Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 2
saya butuh hanya kamu minta maaf!"
Bianca kontan memelototi Shilla, yg balas memelototinya.
"Elo SI-A-PA"!" tegas gadis mungil itu. "Gue ini..."
"Iya, iya," potong Shilla sambil memutar bola matanya, "kamu itu... Eh, salah. PAPA kamu itu
salah satu majelis sekolah ini juga pemilik setengah saham kafeteria ini. Seisi kafeteria juga tau
kok," katanya lalu melanjutkan, "yg saya butuh... bukan jabatan dan kekuasan PAPA kamu! Yg
saya butuh, KAMU minta maaf!" tekannya di poin2 penting. Tak sadar, adegan mereka kembali
menjadi tontonan. "ELO minta GUE, BIANCA THALITA PANGEMANAN minta maaf sama ELO?" jerit Bianca.
"Iya," kata Shilla enteng sambil bersedekap.
Bianca mengernyit tak suka, biasanya tak ada yg masih bisa berdiri tegak sehabis didampratnya.
Ia berdecak lalu berteriak, "E-LO GI-LA!"
"Saya nggak peduli saya gila, itu urusan nanti," Shilla makin menyulut emosi Bianca. "Yg
sekarang saya mau, kamu minta maaf," ia mendesis, meledaklah emosi yg sudah menjilat ubunubunnya sejak tadi. "Kamu mungkin terlalu kaya, sampe nggak pernah menghargai seporsi
makanan." Bianca mencibir, tertawa sinis. "Panteees. E-LO orang miskin toh?"
Shilla mengeryit, sama sekali tak terhina. "Paling nggak, kalopun miskin, saya masih punya
karunia dari Tuhan yg namanya rasa SYUKUR... dan MENGHARGAI orang!" katanya keras.
Biarin deh dibilang ngelantur, batinnya. Ia benci sekali melihat Bianca.
Bianca tiba2 kehilangan kata2, lalu menggeram dan memutuskan pergi setelah memberikan kode
pada teman-temannya -yg Shilla tak sadar sudah ada di dekat mereka- untuk mengikuti.
"This is not the end of the game. You're the one who started it, so it's you, exactly, who will pay
for it," kata Bianca tajam lalu beranjak.
Shilla mengangkat sebelah alisnya dan mencibir. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling.
Ketika menyadari kepergian Bianca menghipnotis semua isi kafeteria untuk ganti
memandanginya, ia berdeham salah tingkah, lalu menggeleng. Ia beralih menatapi kekacauan di
lantai. Waduh... berarti, ia harus menemui mas penjual bakmi dan...
"Neng keren banget..." Tiba2 si mas penjual bakmi sudah ada di sebelahnya, membawa sapu dan
pengki untuk menyapu pecahan mangkuknya.
"Aduh maaf ya, Mas," kata Shilla merasa bersalah, meringis tak enak hati.
Si mas penjual bakmi ternyata malah menggeleng-geleng takjub sambil terus menyapu pecahan
mangkunya. "Nggak papa, Neng," ujarnya, entah kenapa terlihat antusias sekali. "Nanti saya
ganti deh bakminya. Gratis buat Neng..."
"Beneran, Mas?" seru Shilla. Sedari tadi konsrentasinya tercurah untuk bertikai, hingga baru
menyadari perutnya ternyata masih berteriak.
Penjual bakmi itu mengangguk setelah merapikan semua serakan. "Neng duduk aja, nanti saya
anterin." Shilla tersenyum cerah lalu mengangguk. "Makasih ya, Mas," katanya senang lalu kembali ke
mejanya. Ia mengerutkan kening mendapati Ifa dan Devta ternyata juga memandangnya sambil
membeliak. "Kenapa?" tanya Shilla sambil duduk, lalu menyambar dan menyeruput es kelapa
Ifa, tenggorokannya sakit.
"You are awesome!" kata Ifa tiba2, histeris, tak percaya. Membuat Shilla mau tak mau
tersenyum kecil. Devta malah mewanti-wanti. "Hati2 aja lo sama Bianca. Dia nggak bakal bisa dipermaluin kayak
tadi." Shilla mencibir cuek. Ia sudah terbiasa hidup keras. Cewek manja macam itu bukan masalah
besar baginya. Untuk saat ini, paling tidak.
Bab 5 "So, for this assignment, I want you all to make a group of four. Please hand me the name of the
members of your group by the end of the class," kata Mr. Joe, guru bahasa Inggris kelas sebelas.
Pernyataan yg langsung disambut kasak-kusuk siswa-siswi kelas XI-I, semua sibuk mencari
anggota grup. "Berempat sama siapa nih?" tanya Ifa, menatap Devta dan Shilla bergantian.
Devta mengernyit lalu celingak-celinguk, "Coba gue tanya Rama. WOI, RAM... SAMA SIAPA
LO?" Sebuah suara tenor dari kejauhan terdengar menjawab, "Udah berempat sama kelompok Danar.
Yah, telat lo!" "Ya udah deh!" teriak Devta lagi, lalu kembali mengalihkan perhatian kembali pada kedua gadis
di dekatnya. Ifa ternyata masih membiarkan pulpennya melayang di atas carikan kertas, "Jadi, siapa?"
"I know there are twenty-eight students in this class. So, all of the groups will consist exactly of
four people. Not more or less. Is anyone absent today?" kata Mr. Joe lagi.
"Ryo, Sir," celetuk seorang siswa, entah siapa.
"So, which group still needs a member?" tanya pria hampir paruh baya itu.
Devta entah knapa mencibir kesal, lalu terpaksa mengangkat tangan.
"So, Ryo will be in your group. Don't complain. Now, back to our topic." kata Mr. Joe, saat
melihat Devta akan membuka mulut untuk memprotes.
Devta mendengus kesal. "Aaaaaah. Kenapa mesti sama si sombong itu sih," katanya, menatap
kursi Ryo yg kosong dengan tatapan ingin mencekik.
Ifa mengangkat bahu, lalu menyelesaikan tulisan nama kelompok mereka.
"Jadi kita berempat, ya. Shil, nanti lo ngomong sama Ryo, ya... kan lo..." Ifa menggantung
kalimatnya. Shilla hanya bisa manyun. Baginya, tugas memberitahu Ryo ini lebih sulit daripada
disuruh memberi makan macan yg kelaparan tiga hari.
Ifa berbisik di tengah pelajaran, "Entar pulang ke rumah gue, ya. Gue print-in beberapa bahan,
jadi lo kasih unjuk Ryo itu materi makalah kita, biar lo nggak usah banyak ngomong sama dia."
Shilla tersenyum agak riang, sepertinya Ifa mengerti bahwa mengajak bicara Ryo itu layaknya
mengobrol dengan kaktus. Tidak akan didengar, apalagi Shilla yg bicara.
Devta berbisik, nimbrung, "Gue nggak bisa. Mau nganter nyokap ke bandara."
"Yeh," sahut Ifa singkat.
"Ntar gue e-mail-in beberapa bahan deh. Gue kan bawa netbook. Nanti paling di mobil gue
sambil nyari sama ngirim ke e-mail lo," kata Devta akhirnya, disambut jempol Ifa.
15.05 WIB, Perumahan Tampak Siring
Alphard hitam Ifa memasuki gerbang masuk ke Perumahan Tampak Siring. Rumah2 di sini juga
besar2, tidak jauh berbeda dengan perumahan tempat Ryo tinggal, pikir Shilla.
Rumah Ifa yg bertingkat tiga bergaya minimalis. Tidak ada air mancur megah nan angkuh saat
mereka memasuki gerbang rumah. Tampak sebuah kebun dengan patung2 malaikat mungil
tampak mata Shilla. Pemandangan ini jauh lebih indah, tenang, dan sederhana, meskipun
bangunan di belakang kebun itu tak kalah mewah.
Setelah melewati ruang tamu besar yg di pojoknya terdapat sebuah grand piano cantik, Ifa
mengajak Shilla memasuki sebuah ruangan. Bukan kamar tidur tampaknya, karna tidak ada
ranjang. Sebaliknya, karpet bulu lebar membentang di sluruh ruangan. Sofa2 empuk berbentuk
dadu mengisi bagian lantai yg tidak terjamah karpet.
Setelah membiarkan Shilla mengamati sejenak, Ifa akhirnya nengajaknya mendekati PC di sudut
ruangan. "Ini ruang bermain gue," jelasnya sambil tersenyum, "makanya banyak boneka, mainan, sama
tempelan." Lucu juga, pikir Shilla sambil mengangguk-angguk. Ia menyapukan pandangan lagi. Kali ini ia
baru memperhatikan bahwa terdapat berbagai tempelan gambar khas anak TK di dinding
ruangan tersebut. Sebuah penggaris kertas besar menempel di dinding, beberapa coretan
menghiasi penggaris itu, menunjukkan pertumbuhan tinggi Ifa sejak kecil hingga sekarang.
Ada juga meja panjang di sudut dinding lain. Terdapat beberapa trofi, pigura, dan berbagai
mainan di atasnya. Shilla terkejut melihat kalung dengan bandul tutup gabus, yg biasa dipakai
untk menutup botol kecap, juga mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Persis seperti miliknya dan
teman-temannya di kampung.
Ifa ternyata sudah menyalakan PC dan mulai berselancar di internet. Ia menyalin beberapa materi
ke dalam Microsoft Word, menambahkan sedikit penjelasan, lalu tak lama sudah bergerak untuk
mencetaknya. Sementara Shilla masih menatapi foto2 pertumbuhan Ifa dengan geli, Ifa menghampirinya dan
menyerahkan setumpuk kertas.
"Nih, Shil," kata Ifa.
"Oh, iya. Makasih," kata Shilla sambil mengambil kertas dari Ifa, lalu memperhatikan jajaran
pigura lagi. Beberapa detik kemudian, Shilla beralih menatap Ifa. "Kamu dari dulu cantik ya, Fa..."
Ifa hanya tersenyum. "Ini di mana?" tanya Shilla, sehabis memperhatikan foto Ifa kecil bertiga dengan seorang teman
laki2 dan teman perempuannya, ia melihat foto Ifa kecil berbaris bersama anak2 bule.
"Oh, itu di Tulsa, Amerika. Gue sempet tinggal di sana empat tahun," kata Ifa, menjelaskan.
"Oh..." Shilla mengangguk-angguk. "Tp kok gaya ngomong kamu nggak kayak Cinta Laura"
Hehehehe." "Ya nggak, laaaah. Gue kan lebih lama tinggal di sini. Cinta Laura mah kayak dibuat-buat..."
"Emang tuuuh," sahut Shilla. Lalu mereka pun mulai bergosip sambil mencela beberapa artis yg
berkelakuan ih-nggak-banget menurut keduanya.
"Sampe sini aja, Fa. Makasih, ya," kata Shilla, lalu menutup pintu Alphard Ifa yg dengan baik
hati mengantarnya hingga tiba di gerbang istana Luzardi.
Ifa, yg sempat memandang lama tempat tinggal Shilla dari jendela mobil yg terbuka, tersenyum
lalu berkata, "Oke deh, Shil. Jangan lupa bilangin Ryo, ya."
Shilla meringis. "Oke deh. Dah!" katanya lalu melambai dan berbalik ketika Alphard Ifa
meluncur meninggalkannya. Ia memencet bel -yg sudah ia ketahui di mana letaknya- dengan
takut2. Tuh kaaaan, batinnya saat melihat Bi Okky yg membuka pintu kecil. Aduh bakal
dimarahin nggak, ya"
Bi Okky ternyata hanya melongok saat melihat bawaan kertas Shilla lalu berkata, "Masuk,"
dengan nada datar. "Maaf ya, Bi, aku pulang sore," kata Shilla begitu melangkah.
Bi Okky kembali berkata tanpa ekspresi, "Saya juga udah dipesenin sama Den Arya. Kamu kerja
full-nya cuma weekend sama malam hari."
Ah. Gadis itu tersentak. Arya memang baik, pikirnya sambil tersenyum dan melangkah pelan.
"Ya udah kamu mandi dulu, ganti baju, kerjain tugas. Abis itu bantu yg lain siapkan makan
malam," kata Bi Okky lagi.
"Iya, Bi. Makasih."
Dengan takut2, Shilla menatap pintu jati kamar tuan mudanya yg ditempeli gambar tengkorak
dan poster hitam bertuliskan "ENTER WITH YOUR OWN RISK!" berwarna merah darah. Ia
menelan ludah. Mengira-ngira apakah bajak laut memang representasi yg tepat untk pemuda itu.
"Ada orangnya nggak sih ini?" gumam gadis itu setelah ketukannya tidak disahuti.
"Masuk aja," kata salah satu pelayan yg sedang melintas sambil membawa vacuum cleaner,
"Tuan Ryo belum pulang sih tadi."
"Kakak abis ke dalem?" tanya Shilla.
Pelayan itu menunjuk vacuum cleaner yg dibawanya, "Setengah jam yg lalu sih aku masuk ngevacuum, belum ada. Tp biasanya Tuan Ryo emang pulang malem kok," kata pelayan itu lalu
beranjak ke bawah. Shilla menghela napas lalu menempelkan telinga ke pintu. Tidak ada suara sih. Mungkin benar2
tak ada orang, pikirnya. Ia pun akhirnya memutuskan membuka pintu lalu melongok, memandangi kamar bernuansa
hitam-putih yg cukup lapang. Berbeda dengan milih Arya, kamar ini hanya terdiri atas satu
bagian. Tempat tidur Ryo juga terletak terpisah di sebagian lantai yg lebih tinggi daripada lantai
yg dipijak Shilla sekarang, sehingga untuk menuju tempat tidur, ia harus melewati barisan anak
tangga kecil. Shilla melangkah masuk perlahan, tertarik melakukan pengamatan kecil-kecilan. Pandangannya
seketika tertumbuk pada meja panjang di dekat pintu. Tidak banyak foto di meja panjang itu,
seperti yg dikira akan dilihatnya. Hanya ada beberapa kaleng minuman kosong, beberapa kertas
asing, pajangan patung kecil berbentuk abstrak, botol bening yg berisi pasir dan kerang2 kecil
tanpa tutup ala "message-in-the-bottle", juga bola kristal kecil berisi pemandangan laut.
Shilla lalu menaruh tumpukan kertas dari Ifa di meja PC yg terletak bersebrangan dengan meja
panjang tadi. Hmm... ditulisin memo aja deh di atasnya, batin Shilla sambil mengambil kertas
kecil dan pulpen yg ada di dekat meja, lalu menulis pesan yg menjelaskan tentang tugas mereka.
Shilla menatap puas memonya. Bagus. Dengan begini, ia tidak perlu sibuk lagi merangkai kata
untuk berbicara di hadapan Ryo.
Tiba2 gadis itu terkesiap, akibat mendengar suara engsel pintu dari balik punggungya. Satu kata
yg terlintar di otaknya hanya "Mati aku."
"Eh, Shilla..."
Shilla tercekat lalu memutar tubuh. Diam2 bersyukur yg dijumpainya malah Arya, "Sore, Tuan,"
sapanya. Arya tersenyum. "Sore... ngapain?" tanyanya, mengangkat alis.
"Ini a-ada tugas kelompok, Tuan," kata Shilla, menunjuk kertas yg tadi diletakkannya.
Arya mengangguk-angguk. "Oh. Gimana hari pertama di sekolah?"
Gadis itu hanya bisa menjawab, "Baik2 aja, Tuan."
"Bagus kalau begitu. Buku kamu udah saya pesankan di Tata Usaha, besok ambil aja. Ditinggal
juga nggak papa. Ryo biasanya juga taruh semua bukunya di loker sekolah kok," kata Arya.
Shilla mengangguk, tersenyum tipis lalu entah kenapa, ia tertarik memperhatikan bungkusan
plastik bening kecil yg tergenggam di tangan Arya. Ia sangat mengenali benda yg tersembul dari
dalamnya. Ia tak tahu ia kedengaran terlalu ingin tahu, tp akhirnya ia tak bisa menahan keinginan
untuk bertanya, "Itu... apa, Tuan?"
Arya mengernyit lalu mengikuti arah pandangan Shilla dan mengerti, "Oh, ini bros keluarga..."
Pemuda itu mengangkat bungkusan di tangannya. "Dipesan dan dicetak timbul ekslusif di
Prancis." "Oh.." Arya menggeleng kecil. "Biasa, Ryo. Ini udah kedua kali dia ngilangin bros. Yg ketiga kali biar
nggak usah dibikinin lagi. Yg pertama masih dimaklumi, karna waktu itu dia masih kecil, tapi..."
Ucapan Arya selanjutnya mulai mengabur di pikiran Shilla karna gadis itu tersentak dengan
pendengarannya sendiri. Mau tak mau ia berspekulasi. Apa maksudnya... Apa Ayi...
Setelah tersadar dari trance sesaat di kamar Ryo, Shilla akhirnya memohon diri untuk turun dan
menyusuri lorong menuju kamarnya sambil trus berpikir. Kata Arya, batinnya memulai, Ryo
pernah menghilangkan brosnya sewaktu kecil. Apa mungkin Ryo itu Ayi" Tp masa Ayi yg baik
itu berubah menjadi cowok searogan Ryo" Apa nama Aryo bisa jadi Ryo" Pikirannya mulai
menelaah hal2 yg lebih mudah. Tentu bisa. A-ri-yo. Ari nya bisa jadi Ayi. Tp bukankah dari dulu
panggilan si tuan muda bajak laut itu sudah Ryo" Hmm.
Ia berpikir lagi. Tp dipikir-pikir nama Arya juga bisa. A-ri-ya. Iya, kan" Shilla merasa hatinya
membuncah lalu beberapa detik kemudian memarahi diri sendiri. Itu mah kamu aja yg mau, Shil.
Ia mengerucutkan bibir. Tp kalau sampai Ayi benar2 si Tuan Muda Ryo yg sombong luar biasa
itu, mungkin Shilla lebih memilih mengubur dan memendam semua kepercayaannya selama
lebih dari sepuluh tahun. Sia-sia sih. Makanya ia jauh lebih berharap Ayi itu Arya saja.
Ah. Ya sudahlah. Lebih baik tidak usah berharap cinta masa lalunya itu salah satu dari kedua
kakak-berdik Luzardi. Jika Ayi-nya ternyata terlalu jauh untuk digapai, akan makin sulit bagi
Shilla untuk mempertahankan pada ranah kenyataan.
"Shilla..." Belum lagi membuka pintu kamarnya, gadis itu terpaksa mengurungkan niat dan menoleh. Deya
ternyata. Ia tersenyum "Kenapa, Kak?"
Gadis berkacamata itu balas tersenyum lalu berkata, "Kamu dipanggil sama Tuan Ryo."
"Hah?" kata Shilla spontan, "Tuan Ryo udah pulang?"
"Iya," Deya mengangguk, "baru aja dia telepon ke dapur."
Shilla menelan ludah. Mengira-ngira apa salahnya.
Perlahan, sambil menghela napas dalam2 Shilla memberanikan diri mengetuk pintu jati kamar
Ryo. Ia menunggu dengan cemas lalu meringis saat suara bariton nan tajam Ryo terdengar.
"Masuk," katanya samar.
Setelah melantunkan harapan yg isinya kira2 semoga ia bisa keluar dengan selamat nantinya,
Shilla pun memutar kenop lalu melangkah ke dalam. "Permisi, Tuan."
Ryo yg sedang berdiri di depan meja komputernya ternyata masih mengenakan seragam walau
sudah berantakan, tangannya menelusuri permukaan kertas yg tadi Shilla letakkan di sana. Tiba2
ia menoleh ke arah Shilla dan menatap tajam. "Ini apa?" tanyanya, merujuk pada kertas itu.
"Bahan tugas bahasa Inggris," jawab Shilla, seadanya. "Eh... Tugas kelompok yg tadi dikasih Mr.
Joe," jelasnya menambahkan, mengingat Ryo pasti tidak tahu-menahu.
Ryo mengernyit. "Trus" Lo nyuruh gue bikin?" tanyanya, dengan nada tersinggung.
Gadis itu menarik napas dalam2. "Itu tugas kelompok, Tuan," katanya lagi, masa Ryo tidak
mengerti apa definisi kata "kelompok" sih" Ia mulai kesal.
"Emang siapa yg mau sekelompok sama lo?"
Shilla bingung harus menjawab apa, hingga akhirnya menanggapi sambil menghela napas, "Itu
kelompoknya disuruh Mr. Joe..."
"Trus?" Shilla tak tahu lagi harus berkata apa.
"Selain sama lo, gue sekelompok sama siapa?" tanya Ryo, akhirnya. Menyadari pelayan baru itu
kehabisan kata. Shilla melengos, berusaha menahan diri untuk tidak meledak lalu membuka mulut, "Ifa sama
Devta." Ryo melengos pelan. "Ini diapain?"
Gadis itu menarik napas lagi sebelum melanjutkan, "Itu... kata Ifa, disuruh baca2 trus nanti Tuan
yg ketik draft-nya. Nanti bentuk jadinya saya, Ifa, sama Devta yg buat."
"Apa lo bilang?" tanya Ryo tak percaya. "Gue disuruh baca bahan sebanyak ini" Lo pikir gue ada
waktu?" Shilla jadi makin jengkel. Kenapa jadi dirinya yg disalahkan" Kalau mau marah, sama Mr. Joe
saja sana. Tp toh akhirnya Shilla hanya menelan kegeramannya bulat2, meski nada kecut dalam
tuturannya tak bisa ditutupi, "Trus gimana, Tuan?"
Iyo memelototi gadis manis di hadapannya, menyadari Shilla belum juga terlatih
menyembunyikan ketidaksukaannya. Ia berdecak lalu balik bertanya, "Ya elo maunya gimana?"
Shilla menggeram pelan. Kenapa jadi dibalikin lagi"
Pemuda itu, entah kenapa, berusaha menahan senyum memperhatikan raut Shilla yg mati-matian
menahan emosi. Menarik sekali gadis itu. Ryo pun berdeham, mengendalikan suaranya agar
tidak berubah menjadi ledakan tawa, lalu mengucap sok tegas, "Lo nggak berhak nyuruh gue,
karna gue majikan lo. Sekarang juga elo baca tuh bahan trus lo yg bikin draft-nya," perintahnya.
Final. Tak bisa diganggu gugat. Ia akhirnya menebar pandangan galak, lalu melangkah menjauhi
meja komputer menuju kamar mandi.
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Shilla manyun. "Tp, kan..."
Ryo berbalik seketika, "Eh, elo ngebantah" Mau gue pecat?"
Gadis itu menghela napas, menahan keinginan mencakar Ryo lalu melangkahkan kakinya ke
kursi di meja komputer. "Eh, nggak ada yg nyuruh lo duduk di situ. Duduk di lantai aja," kata Ryo, masih memperhatikan
Shilla. Gadis itu tersenyum paksa ke arah tuan mudanya, lalu mengambil bahan yg diberikan Ifa dari
meja komputer dan duduk di lantai.
Ryo mengangguk-angguk sendiri lalu berkata lagi, "Gue mandi dulu. Awas lo ya nyentuh2
barang2 gue," pesannya.
Shilla mengangguk, lalu menjulurkan lidah saat punggung Ryo menghilang di balik pintu. Ia
mencibir lalu mengalihkan pandangan dan mulai membuka lembar demi lembar bahan yg
diberikan Ifa. Untung saja ia slalu masuk ranking lima besar waktu di SMA-nya di Desa Apit
dulu dan sering membaca literatur berbahasa Inggris hibahan pemerintah daerah di perpustakaan
mungil sekolahnya untuk mengisi waktu senggang. Jadi biar tinggal di desa, ia tetap tidak
tertinggal untuk belajar bahasa asing di tengah arus globalisasi begini.
Shilla menghabiskan beberapa saat menggarisbawahi beberapa inti paragraf, lalu mulai menulis
kerangka draft. Tak lama kemudian, Ryo keluar dari kamar mandi, memakai kaus oblong dan
boxer polos namun bermerek. Shilla merasakan pipinya memerah. Malu, sepertinya, tak tahu
kenapa. Tanpa sadar ia memperhatikan pemuda itu, diam2 mengakui Ryo slalu terlihat tampan
mengenakan pakaian apa pun.
"Ngapain lo bengong ngeliatin gue?" Ryo tiba2 membentak. "Suka" Tp gue nggak suka sama
elo," lanjutnya enteng sambil mematut diri di cermin panjang.
Shilla tersadar lalu mencibir. Ih, apa sih" batinnya, lalu kembali mengalihkan perhatian pada
draft-nya. Ryo menahan senyum lalu menjauhi cermin dan melangkah melewati Shilla, mengambil majalah
otomotif yg juga tergeletak di meja komputer lalu menaiki undakan dan bersemayam di tempat
tidurnya. Hah" Shilla berpikir kesal lagi. Jadi begini yg dibilang nggak punya waku"
Setelah duduk bersandar di kepala ranjang, Ryo beralih menatap siluet Shilla yg berada di lantai
bawahnya. "Eh, babu," panggilnya seenak jidat. "Ngerti bahasa Inggris nggak lo?"
"Ngerti," sahut Shilla singkat. Mulai tidak bisa menahan golakan emosi lagi.
Ryo menyunggingkan senyum miring. Tak habis pikir knapa ia malah terhibur dengan
ketidakmampuan pelayan baru itu menutupi kekesalannya, bukannya marah2 seperti pada
bawahan lain yg bersikap menjurus ke kurang ajar. Getaran ponselnya membuat pikiran Ryo
teralih. Ia meraih ponselnya. Astaga... Bianca lagi, batinnya datar. Cewek itu memang tipe tahan
banting atau kelewat kulit badak sih"
Sudahlah. Tak ada salahnya sekali-kali menanggapi. Ryo akhirnya memutuskan membuka pesan
Bianca dan terkejut mendapati cerocosan panjangnya. Ia sontak memandang lagi gadis yg sedang
menulis di lantai bawahnya.
"Heh," panggil Ryo.
Shilla mengangkat wajahnya, terlanjur sebal. "Apa lagi?" tanyanya tanpa kata "Tuan".
Pemuda itu mengerutkan kening. "Lo apain si Bianca tadi?"
Shilla mencibir, diam2 berpikir dari mana tuan mudanya itu bisa tahu. "Nggak saya apa-apain,"
jawabnya cepat. "Serius" Lo ngelawan dia?" tanya Ryo dengan nada tak percaya.
"Kalo iya, kenapa?" tanya Shilla, kesal karna draft-nya tidak selesai2 akibat panggilan Ryo yg
berulang-ulang. Pemuda itu melotot garang. "Eh, lo. Ditanya baik2, jawabnya juga dong."
Shila menekan pulpennya ke kertas2, lalu menghela napas perlahan. "Gini ya, Tuaaaan,"
mulainya dengan nada sabar yg dibuat-buat, "saya bikin tugas kelompok kita. Kalo diganggu trus
nanti nggak slesai2."
Ryo mencibir. "Ya itu sih derita lo. Kalo gue tanya ya jawab dong. Gue kan majikan lo."
Shilla akhirnya tersenyum paksa ke arah Ryo yg tak bosan menggunakan kata -gue-kan-majikanlo untuk menggertaknya. "Jadi, Tuan mau tanya apa?" tanyanya sok manis.
"Lo apain Bianca?"
Shilla mendengus, lalu baru menyadari kemarin ia melihat Bianca sempat bergelayutan di lengan
Ryo. Mungkin mereka berhubungan atau sebangsanya, hingga pemuda itu kini tak terima
pacarnya diapa-apakan. Ah. Sudah kadung ini. "Pacar Tuan nggak saya apa-apain. Saya cuma
kasih tau dia gimana caranya bersikap dan blajar menghargai orang," ujar Shilla sejujur-jujurnya
sambil memandang tajam ke arah Ryo.
Ryo kontan mengangkat sebelah alisnya. "Elo nyindir gue?"
Shilla mengangkat bahu, memperhatikan draft-nya lagi. "Ya nggak tahu deh kalo Tuan merasa
tersindir," katanya, tak sadar membuat Ryo melotot. Shilla mengabaikannya lalu meneruskan
pekerjaannya. Tidak akan ada habis-habisnya deh menghadapi orang seperti Ryo atau Bianca.
Ryo mengecilkan matanya ke ukuran semula, namun masih menatap Shilla lekat2. Makin lama
makin penasaran juga ia dengan sikap ceplas-ceplos gadis itu. Ia menimbang, lalu memutuskan
mengisengi pelayan baru yg sedang berkonsentrasi di dekatnya.
Ia mengambil remote lalu menyalakan LCD TV-nya yg berada di salah satu dinding. Ia sibuk
memencet-mencet tombol, berusaha mencari saluran yg paling berisik. Nah, ia membatin girang,
menemukan salah satu siaran TV kabel yg sedang memutar film perang.
Berhasil. Suara tembakan, ledakan, dan teriakan akhirnya mengganggu konsentrasi Shilla.
"Ehm," deham gadis itu sengaja, mendongak dan menatap ke arah Ryo dengan mata disipitkan,
"bisa dikecilin dikit nggak, Tuan?"
Ryo, dalam hati bersorak senang karna rencana isengnya sukses, hanya mengangkat sebelah alis,
"Ini kamar gue. Suka2 gue..."
Shilla mendesah lalu beranjak bangun dari posisinya. "Kalo begitu saya bikin di luar aja ya,
Tuan." "Nggak. Enak aja. Bikin di sini, " perintah Ryo cepat.
Shilla berdecak lalu membenahi posisinya kembali duduk di lantai, meneruskan draft-nya sambil
berusaha mengebaskan pendengaran, mencurahkan perhatian sepenuhnya pada baris2 kata.
