Ceritasilat Novel Online

Nggak Usah Jaim Deh 1

Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati Bagian 1


BAB 1 KRING....!!! Jam beker warna pink berbentuk sepatu yang bertengger manis di meja coklat tepat
di sebelah tempat tidur Rhea mulai berteriak nyaring, membangunkan si empunya dari tidur
lelapnya. Tangan Rhea menggapai-gapai, mencari sumber suara dan berusaha menghentikan bising yang
sudah mengganggu mimpi indahnya. Matanya tetap tertutup rapat. Kepalanya pun masih terasa
berat. Tapi belum sempat Rhea meraih jam bekernya, HP-nya malah ikut berbunyi, menambah
semarak suara di kamarnya. Meriah banget kaya lg pesta tahun baru.
"Aaarrggh...!!!" Rhea akhirnya berteriak marah dan bangun dari tidurnya. Ditekannya tombol off
pada jam beker di meja dan disambarnya HP di sebelah bantalnya untuk segera dinonaktifkan.
Suasana kamar Rhea kembali tenang. Ogah-ogahan, Rhea melirik jam beker yang telah
mengganggu tidurnya itu. Baru jam 05.45.
Rhea melempar selimut yang melilit kakinya. Ia duduk di tempat tidur masih dengan mata
setengah terpejam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, membuat rambut panjangnya yang
kusut bertambah kusut. Rhea menatap sekeliling kamar, lalu menguap lebar. Setelah energinya
mulai terkumpul, ia bangkit menuju cermin yang tergantung di samping pintu kamarnya,
kemudian menatap wajahnya. Entah apa yang dilihatnya, namun setelah beberapa saat lagi-lagi
ia menguap. Setengah enggan Rhea melangkah gontai, seakan terdapat beban dua ton yang
terikat di kedua kakinya yang membuat langkahnya terasa berat.
Perlahan ia beranjak menuju kamar mandi. Ia berhenti sejenak di lemari kecil yang ada di
samping kamar mandi dan menyambar handuk yang masih terlipat rapi diatas lemari itu,
kemudian menyampirkannya di bahu. Diayunkannya langkah memasuki kamar mandi mungil
bernuansa biru laut yang terletak di dalam kamarnya, lalu menutup pintunya.
Jam 06.15 Rhea sudah siap. Rambutnya yang panjang sudah tersisir rapi. Jepitan berbentuk
burung menempel di rambutnya, di dekat telinga kanannya. Ia cuma memakai badak tipis,
lipglos, plus cologne bayi. Rhea menuruni anak tangga menuju ruang makan. Tas ransel warna
pink bergambar babi kecil yang selalu setia setia menemaninya ke sekolah diletakannya di meja
telepon yang berada nggak jauh dari ruang makan.
Papa, Mama, dan Mbak Reva sudah duduk mengelilingi meja makan. Papa lagi serius baca koran
sampai-sampai mukanya nggak kelihatan karena tertutup koran. Mama lagi sibuk mengolesi selai
kacang ke roti tawar. Mbak Reva lagi asyik menikmati setangkup roti tawar sambil baca buku
yang tebalnya 5 cm dan nggak jelas apa isinya.
"Pagi, Ma!" sapa Rhea sambil mengecup pipi mamanya yang sedang mengolesi selai. Kali ini
selainya selai coklat, jelas untuk Rhea karena selai coklat itu favoritnya.
"Semalam tidur jam berapa, Rhe" Kok lampu kamar masih nyala sampai jam sepuluh?" tanya
Mama sambil menyodorkan roti tawar selai coklatnya ke Rhea.
"It, Ma.. Rhea ngerjain tugas," jawab Rhea. Dengan senang hati disambutnya roti tawar itu dari
tangan sang mama, dan dilahapnya tanpa ampun.
Papa melipat koran yang sedari tadi bacanya lalu menatap putrinya tajam. "Sudah berkali-kali
Papa bilang, biasakan mengerjakan tugas langsung sepulang sekolah."
Rhea berhenti menggigit rotinya lalu menjawab pelan, "Maaf, Pa. Lain kali nggak lagi deh."
Papa sudah mau bicara lagi, untung mama langsung menahan, "Sudah deh, Pa... inikan masih
pagi. Nggak perlu lah ngerusak suasana yang udah enak begini..."
Papa akhirnya memilih diam dan meneguk kopi susu yang sudah disediakan mama.
Rhea menarik nafas lega. Dia bersukur banget atas bantuan mamanya barusan. Kalau nggak,
entah berapa lama dia harus mendengarkan ceramah dari Papa. Masalahnya, Papa itu kalau
ceramah panjangnya kaya Jakarta-Perth (hiperbola dikit lah!). Tapi bener deh, Papa itu paling
cinta sama peraturan. Makanya kalau ada yang melanggar aturan, apa lagi aturan Papa, jangan
harap lolos dari cengkramannya. Pokoknya siapin aja gendang telinga yang kuat dan tulang
punggung yang oke biar bisa bertahan selama mendengarkan ceramah dari Papa.
"Ma... Pa... Reva berangkat dulu ya. Takut jalanan macet. Ini kan hari senin." Reva bangkit dari
tempat duduknya sambil membawa buku tebalnya.
"Kamu nggak berangkat sama-sama ?" tanya Papa.
"Nggak deh, Pa," tolak Reva halus. "Reva naik angkot aja."
"Kamu pulang kuliah jam berapa, sayang ?" kali ini mama yang bertanya.
"Mungkin sekitar jam empat," jawab Reva. "Tapi kalau Reva pulang telat, Reva telepon rumah
dulu." mama mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ya udah Reva berangkat dulu ya!" ujar Reva lagi, lalu mencium pipi Mama dan Papa, dan
dengan cueknya mengacak-acak rambut Rhea sebelum meninggalkan ruangan.
Rhea sudah ingin berteriak marah, tapi diurungkannya niatnya begitu sadar ada Papa di ruangan
itu. Bisa didamprat sama Papa kalau dia berani teriak-teriak di ruang makan.
Rhea cuma bisa memaki dalam hati. Rambutnya yang sudah disisir serapi mungkin jadi
berantakan lagi gara-gara ulah kakaknya itu.
Reva kakak perempuan Rhea satu-satunya. Usia mereka selisih lima tahun. Sekarang Reva sudah
semester enam, kuliah di fakultas kedokteran UI. Tapi bagi Rhea, itu bukan hal menyenangkan,
malah jadi sumber mala petaka baru. Mama dan Papa bangga sekali atas prestasi putri sulungnya
itu. Rhea bangga juga sih, tapi... gara-gara itulah Papa-Mama menuntut Rhea agar bisa mencapai
prestasi, minimal sama dengan yang dicapai Reva.
Menurut Rhea, itu sih nggak susah-susah amat. Tapi sepertinya kedua orangtuanya nggak ada
puas-puasnya. Bayangin aja, nilai 8 untuk ulangan kimia yang menurut teman-teman Rhea
adalah anugrah terindah yang pernah dimiliki masih kurang bagi Mama dan Papa. Mereka mau
Rhea bisa mencapai nilai 9 di ulangan selanjutnya, yang kalau menurut pendapat teman-teman
Rhea butuh mukjizat untuk mencapai angka itu. Itulah yang membuat beban Rhea jadi kelihatan
lebih berat. Diam-diam Rhea menghela napas pelan. Terbersit rasa kesal di hatinya, kenapa sih hari-harinya
selalu monoton seperti ini" sampi detik ini nggak pernah sekalipun ada kejadian fantastis dalam
hidupnya. Setiap hari wajib bangun pagi, jam enam seperempat sudah harus di meja makan untuk sarapan
bersama, setengah tujuh lewat lima berangkat sama Papa ke sekolah. Dan sengsaranya lagi, Papa
itu kepala sekolah di sekolah Rhea. Itu berarti semua tindak tanduk Rhea di sekolah selalu dalam
pengawasan Papa. Belum lagi papa tuh terkenal sebagai kepala sekolah yang asli super sangar
dan disiplin. Teman-teman Rhea pada takut dan sebal sama papa alias pak kepsek.
Tambahan lagi nieh, setiap pulang sekolah, Rhea harus menunggu papa untuk pulang samasama. Kalau dia mau jalan-jalan sama teman-temannya, dia harus pulang dulu ke rumah untuk
ganti baju dan makan siang. Dan hal itu yang membuat teman-temannya akhirnya ogah
mengajaknya jalan-jalan. Masalahnya, kalau lagi nunggu Rhea ganti baju dan makan siang,
teman-temannya harus melewati acara setengah jam bersama papa Rhea yang nggak lain adalah
kepala sekolah mereka. Siapa sih yang mau menghabiskan waktu untuk mendengarkan ceramah
kepala sekolah" Rhea bisa maklum kalau akhirnya teman-temannya enggan main ke rumahnya
atau mengajaknya jalan-jalan. Tapi kalau janjian langsung untuk ketemuan di mal, papa nggak
akan kasih izin. Jadi gimana dong" Yah... Cuma bisa pasrah sama nasib, kan"
"Susunya diminum, Rhe," tegur mama, membuyarkan lamunan Rhea.
Rhea mengambil segelas susu coklat hangat di depannya, lalu meneguknya sampai nggak tersisa.
Diliriknya jam tangan baby-G pink di tangannya. Setengah tujuh lewat lima. Papa sudah mulai
merapikan dasinya dan membereskan map-map kerjanya. Rhea bangkit menuju meja telepon,
tempat ia meletakan tasnya tadi.
"Rhea berangkat ya, Ma," pamit Rhea begitu papa sudah masuk ke mobil.
"Iya. Hati-hati ya.." jawab mama. "jangan pulang sore-sore."
Itu tergantung papa, ada rapat mendadak atau nggak, sahut Rhea dalam hati. Soalnya selama ini
kalaupun Rhea pulang sore, bukan jalan-jalan ke mal sama temen-temennya atau nongkrong di
lapangan basket, jadi suporter anak cowok yang lagi seru tanding basket, tapi gara-gara
nongkrong di perpustakaan nungguin papa selese rapat. Jadi kalau memang mama nggak mau dia
pulang sore, mendingan bilang sama papa nggak usah pake acara rapat-rapat segala.
Rhea lalu bergegas masuk ke mobil dengan bibir rada manyun.
Satu pagi lagi berlalu, pagi yang membosankan buat Rhea.
*** "Hai, Rhea!" sapa Marcia, gadis manis berambut pendek yang udah jadi sobat Rhea sejak hari
pertama MOS (Masa Orientasi Siswa ), sesampainya Rhea di kelas 1 D.
"Hai juga!" balas Rhea tanpa semangat. Ia menjatuhkan tasnya di meja lalu duduk di bangkunya
dengan tampang bete. "Aduh, nona manis... Pagi-pagi kok udah pasang muka jelek getu," celetuk
Marcia begitu melihat tampang Rhea yang nggak asyik.
Rhea diam saja, ekspresinya masih sama. BETE!!! " kenapa sih, Rhe" Cerita dong!" rayu Marcia
yang sudah pindah dari bangkunya dan duduk di sebelah Rhea.
"Gue sebel sama hidup gue. Kok nggak ada seru-serunya sedikit pun!" Rhea akhirnya bersuara
juga. "Oooh... Pasti ada masalah lagi sama bokap lo," tebak Marcia.
"Gue pengin banget kaya Harry Potter. Hidupnya tuh seru banget. Tiap taun ajaran baru, pasti
dia punya pengalaman seru yang bisa dibikin jadi satu novel tebal yang laris manis di pasaran.
Nggak kaya gue ini!" gerutu Rhea panjang-lebar.
"Ya ampun, Rhe! Itu kan bisa-bisanya J.K. Rowlling aja," sahut Marcia, heran mendengar
keluhan sobatnya itu. Aneh-aneh aja si Rhea. Masa iri sama tokoh imajinasi sih"
"Tapi tetap aja menurut gue hidup si Harry Potter itu kaya warna!"
Belum sempat Marcia menyahut lagi, terdengar suara tas dilempar ke atas meja dari seberang
kanan tempat duduk Rhea dan Marcia.
"Gila! Gue ngantuk banget! Eh, ntar ada ulangan, nggak?" cerocos si sumber keributan dengan
suara cemprengnya yang khas, Rachel.
"Elo ini nggak bisa kalem dikit ya, Chel?" Marcia agak kesel melihat tingkah Rachel yang selalu
grasa-grusu. "Lho, kenapa gue harus kalem" Apa ada yang lagi berduka" Nggak, kan" So, kenapa juga gue
harus kalem" Nggak asyik, tau!" sahut Rachel dengan tampang innocent.
Marcia menatap Rachel kesal, sedangkan Rhea cuma diam saja.
Paling nggak, hidup Rachel dan Marcia jauh lebih menarik dari pada hidup gue, pikir Rhea. Kalo
kayak begini terus, gue bakal mati kebosanan.
Oh, God... Kapan hidup gue bakal benar-benar terasa indah" Rhea pun larut dalam lamunannya
sambil bertopang dagu. "Gila Pak Yo! Ngasih PR kok nggak tanggung-tanggung!" maki Rachel nggak karuan.
Dua jam pelajaran fisika bagai seabad rasanya. Rhea, Rachel,dan Marcia sudah duduk di kantin,
melepas penat yang mereka rasakan selama dua jam penuh. Tiga sekawan itu langsung memesan
soft drink untuk menenangkan otak yang rasanya akan segera meledak jika tidak didinginkan.
Rachel masih kesal gara-gara Pak Yo memberikan dua puluh soal fisika yang dijadikan PR buat
mereka dan dikumpulkan besok. Es batu di gelasnya berdenting keras karena diaduk terlalu
kencang. "Chel, pelan-pelan ngaduknya. Ntar gelasnya pecah," tegur Marcia yang ngeri melihat
kemarahan Rachel. Rachel kelihatan sama sekali nggak peduli, ia malah mengaduk minumannya semakin kencang.
Marcia menghela napas dan Rhea cuma bisa geleng-geleng kepala. Mereka maklum. Rachel
memang paling anti sama pak Yo dan fisika. Alasannya sederhana, pelajaran dan guru sama
mautnya. Memang Pak Yo ini di kenal Mr. Killer. Selagi galak, Pak Yo juga nggak pandang bulu
kalau lagi marah. Selain itu, kalau ngasih tugas, nggak pernah kurang dari sepuluh soal. Rachel
sendiri pernah dikatain "tampang cakep, otak lemot" karena nggak bisa menjawab soal yang di
tanyakan Pak Yo. Sejak itu lengkaplah sudah kebencian Rachel pada pak Yo.
Tapi menurut Rhea, fisika dan Pak Yo nggak seseram itu. Mengotak-atik rumus fisika cukup
mengasyikan untuk mengisi waktu luang. Apalagi fisika banyak sekali manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Pak Yo juga sebenernya baik kok, soalnya dia pernah berkunjung ke
rumah Rhea. Ada urusan sama papa. Dan ternyata, aslinya Pak Yo itu ramah dan humoris. Hanya
saja Rhea nggak berani menceritakannya pada kedua sahabatnya ini. Rhea bisa membayangkan
reaksi Rachel. Cewek itukan temperamental banget. Jangan-jangan nanti malah Rhea yang
dimusuhin karena membiarkan Pak Yo menginjakkan kaki di rumahnya. Rhea nggak mau itu
terjadi. "Chel, dari pada lo marah-marah begitu, mendingan dengerin nih gosip seru dari gue!" Marcia
berusaha mengalihkan kemarahan Rachel. Marcia tahu, cuma kata bernama "gosip" yang bisa
membuat Rachel tertarik. Dan kelihatannya Marcia benar. Rachel berhenti mengaduk minumannya. Matanya menatap
Marcia penuh rasa ingin tahu. Senyum mengembang di bibirnya.
"Ada gosip apaan?" tanya Rachel.
Rhea juga menatap Marcia penasaran. Kalau urusan gosip, Marcia memang salah satu sumber
terpercaya yang sanggup menampung berbagai macam informasi baru dari sekelilingnya. Jarang
sekali gosip yang keluar dari mulut Marcia nggak terbukti kebenarannya, bahkan biasanya gosip
bisa berubah jadi fakta kalau sudah di tangan Marcia.
"Lo tau Felix, nggak?" tanya Marcia.
"Felix?" Rhea dan Rachel malah balik bertanya untuk memastikan nama yang mereka dengar
dari mulut Marcia. "Iya, Felix.... Itu lho... Yang ganteng itu!" jawab Marcia.
"Oooh... Felix anak 3 IPS 3..," kata Rhea begitu berhasil mengingat makhluk yang dimaksud
Marcia. "Gue tau! Anak basket yang tinggi, kulitnya bersih, hidungnya mancung, en rambutnya di-spike,
kan" Itu sih pangeran impian gue..," cerocos Rachel yang diikuti cibiran Marcia.
"Yang pasti nih, kemaren sore Lola nembak Felix di lapangan basket," kata Marcia.
Mata Rachel langsung melotot mendengar berita itu. Mulutnya terbuka lebar. Tampaknya dia
benar-benar kaget mendengar gosip satu ini.
"Lola?" Rhea mencoba memastikan pendengarannya. "si kutu buku dari kelas 1 B itu?"
Marcia mengangguk sambil tersenyum puas karena gosipnya kali ini berhasil membuat kedua
sobatnya itu terkejut. "Ah, bohong lo!" kata Rachel begitu bisa menguasai rasa kagetnya.
"Kapan sih gosip dari mulut gue pernah salah?" Marcia tampak tersinggung mendengar Rachel
bilang dia bohong. Rachel dan Rhea terdiam. Susah memercayai gosip itu, soalnya Lola tuh kutu buku berat. Setiap
hari yang jadi tempat favoritnya adalah kelas dan perpustakaan. Selalu ada buku tebal di depan
matanya yang berkacamata tebal itu. Rasanya mustahil kalo cewek seperti dia berani nembak
cowok, apalagi kakak kelas yang jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Tapi... Nggak mungkin
juga Marcia berbohong. "Gue nggak bohong kok. Gue liat kejadian itu kemarin dengan mata kepala gue sendiri, pas gue
baru selesai rapat majalah sekolah." kata Marcia begitu dilihatnya keraguan di mata Rhea dan
Rachel. "Cerita dong!" todong Rachel segera.
"Begini.... Kemarin selesai rapat, gue langsung balik sama anak-anak lain. Kami lewat lapangan
basket. Tapi ada pemandangan aneh yang menarik perhatian kami. Lola lagi nge-shoot bola ke
ring basket diiringi sorakan anak-anak cowok yang saat itu memang lagi main basket. Felix
berdiri di samping Lola. Setelah gue usut, ternyata Lola nekat nembak Felix pas cowok itu lagi
main basket. Felix sih nggak langsung nolak. Dia bilang, kalo Lola berhasil masukin lima bola
ke ring dari sepuluh kesempatan yang dia kasih, dia bersedia jadi pacar Lola," jelas Marcia.
"Apa"! Masa sih segampang itu!" seru Rachel tak percaya.
"Kalo menurut elo yang jago basket, itu jelas gampang. Tapi ini kan Lola. Nggak ada satu pun
tembakan yang masuk. Lola sampe nangis," lanjut Marcia.
"Trus, Felix-nya gimana" Lola pasti malu banget," Rhea ikut nimbrung.
"Pasti malu lah! Ditonton banyak orang gitu. Tapi Felix emang top. Dia malah ngerangkul Lola
dan bilang, kita berteman aja ya," lalu Felix ngajak Lola duduk sama teman-temannya yang lain
dan berusaha bikin Lola tersenyum lagi. Gila... Baek banget kan tuh cowok," jelas Marcia.
"Ya ampun! Beruntung banget si Lola. Ditolak tapi masih dapat bonus rangkulan mesra,"
komentar Rachel yang jelas iri mendengar cerita Marcia.
Dasar penggosip ulung, Marcia nggak puas kalau belum cerita sampai tuntas. "Lo tau kenapa
Lola nekat nembak Felix kemarin "''
"Kenapa?" Rachel jadi penasaran.
"Gara-gara ramalan bintang. Lola baca ramalan bintang hari itu. Katanya dia harus nembak
cowok yang disukainya hari itu juga di lapangan terbuka..'' Marcia tertawa ngikik.
"Apa"!" Rhea dan Rachel berseru bersama.
"Nggak masuk akal deh. Anak kutu buku gitu masih percaya sama ramalan bintang?" komentar
Rhea. Mereka bertiga akhirnya tertawa terbahak-bahak. Sebenernya agak jahat sih, ngetawain temen
sendiri. Tapi mau gimana lagi" Emang lucu sih!
Suara bel kemudian menghentikan tawa mereka. Mereka kembali ke kelas sambil terus bercanda.
"Ntar pulang sekolah lo berdua temenin gue dulu ya!' seru Rachel tiba-tiba, membuat langkah
kedua sobatnya terhenti. "Ke mana?" tanya Rhea.
"Lapangan basket," jawab Rachel tersenyum genit.
"Ngapain?" tanya Rhea lagi.
"Mau coba peruntungan nasib buat nembak Felix, ya?" tebak Marcia.
"Tepat! Siapa tau gue di suruh nge-shoot bola juga. Gue jamin, kola itu persyaratannya, Felix
bakal jd milik gue," kata Rachel pede.
"Hahaha! Rachel... Rachel... Felix tuh nyuruh Lola nge-shoot bola karena dia tau Lola nggak
bisa main basket." Marcia tertawa geli mendengar ucapan Rachel!
"Masa sih?" Rachel nggak percaya sama omongan Marcia.
"Gue rasa, kalo nanti elo nekat nembak Felix, cowok itu bakal nyuruh lo melakukan sesuatu
yang berbeda dari Lola," kata Marcia lagi.
"Apa tuh?" "Ngerjain sepuluh soal fisika di hadapan Pak Yo. Satu aja jawaban lo ada yang benar, gue jamin
Felix jadi milik lo," jawab Marcia.
"FISIKA!" NO way!" seru Rachel manyun. Rhea dan Marcia tertawa ngakak melihat ekspresi
wajah Rachel. "Kalo gitu elo harus ngerelain Felix lo itu," kata Marcia di sela-sela tawanya.
"Eh, enak aja..!" rajuk Rachel manja. Rhea dan Marcia tertawa makin keras.
"Hei, kalian bertiga!" suara bentakan dari belakang membuat ketiga cewek itu terlonjak kaget.
"Eh, Bu Nur..," kata Marcia begitu melihat sosok guru bahasa inggris mereka.
"Mau ngajar ya, Bu"' tanya Rachel basa-basi.
"Benar.. Di kelas 1 D," jawab Bu Nur tegas.
"Lho, itu kan kelas kami, Bu," kata Rachel gugup. Keasyikan ngobrol, mereka sampai lupa
pelajaran beriktnya. "Memang! Karena itu sedang apa kalian berdiri disini" Bel sudah berbunyi lima menit yg lalu!
Kembali ke kelas!" Bentak bu Nur.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rhea, Rachel dan Marcia cepat-cepat berlari ke kelas mereka,


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan Bu Nur yang masih bertolak pinggang marah.
"Mampus deh! Kalo Bu Nur lapor Bokap, gue bisa dapet ceramah 2 jam nih"," Ratap Rhea
memelas. Rachel dan Marcia cuma bisa nyengir mendengar ucapan Rhea. Kali ini mereka nggak
bisa berbuat apa-apa untuk menolong Rhea.
BAB 2 "GIMANA, Rhe" Bu Nur ngelapor ke bokap lo, nggak?" tanya Marcia di telepon sore itu.
"Ngelapor dengan selengkap-lengkapnya. Bukan cuma soal telat masuk kelas, tapi juga masalah
ulangan yang tadi dia bagikan," jawab Rhea dongkol.
"Lho, bagus donk! Elo kan dapet 85. Bokap lo pasti seneng."
"Marcia, kita ini lagi ngomongin bokap gue. Bagi bokap gue, angka yang sempurna tuh 100.
Nilai 85 ya masih kurang."
"Masih kurang" Gemana gue dong yang cuma dapat 75?"
"Tau ah! Yang pasti kuping gue sampai sakit dengerin pidato bokap."
"Malang banget nasib lo, Rhe."
"Bener banget. Dan lo tau nggak, bokap gue berniat nyariin gue guru les privat."
"Apa?" "Gue bakal tambah stres deh dengan kehadiran guru les itu."
"Ya ampun! Bokap lo itu nggak ada puasnya ya. Elo kan dari SD selalu ranking satu. IQ lo juga
jauh di atas rata-rata. Nilai ulangan lo nggak pernah di bawah 80. Apa sih yang kurang dari otak
lo?" "Bokap tuh mau gue bisa masuk perguruan tinggi negeri, atau kalau bisa dapat beasiswa buat
ngambil S1 di luar negri."
"Yah... Tapi nggak usah sampai maksa elo belajar terus dong! Elo kan juga butuh menikmati
masa remaja lo." "Tau nggak komentar bokap waktu gue mencoba menyampaikan isi hati gue seperti yang lo
bilang tadi?" "Apaan?" "Terlalu banyak bersenang-senang di masa muda bakal menuai sengsara di masa tua. Gitu
katanya. Sebenarnya sih, kalo gue bisa ngatur waktu, gue masih sempat memperluas pergaulan
gue. Itu kata bokap gue juga. Selanjutnya, gue kembali mendengarkan siaran ulang perjalanan
panjang bokap gue dalam meraih kedudukannya sekarang sebagai kepala sekolah."
"Hahaha!" Marcia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus ya, lo ketawa di atas penderitaan orang lain," sahut Rhea kesal. Kalau saja Marcia ada di
situ, bantal yang ada di tangan Rhea pasti akan melayang ke muka Marcia detik itu juga.
"Sorry, Rhe. Gue nyerah deh kalo udah menyangkut bokap lo." kata Marcia sambil terus tertawa.
Rhea tambah kesal mendengarnya. Mau nggak mau dia kembali meratapi nasibnya yang malang.
"Eh, udahan dulu, Rhe. Nyokap gue manggil." Marcia menghentikan tawanya.
"Ya udah," jawab Rhea masih sebal.
"Kalo guru lesnya cakep, gue ikutan les, ya," goda Marcia sebelum menutup telepon.
"Sialan lo!" Rhea tambah sebal lagi. Ia lalu meletakan gagang telepon sambil menggerutu.
Tampaknya Rhea nggak sadar Reva sudah berdiri di belakangnya.
Rhea masih terus menggerutu di bawah tatapan Reva yang geli melihat ekspresi adik semata
wayangnya ini. "Kamu ngapain marah-marah sendiri?" tegur Reva, membuat Rhea terlonjak kaget.
"Lho mbak udah pulang" kok Rhea nggak tahu mbak masuk?" Rhea mengelus-elus dada.
Jantungnya berdetak lebih cepat karena teguran Reva barusan.
"Kamu sih keasyikan ngobrol sampai-sampai mbak pulang nggak tau," kata Reva lalu berjalan
menuju dapur. "Si Marcia nyebelin sih, makanya Rhea jadi terlalu konsentrasi ngobrolnya..," Rhea membela
diri. Ia membereskan keripik dan buku-buku pelajarannya yang bertebaran di meja.
"Mama mana, Rhe?" tanya Reva dari dapur dengan volume suara tinggi.
"Pergi sama Papa ke rumah Oom Rido. Katanya sih mau jenguk anaknya Oom Rido yang baru
keluar dari rumah sakit karena demam berdarah," jawab Rhea dengan suara nggak kalah keras.
"Pantes kamu berani belajar di sini, bukannya di kamar. Udah gitu pake acara makan keripik
sampai berantakan begini, lagi..." Reva kembali muncul di depan sang adik dengan segelas sirop
di tangan. Ia duduk di samping Rhea lalu mulai membolak-balik majalah yang baru
dikeluarkannya dari tas. "Majalah baru ya, Mbak?" Rhea melirik majalah yang di pegang Reva.
Reva hanya mengangguk. "Mbak, Rhea bikin kasus lagi nih sama Papa..." Rhea mencoba mengalihkan perhatian Reva dari
majalahnya. Reva berhenti membolak-balik majalah dan menatap Rhea heran. "Kasus apaan?" tanyanya.
dahinya mengerut saat menatap wajah adik kesayangannya itu.
"Ulangan Bahasa Inggris Rhea cuma dapat 85. Terus, tadi di sekolah Rhea dan teman-teman
ditegur guru gara-gara telat masuk kelas sehabis istirahat."
Reva menghela napas begitu mendengar penuturan Rhea. Ia mengambil gelas siropnya dan
meminumnya beberapa teguk.
"Rhe, kamu tuh nekat ya! Udah tau Papa itu orangnya keras, masih berani-beraninya kamu telat
masuk kelas," ujar sang kakak seraya meletakan gelas di meja.
"Itu gara-gara keasyikan ngobrol. Lagian Rhea kan cuma telat lima menit..," ujar Rhea membela
diri. "Trus, gimana reaksi papa?"
"Papa mau nyuruh mbak cariin guru les buat Rhea," jawab Rhea dengan wajah memelas.
Reva menggelengkan kepalanya. Ia akui, Papa terlalu keras dalam mendidik anak-anaknya. Dari
kecil dia dan Rhea nggak pernah menikmati masa bermain dengan bebas. Belajar harus prioritas
utama. Jadwal nonton TV juga diatur papa. Mereka nggak boleh nonton acara TV sesuka hati,
cuma boleh nonton yang bertema pendidikan. Beruntung sekali cita-citanya sesuai dengan
kehendak Papa. Kalo nggak, pasti dia terpaksa merelakan cita-citanya untuk menuruti keinginan
Papa. Papa memang terlalu otoriter. Mungkin ini pengaruh pola asuh keras yang ditanamkan
pada diri papa oleh kakek. Terlebih lagi masa sulit yang harus Papa alami sewaktu muda pasti
telah membuat Papa ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik. Meskipun begitu, di mata mereka
Papa tetap sosok ayah yang baik dan penyayang. Mereka sangat mengerti bahwa apa yang Papa
lakukan ini untuk kebaikan mereka. Lagi pula masih ada Mama yang siap membela kalau
kerasnya Papa sudah keterlaluan. Biasanya sih kalau Mama sudah keluar suara, Papa pasti nurut.
"Mama setuju dengan rencana Papa"' tanya Reva. Rhea mengangguk bibirnya manyun saat
menjawab pertanyaan Reva.
"Wah.. Kalau Mama udah setuju, Mbak nyerah deh," kata Reva seraya mengangkat kedua
tangannya. "Yah.. Mbak bantuin Rhea bujuk papa dong untuk membatalkan rencana pencarian guru les
itu...," rayu Rhea sambil menarik-narik lengan baju Reva, persis seperti anak kecil.
"Kamu tau Papa, kan" Kalo papa udah memutuskan, nggak akan ada yang bisa mengubahnya.
Apalagi mama juga setuju..."
"Tapi kan masih ama Mbak yang belum menyumbangkan suara dalam penarikan keputusan itu."
"Apalah arti suara Mbak buat Papa, Rhe?"
Dia ngerti banget maksud kata-kata Reva. Separtinya hari-hari depannya akan bertambah suram
lagi. Ia akan punya waktu tambahan di rumah. Ia harus belajar dengan guru lesnya, sementara
teman-temannya asyik nonton TV, jalan-jalan, atau bahkan pacaran. Rhea tahu, mbak Reva tidak
bisa menyelamatkannya. Cepat atau lambat, rencana papa pasti akan terlaksana.
"Udahlah... jangan bete gitu dong! Mbak janji akan mencarikan kamu guru les yang ganteng dan
masih muda." Reva berusaha membujuk adiknya yang kelihatan mulai ngambek.
Rhea diam saja. Ia merapikan buku-bukunya lalu membawanya meninggalkan Reva. Tanpa
menghiraukan panggilan kakaknya, Rhea terus berjalan menuju kamarnya. Ia meratapi nasibnya
yang malang. Tanpa guru les saja hidupnya sudah begitu membosankan, apalagi kalau ditambah
guru les. Rhea menutup pintu kamarnya dengan agak keras. Diletakannya buku-bukunya di meja, lalu
direbahkannya tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit. Rhea nggak tahu
apalagi yang harus dipikirkannya. Rasanya di dalam otaknya terdapat benang kusut yang susah
diuraikan kembali. Selang beberapa menit kemudian, Rhea sudah melayang menuju alam mimpi dengan membawa
benang kusut di dalam otaknya.
*** Rhea duduk di kelas tanpa semangat. Ia lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di kelas
dari pada ke kantin bersama kedua sahabatnya lalu terlambat masuk kelas lagi.
"Nih, pesanan lo!" Marcia memberikan teh botol buat Rhea.
"Cepet banget lo ke kantin. Ngga ngegosip dulu!" Rhea mengambil teh botol dari tangan Marcia.
Marcia duduk di samping Rhea tanpa menjawab pertanyaan sobatnya itu. Ia asyik menikmati
tahu goreng. "Rachel mana?" tanya Rhea.
"Di lapangan basket. Nonton anak cowo kelas tiga yang lagi main," jawab Marcia dengan mulut
penuh makanan. "Eh iya, bokap lo jadi nyari guru les buat lo?" tanya Marcia masih dengan mulut
penuh makanan. "Jadi. Kemarin pas makan malam bokap udah minta mbak Reva segera mencarinya," jawab Rhea
setengah hati. Rasanya kesal sekali kalau mengingat hal itu kembali.
Belum sempat Marcia bicara lagi, terdengar suara cowok dari luar kelas.
"Rhea..!" panggil cowok bersuara ngebas itu berulang kali sampai akhirnya terlihat juga batang
hidungnya di muka kelas. "Elo yang manggil-manggil gue, Tet?" tanya Rhea begitu melihat sosok yang memanggilnya
sejak tadi, si Betet. "Hehehe..." yang ditanya malah tertawa. Rhea dan Marcia saling pandang karena heran. Apanya
yang lucu" Kenapa ketawa" Apa ada yang aneh"
"Gue cuma mau bilang, nanti ada rapat OSIS, Rhe," kata Betet yang sekarang malah senyumsenyum sendiri.
"Rapat apaan?" tanya Rhea.
"Mau bahas something important," jawab Betet setengah berbisik.
Dahi Rhea berkerut heran. Ketua OSIS yang satu ini memang rada aneh. Nama aslinya sih
Johannes Putra Leksono Cahya. Betet itu nama julukan dari teman-teman karena hidungnya yang
besar seperti paruh burung betet.
"Oke deh. Segitu aja short message delivery service dari gue. Jadi jangan sampai lupa ya," kata
Betet lalu segera meninggalkan kelas Rhea.
"Sampai sekarang gue masih, heran. Kenapa anak-anak yang always jayus itu terpilih jadi ketua
OSIS, ya?" celetuk Marcia begitu Betet menghilang dari pandangan mereka.
"Dia emang rada aneh, tapi idenya selalu inovatif lho, Mar..."
Marcia menatap Rhea. Wajahnya tampak ketakutan. "Rhea... Lo jangan sampai jatuh cinta sama
cowok aneh itu, ya. Dia cuma akan menambah suram kehidupan lo."
Rhea melongo mendengar ucapan Marcia. Sedetik kemudian, sebuah jitakan keras mendarat di
ubun-ubun Marcia. "Adauw!" jerit Marcia.
"Lo gila ya" Siapa yang jatuh cinta sama Betet..." Rhea tidak memedulikan jerit kesakitan
Marcia. "Habis, elo ngebelain dia sih!" sahut Marcia sambil mengelus ubun-ubunnya yang sakit.
"Gue kan cuma memberi penilain tentang dia, bukan ngebelain...," balas Rhea.
"Yah... Gue kan bermaksud baik. Gue cuma ngingetin elo aja kalo cowok di dunia tuh masih
banyak. Jangan sampai salah pilih..."
Tangan Rhea sudah ingin melayangkan satu jitakan lagi ke ubun-ubun Marcia, tapi suara bel
menyelamatkan cewek itu. Marcia buru-buru kembali ke tempat duduknya sebelum Rhea berhasil melancarkan serangan
keduanya. *** "Pa, Rhea ada rapat OSIS. Papa bisa nunggu Rhea sebentar, nggak?" saat itu Rhea sedang duduk
di ruang kepala sekolah. Bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Marcia dan Rachel sudah pulang lebih dulu.
"Papa nggak bisa nungguin kamu. Papa udah janji sama Mama mau nganter mama ke dokter
gigi" jawab papanya sambil membereskan surat-surat yang ada di mejanya.
"Lho, emangnya mama sakit gigi?" tanya Rhea heran.
"Nggak. Mama cuma mau nambal giginya yang berlubang."
"Jadi Rhea nggak ikut rapat OSIS dong."
"Ikut saja. Tapi setelah selesai rapat kamu harus segera pulang."
"Rhea boleh pulang sendiri, Pa?"
"Memangnya kamu nggak bisa pulang sendiri?"
"Bisa.. Bisa..," buru-buru Rhea menjawab.
Hatinya begitu gembira. Baru kali ini papa mengizinkan dia pulang sekolah sendiri. Biasanya
pasti harus sama-sama papa. Pasti ini karena papa terlanjur janji sama Mama. Papa kan orang
yang nggak pernah ingkar janji. Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini. Pokoknya harus
dimanfaatkan sebaik mungkin.
Rhea keluar dari ruang kepala sekolah dengan senyum merekah. Suara ramai anak-anak yang
berceloteh riang sudah terdengar dari ruang OSIS. Sepertinya rapat sudah dimulai. Rhea segera
mempercepat langkahnya. "Dari mana aja lo, kok baru nongol?" tegur Betet. Cowok itu berdiri di depan ruangan,
memimpin jalannya rapat. "Sori. Gue ada sedikit keperluan tadi," jawab Rhea sambil tersenyum kecil lalu menempatkan
diri di bangku kosong yang ada di sebelah Luna, si bendahara OSIS.
"Ya udah kalo gitu. Besok proposal kegiatan udah harus lo serahin ke gue. Jangan sampai lupa!"
Betet mengingatkan. "Tunggu dulu. Proposal apaan nih?" Rhea terkejut dan heran. Baru saja masuk ruang rapat sudah
ditugaskan membuat proporal.
"Oh iya. Elo kan belum tau ide terbaru gue.." sambil cengar-cengir, Betet menggaruk-garuk
kepalanya yang nggak gatal.
"Kita mau cari dana, Rhe, buat pemasukan untuk kas OSIS," celetuk Luna.
"Tepat. Dan ide pencarian dana ini berasal dari si kreatif Johannes Putra Leksono Cahya.." Betet
menepuk dadanya bangga. Semua anggota OSIS langsung menatap ke arah Betet sambil menggelengkan kepala dan
menghela napas panjang. Dalam hati mereka heran, kok bisa cowok itu kepilih jadi ketua OSIS"
"Memang ide apaan sih?" tanya Rhea penasaran.
"Jualan bunga mawar plastik dan message in the bottle. Setiap anak yang berminat bisa memesan
ke panitia. Selain membayar sesuai harga, setiap pemesan juga boleh menyapaikan pesan
mereka. Nanti panitia yang nyiapin botol dan menulis di kartu ucapan," jelas Luna.
"Setelah itu barang pesanan akan diserahkan ke pada orang yang dituju pada hari yang di
tentukan oleh si pemesan," kata Nathan yang duduk di bangku paling depan, melanjutkan
penjelasan Luna. Rhea mengangguk berulang kali, lalu berkata, "Jadi begini, misalnya gue pesen bunga untuk
Marcia, nanti gue kasih tau pesan apa yang harus ditulis di kartunya ke panitia. Bunga itu
diserahkan ke Marcia pada waktu yang ditentukan, bersama dengan pesanan-pesanan lainnya.
Begitu kan" "Pinter! Itu ide yang gue sampaikan tadi," jawab Betet tersenyum puas.
"Tapi itu sih lebih cocok diadakan pas Valentine," kata Rhea.
"Lho, tapi kan tetap sesuai tema yang gue berikan.." Betet berusaha mempertahankan ide
cemerlangnya itu. "Memang apa temanya?" tanya Rhea lagi.
"Everyday is Valentine's Day. Tema yang asli basi banget," Rico, yang duduk di sebelah Nathan,
menyerobot jawaban Betet.
Rhea berusaha menahan tawa melihat ekspresi wajah Rico yang tampaknya nggak suka banget
dengan tema yang di sampaikan Betet. Dan sepertinya bukan hanya Rico yang nggak suka sama
tema itu, melainkan semua nggota OSIS yang sekarang menunjukkan wajah jijik. Tapi anehnya,
nggak satu pun dari mereka menolak usulan tema itu. Mungkin mereka nggak punya tema lain
yang lebih cocok untuk kegiatan pencarian dana ini. Akhirnya, mau nggak mau semua
menyetujuinya walaupun dengan sangat terpaksa.
Rapat OSIS sudah selesai, namun Rhea masih enggan pulang ke rumah. Ia memilih duduk-duduk
di bangku dekat lapangan basket, menikmati saat-saat tenang tanpa tekanan dan gangguan dari
siapapun. Sudah lama sekali Rhea nggak merasakan suasana seperti ini.
Rhea duduk santai sambil membaca novel remaja yang dibawanya setiap hari. Kalau di rumah, ia
nggak akan punya waktu untuk membaca novel itu sampai selesai. Soalnya kalau sampai
ketahuan papa, pasti ia celaka. Papa nggak pernah mengizinkan Rhea membaca novel. Kata
papa, buku seperti itu hanya menawarkan mimpi bagi pembacanya. Makanya, novel yang di
pinjamnya dari Marcia sejak sebulan yang lalu itu belum selesai dibacanya sampai sekarang.
Hanya dalam waktu lima menit, Rhea sudah tenggelam dalam novel yang dibacanya. Karena
begitu terhanyutnya ia dalam cerita di dalam novel itu, ia sampai nggak menyadari ada orang
yang berdiri di hadapannya dan asyik memperhatikannya.
"Halo....," sapa orang itu sambil memainkan bola basket yang ada di tangannya.
Rhea terlonjak kaget. Buru-buru ditutupnya novelnya.
"Elo Rhea Athena anak kelas 1 D, ya" Anaknya kepala sekolah?" tanya orang itu yang ternyata
makhluk yang disebut cowok.
Rhea mengangguk pelan. Dia kenal cowok ini. Namanya Felix, gebetannya Rachel, dan jadi
idola cewek-cewek sekolah ini. Cowok ini juga yang baru-baru ini ditembak Lola, cewek kutu
buku dari kelas 1 B. "Kenalin gue Felix, anak 3 IPS 3," cowok itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan
kanannya. Bola basket dipeluknya dengan tangan kiri.
Ragu-ragu Rhea menyambut uluran tangan Felix. Mimpi apa ya gue semalam" Rasanya nggak
mimpi yang aneh-aneh deh. Lalu, kenapa hari ini gue bisa berhadapan sama cowok paling beken
di sekolah" Diajak kenalan pula. Padahal selama ini nggak ada cowok yang berani deketin gue
karena takut sama papa. Atau jangan-jangan selama ini Felix diam-diam naksir gue, dan karena
dia tahu papa udah pulang, dia nekat deketin gue. Ih, Rhea! Ko elo jadi ke-GR-an begini sih,"
"Hei, kok bengong" Gue ganggu, ya?" teguran Felix membuyarkan lamunan Rhea yang mulai
menjadi liar. "Eh, nggak kok," buru-buru Rhea menjawab.
"Kalo gitu, boleh dong gue duduk di sebelah lo."
"Oh, silakan...silakan." dalam hati Rhea senang, tapi ia nggak bisa menyembunyikan rasa
gugupnya. Felix duduk di sebelah Rhea. Tangannya kembali memainkan bola basket yang sedari tadi
pegangnya. Rhea jadi salah tingkah. Ini pertama kalinya Rhea duduk sedekat ini sama anak
cowok. Kalau ini mimpi, Rhea sungguh berharap jangan ada yang membangunkannya dulu.
"Kok elo duduk sendirian" Biasanya selalu bertiga." ups! Ternyata Felix tahu Rhea selalu


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama Rachel dan Marcia. Berarti benar dong, Felix diam-diam sering memerhatikannya.
"Mmm.., gue baru selesai rapat OSIS. Mereka kan bukan anggota OSIS."
"Oooh... Rapat OSIS. Trus, anak-anak yang lain mana" Elo nggak pulang bareng bokap lo?"
"Mereka udah pada pulang duluan. Bokap gue juga ada keperluan, jadi harus pulang lebih dulu."
"Jadi elo sendirian dong?"
"Iya." "Lagi baca apaan sih tadi?"
"Novel cewek." "Novel cewek" Emang apa bedanya novel cewek sama novel cowok?"
"Nggak... Ng.. Bukan begitu. Maksud gue, novel cewek tuh novel remaja yang biasanya jadi
bacaan anak cewek." Tiba-tiba Felix merebut novel dari tangan Rhea. "Oh, Fairish. Kalo ini sih gue udah baca. Bagus
kok ceritanya. Nggak cengeng," komentar Felix sambil mengembalikan novel itu pada Rhea.
"Elo udah baca?" Rhea menatap Felix dengan pandangan nggak percaya.
Felix mengangguk. "Iya. Adik gue yang cewek koleksi buku-buku semacam itu. Gue pernah
iseng baca salah satu koleksinya itu. Kebetulan buku yang gue baca itu sama dengan buku yang
ada di tangan lo. Dan menurut gue it's not bad."
Mata Rhea menatap Felix nyaris nggak berkedip. Cowok ini asli langka. Rhea belum pernah
melihat cowok yang dengan asyiknya bercerita bahwa dirinya salah satu penggemar novel
remaja seperti ini. Sangat langka dan tampaknya perlu dilestarikan.
"Hei, emangnya ada yang aneh di muka gue" Ada yang salah, Rhe?"
"Eh... nggak. Nggak kok."
"Elo belum mau pulang" Nanti dicariin lho, sama orang rumah."
"Eh... iya." "Gue anterin sampai rumah, ya?"
"Nggak.. nggak. Nggak usah."
"Nggak apa-apa kok. Gue anterin, ya?"
"Eh, tapi.." "Udah... jangan nolak. Please..."
Rhea terpana dan jadi makin salah tingkah. Felix mau mengantarnya pulang. Mana mungkin dia
nolak dan membuang kesempatan ini" Tapi...
"Mau, ya ?" Felix terus membujuk Rhea.
Akhirnya Rhea mengangguk. Luluh juga dia, melihat senyum memelas kian menggoda yang
tersungging di bibir Felix.
"Kalo gitu, sekarang yuk!" Felix tersenyum puas lalu bangkit dari duduknya dan membawa tas
Rhea. Dan lagi-lagi, Rhea nggak kuasa menolak kebaikan hati Felix.
*** Papa, Mama, Reva, dan Rhea duduk mengelilingi meja makan menikmati makan malam. Hari ini
Mama memasak makanan rebusan semua. Pasti ini karena Mama baru pulang dari dokter gigi
dan dilarang dokter makan yang keras-keras.
"Gimana gigi mama" Ada yang ditambal?" tanya Rhea pada mama sambil mengambil sendok
sup sosis dan menuangkannya ke atas piring sendiri.
"Ada. Tapi dua hari lagi harus kembali ke dokter."
Rhea mengangguk tanda mengerti. Ia sekarang lagi asyik menikmati ayam rebus kegemarannya.
Tapi pertanyaan Papa mendadakan membuat Rhea kehilangan nafsu makan.
"Kamu pulang sama siapa tadi siang, Rhe?" suara papa yang serak membuat pertanyaan singkat
itu terasa menakutkan buat Rhea.
"Mmm.. Sama.. Sama teman, Pa," jawab Rhea gugup.
"Siapa namanya" Anggota OSIS" Anak kelas berapa dia" Perempuan, kan?" tanya papa
beruntun, membuat jantung Rhea berdegup semakin kencang.
Papa pasti marah besar jika tahu Rhea pulang diantar anak cowok. Apalagi naik motor. Tapi...
Masa Rhea harus bohong sama Papa" Seumur-umur Rhea belum pernah berbohong pada kedua
orangtuanya. Tapi kalau Rhea jujur, apa papa mau terima" Padahal Felix kan sudah berbaik hati
mau mengantarnya pulang. Bagaimana kalau papa sampai menskors Felix gara-gara nekat
mengantar Rhea pulang mnaik motor tanpa seizin Papa" Aduh, apa mungkin bakal separah itu"
Tapi nggak ada yang mustahil untuk orang seperti Papa. Jadi gimana dong"
"Rhea, kok pertanyaan Papa nggak dijawab?" tanya Mama, membuat Rhea tambah panas-dingin.
"Tadi Rhea pulang diantar teman cowok, Pa." akhirnya malaikatlah yang memenangi
pertempuran seru dalam batin Rhea. Nyaris berbisik.
Sesuai dugaan Rhea, wajah papa langsung berubah jadi merah padam begitu mendengar jawaban
putrinya. Bahkan Mama dan Reva pun terdiam.
"Siapa teman yang kamu maksud itu, Rhe?" tanya Papa. Suaranya yang serak jadi terdengar
semakin serak karena menahan marah.
"Felix, Pa. Dia anak kelas tiga," jawab Rhea pelan.
"Felix, anak yang sama sekali nggak tahu aturan itu"!" Papa berteriak marah.
"Pa.." Mama berusaha menenangkan papa.
"Kenapa kamu bisa pulang diantar dia" Mau jadi perempuan apa kamu" Setahu papa dia
berangkat sekolah naik motor, berarti kamu pulang diantar naik motor, kan?"
Rhea mengangguk pelan. Kepalanya menunduk menatap kaki meja makan.
"Rhea berarti kamu naik motor tanpa memakai helm?" kali ini Mama bertanya.
"Iya, Ma.." Rhea mengangguk pelan.
"Papa melarang kamu bergaul dengan anak laki-laki itu. Dia itu nggak bisa dipercaya, pengecut,
dan nggak tahu aturan! Kalau papa sampai tahu kamu masih berteman dengannya, Papa akan
bertindak lebih keras terhadap kamu!" bentak papa.
Ingin rasanya Rhea berteriak, membalas semua makian papa. Tapi Rhea nggak bisa. Ia tahu,
semakin ia berani melawan papa, maka papa akan semakin marah. Padahal jelas Rhea nggak
terima papa marah-marah seperti ini. Apalagi pakai acara menjelek-jelekan Felix segala. Papa
tahu apa sih tentang Felix" Felix itu baik banget kok. Sama sekali berbeda dengan makian papa
tadi. Papa nggak punya alasan, juga nggak punya hak untuk menjelek-jelekan cowok sebaik
Felix. "Rhea... maksud papa tuh baik. Papa dan mama nggak mau kamu salah pergaulan. Lagi pula
sangat berbahaya kalau kamu naik motor tanpa memakai helm walaupun jarak yang ditempuh
nggak jauh, kamu ngerti kan sayang?" suara mama yang lembut berusaha menetralkan atmosfir
tegang yang memenuhi ruang makan.
Rhea cuma bisa mengangguk. Saat ini, hati dan otaknya penuh rasa marah pada papa. Rhea muak
dengan kerasnya papa yang selalu merasa dirinya paling benar. Nafsu akan Rhea jadi hilang.
"Sabar ya Rhe.." bisik Reva pada Rhea yang duduk di sebelahnya.
"Reva.. Papa minta besok kamu sudah mendapatkan guru les untuk Rhea. Adikmu itu perlu
belajar lebih serius lagi agar dia nggak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak yang nggak
mengerti tata krama," pinta papa dengan nada tegas yang lebih berkesan sebagai perintah dari
pada permintaan. "Reva usahakan, Pa," jawab Reva dengan sopan dan manis.
Dibandingkan Rhea, Reva memang lebih pintar mengambil hati orangtua mereka. Karena itu
sejak dulu Rhea selalu menganggap kakaknya itu dianakemaskan papa dan mama. Tapi Rhea
nggak bisa iri ataupun membenci kakaknya itu, karena Reva selalu baik dan memanjakan
dirinya. Reva selalu berusaha melindunginya dari kerasnya papa. Saat Rhea lagi kesel sama
papa, Reva pasti hadir sebagai ibu peri buat Rhea, kemudian menyiapkan seribu satu lelucon
yang kadang sama sekali nggak ada lucu-lucunya demi menghibur Rhea. Dan akhirnya, Rhea
merasa Reva memang layak menjadi "anak emas" di keluarga ini.
Tangan kanan Rhea menyendok nasi dengan marah dan memaksa diri untuk menelan nasi. Rhea
benar-benar dongkol sama papa dan seisi rumah ini. Gue benci sama semuanya!
*** Rhea duduk di depan komputernya yang ada di pojok kamarnya, di depan jendela yang tertutup
rapat oleh gorden biru muda berpola bola-bola kecil. Ia masih kesal dengan peristiwa di meja
makan tadi. Tapi ia nggak bisa terus ngedumel seorang diri karena masih harus membuat
proposal OSIS yang sudah dibicarakan saat rapat tadi siang. Terlebih lagi proposal itu harus ia
serahkan pada Betet besok pagi.
Rhea mulai mengetik lembar demi lembar. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard.
Membuat proposal bukan hal asing buat Rhea karena sejak SMP ia sudah terlatih membuat
proposal. Soalnya, setiap ada kegiatan, dia selalu kebagian jabatan sebagai sekretaris. Nggak
pernah jabatan lain. Makanya, dia hafal banget format pembuatan proposal yang baik dan benar.
Selang dua puluh menit, proposal itu sudah rapi, berada di dalam map hijau dan siap di serahkan
besok. Rhea mematikan komputernya dan mengambil HP-nya yang ada di meja tempat tidurnya.
HP-nya terbilang sudah ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan HP teman-temannya.
Bentuknya masih besar, warna layarnya masih kuning, masih monofonik, dan hanya bisa
digunakan untuk nelpon dan SMS. Nggak seperti punya teman-temannya yang sudah bisa
digunakan untuk internet, foto, video, MMS, bahkan bisa digunakan sebagai radio dan MP3.
Tapi bagi Rhea, HP-nya ini salah satu benda berharganya, hadiah dari Reva waktu Rhea ulang
tahun yang ke-14. Gara-gara hadiah ini kakaknya dimarahi papa seharian penuh karena dianggap
menghambur-hamburkan uang. Papa juga melarang keras Rhea membawa HP itu ke sekolah
karena dianggap dapat mengganggu konsentrasi belajar. Larangan itu terus berlaku sampai
sekarang. Makanya Rhea cuma perlu menyiapkan dana sebesar RP 50,000,- per bulan untuk
membeli pulsa karena ia jarang menggunakan HP-nya itu. Berbeda dengan Marcia dan Rachel
yang jatah pulsa setiap bulannya minimal Rp 250.000,-.
Rhea membuka fitur message pada HP-nya dan segera menulis pesan untuk Marcia.
Mar, gw pnya info menrk buat elo. Td plng skul, gw dianterin Felix smp rmh.
Pesan terkirim, dan dalam waktu enam puluh detik Rhea sudah menerima balasannya.
Gw call elo skrng jg! ! !
Baru Rhea selesai membaca pesan itu, telepon di ruang bawah berdering nyaring.
"Rhea! Ada telepon dari Marcia!" panggil mama dari bawah.
"Iya, ma! tunggu sebentar!" jawab Rhea, lalu bergegas turun menyambut telepon untuknya.
"Hallo...," sapa Rhea ramah begitu gagang telepon menempel di telinganya.
"Gila, elo diantar Felix sampai rumah Rhe?" Marcia memberondong Rhea dengan pertanyaan
yang menggebu-gebu. "Weits... sabar dong! Nanyanya satu-satu... Begini, gue juga nggak tau kenapa si Felix mau
nganterin gue pulang. Tau-tau dia ngajak gue kenalan, ngobrol, habis itu nganterin gue pulang
deh," jawab Rhea dengan suara pelan. Ia nggak mau ketahuan papa ngobrolin masalah tadi siang
di telepon. Kepala Rhea celingak-celinguk ke segala arah.
Tapi tampaknya dia cukup aman sekarang. Soalnya papa udah masuk ruang kerja, Mama juga
sudah masuk kamar. Reva juga nggak kelihatan lagi batang hidungnya. Berarti Rhea bisa
ngobrol bebas di telepon.
"Suara lo pelan banget sih. Gue nggak kedengeran nih!" protes Marcia.
"Gue nggak bisa ngomong keras-keras. Kalau ketauan bokap, gue bisa runyam," kata Rhea
masih dengan suara pelan.
"Oke.. oke... trus, gimana critanya Felix bisa ngajak lo pulang bareng?"
"Hari ini gue pulang tanpa bokap. Selesai rapat OSIS gue males pulang. Gue duduk-duduk dulu
dekat lapangan sambil baca novel yang gue pinjam dari elo. Tau-tau Felix nongol di depan gue
dan ngajak kenalan."
"Apa" Dia ngajak kenalan duluan?"
"Iya. Emangnya lo kira gue yang kecentilan deketin dia?"
"Hehehe... Bukannya begitu, Rhe. Cuma aneh aja kalo ada cowok yang nekat deketin elo jika
mengingat latar belakang kelurga lo."
"Apa maksud lo dengan latar belakang keluarga gue" Emangnya gue dari keluarga narapidana,
apa?" "Maksud gue bokap lo itu. Anak cowok kan pada takut deketin elo gara-gara Mr. Headmaster
yang sangar itu." "Iya sih. Gue juga bingung pas dia tiba-tiba deketin gue. Mungkin karena dia tahu bokap gue
udah pulang duluan, dia jadi berani deketin gue."
"Mungkin juga. Dan kalau itu benar, berarti Felix diam-diam memperhatikan elo.!"
"Nggak tau deh.."
"Gila! Ini baru namanya hot gossip!"
"Eits, tunggu dulu! Elo jangan coba-coba nyebarin cerita ini ke anak-anak lain ya. Kalau bokap
gue sampai denger, tamat deh riwayat gue."
"Eh iya, sampai lupa. Gimana reaksi bokap lo?"
"Ngamuk berat. Besok deh gue critain detailnya."
"Ya, udah. Gue tunggu cerita lo besok. Bye!"
"Oke.. Bye!" Rhea menutup telepon dan berjingkat-jingkat kaya maling kembali ke kamar. Rhea takut papa
tahu dia sudah menggunakan telepon untuk ngobrol selama lebih dari limabelas menit. Baru saja
Rhea menutup pintu kamarnya, ringtone Toxic nya Britney Spears mengalun dari HP-nya. Buruburu Rhea menyambar HP yang masih tergeletak di tempat tidur.
"Rachel..," desis Rhea membaca identitas penelpon yang tertera di layar. "Ada apa Chel " Tanya
Rhea begitu selesai menekan tombol answer.
"Gila lo! Gimana caranya lo bisa diantar pulang sama yayang Felix gue?"
Marcia ember! Udah diperingatkan untuk tutup mulut masih aja kaya ember bocor.
"Gue juga nggak ngerti gimana caranya. Tau-tau dia menawarkan diri nganterin gue pulang."
"Oh my God. Gue yang setiap hari berdiri di pinggir lapangan melototin dia sampai mata gue
mau keluar, tetep nggak pernah punya kesempatan nyapa dia. Tapi elo.. Oh my God.. It's very
unfair." "lh, Rachel nggak usah segitunya kali.."
"Ya ampun, Rhe. Elo tuh lucky banget, tau!"
"Masa sih" Gue emang seneng ada cowok yang berani ngajak gue ngobrol berdua aja. Tapi
rasanya itu bukan hal yang luar biasa, kan?"
"Bukan cuma luar biasa Rhe, tapi sangat luar biasa karena cowok yang lo maksud itu Marcellus
Felix, cowok paling ngetop di sekolah kita."
"Jangan terlalu hiperbola gitu dong. Gue jadi risi nih."
"Tapi ini memang luar biasa Rhe. Sama sekali bukan hiperbola."
"Whatever deh. Tapi yang pasti elo jangan cerita ke siapa pun ya. Please... soalnya kalo masalah
ini jadi gosip, bokap gue pasti ngamuk berat."
"Bokap lagi bokap lagi.."
"Please, Chel.. "Iya, iya. Gue tutup mulut, tapi ada syaratnya."
"Apa?" "Kenalin gue ke yayang Felix dong."
"Iya.." "Huahaha... Rhea memang my sweetest friend."
"Tapi inget, tutup mulu lo! Oke?"
"Siap, Bos. Udahan dulu ya. Gue mau mimpiin yayang Felix dulu nih dah Rhea!"
"Dah...!" tut..tut...tut... Rhea meletakan HP-nya ke atas meja setelah mengatur alarm HP agar berbunyi seperti biasanya
besok pagi. Diliriknya jam beker yang sekarang berdampingan dengan HP-nya. Sudah jam
21.10. Waktunya mematikan lampu kamar. Hanya tinggal temaram cahaya dari lampu hias
berbentuk hati yang ada di sebelah tempat tidurnya.
Rhea merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Bayangan kejadian hari ini seperti rol film yang di
putar kembali di dalam otaknya. Untuk partama kali dalam hidupnya, Rhea merasa hari yang
dilaluinya sungguh menakjubkan.
Rhea pun larut dalam lamunannya sendiri. Apakah yang terjadi hari ini cuma terjadi hari ini aja!
Apa besok hidup gue bakal ngebetein lagi" Gue happy ada cowok yang berani deketin gue.
Apalagi tuh cowok inceran cewek-cewek satu sekolah. Walau gue kesel banget sama papa yang
udah marah-marah tanpa alasan yang jelas, tetap aja gue nggak bisa mengurangi rasa happy gue
atas apa yang udah terjadi hari ini. Felix.... are you my white knight yang selama ini selalu hadir
dalam angan-angan gue" Apa elo pangeran yang akan membawa gue menuju nageri dongeng
dan menjadikan hidup gue seseru hidupnya Harry Potter" Boleh nggak gue berharap seperti ini"
Pikiran Rhea melayang entah kemana sampai akhirnya matanya pun menutup rapat. Anganangan Rhea pun di bawah oleh peri mungil menuju dunia mimpi, dunia tempat Rhea selalu bisa
menjadi tokoh utama yang menjalani berbagai petualangan seru, yang nggak akan pernah
mungkin dijalaninya di dunia nyata.
*** "Bokap lo ngejelekin yayang Felix Gue seperti itu?" Rachel berseru marah begitu mendengar
cerita lengkap mulut Rhea saat jam istirahat.
Tiga sekawan ini sudah duduk di sudut kiri kantin menikmati soto mie pak Jenggot yang terkenal
kelezatannya. "Rachel, lo nggak usah sampai seheboh itu dong!" tegur Marcia.
"Tapi kepala sekolah kita tuh udah keterlaluan banget. Apa maksudnya dia bilang yayang Felik
gue nggak tau aturan" Jelas Felix paling jago soal aturan. Buktinya, kalo main basket dia nggak
pernah tuh yang namanya walking, double, atau menyalahi aturan-aturan lainnya," Rachel sewot
bukan main. Soto minya hampir tumpah saat dia menggebrak meja untuk melampiaskan rasa
kesalnya. "Rachel, lo mau anak-anak dengerin omongan kita ya"! Lagian kan bukan peraturan seperti itu
yang di maksud bokap gue," protes Rhea saat dirasakannya puluhan mata yang ada di kantin
mulai menatap mereka dengan curiga.
Rachel sudah mau menanggapi protes Rhea, tapi diurungkannya begitu ia melihat sosok
pujaanya berjalan mendekati tempat duduk mereka. Mulut Rachel terbuka lebar, lidahnya terasa
kelu. Rachel menatap sosok yang berdiri di depannya seperti melihat hantu.
Marcia dan Rhea membalikan badan, mencari tahu apa yang telah membuat Rachel mendadak
terdiam dan terpana seperti orang blo'on. Dan sosok yang mereka lihat kemudian hampir
membuat jantung mereka copot.
"Felix..," gumam Rhea dengan tatapan nggak percaya.
"Hai, Rhe. Boleh gabung, nggak?" sapa Felix ramah.
"Bo.. Boleh.," jawab Rhea gugup. Ia jadi salah tingkah karena sama sekali nggak mengira Felix
datang menemuinya. Felix duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Rachel. Mata Rachel tak lepas menatap Felix,
mulutnya masih terbuka lebar.
"Bokap lo marah nggak, Rhe, begitu tau elo diantar pulang sama gue?" Felix memulai
percakapan. "Mmm... Dikit sih," Rhea menjawab ragu-ragu.
"Kalau gitu sori ya... Gara-gara gue, lo jadi diomelin bokap lo."
"Nggak apa-apa kok. Gue yang mesti minta maaf udah nyusahin elo kemarin."
"Nggak nyusahin kok. Tiap hari nganter elo pulang juga it's okay. Gue bersedia kok."
Kata-kata Felix membuat jantung Rhea berdebar kencang. Rhea menundukan kepalanya dalamdalam, karena ia tahu saat ini pasti pipinya memerah seperti tomat. Rhea nggak mau Felix
sampai mengetahuinya. Malu!


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rhe, gue boleh nggak minta nomor HP lo" Kalo nomor rumah lo sih gue udah punya..." Felix
mengeluarkan HP miliknya dari saku celana.
"Boleh..." Saat Rhea menyebutkan nomor HP-nya, jemari Felix dengan cekatan menyimpan ke dalam
memiori HP-nya. "Boleh gue telepon nanti malem?"
"Boleh aja. tapi ke HP aja, ya."
"Oke deh. Kalo gitu gue balik ke kelas duluan ya. Tunggu telepon dari gue nanti malam ya,
Rhe...!" Felix bangkit dari duduknya.
Rhea hanya mengangguk dan tersenyum. Tangannya terasa begitu dingin karena terlalu tegang
dan gugup. "Eh, gue sampai lupa." Felix merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sesuatu. "Gue punya
coklat. Satu buat Rhea dan yang dua ini buat Marcia dan Rachel."
"Makasih...," ucap Rhea tulus. Kedua sahabatnya cuma bisa melongo. Mereka nggak
menyangka, kecipratan rezeki juga.
"Lumayan lah... dapet coklat. Anggap aja ongkos jadi tembok selama sepuluh menit," kata
Marcia asal. "Hehehe.. sory. Nggak ada maksud buat nyuekin elo kok. Lain kali kita ngobrol-ngobrol bareng
lagi deh. Oke?" Felix akhirnya sadar, sejak tadi ia terlalu asyik ngobrol sama Rhea dan
melupakan dua cewek manis yang ada di dekatnya.
"Nggak pa-pa.. Nggak pa-pa...! Kan udah ada coklat buat biaya ganti rugi.." Rachel dan Marcia
memamerkan coklat di tangan mereka.
Felix tersenyum lalu menuju kelas, meninggalkan ketiga cewek yang masih memandangi coklat
di tangan mereka. "Rhe, gue yakin Felix pasti naksir elo," kata Marcia setelah Felix menghilang dari kantin.
"Nggak usah terlalu GR. Mana mungkin cowok sekeren dia naksir gue. Baru aja dikasih coklat,
udah mikir yang bukan-bukan," elak Rhea sambil menikmati soto minya yang masih tersisa
setengah porsi. "Tapi lo liat sendiri kan, dia nanya nomor HP lo. Dia mau call elo nanti malam. Itu jelas
menunjukan dia lagi PDKT sama elo." Marcia mencoba berargumen.
"Itu belum bisa menjadi bukti dia suka sama gue..." tegas Rhea.
"lh, Rhea.. tapi elo setuju sama pendapat gue kan, Chel?" Marcia mencoba mencari pembelaan
dari Rachel. Tapi tampaknya usaha Marcia sia-sia. Rachel sama sekali nggak memerhatikan pertanyaannya.
Cewek itu masih melongo menatap coklat yang ada di tangannya. Mulut Rachel terbuka lebar,
matanya nggak berkedip. "Chel! Rachel!" panggil Marcia.
"Rachel!" Rhea ikut membantu. Digoyang-goyangkannya pundak Rachel, tapi tetep nggak ada
respons. Jangan-jangan Rachel kesambet jin, lagi! Ih.. Syerem!
"Rachel.." sebuah jitakan keras melayang di ubun-ubun Rachel. Kayaknya Marcia nggak sabar
melihat tingkah Rachel yang bikin bulu kuduk jadi merinding.
"Adauw!" Rachel berteriak kesakitan.
"Elo kenapa sih" Kesambet ya!" Marcia sewot.
Rachel mengelus ubun-ubunnya sambil cengar-cengir. Tangan kanannya masih memegang
coklat pemberian Felix. Marcia dan Rhea mengernyitkan dahi. Jangan-jangan si Rachel benarbenar kesambet. Masa kesakitan sambil cengar-cengir gitu. Aneh, kan" Marcia dan Rachel
bergidik ngeri. "Gue bener-bener nggak nyangka Felix tau nama gue, bahkan dia ngasih gue coklat," akhirnya
Rachel bersuara. Dipamerkannya coklat di tangannya ke depan hidung Marcia.
Marcia dan Rhea manggut-manggut tanda mengerti. Akhirnya mereka paham bahwa teman
mereka yang satu ini bukan kesambet jin, tapi kesambet Felix.
"Chel, lo jangan GR dulu dong.. Felix tuh ngasih cokelat bukan cuma buat elo, tapi juga buat
Rhea en gue," kata Marcia.
"Biarin! Yang penting gue dapat cokelat." Rachel memeluk cokelatnya erat-erat.
"Rachel... Sadar ya, Felix tuh bukan lagi PDKT sama elo, tapi sama Rhea," kata Marcia lagi.
"Belum tentu, Mar," elak Rhea.
"Belum tentu bagaimana" Masa lo nggak ngerasa sih?" Marcia tampak keki.
"Menurut gue Marcia bener deh, Rhe," celetuk Rachel.
"Tuh kan.. Rachel aja setuju sama gue. Eh tapi lo kan juga demen sama Felix, Chel." Marcia
menggoda sahabatnya. Rhea menatap Rachel dengan perasaan nggak enak. Rhea tahu banget bagaimana perasaan
Rachel ke Felix. Rachel udah jatuh cinta sama Felix sejak MOS. Tapi kalau benar Felix naksir
Rhea, bagaimana dengan Rachel"
"Gue emang naksir Felix. Tapi gue bisa sportif kok. Kalo emang Felix dan Rhea saling suka...
gue marestui," kata Rechel mantap.
"Gue bangga sama elo, Chel..," puji Marcia sambil mengacungkan kedua jempolnya tinggitinggi. "Elo memang sahabat sejati..."
Rhea tersenyum lega mendengarnya. Males banget deh kalo harus kehilangan sahabat cuma
gara-gara makhluk yang bernama cowok. Tapi apa benar Felix suka sama Rhea" atau Marcia
yang terlalu cepat menarik kesimpulan" dan yang paling penting, apa Rhea juga suka sama
Felix" tampaknya alur hidup Rhea sudah mulai seru nih!
Rhea menelan sesendok terakhir soto minya lalu mengaduk-aduk es teh manisnya. Saat itu
otaknya penuh dengan satu nama, Felix.
"Eh, sampai lupa. Nanti lo berdua temenin gue ke kelas Betet dulu ya," Rhea mengajak kedua
sahabatnya. "Gue mau nyerahin proposal." Marcia dan Rachel mengangguk setuju.
*** Rhea duduk di tempat tidur sambil membaca catatan geografi. Besok mau ada ulangan, makanya
Rhea sudah mulai belajar dari jam tujuh malam. Dia nggak mau sampai dapat nilai 9,9 besok
karena pasti menurut papa itu bukan nilai sempurna. Tapi tampaknya Rhea nggak bisa
berkonsentrasi pada catatan yang dibacanya. Berulang kali matanya melirik HP yang ada di
sampingnya. Rhea lagi menunggu telepon dari Felix yang katanya mau nelepon malam ini. Tapi
yang ditunggu nggak kunjung berdering.
Rhea mulai kesal. Jangan-jangan Felix cuma basa-basi. Jangan-jangan dia saja yang terlalu keGR-an dan banyak berharap. dalam hati Rhea mulai memaki-maki dirinya sendiri.
Tapi... masa sih Felix bohong" Soalnya waktu ke kelas Betet untuk menyerahkan proposal, Rhea
sempat berpapasan lagi dengan Felix. Dan Felix kembali mengingatkan Rhea untuk menunggu
telepon darinya nanti malam. Masa Felix bohong" buat apa" atau mungkin lupa.
derrrttt...terasa getaran halus dari HP-nya.
Rhea buru-buru mengambilnya. 1 message recaived" Rhea membaca pesan masuk ke inbox.
gmn, Rhe" Felix da call elo"
SMS dari Marcia. Rhea mulai mengetik balasan untuk sobatnya yang selalu pengin tahu itu.
blm! Mgkn dia bong. Mgkn aja cm basa-basi blng mo call gw.
Message sent.. Rhea meletakan HP-nya ke tempat semula, ke pulau kapuk yang tercinta. Ia kembali membaca
catatannya, tapi tetap aja dia nggak bisa berkonsentrasi penuh.
Derrtt.. Derrt.. HP-nya bergetar. Tapi kali ini berulang kali. Berarti ada telepon yang masuk.
Rhea menatap layar HP-nya. Cuma ada nomor telepon. Si penelpon pasti lah orang yang jarang
menghubunginya atau orang yang nomor teleponnya lupa Rhea simpen di memori HP-nya. Atau
jangan-jangan,.. Felix! "Halo.." sapa Rhea ragu.
"Halo, Rhe.. Lagi ngapain?" tanya seseorang di seberang.
Rhea kenal suara ini. Benar" Ini suara Felix. Pasti! Rhea yakin 100%.
"Lagi belajar geografi... Ada ulangan besok."
"Rajin banget. Tapi belajarnya sambil nungguin telepon dari gue, kan?"
"Iya.." "Syukur deh. Gue kirain elo nggak suka kalo gue nelepon elo. Tapi gue nggak ganggu, kan?"
"Nggak.." "Mmm.. Gimana cokelatnya" Udah lo makan?"
"Udah. Malahan tuh cokelat udah jadi salah satu penghuni WC di rumah gue. Hehehe.."
"Nggak apa-apa. Besok gue bawain cokelat lagi deh. Biar cokelat yang ada di WC lo dapat
temen dan nggak kesepian. Kaya gue sama elo..."
Apa maksudnya kaya gue sama elo" pikir Rhea bingung.
"Eh iya, kapan-kapan jalan yuk. Mau nggak?" tanya Felix.
"Mmm.. gue mau sih. Tapi lo tau bokap gue, kan" Mungkin gue bakal susah dapat izin."
"iya, gue tau. Temen-temen gue juga udah pada ngingetin gue. Soalnya ada bokap lo yang siap
menghadang jalan gue ngedekatin elo.."
Ngedekatin gue" pikir Rhea.
"Tapi tenang aja, Rhe. Gue tahan banting kok. Gue nggak akan nyerah walaupun bokap lo
ngelepasin sepuluh herder buat ngusir gue dari sisi lo."
"Bokap gue nggak sejahat itu kok. Dia cukup naro sarang tawon di kepala lo, biar nyiumin muka
lo yang oke itu. Hehe.."
"Ternyata elo sadis juga ya. Tapi nggak apa-apa, gue suka kok cewek sadis. Biasanya cewek
yang sadis lebih menantang."
Rhea terdiam. Pipinya terasa panas. Untung Felix ngomong begini lewat HP, jadi cowok itu
nggak akan melihat wajah Rhea yang saat ini pasti merah banget.
"So, elo mau ya kalo kita kapan-kapan jalan berdua!"
"Mmm... liat nanti deh. Gue nggak janji."
"Kok nggak janji" yah... elo ngecewain gue nih."
"Maksud gue bukan begitu... Gue bener-bener nggak berani janji dulu sama elo."
"Ya udah. Tapi gue jamin, gue pasti berhasil ngajak jalan cewek yang gue suka..."
Cewek yang dia suka" apa yang dia maksud gue" tanya Rhea dalam hati.
"Oke deh, Rhe. Udahan dulu ya. Gue nggak mau lo nggak jadi belajar gara-gara gue."
"Iya..." "Jangan bobo malem-malem ya. Nanti lo sakit, lagi. Kan gue yang sedih kalo elo sampai sakit."
"Iya deh." "Satu lagi.. jangan lupa mimpiin gue ya."
"He-eh." "Bye bye, sweety."
"Bye.." tut.. tut... tut... Rhea meletakan HP-nya. Hatinya berbunga-bunga. Felix baik banget. Rhea merasa bagaikan
terbang ke awan, dan saat ini ia bukan sedang duduk di tempat tidur, melainkan di atas awan
putih yang lembut seperti kapas. Ternyata di-PDKT-in sama cowok rasanya seindah dan semanis
ini. Rhea benar-benar happy. Kata-kata Felix terus terngiang di telinganya.
Derrtt... HP-nya kembali bergetar. Ada SMS yang mampir di inbox-nya.
Woi, anak kutu. Hp lo sbk bgt! Felix ada call, ya "
Dari Marcia. Rhea segera membalasnya.
Uda. Lo ga ush ganggu gw lg d! Bsk gw crt, janji! Skrg gw mo bljr geo dulu nih
! Oc. Sambil menunggu balasan dari Marcia, Rhea mencoba mengembalikan konsentrasinya pada
catatan geografi yang ada di hadapannya. Tapi, alih-alih geografi, yang masuk dalam otaknya
malah kata-kata romantis yang didengarnya dari mulut Felix di telepon tadi. Rhea mengacakacak rambutnya dengan kesal. Lh, gimana caranya gue bisa konsentrasi! Alamat dapat nilai jelek
deh besok! Ya ampun, kenapa otak gue malah mikirin Felix terus sih" Felix lo ngasih gue candu
ya, sampai-sampai gue jadi kayak begini. Tapi... Kalau yang ngasih candu itu Felix, gue rela deh
kecanduan sampai overdosis. Hehehe. Cinta.. Oooh... Cinta...! Manis banget deh rasanya!
HP-nya kembali bergetar membuyarkan lamunan Rhea. SMS dari Marcia.
Yg da pny gebetan, tmn d lupain. Bljr lo sana, bsk sontekan hrs mampir di meja
gw! Awas lo! Dasar Marcia! Gimana caranya gue bisa belajar kalau sampai detik ini gue masih belum mampu
konsentrasi" Gerutu Rhea dalam hati.
Kemudian cewek itu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Buku catatannya dibiarkannya
tergeletak begitu saja di samping kakinya. Rhea menatap langit-langit kamar, satu pertanyaan
memenuhi kepalanya. Apa benar gue jatuh cinta" Masa sih" Memangnya jatuh cinta kayak gini
ya" Gue seneng sih. Rasanya deg-degan dan berbunga-bunga. Habis, Felix baik banget. Kayak di
sinetron, gitu. Romantis! Tapi,.. Apa iya gue jatuh cinta sama Felix" kok gue masih ngerasa aneh
aja sama perasaan gue sekarang"
Rhea terus bertanya-tanya dalam hati sampai ia nggak sadar sudah jam sembilan lewat. Ketukan
dipintu kamar menyadarkan Rhea dari perdebatan panjang yang tengah berlangsung dalam
hatinya. "Siapa?" tanya Rhea langsung terduduk.
"Kamu tau sekarang jam berapa?" ups, suara papa.
Rhea menatap jam beker dan kontan langsung menepuk dahinya. Gila, udah jam 21.18 pantes
papa menegurnya. Sudah lewat 18 manit dari waktunya memadamkan lampu kamar.
"Maaf, pa.. Rhea nggak tahu kalo udah jam segini. Rhea tidur sekarang juga deh..," jawab Rhea,
lalu buru-buru memadamkan lampu kamarnya.
Tidak ada sahutan dari papa. Hanya terdengar suar langkah kaki menuruni tangga dan beberapa
kali terdengar suara batuk yang pastinya juga keluar dari mulut papa.
Rhea kembali ke tempat tidur. Mampus, deh gue belum belajar sama sekali, Rhea memaki
dirinya sendiri. Lalu ia menangkupkan kedua telapak tangannya dan berdoa, memohon Tuhan
memberinya mukjizat besok. Minimal, semoga Bu Enggar nggak bisa masuk gara-gara pantatnya
keserempet tawon mabuk dan ulangan geografi terpaksa dibatalkan.
Asmiinn. BAB 3 Rhea sudah duduk manis di meja makan untuk sarapan. Syukurlah papa nggak memberikan
ceramahnya gara-gara semalam Rhea tidur melewati waktu yang sudah ditentukan papa. Papa
malah kayaknya lupa tuh sama kesalahan Rhea semalam. Padahal biasanya lewat lima menit
saja, Rhea sudah mendapat ceramah panjang. Waktu itu pernah terjadi, Rhea baru memadamkan
lampu kamarnya jam sebelas malam. Ya udah deh, Rhea dapet hadiah ceramah sepanjang
perjalanan menuju sekolah. Makanya, pagi itu terasa sangat berbeda. Mungkinkah semalam
Tuhan mengirimkan malaikat ke dalam mimpi papa untuk memperingatkan papa agar jangan
memberikan ceramah mautnya pada Rhea pagi ini" Jika itu bener, oh... thanks God!
Rhea menikmati sepiring nasi goreng spesial di hadapannya dengan wajah penuh suka cita.
Urusan ulangan geografi, lihat nanti saja deh!
"Rhea..," tegur Papa.
Deg! jantung Rhea berdetak kencang. Jangan-jangan ceramah papa baru mau dimulai sekarang.
God help me! "Hari ini guru les kamu akan datang. Reva sudah menemukan guru les yang bagus buat kamu.
Papa juga sudah bicara dengan guru itu, dan papa yakin dia bisa mengajarimu banyak hal.
Lesnya dimulai jam enam sore selama satu setengah jam. Papa minta kamu belajar yang baik dan
jangan mengecewakan papa. Kamu mengerti?"
"Iya, pa," jawab Rhea. Guru les yang udah jadi favorit papa" berarti hari-hari bahagia gue tamat
lah sudah, gerutu Rhea dalam hati.
Rhea menatap Reva tajam lalu berbisik, "Kok mbak nggak bilang-bilang dulu sih sama Rhea?"
"Maaf Rhe... mbak lupa." Reva tersenyum tipis dengan wajah memelas.
Rhea jadi kesel mendengarnya. Katanya mbak Rhea mau cari guru les yang muda dan ganteng"
kok yang didapat yang sesuai selera papa" Selera papa kan guru yang kaku dan berkacamata
tebal, yang setiap kali bicara lngsung memuntahkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Masa
orang kaya gitu sih yang dipilih mbak Reva" nasi goreng di hadapan Rhea yang sebetulnya
begitu nikmat, sekarang terasa hambar.
*** Di kelas Rhea duduk bertopang dagu. Ia masih meratapi nasibnya yang akan segera mendapatkan
guru les sesuai selera papa. Pasti suram sekali.
Marcia dan Rachel belum datang. Rhea mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah guru les
itu. Tiba-tiba Rhea teringat, pelajaran pertama kan geografi. Lebih baik ia mengisi waktu dengan
belajar dari pada memikirkan masalah yang hanya membuatnya bete. Rhea membuka ritsleting
tasnya dan mengambil catatan geografi. Dibukanya bab yang menjadi bahan ulangan untuk hari
ini. Rhea mulai berkonsentrasi membaca dan memahami isi catatannya. Mulutnya komat-kamit
kayak lagi baca mantra. "Hai, Rhe.." sapaan Felix yang tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya membuat Rhea terlonjak
kaget. "Hei.. Kapan lo dateng?" Rhea berusaha menguasai diri biar nggak kelihatan grogi di depan
Felix. "Baru aja. Elo lagi baca mantra apa sih" Gue dateng aja lo sampai nggak tau."
"Bukan mantra, tapi geografi. Jam pertama kan gue ada ulangan."
"Oh.. Gue kira lo lagi baca mantra cinta buat gue. Hehe.."
"Yee" GR lo!"
"Boleh dong gue PD dikit. Eh iya, nih cokelat buat lo sesuai janji gue kemarin. Biar cokelat di
WC lo punya teman." "Makasih.. Tagi gue rasa nggak usah tiap hari lo ngasih cokelat. Lama-lama gue bisa buka pabrik
cokelat deh." "Nggak apa-apa. Asal untung penjualannya dibagi rata. Hehe.."
"Jayus lo!" "Tapi suka, kan?" Felix mendekatkan tubuhnya ke tubuh Rhea.
"Ih... Apaan sih?" perlahan Rhea mendorong tubuh Felix. Jantungnya berdegup cepat, belum lagi
mukanya yang pasti sudah berubah warna seperti tomat. Rhea jd salah tingkah.
"Hehe.. Cuma bercanda kok, Rhe," kata Felix, lalu dengan beraninya membelai lembut rambut
Rhea. Rhea semakin salah tingkah. Tapi nggak kuasa menolak. Untung kelas sepi dan belum ada yang
datang selain Rhea, jadi nggak ada yang melihat adegan romantis ini.
"Rambut elo halus dan lembut ya.. Benar-benar sesuai sama penampilan elo yang asli cantik
banget." "Gombal! Cewek kayak gue kok dibilang cantik."! Udah berapa cewek sih yang lo rayu kayak
gini" "Baru satu... ya elo ini. Makanya gue kurang pengalaman nih, takutnya gue gagal deh ngedeketin
elo," ujar Felix, membuat Rhea nggak bisa bersuara. "Kasih gue harapan dan kesempatan ya,
Rhe..," kata Felix lembut.
Rhea nggak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu. Mendadak terdengar suara. "Nah lho! pagipagi udah asyik pacaran ya!" Marcia tiba-tiba muncul di muka kelas. Rhea dan Felix terlonjak
kaget. "Siapa yang pacaran sih, Mar" Nggak usah bikin gosip deh..," sahut Rhea sebal karena sobatnya
ini sudah mengganggu suasana romantisnya.
"Kalo bukan pacaran, apa lagi tuh namanya... duduk berduaan, nempel banget, lagi. Trus pake
acara belai-membelai gitu..." Marcia nggak mau kalah, lalu berjalan ke bangkunya sendiri dan
meletakan tasnya sambil senyum-senyum.


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini belum resmi pacaran Mar. Nanti deh kalo udah resmi, baru deh gue umumin ke seluruh
pelosok dunia kalo gue tuh cinta banget sama gadis manis yang sekarang ada di samping gue
ini..." Felix memandang Rhea penuh kehangatan.
Rhea tambah salah tingkah. Pipinya terasa panas.
"Duh... romantisnya!" seru Marcia.
"Ya udah, Rhe, gue balik ke kelas dulu ya. Selamat belajar! Semoga sukses ulangannya. Kalo
ada soal yang susah, sebut aja nama gue tiga kali, pasti lo tetep nggak bisa ngerjainnya. Soalnya
nama gue belum pernah masuk buku Geografi. Hehe.."
Rhea berusaha tersenyum walaupun susah, karena ia masih sangat gugup gara-gara perkataan
Felix tadi yang jelas menunjukan bahwa cowok itu suka sama Rhea.
"See you, sweety." Felix beranjak meninggalkan kelas Rhea.
Rhea masih terdiam. Matanya nggak lepas menatap sosok Felix yang menghilang di balik pintu
kelasnya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Gila lo, Rhe.... cewek-cewek yang lain pada jatuh-bangun berusaha ngedapetin cinta Felix, eh
elo malah ngedapetin cintanya semudah membalikkan telapak tangan. Lo main dukun ya, Rhe?"
tuduh Marcia yang langsung menghampiri Rhea begitu Felix nggak kelihatan lagi batang
hidungnya. "Sial lo! Emangnya gue cewek apaan pake main dukun segala."
"Habis elo keren banget sih, bisa bikin Felix jatuh cinta sama elo. Felix tuh romantis banget ya.
Lo beruntung lho, bisa dapetin dia."
"Nggak tau ya, Mar. Feeling gue sama dia masih rada aneh nih. Felix emang baik, romantis,
lembut dan perhatian banget, tapi nggak tau kenapa gue ngerasa ada something yang kurang."
"Mungkin karena ini yang pertama buat elo, Rhe. Selama ini kan lo nggak pernah ngerasain halhal sepeti ini, makanya perasaan lo masih belum bisa menerima kenyataan ini, masih
menganggap semua keindahan yang terjadi ini tuh cuma mimpi."
"Masa sih, Mar?"
"Udah deh..... lo nikmati aja semuanya dulu. Nanti juga lo akan mengerti apa yang lo mau dan
apa yang lo rasakan." Rhea membenarkan kata-kata Marcia.
Anak-anak sudah mulai berdatangan. Rachel juga sudah muncul di muka kelas dengan suara
khasnya dan tingkahnya yang selalu grasa-grusu. Kelas mulai ramai seperti pasar. Ada yang
sibuk minta sontekan PR kimia, ada yang sibuk ngegosip, ada juga yang sibuk menyalin catatan
geografi ke selembar tisu. Melihat sontekan geografi, Rhea teringat dia juga belum belajar.
"Mampus deh! Gue belum belajar geografi nih!" ujar Rhea pada Marcia.
"Belum belajar gimana" kemarin kan gue ngasih lo waktu buat belajar" kok elo malah bilang
belum belajar sih" nasib gue kan tergantung elo, Rhe," protes Marcia."
"Yah... gimana dong nasib gue?" Marcia menunduk di atas meja. Pasrah pada nasib.
Rhea mulai sibuk membuka kembali catatannya. Tapi dalam suasana yang begini ribut mana bisa
ia belajar. Tampaknya Rhea hanya pasrah pada nasib. Semoga Tuhan mau mendengarkan doanya
semalam. *** "Rhea pulang...!" teriak Rhea begitu tiba di rumah. Papa yang juga selalu pulang samasama Rhea langsung masuk ke ruang kerja. Sepertinya ada berkas-berkas dari Depdiknas yang
membuat papa terlihat agak sibuk sejak kemarin.
Rhea berjalan menuju dapur. Tas ranselnya masih nangkring di punggung. Dilihatnya mama lagi
asyik memotong bawang putih.
"Halo, ma... masak apa nih" Rhea udah lapar." Rhea mencomot kerupuk yang ada di stoples di
meja makan. "Ada sayur asem, ikan asin, dan lalapan. Sekarang mama tinggal bikin cah kangkung favoritnya
papa. Kamu ganti baju dulu. Selesai kamu ganti baju, masakan mama pasti sudah selesai dan kita
bisa makan bersama. Kakakmu juga sudah pulang."
"Tumben mbak Reva udah pulang."
"Katanya nggak ada dosen. Sudah, kamu ganti baju sana."
"Iya, Rhea. Tapi cah kangkungnya jangan lupa pakai cabe rawit ya."
"Iya...," jawab mama.
Rhea meninggalkan dapur menuju kamarnya. Menurut Rhea, kamarnya adalah ruangan terindah
karena di sini Rhea bisa menjadi ratu yang bebas melakukan apa saja meskipun cuma sesaat.
Setelah menutup kembali pintu kamar. Rhea melepaskan tas ranselnya di atas meja. Lalu
mengambil kapas dan membersihkan wajah dengan susu pembersih. Tak lupa ia gunakan pula
penyegarnya. Setelah itu Rhea mengambil kaos dan celana pendek dari lemari pakaian. Dalam
waktu lima menit Rhea sudah mengganti seragamnya dengan kaos rumah. Rhea duduk di depan
cermin dan mulai menyisir rambutnya.
Ulangan geografi sudah membuat rambutnya berantakan karena terlalu banyak diacak-acak saat
ia sedang berfikir. Mengingat ulangan geografi, Rhea jadi tertawa sendiri. Ia ingat betapa
nekatnya dia waktu mengoper penghapus yang sudah ditulisi jawaban pada Marcia dan Rachel.
Untungnya Bu Endar tidak melihat dan malah asyik mengotak-atik HP. Rhea juga bersyukur
karena soal-soal yang diberikan Bu Endar itu multiple choice, jadi paling tidak Rhea masih bisa
menggunakan jurus andalan kalau kepepet, yaitu nembak (asal pilih jawaban getu lho ). Kalo
saja semua guru seperti bu Endar, betapa bahagianya para murid. Sekarang rambut Rhea sudah
tersisir rapi dan digelung pakai sumpit rambut. Rhea bangkit dari duduknya dan keluar kamar
menuju dapur. Reva sudah mondar-mandir di dapur membantu mama menata meja makan. Rhea
bergegas mempercepat langkahnya untuk turun tangan membantu.
"Biar Rhea yang ngambil gelas, mbak..."
"Ya udah, mbak yang nyiapin air putihnya."
Tak lama kemudian, mama muncul dari dapur sambil membawa sepiring cah kangkung yang asli
harum banget dan meletakannya di meja makanan.
"Hidangan sudah siap! kalian tunggu sebentar ya. Mama panggil Papa dulu..." Mama
melepaskan celemek bermotif mawar merah yang di kenakaannya memasak tadi, dan melipatnya
sambil berjalan menuju ruang kerja papa.
Rhea dan Reva menunggu di meja makan sambil sesekali mencomot mentimun dari piring
lalaban. "Mbak.... kok mbak nyari guru les buat Rhea yang kayak selera papa sih! Kan payah semua....."
protes Rhea sambil mencomot mentimun yang ketiga.
"Eits.... jangan salah! Nggak semua selera papa mengerikan. Kalo yang satu ini di jamin Top.
Lagi pula ini kebetulan aja kok," Reva membela diri. Tangannya ikutan mencomot timun yang
ke lima. "Kebetulan gimana?"
"Yang jadi guru les kamu itu Nico, temen kuliah mbak. Masa kamu nggak ingat sama dia. Dia
kan anaknya temen papa."
"Nico" Nico siapa?"
"Itu, lh, temen favorit kamu waktu kecil. Dulu Nico kan sering banget diajak papanya main ke
sini. Waktu dulu mereka tinggal nggak jauh dari sini. Jadi masih tetangga gitu deh sama kita.
Cuma sejak mamanya Nico meninggal dan mereka pindah ke Australia, kita jadi lost contact
sama mereka." "Nico" Nico yang mana ya?"
"Memori kamu nih kapasitasnya kecil ya. Masa gitu aja nggak ingat, dulu waktu kamu kena
tifus, papanya Nico yang nganter kamu ke rumah sakit tempat dia praktik. Waktu itu keluarga
kita nggak seperti sekarang, keuangan papa masih sekarat. Untung ada papanya Nico yang mau
bantuin biaya rumah sakit. Kita tuh utang budi sama dia."
"Oooh... Rhea inget deh! Kak Nico yang badannya bulet pendek itu kan" Dulu dia paling suka
main perang-perangan sama Rhea. Rhea masih inget kok. Orangnya lucu banget. Rhea suka deh
main sama dia." "Ya, betul! Makanya tadi kan mbak bilang, dia itu temen favorit kamu waktu kecil. Umur kalian
memang beda tapi kalo lagi main kelihatan serasi banget. Kompak abis."
"ih, mbak... nggak sampai segitunya kali. Jadi gara-gara itu papa langsung setuju" Memangnya
otaknya bisa diandalkan mbak?"
"Kalo nggak bisa diandalkan, mana mungkin mbak mencalonkan dia. Nico itu cowok paling top
di kampus. Otaknya oke. Kamu tau, IPK terakhirnya aja 3,79. IPK setinggi itu untuk yang
namanya fakultas kedokteran tuh sangat luar biasa. Belum lagi papanya profesor sekaligus guru
besar di universitas. Kurang apa lagi coba?"
"Masa sih" Seingat Rhea, kak Nico tuh badannya bulet pendek. Udah gitu mukanya culun
banget. Dia masih gitu nggak sekarang?"
"Itu sih dulu. Sekarang beda banget. Nanti kamu liat aja sendiri..."
"Apa iya?" Rhea mengerutkan keningnnya. Ia meragukan perkataan Reva. Masa sih kak Nico
yang dulu bulet pendek itu sekarang berubah jauh" Rhea nggak bisa membayangkannya. Kirakira seperti apa ya sekarang" Trus kenapa tiba-tiba berminat jadi guru les" Bukannya dia cukup
kaya" "Woi! kok malah bengong sih?" teguran Reva membuyarkan lamunan Rhea.
"Ih mbak ngagetin aja! Rhea cuma berfikir, kalo papanya tuh dokter, profesor, plus guru besar,
berarti mereka kaya dong?"
"Iyalah... Papanya kan sering dapat undangan buat jadi pembicara di seminar-seminar. Pasti
mereka kaya." "Terus, kenapa kak Nico masih mau jadi guru les segala" Dia kan nggak kekurangan uang?"
"Awalnya mbak juga heran waktu dia nawarin diri," lanjut Reva. "waktu itu mbak bukan
menawarkan job ini ke dia, tapi ke teman-teman mbak yang lain. Kebetulan dia denger. Eh dia
langsung antusis. Mbak sendiri heran. Tapi katanya dia berminat banget jadi guru les soalnya
bisa sekalian belajar. Ya mbak setuju aja, karena mbak pikir papa pasti langsung setuju kalo dia
yang jadi guru les kamu."
Rhea manggut-manggut. Yah.... paling nggak sekarang ia bisa bernapas lega karena bayangan
akan mendapatkan guru les manusia robot nggak akan jadi kenyataan.
"Nah, tuh papa! yuk kita makan...," sela mama tiba-tiba lalu duduk di bangku yang ada di depan
Reva. Papa segera menempatkan diri di tengah-tengah keluarga. Reva menuangkan air putih ke dalam
gelas papa. Mama menyendokkan nasi dan cah kangkung ke piring papa. Pelayanan penuh dari
keluarga membuat penat yang dirasakan papa karena surat-surat yang menggunung hilang
terbawa angin. *** Rhea sudah mandi sore. Sekarang sudah jam enam kurang seperempat. Berarti limabelas menit
lagi guru lesnya akan tiba, tapi itu juga kalo tuh guru bukan tukang ngaret. Ini pertama kalinya
Rhea punya guru les. Dari dulu, segala hal harus Rhea pelajari sendiri. Kalo ada yang nggak
ngerti, tinggal tanya papa, mama atau mbak Reva. Jadi yang namanya guru les sama sekali nggak
dibutuhkan. Entah kenapa sekarang papa jadi berubah pikiran begini.
Rhea merapikan meja ruang tamu yang akan digunakannya untuk belajar nanti. Koran-koran dan
majalah ditumpuknya dan disingkirkannya ke lemari dekat dapur. Kata mama, Rhea belajar di
ruang tamu saja, jadi mama bisa terus memantau sistem belajar mereka. Mama takut Rhea malah
keasyikan ngobrol sama guru lesnya ini, soalnya mereka berdua kan teman lama. Takut
keasyikan bernostalgia. Rhea juga menyiapkan buku kosong dan alat tulis di meja ruang tamu yang kini sudah tertata
rapi. Hari ini mau belajar apa ya" tanyanya dalam hati. Atau mau perkenalan dulu" Kata mbak
Reva, kak Nico udah berubah. Kira-kira dia sekarang kaya apa ya" Apa sekeren Felix" Atau
seancur Betet" Dia baik atau jutek ya" Apa dia masih selucu dan seasyik dulu" Kalo memang
seperti ucapan mbak Reva, berarti dia lumayan banget dijadiin gebetan baru. Marcia dan Rachel
pasti iri. Hehehe... Rhea cengar-cengir sendiri membayangkannya. Tapi dia kan udah punya
Felix. Eits, tunggu dulu! gue kan belum jadian sama Felix. So masih terbuka peluang untuk siapa
aja dong... eh, gue gila kali ya, kok jadi kepedean begini!
"Rhea, kamu kok malah melamun" Sini bantu mama nyiapin minum untuk guru les kamu!" suara
mama membuyarkan lamunan Rhea yang mulai ngaco.
"Iya, ma!" sahut Rhea, lalu melangkah ke ruang makan. Setelah berkutat dengan jus jeruk dan
potongan brownies, Rhea mendengar bel rumah berdering.
"Nah, mungkin itu guru les kamu! Sana bukain pintunya!" Rhea segera mencuci tangan dan
bergegas keluar untuk membuka pintu.
Tet! bel kembali berbunyi.
Rhea mempercepat langkahnya, bahkan jadi setengah berlari. Nih orang nggak sabaran banget
sih! gerutunya dalam hati.
Rhea membuka pintu depan dan kembali berlari kecil menuju pagar. Dan di depan pintu pagar
yang lumayan tinggi, berdiri sesosok cowok yang postur tubuhnya tinggi dan tegap, hidungnya
mancung, penampilannya bersih, dan rambutnya cepak. Gila... dia ini kak Nico yang dulu itu"
Not bad... Rhea agak terpesona melihat cowok dihadapannya, sampai lupa membuka pintu pagar.
"Sore... kamu Rhea, ya?" tanya cowok itu dengan ekspresi datar.
"Iya...," Rhea menjawab pelan. "ng.... ini kak Nico, ya?"
"Iya," jawab Nico singkat. Melihat Rhea yang cuma bisa berbengong-bengong, Nico bertanya
lagi, "ehm... kita mau belajar di dalam rumah atau mau gelar tikar dan belajar gaya lesehan di
luar pagar sini?" Pertanyaan cowok itu mengingatkan Rhea bahwa dia belum mempersilahkan tamunya masuk.
"Eh... iya. Mmm.... mari masuk.... masuk..." buru-buru Rhea membukakan pintu pagar. "Kita
belajar di ruang tamu aja. Udah siap kok.." Rhea nggak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Nico memasukan motornya melewati pagar rumah Rhea yang telah dibuka lebar, lalu mengikuti
Rhea masuk ke ruang tamu. Mama, Papa, dan Reva sudah duduk di ruang tamu. Tampaknya
meraka siap menyambut guru les Rhea yang baru. Melihat semua anggota keluarga ngumpul
seperti ini, Rhea jadi merasa sedang diperkenalkan dengan calon suami.
"Sore, Oom, Tante.... Hai, Va," sapa Nico ramah.
"Sore....," balas Papa dan Mama.
"Duduk dulu, Nic...." Reva mempersilahkan teman kuliahnya itu untuk duduk di sofa kosong
yang ada di sebelahnya. Nico pun duduk, sedangkan Rhea berjalan ke sisi mama dan berdiri di
situ. "Gimana kabar papa kamu?" tanya papa.
"Baik, oom... Papa titip salam untuk oom sekeluarga. Kata papa, papa pasti berusaha
menyediakan waktu untuk silaturahmi ke sini," jawab Nico tersenyum ramah.
"Nggak usah dipaksakan. Oom bisa mengerti kesibukan papamu..."
"Papa memang seperti itu, Oom... Selalu saja sibuk. Malah menurut saya, papa mungkin nggak
punya waktu lagi untuk dirinya sendiri. Makanya... gimana kalo oom yang main ke rumah..."
Nico menawarkan dengan sopan.
"Ide yang bagus tuh pa." kali ini mama angkat bicara. "Kapan-kapan biar kita yang ke rumah
Nico. Papa mengangguk. "Kamu bisa mulai mengajar Rhea hari ini juga ya. Anak itu mulai perlu
bimbingan khusus. Tolong ajari dia baik-baik. Oom percaya sama kamu."
Bimbingan khusus" Apa maksudnya tuh" tampang Rhea jadi bete mendengar kata-kata papa
barusan. Memberi kesan buruk tentang anaknya sendiri.
"Saya usahakan semampu saya, Oom.." jawab Nico.
Iih... dasar penjilat! Nyari muka di depan Papa. Pantes papa suka sama dia. Rhea mulai memberi
penilaian tentang guru barunya ini. Tapi sepertinya sebagai nilai awal, Rhea cuma berkenan
memberinya nilai 3. Dan menurut Rhea, cowok yang ada di depannya ini memang sudah berbeda
dengan cowok yang jadi tetangganya sekaligus teman kecilnya dulu. Bukan hanya penampilan,
tapi juga gaya bicara dan tingkah lakunya. Sombong dan sok banget!
"Tentang hal lainnya, semua sesuai dengan apa yang telah kita bicarakan kemarin. Setuju?" tanya
Papa. "Baik, Oom..." "Kalian belajar di sini saja ya. Biar tante lebih mudah mengantarkan minuman buat kalian," kali
ini mama yang bicara. Nico mengangguk. "Nggak usah repot-repot, Tante."
"Ya udah. Dimulai saja belajarnya?" kemudian mama menatap mata Rhea tajam. "Belajar yang
bener ya Rhe.." "Iya, ma." Papa, Mama dan Reva segera meninggalkan ruang tamu, membiarkan Nico dan Rhea memulai
pelajaran mereka hari ini. Mama menuju dapur, Papa kembali ke ruang kerja. Reva kembali ke
kamarnya di atas. Rhea menatap guru lesnya dengan tajam sambil tetap berdiri. Dipandanginya Nico dari ujung
rambut smpai ujung kaki. Cakep sih.. tapi nyebelin.
Nico yang sadar Rhea belum duduk langsung menatap Rhea dan bertanya, "Ngapain kamu di
situ" Memangnya kita belajar sambil berdiri" Kalo kamu minta kuajarin cara menjadi satpam
yang baik sih boleh-boleh aja, kita belajar sambil berdiri. Itung-itung latihan..."
Rhea melotot mendengar ucapan Nico. Tapi ia enggan bicara. Rhea memilih duduk di depan
Nico. "Besok pelajaran apa?" tanya cowok itu.
"Mmm... Geografi, Matematika, Biologi, Bahasa Indonesia sama Bimbingan Karier."
"Kalo gitu kita belajar Matematika sama Biologi aja. Kamu ada PR apa?"
"Nggak ada." "Ya udah, kalo gitu aku liat dulu buku matematika sama biologi kamu. Aku pengin tau sudah
sejauh mana bahan yang kamu pelajari di sekolah."
Rhea menyodorkan buku-bukunya yang diambil dari tas sekolah yang sejak tadi teronggok di
meja telepon. Nico membolak balik halaman demi halaman. Rhea terdiam dan mengamati guru
lesnya itu dengan seksama. Harus Rhea akui sekali lagi, penilaian Reva tentang cowok ini
hampir benar. Nico sekarang cakep juga! Apalagi kalo dilihat dari dekat seperti ini. Hidungnya
mancung, kulitnya yang kecoklatan bersih banget. Jauh dari yang namanya jerawat atau komedo.
Bola matanya yang dark brown bikin matanya terlihat bercahaya, belum lagi alisnya yang tebel
banget. Kemeja biru muda yang melekat rapi di tubuhnya bikin dia tambah keren. Apalagi aroma
tubuhnya yang mengikat. Pakai parfum apa ya" Gue bener-bener nggak menyangka kak Nico
yang dulu bulet pendek itu bisa berubah jadi secakep ini.
"Lumyan banyak juga yang udah diajarin guru kamu." suara Nico membuat Rhea sedikit kaget.
Nico yang melihat reaksi Rhea jadi heran. "Kenapa" Kamu ngelamun ya" Atau jangan-jangan
kamu lagi ngelamun yang nggak bener?"
"Apaan sih?" seru Rhea sebal.
"Makanya, kalo lagi belajar jangan pake adegan ngelamun segala. Konsentrasi dong!"
"Sirik aja. Suka-suka gue dong!" Rhea tidak terima dikritik cowok yang baru hari ini jadi guru
Harpa Iblis Jari Sakti 34 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Pedang Langit Dan Golok Naga 40

Cari Blog Ini