Ceritasilat Novel Online

Tempatku Di Sisi Mu 2

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong Bagian 2


meniupkan wewangian yang sejuk sehingga suasana di dalam kamar terasa
seperti di pegunungan. Pak Hari tak tahan lagi! Dia menggerak-gerakkan bibirnya, "Laa ilaaha
illallaah Muhammadarasulullah"."
Para iblis merasa tubuhnya sendiri yang terbakar, ketika mendengar kalimat
itu keluar dari mulut Pak Hari. Mereka bersembunyi di batang-batang pohon
dan di rerimbunan dedaunan. Mereka menanti dengan harap-harap cemas!
Para malaikat tersenyum senang.
"Ya, Allah!" Natalia tampak gugup. Dia tidak jadi memijit angka-angka
nomor telepon Dokter Gunawan, karena dilihatnya suaminya tidak bergerakgerak lagi! "Nyebut, Papa! Nyebut!" Natalia histeris.
Walaupun tubuh Pak Hari terbujur kaku, bibirnya tetap mengeluarkan suara,
"Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah".." Suaranya pelan sekali.
Hampir berdesis. "Papa ...," Natalia memegangi tangannya. "Papa masih mendengar suara
Mama?" Pak Hari mengangguk dan tersenyum. "Natalia ..., tolong ...kamu ambil
...map hijau... di laci ... lemari pakaian," suara Pak Hari terpatah-patah.
"Map hijau" Untuk apa?" Natalia tidak mau melepaskan pegangannya.
"Ambillah?" Natalia merasa ada tekanan dari kalimat suaminya tadi, yang mengharuskannya mengambil map hijau itu. Dia dengan cemas melepaskan
pegangannya. Dia meletakkan tangan suaminya di dadanya. Sambil matanya
melihat ke tempat tidur, tempat Pak Hari terbujur kaku, dia berjalan
menuju lemari. Dibukanya dan dicari-carinya map berwarna hijau di dalam
laci. Begitu ditemukan, dia langsung bergegas ke tempat tidur.
Dia menyerahkan map hijau itu kepada suaminya. "Ini Papa,
mapnya," katanya cemas. Kedua tangan Pak Hari bergerak dengan lemah, mencari-cari benda yang
diinginkannya. Natalia mendekatkan map hijau itu ke tangan suaminya. Pak
Hari mendekap map hijau itu ke dadanya dengan penuh sukacita.
"Alhamdulillah," bibir Pak Hari bergerak pelan.
Natalia tidak pernah tahu apa isi map itu. Dia tidak sempat menanyakannya
karena langsung berlari ke meja telepon. Tanpa melewatkan pandangan ke
tubuh suaminya, dia menelepon ke handphone Dokter Gunawan.
"Dokter Gunawan! Ini saya, Dok! Bu Hari Natadiningrat!" katanya was-was.
"Tolong kirim ambulan ke rumah, Dok! Segera, ya!!" perintahnya. "Bapak,
Dok! Bapak sakit!" Natalia menangis sambil meletakkan gagang telepon di
tempatnya. Natalia bergegas lagi ke tempat tidur. Suaminya masih terbujur kaku. Kedua
tangannya mendekap map hijau ke dadanya. Matanya terpejam. Ada
senyuman tersungging di bibirnya. Betapa tenang wajah itu.
"Papa!" panggilnya gelisah. "Papa masih mendengar suara Mama?"
Tidak ada suara apa-apa. Para malaikat meniupkan wewangian ke dalam
kamar. Sedangkan para iblis sudah terbirit-birit ketakutan. Kayu-kayu bakar
untuk api neraka itu tidak berhasil membawa penghuni kamar menjadi
bagian dari mereka, karena para malaikat berhasil melindungi!
"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...," Natalia memeluk tubuh suaminya
dengan perasaan kehilangan yang amat sangat. Dia mencoba untuk
melepaskan kepergian suaminya dengan rasa ikhlas. Dari asal kembali ke
asal. Tiba-tiba, sayup-sayup dari pengeras suara masjid, suara azan isya
menggema".. seolah mengantarkan ruh Pak Hari yang sedang menuju
tempat di sisi-Nya! Episode 21 Tempatku di Sisi-Mu Dia Maha Rahman Dikasihi-Nya kita dalam balutan doa dan nikmat
Diciptakan-Nya dari darah dan tiupan ruh
Anak-anak masa depan Di mana harap tertumpah Dia Maha Rahim Memberi segala terbaik pada sekitar dunia: tetapi kita lalai mengingat ciptaan-Nya!
Di ruang keluarga. Tampak perut Siti Nurkhasanah sudah membesar lagi.
Hamil tua. Diperkirakan minggu ini anak keduanya akan lahir. Rupanya
Bashir mewujudkan keinginannya untuk mempunyai anak kedua dalam
waktu yang cepat. Umur Siti Nurkhalishah sekarang sudah dua tahun. Waktu
yang tepat untuk memberikan adik bagi si sulung.
Anah merasa bahagia dengan kehamilan keduanya ini. Dia tidak menjadikan
kehamilan keduanya ini sebagai beban hidup, tetapi justru menerimanya
sebagai rahmat dan amanah baru. Dia tahu, betapa banyak para istri yang
sangat mendambakan jabatan sebagai ibu. Jabatan yang hanya diberikan
secara gratis oleh Allah! Tanpa perlu menyuap atau main sikut sini, sikut
sana. Sogokannya pada Allah hanya dengan mengikuti segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya!
"Ayo, Dede ...," Anah mengelus-elus perutnya, "... kapan keluar," katanya
mengajak si bayi berbicara. "Teteh sudah nggak sabar punya temen main,"
dia tersenyum sendiri melihat anak pertamanya, Siti N urkhalishah, sedang
mengacak-acak isi amplop di lantai.
"Nur, suratnya jangan dirobekin. Bapak belum baca suratnya. Foto-fotonya
juga jangan diguntingi... Bapak kan mau lihat juga"."
"Emang, ini foto siapa?"
"Itu foto Tante Namlok sama anaknya."
"Namanya siapa?"
"Siti Aisyah"."
"Nama saya 'Siti Nurkhalishah'. Sama!" Nur gembira. Dia sudah tidak tertarik
lagi dengan surat dan foto-foto itu. Dia kini berpindah ke televisi.
Anah bangkit dan membereskan foto-foto yang berserakan di lantai.
Sebelum dimasukkan ke amplop, dia melihatnya sekali lagi. Foto-foto
Namlok Sarachipat dengan suami barunya. Juga ada Siti Aisyah yang sudah
sekolah setingkat dengan sekolah dasar di sini. Umur Siti Aisyah sekarang
sekitar 8 tahunan. Mereka berfoto di depan Grand Palace, istana raja
Thailand, Bhumipol Abdulyadey. Betapa bahagianya mereka. Ternyata
mereka sangat tabah dan berhasil mengatasi ujian berat dari Allah, ketika
harus kehilangan Hakim yang berpulang ke rahmatullah!
Lalu Anah mengambil lagi surat dari Namlok. Bahkan Siti Aisyah pun sudah
pandai menulis surat. Mereka mengucapkan terima kasih karena selalu rutin
dikirimi uang oleh Bashir. Uang bagian dari hasil keuntungan perusahaan
yang menjadi hak mereka. Namlok mengabarkan bahwa semua uang hak
anaknya ditabungkan di bank. Insya Allah, jika Siti Aisyah besar nanti, uang
itu akan banyak manfaat bagi dirinya.
Sedangkan Siti Aisyah menulis, betapa ingin sekali berlibur ke Cilegon.
Berziarah ke makam ayahnya dan berkenalan dengan saudaranya, Siti
Nurkhalishah. Tulisan tangan dan bahasa Inggrisnya sudah cukup lancar.
Tanpa disadari, Anah meneteskan air mata. Tiba-tiba saja dia ingat pada
Hakim, suami dan ayah mereka, yang juga pernah singgah sesaat di
kehidupannya. "Ya Allah, lindungilah Hakim di alam kubur. Beri dia tempat yang layak di
sisi-Mu. Ampunilah segala dosa-dosanya," begitu Anah berdoa untuk
keselamatan mantan suaminya.
Lalu Anah melipat lagi surat itu dan bersama foto-fotonya dimasukkan ke
dalam amplop. Diletakkannya surat berharga itu di meja kerja Hakim. Dia
berjalan ke sofa dan duduk lagi dengan hati-hati. Diambilnya majalah
kesehatan dari bawah meja. Sambil membaca, dia mengawasi Nur yang
sedang asyik nonton film takhayul di televisi.
"Ibu ..., takut!" tiba-tiba Nur bangkit dari duduknya dan berlari,
bersembunyi di balik kursi. Di layar televisi, si tuyul sedang dikejar-kejar
musuhnya yang bertubuh lebih besar.
"Kenapa, Teteh" Kok, takut" Itu, kan bohong-bohongan," Anah tersenyum.
"Bohong-bohongan, Bu?"
"Iya." "Bapak mana, Bu?" Nur kecil tidak tertarik lagi pada televisi. Dia mendekati
ibunya dan duduk di sebelahnya.
Episode 22 Tempatku di Sisi-Mu "Bapak masih kerja."
"Oh, Bapak masih kerja," katanya mulai tertarik pada majalah yang dibaca
ibunya. "Iya." "Bapak kerja di mana?"
"Di kantor." "Oh, di kantor," kali ini dia mulai menarik-narik majalah. "Ibu sedang apa?"
Siti Nurkhalishah naik ke kursi.
"Baca majalah."
"Majalah apa?" "Ini," Anah menunjukkan isi majalah. "Tuh ..., ada Dede yang sedang
minum susu, kan?" "Oh, iya ...," Nur mengangguk-angguk. "Teteh juga minum susu!"
"Minum susunya yang banyak. Biar sehat."
"Teteh juga makannya banyak!"
"Teteh, kan sudah besar. Jadi, makannya harus banyak. Biar cepet tinggi
kayak Ibu sama Bapak."
"Kok, Bapak belum pulang, Bu?" Nur kecil kini berdiri di kursi.
"Bapak masih banyak pekerjaan. Mungkin belum selesai."
"Kapan pulangnya?"
"Insya Allah, setelah Ibu shalat isya. .."
"Teteh juga mau shalat isya!"
"Ayo, kita shalat di mushola," ajak Anah.
"Nanti aja, Bu!" Nur kecil mulai melompat-lompat di kursi.
"Teteh ...," panggil Anah kepada Siti Nurkhalishah. " Ayo ..., kursi buat apa?"
katanya mengingatkan. "Buat duduk!" jawab Nur yang kini makin pandai bicara.
"Kalau buat duduk, kenapa Teteh main lompat-lompatan?" Anah tersenyum.
Anak pertamanya sekarang minta dipanggil "teteh", yang berarti "kakak"
karena sebentar lagi dia akan punya adik.
Nur turun dari kursi. "Hati-hati turunnya, Nur"."
"Teteh!" Nur meralat.
"Iya, hati-hati turunnya, Teh ...," Anah tersenyum.
Nur sudah turun. Dia mendekati ibunya lagi. Anah menyambut buah hatinya
dengan senyuman. Biasanya Nur minta digendong. Tetapi kali ini dia sudah
mengerti bahwa ibunya akan kewalahan dengan perutnya. Dia hanya
menempelkan telinganya di perut ibunya yang besar.
"Dede tidur?" tanyanya ingin tahu.
Anah tersenyum dan mengelus-ngelus perutnya.
"Iya, dedenya sedang tidur."
"Dede, nggak bangun?"
"Bangunnya besok. Sekarang sudah malam. Teteh juga harus tidur?"
"Teteh mau main dulu!" katanya menuju ruang bermain, yang letaknya di
sudut ruang keluarga. Anah melihat ke jam dinding. Sudah jam delapan malam! "Mainnya jangan
lama-lama ya, Teh ...," Anah memberi syarat.
"Iya, Bu ...," jawab Nur sambil menarik sebuah kardus. Isinya ditumpahkan
ke lantai. Boneka, rumah-rumahan, mainan dokter-dokteran, tumpah ruah
ke lantai. Dia dengan penuh semangat dan gembira memilih-milih mainan
itu dan menyusunnya di lantai. Dia sedang membuat sebuah rumah boneka.
Boneka itu ditidurkan di ranjang. Kemudian dia mencari-cari peralatan
dokternya. Kriiing ...! telepon berdering!
Anah agak susah untuk bangkit.
"Teteh saja, Bu!" Nur berlari.
"Kriiiing"!! "Pasti dari Bapak!"
"Assalamu'alaikum!" Nur memberi salam di telepon. "Ini siapa?" tanyanya. "Ini
'Teteh Nur'," katanya gembira. "Oh, Nenek!" dia melihat ke ibunya. "Nenek,
Bu!" Nur mengacungkan gagang telepon ke ibunya.
Anah kini sudah bangkit dengan menopang tubuhnya di pegangan kursi. Dia
berjalan menuju meja telepon. "Dari Nenek, Teh?" tanyanya.
"Nih!" Nur menyerahkan gagang telepon dan berlari lagi menuju mainannya
di sudut ruangan. "Assalamu'alaikum, Bu ...," Anah memberi salam. Ada keheranan di
wajahnya. Biasanya Natalia suka berlama-lama jika sudah berbicara dengan
Nur di telepon. "Ya, Bu" Apa" Bapak?" kabar dari Natalia membuat jiwanya
berguncang. "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...," wajah Anah langsung
pucat. "Ibu!" Nur berteriak.
Tubuh Anah limbung. Episode 23 Tempatku di Sisi-Mu Suara-suara itu membangunkanku
Tidur yang melelahkan Pun bagimu Bersusah-susah menjagaku Di tengah cemas bila tak ada detak
Dan aku bergegas mendatangi suara
Cahaya benderang: Rabbi, tak Kau ceritakan cahaya itu!
Anah melihat ke Nurkhalishah yang sedang berlari ke arahnya. "Awas jatuh,
Teh ...," katanya mengawasi dengan cemas. Nur memang sedang nakalnakalnya. Anak seumur dia kalau berlari tidak ingat celaka. Apa saja
dianggapnya tidak ada. Pernah Nur jatuh terpeleset, menginjak susu yang
ditumpahkannya sendiri. Untung kepalanya jatuh tepat di atas karpet. Kalau
tidak, entahlah apa yang terjadi. Di kliniknya, Anah sering menerima pasien
anak kecil yang jatuh karena terpeleset. Biasanya bagian belakang kepala
mereka yang membentur ke lantai. Ada yang diiringi dengan
muntah- muntah, atau hanya pusing biasa. Begitulah memang risiko punya anak kecil
di rumah. Allah selalu mengujinya dengan hal-hal kecil.
Tetapi Bashir sering mengingatkannya bahwa anak kecil itu tidak boleh
dilarang. Nanti tidak akan jadi anak yang terampil. Malah jadi anak yang
penakut. Yang harus dilakukan adalah, selalu mengawasi atau menemani si
anak bermain. Bukan malah melarang. Kalau versi Pak Soleh lain lagi. Dia
percaya bahwa di sekeliling anak kecil itu banyak malaikat yang menjaga.
Jika si anak dalam bahaya, atas perintah Allah, malaikatlah yang melindungi
si anak. Subhanallah! Anah hanya bisa mengucap syukur dengan cerita Pak
Soleh ini. Semoga para malaikat menjaga Nur!
"Ibu, sakit?" Nur memeriksa perut ibunya.
"Iya, Ibu sakit," Anah mencoba menahan nyeri di perutnya. "Teteh ...,
panggil Pak Soleh, ya ..."
"Pak Soleh?" "Iya. Cepet ...," kata Anah sambil menarik kursi. Dia duduk dengan hati-hati.
Telepon masih dipegangnya.
Nur kecil berlari ke depan rumah.
"Bibik! Bik Inaaah!" Anah berteriak-teriak memanggil pembantu rumah.
Pembantu rumah segera muncul dengan tergopoh-gopoh. Dia kaget melihat
majikannya yang mengerang kesakitan. "Ibu! " teriaknya.
"Bik, sini Bik," kata Anah. "Bantuin saya jalan ke kamar," pintanya.
Bik Marhamah segera

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan tubuh Anah dengan bahunya. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang Anah. "Aduh, Ibu ...kenapa jadi
begini?" Bik Marhamah cemas dan menangis.
"Ayo, Bik ..., hati-hati jalannya, Bik," kata Anah berjalan tertatih-tatih
menuju kamar. Sementara itu, Siti Nurkhalishah sudah berada di teras. "Pak Soleh! " dia
berteriak sekencang-kencangnya. Dia hampir saja menabrak kursi.Untung
dia sangat cekatan. Dia terus berlari ke halaman samping, mencari-cari Pak
Soleh. "Pak Soleh!" Nur berteriak lagi.
Pak Soleh, yang kini tinggal di paviliun, muncul tergopoh-gopoh. Kaki
palsunya tidak sempat dipakai. Dia hanya bertumpu pada sebuah kruk. Dia
masih membetulkan lilitan sarungnya, ketika Nur kecil sudah sampai dengan
napas terengah-engah. "Teteh ..., kenapa" Kok, belum tidur?" Pak Soleh meneliti sekeliling rumah.
Dia khawatir ada orang jahat masuk ke halaman rumah.
"Pak Soleh dipanggil Ibu," Nur menunjuk ke dalam rumahnya.
"Ibumu, kenapa?" Pak Soleh bergegas menuju ke dalam rumah.
"Ibu sakit?" Pak Soleh makin mempercepat langkahnya yang dibantu dengan
kruk. Nur menelitinya dengan heran. "Kok, kaki Pak Soleh satu?" tanyanya
penasaran. "Iya! Pak Soleh tadi nggak sempat make kaki palsu!"
"Kaki palsu?" "Iya! Kan, Bapak Teteh yang ngebeliin?"
"Oh!" Pak Soleh sudah sampai di teras. Nur mengejarnya.
"Mana Ibumu?" "Di sana! Lagi nelepon!"
Pak Soleh bergegas ke dalam rumah. "Astaghfirullah!" dia kaget melihat
Anah sedang dipapah Bik Marhamah ke dalam kamar. Di lantai ada cairan
ketuban campur darah. "Anah! Kamu nggak apa-apa?"
Episode 24 Tempatku di Sisi-Mu "Pak Soleh ...," Anah mencoba tersenyum. "Cepet, telepon Bu Bidan! Suruh
dia ke sini! Bashir juga! Kayaknya si bayi sudah nggak tahan pingin keluar!"
kata Anah menyuruh. "Bayinya mau keluar?" Pak Soleh panik.
"Iya," Anah merasakan kontraksi lagi.
Pak Soleh kelihatan bingung. Sebetulnya dia ingin membantu Bik Marhamah
memapah Anah ke dalam kamar. Tetapi dia sendiri sangat repot berjalan
tanpa kaki palsu. "Pak Soleh, cepet ...," Anah mengingatkan.
Akhirnya Pak Soleh bergegas ke meja telepon, mengikuti perintah Anah.
Sedangkan Nur menangis menyaksikan peristiwa aneh itu. "Ibuuu!" tangisnya
makin keras. "Ssst ..., Nur ..., jangan nangis," Anah mencoba tersenyum.
"Ibu berdarah, ya?" Nur takut melihat ketuban dan darah berceceran di
lantai. Anah mengangguk. Bik Marhamah mendudukkannya di tepi ranjang. Anah
mengatur posisinya. Dia menyuruh Bik Marhamah menumpuk bantal di
kepalanya. Lalu Anah berbaring. Bik Marhamah membantu mengangkat
kedua kakinya ke ranjang. Kini Anah sudah berbaring di tempat tidur. Nur
mendekati ibunya. Anak kecil itu tidak mau jauh-jauh dari ibunya. Tangisnya
sudah mereda. "Bik ..., cepet ..., sediain air panas, ya Ambil juga kain-kain yang bersih"."
"Iya, Bu," Bik Marhamah bergegas berlari ke dapur.
"Ibu sakit, ya?" Nur terisak-isak sedih.
"Dedenya mau keluar, Teh," Anah mengelus kepalanya dengan penuh kasih
sayang. "Dedenya mau keluar, Bu?" Nur penasaran.
"Iya. Dedenya pingin ketemu sama Teteh yang cantik," Anah tersenyum
untuk mengatasi rasa sakit di perutnya.
"Kok, Ibu berdarah?" Nur keheranan.
"Teteh ...," Anah mengelus-elus rambut Nur. "Sebentar lagi 'dede' mau
keluar dari perut Ibu. Teteh jangan nakal, ya" Nanti Bu Bidan ke sini?"
"Bu bidan?" "Bu dokter ...," Anah mengikuti kemauan anaknya.
"Oh, Bu dokter!" Nur mmgangguk-angguk. Lalu Nur berandai-andai, "Ibu
dokter. Teteh juga dokter!"
"Iya, Teteh juga dokter."
Siti Nurkhalishah tampak senang disebut dokter.
"Sekarang, Teteh main lagi, sana ...," suruh Anah.
"Iya, Bu," katanya menurut. Dia berjingkrak-jingkrak gembira keluar dari
kamar. Anah tersenyum bahagia. Dia memejamkan matanya, mencoba
menikmati rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Dia hahya bisa pasrah
pada Allah. Dia yakin bahwa Allah akan melindungi dirinya dan bayinya.
"Bagaimana, Anah?" tiba-tibaPak Soleh muncul. Dia menarik kursi dan duduk
di depannya. "Masih bisa tahan?"
Anah mengangguk. "Bashir, bagaimana?" tanyanya berharap.
"Kebetulan Bashir mau pulang ketika Bapak telepon. Sekarang dia sedang
dalam perjalanan ..."
"Bu Bidan?" "Bu Bidan juga langsung ke sini ..."
"Alhamdulillah ...," Anah merasa lega. "Pak Soleh ...," tiba-tiba matanya
berkaca-kaca. "Kenapa, Anah" Sakit, ya perutnya?" Pak Soleh merasa sedih.
"Bukan itu, Pak ...," Anah terisak-isak. "Tadi, Ibu Natalia menelepon."
Pak Soleh dengan setia mendengarkan.
"Katanya Pak Hari meninggal dunia"."
"Innaa lillaahi ...," Pak Soleh kaget.
Anah tersedu-sedan, antara sedih dan menahan nyeri di perutnya. Dalam
hatinya dia berbisik, seharusnya Pak Hari menungguinya lagi saat ini. Dia
sangat berharap sekali mendapatkan cucu lelaki. Insya Allah, dari hasil USG,
bayinya adalah lelaki. "Semoga Pak Hari diterima di sisi-Nya ...," Pak Soleh mendoakan.
"Amien ya rabbal alamien ...," Anah menerawang. "Waktu begitu cepat
berlalu ya, Pak ...," Anah menyeka air matanya. "Ada yang datang, ada yang
pergi ...," sejenak dia melupakan nyeri di perutnya.
Pak Soleh mengangguk. "Sudahlah, Pak ...," Anah kini tersenyum. "Sekarang, tolong ambilkan tas
kerja saya..." "Baik, Anah ...," Pak Soleh menyeret langkahnya, keluar dari kamar.
Anah tergolek sendirian di kamar. Dia menatap langkah kaki Pak Soleh
dengan penuh harapan. Di dalam diri lelaki tua berkaki satu itu, ada
semacam tempat berlabuh bagi hatinya jika sedang gundah gulana. Itu
dirasakannya sejak dia masih kecil, saat Bik Eti masih hidup. Saat dia tinggal
di stasiun kereta api. Episode 25 Tempatku di Sisi-Mu Erangan itu membuatku takut,
tetapi para malaikat dan nabi memberi kekuatan:
tugasmu usai! Dia menyentuh dengan penuh cinta
Aku patuh tak bertanya Hawa dingin menyergap Aku berteriak kedinginan Mata Pak Soleh berkaca-kaca ketika tertatih-tatih ke ruang kerja Anah di
samping ruang keluarga. Dia merasakan juga hal yang sama; Anah sudah
seperti anaknya sendiri. Itu dia rasakan sejak almarhumah Bik Eti
menemukan bayi berumur satu bulan di gerbong kereta di stasiun Cilegon.
"Pak Soleh, mau ke mana" Nur ikut!" Nur bangkit dan mengejar Pak Soleh.
Lamunan Pak Soleh buyar. Dia sudah sampai di pintu penghubung menuju
ruang kerja Anah. Pak Soleh melihat Nur sedang asyik main rumah-rumahan.
"Bapak mau ngambil tas kerja ibumu," katanya bergegas.
"Nur ikut!" "Nur"., main saja sana".," Pak Soleh menuju meja kerja Anah. Di sana ada
tas kerja Anah. Diambilnya tas itu.
"Nur yang bawa, Pak!"
"Berat, Nur".,"
"Nggak pa-pa!" Nur merebut dan menarik tas kerja itu.
"Jangan, Nur?" "Nur yang bawa!" Nur tetap memaksa.
Pak Soleh tidak bisa mencegah lagi. "Iya, Nur boleh bawa tasnya ...,"
katanya tersenyum. "Horeee! Nur yang bawa!" Nur dengan semangat menyeret tas yang sangat
berat untuk ukuran gadis kecil seperti dia. Tetapi, Nur pantang menyerah.
Dia terus menyeret tas kerja ibunya ke kamar.
"Nur ..., biar Pak Soleh yang bawa ...," kata Bik Marhamah, yang muncul
dari dapur dengan baskom berisi air panas.
"Nur juga kuat!" jawab Nur.
Bik Marhamah dan Pak Soleh hanya pasrah saja menatap Nur, yang kalau
sudah ada maunya tidak bisa dibantah. Akhirnya mereka membiarkan Nur
membawakan tas kerja ibunya. Bik Marhamah menyuruh Pak Soleh
membawakan beberapa kain bersih yang digepit di ketiaknya. Mereka
kemudian mengikuti Nur di belakang, sambil berharap-harap cemas, jika
melihat Nur kepayahan menyeret tas kerja ibunya.
Akhirnya Nur sampai juga di sisi tempat tidur ibunya. "Ini, Bu! Tas
dokternya!" dia meletakkan tas itu di dekat ibunya dengan bangga. "Berat,
Bu! Tapi Nur kuat. Kan sudah besar!"
Anah mengusap kepala Nur dengan senyuman. "Makasih ya, N ur ...Sekarang,
Nur main lagi ya... Jangan ganggu Ibu, ya"."
"Emang, Ibu kenapa sih?" Nur meneliti tubuh ibunya.
"Dedenya kan mau keluar ..."
"Oh ...," Nur mengangguk dan pergi menemui "rumah mainan"-nya di sudut
ruangan. Sekali lagi dia menoleh, ingin memastikan bahwa ibunya baik-baik
saja. Setelah merasa yakin, dia berjingkrak-jingkrak keluar kamar.
Pak Soleh sudah berdiri di dekat Anah. Dia bersiap-siap, jika ada sesuatu
terjadi pada diri Anah. Bik Marhamah meletakkan air panas di baskom. Juga
beberapa kain bersih. "Siapkan saja semuanya ...," perintah Anah. "Bismillah ...," dia memulai
sesuatu pekerjaan dengan meminta perlindungan pada Allah. Tiba-tiba saja,
dia merasakan kontraksi yang hebat. Dia merasakan nyeri yang luar biasa.
Ada dorongan yang kuat sekali dari dalam perutnya. "Aduuuh..., kayaknya
bayinya mau keluar ...," Anah mengeden.
"Aduuh ..., gimana, Bu?" Bik Marhamah makin gugup.
"Bismillah, Bik ...," Pak Soleh menyemangatinya.
Tetapi karena pada kelahiran pertama bayinya, Anah mengalami chepalo
previx disproportion atau panggul sempit, setelah mengeden dengan kuat
pun, bayinya belum mau keluar.
"Biiik ..., Pak ..., tolong tarik kepalanya, ya Pelan-pelan saja ...," Anah
mengeden lagi. Bik Marhamah dan Pak Soleh saling pandang. Mereka tak bisa berbuat
apa.apa. Di penglihatan mereka, belum tampak si bayi keluar. Mereka
tampak ketakutan dan hanya bisa berdoa saja.
Anah tersadar akan lamunannya. Dia ingat bahwa panggulnva sempit. Dia
menangis. Dia meminta perlindungan pada Allah. Dia pasrah. Tetapi, jika
boleh memilih, dia memilih si bayi vang lahir selamat dengan taruhan
nyawanya. "Pak Soleh, ayo telepon Den Bashir lagi," Bik Marhamah makin cemas.
Pak Soleh mengangguk dan berbalik hendak ke luar kamar. Tetapi saat itu
muncul Bashir tergopoh-gopoh. Di belakangnva Nur mengikuti sambil
berjingkrak-jingkrak . "Bapak datang! Bapak datang!" teriak Nur gembira sekali.
"Anah!" Bashir menyerbu ke tempat tidur.
"Pak".." Anah menggenggam tangan suarninva.
"Masih kuat?" Bashir meneliti sekujur tubuh istrinya.
Anah menggeleng lemas. Pasrah. Wajahnya pucat.
Bashir mencoba untuk tenang walaupun gugup.
"Sabar, Anah".. Tenang ...," itu saja yang keluar dari mulutnya.
"Pak ..., Ibu sakit, ya?" Nur memepet ke tubuh bapaknya.
"Iya. Ibu sakit." Bashir tersenyum. "Bik, tolong Nur jagain dulu, ya"!"
perintahnya. Tetapi Nur menolak. Dia menangis. "Nur mau lihat Dede!" tangisnva.
"Iya".., tetapi nanti. Dedenya kan belum keluar," Bik memangkunya. Dia membawa Nur ke luar kamar.
"Pak ..., Bu Bidannya belum datang, ya?" Anah was-was.