Ampuh juga ternyata. Ryo menatap Shilla yg setelahnya malah makin tekun menulis, lalu mencibir. Tangguh juga,
batinnya. Lalu tiba2 pemuda itu bergidik, merasakan panggilan alam mengusiknya. Ryo akhirnya
memutuskan mematikan TV lalu beranjak menuju kamar mandi diiringi tatapan kesal Shilla.
Shilla sendiri, dengan beberapa coretan terakhir, kini berhasil menuntaskan draft-nya. Ia
meregangkan tangan sambil menguap. Menulis bisa menguras tenaga juga ternyata. Tak lama, ia
pun berdiri lalu meletakkan beberapa helai kertas berisi draft yg ditulisnya di meja komputer.
Menunggu perintah selanjutnya dari Ryo.
Shilla memandang pintu kamar mandi. Bingung knapa Ryo lama sekali di dalam sana. Ia
memutuskan melangkah menuju meja panjang tadi, membuang kaleng2 kosong yg tersisa ke
dalam tempat sampah lalu memandangi botol bening yg berisi pasir dan kerang di meja. Mirip
miliknya waktu kecil dulu, yg kini entah ke mana.
Ia tengah mengulurkan tangan, berniat menyentuh botol pasir itu tepat saat Ryo tiba2 keluar dari
kamar mandi dan menghardiknya.
"Jangan pegang itu!" teriak Ryo tiba2, keras, membuat Shilla melonjak di tempat.
Gadis itu menoleh, terperanjat mendapati mata Ryo berkilat mengerikan. Kenapa dia" Dibanding
kepongahannya, raut kemarahan asli Ryo ternyata jauh lebih menakutkan, menciutkan nyali.
"Keluar sana!" bentak Ryo "Draft itu biar gue yg ketik. Elo... keluar dan jangan pernah masuk
sini lagi!" sergahnya marah.
Ryo lalu berusaha mengatur napasnya yg tersengal akibat ledakan amarah, lantas memperhatikan
punggung Shilla yg beranjak pergi. Ia sama sekali tidak merasa kasihan bahkan setelah
menangkap kilasan ketakutan di wajah gadis itu tadi. Tidak. Tidak ada yg boleh menyentuh
benda itu. Tidak boleh ada yg menyentuh kenangan masa kecil itu selain ia dan pemiliknya.
Bab 6 KEESOKAN paginya. Shilla melambai-lambaikan satu tangannya ke depan untuk menyetop dan akhirnya menaiki
angkot yg baru saja melintas di depan komplek Perumahan Airlangga. Hari ini ia tidak berangkat
bersama Ryo karna enggan akibat insiden kemarin. Ia lebih memilih brangkat lebih pagi lalu
bertanya pada satpam depan komplek yg dulu galak itu bagaimana cara mencapai kawasan
sekolahnya dari sini. Untung saja satpam itu tahu.
Tak lama sehabis menunggu beberapa penumpang lain naik, angkot itu mulai bergerak. Shilla
sedikit kewalahan memeluk tas kainnya yg berisi pakaian olahraga. Ya, hari ini ada pelajaran yg
paling dibencinya itu. Ia harus mengakui ia memang paling payah kalau masalah gerak tubuh.
Akhirnya setelah beberapa saat, Shilla turun dan berganti kendaraan di tempat lain yg diberitahu
satpam. Kali ini ia menaiki bus kota. Untung saja, karna masih pagi bus yg dinaikinya tidak
begitu ramai. Ia masih kebagian tempat duduk.
Bus kota itu menyalip-nyalip dengan lincah. Gila. Shilla baru merasakan sensasi menegangkan
seperti ini. Ternyata benar kata orang kampungnya dulu yg pernah ke Jakarta. Pengemudi bus
kota di Jakarta itu berpotensi jadi pembalap berkelas.
Gadis itu pun lalu turun di halte terdekat dari sekolahnya dan memutuskan berjalan kaki sambil
memeluk buntalan tas kain dan menyenandungkan lagu Ayi ke arah gerbang. Hari masih terlalu
pagi tampaknya, sehingga belum banyak mobil mewah berseliweran di lapangan parkir.
Shilla masuk ke pintu gedung tempat kelasnya berada. Ia mengambil kartu ID dari saku lalu
memasukkannya ke mesin absen di sebelah pintu utama hingga terdengar bunyi bip dua kali,
lantas melangkah menuju lift. Setelah akhirnya lift berhenti di lantai tiga, Shilla melangkah
memasuki kelasnya yg masih sepi. Baru ada sebagian siswa di sana, termasuk Devta.
"Hai, Shill," sapa pemuda itu ringan, sambil mengutak-atik ponselnya.
"Halo," kata Shilla lalu duduk di bangkunya, di sebelah Devta.
Tak lama, Devta memasukkan ponselnya ke saku lantas memperhatikan muka Shilla. Ia
mengernyit. "Kenapa lo kusut gitu?"
"Hah?" Shilla memperhatikan seragamnya, lalu mengerutkan dahi bingung. "Emang seragamku
kusut?" Devta tertawa. "Bukan seragam lo. Muka lo itu kusut..."
Shilla hanya mengangkat bahu. Sesungguhnya di benak gadis itu masih juga terbayang ekspresi
menakutkan Ryo semalam. Secara misterius, draft tugas bahasa Inggris sudah ada di kamarnya
tadi pagi. "Heh" Kenapa?" tanya Devta lagi, masih penasaran.
"Nggaaaaak," kata Shilla sambil mencoba tersenyum.
Devta mencibir. "Gara2 Ryo, ya?"
Shilla mengangkat bahu lagi lalu merogoh tasnya. "Nih, draft-nya."
Devta mengambil kertas yg diberikan Shilla, lalu mulai membolak-balik dan menyerahkannya
kembali pada gadis itu. "Simpen aja dulu. Entar ke rumah Ifa, kan?"
Shilla mengangguk. "Kamu ikut, kan?" Yg disahut Devta dengan cengiran.
"Pagiiiiiii," sapa sebuah suara yg tiba2 terdengar. Shilla dan Devta mengalihkan pandangan ke
pintu lalu tersenyum melihat Ifa yg tampak cerah.
"Pagiii," balas keduanya serempak.
Ifa mengempaskan diri di bangku lalu mengambil kertas di meja Shilla. "Ini draft-nya" Cepet
amat." "Iya," jawab Shilla singkat.
"Ryo yg bikin?" tanya Ifa tak percaya, keningnya berlipat.
"Emm," kata Shilla, "berdua sih," jawabnya, setengah jujur. Hitung2 menyelamatkan muka Ryo
deh, batinnya. "Oh," jawab Ifa dengan ekspresi tak tertebak.
"Eh, materi OR hari ini apa?" tanya Shilla tiba2, merasa ingin tahu siksaan apa yg menunggunya.
Devta yg menjawab, setelah berusaha mengingat-ingat, "Voli kayaknya. Hari ini pake lapangan
indoor." Ifa menyipitkan mata, seperti berusaha mengingat sesuatu, lalu menepuk dahinya, "Aduh gue
lupa. Kayaknya gue nggak ikut OR hari ini deh. Ada rapat OSIS."
"Enak bangeeeeet," kata Shilla spontan, iri pada keberuntungan Ifa yg bisa absen pada pelajaran
yg ia benci setengah mati itu.
Ifa tertawa pelan. "Enak dong. Untung kemaren kepala sekolah ngizinin ambil jam pelajaran
ketujuh sama kedelapan. Hehehe."
Shilla mengerucutkan bibir lalu merasa bibirnya makin maju saat melihat siapa yg baru saja
datang. Ryo. Lagi2 aura angkuh yg menyilaukan terpancar dari majikannya itu. Dengan acuh, dia
duduk di bangku depan Shilla.
Devta memutar bola mata. Ifa hanya mengangkat bahu lalu menekuni draft di tangannya.
Sementara Shilla hanya menunduk, teringat insiden kemarin lagi.
"Ryooooooooo..."
Shilla sontak mengangkat wajah saat mendengar suara sok imut itu. Bianca. Kali ini dia
sendirian, tidak bersama teman-temannya. Gadis mungil itu melangkah dengan gaya ratu
sejagadnya lalu berdiri di depan Ryo. Dengan seenaknya, Bianca menarik bangku di depan
pemuda itu, lalu duduk menghadap Ryo.
"Kok kamu nggak bilang2 udah dateng?" tanyanya menuntut.
"Emang lo petugas absen?" balas Ryo ketus.
Bianca mencibir. "Kok kamu nggak jemput aku" Nggak terima pesanku?"
"Terima, lah. Lo ngirim berjuta-juta kali gitu."
"Trus knapa nggak jemput aku?" tanya Bianca makin manja, membuat Shilla bergidik dan
memutar bola mata. "Mobil gue sekarat bensinnya. Nggak sempet ke pom bensin kemaren. Itu aja baru tadi pagi
isinya. Kalo pake jemput ke rumah lo, bisa mati di tengah jalan mobil gue," jawab Ryo ngeles.
Bianca merengut. "Kan di rumah aku ada pom bensin."
Hah" Shilla mau tak mau takjub juga. Sekaya apa si Bianca" Sampe punya pom bensin di
rumahnya" Ryo ternyata memutuska tidak menjawab, dan membiarkan matanya berkeliaran ke mana2
daripada menatap makhluk mungil di depannya.
Bianca mencibir lagi. "Entar malem jemput aku dong. Ada acara di Oliv."
"Males," sergah Ryo tajam. "Udahlah, Bi. Lo nempel mulu deh kayak lintah."
Shilla, yg diam2 heran karna menyadari tampaknya Ryo dan Bianca tidak berpacaran, kali ini tak
bisa menahan semburan tawanya, membuat Bianca melotot sadar.
"Oh. Ada elo," sapanya ketus, melongok ke belakang punggung Ryo.
Shilla hanya mengangkat sebelah alis.
"Ngapain lo ketawa?" tuntut Bianca tak trima.
Shilla mengernyitkan dahi, puraa bingung. "Oh. Jadi di sini kalo ketawa juga harus izin kamu
dulu?" Ryo, meski tak menoleh ke belakang, mau tak mau mengangkat sebelah alis mendengar ucapan
Shilla. Cewek itu benar2 mengesankan. Berani melawan Bianca, si ratu mulut cabe, pula.
"Awas lo!" kutuk Bianca kesal, memelototi Shilla lalu Ryo lantas beranjak dari bangku yg
didudukinya. *** "Berjuang ya, Shil. Gue rapat dulu," kata Ifa lalu ngibrit ke luar begitu bel pergantian jam
pelajaran berbunyi, meninggalkan Shilla bersama Devta.
Devta lalu mengajak Shilla keluar kelas dan menuju lift. Mereka menghabiskan beberapa menit
sendiri untuk berpinda gedung, hingga Devta menunjuk salah satu ruangan kecil di dekat
lapangan voli indoor kepada Shilla. "Itu ruangan ganti cewek. Ke situ aja," katanya.
Shilla pun mengangguk, melambai pada Devta lalu memasuki ruang ganti. Lemari tinggi dengan
barisan loker, ada mesin kecil dan selembar tempelan kertas yg bertuliskan nomor ID yg bisa
digunakan di masing2 loker, karna loker itu dipakai bergantian oleh semua kelas. Shilla
mengambil kartu ID-nya dari kantong lalu menggesekkannya ke mesin kecil yg ada di loker
dengan tempelan salah satu nomornya.
Ia bergantian baju bersama teman2 lain lalu menyurukkan tas kain berisi seragam sekolahnya ke
loker dan memasukkan kembali ID ke kantong celana olahraganya.
Shilla lalu bergegas menuju lapangan karna tiupan peluit guru olahraga sudah menyalak-nyalak.
Ia mengerutkan kening begitu berbaris, baru sadar ada segerombol gadis yg bukannya berada di
lapangan malah duduk di bangku. Ia menyipitkan mata, lalu tersentak saat menyadari itu Bianca
dan antek-anteknya. Shilla mengernyit, si Bianca itu tidak ikut pelajaran atau apa"
Gadis sombong itu balas memandangi Shilla. Penyandang julukan Queen Bi itu kini menyipitkan
mata sambil memaikan rambut sementara seorang dayang mengipasinya dengan kipas elektrik.
Beberapa saat ia hanya memandangi Shilla dengan tatapan super merendahkan sambil mendesis.
Si kurang ajar itu. Lantas Bianca akhirnya, seperti mendapatkan wangsit cemerlang kala melihat
kartu ID Shilla terjatuh dari kantong celana gadis itu saat kelas XI-I melakukan pemanasan.
"Lo semua tunggu di sini," katanya dengan nada memerintah pada teman-temannya.
Bianca dengan cepat berdiri lalu menghampiri lapangan tempat XI-I berada. Dengan seenaknya,
ia berjalan melintasi siswa/i yg sibuk melakukan peregangan lalu berhenti tepat di belakang
Shilla yg belum sadar juga. Dengan lihai, Bianca bergegas menginjak kartu ID Shilla dengan
sepatu mahalnya. Shilla hampir saja terjatuh karna tiba2 ada yg menghalangi ruang geraknya. Ia sontak
menegakkan diri, menstabilkan posisi, lalu melotot ke arah Bianca.
Belum sempat Shilla mengeluarkan emosinya, ternyata Pak Hari, guru olahraga terlebih dulu
bertanya pada Bianca, "Ngapain kamu di situ?"
Dengan gerakan cepat, Bianca memunguti kartu ID Shilla. "Kartu kredit saya jatuh di sini. Mau
saya ambil. Daripada keburu diambil sama orang miskin," katanya sambil mencibir kepada
Shilla. Pak Hari mengernyit. "Kok kamu bukannya belajar" Kembali ke kelas kamu sana."
"Saya juga nggak mau lama2 di sini. Bau sam-pah," tegas Bianca lalu berbalik sambil tersenyum
licik setelah sebelumnya menyenggol Shilla dengan sengaja. Ha. Lihat saja gadis miskin itu.
*** "Nggak lucu deh, ya!" Shilla mencak2 begitu melihat pintu lokernya berayun-ayun terbuka, kartu
ID-nya terjatuh di bagian bawah lemari loker besar itu. Blazer dan kemeja seragam raib dari tas
kainnya. Ia berdecak kesal.
"Knapa, Shil?" tanya Zera, teman sekelasnya, tiba2 menghampiri.
Shilla merengut, menunjuk lokernya. "Seragamku ilang, Ze."
"Hah?" Zera ikut melongok ke arah loker Shilla. "Ini udah kebuka dari tadi?"
Shilla mengangguk. "Sejak aku baru masuk." Ia menggeleng kesal, lalu berpikir cepat. Siapa
pelakunya" Tiba2 Shilla teringat kelakuan Bianca di lapangan tadi. Omong kosong soal kartu
kreditnya. Pasti nenek sihir itu!
