She Karya Windhy Puspitadewi Bagian 2
menelan ludah mendengar kata-kata Papa karena dia tahu Papa tidak pernah main-main dengan
ucapanya. "Sekarang kamu boleh kembali ke kamar," kata Papa.
Sebenarnya ada tambahan tak tersirat dari perintahnya itu : "Dan belajar!"
Dhinar undur diri dari "persidangan" itu lalu berjalan menunju tangga, kembali ke kamarnya. Di
suruh kursus ya kursus, disuruh ke Jepang ya ke Jepang. Memangnya apa lagi yang bisa
kulalkukan" Toh mereka nggak pernah mau mendengarkan pendapatku.(dlm hati dhinar)
*** Keesokan harinya sepulang sekolah, Dhinar bergegas menuju tempat yang dimaksud Mama.
Flemming hendak mengejarnya, tapi ketinggalan karena mendadak di rumbungi "domba-domba
kecil"-nya. Tempat kursus itu tidak begitu besar. Ternyata di samaping menyelenggarakan kursu bahasa
Jepang, ada juga bahasa Jerman, Mandarin, Belanda, dan Arab.
Dhinar menghela napas. Tadi malam sudah habis-habisan mengulang pelajaran bahasa Jepang
dari buku-buku pelajaran SMP-nya dulu dan VCD anime yang dia putar berulang-ulang. Dia
pikir jika ikut placement test dan tidak harus mulai dari awal lagi, mungkin dia bisa lulus serta
mendapat sertifikat lebih cepat. Dengan penuh percaya diri, dia masuk tempat itu dan berjalan
menuju meja resepsionis. *** Mbak Endang memerhatikan cewek berkacamata yang berjalan mendatangi mejanya. Nih cewek
mukanya dingin banget. "Maaf, Mbak," kata cewek itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Mbak Endang.
"Saya mau daftar buat placement test bahasa Jepang."
"Oooh," Mbak Endang manggut-manggut sambil tersenyum. "Sudah pernah ikut kursus bahasa
Jepang sebelumnya?" "Belum pernah, tapi waktu kelas 3 SMP pernah dapat pelajarannya di sekolah," jawab cewek itu
penuh percaya diri. Mbak Endang mengernyitkan dahi. "Kalau cuma belajar di sekolah," kata Mbak Endang.
"Sebaiknya masuk dasar dulu saja dari pada buang uang buat palcement test."
Mbak Endang bisa melihat keseriusan cewek yang duduk di depannya dan menatap tajam. Lalu
dia menghela napas. "Baik. Mari ikut saya." Mbak Endang beranjak dari kursinya, mengambil
kertas soal, dan berjalan menuju salah satu ruangan.
"Uang pendaftarannya?" tanya cewek itu, yang buru-buru mengikutinya dari belakang.
"Gampang, nanti sesudah tes."
Setelah menyerahkan lembar soal dan kertas jawaban, Mbak Endang meninggalkan cewek itu
sendirian di ruangan. *** Setelah selesai mengerjakan soal yang diberikan kepadanya, Dhinar keluar. Mbak resepsionis
tadi sampai terkejut melihatnya.
"Sudah seleasi?"
Dhinar hanya tersenyum sambil menyerahkan lembar soal jawabannya.
"Tunggu sebentar ya, berikutnya ujian lisan," kata mbak resepsionis itu sambil menunjuk kursikursu di dekatnya. Dhinar mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Dhinar mengambil napas dalam-dalam. Semoga kerja kerasku semalam ada gunanya.
Mbak resepsionis kemudaian mengajak Dhinar kembali ke ruangan tadi. Beberapa saat
kemudian, pintu dibuka dan masuklah seorang pria berumur sekitar tiga puluhan, agak gemuk,
berwajah lucu namun ramah. Dia duduk di kursi yang berhadapan denga Dhinar.
"Hajimemashite, watasihi no namae wa Inos desu, douxo yoroshiku-- nama saya Inos, salam
kenal," katanya memperkenalkan diri.
Dhinar hanya tersenyum dan mengangguk.
"Jikoshoukai shite kudasai-- tolong perkenalkan dirimu" perintahnya kemudian
"Watashi no namae wa Dhinar desu, yoroshiku onegaishimasu-- nama saya Dhianr, salam
kenal," kata Dhinar lancar,
Pak Inos manggut-manggut. "Yarunjanai-- lumayan," ujarnya.
*** Setelah sekitar lima belas menit berada dalam ruangan, Pak Inos keluar. Dhinar masih berada di
dalam, sedang berkemas. "Bagaimana, Pak?" tanya Mbak Endang.
Pak Inos mengacungkan jempolnya, "Cukup layak masuk chuukyuu."
"Hah?" Mbak Endang melongo. "Pak! Katanya dia belum pernah ikut kursus bahasa Jepang lho!
Cuma belajar waktu SMP aja!"
"Hah?" giliran paK Inos yang melongo.
Tidak lama kemudian Dhinar keluar. Dia sempat bingung, karena tiba-tiba dia dipandangi dua
orang yang sepertinya melihatnya sebagai makhluk Mars yang nyasar ke bumi.
"Kamu benar-benar belum pernah ikut kursus Nihon-Go dan cuma belajr bahasa Jepang di
sekolah?" Tanya Pak Inos mencoba meyakinkan.
Dhinar mengangguk. "Jadi kapan saya bisa mulai kursus?" tanya Dhinar sambil duduk di kursi di
depan meja resepsionis. "Engg..." Mbak Endang membolak-balik buku jadwal.
"Karena Pak Inos menempatkanmu di Chuukyuu Satu, jadi mulainya bulan depan."
"Nggak ada yang mulainya minggu depan?" tanya Dhinar segera. Jika harus menunggu sampai
bulan depan, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Mama nanti.
Mbak Endang menggeleng. "Ada sih, tapi Shokyuu Dua, mau?"
"Iya deh," jawab Dhinar. Apa pun terserah, yang penting secepatnya.
"Oh ya, kita belum kenalan," Mbak Endang mengulurkan tangannya. "Namaku Endang,"
"Dhinar," kata Dhinar singkat menyambut uluran tangan Mbak Endang.
Mbak Endang langsung membelalakan mata. "Dhinar?"
Dhinar mengangguk. "Dhinar pakai H."
"Din-Har?" tanya Mbak Endang.
Dhinar menghela napas. Ini sudah keseratus kalinya dia mendapat reaksi macam itu tiap kali
memperkenalkan diri. Masa dia harus mengeja namanya tiap kali berkenalan" Gile aja!
"Bukan," sergah Dhinar.
"DiH-nar?" pak Inos ikut-ikutan menimpali.
Ini semua gara-gara papa keliru mengeja namanya akibat lidah Jawa-nya. Jadi ceritanya begini.
Waktu Dhinar lahir, Mama dan Papa sudah sepakat memberinya nama Dinar. Tapi begitu Papa
ke kantor Catatan Sipil, sebagai orang Jawa yang taat (maklum dari Purwodadi asli) dia mengeja
nama anaknya dengan D-H-I-N-A-R. Begitulah asal mula huruf "H" yang menyempil di sana
dan menyebabkan Dhinar capek lahir-batin setiap kali harus memperkenalkan diri.
"Bukaaan," kata Dhinar, menahan emosi sekuat mungkin agar tidak meledak. "Dhinar, D-H-I-NA-R."
"Oooh," Mbak Endang dan Pak Inos mengangguk-angguk berbarengan. "Dhinar?"
Reaksi yang persis sama dengan reaksi Flemming dan semua orang lain yang mendengar
penjelasannya. BAB 11 "Dinaaaar, sini!" panggil Bu Tuty, guru BP.
Glek! Dinar menelan ludah. Ini pasti tentang hukuman yang tertunda.
Dinar berjalan dengan ogah-ogahan ke arah Bu Tuty.
Dia bisa melihat segaris senyum tersungging di wajah Bu Tuty. Senyum dipaksakan yang selalu
diperlihatkannya setiap kali menghadapi Dinar.
"Begini, Din," kata Bu Tuty sambil merangkul Dinar.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Dinar merasakan hawa dingin merasuki seluruh tubuhnya.
"Apa kamu sudah merasa agak baikan?" tanya Bu Tuty.
"Hah" Maksud Ibu?" Dinar balik bertanya dengan wajah bingung.
"Beberapa waktu lalu kayaknya kamu lagi ada masalah."
"Oh itu," Dinar tersenyum. "Udah beres kok, Bu!"
seru Dinar sambil mengacungkan jempolnya.
"Bagus kalau gitu," kata Bu Tuty sambil masih berusaha tersenyum. "Sekarang mari kita
bicarakan tentang RAMBUTMU."
Dinar menelan ludah lagi.
"Kemarin saya sudah bicara dengan Pak Kepala Sekolah tentang hal ini," lanjut Bu Tuty. "Kami
tahu kamu nggal bakal mengecatnya kembali walaupun langit runtuh sekalipun. Akhirnya kami
menemukan hukuman yang cocok untukmu," kali ini senyum Bu Tuty benar-benar tulus. "Akan
saya katakan apa hukumannya di dalam."
Ternyata tanpa Dinar sadari, dia telah dituntun ke arah ruang BP. Dan dia baru ngeh waktu sudah
berada di dalam ruangan itu. TOLOOONG!!
*** Hukuman untuk Dinar adalah membatu Pak Jupri, penjaga sekolah, membersihkan toilet cewek
setiap pagi selam sebulan. Jika mangkir, akan ditambah dengan toilet cewek. Dan jika masih
mangkir lagi, dengan berat hati (begitu kata Bu Tuty) Pak Kepala Sekolah akan memberi kartu
merah alias OUT dari sekolah itu.
Hukuman yang cukup inovatif, gerutu Dinar dalam hati keesokan harinya saat sedang
membersihkan toilet cewek. Dia harus sudah sampai ke sekolah jam setengah enam pagi dan itu
mungkin akan menyebabkan dia harus berangkat sendiri tanpa sapu selama sebulan. Sapu
memang sudah menawarkan diri untuk tetap menjemputnya jam segitu, tapi Dinar menolak. Dia
tidak mau merepotkan cowok yang sudah sangat baik padanya itu.
Ketika dia sedang membersihkan cermin di toilet, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia membaca
nama yang tertera di layarnya. Cukup terkejut, dia langsung melirik jam tangannya.
"Halo?" sapanya.
"Halo, Din?" kata suara di seberang.
"Ada apa, Mbak?"
"Gini, kamu mulai kursus Senin depan," kata Mbak Endang.
"Hah" Kursus apa?"
"Ya ampun! Bukannya kamu mau ikut kursus bahasa Jepang lagi"!"
Dinar mengeplak jidatnya. "Oh iya! Aku lupa!"
Dinar bisa mendengar Mbak Endang menghela napas.
"Kapan, Mbak" Senin, ya?" ulang Dinar.
"Iya," jawab Mbak Endang dengan nada jengkel.
"Sori sori, manusia kan memang tempat salah dan lupa," Dinar membela diri.
"Kamu mau nyanyi lagunya Bimbo ya?"
"Hehehe... Oh ya, calon temen sekelasku siapa aja?" tanya Dinar penasaran.
"Hmm...," jeda sejenak. "Ada Desy, Pippo, Ardhi, Arif..."
"HAH!!!" tiba-tiba Dinar menjerit.
"A.... aduh! Jangan teriak-teriak dong!" protes Mbak Endang.
"Ardhi dan Arif yang itu?" tanya Dinar meyakinkan.
"Yang mana?" "Yang temenku, kan?"
"Mereka temenmu, ya?" Mbak Endang pura-pura tidak tahu. "Hahaha.... Iya, mereka yang
temenmu itu." "Sial! Mereka kok nggak ngomong-ngomong sih!" gerutu Dinar.
"Buat apa?" Mbak Endang balik bertanya. "Kamunya aja yang nggak ngomong-ngomong mau
kursus lagi." "Iya, ya," Dinar manggut-manggut.
"Oh ya!" Mbak Endang tiba-tiba berseru. "Masih ada satu orang lagi!"
"Siapa?" "Namanya mirip kamu."
"Dinar?" tanya Dinar ragu-ragu.
"Tapi pake H." "Din-Har?" Dinar tidak mengerti kenapa setelah mendengar kata-katanya barusan Mbak Endang tertawa.
BAB 12 Pada hari Minggu yang cerah, ketika Dhinar sedang belajar di kamarnya, tiba-tiba dia dikagetkan
suara dering ponselnya. "Nomor asing," gumamnya setelah suara di ujung telepon.
"Halo?" "Halo! Dhin, ini gue, Flemming!" seru suara di ujung telepon.
Dhinar mengernyitkan dahi. "Dari mana kamu tahu nomor ponselku?"
"Dari Internet," jawabnya enteng.
Hah" "Tepatnya di situs Ripley's Believe It or Not, bagian manusia tersinis di dunia," tambahnya, lalu
tertawa. "Bercanda, bercanda," katanya buru-buru setelah tidak mendengar suara apa-apa dari seberang
sana. "Dari Anita, ya?"
"Wah, hebat juga lu!" seru Flemming. "Benar-benar punya bakat ahli nujum rupanya."
"Ada perlu apa?" tanya Dhinar dingin.
"Memangnya kalau telepon harus ada perlu?"
Flemming balik bertanya. Dhinar mendengus. "Oh, nggak ada perlu, ya" Kalau begitu kututp."
"WOOOI!" cegah Flemming. "Gue yang telepon nih!"
"Lalu kenapa?" tanya Dhinar. "Telepon itu percakapan dua arah, kalau yang satu nggak setuju
berarti nggak akan ada yang namanya percakapan."
Flemming tertawa. "Kok malah ketawa?" tanya Dhinar bingung.
"Soalnya lu akhirnya ngomong agak banyakan," katanya.
Sial! gerutu Dhinar dalam hati.
"Eh, di sekolah kita pernah diadain pensi nggak sih?"
"Kayaknya nggak," jawab Dhinar singkat.
"Jadi lu belum pernah nonton pentas seni?"
"Belum." "Kasian beneeer," ejek Flemming.
"Nggak juga, aku memang nggak tertarik," kilah Dhinar.
"Oi, masa SMA tuh cuma satu kali, masa lu nggak mau menikmatinya sih?"
"Aku sudah menikmati kok," elak Dhinar lagi.
Flemming menghela napas. "Maksudku sebagai anak SMA yang NORMA."
"Jasi maksudmu aku nggak normal?" tanya Dhinar agak tersinggung.
"Lho, seharusnya gue yang nanya," jawab Flemming.
"Lu pikri lu normal" Pernah nggak sih lu ngerasa bahagisa seperti temen-temen lu" Ngeceng
bareng, makan bareng, having fun bareng, menikmati hidup yang sebenarnya. Pernah, nggak?"
Dhinar terdiam sesaat. "Memangnya perlu ya?"
"Hah?" seru Flemming.
"Baru kali ini gue dapet pertanyaan seperti itu."
"Selamat," sahut Dhinar. "Tapi jawab dulu pertanyaanku, memangnya hal-hal seperti itu perlu?"
"Menurutku sih perlu."
"Buat apa?" "Supaya ada yang bisa kita kenang sewaktu kita tua kelak."
Dhinar termanung. Masuk akal.
"Tetapi untungnya punya kenangan seperti itu?" tanya Dhinar lagi.
"Ya ampuuun... lu tuh selalu mikirin untung-ruginya, ya?" tanya Flemming heran. "Hoi, Carpe
Diem! Tau artinya, kan?"
"Mau mengujiku nih?"
"Bukan!" sergah Flemming. "Carpe Diem! Seize the day! Lu tuh tau artinya tapi kok nggak
paham. Nggak usah susah-susah mikirin apa efeknya di masa depan, yang penting nikmati
hidupmu sekarang because it's what being human is all abaut."
Dhinar terdiam lagi. Dia tahu tahu kata-kata Felmming benar seratus persen. Sesungguhnya dia
pun ingin menikmati hidup seperti yang dikatakan cowok itu, tapi Dhinar tidak tahu caranya.
"Memangnya menikmati hidup bisa didapat dari pentas seni?" tanya Dhinar.
"Menikmati hidup sih bisa di mana saja," jawab Flemming. "Tapi untuk orang-orang tertentu gue
bakal bilang, menikmati hidup bisa dimulai dari pensi."
Dhinar mengernyitkan dahi, dia tahu penekanan kata Flemming ditunjukan untuk dirinya.
Karena kesal, dia langsung menutup teleponya.
KLIK! *** "Cih, payah!" gerutu Flemming.
Flemming memandangi ponsel yang dipegangnya. Dia sendiri heran, beberapa hari terakhir ini
dia merasa tertarik pada Dhinar. Bukan tertarik dalam arti "suka", tetapi lebih seperti ketertarikan
peneliti dan kelinci percobaannya, karena ini pertama kalinya dia bertemu cewek seperti itu. Ada
berbagai perasaan hinggap di benaknya tiap kali dia melihat Dhinar. Perasaan heran, kagum, dan
kasihan yang bercampur menjadi satu.
Anehnya lagi, Flemming merasa punya kewajiban untuk menolongnya merasakan kebahagian
layaknya anak-anak SMA pada umumnya. Dia merasa seakan-akan kepindahannya ke Semarang
karena Tuhan telah menugasinya sebagai "the chosen one". Padahal alasan sebenarnya mungkin
karena dia ingin sok dianggap dewa penolong dan gentleman biar lebih banyak dipuji cewekcewek. Dan tertentu saja agar Dhinar yang sedingin es batu itu akhirnya mencair karena
perhatiannya. Flemming memencet-mencet tombol di ponselnya lagi. Mencari sebuah nama lalu
meneleponnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara di ujung telepon
"Halo?" "Halo" Anita?" tanya Flemming. "Ini gue, Flemming."
"Udah tahu, kali kan nomormu kusimpan di ponsel," kata Anita senang. "Ada apa, Flem"
Tumben kamu nelepon."
"Nggak boleh ya" Kangen nih," Flemming mulai menggombal.
"Hihihi," sepertinya Anita tersipu mendengar kata-kata Flemming. "Tentu saja boleh, aku malah
seneng kok!" Ya ampun! Beda bener sama yang aku telepon sebelumnya. "Ehem, gini, Nit," kata Flemming
setelah berdehem. "Apa?" "Pernah ke acara pensi?" tanya Flemming.
"Ya pernah lah. Hari gini siapa yang belum pernah nonton pentas musik?"
Dhinar, jawab Flemming dalam hati.
"Di sekolah kita?" tanya Flemming lagi.
"Nggak, di sekola lain," jawab Anita. "Setahuku sekolah kita nggak pernah ngadain pensi,
She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kayaknya sih nggak boleh."
"Kenapa?" "Entah, mungkin supaya muridnya konsentrasi belajar," keluh Anita. "Basi banget, ya?"
Flemming manggut-manggut. "Pensi itu... dilarang atau memang belum pernah ada yang
mencoba membuatnya?"
Anita terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat.
"Mungkin memang beluma ada yang mencoba sih," katanya.
Flemming tersenyum. INI DIA!
"Kalau begitu, ayo kita buat!" serunya kemudian.
"HAH"!" BAB 13 "Proposalnya sudah selesai, Flo?" tanya Ayi saat mereka berkumpul di TBRS.
"Sudah sih, tinggal tunggu capnya," jawab Flo.
"Cap" Buat apa?" tanya Ayi bingung.
"Waduh! Kamu tuh gimana sih" Biar dianggep sebagai lembaga yang legal, kita butuh cap Genki
Ji," jelas Flo. Ayi manggut-manggut. "Ooh.. gitu, ya?"
Flo geleng-geleng. Ayi kemudian menengok ke arah Dinar yang berada di sebelahnya, "Acaranya sudah disusun,
Le?" Dinar mengangguk. "Sip! Acarany sudah fix. Tinggal peralatan dan dananya ya kan, Ki?"
Kiki yang menjabat sebagai seksi acara mengangguk.
"Nice," puji Ayi.
Tidak lama kemudian sebuah sepeda motor yang di tumpangi dua cowok berhenti di dekat
mereka. Seprang kurus, berkacamata, dan berambut agak keriting turun lebih dulu diikuti cowok
berambut gerondong yang tadi memboncengnya.
"Arief! Ardhi!" teriak Dinar seketika melihat kedua orang itu, lalu berjalan menghampiri
mereka.. "Ada apa, Le?" tanya Ardhi.
"Tau nggak sih, kita bakalan sekelas Lho!" seru Dinar girang.
"Hah" Kamu bakal pindah ke sekolahku?"
"Bukan, dodol! Kita bakalan sekelas di kursus bahasa Jepang!" jelas Dinar.
"Bukannya kamu udah chukyuu?" tanya Arief ikut nimbrung.
Dinar nyengir. "Hehehe nggak apa-apa, kan" Aku turun kelas."
"Wah, nggak asyik nih," gerutu Ardhi.
"Lho, kenapa nggak asyik?" tanya Dinar.
"Kamu kan udah senpai-- kakak kelas," jelas Ardhi.
"Bisa bikin kami kelihatan bego banget dong entar di kelas."
"Nggak deh, janji." Dinar mengacungkan kedua jarinya membantuk tanda "V".
"Lagian aku juga udah agak-agak lupa kok."
Ardhi mendesah. "Yah... terserah kamu deh, tapi awas ya, kalo sampe bikin kami kelihatan bego.
Pulang kursus nggak utuh baru tahu rasa kamu."
"Ngancam nih?" "Nggak, neror," ralat Ardhi.
Dinar tertawa. "Oh ya," kata Dinar lagi. "Calon teman kita ada yang namanya mirip sama aku
lho!" "Kok tahu?" tanya Ardhi.
"Dari Mbak Endang dong."
"Siapa?" tanya Arief. "Dinar juga?"
Dinar mengangguk. "Tapi pake 'H'."
Ardhi mengankat alis. "Din-Har?"
seketika itu dinar tertawa. mkasian bener orang yang punya nama. Udah berapa kali ya dia dapat
reaksi seperti ini" "bukan" sergah Dinar. "D-H-I-N-A-R"
"Oooh," Ardhi dan Arief berbarengan menganggu-angguk.
"Dhinar?" Benar-benar reaksi yang sama.
"orangnya giman le?" tanya arief.
dinar mengernyitkan dahi. "Ya mana aku tahu" orang cuma di kasih tahu namanya doang kok
sama Mba Endang." "Paling-paling mirip sama kamu Le" timpal Ardhi.
Dinar mengangkat bahu. "Mungkin juga,"
Tiba-Tiba terdengar suara Ayi memanggil, "LE!"
Mereka bertiga menoleh ke asal suara. ternyata semua anggota Genki Ji akan memulai rapat lagi
untuk acara Party pake J dan tinggal menunggu mereka bertiga.
"Ngapain aja sih?" gerutu amru.
"sori, sori," Dinar mengatupkan kedua tangannya sambil munduk-munduk.
"Kita juga lagi ada meeting pribadi" jelas Ardhi sambil cengengesan.
"meeting tresna jalaran saka kulina" celetuk Flo.
Dinar dan semua yang ada di situ (kecuali Flo tentunya) langsung geleng-geleng. Ya ampunnn...
jayus, jayus. "sudah sudah" kata Ayi kemudian. "mari kita buka rapat ini."
"bukannya udah dibuka dari tadi?" tanya Amru.
"Orang kita udah ribut acarany dari tadi kok."
Ayi melirik ke arah Amru dengan jengkel. "berisik biarin aku ngejalanin tugas ku sebagai ketua
sih"!" "iya biarkan Ayi melakukan tugasnya dong!" Ardhi ikut-ikut menimpali. "Biarkan dia
menikmatinya." "terima kasih." Ayi tersenyum mengetahui masih ada orang yang mendukung dan mengakui
kemampuannya. "kan ini satu-satunya hal yang dia bisa'" tambah ardhi, lagi yang langsung disambut derai tawa
anggota Genki Ji yang lain.
"sialan! umpat ayi. "Heh" kapan mulainya nih, Pak Ketua?" protes Dinar.
"Eh... oh, iya. Ehem'" Ayi berdehen sejenak lalu melanjutkan perkataannya, "Mari kita buka
acara dengan membaca basmalah."
kok malah kayak mau pengajian ya" tanya dinar dalam hati, tapi toh dia dan semua orang yang
ada di situ menaati perintah sang ketua.
"berikutnya," lanjut Ayi, "kita dengarkan sambutan dari ketua panitia."
Kontan semua anak berteriak, "HUUU!!!"
"Bercanda" "NGGAK LUCU" Lalu mereka tertawa. **** Keesokan harinya... "Halo, le?" "kenapa, Yi?" "lagi ngapain?" tanya Ayi
"lagi kamu telepon"
Oh iya ya." "ada apa yi?" "proposalnya udah kelar" kata ayi, "kpan nyebarnya?"
"pastinya sepulang sekolah," jawab dinar. "Emang ada yang mau bolos?"
"Hmm... kayaknya Resya mau deh."
"Yee dia mah emnag dasarnya nggak niat sekolah."
"Bagus kan"!" seru Ayi. "Jadi hari ini kita bisa 'pake' dia."
"jahat banget sih!" sembur Dinar
"terus gimana dong?"
"jangan hari ini aja! tapi seminggu kita mesti pake dia!" jelas dinar.
Ayi tertawa. "Nggak nyangka ada yang lebih jahat dari pada aku. wah! produk neo-Nazi nih"
"Terimakasi atas pujiannya." jawab Dinar. "Oya, hari ini aku kursus bahasa jepang."
"Nerusin chukyuu ya?"
"Nggak balik ke shokyuu lagi" jawab dinar enteng. "APAAA"!!!"
"Adu.... du.. duh... nggak usah teriak-teriak dong!" protes dinar sambil mengusap-usap
telinganya. "udah kebanyakan duit, ya?"
"hmm... hmm.." dinar pura-pura berpikir. "kayaknya gimana?"
"udah ah! pkoknya aku nggak bisa bantu nyebar proposal sepulang sekolah >" tambah dinar.
"tapi malamnya aku bisa ke stasiun radio sama sapu buat nyari sponsor."
jeda sejenak. "gitu juga boleh"
bel tanda masuk berbunyi.
"eh, udah mesti masuk kelas nih,"
"aku juga" "ya udah kalo gitu tutup dodol"
"oh gitu ya" ya ampuun nih anak! KLIK! BAB 14 Entah mengapa hari senin itu Flemming terlihat sibuk sendiri sampai Dhinar yang duduk
dibelakangnya heran. Dia mencoret-coret bukunya, berfikir, mencoret lagi, berpikir lagi, lalu
mencoret lagi, seperti sedang merencanakan sesuatu.
Sebenarnya dalah hati Dhinar penasaran juga, tapi memutuskan tidak ambil peduli. Akhirnya
malah Flemming sendiri yang tidak tahan untuk mengatakannya.
"Oi, lu mau tahu gue lagi ngerencanain apa?" tanya Flemming setelah bel pulang berbunyi dan
tinggal mereka berdua di kelas.
"Nggak," jawab Dhinar cuek.
"Gue pengin bikin acara," kata Flemming.
Karena yang diajak bicara dingin-dingin saja, Flemming meneruskan ucapannya, "Gue pengen
bikin pentas seni di sekolah ini."
Dhinar menatap Flemming dengan heran. "Pensi" Di sekolah ini?"
Flemming mengangguk keras-keras. "Iya! gue denger dari Anita, sekolah ini beberapa tahun
terakhir belum pernah ngadain, kan?"
"Ralat," sela Dhinar. "Bukan hanya beberapa tahun lalu, tapi emang seumur-umur belum
pernah." "Nah, bagus tu," Flemming tersenyum. "Pasti banyak yang mendukung."
"Kalau begitu selamat berjuan karena aku bukan salah satu yang mendukungmu," kata Dhinar
sambil menyambar tasnya dan berjalan ke luar kelas.
"Hoi, emangnya lu nggak pengin nonton pensi?" teriak Flemming.
"Buat apa?" gerutu Dhinar sambil melenggang pergi.
"Acata nggak berguna," alasanya, walaupu sebenarnya dia penasaran juga. Maklum, belum
pernah. *** Dhinar bergegas menuju tempat kursusnya. Ini pertama dia mulai kursus bahasa Jepang.
Kemarin dia ditelepon Mba Endang, sang resepsionis, dan diberitahu bahwa kursus dimulai hari
senin jam dua siang sepulang sekolah.
Ketika dia sampai di tempat itu, Mbak Endang menyambutnya.
"Hai, gimana kabarnya?" sapa Mbak Endang ramah.
"Baik," jawab Dhinar sambil tersenyum, mengimbangi kesopanan si lawan bicara.
"Yang lain belum datang. Kamu duduk aja," kata Mbak Endang sambil menunjuk kursi-kusi
yang berderet di dekat mejanya.
Dhinar mengangguk. "Makasih, Mbak."
Tak lama kemudian Pak Inos datang.
"Lho, baru Dhinar yang datang?" tanya Pak Inos begitu melihat hanya Dhinar yang dikenalinya
di antara anak-anak yang lain yang juga duduk disitu.
"Iya, Pak," jawab Mbak Endang "Mungkin yang lain terlambat."
"So ka-- oh begitu?" pak Inos manggut-manggut.
"Genki desu ka-- bagaimana kabarnya?" tanya Pak Inos setelah mereka duduk.
"Genki desu-- baik baik saja," jawab Dhinar. Tepat saat Pak Inos hendak mengatakan sesuatu
lagi, tiba-tiba pintu di ketuk.
"Masuk," jawab Pak Inos.
Seorang cowok agak kerempeng dan bertubuh pendek masuk diikuti seorang cewek kurus
berambut sebahu yang tampak sangat malu-malu.
"Shitsurei shimasu -- permisi mau masuk," kata cowok itu.
"Dozo Pippo-san, Desy-san -- silahkan Pippo, Desy," Pak Inos mempersilahkan mereka untuk
duduk. Mereka berdua mangguk lalu segera duduk di kursi depan Dhinar dan langsung tersenyum begitu
melihat Dhinar, yang tentu saja membalasnya.
"Desy-san, Pippo-san kore Dhinar-san desu-- Desy, Pippo, ini Dhinar," Pak Inos
memperkenalkan Dhinar pada mereka. Desy, Pippo menjabat tangan Dhinar.
Lagi-lagi ketika Pak Inos membuka mulut hendak mengatakan sesuatu pintu diketuk. "Masuk."
Kali ini dua cowok yang berperawakan hampir sama masuk. Cowok pertama berkulit agak gelap,
berambut keriting dan berkacamata, sedangkan yang satu lagi berambut gondrong dan berkulit
lebih terang. "Arief-kun, Ardhi-kun, dozo-- Arief, Ardhi, silahkan," seru Pak Inos begitu melihat mereka.
"Maaf Pak, telat," kata Arief.
"Daijoubu- nggak apa-apa," sahut Pak Inos.
"Kami tersesat di jalan bernama kehidupan," timpal Ardhi. Kontan sekelas langsung gelenggeleng kepala dan tersenyum. Kecuali, Dhinar, tentunya, yang menganggap alasan itu nggak
penting. "Sudah lengkap?" tanya Pak Inos sambil melihat muridnya satu persatu. "Oh, mo hitori katinggal satu orangkah?"
"Iya Pak, tinggal si biang kerok itu," jawab Ardhil
Pak Inos manggut2. "Hai, kanojo dake - ya tinggal cewek itu."
Dhinar mngernyitkan dahi. Biang kerok" Cewek"
Kemudian sekali lagi pintu di ketuk. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, pintu lansung dibuka
dan muncullah seorang cewek agak pendek, berkulit putih, berambut pendek berwarna....
KUNING!!! pekik Dhinar dalam hati. Baru kali ini dia melihat dari jarak dekat orang yang
berpenampilan seperti itu. Tapi sepertinya dia bukan satu-satunya yang merasa seperti itu.
"KIROIII -- KUNIIING!!" pekik Pak Inos seketika begitu melihat rambut cewek itu.
Cewek itu cengengesan. "Hisashiburi dese ne, Sensei -- lama tak bertemu, Pak Guru."
Tanpa menunggu perintah, cewek itu langsung duduk di kursi sebelah Dhinar yang kosong. Pak
Inos masih tergagap dan memandang tak percaya.
"Anata no kami- rambutmu..." Pak Inos mengerjap-ngerjap. "Kiroi-kuning."
"HAAAIII- IYAAA," seru cewek itu. "AH! Lupa!"
Tiba-tiba dia berdiri lalu berjalan ke muka kelas, menghadap ke arah teman-temannya.
"Minna-san -Semuanya!" serunya bersemangat.
"Watashi no name wa Dinar desu, dozo yoroshiku!- namaku Dinar, slam kenal!"
Dhinar membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dinar"
"But just call me Ale, okay?" tambah cewek itu.
"Hoi, ini kelas bahasa Jepang, bukan bahasa Inggris," celetuk Ardhi.
"Urusai- berisik!" sembur Dinar.
"Apa tuh artinya?" Ardhi menyipitkan mata. "Udah dibilang kami tuh masih shokai-adik kelas."
"Iya nih, senpai- kaka kelas- kiat yang satu ini sok banget sih," tambah Arief. Dinar langsung
memasang tatapan membunuh ke arah mereka berdua, yang hanya dijawab dengan cengengesan.
Dhinar yang dari tadi memperhatikannya tampak kaget begitu cewek yang duduk di sebelahnya
itu menoleh ke arahnya. Seketika dia langsung mengalihkan pandangannya.
Ketangkap basah! Tetapi kemudian dia mendapat sodoran tangan.
"Salam kenal!" Dhinar menoleh ke arahnya dengan bingung. Walaupun akhirnya dia menjawab sodoran tangan
itu. "Salam kenal, namaku Dhinar juga," kata Dhinar.
"Tapi pakai H."
Dinar mengangkat alis. "D-H-I-N-A-R" tamba Dhinar buru-buru. Cewek di sebelahnya itu tertawa.
"Aku sudah tahu kok dari Mbak Endang," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Benarkah?" tanya Dhinar senang karena baru kali ini dia tidak mendapat reaksi yang biasa
didapatkannya selama ini.
"Eh?" "Hmm?" "Kita pernah ketemu nggak sih?"
Dhinar menggeleng. "Aku juga merasa seperti itu. Tapi kayaknya sih belum."
Dinar mengangguk-angguk. "Ooh.."
"Tapi mungkin di kehidupan sebelumnya," kata Dhinar kemudian, yang di sambut cengiran oleh
Dinar. "Kimi-tachi, nani o shite imasu -kalian sedang apa?" Pak Inos tiba-tiba berseru. "Kosu wa hajime
masu- kursus sudah mulai."
Mereka berdua serempak menjawab. "Nandemonai- tidak sedang apa-apa!" seketika mereka
langsung pandang dan tertawa.
Entah kenapa Dhinar merasa sepertinya hari itu merupakam awal dari sesuatu yang baik dalam
kehidupannya. Sesuatu yang sudah lama dia tunggu-tunggu.
*** Di luar, sapu sudah menunggu dengan setia. Begitu selesai dengan rapat OSIS-nya, dia langsung
cabut ke tempat kursus Dinar untuk menjemput ceweknya itu. Dia melirik ke arah jam
tangannya. Sudah jam setengah empat sore.
Tidak lama kemudian satu persatu murid Pak Inos keluar ruangan. Setelah berpamitan pada
teman-temannya, Pak Inos, Mbak Endang, dan ikan-ikan di akuarium dekat meja resepsionis,
Dinar berlari-lari kecil ke arah Sapu.
Sapu menyodorkan helm yang di bawanya pada Dinar.
"Gimana kursusnya?"
"Menyenangkan," jawab Dinar riang sambil memakai helm.
"Oh ya, ada yang namanya mirip denganku lho!"
kata Dinar. Tidak lama kemudaia seorang cewek tinggi, berkacamata, dan berambut sebahu
keluar dari tempat kursus. Melihat Dinar, dia langsung tersenyum termasuk kepada Sapu.
She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu anaknya," kata Dinar setelah Dhinar sudah agak jauh dari mereka.
"Namanya Dinar juga?" tanya Sapu sambil menghidupkan mesin motornya.
"Iya tapi pake H" Dinar menyeringai. Sapu pasti lasung bertanya : Din-Har"
Sapu menganggu-angguk. "DH-inar, ya?"
Dinar melongo. "Nama lengkapnya sapa?" tanya sapu lagi.
"Ng.... kalau nggak salah sih Dhinar Kusumaatmadja," jawab Dinar yang masih terheran-heran.
"Heh! Kok kamu langsung tahu sih namanya DH-inar dan bukan Din-Har?"
Sapu mengangkat bahu. "Kayaknya sih aku pernah denger namanya yang nggak umum seperti
itu. Tapi di mana, ya?" Dia mencoba mengingat-ingat. "Anaknya giman?" tanya Sapu.
"Kesan pertamanya sih pendiem dan jutek, gitu," jawab Dinar jujur. "Aku sampai ngeri. Tapi
setelah kenalan ternyata lumayan asyik juga."
"Dan Nihon-Go-nya sugoiii" tambahnya
"Hoii! Aku nggak ngerti bahasa Jepang," prostes Sapu. "Speak Indonesia, please."
"Hehehe." Dinar nyengir. "Gomen, gomen, eh maaf, amaf, lupa."
Dari kaca spion, Dinar melihat Sapu tersenyum.
"Artinya, bahasa Jepang-nya hebat banget!" lanjut Dinar
"Pernah ke Jepang toh?" tanya Sapu.
"Nggak tahu, mungkin." Dinar mengangkat bahu.
"Kapan-kapan kukenalin deh."
"Nggak usah juga nggak apa-apa." kata Sapu..
"Kenapa?" tanya Dinar heran.
"Kayaknya kok ngeri."
"Masa sih?" "Iya," Sapu mengangguk keras-keras. "kelihatannya malah lebih mengerikan dari pada cewek
berambut kuning yang duduk
di belakangku ini. Berarti ngeri banget, kan"!"
"Dasar!" Dinar memukul bahu Sapu pelan sambil tertawa.
BAB 15 "Dhin, bisa bantu gue, nggak?" tanya Flemming saat mereka berdua berada di perpustakaan pada
jam istirahat. Ini sudah hampir kedua puluh kalinya dia menanyakan hal itu pada Dhinar, yang
selalu mendapat jawaban yang sama.
"Nggak," jawab Dhinar dingin sambil membolak-balik buku yang sedang dibacanya.
"Nggak denger," sahut Flemming menanggapi jawaban Dhinar. Dia lalu menarik salah satu kursi
di dekat Dhinar. "Bantuin gue bikin konsep proposal acara pentas musiknya dong," pinta Flemming. "Lu gue
tunjuk jadi sekretaris, oke?"
Dhinar tak menjawab. Ditanggapi seperti itu, Flemming mendesal lalu menyambar buku yang
dibaca Dhinar. "APA-APAAN SIH!" protes Dhinar sambil berdiri dan menggebrak meja. Untung perpustakaan
lagi sepi jadi tidak akan ada yang menimpukinya dengan sepatu gara2 berteriak.
"Gue nggak suka ditanggapi seperti itu" sahut Flemming dingin.
Dhinar cukup terkejut dengan perubahan air muka Flemming. Cowok itu tidak menunjukan
wajah ramah seperti biasanya. Senyumnya pun hilang, digantikan bibir terkatup rapat dang
rahang yang mengeras. Pandangan matanya membuat Dhinar merasakan hawa dingin menusuk
sekujur tubuhnya. Waduh, sepertinya bakal ada yang meledak nih.
Dhinar menelan ludah. Apakah aku seketerlaluan itu ya"
"Heh! Apa salah gue coba?" tanya Flemming. "Gue udah minta baik-baik sama lu. Kalaupun
memang lu nolak, ngomongnya juga baik-baik dong."
"Sama km?" cibir Dhinar walaupun sebenarnya dia takut juga pada Flemming saat ini.
"Iya!" tegas Flemming. "Sama gue dan semua orang, sebagai bukti bahwa lu juga manusia."
"Apa maksudnya?" tanya Dhinar tersinggung.
Flemming tersenyum sinis. "Ya ampun, gue nggak nyangka ternyata lu bego juga."
Sialan! Umpat Dhinar dalam hati.
"Manusia tuh punya kebutuhan untuk bersosialisasi," lanjut Flemming. "Itulah sebabnya manusia
disebut homo homini socius. Kalau lu nggak bisa bersosialisasi berarti lu... yah... terusin sendiri
deh." "Bukan manusia maksudmu"!"
"Lu sendiri yang ngomong" sahut Flemming
"Lu sendiri yg ngomong," sahut Flemming enteng.
Dhinar mendesah. "Aduuh, kamu tuh memang sok berlagak tahu tentang aku ya?"
Flemming terdiam. "Aku bukannya nggak mau bersosialisasi," lanjut Dhinar. "Hanya saja aku bukan tipe orang yg
mau repot-repot berteman apalagi dengan orang yg nggak sungguh-sungguh mau berteman
denganku." Dhinar menghela napas sambil duduk lagi di kursi.
"Aku.... waktu SMP," katanya kemudian, merasa sudah waktunya mengeluarkan apa yg dia
pendam selama ini, "Pernah dikhianati oleh orang-orang yg kuanggap sebagi teman."
Flemming mendengarkan tanpa berkomentar.
"Ternyata mereka mendekati hanya karena kapandaian atau kekayaanku," lanjut Dhinar. "Itulah
sebabnya aku memakai perisai pada orang-orang yg mendekatiku, karena aku tahu mereka hanya
menyukai apa yg kumiliki, bukan menyukai AKU."
"Kalau lu pasang perisai begitu, gimana lu bisa tahu mereka menyukai lu apa adanya atau
nggak?" tanya Flemming tajam.
Dhinar merasa tertohok. "Kalau cuma pernah dikhianati sekali, dua kali, terus lu nggak percaya lagi sama orang, berarti lu
masih kayak anak-anak!" tambah Flemming. "Lu memang mesti ngerasain sakit sebelum bisa
ngerasa arti senang yg sebenarnya. Itulah hidup! Orang baru bisa naik sepeda setelah jatuh
berkali-kali, ngerti nggak, lu"!"
Mereka berdua sama2 terdiam.
"Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan hidupku yg seperti ini kok," kata Dhinar dengan senyum
yg dipaksakan. "Perubahan sepertinya nggak begitu bagus buatku."
"Masa?" tanya Flemming tak percaya. "Hidup seperti itu apa asyiknya?"
Dhinar mengangkat alis lalu menoleh ke arah Flemming dan melihatnya sedang menghela napas,
mengatur pernapasan untuk mengendalikan emosi agar bisa berpikiran dingin dan tidak meledakledak.
"Gue rencana bikin pensi ini sebenarnya buat lu," katanya kemudian. "Biar lu bisa bertemu
banyak orang, tahu gimana rasanya bekerja sama membuat suatu acara dan menikmati jerih
payah lu begitu acaranya terselenggara. Ternyata lu memang nggak ada niat sedikitpun untuk
mau bersosialisa ..bersosialisasi sama orang," desahnya sambil membanting buku yang tadi dia ambil dari Dhinar
ke meja, lalu dia berjalan menuju tangga dan pergi.
Heran, kok malah marah-marah sendiri sih" Tanya Dhinar dalam hati. Ia tinggal sendirian di
lantai atas perpustakaan, merenungi semua perkataan Flemming yang baru saja didengarnya. Dia
harus mengakui dia lumayan tersentuh sewaktu Flemming bilang, dia membuat acara itu demi
dirinya. Tapi dia tidak mau merusak ritme hidup yang selama ini dijalaninya. Hidup yang orangorang ingin dia menjalaninya. Hidup yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Aku tidak menyesal menjalani hidup lempeng tanpa entakan seperti ini, dia meyakinkan dirinya
sendiri. Benarkah" *** Pulang sekolah, sesampainya di rumah, Flemming heran mendapati beberapa lembar kertas
diklip penuh coretan konsep acara musik seperti rancangan proposal di dalam tasnya. Di sudut
bawah sebelah kanan halaman terakhir kertas itu, ada tulisan tangan yang cukup dikenalnya.
Maaf untuk yang tadi. Cuma ini yang bisa kulakukan untuk membantumu, sisanya lakukan
sendiri. Asal kau tahu, aku tidak menjual tenagaku dengan MURAH.
Dan Flemming pun tersenyum.
BAB 16 DHINAR duduk di kursi dekat meja resepsionis sendiraian sementara di depannya tiga anak
membahas kosakata bahasa Prancis yang kemarin mereka pelajari.
Tidak lama kemudia Desy dan Pippo datang. Entah mengapa mereka selalu datang berdua.
"Hai!" sapa Desy pada Dhinar lalu duduk disebelanya, sedangkan Pippo duduk agak jauh di
samping mereka. Dhinar hanya membalas dengan senyum.
"Belum ada yang datang ya?" tanya Desy basa-basi.
"Iya," jawab Dhinar singkat, lalu hening.
"Hai, minna san-kalian!" Tiba-tiba cewek berambut kuning berseru begitu masuk hingga semua
orang yang ada di situ kaget dan menoleh ke arahnya.
Anak ini apa memang selalu bersemangat ya, pikir Dhinar.
Dinar ngobrol sebentar dengan Mbak Endang sebelum berjingkat-jingkat menuju kursi yang
diduduki Dhinar dan Desy.
"Dhinar-san! Desy-san! Pippo-san!" sapanya sambil celingak-celinguk. "Ardhi-kun dan Ariefkun belum dateng ya?" lalu dia menghela napas. "Yaaah, payah deh dua orang itu."
"Ale," panggil Desy.
"Hah?" Dinar menoleh ke arahnya.
"Boleh panggil pake nama itu, kan?"
Dinar mengangguk keras-keras. "Malah kamu HARUS memanggilku dengan nama itu!"
Desy tersenyum. "Iya deh."
"Ada apa?" "Ajarin pelajaran kemarin dong," pinta Desy.
"Hah?" Dinar membelalakkan matanya dramatis.
"Kamu minta tolong aku buat ngajarin kamu" Nggak salah tu?"
"Habis kata Ardhi-kun kamu kan mestinya udah chukyuu," jelas Desy. "jadi pasti lebih sugoi,
kan." "Sugokunai yo- tidak hebat!" bantah Dinar. "Aku udah lupa sama sekali lho, jadi kita sama-sama
nol." "kenapa gak minta tolong sama kembaranku yang satu ini aja?" usul Dinar sambil menunjuk
cewek di sebelahnyayang dari tadi hanya jadi kambing congek dan mendengarkan dua orang di
sampingnya bicara tanpa memedulikannya.
Dhinat mengernyitkan dahi. "Aku?"
"iya juga ya?" Desy manggut-manggut. "Dhinar-san kan Nihon-Gonya bagus banget."
"Tul!" Dinar ikut-ikutan manggut-manggut.
"Udah pernah kursus Nihon-Go sebelumnya ya" Atau jangan-jangan malah pernah tinggal di
sana?" Dhinar menggeleng. "Nggak dua-duanya. Aku baru pertama kalinya kursus bahasa Jepang dan
belum pernah ke luar negeri apalagi ke Jepang."
Mendengar jawaban Dhinar, Dinar dan Desy langsung membalakkan mata tak percaya.
"USOO-BOHONG!" seru Dinar
"Ngapain mesti bohong?" dengus Dhinar.
"Kok udah bisa lancar bahasa Jepang gitu sih?" desak Dinar masih tak mau percaya begitu saja.
"Ehem," Dhinar berdehem. "Aku sempat dapat pelajaran bahasa Jepang waktu SMP dulu, dan...,"
katanya pelan sambil menunduk malu seakan-akan apa yg akan diucapakan adalah aib yg bisa
mengubah sejarah dunia, "aku lumayan suka nonton kartun Jepang."
"MASA?""!!!" Mata Dinar berbinar-binar. "Kamu juga suka anime?"
juga" Dhinar mengangguk malu tapi cukup senang karena akhirnya bisa mengatakan yg sejujurnya di
depan seorang. "Berarti suka komik juga?" tanya Dinar lagi.
Dhinar mengangguk sambil tersenyum. "Malah sebenarnya lebih suka komik daripada kartun."
"WAH! Tambah temen lagi!!!" seru Dinaar girang sambil memeluk cewek sebelahnya itu.
Dhinar bingung dan heran. Ini pertama kalinya dia mendapat reaksi seperti yg baru saja
diperlihatkan padanya. "Oh ya!" kata Dinar setelah melepas pelukannya.
"Aku bikin perkumpulan pencinta manga dan anime, namanya Genki Ji! Kalau pengin jadi
anggota dan ketemu temen-temen 'sealiran' datang aja tiap hari selasa dan sabtu sian di TBRS.
You're always welcome deh pokoknya!"
Dhinar masih mengerjap-ngerjap kebingungan. Sejak kapan ada perkumpulan pencinta anime
dan manga di Semarang ya" Aku kok baru tahu.
"Ah!" tiba-tiba berteriak- anak ini sepertinya memang senang teriak-teriak- lalu membuka
tasnya, merogoh-rogoh dan mengeluarkan proposal bertuliskan PARTY PAKE J dengan huruf
besar-besar di sampul depanya.
"Apa itu?" tanya Desy dan Dhinar hampir bersamaan.
"Ini proposal buat cari sponsor," jelas Dinar. "Mau kuajuin ke tempat kursus ini."
"Kalau itu aku juga tahu" sahut Dhinar ketus.
"maksudku acaranya, dodol."
Dinar sama sekali tidak tersinggung dikata-katai ketus seperti itu, dia malah dengan senang hati
menjelaskan, "Ini acara perdana Genki Ji."
"Genki Ji" Oh, perkumpulan pencinta anime dang manga itu ya?"
Dinar mengangguk. "Kami mau buat acara sekaligus memperingati ultah Genki Ji yang
pertama," lanjut Dinar. "acaranya sih sederhana, cuma nampilin band-band yang nyanyiin lagu
Jepang terutama soundtrack anime."
"Oooh," Dhinar manggut-manggut. "Yakin sukses?"
Dinar agak terkejut ditanya seperti itu, lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu."
"Menurutmu, tiketnya bakal terjual habis?" tanya Dhinar lagi, yang juga dijawab dengan angkat
bahu. "Nggak tahu juga."
"Kalau dana yang ditargetkan nggak terpenuhi gimana?" Dhinar masih membrondong dengan
pertanyaan. Menurutnya sangat tidak masuk akal sebuag perkumpulan kecil yang baru saja
berdiri tiba-tiba membuat acara. Perusahaan mana yang mau percaya dan bersedia menjadi
sponsor" Bisa-bisa malah tekor dan akhirnya anggotanya sendiri yang harus patungan bayar buat
biaya. Dhinar benar-benar tak habis pikir.
"Hmm," Dinar berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Entah," katanya kemudian."itu dipikirkan nanti aja. Kalau toh rugi paling-paling juga patungan.
Hehehe." Dhinar melongo. "Kamu gila ya" Bikin acara yang nggak jelas untung-ruginya dan asal main
bikin gitu aja." Anehnya, mendengar kata-kata Dhinar yang lumayan tajam itu, Dinar malah tersenyum. "Gila"
Mungkin. Kami memang sering dibilang gila kok. Paling sering sih dibilang kekanak-kanakan
gara-gara suka anime dan baca komik. Acara ini mungkin bakal rugi dan sangat mungkin kami
bakal nyesel setelahnya. Tapi..," lanjutnya, "kami pasti akan lebih nyesel lagi kalau nggak
melakukannya. Kami melakukan hal yang kami sukai dan itu sudah cukup. Kami menikmati
setiap detik yang kami lakukan demi acara ini, suka maupun dukanya, dan kelak kami akan
mengenangnya. Mengenang sambil tersenyum bahwa kami pernah melakukan sesuatu untuk
memberi makna hidup kami yang sebenarnya"
Dhinar tertegun. Lalu Dinar nyengir. "Hehehe. Nggak nyangka deh, aku bisa ngomong kayak gitu. Kalau Sapu
denger, kakinya bisa di atas tuh."
"Sapu?" tanya Desy.
"Cowokku," jawab Dinar bangga. "Lain kali kukenalin sama kalian deh."
"Kimitachi-kalian!" tiba-tiba seseorang berseru pada mereka. Ketika Dinar menoleh ke arah
suara yang memanggil meraka, ternyata Pa Inos.
"Hairimashou-ayo masuk," kata Pak Inos sambil menunjuk ruang kosong dibelakangnya. Desy
dan Dinar mengangguk, begitu juga Pippo.
Dhinar masih tertegun, kepalanya dipenuhi kata-kata Dinar hingga Dinar menepuk bahunya dan
mengembalikan kesadarannya.
"Ardhi-kun to Arief-kun wa doko-- Ardhi dan Arief mana?" tanya Pak Inos sambil menutup
pintu setelah semua orang sudah masuk.
"Sugu tsukimasu sensei- sebentar lagi sampai, Pak Guru!" jawab Dinar.
Pak Inos manggut-manggut. "So ka- oh begitu?"
ketika Pak Inos hendak memulai pelajaran, terdengar suara pintu diketuk. Kemudian dari balik
pintu itu muncul dua makhluk yang begitu masuk langsung serempak berteriak, "SHITSUREI
SHIMASU- PERMISI!" *** Malamnya, ketika Dhinar sedang membaca pelajaran untuk besok, pintu kamarnya diketuk.
"Masuk," jawabnya.
Setelah pintu dibuka seorang wanita berusia sekitar pertengahan 20-an, bertumbuh agak pendek
dan berkulit gelap, masuk membawa segelas susus dan sepiring kue.
"Mbak Von!" pekik Dhinar yang langsung menutup buku yang sedang dibacanya, "Kapan
balik?" Mbak Von tersenyum. "Tadi sore, Non, kata Nyonya Non lagi kursus."
"Waktu aku pulang kok nggak kelihatan?"
"Wah ndak tahu ya, Non, kan Non Dhinar langsung ke kamar," jawabnya, "Ini ditaruh dimana
Non?" "Ah di situ saja." Dhinar menunjuk tempat tidurnya.
Mbak Von mengangguk lalu meletakan nampan yang dibawanya ke atas tempat tidur.
"Gimana kabar ibu Mbak Von?" tanya Dhinar.
"Alhamdulilah bai-baik saja, Non," jawab Mbak Von, lalu duduk di lantai.
"Pesta pernikahannya seru?"
Mbak Von tertawa. "Non ini ngenyek ya" Kami ini orang nggak punya, jadi mana ada pestapestaan. Apa lagi ini pernikahan kedua Ibu setelah dengan almarhum Bapak,"
"Mbak Von nggak apa-apa?" tanya Dhinar sambil mengerutkan kening.
"Maksud, Non?" Mba Von balik betanya dengan bingung.
"Gini, kalau aku nih nggak bakalan rela Mama kawin lagi," jelasnya. "Walaupun seumpama- dan
semoga nggak terjadi -papa meninggal. Aku nggak bakal rela ada yang ngegantiin posisi Papa.
Mbak Von nggak ngaresa kayak gitu" Lagi pula pasti bakalan ada yang berubah, kan" Nggak
akan ada yang sama lagi."
Mbak Von terdiam sejenak lalu tersenyum. "Kalau saya seperti itu beraryi saya ndak sayang
sama Ibu, berarti saya ndak mikir perasaan Ibu, Ibu berhak punay kebahagiannya sendiri. Kan
selama ini Ibu kayaknya hidup untuk kami-saya dan Bapak," lanjutnya dengam logat medok.
"Bagi bapak, Ibu adalah istri. Bagi saya Ibu adalah Ibu. Ibu belum pernah hidup buat dirinya
sendiri. Jadi pas Ibu bilang mau menikah lagi, saya pikir mungkin ini satu-satunya keputusan
She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang Ibu buat dirinya sendiri. Jadi saya ndak berhak nolak dan nyegah Ibu buat bahagia. Iya
ndak Non?" Dhinar tertegun, tak menyangka pembantunya yang selama ini di anggap bodoh, atau setidaknya
kepandaiannya jauuuh di bawah dia, bisa memberi jawaban yang begitu dalam dan masuk akal.
"Waktu sudah resmi menikah, saya lihat Ibu bahagia banget lho, Non," tambah Mbak Von.
Matanya berbinar-binar."Mungkin memang kayak gitu ya kalau orang mendapatkan yang
mereka inginkan dan melakukuan yang memang pengin dilakukan. Kalau kita aja pengin
bahagia, kenapa kita harus mencegah orang yang mau bahagia, ya toh Non?"
Tidak ada kesan menggurui dalam kata-kata Mbak Von. Semuanya murni keluar spontan dari
mulutnya. Semua itu jelas tidak dapatkan dari buku, namun berkat pengalaman hidupnya sendiri.
Dhinar merasa dirinya seperti habis disetrum electric stunner. Hari ini bertubi-tubi dia diberitahu
tentang cara menikmati hidup dari orang yang berbeda-beda. Denga cara maupun pemikiran
yang berbeda, walaupun pada akhirnya semua bermuara pada satu kesimpulan : Jika ingin
menikmati hidup, jangan takut mengambil risiko. Bagaimanapun hidup ini memang penuh
kejutan dan entakan. BAB 17 "Halo?" jawab Dinar dengan suara serak.
"Le, ini aku!" "Ya ampun, Yi! Ini jam satu pagi! Dasar dogol!"
"Aku nggak bisa tidur mikirin acara kita."
"Itu kan urusanmu!" dengus Dinar kesal.
"Nggak bisa! Itu urusanmu juga!" bantah Ayi. "Kamu yang nunjuk aku jadi ketua, jadi kamu
mesti merasakan penderitaan yang sama denganku."
dhinar menghela napas. Dengan mata yang masih setengah terbuka akhirnya dia mengalah. "
iya.. Iya, ini salahku juga. Terus masalahnya apa?"
"Aku nggak bisa tidur"
"Itu aku juga tahu!" gerutu Dinar. "Kalau nggak, ngapain kamu telepon jam segini! Maksudku,
masalah yang bikin kamu nggak bisa tidur tuh apa?"
"Oooh.." ya ampun! Kadang-kadang- sering, malah - Ayi tuh lemot banget.
"Gini, Le," Ayi mulai menjelaskan. "Masih belum ada yang mau kasih dana. Gimana nih"
Padahal kan harus bayar uang muka buat peralatan dan gedung."
Dinar mendengarkan sambil sesekali menguap.
"Kenapa kamu nggak minata bantuan bokapmu aja?" usul Dinar.
"Maksudnya?" "Aduh, anak ini gimana sih" Masa nggak nyadar punya bokap ngetop gitu," jelas Dinar. Bapak
Ayi memang ngetop, mengingat dia menjabat salah satu posisi penting di DPRD Tingkat 1 Jawa
Tengah. "Bokapmu pasti punya banyak relasi or koneksi or apalah itu," lanjut Dinar. "Kamu
minta rekomendasi dari dia,terus kamu suruh novi bikin proposal lagi, tapi kali ini proposal
untuk donatur, bukan sponsor. Dan kamu cantumin nama bokapmu di sana sebagai pelindung
atau pembina." "KKN dong!" protes Ayi.
Dinar mengucek-ucek matanya. "Memang, tapo masuk akal, kan?"
Jeda sejenak sebelum Ayi berkata, "Iaya juga ya. Buat apa punya bokap ngetop kalo nggak
dimanfaatin" Kenapa aku nggak kepikiran sampai situ ya?"
"Auk." "Iya deh!" seru Ayi. "Gitu aja. Thanks ya, Le! Kayaknya habis ini aku bisa tidur nyenyak!"
Dinar tidak menjawab dan hanya tersenyum kecut. Setelah telepon ditutup, dia mencoba
memejamkan mata lagi, tapi ditunggu selama apa pun dia tidak juga terlelap. Sekarang gantian
dia yang nggak bisa tidur.
Padahal waktu sudah menunjukan jam setengah dua pagi."
AYII SIALAAAN!!! umpatnya dalam hati.
*** Keesokan paginya wajah Dinar benar-benar awut-awutan dengan kantong tebal menggangtung di
bawah kedua matanya. "Kamu kenapa?" tanya Sapu heran sembari menyodorkan helm pada Dinar.
"Gara-gara Ayi! Si dogol itu nelpon aku jam satu pagi," jawab Dinar kesal.
Sapu tersenyum kecil. "Oh ya, hari ini Kak Tony pulang, kan?"
Dinar tertegun. "Oh iya ya. Pantesan tadi pagi Ibu kok kelihatan ceria banget.
"Kira-kira jam berapa dia pulang?"
Dinar mengangkat bahu sambil naik ke motor Sapu.
"Auk. Mungkin siang waktu kita sekolah."
"Kamu nggak kangen, Din?" tanya Sapu.
"Pasti dong!" jawab Dinar tegas. "Jelek-jelek dia kan masih kakak kandungku."
"Tapi kakyaknya kamu kok dingin-dingi aja." tuduh Sapu.
"Karena aku sudah bisa bayangin apa kata Ibu begitu Kak Tony pulang," keluh Dinar.
"Ibu pasti ngebanding-bandingin kami lagi sampe aku muak dan berharap Kak Tony nggak usah
sering-sering pulang ke Semarang lagi."
"Namanya juga calon dokter dan calon nggak jelas." celetuk Sapu.
"Makasih pujiannya," sahut Dinar sambil cemberut.
Dia menepuk punggung Sapu. "Oii!!! Kapan nih berangkatnya?"
"Iya, iya, sabar dikit kenapa sih?" Sapu mulai menyalakan mesin motornya. Tidak sampai
semenit, mereka sudah bergerak menjauhi rumah Dinar menuju sekolah.
*** Setelah Sapu pergi, Dinar membuka pagar rumahnya ogah-ogahan. Dia yakin saat ini kakaknya
sudah berada di dalam rumah dan begitu membuka pintu, pasti langsung disembur kata-kata Ibu
yang membandingkan kakaknya dengan dirinya.
Dinar membuka pintu rumahnya pelan-pelan lalu berjalan gontai ke dalam. Ketika dia menutup
pinti, dia menyadari ada yang aneh di dalam rumahnua. Sepi, tidak seperti setiap kali kakaknya
pulang. Biasanya Ibu langsung berteriak begitu melihatnya dan langsung mengeluarkan kata-kata
pujian untuk Kak Tony keras-keras supaya dia mendengarnya.
Atau jangan-jangan Kak Tony belum datang"
Dinar berjalan ke ruang keluarga dengan waspada, mencari-cari sosok kakak yang diingatnya
setahun yang lalu : rapi, berambut pendek, berkulit putih, berkacamata dan tampan. Tapi dia
tidak menemukannya di ruang keluarga. Alih-alaih dia malah menangka sosok yang sangat asing
sedang duduk di ruangan itu sambil membaca koran.
Cowok itu seumuran kakaknya atau mungkin lebih tua. Rambutnya gondrong sebahu,
berkacamata, badanya kurus dan kulit gelap karena terbakar matahari, bajunya belel dan kusam.
Seperti stereotip mahasiswa jurusan seni, begitu anggapan Dinar.
Ngapai ada gembel masuk ke rumah" Pikir Dinar.
Menyadari kehadiran Dinar, cowok itu langsung meletakan korannya dan berjalan
menghampirinya sambil berseru senang, "DINAAAR!"
"Eh" A... anu.." belum sempat Dinat mengucapkan apa pun saking bingungnya, tiba-tiba da
sudah dipeluk sangat erat oleh cowok itu.
"Kangeeen!" kata cowok itu sampil
"Kangeeen!" kata cowok itu sambil mempererat pelukannya sampai Dinar hampir kehabisan
napas. Apa-apaa sih cowok ini! Baru ketemu udah main peluk-peluk! Ngomong kangen pula!
"Lepaskan!" teriak Dinar sambil mendorong cowok itu keras-keras untuk melepaskan diri dari
pelukannya. "Mana Ibu?" tanyanya galak dengan tatapan waspada, takut jangan-jangan cowok di
depannya ini perampok, atau bahkan mungkin pembunuh.
Seketika wajah cowok itu berubah muram. "Ibu di kamar. Ayah juga mungkin sebentar lagi
pulang," tambahnya. Dhinar membelalakan mata. Ayah" Ibu" Berani-beraninya dia ngomong seperti itu dengan nada
sok akrab! Jangan- jangan... Dhinar mengamati cowok gembel di depannya dengan seksama. Dia terkisap mendapati sosok
kakanya di balik penampilan yang sama sekali asing itu.
"Kak Tony?" tanyanya ragu-ragu.
Cowok di depannya mengangkat alis. "hah" Kamu baru nyadar?"
"Ha...habisnya, kenapa jadi begini?" Dinar mengamati kakaknya dri rambut ke ujung kaki.
"Kalau jadi doketr, apa pasiennya nggak bakal kabur semua?"
Kak Tony tersenyum geli. "Kalau jadi dokter kayak gini, boro-boro pasiennya kabur, dapet
pasien aja belum tentu. Dinar masih terperangah. "Wah! Rambutmu sekarang dicat kuning, ya?" kata Kak tony sambil mengacak-acak rambut
Dinar dengan sayang. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu depan di buka.
"Itu pasti Ayah," kata Kak Tony. Dinar bisa melihat jelas kakaknya itu menelan ludah.
Ayah memasuki ruang keluarga dengan tergesa-gesa dan begitu melihat Kak Tony, dia langsung
menjatuhkan tas yang dibawanya saking kagetnya.
"TONT!" teriaknya dengan suara menggelegar yang menggema hingga ke seluruh sudut
ruangan. Kak Tony terdiam membeku, begitu juga Dinar yang masih tidak mengerti apa sebenarnya yang
sedang terjadi. Selama beberapa saat suasana hening, hingga kemudian terdengar suara Ibu. "Ayah," kata Ibu
serak sambil berjalan menghampiri ayah. Kedua matanya sembap bekas nangis.
Dinar bertambah bingung. Kakaknya berubah penampian seperti itu, Ayah pulang lebih cepet
daripada biasanya, dan Ibu menangis. SEBENARNYA APA YANG SEDANG TERJADI"!
"Kenapa, Tony?" tanya Ayah menuntut penjelasan.
"Kenapa kamu keluar dari kuliah kedokteran?"
Dinar terbelalak. Kaget sampai tak sadar mulutnya mangap. Dia menoleh ke Kakaknya, menatap
untuk juga menuntut penjelasan. Kak Tony nggak kuliah di kedokteran lagi" Kenapa"
Kak Tony hanya balas memandangnya dan tersnyum.
"Kenapa kamu malah pindah ke jurusan seni?" tanya Ayah lagi.
Dinar tambah kaget dan mulutnya tambah mangap seolah-olah sebentar lagi rahangnya bakal
jatuh. Kakak masuk jurusan SENI" Dari kedokteran pindah ke seni?""
GILA! Pasti terlalu lama praktikum di rumah sakit cukup untuk membuatnya jadi sakit! Jadi
sinting! "Ini pasti gara-gara Dinar!" Ibu tiba-tiba berteriak dengan nada menuduh. "Pasti kamu yang
memberi pengaruh buruk pada kakakmu!"
Dinar mudur beberapa langkah. Tidak menyangka dia akan di tuduh seperti itu oleh Ibunya
sendiri. Rasanya dia benar-benar ingin menangis diperlakukan seperti itu.
