Ceritasilat Novel Online

Segala Yang Tajam 3

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn Bagian 3


sweter merah. Si anak lelaki tersenyum tidak nyaman, seakan dia
sedang melakukan sesuatu yang sebaiknya tidak terdokumentasikan. Natalie mungkin setengah tinggi tubuh kakaknya dan terlihat
sangat serius, seperti subjek dalam foto daguerreotype tua.
"Siapa nama putramu?"
"Itu John. Dia berhati baik, sangat lembut. Itu yang selalu paling
aku banggakan. Dia baru saja lulus SMA."
"Mereka memajukannya sedikit"waktu aku bersekolah di sana,
mereka membuat kami menunggu hingga Juni."
139 Sharp Objects.indd 139 "Mmmm. Menyenangkan bisa mendapatkan musim panas yang
lebih panjang." Aku tersenyum. Dia tersenyum. Aku duduk dan menyesap air.
Aku tidak bisa mengingat saran Curry mengenai apa yang harus
kaulakukan setelah kau bisa masuk ke ruang duduk seseorang.
"Kita sebenarnya belum berkenalan secara resmi. Aku Camille
Preaker. Dari Chicago Daily Post" Kita mengobrol sebentar di telepon malam lalu."
Dia berhenti tersenyum. Rahangnya mulai bergerak.
"Kau seharusnya mengatakan itu sebelumnya."
"Aku tahu ini waktu yang sulit untukmu dan kalau aku bisa sekadar mengajukan beberapa pertanyaan"."
"Kau tidak bisa."
"Mrs. Keene, kami ingin berlaku adil pada keluargamu, itu sebabnya aku di sini. Semakin banyak informasi yang bisa kami berikan
kepada masyarakat"."
"Semakin banyak koran yang bisa kaujual. Aku muak dan lelah
akan semua ini. Sekarang aku akan memberitahumu untuk terakhir
kali: Jangan kembali ke sini. Jangan mencoba mengontak kami. Aku
sama sekali tidak punya apa-apa untuk dikatakan kepadamu." Dia
berdiri di depanku, membungkuk. Dia mengenakan, seperti saat
pemakaman, kalung manik-manik dari kayu, dengan hati merah
besar di tengah. Hati itu memantul-mantul di dadanya seperti jam
ahli hipnotis. "Aku pikir kau parasit," dia membentakku. "Aku pikir
kau menjijikkan. Aku harap suatu hari nanti kau akan mengingat
dan melihat betapa buruknya kau. Sekarang tolong pergi."
Mrs. Keene mengikutiku ke pintu, seolah-olah dia tidak percaya
aku memang pergi hingga dia melihatku melangkah keluar dari rumahnya. Dia membanting pintu di belakangku dengan cukup kuat
hingga bel pintu berdenting pelan.
140 Sharp Objects.indd 140 Aku berdiri di beranda dengan wajah memerah, memikirkan
betapa bagusnya detail kalung hati itu di dalam tulisanku nanti,
dan melihat si gadis di mobil kabriolet merah sedang menatapku.
Pemuda yang tadi bersamanya sudah tidak ada.
"Kau Camille Preaker, kan?" seru gadis itu.
"Ya." "Aku ingat kau," kata si gadis. "Aku masih kecil ketika kau tinggal
di sini, tapi kami semua mengenalmu."
"Siapa namamu?"
"Meredith Wheeler. Kau tidak akan mengingatku. Aku cuma
anak kecil konyol saat kau SMA."
Pacar John Keene. Nama gadis itu terdengar familier, berkat teman-teman ibuku, tapi aku tidak akan mengingat gadis itu secara
personal. Sial, dia pastinya baru enam atau tujuh tahun ketika aku
tinggal di sini. Tetap saja, aku tidak heran dia mengenalku. Gadisgadis yang tumbuh dewasa di Wind Gap mempelajari gadis-gadis
yang lebih tua dengan obsesif: siapa yang mengencani bintang football, siapa yang menjadi ratu pesta dansa, siapa yang penting. Kau
menukar favoritmu seperti kartu bisbol. Aku masih ingat CeeCee
Wyatt, ratu pesta dansa Calhoon High ketika aku masih kanakkanak. Aku pernah membeli sebelas lipstik dari apotek, berusaha
menemukan warna merah muda yang tepat yang CeeCee pakai
ketika dia menyapaku suatu pagi.
"Aku ingat kau," kataku. "Aku tidak percaya kau sudah menyetir."
Dia tertawa, sepertinya senang mendengar kebohonganku.
"Sekarang kau reporter, kan?"
"Ya, di Chicago."
"Aku akan membuat John bicara padamu. Kita akan berhubungan."
Meredith melesat pergi. Aku yakin dia merasa cukup senang de141
Sharp Objects.indd 141 ngan dirinya sendiri"Kita akan berhubungan"memulas bibir lagi
dengan lip gloss dan sama sekali tidak memikirkan anak 10 tahun
yang tewas yang akan menjadi subjek pembicaraan.
Aku menelepon toko perkakas paling besar di kota"toko tempat
jasad Natalie ditemukan. Tanpa memperkenalkan diri, aku mulai
mengobrol soal kemungkinan mendekorasi ulang kamar mandi,
mungkin membeli tegel baru. Tidak terlalu sulit untuk mengarahkan percakapan ke peristiwa-peristiwa pembunuhan itu. Kurasa
banyak orang yang memikirkan ulang keamanan rumah mereka
akhir-akhir ini, aku berujar.
"Itu memang benar, Ma"am. Kami menjual banyak kunci rantai
dan gembok ganda dalam beberapa hari terakhir," sahut si suara
yang menggerutu. "Benarkah" Berapa banyak yang sudah kaujual?"
"Sekitar tiga lusin, kukira."
"Kebanyakannya keluarga" Orang-orang yang punya anak?"
"Oh, ya. Mereka yang punya alasan untuk cemas, kan" Mengerikan. Kami berharap bisa memberikan sumbangan kepada keluarga
Natalie." Dia berhenti sejenak. "Kau mau mampir, melihat beberapa
contoh tegel?" "Aku mungkin akan melakukan itu, makasih."
Satu tugas reportase dicoret dari daftarku dan aku bahkan tidak
harus dimaki-maki ibu yang berduka.
Untuk janji makan malam kami, Richard memilih Gritty"s, "restoran
keluarga" dengan bar salad yang menyajikan beragam jenis makanan
kecuali salad. Seladanya selalu ditaruh di wadah kecil di ujung bar,
142 Sharp Objects.indd 142 seperti diingat belakangan, berminyak dan pucat. Richard sedang
menggoda wanita penerima tamu ceria bertubuh gemuk ketika aku
tergesa-gesa masuk, terlambat dua belas menit. Si penerima tamu,
yang wajahnya cocok dengan pai yang berputar di belakangnya,
sepertinya tidak menyadari aku ada di situ. Gadis itu larut dalam
beragam kemungkinan dengan Richard: Di benaknya, gadis itu
sudah menulis catatan kejadian malam itu di buku hariannya.
"Preaker," kata Richard, matanya masih menatap si penerima
tamu. "Keterlambatanmu ini memalukan. Kau beruntung JoAnn
ada di sini untuk menemaniku." Gadis itu terkikik, kemudian memelototiku, mengarahkan kami ke bilik pojok dan dia membanting
menu berminyak di depanku. Di meja, aku masih bisa melihat lingkaran bekas gelas pelanggan sebelumnya.
Wanita pelayan muncul, menyodoriku air dalam gelas sebesar gelas seloki, kemudian mengulurkan minuman bersoda dalam wadah
styrofoam. "Hei, Richard"aku ingat, ya, kan?"
"Itu sebabnya kau pelayan favoritku, Kathy." Lucu.
"Hai, Camille; kudengar kau sedang di kota." Aku tidak ingin
mendengar kalimat itu lagi. Si pelayan, setelah dilihat sekali lagi,
ternyata teman sekelasku dulu. Kami berteman selama satu semester saat kelas dua SMA karena kami mengencani dua sahabat
karib"pacarku Phil, pacar Kathy Jerry"cowok-cowok atlet yang
bermain football pada musim gugur dan bergulat pada musim dingin, dan mengadakan pesta sepanjang tahun di ruang main bawah
tanah Phil. Aku sekilas ingat kami berpegangan tangan sementara buang air kecil di salju di luar pintu kaca geser, terlalu mabuk
untuk berhadapan dengan ibu Phil di lantai atas. Aku ingat Kathy
memberitahuku dia berhubungan seks dengan Jerry di meja biliar.
Menjelaskan kenapa permukaannya terasa lengket.
"Hei, Kathy, senang bertemu denganmu. Apa kabar?"
143 Sharp Objects.indd 143 Dia merentangkan kedua lengan dan melirik ke sekeliling restoran.
"Oh, kau mungkin bisa menebaknya. Tapi, hei, itu yang kaudapatkan karena tetap tinggal di sini, ya, kan" Bobby kirim salam.
Kidder." "Oh, ya! Astaga"." Aku lupa mereka berdua menikah. "Apa
kabar Bobby?" "Masih sama. Kau harus mampir kapan-kapan. Kalau kau punya
waktu. Kami tinggal di Fisher."
Aku bisa membayangkan jam berdetak begitu keras ketika aku
duduk di ruang duduk Bobby dan Kathy Kidder, berusaha mencari
sesuatu untuk dikatakan. Kathy yang akan mengobrol, dia selalu
begitu. Dia tipe orang yang akan membaca plang jalan keras-keras
daripada harus menderita dalam kesunyian. Kalau Bobby masih
Bobby yang dulu, dia pendiam tapi ramah, pria dengan sedikit
ketertarikan dan mata biru sipit yang hanya akan berfokus ketika
pembicaraan beralih ke berburu. Waktu SMA, Bobby menyimpan
semua kuku kaki rusa yang dia bunuh, selalu ada sepasang kuku
terbaru di dalam kantongnya, kemudian dia akan mengeluarkannya
dan memukul-mukulkannya seperti bermain drum pada permukaan keras apa pun yang tersedia. Aku selalu merasa itu seperti kode
Morse si rusa yang mati, pesan bahaya tertunda dari yang esok hari
akan jadi daging rusa. "Omong-omong, kalian mau makan makanan prasmanan?"
Aku meminta bir, yang menyebabkan jeda hening lama. Kathy
melirik ke belakang ke arah jam dinding. "Mmmm, kami seharusnya baru boleh menyajikan bir jam delapan. Tapi kucoba menyelinapkan bir untukmu"demi masa lalu, bukan?"
"Yah, aku tidak ingin membuatmu kena masalah." Ciri khas
Wind Gap untuk punya aturan minum alkohol manasuka. Jam lima
144 Sharp Objects.indd 144 akan masuk akal, setidaknya. Jam delapan itu hanya cara seseorang
untuk membuatmu merasa bersalah.
"Astaga, Camille, ini akan menjadi hal paling menarik yang terjadi padaku setelah sekian lama."
Sementara Kathy pergi untuk mencuri minuman beralkohol untukku, Richard dan aku mengisi piring dengan steak ayam goreng,
bubur jagung, kentang tumbuk, dan, untuk Richard, sebongkah
Jell-O bergoyang-goyang yang meleleh ke makanannya saat kami
kembali ke meja. Kathy meninggalkan sebotol bir, tersembunyi di
tempat dudukku. "Selalu minum sepagi ini?"
"Aku cuma minum bir."
"Aku bisa mencium minuman keras dalam napasmu ketika kau
masuk, di bawah lapisan permen Certs"rasa Wintergreen?" Dia
tersenyum kepadaku, seolah-olah dia hanya penasaran, tidak menilai. Aku yakin Richard sangat lihai di ruang interogasi.
"Cert, ya; minuman keras, tidak."
Sebenarnya, itu alasannya aku terlambat. Tepat sebelum masuk
ke tempat parkir, aku menyadari minuman yang kutenggak sesudah
meninggalkan rumah keluarga Keene harus disamarkan dengan
cepat dan aku melewati beberapa blok selanjutnya ke toko serbaada
untuk membeli permen mentol. Wintergreen.
"Oke, Camille," kata Richard dengan lembut. "Jangan khawatir.
Itu bukan urusanku." Dia menggigit kentang tumbuk, merah karena
Jell-O, dan tidak mengatakan apa-apa. Kelihatannya sedikit malu.
"Jadi, apa yang ingin kauketahui soal Wind Gap?" Aku merasa
aku telah sangat mengecewakan Richard, seolah-olah aku orangtua
yang mengingkari janji untuk mengajak dia ke kebun binatang saat
ulang tahunnya. Saat ini aku bersedia memberitahu Richard kejadian sebenarnya, menjawab pertanyaan selanjutnya dengan sepenuh
145 Sharp Objects.indd 145 hati untuk menebus kesalahanku padanya"dan tiba-tiba aku bertanya-tanya, apakah memang itu tujuan Richard mempertanyakan
soal aku yang minum atau tidak. Polisi cerdas.
Richard menatapku lurus-lurus hingga aku mengalihkan pandangan. "Aku ingin tahu soal kekerasan di kota ini. Semua tempat
memiliki ketegangannya sendiri. Apakah hal itu terbuka atau tersembunyi" Apakah dilakukan sebagai satu kelompok"perkelahian
di bar, pemerkosaan oleh banyak orang"ataukah itu spesifik, personal" Siapa yang melakukannya" Siapa targetnya?"
"Yah, aku tidak tahu apakah aku bisa membuat pernyataan singkat dari keseluruhan sejarah kekerasan di sini."
"Ceritakan insiden yang benar-benar kejam yang kaulihat ketika
tumbuh dewasa." Ibuku dengan si bayi. "Aku melihat seorang wanita melukai seorang anak."
"Memukul bokong" Memukul badan?"
"Dia menggigit bayi itu."
"Oke. Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, kurasa."
"Apakah bayi itu anak wanita itu?"
"Bukan." "Oke, oke, ini bagus. Jadi tindakan kekerasan yang sangat personal pada anak perempuan. Siapa yang melakukannya, aku akan
memeriksanya." "Aku tidak tahu namanya. Wanita itu kerabat seseorang dari luar
kota." "Yah, siapa yang tahu namanya" Maksudku, kalau wanita itu
punya kerabat di sini, ini layak untuk diselidiki."
Aku bisa merasakan tungkai-tungkaiku terputus, mengambang
di dekatku seperti kayu mengapung di danau yang berminyak. Aku
146 Sharp Objects.indd 146 menekankan ujung-ujung jariku pada gerigi garpu. Hanya menceritakan kisah ini keras-keras saja membuatku panik. Aku bahkan
tidak berpikir Richard menginginkan detail ceritanya.
"Hei, kupikir ini cuma profil kekerasan," kataku, terdengar hampa
di balik suara deru darah di telingaku. "Aku tidak punya detailnya.
Itu wanita yang tidak kukenali dan aku tidak tahu dia bersama siapa.
Aku hanya berasumsi dia dari luar kota."
"Kukira reporter tidak membuat asumsi." Richard tersenyum
lagi. "Aku belum jadi reporter waktu itu, aku masih kecil?"
"Camille, aku menyusahkanmu, maafkan aku." Dia merebut garpu dari jemariku, menempatkan benda itu dengan sengaja di sisi
meja dekat dirinya, mengangkat tanganku dan menciumnya. Aku
bisa melihat kata lipstik merangkak keluar dari lengan baju kananku.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menderamu dengan pertanyaan. Aku berperan jadi polisi jahat."
"Aku sulit membayangkanmu sebagai polisi jahat."
Richard menyeringai. "Memang, itu butuh perjuangan. Terkutuklah wajah muda tampan ini!"
Kami menyesap minuman selama sesaat. Richard memutarmutar botol garam dan berkata, "Bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan lagi?" Aku mengangguk. "Insiden apa lagi yang bisa
kau?ingat?" Aroma salad tuna yang begitu kuat di piringku membuat perutku
serasa terpilin. Aku mencari Kathy untuk memesan satu bir lagi.
"Kelas lima. Dua anak laki-laki memojokkan seorang anak perempuan saat istirahat dan memaksanya untuk memasukkan tongkat ke tubuhnya."
"Di luar kehendak si anak perempuan" Mereka memaksanya?"
"Mmmm" sedikit, kurasa. Anak-anak lelaki itu tukang gencet,
147 Sharp Objects.indd 147 mereka menyuruh si anak perempuan untuk melakukan itu dan dia


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya." "Dan kau melihat sendiri atau mendengar soal ini?"
"Mereka menyuruh beberapa orang untuk menonton. Ketika
guru tahu soal ini, kami harus meminta maaf."
"Kepada si anak perempuan."
"Bukan, anak perempuan itu harus meminta maaf juga, kepada
seisi kelas. "Gadis muda harus mengendalikan tubuh mereka karena
anak-anak lelaki tidak melakukannya.?"
"Ya Tuhan. Kadang-kadang kau lupa betapa dulu situasinya
berbeda dan itu terjadi tidak begitu jauh di masa lalu. Betapa"
terbelakangnya." Richard menulis di buku catatan, meluncurkan
sepotong Jell-O ke kerongkongannya. "Apa lagi yang kauingat?"
"Pernah, seorang gadis kelas delapan mabuk di pesta SMA dan
empat atau lima cowok di tim football berhubungan seks dengannya, semacam menggilirnya. Apakah itu termasuk?"
"Camille. Tentu saja itu termasuk kekerasan. Kau tahu itu, kan?"
"Yah, aku tidak tahu apakah itu termasuk sebagai kekerasan terang-terangan atau"."
"Ya, aku akan menganggap sekelompok anak bengal memerkosa
gadis tiga belas tahun sebagai kekerasan terang-terangan, ya sudah
tentu." "Semuanya baik-baik saja?" Kathy tiba-tiba tersenyum kepada
kami. "Menurutmu, apa kau bisa menyelipkan satu bir lagi untukku?"
"Dua." Richard berkata.
"Baiklah, kali ini aku melakukannya untuk Richard, karena dia
pemberi tip terbaik di kota ini."
"Makasih, Kathy." Richard tersenyum.
Aku mencondongkan tubuh ke meja. "Aku tidak bilang tindakan
148 Sharp Objects.indd 148 itu benar, Richard; aku hanya ingin tahu seperti apa kekerasan menurut kriteriamu."
"Benar, dan aku mendapatkan gambaran yang bagus mengenai
kekerasan semacam apa yang kita hadapi di sini, hanya karena kau
bertanya apakah kejadian itu termasuk kekerasan atau bukan. Apakah polisi diberitahu?"
"Tentu saja tidak."
"Aku terkejut gadis itu tidak disuruh minta maaf karena membiarkan anak-anak lelaki itu memerkosanya. Kelas delapan. Itu
membuatku mual." Dia berusaha mengambil tanganku lagi, tapi aku
meletakkannya di pangkuan.
"Jadi masalah umur yang membuat itu menjadi pemerkosaan."
"Di umur berapa pun, itu adalah pemerkosaan."
"Kalau malam ini aku terlalu mabuk dan tidak sadar, lalu berhubungan seks dengan empat laki-laki, apakah itu pemerkosaan?"
"Secara legal, aku tidak tahu, itu tergantung pada banyak sekali
hal"misalnya pengacaramu. Tapi secara etis, tentu saja."
"Kau seksis." "Apa?" "Kau seksis. Aku sangat muak dengan pria liberal aliran kiri yang
melakukan diskriminasi seksual dengan berpura-pura melindungi
wanita dari diskriminasi seksual."
"Aku bisa menyakinkanmu aku tidak begitu."
"Aku punya rekan pria di kantor"sensitif. Ketika aku tidak
mendapatkan promosi, dia menyarankan aku menuntut kantor
karena melakukan diskriminasi. Aku tidak didiskriminasi, aku
reporter yang biasa-biasa saja. Dan kadang-kadang wanita mabuk
tidak diperkosa; mereka cuma membuat pilihan yang bodoh"dan
mengatakan kami berhak mendapatkan perlakuan istimewa ketika
149 Sharp Objects.indd 149 kami mabuk karena kami wanita, mengatakan kami harus dijaga,
aku rasa itu menghina."
Kathy kembali dengan bir kami dan kami menyesap minuman
itu dalam keheningan hingga botol-botol itu kosong.
"Astaga, Preaker, oke, aku mengaku kalah."
"Oke." "Tapi kau melihat polanya, kan" Dalam penyerangan terhadap
wanita. Mengenai sikap atas penyerangan itu."
"Hanya saja baik Nash maupun Keene tidak dilecehkan secara
seksual. Benar?" "Kupikir, di benak si pelaku, mencabut gigi itu sama dengan
pemerkosaan. Semua itu masalah kekuasaan"bersifat invasi, memerlukan banyak tenaga, dan setiap gigi yang tercabut" kepuasan."
"Apakah ini boleh dikutip?"
"Kalau aku melihat ini di koranmu, kalau aku melihat bahkan
hanya sekilas percakapan ini di dalam tulisanmu, kau dan aku tidak
akan pernah bicara lagi. Dan itu akan sangat disayangkan, karena
aku suka mengobrol denganmu. Bersulang." Richard mendentingkan botol kosongnya ke botolku. Aku tetap diam.
"Malahan, izinkan aku mengajakmu berkencan," kata Richard.
"Cuma bersenang-senang. Tidak mengobrolkan pekerjaan. Otakku
sangat butuh libur semalam dari semua urusan ini. Kita bisa melakukan sesuatu yang khas kota kecil."
Aku mengangkat alis. "Membuat kembang gula" Menangkap babi yang dilumuri oli?"
Richard menyebutkan berbagai kegiatan sambil menghitungnya
dengan jari. "Membuat es krim sendiri" Menyusuri Main Street
dengan salah satu mobil Shriners" Oh, apakah ada pasar malam menarik di dekat sini"aku bisa memamerkan kekuatanku kepadamu."
"Sikap seperti itu pastinya membuatmu disenangi orang lokal."
150 Sharp Objects.indd 150 "Kathy menyukaiku."
"Karena kau memberinya tip."
Kami berakhir di Garrett Park, tersangkut di ayunan yang terlalu
kecil untuk kami, bergoyang-goyang ke depan belakang dan ke
belakang di antara debu pada malam yang gerah. Tempat Natalie
Keene terakhir terlihat masih hidup, tapi kami tidak mengatakan
apa pun soal itu. Di seberang lapangan bola, terdapat pancuran air
minum yang menyemburkan air tanpa henti, tidak akan pernah
mati hingga Hari Buruh. "Aku melihat banyak anak SMA berpesta di sini pada malam
hari," kata Richard. "Akhir-akhir ini Vickery terlalu sibuk untuk
mengusir mereka." "Sudah seperti itu bahkan sejak aku masih SMA. Minum alkohol
bukan masalah besar di sini. Kecuali, ternyata, di Gritty"s."
"Aku ingin melihatmu saat kau enam belas tahun. Coba kutebak: Kau seperti anak perempuan liar si pendeta. Cantik, kaya, dan
cer?das. Itu resep untuk membuat masalah di sekitar sini, kurasa.
Aku bisa membayangkanmu di sana," kata Richard, menunjuk ke
bangku penonton yang retak-retak di samping lapangan bola. "Me?
nga?lahkan anak-anak cowok minum alkohol."
Itu kebejatan paling minim yang kulakukan di taman ini. Bukan
hanya ciuman pertama, tetapi seks oral pertamaku, pada usia tiga
belas. Salah seorang kakak kelas di tim bisbol mengayomiku, kemudian membawaku ke hutan. Dia tidak mau menciumku hingga aku
melayaninya. Kemudian dia tidak mau menciumku mengingat di
mana mulutku sebelumnya berada. Cinta monyet. Tidak lama sesudah itu adalah malam liarku di pesta football, cerita yang membuat
Richard begitu gusar. Kelas delapan, empat cowok. Waktu itu aku
151 Sharp Objects.indd 151 lebih banyak beraksi dibandingkan dengan sepuluh tahun terakhir
ini. Aku merasakan kata jahat membara di panggulku.
"Aku sempat bersenang-senang," kataku. "Wajah cantik dan uang
membuatmu mendapatkan banyak hal di Wind Gap."
"Dan kecerdasan?"
"Kecerdasan kausembunyikan. Aku punya banyak teman, tapi
tidak ada yang akrab, kau paham?"
"Aku bisa bayangkan. Apakah kau dekat dengan ibumu?"
"Tidak terlalu." Aku minum terlalu banyak; wajahku terasa kebas
dan panas. "Kenapa?" Richard memutar ayunannya untuk berhadapan denganku.
"Menurutku ada wanita yang tidak berbakat menjadi ibu. Dan
ada wanita yang tidak berbakat menjadi anak perempuan."
"Apa dia pernah melukaimu?" Pertanyaan itu membuatku termangu, terutama sesudah percakapan kami ketika makan malam.
Pernahkah Adora melukaiku" Aku yakin suatu hari nanti aku akan
memimpikan kenangan tentang Adora, mencakar, menggigit, atau
mencubit. Aku merasa itu pernah terjadi. Aku membayangkan diriku mengangkat blusku untuk menunjukkan bekas lukaku kepada
Richard, ya, lihat! Manja.
"Itu pertanyaan yang aneh, Richard."
"Maaf, hanya saja kau terdengar begitu" sedih. Marah. Sesuatu."
"Itu tanda seseorang yang punya hubungan sehat dengan orangtuanya."
"Benar." Richard tertawa. "Bagaimana kalau aku mengganti topik?"
"Ya." "Oke, coba kupikirkan" obrolan ringan. Obrolan selagi duduk
di ayunan." Richard mengerutkan wajah, pura-pura berpikir. "Oke,
152 Sharp Objects.indd 152 jadi apa warna favoritmu, rasa es krim favoritmu, dan musim favoritmu?"
"Biru, kopi, dan musim dingin."
"Musim dingin. Tidak ada yang suka musim dingin."
"Malam datang lebih cepat, aku suka itu."
"Kenapa?" Karena itu artinya hari sudah berakhir. Aku suka mencoret tanggal yang berlalu di kalender"151 hari berlalu dan tidak ada kejadian yang benar-benar mengerikan. 152 dan dunia tidak hancur.
153 dan aku belum menghancurkan siapa pun. 154 dan tidak ada
yang benar-benar membenciku. Kadang-kadang aku pikir aku tidak
akan pernah merasa aman hingga aku bisa menghitung hari-hari
terakhirku menggunakan satu tangan. Tiga hari lagi untuk dilalui
hingga aku tidak harus mencemaskan kehidupan lebih jauh.
"Aku suka saja malam hari." Aku baru akan mengatakan lebih
banyak, tidak terlalu banyak, tetapi lebih banyak, ketika Chevrolet
Camaro IROC kuning yang sudah bobrok menggemuruh kemudian berhenti di seberang jalan dan Amma serta kelompok cewek
pirangnya keluar dari kursi belakang. Amma menyandar ke jendela
sopir, belahan payudara menggoda si pemuda yang menyetir, yang
berambut pirang kecokelatan panjang dan berminyak sesuai dengan
bayangan orang yang masih menyetir IROC warna kuning. Ketiga
gadis lain berdiri di belakang Amma, pinggul ditonjolkan, cewek
yang paling tinggi menghadapkan bokong kepada mereka dan
membungkuk, langsing dan semampai berpura-pura mengikat tali
sepatu. Gayanya boleh juga.
Para gadis itu berjalan lambat-lambat ke arah kami, Amma melambai-lambaikan kedua tangan berlebihan, memprotes awan hitam
asap knalpot. Gadis-gadis kecil itu seksi, aku harus mengakuinya.
Rambut pirang panjang, wajah berbentuk hati, dan kaki langsing.
153 Sharp Objects.indd 153 Rok mini dengan kaus ketat memamerkan perut yang ramping.
Kecuali Jodes, yang dadanya terlalu ke atas dan kaku yang pastinya
disumpal busa, gadis-gadis lainnya punya payudara sungguhan,
penuh, bergoyang-goyang, dan terlalu montok. Akibat bertahuntahun dicekoki susu, daging babi, daging sapi sejak masih kecil. Semua hormon ekstra yang kami berikan kepada hewan ternak kami.
Tidak lama lagi kami akan menemukan balita berpayudara.
"Hei, Dick," panggil Amma. Dia sedang mengisap permen Blow
Pop merah yang terlalu besar.
"Hai, Nona-nona."
"Hai, Camille, sudah buat aku jadi terkenal, belum?" tanya
Amma, menjilati sekeliling permen. Kepang rambut bak gadis
Swiss sudah hilang, juga pakaian yang dia pakai ke peternakan, yang
pastinya bau segala rupa. Sekarang Amma mengenakan kaus tanpa
lengan dan rok yang panjangnya tidak sampai tiga senti di bawah
selangkangan. "Belum." Kulit Amma seperti buah peach, bebas dari noda dan
keriput, wajahnya begitu sempurna dan tanpa cacat sedikit pun, dia
bisa saja disangka baru keluar dari rahim. Semuanya terlihat belum
ajek. Aku ingin semua itu pergi.
"Dick, kapan kau akan mengajak kami jalan-jalan?" tanya Amma,
mengenyakkan tubuh di tanah di depan kami, kakinya diangkat,
menunjukkan celana dalamnya sekilas.
"Untuk bisa melakukan itu, aku harus menahan kalian. Aku
mungkin harus menahan cowok-cowok yang terus menongkrong
bersama kalian. Anak SMA terlalu tua untuk kalian."
"Mereka bukan anak SMA," kata si cewek jangkung.
"Ya," Amma terkikik. "Mereka keluar dari sekolah."
"Amma, berapa usiamu?" tanya Richard.
"Baru saja ulang tahun ketiga belas."
154 Sharp Objects.indd 154 "Kenapa kau selalu begitu peduli pada Amma?" interupsi si
pi??rang kurang ajar. "Kami di sini juga, kan. Kau mungkin bahkan
tidak tahu nama kami."
"Camille, sudahkah kau berkenalan dengan Kylie, Kelsey, dan
Kelsey?" kata Richard, menunjuk ke si gadis tinggi, gadis kurang
ajar, dan gadis yang dipanggil adikku".
"Itu Jodes," kata Amma. "Ada dua Kelsey, jadi dia dipanggil dengan nama belakangnya. Agar tidak membingungkan. Benar, kan,
Jodes?" "Mereka boleh memanggilku Kelsey kalau mereka mau," kata Jodes, yang posisinya paling rendah dalam kelompok ini, kemungkinan sebagai hukuman karena dia yang paling tidak cantik. Dagunya
tidak tajam. "Dan Amma adik tirimu, kan?" lanjut Richard. "Aku tidak berada
terlalu jauh di luar lingkaran sosial."
"Tidak, kelihatannya kau ada tepat di dalamnya," kata Amma. Dia
membuat kata-katanya terdengar seksual, walaupun aku tidak bisa
memikirkan makna tersirat di dalamnya. "Jadi, kalian berkencan
atau bagaimana" Aku dengar Camille cewek yang paling diinginkan.
Setidaknya dulu begitu."
Richard mengeluarkan tawa singkat, parau karena terkejut. Hina
membara di kakiku. "Itu benar, Richard. Aku dulu cukup menarik."
"Cukup," ejek Amma. Dua gadis pirang lain tertawa. Jodes menggambar garis-garis berantakan di tanah dengan sebatang kayu. "Kau
harus mendengar cerita-ceritanya, Dick. Akan membuatmu cukup
gerah. Atau mungkin sudah."
"Nona-nona, kami harus pergi, tetapi seperti biasa, pertemuan
ini memang cukup menarik," kata Richard, dan menggamit tangan155
Sharp Objects.indd 155 ku untuk membantuku beranjak dari ayunan. Dia memegang tanganku, meremasnya dua kali, seraya kami berjalan ke mobil.
"Dia benar-benar pria sejati ya," seru Amma dan keempat gadis
itu bangkit dan mulai mengikuti kami. "Tidak bisa memecahkan
kejahatan, tapi bisa meluangkan waktu membantu Camille masuk
ke mobil bobroknya." Mereka tepat di belakang kami, Amma dan


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kylie menginjak tumit kami, secara harfiah. Aku bisa merasakan
penyakitan memendar di tempat sandal Amma menggores otot
Achilles-ku. Kemudian Amma mengambil permen basahnya dan
memuntirkannya di rambutku.
"Hentikan," gumamku. Aku berbalik dan menyambar pergelangan tangan Amma begitu keras aku bisa merasakan denyut nadinya.
Lebih pelan dibandingkan punyaku. Dia tidak menggeliat pergi,
malahan mendekat kepadaku. Aku bisa merasakan napas stroberinya mengisi lekukan leherku.
"Ayo, lakukan sesuatu," Amma tersenyum. "Kau bisa membunuhku sekarang dan Dick masih tidak akan bisa memecahkannya."
Aku melepaskan pegangan, mendorong Amma menjauh dariku,
lalu Richard dan aku bergegas masuk ke mobil lebih cepat daripada
yang kuinginkan. 156 Sharp Objects.indd 156 bab sembilan Aku tertidur, tidak sengaja dan sangat lelap, pada jam sembilan
malam, bangun melihat matahari yang berbinar marah pada jam
tujuh keesokan harinya. Pohon kering menggoreskan batangnya ke
kaca jendela kamarku seolah-olah ingin memanjat masuk ke sebelahku untuk mendapatkan kenyamanan.
Aku mengenakan seragamku"blus tangan panjang, rok panjang"dan berjalan ke lantai bawah. Gayla berbinar di halaman belakang, seragam pelayan putihnya tampak kemilau di latar belakang
tanaman hijau. Dia memegang nampan perak yang dijadikan tempat ibuku menaruh mawar yang tidak sempurna. Ibuku memakai
gaun tanpa lengan sewarna mentega yang cocok dengan rambutnya.
Dia sedang memeriksa serumpun bunga merah muda dan kuning
dengan tang di tangan. Dia memeriksa setiap bunga dengan lapar,
mencabuti mahkotanya, mendorong dan mencongkel.
"Kau harus menyirami bunga-bunga ini lebih sering, Gayla. Lihat apa yang kaulakukan pada mereka."
Adora memisahkan mawar merah muda dari rumpunnya, menarik bunga itu ke tanah, menginjaknya dengan kakinya yang halus,
dan memotong akar bunga itu. Pasti ada dua lusin mawar di nampan
yang Gayla pegang. Aku hanya melihat sedikit ketidaksempurnaan
dari bunga-bunga itu. 157 Sharp Objects.indd 157 "Camille, kau dan aku akan berbelanja di Woodberry hari ini,"
seru ibuku tanpa menengadah. "Ya, kan?" Ibuku tidak mengatakan
apa pun mengenai perselisihan kami di rumah keluarga Nash kemarin. Itu terlalu terus terang.
"Ada beberapa hal yang harus kulakukan," kataku. "Omongomong, aku tidak tahu kau berteman dengan keluarga Nash. Dengan Ann." Aku merasa sedikit bersalah karena mendesak Adora
soal Ann saat sarapan kemarin. Bukan berarti aku benar-benar
merasa buruk karena membuat ibuku marah"ini lebih karena aku
tidak suka ada kekuranganku dalam catatan Adora.
"Mmmm-hmm. Alan dan aku akan mengadakan pesta Sabtu
nanti. Acara itu sudah direncanakan jauh sebelum kami tahu kau
akan datang. Walaupun kurasa kami baru tahu kau datang saat kau
sudah di sini." Satu mawar lagi dipotong.
"Kupikir kau nyaris tidak mengenal gadis-gadis itu. Aku tidak
menyadari"." "Baiklah. Ini akan menjadi pesta musim panas yang menyenangkan, banyak orang-orang berkelas, dan kau akan membutuhkan
gaun. Aku yakin kau tidak membawa gaun?"
"Tidak." "Bagus kalau begitu, akan jadi kesempatan yang baik untuk kita
mengobrol. Kau sudah di sini seminggu lebih, kukira sudah saatnya." Adora menaruh batang terakhir di nampan. "Oke, Gayla, kau
bisa membuang yang ini. Kita akan memetik beberapa yang bagus
untuk ditaruh di rumah nanti."
"Aku akan mengambil bunga-bunga itu untuk kamarku, Momma.
Bagiku bunga-bunga ini kelihatannya bagus-bagus saja."
"Bunga-bunga itu tidak bagus."
"Aku tidak keberatan."
158 Sharp Objects.indd 158 "Camille, aku baru saja memeriksanya dan ini bukan bunga yang
bagus." Adora menjatuhkan tang ke tanah, menarik batang bunga.
"Tapi menurutku bunga-bunga itu bagus. Untuk di kamarku."
"Oh, sekarang lihat yang sudah kaulakukan. Aku berdarah." Ibuku mengangkat tangan-tangan yang terluka karena duri mawar dan
berkas merah gelap mulai turun ke pergelangan tangan. Akhir dari
pembicaraan. Adora berjalan ke rumah, Gayla mengikutinya, aku
mengikuti Gayla. Kenop pintu belakang lengket dengan darah.
Alan membalut kedua tangan ibuku dengan berlebihan dan
ketika kami nyaris tersandung Amma, yang sedang mengerjakan
rumah boneka di beranda, sambil main-main Adora menjawil kepang rambut Amma dan memberitahunya untuk ikut dengan kami.
Amma menurut dengan patuh dan aku terus menunggu sabetan di
tumitku. Tidak terjadi kalau Mother di dekat kami.
Adora ingin aku menyetir kabriolet biru mudanya ke Woodberry, yang membanggakan dua butik kelas atasnya, tapi tidak mau
membuka atap mobil. "Kami bisa terkena flu," kata Adora dengan
senyum bersekongkol kepada Amma. Gadis itu duduk diam di belakang ibuku, menyunggingkan senyum kurang ajar ketika aku melihatnya memandangiku lewat kaca spion tengah. Setiap bebe?rapa
menit sekali, Amma akan mengeluskan ujung jemari ke rambut
ibuku, dengan lembut hingga Adora tidak menyadarinya.
Ketika aku memarkirkan Mercedes itu di luar toko favorit Adora,
ibuku dengan lemah memintaku membukakan pintu mobil untuknya. Itu hal pertama yang dia katakan kepadaku dalam dua puluh
menit. Senang bisa mengobrol. Aku juga membukakan pintu butik
untuknya dan suara bel toko yang feminin cocok dengan sapaan
senang si pramuniaga wanita.
"Adora!" Kemudian kerutan di wajah. "Astaga, Sayang, apa yang
terjadi pada tanganmu?"
"Hanya kecelakaan. Ketika sedang bekerja di rumah. Aku akan
159 Sharp Objects.indd 159 menemui dokterku sore ini." Tentu saja dia akan melakukan itu. Dia
bahkan pergi ke dokter kalau jarinya tergores kertas.
"Apa yang terjadi?"
"Oh, aku tidak ingin membicarakannya. Aku ingin memperkenalkanmu pada putriku, Camille. Dia sedang berkunjung."
Si pramuniaga menatap Amma, kemudian menyunggingkan senyum ragu-ragu ke arahku.
"Camille?" Pemulihan diri yang cepat: "Kurasa aku lupa kau
punya putri ketiga." Dia memelankan volume suaranya ketika
mengucapkan kata "putri", seolah-olah itu suatu ikrar. "Dia pasti
mirip ayahnya," kata wanita itu, memeriksa wajahku dengan saksama seolah-olah aku ini kuda yang mungkin akan dia beli. "Amma
sangat mirip denganmu, dan Marian juga, dalam foto-fotomu. Tapi,
yang ini"." "Dia tidak terlalu mirip denganku," kata ibuku. "Warna rambut
dan tulang pipinya mirip ayahnya. Temperamennya juga."
Itu gambaran paling banyak tentang ayahku yang pernah kudengar dikatakan ibuku. Aku bertanya-tanya berapa banyak pramuniaga wanita lain yang mendapatkan sekilas cerita soal ayahku.
Terlintas di kepalaku untuk mengobrol dengan semua pekerja toko
di Missouri selatan, menyusun profil samar ayahku.
Ibuku membelai rambutku dengan tangan berbalut perban. "Kita
harus mendapatkan gaun baru untuk buah hatiku. Sesuatu yang
penuh warna. Dia cenderung memakai hitam dan abu-abu. Ukuran
nomor empat." Wanita itu, begitu kurus hingga tulang panggulnya mencuat dari
rok seperti tanduk rusa, mulai berjalan keluar-masuk rak baju melingkar, menciptakan buket gaun hijau, biru, dan merah muda yang
heboh. "Kau akan kelihatan cantik memakai ini," kata Amma, mengulurkan blus emas berkilau kepada ibuku.
160 Sharp Objects.indd 160 "Hentikan, Amma," kata ibuku. "Itu norak."
"Apakah aku benar-benar mengingatkanmu akan ayahku?" Aku
tidak bisa menahan diri bertanya kepada Adora. Aku bisa merasakan pipiku memanas karena kelancanganku.
"Aku tahu kau tidak akan melupakan komentar itu," katanya,
memulas ulang lipstik di depan cermin toko. Perban di tangannya
tetap, entah bagaimana, tidak ternoda.
"Aku cuma penasaran; aku tidak pernah mendengarmu berkata
kepribadianku mengingatkanmu pada"."
"Kepribadianmu mengingatkanku pada seseorang yang sangat
tidak mirip denganku. Dan kau jelas tidak mirip Alan, jadi aku berasumsi pasti itu dari ayahmu. Nah, jangan diteruskan lagi."
"Tapi, Momma, aku hanya ingin tahu"."
"Camille, kau membuatku berdarah lebih banyak." Adora mengangkat tangan yang diperban, sekarang bernoda merah. Aku ingin
mencakar ibuku. Si pramuniaga kembali kepada kami dengan setumpuk gaun.
"Kau harus memiliki yang ini," katanya, mengangkat gaun warna
turkuois tanpa lengan. Tanpa tali.
"Dan bagaimana dengan si manis ini," kata wanita itu, mengangguk ke arah Amma. "Dia mungkin sudah cukup besar untuk gaun
ukuran kecil milik kami."
"Amma baru tiga belas. Dia belum siap untuk pakaian semacam
ini," kata ibuku. "Baru tiga belas, astaga. Aku lupa terus, Amma kelihatan seperti
gadis dewasa. Kau pasti sangat cemas dengan semua yang terjadi di
Wind Gap sekarang." Ibuku melingkarkan lengan pada Amma, mencium bagian atas
kepala gadis itu. "Ada hari-hari ketika aku pikir aku tidak akan bisa
bertahan dengan kecemasan ini. Aku ingin menguncinya di suatu
tempat." 161 Sharp Objects.indd 161 "Seperti mayat istri-istri Bluebeard," gumam Amma.
"Seperti Rapunzel," kata ibuku. "Nah, ayolah, Camille"tunjukkan kepada adikmu betapa kau bisa terlihat cantik."
Amma mengikuti ke tempat berganti pakaian, hening dan berkelakuan baik. Di ruangan kecil becermin, dengan ibuku bertengger
di kursi di luar, aku mengamati pilihan-pilihan gaunku. Tanpa tali,
bertali tipis, berlengan pendek. Ibuku sedang menghukumku. Aku
menemukan gaun merah muda dengan lengan tiga perempat dan,
sesudah melepaskan blus dan rokku dengan cepat, memakai gaun
itu. Garis lehernya lebih rendah daripada yang kukira: Kata-kata di
dadaku terlihat membengkak di bawah cahaya lampu neon, seakan
cacing bersarang di bawah kulitku. Rengek, susu, sakit, berdarah.
"Camille, coba aku lihat."
"Euh, ini tidak cocok."
"Aku ingin lihat." Remeh, membara di pinggul kananku.
"Aku akan mencoba yang lain." Aku mencari-cari di antara gaungaun lain. Semuanya terbuka. Aku melihat bayanganku lagi di cermin. Aku mengerikan.
"Camille, buka pintunya."
"Camille kenapa?" Amma menimpali.
"Gaun ini tidak cocok." Ritsleting pinggir gaun itu macet. Lenganku yang telanjang memamerkan bekas luka merah muda dan
ungu gelap. Bahkan tanpa melihat langsung ke cermin aku bisa melihat bekas luka itu terpantul padaku"sebentuk besar kulit rusak
yang buram. "Camille," bentak ibuku.
"Kenapa dia tidak menunjukkannya saja pada kita?"
"Camille." "Momma, kau lihat gaunnya, kau tahu kenapa gaun-gaun itu
tidak akan cocok," desakku.
162 Sharp Objects.indd 162 "Biarkan aku melihatnya."
"Aku akan mencoba satu gaun, Momma," Amma membujuk.
"Camille"."
"Baiklah." Aku membanting pintu terbuka. Ibuku, wajahnya sejajar dengan tepian leher gaun, mengernyit.
"Oh, ya Tuhan." Aku bisa merasakan napas ibuku di kulitku.
Adora mengangkat sebelah tangan yang diperban, seolah-olah akan
menyentuh dadaku, kemudian membiarkannya terjatuh. Di belakang Adora, Amma mendengking seperti anak anjing. "Lihat apa
yang sudah kaulakukan pada dirimu," kata Adora. "Lihat itu."
"Aku melihatnya."
"Aku harap kau menyukainya. Aku harap kau bisa tahan dengan
dirimu sendiri." Adora menutup pintu dan aku membuka paksa gaun itu, ritsletingnya masih macet hingga tarikan penuh kemarahanku menarik
geriginya terbuka hingga cukup bagiku untuk mendorongnya turun hingga ke panggul dan aku menggeliat keluar dari pakaian itu,
ritsletingnya meninggalkan goresan merah muda di kulitku. Aku
menggumpalkan kain katun gaun itu ke mulut dan menjerit.
Aku bisa mendengar suara tenang ibuku di ruang sebelah. Ketika aku keluar, si pramuniaga sedang membungkus blus berenda
lengan panjang berkerah tinggi dan rok sewarna coral sepanjang
pergelangan kakiku. Amma memandangiku, matanya merah dan
tatapannya berpindah-pindah, kemudian dia pergi untuk berdiri di
luar di sebelah mobil. Di rumah aku mengikuti Adora ke lorong masuk, tempat Alan
berdiri dengan pose santai dibuat-buat, tangan di dalam saku celana
linen. Adora berjalan cepat melewati Alan ke arah tangga.
"Bagaimana acara jalan-jalannya?" seru Alan kepada Adora.
"Mengerikan," rintih ibuku. Di lantai atas aku mendengar pintu
163 Sharp Objects.indd 163 kamarnya ditutup. Alan mengerutkan wajah padaku dan pergi untuk mengurus ibuku. Amma sudah menghilang.
Aku berjalan ke dapur, ke laci peralatan makan. Aku hanya ingin
melihat pisau yang dulu kupakai menoreh tubuhku sendiri. Aku
tidak akan mengiris kulitku, hanya membiarkan diriku merasakan
tekanan tajam itu. Aku sudah bisa merasakan ujung pisau dengan
lembut menekan ujung-ujung gemuk jariku, tekanan halus sebelum
irisan. Laci itu bisa ditarik keluar sampai tidak lebih dari tiga senti, kemudian macet. Ibuku menggemboknya. Aku menariknya lagi dan
lagi. Aku bisa mendengar denting bilah perak yang bergeser satu
sama lain. Seperti ikan logam yang merajuk. Kulitku panas. Aku
baru akan menelepon Curry ketika suara bel pintu menyisipkan
kehadirannya dalam nada-nada sopan.
Mengintip dari ujung ruangan, aku bisa melihat Meredith
Wheeler dan John Keene berdiri di luar.
Aku merasa tertangkap basah sedang masturbasi. Sembari menggigiti bagian dalam mulut, aku membuka pintu. Meredith melangkah masuk, menilai ruangan, mengeluarkan seruan-seruan manis
akan betapa cantiknya semua benda dan menguarkan gelombang
parfum gelap yang lebih cocok untuk pemuka masyarakat ketimbang gadis remaja dengan kostum pemandu sorak hijau-putih.
Meredith melihat aku memperhatikannya.
"Aku tahu, aku tahu. Masa sekolah sudah selesai. Sebenarnya
ini kali terakhir aku memakai kostum ini. Kami akan mengadakan
acara sorak-sorai dengan anak-anak tahun selanjutnya. Semacam
penyerahan obor. Kau dulu pemandu sorak, kan?"
"Memang, kalau kau bisa memercayai itu." Aku tidak terlalu
bagus, tapi aku kelihatan cantik memakai rok. Dulu ketika aku
membatasi mengiris kulit hanya di tubuh bagian atas.
164 Sharp Objects.indd 164 "Aku bisa percaya. Kau gadis paling cantik di seluruh kota.
Sepupuku baru masuk sekolah ketika kau di tingkat akhir. Dan
Wheeler" Dia selalu membicarakanmu. Cantik dan cerdas, cantik


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan cerdas. Dan baik hati. Dia akan membunuhku jika tahu aku
memberitahumu soal ini. Dia tinggal di Springfield sekarang. Tapi
belum menikah." Nada merayu suara Meredith mengingatkanku akan tipe gadis
yang tidak pernah terasa nyaman untukku, tipe yang akan menjajakan keakraban palsu, yang memberitahuku hal-hal tentang mereka yang hanya perlu diketahui teman-temannya, yang menjabarkan
diri mereka sebagai "orang ramah."
"Ini John," kata Meredith, seolah-olah terkejut melihat pemuda
itu berdiri di sebelahnya.
Kali pertama aku melihat John Keene dari dekat. Pemuda itu
memang betul-betul rupawan, nyaris androgini, tinggi dan langsing
dengan bibir penuh yang terasa vulgar dan mata sewarna es. Dia
menyelipkan rambut hitam kelam ke belakang telinga dan tersenyum kepada tangannya sendiri ketika mengulurkannya ke arahku,
seolah-olah tangan itu hewan peliharaan tersayang yang memeragakan trik baru.
"Jadi, di mana kalian ingin mengobrol?" tanya Meredith. Aku
sempat mempertimbangkan untuk menyingkirkan gadis itu, cemas
dia mungkin tidak tahu kapan atau bagaimana caranya menutup
mulut. Tapi John sepertinya membutuhkan teman dan aku tidak
ingin membuat pemuda itu takut.
"Duduklah di ruang duduk," kataku. "Aku akan mengambilkan
teh manis untuk kita."
Pertama-tama aku naik ke lantai atas, melesakkan kaset baru ke
perekam suara kecilku, dan menguping di pintu ibuku. Hening,
hanya desiran kipas angin. Apakah dia tidur" Kalau ya, apakah
165 Sharp Objects.indd 165 Alan bergelung di sebelah ibuku atau bertengger di bangku meja
rias, hanya mengawasi" Bahkan sesudah begitu lama, aku tidak bisa
menebak seperti apa kehidupan pribadi Adora dan suaminya. Berjalan melewati kamar Amma, aku melihatnya duduk sangat tegak
di ujung kursi goyang, membaca buku berjudul Dewi-Dewi Yunani.
Sejak aku di sini, Amma memerankan Joan of Arc dan istri Bluebeard dan Putri Diana"semuanya martir, aku menyadari. Amma
akan menemukan panutan yang lebih tidak sehat di antara para
dewi Yunani. Aku membiarkannya.
Di dapur aku menuangkan minuman. Kemudian, menghitung
sampai sepuluh detik, aku menekankan ujung garpu ke telapak
tangan. Kulitku mulai tenang.
Aku masuk ke ruang duduk dan melihat Meredith dengan kedua
kaki di pangkuan John, menciumi leher pemuda itu. Ketika aku
menaruh nampan teh hingga berdenting di meja, Meredith tidak
berhenti. John menatapku dan perlahan melepaskan diri.
"Kau tidak menyenangkan hari ini," Meredith cemberut.
"Jadi, John, aku senang sekali kau memutuskan untuk bicara denganku," aku memulai. "Aku tahu ibumu sangat enggan."
"Ya. Dia tidak mau bicara banyak pada siapa pun, tetapi terutama
tidak pada"wartawan. Dia sangat tertutup."
"Tapi kau tidak bermasalah dengan itu?" tanyaku. "Kau delapan
belas tahun, benar?"
"Baru saja." John menyesap teh dengan sopan, seolah-olah sedang menakar dengan mulutnya.
"Karena yang sesungguhnya aku inginkan adalah bisa menjelaskan tentang adikmu kepada pembaca kami," kataku. "Ayah Ann
Nash bicara soal Ann dan aku tidak ingin Natalie hilang dalam
cerita ini. Apakah ibumu tahu kau berbicara denganku?"
"Tidak, tapi itu tidak masalah. Kurasa kami harus sepakat untuk
166 Sharp Objects.indd 166 tidak setuju soal ini." Tawa pemuda itu tersembur cepat dan tergagap.
"Ibu John agak ketakutan soal media," kata Meredith, minum
dari gelas John. "Dia sangat tertutup. Maksudku, aku pikir dia bahkan tidak kenal siapa aku padahal kita sudah bersama selama lebih
dari setahun, kan?" John mengangguk. Meredith mengerutkan
dahi, kecewa, aku menebak, karena John tidak menambahkan cerita hubungan romantis mereka. Meredith memindahkan kaki dari
pangkuan John dan mulai menggutiki ujung sofa.
"Kudengar kau tinggal bersama keluarga Wheeler sekarang?"
"Kami punya kamar di halaman belakang, rumah tamu dari
zaman dahulu," kata Meredith. "Adik perempuanku kesal; rumah
itu dulu tempat menongkrong dia dan teman-temannya yang menyebalkan. Kecuali adikmu. Adikmu keren. Kau kenal adikku, kan"
Kelsey?" Tentu saja, orang mengesalkan ini pasti ada hubungannya dengan Amma.
"Kelsey jangkung atau Kelsey pendek?" tanyaku.
"Serius. Kota ini punya terlalu banyak Kelsey. Adikku yang jangkung.
"Aku sudah pernah bertemu dengannya. Mereka sepertinya akrab."
"Sebaiknya begitu," kata Meredith kaku. "Amma cilik menguasai
sekolah itu. Bodoh kalau berada di pihak lawan."
Cukup soal Amma, pikirku, tapi bayangan adikku mengusik
gadis-gadis yang lebih lemah di koridor loker itu berbenturan di
kepalaku. Masa SMP adalah masa yang mengerikan.
"Jadi, John, apakah kau kerasan di sana?"
"Dia baik-baik saja," potong Meredith. "Kami menyiapkan
keranjang berisi barang-barang cowok untuknya"ibuku bahkan
memberi John pemutar CD."
167 Sharp Objects.indd 167 "Oh, benarkah?" Aku menatap John lurus-lurus. Waktunya bicara,
Sobat. Jangan jadi pecundang didominasi cewek ini dan menghabiskan
waktuku. "Aku hanya butuh menjauh dari rumah sekarang," kata John.
"Kami semua sedikit tegang, kau tahu, barang-barang Natalie ada di
semua tempat, dan ibuku tidak membiarkan siapa pun menyentuhnya. Sepatu Natalie ada di koridor dan baju berenangnya digantung
di kamar mandi yang kami pakai bersama, jadi aku terpaksa melihatnya setiap mandi pagi. Aku tidak tahan."
"Aku bisa bayangkan." Aku memang bisa: Aku ingat mantel merah muda mungil milik Marian tergantung di lemari lorong hingga
aku pergi dari rumah untuk kuliah. Mungkin masih ada di sana.
Aku menyalakan alat perekam, mendorong benda itu melintasi
meja ke arah si pemuda. "Ceritakan kepadaku seperti apa adikmu, John."
"Euh, dia anak yang baik. Sangat cerdas. Pokoknya luar biasa."
"Cerdas bagaimana" Berprestasi baik di sekolah atau pintar saja?"
"Yah, dia tidak terlalu berprestasi baik di sekolah. Dia punya
masalah disiplin," katanya. "Tapi kukira itu hanya karena dia bosan.
Dia seharusnya melompat satu atau dua kelas, kurasa."
"Ibu John berpikir itu akan membuat Natalie terlihat buruk," sela
Meredith. "Dia selalu cemas jika Natalie menonjol."
Aku mengangkat alis ke arah John.
"Itu benar. Ibuku sangat ingin Natalie membaur. Dia anak yang
agak konyol, sedikit tomboi, dan agak aneh." John tertawa, menatap
kaki. "Apakah kau sedang mengingat-ingat suatu kejadian?" tanyaku.
Anekdot adalah mata uang di alam Curry. Plus, aku tertarik.
"Oh, sekali waktu, dia menciptakan bahasa lain, kau tahu" Kalau
anak lain yang menciptakannya, maksudku, itu hanya akan jadi
168 Sharp Objects.indd 168 omong kosong. Tapi Natalie membuat alfabet lengkap"tampak
seperti huruf Rusia. Dan dia mengajariku. Atau mencoba mengajariku. Dia mudah kesal saat menghadapiku." John tertawa lagi, suara
parau yang sama, seperti keluar dari bawah tanah.
"Apakah dia suka bersekolah?"
"Yah, jadi anak baru itu sulit, dan anak-anak perempuan di sini"
yah, kukira anak-anak perempuan di mana pun bisa bertingkah sedikit menyebalkan."
"Johnny! Enggak sopan!" Meredith berpura-pura mendorong
pemuda itu. Dia mengabaikan gadis itu.
"Maksudku, adikmu" Amma, benar?" Aku mengangguk ke
arah John. "Dia sebenarnya sempat berteman dengan Natalie.
Mereka berlarian di hutan, Natalie akan pulang penuh lecet dan
berkelakuan aneh." "Benarkah?" Mengingat kebencian yang kentara ketika Amma
menyebutkan nama Natalie, aku tidak bisa membayangkannya.
"Mereka dekat sekali selama beberapa saat. Tapi kupikir Amma
bosan dengan Natalie karena dia beberapa tahun lebih muda.
Aku tidak tahu. Mereka semacam bertengkar." Amma belajar itu
dari ibunya"dengan mudahnya menyingkirkan teman. "Tapi itu
tidak masalah," kata John, seolah-olah ingin menyakinkanku. Atau
dirinya. "Natalie punya satu teman yang sering main bersamanya,
James Capisi. Anak yang tinggal di pertanian, mungkin setahun
lebih muda daripada Natalie, yang tidak diajak mengobrol oleh
anak-anak lain. Tapi mereka sepertinya akur."
"James bilang dia orang terakhir yang melihat Natalie hidup,"
kataku. "Dia pembohong," kata Meredith. "Aku juga mendengar cerita
itu. Dia selalu mengarang cerita. Maksudku, ibunya sekarat karena kanker. Dia tidak punya ayah. Dia tidak punya siapa pun yang
169 Sharp Objects.indd 169 memperhatikannya. Jadi dia membuat cerita asal-asalan itu. Jangan
dengarkan apa pun yang dia katakan."
Sekali lagi aku menatap John yang mengangkat bahu.
"Itu memang cerita asal-asalan, kau tahu" Wanita sinting menculik Natalie di siang bolong," kata John. "Lagi pula, kenapa juga
seorang wanita melakukan hal seperti itu?"
"Kenapa seorang pria melakukan hal seperti itu?" tanyaku.
"Siapa yang tahu kenapa pria-pria melakukan hal-hal yang begitu
mengerikan," tambah Meredith. "Itu persoalan genetik."
"Aku harus bertanya kepadamu, John, apakah kau diwawancarai
polisi?" "Ya, bersama orangtuaku."
"Dan kau punya alibi pada malam dua pembunuhan itu?" Aku
menunggu reaksi, tapi pemuda itu terus menyesap teh dengan tenang.
"Tidak. Aku keluar menyetir. Kadang-kadang aku hanya harus
keluar dari tempat ini, kau mengerti?" Dia melirik cepat ke arah
Meredith, yang mengerutkan bibir ketika menangkap basah John
melirik. "Kota ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dulu kutinggali. Kadang-kadang kau harus sedikit tersesat. Aku tahu kau
tidak memahaminya, Mer." Meredith tetap diam.
"Aku paham," ujarku. "Aku ingat merasakan klaustrofobia parah
saat tumbuh dewasa di sini, aku tidak bisa membayangkan apa rasanya pindah ke sini dari tempat lain."
"Johnny bersikap sopan," Meredith menginterupsi. "Dia bersamaku pada kedua malam itu. Dia hanya tidak ingin aku mendapatkan masalah. Kutip itu." Meredith goyah di ujung sofa, kaku dan
tegak, dan sedikit tidak terhubung dengan sekitarnya, seolah-olah
dia bicara dalam bahasa yang berbeda.
"Meredith," gumam John. "Jangan."
170 Sharp Objects.indd 170 "Aku tidak akan membiarkan orang-orang berpikir pacarku pembunuh anak-anak, terima kasih banyak, John."
"Kaukatakan cerita itu kepada polisi dan mereka akan tahu kebenarannya sejam kemudian. Itu akan membuatku terlihat lebih
buruk. Tidak ada yang benar-benar berpikir aku akan membunuh
adikku sendiri." John meraih seuntai rambut Meredit dan menariknya perlahan dari akar hingga ke ujungnya. Kata geli membara
tidak terduga di pinggul kananku. Aku memercayai pemuda itu.
Dia menangis di muka umum dan menceritakan kisah konyol soal
adiknya dan memainkan rambut pacarnya dan aku memercayainya.
Aku nyaris mendengar dengusan Curry karena sikap naifku.
"Omong-omong soal kejadian," aku memulai. "Aku harus menanyakan satu hal. Apa benar dulu Natalie melukai salah satu teman
sekelasnya di Philadelphia?"
John membeku, berpaling kepada Meredith, dan untuk kali
pertama pemuda itu kelihatan tidak menyenangkan. Dia memberiku gambaran nyata dari frasa bibir terpuntir. Seluruh tubuhnya
mengejang dan kupikir John akan lari ke pintu, tapi kemudian dia
bersandar dan menarik napas.
"Bagus. Ini alasannya ibuku membenci media," gerutu John. "Ada
artikel soal itu di koran lokal tempat kami tinggal dulu. Hanya beberapa paragraf. Itu membuat Natalie terdengar seperti binatang."
"Ceritakan padaku apa yang terjadi."
John mengangkat bahu. Mengutik-ngutik kuku jari. "Itu terjadi
di kelas seni, anak-anak sedang menggunting dan melukis, dan seorang gadis kecil terluka. Natalie anak yang pemarah dan gadis ini
selalu suka menyuruh-nyuruh Natalie. Dan sekali waktu Natalie kebetulan memegang gunting. Itu bukan serangan yang direncanakan.
Maksudku, dia sembilan tahun saat itu."
Aku sekilas membayangkan Natalie, si anak serius dari foto
171 Sharp Objects.indd 171 keluarga Keene, mengayunkan bilah gunting ke mata gadis itu.
Bayangan darah merah terang tiba-tiba bercampur dengan cat air
warna pastel. "Apa yang terjadi pada gadis kecil itu?"
"Mereka menyelamatkan mata kirinya. Mata kanannya, euh,
rusak." "Natalie menyerang kedua matanya?"
John berdiri, mengacungkan jari padaku nyaris dari sudut yang
sama seperti yang dilakukan ibunya. "Natalie menemui psikiater
selama setahun sesudahnya, mengatasi masalah ini. Natalie terbangun karena mimpi buruk selama berbulan-bulan. Dia sembilan
tahun. Itu kecelakaan. Kami harus pergi agar Natalie bisa memulai
kembali. Itu alasannya kami harus pindah kemari"Dad menerima pekerjaan pertama yang bisa dia temukan. Kami pindah pada
tengah malam, seperti kriminal. Ke tempat ini. Ke kota sialan ini."
"Astaga, John, aku tidak tahu kau mengalami masa-masa yang
sangat buruk," gumam Meredith.
John mulai menangis, kembali duduk, kepala dibenamkan ke
kedua tangan. "Maksudku aku tidak menyesal pindah ke sini. Maksudku aku
menyesal Natalie pindah ke sini, karena sekarang dia tewas. Kami
berusaha membantu. Dan dia tewas." John terisak pelan dan Meredith memeluk pemuda itu dengan enggan. "Seseorang membunuh
adikku." Tidak akan ada makan malam resmi malam itu, karena Miss Adora
tidak enak badan, Gayla memberitahuku. Aku berasumsi ibuku
ingin tampil sempurna dengan meminta dipanggil Miss di depan
nama depannya, dan aku berusaha membayangkan bagaimana
percakapan itu berlangsung. Gayla, pelayan terbaik di rumah tangga
172 Sharp Objects.indd 172 terbaik memanggil majikan mereka dengan nama resmi mereka. Kita
mau menjadi yang terbaik, bukan" Sesuatu seperti itu.
Apakah pertengkaranku dengan ibuku atau Amma yang men?
jadi sumber masalah, aku tidak yakin. Aku bisa mendengar mereka
bertengkar seperti burung-burung cantik di kamar ibuku, Adora
menuduh Amma, dengan tepat, membawa mobil golf tanpa izin.
Seperti kota pinggiran lainnya, Wind Gap terobsesi dengan benda
bermesin. Sebagian besar rumah memiliki satu setengah mobil untuk setiap penghuninya (setengah maksudnya koleksi mobil antik
atau rongsokan tua yang diletakkan di atas balok, tergantung pada
pendapatan), plus perahu, jet ski, skuter, traktor, dan, di antara
masyarakat elite Wind Gap, mobil golf, yang dipakai anak-anak
berusia lebih muda tanpa SIM untuk berkeliaran di sekitar kota.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secara teknis itu ilegal, tetapi tidak pernah ada yang menghentikan
mereka. Aku menebak ibuku berusaha membatasi kebebasan ini
dari Amma setelah peristiwa pembunuhan. Aku tahu aku akan melakukannya. Pertengkaran mereka berdecit seperti jungkat-jangkit
usang selama nyaris setengah jam. Jangan berbohong padaku, gadis
kecil". Peringatan itu begitu familier hingga membuatku merasakan ketidaknyamanan yang dulu kurasakan. Jadi Amma kadangkadang tertangkap basah.
Ketika telepon berdering, aku mengangkatnya, hanya supaya
Amma tidak kehilangan momentum, dan terkejut mendengar nada
staccato pemandu sorak dari teman lamaku Katie Lacey. Angie Papermaker mengundang cewek-cewek untuk Pesta Belas Kasihan.
Minum banyak anggur, menonton film sedih, menangis, bergosip.
Aku harus datang. Angie tinggal di bagian Orang Kaya Baru di
kota"mansion raksasa di pinggiran Wind Gap. Pada dasarnya sudah masuk ke Tennessee. Aku tidak bisa menebak dari suara Katie
apakah itu membuatnya cemburu atau sombong. Mengingat seper173
Sharp Objects.indd 173 ti apa dia, mungkin campuran keduanya. Dia selalu bersikap seperti
salah satu gadis yang menginginkan semua yang dimiliki orang lain,
walaupun dia sebenarnya tidak menginginkannya.
Ketika bertemu Katie dan teman-temannya di rumah Keene, aku
tahu aku harus meluangkan waktu setidaknya untuk satu malam
keluar bersama mereka. Itu atau menyelesaikan transkripsi percakapanku dengan John, yang mengancam akan membuatku sedih.
Tambahan lagi, seperti Annabelle, Jackie, dan kelompok teman ibuku yang bermulut tajam, pertemuan ini kemungkinan besar akan
menghasilkan lebih banyak informasi dibandingkan dengan yang
akan kudapatkan dari selusin wawancara resmi.
Segera sesudah Katie berhenti di depan rumah, aku menyadari
bahwa Katie Lacey, sekarang Katie Brucker, sudah, dapat ditebak,
jadi orang berhasil. Aku tahu dari fakta hanya butuh lima menit
baginya untuk menjemputku (ternyata rumahnya sejauh satu blok)
dan dengan apa dia menjemputku: salah satu mobil SUV besar dan
bodoh itu, yang harganya lebih malah dibandingkan rumah sebagian orang dan menyediakan kenyamanan sebanyak yang ditawarkan
rumah. Di belakang kepalaku, aku bisa mendengar pemutar DVD
mencuitkan acara televisi anak-anak, sekalipun tidak ada anak-anak.
Di depanku navigator dasbor menyediakan petunjuk langkah demi
langkah yang tidak diperlukan.
Suami Katie, Brad Brucker, berlatih mengikuti jejak ayahnya, dan
ketika ayahnya pensiun, Brad mengambil alih bisnisnya. Mereka
menjajakan hormon kontroversial yang dipakai untuk menggemukkan ayam dengan kecepatan yang mengerikan. Ibuku selalu tidak
mengacuhkan hal ini"dia tidak pernah menggunakan apa pun
yang mempercepat proses pertumbuhan. Bukan berarti dia tidak
mengotak-atik hormon: Babi-babi ibuku disuntik zat kimia hingga
mereka montok dan merah seperti ceri matang, hingga kaki-kaki
174 Sharp Objects.indd 174 mereka tidak bisa menahan kemontokan lezat mereka. Tetapi ini
dilakukan pada kecepatan yang lebih santai.
Brad Brucker adalah tipe suami yang tinggal di tempat yang ditentukan Katie, menghamili Katie ketika dia meminta, membelikan
sofa Pottery Barn yang diinginkan Katie, dan selain itu menutup
mulut. Brad tampan kalau kau menatapnya cukup lama, dan penisnya sebesar jari manisku. Yang ini aku tahu langsung, berkat
pertukaran yang agak mekanis pada tahun pertama sekolahku. Tapi
rupanya benda mungil itu berfungsi baik: Katie sekarang di akhir
trimester pertama anak ketiganya. Mereka akan terus mencoba
hingga Katie mendapatkan anak lelaki. Kami sangat ingin bocah kecil
bandel berlari ke sana kemari.
Mengobrolkan diriku, Chicago, belum ada suami tapi terus
berharap! Mengobrolkan dirinya, rambutnya, program vitamin
barunya, Brad, dua anak perempuannya, Emma dan Mackenzie,
tenaga wanita ekstra di Wind Gap, dan tugas mengerikan yang
mereka lakukan pada Parade Hari St. Patrick. Kemudian menghela
napas: gadis-gadis kecil yang malang. Ya, hela napas: tulisanku
mengenai gadis-gadis kecil yang malang itu. Rupanya Katie tidak
sepeduli itu karena dia dengan cepat kembali ke masalah tenaga
wanita ekstra dan betapa berantakannya sekarang karena Becca
Hart (dulunya Mooney) menjadi direktur kegiatan. Becca adalah
gadis dengan tingkat kepopuleran biasa saja ketika kami masih
muda, yang menanjak ke ketenaran sosial lima tahun lalu ketika
mendapatkan Eric Hart, yang orangtuanya adalah pemilik tempat
wisata luas, dengan bea masuk yang terlalu mahal, yang menawarkan
permainan go-kart, kolam renang dengan seluncuran, golf mini di
wilayah Ozarks yang paling buruk. Situasi ini cukup tercela. Becca
akan datang malam ini dan aku bisa melihatnya langsung. Dia tidak
akan cocok. 175 Sharp Objects.indd 175 Rumah Angie kelihatan seperti gambar mansion yang dibuat
anak kecil: Rumah itu begitu generik sehingga nyaris tidak seperti
benda tiga dimensi. Ketika memasuki rumah itu, aku menyadari
betapa aku sangat tidak ingin berada di sana. Ada Angie, yang menurunkan berat badan yang tidak perlu dia turunkan nyaris sampai
5 kg dari bobot tubuhnya saat SMA, yang kini tersenyum malumalu kepadaku dan kembali untuk menyiapkan fondue. Ada Tish,
yang sejak dulu berperan sebagai si ibu kecil dalam kelompok, yang
memegangi rambutmu ketika kau muntah, dan yang terkadang
meledak dalam tangis dramatis karena merasa tidak dicintai. Kudengar dia menikahi pria dari Newcastle, pria berpenghasilan baik
yang sedikit canggung (ini dari bisikan Katie). Mimi bersantai di
sofa kulit cokelat. Wajah remajanya memesona dan tidak berubah
seiring dengan proses menjadi dewasa. Sepertinya tidak ada yang
menyadari itu. Semua orang masih menyebut Mimi sebagai "yang
seksi." Mendukung fakta ini: batu mulia raksasa di tangannya, hadiah dari Joey Johansen, bocah tinggi kurus manis yang tumbuh
menjadi pemain garis belakang pada tahun juniornya, dan tiba-tiba
menuntut untuk dipanggil Jo-Ha. (Hanya itu yang bisa kuingat soal
pemuda itu.) Becca yang malang duduk di antara mereka, kelihatan
bersemangat dan canggung, yang lucunya, berpakaian mirip dengan nyonya rumah (Apakah Angie mengajak Becca berbelanja").
Becca menyunggingkan senyum kepada siapa pun yang berserobok
pandang dengannya, tapi tidak ada yang mengobrol dengannya.
Kami menonton Beaches. Tish menangis tersedu-sedu ketika Angie menyalakan lampu.
"Aku kembali bekerja," dia mengumumkan dalam isak tangis,
menekankan kukunya yang dipoles sewarna coral pada matanya.
Angie menuangkan anggur dan menepuk-nepuk lututnya, menatap
Tish dengan rasa prihatin yang dibuat-buat.
176 Sharp Objects.indd 176 "Astaga, Manis, kenapa?" gumam Katie. Bahkan gumamannya
terdengar seperti gadis remaja dan mendecak-decak. Seperti seribu
tikus mengerumiti kue kering.
"Karena Tyler sudah masuk taman kanak-kanak, aku pikir aku
ingin bekerja," kata Tish di antara isakan. "Aku seperti membutuhkan tujuan." Dia mendedaskan kata terakhir seolah-olah kata itu
terkontaminasi. "Kau punya tujuan," kata Angie. "Jangan biarkan orang-orang
mengatur caramu mengurus keluargamu. Jangan biarkan para
feminis?"di sini dia menatapku?"membuatmu merasa bersalah
karena memiliki yang tidak bisa mereka miliki."
"Dia benar, Tish, dia sepenuhnya benar," Becca menawarkan
penghiburan. "Feminisme berarti membiarkan wanita membuat
pilihan apa pun yang mereka inginkan."
Para wanita menatap Becca dengan ragu ketika tiba-tiba isak
tangis Mimi meletup dari pojok tempat dia duduk, dan perhatian,
serta Angie yang memegang anggur, beralih pada Mimi.
"Steven tidak mau punya anak lagi," Mimi terisak.
"Kenapa tidak?" kata Katie dengan kemarahan melengking yang
mengesankan. "Dia bilang tiga sudah cukup."
"Cukup untuknya atau untukmu?" bentak Katie.
"Itu yang kukatakan. Aku ingin anak perempuan. Aku ingin seorang putri." Para wanita mengelus-elus rambut Mimi. Katie mengelus perutnya. "Dan aku ingin anak laki-laki," dia mengeluh, menatap
lurus-lurus foto anak lelaki tiga tahun Angie yang ditaruh di rak di
atas perapian. Ratapan dan omelan berlangsung bolak-balik antara Tish dan
Mimi"aku merindukan bayi-bayiku" aku selalu memimpikan rumah penuh anak-anak, hanya itu yang kuinginkan" apa salahnya
177 Sharp Objects.indd 177 hanya menjadi seorang ibu" Aku kasihan pada mereka"mereka
sepertinya benar-benar sedih"dan tentunya aku bisa bersimpati
akan hidup yang tidak berjalan sesuai rencana. Tetapi sesudah berulang kali mengangguk dan menggumamkan kata-kata setuju, aku
tidak bisa memikirkan hal berguna lain untuk dikatakan dan aku
menyingkir ke dapur untuk memotong keju dan menghindar. Aku
tahu ritual ini dari masa SMA, dan aku tahu tidak butuh banyak hal
untuk mengubah situasi menjadi tidak menyenangkan. Tidak lama
kemudian Becca bergabung denganku di dapur, mulai mencuci
piring. "Ini terjadi hampir setiap minggu," katanya dan setengah memutar bola mata, berpura-pura tidak terganggu dan lebih merasa geli.
"Menjadi katarsis, kurasa," aku menawarkan. Aku bisa merasakan
Becca ingin aku mengatakan lebih banyak. Aku kenal perasaan itu.
Ketika aku nyaris mendapatkan kutipan yang bagus, rasanya seakan
aku bisa meraih ke dalam mulut orang itu dan memungutnya dari
lidah mereka. "Aku tidak tahu hidupku begitu buruk hingga aku mulai datang
ke acara kumpul-kumpul Angie," bisik Becca, mengambil pisau yang
baru dibersihkan untuk mengiris keju Gruyere. Kami punya cukup
banyak keju untuk memberi makan semua orang di Wind Gap.
"Ah, yah, memiliki perasaan bertentangan berarti kau bisa menjalani hidup yang dangkal tanpa menjadi orang yang dangkal."
"Kedengarannya persis begitu," kata Becca. "Apakah kalian seperti ini ketika SMA?" tanyanya.
"Oh, kurang-lebih, ketika kami tidak sedang saling menusuk dari
belakang." "Kurasa aku lega aku dulu pecundang," katanya dan tertawa.
"Sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya supaya tidak terlalu
keren?" Aku juga tertawa, menuangkan segelas anggur untuk Becca,
178 Sharp Objects.indd 178 sedikit geli pada absurditas karena menyadari diriku masuk kembali
ke masa remajaku. Saat kami kembali, masih sedikit terkikik, setiap wanita di ruangan itu sedang menangis, dan mereka semua menengadah kepada
kami bersamaan, seperti potret masa Victoria yang menakutkan
yang berubah hidup. "Yah, aku lega kalian berdua bersenang-senang," bentak Katie.
"Mengingat yang sedang terjadi di kota kita," tambah Angie. Subjek pembicaraan jelas sudah melebar.
"Apa yang salah dengan dunia ini" Kenapa seseorang melukai
gadis-gadis itu?" Mimi menangis. "Anak-anak malang."
"Dan mengambil gigi mereka, itu yang tidak bisa kulupakan,"
kata Katie. "Seandainya mereka diperlakukan lebih baik ketika mereka
masih hidup," Angie terisak. "Kenapa anak-anak perempuan begitu
kejam pada sesamanya?"
"Anak-anak perempuan lain mengganggu mereka?" tanya Becca.
"Mereka pernah memojokkan Natalie di kamar mandi sesudah
jam sekolah" dan memotong rambutnya," Mimi terisak. Wajahnya berantakan, bengkak dan merona merah. Aliran gelap maskara
menodai blusnya. "Mereka memaksa Ann menunjukkan" daerah pribadinya kepada anak laki-laki," kata Angie.
"Mereka selalu mengganggu gadis-gadis itu, hanya karena gadisgadis itu sedikit berbeda," kata Katie, mengelap air mata dengan
hati-hati menggunakan manset baju.
"Siapa "mereka?"" tanya Becca.
"Tanya Camille, dia yang melaporkan semua kejadian ini," kata
Katie, mengangkat dagu, gerakan yang kuingat dari masa SMA.
Itu berarti dia berbalik melawanmu, tapi merasa benar. "Kau tahu
betapa buruk adikmu, ya, kan, Camille?"
179 Sharp Objects.indd 179 "Aku tahu anak-anak perempuan bisa bersikap keji."
"Jadi kau membelanya?" Katie memberang. Aku bisa merasakan
diriku ditarik kembali ke dalam politik Wind Gap dan aku panik.
Cekcok mulai berdebum-debum di betisku.
"Oh, Katie, aku bahkan tidak mengenalnya cukup baik untuk
membelanya atau tidak," kataku, berpura-pura letih.
"Apakah kau sudah menangisi gadis-gadis kecil itu, sekali saja?"
kata Angie. Mereka semua sekelompok sekarang, memandangiku.
"Camille tidak punya anak," kata Katie dengan nada saleh. "Kurasa dia tidak bisa merasakan nyeri seperti yang kita rasakan."
"Aku merasa sangat sedih untuk gadis-gadis itu," kataku, tapi itu
terdengar palsu, seperti kontestan lomba kecantikan yang menjanjikan perdamaian dunia. Aku memang sedih, tapi mengatakannya
membuatnya terdengar murahan bagiku.
"Aku tidak ingin ini terdengar kejam," kata Tish, "tapi sepertinya
sebagian hatimu tidak pernah berfungsi kalau kau tidak memiliki
anak. Seolah-olah itu akan terus tertutup."
"Aku setuju," kata Katie. "Aku belum menjadi wanita seutuhnya
hingga aku merasakan Mackenzie di dalam diriku. Maksudku, sekarang ini ada pembicaraan soal Tuhan versus ilmu pengetahuan, tapi
sepertinya dengan bayi, kedua sisi bersepakat. Injil berkata jadilah
subur dan berlipat ganda, dan ilmu pengetahuan, yah, kalau diintisarikan, itu alasan wanita ada, bukan" Untuk melahirkan anak-anak."
"Kekuatan cewek," gumam Becca dengan suara pelan.
Becca mengantarku pulang karena Katie ingin menginap di rumah
Angie. Kurasa sang pengasuh yang akan mengurusi putri-putri
tersayang Katie pada pagi hari. Becca membuat beberapa lelucon
mengenai obsesi wanita untuk menjadi ibu, yang kurespons dengan
180 Sharp Objects.indd 180 suara tawa parau pelan. Gampang untukmu berguyon, kau punya dua
anak. Aku merasa sangat murung.
Aku mengenakan gaun tidur bersih dan duduk tegak di tengahtengah tempat tidur. Tidak ada lagi minuman beralkohol untukmu malam ini, bisikku. Aku menepuk-nepuk pipi dan membuat
bahuku santai. Aku menyapa diriku dengan sebutan sayang. Aku
ingin mengiris kulitku: Gula membara di pahaku, jijik terbakar di
dekat lututku. Aku ingin mengukir mandul ke kulitku. Seperti itulah keadaanku, bagian dalamku tidak terpakai. Kosong dan alami.
Aku membayangkan tulang panggulku terbuka, menampilkan
kekosongan yang rapi, seperti sarang yang ditinggalkan binatang
penghuninya. Gadis-gadis kecil itu. Apa yang salah dengan dunia ini" Begitu
Mimi terisak dan sebelumnya aku nyaris tidak menyadari bahwa
ratapan itu begitu lumrah. Tapi aku merasakannya sekarang. Ada
yang salah, di sini, sangat mengerikan salahnya. Aku bisa membayangkan Bob Nash duduk di ujung tempat tidur Ann, berusaha
mengingat hal terakhir yang dia katakan kepada putrinya. Aku
melihat ibu Natalie, menangis ke salah satu kaus usang Natalie. Aku
melihat diriku, remaja tiga belas tahun yang putus asa, menangis di
lantai kamar mendiang adikku, memegang sepatu kecil berbunga.
Atau Amma, remaja tiga belas tahun juga, anak-wanita dengan tubuh indah dan hasrat merongrong untuk menjadi gadis kecil yang


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diratapi ibuku. Ibuku meratapi Marian. Menggigit bayi itu. Amma,
menegaskan kekuasaannya kepada makhluk yang lebih lemah, tertawa ketika dia dan teman-temannya memotong rambut Natalie,
ikal-ikalnya jatuh ke lantai bertegel. Natalie, menusuk mata gadis
kecil. Kulitku menjerit, telingaku berdentam-dentam seiring detak
jantungku. Aku menutup mata, memelukkan lengan ke sekeliling
tubuh, dan menangis. 181 Sharp Objects.indd 181 Sesudah sepuluh menit menangis di bantalku, aku mulai menarik
diri keluar dari badai tangis, pikiran-pikiran membosankan tiba-tiba
muncul di kepalaku: pernyataan John Keene yang mungkin akan
kukutip dalam artikelku, fakta uang sewa apartemenku di Chicago
harus dibayar minggu depan, bau apel membusuk di keranjang
sampah di sebelah tempat tidurku.
Kemudian, di luar pintuku, Amma dengan suara pelan membisikkan namaku. Aku mengancingkan bagian atas gaun tidur, menurunkan lengan baju, dan membiarkan Amma masuk. Dia memakai
gaun tidur bunga-bunga merah muda, rambut pirangnya terjuntai
di bahu, kakinya telanjang. Dia kelihatan benar-benar memukau,
tidak ada kata yang lebih baik.
"Kau habis menangis," katanya, sedikit terpana.
"Sedikit." "Karena dia?" Kata terakhir itu berbobot, aku bisa membayangkan kata itu bulat dan berat, membuat suara debum mendalam di
bantal. "Sedikit, kurasa."
"Aku juga." Amma menatap ujung-ujung pakaianku: kerah gaun
tidurku, ujung lengan bajuku. Dia berusaha melihat kilasan bekas
luka. "Aku tidak tahu kau melukai diri sendiri," katanya akhirnya.
"Tidak lagi." "Itu bagus, kurasa." Amma berjalan ragu-ragu ke ujung tempat
tidurku. "Camille, pernahkah kau merasa hal buruk akan terjadi
tapi kau tidak bisa menghentikannya" Kau tidak bisa melakukan
apa pun, kau hanya harus menunggu?"
"Seperti serangan rasa panik?" Aku tidak bisa berhenti menatap
kulit Amma, yang begitu mulus dan kuning kecokelatan, seperti es
krim hangat. "Bukan. Bukan persis begitu." Amma terdengar seakan aku sudah
182 Sharp Objects.indd 182 mengecewakannya, gagal memecahkan teka-teki yang cerdas. "Tapi,
lupakan saja. Aku membawakanmu hadiah." Dia mengulurkan kotak terbungkus kertas kado dan memberitahuku untuk membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya: ganja yang dilinting rapi.
"Itu lebih baik daripada vodka yang kauminum," kata Amma,
otomatis membela diri. "Kau minum banyak sekali. Ini lebih baik.
Ini tidak akan membuatmu sesedih ketika minum."
"Amma, sungguh"."
"Bisakah aku melihat bekas lukamu lagi?" Dia tersenyum malumalu.
"Tidak." Hening. Aku mengangkat lintingan ganja itu. "Dan
Amma, kurasa kau sebaiknya tidak"."
"Yah, aku pikir harus, jadi terserah, mau diambil atau tidak. Aku
hanya berusaha bersikap baik." Amma mengerutkan kening dan
memuntirkan ujung gaun tidur.
"Terima kasih. Manis sekali dirimu ingin membantuku merasa
lebih baik." "Aku bisa bersikap baik, kau tahu?" katanya, alisnya masih mengerut. Dia sepertinya nyaris menangis.
"Aku tahu. Hanya saja aku bertanya-tanya kenapa sekarang kau
memutuskan untuk baik kepadaku."
"Kadang-kadang aku tidak bisa. Tapi sekarang, aku bisa. Ketika
semua orang tidur dan semuanya senyap, lebih mudah." Amma
mengulurkan tangan, tangannya seperti kupu-kupu di depan wajahku, kemudian menjatuhkannya, menepuk lututku, dan pergi.
183 Sharp Objects.indd 183 bab sepuluh "Aku menyesal Natalie pindah ke sini, karena sekarang dia tewas,"
kata John Keene (18), terisak mengisahkan adik perempuannya
Natalie (10). "Seseorang membunuh adikku." Jasad Natalie Keene
ditemukan pada 14 Mei, terjepit dengan tubuh tegak di ruang antara Cut-N-Curl Beauty Parlor dan Bifty"s Hardware di kota kecil
Wind Gap, Missouri. Natalie anak perempuan kedua yang terbunuh
di kota ini dalam sembilan bulan terakhir: Ann Nash (9) ditemukan
di sungai dekat kota pada Agustus tahun lalu. Kedua gadis itu tewas
dicekik; gigi-gigi mereka dicabut si pembunuh.
"Dia anak yang agak konyol," kata John Keene sambil menangis
pelan, "sedikit tomboi." Keene, yang pindah ke Wind Gap dari
Philadelphia dengan keluarganya dua tahun lalu, dan baru saja
lulus SMA, menggambarkan adiknya sebagai gadis cerdas yang
imajinatif. Dia bahkan menciptakan bahasa sendiri, lengkap dengan
alfabetnya. "Kalau anak lain yang menciptakannya, itu hanya akan
jadi omong kosong," kata Keene, tertawa muram.
Yang omong kosong adalah tindakan polisi sejauh ini: pejabat
polisi Wind Gap dan Richard Willis, detektif pembunuhan diperbantukan dari Kansas City, mengaku memiliki beberapa petunjuk.
"Kami belum mencoret siapa pun," kata Willis. "Kami sedang men184
Sharp Objects.indd 184 cermati kemungkinan tersangka di dalam komunitas ini, tapi juga
dengan hati-hati mempertimbangkan kemungkinan pembunuhanpembunuhan ini dilakukan orang luar."
Polisi menolak berkomentar mengenai kemungkinan adanya
saksi, seorang anak lelaki yang mengklaim melihat orang yang menculik Natalie Keene: seorang wanita. Sumber yang dekat dengan
polisi berkata mereka meyakini pembunuhnya adalah, sebenarnya,
kemungkinan besar lelaki dari komunitas setempat. Dokter gigi
Wind Gap James L. Jellard (56) menyetujui hal itu, menambahkan
bahwa mencabut gigi "akan membutuhkan tenaga. Gigi-gigi itu
tidak tanggal begitu saja."
Sementara polisi menyelidiki kasus ini, Wind Gap mengalami
peningkatan penjualan kunci gembok dan senjata api. Toko perkakas setempat sudah menjual tiga lusin kunci gembok; penjual
senjata dan senapan di kota ini memproses lebih dari 30 izin memegang senjata sejak pembunuhan Keene. "Kurasa sebagian besar
penduduk di sini sudah punya senapan, untuk berburu," ujar Dan
R. Sniya (35), pemilik toko senjata api terbesar di kota. "Tapi kurasa siapa pun yang tidak punya senjata"yah, mereka akan punya."
Satu penduduk Wind Gap yang menambah persediaan senja?
tanya adalah ayah Ann Nash, Robert (41). "Aku punya dua putri
dan satu putra, dan mereka akan dilindungi," katanya. Nash menggambarkan mendiang putrinya sebagai anak yang lumayan cerdas.
"Kadang-kadang kupikir dia lebih cerdas daripada bapaknya. Kadang-kadang dia berpikir dia lebih cerdas daripada bapaknya." Nash
berkata putrinya tomboi seperti Natalie, gadis yang suka memanjat
pohon dan bersepeda, yang sedang dilakukan Ann ketika dia diculik, Agustus tahun lalu.
Pastor Louis D. Bluell, dari paroki Katolik setempat, berkata dia
melihat dampak pembunuhan-pembunuhan ini pada penduduk
185 Sharp Objects.indd 185 lokal: pengunjung misa Minggu jelas meningkat, dan banyak anggota gerejanya meminta nasihat spiritual. "Ketika sesuatu seperti ini
terjadi, orang-orang merasakan keinginan nyata akan pemenuhan
spiritual," katanya. "Mereka ingin tahu bagaimana hal seperti ini
dapat terjadi." Begitu pula dengan pihak berwajib.
Sebelum kami naik cetak, Curry mengolok-olok semua inisial nama
tengah orang-orang. Astaga ya Tuhan, orang Selatan suka betul formalitas seperti ini. Aku menjelaskan Missouri secara teknis termasuk
Midwest, bagian tengah utara Amerika Serikat, dan Curry terkekek
kepadaku. Dan aku secara teknis berusia paruh baya, tapi bilang itu
pada Eileen yang malang ketika dia harus mengurusi bursitis-ku. Curry juga membuang semua, kecuali detail paling umum dari wawancaraku dengan James Capisi. Membuat kami kelihatan payah kalau
kami terlalu memperhatikan anak itu, terutama kalau polisi tidak
menanggapi. Curry juga membuang kutipan payah soal John dari
ibunya: "Dia berhati baik, sangat lembut." Itu satu-satunya komentar yang kudapatkan dari wanita itu sebelum dia menendangku keluar dari rumahnya, satu-satunya yang membuat kunjungan penuh
derita itu nyaris layak dilakukan, tetapi Curry berpikir itu mengalihkan perhatian. Dia mungkin benar. Dia cukup senang karena kami
akhirnya mendapatkan tersangka untuk dijadikan pusat perhatian,
"seseorang di dalam komunitas setempat"-ku. "Sumber yang dekat
dengan polisi"-ku itu hasil karangan, atau eufemismenya, pendapat
gabungan"semua orang dari Richard hingga si pastor berpikir
orang lokal yang melakukannya. Aku tidak memberitahu Curry soal
kebohonganku. Pagi beritaku dicetak, aku diam di tempat tidur dan menatap te186
Sharp Objects.indd 186 lepon putar putih, menunggu benda itu berdering, menyampaikan
teguran si penelepon. Itu akan datang dari ibu John, yang akan cukup
marah ketika dia menyadari aku menemui putranya. Atau Richard,
karena aku membocorkan tersangkanya adalah orang lokal.
Beberapa jam keheningan berlalu ketika keringatku semakin deras, lalat mendengung di sekitar kawat jendelaku. Gayla berkeliaran
di luar pintu, tidak sabar ingin masuk ke kamarku. Pakaian tidur
dan handuk mandi kami selalu diganti setiap hari; cucian selamanya berputar di lantai bawah tanah. Kupikir ini kebiasaan yang bertahan dari masa Marian hidup. Pakaian rapi bersih untuk membuat
kami lupa akan tetesan dan aroma lembap yang berasal dari tubuh
kami. Aku sudah kuliah saat menyadari aku menyukai aroma seks.
Aku masuk ke kamar tidur temanku pada satu pagi sesudah seorang
pemuda berpapasan denganku, menyengir dan menyelipkan kaus
kakinya ke kantong belakang celana. Temanku bermalas-malasan di
tempat tidur, merona merah dan telanjang, dengan satu kaki telanjang menggantung keluar dari bawah seprai. Aroma seperti lumpur
manis itu sepenuhnya hewani, seperti ujung terjauh di gua sarang
beruang. Aroma itu nyaris asing untukku, aroma sisa semalam yang
menetap. Bau masa kanak-kanakku yang paling menggugah adalah
bau pemutih. Ternyata penelepon berang pertamaku bukan siapa pun yang sudah
kubayangkan. "Aku tidak percaya kau sama sekali tidak menyebutku dalam artikel itu," suara Meredith Wheeler berdentang di telepon. "Kau tidak
menggunakan satu hal pun yang kukatakan. Pembaca bahkan tidak
akan tahu aku ada di sana. Aku yang membuatmu mendapatkan
John, ingat?" 187 Sharp Objects.indd 187 "Meredith, aku tidak pernah bilang aku akan menggunakan pernyataanmu," kataku, kesal karena dia memaksa. "Aku minta maaf
kalau kau mendapatkan kesan itu." Aku melesakkan boneka beruang biru lembut di bawah kepalaku, kemudian merasa bersalah dan
mengembalikan benda itu ke kaki tempat tidur. Kau harus punya
ikatan dengan benda-benda masa kecilmu.
"Aku tidak mengerti kenapa kau tidak mencantumkanku," dia
melanjutkan. "Kalau intinya adalah untuk mendapatkan gambaran
seperti apa Natalie dulu, kau membutuhkan John. Dan kalau kau
membutuhkan John, kau membutuhkan aku. Aku pacarnya. Maksudku, aku memilikinya, tanya saja pada siapa pun."
"Yah, kau dan John, bukan itu fokus artikelnya," kataku. Di belakang suara napas Meredith, aku bisa mendengar musik balada
country-rock diputar serta dentaman dan desis ritmis.
"Tapi kau memasukkan orang lain dari Wind Gap di artikelmu.
Kau memasukkan Pastor Bluell bodoh itu. Kenapa bukan aku" John
amat menderita dan aku selama ini sangat penting baginya, membantunya melalui semua ini. Dia menangis setiap saat. Aku yang
membuatnya tetap tegar."
"Ketika aku menulis berita lain yang membutuhkan lebih banyak
suara dari Wind Gap, aku akan mewawancaraimu. Kalau kau punya
sesuatu untuk ditambahkan ke ceritanya."
Dentam. Desis. Meredith sedang menyetrika.
"Aku tahu banyak soal keluarga itu, tahu banyak soal Natalie yang
tidak akan John pikirkan. Atau katakan."
"Kalau begitu bagus. Aku akan menghubungimu. Segera." Aku
menutup telepon, tidak nyaman dengan tawaran gadis itu. Ketika
menatap ke bawah, aku menyadari aku sudah menulis "Meredith"
dengan tulisan sambung berlekuk-lekuk ciri khas gadis remaja di
bekas luka di kaki kiriku.
188 Sharp Objects.indd 188 *** Di beranda, Amma terbungkus selimut sutra merah muda, kain lap
lembap di dahinya. Ibuku membawa nampan perak berisi teh, roti
panggang, dan beragam botol, dan menekankan punggung tangan
Amma ke pipinya dalam gerakan melingkar.
"Sayang, sayang, sayang," gumam Adora, menggoyang-goyangkan mereka berdua di kursi ayunan.
Amma terkulai mengantuk seperti bayi yang baru lahir dalam
selimut, mendecakkan bibir sesekali. Itu kali pertama aku melihat
ibuku sejak perjalanan kami ke Woodberry. Aku menunggu di depan ibuku, tapi dia tidak mau mengalihkan pandangan dari Amma.
"Hai, Camille," akhirnya Amma berbisik dan memberiku sedikit
lengkung senyuman. "Adikmu sakit. Sejak kau pulang dia jadi cemas sampai demam
begini," kata Adora, masih menekankan tangan Amma dengan
gerakan melingkar itu. Aku membayangkan gigi ibuku bekertakkertak di dalam mulutnya.
Alan, aku menyadari, duduk di dalam rumah, memperhatikan
mereka melalui jendela berkasa dari sofa gemuk di ruang duduk.
"Kau harus membuatnya nyaman di sekitarmu Camille; dia hanya gadis kecil," ibuku mendekut kepada Amma.
Gadis kecil dengan rasa pengar. Amma pergi dari kamarku semalam dan turun ke lantai bawah untuk minum minuman keras
sendirian. Itu cara rumah ini bekerja. Aku meninggalkan mereka
saling bisik, favorit mendengung di lututku.
"Hei, Reporter." Richard muncul di sebelahku dalam mobil sedannya. Aku sedang berjalan ke tempat jasad Natalie ditemukan, untuk
189 Sharp Objects.indd 189 mendapatkan detail spesifik soal balon dan surat yang ditaruh di
sana. Curry ingin artikel "kota yang berduka". Itu kalau tidak ada
petunjuk dalam kasus pembunuhan. Dia mengimplikasikan sebaiknya ada petunjuk dan segera.
"Halo, Richard."
"Artikel yang bagus hari ini." Internet terkutuk. "Senang mendengar kau sudah menemukan sumber yang dekat dengan polisi." Dia
tersenyum ketika mengatakannya.
"Aku juga." "Masuklah, kita ada pekerjaan." Dia mendorong pintu penumpang terbuka.
"Aku ada pekerjaan sendiri. Sejauh ini bekerja denganmu tidak
memberiku apa pun selain pernyataan yang tidak bisa dikutip atau
tidak ada pernyataan. Redakturku akan menarikku keluar segera."
"Yah, kita tidak bisa membiarkan itu. Kalau begitu aku tidak
akan pu?nya pengalih perhatian," katanya. "Ikutlah denganku. Aku
membu?tuhkan pemandu tur Wind Gap. Balasannya: aku akan menjawab tiga pertanyaan, sepenuhnya dan sejujurnya. Tidak boleh
dikutip, tentu saja, tapi aku akan memberimu jawaban langsung.
Ayolah, Camille. Kecuali kalau kau punya janji kencan dengan sumber polisimu."
"Richard." "Tidak, sungguh, aku tidak ingin ikut campur dalam afair cinta
yang sedang tumbuh. Kau dan orang misterius ini pastinya jadi
pasangan yang rupawan."
"Tutup mulutmu." Aku masuk ke mobil. Richard mencondongkan tubuh melewatiku, menarik sabuk pengamanku dan memasangkannya, berhenti sedetik dengan bibir dekat pada bibirku.
"Aku harus menjaga kau tetap aman." Dia menunjuk ke balon
Mylar yang bergoyang-goyang di celah tempat jasad Natalie ditemukan. Balon itu bertuliskan Cepat Sembuh.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

190 Sharp Objects.indd 190 "Itu bagiku," kata Richard, "merangkum Wind Gap dengan sempurna."
Richard ingin aku mengantarnya ke semua tempat rahasia di kota,
sudut-sudut yang hanya diketahui orang lokal. Tempat orang-orang
bertemu untuk bercinta atau mengisap ganja, tempat para remaja minum minuman keras, atau orang-orang duduk sendiri dan
mengira-ngira ke mana hidup mereka sudah terurai. Semua orang
mengalami masa ketika kehidupan mereka melenceng keluar jalur.
Itu terjadi padaku ketika Marian meninggal. Hari ketika aku mengambil pisau itu adalah saat yang sulit.
"Kami masih belum menemukan tempat pembunuhan kedua
gadis itu," kata Richard, satu tangan di setir, yang lain memeluk
sandaran kursiku. "Baru wilayah pembuangan dan lokasi itu cukup
terkontaminasi." Dia berhenti sejenak. "Maaf. "Tempat pembunuhan" itu frasa yang buruk."
"Lebih cocok dibandingkan abatoar."
"Wow. Istilah yang bagus, Camille. Dan Wind Gap istilah yang
lebih bagus lagi untuk itu."
"Yah, aku lupa betapa berbudayanya kalian orang Kansas City."
Aku mengarahkan Richard ke jalan berkerikil yang tidak memiliki plang jalan dan kami parkir di antara rerumputan liar setinggi
lutut sekitar 16 kilometer ke selatan dari tempat ditemukannya
jasad Ann. Aku mengipas-ngipas tengkuk di udara yang basah, menarik-narik lengan baju, lengket ke kulitku. Aku bertanya-tanya apakah Richard bisa membaui alkohol semalam, sekarang terkandung
dalam titik-titik keringat di kulitku. Kami mendaki ke dalam hutan,
menuruni bukit, kemudian kembali mendaki. Daun pohon kapuk
berkilauan, seperti biasa, bergerak karena angin khayalan. Terka191
Sharp Objects.indd 191 dang kami bisa mendengar binatang melarikan diri, burung yang
tiba-tiba terbang. Richard berjalan dengan mantap di belakangku,
memetiki daun dan perlahan-lahan merobek-robek daun itu sepanjang jalan. Saat sampai ke tempat tujuan, pakaian kami basah kuyup,
wajahku meneteskan keringat. Tempat itu bangunan sekolah satu
ruangan yang sudah tua, sedikit condong ke satu sisi, sulur tanaman
seperti ditenun keluar-masuk celah-celah dindingnya.
Di dalam, setengah papan tulis terpaku ke dinding. Di papan itu
ada gambar rumit berupa penis masuk ke vagina"tidak ada bagian
badannya. Daun-daun mati dan botol minuman keras terserak di
lantai, beberapa kaleng bir berkarat dari masa ketika belum ada
cincin pembuka kaleng minuman. Beberapa meja kecil masih bertahan. Satu meja ditutupi taplak, vas berisi mawar kering di tengahtengah. Tempat yang menyedihkan untuk makan malam romantis.
Aku harap makan malamnya berjalan baik.
"Karya yang bagus," kata Richard, menunjuk ke salah satu gambar krayon. Kemeja oxford biru terang melekat di tubuh pria itu.
Aku bisa melihat garis-garis dada berotot.
"Sudah jelas tempat ini lebih sering dijadikan tempat menong?
krong anak-anak," kataku. "Tapi tempat ini dekat sungai, jadi kupikir kau harus melihatnya."
"Mm-hmm." Richard menatapku dalam keheningan. "Apa yang
kaulakukan di Chicago ketika kau tidak bekerja?" Dia bersandar di
meja, memungut mawar kering dari vas, mulai meremukkan daundaunnya.
"Apa yang kulakukan?"
"Apa kau punya pacar" Aku yakin kau punya."
"Tidak. Aku sudah lama tidak punya pacar."
Dia mulai mencabuti mahkota bunga itu. Aku tidak bisa melihat
apakah dia tertarik dengan jawabanku. Richard menengadah padaku dan menyeringai.
192 Sharp Objects.indd 192 "Kau orang yang sulit, Camille. Kau tidak memberikan banyak
hal. Kau membuatku bekerja keras. Aku suka itu, itu berbeda. Kebanyakan gadis tidak bisa menutup mulut. Jangan tersinggung."
"Aku tidak berusaha jadi sulit. Hanya saja itu bukan pertanyaan
yang kuduga," kataku, menguasai posisiku kembali di percakapan
ini. Basa-basi dan omong kosong. Aku bisa melakukan itu. "Kau
punya pacar" Aku yakin kau punya dua. Pirang dan cokelat, agar
cocok dengan dasi-dasimu."
"Salah dua-duanya. Tidak punya pacar dan pacar terakhirku berambut merah. Dia tidak serasi dengan baju apa pun yang kumiliki.
Harus dilepas. Gadis yang menyenangkan, sayangnya."
Biasanya, Richard tipe pria yang tidak kusukai, seseorang yang
dilahirkan dan dibesarkan dengan baik: tampang, pesona, kecerdasan, mungkin uang. Pria-pria semacam ini tidak pernah tampak terlalu menarik untukku; mereka tidak punya ketajaman dan biasanya
pengecut. Insting mereka membuat mereka kabur dari situasi yang
mungkin membuat mereka malu atau canggung. Tapi Richard tidak
membuatku bosan. Mungkin karena seringai pria ini sedikit miring.
Atau karena dia mencari nafkah dengan menangani hal-hal buruk.
"Kau pernah kemari ketika masih kecil, Camille?" Suara Richard
pelan, nyaris malu. Dia melihat ke samping dan sinar matahari senja
membuat rambutnya berkilau seperti emas.
"Tentu. Tempat sempurna untuk kegiatan tidak senonoh."
Richard berjalan menghampiriku, memberiku bunga mawar terakhir, menyusurkan jari di pipiku yang berkeringat.
"Aku bisa membayangkan itu," katanya. "Ini kali pertamanya aku
berharap aku tumbuh dewasa di Wind Gap."
"Kau dan aku mungkin akan sangat akrab," kataku, dan bersungguh-sungguh dengan perkataanku. Tiba-tiba aku sedih aku tidak
pernah mengenal pemuda seperti Richard ketika aku tumbuh dewasa, seseorang yang setidaknya akan memberiku sedikit tantangan.
193 Sharp Objects.indd 193 "Kau tahu kau cantik, kan?" tanya Richard. "Aku ingin mengatakan itu padamu, tapi sepertinya itu sesuatu yang akan kauabaikan.
Malah aku berpikir"."
Richard mendongakkan kepalaku ke arahnya dan menciumku,
awalnya lambat-lambat, kemudian, ketika aku tidak mundur, dia
menarikku ke dalam pelukan, mendorong lidahnya ke dalam mulutku. Itu kali pertama aku dicium setelah nyaris tiga tahun. Aku
menyusurkan kedua tangan di antara belikatnya, bunga mawar
hancur berantakan ke sepanjang punggung pria itu. Aku menarik
kerahnya menjauhi leher Richard dan menjilatnya.
"Kupikir kau gadis tercantik yang pernah kulihat," kata Richard,
menyusurkan satu jari di sepanjang rahangku. "Kali pertama melihatmu, seharian aku tidak bisa berpikir. Vickery menyuruhku
pulang." Dia tertawa.
"Aku juga pikir kau sangat tampan," kataku, memegangi kedua
tangan Richard agar tidak berkelana. Kemejaku tipis, aku tidak mau
dia merasakan bekas-bekas lukaku.
"Aku juga pikir kau sangat tampan?" Richard tertawa. "Astaga,
Camille, kau benar-benar tidak biasa dengan hal-hal romantis, ya?"
"Aku hanya tidak siap. Maksudku, pertama-tama, ini ide buruk,
kau dan aku." "Mengerikan." Richard mencium cuping telingaku.
"Dan, maksudku, kau bukannya mau melihat sekeliling tempat
ini?" "Miss Preaker, aku memeriksa tempat ini pada minggu kedua aku
di sini. Aku hanya ingin berjalan-jalan denganmu."
Richard juga sudah memeriksa dua tempat lain yang kupikirkan,
ternyata. Di pondok berburu terbengkalai di bagian selatan hutan
ditemukan pita rambut kuning kotak-kotak yang tidak dapat dikenali orangtua kedua gadis itu. Di tebing-tebing di timur Wind Gap,
194 Sharp Objects.indd 194 tempat kau bisa duduk dan memandangi Sungai Mississippi jauh
di bawah sana, ditemukan jejak sepatu anak-anak yang tidak cocok
dengan sepatu yang dimiliki kedua gadis itu. Sedikit darah kering
ditemukan menetes di bilah rumput; tetapi golongan darahnya
tidak cocok dengan kedua gadis itu. Sekali lagi aku terbukti tidak
berguna. Tapi lagi-lagi, Richard sepertinya tidak peduli. Kami naik
mobil ke tebing-tebing itu, membawa enam kaleng bir dan duduk
di bawah cahaya matahari, memandangi Sungai Mississippi berkilau kelabu seperti ular yang malas.
Ini salah satu tempat favorit Marian ketika dia bisa meninggalkan
tempat tidurnya. Selama sesaat, aku bisa merasakan bobot tubuh
kanak-kanaknya di punggungku, tawa dengan napas panas di telingaku, lengan kurus memeluk erat pundakku.
"Ke mana kau akan membawa gadis kecil untuk dicekik?" tanya
Richard. "Mobilku atau rumahku," kataku, tersentak kembali.
"Dan mencabut giginya?"
"Suatu tempat di mana aku bisa membersihkan diri dengan baik.
Ruang bawah tanah. Bak mandi. Gadis-gadis itu tewas sebelumnya,
benar?" "Apakah itu salah satu pertanyaanmu?"
"Tentu." "Mereka berdua sudah tewas."
"Cukup lama hingga tidak ada darah keluar ketika giginya dicabut?"
Tongkang yang mengapung menyusuri sungai mulai berbelok
di arus air; beberapa pria muncul ke dek dengan tongkat panjang
untuk memutar perahu kembali ke arah yang benar.
"Ada darah pada Natalie. Giginya dicabut segera sesudah dia
dicekik." 195 Sharp Objects.indd 195 Aku membayangkan Natalie Keene, mata cokelat terbuka beku,
terenyak di bak mandi ketika seseorang mencabut gigi dari mulutnya. Darah di dagu Natalie. Tangan di tang. Tangan wanita.
"Apakah kau memercayai James Capisi?"
"Aku sejujurnya tidak tahu, Camille, dan aku tidak membohongimu. Anak itu takut setengah mati. Ibunya terus menelepon kami
untuk menempatkan petugas jaga. Anak itu yakin wanita ini akan
datang untuk menculiknya. Aku sedikit keras padanya, menyebutnya pembohong, berusaha untuk melihat apakah dia akan mengubah ceritanya. Tidak berhasil." Richard berpaling kepadaku. "Aku
akan memberitahumu ini: James Capisi memercayai ceritanya. Tapi
aku tidak paham bagaimana cerita itu bisa benar. Cerita itu tidak
sesuai dengan profil apa pun yang pernah kudengar. Itu tidak terasa
benar bagiku. Intuisi polisi. Maksudku, kau bicara dengannya, bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju denganmu. Aku menduga-duga apakah dia hanya
panik soal kanker ibunya dan entah bagaimana memproyeksikan
ketakutan itu. Aku tidak tahu. Dan bagaimana dengan John Keene?"
"Berdasarkan profil: usia yang sesuai, dari keluarga salah satu
korban, sepertinya terlalu sedih akan peristiwa ini."
"Adiknya dibunuh."
"Benar. Tapi" aku laki-laki dan aku bisa memberitahumu, remaja lelaki lebih baik bunuh diri daripada menangis di muka umum.
Sementara dia menangis di seluruh tempat di kota." Richard membuat suara seperti terompet kosong dengan botol birnya, panggilan
kawin kepada tongkang yang melaju.
Bulan sudah terbit, tonggeret berbunyi nyaring dan ramai ketika
Richard mengantarku ke rumah. Suara derik mereka seirama de?
196 Sharp Objects.indd 196 ngan denyut di antara kedua kakiku, tempat aku mengizinkan
Richard menyentuhku. Ritsleting turun, aku mengarahkan tangan
pria itu ke inti tubuhku dan menahannya di sana, berjaga-jaga
seandainya dia menjelajah dan menemukan bekas lukaku yang
menonjol. Kami saling melepaskan gairah seperti sepasang anak
sekolah (pangsit berdenyut keras dan menyala merah jambu di kaki
kiriku ketika aku mencapai puncak) dan aku lengket serta berbau
seks ketika membuka pintu dan menemukan ibuku duduk di anak
tangga paling bawah dengan satu pitcher amaretto sour.
Ibuku mengenakan gaun tidur merah muda dengan lengan menggembung dan pita satin di sekitar garis leher seperti pakaian gadis kecil. Tangannya, yang tidak perlu diperban, dibalut perban putih baru,
yang bisa tetap rapi sekalipun dia benar-benar mabuk. Ibuku sedikit
gontai ketika aku masuk lewat pintu, seperti hantu yang tidak yakin
ingin menghilang atau tidak. Ibuku tetap di tempatnya.
"Camille. Sini duduk." Dia mengayunkan tangan teperban seputih awan ke arahku. "Tidak! Ambil dulu gelas di dapur. Kau boleh
minum dengan Ibu. Dengan ibumu."
Ini pasti akan menyedihkan, aku menggumam ketika meraih
gelas. Tapi di balik itu, ada pikiran: waktu berduaan dengannya!
Gaung sisa masa kanak-kanak. Perbaiki itu.
Ibuku menuangkan minuman dengan serampangan tapi sempurna, mengisi penuh gelasku tepat sebelum tumpah. Tetap saja, sulit
untuk membawanya ke mulutku tanpa menumpahkan isinya. Dia
tersenyum sinis sedikit ketika memperhatikanku. Menyandar pada
tiang pegangan tangga, duduk bersimpuh, menyesap minuman.
"Kupikir akhirnya aku mengerti kenapa aku tidak menyayangimu," kata ibuku.
Aku tahu dia tidak menyayangiku, tapi aku tidak pernah mendengar ibuku mengakuinya. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa
197 Sharp Objects.indd 197 aku tertarik, seperti ilmuwan yang nyaris membuat terobosan, tapi
tenggorokanku tersekat dan aku harus memaksa tubuhku bernapas.
"Kau mengingatkanku akan ibuku. Joya. Dingin dan berjarak
dan begitu, begitu pongah. Ibuku tidak pernah menyayangiku juga.
Dan kalau kalian putriku tidak mau menyayangiku, aku tidak akan
menyayangimu." Gelombang kemurkaan berderak di dalam diriku. "Aku tidak pernah bilang aku tidak menyayangimu, itu konyol. Benar-benar konyol. Kau yang tidak pernah menyukaiku, bahkan ketika aku masih
kecil. Kau selalu bersikap dingin padaku, jadi jangan berani-berani
memutarbalikkan ini." Aku mulai menggosok-gosokkan telapak
tangan ke tepian anak tangga. Ibuku setengah tersenyum melihat
perbuatanku dan aku berhenti.
"Kau selalu begitu tidak patuh, tidak pernah manis. Aku ingat
saat kau enam atau tujuh tahun. Aku ingin mengeriting rambutmu
untuk foto sekolah. Kau malah memotong rambutmu dengan gunting kainku." Aku tidak ingat melakukan ini. Aku ingat mendengar
Ann melakukannya. "Aku rasa tidak, Momma."
"Keras kepala. Seperti gadis-gadis itu. Aku berusaha mengakrabkan diri dengan gadis-gadis itu, gadis-gadis yang tewas itu."
"Apa maksudmu mengakrabkan diri dengan mereka?"
"Mereka mengingatkanku akan dirimu, berkeliaran di kota.
Seperti binatang mungil yang cantik. Kupikir jika aku bisa dekat
dengan mereka, aku akan memahamimu lebih baik. Jika aku bisa menyukai mereka, mungkin aku bisa menyukaimu. Tapi aku tidak bisa."
"Tidak, aku tidak berharap kau bisa." Jam besar berdentang sebelas kali. Aku bertanya-tanya sudah berapa kali ibuku mendengar
bunyi itu selama tumbuh besar di rumah ini.
"Ketika aku hamil kau, ketika masih muda"jauh lebih muda
198 Sharp Objects.indd 198 dibandingkan kau sekarang"kupikir kau akan menyelamatkanku.
Kupikir kau akan menyayangiku. Kemudian ibuku akan menyayangiku. Itu lelucon." Suara ibuku terdengar tinggi dan kasar, seperti syal merah melambai dalam badai.
"Aku masih bayi."
"Bahkan sejak awal kau tidak patuh, tidak mau makan. Seolaholah kau menghukumku karena dilahirkan. Membuatku kelihatan
bodoh. Seperti anak-anak."
"Saat itu kau memang masih anak-anak."
"Dan sekarang kau kembali, dan yang bisa kupikirkan hanyalah
"Kenapa Marian dan bukan Camille?""
Kemurkaan dengan segera pudar menjadi rasa putus asa yang
kelam. Jemariku menemukan staples untuk kayu di papan lantai.
Aku menusukkannya ke bawah kukuku. Aku tidak akan menangis
untuk wanita ini. "Aku juga tidak suka ditugaskan ke sini, Momma, kalau itu bisa
membuatmu merasa lebih baik."
"Kau begitu penuh kebencian."


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku belajar langsung darimu."
Saat itu ibuku menerjangku, mencengkeram kedua lenganku.
Kemudian dia mengulurkan tangan ke belakang dan, dengan satu
kuku jari, melingkari satu area di punggungku yang tak berparut.
"Satu-satunya tempat yang kausisakan," dia berbisik padaku. Napasnya berbau tajam dan memuakkan, seperti udara yang menguar
dari sumur air tanah. "Ya." "Suatu hari nanti aku akan mengukirkan namaku di situ." Dia
menggoncangkan tubuhku sekali, melepaskanku, kemudian meninggalkanku di anak tangga dalam sisa kehangatan minuman ber?
alkohol kami. 199 Sharp Objects.indd 199 *** Aku menghabiskan sisa minuman dan mendapatkan mimpi kelam
yang menyesakkan. Ibuku mengiris tubuhku sampai terbuka dan
mengeluarkan organ dalamku, menjajarkan organ-organ itu di
tempat tidur sementara dagingku mengelepai ke kedua sisi. Ibuku
menjahit inisial namanya ke setiap organ, kemudian melemparkannya kembali ke dalam tubuhku, bersamaan dengan sejumlah benda
yang terlupakan: bola karet Day-Glo oranye yang kudapatkan dari
mesin otomat permen karet ketika aku sepuluh tahun; sepasang
stoking wol ungu yang kupakai ketika aku dua belas tahun; cincin
berwarna emas murahan yang dibelikan seorang pemuda di tahun
pertama kuliah. Bersama setiap benda yang dimasukkan, ada kelegaan mereka tidak lagi hilang.
Ketika aku terbangun, tengah hari sudah berlalu, dan aku bingung
dan takut. Aku menenggak vodka dari wadah minumanku untuk
meredakan panik, kemudian lari ke kamar mandi dan memuntahkannya, bersama dengan sulur air ludah cokelat bergula dari amaretto sour.
Menanggalkan pakaian hingga telanjang dan masuk ke bak
berendam, porselen terasa dingin di punggungku. Aku berbaring
lurus, membuka keran, dan membiarkan air merayapi tubuhku,
mengisi telinga hingga keduanya terendam air dengan suara blup!
yang memuaskan, seperti kapal tenggelam ke dasar air. Akankah
aku punya keteguhan untuk membiarkan air menutupi wajahku,
tenggelam dengan mata terbuka" Jangan biarkan tubuhmu terangkat lima senti saja, dan semuanya akan selesai.
Air menyengat mataku, mengisi hidungku, kemudian meling200
Sharp Objects.indd 200 o. kupiku. Aku membayangkan diriku dilihat dari atas: kulit berparut
dan wajah yang bergeming, mengerlip di bawah lapisan air. Tubuhku menolak diam. Korset, kotor, bawel, janda! jerit kulitku. Perut
dan tenggorokanku mengejang, sangat ingin menghirup udara. Jari,
sundal, hampa! Teguhkan diri untuk beberapa saat lagi. Betapa ini
cara yang murni untuk mati. Mekar, bunga, cantik.
Aku tersentak ke permukaan, menghirup udara banyak-banyak.
Terengah-engah, kepalaku ditengadahkan ke langit-langit. Tenang,
tenang, aku memberitahu diriku. Tenang, gadis manis, kau akan
baik-baik saja. Aku menepuk-nepuk pipi, bicara pada diri sendiri
dengan nada manis"betapa menyedihkannya"tetapi napasku
menjadi tenang. Kemudian, sambaran rasa panik. Aku meraih ke belakang mencari lingkaran kulit di punggungku. Masih halus.
Awan gelap menggantung rendah di atas kota, membuat cahaya
matahari menjulai di sekitar ujung-ujungnya dan mengubah semua
benda menjadi berwarna kuning pucat, seolah-olah kami serangga
di bawah cahaya lampu. Masih lemah karena perseteruan dengan
ibuku, binar lembut matahari ini sepertinya cocok. Aku ada janji
wawancara dengan Meredith, sehubungan dengan keluarga Keene.
Tidak yakin wawancara ini akan memberiku banyak hal penting,
tapi setidaknya aku akan mendapatkan kutipan, yang kubutuhkan,
karena belum mendengar kabar apa pun dari keluarga Keene sesudah artikel terakhirku. Sejujurnya, dengan John sekarang tinggal di
belakang rumah Meredith, aku tidak punya cara lain menghubungi
John selain melalui gadis itu. Aku yakin Meredith menyukai itu.
Aku mendaki ke Main Street untuk menjemput mobilku di tempat aku meninggalkannya kemarin ketika pergi dengan Richard.
201 Sharp Objects.indd 201 Dengan lemah aku mengenyakkan tubuh ke kursi sopir. Aku berhasil sampai ke rumah Meredith setengah jam lebih cepat. Menyadari
persiapan bersolek dan berpakaian yang terjadi untuk menghadapi
kunjunganku, aku berasumsi Meredith akan menemuiku di teras
belakang, dan aku akan punya kesempatan untuk mengecek John.
Ternyata, Meredith tidak ada di sana, tapi aku bisa mendengar suara
musik dari belakang rumah, aku mengikuti asal suara itu dan melihat Empat Pirang Kecil dalam bikini berwarna terang di satu sudut
kolam renang, saling mengoper lintingan ganja, dan John duduk di
bawah bayang-bayang di sudut lainnya, mengamati. Amma tampak
kecokelatan terbakar matahari, pirang dan sedap dipandang, tidak
ada jejak pengar kemarin. Dia semungil dan secemerlang hidangan
pembuka. Dihadapkan pada semua kulit mulus itu, aku bisa merasakan kulitku mulai mengoceh. Aku tidak bisa berhadapan langsung dengan
orang lain sementara aku panik akibat pengar. Jadi aku mematamatai dari pinggir rumah. Semua orang bisa melihatku, tapi tidak
ada yang peduli. Tiga teman Amma dengan cepat terjerumus ke
dalam spiral mariyuana dan hawa panas, terbaring menelungkup di
selimut mereka. Amma tetap tegak, menatap lurus-lurus kepada John, mengusapkan minyak tabir surya ke bahu, dada, payudara, menyelipkan kedua
tangan di bawah atasan bikininya, mengawasi John mengawasinya.
John tidak memberikan reaksi apa pun, seperti seorang anak yang
sudah menonton TV selama enam jam. Semakin menggoda gerakan mengusap Amma, semakin John tidak bereaksi. Sebelah atasan
segitiga bikininya terkulai miring, menampilkan payudara montok
di bawahnya. Tiga belas tahun, aku membatin, tapi aku merasakan
seberkas kekaguman untuk Amma. Ketika sedih, aku melukai diri
sendiri. Amma melukai orang lain. Ketika ingin diperhatikan, aku
202 Sharp Objects.indd 202 menyerahkan diri pada anak-anak lelaki: Lakukan apa pun yang kau
mau; tapi sukai aku. Tawaran seksual Amma sepertinya mirip agresi.
Kaki kurus semampai dan pergelangan tangan yang langsing dan
suara tinggi, kekanak-kanakan, semua ditodongkan seperti senjata.
Lakukan yang kumau; aku mungkin menyukaimu.
"Hei, John, aku mengingatkanmu pada siapa?" seru Amma.
"Gadis kecil yang berperilaku buruk dan berpikir kelakuannya
lucu padahal tidak," balas John. Dia duduk di ujung kolam renang,
mengenakan celana pendek dan kaus, kakinya dicelupkan ke dalam
air. Kaki pemuda itu ditutupi rambut gelap yang nyaris tampak
feminin. "Benarkah" Kalau begitu, kenapa kau tidak berhenti mengamatiku dari tempat persembunyian kecilmu," kata Amma, mengangkat
kaki menunjuk ke rumah belakang, dengan jendela atap kecilnya
memperlihatkan tirai biru kotak-kotak. "Meredith akan cemburu."
"Aku senang mengawasimu, Amma. Ingat selalu, aku mengawasi?
mu." Tebakanku: Adik tiriku masuk ke kamar John tanpa permisi, memeriksa barang-barangnya. Atau menunggu pemuda itu di tempat
tidurnya. "Kau memang melakukannya sekarang," kata Amma, tertawa,
kakinya terpentang. Dia kelihatan menakutkan di bawah sinar temaram, sinar matahari menciptakan kantong-kantong bayangan di
wajah gadis itu. "Akan tiba giliranmu suatu hari nanti, Amma," kata John. "Segera."
"Pria tangguh. Kudengar begitu," balas Amma. Kylie menengadah, memusatkan perhatian pada temannya, tersenyum, lalu kembali berbaring.
"Sabar juga." 203 Sharp Objects.indd 203 "Kau akan membutuhkannya." Amma meniupkan ciuman ke
arah John. Amaretto sour di perutku memberontak dan aku muak dengan
percakapan basa-basi ini. Aku tidak suka John Keene saling menggoda dengan Amma, tidak peduli seprovokatif apa sikap adikku.
Dia tetap tiga belas tahun.
"Halo?" aku menyapa, membuat Amma bangkit, menggoyanggoyangkan jemarinya ke arahku. Dua dari tiga pirang menengadah,
kemudian berbaring kembali. John mencedok air kolam dengan
kedua tangan lalu membasuh wajah sebelum menyunggingkan
senyum kepadaku. Dia sedang mengingat kembali percakapan
tadi, menebak seberapa banyak yang kudengar. Jarakku ke masingmasing mereka sama jauhnya, lalu aku berjalan ke arah John, duduk
nyaris dua meter darinya.
"Kau membaca artikelnya?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Yah, makasih, artikelnya bagus. Bagian soal Natalie, setidaknya."
"Hari ini aku di sini untuk mengobrol sebentar dengan Meredith
soal Wind Gap; mungkin Natalie akan dibahas," kataku. "Apakah
kau bermasalah dengan itu?"
Dia mengangkat bahu. "Tidak. Dia belum pulang. Gulanya kurang untuk membuat teh
manis. Dia panik, lari ke toko tanpa riasan."
"Skandal besar."
"Untuk Meredith, memang."
"Bagaimana keadaan di sini?"
"Oh, baik-baik saja," kata John. Dia menepuk-nepuk tangan kanannya. Menyamankan diri sendiri. Aku kasihan pada pemuda ini.
"Aku tidak tahu apa ada sesuatu yang bagus di tempat mana pun,
jadi sulit untuk mengukur apakah ini lebih baik atau buruk, kau
tahu maksudku?" 204 Sharp Objects.indd 204 "Seperti: Tempat ini menyedihkan dan aku ingin mati, tapi aku
tidak bisa memikirkan tempat lain yang lebih ingin kutempati," aku
mengusulkan. John menoleh dan menatapku, mata biru serupa dengan kolam renang berbentuk oval itu.
"Itu persis yang ingin kukatakan." Biasakan dirimu dengan hal itu,
pikirku. "Kau sudah mempertimbangkan mengikuti konseling, menemui
ahli terapi?" kataku. "Mungkin akan sangat membantu."
"Yah, John, mungkin akan meredam beberapa hasratmu. Hasrat
itu bisa jadi mematikan, kau tahu" Kita tidak mau lebih banyak gadis kecil muncul tanpa gigi mereka." Amma sudah masuk ke kolam
renang dan sedang mengambang hanya tiga meter jauhnya.
John melesat berdiri dan selama sedetik kupikir dia akan mencebur ke kolam dan mencekik Amma. Alih-alih, John mengacungkan
jari ke arah Amma, membuka mulut, menutupnya, dan berjalan ke
kamar lotengnya. "Tadi itu sangat keji," kataku kepada Amma.
"Tapi lucu," kata Kylie, mengambang di matras angin merah
manyala. "Dasar orang aneh," tambah Kelsey, lewat sambil mengecipak.
Jodes duduk di selimutnya, lutut ditarik ke dagu, mata terpancang ke rumah belakang.
"Kau begitu manis padaku malam sebelumnya. Sekarang kau
sangat berbeda," aku bergumam kepada Amma. "Kenapa?"
Amma terlihat terkejut selama sedetik. "Aku tidak tahu. Aku
berharap aku bisa memperbaiki itu. Sungguh." Dia berenang ke
arah teman-temannya ketika Meredith muncul di pintu dan dengan
gusar memanggilku ke dalam rumah.
205 Sharp Objects.indd 205 Rumah keluarga Wheeler kelihatan familier: sofa empuk yang terlalu gemuk, meja pendek dengan replika perahu layar di atasnya,
kursi ottoman beledu berwarna hijau jeruk nipis yang ceria, foto
Menara Eiffel hitam-putih dari sudut miring. Pottery Barn, katalog
musim semi. Hingga ke piring kuning lemon yang sekarang sedang
Api Di Suraloka 1 Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa Istana Pulau Es 22

Cari Blog Ini