Ceritasilat Novel Online

The Chronos Sapphire Iii 2

The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri Bagian 2


calon istri di depan teman-teman" Apa itu" Cuma untuk menggodaku?"
"Tentu saja." Nathan tertawa pelan, "Bukan itu yang ingin kukatakan. Yang ingin
kukatakan itu?" Ucapan Nathan terhenti ketika Lumina menyuruhnya diam dengan isyarat.
"Ada apa?" tanya Nathan.
"Itu" suara tadi?" Lumina mengerutkan kening, "Itu suara ibuku. Sedang bernyanyi."
"Ah, ya" kudengar pemilik taman bermain ini menampilkan konser pembukaan yang diisi
oleh artis papan atas." Kata Nathan, "Kurasa ibumu juga termasuk dalam daftar artis yang mengisi
acara." "Benarkah?" mata Lumina berbinar, "Ayo, kita lihat konsernya. Aku jarang melihat ibuku
tampil dalam konser secara langsung."
Tanpa menunggu jawaban Nathan, Lumina berlari keluar dan membuat Nathan
menghembuskan nafas antara lega atau kecewa karena tidak bisa mengatakan sesuatu pada
Lumina. Kurasa aku masih perlu waktu untuk mengatakan yang sebenarnya. Katanya dalam hati.
Pesanannya dan Lumina datang. Nathan langsung membayar minuman itu dan
membawanya dengan kedua tangan, kemudian segera menyusul Lumina yang sudah lebih dulu
keluar dari kafetaria. *** Lumina memang pernah melihat ibunya tampil dalam konser. Tapi, dia hanya bisa melihat dari
teleivisi karena dulu dia tidak berani pergi sendirian walau Reno sudah menawarkan untuk
menemaninya. Lumina takut kalau dia tersesat lagi seperti dulu.
Tapi, kali ini, Lumina tidak takut lagi. Nathan yang dulu menyemangatinya agar tidak
mudah takut dan berpikir positif. Sekarang dia bisa menonton konser, atau pergi ke tempat lain
yang dia suka sendirian tanpa ditemani.
Lumina berusaha menerobos kerumunan orang-orang yang berkumpul di depan panggung
kecil yang didirikan di atas kolam air di tengah-tengah taman bermain. Dari tempatnya berdiri
sekarang, dia bisa melihat ibunya yang memakai gaun malam berwarna ungu sedang bernyanyi.
"Wah?" Lumina terpukau melihat penampilan dan suara ibunya. Aria menyanyi sambil
melambai kearah para penonton dan tersenyum ramah.
Ibu benar-benar cantik. kata Lumina dalam hati sambil ikut menyenandungkan lagu yang
dinyanyikan ibunya. Secara tidak sengaja, Aria melihat anaknya yang berdiri di barisan penonton paling depan.
Ia tersenyum dan melambai pada Lumina, yang disambut oleh Lumina dengan tatapan bingung,
sebelum akhirnya mengerti dia yang ditatap ibunya.
"Ibu cantik!!" kata Lumina diantara hingar-bingar penonton. Lumina tersenyum lebar dan
melambai balik kearah ibunya.
Aria tersenyum ketika melihat Lumina berdiri di barisan penonton. Rupanya anaknya itu
juga berada di sini. Aria tadi sempat ingin menelepon Reno atau Lumina untuk pergi ke Taman
Bermain Pelangi sebelum dia naik keatas panggung. Tapi, ternyata dia tidak perlu melakukan hal
itu karena Lumina datang ke taman bermain tersebut.
Mungkin dia datang kemari bersama temannya. Kata Aria sambil kembali berkonsentrasi
bernyanyi. Aria mengerahkan semua kemampuan terbaiknya dalam bernyanyi. Dia tidak mau
anaknya melihat ketidak-sempurnaan vokalnya. Dia melihat kearah Lumina lagi, anak
perempuannya itu tampak mengikuti lirik lagu yang dinyanyikannya. Aria bahkan sempat
mendengar Lumina berteriak "Ibu cantik", sambil melambaikan tangna kearahnya.
"Terima kasih," Aria membungkuk sambil tersenyum ketika dia selesai menyanyikan satu
lagu. Dia harus kembali ke belakang panggung untuk memberikan artis yang lain kesempatan
untuk tampil. Aria sempat melihat teman satu manaejemennya, Helena Belldandy, naik keatas
panggung. Saat dia baru saja menapaki tangga pertama untuk turun, telinganya mendengar suara
ledakan. Aria lantas menoleh dan melihat ada api di tengah-tengah penonton di taman bermain,
disusul dengan teriakan panic yang sangat memekakkan telinga.
Ada apa ini" Aria berlari lebih cepat menuruni tangga dan berlari ke sisi lain panggung.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Aria bisa melihat kepulan asap di tengah-tengah para
pengunjung yang panic dan berusaha menghindari api. Aria mencari sosok Lumina diantara para
pengunjung. "Di mana Lumina?" gumamnya sambil meneliti kerumunan pengunjung.
Ketika matanya menangkap sosok Lumina yang berdiri mematung tidak jauh dari api, Aira
menghela nafas lega, sekaligus khawatir kalau Lumina akan terkena percikan api. Aria hendak
menghampiri Lumina ketika dia melihat beberapa orang yang seperti bukan pengunjung
mendekati Lumina dari belakang.
"Lumina, awas!!"
Aria berlari cepat dan menjangkau tangan Lumina saat orang lain menjangkau tangan anak
perempuannya itu lebih dulu. Aria berhenti di tempatnya ketika dia melihat Lumina dibawa pergi
oleh anak laki-laki yang sepantaran dengan Lumina.
Siapa anak itu" tanyanya dalam hati.
Anak itu membawa Lumina pergi, dan Aria berharap anak yang bersama Lumina itu
adalah anak yang baik dan bukan orang yang akan menyakitinya.
Tapi, kenapa aku merasakan kehadiran Jack" Katanya dalam hati, Aku merasakannya.
Begitu dekat. Tapi" Aria bersalto ke depan dan melihat ada seseorang yang berusaha menyerangnya dari
belakang. "Siapa kau?" Aria yakin orang itu tidak akan menjawab pertanyaannya, tapi, dia tidak mungkin tidak
melawan orang itu. Apalagi ia yakin, orang itu adalah orang suruhan Apocalypse. Sangat terlihat
dari pakaiannya yang mencolok.
"Blue Rose!!" Pedang kesayangannya terbentuk di udara. Aria mengambilnya dan menghunuskan
pedangnya pada orang itu.
"Jika kamu menginginkan nyawaku," ujar Aria, "Coba saja kalahkan aku."
*** Ketika ada api yang tiba-tiba muncul di dalam kerumunan penonton, dan keadaan menjadi panic,
Lumina tidak tahu dia harus ke mana. Pikirannya mendadak buntu dan dia tidak bisa bergerak
dari tempatnya. Sebelum api itu muncul, Lumina mendapat sebuah visi yang membuatnya tidak
bisa berpikir, bahkan bergerak saja dia tidak bisa.
Apa itu" visi apa" Kenapa"
"Lumina," seseorang memanggil namanya dan ada sesuatu yang membungkus tangannya
yang dingin. Nathan mengggenggam tangan Lumina dan mengajaknya berlari menjauhi kerumunan
yang panic. Dia membawa Lumina ke salah satu kedai aksesoris dan melihat Lumina sama sekali
tidak berbicara. "Lumina" Lumina?"
Lumina mengerjapkan matanya dan menyadari kalau dia tidak lagi berdiri di tengah-tengah
kerumunan penonton. "Lho" Aku?"
"Kamu tidak bergerak sama sekali dari tempatmu berdiri." Kata Nathan, "Kamu kenapa
tidak lari ketika kerumunan berubah panic?"
"Aku" tidak tahu." kata Lumina pelan, "Aku hanya" ah, di mana ibu?"
"Ibu?" "Ibuku tadi tampil dalam konser, kan?" kata Lumina, "Dia di?"
Tatapan Lumina tertumbuk pada sosok yang sedang bertarung diantara kepanikan
pengunjung. Lumina mengenal gaun ungu itu. Itu gaun yang dipakai oleh ibunya.
"Ibu!!" Lumina ingin berlari menghampiri ibunya, tapi, Nathan mencegahnya dan menggelengkan
kepalanya. "Jangan," kata Nathan, "Ibumu tidak mungkin bisa konsentrasi bertarung jika kamu ikut ke
sana. Kamu harus pergi dari sini."
"Tapi, Ibu?" "Tidak apa. Aku akan memastikan ibumu baik-baik saja." Nathan tersenyum. "Ayo, lewat
sini!" Lumina tidak sempat bertanya bagaimana Nathan bisa yakin seperti itu. Dia membiarkan
saja Nathan menuntunnya seperti dulu saat dia tersesat. Ia menoleh kearah ibunya yang sedang
bertarung. Gadis itu berharap ibunya akan baik-baik saja.
*** Rifan merasakan Aria sedang diserang. Dia bisa merasakannya walau jarak mereka berjauhan. Ia
langsung meminta izin pada kliennya untuk bertelepati dengan Aria dengan alasan pergi ke toilet.
"Aria" Kamu mendengarku?" Rifan berjalan keluar dari ruang rapat.
Aku bisa mendengarmu, balas Aria, Rifan, ada apa"
"Harusnya aku yang bertanya begitu." kata Rifan, "Apa kamu baik-baik saja?"
Aku" baik-baik saja. Jangan khawatir. Teruskan saja pekerjaanmu. Ujar Aria, Uh-oh"
"Ada apa" Aria, katakan saja kalau ada masalah."
Rifan berhenti di dekat jendela yang menghadap ke kota. Dia merasakan kalau Aria
menyembunyikan sesuatu. "Aria, apa Apocalypse menyerangmu?"
Err" tidak. Aria kelihatan tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Rifan menghela nafas.
Ini sangat khas Aria, yang selalu tidak ingin orang lain khawatir padanya.
"Aria, apa Apocalypse menyerangmu?" tanya Rifan lagi, "Jawab saja. Jangan
menyembunyikan sesuatu dariku."
Oke. Apocalypse menyerangku. Mereka mengirimkan sekitar 10 orang lebih untuk
menyerangku dan Lumina. "Ap"kamu bilang tadi Lumina" Dia ada di tempat kamu diserang juga?"
Tidak secara langsung" dia datang ke konser di Taman Bermain Pelangi. Kebetulan aku
mengisi penampilan di sana, dan" mereka menyerang tiba-tiba dari kerumunan penonton. Kata
Aria, Tapi, jangan khawatir, aku sudah membereskan mereka semua. Sekarang aku akan mencari
Lumina. "Baiklah," Rifan menghela nafas lega, "Aku senang kamu baik-baik saja. Aku sudah
merasakan kalau kamu diserang oleh mereka. Karena itulah aku menghubungimu."
Aku tahu, sayang" jangan khawatir. Kita bertemu saat makan malam.
"Baiklah. Hati-hati."
Iya, Rifan" Rifan menghembuskan nafas dan menatap pemandangan kota yang gemerlap. Walau Aria
mengatakan dia baik-baik saja. Tapi, perasaannya masih tidak enak.
Aku khawatir pada mereka. kata Rifan dalam hati, Lumina juga ada di sana" Ya Tuhan"
semoga mereka benar-benar baik-baik saja.
Salah seorang bawahannya memanggilnya. Memintanya melanjutkan rapat. Rifan
mengangguk pada bawahannya dan menyuruhnya untuk memberitahu kliennya untuk menunggu
sebentar lagi. Rifan mengambil nafas dan mengehembuskannya perlahan. Setelah merasa siap, Rifan
membalikkan badan dan berjalan kembali ke ruang rapat.
*** "Hiyaa!!" Aria menyerang Apocalypse terakhir yang menyerangnya dan menghembuskan nafas lega.
Dia tidak membunuh mereka, tapi, melumpuhkan anggota tubuh yang berpotensi untuk
menyerangnya. Aria menatap kerumunan yang masih panic. Dia tidak mungkin kembali ke belakang
panggung sekarang. Dia yakin, Julia tahu masalah Apocalypse dari Rifan atau Dylan. Dan dia juga
yakin, Julia sudah mengantisipasi kalau dia tidak kembali dari panggung.
Aku harus menemukan Lumina dulu!
Aria berlari mencari Lumina di seluruh area taman bermain. Tapi, dia tidak bisa
menemukannya. Apa dia sudah pulang bersama anak itu" tanyanya dalam hati.
Aria kembali mencari Lumina, dan dia melihat anak laki-laki yang tadi mengajak Lumina
lari berdiri tidak jauh darinya. Ia mendekati anak itu dan melihatnya tersenyum.
"Kamu?" "Lumina selamat." Kata Nathan, "Tenang saja. Dia sudah berada di tempat yang aman."
"Siapa kamu" Apa hubunganmu dengan Lumina?" tanya Aria lagi. Tepat ketika dia
merasakan kehadiran Jack Lucios.
Tanpa sadar Aria memeluk dirinya sendiri dan menatap sekelilingnya. Dia tidak melihat
siapa-siapa kecuali kerumunan yang panic. Tapi"
"Apa Anda merasakan kehadiran orang yang pernah membuat Anda trauma?"
Pertanyaan Nathan membuat Aria menoleh kembali kearahnya dan mengerutkan kening.
Darimana anak ini tahu?"
"Darimana?" Nathan tersenyum dan membungkuk di hadapan Aria.
"Perkenalkan, namaku Nathan Jackson." Katanya memperkenalkan diri, "Aku adalah
pengawal Lumina yang akan menjaganya."
"Pengawal?" Aria yakin dia tidak pernah melihat Nathan sebelumnya. Tapi, kenapa"
"Saya bukan berasal dari program perlindungan yang dicanangkan oleh Kepala Dewan
yang baru menggantikan Shiroyuki Haruka." Ujar Nathan, membaca pikiran Aria, "Saya disuruh
oleh orang lain. Yang pasti, Anda tidak mengenal orang itu, tapi, dia mengenal Lumina."
"Apa dia salah satu dari pendukung ibu?" tanya Aria.
Nathan mengangguk dan kembali berdiri, "Anda harus cepat-cepat pergi dari sini.
Apocalypse masih berada di tempat ini. Biar saya yang menangani mereka."
"Kau bisa?" "Tentu saja." Nathan mengangguk lagi, "Saya diperintahkan untuk melindungi Lumina dan
keluarganya." Aria tercenung mendengar ucapan Nathan. Dia sangsi Nathan adalah orang yang
ditugaskan untuk mengawal keluarganya. Malah sebenarnya, keluarganya tidak perlu dilindungi
karena mereka adalah The Chronos Sapphire.
"Anda jangan meremehkan kekuatan saya." Nathan, sepertinya lagi-lagi membaca pikiran
Aria. "Sebaiknya Anda pergi ke kafe yang terletak di seberang taman bermain. Lumina menunggu
di sana." *** Dia bilang dia akan segera kembali. kata Lumina dalam hati sambil menunggu di dalam kafe di
seberang taman bermain. Nathan menyuruhnya untuk menunggu di sana. Cowok itu bilang dia akan kembali, kalau
tidak, akan ada seseorang yang menjemputnya.
"Di mana dia?" tanya Lumina pada diri sendiri.
Lumina mengaduk-aduk minumannya dan menoleh lagi kearah jendela kafe. Dia bisa
melihat polisi sudah mengamankan kepanikan di taman bermain itu. Lumina berharap ibunya juga
sudah pergi dari tempat itu sebelum ketahuan kalau beliau menggunakan senjata di tempat umum.
Tapi" tunggu dulu. Bukankah Ibu adalah The Chronos Sapphire, dan pemerintah sudah
mengakui kalau Ibu dan The Chronos Sapphire yang lain, ada"
"Kenapa juga aku harus mengkhawatirkan hal sepele seperti itu?" Lumina menggelenggelengkan kepalanya. "Aku mulai bersikap terlalu" apa, ya" Duh" aku sendiri juga bingung."
Lumina menghembuskan nafas dan meminum minumannya, cappuccino dingin.
Denting bel pintu masuk membuat Lumina menoleh secepat kilat. Dia berharap yang
datang adalah Nathan. Tapi, ternyata yang datang ke kafe benar-benar di luar dugaannya.
"Ibu?" Aria masuk ke dalam kafe dan menoleh-noleh. Matanya menangkap sosok Lumina. Aria
tersenyum dan menghampiri anak perempuannya itu.
"Ibu kenapa ada di sini?" tanya Lumina mengerutkan kening.
"Ibu akan pulang bersamamu." Kata Aria tersenyum, "Nathan bilang kamu menungggu di
sini." "Ibu bertemu dengan Nathan?"
"Dia bilang dia tidak bisa kemari lagi karena ada urusan, karena itu dia menemui ibu dan
mengatakan di mana kamu menunggunya."
"O, oh?" "Kenapa, sayang" Dia siapamu?" tanya Aria.
"Err" bukan siapa-siapa. Hanya teman." Lumina menjawab sambil tersenyum. "Apa dia
mengatakan hal lain?"
Aria menggeleng, "Tidak. Dia tidak mengatakan apapun, kecuali ucapan sampai jumpa
besok di sekolah." "Oh?" Lumina tersenyum kecil, "Kalau begitu, ayo, kita pulang. Dari tadi aku sudah
menunggunya, tapi, dia tidak kunjung datang."
Aria mengangguk dan menggamit tangan Lumina. Dia tidak mungkin memberitahu
Lumina siapa Nathan yang sebenarnya. Anak itu sudah berpesan pada Aria agar tidak ada
seorangpun yang tahu kalau dia adalah seorang" pengawal.
"Saya harap Anda tidak membocorkan identitas saya." Kata Nathan saat itu, "Hanya Anda
satu-satunya yang tahu saya adalah pengawal keluarga Anda. Dan orang yang memerintahkan saya
juga tidak akan senang kalau identitas asli saya ketahuan."
"O, oh" baiklah." Aria mengangguk, "Siapapun yang menyuruhmu untuk mengawal
keluargaku, aku berterima kasih."
Aria memerjapkan mata dan masuk ke dalam mobil. Julia juga berada di dalam mobil dan
sedang menelepon seseorang, yang ia yakin adalah kantor manajemen tempatnya bernaung.
Mobil melaju meninggalkan kafe. Aria menoleh ke belakang, kearah taman bermain yang
masih ramai karena polisi mengadakan pengevakuasian. Matanya menatap kearah Nathan yang
berdiri agak jauh dari keramaian.
Anak itu" sebenarnya apa" tanyanya dalam hati. Aku merasakan keberadaan Jack darinya.
Apa" apa dia" cloning Jack"
*** Lumina tidak tahu bagaimana ibunya bisa bertemu dengan Nathan, atau sebenarnya, bagaimana
Nathan bisa bertemu ibunya. Ia memperhatikan ibunya terus menatap kearah taman bermain
dengan kening berkerut. Ibu sedang memikirkan sesuatu. Katanya dalam hati.


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bu," Ibunya tidak mendengar dan terus menatap ke belakang. Kali ini, ibunya seperti gemetar.
"Ibu" Ibu?"
"Ah, iya?" Aria mengerjapkan mata dan menoleh kearah Lumina, "Ada apa, Lumina?"
"Tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu menatap taman bermain terus?"
"Ah" tidak apa-apa." Aria tersenyum, "Ibu hanya kecapekan saja."
"Apa karena bertarung tadi?"
"Kamu melihat?"
"Tidak juga?" Lumina menggeleng, "Tapi, apa tadi Nathan benar-benar menemui Ibu?"
"Iya. Memangnya kenapa, sayang?"
"Ibu tidak mengira dia pacarku, kan?"
"Tidak." Aria mengerjapkan mata dan tersenyum geli, "Apa dia pacarmu?"
"Tidak." jawab Lumina, "Dia hanya" teman. Teman masa kecil yang datang kembali,
dengan sikap yang sedikit membuatku jengkel."
"Kenapa begitu?" Aria mengerutkan kening, masih tersenyum geli, "Menurut ibu, dia anak
yang baik. Kenapa kamu tidak berpacaran saja dengannya?"
"Kenapa semua orang harus mengatakan itu padaku?" tanya Lumina balik, mulai merajuk,
"Snow, Samuel, Claire Oneesan, Sarah Oneesan, dan Reno Oniichan juga bilang begitu."
Aria tertawa kecil dan mengelus rambut anaknya, "Ibu tidak keberatan dengan siapa kamu
berpacaran. Asalkan kamu tidak melupakan kewajibanmu sebagai seorang pelajar. Apalagi kamu
masih 16 tahun. Waktumu masih panjang, dan kamu harus bisa mengejar cita-citamu."
"Aku mengerti, Bu?" Lumina bersandar pada bahu Aria, "Aku tidak pernah mau pacaran,
untuk saat ini. Lagipula selain sekolah, aku juga harus melatih kemampuanku sebagai The
Chronos Sapphire, kan?"
Aria mengangguk. Sebelah tangannya merengkuh bahu Lumina. Ia menghembuskan nafas
dan menatap keluar jendela mobil.
Andai saja aku bisa meramal lebih jauh lagi" mungkin aku bisa"
CHAPTER 9 Rifan masuk ke kamarnya dan melihat Aria sedang menyisir rambut di depan meja rias.
"Hai," Rifan menghampiri Aria dan mencium keningnya, "Bagaimana tadi?"
"Aku selalu bisa mengatasinya." Aria tersenyum, "Aku selalu bisa."
Rifan ikut tersenyum. Dia duduk di tepi kasur dan melonggarkan ikatan dasinya. "Apa ada
hal lain selain Apocalypse menyerang?" tanyanya.
"Ada?" Aria meletakkan sisir di tangannya ke atas meja dan menoleh kearah Rifan, "Apa kau
menyewa seorang pengawal untuk melindungi keluarga kita?"
"Tidak." Rifan menggeleng, "Memangnya kenapa?"
"Saat aku mencari Lumina, ada anak laki-laki sepantaran Reno yang memberitahuku
dimana Lumina berada." Ujar Aria, "Dan anak itu bilang dia adalah pengawal yang disewa untuk
melindungi keluarga kita."
"Sepantaran Reno" 18 tahun?"
Aria mengangguk, "Kamu benar-benar tidak menyewa jasa pengawal atau semacamnya?"
"Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Program perlindungan yang dicanangkan oleh Ketua
Dewan yang baru juga tidak pernah kugubris." Jawab Rifan.
"Anak itu juga bilang kalau dia bukan bagian dari program itu. Tapi" katanya dia disuruh
oleh seseorang. Dan orang itu mengenal Lumina."
"Kau tidak mengenalnya?"
"Aku tidak mengenal siapa yang menyuruhnya. Dan aku yakin kamu juga tidak tahu.
Orang yang menyuruh anak itu adalah orang yang mengenal Lumina." Aria mengerutkan kening,
"Apa menurutmu Lumina menyembunyikan sesuatu?"
"Kurasa tidak. Gadis kecil kita itu tidak pernah bisa dan tidak pernah mau berbohong."
Rifan tersenyum lebar, "Sifatnya, kan, mirip denganmu."
Aria tertawa kecil dan melempari Rifan dengan sisirnya, "Jangan menggodaku." Katanya.
"Itu memang kenyataannya, kok." Ujar Rifan, "Siapa nama anak itu?"
"Nama anak itu Nathan Jackson. Mungkin dia satu sekolah dengan Lumina dan Reno."
jawab Aria. Rifan manggut-manggut, "Aku akan mencari tahu tentang anak itu." katanya, "Mungkin ini
sedikit protektif, tapi, kita harus waspada pada setiap orang yang berdekatan dengan anak-anak
kita." "Aku setuju. Walau kelihatannya Nathan anak baik, aku kepikiran" kau tahu, ketika aku
berada dekat dengan anak itu, aku merasakan keberadaan Jack."
"Apa?" "Aku merasakan keberadaan Jack dari anak itu." kata Aria. "Dan aku merasa gemetar
karena mengira Jack muncul lagi."
Rifan menatap Aria, yang kembali kelihatan gemetar. Ia berdiri dan mendekati istrinya.
Tangannya meraih tangan Aria dan menggenggamnya erat.
"Tidak apa-apa. Dia tidak akan mengganggumu lagi." ujarnya, "Aku akan pastikan itu, jika
dia benar-benar masih hidup, aku akan membunuhnya, sekali lagi."
Aria hanya mengangguk. Dia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas.
*** Sambil bersenandung pelan, Lumina mengerjakan PR-nya dan menyalakan laptop. Lumina ingin
mencari sesuatu di internet untuk bahan presentasi pelajarannya besok. Bersyukur pada tahun
2049 ini kemajuan teknologi dan informasi benar-benar sangat berkembang daripada tahun-tahun
sebelumnya. Hanya dalam satu klik, apa yang ingin dicari sudah ditemukan.
Setelah mengerjakan PR dan memeriksanya lagi, Lumina benar-benar mengalihkan
perhatiannya ke laptop dan mulai mengetik kata pencarian.
"Hmm?" Lumina meneliti setiap hasil yang ia temukan di layar laptop-nya. "Semuanya
sama. Tidak ada yang menarik."
Lumina mengetik lagi, mengganti kata pencarian, ketika melihat hasil pencarian berikutnya
ternyata sama saja, Lumina menghembuskan nafas jengkel. Dia mengulang lagi prosedur awal dan
kembali menemui jalan buntu.
Bosan dengan hasil temuannya, Lumina beralih ke pencarian lain. Sesuatu tiba-tiba
terbersit dalam pikirannya.
Jari-jarinya segera mengetik kata pencarian yang muncul di otaknya.
Apocalypse Lumina menekan tombol enter, dan dalam sekejap, hasil pencarian sudah terpampang di
layar laptop-nya. Ia melihat semua hasil pencarian tersebut, dan salah satunya menarik
perhatiannya. Lumina menekan alamat website yang ada, dan layarnya berganti dengan sebuah
artikel"sebenarnya, bukan artikel, lebih tepatnya sebuah" riwayat, atau semacamnya.
APOCALYPSE Apocalypse adalah organisasi kejahatan tertua di dunia. Diperkirakan organisasi itu
berdiri sejak ratusan tahun silam. Organisasi ini dulunya bernama Shinigami atau Death God.
Apocalypse adalah organisasi yang bergerak di bawah bayangan, maksudnya, bergerak secara
sembunyi-sembunyi. Nama organisasi yang berganti dikarenakan pihak pemerintah Jepang, tempat lahirnya
organisasi itu, menentang keras adanya organisasi tersebut. Setelah melewati pertikaian yang
sengit dengan pihak pemerintah dan Yakuza, Shinigami resmi dibubarkan dan anggotanya
menghilang entah ke mana seperti bayangan.
Tapi, sekitar tahun 1998, para mantan anggota Shinigami membentuk organisasi baru,
yang kemudian dinamakan Apocalypse. Organisasi Apocalypse kini berpusat di sebuah pulau tak
berpenghuni di dekat kepulauan Hawai.
Keanggotaan Apocalypse tidak dibatasi oleh umur. Tua ataupun muda, semuanya
tergabung dalam organisasi kejahatan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan kalau di dalam
organisasi tersebut juga terdapat anak di bawah umur. Semua anggotanya tidak ditentukan
asalnya darimana. Sampai sekarang, diperkirakan Apocalypse sudah memiliki ribuan anggota
dari berbagai kalangan usia"
Note : Tidak banyak catatan mengenai organisasi ini. Pengunjung halaman diharapkan
bisa membantu untuk menambah riwayat
"Hah" Hanya sampai di sini?" Lumina membaca lagi sejarah tentang Apocalypse yang ia
temukan. Dan memang yang ada hanya itu saja.
"Organisasi ini" sepertinya aku pernah dengar." Gumamnya, "Tapi, kapan?"
Lumina menggelengkan kepala. Dia tidak bisa mengingatnya. Sambil menghembuskan
nafas pelan, dia mematikan laptop dan merapikan meja belajarnya. Ia menoleh kearah jam
dinding. Sudah pukul 10 malam. Sudah waktunya tidur.
"Kupikir aku harus minum dulu." Gumamnya sambil memegang lehernya, "Tenggorokanku terasa kering."
Ketika dia sampai di dapur, dia melihat bayangan seseorang di sana. Lumina mendekat
kearah dapur dan melihat ibunya sedang mengaduk-aduk minuman di gelasnya. Wajah ibunya
kelihatan muram dan sesekali beliau menghembuskan nafas.
"Ibu?" Aria menoleh dan langsung bertatapan dengan Lumina. Dia mengerjap sebentar sebelum
sadar siapa yang berdiri di depan pintu dapur.
"Oh, Lumina," Aria tersenyum, "Kamu belum tidur?"
"Aku mau mengambil minum." jawab Lumina, "Ibu sendiri?"
"Sekarang bukan waktunya jam tidur untuk ibu." Kata Aria, "Ayahmu masih harus
mengerjakan pekerjaannya di ruang kerja. Jadi, Ibu menunggu di sini."
"Oh?" Lumina manggut-manggut. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air,
kemudian berdiri di depan meja.
"Wajah Ibu kelihatan sedih." Kata Lumina, "Ada apa, Bu?"
"Tidak ada apa-apa, kok. Ibu hanya kecapekan saja."
"Itu berarti Ibu harus segera istirahat."
"Tapi, Ibu belum mengantuk."
Lumina mengerjapkan mata dan tersenyum kecil. Dia jarang sekali berdebat dengan
ibunya seperti ini. Begitu juga dengan Aria.
"Ibu rasa kamu sudah bisa mendebat Ibu dengan baik." Kata Aria sambil tertawa.
"Aku juga tidak menyangka bisa mendebat Ibu seperti tadi."
Aria mengangguk-angguk. Kemudian wajahnya berubah sedih lagi.
"Lumina, kamu bisa duduk sebentar?"
Tanpa menjawab, Lumina duduk di kursi di hadapan ibunya. Aria memilin sejumput
rambutnya dan menghela nafas, matanya menatap langsung ke mata Lumina.
"Apa kamu merasa tidak senang dilahirkan sebagai anak ibu?"
"Hah" Maksudnya?"
"Kamu tidak senang menjadi The Chronos Sapphire" Menjadi generasi ketiga dari gen
terkuat di dunia?" "Err?" Lumina menopang dagunya dengan sebelah tangan dan mengerutkan kening.
"Tidak. Aku malah bersyukur, itu artinya, aku sedikit" istimewa. Bukan berarti aku menyukai
keiistimewaan itu, hanya saja" kadang aku suka risih karena banyak orang yang ingin tahu
bagaimana aku bisa melakukan ini dan itu dalam sekejap."
"Apa saja kemampuanmu sekarang?"
"3 kemampuan umum The Chronos Sapphire, menghentikan waktu, meramal,
mengendalikan orang lain"maksudku, mengendalikan pikiran mereka, dan" aku bisa berbicara
dengan suara lain yang bukan suaraku sendiri, di dalam kepalaku."
"Apa?" Aria yakin ia tidak salah dengar, "Kamu" bisa berbicara dengan suara lain" yang
bukan suaramu sendiri?"
Lumina mengangguk. Lumina adalah"bukan, salah satu dari The Chronos Sapphire yang akan mendapat
pasangan empati! Katanya dalam hati. Sesuai dugaanku!
"Apa" kamu tahu siapa pemilik suara itu?" tanya Aria, "Maksud Ibu, apa kamu mengenal
si pemilik suara lain itu?"
"Tidak." Lumina menggeleng, "Kalau maksud Ibu itu adalah apakah suara itu adalah suara
Samuel atau Snow yang juga The Chronos Sapphire" tidak. Itu bukan suara salah satu dari
mereka." Ucapan Lumina membuat kening Aria berkerut.
"Bukan salah satu" dari mereka?" tanya Aria, "Juga bukan dari" Nathan?"
Lumina mengangguk lagi. "Bu, Nathan, kan, manusia biasa."
"O, oh ya?" Aria menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menghembuskan nafas,
nyaris putus asa, "Berarti teori itu benar?"
"Teori" apa, Bu?"
"Teori kalau mereka membuat cloning dengan DNA The Chronos Sapphire." Kata Aria.
"Mereka siapa?"
Aria menatap Lumina yang memandangnya dengan rasa ingin tahu. Dan Aria bisa melihat
tatapan matanya sendiri di mata Lumina.
"Apocalypse." Ujar Aria, "Itu adalah organisasi yang menginginkan The Chronos Sapphire
untuk dijadikan tentara bayaran. Sama seperti kami dulu."
"Seperti" Ibu dan Ayah?"
Aria mengangguk, "Lumina, kamu bisa menjaga rahasia dari orang lain, bukan?"
"Me, memangnya kenapa, Bu?" Lumina tidak terlalu suka merahasiakan sesuatu. Karena
itu dia sedikit khawatir dia bakal membocorkan rahasia tersebut.
"Maksud Ibu, menjaga rahasia ini dari orang lain selain The Chronos Sapphire." Kata
Aria, membaca pikiran Lumina, "Kamu takut kamu tidak bisa menjaga rahasia, ya?"
"Aku memang tidak suka menjaga rahasia orang lain," Lumina mengedikkan bahu, "Tapi,
kalau Ibu yang meminta" aku berjanji akan melakukannya."
Aria tersenyum dan menggenggam tangan Lumina yang berada di atas meja.
"Kamu mau mendengar rahasia Ibu?" katanya tersenyum, "Rahasia Ibu bagaimana bisa
bertemu dengan ayahmu dan kisah kami berdua?"
*** "Ibu" benar-benar ingin menceritakannya?" tanya Lumina, takut dia salah dengar.
Aria mengangguk pelan, "Sebelum Ibu bertemu dengan ayahmu, Ibu juga mengalami hal
yang sama denganmu, bisa mendengar suara lain yang bukan suara Ibu sendiri di dalam kepala
Ibu. Ketika Ibu bertemu dengan ayahmu, Ibu diculik terlebih dulu dan dibawa ke tempat yang
jauh, Laboratorium terlarang. Tempat di mana The Chronos Sapphire dilahirkan. Di sanalah Ibu
bertemu dengan ayahmu. Kami semua"termasuk Pamanmu, diculik dengan rentang waktu yang
agak jauh. Ketika diculik, Ibu seumuran denganmu.
"Selama 2 tahun, kami semua di" siksa, sebelum menerima misi dalam keadaan tidak
sadar. Kami diharuskan meminum obat yang akan menghilangkan kesadaran kami dan bisa focus
pada misi, kalau menolak, kami akan diberi kejutan listrik dari helm listrik yang sangat
menyakitkan. Selama 2 tahun itu juga, kami mencabut banyak nyawa orang lain."
Tangan Aria kelihatan gemetar. Ia berusaha menahan keinginan untuk gemetar lagi dengan
mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan.
"Jack Lucios adalah penyebab Ibu sering bermimpi buruk. Jack adalah orang yang ingin
menang sendiri dan ingin membunuh kami semua. Ayahmu dulu bertarung mati-matian
melawannya, begitu juga Pamanmu, dan teman-teman Ibu sesama
The Chronos Sapphire. Perjuangan yang cukup berat, apalagi ketika itu terjadi, kami semua menerima misi dan
melakukannya dalam keadaan sadar."
"Apa orang yang bernama Jack itu" sangat jahat?" tanya Lumina.
"Bukan hanya jahat, tapi juga kejam. Dia pernah mencoba mencuci otak Ibu." Jawab Aria,
"Tapi, semua itu bisa dilalui, walau penuh tantangannya."
Lumina manggut-manggut, "Lalu" bagaimana bisa" Ayah dan Ibu, bertunangan, lalu
menikah?" "Itu?" Aria tertawa kecil sebelum menyuruh Lumina agak mendekat. "Itu rahasia."
"Ah!! Ibu!!" Aria tertawa dan menepuk kepala Lumina, "Maaf, maaf" Ibu hanya bercanda," katanya,
"Ayahmu melamar Ibu sebagai tunangan ketika kami bertarung melawan Jack. Waktu itu Ibu
nyaris mati karena memulangkan teman-teman yang lain, kecuali Charles, pulang dalam keadaan
hidup." "Bagaimana caranya?"
"Kalung yang sekarang melingkari lehermulah," Aria menunjuk kalung Bulan Sabit Biru
yang sekarang dipakai Lumina, "Adalah kunci agar kami bisa terbebas dari jeratan Laboratorium
Terlarang. Kalung itu juga yang Ibu gunakan untuk memulangkan mereka semua kembali ke
rumah, dengan nyawa Ibu sebagai jaminannya."
"Maksud Ibu?" Lumina mengerutkan kening.
"Saat Ibu memulangkan mereka semua, jiwa Ibu terkikis sedikit demi sedikit. Awalnya Ibu
divonis akan meninggal dalam kurun waktu yang tidak lama lagi. Ketika itu adalah pertempuran
terakhir kami melawan Jack, yang berhasil kami menangkan." Ujar Aria, "Saat itu, Ibu nyaris
kehilangan harapan karena Ibu pikir Ibu tidak bisa membahagiakan ayahmu.
"Sampai Maya, kembaran jauh Ibu, memberikan energy jiwanya pada Ibu, hingga Ibu bisa
hidup sampai sekarang. Dan karena energy jiwanya itu jugalah, kamu memiliki kemampuan
meramal." "Ibu punya saudara kembar?"
"Iya. Walau secara genetic kami adalah saudara kembar, tapi, secara hukum dan secara
fisik, tidak. Maya sangat berbeda dari Ibu. Dia lebih percaya diri, dan dia juga adalah pasangan
empati Jack. Jadi, bisa dibilang di dalam generasi kedua The Chronos Sapphire ada dua pasangan
empati, walau mereka tidak diakui sama sekali karena Jack-lah yang menyebabkan satu pulau
tenggelam dalam lautan."
"Wow?" "Ya, memang wow." Aria tertawa pelan, "Tapi, semua itu sud
ah berlalu, walau masih ada
sedikit masalah saat itu, vonis kalau Ibu akan meninggal dalam waktu yang tidak akan lama lagi. Itu
cukup membuat Ibu syok. Dan saat itu jugalah ayahmu melamar Ibu menjadi istrinya."
"Kenapa Ayah melamar Ibu di saat yang selalu tidak tepat?" tanya Lumina sambil
tersenyum geli, "Ayah kelihatan terburu-buru."


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurutmu begitu, ya?" Aria tertawa dan mengangguk setuju pada ucapan Lumina,
"Tapi, karena ayahmu jugalah, Ibu masih ada di sini, kan" Kamu tahu, kalung Bulan Sabit Biru
yang sekarang kamu kenakan itu punya pasangannya."
"Benarkah?" Aria mengangguk, "Kalung itu adalah kalung yang dibuat dari material khusus. Tidak
mudah membuatnya, apalagi kalung itu menyimpan tiga hal penting milik The Chronos Sapphire,
yaitu jiwa, ingatan, dan perasaan. Ibu pernah hilang ingatan karena salah satu berliannya pecah,
dihancurkan oleh Jack Lucios. Maya-lah yang memperbaikinya dengan kalung Bulan Sabit Hitam
miliknya, yang menjadi milik ayahmu. Kalung itu adalah jimat bagi kami berdua."
Lumina menyentuh kalung yang melingkari lehernya, "Apa kalung Bulan Sabit Hitam itu"
yang kulihat waktu itu?"
"Ya." kata Aria, "Ibu menyuruh ayahmu untuk memberikan kalung itu untuk Reno. Itu
akan menjadi jimatnya. Apalagi kalian berdua termasuk calon yang akan memiliki pasangan
empati." "Begitukah?" tanya Lumina, "Bu, apa kasusku bisa berbicara dengan suara yang bukan
suaraku sendiri di dalam kepalaku itu juga termasuk?"
"Tentu saja. Pasangan empatimu mungkin berada di suatu tempat, yang pasti bukan seperti
masa lalu Ibu." Aria menepuk tangan Lumina, "Kamu akan bertemu pasangan empatimu cepat
atau lambat. Ibu yakin itu."
Lumina mengangguk-angguk dan menghembuskan nafas.
"Ibu rasa kamu harus segera tidur." ujar Aria melihat jam digital di dekatnya. "Sekarang
sudah pukul setengah 12 malam. Kamu tidak boleh sampai terlambat sekolah besok."
"Baiklah," Lumina berdiri dan meletakkan gelasnya di bak cuci piring, "Selamat malam,
Bu." "Selamat malam juga, Lumina."
Lumina tersenyum pada ibunya dan berjalan kearah kamar.
Aria menatap kepergian Lumina, dan ketika anaknya itu sudah tidak terlihat lagi, Aria
menghela nafas. "Lumina tidak berpasangan dengan Samuel ataupun Snow," gumamnya, "Berarti
kemungkinan Apocalypse membuat cloning dengan gen Jack benar."
Astaga" aku tidak mau jika anak itu berpasangan dengan Nathan. Anak laki-laki itu
memiliki aura yang persis sama seperti Jack, walau agak berbeda. Kata Aria dalam hati, Tapi,
Lumina bilang, suara lain di kepalanya juga bukan suara Nathan" apa ada teori lain" Atau
mungkin" Apocalypse membuat cloning lebih dari satu"
Aria menggelengkan kepalanya dan meminum habis minumannya yang sudah dingin.
Setelah meletakkan gelas kosongnya di bak cuci, dia kembali ke kamar dengan pikiran masih
tertuju pada apakah Apocalypse membuat cloning atau tidak.
CHAPTER 10 Lumina tidak tahu apakah hari ini bisa lebih buruk dari hari-hari yang bisa ia kategorikan lebih
buruk daripada hari ini. Pagi tadi, dia terlambat bangun dan terpaksa harus berangkat ke sekolah sendirian. Dia
bersyukur memiliki kemampuan menghentikan waktu untuk "sedikit" mengubah jam masuk
sekolah. Tapi, setelahnya, dia lupa membawa buku PR-nya dan harus menerima hukuman
menulis satu makalah penuh tentang kehidupan sehari-hari selama sebulan penuh.
Belum habis dengan itu, Lumina harus menahan kekesalannya ketika Kelly, salah seorang
teman sekelasnya yang bisa dibilang" sangat menjengkelkan, mengganggunya. Dan Kelly juga
pacar Tritan, yang juga selalu mengganggunya. Jadi, penderitaannya hari ini cukup lengkap
dikategorikan sebagai penderitaan terburuk.
"Aku yakin aku bakal membunuhnya, kalau saja membunuh itu tidak dilarang." Kata
Lumina kesal sambil menyeruput jus lecinya.
"Itu masalah biasa, Lumina," hibur Claire sambil tersenyum, "Semua orang pasti punya
musuh. Entah musuhmu itu lemah, atau kuat?"
Sekarang jam istirahat. Mereka semua berkumpul seperti hari kemarin di kantin. Lebih
tepatnya meja paling pojok. Tanpa disadari oleh semua orang, atau bahkan mereka sendiri, meja
tersebut menjadi daerah territorial Lumina dan The Chronos Sapphire yang lain.
"Tapi, aku kesal, Oneesan," kata Lumina, "Dia selalu menggangguku, padahal aku tidak
pernah mengganggunya sama sekali!"
"Mungkin dia iri padamu." Sahut Snow sambil memakan mie gorengnya. "Dia iri padamu
karena kamu cantik. Plus" kamu juga menjadi "pacar" Nathan itu, kan?"
"Aku tidak berpacaran dengannya." Balas Lumina, "Sudah kukatakan berapa kali, sih,
kalau aku dan dia hanya berteman?"
"Tapi, bagaimana dengan soal" "calon suami?""
"Oh, Reno Oniichan! Bisa hentikan lelucon itu?" keluh Lumina sambil menelungkupkan
kepalanya di atas meja, "Ah" kenapa semua orang harus membicarakan hal itu?""
"Karena sepertinya lebih enak menggodamu ketimbang harus menggoda Sarah." Kata
Claire tersenyum lebar pada Sarah, "Jangan marah, ya?"
Sarah hanya mengedikkan bahu, "Aku tidak marah. Tapi, memang lebih enak
mengerjaimu, Lumina. Menggodamu adalah salah satu hobi baruku sekarang."
Lumina mencibir tanpa suara dan menyeruput jus lecinya lagi.
"Ngomong-ngomong, hari ini setelah pulang sekolah, kegiatan kalian semua kosong,
bukan" Bagaimana kalau kita latihan?" kata Claire.
"Aku ada latihan band setelah pulang sekolah." Ujar Reno, "Mungkin aku akan terlambat
pulang, tapi, aku akan pastikan aku akan ikut latihan."
"Tidak masalah. Kalau kalian" Snow, Samuel?"
"Kami berdua kosong. Tidak ada kerjaan lain selain memainkan game terbaru yang
beberapa hari lalu kami beli." Kata Snow tersenyum lebar pada Samuel, kemudina melakukan tos
dengannya. "Kalau Lumina?" tanya Sarah, "Bagaimana denganmu?"
"Aku?" "Dia ada kursus menyanyi dan latihan piano." Ujar Reno. "Dan kurasa, dia juga akan
pulang terlambat." "Tapi, kalian bisa langsung masuk, kok." Kata Lumina, "Sarah Oneesan punya kunci
rumah kami, kan?" "Selalu kubawa." Sarah mengangguk. "Baiklah, kuharap kalian berdua cepat pulang setelah
kegiatan kalian selesai. Soalnya aku membawa barang bagus yang kudapat dari klub travelling-ku."
"Benarkah?" "Tapi, aku tidak membawanya ke sekolah. Terlalu berbahaya." Kata Sarah sambil
tersenyum lebar, "Karena itu, kalian harus cepat pulang."
Lumina mengangguk sambil tersenyum, "Asalkan tidak ada yang mengejekku lagi. Aku
pasti akan pulang cepat."
*** Pelajaran berikutnya adalah pelajaran kesenian. Lumina tidak merasa kesulitan dengan pelajaran
tersebut, tapi, tidak dengan teman-temannya, termasuk Rebecca, yang tidak terlalu menyukai
kesenian. Lumina pernah bertanya kenapa teman-temannya tidak menyukai pelajaran tersebut. Dan
jawaban yang ia dapat selalu sama.
"Kesenian itu terlalu ribet. Lebih susah daripada Matematika. Kalau Matematika, kita bisa
mengira-ngira dan menebak hasil yang tepat, sementara Kesenian harus kita praktekkan. Dan
disitulah letak kesulitannya."
Lumina tidak terlalu memikirkan hal itu, baginya, semua pelajaran sama tingkat
kesulitannya. Tapi, semuanya cukup mudah baginya, apalagi dengan kemampuan The Chronos
Sapphire-nya. Itu menjadikan semua pelajaran menjadi lebih mudah.
Ia dan Rebecca mengambil kursi paling pojok di ruang Kesenian. Kursi favorit mereka.
Tepat di sebelah jendela yang menghadap kearah lapangan olahraga. Biasanya Lumina melihat
kakaknya yang sedang pelajaran olahraga di sini. Kadang-kadang Lumina menggunakan
kemampuan menghentikan waktu miliknya dan membuat kakaknya uring-uringan karena jam
pelajaran olahraga menjadi lebih lama. Sejak lama Reno paling benci olahraga yang bisa membuat
kulitnya hitam (apa dia cewek, ya").
Lumina menatap kearah lapangan dan melihat kakaknya juga menatap balik kearahnya
sambil tersenyum. Dan mengisyaratkan untuk tidak mengganggu pelajaran olahraganya. Lumina
hanya tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya dan memusatkan perhatiannya pada guru
yang ada di depan kelas. Ketika Lumina baru akan membuka buku, dia mendapati sebuah amplop berwarna hitam
terselip di dalam bukunya. Ia mengerutkan kening. Amplop berwarna hitam seperti ini sangat
jarang digunakan, kecuali"
"Amplop apa itu" Kenapa warnanya seperti itu?" bisik Rebecca yang juga melihat amplop
tersebut. "Aku juga tidak tahu." Lumina mengedikkan bahu, "Jangan ribut. Kita sedang dalam
pelajaran." Rebecca mengedikkan bahu dan menoleh kearah lain, sementara Lumina terus menatap
amplop hitam tersebut. Dia tidak tahu apa isi amplop berwarna aneh itu, tapi" perasaannya lagilagi tidak enak. Aneh. Padahal Nathan sedang tidak masuk hari ini karena sakit.
Apa-apaan perasaan tidak enak ini" batinnya, Kenapa seperti akan terjadi sesuatu yang
mengerikan" Kacau" ini gara-gara pikiranku yang sering melantur.
Lumina mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam saku seragamnya. Dia
memutuskan untuk membacanya setelah sepulang sekolah saja. Lagipula dia perlu memusatkan
perhatiannya pada penjelasan gurunya yang sedang mengajar di depan kelas.
Reno melihat kearah lantai 3, di mana ruang kesenian tempat Lumina sedang belajar
terletak di sana. Reno tersenyum kecil melihat Lumina menatap kearahnya dan mengisyaratkannya
dengan gerakan tangan agar jangan mengganggu pelajaran olahraga yang sedang diikutinya. Percaya
saja, jika Lumina sampai menggunakan kemampuan menghentikan waktu (yang ia kira semula itu
adalah karena ulahnya sendiri. Dia, kan, juga memiliki kemampuan itu), jam pelajaran olahraga
yang memberatkannya itu akan terasa lebih lama dari biasanya.
Lumina melambaikan tangannya dan kemudian mengalihkan perhatiannya kearah lain.
Reno mengedikkan bahu, kalau dia sudah perhatian penuh pada pelajaran, Lumina tidak akan
bisa dialihkan perhatiannya.
"Hei, kamu itu membuat semua cowok di sekolah ini iri, tahu." kata Jimmy, salah seorang
teman sekelasnya, "Adikmu itu menjadi incaran setiap cowok yang bersekolah di sini."
"Memangnya kenapa" Kalau kalian tidak tahu sifatnya yang sebenarnya kalian pasti akan
berkata seperti itu." kata Reno, "Dia itu jahil. Yah" walau kadang sedikit manja."
"Kalian berdua sangat dekat, ya?" tanya Lin, yang duduk di sebelahnya. "Aku lihat Lumina
tidak pernah lepas darimu."
"Mau bagaimana lagi" Aku, kan, kakaknya."
Lin dan Jimmy manggut-manggut.
"Apa kedua orangtua kalian sangat sibuk, ya" Aku lihat ayah dan ibu kalian jarang
mengambil rapor kalian." kata Lin.
"Mereka berdua memang sibuk. Ayah bekerja menjadi direktur perusahaan keamanan,
sementara ibu adalah penyanyi terkenal." Reno menghela nafas, "Walau mereka sibuk, mereka
tetap memperhatikan kami. Bahkan mereka peduli pada keselamatan kami."
"Maksudnya?" "Tidak apa-apa." Reno menggeleng, "Oke, kita harus segera masuk ke barisan sebelum?"
Suara jeritan terdengar dari lantai 3. Reno menoleh dan melihat suasana ruang kesenian
agak gaduh dari tempatnya berdiri sekarang.
Suara itu, kan" suara Lumina"
Reno mengerutkan kening. Dia merasakan sesuatu terjadi pada Lumina. Tanpa sadar, dia
berlari meninggalkan lapangan.
"Reno, mau ke mana?"
"Aku harus pergi ke toilet sebentar!"
*** "Lumina, kamu kenapa?"
Lumina jatuh dari kursinya dengan tubuh gemetar. Kedua tangannya menutupi wajahnya.
Samuel berlutut di dekatnya. Hanya dengan sentuhan saja, Samuel bisa merasakan kalau Lumina
sangat ketakutan. Ada apa dengannya" Batinnya.
"Lumina kenapa, Samuel?" tanya Rebecca.
"Aku juga tidak tahu."
Samuel menyentuh bahu Lumina dan membuat gadis itu terlonjak dan makin menjauh.
"J, jangan mendekatiku!!"
"Lumina, ada apa?" Miss Jennifer, guru kesenian mereka, menghampiri Lumina dan
mendekatinya. "Lumina" Ada apa?"
Lumina tidak menjawab dan tubuhnya masih gemetar.
"Samuel, kamu tahu ada apa dengan Lumina?" tanya Miss Jennifer.
"Saya sendiri juga tidak tahu." kata Samuel, "Tapi?"
Pintu ruang kesenian terbuka, dan semua orang menoleh. Mereka melihat Reno berdiri di
depan pintu. "Reno?" Reno berlari menghampiri Lumina dan langsung memeluk adiknya. "Apa yang terjadi
padanya?" tanyanya. "Kami sendiri tidak tahu." kata Rebecca, setengah tergagap melihat Reno secara langsung,
"Saat dia hendak menjawab pertanyaan dari Miss Jennifer, dia tiba-tiba menjerit ketakutan dan
menjauh seperti itu."
"Dan ketika aku mencoba menenangkannya, dia berkata "menjauh dariku"." sambung
Samuel. Reno mengangguk, "Lumina, ada apa?"
Lumina menggelengkan kepalanya, "Me, mereka akan menyakitiku" mereka" mereka
akan?" Lumina tidak bisa melanjutkan ucapannya, "Oniichan" aku takut" orang-orang itu akan
menyakitiku?" Orang-orang itu" Siapa"
"Miss Jennifer, bisakah Lumina tidak ikut pelajaran berikutnya" Saya akan membawanya
ke ruang kesehatan." Kata Reno.
"Baiklah. Miss akan membuatkan surat izin untuknya, jika dia perlu beristirahat di rumah."
Miss Jennifer mengangguk.
"Tidak perlu. Dia pasti akan mengikuti pelajaran berikutnya." Ujar Reno, "Samuel, bantu
aku." Samuel mengangguk dan membantu Lumina berdiri.
"Anu, apa aku boleh ikut?" tanya Rebecca.
Reno menatap Rebecca sejenak, dan kemudian mengangguk, "Mungkin kamu bisa
membantuku membuatnya bicara."
Rebecca mengangguk sambil tersenyum, dan berpamitan pada Miss Jennifer.
*** "Ini, minumlah."
Rebecca memberikan segelas air pada Lumina. Gadis itu meminumnya sedikit dan merasa
sedikit baikan. Reno duduk di sebelahnya, "Apa yang kamu lihat?" tanyanya, "Itu visi, kan" Kamu bilang
kamu bisa meramal." Lumina mengerjapkan mata dan mengangguk pelan.
"Tunggu. Lumina bisa meramal, ya?" tanya Rebecca.
"Itu" cerita yang panjang, Rebecca." Kata Samuel, "Sebaiknya kamu tetap
merahasiakannya." "Memangnya kenapa?"
"Itu?" "Mereka" Apocalypse," kata Lumina pelan, "Mereka menangkap kita semua. Dan" dan"
aku" salah seorang dari mereka menyekapku di ruangan lain. Mereka memaksaku bicara sesuatu
yang aku tidak tahu. Dan" dan" Oniichan, aku takut" mereka juga melakukan sesuatu padaku?"
"Kamu melihat apa?" tanya Reno lagi, "Katakan saja padaku dan Samuel."
Lumina menggeleng. Airmata menetes di pipinya. Bahunya berguncang.
"Lumina?" "Me, mereka?" Lumina menghela nafas, "Mereka mencoba" me, me?"
?"Me?"?" Tangan Lumina yang gemetar menyentuh mata kirinya. Dan hanya dengan gerakan itu saja,
Reno tahu. Ia memeluk adiknya lebih erat, dan tangis Lumina semakin keras.
"Aku takut" aku?"
"Sudah" itu belum tentu terjadi." kata Reno, "Semua akan baik-baik saja. Aku janji."
Lumina hanya mengangguk. Tapi, airmatanya masih terus mengalir.
"Lumina kenapa, Reno-senpai?" tanya Rebecca.
"Dia hanya sedikit lelah." Ujar Reno, "Anu, Rebecca" ya" Kamu bisa menjaga rahasia
ucapan Lumina tadi?"
"Memangnya Lumina benar bisa meramal, ya?"
"Err" tidak juga." Reno mengedikkan bahu, "Yang jelas, rahasiakan saja. Ya?"
"Baiklah" lagipula aku lebih khawatir pada Lumina." Kata Rebecca, "Dia benar baik-baik
saja, kan?" Reno mengangguk. "Samuel, bisa kamu panggilkan Sarah atau Claire?" tanya Reno, "Kurasa pelajaran olahraga
sudah selesai sekarang, dan aku harus berbicara sebentar pada mereka."
Samuel mengangguk dan berlari keluar dari ruang kesehatan. Reno menyuruh Rebecca
menemani Lumina sebentar, sementara ia sendiri mengambil ponselnya dan menelepon sebuah
nomor. "Halo, Ayah" Ayah, punya waktu sebentar setelah pulang sekolah?"
"Ada apa, Reno" Ada masalah?" tanya ayahnya setengah berbisik. Sangat kelihatan kalau
ayahnya sedang menghadiri rapat penting, dan Reno merasa tidak enak karena telah
mengganggunya. Tapi, ini menyangkut masalah adiknya. Entah kenapa, sesuatu terlintas begitu saja di dalam
pikirannya, dan dia harus mengutarakannya pada ayahnya, atau ibunya.
"Ayah, aku perlu berbicara dengan Ayah tentang sesuatu bernama Apocalypse." Kata
Reno, "Lumina memiliki kemampuan meramal, dan dia melihat visi yang membuatnya menjerit
ketakutan, tentang Apoalypse. Reno harap, Ayah bisa membicarakannya dengan Reno."
Di seberang telepon, Rifan sedikit kaget ketika Reno meneleponnya, bukan membahas
apakah mereka akan makan siang bersama lagi atau hal yang lain, melainkan soal organisasi yang
sangat mengancam The Choronos Sapphire.
"Kamu bilang" Apocalypse?" tanya Rifan, mencoba memastikan lagi kalau dia tidak salah


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar. "Iya. Lumina tadi mendapat visi, dan dia menjerit ketakutan gara-gara itu." kata Reno di
seberang telepon, "Ayah" bisa membicarakannya padaku?"
Semua pasti akan ada saatnya. Kata Rifan dalam hati. Dia sudah menduga, cepat atau
lambat, Reno, sebagai kakak dan pelindung bagi Lumina, akan menanyakan hal seperti ini juga
pada akhirnya. "Ayah bisa." Ujar Rifan, "Sepulang sekolah, Ayah akan menjemputmu. Kamu latihan band
dulu, bukan" Nanti setelahnya akan Ayah jemput."
"Baiklah. Aku minta maaf kalau aku mengganggu pekerjaan Ayah." Ucap Reno.
"Tidak apa. Sudah, ya. Sampai nanti, Nak."
Rifan menutup telepon dan menghembuskan nafas. Dia tidak menduga Lumina yang akan
mendapat kemampuan meramal. Dia sempat berpikir, Reno-lah yang akan mewarisi kemampuan
Aria yang satu itu. "Ternyata Lumina" pantas saja dia menjerit ketakutan." Rifan menghembuskan nafas,
"Dulu Aria juga seperti itu."
"Hei," Rifan menoleh dan melihat Dylan berdiri di belakangnya.
"Ada apa" Wajahmu kelihatan ditekuk seperti itu." ujarnya.
"Tidak ada apa-apa." Rifan menggeleng, "Bagaimana rapat tadi" Apa ada perkembangan?"
Dylan mengangguk dan menyerahkan map yang dibawanya pada Rifan.
"Hasilnya menunjukkan seperti teori yang pernah kamu dan Aria kemukakan pada kami
semua beberapa malam lalu." ujar Dylan, "Teori tentang Apocalypse yang mendapat sampel DNA
dari Jack, ternyata benar. Dan semua yang Aria, dan Keiko kemukakan, juga benar."
"Berarti mereka benar-benar membuat cloning dengan DNA The Chronos Sapphire?"
tanya Rifan sambil membaca isi map yang diberikan padanya.
"Begitulah." Dylan mengedikkan bahu, "Tapi, cloning yang mereka ciptakan hanya
bertahan selama 24 jam, setelahnya, cloning itu kehilangan fungsi organ-organ tubuh dan mati
seperti mesin. Mereka tidak memiliki formula untuk membuat gen The Chronos Sapphire yang
mereka ciptakan bisa bertahan lebih lama, tidak seperti saat kedua orangtua Aria dan Ardelia
menciptakan kita. Hanya saja?"
"Apa?" "Ada seseorang, lebih tepatnya, cloning, dari organisasi itu, yang masih bertahan sampai
sekarang. Dia dibesarkan oleh seorang miskin di daerah Barat. Dan sekarang mengelola
perusahaan yang cukup sukses di usia muda."
"Usia muda" Biar kutebak, 23 tahun?"
"Tidak." Dylan menggeleng, "Lebih tepatnya, usianya baru 18 tahun."
"Ap?" "Ingat, dia cloning yang memiliki gen DNA The Chronos Sapphire di dalam tubuhnya."
kata Dylan, "Dan, tenang saja. Dia sebenarnya adalah bayi tabung."
"Kau bilang dia?"
"Dia memang cloning, yang dulunya berbentuk bayi tabung." Kata Dylan berusaha
menjelaskan, "Sebelum dia lahir, dia sempat direncanakan menjadi bayi tabung, tapi, karena
melihat keadaan pemerintah sekarang, akan sulit membuat bayi tabung lagi, akhirnya mereka
memilih gen-nya dibuat menjadi cloning."
"Memangnya ada teori semacam itu?"
"Ada." Mereka berdua menoleh kearah asal suara yang menyahut itu. Seorang anak laki-laki seusia
Reno berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Rambut berwarna hitam itu terlihat serasi
dengan bola mata warna hitam senada. Persis seperti Rifan, tapi, anak ini memiliki wajah khas
orang kulit putih, berpadu dengan ras Asia yang terlihat dari matanya yang sipit. Wajahnya menjadi
unik dan tidak mudah dilupakan.
"Siapa kamu?" tanya Rifan mengerutkan kening.
"Dia?" "Perkenalkan, namaku Jonathan Jackson." Kata anak itu memperkenalkan diri, "Aku
adalah cloning yang baru saja kalian bicarakan."
"Jonathan" Jackson?" Rifan sepertinya pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Apa
kau orang yang juga mengenal anakku?"
Jonathan tersenyum dan mengangguk, "Aku adalah orang yang mengenal anak Anda."
Jawabnya. CHAPTER 11 Sarah dan Claire datang ke ruang kesehatan saat jam istirahat. Lumina masih kelihatan ketakutan,
dan mereka berdua berbicara sebentar pada mereka. Biar begitu, Sarah dan Claire adalah psikolog
andal yang dimiliki oleh tim travelling yang mereka ikuti. Jadi, mereka berdua bisa dibilang, tahu
bagaimana menghadapi ketakutan Lumina.
Reno baru saja kembali dari kantin membelikan makanan untuk Lumina ketika Snow juga
masuk ke ruang kesehatan.
"Bagaimana keadaan Lumina?" tanya Reno.
"Dia baik-baik saja." ujar Claire sambil menghembuskan nafas. "Memiliki kemampuan
meramal" ternyata cukup sulit juga. Apalagi dia mendapat visi lagi tadi."
"Lagi?" Reno menoleh kearah Lumina yang sedang dipeluk oleh Rebecca. Adiknya itu memang
tidak gemetaran lagi. Tapi, wajahnya kelihatan pucat.
"Apa yang dia lihat?" tanya Reno lagi.
"Katanya, dia melihat ayah dan ibu kalian?" Claire menghembuskan nafas, "Aku bukan
berniat mengatakan hal itu akan menjadi nyata, tapi" Lumina melihat ayah dan ibu kalian terluka.
Sangat parah." "Apa!?" "Jangan kaget seperti itu," ujar Sarah, "Lumina masih sedikit syok. Jangan menambah
beban pikirannya lagi."
"Tapi, tapi" apa yang?"
"Kemampuan meramal, kata Dad, itu tidak selalu benar." ujar Snow. "Ada kalanya apa
yang diramalkan, yang kumaksud, visi, seperti yang dilihat oleh Lumina, bisa berarti sebaliknya."
"Kami sudah mengatakan itu padanya." Sahut Sarah, "Dan, jangan khawatir, dia sekarang
sudah baik-baik saja. Asalkan kamu jangan membuatnya pusing. Dia sedikit lemah. Apa dia punya
suatu penyakit atau semacamnya?"
"The Chronos Sapphire tidak memiliki penyakit." Ujar Samuel, "Kau seharusnya tahu itu,
Sarah." "Oh ya. Maaf. Aku lupa."
Reno menghela nafas dan duduk di sebelah Lumina. Rebecca sedikit menyingkir, tahu dia
tidak akan dibutuhkan untuk beberapa menit ke depan.
"Lumina, ini," Reno mengeluarkan sebungkus roti dan sebotol jus jeruk kesukaan Lumina,
"Kamu harus makan, untuk menenangkan diri. Lagipula ini sudah jam istirahat. Ya?"
"Oniichan?" "Hm?" Lumina menggeleng. Dia mengambil roti dan jus jeruk itu, dan dengan patuh memakannya
perlahan. Wajah Lumina masih pucat, tapi, sudah kelihatan lebih baik. Reno menghembuskan
nafas lega ketika Lumina menghabiskan rotinya dan meminum jus jeruknya. Berarti visi itu tidak
berpengaruh pada nafsu makan Lumina.
"Reno, kurasa aku harus pergi dulu," kata Samuel, "Setelah ini kami ada pelajaran
Sosiologi, dan aku harus hadir untuk menceritakan pengalamanku di dalam militer."
Reno mengangguk saja, dia bahkan tidak bertanya kenapa Samuel harus bercerita tentang
pengalamannya di dalam militer. Sarah dan Claire juga ikut pamit. Mereka bilang, mereka harus
mengurus surat izin untuk cuti dari tim travelling mereka.
"Kenapa kalian harus cuti?" tanya Lumina mengerutkan kening. Takut kalau sebab cutinya
Claire dan Sarah adalah karena dirinya.
"Bukan karena dirimu, kok." Ujar Claire, membaca pikiran Lumina, "Kami harus
konsentrasi pada pelajaran kami. Sudah lama aku dan Sarah tidak bersekolah. Otak kami sedikit"
agak tumpul." "Walau agak tumpul, tetap saja nilai kalian bisa menyaingiku." Kata Reno tertawa, "Ya
sudahlah, silakan saja. Terima kasih atas bantuan kalian."
Sarah mengangguk dan mengedipkan mata pada Snow dan Rebecca sebelum pergi dari
ruang kesehatan bersama Claire.
"O, Oniichan sendiri" tidak kembali ke kelas?" tanya Lumina, "Aku" tidak apa-apa kalau
aku hanya ditemani Rebecca. Oniichan dan Snow bisa kembali ke kelas."
"Benar?" Reno menatap Lumina dengan pandangan tidak percaya.
"Aku tidak akan membuat Oniichan khawatir lagi." kata Lumina, "Aku janji."
Reno menatap Snow sebentar, sebelum akhirnya mengangguk.
"Kalau begitu" aku akan pergi ke kelas bersama Snow." Kata Reno, "Rebecca, tolong jaga
Lumina. Kalau dia sudah baikan, kalian juga langsung pergi ke kelas. Mengerti?"
"Baik, Reno-senpai,"
Reno menepuk kepala Lumina pelan, kemudian pergi dari ruang kesehatan bersama
Snow. Lumina menghembuskan nafas dan menatap kedua tangannya yang berada di
pangkuannya. Dia menghembuskan nafas sekali lagi. Kali ini terdengar begitu sedih di telinga
Rebecca. "Lumina" apa kamu ada masalah?" tanyanya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit" kecapekan." Jawab Lumina sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak istirahat di rumah" Seharusnya kamu?"
"Bukan fisikku. Batinku." Lumina tertawa lemah, "Aku merasa" aku lemah daripada yang
lain." "Maksudmu?" Rebecca mengerutkan kening.
"Tidak ada apa-apa." Lumina menggeleng, "Ah, Rebecca, kamu kembali saja ke kelas. Aku
akan menyusul nanti."
"Tapi, kakakmu bilang padaku kalau?"
"Tidak apa-apa. Biar aku saja nanti yang memberitahunya." Ujar Lumina, "Kamu kembali
saja ke kelas. Ya" Aku sedang ingin sendiri."
Rebecca sebenarnya ingin menolak. Tapi, dia tidak tahan melihat wajah Lumina yang
memang sepertinya sedang ingin ditinggal sendiri. Dengan perasaan sedikit cemas, Rebecca keluar
dari ruang kesehatan dan meninggalkan Lumina sendirian.
Lumina, setelah Rebecca pergi, langsung menghampiri jendela dan membukanya. Lumina
menatap kearah langit. Dia menggerak-gerakkan jari-jarinya seolah-olah sedang menulis di langit.
Ia menulis sebuah nama dan menggerakkan tangannya lagi seolah sedang memegang penghapus
dan menghapusnya. Ia mengerjapkan mata ketika dia melihat visi, lagi, setelah dia menulis di udara. Dia
menyentuh bandul kalung yang melingkari lehernya dan menelan ludah dengan agak takut.
"Ternyata" benar," gumamnya, "Pemicunya adalah" gerakan tanganku yang menulis di
udara." Lumina menggerakkan tangannya lagi. Kali ini tidak menulis apa-apa, hanya menggambar
setangkai bunga mawar yang mirip dengan yang pernah diberikan Nathan padanya. Kemudian dia
menggerakkan tangannya seperti sedang menghapus. Sebuah visi muncul lagi. Bunga mawar yang
diberikan Nathan itu layu di dalam sebuah gelas berisi air berwarna biru.
"Ya Tuhan?" Lumina menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Benar" benar"
pemicunya adalah gerakan tanganku sendiri."
Lumina menatap tangannya. Dia bukannya ketakutan saat dia melihat visi di kelas. Saat dia
menggerakkan tangannya menulis nama organisasi Apocalypse. Saat itu, dia hanya iseng. Tapi,
entah kenapa, visi mengerikan langsung menyerbu otaknya. Dia melihat dirinya sendiri berada di
ruangan yang diterangi cahaya yang remang-remang dan kemudian beberapa orang lain
mendekatinya dan" "Tidak. Jangan memikirkan itu lagi." ia menggeleng, "Aku tidak boleh memikirkan visi itu
lagi. Tidak boleh?" Lumina menggenggam tangannya erat dan menghembuskan nafas beberapa kali untuk
menenangkan diri, sebelum akhirnya ia pergi ke kelas dan bersiap-siap mengikuti pelajaran seperti
biasa. *** Lumina merasa lebih baik setelah mengikuti pelajaran. Tebak saja, apa yang membuat dia bisa
lebih baik lagi : surfing di internet sambil tidur-tiduran di kamarnya. Dengan itu saja, dia akan
menjadi lebih baik lagi. Sayangnya, Lumina tidak bisa melakukan hal itu sepulang sekolah nanti. Dia masih harus
pergi ke tempatnya latihan menyanyi dan berlatih piano.
Samuel sempat heran, bagaimana bisa Lumina cepat pulih dari syok yang baru saja dialami.
Lumina hanya tersenyum tipis mendengar keheranan Samuel sebelum akhirnya pergi ke
tempatnya latihan. Tempat latihannya, Vocalizer, adalah sebuah gedung berlantai dua yang terletak tidak jauh
dari sekolahnya. Gedung itu bercat coklat muda lembut dan memiliki desain interior seperti di
paris. Dan Lumina sangat menyukainya.
Ketika dia masuk, dan bel pintu berdenting pelan, ia langsung disambut oleh Clarissa,
teman satu kelasnya dalam kelas menyanyi.
"Bonjour, Lumina." Sapa Clarissa dengan logat Perancis yang cukup kental.
"Bonjour," sapa Lumina balik sambil tersenyum, "Eits, jangan mengajakku bicara dengan
bahasa Perancis. Aku tidak suka berbicara dengan bahasa lain selain bahasa ibuku."
"Aku tahu?" Clarissa tertawa, "Ayo, Mr. Romeo sudah menunggu kita."
Mereka berdua berjalan menuju kelas mereka di lantai 2. Ketika mereka berdua memasuki
sebuah ruangan di ujung koridor, mereka langsung disambut oleh beberapa pasang mata, termasuk
sepasang mata milik Mr. Romeo, guru vocal mereka.
"Hei, young ladies, cepat pergi ke tempat duduk kalian, dan kita akan memulai latihan
kita." Ujar Mr. Romeo.
Lumina dan Clarissa mengangguk. Mereka berdua menuju tempat duduk di paling
belakang dan memperhatikan Mr. Romeo menjelaskan beberapa tehnik vocal yang benar.
Lumina menatap kearah jendela. Biasanya dia suka sekali menulis-nulis di udara dengan
jarinya" tapi, tidak. Setelah kejadian tadi, dia takut dia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak lagi.
Pelajaran vocal yang ia ikuti dilaluinya dengan pikiran kosong dan nyaris tidak mendengarkan apaapa.
Saat pulang, Lumina merasa ia perlu membeli sesuatu untuk dimakan rumah. Cemilan.
Dia perlu cemilan untuk bersantai malam ini. Lagipula, besok adalah hari Minggu. Dia bisa
dengan bebas bersantai sesuka hati.
"Lumina," Lumina berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.
"Clarissa," "Kau mau langsung pulang" Atau mau pergi ke suatu tempat dulu?" tanya Clarissa.
"Aku ingin pergi ke supermarket." Kata Lumina, "Aku perlu membeli banyak cemilan."
"Oh ya" Apa ada tamu?"
"Tidak juga?" Lumina memiringkan kepala, "Hanya sepupu-sepupuku dan beberapa
temanku dari Rusia dan Paman Charles."
"Kalau tidak salah sepupumu itu Sarah dan Claire Arthur yang menjadi presenter acara
travelling remaja itu, kan?"
Lumina mengangguk. "Wah" aku penggemar mereka." ujar Clarissa, "Aku boleh datang ke rumahmu malam
ini, ya?" "Eh?" Lumina mengerjapkan mata, "Kamu penggemar mereka berdua?"
"Siapa yang tidak mengidolakan mereka?" kata Clarissa, "Aku sangat mengidolakan
mereka. Lagipula?" Clarissa mendekat kearah Lumina dan membisikkan sesuatu pada Lumina.
"Apa!!?" Lumina yakin jeritannya terdengar keras, "Kamu juga ikut bergabung dengan
kelompok travelling mereka"!"
"Ya ampun" aku baru bergabung beberapa hari yang lalu." kata Clarissa sambil mengusap
telinganya yang agak sakit karena teriakan Lumina yang cukup tidak berperi-kemanusiaan. "Aku
baru mengirimkan formulir pendaftaranku ke agensi travelling itu. Dan aku langsung diterima."
"Selamat kalau begitu." Lumina mengedikkan bahu. "Kalau kamu mau, kamu bisa pergi ke
rumahku. Mereka juga setiap hari ini datang ke rumah, kok."
"Berarti aku boleh datang, ya?"
"Tentu." Lumina mengangguk, "Tapi, aku perlu membeli cemilan dulu. Mau ikut?"
"Ya." Clarissa tersenyum.
*** Tidak biasanya Rifan dan Dylan memanggil mereka semua dalam rapat kecil seperti sekarang.
Bahkan Aria yang sebenarnya masih memiliki beberapa pekerjaan lagi hari ini, harus datang
secepat mungkin. "Sebenarnya ada apa, ya?" tanya Julia yang menemani Aria pergi ke Dewan. "Kuharap
bukan sesuatu yang buruk."
Aria mengangguk setuju. Dia memikirkan apa yang membuat Rifan dan Dylan memanggil
mereka terburu-buru seperti tadi di telepon.
Aria masuk bersama Julia. Mereka langsung disambut oleh salah seorang petugas Dewan,
yang mengantarkan mereka ke ruangan yang biasa dipakai oleh The Chronos Sapphire rapat
bersama. Ketika masuk, Aria sudah melihat semuanya sudah berkumpul.
"Maaf, aku terlambat." Kata Aria tersenyum sambil duduk di sebelah Rifan.
"Kita juga baru sampai, jangan merasa kamu yang paling telat." Kata Charles tersenyum
lebar. "Kurasa, semuanya sudah berkumpul. Rifan, kamu bisa memulainya."
Rifan mengangguk. Dia menggenggam tangan Aria sebentar sebelum akhirnya mengatakan
sesuatu yang tidak diduga oleh semua orang yang hadir di ruangant tersebut, kecuali Dylan.
"Kita akan melatih anak-anak kita dengan senjata khusus untuk mereka." ujar Rifan, "Aku
dan Dylan sudah mendapatkan senjata untuk mereka semua."
*** "Hmm?" Reno meletakkan gitar di pangkuannya dan menoleh kearah Sarah dan Claire yang masuk
ke ruang latihan band-nya tanpa izin.
"Hei, Reno sayang?" sapa Sarah sambil tersenyum lebar. "Sedang latihan, ya?"
"Tolong jangan panggil aku seperti itu." keluh Reno menatap teman-temannya yang
menatapnya balik dengan penuh selidik, "Aku tidak mau menjadi amukan fans kalian berdua."
Sarah tertawa dan menyerahkan sebuah amplop berwarna hijau pada Reno.
"Ini." "Apa ini?" "Makanan. Jelas-jelas itu amplop." Kata Claire tertawa, "Kalau itu amplop, berarti di


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalamnya ada surat, bukan?"
"Iya, aku tahu?" Reno mengedikkan bahu, "Tapi, surat dari siapa ini?"
Wajah Sarah dan Claire tiba-tiba berubah serius.
"Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu." kata Claire, "Ini menyangkut"
generasi ketiga." Mendengar kata "generasi ketiga", Reno tahu yang dimaksud adalah The Chronos Sapphire
generasi ketiga, yaitu mereka.
"Baiklah. Kalian keluar saja dulu," Reno mengangguk, kemudian menoleh kearah temantemannya, "Aku keluar sebentar. Tidak akan lama."
"Lama-lama juga tidak apa-apa." sahut temannya sambil tertawa cekikikan, "Latihan juga
selesai sebentar lagi. Kamu bisa langsung pulang bersama mereka."
"Dan jangan lupa, titip salam untuk Sarah dan Claire." Sahut yang lain lagi.
"Kalian ini?" Reno tertawa kecil. "Kalau begitu, sampai nanti."
Reno keluar dari ruang latihannya dan melihat Sarah dan Claire sedang asyik
menggunakan kemampuan telekinesis mereka untuk memindahkan bebatuan kecil ke sisi lain pot
bunga. "Seharusnya kalian tidak menggunakan kekuatan itu di sekolah." Tegur Reno sambil
duduk di sebelah mereka. "Kami hanya ingin mengasah kemampuan." Ujar Claire, "Buka amplop itu. Kami sudah
membukanya dan kamu hanay tinggal membacanya."
"Kalian sendiri sudah membacanya?"
"Sudah. Kami juga sudah memperlihatkan surat itu pada Samuel dan Snow." Kata Claire,
"Dan pikiran kami sama. Hanya kamu saja yang belum sepemikiran dengan kami."
Reno mengerjapkan mata dan mengambil kertas di dalam amplop tersebut dan
membacanya. Keningnya berkerut samar membaca isi surat itu.
"Ini?" "Seperti yang kamu pikirkan." Claire menghembuskan nafas dan melemparkan sebuah
batu kecil ke pohon tinggi di dekatnya, "Itu adalah surat dari organisasi bernama Apocalypse."
Reno merasa pernah mendengar nama itu. Tapi, dia lupa dimana ia pernah
mendengarnya. Ah, ya" tadi pagi Lumina mengatakan kalau dia mendapat visi kalau organisasi jahat
bernama Apocalypse menyerangnya. Bagaimana dia bisa lupa secepat itu"
"Lalu" isi surat ini?"
"Ya, seperti dugaanmu juga." Kata Claire lagi, "Kelihatannya ini seperti surat tantangan."
"Surat tantangan."
"Kita semua, termasuk orangtua kita, ditantang untuk menyelamatkan dunia dari hari
kehancuran yang sudah direncanakan mereka sejak lama." kata Sarah, "Hari kehancuran, yang
kumaksud di sini bukan seperti kiamat, lebih tepatnya, di sebut hari kekacauan. Di mana semua
orang akan bingung kepada siapa mereka harus percaya."
"Seperti peristiwa yang ada di film-film saja." kata Reno, "Lalu, apa kita akan menjawab
tantangan mereka?" "Aku yakin orangtua kita sudah tahu tentang ini." Sarah menunjuk surat di tangan Reno,
"Dan aku yakin, mereka juga tahu kalau kita harus siap menghadapi Apocalypse yang akan
menyerang tidak akan lama lagi."
"Tapi, bukankah itu terlalu cepat" Maksudku, kita masih perlu berlatih?"
"Kita tidak perlu berlatih lama-lama." ujar Claire mengibaskan tangannya, "Ingat ketika
Dad, atau Ayahmu melatih kita semua dalam menggunakan senjata" Itu sudah termasuk latihan.
Kita hanya perlu mengasahnya sedikit, dan kita hanya tinggal berkonsentrasi pada kemampuan
The Chronos Sapphire yang kita miliki."
"Perkembangan kemampuan The Chronos Sapphire tergantung pada perkembangan otak
dan pikiran, bukan" Kita hanya perlu bersikap optimis, dan tidak mudah menyerah. Kurasa itu
akan membuat kemampuan kita berkembang dengan sendirinya."
Reno menatap Sarah dan Claire dengan tatapan serius.
"Apa?" tanya Sarah.
"Tidak. Aku hanya heran kenapa kalian berdua bisa menarik kesimpulan yang sangat cepat
seperti itu." ujarnya. "Sedangkan aku sendiri masih perlu memikirkan semuanya secara matang."
"Itu karena kamu memiliki adik perempuan yang manis, kan?" kata Sarah, "Lumina
adalah adikmu yang paling berharga, dan kamu harus bisa melindunginya. Apalagi karena dia
perempuan. Banyak pria yang akan menggodanya?"
"Kalian juga bersaudara." Kata Reno.
"Tapi, kami adalah anak kembar. Umur kami hanya terpaut 4 menit saja." balas Claire,
"Sudahlah, tidak perlu membahas itu. Yang terpenting, hari ini, kita harus berlatih lagi. Kau tidak
punya rencana apa-apa setelah ini, bukan?"
Reno menggeleng. "Bagus. Pastikan kamu berada di rumah setelah ini. Aku dan Sarah akan pulang untuk
berganti pakaian sebelum pergi ke rumahmu. Snow dan Samuel juga sudah kami beritahu, kok."
"Baiklah," Reno mengangguk, "Silakan kalian pulang lebih dulu. Aku mau pergi ke ruang
latihan untuk mengambil tasku."
Claire mengangguk, "Kalau begitu sampai nanti."
"Sampai nanti di rumahmu, Reno sayang?" kata Sarah sambil cekikikan.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!"
Sarah tertawa bersama Claire sambil berjalan meninggalkan Reno. Reno hanya gelenggeleng kepala melihat mereka berdua pergi.
Dasar sepupu yang menyusahkan. Katanya dalam hati.
Serius. Dia kadang merasa kapok mempunyai dua sepupu saudara kembar seperti Sarah
dan Claire, yang selalu menggodanya bila ada kesempatan. Ia bisa memaklumi, pergaulan mereka
berdua cukup luas, walau tidak sampai terjerumus ke hal-hal negative. Sarah dan Claire bisa
menjaga diri dengan baik. Apalagi sifat baik hati milik Dylan menurun pada mereka berdua, tapi,
sifat jahil juga sepertinya menurun pada mereka. Entah sifat jahil mereka itu berasal dari Dylan
ataupun Keiko, tapi, ia tidak peduli. Untung saja Lumina tidak ikut terpengaruh oleh Sarah dan
Claire yang suka menggodanya. Kalau iya" mungkin dia akan meminta pada kedua orangtuanya
untuk menggantikan Lumina dengan adik yang lain.
Yang sebenarnya tidak akan dia lakukan, karena dia sangat sayang pada Lumina.
Tunggu. Itu artinya, dia sudah bersikap protektif pada Lumina, kan" Hhh" otaknya mulai
kacau! Aku akan melindungi orang-orang yang kusayangi. Katanya dalam hati, Ayah selalu
mengajarkan hal itu padaku : Lindungilah hal-hal berharga yang kamu miliki, dan jangan pernah
melepaskan mereka. Reno berdiri dan berjalan ke ruang latihan. Dia harus cepat-cepat sebelum ayahnya
menjemputnya. Ia dan ayahnya perlu membicarakan sesuatu tentang Apocalypse malam ini
sebelum latihan. CHAPTER 12 "Beli apa, ya" Hmm?" Lumina mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu dan menatap rak yang berisi
keripik kentang dengan berbagai ukuran dan rasa.
"Untuk memilih cemilan saja kamu sampai bingung seperti itu." kata Clarissa tertawa kecil.
"Memangnya Sarah dan Claire itu pemilih soal makanan, ya?"
"Tidak juga?" Lumina menggeleng, "Aku hanya perlu memastikan kalau cemilan yang
kubeli bisa diterima oleh mereka. Lagipula, aku perlu membeli beberapa minuman untuk Samuel
dan Snow." "Sepertinya kamu akan sibuk, ya?"
Lumina mengedikkan bahu. Dia akhirnya mengambil 6 kantong besar keripik kentang dan
mengambil cemilan rasa coklat dan beralih ke bagian minuman. Keranjang belanja yang dibawanya
sampai penuh dan dia sedikit kesulitan membawanya.
"Kurasa mereka sudah berada di rumah sekarang." kata Lumina melihat jam tangan yang
melingkari pergelangan tangan kanannya. "Kamu jadi pergi ke rumahku, kan?"
"Tentu saja." ujar Clarissa. "Eh, Lumina, itu siapa?"
Lumina menoleh kearah yang ditunjuk dan meliht Nathan menghampirinya sambil
tersenyum. "Hai, Lumina." "Nathan?" Lumina tersenyum, "Kebetulan sekali bertemu di sini. Sedang apa?"
Nathan memperlihatkan keranjang belanja yang dibawanya, "Hanya belanja untuk
kebutuhan di rumah." Ujarnya, "Kamu sendiri?"
"Membeli makanan kecil untuk sepupu-sepupuku yang akan datang ke rumah." Balas
Lumina, "Oh ya, kenapa hari ini kamu tidak pergi ke sekolah?"
"Aku" sedang ada urusan tadi. Orangtua angkatku ingin aku ikut mereka mengurus suatu
bisnis." Kata Nathan mengedikkan bahu, kemudian tersenyum lebar, "Kenapa" Kangen padaku,
ya?" "Aku sudah pasti tidak akan kangen padamu." Lumina meleletkan lidah. "Tapi, besok
kamu sekolah, kan" Apalagi Henry-sensei mencarimu. Katanya ada yang perlu dibicarakan."
"Kamu yang ingin aku sekolah atau Henry-sensei yang memintaku untuk sekolah?"
Lumina memutar bola matanya dan tersenyum kecil, "Oke, aku yang minta. Tapi, Henrysensei juga punya keperluan denganmu, jadi, aku bermaksud menyampai?"
"Cukup. Itu artinya, kamu rindu padaku."
"Tidak!" Lumina menggigit bibirnya karena jengkel dan membuang muka kearah lain sementara
Nathan tertawa geli melihat sikap Lumina.
"Lumina, dia siapa?" tanya Clarissa setengah berbisik, "Teman sekelasmu di sekolah?"
"Begitulah?" "Jangan marah begitu," Nathan menyentuh pipi Lumina dan mencubitnya pelan, "Nanti
cantiknya hilang, lho?"
"Itu berarti karena kesalahanmu." Kata Lumina, "Sudah, ya, aku mau membayar ini dan
langsung pulang. Sampai jumpa besok di sekolah."
"Sampai jumpa juga, calon istriku?"
"Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan calon istri!" gerutu Lumina, "Jangan
panggil aku dengan sebutan itu."
Nathan mengedikkan bahu dan melambaikan tangan pada Lumina yang menyeret Clarissa
pergi dari sana. "Dia calon suamimu?" tanya Clarissa kaget.
"Jangan tanyakan apapun dulu. Mood-ku menjadi buruk gara-gara dia."
Clarissa diam dan memperhatikan Nathan yang beralih ke bagian minuman, kemudian
beralih ke Lumina, yang berjalan dengan wajah merah. Clarisa tidak perlu mengetahui apa yang
terjadi karena dia bisa mengetahuinya begitu saja hanya dengan merasakannya dari tangan Lumina
yang menggenggam tangannya.
*** Lumina sampai di rumah, dan benar saja seperti dugaannya. Claire, Sarah, Samuel, dan Snow,
sudah berkumpul di rumahnya dan sedang asyik main Playstation 5 di ruang tengah. Lumina
meletakkan belanjaannya di atas meja di dapur dan mengajak Clarissa bertemu dengan mereka.
"Kamu baru pulang?" tanya Sarah sambil menggigit sebatang coklat yang diberikan Lumina
padanya, "Siapa dia?"
"Ini temanku, Clarissa." Kata Lumina sambil duduk di sebelah Claire, "Dia yang baru
mendaftar di tim travelling Sarah Oneesan, bukan?"
"Oh" kamu yang waktu itu, kan?" kata Claire, "Maaf, kami tidak mengenalimu
sebelumnya. Salam kenal, namaku Claire, dan ini Sarah."
Clarissa mengangguk sambil tersenyum gugup.
"Aku pergi ke atas dulu. Aku mau ganti baju." Kata Lumina, "Ngomong-ngomong,
Oniichan di mana?" "Dia belum pulang." ujar Samuel sambil merentangkan tangannya ke udara ketika melihat
jagoannya di game, menang.
"Belum pulang?" Lumina mengerutkan kening dan menoleh kearah jam dinding, "Ini
sudah hampir pukul 7 malam."
"Mungkin dia bersama ayahmu?" kata Claire. "Aku tadi sempat dengar dari Dad, katanya
Paman Rifan dan beliau sedang membicarakan sesuatu dengan Reno."
"Begitu?" Lumina manggut-manggut. "Baiklah, aku pergi keatas dulu. Clarissa, tunggu di
sini sebentar, ya?" Clarissa mengangguk. Lumina berjalan ke kamarnya di lantai dua dan berganti baju secepat yang ia bisa. Ketika
dia keluar dari kamar, dia mendengar suara mobil masuk dari pagar rumah. Orangtuanya sudah
pulang. Lumina berlari kearah pintu dan membukanya.
Benar apa yang dikatakan Claire. Reno pulang bersama kedua orangtuanya. Tapi, wajah
mereka kelihatan serius. Terutama Reno. Wajah kakaknya itu kelihatan lebih serius daripada
biasanya. "Oniichan kenapa bisa pulang bareng Ayah dan Ibu?" itu adalah pertanyaan yang terlintas
di dalam pikirannya, dan dia baru saja menyuarakannya.
"Aku memang minta dijemput oleh mereka." kata Reno tersenyum, "Kenapa" Iri, ya?"
Lumina mencibir tanpa suara.
"Sayang, kamu mandi dulu, setelah itu langsung pergi latihan." Kata Aria, "Lumina, kamu
sudah makan malam?" Lumina ingin menjawab belum, tapi, dia tidak ingin dipaksa makan malam sekarang, ketika
dia sedang tidak mood untuk makan. Akhirnya dia mengangguk saja menjawab pertanyaan ibunya.
"Sarah dan yang lain sudah datang" Kalau mereka belum makan, kalian bisa makan dulu
sementara Ibu dan Ayah membereskan sesuatu." Kata Aria lagi, "Sana, Reno."
Reno mengangguk dan mengajak Lumina masuk ke dalam.
"Memangnya apa yang ingin dibereskan Ayah dan Ibu, Oniichan?" tanya Lumina lirih.
"Hanya" mungkin hanya masalah kecil." Reno mengedikkan bahu, "Kamu benar-benar
sudah makan malam?" "Iya" aku sudah makan." Jawab Lumina, "Jangan coba-coba membaca pikiranku, ya?"
Reno hanya tersenyum lebar dan mengacak-acak rambut Lumina, "Aku mau mandi dulu.
Kalau mau pergi latihan, langsung saja ke basement. Aku akan menyusul."
"Iya, kakakku yang suka jahil?" kata Lumina, dan langsung segera kabur ketika dia melihat
tangan Reno mengarah ke kepalanya lagi.
Reno hanya tersenyum kecil mendengar candaan yang dilontarkan Lumina. Setelah berita
yang disampaikan kedua orangtuanya cukup membuatnya bingung dan takut, justru Lumina-lah
yang membuat suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik.
Sambil berjalan ke kamarnya, dia memikirkan percakapan yang dilakukannya bersama
ayahnya. Percakapan yang cukup membuatnya untuk berpikir dua kali dalam melakukan berbagai
hal. Terutama menyangkut soal Lumina.
Aku akan melindungi semuanya. Apapun itu, akan kupertaruhkan dengan nyawaku
sendiri. katanya dalam hati.
Reno ingat ucapan ayahnya.
"Kamu adalah anak tertua dari semua generasi ketiga The Chronos Sapphire. Walau
memang, Sarah dan Claire lahir lebih dulu darimu, tapi, mereka masih lebih muda beberapa bulan
daripada kamu." ujar Rifan saat itu, "Kamu harus bisa memimpin mereka semua, terutama
adikmu. Dia yang paling kecil, dan paling rentan perasaannya. Juga, dia adalah perempuan."
"Aku mengerti kalau soal yang itu." kata Reno mengangguk, "Tapi" kenapa Apocalypse
itu" kenapa harus mengincar kita semua dan kami harus bertarung?"
"Kalian akan mengerti nanti." Rifan tersenyum maklum dan mengelus kepala Reno,
"Kamu akan tahu saat kamu mengalaminya sendiri. Semua ada waktunya."
Reno menghela nafas dan membuka pintu kamarnya. Dia perlu mandi dan dia juga perlu
makan untuk menjernihkan pikirannya. Mungkin dia juga perlu mandi air hangat, agar tubuh dan
pikirannya lebih rileks. "Oniichan," Reno menoleh ke belakang dan melihat Lumina berjalan menghampirinya.
"Ada apa lagi?"
Lumina memberikan sekantong keripik kentang pada Reno.
"Apa ini?" "Cemilan, tentu saja." kata Lumina, "Kalau Oniichan tidak mau makan malam, Oniichan
bisa makan itu. Iya, kan?"
Reno tersenyum kecil dan menepuk kepala Lumina, "Terima kasih, ya" Sekarang, kamu
latihan saja sana. Aku mau mandi dulu."
Lumina mengangguk dan berlari ke lantai bawah. Reno memperhatikan langkah Lumina
yang agak cepat dan ingin menegurnya agar tidak berlari-lari seperti itu, tapi, tidak jadi. Dia tidak
mau membuat Lumina merasakan kekhawatirannya.
Sambil menimang-nimang bungkusan keripik kentang di tangannya dan menaruhnya di
atas meja, Reno masuk ke dalam kamar dan bersiap-siap untuk mandi.
*** Aria menghembuskan nafas dan menatap langit malam dari balkon kamarnya. Semuanya gelap.
Beberapa hari ini bintang memang tidak pernah terlihat. Entah karena udara yang masih sedikit
terkena polusi, ataukah karena alam itu sendiri.
Di blekanangya, Rifan baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya.
Ketika melihat Aria berdiri di balkon, Rifan menghampiri dan memeluknya dari belakang.
"Ada apa" Sepertinya kamu memikirkan sesuatu?" kata Rifan.
"Aku tidak memikirkan apa-apa?" Aria menghembuskan nafas lagi, "Aku hanya
memikirkan keselamatan anak-anak kita. Anak-anak yang lain juga. Kalau benar anak yang katamu
adalah seorang direktur itu?"
"Dia sudah mengatakan kalau dia akan memberikan perlindungan." Kata Rifan, "Tapi, kita
masih tetap harus berhati-hati. Walau dia bilang dia akan memberi perlindungan, setidaknya, anakanak harus dibekali sesuatu yang akan berguna bagi mereka, bukan?"
Aria mengangguk, "Oh, dan soal senjata yang kamu maksud di rapat itu" apa itu serius?"
tanyanya lagi. "Tentu saja." Rifan tersenyum. "Charles, Duke, dan Lord akan mengantarnya kemari
sebentar lagi." "Tapi" bagaimana kamu tahu senjata-senjata itu akan cocok dengan mereka" Kita sendiri
bahkan harus mencari senjata yang cocok untuk kita dulu dalam waktu 4 bulan." Kata Aria, "Lalu,
bagaimana?" "Itulah kenapa aku menyuruh mereka berlatih di basement bawah." Sela Rifan, "Di sana
banyak terdapat berbagai macam senjata. Dan beberapa diantaranya adalah senjata kita berdua."
"Benarkah?" Rifan tersenyum lebar dan mencium kening Aria, "Tentu saja." katanya, kemudian
menoleh kearah sebuah sedan yang mendekati pagar rumah mereka.
"3 orang terkonyol kita sudah datang."
*** Entah kenapa, Lumina merasa kepalanya berat dan tidak bisa diajak untuk kompromi lagi. Dia
meletakkan pedang yang dipakainya ke atas meja dan duduk di sofa. Ia memperhatikan temantemannya yang sedang berlatih dan menghembuskan nafas.


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada apa dengan tubuhku"
"Kamu kenapa?" Lumina menoleh kearah Clarissa yang duduk di sebelahnya. Karena Clarissa datang ke
rumah bersamanya dan dia tidak mungkin menyembunyikan sesuatu dari Clarissa. Sama seperti
dia tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Rebecca.
Karena itulah Clarissa ada di sini dan takjub melihat Lumina, Sarah, dan Claire, ternyata
bisa menggunakan senjata dan beladiri. Lumina sudah menyuruh Clarissa untuk tutup mulut soal
ini, dan dia sudah berjanji. Tapi, Lumina kadang sangsi dengan Clarissa" temannya yang satu ini
mulutnya bisa seperti ember yang bocor alias bisa membocorkan rahasia.
"Aku tidak apa-apa." Lumina menggeleng, "Hanya sedikit masalah dengan kurang tidur.
Beberapa hari ini aku kurang tidur."
"Oh?" Clarissa manggut-manggut. "Harusnya kamu tidak boleh sampai kurang tidur.
Lihat, ada lingkaran hitam di wajahmu."
"Eh?" "Tunggu sebentar,"
Clarissa merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Ia menyemprotkan sedikit krim
yang ada di tangannya dan mengoleskannya pelan di sekitar bawah mata Lumina.
"Krim ini bagus untuk menghilangkan lingkaran hitam pada mata," ujar Clarissa sambil
tersenyum. "Ini. Kuberikan untukmu."
"E"t, tapi" ini milikmu, kan?"
"Aku bisa membelinya lagi." kata Clarissa, "Lagipula kakakku tidak akan mendapat
masalah keuangan jika aku berbelanja sedikit untuk kebutuhanku."
Lumina tertawa kecil mendengar ucapan Clarissa, "Terima kasih, ya."
Clarissa mengangguk. "Ngomong-ngomong, aku tidak pernah tahu kalau kamu punya kakak." Kata Lumina,
"Siapa dia" Bagaimana tampangnya?"
"Ah" kamu ingin tahu, ya" Kamu mau mendekatinya?" goda Clarissa.
"T, tidak"!!" Lumina mengelak cepat, "Aku hanya?"
Pintu basement terbuka, Reno, Rifan, dan yang lain masuk sambil membawa dua kotak
hitam besar seukuran peti" mati. Lumina sempat bergidik kalau yang dibawa ayahnya di dalam
peti itu adalah mayat sungguhan.
"Semuanya, berkumpul!"
Mereka langsung menghentikan kegiatan mereka dan berkumpul mendekati Rifan.
"Ayah, ini apa?" tanya Lumina yang juga ikut mendekatinya.
"Ini?" Rifan menunjuk kotak yang sudah ditaruh Duke dan Charles di dekat kakinya, ?"
adalah sesuatu yang akan menjadi milik kalian."
"Milik kami?" "Benar. Dan?" Pandangan Rifan tertuju pada Clarissa yang masih duduk di sofa dengan kepala
menunduk, seperti murid yang tertangkap basah gurunya sedang melakukan hal yang tercela.
"Siapa dia?" "Ah, dia?" "Itu Clarissa, Yah." Kata Reno sebelum Lumina sempat menyelesaikan ucapannya.
Rifan manggut-manggut, "Lumina, bisa kamu bawa temanmu ke atas" Ini pembicaraan
rahasia. Dan tidak boleh?"
"Biar aku saja yang mengantarnya." Kata Aria, "Clarissa" Ayo, ikut Tante."
Clarissa mengikuti Aria dan mengangguk pada Lumina sekilas sebelum pergi. Lumina
tidak tahu apakah Clarissa akan disuruh oleh ibunya menunggu di ruang tamu, atau di kamarnya.
Bukan berarti di kamarnya ada benda-benda mencurigakan, tapi, dia tidak mau kamarnya yang
berantakan itu dilihat oleh Clarissa, Rebecca mungkin adalah pengecualian karena dia yang pernah
melihat bagaimana keadaan kamarnya seperti apa, memaklumi saja.
"Baiklah, anak-anak," suara Rifan mengembalikan Lumina kembali kealam nyata. "Ini
adalah sesuatu yang akan menjadi milik kalian. Senjata kalian sendiri."
"Senjata?" Sarah mengerutkan kening, "Senjata" untuk apa" Apakah untuk?"
"Seperti yang kalian pikirkan," ujar Charles, "Senjata-senjata yang ada di dalam peti ini
adalah senjata khusus kalians ebagai The Chronos Sapphire."
"Keren!!" seru Snow dan Samuel bersamaan.
"Ya, memang keren." Kata Duke tersenyum lebar, "Dan, sekarang, mari kita cari senjata
yang cocok untuk kepribadian kalian."
"Eh" Harus sesuai dengan kepribadian kami, ya?" tanya Lumina.
"Setiap senjata ini memiliki" hati." kata Lord. "Anggaplah begitu. Senjata-senjata ini dibuat
dengan material khusus yang tidak bisa dibuat oleh orang lain selain kami. Senjata-senjata ini juga
memiliki perasaan yang akan terkoneksi pada hati kalian satu sama lain."
"Selain itu, semua senjata ini juga dilengkapi dengan perlengkapan yang bisa kalian
gunakan untuk memanggilnya tanpa perlu membawa senjata ini kemana-mana."
"Memanggil dari udara" Apa maksudnya itu?" tanya Lumina lagi.
"Itu seperti yang dilakukan oleh Ibu." Ujar Reno yang berdiri di sebelahnya, "Ibu bisa
memanggil senjatanya dari udara hanya dengan memanggil nama senjatanya saja. Itu salah satu
kebolehan menjadi The Chronos Sapphire. Aku yakin, Ayah juga bisa melakukannya."
Rifan tersenyum mendengar ucapan Reno dan menjentikkan jarinya. Tahu-tahu saja,
senjata kesayangannya, Beater Sword, muncul di udara, dan Rifan segera menangkapnya.
"Wow, keren!!" sahut Claire sambil bersiul, "Apakah semua kemampuan memanggil
senjata itu dimiliki oleh semua The Chronos Sapphire?"
"Tentu. Tapi, tidak hanya pedang saja senjata satu-satunya yang bisa kami pakai." Kata
Rifan, "Kita semua bisa memakai pistol, kapak, tombak, atau senjata lainnya. Tergantung dengan
kepribadian dan kecocokan kalian pada senjata yang akan kalian pilih. Atau" yang senjata kalian
pilih." "Charles," Charles membuka gembok pada kedua peti itu dan mengeluarkan semua senjata yang ada
di dalamnya. Ada sejenis katana berwarna hitam, Nunchaku4, kapak dari besi, dan beberapa jenis
senjata lainnya. Semuanya diletakkan di atas peti.
"Sekarang, coba kita lihat senjata apa yang cocok dengan kepribadian, keahlian, dan teknik
dasar bertarung menggunakan senjata," Rifan menoleh kearah anak-anak yang berdiri di
hadapannya. "Silakan kalian mendekati semua jenis senjata ini. Jika satu senjata bersinar dan kalian
merasa seperti ada suara desir halus di telinga kalian, maka, itulah senjata kalian."
"Dimulai dari Sarah,"
Sarah mendekati semua senjata itu dan mengelusnya.
"Bahannya halus sekali." Gumam Sarah ketika menyentuh salah satu katana yang ada.
"Jelas saja. Material khusus." Kata Charles sambil tersenyum lebar.
Sambil menunggu gilirannya, Lumina kembali duduk di sofa dan menghembuskan nafas.
Kepalanya lagi-lagi terasa sakit.
Kenapa belakangan ini kepalaku sering sekali sakit" Padahal aku jarang bicara dengan
Suara, atau memikirkan hal-hal yang bisa membuatku pusing" tentu saja soal Nathan bukan hal
yang tidak membuatku pusing, tapi"
"Sedang memikirkan apa?"
Reno duduk di sebelahnya dan mengelus kepala Lumina dengan lembut.
4 Senjata tradisional Jepang yang terdiri dari dua batang kayu yang diujungnya tersambung dengan rantai
"Hanya memikirkan kenapa kepalaku sakit." kata Lumina sambil menghembuskan nafas,
"Aku tidak sakit, tapi, kepalaku selalu terasa sakit."
"Benarkah?" Reno meletakkan telapak tangannya di dahi Lumina, "Badanmu memang
tidak panas. Apa" apa kamu sakit kepala karena kamu melihat?"
"Visi" Kurasa tidak. Mungkin karena aku kurang tidur saja." Lumina menjawab sambil
menggeleng, "Beberapa hari ini aku memang kurang tidur karena begadang"belajar, untuk
persiapan ujian tengah semester."
"Tanpa belajarpun, kamu selalu meraih peringkat tertinggi di kelas, bukan?" Reno
tersenyum. Matanya beralih ke anting-anting yang menghiasi telinga Lumina, "Rupanya antingnya
cocok, ya?" "Hmm" Oh, ini?" Lumina menyentuh antingnya dan tersenyum, "Antingnya sama dengan
kalungku, kan" Kebetulan sekali sama dengan kalungku."
Reno tersenyum lagi. Dia sebenarnya juga tidak menyangka kalau anting-anting pilihannya
itu serupa dengan kalung Bulan Sabit Biru yang sekarang dikenakan Lumina. Reno refleks
menyentuh tali kalung yang melingkari lehernya. Kalung yang ia pakai dan tersembunyi di balik Tshirt hitamnya adalah kalung yang sama seperti milik Lumina, dengan warna berbeda. Rifan yang
memberikan kalung itu pada Reno ketika mereka membicarakan soal Apocalypse.
"Oh, Oniichan, Oniichan dipanggil Ayah, tuh."
Reno menoleh kearah ayahnya yang memanggilnya dengan lambaian tangan. Reno berdiri
dan menghampiri ayahnya. "Coba kamu pilih satu diantara semua senjata ini." kata Rifan, "Yang lain sudah
mendapatkan senjata mereka dan mulai berlatih menggunakannya."
Reno mengerjap dan melihat kalau Sarah dan yang lain sudah mendapat senjata mereka.
Dia sempat melihat Snow memegang tombak dan kapak di kedua tangannya.
Rifan mengikuti arah pandangan Reno dan tersenyum kecil, "Snow adalah kasus khusus,
dia bisa membuat dua senjata menjadi miliknya." Katanya.
"Apakah itu normal?" tanya Reno.
"Tidak juga," Rifan mengedikkan bahu, "Ayahmu ini pernah memakai pedang milik
ibumu. Walau butuh penyesuaian, tapi, Ayah bisa memakai pedangnya."
Reno manggut-manggut dan melihat semua senjata yang ada di depannya. Dia
menyentuhnya selembut mungkin, dan tidak merasakan apa-apa.
"Semua senjata ini punya fungsi ganda." Kata Charles, "Senjata Sarah, Claire, Snow, dan
Samuel juga berfungsi ganda."
"Begitu?" Reno manggut-manggut lagi dan menyentuh sebuah pedang berbentuk unik
yang tidak pernah dilihatnya, kecuali di dalam game.
"Pedang ini?" Reno menyentuhnya dan merasakan kalau ada suatu koneksi diantara dirinya dengan
pedang itu. Reno mengangkat pedang tersebut dan merasakannya agak berat, walau lebih ringan
daripada Katana atau sejenisnya.
"Wuoh" itu pedang yang baru dibuat beberapa hari ini, bukan?" kata Lord. "Kalau tidak
salah, pedang itu" prototype dari pedangmu, kan, Rifan?"
Rifan mengangguk. "Kamu yakin ini adalah senjatamu?"
"Aku tidak" tahu." kata Reno, "Pedang ini seolah memilihku. Aku bahkan merasa pedang
ini sudah menjadi bagian dari tubuhku dalam sekejap."
Rifan mengangguk, "Coba kamu sentuh lubang yang seperti pelatuk pistol itu."
"Ini?" Reno menyentuh salah satu komponen pedang tersebut, yang mirip dengan pelatuk pistol,
dan terkejut ketika pedangnya berubah menjadi pistol berukiran rumit dan seperti memiliki peluru
di dalamnya dengan sendirinya.
"Wow?" "Pedang itu bisa menjadi pistol." Ujar Rifan, "Prototipe yang lebih canggih daripada Beater
Sword milikku." Reno mengelus permukaan pedang-pistolnya yang halus dan bersiul pelan, "Pedang ini
keren." Katanya, "Apa namanya?"
"Areshia" Gunblade." Kata Rifan, "Pedang itu adalah jenis baru, dan belum memiliki
nama, sebenarnya, nama Areshia Gunblade baru saja terpikirkan oleh Ayah. Kamu tahu saja, kan,
kalau ayahmu ini dulunya seorang otaku?"
Reno tersenyum lebar dan mentransformasikan Areshia Gunblade kembali ke bentuk
pedang. "Ini, perlengkapan yang akan kamu perlukan untuk memanggil senjatamu di saat
diperlukan." Kata Lord sambil menyerahkan sebuah anting perak pada Reno. "Senjatamu sudah
dalam mode siaga, dan bisa dipanggil kapan saja jika ada bahaya"bahaya yang benar-benar
membahayakan nyawa kalian, datang."
Reno menerima anting itu dan tersenyum kecil, "Aku akan terlihat seperti anak band
sungguhan kalau aku memakai ini. Tidak akan ada yang tahu kalau ini adalah alat untuk
memanggil senjata." "Semua perlengkapan kalian dibuat dengan bentuk yang tidak mencolok. Perlengkapan
Sarah dan Claire sendiri adalah gelang." Kata Lord, "Ini adalah cara baru agar kalian tidak harus
mengingat bentuk senjata kalian dan tidak salah memanggil senjata."
"Memangnya Paman pernah melakukannya?"
"Percayalah, kau tidak akan mau tahu bagaimana rasanya." ujar Lord sambil terkekeh,
"Nah, panggil Lumina. Dia yang terakhir akan memilih senjata, bukan?"
Reno mengangguk dan menghampiri Lumina, yang masih memijat-mijat pelipisnya.
"Lumina," "Hmm?" "Kamu yang terakhir memilih senjata." Kata Reno, "Ayo, sana"apa kamu perlu kubantu
berdiri?" Lumina menggeleng dan berusaha berdiri. Untunglah dia tidak jatuh karena rasa sakit di
kepalanya kian menusuk dan membuat pandangannya mengabur. Ia menggeleng lagi, berusaha
memfokuskan matanya, dan berjalan kearah Rifan.
"Kamu kenapa, Lumina?" tanya Rifan mengerutkan kening ketika melihat anak
perempuannya itu kelihatan kesakitan.
"Tidak ada apa-apa, Yah." Lumina menjawab sambil tersenyum kaku, "Jadi" aku akan
memilih senjata?" "Y, ya. Coba saja kamu sentuh setiap senjata ini, atau?"
Lumina tidak mendengar ucapan ayahnya selanjutnya. Matanya tertuju pada sebuah busur
yang berukiran rumit dan berwarna keunguan di dekat sebuah Nunchaku berwarna hitam.
Tangannya meraih kearah busur itu, dan dia merasakan busur itu seperti merasuk ke dalam
tangannya. "Kamu akan memilih busur itu?" tanya Charles yang berdiri di dekatnya. "Busur ini,
kan?" "Busur ini cantik." kata Lumina mengelus permukaan busur itu dengan jarinya.
"Ukirannya juga indah. Seperti pahatan patung. Dan" aku suka warnanya."
"Kelihatannya kedua anakmu jeli dalam memilih senjata." Kata Charles menyimpulkan
sambil menatap Rifan, "Senjata yang mereka pilih adalah senjata jenis baru dan prototype dari
senjata kalian berdua."
"Apa?" Lumina mengerutkan kening mendengar ucapan Charles.
"Lumina, kamu benar-benar akan memilih busur ini?" tanya Charles lagi.
"Iya. Busur ini" seperti memilihku."
"Itu juga yang dikatakan oleh yang lain." ujar Duke sambil tersenyum, "Coba kamu tarik
talinya"bukan, yang seperti gagang pedang itu. Pernah main video game dengan senjata sejenis ini,
bukan?" Lumina mengangguk dan menarik tali"atau bukan, sebenarnya. Lumina tidak ingat apa
namanya. Dia lalu menarik komponen busur itu dan melihat cahaya berkumpul di satu titik dan
berubah menjadi panah cahaya.
"Itu adalah panah cahaya," kata Charles menjelaskan, "Panah itu terbuat dari material
khusus yang kami sebutkan tadi. Energinya persis sama seperti sinar yang dipancarkan oleh
matahari. Tapi, panah cahaya itu murni dari material khusus yang digunakan untuk membuatnya."
"Memangnya material apa yang digunakan?" tanya Lumina.
"Itu" rahasia." kata Charles, "Ini, perlengkapan untuk memanggil senjatamu yang sudah
dalam mode siaga." Charles memakaikan sebuah kalung pada leher Aria.
"Kalung lagi?" "Ini perlengkapan khusus. Sebenarnya, tanpa kalian memakai perlengkapan itupun, kalian
bisa memanggil senjata kalian, dalam keadaan apa saja." ujar Rifan. "Itu hanya sebagai
perlengkapan saja. Jika perlengkapan kalian itu hilang, tidak jadi masalah."
"Oh?" Lumina mengangguk mengerti. "Lalu, apakah busur ini bisa berubah menjadi
semacam senjata lain atau semacamnya?"
"Bisa, tentu saja." kata Rifan. Coba kamu pegang yang itu."
Lumina memegang komponen busur yang mirip dengan gagang pedang, yang ia tarik tadi,
dan seketika, busur itu berubah menjadi sebuah pedang.
"Wow, keren?" "Nama senjata ini adalah Artemisia Bowsword. Dan sesuai namanya, senjata itu bisa
berubah menjadi pedang maupun busur. Anak panah cahaya tadi" berasal dari energy material
khusus yang digunakan untuk membuat senjata tersebut. Kamu mengerti, kan?"
"Iya." Lumina mengangguk. Kemudian dia mengernyit, sakit di kepalanya kembali lagi, kali
ini lebih kuat. "Anu, Ayah,"
"Ya, sayang?" "Boleh" aku langsung tidur" Kepalaku agak sakit."
"Kamu sakit?" "Tidak. Hanya" kelelahan." Jawab Lumina, "Aku langsung tidur saja, ya" Oh, apa Ibu dan
Clarissa ada di atas" Aku akan mengantar Clarissa pulang ke rumahnya dulu kalau dia masih ada."
"Kalau kamu sakit, jangan memaksakan diri. Biar ibumu saja yang mengantar temanmu."
Ujar Rifan. "Ya sudah, kamu langsung tidur saja. Reno,"
"Ya, Ayah?" "Kamu antarkan Lumina ke kamar, ya" Ayah akan berbicara sebentar dengan Paman
Charles, Duke, dan Lord." Kata Rifan, "Kalian semua juga, hentikan aktivitas kalian dan segera
pulang. Sekarang sudah larut malam."
Semua kegiatan berhenti. Sarah, Claire, Snow, dan Samuel disarankan untuk menaruh
senjata mereka di dalam sebuah sarung senjata yang disediakan oleh Charles. Reno sendiri
mengantarkan Lumina ke kamarnya. Mereka sempat bertemu dengan ibu mereka, dan Lumina
menanyakan di mana Clarissa.
"Clarissa sudah dijemput oleh kakaknya." Kata ibunya, "Tadi, baru saja."
"Begitu?" Lumina mengangguk, "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, Bu."
"Ya. Kamu juga langsung tidur, Reno."
"Baik, Bu." Lumina dan Reno naik ke lantai dua tepat ketika anak-anak yang lain keluar dari pintu
yang langsung menuju kearah basement bawah tanah.
"Kami semua pulang dulu, Bi." kata Sarah, "Latihannya sudah selesai karena Paman Rifan
yang menyuruh." "Oh, ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan." ujar Aria sambil tersenyum, "Ah, Snow,
Samuel, kalian berdua juga langsung pulang" Tidak menunggu ayah kalian?"


The Chronos Sapphire Iii Karya Angelia Putri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dad menyuruhku langsung pulang saja." kata Snow, "Lagipula, besok bukan hari libur
dan aku tidak mau terlambat ke sekolah."
"Aku juga," Samuel mengangguk. "Kami semua pulang dulu."
Aria mengangguk dan mengantarkan mereka semua ke pintu depan. Ketika mereka semua
sudah pulang, Aria kembali masuk ke dalam dan melihat Rifan, Charles, Duke, dan Lord sudah
duduk di sofa di ruang tamu.
"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Aria sambil duduk di sebelah Rifan.
"Hanya membicarakan soal pilihan senjata Lumina dan Reno." kata Rifan, "Entah ini
kebetulan atau tidak, senjata mereka adalah prototype dari senjata kita berdua."
"Benarkah?" "Sudah kukatakan, itu bukan kebetulan." Sahut Lord, "Kedua anakmu itu memilih senjata
yang sama persis dengan kalian berdua karena ada hubungan darah dan ikatan dengan kedua
senjata kalian, Blue Rose dan Beater Sword."
"Tapi, bisa saja itu kebetulan, kan?" kata Rifan lagi, "Aku sendiri melihat Lumina merasa
nyaman memakai busur ketimbang pedang. Begitu pula dengan Reno yang juga kelihatan lebih
cocok memakai pedang daripada pistol."
"Mereka akan beradaptasi dengan sendirinya." Ujar Duke, "Percaya saja."
Rifan mengedikkan bahu dan menghembuskan nafas.
"Yah.. masalah pertama untuk memilihkan senjata anak-anak kita sudah selesai." Katanya,
"Sekarang, masalah yang berikutnya, anak-anak kita sudah menerima surat ancaman dari
Apocalypse." "Anak-anak?" tanya Aria, "Lumina dan Reno juga?"
"Ya. Reno bahkan memperlihatkan surat itu padaku." Kata Rifan merogoh saku
kemejanya. "Ini."
Aria menerima kertas surat itu dan membaca isinya. Ia menarik nafas kaget dan menatap
tulisan yang dibuat dengan gaya yang mengerikan tersebut dengan tatapan ngeri.
"Astaga?" "Ya, memang astaga." Rifan mengangguk, "Kita tidak bisa diam saja. Apocalypse benarbenar serius ingin menghan"bukan, tapi, membunuh semua gen The Chronos Sapphire yang
tersisa. Itu artinya, mau tidak mau, kita harus menerima tawaran anak itu untuk perlindungan. Kita
tidak mungkin melindungi anak-anak kita sendirian. Kita perlu bantuan orang lain."
"Anak itu?" "Jonathan Jackson," sahut Charles, "Dia adalah anak hasil cloning yang berhasil membelot
dari Apocalypse dan masih bertahan sampai sekarang. Jonathan adalah salah satu relasi
perusahaan keamanan Rifan."
"Jona" than" Jackson?" tanya Aria lagi, "Jonathan Jackson?"
"Kenapa, Aria?" tanya Duke, "Kamu mengenal anak itu?"
Aria menggeleng pelan, walau sebenarnya dia kaget mendengar nama Jonathan. Nama itu
seakan merujuk pada nama Nathan Jackson. Anak laki-laki yang dikatakan sebagai pengawal
sewaan untuk melindungi keluarganya.
Apa Jonathan sebenarnya adalan Nathan"
*** Lumina masuk ke kamar dan langsung merebahkan dirinya diatas kasur. Ia menghela nafas. Rasa
sakit di kepalanya memang tidak sesakit yang tadi, tapi, itu cukup untuk membuatnya lumpuh
sesaat. Tidak biasanya aku begini. Katanya dalam hati.
"Aku tidak boleh terlihat sakit." gumamnya, "Aku tidak boleh sakit. Tidak boleh merasa
sakit?" Lumina. "Suara?" Ya. Ini aku. ujar Suara, Maaf, aku tidak berbicara denganmu. Aku sangat sibuk. Tapi, aku
janji, mulai sekarang, aku akan berbicara denganmu lebih sering.
"Tidak perlu memaksakan diri, Suara." Ujar Lumina tersenyum kecil, "Kamu berbicara
denganku sesekali seperti ini saja sudah cukup. Dan aku sudah senang."
Benarkah" Aku minta maaf kalau aku jarang berbicara denganmu.
"Sudah kubilang, tidak apa-apa. Aku senang kamu masih mau berbicara denganku. Itu
artinya, kamu tidak melupakan aku."
Aku sudah pasti tidak akan lupa padamu. Lumina merasa Suara tersenyum tipis. Kamu itu
malaikatku yang paling cantik dan manis.
"Menggombal" Kamu, kan, tidak pernah melihat wajahku sebelumnya. Bagaimana kamu
bisa tahu wajahku seperti apa?"
Aku tahu, karena aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu karena aku pernah melihatmu.
Dan aku tahu karena aku mencintaimu.
"Apa?" Lumina mengerutkan kening. Apa dia salah dengar tadi"
"Kamu tadi bilang" kamu mencintaiku?"
Tidak. Lupakan saja kata-kataku tadi. Aku hanya meracau saja.
"O, oh?" Lumina mengangguk-angguk, "Kalau begitu, aku tidur dulu. Sampai jumpa
nanti, Suara." Sampai nanti. Besok, aku akan berbicara lagi denganmu. Aku janji.
Lumina tersenyum lagi, "Baiklah, kalau kamu memaksa."
Kemudian dia tidak mendengarnya lagi. Dan Lumin yakin, Suara juga pasti memerlukan
istirahat. Dia bilang dia sibuk, kan" Itu artinya, Suara juga harus istirahat.
"Selamat tidur, Suara." Gumam Lumina lirih.
*** "Kak," Clarissa masuk ke dalam kamar kakaknya yang tidak terkunci dan melihat kakaknya itu
sedang menatap keluar jendela. Clarissa mengelap rambutnya yang basah dengan handuk dan
berjalan mendekatinya. "Kak Jonathan,"
Jonathan menoleh kearah Clarissa dan tersenyum.
"Ada apa, Clarissa?" tanyanya.
"Kamu memikirkannya lagi, kan?" tanya Clarissa balik, "Lumina. Jangan bilang padaku
kamu tidak memikirkannya. Dari wajahmu, aku tahu kamu memikirkannya."
Jonathan hanya tersenyum. Dia tidak menjawab ucapan Clarissa dan memilih melihat
keluar jendela lagi. "Ngomong-ngomong, Kak Joe sudah datang." kata Clarissa. "Dia baru saja akan
melaporkan pengamatannya hari ini."
"Dia tidak perlu melaporkannya
." Ujar Jonathan. "Lagipula, aku sudah mendapatkan
laporan rinci darinya melalui e-mail."
Clarissa manggut-manggut dan ikut menatap pemandangan di luar jendela. Nampak cahaya
lampu dari gedung-gedung tinggi terlihat saling berlomba menarik perhatian.
"Sebenarnya aku ingin menanyakan hal ini dari dulu," kata Clarissa.
"Ingin bertanya apa?"
"Kenapa Kak Jonathan dan Kak Joe harus merahasiakan itu semua dari Lumina dan
keluarganya?" tanya Clarissa. "Rahasia kalau kalian adalah cloning?"
"Itu harus tetap dirahasiakan, Clarissa." Kata Jonathan. "Aku tidak mau kalau Lumina,
atau bahkan orang lain mengira kami adalah pembohong dan mata-mata organisasi itu."
"Aku tahu yang itu?" Clarissa mengedikkan bahu, "Tapi, kenapa kalian juga harus?"
"Ada alasan di balik ini semua." Jonathan menyela lagi, "Semuanya akan terungkap, ketika
aku ingin mengatakannya. Dan, kuharap, kamu tetap menjaga semua rahasia yang kami berdua
sembunyikan dari semua orang."
"Aku akan menjaganya." Clarissa menyilangkan sebelah tangan di depan dadanya. "Itu
adalah janjiku sebagai adikmu"adik kalian berdua."
Jonathan tersenyum dan menepuk kepala Clarissa.
"Sekarang, kamu tidur, sudah larut malam."
"Kakak sendiri?"
"Aku akan tidur ketika aku sudah memastikan kamu dan Joe sudah tidur."
Clarissa tersenyum dan mencium pipi kiri Jonathan.
"Hanya ciuman selamat tidur." kata Clarissa tertawa kecil, "Selamat tidur, Kak."
"Selamat tidur juga, Clarissa."
CHAPTER 13 Lumina bermimpi buruk lagi kemarin malam. Mimpi yang membuatnya tidak bisa tidur sampai
pagi dan harus pasrah menerima hukuman lagi karena keterlambatannya yang sudah ke sekian
kalinya. Tapi, perhatian Lumina tidak pernah tertuju pada sekolah. Pikirannya terus tertuju pada
mimpi yang didapatnya kemarin malam. Dia tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pelajaran,
bahkan panggilan Rebecca atau Nathan yang belakangan selalu berada di dekatnya juga tidak
digubris. Saat jam istirahat, Samuel menariknya ke tempat favorit mereka dan mulai menginterogasi
Lumina bersama yang lain.
"Sebenarnya kamu kenapa" Dari tadi kamu kelihatan merenung dan memikirkan sesuatu."
Kata Samuel, "Bahkan panggilan dari Rebecca dan Nathan tidak pernah kamu gubris hari ini."
"Aku hanya memikirkan pelajaran saja." kata Lumina berusaha mengelak.
"Lumina, kamu tahu, kamu tidak bisa menyembunyikan kebohonganmu pada kami." Ujar
Sarah, "Kami semua mengenalmu luar dan dalam."
"Oneesan, hentikan. Perkataan itu membuatku merinding." Kata Lumina agak bergidik,
"Aku benar-benar tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya memikirkan pelajaran saja."
"Kamu tidak kelihatan sedang memikirkan pelajaran." Sahut Reno yang duduk di
sebelahnya. "Apa ada masalah" Tidak mungkin kamu sedang memikirkan pelajaran kalau
wajahmu kelihatan ditekuk seperti kardus bekas begitu."
"Oniichan apa-apaan, sih?" Lumina mengerutkan kening, "Aku benar-benar baik-baik sa"
" "Wah, calon suamimu datang, tuh." Kata Snow sambil menyeruput mia ramennya.
Lumina menoleh kearah Nathan yang datang kearah mereka sambil tersenyum lebar.
Entah apa yang membuat Nathan tersenyum seperti itu. Padahal Lumina cuek padanya seharian
ini. "Hai, semuanya." Sapa Nathan, "Boleh aku pinjam Lumina sebentar" Tidak akan lama,
kok." "Dipinjam lama-lama juga tidak apa-apa." kata Claire, "Iya, kan, Reno?"
"Hah" Oh" ya" boleh saja." kata Reno mengerutkan kening, "Yah" asal kamu
kembalikan adikku ini secara utuh. Tidak kurang suatu apapun."
"Memangnya aku akan merobek-robek adikmu?" Nathan tertawa, "Terima kasih, Reno.
Lumina, ayo, ikut aku sebentar."
Lumina menatap kakaknya sebentar, kemudian mengikuti Nathan pergi.
"Kurasa kamu mulai protektif padanya." Kata Claire sambil mengetuk-ngetuk dahi Reno.
"Kenapa kamu seperti itu sekarang?"
"Hah" Apanya?"
"Kamu kelihatan lebih protektif pada Lumina." Ujar Claire mengulangi perkataannya,
"Apa kamu sedang berusaha membuat Nathan menjauh dari Lumina, ya?"
"Tidak?" Reno menggeleng dan menghela nafas. "Aku hanya melihat Lumina sedang
tidak ingin diajak bicara oleh siapapun hari ini. Jadi, yah" aku hanya berusaha untuk tidak
membuatnya lebih tertekan."
"Memangnya dia sedang memikirkan apa, sih" Di kelas dia lebih pendiam daripada
biasanya." Ujar Samuel, "Dia bahkan sempat ditegur oleh Henry-sensei tiga kali karena tidak
mendengarkan pelajaran."
"Begitukah?" Reno mengangkat sebelah alisnya, terkejut. "Tidak biasanya dia begitu."
"Kamu tahu apa penyebab Lumina jadi lebih pendiam seperti itu, Reno?" tanya Sarah,
"Jujur saja, aku khawatir padanya."
"Aku juga khawatir." Kata Claire mengangguk, "Lumina sudah seperti adik bagi kami
berdua." "Kalau kalian menganggapnya sebagai adik, jangan mempengaruhinya dengan gaya
travelling kalian yang menyusahkan."
"Lho" Apa hubungannya itu dengan pembicaraan kita sekarang?" Sarah mengangkat
sebelah alis, "Itu tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita sekarang, tahu!"
Reno mengedikkan bahu dan menghembuskan nafas.
Yah" aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan adik kecilku itu. katanya dalam
hati, Tapi, kuharap bukan sesuatu yang akan membuatnya sedih atau ketakutan" seperti mimpi
buruk yang dia alami kemarin malam.
"Reno" Reno!!?"
"Ah, ya?" Reno mengerjapkan mata, "Ada apa?"
"Kenapa kamu melamun?" tanya Snow, "Kalau kamu melamun seperti itu, kamu mirip
dengan Paman Rifan."
"Oh, benarkah" Banyak yang bilang kalau wajahku mirip dengan Ayah." Reno
mengedikkan bahu lagi. "Aku mau pergi ke toilet sebentar. Kalau kalian ingin pergi ke kelas,
duluan saja. Nanti aku menyusul."
*** "Kenapa kamu mengajakku ke sini, Nathan?" tanya Lumina ketika mereka memasuki ruang
kesenian. "Aku ingin memberikan sesuatu padamu." Kata Nathan sambil tersenyum.
"Memangnya harus di tempat ini?"
Nathan tidak menjawab dan membiarkan Lumina masuk. Dia kemudian menutup pintu
dan mendekat kearah Lumina.
"Memangnya kamu ingin memberiku apa?"
Nathan merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berpita ungu.
"Ini." "Apa ini?" "Hadiah." Jawab Nathan, "Aku belum sempat memberikan hadiah ulang tahun padamu,
kan?" "Ini hadiah ulang tahunku?"
"Ya." Nathan tersenyum, "Aku" membelinya khusus untukmu. Terimalah."
Lumina mengerjapkan mata dan menerima kotak itu. Ia menimangnya sesaat, dan
tersenyum. "Terima kasih. Kamu orang kedua yang memberiku hadiah ulang tahun."
"Benarkah" Siapa yang pertama?"
"Reno Oniichan." Jawab Lumina, "Dia memberikanku hadiah di malam sebelum hari
ulang tahunku." "Dia memang kakak yang pengertian, ya?"
Lumina tersenyum dan mengangguk.
"Ah, dan aku juga ingin memberikan sesuatu lagi padamu." Kata Nathan.
"Hadiah apa lagi?"
"Bukan hadiah," Nathan menggeleng, "Tapi" sebuah pengakuan."
Lumina mengerutkan kening, "Pengakuan" Bukan pengakuan cinta yang kamu makud,
kan" Aku sudah bilang kalau aku?"
"Bukan pernyataan cinta, kok. Tidak perlu khawatir." Nathan tertawa pelan, kemudian
wajahnya berubah serius. "Lumina, aku?" Nathan menelan ludah, "Aku" a, aku?"
Lumina memiringkan kepalanya. Menunggu ucapan Nathan selanjutnya.
"A, aku?" Pintu ruang kesenian tiba-tiba terbuka, dan Rebecca masuk ke dalam. Nathan jadi tidak
bisa bicara, apalagi ketika dilihatnya Rebecca kelihatan habis berlari di koridor dan nafasnya
tersengal-sengal. "Rebecca?" Rebecca mendongan dan wajahnya kelihatan panic. Dia mengatur nafasnya dan berusaha
mengatakan apa yang sudah di ujung lidahnya.
"Lu, Lumina" kakakmu?"
"Oniichan" Ada apa dengannya?" tanya Lumina mengerutkan kening. Entah kenapa,
perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Pikirannya kembali ke mimpi buruk yang didapatnya
kemarin. "Reno-senpai" dia?" Rebecca menelan ludah, "Dia" jatuh dari tangga, dan kepalanya
berdarah." Lumina berlari menuju ruang kesehatan dan menyerbu masuk ke dalam ketika dia melihat
pintunya terbuka. Dia bisa melihat Sarah, Claire, Snow, dan Samuel mengerubungi seseorang di
tempat tidur, yang ia duga adalah Reno.
"Lumina," Sarah sedikit menepi dan Lumina melihat Reno yang terbaring dengan kepala
dibalut perban di atas tempat tidur.
"Oniichan!!" Lumina berlari mendekat kearah mereka dan melihat Reno. Sementara itu, Nathan yang
dari tadi mengikutinya berdiri di belakang Lumina. Cowok itu melihat Reno dan terenyak melihat
kakak Lumina itu terluka cukup parah. Dia bisa melihatnya, selain luka di kepala, Reno
mengalami luka yang lain, yang tidak terlihat oleh teman-temannya maupun Lumina.
"A, apa yang terjadi padanya" Oneesan?"
"Menurut beberapa orang yang melihat, dia jatuh dari tangga ketika ingin pergi ke lapangan
indoor." Kata Samuel. "Kemungkinan, ada yang mendorongnya dari belakang. Aku dan Snow
Jabang Bayi Dalam Guci 3 San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Pedang Golok Yang Menggetarkan 1

Cari Blog Ini