Shilla bergegas memungut kartu ID dari lantai, lalu menyambar tas kain yg kini hanya berisi rok
dan sepatu pantofelnya lantas membanting pintu loker tanpa ampun. Dengan emosi
menggelegak, ia bergegas keluar dari ruang ganti, mengabaikan panggilan Devta, berganti
gedung lalu menaiki lift, dan menuju kelas XI-II yg untungnya tidak ada gurunya.
Tanpa menghiraukan lusinan pasang mata yg memperhatikannya, Shilla tergesa mendatangi
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bianca yg tengah berias di mejanya dikerubungi teman-temannya. Ia menggebrak meja Bianca,
hingga peralatan make-up di meja terlompat dan pemiliknya ikut terkejut.
Shilla membentak Bianca, "Mana seragam saya?"
Bianca menormalkan emosinya lalu memandang Shilla sok tak mengerti. "Mana gue tau"
PENTING kali ngumpetin SAMPAH kayak gitu."
Shilla melotot. "Saya nggak lagi bercanda," tegasnya.
Bianca mengangkat alis. "Gue juga nggak," katanya enteng, lalu mematut diri di cermin kecil di
meja. Shilla menarik napas dalam2. Berusaha tidak menjambak rambut Bianca.
Bianca kembali memasang tampang ratu sejagadnya. "I've told you. Lo yg ngajak gue main
duluan." "Tp ini nggak lucu!" seru Shilla.
"Emang ada yg bilang lucu?" kata Biangca, mencibir sambil memperhatikan kukunya. Namun
setelah mendengar dengusan ketus, ia akhirnya menatap Shilla juga. "Lo mau seragam lo balik?"
tantangnya. Gadis yg ditanyai itu hanya menjawab sarkatis. "Menurut kamu?"
Bianca mengangguk-angguk lalu bangun dari kursinya dan berdiri di hadapan Shilla yg
sesungguhnya jauh lebih tinggi darinya. Gadis mungil itu menunjuk lantai, menantang mata
Shilla. "Elo... berlutut dan minta maaf dulu sama gue."
Shilla menganga. Ini penghinaan. Lebih baik seragamnya tidak usah kembali daripada ia harus
merendahkan diri di depan nenek sihir macam Bianca. Shilla menggeleng. "Tidak, terima kasih.
Saya mending nggak punya seragam daripada minta maaf sama nenek sihir kayak kamu,"
katanya lalu hengkang dari hadapan Bianca.
"What did you call me?" tanya Bianca histeris, saat penantangnya malah benar2 pergi dan tak
kembali lagi. *** "Shilla, knapa kamu pake seragam olahraga?" tanya Bu Tika, guru biologi mereka yg baru
datang di jam pelajaran terakhir. Ia baru menyadari salah satu ketidakdisiplinan siswinya saat
memandang seisi kelas untuk memilih penjawab soal.
"Seragam saya hilang, Bu," jawab Shilla sejujurnya.
Bu Tika mengernyitkan dahi lalu memutuskan melanjutkan pelajaran. Baginya yg penting
kesalahan seragam itu tidak akan menghambat muridnya untuk mencerna materi. Ia akhirnya
menunjuk Zera untuk menjawab soal yg tadi ia ungkapkan.
Ifa menyenggol Shilla, berbisik, "Trus gimana dong seragam lo?"
Shilla mengangkat bahu. Masa ia harus mengatakan hal ini pada Tuan Arya" Sungkan sekali
rasanya. "Kamu punya seragam brapa?" tanya Shilla, balas berbisik pada Ifa.
"Ada ekstra sih. Lo mau minjem?" tanya Ifa, berbaik hati.
Pinjem nggak, ya" batinnya menimbang. Tp Shilla segan menyusahkan Ifa yg sudah begitu baik
padanya. Akhirnya ia menggeleng menjawab pertanyaan Ifa. "Nggak usah, deh..." Entah
bagaimana nasibnya besok.
Begitu bel pulang berdering dan Bu Tika keluar ruangan, Shilla membereskan peralatan sekolah
ke dalam ransel hitam butut yg kemarin diberikan Bi Okky. Katanya sih ditemukan di gudang.
Lalu ia menoleh ke arah Ifa. "Jadi kan ke rumah kamu?"
Ifa sibuk memenceti ponselnya. "Jadi. Tp sopir gue kok belum dateng, ya. Dev, mobil lo
gimana?" "Gue tadi brangkat ke sini nggak naik mobil sendiri. Kan udah tau pulangnya ke rumah elo, tadi
gue sama bokap," kata Devta menjelaskan.
"Oke," jawab Ifa, memasukkan ponselnya ke saku. "Kita tunggu di sini aja deh ya sampe sopir
gue ngabarin." Devta tiba2 bangkit dari kursi, menatap kedua gadis di dekatnya, sambil menunjukkan
ponselnya. "Gue ke taman rusa bentar, ya. Si Rama nih tau2 manggil." Ifa dan Shilla hanya
mengangguk. Sepeninggal pemuda itu, Ifa kembali memainkan ponselnya. Sementara Shilla memutuskan
membaca draft-nya. Tiba2 ponsel Ifa berdering. Shilla mengamati sobatnya itu berbicara sambil
memasukkan draft ke tas. Bersiap-siap, mungkin itu sopir Ifa.
"Halo. Knapa, Dev" Hah" Sabar ngomongnya pelan2... Hah" Ke lapangan" Ngapain" Iya, iya..."
Ifa menekan tombol merah di ponselnya lalu memandang Shilla dengan raut cemas, "Shil, kata
Devta kita disuruh turun ke bawah sekarang ke lapangan."
Shilla mengernyitkan dahi, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah Ifa yg terburu-buru. Mereka
bergegas menaiki lift lalu turun dan berjalan ke arah lapangan upacara yg kini dipenuhi murid.
Ada apa sih" pikir Shilla sambil menerobos kerumunan. Ia menyerobot ke depan bersama Ifa
lalu mengikuti pandangan semua orang yg mengarah ke tiang bendera. Nggak lucu, batin Shilla.
Sebuah blazer dan kemeja berkibar-kibar di ujung tiang bendera. Miliknya.
Bab 7 OKE. Shilla menarik napas lambat2. Sangat tidak lucu melihat blazernya dan kemejanya
berkibar-kibar di atas tiang bendera setinggi itu. Ia berdecak. Tak bisa memikirkan nama lain yg
mungkin melakukan hal segila ini. Nenek sihir itu.
Benar saja. Setelah mengedarkan pandangan, Shilla bisa melihat Bianca menatapnya angkuh
sambil tersenyum meremehkan. Ratu sejagad dan teman-temannya itu berdiri tidak jauh dari
tiang bendera yg kini menjadi tontonan massa.
Gila. Shilla berdecak, berpikir. Apa yg harus ia lakukan, coba" Ia bisa sih memanjat. Tp
memangnya ia mau dikira titisan Sun Go Kong" Padahal biasanya ia bangga dengan
kepandaiannya itu, yg membuat dirinya menjadi juara panjat pinang abadi dan tak tergoyahkan
di kampungnya dulu. Shilla menggeleng samar lalu mengalihkan pandangan lagi, memancarkan tatapan membunuh
ribuan volt ke arah Bianca. Andai tatapan bisa menyerang seseorang, ia yakin pasti sekarang
Bianca sudah berdarah-darah.
Gadis congkak itu sedang merasa di atas angin sehingga masih bisa balas menatap Shilla dengan
merendahkan, padahal diam2 hatinya sedikit gentar juga.
Shilla menggigit bibir, lalu menimbang-nimbang. Peraturan pertama kalau dipermalukan. Tidak
boleh kliatan kalah, pikirnya. Ia beralih memandang Ifa yg sedang menatap cemas ke arahnya.
Keduanya seakan berpikir sama. Di mana Devta dalam keadaan genting begini" Menghubungi
untuk turun ke bawah, Devta-nya sendiri malah kabur sekarang.
Shilla lalu memandang orang2 di belakangnya yg masih menunjuk-nunjuk blazer dan kemeja di
atas mereka. Kejadian aneh kayak gini kok seneng banget, batin Shilla, mau tak mau kesal juga.
Dijadiin tontonan pula. Orang kota tp udik juga ternyata.
Shilla menarik napas lalu mendongak, menyipit menatap baju seragamnya dengan saksama. Ia
kesal setengah mati karna itu baju pemberian Tuan Arya dan lebih kesal lagi saat menyadari
seragam itu tidak dicantolkan ke pengait bendera, melaikan benar2 diikat kedua ujungnya di
puncak tonggak tiang sehingga tidak bisa dikerek turun.
Ia menggeram lalu memandang Bianca, memelototinya dari atas sampai bawah. Tidak mungkin
gadis manja seperti Bianca memanjat tiang. Shilla yg lihai memanjat pohon saja tidak mungkin
bisa memanjat tiang selurus itu, apalagi si nenek sihir tipe manja begitu.
Tiba2 suara menggelegar terdengar memecah udara di sela kerumunan. Para murid seketika
menoleh ketakutan ke segela penjuru, mencari-cari siapa sumbernya.
"Apa-apaan ini"!"
Shilla menoleh ke belakang, terenyak melihat kerumunan orang kini mulai membelah diri
menjadi dua bagian, seakan memberikan jalan bagi sosok jangkung yg menyeruak maju. Guru,
sepertinya. Dengan tambahan kata "killer" karna aura hitam yg terpancar darinya.
Shilla kontan mengerut saat sosok pengajar yg belum diketahuinya itu berdiri di sebelahnya. Ia
hanya dapat mencicit pelan, "Siang, Pak..." yg dijawab tatapan ketus oleh guru itu.
Shilla menelan ludah. "Kamu, Ifa. Apa ini yg ditonton" Hah?" Guru itu berkacak pinggang ke arah Ifa.
Ifa yg terlihat kehabisan kata cuma bisa menunjuk tiang bendera, tempat blazer dan kemeja
Shilla masih berkibar mengikuti embusan angin.
Bapak itu kontan melotot marah, lalu ganti memperhatikan Shilla yg memakai seragam olahraga.
"Itu seragam kamu?" tanyanya tajam, sangat mengintimidasi. Matanya masih melotot saat
melihat Shilla mengangguk lalu melanjutkan investigasi dengan nada menyelidik, "Kok bisa ada
di atas situ?" Shilla meringis. "Saya nggak tahu, Pak," jawabnya.
"Tidak tahu"!" bentaknya. "Jawaban macam apa itu"! Apa yg kamu tahu"!" Bapak itu
menggeleng-geleng geram, lalu masih dengan berkacak pinggang, ia memutar tubuhnya,
mengalihkan pandangan ke arah murid2 di belakangnya yg masih berkerumun.
"Kalian juga!" hardiknya keras, sambil mengacung-acungkan tangan. "Ini namanya penghinaan
kepada Sang Saka Merah Putih, tahu tidak, kalian semua"! Penghinaan terhada harga diri kalian
sebagai satu bangsa! Bukannya membantu menurunkan apa yg tidak selayaknya berkibar di
ujung tang tertinggi di negara ini malah dijadikan tontonan! Apa kalian tidah tahu untuk
mengibarka bendera Pusaka kita itu dibutuhkan perjuangan yg tidak sebentar dan tidak mudah"
Di mana hasil pelajaran yg saya berikan selama ini, HAH"!"
Guru kewarganegaraan. Jelas. Pantas saja. Shilla membatin, mengingat jadwalnya dan menyadari
ia tidak akan mendapatkan pelajaran PKn sampai Jumat nanti.
"Bubar, semua, bubar! Tidak lucu ini semua!" amuk guru killer itu, membuat semua murid
ketakutan lalu bergegas beranjak satu per satu.
Shilla kontan menoleh ke tempat Bianca brada tadi. Gadis itu dan konco-konconya sudah raib.
Kurang ajar, batinnya kesal. Lantas ia memperhatikan tiang bendera dengan sedih sekaligus
tampak berpikir keras. Tak lama bapak itu malah menoleh ke arahnya, "Bagaimana baju kamu
itu?" Shilla hanya bisa mengangkat bahu. Sama2 tak tahu.
Pak Duta, guru kewarganegaraan itu, berdecak lagi, lalu kembali mendongak, memperhatikan
posisi tiang bendera yg ujungnya terletak tidak jauh dari serambi lantai tiga.
"Kamu," tunjuknya pada Shilla, "ke lantai tiga sekarang. Cari pesuruh sekolah atau siapa pun, yg
penting laki2 yg ada di situ. Minta tolong lepas seragam kamu dari tiang bendera. Jangan kamu
sendiri, nanti jatuh." Walau jelas baru berkata dengan kesan ucapan yg menyerempet ke
kepedulian, guru itu tetap saja melotot.
Shilla mengangguk, memberikan isyarat sekilas pada Ifa, lalu langsung berlari menuju pintu
gedung. Sayup2, ia masih bisa mendengar gumaman Pak Duta, "Penghinaan... Tidak tahu
susahnya... Anak zaman sekarang..."
Gadis itu menggeleng-geleng lalu bergegas memasuki lift untuk menuju lantai tiga. Setelah lift
memperdengarkan nada "ting", ia pun melangkah ke luar dan menyusuri koridor, lalu
menyapukan pandangan, mencari laki2 terdekat seperti yg diperintahkan guru itu tadi.
Sayangnya tak tampak satu pun pesuruh sekolah yg biasa berpakaian biru muda. Shilla
menyipitkan mata lalu menimbang-nimbang dan berjalan ragu saat menangkap siluet tegap yg
sedang memandang ke bawah balkon yg tepat berada di depan tiang bendera. Pas sekali, batin
Shilla. Ia lalu melangkah mendekat, dan kontan menyerukan kekecewaan dalam hati. Ternyata sosok itu
bukan pesuruh sekolah, melainkan Ryo.
Pemuda itu tampak sedang merenung, pandangannya menerawang. Mau tak mau, Shilla ikut
terdiam, tertegun. Apa yg Ryo pikirkan hingga aura dan pandangannya terlihat berbeda" Bola
matanya berkilat dengan kobaran yg tetap membakar namun dengan perbedaan kesan, kali ini
terasa menghanyutkan. Tiba2 saja Ryo menoleh, melemparkan tatapan angkuhnya yg biasa kepada Shilla. Ia tercekat,
merasa tertangkap basah. Ya ampun, batin Shilla samar. Knapa berubahnya bisa secepat itu"
"Ngapain lo, babu?" tanya Ryo ketus.
Shilla mengangkat sebelah ujung bibirnya kesal. Seketika merasa aneh pernah menganggap
tatapan Ryo... Emm... Apa pikirnya tadi" Menghanyutkan" Ia bergidik.
"Gue tanya, lo ngapain" Bengong mulu," ujar pemuda itu kesal.
Shilla mencibir, lalu berpikir. Bagaimana ini" Gadis itu menoleh ke belakang, mencari laki2 lain,
yg tidak ada juga. Ia memandang Ryo lagi, menimbang. Masa ia harus meminta tolong Ryo"
Memangnya pemuda model begini bisa apa" Tp... Shilla mengkeret. Ia tak mau di-blacklist oleh
guru killer tadi, bahkan sebelum mendapat pelajarannya.
"Sa-saya mau minta tolong," kata Shilla akhirnya, setelah berhasil menghimpun segala bentuk
keberanian dalam dirinya.
Ryo mengangkat sebelah alisnya. Kapan terakhir kali ia mendengar ada orang yg brani meminta
tolong padanya" Bertahun-tahun yg lalu, mungkin. Ia mengerucutkan bibir, memandang gadis di
hadapannya yg sedang menunduk sambil memainkan ujung kaus olahraganya, menanti jawaban.
Ia menjawab singkat, "Siapa elo?"
Shilla mendengus, mengangkat wajahnya yg kini pasti terlihat kesal setengah mati. Merutuki
prediksinya yg benar seratus persen. Buang2 waktu bukan, meminta tolong kepada Ryo itu"
"Ya udah, permisi," putus Shilla, melihat posisi tiang bendera tidak jauh dari tempat Ryo berdiri.
Shilla mendengus geram lalu menarik napas perlahan untuk menyabarkan hatinya. Akhirnya ia
maju, berdiri tidak jauh dari Ryo, dan memperhatikan jauh ke bawah balkon. Ia bersandar ke
dinding balkon yg setinggi dagunya. Lalu di sisi dinding balkon yg satu, ada serambi terbuka
berlebar beberapa meter yg tidak disekat dinding lagi. Serambi ini diisi bermacam pot tanaman
dan ia harus turun lalu menjejak serambi itu agar bisa berjalan sedikit ke kanan hingga tepat
berhenti di belakang tiang bendera, lalu meraih seragamnya.
Oke. Tidak ada jalan lain. Shilla menarik napas. Ia harus memanjat pegangan dinding balkon ini
untuk menuju serambi. Ia mencibir menatap Ryo yg balas memandangnya tajam. Dalam hati, Shilla mencela sikap Ryo
yg tidak seperti gentleman. Diam2 ia membandingkannya dengan Arya. Ia yakin tuan mudanya
yg lain itu pasti takkan sungkan membantu jika ada di sini.
Shilla mendengus lalu mulai memanjat balkon, bersyukur masih mengenakan celana olahraga.
Agak susah sebenarnya, tapi untung saja predikatnya sebagai pemenang lomba panjat pinang yg
tak tergoyahkan bertahun-tahun membuatnya menguasai dinding itu dengan mudah.
Begitu bertengger di dinding balkon, Shilla merasa mendengar bunyi ceklik, lalu samar2 kilatan
putih. Ia menoleh, mengernyit melihat Ryo mengarahkan punggung ponsel kepadanya.
Beberapa kali, terlahir beberapa kilatan lagi. Shilla kontan melongo, baru menyadari Ryo
mengambil gambar dengan kamera ponselnya.
"Good... good. Ternyata zaman sekarang masih ada pembuktian teori evolusi Charles Darwin. Lo
tinggal ditambahin properti bulu2 cokelat aja," kata Ryo, sambil menurunkan ponselnya,
memasang wajah senang. Shilla yg masih menganga tak percaya, kini mengertakkan gigi. Ia tak habis pikir Ryo itu titisan
spesies menyebalkan dari planet mana. Ia mendengus lalu memutuskan mengabaikan pemuda itu
dan melompat ringan ke serambi. Ia menggeser tubuhnya perlahan ke posisi yg berada tepat di
belakang tiang bendera, sambil menahan napas dan mengingatkan diri untuk tidak melongok k
e bawah. Dengan hati2, ia mencondongkan tubuh lalu melepas ikatan blazer dan kemejanya. Ia menghela
napas lega lalu mengernyitkan dahi lagi ketika menyadari blazer dan kemejanya terhias noda2
cokelat berlendir. Shilla memutuskan mengendus sesaat lalu setelahnya terpaksa menahan golakan dalam perutnya
kuat2. Ia menghela napas sambil bertanya-tanya mengapa seragamnya tercium samar seperti
onggokan sampah. Apa sih yg dilakukan nenek sihir itu sebelum mengikatkannya"
Shilla berdecak lalu memutuskan untuk berpikir nanti saja. Ia berputar perlahan lalu menatap
dinding balkon di atasnya, seketika menelan ludah. Dinding itu keliatan tinggi sekali dari sini,
batinnya. Gawat juga ia tidak memperhitungkan bagaimana cara kembalinya tadi. Duh.
Ia mendongak, berdecak melihat Ryo masih di sana, menatapnya dengan pandangan tak peduli.
Ish. Maaf saja, ya. Dia juga tak sudi meminta bantuan Ryo lagi.
Gadis itu memalingkan wajah lalu melompat kecil, berusaha mencapai sisi atas dinding.
"Lempar dulu seragamnya, bego. Punya otak, nggak" Lo megangin itu seragam jadi tambah
susah, kan?" Ryo membuka mulut.
Shilla mengerucutkan bibir lalu melemparkan seragamnya ke arah beranda. Entahlah jatuh di
mana. Ia lantas menghela napas dan mencoba meraih dinding balkon lagi. Sebelah tangan tiba2
terulur di depan wajahnya.
Ia sontak mendongak, menatap Ryo yg memandangnya ogah-ogahan dari balkon.
"Mau naik nggak?" tanya pemuda itu ketus.
Shilla masih menatap tangan Ryo ragu.
"Nanti berabe kalo lo nggak bisa naek, trus lo mati membujur kaku di serambi situ, trus
Indonesia bakal sedih kehilangan salah satu pembuktian teori evolusi Charles Darwin yg belum
sempet dipatenin," hina Ryo lancar.
Shilla mengangkat satu ujung bibirnya kesal. Mau tak mau, akhirnya ia meraih telapak tangan
Ryo. Besar dan hangat. Diam2 gadis itu terkesiap juga saat Ryo membantu menariknya naik,
sementara kakinya mencari-cari pijakan di sisi luar dinding balkon.
Tak lama, Shilla pun mendarat dengan selamat di lantai keramik.
"Berat banget sih lo. Makan apaan sampe kayak babi?" rutuk Ryo pelan, mencibir ke arah Shilla
kemudian berlalu. Shilla hanya mencibir lalu mengambil seragamnya yg terjatuh di lantai sambil menatap
punggung Ryo yg menjauh dan berpikir. Bisa juga ya spesies seperti Ryo itu membantu orang"
Shilla mengikuti Ifa berjalan ke arah mobilnya, mengangguk-angguk kala mendengar
permohonan maaf Devta yg berjalan di belakangnya.
"Sumpah, sori banget, Shil. Gue bukannya nggak mau bantu, tp abis gue telepon Ifa, gue
ditelponin lagi sama Rama. Disuruh ke taman rusa."
Gadis yg dimintai permintaan maafnya itu hanya bisa terus mengangguk. "Beneran gababa ko,
Tev," jawabnya sengau. Lucu juga melihat posisi Shilla saat itu. Jempol dan telunjuk tangan
kirinya memegang ujung blazer dan kemejanya, jauh2 dari tubuhnya, sementara tangan
kanannya memencet hidung yg tidak dapat menoleransi bau busuk benda yg dipegangnya.
Benar2 deh si nenek sihir itu, batinnya kesal.
Mereka bertiga sedang menuju gedung kafeteria karna sopir dan mobil Ifa di sana. Meski dengan
penundaan, mereka tetap pada rencana semula. Ke rumah Ifa untuk mengerjakan tugas bahasa
Inggris. Tak lama berselang, saat ketiganya tinggal beberapa meter mendekati kawasan kafeteria, Shilla
mendadak berhenti. Ia menyipit lama sekali ke lantai dua bangunan yg ditujunya, merasa
mendapat wangsit saat melihat Bianca dan teman-temannya duduk di bagian outdoor kafeteria,
di "tahta kerajaannya".
Shilla mengerucutkan bibir, lalu menatap Ifa dan Devta sambil berkata mantap, "Tunggu
sebentar. Aku mau beresin masalah dulu."
Ifa dan Devta yg sempat melongo tidak mengerti akhirnya memutuskan mengikuti Shilla, yg
sudah memasuki kafeteria dan tengah melangkah menaiki tangga penuh semangat dendam
kusumat. Gadis itu melangkah cepat, berusaha tidak menimbulkan suara saat menuju meja berpayung
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat Bianca dan konco-konconya berada. Beruntung, Bianca membelakanginya.
Shilla menyipit penuh emosi, lalu berdeham saat berdiri tepat di belakang musuhnya itu. Tak
membuang-buang waktu, ia menepuk bahu Bianca sekuat-kuatnya.
Tepat begitu Bianca memalingkan wajah ke belakang, Shilla bergegas membenamkan blazer dan
kemejanya yg berbau busuk ke muka gadis pongah itu.
"Keringetan ya, Tuan Putri?" tanya Shilla, dengan penuh semangat mengusapkan seragamnya yg
bernoda cokelat berlendir itu ke wajah Bianca yg mulai megap2 kehabisan napas.
Kini, dengan kekuatan penuh, Shilla pun melakukan usapan terakhir lalu melempar seragamnya
kuat2 ke muka Bianca. Ia menyempatkan waktu untuk membungkuk dengan lagak pelayan,
"Apakah servis saya memuaskan, Tuan Putri?"
"Emm..." Setelahnya, Shilla tiba2 berpura-pura berpikir keras, ia menatap serius Bianca yg masih
melongo, "Tp, emangnya ada putri yg bau banget begini?" Ia mencondongkan wajah,
mengendus-endus lucu ke sekitar muka pias Bianca, lalu memasang tampang berpikir keras lagi.
"Ada sih kayaknya..."
Shilla menatap tajam Bianca dari samping, "Namanya... Putri Sampah!"
Lantas, ia tersenyum miring, menirukan dengan baik sekali senyum meremehkan Bianca yg
biasa, lalu menegakkan diri dan berbalik sok dramatis, menjauhi sang Queen Bi.
Setengah jalan, Shilla kembali berbalik, menatap Bianca dan kawan-kawannya yg terdiam. Gadis
itu kini tak tersenyum melainkan mengangkat sebelah alisnya, lalu mengibaskan rambut
panjangnya ala Dian Sastro, dan berbalik lagi, melangkah percaya diri di hadapan semua tatapan
heran dan tak menyangka. 16.45, Kamar bermain Ifa Ifa dan Devta tidak berhenti tertawa setiap mengingat perbuatan Shilla kepada Bianca tadi.
Tampaknya gadis sombong satu itu harus mulai benar2 mempertimbangkan kembali untuk
mempermainkan Shilla, yg selalu bisa menyamakan skor, bahkan double point.
"Gila. Harusnya tadi gue rekam trus gue upload ke Youtube hahahahaa," kata Devta sambil
tergelak, walau terlihat setengah menyesal.
Shilla hanya ikut menggeleng-geleng sambil sambil tertawa. Tiba2 dia terdiam. "Tp gimana ya
seragamku besok" Duh," rutuknya sambil merengut.
"Yah elo sih... Pake ditinggal," kata Ifa sambil beranjak kembali menuju meja komputernya,
meneruskan mengetik tugas yg terhenti setelah sebelumnya tergoda untuk bergabung bersama
kedua temannya di bawah, karna Devta sempat menyinggung insiden itu tadi.
Shilla hanya mengerucutkan bibir. "Abis kan nggak keren. Masa udah dibuat lap muka dia gitu,
trus aku ambil lagi. Nanti nggak dramatis," ucapnya polos, yg lalu disambut lagi tawa Ifa dan
Devta. Tak lama, karna bosan hanya menunggu Ifa menyelesaikan bagianmya, Devta memuturkan
bangun dari posisi duduk lalu meregangkan tangan. Tertawa ternyata bisa menyita energi juga,
pikirnya. Pemuda bermata besar itu pun memutuskan berjalan-jalan kecil mengitari kamar bermain Ifa. Ia
mengernyit ketika melihat tumpukan brosur di meja panjang. Event Organizer" batinnya. Mau
apa Ifa" "Fa," Devta memutuskan bertanya saja daripada penasaran.
"Hmm?"" sahut Ifa, tidak mengalihkan pandangan dari PC-nya.
Devta mengacungkan benda di tangannya. "Ini apaan nih" Kok banyak brosur EO" Lo mau
kawin?" tanyanya asal.
Ifa memutar kepala lalu melotot. "Enak aja. Jahat loooo... Temen macam apa" Masa lupa ulang
tahun gue dua bulan lagi?"
Devta buru2 menghapus tampang melongonya, lalu menepuk dahi. "Oh iya... hahaha."
Ifa mencibir, lalu menatap Shilla yg ternyata sedang memandangnya juga. Gadis itu bertanya
pelan, "Tujuh belas tahun ya, Fa" Dirayain?"
Ifa mengangguk, lalu sejenak mengalihkan pandangan lagi ke arah PC. Ia mengetik baris kalimat
penutup tugas mereka, lalu mengeklik ikon printer dan membiarkan mesin pencetaknya
memuntahkan naskah tugas mereka.
Ifa lantas ikut duduk di sebelah Shilla di karpet, disusul Devta yg kini bergabung kembali sambil
meneliti brosur2 itu. "Emang bisa, Fa" EO dadakan gitu?" tanya Devta, membuka salah satu lembaran mengilat dan
membacanya. Ifa mengerucutkan bibir, berpikir. "Kayaknya sih sebenernya nggak bisa. Makanya Mami lagi
nyari EO yg bisa dadakan gitu. Pasti ada fee ekstra sih, tp yaaa... Mami juga berkeras mau
rayain. Kan gue anak tunggal." Ia melempar pandangannya pada dua orang di dekatnya. "Lo
berdua bantuin gue yaaa, kecil2 gitu sih. Paling masalah suvenir."
Shilla hanya mengangguk-angguk sok mengerti, sementara Devta mendongak dari salah satu
brosur yg sedang dibacanya. "Udah tau mau pake tema apa?"
"Nggak tau. Yg biasa aja lah. Paling Hollywood atau princess. Hahahaha." Ifa kontan tertawa
melihat air muka Devta brubah aneh kala mendengar kata princess.
"Please deh, Fa. Kayak anak TK aja," kata Devta itu sambil memutar bola mata.
Ifa menjulurkan lidah. "Biarin. Jadi putri kan impian tiap cewek. Iya nggak, Shil?" tanyanya, lalu
menoleh untuk meminta dukungan Shilla.
Gadis itu hanya tersenyum sekilas sambil mengangguk menerawang. Kalau ia jadi seorang putri,
siapa pangerannya" Ayi-kah" Atau... Arya" Hmm.
"Yeh. Malah bengong gitu lo berdua. Dasar cewek," ucap Devta, tidak mengerti impian macam
apa yg gadis2 itu miliki.
*** Petang itu, Alphard Ifa kembali mengantarkan Shilla hingga ke depan istana Luzardi. Lagi2 Ifa
menatap rumah Ryo yg kelewat besar itu sambil agak menerawang, hingga Shilla tersenyum
tertahan. Tidak menyangka orang berpunya seperti Ifa bisa takjub juga. Meski wajar sih,
mengingat kediaman Luzardi memang gigantis sekali.
"Makasih ya, Fa," ujar Shilla yg disambut lambaian tangan dan senyum Ifa.
Sepeninggal Alphard Ifa, Shilla bergegas menekan bel rumah. Seperti biasa pula, Bi Okky yg
membukanya. Namun entah knapa kali ini wanita itu membuka pintu kecil di samping gerbang
besar dengan agak terburu-buru dan menyuruh Shilla cepat masuk.
Ada apa dengan Bi Okky" tanyanya dalam hati sambil melangkah melewati gerbang. Shilla
lantas kembali mengernyit saat gerbang di dekatnya tiba2 berbunyi dengan derakan keras, lalu
Porsche Turbo hitam metalik yg biasanya hanya bertengger diam di garasi, melaju kencang
melewatinya, mengepulkan pusaran debu2 tanah yg entah muncul dari mana.
Siapa" pikir gadis itu. Kaca mobil tadi begitu gelap sehingga Shilla tidak bisa melihat siapa di
dalamnya. Ah, batinnya. Paling Ryo.
Ia memasuki rumah melalui garasi dan melangkah menuju dapur. Para pelayan tampak sibuk
membereskan berbagai peralatan makan berkualitas nomor satu yg biasa hanya dipakai untuk
jamuan atau pesta. Masa tadi ada jamuan" pikir Shilla. Kata Kak Deya, Tuan Arya tidak terlalu
sering membuat jamuan makan siang.
Shilla akhirnya memutuskan mendekati Deya yg tampak sibuk memasukan piring ke mesin
pencuci. "Kak," sapanya pelan.
"Eh, Shil," balas Deya sambil tersenyum.
Shilla tersenyum balas lalu bertanya, "Ada apa barusan?"
Deya memandang Shilla. "Oh, kamu nggak tau, ya" Tadi Tuan sama Nyonya Besar pulang."
"Yg tadi pake Porsche itu?" tanya Shilla.
Deya mengangguk. "Tp mereka udah brangkat lagi. Katanya mau konferensi bisnis di Bangkok."
"Trus ngapain ke sini?" tanya Shilla penasaran.
Deya mengangkat bahu. "Yg pasti tadi ada jamuan makan siang plus jamuan minum teh sore
mreka sama relasi bisnis, gitu. Tuan Arya juga udah pulang tadi."
"Oh," kata Shilla, berusaha mencegah getar2 aneh yg hadir saat Deya menyebut nama terkhir. Ia
sendiri tak habis pikir knapa ia bisa merasakan hal seperti itu, seperti yg biasa dirasakannya pada
Ayi. Shilla menarik napas, berusaha mengenyahkan pikiran itu lalu berkata lagi pada Deya, "Aku
ganti baju dulu deh, Kak. Mau langsung nyiapin makan malem, kan?"
Deya mengangguk. Bab 8 Keesokan paginya... Shilla berdiri resah di depan lemari. Bagaimana ini, dia baru kembali teringat pada blazernya yg
hilang. Mestinya kemarin dia pinjam saja blazer ekstra Ifa. Paling tidak blazer seragam itu bisa
dia pakai sampai ada gantinya. Mungkin dia harus menabung agar bisa membeli blazer baru.
Sekarang apakah dia harus brangkat sekolah tanpa blazer" Yah, mungkin itu solusinya. Shilla
mendesah, menutup pintu lemari, lalu melangkah gontai sambil memanggul tasnya ke luar.
Tak dinyana, di halaman dia bertemu Arya yg sedang membicarakan sesuatu pada Ryo. "Jadi
gitu, Yo... Kata..." Kalimat Arya terhenti di tengah ketika melihat Shilla keluar. "Hai, Shil, mau
brangkat?" "Pagi, Tuan," jawab Shilla lirih. "Iya, saya mau brangkat..."
"Sama Ryo aja nih. Dia juga mau brangkat," kata Arya ramah.
"Eh, enak aja!" sergah Ryo.
Shilla meringis. Dia juga ogah brangkat bareng tuan muda yg satu itu.
"Eh, kok cuma pakai kemeja putih. Blazermu mana?" tanya Arya sambil mengerutkan dahi.
"Eh, itu..." Shilla tergagap, bingung bagaimana menjelaskannya.
Mendadak Ryo tertawa terbahak-bahak. "Blazernya masuk got kemarin... hahaha..."
Kerutan di dahi Arya makin dalam. "Kok bisa?"
Shilla menunduk, perasaannya sangat tidak enak. Arya sangat baik, padanya, dan karna
kecerobohannya sendiri, dia membuat pemuda itu tampak susah.
"Sudahlah. Mana Bi Okky" Bi!" seru Arya ke arah dalam rumah.
Yg dipanggil segera tergopoh-gopoh datang.
"Bi, ambilin dua set seragam Season High lagi di lemari. Berikan pada Shilla, ya," kata Arya.
Shilla tersentak. Hah, kok bisa ada stok seragam sekolah di rumah in" Ini rumah atau toko sih"
Bi Okky mengangguk, lalu segera kembali masuk ke rumah. Sejurus kemudian, dia kembali
membawa dua set seragam yg masih dalam kantong plastik.
"Nah, tuh. Sana pakai. Ryo tungguin kok," kata Arya.
"Te... terima kasih banyak, Tuan," gagap Shilla, "E... eh, Tuan Ryo tidak usah nungguin saya.
Nanti terlambat. Saya mau simpan dulu yg satu set ini."
"Bagus deh. Siapa juga yg mau ngasih tumpangan ke elo?" kata Ryo sambil memasuki Jaguarnya. Sejenak kemudian, mobil itu menderu pergi.
Arya cuma geleng2 melihat kelakuan adiknya.
Seminggu kemudian. "Shillaaaaaaaa..."
Suara Bi Okky yg menggelegar dan mulai terdengar familier itu kini menyapa telinga Shilla.
Shilla, yg sedang membereskan serbet di meja makan menoleh ke arah kepala rumah tangga itu.
"Nanti abis beresin serbet, kamu tolong bawain aspirin ke kamar Den Arya, ya. Taruh di ruang
tamu kamarnya aja. Tadi Adeng lagi tidur," ujar wanita itu, yg disambut anggukan Shilla.
Gadis itu berpikir sejenak setelahnya. Aspirin" tanyanya dalam hati. Tuan Arya kenapa"
Setelah melipat serbet terakhir dan meletakkannya di rak cutlery yg brada di salah satu sudut
ruang makan, ia bergegas mengambil nampan hitam berlambang keluarga Luzardi dan menaruh
segelas air putih di sana. Lalu ia menuju kotak P3K, mencari dan menaruh aspirin di nampan yg
sama lalu melangkah cepat ke lantai empat.
Mengingat pernyataan Bi Okky yg mengatakan bahwa Arya sedang tidur, Shilla merasa tak ada
gunanya mengetuk saat tiba di depan kamar tuan muda baik hatinya itu. Ia pun mengangkat
bahu, lalu memindahkan nampan di satu tangan dan memutar kenop dengan tangan yg lain.
Shilla mengernyit saat melangkah masuk dan merasa mendengar denting samar dari balik tirai,
tempat ranjang Arya berada. Ia penasaran dan akhirnya memutuskan mengintip dari celah tirai.
Oooh... ia baru sadar ada piano yg berdiri di pojok kamar di balik tirai, dan Arya ternyata sedang
duduk di belakangnya. Pemuda itu memunggungi tirai sehingga tidak bisa melihat Shilla.
Katanya sakit kepala, batin Shilla. Ia heran knapa Arya malah sedang bermain piano. Ia
penasaran juga. Ia ingin tahu sehebat apa Arya Luzardi menarikan jemarinya di atas tuts2 piano.
Kesempatan langka pula, kan" batinnya, berharap tidak ketahuan sedang menguping.
Shilla hanya bisa terpaku selama beberapa menit, terlena oleh alunan musik yg dimainkan Arya.
Kemudian ia tersentak, menyadari sebaris nada yg baru terdengar. Tak salah lagi, ia slalu
menyenandungkan lagu itu secara tak sempurna selama lebih dari sepuluh tahun. Yg baru saja
terdengar adalah repetisi menakjubkan senandung Ayi.
Jantung Shilla mencelos. Meski tidak berharap, ia merasa asumsinya kembali mentah. Karna
bros itu, kemarin ia sempat berpikir selama ini Ayi adalah Ryo, dan ia hampir siap melepas
kenangannya. Tp sekarang" Mungkinkah Arya...
"Shilla ngapain di situ?"
"Hah?" Shilla tersentak, melongo, lalu buru2 menyambar kesadaran dan menatap Arya yg kini
tersenyum bingung ke arahnya.
"Knapa bengong gitu?" tanya Arya, dengan raut ramah yg membuat Shilla merasa pegangannya
pada nampan bergetar pelan.
"Mau antar aspirin, ya?" tanya Arya, melirik nampan Shilla. Gadis itu mengangguk polos.
Pemuda itu tertawa pelan. "Bawa ke sini aja."
Shilla tersenyum malu, lalu menghampiri Arya yg kini menarikan jemarinya lagi, memainkan
lagu lain. "Ini Tuan," kata gadis itu pelan, membuat Arya menghentikan permainannya lagi, lalu
meraih aspirin dan meneguknya dengan air putih.
Setelah menelan aspirin dan menaruh gelas di atas sudut pianonya, ia tersenyum lagi ke arah
Shilla. "Taruh di situ dulu aja nampannya," kata Arya, menunjuk meja kecil di dekat piano.
Shilla menuruti Arya, melangkah pelan ke arah meja yg ditunjuk tadi, menaruh nampan lalu
berbalik dan berjalan pelan mendekati tuan muda yg baik hati itu.
"Duduk sebentar di sini deh," kata pemuda itu, sambil menunjuk sisi kosong lain bangku panjang
yg didudukinya. Shilla menelan ludah, menatap Arya yg tersenyum meyakinkan lalu akhirnya duduk dengan
sedikit ragu di sebelah pemuda itu.
Arya wangi sekali. Hanya satu pikiran itu yg melintas di benak Shilla. Setelahnya, ia benar2 lupa
cara bernapas. Kehadiran Arya yg sedekat ini seakan menghentikan semua pikiran Shilla
mengenai dunia dan kebenaran, yg ada hanya angan2 yg menjelma menjadi kenyataan.
"Tuan," kata Shilla, masih di awang2. Ia menoleh tepat ketika Arya balas menatapnya. Gadis itu
kembali mengira oksigennya habis lagi, karna jantung dan paru-parunya mulai bekerja dalam
kecepatan tak terkendali. Perlahan ia melanjutkan, "Kalau boleh lancang, bisa saya meminta
Tuan memainkan lagu sebelum ini?" tanyanya, ingin dihipnotis lagi oleh lagu Ayi.
Arya tersenyum lalu menyanggupi tanpa kata. Ia membiarkan jemarinya kembali mendatangkan
lagu itu, sementara Shilla menikmatinya, menikmati setiap alunan dan setiap detiknya berada di
sisi Arya. Ternyata, senandung Ayi dulu itu hanya bagian awalnya.
Tak lama, Arya menuntaskan permainannya. "Suka, ya?"
Shilla menjawab dengan anggukan pelan.
"Itu bikinan saya sendiri," kata Arya tanpa berusaha menyombong. "Waktu kecil sih saya baru
bisa bikin depannya pake siulan. Tp begitu udah nguasain piano, saya beruntung bisa nyiptain
satu lagu lengkap." Shilla hanya mengangguk pelan. Masih terlalu banyak misteri dan penyangkalan dalam dirinya,
yg membuatnya belum bisa meyakini benar Ayi itu Arya. Walau ingin sekali meyakini, baginya
lagu tadi masih pertanda kecil, absurd, belum membuktikan apa2.
"Kamu sering berantem ya sama Ryo?" tanya Arya tiba2.
Shilla mengernyit sebentar lalu mengangguk. Tidak habis pikir bagaimana Arya bisa tahu.
Arya tertawa pelan, sementara Shilla sembunyi2 memperhatikannya. Indah sekali, batinnya kala
melihat profil wajah pemuda itu. Ia menunduk. Tipe keindahan yg takkan bisa terengkuh
olehnya. Saat itu, Shilla merasakan usapan pada puncak kepalanya. Seperti Ayi. Ia tertegun, lalu
mengangkat wajah, menatap Arya yg tengah menerawang. Gemuruh di dada Shilla menggila.
Apakah tadi itu perlakuan sewajarnya antara majikan dan pelayan"
"Kamu baik2 ya sama Ryo?" kata Arya, tiba2, mengangkat tangannya dari puncak kepala Shilla,
masih menerawang. Shilla kontan mengerutkan kening, sedikit terganggu dengan satu nama menyebalkan itu "Knapa,
Tuan?" tanyanya. Arya tersenyum kecil, kali ini menatap Shilla. "Saya mau pergi."
"Apa" Ke mana?" tanya Shilla, seketika merasakan hatinya sedikit nyeri. Entah pantas atau tidak,
ia tak mau lagi Ayi pergi saat ia hampir menemukannya, terlepas itu Arya atau bukan.
Arya tersenyum, kembali memainkan tuts2 pianonya tanpa memandang ke sana. "Ke Paris..."
Pemuda itu kini beralih menatap Shilla. "Saya... nggak tahu knapa, percaya Ryo akan takluk
sama kamu." Apa"! Kali ini Shilla hanya menggaungkan pertanyaannya dalam hati.
Arya tetap tersenyum. "Minggu lalu, orangtua saya kembali ke sini. Bukan sekedar menjenguk
atau jamuan makan, tp juga menyuruh saya pergi ke Paris. Meneruskan gelar master saya...
sambil part time di perusahaan di sana." Raut menawan pemuda itu terlihat sedikit sedih.
"Saya sebenarnya berat meninggalkan Ryo, adik semata wayang saya yg lagi bandel-bandelnya.
Makanya saya mau nitipin dia sama kamu," kata Arya. "Sejak pertama ngeliat kamu... saya udah
percaya sama kamu," lanjutnya.
Sesungguhnya pemuda itu sendiri tak tahu mengapa, sejak awal pertama ia melihat Shilla
berbeda. Hanya dalam hitungan hari, ia yakin pelayan baru ini akan membawa angin perubahan,
entah pada siapa saja. Arya tak tahu knapa ia mengalihkan otoritasnya untuk menjaga Ryo pada
Shilla. Entah. Dia hanya... percaya.
Shilla terpana, tak tahu mau berkata apa. "Knapa Tuan nggak menolak?" tanyanya, menyadari
Arya sendiri terlihat enggan.
Arya tersenyum lemah. "Ini sesuatu yg nggak bisa ditolak. Perkataan papa saya adalah
perintah..." Shilla tahu dia bukan siapa2, tapi knapa sakit hatinya begitu menjadi" Jadi... Arya akan
meninggalkannya" Di sini" Dan memercayakan Ryo padanya" Apa jadinya"
Shilla menutup pintu kamar Arya perlahan. Saat itu waktu hampir menunjukan pukul delapan
malam. Cukup lama mereka berbincang remeh. Ia bergegas menuruni tangga, berniat segera
kembali ke dapur, saat tiba2 ia berhenti dan menepuk dahi.
Oh iya, masih ada tugas dari Arya. Shilla mengerucutkan bibirnya. Tugas yg lebih susah
daripada memberi makan macan, lagi.
Dengan sedikit segan, Shilla beranjak ke depan kamar Ryo. Gambar tengkorak dan poster
"ENTER WITH YOUR OWN RISK!" itu kembali menciutkan mentalnya. Padahal ia tahu jelas,
makhluk yg dikerangkeng di dalam kamar itu jauh lebih seram daripada penampakan luarnya.
Tapi... sesuatu yg melintas dalam benaknya seketika membuat tangan Shilla berhenti beberapa
senti dari permukaan kayu. Ia baru ingat kemarin Ryo menghardiknya supaya tidak masuk ke
kamar itu lagi. Ia mengernyit, berpikir beberapa saat lalu akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu kamar
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ryo. Toh perintahnya ia dilarang masuk, bukan dilarang mengetuk. Jadi biar saja ia mengizinkan
kepalan tangannya meninju pintu berkali-kali sampai tuan mudanya itu keluar sendiri.
Sementara di dalam, Ryo ternyata sedang tidur-tiduran di ranjang sambil membuka-buka majalah
otomotif edisi terbaru yg dikirim ayahnya dari Paris. Ia bersiul, ada mobil tipe terbaru yg ingin
dibelinya. Biar saja urusan birokrasi membawa ke sininya ribet. Itu bukan urusannya. Dia sih
terima beres. Tok... tok... "Masuk," ujar Ryo setelah mengernyit sebentar, malas beranjak. Ia sedang meneliti lagi
spesifikasi mobil yg diinginkannya itu.
Tok... tok... "Masuk, budeeeeek! Siapa sih"!" teriaknya kesal.
Tok... tok... Ketukan di pintu terdengar makin tidak sabar.
Ryo berdecak. "Kalo sampe ini salah satu babu, gue pecat nih," katanya lalu mengentakkan kaki
dan beranjak dari ranjang untuk membuka pintu.
Ia kontan menyipit melihat siapa yg berdiri di sana. Pelayan ini lagi. Ia berdecak, "Udah gue
suruh masuk, juga. Budek lo?"
Setelah itu, Ryo malah mati-matian menahan senyum demi menjaga wibawa kala
memperhatikan Shilla menghela napas kesal. Air muka gadis manis itu terlihat berkedut lucu.
Shilla berkata seadanya, "Kan waktu itu Tuan bilang saya nggak boleh masuk ke kamar Tuan
lagi..." Ryo mengernyit, sebenarnya lupa pernah mengatakan itu, lalu buru-buru melicinkan dahinya dan
mengangguk-angguk menyebalkan. "O-oh. Bagus, bagus kalo lo inget," katanya lalu
melanjutkan sok ketus. "Terus lo mau apa?"
Gadis itu menarik napas sebelum mengatakan, "Tuan dipanggil Tuan Arya."
Ryo kontan terdiam lalu memandang pelayan di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Benar
atau tidak jika ia merasa pelayan ini kelihatannya dekat dengan Arya sejak hari pertama di sini"
Aneh. Ia sendiri juga merasakan hal yg aneh terhadap pelayan itu. Hmm...
"Ya udah," katanya, menyadari sudah terlalu lama diam lalu menutup pintu. Sementara Shilla
mematung di luar. Bingung sebenarnya Ryo berniat ke kamar Arya atau tidak.
Ia mengangkat bahu lalu kembali ke bawah. Yg penting ia sudah menyampaikan pesannya.
Ryo tidak bisa tidur. Insomnia sialan itu kembali menyerangnya.
Ngapain, ya" pikir pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yg tidak gatal lalu melirik
jam di sebelahnya. Hampir tengah malam.
Ryo mendesah, memutuskan kembali mengempaskan diri ke ranjang lalu memejamkan mata. Tp
ternyata kantuk enggan menyerangnya juga. Ia mendesah dan memperhatikan langit2 kamar.
Tak lama, sebuah ingatan tiba2 melayang di sana. Kejadian tadi sore, ketika Arya menjelaskan
soal keberangkatannya besok ke Paris.
Pemuda itu bedecak. Knapa Arya harus pergi juga sih" Setelah Papa dan Mama yg tak pernah
pulang" Mau jadi sesepi apa rumah ini" Kastel Frankenstein" pikirnya getir.
Ryo sebenarnya paling malas bernostalgia soal k-k... Ah, bahkan ia merasa tak sanggup
menyebut kata "keluarga", seperti Willy Wonka tidak bisa meyebut "orangtua". Ia mendesah lagi
lalu memutuskan beranjak dari ranjangnya perlahan sambil menggigit bibir.
Ia menuruni keempat undakan sambil menghitung dalam hati, lantas melangkah enggan menuju
meja panjang di kamarnya.
Ia lalu menatap beberapa pigura yg menghiasi meja. Tidak banyak, bisa dihitung dengan satu
jari. Ia memang tak mau memasang semua foto yg sebelumnya bertengger di sana sejak ia kecil,
yg dulunya menjadi bagian permanen interior.
Sebagaian besar ia ungsikan ke kamar Arya dan rumah pohon di halaman belakang, setelah ia
sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kepergian serta ketiadaan kontak fisik dari papa dan
mamanya telah mengangakan jurang yg terlalu dalam.
Sebagian potret yg ia pertahankan adalah foto2 perjalanan wisata ke luar negeri masa kecilnya,
yg begitu... hmm... bisakah dibilang indah" Ryo tersenyum miris, mungkin iya untuk sebagian
orang. Melihat cetak beku dirinya dan Arya kecil bersama orangtua mereka di tengah hamparan
putih salju, di depan globe besar Universal Studio Amerika, bersama badut Mickey Mouse di
Disneyland, di depan Colosseum di Roma mungkin orang2 akan menyangka hidupnya teramat
bahagia. Tapi... Ia perlahan memegang dadanya yg menggaungkan degup jantung begitu jelas
dalam keheningan... hambar, sebenarnya.
Potret2 ini terlihat palsu. Seperti portofolio agar semua orang tahu pernah ke mana saja dirinya
sedari kecil, atau mungkin juga portofolio seberapa kaya orangtuanya hingga bisa mengajaknya
berkeliling dunia. Ha. Ryo tertawa sinis.
Jadi, begitu juga yg ditampakkannya pada orang2. Bahwa ia merupakan portofolio hidup
kesuksesan keluarga Luzardi. Sayangnya, ia tak seberani itu untuk mengubahnya. Biar saja ia
mengikuti permainan orangtuanya. Berlagak menjadi anak bangsawan congkak yg bisa memiliki
dunia. Betul begitu, kan"
Jika ditanya, sebenarnya ia jauh lebih menginginkan foto2 ulang tahun masa kecilnya yg
menghiasi meja. Saat kedua orangtuanya mencium kedua pipinya di depan sebuah kue tar besar,
atau saat mereka bermain monopoli di ruang tamu berempat. Tp apakah peristiwa sehangat itu
pernah benar2 terjadi" Pernahkah terwujud keinginan sederhananya itu"
Tidak. Maka ia tak pernah lagi berharap.
Mana bisa Tuan dan Nyonya Besar Luzardi yg supersibuk itu menemaninya dan Arya bermain
monopoli saat mereka kecil" Tidak ada waktu. Mereka mungkin lebih memilih bermain
"monopoli" asli, membeli rumah untuk investasi di negara2 Eropa atau semacamnya.
Mana bisa pula orangtuanya mencium pipinya saat ulang tahunnya" Kehadiran mereka saja
mustahil. Saat ia berulang tahun, mungkin kedua orangtuanya sedang berpesiar dalam rangka
konferensi bisnis mengelilingi Kepulauan Bahama, yg ketika itu ia bahkan tak tahu di mana.
Pahit. Ryo hampir saja menyepak majalah otomotif yg tergeletak sembarangan di lantai. Majalah yg
tadi dibacanya. Perlahan Ryo memungut majalah itu dan membuka tepat di halaman mobil baru
yg ia inginkan tadi. Harga mobil itu masih sangat tinggi. Tp Ryo tersenyum meremehkan. Ia tahu jelas nominal
angka itu hanya secuil kelingking orangtuanya.
Ia memang terbiasa hidup seperti itu sejak kecil. Orangtuanya berusaha memenuhi apa pun yg
Ryo inginkan. Tinggal bilang dan voila... semua muncul di hadapannya dalam sekejap. Tidak ada
yg tidak bisa dibeli olehnya di dunia ini. Setelah sedikit besar, Ryo mulai mengerti. Mungkin
itulah kompensasi kontak fisik ataupun batin yg tak pernah diluangkan orangtuanya.
Ryo bedecak tiba2, geram ketika menyadari ia tidak pernah merasa sesepi ini lagi, mengingat
materi yg tidak pernah bisa mengisi kekosongan hatinya. Entah kenapa malam ini ia
mengenangnya. Biasanya, ia cukup pandai agar tidak tergoda untuk berenang-renang dalam
kubangan menyakitkan itu.
Ia lantas mengalihkan pandangan, memperhatikan botol bening tanpa tutup berisi pasir dan
karang di meja panjang yg sama. Ia tersenyum tipis. Botol ini bukan hanya menyimpan pasir dan
kerang, sebenarnya. Tp juga, sejuta kenangan masa kecilnya... bersama...
Mai. Ke mana teman kecilnya yg manis itu sekarang" Entahlah. Mai mengilang pada hari
kenaikan kelas mereka dari kelas satu ke kelas dua SD. Bisa dibilang, Mai itu seperti cinta
pertama Ryo. Jika tidak ada gadis kecil itu, mana mungkin bisa mengenal rasa sayang" Papa dan
mamanya tidak pernah mengajarinya untuk mengerti. Waktu kecil Ryo mungkin memang belum
mengerti seberapa dalam, tp yg ia tahu pasti dulu ia slalu ingin ada di samping Mai, karna ia
merasa nyaman. Tidak ada yg bisa menggantikan Mai di hatinya. Tidak pun Bianca yg slalu mengejarnya. Hanya
Mai. Kesombongannya selama ini, pada intinya, hanya pengejawantahan dan penggumpalan dari
kepahitan atas orangtuanya dan rasa sakit -yg waktu itu juga belum ia pahami- yg begitu pekat
atas kehilangan Mai. Ryo menggeram frustasi. Sudah begitu lama ia tidak mengorek-ngorek kehampaan dalam
hatinya. Ia berdecak samar lalu memutuskan keluar kamar, mencari udara segar agar benaknya
pulih lagi. Shilla tidak bisa tidur. Insomnia kembali menyerangnya.
Gadis itu menatap langit di atasnya. Hitam. Tak tampak satu pun bintang. Bulan hanya
mengintip kecil dari sela kepekatan itu. Lalu tak lama ia mengernyit dan menggaruk lututnya yg
agak gatal. Semut kurang ajar, geramnya. Pasti rasa gatalnya ini hadiah dari makhluk berkoloni besar itu. Tp
tak bisa menyalahkan mereka juga sih, salahnya juga malam2 bertengger di atas begini.
Habis bagaimana lagi" Inilah yg slalu ia lakukan setiap tidak bisa tidur di desa dulu. Bedanya,
kini di bawahnya bukan rumah tetangga sebelah -dulu dahan pohon di halaman rumah
kontrakannya menjulang hingga dinding pembatas rumah- melainkan taman bermain yg berisi
kolam pasir, ayunan, jungkat-jungkit, dan hamparan taman belakang kediaman Luzardi.
Shilla menghela napas, lalu menopangkan dagu di lutut yg baru dipeluknya. Ia kembali
memikirkan hal yg membuatnya resah. Ayi. Dan Arya. Pertanyaan itu masih mengganggunya.
Jadi, siapa Ayi itu"
Probabilitas terbesar saat ini adalah Arya, yg menciptakan senandung itu. Tp Ryo juga pernah
menghilangkan brosnya bukan" Bagaimana Shilla bisa memastikannya sementara sebentar lagi
Arya akan pergi" Ia memang tidak akan berani bertanya sih, lalu bagaimana...
"Woi, babu!" Teriakan keras yg tiba2 itu sekejap menyadarkan Shilla dari lamunan. Ia sontak menengok ke
bawah lalu mengernyit mendapati siluet lain berdiri di bawah pohonnya.
Ngapain si tuan muda itu di sini" batin Shilla, lalu memutuskan mengabaikan Ryo. Pertama, ini
sudah bukan jam kerjanya. Kedua, ia punya berjuta pikiran yg lebih penting daripada meladeni
spesies sombong satu itu.
Ryo mengerucutkan bibir. Otaknya hampir segar lagi karna menemukan objek penyiksaan yg
sedang bertengger di salah satu dahan pohon di atasnya itu, tp knapa ia diabaikan" Ia
menyipitkan mata, memperhatika kilatan samar bulan yg terpantul dari dua mata bening Shilla
yg sedang tertegun. Sedang memikirkan apa dia" Arya-kah" Hmm. Ryo mencibir, tak bisa menghitung Shilla itu
pelayan atau gadis keberapa yg jatuh hati pada senyum kakaknya.
Ryo, merasa tiba2 ketidaksukaan yg aneh merayapinya. Ia memutuskan mencari kerikil kecil di
sela rumput, lalu melemparkannya ke arah Shilla.
"Aduuuh!" Shilla memelototi pemuda di bawahnya ketika sebutir kerikil tajam mengenai
lengannya. Ia mencebik. "Nggak bisa ya nggak ganggu orang, Tuan?" katanya kesal, melupakan
status pekerjaan yg mengikatnya untuk patuh pada Ryo. Biar deh, ia tak sanggup menahan
kegeraman kali ini. Ryo beberapa saat melotot. Tidak percaya Shilla berani menghardiknya. Tp kalau ia memecat
gadis itu, takkan ada objek penyiksaan lagi untuk mengisi waktu senggangnya. "Lo ngapain
sih?" teriaknya tertahan.
"Mau nyari makan," jawab Shilla sedapatnya.
Ryo langsung menepuk jidatnya sambil tersenyum mengesalkan. "Aaaah. Iya juga... Gue lupa lo
titisan kera." Shilla melotot lalu memutuskan mengabaikan Ryo dan kembali memperhatikan langit di atasnya.
Sementara pemuda yg ada di bawahnya itu mencibir lagi. Kesal karna kehabisan ide
mengalihkan perhatian, Ryo akhirnya mengitari pohon yg dinaiki Shilla dan mulai memanjat.
Tidak susah juga. Ryo baru ingat ia pernah belajar memanjat pohon untuk menarik perhatian
papanya. Ternyata masih ada sedikit keahlian yg tersisa dalam dirinya.
Shilla mengernyit ketika mendengar suara gemeresik dari belakangnya dan hampir terjungkal
karna kaget saat melihat Ryo berada di salah satu dahan pohon terdekat di belakangnya.
Ia menatap Ryo tak percaya. Kejadian langka. Jadi si tuan muda model Ryo bisa -dan maumemanjat pohon" Knapa otaknya tadi" Terbentur" Atau baru ditukar alien"
Ryo hanya tersenyum miring sambil menaikan sebelah alis. "Jangan lo pikir gue nggak bisa naek
pohon kayak begini. Keciiiiil," katanya menyombong lalu menjentikkan jari.
Shilla, akhirnya, tidak tahan untuk tidak tertawa. Entah karna otaknya korslet atau apa, ia jadi
tidak bisa berhenti tertawa. Sementara Ryo memelototinya. "Jadi... Tuan titisan kera juga?" tanya
Shilla, tak bisa menahan diri.
Ryo sontak mencibir. "Enak aja lo. Minta gue pecat, ya"!"
Lagi2 Shilla hanya menanggapi dengan ledakan tawa.
Pemuda itu sendiri kini entah kenapa malah ikut tersenyum juga melihat Shilla tertawa. Tp, ia
langsung menahan senyum begitu sadar dan mengernyit. Ada apa dengan otaknya" Saking
kacaunya dia hingga bersedia memanjat pohon dan menemani pelayan ini di atas sini"
Shilla ikut terdiam saat menyadari raut Ryo berubah serius. Menyadari kejadian ini benar2 aneh.
Mimpi atau bukan, ya" batinnya. Tp mana mungkin ini mimpi" Ia kan sedang insomnia atau
mungkin... ia sekarang sedang berada dalam mimpi Ryo, begitu"
Ah. Nggak tau lah, batinnya. Lebih baik memikirkan Arya saja.
Kali ini Ryo akhirnya melihat Shilla sedekat itu. Melihat kegalauan Shilla. Mungkinkah... gadis
pelayan di hadapannya ini... benar2 suka pada Arya" Ia tak bisa mengontrol mulutnya unuk
menyuarakan pikiran itu. "Elo... mikiran Arya?" tanyanya telak.
Shilla sontak memandang Ryo, merasakan wajahnya memanas. Sejelas itu, ya" Ia menunduk,
lalu entah knapa malah mengangguk.
Ryo menahan napas pelan. Mungkinkah kepergian Arya nantinya bagi gadis ini sama seperti
kepergian Mai baginya" Tp paling tidak, jika benar begitu gadis ini toh bakal tahu di mana Arya,
sementara ia tetap tidak tahu keberadaan Mai.
Ryo menatap Shilla. "Lo tau kan lo cuma pelayan?" katanya, untuk pertama kali tanpa maksud
merendahkan. Tp sayang kadar sensitif gadis itu sedang benar2 pasang sekarang ini. Shilla langsung
melemparkan pandangan kesal ke arah Ryo. "Trus kenapa?" tantangnya. "Jadi pelayan bukan
berarti nggak bisa suka sama orang, kan" Juga tuannya" Kalau rasa suka adalah rasa yg bisa
diatur kehendaknya sendiri oleh manusia, saya juga nggak mau suka sama Tuan Arya. Saya
sadar siapa saya, saya mengerti kok posisi saya. Tp nyatanya, saya nggak bisa mena..."
Ryo kontan membekap mulut Shilla yg kini meronta kehabisan napas. "Diem," perintahnya, lalu
tak lama kemudian melepas tangannya.
Shilla kini berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil menatap Ryo dengan sewot.
Pemuda itu malah mengangkat bahu. "Gue tau," katanya sambil menatap gadis di dekatnya yg
mengernyit. "Gue tau rasa suka itu sesuatu yg nggak bisa diatur-atur. Gue juga nggak nyalahin lo. Terserah
elo lah. Yah, walau gue nggak yakin perasaan Arya sama." Entah knapa Ryo mengatakan itu.
Sejujurnya ia tak begitu suka Shilla menyatakan perasaannya segamblang itu. Dan yg jelas, ini
tidak ada hubungannya dengan status sosial.
Shilla hanya mendesah. Kejujuran, yg begitu menyakitkan. Menyadari Ryo ada benarnya juga.
Tampaknya tak mungkin Arya bisa menyukainya.
"Jangan sedih," kata Ryo pelan akhirnya. "Sedih nggak bakal ngubah keadaan."
Lalu pemuda itu meloncat turun dari pohon. Ia beranjak pergi, tiba2 berbalik dan menatap Shilla
yg memandanginya. "Jangan ceritain apa yg terjadi malam ini sama siapa2," ucapnya tajam. "Anggap aja otak gue
lagi rusak," lanjutnya, lalu benar2 pergi, sementara Shilla masih tertegun.
KRIIIIIIIIINGGGG! Shilla kontan melonjak dari kasur saat bekernya memekik-mekik, lalu menatap benda yg
membangunkannya itu. APA"! batinnya histeris. Jam 06.20"! Matilah. Bagaimana ini"
Ia menelan ludah lalu bergegas menyambar handuk dan seragamnya, keluar kamar, lantas
bergegas menuju kamar mandi. Ia merutuk. Pasti karna baru tidur jam dua pagi, ia jadi telat
begini. Bagaimana ini" Mana sempat ia naik angkot dan bus"
Beberapa menit kemudian, dengan kecepatan super, Shilla sudah memakai seragam. Ia bergegas
menyambar ranselnya setelah menautkan kancing blazer terakhir, memutuskan brangkat sekolah
tanpa menyisir rambut. "Shilla..." Shilla tertegun begitu keluar dari pintu kecil di samping garasi. Ia mencari-cari siapa yg
memanggilnya. Arya. Pemuda itu tampak rapi dengan setelan hitamnya, berdiri di sebelah
Mercedes perak yg sepertinya siap brangkat.
"Iya, Tuan?" tanya Shilla pelan, menahan degup di dadanya yg berlari sedikit lebih kencang saat
melihat Arya yg begitu tampan.
"Kamu telat?" tanya pemuda itu sambil mengangkat alis, sementara Shilla mengangguk malu.
"Iya, kayaknya." Arya tersenyum, memainkan kunci mobil dalam genggamannya, lalu
menghampiri Shilla. "Yuk, saya anter."
"Hah?" tanya Shilla spontan, tercekat. "Nggak usah. Nggak apa2, Tuan."
"Ayo." Arya hanya tersenyum lalu menarik lengan Shilla, yg kini wajahnya mulai memerah.
Dengan sopan, Arya membukakan pintu penumpang untuk Shilla, membuat gadis itu tertegun
karna tak pernah diperlakukan seperti itu. Ia akhirnya menunduk malu, lalu masuk ke mobil.
Menunggu Arya yg memutari mobil setelah menutup pintunya.
"Hmmm. Tuan Ryo ke mana, Tuan?" tanya Shilla, berusaha memecah keheningan.
Arya menoleh, tersenyum lagi. "Oh. Dia nggak masuk sekolah. Males, katanya. Nanti mau anter
saya ke bandara jam dua belasan..."
"Oh," kata Shilla, baru ingat tuan murah senyum ini akan pergi hari ini. Ia menunduk.
"Nanti kamu juga ikut, ya," kata Arya, membuat Shilla mendongak tak percaya. "Nanti saya
suruh Ryo jemput kamu di sekolah jam sebelas."
Shilla hanya mengangguk lalu terdiam, membiarkan Arya membawanya menerobos kemacetan
Jakarta untuk sampai ke Season High.
"Hah" Arya mau ke Paris" Serius?" tanya Devta tidak percaya.
Shilla mengangguk meyakinkan. Dengan cemas, ia melirik jam dinding kelasnya. Hampir jam
sebelas. Ryo jemput aku nggak, ya" batinnya khawatir. Ini kan... akan jadi terakhir kalinya ia
melihat Arya entah hingga berapa lama.
Shilla mendesah, sadar menghitung detik jam takkan membuat Ryo tiba2 muncul di hadapannya.
Ia lalu menoleh ke arah Devta. "Kamu kenal ya sama Tu... eh, Arya?" tanyanya.
Devta mengangguk sambil mengangkat bahu. "Ya... rata2 semua di sini kenal lah. Apalagi kalo
rajin dateng ke pesta sosialita," katanya, sementara Shilla hanya meng-iya-juga-ya dalam hati.
Ifa tiba2 menoleh ke arah Shilla, mengernyit curiga. "Tampang lo kenapa sedih banget gitu?"
Shilla hanya tersenyum lemah.
"Lo merasa kehilangan?" tanya Devta bingun, lalu tiba2 menyambar lagi, "elo... suka sama
Arya?" Ya ampun, Shilla membatin. Apa memang slalu sejelas itu isi hatinya" Kemarin Ryo menyadari,
sekarang Devta juga. Mungkin ia harus mulai belajar soal kamuflase perasaan atau semacamnya.
Karna terlanjur basah, Shilla memutuskan sekalian tenggelam saja. Ia menghela napas lalu
menutur pelan, "Iya, kayaknya."
Ifa dan Devta langsung memasang tampang "turut berduka"
"Yaaaaah," ujar mereka kompak.
Shilla tersenyum kecil. "Ya udahlah. Dia ada di sini pun, aku juga nggak akan pernah berani
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngungkapinnya." Ketiganya akhirnya mulai mencari bahan pembicaraan lain karna pelajaran biologi saat itu
sedang kosong. Bu Octa, guru mereka sedang ada acara lain yg tampaknya urgent dan hanya
meninggalkan tugas kelompok, yg saking mudahnya membuat semua para murid bisa
menuntaskan pada satu jam pelajaran sebelumnya.
Di tengah kegaduhan kelas yg biasa, tiba2 semua mata memandang ke arah pintu kelas yg baru
saja menjeblak terbuka. Ryo ternyata berdiri di sana dengan aura angkuhnya yg tak pernah
berubah. Ia, tanpa sengaja, membiarkan semua pasang mata menikmati perawakan
memesonanya yg kala ini tidak memakai seragam, melainkan setelan abu-abu yg amat menawan.
Ryo berdeham, lalu menghampiri Shilla, yg ikut terperangah.
Tanpa banyak kata, pemuda itu menarik tangan Shilla untuk bangkit dari kursi dan mengikutinya
ke luar kelas. Ia, entah sadar atau tidak, terus menggenggam jemari gadis itu di dalam lift sampai
ke lapangan parkir dan menuju kendaraan andalannya yg lain, Jaguar hitam.
Ryo, sepertinya baru tersadar saat hendak membuka pintu mobil. Ia menoleh, menatap wajah
Shilla dengan sedikit rona merah lalu melepas genggaman tangan mereka dan memerintah,
"Masuk sana." Shilla mengernyitkan dahi bingung lalu menuruti kata2 Ryo. Ia melangkah mengitari mobil ke
pintu penumpang lantas membuka pintu, duduk, dan memakai sabuk pengaman.
Ryo menatap Shilla yg balas memandanginya sebentar, lalu bergegas melajukan mobilnya keluar
dari lingkungan sekolah, menuju tol dalam kota ke bandara.
Hening. Aneh, Shilla tiba2 membatin saat menyadari keheninganlah yg menyertai mereka sekarang. Ia
jadi tidak yakin kejadian semalam ketika ia tertawa bersama pemuda di sebelahnya ini adalah
kenyataan. Hei, batinnya. Bagaimana kabar ranselku" Ia menoleh ke arah Ryo lalu berkata pelan, "T-tuan,
boleh pinjem ponsel?" tanyanya takut2.
Ryo sontak memandang gadis di sebelahnya garang. "Nggak. Siapa elo"!"
Shilla terdiam sejenak, lalu mencibir. Tak percaya makhluk di sebelahnya kembali menjadi
spesies menyebalkan. Ia menoleh saat Ryo tiba2 malah bertanya, sepertinya penasaran juga.
"Emang mau apa?"
"Ransel saya," kata Shilla pelan. "Mau nitip ke Ifa..."
Ryo langsung tersenyum meremehkan. "Oh," katanya. "Ransel murahan gitu sih. Ditinggal juga
nggak bakal ada yg mau ngambil," ejeknya, membuat Shilla mencibir kesal.
Setelah beberapa lama, Jaguar milik Ryo akhirnya memasuki lapangan parkir kawasan terminal
untuk penerbangan internasional. Mereka turun, lalu berjalan sebentar. Shilla mengikuti Ryo
pelan2, menuju depan gerbang yg membatasi penumpang dengan pengantar.
Shilla, yg sedari tadi menunduk mengikuti ujung belakang pantofel mahal Ryo sambil berusaha
meredakan kegelisahan hatinya, kini mendongak saat menyadari dirinya tak lagi menginjak
aspal, melainkan keramik.
Ia mendongak lalu tertegun sebentar menatap Arya, masih dengan setelahnya tadi pagi, kini
hanya berjarak beberapa langkah darinya.
Arya tersenyum cerah melihat Ryo dan Shilla menghampiri. Tak lama lagi ia harus masuk untuk
check-in. Begitu kedua orang yg ditunggunya berhenti tepat di depannya, Arya langsung
menyongsong lalu memeluk Ryo erat2. Adik semata wayang gue ini, batin Arya. Ia melepaskan
diri terlebih dulu setelah Ryo dengan canggung, menepuk pelan punggungnya.
"Jangan bikin masalah mulu lo. Kalo gue pulang, lo harus berubah ya," pesannya pelan pada
Ryo. "Berubah" Jadi apa" Ninja turtle?" kata Ryo, merasa normal lagi setelah Arya melepas
pelukannya. Arya hanya tersenyum misterius lalu mendekatkan wajah dan membisiki adiknya, "Lo bakal
berubah karna cewek di sebelah lo itu."
Ryo sontak mengernyitkan dahi. "Gila lo," ujarnya.
"Iya, gue gila," Arya malah mengiyakan. "Tp, kalo yg gue bilang ini terbukti suatu saat nanti kalo lo beneran takluk sama dia- lo harus lari muterin Bunderan HI tengah malem."
Ryo hanya menggeleng-geleng, mengira kakaknya sudah tak waras.
Arya menjauhkan diri lagi dari Ryo, lantas menatap Shilla. Ia tersenyum lalu menepuk puncak
kepala gadis itu pelan, tak sadar membuat debaran jantung pemilik kepala itu makin menggila.
"Inget yg saya bilang, ya," kata Arya, menatap Shilla sambil melirik penuh arti ke arah Ryo.
Ryo melotot. Ada apa coba kakaknya sama pelayan satu itu"
Arya akhirnya menarik napas lalu meraih pegangan kopernya. "Kalian berdua baik2, ya. Jangan
Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1 Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah Tiga Dara Pendekar 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama