Crash Into You Karya Aliazalea Bagian 3
menghindari Kak Viktor dan permohonnya untuk ikut dengan mengatakan bahwa undangannya terbatas.
Aku, Gita, dan dua rekan kerjaku sesame web designer yang lain tiba di Empire beberapa menit sebelum
jam sepuluh malam. Kudengar Ludacris sedang meminta semua orang untuk Stand Up dari seluruh
penjuru ruangan. Kelab itu sudah penuh sesak sebagaimana kelab seharusnya pada malam Tahun Baru.
Lantai kelab sudah penuh orang yang mencoba mengikuti ketukan lagu.
Aku betul-betul tidak tahu bagaimana kaum wanita bisa tidak merasa tersinggung mendengar lirik lagu
itu. Sumpah, kalau ada laki-laki yang mengucapkan kata-kata lagu itu padaku, aku akan langsung
menamparnya bolak-balik, sebelum kemudian memanggil polisi dan melaporkan sexual harassment.
Tiba-tiba kulihat Karin, si pemilik klub/Gisele Bundchen prot?g?/ anak orang kaya/ sumber networking
itu menghampiriku. Dia mengenakan pakaian yang hanya bisa digambarkan sebagai norak, tapi
kombinasi warna yang dikenakannya itu kelihatan cocok menempel pada tubuhnya. Aggghhh" aku
benci orang seperti ini. Kualihkan perhatianku ke samping Karin dan menemukan satu lagi alasan untuk
membenci perempuan itu. Seorang selebriti yang aku kenal sebagai drummer salah satu band rock yang
sedang naik daun di Indonesia sedang berdiri di sampingnya. Sejujurnya, drummer itu memang bisa
dibilang sebagai drummer paling ganteng di seluruh Indonesia, tapi selama ini aku selalu menyangka
bahwa laki-laki itu pasti ada cacatnya, mungkin orang aslinya pendek dengan wajah jerawatan. Aku
harus membuang jauh-jauh prasangka burukku itu ketika menyadari bahwa drummer tersebut tidak
memiliki cacat sedikit pun, bahkan kelihatan lebih ganteng daripada di TV.
"Nadiaaaa," teriak Karin dengan antusias dan langsung memelukku. Aku paling benci dengan orang yang
sok akrab denganku. Aku mencoba mengingatkan diriku akan tugasku dan berpura-pura antusias juga. "Kariiinnn," teriakku
sambil membalas pelukan Paris Hilton wannabe itu. Aku tahu bahwa Gita dan rekan kerjaku yang lain
sedang menatapku dengan mulut ternganga. Bukan rahasia di kantorku bahwa aku tidak menyukai Karin.
Di luar uang dengan jumlah yang cukup besar yang masuk setiap bulannya ke rekening bank perusahaan
tempatku bekerja, tidak ada satu hal pun yang aku inginkan darinya.
"This is Jo," Karin langsung memperkenalkan drummer ganteng yang kini sedang tersenyum lebar. Itulah
satu hal lagi yang aku benci tentang Karin. Dia sering sekali berbicara dakam bahasa Inggris padaku,
seakan-akan bahasa Indonesia itu tidak cukup berharga untuk digunakan olehnya. "Pacarku", tambah
Karin Forgive me, Father, for I have sinned, but I truly hate this woman, teriakku dalam hati. Perlu nggak sih
dia bilang Jo itu pacarnya, toh aku nggak buta, aku sudah tahu dari cara Jo memeluk pinggang Karin
bahwa mereka bukan kakak-beradik.
Untuk mengalihkan perhatian, aku pun memperkenalkan ketiga rekan kerjaku yang sepertinya tidak bisa
berkata-kata ketika disalami oleh Jo.
"You like the music?" teriak Karin padaku sambil menunjuk ke atas. Aku kurang pasti music apa yang
dimaksud oleh Karin. Musiknya Jo atau music kelab. Sejujurnya kalau aku boleh memilih, aku tidak akan
memilih dua-duanya. Tapi akhirnya aku memberikan jawaban yang paling aman.
"Bolehlah," jawabku dan berpura-pura mengentakkan kepalaku bersama dengan music rap yang sedang
terlantun. Aku tahu bahwa aku sudah melacurkan diriku dengan berpura-pura ramah dan menyukai
Karin, tapi Empire adalah salah satu klien premium perusahaanku dan kami tidak bisa kehilangan
account ini. "Good. DJ-nya baru. Gue impor dia dari Aussie, just for tonight. Kalau dia memang bagus, gue mau ambil
dia permanen." Jelas Karin. Aha! Rupanya dia sedang membicarakan music kelabnya
Kuanggukkan kepalaku seakan-akan aku mengerti apa yang dibicarakan oleh klienku ini. Kemudian
kulihat Karin melambaikan tangan kepada seseorang dan berkata bahwa dia harus pergi, tapi
sebelumnya dia berpesan agar aku dan rekan-rekan kerjaku untuk have fun
Satu detik kemudian Karin dan Jo sudah menghilang dari hadapanku. Gita dan yang lain memutuskan
untuk langsung turun ke lantai dansa, sedangkan aku memilih untuk pergi ke powder room dulu (Di
Empire, orang tidak akan menemukan kata sekasar "toilet" di mana pun). Aku pernah menanyakan hal
ini kepada Karin ketika aku melakukan survey pertama kali. Karin dengan antusias menjelaskan bahwa
kata "TOILET" hanya akan digunakan oleh kaum borjuis, dan karena semua orang yang datang ke Empire
adalah para royalty Indonesia, maka mereka wajib diperlakukan sesuai dengan kedudukan social mereka.
Yang mau kulakukan pada saat itu sebetulnya adalah meninggalkan Karin dengan otaknya yang dangkal,
tapi mengingat bahwa dia adalah klien, aku hanya bisa tertawa garing ketika mendengar penjelasan ini.
Bab 11 31 Desember Gue nggak ngerti sama yang namanya laki-laki. Dan gue nggak Cuma ngomongin sial Kafka doing, tapi
laki-laki pada umumnya. Coba lihat saja kakak-kakak gue. Mereka berdua itu memang aneh. Apa laki-laki
itu memang dilahirin dengan kelainan otak ya sampai-sampai kelakuan mereka bisa aneh bin ajaib"
*** Ternyata bosku benar, pada dasarnya hampir semua artis Indonesia yang sudah punya nama dan
beberapa yang film ataupun albumnya baru saja keluar di pasaran tumplek di Empire malam itu. Aku
bertemu dengan beberapa teman band Jo yang sudah menduduki satu area di salah satu sudut kelab itu,
yang aku tahu sebagai area VIP. Dua perempuan yang hampir kelihatan seperti anak kembar berjalan
melewatiku ada gelas koktail di tangan mereka masing-masing, setelah mereka berlalu aku baru
menyadari bahwa mereka adalah juara pertama dan kedua Indonesia Idol yang terbaru, dan aku yakin
bahwa mereka masih di bawah umur untuk minum alcohol.
Akhirnya aku sampai juga di powder room alias toilet. Lain dengan keadaan di luar yang binger-bingar,
ruangan itu cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang memperbaiki dandanan mereka di
depan cermin panjang yang melintang di salah satu dinding berwarna oranye. Mungkin Empire adalah
satu-satunya kelab di Jakarta yang toiletnya sama funky-nya dengan kelabnya sendiri. Ruangan itu
terlihat seperti lobi hotel dengan sofa panjang yang cukup nyaman untuk orang ngobrol sambil dudukduduk santai dan lampu yang menerangi ruangan itu membuat semua orang yang terkena sinarnya
sepuluh kali lebih menarik daripada aslinya. Yang paling penting adalah toilet itu tidak berbau seperti
toilet pada umumnya. Aku bahkan yakin bahwa pewangi ruangan yang disemprotkan secara otomatis
setiap lima menit sekali adalah J"adore. Intinya, siapa pun desainer interior kelab ini, dia jenius.
Aku duduk di salah satu kursi di depan kaca itu dan mengeluarkan blotters-ku. Mama selalu bilang
bahwa wajahku pada dasarnya adalah pabrik minyak. Tidak peduli seberapa tebal bedak yang sudah
kutaburkan, wajahku pasti akan mengilat dalam waktu dua jam.
"Lo lihat nggak kakaknya Karin?" Tanya seorang wanita yang sedang mengoleskan lipgloss ke bibirnya.
"Hot banget nggak sih?" balas temannya yang sedang menambahkan sedikit bedak pada hidungnya.
"Karin bilang dia masih single. Kok bisa ya?" lanjut wanita yang pertama
"Apa dia gay?" wanita yang kedua mematut wajahnya di cermin untuk memastikan bahwa bedaknya
sudah rata. "Nggak mungkin. Dia terlalu" terlalu" uhm" apa ya kata-kata yang tepat untuk ngegambarin dia?" Laki,
nah itu dia. Dia terlalu laki untuk jadi gay. Be-te-we, ada yang salah nggak sih sama dandanan gue?"
Kulihat wanita yang kedua menatap temannya, "Nggak ada. Memangnya kenapa?"
"Habis kakaknya si Karin itu nggak ngelirik gue sama sekali. Gimana bisa coba dia nggak ngelirik gue"
Cowok selalu ngelirik gue."
"Humph, gue yakin tuh cowok memang banci. Percaya sama gue,"
"Dia nggak banci."
"Banci." "Nggak banci. Mau taruhan?"
"Serius lo?" "Gue bakal pastiin dia pulang sama gue malam ini."
"Seratus ribu?"
"Dua ratus." "Setuju." Aku mencoba menahan diri agar tidak memutar bola mataku. Untuk apa wanita satu itu terobsesi
dengan laki-laki yang jelas-jelas tidak tertarik dengannya atau memang gay. Kubuang dua lembar
blotters yang baru saja kugunakan ke tempat sampah dan melangkah keluar dari powder room itu. Aku
hampir saja bertabrakan dengan segerombolan perempuan yang terburu-buru masuk ke powder room.
Salah satu dari mereka wajahnya
kelihatan pucat abisss! Aku bersyukur aku sudah keluar dari ruangan
itu karena aku yakin bahwa untuk satu jam ke depan aroma ruangan itu akan berganti dari J"adore
menjadi J"muntah. Aku tidak tahu bagaimana seseorang bisa minum alcohol sampai seperti itu. Apa
mereka tidak tahu batas toleransi alcohol mereka sendiri" Catatan untuk orang-orang yang baru saja
mau mencoba alcohol: kalau kamu mulai tertawa terbahak-bahak tanpa ada sebab yang jelas, maka
berhentilah minum. Gampang, kan"
Kulirik jam tanganku yang baru menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kukelilingi kelab itu untuk
mencari teman-temanku, tapi di bawah kelap-kelip lampi, aku tidak bisa membedakan wajah satu orang
dengan yang lainnya. Seingatku salah satu dari mereka mengenakan baju warna merah. Setelah
menyipitkan mataku selama lima menit dan tidak melihat warna merah di mana pun, aku memutuskan
untuk menelepon Gita sambil duduk di salah satu sofa yang bertebaran di sekeliling lantai dansa.
Untungnya DJ sudah mengalihkan musiknya yang menyinggung perasaanku sebagai seorang wanita
dengan lagu yang meminta orang untuk get the party started. Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan
suara perlahan aku merogoh ke dalam tasku untuk mencari HP-ku yang tiba-tiba bergetar. Sepertinya
Gita juga sedang mencariku. Aku buru-buru meraih HP-ku, tapi ternyata getaran itu bukan tanda
panggilan dari Gita, hanya sebuah SMS dari Kafka.
Kafka: Happy New Year. Lagi ngapain"
Nadia: Kamu kecepetan. Masih sejam lagi. Aku lagi gak ngapa2in
Kafka: Betul juga. New Year"s resolution kamu apa utk tahun depan"
Nadia: Berharap suapaya kamu stop sexually harass aku lewat SMS
Kafka: Hahaha" Harapan bukan resolution
Nadia: Terserah aku dong Kafka: Oke. Apa yang kamu rela lakuin supaya aku stop SMS kamu"
Nadia: Sori. Aku gak negosiasi sama golongannya Osama
Kafka: Boleh aku kasih usul"
Nadia: Kalo ada kata underwear-nya aku gak mo denger
Kafka: Satu snog session sama kamu & aku akan stop SMS kamu
Nadia: Snog" Kafka: You know" kissing" Make-out"
Nadia: Hah! Kamu pikir aku mo make-out sama kamu"
Kafka: Mmmhhh" knp" Takut kamu gak bakalan bisa stop"
Nadia: You wish Kafka: C"mon, Nad2 Nadia: No! dan sudah aku bilang, jangan panggil aku Nad2
Kafka: Oke, Nadia aja kalo gitu. Jgn salahin aku kalo SMS-ku makin gencar ya thn depan
Nadia: Kamu ini lebih parah dari Osama, tau gak"
Kafka: Tapi suka, kan"
Nadia: Apa gak pernah ada yg bilangin kamu kalo ego kamu selangit"
Kafka: Mendingan punya ego daripada rendah diri
Nadia: U know what, aku capek dengerin kamu muji diri sendiri. Kalo kamu mo make-out sama aku that
bad, temuin aku di Empire b4 midnight. Tapi kalo kamu telat satu detik aja, not only that I get to NOT
make-out w/ u, tapi kamu juga stop SMS aku. Deal"
Kafka: That"s my gal.
Nadia: I"m not your gal
Kafka: Not yet Kututup HP-ku sambil sekali lagi merasa ingin mencekik dan mencium Kafka pada saat yang bersamaan,
tapi mau tidak mau aku tersenyum. Entah kenapa, meskipun dengan jumlah pekerjaan yang segunung,
kesehatan Papa yang agak mengkhawatirkan, dan Kafka yang terus menggangguku, tetapi beberapa
bulan belakangan ini aku merasa lebih bahagia dengan hidupku. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas
malam dan kecuali Kafka itu keturunan Superman, dia tidak akan bisa sampai di Empire dalam waktu
dekat. Aku saja harus menempuh waktu dua jam untuk sampai ke Empire, padahal aku hanya tinggal
sekitar dua puluh kilometer dari kelab itu. Jalan di kota Jakarta yang memang selalu macet, semakin
parah dengan kehadiran Tahun Baru.
Aku baru saja akan menghubungi Gita lagi ketika ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang.
Otomatis aku langsung menoleh, Kafka sedang berdiri di belakangku sambil tersenyum. Pada saat itu
aku baru menyadari bahwa aku sudah merindukan senyuman itu selama beberapa minggu ini. Aku
langsung berdiri dari sofa tempatku duduk agar tidak menyakiti otot leherku karena harus memandang
ke atas. Seiring dengan itu senyuman Kafka pun melebar sehingga memperlihatkan giginya. Aku baru
menyadari betapa rapinya deretan gigi itu. Aku mencoba mengingat-ingat apakah dia selalu memiliki gigi
serapi itu waktu SD, tapi aku tidak bisa ingat sama sekali. Malam ini Kafka mengenakan kemeja lengan
panjang berwarna abu-abu, dasi berwarna hitam, dan jins berwarna gelap. Lengan kemeja itu terlipat
rapi, meskipun dasinya terikat longgar pada lehernya dengan kancing kemeja yang paling atas dibiarkan
terbuka. Dia kelihatan seperti anak berumur dua puluh tahun dengan tubuh laki-laki berumur tiga puluh
tahun. Aku tidak pernah tahu bahwa Kafka sebetulnya hanya sekitar satu kepala lebih tinggi daripadaku. Entah
kenapa tapi aku selalu beranggap bahwa dia jauh lebih tinggi dari itu. Tapi, itu mungkin karena malam
ini aku mengenakan sepatu berhak supertinggi, sehingga perbedaan ketinggian kami tidak terlalu nyata.
