Ceritasilat Novel Online

Linggang Si Bunian 3

Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko Bagian 3


Malintang Bumi" Maut tantangannya. Diambilnya golok tersangkut didinding kamar. Golok
pusaka yang puluhan tahun tak lagi digunakan. Bekas tanda keperkasaannya dimasa-muda,
ditakuti banyak musuh. Dendam kesumat memaksa laki-laki paruh baya itu berlari kencang
menyusul ketempat si Mali yang kini sedang bertarung melawan sahabatnya sendiri, manusia
kotor:Mangkuto Sati. Larinya serupa petir, luar biasa kencang. Meski umur tak lagi muda dan tenaga telah
uzur, jiwa ksatrianya tidaklah hilang. Tetap membara, menyala-nyala seperti dulu. Tak boleh
mendengar sedikit keributan, ia datang dan ikut meramaikan perkelahian, jika lawannya itu
bukan berasal dari padukuan. Apalagi masalah anaknya yang hendak diperkosa, tak dapat
dibayangkan bagaimana murkanya Malintang bumi. Takkan selamat Mangkuto Sati, tamat!
Setibanya disana, dicarinya Mangkuto Sati yang telah bertindak kurang ajar pada anak
gadisnya. Ingin dicincang bahkan lumat seperti tepung. Begitulah niatnya jika bertemu."Berani
mengganggu anakku, berarti mencari mati. Kelangit;pun kau kucari Mangkuto Sati", teriaknya.
Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa. Mangkuto sati telah kabur. Tidak ada lagi perkelahian
disana. Amarahnya yang membludak tidak terlampiaskan.
Didalam gelap itu hanya sesosok tubuh manusia terbaring tak sadarkan diri dengan luka
besar dibagian dada. Bentuknya amat menyedihkan, serupa anak ayam, tergelimpang tanpa
pertolongan. Diangkat tubuh itu oleh Malintang Bumi, diperiksa baik-baik. Yang membuat
heran, Lukanya sebentuk telapak tangan manusia membenam kedalam kulitnya. Orang yang
terluka adalah si Mali. Ia tengah sekarat dengan mulut yang tak hentinya mengucurkan darah.
Diperiksa lagi oleh Malintang Bumi luka yang memerah layaknya membakar kulit Mali,
matanya membesar,"Pukulan Besi!", kata malintang bumi heran."Ilmu hitam terlarang yang
berbahaya. Kepada siapa bangsat itu berguru?"
Sebelum memikirkan perkara Telapak Besi lebih jauh, Malintang Bumi lebih dulu
menyelamatkan si penolong anaknya, Tak mau berlama-lama melihat mali sekarat. Malintang
bumi memutuskan membawa mali, untuk dirawat sebagai pengganti terimakasih. Karena, berkat
pertolongan laki-laki itulah anak gadisnya selamat dari perbuatan nista terkutuk Mangkuto Sati.
Perbuatan hebat, Budi baik Mali tidak akan dilupakannya begitu saja.
Tiga hari si mali tak sadarkan diri. Satu-satunya tanda bahwa ia belum mati adalah
erangannya ketika siuman. Erangan kesakitan yang teramat sangat. Setelah itu, ia kembali
pingsan, seakan tidak kuat tubuhnya menahan bisa pukulan besi yang baru kerak-kerak luarnya
saja. Ia dirawat oleh keluarga malintang bumi dengan baik.
Berbekal sedikit kepandaian ilmu pengobatan Malintang Bumi diwaktu muda, si jagoan
secara perlahan mampu mengobati luka Mali meski tidak sembuh keseluruhan. Bekas pukulan
yang terbenam dikulitnya tidaklah bisa hilang. Sebuah tato telapak tangan manusia, buah tangan
sahabatnya sendiri. Dihari keempat, Mali siuman!
* "Sutan Bazar meninggal dunia", kata seorang laki-laki paruh baya, warga padukuan. Ia
tergesah-gesah mengelilingi kampung, meneriaki kabar buruk nan penuh duka kesetiap pintu
rumah. Hening senyap, orang-orang kampung tertunduk. Pergi juga si Raja Adil, datuk yang
dicintai, dihormati kaum. Berangkat sudah ia kepembaringan, rumah terakhir sebelum
pembangkitan nanti setelah kiamat. Beramai-ramailah mereka datang melayat kerumah duka,
orang yang dihormati itu. Dibawa beras secupak, alakadarnya sebagai bentuk belasungkawa.
Keluarga sang datuk berusaha tegar, mencoba menerima kemalangan.
Orang-orang bertanya-tanya! Janggal betul terlihat ketika sampai mayat dikuburkan, Si
kemenakan yang digadang-gadang akan menjadi pengganti, pewaris tunggal tahta sang Datuk,
Mangkuto Sati malah tak tampak batang hidungnya. Tidak punya otak! Kemana dia" Umpat
mengumpat terjadi diantara ninik mamak. Orang-orang mulai ragu, seperti itukah contoh yang
ditunjukkan oleh calon datuk" Belum dinobatkan, sudah dibuat buruk pemikiran orang-orang.
Sifat buruk tak terpuji mangkuto Sati, telah menggusur posisinya sebagai calon
pengganti Sutan Bazar. Tetuah dan petinggi adat mengalihkan bidikan kesosok Sutan Rajo
Ameh. Pemuda baik-baik, pintar dan bertanggung jawab. Tiada yang kurang dari tindaktanduknya selama bergaul dengan orang sekampung. Gayung bersambut, Sutan Rajo Ameh tidak
menolak tawaran. Diterimanya dengan pertsetujuan kedua orangtua terlebih dahulu.
Sebelum acara pesta pengangkatan pindah jabatan, Sutan memutuskan mempercepat
pernikahannya dengan Asmini. Mendengar kejadian buruk yang menimba tambatan hatinya
tempo hari, ia tak bisa bertenang diri lagi. Gelisa siang-malam jika belum resmi si gadis menjadi
isterinya. Maka, diputuskan bahwa acara pernikahan Sutan Rajo Ameh didahulukan dua minggu
dari pesta pengalihan jabatan datuk, yang juga tak kalah besar serta meriahnya. Bersuka ria
warga padukuan menyambut pesta sambung menyambung itu. Semua orang siang malam
berbondong datang kerumah gadang, menyaksikan rabab, tarian dan beragam kesenian minang
lainnya. Ditengah kebahagiaan itu, hiruk pikuk orang bersuka ria, terkecualilah sebuah rumah tak
dilibatkan dalam hal apa-pun oleh penduduk. Rumah itu adalah rumah orangtua Mangkuto Sati.
Ulah perangai busuk puteranya, mereka dikucilkan.
10.Sepuluh * Mangkuto Sati lari tunggang langgang ditengah hutan dengan wajah cemas serta mata
liar, tak hentinya melihat-lihat kebelakang. "Tidak... Jangan bunuh aku!", bisiknya berlarian
menerjang semak belukar. "Ampun Malintang Bumi...ampuni aku!", jatuh tersungkur, bangkit
lagi dan lari sekencang-kencangnya seperti orang gila. Begitulah yang dilakukan Mangkuto
setelah berhasil mencelakai Mali. Ketakutan akan dimurkai malintang bumi membuatnya
terkencing-kencing dicelana.
Ia memasuki kedalaman hutan, mencari tempat yang aman agar selamat dari amukan
ayah gadis yang hendak diperkosanya.
Sudah dua hari ia lari tak tentu arah. Tanpa makan_tanpa minum. Seolah kematian
sedang membuntutinya dari belakang. Sekali berhenti, terbanglah rohnya kealam baqa. Semakin
lama, semakin letih dan habislah tenaga. Perut sakit, kerongkongan kering. Merangkakpun tidak
lagi mampu dilakukannya. Terbaringlah ia dalam mimpi buruk yang entah kapan akan
terbangun. Penyesalan mendera, "Bodoh! Kenapa kau lakukan itu" Mengganggu anak malintang
bumi, sama saja mencari penyakit! Kau sendirilah yang ingin mati", bentak suara hatinya. Ia
terpejam. * Malam berganti siang, dari balik bukit sampai tegak lurus matahari diubun kepala.
Mangkuto Sati mengumpulkan segenap tenaga. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Pingsan
karena keletihan dirimba belantara rupanya cukup mengembalikan sedikit tenaganya untuk
sekedar berdiri dan berjalan, meski limbung. Ia menggeliat sebentar dan memandangi alam
sekitar. Tidak seberapa didepannya: terdengar gemercik suara air. Ia memegang leher. Kembali
dirasakannya kerongkongannya masih kering. Rasa haus , percikan itu sungguh sangat
menggoda kerongkongan. Ingin segera direguknya sampai puas.
Pohon-pohon kecil tumbuh hijau menghalangi jalannya yang lemah. Kupu-kupu dan
kumbang menjelajah setiap bunga mekar, mencari madu bekal makanan, berlalu-lalang
didepannya. Beberapa langkah berjalan gontai, ditemukanlah sebuah sungai, sumber suara
gemercik itu. Tak pikir panjang lagi, dibenamkan kepala berlama-lama agar lepas dahaga.
Tak cukup celupkan kepala, terjunlah mangkuto sati kedalam air yang dingin itu. Hawa
sejuk menjalar kesetiap permukaan kulit. Segenap tenaganya yang tadi hilang, pulih dengan
cepat membuatnya semakin kuat seperti semula. Tubuhnya terasa ringan seperti kapas.
Kini tinggal memikirkan perutnya yang kelaparan,"Aku harus mencari cara untuk makan.
Ikan-ikan disungai ini sepertinya cukup banyak. Bagaimana cara menangkapnya?", katanya
seorang diri sambil merayap ketepian. Lalu bermenung lama sekali. Sementara dilangit, cahaya
mulai meredup. Awan hitam bertalian menutupi birunya yang indah. Hujan sepertinya akan
turun deras. Mangkuto Sati mengambil sepotong bambu seukuran telunjuk yang rumpunnya tak jauh,
ditepian sungai didepannya. Bambu diruncingkan sedemikian tajam, pada ujungnya dibuat
lancip. Ia menengadah menatap langit meramalkan cuaca, "Hujan sudah mau turun. Aku harus
bergegas menangkap ikan-ikan itu dan mencari tempat berlindung!", katanya. Sigap sekali ia
melompat keatas batu-batu besar sungai, agar mudah membidik ikan-ikan incarannya. Sial
baginya, melakukan tenyata tak semudah melihat-lihat. Dengan susah payah ia berusaha, tak
terhitung: sudah berapa kali bidikannya meleset dari sasaran. Keadaan itu sempat membuatnya
kesal, satu jam hasilnya nihil. Namun, berkat kegigihan, demi rasa lapar, dua ekor ikan besar
berhasil juga ditangkapnya. Ikan-ikan itu sudah cukup sebagai santapan, pengganjal perut lapar
yang dua hari tidak makan.
Ia berjalan lagi ,menyusuri rimba belantara. Mungkin ada goa atau cekungan bebatuan
besar yang bisa digunakan sebagai tempat berlindung sementara. Dari utara keselatan, tak
satupun penaungan yang bisa ditemukan. Timur kebarat juga sama! Puas rasanya berkeliling,
mengitari seisi hutan yang ditumbuhi kayu-kayu besar, mengharap tempat berlindung. Sekarang,
ia hanya berdiri menengadahkan kepala. Diatasnya, suara-suara beruk liar hiruk pikuk
memonyongkan moncong kearah mangkuto sati. Dahan-dahan kayu bergoyang-goyang oleh
binatang-binatang liar yang terkenal buas didaerah kekuasaannya. Jika diluar sana manusia
berkuasa, disini merekalah rajanya. Kawanan itu bak mengusir tamu tak diundang menjauh.
Tertujulah mata mangkuto sati kesebuah lembah yang dalam dan jauh kebawah. Disana
ia melihat bibir goa batu. Ukuran bibir goa itu cukup besar dari kejauhan. Pasti akan nyaman
bila bisa berteduh disana. Tapi, untuk mencapai goa, mangkuto sati harus turun jauh kebawah
dan itu tidaklah mudah. Ia berfikir sejenak, menimbang-nimbang sesuatu. Kalau diperhatikan
berkeliling, memang tidak ada tempat lain yang bisa melindunginya dari hujan. Maka dari itu,
ia;pun nekad, nekad karena tidak adanya pilihan. Lebih baik menuju tempat yang terlihat,
daripada mencari yang tidak ada. Bisa mati kedinginan kalau memaksakan diri mencari tempat
lain. Rintikan-rintikan kecil mulai turun. Dedaunan mulai basah layaknya embun dipagi hari.