"Bapak tadi udah nelepon. Katanya Pak Soleh juga nelepon, ya?"
"Iya. Ibu yang nyuruh," Anah mengiyakan.
Marhamah "Tahan sebentar, ya?" pinta Bashir.
Tiba-tiba terdengar klakson mobil. Semua melihat ke jendela kamar dengan
wajah lega dan penuh pengharapan.
"Alhamdulillah, Bu Bidan datang," Pak Soleh mengucap syukur.
"Insya Allah, semuanya akan lancar," Bashir mengecup kening istrinya.
"Kak Bashir ...," Anah menangis.
"Percayakan semuanya sama Allah."
"Iya, Kak ...," Anah menangis.
Pada saat itu Bu Bidan muncul tergopoh-gopoh. Di belakangnya, asistennya
menjinjing tas. Dengan sigap, Bu Bidan memberikan perintah ini-itu pada
Bashir dan Pak Soleh. "Semuanya ada di mobil! Cepet, bawa ke sini!" kata Bu Bidan.
Bashir dan Pak Soleh tidak banyak bicara. Mereka mengikuti semua instruksi
Bu Bidan. Anah tergolek pasrah. Bu Bidan tersenyum menguatkan hatinya.
"Kasusnya sama seperti yang pertama," kata Bu Bidan.
"Divacum lagi, Bu?" tanya Anah pasrah.
"Iya." "Lakukan saja, Bu."
"Jangan takut. Melahirkan biasa, divacum atau dicesar sama saja. Yang
penting anak dan ibunya selamat," Bu Bidan memberikan semangat.
Anah menangis terharu mendengar kalimat Bu Bidan yang sejuk.
Waktu berlalu. Dengan alat vacum dan atas kehendak Allah, terdengarlah
suara tangis bayi lelaki memecah malam.
"Alhamdulillah," Bu Bidan mempertunjukkan si bayi.
"Bayinya laki-Iaki! Sepasang!" bisik Bashir di telinga Anah.
Anah tergolek lemas dan bahagia. Bashir mengecup keningnya.
"Jangan ada yang ketiga ya, Pak!" Bu Bidan memperingatkan. "Kasihan
ibunya!" Bashir mengangguk, "Insya Allah, Bu Bidan. Dua saja sudah cukup."
Bu Bidan dan Anah saling pandang. Mereka saling senyum.
"Terima kasih, Bu," suara Anah tulus.
"Berterimakasihlah pada Allah, karena dialah yang menghidupkan dan
mematikan makhluknya," Bu Bidan tersenyum.
Bik Marhamah dan Pak Soleh muncul di pintu kamar. Mereka mengucap
syukur karena Anah dan bayinya diberi keselamatan oleh Allah Swt.
"Horeee! Nur punya Dede!" tiba-tiba muncul Nur berteriak gembira.
Episode 26 Tempatku di Sisi-Mu Angin berkabar padaku

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cerita rasul dan riwayat mimpi
Ayat-ayat mengalun rindu Bertemulah aku di muara: saat Ia mengisi raga kosongku!
Matahari sudah menggelincir turun dari titik kulminasi. Awan hitam
menyergap bola merah raksasa itu. Ini seperti pertanda bahwa alam pun
ikut berdukacita dengan kepergian orang yang kita cintai. Angin berembus di
pemakaman umum itu. Dedaunan merunduk. Daun yang kering lepas dari
tangkainya, dan yang masih hijau menunggu gilirannya nanti untuk kembali
ke pangkuan alam. Tanah merah mulai dikeduk dengan sekop. Lalu dilemparkan ke dalam
lubang berukuran dua meter persegi. Segundukan demi segundukan, tubuh
terbujur kaku yang dibalut kain kafan itu mulai tertimbun tanah merah. Tak
ada harta atau kekuasaan yang bisa mencegahnya saat itu.
Natalia menaburkan bunga di pusara suaminya. Semoga kamu medapatkan
tempat di sisi Allah! Amien ya rabbal alamien "..
Para pelayat yang berjubel mengantar Hari Natadiningrat ke liang kubur
satu per satu sudah pulang. Tinggal Bashir, Pak Hidayat, dan istrinya yang
masih setia menemani Natalia.
"Saya permisi pulang, Bu!" Bashir meminta izin. "Ada urusan yang harus
diselesaikan." Natalia mengangguk, "Terima kasih kamu mau datang," katanya menahan
keharuan. Bashir mencium tangan Natalia. "Assalamu"alaikum," dia pamitan. "Mari Pak,
Bu ...," dia juga menyalami Pak Hidayat dan istrinya.
"Wa'alaikum salam," mereka melepas kepergian Bashir.
Angin berkesiur lagi. Daun-daun kering beterbangan.
"Natalia ...," Bu Hidayat meraih pundaknya. "Ayo, kita pulang," ajaknya.
Natalia bangkit. Dia mencoba untuk bertahan, tetapi air mataya jebol juga.
Bu Hidayat memeluknya. Membiarkan kesedihan Natalia tumpah ruah. Di
dadanya. "Kenapa Allah selalu mengambil orang-orang yang saya cintai, Bu?" ada nada
protes di suara Natalia. "Itu artinya, kamu sedang diuji."
"Kenapa harus saya?"
"Karena Allah sayang sama kamu"."
"Ini tidak adil, Bu"."
"Istighfar, Natalia ...," Bu Hidayat mengingatkan. "Cobalah lihat ke sekeliling
kamu. Betapa banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Mereka hidup
dililit kemiskinan."
"Tapi, mereka tetap bahagia dengan sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan
anak-anak. Sementara saya, Bu?" Natalia seolah menggugat keberadaannya.
"Itulah bedanya. Kamu diberi harta melimpah, tapi tidak diberi sebuah
keluarga yang utuh. Kenapa" Jika kamu diberi kebahagiaan sebuah keluarga,
kamu pasti akan lupa pada keluarga-keluarga yang kesusahan dalam segi
ekonomi. Dengan limpahan materi, kamu bisa memiliki keluarga-keluarga
baru, dengan cara membantu mereka."
Natalia menyeka air matanya. Dia merasa omongan Bu Hidayat benar
adanya. Dia mencoba tersenyum karena sudah menemukan jawaban yang
dicarinya. "Astaghfirullah," dia tersenyum. "Kenapa saya tidak mensyukuri
nikmat yang sudah Allah berikan?"
Pak Hidayat dan istrinya kini tersenyum lega. Dia berhasil membawa Natalia
pergi dari pemakaman. Para iblis yang sudah bersiap-siap dengan rantai dan
obor neraka, lari terbirit-birit. Lagi-lagi mereka gagal mengajak umat
Muhammad ke golongan mereka.
Tetapi Natalia terhenti di pintu pemakaman. Saat itu sebuah taksi berhenti.
Diana keluar dan berlari ke arahnya. Diana yang memilih berdomisili di
Singapura sambil kuliah, tiba-tiba ada di depannya. Diana memeluknya
dengan mata berkaca-kaca.
"Diana!" Natalia mengusap-usap rambutnya.
"Hallo, Om, Tante," Diana menyapa Pak Hidayat dan istrinya.
Mereka tersenyum pada Diana. "Kami duluan, ya," mereka pamitan.
"Assalamu"alaikum ..."
"Wa'alaikum salam ...," Natalia tersenyum melepas mereka.
Diana berjongkok dan menaburkan bunga di pusara Pak Hari.
"Maafkan Diana, Mama. ..nggak ikut pemakaman Papa Hari"."
"Nggak apa-apa, Diana ...," Natalia memegangi bahunya. "Kamu baru
datang, ya?" "Iya, Ma. Dari bandara langsung by taksi ke sini."
"Kamu nggak ketemu Bashir tadi?" tanya Natalia.
"Ketemu. Tapi, Bashir nggak mau berhenti. Jalan terus dia!" Diana agak
sebal. "Kuliah kamu gimana?" Natalia mengalihkan topik.
"Lancar, Ma!" "Kamu capek, ya," Natalia memperhatikan luka parut di wajah Diana, akibat
kecelakaan mobil di Cilegon, sudah tidak begitu kentara. "Luka parut kamu
mendingan sekarang."
"Tapi, tetap saja Diana nggak bisa berkarir lagi," nada suaranya kecewa.
"Mereka pada nggak mau lagi make Diana. Terutama produk kosmetik. Ini
semua gara-gara Bashir!"
"Hus, nggak boleh nyalahin orang lain! Ini namanya musibah. Allah sedang
menguji kamu!" "Menguji, kok dengan cara seperti ini!"
"Susah kalau bicara sama kamu!" Natalia menggandeng Diana, mengajak
pergi. "Tapi, kamu masih bisa fashion show, kan?"
"Sesekali saja. Tapi, Diana mau fokuskan kuliah saja. Jadi designer juga
nggak jelek kan, Ma!"
"Bagus, bagus itu ...," Natalia mengangguk senang. "Ayo, kita pulang,"
ajaknya meninggalkan pemakaman umum.
"Mama. ..tadi Bashir datang sendirian, ya" Kok, nggak sama Anah?" Diana
mengitari pandang. "Anah nggak bisa datang. Dia baru saja melahirkan."
"Melahirkan lagi?"
"Iya. Anaknya yang kedua."
"Astaga!" Diana tersenyum senang.
"Besok Mama mau ke Cilegon."
"Secepat itu" Bukankah Mama masih berkabung?"
"Ada sesuatu yang harus Mama sampaikan pada Anah."
"Sesuatu yang penting" Apa itu?" Diana menyelidik.
Natalia tersenyum dan mengajak Diana pulang. Diana merasa ada sesuatu
yang disembunyikan mamanya. Hatinya berontak. Mama sekarang pilih
kasih. Itu sudah dirasakannya sejak Anah memasuki kehidupannya.
Semuanya kini selalu serba Anah. Setiap saat, selalu saja mamanya
membandingkannya dengan Anah. Misalnya, "Diana, shalat dulu!" Atau,
"Lihat tuh, Anah! Cantik sekali memakai jilbab!" Lain waktu, "Kamu harus
sabar seperti Anah." Menyebalkan. Okelah, dirinya dan Anah terlahir dari
rahim yang sama, mamanya. Tetapi, masing-masing pasti punya cara
pandang yang berbeda dengan kehidupan. Apalagi memaksakan pakaian
orang kepada dirinya! Nanti dulu!
"Kenapa, Diana?" Natalia menanyakannya, ketika sudah berada di dalam
mobil. Diana yang duduk di balik kemudi diam saja. Dia merasa gerah lagi jika
mengingat perbandingan-perbandingan dirinya dengan Anah. Itulah kenapa
dia memilih tinggal di Singapura. Tidak lain supaya dia bisa melupakan hal
itu. Hari sudah semakin sore dan mendung makin pekat. Angin berembus keras,
memecahkan gumpalan air di dalam awan. Gerimis pun turun, seolah
menangisi kepergian Pak Hari.
Episode 27 Tempatku di Sisi-Mu Hingga mimpi kukejar Engkau
Mencari jawaban segala tanya
Memuaskan dahaga Menuntaskan lapar Mencairkan kerinduan tak terkira
Diana sekali lagi membaca surat wasiat Pak Hari Natadiningrat kepada Siti
Nurkhasanah, di atas kertas bersegel! Dia merasakan gejolak hatinya
menggelegak. Darahnya mendidih. Kepalanya hendak meledak. Ini tidak
benar! Ini keterlaluan! Anah mendapatkan hampir seluruh warisan Pak Hari"
Mamanya dapat apa" Sungguh keterlaluan! Apalagi dirinya, yang hanya
mendapatkan hibah sebuah mobil tua! Ini tidak masuk akal! Malah beberapa
panti asuhan dan pesantren di Banten, Jakarta, dan Bogor mendapat durian
runtuh dari hibah harta Pak Hari! Keterlaluan!
"Diana!" Natalia sangat kaget, ketika rnemergoki anaknya sedang membaca
surat wasiat Pak Hari. "Diana nggak terima, Mama! Nggak terima!" dia marah sekali.
"Apa-apaan kamu?" Natalia merebut map hijau itu. "Ini untuk Anah! Kamu
nggak berhak membacanya!"
"Surat wasiat ini nggak sah. Pasti Papa Hari lagi sekarat bikinnya!"
"Astaghfirullah, kamu ini ngomong apa"!"
"Kenapa" Diana, kan anak Mama juga!"
"Ingat, Diana! Kamu bukan anak kandung Papa Hari!"
"Papa Hari nggak adil!"
"Nggak adil, bagaimana?"
"Anah mendapatkan lebih banyak dari Mama!"
"Lho, itu kan sudah hak Anah ..."
"Tapi, tetap saja nggak adil!"
"Diana ..., dengan kebagian rumah ini saja, Mama sudah bersyukur. Sudah
alhamdulillah"."
"Tapi, Mama".."
"Tapi, apa" Karena kamu nggak kebagian" Kamu nggak berhak, Diana. Ingat,
almarhum papamu mewariskan apa sama kamu" Harta yang melimpah.
Mama dapat apa" Hanya rumah dan pensiun papamu. Apa Mama
mempermasalahkan" Nggak, kan" Kenapa" Karena itu memang hak kamu
sebagai seorang anak!"
Lalu Natalia menjelaskan pada Diana, bahwa pembagian warisan berdasarkan surat wasiat itu sudah diatur dalam QS An-Nisaa (4): 11-12
bahwa Anah sebagai anak tunggal mendapatkan setengahnya, sedangkan
dirinya mendapatkan seperdelapan dari harta Pak Hari, sesudah dipenuhi
wasiat yang ditulisnya serta dibayar utang-utangnya. Bahkan Natalia juga
mengingatkan, Diana mendapat hibah dari Pak Hari walaupun hanya sebuah
mobil. Itu sudah lebih dari cukup! Sudah harus disyukuri!
Diana terdiam. Kata-kata mamanya mengingatkannya pada surat wasiat dari
almarhum papanya. Hampir semua harta kekayaan papanya jatuh ke
tangannya. Kalau berandai-andai, dia tidak usah bekerja pun, harta
warisannya tidak akan habis. Mamanya sama sekali tidak protes walaupun
hanya mendapatkan pensiun almarhum ayahnya sebagai mantan pejabat
Orde Baru. "Mama tahu kamu nggak suka dengan surat wasiat ini."
"Sudahlah, Mama. Nggak perlu kita perdebatkan lagi. Papa Hari kan sudah
memutuskan begitu"."
"Kamu ikhlas?" "Tapi, Diana tetap saja ini merasa nggak adil buat Mama," nada suaranya
sudah mulai merendah. "Sudah, sudah," Natalia mengusap-usap rambutnya. "Nggak akan ada
selesainya kalau ngamangin saal harta."
"Iya, sih?" "Aya, kita ke Cilegon sekarang. Kamu yang nyupir, ya!"
Cilegon" Sudah lama dia tidak ke sana! Sejak kecelakaan itu!
"Gimana" Mau ikut, nggak?"
"Iya, Ma!" Diana bangkit dan tanpa banyak bicara berjalan ke luar rumah.
Segala macam bayangan berkelebatan di benaknya. Bashir yang pernah
mencampakkannya. Bashir yang mengakibatkan wajahnya jadi rusak. Anah
yang merebut Bashir dari tangannya. Anah yang "merampok" Natalia darinya!
"Diana?" Natalia menegurnya.
"Ya".." "Kalau kamu masih capek, ya sudah ...kamu di rumah saja."
Diana menggeleng. Dia berjalan ke garasi. Masuk ke mobil dan menyalakan
mesin mobil. Natalia bergegas masuk. Dia duduk dan menatap anaknya
dengan teliti. Dia tahu kalau masih ada sesuatu yang mengganjal di hati
anaknya. "Mama tahu. Ini karena kamu cemburu sama Anah".."
Diana merasa wajahnya memerah. Dia tidak menyangka, kalau mamanya
akan bicara seperti itu. Dia memang mengakui jatuh cinta pada Bashir.
Tetapi, ternyata Bashir mencampakkannya. Luka parut di wajahnya ini
adalah bukti hidup yang tidak akan pernah hilang. Seluruh hidupnya hancur
gara-gara luka parut sialan ini. Dia sudah berusaha untuk menghilangkannya
dengan operasi plastik di Amerika. Tetapi, hanya mengurangi saja, tidak
bisa total hilang. Luka parut yang melintang tipis di pipinya, tetap saja
menghancurkan kariernya. Produk-produk kosmetik langsung membantalkan
kontraknya! Lantas Diana memutuskan untuk kuliah dan menetap di Singapura. Ayahnya
yang mantan pejabat Orde Baru mempunyai apartemen. Dia tidak peduli,
apakah apartemen itu dibeli papanya dari uang korupsi atau bukan.
Pokoknya, dia ingin meninggalkan Jakarta. Melupakan segala kenangan
manis; gebyar lampu blitz para fotografer, tepuk tangan meriah, serta
lenggak-lenggok gemulai di catwalk!
Episode 28 Tempatku di Sisi-Mu Pencarianku di ujung dunia
menemui kerak-kerak peradaban
Terasing dan kalah Menjadi pinggiran menyedihkan
Menyisakan gurat kesombongan:
Aku manusia batu, sisa-sisa masa lalu!
Siti Nurkhasanah masih berbaring di tempat tidur ketika Natalia memberikan
map berwarna hijau padanya. Faqih, bayi yang baru dilahirkannya tertidur
di sebelahnya. Dia tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya, karena
kondisinya belum pulih benar setelah melahirkan bayi keduanya.
"Apa ini?" Anah merasa heran.
"Warisan kamu!" kata Diana ketus.
Anah kaget mendengar nada suara Diana yang ketus.
"Bacalah," Natalia duduk di sisi pembaringan sambil melihat si bayi.
"Alhamdulillah, laki-laki ... Sepasang sudah," katanya bahagia sambil
memangku si bayi. Lalu ditimang-timang cucu lelakinya itu. "Sayang, kamu
nggak bisa ketemu kakekmu. Dia sangat menginginkan sekali punya cucu
laki-laki," katanya penuh haru.
Diana duduk di kursi dekat jendela dan memilih membaca majalah fashion
yang dibawanya. Dia sengaja memperlihatkan sikap acuh tak acuh dengan
kehadiran si bayi. Natalia menatapnya dengan tatapan memerintah, agar dia
mengubah perilakunya. Tetapi, Diana tidak peduli. Anah melemparkan
senyum bijak pada ibunya, seolah memberitahukan bahwa kelakuan Diana
tidak menjadi masalah baginya.
Anah masih menimang-nimang map hijau itu.
"Sudah diberi nama?"
"Sudah, Bu. Namanya 'Muhammad Al Faqih'," katanya sambil memeriksa
beberapa lembar kertas bermaterai. Dadanya berdegup keras. Surat wasiat!
"Faqih," Natalia meletakkan si bayi di sebelah Anah. "Sudah diberi ASI?"
"Alhamdulillah, Bu," jawab Anah, tetapi matanya tetap pada map hijau itu.
"Ayo, dibuka mapnya," Natalia mengingatkan.
Saat itu Nur kecil masuk. Dia sangat gembira melihat neneknya datang.
"Nenek datang, Nenek datang!" teriaknya gembira.
"Assalamu'alaikum, Nur Sayang," Natalia tersenyum sambil menyodorkan


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengannya. Tetapi, Nur menarik-narik selimut si bayi. "Dedenya tidur, ya?" katanya ingin
tahu. "Iya," Natalia tersenyum.
"Ayo, cium tangan Nenek dulu, Nur," suruh Anah pada anak sulungnya, tetapi
kedua bola matanya terbelalak ketika menyadari bahwa isi map itu adalah
surat wasiat Pak Hari, yang mengatur tentang pembagian warisan. "Masya
Allah!" pekiknya tidak percaya.
"Kaget, ya?" Diana mencibir. "Jadi miliuner kamu!"
"Diana!" tegur Natalia.
Anah menatap Natalia. Dia merasa ini terlalu kebanyakan. "Apa aku nggak
salah baca, Bu?" nada suaranya penuh keraguan.
"Nggak," Natalia tersenyum sambil menimang-nimang Faqih.
"Kok, dedenya digendong Nenek?" Nur merasa tidak disayang.
Si bayi menangis, seolah mendengar nada protes dari kakaknya. "Tuh,
dedenya nangis. Dedenya pingin minum susu," Natalia meletakkan bayinya di
sebelah Anah. "Dede minum susu!" Nur naik ke tempat tidur.
"Nur," Natalia memanggil. "Katanya mau digendong Nenek?"
"Nggak mau! Nur pingin minum susu Ibu!"
"Nur," Anah menegur dengan tegas. "Ayo, turun!"
"Tuh, ada Tante Diana. Cium tangan dulu, sana ...," Natalia berusaha
memangkunya. "Nggak mau! Tante Diana jahat!"
"Eh ..., nggak baleh bilang begitu sama Tante. Sana, minta maaf sama
Tante," Anah menatap Nur dengan tajam.
Nur takut juga jika melihat ibunya sudah melatat. Dia menurut saja ketika
neneknya memangkunya. Tetapi, dia tidak berani melihat Diana yang
menatapnya dengan marah. "Bilang apa kamu tadi?" Diana marah, "Dasar nakal!"
"Nggak mau, nggak mau! Tante Diana jahat!" Nur meronta-ronta. Dia minta
diturunkan dari gendongan neneknya.
"Diana!" Natalia betul-betul marah.
"Ah!" Diana bangkit. "Selalu saja Diana yang disalahin!" gerutunya.
"Nur, kan masih kecil!"
"Mama! Sekali-kali, anak kecil juga mesti dikasih pelajaran! Ajarin dong,
sopan santun!" kalimatnya ditujukan pada Anah.
"Astaghfirullah ...," Natalia tidak percaya dengan ucapan anaknya.
"Iya, Bu," Anah menengahi dengan sabar. "Nur memang tidak sopan tadi.
Harusnya aku mengajari Nur sopan santun ..."
Nur masih saja menangis. Malah tambah keras.
"Iya, kan!" Diana merasa menang sendiri. "Diana tunggu di mobil, deh! " dia
ngeloyor pergi. Natalia tidak sanggup mencegah karena dia tahu itu percuma. "Maafkan
Diana, ya ...," katanya sambil menurunkan Nur.
"Nggak apa-apa, Bu," Anah yang sudah menyusui Faqih tersenyum. Kini dia
merangkul Nur, yang merapat ke tubuhnya karena ingin melihat Faqih.
"Dedenya lagi minum. Haus," kata Anah mengusap kepala Nur.
"Iya, dedenya haus," Nur mengelus-elus kepala adiknya dengan sayang. "Nur
juga haus. Minum susu dulu!"
"Sana, minta sama Bibik!"
Nur menurut. Dia beranjak pergi. "Nek, Nur mau minum susu dulu. Haus.
Dede juga minum susu," katanya pada Natalia sambil melompat-lompat.
"Dadah, Nenek!" dia melambaikan tangannya dan keluar dari kamar.
"Dadaaah," Natalia membalas lambaian tangannya.
Anah tersenyum melihat kelincahan si sulung. Dia kembali mengambil map
hijau itu. Menyerahkannya pada Natalia. "Bu, aku merasa nggak berhak
menerimanya," katanya.
"Kenapa, Anah" Itu harta kekayaan papamu. Kalau kamu menolak, berarti
kamu menolak juga papamu sebagai ayah kandungmu."
"Tapi, Bu ..., untuk apa harta sebanyak itu" Di sini pun aku nggak
kekurangan." "Yang penting sekarang, terimalah warisan ini, supaya papamu senang di
alam kubur sana. Dan juga supaya Mama nggak merasa bersalah. Apa kata
orang nanti, kalau mereka tahu kamu nggak nerima warisan sepeser pun.
Bisa jadi fitnah, kan?"
Anah terdiam. Dia melihat Faqih yang kelihatannya masih kehausan.
"Setelah kamu terima, terserah mau kamu apakan warisan itu. Atau, kenapa
kamu tidak membuat rumah sakit swasta saja sekalian?"
Anah termenung. Lalu, "Diana, bagaimana" Dia hanya mendapatkan hibah
sebuah mobil. Diana pasti marah."
"Itu lebih dari cukup."
Anah menatap ibunya. "Selanjutnya, Ibu bagaimana?"
"Ibu mungkin mau ikut bersama Diana ke Singapura. Tinggal beberapa lama
di sana. Menemaninya sampai lulus kuliah."
Anah mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.
Natalia juga. Episode 29 Tempatku di Sisi-Mu Bashir Bertemu Mantan Pacarnya
Kata-kata, sumpah.serapah
jampi-jampi, mantra-dusta
iblis-iblis, api neraka mengantarku menjauh-Mu membuatku bergulat berontak
Syair itu masih kuingat Subhanallah, subhanallah!
(segalanya membeku, tidak bagiku!)
Sebuah mobil sedan berhenti di pintu lobi hotel Semenanjung. Seorang
wanita cantik dengan pakaian casual; berkacamata hitam, celana warna
cokelat kaki, dan kemeja putih bermerek, turun dari mobil. Dia mengitari
pandang ke sekeliling hotel sambil menebar senyum pada siapa saja.
Kemudian dia berjalan mengitari mobil. Dia membuka bagasinya. Dikeluarkannya traveling bag. Dia memanggil petugas hotel dan memberikan
kunci mobilnya. "Tolong parkirkan mobil saya," pintanya dengan senyum ramah.
Petugas hotel itu mengangguk. Tamu cantik itu berjalan menuju lobi. Begitu
memasuki lobi, dia berhenti sambil membuka kaca mata hitamnya. Dengan
gerakan yang anggun, dia mengitari pandang, seolah-olah mengumumkan
pada khalayak ramai bahwa kedatangan dirinya jangan sampai dilewatkan.
Terbukti, semua orang yang ada di lobi dalam sekejap tertuju padanya. Dia
melemparkan senyum manisnya pada semua orang sambil melangkahkan
kaki menuju meja resepsionis. Dua orang karyawan hotel menyambutnya.
"Assalamu'alaikum," sapa resepsionis wanita.
"Wa'alaikum salam," dia masih menebar pesonanya. "Masih ada kamar?"
tanyanya. Resepsionis yang lelaki sibuk mencari,cari di buku. Padahal biasanya dia
tidak pernah begitu. "Hmmm, sebentar, Bu ...," katanya.
"Kok, Ibu?" ledeknya. "Aku masih 'nona', Mas!" senyumnya lagi.
"Oh, Nona, ya ...," katanya gugup. "Maaf, maaf, Mbak ..."
Karyawan yang wanita menginjak kaki temannya dengan sebal. "Genit
kamu!" katanya pelan. "Laporin sama Pak Bashir, tau rasa kamu!" ancamnya.
"Ssst ..., bisiknya malu-malu. "Ini kan termasuk pelayanan juga," katanya tak
mau kalah. "Gimana, ada nggak?" si tamu tersenyum.
"Ada, ada ..., Mbak ...," karyawan lelaki menimpali.
"Yang menghadap ke pantai, ya!"
"Iya, iya!" "Pemilik hotel ini namanya 'Muhammad Al Bashir', ya?"
Kedua resepsionis itu saling padang.
"Iya, bukan?" "Iya, iya!" petugas yang lelaki merasa heran.
"Kok, Mbak tahu?"
"Tahu aja!" "Berapa malam, Mbak?" karyawan wanita langsung memotong.
"Bisa sehari, dua hari ..., atau ...hmm ... seminggu ...," katanya enteng saja
sambil mengeluarkan kartu tanda pengenalnya.
"Cash atau pakai kartu?" karyawan perempuan membaca KTP si tamu.
"Kartu," dia mengambil kartu kreditnya dan menyerahkannya pada karyawan
wanita. Karyawan lelaki terdiam. Dia menatap tamunya dengan perasaan kagum.
Tetapi, lagi-lagi dia membuang muka, ketika kakinya diinjak teman
wanitanya yang sedang sibuk memasukkan data-data si tamu ke komputer.
"Bosmu itu udah punya anak berapa?"
"Dua," jawab karyawan lelaki.
"Bosmu suka ke sini?"
"Suka. Tapi nggak tentu."
"Kalau malam Minggu, Pak Bashir suka menginap di sini bersama Ibu dan
kedua anaknya," si karyawan wanita memotong dengan kesal.
"Oh, ya?" dia tersenyum. "Keluarga yang bahagia!"
"Mereka memang bahagia!"
Si Tamu hanya tersenyum saja. Dia merasa lucu dengan tingkah laku kedua
karyawan hotel ini. "Sudah?" tanyanya.
"Silakan, Mbak," resepsionis wanita mempersilakan si Tamu mengikuti room
boy. "Terima kasih," si tamu tersenyum.
Tetapi baru saja beberapa langkah, seorang petugas hotel mendekatinya.
Dia memberikan kunci mobil padanya. Si Tamu membuka dompetnya dan
memberikan selembar dua puluh ribuan sebagai tip.
"Terima kasih," si petugas menerima tip itu dengan wajah berseri-seri.
Si Tamu cantik mengangguk, dan kembali mengikuti room boy ke kamarnya
yang menghadap ke pantai. Lenggak-lenggoknya sangat beraturan dan enak
dipandang. Semua mata memang memandangnya tanpa mau berkedip.
"Siapa sih, dia?" gumam resepsionis lelaki sambil mengecek datanya di
komputer. "Nggak tau, ah!" jawab si resepsionis wanita tidak suka. "Namanya 'Mutiara
Harum Mewangi'. Puitis sekali namanya. Sesuai dengan orangnya yang
cantik!" "Emang gue pikirin!"
"Jangan-jangan ..."
"Jangan-jangan, apa?"
"Pak Bashir kan ganteng!"
"Udah, jangan bikin gosip!"
"Kok, sirik gitu, sih?"
"Abisnya!" "Cemburu, ya sama aku?"
"Iya!" "Aduuuh, sayang ...Aku tuh nggak level sama dia. Kayak bumi dan Iangit.
Gajiku setahun aja, enggak bakalan kuat buat beli mas kawinnya!"
"Makanya, cepet lamar aku! Bulan depan, Pak Bashir kan ngasih pinjaman
lunak buat yang mau kawin!"
"Iya, ya!" "Mau, nggak?" "InsyaAllah"."
"Bener?" "Insya Allah!" "Tapi, Insya Allah-nya, Insya Allah ngeriung, kan?"
"Iya, iya!" si lelaki serius mengiyakan.
Dan si wanita tampak puas mendengarnya. Ada gurat-gurat kebahagiaan di
wajahnya. Hal itu pun terjadi pada si Tamu cantik. Saat ini dia sedang membuka pintu
balkon kamarnya. Di depannya kini membentang Selat Sunda yang indah.
Gunung Krakatau samar-samar tampak terhalang sapuan awan.
Dia berjalan ke luar kamar. Berdiri di balkon. Kedua tangannya dibiarkannya
lepas. Angin menggeraikan rambutnya yang mengembang, "Kamu pasti kaget melihatku, Bashir"."
sebahu. Senyumnya Episode 30 Tempatku di Sisi-Mu Rabbi, lidah ini kelu bukan kuasaku, lidah ini buta
bukan inginku, lidah ini beku
bukan karenaku, hati ini membiru:
pecahkan risau ini, ya Rabbi!
Mutiara duduk di restoran. Dia menatap sekeliling. Dia sengaja mengambil
tempat duduk yang stra tegis dan bisa memandang luas ke seluruh sudut,
tanpa harus menarik perhatian orang. Di mejanya ada makan malam yang
dimakannya sedikit-sedikit serta segelas air putih. Dia wanita cantik dan
modern. Dia sudah hampir seminggu menginap di hotel Semenanjung. Ada
sesuatu yang sedang dicari-carinya.
Tiba.tiba dia tersenyum. Dia melihat ke pintu restoran. Tampak seorang
ayah sedang mengejar-ngejar bocah kecil yang melempar-lempar bola karet
ke lantai. Di belakangnya seorang ibu berjilbab, menuntun gadis cilik
secantik dirinya. "Pak!" bocah kecil itu mengejar bola karetnya yang menggelinding jauh.
"Ayo, ambil!" kata si bapak.
Bocah kecil itu berlari-lari. Si bapak tersenyum melihat gaya lari anak
lelakinya yang masih belum stabil. Si ibu sudah berteriak-teriak agar si
bocah hati-hati larinya. Kenyataannya begitu. Si bocah terjatuh. Si ayah
mengejarnya dengan penuh tawa. Tetapi si ibu begitu cemas. Dalam
beberapa saat, si bocah bangkit lagi dan kembali berlari mengambil
bolanya. Kini si bocah berdiri di depan seorang wanita cantik. Tiara-Mutiara Harum
Mewangi. Bola karetnya ada di genggamannya. Si bocah menatapnya dengan
malu-malu. Sedangkan bapaknya berdiri mematung, tak jauh dari tempat
mereka. "Ini bolanya," Tiara menyodorkan bola karet.
"Bola Faqih"."
"Oh, Faqih namanva, ya?"
"Iya!" "Ini bolanya"."
Faqih mengambil bolanya. Bapak si bocah kini sudah mendekat. Tiara tersenyum padanya. Bapak si
bocah berusaha tersenyum juga. Dia menoleh, melihat ke istrinya, yang juga
sedang berjalan ke arahnya.
"Halo, Bashir," sapanya.
"Tiara!" "Itu istrimu?" "Iya! Sedang apa kamu di sini?"
"Seperti kebanyakan tamu hotel lainnya. Menikmati laut."
"Sudah cukup lama, Tiara. ..."
"Ya, sudah cukup lama?"
"Pak, Pak!" Faqih menarik-narik ujung kaos bapaknya.
"Ya, Faqih?" "Siapa, Pak?" Bashir tersenyum. "Ini Tante Tiara. Temen sekolah Bapak."


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Temen sekolah Bapak?"
"Ayo, cium tangan dulu sana?"
Faqih dengan bersemangat mendekati Tiara. Dia mengulurkan lengannya.
Tiara juga. Setelah itu, Faqih sudah duduk di pangkuan Tiara. Dia tidak
malu-malu lagi. Apalagi setelah sebatang cokelat disodorkan Tiara padanya.
"Assalamu'alaikum," terdengar suara Anah menyapa.
Bashir berdebar keras jantungnya.
"Wa'alaikum salam," Tiara bangkit dan meletakkan Faqih di kursi.
"Bu, mau itu!" kali ini Nur merajuk, menunjuk cokelat di tangan adiknya.
"Oh, mau cokelat, ya?" Tiara mengambil sebatang lagi dari tasnya.
Diberikannya pada Nur. Nur gembira menerimanya. Dia langsung duduk dan membuka cokelatnya.
"Eh ..., Nur kok, belum bilang makasih?" Anah mengingatkan.
"Makasih, Tante," kata Nur, di mulutnya sudah penuh dengan cokelat.
Tiara tersenyum. Anah menatapnya. Bashir kikuk sejenak. Mereka beberapa
saat hanya memperhatikan Nur dan Faqih yang sibuk mengunyah cokelat.
"Baru dua, ya?" Tiara memecahkan kebisuan.
"Oh, iya Baru dua ...," Bashir kaget.
"Dua saja," Anah tersenyum meralat.
"Yah, dua saja cukup. Kan sudah sepasang," Tiara tersenyum.
Anah menatap suaminya. Ada sesuatu tersimpan lewat bola matanya.
Sesuatu yang minta dijelaskan tentang siapa wanita cantik ini.
"Anah ...," Bashir akhirnya menjelaskan. "Ini "Tiara?" hmm. "Mutiara"
komplitnya".." Tiara mengulurkan lengannya.
"Tiara. .., ini istriku," katanya pada Tiara.
Anah menjabat lengan Tiara dengan ramah.
"Sendiri?" tanya Anah tersenyum. :
"Iya. Sendiri saja," Tiara menjawab dengan ramah pula.
"Ayo, silakan duduk," Bashir mempersilakan Tiara duduk.
Tiara duduk. Anah juga duduk sambil menatapnya. Seolah mengingatkan
Bashir bahwa mereka datang ke restoran untuk suatu urusan penting. Tetapi
Bashir tampak tidak menangkap arti tatapan Anah. Dia sedang berada dalam
suatu kebingungan. Dia tidak siap dengan pertemuan ini.
"Kerja di mana?" Anah mencoba mencairkan suasana.
"Di koran. Aku dulu satu kantor dengan Bashir. Tapi, begitu Bashir dikirim ke
Maluku, saya pindah ke televisi swasta. Lebih menantang."
"Ke sini sekadar liburan?"
"Tujuan utamanya, meliput Banten yang baru saja jadi provinsi. Terutama
duet gubernur dan wakil gubernur wanitanya. Sangat menarik. Daerah yang
agamis, seorang pemimpinnya wanita. Bagaimana menurut Mbak?"
Anah tersenyum. "Apa ini wawancara?" katanya tertawa ramah.
"Yah, begitulah. Salah satu cara megumpulkan opini masyarakat. Boleh kan,
Bashir?" Bashir agak kikuk, "Terserah istriku. Sudah lama aku meninggalkan dunia
jurnalistik. Jadi, aku lupa dengan teknik wawancara untuk menghimpun
opini publik," kata Bashir berdiplomasi.
"Dulu, Bashir paling jago mewawancarai masyarakat. Tekniknya bukan
sedang mewawancarai. Orang-orang diajaknya ngobrol. Seperti teman saja,"
Tiara memuji Bashir. Anah menatap Bashir dengan tajam.
Akhirnya Bashir bangkit. "Maaf, Tiara. ..Kami harus pergi," katanya
menguatkan diri. "Oh, silakan, silakan," Tiara juga bangkit.
"Nur" Faqih".," Anah memanggilnya. "Ayo, cium tangan dulu sama
Tante ..." "Tangan Nur kotor, Bu ...," Nur memperlihatkan tangannya yang belepotan
cokelat. "Ayo, bersihkan," Anah menyodorkan sapu tangan.
Nur yang pintar dengan cekatan membersihkan tangannya dengan sapu
tangan. Adiknya tidak mau kalah. Dia selalu mencontoh apa yang dilakukan
kakaknya. Kali ini pun dia mencari-cari sapu tangan buatnya karena
tangannya juga kotor. Bashirlah yang memberikan sapu tangannya. Dengan
lagak orang dewasa, Faqih membersihkan wajahnya yang coreng-moreng
dengan cokelat. "Ayo ...," Anah menuntun Nur.
"Makasih cokelatnya, Tante!" Nur melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa! Nanti sini lagi, ya!" giliran Faqih yang pamitan.
Mutiara tersenyum dan melambaikan tangannya. Anah mencoba menyimak
tatapan sendu pada bola matanya. Dan Bashir menyimpannya dalam hati
peristiwa ini. Dia berjanji, segalanya tak perlu lagi disembunyikan. Jika ada
kesempatan, dia akan membicarakan dengan Anah.
Episode 31 Tempatku di Sisi-Mu Al Fatihah! Lindungi aku, ya Allah Al Fatihah! Pada-mu kumohon pertolongan
Al Fatihah! Tuntun jalanku, ya Rabbi!
Al Fatihah! Jembatan itu terbentang sudah
Bashir menuju ruangan khusus di restoran sambil menuntun Faqih. Ruangan
itu untuk tamu-tamu penting. Biasanya jika mereka melakukan pertemuan
sambil makan siang, di sinilah tempatnya. Terlindung dari keramaian dan
langsung menghadap pantai. Anah dan Nur menyusul di belakangnya. Mereka
ada janji bertemu dengan Dicky.
Semalam, Dicky menelepon Bashir. Dia meminta bertemu di sini. Katanya
ada hal yang sangat penting menyangkut ayahnya. Awalnya Bashir tidak
tertarik. Tetapi, ketika dengan suara memelas Dicky menceritakan bahwa
ayahnya sudah di ujung maut, Bashir meminta waktu untuk membicarakannya dahulu dengan Anah.
"Sebaiknya kita terima tawaran Dicky," begitu Anah menyarankan.
"Kenapa?" Bashir masih keberatan saat itu.
"Karena mungkin saja Allah memberi kesempatan pada kita untuk meminta
maaf pada Tuan Marabunta."
"Apa" Meminta maaf" Apa nggak kebalik?" Baghir tertawa sinis.
"Jangan takabur dulu. Barangkali kita juga punya kesalahan yang nggak
disengaja pada Tuan Marabunta."
"Nggak mungkin! "
"Mungkin saja! Cobalah diingat-ingat. Lagian, nggak ada salahnya kan kita
saling memaafkan?" Bashir termenung. "Ayolah, telepon Dicky, sana. Katakan, kita bersedia bertemu besok. Di
restoran hotel kita."
Bashir menggelengkan kepalanya.
"Kasihan Dicky. Dia mengemban amanah dari ayahnya, yang entah besok
atau lusa masih hidup atau nggak untuk bisa bertemu dengan kita."
"Nggak semudah itu."
"Juga nggak sulit kan buat kita untuk menerima tawaran dia" Kan, kita nggak
rugi apa-apa?" Begitulah Anah. Terus membujuk suaminya agar mau melakukan sesuatu
perbuatan dengan iktikad baik. Dengan tulus dan ridha Allah semata.
Dengan keikhlasan bahwa segalanya adalah kehendak Sang Khalik.
"Bagaimana?" Akhirnya Bashir mengangguk. Betapa gembiranya Anah melihat iktikad baik
suaminya. Apalagi tanpa perlu disuruh lagi, suaminya langsung menghubungi
Dicky lewat telepon. Mereka siap untuk bertemu di hotel Semenanjung.
Keputusan suaminya untuk menerima tawaran Dicky bertemu di sini
sangatlah tepat. Itu tampak tergambar dari wajah Dicky sekarang. Betapa
gembira dan bahagia Dicky, ketika melihat Bashir dan Anah datang
memenuhi undangannya. "Assalamu'alaikum," Dicky yang sejak tadi menunggu mereka, bangkit dari
duduknya. Makan malamnya ludes. Wajahnya tidak lagi sesombong seperti
biasanya. "Wa'alaikum salam," Bashir pun menjawabnya dengan tulus.
Dicky mengangguk hormat pada Anah. Mereka bersalaman. Tampak ada
perubahan perilaku di antara Bashir dan Dicky. Faqih dan Nur mendekati
Dicky sambil mengulurkan tangannya. Dicky pun menyambut kedua anak itu
dengan ramah dan gembira.
"Aku iri sama kalian!" kata Dicky menggendong Faqih. "Punya segala-galanya.
Sedangkan aku, sendirian dan kesepian!"
Bashir dan Anah hanya mendengarkan saja.
"Namamu Faqih, ya!" Dicky masih mengangkat tubuh Faqih .
"Iya, Om! " Faqih menjerit-jerit kesenangan.
"Ganteng kamu!" Dicky memuji tulus.
"Ganteng kayak Bapak!" Faqih tertawa.
Dicky terharu ketika meletakkan Faqih. Dia menatap Bashir dan Anah
dengan tatapan sedih dan tertekan. Anah memilih duduk di meja satunya
lagi sambil mengawasi Nur dan Faqih yang bermain kejar-kejaran.
"Bagaimana kesehatan bapakmu, Dick?" Bashir duduk.
"Itulah, kenapa aku meminta kalian datang."
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Papa menyuruhku menemui kalian."
"Untuk apa" Masih tertarik ngebeli hotel Semenanjung?" ledek Bashir.
"Boro-boro mikirin bisnis," Dicky hanya meringis.
"Sorry, bercanda!"
"Iya, aku tahu."
"Lantas, untuk apa?"
"Entahlah?""
"Nggak kamu tanyain?"
"Sudah. Tapi Papa bilang, ini urusan Papa sama kamu."
Bashir terdiam. Dia menoleh ke istrinya, meminta pendapatnya. Tetapi,
Anah juga tertegun. "Kalian keberatan?" Dicky merasa tak berdaya.
Bashir masih belum menjawab. Terbayang lagi kisah panjang yang pahit,
ketika ayahnya masih hidup. Bagaimana saat itu Tuan Marabunta.
"Bapakmu dirawat di Tangerang, ya?" kali ini Anah yang bersuara.
"Iya," Dicky berharap sekali pada Anah. Dia langsung mengambil pulpen di
sakunya dan menuliskan lantai, serta nomor kamarnya di kertas menu. "Papa
di sini dirawatnya. Aku berharap kalian bisa datang. Barangkali, ini adalah
permintaan Papa yang terakhir."
Bashir mengambil kertas itu. Membacanya. Di sana tertulis sebuah rumah
sakit ternama di Karawaci, Tangerang. Lalu kertas itu diserahkannya pada
Anah. "Aku mohon, please ...datanglah".."
"Insya Allah, " Bashir buka mulut juga.
"Aku akan sangat berterima kasih, jika kalian mau datang."
"Ya, insya Allah!" Bashir menegaskan.
Dicky menatap Bashir dengan makna yang sangat sukar dilukiskan!
Episode 32 Tempatku di Sisi-Mu Cahaya, cahaya, cahaya! Benderang, berpendar-pendar
kilau, silaukan mala: lelap kutunggu cahaya-Mu!
Hujan sambung-menyambung. Bahkan kilat menggelegar. Pertanda alam
murka pada ulah manusia. Keesokan harinya, di koran-koran pasti akan
tersiar kabar, di beberapa daerah di bumi kita terkena banjir. Tanah
longsor, air sungai meluap, tangis histeris para korban yang kehilangan harta
bendanya, kemacetan lalu lintas Semuanya hanya karena air. Kata sebagian
orang, air murka karena laju jalannya terhalang sehingga dia mencari jalan
yang lain. Atau air tak bisa meresap ke dalam tanah. Itu bisa diakibatkan
oleh sampah yang bikin pampat selokan, tanah resapan yang mulai
berkurang, pohon-pohon yang ditebangi, bukit-bukit yang digunduli"..
Tak pernah lagi manusia bersahabat dengan alam-Nya! Yang ada hanya nafsu
keserakahan merajalela di bumi ini. Para iblis menjadi komando sambil
tertawa-tawa membawa obor neraka. Mereka menyemburkannya kepada
umat Muhammad yang tak beriman; mari kita musnahkan bumi ini! Jangan
bersisa. Jerit tangis terdengar di mana-mana!
"Astaghfirullah ...!" Bashir mematikan televisi. Berita malam itu membuat
jiwanya bergetar. "Betapa hancur bumi kita ini," katanya lagi.
"Kalau nonton berita, nonton aja. Jangan dimasukin ke hati. Bisa ikut pusing
nanti," Anah meledek sambil mengelus-elus rambut Nur yang tidur di
pangkuannya. "Iya juga, sih. Mendingan cuek aja," Bashir mengiyakan juga. "Emang gue
pikirin!" tambahnya tertawa.
"Ssst ...," Anah mengingatkan suaminya agar jangan berisik.
Bashir tersadar. Dia memeriksa Faqih yang tertidur di lantai berkarpet.
"Sudah pada tidur, ya?" dia juga melihat ke Nur.
Anah mengangguk. Bashir dengan hati-hati memangku Faqih. Begitu juga Anah dengan Nur di
pangkuannya. Tetapi, Nur ternyata bangun lagi dan menangis minta
dibuatkan susu. Anah menurunkan Nur dan menuntunnya ke dapur.
Sedangkan Bashir membawa Faqih ke kamarnya. Bashir dan Anah sejak dini
membiasakan kedua anaknya tidur di kamarnya. Awalnya Bashir menemani
Faqih tidur dengan dongengan. Begitu juga Anah dengan Nur yang paling
senang cerita tentang pengemis buta, yang ternyata malaikat. Pada
pengemis malaikat itu, Nur suka berandai-andai minta istana boneka dan
baju seperti Cinderela. Bahkan Anah menciptakan lagunya untuk dinyanyikan bersama-sama. Begini liriknya:
Episode 33 Tempatku di Sisi-Mu Bu, Ibu minta uang di luar ada pengemis pengemisnya orang buta katanya haus dan lapar Ini uang beri ke pengemis
nasi sayur air dan ikan bilang sama pengemis tiap minggu suruh ke sini
Jika Anah bercerita tentang pengemis malaikat, Nur akan memulainya
dengan menyanyi dahulu. Biasanya kalau belum tidur, Faqih juga ikut
mendengarkan dan menyanyi bersama kakaknya. Keesokan harinya, kalau
ada pengemis sungguhan berdiri di pintu gerbang rumah, Nur dan Faqih
berebut menjadi yang pertama memberikan uang serta seliter beras.
Terkadang Nur suka mendorong Faqih, supaya jangan ikut-ikutan. Atau lain
hari, Faqih yang memukul Nur. Pengemis itu diam-diam suka tersenyum
melihat tingkah polah kakak beradik itu. Pak Soleh dan Bik Marhamahlah
yang biasanya ketiban repot, memisahkan mereka agar jangan berkelahi.
"Nanti-nanti, bawa temannya ke sini," bisik Pak Soleh pada pengemis itu.
Setelah kejadian itu, pengemis itu datang selalu berdua. Nur dan Faqih pun
bisa berlari-lari gembira membawa segelas beras dan uang recehan ke pintu
gerbang. Biasanya ketika pengemis itu pergi, Faqih paling lantang berteriak,
"Sampai jumpa! Nanti ke sini lagi, ya!"


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah Nur dan Faqih. Mereka selalu diberi dongengan yang mengajarkan
pedidikan moral sejak dini. Secara halus dan dengan cara bermain atau
bernyanyi. Terlebih-lebih Nur, yang kini makin mengerti dan maunya makin
banyak saja. Dia tidak akan pernah bisa tidur, sebelum ibunya mendongeng.
Seperti malam ini. Setelah Nur minum susu, dia minta dongengan pengemis
malaikat itu. Anah berbaring. Nur memeluknya. Mulailah Anah bercerita
tentang keluarga kaya, yang tidak mau berbagi rezeki pada tetangganya
yang miskin. Suatu hari datanglah pengemis buta ke rumahnya. Pengemis itu
diusir. Tetangganya yang miskin melihat pengemis buta itu. Diberinya
minum air putih pengemis itu. Juga nasi dengan lauk ala kadarnya. Sebelum
pergi, pengemis buta itu bertanya pada si miskin. "Bapak minta apa?" Si
miskin itu menjawab, "Saya hanya butuh pekerjaan tetap, supaya bisa
menafkahi anak dan istri saya." Keesokannya orang kaya itu jatuh miskin,
dan si miskin itu mendapatkan pekerjaan sehingga hidupnya makmur
sentosa. Ternyata, pengemis buta itu malaikat.
"Cerita pengemis malaikatnya udah, ya ...," Anah membelai kepala Nur yang
sudah mengantuk. "Sekarang Nur bobo dulu".."
Nur tidak bereaksi. Bashir mengintip di celah pintu kamar. Anah bangkit secara perlahan dari
tempat tidur. Diselimutinya tubuh Nur. Tetapi, baru beberapa langkah saja,
Anah terhuyung-huyung. Dia merasakan kepalanya pening dan nyeri di
perutnya. Bashir segera masuk dan menahan tubuhnya.
"Anah, kenapa kamu?" katanya pelan dengan wajah cemas.
"Nggak tahu, nih ...," Anah berjalan ke luar kamar. "Kok, tiba-tiba kepala
saya pusing. Di perut sebelah sini nih ..., kok sakit sekali ...," dia menunjuk
ke bagian tempat hati manusia berada.
Bashir tiba-tiba saja merasa cemas!
Episode 34 Tempatku di Sisi-Mu Genggam hati ini, ya Rabbi
Ringankan beban ini biar kulapang menemui-Mu Menyambut sekuntum senyum
Mengakhiri waktu: beri aku tempat di sisi-Mu!
Bashir membimbing Anah masuk ke dalam kamar. Anah duduk di kursi rias.
Dia mencoba mengumpulkan tenaganya. Bashir menatapnya. Tiba-tiba dia
merasa bersalah. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Mutiara.
"Badan ini rasanya lemes sekali ...," nada Anah sangat cemas.
"Besok kita periksa ke dokter spesialis."
"Iya?" "Maafkan saya, Anah ...," Bashir duduk di sisi tempat tidur.
"Maaf" Soal apa?" Anah menatapnya.
"Mutiara"..."
"Mutiara" Kenapa dia" Kamu nggak salah apa-apa, kok," Anah membuka
jilbabnya. Dia duduk sambil bercermin, membersihkan riasan di wajahnya.
"Itu, kan masa lalu kamu."
"Aku pikir, nggak ada gunanya menceritakan masa laluku sama kamu."
"Iya, nggak ada gunanya."
"Dunia ternyata kecil. Dia muncul begitu saja seperti angin."
"Ya, dia muncul begitu saja."
"Aku heran, kenapa dia ke sini"."
"Kelihatannya dia belum menikah."
"Aku nggak tahu."
"Atau ..., dia menunggu Kak Bashir."
"Aku tidak pernah menjanjikan apa-apa sama dia."
"Kelihatannya dia masih mencintai Kak Bashir."
"Aku tidak bisa mencegah seseorang untuk mencintai aku atau tidak, Anah.
Iya, kan?" "Kenapa Kak Bashir nggak pemah cerita tentang Mutiara sama aku?" Anah
menatapnya lagi. Tetapi, wajahnya tetap dengan senyuman.
"Karena kamu tidak pernah menanyakannya. Menanyakan tujuh tahun saat
kita berpisah. Saat aku menjadi wartawan di Jakarta."
"Ya, aku tidak pernah menanyakan masa lalu sama kamu. Karena itu nggak
akan ada gunanya." "Seharusnya aku yang bercerita. Toh, itu tidak akan mengubah apa-apa."
"Kak Bashir takut aku cemburu, barangkali?"
"Mungkin saja."
"Sekarang, bagaimana?"
"Bagaimana, apanya?"
"Dia masih sendiri, Kak Bashir."
"Itu tidak ada hubungannya denganku!"
Anah bangkit dan berjalan ke tempat tidur. Tetapi, tiba-tiba dia
membungkuk, menahan nyeri di hatinya. Bashir buru-buru bangkit dan
memapah istrinya ke tempat tidur. Membaringkannya.
"Sebaiknya besok kita periksa sekalian nengok Tuan Marabunta."
Anah menggeleng, "Nggak, nggak apa-apa. Kok"."
"Nggak apa-apa. gimana?" Bashir menyelimuti tubuh istrinya dengan cemas.
"Bulan depan kita mau naik haji. Kamu harus sehat!" Lalu dia menyentuh
kening istrinya. "Astaghfirullah! Suhu badan kamu panas sekali!"
Akhirnya Anah mengangguk. "Iya. Besok periksa ke dokter." katanya pasrah.
Bashir tampak masih cemas. Dia memegangi tangan istrinya. "Iya, kamu
panas. Kenapa. kamu?"
"Mungkin mau flu."
"Sebaiknya kamu minum obat penurun panas!"
Bashir hendak ke luar kamar.
"Kak Bashir. Aku ini dokter. Nggak apa-apa. Jangan panik."
Bashir berhenti. Dia menatap Anah.
"Sini, jangan ke mana-mana," panggilnya.
Bashir kembali ke tempat tidur. Dia berbaring di sisi Anah.
"Kembali ke soal Mutiara," Anah memeluk suaminya dengan penuh kasih
sayang. "Kenapa dengan Mutiara?" Bashir merasa kurang nyaman.
"Aku wanita. Ada sesuatu yang dia tunggu dari Kak Bashir. Penjelasan."
"Penjelasan apa?" Bashir merasa heran dengan perangai istrinya kali ini.
"Pergilah. Temui dia. Katakan pada dia beberapa kahmat saja."
"Kalimat apa?" Bashir bangkit dan duduk. Dia menatap Anah.
Anah ter.senyum. Dia masih berbaring. Matanya menerawang. ke langitlangit kamar. "Yah ..., katakan apa sajalah. Misalnya, tentang kita. Tentang
anak-anak kita." "Aku nggak mengerti. Apa mau kamu?"
"Aku percaya sama Kak Bashir. Aku tahu, Kak Bashir tidak akan mengkhianati
aku." "Aku mencintai kamu. Sejak dulu. Dia hanya mampir dalam kehidupanku
sesaat." "Ingat-ingatlah, barangkali Kak Bashir pernah menjanjikan sesuatu pada
dia." Bashir terdiam. Dia menunduk. Wajahnya tersembunyi oleh rambutnya yang
sudah panjang lagi. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Kak Bashir ...Aku tidak apa-apa, kok."
"Kamu menyuruhku menemui dia?"
"Kenapa" Salah?"
"Itu bisa mengundang fitnah."
"Kalau pertemuannya di dalam kamar hotel atau di suatu tempat rahasia,
mungkin iya." "Aku betul-betul nggak mengerti. Apa yang harus aku katakan?"
"Katakan padanya bahwa Kak Bashir sudah mempunyai istri dan dua orang
anak." "Dia sudah melihatnya tadi."
"Dia ingin mendengarnya langsung dari mulut Kak Bashir."
"Kenapa kamu jadi begini?"
"Firasat seorang wanita."
"Firasat" Apa yang kamu rasakan?" Bashir menatapnya dengan penuh tanda
tanya. "Bahwa dia masih menunggu Kak Bashir."
"Apa?" Bashir tidak percaya mendengar omongan istrinya. "Itu nggak
mungkin! Kamu terlalu berlebihan. Siapa tahu dia sudah bersuami dan punya
anak seperti kita!" "Aku tidak melihat ada cincin kawin di tangannya."
"Bisa saja lupa dia pakai!"
"Sekali lagi, firasat perempuan."
Bashir termenung lagi. "Kamu betul-betul berlebihan. Sekarang kita tidur, ya. Besok pagi kita harus
ke Karawaci. Menengok Tuan Marabunta. Juga memeriksakan penyakit
kamu." Anah terdiam. "Anah!" "Hmmm"." "Apa rencana kita naik haji dibatalkan saja?"
"Jangan!" "Makanya, besok kamu harus periksa."
"Iya, iya?" Bashir memejamkan matanya. Tetapi, pikirannya melayang-layang entah ke
mana; ke Anah, ke Mutiara, ke Nur, Faqih, Tuan Marabunta yang tergolek di
rumah sakit, ke Dicky yang menderita".. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu
yang aneh di kamarnya. Dia merasakan Anah jadi berbeda. Ya, Allah"
Pertanda apakah ini"
Bashir pun bangkit dengan hati-hati. Dia menuju kamar mandi. Mengambil
wudhu. Dia shalat malam. Dia percaya apa yang dikatakan dalam QS Al
Baqarah (2) : 186, bahwa Allah itu selalu dekat dengan hamba-Nya, jika
dirinya berdoa, maka Allah akan mengabulkan doanya.
Episode 35 Tempatku di Sisi-Mu Tanah merah tanah basah Tanah dingin tanah terakhir
Tempat bertemu Munkar-Nakir
Segala pertanyaan itu menghujam deras: beri aku tempat-Mu! Bashir mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Anah duduk membisu
di sebelahnya. Mereka sedang menuju sebuah rumah sakit ternama di
kawasan Karawaci. Mereka hendak menengok Tuan Marabunta yang sudah
tergolek sakit selama 6 bulan! Mereka tidak bersuara. Pikiran mereka
melayang.layang entah ke mana. Mungkin saja ke Mutiara. Atau mungkin ke
masa lalu mereka dengan Dicky dan ayahnya, yang penuh dengan
pertentangan! Tetapi, ketika melewati jembatan Ciujung, mereka melihat antrean mobil
tersendat-sendat dari jalan arah Jakarta. Ternyata di sana ada sebuah mobil
Kijang yang ringsek! Tidak jauh dari mobil naas itu, sebuah truk gandeng
melintang. Bagian depannya juga penyok.
"Innaa lillaahi ...," Anah yang duduk di sebelahnya bergidik.
Ada tiga mayat tergeletak di pinggir jalan. Tubuh mereka hanya ditutupi
koran. Darah berceceran di sekitar mobil Kijang.
"Masya Allah!" Bashir seperti melihat bayang-bayang kematian di depannya.
Pernahkah membayangkan, jika pada suatu hari pamitan dengan doa dan
senyuman pada anak-istri, tetapi di tengah perjalanan karena kecerobohan
orang lain, harus mengalami nasib naas" Sudah bukan rahasia umum lagi,
jika para supir truk atau bus, suka ugal-ugalan mengendarai mobilnya.
Pernah suatu kali Bashir naik bus Merak-Rambutan. Astaghfirullah! Supir bus
itu menjadikan jalan tol seperti sirkuit saja. Dia dengan santainya zig-zag
dalam kecepatan tinggi. Tak pernah dia memedulikan keselamatan mobilmobil lain di belakang atau di sampingnya. Jika ada mobil lain menghalangi
laju di depannya, tidak segan-segan dia menyerudukkan busnya hingga
berjarak hanya sejengkal saja sambil memencet klakson berkali-kali! Seolaholah berteriak: minggir, minggir! Bayangkan: sejengkal! Bagaimana coba,
kalau pengemudi mobil di depannya itu kaget dan mengerem" Tubrukan
pasti tak akan terhindarkan!
"Hati-hati, jangan ngebut," Anah juga cemas. Wajahnya pucat.
"Kamu betul nggak apa-apa?" Bashir mengambil jalur lambat.
"Terus sajalah," Anah memejamkan matanya.
Tubuhnya serasa disergap sesuatu yang merontokkan seluruh sendi-sendi
tubuhnya. Bashir menatap istrinya lagi. Dia merasa takut. Tiga mayat yang tergeletak
tadi masih membekas di hatinya. Sebenamya Allahlah yang berwenang
menghidupkan dan mematikan hamba-hamba-Nya! Tak akan ada yang
mampu menolaknya jika sudah berurusan dengan ajal. Tak perlu pangkat
yang tinggi, atau hanya sekadar hamba sahaya. Semua akan mati dan sama
di sisi-Nya! Tetapi, jika dia harus kehilangan istrinya sekarang, dia tidak
akan mampu mengatasinya! Atau jika dia yang dipilih untuk mati terlebih
dahulu, dia juga tidak mau. Ya Allah, panjangkanlah umur kami! Berilah
kami kesempatan untuk melihat Nur dan Faqih dewasa, sampai kami
menimang anak-anak dari mereka!
Bayang-bayang kematian itu terlihat juga oleh Bashir pada Tuan Marabunta.
Pengusaha kaya raya yang flamboyan sekaligus rakus, serta selalu
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya, kini tergolek tak
berdaya. Segala macam kekuasaannya, harta yang melimpah, tukang
pukulnya yang menyeramkan, pengaruhnya yang luar biasa, menjadi tak
berarti lagi di depan Allah! Dengan kuasa-Nya, dia kini hanya seonggok
daging tak berdaya. Bashir berdiri mematung melihatnya. Lututnya gemetar. Hatinya seperti
diiris-iris. Begitu juga Anah, merasakan hal yang sama. Betapa trenyuh
hatinya melihat orang yang dahulu sangat berkuasa, kini ibarat kayu tua
yang rapuh dimakan rayap. Bagi Anah dan Bashir, peristiwa ini bisa menjadi
cermin agar tidak takabur pada sesama hamba-Nya. Tidak sombong. Tidak
menghamba pada status dan kekayaan. Tidak menganggap orang lain itu
lebih rendah daripada kita. Dalam keseharian pun banyak peristiwa seperti
ini terjadi. Pada orang-orang yang di zaman Orde Baru begitu sangat
berkuasa, kini menukik menjadi orang paling hina. Diseret-seret dari satu
persidangan ke persidangan yang lain dan berakhir di penjara!
"Terima kasih, kalian mau datang," kata Dicky gembira. Dia mendekati
tempat tidur, tempat ayahnya terbaring. Dia mendekatkan bibirnya di
telinga ayahnya. "Papa".," katanya. "Bashir sama Anah sudah datang.
Mereka ada di sini"."
Tangan Tuan Marabunta yang kini kurus dan pucat, menggapai-gapai.
Kepalanya bergerak ke samping. Bola matanya yang kosong, kini mulai ada
gerakan-gerakan pertanda hidup.
"Mendekatlah," pinta Dicky pada Bashir dan Anah. Tatapan matanya sayu
karena kurang tidur. Bashir menggandeng Anah. Mereka mendekat. Dicky meraih tangan ayahnya.
"Peganglah," dia meminta dengan sangat.
Bashir dan Anah saling pandang. Anah mengangguk. Lalu mereka menyatukan tangan dan menggenggam tangan Tuan Marabunta. Tiba-tiba
tangan Tuan Marabunta balas menggenggam dengan kuat. Bashir dan Anah
sangat kaget. Dicky juga!
"Papa ...," Dicky berharap dengan cemas. "Ayo, katakanlah. Mumpung
mereka ada di sini ...," katanya sambil melihat ke Bashir.
Bashir berjongkok. Anah juga. Mereka serempak mendekatkan kepala
mereka ke bibir Tuan Marabunta.
"Assalamu'alaikum, Tuan Marabunta," kata Anah lembut.
Semua menanti reaksinya. Tanpa diduga, mulutnya bergerak-gerak. Semua
saling pandang dengan harap-harap cemas.
"Wa'alaikum salam," terdengar suara Tuan Marabunta terpatah-patah. Parau
tersekat di tenggorokan. "Apa kabar, Tuan?" Bashir menyapa.
Mulut itu hanya menyunggingkan senyum bahagia.


Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kedatangan kalian membawa berkah. Sudah lama saya tidak mendengar
suara Papa," Dicky sangat sukacita sekali.
"Maafkan saya," tiba-tiba mulut Tuan Marabunta bergerak-gerak lagi.
Kalimat tadi keluar dengan pelan, tetapi sangat jelas terdengar.
"Kami sekeluarga sudah memaafkan Tuan. Begitu juga kami, meminta maaf
jika ada kesalahan," Bashir menggenggam erat tangannya.
"Sebagai hamba-hamba Allah, kita harus saling memaafkan," Anah tersenyum
bahagia. "Bapakmu ..., kamu ..., semuanya ...," Tuan Marabunta terbatuk. Dadanya
berguncang. Dia menarik napas. Terasa berat sekali. Tetapi bibirnya terbuka
lagi, "Kalian ..., tidak pernah membuat kesalahan ...padaku ...juga pada
Dicky. Kamilah... yang banyak melakukan kesalahan. Kami banyak dosa pada
kalian," begitu panjang kalimat-kalimatnya.
Dicky tidak menyangka ayahnya bisa mengatakan kalimat seperti itu. Dia
sangat antusias mengikutinya. Wajahnya antara tegang dan penuh sukacita.
Dia tak bersuara apa-apa. Dia hanya menyaksikan peristiwa bersejarah ini
dengan saksama. Bashir dan Anah mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Sekarang, Tuan istirahat saja. Jangan banyak bicara dulu," kata Bashir.
Tuan Marabunta hanya tersenyum. Wajahnya kini tampak bergairah sekali.
Warna pucat berganti menjadi memerah, pertanda kehidupan mulai muncul.
Tetapi, itu hanya sekejap saja. Karena setelah itu, tak ada tanda.tanda
kehidupan lagi. Wajahnya terbujur kaku. Tinggal senyumnya saja yang masih
membekas. Dicky panik. Dicky mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya. "Papa! Bangun,
Papa!" teriaknya. "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...," Bashir dan Anah menundukkan
kepalanya, pertanda memberi hormat pada ruh yang keluar dari jasad Tuan
Marabunta. Dari asal, kembali ke asal. Semoga Allah menerima segala amal
perbuatannya. Semoga dia diterima di sisi-Nya!
Episode 36 Tempatku di Sisi-Mu Anah Terkena Kanker Hati dan Menyuruh Bashir Menikah
Lalu bergegas aku meraihnya
saat terulur cahaya-Mu Memaksaku tercerabut dari tanah:
Rabbi, ringankan langkahku ini!
Vonis dokter itu seperti kilat menggelegar! Anah terkena kanker hati!
Positif! Umurnya diperkirakan tidak akan lama lagi. Bashir tidak bisa
menerima kenyataan ini. Berbeda dengan Anah, yang justru lebih sabar dan
pasrah. Bagi sebagian dokter, kanker hati adalah takdir dari Allah!
Kabar mengerikan ini persis tiga minggu menjelang keberangkatannya ke
tanah suci. Bashir berlari ke pantai dan berteriak-teriak sendirian sambil
menatap langit. Dia seperti memprotes keputusan Allah bahwa dirinya tidak
pernah diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan. Semua orang yang
dia cintai begitu cepat dipanggil ke sisi-Nya. Mulai dari ibunya, ayahnya,
kakaknya, sampai istrinya yang sudah masuk dalam daftar antrean. Jika
sudah tiba waktunya, Allah tinggal menyuruh Malaikat Izrail untuk mencabut
nyawa istrinya! "Sebaiknya kita gagalkan saja rencana kita ke Makkah," Bashir melihat Anah
makin hari makin pucat saja. Tubuhnya makin menyusut. Padahal selera
makannya cukup besar. "Nggak, Kak, nggak boleh kita batalkan. Ini panggilan Allah. Saya akan sehat
ketika berangkat nanti. Insya Allah," kata Anah yang berbaring di tempat
tidur. Dia menangis ketika menyampaikan niatnya untuk tetap berangkat ke
Makkah. Tangannya langsung menggapai tasbih di meja kecil. Lalu dia
berzikir; subhanallah, subhanallah"..
Bashir menatap Anah dengan sedih. Dia memijit kedua kaki istrinya dengan
rasa sayang. Kedua anaknya, Siti Nurkhalishah dan Muhammad Al Faqih,
masuk ke kamar. Mereka langsung naik ke tempat tidur dan bertingkah
polah seperti seorang dokter saja.
"Ibu sakit, ya?" tanya Nur, gadis cilik berusia empat tahun.
"Iya, Teh. Ibu sakit," Anah tersenyum mengusap kepalanya.
"Minum obat ya, Bu," Nur menyodorkan "obat" di tangannya. Nur memang
paling suka berlagak jadi dokter seperti ibunya.
"Obat, Bu, obat," Faqih, bocah berusia dua tahun, tidak mau kalah dengan
kakaknya. Dia juga menyodorkan "obat".
Tetapi Nur mendorongnya, "Nggak boleh! Teteh aja yang periksa Ibu!"
katanya cemberut. Faqih hampir terjatuh. Faqih menangis. Bashir menggendongnya dan
menenangkannya. Anah hanya tersenyum.
"Sama saudara, Teteh nggak boleh begitu ...," Anah menasihati.
"Faqih nakal!" Nur cemberut. "Teteh saja jadi dokter. Faqih nggak boleh!"
Faqih meronta-ronta di pelukan Bashir. Bapak muda itu mencoba
menenangkan Faqih. Dia membawa Faqih keluar untuk bermain robotrobotan.
"Tuh, kasihan kan Faqihnya. Teteh jadi nggak punya temen," Anah
mengingatkan. Nur tampak menyesal. "Dede!" akhirnya dia berteriak memanggil adiknya.
Dia turun dari ranjang dan berlari ke luar kamar.
Anah hanya tersenyum saja. Jari-jarinya tak pernah berhenti menghitung
tasbih sambil berzikir. Andai saja Nur dan Faqih tahu penyakit yang
dideritanya. Ya Allah, berilah aku kesehatan! Berilah aku kekuatan!
Tunjukkanlah mukjizat-Mu! Tetapi, jika ini cara-Mu untuk menguji aku dan
Bashir, aku pasrah dan ikhlas. Begitu terus batin Anah memohon, di antara
zikirnya. Tidak lama, Nur dan Faqih muncul bersamaan. Nur menggandeng Faqih.
Mereka akur lagi. Bashir berdiri sambil tersenyum di pintu kamar. Tetapi,
dia menatap istrinya dengan perasaan yang sangat sedih. Dia merasa seperti
akan kehilangan istrinya. Tanda-tanda itu selalu membayanginya terus.
Terkadang dia tidak ingin mendahului Tuhan bahwa sebetulnya rezeki,
jodoh, dan mati adalah rahasia-Nya! Tetapi, dari tutur kata istrinya, seolaholah mengingatkannya pada kematian. Kemarin malam saja, Anah berkalikali menyebut "andai saya pergi", "andai saya pergi". Dia bergidik
mendengarnya. Terbayang lagi percakapan di meja makan itu, yang
membuatnya jengkel setengah mati.
"Andai saya pergi, kamu harus menikah dengan Mutiara," begitu Anah
memulai makan malam. "Kamu mau pergi ke mana?" Bashir meletakkan sendok dan garpunya. Selera
makannya langsung musnah.
Para iblis, yang selalu mengitari mereka, menjulurkan lidah apinya sambil
terkekeh-kekeh. Para setan neraka itu sedang menanti-nanti kehancuran
rumah tangga mereka. Tetapi, para malaikat juga tidak tinggal diam. Sinar
Ilahi itu selalu meniupkan wewangian ayat-ayat Allah, agar terlindung dari
bujuk rayu sang setan! "Penyakitku ini aneh," Anah menerawang jauh. "Kadang muncul, kadang
hilang. Sungguh, aku takut kehilangan kamu, Nur, dan Faqih," Anah terisak.
"Istighfar, Anah ...," Bashir mengingatkan. "Kita semua akan mati. Itu suatu
keharusan. Nggak akan bisa kita menghindarinya."
"Tapi, aku ingin mati, setelah Nur dan Faqih dewasa. Setelah mereka
memberikan cucu-cucu padaku"."
Bashir berdiri dan berjalan mendekatinya. Memijiti pundaknya. "Nanti kita
cari dokter spesialis yang hebat sepulang dari Makkah. Kalau perlu kita ke
luar negeri. Barangkali penyakitmu bisa disembuhkan."
"Amien"." "Kamu nggak boleh putus asa, Anah!"
"Aku bukan putus asa. Aku hanya berusaha realistis. Ini kenyataan yang
harus kita hadapi. Kak Bashir akan kehilangan aku selama-lamanya. Banyak
hal yang harus kita bicarakan malam ini. Dan Kak Bashir harus
mendengarkannya dengan baik," nada Anah serius. "Sekarang, duduklah".."
Bashir duduk. Wajahnya tegang.
"Aku ingin Kak Bashir mewujudkan keinginanku"."
"Apakah ini semacam wasiat?" suara Bashir bergetar. Matanya mulai berkacakaca.
"Iya," bibir Anah juga bergetar.
"Katakanlah, kalau memang itu maumu?"
"Aku ingin Kak Bashir mengembangkan klinik Asy Syifa menjadi sebuah
rumah sakit. Aku ingin nanti orang-orang yang tak mampu datang berobat
dan tak usah memikirkan biayanya"."
Bashir merasa ada butiran hangat jatuh ke pipinya. "Insya Allah, Anah ...,"
dia betul-betul menangis, " ...kalau itu maumu".."
Anah tersenyum bahagia walaupun terasa pedih.
"Sebaiknya Ibu Natalia kita beri tahu sekarang," saran Bashir.
"Tidak perlu. Biarkan Ibu menemani Diana dengan tenang di Singapura.
Hidupnya saja lebih menderita daripada kita. Semua orang yang dicintainya
pergi. Kalau Ibu harus tahu dari awal bahwa aku ...orang yang
dicintainya ...akan pergi juga"." Anah menerawang jauh, ?".itu pasti akan
membuatnya tambah menderita lagi."
"Pak Hidayat juga?"
"Ya, Pak Hidayat juga. Tak perlu ada orang lain yang tahu. Biarlah ini untuk
kita berdua saja." Bashir makin tersedu-sedan. Dia peduli kalau dirinya adalah lelaki, yang
harus membatasi diri dengan air mata. Tetapi, ini menyangkut dengan orang
yang paling dia cintai, istrinya! Dengan segenap raga! Dan kini dia
dihadapkan pada kenyataan, bahwa istrinya akan segera pergi mendahului
dia! Menemui panggilan Sang Pencipta!
Episode 37 Tempatku di Sisi-Mu Kupahami kini mengapa segalanya dipasangkan karena kelak berubah satu
kembali utuh sebagai jiwa
Yang dimiliki-Nya. kembali pada-Nya:
jadikan aku penghuni surga-Mu!
Sebuah mobil memasuki kawasan pantai yang sepi. Pohon-pohon kelapa dan
semak-semak melindungi mereka dari pandangan orang di jalan raya AnyerLabuan. Di pantai sudah ada sebuah mobil yang diparkir. Pengemudinya
keluar dari mobil, begitu tahu ada mobil lain mendekati dan berhenti di
sebelah mobilnya. "Assalamu'alaikum," Mutiara menyapa pengendara mobil itu.
"Wa'alaikum salam," jawab Anah sambil menurunkan jendela mobil.
Betapa kaget Mutiara, ketika melihat wajah si pengendara mobil itu pucat.
Berbeda ketika dia melihatnya pertama kali malam itu di restoran.
"Kamu sakit, ya?" tanyanya cemas.
Anah tersenyum saja. "Sebaiknya kita cari kafe atau apalah. Yang penting, kita jangan ngorol di
pantai. Anginnya sedang kencang," Mutiara berkali-kali merapikan rambutnya yang tergerai angin.
"Pakailah," Anah menyodorkan kerudung. "Supaya rambutmu nggak acakacakan."
Mutiara tampak sungkan menerimanya. Dari dahulu dia paling tidak mau
berkerudung, sampir sekalipun. Apalagi berjilbab seperti wanita di
depannya. Menurutnya, kecantikan itu keindahan. Lantas, kenapa harus
disembunyikan" Bukankah keindahan itu untuk dipertontonkan" Yang
penting, dia bisa menjaga batas-batas kesopanan. Dia sadar dirinya cantik.
Sebatas itu sajalah. Tak perlu dia menyembunyikan kecantikan wajahnya
lewat kerudung atau jilbab. Tetapi, melihat tatapan matanya, dia tak kuasa
menolak. Lalu kerudung itu dia lilitkan di kepalanya. Terasa nyaman
memang. Rambutnya tidak acak-acakan lagi.
"Kamu kelihatan makin cantik dengan kerudung itu," dia lagi-lagi tersenyum.
"Ya, makasih?" "Bagaimana kalau kita ngobrol di mobil aja?"
"Boleh," Mutiara memutar. Dia membuka pintu mobil dan duduk.
"Maaf ya, aku sudah mengganggu waktu kamu".."
"Nggak apa-apa?"
"Aku tahu alamatmu dari buku tamu di hotel."
"Aku sudah menduganya."
Hening beberapa saat. Semua seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.
"Bashir tahu kamu ke sini?"
"Nggak. Ini antara kita berdua saja."
"Apakah ini ada hubungannya antara aku dan Bashir?"
"Iya. Ada." "Sungguh, kami nggak ada hubungan apa-apa lagi," Mutiara merasa bersalah.
"Kemarin di restoran itu, aku hanya ingin melakukan sesuatu yang lain saja.
Pekerjaanku di Jakarta sebagai wartawan teve, kadang membuat bosan
juga." "Aku percaya. Kalian sudah nggak ada hubungan lagi."
"Lantas, kenapa kamu menghubungiku?"
"Ini tentang aku semata."
Mutiara menatap wanita pucat di sebelahnya dengan penuh tanda tanya.
"Tentang sakit yang aku derita."
"Kamu sakit apa?"
"Kanker." "Astaga!" "Umurku nggak akan lama lagi."
Mutiara terhenyak untuk yang kedua kali.
"Maukah kamu menjawab dengan jujur pertanyaan saya?"
"Pertanyaan apa?"
"Siap kamu mendengarnya sekarang?"
"Apa ini" Jangan pake teka-tekilah!" Mutiara jadi gelisah tidak karuan.
Anah menoleh. Dia menatap Mutiara dengan tajam. Mencoba mencari-cari
jawaban yang sedang dicarinya. "Kamu masih mencintai Bashir?" tanyanya
serius sekaligus mengagetkan.
"Pertanyaan apa ini?" Mutiara tertawa aneh.
"Kamu hanya perlu menjawab "ya' atau 'tidak' saja."
"Jangan memaksa!" dia langsung membuka pintu mobil. Keluar dan menarik
kerudungnya hingga terlepas. Kerudung itu dilemparkannya. Ada perasaan
marah, jengkel, dan aneh menyergapnya. Seorang istri dari orang yang
pernah dicintainya, tiba-tiba saja menodongnya dengan pertanyaan tadi!
Hah! Gila! Tetapi, sisi lain hatinya berbisik, kenapa kamu berhari-hari
menunggu Bashir di restoran" Kenapa kamu sampai sekarang belum juga
menikah" Kenapa kamu paling suka meliput berita-berita di Banten"
Bukankah kamu masih berharap bisa bertemu dengan Bashir"
"Saya ternyata salah duga. Maafkan saya," tiba-tiba Anah sudah ada di
sebelahnya. Mutiara merasa tubuhnya bergetar. Masih cintakah dirinya pada Bashir"
Pantaskah dia merebut Bashir dari dia"
"Atau kamu belum siap menjawabnya sekarang?" Anah menduga-duga.
"Kenapa kamu nggak berobat ke Amerika saja" Siapa tahu diagnosa di sini
salah?" Mutiara mengalihkan pembicaraan.
"Insya Allah, itu akan kami coba."
"Itu lebih baik kan, ketimbang kita membahas pertanyaan bodoh tadi"!"
"Itu bukan pertanyaan bodoh. Dan jawabannya pun tidak bodoh. Itu keluar
dari perasaan kita, dari hati seorang wanita," Anah menegaskan. "Terima
kasih atas waktunya. Assalamu'alaikum," Anah tersenyum dan membalik.
Lalu dia berjalan ke mobil.
Mutiara masih terpaku di tempatnya.
Anah menyalakan mesin mobil. Tetapi, sebelum pergi, Mutiara berlari dan
mendekati jendela mobilnya. Anah menurunkan kaca jendela.
"Ada apa?" Anah tersenyum di balik wajah pucatnya.
"Apakah masih perlu aku jawab?"
"Sekarang tidak perlu lagi. Assalamu'alaikum," Anah merasa bahagia.
"Wa"alaikum salam"."
Anah menjalankan mobilnya.
Mutiara berjalan beberapa langkah melepas mobil itu. Hatinya gundah
gulana. Kakinya hampir saja menginjak kerudung pemberian Anah. Tanpa
sadar, dia memungut kerudung itu. Melilitkannya di kepalanya. Rambutnya
yang tergerai tak keruan, kini terlindung dari godaan angin barat yang galak.
Episode 38

Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempatku di Sisi-Mu Berjalan di antara ayat-ayat-Mu
kutemukan setitik cahaya Jalan setapak zikir dan doa
hingga pada tujuan: tempatku di sisi-Mu! "Allahumalabaik, allahumalabaik ...," puja-puji jutaan jamaah haji itu
menggema di seluruh penjuru Ka'bah. Langit Makkah biru terang. Matahari
terik. Tetapi, angin sepoi-sepoi membuat sejuk suasana Masjidil Harram.
Jutaan jamaah haji yang sedang melakukan tawaf-mengelilingi Ka'bah
sebanyak 7 kali, tidak merasakan bola merah raksasa itu membakar tubuh.
Mereka tetap bersemangat dengan perasaan puji syukur menyerukan
"Bismillahi Allahhu Akbar" setiap melewati garis cokelat pemberian Ir.
Soekarno, sebagai pertanda kita sudah genap mengelilingi Ka'bah sebanyak
satu putaran. Anah terus berjalan dalam lindungan tubuh Bashir. Tubuhnya dipeluk oleh
Bashir dari belakang supaya tidak tersenggol atau terdorong oleh jamaah
yang lain. Jalan Anah sudah sempoyongan. Bashir tampak merasa cemas.
Sebetulnya Bashir tidak setuju istrinya menunaikan ibadah haji dalam
kondisi sakit seperti ini. Tetapi, istrinya bersikeras. Bagi istrinya, niat itu
sudah bulat. Tak ada alasan lain yang bisa menghalanginya untuk tidak
datang ke rumah Allah ini. Bahkan kanker hati yang kini
dideriranya sekalipun! Tak kan ada! Ini termasuk jihad juga!
"Kak Bashir," suara Anah pelan.
"Ya, Anah?" "Ayolah, bawa aku ke Hajar Aswad," pinranya serius.
"Insya Allah," Bashir membelokkan arah ke pinggir.
Tinggal saru sudut lagi, Bashir sudah berhasil membawa istrinya ke tempat
batu hitam berasal dari surga itu. Tetapi, perjuangannya untuk sampai ke
sana sangatlah berat. Jamaah-jamaah haji lain pun tidak mau kalah.
Kadangkala Bashir terdorong kembali ke arah kanan sehingga berada di
lingkaran besar. Tetapi, Bashir tidak pernah mau menyerah. Dia terus
mendekap Anah agar bisa mendekati Hajar Aswad. Dan entah dari mana
datangnya, atau itu mungkin keajaiban: pertolongan dari Allah! Seorang
lelaki tinggi besar berdiri di belakang mereka. Orang itu pun hendak
mendekati Hajar Aswad. Dia selalu mendorong jamaah lain yang hendak
mendekari Hajar Aswad. Dia seolah-olah memberikan kesempatan pada
Bashir dan Anah untuk mencium Hajar Aswad! Semuanya terasa jadi serba
mudah bagi Bashir dan Anah!
Anah mencium Hajar Aswad dengan mata berlinang. Dahulu Nabi Muhammad
mencium batu hitam ini. Jadi ini sunnah nabi. Tidak dilakukan pun tidak
apa-apa. Kemudian Bashir melakukan hal yang sama. Setelah mereka
selesai, lelaki tinggi hitam itu mengambil giliran. Bashir dan Anah tersenyum
padanya. "Thanks for your help," kata Anah.
Lelaki itu tersenyum dan langsung mencium batu surga itu!
Begitulah yang terjadi pada Bashir dan Anah. Segala urusan menjadi serba
mudah. Itu pun terulang ketika mereka ingin shalat sunnah di Hijir Ismail.
Sementara itu orang-orang harus berdesak-desakan, mereka malah diberi
keleluasan. Selalu saja ada orang yang mempersilakan mereka.
Selesai shalat di Hijjir Ismail, mereka menuntaskan tawaf, yang tinggal dua
putaran lagi. Setelah itu mereka menuju air zamzam. Meminum airnya.
Mencoba merasakan penderitaan bayi Isma'il yang kehausan di padang
Arafah. "Masih kuat?" Bashir membimbingnya.
"Insya Allah," Anah tersenyum.
Mereka berjalan untuk melakukan sai, berjalan bolak-balik dari bukit Safa
ke Marwa. Ini mengingatkan kita pada perjuangan Siti Hajjar, yang saat itu
sangat panik sekali mencari air untuk bayinya, Isma'il. Selama melakukan
sai, Bashir tak henti-hentinya mengingatkan Anah untuk istirahat dan
meminum air zamzam lewat keran. Anah sangat kepayahan sekali. Wajahnya
pucat. Jalannya limbung. "Alhamdulillah ..., akhirnya selesai juga," Anah merasa lega.
"Ayo, sekarang kita potong rambut dulu," ajak Bashir.
Anah mengangguk bahagia. Bashir membawa Anah ke pinggir. Secara bergantian mereka memotong
rambut beberapa helai. Tetapi, setelah Bashir memotong rambut Anah,
tiba-tiba saja Anah jatuh ke pelukannya. Bashir menyangga tubuh istrinya
dengan cemas! "Anah!" "Kak Bashir ...," lemah sekali suara Anah.
Bashir membopong Anah. Hatinya merasa galau disergap segala macam
ketakutan. Di depan matanya tiba-tiba saja muncul kedua anaknya. Mereka
memanggil dan menangisi Anah!
"Anah, kamu harus kuat, Anah!" tidak terasa air mata Bashir jatuh bergulir.
"Kak Bashir ..., dengar ...," suara Anah mendesah.
"Ya, Anah ...," Bashir terus membopong Anah ke posko kesehatan.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan ..."
"Katakanlah, Anah " .
"Sebelum berangkat, aku menemui Mutiara ..."
"Kenapa kamu sebodoh itu?"
"Itu bukan bodoh, Kak Bashir. Itu niat baik yang keluar dari hati seorang
wanita... yang mencintai suami dan kedua anaknya?"
"Maatkan aku, Anah ...," Bashir terisak penuh penyesalan.
"Jika aku tiada, demi anak-anak ..., temuilah Mutiara"."
"Jangan bicara yang nggak-nggak, Anah ..."
"Jadikanlah dia penggantiku, Bashir"."
"Anah!" "Dia masih mencintai kamu"."
"Anah!" Tetapi Anah tidak bersuara lagi.
Bashir merasakan langit Makkah runtuh menimpa tubuhnya.
--Ciloang, akhir Januari 2001 Mustika Lidah Naga 7 1 Goosebumps - Arwah Penasaran Runtuhnya Samurai Iblis 2

Cari Blog Ini