Ceritasilat Novel Online

Reborn Sepasang Kaos 6

Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting Bagian 6


"......." Gw diam. Meva juga diam. Gw pandangi langit tanpa bicara sepatah kata pun. Ah, malam ini mendadak bulannya indah sekali.......
Part 109 Gw buka mata gw perlahan.....
Di hadapan gw nampak dinding tinggi bercat biru muda dengan aroma yg aneh. Bukan cuma wanginya,
tapi desain kamar ini juga aneh. Gw nggak pernah merombak kamar gw jadi sedemikian rupa.
Gorden putih besar menutupi yg nampaknya adalah jendela yg besar. Untuk beberapa lama pandangan
mata gw buram. Dan setelah gw kembali normal, ruangan tempat gw berada ini nampak semakin aneh
dan asing buat gw. Gw telentang di atas sebuah tempat tidur. Di samping tempat tidur gw ada lemari
kecil yg rupanya merangkap meja karena di atasnya ada sepiring bubur dan semangkuk kecil sayur di
sebelahnya. Ada di mana gw sebenarnya"
Gw coba buka selimut yg menutupi tubuh gw, tapi mendadak punggung tangan gw terasa nyeri. Ada
sesuatu yg menusuk. Jarum... Selang bening berdiameter kecil...
Infus..... Lagi, pertanyaan yg sama muncul, ada di mana gw sekarang?"
"Va..." gw coba memanggil Meva yg entah ada di mana. Lama tanpa jawaban.
"Mevaaa..." kali ini suara gw lebih keras dari sebelumnya.
Tetap sunyi. "Mevaaa" gw memanggilnya lagi.
Dari arah kiri terdengar suara pintu dibuka yg kemudian disusul derap langkah yg mendekat ke gw.
"Ari?" panggilnya.
"Meva?" mendadak gw rasa itu pertanyaan bodoh karena suara yg memanggil gw tadi jelas suara lakilaki.
"Ri, lo udah bangun! Syukurlah.." katanya lagi.
"Indra?" gw coba mengenali suaranya.
"Iya ini gw Ri," dan dia muncul di sisi ranjang gw. "Lo mau apa" Mau minum" Bentar ya tadi gw udah
panggil dokternya." "Dokter?" kernyit gw heran.
Indra tersenyum menenangkan sementara kepala gw terasa sakit mencerna keadaan yg sedang gw
hadapi. "Dokter?" kata gw lagi memastikan.
"Iya, tadi udah gw panggil dokternya begitu gw denger suara lo."
"Gw...ada di mana sih gw sekarang Dul?" punggung tangan gw nyeri.
"Lo di Rumah Sakit, Ri."
"Rumah Sakit" Emang gw kenapa" Gw baik aja kok!"
"Kemaren malem lo pingsan di depan kamer lo. Ya udah gw bawa ke sini aja," Indra menjelaskan.
"Pingsan?" gw heran.
Indra mengangguk. "Lo kurang asupan gizi karena jarang makan. Terus lo malah mabok, yaudah deh pantes aja lo pingsan."
"Kok bisa?" Kapan gw mabok" Kapan gw nggak makan?"" gw setengah protes dan menganggap Indra
becanda. "Sst...jangan kenceng-kenceng ngomongnya, sayang tenaga lo baru sadar juga."
"Iya tapi gw nggak kenapa-kenapa kok! Ngapain gw dibawa ke sini?"
"Coba lo inget lagi deh, terakhir kali di kosan, lo ngapain?"
Gw diam berpikir. Otak gw bekerja keras menemukan jawaban pertanyaan Indra.
"Meva" Gw, gw lagi sama Meva di beranda! Gw nggak minum Ndra. Sekarang mana Meva nya?"
"Dia udah gw suruh pulang. Kasian dia dari semalem jagain lo terus. Dia juga butuh istirahat. Gw suruh
gantian sama gw. Ntar malem juga kayaknya dia ke sini lagi."
Gw diam. Mendadak ingatan gw seperti berputar cepat. Gw coba mengingat lagi kejadian semalam. Ah,
yg gw inget cuma Meva! "Gw nggak minum Ndra..." gw setengah mengiba.
Indra senyum lalu bicara.
"Gw ngerti kok. Lo lagi berduka atas kehilangan nyokap lo, dan salahsatu cara lo ngadepinnya dengan
'minum'. Gw paham banget kok, dalam keadaan tertentu kadang kita butuh pelarian. Tapi yg penting
sekarang, kita nggak usah bahas soal semalem. Yg penting lo beneran sadar aja dulu yah.."
Gw diam lagi. Apa bener yg dibilang Indra" Sebentar, gw cek mundur kronologinya.
Gw duduk di kursi beranda. Ada Meva, dia peluk gw...
Setelah itu gw lupa. Tapi sebelum Meva datang, gw kayak lagi minum sesuatu.
Ah, sial! Bener kata Indra, gw inget sekarang! Gw emang lagi 'minum' buat mengusir kesedihan gw! Ada
dua botol kecil kalo nggak salah...
Dan hasilnya" "Halo Mas Ari," sebuah suara membuyarkan lamunan gw. Seorang lelaki berjas putih.
"Eh, halo Pak Dokter," jawab gw.
"Gimana udah ngerasa baikan belum?" tanyanya lagi.
"Nggak tau nih Dok. Saya juga nggak begitu sadar semalem. Pas bangun tau-tau ada di sini."
"Ya iya lah mana ada orang mabok yg sadar?" Dokter itu tertawa pelan. "Sebentar ya Mas Ari, saya cek
tensi sama darahnya dulu yah.."
"......." Gw dan Indra saling pandang sesaat, lalu Indra mengangguk.
Dan Dokter pun melakukan tugasnya.
"Tekanan darahnya rendah banget. Laen kali jangan diulangi lagi ya Mas," katanya begitu selesai. "Nggak
makan berhari-hari, terus 'minum'. Ya iy aja pingsan mah."
Gw nyengir malu. "Lo mau gw hubungin keluarga lo di rumah?" tanya Indra begitu Dokter pergi.
Gw menggeleng. "Gw nggak mau bikin mereka cemas," gw beralasan.
"Oke. Kalo gitu sekarang lo makan dulu, abis itu minum obat."
Gw setuju aja. "Oiya Ndra, kok elo bisa tau gw pingsan?"
"Meva. Dia yg nelpon gw. Yaudah langsung gw bawa lo ke sini."
Gw mengangguk mengerti. Gw sandarkan kepala gw ke bantal. Gw pejamkan mata gw. Meva...
Mendadak gw nggak bisa mengingat dengan jelas kejadian semalam. Tapi rasanya ada sesuatu yg
mengganjal dalam hati gw. Tapi apa"
Gw pejamkan mata gw lebih dalam lagi. Tubuh gw terasa lemas dan semakin nggak mampu menemukan
jawabannya. Lama gw diam. Sampai akhirnya gw malah terlelap kembali.....
Part 110 "Selamat paaagiiiii!" nada tinggi ceria khas Meva melengking di penjuru kamar berukuran 4 x 3 meter.
Gw cuma tersenyum. Dalam hati gw bersyukur pagi ini masih bisa mendengar suaranya. Meva berdiri di
sisi ranjang gw. Dia tersenyum, mengecup punggung tangan gw lalu mengusap rambut gw pelan.
"Apa kabar kebo ku yg makin jelek aja?"" katanya lalu tertawa senang. "Maaf yah semalem gw mau ke
sini malah ketiduran. Kecapean kayaknya nih gw."
"Enggak papa kok," gw menggeleng pelan.
"Eh Indra mana" Udah balik?" Meva celingukan nyari Indra.
"Iya udah balik tadi subuh. Dia shif pagi minggu ini."
"Oiya gw lupa. Gw ingetnya jadwal kuliah gw hari ini siang. Hehehe."
Meva tertawa kecil. Ekspresinya ceria banget. Seolah semua beban yg selama ini ditakutinya, menguap
begitu saja. Gw maklum dia bersikap seperti ini juga supaya gw ikut terbawa ceria. Gw masih sering
inget almarhum nyokap gw soalnya.
"Lo udah sarapan?" tanya Meva.
"Belum jam tujuh Va. Dolly makanan belum muter kayaknya."
"Gw bawa roti. Lo mau?" Meva meraih tas nya.
"Boleh." "Tapi roti basi. Nggak papa?" tanyanya polos.
Gw kernyitkan dahi heran.
"Hahaha! Gw becanda kali! Enggak kok ini roti beneran. Nih, tadi gw beli pas di jalan mau ke sini." Meva
mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tas nya.
"......." "Gw beli di toko makanan basi."
"Meva!" "Hahaha. Boongan kok. Serius, itu roti baru. Makan aja. Kalo nggak percaya cek tanggal kadaluwarsanya
deh." Gw mencibir. Meva mengambilkan selembar roti tawar, menuangkan susu cokelat sachet di atasnya dan
terakhir merangkapnya dengan selembar roti lagi. Dia menyerahkannya ke gw.
"Abis ini minum obat yaah," kata Meva lagi.
Gw anggukkan kepala. Meva cuma duduk berpangku dagu sambil menonton gw makan. Beberapa kali
dia nyengir seolah dia ada di sebuah panggung pertunjukan ludruk tengah nonton pelawak favoritnya.
Dan yeah, tatapan matanya cukup membuat gw risih.
Begitu roti habis terlahap, dengan cekatan Meva menuangkan segelas air dari botol mineral yg
dibawanya kemudian mengeluarkan beberapa butir obat dari laci meja di samping ranjang.
"Thanks Va..." kata gw menerima obat darinya.
Meva tersenyum lebar. "Eh Ri, sumpah deh lo jelek banget yak kalo belum mandi kayak gini! Udah berapa hari sih lo puasa
mandi?"" dan Meva pun tertawa.
"Sialan lo," omel gw. "Kemana aja selama ini baru nyadar kalo gw jelek."
"Haha. Gw becanda kok, bo. Gitu aja diambil ati ah. Eh tadi rotinya pasti kelewat manis yak?" tanya
Meva. "Enggak ah. Kenapa?"
"Masa sih biasa aja" Kan lo makannya di deket gw" Harusnya manisnya nambah donk!" tambahnya
dengan penuh percaya diri.
Gw mendengus pelan. Ni anak belum sembuh juga over pede nya! Meva nyengir lebar dan
menampakkan deretan giginya yg rapi dan putih.
"Pede lo." "Biarin!" Meva menjulurkan lidahnya.
Gw taroh gelas di atas laci.
"Gimana udah mendingan kan sekarang?" tanya Meva.
Gw mengangguk beberapa kali.
"Gw kaget banget lho malem itu pas lo mendadak nggak bergerak kayak orang mati," ceritanya.
"Oiya" Duh gw malah lupa gimana kronologinya sampe gw bisa ada di sini."
"Yaiyalah mana ada orang mabok bisa inget!" Meva cemberut. "Kenapa sih mesti minum minuman
kayak gitu?" Kan masih banyak cara buat ngilangin stres! Bukan malah teler kayak kemaren!"
"Ya namanya juga lagi stres Va. Mana bisa gw berpikir jernih" Itu juga masih untung gw masih bisa
mikir." "Makanya kalo emang gak bisa dipikirin sendiri, libatkan orang lain donk buat bantu mikir. Kan ada gw"
Gw pasti bersedia meluangkan waktu gw buat dengerin cerita lo. Itu lebih baik daripada ngelamun
sambil minum." "Iya maafin gw..."
"Laen kali gw liat lo pegang minuman kayak gitu lagi, gw cabut kuku jempol lo."
Gw meringis ngilu. "Lo tau kan, ngeliat lo ngerokok aja gw nggak suka. Ini lagi teler!" lanjut Meva.
"Iya Va, gw minta maaf.."
Meva pasang wajah cemberut.
"Awas lo kayak gitu lagi....."
"Iya iya. Gw janji nggak minum lagi..."
"LO TAU NGGAK SIH GIMANA TAKUTNYA GW MALEM ITU?"?" mendadak nada suaranya meninggi. "LO
TAU APA YG ADA DI PIKIRAN GW BEGITU TUBUH LO TERKULAI NGGAK BERDAYA"! LO UDAH
NGEBAHAYAIN NYAWA LO SENDIRI TAU NGGAK!"
"......." "Gw paling nggak suka liat orang yg bertindak bodoh tanpa mikirin akibatnya..."
"Gw tau gw salah Va," mendadak gw ciut kayak anak kecil yg diomeli ibunya. "Makasih udah ngingetin
gw." "Udahlah, pokoknya jangan sampe lo bertindak bodoh lagi. Lo pikir lo akan kuat kalo tiap hari nggak
makan" Sedih mah sedih aja, tapi makan jangan ditinggalin donk."
"......." Kami terdiam. Selama beberapa saat mata kami bertemu pandang. Gw menunduk malu. Mendadak
kamar jadi sepi. "Emh, maaf Ri...gw kok jadi marah ke elo yaa," kata Meva memecah kesunyian.
"Nggak papa kok. Gw malah makasih banget lo perhatiin gw."
"......." Meva berdiri dan berjalan ke jendela. Membuka gordennya lalu berdiri diam menatap keluar jendela.
Kami terdiam lagi. Larut dalam keheningan.
Gw pandangi Meva yg berdiri dalam diam.
"Thanks Va. Semua perhatian lo berarti banget buat gw," ucap gw lirih...
Part 111 Setengah sadar gw buka kelopak mata gw. Gw gerakkan kepala gw ke kanan dan kiri untuk melenturkan
leher yg terasa kaku. Terdengar suara rendah tapi gaduh.
"Dia bangun!" "Hey lihat..." Nampak siluet hitam mengelilingi gw. Ada orang. Cukup banyak orang. Ada beberapa yg gw kenali
suaranya. "Meva," gw memanggil lirih.
"Hey apa katanya?" sahut suara yg lain.
"Dia manggil gw," kata sebuah suara lagi yg sudah sangat akrab di telinga gw.
"Syukurlah..." Seseorang menggenggam tangan kiri gw. Hangat.
"Ari..." panggilnya. "Ini gw Meva, Ri..."
Suaranya seperti menggema di kepala gw. Gw belum bisa melihat dengan jelas. Bayangan orang di
samping gw nampak buram. Tapi ada yg aneh dengan hidung gw. Seperti ada yg meniup-niup masuk ke
lubang hidung. "Meva.." cuma nama itu yg bisa gw ucapkan dalam keadaan yg serba aneh ini.
"Iya Ri ini gw," sahut suara yg tadi. Seketika suara-suara di belakangnya lenyap. "Gw di sini."
"Lo di mana Va?"
"Ini, di sini. Di sebelah lo.."
Gw picingkan mata. Lambat laun penglihatan gw membaik. Indra, Dea istrinya, Pak Agus, Leo, dan dua
petugas medis berdiri memandang gw penuh minat.
Dan Meva. Dia duduk di tepi ranjang dengan menggenggam tangan gw erat.
"Lo udah sadar Ri.." kata salahsatu dari mereka.
Sejenak gw diam. "Gw kenapa lagi Va?" tanya gw begitu menyadari ada yg nggak beres. Gw sudah seratus persen terjaga
sekarang. "Lo nggak papa kok. Cuma tadi sempet nggak sadar aja," kata Meva tetap menggenggam tangan gw.
"Nggak sadar?" tanya gw lagi.
"Emh, maaf, tapi mungkin Mas Ari perlu beristirahat dulu buat memulihkan kesadarannya," kata suara
laki-laki yg belum pernah gw dengar. "Mari yg lain ikut saya keluar. Kalian bisa masuk lagi setengah jam
setelah ini." "Oke Ri, gw keluar dulu," kata Indra. "Kalo ada apa-apa panggil gw aja yah."
Dan mereka pun beranjak pergi. Tinggal salahsatu dari dua petugas tadi dan Meva yg ada di dalam
kamar. "Mbak," petugas itu memberi isyarat pada Meva buat pergi.
Gw dan Meva saling pandang.
"Saya mau dia di sini, Dok. Boleh kan?" pinta gw.
Dia diam sebentar lalu mengangguk.
"Maaf saya suntik dulu ya Mas Ari," lanjut petugas tadi. Di tangannya ada jarum suntik yg sudah siap.
Gw nggak pernah takut sama yg namanya jarum suntik. Tapi kali ini gw cukup nggak bernyali yg
kemudian gw alihkan dengan menggenggam tangan Meva sekuatnya. Tusukan jarum di lengan gw
terasa ngilu. Saat itulah gw baru sadar, ada selang kecil di wajah gw. Melintang di antara hidung dan bibir gw. Selang
inilah yg rupanya sejak tadi meniup lubang hidung gw. Selang oksigen.
"Gw kenapa Va?" tanya gw memelas, berharap segera menemukan jawaban yg pasti.
"Lo kemaren nggak sadarkan diri selama dua hari Ri," jawab Meva diikuti airmata yg mengalir dari
pelupuk matanya. "Gw nggak inget apa-apa," ujar gw pelan.
"Tapi sekarang lo udah sadar. Nggak usah khawatir lagi," katanya penuh haru.
"Separah itu ya gw?" kata gw setengah frustasi dan sedih.
Gw alihkan pandangan ke dokter yg sibuk menulis di hand table nya.
"Sebenernya saya kenapa, Dok?" tanya gw penuh harap.
Dokter lagi-lagi diam sebelum akhirnya menjawab.
"Mas Ari nggak apa-apa kok. Cuma memang kondisinya lagi lemah banget." jawabnya.
"Kalo emang nggak apa-apa, kenapa saya bisa nggak sadarkan diri Dok" Apa ini ada hubungannya sama
ginjal saya?" cecar gw. Sebenernya gw nggak mau nanya ini, gw takut dapet jawaban yg nggak gw
harapkan. "Emh...sebagian besar memang akibat komplikasi di ginjal Mas Ari. Ditambah lagi kurangnya asupan
makanan yg baik buat tubuh, jadilah hasilnya seperti ini. Ada sedikit gangguan pada fungsi ginjal Mas
Ari," jawab Dokter dengan hati-hati.
Gw terperangah. Gw tatap Meva, berharap menemukan keteduhan yg bisa mengusir kegalauan dalam
hati gw saat ini. Tapi sepertinya sia-sia. Kali ini wajah manisnya nggak cukup menenangkan gw.
"Apa itu parah Dok?" tanya gw lagi.
"Ri, Ri, udah lo jangan pikirin itu dulu," Meva menyela. Dia menepuk pelan punggung tangan gw yg sejak
tadi digenggamnya. "Yg penting sekarang adalah, lo udah sadar. Itu udah lebih dari cukup!"
"Tolong jawab Dok," gw acuhkan Meva. "Apa sakit saya ini parah?"
"Ari..." Mendadak ketakutan yg amat sangat datang menyelimuti gw. Bulu kuduk gw merinding. Sekujur badan
gw yg sejak tadi lemas, semakin melemas. Keringat dingin masih saja mengucur.
"Please, jangan bilang kalo itu benar..." gw berdoa dalam hati.
Dokter masih diam.

Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa saya.....Apa saya akan mati Dok?"" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gw.
"Ari!!" Meva setengah berteriak mengingatkan. Dia menangis sesenggukan. "Lo akan baik-baik aja Ri..."
katanya. Kami diam lagi. "Tenang aja Mas Ari, semua akan membaik dalam waktu dekat..." akhirnya Dokter menjawab.
Gw pejamkan mata gw. Mendadak bayangan-bayangan aneh berkelebatan di benak gw. Wajah-wajah
itu, mereka menatap iba gw. Jawaban tadi belum mampu menenangkan gw. Gw punya firasat buruk
tentang ini. Gw takut setakut-takutnya. Rasa yg dulu nggak pernah ada.
Apa yg harus gw lakukan" Oh God, help me please......!!!
Part 112 "Oke itu hak lo Va," kata gw dengan beratnya. "Kalo memang itu bisa nenangin diri lo."
Meva mengembuskan nafasnya di leher gw. Sensasi merinding langsung merambati tubuh gw. Bukan,
bukan hanya karena embusan nafasnya yg lembut. Tapi lebih karena ketakutan gw kehilangan Meva. Gw
bisa merasakan jantungnya berdegup pelan di dada gw. Pelukannya nggak begitu erat, cukup
menjelaskan keraguan dalam dirinya sendiri. Airmata sempat menggenangi pelupuk mata gw tapi gw
menahan diri buat menangis.
"Tapi gw akan sangat berterimakasih kalo lo mau balik lagi ke sini," lanjut gw.
Shit! Airmatanya nggak mau menghilang dari mata gw. Mungkin setelah ini gw harus mencari cara buat
menghadapi momen kayak gini.
"Apa lo akan kesepian kalo gw pergi?" tanya Meva.
"Bodoh...." kata gw spontan. "Lo pikir enak maen catur sendirian?"
Meva tertawa pelan. "Apa lo bakal kangen sama gw?" tanya nya lagi.
"Bodoh banget," gw lalu senyum.
Kami terdiam sejenak. "Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja Endless Love."
"Kenapa Endless Love?"
Meva diam sebentar. "Itu lagu favorit gw."
"......." "......." "Apa ini...apa ini artinya...lo nggak akan balik lagi?" gw sedikit terbata.
Meva diam. Dia embuskan lagi nafasnya tepat di tengkuk gw.
"Jangan bodoh," bisiknya pelan. "Lo pikir kenapa Endless Love jadi lagu favorit gw?"
"Mana gw tau?" Meva tertawa lagi. "Endless Love," dia menepuk pundak gw pelan. Melepas peluknya, tersenyum dan berlalu ke
kamarnya..... ** Gw terjaga lagi. Pagi-pagi. Di tengah ruangan yg senyap. Cuma detakan jam yg menempel di dinding yg
terdengar memenuhi ruangan. Sedikit bergetar gw menyapu pandangan ke penjuru kamar. Masih
ruangan yg sama dengan saat pertama kali gw terjaga. Tabung oksigen, selang infus, gorden biru...
Dan Meva. Meva duduk di kursi, tertidur bersandar di dinding. Dia nampak sangat kelelahan. Pundaknya bergerak
naik turun perlahan seirama dengan hela nafasnya. Ah, wajahnya damai sekali...
Dalam keheningan pagi seperti ini, kadang sisi sentimentil dalam diri kita cenderung lebih menguasai
hati. Dan gw, entah kenapa mendadak gw kembali diselimuti rasa takut.
Sejujurnya, gw nggak begitu takut mati. Gw selalu yakin kematian hanyalah sebuah tidur panjang.
Tempat dimana mimpi-mimpi yg kita bangun selama hidup akan terwujud di kehidupan abadi kelak.
Satu-satunya yg gw takutkan dari kematian adalah perpisahan dengan orang-orang sudah begitu dekat
dengan gw. Akan sangat aneh mendengar tangis mereka, melihat mereka mengguncang tubuh gw yg
terbaring nggak berdaya dan lafaz ayat suci dari mulut mereka, sementara gw cuma bisa terpaku
menatap mereka dalam dimensi berbeda. Tangisan gw, teriakan gw, nggak akan pernah sampai di
telinga mereka. Sentuhan tangan gw pun nggak akan mungkin mereka rasakan. Lalu melihat tubuh gw
terbenam tanah. Hanya sebuah batu yg tertancap di atasnya sebagai tanda bahwa pernah ada gw dalam
hidup mereka. Dan perlahan gw melayang. Jauh.
Semakin menjauh. Sangat jauh.......... "Astaghfirullahaladzim," gw beristighfar mengusir bayangan-bayangan buruk yg tadi menghinggapi gw.
Meva. Dia masih di sana, terlelap di kursinya. Masih dengan wajah teduhnya.
"Enggak," batin gw dalam hati. Gw nggak boleh serapuh ini. Belum tentu juga kan sakit yg gw rasakan
sekarang akan membuat gw mati" Gw percaya Tuhan sudah menentukan waktunya buat semua orang.
Dan gw belum mau berpisah sama lo sekarang Va.
Gw akan berusaha semampunya lepas dari kesakitan ini. Gw akan berjuang melawan keadaan ini. Gw
yakin gw akan sembuh secepatnya.
Pagi ini mendadak gw kangen maen catur lagi. Gw kangen duduk di beranda sambil main gitar dan
becanda bareng lo Va. Gw kangen alun-alun Karang Pawitan. Ah, gw kangen segalanya tentang elo.
Dan dalam keheningan ini sebuah lirik melantun dengan merdunya di kepala gw..
My Love, There's only you in my life
The only thing thats right..
My First Love, You're every breath that I take
You're every step I make...
And I want to share all my love with you
No one else will do Your eyes, They tell me how much you care
Oh yes, You will always be, My Endless Love..... Ya, lebih dari segalanya yg pernah gw ungkapkan, lo adalah segalanya buat gw...............
Part 113 Dan waktu pun terus berputar. Setelah dua minggu menginap di Rumah Sakit, gw dinyatakan sembuh
tapi masih harus rutin melakukan pemeriksaan ginjal setiap seminggu sekali. Selama opname di Rumah
Sakit, gw sengaja nggak mengabari keluarga di rumah karena nggak mau membuat mereka cemas.
Lambat laun kehidupan gw kembali normal. Gw mulai bekerja kembali di minggu keempat sejak gw
opname. Meva pun sudah mulai sangat disibukkan skripsi dan tugas akhir menjelang wisuda. Kami jadi
semakin jarang bertemu dengan kesibukan yg kami jalani. Meva sering pulang malam. Sementara gw
karena memang masih dalam masa penyembuhan, gw butuh lebih banyak waktu istirahat. Gw jadi
sering tidur di bawah jam sembilan, suatu hal yg dulunya sangat jarang gw lakukan. Tapi meskipun sibuk,
Meva masih menunjukkan perhatiannya ke gw. Hampir tiap pagi dia bangunin gw begitu masuk waktu
Subuh, dan selesai sholat biasanya selalu ada secangkir teh hangat dan nasi bungkus yg dibeli Meva buat
gw. Meva menyempatkan menemani gw sarapan dan ngobrol-ngobrol ringan sebelum berangkat kerja.
Setelah itu biasanya dia tidur lagi dan menjelang siang berangkat kuliah. Praktis waktu buat gw ketemu
Meva cuma di pagi hari. Tapi gw maklum dan kadang-kadang gw bantu dia sebisanya. Dari situlah gw
semakin bisa menempatkan Meva sebagai sosok wanita hebat yg tentu saja, punya tempat tersendiri di
hati gw. Dan Lisa, dia pun semakin disibukkan kegiatannya menjelang keberangkatan ke Jepang. Gw dan Lisa
sudah hampir lost contact setelah gw keluar dari Rumah Sakit. Tapi gw masih bisa ngerasain kok,
perhatian Lisa nggak pernah berubah sedikitpun meski kami jarang berhubungan langsung.
..... Awal Juni 2004. Beberapa hari sebelum keberangkatan Lisa ke negeri matahari terbit.
Sudah sejak lama Lisa minta gw nganter dia ke bandara. Setelah mendapat ijin dari sachou, gw
rencananya ikut dalam rombongan yg berangkat ke Jakarta pertengahan bulan nanti.
Gw lagi nyari baju mana yg seharusnya gw pake pas hari H, ketika gw menemukan sesuatu di sudut
lemari baju gw. Sebuah papan catur kecil dari bahan plastik bermagnet.
Sejenak gw terdiam mengamati papan catur di tangan. Ingatan gw menari-nari dalam kepala. Dan
momen-momen itu pun seperti terulang lagi, diputar dalam sebuah tape usang. Momen bersejarah yg
penuh kenangan, ketika gw baru kenal yg namanya Mevally, si cewek aneh yg punya kebiasaan aneh.
Gw senyum-senyum sendiri.
Lama gw pandangi deret kotak hitam putih itu. Entah apa yg merasuki otak, perhatian gw sudah teralih
sepenuhnya ke papan catur ini. Gw duduk dan gw letakkan di lantai lalu gw susun pion-pion sesuai pos
nya. Diam-diam gw tersenyum dan berharap Meva ada di hadapan gw, mendorong maju bidak di depan
raja dan di depan kuda, langkah awal favoritnya tiap maen catur bareng gw. Tapi begitu nengok keluar
dan mendapati lampu kamarnya mati, tanda bahwa yg punya kamar belum balik, khayalan itu menguap.
Gw lalu teringat sebuah 'filosofi catur' yg pernah membuat Meva sangat termotivasi. Sebuah filosofi
dadakan yg sebenernya cuma ocehan gw aja saking stres nya gw karena kalah terus. Hahaha.
Tapi harus gw akui, filosofi itu secara nggak langsung juga memotivasi gw sendiri. Biar bagaimanapun gw
yakin semua orang ingin mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya. Dan Meva, gw yakin sepenuh hati,
suatu hari nanti dia akan jadi orang yg hebat dan disegani. Gw yakin akan ada saatnya nanti dia
dipandang utuh sebagai dirinya dan bukan hanya dari masa lalunya yg kelam. Sepenuhnya gw percaya,
Meva mampu melewati kotak demi kotak nya untuk sampai di kotak terakhir dan ber metamorfosa
menjadi 'menteri'. Gw masih duduk melamun dengan papan catur di hadapan gw. Gw tarik nafas panjang dan
mengembuskannya perlahan.
Hmm kalau saja nggak ada papan catur ini, mungkin gw nggak akan pernah sedekat ini dengan Meva.
Dan soal filosofi itu, biarlah tiap orang menerimanya sesuai dengan pemahamannya masing-masing.
Karena hari ini, besok, atau lusa, akan ada bidak yg berubah jadi menteri. Tinggal bagaimana dan sekuat
apa bidak itu melewati kotak-kotaknya.
Part 114 tiba saat mengerti jerit suara hati yg letih meski mencoba melabuhkan
rasa yg ada mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu.. temani airmataku.. teteskan lara.. merajut asa.. menjalin mimpi.. endapkan sepi-sepi..... Gw pulang sangat larut dari mengantar Lisa ke Jakarta ketika sayup-sayup terdengar lagu dari kamar
Raja di lantai dua. Sejenak terpikir buat mampir ke kamarnya, tapi gw urungkan niat gw. Raja pasti baru
balik kerja dan gw terlalu lelah buat ngobrol-ngobrol. Gw pengen buru-buru tidur. Besok hari Sabtu, jadi
gw bisa 'balas dendam' sepuasnya.
Gw naiki tangga tanpa suara sedikitpun. Semua penghuni kosan pasti sudah terlelap jam segini. Maka
gw cukup terkejut saat menemukan Meva sedang duduk memeluk lutut di atas tembok beranda, asyik
menatap langit sambil mendengarkan lagu dari headphone di discman nya.
Gw hampiri dia yg rupanya nggak menyadari kedatangan gw.
"Hay Va," gw menyapanya. "Kok belum tidur?"
"......." Meva terlalu asyik dengan lagu di telinganya. Mulutnya bergerak pelan tanpa suara mengikuti lagu yg
didengarnya. "Woyy," gw tarik lepas headphone dari telinganya.
"Eh gw kirain siapa!" Meva terkejut melihat gw. Dia turun dan berdiri di sebelah gw. Tersenyum dengan
manisnya sambil melipat tangan di depan dada. Gw liat arloji gw menunjukkan pukul setengah satu pagi.
"Lo belum tidur jam segini?" tanya gw.
"Menurut lo, gw tidur belum?" dia menaikkan kedua alisnya.
"Maksud gw, kenapa jam segini lo belum tidur?" pandangan gw menyapu seluruh kamar di hadapan gw.
Semua penghuni benar-benar sudah tidur, yg terdengar cuma suara jangkrik dan sayup-sayup musik dari
kamar Raja. "Gw belum ngantuk," jawab Meva sambil menggeliatkan badan dan menguap lebar.
"......." "Lagian gw juga mau sedikit bernostalgia di sini," dia balikkan badan memandang sawah di belakangnya.
"Udah lamaaa banget kayaknya gw nggak nongkrong di sini lagi. Gw kangen sama bau embun pagi yg
menyegarkan kayak gini. Gw kangen liat padi-padi melambai ditiup angin. Ah, gw kangen masa-masa gw
belum sesibuk ini!" "Oh..." gw tarik kursi dari depan kamar dan duduk di samping menghadap Meva. "Tadi lo balik kuliah
jam berapa?" "Baru dua jam yg lalu," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Wah sibuk banget ya dirimu, lebih sibuk dari wanita karir malah," canda gw.
Meva tertawa pelan. "Capek tau. Kalo bisa nggak sibuk mah gw juga nggak mau sibuk kayak gini," lanjutnya.
"Yah ini kan demi masa depan lo sendiri.."
Meva tersenyum. Kali ini dia menatap gw dengan manis.
"Semoga yg gw lakukan sekarang ini ada artinya yaa..." ujar Meva.
"Pasti dong," gw mengamini.
"Huuh nggak kerasa tinggal dua bulan lagi gw di sini. Kayaknya baru kemaren deh gw dateng ke kosan
ini, minta kamer yg di bawah, malah dikasih yg di atas sini," sejenak Meva menatap pintu kamarnya lalu
kembali menatap langit. "Makanya dulu gw sampe ngekos di dua tempat. Awalnya gw nggak begitu suka
tempat ini. Sebelum ketemu loe..." dia melirik gw dan mengedipkan mata kirinya.
Gw tertawa pelan menutupi grogi nya gw. Kalau saat itu ada kaca gw yakin gw bisa liat wajah gw merah
banget. "Hadeh...gw inget banget, dulu awal kenal elo, gw ngerasa lo itu nyusahin banget! Banyak maunya!" gw
tertawa lagi sementara Meva cemberut malu.
"Lo juga ah," sergahnya. "Suka nggak mau nepatin janji. Kudu dipaksa dulu biar mau."
"Eh siapa juga yg janji" Ada juga kan elo yg bikin deal sepihak!"
"Tapi kan elo nya nggak nolak?" Jadi yaudah gw anggep lo setuju!"
"Tuh kan masih aja kayak gitu..."
"Hahaha! Tapi gw ngangenin kan" Hayo ngaku aja...waktu gw nggak ke sini setengah tahun, lo kangen
gw kan! Waktu nungguin lo di rumah sakit si Gundul cerita ke gw tuh! Katanya lo sampe mau mewek
gitu! H ayo ngaku.....?"" Meva menjulurkan lidahnya.
"Waduh kebangetan tuh si Gundul buka kartu gw!"
Meva tertawa puas. Ah, shit! Gw nggak bisa berkilah lagi kalo udah terpojok kayak gini. Pengen rasanya
bilang kalo semua itu bohong, tapi sebagian dari diri gw justru bahagia Meva tahu hal ini.
"Ya ya ya gw emang kangen kok," gw mencoba beralibi. "Tapi cuma sedikit. Sedikiiiiiit banget!"
"Bodo amat! Tetep aja namanya kangen!" Meva melet lagi. [Duh, ngegemesin^^]
Gw senyum-senyum sendiri. Lelah gw mendadak hilang berkat obrolan pagi ini.
"Eh kira-kira setelah gw wisuda nanti, kita masih bisa kayak gini enggak yaa?" tanya Meva tiba-tiba.
Mendadak hati gw mencelos. Gw seperti baru sadar, tinggal kurang dari dua bulan lagi Meva wisuda.
Setelah itu, yah gw belum bisa membayangkannya.
"Gw masih pengen nikmatin masa-masa bebas kayak gini," Meva merentangkan kedua tangannya.
Dihirupnya nafas dalam-dalam. "Ah, seandainya gw bisa menghentikan waktu!"
"......." Kami lalu terdiam. Meva menurunkan tangannya.
"Eh Ri gw mau mastiin, wisuda gw nanti lo bisa hadir kan?" katanya.
"Pasti," gw sedikit terenyuh menjawabnya.
"Makasih banyak yak!" Meva menepuk pipi gw pelan dan berlalu ke kamarnya.
Tinggal gw, dan sayup-sayup alunan lagu dari kamar Raja di keheningan malam.
cinta kan membawamu kembali.....
Part 115 Gw buka kedua mata gw. Dengan nafas sedikit terengah gw gapai gelas di kiri gw dan menuang air ke
dalamnya. Tenggorokan gw langsung terasa dingin begitu air mengalir masuk ke dalam tubuh. Selama
beberapa saat gw duduk terdiam dalam kamar yg gelap. Gw bangun lalu membuka pintu kamar, dan
hembusan angin malam yg sejuk langsung menerpa wajah dan tubuh gw. Gw berjalan menuju beranda.
Jantung gw berdetak cukup kencang.
Gw butuh sesuatu untuk menenangkan hati gw. Gw kembali ke kamar, menyulut sebatang rokok,
kemudian kembali lagi ke beranda. Ah, selalu menyenangkan rasanya berdiri dari sudut ini dan
memandang bulan sabit di atas sana. Ditemani angin malam yg mengembus sejuk, gw berdiri diam
beberapa menit. Kenapa" Lagi-lagi mimpi itu... Kenapa setiap gw tidur selalu memimpikan mimpi yg sama" Sudah hampir seminggu ini, kejadiannya
selalu sama. Ini bukan yg pertama kalinya gw terjaga di tengah malam dan kemudian berdiri sambil
merokok di beranda. Sejak empat malam sebelum ini, malam ini adalah malam ke lima, gw selalu
melakukan beberapa hal yg sama meski waktunya relatif berbeda. Kalau sudah terjaga seperti ini, sulit
buat gw kembali tidur. Biasanya gw akan menghabiskan pagi di beranda dan masuk ke kamar begitu
adzan subuh terdengar. Begitulah yg terjadi selama seminggu ini.
"......." gw usapi airmata yg hampir mengering di pipi gw. Gw nggak sadar gw terjaga dengan airmata yg
terasa basah di ujung mata. Kali ini gw menangis dalam mimpi gw...
Jam setengah dua pagi, setengah jam lebih cepat dari waktu kemarin gw terjaga. Rokok di tangan gw
semakin pendek, tapi gw belum mau membuangnya. Gw masih ingin menikmati racun yg entah kenapa
hampir selalu bisa menenangkan gw. Praktis selama seminggu ini gw seperti jadi seorang pecandu rokok
lagi. Padahal kebiasaan ini sudah benar-benar gw tinggalkan sejak keluar dari Rumah Sakit.
Apinya semakin mendekati ujung. Gw menyerah dan akhirnya gw lempar puntung rokoknya sejauh gw
bisa melempar. Gw lalu terdiam lagi.
Kenapa" Kenapa mimpi itu selalu hadir di tidur gw"
"......." Gw terduduk lemas di kursi di bawah jendela kamar. Mata gw menghadap lurus pintu kamar Meva.
"Apa arti mimpi itu?" gw bertanya dalam hati.
Gw gelengkan kepala, menolak argumen yg sempat melintas di benak gw. Nggak. Mimpi hanya
bunganya tidur. "......." Gw sudah jauh lebih tenang sekarang dan bisa berfikir jernih. Tanpa sadar gw berjalan menuju pintu
kamar Meva, memutar handle nya, dan tersenyum kecil begitu mendapati pintunya nggak dikunci. Meva
ada di dalam sana. Sedang menikmati mimpinya. Terpejam sambil memeluk sebuah guling hijau.


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya tampak damai sekali.
Gw berjalan masuk dan duduk di sampingnya. Ah, wajahnya terlihat polos dan meneduhkan.
Lagi-lagi bayangan mimpi itu berkelebat di kepala gw. Buru-buru gw buang jauh-jauh.
Setelah beberapa kali menghela nafas gw tersenyum. Nggak mungkin. Mimpi itu nggak mungkin terjadi.
Itu mimpi yg aneh, dan nggak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.
Gw menggeleng sendiri. Tanpa sengaja gw melihat kalender di atas rak buku. Kalender ini sudah hampir penuh coretan di tiap
angkanya dan hanya menyisakan beberapa lagi.
Juli hampir habis. Itu artinya tinggal tersisa sekitar tiga minggu lagi sebelum hari wisuda Meva. Hati gw
mencelos menyadari hal ini.
Gw cuma terdiam. Dalam hati gw memaki ketidakberanian gw selama ini. Gw cuma seorang pecundang.
Gw nggak pernah mampu mengungkapkan isi hati gw ke Meva. Bahkan di hari-hari terakhirnya di sini,
gw belum punya cukup keberanian menyatakannya. Bodoh sekali gw.....
Tapi gw bukan pecundang! Gw cuma takut...
Gw terlalu takut kehilangan Meva. Gw nggak mau pengakuan gw nantinya malah merusak apa yg sudah
ada selama ini. "Lalu apa bedanya dengan pecundang?"" sebagian dari diri gw kembali memaki diri gw sendiri.
"......." Gw sayang elo Va. Karena itu gw nggak mengungkapkan perasaan gw ke lo, karna gw yakin lo pun bisa
merasakan itu. Lo selalu bisa lebih tau bahkan dari diri gw sendiri.
"......." Gw inget beberapa hari yg lalu Meva pulang dengan sangat gembira. Bahkan dia sempat berteriak saking
bahagianya. Dia menceritakan tentang sidang nya yg berjalan mulus, dan dia juga cerita banyak tentang
bahagianya dia setelah berhasil menamatkan study yg sempat terkatung-katung.
Oh God, sampai sekarang gw nggak pernah melupakan hari itu. Hari dimana Meva dengan bahagianya
tertawa lepas. Momen itu terekam dengan baik di kepala gw.
Huuffft......Sekali lagi gw pandangi Meva. Gw singkirkan rambut yg menutupi wajahnya. Ahh, tak pernah
bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahagianya gw menatap wajahnya. Gw usapi rambutnya pelan, lalu gw
kecup keningnya. Sebagian diri gw berontak dan menyalahkan ini, tapi sebagian lainnya menangis. Dan sebelum perasaan
gw semakin nggak karuan, gw kembali ke kamar gw. Bersembunyi di balik selimut, ketika sebuah pesan
singkat masuk ke handphone gw.
-dasar kebo...gw belum tidur tau^^Gw tersenyum kemudian mencoba pejamkan mata sambil berharap mimpi kali ini akan indah...............
Untold Story 1 Malam itu gw ke beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit
gw, lalu mengirim sms ke Meva.
-gw di beranda nih. keluar donk temenin gw ngobrol...Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di tembok beranda. Dia
mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya disanggul ke atas, kali ini
menggunakan konde berbentuk sumpit warna cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva
memakai soft lens hijau. Dengan make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis.
"Nggak lembur?" tanyanya sambil mencicipi cemilan.
Gw jawab dengan gelengan kepala.
"Kok gw nggak denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran.
"Gw pake 'silent mode' soalnya," jawab gw lalu tertawa.
"Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia
menaruh lagi cangkirnya. "Gw suka kok. Cuma jarang aja ngopinya."
"Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!" Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka
kopi adalah sebuah dosa besar buatnya.
Sejenak kami terdiam. "Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva mengingatkan soal wisudanya.
Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw
bisa nemenin lo pas wisuda."
Meva tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari telunjuknya.
"......." "Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab pertanyaan dalam hati gw. "Saking
senengnya nih gw sampe mendadak nangis."
"......." "...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda gw. Gw pengen nyokap
liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti banget, sebagai langkah awal gw nanti
ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg
perlahan jatuh di pipinya yg halus.
Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg lalu, dan dalam hati
gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw lengkap. Sebuah momen yg sangat
berharga dan nggak akan gw lupakan.
"......." "Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva menghibur dirinya sendiri.
"Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa menentukan masa depan lo dengan baik,"
sahut gw. Meva mengangguk semangat mengamini pernyataan gw.
"Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw,
dan masih banyak kotak lagi menuju kotak terakhir buat jadi menteri."
Kami berdua saling pandang.
"Lo masih inget kan soal 'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan.
"Masih," jawab gw pendek.
Meva tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini, dan
kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar.
"Hmmm....Suatu hari nanti, kalo gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti
ini..." ucapnya menatap lurus ke depan.
"......." "......." "Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?"
Meva menoleh ke gw. "Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.
"Ohya" Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"
"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya.
"Masa lo nggak tau sih?" tanyanya kemudian.
Gw menggeleng. Nggak mengerti.
"Yaudah kalo gitu cari tau dulu deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya.
Gw mendengus pelan. "Wah ada yg lagi pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan
kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan rambutnya gundul lagi,
berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra semangat.
"Boleh gabung" Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh mulut," Indra meletakkan
kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang
rokok lalu nyengir lebar.
"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva.
Meva mengangguk semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang
dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab pertanyaan dosennya.
Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu kami bareng di kosan ini.
"By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya emangnya?" tanya Meva setelah panjang
lebar cerita. "Gw udah ijin kok, sengaja mau reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget
sama kosan ini! Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun
sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti masa-masa itu
ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi."
Ah, gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu hal yg gw
sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan gw selalu yakin, ini semua
akan berakhir indah nantinya.......
Untold Story 2 Dan akhirnya hari itu pun tiba...
Gw duduk dengan tenang di dalam aula besar yg sudah riuh rendah oleh orang banyak. Gw duduk di
lima deretan paling belakang dekat pintu keluar di deret selatan kursi yg menghadap sebuah panggung
cukup besar setinggi setengah meter. Deretan depan diisi para wisudawan yg sudah siap dengan kostum
toga hitam-hijau nya. Sementara para undangan seperti gw ditempatkan di deret belakangnya.
Setelah berjam-jam mendengarkan 'sepatah-dua patah kata' super membosankan dari jajaran rektorat
dan para profesor, di atas panggung sana sedang dimulai acara inti pengukuhan wisuda. Gw senyumsenyum sendiri inget momen gw wisuda dulu. Gw bisa merasakan aura kebahagiaan mereka di dalam
aula ini. Meva, duduk di deret ke dua dari depan. Beberapa kali dia menoleh dan melempar senyum ke gw.
Benar-benar pemandangan yg menakjubkan, melihatnya duduk di sana berbalut jubah toga hitam-hijau.
Senyum kebahagiaan selalu hadir di wajahnya yg manis, pertanda bahwa hari ini memang hari yg
membahagiakan. Bukan cuma buat dia sendiri, tapi buat gw pun hari ini adalah hari yg sakral. Memang,
dengan wisuda kita belum punya jaminan apapun tentang masa depan kita. Wisuda juga belum bisa jadi
ukuran kesuksesan seseorang. Tapi gw rasa semua pasti setuju bahwa wisuda adalah langkah pertama
untuk menjalani hidup yg sebenarnya. Di sinilah titik awal yg menentukan seperti apa masa depan kita
kelak. Dan tentu saja, langkah awal yg baik akan selalu menghasilkan perjalanan yg baik. Biar
bagaimanapun sejauh-jauhnya perjalanan, selalu dimulai dari langkah pertama...
Gw tetap duduk tenang meski kaki gw terasa panas karena duduk berjam-jam dalam ruangan panas ini.
Tapi melihat betapa bahagianya Meva di depan sana, lelah dan bosan karena menunggu lama, seperti
lenyap tak berbekas. Gw benar-benar merasakan kebahagiaan yg dirasakannya hari ini. Perjuangannya
selama ini melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, mulai menghadirkan titik cerah. Dengan sedikit
lagi perjuangan, gw yakin Meva akan mendapatkan apa yg dia impikan selama ini.
Lihat ke langit luas Bersama musim terus berganti
Tetap bermain awan Merangkai mimpi dengan khayalku
Selalu bermimpi dengan hadirku...
Entah kenapa tiba-tiba lagu ini terngiang di benak gw......
Di atas panggung MC sudah memanggil nama Meva. Meva berdiri, menoleh ke gw, gw balas dengan
anggukkan kepala, lalu dia mulai berjalan menuju panggung.
Pernah kau lihat bintang Bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka Coba temani dekati aku Selalu terangi gelap malamku..
Meva sudah di atas panggung sekarang. Dan di sinilah momen seremonial yg nggak terlupakan itu
terjadi. Pemindahan tali toga sebagai simbol bahwa setiap wisudawan kini harus lebih memperkaya ilmu
dalam otak kanan mereka, pengalungan selendang gelar, kemudian dilanjutkan penyerahan gulungan
sertifikat yg diikat dengan seutas pita hijau. Urutan kejadian ini terekam dengan baik dalam ingatan gw.
Hmmm sulit dijelaskan rasanya melihat bahagianya Meva di depan sana. Dia mengangkat gulungan
kertas di tangannya di tangannya dengan senyum penuh kemenangan. Gw berdiri dari duduk untuk
kemudian bertepuk tangan dan spontan diikuti semua orang dalam ruangan ini.
Meva bergegas turun dari panggung, sedikit mengangkat jubah bawahnya, dan berjalan cepat ke arah
gw. Kami bertemu di sisi luar kursi, dan saat itulah Meva memeluk gw. Dia menangis di pundak gw
sampai nggak menyadari topinya terjatuh. Mau nggak mau gw jadi terharu juga. Mata gw berkaca-kaca
menikmati momen bahagia ini.
"......." "......." Selama beberapa saat Meva larut dalam tangis bahagianya.
"Hari ini gw bangga sama lo Va," bisik gw di telinganya.
"......." Meva cuma memukul-mukul pundak gw pelan.
"Thanks Ri..." sahut Meva di sela isaknya. "Hari ini gw bahagia banget! Ini hari terindah di hidup gw!
Thanks yah buat semuanya!!!"
Gw tersenyum, tanpa berusaha menyembunyikan rasa haru yg membubung dalam dada gw.
"Gw selalu bahagia kalo lo bahagia Va..." gw sampe speechless.
"Thanks Ri......." Meva mempererat pelukannya.
Dan hari itu pun memang benar-benar jadi hari yg paling membahagiakan. Semua kerja kerasnya selama
lebih dari lima tahun ini terbayar dengan kebahagiaan dan nilai kepuasan yg nggak akan pernah sepadan
dengan apapun. Gw benar-benar bisa merasakannya, ketika detak jantungnya berdetak di dada gw.
Ketika nafasnya berembus di leher gw. Dan ketika jari-jari tangannya dengan hangat menggenggam
tangan gw erat. Saat itulah gw sadar, Meva adalah ciptaan terindah yg pernah Tuhan ciptakan di hidup gw...
Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua Hanya kita dan bintang...
Untold Story 3 Suatu malam di awal Januari tahun 2005. Waktu itu hampir lima bulan setelah wisuda Meva...
Bulan malam ini bulat utuh dan terang. Sinarnya memantul pada bagian luar benda kecil yg tengah gw
pegang. Dia berputar lemah seiring gerakan tangan gw. Sesekali asap putih dari mulut gw menghalangi
pandangan benda ini dari mata gw.
"Bintang keberuntungan," gw bergumam pelan menatap putarannya yg semakin melemah. Setelah
beberapa saat berputar-putar dia berhenti bergerak. Gw taruh di telapak tangan kiri gw.
Sebuah gantungan kunci kecil dan manis, dengan bandul berbentuk bintang. Di bagian tengahnya ada
ukiran huruf 'M'. Agak samar dan nyaris hilang. Gantungan kunci ini jelas sudah lama dipakai. Ada
bagian-bagian di sisinya yg mengelupas. Beberapa detik lamanya gw pandangi lekat-lekat bintang kecil
ini. Dan sekali lagi gw putar.
Lalu ingatan gw melayang mundur beberapa langkah ke belakang, dan gw mendapati diri gw ada di
dalam kamar gw, sedang menatap benda yg sama dg yg gw pegang sekarang.
Waktu itu beberapa hari setelah wisuda Meva...
"Itu bintang keberuntungan," suara Meva terdengar halus di telinga gw seolah gw benar-benar melewati
lubang waktu dan kembali ke masa lalu.
Gw alihkan pandangan gw ke sosok wanita yg sudah mengisi hari-hari gw beberapa tahun terakhir ini.
Meva duduk bersimpuh di hadapan gw, menatap gw dengan gaya tengilnya yg khas.
"Gw dapet dari Oma gw," lanjutnya.
"Wah Oma lo baik juga yah. Banyak mewariskan barang antik buat cucunya," gw berkomentar.
Meva mengangguk semangat.
"Oma gw memang Oma terbaik yg pernah ada di dunia ini," Meva nyengir lebar.
"......." "Gw dikasih itu waktu pertama gw balik ke Indonesia. Tadinya gw pikir Oma gw bohong soal bintang
keberuntungan, tapi beberapa kali bintang ini menyelamatkan gw."
"Ohya" Kok bisa?" gw mulai tertarik untuk mendengar lebih lanjut.
Sekali lagi Meva mengangguk dengan semangat.
"Tiap Natal yg gw lalui, cuma gw lewatkan di kamar seorang diri sambil curhat sama bintang ini.
Terakhir, waktu gw berniat balik ke Jakarta pas malem natal beberapa tahun yg lalu...bintang ini seperti
bicara ke gw dan menahan gw buat tetap di sini. Dan ternyata emang bener, lo nggak jadi terbang kan
waktu itu" Coba kalo gw balik, mau tidur di mana loe malem itu?" Meva lalu tertawa renyah.
Gw senyum sendiri. Walau nggak sepenuhnya percaya soal 'keberuntungan', tapi gw percaya bintang ini
punya makna sendiri buat Meva.
"Sekarang," kata Meva lagi. "Gw pengen lo jaga bintang ini baik-baik yah.."
Gw kernyitkan dahi. "Ini, buat gw gitu maksudnya?" gw memastikan.
Meva mengangguk lagi. "Anggep aja bintang ini adalah gw," ujarnya. "Lo taroh di dompet lo atau dimana kek. Jadi tiap lo kangen
sama gw lo tinggal liat aja bintangnya..."
"Terus lo akan dateng gitu?" gw tau ini adalah pertanyaan bodoh dan klise yg cuma ada dalam novelnovel bertema cinta. Tapi entah kenapa gw pun mulai merasa kisah yg terjadi antara kami berdua
layaknya sebuah roman yg ditulis seorang pujangga. Maka gw biarkan pembicaraan kami seperti itu.
"Enggak juga laah," Meva membuyarkan lamunan gw. "Gila aja kalo gw bisa ngilang dan dateng tiap lo
liat bintangnya." "Yaudah kalo gitu gw liat bintangnya semenit sekali deh, biar lo nya capek bolak-balik!"
Dan kami pun tertawa lepas...
Malam itu, persis seperti malam saat gw sekarang duduk di beranda ditemani bulan purnama yg cerah.
Hanya ditemani bulan purnama yg cerah.....
Tanpa Meva...... Tanpa suaranya yg memekakan telinga.....
Dan tanpa sosoknya yg dulu dengan mudah gw temui di samping gw......
Gw tatap pintu kamar di hadapan gw.
Di balik pintu ini, betapa gw punya banyak kenangan. Di balik pintu ini, pernah ada seorang wanita
'aneh' yg berhasil membuat gw memahami arti cinta sesungguhnya. Di balik pintu ini, pernah gw simpan
sebuah harapan tentang indahnya hidup. Dan di balik pintu ini juga, pernah ada sebuah kisah tentang
sepasang kaos kaki hitam.....
Empat bulan berlalu setelah kepergian Meva. Dia memutuskan pulang ke Jakarta untuk kemudian
bersama-sama Oma kembali ke Padang dan memperbaiki hubungan dengan keluarga besarnya yg
selama ini renggang. Soal karir, dia juga memilih untuk mencoba peruntungan di tanah kelahiran ibunya.
Nggak banyak yg bisa gw lakukan buat menahan Meva untuk tetap di sini. Sudah waktunya dia
menemukan hidupnya sendiri. Perbedaan yg ada antara kami, ternyata sangat mempengaruhi pilihan
gw. Gw belum siap sepenuhnya menghadapi perbedaan itu.
Dan kini, setelah kepergiannya, gw cuma bisa terdiam mengenang waktu yg pernah terlewatkan antara
kami. Gw nikmati lagi menit-menit itu, yg gw sadar sepenuhnya, nggak akan pernah kembali lagi.
"......." Gw berdiri, menggenggam erat bintang di tangan gw. Tanpa gw sadar airmata mengalir mulus di kedua
pipi gw. Terlambat buat gw mengusapnya. Airmata ini mengalir begitu saja tanpa sempat gw tahan.
Airmata penyesalan yg gw sadari sepenuhnya, takkan pernah berarti apa-apa.
Entah berapa lama gw berdiri dalam diam. Gw tatap langit hitam yg menutupi bintang-bintang dari
peraduannya. Hemmmppph.... Dan belum pernah gw lihat langit segelap ini....................
Untold Story 4 Seandainya pernah kenal dan hidup bersama Meva adalah sebuah mimpi, maka gw yakin itu adalah
mimpi paling indah yg pernah gw temui di hidup gw. Kadang gw berharap nggak akan pernah terjaga


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari mimpi indah ini. Tapi gw tau, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita memulai
sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk mengakhirinya" Waktu hanya sebuah
pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yg bisa menggunakannya dengan bijak, tapi banyak juga yg nggak
demikian. Satu yg pasti, waktu nggak pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan gw seharusnya
lebih bisa menerima apa yg sudah jadi pilihan gw. Tapi kadang hati kecil ini seperti nggak mau berhenti
merongrong untuk terus menyesalinya.
Airmata yg pernah gw teteskan untuk seorang Meva, adalah bukti betapa sebenarnya gw belum
sanggup mengosongkan sebelah hati gw yg selama empat tahun ini terisi oleh sosoknya. Gw sudah
sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Lengan gw mungkin sudah ratusan kali dicubit setiap gw
menggodanya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi gw terjaga dan mendapati kamar gw begitu
sepi. Bukan hanya kamar gw, tapi jauh dalam hati gw hari-hari ini gw merasakan kekosongan yg
menyakitkan. Kekosongan yg hanya akan terobati dengan kehadirannya di samping gw.
Gw kangen ucapan selamat pagi yg khas dari Meva. Gw kangen tingkah usilnya kalo lagi nggak ada
kerjaan. Gw kangen tatapan matanya. Gw kangen semua hal yg ada pada dirinya...
Gitar tua warisan Indra, yg biasanya kami mainkan setiap mengisi waktu malam, sekarang hanya
tersudut diam di pojok kamar. Beberapa kali pernah gw mainkan lagu yg sering kami nyanyikan
bersama, tapi semenjak kepergian Meva gitar ini seperti kehilangan nadanya. Senar-senar yg gw petik
nggak mampu lagi menghadirkan nada indah. Lirik yg gw nyanyikan pun menguap begitu saja tanpa
makna yg jelas. Kemudian gw melangkah ke beranda. Berdiri menatap langit malam dengan ribuan bintangnya. Tapi
nggak pernah lagi gw temui indahnya malam seperti dulu. Bintang-bintang itu seperti redup dan
tenggelam dalam gelapnya langit malam. Mereka seperti enggan memancarkan lagi sinar terindahnya.
Tapi gw masih bisa melihatnya. Gw bisa melihat mereka. Dua orang yg sedang asyik melewatkan malam
dengan bermain catur di beranda. Seorang laki-laki, seperti yg selalu gw lihat setiap gw bercermin.
Seorang lagi wanita, dengan stoking hitamnya yg khas. Mereka nampak sangat menikmati momen itu.
Berbincang dan tertawa lepas setiap satu dari mereka mengeluarkan banyolannya.
Tanpa sadar gw tersenyum kelu menatap mereka.
Lalu sosok keduanya berangsur-angsur menjadi tipis dan transparan, sebelum akhirnya benar-benar
menghilang dari benak gw......
"Kejadiannya selalu sama," suara Indra membuyarkan lamunan gw. "Ada yg pergi untuk kembali, tapi
ada juga yg pergi dan nggak mungkin kembali."
Gw termenung sesaat. "Tapi sebelum pergi Meva bilang dia akan balik lagi," gw mencari pembenaran dari harapan dalam hati
gw. Meskipun gw sendiri nggak yakin dengan hal itu.
Indra mendesah pelan. Dia hembuskan asap rokok dari mulutnya dan membiarkannya berbaur dengan
asap putih dari rokok gw.
"Setelah dia pergi, kalian masih sering berhubungan?" tanyanya ingin tau.
Gw mengangguk. Sangat pelan dan lemah.
"Beberapa bulan pertama, kita masih sering telpon-telponan. Tapi kayaknya dia makin sibuk setelah
mulai keterima kerja, jadi yah praktis waktu buat kita contact semakin berkurang..." sedikit terenyuh gw
ceritakan keadaan gw dan Meva sekarang.
"Dan lo, sampe sekarang masih belum berani ungkapin perasaan lo ke dia?"
Gw menggeleng. Kali ini lebih lemah dari anggukan gw sebelumnya.
"Gw selalu pengen Meva dapet yg terbaik buat hidupnya. Gw nggak mau kalo nantinya pengakuan gw
cuma akan mengganggu apa yg dia dapat sekarang..."
"Kalo itu memang pilihan lo berarti mulai sekarang lo harus siap kehilangan dia," tandas Indra.
Gw tersentak. Mendadak tubuh gw terasa panas. Gw seperti baru dibangunkan dari mimpi indah yg
melenakan. "Lo harus menata ulang hati lo lagi," lanjut Indra. "Gw nggak minta lo lupain Meva, tapi mulai sekarang
lo harus bisa membedakan antara masa lalu dan realita. Jangan sampe lo jatuh terlalu lama dalam
kehilangan. Bukan cuma Meva, tapi lo juga berhak dapet yg terbaik buat hidup lo."
Gw tertunduk lesu. Tiap hari nafas gw jadi semakin berat. Nggak pernah bisa dipungkiri, gw mencintai
Meva lebih dari yg pernah gw bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, rasa ini perlahan mulai terasa
menyakitkan. "Gw tau sayang lo tulus ke Meva," kata Indra lagi. "Tapi sekarang pilihannya cuma dua, lo kejar Meva
sampe dapet atau lo bener-bener tinggalin semuanya dan mulai menata hidup lo."
"......." "Kalo gw sih, bakal gw kejar tuh Meva," Indra menyenggol lengan gw lalu tersenyum penuh makna.
"Kapan lagi coba dapet cewek kayak dia"! Bego aja kalo sampe lo tinggalin."
Gw nyengir lebar. Entahlah, yg gw lakukan selama ini adalah sebuah kebodohan tau bukan, gw nggak
mengerti. Yg gw tahu cuma satu hal, sekarang lah saat nya gw untuk membuat satu pilihan terakhir.
Pilihan yg akan sangat membuktikan seberapa dalam sebenarnya sayang gw ke Meva.....
Untold Story 5 "Jadi ini pilihan yg lo ambil?" tanya Indra dari belakang gw.
Gw terdiam. Tangan gw tertahan di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan
menghadap Indra. "Lo udah yakin sama pilihan lo?" lanjutnya memastikan.
Gw mengangguk pelan. "Nah, itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar! Oke?" dia
menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat.
Indra memandang berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan,
dan tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan.
"Gw bakal kangen banget sama kamer ini," katanya kemudian.
"Apalagi gw Dul."
"Gw inget banget saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh
gila-gilaan lagi bareng anak-anak.."
"Hahaha"mengenang masa muda ya Pak"!"
"Errr gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil "Bapak"."
"Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?" ejek gw.
Dan kami pun tertawa lebar.
"Hemmm"..ini salahsatu tempat bersejarah ya buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi
ketika semua impian itu sudah kita capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini."
Gw bersandar pada dinding kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan
dengan cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw.
"Buat gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi," sahut gw. "Ini juga tempat ketika gw pernah
bermimpi indah?" dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini bersama Meva.
"Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw, Meva, dan sekarang elo Ri. Dan
akhirnya tempat ini jadi saksi "kejayaan" kita." Dia tersenyum kosong.
Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu", gw bertanya dalam hati. Pada akhirnya
semua akan berujung ke satu titik bernama perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan
yg hakiki. Echi dan nyokap gw".adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva".
"Semoga gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul," gw sedikit ragu.
"Gw selalu di belakang lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo."
"Thanks sob," gw embuskan lagi asap putih dari mulut gw. "Sejak awal, gw yakin Meva pantas
mendapatkan yg terbaik buat hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi
menteri?" gw berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang
tertutup rapat. ?"?"?" ?"Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion kecil yg manghalangi langkahnya menuju
kotak terakhir?" ?"?"?" "Yakinlah Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita," Indra menyemangati gw. "Selamat berjuang di tempat
baru ya!!" Gw mengangguk mantap. "Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah gw," ujar Indra. "Pintu rumah gw selalu terbuka lebar
buat sahabat terbaik gw. Lagian Jakarta " Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga
temen-temen yg laen buat reunian di kosan ini."
"Oke. Kabari gw yah kalo ada acara sama anak-anak."
Gw tersenyum lebar, dan sebelum gw semakin mendramatisir perpisahan kecil ini gw angkat tas gw
keluar kamar sementara Indra bantu mengangkat tas yg lain. Tiba di depan kamar kami sama-sama
terdiam. Indra menghampiri pintu kamarnya dulu, yg saat itu tertutup ditinggalkan penghuninya kerja.
Nampaknya dia ingin sedikit bernostalgia dengan kamarnya. Sementara gw melangkah pelan menuju
pintu kamar di seberang kamar gw. Pintu yg selalu tertutup selama hampir setahun ini.
Setelah kepergian Meva memang nggak ada lagi yg menghuni kamar ini. Gw sengaja membayar uang
sewa kamar ini supaya nggak ada yg menghuninya. Gw nggak mau kenangan gw tentang Meva "rusak"
dengan kehadiran penghuni baru. Gw mau apa yg sudah ada biarkan apa adanya, sampai akhirnya gw
meninggalkan tempat ini. Gw berdiri terpaku di depan pintu. Rasanya nafas gw sedikit sesak kalau mengingat hari-hari itu..
Perlahan gw putar handle dan nampaklah sebuah ruangan gelap dengan aroma debu yg cukup
menyengat. Setelah mata gw terbiasa dengan kegelapan ruangan ini gw melangkah masuk. Ini masih
kamar yg sama dengan yg terakhir kali gw masuki ketika terakhir bertemu Meva. Tata letak perabotnya,
nggak ada yg bergeser seinchi pun. Hanya saja ruangan ini sudah nyaris tenggelam oleh debu tebal yg
nggak pernah dibersihkan. Gw tertegun.
"Aaaaaaaaaaarrrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii"! !!"
Sebuah suara yg sudah sangat akrab di telinga gw, seperti berdengung di dalam kepala gw. Perlahan
sosoknya hadir di hadapan gw. Berdiri sambil tersenyum mengejek seperti yg biasa dilakukannya.
Dada gw terasa sesak. Gw alihkan pandangan ke sudut lain kamar, dan saat itulah gw melihatnya lagi.
Entah kenapa kemanapun gw melihat, selalu ada Meva di sana".
*** "Lo bakal kangen nggak sama gw kalo gw pergi?" suaranya lembut menggelitik telinga gw.
"Kangen" Mmmh?"kangen enggak yaaaa?" jawab gw sambil becanda sementara Meva menunggu
jawaban gw dengan raut wajah yg sulit dijelaskan.
"Kangen nggak?"" ulangnya.
"Kangen aja deh!" gw tertawa kecil.
"Kok pake "deh" sih?" Nggak ikhlas banget kangennya!!" protesnya.
Gw nyengir bego. "Tapi lo bakal balik lagi ke sini kan?" gantian gw yg tanya.
"Mmmh"balik enggak yaa?" melirik gw nakal. "Balik aja deh!" dan menirukan gaya bicara gw barusan.
Gw jitak kepalanya. "Sakiiiit!" Meva balas mencubit gw.
"Jawab yg serius napa?""
"Kan elo juga jawabnya gitu!! Eh, ngomongnya biasa aja yak nggak usah pake nyolot gitu!!! Jelek tau
nggak?"?" "Yg nyolot siapa yaaaa?"?"?""
Meva memasang raut wajah marah. Tapi entah kenapa justru gw malah pengen ketawa liatnya.
"Udah ah buruan berangkat, entar keabisan bus lho," kata gw dengan nada normal.
?"?"?" "Kok diem?" Meva menatap gw curiga. "Kok kayaknya lo seneng banget nih gw pergi?"" tanyanya menyelidik.
"Iya lah seneng. Kalo lo pergi kan itu artinya eggak bakal ada yg gangguin gw lagi tengah malem buat
curhat. Enggak ada lagi yg teriak pagi-pagi di kuping gw. Enggak ada lagi yang?""
?"?"?" ?"heh, kok nangis?" gw perhatikan Meva yg menunduk sambil usapi pipinya.
Meva masih menunduk. Gw jadi serba salah sendiri. Gw tarik tangannya untuk memastikan dia nangis
beneran atau enggak. "Va.." Lo enggak kenapa-kenap"."
"Dasar K-E-B-O-O-O-O-O-O-O-O!!!!" Meva teriak di telinga gw. "Jadi cowok enggak sensitif bangeeet!!"
Gw jitak lagi kepalanya saking kagetnya. Kali ini Meva balas menjambak rambut gw.
"S-A-K-I-T!!" teriaknya.
"Ih, apa-apaan sih lo?" gw usapi kuping gw yg berdengung gara-gara teriakannya. "Mentang-mentang
mau pergi jadi bales dendam gitu?""
"Hehehehe" Peace!" Meva nyengir bloon sambil mengacungkan dua jari tangannya. "Udah yuk
berangkat, anter gw ke terminal."
"Ogah! Berangkat aja sendiri!"
"Yaaah kok marah gitu siiih?"?"
"Bodo ah." "Hehehehe. Udah ah gitu aja ngambek. Kapan lagi coba nganter gw balik?" Meva mengangkat tas
besarnya dan dengan sembarangan menyerahkannya ke gw. "Buru lah jalan."
Errrr ni cewek seenak jidatnya aja!
Meva mengunci pintu kamarnya, lalu kami bersama-sama berjalan menuruni tangga. Dan itulah terakhir
kalinya gw melihatnya di kosan ini..
*** Hari ini hampir setahun setelah kepergian Meva. Pada awalnya kami memang masih berhubungan lewat
telepon. Tapi semakin ke sini semakin jarang kami lakukan. Entahlah, yg gw tahu Meva sedang mulai
disibukkan aktifitas kerjanya. Meski miris, tapi gw coba menerima ini sebagai proses perjalanan hidup yg
harus dilalui. Toh seperti yg sudah gw pilih hari ini, melihat Meva menjadi seorang "menteri" adalah jauh
lebih membahagiakan dari hal membahagiakan apapun di dunia ini. Gw harus mulai bisa menerima jarak
yg ada diantara kami. Benar seperti yg dibilang Indra, gw pun harus mulai membangun hidup gw.
Gw punya kehidupan sendiri yg harus gw tata. Sudah saatnya gw menjalankan langkah pertama gw. Gw
yakin akan ada yg lebih membahagiakan dari ini di kotak terakhir gw nanti. Meski tanpa Meva,
mungkin?" "Ayo Ri"." Suara Indra membuyarkan lamunan gw. "Kita berangkat sebelum tambah malem."
Gw menoleh ke sudut kamar, ke tempat tadi gw melihat Meva.
Nggak ada siapapun di situ"
"Eh, ayo?" gw melangkah keluar. Di luar sini gw bisa merasakan udara segar masuk ke hidung gw. Indra
berdiri tersenyum dan menepuk pundak gw.
"Meva pasti akan dapet yg terbaik di sana," katanya. "Dan sekarang giliran lo yg mendapatkan hal itu.
Gw selalu ada buat lo, kapanpun lo butuh gw lo bisa hubungi gw. Jarak antara Jakarta dan Karawang
bukan suatu penghalang. Saat apapun lo butuh gw, gw akan selalu bantu lo sebisanya."
"Makasih banyak buat semuanya Ndra," gw menjabat tangannya kemudian memeluknya sesaat.
Kami sama-sama tersenyum.
"Sebentar," gw menoleh ke pintu kamar Meva.
Pintunya masih terbuka. Gw raih handle nya dan menariknya hingga menutup. Entah kenapa kali ini gw
seperti menarik sebuah pintu dari baja yg enggan bergeser. Bukan, bukan karena tebalnya debu yg
sedikit menahan laju pintu ini, tapi karena banyaknya kenangan yg ada di sini, yg membuat tangan gw
seperti kaku dan tertahan untuk menutupnya.
"Ri," panggil Indra. "Lo tau kenapa kenangan itu terasa indah?"
?"?"?" "Karena dia nggak akan terulang lagi. Itu yg membuatnya jadi berarti?"
?"?"?" Gw tarik nafas berat. Dan perlahan akhirnya gw tutup pintu itu.
"Selamat tinggal," ucap gw lirih seiring gerakan pintu yg akhirnya benar-benar menutup.
Dan malam ini, gw biarkan semua kenangan tentang Meva tertinggal di balik pintu kamarnya. Suatu hari
nanti, ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap gw sudah benar-benar siap dan mengerti bahwa
perbedaan nggak seharusnya jadi suatu penghalang dan titik mati buat seseorang menyatakan cintanya.
Suatu hari nanti ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap ada Meva yg hadir untuk menyambut
kedatangan gw. Suatu hari nanti?"?"?"
Epilog # 1 Suatu sore yg cerah di pertengahan November 2008..
Gw dan dua rekan kerja gw baru saja selesai meeting di sebuah gedung stasiun televisi swasta di
kawasan Kapten Tendean Jakarta, dalam sebuah merger sponsor untuk event ulangtahun stasiun televisi
itu pertengahan bulan depan. Stasiun televisi berlogo mirip belah ketupat itu memilih perusahaan kami
sebagai salahsatu sponsor untuk event ulangtahun mereka yg ke tujuh sudah sejak enam bulan yg lalu,
dan pertemuan hari ini hanya membahas beberapa kesepakatan akhir saja.
Arloji di tangan gw menunjukkan pukul setengah lima sore ketika kami bertiga sampai di area parkir
menuju sebuah avanza hitam yg akan membawa kami kembali ke tempat kerja.
"Enaknya kita makan di mana ya?" kata Rinto, ketika kami sampai di mobil kami.
"Di FX aja gimana?" sahut Nila, dia satu-satunya cewek dalam rombongan sore itu. Dia juga yg kelihatan
paling lapar. "Ya gw sih oke aja, gimana Pak?" tanya Rinto ke gw.
"Eh....ng......makan ya" Kenapa nggak di warteg aja?" kata gw becanda. "Kan banyak menunya tuh.
Murah lagi..." Nila dan Rinto tertawa mendengar jawaban gw. Nila membuka pintu samping dan menaruh tas berisi
dokumen dan laptop di sebelah ujung kiri kursi. Sementara Rinto mengambil posisi di belakang kemudi
dan gw sendiri di sebelahnya. Dalam sekejap gw merasakan sejuknya AC di dalam sini. Sore itu
sebenarnya cukup sejuk dan juga tadi gw terus berada di ruang ber AC, tapi nggak tau kenapa gw tetap
kepanasan. Deru mesin terdengar halus dan teredam. Rinto sedang warming up mesin.
"Kangen sama jengkol dan kawan-kawan ya boss" Hehehehee..." goda Nila.
"Yah sekalian bernostalgia ke masa kuliah dulu kali," timpal Rinto. "Saya aja dulu waktu kuliah favorit
banget sama masakan rawon depan kosan."
"Kalo saya nggak sempet tuh ngerasain ngekos. Waktu kuliah gw tinggal sama bokap nyokap gw
soalnya," kata gw. "Baru pas mulai kerja saya ngekos deh."
Nila menyodorkan tangannya dari belakang, mengajak gw bersalaman.
"Kita sama Pak," katanya.
"Hahaha..." gw tertawa kecil sambil menjabat tangannya.
"Eh eh, tadi kalian liat nggak ada Pasha Ungu sama Onci nya juga lho. Sayang nggak sempet foto bareng
sama mereka," Nila bercerita dengan sangat antusias. "Waah kayaknya kalo kerja di tempat kayak gini
enak yahh bisa sering-sering ketemu artis yah" Pasti menyenangkan sekali.....!"
Gw dan Rinto cuma senyum geli.
"Tiap hari juga kita kan ketemua artis?" kata Rinto.
"Artis" Di mana?" Nila berusaha memahami ucapan Rinto tadi.
"Di kantor lah."
"Kantor" Emang ada yah artis di tempat kita?"" dia masih berusaha mencerna kalimat tadi.
"Ada lah! Si Encek, dia kan mirip sama Cristian Sugiono!" ujar Rinto, dan meledaklah tawa kami di dalam
ruang kecil itu. "Dia bukan mirip sama Tian, Pak." Kata Nila. "Tapi Tian nya yg mirip sama dia!"
Kami tertawa lagi. Di tempat kerja kami memang ada seorang office boy, yg menurut gw mirip sama
salahsatu pelawak srimulat. Kami biasa memanggil dia "encek". Kami memang sering becanda dengan


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari-cari kemiripan teman kerja kami dengan artis, dan hasilnya ya ngaco lah. Kadang beberapa
orang disepakati mirip dengan beberapa artis meskipun pada kenyataannya jaaaaauuuuuh banget! Yah
itu salahsatu cara kami melepaskan kepenatan di tempat kerja. Menyegarkan pikiran dengan humor
selalu menyenangkan. "Jadi, kita makan di mana nih?"" tanya Rinto lagi memastikan. "Jangan sampe kita balik ke kantor kayak
orang yg abis diet tiga bulan."
Rinto dan Nila menatap gw.
"Ya udah terserah kalian aja di mana. Mau di Senayan atau di warteg juga boleh."
"Gimana kalo di Citos aja?"" Nila mengajukan usul.
"Kejauhaaan ituuuu........" timpal Rinto.
"Ya udahlah dimana aja, asal makan." Akhirnya Nila menyerah.
Gw usap wajah gw beberapa kali. Hari ini cukup melelahkan. Perjalanan balik ke kantor jam segini pasti
akan memakan waktu lama mengingat jam segini adalah jam sibuk. Rinto baru saja memasukkan
perseneling waktu pandangan mata gw menemukan seseorang di luar sana. Agak jauh dari mobil kami,
seorang wanita dengan seragam serba hitam khas stasiun televisi ini, membawa tas jinjing, berjalan
menuju sebuah inova silver di sudut parkiran.
"Tunggu," kata gw tanpa menoleh ke Rinto ataupun Nila di belakang.
"Kenapa Pak?" tanya Rinto.
"Kalian tunggu dulu di sini. Saya mau ke sana sebentar," gw menunjuk mobil yg dituju wanita itu.
"Ada apa emangnya" Ada yg ketinggalan?" giliran Nila yg mencari tahu.
"Enggak, saya mau ketemu teman lama dulu. Tunggu bentar aja yah..oke?"
Walaupun dengan seribu pertanyaan di otaknya, Rinto mengangguk setuju. Maka bergegas gw lepaskan
safety belt yg sempat melingkar di badan gw, membuka pintu, dan segera berjalan cepat menuju wanita
di luar itu. Walau dengan degupan jantung yg mungkin mencapai seribu detak per detik nya, gw terus
berjalan. Gw bahkan hampir terjatuh karena kaki gw terasa bergetar dan kehilangan keseimbangannya
saat berjalan. Wanita itu baru saja sampai di mobilnya dan hendak menaruh tas nya di bagasi, ketika gw
sampai di tempatnya berdiri...
Epilog # 2 Gw mendehem pelan. Dia secara refleks menoleh ke arah gw. Dan saat itulah kedua mata kami
bertemu pandang. Dia, menatap gw terkejut. Sama dengan cara gw menatapnya. Selama
beberapa detik kami sama-sama terdiam dan bergulat dengan ingatan di otak kami.
?"?"." "Meva?"?"" ucap gw pelan, setengah percaya dan setengah masih nggak percaya dengan yg
gw lihat di hadapan gw. ID card di dada kirinya menunjukkan jabatan yg dipegangnya sekarang.
"Kamu......................" dia menutup mulutnya dengan jemari tangannya yg lentik dan manis. Dia
nampak sangat shock melihat kehadiran gw. Sama, gw juga shock berat!!!!
"Yeah, ini gw.............." kata gw.
Meva tertawa heran. "Ini Ari, si kebo itu?"?"?"" ucapnya menunjuk gw. Dia menatap gw seperti gw ini adalah objek
aneh dari luar angkasa yg baru pertama dilihatnya. "Ya Tuhan, mimpi nggak nih!!"
Gw mengangguk. "Iya va, ini gw..............................." butir airmata menggumpal di pelupuk mata gw, tapi sebisa
mungkin gw tahan untuk nggak menetes. Dada gw seperti diaduk-aduk. "Ini gw Ari. Orang yg
biasa lo ajak main catur di depan kamer, tujuh tahun yg lalu................"
Gw sudah nggak peduli dengan kusutnya wajah gw saat itu. Gw tau kemeja yg gw pakai juga
nampak lecek karena terlalu lama membungkus badan gw seharian ini. Yg gw pedulikan hanya
sosok wanita di hadapan gw sekarang. Sosok yg selama bertahun ini hilang dari mata gw, dan
hanya tersimpan di kepala bersama ratusan kenangan lainnya. Dia sosok yg sama dengan wanita
yg gw lihat pertama di kosan dulu, meski tentu saja, sama seperti gw, dia nampak lebih berumur.
Tapi tatapan matanya masih sama. Senyumnya, caranya tertawa, bahkan gesture tubuhnya, gw
nggak pernah lupa. Dia adalah Mevally yg gw kenal......
Saat ini, kami berdiri di tempat dan keadaan yg berbeda dari tujuh tahun yg lalu. Dia ada di
depan gw, tapi bahkan untuk menyentuh tangannya sekalipun gw nggak memiliki keberanian
untuk itu. Yg bisa gw lakukan hanyalah membiarkan otak gw bermain bersama kenangankenangan yg selama ini tersimpan rapi dalam ingatan gw. Ini benar-benar terasa sangat aneh.
Sangat aneh dan sulit untuk gw jelaskan.
"Lo kemana aja Va?" suara gw tercekat di tenggorokan.
"Emang kamu nyariin aku yah?" katanya. Suaranya bahkan masih sama seperti teriakannya yg
dulu sering memecahkan gendang telinga gw. Hanya saja, bahasanya.......yah bahasanya sedikit
berubah. "Aku selalu nyari kamu Va......." gw berusaha tampak tenang. Kedua bahu gw bergetar hebat.
Meva tersenyum manis. Sangat manis...
"Jujur, aku kaget banget liat kamu ada di sini sekarang. Di depan aku...." kata Meva. Matanya
juga mulai berkaca-kaca. "Gimana kabar kamu?"
Ah, bahkan gw lupa dengan pertanyaan yg biasa diajukan kepada orang yg sudah lama nggak gw
temui. "Aku baik," kata gw. "Dan kamu sendiri gimana?"
"Aku juga baik kok," jawabnya.
Gw nggak bisa mengelak dari situasi serba kikuk seperti ini. Gimana nggak, dia menghilang dari
hidup gw lebih dari empat tahun yg lalu. Dan sekarang...................dia muncul lagi, di hadapan
gw. Dia nyata. Berdiri di depan tempat gw berdiri sekarang. Dia bukan sekedar bayangan yg
selalu muncul di tiap malam sebelum tidur gw. Dia juga bukan seserpih debu yg mengotori
memori di kepala gw. Lebih dari itu, dia Meva! Wanita berkaoskaki hitam yg gw kenal delapan
tahun yg lalu... "Kayaknya lama banget yah kita nggak ketemu," kata Meva.
?""...." "Kamu...masih di tempat kerja kamu yg dulu itu?" dia berusaha mencari bahan pembicaraan yg
bisa mencairkan kekakuan ini.
"Enggak kok. Aku pindah, setahun setelah kamu wisuda.."
Kami lalu terdiam. "Dan sekarang, kamu di Jakarta?" tanyanya lagi tetap dengan logat dan intonasinya yg khas.
"Iya. Udah dapet tiga tahun aku di sini. Kamu kerja di sini?"
Meva tersenyum lagi. Lalu anggukkan kepala.
"Kamu sekarang udah sukses ya?" kata gw. "Bukan lagi mahasiswa yg sering ketinggalan
tugas." Meva menatap ID card nya sesaat lalu tertawa pelan.
"Kalo kesuksesan itu diukur dari materi, mungkin sekarang jawabannya adalah iya," katanya.
"Tapi toh seperti yg dulu kamu selalu bilang ke aku, selalu ada yg lebih baik dari sekedar
kesuksesan materi." Dia tersenyum. "Eh kita cari tempat duduk aja yukk. Nggak enak ngobrol
berdiri kayak gini."
Dia menutup bagasi mobilnya, menekan tombol pengaktif alarm dari kunci di tangannya, lalu
berjalan di samping gw. Gw mengikuti dia. Saat itu gw memang sudah melupakan keberadaan
dua orang rekan kerja gw di mobil. Tak apalah, kapan lagi gw akan menemui momen seperti
ini.... Epilog # 3 "Kamu keliatan tua Ri," kata Meva tertawa kecil. "Plus gemuk lagi. Haha.."
"Oiya?" gw juga tertawa. "Tapi kamu kayaknya awet muda yah?"
Meva tersenyum. Kami duduk di tepi kolam depan pintu utama masuk gedung. Ada sebuah air mancur
kecil di tengah kolam, bergemericik pelan mengiringi suasana sore yg teduh. Selama beberapa detik
kami terdiam. Gw sedang mencoba mencari bahan pembicaraan.
"Oh iya Lisa, sekarang gimana kabarnya?" tanya Meva. "Dia kan fans berat kamu tuh. Hehehe.."
"Ah, iya Lisa. Gw nggak tau kabarnya sekarang. Kami lost contact sejak dia di Jepang. Dan gw juga pindah
sebelum dia balik ke Indonesia"jadi belum sempat ketemu."
Meva mengangguk paham. "Gimana sama Indra?" tanyanya lagi.
"Kayaknya tuh anak dilahirkan memang buat jadi orang sukses. Terakhir kami contact pas lebaran
kemaren. Katanya dia hampir menyelesaikan study pasca sarjananya dan lagi berjuang buat promosi
jabatan di tempat kerjanya. Hebat yaaa dia.."
"Dan kamu sendiri?" Meva menatap gw penuh minat. "Kayaknya sekarang juga kamu nggak beda jauh
sama si Gundul.." "Haha," gw tertawa pelan. "Entahlah. Gw selalu termotivasi kalo liat keberhasilan yg dicapai si Gundul.
Tapi kayaknya gw harus berusaha lebih keras buat bisa mengejarnya."
Meva tersenyum. "Eh, terus gimana tuh kosan kita, masih ada apa udah ganti fungsi jadi museum tuh" Lama banget nggak
kesana! Yah kali aja sekarang dibangun monumen bersejarah untuk memperingati kita berdua.
Hehehe.." "Setau aku sih masih sama, cuma ada beberapa perbaikan tentunya. Indra sering nelpon gw kalo
kebetulan dia lewat kosan kita. Kangen katanya, mau reunian. Tapi yah tau sendiri lah sekarang mah
susah banget mau ketemu juga. Sama-sama sibuk," gw merasakan kerinduan yg menggelitik dalam hati.
"Emmh..kamu masih sering maen ke Karang Pawitan?"
"Enggak. Terakhir kali ke sana ya pas sama kamu itu. Abis itu, nggak pernah sekalipun. Apalagi setelah
kerja di sini." Gw mengangguk pelan. Angin sore yg panas mendadak terasa sejuk.
"Thanks ya Ri..." kata Meva tiba-tiba.
"Untuk apa?" tanya gw.
"Selama kita barengan di kosan dulu, aku banyak belajar dari kamu," ceritanya. "Hidup aku juga banyak
berubah setelah kenal sama kamu."
Gw tersenyum. Otak gw langsung merewind kejadian-kejadian yg sudah berlalu sekian lama. Hati gw
mencelos".. "Kamu masih inget tentang pion catur yg berubah jadi menteri?" katanya lagi. Gw jawab dengan
anggukan kepala. "Menurut kamu, sekarang aku adah bisa dibilang jadi menteri belum?"
"Seperti yg kamu bilang tadi. Kalo ukurannya materi, jelas kamu udah bertransformasi jadi menteri.
Bukan hanya menteri, kamu malah jadi ratu, mungkin?"
Meva tertawa kecil. "Aku selalu pegang kata-kata kamu soal pion catur itu," ucapnya. Pandangan matanya menerawang jauh
melampaui batas ingatannya. "Aku jadiin sebagai salahsatu pedoman hidup aku. Dan hasilnya
sekarang...seenggaknya buat diri aku sendiri, aku merasa lebih baik dari dulu. Jauh lebih baik, kalo aku
boleh bilang." "Aku turut bahagia Va.."
"Thanks Ri. Kamu emang selalu ada saat aku sedih ataupun bahagia."
"Ya, begitulah aku..." ucap gw lirih. "Oiya, aku mau tau gimana cerita kamu sampe kamu bisa dapet
posisi yg sangat baik di sini.?"
Meva tertunduk malu, tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya pelan sebelum menjawab.
"Emh...enggak begitu istimewa siih. Waktu itu kebetulan ajah ada temennya Tante Ezza yg punya info
lowongan kerja di sini. Aku kirim deh lamaran aku, dan yah syukurlah aku lulus."
Gw tarik napas panjang. "Tapi aku sempet frustasi juga lho, tiap inget target aku di diary. Inget kan?" kata Meva.
Gw mengangguk. "Tapi lo tetep bisa sampe di titik ini, dan itu hebat!" kata gw jujur.
"Haha... aku cuma belajar dari pengalaman."
"Kamu sekarang udah pinter yah?" komentar gw.
"Haha.. itu juga gara-gara sering gaul sama kamu."
Sejenak kami terdiam. "By the way kamu masih inget sama kalung ini?" Meva menarik keluar sebuah kalung tua yg sedikit
usang dari balik kerah seragamnya. Sebuah kalung salib dengan selotip hitam di salahsatu sisinya, sama
persis dengan yg gw lihat di kamar gw waktu itu. Itu memang kalung yg selalu dia pakai. Kalung warisan
dari neneknya. "Kamu masih pake kalung itu?"
"Selalu," jawabnya mantap. "Ini salahsatu saksi sejarah hidup aku. Aku akan selalu pake kemanapun dan
apapun yg aku lakukan."
Gw diam. Airmata gw mendadak sulit ditahan.
"Kamu tau Ri?" lanjut Meva lagi. Suaranya terdengar bergetar kali ini. "Kalung ini udah ratusan kali
mengalami bongkar pasang selotip, tapi nggak pernah sedikitpun mengurangi makna di baliknya.
Sekarang kamu liat deh....."
Gw angkat kepala, menengok ke arahnya. Dia sedikit membuka gulungan selotip di kalungnya.
"Kamu inget nggak pertama aku pasang selotip ini?" di balik gulungan selotipnya ada gulungan lain yg
sangat lusuh. "Ini selotip yg aku pake waktu pertama nyambung kalung ini, selotip yg aku minta dari
kamu. Aku nggak pernah ngelepasnya. Cuma aku dobel aja di luarnya, dan itu yg sering aku ganti......"
"Kenapa Va......?" gw sedikit terisak. "Kenapa kamu masih inget dengan jelas semua itu?"
"Emang kamu udah lupa?" dia balik tanya. "Aku selalu inget kok. Samasekali nggak bisa dilupain. Lagian,
setiap kali kita pengen ngelupai sesuatu, justru saat itu kita mengingatnya. Iya kan?"
Gw usapi airmata yg makin banyak jatuh.
"Kamu kok sekarang jadi mellow?" Meva berkomentar. "Ini pertama kalinya aku liat kamu nangis."
Gw gelengkan kepala. "Aku nangis bukan karena sedih," gw berusaha menjawab dengan jelas. "Tapi karena bahagia Va. Aku
bener-bener bahagia hari ini."
Meva diam, memberi kesempatan gw berbicara.
"Aku bahagia bisa ketemu kamu. Aku bahagia liat keadaan kamu sekarang, kamu udah nunjukin dan
buktiin ke aku apa yg selalu kamu bilang soal "pengen jadi menteri"... aku bahagia banget. Dan aku
bahagia, karena kamu nggak pernah lupa cerita tentang kita....."
Dan Meva memeluk gw. Wangi parfumnya semerbak masuk ke rongga paru-paru gw. Parfumnya masih
sama dengan yg dulu. Ternyata dia cuma sedikit nampak lain di luar, di dalamnya dia tetap Meva yg
sama yg selalu gw kenang selama ini. Gw raih punggungnya dan balas memeluk. Hangat...... Gw tau
Meva juga menangis. Kedua bahunya bergetar...
".................."
Hheeeemmmmppppphhhh...........gw nggak mau cepat-cepat ini berakhir. Gw masih belum mau
melepaskan pelukan ini. Sebagian hati gw mulai menyesali kebodohan diri gw di waktu yg lalu.
"Mafin aku Va," kata gw.
"Maaf buat apa".."
Gw terdiam. Masih sama seperti dulu, gw speechless.
"Ada yg nggak bisa aku ungkapin ke kamu waktu itu..." gw mencoba ungkapkan. Gw tahu ini satusatunya waktu yg tepat buat mengatakan ini.
"Apa itu"....."
Lama kami terdiam. Waktu seperti berhenti berputar. Diam-diam gw berharap waktu memang benarbenar berhenti.
"Aku sayang kamu Vaa......" akhirnya, gw mampu mengatakan itu.
Sebuah kalimat yg selama bertahun ini selalu takut untuk gw ungkapkan. Setelah kepergiannya, gw
selalu ingin mengatakan ini. Dan sekarang, akhirnya gw bisa melakukannya.! Meski mungkin sudah
terlambat?"?". "Itulah alasan kenapa aku ada di sini.."
Gw tertawa pelan. "Kamu masih suka pake kalimat itu?" gw ingat momen waktu kami "lomba ngerayu" di kamer gw.
"Cuma itu stok aku soalnya..."
Kami tertawa. Melepaskan pelukan, lalu sama-sama usapi airmata di pipi kami.
"Kamu masih inget bintang keberuntungan yg pernah kamu kasih ke aku?" Tanya gw.
Meva sedikit terkejut, lalu tertawa kecil.
"Ohh, kamu masih nyimpen ya?" tanyanya senang.
"Iya donk. Kan dulu kamu minta aku jaga baik-baik bintang itu."
?"?""."
"Ini," gw mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari dompet gw. "Seperti yg pernah kamu bilang dulu,
tiap aku kangen sama kamu, aku selalu liat bintang ini. Tapi kamu kok nggak pernah muncul yaaa..?" gw
sedikit becanda. Dan kami pun tertawa. "Aku pikir kamu udah buang bintang itu."
"Enggak lah. Buat aku, ini juga salahsatu saksi sejarah. Semua yg pernah kita lalui, terangkum dalam satu
bintang ini?"" Gw menunduk lemas. Saat ini rasanya gw benar-benar ingin melompat ke masa lalu. Tapi sebuah suara
menyadarkan gw. Seperti bunyi dering handphone. Dari kantong celana Meva. Dia mengeluarkan handphone nya, yg
bahkan jauh lebih mahal dan bermerek dari handphone gw. Di layar nya yg lebar itu tampak foto
seorang laki-laki sedang memeluknya.
"Sebentar ya aku jawab dulu," katanya pelan.
"Halo sayaang," Meva menjawab telepon. Suaranya sedikit serak."Iya ini mau balik. Enggak kok, paling
jam tujuh an nyampe rumah. Iya iya biar bibi aja dulu yg ngurusin."
Dan dia mengobrol sekitar dua menit dengan si penelepon sebelum menutup telepon dan memasukkan
handphone nya ke saku baju.
"Maaf yah, tadi suami aku...." kata Meva sedikit malu.
Gw mengangguk paham. "Udah berapa lama?" tanya gw.
"Belum begitu lama. Baru dua tahun kok. Dan udah punya si kecil yg cakep, mirip ayahnya lho.." dia
tersenyum senang saat mengatakan ini. "Kalo kamu gimana?"
"Aku udah punya dua, cewek semua." kata gw. "Malah udah mau tiga aja. Baru empat bulan siih. Doain
aja yaah moga lancar-lancar aja."
"Oiya" Wah aku kalah produktif donk sama istri kamu! Hahaha,,,"
Epilog # 4 Gw juga tertawa. Betapa hari ini adalah hari yg menakjubkan! Gw bisa tertawa lepas, setelah tadi
berkubang dalam tangisan bersama masa lalu. Gw dan Meva ngobrol cukup banyak sore ini. Kami samasama mengungkapkan yg selama ini hanya bisa terpendam dalam hati. Dan sekarang, kami dengan
lantangnya bertukar cerita tentang keluarga kami masing-masing. Meva menikah dengan seorang lelaki
keturunan Belanda yg dikenalnya di gereja. Mereka sama-sama aktif dalam acara yg diadakan organisasi
kerohanian di sana. Dari sanalah kemudian mereka memutuskan mengikat hubungan dalam status yg
resmi pada Februari 2006 yg lalu. Sementara gw, gw menceritakan wanita yg kini selalu menemani harihari gw. Tentang rumah kecil kami di pinggiran Jakarta yg kumuh. Tentang dua buah hati gw yg lucu dan
imut, yg kelak akan jadi kebanggaan ayah dan ibunya. Juga tentang impian-impian yg belum sempat
tercapai, dan sedang kami tapaki hari-hari ini..
"Coba liat deh," Meva menunjukkan foto anaknya di handphone nya. "Cakep banget yaaaaa..............
Aku kasih nama Prince Mevally. Bagus nggak namanya?"
"Keren banget tuh," komentar gw.
"Kalo kamu, nama anak kamu siapa" Eh, kamu beneran keliatan tua banget deh, anak aja udah dua
coba!! Hahaha..." Meva ngejek gw.
"Baru juga dua ah! Masih pantes disebut bujangan. Hehehe.." timpal gw. "Anak pertama aku kasih nama
Aisyah, dan yg bungsu udah di booking sama ibunya bahkan sebelum dia sendiri hamil, dengan nama
Ratu Lanny Fauzaty."
"Waah...sesuai sama muka mereka yg cantik-cantik yah?" kata Meva sambil melihat foto dua buah hati


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gw yg gw perlihatkan di handphone.
Ah, dunia ini memang unik. Dulu rasanya tabu untuk membicarakan yg namanya pernikahan dan
sekarang, kami malah sudah membicarakan soal anak-anak kami. Benar-benar aneh rasanya! Meskipun
sedikit berat, gw sadar semua memang harus berubah seiring waktu yg selalu berlalu"
Kami asyik berbincang dan tanpa sadar matahari sudah terbenam begitu handphone gw bergetar
berkali-kali menerima panggilan dari dua rekan kerja gw yg pasti sudah sangat kesal karena ditinggal di
parkiran. Meva berdiri, gw juga berdiri. Rasanya ini sudah terlalu malam buat kami terus duduk
mengobrol di sini. "Nomer HP kamu berapa?" tanya Meva sambil menyiapkan handphone nya. "Biar nanti kita bisa ngobrol
panjang lebar lagi. Dan siapa tau kita bisa saling berkunjung ke rumah" Iya kan?" dia tersenyum lebar.
Gw menggeleng. "Kenapa" Kamu nggak mau ngasih nomer kamu ke aku?" tanya Meva.
Sejenak gw diam. "Aku cuma takut," kata gw menjelaskan. "Aku takut aku akan meminta lebih dari ini, kalo kita tetap
berhubungan dengan leluasa. Aku nggak mau ada yg tersakiti. Aku sangat menghormati kamu dan suami
kamu. Aku juga nggak mau ngecewain istri aku. Mungkin akan lebih baik kalo kita biarkan semua
berjalan apa adanya..."
Meva tampak kecewa. Dia menutup handphone nya lalu memasukkannya lagi ke kantong celananya.
"Oke, kalo menurut kamu itu lebih baik," katanya penuh pengertian. "Padahal aku cuma pengen
bernostalgia aja sama kamu." Dia tersenyum lebar.
"Maaf, aku cuma takut..."
Meva mengangguk. "Enggak papa, aku ngerti kok." Katanya jujur.
"Kamu tau kenapa tiap kenangan itu terasa indah dan manis?"
Meva kernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala.
"Karena dia nggak akan terulang lagi," jawab gw. "Itu yg bikin kenangan jadi berarti..."
Meva tersenyum dan dia memeluk gw lagi. Saat itulah jauh dalam hati gw sadar, mungkin ini adalah kali
terakhir gw memeluk Meva. Maka gw biarkan diri gw menikmati tiap detik yg berlalu, sangat perlahan.
Bahkan gw bisa merasakan getaran jantungnya di dada gw. Sampai saatnya kami lepaskan pelukan kami,
saat itulah gw sadar bahwa hidup kami sekarang sudah sempurna. Dan kesempurnaan itu jauh lebih
sempurna dari sekedar cerita masa lalu. Kami sama-sama sadar bahwa sekarang kami punya
tanggungjawab kepada keluarga kami masing-masing. Dan kami harus bisa menjaga kepercayaan yg
sudah diemban kepada kami.
Semuanya telah berbeda sekarang. Gw bukan lagi teman kosannya yg dengan leluasa keluar masuk
kamarnya. Dan Meva bukan lagi bidak catur yg kecil dan nggak berdaya. Meva sekarang adalah menteri,
bagi dirinya, dan seorang istri yg baik bagi suaminya. Tentu saja dia juga ibu yg penuh cinta untuk
anaknya. Kalau dilempar lagi ke masa lalu, rasanya nggak pernah terpikirkan akan menemukan cerita
semanis ini. Manis dan pahit, yeah tentu saja".
?"?"." "Oiya, sebelum kamu pergi, ada satu hal yg harus kamu tau,," lanjut Meva.
"Apa itu?" Meva diam sejenak, mengatur nafas, lalu bicara.
"Berat buat ngomong ini, tapi aku yakin kamu harus tau. Waktu kamu ungkapin perasaan kamu ke aku
dulu," ucapnya. "Sebenernya aku lagi nggak dengerin musik. Lagu di headset aku udah mati waktu kamu
ngomong. Jadi".jadi sebenernya aku denger dengan jelas semua yg kamu ungkapkan waktu itu?".."
Gw tertegun. Ingin rasanya melompat kembali ke masa lalu dan mengulang hari itu. Tapi gw sebisa
mungkin segera menguasai diri gw.
"Kenapa Va".?"
"Maafin gw Ri?"?"
?"?"" "Bodoh banget yah"! Waktu itu aku bermaksud ngetes kamu," ucapnya dengan nada menyesal. "Waktu
itu aku yakin kalo kamu bener-bener sayang sama aku, kamu pasti bakal nembak aku untuk yg ke dua
kalinya. Tapi?"."
"Tapi aku nggak pernah bisa ngungkapin itu?" sambung gw. Sangat sakit mendengar ini. Bukan, bukan
karena pengakuan Meva, tapi gw sakit karena ternyata gw samasekali nggak pernah menyadari hal ini.
Gw nggak pernah menduganya.
"Tapi," kata Meva lagi. "Sekarang aku sadar"yg namanya cinta itu nggak melulu harus diungkapkan
lewat kata-kata. Ada yg jauh lebih memahami itu?".."
?"?"." "Di sini?"?".." Meva menyentuh dada gw. Hangat gw rasakan dari telapak tangannya yg lembut
merambat di dada gw. Gw terdiam tanpa bisa menahan airmata di pipi gw. "Kamu mungkin nggak
pernah mengungkapkannya Ri, tapi hati kecil aku tau. Semua yg pernah kamu lakukan, semua yg pernah
kamu berikan, dan semua yg pernah kamu korbankan buat aku, itu jauh lebih berharga dari sekedar
ungkapan cinta?""
Gw raih tangannya dan memeluknya lagi. Kali ini sangat erat. Gw sudah nggak bisa menahan laju
airmata yg terus jatuh. Wajah gw sudah sangat basah sekarang. Tapi gw nggak peduli. Karena gw tahu,
hari ini, gw mengerti sesuatu. Apapun keadaannya sekarang, kami sama-sama punya satu tempat spesial
dalam hati kami. Samasekali nggak bermaksud mengkhianati pasangan kami saat ini, tapi apa yg sudah
terjadi di masa yg lalu tentunya nggak bisa begitu saja terabaikan. Dan gw tentunya tau batasan yg ada.
?"?"." ?"?"." "Ri?" "Ya?" "Sejak aku pergi, berapa kali kamu dengerin lagu Endless Love?" tanya Meva di sela isaknya, masih
dalam pelukan gw. Gw tersenyum sejenak lalu menjawab.
"Selalu," jawab gw. "Setiap malam menjelang tidur, aku selalu dengerin Endless Love."
Meva tersenyum. Sedih... "Kamu tau, kenapa aku suka banget sama Endless Love?"
Gw menggelengkan kepala. "Pertama kalinya aku denger lagu itu?"..waktu aku meluk kamu di halaman rumah aku. Sejak saat itu
aku suka banget lagu ini?"
?"?"." "So?" lanjutnya sambil melepas pelukannya. Kami saling pandang. "Lagu apa yg harus aku dengerin,
kalo aku kangen kamu?"
Gw balas tersenyum. Menatap awan di langit selama beberapa detik, lalu menjawab.
"Over The Rainbow," kata gw pelan. "Aku selalu suka sama lagu itu."
Meva tersenyum lagi lalu usapi airmatanya yg kembali jatuh"
Dan sore itu jadi sore yg nggak pernah terlupakan di hidup gw. Saat semua kerinduan terobati. Saat
semua pertanyaan akhirnya terjawab. Saat semua pengakuan akhirnya terungkapkan. Dan saat semua
mengerti bahwa ada batasan antara masa lalu dan masa kini. Gw nggak pernah sedikitpun menyesali
apa yg sudah terjadi di masa lalu. Tanpa masa lalu, gw nggak akan pernah ada di sini. Dan tanpa Meva,
mungkin gw nggak akan pernah jadi gw yg sekarang.
Dan sore itu, dalam kepala gw, seperti mengalun sebuah lagu?".
My love.. There's only you in my life
The only thing that's right
My first love.. You're every breath that I take
You're every step I make And I I want to share All my love with you No one else will do... And your eyes They tell me how much you care
Ooh yes, you will always be
My endless love" Two hearts, Two hearts that beat as one
Our lives have just begun
Forever, I'll hold you close in my arms
I can't resist your charms
Oh, love I'll be a fool for you I'm sure You know I don't mind Oh, you know I don't mind
'Cause you, You mean the world to me Oh.. I know I've found in you My endless love And yes.. You'll be the only one 'Cause no one can deny This love I have inside And I'll give it all to you
My love, My Endless Love?"?".
~Selesai~ 16 Juli 2011 pujangga.lama a.k.a Ari Unltold Story by Pujangga. Lama After Part 33 /B
"Eh eh Ri, sini dulu," gw yg baru balik dari beli mie ayam dicegat Meva di ujung tangga.
"Ada apaaan?" gw menghampiri dengan malas. Dan kemudian terjadilah percakapan di ujung tangga.
"Lo abis dari mana?" dia melirik bungkusan berisi mie ayam dan es teh manis di tangan kiri gw.
"Dari rumah Pak RT." gw jawab ngasal.
"Loh, tapi kok bawa gituan" Itu apa?"
"Mie ayam sama es teh manis."
"Sejak kapan Pak RT jualan mie ayam" Ngarang aja lo."
"Sejak kapan juga gw bilang Pak RT jualan mie ayam?"
"Nah itu apa?" "Ini gw beli dari tukang mie ayam, yg kebetulan lagi mangkal di depan rumahnya Pak RT. Yg di depan lagi
nggak jualan soalnya jadi gw cari yg lain."
"Oooh..." dia ngangguk bego. "Eh tunggu dulu, gw masih penasaran sama yg kemarin."
"Soal apa?" gw juga penasaran.
"Itu, soal sesuatu yg mau lo kasih ke gw tapi nggak jadi. Apaan sih emangnya" Lo mau kasih gw apa?"
dengan pandangan menyelidik.
"Oh itu...kemarin gw beliin lo stoking Va, warnanya item putih belang gitu."
"Wah lo beliin gw stoking" Item putih?" serunya. "Macan dong gw."
"Zebra dodol, kalo macan itu item kuning." Ni anak begonya masuk stadium akhir, batin gw.
"Oiya zebra! Nah terus mana stokingnya?"" dia menyodorkan tangan.
"Justru itu Va...stokingnya ilang nggak tau di mana. Kayaknya jatoh di jalan atau gimana gw nggak tau..."
"Yaaaah...elo sih nggak atai-ati Ri," wajahnya berubah kecewa.
"Nanti gw beliin lagi deh ya."
"Eh nggak usah deh kasian elo nya." Meva gelengkan kepala.
"Iya sih gw juga tekor duit."
"Dih perhitungan sekali!" dia cemberut. "Ya udah lo nggak usah beli lagi, diganti aja sama yg lain."
"Ganti" Ganti sama apa?"
"Hmmm...itu tuh," dia menunjuk bungkusan di tangan gw. "Ganti mie ayam aja ya, gw lagi laper tapi
males turunnya." "Masa diganti mie ayam" Enggak mau, gw udah capek jalan ke gang sebelah juga ah. Gw juga laper," gw
protes. "Udah nggak papa Ari...gw kan baik hati, lo nggak usah beliin stoking baru. Tuh ganti pake mie ayam aja.
Sini," sambil ngambil paksa mie ayam gw. "Gw laper banget Ri. Makasih ya. Utang lo gw anggap lunas."
Dengan senyum malaikat dia berlalu ke kamarnya. Gw cuma bengong selama beberapa detik sebelum
menyadari lobang di dalam perut gw rasanya semakin dalam dan mulai terjadi gesekan pada lempengan
usus yg kemudian akhirnya menimbulkan bunyi keroncongan.
"Va, tapi gw juga laper..." gw setengah berteriak.
"Beli lagi apa susahnya sih?"" balasnya dari dalam. Sesaat kemudian pintu terbuka dan kepalanya yg
tirus dihiasi rambut hitam panjang muncul dari balik pintu. "Lagian lo tuh harusnya seneng gw cuma
minta ganti mie ayam. Udah sana ke rumah Pak RT lagi. Siapa tau sekarang dia udah jualan soto juga."
Dia nyengir tengil kemudian menghilang di balik pintu yg tertutup.
Gw menghela napas panjang sambil geleng kepala. Kelakuan elo Va. Ini serius, kayaknya biarpun gw mati
terus gw bisa reinkarnasi, gw nggak akan pernah nemuin cewek kayak lo lagi. Gw yakin yg kayak lo tuh
cuma ada satu di dunia ini. Entah dari tulang rusuk siapa lo diciptakan, entah apa yg sedang Tuhan
gariskan buat kita, gw cuma pengen suatu hari ketika lo tua nanti, lo akan ingat ini.
Pernah ada secangkir teh, hangat dan manis, diantara dua kursi kita.
Gw nggak bisa berharap lebih dari itu.
Unltold Story by Pujangga. Lama After Part 41
Entah itu Februari atau awal Maret gw sedikit lupa, gw masih dalam keadaan labil. Fisik gw sering drop.
Gw terbangun dalam keadaan yg serba membingungkan. Dinding kamar seperti berputar menghimpit
tubuh. Kepala pun berdenyut-denyut menyakitkan. Gw coba bangun, nyaris terjatuh, sebelum kemudian
berjalan keluar ke kamar Gundul.
Gw ketuk beberapa kali, belum ada jawaban dari penghuninya.
"Dul...Dul..." panggil gw sedikit mengencangkan volume suara. Masih belum ada jawaban. Dan dalam
keadaan gw yg seperti itu, satu-satunya harapan tentu saja kamar seberang gw.
"Apaan sih lo ketuk pintu orang pagi buta gini?" Meva sedikit sewot membukakan pintu sambil
tangannya masih mengucek mata.
"Sory Va, gw butuh bantuan lo," jawab gw memelas.
Meva memicingkan matanya berusaha melihat wajah gw lebih jelas kemudian bertanya.
"Bantuan apa?" "Gw lagi nggak enak badan Va. Bisa minta tolong beliin obat di warung" Gw nggak sanggup jalan keluar
Va..." antara yakin dan enggak dia bakal mau, soalnya sudah hampir subuh waktu itu. Gw nggak yakin
masih ada warung yg buka.
"Duh lo itu nyusahin deh," gerutunya. "Dari kemaren sakit mulu."
"Iya Va gw juga nggak ngerti." gw jadi nggak enak dan langsung berniat mengurungkan permintaan gw
sebelum Meva menjawab. "Yaudah bentar gw cuci muka dulu," dia berlalu ke dalam kamar tanpa menutup pintu.
"Eh Va, tapi kalo lu nggak bisa juga nggak apa-apa deh biar besok aja gw beli sendiri," satu menit
kemudian Meva keluar dengan setelan celana training panjang dan jaket bertudung warna biru.
"Tuh kan lo beneran nyusahin," dia ngambek. "Kalo mau bilang enggak jadi ya daritadi kek, gw udah cuci
muka gini juga! Udah ilang ngantuknya!"
Gw semakin nggak enak. "Udah lo tunggu di kamar aja sana, gw keluar dulu." Langsung ngeloyor ke bawah tangga.
"Makasih Va," kata gw.
Meva nggak menjawab. Suara langkah kakinya terdengar nyaring di tengah pagi yg belum membuka
matanya. Karena dingin gw putuskan kembali ke kamar, rebahan di balik selimut sambil nunggu Meva.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat pagi.
Karena masih ngantuk tanpa sadar gw pun tertidur. Entah berapa lama gw tidur. Suara pintu kamar yg
dibuka Meva membuat gw terjaga. Samar-samar dari kejauhan terdengar suara azan subuh dari
salahsatu musholla. "Maaf Va ngerepotin banget," ujar gw malu.
"Iya nggak apa-apa," kata Meva tanpa nada ketus. "Maaf ya lama, di sekitar sini nggak ada yg buka jadi
gw cari sampe ke Guro deh."
"Hah" Sejauh itu?" Lo jalan kaki?" gw terkejut.
"Enggak lah bodoh, gw pake ojek. Mana sanggup jalan kaki sampe ke sana?"
"Wah harusnya kalo nggak ada yg buka ya udah Va nggak usah paksain," gw semakin nggak enak ke
Meva! "Udahlah kayak sama orang lain aja," dia membuka bungkusan plastik di tangannya.
"Kok banyak banget obatnya Va?" tanya gw melihat tumpukan obat yg keluar dari kantong plastik.
"Salah elo nih, nyuruh beli obat tapi nggak bilang obat apa! Gw kan nggak tau lo lagi sakit apa. Ya udah
gw borong aja banyak, ada obat batuk, flu, sakit kepala, demam, mencret, pokoknya lo cari sendiri deh
pengen obat apa." Gw nyengir pait. Iya gw lupa bilang minta dibeliin obat apa.
"Udah tuh diminum semua aja ya obatnya." Lanjut Meva. "Gw masih ngantuk banget. Gw tidur ya."
"Makasih banget ya Va..."
"Iya. Makanya jangan jahat-jahat ke gw. Mau jadi apa coba lo tanpa gw?" cetusnya becanda. Dia
tertawa kecil. Gw senyum. "Lo juga, mau jadi apa coba lo tanpa gw?" balas gw.
Kami berdua pun tertawa. "Ya udah ah gw balik ke kamar," sambil berlalu menutup pintu.
"Makasih ya Vaa.."
Klik! Suara pintu kamar tertutup.
Tuhan itu baik ya Va. Dia selalu menjawab pertanyaan umatnya, bahkan untuk pertanyaan sederhana
dan gurauan sekalipun. Ribuan malam berlalu, dan akhirnya gw mengerti jawaban pertanyaan kita.
Mungkin sekarang kita tidak sedang mencoba menyesali dan berandai-andai menciptakan dunia kita
sendiri. Karena dunia yg Tuhan ciptakan buat kita sudah mencukupi segalanya. Apa yg sudah Ia gariskan,
yakini itu indah. Dia tidak kusut dan lusuh, dia hanya sedang dalam proses menuju sebuah gambar yg
cantik. Kenangan adalah cara Tuhan menyampaikan kepada kita bahwa ada senja yg tidak habis ditelan malam.
Jika kita mau menyimpannya jauh sampai ke akar terdalam hati, dia akan tetap ada di sana. Itulah dia, yg
tidak akan habis dala m hitungan hari, bulan, bahkan tahun.
Jika kita mau menyimpannya...
Surat Dari Tante Meva ke Om Ari


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" aku tau kamu sayang aku, kamu pun tau aku sayang kamu. kita
nggak pernah berhenti buat saling menyayangi. selamanya. kita cuma
berhenti nunjukkin sayang itu dalam bentuk nyata. kita ganti dengan
bait-bait doa, dan mungkin dalam sujud panjangmu, ada nama aku
terselip di dalamnya. terimakasih buat tahun-tahun tak terlupakan kita.
terimakasih buat filosofi pion catur. semoga kamu selalu bahagia
bersama keluarga kecil kamu di sana Ri. salam."
Gw tersenyum, melipat kertasnya, dan menyelipkan itu ke dalam sebuah
buku di samping cangkir teh hangat gw malam ini
" and Apalagi Jennings 2 Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang Prabarini 2

Cari Blog Ini