Ceritasilat Novel Online

From Sumatra With Love 1

From Sumatra With Love Karya Esi Lahur Bagian 1


From Sumatra with Love Karya: Esi Lahur Prolog Wajah Anty terlihat bete abis. Diseberangnya, Kelly serius menghitung uang
di dalam amplop. Krisna tertawa ngakak saat melihat isi mangkuk Anty.
Anak-anak sekantin srentak menoleh ke Krisna karena tawanya yang
kencang kayak badai. "Ty, lo makan mi baso atau mi tahu" Masa' tahunya sampai empat, basonya
cuma satu. Hhaha..." Krisna tertawa geli.
Muka Anty terlihat tambah kesal. Tapi melihat kami tertawa, ia pun ikut
tertawa. "Ah, biarin deh. Demi perjalanan kita nih. Gue bela-belain ngirit,"
ujar Anty manyun, "walaupun hancur hati gue..."
"Duh kayak sinetron aja! Lo mau pergi gak" Kalau mau ikut, gak usah
ngedumel melulu," Sandro nimbrung dengan galaknya.
Emang enak diamuk Sandro. Hehehe, Anty menciur dan terdiam. Yang lain
senyum-senyum malihat Anty kecut. Si Sandro bukannya marah sama Anty,
tapi tuh cowok kalau ngomong memang kencang dan tegas bangetmakanya kompak sama Krisna. Maklum, turunan Sumatra.
Omong-omong Sumatra nih, semua kehebohan tadi terjadi karena rencana
kami bersembilan untuk tamasya ke Sumatra. Niatnya untuk mengisi
liburan kenaikan kelas. Memang sih, sekolah juga bikin acara karyawisata,
tapi objek wisatanya gak kreatif. Itu-itu melulu. Mengunjungi Candi
Borobudur, Prambanan, dan Mendut. Biasa banget deh. Kayaknya temanteman satu kelas sudah pernah pergi ke sana deh, minimal satu kali waktu
SD. *** Demi mewujudkan mimpi bertamsya ke Sumatra, kami menabung dari
jauh-jauh hari. Seminggu sepuluh ribu rupiah. Nanti kalau masih kurang,
baru deh kami minta pada orangtua masing-masing. Tapi mintanya gak
bisa banyak-banyak. Orangtua kami bukan orang-orang kaya yang
mobilnya berjejer memenuhi garasi. No, no, no.
Kami gak menabung di bank. Uang kami percayakan pada Kelly yang
sehari-hari menjadi bendahara kelas. Dengan cara begini, kalau salah satu
di antara kami sedang kepepet, boleh meminjam. Namun jangan dikira
prosesnya mudah. Kelly bukan cuma jujur, tapi juga disiplin. Mau pinjam
sepuluh ribu aja, kalau tidak jelas untuk apa, tarik ulurnya bisa lama. Pake
interogasi segala. Plus bonus gerutuan ala Kelly, "Memangnya gue buka
koperasi simpan pinjam?" Yang diucapkannya dengan ekspresi mirip
kambing kurban yang siap nyeruduk. Ribet, kan" Tapi efek sampingnya
malah bagus, kami jadi malas meminjam.
Impian jalan-jalan bersembilan ke Sumatra ternyata berbuntut positif dan
negatif. Yang positif, berat badan kami perlahan-lahan mendekati angka
ideal karena terpaksa mengurangi jatah makan. Sandro menyiasati nafsu
makannya yang menggebu dengan membawa bekal makanan dari rumah
setiap hari. Negatifnya" Gara-gara Kelly, si direktur bank gelap yang motonya "uang
boleh masuk tapi susah keluar", Krisna sampai bela-belain ngumpetngumpet mengamen di bus kota sepulang sekolah. Motivasinya apalagi
kalau bukan nyari tambahan uang jajan"
Anty juga menderita tekanan batin. Bukan karena mi tahu tadi, tapi garagara dibenci pedagang kaki lima. Bayangin deh, dia yang tadinya jadi
pujaan pedagang kaki lima se-Pasar baru karena belanjanya gak kira-kira,
sekarang karena sudah berbulan-bulan absen, pas dia ke sana lagi, tuh
tukan aksesoris rambut dan sandal gaul pada nyuekin dia. Bahkan ada yang
dengan ketus bilang, "udah deh, Neng, kalau cuma liat-liat jangan ke sini.
Dagangan saya kan bukan akuarium." Anty keki setengah mati.
Lalu aku juga harus makan ati dengan tukang jual gorengan. Kejadiannya
ketika cacing-cacing di perutku berdemonstrasi menuntut makan. Karena
perihnya udah gak ketahan, terpaksa deh aku beli tahu isi di depan sekolah.
Itu juga opake ngebujukin abangnya, Kang Asep. Harga yang semedtinya
tiga ribu, kalo udah sore karena udah mau abis, bisa ditawar jadi seribu. Eh,
dasar tuh abang kejam, ngeliat tampangku yang mupeng, bukannya
nambahin tahu atau bonus singkong sebiji, dia malah ngasih tambahan
cabe rawit segenggam. Itu baru secuil kisah memilukan yang lebih sisanya gak usah kuceritakan.
Jangan-jangan yang dialami Nidya, Lia, Kelly, Adi, dan Mahmud lebih
menguras air mata. Bahkan kalau sampai muncul di majalah nyokap, bisa
dikategorikan sebagai kisah sejati. Yah, semoga jadi deh jalan-jalan ke
Sumatra-nya sehingga pengorbanan kami gak sia-sia.
Bab 1 Menggila di Lautan Terminal Nusa Pura II, Tanjung Priok bagaikan panggangan raksasa. Panas
menyengat tajam tanpa sedikit pun angin yang berembus. Kami seperti
ikan teri yang lagi di goreng di dalam minyak panas sewajan. Keringat
bercucuran tanpa henti, apalagi masing-masing membawa carrier besar.
Bersembilan kami makan siang di warung Periuk Nasi yang letaknya tak
jauh dari terminal keberangkatan.
"Lo makan sedikit amat?" tanya Krisna kepadaku.
"Gue takut sakit perut di kapal," jawabku sekenanya. Di atas piringku hanya
ada nasi setengah, tempe goreng, paru goreng, serta kerupuk putih.
Minumannya juga standar, es the manis. Aku sengaja menghindari sayuran
dan buah, takut pencernaanku joget-joget jadi mencret.
"Iya, benar juga. Tapi, Sa, kalo ntar lo lapar kan repot juga." Krisna
termangu. "Eh, kalian tuh kalo seminar pencernaan jangan di sini dong," tukas Sandro.
Huh dasar kejam. Orang cuma ngobrol gitu aja dia udah ngedumel.
"Sudah, jangan pada ribut. Gue ada gosip baru nih. Tentang si...," cerocos
Anty. Dia bengong melihat kami serempak menutup kuping dengan kedua
tangan sambil pasang tampang kesal.
"Aduh, lo kalo mau cerita ntar aja di kapal. Kalo sudah berada di laut toga
hari dua malam kita kan gak ada kerjaan lagi, nah lo puas-puasin deh cerita
investigasi gosip," kataku sambil memelototi Anty.
"Yah...terserah kalian. Tapi kalo pengetahuan kalian gak up to date, jangan
salahin gue ya, dan kalo nanti gue gak nmood cerita, jangan paksa-paksa
gue. Gue gak sudi nyeritainnya," kata Anty bete lalu menyedot jus alpukat
dalam-dalam. "Ty, lo berisik banget sih!" Adi berkomentar singkat dan padat.
Adi memang pendiam banget. Kalo dihitung, komposisi dia ngomong
berbanding diam sama dengan 30 berbanding 70. Sudah gitu dia kadang
telat mikir alias telmi, malahan sering punya imajinasi sendiri yang dinikmati
sendiri pula. Alah satu contohnya adalah waktu kami rame-rame nonton
DVD A-Team yang jadul pas nginap di rumah Nidya. Ketika melihat
kelakuan Murdock, salah satu pemainnya, kami berbarengan ngakak. Eh, si
Adi cuma mesam-mesem. Tiba-tiba pas sudah ganti adegan, Adi ketawa
sendirian. Kalau belum kenal Adi, bisa-bisa menyangka Adi lagi kesambet.
Kami sih sudah hafal kahir batin.
*** Sekarang kami berada di dalam terminal yang sudah dipenuhi calon
penumpang. Maklum, masa liburan sekolah. Sekalipun keberangkatan kapal
masih satu setengah jam lagi, rata-rata penumpang memilih menunggu
lumayan lama daripada terburu-buru. Karena kelamaan menunggu, benihbenih kejailan kami mulai tumbuh, terutama Sandro. Buset deh tuh anak,
kalo udah daopat mangsa, mukanya jail banget.
Saat itu di seberang kami duduk seorang Bapak yang berpenampilan
serbanabrak. Dia mengenakan sweater kotak-kotak hijau dan celana formal
coklat. Kacamatanya besar dengan bingkai tebal warna hitam. Jadul banget
sehingga si Bapak bukan lkagu ABG, alias angkatan babe gue, tapi
angkatan engkong gue! "Lucu ya kacamatanya, kayak buat kuda," celetuk Sandro terkikik.
"Gile bener tuh bapak, funky ya," kata Anty menanggapi Sandro.
"Funky apaan" Oh... Jadi idola lo engkong-engkong, ya?" balas Sandro.
"Perasaan emang lucu ah," timpal Anty tak mau kalah.
"Lucu bagaimana" Ternyata lo emang penyuka gaya engkong-look ya,"
ledek Sandro. Selagi keduanya memperdebatkan penampilan ajaib si baopak, eh ada
cowok berbadan gede dan atletis melintas. Penampilan fisiknya sih macho,
kayak Ade Rai kurang tinggi sedikit. Namun gaya busananya mengejutkan!
Bajunya model jas panjang yang terbuat dari bahan jalan warna biru
dongker. Gaya jalannya begitu pede serasa lagi di panggung peragaan
busana. Sontak tanpa aba-aba kami ngakak. Hahahaha...!
Beberapa menit kemudian, Krisna dan Mahmud yang lagi asyik curhat
didatangi pdagang yang menawarkan alat cukurt elektrtik. Si pedagang
memaksa keduanyua untuk mencoba dulu.
"Bang, yang bener aja. Liat nih muka saya. Kumis dan brewok gak ada satu
bulu pun, gimana nyobanya?" ucap Krisna setengah membentak.
Si pedagang tersipu malu sementara Mahmud tak tega menatapnya karena
merasa bersalah tak bisa membantu salesman atraktif itu. Si pedagang pun
berlalu. Kalau dipikir-pikir, heran juga ya, pedagang kok dibolehkan masuk
ke terminal yang sudah ramai begini" Apalagu dia tidak punya karcis.
Entah bagaimana, bagai dikomando kami mendadak terdiam. Kata orang
tua, itu tandanya ada setan lewat. Tapi kayaknya bukan. Masing-masing
dari kami seolah bergumam di dalam hati. Gila ya, berani banget kami
melakukan perjalanan ini. Benar-benar nekat. Hanya bermodalkan
tabungan yang pas-pasan dan tambahan sekedarnya dari orangtua,
sebentar lagi kami akan meninggalkan Pulau Jawa untuk menuju tempattempat yang selama ini hanya kami liat gambar geografisnya di peta buta.
Ting tong... Panggilan untuk naik kapal KM Sinabung terdengar. Kami langsung
bergegas memanggul ransel, berjalan keluar terminal, kemudian antre
menuju kapal. Tiket kami non-seat, artinya tidak dapat kamar tidur
sehingga kami harus rebutan "menguasai" lantai-lantai kapal yang kosong.
Begitu berhasil memasuki badan kapal, seperti rangkaian gerbong kereta,
kami berbaris di belakang sandro menyusuri dek untuk mencari tempat
kosong. Karena penumoangnya berjubel, seluruh lantai dek terbawah
hingga ke sudut-udut bawah tangga penuh terisi orang. Mereka menggelar
tikar atau kertas koran sebagai alat tidur. Untungnya makin ke atas,
penumpang non-seat makin berkurang. Kira-kira, masih ada gak ya tempat
untuk kami" Masih! Kami berhasil mendapat tempat setelah mencapai dek di tingkat
tujuh. Syukurlah, tempatnya strategis. Tepat di depan ruang Perwira tak
jauh dari poliklinik. Matras dan sleeping bag langsung digelar. Ransel
berubah fungsi menjadi bantal. Begitu menemukan base camp ini, tanpa
babibu lagui Nidya langsung menyusup ke kantong tidur.
"Gue gak berani liat laut. Gue mau tidur aja," begiitu alasan Nidya.
Gak tahu terkena trauma apa, Nidya ternyata takut melihat laut. Janganjangan waktu kecil dia pernah disiksa di bak mandi atau yang rada
mendingan kecebur got, kali ya" Bahkan hanya mengintip dari kaca pintu
dek pun dia tak mau. Kami sudah membujuk-bujuk Nidya supoaya
perjalanan ini dimanfaatkan untuk terapi, eh dia malah nenggak Antimo
dua tablet. Ampun deh! Bisa-bisa dia tertidur pulas berjam-jam hingga
ditabokin pun gak bakal bangun.
Ah ya, sudahlah. Adi menunggui Niduya sekaligus menjaga barang-barang.
Takut ada yang mencuri. Bukannya kami paranoid, tapi memang kenyataan,
kan" Apalagi di seberang kami ada sekumpulan cowok-cewek yang
penampilan dan bawaannya lebih menyedihkan dibandingkan kami.
Tanpa Nidya dan Adi, kami ke luar dek untuk melihat kapal-kapal di sekitar
kami. Wow, anginnya kencang! Tiba-tiba Sandro dan Krisna tertawa
cekikikan gak berhenti. Aku dan Anty berpandangan bingung.
"Kenapa lagi tuh mereka" Kesurupan emak-emak Priok?" tanya Kelly sewot.
Krisna memberi kami kode dengan melirikkan mata ke kanan berulang kali.
Kami menengok ke kanan pelan-pelan.
"Kenapa, Kris" Mata lo kedutan, ya" Itu berati lo bakal dapat oacar kalo
kedutan yang kanan." Kata Anty polos.
Dasar bolot. Udah deh, cuekin aja. Mending aku kasih tau kejutan yang
ditunjukkan Krisna. Soalnya kami langsung tertawa kencang begitu melihat
pemandangan yang sudah lebih dulu dilihat Krisna dan Sandro. Ampun
deh, lima cewek yang tadi ada di seberang kami di dek, rambutnya sudah
basah kuyup semua! Sepertinya mereka sengaja membasahi rambut.
"Enak yo! Seger tenan!" kata satu cewek berbaju pink dengan logat Jawa
yang medok. Kapal belum berangkat, mereka sudah keasyikan keramas. Ih, aku bakal
mikir seribu kali untuk masuk ke kamar mandi. Sudah kebayang yang jelekjelek dan menjijikkan.
*** Kapal berangkat on time. Gosip-gosip yang rencannya dijadikan seminar
selama perjalanan menguap ditelan angin laut yang begitu kencang.
Suasana terasa tak romantis karena suara peluit kapal bikin kuping budek.
Nidya tidur nyenyak sambil dijaga Adi disampingnya. Hmm, pakai
diselimutin segala! Aku lirik-lirikan dengan Anty dan Kelly. Gosip baru nih.
Kayaknya ada yang lagi pedekate.
"Mana, ty" Katanya lo mau cerita gosip?" tanya Lia yang paling pendiam di
antara para cewek. "Batal ah. Gue ngantuk nih." Jawab Anty sok jual mahal.
"Baru jam enam lo udah ngantuk. Sebentar lagi jam makan," kata Sandro
galak, seperti biasanya. Anty langsung membatalkan niat tidurnya begitu mendengar kata "makan".
Wajahnya yang tadi kusut langsung mesam-mesem.
"Huuuu, dengar kata makan langsung semangat. Nih, makanan pembuka,"
kata Krisna sambil menyodorkan satu dus kuaci biji matahari pada Anty.
"Tega banget sih lo ngasih gue kuaci segini banyak. Emang gue hamster"
Di mana-mana makanan pembuka tuh sup atau yang hangat-hangat,"
protes Anty tapi tetap menerima kardus kuaci dan segera mengupas biji
kuaci. Hap! Dia langsung mengunyahnya dengan cepat.
"Oh , gini aja, Ty. Kuacinya lo campurin air panas, kan hangat tuh,"
tambahku jail. Sengaja, biar tambah kesal. Lagian, di kapal gini
mengharapkan sup. Mimpi atau kemasukan memedi" Heran deh, Anty kalo
ngomong otaknya suka gak dipakai. Terus kalo dimarahin atau dikerjain,
dia ngambek. Tapi ngambeknya hanya sebentar.
*** Kuaci sudah berkurang seperempat dus padahal cuma Anty sendirian yang
makan. Kok tiba-tiba heboh di mana-mana" Oh, rupanya jam makan malam
sudah tiba. Penumpang rebutan untuk mengambil jatah makanan kapal,
tapi kami tetap cool. Apalagi setelah melirik makanan yang ada di piring
oenumpang di seberang kami. Maaf-maaf deh, dari wujudnya saja makanan
yang disediakan kapal terlihat tidak menjanjikan. Dilihat dari sisi mana pun
sama sekali tidak membangkitkan selera. Persis makanan penjara yang
selama ini kubayangkan. Terlebih piring yang digunakan terbuat dari
aluminium. Duh, gak banget deh. Kami memutuskan hanya mengambil nasi
dan telor rebus. Kalau sayur dan ikan, mohon maaf, kami betul-betul gak
berminat. Amis banget. "Gue jadi teringat Kang Asep," kataku rada nelangsa.
"Eh, lo keinget Kang Asep atau tahunya" Kan kita punya bekal banyak," ujar
Krisna sambil membuka tas bekal yang berada dalam tanggung jawabnya.
Di dalam tas ada abon, tempe kering, sambal goreng kentang, serundeng,
paru goreng, plus aneka camilan berupa wafer, biskuit, keripik, kacang, dan
kuaci tadi itu. Wah, selamat deh kami!
Lia yang mengisi botol air mineralnya dengan keran air matang yang
tersedia di kapan langung il-fil, ilang feeling!
"Cium deh, amis banget nih airnya," ujar Lia sambil bolak-balik
mendekatkan kedua lubang hidung ke mulut botol berukuran 1,5 liter itu.
Lalu dia menawarkan kamu untuk ikut mencium, siapa tahu penciumannya
salah. Tapi tidak ada satu pun dari kami yang mau ikut mengendus.
Mending buru-buru menolak daripada mual setelah nyium. Kan malah
repot. Untung Mahmud punya ide bagus. Dia0memasukkan dua bungkus sari
jeruk bubuk ke botol, menutupnya, lalu mengocoknya keras-keras.
"Nih, coba, Li!" kata Mahmud sambil menyodorkan botol tersebut ke Lia.
"Lo dulu deh yang nyobain. Ntar asem banget, lagi," jawab Lia rada emoh
sambil mengernyitkan dahi. Ditantang begitu Mahmud cuek aja. Dia
langsung menenggak dua kali.
"Enak, Li. Enak. Nih, cobain," kata Mahmud kegirangan. Lia akhirnya minum
juga. Setelah itu Lia mengancungkan jempol. Beres deh masalah makan dan
minum. Hidup kami tiga hari dua malam di kapal bakal aman.
"Gue takut mules ah kalo minum air jeruk kebanyakan. Gue sudah punya
cara sendiri kok buat minum. Tahan napas dalam-dalam, lalu teguk cepatcepat, nanti gak terasa kok amisnya," kataku.
"Kalo keselek gimana" Lo idenya jangan terlalu brilian deh," sambar Sandro


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sewot. Huh, cowok-cowok mah enak. Bisa minum capuccino atau kopi 2 in 1.
Sayangnya aku sama sekali gak suka minunan berkafein.
Entah karena keriuhan suara kami atau emang sudah lapar, Nidya
terbangun. Tanpa basa-basi dia langsung mencomot biskuit cokelat sambil
cengar-cengir dan mata merem melek kayak laron habis disiksa.
"Sudah sadar lo, Nid" Mau makan gak?" Anty menawarkan.
"Ogah ah. Gue kebelet pipis nih," jawab Nidya sambil duduk. "WC-nya di
mana ya?" tanyanya lagi. Kami berpandang-pandangan karena sama-sama
gak tahu. "Gue antar yuk," Aldi menawarkan diri. Nidya langsung manut. Keduanya
beranjak pergi mencari WC.
"Kayaknya ada tanda-tanda nih," kata Krisna usil.
"Tanda-tanda apa" Gunung meletus" Tsunami?" ujarku acuh tak acuh.
"Gimana sih lo, Sa" Tanda-tanda ada hati, gitu. Masa lo gak bisa membaca
gerak-gerik mereka?" Anty langsung heboh dengan tampang penuh gosip.
"Gue juga tahu, Neng. Emang gue sebodoh lo?" balasku sengit.
"Oh, kirain lo gak ngeh. Gue juga udah mengamati tanda-tandanya.
Memang pada gak memperhatikan mereka, ya?" tanya Anti antusias
seolah-olah mengetahui rahasia negara.
"Gak!" Kami menjawab serempak.
"Tuh kan, cuma lo doang yang kurang kerjaan. Anty, mending lo cari cowok
deh biar ada yang lo urusin," tambah Sandro pedas.
"Hiii... Gue mah ogah. Lo ikut kursus Kumon dulu deh, baru gue mau,"
celetuk Krisna bergaya merinding.
"Lo jangan gitu. Nanti kalo tiba-tiba lo jatuh cinta sama gue, pasti gue
tolak," sambar Anty judes dan keki. Sambil ngedumel ia mengambil kuaci
dan kembali memakannuya sendirian.
"Marah sih boleh, tapi kuaci sedua jangan diabisin dong," kataku geli
melihat kelakuan Anty yang sok ngambek.
"Sudah deh, jangan berantem. Main sana ke luar. Gue beresin dulu nih
sampah-sampah biar tidurnya enak," kata Mahmud sambil memunguti
sampah bekas kami makan. Karena disuruh melihat laut, ya sudah, kami berhamburan ke luar. Bukannya
kami jahat dan tidak mau membantu Mahmud, tapi dia memang begitu.
Senang berbenah dan beres-beres. Di kelas saja meski bukan waktunya
piket, kalau ada sampah dia langsung proaktif nyapu-nyapu. Kalau di
rumahnya ada bunga lagi mekar, pasti dia petik dan bawa ke sekolah.
Teruis dia menata meja guru dengan bunga dalam jambangan.
Pernah ada kejadian fenomenal. Waktu itu lampu di kelas kami mati tibatiba. Pas istirahat, Mahmud mengutak-atik lampunya. Eh, ketika kami masuk
kelas kembali, lampunya sudah nyala. Henat, kan" Kami juga gak maua
nelarang Mahmud. Karena kalau dilihat dari wajahnya, dia bahagia banget
bisa beres-beres dan malah merasa terganggu kalau ada yang membantu.
Dulu waktu kelas sepuluh, aku pernah membantu Mahmud untuk persiapan
pentas seni. Dia bertanggung jawab di bidang kostum. Eh, bukannya
senang karena kubantu, mulutnya malah monyong. Katanya, kerjaanku gak
rapi. Ya sudah, mau bagaimana lagi" Jadi, kalau dia sedang beberes, lebih
baik aku menjauh darinya.
Sewaktu kami kembali ke dekpukul sebelas malam, ruangan kami sudah
rapi jali. Di sisi kiri Adi tertidur beralaskan matras. Disampingnya, di dalam
sleeping bag, ada juga Nidya yang sudah tertidur pulas. Di sisi paling kanan
Mahmud tidur kelelahan. Di sampingnya ada plastik berisi sampah. Kami
segera mencari posisi dan beringsut rebahan. Benar-benar capek.
Bab 2 Hari kedua Penumpang lain sudah rebutan sarapan, kami baru pada bangun. Kami" Ah,
tidak persis begitu. Hanya kami berdelapan yang baru bangun karena
Mahmud sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sembilan Pop Mie
untuk kami dan dia sendiri. Duh, jadi terharu deh. Mana bumbu cabenya
sudah dimasukin, eh sambal botol juga sudah tampil manis.
"Tengkyu, Mahmud...!" teriak kami gembira dan langsung bersiap-siap
makan dengan barbar tanpa berkumur dulu.
"Kalau ada acara reality show buat acara The Best Servant of The Year, lo
pasti kepilih deh," pujiku jail.
Mahmud hanya cengar-cengir. Kami makan dengan lahap, apalagi telur
rebus dari jatah makan kapal juga sudah dikupas dan tertata di piring
kertas beralaskan tisu bawaan kami. Gawat nih, kalau makan telur
keseringan perutku bisa berontak. Lebih baik aku absen makan telur.
"Telur siapa nih nganggur?" tanya Krisna dengan mata berbinar-binar.
"Punya gue," jawabku.
"Gue makan ya, Sa," kata Krisna sambil langsung melahapnya tanpa
menunggu jawabanku. "Habis ini kita minimal harus cuci muka dan sikat gigi. Kalau tidak mandi,
kita masih bisa tahan, kan?" tanya Lia, mencari kata sepakat.
Kami hanya mengangguk. Semua mulut penuh mi instan.
"Nid, mau tambah sambal?" Adi menyodorkan sambal botol pada Nidya
dengan lembut. Anty langsung melirikku, lalu mencari mata yang lain untuk dikirimi kodekode gosipnya. Bener-bener kayak mau ikuytan tari Bali.
*** Bagiku sebuah perjuangan haru dilakukan pagi ini. Aku benci segala
sesuatu yang jorok. Benci banget! Tapi apa mau dikata, di sini aku harus
menghadapi hal yang kubenci. Terutama yang berurusan dengan kamar
mandi dan WC. Heran deh, biarpun sudah tersedia air dalam jumlah
banyak, rata-rata kamar mandi dan WC berbau pusing. Memang
penumpang lain gak tahu cara menyiram WC, apa" Kalau tahu, kenapa
pesing begini" Syukurlah ada WC tak jauh dari mushola. Dan syukur pula karena aku sudah
membawa selusin tisu gulung dari rumah. Setelah melapisi kloset duduk
dengan tisu yang agak tebel, baru deh aku bisa pipis dengan tenang. Dia
atas klosetnya tadi ada bekas telapak sepatu, jadi pasti ada yang
menggunakan kloset sambil nangkring di atasnya. Benar-benar
kampungan! Aku juga tidak bisa ke belakang karena gak mood dengan
empat baru. Setelah itu, aku, Lia, dan Kelly ke kamar mandi untuk cuci muka. Dosa apa
sih penumpang kelas ekonomi seperti kami sampai harus mendapoat
fasilitas menjijikkan seperti ini" Empat wastafel berjejer di depan cermin
buram yang sudah retak. Dua wastafel mampet total, air menggenang dan
sampah tisu mengapung. Satu wastafel tidak keluar airnya. Syukurlah,
wastafel terakhir masih beres. Lia sikat gigi dan cuci muka duluan. Kelly
memilih masuk kamar mandui yang memiliki air pancuran yang mengalir
sehalus jarum jahit. Aku menunggu giliran sambil menatap sekeliling.
Sampah berserakan, air menggenang. Ya Tuhan, aku mau muntah. Janganjangan kapal budak zaman dulu persis seperti ini. Duh, mending buru-buru
menyelesaikan urusan dan segera meninggalkan tempat ini!
*** Aku. Lia, Anty, dan Kelly duduk berempat di kursi yang menghadap ke laut
lepas dengan angin yang bertiup kencang. Kira-kira sekencang suara Anty
yang berkobar-kobar menceritakan gosip baru. "Tadi sih kata Nidya,
mereka cuma temenan biasa. Gue tanya lagi aja, masa kalo temenan segitu
lengketnya, kayak kasur dan seprai?" kata Anty bersemangat.
"Gak ada perumpamaan yang lebih aneh lagi" Misalnya tembok dan cat"
Perasaan seprai ama kasur gak begitu lengket," kataku sinis.
"Nah, tuh dia jawabnnya! Kasur kulang lengkap tanpa seprai, begitu juga
sebaliknya. Saling membutuhkan tapi terpisah, kasur di tempat tidur, seprai
di lemari. Saat-dsaat tertentu baru bisa bersama," papar Anty seperti
seminar peribahasa. "Anty, Anty, giliran ngomongin gosip IQ lo melonjak jadi 150. Tapi kalau
pelajaran, langsung deh kayak Tarzan masuk mal. Bengong-bengong.
Ancur lo!" ujar Kelly terkekeh.
"Ty, teruskan investigasi lo. Gue sih mendukung abiss. Kayaknya seru
karena ada yang ditutup-tutupi," tambahku ngomporin Anty.
"Benar!" teriak Anty sambil melonjak dari kursi. "Heh, lo jangan heboh gitu
dong! Gue sampai kaget nih. Mana muncrat gitu, lagi." Mulai deh Kelly
mengeluarkan aura Tanah Batak-nya. Lagian, Anty ngapain juga sih pakai
lompat dari kursi segala" Aku dan Lia terkikik melihat Anty kebat-kebit
diamuk Kelly. "Sori, sori. Bener kata lo, Sa, memang ada yang ditutupi. Nidya bilang dia
gak enak kalau sampai ada teman cowok kita yang marah bila tahu dia lagi
deket sama Adi. Tapi Adi sendiri juga gak mau jauh-jauh dari Nidya. Siaopa
cowok yang bakal marah itu, Nidya gak mau ngasih tahu," jelas Anty penuh
kebahagiaan karena bisa mencurahkan gosip terpanasnya.
"Katanya teman, tapi kenapa dia gak mau cerita ke kita, ya?" aku balik
bertanya. "Tapi kita juga salah, ngomongin teman sendiri di belakangnya. Kenapa kita
gak tanya langsung aja, siapa cowok yang bakal ngamuk kalo tahu dia
deket sama Adi. Sandro" Krisna" Mahmud?" Akhirnya Lia kasih komentar
juga. "Li, kalo kita tanya rame-rame, nanti disangka interogasi. Kesannya dia
tertuduh banget. Padahal kan itu urusan pribadi dia," tambahku.
"Iya, mending kasak kusuk dulu aja. Kalau dia mau cerita ke kita, ya sudah,
kita dengar. Tapi kalau dia diam aja, ngapain diuber-uber" Sekarang kita
awasi aja gerak-gerik tiga cowok yang lain. Gimana?" saran Kelly.
"Ya, begitu juga sip," jawabku menyetujui usul Kelly. "Gampang kok
mengikuti orang yang berusaha mendekati Nidya selain Adi. Nidya kan gak
ke mana-mana karena maunya tidur melullu dalam sleeping bag."
"Menurut gue kandidatnya cuma dua. Sandro dan Krisna," tegas Kelly.
"Gue pikir juga gitu. Mahmud kayaknya gak berminat deh. Minat dia hanya
pada kebersihan dan penataan," canda Lia.
"Masuk lagi yuk. Ntar mereka curiga. Sekalian nemenin Nidya yang rebahan
melulu tuh. Gantian cowok-cowok kita usir keluar," kataku sambil berdiri.
*** Bersama Nidya kami malah membicarakan rencana yang akan kami lakukan
di Medan dan sekitarnya. Jalan-jalan ke mana saja dan makan apa saja yang
seru" Sebetulnya sih kami ingin menenyakan masalah "itu", tapi rasanya
gak enak dan waktunya belum tepat. Eh, tahu-tahu ponselku berbunyi. Ada
SMS masuk. Dari Sandro. Kenapa lagi manusi bermulut gergaji listrik itu"
Tersesat di kapal" Adi bilang dia kasihan sama Nidya, takut Nidya sakit. Makanya diurusin.
Aku segera membalasnya: Kok tiba-tiba lo nulis beginian"
Masuk lagi SMS dari Sandro:
Emangnya gue gak tahu lo pada rese pengen tahu tentang Adi dan Nidya"
Kubalas lagi SMS dari Sandro:
Kata Nidya kalo dia deket sama Adi ntar ada cowok di antara kalian yang
marah. Siapa ya" Lo"
Masuk lagi jawaban dari Sandro.
Gue" Enak aja. Yang bener" Ntar gue cari tahu deh.
Hmm... Ternyata buka Sandro, maka kubalas lagi SMS nya
Good. Lo ngata-ngatain kami tukang gosip, nah lo sendiri apa" Weeekk..
Sandro gak terima kujuluki tukang gosip. Dia membalas SMS-ku.
Tim pencari fakta dan pembela kebenaran.
Dasar Sandro edan. Tapi bagus juga alam bawah sadarnya mau melakukan
investigasi. "Sa, lo SMS-an ama siapa, sih" Senyum-senyum sendiri, gitu?" tanya Nidya.
"Ngg...adik gue nih," jawabku berkelit.
Mmm, bakal seru nih kelanjutan investigasi terhadap Nidya, Adi, dan si
penggemar misterius itu. Bisa menjadi penyemangat perjalanan, apalagi
kasusnya berbau cinta. Horeee!!!
*** Ternyat ada untungnya juga jadi penumpang kelas ekonomi non-seat.
Kesimpulan ini kami dapat stelah makan siang di hari kedua. Persisnya
setelah kami mondar-mandir ke dek-dek penumpang. Penumpang kelas
ekonomi yang dapat kasur atau memiliki nomor seat malah jauh lebih
sengsara daripada kami yang tidur menggelar als pribadi di dek paling atas.
Dari kamar, atau tepatnya sal, di dek-dek bawah, penumpang tidak bisa
melihat pemandangan apa pun kecuali air laut. Kalau mau melihat
pemandangan, mereka harus keluar lalu naik ke dek di atasnya. Udara di
kamar jelas tidak sehat karena tak ada jendela. Pengap.
Melihat kasurnya saja seram deh. Kasur busa itu pasti sudah digunakan
ratusan bahkan bribuan kali oleh berbagai macam penumpang. Dari yang
rambutnya berkutu, badannya panuan, serta bau keringatnya aneka
macam. Risiko tertular penyakit kulit dan kutuan, jelas besar! Dan yang
pasti tidak akan bisa wangi dan bersih seperti matras dan sleeping bag
kami. Belum lagi ributnya suasana di sana. Ada yang ngobrol ngalor ngidul tak
henti-henti, ada yang mendengarkan radio dangdut dengan volume keras,
dan anak-anak yang berlarian dan menangis kepanasan karena AC-nya tak
begitu terasa. Kalau kebersihan ruangan" Jangan ditanya! Jelas kami jauh lebih beruntung
dibanding mereka. Apalagi tempat kami persis di depan ruang Perwira
sehingga tidak mungkin dibiarkan kotor. Tukang sapu dan tukang pel
bekerja tiga kali sehari. Sudah begitu kami masih punya Mahmud yang rela
membersihkan setiap saat tanpa diminta. Sementara di dalam dek-dek itu"
Ampun deh! Satu-satunya kelebihan hanyalah keberadaan TV 14 inci di
setiap sudut ruangan. Capek berkelilinh, kami langsung rebahan di daerah kekuasaan sendiri. Ya,
di mana lagi kalau bukan di dek tujuh, depan ruang Perwira.
"Pulangnya kita gak naik kapal laut kayak begini lagi, kan?" tanya Anty
dengan wajah traumatik setelah wisata mengelilingi bagian dalam kapal
barusan. "Gak. Kita naik bus aja. Jalan darat," jawab Lia.
"Nanti dari Lampung ke Jawa-nya gimana?" tanya Anty bengong.
"Naik Feri dong, Neng! Masa busnya berubah kadi pesawat?" jawabku
sengit. "Terus, nanti masuk Jawa ganti bus" Gimana sih" Gue gak ngerti. Gue kan
belum pernah pergi jauh begini," berondong Anty dengan wajah mau
nangis karena takut kami marahi.
"Buat apa ganti bus segala" Bus kita nanti bisa diangkat sekalian ke dalam
feri itu. Masa begitu aja lo gak tahu" Walaupun belum pernah naik Feri, lo
kan pernah baca koran atau nonton TV," jawab Kelly kesal.
"Kalau logika lo jalan sih gak perlu tanya-tanya hal sepele kayak gitu,"
sambar Sandro ketus. Kami ngakak lagi-lagi melihat Anty mati kutu dilalap kata-kata Sandro yang
memang sering tidak berprikemenusiaan itu.
"Biar aja pada ngetawain gue. Daripada malu bertanya sesat di jalkan"
Sudah bagus gue nanya, jadi kalian bisa mengasah otak. Sebenarnya tadi
kan kuis," seloroh Anty tak mau kalah.
"Kuis apaan yang pertanyaannya gak bermutu gitu" Hadiahnya juga gak
jelas," protesku. "Nih, hadiahnya sekardus kuaci. Ayo, makan kuaci sambil nunggu matahari
terbenam." Tiba-tiba Anty mengubah topik pembicaraan dan proaktif
membagikan segenggam kuaci pada kami.
Mahmud buru-buru menggelar koran bekas di lantai supaya sampah kulit
kuaci tidak berceceran. "Untung Mahmud ikut, jadi kita bisa hidup seperti tuan besar. Dan juga
untung Anty ikut karena kita bisa dapat hiburan gratis," kataku sambil terus
mengupas kuaci. "Kalo gue sih mendingan Mahmus aja yang ikut," tambah Krisna sambil
melirik Anty yang mulutnya langsung monyong. "Kenapa mulut lo, Ty"
Monyong karena kebanyakan makan kuaci" Masa gitu aja cemberut. Muka
lo jadi kayak trenggiling," goda Krisna lagi.
Anty langsung tersenyum manja dan melempari Krisna dengan kulit kuaci.
Krisna menepis dan kami kembali tertawa riuh. Kecuali Mahmud.
"Ty! Lo jangan lempar-lempar sampah dong. Kan susah ngeberesinnya"
Kalau mau main, yang lain saja kenapa sih?" tegur Mahmud.
"Emang enak dimarahin Mahmud?"tukas Lia geli. Anty monyong lagi.
*** Sekitar pukul lima sore kapal berhenti di Tanjung Balai Karimun. Biarpun
namanya transit, kami gak bisa lenggang kangkung seperti kalau lagi tarnsit
naik pesawat terbang. Itu karena pelabuhannya kecil dan air lautnya terlalu
rendah sehingga kapal yang sudah tua dan kurang terawat ini tidak bisa


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merapat. Penumpang yang mau turun di Tanjung Balai Karimun untuk
meneruskan ke Batam atau Singapura harus berjuan untuk keluar dari KM
Sinabung. Untuk sampai ke dermaga mereka harus merayapi jala-jala putih
panjang yang dibentangkan mulai dari pintu keluar kapal hingga ujung
dermaga. Maka merayaplah ratusan penumpang lengkap dengan barangbarang bawaannya.
Yang memalukan, akibat terlalu pengen ngeliat proses penumpang
merayap sembari bergelantungan, juga pengen tahu pelabuhan Tanjung
Balai Karimun, aku terlalu bersemangat ketika membuka pintu dek
sehingga pegangannya copot. Duh! Untunglah Mahmud segera
menampilkan talenta pertukangannya untuk mereparasi kerusakan itu.
Sekarang dari luar dek kami bisa menyaksikan proses keluarnya
penumpang. Sungguh bukan pemandangan yang lazim.
"Kayak spiderman melayu, ya?" kataku bengong.
"Spiderman apaan" Itu sih poengungsi Vietnam," kata Krisna geli.
"Kebanyakan nonton film lo," jawabku.
Tiba-tiba Kelly muncul dengan bersorak, "Hore! Penumpang di seberang
kita sudah lenyap. Mereka turun di sini."
"Berati mereka TKI yang mau ke Singapura dan Malaysia, ya?" tebak Lia.
"Mungkin juga hanya sampai Batam. Katanya di Batam banyak lapangan
pekerjaan, tapi banyak juga yang jadi perek," kataku menambahkan.
"Kebanyakan baca koran lo," balas Krisna jail.
"Si Adi dan Nidya berduaan melulu apa gak bosan, ya" Bukannya malah
bikin orang jadi curiga" Masa mereka gak sadar sih?" ujar Kelly setengah
berbisik. "Jangan keras-keras dong kalo ngomong. Kan ada mereka," timpal Anty
sambil melirik ke arah Sandro, Krisna, dan Mahmud yang lagi duduk-duduk
di tangga. "Untung anginnya kenceng, jadi mereka gak dengar," tambah Anty.
"Eh, suara gue emang udah pelan. Kuping lo aja tuh, yang jadi supersonik
begitu denger gosip," protes Kelly.
Begitu Mahmud mendatangi kami, kami langsung mengunci mulut kami
rapat-rapat. "Kel, di dalam sepi, ya?" tanya Mahmud pada Kelly.
"Cuma ada Adi dan Nidya. Penumpang di seberang udah turun semua.
Jorok banget, lagi. Sampahnya berserakan ke mana-mana,"jawab Kelly.
Kelly benar. Penumpang calon TKI itu makan dan buang sampah seenaknya
doi sekitar mereka. Tanpa merasa risih mereka tidur dikelilingi sampah kulit
kacang, bungkus permen, dan makanan ringan lain. Padahal di sebelah
kanan mereka ada tempat sampah. Apa susahnya buang sampah ke dalam
tong plastik yang besar itu"
Tanpa bicara apa-apa, begitu mendengar kalimat "sampah berserakan",
Mahmud langsung kembali ke dalam dek. Pasti dia mau berbenah. Mana
betah dia melihat lingkungan di sekitarnya kotor dan tidak nyaman"
Pembicaraan kami tentang pasangan terheboh kali ini harus terhenti karena
ada Krisna dan Sandro. Menurutku tinggal Krisna yang belum kuketahui
minat hatinya pada Nidya. Sandro sudah bisa disebut semi mata-mata
bagiku. Bingung mau ngomong apa, kami malah terdiam. Jangan-jangan beneran
ada setan kapal yang lewat. Tiba-tiba terdengar suara sumbang dari atas.
Suara bapak-bapak yang dengan pedenya nyanyi lagu You Raise Me Upnya Josh Groban yang sama sekali tidak mirip. Ampun deh... Sudah
sumbang, membehana ke sekeliling, lagi. Kami jadi ngakak. Kok ada ya
orang yang pedenya gak ketulungan sampai mengorbankan gendang
telinga orang lain" Karena di atas ada ruang khusus untuk bar dan karaoke, biasanya suara si
penyanyi terdengar sampai ke dalam dek. Tapi itu masih bisa ditolerir
karena suaranya sayup-sayup. Tapi ternyata kalau dari luar dek, kencengnya
sama seperti suara gajah ngamuk.
"Gue jadi ingat, di sebelah bar kan ada bioskop. Filmnya apa aja sih?" tanya
Anty antusias. "Kenapa" Lo mau nonton?" tanyaku sinis. Sandro senyum-senyum. Rupanya
dia mau mengatakan hal yang sama denganku tapi keduluan.
"Ada film horor tapi gue lupa judulnya. Ada dua studio. Beneran, Ty, lo mau
nonton?" Lia ikut menggoda Anty yang selalu jadi bulan-bulanan.
"Gue cuma nanya. Memangnya gak boleh?" jawab Anty sewot.
Harga tiket bioskop hanya empat ribu perak. Di depan bioskop terpasang
tirai beludru merah yang sudah lusuh, bahkan bagian bawahnya seperti
sudah digigiti tikus. Kesannya lkumuh dan menyeramkan. Jangan-jangan
kalau pas film pembunuihan, yang nonton tidak bakal bisa keluar hiduphidup.
Seolah bisa membaca pikiranku, Krisna menambahkan, "Ntar posternya film
horor, eh...pas di dalam ternyata yang diputar film porno. Wah, seru juga.
Banyak kan, bioskop di pinggiran Jakarta yang posternya A tapi di
dalamnya muncul potongan-potongan film porno."
"Jadi fil horno dong," tambahku. "Kok lo tahu sih, Kris" Jangan-jangan lo
pernah ngalamin ya?" tanyaku lagi.
Krisna hanya senyum-senyum penuh arti.
*** "Bravo! Luar biasa!" pekik Kelly saat melihat penampilan "tempat kami".
"Bagus. Bagus. Well done." Krisna bertepuk tangan.
Mahmud tersipu dipuji seperti itu. Memang daerah kami di dek berubah
menjadi begitu bersih. Tak ada satu pun sampah yang berceceran.
Sebetulnya ada petugas kebersihan yang datang lengkap dengan kantong
sampah dan penyedot debu, tapi karena kami berada di lantai kedua dari
atas, tukang bersih-bersihnya belum datang. Nah, daripada menunggu,
beraksilah Mahmud mengambil alih segala pekerjaan itu. Tukang sapu yang
datang belakangan sampai terbengong-bengong melihat resiknya tempat
kami sehingga pekerjaannya berkurang. Kata Anty, mata tukang sapunya
sampai berkaca-kaca saking terharu.
Omong-omong, ngapain aja Adi dan Nidya selama Mahmud
membersihkan wilayah kekuasaan kami" Entahlah.
Sambil menyongsong malam tiba, kami berinisiatif mengadakan lomba
makan kuaci. Sambil mengupas kuaci, para cewek minus Nidya,
memperhatikan gerak-gerik Nidya. Kadang secara tak sengaja Adi merebut
kuaci dari genggaman Nidya.
"Kayak sinetron di TV, ya?" bisik Anty padaku.
"Gue belum pernah liat sinetron yang ada rebutan kuacinya," jawabku tak
kalah pelan. "Itu kan cuma perumpamaan," protes Anty.
Aku melirik Sandro. Dia juga menatapku seolah memberi kode. Sekilas aku
melihat tatapan kecewa dan marah dari salah seorang cowok sewaktu
melihat adegan mesra barusan. Tapi mana mungkin" Jangan-jangan itu
perasaanku saja. Karena belum yakin, aku memutuskan tidak menceritakan
hal yang kulihat barusan pada yang lain. Aku harus lebih awas, tapi
sebaiknya konsentrasi dulu pada perlombaan makan kuaci ini walaupun
sudah dapat dipastikan Anty-lah sang juara karena dia memang
kuacimania. Malam akhirnya tiba. Cuaca di luar kurang bersahabat. Angin kencang dan
hujan membasahgi bagian dek yang biasa kami jadikan tempat nongkrong.
Akibatnya, kami terkurung di dalam saja. Hanya bisa rebahan dan ngobrol
seadanya. Sempat diselingi dengan pemeriksaan tiket oleh seorang perwira
kapal. Semua pintu dijaga oleh anak buah kapal untuk mencegah
penumpang gelap yang bakal kabur dari pemeriksaan. Mereka memasang
tampang garang, namun kami tidak takut. Kami kan punya tiket.
Saat sang perwira sedang memeriksa tiket kapal dengan wajah superserius,
tiba-tiba Krisna kentut. Bunyinya mendecit-decit dan berentetan. Tawa kami
langsung meledak sementara Krisna tersipu malu. Tanpa dikomando, kami
kabur menjauh dari pusat ledakan gas beracun itu karena baunya persis
sampah yang sudah sebuilan tak diangkut!
"Buset! Bau mulut naga nih. Makan apa sih sampai baunya kayak begini?"
protes ABK yang juga ikut bubar karena terkena bau kentut Krisna.
Sang perwira pemeriksa tiket ikut tertawa dan rombongan pemeriksa itu
memutuskan segera pergi daripada harus pakai bantuan oksigen. Krisna
segera membuka pintu dek supaya angin lautnya bertiup membawa bau
kentut busuknya itu. Menebus rasa bersalahnya mungkin.
Lima menit berlalu. Bau bangkai dari bokong Krisna sudah menghilang.
Kami kembali rebahan sambil tertawa-tawa kecil.
"Sori, sori. Gue nahan boker udah dua hari. Kalau gak ada yang lagi periksa
tiket, kan gue bisa keluar dulu. Memang apesnya mereka saja," kata Krisna
geli. Adi-seperti biasa, agak telat- masih tertawa seru. Padahal kami sudah mulai
diam dan memikirkan topik lain untuk dibicarakan. Nidya menyodok
lembut lengan Adi. Ehm! Posisi tidur malam terakhir di kapal sedikit berubah. Adi berada di paling
kiri, dekat pintu ruang perwira. Disebelahnya berturut-turut ada Nidya, Lia,
Kelly, aku, Anty, Krisna, Sandro, dan terakhir Mahmud yang tidur tak jauh
dari kantong isi sampah miliknya.
"Sebenarnya, Ty, gue agak keberatan tidur di sebelah lo. Pertama, kaki lo
nendang-nendang melulu. Kedua, kepala lo sering nempel atau lebih
tepatnya nyeruduk tengkuk gue. Ketiga, li sering ngibas-ngibas rambut lo
yang kayak kemoceng itu ke muka gue. Buset, dosa apa sih gue" Plis deh,"
kataku miris sementara yang lain malah tertawa geli.
"Ah, masa sih gue selasak itu" Kan gue gak sadar, Sa," kata Anty manja.
"Justru itu gue kasih tau supaya lo sadar dan mengendalikan diri sewaktu
tidur. Apa perlu gue rekam supaya ada bukti autentik?" balasku.
"Tapi, gue cuma makan korban satu orang. Coba liat tuh Sandro dan Krisna
yang tidurnya pada ngorok. Kita semua serasa tidur di kandang babi," Anty
membela diri. "Enak aja. Satu korban gimana" Kemarin gue kena tamparan lo. Tangan lo
kalo lagi tidur bergerak ke mana-mana, termasuk ke muka gue. Gue dan
Sandro kan cuma polusi suara, lo tuh udah termasuk kekerasan dalam
rumah tangga!" protes Krisna.
"Ha" Masa sih tangan gue ke muka lo" Jangan-jangan lo yang ngambil
tangan gue ke pipi lo soalnya lo kan lagi bete, buruh tatih tayang," protes
Anty tak mau kalah. "Iya, gue emang butuh kasih sayang, tapi bukan dari lo," ujar Krisna cepat.
"Ceile... Butuh kasih sayang dari siapa nih?" pancing Kelly jail.
"Mau tahu aja," jawab Krisna centil. "Pokoknya, Ty, kalo lo tidur masih gak
bisa anteng, ntar lo gue iket pakai tali rafia si Mahmud."
"Hati-hati lho, Ty. Kalo besok pagi lo sudah gak bernyawa, berati ada dua
tersangkanya, Krisna atau Clarissa," tiba-tiba Adi berkomentar.
"Apa sebaiknya gue pindah posisi tidur ya, untuk menyelamatkan jiwa
gue?" Anty bertanya sok bingung.
"Jangaaan!" teriak yang lain.
"Sudah, lo tidur di situ aja. Kalo emang mau pindah, mending lo tidur di
luar dek sana!" usir Kelly garang.
Kami, termasuk Anty yang terus jadi bulan-bulanan karena kelakuannya
yang sok lugu, tertawa heboh.
Bicara tentang kepolosan Anty memang tidak ada habisnya. Pernah lagi
pelajaran matematika, tiba-tiba Shirley lari ke tempat sampah dan muntah.
Rupanya dia masuk angin setelah pelajaran olahraga lari 400 meter.
Sementara murid lain bingung, tak tahu harus berbuat pa, Bu Ina berkata,
"Siapa yang piket" Tolong dibantu."
Saat itu kebetulan Anty yang piket. Begitu mendengar perkataan Bu Ina,
Anty nergegas berjalan ke depan. Namun, bukannya membawa Shirley ke
ruang UKS, Anty malah mengambil penghapus dan menghapus papan
yang berisi rumus-rumus matematika. Satu kelas langsung menjerit-jerit
karena belum selesai menyalin.
"Anty, siapa yang suruh menghapus papan" Maksud Ibu, tolong bantu
Shirley," kata Ibu Ina sambil geleng-geleng kepala.
Anty yang gugup karena malu buru-buru merangkul Shirley ke ruang UKS
sambil membawa...penghapus papan! Kali ini kami sekelas tertawa sampai
sakit perut. *** Saat kami hampir terlelap, ponsel Anty bergetar keras. Dia segera membaca
SMS-nya lalu secara sembunyi-sembunyi menunjukkannya padaku. Dari Lia.
Nidya dan Adi bobo sambil pegangan tangan.
Aku dan Anty bertatapan. "Nanti kalau yang lai sudah tertidur lelap, kita foto mereka yuk. Untuk
barbuk," bisikku. "Barbuk, apaan tuh?" tanya Anty dengan muka bengong.
"Barang bukti!" jawabku sewot.
"Setuju," jawab Anty semangat.
Setelah menunggu setengah jam, mulai terdengar suara ngorok Krisna dan
Sandro bersahut-sahutan bagai simfoni kandang babi. Itu berarti situasi
aman. Pelan-pelan aku bangkit dan berjalan hingga berada di hadapan Adi
dan Nidya yang tidur bergenggaman tangan. Klik. Klik. Klik. Tiga gambar
rasanya cukup. Adi bergerak-gerak. Aku langsung ngibrit ke tempatku.
"Lihat. Lihat," rengek Anty dengan wajah penuh gosip.
Aku memberikan ponselku pada Anty. Jail banget ya aku. Teman sendiri
dicuri-curi gambarnya. Tapi kalau memang teman, siapa suruh mereka
menutupi hubungan" Jangan-jangan mereka sudah pacaran tapi tidak
mengaku" Ah, lebih baik sekarang tidur. Besok siang kami akan sampai di
pelabuhan Belawan, Medan.
Bab 3 Bukan Kacung Biasa Hari ketiga Keceriaan semakin menjadi-jadi karena sebentar lagi kami tiba di
pelabuhan Belawan. Bau apak badan akibat tidak mandi tiga hari berbaur
dengan rasa was-was akibat menahan gejolak perut. Perut rasanya seperti
diubek-ubek dan penuh banget, tapi Krisna terlihat lebih ceria karena sudah
berhasil mengosongkan perut saat subuh.
Pukul sepuluh kapal memasuki perairan pelabuhan Belawan. Tapi kapal
baru bisa merapat ke dermaga dua jam kemudian. Kelly sibuk mengirimkan
SMS ke sepupunya yang tinggal di Medan dan memintanya segera
menjemput kami di pelabuhan. Ternyata sepupunya sudah menunggu dan
membawa van. Sambil menanti kapal merapat, kami langsung pasang aksi, foto-foto
bersama. Mahmud berinisiatif mengambil alih tukang potret dengan alasan
dia malas difoto karena tidak ada gunanya. Terserahlah. Karena kegiatan
foto-foto, aku jadi ingat foto yang semalam kuambil sembunyi-sembunyi.
Iseng-iseng, sambil masuk lagi ke dek, aku menghampiri Adi dan Nidya.
"Gue punya foto oke," kataku pada Adi dan Nidya.
"Foto mesum, ya?" Adi langsung nyeletuk.
"Ngeres lo!" sahut Nidya.
"Seru deh pokoke," celetuk Adi yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
"Kirim dong ke gue," pinta Nidya yang mulai tergoda untuk tahu.
"Enak aja. Eksklusif nih. Ntar aja lo liat di HP gue," jawabku.
"Pelit." "Bodoh amat. Sabar dikit napa she?" aku berkelit.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri gitu?" Adi menatapku sambil
mengangkati tas Nidya. Apa gak bosan dan risi ya, kemana-mana nempel
berduaan melulu" Jangan-jangan sampai di Medan mereka mau bikin
pengumuman ke kami kayak jumpa pers artis di infotainment itu.
"Lo juga sering senyum-senyum sendirian tanpa sebab, kan?" jawabku asalasalan.
*** Horeee! Akhirnya kami sampai di medan. Usai sudah perjuangan awal kami
mengarungi lautan. Cocok deh seperti syair lagu "Nenek moyangku orang
pelaut, gemar mengarungi luas samudra..."
Dengan di antar sepupu Kelly yang bernama Egia, kami menuju rumah Kelly
yang kosong. Keluarga Kelly memang sudah pindah ke Jakarta, tapi kalau
liburan masih sering ke Medan sehingga rumah itu tidak dijual. Apalagi
rumah kakek-neneknya hanya berjarak empat rumah dari rumah Kelly
sehingga mereka masih bisa mengawasinya.
Untung juga ada Egia dan keluarganya. Ibunya, yang kami panggi "Tante
Arta" sudah membelikan nasi lemak yang porsinya besar. Kami makan
sangat lahap. Perut yang sebetulnya kepenuhan menjadi tak terasa karena
air liur sudah keburu menetes melihat tampilan nasi lemak yang lezat.
Benar-benar memuaskan. "Sepi banget rumah lo, Kel," kata Anty.
"Ya iyalah, orang rumah kosong kok," timpal Kelly. "Emang lo maunya
ramai" Lo datang disambut tari Pendet, gitu?" celaku empet.


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah ah, jangan pada berisik. Di mana Mahmud?" tanya Sandro.
Gak tahu," jawab Lia.
"Lagi tugas," kata Kelly sambil mengunyah telur rebus.
"Tugas apaa?" tanya Krisna.
"Ngosek bak mandi. Sudah gue larang tapi dia berkeras, ya sudah," jawab
Kelly acuh tak acuh karena sedang berkonsentrasi penuh pada nasi lemak
di hadapannya. "Tuh bocah kenapa sih?" tanyaku sewot.
"Memang kesukaannya bersih-bersih. Biar saja deh. Kita juga yang untung,"
jawab Adi yang porsi makannya dibagi dua dengan Nidya karena Nidya
merasa kebanyakan. "Bukannya karena dia merasa ada utang sama lo, Kris?" seruduk Anty polos
namun mampu membuat suasana jadi hening.
"Siapa yang bilang?" tanya Krisna judes.
"Gak ada. Gue kan duduk di selahnya waktu dia telepon lo soal uangnya
yang masih kurang untuk jalan-jalan ini. Terus katanya lo mau ngasih
pinjaman lunak gitu, sambil maksa dia tetep ikut supaya kita full team,"
Anty nyerocos sambil menggigiti kerupuk kayak kelinci.
Suasana makin hening. "Begini. Itu kan mestinya rahasia, tapi karena lo terlanjur ngomong, semua
jadi pada tahu. Bukannya menyalahkan lo, Ty. Emang Mahmud bilang dia
gak bisa bayar penuh, sebagai gantinya dia menawarkan bantu-bantu
keperluan kita. Ya sudah, gue mau bilang apa" Dia ngotot begitu. Dia
pengen ikut tapi biaya kurang. Kan kita malah untung ada dia yang mau
ngerjain tetek-bengek. Serius, gue gak nyuruh lho, dan jangan ada yang
omongin masalah utang di depan Mahmud. Gak etis aja," tegas Krisna.
"Beres deh. Tapi kalau kita gak ngeledekin dia, bukannya malah aneh"
Rasanya kan gak wajar dia berbenah melulu," imbuh Lia.
"Terserah kalian mau bagaimana, tapi jangan keceplosan ngomong utang
segala. Kalau dia nyangka gue yang nyebarin, gimana?" kata Krisna.
Kami mengangguk-angguk sambil terus makan dengan lahap. Tak lama
kemudian Mahmud datang hanya mengenakan celana pendek dan
bertelanjang dada. Kami segera mengganti topik pembicaraan.
"Makan dulu, Bro. Lo kerja keras banget ya. Nih, makan dua porsi. Punya
Nidya kan dibagi dua dengan Adi, jadi lo bisa makan dua. Siapa tahu
setelah ini ada pekerjaan lain yang lebih penting. Hehehe...," kata Sandro
sok peduli dengan senyum dibikin-bikin.
"Beres. Beres. Gue babat semua. Sa, lo katanya mau mandi. Bak mandinya
lagi diisi tuh," kata Mahmud cerita.
"Iya nih, abis makan, gue mandi duluan, ya" Abis itu gue mau langsung
bobo," kataku centil.
"Eh, enak aja lo mau langsung tidur. Gak inget janji lo sama gue?" protes
Sandro. "Cieh... janji apaan" Kayaknya ada kisah khusus nih," ledek Nidya.
"Gak kebalik?" sambar Sandro. Muka Nidya lkangsung merah dan tersipu.
Adi menatap tajam nasi lemak di hadapannya. Sementara cowok yang
satunya lagi, yang kucurigai naksir Nidya juga, menggertakkan gigi.
"Tenang aja deh, Ndro. Merpati tak pernah ingkar janji," jawabku sambil
pergi ke kamar untuk menyiapkan alat mandi.
"Sinetron banget lo," celetuk Krisna.
*** Menjelang sore kami semua sudah mandi, keramas, dan tentu saja
menguras isi perut dengan perasaan merdeka. Wangi semua. Akibatnya,
baju kotor menumpuk sementara mesin cuci tak ada. Semua berencana
mencuci besok pagi sambil mandi setelah tenaga pulih. Hari ini kami tidak
pergi ke tempat yang jauh. Masih capek dan ingin memuaskan rindu pada
kasur dan bantal empuk. Agak sorean kami akan jalan kaki ke Medan Plaza.
Sekalian cari makan malam.
Para cowok tidur sekamar berempat. Sedangkan kami, cewek-cewek,
sekamar berlima. Kalau ada yang keberatan tidur ramai-ramai, silahkan
tidur di sofa tamu. Kamar orangtua Kelly tidak boleh dipakai.
Lagi enak-enak rebahan, Mahmud menyapa di depan pintu kamar. "Cewekcewek, ada yang mau nurunin celana jins gak" Kalau ada, sekalian nih, gue
mau nyuci," ujarnya sambil cengengesan.
"Yang bener lo, Mud?" tanya Kelly girang.
"Sudah deh, lo gak usah basa-basi. Gue titp jins gue," jawab Anti cuek
sambil menyerahkan jins apak ke Mahmud.
Karena Mahmud terus meyakinkan bahwa dia tak masalah mencuci
sembilan jins, akhirnya kami merelakan semua jins yang kami pakai dari
Jakarta untuk dicucinya. Begitu Mahmud pergi, kami langsung menggosip.
"Kasihan lho Mahmud," kata Nidya sambil memakai selimut kembali.
"Kasihan apanya. Dia yang maksa. Kalau kita menyuruh dia mencuci, baru
kasihan. Tapi kalau dia sendiri yang kepengen, gimana" Masa salah?"
jawabku masa bodoh. "Iya. Bodo amat. Lama-lama kelakuan dia kayak babu," timpal Anty. Kami
langsung tertawa ngakak. "Kasar banget omongan lo, Ty! Tapi lucu juga sih," kata Lia sambil nyengir.
"Istilah babu, jongos, kacung, kan udah gak lazim dipakai, serasa zaman
perbudakan" kataku tak kalah geli.
"Salah dia sendiri. Bukannya bersikap biasa saja. Kita kan teman-temannya,
kok dia malah milih memperbabu dirinya sendiri. Padahal Krisna uang
meminjamkan uang padanya bersikap biasa aja," sambung Kelly.
"Kayak orang lagi cari muka aja," tambah Anty.
"Kok lo ketus banget sama Mahmud" Cari muka sama siapa?" tanya Lia
heran. Mungkin Lia merasa Anty sudah keterlaluan.
"Sama Nidya dong," ujarku membelokkan pembicaraan yang kacau itu.
"Lho, kok sama gue" Ngaco lo!" Sekarang Nidya melotot padaku.
"Duileh, Neng, segitu galaknya. Habis lo berduaan melulu sama Adi,"
tembakku pada Nidya. "Masa gue berduaan melulu?" Nidya langsung panik.
"Ampun deh, Nid. Di kapal lo kan berduaan mulu sama Adi. Memangnya
ada penampakan di sekitar kalian sampai lo gak ngerasa lagi berduaan?"
serang Kelly cuek. "Kalo benar lo dan Adi jadian, kami juga mendukung kok, Nid," Lia
berusaha meredam minat gosip kami yang mulai meninggi.
"Iya, gak apa-apa, Nid," imbuh Anty yang langsung duduk di kasur akibat
terlalu bersemangat bergosip.
"Tau ah. Gue gak ngerti. Gue dan Adi memang dekat," jawab Nidya
bingung. Mungkin dia merasa sedang disidang.
"Sudah jadian atau belum?" tanyaku tanpa basa-basi.
Nidya tidak mengiyakan, tidak juga mengelak pertanyaanku. Wajahnya
agak bingung. "Kenapa gak langsung jadian aja, Nid" Ada cowok lain yang demen sama
lo, ya?" Aku yerus menembakkan peluru pertanyaan mumpung momennya
lagi tepat dan Nidya lagi kejepit.
"Kok lo bisa nebak sih?" balas Nidya padaku dengan tatapan heran. Anty
panik karena yang tahu hal itu hanya dia.
"Namanya juga nebak, bisa benar, bisa salah. Kalo gue lihat, lo tuh raguragu, padahal kayaknya Adi suka banget sama lo," aku berkilah guna
mengamankan Anty. "Memang kelihatan banget ya Adi suka sama gue?" Nidya balik bertanya.
Nadanya terdengar agak bangga setelah mendengar penjelasanku barusan.
"Kelihatan lah. Dia kan rada bolot. Tapi kalau mengurusi keperluan lo
sepertinya sigap banget. Kayaknya kepeduliannya pada lo melebihi
perhatiannya pada dirinya sendiri," tambah Kelly.
"Jadi, siapa cowok lain yang naksir lo?" tanya Lia to the point.
"Gue gak bisa bilang," jawab Nidya dengan tampang bete.
"Ya sudaj deh, kalau gak mau diperiksa jangan dipaksa. Terserah lo, mau
cerita syukur, gak mau juga gak apa-apa. Kami kayak infotainment saja,"
kataku. "Gak penting juga," tambah Kelly.
"Memang lo gak risi ya, berduaan melulu dengan Adi?" tanya Anty heran.
"Mmm... Gimana ya" Ini bukan masalah risi atauy gak, Adi yang pengen
nemenin gue terus," jawab Nidya canggung.
"Oh, jadi buka lo yang pengen ditemenin" Kalau Adi mau ninggalin lo
sendiri, boleh?" tanya Kelly.
"Boleh aja," jawab Nidya.
"Karena lo belum ada hubungan apa-apa dengan Adi, berati kami tetep
boleh dong pergi berduaan dengan Adi, dan lo gak marah, kan?" Kali ini
aku memastikan. "Yah... Gak apa-apa," kata Nidya pelan.
Mmm... Tanda-tanda menjawab yang tak jujur.
*** Di Medan Plaza kami hanya muter-muter lalu ke kedai jus. Kami mencoba
jus terong Belanda, buah khas Medan yang direkomendasikan Kelly.
Rasanya seperti tomat dan bentuknya juga seperti tomat keterongterongan. Lumayan, lezat juga. Lia sampai ketagihan dan memaksa besok
harus kembali lagi ke kedai jus ini. Sebetulnya dia kepengen bikin sendiri,
tapi di rumah Kelly gak ada blender. Bisa juga sih beli yang sudah
dibotolkan kayak sirop walaupun gak sesegar jus.
Kami batal mencoba makan malam di mal karena nenek Kelly minta kami
makan di rumahnya. Dalam perjalanan menuju rumah nenek Kelly, Sandro
menarikku agar berjalan paling belakang bersamanya.
"Eh, mana janji lo?" todong Sandro perlahan.
"Iya, iya. Gak sabaran amat jadi orang," kataku sambil menyerahkan
ponselku ke Sandro. Dengan cekatan dia langsung mengambil ponselku,
membuka menu foto, lalu mencari foto Nidya dan Adi. Sambil melihatnya
dia senyum-senyum. "Bagus. Bagus. Ntar malam gue mau interogasi Adi, ah," kata Sandro sambil
mengembalikan ponselku. "Nidya tadi sudah kami tanya, tapi belum mau ngaku. Dia menegaskan lagi
memang ada cowok lain yang suka sama dia. Masa sih cowok itu di antara
kalian?" tanyaku bisik-bisik.
"Gue jelas bukan. Krisna kayaknya gak. Mahmud" Mana mungkin. Atau,
mungkin cowok-cowok di kelas kita, ya?" Sandro balik bertanya.
"Mana gue tahu. Lo cari tahu juga dong," jawabku mencibir.
"Dasar cewek-cewek tukang gosip," rutuk Sandro sewot.
"Sama. Cowok-cowok bawel," kataku sengit.
"Heh, itu berdua di belakang ngapain" Berantem melulu kerjaannya," kata
Anty usil. Aku dan Sandro hanya diam sambil terus berjalan.
*** Ruang keluarga rumah Kelly.
Kami semua rebahan di tikar sambil nonton TV. Perut kami amat kenyang.
Tadi nenek Kelly menyediakan kami dua jenis makanan, gulai pagar puri
bagi yang suka daging kambing, dan kari ayam. Kari ayam bisa dimakan
dengan nasi putih, bisa juga dengan bihun. Rasanya sedap banget dan
tambah segar dengan adanya minuman markisa dingin.
Terus ada tuak ala Medan. Kami nyobain ramai-ramai. Karena kata Bulangbegitu kami memanggil kakek Kelly-tidak boleh banyak-banyak, jadilah
segelas kecil diminum bersembilan. Kami juga dibagi batangan tebu untuk
diisap-isap. Mmm...lucu juga.
Masih ada lagi yang lucu. Ternyata bentuk ulekan di Medan berbeda
dengan yang biasa kami gunakan di rumah. Ulekannya bulat, kayak batu
biasa. Tapi Kelly maraj-marah dengan ketertarikan kami. "Kalian kira rumah
nenek gue museum purbakala," begitu protesnya.
Waktu acara makan malam tadi kami sempat kesal sama Mahmud.
Kelakuannya yang ringan tangan itu lama-lama seperti cari muka yang
overdosis. Cari perhatian. Di rumah Bulang tersedia banyak kursi, tapi dia
malah duduk di lantai. Begitu selesai makan, dia nyuci semua piring.
Pembantu Bulang sampai bengong karena pekerjaannya diserobot
Mahmud. Sekarang, selagi kami nonton TV, tahu gak Mahmud ngapain" Mereparasi
remote control TV yang rusak! Aku dan Anty saling senggol kaki. Mungkin
dalam hati kami sama-sama menyumpahinya, "Dasar carmuk!"
Daripada sebal sama ulah Mahmud, mending pikiranku kualihkan pada
urusan investigasi penggemar Nidya yang masih misterius. Cuma,
bagaimana menemukannya" Selama di rumah Kelly, Adi dan Nidya tak
terlalu lengket. Mungkin keduanya takut didakwa melakukan tindakan
senonoh di rumah Kelly sehingga rada mengerem keinginan berduaan.
Kami semua yakin, Kelly pasti akan mengamuk bila terjadi hal yang tidak
pantas di rumah orangtuanya.
Mungkinkah cowok misterius yang mengejar Nidya sudah melakukan
tindakan gerilya hingga Nidya agak menjauhi Adi" Rasanya aku ingin
menuntaskan teka-teki ini dengan segera. Tapi kapan" Atau... Sebaiknya
biarkan saja tetap begini sampai liburan selesai. Kami masih akan bersamasama di tanah Sumatra ini selama dua minggu. Seandainya dalam kurun
waktu tersebut si cowok misterius keburu ketahuan, aku takut suasana
kebersamaan kami menjadi tidak enak. Malah jangan-jangan ada yang
berantem. Kacau, kan"
Karena malas nonton TV, aku ke kamar duluan. Rebahan. Satu per satu
teman yang lain juga bubaran. Memang sebaiknya kami segera tidur
setelah perjalanan melelahkan tiga hari dua malam di kapal.
*** Hari keempat. Pukul 06.20. Aku meraih HP-ku. Ada SMS masuk. Ternyata Sandro mengirim
SMS semalam saat aku sudah tidur.
Adi bilang cm tmn dkt. Blm jadian.
Mmm, rupanya mereka belum jadian. Perjalanan masih panjang dan bakal
seru nih. Aku mengulet. Yang lain masih tertidur pulas. Lia sudah bangun
tapi masih merem melek. Pukul 08.30. Satu persatu mulai bangun dan langsung mandi. Mahmud
sudah menyiapkan seteko kopi kental. Dia memang bangun paling pagi
dan nyapu-nyapu rumah. Benar-benar ajaib tu anak.
Tapi suasana pagi ini terasa agak kurang enak gara-gara Sandro
memanggil Mahmud dengan sebutan "kacung". Memang nada dan
maksud Sandro bercanda, tapi malah bikin suasana jadi garing. Apakah
Sandro juga merasa Mahmud cari muka" Atau memang Sandro asal njeplak
dari mulutnya yang nyonyor itu"
Aku melirik ke Mahmud yang tampangnya terlihat tak tersinggung. Dia
asyik meenyantap nasi lemak sambil nonton TV. Tapi kami kan gak tahu
hatinya. Siapa tahu perasaannya hancur berkeping-keping dikatain
"kacung". Buatku, salah Mahmud sendiri karena tak bisa bersikap biasa aja
dan sengaja repot-repot mengurusi kami. Bisa dimaklumi bila Sandro
sampai mengatai dia begitu.
"Hari ini kita mau ke mana?" tanya Lia berusaha meredam insiden kacung di
pagi hari yang cerah itu.
"Katanya ke Istana Maimun" Malamnya kita ke Kampung Keling," ajak Kelly.
"Kenapa mesti malam?" tanya Krisna.
"Tempat makannya bukanya malam, kayak di Pecenongan. Siangnya kita
makan di rumah Bulang aja supaya irit. Lalu ntar sore enaknya ngapain?"
Kelly balik bertanya. "Tidur siang," jawab Anty.
"Acara bebas aja," kata Adi.
"Bebas ngapain?" selidik Kelly.
"Yah... Suka-suka kita. Mungkin Anty mau tidur siang, gue mau jalan-jalan
ke mal, yang lain mungkin punya rencana sendiri," jawab Adi pelan.
"Jangan misah-misah dong. Kita kan dari Jakarta bareng, masa sampai di
Medan malah jalan sendiri-sendiri. Yang lain ada rencana ke mana?" tanya
Sandro. "Gue ke mal," jawab Nidya.
"Lo mau ngapain, Sa?" Anty bertanya padaku.
"Tidur siang boleh, ke mal juga oke. Pokoknya kita semua bareng aja,"
kataku sambil merebahkan diri ke sofa.
"Sekarang kita ke Istana Maimun, nanti siang ke mana atau ngapain, lihat
nanti aja," Lia mencoba menengahi.
"Oke. Sekarang siap-siap yuk," kata Krisna.
Adi dan Nidya bertatapan. Mungkin mereka kecewa dengan keputusan
yang tidak mendukung rencana jalan sendiri-sendiri itu. Biara ja. Kalau mau
cari momen jadian, jangan di sini deh. Gak seru. Bikin risi yang lain dan
terutama bikin mupeng! *** Kami ke Istana Maimun naik angkot. Sepanjang perjalanan kami diiringi
lagu-lagu ABG-Angkatan Babe Gue-dengan top hits-nya Pance Pondaag.
"Memang gak ada lagu lain yang sesuai perkembangan zaman, ya?" tanya
Krisna melotot. Kami ngikik melihat tampang sewot Krisna.


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah bagus ada musik. Jangan protes melulu ah. Ntar lo di hajar
abangnya," kataku geli.
"Lagian milih lagu gak up-to-date banget sih," kata Krisna sambil
membuang pandangan ke luar angkot.
"Aku duduk tepat di belakang sopir angkot. Aku mengamati tempat
penyimpanan kaset. Ampun deh, isinya kaset-kaset Pance Pondaag dan
Panbers. Kuno, tapi di sini kok masih laku ya, padahal zamannya sudah
lewat" Terakhir aku baca di koran yang namanya Pance Pondaag sudah
meninggal dunia karena stroke.
"Gak apa ah, Kris. Lagunya enak-enak kok, sesuai dengan suasana hati,"
imbuh Anty. "Suasana hati siapa?" tanya Krisna sengit.
"Kok lo sewot gitu sih" Namanya juga lain daerah, ya lain gayalah. Kan ada
pepatah: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya," balas Anty tak
mau kalah. "Yang lo hafal hanya pepatah yang ada makanannya. Masa semua angkot
begini lagunya?" tanya Krisna ke Kelly.
"Setahu gue sih begitu. Ada juga yang pasang lagu-lagu modern, tapi gak
banyak. Malah seringnya pada masang lagu daerah," jawab Kelly ringan.
"Udah, nikmatin aja, Kris. Lo jangan sok Jakarta deh," kata Nidya dengan
wajah bete. "Wah, ada apa ya" Kok Nidya duduknya misah dari Adi" Terus, Adi kok
duduk mojok seperti tidak ingin ngobrol dengan siapa pun" Kayaknya ada
yang lagi konflik atau mereka lagi pasang aksi tak mau berduaan terus"
Entahlah. *** Nah, itu dia Istana Maimun yang terkenal. Di dekatnya terlihat Masjid Raya.
Tapi ternyata orang Medan tidak mengenal istilah "stop" atau "kiri". Biar
kami sudah teriak-teriak sampe mulut hampir copot, mereka gak bakal
menghentikan angkotnya. Pas kami teriak, "Kiri, Bang. Kiri, Bang!" sopir
angkot bukannya menghentikan angkotnya ke tepi kiri, eh malah
mengarahkan mobilnya ke kanan. Mungkin dikiranya di kiri ada lubang.
Kami bilang "stop" dia gak berhenti juga. Kami tidak berani mengetokngetok atap angkot atau jendela karena Kelly sudah memberitahu di awal
bahwa melakukan ini di sini termasuk tindakan yang kurang sopan. Untung
Kelly segera tersadar dan langsung berteriak, "Pinggir, Bang!"
Dengan sigap abang angkot menghentikan kendaraannya, padahal
gerbang istana sudah terlewat tiga ratus meter! Kami turun dari angkot
sambil tertawa-tawa. Biarpun mesti jalan kaki balik, kami gembira.
"Seru juga, ya," kata Mahmud pada Nidya. Yang diajak ngomong hanya
diam karena sibuk membetulkan ikatan rambutnya. Tak lama kemudian
Nidya memakai kain yang diikat di kepala.
Baru kuperhatikan, semua temanku, kecuali aku, menggunakan bandana,
yaitu kain yang diikat di dahi untuk menutupi kepala bagian atas seperti
memakai topi. Kayaknya tren perjalanan kali ini adalah bandana.
"Kalian perginya disponsori tukang ikat kepala yang di Pasar Baru itu, ya?"
tanyaku saat mendekati tangga istana. Mereka berpandangan dan tertawa
geli. "Iya ya, bener juga. Lo sendiri kenapa gak pakai ikat kepala?" tanya
Mahmud. "Ogah ah. Pakain topi aja kepala gue pusing, apalagi diikat begitu. Bisa
pingsan deh," jawabku rada ketus.
"Ty, lo pakai ikat kepala supaya isi otak lo gak berhamburan ke luar ya?"
goda Sandro. "So what gitu loh! Lo sendiri kenapa pakai ikat kepala" Kanker otak, ya?"
balas Anty tak kalah sadis.
Karena berjalan bersama-sama dan sambil ngobrol pula, tahu-tahu kami
sudah memasuki wilayah istana. Halaman istana cukup luas dan rindang.
Saat kami mau foto bareng di depan istanan, sejumlah anak SD yang lagi
main di halaman malah mendatangi kami dan minta ikut difoto. Krisna
langsung memarahi anak-anak berseragam putih-merah yang malah
tertawa-tawa itu. Kesal karena gak dianggap, Krisna pun memasang muka
supergalak dan mengusir mereka seperti menggebah anak ayam. Karena
badan Krisna gede, mereka pun menjauh. Kini kami bisa foto bersama
dengan tenang. Lagi-lagi Mahmud yang jadi tukang foto.
Sewaktu mau memasuki bangunan istana, pengunjung harus mencopot
alas kaki dan meletakkannya di teras. Juga bayar ongkos masuk ala
kadarnya. Selain melihat-lihat isi perut istana yang tidak terlalu besar,
kegiatan yang paling kami sukai adalah berfoto ria. Biasa, narsismania.
Hehehe... Apalagi foto-foto itu bakal segera kami upload di Facebook.
Di depan singgasana raja. Disediakan dua kursi besar bagi wisatawan yang
mau berfoto dengan latar belakang singgasana. Setelah berfoto ramairamai, tak disangka-sangka Adi mengajak Nidya foto berdua! Aku dan Anty
bertatapan dengan wajah penuh gosip.
"Eh, Mahmud, lo kan tukang foto kita. Sana bertugas," teriak Kelly. Maksud
Kelly cuma bercanda, tapi entah mengapa Mahmud langsung sewot.
"Gue cari WC dulu ah, kebelet pipis nih," kata Mahmud sambil
menyerahkan kamera digital ke Sandro dengan wajah tak acuh.
Kelly masih dengan cuek berteriak lagi, "Pegangan tangan dong! Biar
mesra! Suit, suit!" Muka Adi dan Nidya pun terlihat tersipu. Untung penerangan ruangan agak
redup, jadi muka mereka yang merah kayak udang rebus itu tersamarkan.
"Gue gak ikut-ikut, ya," kata Krisna dengan wajah ingin ngakak.
Anty rupanya tak mau kalah. "Gue juga mau dong difoto berdua. Sama lo
ya, Kris." "Ogah ah. Sana, sama Sandro aja," elak Krisna bergidik.
"Ngapain sih lo, centil banget?" sambar Sandro sewot.
"Mahmud, sini lo! Foto sama gue, ya," rayu Anty pada Mahmud yang baru
balik dari WC. Mahmud mau. Tapi semua seperti sepakat tidak ada yang mau memotret
Anty. Dasar jail. "Iiih! Pada jahat banget sih sama gue!" jerit Anty.
"Sini deh gue potretin. Daripada lo teriak-teriak, ntar kita diusir dari istana.
Bagus cuma diusir, kalau disangka merusak properti istana terus kejepit
singgasana, kan repot, rutukku sambil memotret keduanya.
Puas mengubek-ubek istana, kami sepakat membeli minuman dulu di
depan Masjid Raya yang letaknya tidak jauh dari Istana Maimun. Cuacanya
luar biasa panas. Menyengat sampai ke ubun-ubun.
Kami langsung membeli es kelapa muda. Uniknya, es kelapa mudanya
diberi campuran air jeruk. Sandro duduk di sebelahku dan langsung
berbisik, "Ntar balik ke rumah kita sidang yuk," katanya.
"Tanya yang lain dong, setuju gak. Kalau yang lain oke, gue setuju aja,"
jawabku. "Lo tanya yang cewek, gue tanya Krisna dan Mahmud. Gimana?" tanya
Sandro sambil menyendok kelapa muda.
"Mm... Gue sih oke-oke aja. Tapi ntar dulu deh. Ada yang mau ceritain ke lo.
Penting," kataku pelan.
"Tentang apa?" tanya Sandro heran.
"Berkaitan dengan terdakwa nanti. Sudah deh, nanti gue SMS aja, ya,"
kataku menutup pembicaraan karena Anty dan Nidya mendekat.
*** Dari istana, kami mencari makan siang di Medan Plaza. Bukan itu saja. Kami
juga membeli seabrek kudapan untuk camilan perjalanan dan sirop terong
Belanda yang sedang naik daun di geng kami. Aku sudah mengirim SMS
pada Sandro tentang informasi yang kudapat dari investigasiku sendiri.
Kesahihannya memang masih perlu dibuktikan di sidang yang berlangsung
siang ini di ruang keluarga rumah Kelly. Semua sudah setuju untuk
ngumpul dan ngobrol bareng.
*** Sambil tidur-tiduran di karpet dan masing-masing membawa bantal atau
guling, kami memulai acara kumpul-kumpul alias sidang terdakwa Adi dan
Nidya. "Gue langsung mulai aja ya. Gue terus terang penasaran pada Adi dan
Nidya. Jadian atau gak" Kalau iya, kenapa ditutup-tutupi" Kalau gak,
kenapa berduaan melulu" Katanya kita teman, tapi kenapa
disembunyikan?" ujar Sandro lugas.
"Ampun lo, Ndro. Pakai basa-basi sedikit kenapa sih" Pertemuan di RT aja
pakai MC, masa kita gak. Lo biasa hidup di zaman Homo soloensis sih
makanya sradak-sruduk begitu," serang Anty yang Bapaknya memang
ketua RT. Sandro menarik napas panjang dan hanya geleng-geleng kepala. "Terserah
lo deh." Wajahnya menunjukkan rasa frustasi terhadap Anty.
Adi dan Nidya tidak duduk berdampingan. Di tengah mereka ada Kelly
yang sedari tadi cengar-cengir gak keruan. Mahmud rebahan telentang
sambil memandang lampu di langit-langit. Mungkin dia kelelahan karena
tadi menyiapkan minuman terong Belanda untuk kami sebagai teman
ngemil. "Kami hanya ingin tahu kok. Kalau emang jadian, kami ikut senang. Jangan
sampai lo sudah jadian, tapi karena kami gak tahu, ada di antara kami yang
berusaha mendekati Adi. Si Nidya bisa cembokur. Kan gak asyik," kata Lia
menengahi. Memang dia orangnya senang jadi penengah supaya tak ada
keributan. "Memang siapa yang maua sama Adi, Li?" godaku.
"Kali aja ada yang naksir. Lo katanya demen sma Adi, Ty?" kata Lia iseng.
"Sori ye. Gue senengnya cowok yang teges dan keras," jawab Anty genit.
"Arca-arca di Borobudur pada keras semua. Lo pacarin aja semuanya,"
tambahku kesal. "Oh... Jadi gue kurang tegas, ya?" tanya Adi tegang.
"Sudah tegas sih, tapi tetap aja bukan tipe gue," jawab Anty sekenanya.
Wah, wah, wah, suasana menghangat nih.
"Kok ini ngomongnya ke mana-mana sih" Sudah, jawab dulu pertanyaan
yang tadi. Jadian atau gak?" tanya Krisna.
"Memang penting banget ya sampai kalian pengen tahu begini?" Nidya
balik bertanya dengan agak gusar.
"Kalau gak mau ngasih tahu, ya sudah. Tapi lo jangan berdua-duaan melulu
dong. Gue terus terang risi," tegas Sandro.
Semua terdiam. "Terus, mau lo bagaimana?" Nidya menantang.
"Kok jadi pada berantem" Nid, gue pengen tahu hubungan kalian supaya
posisi kita semua jadi jelas. Kalau kalian jadian kan gue gak kegatelan
gandeng-gendeng Adi. Begitu juga sebaliknya. Dan, ini yang terpenting.
Orang-orang yang ingin mendekati kalian juga bisa menempatkan diri pada
posisi yang pas," kata Kelly kayak lagi khotbah.
"Buset, lo bijaksana banget, Kel! Kita kayak lagi denger siaran radio siraman
rohani Mak Lampir," tambahku geli.
Nidya terdiam. Adi melirik ke arahnya, tapi Nidya tetap tidak bersuara.
"Kalau diam artinya jadian dong," kata Anty ceria.
"Semalam gue udah bilang ke anak-anak cowok, sebenarnya gue pengen
jadian sama Nidya. Tapi Nidya bilang, lihat keadaan dulu." Akhirnya Adi
buka suara. "Nah, berarti jawabannya kan belum jadian. Sudah clear, belum jadian.
Berarti kalian masih benbas diutak-atik," tambah Lia jail.
"Kalau ada yang mau pdkt, masih bisa, ya?" tanya Krisna sok lugu.
"Oh, jadi lo ada hati nih sama Nidya?" cerocos Anty.
"Bukan gue yang ada hati, Anty yang cantik pujaan engkong-engkong
sekampung!" Krisna jadi gregetan.
"Lantas, kalau bukan lo, siapa dong?" tanya Anty dengan wajah bego. Tak
ada yang menjawab. "Eh, Mahmud, lo diam aja mikirin menu makan malam kita, ya?" tanyaku
melihat gerak-gerik Mahmud yang tak wajar.
"Iya, lo jangan diam aja. Biar pembantu, lo juga punya hak bicara kok," kata
Kelly cuek. "Kacau lo, Kel," sela Lia sambil geleng-geleng kepala sementara Mahmud
hanya tersenyum tipis. "Komentar dong, Boy," kata Krisna pada Mahmud.
"Gue komentar apa" Gue ikut aja apa kata kalian deh," ujar Mahmud.
"Mahmud, kalo lo bersikap begitu, lo bener-bener kayak abdi dalem, tahu"
Pokoknya lo harus komentar," kataku kesal dengan sikap Mahmud yang
ajaib itu. "Gimana ya?" kata Mahmud sambil garuk-garuk kepala.
"Atau jangan-jangan lo ada hati ya sama... Adi," tambah Anty konyol.
"Ada hati sama Nidya juga gak apa-apa, kan belum jadian," cecar Sandro.
Senyum di wajah Mahmud tetap ada tapi seperti dibikin-bikin. Aku melirik
Sandro yang tampak puas dengan jalannya persidangan. Dasar sinting!
Tiba-tiba Nidya berdiri dan berlari masuk ke kamar. Kami terperangah dan
saling ppandang. Semua sempat terdiam beberapa saat.
"Nid, lo ngapain sih?" teriak Anty dengan wajah polos.
"Ngambek, kali," jawabku.
"Ah. Norak banget sih. Cengeng," kata Kelly kesal.
"Ya sudah, kita pindah ke kamar cewek aja ngobrolnya," tambah Krisna.
"Mau kalian apa sih?" tanya Adi gusar.
"Cuma mau kejelasan, kalian jadian atau gak," jawab Sandro.
"Kan sudah gue jawab. Apa kurang tegas?" sambar Adu, lalu dia berdiri dan
ke luar menuju teras. "Sudah, bubar deh. Tidur siang aja yuk!" Lia lagi-lagi berusaha menengahi.
"Manja amat sih. Apa susahnya ngomong jujur sama temen sendiri" Heran,
masa malah lari masuk ke kamar" Gue gak respek deh sama orang kayak
begitu," kata Sandro dengan suara keras.
"Sudah, sudah." Mahmud berusaha menenangkan Sandro dan
menggiringnya ke kamar cowok bersama Krisna.
Lia menuju kamar untuk melihat keadaan Nidya. Jangan-jangan Nidya
sudah nangis berember-ember.
Suasana siang itu benar-benar jadi tidak enak. Adi duduk di teras rumah
sendirian. Aku, Kelly, dan Anty masih di ruang keluarga. Kami
berpandangan, tapi malah jadi tertawa ke
cil karena kelakuan semuanya.
"Sekarang bagaimana dong" Kok rumah gue jadi ajang pertempuran?"
tanya Kelly bengong. "Sesekali kan gak apa-apa. Biar jelas semua. Eh, gue mau ngomong nih
sama lo berdua," kataku pelan. "Kayaknya gue tahu deh siapa cowok yang
satu lagi naksir Nidya."
"Siapa" Siapa?" tanya keduanya heboh.
"Tapi ini masih dugaan ya. Gue ngasih tahu kalian supaya kalian juga bantu
mengamati. Nanti kalau gue sendiri yang mengamati, disangka gue yang
naksir, lagi. Kan repot," ujarku pelan sambil agak ngedumel.
"Iya, iya. Cepetan dong, siapa orangnya?" tanya Anty tak sabaran.
"Kacung kita," jawabku sepelan mungkin.
"Serius lo?" tanya Kelly dengan tampang syok.
"Ini kan baru dugaan gue," tambahku sambil membeberkan pengamatanku
selama ini. "Gila! Kalo sampe bener dugaan lo, gue acungi dua jempol deh," kata Kelly.
"Gue jadi penasaran sama si Kacung. Kita pakai kode apa ya supaya kalau
kita lagi ngomongi dia, yang lain gak ngeh?" tanya Anty.
"Benar. Kita mesti punya kode," kataku menyetujui. Tumben ide Anty masuk
akal dan bermutu. "Pance saja," kata Kelly.
Kami langsung tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa Pance?" tanyaku.
"Perjalanan kita kan diiringi lagu Pance Pondaag yang menye-menye.
Memang Mahmud menye-menye, tukang cari muka. Gue kesal sama dia,
kelakuannya berlebihan. Nantu kalau gue suruh ngepel rumah, pasti dia
mau deh. Ih, kayak orang gak punya harga diri aja," kata Kelly jengkel.
"Dia memang suka berbenah, Kel. Cuma kali ini overdosis. Mungkin mau
narik perhatian Nidya." Anty mencoba menganalisis.
"Bisa jadi. Omong-omong, dugaan gue ini sudah gue sampaikan ke Sandro.
Soalnya dia penasaran juga sama percintaan itu. Gayanya aja sok cool,
padahal Sandro tukang gosip juga," kataku geli.
"Wah, bakalan makin seru dong!" tambah Kelly antusias.
"Jelas, apalagi Nidya pakai acara nangis segala. Tambah dramatis, kan?"
kataku. "Iya, nyebelin banget sih. Pakai lari ke kamar segala. Kebanyakn nonton
sinetron tuh anak," tambah Kelly kesal.


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang kita ke kamar dan lihat apa yang terjadi," ajak Anty bersemangat.
Kami bertiga masuk ke kamar cewek dan melihat Nidya sedang telentang
dengan mata sembap sementara Lia di sampingnya diam saja. Kami
rebahan di tempat yang tersisa. Lumayan, bisa tidur siang. Mau ngobrol
dengan Nidya juga sia-sia karena dia masih emosi dan urat manjanya lagi
kambuh. Mending gak usah ditanggapi deh.
Selagi kami berusaha memejamkan mata, ada SMS masuk ke ponselku. Dari
Sandro. Kenapa lagi ini bocah"
Gmn kbrnya tuh cwk cemen"
Matanya sembap. Kaian juga sih, mgkn lo trllu keras.
Keras gmn" Gak tau deh. Tar kita omongin lg. Skrg gw mau bobo siang dulu yeee.
Aku memutus percakapan karena takut yang lain curiga.
"Nanti malam kita mau ke mana?" tanya Kelly.
Tak ada yang menjawab. Suasana masih kurang enak. Kami ingin tidur tapi
mata tak mau terpejam. "Kalian pada tidur, ya" Kok gak ada yang jawab?" tanya Kelly lagi.
"Bukannya gak mau menjawab. Masalahnya, kami kan gak tahu daerah sini.
Lo ada ide gak?" Lia balik bertanya.
"Makan di Kampung Keling jadi gak" Kan gue sudah nawarin dari tadi," ajak
Kelly. "Ada makanan apa aja di sana?" Anty langsung bersemangat mendengar
kata "makan". "Masakan India gitu lho. Kayak roti cane, roti jala, martabak Mesir.
Tempatnya seperti di Pecenongan. Kebayang, kan" Gimana" Setuju gak?"
tanya Kelly. "Setuju," jawabku, Anty, dan Lia serempak.
"Lo gimana, Nid" Setuju gak?" tanya Lia pada Nidya yang diam saja.
"Terserah," jawab Nidya lemah.
"Oke. Tapi cowok-cowok setuju gak?" Kelly kembali bingung.
"Pasti mau deh. Kalau gak mau, gue yang tangani. Makan kok nolak?"
jawabku sewot. *** Banyak orang keturunan India lalu-lalang di Kampung Keling ini.
Tempatnya seperti chinatown atau pecinaan. Atau mungki lebih tepat
seperti Little India di Singapura. Tapi ini India keling, bukan ras yang
berkulit putih. Setelah peristiwa tadi siang, Nidya lebih banyak jalan dengan Lia. Kira-kira,
Adi yang menjauh atau Nidya yang menghindar" Entahlah. Yang pasti
Mahmud langsung melayani Nidya secara overdosis. Biasa, cari muka.
Herannya, Nidya senang-senang saja dilayani. Itu sih namanya memberi
harapan. Kalau tidak suka, kenapa membiarkan kelakuan Mahmud seperti
itu" Dalam perjalanan seperti ini baru ketahuan deh sifat asli seseorang.
Gak nyangka Nidya bakal manja dan cengeng banget. Kulihat wajah Adi
lumayan lesu dan agak kesal karena Mahmud terus mendekati Nidya. Bakal
seru lagi nih. Kami memesan semua makanan yang tadi disebutkan Kelly plus kari
kambing dan mi rebus khas Kampung Keling. Tempatnya ramau dan harus
sabar menunggu pesanan. Tapi setelah satu persaatu makanan datang,
kami yang kerepotan dan berebutan menghabiskannya.
Rasanya enak-enak. Juga pedas. Biar deh pedas banget, paling banter juga
perut melilit. Kami makan sampai berkeringat karena selain tempatnya agak
panas, makanan yang pedas itu dihidangkan dalam keadaan panas karena
fresh from the oven. Walaupun belum seakrab kemarin, sudah ada lagi
percakapan antara Nidya dan Sandro.
O ya, masih soal panas, di sini memang panas banget. Jakarta saja sudah
panas, tapi di sini kayak Gurun Sahara. Sudah begitu, Anty mulai mirip unta.
Minumnya banyak banget. Memang baik untuk kesehatan, tapi kayaknya
Anty kelebihan minum deh. Jangan-jangan bawa satu gentong air pun
beluim tentu cukup buat dia seorang.
Setelah puas makan sampai perut membuncit, kami jalan-jalan menjelajahi
Kampung Keling. Aku mencari atribut India seperti gelang dan anting untuk
hidung. Untung Lia juga berminat, kalau tidak pasti Sandro cs bakal nyinyir
dengan keinginanku. Kami menemukan toko atribut India yang bernama
Brin. Harganya murah-murah. Cocok dengan kantong anak SMA seperti
aku. Saat sampai di toko, kukira hanya aku dan Lia yang tertarik belanja,
apalagi tadi Krisna sempat ngedumel dengan rencana belanja ini. Eh, gak
tahunya Anty yang tadinya ikutan mencibiri rencanaku malah paling heboh.
Aura belanjanya langsung menguat untuk memborong aneka gelang dan
bindi. Cowok-cowok juga mendadak centil dan kalap dengan membeli
aneka gelang warna-warni dari kaca yang sering terlihat di filam-film India.
Saat pulang kami mencoba naik becak. Tentunya becak khas Medan.
Tukang becaknya duduk di samping kanan penumpang, bukan di belakang
seperti di Jawa. Becak jenis inoi ada yang dikayuh seperti sepeda, ada juga
yang dijalankan dengan tenaga mesin seperti motor. Satu becak bisa muat
empat orang. Kami naik dua becak. Satu untuk cowok, yang lain khusus
cewek dengan catatan Lia yang mungil terpaksa dipangku karena tidak ada
tempat. Lucunya, kejadian tadi pagi saat di depan Istana Maimun berulang. Begitu
mendekati rumah Kelly, kami berteriak "stop" dan "kiri", tapi abangnya
terus melaju. Rupanya orang di sini biasa menggunakan kata "pinggir"
sebagai isyarat berhenti.
*** Hari ini benar-benar panjang dan melelahkan jiwa-raga. Sekarang semua
sudah di kamar, mau segera tidur karena pagi-pagi mau ke Kabanjahe.
Tentenya Kelly mengajak kami ke sana untuk melihat kebun milik keluarga.
Sebetulnya tadi begitu kembali ke rumah Kelly ada peristiwa yang
menyebalkan. Gak tahu kenapa, gantungan baju di kamar mandi copot.
Padahal kemarin tidak ada masalah dengan gantungan baju itu. Sudah
malam begini Mahmud memaksa memperbaikinya. Ternyata bukan cuma
gantungan dan pakunya yang diberesin, Mahmud sampai mencopot pintu
kamar mandi untuk diperbaiki. Memang sih hasilnya bisalangsung
dinikmati, tapi kok menyebalkan banget melihat kelakuannya yang serasa
dibuat-buat" Kelly si pemilik rumah hanya geleng-geleng kepala.
Mahmud, Mahmud, dasar carmuk abiiis!!
Sudah ah, aku mau tidur. Jangan memikirkan Mahmud lagu. Nanti kalau
tiba-tiba memimpikan dia kan gawat. Keren gak, menarik juga gak. Sudah
begitu, dia tidak ada romantisnya sama sekali, kalau geli sih iya. Mendingan
aku menghitung beruang yang berusaha melompati pagar supaya bisa
lekas tidur. Bab 4 Antara Cinta dan Durian Hari kelima. Suasana pagi ini cukup enak. Perasaan kalut gara-gara kejadian kemarin
agak mereda, apalagi tante Arta dan Egia sudah datang pagi-pagi dan
membawakan nasi lemak (lagi). Kami malu lho kalau ketahuan berantem
oleh saudaranya Kelly. Jadi sepertinya hari ini pertengkaran harus
dihentikan dulu, paling tidak untuk rute perjalanan Medan-Kabanjahe
pulang-pergi. Kami harus berangkat pukul enam pagi supaya pulangnya tidak terlalu
malam, apalagi kami menyewa angkot. Untung harga angkotnya bisa
ditekan. Itu karena yang punya angkot teman segereja Tante Arta. Anak
yang punya angkot, Imam, dengan senang hati menyopiri kami. Konon dia
tidak punya kenalan di Jakarta sehingga rada kagum saat melihat kami.
Soal angkot nih, letak kursinya sama dengan angkot di Jakarta, tapi
jumlahnya lebih banyak. Kalau di Jakarta kan rumusnya 6-4, di sini 7-5.
Kami mulai berkemas-kemas memasukkan barang bawaan ke angkot.
"Ty, lo gila ya. Kita buru-buru, lo malah sempat keramas," kataku rada
bengong sewaktu melihat rambut Anty basah.
"Habis kepala gue gatel banget nih. Sudah lepek. Gak tahan deh," jawab
Anty sambil membungkus kepala dengan handuk.
"Sudah deh, lo jangan banyak omong. Cepetan. Tuh, nawa cemilan kita
sebagai hukumannya," kata Sandro jutek.
"Lho, kok gue?" elak Anty dengan mulut monyong.
"Soalnya lo yang mandi paling akhir dan lama banget. Sudah begitu, lo kalo
makan juga paling banyak. Masih gak cukup bikin kita gregetan?" bentak
Sandro. Mungkin karena merasa takut pada Sandro, Anty langsung memasukkan
camilan yang seabrek itu ke keranjang bekas parsel yang ada di ruang
tamu. Padahal keranjang itu digunakan untuk tempat koran dan majalah.
Sandro dan kami semua cekikikan melihat Anty berbenah dengan
keranjangnya. Sebenarnya semua camilan itu bisa dibawa pakai kantong
plastik besar, tapi karena Anty sudah panik melihat kami yang pasang muka
emosi-karena dia mandi lama banget-akhirnya keranjang parsel yang
disambarnya. Nyari plastik besar kan bakal makan waktu lagi.
"Sudah siap semua?" tanya Tante Arta yang duduk di depan bersama Egia
dan Imam, sang sopir pribadi.
"Sudah," jawab kami serempak. Imam pun menjalankan mobil dengan
riang. "Anty! Lo bener-bener udah sinting ya! Lihat tuh kepala lo, masa jalan-jalan
kepala pakai handuk" Eh, sudah begitu lo ngapain sih bawa keranjang
parsel" Tujuh belas tahun hidup baru sekali ini gue ngeliat orang jalan-jalan
bawa keranjang parsel," kataku ngakak. Yang lain juga tertawa melihat
penampilan ajaib Anty. Rasanya sampai sakit perut.
Anty yang baru sadar dengan penampilan spektakulernya itu langsung
tersipu-sipu dan melepas handuk. Dengan cuek handuk oranye itu dijemur
di besi pengalang jendela.
"Tren mode di Medan ya begini ini," kata Anty santai.
"Awas ya, Ty, jangan sampai keranjang koran rumah gue rusak," ancam
Kelly. "Gak deh. Lo tenang aja dan nikmatin penampilan gue," jawab Anty sambil
mengamati keadaan jalan yang kami lewati.
Lalu lintas Medan memang gila. Sopir berkendaraan semaunya sendiri.
Fungsi lampu lalu lintas lebih sebagai hiasan jalan karena gak dipatuhi.
Kayaknya orang-orang sini nyetirnya pake feeling saja. Apalagi posisinya
juga sekedar mejeng di trotoar, bukan berjalan di jalan raya. Menyeberang
jalan butuh kelincahan khusus, malah kalau bisa harus sprint. Jakarta kalah
liar deh. Masih ada lagi yang mengejutkan. Orang sini punya kecenderungan
berbicara dengan suara keras kayak geledek sekalipun jarak orang yang
diajak ngobrol gak sampai semeter. Kalau di Nias orang ngomong kencang
masih masuk akal karena ombak berdebur kencang, tapi kalau di Medan,
ombak dari mana" "Durian di mana-mana!" jerit Adi histeris. Dia penggemar berat durian. Rasa
cintanya pada durian sebesar rasa cintanya pada iPod miliknya.
"Iya nih. Aduh, gue juga nelen air liur dari tadi," sambung Anty gak kalah
heboh. "Memangnya lo rabies?" tanya Kelly sinis.
Anty tak menanggapi, malahan merengek ke Kelly, "Kel, beli durian yuk.
Kayaknya enak banget. Mahal gak sih" Ayo dong, Kel, plisss."
"Mau berhenti dulu, ya?" tanya Tante.
Tanpa menunggu jawaban kami, Imam langsung menghentikan mobil di
dekat deretan tukang durian nongkrong.
Baru kali ini Adi dan Anty terlihat kompak. Mereka berdua sangat antusias
memilih-milih durian yang baunya menyengat itu. Apalagi Tante
berpromosi bahwa durian di sini besar dan manis-manis. Gak kalah dengan
durian Monthong. Tapi Nidya tidak tertarik, rupanya dia antidurian. Wah,
bisa ada perselingkuhan akibat durian nih.
"Sa, gila! Duriannya murah banget. Masa satu durian cuma tiga ribu lima
ratus!" kata Anty semangat, nyaris histeris.
Mau tahu berapa dulian yang dibeli Tante Arta untuk kami" Dua puluh lima
buah! Semuanya itu akan dimakan setibanya di kebun Tante Arta. Tapi
sebagai pembuka, lima durian kami makan di tempat karena liur Anty dan
Adi sudah menetes-netes kayak drakula ngidam darah. Nidya tetap di
dalam angkot dengan kepala pusing.
Saat durian-durian mau dimasukkan ke kolong kursi, baru deh timbul
masalah. Nidya merengek karena gak tahan baunya. Sementara yang lain
merasa nyaman-nyaman aja.
"Lo duduk di dekat jendela, terus semua jendela dibuka lebar-lebar. Beres,
kan?" kata Adi. Ternyata Nidya mau juga menuruti Adi meski masih sedikit
ngambek. Mahmud menawarkan tisu wangi pada Nidya untuk menutupi
hidung. Perjalanan kembali dilanjutkan.
"Memang lo mau muntah ya kalau nyium bau durian?" tanya Sandro.
Nidya menjawab dengan anggukan pelan.
"Lemah bener sih lo. Naik kapal takut muntah, nyium bau durian enek. Apa
gak mau nyoba membiasakan nyium baunya?" tanya Sandro lagi.
Nidya masih tak bersuara, kecuali menggeleng.
"Sudah deh, Ndro. Namanya juga orang alergi. Kayak orang alergi udang
dan makanan laut," Lia berusaha menengahi.
"Susah banget hidup lo. Asal jangan ngerepotin orang lain aja," Sandro
masih usil. Lagu-lagu Pance mengiringi perjalanan kami. Anty mulai membuka
sebungkus kacang telur. Biarpun rasanya pedas, kami semangat
memakannya, apalagi udara mulai terasa sejuk. Perjalanan ini memang
menuju daerah pegunungan sehingga makin ke atas makin bertambah
adem. Setelah tadi tergoda durian, sekarang jagung bakar di sepanjang jalan
benar-benar menggugah selera makan kami. Syukurlah, Tante yang
pengertian akan nafsu makan kami menyetujui niat kami untuk melahap
jagung bakar. Angkot kembali berhenti.
Begitu keluar dari angkot, cacing-cacing di perut kami langsung melonjak
karena mencium aroma mentega dan jagung bakar. Setiap orang sepakat
memesan satu jagung bakar. Kami duduk-duduk di warung terbuka selama
abangnya mengipasi jagung yang besar-besar. Udaranya dingin dan angin
bertiup ringan. Bikin ngantuk.
"Ndro, kita jadi gak, main ke rumah lo di Rumbai?" tanya Krisna.
"Boleh. Sudah dekat. Sayang kalau gak pergi. Yang lain gimana" Setuju
gak?" tanya Sandro. "Lanjut!" jawab kami serempak.
Kulihat Nidya tidak menjawab. Dia malah melihat ke arah tukang jagung
bakar. Sepertinya ada masalah yang harus dibereskan di antara kami. Ada
yang komunikasinya korslet nih. Aku terkikik sendirian.
"Kenapa lo ketawa-ketawa?" tanya Krisna penasaran.
"Liat deh rambut Sandro. Kenapa jadi berponi kayak The Beatles gitu?"
jawabku. Anty terkikik melihat rambut Sandro yang ketiup angin sehingga
jadi ajaib. "Baru dari Johnny Bencong Salon, ya" Atau Under The Tree Salon?" ledek
Anty puas. "Kali ini lo menang deh. Tunggu pembalasan gue," jawab Sandro tanpa
mau merapikan rambutnya. Mungkin dia gengsi juga.
Setelah setengah jam nongkrong di tukang jagung bakar dan merasakan
lezatnya jagung, kami kembali meneruskan perjalanan menuju pemandian
air panas Gunung Sibayak. Karena tidak membawa baju renang, kami hanya
merendam kaki di kolam air panas. Lumayan, kaki terasa dipijat lembut.
Tempat ini sepi biarpun sekarang masa liburan sekolah.
"Ndro, lo cuci muka sana. Tuh baca, bisa menghilangkan jerawat dan
menghaluskan kulit," kataku pada Sandro yang lagi berjerawat sambil
menunjuk papan pengumuman yang terpampang di kolam renang.
"Oh iya, benar juga. Siapa tahu kulit gue bisa semulus putri keraton," jawab
Sandro dengan gaya banci.
"Buat nerebus telur bisa gak, ya?" tanya Anty polos pada Kelly.
"Oh... Bisa. Merebus bokong lo juga bisa," jawab Kelly sengit.
"Gue serius nih," ujar Anty.
"Gue juga serius. Ini kan air panas yang hangat suam-suam kuku. Bukan
pemandian air mendidih. Mana ada yang mau berendam kalau airnya
panas banget?" jawab Kelly sambil cengengesan melihat Anty yang
berubah jutek. "Enak ya, kayak di spa," kata Anty lagi.
"Spa apaan sih kayak gini" Lo makin lama makin gila deh. Bilang aja tempat


From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Kidal 15 The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Mestika Golok Naga 5

Cari Blog Ini