Ceritasilat Novel Online

Segala Yang Tajam 1

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn Bagian 1


SHARP OBJECT.pdf 5/17/16 4:36 AM Dari penulis best-seller GONE GIRL
reportasi yang sulit: dia harus kembali ke kota
asalnya untuk menyusun liputan mengenai
pembunuhan dua anak perempuan. Padahal,
sudah bertahun-tahun Camille nyaris tidak
pernah berbicara dengan ibunya yang
menderita hipokondria serta adik tirinya,
gadis cantik tiga belas tahun yang menebarkan
G I L L I A N F LY N N Camille Preaker dihadapkan pada tugas
GILLIAN F LY N N pesona yang mampu menyihir kota kecil itu.
berupaya keras mendapatkan cerita yang dia
inginkan?"yang mengharuskan dia menggali
dan membongkar masa kecilnya yang ganjil
dan kelam. NOVEL Dibayangi hantu-hantunya sendiri, Camille
S e g a l a y a n g Ta j a m
dengan para korban yang masih sangat muda.
SHARP OBJECTS menemukan banyak kesamaan antara dirinya
SHARP OBJECTS besar bergaya Victoria itu, Camille
Kini, mendekam di kamar lamanya di rumah
S e g a l a y a n g T a j a m S e g a l a y a n g Ta j a m
Sharp Objects.indd 1 t.c Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta 1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang
hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta se?bagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar
rupiah). Sharp Objects by Gillian Flynn Copyright ? Gillian Flynn, 2006
This translation published by arrangement
with Crown Publishers, an imprint of the
Crown Publishing Group, a division of
Random House LLC. All rights reserved SEGALA YANG TAJAM oleh Gillian Flynn GM 616185015 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa: Ariyantri Eddy Tarman
Editor: Reita Ariyanti Desain sampul: Marcel A.W.
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
Atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-602-03-3070-9 336 hlm: 18 cm Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Sharp Objects.indd 4 Untuk orangtuaku, Matt dan Judith Flynn Sharp Objects.indd 5 t.c Sharp Objects.indd 6 bab satu Sweterku masih baru, merah mencolok, dan buruk rupa.
Hari itu 12 Mei, tetapi suhu turun hingga ke kisaran lima derajat,
dan sesudah empat hari gemetaran hanya dalam balutan kemeja
tangan panjang, aku malah membeli pakaian di tempat seseorang
yang menjual barang-barangnya yang sudah tak terpakai ketimbang
mencari-cari pakaian musim dinginku yang terkemas di dalam kotak. Musim semi di Chicago.
Di dalam bilik kerjaku yang dilapisi kain karung, aku duduk menatap layar komputer. Tulisanku hari itu mendekati kedur?janaan.
Empat anak, umur dua sampai enam, ditemukan terkunci di dalam
ruangan di South Side dengan dua roti lapis isi tuna dan seliter
susu. Mereka ditinggalkan selama tiga hari, heboh berebut makanan
seperti ayam, dan feses berceceran di karpet. Ibu mereka keluyuran
keluar mencari narkoba untuk diisap dan melupakan mereka begitu saja. Kadang-kadang itu yang terjadi. Tidak ada luka tersundut
rokok, tidak ada tulang patah. Hanya kealpaan yang tak dapat ditebus. Aku melihat si ibu sesudah dia ditahan: Tammy Davis, 22
tahun, pirang dan gemuk, dengan rona merah jambu di pipinya
berbentuk dua lingkaran sempurna seukuran gelas seloki. Aku bisa
membayangkan dia duduk di sofa bobrok, bibirnya di pipa logam,
Sharp Objects.indd 7 embusan asap tebal. Kemudian segalanya mengambang dengan
cepat, anak-anaknya tertinggal di belakang, Tammy Davis terlontar
kembali ke masa SMP, ketika para bocah lelaki masih peduli dan dia
remaja 13 tahun yang paling cantik, dengan bibir paling berkilau
yang mengulum batang kayu manis sebelum berciuman.
Perut. Bau sesuatu. Rokok dan kopi basi. Redakturku, si terpandang dan pencemas, Frank Curry, berayun ke belakang dalam sepatu Hush Puppies dengan kulit retak-retaknya. Giginya terendam
dalam air liur tembakau. "Kau sudah menulis artikel itu sampai mana, kiddo?" Ada paku
payung perak di mejaku, ujung tajamnya menghadap ke atas. Dia
men?dorong benda itu dengan lembut di bawah kuku jempol yang
menguning. "Hampir selesai." Tulisanku baru sepanjang 7 cm. Aku butuh 25
cm. "Bagus. Acak-acak perempuan itu, masukkan tulisanmu, lalu ke
kantorku." "Aku bisa ke kantormu sekarang juga."
"Acak-acak perempuan itu, masukkan tulisanmu, lalu ke kantorku."
"Baiklah. Sepuluh menit." Aku ingin paku payungku kembali.
Dia berjalan keluar dari bilikku. Dasinya berayun-ayun di dekat
selangkangan. "Preaker?" "Ya, Curry?" "Acak-acak perempuan itu."
Frank Curry berpikir hatiku lembek. Mungkin karena aku perempuan. Mungkin karena hatiku memang lembek.
Sharp Objects.indd 8 Kantor Curry ada di lantai tiga. Aku yakin dia akan panik dan kesal setiap kali menatap ke luar jendela dan melihat batang pohon.
Redaktur yang baik tidak melihat batang pohon; mereka melihat
daun pohon"itu pun jika mereka bisa melihat pohon dari lantai
dua puluh, atau tiga puluh. Tapi Daily Post, koran keempat terbesar
di Chicago, terdegradasi ke pinggiran kota, ada banyak ruangan
untuk menggeletak. Tiga lantai sudah cukup, menyebar tanpa henti
ke luar, seperti tumpahan air, tak teperhatikan di antara penjual
karpet dan toko lampu. Pengembang korporat memproduksi kota
praja kami dalam kurun waktu tiga tahun yang teroganisasi dengan
baik"1961-1964"kemudian menamai kota ini seperti nama
putri?nya, yang terkena musibah kecelakaan berkuda serius sebulan
sebelum kota itu selesai. Aurora Springs, titahnya, berhenti sejenak
untuk berfoto di sebelah penanda kota yang baru. Kemudian dia
pergi dengan membawa keluarganya. Putrinya, sekarang berusia
50-an dan sehat, kecuali rasa kesemutan yang kadang muncul di
kedua lengannya, tinggal di Florida dan kembali setiap beberapa
tahun sekali untuk berfoto dengan penanda kota bertuliskan namanya, seperti si Ayah.
Aku menulis berita kunjungan terakhir wanita itu. Curry membencinya, membenci sebagian besar berita tentang kehidupan
seseorang. Curry mabuk Chambord ketika membaca berita itu,
membuat kantornya beraroma rasberi. Curry mabuk dengan tenang, tetapi sering. Walaupun bukan atas alasan itu dia mendapatkan pemandangan lantai dasar yang menyenangkan. Yang itu cuma
karena nasib sial yang merawang.
Aku berjalan masuk dan menutup pintu kantor Curry, yang sama
sekali di luar perkiraanku ketika membayangkan tampilan kantor
redakturku. Aku mendambakan panel kayu ek besar, jendela di
pintu"bertuliskan Kepala"sehingga reporter muda bisa mem9
Sharp Objects.indd 9 perhatikan kami mengamuk soal hak-hak Amandemen Pertama.
Kantor Curry tawar dan resmi, seperti ruangan lainnya di gedung
itu. Kau bisa berdebat soal jurnalisme atau di-pap smear. Tidak ada
yang peduli. "Ceritakan tentang Wind Gap." Curry menaruh ujung bolpoin di
dagu beruban. Aku bisa membayangkan titik kecil biru yang akan
tertinggal di antara helai janggut pendek Curry.
"Lokasinya di Missouri paling bawah, di bagian seperti tumit bot
itu. Tidak jauh dari Tennessee dan Arkansas," kataku, tergesa-gesa
menyampaikan informasi yang kumiliki. Curry senang mencecar
reporter mengenai topik yang dia anggap berhubungan"jumlah
pembunuhan di Chicago tahun lalu, demografi Cook County,
atau, entah kenapa, cerita kampung halamanku, topik yang lebih
ingin kuhindari. "Kota itu sudah ada sejak sebelum Perang Sipil,"
lanjutku. "Letaknya dekat Mississippi, jadi pada satu masa kota itu
kota pelabuhan. Sekarang bisnis yang paling maju di sana adalah
penjagalan babi. Sekitar dua ribu orang tinggal di sana. Orang kaya
lama dan sampah masyarakat."
"Kau yang mana?"
"Aku sampah. Dari keluarga kaya lama." Aku tersenyum. Curry
mengerutkan dahi. "Jadi apa yang sedang terjadi?"
Aku duduk diam, membuat katalog beragam musibah yang
mungkin menimpa Wind Gap. Kota itu salah satu kota payah yang
cenderung dirundung petaka: Tabrakan bus atau angin puting
beliung. Ledakan di lumbung atau balita terjatuh ke sumur. Aku
juga sedikit merajuk. Tadinya aku berharap"seperti yang selalu
kulakukan ketika Curry memanggilku ke kantornya"dia akan
memuji tulisan terbaruku, mempromosikanku ke penugasan yang
lebih baik, atau astaga, menyelipkan kertas bertulisan ceker ayam
Sharp Objects.indd 10 menyatakan kenaikan gaji 1 persen"tetapi aku tidak siap mengobrolkan peristiwa terkini di Wind Gap.
"Ibumu masih tinggal di sana, kan, Preaker?"
"Ibu. Ayah tiri." Adik perempuan tiriku lahir ketika aku berkuliah, kehadirannya begitu tidak nyata bagiku sehingga aku sering
melupakan namanya. Amma. Kemudian Marian, Marian yang sudah lama sekali pergi.
"Ah, sial, kau pernah mengobrol dengan mereka?" Tidak sejak
Natal: obrolan di telepon yang dingin dan sopan sesudah menenggak tiga gelas bourbon. Aku khawatir ibuku bisa mencium aroma
minuman itu lewat sambungan telepon.
"Akhir-akhir ini tidak."
"Ya Tuhan, Preaker, sekali-sekali baca berita dari agen berita.
Kurasa ada pembunuhan Agustus lalu" Gadis kecil dicekik?"
Aku mengangguk seolah-olah tahu. Aku berbohong. Ibuku satusatunya orang di Wind Gap yang berhubungan denganku, bahkan
kami pun tidak dekat, dan dia tidak mengatakan apa pun. Aneh.
"Sekarang satu lagi menghilang. Kedengarannya pembunuh berantai bagiku. Pergi ke sana dan dapatkan beritanya untukku. Pergi
cepat. Sampai di sana besok pagi."
Yang benar saja. "Di sini kita punya cerita-cerita mengerikan
juga, Curry." "Ya, dan kita juga punya tiga koran saingan yang jumlah pegawai
dan uangnya dua kali lipat kita." Dia menyugar, membuat rambutnya berdiri letih. "Aku muak tidak mendapatkan berita. Ini kesempatan kita untuk meraih sesuatu. Yang besar."
Curry percaya, dengan berita yang tepat, kami akan menjadi
koran pilihan di Chicago dalam waktu semalam saja, meraih kre?di?
bilitas tingkat nasional. Tahun lalu koran lain, bukan kami, mengi?
rimkan reporter ke kampung halamannya di suatu tempat di Texas
Sharp Objects.indd 11 sesudah sekelompok remaja tenggelam dalam banjir musim semi.
Si reporter menulis cerita mirip eligi tetapi dengan pelaporan yang
baik mengenai sifat alami air dan rasa penyesalan, meliputi segala hal dari tim basket para remaja lelaki itu, yang kehilangan tiga
pemain terbaik mereka, hingga rumah duka setempat, yang sama
sekali tidak memiliki keahlian membersihkan jenazah yang tenggelam. Berita itu memenangi Pulitzer.
Aku masih tidak ingin pergi. Sebegitunya, rupanya, hingga aku
mencengkeram lengan kursiku, seolah-olah Curry mungkin akan
berusaha mendongkelku keluar. Dia duduk dan menatapku beberapa saat dengan mata kecokelatannya yang berair. Dia berdeham,
menatap foto istrinya, dan tersenyum seperti dokter yang akan
memberikan kabar buruk. Curry suka sekali mengomel"cocok
dengan bayangannya tentang redaktur zaman dulu"tetapi dia juga
salah satu orang paling terhormat yang kukenal.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengar, kiddo, kalau kau tak bisa melakukannya, kau tidak bisa.
Tapi kupikir ini mungkin baik untukmu. Keluarkan sedikit beban.
Agar kau bisa berdiri sendiri lagi. Ini berita bagus"kita membutuhkannya. Kau membutuhkannya."
Curry selalu menyokongku. Dia pikir aku akan menjadi reporter
terbaiknya, dia berkata aku memiliki pikiran yang mengejutkan.
Dalam dua tahun bekerja, aku terus-menerus gagal memenuhi ekspektasinya. Kadang-kadang luar biasa gagalnya. Sekarang aku bisa
merasakan Curry di seberang meja, mendesakku untuk memberinya sedikit keyakinan. Aku mengangguk dengan cara yang kuharap
tampak percaya diri. "Aku akan berkemas." Tanganku meninggalkan tapak berkeringat
di kursi. *** Sharp Objects.indd 12 Aku tidak punya hewan peliharaan untuk dicemaskan, tidak ada
tanaman untuk dititipkan ke tetangga. Aku memasukkan cukup pakaian untuk lima hari ke tas besar, jaminan kepada diri sendiri aku
akan keluar dari Wind Gap sebelum minggu itu berakhir. Ketika
melihat sekeliling apartemenku sekilas, tempat itu dengan cepat
menampakkan wujudnya kepadaku. Tempat ini kelihatan seperti
apartemen mahasiswa: murah, tempat transit, dan sebagian besar
tidak menarik. Aku berjanji kepada diri sendiri untuk membeli sofa
yang layak ketika kembali, sebagai hadiah untuk berita memukau
yang pastinya akan kudapatkan.
Di meja dekat pintu, ada foto aku remaja memeluk Marian yang
berusia sekitar tujuh tahun. Kami berdua tertawa. Matanya membelalak terkejut, mataku terpejam rapat. Aku memeluknya erat,
kaki kurus pendeknya menggantung di atas lututku. Aku tidak bisa
mengingat kejadiannya atau apa yang kami tertawakan. Selama bertahun-tahun itu menjadi misteri yang menyenangkan. Kurasa aku
tidak ingin tahu. Aku mandi berendam. Bukan dengan pancuran. Aku tidak tahan
dengan air yang memancar, itu membuat kulitku mendengung,
seolah-olah seseorang menyalakan sakelar. Jadi aku menggulung
handuk motel yang tipis di atas saluran air di lantai pancuran,
mengarahkan kepala pancuran ke dinding, dan duduk di air setinggi
kurang dari 10 senti yang menggenang di dalam kotak pancuran.
Ada rambut kemaluan seseorang mengambang di dekatku.
Aku keluar. Tidak ada handuk lain, jadi aku berlari ke tempat
tidur dan mengeringkan badan dengan selimut tipis murahan. Kemudian aku menyesap bourbon hangat dan mengutuk mesin es.
Wind Gap berjarak sekitar sebelas jam di selatan Chicago. Curry
Sharp Objects.indd 13 dengan murah hati memberiku anggaran menginap semalam di
motel dan sarapan, kalau aku makan di SPBU. Tetapi sesudah sampai ke kota, aku akan tinggal dengan ibuku. Itu yang Curry putuskan untukku. Aku sudah tahu reaksi yang akan kuterima begitu aku
muncul di depan pintu rumah ibuku. Kegugupan singkat karena
terkejut, tangan bergerak ke rambut, pelukan canggung yang akan
membuatku miring ke satu sisi. Omongan soal rumah yang berantakan, yang sebenarnya tidak berantakan. Pertanyaan soal berapa
lama aku akan tinggal dikemas dengan kata-kata manis.
"Berapa lama kami akan meluangkan waktu denganmu, Manis?"
ibuku akan berkata. Yang artinya: "Kapan kau pergi?"
Justru kesopanannya yang menurutku terasa begitu mengesalkan.
Aku tahu seharusnya aku menyiapkan catatan, menulis daftar
pertanyaan. Malahan, aku minum lebih banyak bourbon, kemudian
menelan beberapa aspirin, mematikan lampu. Terbuai dengung
basah AC dan denting elektris permainan video di kamar sebelah,
aku terlelap. Jarakku sekarang kurang dari 50 km dari kampung halamanku, tapi aku membutuhkan semalam lagi jauh darinya.
Pada pagi hari, aku melahap donat jeli lama dan mengarah ke selatan, suhu udara meningkat, hutan lebat tampak mengancam di
kedua sisi. Missouri di sisi ini begitu datar hingga menakutkan"
berkilometer-kilometer pohon yang tidak tampak megah, dibelah
hanya oleh jalan bebas hambatan sempit yang sedang kulalui. Pemandangan yang sama berulang setiap dua menit sekali.
Kau tidak bisa melihat Wind Gap dari kejauhan; bangunan tertingginya hanya terdiri atas tiga lantai. Tetapi sesudah dua puluh
menit menyetir, aku tahu kota itu sudah dekat: SPBU pertama
Sharp Objects.indd 14 muncul. Sekelompok remaja lelaki duduk di luar, bertelanjang dada
dan bosan. Di dekat pikap tua, balita berpopok melemparkan segenggam penuh kerikil ke udara sementara ibunya mengisi bensin.
Rambut wanita itu dicat warna emas, tetapi akar rambut cokelat
nyaris mencapai telinganya. Dia meneriakkan sesuatu kepada para
remaja lelaki itu yang tidak bisa kudengar ketika aku melaju. Tak
lama kemudian, hutan mulai menipis. Aku melewati barisan toko
kecil berupa salon untuk mencokelatkan kulit, toko senapan, toko
gorden. Kemudian muncul kompleks rumah tua yang terpencil,
yang diniatkan menjadi pengembangan wilayah yang tidak pernah
terjadi. Dan akhirnya, wilayah kota.
Entah kenapa, aku menahan napas ketika melewati papan yang
menyambutku di Wind Gap, seperti yang anak-anak lakukan ketika
melewati kuburan. Sudah delapan tahun sejak aku terakhir kembali,
tetapi pemandangannya tertanam dalam ingatan. Susuri jalan itu
dan aku akan menemukan rumah guru piano masa SD-ku, mantan
biarawati dengan napas berbau telur. Jalan setapak itu mengarah ke
taman kecil tempat aku mengisap rokok pertamaku pada satu hari
musim panas yang gerah. Ikuti bulevar itu, dan aku akan mengarah
ke Woodberry dan rumah sakit.
Aku memutuskan untuk langsung menuju kantor polisi. Tempat
itu berada di ujung Main Street, yang memang sesuai namanya, adalah jalan utama di Wind Gap. Di Main Street kau akan menemukan
salon kecantikan dan toko perkakas, toko barang murahan bernama
Five-and-Dime, dan perpustakan dengan dua belas rak buku. Kau
akan menemukan toko pakaian bernama Candy"s Casuals, tempat
kau bisa membeli terusan tanpa lengan, sweter berleher tinggi, dan
sweter biasa dengan gambar bebek dan gedung sekolah. Kebanyakan wanita baik-baik di Wind Gap adalah guru atau ibu-ibu yang
bekerja di tempat seperti Candy"s Casuals. Beberapa tahun lagi
Sharp Objects.indd 15 in kau mungkin akan menemukan Starbucks, yang akan membawa
hal yang didambakan kota ini: tren terkini masyarakat kebanyakan
yang sudah dikemas dan disetujui. Untuk sekarang, hanya ada kedai
makanan berminyak, yang dikelola keluarga yang tidak bisa kuingat
namanya. Main Street tampak kosong. Tidak ada mobil, tidak ada orang.
Seekor anjing berjalan santai di trotoar, tanpa ada pemilik memanggilnya. Semua tiang lampu jalan diselimuti pita kuning dan fotokopi
buram foto gadis kecil. Aku memarkirkan mobil dan mengelupas
salah satu pengumuman, ditempel miring di tanda berhenti setinggi
badan anak kecil. Pengumuman itu dibuat tangan, "Hilang" ditulis
di bagian atas dengan huruf-huruf tebal yang mungkin dibuat dengan Magic Marker. Foto itu memperlihatkan gadis bermata gelap
dengan seringai liar dan terlalu banyak rambut di kepalanya. Tipe
anak perempuan yang akan digambarkan sebagai "merepotkan"
oleh para guru. Aku menyukai anak perempuan ini.
Natalie Jane Keene Umur: 10 Hilang sejak 11 Mei Terakhir kali terlihat di Jacob J. Garrett Park,
memakai celana pendek jins, kaus garis-garis merah
Tlp.: 555-7377 Aku berharap saat masuk ke kantor polisi aku akan diberitahu Natalie Jane sudah ditemukan. Tidak ada yang celaka. Sepertinya dia
tersesat atau pergelangan kakinya terkilir di hutan atau kabur dari
rumah kemudian memutuskan untuk kembali. Aku akan masuk ke
mobilku dan menyetir kembali ke Chicago dan tidak bicara kepada
siapa pun. Sharp Objects.indd 16 Ternyata jalanan kosong karena setengah penduduk kota sedang
keluar menelusuri hutan di utara. Resepsionis kantor polisi bilang
aku boleh menunggu"Chief Bill Vickery akan segera kembali
untuk makan siang. Ruang tunggu kantor polisi memiliki nuansa
akrab palsu seperti kantor dokter gigi; aku duduk di bangku oranye dan membuka-buka halaman Redbook. Penyegar ruangan yang
ditempel di salah satu alat penyemprot mendesiskan aroma plastik
yang seharusnya mengingatkanku akan aroma pedesaan. Tiga puluh
menit kemudian aku sudah selesai membaca tiga majalah dan mulai
mual karena aroma penyegar ruangan itu. Ketika Vickery akhirnya
masuk, si resepsionis mengangguk ke arahku dan berbisik dengan
nada meremehkan, "Media."
Vickery, pria langsing berusia awal 50-an, keringat menembus
seragamnya. Kemejanya melekat di dada dan celananya berkerut di
belakang tempat bokongnya seharusnya berada.
"Media?" Pria itu menatapku dari balik kacamata bifokalnya
yang menjulang. "Media apa?"
"Chief Vickery, aku Camille Preaker, dari Daily Post di Chicago."
"Chicago" Untuk apa kau dari Chicago ke sini?"
"Aku ingin bicara denganmu soal anak-anak perempuan itu"
Natalie Keene dan gadis yang dibunuh tahun lalu."
"Astaga demi Tuhan. Bagaimana kau bisa mendengar soal ini di
sana" Astaga." Dia menatap si resepsionis, kemudian kembali padaku, seolaholah kami bekerja sama. Kemudian pria itu memberiku tanda untuk
mengikutinya. "Tahan semua teleponku, Ruth."
Si resepsionis memutar bola mata.
Bill Vickery berjalan di depanku menyusuri koridor berpanel
kayu yang dihiasi foto murahan ikan trout dan kuda terbingkai,
kemudian ke dalam kantornya, tidak berjendela, yang sebenarnya
Sharp Objects.indd 17 adalah kotak persegi kecil dengan jajaran lemari arsip dari besi. Dia
duduk, menyalakan rokok. Tidak menawariku.
"Aku tidak ingin ini diberitakan, Miss. Aku tidak berniat membiarkan berita ini muncul."
"Kurasa, Chief Vickery, tidak ada banyak pilihan untuk masalah
ini. Anak-anak menjadi sasaran. Masyarakat harus menyadari itu."
Ini kalimat yang kulatih sepanjang perjalanan menyetir. Pernyataan
itu menyalahkan para dewa-dewa.
"Kenapa kau peduli" Mereka bukan anak-anakmu, mereka anakanak Wind Gap." Dia berdiri, duduk kembali, menyusun ulang
beberapa dokumen. "Aku bertaruh aku bisa bilang Chicago tidak
pernah memedulikan anak-anak Wind Gap." Suaranya pecah di
akhir kalimat. Vickery mengisap rokok, memutar cincin emas gemuk di jari kelingking, mengedip-ngedip dengan cepat. Tiba-tiba
aku bertanya-tanya apakah pria ini akan menangis.
"Kau benar. Mungkin tidak. Dengar, ini tidak akan menjadi berita eksploitatif. Ini penting. Kalau ini membuatmu merasa lebih
baik, aku dari Wind Gap." Nah, tuh, Curry. Aku berusaha.
Pria itu kembali menatapku. Menatap wajahku.
"Siapa namamu?"
"Camille Preaker."
"Kenapa aku tidak mengenalmu?"
"Tidak pernah terlibat masalah, Sir." Aku menawarkan sedikit
senyum. "Keluargamu Preaker?"
"Ibuku menikah dan mengganti nama belakangnya sekitar 25
tahun lalu. Adora dan Alan Crellin."
"Oh. Mereka aku kenal." Mereka yang semua orang kenal. Uang
bukan sesuatu yang umum di Wind Gap, kalau dalam jumlah banyak. "Tapi aku masih tidak ingin kau di sini, Miss Preaker. Kau
Sharp Objects.indd 18 mengulas berita ini, dan mulai saat itu orang-orang hanya akan
mengenal kami karena" ini."
"Mungkin sedikit publisitas akan membantu," tawarku. "Itu
membantu di kasus lain."
Vickery duduk diam selama sedetik, merenungi makan siang dalam kantong kertas kerisut di ujung meja. Aromanya seperti bologna. Dia menggumamkan sesuatu soal JonBenet dan semacamnya.
"Tidak, makasih, Miss Preaker. Dan tidak ada pernyataan. Aku
tidak punya pernyataan soal penyelidikan yang sedang berjalan.
Kau boleh mengutipku."
"Dengar, aku punya hak berada di sini. Ayo kita permudah. Beri
aku sedikit informasi. Sesuatu. Kemudian aku akan menyingkir darimu selama beberapa saat. Aku tidak ingin mempersulit tugasmu.
Tapi aku harus melakukan tugasku." Itu salah satu dialog pendek
yang kubayangkan di suatu tempat di dekat St. Louis.
Aku meninggalkan kantor polisi dengan fotokopi peta Wind Gap,
yang digambari tanda X kecil oleh Chief Vickery untuk menandai
lokasi penemuan jasad gadis yang dibunuh tahun lalu.
Ann Nash, sembilan tahun, ditemukan pada 27 Agustus di Falls
Creek, anak sungai berbatu-batu yang berisik mengalir melalui
tengah-tengah North Woods. Sejak malam tanggal 26, ketika dia
hilang, tim pencari sudah menyusuri hutan. Tapi para pemburulah
yang menemukan Ann sesudah pukul 05.00. Gadis kecil itu dicekik
mendekati tengah malam dengan tali jemuran biasa, dikalungkan
dua kali di lehernya. Kemudian dibuang ke anak sungai, dangkal
karena kekeringan di musim panas. Tali jemuran itu tersangkut di
batu besar dan dia menghabiskan malam itu mengapung di anak sungai yang mengalir malas. Pemakaman Ann dilakukan dengan peti
tertutup. Hanya itu yang diberikan Vickery kepadaku. Aku menghabiskan sejam bertanya-tanya hanya untuk informasi sebanyak itu.
Sharp Objects.indd 19 Dari telepon umum di perpustakaan aku menghubungi nomor di
poster orang hilang. Suara wanita tua menjawabnya sebagai Hotline
Natalie Keene, tetapi di latar belakang aku bisa mendengar deru
mesin pencuci piring. Wanita itu memberitahuku sejauh yang dia ketahui, pencarian masih berlangsung di North Woods. Orang-orang
yang ingin membantu harus melapor ke jalan akses utama dan membawa air minum sendiri. Diperkirakan suhu udara akan tinggi.
Di lokasi pencarian, empat gadis berambut pirang duduk dengan
tegang di handuk piknik yang digelar di bawah matahari. Mereka
menunjuk ke salah satu jalur dan memberitahuku untuk berjalan ke
sana hingga menemukan kelompok pencari.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya gadis yang paling cantik.
Wajah merona merahnya memiliki bentuk bulat gadis yang baru
saja menginjak usia remaja dan rambutnya dibelah dua dan diikat
pita, tapi payudaranya, yang dia tonjolkan ke depan dengan bangga,
adalah payudara wanita dewasa. Wanita dewasa yang beruntung.
Dia tersenyum seolah-olah mengenalku, tidak mungkin karena dia
pastinya masih di taman kanak-kanak kali terakhir aku datang ke
Wind Gap. Namun, dia kelihatan familier. Mungkin putri salah satu
teman sekolahku. Umur gadis itu akan sesuai kalau seseorang hamil
langsung sesudah lulus SMA. Bukannya tidak umum terjadi.
"Hanya mau membantu," kataku.
"Tentu saja," dia menyeringai dan mengusirku dengan mengalihkan perhatiannya mengelupasi cat kuku di jari kakinya.
Aku menapaki kerikil yang panas dan masuk ke hutan, yang
malah terasa lebih hangat. Udara di sini udara hutan basah. Semak
goldenrod dan sumac liar menyapu pergelangan kakiku dan biji-biji
kapuk putih berbulu melayang di semua tempat, masuk ke mulutku, menempel ke lenganku. Tiba-tiba aku ingat, ketika aku masih
kanak-kanak kami menyebutnya gaun peri.
Sharp Objects.indd 20 Di kejauhan orang-orang menyeru-nyerukan nama Natalie, tiga
silabel itu naik-turun seperti lagu. Setelah sepuluh menit mendaki
dengan susah payah, aku melihat mereka: sekitar empat lusin orang


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan dalam barisan panjang, menyibakkan semak-semak di depan mereka dengan tongkat.
"Halo! Ada kabar?" seru pria berperut gemuk yang paling dekat
denganku. Aku meninggalkan jalan setapak dan melintasi pepohonan hingga mencapai pria itu.
"Bisakah aku membantu?" Aku belum siap mengeluarkan buku
catatanku. "Kau bisa berjalan di sebelahku," katanya. "Kami bisa memanfaatkan bantuan satu orang tambahan. Lebih sedikit lahan untuk
ditelusuri." Kami berjalan dalam hening selama beberapa menit,
rekanku terkadang berhenti untuk melegakan tenggorokan dengan
batuk yang basah dan kasar.
"Kadang-kadang kupikir kami seharusnya membakar hutan ini,"
katanya tiba-tiba. "Sepertinya tidak ada hal baik yang terjadi di hutan. Kau teman keluarga Keene?"
"Aku sebenarnya reporter. Chicago Daily Post."
"Mmmm". Wah, yang benar. Kau menulis semua ini?"
Tiba-tiba terdengar pekikan menembus pepohonan, jeritan
seorang gadis: "Natalie!" Tanganku mulai berkeringat ketika kami
berlari ke arah suara itu. Aku melihat sosok-sosok terjungkal ke
arah kami. Remaja berambut pirang pucat berjalan tersaruk-saruk
melewati kami ke arah jalan setapak, wajahnya merah dan tegang.
Dia terhuyung-huyung seperti orang mabuk, meneriakkan nama
Natalie ke langit. Pria yang lebih tua, mungkin ayahnya, menyusulnya, memeluk gadis itu, dan mulai menuntunnya keluar dari hutan.
"Mereka menemukannya?" seru temanku.
Beberapa kepala menggeleng. "Dia cuma takut, kurasa," seorang
Sharp Objects.indd 21 pria lagi berseru. "Terlalu berat untuknya. Anak-anak perempuan
seharusnya tidak di luar sini, tidak dengan kondisi sekarang." Pria
itu menatapku tegas, melepaskan topi bisbol untuk mengelap alis,
kemudian kembali menyibakkan rumput.
"Tugas yang menyedihkan," kata rekanku. "Waktu yang menyedihkan." Kami berjalan maju lambat-lambat. Aku menendang
kaleng bir berkarat menjauh. Kemudian satu lagi. Seekor burung
terbang setinggi mata, kemudian naik langsung ke pucuk pepohonan. Seekor belalang tiba-tiba mendarat di pergelangan tanganku.
Keajaiban yang menakutkan.
"Kau keberatan kalau aku menanyakan pendapatmu soal semua
ini?" Aku menarik buku catatanku keluar, menggoyang-goyangkannya.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa cerita banyak."
"Pendapatmu saja. Dua anak perempuan di kota kecil"."
"Yah, tidak ada yang tahu apakah itu berhubungan, kan" Kecuali
kau tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Sejauh yang kami tahu,
Natalie akan muncul dengan baik-baik saja. Ini bahkan belum dua
hari." "Apakah ada teori soal Ann?" tanyaku.
"Pria sinting, pelakunya pasti orang gila. Seseorang menyetir melewati kota, lupa makan obat, suara-suara bicara kepadanya. Sesuatu
semacam itu." "Kenapa kau bilang begitu?"
Pria itu berhenti, mengeluarkan bungkusan tembakau dari saku
belakang, melesakkan sejumput ke gusi dan menyepahnya hingga
mendapatkan torehan pertama untuk membiarkan sari tembakau
meresap. Tepian mulutku tergelitik karena simpati.
"Apa lagi alasan kau mencabut gigi dari mayat anak perempuan?"
"Si pembunuh mengambil giginya?"
"Semuanya kecuali geraham susu belakang."
Sharp Objects.indd 22 Sesudah sejam berikutnya yang tanpa hasil dan tidak banyak informasi, aku meninggalkan rekanku, Ronald Kamens ("tulis inisial
tengahku, kalau kau mau: J"), dan mendaki ke arah selatan ke titik
tempat jasad Ann ditemukan tahun lalu. Butuh 15 menit sebelum
seruan nama Natalie memudar. Sepuluh menit dari sini, aku akan
bisa mendengar Falls Creek, deru airnya yang lantang.
Akan sulit membawa anak kecil melalui hutan ini. Batang-batang
dan dedaunan menghalangi jalan setapak, akar-akar menonjol keluar dari tanah. Kalau Ann memang gadis Wind Gap sungguhan, kota
yang menuntut kefemininan sepenuhnya dari kaum perem?puan,
dia akan membiarkan rambutnya terurai panjang. Rambutnya akan
tersangkut di semak-semak yang dilewatinya. Aku terus salah mengira jaring laba-laba sebagai helai rambut.
Rumput di sepanjang tempat jasad ditemukan masih rata dengan
tanah, disisir untuk mencari petunjuk. Ada beberapa puntung
rokok baru yang ditinggalkan orang-orang yang penasaran. Anakanak yang bosan saling menakuti dengan penampakan pria sinting
menyeret gigi penuh darah.
Di anak sungai, dulu ada sebaris batu yang menjerat tali jemuran
di leher Ann, membuatnya tersangkut dan mengambang di aliran
air seperti orang terkutuk selama setengah malam. Sekarang, hanya
ada air mulus mengalir di atas pasir. Mr. Ronald J. Kamens dengan
bangga memberitahuku: Orang-orang kota itu mencungkil batubatu itu, memasukkannya ke pikap, dan menghancurkannya tak
jauh dari batas kota. Itu keyakinan yang mengharukan, seolah-olah
penghancuran batu itu akan menjauhkan kejahatan di masa depan.
Sepertinya tidak berhasil.
Aku duduk di ujung sungai, menelusurkan telapak tangan ke tanah berbatu. Mengangkat batu mulus, panas, dan menekankannya
ke pipiku. Aku bertanya-tanya apakah Ann pernah datang kemari
Sharp Objects.indd 23 ketika dia masih hidup. Mungkin anak-anak Wind Gap generasi
baru sudah menemukan cara lebih menarik untuk menghabiskan
musim panas. Ketika aku masih kanak-kanak, kami berenang tepat
di hilir tempat bebatuan lebar membentuk kolam dangkal. Udang
karang akan berenang di sekitar kaki kami dan kami akan melompati mereka, menjerit jika kami menyentuh binatang itu. Tidak ada
yang memakai baju berenang, itu berarti terlalu banyak perencanaan. Yang kaulakukan adalah bersepeda pulang dengan celana pendek dan atasan tanpa lengan yang basah, menggoyang-goyangkan
kepala seperti anjing basah.
Kadang-kadang anak-anak lelaki yang lebih tua, dilengkapi
dengan senapan dan bir curian, akan berderap dalam perjalanan
berburu tupai terbang atau kelinci. Potongan daging penuh darah
mengayun-ayun di ikat pinggang mereka. Anak-anak itu, sombong,
mabuk, dan berbau keringat, yang menyadari kehadiran kami dengan agresif, selalu menarik perhatianku. Ada beberapa jenis berburu, aku tahu sekarang. Pemburu terhormat dengan visi Teddy
Roosevelt dan binatang buruan besar, yang beristirahat dari sehari
berburu dengan gin dan tonik yang ringan, bukanlah pemburu yang
tumbuh besar bersamaku. Anak-anak lelaki yang kukenal, yang mulai berburu sejak muda, adalah pemburu darah. Mereka mencari
sentakan fatal binatang yang terlontar sesudah ditembak, kabur
sehalus air pada satu detik, kemudian terempas ke satu sisi oleh
peluru mereka. Ketika masih di sekolah dasar, mungkin saat berusia 12 tahun,
aku keluyuran ke pondok berburu anak lelaki tetanggaku, pondok
berdinding kayu tempat binatang-binatang buruan dikuliti dan di?
potong-potong. Helai-helai daging lembap dan merah muda menggantung di tali, menunggu untuk dikeringkan dan dibuat dendeng.
Lantai tanahnya seperti berkarat ditutupi darah. Dindingnya ditu24
Sharp Objects.indd 24 tupi foto wanita telanjang. Beberapa wanita di foto itu membuka
diri mereka lebar-lebar, yang lain ditahan dan dipenetrasi. Salah
satu wanita itu diikat, matanya berkaca-kaca, payudaranya teregang
dan pembuluh darahnya tampak seperti sulur anggur, ketika se?
orang pria memasukinya dari belakang. Aku bisa membaui semua
itu dalam udara yang pekat dan mengerikan.
Di rumah pada malam harinya, aku menyelipkan satu jari ke balik pakaian dalamku dan masturbasi untuk kali pertama, terengahengah dan mual.
Sharp Objects.indd 25 bab dua Jam Minuman Murah. Aku menyudahi pencarianku dan berhenti
di Footh"s, bar pedesaan sederhana di Wind Gap, sebelum mampir
ke 1665 Grove Street, rumah Betsy dan Robert Nash, orangtua Ashleigh, 12; Tiffanie, 11; mendiang Ann, selamanya berusia 9; dan
Bobby Jr., 6 tahun. Tiga anak perempuan hingga, akhirnya, hadir anak bungsu lelaki
mereka. Ketika menyesap bourbon dan membuka kulit kacang, aku
merenungkan keputusasaan yang semakin besar yang pastinya dirasakan pasangan Nash setiap kali bayi keluar tanpa penis. Ada si anak
pertama, Ashleigh, bukan laki-laki, tapi manis dan sehat. Lagi pula
mereka memang ingin punya dua anak. Ashleigh mendapatkan
nama bagus dengan ejaan berlebihan dan lemari penuh gaun-gaun
manis. Mereka menyilangkan jari dan mencoba lagi, tetapi masih
mendapatkan Tiffanie. Sekarang mereka cemas, kepulangan mereka
ke rumah tidak terlalu menggembirakan. Ketika Mrs. Nash hamil
sekali lagi, suaminya membeli sarung tangan bisbol kecil untuk
memberikan arah yang benar kepada benjolan di perut istrinya.
Bayangkan kekecewaan mereka ketika Ann hadir. Dia diberi nama
kecil sederhana"bahkan tidak mendapatkan huruf e ekstra untuk
menghiasinya sedikit. Sharp Objects.indd 26 Syukurlah ada Bobby. Tiga tahun sesudah Ann yang mengecewakan"entah Bobby adalah kecelakaan atau percobaan terakhir"si
bungsu mendapatkan nama ayahnya, amat disayang, dan para gadis
kecil ini tiba-tiba menyadari betapa mereka tidak dianggap penting.
Terutama Ann. Tidak ada yang membutuhkan gadis ketiga. Tapi
sekarang dia mendapatkan perhatian.
Aku meminum bourbon kedua dalam satu tegukan mulus, melemaskan bahu, menampar pelan pipi, masuk ke Buick biruku, dan
menyesal tidak minum gelas ketiga. Aku bukan salah satu reporter
yang senang mengorek-ngorek privasi orang. Itu mungkin alasannya aku jurnalis kelas dua. Salah satu dari mereka, setidaknya.
Aku masih ingat jalan ke Grove Street. Letaknya dua blok di
belakang SMA-ku, yang menjadi sekolah setiap anak dalam radius
100 km. SMA Millard Calhoon didirikan pada 1930, usaha terakhir
Wind Gap sebelum tenggelam ke era Depresi. Sekolah itu dinamai
sesuai dengan walikota pertama Wind Gap, pahlawan Perang Sipil. Pahlawan Perang Sipil Konfederasi, tapi itu tidak jadi masalah,
bagaimanapun seorang pahlawan. Mr. Calhoon bertempur dengan
satu pasukan Yankee pada tahun pertama Perang Sipil di Lexington,
dan sendirian menyelamatkan kota Missouri kecil itu. (Atau begitulah yang dikatakan plakat di pintu masuk sekolah.) Dia berlari melintasi lahan pertanian dan melesat melalui rumah-rumah berpagar
kayu, dengan sopan membujuk para wanita untuk menyingkir agar
mereka tidak dirusak para Yanks. Pergilah ke Lexington sekarang
dan minta izin untuk melihat Rumah Calhoon, contoh arsitektur
yang baik, dan kau masih bisa melihat peluru tentara utara terbenam di papan kayunya. Peluru tentara selatan Mr. Calhoon, orang
berasumsi, terkubur bersama para tentara yang mereka bunuh.
Calhoon sendiri meninggal pada 1929 ketika dia mendekati ulang
tahun yang ke-100. Dia duduk di gazebo, yang sekarang sudah tidak
Sharp Objects.indd 27 ada, di pusat kota, dengan jalan yang sudah dilapisi batu, disambut
band besar alat musik tiup, ketika tiba-tiba dia condong ke arah
istrinya yang berusia 52 tahun dan berkata, "Semua ini terlalu berisik." Kemudian dia terkena serangan jantung dan terjatuh ke depan
di kursinya, menodai seragam Perang Sipil-nya dengan kue untuk
minum teh yang dihiasi dengan Bintang dan Garis khusus untuk pria
itu. Aku merasakan kekaguman khusus untuk Calhoon. Kadangkadang semua ini memang terlalu berisik.
Rumah keluarga Nash persis seperti yang kuharapkan, bangunan
standar akhir tahun "70-an, seperti semua rumah di sisi barat kota.
Salah satu rumah berbentuk panjang yang nyaman, dengan garasi
sebagai titik utamanya. Ketika aku menyetir ke arah rumah itu,
bocah berambut pirang berantakan duduk di jalan masuk mobil di
dalam Big Wheel yang terlalu kecil untuknya, menggerutu sambil
berusaha mengayuh pedal sepeda plastik itu. Rodanya hanya berputar di tempat di bawah bobot tubuhnya.
"Mau kudorong?" kataku seraya keluar dari mobil. Aku pada
prinsipnya tidak bisa akrab dengan anak-anak, tapi sepertinya berusaha akrab tidak akan merugikan. Bocah itu menatapku tanpa suara
selama sedetik, memasukkan satu jari ke mulut. Singletnya tersingkap ketika perut bundarnya muncul untuk menyambutku. Bobby
Jr. kelihatan bodoh dan penakut. Anak laki-laki untuk pasangan
Nash, tetapi mengecewakan.
Aku melangkah ke arah Bobby Jr.. Bocah itu melompat dari Big
Wheel, yang melekat di tubuhnya selama beberapa langkah, macet,
kemudian tersungkur ke pinggir.
"Daddy!" Anak itu berlari sembari menjerit ke arah rumah se?
olah-olah aku mencubitnya.
Sharp Objects.indd 28 Saat aku mencapai pintu depan, muncul seorang pria. Mataku
terpusat ke belakang pria itu, pada air terjun miniatur di koridor.
Air mancur tiga tingkat berbentuk kerang, dengan patung anak
lelaki kecil terpasang di atasnya. Bahkan dari sisi lain pintu kasa,
airnya berbau apak. "Bisa kubantu?"
"Apakah kau Robert Nash?"
Dia tiba-tiba kelihatan cemas. Itu mungkin pertanyaan pertama
yang diajukan polisi kepadanya ketika mereka memberitahu putrinya tewas.
"Aku Bob Nash."
"Maaf aku menganggumu di rumah. Aku Camille Preaker. Aku
dari Wind Gap." "Mmmm." "Tapi sekarang aku bekerja untuk Daily Post di Chicago. Kami
meliput berita". Kami di sini karena Natalie Keene dan pembunuhan putrimu."
Aku bersiap-siap menghadapi teriakan, pintu dibanting, sumpah
serapah, tinju melayang. Bob Nash membenamkan kedua tangan
jauh ke saku depannya dan bersandar pada tumit kakinya.
"Kita bisa bicara di kamar."
Dia menahan pintu terbuka untukku dan aku berjalan melintasi
ruang duduk yang berantakan, keranjang cucian memuntahkan se?
prai kusut dan kaus-kaus mungil. Kemudian melewati kamar mandi
dengan gulungan kosong tisu toilet di lantai, dan menyusuri koridor yang dihiasi foto-foto yang memudar di bawah laminasi kotor:
anak-anak perempuan berambut pirang mengelilingi bayi laki-laki
dengan penuh kasih sayang; Nash muda dengan lengan kaku memeluk pengantin barunya, keduanya memegang ujung pisau kue.
Ketika sampai ke kamar tidur"tirai dan seprai yang sesuai, meja
Sharp Objects.indd 29 rias yang rapi"aku menyadari kenapa Nash memilih tempat ini
untuk wawancara kami. Itu satu-satunya tempat di rumah ini yang
sedikit beradab, seperti markas di ujung hutan yang meresahkan.
Nash duduk di satu ujung tempat tidur, aku di ujung lainnya.
Tidak ada kursi. Kami bisa saja menjadi aktor harian di film porno
amatir. Hanya saja kami memegang gelas berisi Kool-Aid rasa ceri
yang diambilkan Nash. Dia pria kelimis: kumis terpangkas, rambut
pirang menipis dirapikan dengan gel, kaus berkerah hijau cerah
dimasukkan ke jinsnya. Aku berasumsi dialah yang mempertahankan keteraturan kamar ini; kamar ini memiliki kerapian lugu dari
bujangan yang berusaha keras.
Nash tidak butuh pemanasan untuk wawancara dan aku bersyukur. Itu seperti bicara gombal pada kencanmu ketika kalian berdua
tahu kalian akan tidur bersama.
"Ann bermain sepeda sepanjang musim panas tahun lalu," Nash
memulai tanpa aba-aba. "Sepanjang musim panas, terus-menerus
mengitari blok ini. Istriku dan aku tidak mengizinkannya pergi
lebih jauh. Dia baru sembilan tahun. Kami orangtua yang sangat
protektif. Tetapi pada akhir musim panas, tepat sebelum dia mulai
sekolah, istriku bilang baiklah. Ann merengek, jadi istriku bilang
baiklah, Ann boleh bersepeda ke rumah temannya Emily. Dia tidak


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah sampai ke sana. Kami baru sadar pada pukul delapan."
"Pukul berapa dia pergi?"
"Sekitar pukul tujuh. Jadi di suatu tempat di tengah perjalanan, di
sepanjang sepuluh blok, mereka menangkapnya. Istriku tidak akan
pernah memaafkan diri sendiri. Tidak pernah."
"Apa maksudmu, mereka menangkapnya?"
"Mereka, dia, apa pun. Si bajingan. Pembunuh anak-anak yang
gila. Sementara keluargaku dan aku tidur, sementara kau ke sana
kemari meliput berita, ada orang di luar sana mencari anak-anak
Sharp Objects.indd 30 untuk dibunuh. Karena kau dan aku tahu, gadis Keene cilik itu
bukan hanya hilang."
Bob Nash menghabiskan sisa Kool-Aid-nya dalam sekali teguk,
lalu mengelap mulut. Pernyataan Nash bagus, sekalipun sedikit
berlebihan. Aku menemukan ini wajar terjadi dan berhubungan
langsung dengan sesering apa subjek menonton TV. Baru-baru ini
aku mewawancarai wanita yang putrinya yang berusia 22 tahun dibunuh kekasihnya, dan wanita itu memberiku pernyataan langsung
dari drama hukum yang kebetulan kutonton malam sebelumnya:
Aku ingin berkata aku mengasihani pria itu, tetapi sekarang kurasa
aku tidak akan pernah bisa kasihan lagi.
"Jadi, Mr. Nash, kau tidak punya bayangan siapa yang mungkin
ingin melukaimu atau keluargamu dengan melukai Ann?"
"Miss, pekerjaanku menjual kursi, kursi ergonomis"lewat telepon. Aku bekerja di luar kantor yang berlokasi di Hayti, dengan dua
orang lainnya. Aku tidak bertemu siapa pun. Istriku bekerja paruh
waktu di sekolah dasar. Tidak ada drama di sana. Seseorang cuma
me?mutuskan untuk membunuh gadis kecil kami." Dia mengatakan
kalimat terakhir seolah-olah dia dikepung untuk memercayai pemikiran itu.
Bob Nash berjalan ke pintu kaca geser di pinggir kamar tidur.
Pintu itu mengarah ke beranda sempit. Dia membuka pintu tetapi
tetap berdiam di kamar. "Mungkin pelakunya homo," katanya. Pilihan kata itu sebenarnya eufemisme di Amerika sebelah sini.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Dia tidak memerkosa Ann. Semua orang bilang itu tidak biasa
dalam kasus pembunuhan seperti ini. Aku bilang itu satu-satunya
berkah yang kami dapatkan. Aku lebih memilih dia membunuh
Ann daripada memerkosanya."
"Tidak ada tanda-tanda pelecehan sama sekali?" tanyaku dengan
suara menggumam berharap ucapanku terdengar lembut.
Sharp Objects.indd 31 "Tidak ada. Dan tidak memar, luka, sama sekali tidak ada tandatanda" penyiksaan. Hanya mencekiknya. Mencabut gigi-giginya.
Dan aku tidak meniatkan yang kukatakan sebelumnya, soal lebih
baik dia dibunuh daripada diperkosa. Itu hal yang bodoh untuk
dikatakan. Tapi kau tahu maksudku."
Aku tidak mengatakan apa pun, membiarkan perekamku terus
berputar, merekam desah napasku, denting es di gelas Nash, dentam permainan voli di rumah sebelah dimainkan pada saat-saat
terakhir sebelum matahari terbenam.
"Daddy?" Gadis pirang cantik, rambut dikucir kuda menjuntai
hingga pinggang, mengintip lewat celah pintu kamar.
"Jangan sekarang, Sayang."
"Aku lapar." "Kau bisa bikin sesuatu," kata Nash. "Ada wafel di kulkas. Pastikan Bobby makan juga."
Gadis itu berdiam selama beberapa detik, menatap karpet di
depannya, kemudian perlahan-lahan menutup pintu. Aku bertanyatanya di mana ibu mereka.
"Apakah kau ada di rumah ketika Ann pergi terakhir kali itu?"
Dia memiringkan kepala ke arahku, mengisap giginya. "Tidak.
Aku dalam perjalanan pulang dari Hayti. Itu sejam menyetir. Aku
tidak mencelakai putriku."
"Aku tidak bermaksud mengatakan itu," aku berbohong. "Aku
hanya bertanya-tanya apakah kau melihatnya malam itu."
"Melihatnya pagi itu," katanya. "Tidak ingat apakah kami mengobrol atau tidak. Mungkin tidak. Empat anak di pagi hari bisa merepotkan, kau tahu?"
Nash memutar-mutar esnya, sekarang meleleh menyatu menjadi
satu bongkah padat. Dia menyusurkan jemari di bawah kumis pendeknya. "Tidak ada yang membantu sejauh ini," katanya. "Vickery
Sharp Objects.indd 32 kewalahan. Ada detektif sok penting yang ditugaskan ke sini dari
Kansas City. Dia masih muda, sombong pula. Menghitung hari
hingga dia bisa pergi. Kau ingin foto Ann?" Dia mengatakan foto
seperti poto. Aku juga akan melakukannya kalau aku tidak berhatihati. Dari dompetnya dia mengeluarkan foto sekolah gadis dengan
senyum lebar, miring, rambut cokelat pucatnya dipotong tidak rata
di atas dagu. "Istriku ingin merol rambut Ann malam sebelum foto sekolah.
Ann malah memotong rambutnya. Dia anak keras kepala. Tomboi.
Aku sebenarnya terkejut karena dia yang diculik mereka. Ashleigh
selalu jadi yang paling cantik. Yang dilihat orang." Dia menatap foto
itu sekali lagi. "Ann pasti melawan sekuat tenaga."
Ketika aku pergi, Nash memberiku alamat teman Ann yang akan
dia kunjungi ketika dia diculik. Aku menyetir lambat-lambat ke rumah itu sepanjang beberapa blok yang berbentuk persegi sempurna.
Sisi barat ini merupakan wilayah baru di Wind Gap. Kau bisa tahu
itu karena warna hijau rumputnya lebih terang, ditebarkan dalam
petak-petak siap pasang, baru tiga puluh musim panas lalu. Bukan
seperti rumput gelap, kaku, tajam yang tumbuh di depan rumah
ibuku. Rumput yang bisa dipakai bersiul lebih baik. Kau bisa membelah bagian tengah bilah rumput, meniupnya, dan membuat suara
bersiul hingga bibirmu mulai gatal.
Hanya butuh lima menit untuk Ann Nash bersepeda ke rumah
temannya. Tambah sepuluh menit seandainya dia memutuskan
untuk mengambil rute yang lebih panjang, meregangkan kaki pada
kesempatan pertama bersepeda sungguhan pada musim panas itu.
Anak sembilan tahun terlalu tua untuk terjebak bersepeda berkeliling blok yang sama. Apa yang terjadi pada sepedanya"
Aku menyetir pelan melewati rumah Emily Stone. Ketika malam
merekah biru, aku bisa melihat anak perempuan berlari melewati
Sharp Objects.indd 33 in jendela yang terang. Aku bertaruh orangtua Emily mengatakan
kalimat seperti, "Sekarang kami memeluknya sedikit lebih erat
setiap malam," kepada teman-teman mereka. Aku bertaruh Emily
bertanya-tanya ke mana Ann dibawa untuk dibunuh.
Aku mempertanyakan itu. Mencabut sekitar dua puluh gigi, tidak peduli sekecil apa gigi itu, tidak peduli setidak bernyawa apa
subjeknya, adalah tugas yang sulit. Itu harus dilakukan di tempat
khusus, di tempat yang aman sehingga seseorang bisa sesekali istirahat selama beberapa menit.
Aku menatap foto Ann, ujungnya mengeriting seolah-olah melindungi anak itu. Potongan rambut yang memberontak dan seringai
itu mengingatkanku akan Natalie. Aku juga menyukai gadis ini. Aku
memasukkan fotonya ke laci dasbor. Kemudian aku menyingkapkan lengan kemeja dan menuliskan nama lengkapnya"Ann Marie
Nash"dengan bolpoin biru tebal di bagian dalam lenganku.
Aku tidak menggunakan jalan masuk rumah orang lain untuk berputar walaupun harus melakukannya. Kupikir orang-orang di sini
sudah cukup cemas tanpa ada mobil asing berkeliaran. Alih-alih,
aku belok kiri di ujung blok dan mengambil jalan yang lebih jauh
ke rumah ibuku. Aku berdebat dalam hati apakah aku sebaiknya
meneleponnya terlebih dahulu atau tidak, dan memutuskan untuk
tidak melakukannya saat tinggal tiga blok lagi dari rumah. Terlalu
terlambat untuk menelepon, terlalu banyak kesopanan yang tidak
jelas. Begitu menyeberangi garis batas negara bagian, kau tidak perlu menelepon untuk bertanya apakah kau bisa mampir.
Rumah ibuku yang luar biasa besar berada di Wind Gap paling
se?latan, bagian orang kaya, kalau kau bisa menganggap wilayah
se?kitar tiga kilometer persegi di dalam kota sebagai satu bagian.
Sharp Objects.indd 34 Ibuku"dan dulu aku juga"tinggal di rumah dari periode Victoria, lengkap dengan langkan di atap, beranda berpagar mengelilingi
bangunan, serambi musim panas mencuat ke arah belakang rumah,
dan kubah meruncing di atap. Rumah itu penuh dengan ruanganruangan kecil dan ceruk, dengan jalan berputar-putar. Orang zaman
Victoria, terutama di daerah selatan, membutuhkan banyak ruang
untuk menyingkir dari orang lain, untuk menghindari TBC dan flu,
mencegah gairah memburu, membentengi diri mereka dari emosi
yang lekat. Ada ruang ekstra itu bagus.
Rumah itu terletak di puncak bukit yang sangat terjal. Dengan
gigi satu, kau bisa menyetir melalui jalan masuk tua yang retak-retak
menuju puncak, tempat beranda beratap untuk dilewati kendaraan
menaungi mobil agar tidak basah. Atau kau bisa parkir di dasar
bukit dan menaiki 63 anak tangga hingga ke atas, berpegangan
pada susuran tangga sekurus cerutu di sebelah kiri. Ketika masih
kanak-kanak, aku selalu naik lewat tangga, dan berlari turun lewat
jalan masuk mobil. Aku menganggap susuran ada di sebelah kiri,
jika dilihat dari dasar tangga, karena aku kidal dan seseorang berpikir aku mungkin akan menyukai itu. Aneh menyadari aku pernah
memanjakan diri sendiri dengan anggapan semacam itu.
Aku parkir di bawah, agar tidak terlalu dianggap mengganggu.
Basah karena keringat saat mencapai puncak, aku mengangkat rambut, mengibas-ngibaskan sebelah tangan ke tengkuk, mengepakngepakkan atasanku beberapa kali. Noda keringat tampak vulgar di
blus biru Prancis-ku. Aku berbau, seperti kata ibuku, matang.
Aku membunyikan bel, yang waktu aku kecil dulu terdengar
seperti siulan memekik, namun sekarang teredam dan terpotong,
seperti bing! yang kaudengar di rekaman ketika saatnya membalikkan halaman buku anak-anak yang dilengkapi audio. Sekarang
pukul 21.15, cukup larut, mereka mungkin sudah tidur.
Sharp Objects.indd 35 "Siapa itu?" Suara melengking ibuku di belakang pintu.
"Hai, Momma. Ini Camille." Aku berusaha menjaga nada bicaraku tetap datar.
"Camille." Ibuku membuka pintu dan berdiri di ambangnya,
tidak terlihat terkejut, dan tidak menawarkan pelukan sama sekali,
bahkan tidak pelukan canggung yang kubayangkan. "Ada masalah?"
"Tidak, Momma, tidak ada. Aku di sini untuk urusan kerja."
"Kerja. Kerja" Yah, astaga, maafkan aku, Sayang, masuk, masuk.
Maaf, tapi sepertinya rumah ini belum disiapkan untuk menerima
tamu." Rumah itu sempurna, hingga ke selusin bunga tulip potong di
dalam vas di koridor masuk. Udara di dalam rumah pekat dengan
serbuk bunga, rasanya menyebalkan dan membuat mataku berair.
Tentu saja ibuku tidak bertanya urusan apa yang membuatku terdampar di sini. Dia jarang mengajukan pertanyaan bermakna. Entah karena itu perhatian yang berlebihan atas privasi seseorang atau
dia hanya tidak terlalu peduli. Aku akan membiarkanmu menebak
opsi mana yang kupilih. "Mau kuambilkan minuman, Camille" Alan dan aku sedang minum amaretto sour." Dia memberi tanda ke gelas di tangan. "Aku
memasukkan sedikit Sprite, rasa manisnya jadi lebih tajam. Tapi
aku juga punya jus mangga, anggur, dan teh manis, atau air es. Atau
air soda. Kau menginap di mana?"
"Lucu kau menanyakan itu. Aku berharap aku bisa menginap di
sini. Hanya untuk beberapa hari."
Jeda sejenak, kuku tangan panjang ibuku, merah muda transparan, berdetak di gelasnya. "Yah, aku yakin itu tidak masalah.
Seandainya kau menelepon dulu. Cuma biar aku tahu. Aku bisa
menyiapkan makan malam untukmu atau apalah. Ayo sapa Alan.
Kami sedang di serambi belakang."
Sharp Objects.indd 36 Ibuku berjalan menjauh, menyusuri koridor"ruang keluarga
putih berkilau, ruang duduk, dan ruang baca merekah di semua
sisi"dan aku memperhatikan ibuku. Ini kali pertama kami bertemu sesudah nyaris setahun. Warna rambutku sekarang berbeda"
cokelat, sebelumnya merah"tapi ibuku sepertinya tidak menyadari itu. Dia kelihatan persis sama, tidak lebih tua dibandingkan
aku sekarang, walaupun usianya sekarang akhir 40-an. Kulit pucat
berkilau, dengan rambut pirang panjang dan mata biru pucat. Dia
seperti boneka terbaik seorang anak perempuan, boneka yang tidak
kaumainkan. Ibuku mengenakan gaun katun merah muda panjang
dengan sandal putih kecil. Dia memutar-mutar gelas amaretto sour
tanpa menumpahkan setetes pun minuman.
"Alan, ada Camille." Ibuku menghilang ke dapur belakang (yang
lebih kecil di antara dua dapur) dan aku mendengarnya merekahkan wadah es batu dari logam.
"Siapa?" Aku menjulurkan kepala di pojokan, menyunggingkan senyuman. "Camille. Maaf aku mampir tanpa memberi kabar dahulu."
Kau akan berpikir makhluk cantik seperti ibuku dilahirkan
untuk berpasangan dengan mantan bintang football. Ibuku akan
kelihatan cocok dengan raksasa kekar berkumis. Sementara Alan
lebih kurus dibandingkan ibuku, dengan tulang pipi yang menonjol begitu tinggi dan tajam sehingga matanya terlihat seperti irisan
buah badam. Aku ingin memasangkan infus padanya ketika melihat
pria itu. Alan selalu berpakaian terlalu resmi, bahkan pada malam
minum minuman manis dengan ibuku. Dia sedang duduk, kaki
kurus mencuat keluar dari celana safari pendek putih, sweter biru
muda dirangkap melapisi kemeja yang rapi. Dia sama sekali tidak
berkeringat. Alan adalah kebalikan dari lembap.
"Camille. Menyenangkan. Benar-benar menyenangkan," gumam37
Sharp Objects.indd 37 nya dalam geram satu nadanya. "Jauh-jauh ke Wind Gap. Kupikir
kau menetapkan moratorium pada tempat di mana pun di bagian
selatan Illinois." "Hanya urusan pekerjaan, sebenarnya."
"Pekerjaan." Alan tersenyum. Itu komentar yang paling dekat
dengan pertanyaan yang akan kudapatkan. Ibuku muncul kembali,
rambutnya sekarang ditarik ke atas dengan pita biru pucat, Wendy
Darling dewasa. Ibuku mendesakkan gelas dingin berisi amaretto
bersoda ke tanganku, menepuk bahuku dua kali, dan duduk jauh
dariku, di sebelah Alan. "Gadis-gadis kecil itu, Ann Nash dan Natalie Keene," aku memulai. "Aku meliput beritanya untuk koranku."
"Oh, Camille." Ibuku memotong ucapanku, memalingkan wajah.
Ketika ibuku terusik, dia menunjukkan tanda-tanda khusus: Dia
menarik bulu matanya. Kadang-kadang bulu matanya akan lepas.
Pada beberapa tahun yang cukup sulit ketika aku masih kecil, ibuku
tidak punya bulu mata sama sekali, dan matanya terus terlihat merah muda dan lengket, rapuh seperti mata kelinci percobaan. Pada
musim dingin, matanya terus berair setiap kali dia keluar rumah.
Yang tidak sering terjadi.
"Itu penugasanku."
"Astaga, penugasan macam apa itu," kata ibuku, jemarinya melayang di dekat mata. Dia menggosok kulit tepat di bawah mata dan
menaruh tangan di pangkuan. "Bukankah para orangtua itu su?dah
menjalani masa sulit tanpa kau datang kemari untuk menulis se?
mua??nya dan menyebarkannya ke dunia" "Wind Gap Membunuh
Anak-anaknya"!"apa itu yang kauinginkan ada di pikiran orangorang?"
"Seorang gadis kecil dibunuh dan seorang lagi menghilang. Dan
ya, sudah tugasku untuk memberitahu orang-orang."
Sharp Objects.indd 38 "Aku kenal anak-anak itu, Camille. Aku sedang mengalami masa
yang sulit, seperti yang bisa kaubayangkan. Gadis-gadis kecil tewas.
Siapa yang tega melakukan hal seperti itu?"
Aku menenggak minumanku. Butiran gula menempel di lidahku.
Aku tidak siap bicara dengan ibuku. Kulitku berdengung.
"Aku tidak akan tinggal lama-lama. Sungguh."
Alan melipat ulang ujung pergelangan sweter, mengelus lipatan


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celana pendek. Kontribusi Alan pada percakapan aku dan ibuku
biasanya datang dalam bentuk menyesuaikan sesuatu: kerah dilipat,
kaki disilang. "Aku tidak bisa mendengar obrolan seperti itu di sekitarku," kata
ibuku. "Soal anak-anak yang terluka. Jangan katakan kepadaku apa
yang kaulakukan, jangan bicarakan apa pun yang kauketahui. Aku
akan berpura-pura kau di sini untuk liburan musim panas." Ibuku
menelusuri anyaman kursi Alan dengan ujung jarinya.
"Amma apa kabar?" tanyaku mengubah subjek pembicaraan.
"Amma?" Ibuku kelihatan cemas, seolah-olah tiba-tiba ingat dia
meninggalkan anaknya di suatu tempat. "Dia baik-baik saja, di atas,
tidur. Kenapa kau bertanya?"
Dari langkah kaki yang kudengar berderap di lantai dua"dari
ruang bermain ke ruang menjahit ke jendela koridor yang menyediakan tempat mengintip paling bagus ke serambi belakang"aku
tahu Amma jelas tidak tidur, tapi aku tidak kesal padanya karena
menghindariku. "Hanya bersikap sopan, Momma. Kami juga bersikap sopan di
utara." Aku tersenyum untuk menunjukkan pada ibuku aku menggodanya, tapi dia menenggelamkan wajah ke minumannya. Yang
kemudian terdongak dengan rona merah jambu dan ekspresi tegas.
"Tinggallah selama yang kauinginkan, Camille, sungguh," kata
ibuku. "Tapi kau harus bersikap baik pada adikmu. Gadis-gadis itu
teman sekolahnya." Sharp Objects.indd 39 "Aku sangat ingin mengenal Amma," gumamku. "Aku sangat
menyesal Amma kehilangan teman-temannya." Kata-kata terakhir
tidak bisa kutahan, tetapi ibuku tidak menyadari makna getir yang
tersirat. "Kau bisa menginap di kamar tidur di sebelah ruang duduk.
Kamar lamamu. Ada bak berendam. Aku akan membeli buah segar
dan pasta gigi. Dan steak. Apakah kau makan steak?"
Empat jam tidur tidak nyenyak, seperti berbaring di bak berendam
dengan telingamu setengah terbenam. Terlonjak bangun di tempat
tidur setiap dua puluh menit sekali, jantungku berdebar begitu keras aku bertanya-tanya apakah debarnya yang membangunkanku.
Aku bermimpi berkemas untuk suatu perjalanan, kemudian menyadari aku menyiapkan baju yang salah, sweter untuk liburan musim
panas. Aku bermimpi memasukkan berita yang salah untuk Curry
sebelum aku pergi: Bukannya berita Tammy Davis yang menyedihkan dan empat anaknya yang terkurung, kami menerbitkan berita
ringan soal perawatan kulit.
Aku bermimpi ibuku mengiris apel pada potongan daging yang
tebal dan menyuapkannya ke mulutku, lambat dan manis, karena
aku sekarat. Tepat sesudah pukul lima aku akhirnya menyibakkan selimut.
Mencuci nama Ann dari lenganku, tetapi entah bagaimana, di antara berpakaian, menyisir rambut, dan memulas sedikit lipstik, aku
menulis Natalie Keene sebagai gantinya. Aku memutuskan untuk
membiarkan nama itu di situ untuk keberuntungan. Di luar, matahari baru saja terbit, tetapi pegangan pintu mobilku sudah terasa
panas. Wajahku kebas karena kurang tidur dan aku membuka mata
dan mulut lebar-lebar, seperti wanita tukang menjerit di film horor
Sharp Objects.indd 40 murahan. Kelompok pencari akan berkumpul kembali pada pukul
enam untuk meneruskan memeriksa hutan; aku ingin mendapatkan
pernyataan dari Vickery sebelum hari dimulai. Mengintai kantor
polisi sepertinya taruhan yang bagus.
Main Street kelihatan lowong pada awalnya, tapi ketika keluar
dari mobil, aku bisa melihat dua orang beberapa blok jauhnya. Itu
pemandangan yang tidak masuk akal. Seorang wanita tua duduk
di tengah-tengah trotoar, kedua kaki terentang, menatap ke pinggir
bangunan, sementara seorang pria membungkuk di atasnya. Wanita
itu menggeleng berkali-kali, seperti anak kecil yang menolak makan. Kakinya terjulur ke sudut yang pasti menyakitkan. Apakah dia
terjatuh" Serangan jantung, mungkin. Aku berjalan cepat ke arah
mereka dan bisa mendengar gumaman pendek singkat mereka.
Pria itu, berambut putih dan wajah berantakan, menengadah ke
arahku dengan mata berkabut. "Panggil polisi," katanya. Suaranya
terbata-bata. "Dan telepon ambulans."
"Apa yang terjadi?" ujarku, tapi kemudian aku melihatnya.
Terjepit di celah sebesar 30 cm di antara toko perkakas dan salon
kecantikan adalah sesosok tubuh kecil, dihadapkan ke trotoar. Seolah-olah dia hanya duduk dan menunggu kami, mata cokelat membelalak. Aku mengenali ikal liarnya. Tetapi seringainya hilang. Bibir
Natalie Keene melesak ke dalam di sekitar gusinya, membentuk
lingkaran kecil. Dia terlihat seperti boneka bayi plastik, yang dibuat
dengan lubang untuk botol susu. Natalie tidak punya gigi sekarang.
Darah naik ke wajahku dengan cepat dan gelimang keringat segera menutupi kulitku. Kaki dan lenganku melemas, dan selama
sedetik kupikir aku akan menghantam trotoar tepat di sebelah wanita tua itu, yang sekarang berdoa dengan suara pelan. Aku mundur,
bersandar pada mobil yang terparkir, dan menempelkan jemari ke
leher, berusaha memelankan detak jantungku. Mataku menangkap
Sharp Objects.indd 41 gambar-gambar dalam kilasan tanpa makna: Ujung karet yang kotor
di tongkat si pria tua. Tahi lalat merah muda di tengkuk si wanita
tua. Band-Aid di lutut Natalie Keene. Aku bisa merasakan nama
gadis itu menyala panas di bawah lengan bajuku.
Kemudian terdengar lebih banyak suara dan Chief Vickery berlari ke arah kami bersama seorang pria.
"Sial," geram Vickery ketika melihat Natalie. "Sial. Ya Tuhan."
Dia menempelkan wajah ke dinding batu bata salon kecantikan dan
bernapas keras-keras. Pria kedua, tampak sebaya denganku, membungkuk di sebelah Natalie. Lingkaran memar ungu mengelilingi
leher gadis itu dan si pria menekankan jemari tepat di atas memar
untuk mengecek denyut nadi. Taktik mengulur waktu sementara ia
mengembalikan ketenangannya"anak itu jelas sudah tewas. Detektif sok dari Kansas City, kurasa, si bocah sombong.
Tapi pria itu lihai, membujuk si wanita tua berhenti berdoa dan
dengan tenang menceritakan penemuannya. Dua orang tua itu suami-istri, pemilik kedai yang namanya tidak bisa kuingat sebelumnya. Broussard. Mereka dalam perjalanan membuka kedai untuk
jam sarapan ketika mereka menemukan Natalie. Mereka ada di sana
mungkin lima menit sebelum aku datang.
Seorang polisi berseragam tiba, menarik kedua tangan ke wajah
ketika melihat alasan dia dipanggil.
"Bapak-bapak, Ibu-ibu, kami akan meminta kalian untuk ke
kantor polisi dengan petugas di sini agar kami bisa mendapatkan
pernyataan," kata si Kansas City. "Bill." Suara pria itu memiliki
ketegasan khas orangtua. Vickery berlutut di sebelah jasad, tidak
bergerak. Bibirnya bergerak-gerak seolah-olah dia mungkin sedang
berdoa juga. Namanya harus diulang dua kali sebelum dia menjawab ketus.
"Aku mendengarmu, Richard. Bersikaplah manusiawi sedetik
Sharp Objects.indd 42 saja." Bill Vickery merangkul Mrs. Broussard dan menggumam padanya hingga wanita tua itu menepuk-nepuk tangan si polisi.
Aku duduk di ruangan berwarna kuning telur selama dua jam
sementara petugas polisi mencatat ceritaku. Sepanjang waktu itu
aku memikirkan Natalie yang akan diautopsi dan bagaimana aku
ingin menyelinap dan memasangkan Band-Aid baru di lutut gadis
kecil itu. Sharp Objects.indd 43 bab tiga Ibuku mengenakan pakaian biru ke pemakaman. Hitam rasanya
putus asa dan warna lain rasanya tidak pantas. Dia juga mengenakan pakaian biru ke pemakaman Marian, begitu pun Marian. Ibuku
terkejut aku tidak ingat ini. Seingatku Marian dikubur dalam gaun
merah jambu pucat. Ini tidak mengejutkan. Ibuku dan aku pada
umumnya bertentangan mengenai semua hal yang berhubungan
dengan mendiang adikku. Pada pagi pemakaman, Adora keluar-masuk ruangan dengan hak
sepatu berdetak-detak, di sini menyemprotkan parfum, di sana memasang anting. Aku memperhatikan dan minum kopi hitam panas
dengan lidah terbakar. "Aku tidak kenal mereka dengan baik," katanya. "Mereka benarbenar tertutup. Tapi kurasa penduduk kota harus mendukung mereka. Natalie benar-benar manis. Orang-orang begitu baik kepadaku
ketika"." Lirikan muram ke bawah. Itu mungkin tulus.
Sudah lima hari aku di Wind Gap dan Amma masih tidak terlihat. Ibuku tidak menyebut-nyebut adikku. Sejauh ini aku juga
belum berhasil mendapatkan pernyataan dari keluarga Keene. Dan
aku tidak mendapatkan izin dari keluarga mereka untuk menghadiri
pemakaman, tetapi Curry begitu menginginkan liputan ini, lebih
Sharp Objects.indd 44 daripada apa pun yang pernah kudengar diinginkan pria itu, dan
aku ingin membuktikan aku bisa mengatasi ini. Aku menduga keluarga Keene tidak akan pernah tahu. Tidak ada yang membaca
koran kami. Gumaman salam dan pelukan dengan wangi parfum di gereja Our
Lady of Sorrows, beberapa wanita mengangguk sopan kepadaku
setelah mereka mendekut pada ibuku (begitu tegarnya Adora bisa
datang) dan bergeser memberi ibuku tempat duduk. Our Lady
of Sorrows adalah gereja Katolik era "70-an yang gemerlap: warna
emas gelap dan dihiasi permata, seperti cincin dari toko murahan.
Wind Gap didirikan sekelompok orang Irlandia, menjadi benteng
kecil pertahanan agama Katolik di daerah tempat Gereja Baptis
Selatan berkembang. Semua McMahon dan Malone yang mendarat
di New York pada periode kelaparan akibat tidak ada stok kentang,
dilecehkan bertubi-tubi, dan (kalau mereka cerdas) pergi ke barat.
Orang Prancis bercokol di St. Louis, jadi mereka mengarah ke
selatan dan mendirikan kota mereka sendiri. Tetapi mereka didorong keluar tanpa basa-basi bertahun-tahun kemudian pada masa
Rekonstruksi. Missouri, yang selalu menjadi tempat konflik, berusaha melepaskan akar selatannya, menciptakan kesan baru sebagai
negara bagian tanpa budak, dan orang Irlandia yang memalukan
disapu keluar bersama orang-orang lain yang tidak diinginkan. Mereka meninggalkan agama mereka di tempat ini.
Sepuluh menit sebelum misa, ada antrean orang yang ingin masuk ke gereja. Aku memperhatikan bangku gereja yang penuh. Ada
yang salah. Tidak ada satu pun anak kecil di dalam gereja. Tidak
ada bocah lelaki bercelana gelap, menggelindingkan truk mainan di
kaki ibu mereka, tidak ada anak perempuan memeluk boneka kain.
Sharp Objects.indd 45 sp Tidak ada wajah yang lebih muda dari 15 tahun. Aku tidak tahu
apakah ini karena menghargai orangtua Natalie, atau pertahanan
diri karena rasa takut. Insting untuk mencegah anak mereka dipilih
sebagai korban masa depan. Aku membayangkan ratusan putra dan
putri Wind Gap disembunyikan di ruang bawah tanah yang gelap,
mengisap punggung tangan sementara mereka menonton TV dan
tidak diintai. Tanpa anak-anak untuk diasuh, para pengunjung gereja seperti
statis, mirip potongan karton menggantikan posisi orang-orang
sungguhan. Di belakang, aku bisa melihat Bob Nash mengenakan
setelan gelap. Masih tidak ada istri. Dia mengangguk kepadaku,
kemudian mengerutkan dahi.
Pipa organ mengembuskan nada-nada teredam lagu Be Not Afraid,
dan keluarga Natalie Keene, sampai sebelum lagu dimainkan,
menangis dan berpelukan, dan sibuk di dekat pintu seperti satu
jantung besar yang tidak berfungsi, berbaris rapat bersama-sama.
Hanya butuh dua pria untuk mengangkat peti putih berkilau itu.
Lebih banyak dari dua, dan mereka akan bertabrakan. Ibu dan ayah
Natalie yang memimpin prosesi. Ibu Natalie nyaris delapan senti
lebih tinggi daripada suaminya, wanita berbadan besar, berwajah
hangat dengan rambut sewarna pasir yang ditahan dengan ikat
rambut. Wajahnya tampak tulus, tipe yang akan mendorong orang
asing untuk menanyakan arah atau waktu. Mr. Keene kecil dan kurus, dengan wajah bulat seperti anak-anak yang tampak lebih bulat
dengan kacamata berbingkai kawat yang terlihat mirip dua roda
sepeda emas. Di belakang mereka, pemuda tampan berusia 18 atau
19, kepala berambut cokelatnya tertunduk ke dada, terisak. Kakak
lelaki Natalie, seorang wanita berbisik di belakangku.
Sharp Objects.indd 46 ka Air mata menuruni pipi ibuku dan menetes dengan suara keras
ke dompet kulit yang dia pegang di pangkuan. Wanita di sebelahnya
menepuk-nepuk tangan ibuku. Aku mengeluarkan buku catatan
dari saku jas dan, sambil mencondongkan tubuh ke satu sisi, mulai
menulis sampai ibuku menampar tanganku dan mendesis, "Kau
tidak sopan dan memalukan. Hentikan atau aku akan mengusirmu."
Aku berhenti menulis, tapi membiarkan bukuku di luar, memberontak dengan kuat. Tetapi wajahku tetap memerah.
Prosesi berjalan melewati kami. Peti itu kelihatan sangat kecil,
aku membayangkan Natalie di dalamnya dan bisa melihat kakinya
lagi"rambut halus, lutut kurus, Band-Aid. Aku merasakan satu
tusukan yang amat sangat menyakitkan, seperti titik yang diketik
di akhir kalimat. Selagi pastor menggumamkan doa pembuka dalam jubah terbaiknya, dan kami berdiri lalu duduk, dan berdiri lagi, kartu doa
dibagikan. Di depan, Perawan Maria memancarkan jantung merah
terangnya ke bayi Yesus. Di bagian belakang kartu tercetak:
Natalie Jane Keene Putri tercinta, adik, dan teman
Surga memiliki malaikat baru
Foto Natalie berukuran besar dipajang di dekat peti, foto yang
lebih formal dibandingkan dengan yang kulihat sebelumnya. Gadis
itu manis, anak rumahan, dengan dagu lancip dan mata yang sedikit besar, tipe gadis yang mungkin akan tumbuh dewasa terlihat
memukau. Dia bisa menghibur para pria dengan dongeng si bebek
jelek yang tumbuh cantik sungguhan. Atau dia bisa tetap menjadi
anak rumahan kecil yang manis. Pada usia 10 tahun, wajah anak
perempuan berubah-ubah. Sharp Objects.indd 47 Ibu Natalie berjalan ke podium, mencengkeram kertas. Wajahnya basah, tapi suaranya tenang ketika mulai bicara.
"Ini suratku untuk Natalie, putriku satu-satunya." Dia menarik
napas gemetar dan kata-katanya mengalir keluar. "Natalie, kau gadis
tersayangku. Aku tidak percaya kau diambil dari kami. Tidak akan
lagi aku meninabobokanmu atau menggelitik punggungmu. Tidak
akan lagi kakakmu memutar-mutar kepangmu, atau ayahmu menggendongmu di pangkuannya. Ayahmu tidak akan mengantarmu ke
altar. Kakakmu tidak akan pernah menjadi paman. Kami akan merindukanmu pada makan malam Minggu dan liburan musim panas.
Kami akan merindukan tawamu. Kami akan merindukan tangismu.
Yang jelas, putriku, kami akan merindukanmu. Kami menyayangimu, Natalie."
Selagi Mrs. Keene berjalan kembali ke kursinya, suaminya bergegas menghampiri, tapi wanita itu sepertinya tidak membutuhkan
bimbingan. Segera setelah dia duduk, anak lelakinya kembali ke
pelukan ibunya, menangis di ceruk lehernya. Mr. Keene mengedipngedip marah ke arah bangku gereja di belakangnya, seolah-olah
mencari seseorang untuk dipukul.
"Kehilangan anak adalah tragedi yang menyedihkan," ujar sang
pastor. "Lebih menyedihkan lagi kehilangan akibat perbuatan keji.
Karena kekejianlah yang menyebabkan ini. Injil berkata, "Mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi." Tetapi jangan biarkan diri kita terjerumus dalam dendam. Mari kita berpikir apa yang disarankan Yesus:
Cintai tetanggamu. Mari kita bersikap baik pada tetangga kita pada
masa-masa sulit ini. Bangkitkan semangatmu untuk Tuhan."
"Aku lebih suka mata dibalas mata," gerutu pria di belakangku.
Aku bertanya-tanya apakah bagian gigi dibalas gigi mengganggu
orang lain. Ketika kami keluar dari gereja ke sinar matahari yang terang,
Sharp Objects.indd 48

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku bisa melihat empat gadis duduk berbaris di dinding pendek
di seberang jalan. Kaki panjang semampai menggantung. Payudara
membulat keluar karena bra pushup. Gadis-gadis yang sama yang
kutemui di ujung hutan. Mereka berkumpul tertawa-tawa hingga
salah satunya, lagi-lagi yang paling cantik, menunjuk ke arahku, dan
mereka semua berpura-pura menunduk. Tapi perut mereka masih
terguncang-guncang. Natalie dimakamkan di lahan kuburan keluarga, di sebelah batu
nisan yang sudah ditulisi nama orangtuanya. Aku tahu kearifan itu,
seharusnya tidak ada orangtua yang melihat anaknya meninggal,
bahwa peristiwa semacam itu seperti alam berputar terbalik. Tapi
ini satu-satunya cara untuk benar-benar menjaga anakmu tetap bersamamu. Anak-anak tumbuh dewasa, mereka menempa hubungan
yang lebih kuat. Mereka menemukan pasangan atau kekasih. Mereka tidak akan dikubur bersamamu. Tapi keluarga Keene akan
mempertahankan bentuk keluarga termurni. Di bawah tanah.
Sesudah pemakaman, orang-orang berkumpul di rumah Keene,
rumah pertanian besar dari batu, visi pedesaan Amerika yang kaya.
Tidak ada yang seperti itu di tempat lain di Wind Gap. Orang kaya
di Missouri memisahkan diri dari kekhasan pedesaan, dari kekunoan
pedesaan semacam ini. Coba pikirkan: Di Amerika masa kolonial,
para wanita kaya mengenakan warna biru dan kelabu kelam untuk
me?la?wan citra Dunia Baru mereka yang kasar, sementara rekan mereka yang kaya di Inggris berdandan seperti burung eksotis. Singkat
kata, rumah Keene kelihatan terlalu Missouri untuk dimiliki orang
Missouri. Sharp Objects.indd 49 Meja hidangan prasmanan kebanyakan berisi daging: kalkun dan
ham, sapi dan rusa. Ada acar, zaitun, dan telur rebus berbumbu;
roti kecil berkilau dan keras; dan kaserol berpinggiran kering. Para
tamu memisahkan diri menjadi dua kelompok, yang menangis dan
tidak. Orang-orang yang tabah berdiam di dapur, minum kopi dan
minuman keras, membahas pemilihan dewan kota mendatang dan
masa depan sekolah, kadang-kadang berhenti untuk berbisik penuh
amarah soal kurangnya kemajuan dalam kasus pembunuhan ini.
"Aku bersumpah kalau aku melihat seseorang yang tak kukenal
mendekati anak-anak perempuanku, aku akan menembak bangsat
itu sebelum "Halo" keluar dari mulutnya," kata pria berwajah tegas,
melambai-lambaikan roti lapis isi daging sapi. Temannya mengangguk setuju.
"Aku tidak paham kenapa Vickery belum mengosongkan hutan"sial, hancurkan semuanya. Kau tahu dia ada di sana," kata pria
yang lebih muda dengan rambut oranye.
"Donnie, besok aku ikut denganmu ke sana," kata si pria berwajah tegas. "Kita bisa memeriksa meter demi meter. Kita akan
menemukan bangsat itu. Kalian semua mau ikut?" Para pria menggumamkan persetujuan dan minum lebih banyak minuman keras
dari cangkir plastik. Aku mencatat dalam hati untuk melewati jalan
dekat hutan besok pagi, melihat apakah para pemabuk ini memutuskan untuk beraksi atau tidak. Tapi aku sudah bisa membayangkan telepon malu-malu di pagi hari:
Kau mau pergi" Yah, aku tak tahu, kurasa, kau"
Yah, aku berjanji pada Maggie aku akan menurunkan jendela penahan badai"
Berjanji untuk bertemu minum bir nanti dan gagang telepon
ditaruh sangat perlahan untuk meredam bunyi klik yang dipenuhi
rasa bersalah. Sharp Objects.indd 50 Tamu yang menangis, kebanyakan wanita, melakukannya di ruang depan, di sofa yang empuk dan bangku ottoman berlapis kulit.
Kakak Natalie gemetar dalam pelukan ibunya, sementara dia menggoyang-goyangkan putranya dan menangis tanpa suara, mengelus
rambut gelap si pemuda. Anak manis, menangis terang-terangan.
Aku tidak pernah melihat yang seperti itu. Para wanita datang menawarkan piring kertas berisi makanan, tapi ibu dan anak hanya
menggeleng. Ibuku berseliweran di sekitar mereka seperti burung
bluejay yang sinting, tapi mereka tidak memperhatikan, dan segera
ibuku pergi ke lingkaran teman-temannya. Mr. Keene berdiri di
pojok dengan Mr. Nash, keduanya merokok dalam diam.
Bukti keberadaan Natalie masih tersebar di sekitar ruangan. Sweter abu-abu kecil dilipat di bagian sandaran kursi, sepasang sepatu
tenis dengan tali biru terang di dekat pintu. Di salah satu rak buku
ada notes berjilid spiral dengan kuda bertanduk di sampul depannya, di rak majalah ada A Wrinkle in Time dengan ujung-ujung
halaman terlipat. Perasaanku amat buruk. Aku tidak mendekati keluarga Keene,
tidak memberitahukan kedatanganku. Aku berjalan di dalam rumah mereka dan memata-matai, kepalaku tertunduk ke gelas birku
seperti hantu yang jengah. Aku melihat Katie Lacey, sahabat lamaku dari Calhoon High, dalam lingkaran teman bersoleknya sendiri,
cerminan kelompok ibuku, minus dua puluh tahun. Katie mencium
pipiku ketika aku mendekat.
"Kudengar kau di kota, berharap kau akan menelepon," katanya,
mengerutkan alis yang dicabut hingga tipis ke arahku, kemudian
mengedarkanku kepada tiga wanita lainnya, semuanya mendekat
untuk memberiku pelukan yang canggung. Semua wanita itu temanku pada satu masa, kurasa. Kami bertukar ucapan duka dan
bergumam betapa sedihnya kejadian ini. Angie Papermaker (du51
Sharp Objects.indd 51 lunya Knightley) terlihat seperti masih bergulat melawan bulimia
yang membuatnya layu ketika SMA"lehernya kurus dan berurat
seperti leher wanita tua. Mimi, gadis kaya yang dimanja (Daddy
memiliki berhektare-hektare peternakan ayam di Arkansas) yang
tidak pernah menyukaiku, bertanya soal Chicago kemudian dengan
segera berpaling untuk mengobrol dengan si mungil Tish, yang
memutuskan untuk menggenggam tanganku dengan cara yang menyamankan tapi terasa aneh.
Angie mengumumkan padaku dia mempunyai putri berusia lima
tahun"suaminya di rumah dengan senapan, menjaga anak mereka.
"Ini akan jadi musim panas yang panjang untuk anak-anak,"
gu?mam Tish. "Kurasa semua orang menjaga anak mereka di balik
gembok dan kunci." Aku memikirkan gadis-gadis yang kulihat di
luar pemakaman, tidak jauh lebih tua dibandingkan Natalie, dan
bertanya-tanya kenapa orangtua mereka tidak cemas.
"Kau punya anak, Camille?" tanya Angie dengan suara setipis
badannya. "Aku bahkan tidak tahu kau sudah menikah atau belum."
"Tidak dan tidak," kataku lalu menyesap bir, mendapatkan kilasan ingatan Angie muntah di rumahku sesudah sekolah, keluar
dari kamar mandi dengan wajah merona dan penuh kemenangan.
Curry salah: Menjadi orang dalam di kota ini malah mengalihkan
perhatian bukannya berguna.
"Nona-nona, kau tidak bisa membajak orang luar kota ini semalaman!" Aku berpaling dan melihat salah satu ibu temanku, Jackie
O"Neele (dulunya O"Keefe), yang jelas-jelas baru saja menjalani
operasi wajah. Matanya masih bengkak dan mukanya lembap, merah, dan teregang, seperti bayi marah yang bersusah payah keluar
dari rahim. Berlian berkilau di jemarinya yang kecokelatan terbakar
matahari, dan dia berbau seperti Juicy Fruit dan bedak badan ketika
memelukku. Malam ini terasa terlalu seperti reuni. Dan aku merasa
Sharp Objects.indd 52 terlalu seperti anak kecil lagi"aku bahkan belum berani menarik
keluar buku catatanku dengan ibuku masih di sini, melemparkan
lirikan memperingatkan ke arahku.
"Gadis kecil, kau kelihatan sangat cantik," kata Jackie dengan suara
manis. Dia memiliki kepala berukuran besar, yang ditutupi dengan
rambut yang diputihkan berlebihan, dan seringai nakal. Jackie bermulut tajam dan dangkal, tapi selalu jujur. Dia juga lebih santai denganku dibandingkan ibuku sendiri. Jackie-lah, bukan Adora, yang
menyelipkan kotak tampon pertamaku, mengedip dan berkata aku
harus meneleponnya kalau membutuhkan instruksi, dan Jackie yang
selalu dengan ceria menggodaku soal cowok-cowok. Perbuatan kecil
yang berarti besar. "Apa kabarmu, Sayang" Ibumu tidak memberitahuku kau di sini. Tapi ibumu sedang tidak bicara padaku"aku mengecewakannya lagi entah bagaimana. Kau tahu bagaimana kondisinya. Aku tahu kau tahu!" Dia mengeluarkan tawa parau khas perokok
dan meremas lenganku. Aku menduga dia mabuk.
"Aku mungkin lupa mengiriminya kartu atau sesuatu," Jackie berceloteh terus, tangan yang memegang gelas anggur bergerak-gerak
berlebihan. "Atau mungkin si tukang kebun yang kurekomendasikan tidak membuatnya senang. Aku dengar kau menulis berita soal
anak-anak perempuan itu; itu sulit sekali." Pembicaraannya begitu
tersendat-sendat dan tiba-tiba, aku butuh sesaat untuk memproses
segalanya. Saat aku mulai bicara, dia mengelus lenganku dan menatapku dengan mata basah. "Camille, Sayang, sudah begitu lama
sejak aku terakhir melihatmu. Dan sekarang"aku menatapmu dan
aku melihatmu ketika kau sebaya dengan anak-anak perempuan
itu. Dan aku merasa begitu sedih. Begitu banyak hal yang menjadi
buruk. Aku tidak bisa memahaminya." Setetes air mata turun ke
pipinya. "Kunjungi aku, oke" Kita mengobrol."
Aku meninggalkan rumah keluarga Keene tanpa mendapatkan
Sharp Objects.indd 53 pernyataan. Aku sudah lelah bicara padahal tidak banyak berkatakata.
Aku menelepon keluarga Keene kemudian, sesudah aku minum
lebih banyak"secangkir vodka dari persediaan di rumah Keene"
dan dipisahkan dengan aman oleh sambungan telepon. Kemudian
aku menjelaskan diriku dan apa yang akan kutulis. Percakapan itu
tidak berjalan baik. Ini yang kutulis malam itu:
Di kota kecil Wind Gap, Missouri, poster meminta kembalinya Natalie Jane Keene (10) masih terpampang ketika mereka
menguburkan gadis kecil itu pada hari Selasa. Acara pemakaman
yang bersahaja"sang pastor mengkhotbahkan tentang memaafkan
dan penebusan dosa"tidak dapat menenangkan jiwa atau menyembuhkan luka. Itu karena gadis kecil sehat berwajah manis ini
merupakan korban kedua dari yang polisi duga sebagai pembunuh
berantai. Pembunuh berantai yang menyasar anak-anak.
"Semua anak kecil di sini anak yang manis," kata petani setempat
Ronald J. Kamens, yang membantu dalam pencarian Keene. "Aku
tidak mengerti kenapa ini terjadi kepada kami."
Jasad Keene yang tewas dicekik ditemukan pada 14 Mei, dijejalkan di celah antara dua gedung di Main Street, Wind Gap. "Kami
akan merindukan tawanya," kata Jeanie Keene, 52, ibu Natalie.
"Kami akan merindukan tangisnya. Yang jelas, kami akan merindukan Natalie."
Namun, ini bukan tragedi pertama yang terjadi di Wind Gap, kota
yang terletak di bagian bawah negara bagian Missouri. 27 Agustus
tahun lalu, Ann Nash (9) ditemukan di sungai setempat, juga tewas
Sharp Objects.indd 54 dicekik. Dia sedang bersepeda hanya sejauh beberapa blok untuk
mengunjungi seorang teman ketika diculik malam sebelumnya.
Kedua korban dilaporkan kehilangan gigi, dicabut si pembunuh.
Kedua pembunuhan ini menyulitkan lima petugas kepolisian
Wind Gap. Karena kurangnya pengalaman menangani kejahatan sebrutal ini, mereka mendapatkan bantuan dari bagian pembunuhan
kepolisian Kansas City, yang mengirimkan seorang petugas terlatih
dalam membuat profil psikologis pembunuh. Namun, penduduk
kota Wind Gap, yang berpopulasi 2.120, meyakini satu hal: Orang
yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunahan ini melakukannya tanpa motif khusus.
"Ada seseorang di luar sana mencari bayi untuk dibunuh," ujar
ayah Ann, Bob Nash (41), penjual kursi. "Tidak ada drama tersembunyi di sini, tidak ada rahasia. Seseorang membunuh gadis kecil
kami begitu saja." Pencabutan gigi korban masih tetap menjadi misteri dan tidak
ada banyak petunjuk. Polisi setempat menolak untuk berkomentar.
Hingga kasus pembunuhan ini diselesaikan, Wind Gap melindungi
masyarakat mereka sendiri"jam malam diberlakukan dan patroli
lingkungan mulai dirintis di kota yang dulunya tenang ini.
Para penduduk kota juga berusaha menyembuhkan diri mereka.
"Aku tidak ingin bicara pada siapa pun," kata Jeannie Keene. "Aku
hanya ingin dibiarkan sendiri. Kami semua ingin dibiarkan sendiri."
Kerja serampangan"kau tidak harus memberitahuku. Bahkan ketika mengirimkan tulisan itu kepada Curry lewat surel, aku sudah
menyesali nyaris semua hal. Mengatakan bahwa polisi menduga
pembunuhan tersebut dilakukan pembunuh berantai itu melebihlebihkan. Vickery tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Kutipan
Sharp Objects.indd 55 Jeannie Keene yang pertama kucuri dari euloginya. Yang kedua aku
cerabut dari ucapan pedas yang dia muntahkan kepadaku ketika
menyadari ucapan bela sungkawaku hanyalah kedok. Dia tahu aku
berencana membedah pembunuhan putrinya, menaruhnya di kertas pembungkus daging untuk dikunyah orang asing. "Kami semua
ingin dibiarkan sendirian!" serunya. "Kami menguburkan anak tersayang kami hari ini. Seharusnya kau malu." Tetap saja itu kutipan,
kutipan yang kubutuhkan, karena Vickery menutup diri dariku.
Curry berpikir tulisanku solid"bukan luar biasa, jangan lupa,
tapi awal yang solid. Dia bahkan membiarkan kalimatku yang berlebihan: "Pembunuh berantai yang menyasar anak-anak." Seharusnya
itu dipotong, aku sendiri tahu, tapi aku mendambakan tambalan
dramatis. Curry pasti mabuk ketika membacanya.
Dia memerintahkan membuat tulisan feature yang lebih panjang
mengenai keluarga-keluarga korban, segera sesudah aku bisa menyusunnya. Satu lagi kesempatan untuk menebus kesalahanku. Aku
beruntung"kelihatannya Chicago Daily Post menguasai Wind Gap
sendirian untuk waktu yang lebih lama. Skandal seks di kongres
sedang tersibak dengan apik, menghancurkan bukan hanya satu
anggota dewan yang tidak bersahabat, tetapi tiga. Dua di antaranya
wanita. Mengejutkan dan menjual. Yang lebih penting, ada pembunuh berantai menguntit kota yang lebih glamor, Seattle. Di antara
kabut dan kedai kopi, seseorang mengerat wanita hamil, membuka
perut mereka, dan mengatur isinya menjadi tablo yang mengerikan
untuk hiburan pribadi si pembunuh. Oleh karena itu, kami bernasib
baik karena para reporter berita semacam ini sedang sibuk. Hanya
ada aku, tertinggal merana di tempat tidur masa kanak-kanakku.
*** Sharp Objects.indd 56 Aku bangun kesiangan pada hari Rabu, seprai basah dengan keringat dan selimut ditarik menutupi kepala. Terbangun beberapa kali
karena dering telepon, pelayan rumah menyedot debu di luar pintu
kamarku, suara pemotong rumput. Aku bersusah payah ingin tetap
tidur, tetapi hari terus menonjolkan dirinya. Aku terus menutup
mata dan membayangkan diriku kembali di Chicago, di tempat
tidur reyotku di apartemen studio yang menghadap ke dinding bata
belakang supermarket. Aku memiliki lemari baju berbahan karton
yang dibeli di supermarket itu ketika pindah empat tahun lalu, dan
meja plastik tempat aku makan menggunakan satu set piring kuning
tanpa bobot dan alat makan bengkok yang mungil. Aku khawatir ka?
rena belum menyiram satu-satunya tanamanku, pakis yang sedikit
mengu?ning yang kutemukan di tempat sampah tetanggaku. Kemudian aku ingat telah membuang tanaman mati itu dua bulan lalu. Aku
berusaha membayangkan gambaran lain hidupku di Chicago: bi?lik?
ku di kantor, pengelola apartemen yang masih tidak tahu namaku,
lampu Natal hijau redup di supermarket yang belum diturunkan.
Se?ge?lintir kenalan bersahabat yang mungkin belum menyadari aku
su?dah pergi. Aku benci berada di Wind Gap, tapi rumah juga tidak membuat
nyaman. Aku menarik keluar botol minuman berisi vodka hangat dari
tas bepergianku dan kembali ke tempat tidur. Kemudian, sembari
menyesap, aku mengamati sekelilingku. Sebelumnya aku menduga
ibuku akan meratakan kamar tidurku segera setelah aku pergi dari
rumah, tapi kamar ini kelihatan persis seperti sepuluh tahun lalu.
Aku menyesali betapa seriusnya aku saat remaja: Tidak ada poster
bintang pop atau film favorit, tidak ada koleksi foto atau korsase
khas anak gadis. Malahan ada lukisan perahu layar, gambar krayon
alam pedesaan, potret Elenor Roosevelt. Yang terakhir itu aneh
Sharp Objects.indd 57

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali, karena aku tidak tahu banyak soal Mrs. Roosevelt, kecuali
bahwa dia baik, yang pada saat itu kurasa cukup bagiku. Mengingat
kecenderunganku sekarang, aku akan memiliki foto istri Warren
Harding, "Sang Duchess," yang mencatat kesalahan terkecil dalam
notes merah kecil dan membalas dendam dengan sesuai. Sekarang
ini aku suka istri presiden yang sedikit ganas.
Aku minum lebih banyak vodka. Tidak ada hal lain yang kuinginkan selain menjadi tidak sadar lagi, terbalut dalam gelap, pergi.
Aku rapuh. Aku merasa bengkak dengan tangis yang mungkin akan
muncul, seperti balon air yang diisi hingga nyaris meletus. Memohon tusukan jarum. Wind Gap tidak sehat untukku. Rumah ini
tidak sehat untukku. Ketukan pelan di pintu, sedikit lebih kencang daripada angin
yang berderak. "Ya?" Aku menyembunyikan gelas vodka ke sisi tempat tidur.
"Camille" Ini ibumu."
"Ya?" "Aku membawakanmu losion."
Aku berjalan ke pintu dengan sedikit gontai, vodka itu memberiku lapisan penting pertama untuk menghadapi tempat ini pada
hari ini. Enam bulan belakangan aku tidak terlalu banyak minum,
tapi di sini itu tidak dihitung. Di luar pintu kamar, ibuku menunggu, lalu mengintip ke dalam dengan cemas seolah-olah kamar itu
berisi trofi milik anak yang tewas. Nyaris. Dia mengulurkan tube
hijau pucat berukuran besar.
"Mengandung vitamin E. Aku membelinya pagi ini."
Ibuku meyakini efek paliatif vitamin E, seolah-olah mengoleskan
cukup banyak losion akan membuatku halus dan tak bercacat lagi.
Belum berhasil sejauh ini.
"Terima kasih."
Sharp Objects.indd 58 Matanya mengamati leher, lengan, dan kakiku, yang semuanya
terpajan, tak terlindungi kaus yang kupakai untuk tidur. Kemudian
kembali memandang wajahku dengan kerutan di dahinya. Ibuku
menghela napas dan menggeleng sedikit. Kemudian dia hanya berdiri di sana.
"Apakah pemakamannya terasa sulit untukmu, Momma?" Bahkan
sekarang, aku tidak bisa menahan diri menawarkan percakapan basabasi.
"Memang. Begitu banyak yang mirip. Peti kecil itu."
"Bagiku juga sulit," sahutku. "Aku sebenarnya terkejut menyadari
be?ta?pa sulitnya. Aku merindukan Marian. Masih. Bukankah itu
aneh?" "Aneh kalau kau tidak merindukannya. Dia adikmu. Itu nyaris
sesakit kehilangan anak. Walaupun kau begitu muda." Di lantai
bawah, Alan bersiul-siul dengan ramai, tapi ibuku sepertinya tidak
mendengar. "Aku tidak terlalu peduli dengan surat terbuka yang dibacakan Jeannie Keene," lanjutnya. "Itu pemakaman, bukan pawai
politik. Dan kenapa mereka semua berpakaian santai?"
"Kupikir suratnya bagus. Terasa tulus," kataku. "Kau tidak membacakan apa pun pada pemakaman Marian?"
"Tidak, tidak. Aku nyaris tidak bisa berdiri, apalagi memberikan
pidato. Aku tidak percaya kau tidak ingat hal-hal ini, Camille. Kupikir kau seharusnya malu bisa lupa begitu banyak hal."
"Aku baru 13 tahun ketika dia meninggal, Momma. Ingat, aku
masih kecil." Nyaris dua puluh tahun lalu, benarkah"
"Ya, yah. Sudah. Apa ada hal lain yang ingin kaulakukan hari ini"
Bunga mawar sedang mekar di Daly Park, kalau kau ingin berjalanjalan."
"Aku harus ke kantor polisi."
Sharp Objects.indd 59 bl "Jangan katakan itu sementara kau tinggal di sini," bentaknya.
"Bilang kau harus menyelesaikan urusan atau bertemu teman."
"Aku harus menyelesaikan urusan."
"Baiklah. Selamat bersenang-senang."
Ibuku melangkah di koridor berlapis karpet tebal dan aku mendengar anak tangga ke arah lantai bawah menderit cepat.
Aku mandi dengan air sejuk dan dangkal di bak berendam,
lampu dimatikan, segelas vodka ditaruh di pinggir bak, kemudian
berpakaian dan keluar ke koridor. Rumah itu senyap, sesenyap yang
dimungkinkan struktur rumah berusia 100 tahun. Aku mendengar
kipas angin berputar di dapur ketika aku berdiri di luar untuk memastikan tidak ada orang di sana. Kemudian aku menyelinap masuk, meraih apel hijau terang, dan menggigitnya sembari berjalan
ke luar rumah. Tidak ada awan di langit.
Di luar di beranda aku melihat seorang anak. Gadis kecil dengan
wajah penuh perhatian diarahkan pada rumah boneka besar setinggi lebih dari satu meter, dibuat untuk kelihatan persis seperti rumah
ibuku. Rambut pirang panjang tergerai teratur seperti anak sungai
di sepanjang punggungnya, yang menghadapku. Ketika gadis itu
berbalik, aku menyadari dia gadis yang bicara denganku di ujung
hutan, gadis yang tertawa-tawa dengan teman-temannya di luar
pemakaman Natalie. Yang paling cantik.
"Amma?" tanyaku dan dia tertawa.
"Tentu saja. Siapa lagi yang akan bermain di beranda depan
Adora dengan rumah Adora mungil?"
Gadis itu memakai gaun musim panas bermotif kotak-kotak
yang kekanak-kanakan, topi jerami padanannya ada di sebelah gadis
itu. Dia kelihatan sesuai usianya"tiga belas"untuk kali pertama
sejak aku melihatnya. Sebenarnya, tidak. Dia kelihatan lebih muda
Sharp Objects.indd 60 sekarang. Pakaian itu lebih cocok itu anak 10 tahun. Dia cemberut
ketika melihatku sedang menilainya.
"Aku memakai ini untuk Adora. Ketika di rumah, aku boneka
kecilnya." "Dan ketika kau tidak di rumah?"
"Aku jadi yang lain. Kau Camille. Kau kakak tiriku. Putri sulung
Adora, sebelum Marian. Kau Pra dan aku Pasca. Kau tidak mengenaliku sebelumnya."
"Aku pergi terlalu lama. Dan lima tahun lalu Adora berhenti mengirimkan foto Natal."
"Berhenti mengirimimu, mungkin. Kami masih membuat foto
sialan itu. Setiap tahun Adora membelikanku gaun kotak-kotak
merah-hijau hanya untuk itu. Dan segera setelah kami selesai, aku
melemparkan gaun itu ke perapian."
Dia mengambil dingklik seukuran jeruk kecil dari ruang depan
rumah boneka dan mengangkatnya ke arahku. "Sudah harus diganti
bantalannya. Adora mengganti skema warna dari peach ke kuning.
Dia berjanji mengajakku ke toko kain supaya aku bisa membuat
kain penutup baru untuk dicocokkan. Rumah boneka ini kegemaranku." Dia nyaris membuat kata itu terdengar alami, kegemaranku.
Kata itu mengambang keluar dari mulutnya, manis dan bulat seperti butterscotch, digumamkan dengan kepala sedikit dimiringkan,
tapi kata itu jelas milik ibuku. Boneka kecilnya, belajar bicara persis
seperti Adora. "Kelihatannya kau melakukannya dengan sangat baik," kataku
dan memberi lambaian selamat tinggal tanpa tenaga.
"Terima kasih," katanya. Matanya terpusat pada kamarku di rumah boneka. Jari kecil menyentuh tempat tidurnya. "Kuharap kau
senang tinggal di sini," gumamnya ke kamar itu, seolah-olah dia
bicara kepada Camille mungil yang tidak bisa dilihat orang lain.
Sharp Objects.indd 61 Aku menemukan Chief Vickery memukuli bagian penyok di markah berhenti di ujung jalan Second dan Ely, jalan sepi berisikan
rumah-rumah kecil beberapa blok dari kantor polisi. Chief Vickery
menggunakan palu, dan pada setiap hantaman, dia mengernyit.
Punggung kemejanya basah dan kacamata bifokalnya melorot turun ke ujung hidung.
"Tak ada yang bisa kukatakan, Miss Preaker." Tang.
"Aku tahu ini gampang untuk dibenci, Chief Vickery. Aku bahkan tidak menginginkan penugasan ini. Aku dipaksa melakukannya
karena aku dari sini."
"Sudah bertahun-tahun tak kembali, dari yang kudengar." Tang.
Aku tidak mengatakan apa pun. Aku memandang ke arah rumput liar yang mencuat melalui retakan di trotoar. Panggilan Miss
sedikit menyengatku. Aku tidak tahu apakah itu kesopanan yang
tidak terasa wajar untukku atau sentilan akan status tidak menikahku. Wanita lajang yang usianya baru sedikit melewati 30 tahun
dianggap aneh di daerah sini.
"Orang yang santun akan mundur dari pekerjaannya sebelum
menulis soal anak-anak yang tewas." Tang. "Oportunisme, Miss
Preaker." Di seberang jalan, seorang pria tua yang mencengkeram kotak
susu berjalan terseret-seret ke arah rumah berdinding papan putih.
"Aku tidak merasa begitu santun sekarang, kau benar." Aku tidak
ke?beratan membuat Vickery tertarik selama beberapa saat. Aku ingin
dia menyukaiku, bukan cuma karena itu akan membuat tugasku
lebih mudah, tapi karena gertakannya mengingatkanku akan Curry,
yang kurindukan. "Tapi sedikit publisitas mungkin akan menarik
per?hatian pada kasus ini, membantu memecahkannya. Itu pernah
terjadi." "Sial." Dia melemparkan palu ke tanah sampai berdentum dan
Sharp Objects.indd 62 menghadapiku. "Kami sudah meminta bantuan. Detektif khusus
dari Kansas City dikirim kemari, datang dan pergi selama berbulanbulan. Dan dia belum bisa menemukan satu hal terkutuk pun. Dia
bilang mungkin pengelana sinting berhenti di jalan sini, menyukai
pemandangan di sini, dan tinggal selama nyaris setahun. Nah, kota
ini tidak sebesar itu dan aku yakin betul belum melihat siapa pun
yang kelihatan tidak sesuai." Dia melirik penuh makna kepadaku.
"Kita punya hutan yang cukup luas di sini, cukup lebat," usulku.
"Ini bukan orang asing dan kurasa kau tahu itu."
"Kuikir kau lebih suka jika pelakunya orang asing."
Vickery menghela napas, menyulut rokok, menaruh tangan di
sekitar tiang markah dengan gaya melindungi. "Sial, tentu saja aku
berpikir begitu," katanya. "Tapi aku tidak bodoh. Belum pernah
menangani pembunuhan, tapi aku bukan orang idiot terkutuk."
Coba aku tidak minum begitu banyak vodka. Pikiranku menguap, aku tidak bisa benar-benar memahami ucapan Vickery, tidak
bisa mengajukan pertanyaan yang tepat.
"Kaupikir seseorang dari Wind Gap melakukan ini?"
"Tidak ada komentar."
"Tidak akan dikutip, kenapa seseorang dari Wind Gap membunuh anak-anak?"
"Aku pernah dapat laporan, Ann membunuh burung peliharaan
tetangga dengan tongkat. Dia sendiri yang menajamkan ujungnya
dengan salah satu pisau berburu ayahnya. Natalie, sial, keluarganya
pindah ke sini dua tahun lalu karena dia menusuk mata teman sekelasnya dengan gunting waktu di Philadelphia. Ayahnya keluar dari
pekerjaannya di suatu usaha besar, hanya agar mereka bisa memulai
kembali. Di negara bagian tempat kakeknya tumbuh besar. Di kota
kecil. Seakan-akan kota kecil tidak memiliki masalahnya sendiri."
"Salah satu masalahnya adalah semua orang tahu siapa bibit yang
jelek." Sharp Objects.indd 63 "Benar sekali."
"Jadi menurutmu kemungkinan pelakunya seseorang yang tidak
menyukai anak-anak" Anak-anak perempuan ini khususnya" Mungkin mereka melakukan sesuatu kepadanya" Dan ini balas dendam?"
Vickery menarik ujung hidungnya, menggaruk kumisnya. Dia
melihat kembali ke palu di tanah dan aku tahu dia sedang berdebat
dalam hati, mengambil palu dan mengabaikanku atau terus bicara.
Tepat saat itu sedan hitam muncul melambat di sebelah kami, jendela penumpang turun bahkan sebelum mobil itu berhenti. Wajah
si pengemudi, terhalangi kacamata hitam, mengintip ke luar untuk
melihat kami. "Hei, Bill. Kupikir kita seharusnya bertemu di kantormu sekarang."
"Ada pekerjaan."
Itu si Kansas City. Dia menatapku, menurunkan kacamata dengan gerakan terlatih. Dia memiliki rambut cokelat muda yang
terus jatuh menutupi mata kirinya. Biru. Dia tersenyum kepadaku,
gigi sempurna seperti permen Chiclets.
"Hai." Pria itu melirik ke arah Vickery, yang dengan tegas membungkuk untuk mengambil palu, kemudian kembali ke arahku.
"Hai," kataku. Aku menarik lengan kemejaku ke bawah, menggenggam ujungnya di telapak tanganku yang terkepal, bersandar
pada satu kaki. "Nah, Bill, mau menumpang" Atau kau suka berjalan"aku bisa
membelikan kopi untuk kita dan bertemu denganmu di kantor."
"Tidak minum kopi. Sesuatu yang seharusnya sudah kausadari
sekarang. Aku akan sampai di sana 15 menit lagi."
"Bagaimana kalau 10 menit lagi" Kita sudah terlambat." Kansas
City menatapku sekali lagi. "Yakin kau tidak ingin tumpangan, Bill?"
Vickery tidak mengatakan apa pun, hanya menggeleng.
Sharp Objects.indd 64 "Siapa temanmu, Bill" Kupikir aku sudah menemui semua Wind
Gappers. Ataukah sebutan untuk penduduk Wind Gap itu" Wind
Gapians?" Dia menyeringai. Aku berdiri diam seperti anak sekolah,
berharap Vickery akan memperkenalkanku.
Tang! Vickery memilih untuk tidak mendengarkan. Di Chicago
aku akan mengulurkan tangan, memperkenalkan diri sembari tersenyum, dan menikmati reaksinya. Di sini, aku memandangi Vickery
dan tetap membisu. "Baiklah kalau begitu, sampai nanti di kantor."
Kaca jendela tertutup kembali, mobil melaju menjauh.
"Itu detektif dari Kansas City?" tanyaku
Vickery menjawab dengan menyulut rokok lagi, lalu berjalan
pergi. Di seberang jalan, si pria tua baru saja mencapai anak tangga
teratasnya. Sharp Objects.indd 65 bab empat Seseorang membuat coretan silang siur dengan cat semprot
biru di kaki menara air di Jacob J. Garett Memorial Park, dan menara itu anehnya sekarang terlihat cantik, seakan memakai sepatu
berenda. Tamannya sendiri"tempat terakhir Natalie Keene terlihat masih hidup"kosong. Debu dari lapangan bisbol mengapung
beberapa puluh senti di atas tanah. Aku bisa merasakannya di belakang tenggorokan seperti daun teh yang direndam terlalu lama.
Rumput tumbuh tinggi di ujung hutan. Aku terkejut tidak ada yang
memerintahkan untuk memotong rumput, dihilangkan seperti bebatuan yang menangkap Ann Nash.
Ketika aku masih SMA, Garrett Park adalah tempat semua orang
bertemu pada akhir pekan untuk minum bir atau mengisap ganja
atau masturbasi satu meter di dalam hutan. Itu tempat aku pertama
kali dicium, pada usia 13, oleh pemain football dengan sejumput tembakau terselip di gusinya. Aliran tembakau menamparku lebih keras
dibandingkan ciumannya; di belakang mobil si pemain football aku
memuntahkan jus anggur dengan irisan buah mungil yang berkilau.
"James Capisi di sini waktu itu."
Aku berbalik, berhadapan dengan bocah lelaki pirang cepak,
berusia sekitar 10 tahun, memegang bola tenis berbulu.
Sharp Objects.indd 66 "James Capisi?" tanyaku.
"Temanku, dia di sini ketika wanita itu menangkap Natalie," kata
anak itu. "James melihatnya. Wanita itu memakai gaun tidur. Mereka sedang bermain Frisbee, di dekat hutan, dan wanita itu menculik
Natalie. Bisa saja James yang diculik, tapi dia ingin tetap berada
di lapangan. Jadi Natalie yang berada di dekat pohon. James main
di luar karena ada matahari. Seharusnya dia tidak boleh berpanaspanas karena ibunya terkena kanker kulit, tapi James tetap keluar.
Atau sebelumnya dia begitu." Anak lelaki itu memantulkan bola
tenis dan awan debu mengambang di sekitarnya.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tidak suka matahari lagi?"
"Dia tidak suka apa pun lagi.
"Karena Natalie?"
Bocah itu mengangkat bahu dengan kasar.
"Karena James pengecut."
Anak itu memandangiku dari atas ke bawah, kemudian tiba-tiba
melemparkan bola tenis kepadaku, keras-keras. Bola itu menghantam pinggulku dan memantul.
Bocah itu menyemburkan tawa kecil. "Maaf." Dia mengejar bola
itu, menukik ke atasnya dengan dramatis, kemudian melompat berdiri dan melemparkan bola itu ke tanah. Bola itu melambung sekitar
tiga meter di udara, kemudian memantul-mantul perlahan hingga
berhenti. "Sepertinya aku belum memahami ucapanmu. Siapa yang memakai gaun tidur?" Aku terus memperhatikan bola yang memantulmantul.
"Wanita yang menculik Natalie."
"Sebentar, apa maksudmu?" Cerita yang kudengar adalah Natalie
bermain di sini bersama teman-teman yang satu per satu pulang
ke rumah, dan diduga dia diculik di suatu tempat pada perjalanan
singkat pulang ke rumah. Sharp Objects.indd 67 "James melihat wanita itu menculik Natalie. Mereka hanya berdua, bermain Frisbee, Natalie tidak berhasil menangkap Frisbee
dan Frisbee-nya jatuh di rumput di dekat hutan, wanita itu mengulurkan tangan dan menyambar Natalie. Kemudian mereka hilang.
Dan James lari ke rumah. Dan dia tidak keluar rumah sejak itu."
"Kalau begitu bagaimana kau bisa tahu ini?"
"Aku sempat mengunjunginya. Dia memberitahuku. Aku sobatnya."
"Apa James tinggal di sekitar sini?"
"Persetan dengannya. Lagi pula aku mungkin akan pergi ke rumah nenekku saat musim panas. Di Arkansas. Lebih baik daripada
di sini." Anak itu melemparkan bola ke pagar kawat yang mengelilingi
lapangan bisbol berbentuk ketupat, dan bola itu tersangkut di sana,
menggetarkan kawat. "Kau dari sini?" Anak itu mulai menendang debu di udara.
"Ya. Dulu. Aku tidak tinggal di sini lagi. Aku sedang berkunjung."
Aku mencoba lagi: "Apa James tinggal di dekat sini?"
"Kau anak SMA?" Wajah anak itu cokelat gelap terbakar matahari. Dia kelihatan seperti anggota bayi Marinir.
"Bukan." "Kuliah?" Dagunya basah karena air liur.
"Lebih tua." "Aku harus pergi." Dia melompat mundur, merenggut bola dari
pagar seperti gigi yang rusak, berbalik dan menatapku lagi, menggoyang-goyangkan pinggul dalam tarian gugup. "Aku harus pergi."
Dia melemparkan bola ke arah jalan, memantul ke mobilku dengan
suara keras. Dia lari mengejar bolanya dan menghilang.
Aku mendapatkan Capisi, Janel, di buku telepon setipis majalah
di satu-satunya FaStop di Wind Gap. Kemudian aku mengisi gelas
Sharp Objects.indd 68 Big Mouth dengan minuman soda rasa stroberi dan menyetir ke
3617 Holmes. Rumah Capisi terletak di ujung lingkungan dengan sewa murah
di ujung timur kota, sekelompok rumah reyot, dengan dua kamar,
sebagian besar penghuninya bekerja di peternakan babi besar di
dekat situ, bisnis pribadi yang mengirimkan nyaris 2 persen daging
babi negara ini. Temui orang miskin di Wind Gap, dan mereka
nyaris selalu memberitahumu mereka bekerja di peternakan, dan
begitu pun ayah mereka. Di bagian pembiakan, ada anak babi
untuk dipangkas giginya dan dimasukkan ke kandang, babi betina untuk dibuat hamil dan dikandangkan, selokan kotoran untuk
dibersihkan. Bagian penjagalan lebih buruk. Beberapa pegawai
memasukkan babi-babi, memaksa mereka berjalan melalui koridor
sempit, tempat para penjagal menunggu. Yang lain mencengkeram
kaki belakangnya, mempererat tali di sekitar mereka, melepaskan
si binatang untuk diangkat"menguik-nguik dan menendang-nendang"terbalik. Mereka menggorok dengan pisau jagal berujung
tajam, darah memancar sekental cat ke lantai keramik. Kemudian
masuk ke tangki air panas. Jeritan konstan"pekikan panik dan
suara logam"membuat sebagian besar pekerja memakai penyumbat telinga dan menghabiskan hari-hari mereka dalam kemarahan
bisu. Malam harinya mereka minum-minum dan menyalakan
musik, keras-keras. Bar lokal, Heelah"s, tidak menyajikan apa pun
yang berhubungan dengan daging babi, hanya daging ayam, yang
kemungkinan diproses pekerja pabrik yang sama berangnya di kota
sampah lainnya. Untuk kepentingan keterbukaan informasi sepenuhnya, aku harus menambahkan bahwa ibuku adalah pemilik seluruh bisnis itu
dan menerima profit sekitar $1,2 juta per tahun. Dia membiarkan
orang lain menjalankan bisnisnya.
Sharp Objects.indd 69 Seekor kucing jantan melolong di beranda depan rumah keluarga
Capisi, dan ketika berjalan ke arah rumah itu, aku bisa mendengar
samar-samar acara bincang-bincang siang hari di TV. Aku menggedor pintu kasa dan menunggu. Si kucing menggosokkan badan
ke kakiku; aku bisa merasakan tulang rusuknya dari balik celana.
Aku menggedor sekali lagi dan terdengar TV dimatikan. Si kucing
mengendap-endap ke bawah ayunan di beranda dan mengeong.
Dengan kuku jari aku menuliskan kata kaing di telapak tangan kanan dan mengetuk pintu lagi.
"Mom?" Suara seorang anak di jendela yang terbuka.
Aku berjalan menghampiri, dan lewat debu di kasa jendela aku
bisa melihat bocah lelaki kurus dengan ikal gelap dan mata membelalak.
"Hai, maaf menganggu. Kau James?"
"Kau mau apa?" "Hai, James, maaf aku menganggumu. Apa kau sedang menonton acara yang bagus?"
"Kau polisi?" "Aku berusaha mencari tahu siapa yang melukai temanmu. Bisakah aku bicara denganmu?"
Anak itu tidak beranjak, hanya menyusurkan jari di sepanjang
pinggiran jendela. Aku duduk di ayunan di ujung beranda, jauh dari
si anak. "Namaku Camille. Temanmu memberitahuku yang kaulihat.
Bocah dengan rambut pirang pendek?"
"Dee." "Itu namanya" Aku bertemu dengannya di taman, taman yang
sama tempat kau bermain dengan Natalie."
"Dia menculik Natalie. Tidak ada yang percaya padaku. Aku
tidak takut. Aku hanya harus diam di rumah. Ibuku kena kanker.
Dia sakit." Sharp Objects.indd 70 "Itu yang Dee bilang. Aku tidak menyalahkanmu. Aku harap
aku tidak menakutimu, datang ke sini seperti ini." Anak itu mulai
menggarukkan kuku panjangnya di pintu kasa. Bunyinya membuat
telingaku gatal. "Kau tidak kelihatan seperti wanita itu. Kalau kau seperti dia,
aku akan menelepon polisi. Atau aku akan menembakmu."
"Wanita itu kelihatan seperti apa?"
Anak itu mengangkat bahu. "Aku sudah bilang sebelumnya. Seratus kali."
"Sekali lagi." "Dia tua." "Tua seperti aku?"
"Tua seperti seorang ibu."
"Apa lagi?" "Dia memakai gaun tidur putih dengan rambut putih. Dia putih
seluruhnya, tapi tidak seperti hantu. Itu yang terus kukatakan."
"Putih bagaimana?"
"Seperti dia tidak pernah keluar rumah."
"Dan wanita itu menculik Natalie ketika dia pergi ke arah hutan?" Aku menanyakan pertanyaan itu dengan suara membujuk
yang sama yang dipakai ibuku pada pelayan yang dia sukai.
"Aku tidak berbohong."
"Tentu saja tidak. Wanita itu menyambar Natalie sementara kalian semua sedang bermain?"
"Sangat cepat," dia mengangguk. "Natalie berjalan di rumput
untuk mencari Frisbee. Dan aku melihat wanita itu bergerak dari
dalam hutan, mengawasi Natalie. Aku melihat wanita itu sebelum
Natalie melihatnya. Tapi aku tidak takut."
"Mungkin tidak."
"Bahkan ketika dia menyambar Natalie, awalnya aku tidak takut."
Sharp Objects.indd 71 "Tapi sesudahnya kau takut?"
"Tidak." Suara anak itu memelan. "Aku tidak takut."
"James, bisakah kau memberitahuku apa yang terjadi ketika wanita itu menyambar Natalie?"
Api Di Bukit Menoreh 4 Hati Yang Memilih Karya Unknown Petualangan Roh Iblis 1

Cari Blog Ini