Semakin lama semakin deras turunnya dan rinaipun berganti hujan lebat. Mangkuto sati terus
berusaha mencapai mulut goa yang tadi dilihatnya. Baju basah kuyup. Ikan ditangan dipegang
erat digenggaman. Hidupnya bergantung pada dua ikan besar itu."Sedikit lagi", serunya
menyemangati diri sendiri.
Cukup lama berperang melawan medan sulit, menuju mulut goa. Ia masuk dengan
perasaan legah. Dibukanya baju basah guna dikeringkan. Ikan-ikan hasil tangkapan dibersihkan
dengan kucuran hujan, kemudian menyalakan api dari dua batu belerang yang tak lupa dibawa
sebagai pemantik rokok. Dengan adanya batu belerang, kesulitannya sedikit terbantu, jadi lebih
mudah. Menyalakan unggun cukup besar juga bisa menghangatkan dirinya yang kedinginan
selain untuk membakar ikan. Beristirahatlah ia disana.
Penaungan mangkuto sati, goa itu berada ditengah empat negeri. Jika bergerak ke timur,
ia akan tiba disungai pagu, sebuah kerajaan minang yang punya hubungan erat dengan
pagarruyung. Sebelah selatan akan dijumpainya negeri jambi dan kerinci yang berada dalam
naungan kerajaan besar Sri Inderapura. Bila berjalan keutara, dia akan sampai di solok, negeri
dingin yang hijau oleh pegunungan. Dan daerah barat, bukanlah daerah asing bagi mangkuto sati
yakni kampung halamannya sendiri. Daerah bandar sepuluh yang terkenal itu. Dari keempat
negeri yang bisa disinggahinya, tak satupun ingin ia tuju. Baginya, hidup bersembunyi ditengah
rimba akan jauh lebih aman dan sangat sulit ditemukan.
"Aku rasa goa ini cocok kujadikan sebagai rumah, hidupku lebih aman disini. Malintang
bumi tidak akan menemukan keberadaanku lagi", katanya. Maka, sejak hari itu, mangkuto sati
memutuskan tidak akan keluar dari lembah. Bila ingin makan, ia bisa makan dari berladang dan
berburu binatang. Cukup untuk mengisi mulut, sekedar penyumpal perut. Didalam lembah,
dirikan sebuah pondok kecil sebagai tempat peristirahatan disiang hari, juga sebagai tempat
menjaga ladang-nya dari serangan babi-babi liar.
Sehari-duahari sampai berbulan-bulan lamanya. Mangkuto sati bagaikan menemukan
kehidupan baru didalam lembah lengang nan dipenuhi kesunyian itu. Tiada seorang;pun teman
yang bisa diajak bicara kecuali para beruk yang dulu memebelalakkan mata mengusirnya.
Kicauan burung dipagi hari bersambut bunyi jangkrik malam, harinya berlalu tanpa disadari
sudah berapa lama ia menetap. Begitula terus menerus kehidupan-nya semenjak mengasingkan
diri dari kejaran Malintang Bumi. Ada keinginan untuk kembali pulang, sekedar menjenguk ibuayahnya, tapi ketakutan pada amukan malintang bumi selalu menghambat langkahnya bilamana
kerinduan merajalela dipuncak tertinggi akan kampung halaman. Ia telah terjepit dalam ruang
nista yang sangatla sulit menuntunnya kembali kejalan yang benar. Orang sekampung telah
mengetahui kebusukannya, buruk perilakunya pada Puti asmini. Takkan seorangpun yang akan
bersimpati sekalipun ia mati ditengah hutan ini. Kedua orang tuanya sudah barang tentu juga
dirundung malu, malu yang membuat mereka kehilangan muka untuk bergaul dengan orangorang lain. Ulah perangai buruk anak, ayah dan ibu turut menanggung derita. Padahal mereka
tidak bersalah, tidak tahu menahu tentang tabiat buruk anaknya yang disangka baik, terhormat.
Menyesak nafas mangkuto sati bila mengingat dosa yang diperbuatnya. "Semua ini gara-gara
Sutan Rajo Ameh terkutuk itu. Andai saja ia tidak pulang, hidupku tak akan kacau begini rupa.
Kenapa tidak kubunuh saja dia selagi aku bisa" Ah, aku malah berlaku bodoh hendak
memperkosa asmini yang akhirnya membawa petaka. Tapi biarlah, masalalu takkan berubah,
dimasa depan akan kubalaskan dendam, akan kupupuk kebencian ini sampai waktunya tiba
nanti. Takkan kubiarkan kau berlama-lama tersenyum, keparat", katanya mematah ranting
ditangan dengan mata merah.
Tersembunyi, tapi disitulah kesempatan emas datang, mempelajari kitab rahasia telapak
besi tanpa dicurigai. Ditelannya seluruh isi kitab, dimasukkan kekepalanya, dihafalkan. Tiap hari
ia berlatih, mengasah kemampuan. Persiapan untuk membalaskan dendam yang ia ciptakan
sendri. Musuh yang tak pernah memusuhinya, yang tak tahu menahu pangkal kebenciannya. Tak
terhitung hari, jurus telapak besi telah dikuasainya sampai ketitik paling menakutkan, tingkat
tertinggi! Kini bukan sembarangan lawan yang mampu menandingi kepandaiannya. Agaknya
bahaya pelahan-lahan kembali menebar aroma keserakahan.
11.Sebelas * Lima tahun kemudian! Mangkuto sati memutuskan kembali pulang. Bukan untuk menetap. Hanya ingin
mengetahui keadaan orangtua yang telah lama ditinggalkan tanpa ada kabar berita. Sekaligus
menjalankan niat buruk atas dendam masalalu yang direncanakan. Pada waktu yang ditentukan,
setelah diperkirakan sesuai pertimbangan sebelum berangkat, diam-diam ia memasuki
perkampungan diwaktu malam hari. Ketika semua orang tertidur lelap. Malam adalah waktu
yang paling baik untuk menyelinap agar segala kemungkinan tertangkap lebih kecil.
Ia tidak melewati jalan kampung. Sangat besar resikonya bila ketahuan oleh orang-orang.
Si Malintang Bumi tentu tidak akan melewatkan kesempatan emas untuk meringkus dan
menghukumnnya atas perbuatan terkutuknya dimasalalu. Sehebat apapun telapak besi, ketakutan
pada Malintang Bumi belum bisa ditepisnya, ragu-ragu. Meringkuk dan mengawasi dari balikbalik semak akan lebih aman menurutnya. Sebab, sekalipun diketahui, wajah serta gelagatnya
tidak akan dikenali begitu cepat. Ia bisa sekejap mata menghindar, melarikan diri.
Untuk urusan masuk kampung baginya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Kini mangkuto seibaratkan seorang buronan kerajaan yang melakukan pemberontakan, terancam
hukuman gantung. Salah sedikit, pemuda-pemuda yang keliling meronda akan tahu gelagatnya,
dapat membaca geriknya yang sudah hafal oleh semua orang. Jika itu terjadi, ia dalam bahaya
besar. Seisi kampung akan memburunya tanpa ampun.
Mangkuto Sati tertegun didepan sebuah rumah kayu bergonjong, beratapkan ijuk-ijuk
enau. Lumbung padi itu masih berdiri tenang disebelah kanan, tidak jauh dari kamar tidurnya.
Lesung kayu beserta alunya berada dibawah lumbung, sebagaimana kebiasan ibunya dahulu.
Benda-benda itu seolah meneriaki untuk segera pulang. Pedih tak terkira, pemandangan yang
membuat hatinya ngilu. Lama dipandangnya bangunan bergonjong ijuk-ijuk kasar hitam. Jemari
bergerak-gerak gemetaran. Dalam hati ia berucap, sungguh, aku rindu tempat ini. Rumah yang
tak lain adalah rumahnya sendiri. Tempat bernaung, sedari awal tangisan pertama dirinya datang
kedunia. Dimana beribu kenangan masa kecil berkubur kasih sayang orangtuanya. Ia menarik
nafas dalam-dalam, dan berjalan mendekat kehalaman. Lalu, mengendap-endap kepintu
belakang. Ia masuk kedalam rumah tanpa sedikitpun terdengar. Lebih mahir dari maling atau
rampok sekalipun. Tidak seorangpun sadar akan kedatangannya yang diam-diam. Lalu, bergerak
menuju sebuah kamar kecil disebelah kiri, sesudah dapur. Dengan hati-hati mangkuto sati
mengintip kedalam, sebuah dipan kayu berukuran kecil, sederhana. Sangat lama ia tertegun
memandang kedalam kamar yang diterangi lampu minyak, "Amak!", lirihnya. Dua bola mata itu
bertetesan air. Matanya berkaca-kaca melihat seorang wanita tua tertidur pulas diatas kasur
lusuh, seorang diri. Sungguh, teramat rindu mangkuto sati hendak memeluk ibunya.
Sejahat apapun, sekeji apapun, hatinya akan luluh bila melihat orangtua sendiri. Meski
kejahatan atapun perbuatan hina dilakukan terhadap orang lain tanpa belas kasihan, kepada ibu
tetaplah tiada pernah sanggup menahan rindu serta cinta setengah mati. Cinta yang tulus tiada
satupun pamrih. Takkan sanggup menyakiti dan takkan pernah rela melihat orangtuanya
tersakiti. Itu juga yang dirasakan Mangkuto Sati pada ibunya.
Setelah merasa cukup memandang wajah kurus sang ibu, Mangkuto sati hendak beranjak
pergi. Keluar menuju pintu belakang yang tadi dibuka paksa. Namun, belum lagi ia melangkah,
"Baru pulang, hendak pergi lagi waang, nak?", terdengar sapaan. Terkejut mangkuto sati. Ia
menoleh kebelakang. Disana ibunya sudah berdiri menatapnya. Mata wanita tua itu sudah
cekung. Pipinya kurus, tulang-tulang wajah mulai nampak. Ceking sekali keadaannya,
menderita. Bersimpuh Mangkuto Sati. Dipeluk kedua kaki ibunya dan menangis. "Maafkan aku,
Mak! Aku sudah memberi malu, membuat amak dan ayah menderita"
Perempuan itu memejamkan mata. Kedua bibir bergetar menahan tangis, "...Apa yang
ada dalam kepalamu, nak" Buruk nian perlakuanmu. Cara siapa yang kau tiru, adat mana yang
kau pakai" Bertindak semena-mena pada anak gadis orang. Tidak pernah, amak tidak perna
terlompat lidah mengajarkanmu seburuk perlakuanmu itu"
"Maaf, Mak! Maaf....!", bertangis-tangisan dua ibu dan anak itu. Melambai-lambai air
mata bercucuran. Maaf bisa diberi, apalagi oleh seorang ibu, beribu pintu maaf akan selalu
terbuka selagi nafas masih berhembus, udara masih mengalir dalam diri. Tetapi malu, kemana
malu akan dibawa" Sudah tercoreng arang diwajah, susah sekali membasuhnya.
Mangkuto Sati mengintip jendela, melihat-lihat kehalaman. Ia tidak mau kedatangannya
diketahui orang banyak. Ibunya juga yang akan menerima umpat serapah dari orang sekitar yang
membencinya. "Ayah mana, mak" Kemana beliau" Sudah semalam ini belum juga pulang?"
Mak idah, ibunya usap kedua mata yang masih berair,"ayahmu sudah tidak ada lagi! Dia
sudah wafat empat tahun yang lalu, tak lama setelah kau pergi meninggalkan kampung. Terlalu
berat beban yang kami tanggungkan akibat perbuatanmu. Dihina, dicaci sana-sini. Dikiranya
Amak melahirkan anak haram yang tidak tahu diuntung! Juga, semenjak kejadian itu, Ayahmu
mulai sakit-sakitan, tak sanggup menahan malu, ia dicibir orang kemanapun pergi. Jangankan
keluar rumah, membuka jendela saja kami tidak berani"
Ia tertegun. Diam layaknya patung diketika itu. Mata;pun tidak berkedip. Seolah habis
tenaga dibadan, tak sanggup lagi kakinya berdiri dilantai. Mangkuto Sati terduduk lemah,
bibirnya pucat pasi. "A..yah....meninggal?", bisiknya pelan. Pelan sekali memegangi kepala,
menjambak rambutnya sendiri. "Kehancuran keluargaku ulahmu, Rajo Ameh keparat! Kubunuh


Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau...akan kubunuh kau ...", katanya langsung berlari keluar rumah. Bukannya menyadari
kesalahan, ia malah menganggap orang lain yang tidak terlibat apa-apa sebagai biang
kesialannya. Benar-benar kelewatan tingkah Mangkuto Sati. Ia yang berbuat dosa, berharap
orang lain yang bertanggung jawab.
"Mau kemana kau mangkuto sati?", teriak ibunya berusaha mengejar. Namun, laki-laki
hilang akal sehat itu telah berkebat dan menghilang dalam kegelapan.
12.Duabelas * "Ayah! Aku mau ikut ... Pokoknya ikut!", kata anak kecil itu tersedu mengahadap
ayahnya didepan rumah. Mata mungilnya berlinangan cairan bening, air mata. Kaki dihentakhentakkannya kelantai, bibir dimancungkan kedepan, serupa itik bentuknya, memanja.
Ayahnya tersenyum sambil mengangat tubuh si kecil kepelukan. Dibelainya kepala
bocah laki-laki itu. Tak luput juga mengusap-usap wajah si mungil yang belum tersentuh
dosa,"Ayah tunggu kau besar dulu ya, nak! Kalau sudah sama tinggi dengan ayahmu ini, kau
akan ayah bawa kemanapun ayah pergi, bagaimana" Setuju?" "Tapi, kalau pulang nanti, jangan
lupa belikan aku mainan ya!", balasnya seraya mengangguk, tangisannya terhenti.
"Tentu anakku! Itu sudah pasti. Akan ayah belikan mainan paling bagus buatmu!"
Tak lama cengkerama berlangsung, seorang wanita muda, cantik betul parasnya datang
menghampiri,"Randai, kemarilah dekat ibu! Jangan merengek terus. Tidak jadi pergi ayahmu
nanti", katanya menoleh pula ke laki-laki, suaminya. "Sudah hampir siang, uda! Kemalaman
nanti pulangnya! Lekaslah berangkat"
"Iya, aku mau berangkat! Oya, ayahmu kemana" Tidak kulihat sedari tadi, masih berasap
kopi di meja, beliau sudah tidak dirumah! Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan. Jika tidak
sekarang, terlambat pula aku pulang nanti. Tidak akan kesampaian pesanku", balas laki-laki itu.
Senyuman tersungging dibibirnya, mata berputar-putar mencari mertua yang ditanyai.
Laki-laki didepan rumah itu adalah Sutan Rajo Ameh dan Isterinya Puti Asmini. Seperti
yang telah diceritakan, setelah kejadian memalukan yang dilakukan mangkuto sati pada puti
asmini, ia menghilang entah kemana, bertahun-tahun lamanya. Sehari setelah orang kampung
gempar oleh kejadian yang berakibat aib besar bagi keluarga itu, Sutan Rajo Ameh
melangsungkan pernikahan. Ia tak mau lagi berlama-lama membiarkan kembang ditangan
ditaksir orang, lebih baik ditanam dalam pagar besi dengan segera. Akan jauh lebih aman.
Jantung tak lagi berdebar akan direbut orang. Maka dari itulah, acara dipercepat dari waktu yang
ditentukan. Juga, dua minggu setelah pesta, disambut pula dengan pesta pengangkatannya
menjadi datuk padukuan yang baru.
Dua tahun menikah, mereka dikaruniai seorang putera yang tidak kalah tampan dengan
ayahnya. Anak itu dinamainya Randai. Bukan tanpa arti kenapa dipilihnya kata "Randai".
Seperti orang-orang minang ketahui, Randai adalah sejenis tarian, sebuah kesenian, mahakarya
para pendahulu sebagai bentuk pembudayaan kisah-kisa penting. Akan tetapi, dibalik tarian nan
indah itu tersembunyi gerakan silat hebat yang bisa digunakan untuk membela diri kapanpun
diperlukan. Jadi, dalam artian pemberian nama itu, Sutan Rajo Ameh menyelipkan harapan, agar
anaknya kelak disenangi orang banyak, baik tutur kata-sopan kelakuannya, juga sanggup
membela yang benar. Tidak gentar menghadapi yang salah.
Kini Randai, putera pertama yang belum beradik berumur tiga tahun. Kasih sayang
kedua orang tua tertumpah hanya untuk dirinya sendiri. Teramat manja pada kedua orangtua.
Sekalipun begitu, sudah diperlihatkan budi luhur dan penurut dari usia dininya itu. Tidak berani
membantah larangan ayah-ibunya.
"Entahlah, belum lama ini kulihat beliau duduk dikursi ini. Mungkin pergi ke kebun atau
kesawah. Si mali bilang, hama sedang banyak. Pesan apa yang ingin uda sampaikan kepada
ayah" Sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa ditunda-tunda rupanya", balas puti asmini.
Sutan merenung sejenak. Mengambil nafas dan menciumi kening isterinya. Lalu, ia
beranjak kehalaman, dimana kuda ditambatkan. Ia naiki si kuda cokelat dan berkata pada puti
asmini,jika ayahnya pulang nanti, katakan pada beliau agar dirumah saja seharian ini, jangan
pergi kemana-mana sebelum ia pulang. Hematnya, supaya aman si Randai. Tersenyum manis
puti asmini mendengar perkataan suaminya, "aneh sekali garah (candaan) uda! Seperti baru
sehari dua hari saja aku tinggal sendirian dirumah. Apa yang akan terjadi jika nanti ayahku
terlambat pulang?" "Entahlah, puti! Aku hanya merasa tidak enak hati hari ini. Mungkin sayangku pada
kalian terlalu besar hingga berat hati pergi jauh. Tapi tak apa! Akan kuusahakan cepat pulang!",
katanya kemudian berlalu memacu kuda.
Sutan rajo ameh memang biasa bepergian untuk mengunjungi peternakan-peternakannya
yang terletak diluar kampung yang jaraknya cukup jauh. Satu-persatu tempat usaha itu dikelolah
oleh orang gajian yang dibayarnya setiap bulan. Pekerjaan yang dibebankan kepada pengelola
tidaklah berat. Hanya memberi makan ternak tiga kali sehati. Itu saja. Setelah itu, mereka juga
bisa mencari sampingan lain sebagai tambahan pendapatan. Hari itu adalah waktunya membayar
gaji pekerja, sekaligus melihat-lihat binatang ternak yang akan dijualnya dibulan korban nanti.
Sebagai pengusaha kaya, beragam macam bentuk usaha dijalankannya seteliti mungkin, jarang
sekali melenceng dari perkiraan. Perputaran uang ditangannya sangatlah lancar.
Tiba diperbatasan kampung, Sutan hentikan laju kuda, bimbang melanjutkan perjalanan.
Hatinya gelisah. Berdebar tak beraturan jantungnya memompa darah. Kadang cepat-kadang juga
terlalu lambat. Lemah tak bertenaga bawaannya ketika itu. Perihal apakah yang terjadi" Kalau
diingat sebelum berangkat dari rumah, tak satupun perkara yang belum terselesaikan. Tak ada
masalah yang meresahkan. Ada apa gerangan yang membuatnya linglung begitu rupa" Tidak
enak hati. Pikirannya terus membayangkan putera dan isterinya.
Daripada bertanya-tanya, tidak baik pergi jauh dengan hati mendua, maka ia
memutuskan kembali pulang. Tidak ada gunanya memaksakan diri. Rencana melihat peternakan
dan membayar gaji pekerja ditunda sampai besok, masih banyak waktu. Lagipula, tidaklah
terlalu lama jika hanya menunggak membayar barang sehari. Tidak akan mengapa dan bukanlah
masalah besar. Anak buahnya itu tentu bisa menerima keterlambatannya jika ia jelaskan.
Tiba dirumah, kuda ditambatkan ditempat biasa. Segera dipanggil lagi isteri dan anak
tercinta, bak bujang baru pulang dari perantauan saja lakunya. Bingung dan heran puti asmini
melihat tingkah sang suami. Teramat aneh dan tak biasa. Suda berangkat-pulang lagi, pantangan
menurut orang tua-tua. Ditambah cuaca diluar sedang baik, langit tampak cerah tak berawan.
Tak ada alasan kembali pulang. Ia beranikan diri bertanya, apakah sutan sakit atau barangkali
kurang enak badan" Sutan menggeleng. "Aku baik-baik saja. Cuma tak ingin jauh-jauh darimu
saja hari ini", katanya memeluk erat puteranya. Diciumnya si kecil berlama-lama. Bercampur
aduk kepala Puti Asmini. Antara senang dan bingung.
Tapi, ketenangan mereka terusik seketika oleh suara gelak-tawa.
"Hahaha....sudah senang kau sekarang, Sutan! Pasti enak punya isteri cantik. Ya. Tentu
saja senang dengan kehidupan semewah ini. Akan tetapi, aku...! Aku menderita dibawah
bayang-bayangmu", tiga beranak itu kaget.
* Kicauan murai meriuh rendah dipagi itu. Mereka beterbangan dipagar-pagar halaman bak
mengingatkan bahwa hari telah siang, matahari mulai menggarang. Teduh-tenang suasana
kampung, damai-tenteram rasanya hidup. Malintang bumi berjalan sambil bercakap-cakap
dengan Mali, si penolong yang kini menjadi anak angkatnya. Semenjak sembuh dari luka telapak
besi Mangkuto Sati, Mali selalu berada dirumah jagoan tua itu. Ia membantu segala keperluan
sutan rajo ameh dan keluarganya. Diabdikan dirinya sebagai penebus budi. Sekalipun, orang
dirumah itu tidak pernah menganggapnya pembantu, melainkan saudara. Lebih dekat dari
saudara kandung. Si Mali bak menemukan hidupnya yang telah lama hilang, yakni kebersamaan.
Kebersamaan yang tak sekalipun didapatkan seumur hidupnya.
"Kapan rencanamu menikah, Mali" Jangan tunggu tua dulu, baru kau pikirkan perkara
itu!", berkata Malintang bumi.
Sambil berjalan, Mali tersenyum dan menjawab,"Bujang miskin seperti saya ini mana
ada yang mau, Angku! Para gadis juga orangtuanya tidak akan mau melirik saya sebagai
menantu. Pekerjaan tidak ada, harta warisan apalagi" Serba sulit angku"
"Sempit betul pikiranmu! Kalau semua wanita bersuami kaya, aku;pun tidak akan punya
anak! Tidak akan pula punya cucu si Randai...! Mali....Mali... Dari banyak wanita, agak satu
pasti ada untukmu! Berusahalah mencari jodohmu"
"Saya cari kemana, Angku?"
"Ya, mana aku tahu! Itu urusanmu kemana hendak kau cari. Kalau aku yang pergi, aku
pula yang dapat isteri. Menangis mendiang isteriku dikuburannya nanti! Bujang, dunia seluas
ini, jangan sempitkan pikiranmu! Laki-laki minang itu luas pemikiran, cerdas bertindak",
selintas, malintang bumi teringat mendiang isterinya yang telah mendahuluinya dua tahun yang
lalu akibat sakit berkepanjangan, tidak mau sembuh. Kesedihan sedikit membayang diwajahnya
kala mengingat hari paling menyedihkan dihidupnya. Tapi, Mali segera membuyarkan lamunan.
"Iya angku! Sebenarnya sudah ada wanita yang ingin saya persunting itu"
"Benarkah perkataanmu, Mali" Kau tidak sedang bercanda, bukan" Siapa wanita yang
kau maksud" Biar angku lamarkan buatmu!", Malintang Bumi penuh semangat.
"Benar Angku. Wanita itu anaknya mendiang datuk kita, Sutan Bazar! Siti Jingga
namanya. Saya hargai niat baik angku hendak meminang itu. Akan tetapi, saya takut ditolak
angku!" "Onde Mande... Tidak akan mati bila kau ditolak, Mali! Yang penting kita berusaha
dulu! Kalau kalian berjodoh, dilangit;pun dia akan turun mengejarmu!",Mali menganggukkan
kepala. Mereka terus bercakap panjang lebar tentang rencana yang baru dibuat itu. Si Mali jadi
berbunga, elok nian suasana jiwanya, tenteram dipagi yang cerah itu. Memikirkan diri akan
beristeri membuat angan berterbangan jauh keawan, merayap diatap singgasana asmara. Lama
berjalan, tak terasa mereka telah sampai dihalaman rumah.
Namun, ada yang aneh, 13. Tigabelas * "Masya Allah..!! Apa yang baru saja terjadi?", kaget keduanya. Malintang Bumi dan
Mali bergegas masuk kedalam. Nafas sesak. Tambah kaget mereka menyaksikan rumah berserta
isinya berantakan. Kursi-kursi patah, piring-piring pecah, tak karuan lagi rupa bangunan
kediamannya yang awalnya sangatlah indah itu. Mereka berlari lagi keluar. Disudut kiri dimana
tempat kuda biasanya ditambatkan, tergelimpang sesosok tubuh manusia. Aliran darah kental,
masih segar, mengalir bak anak sungai disekitarnya.
Berdebar jantung Malintang Bumi. Segera ia berlari menghampiri tubuh diam itu dengan
perasaan berkecamuk. Rasa mati berdiri si Kakek ketika melihat sosok berlumuran darah itu
adalah menantunya, Sutan Rajo Ameh! Bentuknya mengenaskan. Perut terbusai, ususnya keluar!
Dada koyak besar, disana membenam cukup dalam sebentuk telapak tangan manusia, luka itu
juga meremukkan tulang dada. Luka yang serupa dengan tanda di dada Mali.
"Telapak Besi!", Mali berucap sayup-sayup. Kemudian memapah tubuh Sutan Rajo
Ameh. "Aaa..nakku...!", lirih Sutan pelan. Ia masih hidup. Matanya terbuka sedikit, setengah
terpejam. Tarikan nafas putus-putus, ia kepayahan.
"Dimana anakmu, Sutan" Asmini?",
linglung."Dimana mereka?" Apa yang terjadi?""
tanya Malintang Bumi kebingungan, Sutan pegang dua tangan ayah mertuanya erat! Matanya meneteskan air kepiluan yang
teramat menyayat hati. "Mangkuto...Sati ...!", balasnya susah payah. Setelah itu diam. Ia diam
untuk selamanya. Roh Sutan Rajo Ameh telah berangkat dari tubuhnya setelah mengucapkan
kata terakhir, sebuah nama. Mati dengan keadaan tak wajar.
"Mangkuto Sati biadab!!!!!", teriak Mali histeris.
"Dosa besar apa yang diperbuat, hingga dibunuh begini rupa menantuku?", isak
Malintang Bumi geram."Perkara apakah mali" Katakanlah padaku mali! Dosa apa yang
diperbuatnya?" Mali tertunduk menangis. Tak kuasa menahan air mata melihat orang baik yang
mengasihinya bagai keluarga, mati dibunuh oleh manusia laknat yang juga nyaris merenggut
nyawanya dimasalalu. "Aku akan menuntut balas, Angku! Akan kucari bajingan itu!"
"Ya!", jawab Malintang Bumi."Aku takkan tenang sebelum menemukan Asmini dan
Randai cucuku. Malang benar nasibmu, Sutan. Orang sebaik dirimu tidaklah pantas
diperlakukan sekeji ini. Kita kuburkan jenazah menantuku. Setelah itu, aku akan mengadu nyawa dengan
Mangkuto Sati!! Tidak akan kubiarkan dia hidup lebih lama lagi"
Ratusan penduduk gempar. Padukuan tidak ubahnya bak ladang air mata, tetes demi tetes
berjatuhan dibumi ranah Minang dihari berduka itu. Hari itu, seorang pemimpin, pengayom serta
tauladan banyak orang kembali pergi jauh, dipanggil yang mahakuasa, hilang dari dunia.
Orangtua Sutan Rajo Ameh, Amak Siti dan Angku Hasanudin jatuh pingsan. Tak sanggup
menerima kenyataan puteranya dizalimi, disiksa demikian sadisnya. Ibu mana yang tahan
melihat perut anaknya berbusaian dibantai orang" Setegar apa pula seorang ayah yang sanggup
tak menangis ketika menemukan bujang kebanggaannya telah menutup mata, tertidur diam,
mendahuluinya" Tidak ada! Tidak ada didunia ini orangtua seperti itu.
Sutan Rajo Ameh dikebumikan hari itu juga. Disaksikan oleh seluruh penduduk.
Kebaikan-demi kebaikan yang mereka terima dari uluran tangan sang datuk baru teramatlah
banyak jika dihitung. Ketulusannya sangatlah luar biasa. Kebaikan itulah yang akan abadi
dikenang selamanya. Kebaikan itu juga yang akan menghantarkan do'a ditidur panjang sang
Datuk dipusara. Malamnya, Malintang Bumi dan Mali menelisik seluruh perkampungan, mencari
keterangan dari orang-orang yang mungkin melihat Mangkuto Sati secara tidak sengaja.
Berdasarkan keterangan dari beberapa pemuda dari luar, didapatlah kesimpulan bahwa
Mangkuto Sati lari ke timur rimba belantara, mengendarai kuda dengan menggendong dua
orang. Perempuan pingsan yang tak lain Puti Asmini dan Bocah kecil, Randai anaknya.
Tak menngulur waktu, Bergegaslah Malintang Bumi berserta Mali menuju tempat
dugaan. Tak peduli betapa gelapnya malam, ditambah berbahayanya makluk buas belantara,
macan yang akan menerkam, ular yang akan melilit, beruang yang akan mengoyak. Tidak
gentar! Mereka terus berlari. Gurat keletihan bagai menjauh dari dua manusia sedang terbakar
amarah dendam kesumat itu, tak dirasakan. Namun, Mengejar buronan berkuda dengan berjalan
kaki memanglah agak menyulitkan. Sampai pagi menjelang, musuh yang dicari tak berhasil
ditemukan. Malintang Bumi tertegun dan hentikan langkah! Sesuatu telah mengusik
pemandangannya. "Kenapa berhenti, Angku?", mali bertanya. Malintang bumi angkat sebelah
tangan mengisyaratkan untuk diam. Kedua matanya menatap tajam kedepan. Jantung berdebar,
hati berharap-harap penuh kecemasan. Dimajukan selangkah demi selangkah, tampaklah dibalik
semak-semak terbaring manusia, wanita muda. Tak ada kata yang patut disebutkan bagaimana
parahnya sosok terbaring dibalik semak, diatas tanah itu, miris. Tak karuan lagi bentuknya, baju
compang-camping, banyak yang terbuka. Mulut berdarah, bibirnya telah pucat. Dileher
menghitam bekas cekikan. "Asmini! Ya Allah, nak!", teriak Malintang Bumi menyerunduk.
Bergoncang seantero jagad ulah pekikan si jagoan. Pecah lagi tangisannya. Hancur lebur!
Runtuh kesabaran, makin menggunung kebencian. Puteri Bungsu amat disayang telah menyusul
suaminya, meninggal dunia setelah diperkosa. Diperkosa! Lalu, dicekik sampai mati. Mayatnya
ditinggal, dibuang begitu saja.
"Demi Tuhan, Asmini! Demi Tuhan aku bersumpah, Akan kubunuh Mangkuto Sati, akan
kucincang tubuhnya. Dia memperlakukanmu seperti sampah, Nak! Sampah...!!", berkata
malintang bumi. "Lebih baik kita urus dulu jenazah Asmini, Angku! Setelah itu kita lanjutkan pengejaran.
Kemanapun manusia laknat itu pergi, selagi didunia akan bertemu juga", Mali menyarankan.
Malintang Bumi tidak menjawab, ia tengah larut dalam kesedihan. Tubuh puterinya
dipeluk erat, didekap seakan tiada mau dilepaskan.
"Bersabarlah Angku. Akan tiba saatnya hutang akan dibayar! Darah dibayar darah,
nyawa diganti nyawa", lanjut Si Mali.
Tengah hari itu Mali mendapat tugas menggali kuburan. Berbekal peralatan seadanya,
kayu-kayu, pekerjaan itu amatlah melelahkan. Namun, si pemuda tiada kenal rasa letih.
Sejenak;pun tak dihentikan pekerjaan sebelum selesai liang kubur itu. Sementara itu, Malintang
Bumi duduk terpaku disamping jenazah puterinya, Asmini. Sudah sejak tadi tangisannya tak
reda-reda. Sudah bengkak kedua mata si laki-laki tua, sangat terpukul melihat anaknya
meninggal demikian rupa, menderita diakhir hayatnya.
Selesai membuat liang kuburan, dikebumikanlah Puti Asmini seadanya, sebisa yang
mereka lakukan. Berkafankan kain sarung dipinggang Mali. Tak lupa dishalatkan terlebih
dahulu. Lalu, ditancapkan sebuah dahan pohon kecil diatasnya, pengganti nisan juga sebagai
tanda, jika kelak, suatu saat nanti mereka hendak berziarah ke kuburan itu.
Setelah membacakan do'a untuk almarhumah, agar tenang-tenteram roh-nya dialam baqa,
mali dan malintang bumi duduk bersila ditanah. "Menurut perkiraanku, Mangkuto Sati menuju
ke timur! Jejak kaki kuda itu bisa kita jadikan pemandu jalan", berkata Malintang Bumi.
Mali mengangguk,"Perkiraanku juga sama, angku. Bajingan itu pasti bersembunyi
disekitar hutan ini. Yang kutakutkan sekarang hanyalah Si Randai. Bagaimana nasibnya
sekarang" Jangan-jangan ia bernasib sama dengan kedua orangtuanya. Pilu benar hatiku
mengingat itu" "Semoga Randai cucuku masih selamat. Besar kemungkinan ia masih ditawan Mangkuto
Sati. Bajingan laknat itu takkan gegabah!"
Mali menghela nafas,"Dari kecil, aku telah bergaul dengan Mangkuto Sati. Luar dalam
tabiatnya kuketahui dengan baik. Mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa tabiatnya
amatlah buruk, bejudi salah satunya. Termasuk caranya memperlakukan aku. Disuruh-suruh,
dihina, bahkan dipukuli bak binatang setiap hari. Orang kampung hanya tahu bahwa kami
bersahabat, kuagung-agungkan namanya sebagai sosok paling baik yang pernah kukenal, demi
sepaham para tetuah mengangkatnya menjadi Datuk, pengganti Sutan Bazar. Padahal tujuannya
itu hanyalah untuk kesenangan. Agar banyak dapat hibaan dari kemenakan. Kami berteman, ya!
Menurutku demikian. Kemana dia pergi, pasti ada aku disana. Bodohnya aku, sedekat apapun
,tidaklah pernah kusadari ketika itu ia tidak benar-benar menggapku saudara,,,, melainkan
budak. Memanggilnya_pun harus dengan sebutan Tuan, tidak boleh menyebut nama. Seolaholah aku ini hanyalah manusia hina.
Hari itu, kulihat Mangkuto Sati pulang dengan raut muka teramat masam, muram betul.
Sepanjang jalan kudengar ia mengomel, merutuk-rutuk seorang diri. Tak sedikit sumpah serapah
yang keluar dari mulutnya sedari ia tiba dihalaman. Gelagat kurang baik itu dapat kutafsirkan
sendiri. Aku mahfum akan suasana hatinya, sudah pasti berita buruk. Sebelumnya, ia
mengatakan padaku niatnya untuk meminang Puti Asmini pada Angku. Kepalaku dapat menerka
bahwa keinginannya itu tidaklah kesampaian. Makanya ia muram. Tabiat buruk Mangkuto Sati
memang begitu, tidak bisa menerima kenyataan. Melihat keadaannya, aku ingin menghiburnya.
Kusapa dia sesampainya didepanku. Kugoda dia dengan caraku agar keluar juga senyumnya,
sebagaimana biasanya aku menghiburnya. Akan tetapi, sangat menyakitkan balasan yang
kuterima, bukan penghargaan yang diberikan, aku malah dipukuli. Aku ditampar dan


Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditendangnya keluar rumah. Aku marah, teramat marah! Sejak hari itulah kusadari, orang seperti
Mangkuto Sati tidak akan pernah menganggapku seperti manusia. Kecuali budak! Menurut
perkiraanku, penolakan Angku itulah penyebab dendam kesumatnya itu. Dia manusia yang tidak
pernah menerima penolakan".
"Aku bukan orang bodoh Mali! Sekalipun Puteriku belum dipinang waktu dia datang,
tetap saja pinangannya kutolak. Tidak sedikit pengaduan dari kampung sebelah padaku tentang
keburukan Mangkuto Sati. Kau pasti tahu kejadian memalukan yang dilakukannya ketika
menggoda isteri Jufri, kepala kampung Muara"
"Ya! Aku ingat kejadian itu. Dia sedang mabuk berat ketika isteri Jufri lewat. Lebih
parahnya, wanita itu disangkanya Asmini! Dikejar-kejarnya perempuan beranak dua itu sampai
kepintu rumah, memalukan! Aku yang memapahnya pulang sebelum penduduk datang
menghajarnya" "Manusia kotor ...!", desah melintang bumi. Kemudian berdiri,"Sebaiknya kita lanjutkan
perjalanan! Sebelum matahari turun..!", ajaknya.
Dilanjutkanlah perburuan. Tinggallah pusara Asmini , perempuan lemah lembur nan baik
hati, semoga kau temukan kedamaian didunia kekalmu. Kelak, entah siapa yang akan mengingat
bahwa disana adalah tempat peristirahatan seorang wanita muda, isteri Datuk Padukuan, puteri
Jagoan Malintang bumi yang mati diperkosa. Tiupan angin barat berhembus sayuh.
Melambaikan kesedihan kepucuk-pucuk dedaunan dan pokok kayu belantara. Terdengar
gemerisik suaranya bagai bertangis-tangisan alam semesta. Dari kejauhan, menghampar rumahrumah penduduk padukuan. Sawah dan ladang menghijau.
14.Empat belas * Satu-dua bukit telah dilewati. Lembah-lembah mereka turuni. Pencarian tanpa ujung itu
belum menghasilkan apa-apa. Entah dimana Mangkuto Sati bersembunyi. Dimanakah cucu
Malintang bumi" Masih hidup ataukah sudah mati" Bertumpuk-tumpuk kegusaran dalam badan
kakek tua itu. Hari sudah petang. Senja mulai membayang. Timur menghitam-barat memerah. Kelam
suram hutan rimba yang dijelajahi oleh Mali dan Malintang Bumi. Seruan binatang malam
sambut menyambut ditelinga. Ah, letih sudah! Pencarian yang melelahkan itu membuat mereka
lupa mengisi perut. Hilang kejap tenaga dibadan. Keringat dingin merembes deras dijidat
masing-masing. "Bagaimana sekarang, angku" Kita kehilangan jejak!", kata Mali memegangi
perut, keletihan. "Entahlah, Mali! Aku juga tidak tahu lagi harus berjalan kemana! Hari sudah gelap.
Mataku tidak jelas lagi melihat jalan", jawab Malintang Bumi dengan keadaan yang tidak jauh
berbeda. "Berhentilah dulu kita disini barang sebentar, Angku! Supaya tenang kepala, terang pula
berfikir! Daripada berputar-putar tak tentu arah, tenaga kita juga yang terkuras habis"
"Baiklah!", malintang Bumi menyetujui.
15. Limabelas * Cukup lama termenung dua laki-laki itu. Bingung berfikir, kemanakah akan mengurak
langkah" Petang menghilang-senja telah datang, namun maksud tak juga kesampaian. Nasib
yang tak ubahnya seperti si buta hendak berkaca, bingung!
Tapi sesaat setelahnya, Tidak jauh dibawah, mata Malintang Bumi menangkap samar
sebuah bangunan kecil, tersuruk didasar lembah, pondok! Pondok siapa disana" Adakah manusia
bernaung dikedalam seperti ini" Siapapun disana, ditempat itu, tak ada alasan untuk melewatkan
praduga. Ditepuknya pundak Mali, ia menoleh, "lihat kebawah, kelembah!"
Mali melakukan! Kejutnya bukan kepalang. Hatinya membersitkan kecurigaan. "Kita
kesana! Tapi harus diam-diam. Firasatku mengatakan, musuh sudah dekat, angku! Tidak ada
ladang orang disini"
"Pikirku juga sama Mali!", mereka kemdian menuruni lembah sebentuk cekungan dalam
itu diam-diam. Sangat hati-hati melangkahkan kaki agar kedatangan tidak di sadari oleh
siapapun, penghuni pondok itu.
Sampai dilembah, kecurigaan semakin menjadi-jadi bahwa Mangkuto Sati berada
disana,"ini kuda Sutan Rajo Ameh!", bisik Malintang Bumi. Amarahnya bagai meledak, meluapluap sulit sekali dikendalikan kala mengetahui, pondok didepannya adalah persembunyian
manusia lanknat keji yang membantai keluarganya.
Dari dalam rumah terdengar tangisan anak kecil memanggil-manggil ibunya. Lalu,
terdengar pula suara bentakan, "Diam kau bocah!!! Mau kupukul lagi, eh"!!"
Meledaknya amarah Malintang Bumi. Tak kuasa lagi menahan amukan dendam yang
tertahan dalam dirinya. Mali;pun sama, binar matanya telah menunjukkan akan kobaran api
kebencian tiada tara. Malintang Bumi hentakkan kaki dan melayang diudara. Lalu, begitu dahsyat pintu
pondok kecil itu ditendang. "Praakkhh", kayu berhamburan. Papan hancur berkeping-keping!
Orang didalam pondok keluarkan seruan tertahan, mata membeliak. Namun, belum lagi tahu
siapa yang datang, tak diberi kesempatan, tendangan Malintang Bumi menghantam
dadanya,"buggh", laki-laki dalam pondok terpelannting, tubuhnya menghujam dinding, dinding
roboh. Berjumpalitan ia ditanah dasar lembah. "Akkhh",lenguhnya kesakitan. Bibir
mengeluarkan cairan kental asin, darah. Sesaat ia terbaring memegangi perut.
"Kakek!", panggil si kecil itu menangis dan menghambur kepelukan Malintang Bumi.
Tak salah dugaan si kakek. Ia memang Randai cucunya. Langsung dipeluk erat si bocah oleh
Malintang Bumi. Bagaimanapun deraan kesedihan menerpa, hatinya sedikit legah mendapati
cucunya masih hidup tanpa kurang satu apapun. "Tenanglah Randai! Kakek bersamamu"
Dibawah, Mali;pun sudah menunggu, menyambut jatuhan tubuh berjumpalitan, hendak
dihajar pula agar sama rata bagian yang didapat. Sekalian urat di otot tangan menyembul kasar
seperti untaian benang-benang hijau dalam kulit kasarnya. Tinju dikepal berisi bara api dendam.
Tak sabar lagi rasanya ingin segera memecahkan kepala makluk terkutuk didepan. Ia berjalan
mendekat guna memastikan siapa adanya sosok yang diserang Malintang Bumi. Benarlah,
manusia terbaring kesakitan itu memang mangkuto Sati adanya.
"Hahaha...Apa kabar Mali ,Sahabatku" Lama tidak bertemu...masih hidup kau
rupanya...hebat!", bergelak-tawa Mangkuto Sati ditengah rintihannnya.
"Sayang sekali, Ilmu Telapak Tangan kotormu tidak mempan padaku, Tuanku! Terlalu
lemah!", balas Mali tak kalah kecut.
"Takabur! Cuma keberuntungan yang menyelamatkanmu dari maut, Mali! Tapi hari ini,
kau kupastikan mampus, hehehe!"
"Kita lihat saja, Tuanku! Maut siapa yang lebih dulu datang! Kau atau aku"
"Hahaha...lagakmu, Mali! Kalau tak mengingat pertemanan kita dimasalalu, tak bisa
kubayangkan bentuk tubuh kurusmu terkapar disini, sekarang! Maka, demi kemurahan hatiku
ini, Pergilah sebelum aku berdiri!"
"Jauh-jauh datang mencarimu, susah payah turun-naik gunung, Manamungkin
kulewatkan kesempatan yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup ini dengan pergi begitu
saja?" "Saat-saat apa yang kau maksud, Mali?"
"Memenggal kepalamu, Tuanku!"
"Lakukanlah jika kau mampu! Aku sudah berikan kesempatan buatmu melarikan diri.
Tapi, kau malah memilih mati! Kusegerakan kematianmu! Bersiaplah, Mali!". Mangkuto Sati
berdiri dan menyapu-nyapu debu dibaju dan celana, asal saja kelakuanya.
"Mundurlah Mali! Bajingan ini bagianku!", berseru pula Malintang Bumi menggendong
Cucunya Randai, mendekat.
Mangkuto nyengir, angkat tangan bak menyambut tamu, "Selamat datang dirumahku,
Angku! Maaf jika aku tak bisa memberikan sambutan, sebagaimana mestinya menyambut ayah
mertua yang tak jadi... Ha ha ha!
Apa kedatanganmu ingin menuntut balas" Aku memang sengaja membunuh menantumu
dan menggagahi puteri kebanggaanmu itu, Angku. Senang sekali melihat keduanya menebus
nyawa ditanganku ini. Puas bermain-main, kubuang jasadnya agar disantap binatang liar dihutan
sana. Dan kemudian, ini yang terpenting, menunggu kedatangan kalian mengantar nyawa!
Terutama kau Malintang Bumi!"
"Bedebah!", malintang bumi membentak. Kembang kempis kedua pipi. Gendongan
cucunya, Randai diserahkan pada Mali. Kemudian maju selangkah kedepan. "Sudah saatnya
hutang kau tebus, Aku ingin mengadu nyawa denganmu!"
Seiring ucapannya berakhir, golok dicabut, dan mulailah ia Malintang Bumi menyerang.
Si kakek meliuk memutar diri mengincar perut lawan. Dahsyat... !!
"Celaka! Aku harus berhati-hati", bathin Mangkuto. Sebagaimana diketahui, jurus-jurus
silat Malintang bumi bukanlah jurus silat biasa, tak mudah dibaca lawan. Selama ini, belum
seorang;pun tokoh silat mengatahui letak kelemahannya. Sigap sekali, Mangkuto kelitkan badan
kesamping seraya bersiap menyambut serangan dengan dua tangannya yang telah berubah hitam
legam, logam hangus. Itulah pukulan andalannya, Jurus maut, Pukulan telapak besi. "Trangg!",
percikan bunga api merebak kala tangannya bersentuhan dengan golok Malintang Bumi.
Benturan itu tampak tak berpengaruh banyak pada diri Mangkuto jika dilihat dengan
mata biasa, tapi sebenarnya, dadanya mendenyut sakit. Sekalian ototnya bagai digenjot ribuan
jarum, perih. 16. Enambelas * Malintang bumi, kerahkan seluruh tenaga dalam ketangan kanan, melihat serangan
pertamanya yang berhasil membungkam mulut lawan, ia semakin bernafsu. Kembali memburu
dengan jurus andalannya. "Matilah...!", seruan seiring suara angin menderu kencang, daun-daun
merebak berterbangan. Mangkuto Sati tak mau berlaku ayal. Memang, ilmunya belumlah bisa disejajarkan
dengan Malintang Bumi, tetapi, pukulan telapak besinya sudah cukup untuk membentengi diri.
Ia terus bertahan. Belum sekalipun berusaha membalas. Sepertinya, ada rencana terselubung
dalam kepala manusia laknat ini. Ia sengaja menguras tenaga Malintang Bumi, licik!
Bertubi-tubi hantaman, pukulan, serta terjangan mematikan, dilancarkan si jagoan tua,
tak satupun mengenai musuh. Lawan licin bagai belut. Sementara gerakannya semakin lamban,
tak segesit diawal serangan. Ia mulai lengah!
Kesempatan itu digunakan betul oleh mangkuto sati. Terenyum terkekeh, ren
cananya berjalan mulus, "Bodoh..!! Mampuslah kau sekarang!", serunya menghantamkan telapak Besi
kejantung lawan,"Paakk", malintang Bumi terjungkal kebelakang, tertidur ditanah. Telapak besi
telah bersarang didadanya. "Angku!", teriak Mali mendekat. Diguncang-guncangnya tubuh tua
itu. Tak bergerak! "Sekarang giliranku melawanmu, bangsat!", memberi isyarat si Mali. Randai merengekrengek pada kakeknya yang diam.
Menyemburlah gelak tawa Mangkuto Sati, bercakak pinggang, "ha ha ha... Kukira akan
sangat sulit mengalahkanmu, angku! Rupanya semudah meludahi tanah! Belum apa-apa, kau
sudah keok...dasar monyet tua, kehebatanmu hanyalah omong kosong!
Baiklah mali, aku memang harus bersikap adil! Kalian dapat bagian sama banyak, yaitu
sama-sama mati!" "Ha ha ha ha....",Menggelegar pula tawa Malintang Bumi tiba-tiba. Tak disangka si
kekek masih hidup. Bahkan telah berdiri lagi didepan lawan. "Kaauu... ", cengang Mangkuto
Sati."Bagaimana bisa...?"?"
"Licik, kejam, tapi bodoh! Itulah kau Mangkuto... Kau kira ilmu kacanganmu itu bakal
mempan melawanku" Masih terlalu dangkal pikiranmu", balasnya sinis.
"Apa...apa maksudmu Malintang Bumi!"
"Bocah ingusan... Dengar baik-baik...ototku kawat, tulangku besi! Logam apa yang kau
pakai ditanganmu, eh" Seribu paduan besi;pun kau gunakan , tidak akan mempan dikulitku!"
Bukan main pucatnya Mangkuto, baru sadar bahwa Malintang Bumi kebal senjata. Kini
hanya bisa dirutuki diri sendiri, alangkah bodohnya ia tak menyadari dan melupakan hal yang
sudah diketahui oleh banyak orang. Itu semua dikarenakan ulah merasa dirinyalah yang paling
hebat, tiada tandingan! Gertakan Malintang Bumi telah meruntuhkan nyalinya beberapa saat.
Namun, hanya sesaat ia ketakutan. Sesudahnya, culas otaknya bekerja lagi. "Jangan
pongah dulu kau Malintang! Aku belum mati...! Ayo... Balaskanlah dendammu jika kau
sanggup! Coba kau bayangkan wajahku ketika menggagahi puteri cantik molekmu itu dihutan
sana.. Ia meronta-ronta, memekik memanggil..Ayah...ayah...tolong aku.. Luar biasa sekali
kurasakan ketika itu...nikmat..he he he!"
Menitik air mata panas kepipi, menggigil seluruh badan. Muka memerah, semerah bara.
Malintang Bumi murka, "Kau benar-benar membuatku marah...", pekiknya keras menyonsong
langit. Tiba-tiba, badai mengamuk dilembah itu. Bumi berguncang-guncang.
17.Tujuhbelas * Malintang Bumi terus keluarkan suara melengking menghebohkan seisi alam. Mali dan
Randai serentak menutup telinga, rebahkan diri ditanah. Mangkuto lontarkan senyum bengis
kecut menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.
Asap putih menggulung tubuh Malintang Bumi, makin lama makin tebal sampai tak
terlihat lagi sosok si kakek, bagai ditelan alam ghaib.
Dibalik kepulan asap, menjelmalah Seekor naga merah, bertanduk Rusa, bersisik emas
dan berukuran sangatlah panjang! Empat kaki menyanggah tubuh besar itu. Lidah bercabang
menjulur-julur keluar. Kalau dilihat, Belumlah ada makluk yang lebih mengerikan dibanding
beringasnya rupa binatang ini, menyeramkan! Ia menggulung diri tepat dimana Malintang Bumi
Menghilang, tak jauh dari Mangkuto Sati. Dari mana datangnya makluk itu" Kemana Malintang
Bumi" Entahlah.. Bukan olah_olah kejutnya si manusia tengik, loyo tubuhya menyaksikan yang tak
disangka-sangkanya itu. Keluar keringat dingin, basah luar dalam dibuatnya. "Astaga...astaga...
Apa ini?", katanya hendak lari. Bulu kuduk merinding bagai ribuan semut merayapi tubuhnya.
Belum sempat dilakukan, selangkahpun belum, bak kilat menyambar, naga merayap
menyusur tanah, lalu menggulung, dan melilit tubuhnya kuat-kuat. Tercekik! Tak diberi ruang
sedikitpun baginya bergerak. Tanpa ampun! Dilumatnya sampai gemeretakan hancur lebur tanpa
tulang Mangkuto Sati. Mendehek-dehek bunyinya kehabisan nafas, menjulur-julur lidahnya
karna kesakitan. Lalu dilepaskan lilitan oleh si naga, Mangkuto tekulai, teronggok ditanah.
Naga itu memandangi tubuh terkulai Mangkuto yang tak lagi jauh berbeda bentuknya
dari seonggok kotoran sapi. Beginikah akhir penjahat keji yang dibutakan dendam cinta tak
bersambut" Hati hitam tak terdidik menerima penolakan memang seringkali berakibat buruk
dikemudian hari. Tak selalu keinginan bisa dicapai, adakalanya kenyataan berbeda jauh dengan
harapan. Jiwa besar dan terasah untuk selalu kuatlah yang dapat bertahan dari kejamnya dunia.
Kejam, dunia ini bisa menjadi yang paling kejam bagi orang-orang yang mudah berputus asah.
Naga mendengus beberapa kali. Matanya berkedip-kedip memandang dua sosok manusia
lain ditempat itu. Mali dan si kecil Randai tak kalah mengigilnya, tiarap ditanah. Ditambah lagi,
binatang itu kini merayap mendekati mereka. Naik turun perut Si mali! Sekalipun begitu, Randai
dibekapnya, agar terlindung. Setengah mati ketakutan, ia memejamkan kedua mata, menerima
takdir jika harus jadi santapan ular aneh itu.
"Mali..!", "Ahhh....aaaahhh....", mali histeris, menghambur kala merasakan tangannya
didengus oleh hidung binatang bertanduk itu, ngeri! Randai tetap tak dilepaskan dari
pelukannya. "Paman, aku takut!", rengek Randai. "Jangan takut, Randai! Paman pasti
menyelamatkanmu!" "Ini aku Mali...!", mali menolok kekepala naga yang tegak menjulang. Sesaat kemudian
teringat akan suara itu. "Sssiapa bicara?", katanya panik.
"Aku!",balasnya lagi, tapi wujud tak juga nampak. "Aku, naga didepanmu, bujang!"
"Kau ... Bisa bicara?"
"Anak durhaka! Aku Malintang Bumi!"
"Apa...?"?" Aku belum gila, jangan main-main angku! Lekaslah keluar, cepat singkirkan
ular ini. Atau, cucumu ditelannya,!"
"Inilah wujudku, Mali! Aku abadi dengan tubuh binatang seperti ini. Aku telah
mempertaruhkan jiwaku demi membunuh manusia laknat itu, menggunakan ajian temurun
keluargaku yang terlarang. Kini musuh sudah mati dan akupun tak bisa lagi kembali kewujudku
semula" "Apa maksud Angku" Kenapa jadi begini angku"
"Jagalah cucuku, mali! Rawatlah dia seperti anakmu sendiri! Biarkan ia tumbuh menjadi
pemuda tangkas berilmu tinggi, ajari dia kebaikan. Dekatkan dia padaku sebentar!", pinta si
naga. Mali menuruti. Randai dipangkuan dibawanya mendekat, sangatlah dekat ketika naga
mensejajarkan kepalanya. Sampai menutup mata Si mali, tak tahan bertatap muka. "Randai,
cucuku! Buka mulutmu!", Randai kecil menekur. Patuh, ia menuruti perintah meski takut. Naga
jelmaan Malintang Bumi buka pula. Mau kencing dicelana Mali menatap taring dan gigi-gigi
tajam berjejer dimulutnya. Seberkas sinar putih keluar dari kerongkongan dan langsung
mencelat masuk kekerongkongan Randai. Ditelannnya benda aneh itu tanpa sengaja.
Mali menyaksikan kejadian jadi sedikit kurang senang. Muncul firasat tak mengenakkan
dalam benaknya kala benda putih itu masuk kemulut Randai, "Angku?", kata Mali heran.
Naga kembali tegakkan kepala,"Kelak, jika saatnya tiba, cucuku akan datang
menyelamatkan aku dari kesengsaraan ini, mali. Benda putih itu adalah mustika Naga Emas
yang memiliki kekuatan amat tinggi. Benda itu, juga berfungsi menghubungkan bathinku dengan
bathin cucuku kemanapun kau membawanya. Jika dia kesulitan, naga emas akan muncul dengan
sendirinya, sebab mustika inti ada padanya! Ia kini separoh naga!"
Benar dugaannya. Benda bersinar itu sebentuk benda tidak baik yang diberikan
Malintang Bumi. Sedikit marah dia berkata, "Kenapa angku rubah Randai jadi siluman"!!
Biarkan dia tumbuh sebagaimana mestinya manusia biasa! Kenapa harus angku siksa pula dia
dengan derita yang sedang angku tanggung?", mali tak setuju
Naga tetap bertenang diri menjawab, tak ada tanda-tanda bahwa ia telah melakukan
kesalahan, "Mali, Anakku! Jangan kau salah paham! Bagaimanapun aku menolak, mustika itu
lambat laun akan mencari turunannya sendiri setelah aku mati. Dari pada ia kesulitan diwaktu
dewasa, lebih baik dibiasakannya hidup seperti ini. Percayalah, takkan terjadi apa-apa sampai ia
besar nanti!". "Bagaimana dengan setengah ular seperti yang aku katakan tadi?"
"Jika Randai berubah menjadi Ular, maka wujudku akan kembali seperti semula. Tubuh
naga ini seibarat penaungan yang terus berpindah tempat. Akan tetapi, selama dia tidak
memanggil naga emas, aku akan tetap hidup mali!"
"Sekalipun seratus tahun lagi?" "Ya!"
Tiba-tiba, dibelakang naga terjadi lagi sesuatu. Sesuatu yang sangat mengejutkan dan
membuat kuduk merinding. Belumkah bencana berakhir" Bak runtuh timpa bertimpa, habis
masalah satu-datang dua lainnya! Itulah yang sepertinya terjadi! Sebab, Disana, Mangkuto Sati
yang tadi telah mati, telah lumat belulangnya, telah putus nyawanya, kini tengah berdiri
bercakak pinggang, kepala menengadah. Dari bentuknya, tidak ada tanda-tanda goresan luka
atau tulang patah sama sekali. Apa yang terjadi"


Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

18.Delapanbelas * Mali kaget! Mau keluar biji matanya, tak sedikitpun percaya. Benarkah yang dilihat ini"
Nyatakah ini" Naga jelmaan Malintang Bumi keluarkan dengusan seraya belokkan kepala,
menantang kedepan. Dalam hati membesit kebingungan. Sejak hidung mengalir nafas, belumlah
pernah ia melihat manusia mati-hidup kembali. Apakah gerangan terjadi" Sudah gilakah dunia
ini" "Kau.."
Mangkuto Sati berjingkrak kegirangan. Bertepuk-tepuk tangan. Tawa menggelegar bak
beduq subuh dibunyikan,"Kalian heran" Ha ha ha !! Tidak perlu heran manusia dan jejadian
bodoh....!",kata Mangkuto Sati.
"Ilmu setan apa yang anut Mangkuto?", Si Mali menatap heran.
Menepuk dada,"Ilmu tak bisa mati! Kau tahu itu...he he he!! Jadi ,silahkan remuk lagi
tubuhku sesuka hatimu, jejadian! Aku mulai menikmatinya"
Naga malintang Bumi menoleh pada cucunya. Ditatap wajah mungil itu lama, matanya,
hidungnya, pipi lembutnya, pandangan nanar menyirat penuh iba. Tatapan itu melukiskan
kecemasan, mewakilkan satu kata, yaitu maaf! Maaf,"Mali",kata si Naga jelmaan."Selamatkan
Randai! Bawa dia pulang kepadukuan! Cepat!"
"Tapi, angku!", "Jangan membantahku, Mali! Aku ayah angkatmu! Hormatilah
perintahku sekali ini saja! Tetaplah jaga dia sekalipun nyawamu tantangannya. Pergilah..!!"
Mali tak pikir panjang lagi. Randai digendong dan kemudian lari menjauhi lembah.
Berbekal kuda Sutan Rajo Ameh yang dicuri Mangkuto Sati, Mali menghilang dalam rimbun
hutan menuju jalan pulang kepadukuan.
Batangan sinar sore menembus cela-cela gelap pegunungan. Melambai-lambai pelepah
pohon kelapa, berdecik-decik bunyi rumpun bambu berdempetan. Nyanyian yang teramat sedih
bila didengarkan dengan seksama. Kapan kesulitan hidup akan berhenti menaungi orang-orang
itu" "Majulah, jejadian Malintang Bumi! Kau penasaran ingin membunuhku, bukan?",
tantang Mangkuto Sati. "Tambun! Kau menganut ilmu sesat Tambun! Bersekutu dengan setan!"
"Apapun itu, bukanlah urusanmu dengan siapa aku bersekutu! Sekarang, aku juga ingin
mengadu nyawa denganmu Naga sialan!"
Ekor naga menyanbet, melecut tubuh Mangkuto, ia terpental kemudian membentur
pohon besar. Bukan kepalang, badannya remuk, kepala pecah. Namun, ia hidup lagi! Tertawatawa, kembali serahkan diri agar lagi dihajar sampai mati. Naga tak mau menyerah, kali ini lebih
ganas, Mangkuto dikunyah dan ditelannya hidup-hidup. Lalu dimuntahkan sebentuk kotoran!
Seperti sebelumnya, sesaat kemudian ia hidup lagi. Begitu terus menerus yang terjadi.
Pertarungan yang tak habis-habisnya.
Habis akal Malintang Bumi, kewalahan. Bagaimana lagi caranya memusnahkan musuh
berhati iblis didepannya" Sedangkan Mangkuto Sati tidak juga mengalami luka apa-apa.
Digulung, dikunyah, dihempas, dicabik hingga berbuasaian isi perutnya, namun ia tak juga mati.
Si naga putus asah. Situasi itu dimanfaatkan oleh Mangkuto sati. Tiada guna lagi mengulur-ngulur waktu
denga bermain. Sudah cukup mencandai kakek tua berbadan naga ini. "Terimalah nasibmu!",
katanya. Dua telapak tangan kembali menghitam. Sudut mata memerah. Pukulan telapak besi
dipersiapkan. Kali ini tiap serangan naga dielakkan dengan mudah, ia tahu si Naga telah
melemah. Mangkuto tak buang kesempatan, ia bergulingan ditanah, tangan membentuk cakaran.
Kemudian merayap keperut binatang jejadian. Dikeluarkan seruan,"Mampus!".
Pekik kesakitan mencuat diudara, lenguh yang bila didengar akan terasakan pula
deritanya, sakit. Naga jelmaan Malintang Bumi tersungkur. Dirasakan panas teramat sangat
dibadannya, seperti terpanggang. Sakitnya menjalar sampai ke kepala. Dua kaki depannya telah
putus, dicabut oleh mangkuto Sati! Darahnya memerahkan tanah. Sebercak air mata meleleh
disudut matanya. Tak sampai disitu, mangkuto sati belum hentikan siksaan. Tanpa rasa iba, kaki belakang
dihentakkan pula sampai terpisah dari badan. "Mati kau! Ingat...! Coba kau ingat lagi
penolakanmu itu bangsat! Ingat...!",katanya kalap."Gara-gara kau juga ayahku mati! Akibat
penolakanmu itulah keluargaku dicaci orang sekampung! Matilah...matilah...matilah kauuu!!!!!",
katanya menginjak-injak tubuh naga yang tak lagi bergerak. Matanya terbuka, tapi ia diam saja
diperlakukan demikian hina, tak berperasaan.
"Aku mendengar semua penjelasanmu pada si Mali! Cucumula dewa penyelamatmu
nanti, bukan"! Hebat betul kau Malintang Bumi, kita sama-sama tak bisa mati sekarang! Tapi,
ingat! Dia kupastikan takkan pernah memanggil wujud naga emas yang menaungimi! Hiduplah
menderita sampai kiamat... Ha ha ha!"
"Kau boleh perlakukan aku sesuka hati, Mangkuto! Tapi, tapi aku memohon padamu,
cukupkan dendammu sampai disini! Jangan bunuh pula cucuku! Dia tidak bersalah!"
"Masa bodoh dengan celotehmu, Naga busuk! Kenapa" Kau menyerah" Kau takut
padaku sekarang" Alamak, apa kata penduduk padukuan yang elok-elok perangai itu nanti jika
tahu tuan penolongnya telah tunduk mintak ampun dikakiku" Macam mana pula rupa mereka
nanti melihat jagoan Malintang Bumi adalah seekor jejadian buruk rupa seperti ini" Malang
nasibmu..." "Aku mohon....", Si Naga beringsut-ingsut menjalar sekuat tenaga mendekati kaki
Mangkuto Sati. Hendak diciumnya kaki si bangsat tak berhati itu. Telah dilakukannya perbuatan
paling hina demi keselamata cucu tercinta. Telah diupayakan segenap tenaga sampai sengsara
badan menanggung sakit karna disiksa. Semua karena Randai. Demi sibuah hati yang yatim
piatu tanpa keluarga. Mangkuto Sati makin girang. Dibiarkan naga Malintang Bumi menjilat-jilat punggung
kakinya. "Terus...ayo teruskan!",katanya terkekeh-kekeh. Senang betul hatinya menyiksa
orangtua yang dulu memberi malu pada hidupnya. Yang menolak niat baik, pinangannya.
Bayang-bayang kemenangan menganga dimulut lebat mangkuto sati. Sekarang, dialah Raja!
Puas menyiksa, ditinggalkan Naga besar tak berdaya itu tergelimpang dalam lembah
tersuruk sunyi, kediamannya dahulu. "Kita berganti tempat! Kau yang membuatku tinggal disini,
sekarang kaulah yang layak menghuni tempat terpencil ini selamanya", katanya sebelum pergi.
Belum jauh langkah Mangkuto, sayup masih didengarnya rintihan memohon sang Naga,
"Jangan bunuh Cucuku...Tuan!"
*** 19.Sembilanbelas * Randai menitikkan air mata. Bak kucuran hujan lebat-derasnya. Dipandang kakek rentah
didepannya itu, disesalinya luapan kata-kata kasar yang tadi ia lontarkan kepada orang tua yang
telah mengorbankan apa saja demi dirinya dimasalalu, demi keselamatannya. Kepala menunduk
samping tubuh kaku sabai, isterinya.
Si Kakek yang bernama Datuk Malintang Bumi hembuskan nafas berat, angin siang
menerpa, kakek itu mengigil. Kepala menengadah kelangit tinggi, "Semenjak hari itu, aku
terkurung dalam lembah maut yang dikemudian hari dinamai orang sebagai lembah Darah.
Berbulan-bulan hidupku menderita tanpa bisa berjalan, naga tak berkaki, tidak terbiasa melata.
Sulit sekali aku mencari makan. Bahkan, suatu hari, dengan sangat menyesal, aku menelan
seorang pemburu yang melewati tempat itu, untukku bertahan dari siksaan kelaparan dengan
tubuh yang tak bisa mati"
"Bagaimana kehidupanku setelah itu, kek" Sebelum aku dipungut Nan Kuto Basi, ayah
angkatku, aku hanya ingat diriku terlunta-lunta jadi gelandangan, tanpa tempat tinggal! Mencari
makan ditempat sampah, diabaikan semua orang kampung!"
"Tidak ada yang tahu kejadian itu selain pamanmu, Anak angkatku, Si Mali! Dia yang
membawamu lari dari lembah Darah kepadukuan. Entah apa yang terjadi setelah dia
sampai!",katanya mengenang! Lalu melanjutkan,"Namun cucuku, ingatlah satu hal ini, musuh
utamamu yang sebenarnya berada didekatmu, yang mengasuhmu sejak kau kecil! TUANKU
NAN KUTO BASI, Ayah angkat yang kau hormati itu. Dialah Mangkuto Sati, pembunuh ayah
dan ibu kandungmu, Nak!"
"Tar...Tarr..Tarrr!!!!!". Bak meledak seantero jagad, gempa besar bukit Gundam dimata
Randai ketika itu. Luluh lantak bumi dipijaknya, bergemuruh kasar awan gemawan dijunjungnya
mendengar kata yang diucapkan Si Kakek Malintang Bumi. Diam! Diam! Dan diam! Hanya itu
yang dilakukan. Mulut keluarkan erangan, menyaracau tak tentu kata.
Hilang! Hilang kelam dunianya. Menyesak-nyesak dadanya. Apa lagi Tuhan" Apa lagi
Tuhan" Apa yang terjadi padaku" Dimana kebenaran itu" Kemana ku cari kenyataan tentang
hidupku" Siapa aku sebenarnya" Siaapaaaaa?"" Bathin mau menjerit sekuat hati, tapi bibir tak
bisa bersuara. "Kau seperti seekor anak burung dalam sangkar, tiap hari diberi makan, dan kau
membalasnya dengan kicauan. Tanpa sekalipun bertanya dan ingin tahu, siapa yang menjual
indukmu!!!!".Terngiang-ngiang ditelinganya ucapan Rajo batuah sebelum dia mati dililit Naga
jelmaannya. Itukah maksud dari Rajo Batuah" Apakah musuhnya itu mencoba memberi tahunya
kebenaran" Makin kalut Si Randai.
Menyeracau ia seorang diri, menyadari sesuatu,"Aku menuduh Rajo Batuah ikut terlibat
membunuh orangtua-ku! Mustahil..! Dia lebih muda dua tahun dariku! Apakah maksudnya
ketika itu adalah ayahnya?"
"Benarkah yang kakek katakan itu" Sungguhkah, paman Nan Kuto Basi yang telah
membunuh ayah-ibuku?", lanjutnya pada Si Kakek, harapan yang mungkin mustahil untuk
ditepis Malintang Bumi. "Ya! Itulah kenyataannya, anakku!", kata Malintang Bumi."Tujuannya membesarkanmu
hanyalah untuk menghindarimu memanggil Naga Emas. Sebab, jika itu terjadi, aku akan bebas
dari kungkungan tubuh Naga tak berkaki. Maka, Musnahlah penderitaan yang kutanggungkan
tanpa kematian sampai kiamat datang!
Dua hari yang lalu, aku menghadangnya diperbatasan kampung. Kami bertarung cukup
lama. Maksudku, hanyalah mengulur-ngulur waktu. Sebab, Aku tahu ia akan datang kemari
menemuimu sebelum kau merubah wujud menjadi Naga"
"Jadi" Seseorang yang dimaksud: sedang diburunya itu ......?"
"Akulah yang diburunya!"
"Berat benar tanggunganku ,Kek! Ibarat lari keluar dari lubang neraka, mencari selamat
ketempat yang jauh. Dan, kemudian aku berdiam ditempat lain yang kusangka aman. Tanpa
kusadari sedikitpun, aku masih-lah berada dilubang yang kutakuti! Apa artinya hidup sepelik
ini?" "Jangan sesali! Tak pantas kau sesali cucuku! Kau bertahan sampai hari ini adalah karena
takdir! Takdir yang digariskan Allah akan menuntunmu mendapatkan keadilan ayah-bundamu.
Hutang yang belum lunas, harus kau tagih dikemudian hari!"
20.Duapuluh * Randai tertunduk lesu. Bingung memikirkan tindakan apa yang akan diambilnya. Api
kebencian mulai meraba-raba, merayapi rasa hormatnya pada Nan Kuto Basi yang tak lain
adalah Mangkuto Sati, Pembunuh keluarganya!! Orang yang justru telah membuat
penderitaannya berawal. Alangkah kejamnya manusia itu! Kasih sayangnya hanyalah bayangan!
Kebaikannya tidaklah nyata. Dia sengaja mengasuhnya, yang tak lain maksudnya: dia adalah
tawanan. Tawanan agar tak bisa membebaskan kakek-nya sendiri dari penderitaan, agar
rahasianya tenggelam sampai ia mati. Agar dosanya terlupakan oleh masa yang berganti. Agar
kejahatannya dimasalalu tak diungkit lagi dihari tua-nya. Akankah" Tidak! Rahasia telah
terbongkar, topeng telah terbuka! Kini tela diketahui, siapa musuh sebenarnya.
"Aku tidak akan tinggal diam! Tak akan kubiarkan Nan kuto Basi hidup tenang
sementara arwah ayah dan ibuku penasaran menunggu kematiannya. Dosanya setinggi gunung,
tak dapat kuterima, apalagi memaafkan! Akan kubunuh bajingan itu!!!"
"Tapi", kata Randai lagi."Bagaimana dengan Isteriku ,kek" Haruskah kukuburkan"
Jelaskanlah padaku perkara hidupnya yang kau bilang dia belumlah meninggal!"
"Isterimu ...",kata Datuk."Dia berasal dari alam rimba belantara yang kadang terlihat,
kadang tidak! Tanah yang disebut orang, Tanah Bunian!"
"Tanah Bunian?", kata randai tercekik."Isteriku...orang bunian" Itu maksud kakek?"
"Kurang lebih begitu",kata datuk lagi."Kenapa aku mengatakannya belum meninggal" Di
alamnya, dia masih bisa diselamatkan!"
"Benarkah, kek?", desah Randai penuh harap."Bagaimana caraku menyelamatkan
isteriku, kek" Tunjukkanlah! Aku ingin menyelamatkan isteriku! Dialah orang yang setia
mengangkat segala bebanku selama ini!"
"Tidak akan mudah, cucuku! Kita harus mencari tahu, dengan apa dia menyeberang ke
dunia fana ini" Dia manusia ghaib! Kalau benda penyeberangannya itu masih ada, jalan kita
akan lebih mudah" "Benda seperti apa" Aku sama sekali tidak tahu yang kakek maksudkan!"
"Cobalah kau ingat-ingat! Benda itu pasti ada disekitar isterimu, tapi ia tak
mempedulikannya. Dan kau sendiri tidak pernah tahu untuk apa gunanya benda itu!"
"Aku bingung!", Randai putus asah! Dipandangnya selingkungan bukit yang dulu
amatlah elok dimata, sangatlah tenang. Diatas rerumputan dan padang ilalang itu dia biasa
bersenda gurau dengan isterinya dipetang hari, pulang mengurus ladang. Mereka berlarian
mengelilingi bukit Gundam dengan suka cita. Dipandang pula bekas pondok yang telah raib,
disitulah puteranya dilahirkan. Mak ina tersenyum girang menimang-nimang bayinya, "Kau
tampan seperti ayahmu, nak!", kata beliau ketika itu.
Kini pondok hanya tinggal kenangan. Semua hancur lebur bersama bencana yang dibawa
Rajo batuah. Yang ada kini hanyalah keporak-porandaan dan dua batu besar yang telah bergeser
cukup jauh itu. Hanya guci diatas batu itulah satu-satunya peninggalan isterinya, saksi
kebahagiaan mereka. "Guci itu...!", seru Randai. Ia berdiri menuju dua batu besar pelindung pondoknya.
Diambilnya kedua Guci berlumut tak terurus diatasnya. Dihadapkan pada Datuk, kakeknya.
"Mungkinkah bendah ini yang kakek maksud" Dengan inikah dia datang kedunia kita" Hanya
ini benda yang tak pernah dibawanya kemanapun kami pindah! Dan aku tak pernah tahu, benda
ini berguna untuk apa!"
"Bisa jadi! Tapi...",kakeknya diam sebentar"Ada dua guci" Isterimu tidak sendirian
ketika datang ketempat kita ,Randai!"
"Tidak sendirian....Ada temannya," Begitu?"
"Benar! Tapi, Perkara itu kita biarkan belakangan!", katanya meletakkan dua guci
bersebelahan. "Angkat tubuh isterimu dan baringkan dia diatas kedua guci. Salah satu guci akan
mengambil pemiliknya"
"Apakah yang akan terjadi kek!?"
"Kau harus siap dengan kenyataan! Sekalipun isterimu bisa sampai kedunianya, dia akan
sulit kembali menemuimu! Berharaplah dia menemukan jalan!"
"K...ami akan terpisah, kek?",Randai tertegun!"Aku .... Aku tak bisa bertemu isteriku
lagi" Tidak ...tidak...!"
"Pilihanmu hanya dua , Randai! Membiarkannya mati ditempat ini, atau melepaskannya
hidup didunia asalnya! Tabahkan hatimu, Cobalah menerima kenyataan... !"
"Tapi...kek....!!" "Cepatlah buat keputusan!"
Berat! Sangat berat hati. Ketika dua pilihan harus dihadapi, dimana keduanya tak
sedikitpun memberikan senyuman, amat sulit! Sama-sama terpisah. Maka, Randaipun memilih
melepaskan Isteri tercinta raib ke alamnya berasal, tanah bunian yang entah dimana.
Baru saja tubuh dibaringkan, seperti ada kekuatan ghaib keluar dari guci perak berlumut,
Sabai melayang beberapa jengkal diatasnya. Semakin lama-semakin berubah tubuh kasar
perempuan yang menurut keterangan Datuk Malintang Bumi berasal dari Tanah Bunian ini.
Sosok Sabai menyamar perlahan menjadi bayang-bayang! Kemudian, guci kanan seakan
menyedot bayangan itu masuk kedalam. Hilanglah sabai dari pandangan. Hilanglah
kebahagiaan, hilanglah senyuman. Hilang pula ibu dari anaknya!
Randai menangis. Tangisan untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali air mata itu
tumpah kepipinya. Seakan tiada hari tanpa air mata. Dimana isterinya, dimana Sabai yang
dicintainya", "Isteriku...", panggilnya.
Belum habis pikir Randai melihat kenyataan yang teramat aneh itu, isterinya lenyap
tanpa bekas. Kini, Guci perak bermotif bunga teratai yang baru saja menelan bayangan sabai
bergerak-gerak. Seperti hidup, wadah logam itu seperti meronta-ronta. Selayang pandang, benda
itu terbang, membubung kelangit. Semakin dilihat, semakin hilang. Guci perak itu;pun kemudian
lenyap seketika. Kakek Malintang Bumi pegang bahu Randai,"Dia telah pergi! Semua cerita dari alam ini,
termasuk Luka dipunggungnya akan hilang setibanya di Tanah Bunian, negeri tersembunyi
ditanah entah dimana. Tak satupun kejadian dialam manusia bisa dibawa kesana!"
Pemuda gagah yang tak lain adalah cucu si kakek ini usap air mata, berusaha tenangkan
diri, hapuskan duka,"Akankah masih diingatnya aku disini, suaminya yang takkan pernah
berhenti menunggunya kembali" Mungkinkah sabai akan menemukan jalannya kembali
kesisiku" Mungkinkah, Kek?", tanya Randai.
"Hanya isterimu yang tahu jawabannya, Nak! Waktu kita dengan alamnya sangatlah jauh
berbeda. Bertahun hidup denganmu, baginya baru sehari-dua hari. Agak sulit diingatnya
kejadian yang tak ubah seperti mimpi itu!"
"Mimpi..!", kata Randai tersenyum kecut, sangat kecewa."Sekarang aku hanyalah mimpi
dalam pikiran isteriku sendiri. Menyedihkan!"
"Tapi biarlah",lanjutnya."Sekalipun baginya aku adalah mimpi, semoga aku adalah
mimpi terindah dihidupnya saat dia terbangun nanti. Dan Semoga Tuhan selalu menghidupkanku
dalam mimpinya setiap hari. Pilu benar hidupku!",Lama ia termenung memikirkan isteri, juga
memikirkan anak. Bilakah masanya mereka berkumpul lagi" Masih adakah waktu tersisa untuk
mereka bertemu kembali"
"Darimana kakek tahu bahwa isteriku tidak berasal dari kaum kita" Adakah kaum
sejenisnya yang kakek jumpai selain dia?"
"Kau sudah tahu jawabannya. Sayangnya kau tak menyadari! Saat kau menjadi Naga
Emas, keanehan apa yang kau lihat dari diri isterimu" Adakah sesuatu yang membuatmu
bertanya-tanya?" Randai berfikir sebentar, mencoba mengingat kembali, "Cahaya dikeningnya! Ya, kulihat
ada cahaya putih ditengah-tengah keningnya!"
"Tepat sekali! Itulah tanda pembeda antara orang bunian dengan kaum kita. Tidak
sembarang waktu kau bisa melihat tanda dikeningnya itu, Hanya ketika wujudmu berupa Naga
saja kau akan melihatnya. Sebab, ketika itu kau juga bukanlah manusia, termasuk matamu!"
"Dari mana pula kakek tahu ada tanda dikening isteriku" Sejak kapan kakek melihatnya",
tanya Randai heran. "Ah! Randai cucuku", Datuk mendesah."Semenjak awal kau tinggal dipuncak bukit
gundam ini, aku telah mengawasimu siang dan malam. Menjagamu dari segala macam bahaya
yang mengancam. Seluruh keluarga kecilmu tak luput dari perhartianku. Termasuk isterimu"
Randai mengangguk, mengusap wajanya berkeringat. Dalam benaknya tak sekalipun
putus memikirkan keberadaan puteranya dan Mak ina. Tak terbayang rasanya debaran dada


Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tatkala ketakutan pada firasat buruk yang membisikinya. Puteramu telah mati...puteramu tela
mati...itulah yang terus terngiang ditelinga. Teringat akan hal itu, tak mau hidup lagi rasanya ia
didunia. Diutarakanlah keresahannya pada sang kakek.
"Anakmu berada ditempat yang aman! Dia selamat!", Kata Datuk Malintang
Bumi."Nenek mertuamu membawanya jauh ketimur, ke air terjun tombak tempat persembunyian
yang kau katakan padanya!"
Tidak ada kata selain syukur diucapkan dari bibirnya mengetahui berita baik itu. Biarlah
celaka badannya, biarlah sengasara penanggungannya, biarlah pula buruk nasibnya, asalkan
anaknya selamat, lapang dada, tenanglah bernafas. "Alhamdulillah! Syukurlah! Apa kakek
melihat mereka" Siapa yang menolong mak ina" Mustahil nenekku bisa berjalan dalam gelap,
matanya sudah kabur?"
"Seekor serigala!"
"Apa?"?"", Randai berdiri, panik!"Serigala " Mati... Pasti sudah mati anakku
dimangsanya...tidak!!!"
"Tenanglah!", kata datuk."Malam itu, aku mengikuti Nenek mertuamu dari kejauhan.
Lagi pula, anakmu itu juga cicitku! Aku juga ingin menjaganya. Wanita tua itu sempat terjatuh
berkali-kali sebelum ia akhirnya duduk pasrah diatas rebahan kayu lapuk, kedinginan diguyur
hujan. Aku ingin memberinya pertolongan, tak satupun bisa kulakukan! Aku tiada daya. Aku
hanyalah ular besar yang menjalar ditanah. Ia menangis, disela tangis kudengar dia memanggilManggil sebuah nama. Balang! Itulah yang dipanggilnya. Tak lama kemudian, kulihat seekor
serigala besar, sangat tinggi, muncul didepannya. Serigala itulah yang membawa anakmu dan si
nenek dipunggungnya sambil berlari. Kau takkan percaya, larinya bak kilatan petir, cepat sekali!
Ditengah jalan, sengaja kuhadang mereka. Aku menampakkan diri sebagai pertanda perjalannya
akan tiada rintangan! Semua binatang buas yang menghalangi jalan telah kubersihkan, kuusir
atau kumakan! Setelah itu, kutenggelamkan diriku kesungai agar sisik-sisikku rontok. Karna
panggilanmu pada Naga Emas telah melepaskan penderitaanku sebagai Naga tak berkaki!
"Serigala macam apa yang berhasil dijinakkan oleh mak ina" Setahuku, beliau tidak
pernah memelihara binatang, apalagi binatang buas macam serigala!"
Malintang bumi tersenyum, "Serigala itu! Dia pernah mengacaukan tidurku didasar
sungai beberapa puluh tahun yang lalu. Waktu itu terang bulan, Ia menyelam dan menangkapi
banyak sekali ikan. Sepertinya ia kelaparan. Akan tetapi, aneh kulihat, Ikan-ikan tangkapannya
malah dibuang-buang mubazir ketepian. Sudah menggunung, tetap ditumpuknya-, belum juga
berhenti, geramannya menyiratkan kemarahan, mengamuk membabi buta! Aku yang semula
diam , jadi terusik ulah tingkahnya yang tak tahu aturan itu. Cukup lama kubiarkan,
keserakahanya tak juga mau berhenti, tak puas-puas ia menganiaya. Maka, Kutangkap dan kulilit
tubuhnya kuat-kuat, sampai melengking suaranya minta ampun, tak kulepaskan! Puas kuberi
pelajaran, barulah Kulemparkan tubuhnya ketepian. Serigala itu lari tunggang langgang. Dari
situlah kuketahui, dia bukan serigala biasa. Dia bicara layaknya manusia. Hanya jejadian yang
bisa bicara seperti aku, yang berwujud seekor naga"
"Ada begitu banyak rahasia dialam semesta ini. Lama hidup-banyak pula yang dilihat.
Pengalaman yang tiada ternilai harganya?",kata Randai pula.
Namun, percakapan itu diusik oleh suara rintihan seseorang ....
21.Duapuluh satu * "To....toloo...nnggg. Tolo ...oooo...nngg!", rintihan pesakitan sayup samar menelisik
telinga. Memohon mengiba tiada henti. Begitulah yang terdengar berkali-kali. Entah suara siapa.
Entah jeritan siapa. Adakah yang selamat dari amukan naga merah jelmaan Randai" Jika
diperhatikan, tempat kediaman yang semula indah dengan suasana perbukitan, kini sudah
sebentuk lahan pembantaian. Porak-poranda. Pohon-pohon tumbang, rumah kediaman Randai
lenyap. Mayat-mayat algojo suruhan Rajo Batuah raib. Yang ada kini hanya dahan-dahan patah
berserakan dimana-mana. Begitu dahsyatnya amukan si naga. Akankah ada satu manusia
sanggup bertahan hidup" Lalu, siapakah yang merintih itu"
(Bersambung) Pendekar Kelana 8 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Senopati Pamungkas I 22

Cari Blog Ini