Ceritasilat Novel Online

My Lovely Gangster 1

My Lovely Gangster Karya Putu Felisia Bagian 1


PROLOG BANGKOK-THAILAND, pertengahan Juni.
Seorang pria berusia tiga puluhan duduk di sebuah ruangan gelap, mengamati layar komputer
sambil bertopang dagu. Seorang wanita cantik ikut mendampinginya, duduk bersandar dengan
manja sambil membelai bahu pria tersebut. Tidak ada yang istimewa dari pemandangan itu,
selain sepasang kekasih biasa. Hanya saja, saat itu masing-masing dari mereka menggenggam
pistol semi otomatis yang sama. Pistol dengan dua puluh butir peluru yang siap ditembakkan
daati magazen-nya, mengundang maut bagi musuh-musuh mereka.
Ruang sempit di sekeliling mereka berpendar redup, cahayanya mengenai sebagian wajah
sang pria. Tato naga hitam kecil melingkar di pelipisnya yang mulai berkerut. Konsentrasinya
terarah ke layar komputer. Mengamati refleksi gorong-gorong gelap di luar. Keadaan di sana
sangat bertolak belakang dengan ketenangan dalam ruangan. Suasana teramat kacau saat itu.
Roda-roda terbakar berserakan di sana-sini. Gorong-gorong penuh dengan sosok-sosok tubuh
berlumuran darah. Sebuah perkelahian besar sedang terjadi. Puluhan anggota geng terlibat baku
hantam di gang-gang sempit, memperdengarkan bunyi-bunyian berisik dari senjata mereka.
Linggis, parang, juga dongkrak mobil bergerak bergantian membentuk sebuah orkestra perang,
bersamaan dengan senjata-senjata lain yang beradu nyali. Berebutan menyesap kehidupan dari
sisa-sisa darah manusia. Sesosok pria berdiri dengan angkuh, menerobos perkelahian di sekitarnya tanpa dapat
dirobohkan oleh orang-orang yang mencoba menyerangnya. Wajahnya dingin dan keras, seolah
baku hantam orang-orang itu tidak mempengaruhinya sama sekali. Beberapa kali dia
menjatuhkan orang-orang yang berebut menyerangnya. Hanya dengan sedikit menggerakkan
tubuhnya, seolah-olah dia sedang menepuk nyamuk. Sosok itu kini mempercepat langkahnya
melihat tujuannya sudah hampir dekat. Pemimpin geng Kobra, seorang pria Thailand yang
bahkan dia tak tahu namanya.
Seorang pria botak bertubuh seperti raksasa tertawa masam melihat sosok kokoh itu
menghampirinya. Dia adalah pimpinan geng pecundang itu. Kakinya gemetar melihat pria itu
menghampirinya. Rencananya tidak seperti ini.. Dia menginginkan pertarungan tak seimbang
yang memaksa lawannya berlutut di depan puluhan anak buahnya. Bukan pertarungan berlevel
jauh di atasnya. Tiga orang pelindung dan seorang ketua klan telah berhasil memporak-porandakan
pasukannya. Empat lawan dua puluh delapan. Suatu hal yang mustahil. Dia telah kehilangan
seluruh kepercayaan dirinya. Sikapnya luar biasa defensif, satu tangan mengarahkan pistol tepat
ke depan, satu tangan lagi mempererat cengkeramannya pada sandera, satu-satunya peluang
meloloskan diri. Seorang gadis Jepang bernama Yamashita Shiori.
"Kuga Kyouhei," pria itu mengarahkan pandangan sinis pada sosok di depannya, "Aku sudah
bilang kau harus datang sendiri."
Wajah Kuga dingin seperti es. Sama sekali tak memperlihatkan adanya emosi.
"Kalau kau maju, dia akan mati," pria itu menarik gadis yang disanderanya, mengalungkan
sebelah tangan di leher gadis itu, sehingga tubuh sang gadis menjadi tamengnya.
"Siapa yang menyuruhmu?"
Pria itu kembali tertawa, "Ketua Naga Timur Asia. Kalau aku membunuhmu, aku akan
terkenal sepertimu yang selalu mendapatkan apa yang kau mau..." pria itu menyorongkan
pistolnya hingga menyentuh sang gadis, "Buang senjatamu, ketua.. atau tunanganmu ini akan
mati." "Kasihan sekali..." Kuga tersenyum mengejek, "Kau bahkan tak pantas menjadi pimpinan
sekumpulan pecundang itu..." dia menunjuk tubuh-tubuh tak sadarkan diri di atas aspal, seolah
mengejek harga diri pria itu.
" DIAM" bentak pria itu garang, ia hampir membuat gadis sanderanya kehabisan napas
karena tercekik, "Sudah kubilang ini hanya antara kau dan aku!"
"Kalau begitu lakukan saja."
"Apa?" "Kalau kau tak mau, aku yang akan melakukannya," satu tangan Kuga kini mengangkat
pistolnya, dengan sebuah gerakan cepat, sebuah peluru timah melesat ke depan, seketika
mengakhiri nyawa pria itu, setelah terlebih dahulu menembus leher gadis yang menjadi
tamengnya. "Kau keliru..." gumamnya, seakan berbicara pada sang pria,"Aku tidak pernah mendapatkan
apa yang benar-benar kuinginkan..." ia memandang sekilas jasad gadis itu, dengan pandangan
menyesal. Lalu mengambil ponsel dari saku sang pria. Kuga membuka daftar panggilnya,
menemukan nama Yuri di sana. Ceroboh seperti biasa! Keluh Kuga dalam hati. Jarinya langsung
menekan tombol panggil. Dari kejauhan, wanita berambut keperakan itu menoleh pada ponselnya yang mendadak
berbunyi. Sejenak, dia tampak berpikir. Keragu-raguan tampak pada wajahnya, sedikit ketakutan
karena merasa dirinya terlalu ceroboh sehingga meninggalkan nomor telepon pada ketua geng
Kobra yang bodoh itu. Untungnya, pria di sebelahnya tidak terlihat marah. Dia memberi tanda
kepada sang wanita untuk mengangkat teleponnya. Mata tajam sang pria mengarah pada monitor
yang memperlihatkan Kuga menempelkan ponsel pria tadi di telinganya.
"Permainanmu mulai membosankan, Yuri..." desis Kuga, "Geng kecil seperti ini bahkan
takkan pernah sanggup menyentuhku. Kau lupa dengan siapa kau berurusan." Dia tertawa.
Tawanya membuat gadis berambut perak yang dipanggil Yuri itu gemetar. Untung saja Kuga
tidak bisa melihatnya sekarang.
"Benarkah?" Yuri tertawa dalam nada yang dibuat-buat, alisnya mulai naik turun antara
gugup dan ketakutan, "Tapi kau telah membunuhnya," katanya dengan suara bergetar,
"Tunanganmu sendiri."
Kuga terdiam. Yuri melihat pemandangan dingin pria itu dari monitor. Sama sekali tidak
terlihat duka di wajahnya. Apalagi perasaan bersalah telah membunuh tunangannya.
"Arigato gozaimasu..."
Dengan sebuah kecupan jauh, Kuga menutup telepon.
Yuri terpana, memutar kursi yang didudukinya sehingga menghadap ke arah pria di
sebelahnya. Pria itu tampan. Luar biasa tampan hingga tampak hampir tak manusiawi. Hanya
saja, tato naga hitam di pelipisnya membuat pria itu terlihat berbahaya.
"Kalian berdua adalah monster..." desis Yuri pada pria itu, yang kemudian memamerkan
senyum dingin memesona. Pria itu membungkuk di hadapan Yuri, lengannya terulur menyentuh
wajah Yuri, membuat pola melingkar di pipi Yuri dengan ujung jarinya.
"Kau masih mencintaiku?"
"Tentu saja," Yuri mengangguk ragu, karena sentuhan pria itu perlahan berubah menjadi
sentuhan dingin. Dan terasa mematikan. Pria itu memandang sekilas kepergian Kuga Kyouhei
melalui layar komputer. Kemenangan mereka cukup membuat harga dirinya terluka.
"Jadi semuanya gagal," Yuri mendesah. Pria itu tersenyum kembali, mengamati geng kecil
ciptaannya telah porak-poranda di tangan Kuga Kyouhei bersama kelompoknya.
"Ini baru permulaan..." ia berkata tenang. Sorot matanya mulai memancarkan aura
pembunuhan. Permainan baru saja dimulai...
PERJANJIAN JAKARTA-INDONESIA, satu bulan kemudian.
Taksi biru itu meluncur pelan menjauhi gerbang bandara internasional. Warna-warni papan
iklan berhias kunang-kunang elektrik dengan cepat tergantikan dengan kegelapan, saat taksi itu
berbelok ke sudut terdalam Jakarta, tepat ke daerah pinggiran kota yang merupakan jalan sepi
menuju jantung kota yang sesungguhnya.
Sky-penumpang taksi itu, mengerutkan keningnya sesaat ketika melihat mobil-mobil
modifikasi telah ramai memenuhi jalan itu. Pengemudi taksi di depannya langsung berkeringat
dingin ketika melihat suasana di depan telah mulai rusuh. Kelihatannya salah satu pihak tidak
dapat menerima kekalahannya dalam balap liar yang diadakan sebelumnya. Tawuran
antarpembalap jalanan itu tidak terelakkan lagi. Beberapa orang mulai berkelahi sampai wajah
mereka babak belur, sementara yang lain masih sibuk mengayunkan senjata dengan maksud
mengancam. Supir taksi itu terpaksa menepikan mobilnya, jauh sebelum area tawuran itu, "Maaf.. Mas,
tapi saya nggak berani lewat..." katanya dengan suara gemetaran.
Sky tersenyum sinis dan memandang mereka dari balik kacamata gelapnya. Tanpa bicara, dia
mengeluarkan troli kopernya dari dalam taksi, menyerahkan selembar lima puluh ribuan sambil
memberi tanda agar sopit itu memutar baik mobilnya, menghindari tempat tawuran itu. Sky
memandang kepergian taksi itu, sebelum menaikkan troli kopernya ke atap sebuah mobil di
dekatnya. Jas panjang hitamnya melambai ketika dia melangkah pelan memasuki kawasan
berbahaya di depannya. Tidak ada dari mereka yang menyadari kehadiran pria itu. Namun Sky melangkah nyaris
tanpa beban ke arena tawuran. Dengan tenang, dia menghantam beberapa orang di dekatnya,
sebelum melompat ke atap mobil Jeep tinggi tang terparkir tak jauh dari sana.
"STOP!!!" Sky berteriakm memecahkan konsentrasi pembalap jalanan yang sedang asyik
tawuran. Sesaat, mereka tampak terkejut, namun tak seorang pun merasa takut. Rupanya darah
muda mereka begitu menggelegak hingga menguasai akal sehat mereka.
Gerombolan pembalap jalanan itu akhirnya berkumpul di dekat Sky, seakan menemukan
musuh yang sama. Lalu, seorang cowok hippie yang terlihat masih muda, membalas teriakan Sky
dengan angkuh, "Siapa kau" Berani sekali mengganggu urusan kami di sini!"
"Benar," seru pemuda lainnya--yang jelas merupakan anak orang kaya"berteriak tak kalah
angkuh, "Kami semua penguasa daerah sini! Pergi dari sini atau kau akan celaka!"
Sky nyaris tertawa menanggapi ancaman itu, namun dia segera turun dari kap mobil yang
dinaikinya lalu berhadapan dengan gerombolan itu.
"Mengapa kalian tidak pulang dan mengerjakan PR saja?" sindirnya kepada kedua orang
yang terlihat masih sekolah itu, "Berkumpul di sini untuk balapan dan tawuran hanya membuang
waktu sia-sa... Hidup kalian terlalu berharga."
Kedua orang itu langsung menyumpah. Dalam sedetik, Sky menyambar tongkat bisbol di
tangan cowok hippie di depannya, kemudian menghantamkan tongkat itu ke dua mobil di
dekatnya. Kaca-kaca mobil itu langsung berderak dan pecah. Sementara serpihannya memenuhi
aspal jalanan. "Kurang ajar!" cowok hippie itu menggertakkan giginya marah. Dia mulai menyerang Sky,
diikuti oleh anggota gerombolan yang lain. Semua mengarahkan kemampuan yang mereka miliki
untuk menjatuhkan Sky. Sayangnya, mereka tidak cukup tahu lawan mereka...
Tak lebih dari enam menit, seluruh anggota pembalap jalanan itu sudah berlutut di atas tanah
tanpa ada keberanian lagi. Sky mendekati cowok hippie itu, menarik leher bajunya, sambil
berkata garang, "Jangan melakukan hal yang sia-sia di sini..."
"Maafkan saya, Kak..." si cowok hippie terlihat gemetar, dan saat itulah dia melihat
sepasang mata yang menatapnya dari balik kacamata gelap, "Kakak?"
Sky menghempaskan cowok hippie itu begitu saja di tanah. Cowok itu masih gemetar dalam
ketakutannya ketika dia melihat sebuah BMW mendekati tempat itu. Dua orang pria tampan
keluar dari masing-masing pintu, dan langsung menghampiri Sky dengan ekspresi tak sabar.
Si cowok hippie nyaris ketakutan setengah matu ketika sosok Sky mengambil troli koper dan
menghilang dalam mobil BMW yang menjemputnya. Dengan bibir gemetaran, si cowok hippie
berkata kepada teman-teman gerombolannya, "Matanya berwarna biru..."
Kalimat si cowok hippie membawa keheningan yang menyayat bagi gerombolan itu. Tak
lama sebelumnya mereka menyadari sesuatu secara bersamaan.
"Dirk Carlo Maximus..." gumam si cowok hippie sambil berlari menuju mobilnya, cepatcepat meninggalkan tempat itu dengan perasaan luar biasa ketakutan.
*** Sky menurunkan kakinya. Penat. Berjam-jam berada di pesawat, perundingannya dengan
Kuga Kyouhei, dan sejumlah masalah membebani kepalanya hingga pening. Belum lagi masalah
tawuran yang baru saja terjadi.
Sekarang ini, ia lebih memerlukan ketenangan ekstra, namun sebuah tepukan keras mendarat
di bahunya. "Hai, bro!" Darius Moreno memamerkan cengiran yang lebar di wajahnya. Sky melirik pada
Hayden Leonidas yang sedang menghisap rokoknya di sisi kanan mobil.
"Gimana hasilnya?"
"Buruk," Sky menyandarkan punggungnya dengan acuh.
"Lo harus ke tempat John sekarang," Darius menunjuk Sky, "Ada urusan penting yang mau
dia omongin sama lo!"
Semoga saja bukan soal Kuga lagi" Sky menghela napas panjang, "Ia takkan suka
mendengarnya." "Tenang saja..." Hayden memotong, "Kupikit iya... dia takkan suka mendengarnya. Tapi ini
bukan soal itu." Kedua alis Sky bertaut. "Lalu?"
Hayden angkat bahu. Ia memang malas mengurusi urusan yang bukan urusannya, kecuali
kalau diminta. "Lalu bagaimana denganmu" Seberapa buruk yang terjadi?"
Nada suara Sky meninggu, "Dia tetap menganggap insiden geng Kobra sebagai kesalahan
kita." Darius mengayunkan tinjunya ke udara kosong sambil memaki, "Emangnya geng Kobra
bawa surat izin Maximus waktu nyulik tunangannya" Seenaknya ajak tuh orang!"
Hayden menghisap rokoknya sekali lagim membuat Sky risih. Kalau saja itu adal Sky yang
dulu, dia tidak akan menunjukkan sikap seperti itu. Hayden dan Darius saling berpandangan.
"Masih nggak merokok?" pancing Hayden.
"Aku tidak mau terkena bronkitis" Sky menggeleng halus, memberi tanda ejekan kepada
Hayden. Namun saudaranya itu malah menambahkan, "Baby mencarimu tuh! Kelihatannya Tuan
Putri Don Mafioso itu benar tergila-gika kepadamu..."
Pandangan tak percaya terlihat di wajah Sky. Ia memijit dahinya, lelah. "Aku sedang malas
berurusan dengannya. Akhir-akhir ini dia sering mengganggu."
Darius mendecakkan lidah, "Semua cowok di Indonesia pengen jado cowoknya..." gerutunya
sebal, "Elo sendiri?"
Sky menepiskan tangan, membuat gerakan menolak.
"Kalo aja dia naksir gue, udah dari dulu gue makan..."
"Darius!" "Fine!" Darius mengangkat tangannya, membuat tanda menyerah. Sky adalah penerus klan
Maximus, namun ia selalu menjauhi hal-hal yang seharusnya dekat dengan dynia mereka.
Termasuk Marguerite Arturo, putri kesayangan seorang Don Mafioso di Italia yang kini menetap
di Indonesia dengan nama Minnie Baby. Hal ini membuat Darius meradang. Ia tahu, Sky
melakukannya karena sebab yang jelas, tapi tetap saja"menurut Darius sikap Sky itu agak
abnormal untuk seorang mafia. Hingga kini, Sky terus mengacuhkan sang Putri Mafioso.
Kalau saja John Alexander suka mencampuri urusan percintaan anak-anaknya, pastilah ia
dengan senang hati menyerahkan anaknya itu kepada Minnie. Hanya saja, John Alexander
termasuk tipe ayah yang tidak terlalu peduli akan segala tetek bengek perjodohan ala dunia
mafia. Terlalu absurd baginya.
"Kenapa lo bisa nggak suka Minnie" Dia cantik, imut, seksi..."
"Aku bukan tipe buaya macam kamu..." Sky menanggapi dengan malas, "Aku tak ingin jadi
John Alexander kedua." Ia memejamkan mata. Siluet kelam ayahnya muncul kembali memenuhi
otaknya. John Alexander, Ketua Maximus"klan mafia berjuluk Rajawali Tenggara. Orang yang
masuk daftar 5 orang paling kaya di Indonesia dan Asia Tenggara, juga ketua klan mafia yang
punya banyak bisnis, baik itu bisnis legal maupun ilegal. Licik dan licin, sehingga tak pernah
sekalipun tersentuh polisi. Daftar kejahatannya seperti sengaja dilupakan.
"Apa Kuga akan melupakan masalah ini?" kalimat Hayden memecahkan lamunan Sky,
menyadarkannya akan kenyataan lain bernama Kuga Kyouhei. Bagus sekali.. semuanya datang
di saat yang paling tidak tepat.
"Sepertinya susah menemukan cara agar dia melepaskan kita..." Darius menambahkan,
"Lagian, kapan lagi dia bisa dapat kesempatan mencari keuntungan dari kita?"
"Bisa nggak, berhenti ngungkit-ngungkit soal Kuga?" Sky berteriak, "Dia sudah membuatku
pusing tujuh keliling. Apalagi nanti, aku harus menjelaskan perundingan itu..."
"Apa yang dia inginkan?"
"Seperti kesepakatan ketiga klan. Mata ditukar mata. Nyawa ditukar nyawa."
Darius menganga, "Maksud lo?"
"Insiden ini menewaskan tunangannya. Jadi dia meminta?"
"Mawar Maximus..." Hayden lebih dahulu menjawab, "Sinting! Seharusnya insiden itu
terjadi di India saja, biar dia di gencet habis-habisan oleh orang-orang Aryan."
"Dia takkan cukup bodoh berurusan dengan klan Raghavan..." Sky memotong.
"Tapi Mawar Maximus"Rosita sudah meninggal, Man!" Darius berkata histeris, "Lo nggak
lupa, kan" Waktu dia diculik Danan, psikopat dari Malaysia itu?"
Kalau Rosi tahu seseorang macam Kuga menginginkannya, mungkin ia akan bersyukur
"hanya" disakiti bajingan macam Danan, di dunia mafia ada lebih banyak orang-orang brengsek
dan bad guy yang lebih menakutkan dari seorang Danan.
Sky melepaskan kacamatanya sejenak, melihat pandangan tak suka di wajah Hayden.
Hayden sangat menyayangi Rosita"Rosita Alexis, Mawar Maximus adik perempuan mereka
satu-satunya. Lebih daripada itu seseorang bahkan menyayangi Rosita, mencintainya sampaisampai rela kehilangan kebebasannya, bersembunyi di balik nama Maximus, setelah membunuh
Danan- bajingan tengik yang menganiaya kekasihnya.
"Di mana Andhika?" Sky bertanya.
"Sedang bersama John," Hayden mengembuskan napas panjang, "Dia akan kaget mendengar
masalah ini." "Semoga saja, dia nggak sedih... atau teringat masalah Rosi..."
MASA LALU SETIAP ORANG pasti pernah jatuh cinta. John Alexander sudah mendengarkan omong kosong
ini berjuta-juta kali dan tidak pernah mempercayainya. Untuk seorang ketua klan mafia
sepertinya, jatuh cinta adalah suatu hal yang absurd. Wanita-wanita dalam kehidupannya datang
dan pergi tanpa meninggalkan kesan nyata, terkecuali terkadang ada yang kembali datang,
membawa seorang anak sambil mengatakan, "aku tak mampu merawatnya," sepertinya seorang
anak hanya seperti seorang peliharaan yang bisa dibuang.
John telah menjalin hubungan dengan banyak wanita bahkan sejak ia berusia belasan tahun.
Tampan, muda, dan gairahnya membuat wanita yang ia idamkan akan dengan mudah bertekuk
lutut dan terjatuh dalam pelukannya. Kekasih pertamanya, Deianeira adalah mantan ratu sejagad
yang usianya jauh di atas John, dan ia sama sekali tak memedulikan hal itu. Ia mengagumi
keanggunan Dee, memuja mata birunya yang sebiru laut Aegean di Yunani.. Dee adalah wanita
yang menyenangkan dan hangat. John suka menyusupkan tangannya dalam kemilau emas
rambut wanita itu. Dee mencintainya, namun John hanya mengetahui arti kata bersenangsenang.. sampai Deianeira pergi, kemudian ia menemukan pengganti, banyak pengganti...
kekasih, pasangan semalam, putri Maximus yang diatur menjadi istrinya... wanita-wanita cantik
dan memesona.. namun tak ada satu pun"dari kesemuanya yang mampu membuatnya
merasakan keindahan cinta. Yang ada hanya kekosongan. Seperti menikmati cangkang tampa isi.


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian, saat itulah, saat ia baru diangkat menjadi ketua, saat kehidupannya mulai
dikacaukan masalah klan, dan ia sudah mulai jenuh dengan permainan cinta yang semu, ia jatuh
cinta. Wanita itu adalah Yudiasari, putri pemilik perusahaan batik di Solo. John tidak sadar kalau
dia hampir tak dapaat melupakan wajah wanita itu. Kedua matanya yang bagai kenari,
rambutnya yang gelap, berarak serta kulitnya yang gading. Yudiasari adalah seseorang yang
amat jauh dari jangkauannya, namun seperti wanita lain yang sulit menolak pesonanya, John
akhirnya mendapatkan wanita itu.
Di dunia ini tak ada yang abadi, terlebih untuk sebuah hubungan berdasar kebohongan
belaka. Yudiasari memang telah menjadi miliknya. Namun sayang, dengan terbongkarnya
kebohongan John Alexander, ia juga harus merelakan wanita itu meninggalkan dirinya.
Yudiasari tidak mau berurusan dengan seorang penjahat. Kembali ia terkubur dalam statusnya
sebagai ketua klan, memasrahkan harapannya dalam gairah sesaat, wanita yang silih berganti,
walaupun harapan yang sesungguhnya adalah hidup bersama dengan Yudiasari. Selamanya.
Enam bulan yang lalu, John hampir-hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, melihat
wanita itu berdiri di hadapannya. Rambutnya masih segelap dulu, hanya sedikit keriput di sudut
mata yang mempertegas kedewasaannya. Yudiasari berdiri di depannya dengan anggun.
Menawan. Memesona. "Lama tak bertemu, John..."suara itu membawa kembali ingatan John akan kebersamaan
manis mereka. Sesuatu yang terlalu indah untuk dilupakan. Yudiasari mengenakam kemeja batik
jingga dan rok panjang berwarna putih, terlihat sempurna membalut tubuhnya yang mungil. John
langsung tergoda untuk merengkuhnya agar ia tak perlu melepaskan wanita itu lagi.
"Asa apa kau mencariku?" John bertanya santai, Yudiasari hanya memamerkan sedikit
senyum dari sudut bibirnya. Cukup membuat hati John melumer.
"Aku hanya ingin tahu..." Yudiasari mendekati John, "Bagaimana rasanya melewatkan sehari
bersama seorang John Alexander..." Yudiasari terlihat menimbang-nimbang, kemudian
mengulurkan telapak tangannya yang mungil ke arah John.
Tanpa berpikir panjang, John menyambut uluran tangan Yudiasari, mengusir supir
pribadinya untuk kemudian mengambil alih kemudi di balik setir Mercedesnya. Ia merindukan
saat-saat ini. Saat jalan-jalan bersama, tertawa, berbagi cerita. John menginginkan waktu bergulir
lebih lambat, demi berlama-lama dengan pujaannya. Hanya dengan wanita itu, ia merasakan
bagaimana mencintai tanpa syarat, tanpa terikat oleh sesuatu, termasuk oleh waktu. Dan ketika
senja mulai menghiasi angkasa, di atas paviliun milik John, untuk pertama kalinya ia melihat,
wanita pujaannya itu sepertinya akan pergi meninggalkannya. Sebentar lagi.
"Kenapa baru sekarang kau mencariku?" John berkata sambil menghirup segelas wine.
Yudiasari berdiri sambil bersandar di balkon. Wajahnya terlihat cerah ketika ia mendekati John,
dan berdiri di sebelahnya, "Kau kan tahu aku ada di mana," Yudiasari memasang mimik lucu,
"Aku takkan bisa melarikan diri dari seorang ketua klan macam kamu, bukan?"
"Jadi, kau tahu?"
"Tahu kalau orang-orangmu selalu mengawasiku setiap hari?" Yudiasari menyibakkan
poninya, sejenak terlihat berpikiri, "Kalau bukan karena pengaruhmu, sindikat anak jalanan itu
takkan membiarkan aku membawa anak-anak bawahan mereka begitu saja bukan" Aku percaya,
aku dan Judith akan segera menghilang." Yudiasari membuat gerakan memotong di lehernya.
John tersenyum, "Ada baiknya kalau kau berhenti membawa anak-anak jalanan itu."
"Aku tak suka melihat anak perempuan diberdayakan untuk mengemis di jalan raya sampai
lewat tengah malam," Yudiasari merenung, "Mereka semua masih kecil. Tidak semestinya
mendapat perlakuan seperti itu. Aku ini wanita, dan juga seorang ibu."
John tak tampak terkejut, "Kudengar dia mirip aku..." ia menatap Yudiasari, "Anakmu."
"Anakmu juga. Sifat pamannya memang mirip sekali," Yudiasari tertawa, "Terima kasih
telah menjaga kami selama ini."
Sekali lagi John merasa kalau sebentar lagi ia akan kehilangan wanita ini. Tiba-tiba Yudiasari
berdiri di depannya. Menatapnya dengan ekspresi memohon, "Maukah kau berjanji kepadaku"
Kalau kau akan terus menjaga mereka?"
"Apa maksudmu?"
"Berjanjilah padaku. Aku percaya John Alexander ketua klan Maximus akan selalu menepati
janjinya." "Dan aku tidak mudah mengucapkan janji," John mempertegas nada bicaranya, "Kenapa kau
memintaku melakukan hal itu?"
"Aku?" Yudiasari tampak gugup, "Aku mau kau berjanji lebih dulu."
Yudiasari tetap keras kepala! John tau, bagaimanapun ia berusaha mendebat, Yudiasari akan
terus bersikukuh pada keinginannya. Ia merasakan dejavu yang sama dengan saat Yudiasari
meninggalkannya dulu. Ada sesuatu yang tidak beres dalam hal ini. Sangat tidak beres. John tahu
itu. Namun, masalahnya, Yudiasari akan tetap membuatnya menyerah" karena John tahu, ia
mencintai wanita ini melebihi apa pun dalam hidupnya.
Yudiasari memamerkan senyumnya lagi, sebelum mengulang pertanyaannya. Rasa penasaran
mulai menggelitik John. Yudiasari telah mempermainkan perasaannya sekali lagi.
"Bagaimana, John" Kau mau berjani?"
Setengah hati, John menganggukkan kepala. Namun Yudiasari mengecup pipinya,
mengatakan sekali lagi kalau ia harus menepati janjinya.
"Ingatlah. Kau harus selalu menjaga mereka, walau aku sudah tidak ada di sana."
"Apa maksudmu dengan sudah tidak ada di sana?" suara John meninggi.
"Aku akan mati," tidak sedikit pun getaran terdengar dari nada suaranya. Ia mengatakannya
seolah ia akan berpesiar ke luar negeri. Sebaliknya justru terdengar mengerikan di telinga John.
"Apa?" "Aku terkena kanker rahim. Seharusnya hidupku tak akan lama lagi."
Joh mengepalkan kedua tangannya. Benar dugaanku" sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.
Ia menatap garang pada Yudiasari, "Jadi untuk itu kau kemari" Untuk mengatakan kalau kau
akan mati" Kau pikir siapa aku ini?"
Yudiasari menyondongkan tubuhnya ke arah John, memeluh pria itu erat-erat.
Kehangatannya masih sama seperti dulu.
"Kau adalah satu-satunya laki-laki yang kucintai," bisiknya lembut, "Aku tak bisa mencintai
lagi, selain mencintaimu..."
John menggertakkan gerahamnya, ini sangat tidak adil.
"Aku ingin membawanya ke Jakarta."
Yudiasari melepaskan pelukannya, matanya terbelalak karena terkejut, "Maksudmu,
membawa Jade Judy?" "Membawanya masuk Maximus. Menjadi Mawar Maximus."
"Kau tidak boleh?" Yudiasari menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ingin dia menjadi
Rosita kedua..." "Apa yang terjadi pada Rosita bukanlah kehendakku."
Yudiasari melipat tangannya, wajahnya tampak serius. Kelihatannya ia ingin mencari cara
berkilah lagi. John meradang dibuatnya.
"Dia itu juga anakku. Biarkan aku menjaganya, memberikan kasih sayang seorang ayah yang
tak pernah ia dapatkan..."
Yudiasari mengangguk pelan, "Baiklah, kalau kau ingin membawa Jade Judy, aku takkan
melarangmu. Tapi, aku punya dua syarat... pertama, jangan membawanya saat jantungku
berdetak... kedua, aku mau kau membawa saudara perempuannya..."
*** Sky mempercepat langkahnya memasuki ruang pribadi John. Andhika yang lebih dulu berada
di sana segera membukakan pintu untuk Sky dan kedua pangeran Maximus lainnya. Ia sudah
amat siap dengan segala risiko yang akan terjadi, hanya saja, ia merasa agak risih harus
mengatakan keinginan Kuga Kyouhei di depan Andhika. Seperti membuka luka lama. Andhika
pernah bertunangan dengan Rosita, pernah merasakan manisnya kebersamaan dengan gadis itu,
sebelum akhirnya Danan menculiknya dari sebuat turnamen bulu tangkis di negeri tetangga.
Danan adalah seseorang penguasa politik di wilayah itu, sehingga tidak ada yang berani
menghalanginya. Hanya John Alexander dan Andhika yang berani menerobos kediamannya.
Sayangnya, saat itu semuanya sudah terlambat.
Sky membuka jaketnya, lalu duduk di sofa panjang bersama Darius, Hayden dan Andhika.
Pikiran Sky mulai kusut, bahkan sebelum dirinya menerima segala perintah John Alexander.
Namun, berbeda dengan dugaannya bahwa John akan menanyakan masalah Kuga, John malah
melemparkan sebuah amplop coklat ke atas meja di depan mereka. Sky lebih dulu membukanya,
menemukan foto dan data dua orang gadis cantuk berumur kira-kira delapan belas tahun.
"Aku ingin kalian pergi ke Bali, untuk mencarinya..."
"Shit!! Saat genting seperti ini, masih sempat memikirkan cewek." Darius mendesis pelan,
namun suaranya dapat didengar oleh Sky. Cowok itu memberi isyarat tidak suka, kemudian
mengalihkan perhatiannya kepada John.
"Siapa mereka?"
"Mawar Maximus," John berkata pendek. Membuat Sky menjatuhkan kertasnya. Darius
tersedak, Hayden terpana, dan buku-buku jari Andhika menusuk telapak tangannya dengan amat
keras. Kata-kata ini seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Namun John Alexander sama
sekali tidak peduli. Dia melanjutkan perintahnya dengan suara datar, seperti perintah tugas-tugas
sebelumnya. "Mereka adalah anak Yudiasari. Salah satunya adalah anak angkatnya. Aku ingin kalian
mecari mereka," John menjelaskan, "Aku ingin menperkenalkan mereka kepada publik saat
launching hotel baru kita di Bali."
"Anda serius mau mengangkat Mawar Maximus?" Hayden teringat perundingan Sky dengan
Kuga, "Bagaimana kalau ditunda saja" Mawar Maximus adalah hal yang diinginkan Kuga untuk
menggantikan kematian tunangannya..."
John tampak terkejut" namun hanya sebentar. Ia sudah sangat terbiasa berurusan dengan
nyawa manusia. Jadi, ini bukanlah hal yang baru baginya.
"Kalau aku harus menyerahkan putriku. Aku hanya akan menyerahkannya kepada orang
seperti Andhika." John menjatuhkan pandangannya pada Andhika, membuat pria itu
memalingkan muka. Seketika Hayden memasang tampang gusar.
"I"m out!" Sky bangkit berdiri, "Aku tidak ingin menghancurkan hidup dua gadis itu hanya
untuk kesenanganmu!" lalu ia melangkah pergi, diiringi tatapan ketiga pangeran Maximus.
Darius hendak mencegah, namun tangannya ditahan Hayden. Darius menyambar foto yang
disodorkann oleh Hayden kepadanya. Darius terbelalak.
"Erika Valerie" Si gunung es itu?"
MAWAR-MAWAR MAXIMUS Toko Brown Sugar. Kawasan Kerobokan, Bali Indonesia. Pukul tiga sore.
"Irasshaimasu... Welcome to The Brown Sugar." Erika Valerie menyapa kedua turis Jepang
yang baru sampai di tokonya, menunjukkan pakaian batik terbaru sambil menjelaskannya dengan
bahasa Jepang yang fasih. Kedua turis itu dibuatnya manggut-manggut sebelum membeli salah
satu batik pilihannya. Eri memaksakan bibirnya untuk membuat seulas senyum. Sudah sebulan
Bunda Yudia-nya berpulang. Kenyataan ini masih menyakitkan baginya. Bagi Eri, Bunda Yudia
adalah seorang penolong, seorang pelindung, bahkan juga seorang ibu yang kasih sayangnya
melebihi ibu biologisnya sendiri. Tanpa Bunda Yudia, mungkin Erika Valerie hanya akan
menjadi seorang bayi yang dibuang dalam sebuah kardus bekas. Beruntung sekali, Bunda Yudia
menemukannya. Sejak itu, Eri selalu menganggap Bunda Yudia adalah satu-satunya keluarga
yang dia miliki. Berita kematian itu terlalu cepat datang kepadanya. Tepat saat pengumuman
kelulusan, Bunda Yudia menghembuskan napas terakhirnya. Kenyataan ini bahkan tidak
diketahui seorang pun di Brown Sugar. Kecuali dirinya.
Yudiasari adalah wanita yang kuat. Sangat kuat sehingga ia mampu membesarkan dua anak
gadis, serta mengelola bisnis sendiri. Bahkan ia juga memiliki kebiasaan membawa anak-anak
jalanan yang ditemuinya untuk tinggal di panti asuhan gereja Suster Judith, sambil bekerja di
tokonya. Suster Judith adalah sahabat terbaik Yudiasari, teman kuliahnya di Jogja, sama-sama
mencintai Pulau Bali sebagai kampung halaman kedua. Suster Judith kemudian mengambil
keputusan untuk hidup selibat, tinggal di sebuah gereja di dekat butik milik Yudiasari. Mereka
sangat dekat, bahkan, hanya kepada Suster Judith-lah, Yudiasari mengatakan hal yang
sebenarnya, bahwa ia akan menghabiskan saat-saat terakhirnya hidup berkumpul bersama
keluarganya di Solo. Eri memandang refleksi dirinya di muka cermin antik di depan meja kasir. Seragam yang
dipakainya adalah kebaya katun yang amat nyaman, rancangan bundanya. Postur mungilnya
mirip dengan bundanya, juga dengan kebiasaannya memadukan atasan dengan rok batik. Eri
tersenyum memandang kesempurnaan itu, tapi tiba-tiba dia teringat Jade, seragam itu hanya
terlihat sempurna di badan Jade, walau Jade hanya memadukannya dengan jins butut.
"Eri..." sebuah suara membuat Eri memalingkan wajahnya dari cermin. Suster Judith telah
berdiri di depannya. "Bagaimana dengan rencanamu pergi ke Kalimantan?" Suster itu bertanya. Eri memang
pernah berniat meneruskan kuliah di Kalimantan sembari menjalankan sebuah misi sosial,
sebuah yayasan yang berpusat di Jakarta ppernah menawarinya beasiswa itu.
"Sepertinya tidak dalam waktu dekat," Eri mengeluh, "Jade masih membutuhkan aku..."
Ucapnya lirih. Suster Judith berjalan mondar-mandir, terlihat kegelisahan memayungi wajahnya. Eri yang
sadar akan hal itu memandangnya heran. Hari ini Suster Judith kembali mengunjungi butik.
Bahkan kali ini Suster bertubuh gempalitu tumben-tumbennya sempat menyetel teve, menonton
liputan khusus mengenai hegemoni klan Maximus di kawasan Asia Tenggara. Untuk apa Suster
Judith menonton acaran nggak mutu macam ini" Eri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia
paling anti dengan urusan gangster macam Maximus, apalagi pada John Alexander, ketua klan
mafia tersebut, sekaligus pemilik jaringan hotel, klab dan lounge eksklusif The Don Juan. Ia
sering diberitakan menjalin asmara dengan wanita-wanita dari berbagai kalangan.
Tanpa terasa, Eri menyeletuk, "Kelihatannya sedang tertarik sekali. Apa mereka mau jadi
donatur gereja" Kalau benar, lebih baik ditolak saja. Uang mereka pasti kotor!!" Eri memasang
tampang sinis. "Bicaramu terlalu kasar. Mereka hanya bisnis properti dan entertainment."
"Hahahaha" Eri tertawa seperti mengejek.
"Mafia properti dan bisnis hiburan malam, maksud Suster" Saya bahkan tidak bisa melihat
perbedaan antara mereka dengan preman intelek."
Suster Judith tampak kaget mendengar ucapan Eri barusan.
"Maaf, Suster, bicara saya memang kelewatan."
"Tidak apa-apa. Hanya saja... Aku sedang khawatir."
Eri mengerutkan alis. "Sebelum Yudiasari meninggal, ia sempat memberitahuku sesuatu, bahwa Maximus--"
Suster Judith menghentikan kalimatnya ketika melihat sebuah BMW merah melintas di depan
gerbang panti. Kemunculan mobil mewah menimbulkan tanda tanya besar di benak eri,
mengingat penduduk di sekitar Panji tergolong sangat sederhana. Jangan-jangan Jade Judy mulai
balap liar lagi! Eri memijit keningnya.
Lucu, yang lihai dalam urusan beladiri dan laki-laki adalah Jade, namun sebaliknya justru ia
yang harus melindungi saudaranya itu.
Eri memandang Suster Judith lagi, melihat wajah itu telah lebih pucat dari sebelumnya.
"Eri... mereka sudah tiba." Kata Suster Judith, nyaris berbisik
"Mereka siapa?"
"Maximus" Eri mengalihkan pandangan mengikuti isyarat Suster Judith. Rupanya benar, BMW merah
itu. Perhatian Eri teralih pada stiker perak yang terpasang di sana. Itu adalah lambang klan
Maximus. "Suster, apa yang Anda sembunyikan dari saya?"
"Ceritanya panjang. Sekarang lebih baik kamu sembunyi dulu. Nanti setelah dia pergi, kamu
pergi cari Jade dan langsung kabur nanti malam! Cepat!"
Eri menuruti perintah Suster Judith dengan sebal. Eri paling tidak menyukai rahasia. Apalagi
rahasia yang berbahaya seperti ini. Kalau memang Jade Judy membuat masalah dengan orang
Maximus, Eri berjanji akan merontokkan gigi Jade dengan tangannya sendiri. Kalau perlu,
dengan memakai palu. Eri meliaht seseorang yang amat familiat keluar dari mobil itu. Mata topaznya langsung
mengingatkan Eri pada Hayden Leonidas, salah satu seorang Pangeran Maximus. Eri bertambah
heran ketika mendengar percakapan antara Suster Judith dan cowok itu. Refleks, Eri menekan
nomor Jade dari ponsel yang sedari tadi digenggamnya.
"Jade... ini Eri..." Eri berbisik. Di seberang sana, terdengar hembusan napas gelisah dari Jade,
"Ada apa" Apa Nyonya Nakatani komplain lagi" Desainku nggak cocok" Kayaknya aku belum
pede deng sepenuhnya menggantikan mama."
"Orang Maximus ada di sini... Suster Judith menyuruhmu kabur nanti malam."
"Mimih ratu!" Jade terdiam sejenak, "Sumpah, aku nggak pernah buat masalah dengan?"
"Dengar dulu! Ini bukan karena kamu sedang ada masalah dengan mereka! Ini tentang Bunda
Yudia! "Apa" Mama?"
"Kau tak akan percaya ini! Sekarang kamu sembunyi saja dulu. Kalau bisa, rayu Satria
supaya mau meminjamkan mobilnya. Pokoknya nanti kuceritakan! Aku tunggu di jalan depan
kompleks, jam sepuluh malam."
Klik! Eri menutup teleponnya. Eri mengintip dari celahpintu yang terbuka sedikit. Kali ini
Eri melihat beberapa orang keluar dari mobil lain yang baru tiba. Seorang di antaranya adalah
Darius Moreno. Mereka kembali berbicara cukup alot. Sampai Suster Judith berkali-kali
mengusap keringat dingin di dahinya.
Ini gawat! Benar-benar gawat!
*** Maximus" Jade mengerutkan kedua alisnya. Sejak kapan ia berurusan dengan organisasi
mafia macam mereka" Jade menyomot snack terakhirnya dengan terburu-buru, langsung
merasakan kepingan pedas keripik itu menusuk bibirnya hingga nyaris berdarah. Ia menepikan
mobil di pertigaan depan kompleks, dan melihat Eri sudah ada di sana. Tumben si centil nggak
dandan! Jade membatin. Malam itu Eri menggelung rambut panjangnya dengan sembarangan,
wajahnya sepucat kertas, dia juga mengenakan pakaian hitam-hitam yang sama sekali bukan
favoritnya. Bagi Jade, Eri terlihat seperti boneka Barbie yang salah kostum.
Tidak biasanya Eri seperti itu, Eri yang dikenal Jade sejak bertahun-tahun lalu seratus persen
memiliki gen kromosom X, sangat cewek. Jade terkadang iti kepadanya, karena selalu berhasil
bersikap tenang di segala kesempatan. Penampilan Eri sangat chic, namun tak jarang
mengundang orang lain untuk bersikap jahat. Sudah menjadi hukum alam kalau orang-orang
gemar menindas kaum lemah.
Eri langsung mengambil posisi di samping Jade. Ia menjelaskan dengan cepat rencana pergi
ke pedalaman Buleleng nun jauh di sana. Rupanya Maximus benar-benar memaksa mereka
memilih untuk melarikan diri. Jade langsung mengingatkan dirinya untuk menanyakan alasannya
pada Eri. Jade kali ini memilih jalan sepi daripada jalan kota. Alasannya, selain lebih cepat sampai,


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu lebih aman. Jade benar, dalam sekejap mereka sudah melewati Bedugul. Tapi jalan yang
mereka lewati benar-benar parah, sampai-sampai sulit membedakan mana jalan yang benar dan
mana jalan jadi-jadian. Belum lagi lubang yang selalu menghiasi setiap pinggiran aspal.
Benar-benar ja;an seribu guncangan! Pikir Eri.
"Kamu bilang ada orang Maximus datang?"
"He-eh." Eri menjawab setengah sadar, "Pangeran Maximus. Kamu nggak tahu, suasananya
tegang sekali. Makanya Suster Judith menyuruhmu kabur. Oh, iya... aku lupa, gara-gara itu aku
jadi ikutan kabur." Jade memperlihatkan cengiran lebar di wajahnya, "Sori... tapi sudah kubilang, kan... kalau
aku nggak pernah buat masalah dengan orang mereka..."
"Tapi kamu seperti magnet yang menarik penjahat mendekat." Eri memijit keningnya yang
mulai pusing, "Sekarang aku tahu sebabnya."
"Sebabnya?" "Ayahmu-lah penyebabnya, John Alexander. Kamu ini anak penjahat!"
Jade tertawa, gurauan yang nggak lucu! Masa aku anak taipan macam dia" Sekalian saja
bilang kalau ayahnya adalah Al Capone.
Jade menggaruk kepalanya, ekspresi Eri yang seperti orang mati menyadarkan Jade kalau
omongannya tadi bukan main-main, apalagi setelah gadis itu berkata serius, "Menurutmu, ada
tidak mobil yang kurang kerjaan membuntuti kita di tengah jalan pegunungan seperti ini?"
Jade memutar badan, melihat sebuah Range Rover berada tak jauh di belakang mereka. Ia
mengutuk dirinya sendiri, karena baru terpikir untuk memperhatikan mobil itu. Jade mencoba
sedikit melepas gas, lalu melihat situasi mobil belakang. Ikut melambat. Setelah Jade menginjak
gas, mobil itu ikut menambak kecepatannya. Range Rover itu benar-benar mengikuti kami.
"Kamu benar, Ri..." keringat dingin mengalir di pelipis Jade. Wajahnya mulai memucat.
"Apa yang mereka inginkan dariku?"
Eri menelan ludah, napasnya mulai sesak. "Dia ingin membawamu ke Jakarta. Sepertinya
aku sempat mendengar salah satu dari mereka bilang "akan menyerahkannya pada ketua klan
yakuza" atau semacamnya."
"Seram sekali! Jadi aku mau diserahkan pada ketua klan Yakuza?"
"Makanya kita disuruh kabur, tahu!" Eri memukul bahu Jade gemas.
"Pantas tadi kamu menyuruhku meminjam mobil Satria," Jade meringis sedikit, "Semoga
saja mobilnya nggak baret lagi. Kalau tidak, aku bakalan menikahi orang yang lebih mengerikan
dari ketua Yakuza!" Bak adegan film action, Jade langsung menekan pedal gasnya tanpa ampun, membuat
Mistsubishi Gallant itu melompat sebelum meluncur mengerikan di atas aspal. Si pengemudi
Range Rover dengan lihai menambah kecepatan mobilnya, seakan telah tahu kalau dirinya telah
ketahuan membuntutinya. Mobil itu bahkan berusaha menyusul. Sambil menyumpah-nyumpah
dan mengabaikan Eri yang sudah makin teler, Jade terus menginjak gas, sampai kakinya
menempel seutuhnya pada pedal itu. Lawannya, seperti elang yang sedang memburu mangsanya,
terus berpacu, meluncut setengah terbang, tak membiarkan Jade lolos sedetik pun dari depannya.
Akhirnya, mobil itu berhasil memepet Jade dan mulai menghadang jalannya. Melihat ini, Jade
terpaksa menekan pedal rem, menghentikan mobilnya sebelum menabrak mobil itu.
TTTIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINN!!!!
Jade memencet klakson dengan kesal. Mobil di depannya tak bergeming. Pintu depannya
terbuka. Seorang cowok turun dari kursi pengemudi. Perawakannya sangat atletis, rambut
gondrongnya berwarna coklat tembaga, berkibar di atas bahunya yang terbuka.
"Sepertinya itu Darius Moreno..." Eri berbisik, "Si Pangeran Maximus. Kita benar-benar
dalam kesulitan sekarang."
Darius tersenyum ramah, "Mau ke mana" Kok nggak bilang-bilang" Kan bisa gue anterin..."
Bego, mana ada orang kabur dianterin, pikir Jade. Ia mulai kesal dengan gaya bicara Darius
yang terlihat sok gaul. "Kami mau mengantar handycraft," Eri mencoba menjawab datar, namun ada nada ketakutan
dalam suaranya. "Hahaha nganter handycraft malem-malem gini..." Darius celingukan menyatroni sisi mobil,
"Kalian nggak bermaksud kabur kan?"
Hening sejenak. "Kalo kabur, mau apa?" Jade mendadak turun, dan menggebrak pintu dengan keras.
Darius tersenyum lagi, membuat Jade makin kesal, "Siapa kalian, mengakui orang
seenaknya, memaksa orang ikut kalian ke Jakarta! Sori aja, ya... daripada ikut kalian, lebih baik
gembel di pinggir jalan!"
Eri yang sedari tadi duduk di dalam mobil memaksakan diri keluar, takut kalau Jade nekad
menantang Darius yang badannya berotot besar itu.
"Sayang sekali, ini bukan kemauan gue, tapi permintaan John. Kalo mau nyalahi, salahin aja
John Alexander di Jakarta!"
"Bagus," Jade tersenyum miring. Ia langsung melayangkan pukulannya ke wajah Darius.
Biar wajahmu hancur, pikirnya. Sebelum Jade dapat mendaratkan pukulannya, tangannya telah
ditahan oleh seorang cowok, kira-kira berusia pertengahan dua puluhan. Rambutnya mencapai
tengkuk, di cat pirang, dan dibiarkan berantakan. Matanya yang tidak terlalu lebar dibingkai
kacamata tipis, hidungnya mancung, sepadan dengan bibir tipis di bawahnya. Jade langsung
teringat peran Bae Yong Jun di Winter Sonata. Tangan Jade melemas, seakan baru menerima
serbuan listrik tegangan tinggi, dan ia sama sekali tak mampu melawan cowok di depannya itu.
"Good job, Dhika!" Darius berkata riang, "Nggak ada gunanya ngelawan kita! Lebih baik lo
ikut kita, daripada gue pakai cara yang lebih kasar..." ia mengulurkan sebuah lipatan saputangan
berisi kloroform. Jade langsung menyerah. Lebih baik dibawa secara sadar daripada dibawa
dalam keadaan teler... ia mengerling ke arah Eri yang sekarang tampak lebih ketakutan daripada
sebelumnya. Darius mengitarinya seperti buaya kelaparan sedang mengintai mangsanya. Jade
melihat bola mata Eri mengerjap, berharap Darius segera menghilang dari hadapannya. Tapi
Darius malah menyeringai lebar, memperlihatkan giginnya yang panjang-panjang.
"Elo yang namanya Erika Valerie?" bentaknya.
Sebuah anggukan halus terlihat dari kepala Eri. Darius langsung menunjukkan ekspresi puas.
Ia memainkan jari telunjuknya sambil berkata, "Berarti elo juga harus ikut."
HATI-HATI DENGAN UCAPANMU
Eri tak pernah menyangka nasibnya akan sesial ini setelah seluruh hidupnya dilewatkan bersama
Jade Judy. Ia memang sering terseret dalam masalah geng kecil-kecilan, dipanggil kepala
sekolah, dimarahi Bunda Yudia karena ketahuan ikut keisengan Jade, tapi ia tidak pernah
bermimpi bisa berurusan dengan Maximus, apalagi dengan cowok-cowok Pangeran Maximus
yang kerap diejeknya sebagai boyband, preman intelek, dan lain sebagainya.
Eri dapat mendengar teriakan Jade saat para hairstylist dan fashion stylist mempermaknya
habis-habisan. Ingin terkikik sendiri, kalau saja hal yang sama terjadi padanya. Cewek-cewek
stylist itu berkicau riang sambil mengeluarkan berlembar-lembar gaun, sementara sekumpulan
cewek lain menarik-narik rambutnya dengan hair curler. Ribut sekali!
Meeting room hotel sudah dipenuhi banyak wartawan saat Eri memasuki ruangan bersama
Jade, Andhika, dan Darius. Sekumpulan kursi telah berderet di belakang sebuah meja panjang,
dengan mikrofon tegak di atas masing-masing kursi. Eri mendapat tempat duduk nomor dua dari
ujung kiri. Di sebelah kanannya, duduk Hayden dan Andhika, mengapit sebuah kursi kosong
yang diperuntukkan untuk John Alexander. Beberapa tempat duduk lain juga dibiarkan kosong.
Eri tidak tahu, itu untuk siapa.
Jade duduk di tengah Andhika dan Darius. Tangannya sibuk memainkan jarinya dengan
gelisah, mungkin pengalihan perhatian agar dia tidak menarik sanggulnya, Eri terkikik.
Hayden berdiri bersama seorang cowok asing di sebelah John. Wajah Hayden tampak tidak
tenang. Terlebih lagi karena cowok asing itu menatapnya licik. Hayden memilih duduk di dekat
Eri, dan saat itulah Eri menyadari, bahwa dua bangku di sana ternyata kosong, tanpa tahu siapa
pemiliknya. Konferensi pers itu berlangsung membosankan. Eri ingin cepat-cepata menyelesaikannya.
Sedikit pembukaan mengawali konferensi itu, kemudian basa-basi, pengumuman pengangkatan
Jade dan Eri menjadi Mawar Maximus, pengenalan hotel... aahhh... membosankan sekali! Eri
mengetuk-ngetukkan jarinya di badan kursi, pertanda mulai bosan. Ia tak memerdulikan John
Alexander memohon maaf karena calon partnernya, Kuga Kyouhei yang seharusnya hadir, batal
datang. Atau Hayden yang mengumumkan proyek kerjasama dengan Kuga Kyouhei.
"Kami telah memiliki rekan bisnis yang luar biasa dari keluarga Kuga..."
Hey! Tunggu dulu! Kuga Kyouhei" Kenapa rasanya nama ini terdengar familiar" Eri
mengerutkan dahi. Selama ini ia kurang perhatian terhadap dunia selebritas, namun sepertinya ia
pernah melihat nama ini dalam sebuah berita koran. Saat sesi tanya jawab, Eri kembali
mendengar nama Kuga Kyouhei disebut oleh seorang wartawan dari tabloid gosip selebritas Chit
and Chat. Rupanya berita yang dia lihat dulu berasal dari tabloid itu.
"Bagaimana menurut pendapat Anda tentang gosip yang mengatakan kalau Anda akan
bertunangan dengan Tuan Kuga Kyouhei?"
Pertanyaan itu diajukan kepada Jade Judy, setelah serentetan pertanyaan bermutu rendah
lainnya, kelihatan seperti membubuhkan stempel cewek-cewek matre pada Eri atau Jade. Jade
jenuh menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kaleng soda di tangannya digenggamnya dengan
sangat erat, mungkin sebentar lagi, ia akan menimpuk kelapa si wartawan dengan sepatu.
"Maaf, bisa Anda menjawab pertanyaan saya?"
Jade memijit keningnya. Wajahnya dipenuhi amarah, murka, dan kesal. Eri tak tahan
melihatnya. Eri membuat deheman kecil di mikrofon yang terpasang di hadapannya, membuat
perhatian wartawan itu teralih.
"Kalau Anda sendiri, bagaimana?" Eri berkata ketus, wartawan cewek itu langsung terlihat
gelagapan. Eri, sudah terlanjur emosi, melanjutkan kalimatnya, "Kalau dia seperti yang Anda
laporkan?" Eri mengangkat tangan kanannya, membuat ekspresi tidak peduli, ?"Petualangan
sang penakluk wanita dan korban-korbannya..." hanya ada dua kata: Tidak berminat."
Wartawan tadi terlihat pucat pasi, memamerkan ekspresi yang mengatakan bukan aku yang
menulis laporannya. Eri tersenyum puas, bersyukur Kuga Kyouhei batal datang kesana, kalau
tidak, ia tidak akan punya keberanian sebesar itu untuk melontarkan kalimat yang menjelekjelekkan ketua naga timur Asia itu. Ucapan itu jelas sebuah gertak sambal. Mana mungkin dia
dapat melawan ketua klan yang bahkan tidak diketahui wujudnya" Kuga Kyouhei, tak banyak
yang diketahui Eri tentangnya, mungkin dia tampan, atau berkuasa, namun juga penjahat yang
kejam, sadis, dan tak bertanggung jawab.
Eri mengerling pada Jade seolah berkata,"Yakin nggak minat" Kudengar dia sangat tampan
dan piawai." Dalam hati Jade menjawab,"Nggak bakal. Aku nggak akan mau menggadaikan
keperawananku pada bajingan tolol yang nggak pernah menghargai wanita."
Jumpa pers itu masih berjalan membosankan dan Eri memutuskan untuk mengabaikannya
sekalian. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran kelompok orang yang sedari tadi mencuri
kesempatan untuk memperhatikannya bersama Jade Judy.
*** Gala dinner yang panjang mengharuskan Eri memamerkan senyum palsu pada setiap orang
yang dilihatnya. Ini betul-betul menyiksa. Ia jadi tahu, kenapa dari dulu Jade selalu membenci
pesta. Dia tidak melihat Jade berada di sana, mungkin dia sudah kabur duluan.
Berada di tengah orang-orang itu membuat Eri merasa sesak. Sumpek. Gadis itu kemudian
memilih untuk hengkang dari tempat itu, menyusuri lorong-lorong sempit menuju balkon.
Kegelapan menyambutnya dengan kesunyian. Samar-samar Eri dapat mendengar lagu
Beethoven, Fur Elise, dalam denting petikan gitar. Suara itu jelas bukan dari ball room. Iramanya
kadang bertempo lambat, sejenak terdengar seperti irama latin, lalu sebentar kemudian terdengar
kasar, seperti dipaksa untuk mengalun cepat. Nggak sinkron. Namun di dalam ketidaksinkronan
itu justru terdapat melodi yang tak biasa. Aneh. Menggoda. Kelihatan sekali kalau pemainnya
sedang galau. Tanpa sadar, Eri mengikuti sumber suara musik itu, dan terkejut saat mendapati sumber suara
itu berada tepat di dekatnya.
Waktu terasa berhenti, saat ia melihat sosok di depannya, sedang duduk bertumpu pada beton
pembatas pagar. Membelakanginya sambil masih asyik bercengkrama dengan gitarnya.
Eri pernah melihatnya di salah satu majalah socialite, namun kenyataannya, cowok itu jauh
lebih tampan daripada fotonya. Rambut sebahunya sewarna mahoni keemasan, diikat dengan
rapi seperti cowok-cowok zaman Edwardian. Beberapa helai rambut berjatuhan di keningnya.
Mata biru- secemerlang langit di waktu siang. Tanpa sadar, Eri mabuk oleh wangi lilac dari
cowok itu. Dirk Carlo Maximus. Eri jadi mengerti mengapa orang-orang memanggilnya Sky.
Warna mata yang indah itu membekukannya, ketika cowok itu berbalik dan menatapnya.
Cowok itu langsung menunjukkan ketidaksukaan saat melihat ada yang melihatnya. Dia
bangkit, menaruh gitarnya, kemudian berdiri menatap Eri.
"Untuk apa kau kemari?" katanya gusar.
"Maaf- aku?" eri mengggigit bibirnya, mendadak merasa gugup. Sky terlihar sangat marah
saat itu. "Sebaiknya kau pergi!!" tudingnya. Eri nyaris saja menangis ketika berbalik untuk pergi.
Suara itu terdengar sangat dingin di telinganya.
"Pergi selamanya dari Maximus..."
Eri nyaris berlari ketika dia menyeret langkahnya menjauhi Sky. Saat itu seorang wanita
menabraknya. Eri belum sempat meminta maaf kepadanya, wanita itu keburu menyumpah dan
berpaling menuju Sky. Eri bergeming, nyaris tak bisa bernapas. Namun perasaannya benar-benar kacau saat melihat
gadis itu memeluk Sky. Wajah gadis itu langsung menempel di wajah Sky, membuat aura panas
menjalari di pipi Eri. Malu.
Eri pernah mendengar Darius membicarakan tentang kedekatan Minnie Baby dengan Sky.
Dan hal ini menohok Eri lebih keras lagi. Sky memang pantas menghindarinya. Apa artinya Eri
jika dibandingkan putri seorang Don. Terlebih lagi jika gadis itu seorang artis, cantik, seksi,
bergelimang harta, dan kekuasaan.
Tak seharusnya aku berada di sini... Eri mempercepat langkahnya, menjauhi pemandangan
dan kemesraan yang tidak ingin dilihatnya. Saking buru-burunya, dia bahkan menabrak seorang
waiter hingga nampan di tangannya jatuh dengan suara berisik. Gelas, piring, dan sebuah pisau
menimbulkan dentingan aneh di atas lantai. Semua benar-benar kacau, dan Eri makin kacau
menyeret langkahnya menjauhi pasangan yang sedang kasmaran itu.
Angin malam menyambut kedatangannya dengan belaian lembut di kedua pipi Eri. Gadis itu
akhirnya sampai di halaman di belakang hotel yang menghadap pantai. Suara ombak, desiran
angin, dan kelembutan pasir pantai perlahan mengusir semua kegundahan di hatinya. Ia
menghindar dari orang-orang Maximus. Kejadian buruk bisa saja menimpanya. Namun Eri sama
sekali tidak mempedulikan hal itu. Dia hanya ingin menangis sepuasnya. Melepaskan semua
ketegaran dalam dirinya. Dia tidak sekuat itu. Bahkan tidak akan mampu menghadapi apa pun
setelah Sky mengusirnya dengan kasar, melukai hatinya dengan kejam.
Eri mencopot sepatunya, meletakkannya begitu saja di tanah, lalu duduk di kursi taman.
Batu-batuan disematkan pada tali dan haknya yang berwarna transparan seperti kaca,
menimbulkan kilauan indah. Kalau keadaannya tidak seperti sekarang, Eri pasti akan terlonjak
kegirangan ketika kakinya menyentuh sepatu yang baginya seperti sepatu kaca Cinderella itu.
Kelihatannya begitu indah, dan menyenangkan. Namun saat ini, ketika ia sudah memasuki dunia
itu, ia malah merasa terbuang. Tanpa ia sadari, lamunannya melayang pada Sky. Hanya
mengingat ini saja, Eri merasakan sebuah luka menggores hatinya.
"Pidato yang bagus sekali!" sebuah suara semanis madu membuyarkan lamunan Eri. Ia
menyusut air matanya, melihat seorang cowok sedang mendekatinya. Kedua tangannya ia
masukkan ke dalam saku. Terlihat sangat santai.
"Kau terlihat sangat mengenalnya," cowok itu berkata, "Kalau tidak, kau takkan punya
keberanian sebesar itu untuk mengejeknya... Bukan begitu" Peri Valentine?"
"Mengenal siapa?" Eri berjengit, "Dan apa maksudmu memanggilku seperti itu?"
"Kuga Kyouhei..." cowok itu kini berdiri di sampingnya, "Valentine"s fairy"Valerie"itu
namamu bukan?" Eri langsung merasakan sensasi tak nyaman saar namanya disebut dengan suara rendah dan
serak seoerti itu. Terkesan sepertimadu yang beracun. Manis dan mematikan. Siapa cowok ini,
Eri membatin. Diam-diam, Eri memperhatikan penampilan cowok itu. Ia mengenakan kemeja lengan
pendek berlapis rompi kulit berwarna hitam. Perawakannya tinggi, tegap, dan atletis. Rambutnya
coklat kemerahan, melewati bahu. Sebagian rambutnya dibiarkan berantakan sementara sebagian
lagi terikat asal. Cowok itu tampan. Bahkan sangat tampan. Sebuah anting panjang menggantung
di telinga kanannya. Wajahnya sempurna, bernuansa oriental, cukup membuat semua orang yang
melihatnya berpikir kalau cowok itu baru saja keluar dari majalah Asian Idol. Semua orang.
Kecuali Eri. Otaknya mulai muak. Ia memandang cowok asing itu dengan aura permusuhan yang pekat,
namun cowok itu terlihat tak peduli. Ia beringsut mendekati Eri, kemudian menaruh kedua
tangannya di sandaran kursi, tepat di dekat bahu Eri.
Eri terlonjak berdiri, "Apa maumu?" gertaknya. Sekilas dia menyunggingkan senyum, aksen
suaranya yang berbeda dalam pengucapan huruf "r" mengisyaratkan kalau Bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibunya. Eri menduga, kalau dia bukan orang Indonesia asli.
"Peryataanmu tadi soal Kuga Kyouhei betul-betul mengesankan," Cowok itu menarik
tangannya, menyurukkan kembali ke dalam saku celananya, "Kau pembohong besar."
Mata Eri membesar menahan marah, "itu semua bukan urusanmu." Eri berkata angkuh.
"Dia bisa saja memberi apa saja yang kau mau. Dia bahkan bisa membelimu, kalau dia
menginginkannya." Buku-buku jari Eri mengeras, "Manusia bukan barang, tidak untuk diperjualbelikan."
Geramnya. "Dan aku tidak membutuhkan apapun darinya."
"Benarkah?" cowok itu mendekatkan wajahnya ke wajah Eri, "Tapi kau terlihaat cocok
berada di sini. Dalam semua kemewahan ini... Dia bisa memberi lebih. Apa kau benar-benar
tidak menginginkannya?"
Tidak... terkecuali Sky menginginkan aku berada di sini... tidak ada yang lebih kuinginkan
selain dia... Eri mengeluh dalam hati. Kemesraan Sky dan Minnie Baby perlahan terputar
kembali di otaknya. Pandangan gadis itu kini tertuju pada arah lain, menemukan pemandangan
yang ganjil, seperti sekumpulan orang tak bergerak di belakang pepohonan. Tanpa terasa tubuh
Eri menggigil melihatnya.
Kuga masih tetap berdiri di depan Eri, menunggu jawabannya.
"Tidak." Eri menjawab tegas. Pikirannya kembali mengingat luka di hatinya. Luka karena
Sky. Perlahan Eri menarik tubuhnya menjauhi cowok itu. Lebih baik kembali ke dalam daripada
harus berurusan dengan cowok aneh menyebalkan ini! Pikirnya. Pokoknya, Eri tidak ingin
melayani cowok-cowok sinting ini lebih lama lagi. Dia memaksa langkahnya hingga setengah
berlari meninggalkan cowok itu di belakangnya.
Si cowok menyebalkan menyulut sebatang rokok, sekilas kemudian dia mengambil sehelai
kertas lecek dari sakunya, kemudian seulas senyum mengejek hadir di bibirnya ketika dia
mengingat perkataan Erika Valerie di konferensi pers itu.
Tak lama, cowok itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menelisik setiap sudut


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan matanya. Memastikan Eri telah kembali ke dalam ruangan, lalu pandangan matanya
berubah berbahaya. Dari sela giginya, dia mengeluarkan suara keras dengan nada memerintah,
"Dero!" BUKAN PERMINTAAN, TAPI PERINTAH...
Yuri menundukkan kepala dengan gemetaran. Dia bahkan tak berani membuka mata di depan
pria itu. Untuk kedua kalinya, usahanya dalam menjatuhkan Kuga Kyouhei telah gagal total.
Ketua klan Naga Timur Asia itu tetap bernapas lega di tempatnya. Tak tergoyahkan oleh apapun.
Yuri menarik napas saat pria itu mendekatinya, tetap tenang seperti biasa.
"Apa yang terjadi?"
"Ada.. ada seorang yang menggagalkan mereka," Yuri merasakan tenggorokannya mulai
kering, "Mereka tak berhasil membunuh salah satu Mawar Maximus itu..."
"Begitukah?" suara itu tetap lembut seperti beledu, namun Yuri dapat melihat aura berbahaya
di sana. "Maafkan aku, Ryuzaki..."
"Jelaskan padaku!" telunjuk Ryuzaki mengangkat dagu Yuri.
"Begini..." suaranya bergetas. Yuri dapat melihat tato naga di pelipis pria itu dengan sangat
jelas, berkedut menakutkan. Yuri menahan napas, "Mereka telah bergerak sesuai perintahmu,
maksudku.. Mereka telah berhasil menyusup ke acara konferensi pers itu, dengan menyamar
sebagai wartawan dan pegawai hotel. Semua berjalan lancar, walaupun ternyata ketua Kuga tidak
hadir di sana. Mereka juga berhasil membuntuti Erika Valerie ?"
"Dan mereka gagal membunuhnya..." Ryuzaki memotong. Yuri gelagapan dibuatnya,
"Bukan begitu... Tapi.. Tapi..."
"Gagal tetap saja gagal," salah satu sudut bibir Ryuzaki menegang. Jemarinya menyusup ke
helaian perak rambut Yuri, sebelum meremasnya dengan kasar.
"Aaargh..." Yuri mengaduh, "Ryuzaki, maafkan aku."
"Maaf?" suara Ryuzaki berubah menyayat, "Jika semudah ini ak memaafkanmu, maka kau
akan memberikan kegagalan lagi... Di Thailand, di sini... Bagaimana gadis tak berguna sepertimu
bisa menjadi gadisku?"
"Seseorang menyerang mereka, Ryuzaki. Anak-anak itu..."
"Seseorang" Hanya seorang saja membuat sepuluh orang hingga hancur?"?"
"Ryuzaki..." suara Yuri kini berupa rintihan serupa permohonan. Ryuzaki melepaskan kepala
Yuri dengan satu sentakan, "Siapa dia?"
"Dia..." Yuri menunduk menahan air mata yang mulai berdesakan keluar, "Mereka bilang
usianya masih muda, terlihat berantakan, namun memiliki ilmu bela diri yang luar biasa."
Ryuzaki tertawa. Diliriknya Yuri dengan pandangan ibaa, sebelum menariknya ke dalam
pelukannya. Yuri menarik napas lega, mengetahui kemarahan Ryuzaki mulai surut. Ryuzaki
mengelus-elus pipi Yuri, matanya menilik ke mata Yuri, memesona, namun tetap mematikan.
"Apakah Kyouhei benar-benar tidak datang?" Ryuzaki melembut, "Seharusnya dia memang
tidak datang, Yuri-chan... Seharusnya."
*** Beberapa jam sebelum kejadian itu...
Lingkaran itu makin menyempit ketika sekumpulan orang itu mengarahkan senjatanya ke
arah Kuga Kyouhei. Pria itu tertawa ketika melihat berandalan-berandaan itu menghampirinya
dengan garang. "Rupanya dia mulai kehilangan orang terbaiknya," Kuga berkata tajam. Dari cahaya renmang
yang menerpa wajah orang-orang itu, dia mulai mengenali beberapa di antara mereka.
Seorang yang berperawakan tinggi berotot adalah berandal yang sering membuat kekacauan
di Shinjuku. Dua lainnya adalah bekas anak buahnya. Sementara sisinya adalah orang-orang Asia
Tenggara, kelihatannya bekas-bekas anggota geng Thailand yang masih mencoba peruntungan
mereka dengan bertarung. "Siapa kau berani mencampuri urusan kami?" gertak berandalan berotot itu. Kuga tersenyum
sambil menyurukkan satu tangak ke saku. Namun kumpulan orang jahat itu sepertinya kurang
suka berbasa-basi. Sebaliknya, mereka mengarahkan senjatanya ke leher Kuga. Dengan mudah,
Kuga meghindari serangan itu, dan membalas keroyokan berandalan itu tanpa banyak
mengeluarkan tenaga. Tak membutuhkan waktu lama bagi Kuga untuk menjatuhkan orang-orang
itu. Seulas senyum mengejek hadir di wajahnya, sesaat sebelum dia menelengkan wajah dan
melihat seorang pemuda berpenampilan aneh mendekatinya sambil menyeret seorang waiter.
"Saya menangkapnya ketika berusaha menyerang salah seorang Mawar Maximus," katanya
sopan. Kuga melihat lebam di wajah waiter itu, kemudian memberi isyarat agar pemuda itu
melepaskannya. "Apa yang diinginkannya?"
Waiter itu tampak ketakutan. Dia semakin mengkeret saat pemuda berpenampilan aneh itu
mengintimidasinya lewat pandangan mata.
"Mereka ingin ketua Maximus mengira kalau ini perbuatan orang dari klan Kuga..." akhirnya
waiter itu menjawab. Kuga terlihat menimbang sejenak. Namun pemuda berpenampilan aneh itu
berkata khawatir, "Saya mencari Anda kemana-mana" dia menelengkan kepalanya ke segala
arah, "Apa yang Anda lakukan disini?"
"Sedikit berolahraga," Kuga menunjuk dengan kepalanya. Pemuda berpenampilan aneh itu
menggeleng resah, mendapati sekumpulan manusia terbujur tak sadarkan diri. Di dekat mereka
masih terlihat kilatan pisau dan pistol berkaliber.
"Ini tidak baik..."
"Ini persis gaya Ryuzaki." Kuga menghela napas khawatir, "Bagaimana pendapatmu tentang
dia, Shouji" Mawar Maximus itu?"
"Dia terlihat sedang berbohong," pemuda berpenampilan aneh yang dipanggil Shouji itu
memasang tampang prihatin, "Sebenarnya ia ingin tinggal di sini. Karena diam-diam menyukai
pangeran Maximus... Sky. Tapi untuk yang lainnya..." Shouji menghela napas, "Gadis itu benarbenar membencimu, ketua..."
"Mainan yang menarik..." ia bergumam pelan. Ekor matanya melirik ke sekumpulan manusia
itu lagi. Lalu mulai menimang-nimang plakat giok mungil di tangannya. Perbuatan klan Kuga...
sudut bibirnya naik sebelum dia berkata pelan, "Kirimkan pesan pada John-san. Segera."
*** "seharusnya kau tahu, aku tak pernah mencampuri percintaan anak-anakku," John Alexander
memutar kursinya hingga menghadap salah satu pelindung klan Kuga itu, Raditya Shouji.
Pemuda itu seumuran dengan Hayden, anaknya yang tertua. Memiliki wajah lumayan, namun
berpenampilan aneh dengan pakaian serba hitam dan sesuatu yang selalu menutupi kepalanya.
John tak pernah merasa nyaman jika berhadapan dengan Raditya. Pemuda yang selalu berhasil
menebak jalan pikirannya dengan analisis-analisis sederhana. Terlebih lagi, jika Raditya sedang
mewakili Kuga dalam bernegosiasi.
"Apakah kau tahu ada sekelompok penyusup pada acaramu di Bali tempo hari?" Raditya
berkata sambil melipat kedua tangannya, "Mereka jelas berniat memfitnah ketua kami. Jika
digabungkan dengan insiden geng Kobra, maka kami jelas telah mengalami banyak kerugian."
"Ini tak ada hubungannya dengan Maximus."
"Oh, ya?" Raditya menaikkan alisnya, "Kalau tidak salah, salah satu bunyi kesepakatan dari
tiga klan adalah bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di wilayahnya..."
"Tanpa mencampuri urusan klan lainnya." John menambahkan, "Kalau bisa kukataka, semua
yang kau minta telah melanggar seluruh isi perjanjian."
Raditya tertawa, "Bagus sekali, Ketua John... saya sependapat dengan Anda. Hanya saja, jika
Anda tidak lupa dengan... mata ditukar dengan mata, nyawa ditukar dengan nyawa..."
"Aku tidak mungkin membunuh putriku sendiri!"
"Tahukah Anda, bagaimana Nona Shiori meninggal" Ketua geng Kobra itu jahat sekali
padanya?" suara Raditya kini terdengar prihatin.
"Yang kudengar, Kuga lah yang menembaknya."
"Bukan begitu," Raditya melanjutkan, "Ketua kami sangat bersedih karena peristiwa itu.
Bagaimana mungkin dengan kehilangannya yang luar biasa itu dia dapat membiarkan Anda
mengalami hal yang sama?"
Kerutan-kerutan tipis muncul di kening John Alexander. Ia mendadak merasa muak
mendengar perkataan Raditya. Seolah-olah dia sedang disuruh memercayai kalau seekor singa
gunung menangisi kematian seekor anak rusa setelah memakan dagingnya.
"Ketua kami tidak meminta Anda menyerahkan anak kandung Anda. Bukankah Anda
mengangkat dua orang gadis" Serahkan saja anak angkat Nyonya Yudia. Ketua kami yang murah
hati itu tidak akan keberatan, asalkan Anda menyanggupinya."
"Shouji?" John berkata pelan, "Aku tak akan pernah menyerahkan Mawar Maximus. Aku
telah berjanji pada Yudia."
"Maaf, Ketua John..." Raditya mengulum senyum licik, "Ini bukan permintaan, tapi
perintah..." *** Sky mendorong bola biliar putih itu dengan stiknya. Setelah sekali melompat, bola itu
bergulir dan menabrak bola bernomor delapan dan menggiringny masuk ke lubang. Darius yang
berada di dekatnya langsung memukul udara kosong sambil memaki.
"Sudahlah,Darius... kau tak mungkin menang melawannya..." Hayden tertawa, "Sky allways
the winner. He does."
"Yeah, about the girls, too..." Darius mencibir sambil menunjuk salah satu pipi Sky dengan
jarinya. "Apa yang terjadi sampai Minnie Baby menamparmu?"
Sky mengerling tak suka, namun menjawab juga, "Aku menyuruhnya jangan menggangguku
lagi." "Setelah kejadian malam itu?"
Sky mengangkat bahu, "I was drunk."
"Stupid jerk!" Darius memaki, "Minnie Baby" Nemenin elo teler dan elo tolak" Elo benerbener brengsek!"
Sky tersenyum mengejeknya, "Aku memang brengsek. Tapi dia tak jauh beda."
Hayden menepuk bahu Sky, "Aku penasaran, gadis seperti apa sebenarnya yang kau sukai."
Sky terdiam. Bayangan seorang gadis bergaun merah jambu tiba-tiba menari di hadapannya.
Masih jelas baginya pikiran gila yang menggodanya untuk memiliki gadis itu. Ah... semua
terlalu rumit. Sky tidak tahu mengapa dia menyukai gadis itu. Seolah menemukan sesuatu yang
hilang dari dirinya, dan menuntutnya untuk segera menaklukkan sang gadis. Namun Sky
menepis keinginan itu keras-keras. Kalau bisa, dia menginginkan gadis itu pergi dari Maximus.
Maximus bukanlah tempat yang cocok buatnya. Terlebih lagi jika gadis itu berada di sisinya.
"Mengapa kau tak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan gadis-gadis?" Ucapan
Hayden membuyarkan lamunan Sky.
"Betul," Darius menyambung, "Kalau dibandingkan dengan Kuga, kalian berdua adalah tipe
cowok idaman. Cakep, iya. Berkuasa juga. Tapi..."
"Jangan menyamakan aku dengan Kuga."
Hayden merasakan nada suara Sky mulai meninggi. Hayden tahu, adiknya tak suka kepada
ketua klan yakuza itu. Jadi ia langsung memberi tanda pada Darius untuk menghentikan
pembicaraannya. Sayang, cowok itu benar-benar tidak peka terhadap situasi. Mulutnya tetap saja
bergerak mengalahkan semua mulut ibu-ibu penggosip.
"Ngomong-ngomong tadi Raditya Shouji menemui John, kau tahu?"
"Untuk apa dia kemari?"
Darius memutar mata, "Tentu saja buat menagih. Pendendam seperti Kuga... pasti akan terus
ngotot sampai dia mendapatkan keinginannya."
"Apa yang kau tahu?" Hayden berkata, ikut pancing oleh gosip Darius yang seperti layanan
infotaiment. "Yang gue tahu, Kuga memaksa harus mendapatkan salah satu Mawar Maximus. Gue sempet
denger, nama Erika disebut."
"What?"" Jadi kamu nguping pembicaraan orang lain?"
Darius menutup telinganya dari teriakan Hayden.
"Lalu?" "Lalu..." Darius memandang kearah Sky, akhirnya menyadari kalau Sky mulai tersulut
emosinya, "Kalau nggak salah dia menyebut orang di Bali yang berusaha memfitnahnya. Dengan
rencana pembunuhan terhadap Mawar Maximus."
"Komplit sekali beritamu," sindir Hayden. Sky di sebelahnya langsung mengembalikan stik
biliar tadi ke tempatnya. Hilang sudah niatnya bersenang-senang. Kuga Kyouhei... Sky
mengumpat, kau tak akan mendapat apapun dari kami... terlebih lagi, gadis itu>
Pertemuannya dengan John Alexander kembali berputar dalam ingatannya:
"Bagaimana mungkin aku bisa menyerahkannya kepada Hayden atau Darius" Kau tahu
sendiri bagaimana mereka jika berhadapan dengan perempuan. Aku hanya bisa memercayaimu
untuk melindunginya. Hanya kau..."
Kemudian John Alexander meletakkan sebuah laptop di depan Sky. Layarnya masih menyala
menampilkan aktivitas harian Eri yang diambilnya diam-diam.
John Alexander telah menyerahkan tugas untuk melindungi gadis itu kepadanya.
Memberinya sebuah kepercayaan. Namun masalahnya, Sky justru tidak memercayai dirinya
sendiri. PERJUMPAAN "Ada apa John mencarimu?"
"Hanya menanyakan soal Brown Sugar..." Eri mengerucutkan bibir, "Ia ingin membantu...
mencarikan tenaga karena aku dan Jaden sudah di sini."
"Lalu?" "Aku bilang, sebaiknya aku pulang saja, tapi John tidak setuju..."
"Tentu saja, dia takkan setuju!"
Mata Eri membulat. "Tahukah kau apa yang akan terjadi padamu, kalau kau kembali ke kehidupanmu
sebelumnya" Tidak sedikit orang yang akan mencelakaimu. Hanya untuk melawan kami. Dan
bukan hanya itu, orang-orang disekitarmu" teman, sahabat, mungkin anak-anak panti juga,
takkan luput dari sasaran mereka."
"Bagaimana kalau aku tidak kembali ke Bali?"
Hayden menelengkan kepala, bingung. Namun Eri melanjutkan ucapannya, "Aku ingin
melanjutkan kuliahku di Kalimantan Selatan. Apakah mereka akan mencariku di sana juga?"
Kedua mata cokelat Hayden menatapnya tajam, sebelum pria itu mengacak rambut
perunggunya dengan gemas. Tak heran banyak gadis terpikat olehnya, Eri membatin. Hayden
memang pria pria yang sangat ramah, cute, dan menggemaskan. Ingin sekali Eri memercayainya.
Kalau saja Hayden bukan seorang gangster..
"Kau kan bisa melanjutkan kuliahmu di sini. John tidak akan keberatan jika anaknya
melanjutkan sekolah. Pendidikan juga penting baginya."
