Ceritasilat Novel Online

My Lovely Gangster 3

My Lovely Gangster Karya Putu Felisia Bagian 3


"Pengecut," Kuga bergumam.
Yuri mendecakkan pinggang, wajahnya mengeras. "Dia akan membunuh gadis itu jika kau
tidak membunuh pangeran Maximus. Terserah, kau pilih yang mana, tapi aku lebih suka melihat
gadis itu mati di tangan Ryuzaki."
Suara tawa Yuri menghilang di antara orang-orang bersenjata itu. Orang-orang yang
menyerang Kuga dengan beringas.
Orang-orang ini sangat tidak tahu diri...
Ilmu bela diri mereka jelas bukan standar yang bagus untuk bertarung melawan ketua klan
Yakuza setangguh Kuga. Mereka hanya preman-preman kecil di wilayah Harajuku dan Shinjuku
yang dengan asal ditarik Ryuzaki dalam kelompoknya.
Kuga Kyouhei berhasil mengambil sebuah tongkat besi dan menggunakannya sebagai
senjata. Untuk pertama kalinya kehilangan nafsu bertarung. Mereka semua payah, jumlahnya
saja yang banyak. Kuga telah merobohkan setengah dari merek. Membuat mereka berjatuhan di
tengah lapangan. Kuga melihat Yuri telah masuk ke dalam sebuah mobil Cherokee, mencoba
mengejar ke arah Yuri, namun langkahnya dihalangi seorang laki-laki Yanki berbadan kekar.
Lawannya kali iini memiliki ilmu bela diri paling tinggi di antara yang lain. Serangan Brazilian
Jiujitsu--nya cukup kuat dan terarah dengan tepat sehingga Kuga terpaksa memusatkan
perhatiannya melawan orang itu. Laki-laki itu bahkan tidak bertarung sendiri, seorang laki-laki
lain bersenjatakan sebuah atachi"pedang kecil berkelabat membantu serangannya.
Mereka berhasil menggoreskan pedangnya menyayat perut Kuga.
Tetesan darah mulai mengotori putihnya salju di atas tanah. Kuga memegang lengannya. Dia
harus secepatnya mengalahkan kelompok ini.
Kuga mengambil sebuah katana di dekatnya. Dia akan melakukan segalanya saat ini. Dengan
seluruh tenaganya, dia mengayunkan katana itu, menghancurkan serangan-serangan yang
ditujukan kepadanya dengan sabetan ringan dan kuat dari katana di tangannya. Serangan yang
mulai mengerahkan kemampuan bela diri Kuga itu berhasil melumpuhkan lawannya dalam
beberapa jurus. Namun sayang, Yuri telah kabur...
TERBUKA Eri memejamkan mata, berharap dapat langsung menuju alam mimpi. Di sanalah satu"satunya
tempat berlari. Sepi, tidak terdengar suara apa pun di sekelilingnya. Mansion Kuga di malam hari
tak ubahnya seperti menara Rapunzel yang tinggi dan sunyi. Eri mematikan i-Phone nya.
Matanya masih sangat sulit dipejamkan.
Berapa lama lagi aku akan terkurung di sini" Eri mengeluh. Sudah lama sekali dia ingin
kembali ke Indonesia. Ke Brown Sugar, bertemu Suster Judith, atau bergosip berdua dengan Jade
Judy. Semua kehidupannya yang tenang kembali menggodanya untuk kembali.
Tok! Tok! Aneh, pikir Eri, suara apa itu" Kenapa alarmnya nggak bunyi!
Ia mendekati jendela. Pelan-pelan, Eri beringsut membuka jendela, dan menjulurkan
kepalanya keluar. Angin dingin seketika menyapanya dengan tamparan keras. Eri melihat wajah
yang dirindukannya sepanjang waktu telah menyambutnya di sana.
"Sky?" Cowok itu memberi tanda dengan menaruh telunjuknya di mulut, kemudian melompat masuk
lewat jendela. Tampaknya tidak seorang pun dari penjaga yang mengetahui kedatangan Sky.
"Kenapa kau kemari?" kata Eri, setengah berbisik, "Kalau mereka tahu... kau bisa?"
"Tapi mereka tidak tahu," sela Sky acuh. Ia lantas mengamati sekeliling ruangan itu,
berguman tak jelas, kemudian ia mengulurkan tangannya pada gadis itu. Eri belum sempat
beraksi, saat tangan Sky menariknya, dan memeluk tubuhnya erat sekali, melompat keluar
jendela, membungkuk-bungkuk menghindari lampu sorot penjaga keamanan. Eri tak berani
mengeluarkan suara, saat mereka menuju halaman belakang, dan berhasil menerobos jalan
tersembunyi di sana yang berujung di jalan kecil di belakang Mansion. Sky benar-benar
memastikan jalannya aman, sebelum menarik tangan Eri menuju motornya.
Sky menyodorkan sebuah helm pada Eri. Gadis itu menurut, setelah memakai helm lalu
duduk di belakang kemudi Sky. Sky memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Angin musim
gugur menerpa wajah Eri, dingin, sampai-sampai gadis itu harus memejamkan matanya. Tanpa
sadar, ia memeluk Sky dengan erat. Merasakan kenyamanan yang baru pertama kali ini ia
rasakan. Entah sampai kapan, tapi Eri tak peduli. Ia akan tetap menginginkan kenyamanan ini,
saat ia dapat mendengar denyut nadi Sky, dan kehangatan Sky menyelimutinya.
Cahaya lampu warna-warni menyambut mereka di kota Tokyo. Sky menghentikan motornya
tepat di dekat Rainbow Bridge. Eri menggantung helmnya di motor Sky, lalu ikut bersandar di
samping Sky. Eri menatapnya canggung. Keheningan menggantung di antara mereka.
"Bagaimana kau bisa kemari?" tanya Eri ragu.
Mata biru Sky menjatuhkan tatapannya pada Eri.
"Entahlah..." Sky menjawab, "Aku sendiri tak tahu mengapa. Tapi mereka semua ada di sini.
Jade, Hayden, Darius, Andhika..."
"Benarkah?" Eri tersenyum senang. Ini berita paling menggembirakan baginya. Sky memutar
tubuh sehingga punggungnya menempel di langkan. Ujung rambutnya bergerak ditiup angin,
matanya terlihat kelam, untuk sesaat memancarkan sorot kejam.
"Mengapa kau tidak berusaha lari darinya?"
Eri berpaling menatap Sky, "Apa?"
"Mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku" Kalau kau ada bersamanya" Apakah aku tak
berhak mengetahuinya?"
Kedua mata Eri memanas, "Menurutmu aku bisa" Kau tahu sendiri keadaannya seperti apa."
Sky menunduk. Eri tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.
"Kau tahu aku mencintai siapa" Kau tahu itu, kan" Tapi aku benar-benar lelah untuk
bertahan." "Pikirkan baik-baik sebelum mengatakan hal itu," Sky melipat kedua tangannya, menahan
keinginannya untuk memeluk Eri, "Kau tahu aku akan menahanmu dengan berbagai macam
cara, walaupun itu artinya aky akan mengorbankan orang lain seperti Jade Judy. Apa kau
mengerti?" "Aku..." Eri tampak ragu, "Aku sama sekali tak mengerti."
"Kuga dan aku... kami berdua memiliki persamaan, melihat segalanya dari sisi hitam..."
sorotan gamang itu sesaat hadir di mata Sky. "Kami takut kehilangan..."
"Apakah karena itu, aku tak pantas bersamamu?"
Sky menghela napas beratnya, "Sudah kubilang aku ini monster. Aku terlalu egois untuk
merelakanmu berada di sisi pria lain."
"Bukan aku yang menginginkannya..." Eri berkata dengan nada memelas, "Aku bahkan tidak
tahu di mana seharusnya aku berada. Di sisimu, atau di sisinya. Aku hanya orang asing yang
tidak sepantasnya berada di sini."
"Tidak?" Sky mengangkat tangannya, menghentikan Eri. Ada nada dingin yang mengalir
dalam suaranya, "Kurasa sekarang aku mulai mengerti sesuatu. Mungkin kau memang lebih
pantas berada di sisinya."
Eri menelengkan kepala. Hatinya mendadak sakit mendengar kata-kata itu.
"Berhentilah berharap kepadaku. Dan aku pun akan selamanya melupakanmu..."
Plak! Tamparan itu tepat mengenai pipi Sky. Air mata mulai menetes dari sudut mata Eri, semakin
deras memenuhi pipinya. *** Eri membasuh mukanya dengan air dingin. Kedua matanya mulai bengkak karena menangis.
Eri menghempaskan badannya ke atas sofa di kamar tidurnya, mencoba mengalihkan
perhatiannya dengan menghidupkan teve flat di kamarnya. Tidak ada yang menarik dari semua
acara di sana. Eri menyerah pada kantuk, malas untuk pindah ke ranjang tidur. Ia merasa tidak perlu
pindah. Itu bukan tempat tidurnya. Dan ini bukan rumahnya. Mendadak, Eri jadi merindukan
Bali, di sanalah ia memiliki kebebasan sesungguhnya. Udara pantai tiba-tiba menyeruak,
sepenuhnya mengendalikan angan Eri. Ia menghirup udara itu dalam-dalam, kayu, kelapa, pasir
betapa ia sangan merindukan semua itu... lalu di sanalah ia berada bersama Sky. Dengan mata
sebiru langit, rambutnya berkibar melewati kerah... ini hanyalah mimpi... Eri mengeluh, ia
menghirup udara di dekatnya, dan setengah kesadarannya muncul. Aroma cemara ini bukanlah
milik Sky. Eri memejamkan mata lagi, pasrah pada hawa lembap yang menerpanya.
Kehangatannya bukan milik musim gugur... buaian itu, dan tangan yang menyentuhnya... Tibatiba Eri merasakan sutera tebal bergemerisik di bawah tubuhnya, barulah dia menyadari apa yang
terjadi. "Apa yang kaulakukan di sini?" bentaknya marah pada Kuga Kyouhei. Pria itu berdiri bagai
patung. Belum sempat melepaskan jubah musim dinginnya yang kini di berkibar diterpa angin di
dekat jendela, "Apa kau gila" Tidur dengan jendela terbuka?" Kuga berkata sambil menutup
jendela. Eri menggeram marah, "Bukan urusanmu."
"Tubuhmu nyaris beku," Kuga melepas sarung tangan kulitnya, beringsut ke dekat Eri.
"Jangan macam-macam." Eri berkata, bertentangan dengan tubuhnya yang masing setengah
menggigil. Kuga tertawa, "Masih berlaga jadi anak manis, peri valentine?" katanya mengejek. Ia
mendekati Eri dan menggenggam jari-jarinya. Eri langsung berjengit, merasakan kehangatan
tangan Kuga seperti mencairkanes di atas jemarinya.
"Pergi!" "Apa kau lupa, siapa yang berkuasa di sini?"
Eri menggertakkan giginya. Kedinginan sekaligus tersinggung. Tapi nalurinya menolak
bekerjasama, ketika Kuga menyurukkan kepalanya ke bawah dagu pria itu, kehangatannya
benar-benar menyentuh. Menggoda. Tapi perasaan ini terlarang baginya. Eri ingin menolak,
namun sentuhan Kuga tekah sampai ke bawah kulitnya. Memberikan kehangatan luar biasa
seperti perasaan menghirup matahari setelah berhari-hari terguyur hujan.
Kuga mengendurkan pegangannya hanya untuk melihat wajah Eri. Gadis itu menunduk,
menyembunyikan semburat merah di pipinya.
"Berkuasa di sini bukan berarti punya kuasa atas diriku." Katanya mencoba terlihat tegar.
Sayang, kelemahan gadis itu menolak untuk menyembunyikan diri.
Kuga tersenyum meremehkan, "Kalau begitu sekalian saja, kubuat kau jadi milikku?"
Eri mendorong Kuga, "Untuk apa malam-malam begini kau datang kemari?" Eri sengaja
mengalihkan pembicaraan. "Apa kau takut?" Kuga balas bertanya, "Berada di tempat asing, bersama dengan orang
asing" Sepertiku?"
"Tentu saja... apalagi kau adalah ketua klan yang sangat berkuasa."
Kuga tertawa mengejek. Kedua tangannya menumpu di bahu Eri, "Berkuasa?" ia
mendekatkan wajahnya ke wajah Eri, "Menurutmu, dengan menggunakan kekuasaanku, apa
yang bisa kulakukan padamu?"
"Entahlah," Eri menarik napas. Mendadak sulit baginya mencari udara.
"Lalu, apa kau juga takut padanya" Pada Sky?"
"Apa?" "Dia juga sama denganku. Kenapa kau sama sekali tidak takut padanya?"
Eri terdiam. Kenapa" Eri juga berkali-kali menanyakan hal itu pada dirinya sendiri, namun
jawabannya tetap sama, "Aku mencintainya."
Ada kilatan berbahaya dari mata Kuga saat mendengar Eri mengatakan ini.
"Bagaimana kalau kukatakan, kalau saat ini yang kuinginkan adalah dirimu?"
Eri mengkeret. Tidak menduga Kuga akan mengatakan hal itu. "Kau tidak menginginkanku.
Kau hanya memperalatku untuk mendapatkan yang kauinginkan..."
Kuga menatap Eri dengan gusar, perlahan ia melepaskan tangannya dari atas bahu Eri.
"Dari perjataanmu, sepertnya kau sangat memahamiku."
"Kau adalah seorang penjahat."
Kuga tertawa, "Kalau saja aku terlahir kembali menjadi orang baik, apakah kau akan
memilihku?" Eri bergeming, terlihat agak kesal dengan jawaban Kuga, "Tapi hidup adalah pilihan. Kau
berhak memilih jalan hidupmu sendiri."
"Jangan mengatakan sesuatu yang tidak kau ketahui," Kuga berkata kasar.
Eri merasakan nada suaranya meninggi, "Apa yang perlu kuketahui tentangmu" Bahwa kau
kejam" Atau berbahaya?"
Mata Kuga berkilat-kilat marah. Ia menarim Eri dengan kasar, "Apa kau tahu arti kata
kejam?" katanya geram. Telunjuknya menyusuri sisa-sisa air mata di pipi Eri, "Siapa yang selalu
membuatmu menangis" Siapa yang selalu mempermainkanmu" Apakah kau masih tidak mau
menyadarinya?" Eri membuang muka, "Biarkan aku pergi dari sini."
"Dia kembali membuatmu menangis," Kuga berbisik pelan, menatap Eri dengan pandangan
penuh kegetiran, "Itu artinya kau kalah."
Terjebak di antara sorotan mata Kuga. Eri berkali-kali menarik napas panjang. Hatinya mulai
gamang. Saat itulah dia melihat segaris merah mengintip di balik kemeja hitam Kuga yang
rupanya telah robek. "Kau terluka." Kuga melepaskan tangannya dari Eri. Dalam sepersekian detik menjauh dari sisinya. Ketua
klan Naga Timur Asia itu mengepalkan tangannya dengan marah, lalu berbalik. Eri
menghampirinya dan berkata pada Kuga di depannya.
"Apa yang terjadi sampai kau terluka seperti ini?"
"Bukan urusanmu," katanya datar.
SAHABAT LAMA "Akhirnya kau datang ke Jepang, juga... Pangeran." Kuga memasuki klab itu dengan wajah
lelah. Satu tangannya bertumpu di atas meja saat dia menarik kursi untuk duduk di sebelah Sky.
Sky menyunggingkan senyum penuh kemenangan saat melihat Kuga duduk di sampingnya.
Ia menyodorkan sebotol bir pada Kuga, yang disambut Kuga dengan menghabiskannya dengan
sekali tenggak. Saat itulah, Sky melihat ada sesuatu yang tak beres di lengan pria itu.
"Sejak kapan kau berkelahi lagi?" Sky menunjuk tangan Kuga yang masih meneteskan
darah, "Lukamu cukup parah."
"Tidak seberapa." Kuga tertawa, "Kelihatannya akhir-akhir ini mereka semakin gencar
memburuku." "Seharusnya kau ke dokter untuk mengobati lukamu." Sky berkata tajam. Kuga
menjawabnya dengan sebuah tawa.
"Aku tidak pernah memercayai seorang untuk mengobatiku."
"Keras kepala."
"Terima kasih." Kuga tersenyum. Luka itu tampak sama sekali tidak berarti baginya.
Sky menghirup birnya. Ia menelengkan wajahnya, menatap deretan botol-botol minuman
keras di depannya. "Aku akan melawanmu sekali lagi," Sky berkata lirih, "Kita harus bertanding sekali lagi. Di
arena balap." Kuga kembali tertawa, "Kau yakin?"
"Ini kesempatan yang bagus, bukan" Biarkan Ryuzaki dan Yuri mengetahuinya."
"Idemu lumayan," Kuga menaruh tangan kanannya di dagu, berpikir, "Apa kau tahu apa
yang kupertaruhkan jika aku menerima ini?"
"Aku tahu. Jika kita bertarung, kemungkinan besar Ryuzaki dan anak buahnya akan langsung
menyerang. Itu yang kita harapkan, bukan" Kemunculannya?"
Argumen yang bagus. Kuga terdiam sejenak. Kekhawatiran dalam pikirannya sama besarnya
dengn keinginannya menghancurkan Ryuzaki.
"Taruhan kali ini sangat besar. Jika aku kalah, aku akan kehilangan klan-ku." Dia akhirnya
berkata, "Mengapa kau berpikir kalau aku akan melakukannya?"
"Jika aku kalah, dia juga akan mendapatkan Maximus." Sky berkata pelan, "Aku sendiri
tidak yakin aku bisa mengalahkannya, tapi aku akan melakukan segalanya untuk mengakhiri
riwayat Ryuzaki. Termasuk mempertaruhkan nyawaku."
"Bukankah kau sudah lama berhenti bertaruh?" tanya Kuga. Ekspresinya penuh dengan
sindiran saat mengatakan, "Untuk apa kau melakukan semua ini" Aku yakin, Maximus tidak
akan cukup kuat untuk memaksamu melakukannya."
Sky terdiam. Nama Erika Valerie langsung menggelayuti benaknya, bersamaan dengan
perkataan Ryuzaki. "...Jika gadis itu jatuh ke tanganku... Akubisa membantunya, atau membunuhnya. Pilihan itu
aku serahkan kepadamu, Pangeran..."
Ryuzaki bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Sky yakin itu.
"Kau melakukan itu untuk dia?" Kuga mengulang pertanyaannya, "Sebegitu besarkah
cintamu kepadanya?" "Tak kurang dari cintamu." Sky manaruh botol birnya. Ekspresi wajahnya mengeras, "Aku
tak ingin ada yang menyakitinya lagi. Termasuk kau."
Kuga mengambil botol di depan Sky, menggoyang-goyangkan isinya yang tinggal setengah,
"Apa kau tahu soal taruhan kami?"
Sky menelangkan kepala, tidak suka dengan arah pembicaraan Kuga.
"Aku tahu kau akan membuatnya menangis."
"Jangan kira aku tidak tahu perasaanmu kepadanya," Sky berkata dingin, seakan-akan ada
besi menyangkut dalam tenggorokannya, "Aku tidak ingin dia berada di dekatmu."
"Kau terlalu pencemburu, sama denganku," Kuga menaruh botolnya. Matanya menyempit
sebelum menatap Sky dengan sorot mengancam, "Aku juga tak ingin dia ada di dekatmu."
"Dia mencintaiku."
"Kau yakin dia tidak mencintaiku?""
Kedua tangan Sky mengepal hingga uratnya membiru. Dia benci mendengar perkataan Kuga.
"Selama ini akulah yang ada di sampingnya. Saat kau membuatnya menangis. Apa hal itu
sama sekali tak berarti baginya?"
Sky terdiam. Manik matanya mulai menggelap, dan dia menjawab pertanyaan Kuga ini
dengan sorot menakutkan di matanya.
Kuga tersenyum getir. "Menyedihkan bukan" Kau dan aku mencintai gadis yang sama..." Kuga tersenyum
mengejek, "Karena itu Ryuzaki dan kelompoknya mati-matian mengincar gadis itu...
membunuhnya sama dengan membunuh kita berdua sekaligus."
Kuga menangkupkan kedua tangannya, terlihat sangat lelah, "Untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku merasa tidak yakin... kalau aku mampu melakukannya. Melindunginya lebih sulit
daripada mempertahankan nyawaku sendiri."
Sky terdiam. Bayang-bayang Kuga berkelebat di meja kaca di depannya. Sesaat pria itu
melayang kepada Eri. Pertemuannya dengan gadis itu kemarin. Lembut rambutnya, gaun
tidurnya kasmir yang dikenakannya... semburat merah di pipinya...
Dia tidak sanggup memikirkan bagaimana jika dia harus melihat Eri terluka lagi. Namun, dia
juga tidak sanggup membayangkan jika Eri harus berada di sisi Kuga.


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakakmu datang menemuiku," Sky berkata datar, "Kau sudah tahu apa yang dia inginkan?"
Kuga tertawa getir, "Dia juga ingin aku membunuhmu."
Sky tidak tampak terkejut, "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" dia menunjuk Kuga dengan
telunjuknya, "Apa kau juga ingin membunuhku?"
Kuga terdiam sejenak, terlihat menimbang-nimbang, "Kau tahu, jika aku benar-benar
membunuhmu, aku akan menjadi orang yang paling dibenci olehnya. Seumur hidup."
"Kau memegang kelemahannya."
"Dan kau memegang hatinya."
"Ironi yang sangat buruk," Sky tertawa getir. "Dan apa pun yang kau lakukan, kau tetap akan
kehilangan dia." "Aku tidak mau kalah." Wajah Kuga mengeras, "Aku akan melindunginya dengan segala
cara." Sky memutar bola matanya, "Sampai sekarang aku masih bingung kenapa kakakmu sangat
membencimu hingga menginginkanmu mati."
Kuga membalikkan kursinya, membelakangi Sky. Lintasan peristiwa bertahun-tahun lalu itu
semakin terang di benaknya.
"Dia memang pantas membenciku," Kuga menelan ludah, "Bukankah kau sendiri mengalami
bagaimana sakitnya menjadi penerus klan" Ryuzaki baru mengatakan hal ini di hari dia berusaha
membunuhku..." Sesaat, sorot mata Kuga melemah. Ketua klan Naga Timur Asia itu berkali-kali mengusap
keningnya dengan resah. "Ryuzaki, kakakku, adalah penerus klan yang sesungguhnya. Semua orang tunduk padanya.
Kakekku memperlakukannya seperti seorang raja. Sejak lahir, Ryu sudah terbiasa mendapatkan
apa yang dia mau. Ia mendapatkan semuanya, kecuali satu. Kasih sayang orang tua..." Kuga
berhenti sejenak, dia merasa seperti menceritakan lelucon yang garing.
"Kedengarannya sungguh tidak masuk akal, bukan" Ryuzaki, calon ketua Yakuza dari klan
Kuga, seorang pembunuh berdarah dingin, seseorang yang memiliki segalanya, uang, kekuasaan,
wanita... mengatakan hal melankolis semacam itu" Tapi begitulah dia... sedari kecil ia tidak
diizinkan berhubungan dengan kehidupan manusia normal. Termasuk ayah ibuku.
Ryuzaki adalah milik klan, bukan milik orang tuanya sendiri. Ia hanya dekat denga ketua
klan terdahulu, yaitu kakekku. Hari-harinya hanya dilewatkan di dua tempat. Mansion dan dojo.
Bukan di rumah keluarga kami.
"Beberapa tahun setelah itu, aku lahir... ibu mencurahkan semua perhatian dan kasih
sayangnya kepadaku..." Kuga menyulut sebatang rokok, bibirnya gemetar saat melanjutkan,
"Ayah dan ibuku benar-benar menganggapku sebagai anak, bukan calon ketua klan yang harus
ditakuti. Karena itu, Ryuzaki semakin membenci mereka. Walaupun berpura-pura menjadi anak
baik, dengan tegas ia memutuskan untuk tinggal di rrumah sesaat setelah kakek meninggal."
"Pada usia delapan tahun, ia bertengkar hebat denga ibuku." Kuga terdiam sejenak, sorot
tersiksa itu hadir lagi di matanya.
"Saat itulah pertama kalinya Ryuzaki membunuh orang. Ryuzaki mendorong ibuku dari atas
tangga lantai dua. Ayah yang melihat Ryuzaki melakukannya, diam-diam mulai melatihku. Dia
tidak ingin klan Yakuza jatuh ke tangan iblis seperti Ryuzaki. Namun Ryuzaki juga
membunuhnya... ayahku. Aku tidak pernah hidup tenang sejak saat itu." Kuga menelengkan
wajahnya ke arah Sky, "Apa menurutmu ayah, ibu, dan aku pantas mati hanya karena itu?"
"Tidak," Sky menjawab tegas, "Tidak seorang pun berhak menghakimi apakah orang lain
pantas atau tidak untuk mati. Kita bukan Tuhan."
Kuga tertawa lagi, "Hal inilah yang membuatku membencimu..." ia menjentikkan abu
rokoknya, "Kau terlalu bersih, membuatku merasa bahwa aku orang jahat."
"Dan juga karena aku mencintai gadis yang kau cintai?"
"Itu juga..."Kuga menunjuk tepat di mata Sky, "Kau tidak pantas mendapatkan semua itu,
Pangeran... terutama dirinya."
"Kau telah membawanya pergi dariku. Apa itu tak cukup?"Sky menyunggingkan sebuah
senyum di bibirnya. "Tentu saja... tidak." Kuga bangkit dari duduknya, dengan santai berkata pada Sky, "Kecuali
kau mau melakukan sesuatu untukku..."
MENCARI BERITA "Eri! Eri-chan?"
"Apa..." Eri memalingkan wajah ke arah Kyoko. Ketahuan seklai sedang tidak menyimak
perkataan wanita itu. Menyesal rasanya, ia tadi mengikuti ajakan Kyoko keluar. Pikirannya
sudah terlalu cemas saat mendengar orang-orang Mansion Kuga berkata tentang pertarungan
Kuga melawan Sky. Orang-orang itu bahkan sudah mulai memasang taruhan.
"Apa menurutmu Kuga-sama akan menang lagi?" tanya seorang pria dengan penampilan
parlente kepada pemuda sipit di sebelahnya. Di ujung alis pemuda itu memakai anting.
"Entahlah..." Pemuda beranting itu terkikik geli, "Bukankah Pangeran itu sudah lama
berhenti madat. Pasti kemampuannya sekarang sangat hebat..."
Pria parlente itu hanya tersenyum masam, "Kudengar banyak orang dunia hitam akan
melihatnya." Eri muncul ketika itu dengan kedua tangan terlipat.
"Melihat apa?" Pembicaraan kedua orang itu kontan terhenti saat mereka melihat Eri. Wajah kedua orang itu
berubah pucat, sebelum akhirnya mereka menundukkan kepala dan pergi dengan terburu-buru.
Apa maksudnya Kuga akan bertarung lagi melawan Sky"
Kebingungan meliputi pikiran Eri. Dia mencoba mencari tahu dari setiap orang yang
ditemuinya. Namun tak ada yang bersedia menjawabnya. Bahkan Kyoko juga terlihat
menghindar, tetap bersikap biasa dengan mengajaknya keluar, shopping, dan menjelajahi
perawatan kulit di setiap salon.
Apa sih yang ada di pikiran wanita ini"
Eri memaksakan langkahnya tersaruk-saruk memasuki kediaman Himemiya, rumah keluarga
Kyoko. Eri mengagumi rumah ini. Sebuah rumah besar bergaya Eropa. Sangat modern.
Sementara di sebelah timur bergaya tradisional Jepang. Pilar-pilar kayu menghiasi ruangan yang
terbuka, lengkap dengan kolam-koam ikan, koridor-koridor panjang, dan tatami yang memaksa
Eri duduk bersimpuh di atasnya.
Kyoko mengajak Eri minum teh hijau di aula tengah rumahnya. Eri ingin menklahk, tapi
takut Kyoko tersinggung. Kyoko memasukkan matcha dari chasaku ke sebuah mangkuk keramik, dengan sikap luwes.
Lalu menuang air hangat ke atas mangkuk, dan memutar sebuah chasen di atasnya. Anggung
sekali. Kyoko terlihat sebagai tokoh bidadari di dalam komik Jepang. Sempurna.
"Apa yng sedang kau pikirkan, Eri-chan?"
"Aku?" Eri mulai terbata, "Banyak hal yang kupikirkan saat ini. Semuanya sangat
membingungkanku." "Kau masih memikirkan soal pertarungan itu?" Kyoko menyerahkan mangkuk itu ke arah
Eri. Eri menyesap sedikit, "Pahit sekali teh ini."
Kyoko menanggapi dengan senyuman.
"Tidak akan terjadi apa-apa,"Kyoko berkata lamat-lamat, "Mereka berdua terlalu kuat untuk
dikalahkan." "Apa yang sedang mereka rencanakan?"
"Pertarungan sesama cowok itu hanyalah sebuah hal yang biasa," Kyoko tersenyum, "Kalau
kau ingin melihat pertunjukan yang bagus, kuajak kau ke sana..."
Eri tertegun, "Ke mana lagi kau akan membawaku?"
"Melihat pertarungan Mawar Maximus," Kyoko tersenyum jahil.
*** Sekelompok ABG seumuran Jade Judy telah berkumpul di kawasan sepi Shinjuku. Dandanan
mereka benar-benar aneh dengan rambut warna-warni, pakaian bertumpuk-tumpuk, tabrak motif,
dan aksesoris mengerikan melekat di tubuh mereka. Cewek-cowok remaja itu sudah siap dengan
motor masing-masing, tertawa di antara deru mesin dan kepulan asap knalpot di udara.
Darius baru saja mengecek motor yang akan di pakai Jade, saat salah seorang di antara
mereka, cowok berambut gondrong yang mengaku bernama Akira sang raja jalanan, menyalami
Darius, lalu menghampiri Jade Judy.
"Kau yang bernama Ju-dai-san?"
Jade mengangguk. Akira menggosok matanya, "Are you sure?" dia berkata meremehkan mana mungkin seorang
cewek yang bahkan tidak bisa berbahasa Jepang nekat melawan raja jalanan Tokyo?"
"Jangan ngeremehin dia, Ketua!" sahut cewek di atas motor Kawasaki, "Dia itu Mawar
Maximus dari klan Rajawali Tenggara."
"Hah"! Jadi cewek ini..." ia bertepuk tangan, "Hebat! Hebat! Berarti aku harus melayanimu
sebaik mungkin!" "Aku tidaklah setangguh kakakku," Jade menepis rambut di dahinya.
"Kakakmu, Sky, akan bertarung dengan Kuga-sama beberapa hari lagi. Kudengar mereka
akan balapan di Gunung Akina. Benar begitu?"
"Bukankah itu terlalu bahaya" Kudengar medan di sana telah menelan banyak korban. Bila
tidak hati-hati mudah sekali mobil masuk ke dalam jurang."
Jade angkat bahu. "5 juta yen." Akira tertawa, "Baik... kalau begitu kita mulai dari sini, lurus hingga terowongan di sana."
Jade memejamkan mata dan mengangguk. Darius menyerahkan motor itu kepada Jada, yang
langsung memakai helm dan menaikinya. Jade mengacungkan jempol dan mengarahkan
motornya ke garis start. Akira sudah berada di sana bersama seorang cewek sexy yang membawa
dua obor di tangannya. Ketika suara mesin mulai menderu, cewek tadi menurunkan obornya
sampai ke atas aspal. Kilatan api langsung membuat dua garis di jalanan, dan sorak-sorai kontan
tumpah ruah di tengah laju kedua motor yang sedang bertarung.
Jade memurat gas di tangannya hingga penuh. Posisi motornya tak jauh di belakang Akira. Ia
memicingkan mata, berusaha mengejar Akira yang kian lama kian melesat. Jade mulai putus asa,
namun ia melihat motor Akira melambat di tikungan. Rupanya, Akira memiliki kelemahan di
jalan menikung. Jade memacu motornya lagi, dan berhasil memepet Akira hingga berada di
sampingnya. Jade berhasil mendahului Akira. Namun, cowok itu rupanya tak mau menyerah begitu saja.
Ia memacuk motornya, hingga berada tepat di belakang Jade. Dari spionnya, Jade bisa melihat
Akira berusaha menyerempetnya. Jade mulai waspada, berkali-kali menghindari terjangan motor
Akira. Tepat sebelum memasuki terowongan, motor Jade berhasil memepet motor Akira dan
menabraknya dengan keras.
Jade mengencangkan pegangannya pada setang, menahan motornya dalam posisi berdiri.
Akira juga melakukan hal yang sama, hanya saja dia tidak terlalu tangguh. Motor cowok otu
langsung oleng setelah berkali-kali ditabrak. Ia terguling dan terseret oleh motornya, sebelum
akhirnya terpental ke jalan. Jade memutar bali motornya menuju garis start yang sekaligus
menjadi garis finish. Dia menang... Jade tersenyum, memutar, dan mematikan mesin motornya dengan bangga. Dia melihat orang
bersorak-sorai untuknya. Dan dia mengenali seseorang di antaranya.
Itu Eri... *** Jade menggelengkan kepala, memandang siluet Eri dalam balutan kimono musim dinginnya.
Rambut Eri digelung tinggi-tinggi, berhiaskan pita sutera halus bermanik. Kimono berwarna
merah dengan motif mawar bersulur, membuat Eri terlihat seperti Boneka Hina"boneka yang
digunakan untuk memperingati hari anak perempuan"Hinamatsuri"di Jepang.
Eri sangat cantik. Kuga Kyouhei-lah yang membuatnya seperti itu.
Jade menaruh helmnya, menyambut sekaleng minuman dingin dari tangan Eri. Balapan itu
membuat kepalanya panas. "Bagaimana kau bisa kemari?"
Eri menunjuk sebuah Mercedes Guardian yang diparkir tak jauh dari sana dengan ekor
matanya. Jade tersenyum. Rupanya begitu... "Kau hebat sekali, Jade!" Eri berkata riang, "Senang sekali melihatmu melaju seperti itu.
Seketika kekacaukanku lenyap setelah melihatmu..."
Eri memeluk Jade di antara dua lengannya yang mungil, "Aku kangen kamu."
"Sama." "Bagaimana mereka" Kudengar mereka semua ada di sini."
Jade menyenderkan badannya ke motor. Bingung harus mengatakan apa. Terlalu banyak hal
yang ingin dia tutupi dari Eri. Terlebih lagi, dia tidak pandai berbohong pada Eri.
"Apa kau ingin tahu kabar Sky?" Jade berkata, "Saat ini yang paling tidak ingin ditemui Sky
adalah kamu." Jade mencibir, apalagi jika melihatmu seperti ini...
Eri memandang orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Hatinya kalut.
"Lalu bagaima dengan pertarungan itu" Apa yang sedang direncanakan oleh mereka?"
Jade membuang muka. Dia tidak akan bisa menghindar lagi.
"mereka hanya ingin bertarung. Tidak ada yang lain," katanya masam.
Eri memilin jarinya, terlihat sangat putus asa, "Aku hampir gila. Berharihari terkurung di dalam Mansion itu, tanpa bisa berbuat apa-apa, tanpa tahu apa-apa... Sebenarnya apa yang
mereka inginkan dariku?"
Jade memutar matanya. Saudaranya ini bodoh atau apa" Mengapa sama sekali tidak
menyadari kalau dua orang kuat di dunia gangster mati-matian bertarung demi dirinya"
"Wow..." Jade mengerucutkan bibirnya, mengeluarkan siulan kecil saat melihat Himemiya
Kyoko berjalan ke arah mereka.
"Selamat malam, Ju-dai-san..." Kyoko berkata dengan ramah, "Apa saja yang kalian
bicarakan?" Jade dapat merasakan sandiwara dari kalimatnya yang terkesan melodramatik. Jade
menyambut uluran tangannya dengan apatis, "Selamat malam..." Jade memasang senyum manis,
lalu bangkit dan berbisik pada Kyoko, "Tolong jaga saudaraku dari Ryuzaki, Yuri, terutama dari
ketuamu, Hero..." Dari balik kacamata hitamnya, Jade dapat melihat wanita itu mengarahkan pandangan
mengejek. CEMBURU Eri mendengar ketukan itu lagi. Sejenak matanya nanat menatap jendela yang tertutup rapat di
depannya. Eri menjejalkan bantal di telinganya. Namun suara itu semakin mengganggunya.
Berkali-kali... Berkali-kali... Apakah suara itu benar-benar ada"
Eri bangkit dari tempat tidurnya, berusaha menajamkan telinganya.
Suara ketukan itu terdengar lagi.
Sky kah itu" Eri membuka jendela dan berjalan ke balkon dengan gelisah. Tepat ketika sebuah lengan
mendekapnya dari belakang. Eri nyaris berteriak, namun mengurungkan niatnya setelah orang itu
memutar tubuhnya dan menarik Eri kembali ke dalam. Mata birunya berkilat di bawah cahaya
lampu. "Ikutlah denganku..." Sky menarik tangan Eri. Gadis itu hanya menuruti Sky, tanpa berpikir
mengikuti jalan yang dulu mereka lalui untuk keluar dari Mansion Kuga. Sky membuka pintu
sebuah Ferrari dan menyuruh Eri masuk.
Ferrari itu melaju meninggalkan Mansion Kuga. Cahaya lampu bermain-main dalam kaca
spion. Dia memandang sosok Sky di sampingnya, tidak tahu harus berkata apa.
"Apa yang telah ia lakukan padamu?" tanya Sky menuduh.
Air mata Eri hampir jatuh lagi. Kata-kata itu sangat menyakitkan baginya.
"Tidak melakukan apa-apa," suara Eri pecah. Sky menghentikan mobil dan menarik Eri
dalam pelukannya. Dia merasakan air mata gaids itu mulai mengalir membasahi bajunya.
"Maafkan aku," katanya lembut, "Kau tak tahu seberapa gilanya aku saat tahu kau
bersamamu." "Dia yang menangkapku."
"Dan membuat taruhan itu?"
"Bagaimana kau bisa tahu hal ini?"
"Jade yang cerita," Sky berkata datar, "Apakah Kuga baik padamu?"
Eri mengangguk. Sky langsung tampak kecewa.
"Kau tak tahu apa yang akan kau hadapi di sini..." Sky berkata pelan, membuka pintu mobil
dan bersender di dekat pintu. Eri ikut membuka mobil di sampingnya. Keingintahuannya
kembali muncul. "Apa yang akan kau lakukan dengan pertarungan itu?"
Sky terdiam. Sesaat terlihat bimbang, "Haruskah kuberitahukan kepadamu?"
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Eri memohon, "Beritahu aku, please..."
Sky menarik napas dan membuat uap dingin dari helaan napasnya. Eri menghampiri,
mencoba meyakinkan Sky. "Mengapa kau merahasiakannya dariku" Karena aku tidak pantas" Karena aku hanya seorang
gaijin" Orang luar" Mengapa kalian tidak membunuhku saja?"
"Yang sebenarnya terjadi..." Sky berkata marah, "Tidak seperti dugaanmu, kau tahu?" ia
melanjutkan, "Pertarungan Kuga merupakan taruhan yang amat besar. Seisi klan Kuga,
Maximus, semuanya... semuanya, Eri. Semua dipertaruhkan di sini."
Eri terkesiap. Darahnya surut seketika.
"Kami harus merencanakan ini untuk melawan Ryuzaki. Orang itu sangat berbahaya."
Tanpa sadar Eri mengulang nama itu.
"Kabar balapan itu sudah menyebar ke seluruh organisasi dunia hitam, dan sebentar lagi pasti
sampai ke telinganya. Ryuzaki pasti menggunakan saat itu untuk menghancurkan Kuga.
Sementara Kuga sendiri, akan menggunakan kemunculan Ryuzaki untuk menyingkirkannya."
"Mengapa dia melakukan semua ini?"
Karena dia ingin melindungimu, Sky menelan jawabannya. Dia tersenyum, merengkuh
wajah Eri dengan kedua tangannya, "Masalah itu terlalu rumit untuk seorang gadis sepertimu..."
ia menyibak rambut Eri, "Pertarungan itu tidak ada hubungannya denganmu."
Eri membeliak tak percaya. Untuk kesekian kalinya, ia kembali terbius kehadiran Sky, ketika
napas itu membelai wajahnya.
"Kau tahu kenapa saat itu aku begitu emosi?" tanya Sky lembut, "Memikirkanmu berada di
dekat pria seperti Kuga Kyouhei... membuatku membuat darahku mendidih..." Sky mendaratkan
kecupan kecil di bibir Eri, "Aku mencintaimu... aku mencintaimu sampai aku tak bisa


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilanganmu..." Sekujur tubuh Eri terasa melayang, saat bibir Sky kembali menyentuh bibirnya. Memberikan
jawaban atas kerinduan yang selama ini tersimpan di hatinya. Ciuman yang kembali
membuatnya melupakan dunia. Seakan-akan Eri telah larut dalam pelukan Sky, dan sentuhan
Sky merasuk ke seluruh nadinya. Semuanya terasa begitu indah, begitu gamang... sampai
terdengar suara tembakan yang menuju ke arah mereka berdiri.
Sky menghentikan ciumannya. Ia menelengkan kepala,melihat sepucuk pistol yang teracung
mengancam mereka. "Kau mau membawanya pergi?" Kuga Kyouhei berada di depan mereka, pistolnya masih
terangkat di tangan kanannya. Sky tertawa kecil, seakan baru saja memenangkan sesuatu.
Sedetik kemudian, Sky juga meraih pistol dari sakunya. Kuga malah mengarahkan pandangan
menuduh pada Eri yang secara refleks berdiri di belakang Sky. Membuat seluruh tubuh gadis itu
gemetar tak karuan. Dua orang laki-laki yang saling menodongkan pistol bukanlah pemandangan
yang bagus baginya, terutama ketika ia melihat wajah Sky seketika berubah seperti vampir yang
haus darah. Eri memegang lengan baju Sky, melindungi dirinya dari pandangan Kuga. Namun, panggilan
pria itu langsung membuatnya serasa berlindung di balik tembok lilin yang sedang meleleh.
"Kalau kau pergi, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada temanmu..." Kuga berkata dingin,
"Atau apa yang akan kulakukan pada kau dan kakakmu ini!"
"Jangan dengarkan dia!" Sky semakin geram.
"Apa kau lupa" Dia telah membuatmu menangis. Dan kau membiarkan dia melakukannya
lagi?" Eri berdiri kaku di tempat. Tidak tahu akan berbuat apa. Saat itulah ia mendengar suara
letusan dari pistol Kuga. Dan peluru itu nyaris menyambar rambutnya.
"Kemarilah..." Kuga mengulurkan tangannya pada Eri, dan entah mengapa. Pikirannya
menolak ajakan Kuga namun tangan dan kakinya seketika mengkhianatinya. Karena akhirnya ia
melepaskan tangan Sky, dan beralih ke tangan Kuga Kyouhei.
*** Mobil itu melesat dengan kecepat menggila. Beberapa kali Aston Martin itu menabrak
pembatas jalan, melanggar lampu merah, juga nyaris menabrak mobil-mobil lain. Kuga
menarikkan satu tangannya ke atas setir, sementara tangan lainnya mencengkeram tuas
perseneling dengan kencang.
Eri merasakan dirinya seperti sedang menaiki mobil setan. Emosi Kuga larut dalam kegilaan
mobil itu. Hanya saja, karena kemampuan mengemudi Kuga yang luar biasa, Aston Martin itu
sangat lihai melintas beberapa senti melewati mobil-mobil lain, sebelum diklakson habishabisan, untuk kemudian berbelok dengan sudut mengerikan. Eri sudah pernah sadar melihat Sky
mengemudi, namun kegilaan Sky sama sekali tak sebanding dengan pria yang duduk di
sebelahnya saat itu. Untuk pertama kalinya, Eri merasakan ketakutan yang luar biasa terhadap pria di
sampingnya. Hal yang sama tampaknya juga dirasakan para penjaga di Mansion Kuga. Semua
penjaga itu langsung mengambil jarak sejauh mungkin, seolang Kuga sedang membawa bom
bulir dalam genggamannya.
Eri masuk ke dalam dengan tangan tak lepas dari genggaman Kuga. Beberapa kali kakinya
menyandung ujung furnitur, namun Kuga memaksa gadis itu tetap mengikutinya. Eri melewati
lorong-lorong yang panjang, dan memasuki ruangan yang asing baginya. Eri meronta sekali lagi,
ketika cengkeraman Kuga mengendur, dan Eri berhasil melepaskan tangannya dari pria itu.
Kuga berdiri tepat di depan Eri, kedua tangannya kini mencengkeram bahu Eri kuat-kuat.
"Apa kau sudah lupa" Semua perlakuannya kepadamu yang selalu membuatmu terluka" Dan
sekarang kau pergi bersamanya?"
Eri meringis kesakitan, "Kau tak berhak melakukan ini."
"Jadi, dia yang berhak?"
Eri membuang muka. Kuha menarik salah satu tangannya dari bahu Eri, kemudia merenggut dagu gadis itu dengan
kasar, sehingga matanya mengunci mata gadis itu.
"Akan kuhancurkan siapa pun yang berada di dekatmu," desisnya.
Eri terbeliak tak percaya, "Aku sudah mengikuti keinginanmu..." katanya gemetaran, ada
sesuatu dalam diri Kuga yang membuatnya takut setengah mati. Seakan-akan Eri segera hancur
jika tidak segera pergi menjauhi pria itu.
"PENGKHIANAT!" "Maafkan aku..."
Kuga menggertakkan gigi, mengapa kau harus mencintainya"
"Maafkan aku... aku benar-benar minta maaf..." ait mata mulai bergulir di pipi Eri. Melihat
kesedihan di wajah Kuga, hatinya seperti tertusuk. Pria itu mencabut pistol dari sakunya,
menarik pemicunya dengan cepat. Wajah itu penuh dengan amarah.
Eri dapat mendengar suara letusan saat peluru melewatinya dan bersarang setelah membuat
sebuah lubang di dinding. Eri memegang erat tubuhnya yang gemetar karena ketakutan. Kuga
masih berdiri di tempatnya mematung.
Keheningan itu sudah cukup untuk membuat hati Eri mencelos. Saat itu, Kuga telah
memperlihatkan sosok aslinya sebagai ketua klan Yakuzan yang kejam.
Mungkin aku akan mati... Eri memejamkan matanya. Ketakutan menguasai hatinya. Dia berani membuka mata saat
mendengar suara Kyoko di dekatnya. Wanita itu memegang katana tepat di depan Kuga.
"Ini bukan urusanmu..."
"Saya hanya menjalankan perintah Anda," Kyoko masih berdiri di tempatnya, tak terlihat
ketakukan di matanya. "Terkecuali Anda berniat mencabut perintah Anda, Ketua..."
"Terserah kaulah... Hero."
Kyoko menarik Eri ke belakang, kemudian menurunkan katana-nya. Kuga melakukan hal
yang sama, mengembalikan pistol itu ke dalam sakunya.
Semua benar-benar kacau sekarang...
*** "Menarik" Ryuzaki memutar-mutar pisau du tangannya seperti sebuah mainan, "Pertarungan
yang sulit diprediksi."
Yuri memeluk pinggangnya dengan manja, "Semua berjalan sesuai dengan rencanamu.
Mereka akan saling membunuh..."
Ryuzaki mengecup kening Yuri. Suasana hatinya luar biasa gembira.
"Kumpulkan semuanya," dia berkata lembut, "Pesta itu akan dimulai. Dan aku ingin berada
di sana." "Jadi kau benar-benar akan melihatnya?"
"Tentu saja," Ryuzaki tersenyum, "Pertunjukan menarik seperti itu sangatlah sayang untuk
dilewatkan..." dia melihat kebingungan di mata Yuri, lalu berkata seperti seorang guru kepada
muridnya, "Biarkan anak-anak itu menghancurkan Mansion Kuga. Sementara kelompok yang
lebih kuat akan menyerang di arena. Dalam sekejap mereka semua akan musnah..."
Yuri tersenyum puas. Telunjuknya bermain di dada Ryuzaki, "Kau akan menguasai dua
pertiga Asia..." "Kau salah, Yuri... Aku akan menguasai seluruh Asia. Tak lama lagi." Ryuzaki tersenyum
keji, "Aku akan menonton kehancuran itu dari tempatku. Itu pasti..."
"Lalu apa yang akan kau lakukan pada gadis itu?"
Ryuzaki memandang Yuri dengan sorot kasihan, "Aku akan membiarkannya hidup, jika dia
masih berguna." Yuri memeluk Ryuzaki lebih erat lagi, menikmati kemenangan yang sebentar lagi akan
mereka raih. Perang itu pasti akan terjadi...
Dan itu tidak akan lama lagi...
EGOIS RYUZAKI... Berkali-kali Eri mengulang nama ini dalam pikirannya.
Orang ini sangat berbahaya...
Pertarungan akan terjadi untuk menghancurkannya.
Siapa itu Ryuzaki" Hanya memikirkan nama itu saja membuat Eri mual, seakan ada sesuatu yang berputar-putar
di dalam perutnya. Mungkin prang itu sangat membahayakan semua orang yang dicintainya. Dia
pasti memiliki sesuatu yang cukup berbaha dan destruktif yang bisa mengancam semua orang.
Ancaman yang sanggup membuat dua orang terkuat di dunia mafia itu bertarung.
Saudaranya, laki-laki yang dicintainya, juga orang-orang Maximus yang baru ia kenal...
mungkin saja mereka akan kehilangan nyawa di tangan orang itu...
Menakutkan.. Eri meneguk segelas air dingin di tangannya. Gelas itu seketika kosong dalam sekali teguk.
Kamarnya semakin terasa hening. Tiba-tiba terdengan suara langkah kaki di depan pitu, suara
pintu terbuka... Eri merasa bulu kuduknya meremang. Eri berlari menuji tempat tidur,
mengambil pisau lipat, lalu naik ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Ketika suara langkah itu kian jelas, Eri semakin waspada. Dia berharap itu bukan langkah
kaki Kuga Kyouhei. Dengan emosinya yang sempat meledak saat itu, bukan tidak mungkin Kuga
akan kembali mencoba membunuhnya.
Kuga sudah berada di dalam kamar Eri, mondar-mandir di kamar itu, ke balkon, lalu masuk,
dan duduk di tepi tempat tidur. Membelakangi Eri. Kemudian ia melihat Eri di dekatnya,
bersikap defensif, dengan memegang pisau lipat itu. Seringaian lebar muncul di wajahnya, "Mau
membunuhku?" Malu-malu, Eri melipat pisaunya, berusaha membela diri agar tak terlihat memalukan,
"Maaf, kukira kau penyusup..."
"Kau ini berani tapi bodoh. Kalau aku jadi penyusup, aku akan masuk dari sana..." Kuga
menunjuk balkon yang jendela terbuka. Lagi-lagi Eri tidur dengan jendela terbuka.
Kuga berdiri di depan Eri, "Lain kali kalau mau membunuhku, kau harus mencari cara lebih
jitu. Aku takkan mati oleh benda itu." Kuga tertawa, seperti mengingat sesuatu yang sangat lucu,
"Atau oleh sebuah pistol yang tak berpeluru." Ia memamerkan giginya, "Paling tidak aku sudah
merebut ciuman pertamamu saat itu..."
Sial! Untuk pertama kalinya, Eri merasakan aliran panas mengaliri pipinya.
"Terima kasih sudah mengingatkan," Eri berkata sarkastik. Ia hendak menghindari Kuga saat
melihat darah menetes dari tangan pria itu.
"Kau terluka lagi..." Eri terkesiap memandang leher Kuga. Sebuah luka pedang menganga di
sana. Tidak hanya itu, sebuah robekan besar masih berdarah di punggung tangannya, "Lukamu
sangat parah!" jeritnya, "Mengapa kau diamkan saja" Kau harus segera pergi ke rumah sakit!"
Kuga tertawa lagi. Ia meneguk sampanye di tangan kirinya, "Tak usah. Kalau kau
membawaku ke rumah sakit, dia akan langsung menghabisiku di sana!"
Eri hampir tidak bisa melihat darah. Ia memaksa pria itu duduk, "Diam di sini," perintahnya.
Ia kemudian membuka laci-laci yang terdapat di dekat meja rias. Ia ingat di salah satu laci di
sana ada kotak P3K. Eri menemukannya di laci paling bawah.
"Ini semua bukan urusanmu," Kuga berkata liri. Sorot wajahnya terlihat lelah.
Eri menuang alkohol ke atas kasa steril, mencoba bersikap tak peduli.
"Kalau kau berdiri di dekatku dengan darah sebanyak ini, aku akan pingsan." Ia
membersihkan luka di tangan Kuga dan mengobatinya dengan hati-hati. Tanpa sadar, ia
mengingat saat-saat Sky mengobatinya dulu.
"Kau pandai." "Tentu saja. Kau kan tahu, saudaraku Jade Judy yang suka berkelahi dan balapan liar itu"
Kalau aku tak cekatan mengobatinya, bisa-bisa ia bisa setiap hari keluar masuk rumah sakit."
Eri mengambil perban dari kotak itu, mulai melingkarkan perban di atas luka yang telah
dibersihkan, membalutnya dengan hati-hati, dan mengikatkan sebuah simpul di atasnya. Eri
cukup bangga atas pekerjaannya. Dia sudah cukup sering melakukan itu hingga bisa membalut
luka dengan rapi hanya dalam beberapa menit.
"Sudah selesai." Eri memasukkan lagi peralatan itu ke dalam kotak, mengembalikan kotak
itu ke tempatnya, lalu kembali duduk di samping Kuga. Dia masih takut pria itu akan
mengancamnya lagi, jadi Eri memutuskan mengambil jarak darinya.
"Arigato gozaimasu." Kuga tersenyum, memamerkan deretan giginya yang berkilat. Untung
saja, sikapnya sudah agak tenang.
"Aku?" Eri mengalihkan pandangannya dari Kuga, "Aku benar-benar minta maaf atas
kejadian itu. Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan itu."
Kuga mengibaskan tangannya, "Sudahlah."
Eri menatap Kuga dari sudut matanya. Pria itu pasti telah melakukan perkelahian besar.
Wajahnya terlihat lelah, dan luka-luka itu menyiratkan segalanya.
"Siapa yang melakukannya" Luka-luka itu?" Eri berkata cemas.
"Sekelompok orang..." Kuga tersenyum mengejek, "Apa kau mengkhawatirkan aku?"
Semburat merah menjalari kedua pipi Eri. Dia menunduk dan berkata lirih, "Apa itu
Ryuzaki?" "Dari mana kau tahu soal itu?" Kuga tampak terkejut.
Eri mengedikkan bahu, "Aku hanya tahu."
"Kakakmu itu terlalu cerewet," Kuga menjawab pelan, "Tidak ada yang perlu kau
khawatirkan." "Apa yang akan terjadi dengan pertarungan itu?" Eri bertanya tanpa dapat menyembunyikan
kecemasan dalam suaranya, "Mengapa kau harus bertarung melawan Sky" Apakah ini ada
hubungannya dengan Ryuzaki?"
Kuga mendekatkan wajahnya pada Eri, lalu berkata pelan, terdengar hampir mengeja, "TIDAK A-DA."
"Benarkah?" "Pikiranmu melantur. Sebaiknya kau pergi jalan-jalan dengan Kyoko. Kau belum pernah
mengunjungi Macau, bukan" Itu tempat yang bagus. Di sana terdapat...."
"Aku tidak ingin pergi ke mana-mana," Eri mendengus marah, "Aku ingin melihat
pertarungan itu, dan aku ingin tahu apa yang sebenarnya tidak kuketahui."
Kilatan licik terlihat dari wajah Kuga, "Apa kau benar-benar ingin tahu?"
"Tentu saja..."
"Baiklah..." Kuga memamerkan cengiran lebar, "Kalau begitu kau ingin tahu apa yang
diminta Ryuzaki, orang itu ingin aku seorang lelaki yang sangat tampan, yang kau cintai. Puas?"
Mendengar itu, seluruh sel dalam tubuh Eri bergolak. Keringat dingin tiba-tiba memenuhi
tubuh Eri. Mukanya terlihat pucat. Perutnya mulas.
"Lalu apa yang akan kaulakukan?"
Kuga tampak berpikir, "Entahlah... ada ide?"
"Jangan lakukan itu, kumohon..."
"Mengapa aku harus mendengarkanmu?"
"Karena..." Eri tergagap. Mendadak menyadari sesuatu. Kalau ia benar-benar akan
membunuh Sky, ia tidak perlu akan membicarakan masalah ini padanya. Mengapa Kuga
Kyouhei mengatakannya" Ini sangat tidak beres...
"Kenapa kau mengatakan hal ini padaku?"
Kuga tertawa, "Aku suka melihatmu memohon-mohon seperti itu."
Eri memutar matanya. "Aku masih menimbang-nimbang apakah aku akan membunuhnya atau tidak. Tapi, aku
takkan melakukannya, kalau kau bisa meyakinkanku."
"Apa maksudmu?"
Pertanyaan Eri ini menorehkan senyum kemenangan di wajah Kuga. Laki-laki itu
mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa centimeter dari wajah Eri. Menyusuri pipi Eri
dengan telunjuknya hingga membuat Eri gusar. Terlebih ketika laki-laki itu menghempaskannya
ke dinding, lalu mengecup bibirnya.
"Lepaskan aku."
"Aku tidak biasa melepaskan sesuatu yang sudah kugenggam..." napas Kuga menari-nari di
depan wajah Eri. Pria itu membuat perangkap dengan kedua tangannya, kemudian kembali
mendekatkan bibirnya ke bibir Eri, "Jadi bagaimana" Masih mau melawanku?"
"Apa yang kauinginkan?" Kedua bibir eri menegang, tak sanggup memandang Kuga.
Kuga memamerkan senyum canggungnya, kemudian berbisik di telinga Ero, "Entahlah...
bagaimana kalau untuk kali ini saja... kau jadi kekasihku?"
"Jangan macam-macam," Eri berkata lemah.
"Aku tidak akan melakukan hal yang dapat merusakmu..." kata-kata Kuga mengalir seperti
rayuan jahat seorang malaikat maut, "Aku tahu kau gadis yang menjaga kehormatanmu lebih
dari apa pun." Eri membuang muka. Jantungnya berdebar lebih kencang dari seharusnya.
"Aku akan membiarkanmu melihat balapan itu. Aku akan memberikan apa pun yang bisa
kupenuhi... apa pun yang kauinginkan. Termasuk nyawa kakak tersayangmu itu..."
"Aku membencimu..."
"Aku tahu." Eri menjauhkan dirinya dari Kuga. Ia tahu, Kuga takkan menginginkan hal seremeh itu,
namun ia juga tak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan darinya.
"Peri Valentine" Kau mendengarkan aku?" Kuga melanjutkan perkataanya, "Aku bisa saja
berubah pikiran." Eri membeku di tempat. Seperti robot, Eri menutup matanya, membiarkan Kuga Kyouhei
menelusuri pipinya, merengkuh wajahnya, dan menyentuh bibirnya dengan hasrat yang
menggila. Setengah mati, Eri berusaha bertahan dan mengabaikan sesuatu dalam dirinya yang mulai
tersulut seperti letupan kecil. Ia tidak mencintai Kuga Kyouhei, dan berharap takkan ada sesuatu
yang bisa mengubahnya. Tidak ada... namun di luar dugaan Eri, penolakannya dirasakan oleh
laki-laki itu. Kuga melepaskan ciumannya, kemudian berbisik lirih di telinga Eri, "Beginikah
caramu mencium kekasihmu?"
Eri tidak menjawab. Letupan di dalam dirinya nyaris saja meledak, dan Eri menyadari, segala
sesuatu dalam dirinya mulai melancarkan pengkhianatan. Kuga memiliki pengalaman dengan
segudang wanita. Jadi menaklukkan seorang wanita lagi bukanlah hal yang sulit baginya. Pesona
yang memikat. Eri langsung takut. Takut ia mulai terjatuh dalam jerat pesona pria itu.
Kuga menarik tangan Eri, lalu mengalungkannya di lehernya, "Begini, Nona Erika... jika saja
terjadi sebuah kecelakaan maut di arena balap di pegunungan yang berbahaya itu tentunya
Maximus akan menganggap kejadian itu sebagai hal yang biasa, bukan?"
"Kau kejam..." "Aku memang bisa kejam. Terutama jika aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan..."
Eri melihat sorot licik dari pria itu, dan menyadari dirinya telah kalah. Mengapa Kuga tidak
pernah mau bertarung secara adil" Tubuhnya melemas, saat Kuga menciumnya sekali lagi,
mengalirkan bara panas yang membuat Eri takluk di tangan pria itu. Letupan itu semakin
membesar, perlahan-lahan memasuki dirinya lebih daripada seharusnya.
Kalau Kuga adalah api, dia telah berhasil membakar Eri dengan kehangatannya. Ini tidak
boleh terjadi... tapi Eri tidak sanggup mencegahnya. Pengkhianatan di dalam dirinya menguar


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar, menolak untuk dimusnahkan. Saat Kuga mengetahui Eri telah menyerah, ia memeluk
gadis itu dalam dekapannya, membuat Eri menyentuh kelembutan dan kehangatan tubuhnya,
berbaur dengan kegetiran yang ia rasakan.
Untuk sesaat, Eri tidak melihat Kuga Kyouhei sebagai ketua klan Yakuza terbesar di Asia
Timur, bukan sebagai pemegang kekuasaan tak terbatas, namun hanya sebagai Kuga Kyouhei.
Kuga benar, kini Eri bahkan tidak yakin akan dirinya sendiri. Pesona pria itu amat
memabukkan. Membuat Eri seketika menyatu dalam pelukannya. Menakutkan... Eri mendorong
pria itu sekuat tenaga, merasakan air mata membanjiri pipinya, "Hentikan..."
"Aku akan berhenti jika kau memintanya" Kuga meraih tangan Eri, namun gadis itu
menepisnya. Wajah Kuga sangat frustasi, tangan pria itu bergetas ketika menuangkan wine ke
dalam gelas bertangkai di dekatnya.
"Bisakah kau jujur padaku sekali ini?" suara Kuga terdengar seperti sebuah rintihan kecil,
"Katakan kalau kau tidak mencintaiku."
"Aku..." Eri meraba dadanya, merasakan retakan besar di jantungnya. Seharusnya
mengatakan hal itu amatlah mudah. Namun, debaran itu begitu nyata, menyentuh,
menghancurkan segala kerapuhan dalam dirinya. Eri melihat Kuga menyesap wine-nya, dan
merasakan perasaannya semakin gamang. Bayangan Sky dan Kuga berputar-putar di kepalanya,
membuatnya sulit bernapas.
Sesaat,Kuga membiarkan gadis itu lepas darinya, namun ia masih menantikan jawaban atas
pertanyaannya, dan hal ini membuat Eri merana. Ia tak berdaya saat Kuga menyentuh bibirnya
lagi, melumat bibirnya dengan ganas... lebih garang dari sebelumnya, meredam semua penolakan
Eri. Ia tidak peduli terhadap penolakan Eri, hingga gadis itu tidak sanggup melawan, atau pun
menyadari, sesuatu telah merasuki dirinya. Mengalari urat syarafnya, dan berubah menjadi rantai
yang melumpuhkan. Eri berusaha melawan, namun kelelahan itu begitu kuat sehingga memaksa
seluruh organ tubuhnya untuk menyerah.
"Apa yang kau?" kata-kata Eri tersangkut di tenggorokan. Samar-samar ia mendengar Kuga
berkata, "Tidurlah sayang..." dan menyadari, kalau hal inilah yang benar-benar diinginkan Kuga
Kyouhei darinya. Kuga menopang tubuhnya yang lunglai, meraup dan menggendongnya, ketika
Eri makin lama maikn tertarik ke dalam kegelapan tak terbatas. Ia tidak mendengar Kuga
berbisik di telinganya, "Selamat tinggal, Peri Valentine."
Kuga membelai pipi Eri sejenak, merengkuhnya sekali lagi dan melepaskannya, kemudian
berjalan menuju pintu, menjauhi Mansion Kuga. Tanpa berkata apa-apa ketua klan Naga Timur
itu menyerahkan Eri kepada sosok yang telah menunggunya di dalam sebuah Mercedes
Guardian. Kuga melirik Mercedes itu dengan sedih, merasakan batinnya terluka parah saat mobil itu
semakin menjauh dan menghilang dari pandangan matanya.
Erika Valerie... Dia akan sangat kehilangannya, kehilangan wajah mungilnya, kehilangan kelembutannya.
Seseorang yang tak pernah ia miliki di dunianya yang gelap. Seseorang yang mampu
membuatnya merasa memiliki, sekaligus kehilangan, sebuah perasaan yang manis, sekaligus
getir. Ai. PERTARUNGAN Beragam mobil balap dengan berbagai modifikasi di sana-sini semakin memperlihatkan
kemewahan. Berjajar memenuhi jalanan dekat lintasan balap liar di gunung Akina. Gunung yang
sering menjadi jalur balapan liar bagi pembalap-pembalap berpengalaman dan nekat hingga rela
kehilangan nyawanya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umun jalur itu telah menelan banyak korban kecelakaan. Namun
herannya, masih ada saja orang-orang yang ingin beradu nyali di jalur itu. Berkendara di jalanan
gunung Akina memang sangat menantang bagi mereka yang memiliki kemampuan di atas ratarata. Belum lagi kemenangan yang nantinya diraih akan membuat mereka menjadi orang yang
terkenal dan disegani. Jalanan di sekitar gunung telah ditutup oleh Maximus dan sebagian anggota klan Kuga untuk
pertarungan antara Kuga Kypuhei dengan Sky. Namun, sebagian besar petinggi Yakuza bersama
Bancho-nya turut berkumpul di sana. Bahkan sekelompok anak-anak ABG dengan dandanan
"ajaib" nekat pergi menyusup ke sana.
Sepertinya, pertarungan kedua orang ini merupakan sesuatu yang langka dan ditunggutunggu. Terlebih lagi, lintasan balap yang sulit dan berbahaya ini merupakan pertunjukkan yang
sangat sayang untuk dilewatkan. Begitu juga denga hasil akhirnya. Balapan kali ini bisa saja
akhir dari salah satu seorang dari mereka, Sky atau Kuga.
Sky datang menggunakan Ferrari hasil modifikasi Darius. Hayden dan Andhika turut
bersamanya, sedangkan Darius, kali ini menjadi pengawas dan teknisi. Sky menyalami Kuga,
kemudian kembali masuk ke dalam mobilnya. Tetua Toudou dari klan Kuga menjadi wasit yang
memulai pertarungan ini. Maki, putrinya yang bergaya yanki dan berpakaian serba mni, maju ke
tengah aspal, membawa dua buah obor. Dengan gerakan-gerakan indah dan eroti, Maki memutar
obor itu, sebelum menjatuhkannya ke atas aspal, membuat dua buah garis api dari bensin yang
telah dituang sebelumnya.
Ferrari Sky terbang di sisi Bugatti Veyron milik Kuga. Kecepatannya tak perlu diragukan
lagi, tak seorang pun bahkan menyadari kalau kedua mobil itu melesat cepat meninggalkan dua
garis api di belakang mereka.
Sky memang lawan yang tanggun bagi Kuga, sehingga ia terobsesi mengalahkan Sky dalam
segala hal. Termasuk dalam hal balapan. Sky sudah terkenal dengan caranya yang lincah dan
indah dalam mengemudi, seolah ia sedang menari dengan mobilnya. Sedang Kuga sendiri,
kemahiran mengemudinya sedikit garang, kuat dan tangguh. Menyatu, menjadi bagian dari mobil
yang dikendarainya. Kuga memasang bluetooth di telinganya tak lama setelah ia meninggalkan garis start. Di
dalam mobilnya, Sky melakukan hal yang sama sehingga ia bisa berkomunikasi dengan
lawannya itu. "Kau yakin akan dapat mengalahkanku?"
"Tentu," Sky tertawa.
"Biarlah nasib yang akan menentukannya..." lanjut Sky.
"Mereka sudah datang," Kuga berkata pelan, matanya memperhatikan layar kecil di dekat
dasbornya. Sebuah keributan besar terlihat di sana.
Hayden dan Darius tampak sedang sibuk dalam sebuah perkelahian melawan beberapa orang,
sementara dua dari pelindung Kuga, Mikhael dan Beast terlibat adu peluru. Anggota klan yang
lain juga terlibat dalam perang itu. Orang-orang lain di luar anggota klan, termasuk para ABG
penyusup terlihat lari pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa di antara merek terluka,
ada juga yang tewas. Kuga sedikit kasihan melihatnya. Namun ia tidak dapat membiarkan perasaan terhanyut
sekian lama. Dia sendiri saat ini sedang berada dalam sebuah jalan kematian. Kegelapan,
tikungan berliku, dan jurang di depan matanya menuntuk Kuga untuk lebih mengonsentrasikan
pikirannya. Bugatti itu kembali berbelok tajam di sebuah tikungan. Ferrari Sky berada tidak jauh di
belakangnya, masih melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Kuga harus mengetahui, walau
jarang berlatih, kemampuan Sky masih sangatlah hebat. Mobil melayang di atas aspal itu adalah
buktinya. "Kau harus lebih hebat jika ingin mengalahkanku."
"Tentu saja," Sky menekan pedal gasnya, mobilnya maju ke ujung tikungan, lalu berputar
sembilan puluh derajat saat ia menginjak remnya. Kembali melakukan drifting. Ejekan Kuga tadi
sama sekali tidak memengaruhinya.
Kuga tertawa, "Not bad."
"Bagaimana menurutmu hasil pertarungan itu?" Sky berkata dari seberang. Mobilnya kini
tepat bersebelahan dengan Kuga, hingga dia bisa melihat Sky dari seberang kaca mobilnya.
Pandangan pria itu kini terbelah antara berbicara dan juga menyetir.
"Apa kau meragukan kemampuan pelindungku?" Kuga mengejek, "Atau, kau bahkan
meragukan pangeran-pangeran itu?"
Suara napas Sky terdengar jelas di telinga Kuga. Ferrari itu berhasil maju satu meter di depan
Kuga. Kuga menekan pedal gasnya lagi.
"Aku mengkhawatirkan Jade," desah Sky, "Bisakah dia bertahan dengan semua ini?"
Kuga tertawa, "Seharusnya dia juga pergi..."
Bugatti itu semakin dekat dengan mobil Sky. Tak mau kalah, Sky memaksa mobilnya maju
hingga ke ujung jurang, sebelum menginjak rem dan membawa mobilnya ke sisi lain jalan.
Kuga, menyusul melakukan teknik drifting yang sama, lalu ia mengejar dan sampai tepat di
belakang mobil Sky. "Seharusnya aku menolak rencanamu."
Kuga tertawa lagi, "Aku percaya pada keberuntunganku," katanya santai. Dia memutar setir,
dan mulai menekan gas lagi.
"Tidak semudah itu."
Sky memutar setirnya. Meobilnya menuju tebing di sisi kiri Kuga, meluncur dari sisi atas.
Namun Kuga tidak membiarkan dirinya kalah semudah itu.
"Kau memang tangguh."
"Terima kasih."
Kuga mengarahkan setirnya ke kiri,menyerempet mobil Sky dengan keras. Percikan bungan
api keluar dari sisi kiri mobil yang bersentuhan. Sebelum mobilnya berbalik, Sky lebih dulu
menekan pedal rem, mengalah untuk sementara.
"Licik," Sky bergumam gusar. Dari balik setirnya, Kuga tertawa. Sky menggeram. Ia
menambah kecepatan mobilnya, dan saat berhasil memepet mobil Kuga, Sky menabrak bumper
depannya ke mobil Kuga. Di lain pihak, dengan kepiawaiannya dalam mengemudi, Kuga
mencoba mempertahankan posisi mobilnya.
"Dengarkan aku..." Kuga berkata, "Soal pertarungan dulu, aku benar-benar minta maaf."
Sky terdiam, kelihatannya agak terkejut mendengar pernyataan Kuga.
"Soal Isabella, aku minta maaf kepadamu," suara Kuga berubah serius, "Saat itu ak hanya
berniat main-main. Aku tidak berniat mencelakakan siapa pun... Aku tidak tahu kau menghisap
mariyuana sebelum pertarungan itu..."
"Drugs are junk, aren"t they?" Sky menjawab sarkastis, "Aku memaafkanmu. Lepas dari
kenyataan bahwa kita berdua adalah orang-orang brengsek."
Sky tertawa. Kuga tertawa. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, kedua rival yang
saling bersaing itu tertawa bersama-sama. Seolah-olah tahu akan nasib mereka selanjutnya.
"Apa kau yakin?" Sky berkata, tak mampu menyembunyikan getaran dalam suaranya,
"Ryuzaki jelas-jelas menginginkan kematian kita berdua."
Tidak terdengar jawaban dari Kuga.
"Taruhanmu kali ini terlalu besar."
"Aku tidak akan bertarung jika tahu akan kalah."
"Jadi, sudah cukup main-mainnya?"
"Aku harus mengatakan sesuatu padamu," Kuga berkata, "Aku sangat senang akhirnya bisa
bertarung denganmu. Meski salah satu dari kita harus mati."
Raungan mesin mobil kembali terdengar saat kedua mobil itu menambah kecepatan masingmasing. Sebentar lagi, mobil Sky akan melewati terowongan paling berbahaya dari lintasan itu.
Sebuah terowongan yang sangat panjang, ujungnya berakhir hanya satu setengah meter dari
jurang. Sky melepas bluetooth--nya. Terowongan itu menyita seluruh konsentrasinya. Dari dalam
mobil, Kuga menekan pedal gasnya hingga kakinya menempel erat di pedal gas tersebut. Bugatti
itu semakin menyusul mobil Sky. Dalam selang waktu yang serasa seabad itu, kedua mobil
melewati terowongan gelap. Dan saat keluar dari terowongan, pertarungan antara keduanya
dimulai. Kedua mobil itu mulai mendesak satu sama lain, tak ada yang mengalah. Karena
mengalah berarti menyerahkan nyawa kepada sang malaikat maut. Kedua mobil itu semakin
dekat dengan tebing, dan saat itulah Kuga mengambil sebuah senapan otomatis dan menembak
mobil Sky, tepat ke arah pengemudi.
Suara letusan senjata berkali-kali terdengar, diiringi dengan bunyi dan pecahan kaca yang
mulai retak dan berlubang. Senapan itu kembali memuntahkan peluru, tidak membiarkan Ferrari
itu lolos dari target buruannya. Ferrari itu menabrak pinggiran jalan di arah dalam, bergesekam
dengan batu-batuan gunung, sementara Bugatti Kuga terus menempelinya erat. Hingga akhirnya,
Ferrari itu mulai kehilangan keseimbangan, mulai berbelok ke kanan. Yang artinya semakin
dekat ke arah jurang. Ferrari Sky mulai oleng ke kanan, semakin oleng, dan mulai menabrak pagar pembatas.
Tanpa ampun, Kuga menabrakkan mobilnya kembali ke Ferrari Sky, memaksa mobil itu terus
berjalan menembus pagar pembatas. Hal itu tidak sulit dilakukan, karena Ferrari itu melaju tanpa
arah, seolah telah kehilangan radar navigasinya. Kuga kembali menabrakkan sisi kanan
mobilnya, menghentikan perlawanan Ferrari itu. Sebaliknya, Ferrari itu memang terlihat sudah
lelah melawan. Dalam hitungan detik, Ferrari itu menyerah, saat mulai berbelok menembus
pembatas jalan, terjatuh dan terguling-guling ke dasar jurang, sebelum akhirnya meledak dengan
dahsyat. Memunculkan bunga api yang sangat besar di udara.
Semuanya belum selesai, karena di depan, Kuga kembali melihat tikungan yang amat tajam.
Kuga menekan remnya dalam-dalam, membuat mobilnya berputar di ujung tikungan itu. Untung
saja ia bisa melakukan drifting itu dengan tepat, kalau tidak ia akan menyusul Ferrari Sky di
bawah jurang. Kuga menepikan mobilnya, memandang kobaran api yang membumbung dari
dasar jurang itu. Semuanya hampir berakhir. Kuga membuka pintu mobilnya, turun untuk
memastikan arah ledakan itu. Matanya berkilat-kilat sedih saat ucapan itu keluar dari mulutnya.
"Sayonara, Tsu-kai-san..."
KEMATIAN Kuga tidak melanjutkan perjalanannya ke garis finish, atau kembali untuk menyaksikan
peperangan antara geng Ryuzaki melawan gabungan kekuatan Maximus denga klannya. Kuga
hanya melangkah lesu ke dalam mobilnya, menjalankan Bugatti-nya pelan-pelan melewati
gunung dari arah berbeda. Kuga mendesah pelan, mengambil sebuah ponsel dari dashbor,
menyambungkan ponsel itu dengan bluetooth di telinganya.
"Keluarlah, Ryuzaki..." Kuga berkata dingin sambil memperbaiki spionnya. Ia tidak melihat
apa pun di sana, kecuali warna hitam jalanan, "Aku tahu kau ada di sana..." desisnya, "Aku
sudah menjalankan perintahmu. Kau boleh keluar sekarang!"
Sebuah suara tawa mengerikan terdengar di telinga Kuga, bersamaan dengan datangnya
sebuah Cherokee di belakang mobil Kuga, membayang di kaca spionnya.
"Wanita itu benar-benar ceoboh."
"Aku mengambilnya saat Yuri menciumku." Kuga tertawa, "Kau tidak benar-benar menjaga
kelakuan gadismu." Ryuzaki yang berada dalam Cherokee itu menjalankan mobilnya hingga Cherokee itu
bersebelaham dengan mobil Kuga. Kuga dapat melihat siluet Ryuzaki dari balik kaca Bugatti
Veyron-nya. Lebih tampan dari terakhir kali mereka bertemu. Dan yang pasti lebih berbahaya.
Kuga memacu mobilnya menjauhi gunung. Dia tahu pasti tujuannya ke mana, saat pilar-pilar
kayu tinggi itu menyambutnya beserta bangunan bergaya Jepang tradisional itu.
Ryuzaki tertawa sebelum keluar dari mobilnya. Ia mencabut bluetooth di telinganya, dan
menyurukkan perangkat itu ke dalam sakunya.
Kuga turun dari mobil. Tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri semua ini. Pistolnya
tersembunyi dengan rapi di dalam sakunya. Kuga memilih untuk tidak menggunakannya dahulu.
Kemampuan menembak Ryuzaki jauh di atasnya. Akan lebih baik jika Ryuzaki melawannya
dengan tangan kosong. Atau jika Ryuzaki berniat baku tembak, Kuga harus memaksanya
menjauh dari pistolnya. "Kau ingin semua leluhur melihat kita?" Ryuzaki berkata sinis, "Kau memilih rumah abu
keluarga, apa ini tidak terlalu berlebihan?"
Kuga berjalan angkuh ke dalam bangunan itu. Langkahnya tertuju tepat ke arah deretan
pedang beragam jenis. "Bukankah ini yang kau inginkan?" Kuga berkata datar, "Sebuah akhir bagi kita. Baik ataupun
buruk. Terimalah hasilnya..." dia mencabut sebuah katana, membungkukkan badannya, memberi
penghormatan ala Jepang. Ryuzaki ikut melangkah ke deretan pedang itu, mengambil sebuah
katana dengan ukiran seorang dewa kematian di sarung kulitnya. Dia menaruh pistol yang sedari
tadi dipegangnya, beralih pada katana itu. Sorot matanya tetap dingin dan menakutkan. Dia
membelai katana di tangannya, memperlakukan selayaknya kekasihnya. Kuga mengumpulkan
seluruh keberaniannya untuk berdiri di depan Ryuzaki. Saat ini, ia bukanlah seorang adik yang
takut kepada kakaknya. Ia adalah pemimpin klan Yakuza terbesar di Asia Timur.
Ryuzaki menatapnya tanpa ekspresi. Tempat ini memang familier baginya. Dia terbiasa
melakukan upacara-upacara sedari kecil. Kakeknya selalu membawanya kemari, dan
menyuruhnya sembahyang. Kuga meluruskan katana itu di tangannya. Ryuzaki memberi penghormatan kepadanya,
sebelum mencabut katana itu dari sarungnya. Kilau katana itu sontak menyerang menyilaukan
Kuga. Ryuzaki menyeringai sejenak.
"Seharusnya kau tahu apa yang terjadi pada geng kecilmu. Maximus telah berhasil
mengalahkan mereka." Kuga berkata, "Kau harus mengetahui ini, Ryuzaki."
Wajah Ryuzaki masih tenang saat mendengar kabar ini dari Kuga. Terlihat sekali kalau
incaran utamanya bukanlah klan Kuga, atau Maximus.
"Konspirasi yang bagus," sindir Ryuzaki, "Kalau saja mereka tahu siapa yang membunuh
penerus mereka." "Aku tak peduli," Kuga mendekati Ryuzaki. Sebuah gerakan cepat membuat kedua katana itu
mulai beradu. Kedua katana itu kini bersilangan di atas dada Ryuzaki, dengan posisi katana
Ryuzaki menghalangi Kuga, membelah dadanya. Kuga menarik katana-nya, mengarahkan
pedang panjang itu dari arah atas. Ryuzaki menekuk lututnya, menghalangi serangan di
kepalanya. Dalam sekejap, terdengar suara berdenting. Kedua katana itu saling beradu, berusaha
menyabet tubuh masing-masing lawan. Kuga menyambarkan katana-nya dari arah samping.
Serangannya mengenai lilin-lilin di dekatnya. Membuat lilin-lilin itu berjatuhan.
Kuga menekuk kakinya, melompat melewati Ryuzaki, melancarkan gerakan membelah dari
atas. Gerakannya sangat cepat, hampir tak terlihat oleh mata awam. Namun Ryuzaki lebih cepat
darinya. Dalam sekejap, Ryuzaki menghilang. Hanya sesaat setelah Kuga menjejakkan kakinya
di atas tanah. Ryuzaki muncul kembali dari belakang Kuga tanpa disadari pria itu, dan menebas
punggung Kuga dari belakang.
Sebuah sayatan lebat membuka jalan bagi luberan darah Kuga yang mulai keluar. Lilin-lilin
yang berjatuhan di sekelilingnya mulai membentuk kobaran api. Kuga terduduk menahan
kesakitan yang mulai perih. Ryuzaki berdiri di depannya dengan wajah penuh kebencian.
"Ilmumu tidak pernah meningkat," Ryuzaki bergumam puas, melancarkan tendangan cepat
sambil tertawa. Tendangan itu mengenai tulang rusuk Kuga, mengantarkan Kuga terjatuh
menghantam besi yang tadinya menjadi wadah lilin. Ryuzaki tertawa melihat penderitaan
adiknya. Kuga masih mencoba bertahan. Beberapa serangan kilat meluncur dari katana-nya. Berusaha
menghancurkan Ryuzaki. Namun kekuatan Ryuzaki sungguh tak terduga. Seperti bangkit dari
alam kematian, serangannya membabi buta dan dilancarkan tanpa mengenal ampun. Dalam
sekejap Kuga terjatuh membentur tanah dan muntah darah. Kuga tersenyum puas. Setidaknya


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa serangannya dapat dikatakan lumayan berhasil. Bagian dada Ryuzaki mulai robek.
Hanya saja, tekad Ryuzaki menyingkirkan Kuga membuat Ryuzaki masih sanggup berdiri di
tengah luka-lukanya. "Menyerahlah..." Ryuzaki berkata keji.
"Tidak akan," Kuga bangkit sambil memegang dadanya, "Tidak akan kubiarkan kau menang,
Ryuzaki." "Ketua Naga Timur Asia, aku terkesan..." Ryuzaki tertawa. Katana-nya berayun kembali,
membentur katana Kuga dengan keras hingga akhirnya terlepas dari tangan Kuga dan terlempar
beberapa meter darinya. Kuga meringis kesakitan, saat katana Ryuzaki kembali melukai
bahunya. Jaraknya hanya beberapa senti dari Ryuzaki. Kakaknya itu tersenyum puas melihat
dirinya mulai tak berdaya.
Ryuzaki menempelkan katanya itu di leher Kuga yang sudah tidak bersenjata, "Ada sesuatu
yang ingin kau katakan sebelum aku membunuhmu?"
Kuga memamerkan senyum mengejeknya. Jaraknya sangat dekat dengan Ryuzaki. Sehingga
kesempatannya melancarkan serangan jarak dekat mulai terbuka. Ryuzaki mungkin tidak
mengetahui hal ini. Kuga memanfaatkan waktu sepersekian detik untuk memutar lengannya,
meliukkan telapak tangannya membentuk beberapa serangan, sebelum akhirnya telapak tangan
itu menjadi kepalan, dan menghantam Ryuzaki tepat di arah jantungnya.
Ryuzaki terkejut, sama sekali tidak menduga serangan Kuga yang tiba-tiba. Belum habis rasa
terkejutnya, ketika Kuga kembali melancarkan pukulan di beberapa bagian vitalnya. Serangan
tangan kosong itu berhasil melumpuhkan Ryuzaki. Pria itu tersungkur di atas tanah, tepat
beberapa detik sebelum Kuga kehabisan tenaga dan menyusul kakaknya roboh.
Ryuzaki tertawa mengejek, "Kau menggunakan ilmu ayah untuk mengalahkan aku."
Kuga tersenyum getir. Mengingat ayahnya pernah mengatakan kelemahan Ryuzaki
kepadanya... "Dia lemah pada pertarungan tangan kosong jarak dekat... dia selalu menghindari
itu. Jalan satu-satunya hanya memancingnya untuk mendekat..."
"Ternyata ayah lebih menyayangimu, Kyou-chan..."
Ucapan ayahnya kembali terngiang di telinga Kuga. Ryuzaki telah kalah. Namun Kuga sama
sekali tidak merasa menang.
"Ayah ingin agar kau sadar... kalau kami semua menyayangimu. Kalau ayah selalu menangis
setiap kali kau melakukan kejahatan. Kalau kau adalah anak ayah. Sama seperti aku."
"Lalu mengapa mereka selalu mengacuhkanku?" Suara Ryuzaki mulai bergetar, "Di mana
mereka saat semua anak mengejekku di sekolah" Di mana mereka saat kakek memaksaku
menjadi penjahat berdarah dingin?"
Kuga tidak menjawab pertanyaan Ryuzaki. Tenaganya mulai melemah akibat pertarungan
dan luka-luka yang mulai menyiksa tubuhnya.
"Kau akan mati..." Ryuzaki berkata lirih, "Aku pasti menang. Aku selalu menang..."
"Tidak, Ryu..." Kuga tersenyum getir. Darah mulai mengucur dari sudut bibirnya. Ia melirik
sebuah kotak yang berada tak jauh dari Ryuzaki. Sebuah senyuman getir kembali menggantung
di bibirnya. Susah payah, Kuga mengangkat sebelah tangannya yang memakai jam tangan,
kemudian beralih menekan sebuah tombol. Detonator itu membuat lampu merah di kotak
langsung berdetak pelan, seperti jantung manusia koma yang tiba-tiba hidup.
Itu adalah sebuah bom waktu.
Ryuzaki baru menyadari hal ini. Raut kesal langsung keluar dari wajahnya, "Kau ingin aku
mati?" katanya marah.
"Aku ingin kita mati bersama." Kuga berkata lemah. "Sejak dulu aku ingin kita selalu
bersama. Karena kau adalah kakakku."
Ryuzaki tertawa. Tawanya bercampur dengan jerit mengerikan yang menyayat hati. Pria itu
telah berhasil bangkit. Berdiri dengan timpang, dan sedikit terhuyung. Entah mengapa, untuk
pertama kali dalam hidupnya, Kuga melihat sisi lain dari Ryuzaki. Kelembutan yang mendadak
terasa tulus. Ryuzaki menghampirinya dengan langkah-langkah tak seimbang, lalu menunduk
dan menyapukan telapak tangannya di kepala Kuga, sebelum berkata.
"Kyou-chan..." Ryuzaki berkata dalam tawa getir yang mengerikan, sebelum bangkit dari sisi
Kuga, dengan lemah berdiri bertumpu pada katana yang dipegangnya. Semuanya berjalan
dengan cepat hingga Kuga bahkan tidak menyadari kalau kakaknya itu melakukan harakiri.
Jadi beginilah Ryuzaki pergi... Dia lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Tanpa terasa
setetes airmata membasahi pelupuk mata Kuga. Dia ingin memeluk kakaknya untuk terakhir kali,
mengingat kerinduan yang bertahun-tahun terbungkus rasa benci. Namun keadaan Kuga sudah
sangat mengkhawatirkan hingga tidak sanggup berdiri. Ia juga akan mati... Kuga melihat angkaangka di dalam kotak berisi bom waktu yang akan mengakhiri hidupnya. Saat ini kilasan-kilasan
masa lalunya seolah kembali, membentuk refleksi di dalam ingatannya. Kuga hidup di keluarga
Yakuza di mana kekuasaan adalah segala-galanya. Ayah dan ibunya telah membuktikan itu.
Masa kecilnya teramat sempit untuk meninggalkan kenangan indah, juga hari-harinya yang tak
pernah tenang semenjak diangkat menjadi ketua. Hidupnya ini sangatlah menyedihkan. Seperti
gemerlapan cahaya bulan di atas sungai. Tidak nyata. Satu-satunya yang nyata hanyalah
kehadiran seorang gadis dalam hidupnya. Cinta yang tak pernah ia miliki. Tapi siapa yang
peduli" Hidupnya kini tinggal menghitung detik... saat kotak itu menunjukkan angka yang
semakin menghitung mundur...
4 3 2 1 0 ... PILIHAN AKHIR The Brown Sugar. Bali, Indonesia"lima tahun kemudian.
Eri mencabut earphone yang menyuarakan kokoro no Tomo di telinganya ketika melihat
BMW merah itu memasuki pelataran parkir besar di Pusat oleh-oleh yang berhasil dibesarkannya
itu. Suara Mayuni Itsuwa langsung menghilang dari pendengarannya. Eri melihat seseorang yang
dikenalnya beranjak keluar dari BMW itu. Hayden Leonidas yang tampak lebih dewasa, berjalan
anggun memasuki pintu toko. Waktu telah lama berlalu, banyak hal yang berubah... seperti
Hayden. Ketua Maximus itu memasuki Brown Sugar diikuti tatapan kagum para pengunjung yang
melihatnya. Hayden tersenyum melihat Eri, satu tangannya terulur menyerahkan sebuah amplop
tebal berwarna cokelat keemasan. Ukiran-ukiran rumit berbentuk dua buah hati menghiasi
amplop itu, beserta inisial A&J.
"Akhirnya mereka menikah juga," Eri tersenyum melihat foto Jade Judy bersama Andhika di
dalam undangan itu. Hayden mengambil sebuah kursi tinggi, dan duduk di dekat meja kasir
tempat Eri berdiri. "Lalu mengapa kau tidak?"
Kedua pipi Eri kontan merona mendengar perkataan Hayden.
"Bukankah dia selalu menunggumu?" Hayden berkata tenang, "Orang yang rela melawan
Maximus untuk bersama denganmu. Melepaskan kehidupannya di masa lalu, untuk memiliki
hidup baru di jalan lurus." Sudut mata Hayden kini teralih ke depan pintu. Eri menelengkan
wajah, menghindari seraut wajah tampan yang mengikuti Hayden ke dekat Eri. Sosok tegap
bermata biru dengan rambut pendek berantakan dan setelan jas yang baru saja dilepas.
"Bagaimana kasusnya?" Hayden memamerkan seulas senyuman kepada sosok itu,
"Kelihatannya kali ini Dirk Carlo kembali memenangkan sebuah kasus di pengadilan."
"Lalu bagaiman denganmu?" sosok bermata biru itu menambahkan nada sarkastik dalam
suaranya, "Kelihatannya ketua klan Maximus juga baru saja memenangkan kerjasama dengan
Ketua Himemiya dan klan Naga Timur Asia-nya..."
Hayden tertawa. Eri melihat kedua mata biru itu kini beralih menatapnya. Dia bisa melihat
cahay dari dalam sana. Seolah kedua mata itu pernah mati, dan hidup kembali. Sky mengambil
undangan dari tangan Eri, lalu membacanya sekilas.
"Datanglah..." Hayden berkata.
Wajah Sky terlihat mengejek saat dia berkata, "Kelihatannya kedatanganku sama sekali tidak
diharapkan." "Jangan bercanda. Kau selalu menjadi saudaraku. Meski kau telah keluar dari Maximus."
"John tidak akan suka melihatku."
Hayden memutar matanya, "Mungkin."
"Aku tidak akan datang jika tidak bersama Sky," Eri menyahut. Hayden dan Sky langsung
memandangnya dengan terkejut.
"Kalian adalah ayah dan anak. Dia mungkin pernah marah kepadamu. Tapi kau tetaplah
putranya..." Sky bergeming. "Lebih baik mencoba daripada menyesal nantinya," Eri melanjutkan, "Orang tua tidak akan
pernah membenci anaknya sendiri."
Sky masih menimanng-nimang kartu itu di tangannya, sesaat sebelum dia mengalihkam
wajahnya memandang keluar. Matahari mulai bersinar terik saat itu. Hayden menurunkan
kacamata hitamnya, melirik Eri sekilas, lalu kembali kepada Sky, "Mengapa kau akhirnya
memilih untuk meninggalkan Maximus?"
Sky tersenyum. Setelah bertahun-tahun, akhirnya dia mendengar pertanyaan itu dari mulut
saudaranya, bukan ayahnya. Dia menatap Hayden, menghela napas, lalu berkata lirih, "Sebuah
janji." *** "Kau tidak pantas mendapatkan semua itu, Pangeran... terutama dirinya."
Ucapan Kuga itu kembali terngiang di telinga Sky saat dirinya mengingat perundingan
dengan ketua klan Naga Timur Asia itu sebelum mereka bertarung di Gunung Akina.
"Tentu saja... tidak. Kecuali kau mau melakukan sesuatu untukku..."
Sky tahu, mungkin itu adalah terakhir kalinya dia dapat berbicara sebelum berhadapan
sebagai lawan yang saling menghabisi. Namun dia hanya tertawa menanggapo perkataan Kuga.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Keluar dari Maximus."
Sky bergeming, merasa lucu dengan perkataan Kuga.
"Aku ingat perkataan Eri kepadaku. Bahwa hidup adalah pilihan... dan aku ingin kau
memilihnya." "Mengapa?" "Dia akan selalu dalam bahaya jika tetap berhubungan dengan penjahat-penjahat seperti
kita," Kuga menghela napas sebelum melanjutkan, "Jika saja bisa terlahir kembali, aku benarbenar ingin menjadi orang yang baik. Apakah kau tidak berpikir untuk melakukannya"
Melepaskan untuk memperoleh sesuatu yang layak di jalan lurus?"
"Jadi kau menyerahkannya kepadaku?"
"Berjanjilah, Pangeran. Bahwa kau tidak akan pernah membuatnya menangis lagi..."
*** Hayden masih berdiri di depan Sky. Sky mengulurkan tangannya ke arah Eri, "Bagaimana
kalau Shinta menggantikanmu?" dia berkata sambil memberi isyarat mata pada Shinta, pegawai
yang sedang membaca di sudut di dekat patung-patung kayu. Gadis itu langsung melonjak
berdiri dan berlari menuju kasir. Eri sampai tidak enak dibuatnya.
"Tolong, ya... Shinta."
Hayden ikut beranjak menuju BMW-nya. Dia memandang kepergian Eri dan Sky. Kelebatan
ingatan lima tahun lalu kembali membayangi benaknya... Saat Kuga membawaEri kepada Sky.
Bagaimana mereka membawa Eri ke tempat yang aman dari pertempuran.
Mungkin tidak ada yang tahu, bahwa kejadian di Gunung Akina itu telah diatur sebelumnya.
Kecelakaan yang terjadi hingga meledaknya Ferrari Sky hanyalah sebuah rekayasa untuk menipu
Ryuzaki. Ferrari itu sudah kosong saat melewati terowongan. Yang selanjutnya terjadi hanyalah
sandiwara. Kuga menepati janjinya untuk membiarkan Sky tetap hidup. Namun tidak ada yang
menyangka bahwa ketua klan Naga Timur Asia itu berniat bertarung sampai mati melawan
kakaknya, Ryuzaki. Ini adalah pilihan terakhir bagi Kuga... saat dia bertaruh dengan nyawanya...
Juga pilihan terakhir bagi Sky, saat dia melepaskan diri dari Maximus dan keluarganya...
*** "Apa yang sedang kau lamunkan?" Sky melirik Eri dari spion Avanza-nya. Mendapati gadis
itu sedang bengong keluar jendela. Eri sedikit terkejut dibuatnya.
"Aku?" Eri nyengir memamerkan giginya, namun dia tidak dapat menyembunyikan bekas
airmata di kedua pipinya.
Sky menghentikan mobilnya tepat saat traffic light menyala merah. Dia memutar tubuh Eri
agar menghadapnya, kemudian berkata lembut, "Apa aku telah membuatmu menangis?"
"Tidak." "Lalu mengapa kau menangis?"
Eri bergeming, "Sudah hijau," katanya parau. Sky kembali menjalankan mobilnya. Namun
pikirannya masih bertanya-tanya.
"Jangan katakan kalau kau masih memikirkan Kuga Kyouhei..."
Eri mendesah, "Maafkan aku."
"Tidak. Akulah yang salah," Sky menarik tuas persneling sebelum menaruh sebelah tangan
di dagunya, "Aku seharusnya sadar, kalau hati manusia bisa retak dan patah..."
"Dari dulu aku menyukaimu."
Sky tersenyum. Eri dapat melihat kegetiran dari dalam matanya.
"Kau memang menyukaiku. Tapi kau telah mencintai orang lain..." katanya lirih.
Eri tidak dapat menyembunyikan kesedihan itu lagi. Airmatanya kembali mengalir.
"Memang aku terlalu egois. Aku tidak percaya diri mampu melindungimu, sehingga matimatian menghindarimu... dan saat itu dia datang. Dengan keteguhan dan pengorbanan yang tak
pernah kumiliki..." Sky menghela napas panjang, "Aku tidak akan mampu menandinginya,
Eri..." "Tolong, jangan bicarakan ini lagi," Eri mulai terisak, begitu melihatmu, aku jadi teringat
kepadanya... Eri memejamkan mata, mendadak mengingat semua kebersamaanya dengan Kuga.
Pria yang dulu dibencinya. Namun Kuga begitu menghormatinya sebagai seorang gadis, menjaga
dan menyayanginya... Mengapa dia baru menyadarinya saat ini"
"Apakah kau mencintai Kuga?"
Eri bergeming. Menahan jawaban yang sedari tadi dipendamnya. Namun dia tidak pernah
sanggup berbohong. Sky kembali menatapnya, "Apakah kau masih mencintainya meskipun dia
telah meninggal?" "Aku?" Eri mendesah, "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tentang perasaan yang
datang tanpa diharapkan... Mungkin kau benar. Aku memang mencintainya. Tapi sayang, aku
terlambat menyadarinya."
Sky menyadari kalau gadis di sebelahnya mulai menangis. Dengan berat hati, dia memutar
haluan mobilnya, sambil mengetik sebuah sms singkat,
Dia menangis lagi. Dan itu bukan karena aku.
Sky memandang Eri sekali lagi. Pikirannya masih berkecamuk, namun dia telah
memutuskan... Aku akan melakukan ini, sekarang.
EPILOG Bahkan hati yang percaya pernah lupa entah di mana
Dan mengapa harus mengejar kebahagiaan yang berlalu
Pejamkan matamu perlahan dan singkaplah jendela hatimu
Raih tanganku dan usaplah air matamu
Kala aku mampu melepaskan kesedihan dari hatimu
Semangatku pun bergelora menapaki jalan hidup
Sebelum bersama denganmu, aku berkelana dalam kesepian
Tolong biarkan aku rasakan hangatnya jemarimu
Cinta selalu melenakan Tatkala lelah dalam perjalanan
Ingatlah diriku sebagai teman hati
Lagu Kokoro no Tomo itu bukanlah berasal dari i-phone Eri. Gadis itu menyadari kalau
suara itu berasal dari speaker dan CD player yang diletakkan di sudut restoran kecil itu. Eri
mengamati restoran itu dengan matanya. Warna kayu menghiasi dinding dan perabot di
dalamnya. Sementara televisi berukuran dua puluh inchi sedang menayangkan berita berbahasa
Jepang terpaku di salah satu dinding. Partisi berupa rangkaian kerang hingga menyerupai tirai
memisahkan antara dapur dan ruang depan.
Sky menyerahkan daftar menu ke tangan Eri. Tersenyum penuh arti saat mata birunya ikut
mengamati seluruh ruangan. Ero merasa ada yang ganjil dalam senyumannya hingga tidak dapat
menahan dirinya bertanya.
"Ada apa?" "Tidak apa-apa..." katanya santai. Eri masih merasa aneh dengan jawaban Sky. Namun ada
yang familier dari restoran itu. Eri tidak tahu apa.
"Apakah kau tidak merindukan Jepang?"
"Mengapa mendadak kau menanyakan hal ini?"
"Kejadian itu... sudah lama berlalu." Sku melipat kedua tangannya, "Lupakanlah semuanya."
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan..." Eri menghindari tatapan Sky.
Seorang pelayan tepat membawakan seteko ocha, dan menuangkannya ke depan Eri dan Sky. Eri
dapat melihat bayangan seseorang sedang memotong sayur setengah meter di balik tirai kerang
itu. "Mengapa kau tidak mau bersamaku?" Sky berkata, "Bukankah kau mencintaiku?"
"Sky, aku tidak ingin membahas ini sekarang."
"Aku keluar dari Maximus. Kembali kuliah dan menjadi pengacara. Itu semua demi dirimu,
kau tahu" Apa kau pikir bekerja keras itu gampang"
Tapi aku telah memilihnya..."
Eri menaikkan alisnya. Namun Sky tetap melanjutkan ucapannya, "Aku telah melakukan
segalanya untukmu. Dan inikah balasanmu" Menunggu seseorang yang telah meninggal"
Mengapa kau tidak mengharapkan yang hidup saja?"
Eri berdiri. Tanpa sadar melayangkan tamparan ke pipi Sky. Airmatanya mulai mengalir lagi.
"Jadi, jawabannya tetap tidak?"
Eri bergeming. Namun Sky telah berdiri dan memutar badannya menjauhi Eri, "Selamat
tinggal, Erika Valerie..."
"Dasar brengsek!" Eri berteriak. Sky terus melangkah meninggalkannya keluar pintu. Eri
tidak ingin mengikutinya. Dia menangis terisak menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Sky
selalu kejam kepadanya. Apakah dia sebegitu bebalnya sehingga selalu mencintai orang yang
salah" Eri membuka matanya, namun tidak melihat Sky lagi. Tidak ada lagi sandaran bagi
jiwanya sekarang. Air mata eri kembali merebak.
Sky melihat pemandangan itu dari luar pintu, kedua tangannya terangkat ingin memeluk Eri.
Namun pria itu hanya tersenyum getir sebelum memasuki Avanza-nya, memasukkan tuas
persneling, sebelum memacu mobilnya menjauhi pelataran parkir.
Jangan membuatku menyesal melakukannya... Sky membatin.
Sky memejamkan mata, teringat ledakan besar di kuil keluarga Kuga saat dia berhasil


My Lovely Gangster Karya Putu Felisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeret seseorang keluar dari sana... lima tahun lalu.
Kau pernah memberiku kesempatan sekali. Dan sekarang, adalah kesempatanmu...
Eri terus terisak dalam tangis. Tidak memperdulikan tatapan penuh kasihan dari pelayan
restoran. Pelayan itu tidak tega melihat Eri menangis.
Eri melipat kedua tangannya di atas meja, menenggelamkan wajahnya di sana, saat merasa
sentuhan lembut seseorang di pundaknya.
"Cengeng." Eri mengangkat wajahnya, terkejut. Detik itu bagaikan bertahun-tahun baginya, saat Eri
melihat gestur familier itu berdiri di depannya. Rambut yang telah berubah kecoklatan, wajah
tampan yang selalu mengejeknya...
Dia ada di sana. Hidup dan bernapas...
Eri nyaris berpikir, kalau dirinya bermimpi...
"Kau..." "Lama tak bertemu, Peri Valentine..."
Dan Eri merasakan dunianya berubah seketika... Saat sosok itu perlahan mendekatinya,
merengkuh wajahnya, sebelum mengecup keningnya dengan penuh kerinduan...
TAMAT Perawan Lembah Wilis 7 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Eyes Wide Open 4

Cari Blog Ini