Tiba-tiba aku merasa agak malu dan canggung, seakan-akan inilah pertama kalinya aku berkenalan
dengan Kafka, seakan-akan semua flirting melalui SMS yang selama ini telah kami lakukan tidak pernah
terjadi. Lebih parahnya lagi aku ada firasat bahwa kecanggunganku itu tidak ada urusannya dengan fakta
bahwa dalam waktu kurang dari satu jam aku harus make-out dengannya. Hal ini membuatku tiba-tiba
berkeringat. "Kamu utang satu sesi snogging sama aku," teriaknya dalam usaha untuk mengalahkan suara Usher. Dan
hanya dengan begitu rasa canggungku reda dan aku tertawa terbahak-bahak. Ohhh" betapa laki-laki ini
bisa membuatku tertawa dengan kelakuan gilanya.
"Kamu datang dari mana sih?" tanyaku sambil berteriak juga. Aku bukan sedang berusaha menghindar,
tapi aku betul-betul ingin tahu dia datang dari mana.
Saat itu tiba-tiba Empire menjadi hening karena DJ sudah menghentikan music dan hampir seperti
paduan suara kudengar suara protes dari semua orang yang ada di kelab itu.
"Yo" yo" yo"," ucap si DJ, "one hour to countdown. Are you ready to par-tay?"
"stop talking, just play the my-sac," teriak sesorang dari arah kanan lantai, yang langsung disambut oleh
gemuruh tawa dari semua orang, termasuk aku dan Kafka.
"I"m with you, mate. Now say the magic words, people," teriak si DJ
Tiba-tiba semua orang di sekelilingku mulai berteriak bersama-sama, "We want music! We want music!
We want music!" berkali-kali.
Aku hanya bisa menatap sekelilingku dengan sedikit terkesima. Para pengunjung setia Empire sepertinya
memang memiliki bahasa dan dunia mereka sendiri. Ketika kutolehkan kepalaku kulihat Kafka pun
sedang mengucapkan kata-kata itu. Hal itu membuatku bertanya-tanya seberapa sering kah dia pergi ke
Empire" Bagaimana mungkin dia bisa menemukan waktu untuk jadi dokter dan masih menyempatkan
diri untuk clubbing" Mungkin aku harus belajar manajemen waktu darinya.
"I can"t hear you," ucap sang DJ. Dia bahkan memperagakan aksi yang menandakan bahwa dia tidak bisa
mendengar. "We want music! We want music!" volume gemuruh suara itu semakin keras. Aku sempat merasa
khawatir atap kelab itu akan runtuh.
"Still can"t hear you."
"We want musiiiccc!"
"What do you want?"
"Musiiiccc!" "What do you want?"
"MUUUSSSIIICCCC! "I love it when you talk dirty" balas si DJ sambil tersenyum lebar dan music pun berlanjut kembali
dengan Ice Ice Baby-nya Vanilla Ice
Hampir semua orang langsung berteriak gembira ketika mendengar pilihan lagu klasik itu. Beberapa
orang yang lebih khawatir akan image mereka memilih untuk tertawa melihat ini semua sambil
memberikan tepuk tangan untuk aksi sang DJ yang kini sedang membungkukkan tubuh sebagai tanda
hormat kepada "fans"-nya. Mau tidak mau aku harus tertawa dan ikut bertepuk tangan ketika melihat
aksi ini. Aku yakin bahwa Karin akan mengontrak DJ ini untuk enam bulan ke depan.
"C"mon," ucap Kafka dan tanpa menunggu balasan dariku langsung menggenggam tangan kananku.
Genggamannya tidak posesif, dia hanya menjalinkan jari-jarinya yang panjang itu dengan jari-jariku yang
lebih pendek dan agak gendut. Aku terkesima beberapa detik dan hanya bisa menatap tanganku. Sudah
lama aku tidak merasakan kehangatan sentuhan selembut itu dari seorang laki-laki dan aku menutup
mata beberapa detik agar bisa menyerap semua energy sentuhan itu. Aku baru tersadar kembali ketika
merasakan Kafka mengeratkan genggamannya.
"Nad?" ucapnya. Kuangkat tatapanku ke wajahnya yang masih tersenyum, tapi kini senyuman itu
terlihat ragu. "Kita mau ke mana?" suaraku terdengar serak. Tiba-tiba aku merasa canggung lagi.
Kafka tidak menjawab, malah mulai menuntunku mengitari para pengunjung kelab yang menutupi jalan
kami. Kusadari bahwa sepertinya Kafka memiliki banyak teman di kelab ini dan hampir Sembilan puluh
persen dari mereka adalah wanita. Wanita-wanita cantik berwajah seperti bintang film dan bertubuh
supermodel lebih tepatnya. Bahkan aku yakin bahwa beberapa dari mereka adalah bintang film dan
supermodel. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kafka kelihatan tidak nyaman dengan semua
perhatian yang ditujukan padanya. Meskipun dia tetap ramah kepada setiap wanita yang mendekatinya
untuk mengatakan "Hi", mencium pipinya, atau bahkan memeluknya dengan agak ganas, tapi sepertinya
dia mencoba tetap menjaga jarak dengan mereka semua.
Aku mencoba menegakkan kelapaku dan berlagak seperti aku memang berhak mendampingi Kafka,
meskipun detak jantungku berantakan di bawah tatapan mata cemburu dan curiga yang dilemparkan
oleh mayoritas wanita-wanita itu. Aku bahkan yakin beberapa dari mereka sudah siap menunjukkan
cakar atau pun taring mereka bila perlu. Aku tidak tahu apakah Kafka menyadari energy negative yang
ditujukan kepadaku ini, tetapi selama semua ini berlangsung Kafka tidak melepaskan genggamannya
pada tanganku. Aku sendiri sudah beberapa kali mencoba melepaskan diri dari genggaman itu dan
memberinya ruang untuk bergerak dengan lebih leluasa. Andaikan saja aku bisa percaya bahwa dia
memang menyadariku, tetapi firasatku mengatakan bahwa dia sebetulnya menggunakan aku sebagai
perisai untuk melindunginya dari semua wanita itu. Aku memilih memercayai firasatku, karena laki-laki
gila mana yang akan menolak perhatian dari wanita-wanita muda, cantik, dan seksi, dan memilih untuk
melindungiku" Lima belas menit kemudian kami akhirnya terbebas dari serangan para wanita dan Kafka menuntunku ke
sebuah tangga di samping pintu masuk yang letaknya memang agak tersembunyi. Ada tali beludru
berwarna merah yang melintang menutupi tangga itu. Sebuah plang dengan kata "RESTRICTED"
tergantung pada tali tersebut. Aku tidak tahu bahwa ada area yang lebih VIP lagi daripada yang sudah
aku lihat di dalam Empire. Aku pernah mendengar bahwa ada beberapa kelab yang memiliki ruangan
khusus untuk para tamu super-VIP mereka, tapi kau tidak pernah berkesempatan melihatnya, meskipun
selalu ingin tahu apa yang dikerjakan oleh para super-VIP itu sehingga mereka tidak mau berada di
dalam satu ruangan dengan umat manusia yang lainnya. Karin jelas-jelas tidak pernah menunjukkan
area itu kepadaku ketika aku melakukan survey. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa tersinggung
ketika menyadari hal ini. Tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan untuk menanggalkan salah satu
ujung tali itu dari cantelannya, sehingga membuyarkan jalan pikiranku.
"Thanks, San," ucap Kafka pada orang itu yang kalau dilihat dari penampilannya yang mengenakan
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pakaian serbahitam kelihatan seperti maling. Tapi kalau ditambahkan dengan bobot tubuhnya yang aku
yakin setidak-tidaknya dua kali lebih berat daripada aku, akhirnya aku menyimpulkan bahwa orang
tersebut adalah seorang centeng atau bodyguard kalau mau terdengar lebih beradab.
Orang yang dipanggil "San" oleh Kafka itu hanya mengangguk dan tersenyum tanpa mengatakan apaapa. Kalau merasa kehadiranku dengan Kafka janggal, dia tidak menunjukkan pendapatnya itu sama
sekali. Aku hanya bisa tersenyum singkat kepadanya sebelum kemudian Kafka menarikku mulai menaiki
anak tangga satu persatu. Area tangga itu cukup lebar sehingga kami bisa berjalan bersebelahan. Dari
sudut mataku aku bisa melihat garis-garis tegas rahang Kafka dan bulu matanya yang panjang meskipun
tidak lentik. Lalu aku mencium aromanya, bukan Davidoff yang sudah disemprotkan ke kemejanya,
tetapi aroma harum kulitnya yang tidak bisa ditutupi kolonye sewangi dan semahal apa pun. Tatapanku
kemudian jatuh pada lehernya dan tiba-tiba pikiranku sudah kembali kepada mimpi S&M-ku dengan
Kafka dan aku harus menahan diri untuk tidak mengubur hidungku dileher itu.
Aroma Kafka memicu ingatanku akan mimpi itu. Baru seminggu ini aku akhirnya bisa menikmati tidur
yang nyenyak tanpa takut akan bangun dengan napas memburu, tapi sepertinya waktuku untuk
menikmati hak istimewa itu sudah habis. Tanpa kusadari aku mengusap pergelangan tanganku, tempat
ujung cambuk mengenai kulitku di dalam mimpi itu. Tapi tentu saja tidak ada bekasnya karena itu semua
hanya mimpi. Kucoba mengatur napasku agar tidak sesak napas. Ambil napas" buang" ambil napas"
buang" ambil napas" buang" aku melakukannya beberapa kali lagi hingga kurasakan ketegangan otot
tubuhku reda. Aku masih bisa mendengar suara music kelab, tapi lambat-laun suara itu semakin teredam. Lain dengan
di dalam kelab, tangga itu memiliki penerangan yang cukup sehingga aku bisa melihat langkah kakiku
dengan lebih jelas. Aku mendengar bunyi krek" krek" krek" setiap kali aku menaiki anak tangga yang
ditutupi karpet berwarna ungu itu. Dinding tangga yang berwarna oranye dipenuhi foto yang tersusun
dengan rapi. Aku mengenali wajah Karin pada beberapa foto itu yang kebanyakan sepertinya diambil di
luar negeri. Di depan Arc de Triomphe di Paris, di New York dengan latar belakang patung Liberty, di
depan Sydney Opera House, bahkan Taj Mahal. Kemudian aku terhenti pada satu foto yang aku yakin
adalah foto Kafka dengan Karin yang kelihatannya diambil baru-baru ini. Satu-satunya alasan kenapa aku
terhenti pada foto itu adalah selain karena itu adalah foto satu-satunya foto hitam-putih di antara fotofoto berwarna, tapi juga karena foto itu memiliki ukuran lebih besar daripada foto-foto lainnya. Kafka
dan Karin sedang tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu di mana mereka mengambil foto itu,
sepertinya mereka betul-betul kelihatan gembira.
"Kamu kenal Karin dari mana?" tanyaku sambil menunjuk foto itu.
Kafka yang juga telah menghentikan langkahnya ketika menyadari bahwa perhatianku sedang tersita
oleh sesuatu, kelihatan mengerutkan dahi. "Karin itu adikku," ucapnya pendek.
"What?" teriakku terkejut. "Sejak kapan?" sambungku dan bodohnya pertanyaan itu.
"Sejak aku umur enam tahun," balas Kafka. Dan ketika melihatku tidak bereaksi, dia menambahkan,
"Aku sudah bilang ke orangtuaku untuk ngembaliin dia ke panti asuhan saja, tapi kayaknya orangtuaku
nggak nganggap komentar itu lucu, soalnya mereka nggak bolehin aku main sama boneka G.I.Joe-ku
selama sebulan." Untuk pertama kalinya Kafka kelihatan tersipu-sipu saat membagi cerita ini padaku.
Aku mencoba tersenyum karena sejujurnya menurutku cerita itu memang lucu, tapi sepertinya aku
masih terlalu terkejut dengan kenyataan bahwa Kafka adalah kakak Karin, sehingga otot-otot wajahku
tidak bisa bereaksi. Kulirik foto itu sekali lagi dan menyadari bahwa Karin memang mirip dengan Kafka.
Bagaimana aku bisa tidak melihat persamaan ini sebelumnya" Pada saat itu aku menyadari satu hal lagi.
Bahwa kalau Kafka adalah Kakak Karin, berarti".
"Kamu Cuma dua bersaudara?" tanyaku
"Iya," jawab Kafka
"Nggak ada kakak atau adik laki-laki lagi?" sambungku
Kafka menggeleng dengan wajah agak bingung. Harus kuakui bahwa reaksinya wajar. Karena aku
berkelakuan seperti seorang pegawai kelurahan yang sedang melakukan survey penduduk.
"Ada saudara tiri laki-laki, mungkin?" lanjutku
Kini Kafka mulai kelihatan kesal dengan segala pertanyaanku. "Nggak ada. Setahuku orangtuaku nggak
pernah punya suami atau istri lain. Aku juga nggak punya saudara angkat laki-laki, kalau itu pertanyaan
kamu selanjutnya." Wajahku langsung memerah, karena sejujurnya itulah pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahku. Jadi
ini rupanya laki-laki yang sudah membuat wanita yang kutemui di toilet, penasaran.
"Memangnya kenapa sih kamu nanya-nanya?" Tanya Kafka.
Kugelengkan kepalaku sambil berkata, "Nggak" nggak ada aoa-apa," dan mulai berjalan menaiki tangga
lagi. "Kalau kamu, kenal Karin dari mana?"
"Aku desainer dan webmaster website Empire," jelasku
"Lho" kamu Nadia si web designer itu?" mendengar nada Kafka aku langsung menolehkan kepalaku
untuk menatap wajah Kafka. Ketika dia menyadari bahwa aku sedang menunggunya member penjelasan
lebih lanjut, Kafka berkata, "Karin memang sering ngomongin tentang kamu, tapi selama ini aku nggak
pernah nyangka Nadia yang dia maksud itu kamu."
"Hahahaha" ngggak heran. Memang banyak orang yang namanya Nadia kok di Jakarta."
Kafka menatapku sejenak dengan ekspresi tak terbaca. Aku langsung jadi risi dengan tatapan itu dan
mulai menaiki anak tangga selanjutnya. Kafka mengikuti langkahku. Kami menaiki beberapa anak tangga
lagi di dalam diam. Tidak lama kemudian kami tiba di lantai atas yang lantainya terbuat dari kayu
berwarna gelap. Kami tidak menjumpai siapa pun di lantai ini. Sejujurnya lantai atas tersebut sepertinya
berfungsi sebagai kantor kalau dilihat dari tata ruangnya. Terdapat tiga ruangan, dua di sebelah kanan
dan satu di sebelah kiri. Semua pintu ruangan itu dalam keadaan tertutup. Aku mencoba
menyembunyikan kekecewaanku ketika menyadari bahwa tidak aka nada insiden menarik menyangkut
tamu super-VIP yang bisa aku ceritakan kepada sobat-sobatku.
Kafka kemudian menuntunku menuju ruangan yang terletak di paling ujung.dia baru melepaskan
genggamannya pada tanganku untuk mengeluarkan sebuah kunci dari kantong celana jinsnya dan
membuka pintu yang bertandakan "OWNER"S BOX". Apa itu berarti bahwa inilah ruangan tempat Karin
dan kedua rekannya bekerja keras untuk menjaga kelab mereka" Bagaimana mungkin Kafka bisa punya
kunci ruangan itu" Bab 12 7 Januari OMG, laki-laki satu itu bikin gue gila. Gue gak tahu dia maunya apa! Dia flirt sama gue habis-habisan,
tapi terus bilang dia akan nurutin permintaan gue dan nggak akan kontak gue lag" Maksudnya dia apa
coba" *** "Kamu kok punya kunci sih?" tanyaku penasaran. Kafka tidak menjawab. Dia hanya membuka lebar
pintu di hadapannya dan mendorongku masuk ke dalamnya dengan menempelkan telapak tangan pada
punggungku. Ruangan yang dalam keadaan terang benderang oleh sinar dua lampu neon yang
menempel pada langit-langit itu kelihatan cukup rapid an kosong, kecuali untuk sebuah meja kerja besar
yang kelihatannya terbuat dari kayu kokoh, sebuah meja kayu bundar dengan enam kursi, dan sebuah
TV plasma yang menempel pada dinding. Salah satu dinding ruangan itu tertutup gorden berwarna
cokelat yang kelihatannya terbuat dari bahan yang sangat berat, sedangkan tiga dinding lainnya di cat
dengan warna cokelat terang. Ada sesuatu yang aneh dengan ruangan itu, aku baru menyadari beberapa
menit kemudian bahwa ruangan itu tidak memiliki warna fuchsia, kuning, ataupun oranye di dalamnya
sama sekali. Ruangan itu kelihatan sangat maskulin hanya dengan kombinasi warna cokelat dan hitam.
"Mmmhhh," ucapku pelan
Aku baru menyadari bahwa aku sudah mengucapkan "mmmhhh"-ku lebih keras daripada yang
kuperkirakan ketika Kafka berkata, "Kenapa?"
"Kenapa?" aku balik bertanya
"Kamu kenapa "mmmhhh?"" Tanya Kafka sambil membiarkan pintu ruangan itu tertutup. Saat itu aku
menyadari bahwa tanpa kita sadari, kata "mmmhhh" itu memiliki banyak makna. Terkadang kata itu
diucapkan sebagai suatu persetujuan, tapi terkadang untuk menyuarakan ketidaksetujuan. Mungkin
bukan kata "mmmhhh" itu yang menunjukkan makna yang dituju, tapi nada ketika kata itu diucapkan.
Bah! Aku jadi pusing sendiri.
Ketika menyadari bahwa pintu ruangan sudah tertutup, membuatku sendirian dengan Kafka yang kini
menatapku karena menunggu jawaban atas pertanyaannya, kecanggunganku pun kembali.
"Ruangan ini kok warnanya beda ya dari lantai bawah?" aku berhasil mengucapkan hal pertama yang
terlintas di dalam pikiranku tanpa terbata-bata.
Kafka tersenyum sambil kemudian berjalan menuju meja kayu dan membungkuk. Aku kemudian
mendengar bunyi sebuah pintu kulkas dibuka. Kantor ini punya kulkas tersembunyi di bawah meja itu
sepertinya. "Kamu mau minum apa?" aku ada produknya Coca-Colaatau air putih," ucapnya.
"Oh" air putih saja," jawabku sambil melangkah mendekati Kafka.
Tidak lama kemudian aku sudah menggenggam satu botol Evia. Kafka memilih untuk minum Sprite
kalengan. Perlahan-lahan kuputar tutup botol air itu. Sebetulnya aku tidak haus, tapi aku minum seteguk
hanya karena aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku perbuat. Satu detik kemudian aku menyadari bahwa
aku seharusnya menunggu untuk menelan air itu.
"Yang pilih warna kelab ini Karin sama Maya. Sebagai satu-satunya owner yang laki-laki jelas-jelas aku
langsung nggak setuju sama pilihan warna mereka, tapi mereka tetap ngotot. Akhirnya sebagai
kompensasi, mereka kasih aku kebebasan untuk ngedesain dan milih warna ruang kerja ini sesuai
seleraku," jelas Kafka panjang-lebar sambil menarik cincin di atas kaleng soda itu dan bunyi "POP" yang
cukup keras terdengar. Air yang sedang dalam proses untuk ditelan langsung masuk ke lubang yang salah dan aku pun terbatukbatuk. Tahu-tahu Kafka sudah berada di sampingku sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Minumnya pelan-pelan, Nad," ucapnya
Aku hanya bisa mengangguk dan memegangi dadaku sambil masih terbatuk-batuk. Karin tidak pernah
berkata banyak mengenai dua partnernya. Selama ini aku selalu menyangka bahwa mereka pasti
perempuan juga dan satu tipe dengan Karin. Maya memang sepertinya memenuhi criteria itu, tetapi
Kafka tidak. Bagaimana mungkin Karin tidak pernah menceritakan hal ini padaku" Lalu aku menyadari
bahwa pada dasarnya aku tidak pernah terlalu memperhatikan hal-hal yang keluar dari mulut Karin
kecuali kalau itu menyangkut desan website kelabnya. Ini semua salahku, omelku pada diriku sendiri.
Aku memerlukan setidak-tidaknya lima menit untuk bisa betul-betul mengendalikan batuk. Saat itu aku
menyadari bahwa tepukan dipunggungku sudah berubah menjadi usapan. Yang jelas atasan dengan
bahan satin berwarna putih yang kukenakan pada malam itu tidak bisa menghalangiku untuk merasakan
kehangatan telapak tangan Kafka.
"Better?" Tanya Kafka. Kini tangan nya sudah naik dan sedang memijat leherku yang seharusnya
tersembunyi di bawah rambutku yang kubiarkan tergerai malam ini, otomatis bulu romaku langsung
berdiri. Kuangkat kepalaku untuk mlihat wajah Kafka yang kelihatan terhibur dengan keadaanku. Matanya
berbinar-binar seperti dia sedang menahan tawa. Di bawah sinar lampu neon di dalam ruangan ini,
kusadari bahwa warna rambut Kafka tidak hitam, tapi cokelat gelap dan ada merahnya. Dan mungkin ini
hanya trik lampu saja, tapi aku bersumpah bahwa lingkaran yang mengelilingi pupil matanya berwarna
hijau, bukannya cokelat atau hitam seperti mata orang Asia pada umumnya. Ketika menyadari bahwa
aku sedang memfokuskan perhatianku pada bola matanya, pijatan Kafka pada leherku terhenti.
"Kamu tahu nggak kalau mata kamu ada hijaunya?" aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sudah
mengucapkan kata-kata itu sampai mendengar seseorang dengan suara yang mirip sekali dengan
suaraku mengucapkannya. "Whatare you on about?" aksen bicara Kafka terdengar sangat asing di kupingku. Ketika dia mengatakan
kata "About" dia mengucapkan sebagai "Aboot".
Samar-samar kudengar suara gemuruh orang sedang meneriakkan, "Ten" Nine" Eight" Seven?"
sepertinya waktu untuk countdown akhirnya tiba juga.
"Three" Two" One?" aku pun berjinjit sambil menarik kepala Kafka sebelum kemudian mencium
bibirnya Cara kami berciuman terkesan seperti besok akan kiamat dan bahwa hari ini adalah hari terakhir kami
bisa melakukan apa pun yang kami inginkan tanpa perlu mengkhawatirkan akibatnya. Ciuman itu basah,
dalam, dan menyeluruh. Aku bisa merasakan bahwa aku harus mengambil napas sebentar lagi kalau tidak mau tiba-tiba pingsan
ketika sedang mencium Kafka, tapi aku tidak rela melepaskannya. Aku lebih memerlukan bibirnya
daripada aku memerlukan waktu 28 tahun untuk betul-betul mengerti ungkapan "I need you like I need
air to breathe." Kafka-lah yang menyelamatkan dri kegilaanku dengan berkata, "We need to slow down," dengan napas
terengah-engah. Kedua tangannya merangkum wajahku dan dia manatap mataku dengan tajam.
"I know," balasku sambil menggenggam kedua tangan Kafka di sebelah kiri dan kanan wajahku. Dadaku
terasa agak sakit karena oksigen yang tiba-tiba masuk terlalu cepat ke dalam paru-paruku.
"Bilang ke aku kalau kamu mau slow down, Nad."
"Aku mau slow down."
"Say it like you mean it." Suara Kafka sedikit bergetar ketika mengucapkannya. Aku hanya bisa
menatapnya dengan mulut terbuka. Bagaimana aku bisa mengucapkan itu ketika pikiranku mengatakan
lain" "Fuck a duck," geramnya.
Sebelum aku bisa memahami apa yang dikatakannya, dia sudah menyerangku lagi. Ternyata Kafka lebih
Inggris daripada yang kuperkirakan, terkadang kosakata bahasa Inggris yang dia gunakan membuatku
bingung dan bertanya-tanya apakah dia sedang memuji atau menghinaku. Pikiranku buyar ketika
kurasakan perlahan-lahan tubuhku didorong ke belakang olehnya. Beberapa detik kemudian kurasakan
bokongku menabrak sesuatu dan sebelum aku bisa menoleh untuk melihat apa benda itu, Kafka sudah
mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja kerja. Dia kemudian berusaha membuka kedua
kakiku, tapi usaha itu dihalangi desain rok pensil sedengkul superketat berbahan spandex yang
kukenakan. Kafka melepaskan bibirku untuk menatap rokku. "Kamu kenapa sih suka banget pakai spandex?" Tanya
nya sambil mengerutkan dahi.
Aku harus mengedipkan mata berkali-kali untuk melepaskan pikiranku dari bibir Kafka yang kini terlihat
agak merah dan basah karena lipgloss warna pink-ku, ke pertanyaannya.
"They"re comfortable," jawabku akhirnya
"Buat kamu mungkin. Tapi nggak untuk aku."
Aku hanya terkikik mendengar komentar dan melihat tatapan frustasi pada wajah Kafka
"Aku nggak kebayang kalau kamu pakai spandex. Kecuali kamu penari baletm aku usulin sih jangan,
soalnya nanti orang pikir kamu gay," ucapku sambil tersenyum.
"Kamu tahu maksudku bukan itu," balas Kafka dengan nada datar.
Pupil mataku melebar ketika mendengar nada serius Kafka. Aku kemudian mengangguk sedikit,
mengonfirmasikan kepadanya bahwa aku mengerti maksudnya. Kuangkat tanganku untuk menghapus
bekas lipgloss-ku dari bibirnya dengan jari-jariku. Kafka kelihatan agak terkejut ketika jari-jariku
menyentuh bibirnya, tapi dia membiarkanku melakukannya.
"Sori, bibir kamu ada lipgloss-ku," jelasku setelah bibir itu sudah bersih
"Aku nggak keberatan sama lipgloss kamu," ucap Kafka
"Oh?" kafka adalah orang pertama yang berpendapat seperti ini tentang lipgloss-ku. Semua mantan
pacarku selalu protes dengan tebalnya lipgloss yang aku oleskan pada bibirku.
"Sudah resiko sebagai laki-laki. Kalau kita memang nggak mau ada lipgloss di bibir kita ya" jangan nyium
cewek. Aku sih lebih pilih ada lipgloss di mukaku daripada nggak nyium mereka."
Aku terdiam sejenak untuk membiarkan kata-kata Kafka ini terserap oleh otakku. "Kamu selalu pakai
lipgloss yang sama, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk dengan wajah agak bingung karena tidak tahu arah pembicaraan ini, "Bibir kamu
rasanya selalu sama soalnya. Rasa ceri," jelas Kafka sambil menjilat bibirnya.
"Kamu nggak suka ceri?" tanyaku hati-hati. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba merasa agak khawatir
Kafka tidak menyukai rasa lipgloss-ku.
Tanpa kusangka-sangka, Kafka malah tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku itu. Aku baru
menyadari beberapa detik kemudian alasannya dan ikut tertawa dengannya inilah pertama kalinya aku
melihat wajah Kafka ketika dia sedang tertawa. Bukan tertawa karena mengejek, tapi betul-betul
tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Suara tawa yang lepas sehingga seluruh tubuhnya ikut bergoyang.
Dan pada saat itulah aku menyadari bahwa ada sebabnya Tuhan membuatnya menjadi laki-laki yang
supermisterius dan jarang tertawa. Begitu laki-laki satu ini memutuskan untuk menunjukkan tawanya
kepada dunia, akan sangat tidak adil bagi kaum laki-laki lainnya karena mereka bisa tidak bakal
mendapatkan perhatian kaum wanita sama sekali.
"Yang aku maksud hahaha". Rasa ceri sebagai buah, bukan ceri yang satu lagi, hahaha".," jelasku
sambil mencoba mengontrol tawaku dan pikiranku yang sudah berlari entah ke mana.
"Hahaha" aku tahu maksud kamu. Cuma, gara-gara kamu akhir-akhir ini pikiranku jadi banyak ngabisin
waktu di got, hahaha," jelas Kafka sambil masih mengikik.
"Oh, itu sih bukan gara-gara aku, tapi salah kamu sendiri," candaku.
"Oke, sama teman kita bagi rata saja ya salahnya," balas Kafka sambil kemudian mengulurkan tangan
untuk mengajakku bersalaman.
Kuraih tangan Kafka sambil kembali tertawa terbahak-bahak. "Jadi kamu nggak suka lipgloss rasa ceri?"
tanyaku setelah Kafka melepaskan tanganku lagi. Aku sengaja mengulangi pertanyaanku sebelumnya
tetapi dengan lebih jelas, sehingga Kafka tidak akan memikirkan hal yang tidak-tidak lagi ketika
mendengarnya. "Oh" nggak. Aku suka ceri" atau stroberi" atau vanilla. Lipgloss rasa apa saja aku suka, asal itu nempel
di bibir cewek yang aku suka."
Jantungku hampir saja berhenti ketika dia mengatakan kata "suka" pada kalimat itu. Apa pada dasarnya
dia sedang mengakui bahwa dia menyukaiku" Aku mencoba menelan ludah dan melonggarkan
teggorokanku sebelum memutuskan untuk bicara.
"Jadi intinya bukan lipgloss-nya, tapi ceweknya?" tanyaku
Kafka mengangguk. "Aku nggak mungkin bisa nyium cewek yang aku nggak suka."
Aku hampir saja terpekik ketika menyadari tangan Kafka mencengkeram kedua betisku.
"Tolongin aku deh. Besok-besok kalau mau ketemu aku, jangan pakai spandex lagi, oke. Aku jadi susah
kalau mau ngapa-ngapain kamu," ucapnya. Dia kini mencoba meraba pahaku di balik rok, tapi dia harus
berhenti setelah hanya beberapa senti meter. Rok itu memang tidak didesain untuk merentang lebih
jauh lagi selain untuk mengakomondasikan kedua pahaku.
"Memangnya kamu mau ngapain aku?" tanyaku dengan nada menggoda
Kafka terdiam selama beberapa detik dengan mulut terbuka. Sepertinya kata-kataku sudah
membuatnya tidak bisa berkata-kata. Tapi kemudian suatu senyuman muncul di sudut bibirnya.
"I love it when you"re naughty," bisiknya.
Mau tidak mau aku tertawa ketika mendengarnya mengatakan kata "naughty" yang lebih terdengar
seperti "nooh-ti" dan terkesan lebih seksi kalau dia yang mengucapkannya.
"Aku suka cara kamu ngucapin "naughty"," ucapku
"Naughty?" sekali lagi dia mengucapkannya dengan aksen Inggris-nya.
Dan aku langsung tertawa lagi ketika mendengar Kafka sekali lagi mengulangi kata itu. "Iya. Kayak gitu.
Aksen kamu bikin aku ngerasa kayak lagi hidup di abad kesembilan belas," jelasku.
Kafka mendengus sebelum menambahkan, "kalau kita hidup di abad kesembilan belas, aku nggak perlu
khawatir soal spandex sama sekali. Kenapa sih perempuan nggak bisa pakai baju kayak waktu mereka di
abad itu" Pakai rok yang gampang diangkat, tanpa knickers, dan nggak ada kait bra yang perlu di buka
karena bra memang belum ada."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa pada zaman itu wanita masih menggunakan korset
bertali, yang bahkan lebih susah ditanggalkan daripada bra.
"Tapi kamu mungkin akan lebih susah untuk ngebuka baju mereka karena semuanya masih pakai
kancing dan nggak ada ritsleting," balasku
"omong-omong soal ritsleting, ini rok ada ritsletingnya nggak sih?" kafka mulai mereba-raba rokku
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagian belakang tapi tentu saja dia tidak bisa menemukannya karena rok ini memang didesain tanpa
ritsleting. "Memangny kalau ada ritsletingnya kenapa?" tanyaku iseng sambil melipat kedua tanganku di depan
dada dan menyilangkan kakiku. Aku sudah menemukan kelemahan Kafka dan akan menggunakannya
sebagai senjata, tapi pada saat yang bersamaan, sebuah fantasi bahwa aku dan Kafka melakukan-nya di
atas meja kerja itu membuat darah di sekujur tubuhku memanas dengan sendirinya. Aku mencoba
menahan diri agar tidak mulai mengipasi wajah dan leherku dengan tangan.
"Apa perlu aku jelasin ke kamu?" Kafka kelihatan agak kesal dengan aksi girl-power-ku.
Aku hanya mengangkat alis kanan, menunggu. Aku terpekik karena hampir saja kehilangan
keseimbangan dan jatuh tersungkur ke lantai ketika tiba-tiba Kafka mencengkeram pergelangan tangan
kananku, menghadapkan telapak tanganku ke atas dan menempelkannya di atas dada kirinya, tepat di
atas jantung, sebelum kemudian menutupi tanganku dengan tangannya sendiri. Aku berhasil
mendapatkan keseimbanganku kembali pada detik-detik terakhir dengan mencengkeram tepi meja
dengan tangan kiriku dan tidak lagi menyilangkan kaki. Aku terlalu kaget bahkan untuk menarik
tanganku kembali dari genggaman Kafka.
"Sudah jelas?" Tanya Kafka padaku
Ketika aku tidak juga memberikan reaksi, Kafka menekan tanganku dengan kedua tangannya sehingga
aku betul-betul bisa merasakan detak jantungnya yang menurutku agak tidak karuan di bawah telapak
tanganku. Kutatap Kafka yang sepertinya siap melakukan apa pun untuk membuktikan apa yang ingin
dia buktikan padaku. Aku sendiri masih bingung tentang apa yang dia coba buktikan padaku dengan
tidakannya ini. Buru-buru kuanggukan kepala meskipun aku tidak betul-betul mengerti maksudnya dan
mencoba menarik tanganku dari genggamannya.
Kafka mencengkeram tanganku. "No more games, Nadia."
"What" What games?" tanyaku bingung dan agak panic. Apa sih yang diinginkan laki-laki satu ini dariku"
Kafka menatapku curiga. Seakan-akan dia tidak percaya akan omonganku. Ini orang sudah gila. Apa dia
pikir aku bisa membaca pikirannya" Aku baru saja akan berteriak, "What in all hell are you talking
about?" ketika tiba-tiba tanpa ada peringatan apa pun, pintu ruangan itu terbuka dan Karin berdiri di
depan pintu dengan wajah penuh keraguan. Sepertinya dia sudah mendapatkan laporan dari si centeng
dbawah tentang keberadaan kakaknya ini untuk menarik tanganku dan berhasil. Kafka langsung
mengerlingkan matanya padaku sebelum memutar tubuhnya untuk menghadap tamu tak diundang itu.
"Eh, kamu, aku sangkain siapa," ucap Kafka santai sebelum melangkah ke sebelah kiriku dan
menyandarkan bagian belakang pahanya pada tepi meja.
Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tapi Kafka betul-betul tidak kelihatan seperti orang
bersalah sama sekali, sedangkan aku". Aku rasanya sudah siap ditelan bumi. Kalau Karin tadi sampai
tiga puluh detik lebih awal saja, maka dia akan menemukan kami dalam posisi yang aku yakin akan
membuatnya terpaksa memecatku sebagai web designer kelabnya dengan tuduhan telah menggoda
klien. Karin menatap Kafka sambil mengerutkan kening. Kemudian tatapannya jatuh padaku yang duduk
di atas meja kerja itu di sebelah kakaknya. Wajah ragu Karin berubah menjadi terkejut, curiga sebelum
kemudian mulai memerah. "Aku Cuma" aku" aku lagi"," dengan susah payah Karin mencoba menjelaskan keberadaanya. Aku
tidak pernah melihat Karin canggung sama sekali, sehingga pemandangan baru ini membuatku
tersenyum. "Aku nyariin Mas soalnya mau ngucapin Selamat Tahun Baru," ucap Karin akhirnya.
Kudengar Kafka tertawa sebelum kemudian berjalan mendekati adiknya itu. Mereka berpelukan selama
beberapa detik sambil mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada satu sama lain. Ada sesuatu yang
manis ketika melihat Kafka memeluk Karin. Mereka tidak perlu mengatakannya, tapi aku tahu bahwa
kakak-beradik ini memiliki hubungan yang erat. Dan cara Kafka memeluk Karin mengingatkanku akan
kedua kakakku saat mereka sedang memelukku. Aku baru menyadari bahwa kemungkinan besar semua
kakak laki-laki memang diwajibkan untuk jadi protektif dan posesif atas adik perempuan mereka. Inilah
satu sisi lain lagi dari Kafka yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa
iblis ini bisa punya adik yang mungkin dicintainya lebih daripada dia mencintai dirinya sendiri.
Kutemukan diriku sedang tersenyum tanpa sebab.
Aku sempat terkejut ketika melihat Karin kemudian menuju ke arahku dengan tangan yang terbuka
lebar. Aku pun langsung melompat turun dari meja dan hampir saja membuat kakiku terkilir. Sepatu
dengan tinggi hak sepuluh sentimeter tentunya tidak membantu keseimbangan seseorang kalau sedang
berjalan, apalagi melompat.
"Happy New Year ya," ucap Karin sambil memelukku dengan erat.
"Happy New Year juga," balasku
Kulihat Kafka tersenyum melihat kami berdua berpelukan. Aku yakin Kafka sedang teringat akan sesuatu
karena meskipun dia sedang tersenyum ketika menatapku, tapi aku merasa dia tidak sedang betul-betul
melihatku. Tatapannya kelihatan hilang pada sebuah memori masa lalu. Ketika Karin melepaskan
pelukannya, dia langsung meminta diri dengan sedikit tergesa-gesa, beralasan bahwa ada banyak hal
yang harus dilakukannya di bawah. Tapi ketika Kafka menawarkan bantuannya, Karin langsung menolak
mentah-mentah dengan keantusiasan yang membuatku bertanya-tanya apakah dia hanya mencari-cari
alasan agar bisa meninggalkan aku dan Kafka berdua saja"
Baru satu detik Karin menghilang dari hadapan kami ketika HP-ku bordering. Aku celingukan mencari
tasku karena aku tidak bisa ingat sama sekali di mana aku meletakkannya sebelum aku mencium Kafka.
Ternyata tasku ada di atas meja kerja. Buru-buru kubuka tasku dan mencari HP-ku. Kulihat Kafka
berjalan menuju pintu. Telepon itu ternyata dari Gita yang menanyakan keberadaanku karena dia sudah
akan meninggalkan kelab. Dengan sesingkat mungkin aku menanyakan lokasinya di dalam kelab dan
mengatakan bahwa aku akan datang menemuinya dalam waktu lima menit sebelum menutup telepon
itu. "Sudah mau pulang?" Tanya Kafka
"Iya, sudah dicariin. Lagian Tahun Baru-nya sudah lewat," jawabku
"Tapi kita masih buka sampe jam empat kok mala mini."
"Jam empat?" teriakku terkejut. "Jadi kamu masih harus ada di sini sampai jam empat?"
Kafka mengangguk pasrah, kemudian seperti waktu tiba-tiba terhenti, kami sama-sama terdiam sambil
saling tatap tanpa berkedip selama beberapa detik. Kini giliranku yang pertama sadar dari semua itu dan
perlahan-lahan berjalan menuju Kafka. Aku berdiri dengan sedikit ragu ketika sampai di hadapannya,
sebelum kemudian mengatakan, "Selamat Tahun Baru ya, Kaf," dan hanya karena aku pikir ini adalah
sesuatu yang bisa dilakukan oleh dua teman pada malam Tahun Baru, aku berjingkat untuk mencium
pipi Kafka. Tapi Kafka sengaja menolehkan kepalanya dan bibirku mendarat tepat pada bibirnya yang dibiarkan
terbuka untuk menerima ciumanku. Ciuman itu bertahan lebih lama daripada yang kuperkirakan dan
rela untuk kuakui sebagai ciuman terlembut yang pernah aku terima dari laki-laki mana pun.
"Selamat Tahun Baru juga, Nad," ucap Kafka sebelum kemudian menyingkir dari hadapanku agar aku
bisa membuka pintu untuk keluar.
Aku ragu sesaat. Apakah aku harus menanyakan maksud atas kata-kata yang diucapkannya sebelum
Karin tadi tiba-tiba masuk" Sekali kucoba untuk memikirkan cara yang tepat untuk menanyakannya
ketika kata-kata itu terpotong oleh komentar Kafka.
"Aku suka sepatu yang kamu pakai. Kamu kelihatan seksi pakai sepatu itu," ucapnya
Aku awalnya hanya bisa menatap Kafka dengan mulut terbuka. Apa dia baru saja bilang bahwa aku seksi"
Aku" Nadia si kutu buku ini" Nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar.
"Aku usulin kamu pakai sepatu itu kapan-kapan kalau ketemu aku lagi," lanjutnya. Dan aku tahu bahwa
Kafka memang sedang membicarakan tentang aku dan sepatku.
Kutatap sepatu stripper-ku itu. Meskipun sepatu itu tidak nyaman sama sekali, harus kuakui bahwa
bentuknya membuat kakiku kelihatan lebih seksi. Tanpa menyangka diri sendiri seksi dan mendengar
orang lain mengatakannya adalah dua hal yang berbeda. Terutama jika orang lain itu adalah laki-laki
yang kita sukai. "Thanks," ucapku ragu
"Thanks untuk sesi snogging-nya. Aku janji nggak akan ganggu kamu lagi lewat SMS sepanjang tahun ini."
Kukedipkan mataku berkali-kali untuk mencerna pergantian topic ini. "Oh" oke," balasku akhirnya
dengan sedikit terbata-bata. Sejujurnya aku bahkan sudah lupa sama sekali dengan perjanjian itu. Ketika
aku mencium Kafka, itu karena aku memang ingin menciumnya, bukan karena aku kalah taruhan. Aku
masih berdiri di atas tangga sambil menatap Kafka, seakan-akan menunggunya mengatakan sesuatu. Ap
pun itu. Tapi Kafka tidak berkata apa-apa lagi, sehingga aku tidak punya pilihan lain selain mulai
menuruni tangga. "Nad?" kudengar Kafka memanggilku setelah aku menuruni dua anak tangga
YESSSS! Teriakku dalam hati. Kalau bisa sebetulnya aku ingin meneriakkan kata itu, tapi kecuali aku ingin
Kafka tahu perasaanku tentangnya, aku memutuskan untuk menahan diri. Kuputar tubuhku 180 derajat
sebelum berkata, "Ya?" dengan suara setenang mungkin.
"Goodnight," ucap Kafka sambil tersenyum dengan senyumannya itu.
What! Bercanda dia. Itu saja yang dia akan katakana padaku" Tidakkah dia akan setidak-tidaknya
memintaku untuk hangout sama dia hingga kelabnya tutup" Oke, mungkin tidak hingga kelabnya tutup
karena sejujurnya aku tidak akan berani membawa mobilku untuk pulang ke kos sendirian pada jam
empat pagi, tidak peduli bahwa ini adalah malam Tahun Baru dan pasti ada banyak orang yang masih
berkeliaran di jalan raya menjelang pagi. Pada intinya aku mngharapkan Kafka untuk mengatakan
sesuatu yang lebih berharga daripada "Selamat malam".
"Goodnight, kaf," balasku akhirnya setelah otakku cair kembali dari bekunya. Dan aku pun menghilang
dari hadapannya tanpa menoleh lagi.
Aku berharap Kafka tidak serius dengan kata-kata untuk tidak mengirimi aku SMS lagi. Apa yang akan
aku lakukan tanpa SMS-SMS darinya" Sisa dari malam itu berlalu begitu saja. Aku bahkan tidak ingat
bagaimana aku bisa kembali ke kosku karena jelas-jelas aku tidak ingat jalan mana saja yang aku ambil
untuk pulang. Kepalaku penuh dengan Kafka. Aku baru bisa tertidur beberapa menit sebelum matahari
terbit setelah semalaman mencoba memdedah semua tingkah laku dan kata-kata yang diucapkan
olehnya padaku malam sebelumnya. Ketika aku bangun delapan jam kemudian dengan tubuh kaku
seperti baru saja mendaki Gunung Everest dan kepala berat seakan-akan aku sudah minum alcohol
berliter-liter malam sebelumnya, aku langsung tahu bahwa hari ini akan jadi hari terpanjang dalam
hidupku. Bab 13 14 Januari OMG, OMG, OMG". This is NOT happening to me. Sejak kapan gue jadi stalker" Gue gak pernah stalk
cowok, mereka yang stalk gue.
**** Tiga hari kemudian Kafka belum juga mengirimkan SMS padaku. Aku jadi terobsesi untuk selalu
menyimpan HP-ku sedekat mungkin dengan diriku, seakan-akan aku sedang berada di tengah lautan
setelah kapal yang kutumpangi tenggelam dan HP itu adalah pelampung penyelamatku. Seminggu
setelah Tahun Baru, ketika menyadari bahwa aku sudah membawa HP-ku ke dalam kamar mandi saat
mandi, aku tahu bahwa aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengirimkan SMS ke Kafka. Aku sudah
tidak peduli lagi bahwa dengan melakukan ini aku mungkin akan mempermalukan diriku sendiri. Kafka
mungkin akan berpikir bahwa aku tipe perempuan ganjen dan suka mengejar-ngejar laki-laki. Tapi aku
harus berbicara dengannya sekarang juga. Sebelum kehilangan keberanianku, aku mulai mengetikkan
SMS itu. Hei, Kaf, apa kabar" Lama gak denger kabar dari kamu. Just wanna know how u"re doing.
Tanpa membaca ulang apa yang telah kutulis, aku langsung menekan SEND dan menarik napas,
menunggu hingga gambar amplop mulai melayang di layar HP-ku. Setelah itu, hanya untuk memastikan
bahwa SMS itu memang sudah terkirim, aku memeriksa statusnya. Puas bahwa SMS itu sudah betulbetul terkirim aku kemudin menutup HP-ku dan menunggu. Biasanya Kafka selalu membalas SMS-ku
secepatnya, kecuali kalau dia sedang praktik. Kuembuskan napas perlahan-lahan sambil menghitung
dalam hati. Satu" dua" tiga" empat" ketika pada hitungan keenam puluh dan Kafka belum juga
membalas SMS kulirik HP-ku lagi untuk memastikan bahwa sinyalnya cukup kuat untuk menerim SMS.
Ketika melihat bahwa aku hanya memiliki dua baris sinyal, aku langsung panic.
Aku berdiri dari kursi dan melongokkan kepala ke atas dinding kubikel. Gita langsung mengangkat
tatapannya dari layar computer.
"Git, HP lo sinyalnya penuh nggak?" tanyaku.
Gita kelihatan bingung dengan pertanyaanku, tapi dia segera mengeluarkan HP-nya dari laci meja. "Dua
baris" jawab Gita setelah beberapa detik.
"Yakin?" aku mengitari dinding kubikel itu dan berdiri di samping meja Gita sebelum kemudian
merampas HP tersebut dari tangannya. Ternyata Gita benar, HP-nya juga hanya memiliki dua baris sinyal.
Dengan agak kecewa kukembalikan HP itu kepada pemiliknya yang sekarang menatapku dengan tajam.
Mungkin dia bingung melihatku tiba-tiba jadi ganas dan tidak tahu sopan santun.
"Sori. Thanks," ucapku. "Omong-omong kita bisa nggak sih terima SMS kalau sinyalnya Cuma ada dua
baris?" lanjutku. "Setahu gue sih bisa. Selama sinyalnya nggak nol," balas Gita. "Memangnya lo lagi nungguin SMS dari
siapa?" "Oh nggak" nggak dari siapa-siapa sih. Nggak terlalu penting juga kok. Dia mungkin lagi sibuk kali,
makannya nggak bisa balas." Aku tidak tahu kenapa aku mengucapkan ini semua kepada Gita yang
kebingungannya sudah berganti menjadi kecurigaan.
Aku lalu mengangguk dan berjalan kembali ke mejaku. Kuempaskan diriku ke kursi kerjaku sambil
mendesah panjang. Kepala Gita tiba-tiba muncul, "Lo lagi kenapa sih, Nad?"
Aku langsung menegakkan tubuh. "Kenapa" Memangnya gue kenapa?" tanyaku buru-buru
"Sudah beberapa hari ini lo kayak orang kebakaran jenggot. Lo nggak bisa focus, banyak lupa sama
kerjaan. Dan kalau bukan karena gue, lo pasti sudah kena omel sama bos kemarin di meeting."
Aku harus akui bahwa Gita memang menyelamatkanku ketika mengatakan bahwa aku sudah
melaksanakan tugasku untuk networking dengan teman-teman Karin. Padahal sebetulnya Gita yang
melakukan itu semua sementara aku sibuk "networking" dengan Kafka di lantai atas klub. Gita memang
selalu mau membantuku semenjak aku menawarkan diri untuk membantunya menyelesaikan suatu
proyek yang terlalu sulit baginya ketika dia baru masuk sebagai web designer junior setahun yang lalu.
"Lo bahkan mungkin nggak ingat hari ini hari apa."
Pertanyaan Gita membangunkanku dari lamunan. "Hah?" tanyaku.
Gita memutar bola matanya dan mengulangi pertanyaannya.
"Gue tahu kok hari ini hari apa," bantahku
"Oke. Hari apa?"
"Selasa, kan?" Kulihat Gita menggeleng. "Rabu?" kucoba sekali lagi yang disambut oleh gelengan kepala rekan kerjaku
itu lagi. "Nggak penting deh hari ini hari apa?" ucapku sok cuek padahal dalam hati aku sedang mencoba
mengingat-ingat tanggal hari ini.
"Hari ini hari kamis, Nad." Kata Gita sambil menggeleng-geleng. Sepertinya dia cukup terkesima karena
aku tidak bisa ingat hari ini hari apa.
"Hah! Tuh kan tebakan gue nggak seberapa meleset." Teriakku senang.
"Dan kalau hari ini hari Kamis, berarti".?" Gita membiarkan kalimatnya menggantung.
"Berarti". Berarti besok Jumat, hari terakhir kerja. Wooo hooo"," teriakku antusias sambil mengangkat
kedua kepalan tanganku ke atas sebagai tanda kemenangan.
"Ya ampuuuunnn. Pikiran lo benar-benar nggak ada di sini ya" Lo Nadia, senior web designer-nya kita
bukan sih?" "Lo kok nanyanya gitu?" tanyaku sedikit tersinggung.
"Nad, hari ini kita mesti kasih evaluasi performa website klien kita ke Bos. Lo ingat kan soal yang satu
itu?" Aku lompat berdiri dari kursiku sambil berteriak panic, "Itu hari ini?" membuat beberapa pegawai
lainnya langsung berdiri dari kursi mereka untuk melihat siapa yang membuat keributan pada jam
sebelas pagi. Lain dengan orang kantoran lainnya, para web designer biasanya baru masuk kantor jam
sepuluh, bahkan ada yang baru datang jam sebelas. Pada intinya jam sebelas pagi sudah seperti jam
delapan pagi di kantor lainnya. Orang biasanya menunggu hingga selepas makan siang untuk mulai
membuat keributan. Gita membantuku untuk mengucapkan maaf kepada para pegawai yang telah aku ganggu "quiet time"nya.
"Nad, lo sudah kerja di sini empat tahun, jauh lebih lama daripada gue. Setiap tahun kita kasih evaluasi
itu ke Bos setiap tanggal 8 Januari. Ingat?" bisik Gita.
"SHIIITTT." Aku berusaha membisikkan kata itu tapi tidak berhasil karena orang-orang sudah mulai
melirik kea rah kami lagi. Alhasil sekali lagi aku harus meminta maaf.
"Jangan bilang ke gue lo belum ngerjain itu sama sekali," Gita terdengar putus asa.
"Ohhh" gue sudah kerjain, tapi belum selesai. Masih ada beberapa yang gue belum sentuh sama sekali,"
jelasku sambil buru-buru duduk dan mulai mengutak-atik mouse-ku untuk mencari file evaluasi yang
sempat aku kerjakan sebelum Tahun Baru dan berniat untuk menyelesaikannya sebelum pertemuan
dengan Bos yang akan terjadi dalam". Kulirik jam tanganku, tiga jam. Aku punya tiga jam untuk
melakukan evaluasi performa website tujuh klien lagi.
"Nad," kudengar Gita memanggil namaku, tetapi aku terlalu sibuk dan terlalu panic untuk mengangkat
kepalaku dan menatapnya. "Ehm," ucapku. Aku sudah membuka website salah satu klienku yang belum aku evaluasi dan mulai
mencatat segala informasi yang kuperlukan untuk membuat laporan yang diminta oleh Bos.
"Perlu bantuan gak?"
Aku langsung menatap Gita dengan penuh terima kasih.
"Oh" boleh banget. Kalo lo nggak keberatan," ucapku sambil mengembuskan napas lega. Aku ingin
memeluk Gita saat itu juga. Kami akhirnya membagi tugas. Gita mengerjakan evaluasi untuk tiga klienku
yang account-nya lebih kecil, sedangkan aku mengerjakan empat lainnya yang masuk ke kategori klien
premium. *** Setelah insiden seminggu yang lalu dengan pekerjaanku yang untungnya berakhir dengan selamat ----lagi-lagi karena bantuan Gita----- aku berjanji untuk tidak memikirkan Kafka sampai melantarkan
pekerjaanku. Kini aku berusaha menjaga jam lamunanku pada level minimum dan hanya kalau aku
sedang ada di kamar kosku dan sedang tidak mengerjakan pekerjaanku saja.
Kini dua minggu sudah berlalu semenjak Tahun Baru dan aku masih belum menerima balasan dari SMS
yang telah kukirimkan kepada Kafka. Berkali-kali aku sudah siap untuk menelepon ke HP Kafka, tapi
kuurungkan niat itu. Mukaku tidak sebegitu tebal sehingga tidak mengenali gejala bahwa seseorang
tidak mau berhubungan denganku lagi. Kafka jelas-jelas sudah menutup pintu hubungan kami, jadi
untuk apa aku masih ingin mengetuk pintu itu dan mengharapkan agar dia membukanya lagi untukku"
Hanya orang superbego yang akan melakukan hal seperti itu. Dan" ternyata aku lebih bego dari orang
superbego karena aku kini sedang menekan nomor HP Kafka untuk berbicara dengannya. Aku harus
meletakkan tangan kiriku di atas dadaku untuk menenangkan detak jantungku yang harus bekerja lebih
keras daripada biasanya untuk memompa darah ke sekujur tubuhku. Aku hampir saja menutup telepon
itu karena keberanianku tiba-tiba meninggalkanku ketika mendengar nada sambung.
Kutarik napasku dalam-dalam. Aku tidak pernah harus menelepon HP Kafka sehingga tidak tahu apa
yang akan aku hadapi. Aku bahkan tidak tahu apakah dia punya voicemail atau tidak. Setelah beberapa
detik aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Kafka tidak mengangkat teleponku dan dia tidak
memiliki voicemail. Kuembuskan napasku. Aku tidak bisa memutuskan apakah aku merasa lega atau
kesal karena Kafka tidak mengangkat telepon itu. Whoaaa". Sejak kapan aku menjadi orang yang tidak
pasti dengan perasaannya sendiri" Jawabannya adalah semenjak serigala berbulu domba (atau mungkin
domba berbulu serigala" Aggghhh nggak tahu deh) bernama Kafka memasuki hidupku lagi lima bulan
yang lalu. Selama bulan Januari aku mencoba untuk menelepon HP Kafka empat kali lagi dan mengirimkan lima
SMS (tidak menghitung SMS pertama yang kukirimkan seminggu setelah Tahun Baru) tanpa ada hasil.
Sms terakhir yang kukirimkan padanya terdengar sangat memalukan sehingga aku pun tidak sanggup
untuk mengingat-ingat bunyinya karena selalu membuatku meringis.
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kamu lagi sibuk, ya" Kamu tahu kan aku Cuma bercanda aja soal minta kamu stop SMS aku itu" So"
kirim kabar ya kalo sempet.
Aku tahu bahwa aku sudah berkelakuan seperti stalker, tapi aku tidak bisa berhenti! Aku kini mengerti
perasaan orang yang nge-fans berat pada seorang artis sehingga rela untuk berbuat apa saja untuk
memperoleh perhatian artis tersebut. Kebanyakan hal yang mereka lakukan hanya bisa digolongkan
sebagai isengan, tapi terkadang ada kasus yang ektrem sehingga penggemar itu sampai berniat untuk
bunuh diri karena artis tersebut tidak membalas fan-mail yang dikirimkannya enam bulan yang lalu.
Oke" tentu saja aku tidak akan melakukan hal sedahsyat ini, karena sejujurnya dengan apa coba aku
akan bunuh diri" Potong nadi atau minum Baygon" Kedua metode itu terlalu penuh dengan penyiksaan
menurutku. Menembak kepala sendiri" Dari mana aku akan menemukan pistol" Dan apakah aku akan
mendapatkan suatu jaminan bahwa kematianku akan menarik perhatian Kafka" Tentu saja tidak.
Tiba-tiba aku teringat akan cerita yang pernah kubaca mengenai penggemar berat Brad pitt yang masuk
ke rumah bintang dilm itu tanpa izin kemudian mengenakan pakaian artis itu sebelum tidur di atas
tempat tidurnya. Mmmhhh". Kira-kira bagaimana reaksi Kafka kalau aku mempraktikkan hal ini padanya"
Aku langsung bergidik membayangkan Kafka akan memanggil polisi yang akan segera menjebloskanku
ke penjara karena telah melanggar privasi orang.
Ketika pada Minggu terakhir bulan Januari aku masih belum juga mendengar kabar dari kafka, aku mulai
khawatir kalau saja dia mungkin telah mengalami kecelakaan yang sangat parah dan kini tergeletak di
rumah sakit tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa mengirimkan kabar padaku. Tapi kalau musibah
seperti ini menimpa Kafka, tentunya Karin tidak akan setenang itu ketika aku bertemu dengannya
beberapa hari yang lalu. Aku hampir saja mengangkat teleponku untuk memastikan hal ini kepada Karin
ketika mengingat bahwa papaku seharusnya bertemu dengan Kafka lagi besok. Aku hanya harus
menunggu kabar dari Kak Mikhel yang bergiliran untuk mengantarkan papa cek jantung. Kalau Kafka
memang sedang sakit parah, maka dia tidak mungkin praktik, kan"
*** Tepat pukul dua belas siang aku menekan nomor HP Kak Mikhel dengan tangan yang sedikit gemeteran
saking takutnya. Untungnya kakakku langsung mengangkat telepon itu sehingga aku tidak perlu
menunggu lama dan berisiko tiba-tiba pingsan di kantor karena tekanan darahku mencapai lebih dari
200. "Ada apa, Nad?" Tanya Kak Mikhel. Meskipun sambungan itu cukup jelas, tetapi aku bisa mendengar
bunyi dengungan yang menandakan bahwa dia sedang berada di jalan. Aku biasanya paling tidak suka
melihat orang berbicara di telepon ketika sedang menyetir mobil, tapi aku beralasan ini keadaan darurat,
maka harus dimaklumi. "Kak, lagi di jalan, ya?" tanyaku agak ragu. Aku tidak yakin aku harus menginterogasi kakakku mengenai
Kafka ketika dia sedang membawa mobil. Apa lebih baik aku menunggu nanti saja"
"Iya, ini lagi mau antar Mama sama Papa pulang," jawab Kak Mikhel. "Kenapa?"
Mendengar nada positif dari kakakku, aku melanjutkan , "Gimana Papa?" aku sedang mencari cara
untuk menanyakan tentang Kafka ketika Kak Mikhel memberikan informasi yang kuperlukan.
"Dokter k" bilang Papa sudah semakin membaik. Jadi check up seperti biasa lagi bulan depan. Kamu mau
yang antar Papa bulan depan atau Viktor?"
"Oh, jadi Kafka praktik hari ini, ya?" tanyaku lebih antusias daripada yang kurencanakan.
"Of course. Why wouldn"t he?" Kak Mikhel terdengar curiga.
"Dia gimana kelihatannya" Sehat-sehat saja atau kelihatan agak sakit?" aku tidak peduli dengan
kecurigaan Kak Mikhel dan maju terus pantang mundur.
"Uhm" kelihatan sehat."
"Dia Cuma kelihatan sehat atau memang sehat?"
"Gimana cara ngebedainnya, Nad?"
Betul juga. Bagaimana cara membedakan orang yang hanya kelihatan sehat dan orang yang betul-betul
sehat" "Jadi menurut Kakak dia sehat?"
"Menurut gue sih begitu, tapi gue nggak tahu juga. Gue kan bukan dokter." Dari nadanya aku tahu
bahwa Kak Mikhel sedang menertawakanku. "Memangnya kenapa kamu nanya-nanya sampai detail
begitu?" sambungnya "Nggak. Nggak kenapa-napa kok. Salamin buat Mama sama Papa ya," ucapku dan buru-buru menutup
telepon sebelum Kak Mikhel mulai menginterogasiku.
Oke, jadi Kafka dalam keadaan sehat. Berarti hanya ada satu kemungkinan kenapa dia tidak mengangkat
telepon dariku, tidak menelepon balik, dan tidak membalas SMS-ku. Dia betul-betul sudah "selesai"
denganku. Tiba-tiba aku bisa bersimpati dengan semua mantan pacar Dara yang selalu diperlakukan
seperti ini kalau Dara sudah bosan dengannya. Tapi jujur, aku tidak pernah memperlakukan pacarpacarku seperti ini. Aku selalu memberikan penjelasan panjang-lebar kepada semua pacarku saat aku
mau putus dengan mereka. Aku tidak pernah meninggalkan mereka menggantung seperti cara Kafka
menggantungku sekarang. Kenapa kok malah aku yang dapat karmanya Dara" Apa bisa karma itu
mengenai sobat" Aku selalu menyangka bahwa karma hanya berlaku bagi orang itu sendiri dan
keturunannya. NADIA! Fokus! Aku memarahi diriku sendiri karena pikiranku bercabang. Aku terdiam sejenak untuk
berpikir. Apa Kafka betul-betul tega melakukan hal seperti ini padaku" Kalau pertanyaan itu keluar lima
bulan yang lalu, tanpa ragu-ragu aku akan menjawab bahwa sifat memperlakukan wanita seperti ini
sudah ada di dalam darahnya" tetapi tidak sekarang, setelah aku betul-betul mengenalnya dan setelah
apa yang kami lalui bersama-sama. Apa dugaan dan harapanku tentangnya selama ini sudah salah
alamat" Nggak. Pendapatku tentang Kafka tidak mungkin meleset sejauh ini. Aku menolak untuk
percaya bahwa Kafka yang aku kini kenal adalah tipe laki-laki seperti itu. Dia mungkin adalah orang
paling iseng dan paling bandel yang pernah aku kenal sepanjang hidupku, tapi aku yakin dia bukan tipe
orang yang akan membuat seorang perempuan jatuh cinta padanya, kemudian tanpa ada indikasi hujan
atau badai meninggalkan perempuan itu begitu saja. Ancamanku untuk memintanya berhenti
mengirimkan SMS padaku tidak bisa dihitung sebagai suatu indikasi karena jelas-jelas aku bercanda. Dan
dia pasti tahu bahwa aku bercanda, kan"
Selama dua puluh tahun aku mengenalnya, dia tidak pernah menghormati permintaanku. Kenapa
sekarang, di saat aku mengharapkan reaksi yang sama seperti sebelum-sebelumnya, dia justru berbalik
arah dan melakukan ini" Kutekuni argumentasi panjangku itu dan aku terpaku pada serentetan katakata yang spesifik. "Membuat seorang perempuan jatuh cinta padanya," dan tiba-tiba aku tertawa
sendiri. Hahaha". Nggak-nggak". NGGAK MUNGKIN. Aku tidak sedang jatuh cinta dengan Kafka.
Meskipun seperti yang sudah kukatakan kepada ketiga sobatku bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh,
tapi aku tidak mencintainya. Dia itu Kafka! KAFKA! Anak laki-laki yang paling kubenci di satu dunia ini.
Walaupun memang kini aku sudah tidak membencinya lagi, tapi itu tidak membuatku lupa akan semua
hal yang pernah dilakukannya padaku. Hal-hal seperti" seperti" seperti". Tiba-tiba saja aku tidak bisa
mengingat satu pun keseingan yang Kafka pernah lakukan padaku ketika aku SD, kepalaku penuh
dengan hal-hal lucu, menghibur, dan menggemaskan yang telah dilakukannya beberapa bulan
belakangan ini. "Oh, SHIIITTT, I AM in love with HIM," teriakku. Untungnya hari ini aku bekerja dari kamar kosku
sehingga tidak ada orang lain yang mendengar pengakuan itu.
Kutenggelamkan wajah di antara kedua tanganku dan mencoba memutuskan apakah aku harus
menangis atau tertawa. Kuputar kembali kehidupanku selama delapan bulan belakangan ini setelah aku
putus dari Fendi. Kusadari bahwa tiga bulan pertama setelah putus, aku masih melirik kiri dan kanan
untuk melihat-lihat kalau saja ada laki-laki yang berpotensi untuk kupacari, tapi aktivitas itu terhenti
bersamaan dengan pertemuanku dengan Kafka. Sejujurnya, meskipun selama ini aku selalu memiliki
hubungan jangka panjang dengan pacar-pacarku, tetapi aku hanya memasukkan satu kakiku ke dalam
kolam tersebut. Hal ini memberikanku kepastian bahwa aku bisa lari kapan saja dan secepat mungkin
kalau hubungan itu sudah tidak sesuai lagi dengan keinginanku.
Dengan Kafka" aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah menceburkan diri ke dalam kolam ini sehingga
kusadari bahwa aku sudah tenggelam. Aku sudah merasa terlalu nyaman dalam berhubungan dengan
Kafka sehingga tidak menyadari potensi masalah dari hubungan itu. Dan ketika aku menyadari
kesalahanku, semua sudah terlambat. Aku tidak bisa lagi menarik diriku keluar dari kolam itu. Aku
bahkan tidak yakin bahwa aku mau menarik diriku keluar. SIALAN! Aku seharusnya sudah melihat lampu
kuning ketika dua bulan yang lalu aku terobsesi hanya karena Kafka belum mengatakan maksud
tindakan-tindakannya terhadapku dan aku seharusnya sudah melihat kerlipan lampu merah ketika aku
sedang dikelilingi oleh laki-laki paling ganteng satu Jakarta di resepsi pernikahan Jana tetapi yang ada di
pikiranku hanya Kafka atau ketika aku rela memberikan Kafka ruang untuk bernapas dan menunggu
hingga dia siap untuk berhubungan serius denganku. Aku tidak memperhatikan semua tanda-tanda itu
hingga aku bertabrakan langsung dengannya. Hidung dengan hidung kalau istilah kecelakaan lalu
lintasnya. Definisi murni dari perkataan "crash into you."
Selama ini aku sudah berbohong pada diriku sendiri tentang perasaanku terhadap Kafka. Aku tidak
betul-betul rela menunggu Kafka hingga dia bisa mengambil keputusan, satu-satunya alasan kenapa aku
mau menunggu dan rela menjadi temannya terlebih dahulu adalah karena aku selalu berharap bahwa
Kafka akhirnya akan melihat sinar terang di ujung jalannya. Intinya" lambat-laun dia pasti akan
melihatku sebagai seseorang yang berpotensi untuk berhubungan serius dengannya, dipacari, bahkan
mungkin dinikahi. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang sama seperti yang
telah dilakukan oleh orangtuaku. Kami sama-sama menginvestasikan sebagian besar dari diri kami pada
sesuatu karena mengharapkan imbalan yang besar dari tindakan ini. Tapi kami sama-sama salah dan
kalah karena bukannya mendapatkan keuntungan, kami malah sial. Bedanya adalah kesialan orangtuaku
berbentuk kehilangan uang di bursa saham, sedangkan aku" aku kehilangan hatiku di genggaman
tangan Kafka. "Po"ngoro!" omelku pada diriku sendiri. Yang pada dasarnya berarti "goblok" dalam bahasa Makassar.
Aku terkejut sendiri dengan sumpahanku itu. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pernah
menggunakan bahasa masa kecilku itu. Stupid! STUPID! STUUUPPPIIIDDD! Kuembuskan napasku frustasi.
Aku harus melakuakan sesuatu. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku untuk menangisi nasibku karena
cintaku sudah ditolak oleh seorang laki-laki. Aku sudah menyangka bahwa kalau laki-laki seperti Kafka
menolakku, hatiku akan sakit, tetapi "menyangka" dan "mengalami" adalah dua hal yang berbeda sama
sekali. Banyak orang yang bilang bahwa manusia akan belajar dari pengalaman, yang mereka tidak
pernah katakana adalah bahwa pengalaman itu membawa rasa sakit hati yang tidak tergambarkan.
Kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan bercampur menjadi satu gumpalan besar yang membuatkan
mata kita untuk melihat makna pengalaman itu.
Aku harus menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah ini. Apa yang akan atau biasa dilakukan oleh
wanita pada umumnya kalau cintanya ditolak" Satu-satunya ide yang keluar dari kepalaku adalah kata
"dukun", dan aku tahu bahwa meskipun di film-film orang yang sedang patah hari sering digambarkan
menggunakan jasa ini, tapi dalam kehidupan nyata mungkin hanya satu persen populasi wanita yang
patah hati yang akan menggunakan metode ini. Aku terdiam lagi untuk memikirkan jalan lain tetapi
setelah sepuluh menit, aku masih tidak bisa menghasilkan ide yang brilian. Pada detik itu aku menyadari
bahwa aku mungkin cukup beruntung dibandingkan sebagain besar wanita karena cintaku tidak pernah
ditolak oleh siapa pun, sehingga aku tidak tahu langkah-langkah apa yang harus diambil untuk
menyembuhkan patah hati. Selama ini aku tidak pernah terlalu peduli kalau orang-orang membicarakan
tentang cara utnuk melupakan seseorang, karena aku tidak pernah mengalami dilemma itu, hingga saat
ini. Ahh" rupanya aku sama saja dengan kaum wanita lainnya yang lambat-laun akan diremukkan hatinya
oleh seorang laki-laki. Aku cukup terkejut bahwa aku sudah melalui 28 tahun dari hidupku sebelum
mengalaminya. Selama itu pula aku tidak pernah betul-betul hidup dan melakukan berbagai hal hanya
karena aku ingin melakukannya, tanpa peduli pendapat orang lain. Tiba-tiba aku merasa bahwa di luar
hatiku yang retak, aku harus menganggap diriku beruntung. Kenapa" Karena selain hati dan harga diriku
( dan aku tahu bahwa ini adalah dua hal terpenting yang bisa diambil seseorang), kafka tidak mengambil
apa-apa dari diriku ketika meninggalkanku. Dia tidak mengambil tabunganku, barang-barang berhargaku,
status single-ku, dan rasa percaya diriku bahwa aku bisa menemukan orang yang lebih baik dari dirinya,
yang tahu cara mengucapkan kata cinta dan menunjukkan kasih sayang padaku tanpa ada iming-iming
atau pun melodrama. Sekarang aku sudah tidak perlu bertanya-tanya lagi tentang obsesiku kalau sudah menyangkut Kafka,
karena kini aku tahu bahwa perempuan sepertiku memang tidak sebanding dengan laki-laki sekaliber
Kafka. Aku sudah mencoba, dan aku kalah. Aku bukanlah Cinderella atau Snow White, hidupku tidak
akan berakhir bahagia dengan seorang pangeran. Sekarang aku harus meninggalkan awing-awang dan
kembali ke bumi. Bab 14 28 februari Lupain dia. Lupain dia. LUPAIN DIA. Dia sudah pergi dan nggak akan kembali lagi. Gue harus cari cara
suapaya benar-benar bisa ngehapus dia dari pikiran dan memori gue. Bagian otak yang mana ya yang
berhubungan sama memori" Hippopotamus" Yee" itu sih kuda nil, kali. Hippo apa dong ya"
Hippocampus. Nah, itu dia. Mungkin gue bisa minta dokter untuk ngangkat hippocampus gue
sepenuhnya. *** Langkah pertama yang kulakukan untuk memulai melupakan Kafka adalah dengan menghapus nomor
HP-nya dari HP-ku, dengan begitu aku tidak akan pernah tergoda lagi untuk mencoba menghubunginya.
Langkah kedua adalah dengan merobek kartu nama Kafka yang masih kusimpan di laci mejaku. Aku
masih harus memutuskan apakah aku akan melakukan langkah ketiga dan keempat, mengundurkan diri
sebagai web designer Empire dan menolak mengatar Papa bertemu dengan Kafka kalau sudah giliranku.
Akhirnya aku menunda pelaksanaan dua langkah terakhir itu sampai aku betul-betul tidak bisa
melupakan Kafka setelah melakukan dua langkah yang pertama.
Bulan Februari tiba, saat ini giliranku untuk mengantar Papa cek jantung. Sebetulnya bisa saja aku
meminta Kak Viktor untuk melakukannya, tetapi aku berpikir inilah kesempatan terakhirku untuk betulbetul meyakinkan diri apakah Kafka sudah melupakanku atau belum. Aku tahu bahwa aku sudah berjanji
untuk melupakan Kafka, tapi di dalam lubuk hati kecilku, aku masih mengharapkan ada keajaiban terjadi
yang akan mengembalikan Kafka padaku. Selama perjalanan menuju rumah sakit aku mengucapkan satu
kata saja berkali-kali di dalam hati. Please" please" please" aku memohon agar kafka mau berbicara
lagi denganku. Aku memohon agar dia menghargai hubungan yang selama ini sudah kami jalin. Dan aku
memohon agar dia tidak lagi mengabaikanku.
Untuk pertemuan kali ini Mama tidak bisa ikut karena sedang tidak enak badan, jadi Kafka hanya
menemui aku dan papa. Aku menempelkan senyum ramah pada wajahku ketika melihat Kafka yang
membalas dengan senyuman yang tidak kalah ramahnya. Tapi entah kenapa, senyuman itu terkesan di
paksa. Dia kemudian berlanjut dengan menanyakan keberadaan mamaku. Dia bahkan kelihatan
khawatir ketika papaku berkata bahwa mamaku sedang tidak enak badan dan mengusulkan agar
mamaku banyak istirahat saja untuk beberapa hari, minum air putih banyak-banyak dan vitamin C. aku
sebetulnya sudah menyiapkan beberapa topic basa-basi yang ingin kuutarakan sebagai prolog dari
beberapa pertanyaan penting yang sudah berputar-putar di kepalaku selama hampir dua bulan ini,
seperti: tidakkah dia mendapatkan semua SMS-ku" Kenapa dia tidak pernah mengangkat teleponku"
Apa yang dia rasakan tentangku" Dan pertanyaan paling penting yang ingin aku tanyakan adalah
"Apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga dia meninggalkanku begitu saja?" meskipun aku tahu
aku tidak mungkin bersalah atas pelantaran kafka, tetapi sebagai seorang perempuan yang sedang
patah hati, pertanyaan seperti itu mau tidak mau muncul juga di benakku. Tapi melihat bahwa Kafka
kelihatn superserius dan sepertinya tidak tertarik sama sekali untuk berbasa-basi hari ini, kutunda niatku
itu untuk waktu yang lebih tepat.
Aku berusaha menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa aku di sini memang untuk memeriksa
kesehatan jantung papa, bukan untuk menyelesaikan dilemma cintaku. Saat ini kesehatan papa lebih
penting daripada hatiku, aku bisa menunggu. Tapi ketika lima belas menit kemudian kafka masih juga
kelihatan serius dan sama sekali tidak menghiraukanku, aku jadi resah dan mulai mengayunkan kaki
kananku yang kusilangkan di atas kaki kiri dengan tidak sabaran. Lima belas menit lagi berlalu sebelum
kerutan di kening Kafka menghilang dan dia tersenyum pada papaku. Kutempelkan senyuman paling
manis pada wajahku, kalau saja dia menoleh padaku, tetapi itu semua sia-sia karena kafka bertindak
seperti aku tidak berada di dalam ruangan itu bersamaannya.
"Sepertinya jantung Oom memang semakin membaik. Pokoknya apa pun yang Oom sekarang lakukan
untuk menjaga kesehatan, diteruskan saja," ucap Kafka sambil menutup file pasien yang ada di
hadapannya. Akhirnya Kafka memberiku kesempatan untuk memaksanya agar menatapku. "Kapan Papa harus
kembali untuk cek lagi?" tanyaku, tapi sekali lagi sia-sia ketika Kafka malah justru meraih kalender di
mejanya dan mulai membolak-balik beberapa lembar halamannya.
"Gimana kalau kita ketemu lagi bulan Mei" Minggu kedua mungkin?" Tanya Kafka lalu menatap papaku
untuk mendapatkan kepastian.
Menyerah untuk tetap menunggu agar Kafka menatapku, kukeluarkan agenda dari dalam tasku untuk
melihat jadwalku pada bulan Mei yang masih kosong melompong kecuali untuk tanggal 4 yang
merupakan ultahnya Adri. "Tanggal berapa?" tanyaku dan sudah siap untuk melingkari salah satu tanggal dengan pena warna
merah. "Nanti suster yang akan konfirmasi," balas Kafka sebelum kemudian berdiri dari kursinya
Aku sudah semakin putus asa. Aku rasanya ingin berteriak, "Why won"t you look at me?" tapi tentunya
aku tidak bisa melakukannya karena papa ada di situ dan meskipun aku memang mencintai laki-laki yang
sudah mengisi fantasi dan mimpiku ini, tapi aku tidak rela mempertontonkan rasa cintaku ini pada dunia.
Terutama karena aku semakin yakin bahwa aku telah bertepuk sebelah tangan. Aku tidak mau
mempermalukan diriku hingga sejauh ini. Aku masih punya harga diri sebagai wanita. Perlahan-lahan
kumasukkan agendaku kembali k etas dan berdiri.
"Sampai ketemu tiga bulan lagi, Oom." Kafka lalu menjabat tangan papaku. "Salam untuk Tante dan
mudah-mudahan cepat sembuh."
Aku hanya bisa menatap tangan Kafka ketika dia menjulurkannya ke hadapanku. Jadi ini saja yang akan
aku terima setelah menunggu kabar darinya selama dua bulan" Sebuah jabat tangan" Di bahkan tidak
kelihatan rela melakukannya. Aku berdebat dengan diriku sendiri. Kalau tidak menjabat tangannya,
maka aku akan kelihatan seperti anak kecil yang ngambek. Sedangkan kalau aku me
njabat tangannya, maka Kafka akan menyangka bahwa dia tidak bersalah sama sekali dengan melantarkan aku.
"Nadia?" suara Papa membangunkanku dari lamunan
"Ya?" kutatap wajah papa
"Dokter Kafka nungguin salaman dari kamu," jelas papaku
"Oh" ya. Betul," ucapku dan langsung merasa seperti orang paling goblok di satu dunia ini.
Buru-buru kujabat tangan Kafka dan melepaskan tangan itu dalam waktu kurang dari satu detik. Aku
tidak yakin apakah aku yang melepaskan tangannya atau Kafka yang melepaskan tanganku lebih dulu.
Oh, my God! Segitu tidak sukanyakah dia sama aku sampai menjabat tanganku saja dia tidak sudi" Tanpa
menatap Kafka lagi, aku langsung menggandeng tangan papa dan keluar dari ruangan itu. Betapa
bodohnya aku yang mengharapkan adanya jendela kesempatan bahwa Kafka masih menginginkanku,
bahwa dia tidak betul-betul sedang menghindari dariku. Dengan perlakuannya padaku selama satu jam
terakhir ini pada dasarnya Kafka sudah meneriakkan, "I"m NOT interested, so leave me alone, bee-yatch,"
Selama perjalanan pulang dari rumah sakit aku mengucapkan satu kata saja berkali-kali di dalam hati.
Stupid! Stupid! Stupid! Tingkah laku Kafka yang dingin telah mengonfirmasikan ketakutanku selama ini.
Suatu ketakutan yang semakin hari semakin bisa dikategorikan sebagai paranoid. Yaitu bahwa kalau saja
orang tahu diriku yang sebenarnya, maka mereka tidak akan mau mengenalku lagi. Pada detik itu aku
mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang terngiang di kepalaku semenjak malam Tahun Baru.
Kenapa aku merasa lebih bahagia dengan hidupku di antara segala bencana yang terjadi di sekelilingku"
Itu karena Kafka. Satu-satunya orang yang tahu sifatku yang sebenarnya dan sampai saat itu belum lari
pontang-panting dari hadapanku. Ternyata aku salah karena meskipun memakan waktu yang lebih lama
daripada yang aku perkirakan, tetapi ternyata Kafka lari juga akhirnya. Kini aku tahu bahwa aku tidak
paranoid. Manakah yang lebih parah" Ditinggalkan karena kepribadian kita atau karena penampilan kita" Khusus
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalam kasusku sepertinya aku ditinggalkan karena kekuranganku di kedua departemen itu. Dan tidak
ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku ketika aku menyadari hal itu.
*** Pada akhir Februari aku sudah seperti sedang mendapat PMS yang berkelanjutan karena telah mencoba
berbagai cara utnuk menghapuskan Kafka dari dalam pikiranku, tapi tetap tidak berhasil. Kemarahanku
gampang sekali terpicu, terutama oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lama membuatku kesal tetapi
tidak kutunjukkan karena takut orang tidak akan menyukaiku lagi kalau aku mengutarakannya. Misalnya
seperti rekan kerjaku yang terlambat lima menit untuk menghadiri pertemuan, rekan kerja yang
meminta pendapatku tentang desain website yang telah mereka buat, tetapi sebetulnya memintaku
mengerjakan pekerjaan mereka, dan rekan kerjaku yang ngegosip dalam jarak pendengaranku pada jam
kantor. Parahnya lagi, aku mulai sering memarahi beberapa dari mereka dengan blak-blakan tanpa
peduli apa yang mereka pikirkan tentangku, bahkan mengatakan bahwa beberapa dari mereka tidak
kompeten di depan bosku dan seluruh staf perusahaan ketika pertemuan bulanan. Pada dasarnya aku
sudah berkelakuan seperti seorang "BE-YATCH", dan untuk pertama kalinya aku tidak peduli. Aku sudah
lelah mencoba mengakomondasikan semua orang dan mengorbankan diriku.
Melihat kelakuanku yang tidak keruan ini, bosku akhirnya mengusulkan agar aku mengambil cuti. Aku
tentunya menolak mentah-mentah ide itu karena kalau aku mengambil cuti berarti aku akan memiliki
lebih banyak waktu luang lagi untuk memikirkan Kafka. No! enam belas jam dalam sehari sudah cukup
bagiku untuk disiksa oleh Kafka, aku tidak perlu menambahnya jadi 24 jam. Tetapi setelah peringatan
halus itu aku mencoba memperbaiki tingkah lakuku dan mencari cara untuk melupakan Kafka, dengan
tidak melibatkan orang-orang kantorku, memarahi mereka dan membuatku jadi kandidat yang tepat
untuk di pecat karena kelakuan yang tidak senonoh di tempat kerja.
Salah satu cara yang cukup ekstrem yang kucoba untuk melupakan Kafka adalah dengan mempraktikkan
metode terapi yang kutemukan di Internet dan disebut sebagai terapi karet gelang, yaitu jenis terapi
untuk melupakan seseorang dengan mengalungkan karet gelang pada pergelangan tanganku. Cara
mengaplikasikan metode ini adalah dengan menjepret karet gelang tersebut sehingga menimbulkan
rasa sakit pada pergelangan tanganku setiap kali Kafka terlintas di pikiranku. Rasa sakit yang di
timbulkan oleh jepretan karet gelang seharusnya berfungsi sebagai suatu "reinforcement negative",
agar aku enggan memikirkan Kafka lagi. Namun setelah seminggu menjalankan terapi ini hasilnya
hanyalah pergelangan tangan yang merah karena habis kena jepret dan ingatanku tentang Kafka yang
tetap jelas dan detail. Rasanya aku sudah siap untuk membunuh siapa pun yang menciptakan terapi ini
berikut orang-orang yang merekomendasinya.
*** Ketika hari ulang tahunku yang ke-29 tiba, aku terlalu patah hati untuk merayakannya dengan siapa pun,
tapi atas paksaan yang berubah menjadi ancaman dari ketiga sobatku, akhirnya aku menyerah dan
menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan diam sebelum aku rela merayakan ultahku dengan
mereka. Aku harus menunggu dua hari sebelum bisa merayakannya karena tahun ini ulang tahunku
jatuh pada hari Kamis. Jana mengusulkan untuk merayakannya dengan makan pizza plus nonton DVD di
rumahnya. Aku awalnya menolak karena tidak mau mengganggu privasi pasangan pengantin baru, tapi
Jana meyakinkanku bahwa suaminya tidak keberatan sama sekali. Akhirnya aku setuju dengan usul ini
karena sejujurnya rumah Jana memang surganya orang yang senang menonton film sepertiku, selain itu
aku juga terlalu malas untuk mengusulkan ide lain.
Rumah Jana memiliki ruangan teater pribadi yang bisa mengakomondasikan sepuluh orang dengan
nyaman dengan koleksi DVD asli, bukan bajakan yang memenuhi tiga baris rak yang lebih tinggi daripada
aku. Sebagai hadiah dari ketiga sobatku, mereka telah merencanakan perayaan ulang tahunku ini dan
tidak memperbolehkanku membayar sepersen pun untuk semua makanan dan minuman yang tersedia
di ruang teater sore itu. Selain itu, mereka juga memperbolehkanku untuk memilih filmnya. Suatu
kehormatan yang tidak bisa aku lewatkan karena kami memiliki selera yang sangat berbeda satu sama
lain, sehingga biasanya kami harus hom-pim-pah yang diikuti oleh suwit untuk memilih. Dan meskipun
aku malu mengakui bahwa kami masih berkelakuan seperti anak SD, tetapi itulah cara yang menurut
kami adil. "Oke, gue ada Swimfan, Fatal Attraction, dan Disclosure. Mau yang mana?" tanyaku sambil
menggenggam tiga casing DVD.
"Disclosure itu yang Demi Moore sama Robert Redford, ya?" Tanya Dara sambil membuka kotak pizza
super supreme. "Bukan, itu sih Indecent Proposal. Ini yang Demi Moore sama Michael Douglas," jelasku.
"Ceritanya yang gimana ya?" lanjut Dara sambil mulai menyerang pizza itu dengan membabi-buta. Di
antara kami berempat Dara-lah yang pengetahuannya paling terbatas tentang dunia perfilman,
meskipun dia menikmatinya, tapi dia jauh dari kata ngefans.
Aku lalu menceritakan dengan singkat inti cerita film itu. "Mmmhhh" kayaknya terlalu berat deh buat
nonton film model begituan hari ini. Kalau yang lainnya ceritanya gimana?" Tanya Dara lagi.
"Gue pilih Swimfan," celetuk Jana yang sedang menekan satu tombol pada sebuah remote control dan
otomatis kerai mulai turun untuk menutup jendela, membuat ruangan teater itu jadi sedikit gelap.
"Nah, yang itu ceritanya gimana?" sambung Dara.
Sekali lagi aku menceritakan inti cerita film yang diproduksinya memang lebih baru daripada Fatal
Attraction, tetapi inti ceritanya hampir sama itu.
"Perasaan gue semua film yang lo pilih kok tentang cewek yang suka nge-stalk cowok sih?" ucap Adri
yang kini sudah duduk di atas sofa sambil melipat kakinya
"Nggak juga kok. Demi Moore nggak nge-stalk Michael Douglas di Disclosure," bantahku
"Not technically, tapi tetap saja Demi Moore mau balas dendam sama Michael, kan" Jadi intinya cerita
tiga film itu sama," lanjut Adri.
"Balas dendam karena ditolak," sambar Jana. "Humph" benar juga lo, Dri. Gue nggak pernah lihat
persamaan itu sebelumnya."
Sejujurnya aku sendiri juga tidak melihat adanya persamaan di antara ketiga film yang aku pilih itu
sampai Adri mengutarakannya. Yang jelas aku tidak secara sadar memilih film dengan inti cerita yang
sama, aku hanya memilih film yang menarik perhatianku saja. Menyadari bahwa kalau kami tetap
membicarakan tentang ini, maka lambat-laun ketiga sobatku akan bisa mencium masalahku, aku pun
melakukan serangan balik.
"Oke, terserah deh inti cerita filmnya apa, tapi jadinya pada mau nonton yang mana?" tanyaku dengan
tidak sabaran. "Yang ulang tahun yang pilih," ucap Jana.
"Gue sih terserah elo saja," dukung Dara.
Adri tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi dia hanya mengangkat bahunya tanda pasrah.
Kuberikan casing DVD Fatal Attraction kepada Jana yang segera memasukkan piringannya ke dalam
player. Aku pun duduk dengan nyaman di atas sofa panjang, diapit oleh Dara dan Adri, menunggu hingga
film itu dimulai. Kami baru menonton separo film itu ketika sobat-sobatku mulai mengomentari.
"Gila banget deh ini perempuan. Segitu nafsunya dia sama nih laki-laki sampai ngejar-ngejar kayak
begitu." Ucap Jana. "Nakutin nggak sih?" sambung Adri.
"Banget," lanjut Dara
Entah kenapa tapi tiba-tiba aku merasa perlu untuk membela Gleen Close. "Tapi nggak semuanya salah
perempuannya dong. Laki-lakinya juga yang cari gara-gara," bantahku.
"Benar juga. Siapa suruh tuh laki-laki masih belanja kalau sudah nikah coba?" dukung Jana sambil
meneguk minumannya. "Siapa suruh juga buat si laki-laki untuk sok berminat padahal dia Cuma mau one night stand" Itu kan
bikin perempuannya jadi bingung," tambahku.
"Tapi harusnya perempuannya bisa ngebedain dong antara laki-laki yang benar-benar serius sama yang
nggak," bantah Dara.
"Untuk perempuan yang normal sih biasanya mereka tahu cara ngebedain dua hal itu dan kebanyakan
dari kita juga ada rasa malu, jadi biasanya kalau sudah ditolak sekali, kita bakalan mundur teratur,"
seperti biasa Adri mencoba untuk menengahi, tapi kali ini usahanya malah justru membuatku
tersinggung. "Jadi menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa gue nggak punya rasa malu?" tanyaku sambil
melompat berdiri dari sofa. Tanpa kusadari aku sudah berteriak dengan cukup keras sehingga Jana
menekan tombol MUTE pada remote control yang digenggamannya dan ruangan teater jadi hening
untuk beberapa detik. "Apa maksud lo dengan "gue?" kita lagi ngebahas kelakuannya Gleen Close di film ini, kan?" Tanya Jana
hati-hati. Dua sobatku yang lain kini juga sedang menatapku tajam. "Iya" Gleen Close. Tadi gue bilang apa
menurut lo kelakuan Gleen Close nggak normal dan bahwa dia nggak tahu malu?" ucapku mengulangi
pertanyaanku. "Nggak. Gue yakin tadi lo bilang "jadi menurut lo kelakuan gue nggak normal dan bahwa lo nggak tahu
malu?"" sanggah Dara yang disambut anggukan Adri dan Jana.
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jalan keluar dari di lemaku ini. Tanpa kusangka-sangka ternyata
kekecawaanku pada Kafka menampakkan wajahnya juga meskipun aku sudah berusaha untuk menahan
rasa itu. Aku seharusnya memilih film komedi romantic saja tadi. Kenapa aku harus memilih film-film
dengan tema "crazy stalker women?" aggghhh". Aku seperti sedang menggali kuburanku sendiri. Aku
tidak berniat menceritakan tentang perkembangan hubunganku dengan Kafka kepada sobat-sobatku,
tapi sepertinya kini aku tidak memiliki pilihan lain.
"Nad?" suara Adri terdengar khawatir ketika mengatakannya
Kutarik napas dalam-dalam. "Oke. Gue ada sesuatu yang gue mesti cerita ke elo semua." Kumulai
penjelasanku dengan suara perlahan. Dan sepertinya aku terdengar labih serius daripada yang aku
rencanakan karena Jana langsung mematikan TV, Adri menuntunku untuk kembali duduk di sofa, dan
Dara meletakkan potongan pizza yang baru setengah termakan kembali ke kotaknya di atas meja.
"Lo pada masih ingat Kafka, kan?" pertanyaan itu disambut oleh anggukan serasi dari ketiga sobatku.
"Well. Kayaknya gue" gue cinta sama dia." Akhirnya aku bisa mengucapkan kata-kata itu.
Jana dan Dara langsung terpekik gembira dan Adri tersenyum lebar. Namun kata-kataku selanjutnya
membuat mereka bertiga kelihatan bingung dan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. "Tapi dia
nggak" dia nggak". Intinya dia nggak suka sama gue," ucapku dengan susah payah dan mulai menggigit
bagian dalam mulutku dalam usaha untuk menahan tangis. Sudah selama satu bulan ini aku berhasil
memendam semua rasa ini sendiri, tapi sekarang semua kesedihan dan kekecewaan tidak terbendung
lagi dan aku mulai menangis.
"Yang bikin gue kesel sama dia" hiks" hiks" hiks" adalah karena selama ini" hiks" hiks" hiks" dia
sudah bikin gue percaya" hiks" hiks" kalau dia interested sama gue." Untungnya kemudian Jana
menempelkan selembar tisu pada telapak tanganku sehingga aku bisa membersit hidungku. Dara
menggenggam tanganku, memintaku agar melanjutkan ceritaku. "Tapi tahu-tahu sehabis Tahun Baru"
hiks" hiks" dia berhenti kontak gue sama sekali," ucapku akhirnya.
Ketiga sobatku terdiam beberapa menit, kemudian mulai berebutan berbicara.
"What a jerk," omel Jana.
"Dasar laki-laki, laki-laki," ucap Dara sambil menggeleng-geleng dan mengeluarkan suara yang mirip
ayam berkotek. "Cup" cup" dah" dah" jangan nangisin dia kayak begini Cuma gara-gara dia nggak kontak elo, oke. Lo
ini Nadia, perempuan paling baik yang gue pernah tahu. Dianya saja yang terlalu goblok untuk
menghargai elo." Kata-kata Adri membuatku merasa bersalah karena jelas sobat-sobat menyangka bahwa Kafka adalah
penjahatnya dan aku adalah korban yang telah teraniaya. Aku pun berusaha membela Kafka.
"Tapi ini semua bukan hiks" salahnya dia doing. Ini salah hiks" gue juga," ucapku sambil menghapus air
mata yang sudah membanjiri pipiku.
"Maksudnya?" hanya Dara yang menyuarakan pertanyaan itu, tetapi aku tahu bahwa Jana dan Adri juga
memikirkan hal yang sama Akhirnya dengan susah payah dan harus berhenti beberapa kali untuk membersit hidungku, aku berhasil
menceritakan dengan detail segala sesuatu yang terjadi di antara aku dan Kafka sebelum dan sesudah
Tahun Baru. "Lo pada tahu kan hiks". Kalau gue nggak pernah hiks" ngejar cowok?" pertanyaanku mendapat
anggukan antusias dari Dara dan Jana, tetapi Adri hanya menggerakkan kepalanya sedikit ke kiri.
"Dan memang bukan tugas perempuan untuk ngejar laki-laki," dukung Jana
"Tapi gue ngejar dia, Jan. gue coba untuk hiks" ngedapatin dia," raungku.
"Well" bukan hal baru buat perempuan untuk ngejar sesuatu yang dia mau," sambung Jana tanpa raguragu dengan wajah yang cukup meyakinkan tanpa meringis.
"Parahnya lagi" hiks" gue tahu dia di luar jangkauan gue, hiks" tapi gu tetep nyoba, karena gue pikir
dia suka sama gue," lanjutku.
Ketiga sobatku tidak mengatakan apa-apa. "Gue Cuma hiks" masih belum bisa percaya saja kalau dia
tega ngeginiin gue," tambahku.
Sebagai orang yang paling berpengalaman dengan kaum laki-laki, Dara mencoba menenanganku. "Dia
itu laki-laki, Nad. Sudah di darah mereka untuk ngaco kayak begitu. Terutama laki-laki yang hot, mereka
ada kecenderungan untuk lebih ngaco daripada yang nggak hot, karena orang lebih mau maafin
kelakuan mereka." Aku mengangguk menanggapi komentar ini.
"Dan itulah salah satu sebab kenapa gue nggak pernah date laki-laki yang terlalu hot buat gue," celetuk
Adri yang langsung disambut tertawa cekikikan Jana dan Dara.
"Eh, lo pada, kenapa ngetawain gue?" omel Adri sambil mengerutkan dahinya.
"Elo bukan Cuma nggak pernah nge-date laki-laki hot, Dri, tapi lo nggak pernah nge-date. Titik." Jawab
Jana. Adri kelihatan berpikir sejenak sebelum membalas, "Well, that"s true. Tapi intinya adalah ada alasan
kenapa gue milih untuk tetap single. Terserah deh sama pendapat orang yang bilang laki-laki sama
perempuan itu sama, soalnya kadang-kadang gue suka bertanya-tanya apa laki-laki itu sebetulnya alien,
bukan manusia kayak kita." Adri terdengar berapi-api ketika mengutarakan dukungannya, tetapi ketika
menerima kerlingan Jana, Adri buru-buru menambahkan, "Minus suami lo tentunya, Jan."
"Nggak kok, gue setuju sama elo kalau laki-laki itu kadang-kadang suka aneh jalan pikirannya," ucap Jana.
"Lho, kalau lo setuju sama pendapat gue, kenapa lo tadi pakai melototi gue kayak gitu?" Tanya Adri
kesal. "Gue nggak melototin elo kok," bantah Jana.
"Jana melototin gue kan tadi, Ra?" Adri meminta dukungan Dara yang kelihatan pasrah sebelum
kemudian mengangkat kotak tisu dari meja dan menertawakannya padaku. Melihat kelakuan ketiga
sobatku, aku jadi tertawa.
Pertama-tama mereka menatapku seperti aku sudah gila karena tiba-tiba tertawa sendiri, tapi kemudian
mereka tertawa juga. Kami mulai dari cekikikan, tapi sebelum lama kami sudah tertawa terbahak-bahak.
Butuh waktu agak lama bagi kami untuk bisa tenang lagi.
"Gue Cuma sedih karena untuk beberapa bulan gue pikir kalau Kafka sudah nerima gue apa adanya,
meskipun dia tahu sifat asli gue kayak apa. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang tahu sifat asli gue."
Gumamku. "Kita tahu sifat asli elo dan kita nerima elo. Kenapa elo mesti malu sama sifat lo yang selalu perhatian
dan baik?" "Gue selalu berpikir kalau gue nggak pantas untuk temenan sama lo bertiga," kupotong omongan Adri
dan mendapat tatapan bingung ketiga sobatku. Kulanjutkan dengan menjelaskan area-area di mana aku
merasa kurang kalau dibandingkan dengan mereka semua.
"Ya ampun, Nadia. Gue minta maaf kalau selama ini lo ngerasa kayak gitu tentang gue," ucap Adri yang
diikuti kata-kata yang sama oleh Jana.
"Lo ini lemnya kita berempat, Nad. Kalau nggak ada elo, mungkin gue, Adri, dan Jana sekarang sudah
mencar ke mana-mana karena terlalu sibuk sama urusan masing-masing," jelas Dara.
"Lo yang selalu punya inisiatif untuk ngajakin ngumpul dan ngejaga tali persahabatan kita untuk tetap
hidup," sambung Jana.
"Jadi jangan pernah ngerasa kayak gitu lagi oke. Kita tahu elo dan sifat-sifat asli lo. Lo ini pintar,
penyayang, perhatian" intinya elo ini baik, dan jangan pernah lo ragu tentang itu," tandas Adri.
Aku terdiam sejenak untuk menatap wajah ketiga sobatku yang kelihatan sangat bersungguh-sungguh.
Aku tidak tahu bagaimana kami bisa berakhir di sini, di dalam percakapan ini. Satu menit kami sedang
membicarakan Kafka, menit selanjutnya aku sudah menumpahkan segala unek-unek yang sudah
kupendam selama satu decade lebih, ke mereka semua.
"Gue sebetulnya paling sebal kalau orang nyeritain masalah mereka ke gue dan mengharapkan gue
untuk menjadi pendengar yang baik, seakan-akan gue nggak punya hidup gue sendiri dan harus
ngedengerin ceita nggak bermutu mereka," ucapku tiba-tiba. Dan seperti mengerti kodeku, Adri dan
Dara mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh orang lain tentang mereka juga.
"Gue hampir tinggal kelas waktu pertama kali pindah ke Amerika karena nggak bisa ngikutin pelajaran,"
aku Adri dengan muka memerah yang membuatku ternganga karena selama ini aku menyangka bahwa
orang seambisius Adri tidak akan pernah mungkin mengalami masalah dalam belajar.
"Ortu gue nggak pernah kasih perhatian cukup ke gue, mereka selalu lebih milih Mbak Olin daripada
gue," ucap Dara sambil tersenyum garing. Tiba-tiba aku mulai sedikit mengerti kenapa Dara selalu
mencoba menarik perhatian setiap orang, itu semua untuk mengompensasi kurangnya perhatian di
rumah. "Gue capek karena orangtua gue selalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari gue Cuma gara-gara gue
seorang Oetomo," Jana mengatakan ini dengan penuh humor dn aku pun tersenyum, menghargai
usahanya untuk membuatku merasa baikkan.
Pernyataan mereka membuatku tersenyum dan merasaa bahwa ternyata semua orang pasti akan selalu
merasa kurang dan tidak puas terhadap sesuatu, tetapi kita harus tetap hidup dan mencoba untuk
mengatasi rasa ketidaknyamanan itu. Ku buka tanganku lebar-lebar dan ketiga sobatku langsung
memelukku. Pelukan mereka membuatku semakin yakin bahwa mereka betul-betul menyayangiku dan
menerimaku apa adanya. Jana-lah orang pertama yang melepaskan pelukannya, " Masih sedih soal Kafka, Nad?" tanyanya.
Aku yang dulu, yang tidak pernah mau menyusahkan orang lain, mungkin akan langsung menggeleng,
tapi aku sudah tidak perlu menyembunyikan perasaanku lagi di hadapan mereka. "Masih. Sedikit."
Ucapku sambil mencoba tersenyum.
"Ada yang bisa kita bantu?" lanjut Jana dengan suara sehalus mungkin.
"Kecuali kalau lo semua kenal laki-laki yang tampangnya kayak Christian Bale dan mau nge-date sama
gue, kayaknya nggak ada yang bisa lo pada bantu," balasku bercanda.
"Mmmhhh" gue nggak tahu kalau Christian Bale ya, tapi gue tahu cowok cukup ganteng yang interested
sama elo," ucap Jana tiba-tiba.
"Gue bercanda, lagi." Balasku
"Gue serius nih," bantah Jana.
"Gue nggak perlu cowok ganteng, cute, hot, seksi, pokoknya cowok yang bisa bikin gue ngiler. Keadaan
gue sampai gue kayak gini sekarang gara-gara mereka. Gue Cuma mau cowok yang biasa-biasa saja, asal
dia baik sama gue dan nggak akan menelantarkan gue," jelasku sambil menyandarkan punggungku pada
sandaran sofa. "Nggak mungkin cowok yang bikin kita ngiler itu buaya kok, Nad." Jana terdengar optimis ketika
mengatakannya. "Tapi rata-rata mereka memang buaya, kan?" celetuk Dara.
Jana hanya tersenyum mendengar celetukan Dara. Ternyata Jana memang betul-betul serius tentang
laki-laki yang katanya interested denganku ketika dia mulai menceritakan tentang Elang, salah satu
teman arsiteknya yang melihatku di resepsi pernikahannya beberapa bulan yang lalu itu dan minta
untuk dikenalkan kepadaku oleh Jana. Menurut Jana, Elang orangnya cute, baik, pintar, dan sudah
mapan. Dan yang lebih penting adalah dia orangnya penuh perhatian dan selalu sensitive dengan
perasaan wanita sehingga dia tidak akan memperlakukanku seperti Kafka memperlakukanku.
"Jadi gini saja. Gue bakal telepon Elang besok pagi atau mungkin nanti malam untuk ngasih nomor
Crash Into You Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telepon lo ke dia, oke?" ternyata Jana superserius. Dia bahkan terdengar sangat antusias menawarkan
bantuannya, sehingga aku hampir tidak tega untuk menolaknya. "Hampir", tapi aku tetap menolaknya.
"Tapi Jan, gue nggak tahu apa gue siap untuk ketemu cowok baru sebelum gue bisa betul-betul
ngelupain Kafka." Ucapku. Meskipun awalnya aku tidak tahu bahwa inilah alasan utama kenapa aku
menolak, tetapi secepat kilat kusadari kebenaran dari alasan ini.
"Nah, itulah fungsinya cowok baru, Nad, untuk ngelupain yang lama. Lebih cepat lebih baik," Dara
nyeletuk dan langsung menerima protes Adri dan Jana.
"Husss" lo nih benar-benar aliran sesat." Omel Adri
"Karma, Ra, ingat karma," sambung Jana.
"Yee". Hari hini masih percaya karma. Gue saja yang sudah praktikin metode itu dari gue umur empat
belas, masih oke-oke saja, kan?" sanggah Dara. "Karma tuh nggak ada, lagi. Percaya sama gue,"
lanjutnya dengan yakin. Lain dengan Dara, aku adalah orang yang percaya seratus persen dengan karma, maka dari itu aku selalu
mencoba untuk tetap di jalan yang lurus supaya aku, anakku, cucu, dan cicitku tidak akan sial hidupnya.
Dan meskipun Dara adalah sahabat terdekatku dan aku cinta mati padanya, tetapi bukan berarti aku
Dendam Empu Bharada 12 Rajawali Emas 09 Keranda Maut Perenggut Nyawa Makam Tanpa Nisan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama