Belahan Jiwa Karya K Y Bagian 3
mengalihkan pandanganku ke arah berlawanan...
"Kamu gelisah Liana?" tiba-tiba saja Bimo sudah mendekapku dari belakang, dengan posisi
berlutut dan masih telanjang bulat! Di punggung belakangku aku merasakan ada sesuatu
yang menekanku keras! Bimo membalikkan badanku tiba-tiba! Dan kejantanannya yang sudah tegak berdiri tepat
berada di depan wajahku! Mata Bimo sudah menyala penuh gairah!
Aku memandang Bimo mesra, membuat kontak mata terus selama jariku mulai membelai
batangnya perlahan...Setiap kali jariku menyentuh syaraf pekanya, batangnya bergerak dan
Bimo memejamkan matanya...
Aku genggam batangnya dari pangkal hingga ujungnya. Di lubang kecilnya ada cairan yang
tergenang di sana. Aku menjulurkan lidahku dan menjilat cairannya! Bimo mengerang, menengadahkan
kepalanya ke atas, mulutnya mendesis kencang"
Perlahan aku kulum kepalanya, lidahku mengelus seluruh permukaannya yang selembut
beludru. Semakin lama aku masukkan batangnya perlahan dalam mulutku"Bimo mendorong
kepalaku, memberi instruksi agar aku memasukkan seluruhnya!
Aku mulai mendorong dan menarik mulutku, membuat batangnya keluar masuk. Sesekali aku
hisap kuat! Tanganku menjelajah kedua bola yang menggantung, meremasnya lembut, jariku
menyusuri bagian belakang batangnya, mengusap perlahan...Bimo menikmatinya.
Aku pertahankan irama hisapanku dan makin lama aku bergerak makin cepat! Tiba-tiba
tangan Bimo menahan belakang kepalaku, dia mendorongkan batangnya sedalam mungkin, lalu
kurasakan ada semburan cairan di tenggorokanku. Aku menelan semua yang disemburkan
Bimo! Bimo mendesis makin keras dan akhirnya membuka matanya memandangku puas!
"Kamu benar-benar wanitaku, Liana..." Bimo bergumam, menciumku dengan panas di bibir,
tidak peduli dengan aroma dirinya dalam mulutku. Aku memeluk tubuh telanjangnya. Bimo
berguling telentang dengan aku di atasnya. Pangkalnya masih terasa keras menekan pahaku.
Bimo memandangku penuh cinta, mulai menarik rok A line-ku ke atas, menyelipkan tangannya
ke dalam celana dalamku, meraih ke dalam diriku melalui belakang pantatku. Aku
memejamkan mata, menikmati elusan Bimo di sana...
Bimo memindahkan tubuhku ke sisinya, tangannya mulai bergeser, mencari intiku!
Aku menggerak-gerakkan pinggulku, mencari...
Bimo menyentuh intiku dengan telapak tangannya lalu memutarnya perlahan, lalu bertambah
cepat..dan makin cepat! Aku menjerit menyatakan kepuasan yang sudah kudapat!
Bimo mengulum lagi bibirku dengan mesra...
### "Mama!" aku memanggil mama yang tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Melihatku datang
senyum mama mengembang! "Sudah pulang kamu Liana..." Mama menciumi wajahku. Memegang lengan atasku, menekan
sana menekan sini, seakan mau memastikan anaknya pulang dengan utuh!
"Ma?" Bimo memanggil mama. Aku menoleh kaget. Mama tersenyum. Baru belakangan nanti
mama cerita kalau selama aku di Thailand, setiap Minggu Bimo selalu ke rumah dan dari awal
sudah minta ijin mama untuk memanggilnya MAMA!
Mama memanggil Rudy dan Mega, Rudy keluar dari kamar. Bimo menepuk bahu Rudy pelan
sebagai sapaannya. "Mega mana, Ma?" tanyaku begitu tak kulihat Mega menyambutku.
"Adikmu di kamar. Tadi dia mengeluh sakit kepala, mama sudah kasi dia obat." jelas mama.
"Kecapean mungkin dia ma..." kataku, menghela nafas.
"Memang maunya dia begitu, susah dilarangnya. Pagi siang kuliah, malam kerjapart time!"
keluh mama. "Ya udah, jangan khawatir ma, nanti Lia ngomong sama Mega..." kataku menenangkan mama.
Rudy membantu membawa semua koper ke kamarku.
Aku duduk di sebelah Bimo, mama menatap penuh arti kepada kami berdua. Aku sangat
yakin mama sudah 'membaca' hubungan yang aku jalin dengan Bimo.
"Ma, saya sangat mencintai Liana. Saya minta ijin mama untuk menikah dengan Liana, ma..."
Bimo berkata dengan mantap, bernada memohon. Tangan Bimo langsung meraih tanganku,
menggenggam dengan erat...Aku menunduk, wajahku terasa panas...
Mama tersenyum. "Mama merestui hubungan kalian...Asalkan Liana mau dan bahagia...mama pasti setuju?"
"Makasih ma, saya berjanji akan selalu membuat Liana bahagia!" Bimo berterimakasih
dengan mata berbinar! "Saya dan Liana akan mengatur pernikahan kami secara sederhana, ma...Hanya keluarga dan
teman terdekat saja..." lanjut Bimo.
"Iya"lakukan apa yang terbaik menurut kalian..." Mama tersenyum, ada kelegaan memancar
di wajah mama. "Dalam tahun ini juga ma...secepatnya...katanya Liana sudah nggak sabar..." Aku menyikut
Bimo! Bimo tertawa, mama hanya tersenyum bahagia...
### Aku tiba di kantor pagi-pagi, belum ada yang datang, ruangan masih kosong. Mejaku rapi dan
bersih, ada setangkai bunga di meja! Aku cium bunga mawar merah yang masih segar ini.
Hanya satu orang yang sanggup berbuat seperti ini...Aku selipkan bunga itu di tasku, aku
ingin menyimpannya baik-baik di rumah.
Aku ke meja Bimo. Laptop dia sudah menyala,berarti Bimo sudah datang. Mungkin ke TP
atau toilet, pikirku... Aku ambil selembar tissue, mengecup tissue itu hingga lipstikku menempel, mencetak
bentuk bibirku dengan jelas di sana, lalu kutempelkan di laptopnya...
Cepat-cepat aku letakkan di meja Ellen semua bungkusan oleh-oleh untuk semua orang di
ruangan ini. Untuk Ellen sendiri kubelikan sesuatu yang spesial, kuberi tanda nama dia di
bungkusannya. Menit berikutnya aku sudah tenggelam dalam pekerjaanku. Pertama kukirim email,
permintaan maafku ke Hieu di Thailand karena belum sempat mampir ke rumahnya untuk
bertemu istrinya. Aku menjelaskan panggilan mendadak dari kantor yang mengharuskan aku
pulang ke Indonesia lebih awal dari rencana semula.
Sentuhan tangan Bimo di pipiku menyadarkanku.
"Sudah sarapan?" tanya Bimo, aku mengangguk. Bimo berlalu, kembali ke mejanya.
Aku perhatikan Bimo yang langsung melihat tissue dariku, dia menoleh ke arahku dengan
senyum lebarnya, melepaskan tissue itu " membuat gerakan menjilat dengan lidahnya di
cetakan bibirku " melipatnya perlahan " dan dimasukkannya ke dalam kantong. Aku tertawa
melihat tingkahnya. Beberapa orang masuk ke ruangan, termasuk Ellen, dan mulai membuat suara ribut begitu
melihat aku datang dan membawa oleh-oleh...
Pak Imam tampak baru datang, dengan ciri khasnya yang selalu berjalan tergesa-gesa
langsung menuju ruangannya.
"Bimo, Liana, ke saya!" Pak Imam memanggil sambil lalu.
Aku memandang Bimo, memasang muka bertanya. Bimo tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
Aku dan Bimo duduk di hadapan Pak Imam.
"Pak Giring sangat puas dengan hasil kerja Liana selama di Bangkok, dan sudah terbukti
oplah kita ada peningkatan. Beliau menginginkan Liana dikirim ke negara lain, Jepang atau
Korea...Bagaimana?" Aku dan Bimo langsung berpandang-pandangan.
"Maafkan saya Pak Imam, Liana tidak akan kemana-mana setelah ini. Mungkin kita bisa coba
kirim yang lain, seperti Tiara, dia memang masih baru dalam bidang jurnalistik, tapi dia
memiliki potensi" Pak Imam menunjukkan wajah heran mendengar penolakan Bimo, tapi aku tahu persis
mengapa Bimo tidak mengijinkanku travelling lagi. Bimo menjadiover protectivekepadaku.
Aku hanya memandang Pak Imam dengan wajah datar.
"Mengapa Liana tidak bisa kemana-mana?" Pak Imam bertanya dengan nada bingung.
"Karena Liana akan menjadi istri saya sebentar lagi Pak Imam" Bimo menjelaskan tanpa
bertele-tele. "Ha ha ha ha ha...saya sudah menduganya, saya sudah menduganya! Bimo...Bimo...akhirnya
kamu takluk juga terhadap wanita ya...well Liana, entah kamu memakai ilmu apa bisa
membuat Bimo yang terkenal dingin seperti gunung es, menjadi cair seperti teh hangat..."
Bimo tersenyum lebar dan aku hanya tertunduk malu.
"Selamat! Selamat! Saya ikut gembira, lima tahun saya kenal Bimo, tidak ada satu orang
perempuan pun yang menarik perhatiannya! Saya akan bicarakan masalah travelling dan
usulan kamu tentang Tiara dengan Pak Giring nanti. O ya Bimo, kamu sudah melihat naskah
terakhir Liana?" Bimo memiringkan kepalanya menatap Pak Imam.
"Chiang Rai?" tanya Bimo.
"Bukan, bukan itu, yang kemarin Liana kirim?" sanggah Pak Imam.
Bimo memandangku penuh selidik, aku nyengir mendadak melihat Bimo. Tawaku sudah di
ujung bibirku! Pak Imam mengarahkan laptopnya ke arah Bimo.
"You did great job Liana! Saya setuju membuat ini jadi sampul depan tabloid kita edisi
berikutnya. Gambarnya sangat 'menjual'..." Pak Imam ternyata menyetujui ideku.
Bimo menatap ke arah monitor dengan tatapan tidak percaya! Dia balik menatapku, dan
menatap monitor lagi. Aku tidak tahan tertawa melihat roman wajah Bimo " bingung " malu " heran " malu " malu "
malu... Pak Imam ikut tertawa melihat anak buahnya yang terkenal 'cool' menjadi seperti anak
kecil yang tersipu karena tertangkap basah...
Bimo menatap monitor tidak percaya! Foto dirinya sedang mengangkat gorengan
kalajengking siap masuk ke mulutnya yang terbuka lebar! Di bawahnya berjejer foto-foto
ukuran kecil, dari Bimo mulai mengambil gorengan kalajengking itu hingga dia mengelap
mulutnya dengan punggung tangannya!
Bimo mendelik ke arahku! Aku menutup mulutku menahan tawa lagi. Bimo menggaruk
kepalanya salah tingkah. "Saya menolak pak?" kata Bimo.
"Telat Bimo, sudah diproses semua..." Pak Imam menyanggah keberatan Bimo dengan masih
terkekeh-kekeh, dengan dua jarinya tersilang di bawah meja...
Aku dan Bimo keluar dari ruangan Pak Imam. Aku keluar dengan wajah nyengir, Bimo keluar
dengan wajah bersemu merah...
"Kamu harus bayar mahal untuk ini...gadis nakalku...Sangat mahal...kamu bersiap saja...kapan
saja aku mau...aku akan membuat kamu memohon padaku untuk tidak berhenti..." Bimo
berbisik perlahan di telingaku sebelum kembali ke mejanya.
Aku tersihir oleh kata-katanya...aku menelan ludah, menahan desiran yang meluncur deras
ke arah selangkanganku...
### Setiap pagi Bimo menjemputku ke rumah, kemudian bersama-sama ke kantor. Kadang Bimo
masuk dulu ke rumah, mencari mama...lalu minta sarapan!
"Lapar Ma...semalam lupa nggak beli roti?" Bimo memberi alasan ke mama.
Aku yang sudah siap sejak tadi duduk menemaninya di meja makan.
"Ah, lupa kok tiap hari! Bilang aja kangen sama nasi goreng mama..." selaku usil.
"Bodo! Yang pedes ya ma..." pinta Bimo.
Aku memandang Bimo mesra...kekasih hatiku...
Mama menghampiri Bimo dengan sepiring jumbo nasi goreng. Wangi nasi goreng dengan
irisan cabe rawit hijau menyengat hidungku...
"Makasi ya ma...Kapan-kapan anak mama diajari bikin nasi goreng seenak ini ya ma..." Bimo
mengerling ke arahku. Mama tertawa. Mama sudah sangat hafal dengan kebiasaan Bimo, porsi gede + rawit sepuluh biji!
Aku mengambil segelas air putih buat Bimo.
Bimo makan dengan lahap, keringat mulai mengucur dari dahinya. Aku berdiri di belakang
Bimo, merapikan rambut ikalnya yang gondrong ke belakang, mengikatnya dengan karet
hitam milikku. Aku keringkan keringat di sekitar dahi dan pelipisnya dengan telapak
tanganku. Aku mencium kepalanya sekilas...aroma Bimo...Bimo-ku...
Aku memejamkan mataku...hatiku merasa hangat...
Ketika selesai, kami cepat-cepat berangkat setelah pamit ke mama.
Bimo menyalakan audio mobilnya, Scorpions mengalun merdu.
"Sayang, aku mau bawa kamu ke rumah orang tuaku...besok sabtu. Aku sudah beli tiket buat
kita berdua, pesawat jam 6.45 sore."
Aku menoleh ke Bimo, agak kaget mendengar rencananya yang tiba-tiba.
"Nggak apa-apa Liana, kemarin aku memberitahu ayah ibu bahwa aku akan segera menikah di
sini. Mereka hanya ingin melihat calon menantunya..." jelas Bimo.
"Iya Bimo..." aku menuruti rencana Bimo, kuelus lengan berototnya yang sedang memegang
setir mobil. ### Aku menjalani rutinitas seperti biasa pagi ini.
Sekelebat angin berhembus di sampingku, ternyata ada seseorang yang sedang berjalan
cepat, ke arah ruang kosong di depanku.
Aku mendongak. Pria itu! Pak Giring Panji! Kali ini dia memakai celana warna khaki, dengan
kemeja lengan pendek putih.
Dia langsung duduk di kursinya, dan sebelum Pak Giring mendongak, aku menundukkan
kepalaku, pura-pura tidak melihat dia. Aku masih merasa sungkan.
Aku mencoba melihat dengan ujung mataku, dia sedang memegang kertas, terlihat sedang
fokus membaca. Rambutnya kelihatan baru dipotong rapi. Ada bekas cukuran kumis dan
janggut yang terlihat kasar.
Bibirnya bergaris tegas, rahangnya keras, lehernya terlihat berotot...tiba-tiba pak Giring
menatap ke depan! Pas ke arah mataku yang sedari tadi menilainya!
Dia menatapku terus dengan tajam, tangannya perlahan menurunkan kertas yang
dipegangnya. Kontak mata yang terjadi di antara kami seakan membuat duniaku berhenti
berputar! Aku terhanyut dalam kelamnya matanya...Di balik matanya yang tajam ada terlihat
duka dan harapan yang datang silih berganti?"
Aku merasa wajahku panas, namun tidak bisa mengalihkan pandanganku...Ada sesuatu di pria
ini yang menarik pikiranku begitu kuat!
Suara telepon di mejaku membuyarkan kontak antara aku dan Pak Giring.
Ternyata Ellen, dia mengajakku makan siang bersama, aku mengiyakan.
Begitu selesai menutup teleponku, aku dikejutkan suara berat tepat di sampingku. Aku
mendongak, ke atas... "Ke ruangan saya, Liana..." Pak Giring berkata dengan perlahan.
Dia kembali ke ruangannya, dengan aku mengekor di belakangnya. Jantungku berdetak
cepat, aku lirik meja Bimo, masih kosong, masih di dalam ruangan Pak Imam.
Bimo...panggilku dalam hati, keder"
"Sekarang kamu boleh tutup pintu itu rapat..." Pak Giring menyuruhku dengan nada yang
terdengar meledekku...dia masih ingat masalah pintu itu!
Aku menutup pintu... Bimo...aku merintih, perutku mules tegang...
"Liana, saya sudah membaca semua karya kamu...kamu berbakat. Mampu membawa readers
kita ikut ke dalam setiap petualangan kamu."
Aku tersenyum kecil, berterimakasih atas pujiannya.
"Pak Imam memberitahu saya bahwa kamu menolak tawaran untuk long trip lagi karena akan
menikah...dengan Bimo?"
Aku mengangguk lagi. Mata kami saling bertatapan, somehow, aku merasakan duka
kehilangan... "Well,baru rencana akan menikahkan Liana?" Pak Giring menekan kata 'baru rencana'
dengan tegas. Pak Giring merobek selembar kertas memonya, menuliskan sesuatu di sana. Lalu
menyodorkan kertas itu kepadaku.
Aku menerimanya dan melihat sederet angka tertulis di kertas itu.
"Nomor apa ini Pak Giring?" aku mengeluarkan suara juga, karena penasaran.
Pak Giring menatap mataku lekat"kontak antara kami berdua terjadi lagi!
Dia menjulurkan tangannya, menyentuh tanganku yang ada di atas mejanya, jarinya polos,
belum memakai cincin,belum menikah...
"Liana, itu nomor handphone pribadi saya. Tidak lebih dari lima orang di dunia ini yang tahu
nomor itu, termasuk kamu. Kalau kamu perlu bantuan saya " apapun " kapanpun " di manapun
" hubungi saya di nomor itu..."
Aku terhenyak kaget dan menggeser tanganku dari sentuhannya.
"Kamu mengingatkan saya akan sesuatu yang sangat berharga bagi saya Liana...Dari pertama
kali saya melihat kamu, saya sangat menyadari hal itu?"
Aku diam, tidak tahu harus berbicara apa lagi.
Aku hanya bisa mengangguk dan mengucapkan permisi keluar dari ruangannya. Aku tutup
erat-erat pintu ruangan itu.
Aku terduduk dengan telapak tangan basah. Cepat-cepat aku masukkan kertas memo itu ke
celah terdalam dompetku. ### Aku dan Bimo sedang dalam penerbangan GA jam 18.45, menuju bandara Adisucipto, Jogja.
Pukul 19.55, kami sudah tiba di Jogja. Bimo mengangkat satu travelling bag yang berisi
pakaian kami berdua. Aku menenteng dua kantong kertas yang berisi oleh-oleh buat orangtua Bimo.
Aku mengikuti langkah Bimo yang menghampiri sebuah mobil van kecil hitam yang ternyata
difungsikan sebagai taksi.
Aku berusaha menghafal jalan dari bandara ke rumah orangtua Bimo. Dari gerbang bandara
belok kanan, jalan terus sekitar 3 km, ketemu sebuah pom bensin. Lalu belok kiri terus
sepanjang 5 km, nah, hanya dalam 15 menit kami sampai di depan rumah Bimo!
Kata Bimo rumahnya ada di daerah yang bernama Tirtomartani.
Rumahnya terlihat nyaman! Lumayan besar, dengan cat rumah warna abu muda "ini pasti
permintaan Bimo, semua di cat abu muda .
Sepasang pasutri " bapak dan ibu " keluar dari rumah dengan wajah berseri-seri bahagia.
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wes nang omah Le" Iki tho calon bojomu?" Ibu menyambut Bimo dengan tersenyum dan
kelihatannya menanyakan apakah aku calon istrinya.
Bapak dan ibu melihat kepadaku dengan ramah, aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku
menghormati mereka. "Kadhos pundi kabaripun bapak ibu?" Bimo menanyakan kabar kedua orangtuanya, memeluk
mereka dengan erat. Aku merasakan hubungan yang hangat di antara mereka.
"Ya ngene iki Le, sehat, wah kowe ki kethok seger tenan." Bapak menjawab pertanyaan
Bimo, mengangkat kedua lengannya mengisyaratkan mereka baik-baik saja. Bapak juga
menunjuk badan Bimo. "Calon kulo meniko pinter ndamel bungah calon suami bu..." Bimo mengerling kepadaku, entah
apa yang dikatakannya. Bapak Ibu tertawa. "Bapak senang kalau kamu ternyata sudah mendapatkan calon istri yang bisa menyenangkan
hati kamu. Lihat saja badanmu sekarang ini, segerrr tho seperti baru dikasi vitamin C "
cespleng!" Bimo cengengesan memandang aku yang merasa mukaku panas membara karena malu.
Bimo menarik tanganku mendekat.
"Namanya Liana...calon simah kulo ayu njih Bu?" Bimo memperkenalkan aku.
"Iyo Le, ayu...Pancen pinter banget leh mu golek calon bojo Le..." Bapak menjawab Bimo.
Bimo menoleh ke arahku, "Tuh, kata bapak aku jagoan bisa nyari istri secantik kamu!"
Aku tersenyum malu. Aku menghampiri mereka berdua, menyalami tangan mereka berdua dan kupeluk ibunya
erat. Ternyata Bimo mirip bapaknya, jangkung, berkulit coklat, sisa-sisa ketampanan, dan
kegagahannya terlihat sangat jelas...mirip sekali?"Sedangkan ibunya kecil mungil, kulitnya
putih bersih, ada lesung pipi di kanan kiri " yang diwariskan ke Bimo satu lesung...
Walaupun sudah tua tapi gerakan mereka masih gesit, menunjukkan kesehatan mereka yang
masih sangat bagus. Keduanya terlihat memakai pewarna rambut hitam, karena tidak kulihat
sehelai ubanpun di kepala mereka.
Pada awalnya aku membayangkan orangtua Bimo seperti jaman kerajaan tempo dulu, pakai
kebaya kemben, rambut dikonde...Ternyata perkiraanku salah, mereka sudah cukup modern.
Sebuah mobil Rover tahun lama warna biru tua diparkir di garasi. Aku kaget juga ketika
Bimo bercerita bahwa bapaknya masih mampu membawa kendaraan sendiri dan matanya
masih bisa melihat dengan jelas.
"Bapak ki piye tho" Iki lak lagi wae tekan, ben istirahat disik, sesuk lagi ngobrol meneh?"
Ibu menyenggol lengan bapak.
"Ayo"ayo...kita masuk, ibu sudah ngomel. Kalian perlu istirahat tho, besok kita lanjutkan
lagi obrolannya." bapak memaklumi teguran istrinya.
Ibu mengajakku masuk ke dalam rumah. Bimo adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga
kakaknya semua perempuan dan semua sudah menikah, ikut suami mereka masing-masing.
Bapak dan Ibu tinggal berdua di rumah ini, ditemani oleh Mbak Nuri, wanita setengah baya
yang membantu ibu mengerjakan pekerjaan sehari-hari.
"Ayo Liana, kamu tidur di sini..." Aku mengikuti ibu. Bimo mengekorku dari belakang.
"Lha, malah melu mlebu kene! Kana-kana nang kamar sebelah, turu karo bapak!"
Ibu menepuk-nepuk pantat Bimo, menyuruhnya ke kamar sebelah, tidur sama Bapak.
Aku tertawa geli, melihat ibu memperlakukan Bimo seperti masih anak kecil. Bimo hanya
menggaruk-garuk kepalanya.
Jam 6 pagi aku terbangun, aku menggeliat, tidurku nyenyak sekali. Walaupun tanpa ac atau
kipas angin, kamar ini terasa adem. Ada semilir angin sejuk masuk melalui lubang angin di
tembok atas. Tapi ternyata ibu sudah tidak ada di kamar. Aku meringsut turun dari kasur. Dari arah luar
sudah terdengar suara orang menyapu dengan sapu lidi, suara burung, bunyi sekilas siaran
radio, bunyi air keran menyala, suara orang mandi, bunyi berdenting peralatan dapur.
Aku menggeliat, membuka pintu, celingak-celinguk kanan kiri.
Aku ke dapur, ternyata ibu sedang masak telor ceplok. Aroma telor goreng di pagi hari
membuat perutku 'nagih'. "Pagi ibu"wangi banget..." sapaku.
"Lha...sudah bangun kamu Ndok...sana cepetan mandi, udah siang"habis mandi, sarapan, ibu
sudah buatin telor ceplok, ada Kipo di meja kalau kamu mau." kata ibu sambil terus
melanjutkan membuat ceplok yang kedua.
"Iya bu?" aku ke kamar lagi, mencari handuk. Ternyata handuknya sudah tidak ada. Berarti
yang mandi itu Bimo. Aku ke dapur lagi.
"Saya bantuin Bu, kamar mandi lagi di pakai?" Aku langsung ke tempat cuci piring, mencuci
semua peralatan kotor di sana.
Ketika kudengar suara keran kamar mandi dimatikan, aku selesaikan cucianku cepat-cepat.
Bergegas aku ke kamar, mau mengambil handuk yang baru dipakai Bimo.
Di kamar Bimo masih mengaduk-aduk tas.
"Cari apa Bim"' tanyaku.
"Celana dalamku." jawab Bimo.
"Sini aku cariin"nih di pojok sini?" Bimo mengambil celana yang kusodorkan. Lalu dia
langsung membuka handuk yang melilit pinggangnya, menyerahkannya padaku. Bimo memakai
celana dalamnya dan meraih baju yang sudah aku sediakan.
Pada saat itulah ibu masuk kamar.
"Oalah...bocah iki, kog yo kober-kobere ndhlusup nang kamar calonmu yo!"
Ibu mencubit pinggang Bimo, kaget melihat anaknya berada dalam satu kamar dengan aku,
hanya mengenakan celana dalam!
Bimo meringis mendapat cubitan ibunya. Aku tertawa.
"Kan istriku sendiri Bu..." Bimo mencoba ngeles.
"Lha, menikah aja belum...sana..sana.." Ibu mendorong-dorong badan Bimo.
Bimo meringis. "Saya mandi saja dulu bu..." Aku cepat-cepat ke kamar mandi dengan wajah panas.
### Hari itu ketiga kakak perempuan Bimo datang bersama dengan suami dan anak-anak mereka
semua! Rumah menjadi sangat ramai, anak-anak kecil berlarian keluar masuk rumah. Para
pria berkumpul dengan segelas kopi untuk masing-masing, asap rokok seakan menjadi kabut
pegunungan di pagi hari. Para wanita berkumpul di ruang tengah, tertawa cekikikan, bergosip dan sesekali berteriakteriak marah memanggil anak masing-masing yang nakal atau menangis.
Dadaku sesak, oleh rasa hangat, oleh rasa penerimaan mereka yang luar biasa bagiku"
Di depan mereka ada beberapa penganan. Tadi Mbak Ningsih menjelaskan padaku.
Ada Geplak " makanan khas daerah Bantul " setelah kucoba ternyata kelapa parut, rasanya
sangat manis dan berwarna-warni!
Ada Gatot Tiwul, berbahan dasar ketela singkong dan jagung. Di atasnya ditaburi kelapa
parut. Ternyata aku menyukai rasa kedua penganan ini!
"Terus terang aku kaget mendengar kabar dari ibu tho, kalau adik bontotku akhirnya insyaf,
mau menikah juga dia..." kata Mbak Ningsih sambil tertawa, kakak tertua Bimo.
"Iya Liana, lha wong terakhir kali aku denger dia pacaran itu"ng"pas dia masih kelas tiga es
em pe...habis itu mbuh..." sahut Mbak Wati, kakak pas di atas Bimo.
"Bimo itu anak yang susah dekat sama perempuan...terlalu cuek anaknya. Yang ngarepin Bimo
sih banyak...Sapa mbak"Mbiyen wong wadhon sing nganti nangis-nangis moro mrene arep
pethukan karo Bimo?" Mbak Ayu, kakak nomor dua Bimo.
"Itu"si..Lusi ...Nensi...bukan...Renny, iya Renny! Teman sekelasnya Bimo waktu kelas satu
SMA tho?" Mbak Ningsih mengingat. Ketiganya langsung tertawa ngakak.
"Memang kenapa mbak si Renny itu?" tanyaku penasaran.
Mbak Ayu berhenti tertawa, menghapus air matanya...mulai bercerita.
"Renny itu suatu hari datang kesini, katanya pengen ketemu sama Bimo tho. Tapi Bimonya
malah ngumpet di kamar, ndak mau ketemu sama sekali. Renny langsung nangis waktu itu!
Kita semua langsung kalang kabut! Ibu pikir waktu itu jangan-jangan Bimo menghamili anak
gadis orang!" Ibu yang lagi menisik baju bapak hanya mengangguk-angguk, bibirnya
membentuk senyum kecil. Mbak Wati melanjutkan, "Aku langsung ngajak Renny ke kamar tho" Nah, aku kasi dia saputangan, biar dia bisa hapus
air matanya...Si Renny ini bentar-bentar pegang perutnya...nah siapa yang ndak curiga?"
"Aku langsung tanya dia, ada perlu apa kamu kesini Ren" Renny menjawab, mau ketemu Bimo
karena kangen...nah aku tanya lagi, kamu pacarnya Bimo" Renny bilang, bukan. Terus aku
tanya lagi, kenapa kamu nangis" Renny mulai lagi nangisnya. Dia bilang sambil dengan
terbata-bata begini, Ta"ta.dii"ssii..siang..Bim"bii..bimo...me..memmme"no"lak"cin"cintaku!"
Aku jadi tertawa mendengar cerita Mbak Wati berbarengan dengan tawa Mbak Ningsih dan
Mbak Ayu. "Ndak hanya sampai itu tho"Aku nanya lagi...terus kamu kenapa pegang-pegang perut terus"
Renny menjawab begini, sambil pegang perutnya lagi dia,
A..a"kkuu"aku...ha"ha"bis...ma"makan...ru"jakkk...sakit...pe.pee..perut..."
Semua tertawa ngakak! Aku menghapus air mata yang tidak terasa keluar mendengar cerita lucu tentang Bimo
kecil... Laki-lakiku... "Habis itu aku kasi dia obat sakit perut, terus dia pulang..." Mbak Wati menuntaskan
ceritanya. "Kami bertiga langsung ke kamar Bimo waktu itu tho, berhari-hari topik Renny jadi bahan
ledekan ke Bimo." sambung Mbak Ningsih.
"Bimo nggak ngomong apa-apa, mbak?" tanyaku.
"Oalahhh kamu ndak tahu Bimo, sama cewek cueknya minta ampun, dia cuma ngomong ORA
URUS! Habis gitu, sudah, tidur..." mereka bertiga tertawa lagi.
"Makanya waktu mendengar Bimo mau menikah, ibu langsung ngucapin syukur...anaknya
masih normal!" sahut Mbak Ayu sambil terkekeh.
"Wah"dibandingkan Liana sih, Renny lewat jauhhh jauhhh"ya tho"...Pantesan Renny ditolak
sama Bimo, lha wong ternyata Bimo seleranya tinggi begini!" kata Mbak Ningsih sambil
melihat ke arahku tersenyum.
Aku tersipu malu. "Liana! Tolong ambilin aku kopi lagi, sayang?" Bimo berteriak kepadaku.
"Suit suit! Sayang ni yeeee?" Mbak Ayu meledek Bimo. Bimo nyengir, lupa berada di mana
dia sekarang. Pipiku terasa panas. "Kopinya di dapur Ndok..." Ibu memberitahuku.
Aku berdiri dan ke dapur. Aku mencari-cari panci kecil untuk menjerang air. Gelas, kopi, dan
gula sudah kutemukan. Nah, ternyata pancinya ada di dalam lemari tempat piring. Ketika aku berbalik, Bimo sudah
ada di belakangku. "Sekalian buat Bapak ya sayang?" pinta Bimo sambil menatapku penuh cinta. Aku tersipu
hanya mengangguk. Bimo memegang pipiku, mengeluskan jarinya di sepanjang rahangku.
Oh Bimo"please"not now"not here...batinku mendesah. Aku memejamkan mataku.
Bimo mendekatkan wajahnya dan mengulum bibirku mesra...aku membalasnya"Sengatan
listrik seakan-akan terjadi ketika bibirnya menyentuh bibirku...Bimo mendekatkan
pangkalnya ke arahku...sudah keras!
"Aku sudah nggak sabar menjadikan kamu istriku Liana..." bisik Bimo lirih. Aku mengambil
nafas panjang, mencoba mengendalikan nafsuku yang datang berkelebat seperti angin!
"Sudah sana Bim"keluar...keluar?" Aku mendorong tubuhnya agar keluar dari dapur. Bahaya
kalau mereka menangkap aku dan Bimo begini.
Bimo keluar dengan seringai lebar di wajahnya.
Aku tersipu lagi... Otakku berkatait's too good to be true...
Menjelang sore mereka semua pulang, bubar. Aku membantu Bimo membereskan rumah yang
seperti terkena angin puyuh gara-gara tujuh anak kecil yang tidak bisa diam.
Ibu memasak tahu tempe bacem dan oseng kangkung pedas buat makan malam. Aku merasa
senang melihat Bimo makan dengan sangat lahap! Ibu pun tidak berhenti memandang anak
laki-laki satu-satunya ini.
"Bapak dulu itu kepala sekolah Liana, ketemu ibu ini ya di sekolahan itu, sekolah SD. Bapak
beruntung sekali selain mendapat guru matematika yang bagus, kompeten, bapak juga dapat
istri yang cantik, memuaskan!" bapak bercerita dengan bangga, menyentuhkan tangannya ke
lengan ibu dengan mesra. Memang mirip Bimo " batinku.
"Ayo Liana, makan yang banyak! Kamu kurus begini, Bimo suruh istrimu ini makan yang
banyak tho." ibu memperhatikan piringku.
Bimo melirik piringku dan langsung menyendokkan nasi tambahan, tahu tambahan, tempe
tambahan, kangkung tambahan...Aku membelalakkan mataku pada Bimo yang cuek
melanjutkan makannya. Aku baru tahu kalau orangtua Bimo adalah para pendidik putra bangsa negeri ini.
Tidak heran lagi apabila Bimo memiliki pengetahuan luas, berpikiran yang luas, penuh
tenggang rasa...Aku merasa jatuh cinta lagi pada Bimo-ku...
Aku dan ibu mulai membersihkan meja makan, mencuci perabotannya. Lalu kami duduk di
beranda depan, ngobrol. "Kamu ndak salah tho Le"masa' besok sudah mau balik?" Ibu menegur Bimo.
"Njih Bu, kulo lan Liana taksih kathah pedamelan wonten kantor ingkang kedah dipun
lajengaken. Dereng mangke taksih ngurusi acara kangge rabi mangke?" Bimo menjelaskan
situasi kami. "Ya udah, ndak apa-apa, yang penting bapak sama ibumu ini merestui pilihan kamu." kata
bapak bijak. "Iya, apa yang menurut Bimo baik, ibu setuju..." ibu menimpali sembari memegang lenganku.
"Makasih bapak, ibu..." Aku tersenyum pada mereka berdua, mengusap tangan keriput ibu.
Aku merasa lega. "Liana, tolong bikinin teh anget dong, gulanya dikit aja. Bapak mau?" Bimo menoleh ke arah
bapak, menawarkan. Bapak menggelengkan kepala mendapat tawaran Bimo. Ketika aku berjalan ke arah dapur,
ada tamu datang. Sepasang suami istri.
Sekalian aku buatkan teh hangat juga buat tamu.
Aku sajikan tiga cangkir teh di atas meja, lalu aku tarik kursi duduk dekat Bimo.
"Liana, ini kenalkan ini Bulik Sri, adiknya bapak, ini Paklik Danang suaminya", Bimo
memperkenalkan tamu yang datang.
Aku menjabat tangan mereka berdua.
"Paklik"bulik..." aku menyapa mereka.
"Sri ini maksa aku dari tadi minta dianter kesini. Katanya dia ingin melihat calon istrinya
Bimo. Bagaimana bu" Udah puas lihatnya tho?" Paklik menggoda bulik yang mengerling kesal
kartunya dibuka. Bapak dan ibu tertawa dan Bimo tersenyum.
"Iya pak, orangnya ternyata cantik banget ya tho" Kaya iku lho pak, bintang sinetron!" Bulik
memujiku sambil mengacungkan jempol kanannya ke arahku.
Aku tersipu malu. "Liana, nanti kalau sudah menikah, jangan pake KB-KB-an ya..." Bulik Sri melanjutkan
wejangannya. DEG!! Hatiku mendadak cemas, panik"ingatan tentang teror mama mertua untuk memiliki anak
dari Benny memborbardir ingatanku dengan sangat kuat secara tiba-tiba!!
"Cepet hamil, jangan ditunda! Kalau bisa anak laki-laki, jadi nama bapakmu ini ada
penerusnya! Apalagi kamu Bimo, anak laki-laki satu-satunya yang jadi harapan keluarga,
untuk bisa meneruskan nama baik bapakmu ini! Ya tho?" Bulik Sri menambahkan lagi.
OH TIDAK!! Aku memejamkan mataku, keringat dingin mulai menetes di keningku. Aku merasa
mual...tanganku terasa gemetar...aku benar-benar merasa panik"ternyata keluarga Bimo pun
menuntut hal yang sama seperti keluarga Benny dulu!
BAGAIMANA KALAU AKU TIDAK BISA MEMBERI BIMO ANAK SEPERTI YANG
MEREKA HARAPKAN?""
HARUSKAH AKU KEHILANGAN BIMO SEPERTI AKU KEHILANGAN BENNY?""
Aku memejamkan mataku, kepalaku terasa sakit, tanganku berkeringat dingin, aku pegang
lengan Bimo. Bimo melihatku terkejut!
Sebelum Bimo berdiri, badanku sudah limbung?"
"Liana!!" Bimo menahan badanku agar tidak jatuh. Aku berusaha membuka mataku, tapi
rasanya semua otot di badanku tiba-tiba lemas...
Bimo mengangkat badanku dan dengan langkah cepat membawaku ke kamar. Bimo
membaringkanku di kasur. "Liana...Liana...sayang...kamu kenapa?" Bimo bertanya cemas. Aku membuka mataku. Ibu
tergopoh-gopoh membawa minyak kayu putih.
Bimo mengoleskan minyak kayu putih di hidungku, leher, dadaku, perutku, dan punggungku.
Aku merasa hangat. Bapak datang membawa segelas air putih.
Bimo menyanggah badan atasku dengan lengan kiri dan pahanya, berusaha menyodorkan air
minum ke mulutku. Aku hanya bisa mengerang, mulutku terasa lumpuh " tidak mengikuti
perintah otakku untuk membuka, air mataku mulai menetes di pipiku...
Aku tidak mau menyakiti Bimo dan keluarganya, aku tidak mau menyakiti Bimo dan
keluarganya, aku tidak mau menyakiti Bimo dan keluarganya...
Kalimat itu terngiang di kepalaku berulang-ulang...
Melihat aku yang tidak bisa menggerakkan mulutku, Bimo meminum air putih itu dan dia
menempelkan bibirnya di mulutku! Aku merasakan aliran air mengalir hangat dalam mulutku,
mengalir ke tenggorokanku, mengalir...
Bimo meminum lagi air dan menyimpannya di mulutnya, menyuapi aku dengan mulutnya
lagi...sampai aku membuka mataku...
Kesadaranku perlahan terkumpul...rasa sakit di hatiku masih terasa nyeri. Kulihat Bimo
menatapku cemas, bapak berdiri dekat Bimo dengan seteko air minum. Ibu duduk di sisiku ,
memijat lembut tangan dan kakiku...
Keluarga yang harmonis ini...haruskah aku menghancurkannya karena aku tidak bisa memberi
mereka keturunan" Hubunganku dengan Bimo di Thailand tidak membuatku hamil. Aku masih mendapat periode
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulananku... "Sayang..." Bimo mengusap pipiku perlahan. Aku berusaha tersenyum.
"Nggak apa-apa Bimo...aku hanya capek..." jawabku lemah.
Bimo membaringkan aku, dan dia juga setengah berbaring di sisiku...
Bapak dan ibu keluar kamar diam-diam, tanpa suara...menutup pintu kamar...Aku sangat
kagum dengan pengertian mereka, bagaimana memperlakukan anak mereka yang sudah
dewasa. Bimo membelai wajahku, menciumiku perlahan di semua bagian wajahku"
"Liana...apa yang kamu rasakan sayang"Kita periksa ke dokter ya..." Bimo bertanya lembut.
Aku menggeleng. Tanganku sudah merasa hangat, serangan panik sudah selesai, hatiku sedang mengalir
darah, dari luka yang dulu sudah mengering...
Bimo menumpangkan kakinya di kakiku, membelai, seakan ingin memberi kehangatannya.
Aku merasa lelah...kalah...sakit...perasaan yang sama ketika aku meninggalkan Benny...
Aku memejamkan mataku dan tertidur...
### Ketika aku bangun, Bimo masih dalam posisi yang sama seperti semalam...Posisi yang sama
seperti Benny-ku saat itu...
Sama seperti dulu, sudah saatnya aku pergi...
Aku tersenyum tipis pada orangtua Bimo, aku peluk ibu" untuk terakhir kalinya...
Aku tidak banyak bicara sepanjang perjalanan pulang hingga tiba kembali di Jakarta.
"Kita ke apartemenku dulu ya sayang..." Bimo bertanya kepadaku.
"Nggak. Aku mau pulang", aku menjawab singkat.
Bimo menghela nafas. Menggenggam erat tanganku, menciuminya setiap menit. Aku hanya
diam. Harus ada yang mengalah...dan itu aku...sebelum semua terlanjur...aku tahu apa yang harus
kulakukan... Bab 15: Luluh Lantak Bimo membaca smsnya berkali-kali dengan rasa tidak percaya. Tangannya menggapai-gapai
tepi ranjangnya. Pandangannya tak lepas dari handphone yang dipegangnya!
BIMO, AKU BARU SADAR BAHWA AKU BUKAN WANITA YANG TEPAT BUAT KAMU.
KAMU BAHKAN TIDAK PERNAH TAHU LATAR BELAKANGKU. LEBIH BAIK KAMU
MENCARI WANITA LAIN. TOLONG JANGAN CARI AKU. AKU PERLU WAKTU UNTUK
SENDIRI. SELAMAT TINGGAL. LIANA.
Apa maksud Liana" Kenapa jadi begini?"
Bimo langsung menekan nomor telepon Liana. Tidak aktif.
Dia mencoba sekali lagi. Sama saja.
Bimo mencoba mencerna lagi kata demi kata yang ditulis Liana...Salah bacakah dia"
Salah mengertikah dia"
Atau Liana hanya bercanda" Tapi tak ada satupun kata yang membuatnya berkesimpulan
seperti itu... Bimo mondar-mandir di kamarnya, pikirannya mendadak buntu. Dahinya berkerut, matanya
menyorot penuh tanya. Dia mencoba menghubungi Liana lagi. Masih tidak aktif.
"LIANA...!!" Bimo berteriak kencang, seakan mau membongkar batu yang menutupi otaknya.
Bimo lunglai terduduk di lantai, mencoba mengatur nafasnya yang tersengal oleh rasa panik.
Dibacanya sekali lagi pesan Liana. Artinya masih sama, Liana meninggalkannya!
Dengan tidak sabar, dia coba menelepon Liana lagi. Masih tidak aktif!
Bimo mencoba berkonsentrasi " fokus " mengatasi rasa paniknya...Telepon rumah Liana!
Cepat-cepat Bimo menekan telepon rumah Liana. Diketuk-ketukkannya jarinya di lantai,
tidak sabar menunggu ada yang mengangkat.
Terdengar sapaan 'halo'...mama!
"Ma, saya Bimo, bisa bicara sama Liana, ma?" Bimo bertanya dengan tenang.
"Lho, Liana pergi dari kemarin kan Bim" setelah kamu antar, 2 jam kemudian dia pergi lagi
katanya tugas kantor. Dia naik taksi sendirian. Memang ada apa Bimo?"" nada suara mama
Liana mulai terdengar bertanya-tanya.
Bimo merasa dia harus menenangkan calon mertuanya ini.
"O iya ma, kok saya bisa lupa. Ke Surabaya dia. Ya udah, nanti saya telepon Liana ke hp-nya
saja...Udah dulu ya ma?" Bimo menutup telepon.
Siapa lagi yang kira-kira bisa tahu tentang Liana" Liana tidak punya banyak teman...pikir
Bimo. Ellen! "Ada apa Bim?" Ellen langsung bertanya.
"Kamu di mana, Len?" Bimo bertanya.
"Di kantor. Emang kenapa" Kamu nggak ngantor Bim?"
"Nggak, aku minta ijin hari ini nggak bisa ngantor, tolong kasi tahu Pak Imam, Len. Oya, aku
ngomong sama Liana dong..." Bimo mencoba keras mengatur nada suaranya agar terdengar
seperti biasanya.Please Liana...
"Nggak ada Liana, Bim, belum datang..." jawab Ellen cepat.
Bimo langsung mematikan teleponnya tanpa basa-basi lagi.
Yang lain?"...Pak Imam!
"Ya Bimo, ada apa" Kebetulan saya juga mau nelpon kamu." Pak Imam langsung mengangkat
teleponnya pada deringan pertama.
"Bapak ada mendengar berita dari Liana hari ini?" Bimo bertanya tanpa tedeng aling-aling.
"Lho, kok pertanyaan kamu aneh sekali Bim. Justru saya ingin bertanya sama kamu, kenapa
Liana tiba-tiba kirim suratresignpagi tadi lewat email. Dia bilang dia ada urusan, dan masih
mau menerimafreelance jobsuatu hari nanti. Ada apa Bimo" Kalian bertengkar?" Pak Imam
bertanya dengan nada arif, baginya Bimo adalah lebih dari sekedar bawahannya " hasil
didikannya. Bimo sudah seperti sahabat dan keluarga baginya.
Tubuh Bimo lemas tak berdaya, kepalanya lunglai mendengar cerita Pak Imam. Lantas Bimo
menceritakan kepada Pak Imam kejadian di Jogja, tentang perubahan sikap Liana yang tibatiba.
Bimo benar-benar tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi Liana.
"Saya coba pancing Liana dulu Bim, saya akan lacak dia begitu dia merespon saya"Nanti
saya akan kabari kamu?" Pak Imam mencoba menolong Bimo.
"Terima kasih, pak..." Bimo menutup sambungan teleponnya.
Bimo membuka laptopnya. Mulai mengetik email buat Liana...
LIANA SAYANG...AKU SUDAH BACA SMS KAMU. ADA APA SAYANG" SEMUA
MASALAH PASTI ADA JALAN KELUARNYA...KAMU DI MANA SEKARANG LIANA" AKU
JEMPUT KAMU YA SAYANG"MAAFKAN AKU KALAU AKU BERBUAT SALAH LIANA...
AKU MENCINTAI KAMU LIANA...
Bimo menekan tombol 'send', menatap dengan pandangan kosong ke arah monitor, berharap
ada jawaban masuk dari Liana.
Sejam kemudian, belum ada jawaban.
Dua jam kemudian, belum juga.
Tiga jam kemudian, Bimo menelpon Pak Imam, sama-sama belum mendapat kabar.
Jam 12 tengah malam, Bimo telentang di kasurnya. Matanya merah. Bajunya masih sama
seperti tadi pagi. Perutnya perih belum diisi makanan sedikitpun. Kepalanya terasa pusing
berputar-putar. Bimo meraih obat sakit kepala dan diminumnya dengan segelas air.
Diraihnya foto Liana...diusapnya wajah kasihnya itu penuh perasaan...dipandangnya nanar
wajah cantik yang membuatnya mati kutu dari awal pertemuan mereka...
Jam 4 subuh, belum ada kabar apa-apa, Bimo tertidur di meja laptopnya.
Jam 6 pagi, Bimo terbangun, belum ada kabar apapun. Badannya lemas, otaknya
memperingatkan dia bahwa dia membutuhkan energi untuk mencari Liana. Bimo menyeret
langkahnya ke dapur, dibuatnya mi instant, dia berusaha menelan mi yang saat ini terasa
sepah seperti gabah padi kering!
Diteleponnya Mega, adik Liana, berusaha memancing. Tapi jawabannya sama seperti mama
Liana. Bimo terduduk lagi di depan laptopnya. Gairah hidupnya pupus sudah. Dia mengkhawatirkan
Liana, dia merindukan Liananya...
Wajahnya kuyu, pucat, air mata mengambang di matanya yang keruh dan merah...terasa
panas... Diambilnya rokok, dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskannya kencang!
"LIANA!!!!" Bimo berteriak kesal! Dia memukul meja sekuat tenaganya!!
Malam hari, Bimo terduduk di bawah shower yang menyala"dengan pakaian
lengkap"menyamarkan tetesan air mata yang mengalir di pipinya...Berharap air akan
melarutkan semua keresahannya, berharap air akan mengalir jauh mengirimkan rasa
rindunya... Jam 7 pagi, dia terbangun dari posisi duduk di depan laptopnya, terbangun oleh suara
deringan teleponnya. Bimo meraih teleponnya cepat, dipicingkannya matanya berusaha melihat nama
peneleponnya. Dari nomor tidak dikenal.
"Halo", Bimo memberi salam.
Kata-kata dari si penelepon membuatnya tertegun, kemudian hampir tersenyum yang
digantikan oleh raut keterkejutan.
Bimo mendengarkan dengan serius kalimat demi kalimat dari lawan bicaranya. Wajahnya
tiba-tiba berubah cemas...!
"Saya akan ke sana. Sekarang!" Bimo mematikan teleponnya.
Dengan secepat kilat dia mengemasi barang-barangnya, dan berlari menuju pangkalan taksi
di depan apartemennya. Tidak diperhatikannya sekitarnya lagi, pikirannya sudah terkunci
oleh cerita penelepon barusan.
"Bandara pak. Tolong cepat ya pak." Bimo memberi instruksi ke sopir taksi yang
membawanya. ### Aku menyeka air mataku berulang kali di kamar. Setelah Bimo mengantarku pulang, aku
hanya tertegun diam di kamar, bimbang, galau...
Menyakiti Bimo adalah hal terakhir yang akan sanggup aku lakukan sebelum aku sendiri yang
akhirnya akan mati... Setelah berpikir penuh pertimbangan, aku memutuskan yang terbaik buat Bimo.Aku harus
menjauh pergi dari kehidupannya! Selamanya...Aku harus menghindar!
Aku pamit ke mama, aku bilang aku ada tugas luar kota lagi.
Dengan taksi aku langsung ke bandara. Penerbangan kali ini terasa sangat menyiksaku. Aku
tidak perduli pandangan aneh dari orang-orang yang melihatku menangis.
Ketika dia datang menjemputku, aku peluk dia erat, menangis di bahunya...dia menuntunku
pergi...membujukku...menghiburku...
Ketika mata bengkakku sudah tidak mampu mengeluarkan air mata lagi, dia membantuku
membaringkan badanku di tempat tidur. Menyelimuti badanku yang seperti mayat hidup.
Membelai dahiku yang pucat seakan tak berdarah...
Malam seperti mengejekku, menggodaku dengan kenangan yang silih ganti terbayang
bagaikan film hidup di mataku.
Suara ayam berkokok di pagi hari tidak menyadarkanku bahwa aku belum bisa tidur juga...
Menghindar dari Bimo ternyata adalah hal yang paling menyakitkan bagiku...Aku harus
melupakan sosoknya, aroma kopinya, wajahnya, senyumnya, rambut ikalnya, perhatiannya,
hatinya, cintanya...Sedangkan semua itu sudah terlanjur mengalir dalam setiap pembuluh
darah di tubuhku, ada dalam setiap hembusan nafasku, ada dalam setiap aku membuka
mata... Pagi pertama di tempat ini, aku kirim email ke Pak Imam tentang pengunduran diriku, tanpa
alasan jelas. Lalu aku kirim pesan singkat untuk Bimo, yang aku ketik dengan susah payah,karena setiap
huruf yang kutekan telah menancapkan sebilah pisau di hatiku. Karena setiap kali mata
menatap pesan itu, mengucurkan bah kesedihan yang menutupi mataku, karena setiap kali
aku menarik nafas aku sudah mengucurkan cuka di atas lukaku...
Ketika aku kirim pesan itu, aku sudah meregang.Separuh dari jiwaku sudah pergi"hilang...
Tak ada yang bisa, mampu ataupun mau kulakukan setelah itu...selain termenung. Menatap
gerombolan ikan koi berenang kesana kemari tanpa ada perasaan beban di hati...Aku iri...
Aku berusaha mengosongkan pikiranku, mengosongkan hati dan batinku...
"Liana"dari sejak kamu datang, kamu belum makan. Makanlah...nanti kamu sakit?" suara
jernih itu mengingatkanku. Aku hanya terdiam. Ikan koi itu lebih menarik, daripada rasa
lapar di perutku... Ini kedua kali matahari terlihat di ufuk timur di tempat ini. Aku masih tidak punya
keinginan apa-apa, meringkuk sendiri di sudut kamar, melihat ikan koi yang bercumbu,
berusaha membuatku cemburu...
Malam hari semakin menyiksaku dengan bayangan hangat lengannya, kecupannya,
belaiannya...Aku tidak mau malam hari, aku mau selalu pagi hari, agar aku bisa bercanda
dengan koi merah itu, yang seolah tersenyum dan mengajakku berenang di dalam sana...
Ini ketiga kali matahari muncul di tempat ini. Aku melayang...badanku ringan sekali...aku
melihat ada badan meringkuk di dekat kolam koi, yang ditangisi oleh seorang wanita yang
menggandeng dua anak kembar...
Bab 16: Mendung tak Berarti Hujan
Bimo berlari dan berlari, telinganya tetap tekun mendengarkan suara dari handphonenya.
Keringat bercucuran di keningnya dari antara rambut ikalnya yang tergerai. Baju yang
dipakainya sudah kusut masai. Matanya sudah keruh oleh rasa khawatir yang menyesakkan
dadanya... Tulisan Bandara Ngurah Rai Bali semakin lama semakin mengecil, menghilang dari pandangan
ketika taksi yang dinaikinya melaju kencang. Handphone masih melekat di telinganya tanpa
rasa pekak. Kuku jarinya sudah berwarna kekuningan oleh asap rokok yang tak putus
dihisapnya selama tiga hari ini...
Wanita yang berbicara melalui telepon itu membimbing Bimo ke sebuah rumah.
Tanpa menekan bel rumah, pintu sudah terbuka. Tanpa mengucapkan kata apa-apa, dia sudah
menerjang masuk ke dalam rumah. Tanpa bertanya apa-apa, Bimo sudah tahu dia harus ke
arah mana, dia hanya cukup mengandalkan kata hatinya untuk menemukan pecahan separuh
hatinya yang terjatuh... Dibukanya pintu kamar yang tertutup rapat itu...Sesosok badan wanita tergeletak di
ranjang... Bimo menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai...dihampirinya sosok diam itu...Liananya...wanitanya...kasihnya...yang dirindukannya setengah mati beberapa hari ini...
Nafas Liana berhembus pelan...terlalu pelan...
Bimo duduk di sisi Liana, digenggamnya tangan kekasihnya itu. Tangan kurus pucat yang
sangat didambakannya...diciuminya setiap buku jemarinya...dibiarkannya tetesan air matanya
membasahi tangan Liana-nya...
### Bimo duduk berhadapan di ruang tamu dengan Rista, sahabat Liana, orang yang membimbing
Bimo melalui telepon selama ini.
"Liana sudah membaik. Sejak dia tiba di sini, malam Senin, dua hari dia tidak makan...hingga
akhirnya pingsan. Saat itulah aku nekat menelepon kamu Bimo. Aku paksa dia untuk menelan
air dan bubur cair, pertama dia menolak, tetapi akhirnya dia mau" Rista menjelaskan
perlahan kepada Bimo. "Liana mengambil sumpahku untuk tidak pernah memberitahu siapapun termasuk kamu,
tentang keberadaannya di sini. Tapi aku tidak mau kehilangan sahabatku selamanya. Biarlah
nanti dia akan menganggap aku sebagai musuh, asalkan nyawanya selamat?" Rista
melanjutkan. Bimo mengeluarkan rokoknya, menyalakannya dengan gerakan mengambang...
"Liana sangat mencintai kamu Bimo...tapi dia sedang bimbang. Tentang masa lalunya...Liana
pernah cerita ke kamu tentang masa lalu dia?" Rista bertanya pada Bimo.
Bimo menggeleng. Mematikan lagi rokok yang belum disentuhnya. Dia tidak ingin melakukan
apa-apa. Rista menghela nafas panjang.
"Liana pernah bersuami, lima tahun rumah tangga mereka bertahan. Nama suaminya Benny
Setiawan. Hasil perjodohan. Tapi Liana jatuh cinta juga kepada suaminya itu. Cinta pertama
Liana. Setelah satu tahun mereka berumah tangga, Liana baru tahu kalau suaminya impoten.
Mertuanya, yang tidak tahu anaknya impoten, selalu menyalahkan Liana kenapa tidak hamil
juga". Rista tercenung diam, mengingat masa lalu, ketika Liana sering ke rumahnya hanya untuk
menumpahkan air matanya. "Ketika akhirnya mertuanya tahu anaknya impoten, mereka tetap menginginkan penerus
nama keluarga. Inseminasi buatan kedengarannya bagus pada waktu itu, tetapi menjadi
bencana ketika mama mertuanya merencanakan sperma suaminya sendiri " papa mertua
Liana " yang akan dimasukkan ke rahim Liana.
Liana memberontak " menolak, dan beberapa bulan kemudian Liana meminta perceraian.
Walaupun dia masih sangat mencintai suaminya, tetapi Liana lebih suka mengorbankan
dirinya sendiri agar Benny mendapatkan istri baru yang mau menjalankan rencana mamanya
itu?" Bimo menelan ludah. Dia memang tidak pernah bertanya kepada Liana...dia tidak tahu kalau
Liana pernah menderita seperti itu...
"Kemarin pada saat kamu membawa Liana ke Jogja, tante kamu menekankan kepada Liana
agar cepat hamil dan mendapatkan anak laki-laki yang bisa meneruskan nama keluarga ayah
kamu, ya kan" Liana terkena serangan panik waktu itu, Bim!
Dia ketakutan. Dia tidak mau kehilangan kamu di saat kalian sudah menikah. Dia merasa
lebih baik kehilangan kamu saat ini...Liana sangat menghormati orangtua kamu Bimo, dia
tidak mau menghancurkan harapan keluarga kamu"
Bimo memegang kepalanya, menunduk, meremas rambut ikalnya yang kusut masai.
"Bimo, saya tidak tahu pandangan kamu tentang kehadiran seorang anak di antara kalian.
Kamu harus memikirkan, seandainya, memang Liana tidak bisa memberikan kamu keturunan,
apakah kamu akan tetap mencintai Liana?" Rista "menembak" Bimo di bagian yang fatal.
Bimo menatap Rista, putus asa.
"Liana adalah hidupku Ris" Saat ini aku hanya mau Liana ada di sisiku, sepanjang
hidupku...selamanya. Anak adalah hadiah dari Tuhan, kalaupun kami berdua tidak
mendapatkan hadiah itu, kami berdua hanyalah makhluk ciptaanNya yang hanya bisa
pasrah...Semua itu adalah bagian dari rencana Yang Maha Kuasa juga..."
"Apa yang akan kamu lakukan ketika keluargamu menuntut seorang penerus dari kalian,
Bim?" Rista "mengejar" Bimo, dia ingin tahu seberapa dalam cinta Bimo kepada sahabatnya.
"Ayahku sudah memiliki ibuku. Semua kakakku sudah memiliki suami mereka. Tanteku sudah
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki suaminya. Mereka memiliki kehidupan masing-masing. Dan aku berhak juga untuk
memiliki kehidupanku sendiri bersama Liana. Aku dan Liana sudah bukan bagian dari mereka
lagi"Kami berhak untuk bahagia dengan cara kami sendiri..." Bimo menjabarkan isi hatinya
dengan pandangan nanar ke arah Rista.
Rista tersenyum mendengar jawaban Bimo yang sangat dalam!
"Kalian berdua sama-sama saling sangat mencintai, saat ini sama-sama terluka... Sekarang
kamu tinggal pikirkan bagaimana kamu bisa meyakinkan Liana tentang hal ini, Bim. Tapi
tolong ingatlah, Liana sangat rapuh saat ini. Kalau kamu memegang dia terlalu keras, dia
akan pecah...kalau kamu tidak memegang dia, dia akan jatuh dan hancur..."
Bimo mengangguk dan menarik nafas panjang.
"Saya dan keluarga akan ke Ubud untuk empat atau lima hari, Bimo. Di sini ada Mbak Sukesi
yang menjaga rumah. Pakailah semau kalian, minta ke mbak apapun yang kalian
butuhkan...Kunci mobil ada di gantungan sana, pakailah mobil kalau kamu perlu Bim. Semoga
semua menjadi baik-baik saja..." Rista sengaja memberi kesempatan pada Bimo dan Liana
berdua saja di rumah ini untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Terima kasih Rista...untuk segalanya..." Bimo tersenyum pada Rista.
"Di ruang makan udah disediakan makanan untuk kalian berdua...Kamu kusut banget Bimo,
mandilah biar segar. Liana juga belum mandi dari hari pertama...benar-benar sehati kalian..."
Rista tersenyum kecil. Hatinya sudah tenang menyerahkan Liana ke tangan orang yang
tepat. Bimo tesenyum masam.
Bimo kembali ke kamar, Liana masih tidur. Bimo mengambil baju dan ke kamar mandi.
Mencukur kumis dan janggutnya adalah hal pertama yang dia lakukan.
Setelah selesai mandi, Bimo duduk di ruang makan. Mengunyah perlahan makanannya.
Berpikir keras apa yang harus dikatakannya atau dilakukannya untuk meyakinkan Liana
bahwa punya anak atau tidak punya anak bukan menjadi soal baginya dan bagi keluarganya
juga. Bimo mengambil handphonenya, mengetik pesan untuk Pak Imam, memberi tahu bahwa dia
sudah menemukan Liana-nya, dan meminta maaf karena sudah bolos ngantor untuk
beberapa hari. Jawaban Pak Imam membesarkan hatinya, membuatnya semakin menghormati atasan yang
selalu membimbing dia selama ini.
KAMU SUDAH MENGAJUKAN CUTI SEMINGGU KAN BIMO" ELLEN SUDAH
MENGURUS CUTI KAMU. KEJARLAH APA YANG MENURUT HATIMU ADALAH YANG
TERBAIK. KESEMPATAN TIDAK DATANG DUA KALI. GOOD LUCK.
Bimo tepekur...ada satu orang yang bisa membantunya meyakinkan Liana...cepat-cepat dia
hubungi orang yang biasa menjadi tempatnya mengadu sejak kecil...
### Aku mengerjapkan mataku. Rasa pusingku sudah berkurang. Tadi Rista benar-benar marah
karena aku tidak mau makan. Omelannya benar-benar pedas, dia membawa-bawa nama
Mama, seseorang yang tidak bisa aku abaikan juga, selain Bimo...oh Bimo...kenapa selalu
Bimo"... Aku menengok ke arah pintu kamar yang terbuka. Perlahan aku turun dari kasur"Aku sudah
pernah mengalami hal menyakitkan seperti ini sebelumnya, sekarang aku juga pasti bisa
melewatinya. Aku berusaha menghadirkanpositive thinkingku...
Mataku menangkap ada satu tas tergeletak di dekat pintu. Tas yang terasa tidak asing
lagi...aku mendekat...membuka tas itu...aroma yang kukenal baik...baju-baju Bimo!
Aku merasa sangat terkejut! Kenapa ada baju Bimo disini" Siapa yang bawa"
Aku memandang tas itu panik! Dan semakin panik ketika kulihat sosoknya di ambang
pintu....Bimo...Bimo-ku....dulu...Aku mengernyitkan dahiku, rasa sakit itu datang lagi...dadaku
terasa diiris sembilu tajam...
Aku terdiam seperti patung dengan mataku menatap matanya...terikat...terkait...tidak bisa
lepas... Bimo mendekat...makin dekat...matanya menyiratkan rindu dan cinta yang kutangkap sangat
jelas seperti membaca sebuah huruf besar di langit biru yang luas...
Mata kami masih terpaut, tidak berani untuk berkedip untuk sekalipun...Aku menengadahkan
kepalaku menatap matanya...Dia hanya satu senti dariku"menjulang tinggi...kepalanya
menunduk menatapku... Nafas hangatnya menyapu wajahku...nafas yang kudambakan...aroma kopi yang
memabukkan....tapi kini bukan milikku lagi"aku sudah membuangnya...
Aku tercekat, kalah, kutundukkan kepalaku, memejamkan mataku yang tiba-tiba basah,
menciptakan sungai duka di pipiku...
Ketika jemarinya menyentuh wajahku, menghapus perlahan air dukaku, aku seperti
mendapatkan siraman air segar di tengah padang gersang yang panas!
Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mengembalikan kesadaranku"
Aku mundur selangkah...menghindar... ini yang terbaik...bagi Bimo-ku, satu-satunya Bimoku"dulu...Aku sudah tak layak...Air mataku mengaburkan pemandangan kotak-kotak ubin di
kakiku... "Liana...lihat aku sayang..." Bimo memanggilku lembut.
Aku diam. Bimo mendekat lagi, mengulurkan tangannya.
Aku ingin meraihnya...menggenggamnya...tapi sudah tidak bisa"tidak boleh...
Bimo semakin mendekat, meraih tanganku yang lemas tak berdaya...menariknya hingga
badanku seperti layang-layang yang oleng karena hembusan keras angin di bawah langit...
Jemariku terjalin di antara jemarinya...bertumpang tindih, mengalirkan sejuta sengatan di
setiap titik syarafku...Bimo menarik badanku"mendekatkanku padanya...Hidungku di
dadanya, hidungnya di kepalaku...Aku memejamkan mataku, mencoba mencari dispensasi,
agar aku boleh menikmati kehangatan aromanya untuk sekali ini saja...
Bimo menarik kedua tanganku ke pinggangnya, meletakkannya di sana...tangannya sendiri
merengkuh bahuku lembut...dan memelukku erat...Ada yang menetes basah di leherku, di
punggungku, di rambutku...air mata Bimo! Air mata laki-lakiku yang baru kurasakan hari
ini...menetes panas seperti tetesan air keras di kulit manusia...hatiku melepuh bernanah...Oh
sayangku...sudah berapa banyak air mata yang kamu teteskan"....
Dada Bimo kurasakan bergerak pelan, sebuah isakan lirih terdengar bagai serangan senjata
tajam di telingaku...Kami berdua sama-sama terluka...parah...
Air mataku sudah menjadi telaga di dadanya...isakanku sudah menjadi harmoni di antara
detak jantungnya... "Sayangku"Liana ku ...wanitaku..." Bimo memanggilku lirih...
Tidak memerlukan banyak kata untuk mengungkapkan rasa rindu, rasa cinta, dan rasa sakit
di antara kami... "Maafkan aku Liana...maafkan aku..." Bimo berbisik lagi.
Tanganku menyentuh punggungnya dengan ragu, punggung kekar yang selama ini
melindungiku, yang memberiku kenyamanan...Saat tanganku tiba di sana, semua terasa pas,
terasa memang di sanalah seharusnya tanganku berada!
Bimo mendorongku, membimbing badanku untuk duduk di atas kasur. Tangannya
menggenggam erat tanganku. Matanya merah, semerah bara api...
"Makan ya sayang...tunggu di sini"aku ambil makanan..." Bimo langsung keluar kamar.
Mulutku tak kuasa untuk berkata apapun untuk mencegahnya...
Bimo kembali ke kamar dengan sepiring makanan dan segelas air.
Bimo duduk di depanku. "Ayo makan Liana..." Bimo menjulurkan sesendok makanan.
Aku menggeleng. Bimo menurunkan tangannya.
"Minum ya..." tawar Bimo menjulurkan gelas ke bibirku yang pucat dan kering.
Aku menggeleng lagi. Tiba-tiba Bimo menegak minumanku, menyimpannya di mulutnya. Dia menahan belakang
kepalaku dengan tangan kirinya, mendekatkan bibirnya ke mulutku, memaksa bibirku untuk
terbuka dan mengalirkan air itu ke mulutku...
Sama seperti ketika aku terserang rasa panik di rumahnya waktu itu!
Aku menenggak, menguras habis isi mulutnya, menelannya dengan puas...Bimo menenggak lagi
banyak air di mulutnya, menempelkan bibirnya lagi. Aku menjadi seperti seorang bayi yang
menghisap dada ibunya untuk mendapatkan air susu! Aku memejamkan mataku, menghisap
bibirnya sedikit demi sedikit untuk menuntaskan dahagaku...
Ketika mulutnya sudah kosong, aku terengah, mengharapkan lagi...
Bimo mengambil sepotong makanan dari piring, memasukkannya ke mulutnya sendiri dan
mendekatkan bibirnya lagi ke mulutku. Bibirnya memaksa mulutku terbuka, dan lidahnya
mendorong makanan itu masuk ke mulutku.
Bimo menyuapiku dengan mulutnya!
Aku mengunyah perlahan, mataku tak lepas dari matanya... Ketika makanan halus kutelan,
mulutku terbuka" lagi...
Tak ada kata-kata... Ketika Bimo keluar kamar menyimpan piring kosong ke dapur, aku tertidur pulas...seakan
untuk membayar lunas semua rasa kantuk dan letih yang terkumpul selama ini...
### Bimo sedang menggengam tanganku di sisiku ketika aku terbangun. Aku memicingkan mata,
aku merasa bermimpi melihat Bimo di sisiku...
"Liana..." Bimo memanggil lembut...memandangku dengan mata seribu cinta...
Aku membeku... "Liana...aku sangat mengerti rasa khawatir yang kamu rasakan saat ini...tolong dengarkan
aku sayang..." Bimo membelai lembut ketika aku memalingkan mukaku ke arah lain, menahan
rasa sakit. "Aku nggak pernah berharap setelah kita menikah nanti, kamu harus memiliki anak
dariku...nggak Liana...aku hanya akan mengikuti apa yang sudah digariskan untuk kita
berdua..." Aku diam, aku sudah menduga, pasti Rista yang memberitahu semuanya kepada Bimo...
"Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya kepadaku sayang?" Bimo masih membelai
setiap jari-jariku... Aku tetap diam membisu. "Aku bersumpah Liana, aku nggak akan menuntut kamu untuk bisa memberikan keturunan
bagi kita...Mungkin kamu berpikir, aku bisa ngomong seperti ini hanya untuk saat ini" ..."
Bimo berkata dengan nada yang sangat serius.
"Liana, percayalah kepadaku...aku cinta kamu sayang..." Bimo meletakkan tanganku di dada
kirinya, di jantungnya....
Aku hanya memandang ke arah berlawanan, berhenti di satu titik di sudut kamar, membeku
di sana, berusaha mengeraskan hatiku...
Bimo menarik nafas panjang, menempelkan tanganku di wajahnya, menunduk, memejamkan
matanya..." "Liana...sayang...kamu ingat Mbak Ningsih?" tanya Bimo hati-hati.
Aku menoleh ke Bimo, mengernyitkan dahi mengisyaratkan ada apa dengan kakak tertua
Bimo itu. "Mbak Ningsih ingin berbicara sama kamu Liana...kamu mau kan?" tanya Bimo pelan.
Aku menatap mata Bimo yang memohon. Aku mengangguk dingin..., ada rasa penasaran apa
yang akan dibicarakan oleh kakak tertua Bimo.
Bimo menekan nomor handphone kakaknya dan menyerahkan kepadaku.
"Mbak Ningsih..." Aku memanggil sopan, suaraku serak.
"Liana...saya hanya menyampaikan pesan bapak di sini. Atas nama bapak, ibu, dan kami
kakak-kakaknya Bimo, kami sekeluarga memiliki pandangan, bahwa jodoh, anak, rezeki,
kehidupan, kematian, semua sudah diatur oleh Yang Di Atas. Jadi kamu tidak usah khawatir
tentang masa depan, apakah kamu akan begini, apakah kamu akan begitu...jalani saja Liana.
Saya sangat mengenal bapak, bapak tidak pernah menuntut apa-apa dari kami anak-anaknya.
Cucunya bapak sudah banyak sekali, kalau kalian memutuskan misalnya untuk tidak memiliki
keturunan, itu tidak menjadi soal buat bapak. Kamu mengerti kan Liana?"
"Iya mbak Ningsih..." aku menarik nafas dalam, kata-kata mbak Ningsih membuatku merasa
ada "sekutu" yang akan membelaku...
"Ya udah, sekarang kamu sama Bimo konsentrasi untuk mengatur acara pernikahan
kalian...jaga kesehatan kalian. Saya sudah menjadi mbakyu kamu juga Liana, kamu bisa
mencari saya, untuk hal apapun. Bimo adalah kesayangan kami semua, apapun yang membuat
Bimo bahagia, akan membuat kami bahagia juga"
Aku tersenyum kecil, kilasan bayangan tentang sosok Bimo kecil dengan rambut ikal acakacakan, yang berlarian nakal, menghibur hatiku untuk beberapa saat.
"Ini bapak dan ibu ada di sebelah saya, mereka menyampaikan salam dan doa buat kamu dan
Bimo. Baik-baik di sana ya..."
"Iya Mbak Ningsih...makasih...Salam saya untuk bapak dan ibu, mbak..." aku menutup
telepon. Bimo memandangku, penuh tanya.
"Kamu percaya sekarang Liana" Keluargaku sangat terbuka, bapak dan ibu memiliki
pemikiran moderat. Tentang penerus nama dan segala macamnya, tidak berarti apa-apa bagi
mereka...." Aku tetap diam, mulai ragu. Keluarganya memang menerimaku, bagaimana kalau suatu hari
Bimo meminta seorang anak"
"Liana...apa lagi yang harus aku buktikan"...Liana..." Bimo menyentuh pipiku, aku menghindar
dan menarik tanganku cepat.
Tiba-tiba Bimo memukul ranjang dengan kepalan tangannya! Wajahnya memerah, terbakar
emosi. Kesabarannya mulai terkikis tipis...
Aku menatapnya kaget, terasa darah mengalir turun dari wajahku!
Dengan sekali sentakan Bimo membopong tubuhku dengan kedua lengannya"Matanya tajam
menatap ke depan, bibirnya ditarik membentuk garis lurus, rahangnya bergerak berdenyut
menahan geram. Aku ternganga bingung melihat kelakuan Bimo.
Aku mau dibawa kemana"hatiku bertanya-tanya.
Bimo melangkah lebar, bergegas, mengambil kunci di gantungan ruang tengah, menuju garasi.
Dia membuka pintu mobil dengan tangan kanannya yang masih menopangku!
"Bimo..." panggilku perlahan, tanganku memegang erat dadanya...
Bimo diam tida k menjawab. Didudukkannya diriku di bangku depan mobil, memasangkan safety belt, dan membanting
pintu mobil dengan kencang!
Wajahnya masih memerah, langkahnya bergegas, rambut ikal gondrongnya bergerak
melambai serasi dengan wajah kerasnya!
Bimo masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, mengatur tempat duduk dan kaca spion
tengah dan luar. Bimo mulai menjalankan mobil...
Berkali-kali aku menengok ke arah Bimo. Bimo tidak bergeming, matanya menatap ke arah
jalan di depan. "Bimo...kita mau kemana?" tanyaku takut-takut.
Bimo tidak menjawab, sebentar-sebentar dia melirik ke smartphonenya melihat petunjuk
arah di peta, Aku terdiam, seperti tikus yang terjebak di sudut perangkap. Meringkuk diam tak
berdaya... Aku membaca jalan yang kami lalui, jalan HOS Cokroaminoto, Bimo memperlambat
mobilnya"dan masuk ke pelataran parkir...sebuah Rumah Sakit!
Aku memandang Bimo bingung.
Bimo tidak bereaksi, bahkan tidak melihat ke arahku sama sekali. Aku mulai gentar dengan
sikapnya. Bimo memarkir mobilnya. Lalu mematikan mesin mobil. Kepalanya di tempelkannya di setir
mobil. Aku gugup dengan situasi begini, tidak tahu harus berkata apa lagi.
Bimo mengangkat kepalanya, menatapku dengan wajah kesal.
Aku menunduk, takut... "Pandang aku Liana, pandang aku!"
Aku menoleh ke arah Bimo dengan takut-takut.
"Kamu menganggap sumpahku main-main Liana"! Aku tidak pernah main-main dengan hidupku
atau hidup orang yang aku cintai!!" Bimo berteriak kesal.
Aku memandangnya dengan air mata yang sudah mengambang...
"Aku...bukan...aku...nggakk..." aku merasa kesulitan mengatakan isi pikiranku melihat Bimo
berang seperti ini. Bimo menatapku lama.
"Kamu tahu tempat apa ini Liana?" Bimo bertanya, nadanya sudah turun satu oktaf"
"Ini rumah sakit bedah. Kalau kamu memerlukan bukti tentang sumpahku, aku akan
membuktikannya di sini Liana. AKU BERSEDIA MELAKUKAN VASEKTOMI, HARI INI
JUGA! Kita bertemu dokter di sini, kita selesaikan masalah kita hari ini juga!" Bimo
menjelaskan dengan kata-kata lugas.
Aku terkejut!Vasektomi?" Dikebiri?""
Ini akan membuat Bimo mandul! Tidak akan bisa punya anak, selamanya!!
Badanku gemetar! "Nggak akan ada yang menyalahkan kamu kalau nanti kita nggak punya keturunan...aku serius
dengan ucapanku Liana....." Bimo membuka pintu mobil.
Aku menangis, tergugu...merasakan gelombang cinta Bimo yang begitu besar!
"Bimo..." aku tahan lengan dia. Bimo menoleh, mata kami kembali bertaut...bersatu
...Kemarahan di matanya perlahan mencair...menipis...menghilang...rasa cinta yang terlihat
pada akhirnya... Tangisku semakin kencang, cengkeraman tanganku di lengannya semakin kuat.
Bimo memejamkan matanya, lalu perlahan duduk lagi, menutup pintu mobil...setetes air mata
terjatuh di pipinya... Bimo merengkuh bahuku yang terguncang, membelai kepalaku, menciumi seluruh wajah
sembabku, menghapus ingus dan air mataku yang mengalir deras...
"Maafkan aku Bimo...maafkan aku...aku percaya sumpahmu...aku sangat percaya...Aku
mencintaimu Bimo...melebihi diriku sendiri..." aku menyerah pada cinta Bimo yang begitu
besar... Bimo tersenyum padaku, memegang kedua rahangku dengan telapak tangannya yang kokoh.
Memandang lekat kedua mataku.
"Aku juga mencintaimu Liana Siswoyo...dan kamu akan segera menjadi istriku...Tolong jangan
pernah menghilang lagi dari hidupku Liana...kalau suatu hari kamu harus pergi dari sisiku,
bunuh aku terlebih dulu...Karena hidup tanpa kamu benar-benar menyiksaku Liana..."
Bimo mencium bibirku lembut, terasa asin bercampur dengan air mata kami berdua...
Untuk beberapa lama kami hanya berpelukan dan bibir kami selalu merasa haus untuk
bertemu...
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
### Bimo menggenggam tanganku sepanjang perjalanan kembali ke rumah Rista.
Bimo memarkirkan mobil Rista kembali di garasi.
"Jangan turun dulu sayang...aku ingin menggendong kamu lagi..." kata Bimo berbisik. Aku
tersenyum malu... Bimo-ku...dia benar-benar seorang laki-laki yang kuat! Menggendongku
seakan aku hanya seorang anak kecil...
. Bimo membuka pintu mobil di sisiku. Lengan kanannya menyangga punggungku, lengan kirinya
di bawah lututku. Aku memeluk leher Bimo.
Selama membopongku, Bimo tidak berhenti menciumi wajahku...
"Aku mandiin kamu ya sayang..." kata Bimo.
"Kenapa" Aku bau ya?" tanyaku sedikit terkekeh mengingat sudah tiga hari aku tidak mandi!
"Banget!" kata Bimo dengan wajah meledek.
"Tapi baunya bikin aku bergairah..." lanjutnya sambil menurunkan aku di kamar mandi yang
ada di kamar yang biasa aku pakai.
Aku tersipu malu... Bimo menyalakan air di bathtub putih panjang. Aku duduk di atas toilet yang tertutup.
Kuperhatikan gerak-geriknya, tangan kekarnya yang mengaduk-aduk air merasakan
kehangatannya. Mata Bimo berpindah ke rak yang berisi beberapa botol sabun. Diambilnya sabun aroma
terapi, dituangkannya ke air di dalam bathtub.
Bimo menghampiriku...mengangkat tanganku untuk berdiri...membuka rok tigaperempatku
dan blouse pinkku...hingga tinggal bra dan celana dalamku.
Mata Bimo tidak berkedip menatap tubuhku. Tangannya melanjutkan membuka bra, dan
membuka celana dalamku. Bimo menelan ludah. Aku lirik ke pangkalnya. Membesar. Rasanya sudah lama sekali....
Bimo membimbingku masuh ke bathtub, aku tenggelamkan badanku ke air yang hangat
itu...terasa nyaman... Dengan memakai busa, Bimo menggosok punggungku perlahan, lalu tanganku, dan kemudian
dadaku... Gesekan busa dan sentuhan tangan Bimo " yang tak disengaja " di ujung putingku
membuatku mulai "bangkit"
Mata Bimo mulai menyala, oleh gairah dan cinta...
Suaranya sudah serak ketika dia menyuruhku mengangkat kakiku ke pinggiran bath tub.
Dari ujung kuku Bimo menggerakkan spon mandinya, perlahan"turun ke betisku...lalu
menyentuh pahaku... Ketika tangannya menyentuh paha dalamku, aku memejamkan mataku, menggigit bibirku.
Rasanya nyaman sekali... Entah sejak kapan Bimo sudah membiarkan busa mandinya mengambang di air, tangannya
merogoh-rogoh masuk ke dalam air membelai perutku! Lalu semakin turun, turun, dan turun,
membelai pubisku... Aku mengejang dan mengerang ketika jarinya menyentuh intiku!
Aku berpegangan erat pada besi di sisi kanan kiri bath tub, memejamkan mataku dan
membukanya ketika kurasakan Bimo sudah memasuki bath tub dengan telanjang bulat!
Kejantananya menantang langit! Aku menatap dengan lapar kekasihku...
Bimo mengambil posisi seperti berenang, kepalanya tetap di atas air, gerakan mengambang
di atas tubuhku membuat batangnya terkadang menyentuh kakiku, memancing"
Bimo memegang pegangan besi yang sama seperti yang kupegang. Dia mendekatkan wajahnya
dan mencium bibirku dengan rakusnya!
Aku gigit dan hisap bibirnya...aku kejar lidahnya dengan lidahku...
Bimo memindahkan tangan kirinya, memegang besi keran di atasku, dan tangan kanannya
mulai membelai putingku yang sudah mengeras sejak tadi!
Aku mendesah dan mendesis karena rasa nikmat yang tercipta pada saat jarinya yang kasar
memilin dan mengusap di dalam air....
Bimo memindahkan lagi tangannya ke besi pegangan dekat tanganku.
Dia menyejajarkan badannya dengan badanku...Pinggulnya mencari-cari, terus" dan akhirnya
menemukan milikku yang sudah kubuka lebar-lebar...
Dengan sekali dorong kejantanannya sudah di dalam diriku. Aku menjerit lirih, menikmati
desakannya yang di dalam. Pinggul Bimo berputar intens dan berirama. Lengan kekarnya
menampilkan gerakan otot yang sensual...
Aku mulai terpancing gesekan batangnya yang berada di dalam. Aku terengah-engah,
memandang Bimo dengan tatapan memohon...
"Bim"hampir..." aku memberitahu Bimo. Bimo langsung mengganti gerakannya, mengejar
kepuasannya sendiri. Tusukannya begitu dalam, keperkasaannya membuatku melayang...
Bimo semakin mempercepat dan memperkuat desakannya...hingga...
"Bimo!" aku menjerit memanggil namanya begitu bergulung-gulung kenikmatan menerjangku,
dibarengi dengan meluncurnya air mani Bimo ke dalam diriku!
Bimo mendesah keras! Bimo terdiam dengan mata terpejam, kedua tangannya yang menggenggam erat besi
pegangan tampak memutih, mengepal dengan kencangnya. Ketika dia membuka mata, dia
tersenyum mesra kepadaku.....
Laki-lakiku yang perkasa"
Bab 17: Langkah Besar Kami pulang kembali ke Jakarta keesokan harinya. Aku berpamitan melalui telepon ke Rista.
Aku dan Bimo berterimakasih atas peran sertanya mendamaikan aku dan Bimo.
Dari Bandara aku ikut Bimo ke apartemennya. Dengan memakai mobilnya Bimo mengantarku
pulang. Aku duduk dengan posisi agak berbaring di kursi mobil Bimo. Badan dan jiwaku merasa
tenang, nyaman... Lagu End of the Road, Boys II Men mengalun lembut. Aku bersenandung, salah satu grup
band lama yang aku gandrungi. Bimo melirikku dan tersenyum.
Ketika I'll Make Love to You menyusul, aku dan Bimo semakin menjadi, bernyanyi kencang
dengan pede. Ketika lagu berikutnya terdengar, aku hanya diam.
Bimo tertawa, mulai menyanyi " berteriak-teriak lebih tepatnya.
"Soundgarden, Pretty Noose." Bimo menyebutkan nama penyanyi dan judul lagunya. Jari dan
kepalanya bergoyang mengikuti irama. Rambut ikal gondrongnya melambai sensual menutupi
rahangnya. Aku menegakkan badanku, mengangguk-anggukkan kepalaku mengikuti gaya rocker. Bimo
semakin menjadi, dia mengeraskan volume musiknya hingga telingaku berdenging!
Aku menyumbat telingaku dengan jariku.
Bimo tertawa kencang, mengecilkan lagi volume suara audionya. Dia mengetuk dahiku dengan
jarinya gemas. Tiba-tiba aku baru menyadari, rute jalan ini bukan menuju rumahku.
"Bim, ini mau kemana?" tanyaku.
"Lihat aja. Habis ini baru aku antar kamu pulang." Bimo tersenyum penuh misterius.
Aku membesarkan lagi volume suara audionya, berteriak senang ketika Blaze of Glory-nya
Bon Jovi menggelegar! Aku dan Bimo bernyanyi, berteriak-teriak, bergoyang mengikuti hentakan iramanya.
Bimo masuk ke sebuah komplek ruko. Memarkir mobilnya, menggandeng tanganku erat.
Bimo mengajakku masuk ke salah satu ruko, di sana tertulis
"W-Day, one stop shopping for your wedding."
Aku melihat wajah Bimo dengan tercengang!
Bimo mencium pelipisku. Kami menghampiri meja resepsionis.
"Siang mbak, saya sudah janji dengan Mbak Nurul. Dari Bimo."
"O iya, silahkan masuk Pak Bimo." resepsionis mempersilahkan kami berdua memasuki
ruangan yang cukup besar.Aku serasa masuk ke negeri dalam dongeng...Di sana ada meja
besar dengan beberapa kursi di sekelilingnya. Sepanjang dinding terpajang berbagai macam
foto pengantin, dari busana tradisional sampai internasional. Di meja ada beberapa tumpuk
buku " mirip album foto.
Di sepanjang sisi ruangan ada lemari pajang, yang memajang beberapa aksesoris, kartu
undangan, cindera mata, bunga plastik, beberapa foto yang menampilkan beberapa teknik
pemotretan. Satu persatu aku pandangi dengan mata terbelalak. Aku terpesona dengan semua yang ada
di ruangan ini. Bimo hanya tersenyum melihat aku yang seperti anak kecil menemukan
tempat bermain yang baru.
"Siang Pak Bimo, saya Nurul." sebuah suara menghampiri kami.
Bimo berdiri menyambut uluran tangan Nurul.
"Bimo, dan ini Liana, calon istri saya." Bimo memperkenalkan kami berdua.
Aku menjabat tangan Nurul, lalu duduk di sebelah Bimo.
"Baiklah Pak Bimo, pertama terima kasih karena mempercayakan kepada kami untuk
menjadiWedding Organizeracara pernikahan Bapak. Ada beberapa hal yang harus kami
tanyakan agar pesta yang kami rancang buat bapak sesuai dengan selera bapak dan ibu?"
Bimo dan aku saling pandang, Bimo meremas tanganku lembut.
Kami menghabiskan waktu 4 jam di WO itu. Pihak WO merusaha menyelami selera, hobi, apa
yang disukai, apa yang tidak disukai, apa yang diinginkan, apa yang tidak diinginkan. Aku
serahkan semua kepada Bimo.
Pada intinya aku mengikuti selera Bimo mengenai warna, tema, tempat, acara, makanan...
Bagaimanapun hasilnya,aku tidak keberatan, asalkan pengantin prianya adalah Bimo...
### Sepulang dari WO, Bimo mengantarku pulang. Wajahku berseri-seri, satu langkah besar
sudah kami lakukan bersama.
"Ma"!" aku memanggil mama yang sedang menutup jendela, menghindari nyamuk merajalela
masuk ke dalam rumah. "Malam Ma!" Bimo mengikuti.
Mama menoleh dan tersenyum.
"Sudah pulang kalian...sebenarnya kemana kamu kemarin Liana?" tanya mama, terdengar
menyelidiki. "Medan." "Pontianak." Bimo dan aku menjawab bersamaan, dengan jawaban yang berbeda.
Aku dan Bimo saling berpandangan, merasa konyol...
Mama mengernyitkan dahinya.
"Lho, kata Bimo waktu itu ke Surabaya..." sindir mama. "Kapan sampai Jakarta kalian?"
"Barusan." "Tadi pagi." Bimo dan aku menjawab bersamaan lagi, masih dengan jawaban yang berbeda dan lebih
parah. Aku menyikut Bimo.
Aku dan Bimo saling berpandangan lagi, tersenyum malu salah tingkah pada mama. Bimo
menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Mama masih melanjutkan menutup semua gorden jendela rumah, membiarkan dua orang
anaknya berdiri seperti terkena hukuman.
"Kalian itu kalo mau berbohong mbok ya janjian dulu..." mama menyindir lagi.
"Terakhir Bimo nelpon mama, nanyain Liana, nada suaranya seakan-akan Liana hilang ditelan
bumi...apa nggak bikin mama sakit jantung?" mama berkata kalem tapi tajam menusuk
hatiku. Aku menghampiri mama, memeluk tubuhnya.
"Maafin Lia ya ma...jangan marah ya ma...Lia ke Bali waktu itu, ke rumah Rista, sahabat
Lia...Lia sedikit salah paham dengan Bimo waktu itu...Bimo nyari Lia ke sana, tadi siang baru
sampe Jakarta..." aku menjelaskan jujur kepada mama. Mama menepuk punggungku,
mengusap rambut panjangku.
Bimo menghampiri, memeluk kami berdua dengan lengan hangatnya...
"Bimo juga minta maaf, ma...jangan kutuk Bimo jadi cobek ya ma..."
Pletak! Mama menjitak kepala Bimo gemas, menatap sayang kepada kami berdua.
Bimo meringis...tersenyum jahil kepada mama...Lalu tiba-tiba memeluk mama dan
mengangkat tubuh kurus mama tinggi-tinggi!
Mama berteriak-teriak dan tertawa mendapat perlakuan spontan calon menantunya itu!
Begitu Bimo menurunkan mama, mama sudah siap menggebuk Bimo dengan majalah yang
diraihnya dari meja. Aku tertawa bahagia melihat mereka...bagian dari hidupku...
"Sudah, cepat kalian makan! Siapin buat Bimo, Lia." perintah mama.
Mama ikut menemani kami makan, adikku Rudy dan Mega juga berkumpul satu meja.
"Ma, pernikahan kami 5 bulan lagi...persiapan sudah mulai dikerjakan WO-nya?" kata Bimo
memberitahu mama. Mama tersenyum, wajahnya menampakkan kelegaaan.
"Hah, yang bener kak" Trus di mana kak" Bajunya warna apa kak" Aku dapat baju juga ga?"
Mega memberondongku dengan pertanyaan.
"Udah diurusin semua sama WO-nya, WO juga akan mengatur baju untuk dipakai keluarga
kedua pengantin. Mereka nanti akan langsung fitting baju masing-masing orang..." jelasku.
Mega tersenyum. "Ada yang bisa Rudy bantu kak" Gini-gini kan Rudy udah bukan anak kecil lagi, Rudy udah
dapat kerja bagus kak?" Rudy menyambung. Aku tersenyum. Rudy sangat berbakat di
design graphis, aku sangat yakin dia akan bisa meningkatkan karirnya di bidang itu.
"Kakak hanya punya satu permintaan sama kamu Rud. Setelah kakak menikah nanti, kamu
akan menjadi kepala keluarga di rumah ini...Tolong jaga mama dan Mega..." jawabku.
Rudy mengangguk mantab. Aku memandang Bimo-ku, perasaan bahagia menyeruak dalam dadaku...
Tiba-tiba Mega menghempaskan badannya menyandar ke sandaran kursi. Tangannya
memegang kepalanya. "Kenapa Mega?" tanyaku.
"Pusing, kak..." kata Mega sambil mengerang.
Mama berdiri ke arah lemari P3K, mengambil obat sakit kepala dan menyerahkannya pada
Mega. Mega meminum obat itu segera.
"Jangan terlalu capek Mega. Jaga kesehatan kamu juga?" Bimo menasehati.
"Sudah, kamu berhenti kerja part time. Emang aku dan Bimo nggak bisa biayain kuliah
kamu"!" kataku.
Mega mengangguk perlahan, lalu berdiri, masuk ke kamar. Mama langsung menyusul Mega.
### Mama dan Mega masih di kamar. Rudy tadi minta ijinku pergi ke rumah cewek yang jadi
incarannya. Aku mengijinkannya pergi.
Bimo duduk di sofa panjang yang ada di depan tivi, dia asyik menonton film yang kuingat
betul sudah ditayangkan berulang-ulang. Trojan.
Aku berbaring dengan kepalaku bertumpu di pahanya.
"Bim..." aku memanggilnya. Aku merasa ini waktunya aku menyampaikan sesuatu yang
menjadi ganjalan di hatiku. Aku tidak mau lagi menyimpan rahasia, menyimpan uneg-uneg,
menyimpan ganjalan, menyimpan masa lalu...sesakit apapun...
Bukannya komunikasi yang terbuka di antara pasangan suami istri diperlukan agar rumah
tangga menjadi langgeng"
"Hmm..." Bimo hanya meng-hmmm
Aku mencubit lengannya. Menarik perhatiannya.
Bimo berteriak kesakitan.
"Mau ngomong sesuatu. Mau dengerin nggak?" tanyaku gemas.
Bimo menundukkan kepalanya, mencium bibirku.
"Ada apa?" tanya Bimo.
Aku memejamkan mata, menguatkan hatiku untuk berbicara tentang masa laluku...
Bimo meremas tanganku seakan menguatkan. Ikatan hati kami sudah begitu kuat...Bimo bisa
merasakan betapa aku susah payah untuk berkata-kata saat ini.
"Rista sudah menceritakan tentang masa laluku kan, Bim?"
Bimo mengangguk, tidak ada perubahan raut muka apapun.
"Sebenarnya..." Aku berhenti. Ada rasa takut menyelinap.
Bimo mengelus dahiku"jarinya berputar mengitari anak rambut di pelipisku...
Aku menarik nafas panjang.No point of return.
"Aku memang minta cerai dari Benny waktu itu, tapi Benny nggak mau menceraikan aku. Dan
sampai saat ini aku nggak pernah dapat surat cerainya...artinya secara hukum aku masih
istri dia..." Aku bercerita dengan suara rendah, hampir kalah oleh suara detak jantungku
sendiri! Jari Bimo berhenti mendadak.
Aku memejamkan mataku. Bersiap-siap akan sesuatu, yang mungkin akan kusesali. Bimo
hanya mematung diam. Matanya menatap lurus ke arah tivi, tapi aku tahu persis, pikirannya
tidak berada di acara tivi itu. Bimo sedang memikirkan hal lain.
Tiba-tiba jarinya bergerak lagi. Seperti sebelumnya.
"Jangan khawatir Liana, kamu adalah istriku yang sah..."
Aku mengangguk. Apapun yang keluar dari mulut Bimo mampu membuatku tenang...
### Bimo mengajakku ke kantor tabloid Wisata, bukan untuk sekedar main-main atau temu
kangen, tapi aku harus menghormati Pak Imam, tentang pengunduran diriku, Aku harus
pamitan baik-baik, keluar baik-baik karena aku masuk ke tempat ini secara baik-baik pula.
Kesempatan yang diberikan oleh Pak Imam tidak ternilai harganya karena aku bisa bertemu
Bimo di sini. Begitu Ellen melihatku datang bersama Bimo, histeria dia langsung di level tinggi!
Aku memeluk Ellen erat. Bimo langsung ke meja kerjanya, dahinya sudah berkerut melihat banyaknya pekerjaan
bertumpuk selama seminggu ini. Aku tersenyum bangga melihat laki-lakiku di sana...
Setelah berpamitan ke Pak Imam di ruangannya, aku berkeliling mengucapkan salam
perpisahan. Pak Imam tidak mencegahku keluar dari kantor ini, karena bagaimanapun
nantinya setelah aku menjadi istri Bimo, aku harus mengundurkan diri. Perusahaan ini tidak
mengijinkan pasangan suami-istri bekerja bersama.
Aku sudah membicarakan hal ini ke Bimo. Bimo melarangku untuk mencari pekerjaan lagi, dia
masih merasa sanggup untuk menghidupi aku, mama, dan kedua adikku. Aku menyetujui
pendapat Bimo dengan catatan aku masih boleh bekerja freelance dari rumah. Bimo tidak
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melarangku untuk itu. Aku membereskan barang-barangku dari meja dengan perlahan, tidak mau mengganggu
konsentrasi Bimo. Aku duduk di kursiku, menopang dagu dengan telapak tanganku, memandang laki-laki yang
sebentar lagi akan menemaniku menghabiskan sisa hidupku...
Rambut ikal gondrongnya diikat asal ke belakang, aku tersenyum begitu mengenali karet
rambut yang dia pakai adalah milikku " warna pink!
Kulitnya yang coklat, sangat macho dan seksi di mataku. Garis wajahnya tegas. Alisnya
tebal, menaungi sepasang mata yang tajam, yang mampu membuatku tidak berkutik hanya
dengan satu lirikannya saja! Sekilas di pipi kanannya terbentuk samar lesung pipi setiap kali
dia tertawa. Bibirnya yang hitam seperti terpahat oleh tangan seniman dunia...Aku melenguh
setiap kali melihat bibirnya, yang sanggup melakukan apapun " di bagian manapun " yang
tubuhku sanggup menerimanya...
Otot lengannya yang coklat eksotik, sanggup mengangkatku hingga ku terlena...
Dadanya yang bidang, akan menjadi tempatku bersandar " selamanya...
Rasa hangat menyeruak dalam hatiku...Aku akan mampu memandangi laki-lakiku seperti ini
sepanjang hidupku... Tepukan Ellen di bahuku membuyarkan lamunanku.
Dengan kode jari, dia mengajakku ke tempat dia. Ellen, yang mengenal Bimo sejak tiga tahun
yang lalu, sangat tahu tabiat Bimo. Apabila sedang konsentrasi penuh seperti saat ini, dia
tidak mau terganggu oleh suara orang ngobrol apalagi cekikikan.
Di tempat Ellen, dia menyodorkan tabloid kepadaku.
Tabloid Wisata dengan foto Bimo di sampul depannya!
Aku terbelalak melihat betapa menariknya calon suamiku itu di sana!
"Aku sudah tahu waktu itu, pasti ada apa-apa di antara kalian. Aku berani bertaruh, waktu
terakhir Bimo cuti empat hari, dia ke Thailand mengunjungi kamu kan?" Jangan bilang
nggak, emang foto ini siapa yang bikin" Tukang parkir?" Ellen menyelidikku.
Aku tertawa sebagai tanggapannya.
Biarlah itu menjadi cerita manis dalam perjalanan hidup Bimo dan diriku.
### Dua bulan menjelang Hari H
WO sudah mulai mengambil ukuran baju kami semua. Model baju dan warnanya sudah Bimo
dan aku setujui. Semua peralatan, makanan, tempat, susunan acara dan tetek bengek yang lain sudah kami
tetapkan. Walaupun aku sudah tidak bekerja di tabloid Wisata, Bimo selalu ke rumah, setiap pagi!
Minta sarapan! Apabila kami sedang berdua, mama sedang keluar rumah, Bimo akan mencuri-curi ciuman
dariku. Begitu tahu tidak ada orang di rumah, Bimo langsung menggendongku ke kamarku,
menyandarkanku ke dinding, melumat bibirku dalam dan mesra...Menciumi setiap senti
leherku...membuka lebar dadaku, menghisap setiap ujungku yang tegang...menyelipkan
tangannya di balik celana dalamku, memuaskanku...
Suatu hari, hal yang tidak pernah kusangka-sangka terjadi! Bimo datang ke rumah.
Wajahnya terlihat tersenyum puas.
Dia meletakkan sebuah amplop coklat di depanku. Aku melongo di depan dia, membuka
amplop coklat itu...ternyata isinya adalah surat cerai dari Benny!
My goodness! Aku tidak tahu bagaimana Bimo bisa mendapatkan ini! Dan aku tidak berniat mencari tahu...
Mataku berkaca-kaca. Ganjalan terakhir menuju ke pelaminanku sudah tidak ada...
Aku memeluk Bimo erat! Bimo selalu menepati janjinya...
Sebulan menuju Hari H Aku mulai fitting baju pengantin yang sudah aku pilih. Membeli sepatu yang sesuai. Mencari
referensi model rambut pengantin yang aku mau. Sedangkan untuk Bimo, pihak WO sudah
mulai memproses baju jas pengantinnya.
Sesi perawatan tubuh, wajah, dan rambut di salon yang sudah ditunjuk oleh WO kami, mulai
aku jalani sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Rudy yang mengantarku untuk segala
keperluanku selama masa pingitan.
Mama melarang Bimo datang ke rumah selama masa pingitan. Bimo terlihat shock mendengar
larangan mama. Berjam-jam kemudian Bimo mencoba mendapat dispensasi agar bisa
menemuiku 3 hari sekali, mama menolak. Seminggu sekali, mama menolak. Dua minggu sekali,
mama menolak tegas! Bimo bengong seperti ayam kehilangan suara...
Aku tertawa geli,Bimo-ku, laki-lakiku...
Akhirnya hubungan telepon yang menjadi pelampiasan Bimo. Hampir setiap jam dia
meneleponku! Ada saja yang dia jadikan alasan untuk menghubungiku, hingga suatu saat dia
kehilangan akal" "Ya sayang...kenapa?" tanyaku langsung, menggantikan kata 'halo'
"Salah sambung..." jawab Bimo. Aku terpingkal-pingkal membayangkan wajah stres Bimo.
Bab 18: Membuang Kerikil Bimo sudah menunggu di dalam mobilnya selama sejam lebih. Dibukanya jendela mobil,
sebagai lubang hawa asap rokok yang dari tadi tiada putus keluar dari mulutnya. Dia
setengah berbaring di kursi yang agak direbahkannya.
Matanya menatap awas ke arah rumah besar itu. Sudah dua hari dia mengintai rumah Benny
Setiawan, bekas suami Liana. Salah satu informannya di jurnalistik memberi dia foto dan
data diri Benny. Benny Setiawan. Ayahnya bernama Johny Setiawan. Ada yang dia ingat tentang nama Johny
Setiawan. Beberapa tahun yang lalu. Insting Bimo membuatnya menyebarkanmaydaykepada
semua informan yang dia tahu.
Bimo bahkan mengakses kliping surat kabar terbitan lama, mencari-cari sesuatu.
Sejak Liana menceritakan tentang surat cerai yang belum dia dapatkan dari Benny, Bimo
berpikir keras bagaimana dia bisa mendapatkannya tanpa keributan, tanpa skandal...
Ketika dia melihat Benny keluar dari rumah, dipicingkannya matanya, berusaha membaca
bahasa tubuh Benny, membaca karakter "penghalang"nya itu.
Saat ini Benny tampak memeluk bahu seorang laki-laki tua...Johny Setiawan, orang tua
Benny. Benny terlihat memapah lengan ayahnya itu dengan hati-hati...mendekatkan
telinganya ke mulut ayahnya, menundukkan muka, dan terlihat berbicara dengan pelan dan
sabar. Begitu melihat perlakuan Benny terhadap ayahnya, Bimo sudah tahu, apa yang harus
dilakukannya... ### Bimo ada di sebuah caf?. Di hadapannya seorang pria mengepulkan asap rokok kretek.
"Gua tahu elo pasti bisa dapatkan datanya, bang!" kata Bimo lagi, berusaha meyakinkan.
"Aduh Bim, sekarang gua udah kagak bisa obrak-abrik file orang sembarangan..." kata Tigor,
pria di depan Bimo. "Gua kagak bilang elo yang ngambil, kutu kumpret! Elo suruh anak buah elo kek!" Bimo
memandang lekat pria yang sudah menjadi sahabatnya sejak dia merantau di Jakarta yang
keras. "Elo bikin gua dalam masalah jack! Kalo elo kagak bilang ini buat calon bini elo, gua kagak
mau terlibat beginian!" Tigor memandang Bimo kesal.
Bimo tertawa ngakak. Dia sudah yakin sejak awal, Tigor tidak akan mampu menolak
permintaannya. Tigor adalah karyawan menengah di instansi pemerintah yang berkaitan
dengan hukum. "Bini gua adalah ipar elo sendiri bang!" Bimo menyodorkan kepalan tangannya, yang disambut
oleh kepalan tangan Tigor, tanda persaudaraan mereka.
"Gua yakin perusahaan si Benny ini ada hubungannya dengan isu suap untuk menangin tender
pengadaan seragam dinas beberapa tahun lalu. Elo inget nama Johny Setiawan" Dia bokap si
Benny ini. Gua pinjam file perusahaan dia bang, gua mau bikin si Benny skakmat!"
"Tapi elo kagak boleh bocorin ini ke orang lain Bim! Matilah awak! Kasus ini tiba-tiba redam
dengan sendirinya waktu itu, kagak ada yang nyinggung. Tiba-tibacase closed!"
"Elo tau gua seperti elo tau ada berapa tahi lalat di muka lo yang ancur itu bang! Gua cuman
mau nakut-nakuti si Benny. Gua kembalikan semuanya utuh! Elo bisa pegang omongan gua!"
Bimo meyakinkan . "Elo bener-bener keliatannya mati kutu ama cewek lo Bim! Dulu gua pikir elo kagak mampu
gituan ama cewek!" Tigor menertawakan Bimo.
"Gua kagak bisa hidup tanpa dia, bang. Gua udah takluk di kakinya..." Bimo menerawang,
memikirkan perempuannya...aroma gairahnya...dihembuskannya asap rokoknya ke atas kuatkuat. Menghilangkan nafsu yang selalu bangkit setiap kali mengingat Liana-nya.
"Oke. Kasi gua 3 hari, Bim. Ketemu di sini lagi. Awas, jangan sampai bocor!" Tigor berdiri.
Bimo memeluk sekilas pria itu.
### Bimo menelpon Benny. Memperkenalkan diri sebagai tunangan Liana.
Benny menegakkan badannya, mendengar nama Liana disebut. Istrinya!Masih istrinya!
"Saya perlu berbicara empat mata dengan anda. Besok di caf? seberang kompleks rumah
anda, jam seperti sekarang" Bimo langsung menutup teleponnya.
Benny terhenyak! Badannya dihempaskannya di kursi berkulit hitam di ruang kerjanya.
Dua tahun sudah berlalu...masih terngiang di ingatan dia...Rasa sakit yang sangat ketika
Liana meninggalkannya. Dirinya bagai perahu yang diombang-ambingkan oleh gelombang ombak samudra yang kejam!
Antara istri"atau...keluarga dan perusahaan! Satu orang berbanding 500 orang karyawan di
perusahaannya. Apabila Benny meninggalkan semuanya demi Liana, tidak akan ada penerus perusahaan,
perusahaan akan ditutup. Semua karyawan akan di PHK.
Saat itu tekanan orangtuanya yang sangat besar membuatnya mengorbankan perasaannya
sendiri dan perasaan Liana!
Membuatnya memilih Liana meninggalkannya daripada meninggalkan rumah dan kedua
orangtuanya! Berbulan-bulan setelah kepergian Liana, Benny seperti orang gila. Hampir setiap hari dia
kirim pesan atau menelepon Liana, tapi tidak pernah dijawab. Setiap kali seperti itu, setiap
kali pula ia menangis... Bulan kedua Benny nekat ke rumah Liana, tetapi ternyata rumah itu sudah kosong! Benny
hanya terdiam, duduk di depan rumah Liana dengan pandangan kosong...
Saat itulah tetangga Liana menyebutkan daerah rumah keluarga Liana yang baru...Waktu itu
Benny tersenyum lebar...tidak terpikirkan sebelumnya bahwa Liana akan pindah ke rumah
yang sudah dia belikan untuknya!
Beberapa kali dalam seminggu Benny rutin datang ke rumah Liana, tetapi tidak pernah
sekalipun dia bertemu Liana. Mama Liana sudah menjadi benteng penjaga Liana.
Mama Liana memakai insting keibuannya, bahwa membiarkan Benny bertemu Liana lagi akan
membuat Liana lebih terluka dan membuat hidup Liana "jalan di tempat".
Setiap kali Benny datang, setiap kali itu pula mama Liana menampakkan wajah dingin, dengan
mengatakan Liana tidak di tempat atau Liana tidak mau bertemu.
Ketika Benny menyerah untuk tidak berusaha menemui Liana lagi, orangtuanya sudah
menyodorkan seorang gadis cantik lainnya sebagai istri barunya...
Benny tidak kuasa menolak, walaupun itu berarti menjilat kembali ludah yang sudah dia
buang! Tentang sumpah setianya kepada Liana dulu, bahwa dirinya tidak akan memiliki istri
baru pengganti Liana... Benny tetap tidak bisa untuk tidak mengindahkan kemauan orangtuanya...bahkan yang
menyangkut kehidupan pribadinya.
Pada awalnya, istri barunya tidak bisa menggantikan Liana begitu saja, walaupun dia sudah
mampu melayani istrinya itu di atas ranjang...
### Bimo menunggu Benny di caf? itu. Di bibirnya menempel rokok yang sudah pendek. Diliriknya
jam tangannya. Ketika Benny datang, Bimo tetap duduk di tempatnya, tidak ada niatan untuk menyalami.
Benny duduk di hadapan Bimo, juga tanpa salam.
Keduanya saling memandang, membaca pikiran dan jiwa masing-masing. Membaca kekuatan
yang berkobar... Bimo membuka laptopnya, menyodorkan ke Benny. Benny melihat ke arah monitor itu,
membacanya...tiba-tiba wajahnya nampak pias, kaget.
Bimo menghisap rokoknya tenang, 'mangsanya sudah masuk ke perangkapnya'.
Benny mengembalikan laptop Bimo.
Bimo mematikan rokoknya. "Saya yakin teman pers akan menyukai hal ini...apakah anda juga menyukainya Benny" Ayah
anda memang hebat. Tapi masih hebatkah kalau sudah ada di balik jeruji?" Bimo menatap
Benny dengan tajam. "Apa maksudnya ini"!" Uang?"" Berapa yang kamu mau"!"!" Benny merah padam.
Bimo tertawa sinis. "Bukan uang. Seminggu ke depan, di sini jam seperti ini,bawa surat cerai Liana, dan saya
akan menyerahkan chip itu. Saya dan Liana akan menghilang dari kehidupan anda selamanya.
Apakah anda bisa mengerti dengan baik kata-kata saya Benny?"
Bimo berdiri dengan menyalakan rokoknya lagi, berlalu pergi dengan tenang, meninggalkan
Benny yang mengepalkan tangannya penuh amarah...Karena dia tidak memiliki pilihan selain
memproses surat cerai untuk Liana, wanita yang masih dicintainya itu...
### Tiga minggu menjelang Hari H
Aku menerima 150 kartu undangan berwarna merah marun dari WO. Bimo dan aku sepakat
pesta kami bukanlah pesta besar-besaran. Undangan yang akan disebar hanya 150 lembar.
Hari ini aku mengirim 50 lembar ke Jogja. Untuk sanak keluarga dan teman terdekat dari
pihak keluarga Bimo. Berkali-kali kubaca isi undangan pernikahanku...aku tersenyum mengingat tidak lama lagi aku
akan menjadi Nyonya Bimo Setyadi.
Aku mengambil daftar tamuku dan Bimo. Mulai menempel stiker nama di bagian depannya.
Rudy dan Mega akan membantuku untuk mengirimkannya.
Tiba-tiba aku teringat Benny. Nama Benny tidak ada di daftar tamuku. Tapi masih ada sisa
beberapa kartu undangan. Aku terpekur, menimbang-nimbang, perlukah aku mengundang
Benny"Benny sudah menunjukkan niat baiknya membuatkan surat ceraiku.
Mama menatapku aneh. "Kenapa kamu Lia?" tanya mama.
"Bingung aja ma, perlu kirim undangan ke Benny nggak ya" ...O ya ma, Benny udah ngasi
surat cerainya!" aku berkata dengan riang.
"Surat cerai" Kapan dia kesini Lia" Udah berkali-kali mama bilang ke dia untuk jangan kesini
lagi..." tanya mama dengan nada agak kesal.
Aku menatap mama dengan mulut menganga! Benny pernah kesini?""
"Benny pernah datang kesini ma"..."tanyaku pelan.
Mama menutup mulutnya spontan. Aku melihat mama dengan mata tidak percaya. Mama
menyembunyikan fakta dariku kalau ternyata Benny"Benny-ku...pernah kesini,berkalikali!Dan tidak sekalipun mama memberitahuku!
"Kok mama nggak pernah cerita sama Lia"!?" tanyaku tidak habis pikir.
Mama tidak bisa menjawab pertanyaanku.
Selama ini aku pikir Benny sudah benar-benar melupakanku...ternyata Benny tidak pernah
melupakanku! Aku ke kamarku, memakai handphoneku, aku panggil nama Benny. Pertama aku harus
berterima kasih, lalu meminta maaf atas sikap mamaku, aku merencanakannya dalam hati.
Pada deringan pertama Benny sudah mengangkat teleponku.
"Ben..." Panggilku pelan...potongan memori secepat kilat menyerbu otakku...Kenangan indah
bersama Benny-ku dulu...cinta pertama-ku...Benny dengan senyum tulusnya...
Aku mendengar nada suara Benny yang seakan-akan tidak percaya aku meneleponnya
setelah bertahun-tahun berlalu...
Ketika aku bilang aku ingin mengatakan sesuatu ke dia, Benny langsung mengajakku untuk
pergi ke suatu tempat agar kami bisa mengobrol bebas.
Aku pikir betul juga kata-kata Benny, mengingat sikap antipati mama ke Benny.
Aku mengganti bajuku, menunggu Benny menjemputku...seperti dulu...
Aku berlari ke depan ketika Benny memberitahuku lewat handphonenya bahwa dia sudah
menunggu di depan rumahku.
"Lia! Mau kemana nak?" tanya mama.
"Sebentar doang ma, sama Benny!" aku menjawab mama. Aku tidak melihat wajah mama yang
tiba-tiba khawatir... ### Bimo sedang khusuk mengerjakan salah satu editan ketika handphonenya berbunyi. Nomor
telepon rumah Liana. "Iya..." Bimo mengangkat panggilan itu.
"Ini mama, Bimo...barusan Liana pergi...sama Benny...mama nggak tahu kemana mereka. Pakai
mobil...mama khawatir..."
Bimo menutup handphonenya bahkan sebelum mama Liana menyelesaikan kalimatnya.
Bimo mengambil smartphonenya, sambil bergegas keluar ruangan. Dia aktifkan Latitude-nya
untuk mengetahui keberadaan Liana! Sejak kejadian di Bali, Bimo mengaktifkan aplikasi itu
untuk sekedar "berjaga-jaga".
"Ellen, aku ada urusan! Aku keluar dulu!" Bimo berteriak ke Ellen.
Bagi Bimo, tidak ada yang lebih penting dari menemukan Liana-nya sekarang! Liana-nya yang
sedang bersama Benny! Bimo sangat mengenal Liana, yang memiliki hati lembut...yang senaif
remaja abg dalam menilai dan menghadapi laki-laki...
Wajah Bimo mengeras. Gerahamnya beradu kuat, membuat rahangnya bergerak
memperlihatkan otot yang tegang!
Bimo memperhatikan smartphonenya. Dia melajukan mobilnya kencang!
### Aku menatap Benny, dua tahun tidak bertemu Benny...Dia masih sama seperti dulu...masih
tampan, masih memiliki senyum tulus yang dulu membuatku jatuh cinta. Dulu"
Aroma green tea yang selalu mengingatkanku akan dirinya menyeruak tajam...Masuk ke
dalam rongga hidungku, menjadi kunci bagi ruang kenangan yang selama ini tertutup rapat!
Berkali-kali Benny menatapku tanpa kedip.
"Kamu masih secantik dulu Liana...sangat cantik..." kata Benny.
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tersipu malu. Benny menyalakan audio mobilnya, lagu-lagu yang dulu sering sekali
kudengar...flashbackkenangan indahku datang begitu saja...Aku merasa badanku melayang...
Benny mengarahkan mobilnya ke perbatasan kota yang dingin.
Benny menghentikan mobilnya di dekat perkebunan asri. Dia bergegas turun, membukakan
pintu bagiku. Angin berhembus kencang, menerbangkan rambut panjangku seketika.
Benny merapikan rambutku...tangannya menggapai rambut panjangku...Aku terhanyut dalam
aroma badannya yang dulu membuatku gila...
Aku memantapkan hatiku untuk mengutarakan maksudku. Tapi lidahku terasa kelu...
Benny hanya sejengkal dari tubuhku...
"Kamu masih sama seperti dulu Liana...gadis yang sama seperti yang pertama aku temui..."
Benny berkata nyaris seperti bisikan. Tangannya diletakkannya di mobil, "mengunci" diriku
dalam lengannya. Mata tulusnya tidak bergerak, menetap di mataku...
Aku tertunduk, tersipu...
Benny yang sangat paham gelagatku, semakin mendekatkan tubuhnya.
Aku merasa jantungku mau copot!
Aku menengadah, menatap matanya. Masih seperti yang dulu, penuh cinta.
"Liana...berbulan-bulan setelah kamu pergi, aku berusaha menemuimu, sayang...dan aku
hanya ingin memberitahu kamu bahwa aku sudah tidak sakit lagi Liana...Aku sudah mampu
untuk memuaskanmu....memberi keluargaku keturunan?" Benny bercerita dengan mata
berbinar. Aku membelalakkan mataku, tak percaya.
"Papa bertemu teman lamanya di Singapura, dan begitu tahu masalahku, dia
merekomendasikan aku untuk mencoba berobat di Singapura. Papa dan Mama baru ingat
pada waktu aku SD dulu, aku pernah jatuh waktu naik sepeda. Waktu jatuh, sadel sepeda
menghantam daerah perineum " pangkal penisku, yang mengakibatkan peredaran darah di
arteri menuju ruang ereksi di penis terblokir" papar Benny.
Aku menganga mendengar ceritanya.
Benny melanjutkan. "Rumah sakit di Singapura melakukan beberapa tes sebelum mendiagnosa penyakitku
Liana...Akhirnya aku menjalani operasi bypass Arteri Mikrovascular di sana ...Aku bukan
laki-laki impoten lagi Liana..."
Aku menelan ludah, mataku masih melekat di matanya yang teduh"
"Aku bodoh sekali waktu menolak ajakanmu untuk ke dokter lagi Liana"aku sangat
menyesal...egoku untuk menutupi rasa maluku sudah melukai hatimu...Andai dulu aku sembuh
seperti sekarang Liana...aku tidak akan pernah kehilangan kamu...sayang...Aku masih sangat
mencintai kamu Liana...."
Benny mengulurkan jemarinya...mengarahkannya ke pipiku...jarinya membelai pipiku dengan
lembut... Aku memejamkan mataku...sama seperti dulu rasa hangat ini...
Benny semakin mendekatkan badannya, aroma green teanya mulai menguasaiku...pangkal
paha Benny menyentuh perut bawahku! Sesuatu yang keras!
Benny-ku... "Kembalilah padaku Liana...kembalilah ke rumah kita..." Benny semakin mendesakkan tonjolan
di pangkalnya ke badanku!
"Aku akan memuaskan kamu Liana sayang...Aku akan membuat kamu bahagia...aku cinta kamu
Liana..." Benny berkata dengan suara serak, dan memiringkan wajahnya bersiap untuk
mencium bibirku! Jantungku berdebar, sebagian badanku membeku, tanganku meremas rok biruku kencang...
TIN!!! TIN!!! TIN!!! TIN !!!TIN!!!
Tiba-tiba ada bunyi berisik klakson yang dibunyikan berkali-kali, membuat aku dan Benny
tersentak kaget! Sebuah kendaraan mendatangi kami berdua dengan kecepatan tinggi, lalu mengerem
mendadak meninggalkan asap debu tinggi hanya setengah meter dari tubuh Benny!!
Ketika asap debu itu mulai menipis, aku berusaha melihat ke arah pengemudi mobil itu. Aku
memicingkan mataku. ITU BIMO!!!!!! Aku terhempas lagi ke Bumi, kepada kenyataan bahwa aku sudah lama berpisah dari Benny,
bahwa aku akan menikah dengan Bimo tiga minggu lagi!
Aku melihat Bimo keluar dari mobilnya dengan wajah merah padam! Menghampiri kami
berdua. Kakiku gemetar melihat raut wajahnya!
Bimo memandangku, menepis tangan Benny dari mobil yang dipegangnya, membebaskanku
dari 'kungkungan'. Bimo menarik lenganku.
"Ke mobilku. Sekarang Liana!" Bimo mendesis keras kepadaku.
Tanpa terduga Benny menahan tanganku yang satu lagi!
Untuk semenit berikutnya kami bertiga seperti patung diorama tentang cinta segitiga...
Aku harus memutuskan segera, siapa yang akan kupilih?"
Benny?" Dengan aroma green teanya yang lembut dan matanya yang tulus,
Atau Bimo?" Dengan aroma kopi maskulinnya dan matanya yang penuh cinta dan gairah...
Aku menatap mereka bergantian. Benny. Bimo. Benny. Bimo.
Aku memejamkan mataku, mengambil nafas panjang...aku harus memilih berdasarkan kata
hatiku...Flashbackmasa lalu berkelebat mencoba meyakinkan individu masing-masing...angin
membelai wajahku...laki-laki yang mampu
memberiku...ketenangan...kenyamanan...perlindungan...cinta"pengorbanan....
Aku melepaskan tanganku dari pegangan tangannya...mataku melihat sekilas kilatan cincin
baru yang belum pernah kulihat sebelumnya,di jari manisnya...aku berjalan dengan langkah
tegak tanpa menoleh lagi...
Aku masuk ke dalam mobil Bimo...laki-laki yang dipilih oleh suara hatiku...
Entah apa yang saling diucapkan oleh Bimo dan Benny, tiba-tiba Bimo meninju muka Benny!
Benny berusaha membalas! Tapi Benny bukanlah lawan yang seimbang bagi Bimo!
Aku menutup mulutku, merasa ngeri dengan perkelahian mereka!
Bimo menunjuk-nunjuk Benny yang tergeletak di lantai, mulut Benny banyak mengeluarkan
darah. Bimo membalikkan badan, masuk ke dalam mobil, dan meninggalkan Benny sendirian disana!
Bimo mengemudikan mobilnya secepat kilat. Tangannya menggenggam setir erat,
memperlihatkan buku jarinya yang memutih! Wajahnya masih semerah udang rebus!
Matanya tajam menatap jalan di depannya.
Aku diam, jantungku berdetak dengan cepat. Mataku hanya memandang ke depan, terpaku
di satu titik. Bimo langsung mengarahkan mobilnya ke apartemennya!
Bimo menyeret lenganku masuk ke kamarnya. Dia membeku menatapku sambil berdiri...di
matanya sudah tidak nampak lagi amarah...Bimo...
Aku menunduk. Bimo meraih daguku, menengadahkan wajahku menatapnya.
"Katakan kamu mencintaiku sayang...Katakan akulah satu-satunya pria dalam
hidupmu...Katakan kamu akan menikah denganku tidak lama lagi..." Bimo berkata lirih.
Aku menatap matanya yang penuh cinta...
"Aku mencintaimu, Bimo Setyadi...Kamu satu-satu nya pria dalam hidupku...aku akan menikah
denganmu tidak lama lagi..." Aku mengucapkan dengan penuh perasaan.
"Jangan pernah pergi dengan pria lain Liana...jangan pernah sekalipun...Kamu hanya milikku
seorang..." Bimo menempelkan dahinya di dahiku, rambut ikal gondrongnya menggelitik
wajahku... Aku memeluk Bimo-ku erat...kurebahkan kepalaku di dadanya yang hangat...yang beraroma
kopi...Aku sangat mencintai laki-laki ini"
Bab 19: Bed Of Roses Hari H Aku hampir tidak bisa tidur semalaman!
Hanya gelisah, membolak-balikkan badanku berkali-kali sepanjang malam. Sekitar jam 4
subuh aku baru terlelap, tapi jam 5 mama sudah membangunkanku. Mataku langsung terjaga.
Setiap bagian tubuhku sudah siaga penuh. Adrenalinku langsung mengalir deras...
Aku sudah harus berangkat ke salon jam setengah enam. Rudy yang menyetir mobilku.
Butuh waktu 2 jam untuk berdandan. Jam 9 pagi aku sudah siap. Jam 10 pagi acara
pernikahanku akan dimulai.
Mama dan Mega menatapku penuh kagum. Aku tersenyum.
Aku memakai gaunoff shoulder, warnabroken white, memperlihatkan bahu putih
mulusku...Gaun simple yang panjangnya menutupi kakiku, tanpa 'ekor' di belakangnya. Bahan
gaun yang tipis dan lembut membentuk siluet pinggang rampingku.
Aku membeli sepatu warna senada dengan gaun, aku menghindari sepatuhigh
heelatauwedgesyang hanya akan membuat betisku pegal. Aku memilih sepatu dengan alas
datar yang terasa nyaman di kakiku, namun masih terlihat pantas dengan gaunku.
Rambutku di kepang besar alami miring ke samping, di antara jalinan kepang dihias dengan
bunga mawar plastik kecil warna kuning dan merah marun. Aku tidak memakai slayer atau
mahkota di kepalaku. Sepasang kaos tangan sangat tipis membalut kedua tanganku.
Aku tidak memakai perhiasan apapun di badanku " permintaan Bimo...
Wajahku dirias senatural mungkin, lipstikku berwarna senada bibir merahku.
Aku menarik nafas panjang. Dengan hati-hati aku menaiki mobil pengantin yang berwarna
putih, siap mengantarku ke tempat acara.
Sepanjang perjalanan aku merasa nervous, aku ingin menelpon Bimo-ku...satu-satunya orang
yang bisa menenangkanku...Aku ingin berada dalam pelukannya yang nyaman...
Tanganku berkeringat karena rasa tegang yang menerpaku semakin kuat ketika semakin
dekat ke tempat acara. Ketika tiba di sana, aku melalui jalan belakang, menunggu saatnya aku keluar, ke tempat
pesta. Aku duduk di depan cermin dalam ruangan itu, sekali lagi memeriksa dandananku.
Mbak Nurul dari WO selalu siap sedia di dekatku, memastikan aku selalu siap dan tidak
bermasalah apapun. Jam 10 kurang 2 menit, Mbak Nurul menuntunku keluar ruangan. Dia menyerahkan bunga
tangan kecil. Rangkaian bunga mawar warna kuning cerah di tengah rimbunnya
daunasparagahijau. Aku mengambil nafas panjang. Berjalan di sepanjang lorong yang hanya sepuluh meter
bagiku terasa sangat jauh!
Tiba di ujung lorong aku berhenti, memandang ke sekitar. Pesta kami diselenggarakan di
tempat terbuka yang berudara sejuk. Aku bersyukur dalam hati, hari ini cuaca sangat
cerah, tak ada sedikitpun awan menutupi bentangan langit biru. Aku tersenyum.
Para tamu sudah terlihat ramai, berkumpul membentuk kelompok di tiap meja, di atas
dataran tanah yang berumput Jepang yang rapi dan asri. Aku dan Bimo langsung jatuh cinta
dengan tempat ini, begitu WO mengajak kami untuk survei tempat waktu itu.
Dari tempatku berdiri terbentang kain putih panjang menuju tempat upacara. Di atas kain
putih ditabur kelopak mawar warna kuning dan merah marun, sama seperti hiasan rambutku.
Ketika aku sudah siap menuju panggung, dua orang anak kecil kembar memakai kostum lebah
kuning hitam, Tara dan Bunga, anak Rista.
Mereka akan mengiringi langkahku dengan menebarkan kelopak bunga mawar sepanjang
perjalanan... Tiba-tiba dari sound system mengalun lagu Bed of Roses...mengiringi perjalananku...
Aku melangkah perlahan dengan senyum di wajahku, dibelai oleh semilir angin sejuk dan
alunan lagu yang sangat membawaku ke jiwa seorang Bimo...
Aku merasa dadaku sesak oleh rasa bahagia yang membuncah...Semua orang yang kukenal
baik dalam kehidupanku dan kehidupan Bimo tersenyum penuh kekaguman
memandangku...penuh doa indah mengiringi langkahku...Mama...adikadikku...bapak...ibu...mbak Ningsih...mbak Ayu...mbak Wati...Rista...Ellen...Pak Imam...
Dua meter dari panggung, seharusnya Bimo sudah menungguku di sana.
Mataku menatap ke arah seorang laki-laki yang berdiri menghadap ke arahku...Jasnya
terbuka dengan warna senada dengan gaunku, memperlihatkanvestwarnabroken whitejuga
dengan kancing di sepanjang dada, celana panjangnya warna senada, demikian juga
sepatunya. Di jas luarnya sebelah kiri dada, ada setangkai bunga mawar marun yang masih
kuncup berukuran kecil tersemat cantik. Aku melihat wajah tersenyumnya...Bimo-ku...tapi
ada yang berbeda!...rambutnya pendek!Bimo memotong rambutnya pendek!
Aku terperangah melihat wajahnya, ya Tuhan...aku baru menyadari betapa tampannya
Bimo...rambut pendeknya memakaiwetlook gel, daerah dagu dan rahangnya licin mulus habis
dicukur, terlihat sangat segar!
Hatiku berdebar memandang Bimo, serasa bukan Bimo yang berdiri disana. Aku tidak bisa
melepaskan pandangan mataku dari matanya...Aku jatuh cinta lagi pada Bimo-ku...
Tangan Bimo terulur, meraih tanganku...dan ketika tangan kami bersentuhan, sengatan
listrik terjadi antara kami...Bimo meremas tanganku mesra...mengelus jemariku dengan
jempolnya... "Kamu cantik sekali Liana..." bisik Bimo menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki, dan
berhenti di dadaku" Upacara terasa berjalan cepat, jawaban "SAYA BERSEDIA" diucapkan Bimo dengan lantang
dan mantap sambil menatap mataku mesra!
Ketika Bimo diijinkan untuk mencium aku " pengantin wanitanya, Bimo menundukkan
wajahnya, mencium bibirku tanpa malu...tangannya menarik pinggangku mendekat ke
arahnya! Bimo benar-benar mengulum mulutku dengan sangat mesra, dalam dan lama, bukan
acting... Dia tidak memperdulikan pandangan para tamu yang mulai bertepuk tangan dan
bersiul menggoda! Suara deheman di dekat kami menyadarkan Bimo. Bimo melepaskan mulutnya dari bibirku.
Aku merasa wajahku panas, sepanas pangkalku...akibat lidah Bimo yang sangat liar menggoda
di rongga mulutku dan jarinya di pinggangku mengelus penuh arti!Ohh Bimo"
Bimo tidak melepaskan pegangannya dari pinggangku, jari-jarinya bergerak nakal di sana,
dan wajahnya tidak berhenti tersenyum!
Aku memandang wajah 'baru' Bimo, aku elus pipinya, rahangnya...
Ku pegang rambutnya yang pendek rapi...aku teringat rambut ikalnya yang gondrong...
Aku tersenyum bangga...Bimo-ku...suamiku...
"Aku harap kamu sudah mengisi perutmu penuh dengan makanan...istriku...karena aku akan
membuatmu kelelahan setelah ini..." Bimo berbisik, matanya menyala garang...
Oh Bimo...perutku menggelenyar...mengirimkan sinyal yang membuat labiaku bengkak...Aku
meremas tangan Bimo, menjalinkan jariku di antara jemarinya, bergerak pelan, kuelus
jempolnya dengan gerakan naik turun...membelai puncak jempolnya, mengitari lalu bergerak
naik turun lagi... Bimo menatapku tajam, nafasnya berat...cepat-cepat memalingkan muka ke
arah lain. Aku terkikik melihatnya. Makanan melimpah ruah sepanjang acara. Dua buah meja panjang berderet dengan variasi
makanan tradisional dan modern tertata apik.
Sebuah meja bundar memajang kue pernikahan kami, kue berukuran besar dengan
dasarpondantwarnabroken whitedengan hiasan mawar merah marun dan kuning yang
melimpah! Meja yang lain menyuguhkan aneka minuman dan kue-kue berukuran kecil beraneka ragam,
menggugah selera! Di sebelahnya lagi sebuah air mancur kecil yang menyemburkan coklat cair menyebarkan
aroma coklat dan susu yang menyenangkan! Di dekat air mancur itu bertumpuk
tusukanmarshmallowputih, tusukan strawberry,breadstickmini dancheese sticktipis.
Di pojok terjauh dekat pagar pembatas jurang, beberapa pelayan melayani para tamu
dengan barbeque aneka pilihan, dari daging sapi, domba, ayam, udang, hingga kentang bakar
yang dibungkus aluminium foil.
Beberapa sangkar burung yang berisi sepasang Merpati putih tampak diletakkan di
beberapa sisi yang banyak ditanami pohon Pinus besar menghidupkan suasana alaminya.
Para tamu tampak menikmati acara kami"Warna busana para tamu hanya terdiri dari 5
warna saja, coklat muda, kuning, pink, oranye, dan ungu, sesuai dengan dresscode yang kami
pasang di kartu undangan. Jadi warna baju mereka mengharmonisasi keseluruhan tema
pesta kami. Melengkapi warna alam yang sudah ada, hijau dari rumput Jepang yang tumbuh di tanah,
biru dari langit yang membentang luas, merah dari kelopak mawar yang terlihat di manamana dan putih dari busana pengantin kami.
Dua buah titik hitam yang bergerak lincah kesana kemari menjadi pamungkas pemanisnya,
sepasang lebah yang cantik " anak Rista!
Bimo menarik tanganku, jarinya memainkan cincin polos di jari manisku...membawaku
berkeliling, memperkenalkan diriku ke beberapa tamu.
Seorang pria didampingi seorang wanita yang tengah hamil, memandang Bimo dengan takjub.
Mereka berdua mengadu kepalan tangan dan Bimo memeluk badan pria itu sekilas.
"Ini Liana istriku, Bang..." Bimo memperkenalkanku hangat.
Aku menjulurkan tanganku dan tersenyum.
"Aku Tigor. Aku abang suamimu ini..." kata Tigor membalas salamku.
"Pantas lo bertekuk lutut, Bim! Sampai kau habiskan pula rambut gondrong kebanggaanmu
itu!" goda Tigor pada Bimo.
Bimo tertawa. "Mengikuti jejak lo bang..." Bimo mengangguk pada wanita di samping Tigor, istrinya. Aku
mengikuti Bimo memberi salam.
Bapak dan Ibu Bimo tampak menyalami beberapa orang yang menyapa mereka. Mama juga
sibuk menjadi tuan rumah acara ini.
Rista menghampiriku, memelukku"
"Kamu cantik sekali Liana!" kata Rista terkagum-kagum menatapku.
"Kalau kamu cowok Ris, kamu sudah terjengkang dengan wajah penuh darah karena
jotosanku..." kata Bimo menggoda. Rista menendangkan kakinya ke arah Bimo, main-main.
Aku tertawa. Alunan lagu slow rock pilihan Bimo masih menghentak manis...Kami menghampiri tamu-tamu
yang lain, mengucapkan terima kasih...tak sedetikpun Bimo menjauhkan lengannya dariku.
Aku mengajak Bimo duduk di meja sudut, mengisi perutku dengan makanan.
"Gitu dong"biar ada tenaga buat nanti malem..." Bimo menggodaku. Aku mendelik,
meneruskan makanku. "Kamu sendiri nggak makan, emang nanti mampu?" aku balik menggoda.
Bimo menatapku mesum, beberapa kali dia menjilati bibirnya. Bimo duduk merapatkan
Belahan Jiwa Karya K Y di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
badannya. Tangan kanannya ada di atas meja memegang gelas minumku, tangan kirinya
sudah menghilang ke bawah meja!
Bimo mengelus pahaku. "Bimo!" aku mendesis, sambil berpura-pura seperti sedang menikmati makananku.
Bimo menarik gaunku perlahan ke atas. Gerakan kain menyentuh kulitku... erotis, membuatku
menelan ludah berkali-kali.Sialan Bimo...nafsu makanku sudah hilang, digantikan oleh nafsu
yang lain... Gaunku bertumpuk di pahaku! Aku merasa wajahku panas. Bimo masih berpura-pura melihat
ke arah kerumunan orang, tangan kanannya masih memegang gelas. Wajahnya tidak
menampakkan ekspresi apapun!
Jari Bimo menyentuh kulit lututku, membentuk lingkaran di sana, lalu merayap ke atas dan
Pendekar Bayangan Malaikat 1 Rajawali Emas 10 Mata Malaikat Panggilan Masa Lalu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama