Tentang Cinta Karya Naura Laily Bagian 2
makan panjang diletakan di samping kolam renang.
" Ditya blm datang jg nih," ucap Alin resah, menatap jam tangannya. "Acaranya mau dimulai
skarang. Kasihan yg lain udah kelamaan nunggu..." dia menatap memelas pada Fanny dan
Rika. Saat itu jg ada sbuah perasaan ironis yg mengiris-iris kalbu Fanny. Dia berniat mengatakan
kebenaran itu walaupun rasanya pahit. Namun, ketika ingin mengatakannya tiba2 saja
lidahnya kelu. Mungkin ini semacam pertanda bahwa blm saatnya untuk menceritakannya
karna sangat mungkin akn merusak kebahagiaan Alin malam ini.
12. Pertemuan di Arena Boling
-FannyFanny berdiri siaga mengamati deretan pin yg berada jauh didpnnya. Dia resah menunggu
Theo yg blm jg datang. Tiga jarinya sudah masuk kedlm bola boling yg berwarna merah dan
dia sudah mulai melangkah untuk meluncurkan bola itu. Semeter, dua meter, bola itu
menggelinding memjauhi Fanny, dan akhirnya, praakk! Semua pin roboh diterpa bola.
Strike. 'Mana sih manusia satu itu!' gerutu Fanny semakin kesal. 'Jangan2 baru berangkat'.
Fanny sudah sangat kesal tp memcoba tetap tenang. Dilihatnya keadaan sekitar, mungkin
saja Theo baru datang, tp karna bnyak orang dia jadi kesulitak menemukan dirinya.
Beberapa kali dia celingukan kekanan kiri dan mengedarkan pandangan ke delapan penjuru
mata angin. Satu kali, Fanny menangkap sosok yg mirip Theo. Tp, ketika menegaskan
pandangannya, bahunya langsung merosot lesu.
'Lempar bola lg lah', katanya kpada diri sendiri memutuskan karna tdk ada hal lain yg bisa
dilakukannya. Fanny melangkah ketempat mengambil bola, lalu kembali bersiap siaga didpn lane. Matanya
menatap lurus ke pin2 putih yg berada sejauh 18,24 meter didpnnya. Dia brtekad untuk
melakukan strike lg. Fanny berniat mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang2.
Blm lg niatnya terlaksana, seseorang dari balik punggungnya sudah menghentikan gerakan
kakinya. " Aduh, maaf..., maaf, Mbak. Saya nggak senga..."
Fanny memutar tubuhnya dan mendapati dirinya memekik tertahan sewaktu melihat wajah
pria yg td menabraknya. " Ouw!" seru pria itu. "Kita ketemu lg." Dia tdk lain dan tdk bukan adalah Rafa, teman kantor
Rika. " Kamu lg"!" seru Fanny dgn suara meninggi.
Dgn tatapan nanar, Fanny melemparkan pandangan sekilas ke wajah2 asing yg memenuhi
arena boling, khawatir kalau tabrakan ini jg menarik perhatian semua orang. Sejenak, dari
ekor matanya, dia melihat ada sosok yg melamabai ke arahnya, tp dia mengurungkan
niatnya untuk menegaskan sosok itu dan memilih brkata pada Rafa dgn nada menyindir,
"Balas dendam ya?"
Sementara sosok yg masih samar terus berjalan mendekat, sampai akhirnya berseru,
"Sayang, maaf ya aku terlambat."
Fanny spontan mengangkat dagunya, bersyukur bahwa orang yg ditunggu sedari tadi
akhirnya bisa sampai kesini dgn selamat.
" Tadi aku lambaikan tangan, kamu nggak liat," cetus Theo yg akhirnya ada orang lain
didekat Fanny. "Eh, Rafa!"
Hah" Fanny terpaku. " Hey, Theo!" sahut Rafa lalu menepuk2 pundak Theo dgn semangat, seperti brtemu dgn
kawan lama. "Apa kabar" Janjian ngedate disini?"
" Baik2 aja. Ya..., biasa deh, agenda rutin kalau lg weekend," jawab Theo dgn tangan
melingkar dipinggang Fanny. "Ya kan, Fan" Eh, ini...."
" Eh, tunggu.., tunggu." Fanny menyela perkataan Theo, "Kalian sudah saling kenal?"
tanyanya heran. " Iya, Rafa temen lamaku."
'Demi Tuhan! Kenapa sih orang yg baru aku kenal ini tiba2 punya ikatan erat sama aku.
Kemarin Rika, sekarang Theo', pikirnya masih blm percaya. 'Jangan2, habis ini dia mau bilang
kalau dia adalah saudara kembarku yg terpisah sejak lahir'.
" The, kayaknya aku nggak asing deh sama mukanya Fanny." tampak Rafa sdang mengamati
wajah Fanny. " Emangnya muka aku pasaran ya?" sambar Fanny asal.
" Bukan. Rasa2nya pernah liat kamu, tp entah dimana, aku lupa. Kayaknya ada kamu juga
deh, The." Mereka bertiga tdk bersuara. Hening.
" Aku tahu, Raf." sahut Theo, "Kita terakhir ketemu dipemakaman."
" Oh, iya, betul. Dipemakaman tunangannya Rika."
ketika prosesi pemakaman, Fanny tdk memperhatikan sekitar. Baginya, yg terpenting saat
itu adalah berada disamping Rika.
" Oh, iya. Rafa temen kantorku waktu dikantor yg lama." ujar Theo memberi tahu.
*** "Maaf ya, aku telat," ucap Theo dgn perasaan brsalah stelah Rafa menghilang dibalik
kerumunan orang. " Kamu pasti bete."
" Banget." " Sbgain permintaan maafku, kamu boleh pilih makanan apa aja deh!"
Hati Fanny tersenyum. Namun, sebisa mungkin perasaan itu disembunyikan. "Aku pikir2
dulu ya. Kita main bolim aja dulu ya. Tadi aku strike, lho."
" Oh, ya. Coba lempar lg. Aku mau lihat. So, acara makan malem kmaren gmana?" mereka
brjalan berdampingan menuju tempat mengambil bola.
" Alin kecewa karna Ditya datang terlambat," jawab Fanny. "Honey, kamu merasa ada
sesuatu yg beda dari Ditya nggak?"
" Maksud kamu?"
Fanny lalu menceritakan kecurigaannya sewaktu mereka berenam bertemu diacara triple
date. " Jangan negative thinking dulu. Blm tentu dia seperti yg kamu sangka. Siapa tau dia lg bnyk
pikiran." Ya, Fanny yakin Ditya waktu itu pasti memikirkan perempuan lain. Dia jg berani bertaruh
kalau pria itu bkn habis brtemu klien, melainkan kekasih gelapnya. Didlm benaknya, tiba2
terbesit keinginan untuk membuntuti Ditya secara diam2.
" Alin dpt hadiah apa dari orangtuanya?" tanya Theo mengubah topik pembicaraan.
" Perusahaan." " Wow! Perusahaan?" Theo terkejut mendengarnya, "Tp, nggak heran sih ya," imbuhnya,
"Perusahaan apa?"
" Majalah Fashion," jawab Fanny.
" Jadi direktur?" tanya Theo.
Pin2 yg awalnya berjejer rapi kini menjadi berantakan swaktu bola menumbuk dan
membuyarkan jajaran benda2 putih itu tp tdk sampai strike.
" Yup." Fanny mundur dari lintasan boling dgn kecewa. "Tp, sbenarnya dia nggak tahu kalau
bakal dikasih perusahaan."
Seperti yg dikatakan Fanny, Alin tdk tahu menahu tentang masalah itu. Dia cuma tertegun
mendengar pidato ayahnya kalau perusahaan yg dulu dimiliki oleh Ibu Melinda itu, kini
pengelolahnya diserahkan sepenuhnya kpada Alin.
Ya, Alin menjadi direktur utama majalah fashion yg bernama Close to you (CTY).
*** " Emang mobil kamu knpa, The?" tanya Fanny. Dia duduk disebelah Theo yg sdang menyetir
mobilnya. " Masuk bengkel. Olinya bermasalah," jawab Theo yg sesekali menoleh kearah Fanny.
" Kok bisa" Padahal kamu yg ngajarin aku untuk selalu ngerawat mobil, servis berkala, cek
segala macemnya sblm berangkat."
" Iya, sayang." Theo tertawa getir. "Itu kekuranganaku. Aku gampang ngomong ini itu ke
orang, tp aku sndiri nggak bisa ngejalanin."
" Ya udah, diubah dong. Kan, kmu sndiri yg rugi, udah tahu ilmunya, tp nggak dijalanin. Td
naik apa jadinya?" " Taksi." Theo melirik kaca spion dlmnya. Lalu, menyalakan sen kanan, menambah
kecepatannya, dan menyelip mobil yg ada didpnnya. "Tp, ada untungnya jg mobilku masuk
bengkel." " Apa?" " Kita jd bisa pulang bareng."
Fanny menyunggingkan sudut bibirnya.
" Oh iya." Fanny tiba2 teringat Ditya. "Hmm., aku mau ngomongin soal Ditya lg."
" Knpa dugaan kamu trhadap dia ternyata salah?"
" Bukan. Ini bkn masalah dugaan, tp masalah fakta dan bukti jelas."
Fanny menceritakan malam ketika dia melihat Ditya bersama selingkuhannya.
" Menurut kamu gmana?" tanya Fanny stelah selesai cerita. "Sebaiknya aku ngomong ke
Alin, nggak?" " Hmmm..., gmana ya" Kayaknya tindakan wait and see lebih tepat." Theo mencoba
menganalisis. "Kalau dlm waktu dekat ini kita bilang ke Alin, siapa tahu Ditya sadar dan
mutusin untuk balik ke Alin. Tp, karna kita udah trlanjur bilang ke Alin, niat baik Ditya jd
sia2." Fanny diam, menelaah analisis Theo dan berujar, " Bener juga. Ya..., kita sih brharapnya jg
begitu." " Apalagi, selama ini kita udah cukup lama mengenal Ditya, meskipun aku agak sdikit
trganggu dgn mulut besarnya, but over all, he's g good man."
Dlm diamnya, pikiran Fanny mengembara. Dia tdk akan sanggup jika harus mengalami
situasi itu; kekasihnya mengkianatinya, menduakan cintanya.
Fanny menoleh ke arah Theo yg sdang konsentrasi menyetir. Ditatapnya sang kekasih dgn
tatapan lembut. Btapa brsyukurnya dia berada disisi orang yg trcinta. Fanny menghela
napasnya, seolah ingin menegaskan kalau dia sdang berada didlm mobilnya dan duduk dlm
keheningan brsama Theo yg setia.
Mencintai dan dicintai. ' I'm the lucky one'.
13. Dunia itu Sempit" -Fanny, RikaHari selasa ini, Fanny mendapatkan tugas untuk kembali menemui Pak Nugraha. Sama
seperti sbelumnya Fanny dan Rika makan siang bareng stelah pertemuan dgn Pak Nugraha
usai. " Aku cerita ke Theo soal Ditya yg selingkuh," cetus Fanny memulai obrolan. "Aku pinta
pendapatnya, sebaiknya cerita ke Alin apa enggak?"
" Terus menurut Theo gmana?"
" Katanya sih lebih baik wait and see. Kalau menurut kamu gmana, Rik?"
" Aku setuju sama Theo. Sambil cari waktu yg tepat untuk nyeritain ke Alin."
Sejenak, mereka terdiam karna menikmati makan siang. Tp, diam2 Fanny memperhatikan
Rika yg terlihat agak gelisah dan kedapatan beberapa kali melongok ponselnya seperti sdang
mengharapkan telepon atau SMS.
" Knpa kamu, Rik" Ada janji ketemu sama orang?" tanya Fanny.
Rika nyengir merasa malu dan tdk enak. "Iya, Fan." jawabnya dgn berat hati.
" Wah, berarti aku harus buru2 ngabisin nasi aku dong." Fanny menyuap makan siangnya
dgn lahap dan cepat. " Nggak.., nggak usah, Fan." cegah Rika cepat2. Dia tdk tega melihat sahabatnya makan
terburu2. "Nggak apa-apa, kamu disini aja."
" Eh" Beneran?" tanya Fanny heran. "Aku nggak ganggu?"
" Enggak," jawab Rika mantap.
" Tp, nanti aku nggak nyambung sama obrolan kalian."
" Eh, kmu ingat nggak sama cowok yg kamu tabrak dilift?"
" Rafa?" " Iya." " Teman kamu yg mau kesini itu Rafa?" mendadak Fanny menjatuhkan sendok dan garpu
begitu saja keatas piring. "Hari minggu kemarin aku ketemu dia ditempat boling dan
ternyata dia temennya Theo. Ya ampun Rik, knpa sih dia jd ada dimana mana. Trus hari ini,
aku akn ketemu sama dia sbentar lg. Aku yakin dia itu penguntit."
Rika tergelak mendengarnya. "Dia bkn penguntit," sangkalnya, masih blm bisa
menghentikan gelak tawanya.
Ponsel Rika tiba2 menginterupsi. "Sebentar ya. Halo?" sapa Rika lalu menyimak lawan
bicaranya. "Aku skarang dikantin, lg ada temanku, Fanny." di terdiam kembali dan akhirnya
berkata, "Oh, ya udah, oke."
" Siapa" Rafa?" tanya Fanny yg sbenernya dia udah tau jawabannya.
" Iya. Dia pengin ngobrol2 sama aku. Hmm..., dia punya kesamaan nasib sama aku -sama2
ditinggal pergi pasangannya-." Rika memberikan tanda petik dgn jari2nya pada kata pergi.
"Makanya, aku minta kamu tetep disini."
Hati Fanny bergetar, lalu dia menyentuh tangan Rika. Cukup lama mereka berpegangan
tangan, berkomunikasi melalui sentuhan.
" Pergi disini, meninggal maksudnya?" tanya Fanny gamang.
" Iya. Menurutku kisah cintanya lebih tragis dibanding kisahku." raut wajah Rika berubah
serius. "Dia udah pernah nikah, tp usia pernikahannya cuma tiga bulan."
" Tiga bulan" Istrinya kecelakaan?"
" Nggak, sakit. Istrinya sakit talasemia."
Saat itu juga, Fanny lupa dgn predikat penguntit yg telah dia lekatkan pada diri Rafa. Dia tdk
menyangka bahwa kesempatannya untuk mengecap kebahagiaan hanya sesaat.
" Kapan meninggalnya?"
" Udah cukup lama, udah dua tahun, mungkin."
Fanny memang baru mengenalnya, tp dia sudah merasakan kegetiran yg teramat sangat.
Tenggorokannya terasa tercekat ketika dia mendengar kisah itu.
" Terus sekarang Rafanya gmana" Udah dpat menggantinya?"
" Belum." " Itu awalnya gmana, Rafa sbenernya udah tahu istrinya sakit atau istrinya nyembunyiin
penyakitnya?" " Dia udah tahu dari awal. Keluarganya nggak setuju, tp biar begitu mereka tetap nikah.
Padahal istrinya udah sempat nolak karna dia tahu dia nggak bisa ngebahagiain Rafa. Tp,
justru Rafa yg kekeuh. Dia bilang, dia mau bahagiain sisa hdupnya."
Fanny terenyuh mendengarnya. Dia sepakat dgn Rika. Tragis. Ya, satu kata itulah yg
menggambarkan khidupan cinta Rafa. Fanny pun merasa simpati, bahkan iba. Cinta Rafa
pasti sngat besar kpada mendiang istrinya, sampai2 dia rela berkorban seperti itu. Apalagi
mengurusi orang yg sakit parah sama sekali bkn perkara mudah, butuh keiklasan dan
ketegaran yg luar biasa. Tiba2 Rika mengangkat tangannya, melambai seseorang melalui pundak Fanny. Dia yakin
kalau itu adalah Rafa, meskipun dia tdk memutar tubuhnya untuk melihat siapa yg datang.
" Hei, Fan." sapa Rafa santai sambil menyeringai lalu brgabung dgn Fanny dan Rika dimeja yg
sama. "Apa kabar" Siapa sangka ya kita ketemu disini."
Fanny trsenyum lemah. Hatinya masih teriris-iris mendengar kisah tragis tadi. Tp, sikap
santai dan seringai yg dilontarkan Rafa barusan, seakan mengatakan bahwa dia tdk pernah
mengalami hal yg pahit. Fanny menghembuskan nafasnya. "Baik. Iya, dunia sempit ya." candanya sambil trsenyum,
mencoba bersikap santai. 14. Last Minute -Fanny" Fan, papa pinjam mobil kamu ya?" tanya papa Fanny. "Papa mau jemput keluarganya Om
Heru dibandara," imbuhnya yg kemudian duduk diseberang Fanny. "Dila sama Ekky
penasaran mau lihat Jakarta."
"Lho, bukannya mereka sekolah?" Fanny balik bertanya dgn heran tentang kedua
sepupunya itu. "Kan mereka libur," celetuk mamanya yg baru masuk ruang makan dgn membawa secangkir
kopi. " Libur apa?" tanya Fanny lg sambil menggigit rotinya. "Emang ada libur long weekend?"
" Kan sekarang bulan Juli, liburan kenaikan kelas," jawab mamanya yg kini sudah duduk
disebelah papanya dan ikut sarapan.
Seakan ada yg menekan titik saraf kesadarannya, Fanny pun berkata, "Oh iya ya., sekarang
Juli." Fanny berhenti mengunyah karna dia memusatkan energinya untuk berpikir.
" Emang kamu kira sekarang bln apa?" tanya papanya stelah menyesap kopi panasnya.
" Nggak tahu. Aku lupa hari, lupa tanggal." Fanny meneguk susu nonfat nya agar serpihan2
roti yg menyangkut dikerongkongannya terdorong ke dlm. "Sekarang hari apa" Tgl berapa
juli?" " Sekarang, kamis, tanggal 1 Juli."
" Ya ampun, berarti gaji udah ditransfer dari empat hari yg lalu dong."
Orang tuanya bingung melihat putri tunggalnya yg seperti mengidap penyakit amnesia.
" Asyiiik.., berarti aku bisa ajak Dila dan Ekky jalan2 dong hari sabtu!"
" Kamu tuh knp sih, Fan?" tanya mamanya geli.
Layaknya seorang wartawan yg memukul2 tape recordernya yg mengeluarkan suara sember
lantaran baterainya sudah soak, Fanny pun memukul2 kepalanya sendiri. (Mungkin,
baterainya jg sudah soak sehingga ingatannya pun melemah).
" Iya, nih, aku payah bnget deh. Apa akhir2 ini aku kelewat sibuk kali ya, jadinya aku udah
kayak robot. Bangun, siap2, pergi ke kantor, pulang, tidur, besok udah harus bngun pagi lg.
Gituuuu terus." Fanny akhirnya berhenti berbicara. Dia trsadar orangtuanya
memperhatikannya dari td. "Iih, mama sama papa kok ngeliatinny kayak gitu sih."
" Abis kamu tuh lucu. Biar kata kamu udah bangkotan kayak begini. Kamu tuh tetep putri
kecil mama, putri kecil papa."
" Ih, Mama. Kok aku dibilang bangkotan sih," protes Fanny.
" Udah umur segini, harusnya kamu udah nikah. Kpn hubungan kamu sama Theo
diresmikan" Pacara nggak usah lama2. Mama sama papa udah nggak sabar mau nimang
cucu." Muka Fanny terasa panas. Sampai saat ini, dia dan Theo blm pernah membicarakan rencana
pernikahan. Padahal, dlm lubuk hatinya yg trdalam dia sudah sangat ingin membahasnya.
Ya, apalagi kalau bkn menikah, bknkah itu satu2nya tujuan akhir dari hubungan asmara ini"
Penjelajahan Theo ke seluruh Indonesia membuat hubungannya sdikit berbeda. Buat Fanny,
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tatap muka adalah interaksi terbaik. Tdk ada yg dpt mengalahkannya meskipun dizaman
sekarang teknologi komunikasi sudah sedemikian canggih. Akhirnya, untuk menutupi
perasaannya yg sdang sdikit berkecamuk, Fanny berkata dgn merengek manja, "Ah, Mama
nih. Fanny kan malu,"
" Iya deh, Mama nggak godain kamu lg. Ya udah, cepet abisin sarapannya."
Fanny menuruti perkataan Mamanya untuk segera menghabiskan sarapannya.
" Oh, iya, Pa, emang mobil papa knpa?"
" Lg ngambek, barusan Papa coba nggak mau nyala."
" Kok bisa" Kemaren kayaknya masih baik2 aja."
" Nggak tahunya Papa semalem lupa matiin lampu yg didlm mobil. Akhirnya jd bermasalah
deh. Baru ketauan tadi, pas Papa manasin mobil."
" Pake aja, Pa. Aku bisa berangkat pake taksi."
" Kamu papa drop aja. Nanti baru kamu sambung taksi dari tengah jalan."
" Papa mau jemput Om Heru pukul brapa?"
" Pukul sepuluh. Tp, nanti abis papa nge drop kamu, papa mau ke kantor sbentar. Ada
urusan sedikit, sekalian izin. Terus baru ke bandara."
" Mama ikut jemput nggak?"
" Iya. Kasian papa sendirian diperjalanan."
*** Mobil sedan merah Fanny berhenti disbuah halte. Fanny membuka pintu, lalu turun
berpamitan. "Salam buat Om Heru ya, pa."
Blm lama Fanny berdiri di halte, dilihatnya sbuah taksi dari kejauhan. Fanny tdk bgitu jelas
melihat apakah mahkota taksi itu menyala atau tdk. Dia pun jd memanjangkan lehernya
untuk melihat kedlm taksi.
'Ada orangnya'. Bola mata Fanny mengikuti jalannya taksi barusan.
'Nah, tuh ada lg'. Sbuah taksi yg sama berada beberapa meter dibelakang taksi yg pertama.
Fanny melambai2kan tangannya. Ketika taksi itu sudah mendekat, hati Fanny sumringah
karna tdk ada penumpang di dlmnya. Fanny sudah hampir saja brjalan menghampiri taks?
itu. Namun, sopir taksi tiba2 memberikan isyarat tdk menerima penumpang.
'Ih, aku ditolak sama sopir taksi', gerutunya dlm hati.
Stelah itu, cukup lama Fanny menanti taksi2 lain yg melintas. Tp sekalinya lewat, ada
penumpang di dlmnya. Merasa lelah berdiri, Fanny memilih untuk duduk diatas kursi halte
sambil menyiagakan pandangannya. Perasaan tdk tenang mulai datang. Benar saja, Fanny
menggoyang2kan kakinya pertanda tdk sabar.
Ketika matanya menangkap taksi yg berwarna biru, sontak Fanny langsung berdiri dan
melambai2kan tangannya. Soal ada penumpangnya atau tdk itu urusan nanti. Tp,
keberuntungan blm berpihak kpada dirinya. Sopir taksi dgn dua orang penumpang
dibelakangnya terus menancap gasnya meninggalkan Fanny yg wajahnya sudah mulai
berkeringat. 'Haduuuuh,.....' Fanny mulai senewen. Dia mengeluarkan sehelai tisu, lalu dia menyeka
wajahnya yg smakin basah.
Hari semakin siang, arus kendaraan mulai padat, dan taksi kosong tdk kunjung datang. 'Apa
naik bus aja"'. Fanny menimbang2 usulnya sendiri. Ingin sekali dia bisa melupakan pengalaman buruk yg
diterimanya ketika hendak turun dari bus. Namun.g kejadian itu terus diingatnya dan
menjadi trauma didlm otaknya.
Malam itu Fanny naik bus dan sudah bersiap turun. Namun, karna jumlah penumpang yg
membludak, Fanny tdk kunjung mencapai pintu. Dgn terpaksa Fanny harus menerima
keadaan seperti itu. Ketika bus telah sampai mengantarnya ke tempat yg dituju, Fanny dan
beberapa orang penumpang mengetuk-ngetuk atap bus, dan kendaraan umum itu pun
berhenti. Ternyata, bkn hanya Fanny seorang yg ingin turun, tetapi ada belasan, atau
mungkin bahkan pulang orang. Penumpang demi penumpang berhamburan melalui pintu.
Kondektur berkoar-koar sambil memukul2kan uang koin pada kaca jendela. Sementara
Fanny yg sejak awal berada ditengah dan tdk bisa bergerak ke manapun, dgn sabar
menunggu giliran. " Ayo. Buru, buru, buru, buru!" Konduktur itu terus saja brteriak-teriak meskipun suaranya
sudah mulai trdengar parau. "Cepet, cepet. Ada polisi!"
Fanny mendengar perkataan si asisten sopir bus. 'Polis"' tetapi, sdetik kemudian Fanny tahu
jawabannya. 'Ooh, polisi toh, maksudnya'
Didpnnya masih ada sekitar lima orang yg sdang mengantre turun. Dgn langkah kecil, Fanny
terus berjalan menuju pintu. Sementara bus yg awalnya penuh sesak, seketika berubah
menjadi begitu lapang. Kini, tiba giliran Fanny. Tdk ada penumpang lain yg ingin turun,
kecuali dirinya. 'Hup!' Fanny turun ke udakan yg lebih rendah. Lalu, hap! Lg turun ke undakan yg terbawah.
Waduh, gmana turun. Ini bus nggak mau brhenti. Mana jalannya sengaja dibikin ndutndutan lg.
" Ayo cepet, cepet, mbak!"
" Iya, bang! Ini jg mau turun," geramnya.
" Kaki kiri, mbak. Kaki kiri."
Fanny menuruti perkataan sang konduktur. Dia pun menyiagakan kaki kirinya. Dgn tangan
kanan berpegangan pd pintu, Fanny menurunkan kaki kirinya dan mengalihkan sbagian
massa tubuhnya pd sebelah kakinya itu. Fanny sudah siap mendarat dan dua puluh
sentimeter lg kakinya menyentuh tanah. Namun,sang sopir tiba2 menancap gas, dan hal yg
tdk diinginkan trjadi pada diri Fanny. Fanny jatuh terhempas dari pintu belakang bus itu.
Spontan orang2 sekitar berlarian dan membantunya berdiri.
" Nggak apa-apa, nggak apa-apa," ujar Fanny sambil mebersihkan dirinya.
Untunglah Fanny tdk mengalami luka serius. Dia hanya mengalami cedera ringan pada
kakinya. *** Kepulan knalpot bus mengepas hdung Fanny, membuatnya berjengit. Apa naik bus aja" Dia
memandang ngeri sepatu peep toe nya dgn high heel setinggi tujuh sentimeter, seolah alas
kakinya itu adalah sesosok alien yg menakutkan. 'Yg ada aku bukannya ke kantor, tp
kerumah sakit,' ucap Fanny dlm hati yg akhirnya memutuskan untuk tdk naik bus. 'Kalau ada
bajaj naik deh, atau ojek,' Fanny yg sudah mulai putus asa.
Waktu terus bergulir. Tdk lama lg jam masuk kantor akan tiba. 'Udah deh, telat!' Fanny
lemas. 'Mana sih niah taksi"' Dia menghela napas dalam.
Sinar matahari menerpa wajah Fanny yg masih setia menunggu taksi. Tak ayal, punggung
tangannya difungsikan untuk menghalau sinar matahari yg menyilaukan.
Tiba2, ada seorang pengendara motor berhenti didpnnya. Pria itu membuka kaca helmnya
dan mengucapkan sepatah dua patah kata yg tdk terdengar oleh Fanny karna kalah dgn
suara derum mesin puluhan kendaraan yg melintas. Merasa tdk kenal dgn orang itu, Fanny
menjauh dan tdk menghiraukannya. Dia pun berpikir kalau pria itu salah orang.
" Fanny! Ini aku, Bayu," pekiknya stelah mencopot helmnya buru2. Rambutnya pun jd agak
berantakan. " Eh, kamu, Bay!" Fanny akhirnya berjalan mendekat.
" Mau bareng?" ajak Bayu.
" Mau," jawab Fanny cepat, merasa lega.
" Tuh, pakai helmnya," ujarnya sambil menunjuk helm yg disangkutkan dijok belakang,
kemudian memakai kembali helmnya.
Stelah mengancingkan helmnya, Fanny pun segara duduk di belakang Bayu.
" Udah?" " Udah, Bay," jawab Fanny.
Motor Bayu mulai berjalan. "Aduh, makasih ya, Bay. Kamu tuh dateng tepat waktu bnget."
" Ya.., kebetulan aja. Kamu nggak bawa mobil hari ini?" tanya Bayu sedikit menoleh ke
kanan. " Enggak. Mobilku lg dipakai papaku. Tadi aku di drop disitu. Mau naik taksi penuh melulu,"
papar Fanny yg sedikit mencondongkan tubuhnya kedpan.
Blm lama arus kendaraan mengalir lancar, di dpn sana sudah terjadi kebuntuan. Lampu lalu
lintas menyala merah dan semua kendaraan berhenti. Bayu yg sudah terbiasa dgn keadaan
seperti ini begitu lihai menyelinap diantara mobil.
Begitulah kelebihan motor, selip sana, selip sini. Dgn penuh kesabaran dan kehati-hatian
tingkat tinggi, Bayu terus berkelit dgn lincahnya. Usahanya pun membuahkan hasil. Dia
menjadi salah satu pengendara yg berada dibaris trdepan.
Selang beberapa detik kemudian, warna lampu berubah dari merah menjadi hijau. Mereka
pun siap untuk melanjutkan perjalanan menuju kantor. Embusan angin menerpa wajah
Fanny dgn cukup kencang sewaktu Bayu memacu motornya.
Fanny kini benar2 sumringah. Kantornya sudah terlihat dlm jarak beberapa meter dan waktu
dijam tangannya blm menunjukan pukul delapan. Bayu menjalankan motornya menuju area
parkir khusus kendaraan roda dua. Ini adalah kali pertamanya Fanny menjejakkan kaki
diarea parkir itu. Fanny pun turun ketika motor sudah berhenti, lalu membuka kancing helmnya. "Makasih ya,
Bay, udah mau ngajakin bareng."
" Ya, sama-sama," jawabnya sambil meneria helmnya.
Mereka bersama2 brjalan brdampingan keluar dari area parkir motor. Rasanya aneh, benar2
aneh; berangkat ke kantor dgn motor, berdiri diruang terbuka yg sama sekali asing baginya,
dan berada disamping Bayu -berjalan bersamanya. Canggung. Ya, Fanny merasa canggung.
Langkah kakinya pun bergerak dgn kikuk. Dalam hati, dia berharap semoga kakinya tdk
keserimpet, karna saking kikuknya.
" Pukul berapa?" tanya Bayu memecah kebisuan.
Fanny pun melihat jam tangannya, "Masih pukul delapan kurang."
Kebisuan kembali mengiringi langkah2 mereka dan akhirnya mengantarkan mereka ke
tempat absen. Sbgai laki2 Fanny mempersilhkan Fanny terlebih dulu.
" Ladies first."
" Thank you," sahut Fanny yg kmudian melangkah maju dan menghadapkan ID cardnya pd
sbuah alat yg mengeluarkan sinar merah. Alat yg persis sama digunakan oleh petugas kasir
supermarket itu membaca sbuah bercode yg terletak dibagian bawah kartu identitasnya.
'Beep!' alat itu berbunyi.
B023R08 SUKSES : : AGRIFANI MARISA : : IN : : 07.56
Absen staf PT Prakarsa Utama
" Oh, nama lengkap kamu Agrifani Marisa" Aku baru tahu. Aku kira Fanny siapa gitu..." ucap
Bayu sambil mengangguk-angguk.
*** Fanny mengirim pesan kepada Bayu dgn progam LAN Talk.
Fanny : Bayu Bayu : Apa Fanny : Bisa minta tolong ga"
Bayu : Mau minta tolong apa"
Fanny : Kesini sebentar aja ya...
Bayu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja Fanny.
Biasanya jika ada masalah, Fanny brtanya pada Winda, berhubung Winda adalah tetangga
terdekatnya. Namun, karna Winda sdang tdk ada, Fanny langsung teringat Bayu yg hari ini
'menyelamatkannya'. " Aku mau bikin tulisan titik2. Td aku nyoba ke wordart, tp abis itu nggak tahu lg diapain.
Aku lupa." " Oh," seru Bayu lalu mendekat, berniat mengambil alih mouse Fanny dan sedikit
membungkuk. Samar2 hdung Bayu mencium aroma lembut cokelat dari losion Fanny. Secara berkala,
Fanny memang slaku mdngoleskannya ditangan karna berada diruangan ber AC untuk
waktu yg lama membuat kulitnya kering.
Bayu menggerakan mouse dan mengeklik kata 'insert. Lalu, dia memelih sbuah ikodn yg
bertuliskan huruf A kapital yg miring ke kanan. "Mau pilih yg mana nih?" tanya Bayu ketika
muncul sejumlah contoh tulisan dgn berbagai macam bentuk. "Pilih yg standar aja ya," kata
Bayu menjawab pertanyaannya sendiri. Dia pun mengeklik contoh tulisam yg berada disudut
kiri atas. " He-eh, terus?" Fanny menanggapi.
" Ketik teksnya." Bayu asal ngetik sehingga muncuk kata yg tak terbaca. "Pilih OK."
" kalo sampe situ aku udah ngerti. Nah, abis ini nih, aku nggak tau lg diapain," ujar Fanny
sambil menunjuk monitornya.
" Tulisannya diklik kanan, pilih Format WordArt. Kamu klik ini, colors and lines, pilih fill
effects, terus ke pattern."
" ooh.., gitu." Fanny akhirnya mengerti.
" Nih kan, ada yg titik2."
" Sip, ngerti aku sekarang." Fanny mengambil alih mouse nya. "Thanks ya, Bay." sahut Fanny
merasa lega karna ada orang yg bisa dia andalkan.
*** Sejak pukul sebelas Fanny menekuri kertas2 kerjanya. Dgn konsentrasi tingkat tinggi, Eanny
mengedit proposalnya. Pulpen yg dia gunakan menorehkan tinta merah pada stiap
kesalahan yg telah diperbuatnya. Smentara agar perhatiannya tdk diinterupsi oleh
lingkungan sekitarnya, Fanny memilih menyubat telingannya dgn earphone iPod nya.
Memiliki tingkat konsentrasi kerja yg tinggi, sekaligus menikmatinya adalah hal yg dialami
Fanny skarang. Dgn volume suara yg dikeraskan, Fanny mengerjakan pekerjaannya sambil
mengangguk-angguk mengikuti irama musik yg berdentum2 dikedua telinganya. Ketika tiba
dibait refrain, Fanny pun melakukan lipsync. lagu 'How Far We've Come' yg dibawakan oleh
Matchbox Twenty. 'But I believe the world is burning to the ground
Oh well, I guess we're gonna find out
Let's see how far wa've come
Let's see how far wa've come'
Fanny sengaja menyiapkan sejumlah lagu berirama cepat di di playlistnya karna lagu2 yg
semacam itulah yg dapat memberikan energi tambahan untuknya.
Saat ini Fanny telah mencapai lembaran terakhir. Berbeda dari lembaran2 sbelumnya, pd
lembaran ini tdk bnyak ditemukan kesalahan.
Satu pekerjaan selesai sudah, kini pekerjaan yg selanjutnya adalah memasukan semua
koreksian yg bertinta merah itu ke dlm softcopy.
" Woaaah..." refleks Fanny merentangkan kedua tangannya. "Eh, orang2 pada kemana?"
tanyanya stelah menyapu pandangan ke seisi ruangan, dan hanya mendapati dirinya dan
Bayu yg tersisa. Fanny kemudian mematikan iPodnya agar dapat mendengar jawaban Bayu.
" Makan," jawab Bayu singkat yg jg sdang tenggelam dlm kesibukan karna dia terus
mengerakan sepuluh jarinya dgn cepat untjtk menekan deretan huruf diatas keyboard
secara bergantian. " Makan?" ulang Fanny dgn intonasi berbeda. "Emang skarang sudah jam istirahat?"
Bayu sengaja tdk merespons karna Fanny akn tahu sendiri jwbannya ketika dia melihat jam.
" Ya ampun, udah mau jam stengah aja!"
" Kamu nggak makan, Fan?" tanya Bayu.
" Makan. Tp kalau jam segini baru turun males jg. Kamu enak udah beli makan. Aku minta
tolong beliin sama Mas Uun aja deh," kata Fanny menyebut nama office boy kantor mereka.
Lalu segera menelpon, namun ternyata tukang gado2 dekat kantor mereka tutup.
" Mau aku temenin makan diluar?" tanya Bayu tiba2.
Karna tdk punya pilihan lain, Fanny mengiyakan ajakan Bayu.
*** " Untung bnget kamu bawa helm lg," ucap Fanny saat mereka menuju tempat papkir.
"Bakalan percuma kalo ngajakin bareng, tp nggak ada helm."
" Aku tiap hari bawa kok," sahut Bayu. "Soalnya, adikku pas pulang kuliah suka minta
bareng." "Eh, bknnya sekarang udah libur?"
" Iya. Cuma dia anaknya gitu, nggak bisa diem. Libur nggak libur tetep aja ke kampus. Ikut
organisasi inilah, organisasi itulah. Apalagi kalau mau ngadain acara, pulangnya malem
terus. Kalo udah gitu, aku yg kena. Aku disuruh ibuku mencari adikku." cerita Bayu ketika
mereka sdang menikmati makan siang.
Mendengar cerita tentang adik Bayu, membuat Fanny teringat pada masa kuliah dulu.
" Adik kamu cewek?" tebak Fanny.
" Iya." " Semester brapa skarang?"
" Mau semester lima."
" Enak punya adik.."
" Maksud kamu?" tanya Bayu.
" Aku anak tunggal. Jadi nggak tau gmana rasanya punya adik, punya kakak. Eh, tp mulai hari
ini aku punya adik. Adik sepupu sih. Mereka baru dateng dari Surabaya, makanya mobilku
dipakai papa buat jemput mereka," jelas Fanny.
15. Big Boss -Alin" Selamat pagi, Bu," sapa seorang satpam kepada Alin yg berjaga dipalang pintu otomatis.
" Pagi, Pak Mardi." balas Alin sambil tersenyum dari balik kaca jendela mobilnya yg
diturunkan. "Yuk, Pak." kata Alin lg sambil melambai keluar jendela ketika mobilnya sudah maju.
Audi hitam Alin meneruskan perjalanannya menuju lapangan parkir dgn kecepatan rendah.
Dia sudah tahu dmana dia seharusnya memarkir mobilnya.
Ketika kendaraan pribadi Alin sudah terparkir sempurna, dia mematikan mesin mobilnya
dan bersiap turun sambil membawa serta tasnya. Sbelum Alin meninggalkan mobilnya, dia
melihat seperti apa kerusakan yg diterimanya ketika dlm perjalanan menuju kantor tadi.
Sbuah sepeda motor tiba2 menyeruduk bgian belakang mobiknya. Alhasil, tepat dibgian
pojok kiri terlihat jelas tiga garis putih dan belasan garis halus.
Stelah selesai mengecek, Alin melangkah menjauhi mobilnya.
Alin melenggang menuju loby utama, stidaknya ada lima orang yg menyapa, "Pagi, Bu," dan
Alin slalu membalasnya dgn tdk lupa memberikan senyumannya. Hal serupa jg dialaminya
ketika dia baru keluar dari lift dan berjalan melewati koridor untuk menuju ruang kerjanya.
" Wah, ngeteh nih.." celetuk Alin kpada Ririn sambil menyeringai.
Karyawati bgian redaksi yg sdang mencelup-celupkan kantong teh agak terlonjak. "Eh, iya,
Bu, ngeteh," ucapnya kikuk, tp hal itu disambut dgn senyum ramah Alin.
" Indah," panggil Alin kpada sekretarisnya. "Emmy sudah datang blm?" tanyanya sambil
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju kearah ruangan pemimpin redaksi.
" Sepertinya belum, Bu," jawab Indah yg tetap memegang mouse nya.
" Nanti kalau sudah datang suruh keruangan saya ya."
" Iya, Bu," sahut Indah lg yg kembali meneruskan pekerjaannya.
Alin masuk kedalam ruangannya. Sambil mengingat-ingat hal yg sudah dilakukan kemarin,
Alin menyalakan komputer untuk mengecek email yg masuk.
Kemarin diadakan rapat redaksi yg membahas tentang perubahan logo, slogan, atau
persiapan launching untuk menyebar luaskan kpada khayalak umum bahwa Close to You
telah berganti wajah. Mengenai logo dan slogan, Alin menyerahkannya kpada bgian redaksi.
Sementara untuk launching, dia menyerahkannya pada bgian promosi dgn menggandeng
pihak luar untuk menggelar event besar tersebut. Dari sekian bnyak EO yg ada, Alin memilih
Omega -EO tempat Theo bekerja-. Alin sengaja memilih EO tersebut karna baik pihaknya
maupun pihak Omega pasti tdk akn menemui masalah dlm berkomunikasi, mengingat
antara Alin dan Theo sudah terjalin hubungan baik.
Alin mengetik alina_sc@yahoo.com dikotak identitas emailnya,-singkatan nama dari Alina
Sarah Cornellya, yg merupakan nama lengkapnya. Lalu, memasukan password. Ketika
melihat iklan internet yg memuat gambar mobil, Alin teringat dgn bumper belakang Audinya
yg lecet. Segera saja dia mengangkat gagang telepon, menekan tiga angka yg berbeda,
"Darto, bisa keruangan saya sbentar."
" Baik, Bu," jawab OB yg sdang berada di pantry itu.
Tdk lb kemudian, Darto masuk dan Alin menyodorkan kunci mobilnya.
"Bumper belakang mobil saya lecet, tolong bawa kebengkel."
" Baik, Bu," sahut Darto sambil menerima kunci mobil itu.
" Uhhmm, Darto." Alin menghentikan langkah OB yg brseragam abu2 itu. "Kalo ada apa-apa,
kamu pake aja uang yg ada didlm dompet," tambahnya sambil menunjuk ke arah dompet
lipat yg digantungi beberapa kunci.
Darto menunduk dan melirik ke dompet yg ada di genggamannya. Lalu, kembali mendongak
dgn berkata, "Baik, Bu."
Darto sepertinya tdk memiliki perbendaharaan kata lain selain 'Baik, Bu' kalau sdang
brhadapan dgn Alin. Alin memutar kursinya sehingga dia kembali menghadap komputer. Di inbox emailnya
trdapat tiga pesan yg datang dari klien dan bawahannya, dilengkapi dgn attachment files.
Terdengar orang mengetuk pintu.
" Masuk," seru Alin dan dia pun mengabaikan email trsbut untuk sementara waktu.
" Ibu tadi manggil saya?" tanya Bu Emmy yg masih berdiri diambang pintu.
" Iya, Bu. Ayo duduk." Alin mempersilahkan Bu Emny duduk.
" Ibu nanyain soal cover ya, Bu?" tanya Bu Emmy yg membawa selembar kertas yg memuat
sbuah gambar full collor.
" Udah jadi?" " Udah, silakan dilihat, Bu."
Alin mengamati kertas yg ada didpannya. Pada bgian paling atas, terdapat tulisan Close to
You yg ditulis dgn huruf Chaparral Pro. Huruf 'o' pada kata 'to' diganti dgn logo baru majalah
ini yg bentuknya bulat. Logo itu terbentuk dari huruf C, T, dan Y yg merupakan inisial
majalah yg dipimpin Alin ini. Sdikit ke bawah dari kata 'Close to You', trdapat slogan
berbunyi 'Everything You Need'. Kata everything dipilih karna majalah ini memuat sgala hal
tentang wanita. Tdk sekedar fashaion dan kecantikan, tp jg tentang kesehatan, hubungan
dgn pasangan, keuangan, profesi, dunia hiburan, hobi, kuliner dan wisata.
Untuk cover girl, diletakan gambar salah seorang aktris nasional yg karirnya terus
meningkat. Sementara pada sisi kanan kiri, dipenuhi sejumlah tagline yg nantinya dibahas
secara tuntas dibagian dlm. Last but not least, penglihatan Alin menangkap harga majalah
edisi ini yg didiskon. Mengingat majalah ini tampil dgn wajah baru, Close to You
menawarkan harga promosi.
Alin mengangguk-angguk. "Bagus," pujinya.
Emmy tampak sumringah dan dia pun smakin yakin kalau januar-setter yg mengatur tata
letak contoh cover itu, selalu dpt diandalkan.
" Soal liputan, artikel dan semua konten majalah gmana?"
" Sedang dikerjakan. Kami usahakan secepatnya siap."
" Oke." Alin mengangguk-angguk sbgai isyarat kalau pertemuan antara dirinya dan sang
pemimpin redaksi sudah selesai. Sementara Bu Emmy bersiap bangkit, Alin berkata, "Ini
buat saya ya, buat contoh saat ketemuan dgn orang Omega. Terima kasih, Emmy."
" Iya, Bu, permisi."
*** " Dit, dari tadi handphonmu teriak2 tuh," kata Agung memberi tahu.
Ditya yg baru saja kembali dari toilet, segera melihat ponselnya.
" Siapa" Alin, ya?" tanya Agung.
" Iya, siapa lagi." jawab Ditya yg kemudian duduk diatas kursinya.
" Nggak telepon balik, Dit" Pulsanya ada kan?" Agung bersiap meminjamkan ponselnya.
" Santai aja. Nanti paling Alin nelpon lagi."
" Dasar kamu, Dit."
Tak lama, kembali ponsel Ditya berbunyi. "Tuh kan, Alin pasti nelepon lagi."
Ditya langsung menyapa Alin dan melancarkan kata2 gombalnya. Sementara dua sejoli itu
asyik ngobrol, Agung cuma bisa geleng2 kepala sambil ber-ck ck ck ria. Agung tahu betul
tentang Ditya, terutama tentang petualangan cintanya dgn Alin. Merasa sudah cukup
memikirkan urusan orang lain, Agung pun segera kembali ke dunianya. Menyusun laporan
bulanan yg nanti sore harus sudah selesai.
" Makan siang dimana, Gung?" tanya Ditya yg sudah bersiap-siap pergi.
" Ditempat biasa, biar cepet. Soalnya kerjaan masih numpuk, emang mau makan dimana?"
kata Agung yg tdk melepaskan pandangannya dari layar monitor.
" Aku mau makan sama Alin. Sbenernya males bnget, soalnya jam segini jalan suka macet.
Kesananya aja bisa satu jam. Tapi, tahu sendirilah, Alin nggak bisa terima alasan macam itu.
Cabut dulu ya." " Yup," sahut Agung sambil tersenyum. Dalam hati,dia merasa Ditya harusnya bersyukur
mendapatkan Alin. *** Ditya menginjakan kakinya dgn berat dikantor Alin, kemacetan membuat hatinya kesal.
Berbeda dgn lagu2 romantis yg menyatakan 'semuaku lakukan demi cinta', Ditya lebih
berprinsip -bisa dibilang- 'Smua kulakukan demi uang'. Ditya, jauh dari lubuk hatinya, dia tdk
benar2 mencintai Alin,dia hanya ingin Alin di genggamannya, Alin dan semua kelebihannya,
termasuk uangnya. " Aku udah dikantor kamu, Sayang," ucapnya ditelepon.
" Oke, aku turun sbentar lagi. In, hmm, ten minutes oke?"
Ketika hubungan telepon sudah tertutup, Alin bicara dgn sekretarisnya.
" Indah, nanti saya balik dari makan siang kayaknya agak telat. Kalau ada apa2, kamu handle
aja dulu ya," kata Alin sambil memasukan ponselnya ke dlm tas. "Oh, ya, file ini...." Alin
menyerahkan file penting yg perlu di follow up, dan membicarakannya dgn Indah.
Sementara Ditya yg menunggu dibawah tak henti2nya melihat jam tangannya. Td dia harus
menunggu dijalanan macet, sekarang Alin masih jg membuatnya menunggu. Blm lg, stelah
makan siang nanti, dia akan menjadi pembantu Alin yg dgn setia mengikuti kemanapun
wanita itu melangkah. Berpura2 tdk keberatan menunggunya memilih2 pakaian dan ketika
bingung Alin akan brtanya, "Kamu lebih suka yg mana?" lalu, stelah membayar dikasir, Ditya
bersedia membawakan semua tas belanjaannya layaknya seorang kuli angkut yg berada
distasiun atau bandara. Tampak dari kejauhan, Alin menuruni tanggadan berjalan mendekat. Ditya bersiap2
memasang tampang senang ketika Alin mengulurkan tangannya hendak membuka pintu
mobil. " Wow! Miss Snow White," sambut Ditya ketika Alin mengambil tempat duduk disamping
Ditya. Alin mengenakan trench dress putih.
" Cantik bnget," puji Ditya.
" Masa sih?" Alin besar hati. "Kayaknya biasa aja deh."
" Iya serius." Dia menjawil hdung Alin. "Well, kemana kita nih?"
" Ke Senayan City aja," jawab Alin.
" Okay, your wish is my command."
*** "By the way, mobil kamu yg lecet udah beres?" tanya Ditya.
" Udah, barusan si Darto td balik dari bengkel,"
" Yg BMW atau yg Mercy?"
" Yg Audi.." Ditya tertegun sesaat. Sempat lupa kalau pacarnya itu juga punya mobil mewah yg satu itu.
" Och, lupa kalau bensinku abis. Nanti kita mampir isi bensin sbentar ya," ujar Ditya.
" Oh, oke." Ditya melirik ke alat penunjuk bahan bakar yg letaknya bersebelahan dgn spidometer. Jarum
alat tersebut berada di hampir mendekati huruf E. 'Jika ada Alin, smua akan aman'. Hati
Ditya kembali riang... [ Cowok kayak Ditya, pantesnya di apain ya?" Buang ke laut.! ]
*** Apa yg td dipikikan oleh Ditya menjadi kenyataan. Stelah makan siang, dgn males2an Ditya
mengiringi kemanapun Alin pergi. Memasuki Stiap toko, dan keluar sambil menjinjing
stidaknya dua paperbag, bkn Alin yg menjinjingnya, lebih tepatnya Ditya.
Mereka berdua terus berjalan hingga akhirnya melewati toko yg menjual CD lagu dan VCD
film original. " Mampir dulu ya," ujar Alin.
'Akhirnya,..stelah belanja barang2 untuk cewek, ucap Ditya kecut sekaligus senang.
" Kamu lg pengin film apa?" tanya Alin kpada Ditya. " Yuk, kita cari." Alin tersenyum, tahu
kalau Ditya cukup bosan menemaninya belanja, stelah itu, mereka pun memasuki toko
olahraga. " Aku pengin beliin kamu sepatu, biar kamu rajin olahraga."
setelah beberapa saat memilih, akhirnya mereka keluar dgn membawa tiga paperbag yg
berisi sepasang sepatu joging, sepasang kaos kaki, lima T-shirt, dua stel celana training
beserta jaketnya dan empat handband.
*** Bagasi mobil Ditya penuh dgn belanjaan Alin.
" Makasih ya udah mau nemenin aku."
" Iya. Lagian kan cuma nemenin aja. Kan nggak susah," ucap Ditya berusaha santai.
Ditya memundurkan mobilnya lalu memajukannya, stelah berada diluar petak parkir
mobilnya pun segera meluncur menuju tanjakan yg merupakan jalan keluar dari parkiran
basement yg pengap. " Eh, ini buat parkir ya?" Alin membuka tasnya dan mengambil uang kecil.
Begitulah hubungan antara Alin dan Ditya. Jika mereka sdang jalan2, semua pengeluaran
dibayar Alin, termasuk pengeluaran terkecil sekalipun seperti biaya parkir. Ditya tdk malu
sama sekali, dan Alin melakukannya dgn senang hati. Bahkan, Ditya serhng meminjam uang
kpada Alin. Alasannya bermacam2 dan terkesan remeh, seperti untuk membayar les piano
sepupunya, membelikan ibunya bunga gelombang cinta yg patah karna ditubruk kucing,
atau menggantikan ikan arwana omnya yg mati karna akuariumnya diobok2 adik bungsunya.
Sayangnya, Alin sepenuhnya percaya kpada Ditya dan melakukan semua dgn senang hati
agar Ditya suka. Sampai saat ini hanya Tuhan dan Ditya yg mengetahui untuk apa uang itu.
Dan, Alin pun tdk pernah berniat menagih uang yg telah dipinjam Ditya.
16. Sindrom Hari Senin -Fanny, AlinFanny kembali kekursinya stelah dia pergi kekoperasi untuk membeli dua potong roti.
Seminggu benar2 tdk terasa dan pada hari senin ini, dia merasa tdk bertenaga. Rasanya baru
beberapa jam yg lalu Fanny pergi jalan2 brsama dua sepupunya ketika akhi pekan.
Fanny sadar kalau bkn hanya dirinya yg mengidap penyakit I don't Like Monday. Gejolak
penyakit ini biasanya sudah mulai terasa pada hari minggu sore dan akan mencapai
puncaknya pada malam harinya. Sudah sejak dulu Fanny bertanya2 apa obat dari penyakit
menahunnya ini. 'Aaarrrrggghhh.... Aku terangkap dihari senin!.
Pagi ini, dia sudah di hadiahi setumpuk pekerjaan baru. Itu semua memang makanan
sehari2nya, tp kalau diberikan secara sekaligus seperti ini, rasa2nya Fanny ingin
memuntahkan semua yg sudah dimakannya ketika sarapan tadi. Namun untung saja
perutnya masih cukup kuat brtahan untuk bergejolak.
Dgn semengat hdup seadanya, Fanny berusaha menyekesaikannya stidaknya separuh dan
separuhnya lg dilanjutkan stelah jam istirahat.
Biasanya Fanny sudah merasa lapar pada saat tengah hari seperti ini. Namun, karna
bnyaknya pekerjaan yg harus dikerjakan, dia jd tdk bernafsu makan. Fanny memang tdk
merasa lapar, tp dia tau kalau dia tdk mengisi perutnya dia bisa sakit. Akhirnya sbuah
keputusan diambil. Fanny turun ke lantai dasar, berjalan ke koperasi untuk membeli
makanan yg kiranya sepadan dgn nasi.
*** Jam sudah menunjukan pukul satu siang, Fanny bersiap kembali bekerja.
" Fan," panggil Bayu dari balik monitornya dgn wajah tdk bersemangat. "Aku numpang
ngeprint ditempat kamu ya, printer yg biasa aku pakai, tintanya lg habis."
Dgn lemas Fanny mengangguk dan menjawab, "Iya."
Dgn sistem komputer jaringan, Bayu mengintrusikan printer Fanny untuk mencetak melalui
kompeternya. " Fan, countinue dong." pinta Bayu stelah meletakan kembali kertas yg sudah tercetak ke
tempat semula. Karna Bayu ingin mengeprint bolak-balik, jd kotak yg brtuliskan continue
pada monitor Fanny harus diklik.
" Kamu knapa Fan" Kok nggak semangat gitu sih." ujar Bayu.
" Aku lg nggak mood."
" Nggak mood knpa?" tanya Bayu.
" Entah. Rasanya, roh aku ketinggalan di weekend kmarin," jawab Fanny sekenanya.
Bayu terkikir geli mendengar ucapan Fanny. "Ada yg bisa dibantu" Media monitoring,
mungkin," kata Bayu enteng.
" Beneran, Bay?" Fanny bersemangat mendengar Bayu brsedia meringankan pekerjaannya.
" Kerjaanku udah selesai. Daripada aku nggak ngapa2in, mendingan aku bantuin kamu."
" Betul.., betul." sahut Fanny bercanda.
*** " Fan, kamu lg sibuk nggak?" tanya Alin dari seberang telepon sana.
" Enggak, biasa aja. Emang knpa, Lin?" sahut Fanny enteng.
" Kita ketemuan yuk. Kangen nih," sambung Alin excited.
" Ayo. Kapan?" tanya Fanny.
" Rabu depan?" " Rabu" Hmm..,bisa sih, tp knpa nggak jumat aja?"
" tadinya sih jg mau hari jumat, tp Rika lembur dar hari ini sampai senin depan," papar Alin.
"Jumat dpn kelamaan, aku udah keburu kangen. Selasa aku nggak bisa, ada meeting sampai
malem," sahut Alin. " Aduh, temen2ku pd sibuk smua. Oke deh, Rabu nggak masalah."
" Aku iri sama kamu, kira2 kpn ya aku nggak di bayang2i pekerjaan. Nikmati aja waktu
senggang kamu," ujar Alin memberi saran. "Kangen nih sama kalian. Waktu acara ultahku,
kita nggak sempet ngobrol bnyak."
" Rabu nanti kamu puas2in deh ngobrolnya. Terserah mau cerita apa, aku siap dengerin dan
nimpalin." Fanny mulai memberesi mejanya karna jam hampir menunjukan pukul lima sore.
"Jadi nggak sabar pengin ngobrol.., eh ngegosip maksudnya." Fanny tergelak.
Fanny tersenyum. Rencana pertemuan dgn sahabat2nya itu seakan menjadi doping baginya
untuk menghadapi pekerjaan selanjutnya.
" Hmm.... Lin," Fanny tiba2 ragu, "eh, Ditya apa kabar?"
" Baik. Kemarin dia habis nemenin aku belanja."
" Kirain dia sibuk." Fanny mencoba membuka celah informasi.
" Kadang dia sibuk juga,tp sbisa mungkin dia meluangkan waktu untu aku, kok." ucap Alin
riang. " Oh,gitu." Fanny menyandarkan punggungnya dan memainkan ujung rambutnya saat Bayu
melintas. " Fan, aku duluan. Sampe ketemu besok, ya." kata bayu pamit.
" Tunggu.., tunggu sebentar ya, Lin." Fanny menjauhkan ponsel dari mulutnya.
" Iya, hati2. Makasih ya, Bay." sahut Fanny dgn stengah berteriak.
" Eh, udah mau pulang ya?" tanya Alin yg td samar2 mendengar ada teman Fanny yg
berpamitan kpadanya. " Nggak kok, belum." tepis Fanny cepat2.
" Udah sore nih, kita pulang aja yuk," ucap Alin terkekeh. "Hari ini capek bnget. Seharian aku
wara-wiri." " Oh, ya udah. yuk."
" Bye, Fan." " Bye." Masih pukul lima. Jarum panjang dijam duduk Fanny blm jauh meninggalkan angka dua
belas. Fanny mematikan komputernya, membereskan mejanya, dan mengembalikan
pulpen2 ketempatnya. Fanny keluar ruangan dan melangkah dgn langkah ringan menuju lift. Dia tersenyum. Senin
sore ini cukup menyenangkan.
17. Isi Hati -Fanny" Teman kamu Nadine atau Eric?" tanya Fanny ketika membaca kertas kecil yg disematkan
pada suvenir. " Eric," jawab Theo sambil berjalan berdampingan dgn Fanny menjauhi meja penerima
tamu. Hari sabtu ini, Fanny diajak untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan teman kerja
Theo. Ini adalah pertemuan pertamanya stelah dua pekan tdk brtemu sama sekali. Fanny
bersyukur teman Theo menikah hari ini karna kalau tdk ada acara ini, bisa jadi tdk ada
pertemuan sama sekali. Sore nanti sekitar pukul empat, Theo harus sudah berada dibandara
karna dia kembali ditugaskan ke luar kota, yg kali ini ke Denpasar.
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Eh, ada karangan bunga dari PT Tri Optima. Nadine nya kali ya yg kerja disana," ujar Fanny
sewaktu mau memasuki ruang resepsi.
Theo ikut melihat apa yg dilihat Fanny.
'Selamam Menempuh Hidup Baru
Nadine & Eric PT Tri Optima' " Mungkin," sahut Theo singkat.
" Jadi pengen tanya Rika. Kali aja dia diundang. Jadinya kita bisa ketemu disini. Aku tanya
ah," gumam Fanny sambil mengeluarkan ponselnya,
Iring2 pengantin baru sampai. Mereka ada diujung sana dan tampak sdang mengatur
barisan. Aura kebahagiaan kedua mempelai terpancar kuat. Dgn sangat perlahan, iring2an
itu melangkahkan kakinya sesuai dgn irama tertentu.
Fanny pun berkhayal. Kira2 kapan gilirannya berjalan berdampingan bersama Theo diatas
hamparan karpet merah itu. 'Mungkinkah Theo yg sdang berdiri disampingnya, diam2
memikirkan hal yg sama dgnnya"' Sekali lg, hati Fanny ingin ditegaskan mengenai hubungan
ini. Tp, jika dia menyinggung hal ini skarang, apakah akn terkesan terburu2, atau Theo yg
slama ini sbenernya sama sekali tdk peka dgn apa yg sdang berkecamuk di dlm diri Fanny.
" Alin pernah cerita, meskipun bkn artis Hollywood, tp ketika nikah nanti, dia bisa ngerasain
suasana acara Academy Awards," papar Theo lalu trtawa kecil. "Hamparan karpet merah
itu," tunjuknya samar2 dgn ujung jarinya, "dan tamu2 undangan dianggap paparazzi yg lg
ambil foto." Fanny menoleh dgn kedua alis yg bertaut. "Kenapa kok tiba2 jd ngomongin Alin?" dia
kecewa, ternyata Theo tdk peka dgn apa yg sdang berkecambuk didalam dirinya.
" Lagi inget aja." jawab Theo mengedikan bahunya. "Oh iya, waktu hearing sampai malem
kemarin, aku perhatiin Alin sama sekali nggak ngantuk. Dia bener2 nyimak proses report
bawahannya." Fanny merasa tersindir habis-habisan. Stiap acara pertemuan dia selalu merasa bosan dan
mengantuk. Dia ingin menyahut, tp tasnya tiba2 bergetar membuatnya mengurungkan
niatnya. Ada balasan SMS dari Rika. Ternyata, Rika tdk kenal dgn Nadine dan sekarang dia sdang
benar2 lembur. " Fanny." Dia mendengar namanya dipanggil dari belakang oleh seseorang yg suaranya sudah tdk
asing lg. "Bayu?" kata Fanny senang sekaligus heran. "Kok bisa ada disini juga?"
" Aku baru dateng. Aku temen kuliahnya Nadine."
" Ya ampun, dunia segini luasnya kita ketemunya disini. Nggak nyangka. Berarti kamu
bareng sama temen2 kuliah kamu dong?"
" Yup. Tuh, pada ngegerombol disana," jawab Bayu menunjuk tiga orang laki2 dan dua orang
perempuan yg berdiri melingkar sambil asyik mengobrol.
" Oh iya," Fanny menoleh pada Theo, "Bayu, kenalin, ini Theo," ucapnya sambil
menggandeng lengan Theo. "Theo ini Bayu, temen kantorku."
Bayu menjabat tangan Theo dgn senyum dingin. "Oke deh, aku gabung dulu sama temen2
ya," ucap Bayu segera beranjak.
*** " Bay, kita duluan ya," kata Fanny berpamitan kpada Bayu.
" Oh, iya..., iya."
" Yuk, Bay," ucap Theo sambil mengangkat tangannya.
" Sampai ketemu hari senin ya," timpal Fanny.
" Iya. Awas jangan sampai kena sindrom hari senin lagi."
Fanny tersenyum mendengarnya. "Iya nih, berarti harus dapetin vaksinnya dulu," katanya
sambil terkekeh, begitu juga dgn Bayu. "Eh, iya, tentang hari senin," Fanny terhenti, teringat
sesuatu. Theo sudah terlanjur menjauh.
Obrolan singkat tentang hari senin ternyata merambat ke hal lain. Sejenak mereka bergosip
tentang Winda yg konon kabarnya rela melakukan apapun agar predikat karyawan teladan
tahun ini dpt diraihnya. Mereka jg membicarakan Pak Budi yg cocok jika disandingkan dgn 'si
calon karyawan teladan itu'. Ya, mereka cocok, cocok menadi pasangan angka sepuluh.
Winda yg tinggi kurus menjadi angka satu dan Pak Budi yg bulet pendek menjadi angka nol.
Sementara itu Theo berdiri sendirian tdk jauh dari meja buffet, menunggu Fanny. Dia
merasakan dua menit yg menyiksa, melihat kekasihnya mengobrol bersama teman prianya
dgn begitu akrab. Fanny tdk pernah bercerita tentang pria itu sbelumnya. Padahal, biasanya
dia selalu menceritakan apapun kpadanya.
" Yuk, Bay." tukas Fanny akhirnya, melihat Theo yg sudah menunggu.
Bayu memandangi Fanny yg brjalan dgn anggunnya menuju pintu keluar. Cukup lama dia
memperhatikan Fanny yg terus berjalan menjauh sampai akhirnya sebuah suara
mengagetkannya, "Jadi.., cewek itu yg belakangan ini udah bikin hati kamu klepek-klepek?"
cetus Satria tiba2 yg sudah mengetahui isi hati Bayu. Bayu mengangguk sambil mengerling
sejenak ke arah sahabat karibnya sejak kuliah.
"Cantik," ujar Satria memberi tanggapan singkat. "Eh, engga deng. Dia enggak cantik,"
koreksi cepat2. Mendengar perkataan sobatnya, Bayu mengernyit.
" Dia nggak cantik, tp cantik bnget." Satria tertawa.
" Dia cantik, berkelas, elegan. Asyik diajak ngobrol juga."
Satria bersiul menggoda. " Tp, ya begitulah, Sat," Bayu mengangkat bahu, " Udah punya pacar."
18. Something's Wrong -Fanny, Alin, RikaSore itu Fanny menjadi orang pertama yg datang di resto tempat mereka janjian. Sambil
menunggu dua sahabatnya datang, dia mengeluarkan playbook nya dan mulai berselancar
di dunia maya melalu fasilitas wi-fi resto. Lemon tea sama french fries sudah ada
dihadapannya. Di sela2 penantiannya, mendadak dia disergap rasa rindu terhadap Theo.
Tadi siang, dia mengirim SMS, tp statusnya pending dan sekarag ketika dia melihat
ponselnya statusnya berubah menjadi filed. Dia lalu mencoba menelpon. Namun, ketika
baru tersambung yg trdengar hanyalah suara permintaan maaf.
Fanny mendesah kecewa, tp itu tdk berlangsung lama, karna beberapa saat kemudian Alin
dan Rika datang berbarengan.
"Hei, datengnya kok bisa barengan sih?" Fanny bangkit dari duduknya, cipika cipiki dgn Alin
dan Rika. "Tadi ketemu ditoilet," jawab Alin. "Udah pesan, Fan?"
"Baru pesan minum sama cemilan."
"Haduh aku laper nih. Tadi nggak sempet makan siang." Rika langsung menyambar daftar
menu. " Hah" Kok bisa?" tanya Fanny kaget sekaligus khawatir. Alin dan Fanny juga menelusuri
pilihan menu. "Biasalah," sahut Rika. "Kejar tayang." Rika merengut.
" Aku sebel deh, kalian curang! Beberapa hari belakangan ini kalian ketemu terus, tanpa
aku." Alin berceloteh. "Ayo dong ceritain, kalian ngapain aja."
Fanny pun dgn fasih menceritakan kembali kisahnya dgn Rika kpada Alin, juga kisah Rafa.
Dia melirik Rika, "Tentang temanmu itu dong, Rik," goda Fanny, berharap Rika bisa
mengalihkan kesedihan karena kepergian Eros. Sudah hampir lima bulan berlalu.
"Antara Rika dan Rafa mempunyai kesamaan nasib. Hmm..." Alin sengaja membuat
kalimatnya menggantung. Wajah Rika merona dan dia tdk dpat menyembunyikannya dari dua sahabatnya itu. Segera
saja dia menunduk dan menggunakan daftar menu untuk menutupi wajahnya.
"Temen biasa aja," ujar Rika.
" Kamu sekarang bisa aja ngomong begitu. Tp seiring dgn berjalannya waktu, who knows?"
Alin mengedikkan bahunya. "Iya kan, Fan?"
Fanny mengangguk. Mereka tersenyum, tak lg memperpanjang obrolan itu.
Begitulah Rika, dibanding yg lain, dia paling tertutup. Dia juga pemalu.
*** Setengah jam berlalu dan sesi mengisi perut selesai sudah.
"Weekend nanti aku mau treatment di spa, ah. Lembur kemarin bikin badanku capek bngt.
Energiku habis nggak tersisa. Kalian enak, kerjaan kalian lg santai," ujar Rika.
" Siapa bilang?" protes Alin. "Aku harus meeteng sana sini. Dua hari yg lalu aku inspeksi ke
percetakan, mastiin mesin2 produksi. Fanny tuh yg kerjanya lg santai."
Fanny terkekeh. "Kabar Theo gmana, Fan?" tanya Rika.
"Baik2 aja, tp kayaknya lg sibuk."
"kayaknya?" Rika tanya balik dgn intonasi heran, "Berarti kamu nggak tahu pasti dong
sebenernya dia lg sibuk atau enggak."
" Kamu punya pacar gmana sih?" sambar Alin. "Kok bisa sih sampai nggak tahu gitu.
Padahal, kerjaan kamu lg santai. Emangnya nggak pernah telepon-teleponan" Makanya,
kalau punya pacar tuh diperhatiin, diurusin. Ditanya kabarnya, lg sibuk apa. Jangan dicuekin.
Kamu kan jarang ketemu. Jangan2, Theo punya seseorang loh diluar sana." tuturnya
bercanda. Entah mengapa, ada api emosi yg memercik dihati Fanny. "Hmm, masa" Jangan2 Ditya?"
ujar Fanny datar. Tiba2 dia menyesali ucapannya. Mungkin, karna merasa lelah dua hari ini,
dia jadi cepat emosi. "Maksud kamu?" nada bicara Alin sedikit tinggi. Dia tampak menahan sesuatu. Fanny
berpikir mungkin Alin sbenernya sudah tahu, hanya menyembunyikan dari dirinya sendiri.
"Jangan menuduh sembarangan, Fan. Aku percaya sama dia." ucapnya ketus.
"Hmm, sepertinya..., mungkin sekarang saat yg tepat," ujar Fanny sambil menarik napas.
Rika meliriknya, tp Fanny tetap bicara, "Mungkin emang sudah saatnya kamu tahu. Aku liat
Ditya sama cewek lain."
Alin terdiam. Dia tampak tak terlalu terkejut, tp dia memang sudah biasa dlm menghadapi
masalah dgn karyawan-karyawannya, mampu menutupi emosinya. Itu yg ada dlm pikiran
Fanny. "Lin," panggil Rika lembut dan mencoba meraih Alin dgn tangannya.
"Nggak mungkin!" sembur Alin. Dia menepis tangan Rika. "Aku tahu betul siapa Ditya. Kamu
bohong, Fan. Kamu pasti salah lihat. Ditya nggak mungkin selingkuh." tiba2 emosi Alin tak
trtahankan. Fanny tdk bersuara, cukup terkejut dgn reaksi Alin yg berbeda dgn harapannya.
"Kapan kamu liat Ditya selingkuh?"
"Malam acara ulang tahun kamu. Nggak sengaja mobilnya ada disampingku pas lagi nunggu
lampu merah. Aku yakin dia terlambat ke acara ulang tahun kamu karna dia habis ketemu
cewek itu." Mata Alin nanar. Dia berganti-gantian menatap Fanny dan Rika. Napasnya pun memburu.
"Rik, kamu kenal Ditya kan" Bilang ke aku kalau cerita fanny itu bohong." Rika menghela
napas, tak bisa berkata apa2.
Alin kembali diam, "Tp knapa kamu baru bilang sekarang, hah?"
"Waktu itu aku nggak mau ngerusak hari ulang tahun kamu. Lagi pula aku masih berpikir
positif kalau Ditya cuma khilaf."
" Enggak.., enggak. Kamu baru bilang sekarang karna kamu butuh waktu untuk ngarang
cerita ini. Iya kan"! Aku tahu kamu bohong, Fan!"
" Bohong" Bohong apa lg sih, Lin" Semua yg aku ceritain itu benar kok."
" Ini semua cuma karangan kamu,., karangan kalian." Fanny dan Rika sama2 terbelalak. "Aku
tahu, selama ini kalian sering ketemu tanpa aku. Bisa jadi kalian diem2 ngerencanai sesuatu
yg buruk buat aku. Sahabat macam apa sih kalian, nggak seneng kalau sahabatnya bahagaia.
Aku sama Ditya bahagia, dan kalian mau ngerusak kebahagianku.."
Hati Fanny mencelos mendengar tuduhan itu.
"..... Sebenarnya apa yg salah sih" Ditya itu baik. Atau jangan2 selama ini, tanpa
sepengetahuanku, kalian nggak suka sama Ditya?"
" Lin," bentak Fanny.
Alin membereskan tasnya. "Aku harus pergi sekarang."
"Lin, tunggu," ucap Rika tp tdk digubris Alin.
Fanny hanya terdiam. "Ini semua gara2 aku, gara2 pertanyaan bodohku," ucap Rika penuh penyesalan. "Aku nggak
nyangka akhirnya kayak gini jadinya."
"Nggak. Kamu nggak salah apa-apa, Rik."
"Seharusnya, td aku nggak tanya keadaan Theo ke kamu. Padahal pertanyaan itu pertanyaan
biasa, tp entah knapa momennya nggak pas."
Sunyi. Tdk ada satupun dari mereka yg bicara.
Fanny menyandarkan punggungnya. Wajahnya pun tampak murung dan tdk seperti Fanny
yg biasa. " Yah, mungkin aku agak tersinggung dgn ucapan Alin. Sekarang, aku merasa Theo jauh dari
aku. Nggak cuma secara fisik -karna dia sering ke luar kota, tp jg secara psikis. Dia semakin
sibuk, nggak cuma nangani proyek dari Alin." Fanny memberingsut maju, sikunya berada
diatas meja dan tangannya menopang kepalanya yg terkulai lemas. "Selama ini, masih tetep
komunikasi seperti biasa. Stiap ada telepon atau SMS dari dia, awalnya aku merasa senang.
Tp, saat aku angkat telepon atau baca SMSnya, perasaan senang itu langsung berubah jadi
datar. Mungkin, aku jenuh, Rik..."
19. Merenung.... -AlinKata-kata Fanny menggema dikepala Alin; Ditya selingkuh. Keesokan harinya dia menelpon
Ditya, menguji apakah ada perubahan pada cara bicaranya. Namun, usahanya tdk
membuahkan hasil, Ditya masih sama seperti biasa, tdk ada yg mencurigakan sama sekali.
Pasti salah satu dari mereka ada yg berbohong, pikir Alin. Fanny atau Ditya".
Alin kini membenamkan punggungnya disandaran kursi dan mengatur napasnya agar lebih
relaks dan tenang. Stelah itu dia memutuskan untuk mengesampingkan dulu masalah
pribadinya dan memilih untuk merenungi perkataan general managernya.
Meeting dgn Pak Yudhis membuatnya bersemedi diruang kerjanya siang ini. Pak Yudhis
menyimpulkan bahwa perlu ada maintenance untuk mesin2 produksi. Sementara di divisi
HRD, sejumlah karyawan yg sudah bekerja selama lima tahun 'curhat' mengenai
kesejahteraan. Kemudian, lain halnya mengenai tampilan fisik perusahaan yg sepertinya
perlu sdikit mengubah interior, mengingat CTY sudah berganti wajah. Itu smua menyangkut
pengeluaran perusahaan. Keadaan keuangan tdk sanggup untuk membiayai semua pengeluaran itu. Sempat terpikir
untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Namun, pikiran itu buru2 ditepis karna terlalu
beresiko, karna CTY baru mau akan meluncurkan image barunya. Hal yg perlu dilakukan saat
ini adalah menyusun skala prioritas.
Diantara tiga permasalahan, Alin pertama kali menyoroti mesin2 produksi. Jika mesin2 itu
sampai rusak, proses pencetakan pun bisa menjadi malapetaka. Alin tdk mau bencana itu
hadir didpn matanya. Me-maintenance mesin2 produksi sepertinya tdk bisa ditunda lg.
Lanjut ke permasalahan kesejahteraan karyawan. Tiba2, Alin teringat perkatan papinya,
"Jangan sekali-kali menganggap karyawan sbgai pesuruh yg bisa diperintah seenaknya. Tp
jadikan mereka sbgai mitra kerja. Karna tanpa mereka perusahaan tdk bisa berjalan."
Alin sudah memahami betul konsep itu. Permintaan untuk meningkatkan kesejahteraan yg
sudah merupakan hak mereja adalah hal yg wajar. Namun, kondisi keuangan saat ini tdk
memungkingkan. Disisi lain, Alin khawatir kalau mereka jd kecewa dan mulai melirik
perusahaan lain yg menawarkan tingkat kesejahteraan lebih baik. Lima tahun bkn waktu yg
sbentar dan pengalaman yg mereka miliki bersama perusahaan ini pastinya sudah cukup
bnyak. "Oke, jangan anggap ini pengeluaran, tp investasi" Ucap Alin kpada dirinya sendiri.
Namun, ketika melihat rincian pengeluaran, bahu Alin melorot lesu. Event peluncuran the
new CTY membutuhkan dana yg besar. Dgn berat hati, Alin hanya mampu memberikan
stengah dari yg mereka minta.
Memikirkan perihal me-make over interior kantor membuat bibirnya melengkungkan
senyum. Rasanya menyenangkan jika dibeberapa spot tertentu dipajang sejumlah gambar
model yg mengenakan pakaian atau aksesoris yg tengah digandrungi para fashionista. Lobi
utama pun tdk luput dari make over. Ruangan yg mengusung kesan kaku dan formal itu
sepertinya sudah saatnya dipensiunkan, diganti dgn desain interior yg lebih up date.
'Well, may be next time,' pikirnya sambil menghela napas lega. Dia pun berencana
mendiskusikannya dgn sang GM besok agar kebijakannya ini bisa segera dilaksanakan.
Alin meregangkan tubuhnya, ketika kedua tangannya terentang diudara. Tiba2 sbuah ide
hinggap dikepalanya, bkn ide untuk memecahkan persoalan keuangan perusahaan
melainkan ide untuk melanjutkan studi ke jenjang magister. Gelar sarjana yg ia dapatkan
dua tahun yg lalu dan ilmu komunikasi yg dia pelajari selama empat tahun rasanya blm
cukup memadai untuk mengelola perusahaan. Kalaupun dia mau mengambil progam S2,
jurusan bisnis sepertinya menjadi jurusan yg tepat baginya.
Deringan telepon mengembalikan Alin ke dunia nyata.
"Ya," jawab Alin.
" Di bawah ada Pak Theo," sahut resepsionis yg berada dilantai bawah. "Katanya, sudah ada
janji dgn Ibu." " Oh, iya. Langsung suruh naik aja."
Buru2 Alin mengeluarkan beberapa berkas yg diperlukan. Contoh majalah, daftar rundown
acara, dan catatan technical segera disiapkan diatas meja.
Rencananya, acara peluncuran wajah baru majalah Close to You akan diisi dgn acara talk
show, demo masak praktis, dan yg terpenting adalah tawaran harga spesial edisi pertama yg
dikepalai oleh Alin. Seseorang mengetuk pintu.
"Masuk!" seru Alin.
Muncullah sosok Theo. "Masuk, Theo," sambut Alin tersenyum. "Anggap aja dirumah sendiri," lanjutnya sambil
mempersilahkan Theo duduk disalah satu dua kursi didpnnya. "Wah, yg abis jalan2 ke
Pontianak. Mana oleh2nya?"
" Disana hectic bnget, Lin." ujarnya menyeringai.
Ini kali pertamanya bagi Theo masuk keruang kerja Alin. Theo mengedarkan pandangannya
ke sekeliling ruangan. Didekat pintu yg dia lalui, ada dua sofa tanpa sandaran dan sbuah
meja pendek. Di dekat rak yg berisi macam2 majalah, teve layar datar dipasang ke dlm
dinding partisi.
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kuliah empat tahun sama2, lulus jg sama2, tp sekarang jalan hdup udah beda.., beda
nasib." " Oh, come on, Theo." seringai Alin. "Kita masih tetap sama. See, kita lg ngegarap proyek yg
sama." Alin tdk ingin dianggap atasan oleh teman sendiri. "Uhmmm.., kamu mau nggak
kalau kita ngomongin kerjaan kita diluar" Di cafe atau di lounge," usulnya. Dia tdk mau
ruangan direkturnya ini membuat dirinya dan Theo terperangkap ke dlm susunan hierarkis.
Theo tdk menjawab. Dia hanya mengangkat alisnya.
" Yuk, ah. Aku bosan diruangan ini," ucap Alin sambil membereskan tasnya tanpa menunggu
persetujuan Theo. Tak lama, mereka sudah keluar dari gedung kantor Alin itu.
20. Benarkah " -Alin"Aku mau minta pendapat kamu," ucap Alin stelah menyingkirkan berkas2 keperluan
kantornya. "Aku berencana kuliah lg, ambil S2. Menurut kamu gmana, The?"
"Bagus," sahut Theo singkat.
Alin pun menceritakan alasan yg membuatnya merasa perlu untuk meneruskan studinya.
"Kesibukan kamu jadi nambah dong. Harus pintar2 bagi waktu," ucap Theo yg memandangi
Alin dari atas cangkir sewaktu meminum epresso nya.
Diam-diam, Theo menikmati momen ini. Setelah bekerja sama beberapa waktu belakangan
ini dgn Alin, dia kagum dgn pembawaan Alin. Temannya ini sungguh berbeda dgn
mahasiswa yg dulu dia kenal dibangku kuliah. Wanita ini tidak seperti seorang atasan pada
umumnya yg menganggap dirinya superior. Alin tdk malu mengakui kalau dia salah, bahkan
tanpa ada perasaan sungkan Alin sering kali minta diajari, mengingat dia adalah orang baru.
Theo masih cukup heran. Entah bgaimana, dia bisa mengalami akselerasi yg menakjubkan.
Sepertinya, jabatan direktur yg memiliki tanggung jawab super berat 'memaksanya' untuk
mentransformasi dirinya dlm waktu sesingkat ini.
Theo masih ingat dulu Alin adalah seseorang yg mudah terombang-ambing. Dia tdk punya
pendirian jg kepercayaan diri dlm memutuskan sesuatu, bahkan untuk dirinya sendiri. Ketika
menentukan tema skripsi, dia membutuhkan waktu yg lama. Dia tdk memahami dirinya,
atau mungkin, belum,. Dan kecenderungan sendiri.
Namun sekarang, Alin yg dikenalnya kini adalah seseorang yg mandiri, independen, tdk
tergoyahkan, dan bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Masukan2 yg sampai
ditelinganya akan dia pertimbangkan dgn logikanya, bkn serta merta ditelannya bulat2
sehingga membuatnya labil.
Attitude Alin menghadirkan pesona tersendiri dimata Theo dan itu membuatnya menikmati
detik2 kebersamaan dgn salah satu sahabat kekasihnya.
"Theo," panggil Alin dan sesaat kemudian Theo trbangun dari lamunannya. "Mumpung kita
ketemu, ada yg mau aku tanyain."
Theo siap sedia mendengar pertanyaan Alin.
"Menurut kamu, cowok bisa selingkuh, itu karna apa?"
Theo terkesiap mendengarnya. Dia ingat cerita Fanny tentang Ditya. "Kok, tiba2 tanya soal
itu?" "Aku cuma pengen tahu aja. Kamu kan cowok, pastinya kamu lebih ngerti."
Posisi duduk Theo mendadak jadi tdk nyaman, dia gusar. Dia tahu kalau Alin sdang
membahas tentang Ditya. "Cowok itu selingkuh, hmm...., karena,..." dia memilih kata yg
tepat. "Sebenarnya, kalau ngomongin perselingkuhan nggak lepas dari tiga pihak; pihak
pasangan itu sendiri dan pihak luar..., bisa orang ketiga atau lingkungan sekitar. Semua
punya potensi destruktif yg sama besarnya. Tp, kalau soal cowok yg selingkuh, bisa jadi
karna si cewek udah nggak menarik lagi dimatanya dan dia menemukan cewek lain yg lebih
menarik. Ditambah juga dgn lingkungan yg mendukung,., misalnya antara si cowok dan si
cewek pihak ketiga berada ditempat yg sama dan sering berinteraksi satu sama lain." Wajah
dan leher Theo terasa panas. Dia seperti sdang membicarakan dirinya sendiri..., tentang
kekagumannya terhadap Alin.
Alin mengangguk dan berpikir apakah Ditya sudah menemukan wanita lain yg lebih menarik
dari dirinya diluar sana. Tp, mengapa dia tega melakukan hal itu" Bukankah selama ini dia
sudah menggenapkan cintanya hanya untuk Ditya seorang..
Alin mencintai Ditya. Itu adalah fakta yg tdk dapat dibantah. Baginya, Ditya adalah orang yg
tepat baginya. Dia selalu bisa menyenangkan dirinya dan tdk pernah mengecewakannya.
Ditengah kesibukannya, Ditya sebisa mungkin selalu mendahulukannya. Itulah yg
membuatnya mencintai Ditya. Dia tahu betul cara memperlakukan dirinya.
Sekarang Alin mengalihkan perhatiannya ke sekeliling kafe dgn kursi dan meja yg ditata
sedemikian rupa. Alin ingin menyesap kembali lattenya lg, tp tiba2 matanya sempat
menangkap sesosok pria yg sudah tdk asing lg baginya. Pria yg duduk jauh diseberang sana,
baru saja bangkit dari kursinya yg kemudian diikuti oleh teman wanitanya.
Alin menyipitkan matanya, mencoba menegaskan pandangannya. Namun usahanya sia2. Dia
pun menyesal meninggalkan kacamatanya diatas meja kerjanya. Tanpa alat itu dia tdk dapat
melihat dgn jelas wajah pria itu.
Perlahan pria itu bersama teman wanitanya berputar menghadapi Alin sejenak, lalu berjalan
menjauhi meja dan menuju pintu keluar.
"Kamu kenapa, Lin?" Theo bingung melihat gelagat Alin yg mendadak berubah.
"Itu Ditya bkn sih" Aku nggak begitu jelas."
Theo memutar tubuhnya. Namun yg dilihatnya hanyalah sbuah punggung yg menjauh.
Sementara itu.., entah mengapa Alin merasa perlu mengemasi barang bawaannya dan
bergegas melangkah mengejar orang itu.
"Lin, kamu mau kemana?"
Alin tdk menjawab. Perhatiannya tersita ke seseorang yg mirip Ditya itu, sementara Theo
merasa tdk punya pilihan selain mengikuti ke mana Alin pergi.
Alin memperlebar jangkauan kakinya. Untunglah dia tdk tertinggal jauh membuntuti
pasangan yg saling menautkan tangan mereka.
Alin menambahkan kecepatan langkahnya agar jarak diantara mereka tdk terpaut jauh.
Ketika Alin sudah tinggal beberapa langkah lg dari mereka, dia pun memanggil sbuah nama
dgn suara lantang., "Ditya!"
Cowok yg brnama Ditya itu refleks menghentikan langkahnya dan secara tiba2 melepaskan
genggaman pasangannya. Ya, nama cowok itu Ditya... Ditya Arfi Andhika, Ditya pacar Alin.
Tdk salah lagi. Alin memang memanggil nama cowok itu. Namun yg menoleh justru yg berada
disampingnya. Anehnya wajah cewek itu menunjukan ketakutan yg teramat sangat. Alin
melangkah mendekati Ditya. Sementara, Ditya terus memperliahatkan punggungnya sampai
jarak antara dirinya dan Alin hanya tinggal beberapa jengkal.
Tiba2 Ditya berbalik dan mulai melancarkan aksi berkelitnya. "Alin, ini nggak seperti yg kamu
lihat, sayang." Ditya mengumbar senyum dan berpura2 tdk terjadi apa2. "Aku bisa jelasin
semuanya." Bukannya kemarahan Alin mereda, tp justru memuncak. Berani2nya Ditya memanggil dia
sayang stelah apa yg dilakukannya didpn matanya. Cinta Alin yg awalnya begitu besar
trhadap Ditya hilang begitu saja, kini tdk ada lg cinta.
"Dear, aku yakin ini hanya salah paham aja. Aku nggak ada hubungan apa2 sama Anya, dia
cuma klien kan...." Plak! Kalimat Ditya langsung terhenti ketika sbuah tamparan keras mendarat dipipi kirinya. Ditya
pun melongo. Dia tdk menyangka kalau Alin bisa berbuat seperti itu.
"Jadi ini balasannya, hah"!" kata Alin berteriak.
Tdk hanya Ditya yg merasakan sakitnya tamparan Alin. Anya yg dari tadi berdiri disebelah
Ditya ikut meringis dan memegangi pipinya.
Alin tdk berkata2, dia hanya memandangi Anya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Dasar cewek sialan!" ucap Alin, lalu berlari kearah mobilnya. Air matanya membuncah dan
dia tak ingin Ditya dan cewek sialan itu melihatnya...
Ditya dan Theo sama2 berusaha mengejar Alin. Namun, tatapan tajam mata Theo membuat
Ditya ciut dan terpaksa menghentikan langkahnya.
Kini, tinggallah Theo yg berusaha menggapai Alin.
"Alin." tangan Theo mendarat dibahu Alin.
Alin pun berhenti. Aliran deras air matanya disertai dgn isakan yg membuat dadanya naik
turun. Sesaat, Theo bingung apa yg seharusnya dia lakukan. Dia pun bingung dgn posisinya, sbgai
teman atau mungkin lebih dari itu. Meskipun demikian, nalurinya memerintahkan
tangannya untuk mengusap kepala Alin yg sdang tertunduk. Alin tdk memberikan reaksi
apa2, dia membiarkan Theo melakukan itu selama beberapa saat. Tp, isakan Alin bukannya
berhenti, melainkan semakin hebat. Theo tdk tega melihat pemandangan itu, akhirnya dia
membuka lengannya lebar2, merengkuh Alin, dan membiarkannya menangis sampai puas
dlm dekapannya. 21. Seandainya... -Fanny, RikaHari jumat ini Fanny sedang senang. Bukan hanya karna besok adalah hari sabtu, melainkan
karna hari ini sdang tdk ada pekerjaan. Sudah lama Fanny merindukan suasana seperti ini.
Coba tiap hari kayak gini ya, pikir Fanny. Sumpah, enak bnget. Dihirupnya udara kebebasan
yg tengah mengambang dan menyelubungi dirinya. Aaaaaahh..... Fanny menghirup napas
dalam2. Stelah menghirup napas, Fanny menyimpannya beberapa saat, dan
mengeluarkannya sedikit demi sedikit melalui mulut.
'Enaknya sekarang ngapain ya"' tanya Fanny dlm hati.
Karena tdk punya ide apa yg ingin dilakukan untuk mengisi waktu luangnya, akhirnya Fanny
mengamati mejanya. Isi laci jg tdk luput dari pengamatannya. Ketika dia membuka laci
nomer tiga dari atas, matanya menangkap sbuah majalah yg diletakan diatas tumpukan
stopmap. Nomer lepas majalah Alin. Baca ini aja. Dari kemarin, dia blm sempat
membukanya sama sekali. Dia jd ingat kejadian ditempat makan dgn Alin. Sejak saat itu, dia blm menghubungi Alin
sama sekali. Fanny masih kesal. Dan, sbenarnya dia juga kesal pada Theo.
Theo dan kesibukannya. Itu adalah kombinasi sempurna yg membuat Fanny jengkel.
Ditambah lg dgn sikap Theo yg secara tdk langsung, sering membandingkan dirinya dgn Alin.
Fanny masih ingat dgn ucapan Theo sewaktu di telepon dua hari yg lalu, "Alin sekarang
dewasa. Keliatan bnget dari cara bicaranya waktu meeting. Dia juga nggak gegabah.
Semuanya sistematis dan terencana."
Haaahhh... Alin. Kilasan kejadian tempo hari berkelebat di benaknya. Mengingat kejadian itu
membuat kepalanya pening. Padahal, Fanny sudah menunggu-nunggu agenda itu beberapa
hari sbelumnya. Tp, mengapa hari yg seharusnya menyenangkan justru berakhir menjadi
malapetaka. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Theo. Sesaat Fanny ragu, sbaiknya diangkat atau tdk. Suasana
hatinya sdang tdk enak. Namun, "Halo," akhirnya dia menjawab panggilan itu juga.
"Halo, Fan. Kamu udah tahu soal Alin?" cetus Theo tanpa basa-basi.
'For God sake! Alin lagi, Alin lagi. Nggak ada topik lain apa" Kalau cuma ngomongin dia, aku
jd nyesel angkat telepon ini,' dengus batin Fanny. "Alin knapa?" tanyanya dgn stengah hati.
"Tadi, dia mergokin Ditya selingkuh."
"Oh." "Kok?" "Aku udah cerita soal Ditya yg selingkuh. Aku udah peringatin dia. Tp dianya aja yg nggak
mau denger. Salah dia sendiri."
"Fan, bukannya sbgai sahabat kamu harusnya menghibur dia" Jadi penguat."
"Entah." Nyaris memakai seluruh tenaganya, Fanny menekankan ujung ibu jarinya untuk
memutuskan hubungan telepon dgn Theo. Kepalanya terasa berasap. Fanny kembali
memandang permukaan meja dan ketika mendapati majalah CTY masih berada di
hadapannya, Proyek sialan. Persetan dgn peluncuran image baru! Hari yg seharusnya
membahagiakan, kini hanya menyisakan sesak di dada.
"Eh, majalah apa nih?" Bayu yg kebetulan lewat didpn meja Fanny menyambar majalah itu
lalu menempatkan dibawah hidungnya. "Majalah baru ya?"
Fanny yg berniat meluluh lantakkan media cetak itu kalah cepat dgn tangan Bayu. Tanpa
mempedulikan wajah Fanny yg terlihat menyeramkan, Bayu membuka-buka sekilas
lembaran2 majalah itu. "Bawa aja majalahnya, aku udah nggak baca," cetus Fanny.
Mendengar suara Fanny yg serak dan bergetar karna menahan amarah, membuat Bayu
menghentikan gerakan tangannya yg td asyik membolak-balik halaman majalah. "Fanny"
Kamu kenapa?" tanya Bayu kali ini benar2 peduli.
Fanny buru2 membuang muka. Air mata kemarahannya sudah hampir mau tumpah. Dgn
bergegas, Fanny menuju toilet, meninggalkan Bayu beserta pertanyaan yg tdk terjawab.
*** "Rik, pulang kerja temenin aku jalan yuk," ajak Fanny melalui sambungan telepone.
"Sumpah, aku lg suntuk bnget."
"Aduh Fan, gmana ya..., bukannya nggak mau, tp aku nggak bisa. Pukul dua nanti aku mau
berangkat ke Cisarua. Ada acara gathering. Tp, Fan..." Rika berhenti, "Kamu nggak bener2
marahkan sama Alin?"
"Nggak tahu. Aku cuma...." Fanny mencari kata yg tepat, ".... Malas sama dia."
"Aku ngerti perasaan kamu. Seandainya peristiwa itu nggak pernah terjadi, atau seandainya
aja kita nggak jadi ketemu. Mungkin nggak akan ada rasa sakit seperti ini," tutur Rika yg
sangat menyayangkan kejadian itu. "Hmmm.... Fan, sekarang kayaknya aku mendingan
telepon Alin. Soalnya menjelang berangkat nanti aku pasti repot bnget. Nanti, aku ceritain
ke kamu gmama keadaannya..., meskipun aku sendiri jg nggak yakin dia mau atau enggak
ngomong sama aku." "Maksudnya, kamu jadi mediator antara aku dan Alin?"
"Semoga posishku sbgai mediator cuma sebentar. Oke, Fan. See you."
Kepala Fanny tertunduk kecewa. Dia sedang benar2 butuh hiburan. Dia ingin pergi ke suatu
tempat.., sebuah mal; makan malam sambil memperbincangkan topik seru, berbelanja,
berkaraoke, atau menonton film. Tp, apa gunanya kalau tdk ada yg bisa menemaninya.
"Fan, nih aku balikin majalahnya." Bayudatang lg ke mejanya untuk mengembalikan
majalah. Sekali lg Fanny menatap gadis sampul dgn rambut yg digerai. Lalu, saat itu juga, mood nya
yg sudah agak lebih baik stelah (sedikit) menangis ditoilet langsung turun satu tingkat.
"Udah pegang dulu. Aku lg males bacanya," sahutnya.
"Bener nih" Kebetulan tadi aku blm selesai baca rubrik entertainment," timpal Bayu. "Baru
ini aku baca majalah cewek, tp seru juga."
'Entertainment'. Punggung Fanny langsung tegak mendengar kata itu. Mood nya yg tadi
sempat turun kini naik lagi. "Bay," panggil Fanny, "Pulang kantor ada acara, nggak?"
"Emang kenapa?"
"Temenin aku makan yuk."
22. Kejutan.! -Fanny, AlinFanny kini duduk berhadap-hadapan dgn Bayu di food court sbuah mal. Dia sangat senang
karena Bayu lebih memilih dia ketimbang tiga temannya; Angga, Galang, dan Romy. Para
pria itu termasuk Bayu sbenarnya punya kegiatan trsendiri setiap jumat malam, bermain
futsal. Pada mulanya, Bayu tdk ingin absen bermain sepak bola mini itu, namun ajakan Fanny
barusan tdk datang setiap saat. Kapan lagi dia bisa berduaan dgn wanita yg disukainya.
Apapun rela dia korbankan untuk mendapatkan kesempatan itu. Tanpa pikir panjang, Bayu
pun mengiyakan ajakan Fanny.
Saat makan, Fanny menceritakan keresahannya. Tanpa sadar, dia pun menceritakan
hubungannya dgn Theo yg semakin kaca dan tdk ketinggalan konfliknya dgn Alin. Semua
diceritakan dgn detail dan Bayu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyimak stiap
yg meluncur dari mulut Fanny.
Bayu tdk punya solusi untuk menyelesaikan masalah Fanny yg sdang terancam kehilangan
sahabat sekaligus kekasih. Namun itu semua sama sekali bukan hal penting, karna saat ini
Fanny hanya ingin didengar ketika mengeluarkan semua unek-unek yg bersarang didlm
kalbunya. Fanny bersyukur ada Bayu bersamanya saat ini. Dia seperti malaikat yg dikirim dari atas sana
untuk meringankan rasa sakit hatinya. Rasanya aneh memang, menceritakan permasalahan
hdupnya kpada orang yg blm lama akrab dgnnya.
Fanny sudah menyelesaikan makan malamnya dan ingin mencuci tangannya yg berminyak.
Dia sudah sudah stengah bangkit dari kursinya, tp bersamaan dgn itu seorang wanita dgn
nampan ditangannya datang dari arah lain. Fanny yg tdk tahu menahu perihal kedatangan
wanita itu, berniat mengayunkan kakinya menjahui kursi. Fanny dan wanita itu terus
bergerak menuju titik yg sama. Wanita itu jg tak ubahnya seperti Fanny, tdk menyadari
adanya pergerakan yg menuju ke arahnya karna dia sdang asyik mengobrol dgn teman
prianya. Bayu sebenarnya sudah mengangkat tangannya sambil berseru, "Aw....."
Namun, kata peringatan itu tdk pernah terselesaikan dan tdk cukup waktu untuk mencegah
tabrakan itu terjadi. Punggung Fanny mendorong tangan wanita itu dan membuat seisi nampannya terguncang
hebat. "Aduh, ma...maaf, Mbak. Nggak sengaja," cetus Fanny sambil memandang kebawah.
"Fanny?" Refleks Fanny mengangkat kepalanya, memandang lurus kedpn, ke arah wanita yg ternyata
mengetahui namanya. "A.. Alin," kata Fanny tergagap. Kepalanya berputar dan putaran itu mematikan sewaktu
melihat pria jangkung yg berada disisi Alin. "The.... Theo" Kalian...."
selama sepersekian detik, mereka bertiga berdiri diam mematung.
"Kamu sendiri dgn cowok itu?" Alin menunjuk Bayu dgn ekor matanya.
Fanny sontak menoleh kearah Bayu. Satu pukulan talak rasanya tepat mendarat diperutnya.
Wajah arogan Alin semakin menjadi-jadi sementara wajah Theo menyiratkan kecemburuan.
Fanny tdk rela wajah arogan itu berkuasa atas dirinya. Lalu, dgn satu senjata terakhir yg
dimilikinya, dia membalas, "Apapun hubunganku dgn Bayu, bkn urusan kalian. Kalian bukan
siapa2 lg buatku. Kalian cuma orang lain yg nggak pernah aku kenal.
*** Sudah lima menit Fanny menangis tersedu-sedu tanpa henti. Dia sudah ada dibelakang setir
mobilnya, sementara Bayu duduk disebelahnya. Punggung dan bahunya berguncang, dan
rambut panjangnya tergerai jatuh menutupi seluruh wajahnya yg basah karna air mata.
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fanny mencabut beberapa tisu lagi, sambil menjauh,dia membersit hdungnya sampai
bersih. "Sory ya, Bay," ucapnya dgn suara serak.
" Nggak apa-apa. Santai aja."
" Maafin aku ya, Bay. Aku jadi menyeret kamu kedalam masalah pribadiku."
" Sama sekali nggak ada yg perlu dimaafin. Kan aku sendiri yg bersedia." Bayu menggeser
posisi duduknya mendekati Fanny. "Aku justru merasa bangga karna aku yg ada disamping
kamu, bkn yg lain ketika kamu lg benar2 butuh seseorang untuk berbagi."
"Kamu baik bnget." rasanya Fanny ingin menangis lg, tp kali ini menangis haru karna
kebaikan hati Bayu. "Aku mau tanya sesuatu tentang kejadian tadi, boleh?" tanya Bayu meminta izin.
"Apa pun," jawab Fanny sambil memaksakan senyum.
" Omongan kamu ke mereka sbelum kita pergi,.., apa itu berarti kamu mutusin cowok
kamu?" Fanny terdiam. Bayu pun cemas kalau Fanny akn menangis lg.
"Aku nggak tahu. Tadi aku bener2 emosi."
" Seandainya kamu serius dgn ucapan kamu, aku yakin masih ada orang lain yg mencintai
kamu." Hati Bayu hampir mau meledak. Ingin sekali mengatakan kalau orang itu adalah
dirinya. " Tapi, aku nggak mau orang lain."
Mendadak terdengar suara pecahan kaca didalam benak Bayu.
"Aku sayang Theo, Bay.... Ya. Tp, stelah apa yg udah trjadi..., aku nggak yakin hubunganku
sama Theo akan kembali seperti dulu. Aku sudah curiga dia ada apa-apa sama Alin..." Fanny
berusaha tdk menangis lg, karna matanya sudah sdemikian lelah.
Tidak lg ada harapan yg tersisa untuk Bayu. Bayu mendesah, menghembuskan napasnya
seolah ingin mengusir kegalauan hatinya. Dia memang tdk bisa mendapatkan Fanny, tp dia
bertekad untuk menjadikan malam ini sbgai malam yg spesial, malam yg sempurna, malam
yg pantas dikenang stidaknya untuk dirinya sendiri.
" Kamu mau aku antar pulang?" dia mendengar dirinya berkata begitu dan dia menyesal
karna itu artinya malam indah ini akn segera berakhir.
" Antar aku pulang?" Fanny balik bertanya. "Gmana caranya?"
" Aku yg nyetir mobil kamu dan kamu tinggal duduk santai dibangku penumpang."
wajah Fanny menyorotkan ekspresi bingung.
"Aku bisa nyetir. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa liat ini," tutur Bayu sambil merogoh
kantong celananya untuk mengambil dompet. "Aku punya SIM A," lanjutnya. "tp tinggal SIM
nya doang. Mobilnya udah dijual."
" Bukan. Bukan masalah bisa nyetir atau SIM A," sahut Fanny tersenyum. "Kamu kan bawa
motor. Nah, kalau kamu anter aku pulang.., motor kamu gmana?"
" Ooh.., masalah motor." sahut Bayu, lalu memasukan dompetnya kembali. "Dari rumah
kamu aku kesini lg, ambil motor. Baru habis itu pulang."
Kedua sudut bibir Fanny tertarik kesamping, membentuk sbuah senyemuan, "Kamu nggak
perlu melakukan itu," katanya sambil memandang wajah Bayu. "Lagi pula, aku blm mau
pulang. Dgn suasana hati seperti ini, berada dirumah rasanya pasti jadi lebih sumpek."
Bayu lega karna dia masih punya waktu dgn Fanny. "Kamu mau jalan-jalak" Atau mau lihatlihat sesuatu" Aku bersedia nemenin."
Fanny menggeleng, tak berniat melakukan apapun.
Tanpa gerakan mencolok, Bayu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan kamera DSLR
nya. Dia lalu menekan-nekan beberapa tombol dan menghadapkan lensanya kewajah Fanny
yg masih sayu. "Kamu tiba-tiba kok moto aku sih?"
Bayu tdk menjawab. Dia hanya menekan sejumlah tombol dan melihat hasil jepretannya
tadi. "Yah, agak blur."
" Bayu...." " Foto lg ya." Bayu sudah mengambil gambar, lalu melihat hasilnya. "Ya, lumayan, udah
nggak blur." " Bayu..." Untuk kali ketiga, Bayu menghadapkan lensa kameranya ke wajah Fanny. "Ayo dong
senyum. Aku tahu kmu kan benci difoto." godanya.
" Bayu..." Fanny kini menutup lensa kamera dgn telapak tanganny. " Kamu ngapain sih?"
" Yah, kok ditutup," seru Bayu kecewa. "Iya, aku moto kamu." untuk kesekian kalinya, dia
menyejajarkan alat optik itu kematanya.
Sementara Fanny tdk tahu bgaimana seharusnya bereaksi, apakah tertawa atau
menunjukan rasa kesal. Tp akhirnya memilih tertawa.
"Nah, gitu dong.., kan cantik." Dgn lihai Bayu mencuri momen singkat itu untuk diabadikan
ke dlm sbuah gambar dua dimensi.
" Bayu.." panggil Fanny.
" Hmmm..." gumamnya tanpa mengangkat kepala. Dia masih mengagumi hasil bidikannya
yg barusan. " Kamu baru beli kamera?"
" Yup," sahut Bayu. "Aku mau mendalami fotografi. Ini hobiku, malah sempet pengen kuliah
dijurusan fotografi. Foto-foto lg yuk," ajaknya semangat. "Kamu mau nggak kalau fotofotonya ditempat lain" Aku tahu spot yg bagus."
" Dimana?" tanya Fanny. "Sbgai model kamu, aku ikut aja apa kata fotografer."
" Di Bundaran HI."
" Hah" Di Bundaran HI" Emang boleh?"
" Banyak kok, yg foto-foto disana. Nanti lihat aja, pasti bkn kita aja."
*** Fanny dan Bayu bersama-sama keluar meninggalkan gedung Grand Indonesia, menyusuri
trotoar khusuk untuk pejalan kaki menuju Bundaran HI yg gemerlap dan bermandikan
cahaya. Mereka sudah sampai diujung jalan.
"Kita beruntung, air mancurnya nyala," ujar Bayu sambil menunjuk,memberi tahu Fanny.
Fanny pun mengarahkan pandangannya ke arah yg ditunjuk Bayu.
Fanny merinding ketika menjajakan sbelah kakinya, melompati pembatas setinggi lutut yg
memisahkan antara jalan raya dan air mancur Bundaran HI. Wow, what an amazing view!
Dia merasa seperti liliput sewaktu melihat dari dekat monumen patung sepasang sejoli yg
melambaikan tangannya. "Fan, berdiri disitu kayaknya oke deh," kata Bayu memberi saran.
Fanny menurut, tp dia masih canggung.
Bayu yg sudah membidikkan kameranya, tiba-tiba menurunkannya, "Ayo dong, naluri
modelnya dikeluarin."
" Aku malu, Bayu. Mana lg macet, pasti smua orang yg didlm mobil liatin aku."
" Udah, cuek aja. Orang-orang yg ada dijalanan nggak usah dianggep. Lihat deh mereka."
Bayu mengisyaratkan dgn matanya, meminta Fanny melihat ke tiga wanita yg tanpa malumalu berpose narsis. "Mereka pede-pede aja. Lg pula, nggak kenal kan sama orang-orang yg
lewat?" " Iya." sahut Fanny mengangguk setuju.
Fanny sbenarnya hanya butuh beberapa saat untuk beradaptasi. Dan ketika beberapa saat
itu telah lewat, dia akhirnya menunjukkan siapa dia sesungguhnya.
Bayu senang, Fanny sudah kembali menemukan dirinya sendiri. Dia mengambil gambar
wanita model yg ada di hadapannya sbanyak mungkin, kalau perlu sampai memory card nya
penuh, atau kehabisan baterai.
'Goodbye, Fan. Hari ini, kamu udah nentuin pilihan dan aku hargai itu', kata Bayu dlm hati
dgn perasaan terluka. Senin besok akan menjadi hari yg berbeda untuk Bayu, tdk akan pernah sama lg dgn hari2
sbelumnya. Dia harus mengubah perasaannya terhadap Fanny.., wanita yg telah
mengguncang dunianya. Ya, dia harus melakukannya meskipun sangat sulit.
Bagi Bayu, selama ini Fanny bagaikan rembulan.., benda langit yg sangat cantik. Dia hanya
bisa memandanginya dari kejauhan, tdk lebih, dan dia tdk mampu meraihnya, selamanya.
23. In Gathering -Rika"Dek, tuh Dek, lihat. Barongsainya naik kepanggung," kata sang Ayah mencoba mengalihkan
perhatian putranya yg sudah mulai bosan.
Hah" Barongsai" Rika terperangah dlm hati. Gelombang pria berusia tiga puluh itu membuat
telinganya berdiri. 'itu barong, bkn barongsai. BARONG! Nggak pake /sai/, lanjutnya protes.
"Itu bkn barongsai Mas, tp barong. Kalau barongsai kan yg dari Cina itu," koreksi si istri.
Nah! Bener tuh, Bu. BA-RONG. Rika lega, aspirasinya tersalurkan.
"Iya, salah ngomog. Tadi, aku jg mau bilang itu." dalih si suami.
Rika akhirnya bisa dgn tenang meneruskan menonton tarian Barong Bali.
Rika tiba2 teringat kalau dia memegang kamera. Buru-buru, dia menjajarkan alat optik itu
dgn kedua matanya untuk memotret. Beberapa gambar yg diambilnya blur karna sang
Barong terus bergerak, tp itu tdk masalah karna masih bnyak tempat yg tersisa di memory
card nya. *** "Demikian persembahan dari kami, semoga dapat menghibur, kurang lebihnya mohon
maaf," kata si pembawa acara menutup pertunjukan malam apresiasi seni itu. "Bagi
pengunjung hotel yg ingin berfoto dgn para penari, kami persilahkan."
"Yuk, Guys..., foto yuk," ajak Rika kepada Olive, Astrid, dan Dion, temen2 kantornya dlm
acara gathering ini. Rafa berdiri tak jauh darinya. Dgn langkah semangat, dia segera menuju
panggung dan mengambil tempat disamping penari.
"Dari sanggar kesenian mana, Mbak" Dari daerah Bogor?" tanya Rika menebak-nebak. Dia
menebak begitu karna hotel yg dikunjunginya berada didaerah Cisarua.
"Bukan, kami dari Bali," jawab penari itu.
" Wah, asli dari Bali!" sahut Rika takjub.
Sesi foto akhirnya selesai. Pengunjung hotel membubarkan diri dan para penari beserta kru
mengangkuti seperangkat gamelan, kostum, dan benda2 dekorasi. Ketika menyusuri koridor
dan berjalan diantara tamaram lampu, Rika melihat satu pemandangan yg mebuat hatinya
berkomentar. Ada yg cinlok. Sang penari tadi bergandengan tangan dgn salah seorang
pemain gamelan. "Kita mau kemana nih?" tanya Olive melantangkan suaranya. "Ngopi-ngopi aja yuk."
Rika mengangguk menunjukan persetujuannya. Yg lain pun sama, sepakat dgn usulan Olive.
"Kabar Fanny dan Theo gmana?" tanya Rafa memulai.
" Mereka lg ada sedikit masalah. Theo sibuk bnget belakangan ini dan Fanny lg merasa
jenuh." Rika dan Rafa berjalan didepan, mendahuli ketiga temannya.
" Tapi begitu resiko pekerjaan Theo, tergantung datengnya proyek. Fanny bisa jenuh karna
apa?" Rika menjawab pertanyaan Rafa dgn menceritakan ulang curahan hati sahabatnya
tempo hari. " Semoga aja masalahnya cepat selesai," kata Rafa menanggapi.
Rika menoleh, mendapati tiga temannya berada jauh dibelakang sambil menyembunyikan
kikikan mereka. Mereka knapa sih" Apa yg mereka ketawain" Mencurigakan.
"Gusy, indoor atau outdoor?" tanya Rafa ketika teman2nya berjalan mendekat.
" Outdoor aja," sahut salah satu dari mereka.
" Traktir ya, kan kita mau ngerayain sesuatu," todong seseorang yg lain.
" Ngerayain apa?" tanya Rafa bingung.
" Halah, pura-pura nggak tahu. Pokoknya traktir ya, Raf. Kita tahu kamu lg seneng... Kamu
dan Rika?" Rika dan Rafa sama2 bingung, tdk mengerti dgn maksud pembicaraan mereka.
" Udah saatnya kamu jujur. Jangan tunda2 lg, tembak sekarang juga. Masa sih kita bertiga
harus turun tangan untuk masalah ini" Kan nggak lucu kalau Rika justru tahu dari orang
lain." Tiga teman Rika dan Rafa menghabiskan kopi mereka dgn cepat. Lalu, mereka bertiga sudah
balik kanan dan bubar jalan meninggalkan Rika dan Rafa berdua.
Rika mengutuki keadaan dirinya yg sekarang tdk berkutik dihadapan Rafa. Stelah apa yg
dilakukan oleh tiga teman kerjanya, dia jadi tdk tahu bgaimana seharusnya bersikap
terhadap Rafa; bersikap manis dan menyambut atas pernyataan cinta Rafa atau bersikap
dingin dan biasa, seolah tdk terjadi apa-apa.
Rika tdk menyangka Rafa menyukainya. Memang belakangan ini, sejak bicara dari hati ke
hati dikantin, Rafa jd lebih perhatian. Ketika malam tiba atau ketika akhir pekan, dia sering
mengirim SMS untuk sekedar menanyakan sdang melakukan apa, juga menelpon untuk
memperbincangkan hal2 ringan yg menyenangkan. Wanita mana pun senang di perhatikan,
termasuk Rika. Dia sempat bertanya-tanya apakah sejumlah SMS dan telepon dari Rafa
mengisyaratkan bahwa pria itu menginginkan hubungan lebih dari sekedar teman. Rika
tetap pada pendiriannya, mencoba menipu hatinya bahwa dia mulai menyukai Rafa,
mungkin dia blm bisa membuka hatinya untuk pria lain.
"Menurutku ini acara gathering yg paling seru," cetus Rafa memecah kebisuan.
" Iya." jawab Rika singkat. Lidahnya kelu, dia tdk bisa mengucapkan kata lain. Dia jg tdk
sanggup memandang wajah Rafa.
"Hmmm.... Raf, aku..," Rika mencoba terbuka dgn perasaannya, ".... Aku sebenarnya punya
ketakutan tersendiri ketika aku mau mencoba menjalin hubungan dgn orang lain."
" Kamu takut untuk kehilangan lagi?" terka Rafa.
" Ya. Aku sering mikir kayak begitu."
" Aku sama kayak kamu, lumayan sering juga. Tp, hdup harus terus berjalan. Hidup itu
sombong." Rafa mendengus tertawa. "Dia nggak peduli dan nggak mau peduli, entah itu kita
lg susah atau lg senang, kita lg ada dibawah atau diatas, dia sama sekali nggak peduli. Aku
nggak mau dipecundangi sama hdupku sendiri." lanjutnya. "Aku mau nunjukin kalau aku
bisa bangun dari kerterpurukan dan ngebuktiin nggak cuma hdup doang yg bisa terus
berjalan dgn sombongnya," Rafa memberikan tanda kutip pada kata sombong, "tp aku juga
bisa." Rika diam terpaku mendengar dan mencerna semua ucapan Rafa.
"That's life. Semua tergantung gmana kita ngejalaninya. Well, kalau soal ajal...,itu
sepenuhnya urusan Tuhan dan itu bener2 diluar kendali kita. Tp, satu hal yg aku yakin," Rafa
menghentikan kata2nya dan ingin meyakinkan Rika juga. "Kita smua berhak bahagia,
termasuk kita. Ada ketakutan kayak gitu menurutku sih wajar, karna aku jg ngalamin sendiri.
Tp, kalau kita blm mencintai, itu sama aja kita blm hdup."
24. Antara Kita -Fanny, Alin, RikaFanny setengah berjingkat ketika memasuki lantai dasar Plaza Senayan. Tidak hanya itu, dia
juga tdk berhenti menoleh-noleh seakan mengadidap suatu penyakit panaroid tertentu. Ya,
dia memang sedang panaroid, takut bertemu dgn seseorang yg mengenalnya.
Hari minggu ini, adalah hari peluncuran majalah Close to You. Sebenarnya, Fanny tdk ingin
datang ke Plaza ini, karna dia masih sangat kesal dgn Theo dan Alin. Namun, entah kenapa,
dia datang juga. Fanny mendongakan kepalanya dgn sudut kemiringan empat puluh lima derajat.
Dari jarak yg tdk terlalu jauh, Fanny sudah bisa merasakan keramaian yg ada didpn sana. Ya,
apalagi kalau bukan kemeriahan yg berasal dari acara launching itu.
Dua hari lalu, Rika menelpon Fanny, menceritakan keadaan Alin yg semakin senewen karna
hari H peluncuran majalahnya sudah sedemikian dekat. Dia juga sudah mendengar
keributan di food court Grand Indonesia. Sekali lg, Rika sangat menyayangkan kejadian itu.
Sejumlah kata andai berputar-putar dibenaknya. Satu masalah belum selesai, tiba2 sudah
datang masalah yg lebih serius.
Rika tidak memiliki kemampuan yg lebih untuk membantu sahabat2nya karna dia sendiri
juga punya masalah. Dia bingung dgn perasaannya terhadap Rafa.., apalagi dgn status duda
yg melekat pada diri Rafa. Dan dia blm yakin juga bahwa dia memang benar2 menyukai pria
itu, dia masih sering terkenang pada Eros.
Fanny diajak Rika untuk datang bersama. Tp, dia segera menyatakan ketidak pastiannya
untuk hadir di acara itu. Lg pula, Rika pasti akan pergi dgn Rafa. Dia tdk mau mengganggu
kebersamaan mereka. Sementara baik Alin maupun Theo sama sekali tdk menghubunginya.
Kalau bkn karna Rika, dia pasti tdk akam tahu acara itu.
Setelah terus melangkahkan kakinya, Fanny akhirnya sampai dipusat keramaian dan
bergabung dgn pengunjung lainnya. Fanny ingin melihat lebih jelas, tp dia juga ingat untuk
tetap menjaga jarak aman. Akhirnya, dia memilih untuk sedikit saja bergerak ke depan,
mendekati panggung. Sementara Rika yg duduk diatas kursi lipat, menangkap gerakan Fanny dgn matanya. Ya,
wanita itu adalah Fanny... Rika hafal betul dgn postur tubuh dan cara berjalannya, meskipun
dia mengenakan kacamata hitam dan topi untuk menyamarkan wajahnya.
Rika segera menghubungi Alin, itulah persetujuan yg telah mereka sepakati pada malam
sbelum hari H. Alin sbenarnya ingin menghubungi Fanny, meminta maaf karna tdk mau mendengarkan
peringatannya mengenai Ditya. Dia juga ingin menjelaskan hubungannya dgn Theo yg
sekedar hubungan rekan kerja.., tdk lebih. Alin tdk punya perasaan apa-apa terhadap Theo.
Sekali lg, Alin sangat ingin menghubungi Fanny. Namun, bnyaknya beban pikiran yg
menggelayuti benaknya, membuatnya tdk mampu fokus terhadap permasalahan
pribadinya. Alin memberitahu Theo perihal kedatangan Fanny. Tdk jauh berbeda dgn Alin, Theo jg
sangat ingin menghubunginya. Tp, ada beberapa hal yg membuatnya urung melakukan itu.
Theo sbenarnya merasa malu trhadap diri sendiri karna diam-diam sudah menaruh hati
kepada sahabat kekasihnya. Dia tahu kalau perasaan ini salah, tp dia berharap masih diberi
kesempatan kedua untuk memperbaiki keadaan. Rasanya, akan menjadi suatu kejahatan
besar jika dia mencampakan Fanny, lalu memilih untuk mengejar Alin. Lg pula, dia tdk tahu
apakah dia termasuk tipe yg Alin cari atau bukan. Dan sepertinya mustahil dia Alin akan tega
menghianati sahabatnya sendiri,.
Seandainya dia menempuh jalan ternekat dlm hdupnya -memutuskan Fanny, lalu mengejar
Alin- bisa jadi Alin justru menolaknya, tdk peduli pengorbanan yg sudah dilakukan. Theo
menyelami samudra hatinya dan merenungi semua kejadian yg telah dialaminya. Ketika hal
itu dilakukan, dia akhirnya tahu bahwa dia masih mencintai Fanny. Perasaannya terhadap
Alin hanya sekedar kagum.
Tiba-tiba dia teringat pria yg makan malam bersama Fanny. Dia juga ingat kalau pria itu
adalah pria yg sama yg ditemuinya diacara resepsi pernikahan Eric. Theo sangat cemburu,
dia tdk akan membiarkan Fanny jatuh ke pelukan pria itu hanya karna selama ini dia kurang
memperhatikannya. Dia akn memperjuangkan cintanya.
"Aku tahu kamu akan datang," kata Alin dari dekat telinga Fanny.
Fanny menoleh ke arah sumber suara. Dari balik kacamatanya dia memutar mata. "Fan, kita
harus bicara." Alin masih sempat menangkap lengan Fanny ketika dia berusaha menjauh.
Tentang Cinta Karya Naura Laily di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku, kamu, begitu juga dgn Theo. Ini cuma salah paham."
Mata Fanny bergantian menatap Alin dan Theo. Kemudian, dgn gerakan cepat dan tiba2,
Fanny berhasil melepaskan pegangan Alin lalu pergi menghindar. Alin sudah berniat
mengejarnya, tp Theo segera melarangnya, "Aku aja." Theo pun berlari menyeruak
menjauhi keramaian. "Fan... Fanny," panggil Theo.
Fanny tdk mau mendengar dan tdk akan menoleh. Dia mempercepat langkahnya.
Dibelakang, Theo masih terus memanggil namanya. Tp itu tdk bertahan lama, karna
jangkauan langkah kaki Theo lebih panjang. Ketika dipintu keluar, dia akhirnya dapat
menyusul Fanny. "Fan, Fanny....dengerin aku dulu," kata Theo dgn napas memburu. Dia lalu memegangi bahu
Fanny dan menatap dlm2 kedua matanya.
Fanny membuka kacamatanya, menatap balik dgn tatapan menantang. "Denger apa lagi"
Semua sudah jelas. Kamu nggak perlu ngomong apa-apa lg. Simpan saja energi kamu untuk
launching itu." " Fan, please. Kasih aku waktu sebenter. Aku....aku mau minta maaf. Aku sadar aku salah,
aku udah memperlakukanmu dgn buruk."
" Minta maaf?" sambar Fanny dgn nada mencemooh. "Apa gunaya" Semuanya udah
terlanjur kacau." Fanny berniat pergi, tp Theo segera mencegahnya. "Aku mohon. Ini cuma salah paham. Aku
bener2 sayang kamu, Fan. Aku nggak akan ngecewain kamu lg." tanpa perasaan risih dan
malu, Theo menekuk kaki kirinya sehingga lututnya menempel diatar lantai. Ya, dia berlutut
didpn Fanny...memohon maafnya sambil memegangi tangannya. "Please Forgive Me."
"Theo, apa-apaan sih kamu?" desis Fanny. Dia benci dgn tatapan aneh orang-orang.
"Aku nggak akan berdiri sbelum kamu maafin aku."
Fanny ingin pergi dari situ, dia smakin tdk tahan dgn tatapan2 itu. Namun, untuk
meninggalkan Theo yg sedang berlutut bukanlah hal mudah. Tangannya dicengkram kuat.
"Theo, sakit!" "Aku mau ngelakuin apapun yg kamu mau, asal kamu mau maafin aku."
Sesaat Fanny hanya ingin tangannya dilepas agar dia bisa lari dan menghindar dari tatapan
mata semua orang. Tp, dia sadar kalau itu tdk akan menyelesaikan masalah dan sangat
mungkin Theo akan berlari mengejarnxa lalu melakukan hal yg sama seperti ini.
"Kamu serius" Apa pun?" Fanny bertanya menegaskan.
" Ya. Apa pun."
Fanny merasa kalau sekarang adalah saat yg paling tepat untuk mengutarakan apa yg sudah
lama dipendamnya. "Kamu tahu, Theo; aku jenuh dgn hubungan ini. SMS, telepon, atau
chatting nggak bisa gantiin kehadiran kamu. Keberadaan kamu di sisi aku begitu penting."
Fanny menghentikan kalimatnya, memberikan waktu agar kata2nya dapat dicerna dgn baik
oleh Theo. "Kamu sibuk, sering ke luar kota, dan sampai akhirnya kamu nanganin proyek
dari Alin. Kamu jadi sering berinteraksi sama dia. Dan itu membuat kamu -yg mungkin tanpa
kamu sadari- sering membandingkan aku dgn dia. Kamu sebut kelebihan2 dia, berulang kali
kamu puji dia; di depan aku. Kamu tahu rasanya dibanding-bandingkan" Rasanya seperti
barang gagal produksi dan hanya tinggal menunggu waktu untuk dilempar ke tempat
sampah." Theo bergeming. Dia menunggu Fanny mengungkapkan kegelisahan hatinya sampai selesai.
"Semakin hari kamu semakin menjengkelkan. Klimaksnya adalah ketika kamu lebih membela
Alin ketimbang aku. Aku marah, kesal, kecewa, sedih, cemburu; dan penderitaanku terasa
lengkap saat tahu bahwa kamu lebih menyukai sosok Alin....sahabatku sendiri."
"Itu hanya salah paham, Fan. Mungkin, memang kita terlalu sering berjauhan." Fanny
mengangguk. " Jadi kamu ingin aku meluangkan waktu lebih bnyak untuk kamu?" tepat itulah yg Fanny
inginkan. "Masih ada satu hal lg yg aku minta dari kamu."
" Aku siap, apa pun itu."
" Aku ingin kepastian dari kamu tentang tujuan hubungan ini. Aku ingin kita beranjak ke
hubungan yg lebih serius, hubungan yg di ikat dgn komitmen."
Sbuah seringai bahagia terkembang dibibir Theo. Sementara Fanny sudah tdk mau lebih
lama lg menunggu Theo untuk berdiri.
"Theo, ayo bangun!" ucap Fanny. "Cepet!"
"Agrafani Marissa." Fanny tersentak mendengar nama lengkapnya disebut.
" Maukah kamu menikah dgnku?" blm sempat Fanny bereaksi, terdengar suara tepuk
tangan dari arah belakang.
"Jawab dong. Kasian Theo," cetus Rika.
Fanny menunduk, menatap Theo yg masih berlutut dan setia menanti jawaban.
" Kamu yakin?" tanya Fanny. Theo mengangguk cepat.
"Iya, aku mau..." jawab Fanny tersenyum.
Theo segera berdiri, merasa lega tdk perlu melakukan pose itu untuk waktu yg lebih lama lg.
Rika merengkuh pundak Fanny dari belakang, memeluknya erat-erat. "Selamat ya," bisiknya.
Fanny tdk tahu dia harus berkata untuk menanggapi. Ini semua terasa tdk masuk akal, tp itu
bknlah masalah...karna dia menyukainya.
"Fan." Alin memulai. Sbenarnya dia ingin berbuat sama seperti Rika, tp pengalaman buruk
yg melibatkan mereka berdua layaknya menghadirkan sbuah dinding pemisah yg tebal dan
tinggi. "Maafi aku. Aku bene2 menyesal udah ngomong kasar di resto itu. Semuanya garagara aku. Maafin aku juga karna nggak mau percaya sama omongan kamu tentang Ditya yg
seling...." Alin tdk sempat menyelesaikan ucapannya, karna Fanny keburu menubruknya dgn
pelukan bersahabat. "I-ini artinya, ka-kamu maafin aku?" tanya Alin terbata-bata.
" Pelukan ini lebih dari sekedar jawaban ya."
25. Hari Kita -Fanny"Makasih ya, The, udah ngajakin aku jalan malam ini. Aku seneng banget."
"Makasih juga kamu mau," balas Theo sambil melepas sabuk pengamannya, kemudian
mencondongkan tubuhnya kearah Fanny. "KAmu cantik banget hari ini."
Fanny hari ini memakai celana khaki yg digulung dan dikancing dibawah lutut, T-shirt hitam
berlengan tanggung, dan vest potongan santai. Sandal jepit kuning keemasan dgn slingback
menjadi pilihannya. Untuk rambut, Fanny memutuskan untuk mengepangnya persis seperti
Lara Croft, hal itu dilakukan karna ketika dia berdandan mendengar lagu 'Elevation' milik U2.
"Hmm, Theo," Fanny megernyit, "harus berapa kali sih kamu ngucapin kalimat itu?"
sebenarnya, dia senang dgn pujian Theo itu.
"Tapi serius, kamu emang cantik banget, selalu. Nggak cuma hari ini aja."
"Theo-ku yg ganteng,cukup. Trust me and Cherly Cole, too much of anything can make you
sick," kata Fanny yg menyenandungkan baris pertama lagu 'Fight for This Love'.
" Oh iya, syal aku. Hampir lupa."
" Udah biar aku aja yg ngambilin." Theo merenggangkan tubuhnya untuk menjangkau
paperbag yg diletakkan dikursi belakang.
"Auuwww! Aduh, duh, duh."
" Kenapa The" Ada yg sakit" Sebelah mana?"
" Ini pinggangku, gara-gara tadi bekas jatuh," jawab Theo sambil memberikan paperbag
merah kecil itu kepada Fanny.
" Awas pelan-pelan." Fanny membantu Theo untuk kembali ke posisi semula.
" Iya, badanku juga sakit-sakit nih."
" Pakai sok-iskan segala sih mau nyoba main ice skating. Kayak gini deh jadinya. Badan jd
sakit-sakit semua." " Tadi kamu juga kepengin nyoba kan?"
Dengan modal nekat, Fanny dan Theo meluncur diatas lapisan es yg keras. Awalnya ini ide
Fanny yg kemudian disambut baik oleh. Theo. Sebelumnya tidak ada rencana sama sekali.
Rasa ingin tahu lah yg membuat mereka termotivasi untuk mencoba.
Fanny dan Theo tergelak mengingat tadi mereka berdua tersungkur diatas lapisan air yg
membeku itu. "Makasih ya, hari ini sangat-sangat menyenangkan," ucap Fanny sebelum membuka pintu
mobil. Theo tidak membalas, doa justru merogoh saku bajunya dan mengambil sebuah kotak kecil
lalu membuka penutupnya. "Agrifani Marissa," ucapnya, "Maukah kamu menikah
denganku?" Theo mengulangi lamarannya.
Fanny tersenyum, mengangguk. Theo memasangkan cincin itu dijari manisnya.
Saat mereka masih berada didalam mobil Theo, di dpn rumah Fanny. Fanny
memejamkankan mata, menyadari betapa bahagianya dia sekarang. Tidak seperti beberapa
waktu yg lalu dimana permasalahan akrab dengannya. Impiannya akan segera terwujud
dalam waktu dekat, impian yg layak diperjuangkan, impian yg kelak menjadi takdirnya
dimasa depan. Ya, impiannya adalah hidup bahagia bersama Theo.
"Keluargamu akan jadi tamu istimewa orangtuaku. Aku siap menyambut dan menerima
mereka..., sangat siap."
Setelah ucapan salam perpisahan yg kedua kalinya, Fanny akhirnya turun dari mobil Theo.
Dia tahu kalau sudah saatnya untuk segera masuk kerumah. Namun, kakinya menolak
melakukan itu. Hatinya pun terasa berat melepas kepergian kekasihnya. Dia meyakinkan
dirinya bahwa perpisahan ini hanya sesaat dan mereka akan segera bertemu.
Sebenarnya Theo sudah biasa mengantarnya pulang. Namun entah bagaimana, hal rutin itu
terasa begitu berbeda kali ini.
Fanny sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Tp, dia masih belum ingin masuk dan
memilih untuk tetap berada disana sampai Theo menjalankan mobilnya, lalu hilang dibalik
tikungan. Ini adalah hari yg paling membahagiakan dalam hidupnya. Ketika Fanny membuka pintu
pagar, lalu melangkah masuk, dia mengelus pelan cincin dijari manisnya. Akhirnya, dia tahu
mengapa kencan ini terasa berbeda.
-Tamat- Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 2 Wiro Sableng 011 Raja Rencong Dari Utara Pendekar Sakti 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama