Ceritasilat Novel Online

Touche Alchemist 2

Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi Bagian 2


maksud dia di balik permintaan bantuannya ini" Dan bagaimana dia bisa selalu menemukan
keberadaanku" Seluruh pertanyaan berkecamuk di pikiran Hiro.
"Hiro." Suara Karen menyadarkannya, akhirnya Hiro kembali bisa menguasai diri.
"Ada apa?" bisik Karen khawatir karna melihat ketegangan di wajah Hiro, walaupun samar.
Hiro hanya menggeleng, lalu mengambil dua kotak di depannya dan menutupnya setelah
sempat menyentuh emas di dalamnya sekejap. Dia bisa melihat komposisi tembaga yg cukup
besar di salah satu emas dari sentuhan tadi. Hiro mengembalikan kedua kotak itu lagi ke Yunus.
Yunus tampak terkejut, sepertinya penolakan Hiro di luar perhitungannya.
"Jadi kau tak mau membantuku?" tanya Yunus.
Hiro hanya mengangkat bahu.
"Baiklah kalau begitu." Yunus menghela napas, lalu bangkit dari tempat duduk. "Aku pergi dulu.
Senang bertemu dengan kalian."
"Tidak apa2?" tanya Karen bingung, menatap Yunus kemudian memandangi Hiro yg dengan
cueknya memakan burger dan kentang goreng secara bergantian.
Yunus tersenyum pahit. "Tidak apa2, Nona Hudson. Aku bisa mengerti Hiro tidak mau
membantu." "Sekalian saja Anda mampir ke kantor polisi," kata Hiro saat Yunus mulai berjalan meninggalkan
meja mereka. Yunus menghentikan langkahnya dan menoleh, menatap Hiro bingung.
Hiro tidak memperhatikan tatapan Yunus, tetap sibuk mengunyah. "Untuk melaporkan penjual
emas yg memberimu kotak merah," katanya sebelum meneguk kopi.
Karen kelihatan jelas tak mengerti kata2 Hiro, tapi raut wajah Yunus berubah. Pria itu tersenyum
senang. Itu artinya Hiro sudah memeriksa bahwa emas di kotak merah kadarnya tidak 99% dan
24 karat. "Terima kasih," kata Yunus, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
"Apa maksudnya?" Karen mengerutkan kening.
"Penjelasannya terlalu berat untuk otakmu yg kecil," kata Hiro cuek.
Karen yg kesal langsung memukul kepala Hiro dengan tasnya.
"Aw!" Hiro mengaduh. "Kalau aku nanti jadi bodoh gimana?"
"Berarti kau akan merasakan apa yg kurasakan," balas Karen.
Sekarang giliran Hiro yg kesal.
*** Paket yg ketiga, batin Sam sambil mengamati paket berisi dua botol kosong, satu botol berisi
belerang, dan satu botol berisi litium. Ini bukan kebetulan lagi paket seperti itu datang sehari
sebelum terjadinya pengeboman. Firasat Sam tidak enak. Apa maksud ini semua" Pesan apa yg
ingin disampaikan si pelaku kepadanya" Apakah paket ini bisa menjadi petunjuk tentang
pelakunya atau lokasi bom berikutnya diletakkan"
Sam membolak-balik kotak itu, tidak menemukan apa2 selain empat botol tadi yg berada di
dalamnya. Dua paket pertama dia bawa ke laboratorium, tapi tak ada satu pun sidik jari yg
ditemukan. Ini pekerjaan yg direncanakan dengan rapi. Sam memutuskan untuk memberitahu
seseorang tentang paket itu. Dia mengambil ponsel dan mulai menelepon.
"Pike" Ada sesuatu yg harus kauketahui," kata Sam pada partner FBI-nya. "Ini sepertinya ada
hubungannya dengan kasus pengeboman yg sedang kita kerjakan."
7 "KENAPA kau tak pernah memberitahuku, Hudson?" tanya Kapten Lewis geram.
"Karna waktu itu saya pikir ini ulah iseng belaka," jawab Sam mengangkat bahu.
"Bagaimana kau tahu ini bukan ulah iseng belaka?" tanya Kapten Lewis lagi, lalu menatap
Thomas Pike. "Dan bagaimana menurutmu, Special Agent Pike" Apakah ini memang ada
hubungannya dengan pengeboman di Museum Intrepid dan Japan Society?"
"Saya tidak tahu," jawab Thomas jujur. "Tapi setelah mendengar cerita Detektif Hudson, saya
pikir tidak ada salahnya menelusuri paket itu dan mencari tahu maksud pengirimnya."
"Aku harus mendapatkan kepastian terlebih dahulu, apakah paket itu memang ada hubungannya
dengan pengeboman." Kapten Lewis mengetuk-ngetukkan jari ke meja. "Aku tak mau waktu dan
tenaga orang2 terbaikku, termasuk kalian para agen FBI, terbuang sia2 untuk menelusuri hal yg
mungkin tak ada hubungannya."
"Kapten ingin kepastian?" tanya Sam berani.
Kapten Lewis menatap Sam tajam. "Ya."
"Paket itu dikirim kemarin," kata Sam. "Jika memang ada hubungannya, hari ini pasti akan terjadi
pengeboman, entah di mana, seperti yg sudah2."
Tidak ada satu pun dari mereka yg bicara. Mereka sebenarnya tidak mau pengeboman terjadi
lagi, tapi kepastian sangat mereka butuhkan.
Tiba2 telepon di hampir seluruh ruangan berdering. Sam menelan ludah. Apa yg dia takutkan
tampaknya terjadi. Telepon di ruangan Kapten Lewis juga berdering.
"Halo?" jawab Kapten Lewis. Beberapa saat kemudian, raut wajahnya berubah pucat. Dia
menatap Sam dengan tatapan tak percaya.
"Kita sudah mendapat kepastian," kata Kapten Lewis setelah menutup telepon. "Ada
pengeboman di Greenwich Village, tepatnya di Gedung Forbes Gallery di Fifth Avenue."
Thomas dan Sam berpandangan.
"Mulai telusuri paket itu," perintah Kapten Lewis mantap.
"Siap, Kapten!"
*** Bom meledak di galeri perhiasam saat diadakan pameran perhiasan batu luar angkasa.
Bebatuan angkasa yg jatuh di bumi dijadikan perhiasan dan dipamerkan. Bahkan sudah
beberapa kali diadakan di Forbes Gallery. Bom sepertinya diletakkan di dekat kalung batu
bintang yg memang banyak dilihat orang. Akibatnya, walaupun daya ledak bom tidak begitu kuat,
tetap terdapat korban tewas dan banyak pengunjung terluka.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Thomas.
Sam menggeleng. "Lagi2 CCTV tidak banyak membantu. Aku merasa orang ini seperti bunglon
yg dengan mudahnya membaur hingga tidak tampak."
"Dia juga tidak meninggalkan jejak," keluh Thomas. "Dia tidak meninggalkan sidik jari ataupun
DNA. Aku yakin, walau berdoa semoga keyakinanku salah, kali ini dia juga tidak melakukan
kesalahan." Sam mengamati sisa2 ledakan bom. Tidak ada benda2 tajam atau gotri yg biasanya dimasukkan
ke bom oleh teroris untuk memberi efek fatal bagi korban. Si pelaku sepertinya memang tidak
berniat melukai. Insting detektif Sam memberitahunya bahwa si pelaku sedang mengirim pesan.
Kepada siapa dan pesan apa, itulah yg harus dia temukan karna dia tahu pasti si pelaku belum
akan berhenti di sini. "Hudson!" panggil Thomas.
Sam berjalan menghampiri Thomas dan tampak berpikir keras.
"Apa yg kaupikirkan?" tanya Thomas.
"Si pelaku sedang mengirim pesan," kata Sam.
"Maksudmu paket berisi empat botol itu?"
"Itu juga," kening Sam berkerut, berusaha membuat hipotesis.
"Maksudmu?" tanya Thomas tak mengerti.
"Ini seperti permainan," jawab Sam, walau tak sepenuhnya yakin. "Dia sedang bermain dan ingin
melihat, siapa yg menang. Dia menantang kita atau seseorang untuk menangkapnya."
"Menantangmu?" ralat Thomas. "Kaulah yg dia kirimi paket, ingat?"
"Benar," Sam mengangguk-angguk. "Tapi firasatku mengatakan, aku bukanlah orang yg ingin
ditantang si pelaku."
Thomas menggeleng sambil melipat kedua tangan. "Aku tak mengerti."
Sam menghela napas. "Sebenarnya aku juga bingung dengan kata-kataku. Kalau saja aku bisa
meminta bantuan Hiro."
"Siapa yg melarang?" tanya Thomas.
"Memangnya FBI membolehkan?" Sam balik bertanya. "Dia kan baru delapan belas tahun."
"Dia konsultan kepolisian New York," Thomas menambahkan. "Kalau memang sehebat yg kalian
bilang, FBI tidak keberatan, terutama jika dia bisa menemukan pelakunya atau minimal tahu di
mana bom berikutnya, kalau ada, akan diletakkan."
Sam mengangguk. "Kalau begitu aku akan meneleponnya."
"Dan aku akan mengurus surat-suratnya agar keberadaan Hiro sesuai prosedur," kata Thomas
segera berjalan ke luar. *** Hiro berjalan sambil membaca buku di kantin ketika tak sengaja William menabraknya hingga jus
jeruk yg ada di baki William tumpah ke baju Hiro.
"Maafkan aku, Morrison!" pinta William panik sambil meletakkan baki ke meja terdekat. Dia
cepat2 mengeluarkan saputangan dari saku celana untuk membersihkan noda di baju Hiro.
"Tak apa," desah Hiro. Dia mengambil saputangan yg dipegang William, mencoba
membersihkannya sendiri, walaupun tampak sia2.
"Maafkan aku," William merasa bersalah. "Aku terlalu fokus menonton TV sehingga tidak
memperhatikan jalan."
"Memangnya ada apa di TV?" tanya Hiro ingin tahu acara yg sampai mengakibatkan bajunya
basah dan ternoda. "Ada bom meledak di Forbes Gallery, padahal aku baru saja pulang dari sana," jawab William.
"Kau tidak tahu?"
Hiro menggeleng. "Kau tidak dimintai tolong kepolisian New York?" tanya William lagi.
"Tidak," jawab Hiro santai. "Mungkin mereka bisa menyelesaikannya sendiri."
"Kepolisian New York sehebat itu, ya?" William manggut2.
"Mereka juga bekerja sama dengan FBI." Hiro menghela napas, sepertinya harus pulang ke
asrama untuk berganti pakaian. "Atau mungkin pelakunya yg tidak begitu hebat."
"Oh." Hiro mengembalikan saputangan William. "Nih, aku ganti baju saja."
Raut wajah William berubah jijik saat melihat saputangan yg dipegang Hiro. "Buang saja. Kau
tahu kan, aku tidak bisa memegang apa yg sudah dipegang orang lain. Aku pergi dulu, ya."
William mengambil lagi baki untuk dikembalikan kepada penjaga kantin, lalu keluar ruangan.
Seharusnya aku yg bilang begitu, gerutu Hiro dalam hati sambil membuang saputangan itu ke
tempat sampah. Saputangan ini penuh dengan DNA William.
Hiro bergegas kembali ke asramanya untuk berganti pakaian, namun di tengah jalan ponselnya
berdering. "Halo?" jawab Hiro.
"Kau di mana?" tanya Sam di seberang telepon.
"Di kampus," jawab Hiro malas. "Suruh Karen menjemputku di asrama, sebelum mengantarku ke
Forbes Gallery. Aku harus ganti baju dulu."
"Bagaimana kau tahu aku sudah menyuruh Karen?" tanya Sam bingung campur kagum. "Dan
bagaimana kau tahu aku memintamu ke Forbes Gallery" Lalu... untuk apa kau ganti baju"! Kau
ke sini bukan untuk jadi foto model!"
"Berisik, Sammy!" dengus Hiro. "Tadi ada yg menumpahkan jus jeruk ke bajuku."
Hening. "Tentang bagaimana aku tahu?" lanjut Hiro sambil menghela napas. "Ayolah, Sammy, kau kan
tidak mungkin meneloponku hanya untuk menanyakan kabar. Lagi pula aku tahu baru saja ada
pengeboman di Forbes Gallery. Kalau tebakanku tidak salah, pengeboman ini punya hubungan
dengan pengeboman di Museum Intrepid dan Japan Society. Karna sudah sampai pengeboman
ketiga dan kalian belum juga menemukan pelakunya, aku tahu keputusasaanmu sehingga
akhirnya memutuskan meminta bantuan otakku yg genius ini."
"Keputusasaan dan berat hati," ralat Sam. "Tapi demi kasus ini, apa pun katamu, Hiro. Bahkan
kalau kau menyuruhku mendirikan kuil untuk menyembahmu, akan kulakukan asal kau
membantuku menangkap pelakunya."
Hiro menggaruk-garuk kepala. "Baiklah. Aku tagih janjimu nanti."
"Oke!" jawab Sam. "Terima kasih, Hiro."
*** "Special Agent Thomas Pike," Thomas memperkenalkan diri sambil menyalami Hiro.
"Hiro Morrison."
"Aku sudah mendengar cukup banyak tentangmu," kata Thomar.
"Saya belum pernah mendengar apa pun tentang Anda," kata Hiro malas, ingin cepat2 masuk
dan melihat tempat kejadian perkara.
"Juga sifat burukmu," Thomas melirik Sam yg hanya mengangguk-angguk.
"Itu bagian tak terpisahkan," jawab Hiro enteng.
"Dan ini putriku, Karen." Sam menepuk bahu Karen.
"Jadi kapan aku boleh masuk ke TKP?" potong Hiro tidak sabar.
"Sekarang." Thomas menunjukkan jalan, diikuti yg lain.
Mereka tiba di ruangan yg penuh bercak darah hingga membuat Karen mual. Serpihan bom
sedang dikumpulkan anggota crime scene unit. Kerusakan parah terjadi di dekat tempat kalung
batu bintang. "Ah, aku ingat. Ini kan Pameran Perhiasan Luar Angkasa yg ramai dibicarakan itu," kata Karen.
"Di antara darah2 itu, apakah ada darah pelaku?" tanya Hiro.
"Sepertinya tidak, tapi kita harus menunggu hasil laboratorium forensik," jawab Sam.
"Berapa banyak korban?"
"Tiga tewas, dua luka berat, sepuluh luka ringan," kali ini giliran Thomas yg menjawab.
"Bagaimana dengan bomnya?" Hiro mendekati tempat diletakkannya bom lalu berjongkok, diikuti
Sam. Thomas dan Karen memandangi mereka dari kejauhan.
Sam membaca catatannya. "Bom dengan daya ledak sedang dan dilengkapi timer. Tidak ada
benda2 seperti paku atau gotri di dalamnya."
"Bom itu ditaruh di dalam tas?" tanya Hiro.
"Dari sisa cangklong tas yg ditemukan, sepertinya begitu."
"Hanya cangklongnya?" tanya Hiro heran.
"Sisanya habis terbakar."
"Ada sidik jari atau DNA di cangklongnya?"
Sam menggeleng. "Itu hal pertama yg diteliti dan hasilnya nol."
Hiro manggut2, lalu mengeluarkan lolipop dari saku celana, dan mulai mengulumnya sambil
berpikir. "Lama2 kau bisa kena diabetes jika terus makan permen seperti itu," Sam mengomentari
kebiasaan Hiro. "Rangsangan di mulut memicu otak berpikir," jawab Hiro cuek sambil mengeluarkan persediaan
cotton bud dari saku bajunya. "Walau aku agak ragu juga dengan teori itu setelah melihatmu,
Sammy. Melihat perut gendutmu berarti mulutmu lebih banyak mendapatkan rangsangan
daripadaku, tapi kau tidak lebih pintar daripada aku."
"Bocah kurang ajar," gerutu Sam.
Thomas menyaksikan kejadian itu dengan iba bercampur geli. Dia bisa membayangkan
penderitaan Sam selama bekerja sama dengan Hiro.
"Maafkan sifat buruk Hiro," bisik Karen pada Thomas.
Thomas tersenyum. "Tidak apa, tapi kenapa kau yg minta maaf?"
Karen tampak terkejut menerima pertanyaan seperti itu, lalu bingung sesaat, seolah dia sendiri
mempertanyakan hal yg sama walau akhirnya menjawab, "Karna aku babysitter-nya."
Thomas hanya mengangguk. "Apakah ada hal lain yg harus kuketahui?" tanya Hiro sambil mengoles tempat2 yg dia anggap
penting dengan cotton bud kemudian menyentuhnya.
"Maksudmu?" Sam mengernyit.
Hiro mengangkat bahu. "Apakah dia mengirim petunjuk atau apalah ke kantor polisi atau ke
seseorang?" "Bagaimana kau tahu?" tanya Sam kaget, padahal berita tentang paket itu belum tersebar ke
mana2. Hanya dia, Thomas, serta Kapten Lewis yg tahu.
Hiro mengangkat bahu. "Aku hanya menebak. Ternyata benar, ya?"
"Si pelaku menganggap ini hanya permainan," ujar Hiro sambil bangkit berdiri. "Dia
menggunakan bom dengan daya ledak yg tak begitu besar, dengan timer, dan tidak diisi benda2
kecil seperti ulah teroris umumnya. Kalau ingin membunuh, dia akan menggunakan bom dengan
daya ledak kuat dan pemicu jarak jauh agar bisa mengontrol kapan bom diledakkan, juga diisi
benda2 kecil tajam. Pelaku merencanakan peledakan bom ini dengan cermat, buktinya polisi
masih belum bisa menangkapnya hingga tiga pengeboman. Dia ingin mengirim pesan."
"Mengirim pesan?" tanya Karen yg langsung mendekat bersama Thomas begitu mendengar Hiro
menjelaskan. "Seperti halnya aktivis LSM yg mencoret-coret tembok untuk menyampaikan pesan," jawab Hiro,
"dia ingin memberitahu sesuatu pada kita. Jadi menurutku ada pola di sini. Itulah sebabnya aku
merasa dia mengirim petunjuk agar kita menemukan pola itu. Dia ingin agar kita cepat menerima
pesannya. Jadi, apa yg dia kirimkan, Sammy?"
"Dua botol kosong, satu botol berisi litium, dan satu botol lagi berisi belerang." jawab Sam.
"Tidak ada sidik jari maupun DNA di paket maupun botol itu, aku sudah memeriksanya."
"Menarik." Hiro tersenyum senang. "Menarik sekali."
"Kau punya gambaran pelakunya?" tanya Thomas.
"Aku bukan profiler."
"Dikira-kira sajalah," pinta Sam.
Hiro menghela napas, lalu menggaruk-garuk kepala. "Orang yg sangat pandai dan percaya diri
dengan kepandaiannya, bisa dikatakan narsis. Sombong karna bisa meledakkan bom di tempat2
ramai dan cermat karna tidak meninggalkan sidik jari."
Karen mengerutkan kening. "Terdengar seperti dirimu."
"Mari kita ke kantormu saja, Sam." Hiro berpura-pura tak mendengar komentar Karen. "Aku ingin
lihat botol2 itu." "Jadi kau masih belum menemujan pelaku dan maksudnya?" tanya Sam sambil berjakan ke luar.
"Bukankah tadi kau memeriksa darah dan sebagainya?"
"Percuma," jawab Hiro malas. "Di antara korban yg tewas dan terluka tidak mungkin ada pelaku
karna ini bukan bom bunuh diri."
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau sendiri yg bilang, bom yg dipakai menggunakan timer," desah Hiro. "Mana ada pelaku bom
bunuh diri menggunakan timer" Atau setidaknya, kemungkinannya kecil sekali. Lagi pula terlalu
banyak DNA yg tercampur di TKP sehingga aku tidak bisa membedakannya. Kepalaku jadi
pusing." Menurut kalian, siapa pelakunya"
8 HIRO duduk di bangku taman Universitas Columbia sambil mengamati melalui iPad foto empat
botol yg dikirimkan kepada Sam. Keempat botol itu menjadi barang bukti sehingga ia tidak bisa


Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawanya pulang, tapi boleh memotretnya. Sudah dua hari dia mencoba memecahkan
kasus itu, tapi tak ada hasil. Baru kali ini dia merasa tertantang sekaligus senang karna bisa
bertemu orang yg kepandaiannya setidaknya setara dengannya, walaupun tentu saja, baginya
tetap dialah yg lebih pandai.
Petunjuk itu ada di keempat botol ini, batin Hiro. Tapi apa"
Bagaimana mungkin dua botol kosong, satu botol berisi litium, dan satu botol berisi belerang
punya hubungan dengan pengeboman di Museum Intrepid, Japan Society, dan Forbes Gallery"
Apa yg menjadi penghubungnya" Atau mungkin Sam salah dan ternyata keempat botol ini tidak
ada hubungannya dengan pengeboman itu"
Saat dia berpikir keras, tiba2 ada orang berdiri di depannya. Hiro mendongak dan melihat Yunus
yg tangannya menggenggam peta tersenyum padanya.
Hiro pura2 tidak memperhatikannya, pandangannya kembali beralih pada iPad di tangannya.
Yunus duduk di sebelah Hiro sambil mengamati pemandangan di kampus itu. Tidak ada satu
pun dari mereka yg bicara.
"Terima kasih," kata Yunus kemudian, memecah keheningan. "Berkat dirimu, aku tak jadi rugi
dan sudah melaporkan si penjual emas campuran itu ke polisi."
Hiro hanya mengangguk. "Kau tidak ingin tahu bagaimana aku bisa selalu menemukanmu?"
"Tidak." Yunus tertawa. "Kau memang menarik."
Bohong jika Hiro tidak ingin tahu, tapi tetap berusaha menahan diri karna masih belum yakin
apakah Yunus orang yg bisa dipercaya atau tidak. Apakah dia juga memiliki kemampuan yg
sama atau tidak. Hiro tidak ingin kemampuan anehnya ketahuan orang yg punya niat jahat atau
membuatnya menjadi objek penelitian.
Merasa tidak mendapat respons, Yunus bangkit. "Ya sudahlah, jika kau tidak memercayaiku."
Pria itu membuka dompet, mengambil kartu nama, lalu menyerahkannya pada Hiro. "Siapa tahu
kau kehilangan kartu namaku. Telepon saja jika kau membutuhkan bantuanku."
Hiro menerima kartu itu tanpa banyak bicara.
Yunus tersenyum. "Baiklah, aku pergi dulu."
"Anda tidak meminta nomor saya?" tanya Hiro ketika Yunus hendak membalikkan badan.
Yunus menoleh, menatap Hiro. "Tidak perlu, karna aku selalu bisa menemukanmu."
Hiro menelan ludah. Ada perasaan aneh yg menyelimutinya setelah mendengar jawaban Yunus
dan melihat tatapannya. Seperti sesuatu yg mengikat dia dengan pria berkacamata di
hadapannya. Ada sesuatu yg sama antara dirinya dan pria itu.
"Kenapa Anda baik sekali pada saya?" tanya Hiro, "padahal kita baru bertemu dan saya sama
sekali tidak mengenal Anda, kecuali dari yg saya baca di internet."
"Alasannya?" Yunus menghela napas dan tersenyum lagi. "Aku akan mengatakan alasannya
saat merasa kau sudah memercayaiku."
Setelah mengatakan itu, Yunus berjalan pergi.
Hiro menatap punggung Yunus yg mulai menjauh dengan banyak pertanyaan di kepalanya:
siapa sebenarnya Yunus" Apakah dia memang tahu tentang kemampuannya atau juga punya
kemampuan sama" Kenapa pria itu selalu membawa peta dan kenapa selalu tahu di mana Hiro
berada" Saat sedang berpikir, ponsel Hiro berbunyi.
"Halo, Sammy?" jawab Hiro.
"Halo, Hiro!" Suara Sam terdengar panik. "Kau sudah menemukan pelakunya" Atau di mana
bom berikutnya diletakkan" Atau apa pun yg bisa menyelesaikan kasus ini?"
Hiro menghela napas. "Tadi pikiranku teralihkan hal lain, jadi aku belum menyelesaikannya. Ada
apa?" "Paket itu datang lagi!" Sam setengah terpekik. "Berarti besok akan ada peledakan bom lagi!
Dan kita tidak tahu di mana bom itu akan meledak!"
Hiro terdiam. Sebenarnya pesan apa yg ingin disampaikan pelaku melalui keempat botol itu"
"Sam..." "Ya, Hiro?" "Suruh Karen menjemputku di kampus," kata Hiro. "Aku ke tempatmu sekarang."
*** Di ruang penyidikan yg sementara ini menjadi ruang kantor agen FBI, Thomas Pike, selama
menyelidiki kasus pengeboman berantai, Hiro mengamati peta New York yg terpasang. Thomas
menandai tempat ledakan bom di peta itu dengan pin: Museum Intrepid di Theater District, Japan
Society di Lower Midtown, dan terakhir Forbes Gallery di Greenwich Village. Ketiga tempat itu
tidak memiliki kesamaan, selain merupakan tempat publik. Artinya, pelaku adalah pengunjung
biasa yg bisa keluar-masuk tempat2 itu, tapi anehnya dari hasil rekaman CCTV ketiga tempat
tersebut, tidak ada satu orang pun yg berwajah sama. Apakah si pelaku menyamar atau
menyuruh seseorang, masih belum diketahu. Lagi pula ada lima borough di kota New York:
Manhattan, Queens, Brooklyn, The Bronx, dan Staten Island, tapi kenapa tiga lokasi peledakan
bom terletak di Manhattan" Hiro belum menemukan jawabannya.
Pandangan Hiro beralih pada empat botol di meja Thomas. Lagi2 dua botol kosong, satu botol
litium, dan satu botol belerang.
Kenapa ada botol kosong" Dan kenapa ada dua botol kosong" Hiro bertanya-tanya dalam hati.
"Kau sudah memecahkannya?" tanya Karen yg sejak tadi berdiri di samping Hiro.
Hiro menggeleng. Dia merogoh-rogoh saku bajunya. Sial, aku lupa membawa permen!
Karen yg melihat kebingungan Hiro, merogoh sesuatu dari tasnya. "Kau mencari ini, kan?" Karen
mengacungkan lolipop di tangannya.
Hiro tidak berkata apa2, langsung mengambil lolipop itu, lalu mengulumnya.
"Terima kasih kembali," dengus Karen.
Fokus Hiro kembali pada peta. Dia harus segera menemukan lokasi pengeboman berikutnya yg
kemungkinan besar akan terjadi besok. Hiro yakin ada pola di sini, tapi belum juga
menemukannya. "Betah juga dia," komentar Thomas dari luar ruangan melihat Hiro berdiri tak bergerak
memandangi peta. "Tentu saja," jawab Sam. "Karna kasus ini menyangkut harga dirinya. Bukan saja dia takut orang
akan mempertanyakan kepandaiannya, juga dirinya sendiri mempertanyakan kepandaiannya."
"Penyakit orang genius," desah Thomas.
"Aku jadi bersyukur dengan kepandaianku yg sekarang," kata Sam.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam dan Hiro masih memandangi peta. Pikirannya
memunculkan rumus2 untuk mencari pola yg digunakan si pelaku. Semua variabel yg mungkin
digunakan pelaku sebagai acuan untuk meletakkan bom seperti demografi, lokasi, bahkan
cuaca, dia kalkulasikan, sayangnya masih belum menemukan jawabannya.
Karen menguap untuk kesekian kalinya, beberapa kali nyaris jatuh tertidur.
"Pulanglah," kata Hiro pada Karen tanpa mengalihkan pandangan dari peta.
"Bagaimana denganmu?" tanya Karen. "Siapa yg akan mengantarmu pulang?"
"Gampang," jawab Hiro. "Kalau sudah memecahkannya, aku akan meneleponmu."
"Jangan2 begitu aku sampai di rumah, kau meneleponku untuk menjemputmu," kata Karen
curiga. "Mungkin," jawab Hiro enteng.
Karen cemberut, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi di ruangan itu. "Aku tidur di sini saja."
Hiro tidak menggubris. Ketika waktu menunjukkan pukul empat pagi, Hiro merasa sangat lelah. Dia duduk di meja
Thomas, memandang ke luar ruangan, dan mendapati ruang kantor polisi amat sepi. Hanya ada
beberapa polisi yg tampaknya memang mendapat jadwal piket dan Sam serta Thomas. Sam
tertidur di kursinya, sedangnkan Thomas tertidur di kursi Matt.
Mata Hiro beralih pada Karen yg tertidur nyenyak di kursi ruang penyidikan itu. Beberapa kali
mulut Karen mengecap-ngecap, seperti sedang makan sehingga membuat Hiro tersenyum geli.
Dia pasti sedang bermimpi melahap semua makanan yg ada di New York, batin Hiro.
"Hmmm...," erang Karen. Jaket yg dia gunakan sebagai selimut melorot sehingga membuatnya
kedinginan. Hiro yg melihatnya, menyelimuti Karen dengan jaketnya sendiri. Tepat saat dia sedang
menyelimuti, mata Karen terbuka.
"Apa yg kaulakukan?" tanya Karen serak karna masih mengantuk.
"Menyelimutimu," jawab Hiro singkat.
"Kau siapa?" Karen menyipit, mencoba fokus melihat Hiro.
"Apa maksudmu?"
"Kau pasti bukan Hiro," kata Karen. "Hiro tidak mungkin sebaik ini."
Hiro langsung melilitkan jaket yg tadi digunakan untuk menyelimuti Karen ke leher gadis itu dan
menariknya hingga Karen tercekik.
"Kau mencoba membunuhku!" pekik Karen terbatuk-batuk.
"Aku hanya membangunkanmu," dengus Hiro, lalu mengalihkan pandangannya ke peta New
York di depannya. "Kenapa aku harus bangun?" dengus Karen.
"Karna dengkuranmu membuatku tak bisa berkonsentrasi."
"Lalu kenapa kau tadi mencoba menyelimutiku?"
"Aku mencoba berbuat baik," jawab Hiro. "Dan sekarang aku menyesalinya. Lain kali ingatkan
aku agar tidak pernah lagi berbuat baik padamu."
Karen menggerutu, lalu bangkit dari duduk, dan berjalan ke luar.
"Kau mau ke mana?" tanya Hiro.
"Membuat kopi," jawab Karen masih dengan nada kesal.
"Bisakah kaubuatkan satu untukku?"
Karen memutar bola mata. "Bisakah aku menjawab, 'tidak'?"
Hiro melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul lima sekarang dan dia masih belum
menemukan petunjuk apa pun.
Mata Hiro kembali pada peta di depannya. Apa petunjuknya" Bagaimana polanya" Museum
Intrepid di Theater District terletak di barat, Japan Society di Lower Midtown terletak di timur, dan
terakhir Forbes Gallery di Greenwich Village terletak di barat daya. Apa hubungannya"
Karen kembali dengan dua cangkir di tangan. Dia menyesap kopi di cangkir tangan kanannya,
sambil memberikan cangkir di tangan kirinya pada Hiro. "Nih."
Hiro menerima cangkir itu tanpa melihat Karen dan bisa merasakan cangkir itu terlalu ringan.
Saat dia melihatnya, ternyata cangkir itu kosong. "Apa maksudmu?" kening Hiro berkerut.
"Balasan karna sudah membangunkanku," jawab Karen santai.
"Dan kau membalasku dengan memberi cangkir kosong?" Hiro menghela napas. "Dasar anak2!"
Ganti kening Karen yg berkerut. Bukannya kau juga seumuran denganku"
"Itu ada isinya kok," Karen membela diri, "isinya udara."
"Anak kecil," dengus Hiro lagi.
Isinya udara" Apa tidak ada alasan yg lebih kekanakan lagi" batin Hiro. Cangkir kosong jelas
berisi udara, kecuali di ruang hampa.
"Kosong... udara...," gumam Hiro. Seakan tersadar akan sesuatu, punggungnya menegak.
9 BOM meledak di Strawberry Fields, tribut Yoko Ono untuk suaminya, John Lennon, di Central
Park. Ketika Hiro datang, tempat kejadian perkara sudah disterilkan dan diberi garis kuning.
Semua korban yg ternyata sebagian besar turis asing, sudah dibawa ke rumah sakit.
Hiro mengamati sisa2 bom yg meledak dan sepertinya tidak ada yg bisa disimpulkan selain
pelakunya memang sama dengan tiga peledakan sebelumnya. Dia juga tidak yakin bagian
forensik akan menemukan sidik jari atau DNA si pelaku dari sisa2 bom itu. Hiro tahu siapa pun
yg melakukan ini orang yg pandai dan cermat, tak akan membuat keteledoran. Kalaupun ada
DNA yg tertinggal, kepolisian tidak tahu kepada siapa DNA itu harus dicocokkan karna belum
memiliki tersangka. "Di mana bom itu ditaruh?" tanya Hiro.
"Maksudmu?" Sam balik bertanya.
"Di dalam kardus atau tas?"
Sam mebuka catatannya. "Di dalam tas. Dari keterangan saksi mata, sebelum meledak mereka
melihat tas di tempat itu."
Pandangan Hiro menyapu TKP. "Aku sama sekali tidak bisa melihat sisa koyakan tas."
"Sekitar 95% terbakar."
"Apa jenis tasnya?"
Sam mengangkat bahu. "Tidak ada yg memperhatikan dengan jelas apakah ransel, tas
selempang, atau tas jinjing biasa."
"Dan hampir semua bagiannya terbakar?" Hiro memastikan sekali lagi.
Sam mengangguk dalam2. Mata Hiro tertuju pada tempat yg sepertinya sumber ledakan. Dari bekasnya, dia tahu bom itu
diletakkan tepat di mozaik bulat yg di tengahnya bertuliskan Imagine, judul lagu John Lennon yg
terkenal. Mozaik yg semula bebentuk matahari yg bersinar tampak gosong dan hancur di sanasini.
"Pantas saja kebanyakan korban adalah turis," kata Sam saat melihat bekas ledakan. "Mereka
pasti sedang berfoto di atas mozaik ini untuk kenang-kenangan."
Hiro tampak berpikir sejenak. "Apa tidak aneh?"
"Apa maksudmu?"
"Apa orang2 tidak merasa aneh melihat orang meletakkan ransel di sini?"
"Kau benar." Sam manggut2. "Setelah ini aku akan ke rumah sakit. Siapa tahu ada korban yg
melihat pelakunya." Hiro tidak merespons. "Bagaimana kau tahu peledakan bom berikutnya ada di Central Park?" tanya Thomas yg sedari
tadi berdiri di samping Sam.
"Berarti kau tahu di mana dia akan menempatkan bomnya lagi setelah ini?" tambah Sam.
"Penjelasannya setelah kalian kembali dari rumah sakit saja." Hiro menguap, semalaman tidak
tidur. "Ingatan manusia paling tajam beberapa saat setelah kejadian. Jika terlalu lama,
ingatannya bisa memudar dan kalian akan kehilangan hal2 penting yg mungkin bisa jadi
petunjuk tentang pelakunya."
"Jadi kau sudah tahu siapa pelakunya?" tanya Thomas.
"Belum," jawab Hiro santai sambil berjalan menghampiri Karen, yg berdiri menunggu mereka
dari kejauhan. "Tapi setidaknya aku sudah tahu polanya. Sisanya tugas kalian."
*** Hiro dan Karen menunggu di kantor polisi sambil sarapan hotdog serta pretzel yg mereka beli
dalam perjalanan pulang. Sam dan Thomas berada di rumah sakit untuk menanyai para korban,
berharap mendapatkan petunjuk.
"Mereka lama sekali, ya," kata Karen sambil menyesap kopi, melirik ke arah jam dinding di ruang
penyidikan itu yg menunjukkan pukul 09.00.
Hiro yg mencoba tidur dengan menelungkupkan badan di meja hanya mengerang.
"Bagaimana kau tahu si pelaku meletakkan bom di Central Park?" tanya Karen.
"Raja matahari dan diagram bintang," kata Hiro malas. "Bisakah kau diam sebentar, aku
mencoba tidur." Karen menggerutu, tapi Hiro tidak menggubrisnya.
Tidak lama kemudian Sam dan Thomas masuk ke ruang penyidikan dengan wajah lelah dan
putus asa. "Tidak ada satu pun yg melihat orang yg membawa tas berisi bom itu," kata Sam sambil
menjatuhkan badan ke kursi.
"Apa yg terjadi?" Hiro menegakkan badan kembali, tapi matanya masih menunjukkan dia sangat
mengantuk. "Sesaat sebelum kejadian, para turis itu berfoto di mozaik," jawab Thomas. "Beberapa menit
setelah mereka selesai berfoto, bom meledak. Tak ada yg menyadari ada tas yg diletakkan di
sana." "Kalian sudah melihat hasil foto sesaat sebelum kejadian itu?" Thomas mengambil ponsel,
membuka folder yg ada, lalu menunjukkannya pada Hiro.
"Turis2 itu berasal dari mana?" tanya Hiro sambil mengamati satu per satu orang di dalam foto
itu. Dilihat dari wajahnya, mereka sepertinya berasal dari berbagai negara: Asia, Amerika, Eropa.
"Dari Korea," jawab Sam.
"Tapi dari foto ini sepertinya bukan hanya dari Korea." Hiro mengembalikan ponsel itu pada
Thomas. "Mereka bilang, saat itu ada turis dari Eropa yg mengajak berfoto bersama," jawab Thomas. "Dia
berteriak sambil melambai-lambaikan tangan hingga orang2 yg kebetulan berada di sana pun
berkumpul dan berfoto."
"Mencurigakan."
Sam mengangguk. "Itu yg kupikirkan. Ketika aku bertanya, seperti apa orang yg mengajak itu,
jawaban merela semua sama: wajahnya ramah, berkacamata, beraksen Eropa, menggunakan
topi trucker sehingga warna rambut dan bentuk wajahnya tak begitu terlihat."
"Tidak ada orang dengan ciri2 seperti itu di foto barusan," kata Hiro.
"Itu dia," kata Sam senang karna Hiro sepertinya sepaham dengannya. "Itu yg meyakinkanku
bahwa dia pelakunya. Kenapa dia mengajak berfoto kalau wajahnya tidak muncul" Menurut
hipotesisku, dia mengajak orang2 berfoto untuk menyamarkan saat dia menaruh tas, tapi
sengaja menyembunyikan diri agar wajahnya tidak dikenali."
"Sayangnya hanya dengan hipotesis kita tidak bisa membuktikan dialah yg memiliki tas berisi
bom itu." Thomas menghela napas. "Bahkan dia itu siapa, kita belum tahu."
Hiro manggut2. "Kapan hasil laboratoriumnya keluar?" tanyanya kemudian.
Thomas mengangkat bahu. "Sepertinya paling cepat seminggu lagi."
"Tebakanku, tidak ada hal baru yg akan mereka temukan. Jika dilihat dari jenis bomnya,
kemungkinan besar pelakunya orang yg sama yg meledakkan tiga bom sebelumnya," kata Hiro.
"Jika bom itu diletakkan di tas, sidik jari dan DNA akan kita dapatkan di tas itu, bukan di bom.
Aku yakin dia menggunakan sarung tangan saat merakit bom agar tidak meninggalkan jejak.
Tetapi saat membawa tas ke tempat publik, dia tidak akan menggunakan sarung tangan karna
mencolok dan pasti dicurigai. Jika tasnya berbentuk ransel, malah aku berani bertaruh ada satudua helai rambutnya yg jatuh di tas itu. Sayangnya si pelaku sudah memperhitungkan semuanya
hingga memastikan tas itu akan terkoyak sedemikian rupa sehingga sulit mengambil sidik jari,
apalagi DNA-nya." "Bagaimana kau tahu?" Thomas mengerutkan kening. "Bagaimana kau tahu dia bisa
memastikan tas itu akan terkoyak sedemikian rupa?"
"Bahan," jawab Hiro. "Dia menggunakan tas yg 90% bahannya berasal dari serat alami sehingga
mudah terbakar dan hancur. Di bagian yg dia perkirakan tidak bisa hancur, seperti cangklong
tas, tidak dia sentuh dengan tangan kosong. Itu sebabnya di bagian2 tas yg masih bisa kalian
selamatkan sama sekali tidak ada sidik jari maupun DNA. Dia memastikan bagian2 yg
kemungkinan dia sentuh akan habis terbakar."
Thomas dan Sam terpaku. Mereka merasa pelakunya bukan hanya sulit ditemukan; jika
memang sepintar itu, kemungkina besar tidak akan ditemukan.
"Bagaimana kita bisa menangkapnya?" tanya Thomas putus asa.
"Gampang," jawab Hiro. "Kita harus menemukan tas berisi bom itu sebelum meledak, sehingga


Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sidik jari dan DNA-nya masih ada."
"Kau bisa berkata seperti itu berarti tahu polanya," kata Sam yg sangat mengenal nada percaya
diri dalam suara Hiro. "Sekarang jelaskan kepada kami, bagaimana kau tahu pengeboman
keempat terjadi di Central Park?"
Hiro menunjuk botol2 yg berisi litium, belerang, helium, dan oksigen. "Apa nama kimia benda2 di
dalam botol itu dalam tabel periodik?"
Thomas dan Sam spontan menatap Karen, karna mereka berdua sudah berpuluh-puluh tahun
tidak lagi mempelajari kimia.
"Li, S, O, He," jawab Karen jelas.
"Li, S, O, He," ulang Hiro. "Pesan yg dikirimkan si pelaku ternyata julukan yg dia buat untuk
dirinya sendiri. Seperti tebakanku tentang profilnya: narsis."
Karen mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti."
"Aku tidak heran," balas Hiro dengan gaya sombongnya seperti biasa.
Raut wajah Karen langsung berubah masam.
Sam dan Thomas tersenyum geli.
Hiro mengambil tisu agar sidik jarinya tak menempel dan mengubah urutan botol2 di meja. "Jika
urutannya kuubah menjadi helium terlebih dahulu, kemudian litium, lalu oksigen, dan terakhir
belerang, apa yg kita dapat?"
"He, Li, O, S," gumam Sam. Helios"
Karen, Thomas, dan Sam ternganga.
Melihat ekspresi ketiga orang di hadapannya, Hiro tahu mereka sudah memahami maksudnya.
Dia mengangguk. "Dewa matahari."
"Lalu apa hubungan Helios dengan lokasi pengeboman?" tanya Thomas tidak sabar.
"Pengeboman pertama terletak di Museum Intrepid di Theater District," Hiro menunjuk lokasi2
pengeboman yg sudah ditandai pin. "Di sebelah barat. Selanjutnya Japan Society di Lower
Midtown di sebelah timur. Berikutnya Forbes Gallery di Greenwich Village di barat daya. Jika
kuhubungkan dengan Helios, tidak sulit buatku menebak bahwa lokasi pengeboman berikutnya
adalah Central Park yg terletak di utara."
Ketiga orang di depannya masih terdiam dengan kening berkerut, tak mengerti.
Hiro menghela napas. "Ini sebanya aku tidak suka orang bodoh. Aku harus menguras tenagaku
hanya untuk menjelaskan."
"Kali ini ejekanmu kuterima," kata Sam tak peduli, karna yg terpenting sekarang adalah kasus
pengeboman ini. "Tapi jelaskan padaku hubungannya."
"Dalam mitologi Yunani, Helios adalah dewa matahari," Hiro menjelaskan. "Apakah sebenarnya
matahari" Matahari adalah bintang, bintang paling besar di galaksi Bimasakti. Sekarang kalian
paham" Si pelaku ingin membuat tanda kekuasaannya dengan melakukan pengeboman."
Karen langsung teringat kata2 Hiro sebelumnya tentang "Raja Matahari dan Diagram Bintang".
Jadi itu maksudnya" "Aku mengerti!" seru Sam berbinar-binar, paham sekarang.
"Syukurlah," ejek Hiro.
"Dia membuat gambar bintang dengan meledakkan bom," lanjut Sam lebih kepada dirinya
sendiri, lalu mengambil spidol.
Dia menarik garis dari Museum Intrepid ke Japan Society, lurus mendatar, seperti dari titik
tengah ke angka tiga pada jam. Sam menarik garis lurus lagi ke Forbes Gallery, arah pukul tujuh.
"Jika aku ingin membuat diagram bintang," ujar Sam menarik garis lurus dari Forbes Gallery ke
arah pukul dua belas, "berarti memang ke Central Park. Dan berakhir di..."
Sam menarik garis lurus lagi dari Central Park ke arah pukul lima.
"East Village!" Karen dan Thomas berseru hampir berbarengan.
Hiro menepukkan tangan. "Bravo, Detektif!"
"Tapi di mana tepatnya dia akan meledakkan bom?" Sam tidak menggubris tepuk tangan Hiro yg
dia tahu sebenarnya ejekan untuk kelambatan berpikirnya. "East Village punya banyak gedung
publik. Mana yg dia tuju?"
"Bukan urusanku." Hiro mengangkat bahu. "Sekarang itu tugas kalian."
"Hiro, ini menyangkut nyawa manusia!" teriak Sam setengah memohon. "Jadi tolong bantu kami
sampai selesai." "Nyawa manusia yg tidak aku kenal," ralat Hiro. "Kematian mereka tidak ada hubungannya
denganku. Bukan tugasku untuk menyelamatkan mereka."
"Brengsek!" Thomas kehilangan kesabaran. Dia mencengkeram kerah kaus Hiro seraya
mendorongnya ke dinding. "Apa kau tidak punya hati"!" bentak Thomas. "Bisa-bisanya kau
membiarkan orang membunuh orang2 yg tak berdosa."
Sam dan Karen berusaha melerai. Sam menahan tubuh Thomas, sedangkan Karen berdiri di
antara Thomas dan Hiro, sebagai tameng.
Raut wajah Hiro tak berubah, tetap datar.
"Aku" Membiarkannya?" kata Hiro tersenyum sinis. "Bukannya kalian yg membiarkannya"
Hingga dia bisa melakukan empat pengeboman ini?"
Tidak ada yg mengomentari kalimat Hiro.
"Aku tahu sebenarnya kau tidak marah padaku, Thomas," lanjut Hiro sambil merapikan kerah
kausnya. "Kau sebenarnya marah pada dirimu sendiri, yg tidak bisa apa2 untuk menyelesaikan
kasus ini dan harus mengandalkan kepandaianku. Bagaimanapun, mencegah timbulnya korban
adalah tugas kalian, bukan tugasku. Jangan membagi beban soal menyelamatkan nyawa
mereka padaku." Hiro keluar ruangan, disambut keheningan para polisi yg melihat pertengkaran itu. Karen
mengikutinya dengan kikuk.
"Sial!" Thomas menendang kursi. "Aku tidak mengerti kau bisa mengenal bocah yg tak punya
hati itu, bahkan bekerja sama dengannya selama ini!"
Sam menghela napas, lalu duduk di meja. "Karna aku paham apa yg membuatnya bersikap
seperti itu," kata Sam.
"Apa maksudmu?"
"Sebelum memintanya menjadi konsultan untuk kepolisian New York," Sam mulai menjelaskan,
"aku sudah menyelidiki latar belakangnya. Dia genius, IQ-nya 200, keturunan Inggris-Jepang,
kuliah di Universitas Columbia untuk mendapatkan gelas master di bidang kimia. Ibunya tinggal
di Jepang dan bekerja sebagai guru SMA di Tokyo, sedangkan ayahnya meninggal ketika dia
berumur sepuluh tahun."
"Oke, dia sudah tak punya ayah." Thomas memutar bola mata. "Begitu juga berjuta-juta anak di
negara ini, tapi aku yakin mereka tidak sampai tak punya hati seperti bocah itu."
"Aku belum selesai," lanjut Sam. "Ayahnya meninggal karna dibunuh."
Thomas langsung terdiam. "Ayahnya terbunuh saat berusaha menolong seorang wanita dari perampokan," kata Sam. "Dua
perampok itu lantas menganiaya ayah Hiro hingga tewas. Hiro menyaksikan itu semua. Dia
berteriak minta tolong, tapi orang2 yg melihat kejadian itu tak ada yg bergerak untuk membantu,
mungkin takut. Setelah perampok2 itu pergi, barulah mereka menolong dan polisi datang, tapi
sayangnya terlambat."
"Dari mana kau tahu cerita itu semua?" tanya Thomas. "Dia yg mengatakan padamu?"
"Tidak," jawab Sam. "Aku membaca laporannya karna kejadiannya di New York, tepatnya di
Brooklyn." "Itu sebabnya sekarang dia berpikir 'kenapa aku harus menolong orang jika mereka sendiri
belum tentu akan ganti menolongku', begitu?" tanya Thomas, lebih kepada dirinya sendiri.
Sam mengangguk. "Kurasa seperti itu."
"Kalian menemukan pelakunya?"
"Seperti yg kubilang, banyak orang yg melihatnya," jawab Sam. "Artinya banyak saksi mata.
Pelakunya ditangkap keesokan harinya."
Thomas hanya mengangguk-angguk tanpa berkata apa2 lagi.
Sam bangkit, berjalan ke luar ruangan. "Kita harus menghadap Kapten Lewis dan melaporkan
perkembangan kasus ini karna mulai sekarang harus memecahkannya sendiri, tanpa bantuan
Hiro." Sepanjang perjalanan pulang, Karen maupun Hiro tidak berbicara. Karen fokus menyetir,
sedangkan Hiro membuang pandangan ke jendela. "Kenapa kau diam saja?" tanya Hiro tanpa
menoleh. "Kau ingin aku berkata apa?" Karen bertanya balik. "Bukankah kau yg biasanya paling
ribut agar aku membantu ayahmu?" lanjut Hiro masih menatap ke luar jendela. "Apalagi jika
menyangkut nyawa manusia." Karen meringis. "Dan biasanya kau pasti menurutiku." Dia diam
sejenak. "Karna aku tahu kau berkata, tidak mau lagi mencari tempat bom berikutnya bukan
karna tidak ingin membantu," lanjut Karen. "Tapi kau sendiri masih belum menemukan
jawabannya." "Kenapa kau menyimpulkan seperti itu?" "Karna aku tahu di balik sifat narsis,
sombong, kepedean, dan masa bndohmu itu, sebenarnya kau punya hati yg sangat baik, sangat
peduli pada orang lain," jawab Karen lembut. "Hanya saja kau tidak suka menunjukkannya."
"Kau yakin sedang berbicara tentang aku?" tanya Hiro menanggapi deskripsi Karen yg
berlebihan, terutama di bagian "punya hati yg sangat baik, sangat peduli pada orang lain".
"Benar, kan?" Karen meringis. Hiro sejenak terdiam, lalu mendengus. "Kau sok tahu."
10 DI dalam kamar asrama, Hiro memandangi peta New York dari tablet. Mencari tahu apa
sebenarnya yg menghubungkan Museum Intrepid, Japan Society, Forbes Gallery, dan
Strawberry Fields. Jika berhasil menemukan jawabannya, dia dapat menemukan kepastian
lokasi di East Village yg bakal dituju si pelaku.
Helios, diagram bintang, gumam Hiro.
Terdengar pintu kamar Hiro diketuk.
"Tunggu sebentar," jawab Hiro sambil berjalan menuju pintu, membukanya, dan melihat William
berdiri di sana. "Ada apa, Will?" tanya Hiro malas.
"Kemarin Profesor Martin mencarimu," kata William. "Dia menitipkan ini padaku untuk diserahkan
kepadamu." William menyerahkan setumpuk laporan kepada Hiro.
"Oh, laporan tentang kemajuan penelitian DNA itu, ya?" Hiro menggaruk-garuk kepala saat
menerima laporan itu. "Kau mau masuk dulu?" tanya Hiro sambil membawa laporan itu ke meja.
William tidak menjawab, tapi mengikutinya, dan menutup pintu. "Kenapa kemarin kau tidak
kelihatan di kampus?" tanya William yg sekarang duduk di tempat tidur Hiro.
Hiro membolak-balik laporan itu. "Aku di kantor polisi."
"Kau masih menjadi konsultan?" tanya William tak percaya. "Kau menjadi anggota tim penelitian
Profesor Martin dan tetap bekerja sebagai konsultan?"
Hiro mengangguk. "Dia tidak keberatan?"
"Buktinya dia masih menyerahkan laporan ini, kan?" jawab Hiro malas.
William tak bicara lagi setelah itu.
Ketika Hiro sampai di halaman 15, dahinya mengernyit. Dia menyerap sesuatu yg terasa familier
dari sentuhan tangannya. "Kau membaca laporan ini juga, ya?" tanya Hiro pada William.
"Ti... tidak." William tergagap.
"Kaubaca juga tak apa sih." Hiro mengangkat alis. "Bukan hal yg begitu rahasia, toh penelitian
belum selesai." "Tapi aku tidak membacanya!"
William berbohong, batin Hiro. Di halaman 15 ada DNA-nya, DNA yg sama dengan di
saputangannya waktu itu. Mungkin di halaman 15 dia berkeringat, tapi kenapa harus berbohong"
Apa karna dia tidak ingin tampak penasaran dengan penelitian ini, meskipun aku tahu sekali
William masuk Universitas Columbia demi menjadi anggota penelitian Profesor Martin"
"Kasus apa yg membuatmu kemarin harus berada di kantor polisi seharian?" tanya William
mengalihkan topik. "Pengeboman di Central Park," jawab Hiro singkat.
"Oh, aku melihatnya di TV." William mengangguk-angguk. "Terjadi di Strawberry Fields, ya"
Banyak turis yg meninggal dan terluka. Kalian berhasil menemukan pelakunya?"
Hiro menggeleng. "Aku heran, bagaimana si pelaku bisa meninggalkan tas ransel berisi bom," desah William,
"tepat di tengah2 mozaik yg berbentuk matahari, tanpa ketahuan siapa pun."
"Aku juga," timpal Hiro asal.
"Berarti dia pintar sekali, ya?"
"Pintar" Iya. Pintar sekali" Tidak," jawab Hiro sambil mencoret-coret laporan yg dibacanya. "Dia
hanya orang pintar biasa yg merasa genius dan narsis."
"Bagaimana kau tahu?"
Hiro menghela napas. "Aku tahu saja."
"Sudah malam, aku kembali ke kamarku saja." William bangkit, berjalan menuju pintu setelah
sebelumnya merapikan tempat tidur Hiro yg tadi dia duduki.
Hiro mengangguk. Begitu pintu ditutup, Hiro menutup laporan, kembali fokus pada peta New York di tablet.
Helios, diagram bintang... Hiro termenung. Ada yg janggal, tapi dia belum berhasil
menemukannya. *** "Apakah Hiro berhasil menemukan lokasi pengeboman di East Village?" tanya Kapten Lewis. Dia
sudah menerima penjelasan lengkap tentang hal yg ditemukan Hiro berkaitan dengan Helios dan
diagram bintang. Sam menggeleng. "Dia bilang, hanya mau membantu sampai di situ," jawab Thomas.
Mata Kapten Lewis mengarah pada Sam. "Apa kau tidak bisa memaksanya?"
Sam menggeleng lagi. Kapten Lewis mengehela napas. "Kalau kau saja tak bisa memaksanya, apalagi aku. Bocah itu
memang keras kepala, tapi mau tak mau harus kuakui kita membutuhkan kepandaiannya."
"Jadi bagaimana?" tanya Thomas.
"Tentu saja kalian harus berusaha memecahkannya sendiri," jawab Kapten Lewis, lalu memberi
isyarat bahwa percakapan mereka sudah selesai.
Thomas dan Sam keluar dari ruangan dengan lesu.
Matt menghampiri mereka. "Bagaimana" Apa yg Kapten bilang?"
"Tidak ada, hanya kita harus memecahkannya sendiri." Sam menjatuhkan diri ke kursi.
"Media2 mulai memberitakan pengeboman ini dan ketidakbecusan kepolisian New York," keluh
Sam. "Masyarakat panik. Mereka pikir kejadian 11 September akan terulang lagi."
"Bagaimana kalau kita mengusulkan untuk diadakan patroli setiap hari di East Village?" saran
Matt. "Dan memberitahu orang2 yg ada di sana agar segera melapor jika ada yg mencurigakan."
"Apa kau tak berpikir si pelaku akan merasa diawasi sehingga tiba2 mengubah modusnya?"
tanya Thomas sedikit mengejek. "Kita harus mulai dari awal lagi."
"Lalu, apa usulmu?" dengus Matt.
"Tidak perlu ada penambahan personel atau jadwal patroli," jawab Thomas. "Hanya saja para
petugas kita diberi pengarahan agar lebih mewaspadai tempat2 publik yg biasanya dikunjungi
orang2 asing atau turis."
Matt mengerutkan kening. "Kenapa kau bisa menyimpulkan seperti itu?"
"Dari saksi mata di pengeboman di Central Park kita mendapat ciri2 bahwa pelaku bukan orang
Amerika," Thomas menjelaskan. "Dia bahkan diketahui beraksen Eropa. Lokasi pengeboman
selama ini museum dan galeri, tempat orang2 asing datang tanpa dicurigai. Berlaku juga pada
Central Park yg seperti kita tahu, menjadi tujuan wisata di kota ini. Itulah sebabnya kita harus
fokus pada tempat2 yg biasa dikunjungi orang asing."
Sam dan Matt mengangguk-angguk.
FBI memang beda, batin Matt.
"Baiklah." Sam bangkit dari duduk. "Mari kita beri pengarahan."
*** "Aku tidak tahu kau suka makanan India," kata Karen saat berada di Restoran Heart of India di
kawasan Little India, New York.
"Aku juga tidak." Hiro memutar-mutar sendok.
Karen menghela napas. "Lalu kenapa kau mengajakku ke sini?"
Hiro tak menjawab. "Aku tahu, kau masih penasaran dengan lokasi si pelaku akan meletakkan bomnya, kan?" Karen
menyipit, tersenyum. Hiro masih diam saja. Karen menyandarkan punggung ke kursi sambil menatap aneka makanan yg terhidang di meja.
"Aku tidak bisa memakan makanan penuh rempah begini," gerutunya. "Aku terbiasa makan
masakan tidak berbumbu tajam karna..."
"Karna kita diajari untuk menghargai rasa asli yg diberikan alam," lanjut Hiro. "Itu filosofi orang
Jepang. Ya, aku tahu, ibuku juga orang Jepang."
"Lalu, kenapa kau masih mengajakku makan di sini?" tuntut Karen.
"Karna aku butuh tempat untuk berpikir," jawab Hiro. "Pelaku meletakkan bomnya di tempat
publik yg banyak dikunjungi wisatawan karna dia sendiri bukan orang Amerika asli. Aku ingin
pergi ke tempat2 yg banyak dikunjungi wisatawan. Little India masuk urutan pertama daftarku."
"Ha!" seru Karen tersenyum penuh kemenangan. "Ternyata kau memang ingin menyelesaikan
kasus itu. Aku tahu pada dasarnya kau orang yg peduli pada orang lain."
"Kau delusional," cibir Hiro, segera menyeruput teh massala. "Aku hanya ingin menyelesaikan
kasus ini dan menemukan pelakunya untuk membuktikan bahwa ada yg lebih pintar daripada
dia." Karen menyipit. "Kesombonganmu membuat punya banyak musuh."
"Aku tidak sombong, hanya mengatakan fakta yg sebenarnya," jawab Hiro kalem.
Karen tak berkomentar, selain memutar bola mata.
"Setelah ini kita pergi ke mana?" tanya Karen setelah berhasil menghabiskan sepiring nasi kari
dengan susah payah. "Tompkins Square," jawab Hiro. "Lalu Colonnade Row."
"Colonnade Row" Untuk apa" Kau mau melihat pilar bergaya Yunani-nya?" Karen mengernyit.
"Semua tempat yg biasa dikunjungi wisatawan harus didatangi."
"Kenapa kau pikir dia akan..." Kata2 Karen terhenti karna melihat pria yg cukup familier masuk
ke restoran. Pria tinggi, berambut hitam, berkacamata dengan mata teduh di baliknya tersenyum hangat saat
melihat Karen. "Siapa yg kaulihat?" tanya Hiro melihat pandangan Karen melewatinya.
"Aku tak tahu New York sempit sekali," kata Karen, lalu meneguk teh. "Entah kenapa, di mana
pun kita berada, kita selalu bertemu Yunus King."
"Yunus King?" ulang Hiro. Dia enggan memutar badannya untuk melihat sendiri.
Karen mengangguk. "Dia duduk di dekat pintu. Menurutmu apakah dia mengutit kita" Atau dia
mengirim orang untuk mematai-matai gerak-gerik kita?"
"Imajinasimu terlalu liar," komentar Hiro. Kali ini giliran di memutar bola mata. "Memangnya apa
gunanya dia menguntit kita atau menyuruh orang untuk mematai-matai kita" Atau jangan2 kau


Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang kode aktivasi nuklir Korea Utara?"
"Sekarang imajinasimu yg terlalu liar," balas Karen kesal.
"Apakah dia memegang peta?" tanya Hiro. Dia mengambil tisu dan menulis sesuatu di atasnya
dengan pensil yg digunakan untuk menulis pesanan.
"Mmm..." Karen menyipitkan sebelah mata, mencoba fokus untuk melihat benda di genggaman
Yunus. "Iya, peta. Aku heran, dia orang kaya tapi sepertinya tidak kenal GPS."
"Karna dia GPS itu sendiri," kata Hiro pelan, menaruh beberapa lembar dolar di meja, lalu
bangkit dari duduk. "Hah" Apa maksudmu?" tanya Karen bingung. "Hai... Hiro, tunggu aku!"
Hiro berjalan menuju pintu keluar dengan Karen yg tergopoh-gopoh mengikutinya. Saat melewati
Yunus, Hiro berhenti, lalu mengeluarkan tisu yg tadi dia tulisi. "Anda sudah memberikan nomor
Anda," katanya sambil menyerahkan tisu itu pada Yunus. "Ini nomor saya. Agar adil."
"Terima kasih, walau sebenarnya tidak perlu," jawab Yunus sambil menerima tisu itu. "Karna aku
lebih suka berbicara langsung."
"Tetap saja harus meneleponnya dulu kan untuk bertemu dengan Hiro?" timpal Karen.
Yunus tersenyum. "Tidak juga, karna aku selalu tahu di mana bisa bertemu dengannya."
Hiro menatap mata Yunus beberapa saat, lalu pergi ke luar restoran tanpa berkata apa2 lagi.
Karen mengernyit. Apa maksudnya"
11 HIRO tidur nyenyak setelah begadang semalaman di laboratorium untuk menebus kontribusinya
pada penelitian Profesor Martin ketika ponselnya berdering. "Halo?" jawabnya malas.
"Hiro!" seru Sam dari seberang telepon. "Aku tahu kau sudah tidak mau lagi membantu kami
dalam kasus ini, tapi aku harus memberitahumu bahwa aku menerima paket itu lagi. Paket dari
Helios." Mata Hiro langsung terbuka lebar. Dia terduduk di tempat tidur. Berarti akan ada pengeboman
lagi besok, katanya dalam hati.
"Hiro," lanjut Sam karna tak ada tanggapan dari Hiro. "Tolong bantu kami menyelesaikan kasus
ini. Aku tak peduli apakah kau melakukannya memang untuk menyelamatkan nyawa orang tak
berdosa, menunjukkan bahwa kau orang paling pandai di muka bumi, atau bahkan mencari
popularitas. Bagiku yg penting kita bisa menemukan pelakunya."
Hiro tak berkata apa2. Sam yg sepertinya putus asa langsung menutup telepon.
Hiro bergegas ke meja belajar dan mengambil tablet. Dia kembali fokus pada peta New York dan
melingkari tempat2 bom itu diletakkan.
Museum Intrepid, Japan Society, Forbes Gallery, dan Strawberry Fields, apa persamaannya"
Hiro berpikir keras. *** "Bagaimana?" tanya Thomas.
Sam menggeleng. "Aku sudah bilang," desah Thomas, "percuma kau meneleponnya. Bocah itu bukan hanya
kepalanya yg terbuat dari batu, hatinya juga."
"Lalu, apa yg akan kita lakukan?" tanya Sam sambil melihat paket berisi empat botol yg baru
diterimanya. "Kita tahu pasti kapan bom berikutnya akan diledakkan: besok. Pertanyaannya
sekarang tinggal: di mana?"
"Kita tahu lokasinya di East Village."
"Tapi kita belum tahu tepatnya di mana di East Village." Sam menghela napas. "Tidak mungkin
kita meminta semua tempat publik ditutup, karna akan menimbulkan kecurigaan dan berakibat
kepanikan massal. Kita juga tidak mungkin menambah personel karna sebanyak apa pun
personel kepolisian diturunkan, tidak akan cukup menjaga semua tempat publik yg ada di sana."
"Lalu apa usulmu?" tanya Thomas.
"Aku justru ingin bertanya padamu." Sam menatap peta New York di ruangan itu.
Thomas mengangkat bahu. "Satu-satunya jalan adalah menemukan tempat yg dituju pelaku
dengan mencari persamaan tempat yg menjadi lokasi peledakan bom."
"Mari kita urutkan," Sam menunjuk ke titik2 tempat kejadian perkara di peta. " Pengeboman
pertama terjadi di Museum Intrepid di Theater District. Bom meledak di bagian flight simulator.
Pengeboman kedua terjadi di Japan Society di Lower Midtown, bom diletakkan di bawah tangga
Taman Zen. Pengeboman ketiga terjadi di Forbes Gallery di Greenwich Village, bom diletakkan
di bagian pameran perhiasan batu luar angkasa, tepatnya di dekat kalung batu bintang.
Pengeboman keempat terjadi di Strawberry Field di Central Park, bom diletakkan di mozaik
bulat, tepat di atas tulisan Imagine. Petanyaannya sekarang..."
"Apa persamaannya?" lanjut Thomas.
Sam mundur dari peta untuk bisa melihat lebih luas. Hiro menemukan bahwa pelaku
menggunakan pola diagram bintang, pikir Sam. Berarti memang lokasi berikutnya ada
lah East Village. Berjam-jam Sam dan Thomas berkutat pada berkas kasus pengeboman berantai itu, tapi tak
membuahkan hasil. Mereka tidak bisa menemukan persamaan apa pun. Waktu menunjukkan
pukul delapan malam, Sam maupun Thomas sangat kelelahan.
Saat Sam mengambil kopi, ponselnya berdering dengan nama Hiro tertulis di layar. "Ada apa,
Hiro?" tanya Sam. "Helios." "Hah?" "Kau sedang mencari persamaan lokasi2 pengeboman itu, kan?"
"Iya," jawab Sam.
"Persamaannya adalah Helios."
"Kalau itu tak perlu kaukatakan lagi," desah Sam. "Kita semua tahu, pelakunya menjuluki dirinya
dengan nama Helios."
"Bukan itu maksudku." kata Hiro tidak sabar. "Suruh Karen menjemputku dan akan kujelaskan di
sana." Rasa lelah Sam langsung hilang mendengar kata2 Hiro yg bak perahu karet saat mereka semua
hampir tenggelam. "Kupikir kau tak peduli lagi dengan kasus ini," goda Sam.
"Aku tidak peduli dengan nyawa orang lain," ralat Hiro. "Aku hanya ingin menangkap pelakunya
dan menunjukkan bahwa aku lebih pintar daripada dia."
Sam tersenyum. "Apa pun, Hiro. Apa pun alasanmu, yg penting tujuan kita sama: menangkap
pelakunya." *** Hiro datang saat jarum jam menunjukkan angka sembilan, bersama Karen yg berkali-kali
menguap dan memasang muka masam. Hiro tampak cuek sambil terus mengulup lolipop.
Sam menghampiri kedua orang itu dengan wajah tak sabar. "Kita tidak punya waktu lagi.
Jelaskan padaku." "Di ruangan penyidikan saja," jawab Hiro santai. "Aku juga harus menjelaskannya pada Thomas,
kan?" "Kau datang juga," komentar Thomas saat Hiro masuk ke ruangan.
"Kecewa?" Thomas mengangkat bahu. "Tidak jika kedatanganmu bisa membantu kami."
"Bukankah sejak awal kalian memang tidak bisa apa2 tanpa bantuanku, Special Agent Pike?"
jawab Hiro cuek, lalu memperhatikan peta.
Wajah Thomas memerah mendengar kata2 Hiro. Dia hampir meledak lagi kalau saja Sam tidak
menepuk bahunya untuk menenangkan.
Karen menghela napas. Hiro memang lebih cepat mendapatkan musuh daripada teman.
"Persamaannya adalah Helios," Hiro mulai menjelaskan. "Helios dewa matahari Yunani. Dalam
beberapa literatur, Helios dikenal dengan nama Apollo, walaupun literatur lainnya menyebutkan
bahwa Helios dan Apollo dua dewa berbeda. Helios digambarkan memiliki kereta yg selalu
ditungganginya saat hendak turun ke Bumi atau kembali ke Olympus. Ini sebabnya pelaku
memilih lokasi pengeboman dengan diagram bintang. Bintang paling besar di galaksi Bimasakti."
"Pengeboman pertama," Hiro menunjuk lokasi TKP pertama, "terjadi di Museum Intrepid Sea-AirSpace. Bom diletakkan di bagian flight simulator. Bagian untuk terbang, seolah menjadi simbol
kerata yg ditunggangi Helios.
"Pengeboman kedua terjadi di Japan Society," lanjut Hiro. "Jepang dari bahasa aslinya bernama
Nihon, yg ditulis dengan kanji 'Hi' yg dibaca 'Ni' yg berarti 'matahari', dan kanji 'Hon' yg berarti
'akar' atau 'dasar'. Jadi Jepang adalah negeri Matahari yg berdasarkan legenda. Mereka pun
memiliki dewa matahari bernama Amaterasu. Amaterasu adalah Helios-nya Jepang."
"Jadi dia mengebom Japan Society karna Jepang adalah negeri Matahari?" potong Sam.
Hiro mengangguk. "Lalu apa maksud dia meletakkan bom di bawah tangga di Taman Zen?" tanya Thomas.
"Karna Taman Zen adalah pusat Gedung Japan Society," jawab Hiro, "seperti halnya matahari
adalah pusat tata surya kita."
Sam manggut2. "Lalu Forbes Gallery" Apa hubungannya Forbes Gallery dengan Helios?"
"Sammy, apa kau ingat di mana pelaku meletakkan bomnya?" Hiro balik bertanya.
"Saat itu sedang ada pameran perhiasan batu luar angkasa dan dia meletakkannya di dekat...,"
Sam tertegun, paham maksud Hiro, "kalung batu bintang."
"Jadi itu persamaannya!" seru Thomas memukul meja. "Karna dia menjuluki dirinya sendiri
Helios, yg berarti dewa matahari, dia memilih tempat2 yg berhubungan dengan namanya.
Museum Intrepid karna menggambarkan angkasa tempat matahari, Japan Society karna Jepang
negeri Matahari, dan pameran perhiasan yg menampilkan kalung batu bintang karna matahari
sendiri pada dasarnya bintang."
"Bagaimana dengan Strawberry Fields?" potong Karen. "Aku tidak melihat hubungannya dengan
Helios sebagai dewa matahari."
Hiro berjalan menuju foto2 TKP di Central Park yg dijajar Sam di meja, lalu mengambil foto
tempat pelaku menaruh bomnya.
"Kalian ingat di mana dia meketakkannya?" Hiro mengangkat foto itu dan menunjukkannya pada
mereka bertiga. "Di mozaik dengan kata Imagine di tengahnya. Sekarang coba lihat mozaik ini,
bentuknya seperti apa?"
"Matahari," jawab Sam, Thomas, dan Karen seperti koor.
"Berarti sekarang kita tinggal mencari tempat di East Village yg berhubungan dengan matahari."
Sam mengamati peta. "Kau sudah menemukannya, Hiro?"
Hiro menggeleng. "Aku memikirkan semuanya, dari Tompkins Square, Museum Merchant's
House, sampai Little India. Aku sempat mengira dia akan menaruh bom di tempat bernama
Surya di Little India karna Surya adalah dewa matahari India. Tapi setelah kucari tahu, Surya yg
ternyata nama restoran, berada di Greenwich Village."
"Bagaimana dengan Astor Place?" tanya Sam cepat, nadanya terdengar mendesak.
"Apa maksudmu?"
"Astor artinya bintang, menurut bahasa Yunani, kan?" Sam asal menebak.
"Yg artinya bintang adalah astro, astra, atau astrum, bukan astor," dengus Hiro dengan tatapan
merendahkan yg sangat dimaklumi Sam. "Lagi pula selama ini pelaku tidak pernah menaruh
bom di jalanan, pasti di tempat publik seperti museum atau taman. Jika orang asing
meninggalkan tas di jalanan pasti dicurigai. Di Astor Place pelaku tidak bisa melakukan
strateginya seperti saat di Strawberry Fields. Jadi sepertinya bukan di Astor Place."
"Lan-tas... di ma-na?" tanya Sam lambat, seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Hiro mengangkat bahu. "Aku belum menemukannya."
"Semoga saat kau menemukannya, semuanya belum terlambat," sindir Thomas, mengingatkan
momen Hiro berhasil mengetahui bom akan meledak di Central Park tapi ternyata terlambat.
"Lebih baik terlambat daripada tidak bisa menemukannya sama sekali," balas Hiro santai.
Raut wajah Thomas langsung berubah. Mukanya merah dan dia meninggalkan ruangan dengan
membanting pintu. "Aku mau ambil kopi!"
Karen ada ayahnya saling pandang, menggeleng dalam kebisuan. Mungkin di dunia ini memang
hanya mereka dan ibu kandung Hiro yg tahan dengan sifat Hiro yg seperti itu.
Waktu menunjukkan pukul empat pagi dan cangkir2 bekas kopi bertumpuk-tumpuk. Thomas dan
Sam membolak-balik file laporan kasus pengeboman itu dan sesekali memperhatikan dengan
saksama foto2 yg berjajar di meja.
Hiro masih berkutat dengan peta, mengamati tempat2 di East Village yg kemungkinan
berhubungan dengan matahari atau bintang. Ia mengambil tablet dari tas, mencari foto gedung2
yg biasa dikunjungi wisatawan di daerah East Village. Berapa kali pun dicari, tidak ada gedung
yg memiliki simbol matahari.
Jangan2 yg kucari salah, batin pemuda itu. Aku seharusnya tidak mencari yg berhubungan
dengan matahari. Pesamaannya adalah Helios, dan Helios adalah dewa matahari dari Yunani.
Itu yg seharusnya kucari...
"Yunani!" seru Hiro keras.
Sam, Karen, dan Thomas langsung menoleh ke arah Hiro.
"Sam! Secepatnya hubungi tim penjinak bom!" Hiro melihat ke arah jam dinding yg menunjukkan
pukul 06.30. "Dan pergilah ke Colonnade Row, aku yakin bom itu ada di sana."
Sam mengerutkan kening. "Bagaimana kau tahu kalau...?"
"Kalau kau ingin aku menjelaskan dan menunggu bom itu meledak, akan kujelaskan," kata Hiro
dengan ekspresi cepat-kau-pergi-dari-sini.
Sam mengangkat tangan. "Oke! Oke!"
Dia dan Thomas bergegas ke luar ruangan dan menemui Kapten Lewis untuk mempersiapkan
segala sesuatunya. Kantor kepolisian New York langsung ramai setelah Kapten Lewis memberi
perintah kepada beberapa tim untuk mengikuti Sam dan Thomas.
"Kau ikut?" tanya Sam pada Hiro dengan terburu-buru.
"Tentu saja," jawab Hiro. "Aku kan sudah bilang akan menemukan pelakunya."
"Dan kau," Hiro menoleh pada Karen, lalu memberkan kunci kamarnya, "bawakan aku baju ganti
dan sikat gigi dari kamar asramaku."
Karen mengerutkan kening. "Memangnya aku pembantumu" Aku juga mau pulang dan mandi."
"Lakukan itu setelah kau mengambil bajuku dan mengantarnya ke sini," kata Hiro dengan nada
memerintah. "Aku tidak heran sampah sekarang kau belum punya pacar," gerutu Karen.
"Sebaliknya, aku justru heran kenapa sampai sekarang kau belum punya," balas Hiro.
"Sudah... sudah... hentikan pertengkaran suami-istri kalian," lerai Sam. "Ayo, Hiro!"
*** Dugaan Hiro benar adanya. Ada tas yg sengaja ditinggalkan di depan pintu Colonnade Row.
Bangunan dengan pilar2 ala Yunani itu dikerumuni polisi dan orang2 yg ingin melihat apa yg
terjadi. Tim penjinak bom perlahan-lahan membuka tas dan mengeluarkan isinya.
Sebuah bom dengan timer yg menunjukkan bom akan meledak setengah jam lagi!
Para polisi langsung memperluas batas bahaya hingga dua kilometer dan meminta semua orang
tetap berada di luar garis polisi untuk mengantisipasi kemungkinan timbul korban. Tim penjinak
bom memutuskan untuk meledakkannya segera di situ karna waktunya tidak mencukupi untuk
menjinakkannya. Bom ditempatkan di dalam alat bertekanan tinggi, ditutup rapat, dikunci, kemudian diledakkan.
Suara ledakan masih terdengar, tapi sepertinya bom tersebut memang sengaja dibuat bukan
untuk merusak karna daya ledaknya tidak begitu besar. Setelah bom diledakkan dan tim
penjinak bom memeriksa dan memastikan tidak ada lagi pecahan2 yg kemungkina bisa meledak
atau melukai, semua polisi dan tim forensik diperbolehkan melewati garis dan mengolah TKP.
Sam berjalan menghampiri Hiro dengan tas tempat bom tadi, diikuti Thomas.
"Memangnya apa yg bisa dia lakukan dengan tas itu?" tanya Thomas bingung. "Bukankah
sebaiknya tim forensik yg menelitinya?"
"Dia akan melakukan keahliannya," jawab Sam.
Sam menyerahkan tas itu pada Hiro.
Hiro tidak mengambil tas itu karna tidak memakai sarung tangan seperti Sam dan Thomas, tapi
mengoleskan cotton bud yg selalu dibawanya ke bagian2 tas yg dia rasa disentuh pelaku. Setiap
selesai mengoles satu kali, dia menyentuh ujung cotton bud yg dia gunakan untuk mengoles itu
agak lama, lalu menggeleng.
"Apa yg kautemukan?" tanya Sam.
"Aku tidak menemukan apa2," jawab Hiro masih terus mengoles. "Tas ini benar2 bersih."
"Sudah kubilang, serahkan saja pada tim forensik!" sembur Thomas pada Sam.
"Kalau aku saja tidak menemukan apa2, aku tak yakin tim forensik bisa menemukannya," kata
Hiro kalem. Thomas mendengus. "Bagaimana kau tahu dia menaruhnya di Colonnade Row?" tanya Sam seakan mengalihkan
topik. "Dia menaruh bom di Museum Intrepid sebagai simbolisasi alat transportsi Helios," jelas Hiro
masih sembari mengolesi bagian2 tas yg lain. "Lalu tiga tempat lainnya sebagai simbolisasi
matahari, dirinya. Ada satu lagi yg menjadi jati dirinya, yaitu Yunani, karna dia dewa matahari
Yunani. Dia bukan Helios jika tidak berasal dari Yunani. Dia akan bernama Surya jika dari India,
Amaterasu jika dari Jepang, atau Sol jika dari Romawi. Di East Village, tempat yg merupakan
simbol Yunani adalah Colonnade Row dengan pilar-pilarnya."
Sam dan Thomas mengangguk-angguk paham.
Sudah banyak cotton bud dipakai dan dibuang, tapi Hiro masih belum menemukan satu pun
DNA yg bisa memberi petunjuk tentang pelaku pengeboman itu. Dia hampir putus asa saat
sampai di bagian cangklong tas. Dia menyentuh cotton bud yg dioleskan ke bagian itu agak lama
dan "melihat" sesuatu: rumusan DNA yg pernah dilihatnya sebelum ini. DNA yg sangat familier.
Dia menemukan jawaban atas rasa janggalnya malam itu.
"Ada apa?" tanya Sam melihat perubahan raut wajah Hiro. "Aku tahu pelakunya," jawab Hiro.
Sam dan Thomas berpandangan. "Sebenarnya apa yg kautemukan?" tanya Thomas heran.
"DNA pelaku." "Bagaimana mungkin kau melakukannya?" tanya Thomas tak percaya. "Kau
hanya menyentuhnya, lagi pula tim forensik paling hebat di dunia pun butuh DNA lain untuk
dibandingkan, terutama apabila DNA pelaku tidak ada di database kita." "Karna kebetulan aku
tahu DNA si pelaku," desah Hiro. "Bagaimana kau tahu DNA pelaku sebelummya?" Thomas
tambah mengernyit. "Lalu bagaimana kau membuktikannya?" potong Sam. "Kita tidak bisa
menahannya hanya atas dasar omonganmu, kan?" "Sudah kubilang aku tahu DNA si pelaku,"
Hiro menghela napas. "Dan aku masih punya buktinya." Sam dan Thomas berpandangan lagi.
"Aku laporkan dulu hal ini pada Kapten Lewis," kata Sam.
12 "JADI, kenapa aku dibawa ke sini?"
"Pertama-tama aku harus mengingatkanmu lagi bahwa kau berhak didampingi pengacara," kata
Sam sambil berjalan bolak-balik di ruang interogasi.
"Sudah kubilang, aku tak butuh pengacara karna tidak melakukan kejahatan apa pun."
"Berarti kau memutuskan tidak menggunakan hakmu," kata Sam. Matanya tertuju pada pria
berkacamata dengan logat Inggris kental di depannya yg tampak gugup. "Apa kau tahu kenapa
kau berada di sini?"
Pria itu menggeleng.

Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tersangka utama pengeboman berantai di New York." Kali ini giliran Thomas yg berbicara
sambil menjajarkan foto2 TKP di meja. "Kau tahu berapa banyak korban meninggal dan luka
berat karna ulahmu?"
"A... Aku tidak ada hubungannya dengan ini semua."
"Kau pikir kami membawamu ke sini karna akan memberimu medali?" kata Thomas tak sabar.
"Kami meneliti semuanya dan menemukan bahwa kau mengunjungi TKP pada saat
pengeboman." "Begitu juga beribu-ribu orang lain! Apakah hanya dengan datang ke sana membuatku menjadi
tersangka pengeboman?"
"Tidak," jawab Thomas. "Tapi datang ke sana dan memiliki DNA yg tertinggal di tas tempat bom
diletakkan, iya." "DNA" Bagaimana kalian tahu itu DNA-ku" Aku tidak pernah memberikan sampel DNA-ku pada
pemerintah maupun kepolisian, dan berhak menolak memberikannya."
Sam tersenyum sinis. "Tidak perlu, karna kami punya DNA-mu."
"Punya?" "Ya," Sam mengangguk. "Kami punya DNA-mu dari keringat yg menempel di laporan Profesor
Marti yg kauberikan pada Hiro."
"Sekakmat," Thomas tersenyum, "William Sterling Kent."
*** Hiro mengamati interogasi itu dari balik kaca di sebelah ruangan Kapten Lewis. Kaca itu tembus
pandang dari tempat Hiro, tapi dari ruang interogasi hanya tampak seperti cermin. Dia masih tak
menyangka William adalah Helios, tapi semua petunjuk itu membuktikan bahwa William-lah
pelakunya. Perasaan janggal saat William datang ke kamarnya akhirnya menemukan jawaban. Bagaimana
mungkin William tahu tas pembawa bom adalah ransel padahal tasnya terbakar habis" Bahkan
polisi pun tak tahu bentuk awalnya. Lalu bagaimana dia juga tahu tas itu diletakkan di tengah2
mozaik yg digambarkannya seperti matahari, padahal yg diketahui publik hanyalah pengeboman
terjadi di Strawberry Fields" Satu-satunya orang yg mengetahui semua hal itu hanyalah si
pelaku! Hiro pertama kali mengetahui DNA William dari saputangan yg diberikan William saat jus
jeruknya tumpah di baju Hiro. Sayangnya saat itu Hiro membuangnya. Untung saja di halaman
15 laporan Profesor Martin, tangan William yg diam2 membacanya mulai berkeringat sehingga
Hiro memiliki buktinya. Hiro paham alasan William menggunakan nama Helios sebagai julukannya dan diagram bintang
untuk menentukan lokasinya. Nama tengah William: Sterling, berarti bintang.
Ponsel Hiro berdering. Hiro buru2 keluar dari ruangan. "Halo?"
"Hiro." Suara ibunya. "Kau ada di mana?"
"Kantor polisi."
"Apa yg terjadi?"
"Masalah pekerjaan," jawab Hiro santai. "Ibu kan tahu aku bekerja sebagai konsultan."
"Kau baik2 saja?"
"Tentu saja." "Kenapa firasat Ibu masih tidak enak, ya?" Suara ibunya terdengar gelisah.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri," kata Hiro mencoba meyakinkan. "Lagi pula aku tidak akan
pernah membahayakan diriku sendiri demi orang lain, seperti Ayah."
Ibunya terdiam beberapa saat. "Hiro," katanya kemudian. "Ibu bangga dengan yg ayahmu
lakukan walau akhirnya harus kehilangan dia. Apa kau berpikir jika dia membiarkan kejahatan itu
terjadi, dia masih menjadi orang yg sama" Ayahmu pasti menyesali seumur hidup dan mungkin
tidak lagi menjadi orang yg Ibu dan kau cintai."
"Aku tidak tahu, Bu," jawab Hiro. "Karna dia sudah tak ada lagi. Aku tak tahu apakah dia akan
berubah atau tidak."
"Mungkin sebentar lagi kau akan mengerti perasaan ayahmu, Hiro," kata Ibunya. "Berhati-hatilah
di sana." Telepon ditutup. Hiro termenung memikirkan kata2 ibunya. Aku akan mengerti perasaan ingin mengorbankan diri
demi orang lain" Hiro menggeleng. Tidak akan.
Hiro kembali ke ruangan dan bersama Kapten Lewis melihat lanjutan interogasi. Sam
memberitahu William bagaimana akhirnya polisi mengetahui pola Helios dan kenapa dia tidak
mungkin bisa mengelak. Wajah William yg tadinya tampak gugup berubah begitu mendengar penjelasan Sam. Dia
tersenyum menyeringai dan matanya berkilat. "Jadi Hiro yg memecahkan kasus ini?" tanyanya.
Sam dan Thomas kaget dengan perubahan sikap William. Mereka seolah berbicara dengan dua
orang berbeda. "Apakah dia di sini?" tanya William sambil menengok cermin besar di ruang interogasi. "Di balik
cermin itu?" Sam dan Thomas tidak menjawab.
"Hiro, kau mendengarku!" seru William. "Aku tahu kau mendengarku!"
"Diam!" bentak Sam menggebrak meja, tapi tidak digubris William.
"Apa kau tahu aku melakukan ini semua demi kau"!" teriak William menyeringai.
Kapten Lewis yg berada di ruang monitor interogasi dan ikut mendengar teriakan William
langsung menoleh ke arah Hiro, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
"Aku berada di level stratosfer, katamu?" lanjut William diselingi tawa. "Dan kau di level ionosfer"
Kau bahkan tidak bisa mencegah banyaknya korban karna pengeboman yg kulakukan. Kalau
kau memang sepintar katamu, seharusnya kau bisa melakukannya. Orang2 itu mati karna
kesalahanmu!" Itu kuucapkan saat berada di ruangan Profesor Martin. Jadi memang benar ada orang di balik
pintu hari itu, batin Hiro. Dan orang itu William.
"Kau pikir kau menang, Hiro?" lanjut William. "Kau pikir kau bisa bebas begitu saja setelah
mengambil hal paling berharga yg kumiliki" Bertahun-tahun aku menunggu untuk menjadi
asisten Profesor Martin, lalu kau datang dan mengambilnya. Mimpiku untuk menjadi anggota
penelitian Profesor Martin pun kauhancurkan, padahal keinginanmu untuk menjadi anggota
timnya tidak sebesar keinginanku. Apa kau tahu berapa banyak yg kukorbankan demi mencapai
mimpi itu?" "Profesor Martin-lah yg memilih Hiro, kenapa bukan dia yg kausalahkan?" tanya Thomas.
William menatap mata Thomas, lalu tersenyum sinis, tapi tidak mengatakan apa2. Dia menatap
lurus ke cermin, seolah bisa melihat Hiro di baliknya. "Ini belum selesai, Hiro." Mata William
berkilat. "Kau mengambil milikku yg berharga. Sebagai gantinya, aku mengambil milikmu yg
berharga dan sebagai Dewa Matahari, aku akan membakarnya. Membakar dengan api yg paling
panas di antara yg terpanas."
Aura gelap yg dikeluarkan William membuat siapa pun yg melihatnya pasti bergidik dan menelan
ludah. Tidak ada lagi William yg kikuk, selalu panik, serta tak percaya diri. Tergantikan oleh
William yg suram, penuh percaya diri, dan sinis. Rasa dendam memang begitu hebat mengubah
sifat orang. Jantung Hiro serasa berhenti berdetak. Dia tahu William tidak main2 dengan ucapannya.
Dia akan mengambil milikku yg berharga" tanya Hiro dalam hati. Memangnya apa milikku yg
berharga" Tersadar akan sesuatu, Hiro mengambil ponsel dan keluar dari ruangan.
"Hiro, kau mau ke mana?" tanya Kapten Lewis, tapi tidak dijawab Hiro.
Hiro memencet-mencet tombol, mencoba menghubungi seseorang, tapi tak ada jawaban. Terusmenerus dia coba, tapi hasilnya tetap nihil. Ia merasakan ketakutan yg tidak pernah ia rasakan
sebelumnya. Hiro mengingat-ingat lagi apa yg dikatakan William. Bahwa William belum selesai, bahwa dia
akan membakar milik Hiro yg paling berharga, dengan api yg paling panas dari yg terpanas.
"Sial!" Hiro memukul-mukul kepalanya, merasa kesal kenapa otaknya tidak bekerja secepat yg
diinginkannya. Helios, diagram bintang, api yg paling panas dari yg terpanas, Hiro menemukan jawabannya.
Dia berlari ke luar secepatnya dari kantor polisi dan memanggil taksi. Di dalam taksi, Hiro
mengambil kartu nama dari dalam dompetnya dan menelepon nomor yg tercantum di kartu itu.
"Ini aku, Hiro," kata Hiro setelah telepon diangkat. "Kau bilang, kau akan membantuku kapan
saja jika aku membutuhkan. Dan aku membutuhkan bantuanmu SEKARANG!"
Hiro menutup telepon, lalu dengan cepat memencet nomor lain, menghubungi Sam.
"Ada apa, Hiro?" tanya Sam dari seberang telepon. "Kata Kapten Lewis, tadi kau pergi tergesagesa setelah mendengar kata2 William, seperti orang kesurupan."
"William menculik Karen," jawab Hiro. "Bawa tim penjinak bom ke Hell's Kitchen. SEKARANG!"
13 HIRO turun dari taksi di Hell's Kitchen yg terletak di Theater District. Dia memandangi gedung2
itu dengan putus asa. Dia tak tahu di gedung mana Karen disekap.
Tidak lama kemudian mobil mewah buatan Italia berhenti di dekat tempat Hiro berdiri. Pria
berwajah setengah Asia dan berkacamata keluar dari mobil itu, menghampiri Hiro. "Kau
menyuruhku menemuimu, tapi tidak mengatakan tempatnya." Yunus menghela napas.
"Aku tahu kau bisa menemukanku," jawab Hiro.
Yunus mendengus, tapi tersenyum. "Jadi, apa yg bisa kubantu?"
"Kau tahu gadis yg selalu bersamaku?"
Yunus mengangguk. "Karen" Kenapa dia?"
"Aku ingin kau menemukannya di antara gedung2 ini."
"Kenapa?" tanya Yunus tak mengerti. "Memangnya apa yg terjadi?"
"Dia diculik karna kesalahanku," kata Hiro lirih. "Aku harus menemukannya karna yakin
nyawanya dalam bahaya."
Yunus menatap mata Hiro, lalu mengangguk. "Aku mengerti." Dia memberi isyarat pada sopirnya
untuk mengambil peta New York dari jok belakang. Setelah menerimanya, Yunus menggelar
peta itu di jalan untuk menemukan letak Hell's Kitchen, lalu menyentuhnya.
"Bagaimana?" tanya Hiro tak sabar.
"Sssssst..." Yunus memejamkan mata. "Menemukan orang biasa lebih sulit daripada
menemukan kaum kita."
"Apa maksudmu dengan kaum kita?"
Mata Yunus terbuka. "Aku akan menjelaskannya padamu, tapi nanti, karna saat ini kita harus
menemukan temanmu. Aku sudah menemukannya."
Yunus berlari melewati bangunan2 di antara gang2 di Hell's Kitchen, diikuti Hiro.
Mereka sampai di gedung tak terpakai di ujung gang. Gedung itu bobrok dan berlumut.
"Di sini," kata Yunus.
Hiro mengambil ponsel, mencoba menghubungi Sam, tapi tak ada sinyal sama sekali di tempat
itu. "Sial!" gerutu Hiro.
Yunus membuka pintu gedung yg sudah berkarat dan melangkah waspada ke dalamnya.
Gedung itu sepertinya sudah bertahun-tahun tak terpakai karna debu dan sarang laba2
menyelimutinya di mana2. "Karen!" teriak Hiro yg berjalan di belakang Yunus.
Tiba2 terdengar suara erangan dari lantai dua setelah Hiro berteriak. Yunus dan Hiro berlari
menaiki tangga, menuju sumber suara.
Di tengah2 ruangan di lantai dua itu, Hiro melihat Karen yg mulutnya ditutup lakban, diikat di
kursi dengan bom yg menempel di perutnya dengan timer yg menunjukkan waktu tinggal
setengah jam lagi. Hiro membuka lakban di mulut Karen.
"Hiro...," isak Karen. Dia lega akhirnya Hiro datang menolongnya.
"Kita harus menghubungi Sama," kata Hiro melihat waktu yg semakin berkurang di timer. "Tapi
sayangnya di daerah ini tak ada sinyal."
"Berikan ponselmu, biar aku yg meneleponnya," Yunus menyodorkan tangan. "Aku akan ke luar
gedung ini secepatnya dan mencari lokasi yg terjangkau sinyal. Kautemani Karen."
Hiro menyerahkan ponsel ke Yunus yg langsung berlari menuruni tangga dan keluar dari
gedung. Sekarang tinggal Karen dan Hiro yg ada di dalam gedung itu dengan bom yg semakin mendekati
waktu meledak. Hiro duduk di lantai di depan Karen, hanya diam menatap gadis itu. Baru dia
sadar, ini pertama kalinya dia merasa khawatir atas keselamatan orang lain. Hiro yg biasanya
tak peduli dan tenang, bisa sampai sepanik itu.
"Apa kau tidak bisa menjinakkannya?" tanya Karen masih terisak.
Hiro menggeleng. "Bukankah kau tinggal memotong kabel merah atau kabel biru?"
"Kau terlalu banyak nonton film," jawab Hiro. "Jika memang semudah itu, buat apa polisi punya
tim penjinak bom?" Karen menangis lagi. "Bagaimana kau bisa diculik?" tanya Hiro.
"Saat aku ke asramamu untuk mengambil baju," jawab Karen terbata-bata. "Di depan kamarmu
tahu2 ada yg membekapku. Setelah itu aku tidak ingat apa2 lagi."
Hiro mengangguk-angguk. "Maafkan aku," katanya kemudian. "Ini salahku."
Tangis Karen menjadi keras. "Kita pasti akan mati," isaknya beberapa saat kemudian. "Kau tiba2
minta maaf, berarti sebentar lagi kita pasti benar2 mati. Tuhan sudah memberi pertanda."
"Kau ini...," desah Hiro.
Tak terasa sepuluh menit telah berlalu dan Yunus maupun tim penjinak bom masih belum
datang juga. "Aku punya kekuatan aneh," kata Hiro memecah kebekuan. "Aku bisa mengetahui identitas kimia
apa pun dari benda yg kusentuh. Itu sebabnya aku bisa mengetahui banyak hal ketika terjadi
kasus hanya dengan menyentuhnya. Bahkan jika menyentuhnya lebih lama, aku bisa tahu
komporisi DNA yg ada di benda itu. Seperti misalnya..."
"Tidak! Tidak! Aku tak mau dengar!" jerit Karen.
"Kau kenapa?" tanya Hiro, bingung bercampur kesal.
"Kau pernah bilang bahwa kau baru akan menjelaskan kemampuan anehmu itu kalau kau akan
mati," kata Karen serak. "Berarti kau merasa kita akan mati."
Hiro tak mengatakan apa2.
"Kenapa kau tidak pergi saja?" tanya Karen. "Kalau tidak bisa menjinakkan bom ini, setidaknya
kau bisa menyelamatkan diri. Kau tak perlu mati bersamaku di sini, Hiro. Pergi saja."
Hiro terdiam beberapa saat, lalu menatap lurus ke mata Karen. "Aku tidak mau mati bersamamu
di sini," katanya. "Aku juga berpikir untuk pergi dari sini dan menyelamatkan diri. Tapi... tapi aku
tidak bisa melakukannya." "Kenapa?" tanya Karen bingung. Hiro termenung. "Karna aku tidak
suka ketidakpastian." Ketika timer menunjukkan waktu tinggal lima belas menit lagi, terdengar
teriakan dari bawah. "KAREEEEEN! KAU DI ATAS?" Hiro bangkit berdiri, lalu membalas teriakan
itu. "Dia baik2 saja, Sammy!" Sam naik diikuti tim penjinak bom dan Yunus. Jantungnya hampir
berhenti berdetak melihat putrinya diikat di kursi dengan bom waktu menempel di perut. Dengan
sangat berhati-hati, tim penjinak bom berusah melepaskan bom itu dari tubuh Karen. Tak ada
suara yg terdengar. Sepertinya semua orang di ruangan itu berhenti bernapas saking tegangnya.
Embusan napas panjang terdengar berbarengan saat tim penjinak bom berhasil melepaskan
bom dari tubuh Karen dan dengan hati2 membawanya ke luar gedung untuk diledakkan. Karen
memeluk erat ayahnya sambil menangis keras2. Sam mencium kening Karen dan mengucapkan
syukur berkali-kali. Hiro yg melihat adegan itu hanya tersenyum lega. Ibunya benar, dia sekarang
mengerti perasaan ayahnya. ***
"Terima kasih," kata Hiro pada Yunus yg baru selesai diambil kesaksiannya di kantor polisi atas
penculikan Karen. "Bukan masalah," Yunus tersenyum.
"Sebenarnya bagaimana cara kerja kekuatan kita?" tanya Hiro.
Yunus melihat sekeliling, lalu memberi isyarat pada Hiro untuk mengikutinya ke luar kantor. Hiro
menuruti dan berjalan di belakangnya.
"Kekuatan kaum kita bekerja lewat sentuhan," jawab Yunus setelah mereka berada di luar.
"Kaum kita?" Hiro mengerutkan kening.
"Touche," kata Yunus. "Itu nama kaum kita, atau setidaknya itu nama yg diberikan Cassanova."
"Touche" Itu bahasa Prancis, ya" Artinya 'menyentuh', kan?"
Yunus mengangguk. "Dan Cassanova seorang touche?" ulang Hiro. "Coba kutebak, dia pasti pembaca pikiran. Bisa
menaklukkan begitu banyak wanita pasti karna tahu pasti isi pikiran mereka."
"Kau memang genius," desah Yunus, lalu membetulkan letak kacamatanya.
"Touche bekerja melalui sentuhan," Yunus mulai menjelaskan. "Dan cara kerja kaum touche
pada umumnya adalah menyerap apa yg disentuh. Ada yg bisa menyerap buku, menyerap data
digital, atau seperti kau yg menyerap identitas kimia dari benda yg kausentuh."
"Bagaimana kau tahu tentang kekuatanku?" tanya Hiro.
Yunus tersenyum. "Aku mungkin tidak segenius kau, tapi aku tidak bodoh. Aku hanya
menghubung-hubungkan keping puzzle yg ada."
"Lalu kau sendiri" Apa kekuatanmu?"
Yunus mengangkat telapak tangan kanan. "Aku bisa menemukan siapa pun hanya dengan
menyentuh peta." "Menemukan sesama kaum touche lebih mudah daripada menemukan orang biasa," lanjut
Yunus. "Karna ketika aku menyentuh peta, kaum touche punya 'warna' yg berbeda, sedangkan
orang biasa tidak. Itu sebabnya jika harus menemukan orang biasa, aku harus tahu wajahnya
dulu. Untung saja saat kau minta bantuanku untuk menemukan Karen, aku pernah melihat
wajahnya." "Tunggu!" Hiro tampak berpikir keras. "Kau bilang cara kerja kekuatan kita itu menyerap, tapi
kenapa kekuatanmu berbeda" Apa yg kauserap?"
"Aku bilang 'pada umumnya'," ralat Yunus. "Jadi pasti ada pengecualian. Dalam hal ini aku. Aku
pencari jejak." Hiro termenung sejenak. "Berapa banyak orang yg memiliki kekuatan seperti kita?" tanya Hiro. "Dan berapa banyak yg
sudah kautemui?" "Cukup banyak," jawab Yunus. "Kuperkirakan, dari seratus ribu ada satu orang yg merupakan
kaum touche. Aku menemui beberapa dari mereka, yg bisa menyerap data digital, menyerap
tulisan, menyerap ingatan mesin, membaca perasaan, bahkan membaca pikiran."
"Dan menyerap identitas kimia," tambah Hiro merujuk pada dirinya sendiri. "Lalu apa yg akan
kaulakukan setelah menemukan kami semua?"
Yunus tersenyum, lalu mengangkat bahu.
"Kau ingin membentuk organisasi kaum touche semacam the Avengers?"
Yunus tertawa. "Akan kupikirkan."
"Hiro, kau bilang bahwa kau ingin berbicara dengan William sebelum dia kami bawa ke penjara,"
Thomas tiba2 datang dan memotong pembicaraan mereka.
"Aku segera ke sana," kata Hiro, lalu kembali menoleh pada Yunus sembari menyodorkan
tangan. "Senang bertemu denganmu."
"Aku juga." Yunus menjabat tangan Hiro erat.
"Setelah ini kau akan ke mana?"


Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku punya rencana untuk kembali ke Indonesia," jawab Yunus.
Hiro mengangguk. "Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Jangan kuatir." Yunus tersenyum. "Aku akan selalu bisa menemukanmu."
*** Hiro menatap tajam William yg duduk di depannya. William membalas dengan tatapan tak kalah
menusuk. Tak ada satu pun dari mereka yg bicara.
"Kau pasti senang bisa mengalahkanku," kata William akhirnya dengan sinis.
"Tidak," jawab Hiro. "Aku tidak senang mengalahkan orang yg levelnya di bawahku. Seperti yg
kubilang, levelmu stratosfer dan aku ionosfer."
"Lalu untuk apa kau ke sini?" dengus William.
"Aku hanya ingin melihat," Hiro tersenyum merendahkan, "orang bodoh mana yg menghabiskan
energi, waktu, dan pikirannya hanya untuk membuktikan bahwa dia pintar, padahal pada
akhirnya ternyata dia tidak sepintar yg dia kira."
"Sialan!" William bangkit dari kursi, tapi tertahan karna kedua tangannya diborgol ke meja.
"Seharusnya kau sadar saat Profesor Martin lebih memilihku daripada kau." Hiro menghela
napas. "Saat itulah dia memberitahumu bahwa aku lebih pintar daripada kau. Tak perlu
berusaha membuktikan sebaliknya. Sampai membunuh orang segala."
Wajah William merah padam.
Hiro berdiri, sekali lagi memandang William. Mungkin untuk terakhir kalinya. Kemudian dia
beranjak mendekati pintu sambil berkata, "Sejak awal aku tidak pernah berminat dengan
permainan yg kaubuat. Kau yg membuat permainan ini. Kau yg menyebabkan banyak orang
mati. Orang2 itu mati dan terluka karna kesalahanmu, bukan kesalahanku."
Epilog "POKOKNYA TIDAK KUIZINKAN!" Teriak Sam menggelegar sehingga seluruh polisi di ruangan
itu menoleh kepadanya. "Halo" Halo" Hiro!" Setelah sadar teleponnya sudah ditutup, Sam membanting gagangnya ke
tempat semula. "Ada apa?" tanya Matt yg sedari tadi memperhatikan Sam. "Bukankah tadi kau bertanya pada
Hiro, bagaimana dia bisa tahu William menculik Karen di Hell's Kitchen" Lalu apa jawabannya?"
"Dia bilang, ini masih tentang diagram bintang," dengus Sam. Wajahnya kesal. "Jika kita
menggambar bintang, titik akhir gambar bintang sama dengan titik mulanya. Jadi ketika bom
diletakkan di East Village, gambar bintang belum selesai. Gambar tersebut baru selesai setelah
bom kembali diledakkan di Theater District, tempat bom pertama diletakkan. William
mengatakan, dia akan membakar Karen dengan api yg paling panas dari yg terpanas. Dapur
adalah tempat paling panas di rumah karna tempat memasak, maka api yg superpanas pastilah
api yg terletak di dapur neraka. Hell's Kitchen. Begitu penjelasan Hiro."
Matt manggut-manggut. "Lalu kenapa kau marah-marah?"
"Karna kebodohanku." Sam menghela napas. "Karna putus asa saat menyelesaikan kasus ini,
aku memberinya janji akan mengabulkan apa pun permintaannya jika dia bisa memecahkan
kasus ini." "Lalu?" "Dia menagih janjinya," geram Sam.
Matt mengerutkan kening. "Memangnya apa permintaannya hingga membuatmu semarah itu?"
"DIA INGIN BERKENCAN DENGAN PUTRIKU!" Sam menggebrak meja. "DIA BAHKAN TIDAK
PERNAH MENUNJUKKAN TANDA-TANDA SEBELUMNYA BAHWA DIA SUKA PADA KAREN!"
"Tidak pernah menunjukkan" Apa maksudmu?" Matt langsung terbahak-bahak mendengar
protes partnernya itu. "Hiro selalu meminta Karen yg menjemputnya dan tidak mau yg lain,
memangnya kau pikir apa sebabnya" Lalu Hiro yg cuek dan tak mau repot selalu mau diganggu
Karen dengan ditanya-tanyai untuk dibuat tulisan, kau pikir karna iseng" Dan terakhir saat Karen
diculik, kau tahu sendiri dia seperti kesetanan, padahal biasanya tenang. Pada Karen, Hiro cuma
mulutnya yg tajam." Sam terdiam beberapa saat memikirkan kata-kata Matt. "POKOKNYA AKU TAK AKAN
MENGIZINKANNYA!" *** Hiro menutup telepon, mendengus kesal. Dia masuk kembali ke restoran tempat dia makan
siang dan mendekati mejanya.
"Kau menelepon Ayah?" tanya Karen sambil menyeruput teh.
Hiro mengangguk sambil memasukkan sesuap spageti ke mulutnya.
"Tidak biasanya kau sampai harus keluar hanya untuk menelepon Ayah." Karen menatap Hiro
dengan curiga. "Memangnya apa yg kalian bicarakan?"
"Bisnis," jawab Hiro singkat.
Karen memutar bola mata. Jawaban singkat Hiro merupakan tanda dia tidak ingin ditanya-tanya
lagi masalah itu. Dia hafal sifat Hiro.
Setelah itu mereka hanya membicarakan kasus pengeboman yg didalangi William hingga selesai
makan. Hiro meninggalkan beberapa dolar di meja dan meninggalkan restoran bareng Karen.
"Hiro, aku ingin tahu," kata Karen mencoba menjajari langkah Hiro. "Saat itu kau bilang, kau
sebenarnya ingin pergi dan menyelamatkan diri, tapi tidak bisa melakukannya karna tidak suka
ketidakpastian. Memangnya apanya yg tidak pasti?"
Hiro menatap Karen. "Ada apa?" tanya Karen bingung.
Hiro terdiam, menggaruk-garuk rambutnya yg memang acak-acakan seperti biasa, lalu
menjawab, "Karna jika aku pergi dan membiarkanmu mati, aku tidak tahu bagaimana hidupku
setelah itu. Hidup tanpa dirimu adalah ketidakpastian, aku tidak tahu bagaimana menjalaninya."
END Pembunuhan Pondokan Mahasiswa 4 Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar Pendekar Negeri Tayli 12

Cari Blog Ini