucapkan sesuatu. Alex yang berdiri di depan cowok itu tetap tenangtenang menunggu.
Kian menatap Alex lama-lama. "...Gue suka ama lo,"
kata Kian akhirnya. Alex langsung terdiam. Dia terpana menatap cowok
itu. Meski ia tahu semua ini terjadi karena Eric tapi
tetap saja Alex "melayang" waktu mendengar Kian
mengucapkan kalimat itu. "Lex...," tegur Kian karena Alex kelamaan diam.
"Eh, iya. Sori," kata Alex cepat menghapus
lamunannya. "Lo marah ya, gue bilang begitu?" tanya Kian takuttakut.
Alex cepat menggeleng. "Bukan begitu, tapi... gue agak kaget mendengarnya,"
kata Alex beralasan. Kini gantian Kian yang terdiam. Cowok itu kembali
tampak kesulitan berkata-kata.
"Benar lo suka sama gue?" tanya Alex memastikan.
Kian mengangguk. "Kenapa" Bukannya selama ini kita nggak pernah
baikan" Tiap ketemu lo selalu sinis, begitu juga gue.
Kita baru berdamai hari ini dan lo langsung bilang
suka ama gue?" tanya Alex iseng, ingin tau apa
alasan Kian nembak dia. Meski Alex tau, semua ini
berkat Eric, tetap saja dia ingin mendengar alasan
cowok itu. "Gue... gue juga nggak tau kenapa, gue nekat bilang
soal itu saat ini," kata Kian kebingungan.
Tentu aja lo bingung, semua ini kan karena Eric,
desis Alex dalam hati. Sepertinya Alex nggak bakal
tahu apa alasan Kian nembak dirinya.
"Mungkin ucapan gue salah ya, Lex. Seharusnya kita
temanan dulu, baru bicara soal suka. Rencana gue
sih tadi cuma mau baikan, tapi..."
"Nggak apa-apa kok, Ki," potong Alex cepat. Dia


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasihan juga lihat cowok itu kebingungan.
"Nggak apa-apa?" tanya Kian heran.
Alex mengangguk. "Maksud lo, lo nerima gue?" tanya Kian nggak
percaya. Alex mengangguk lagi. "Lo mau jadi pacar gue?" tanya Kian masih nggak
percaya. Alex lagi-lagi mengangguk. Barulah Kian percaya...
"Thanks, Lex," kata Kian sambil menggenggam
kedua tangan Alex. Nggak hanya itu, cowok itu lalu
mencium kening Alex. Mau semua ini terjadi karena Eric ataupun tidak,
tetap aja perasaan Alex nggak terlukiskan saking
senangnya. Kian masih menggenggam tangan Alex dan nggak
berhenti menatapnya. Cowok itu juga terlihat senang
sekali. "Gue pulang ya?" pamit Kian akhirnya.
"Hati-hati," kata Alex manis banget, tersenyumsenyum konyol. Membuat Kian yang mau melangkah
nggak jadi beranjak. "Sudah malam, Ki."
Kian tersenyum, cowok itu mau juga melepaskan
tangan Alex. Kian lalu melangkah menuju motornya,
melambai ke arah Alex, baru kemudian benar-benar
pergi dari rumah cewek yang baru jadi pacarnya itu.
Part 13 DI dalam mobil, dalam perjalanan menuju SMA
Harapan, Eric bernyanyi keras mengikuti lirik lagu
Korn yang disetelnya di tape mobil. Sementara Eric
terlihat ceria, lain halnya dengan Slash yang
berwujud kucing hitam. "Dua puluh dua hari lagi," gerutu kucing itu bete.
Slash masih saja ngomel soal keberadaannya di
bumi. "Kita baru delapan hari di bumi," ingat Eric. Setan
cakep itu terus saja bernyanyi.
"Lo kayaknya senang banget di bumi. Bahkan lo juga
suka sekolah itu, sampai tiap hari rajin masuk. Di
langit lo malah bolos melulu," sindir Slash.
"Di langit yang diangap cool itu tukan bolos. Di bumi
yang dianggap cool itu yang rajin sekolah hehehe."
Slash mencibir. Tiba-tiba lagu Korn di speaker mobil berganti
dengan suara besar laki-laki yang mereka hafal
banget. Suara Raja Sawa, kakek Eric.
"Bagaimana ujianmu?" tanya Raja Sawa pada calon
pewaris kerajaannya. Dia ingin tahu kelanjutan ujian
Eric. Karena dia raja kegelapan, dia bisa memakai
cara yang nggak lazim buat "menelepon" cucunya.
Masuk ke suara tape, radio, atau apa saja yang bisa
didengar kuping manusia. "Beres, Raja. Tinggal nunggu manusia itu melengkapi
tiga permintaannya," jelas Eric bangga. Raja Sawa
memang kakeknya, tapi karena beliau seorang raja,
Eric tetap tidak boleh memanggilnya kake.
"Kamu menggunakan cara pertama?"
"Yap!" "Sudah baca semua peraturannya?"
Eric diam sesaat. "Sudah," katanya bohong.
Slash yang berada di sampingnya langsung menoleh
curiga. "Semua beres?" Raja Sawa masih memastikan nasib
ujian Eric. "Saya akan segera kembali ke istana, Raja," kata Eric
yakin. "Baiklan kalau begitu. Teruskan ujianmu," titah Raja
Sawa. Setelah itu pembicaraan "telepon" pun putus. Lagulagu Korn kembali terdengar di audio mobil. Slash
memunculkan buku ujian Eric ke depannya dan
buru-buru membalik halamannya.
"Lo ngapain sih?" tegur Eric heran melihat Slash.
"Baca kontrak ini sejelas-jelasnya! Jangan-jangan lo
dijebak," kata Slash kuatir.
"Eh, kalo ada yang bakal dirugikan itu pasti pihak
kedua, bukan pihak pertama. Lo pernah lihat
kontrak nggak sih" Pihak pertama itu yang bikin
kontrak, nggak mungkin dia mau dirugikan," jelas
Eric logis. Tapi Slash sepertinya nggak memahami ucapan Eric.
Kucing hitam itu terus saja membaca dan
membolak-balik halaman buku tebal itu.
"Tebalnya 9999 halaman. Kayaknya kita udah
keburu pulang dulu baru selesai baca semuanya,"
sindir Eric. Slash nggak peduli. Dia terus membaca buku tebal
yang berisi soal ujian Eric, riwayat hidup Alex, dan
ribuan peraturan di dalamnya.
*** Seperti biasa sejak permintaan pertamanya
dikabulkan, Alex berangkat sekolah bareng gengnya.
Sepanjang jalan dia heboh banget bercerita soal dia
jadian sama Kian. "Masa sih?" tanya Niken nggak percaya. "Oh, jadi dia
ke rumah gue kemaren nanya alamat lo itu memang
niat mau nembak lo"! Hahaha Kian itu gila juga."
Tawa gembira Niken dan dua teman Alex lainnya
kompak terdengar. Alex terdiam sesaat. Kenapa Kian ke rumah Niken
dulu" Memangnya sihir Eric nggak bisa
menunjukkan alamat sekalian" Ah, nggak usah
dipikirin, yang penting hasilnya sama.
"Benar kan gue bilang, cowok kalo menghindar tibatiba itu tanda ada apa-apanya," kata Niken,
mengingatkan ucapannya waktu Kian langsung
kabur begitu dibilang Alex kirim salam.
"Eh, eh, gue penasaran nih. Gimana cara Kian
nembak lo?" tanya Leony iseng.
"Dia bilang suka sama gue."
"Trus...?" "Dia nanya apa kita jadian" Apa gue nerima dia" Dan
gue mengangguk aja," jawab Alex.
"Cuma itu" Ah, nggak romantis," tuduh Leony.
"Dia genggam tangan gue nyium kening gue,"
tambah Alex lagi. "Trus" Dia ngapain lagi abis itu?" Masih Leony yang
paling jail pagi ini. "Eh, Alex itu baru jadian, jangan ngajarin yang
nggak-nggak lo," tegur Moniq yang duduk di bangku
belakang sama Leony. Cewek jail itu pun langsung
kena jitakan Moniq. "Gue kan cuma pengin tau," protes Leony. Moniq
mendelik. "Iya deh, iya deh. Yang pasti ini harus kita rayakan.
Pulang sekolah kita makan-makan ya, Lex?" pinta
Leony lagi. Alex mengangguk. "Asyik!" teriak Leony.
Semua teman Alex terlihat senang dengan berita
jadiannya Alex dengan Kian. Tapi yang paling
bahagia tentu saja Alex sendiri.
Gue punya geng cewek paling oke di sekolah, dan
sekarang punya pacar cowok cakep an populer di
sekolah. Bahagianya menjadi alexandra Alfarez saat
ini. Nggak sia-sia gue menukar nyawa demi
merasakan semua ini, kata Alex bangga dalam
hatinya. Mobi l Niken pagi ini tiba di sekolah bertepatan
dengan bel jam pelajaran pertama berbunyi.
Keasyikan ngobrol, Niken menyetir mobilnya lebih
lambat daripada biasanya. Hasilnya Alex dan tiga
temannya harus setengah berlari menuju kelas.
Untung mereka tiba lebih dulu dibanding Bu Alika
yang ngajar Kimia, jadi nggak diusir. Peraturan di
SMA Harapan memang cukup ketat, nggak boleh
terlambat, satu menit sekalipun. Mereka berempat
boleh bernapas lega. *** Meski sudah mulai senang bersekolah, Alex tetap
saja nggak tertarik untuk menyimak pelajaran di
depan kelas. Dalam pikirannya, belajar sudah nggak
penting lagi. Nggak ada gunanya, karena toh dalam
22 hari lagi dia akan mati.
Alex suka sekolah cuma karena bisa ketemu gengnya
dan sekarang ditambah bisa ketemu pacarnya.
Makanya, saat yang paling ditunggunya adalah jam
istirahat. Baru saja bel istirahat berbunyi, Alex langusng
keluar kelas. Niatnya mau langsung ke kelas 1-1,
kelasnya Kian. Namun belum sampai ke sana,
langkah Alex dicegat Mimi.
"Hai, Mi, ada apa?"
"Gue dengar gosip, katanya lo jadian sama Kian.
Benar, Lex?" tanya cewek itu dengan kening
berkerut. Alex mengangguk dan tersenyum senang. Kerutan di
kening Mimi malah bertambah banyak.
"Lex, Kian itu musuh lo, kok dia bisa jadi pacar lo"
Bukannya kalian selalu berantem" Kalian..."
"Alex, ada Kian tuh di depan perpus!" kata Moniq
yang tiba-tiba muncul. Alex nggak sempat menjawab pertanyaan Mimi
karena Moniq sudah keburu menarik tangannya
menuju ruang perpustakaan.
"Lex, ntar sore lo di rumah nggak" Elmo minggu
depan ultah, kita cari kado ya"!" teriak Mimi yang
sempat Alex dengar. Tapi karena Alex sudah keburu melihat Kian,
otaknya lupa memproses ucapan Mimi itu. Dan
sorenya, saat Alex jalan-jalan dan makan di kafe
bersama geng dan pacar baru-nya, tanpa
sepengetahuan Alex, Mimi menunggu dan menunggu
di depan rumah Alex. Dari matahari ada sampai
matahari tenggelam. *** Hari terus berganti, Alex sekarang berubah jadi
cewek gaul yang supersibuk. Sibuk jalan-jalan,
makan di tempat mahal, ke salon, beli baju
bermerek, parfum, dan berbagai peralatan make-up.
Berkat gengnya yang pernah jadi model, Alex disulap
dari cewek dekil jadi cewek yang care banget dama
penampilan. Lemarinya yang dulu sepi, sekarang
nyaris nggak bisa ditutup saking penuhnya dengan
baju yang rata-rata cuma sekali pakai itu. Meja
riasnya yang semula kosong, sekarang udah nggak
cukup lagi buat memajang kosmetiknya. Tapi Alex
tetap saja menghamburkan uang buat beli barangbarang. Kalo dulu kata Moniq penampilan cantik itu
buat bikin cowok-cowok melirik Alex, sekarang
setelah punya pacar, Alex berdandan demi Kian.
Sementara itu, anak-anak di SMA Harapan makin
sering ngegosipin perubahan Alex. Dulu Alex itu
anak motor dekil, pendiam, dan terkesan
menakutkan. Sekarang jadi cewek cantik, gabung
sama geng populer, punya cowok cakep, dan
sepertinya jadi sombong. "Gue tahu Alex aneh, tapi kenapa sekarang gue
merasa dia lebih aneh lagi ya?" kata suara seorang
cewek. Mimi yang sedang di dalam bilik toilet nggak sengaja
mendengar pembicaraan Putri dan Asri, teman
sekelas Alex. "Ya sih, Put. Masa Niken yang sombong itu bisa
begitu aja jadi teman Alex. Kian yang cakep itu tibatiba jadi pacar Alex. Aneh, kan?" kata Asri.
"Gue pernah nanya sama Niken. Nik, tumben lo tibatiba dekat sama Alex. Tau apa jawabannya" Dengan
polosnya Niken malah bilang, emang kenapa"
Seolah-olah wajar banget Alex jadi temannya. Aneh,
kan?" cetus Putri lagi.
Mimi termangu di dalam biliknya. Ternyata banyak
anak di sekolah yang merasa sahabatnya berubah.
Kirain cuma dia dan Elmo aja yang merasa begitu.
"Lo pernah nanya nggak sama Alex?" tanya Putri.
Mimi terus menguping pembicaraan dua cewek itu.
"Alex" Jujur nih, gue takut sama Alex. Tapi karena
gue panasaran, gue nekat nanya. Jawaban Alex,
bukan urusan lo! Ternyata Alex memang sombong
dan menakutkan." "Setau gue sih dulu Alex nggak sombong. Belakangan
ini aja belagu. Lo perhatiin deh, Alex berubah sejak
ada anak baru di kelas kita."
"Anak baru" Si Eric" Apa hubungannya?"
"Eric itu kan cakep, keren, tajir, dan dia kayaknya
lumayan akrab sama Alex karena rumah mereka
tetanggaan. Berkat Eric pergaulan Alex terangkat,"
Putri bikin kesimpulan sendiri.
"Mungkin saja. Tapi nggak mungkinlah cuma garagara itu. Pasti ada penyebab lainnya," kata Asri
nggak terlalu setuju. Mereka meneruskan pembicaraan sambil berjalan
keluar toilet. Mimi yang menguping pembicaraan
mereka jadi nggak mendengar kelanjutan gosip dua
cewek itu. Ia geleng-geleng sendiri. Ia juga nggak
ngerti apa penyebab perubahan Alex.
*** Anak-anak di sekolah mau ngegosip apa pun tentang
dirinya, Alex nggak peduli. Dia tetap menjalani
hidupnya yang menyenangkan, sesuai
permintaannya. Siang ini, seperti biasa Alex dan gengnya jalan-jalan
ke mal. Mereka berhenti di counter pakaian
olahraga. "Lex, sepatu kuning ini lucu lho," kata Niken
menunjukkan sepasang sneaker berwarna kuning.


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemaren gue udah beli yang warna birunya," kata
Alex. "Warna biru itu terlalu standar, biasa. Kuning kayak
gini lebih istimewa, pasti nggak ada yang pake,"
Moniq ikutan memberi saran.
Alex melihat ukuran sepatu itu sesuai dengan
ukuran kakinya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil
sepatu itu dan mengeluarkan kartu kreditnya. Dia
memang punya kartu kredit tambahan dari
mamanya. Selama ini kartu tersebut nyaris nggak
pernah Alex pakai, sekarang tiap pergi bareng
gengnya kartu itu selalu digesek.
"Lex, capuchon ini lucu lho. Lo kan sering pakai jaket
bertudung ini," tunjuk Leony saat menemukan jaket
warna merah. "Gue udah punya, persis warna itu."
"Ya, yang dekil, yang sering lo pake naik motor dulu
itu, kan?" kata Leony, mengingatkan fisik jaket yang
Alex maksud. Alex mengangguk. "Plis deh, Lex, itu kan udah dekil banget. Lagian
sekarang kan lo nggak bawa motor sendiri, tinggal
ngebonceng Kian. Pake jaket rada bagusan nggak
ada salahnya, kali, buat kencan sama pacar," ledek
Leony. Alex manggut-manggut, dan tanpa pikir panjang
langsung mengambil jaket merah itu dan kembali
menggesekkan kartu kreditnya.
*** Sehabis belanja "wajib" itu, Alex diantar gengnya
pulang. Dia sengaja pulang lebih cepat karena punya
janji sama Kian. Hubungan Alex sama mantan "musuhnya" ini baikbaik saja. Lebih baik daripada yang Alex perkirakan.
Kian juga sudah ngenalin Alex ke Lala, cewek yang
pernah Alex sangka pacarnya Kian. Ternyata dua
orang itu benar-benar murni sahabatan. Cinta Kian,
berkat "sihir Eric", hanya buat Alex.
Malam ini sehabis mereka makan, Kian mengajak
Alex jalan-jalan. Lau tiba di suatu tempat, cowok itu
menghentikan motornya. Tempat ini di pinggir jalan,
tapi sudah di luar kota. Suasananya sepi dan tenang.
Di kejauhan tampak kerlip lampu kota, dan di atas
mereka tampak bintang bertaburan di langit luas.
Benar-benar indah. Alex duduk di rumput supaya bisa menyaksikan
bintang-bintang itu dengan lebih nyaman.
"Lex, lo punya bintang favorit nggak?" tanya Kian
sambil duduk di sebelah Alex dan ikut melihat ke
langit. "Nggak, kenapa?"
"Gue punya," kata Kian, membuat Alex menoleh
padanya. "Yang mana?" tanya Alex.
"Itu!" kata Kian, menunjuk salah satu bintang yang
terlihat paling terang di langit utara.
"Cahayanya terang banget," komentar Alex.
"Ya, gue suka ngeliat bintang itu dari gue kecil, dan
sampai sekarang gue masih tetep suka ngeliatnya.
Kayaknya sampai seribu tahun lagi juga dia tetep
ada di sana," jelas cowok itu.
"Bintang itu abadi, ya?"
"Ya." "Seperti cinta..." desis Alex pelan sambil masih
menengadah ke langit. Terbayang olehnya sebentar
lagi dia akan mati. Dia tidak abadi.
"Ya, seperti cinta," kata Kian menegaskan.
Lalu Alex merasa Kian meraih dan menggenggam
tangannya. Alex diam saja. Sesaat dia berpikir,
dirinya nekat menukar nyawa salah satunya demi
mendapatkan cinta Kian. Meski cuma sesaat
sebelum dia akhirnya mati, Alex nggak ingin
cintanya ikut mati. "Kalo itu bintang lo, Ki, berarti di sebelahnya bintang
gue," kata Alex. Ia tidak sadar telah
mengucapkannya dengan getir karena mengingat
hanya di sana cintanya akan hidup, untuk seribu
tahun lagi, dan untuk selamanya.
Ucapan Alex membuat Kian menggenggam
tangannya lebih erat. Alex menoleh, melihat Kian
menatapnya tanpa henti. "Lex, gue sayang ama lo," kata Kian sambil
menyentuh wajah Alex. Alex mengangguk. "Gue juga," katanya. Nggak berapa
lama kemudian mereka pun berciuman.
Alex memang sayang sekali pada Kian. Dan apa yang
terjadi di malam ini, menurut Alex adalah hal
terindah yang pernah dimilikinya. Nggak sia-sia dia
menandatangani kontrak kematiannya.
*** Jika Alex bahagia dengan hidup yang didapatnya dari
kontrak kematian dengan setan bernama Eric, dua
temannya yang dulu sama sekali nggak bahagia
dengan perubahan Alex. Elmo merayakan ulang
tahunnya hanya berdua Mimi. Mereka makan di
restoran cepat saji, tanpa keceriaan apa pun. Sebuah
kotak kado tergeletak membisu di depan mereka,
seolah nggak ada perayaan apa pun.
"Alex mana sih?" gerutu Elmo sambil melihat
arlojinya. Jam delapan malam. "Padahal gue udah
SMS dia dari tadi siang," keluh Elmo.
"Mungkin Alex ada urusan lain yang lebih penting,"
kata Mimi, mencoba mencari-cari alasan biar
temannya nggak terlalu sedih. "Yang penting kan
Alex ingat lo ultah dan dia udah nitip kado," kata
Mimi sambil menunjukkan kotak kado berisi jaket di
depan mereka. "Ini bukan dari Alex." Elmo langsung menggeleng.
"Jaket ini lo sendiri kan yang ngasih?" tebak Elmo
yakin. Mimi diam saja. "Alex lupa ulang tahun gue," kata Elmo pelan.
Mimi bingung harus berkomentar apa. "Mungkin
Alex sibuk..." "Sama cewek-cewek gaul itu dan pacarnya," keluh
Elmo lagi. "Mungkin..." ujar Mimi.
"Lo merasa nggak sih, Alex makin lama makin aneh?"
tanya Elmo tiba-tiba. Mimi mengangguk. "Alex tiba-tiba bisa temanan
sama Niken cs, cewek-cewek yang sebelumnya
negur Alex aja malas."
"Alex juga pacaran sama cowok yang dari dulu selalu
berantem sama dia," tambah Elmo.
Mimi mengangguk. "Menurut lo kenapa Alex aneh
begitu?" tanyanya. Biasanya Elmo yang jenius selalu
punya teori atau hipotesis sendiri.
Tapi kali ini Elmo pun menggeleng.
"Gue juga nggak tahu harus berpikir apa soal
perubahan Alex yang tiba-tiba ini. Gue bilang Alex
aneh, tapi Niken cs lebih aneh lagi kan, tiba-tiba mau
temanan sama Alex" Lo tau nggak, anak-anak di
sekolah banyak yang heran dan nanya-nanya sama
geng itu. Kenapa Niken cs temanan sama Aelx"
Ditanya ke Alex, jawabannya bukan urusan lo!
Ditanya ke Niken cs, jawabannya emang kenapa"
Aneh, kan" Seolah-olah ada mantra yang bikin
mereka jadi temanan," kata Mimi panjang-lebar.
"Termasuk soal Kian?" tanya Elmo.
"Oh, kalo soal itu gue nggak ngerti. Banyak orang
yang musuhan dan berantem melulu, lalu besoknya
pacaran. Soal cinta sih nggak bisa diprediksi," kata
Mimi, menolah menyamakan kisah cinta Alex
dengan pertemanan Alex dan Niken cs.
"Tapi tetap saja aneh, kan?" kata Elmo lagi.
Mimi mengangguk juga. Lalu mereka berdua
terdiam, tetap nggak mengerti apa penyebab
keanehan yang terjadi pada diri Alex.
"Gue rasa cuma Alex yang tau misteri yang ada di
balik semua ini," Elmo menyimpulkan.
"Gimana kalo kita tanya aja langsung sama Alex...?"
tanya Mimi ragu. Ketemu Alex aja sulit, apalagi
bicara. SMS-nya nggak pernah dibalas, ucapannya
nggak pernah didengarin Alex lagi. Alex itu memang
lupa atau memang sengaja menganggap gue dan
Elmo nggak penting lagi sih" Tuduh Mimi dalm hati.
"Ya, kita harus tanya pada Alex!" akhirnya Elmo
memutuskan. Mimi terpaksa setuju. *** Tapi berbicara dengan Alex saat ini sangatlah sulit.
Pagi hari Mimi dan Elmo menunggu di depan
koridor sekolah untuk mencegat Alex. Tapi nggak
berhasil. "Sori, gue harus ke toilet dulu buat ngerapiin rambut
gue," kata Alex sambil mengejar Niken cs yang sudah
jalan duluan. Jam istirahat, Mimi dan Elmo mencari Alex. Tapi Alex
malah main basket sama Kian di lapangan sekolah.
Bagaimana bisa diajak bicara"
Pulang sekolah, saat Mimi dan Elmo mencegat Alex
lagi... "Sori, guys, gue harus pulang sama Niken. Ntar gue
ditinggalin. Bye!" hanya itu ucapan Alex.
Mimi dan Elmo geleng-geleng melihat kelakuan
teman mereka itu. "Gimana kalau kita datangin rumahnya aja?" tanya
Elmo. "Alex nggak pernah di rumah. Waktu gue ngajak dia
nyari kado buat lo, gue udah nunggu di rumahnya
dari siang, sore, sampai malam, dan dia belom
pulang juga. Mamanya bilang biasanya dia kalo main
sama Niken cs memang bisa sampai malam. Apalagi
sekarang juga sudah ada Kian," kata Mimi.
"Kenapa Alex segitu sibuknya sampai dia seolah-olah
nggak akan punya waktu lagi buat kita?" desisi Elmo
nggak percaya. Mimi mengangkat bahu. Part 14 MALAMNYA Alex tiba di rumah jam delapan. Dia
baru pulang jalan-jalan bareng gengnya. Saat Alex
masuk, tampak Mama sudah menunggunya di ruang
tamu dengan kedua tangan dilipat. Pertanda akan
ada badai kemarahan. "Ini semua kamu yang beli?" Mama menunjuk
setumpu kertas tagihan di atas meja.
Alex mengangguk. Bahkan saat ini pun dua
tangannya menenteng kantong belanjaan dari mal.
Ini hampir sama dengan gaji Mama sebulan, Lex!"
seru Mama sambil mencengkeram lalu melempar
kertas-kertas tagihan itu.
Alex diam saja. Dalam hati dia berkilah, cuma
sebulan ini aja gaji Mama habis, sesudah itu nggak
akan pernah ada lagi biaya sesen pun buat seorang
Alex. "Kamu pikir cari duit itu gampang"!" bentak Mama
lagi. Alex yang tahu kesalahannya, cuma diam dan
menunduk. Tiba-tiba dia mendengar suara Oom Iwan. "Sst, Wi,
udah," kata laki-laki itu membujuk Mama biar nggak
terlalu emosi. Alex yang tadinya menunduk penuh sesal, langsung
kesal mendengar suara laki-laki itu. Kayaknya makin
lama Oom Iwan makin sering saja datang ke
rumahnya. "Tidak, Alex harus dinasehati! Kalo nggak, akan
semakin banyak ulahnya. Dulu kebut-kebutan naik
mtor, sekarang menghabiskan uang buat hura-hura
yang nggak perlu. Selalu aja cari masalah!" omel
Mama bertubi-tubi. "Sudah, Wi, biar aku aja yang bicara. Kamu ke
belakang aja dulu. Sudah, nggak baik marah-marah
terus. Marah-marah nggak bakal nyelesein masalah,"
bujuk Oom Iwan sambil membawa Mama pergi dari
depan Alex. Setelah mengantar Mama duduk di ruang tengah,
laki-laki itu balik lagi ke depan Alex.
"Alexa, mama kamu sudah capek kerja untuk hidup
kamu dan Rian. Kalo bisa jangan bikin masalah, Nak,
kasihan mamamu," kata Oom Iwan.
Seolah-olah dirinya laki-laki paling hebat yang bisa
ngatasin masalah apa saja. Pakai manggli-manggil
"Nak" segala, memangnya dia pikir dia siapa,
cemooh Alex dalam hati. "Mama bukan melarang kamu belanja, beli baju,
makan, dan sebagainya," kata Oom Iwan sambil
melihat satu per satu kertas tagihan itu. "Boleh
belanja, tapi harus mikir, sesuatu itu kamu perlukan
atau tidak." "Ya tentu aja perlu!" jawab Alex ketus.
"Alexa, maksud Oom, pengeluaran kamu perlu
diatur, belilah yang kamu rasa penting. Bukan
menghambur-hamburkan uang seperti ini."
Alex mengempaskan tas dan kantong belanjaan di
tangannya. Emosinya seketika pecah. Nada
bicaranya pun meninggi. "Oom, Oom Iwan bukan
ayah saja, jangan sok menasihati deh. Saya mau
belanja kek, mau makan kek, suka-suka saya. Kalo
Mama nggak mau saya pakai uangnya, terserah! Tapi
jangan Oom yang belagak bijaksana sok menasihati
segala. Saya nggak suka lihat Oom Iwan ada di


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah ini!" seru Alex marah. Kekesalannya pada
laki-laki yang merupakan teman dekat ibunya ini
mencapai puncak. Alex langusng berjalan menuju pintu keluar.
"Alexa, kamu mau ke mana?" tanya Oom Iwan, tetap
dengan suara baik-baik. "Pergi! Saya nggak akan pulang kalo Oom Iwan
masih di sini. Dan satu lagi, jangan pernah
memanggil saya dengan nama Alexa lagi. Saya benci
nama itu!" kata Alex sambil berjalan keluar rumah
dan membanting pintu di belakangnya.
*** Alex menyusuri jalanan kompleks rumahnya tanpa
tujuan. Dia kesal, dan kakinya melangkah sambil
menendangi apa pun yang ditemukannya di jalan.
Kenapa sih hidup gue yang tinggal beberapa hari lagi
harus dirusak oleh hal menyebalkan seperti ini"
Gerutunya dalam hati. "Hei, gue kan masih punya satu permintaan lagi!"
Alex mendadak ingat. Kakinya pun segera
melangkah ke perumahan di blok depan. Rumah
Eric. Rumah itu gampang ditemukan, soalnya dia
ingat dulu pernah jatuh naik motor persis di depan
rumah itu. Alex memencet bel di pagar rumah itu berkali-kali.
Eric keluar dan menyambutnya ramah.
"Hai, Alex! Ada apa" Tumben lo ke sini."
"Nggak boleh?" sergah Alex yang masih kesal dengan
ketus. "Ya tentu aja boleh. Ayo masuk," ajak Eric sambil
membuka pintu pagar dan mempersilakan Alex jalan
duluan. "Jangan kaget lihat rumah gue ya," kata Eric
memperingatkan saat Alex beranjak masuk ke
rumah. Namun Alex yang baru kali ini datang ke rumah Eric,
tetap saja kaget melihat paduan warna di rumah itu
yang menyilaukan mata. Jauh sekali perbedaannya
dengan penampilan luarnya.
"Gue ini setan, Lex, seperti inilah yang nyaman buat
gue," kata Eric tanpa ditanya Alex. Cowok itu seperti
biasa tahu apa isi pikiran Alex.
Sejenak Alex mengedarkan pandangan ke sekeliling
rumah. Memang aneh untuk tempat hunian,
kayaknya jadi museum lebih cocok. Wah, Mama kalo
ke sini bisa-bisa langsung merombak habis
semuanya, kata Alex dalam hati saat mengingat
pekerjaan mamanya. "Lo mau ngapain, Lex?" tanya Eric lagi.
Baru saja Alex hendak menjawab, matanya malah
tertegun melihat ke pinggir ruang tamu itu. Seekor
kucing hitam tengah menekuri buku yang
supertebal. Apa kucing itu sedang membaca" Mana
mungkin"! Ujarnya dalam hati.
"Alex..." tegur Eric mengingatkan.
"Oh, sori. Gue ke sini karena gue mau ngajuin
permintaan terakhir gue. Bisa lo kabulkan?" Alex
mengatakan tujuannya datang dengan lugas.
"Tentu aja bisa, Lex. Perjanjian kita tiga permintaan
sebagai ganti nyawa lo. Sebaiknya lo buru-buru bikin
permintaan karena waktu hidup lo tinggal sebelas
hari lagi," Eric mengingatkan.
Alex mengangguk. "Permintaan terakhir gue: gue
mau bokap gue datang."
"Bokap lo?" tanya Eric memastikan.
"Bokap udah cerai ama nyokap dari gue kecil, dan
udah dua belas tahun gue nggak pernah ketemu.
Kalo bokap gue datang, otomatis Oom Iwan harus
pergi. Biar gimana, dia kan bukan siapa-siapa gue,
dia nggak bisa nasehatin dan ngatur hidup gue
seenaknya. Lihat aja nanti. Begitu Papa datang, Oom
Iwan bakal tahu dia nggak ada apa-apanya
dibanding bokap gue," ujar Alex.
Eric mengangguk. "Bisa kan, Ric?" tanya Alex agak nggak yakin. Dia
sendiri nggak pernah melihat ayahnya selama dua
belas tahun, dan nggak tahu di mana ayahnya
berada. Eric mengangguk. "Zettha archapen, keinginan lo
akan terwujud," Eric mengucapkan mantra
andalannya. "Kapan gue bisa ketemu bokap gue?" desak Alex.
"Seperti biasa, Lex, lihat saja sendiri." Eric nggak
memberi jawaban pasti. Tapi karena dua
permintaan Alex sebelumnya terbukti terwujud,
Alex percaya saja. "Gue pulang deh," kata Alex pamit. Sejenak mata
Alex kembali tertumpu pada kucing hitam Eric. "Dia
bisa baca?" akhirnya Alex nggak tahan dan bertanya.
"Dia memang cerdas," kata Eric singkat.
Alex geleng-geleng. Rumah ini seaneh penghuninya,
batin Alex. Dia pun keluar dan pulang ke rumahnya.
Saat Alex tiba di rumahnya, Oom Iwan pulang naik
taksi. Laki-laki itu memang lebih sering datang dan
pergi naik taksi daripada bawa mobil sendiri.
Baguslah Oom Iwan pulang, kalo nggak, gue yang
nggak mau pulang, batin Alex.
*** Sepeninggal Alex, Slash kembali berubah wujud
menjadi setan. Dia lalu duduk dan balik menekuni
buku soal ujian Eric. Sementara Eric duduk santai
sambil menyalakan TV. "Tadi Alex mengajukan permintaan terakhrnya,
berarti dia udah minta tiga permintaan?" tanya
Slash. Eric mengangguk. "Permintaan pertama Alex jadi anggota geng cewekcewek populer itu. Kedua jadi paca Kian, dan
ketiga..." Slash berusaha mengingat apa saja
permintaan Alex. "Ya yang barusan itu. Alex minta bokapnya datang,"
tambah Eric. "Bagus, berarti sudah semua."
"Belum," cetus Eric tanpa sadar.
"Belum?" "Mak... maksud gue, bokapnya Alex belum datang,"
jelas Eric agak gelagapan. Dia menyembunyikan
sebuah rahasia soal permintaan itu dari sobatnya.
"Kenapa?" Slash masih ingin tahu alasan Eric.
"Gue bikin mantra itu bekerja besok pagi."
"Kok gitu?" "Aneh aja kalo malam-malam seperti ini bokapnya
datang. Bokap Alex tinggalnya jauh, di luar pulau.
Mana ada pesawat tengah malam gini," jelas Eric
lagi. "Lo pikirin sampai sejauh itu?" tanya Slash seolah
menyindir. "Meski gue mengabulkan permintaan itu dengan
mantra, tetap saja harus dipikirkan logikanya. Bisa
terjadi apa nggak" Kalo permintaan Alex yang
sebelumnya seperti jadi anggota geng Niken itu kan
gampang. Orangnya udah di depan mata, tinggal
dikabulkan aja," jelas Eric, nggak mau dituduh
bersikap baik. "Ya, lo benar juga," kata Slash akhirnya mengakui.
Eric tersenyum bangga sesaat.
"Jadi mantra lo baru bekerja besok pagi?" tanya
Slash lagi, memastikan. "Ya." "Terus pengaruh mantra itu habisnya kapan?"
"Tentu aja sampai batas waktu ujian gue habis,
sebelas hari lagi. Alex mati, kita pergi, dan semua
kembali seperti semula. Seolah-olah nggak ada yang
terjadi," jelas Eric dengan wajah yang tersenyum
senang. Slash lalu nggak nanya-nanya lagi. Dia kembali
menekuni buku di tangannya.
*** Sementara itu dua orang tampak mengendap-endap
keluar dari samping rumah Eric. Mimi dan Elmo
berjalan menjauhi rumah itu dan menuju taman
kompleks. Rencananya tadi mereka cuma mau
memata-matai kegiatan Alex. Sudah dari pagi sampai
malam begini, kedua sobat itu mengikuti Alex diamdiam. Namun saat tiba di rumah Eric, Mimi dan Elmo
pun jadi memata-matai Eric juga. Mereka penasaran
dengan pembicaraan Alex dan Eric tadi hingga ikut
menguping pembicaraan Eric dan temannya.
"Lo percaya apa yang lo denger di rumah itu?" tanya
Mimi saat mereka sudah tiba di taman kompleks.
"Percaya nggak percaya sih," jawab Elmo.
"Kucing bisa membaca, lalu berubah jadi cowok
pakai baju merah dan bersayap. Dan Eric mengaku
dirinya setan yang bisa mengabulkan tiga
permintaan Alex..." "Diganti dengan nyawa!" tegas Mimi. "Sebentar,
sebentar... berarti.... Alex mau mati?" tanya Mimi.
"Kata Eric waktu hidupnya tinggal sebelas hari lagi."
Mimi geleng-geleng. "Kenapa Alex sampai bikin
kesepakatan dengan setan?"
"Mungkin karna dia nggak suka hidupnya," tebak
Elmo. "Memangnya apa yang kurang dalam hidupnya?"
"Teman yang populer, pacar yang cakep, dan ayah,"
kata Elmo mengulangi apa yang di dengarnya dari
Eric tadi. "Lo merasa perlu nggak punya teman yang populer?"
tanya Mimi tiba-tiba. Elmo diam sejenak. "Ya, pengin sih pengin... tapi kalo
nggak ada mau apa" Toh masih ada teman biasabiasa aja yang bisa bantu gue dan jadi teman yang
baik," lanjut Elmo. "Pacar yang cantik?"
"Ya, pengin juga, tapi berhubung nggak ada cewek
cantik yang suka sama gue, masa gue harus paksa?"
tanya Elmo balik. "Dan kalo lo nanya soal ayah,
bokap gue baik-baik saja."
"Jelas aja gue nggak akan nanya soal bokap lo yang
nelepon hampir tiap menit itu," sindir Mimi. Elmo
memang anak yang sebentar-sebentar dicek nyokap
atau bokapnya ada di mana. Selalu ada SMS dan
telepon dari salah satu orangtua cowok itu. Maklum,
anak tunggal sih. "Lo merasa perlu nggak sih dapat hal-hal seperti
yang diinginkan Alex?" tanya Elmo balik. Mereka
berdua saat ini memang sama sekali nggak
menyangka teman mereka sampai rela menukar
nyawa demi tiga permintaan macam itu.
Mimi terdiam sesaat, lalu kembali menggeleng. "Gue
tahu sih di sekolah kita dianggap pecundang, nggak
pernah dilirik, nggak pernah dianggap berarti sama
anak-anak lain. Tapi buat apa gue pikirin, tanpa
mereka gue juga tetap bisa sekolah," kata Mimi
menyimpulkan. "Sekarang masalahnya, Mi, Alex sudah terlanjut
bikin perjanjian kematian itu," Elmo mengingatkan.
"Jadi apa pun yang kita bahas nggak akan mengubah
umur Alex yang tinggal sebelas hari itu."
"Terus apa dong yang bisa kita lakukan?" tanya
Mimi. "Menyadarkan Alex," usul Elmo.
"Menyadarkan" Memangnya dia pingsan?"
"Maksudnya bukan begitu, Mi, tapi meluruskan
pikiran Alex. Semua ini kan sebenarnya semu, Mi."
"Semu?" tanya Mimi nggak mengerti.
"Lo nggak dengar tadi Eric bilang dia mengabulkan
permintaan itu dengan mantra?" tanya Elmo
mengingatkan. Mimi menatap Elmo, ingin mendengar penjelasan
selanjutnya. "Mantra itu yang bikin Alex mendapatkan tiga
permintaannya. Tapi begitu pengaruh mantra itu
habis, semua kembali seperti semula. Nggak ada
yang berubah," jelas Elmo.
"Nggak ada yang berubah?" tanya Mimi memastikan.
"Iya, nggak ada. Niken cs itu akan lupa Alex pernah
jadi temannya. Begitu juga Kian, cowok itu akan lupa
Alex pernah jadi pacarnya. Bokapnya Alex juga
begitu, lupa pernah bertemu anaknya."
Mimi terdiam, ia jadi kasihan menyadari nasib yang
menimpa Alex. "Kita harus bantu Alex," kata Elmo sekali lagi.
Mimi pun mengangguk. Part 15 SAMPAI Alex terbangun keesokan paginya, belum
ada tanda permintaan ketiganya dkabulkan.
Mungkin ayahnya tinggal di kota lain, sehingga
butuh waktu lama buat datang ke rumah, Alex pun
memilih mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Sebentar lagi Niken akan menjemputnya.
Alex tengah menikmati sarapannya saat mendengar
bunyi bel di pintu depan. Karena nggak ada tandatanda ibunya bakal keluar kamar untuk
membukakan pintu, terpaksa Alex sendiri yang
beranjak. "Selamat pagi," terdengar suara seorang laki-laki
saat pintu depan terbuka. Bukan Oom Iwan. Lakilaki itu tubuhnya agak gemuk, kepalanya mulai
botak, dan berkemeja rapi seperti hendak berangkat
kerja. "Kamu Alexandra?" tegur laki-laki itu saat Alex
memperhatikannya. Alex mengangguk ragu. Siapa laki-laki ini" Ayahnya"
"Hai, kamu sudah besar. Sini, Sayang, peluk Papa,"
kata laki-laki itu sambil mengulurkan kedua
tangannya.

Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex tertegun. Wajah dan fisik ayahnya berbeda jauh
dengan foto yang Alex temukan di rumah Nenek.
Meski sudah nggak secakep dan segagah saat muda
dulu, laki-laki ini tetap ayah Alex dan pasti lebih baik
daripada Oom Iwan. Alex menyambut uluran tangan itu dan merangkul
papanya. "Alex, kalo itu Oom Iwan..." teriakan Mama terputus.
Mama mempercepat langkahnya menuju pintu. Mata
Mama langsung membelalak kaget.
"Alex, sini!" Mama menarik tangan Alex menjauh.
"Tapi, Ma..." "Masuk!" teriak Mama marah. "Masuk, kata Mama!"
seru Mama lagi ketika Alex sepertinya tidak
bergerak. Alex pun terpaksa masuk. Meski berada di ruang
makan, dia tetap bisa mendengar apa yang terjadi di
depan. "Mau ngapain kamu?" tanya Mama sinis sama Papa.
"Aku kebetulan lagi ada kerjaan di Jakarta. Aku ke
sini cuma mau melihat Alex dan Rian," Papa
beralasan. "Dua belas tahun nggak pernah ngasih kabar, nggak
pernah menelepon, apalagi datang. Dan sekarang,
tanpa rasa bersalah tahu-tahu datang mau lihat
Alex"! Rian"!" kata Mama lagi.
Alex cuma mendengar pertengkaran ayah dan
ibunya sampai di situ saja. Dari jendela dia melihat
mobil Niken datang. Terpaksa dia meraih tasnya dan
berlari keluar. "Alex berangkat Ma, Pa," kata Alex tanpa menyalami
seorang pun. Dia langsung saja naik ke mobil Niken
dan pergi. Saat ini Mama dan Papa masih emosi,
lebih baik dia memilih pura-pura nggak tahu apa
yang terjadi, daripada memperburuk keadaan.
"Siapa yang datang, lex?" tanya Niken yang melihat
ada mobil lain di depan rumah Alex.
"Bokap gue." "Bokap lo" Tumben. Dalam rangka apa, Lex?" tanya
Niken lagi. "Nggak tau," jawab Alex sambil angkat bahu. Dia
nggak mungkin bilang ini akibat dari salah satu
permintaannya. *** Di sekolah, Mimi dan Elmo sudah menunggu di
depan gerbang SMA Harapan. Begitu mobil Niken
berhenti, mereka langsung menghampiri Alex.
"Lex, kita bisa bicara sebentar?" tanya Mimi.
"Kalian ini kenapa sih" Kaya gue punya utang saja,
dicari-cari terus," gerutu Alex begitu melihat Mimi
dan Elmo. "Lex, ini penting," kata Elmo ikut meyakinkan.
"Ah, gue malas berurusan sama kalian lagi," kata
Alex sambil tetap saja melangkah bareng geng
gaulnya. Mimi dan Elmo terdiam. "Alex sombong banget sih sekarang" Ngapain juga
kita harus nolong dia"!" gerutu Mimi.
"Dia teman kita, kan?" kata Elmo, membuat Mimi
mengangguk pasrah. "Oke, terus bagaimana cara kita bilang ke Alex"
Telepon nggak akan dijawab Nona Sok Sibuk itu,
SMS juga dicuekin," kata Mimi nyaris putus asa.
"Pas istirahat juga nggak bisa. Alex pasti berdua
Kian," timpal Elmo, lalu cowok itu mencoba
memikirkan sesuatu. "Gue ada ide."
"Apa?" "Kita culik saja Alex pas pulang sekolah," kata Elmo.
"Apa"!" "Terpaksa, Mi, itu satu-satunya cara supaya Alex bisa
ikut dan mau mendengar omongan kita," jelas Elmo.
Mimi mengangguk saja. Begitu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi,
dua teman itu sudah bersiap-siap. Saat melihat Alex
berjalan keluar gerbang sekolah, Mimi buru-buru
menariknya ke mobil. "Hei, hei, kalian apa-apaan sih?" protes Alex kaget.
"Sori, Lex, tapi sebagai teman lo, kami terpaksa
melakukan ini," kata Mimi sambil membuka pintu
mobil Elmo dan mendorong alex masuk.
Mimi lalu buru-buru masuk ke mobil, dan Elmo yang
duduk di kursi pengemudi langsung mengunci
pintunya. "Hei, Mo! Buka pintunya!" seru Alex.
Elmo diam saja dan buru-buru menjalankan
mobilnya meninggalkan sekolah.
"Turunin gue!" Alex masih saja memberontak.
"Lex, tenanglah. Kita cuma mau bicara sebentar ama
lo," kata Mimi mencoba meredakan emosi Alex.
"Nggak ada yang perlu gue bicarakan sama kalian.
Kalo kalian merasa gue tinggalin karena gue punya
teman-teman baru dan pacar, tolong maklumi saja.
Waktu gue nggak ada lagi buat main sama kalian,"
kata Alex sedikit ketus. Dia kesal ditarik dan
dipisahkan begitu saja dari gengnya.
"Ini bukan soal itu. Ini soal Eric," kata Elmo.
Wajah Alex yang semula merah karena emosi
berubah heran dan penuh tanya. "Eric?" ulangnya.
"Ya, kemaren kami ngikutin lo seharian, termasuk
saat lo ke rumah Eric," kata Mimi.
"Kami dengar semuanya. Kami tahu lo bikin
perjanjian sama setan," tandas Elmo.
Alex terdiam. Mobil Elmo terus melaju dan
sepanjang sisa perjalanan nggak ada satu patah kata
pun yang Alex ucapkan. *** Elmo menghentikan mobilnya di taman kompleks
rumah Alex. Cowok itu dan Mimi turun dari mobil.
Sementara Alex tetap saja mematung di kursi
belakang mobil. Dia tahu dirinya akan diceramahi
panjang-lebar oleh kedua temannya. Dan dia pasti
disalahkan karena membuat perjanjian dengan
setan. Padahal mereka kan nggak ngerti apa-apa,
tuduh Alex dalam hatinya.
"Ini urusan gue," kata Alex, akhirnya keluar juga dari
mobil Elmo. "Kami tahu ini urusan lo, tapi lo sadar nggak sih apa
yang lo lakuin?" tanya Mimi.
"Sadar, sadar banget malah. Ini cara gue bersenangsenang sebelum mati!" kata Alex bangga.
"Bersenang-senang sebelum mati?"
"Gue bukan siapa-siapa di dunia, dan semua orang
akan mati. Apa salahnya gue ambil kesempatan
untuk bersenang-senang, untuk mendapatkan apa
yang gue inginkan sebelum mati"!" Alex masih tetap
yakin bahwa apa yang dilakukannya merupakan
yang terbaik dalam hidupnya.
"Lex, semua ini nggak benar," tegur Mimi prihatin.
"Memang nggak. Tapi yang penting gue senang. Gue
dapatin apa yang gue inginkan."
"Lo nggak dapatkan apa-apa, Lex. Semua ini semu,"
Elmo angkat bicara. "Semu?" "Saat lo mati, Niken cs nggak akan ingat lo pernah
jadi temannya. Kian juga nggak akan ingat lo pernah
jadi pacarnya. Dan bokap lo nggak akan ingat pernah
ketemu lo," jelas Elmo.
Sejenak Alex terdiam, mencoba mencerna ucapan
cowok itu. "Eric itu cuma seolah-olah ngabulin permintaan lo,
Lex, tapi kenyataannya itu semua semu. Dia cuma
ngasih sejenis mantra buat lo dan memengaruhi
orang-orang yang terkena permintaan lo. Mereka
bergerak karena mantra, bukan karena diri mereka
sendiri. Itu pun hanya berlaku sesaat dan nggak ada
artinya begitu lo mati," Elmo menambahkan.
Alex masih mencoba memikirkan ucapan kedua
temannya itu. Selama ini dia nggak pernah kepikiran
seperti itu. Benarkah semua ini semu"
"Nggak, kalian nggak tau apa-apa. Kalian bohong!"
tuduh Alex. "Kita dengar sendiri pembicaraan Eric sama
temannya," kata Elmo lagi memengaruhi pikiran
Alex. "Eric tinggal di rumah itu sendirian. Dia nggak ada
teman," bantah Alex.
"Ada. Cowok yang bisa berubah jadi kucing," kata
Mimi menambahkan. Alex menatap bingung pada dua temannya. Kenapa
mereka makin aneh aja" Katanya dalam hati. Tapi
sudahlah, dia nggak mau mikirin apa yang dikatakan
Elmo dan Mimi. "Ucapan kalian nggak ada gunanya, karena kontrak
kematian itu udah gue tanda tangani. Sekarang gue
mau pulang, lalu pergi sama teman-teman terbaik
gue dan pacar gue. Sisa hidup gue mau gue pakai
hanya untuk bersenang-senang," kata Alex, tetap
bangga dengan pilihan hidupnya. Dia bahkan
tertawa keras, menunjukkan kalau dia bahagia.
"Kalo tau akan mati, seharusnya lo bukan
bersenang-senang, tapi banyak-banyak bikin
kebaikan," kata Mimi datar.
Tawa Alex langsung lenyap. Seketika dia merasa
tertusuk dengan ucapan cewek itu. Tapi Alex
sekarang mana mau terlihat kalah dari dua
temannya itu. "Ini hidup gue, ya terserah gue," kata Alex sambil
mengambil tasnya di mobil. "Oh ya, karena hidup
gue tinggal sepuluh hari lagi, gue nggak merasa
perlu punya teman seperti kalian lagi," kata Alex,
sempat-sempatnya menitipkan pesan yang
terdengar jahat banget. Lalu, tanpa merasa bersalah,
dia melangkah pergi begitu saja.
"Walaupun sekarang dia cantik, gaul, dan terlihat
keren, gue jauh lebih suka Alex yang dulu," kata
Elmo yang masih sempat didengar Alex.
"Sama," kata Mimi juga.
*** Begitu membuka pintu depan rumahnya, Alex
langsung melihat bingkisan di atas meja ruang tamu.
"Papa!" seru Alex sambil cepat-cepat meraih kotak
bingkisan tersebut. Ini pasti oleh-oleh yang
ditinggalkan papanya tadi.
Alex membuka kotak tersebut, isinya boneka kurakura. "Lucu sekali," kata Alex sambil memeluk
boneka itu. Dia memang nggak suka boneka, tapi
kura-kura merupakan hewan peliharaan favoritnya
waktu kecil. Mata Alex melihat ada kartu di dalam kotak itu.
Cepat-cepat dia mengambil dan membacanya.
Saya minta maaf atas apa yang terjadi kemarin.
Bukan maksud saya menasihati atau memarahi
kamu. Saya cuma peduli sama kamu, Rian, dan
mamamu. Saya sayang kalian semua. Bisa kita
ketemu buat bicara dan memperbaiki semua ini,
Alex" Oh ya, saya tidak akan memanggilmu Alexa
lagi. Irwansyah Alex langsung melepaskan boneka di pelukannya.
Laki-laki itu lagi, gerutunya kesal.
"Kenapa bokap gue nggak ngasih gue oleh-oleh ya?"
tanya Alex pada diri sendiri. "Oh, mungkin tadi pagi
Papa buru-buru. Sore ini pulang kerja pasti Papa
akan ke sini dan ngasih gue hadiah," kata Alex yakin.
HP Alex tiba-tiba berbunyi. "Papa!" seru Alex sambil
membongkar tas, mencari-cari HP. Begitu
ditemukannya, ternyata Niken yang menelepon.
"Say, lo ada di mana?"
"Di rumah." "Gue jemput ya," kata Niken lagi.
"Kayaknya nggak bisa deh, Nik," tolak Alex untuk
pertama kalinya. "Kenapa?" "Gue ada janji sama bokap gue. Lo tahu kan bokap
gue datang" Gue udah lama nggak ketemu bokap.
Sori ya?" "Ya, nggak apa-apa deh kalo gitu. Bye, Lex," kata
Niken sambil menutup telepon.
Alex langsung pergi ke kamarnya. Dia tinggalkan
begitu saja bingkisan pemberian Oom Iwan di ruang
tamu. Dia nggak butuh hadiah itu, dia nggak butuh
laki-laki kurus banyak aturan itu untuk menjadi
ayahnya. "Gue punya Papa!" teriak Alex senang.
Alex pun bela-belain hanya duduk diam di rumah,
menunggu papanya datang. Tapi sampai jam lima
sore, papanya nggak muncul. Sampai jam tujuh
malam, saat Mama pulang kerja (kali ini tanpa Oom
Iwan), Papa belum datang juga.
Alex mau bertanya soal Papa ke Mama, tapi dia
takut. Karena wajah Mama saat ini kelihatan kesal
banget. Alhasil Alex hanya bisa diam dan menunggu.
Jam delapan malam, Papa nggak juga datang.
Menelepon atau SMS pun tidak. Alex jadi mulai
mikirin ucapan Mimi dan Elmo tadi.
Jangan-jangan mereka benar, semua ini semu..
Part 16 SEPERTI biasa rumah besar Eric di bumi tampak
lengang dari luar. Tapi jangan ditanya apa yang
terjadi di dalam. Meski cuma tinggal berdua dengan
Slash sahabatnya, sebagai setan dia punya banyak
cara untuk membuat suasana terkesan ramai. Malam


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini Eric bikin party. Dia "ciptakan" teman-teman
sesuai keinginannya"cewek-cewek seksi dan para
cowok keren. Ditambah musik, makanan, lampu
yang pas, maka lengkap sudah sajian pesta yang
tampak nyata. Sementara Eric mengisi waktu dengan kebisingan,
Slash yang biasanya lebih berisik malah terus
membaca buku soal ujian Eric.
"Slash, sudahlah. Tutup buku itu," cemooh Eric
melihat ulah temannya. Slash tetap saja membaca buku yang menjadi soal
ujian Eric, yang salah satu isinya mengenai kontrak
kematian Alexandra. "Gue nggak yakin Dewan ngasih lo ujian semudah
ini. Pasti ada jebakannya."
"Tenang, Slash, semua akan baik-baik aja. Lo nggak
perlu baca buku tebal itu. Masih sepuluh hari lagi
kita di bumi. Tunggu aja, santai. Semua akan
berakhir juga," kata Eric lagi. Dia mulai bosan main
sendirian dengan game virtual reality bikinannya.
Slash nggak komentar. "Sudah halaman berapa lo?" tanya Eric sekadar ingin
tahu tentang buku tebal yang dibaca Slash tiap hari
itu. "Empat ribu tujuh ratus lima puluh!"
"Baru setengahnya. Selamat membaca, kawan!"
cemooh Eric lagi. Tiba-tiba di tengah dentuman keras suara musik,
sayup-sayup Eric mendengar bunyi bel di depan.
Erci mengintip dari jendela. Ada mobil berhenti.
"Siapa?" tanya Slash yang melihat gerak-gerik Eric.
"Alex," kata Eric memastikan cewek yang baru
melangkah keluar mobil. "Ngapain dia malam-malam ke sini?" tanya Slash
heran. "Nggak tau juga. Cepat, cepat lo berubah," suruh Eric
biar Slash mengubah wujudnya jadi kucing hitam.
Eric juga menghilangkan teman-teman pestanya dan
mengubah keadaan kembali bersih dan sunyi. Baru
setelah itu ia keluar rumah dan menyambut Alex.
"Hai...," sapa Eric ramah.
"Hai," balas Alex singkat, ada nada kesal di
dalamnya. "Gue bisa bicara sebentar ama lo, Ric?"
"Tentu aja. Masuk, lex," kata Eric sambil membuka
pintu gerbang dan mempersilakan Alex masuk.
Eric yang berjalan di samping Alex bertanya-tanya
dalam hati apa yang diinginkan Alex.
"Ric, apa benar semua permintaan gue yang lo
kabulkan in semu?" tanya Alex blak-blakan saat
sudah berada di ruang tamu.
"Semu?" "Nggak nyata. Cuma seolah-olah aja nyata, tapi
ternyata semuanya nggak ada," jelas Alex.
"Maksud lo seperti ini?" kata Eric sambil menunjuk
ke sapu lidi di dekat mereka. Cowok itu mengangkat
tangan, dan seketika sapu itu terangkat dan
melayang. Eric lalu menurunkan tangannya, dan
sapu itu pun terlempar ke lantai.
Alex terdiam melihat semua itu. Tidak ada yang
berubah. Semua kembali seperti semula.
"Jadi benar, semua ini semu" Saat gue mati, Niken
nggak pernah merasa gue temannya?" tanya Alex
memastikan. Eric mengangguk. "Niken tetap akan sinis dan menganggap Alex sama
saja dengan dulu?" Eric mengangguk lagi. "Lo bohongin gue!" tuduh Alex.
"Gue gak bohong. Yang gue tawarin ama lo cuma
bersenang-senang sebelum mati. Lo dapatin
permintaan lo, keinginan lo, dan lo nikmati. Masalah
lo mati dan semua orang tetap nganggap lo sama
seperti Alex yang dulu, ngapain lo pikirin" Toh saat
itu lo udah mati." Wajah Alex tampak merah padam, tanda cewek itu
memendam kemarahan. "Lo nggak pernah bilang
semua ini semu. Lo bohongin gue!!!" teriak Alex di
depan wajah Eric. Ia lalu berlari keluar dan pergi
dengan mobilnya. "Namanya juga setan," kata Eric pelan. Seketika rasa
kasihan menyelimuti dirinya.
"Ya, itulah manusia," komentar Slash yang
menyaksikan adegan tadi dalam wujud kucing hitam
di sudut ruangan. "Kasihan, dia anak baik," desis Eric pelan.
"Apa?" tanya Slash nggak percaya.
"Salahnya sendiri kenapa mau dipengaruhi
kebahagiaan semu." Eric cepat-cepat memperbaiki
ucapannya. Sebagai pangeran kegelapan, dia harus
terlihat jahat. *** Alex menghentikan mobil yang disetirnya ke tepi
jalan. Pikirannya kalut sekali saat ini. Tadi Alex
meminjam mobil Mama dengan alasan mau
mengambil PR di rumah Niken. Tapi sebenarnya dia
penasaran dengan ucapan Mimi dan Elmo tadi siang
soal kebahagiaan semu yang Alex dapat dari
permintaannya. Makanya dia pergi ke rumah Eric
buat nanyain hal itu, dan ternyata...
"Kenapa harus gue yang ngalamin semua ini"
Kenapa nasib gue selalu saja malang?" Tanpa sadar
Alex bicara sendiri. Dia benar-benar nggak terima harus mengalami
nasib sejelek ini. Dari dulu hidupnya sudah
menyedihkan. Dia nggak pernah punya keluarga
yang bahagia, dia nggak bisa mendapatkan cinta dari
orang yang disukainya, dan dia nggak pernah punya
teman selain sesama pecundang.
Kok tega sih, udah nasib gue sejelek itu, gue masih
harus dibohongi juga"!
"Eric sialan!" umpat Alex sekeras mungkin.
Nggak pernah kebayang sama Alex nyawanya dia
tukar demi mendapatkan hal-hal yang sangat dia
inginkan dalam hidupnya. Ternyata semua itu hanya
sementara, hanya semu! Pantas Papa cuma sekadar datang, lalu tanpa basabasi menghilang lagi. Nggak nelepon, nggak ngajak
ketemu, dan nggak ada oleh-oleh. Selama ini Papa
nggak pernah peduli sama gue. Sekarang mungkin
agak peduli karena pengaruh permintaan itu, lalu
saat gue mati, papa pun akan lupa pernah meluk gue.
Niken cs akan lupa kalau gue pernah jadi
sahabatnya. Begitu juga... Kian.
Apa artinya ucapan cinta cowok itu yang bikin gue
serasa melayang saking senangnya" Toh pada
akhirnya Kian nggak akan ingat pernah bilang cinta
sama gue, nggak ingat pernah ngegenggam tangan
gue, bahkan nggak pernah ingat pernah nyium gue.
"Eric brengsek!" umpat Alex, lagi-lagi menyalahkan
cowok itu. Setelah capek teriak-teriak dan bicara sendirian,
Alex pulang ke rumahnya. Tiba di rumah, dia
langsung masuk ke kamar dan mengurung diri.
Alex melihat kalender di dinding yang ditandainya.
Hidupnya tinggal sembilan hari lagi!
Alex nggak mau mati konyol. Dia harus mencari cara
untuk lepas dari perjanjian kematian itu.
*** Paginya, begitu tiba di sekolah, Alex langung
mencari sosok Eric. Cowok cakep yang merupakan
jelmaan setan itu. Tapi mobil Eric yang keren nggak
kelihatan di parkiran SMA Harapan.
Saat bel masuk berbunyi, tiba-tiba cowok itu muncul
di kelas. Tentu saja Alex nggak bisa bicara dengan
Eric, karena pelajaran langsung dimulai.
Begitu jam istirahat tiba, Alex langsung menarik
tangan cowok itu ke koridor belakang sekolah.
Tempat itu cukup sepi buat bicara.
"Ada apa, Lex?" tanya Eric datar, seolah nggak
merasa ada yang salah. Alex tentu saja bete melihat reaksi cowok itu.
"Batalin perjanjian kita," kata Alex ketus.
"Batalin?" "Iya!" tegas Alex denagn wajah emosi.
"Lex, perjanjian yang dibuat nggak bisa dibatalin,"
jelas Eric. "Nggak bisa!" "Itu kontrak kematian, Lex, artinya lo harus mati.
Gue kan udah bilang ama lo, gue ini setan. Tugas gue
di bumi memengaruhi lo supaya mau
menandatangani kontrak kematian itu. Dan itulah
yang udah gue lakukan," jelas Eric tetap tenang.
"Tapi lo bohongin gue!" tegas Alex.
"Gue ini setan, Lex, itu tugas gue. Kalo gue berbuat
baik berarti gue malaikat dong," sindir Eric.
Alex terdiam sesaat. Ucapan Eric itu benar, tapi tetap
saja Alex nggak terima kemalangan yang menimpa
dirinya. "Hidup gue nggak pernah menyenangkan, Ric, dan lo
janji membuatnya menyenangkan. Tapi ternyata
semuanya palsu! Kenapa harus gue yang jadi
sasaran lo" Kenapa bukan orang lain seperti Niken,
misalnya. Hidupnya menyenangkan, gue kan nggak!"
protes Alex. "Gue cuma ngejalanin tugas gue, Lex. Suka nggak
suka harus gue jalanin. Sama seperti lo, meski nggak
suka sekolah, lo harus sekolah juga. Ini tugas, Lex,"
jelas Eric sekali lagi. "Lo tertawa di atas kemalangan gue!" sergah Alex
nggak suka. "Gue in setan," ulang Eric tegas.
Alex menarik napas, percuma dia marah-marah.
Tampaknya nggak ada satu hal pun yang bisa
membuatnya lepas dari perjanjian kematian itu.
"Gue benci ama lo!" teriak Alex sambil meninggalkan
Eric. "Memang sepatutnya," kata Eric yang masih sempat
Alex dengar. Alex menghentikan langkahnya sesaat. Hal itu
membuatnya terenyak dari khayalan kegembiraan
semu yang selama ini didapatnya. Eric itu setan. Dari
dulu harusnya Alex membenci dan menjauhi sosok
keren itu, bukannya malah bekerja sama dan
menukar nyawanya demi sesuatu yang nggak
penting. Ah, kenapa sih gue begitu bodoh"! Teriak Alex dalam
hati. Part 17 SEMUA sudah terjadi. Alex mau meratap seperti apa
pun sudah nggak ada gunanya.
Pagi ini Alex bangun nggak seperti pagi sebelumnya.
Dia menatap lesu ke kalender di meja. Hidupnya
tinggal delapan hari lagi. Sejak Alex menandatangani
kontrak kematian, biasanya tiap bangun tdiur dia
pasti siap-siap menikmati kegembiraan hasil
permintaannya dari Eric. Sekarang... tidak.
Semua itu ternyata semu. Dan Alex telah mengganti
nyawanya dengan kebahagiaan semu.
Alex bangkit dari tempat tidurnya. Mandi dan
bersiap pergi sekolah. Meski menyesal, sisa
hidupnya tetap harus dilaluinya.
Niken tetap menjemput Alex sekolah, tapi sekarang
Alex nggak terlalu antusias melihat gengnya ini.
Wajahnya kuyu dan dia malas melakukan apa pun
termasuk bicara. "Lo sakit, Lex?" tegur Leony yang
memperhatikannya. "Nggak... gue cuma kurang tidur," Alex beralasan. Dia
malas membahas hal yang sesungguhnya sama
teman-temannya ini. Toh nanti saat Alex mati
mereka juga nggak bakal peduli.
Setibanya di sekolah dan dalam perjalanan ke kelas,
Alex berpapasan dengan Mimi dan Elmo. Tapi dua
orang itu langsung pergi begitu melihatnya.
Alex menghela napas, merasa bersalah pada dua
temannya itu. Saat Alex berniat mengejar mereka,
bel masuk berbunyi. Terpaksa Alex kembali ke
kelasnya. Pelajaran di kelas berlangsung seperti biasa. Alex
juga mengikuti setengah hati. Pikirannya masih
dipenuhi penyesalan atas keputusan salah yang
diambilnya. Alex menoleh ke samping. Bangku di sebelahnya
kosong. Hari ini Eric nggak masuk. Selembar surat
izin keluar kota untuk urusan keluarga ada di meja
guru. Alex nggak tau apa Eric benar-benar sedang keluar
kota atau cuma sekadar beralasan untuk
menghindarinya. Soalnya tiap ada kesempatan Alex
selalu marah, memaki, dan menatap benci cowok
setan itu. *** Saat jam istirahat, baru saja Alex berniat mencari
Mimi dan Elmo buat minta maaf, Kian sudah keburu
muncul duluan di depannya.
"Kamu baik-baik aja, Lex?" tanya cowok itu sambil
memperhatikan wajah Alex yang kelihatan kusut
banget. Sejak kejadian cowok itu mencium Alex di
bawah bintang, cara bicara Kian ke Alex ikut
berubah. Lebih spesial. Alex mengangguk.

Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah makan?" Alex mau mengangguk, tapi Kian keburu menarik
tangannya. "Kita ke kantin ya. Kamu mungkin lemas
karena nggak makan," kata Kian menyimpulkan
sendiri. Alex tertegun melihat tangannya digandeng Kian.
Semu, keluhnya dalam hati.
*** Jauh dari SMA Harapan, Eric hanya berdiri diam
menatap keluar jendela dari lantai atas rumahnya.
Dia melihat anak laki-laki berseragam SD berjalan
digandeng ibunya. Wajah si anak ceria sekali saat
bercerita pada ibunya. Eric tertegun melihat pemandangan seperti itu. Dia
nggak pernah mendapat pengalaman serupa. Ibunya
nggak pernah menggandengnya, mendengarkan
ceritanya, atau apa pun. Eric pernah diam-diam
turun ke bumi, dan melihat seorang anak kecil
terlepas dari gandengan tangan ibunya dan nyaris
tertabrak mobil. Secara spontan Eric menolongnya.
Tindakan yang jelas-jelas melanggar kodratnya. Saat
itu Eric mengira nggak ada yang tahu rahasianya.
Belakangan pengawal istana mengaku melihat
tindakannya, dan ditambah lagi ucapan pegawai
istana yang mengaku pernah melihat bunga
pemberian anak itu di kamar Eric. Meskipun tidak
ada bukti nyata, Eric tetap harus menjalani
hukumannya. Hukuman yang bisa membuat Eric
kehilangan jati dirinya sebagai setan.
"Hei, Bro! Lo nggak datang ke sekolah tercinta?"
sindir Slash yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Malas!" kata Eric tanpa menoleh.
"Nah, bagus! Itu baru teman gue," komentar Slash
sambil tertawa keras. Setan memang seharusnya
membuat kekacauan, mencari-cari masalah.
"Mana buku tebal yang biasa lo baca itu?" tanya Eric,
tiba-tiba teringat sesuatu. Raja Sawa pernah bilang,
jangan-jangan ada jebakan di soal ujian tersebut.
"Kenapa?" Slash balik nanya.
"Gue pengin baca seperti apa peraturan yang ada di
dalamnya. Biar gue tau apa jebakannya. Lo udah
ketemu hal aneh di kontrak itu?"
"Sampai sekarang belum. Tumben lo pengin tau?"
sindir Slash. "Gue... gue nggak mau gagal," ata Eric, bingung
mencari alasan. Slash memunculkan buku setebal kamus itu di
tangannya dan menyerahkannya kepada Eric.
"Sampai halaman berapa lo baca?" tanya Eric sambil
membolak-balik buku itu. "Lima ribu." "Wah, berarti masih ada empat ribu lebih halaman
lagi"!" "Selamat membaca, bro!" sindir Slash, menirukan
ucapan Eric dulu pada dirinya.
Eric cuma meringis. Dia membalik lembar buku itu
dan mulai membaca. Dia nggak bohong waktu bilang
pada Slash pengin tau jebakan apa yang ada di soal
ujiannya. Tapi masalahnya sekarang, jika jebakan itu
benar-benar ada, apa yang harus dilakukan Eric"
Menghindar atau malah menyambut jebakan itu"
*** Kembali ke SMA Harapan. Bel berakhirnya pelajaran
berbunyi. Alex membereskan buku-bukunya dan
cepat-cepat berjalan menuju pintu. Dia harus
mencari Mimi dan Elmo. Tapi lagi-lagi, Kian sudah
muncul duluan di depan Alex. Cowok itu sepertinya
masih kuatir dengan keadaan Alex.
"Kamu pulang sama aku aja ya," ajak Kian.
"Aku sama Niken," tolak Alex, nggak enak sama
gengnya. "Nggak, aku aja yang antar pulang, biar aku yang
bilang ke Niken," kata Kian, langsung menghampiri
Niken dan bicara pada cewek itu. Tak lama
kemudian cowok itu balik ke depan Alex dan
menggandengnya ke parkiran motor.
Alex sempat melihat Mimi dan Elmo yang
menatapnya sinis. Saat Alex mencoba tersenyum
mau menyapa dua orang itu, Mimi dan Elmo
langsung buang muka dan terus berjalan ke mobil
Elmo. Alex menarik napas panjang. Semua memang salah
gue, katanya dengan sangat kecewa dalam hati.
Dirinya memang pantas dibenci Mimi dan Elmo.
*** Motor Kian berhenti di depan rumah Alex. Alex
sudah turun, namun Kian belum juga beranjak pergi.
"Benar kamu nggak apa-apa" Kita ke rumah sakit
ya?" tanya Kian, masih saja kuatir.
"Nggak apa-apa kok. Mungkin aku cuma kurang
istirahat," kata Alex beralasan. "Kenapa sih kamu
kuatir banget?" tegur Alex.
"Ya aku nggak mau aja kami sakit."
"Dulu aku kecelakaan, terbaring koma berhari-hari,
kamu nggak peduli," sindir Alex. Meski dia tahu dan
sadar banget keberadaan Kian di sampingnya akibat
perjanjiannya dengan Eric, dia ingin tahu saja apa
tanggapan cowok itu tentang dirinya dulu. Dirinya
yang asli tanpa pengaruh permintaan itu.
"Siapa bilang" Aku datang kok jenguk kamu," bantah
Kian. "Kamu jenguk aku di rumah sakit?" tanya Alex nggak
percaya. "Ya, tapi saat itu kamu belum sadar, jadi kamu nggak
tau. Malah, aku juga ikut ngantar kamu ke rumah
sakit saat kecelakaan itu," kata Kian lagi.
"Kamu ikut ngantar aku ke rumah sakit?" ulang Alex,
masih nggak percaya mendengarnya.
Kian mengangguk. "Waktu itu aku lagi jemput Lala,
teman SMP-ku yang aku kenalin sama kamu waktu
itu. Lala naruh motornya di bengkel Garage dekat
tempat kamu kecelakaan. Dia minta tolong supaya
aku jemput dia. Pas udah di jalan, dia minta balik lagi
karena bukunya ketinggalan di kafe samping
bengkel itu. Nah, pas balik itulah aku melihat kamu
kecelakaan," cerita Kian lagi.
Alex terdiam. Dia nggak nyangka Kian salah satu
orang yang mengantarnya ke rumah sakit. Selama
ini dia pikir yang mengantarnya cuma Galang, Rio,
dan Kaka yang balapan dengannya siang itu.
"Aku bener-bener ngejenguk kamu di rumah sakit.
Aku bahkan ninggalin boneka malaikat di samping
kamu. Biar malaikat itu bantu kamu cepat sembuh."
"Boneka malaikat itu dari kamu?" lagi-lagi Alex
kaget. Kian kembali mengangguk. Alex terdiam. Kenapa Kian baik banget padanya"
Padahal waktu itu mereka selalu berantem dan
musuhan berat kan" "Ki, aku boleh tanya sesuatu?"
"Tanya aja," kata Kian sembari mengamati Alex.
"Waktu itu kita musuh, kan" Kok kamu mau sih
nolongin aku?" "Ya, nggak mungkinlah aku lihat temanku sekarat
terus dibiarin saja. Apalagi orang yang aku suka."
"Ka... kamu suka sama aku dari dulu?"
Kian tersenyum dan mengangguk.
Alex tercengang. Seharusnya dia senang mendengar
pengakuan Kian. Tapi saat ini Alex nggak tahu
apakah dia harus senang atau sedih. Pengakuan Kian
itu nunjukin kalau saja Alex mengubah sikapnya dari
dulu terhadap Kian, ramah dan baik pada cowok itu,
tanpa bantuan setan pun Alex pasti tetap bisa jadi
pacar Kian. "Ingat nggak waktu kita sering berantem dulu, aku
bilang nggak pernah kalah balapan sama kamu?"
tanya Kian. Alex mengangguk. "Jangan-jangan kamu ngalah, ya?"
tebak Alex, baru menyadari kasus balapan itu. Ya,
memang rasanya saat itu terlalu mudah bagi Alex
untuk memenangi balapan. "Ya, maksud aku sih waktu itu biar bisa ngobrol, bisa
kenal kamu. Tapi nyatanya kamu sama Elmo malah
ngejadiin kekalahan itu sebagai bahan ledekan."
"Sebenarnya sih kita nggak bermaksud ngeledek
kok. Cuma cara bicara Elmo aja yang salah," kata
Alex. "Mungkin, tapi akibatnya kita selalu berantem.
Untunglah berakhir juga."
Alex terdiam mendengar pengakuan cowok itu.
"Sebaiknya aku pulang deh, biar kamu bisa istirahat.
Nanti malam aku telepon," kata Kian, menghapus
lamunan Alex. Alex mengangguk. Kian tersenyum sekali lagi pada
Alex sebelum akhirnya pergi dengan motornya.
Alex masih mematung di tempatnya berdiri,
seharusnya Alex bisa selamanya jadi pacar Kian.
Bukan cuma 21 hari! Alex kecewa berat. *** Setelah kemunculannya di rumah Alex tiga hari lalu,
baru hari ini papa Alex datang lagi. Alex yang sadar
semua permintaannya semu, menanggapi kehadiran
ayahnya biasa-biasa saja. Meski begitu, hatinya tetap
girang ketemu Papa. Bagaimana pun beliau ayah
kandungnya. Tapi sayang Rian nggak bisa diajak
ikutan momen ajaib ini. Kakaknya ada kuliah sampai
sore. Alex diajak papanya makan di salah satu restoran.
Sambil makan Papa asyik bercerita tentang dirinya
sendiri. Sekarang Papa tinggal di Kalimantan dan
bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana.
Hampir tiap tahun Papa ke Jakarta untuk urusan
pekerjaan. Tapi saking banyaknya pekerjaan, Papa
nggak sempat mengunjungi Alex.
Memang nggak pernah, komentar Alex sinis dalam
hati. Duduk dan bercerita dengan ayahnya ternyata nggak
seperti gambaran yang selama ini ada di pikiran
Alex. Dulu Alex pikir papanya pria baik yang akan
menjaga dan melindunginya dari apa pun.
Ternyata... Papa cuma sibuk bercerita tentang
dirinya sendiri, tentang pekerjaannya, tanpa peduli
apa dan bagaimana Alex serta kakaknya selama ini
menjalani hidup tanpa kehadiran ayah.
Selesai makan, Alex dan papanya jalan di mal tempat
restoran itu berada. Nggak sengaja Alex melihat ada
pameran motor gede di lantai dasar.
"Pa, ke sana yuk!" ajak Alex girang. Kalo dari tadi dia
agak kecewa dengan sikap ayahnya yang nggak
seperti dugaannya, kali ini pasti beda. Motor adalah
hal yang bisa menyatukan dirinya dengan Papa.
"Pa, motornya bagus, ya?" kata Alex saat tiba di
tempat pameran. Papa cuma acuh nggak cuh melihat sekelilingnya.
"Pa, Alex punya motor seperti ini dikasih Oom Fadly,
adik Mama. Tapi sekarang motornya masih di
bengkel, Pa, rusak gara-gara kecelakaan," cerita Alex
senang. "Kamu naik motor?" Papa tampak heran
menatapnya. Alex mengangguk. "Papa masih suka naik motor
sport?" tanya Alex antusias.
Papa malah menggeleng. "Kenapa" Nggak punya waktu karena sibuk kerja?"
"Papa nggak bisa naik motor," kata Papa yang
membuat Alex melongo. "Tapi Alex pernah lihat foto Papa naik motor sport di
rumah Nenek," protes Alex nggak percaya.
"Papa cuma nampang," kata Papa cuek.
Alex termangu. Jadi obsesinya selama ini agar dekat
dengan ayahnya itu salah"
Belum habis keterkejutan Alex, HP papanya
berbunyi. Dan dia mendengar percakapan ayahnya
dengan seseorang, kedengarannya suara anak
perempuan. "Siapa, Pa?" tanya Alex saat Papa selesai menutup
telepon. "Lia." "Lia?" "Anak Papa." Alex mencoba bersikap bijak mendengar kalimat itu.
Dia tahu papanya pasti sudah punya keluarga baru.
"Lia kelas berapa, Pa?" tanya Alex sekadar ingin
tahu. "Satu SMA." "Satu SMA?" Alex memikirkannya sesaat. Ia sendiri
juga kelas satu SMA, sementara setahu Alex,
orangtuanya bercerai saat usianya sudah tiga tahun.
"Anak kandung?" tanya Alex lagi.
Papa mengangguk. Alex terdiam dan nggak bertanya-tanya lagi. Dia jadi
tahu apa alasan Mama dan papanya bercerai. Pantas
Mama marah sekali tiap kali Alex menanyakan
masalah itu. Papa ternyata berselingkuh dan punya
anak dengan perempuan lain. Selain sudah
berkhianat, dalam kenyataannya Papa juga nggak
pernah memedulikan Alex dan kakaknya.
Kekaguman Alex pada Papa pupus sudah.
Jadi salah satu dari tiga hal yang Alex minya sebagai


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganti nyawanya ternyata malah berakhir seperti ini.
Mungkin lebih baik dia nggak meminta papanya
datang. Satu kekecewaan lagi. *** Alex diantar Papa pulang jam delapan malam. Mama
yang membuka pintu cuma diam saja melihat
mereka. Saat Alex dijemput Papa tadi sore, Mama
memang belum pulang kerja. Tapi Alex sudah ngirim
SMS ngasih tahu dia pergi sama Papa.
"Papa besok pulang ke Kalimantan. Mudah-mudahan
kita bisa cepat ketemu lagi," kata Papa sambil
menepuk-nepuk pundak Alex.
"Permisi, Wi," pamit Papa singkat pada Mama Alex.
"Hati-hati, Pa." Hanya Alex yang menyahut.
Papa berjalan ke mobilnya. Sejenak Alex ingat, dia
pernah melihat punggung ayahnya saat masih kecil
dulu dan selalu memimpikan ayahnya akan berbalik.
Sekarang Alex membiarkan sosok itu melangkah
menjauh. Alex melihat ke ibunya. Mama malah langsung
masuk ke rumah. Alex menghela napas, bingung
harus cerita apa sama Mama soal acara jalanjalannya bersama orang yang dalam khayalannya
selama ini sangat dikaguminya.
"Bagaimana jalan-jalannya?" tegur Mama saat Alex
masuk ke rumah. Mama sudah duduk di ruang tamu
sambil melihat-lihat majalah arsitektur.
"Ya... menyenangkan," kata Alex dengan ekspresi
yang berbeda jauh dengan makna ucapannya.
"Ya, memang seperti itulah Alfarez," kata Mama
menyebutkan nama mantan suaminya itu dengan
nada kecewa. "Dulu Mama kira sikap acuh nggak
acuhnya itu sesuatu yang menarik, bikin penasaran.
Ternyata Arez memang orang yang nggak pernah
peduli, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Kamu
jangan seperti itu ya?"
Alex diam saja. Dia merasa nggak enak hati sama
mamanya. Selama ini ia menganggap Mama-lah yang
bersalah atas perceraian itu. Makanya ia selalu
menentang dan marah melulu pada Mama. Padahal
selama ini Mama-lah yang bersusah payah
menghidupi Alex dan kakanya. Mama harus kerja
keras dan mengurus anak senakal Alex sendirian.
"Tapi sekarang Arez ingat untuk menemui kamu,
mudah-mudahan saja dia berubah dan lebih
memperhatikan kalian,." Kata Mama lagi.
Alex maish diam. Dia merasa bersalah banget sama
Mama atas tindakannya selama ini.
Melihat Alex diam, Mama juga diam. Selama ini
meski tinggal berdua, Alex dan Mama jarang banget
bicara. Biasanya bicara cuma buat ngomelin ulah
Alex. Nggak pernah duduk membahas masalah yang
mereka alami. "Oom Iwan nggak datang?" Alex mencoba memulai
pembicaraan. "Kan, kamu yang larang datang," celetuk Mama.
Alex kebingungan menanggapi ucapa Mama yang
seolah menyindirnya itu. "Alex... Alex kemarin cuma
emosi. Besok Alex ngomong deh sama Oom Iwan,"
kata Alex, mencoba mencari cara untuk
memperbaiki hubungannya dengan Mama.
"Ma..." Alex ingat satu hal lain yang harus
dikatakannya pada Mama. "Ma, Alex minta maaf soal
kartu kresitnya. Alex janji nggak bakal
mengulanginya lagi."
"Kamu dihukum, uang saku kamu selama setahun
akan dipotong," kata Mama tanpa emosi.
"Nggak apa-apa." Alex terima saja hukuman itu.
Meski hidupnya nggak akan sampai setahun, dia
memang harus menanggung perbuatannya.
Alex bangkit dari duduknya dan membawa kotak
bingkisan dari Oom Iwan yang masih terletak di
meja ruang tamu. "Mau dibawa kemana boneka itu?" tegur Mama
melihatnya. "Pajang di kamar," kata Alex sambil terus jalan.
"Kalo kamu nggak ke mana-mana, rapikan
kamarmu," tegur Mama lagi.
"Ya, Ma," kata Alex tanpa membantah. Dia terus
menaiki tangga menuju kamarnya. Namun belum
sampai ke atas, dia berbalik lagi.
"Ma..." "Apa lagi?" "Alex sayang Mama."
Mama terdiam sesaat. Mungkin kaget karena Alex
nggak pernah bilang begitu. "Ya, Mama juga."
Alex tersenyum menatap ibunya. Mama juga
tersenyum melihatnya. Mama terlihat sangat cantik.
Alex nggak pernah melihat Mama menatapnya
selembut itu. Mungkin kalo dia sering meluangkan
waktu bersama Mama, hubungan mereka akan
dekat. Bukan nggak mungkin mereka bisa jadi
sahabat. Sayang selama ini Alex nggak pernah
terpikir buat dekat sama Mama.
Alex meneruskan langkah ke kamarnya.
Part 18 MEMANG apa pun yang Alex sesali nggak ada
gunanya. Semua sudah terlanjur Alex setujui. Satusatunya yang bisa Alex lakukan sekarang adalah
menjalani sisa hidupnya sebaik-baiknya. Bukan
bersenang-senang, tapi berbuat baik.
Alex memang masih berangkat sekolah bareng
gengnya, tapi cuma sebatas pergi dan pulang sekolah
saja. Dia nggak mau lagi ikut ke mal, salon, atau
acara hura-hura ke mana pun. Alex ingin mengisi
waktunya dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun
juga, hidupnya tinggal 7 hari lagi.
Lagi-lagi hari ini Eric nggak masuk sekolah. Sejenak
Alex termangu melihat bangku di sebelahnya yang
kosong. Eric nggak mungkin keluar kota. Pasti ada
penyebabnya sampai dia nggak mau datang ke
sekolah. Mungkin gara-gara gue, desis Alex dalam
hati. Alex pun berencana mencari cowok jelmaan setan
itu. Tapi tidak sekarang, dan juga tidak dalam waktu
dekat. Alex harus memperbaiki dulu
persahabatannya dengan Mimi dan Elmo, lalu
memperbaiki hubungannya dengan Oom Iwan. Baru
sudah itu ia bisa menemui Eric.
Karena Alex berjanji mau mengisi sisa hidup sebaikbaiknya, dia pun serius mengikuti pelajaran di
kelasnya. Yah, mungkin dia akan mati nggak lama
lagi. Tapi ilmu pengetahuan termasuk hal baik yang
ada di dunia ini. Dia harus meraih sebanyakbanyaknya sebelum mati.
"Alex, ini siapa yang gambar?" tegur Pak Fandi, guru
fisika saat membagikan buku latihan Alex. Di
belakang buku itu memang ada coretan gambar Alex.
Sering tanpa sadar dia menggambar sesuatu di mana
saja, termasuk di buku-buku sekolahnya. Yang
digambarnya pun macam-macam, mulai dari
karikatur, bunga, sampai rancangan rumah. Kali ini
yang tampak di buku itu gambar rumah.
"Saya, pak. Maaf, nanti saya hapus," kata Alex malu.
Tapi Pak Fandi bukannya marah, malah memuji.
"Gambar kamu bagus. Saya baru tau kamu bisa
menggambar. Mungkin kamu punya bakat arsitek."
"Ibu saya arsitek," Alex menambahkan.
"Oh, bagus. Mungkin suatu saat kamu bisa melebihi
ibumu." Alex terdiam. "Suatu saat" itu nggak akan pernah
datang, bisiknya sedih dalam hati.
Alex kembali ke bangkunya. Dia terdiam
memperhatikan gambarnya sendiri di buku latihan
itu. Selama ini Alex nggak pernah terpikir akan
menjadi apa saat dewasa nanti. Sekarang dia sadar,
dia bisa saja jadi arsitek seperti Mama. Tapi... semua
sudah nggak mungkin lagi. Seandainya dari dulu
Alex sadar sekolah bisa membuatnya menjadi
seseorang di masa depan...
*** Bel berakhirnya pelajaran sekolah berbunyi. Baru
kali ini Alex merasa bel itu berdering terlalu cepat.
Selama ini Alex selalu sampai bete menunggu bel
pulang berbunyi. "Lex, lo pulang bareng kita?" tanya Niken saat Alex
merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
"Kayaknya nggak deh, Nik, gue mau ke kantor
nyokap," Alex beralasan.
"Ngapain?" tanya Moniq yang juga mendengar
ucapan Alex. "Ada urusan sedikit," kata Alex, menolak
mengatakan alasannya. "Yah, padahal siang ini jadwal kita ke salon," keluh
Leony. "Sori, gue nggak bisa ikut," tolak Alex baik-baik.
"Kantor nyokap lo di mana sih?" tanya Niken lagi.
"Di Jalan Permai."
"Ya udah, gue antar aja sekalian," desak Niken.
"Nggak, biar gue aja yang ngantar," kata Kian, tibatiba muncul di depan pintu kelas.
"Oke deh. Yuk, guys, kita cabut!" kata Niken sambil
berjalan keluar kelas. Moniq dan Leony pun
mengikuti cewek itu. Kian menghampiri meja Alex.
"Nggak perlu, lagi, Ki, ngerepotin kamu aja," kata
Alex melihat cowok itu. "Ah, nggak apa-apa. Jalan Permai dekat kok," kata
Kian sambil menjejeri langkah Alex meninggalkan
kelas. Alex tidak berkomentar lagi. Dalam hati, sekarang
dia merasa nggak tega dengan kebaikan Kian. Cowok
itu baik banget, nggak pantas Alex manfaatkan.
"Lex, aku perhatiin kamu sekarang dekat banget
sama Niken, Moniq, dan Leony," kata Kian, tiba-tiba
membahas persahabatan Alex.
"Memangnya kenapa, Ki?" tanya Alex balik.
"Ya, nggak kenapa-kenapa. Malah bagus kan punya
banyak teman. Cuma agak aneh aja," kata cowok itu.
Akex sejenak tertegun. Kenapa Kian merasa
persahabatan Alex dengan Niken cs aneh, sementara
cowok itu malah nggak merasa aneh pacaran sama
Alex" Padahal dua-duanya kan hasil permintaan Alex
ke Eric. "Oh ya, anak baru di kelas kamu itu ke mana"
Kayaknya dari kemaren aku nggak lihat," tanya Kian.
"Eric udah dua hari nggak masuk, katanya keluar
kota. Kenapa?" tanya Alex balik.
"Nggak kenapa-kenapa. Aku pernah ke rumahnya."
"Kamu pernah ke rumahnya?" potong Alex cemas.
Jangan-jangan cowok ini seperti Elmo dan Mimi
yang tahu soal jati diri Eric yang sebenarnya.
"Aku cuma sampai gerbangnya doang. Cuma
numpang istirahat sebentar sebelum ke rumah
kamu hari itu." "Hari itu?" tanya Alex nggak mengerti hari yang
dimaksud Kian. "Hari kita jadian. Siang itu sebelum ke rumah kamu,
aku panik banet. Aku keliling kompleks Meranti
berkali-kali dan sempat numpang istirahat di rumah
Eric. Hehe, lucu juga kalo ingat hal itu," cerita Kian.
Alex terdiam. Jangan-jangan Kian bukan bagian dari
permintaannya..." *** Kian mengantar Alex sampai lobi kantor tempat
mama Alex bekerja. Sesudah itu cowok cakep itu
langsung pulang. Alex memang sengaja siang ini pergi ke kantor
mamanya. Tujuannya mau minjam mobil. Dia perlu
kendaraan untuk urusannya siang ini. Meski motor
Alex sudah selesai diperbaiki, dia takut minya uang
ke Mama buat menebusnya. Dia benar-benar nggak
mau lagi ribut sama Mama.
Alex lalu menjalankan mobilnya menuju ruma Elmo.
Tujuan pertama Alex adalah minta maaf pada dua
sahabatnya. Dimulai dengan Elmo lebih dulu.
Biasanya cowok itu lebih mudah diajak bicara
ketimbang Mimi. Tapi saat Alex tiba di rumah cowok
itu, mama Elmo malah bilang Elmo lagi ke rumah
Mimi. Alhasil Alex harus ke rumah Mimi dan
langsung menemukan kedua temannya sekaligus.
"Gue tau kalian benci sama gue dan nggak mau
ketemu gue lagi. Tapi gue tetap harus bilang sesuatu
sama kalian. Terserah kalian mau denger atau
nggak," kata Alex begitu melihat kedua temannya
ada di teras rumah Mimi. Mimi dan Elmo hanya diam menatap Alex.
"Gue mau minta maaf atas sikap gue belakangan ini
sama kalian," kata Alex.
Mimi dan Elmo masih tetap diam menatap Alex.
"Gue cuma mau bilang itu. Makasih udah mau
dengerin gue. Gue sadar tindakan gue salah. Kalian
benar, semua yang gue dapatin semu belaka.
Sekarang gue nggak akan senang-senang lagi, gue
ikuti saran lo, Mi, melakukan yang terbaik yang gue
bisa. Termasuk minta maaf ke kalian," kata Alex lagi.
Nggak terdengar tanggapan apa pun dari kedua
temannya. Alex mengerti pasti sulit bagi kedua
temannya itu untuk memaafkan sikapnya yang
kelewatan belakangan ini. Dengan pasrah Alex pun
berbalik. "Gue pulang," katanya pelan sambil
berjalan ke mobilnya. Tiba di mobil, Alex melihat bingkisan yang ada di
bangku belakangnya. Tadi dia memang sengaja


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membeli kado sebelum ke rumah Elmo.
"Lho kok balik lagi?" tegur Elmo saat melihat Alex
muncul lagi di depan dia dan Mimi.
"Gue cuma mau ngasih ini. Sori gue lupa ultah lo.
Kemaren gue... gue memang orang yang amat, sangat
jahat... Oke, gue cuma mau ngasih itu aja. Biar utang
gue semakin dikit," kata Alex. Dia lalu berbalik dan
kembali meninggalkan kedua temannya.
"Lex?" panggil Mimi saat Alex hendak membuka
pintu mobilnya. Alex menoleh. "Lo udah makan?" tanya Mimi menghampirinya.
Alex diam saja. Dia tadi cuma sempat pulang ke
rumah sebentar, hanya berganti pakaian dan
langsung pergi mencari temannya.
"Gue tau, pasti belum kan" Gue pesen pizza, ntar lagi
dianter. Lo ikut makan ya?" kata Mimi sambil
menarik tangan Alex. "Nggak usah deh, Mi, gue..." Alex berusaha menolak.
Dia nggak enak hati sama temannya. Dia udah jahat,
tapi mereka tetap saja baik.
Mimi tetap menarik tangan Alex dengan kencang.
Sampai Alex nyaris terjungkal. Terpaksa Alex ikuti
saja kemauan Mimi. Alex menghabiskan siangnya di rumah Mimi. Setelah
makan, dia asyik bercerita dan bercanda dengan dua
temannya itu seperti dulu.
Mungkin Niken, Moniq, dan Leony kelihatannya
teman yang sempurna. Cantik dan populer di
sekolah. Berteman dengan tiga cewek itu
membanggakan. Berteman dengan Mimi dan Elmo"
Menenteramkan hati, jawab Alex dalam hati.
Jika bersama Niken cs, Alex harus tampil sempurna
dan "berkelas". Setiap hari yang mereka lakukan
hanyalah jalan-jalan, bersenang-senang, dan
tertawa-tawa. Sementara bersama Mimi dan Elmo, dia cuma perlu
jadi Alex. Seperti apa pun dirinya, kedua temannya
itu menerimanya. Mimi dan Elmo ada di saat dia
tertawa, saat dia sedih, dan juga saat dia bermasalah.
Alex kembali terdiam. Selama ini sebenarnya dia
sudah punya teman terbaik. Kenapa dia malah
meminta teman yang tidak sejati"
Lagi-lagi Alex menyadari kesalahannya
Part 19 SORE hari sehabis dari rumah Mimi, Alex pergi ke
rumah Oom Iwan. Meski bingung bagaimana cara
berbicara dengan laki-laki yang pernah Alex makimaki itu, demi janjinya untuk berbuat baik, terpaksa
ia lakukan juga. Alex mengetuk pintu rumah yang kelihatan sepi
banget itu. Berdasarkan informasi yang Alex dapat
dari Mama, Oom Iwan tinggal di rumahnya hanya
ditemani sepasang suami-istri yang jadi pembantu
dan tukang kebunnya. Namun saat pintu terbuka, Oom Iwan sendiri yang
menyambut Alex. Laki-laki tu tampak baru pulang
kerja, dia masih memakai kemeja dan dasi.
"Alex?" tegur Oom Iwan, tampak kaget melihatnya.
Alex berusaha tersenyum meski sulit. "Boleh saya
bicara sebentar sama Oom Iwan?" tanya Alex dengan
segenap usaha. Dia canggung banget berhadapan
dengan teman ibunya ini. "Boleh, boleh. Ayo, silakan masuk," ajak Oom Iwan.
Kekagetan di wajah laki-laki itu langsung hilang,
berganti dengan sikap tenang seperti yang biasa
Alex lihat. Alex melangkah masuk ke rumah itu dan duduk di
ruang tamu. "Ada apa, lex?" tanya Oom Iwan ramah. Nggak ada
sedikit pun raut kesal di wajahnya melihat Alex.
Padahal Alex sering banget bersikap jelek pada Oom
Iwan. "Saya... saya ke sini mau minta maaf atas sikap saya,"
kata Alex dengan susah payah. Dia malu banget atas
sikap jahatnya selama ini.
Oom Iwan malah memaklumi sikap Alex. "Nggak
apa-apa, Lex. Saya mengerti, sulit bagi kamu
menerima kehadiran saya. Kalau kamu nggak setuju
hubungan saya sama ibu kamu, tidak apa. Saya..."
"Nggak, Oom," potong Alex cepat. Dia nggak mau
mengacaukan hubungan baik ibunya dengan Oom
Iwan. "Saya terserah Mama saja. Saya bukan tidak
setuju, hanya saja semuanya terjadi begitu cepat.
Mungkin saya cuma kaget. Tapi buat saya nggak ada
masalah kok, Oom." "Benar?" tanya Oom Iwan dengan wajah berseri.
Alex mengangguk. "Alex janji nggak akan berkata
kasar lagi sama Oom Iwan," katanya meyakinkan.
Dia malah kembali menyebut dirinya "Alex", sama
seperti cara bicaranya pada Mama. Oom Iwan menatap Alex dengan senyum yang
tersungging ramah di wajahnya. "Kamu anak baik,
Lex," puji laki-laki itu.
Alex nggak mengomentari pujian itu. Melakukan
satu kebaikan setelah membuat sekian banyak
masalah belum pantas disebut anak baik.
"Alex nggak bisa lama-lama, Oom. Alex harus jemput
Mama. Dari tadi mobilnya Alex pakai, jadi sampai
sekarang Mama masih di kantor," kata Alex
berpamitan. "Jemput Mama?" Alex mengangguk. "Oom boelh ikut?" tanya laki-laki itu.
Alex kembali mengangguk. Dia berdiri dan berjalan
ke pintu keluar diikuti Oom Iwan.
*** Tiba di kantor ibunya, Mama tampak kaget melihat
Alex muncul bersama Oom Iwan. Senyum di wajah
mamanya yang cantik langsung terlukis. Mama pasti
nggak menyangka secepat ini Alex mau baikan sama
Oom Iwan. Saking senangnya, mama mentraktir mereka makan
di restoran. Lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan
untuk mengisi waktu layaknya keluarga. Mama
bahkan sempat-sempatnya berbelanja kebutuhan
sehari-hari di pasar swalayan.
"Lex, besok kita jemput motor kamu ya?" kata Oom
Iwan saat Mama sibuk sendiri memilih sayuran. Alex
dan Oom Iwan menunggu di dekat meja kasir. "Tadi
siang Oom sudah telepon bengkel tempat motor
kamu diperbaiki. Katanya motor kamu sudah selesai
diperbaiki," kata Oom Iwan lagi.
"Nggak usah deh, Oom. Mama kayaknya nggak suka
kalo Alex naik motor," tolak Alex. Sebenarnya dia
kangen banget sama motornya, tapi kalo benda itu
jadi bahan pertengkaran sama Mama, lebih baik dia
hindari. "Tadi juga Oom sudah ngomong sama Mama. Kata
Mama, selama kamu janji nggak ngebut, nggak
balapan liar lagi, kamu boleh bawa motor itu," jelas
Oom Iwan. "Benar, Oom?" tanya Alex nggak yakin.
Oom Iwan mengangguk. "Makasih, Oom," kata Alex senang menatap teman
ibunya. Oom Iwan ternyata bukan sosok sejelek
pikiran Alex selama ini. Dulu dia menduga Oom Iwan
cuma sekadar mencari perhatian agar Alex mau
menyetujui hubungan laki-laki itu dengan Mama,
lalu sesudahnya Oom Iwan nggak peduli lagi.
Ternyata Oom Iwan tetap saja baik.
"Omong-omong, kenapa kamu nggak suka dipanggil
Alexa?" tanya Oom Iwan, teringat ucapan Alex
padanya. "Nggak kenapa-napa, Oom. Nama itu menurut Alex
kesannya manja. Alex nggak mau dianggap anak
manja," jelas Alex. "Menurut Oom kamu bukan anak manja, Lex, malah
anak yang kuat. Pemberani," kata Oom Iwan,
mengacak-acak rambut Alex seperti yang sering
dilakukan ayah terhadap anaknya.
Alex diam saja. Pada kenyatannya, dia bukan anak
yang kuat apalagi berani. Dia cewek pengecut yang
mau saja dikelabui setan. Dia menukar hidupnya
yang sebenarnya cukup menyenangkan dengan
kebahagiaan semu. Dia punya teman yang baik,
punya ibu seperti Mama, dan mungkin dengan
mencoba bersikap baik bisa membuatnya mendapat
cinta Kian juga. Untuk apa tiga permintaan itu
dibuatnya"! Sesal, sesal, dan sesal. Cuma itu yang akhirnya Alex
temukan. "Oom, kalo saya nggak ada, jaga Mama baik-baik ya,"
kata Alex dengan segenap rasa sesal karena akan
meninggalkan orang yang disayanginya.
Oom Iwan sejenak menatap Alex heran, lalu laki-laki
itu akhirnya mengangguk. Mama datang dan menghampiri mereka dengan
senyum menghiasi wajah cantiknya.
*** Malamnya Eric duduk di teras belakang rumah.
Tangannya masih saja membaca buku tebal yang
menjadi soal ujiannya. Dia tahu caranya salah.
Seharusnya dia baca buku itu sebelum ketemu Alex,
atau setidaknya sebelum Alex menandatangani
kontrak kematian. Sekarang, saat sudah di tengah
jalan, bahkan hampir di akhir jalan mengingat waktu
Alex tinggal tujuh hari lagi, baru dia sibuk mencari
tahu seperti apa sebenarnya soal ujian ini, apa benar
ada jebakannya atau nggak. Namun sampai halaman
tujuh ribuan, belum ada tanda-tanda Eric salah
melakukan tugasnya. "Masih baca?" tegur Slash yang muncul di depan Eric
sambil membawa makanan yang hanya dimakannya
sendiri. "Baru halaman 7200," kata Eric sambil terus
membaca. Biasanya begitu buku tebal ini dia taruh,
pasti Slash langsung menggantikannya membaca.
Biar lebih cepat selesai.
Ini memang ujian Eric, tapi sebagai teman yang
terpaksa terlibat, mau nggak mau Slash solider juga
membantunya. "Mungkin buku ini nggak ada soal jebakan apa pun.
Semuanya sama seperti yang sudah gue lakukan,"
komentar Eric sambil meletakkan buku itu. Lelah
juga dia. Sebagai setan, dia memang nggak
dikaruniai kemampuan membaca cepat semudah
menjetikkan jari. Di negeri setan, pengetahuan juga
harus didapat dengan usaha.
"Sepertinya juga begitu. Gue cuma ketemu satu
peraturan aneh di halanan enam ribu," sahut Slash.
"Apa?" "Kontrak itu akan hangus kalo permintaan diberikan
kepada orang lain," kata Slash.
"Oh ya?" tanya Eric, belum percaya seratus persen.
"Tapi nggak mungkin terjadi, kan" Lo janji ke Alex
tiga permintaan, dan tiga-tiganya sudah dimintanya
dan lo kabulkan, kan?"
Eric terdiam. "Berarti kita aman," Slash memastikan.
"Tadi lo bilang peraturan itu ada di halaman
berapa?" tanya Eric ingin tahu. Dia mau baca sendiri
selengkapnya. "Cari aja di halaman enam ribu," suruh Slash.
Eric membuka halaman yang dimaksud. Di situ
tertulis: "Kontrak kematian akan hangus jika pihak
kedua memberikan permintaannya kepada orang
lain. Jika kontrak ini hangus, berarti semua yang
diminta pihak kedua lenyap dan kehidupan pihak
kedua tetap berlanjut, sementara pihak pertama
dinyatakan gagal." "Berarti kita aman," kata Slash sekali lagi.
Eric kembali terdiam. Slash tidak tahu bahwa Alex
baru mengucapkan dua permintaan. Cewek itu
masih punya satu permintaan lagi...
Part 20 ALEX tahu sisa hidupnya makin dekat. Makanya dia
berusaha mengisinya sebaik mungkin. Sekarang Alex
nggak berangkat sekolah bareng Niken lagi. Dia
kembali naik motor kesayangannya. Hal ini
membuat Alex diprotes cewek itu.
"Lex, ngapain sih lo naik motor itu" Kan berdebu dan
panas. Muka lo bisa jerawatan, Lex, kulit lo bisa
rusak," sindir Niken saat Alex menolak pergi
dengannya. "Gue suka motor ini, Nik," kata Alex sambil
mengusap lembut motornya. Meski ternyata Papa
bukan pembalap seperti khayalannya semula, Alex
benar-benar menyayangi motor hijaunya ini. Oom
Iwan sudah bersusah payah menebusnya, sayang
kalau Alex nggak gunakan. Apalagi mengingat dia
akan segera mati. "Lo aneh deh, Lex!" kata Niken kesal. Cewek itu
geleng-geleng. Mungkin dalam pikiran Niken, Alex
bego banget mau merusak kulitnya dan membuat
wajahnya jerawatan dengan naik motor.
"Gue bukan model," desis Alex pelan.
Niken pergi sendirian dengan mobilnya. Alex masuk
dulu ke rumah buat pamit pada mamanya.
"Hati-hati, Lex. Ingat, jangan ngebut," kata Mama


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa emosi lagi. Sekarang tiap bicara dengan Alex,
Mama selalu tersenyum. Alex lalu menaiki motor dan memacunya dengan
hati-hati di jalanan. Dia nggak mau ngebut lagi. Sisa
hidupnya harus dipergunakan sebaik mungkin.
*** Alex tiba di sekolahnya. Dia tersenyum dan menyapa
ramah setiap anak yang dilewatinya.
"Hai, Mi. Hai, Rika," sapa Alex begitu melewati kelas
Mimi dan melihat sahabatnya itu berdiri di depan
kelas bersama Rika. "Teman lo kenapa lagi, Mi?" tegur Rika yang sempat
Alex dengar. "Emang kenapa?" tanya Mimi balik.
"Dulu Alex itu menakutkan, lalu gabung sama Niken
jadi sombong, dan sekarang kenapa dia malah
ramah?" "Lebih baik mana?"
"Tentu saja yang terakhir."
"Lalu apa masalahnya?" tanya Mimi lagi.
"Nggak ada. Aneh aja," kata Rika.
Alex nggak mendengar lagi ucapan cewek itu karena
dia sudah tiba di kelasnya. Entah apa yang dianggap
benar di dunia ini. Bersikap menakutkan disebut
aneh, sombong disebut aneh, bersikap ramah juga
tetap dianggap aneh, desis Alex dalam hati.
Mungkin sebenarnya gue bukan pecundang di
sekolah ini, tapi orang yang istimewa. Buktinya tiap
gerak-gerik gue diperhatikan, Alex berusaha
menghibur diri. Alex masuk ke kelasnya, dan duduk di bangkunya.
Pas dia menoleh ke samping, Eric lagi-lagi nggak ada.
Sudah hampir satu minggu Eric nggak masuk
sekolah. Alex memang mengurungkan niatnya
mencari Eric. Nggak ada yang akan berubah dari
kontrak kematian itu. Nanti saja, pada hari terakhir
hidupnya dia temui cowok jelmaan setan tersebut.
Pelajaran di sekolah berlangsung seperti biasa.
Cuma sekarang jam-jam belajar itu terasa
menyenangkan buat Alex. "Kamu ikut bimbingan belajar di luar sekolah, Lex?"
tanya Bu Alika saat mengembalikan kertas ulangan
Alex. "Tidak," jawab Alex sambil tersenyum.
Bu Alika menatap Alex sedikit heran, tapi nggak
bertanya lagi. Mungkin bagi sang guru kimi angka
delapan di hasil ulangan Alex itu nggak lumrah.
Alex nggak memedulikannya dan kembali ke
bangkunya. Saat bel jam istirahat berbunyi, Alex langsung
menghambur ke luar kelas.
"Lex, lo mau ke mana?" tegur Leony, mencegat
langkah Alex. "Mau ngajak Mimi ke kantin," jawab Alex.
Leony langsung melipat tangan dan menatap Alex
bingung. "Lex, kalo lo temanan sama kita, ya sama
kita aja. Lo nggak boleh sahabatan sama anak-anak
lain," kata Leony, seolah itu peraturan yang nggak
boleh nggak harus dipatuhi.
"Kenapa?" tanya Alex ingin tahu.
"Tentu aja nggak boleh, Lex. Nanti rahasia kita lo
umbar ke mana-mana," kata Niken yang mendekati
meja Alex. "Gue nggak pernah ngomong apa-apa sama anakanak lain. Lagian memangnya kita punya rahasia apa
sih?" tanya Alex heran. Setau dia yang dilakukannya
bersama Niken cs cuma ke salon, mal, dan kafe.
Rahasia apa yang ada di sana selain hura-hura dan
menghambur-hamburkan uang"
"Pokoknya lo nggak boleh main sama anak-anak lain.
Kalo lo tetap temanan sama anak-anak lain, terpaksa
lo dikeluarkan dari geng kita," kata Moniq yang baru
mendekat. Cewek berambut panjang itu bahkan
mengultimatum Alex segala.
Sejenak Alex terdiam. Dia berusaha memikirkan
sesuatu di benaknya. Jadi teman Niken cs memang
menyenangkan: dianggap "berkelas" dan keren. Tapi
gue cuma Alex, dan ingin jadi Alex saja.
Alex menoleh ke pintu kelasnya. Tampak Mimi yang
baru datang berdiri di sana. Alex kembali sadar
dirinya punya teman yang mau menerimanya apa
adanya. "Nggak apa-apa kok, Mon, keluarin aja gue," kata
Alex baik-baik pada Moniq.
Niken, Moniq, dan Leony melongo.
"Lex, anak-anak di sekolah ini semuanya berharap
jadi bagian dari geng kami sementara lo malah
pergi?" tanya Niken nggak percaya.
Alex mengangguk dan tersenyum. Memang sih, dulu
dia juga berharap jadi salah satu anggota geng
populer itu. Bahkan sampai menjadikan itu
permintaan pertamanya. Tapi setelah bergabung di
dalamnya, Alex merasa dia lebih suka punya teman
yang mau menerima dirinya apa adanya. Nggak
harus tampil sempurna hanya demi dianggap keren.
"Lo aneh deh, Lex. Kayaknya ada yang salah sama
lo," komentar Niken, lagi-lagi mengatai Alex aneh.
Alex nggak menanggapi, baginya yang aneh justru
kenapa kemarin dia mau bergabung dengan cewekcewek populer itu.
"Mi, ke kantin yuk!" ajak Alex, menarik tangan Mimi
yang ikutan bengong di pintu kelasnya.
"Gue nggak lapar, Lex," tolak Mimi, menarik lepas
tangannya. Meski begitu, Mimi tetap mengikuti
langkah Alex. "Nggak mau ke kantin" Mmmm... kalo gitu lihat Kian
main basket yuk!" ajak Alex, mengarahkan kakinya
ke lapangan basket. Mimi mengangguk. Namun wajah cewek itu masih
menyimpan kebingungan. "Kenapa, Mi?" tanya Alex.
"Lo ninggalin mereka" Bukannya mereka itu salah
satu permintaan lo?" tanya Mimi heran. Mimi
memang sempat melihat Alex ditegur Niken cs tadi.
Dan Mimi yang tahu soal tiga permintaan Alex pada
Eric tentu saja heran. "Gue lebih suka nggak berteman denagn orangorang seperti mereka."
"Lalu kenapa lo ngajuin permintaan itu ke Eric?"
Mimi masih nggak mengerti.
Alex diam sesaat. Agak sulit baginya menjawab
pertanyaan ini. Tapi akhirnya Alex menjawab
sejujurnya, "Karena ketololan gue."
Kini gantian Mimi yang diam.
Alex dan Mimi akhirnya tiba di pinggir lapangan
basket. Kian yang sedang bermain basket langsung
melambaikan tangan saat melihat Alex. Sekarang
saat jam istirahat Kian kembali bermain basket
bersama teman-temannya atas permintaan Alex. Dia
nggak mau waktu Kian dihabiskan hanya berduaan
dengannya. Cowok itu kan perlu waktu bersama
teman-temannya sendiri. "Kian juga salah satu permintaan lo. Apa sama
seperti Niken cs tadi, dia bukan yang benar-benar lo
inginkan?" tanya Mimi ingin tahu.
Alex terdiam. Dia mengaku salah telah menjadikan
Kian bagian dari permintaannya. Tapi berbeda
dengan kasus Niken cs, Alex memang menyukai
cowok itu dan nggak mau kehilangan Kian.
"Gue bakal mati, Mi. Boleh nggak gue minta tolong
sesuatu sama lo?" kata Alex tiba-tiba.
"Apa?" "Saat gue mati, bilang sama Kian, gue sayang sama
dia." Mendengar itu Mimi nggak berani bertanya lagi.
Alex pun hanya diam menatap sosok Kian yang
berlari ke lapangan basket. Karena ketololannya,
sebentar lagi dia nggak akan bisa melihat cowok itu
selamanya. *** Waktu kematian Alex semakin dekat. Tinggal satu
hari lagi, alias besok. Sepulang sekolah, Alex hanya duduk di dalam kamar
merenungi nasib. Di depannya berjejer foto-foto
yang kebanyakan baru dibuatnya dalam beberapa
hari terakhir. Foto Alex bersama Mama, bersama
Rian, dan foto mereka bertiga bersama Oom Iwan.
Juga ada foto Alex dengan sahabat-sahabat sejatinya,
Mimi dan Elmo, serta foto Alex bersama Kian.
Nggak berapa lama lagi Alex akan pergi selamalamanya, meninggalkan semua yang disayanginya.
Jujur, Alex nggak pengin pergi....
Seandainya ada yang dapat menebus semua
kesalahan gue, pinta Alex penuh harap dalam
hatinya. Alex lalu menarik napas panjang. Ini memang jalan
yang harus dihadapinya. Dia harus menerima
kenyataan dirinya mati besok. Tapi setidaknya
dalam beberapa hari terakhir ini dia sudah
melakukan hal-hal terbaik dalam hidupnya.
Alex melihat jam dindingnya, sudah jam delapan
malam. Dia berencana mau ke rumah Eric, bicara
sebentar dengan cowok jelmaan setan itu, lalu balik
lagi ke kamarnya dan menunggu kematian
menjemputnya. "Ma, Alex mau ke rumah teman sebentar ya," Alex
berpamitan pada Mama yang sedang menata meja
makan. Oom Iwan ikut membantu.
"Kamu nggak makan dulu?" tegur Mama.
"Duluan aja, Ma, Alex ada perlu sebentar. Penting
banget soalnya," Alex beralasan. "Alex pergi ya, Ma,
Oom," pamit alex sambil melangkah keluar.
Alex mengambil motornya dan menjalankannya
menuju rumah Eric. *** Eric sedang melihat-lihat sekeliling rumahnya di
bumi. Sebentar lagi dia akan menyelesaikan
tugasnya di bumi dan pergi dari rumah besar yang
disewanya ini. Slash muncul di samping Eric,
langsung melempari dinding rumah dengan tanah
dan merusak bunga-bunga yang ada di taman.
"Hei, apa-apaan lo?" tegur Eric melihat ulah
sahabatnya. "Meluapkan kegembiraan karena sebentar lagi kita
bisa pulang," kata Slash gembira banget.
"Lo merusak rumah orang," tegur Eric lagi.
"Ini kan tugas kita juga," sindir Slash tertawa.
Eric terdiam. Gara-gara kelamaan di bumi dan
menyamar jadi manusia, dia seolah melupakan
hakikatnya sebagai setan. Atau jangan-jangan dia
memang bukan setan sejati...
"Slash, gue mau ngasih tahu lo sesuatu," kata Eric
tiba-tiba. Perasaannya nggak enak, terus-terusan
menyimpan rahasia. "Soal apa?" "Alex." Slash menghentikan ulahnya merusak tanaman
bunga. "Alex baru ngajuin dua permintaan," akhirnya Eric
mengungkapkan rahasianya.
Slash terkesiap kaget. Kegembiraan pada sahabat
Eric itu berubah menjadi kekecewaan. "Gue udah
baca buku ribuan halaman itu sampai habis. Nggak
ada batasan lo mau ngasih berapa permintaan buat
korban lo. Mau satu, tujuh, ataupun seribu
permintaan. Nggak ada ketentuan apa pun," sergah
Slash. Eric juga tahu, kali. "Tapi yang gue janjikan sama
Alex tiga permintaan, Slash. Tiga!"
"Dengar, Ric, kalo Alex memberikan permintaan
ketiganya buat orang lain, lo akan gagal dalam ujian
itu. Meskipun kecil kemungkinan Alex
melakukannya, tetap saja dia punya peluang," Slash
mengingatkan. Eric terdiam. "Kita ini setan. Setan nggak perlu menepati janji
selain kepada sesama setan," kata Slash lagi.
Eric tetap saja terdiam. "Terserah lo deh. Kalo gagal, lo harus jadi malaikat.
Kalo berhasil, lo akan jadi raja kegelapan berikutnya.
Pilih sendiri!" seru Slash. Ucapan cowok itu
terdengar kesal. "Malaikat?" "Ya, yang selalu menolong manusia itu lho," sindir
Slash. Eric mengerutkan kening. Apa Slash tahu sesuatu
tentang rahasianya" Lamunan Eric dibuyarkan oleh bunyi motor yang
berhenti di depan gerbang. Eric menoleh, dan
melihat Alex turun dari motor itu.
"Gue harus jadi kucing nih?" tanya Slash.
Terlambat, belum sempat Slash berubah wujud, Alex
sudah keburu melihat sahabat Eric itu. Jadi Slash
pun mengurungkan niatnya.
"Siapa dia" Gue baru tau lo punya teman," kata Alex
saat Eric membukakan gerbang.
"Slash, dia sahabat gue. Mungkin lo lebih
mengenalnya dalam wujud kucing hitam," Eric
memberikan sedikit petunjuk. Eric dan Alex lalu
duduk di teras, sementara Slash langsung saja
masuk ke rumah. "Kucing hitam?" tanya Alex sedikit heran.
"Ya, yang sering lo lihat dalam mobil gue, atau yang
pernah membaca di dalam rumah."


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex mengangguk, tapi tetap saja menatap Eric
heran. "Dia setan, sama seperti gue. Cuma dia nggak mau
keberadaannya di bumi ini diketahui, makanya di
luar rumah ini atau kalau ada manusia, dia berubah
jadi kucing," jelas Eric lagi.
Barulah Alex mengangguk agak lama, tanda
mengerti. "Lo kenapa nggak masuk sekolah lagi" Takut ketemu
gue?" Alex mengganti bahan pembicaraan.
Eric cuma meringis. "Sori, gue marah ke elo waktu itu karena gue kecewa
banget. Tapi setelah gue pikir-pikir, ini kesalahan
gue sendiri." Alex malah minta maaf sama Eric.
"Nggak perlu, Lex. Selain nggak mau mau ketemu lo,
gue juga bakal pergi besok, jadi sekalian aja gue
bolos biar gue punya alasan nggak masuk sekolah
karena ngurus kepindahan gue," jelas Eric. Waktu
tinggalnya di bumi semakin sedikit. Eric ingin saat
dia pergi nanti nggak ada yang bakal kaget banget
atau merasa sangat kehilangan dirinya.
"Tapi gue benar-benar minta maaf lho," kata Alex
lagi. Eric menganguk. "Lo anak baik, Lex," kata Eric
sambil menatap iba cewek di depannya tersebut.
Alex malah menggeleng. "Nggak, gue bukan anak
baik. Gue baru sadar gue punya semuanya ketika
waktu gue udah semakin sempit."
Eric terdiam mendengar ucapan Alex. Sejenak
keraguan hadir di hatinya. Alex seharusnya punya
waktu hidup yang lebih lama lagi. Usia cewek itu
baru lima belas tahu, desisnya dalam hati.
"Gue siap mati kok, Ric," kata Alex lagi.
"Alex, sekali lagi gue cuma mau bilang gue cuma
melakukan tugas gue. Aslinya gue setan, bahkan
pangeran kegelapan. Gue turun ke bumi karena
dihukum. Gue dicurigai berbuat kesalahan," kata
Eric. Dia sengaja mengatakan yang sesungguhnya
sama Alex, sebab waktu ujian ini akan segera
berakhir. Keputusan lulus ataupun tidak sesaat lagi
akan diketahui. Apa pun hasilnya, Eric merasa
dengan mengatakan yang sesungguhnya pada Alex
akan membuat bebannya berkurang, dan semoga
juga membuat Alex lebih bisa menerima
keadaannya. "Kesalahan apa?" tanya Alex ingin tahu.
"Gue dituduh berhati malaikat."
Alex menoleh, menatap Eric heran.
"Ibu gue malaikat. Bokap gue memilih pergi dari
kerajaan setan demi menikahinya, dengan perjanjian
kalo punya anak laki-laki, anak tersebut akan jadi
milik kerajaan setan. Anak itu adalah gue," jelas Eric.
"Kenapa lo dituduh berhati malaikat?"
"Ada gosip di istana yang bilang gue pernah ke bumi
dan menolong manusia. Dan gosip itu dipertegas lagi
dengan bunga." "Bunga" Maksudnya?" tanya Alex.
Eric mengangguk. "Gosipnya anak kecil yang gue
tolong itu ngasih bunga hidup, lengkap dengan
potnya, dan gue menyimpannya di istana. Sementara
menurut kaum setan, bunga itu tidak boleh dimiliki
karena termasuk keindahan. Semua setan
diharuskan menyukai hal yang jelek-jelek seperti
kehancuran, kekacauan, dan sebagainya."
Alex meringis mendengarnya.
"Gue cerita semua ini biar lo tahu yang
sesungguhnya. Ini tugas, bukan kemauan gue
pribadi, Lex. Gue hanya menjalankan apa yang jadi
kewajiban gue." "Nggak apa-apa kok, Ric, nggak usah merasa
bersalah. Gue ngerti keadaan lo," kata Alex dengan
senyum dipaksakan. "Lo nggak nyesal?" tanya Eric takut-takut.
"Tentu aja gue nyesal. Tapi nggak apa-apa kok,
setidaknya gue menyadari bahwa ternyata hidup
gue itu indah. Dan di sisa waktu hidup gue, gue udah
melakukan semua yang terbaik yang gue bisa. It"s
ok," kata Alex lirih.
Kembali rasa kasihan memenuhi diri Eric.
"Masih ada satu hal lagi yang harus gue omongin ke
lo," kata Eric dengan suara pelan. Dia sendiri sangat
ragu dengan tindakannya ini.
"Apa?" "Lo masih punya satu permintaan lagi," kata Eric
lirih. Bagaimanapun, Eric merasa harus mengatakan
hal tersebut pada Alex, supaya rasa bersalahnya
berkurang. Tapi ucapan itu juga membuat dirinya
sendiri berada dalam keadaan tertekan. Dia bisa saja
gagal dalam ujian ini. "Satu permintaan lagi" Bukannya lo bilang cuma
tiga, dan gue sudah minta ketiga-tiganya?" Alex
malah balik bertanya dengan heran.
"Lo baru minta dua."
"Dua"!" Alex lebih heran lagi.
Eric mengangguk. "Tapi gue sudah minta tiga dan lo kabulkan ketigatiganya, Ric. Bokap gue sudah datang, Kian sudah
jadi pacar gue, dan tiga cewek populer itu sudah jadi
sahabat gue," Alex mengingat kembali
permintaannya satu per satu.
"Satu di antara yang lo katakan itu nggak termasuk
permintaan lo. Lo baru minta dua."
"Apa yang nggak termasuk?"
"Alex, gue nggak akan mengatakannya. Tiga jam lagi
waktu ujian gue habis. Sebaiknya lo cepat minta
sesuatu!" suruh Eric, menghentikan ocehan Alex.
"Tiga jam" Gue nggak ingin apa-apa lagi, Ric." Alex
menggeleng. "Mintalah sesuatu."
"Apa gue bisa minta gue terus hidup?" tanya Alex
ragu. Pertanda cewek itu tahu kalau hal itu mustahil.
Ering menggeleng memastikan.
"Gue bisa minta waktu kembali ke satu bulan yang
lalu, saat kita belum ketemu?" kata Alex sambil
tertawa kecil. Eric kembali menggeleng. "Kalo gitu, nggak ada lagi yang gue inginkan," kata
Alex pasrah. "Ya udah. Setidaknya gue sudah menepati janji gue
menawarkan tiga permintaan. Lo ambil ketigatiganya atau nggak ya terserah lo."
Alex tampak terdiam. "Gue akan mati, Ric, nggak ada
yang gue inginkan buat diri gue lagi," kata cewek itu
menggeleng. Tapi tiba-tiba Alex seperti teringat
sesuatu. "Boleh nggak permintaan itu gue berikan
buat orang lain?" Eric langsung tersentak mendengar pertanyaan itu.
Slash yang muncul di puntu dalam wujud manusia
menatap waswas ke arah Alex.
"Sepertinya nggak ya, Ric?" Alex menjawab sendiri
pertanyaannya. Eric diam saja. Nasibnya berada di ujung tanduk saat
ini. Dia menatap ke arah Slash yang berada di pintu.
Sahabatnya itu pasti akan membencinya setengah
mati. "Kenapa, Ric?" tegur Alex saat menyadari Eric hanya
diam. "Nggak kok." "Seandainya boleh, Ric, gue mau minta orang-orang
yang gue sayangi bahagia," kata Alex tanpa beban.
Eric menatap ke arah Slash. Ujiannya gagal!
Seketika cahaya merah menghampiri dirinya dan
Slash, yang langsung membawa mereka kembali ke
langit. Part 21 ALEX berangsur-angsur siuman. Dia heran
mendapati dirinya pingsan di teras rumah Eric.
Terakhir yang dia ingat, dia sedang bicara dengan
Eric di sini, dan di tempat ini juga ada Slash teman
Eric, yang berdiri di depan pintu.
"Apa yang terjadi?" Alex bertanya sendiri.
Dia lalu bangkit dan mencari-cari ke sekelilingnya.
"Eric"! Lo di mana?" panggil Alex sambil celingukan.
Tapi cowok jelmaan setan itu nggak bisa Alex
temukan di mana-mana. Alex lalu mencari ke dalam rumah. Ajaib, interior
mewah yang berwarna merah dan penuh kilapan
emas di dalam rumah ini lenyap. Yang tersisa tinggal
ruang-ruang kosong seperti rumah yang tidak
pernah ditinggali. "Eric"!" Alex masih berusaha mencari Eric. "Slash"!"
Alex meneriakkan nama sahabat Eric itu.
Alex berkali-kali mencari di dalam maupun di luar
rumah itu. Tapi tetap nggak berhasil menemukan
sosok dua cowok jelmaan setan itu. Bahkan tandatanda dua cowok itu pernah tinggal di rumah besar
ini pun nggak ada. Setelah lelah mencari, Alex beristirahat sejenak.
"Sebenarnya apa yang terjadi ya?" tanya Alex heran.
Dia melihat motornya masih terparkir di depan
rumah ini. Berarti dia benar-benar datang ke sini,
bukan cuma mimpi. Jam di HP Alex pun
menunjukkan pukul sembilan malam, berarti waktu
masih berjalan, dan masih pada hari yang sama. Tapi
kenapa nggak ada tanda-tanda keberadaan Eric dan
Slash" Dua cowok jelmaan setan itu hilang berikut
barang-barang mereka"rumah, mobil, dan
segalanya. Merasa nggak menemukan jawaban, Alex
mengambil motornya. Lebih baik dia pulang.
Namun di tengah perjalanan, tepatnya di dekat
taman kompleks, Alex melihat ada cahaya merah di
bangku taman. Apa itu Eric" Desisnya dalam hati.
Alex menghentikan motornya dan berjalan
mendekati bangku tersebut. Ternyata benar, tampak
sosok Eric sedang duduk di sana. Masih memakai
bajunya tadi: kaus merah, celana jins, dan sepatu
kets. "Hai, Alex," sapa cowok itu datar.
"Kenapa lo menghilang tiba-tiba" Kenapa rumah itu
kosong" Mana Slash teman lo?" tanya Alex beruntun.
"Alex, gue gagal dalam ujian gue," kata Eric tanpa
emosi. Meski begitu, Alex tetap menangkap nada
kekecewaan dalam ucapan cowok itu.
"Gagal"!" "Kontrak kematian akan hangus kalo permintaan itu
diberikan kepada orang lain."
Alex terdiam. Seharusnya dia senang mendengar hal
tersebut, dan dia memang senang. Tapi mengingat
kalau dia bebas berarti Eric gagal, membuat rasa
bersalah menghinggapi hatinya.
"Nggak apa-apa, Lex. Manusia seperti lo berhak
hidup lebih lama," kata Eric membantu
menenangkan perasaan Alex.
"Sori, Ric," ujar Alex tulus.
Eric mengangguk. Cowok itu lalu berdiri, seolah
hendak pergi. "Semua permintaan yang pernah lo ucapkan itu akan
terhapus, Lex. Lo memiliki hidup lo sepenuhnya. Apa
pun yang terjadi di hidup lo, adalah karena diri lo
sendiri. Lo mau berhasil, mau gagal, mau disukai
atau dibenci itu karena diri lo sendiri. Selamat
tinggal," kata Eric sambil melangkah pergi. Cahaya
merah samar-samar mengiringi langkah cowok itu.
Alex menatap cowok itu dengan kasihan.
Bagaimanapun, meski Eric itu setan dan pernah
mengelabuinya, cowok itu nggak sepebuhnya jahat.
Bahkan, tanpa sadar Eric sering sekali membantu
Alex menyadari betapa berharga hidupnya ini.
"Ric!" panggil Alex.
Eric menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Bagi gue, lo malaikat," ujar Alex mengatakan apa
yang dia rasakan. Semoga ucapannya bisa
membantu Eric. Eric tersenyum dan terus melangkah. Cahaya merah
yang samar-samar tadi berganti dengan cahaya
putih yang semakin kuat. Eric melangkah semakin jauh. Sosok cowok itu
menghilang dari pandangan Alex, diiringi kilatan
cahaya putih. Alex tersenyum. Dia menarik napas dalam-dalam
dan mengembuskannya selega mungkin.
"Terima kasih, hidup," kata Alex, merentangkan
kedua tangan dan memandangi langit.
Alex lalu mengambil motornya dan meneruskan
perjalanannya pulang. *** Alex terbangun paginya. Hari yang sangat baru bagi
seorang Alexandra Alfarez. Dia telah terlepas dari
perjanjian kematiannya dengan setan.
Sejenak Alex jadi terpikir soal tiga permintaannya
sebelumnya. Kira-kira apa ya, yang tidak teramsuk
permintaannya pada Eric" Persahabatan dengan
Niken cs, pacaran sama Kian, atau Papa datang"
Sampai Alex selesai mandi dan bersiap pergi
sekolah, nggak ada tanda-tanda Papa masih berada
dalam hidupnya. Kalau seandainya Papa datang
bukan hasil permintaannya, tapi karena keinginan
Papa sendiri, seperti kangen anaknya, pasti ada
telepon atau pembicaraan mengenai Papa di rumah
ini. Tapi buktinya nggak.
Alex tetap duduk sarapan berdua Mama,


Alexs Wish Karya Elcy Anastasia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membiacarkan masalah mereka sendiri. Kalapun ada
pembicaraan lain, paling soal Oom Iwan mengajak
jalan-jalan. Jadi tinggal dua permintaan lagi yang
Alex pertanyakan: persahabatan dengan Niken cs
atau pacaran dengan Kian"
Alex belum menemukan jawabannya, karena keburu
mendengar bunyi bel di pintu depan.
"Biar Alex yang buka, Ma," kata Alex sambil beranjak
ke depan. Saat Alex membuka pintu, tampak wajah Mimi dan
Elmo kaget melihat dirinya.
"Alex"! Lo masih hidup"!" tanya dua sahabat Alex itu
nyaris serempak. "Siapa, Lex?" terdengar suara Mama dari ruang
makan. "Mimi sama Elmo, Ma!" kata Alex sambil meraih
paksa kedua temannya itu menjauhi pintu.
"Alex, lo masih hidup" Mana Eric" Kami dari
rumahnya, dan rumah itu kosong speerti nggak
pernah ditinggali," kata Elmo tetap nyerocos.
Alex memberi isyarat agar kedua temannya itu diam.
Setelah Mimi dan Elmo tenang, baru Alex
menceritakan apa yang terjadi tadi malam.
"Jadi lo tetap hidup terus?" tanya Mimi senang.
Cewek itu langsung memeluknya erat.
"Selama gue dikasih kesempatan," kata Alex
berusaha melepaskan pelukan Mimi, karena
napasnya sesak. "Lalu apa yang bukan merupakan permintaan lo dari
tiga hal itu" Niken cs, Kian, atau bokap lo?" tanya
Elmo persis seperti yang Alex pikirkan saat bangun
tidur tadi. "Gue belum tahu."
"Yang penting sekarang lo tetap hidup!" kata Mimi
sambil kembali memeluk Alex, seolah-olah mereka
sudah sepuluh tahun nggak ketemu.
"Ya, itu yang penting. Berangkat sekolah yuk, ntar
kita bisa telat," tegur Elmo. "Lex, lo ikut gue?"
"Gue naik motor aja deh," tolak Alex sambil
menunjuk motornya. "Oke deh, kita ketemu di sekolah. Bye, Alex!" kata
Elmo sambil menarik tangan Mimi ke mobilnya.
"Lex, lo nggak bakal jadi "Alex" yang waktu itu lagi,
kan?" tanya Mimi sambil membentuk tanda kutip
dengan jemarinya waktu menyebut nama Alex.
Alex yang tahu maksud ucapan itu langsung
menggeleng. "Nggak."
Tentu saja nggak. Meski dia mendapatkan hidupnya
kembali, dia nggak mau jadi Alex yang sombong,
yang meninggalkan teman-temannya karena punya
teman lain yang terlihat lebih oke.
Mimi dan Elmo meninggalkan rumah Alex.
Alex masuk ke rumah untuk berpamitan dengan
mamanya dan segera berangkat ke sekolah.
*** Setibanya di sekolah, Alex memarkir motornya, lalu
melangkah riang di koridor sekolah. Senang banget
perasaannya hari ini. "Hai, Niken. Hai, Moniq. Hai, Leony," sapa Alex satu
per satu begitu berpapasan dengan tiga cewek
tersebut. Sejenak tiga cewek cantik itu terkejut menatap Alex,
lalu mereka terus saja melewatinya.
"Kenapa si Alex sok ramah pake nyapa-nyapa kita
segala?" tanya Niken heran kepada dua temannya.
"Nggak tau. Tapi kata anak-anak tadi, dia pernah
sahabatan sama kita," kata Leony heran.
"Sahabat" Maksud lo jadi anggota geng kita?" tanya
Niken lagi. "Iya, anak-anak sekolah ini bilang. Tadi gue ketemu
Rika, teman sekelas Mimi, yang tinggal di depan
rumah gue itu. Dia yang bilang kenapa Alex nggak
temanan sama kita lagi" Gue bilang, emang kapan
gue pernah temanan sama Alex?" kata Leony.
"Iya, gue juga nggak merasa kenal dia," kata Moniq
menambahkan. Mendengar itu, Alex cuma geleng-geleng. Dia
tersenyum sendiri. Berarti pengaruh permintaannya
terhadap tiga cewek populer itu sudah lenyap.
Alex meneruskan langkah menuju kelasnya. Tibatiba dia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Alex!" suara Kian.
Sejenak Alex tertegun. Pengaruh permintaannya
pada Niken cs sudah habis, bagaimana dengan Kian"
Kenapa cowok itu masih mau menyapanya" Janganjangan...
Alex menoleh. Dia melihat Kian tersenyum dan
berjalan ke arahnya. Seketika Alex tahu apa yang
terjadi antara dirinya dan Kian bukan akibat
perjanjiannya dengan setan.
"Hidup gue memang indah," bisik Alex sambil
menghampiri cowok yang benar-benar jadi pacarnya
berkat usahanya sendiri. *** Sementara itu di langit, dua makhluk dengan
pakaian berbeda itu bertemu. Satu mengenakan baju
serba putih dan satunya lagi memakai baju merah
dengan sayap hitam. Mereka bertemu di pinggir
kerajaan Asteria. Tentu saja secara diam-diam.
"Gue nggak ngira lo masih mau ketemu gue," kata
Eric begitu melihat Slash. Sejak dia gagal dari
ujiannya, persahabatannya dengan Slash terputus.
Eric terlempar ke negeri malaikat dan berkumpul
bersama orangtuanya. Sementara Slash, sang
sahabat, tetap berada di negeri setan. Dan Eric tahu
Slash pasti membencinya karena gagal.
"Kita kan teman. Seperti apa pun keadaannya, kita
akan tetap jadi teman juga," kata Slash dengan gaya
khasnya"menggerutu. "Itu ucapan terbaik yang pernah gue dengar dari lo,"
komentar Eric. "Hahaha, lucu!" sindir Slash sambil tertawa keras.
"Gimana keadaan lo?"
"Seperti yang lo lihat: putih!"
"Ceweknya cantik-cantik?"
Eric mengangguk. "Baguslan, biar lo betah. Ini, gue bawain lo sesuatu,"
kata Slash sambil memunculkan sesuatu di
tangannya. Sebuah pot berisi bunga putih yang
sedang mekar. Eric ternganga melihat bunga itu. Bunga pemberian
anak kecil yang ditolongnya. Pegawai istana Malvera
memang nggak mengada-ngada saat menuduhnya
punya bunga, karena memang beneran ada. Tapi
sejak kasus itu terkuak dan menimbulkan
kehebohan di istana, bunga tersebut malah nggak
pernah Eric temukan. "Lo menyembunyikannya"!" tanya Eric nggak
percaya. Slash dengan malas berkata, "Dulu gue pikir itu cara
buat menolong lo, sekarang mungkin inilah
caranya," kata Slash sambil memberikan pot bunga
itu ke tangan Eric. Eric tahu, Slash setan. Tapi menurut Eric, solidaritas
cowok itu sebagai sahabat melebihi makhluk apa
pun. Selama ini ternyata Slash tahu rahasianya, tapi
tetap saja cowok itu menolongnya.
"Thanks, Slash!"
"Berikan sama cewek-cewek cantik itu, siapa tahu
salah satunya jadi pacar lo!" kata Slash sambil
beranjak pergi dan kembali ke tempatnya di negeri
kegelapan. Eric melihat bunga mekar di tangannya. Dia
tersenyum sendiri. "Gue memang putih, cool," katanya senang telah
menemukan jati dirinya. THE END Pedang Medali Naga 5 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein Dewi Beruang Putih 2

Cari Blog Ini