Eri menghela napas, "Bagaimana kalau akhirnya aku menjadi seperti Rosita?"
Hayden tak menjawab, sebaliknya malah terlihat agak canggung.
"Entah berapa puluh luka yang ditorehkan Danan sebelum dia meninggal, bukan" Begiku
bersama kalian atau tidak, hasilnya akan sama saja..."
"Tidak semua orang memiliki nasib yang sama..."
"Tentu tidak," Eri berkata sarkastik, "Rosita masih memiliki Andhika yang mencintainya
hingga mampu membunuh seseorang..."
Hayden menelengkan kepalanya kepada Eri, hampir membuat mobilnya menyerempet
sebuah gerobak bakso. Rangkaian sumpah serapah langsung diteriakkan si penjual bakso yang
bertubuh tinggi besar dan berkulit gelap itu.
Eri tertawa hambar, "Apa yang bisa kupercaya dari para penjahat seperti kalian?"
"Apa maksudmu?" Hayden mendecakkan lidah, agak tersinggung.
"Kuga Kyouhei..." Eri menyebutnya seperti menyebutkan nama monster, "Bukankah kalian
pernah mengatakannya di Bali" Kerjasama itu?"
"Hal ini tidak ada hubungannya dengan kalian. Yang dimaksud kerjasama adalah: dia ikut
mendapatkan keuntungan dalam proyek tanpa keluar modal. Semacam ganti rugi untuk insiden
geng Kobra itu." "Teori yang bagus," Eri tertawa dengan nada sumbang, "Mungkin begitu... kalau saja John
tidak mengatakan kalau Kuga ingin bertemu aku..."
"Apa?" "Aku tak tahu apa maksudnya, atau aku tak cukup cerdas untuk tahu mengapa dia berkata
akan meminta aku untuk bertunangan dengannya... Dia juga bilang posisi ituleboh terhormat
bagi Mawar Maximus."
Hayden langsung merasa ada yang tidak beres. Dia tiba-tiba memukul setirnya, "Segera,
huh?" Hayden mengumpat sebal, sembari membetulkan spion di atas kepalanya. Otomatis, Eri
ikut menengok ke belakang, melihat sebuah Nissam X-trail di belakang mereka.
"Ada apa?" Hayden memelankan laju mobilnya. Eri bergidik. Mobil di belakang mereka jelas-jelas
memiliki maksud buruk. Beberapa kali mobil itu berusaha memepet BMW Hayden dan tidak
berusah a mengubah jalurnya. Dengan sengaja Nissan itu menyalip mobil Hayden dan meluncur
secara zigzag menghalangi BMW Hayden meloloskan diri. Nissan X-Trail itu akhirnya berhasil
melesak mobil Hayden hingga ke pinggir, memaksanya menepikan mobil, lalu berhenti.
Seorang cowok muda berwajah oriental menghampiri mereka. Eri merakas familier dengan
penampilannya. Rambut hitam licinnya dikuncir kuda, lalu ditutup topi bulat berwarna hitam.
Cowok berwajah oriental itu membuat Hayden lebih waspada, melindungi Eri di belakang
punggungnya, tepat ketika mereka dipaksa turun dari mobil.
Cowok itu mendekati mereka berdua dengan sikap culas. Hayden mendahulinya berkata,
"Raditya Shouji... ada urusan apa lo ke sini?"
"Kuharap kalian tidak lupa dengan permintaan Kuga tentang...."
Hayden tertawa, berbeda dengan keramahannya selama ini, ada sesuatu yang membuat Eri
sedikit merinding melihatnya. Tawanya terdengar berbahaya. Eri sedikit bergidik dibuatnya.
Seperti baru menyadari kalau orang yang bersamanya adalah seorang gangster yang hidup dari
banyak perkelahian. Hayden melipat kedua tangannya dengan arogan, tidak membiarkan Radit puas atas
keberhasilannya mencegat mereka, "Kami belum membuat janji apa-apa padanya Radit..."
"Shut up!" Radit memaki Hayden, "Serahkan saja Mawar Maximus..." ia mulai mengarahkan
pandangan menjijikkan pada Eri.
"Dia pacarku!" sergah Hayden cepat, menarik Eri dan memegang erat bahunya. Hati Eri
mencelos seketika, ketika pasangan itu berubah menjadi cengkeraman yang menyakitkan. Dia
hanya berusaha melindungiku.... Eri membatin, melihat kedua rahang Hayden mulai mengeras.
Tangan kanannya mengepal hingga urat di tangannya tampak membiru.
Radit mendekati Eri, menatapnya dengan tatapan curiga. Eri tahu, semuanya tidak akan
berjalan dengan mudah. Radit masih berdiri sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk tangan
kanannya. "Tuan Kuga masih menunggu." Radit kembali berbicara pada Hayden, "Sayangnya, aku
tahu.. kalau gadis ini sama sekali bukan pacarmu!"
Radit mendekati Eri dan Hayden, menyambar tangan Eri yang berada di dekatnya. Eri


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meronta di tengah cengkeraman tangan Hayden dan pegangan Radit, berhasil menghempaskan
tangan Radit, namun saat itu, pistol Radit langsung mengarah padanya.
Hayden terpaku di tempat, sampai menemukan celah menyerang yang membuat Radit
menjatuhkan pistolnya. Perkelahian kedua orrang itu tidak terelakkan lagi. Eri melihat serangan
demi serangan dilancarkan, melukai Hayden dan Radit. Hayden adalah petarung yang tangguh.
Namun serangan Radit dilancarkan secara brutal. Radit baru saja melancarkan tendangan ke
bagian perut Hayden, membuat Hayden tersentak, namun sesaat kemudian, Hayden balik
menyerang Radit dengan sebuah upper cut. Pertarungan kedua orang itu masih berimbang,
menyisakan ketakutan dalam diri Eri.
Eri mengkeret di tempat. Kedua tangannya membeku sedingin es. Gadis itu tidak berani
bergerak sama sekali. Ia ingin Hayden segera mengalahkan Radit, namun bukan itu yang
terjadi... perkelahian belum juga usai, ketika mendadak sebuah Ferrari merah datang ke dekat
mereka, beserta iringan dua mobil Honda Civic di belakangnya. Radit langsung tersenyum
menang, melihat bala bantuannya datang.
Seorang pria Jepang keluar dari Ferrari itu. Auranya sangat dominan, sepertinya memaksa
segala sesuatu di dekatnya menunduk dan bersembunyi. Wajahnya yang keras dan menawan
terpahat sempurna dibalik rambut coklat kemerahan yang diikat berantakan di belakang lehernya.
Meski begitu, saat itu pandangan matanya benar-benar mematikan sehingga Eri bisa merasakan
getaran pada tubuh Hayden. Pria itu berdiri seolah ia adalah pusat dunia. Eri langsung mengutuk
kebodohan dirinya. Dan baru pada saat itu Eri mengetahui, kalau dia telah membuat salah satu
kesalahan terbesar dalam hidupnya. Karena ia sama sekali tidak mengenal Kuga Kyouhei,
meskipun ia pernah berbicara dan berdebat dengan pria itu sebelumnya.
Erika Valerie, kau pasti sudah gila! Eri merasakan es mulai menjalari kakinya, hingga
membeku. Kau akan membunuh dirimu sendiri! Dia menatap sosok kokoh yang berjalan
menghampirinya dengan langkah-langkah mantap. Keinginan melarikan diri tertanam kuat di
benaknya, namun kakinya telah membeku hingga tak bisa digerakkan. Sosok itu"Kuga
Kyouhei"saat itu benar-benar tampak menakutkan.
Kuga Kyuhei memandang Eri dengan pandangan sama seperti sebelumnya, masih sarat
ejekan, namun kali ini bercampur ancaman. Eri menggigit bibir bawahnya, sempat menoleh
sedikit ke arah Hayden yang sama sepertinya, tak bisa berbicara.
"Senang bisa berjumpa lagi, Peri Valentine..." suara semanis madu beracun itu mengalun
bagai nyanyian di telinga Eri. Tetap manis dan mematikan.
"Sekarang katakan bagaimana aku bisa membelimu?" Kuga Kyouhei berkata pelan, "Kau
sudah jatuh ke tanganku."
"Aku?" Belum sempat Eri berbicara, tangan Kuga telah menarik Eri dan mendorongnya ke kap mobil
di depannya. Eri ingin memberontak, namun tangan Kuga mencengkeram lehernya dengan kuat.
Setengah mencekiknya. Eri megap-megap mencari udara. Jantungnya tak akan pernah kuat
dipacu dalam kondisi seperti ini. Kedua tangan Eri terkepa, dan gadis itu menaikkan kedua
tangannya untuk mendorong Kuga, namun pria itu mengekangnya. Pegangan Kuga di lehernya
telah terlepas, namun pria itu telah membelenggu kedua tangannya dan membawa tubuhnya
menempel di atas kap mobil.
"Bukankah kau ingin melawanku?" napas Kuga menari-nari di atas hidung Eri. Eri dapat
melihat warna gelap di dalam mata pria itu. Helai lembut kemerahan rambutnya, juga garis-garis
sempurna di wajah pria itu. Waktu tiba-tiba terasa berubah menjadi sangat lambat. Kuga
tersenyum kepadanya, dan Eri dapat merasakan pria itu telah membawa paksa bibir Eri ke atas
bibirnya, menciumnya dengan kasar dan beringas. Ia tak sempat berkelit, semenjak kedua tangan
Kuga berubah menjadi perangkap"membelenggu tubuhnya di kap mobil itu. Tak ada pikiran
lain yang terlintas di benak Eri, kecuali dia harus melepaskan diri dari pria itu. Secepatnya.
Kuga melepaskan ciumannya. Seulas senyum penuh ejek terlihat di wajahnya, kemudian
pegangan pria itu terlepas. Dia melepaskan tangan Eri, merengkuh dagunya, dan mendaratkan
ciuman kecil di bibir Eri. Membuat gadis itu panik setengah mati, mendorong pria itu menjauh
darinya. Dan saat itulah Eri melihat sepucuk pistol yang terselip di jaket Kuga. Eri sama sekali
belum pernah menyentuh benda semacan itu. Namun, dibutakan serangan paniknya yang
membabi buta, Eri menghabiskan seluruh keberaniannya untuk mengangkat dan menodongkan
pistol itu tepat di depan hidung Kuga. Eri membenci Kuga karena memergokinya menangis di
Bali, juga karena telah mencuri ciuman itu darinya.
Pistol itu terasa berat di tangan Eri. Namun dia membulatkan tekad untuk menyelamatkan
harga dirinya. Tubuhnya bergetas ketika ia merasakan dingin logam di kedua tangannya.
Refleks, Kuga mundur melihat ujung pistol itu terarah kepadanya, namun ekspresi wajahnya
masih tetap tenang seperti sebelumnya. Dia memang ketua klan yakuza yang menakutkan... Eri
menarik napas panjang, perutnya mendadak bergejolak. Dia benar-benar takut. Ekspresi
wajahnya tak dapat menyembunyikan hal itu. Eri dapat merasakan jantungnya mulai berusaha
melompat keluar. Dia harus segera melarikan diri. Harus!
"Jangan harap kau bisa seenaknya padaku!" Eri berteriak histeris, kemudian menyambung
kalimatnya dengan bahasa Jepang, "Sudah kubilang manusia bukan barang jualan."
Kuga terkekeh, "Kau sedang mengancamku?"
"Aku memang tak pintar menembak, tapi aku tak tahu apa aku bisa membunuhmu dengan
pistol ini... mau bertaruh?"
Seorang gadis kecil menodongkan senjata pada ketua klan Yakuza terbesan di Asia! Semua
anak buat Kuga di tempat itu membelalak terperangah. Melihat ada kesempatan, Eri langsung
berlari menembus pria itu dan gerombolannya, menjatuhkan pistol itu, dan mempercepat
langkahnya. Ia sempat mendengar Radit berkata, "Larilah selagi bisa..." dan Eri tidak menyadari,
kalau mulai saat itu, ia takkan bisa melepaskan diri dari pria itu... Selamanya.
(TAK ADA) PILIHAN "Aku akan pergi..." Eri berkata pelan pada petugas administrasi di depannya. Seorang wanita
paruh baya berpakaian hitam putih yang terllihat amat sopan. Wanita itu adalah kenalan Suster
Judith, namanya Ibu Clara, pengurus yayasan Cinta Kasih yang memberikan beasiswa kepada
mahasiswa-mahasiswa berprestasi yang juga berkeinginan menjadi seorang relawan.
"Apakah kau yakin?" Ibu Clara tersenyum tipis, "Mungkin misi sosial kali ini di
Singkawang, atau pedalaman Kalimantan."
Lebih baik lagi di ujung dunia... Eri mengeluh. Pikirannya benar-benar kacau. Ingin rasanya
menceburkan diri ke dalam sebuah sungai,hanya untuk melupakan kejadian nista yang
menimpanya. Bagaimana bisa dia terlibat begitu jauh dengan pria-pria berbahaya itu" Eri
berkali-kali mengutuk dirinya. Seharusnya dalam konferensi pers itu dia tidak menjelek-jelekkan
Kuga Kyouhei... Seharusnya dia tika menyelinap keluar di malam pesta itu... Seharusnya dia
tidak membiarkan pria itu menciumnya... seharusnya"
Eri menyentuh bibirnya sendiri.
"Tidak. Ini keputusanku." Katanya dengan wajah merona.
"Baiklah." Ibu Clara menyerahkan sebuah surat untuk ditandatangani. Eri menorehkan
penanya dengan cepat. Dia ingin menyelesaikan ini dan melarikan diri secepatnya.
Jika saja aku Jade Judy, aku pasti sudah menendangnya... Eri mengomel dalam hati.
Diperhatikannya saat Ibu Clara menuliskan beberapa hal dalam berkasnya, sebelum
memasukkan berkas itu ke dalam map.
"Kami akan memberitahukan jika ada kabar, secepatnya."
"Terima kasih, Bu..." Eri tersenyum. Ibu Clara menoleh sejenak ke pinggir jendela. Ia
berkata lembut, "Aku kira setelah menjadi Mawar Maximus, kau tidak akan tertarik hal-hal
seperti ini." "Aku bukan Mawar Maximus," Eri berkata spontan, "Aku hanya kebetulan ada di tempat dan
waktu yang salah." Eri menelengkan kepala, mengedarkan pandangannya mengelilingi ruangan
itu. Yayasan Cinta Kasih mirip sebuah kelas kecil dengan lorong dan kursi-kursi kayu. Semua
temboknya dicat putih bersih. Kantor Ibu Clara sendiri adalah sebuah ruangan kecil di tengah
ruangan mirip kelas itu, yang disekat dengan papan gypsum.
Eri berdiri di depan Ibu Clara, melangkah pelan menuju jalan keluar kantor itu. Ibu Clara
melihatnya ragu-ragu, dan Eri menundukkan wajahnya.
"Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang," Eri berkata lirih, "Yang aku
pikirkan hanyalah melarikan diri."
"Kau tidak mungkin melarikan diri selamanya..." Ibu Clara menelengkan wajahnya untuk
melihat keluar jendela. Dia bangkit, lalu berjalan mendekati Eri. Ibu Clara mengelus kepala Eri,
seperti seorang ibu kepada anaknya. Entah mengapa, perasaan nyaman akhirnya mengaliri Eri.
Mendadak, Eri merindukan dunianya yang polos.
"Pergilah..." Ibu Clara berkata. Eri mengangkat wajahnya, setengah tak mengerti. Namun tak
lama, Eri mengetahui jawabannya. Seseorang sedang berjalan di antara lorong-lorong dan
barisan kursi. Eri mengenali orang itu.
"Aku sedang mencarimu,"
Kuga telah berada disana. Berdiri tepat di ujung koridor, dekat pintu tinggi yang menjadi
satu-satunya pintu masuk ke ruang yayasan. Suara Kuga menggema di sudut-sudut ruangan. Ibu
Clara mau tak mau beringsut kembali ke dalam kursi kantornya. Kelihatannya sedikit ketakutan
pada aura berbahaya yang dibawa pria itu.
Bagus... Lagi-lagi dia...
Eri melipat kedua tangannya. Berpikir bagaimana cara melewati orang itu, namun pikirannya
nyaris kusut. Bagaimana kau bisa berpikir tenang jika harus berhadapan dengan orang ini" Eri
memaki dalam hati. "Kau tak seharusnya kemari!" dia menghardik pria itu dengan marah. Kuga berdiri dengan
tenang di tempatnya. Sinar matahari bermain di kemerahan rambutnya, membuat gradasi warna
yang elegan. "Aku tidak melihat larangan itu," dia berkata sarkastis, "Atau di sini merupakan salah satu
wilayah Maximus?" Eri melengos kesal, memacu langkahnya dengan cepat. Dia telah melupakan keinginan untuk
pergi dengan selamat. Benar saja, dalam sesaat, lengannya telah disambar oleh pria itu.
"Tidak secepat itu, Peri Valentine..." Kuga menyunggingkan senyuman mengejek itu lagi,
"Beginikah sikap terhadap calon tunanganmu?"
Salah satu sudut bibir Eri mengejang. Gadis itu benar-benar marah, "Siapa pun tak berhak
mengatur hidupku! Dan aku harus mengatakan kepadamu kalau aku sendiri, tidak pernah akan
bersedia melakukan perjanjian konyol tiga klan, atau apa pun itu!"
"Masih ingat apa yang dapat kulakukan kepadamu?" Kuga mempererat cengkeramannya di
tangan Eri, membuat semberut merah menjalari pipi Eri. Darah Eri mendidih melewati ubunubunnya.
"Kau telah memilih berhadapan denganku. Dan kau telah salah memilih musuh..." ucapan
Kuga bagaikan silet, dingin di telinga Eri, "Aku bisa mendapatkanmu di sisiku, atau sekalian
membunuhmu.." "Aku tidak takut mati." Suara Eri terdengar meninggi, "Lebih baik matik ketimbang jatuh di
tangan penjahat besar sepertimu."
"Oh, ya?" Kuga menyeringai, "Itukah yang kau dengar tentang aku?" dia melihat anggukan
kecil di kepala Eri lalu melanjutkan, "Atau mungkin kau telah mendengar tentang Shiori"
Tentang bagaimana aku membiarkan peluru itu membunuhnya" Atau bagaimana geng Kobta
berakhir dalam tanganku?"
"Kau gila!" "Dengarkan aku," kedua rahang Kuga mengeras, "Saat ini aku masih berbaik hati mengingat
perjanjian itu. Jika tidak, pasti aku akan dengan senang hati menghancurkanmu... termasuk juga
menghancurkan Maximus, sekalian dengan saudaramu itu!"
Eri tersentak. Saudara" Apa maksudnya" Eri belum sempat berpikir. Gadis itu terpaku di
tempatnya. Kemarahan telah menguasainya. Kuga benar-benar bajingan brengsek, ingin sekali
Eri melayangkan pukulan telak ke wajahnya. Namun, masalahnya dia tidak akan pernah bisa
kuat untuk melakukan hal itu. Gadis itu akhirnya mendengus kesal dan memilih untuk melalui
jalan sempit yang telah tanpa sengaja terbuka di depannya...
Sebelum dia menabrak sosok lain yang berjalan dari arah berlawanan.
Suara selembut beledu itu terdengar dingin saat mengatakan kalimatnya dalam bahasa
Jepang. "Ketua klan Naga Timur Asia... rupanya Anda sedang kelewat santai hingga jauh-jauh
datang kemari..." Eri mengangkat wajahnya, melihat Sky berdiri di depannya. Ketenangan mengaliri wajah
Pangeran Maximus itu, seolah dia sedang berbicara dengan salah satu teman sekolahnya. Jantung
Eri hampir lupa akan tugasnya, saat gadis itu mencari-cari udara untuk bernapas.
Sky... Untuk pertama kalinya Eri melihat sosok itu dari dekat, melihat rona keemasan di rambut
mahoninya, wajahnya yang kokoh dan terpahat halus...
Oh, ya... aku memang jatuh cinta kepadanya...
Kuga tertawa melihat kedatangan Sky. Namun Sky hanya mengerling tajam. Mata birunya
berkilat-kilat saat pandangannya bertemu dengan ketua klan Yakuza itu.
"Kejutan yang menyenangkan... Pangeran Maximus sampai khusus datang kemari."
Suara Sky mengeras sekeras baja, "Jangan pikir aku tak tahu apa keinginanmu, Kuga..." dia
menunjuk Kuga, "Aku telah mendengar masalahmu dengan Ryuzaki. Aku tidak akan
membiarkan Maximus terlibat di dalamnya."
"Oh, ya?" "Aku tahu di kembali."
Kuga melipat kedua tangannya, terlihat tak puas, "Ini tidak ada hubungannya dengan
kakakku..." "Kau adalah bajingan yang sama dengan kakakmu..."
Eri melihat kedua orang itu telah saling berhadapan. Namun, Kuga terlihat enggan mendebat
Sky. Dia hanya menepuk pelan bahu Sky sebelum berlalu dari hadapannya.
"Senang bertemu denganmu, Pangeran..." katanya sarkastis.
*** Kuga Kyouhei menutup kaca mobil Ferrarinya dengan gemas. Pria itu mengambil sebuah
foto yang tergeletak di dekatnya. Foto yang diambil dari jarak jauh dan diambil secara candid.
Wajah yang nyaris sasma sepertinya, rambut yang hitam gelap, tato naga yang melingkar di
pelipisnya. Kuga membolak-balik foto di tangannya.
Aku telah mendengar masalahmu dengan Ryuzaki. Aku tidak akan membiarkan Maximus
terlibat di dalamnya... Kuga teringat perkataan Sky, aku tahu dia kembali.
"Ryuzaki," gumam Kuga, nyaris tak bersuara. Seluruh dunia seakan berputar-putar di kepala
Kuga. Kejadian sepuluh tahun lalu kembali terlukis di dalam benaknya...
Sore yang amat suram di kumpulan pertokoan kosong dekat Gunung Akina. Kuga berjalan
tersaaruk-saruk, menyeret sebelah kakinya yang terluka. Ia tahu, Ryuzaki masih mengejarnya.
Bahkan sudah amat dekat. Tawa kakaknya itu menggema di sudut lorong kosong itu.
"Kemarilah, Adikku sayang..." Ryuzaki berkata dari sela tawanya, "Aku janji, akan
membunuhmu dengan cepat..."
Enak saja! Kuga menyeret kakinya lagi, namun Ryuzaki sudah berada satu meter di
belakangnya. Bau bensin langsung menyengat hidung Kuga. Kuga berpaling, mencari dari mana
asal bau itu. Rupanya Ryuzaki sengaja menyiram bensin di atas jalanan. Jadi, kalau pun Kuga
berhasil lolos dari Ryuzaki, ia takkan mampu melewati lingkatan api yang akan dibuat oleh
kakaknya itu. "Kau itu kakakku..." Kuga berkata lemah, sambil memandang Ryuzaki, geram.
"Karena itulah seharusnya Ayah memilihku, bukan kau..." Ryuzaki menjawab santai, "Yah...
orang tua itu pantas mati..." Ryuzaki berjalan memutari Kuga. Tak lama kemudian, ia
mengambil korek api dari sakunya, memainkannya di salah satu tangannya.
"Kau akan mati... sama seperti ayah..."
Ryuzaki melemparkan korek api itu tepat ke arah cairan bensin, membuat api menyebar,
membentuk setengah lingkaran di depan Kuga. Sebagiam api menyebar ke belakang mereka,
semakin menguar menghanguskan segala sesuatu di dekatnya. Kuga menutup matanya,
mendadak disilaukan oleh api yang berkobar-kobar. Ia melihat Ryuzaki menarik pistol, lalu
mengacungkannya ke depan.
Habislah! Kuga memejamkan mata, merasa hiduonya tak lama lagi akan berakhir... tapi
tidak... tepat saat Ryuzaki akan menembakkan pistol itu, seorang wanita datang dari kobaran api,
menyerang Ryuzaki dengan sebilah katana, sampai pria itu tersungkur di lantai. Wanita itu
berhasil menyelamatkannya, dan menjadi pelindung klan.
Ryuzaki. Dengan gelisah diputarnya foto Ryuzaki di udara. Kuga menyurukkan tangannya ke dalam
sakunya, menekan sebuah nomor dari sana. Tangannya mengetuk-ngetuk tak sabar saat deringan
itu membalas teleponnya. Dering pertama... dering kedua..
Telepon itu dijawab saat deringan ketiga.
"Kau sudah yakin akan rencanamu?" Seorang wanita berkata dengan perlahan.
"Semua akan berjalan dengan kehendakku, Hero."
Wanita yang disebut sebagai Hero itu tertawa, "Semua selalu berjalan sesuai kehendakmu,
Ketua..." Kuga mengerutkan alisnya, "Aku tidak ingin Ryuzaki atau yang lain menyentuhnya. Aku
akan lebih senang melihat kehancuran klan mereka atau?"
"Atau kematian Ryuzaki?"
Kuga menelengkan kepalanya cemas, bibirnya bergetar saat mengatakan, "Ya."
*** Eri membelalak tak percaya melihat lembaran-lembaran persegi panjang beserta amplopamplop tebal di tangan Sky. Surat panggilan dari beberapa universitas, brosur-brosur, juga visa
dan paspor atas nama Erika Valerie. Bagaimana mungkin Sky dapat melakukan hal sekeji itu
padanya" London" Mengapa dia tidak mengirimku ke Kutub Utara sekalian"
"Aku tidak akan pergi," Eri berkata dari sela gigi-giginya, "Kalau aku harus mati, itu lebih
baik ketimbang melihat Kuga Kyouhei menghancurkan Jade Judy beserta Maximus."
"Dimana lagi kau dapat belajar lebih baik?" Sky berkata tenang, "Pergilah."
Eri dapat menyimak makna ucapan Sky, pergilah selamanya dari hidupku. Hal ini sama
sekali tidak menyenangkan bagi Eri. Dia mati-matian menyukai pria iitu, dan Sky malah dengan
senang hati mengusirnya. Seolah dia memiliki suatu penyakit menular atau apa...
"Apa kau sedang berusaha menolongku?" Eri menyilangkan tangannya dengan gusar, "Atau
kau sedang mengusirku karena menganggapku matrealistik?"
Sky memutar mata, terlihat enggan menjawab, "Aku tidak tahu," katanya, "Tapi yang jelas
aku tidak sedang berusaha menolongmu."
"Oke, jadi jawabanmu adalah yang kedua," Eri mengambil lembaran-lembaran dari tangan
Sky, dengan kasar merobek-robeknya menjadi serpihan-serpihan sebelum melayangkannya ke
udara. Dia menelengkan kepalanya dengan gusar, menunjuk wajah Sky, dan berkata dengan nada
tinggi. "Dengarkan aku! Aku memang gadis yatim piatu yang dipungut Bunda Yudia. Yang seumur
hidup berutang pada Bunda dan Jade. Tapi jangan pernah kau anggap aku sebagai gadis yang


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gila harta!" Eri menggertakkan gigi, "Kalau memang kau membenciku dan menganggap aku
sebagai penyakit, mohon jaga jarak saja. Siapa tahu kau bisa terkena sejenis lepra! Dan aku harus
mengatakan saatu hal kepadamu, aku membencimu..."
Mata Eri berkilat-kilat saat mengatakannya. Dan sebelum Eri berlalu dari Sky, dia menabrak
pria itu dengan keras. Seharian ini dia telah bertemu dengan orang-orang brengsek! Kuga
Kyouhei memang pria bajingan, namun orang ini tak jauh berbeda darinya. Dia harus
Terbakar Api Asmara 1 Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Rajawali Hitam 3

Cari Blog Ini