"Benar, Dinar yang mempengaruhiku," kata Kak Tony dengan nada setenang mungkin. Dinar
menatapnya tak percaya, tega-teganya kakaknya berbuat seperti itu terhadapnya. Ikut-ikutan
menuduh dia sebagai biang kerok atas semua masalah ini.
"Karena Dinar-lah aku jadi bisa merasa bahagia, Bu," lanjut Kak tony. Ayah, Ibu dan Dinar
seketika membatu seakan-akan baru diberitahu Kak Tony sebenarnya manusia dari pluto.
"Aku...," jeda sejenak, "sudah lama ingin masuk jurusan seni."
semuanya terdiam. "Aku masuk kedokteran hanya demi menyenangkan hati Ayah dan Ibu," dia melanjutkan
perkataanya dengan suara sedikit gemetar. "Tapi ternyata kedokteran sangat berat buatku hingga
aku hampir gila kareana depresi. Aku memang sengaja tidak memberitahu kalian tentang hal ini
karena takut membuat kalian khawatir. Tapi sungguh, saat itu bahkan aku sempat berpikir untuk
bunuh diri. Aku stres!"
Ibu menggigit bibir bawahnya, tidak bisa membayangkan penderitaan yang dialam anak
kesayangannya itu. "Kemudia pada saat-saat titik balik dalam hidupku itu, aku teringat Dinar." Kak Tony menoleh
ke arah Dinar dan menatapnya penuh rasa terima kasih. "Aku membayangkan bagaimana dia
hidup selama ini dengan bahagia, melakukan apa yang dia sukai, menjadi dirinya sendiri
walaupun banyak orang menentangnya. Begitulah seharusnya hidup itu dijalani."
"Akhirnya..." Kak tony menghela napas, "aku memutuskan keluar dari kedokteran dan masuk
jurusan seni. Jurusan itulah minatku yang sesungguhnya. Dan Ayah, Ibu, aku merasa benar-benar
bahagia. Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya."
Dinar tercengang tak menyangka dia bisa memberi pengaruh sebesar itu.
"Benarkah?" tanya Ibu sambil berjalan menghampiri Kak Tony. "Benarkah kau bahagia?"
Kak Tony mengangguk yakin. Ibu membelai pipi Kak Tony lalu berkata lirih, "Maafkan kami
telah memaksamu hingga seperti itu. Ibu tidak tahu kamu sangat menderita karenanya."
Ayah mengangguk seperti mengamini kata-kata Ibu.
Kak Tony menggelen lalu memegang tangan Ibu yang menempelkannya di pipinya dan
menciumnya. "Bukan salah siapa-siapa, Bu, aku yang milih seperti itu. Tapi sekarang sudah berlalu. Aku
bahagia dengan keputusan yang kuambil. Maaf, aku tidak bisa lagi menjadi anak Ibu yang bisa
dibanggakan." Ibu menggeleng, air mata keluar dari sudut-sudut matanya. "Kau salah. Sampaik kapanpun Ibu
selalu dan akan selalu bangga padamu dan apa pun yang kaulakukan, karena kau anak Ibu."
Mata Kak Tony berkaca-kaca lalu memeluk Ibu dengan erat.
"Ibu," katanya pelan. "Kalau Ibu bangga padaku, berarti Ibu juga harus bangga pada Dinar."
Ibunya tertegun. "Karena dialah yang menginspirasiku," lanjut Kak Tony. "Dan aku yakin, dia juga telah
menginspirasi banyak orang dan membantu mereka menjalani hidup dengan bahagia. Seharusnya
Ibu lebih bangga padanya daripada aku."
Ibu terdiam, menelan ludah, lalu mengangguk.
"Kamu benar," kata Ibu sambil melepaskan pelukan Kak Tony.
Dia berjalan menghampiri Dinar dengan sinar mata yang dipenuhi perasaan bersalah. Dinar
merasa kakinya lemas, ulu hatinya sakit. Dan saat dia hampir roboh, Ibunya memeluknya.
Seketika air mata Dinar tumpah, tangisnya meledak.
"Maafkan Ibu selama ini ya, Din," kata Ibu sambil terisak. "Ibu telah bersikap tidak adil padamu
dengan selalu membanding-bandingkanmu dengan kakakmu. Ibu telah menutup mata akan
semua kelebihanmu. Ibu lupa semua orang diberi kelebihan dan kekurangannya masing-masing
dan Ibu tidak bisa seenaknya memaksa anak-anak Ibu menjadi orang yang Ibu inginkan dengan
membuat mereka membohongi diri mereka sendiri.
Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu... Kamu mau memaafkan Ibu?"
Dinar hanya mengangguk, tenggorokannya tercekat. Dia menagis sejadi-jadinya, tapi kali ini
tangis bahagia. Sangat bahagia malah, karena akhirnya Ibu mau mengakuinya. Ayah yang dari
tadi diam ikut memeluk Dinar.
"Sudah... sudah... setelah ini segalanya akan menjadi lebih baik." kata Ayah yang lebih terdengar
seperyi janji. Dinar mengangguk, begitu juga kak Tony yang kemudian juga ikut memeluk Dinar
dan Ibu. Mereka pun akhirnya berpelukan. Cukup lama hingga seluruh penyesalan yang pernah
ada menghilang dari benak masing-masing.
*** Tok! Tok! Tok! "Masuk," jawab Kak Tony dari dalam kamar.
Dinar membuka pintu dan berjalan masuk.
"Ada apa, Din?" tanya Kak Tony. "Duduk aja di situ." dia menunjuk tempat tidurnya. Setelah
Dinar duduk, dia beranjak dan duduk di samping Dinar.
"Ada apa?" ulang Kak Tony.
Dinar menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Emang nggak boleh ya main ke kamar Kakak?"
Kak Tony tersenyum sambil mengacak-acak rambut Dinar. "Tentu aja boleh, kenapa" Kangen
ya?" Dinar hanya diam walaupun harus mengakui dia memang kangen berat pada Kakak cowok satusatunya itu.
"Katanya perkumpulanmu mau bikin acar musik ya?" tanya Kak Tony. Dinar tercengang.
"Dari mana Kakak tahu?" tanya Dinar heran.
"Dari cowokmu," jawabnya, lagi-lagi tersenyum.
Dinar mengernyitkan dahi. "Sapu?"
Kak Tony mengangguk. "Iya, Erwan, eh Sapu atau siapalah panggilannya itu.
"Ba... bagaimana..."
"Kami sering kirim-kiriman eKmail, " potong kak Tony.
"Dari dialah kakak tahu semuanya tentang rumah ini, dan terutama tentang kamu."
Dinar tertegun, atau lebih tepatnya melongo.
"Aku tahu kehidupanmu. Apa yang telah, sedang dan akan kaulakukan dari dia.
"Sebenarnya dialah yang membntu kakak ketika kakak mengalami depresi. Dialah yang
mengatakan: 'kenapa tidak hidup seperti Dinar saja"' dia yang membuka mata kakak dan
menyadarkan kakak betapa hebatnya dirimu."
"Kok Sapu nggak pernah cerita ke aku?" ujar Dinar merasa dibohongi.
"Kakak yang memintanya," jelas Kak Tony. "Seperti yang kubilang, agar kalian tidak khawatir."
Kak tony tiba-tiba melingkarkan tangannya ke pundak Dinar lalu memeluknya. "Sungghuh,
Din," tambahnya, "Aku berterimakasih pada kalian berdua."
Dinar hanya terdiam, masih membeku setelah mendengar penjelasan Kak Tony.
"Apakah aku," kata Kak Tony pelan, "Pernah bilang kalau aku sangat bangga memiliki adik
sepertimu?" Seketika Dinar merasa air mata mengalir dari kedua matanya. Dinar menangis. Seumur hidup
belum pernah dia merasakan hari yang penuh kebahagiaan sperti hari ini. Hari saat seluruh
keluarganya satu per satu mulai mengakuinya.
"Belum," kata Dinar lirih samb
il mempererat pelukannya pada kakaknya itu.
Kak Tony tersenum lalu berkata, "Aku sangat bangga padamu... adikku."
Air mata Dinar tumpah, dia menangis sesenggukan.
Di kamar bercat biru dengan lampu agak redup itu selama beberapa saat mereka berpelukan
dalam diam. Yang terdengar hanya suara detak jam dan isak tangis Dinar.
"Kak Tony," kata Dinar sambil melepaskan pelukannya.
"Hmm?" "Aku liat sepertinya Kakak sering tersenyum, beda sekali dengan dulu,"
Kak Tony tersenyum lagi. "Karena aku bahagia," katanya sambil mengacak-acak rambut Dinar
dengan satang. Dinar mengangguk dan tersenyum.
"syukurlah." *** Sapu menghentikan sepeda motornya di depan rumah Dinar dengan tergesa-gesa. Baru saja
Dinar telepon dan minta dia segara datang ke rumahnnya. Dari suaranya Sapu tahu ceweknya itu
habis menangis, makanya dia khawatir dan berusaha secepet kilat pergi ke rumah Dinar.
She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat pada saat Sapu mematikan mesin sepeda motornya, Dinar menghambur keluar dari pintu
rumahnya dan berlari menuju pagar. Mungkin dia memang sudah menunggu Sapu dari ruang
tamu dan langsung mengetahui kedatangannya dari mesin sepeda motor Sapu.
"A... ada apa" Kam.."
Belum sempat Sapu menyelesaikan kalimatnya, Dinar sudah memeluknya erat.
"Kamu kenapa?" tanya Sapu khawatir sambil mengelus-elus rambut Dinar.
Dinar menggeleng. "Nggak apa-apa," katanya dengan suara bergetar. "Aku sudah dengar dari
Kakak, tentang semua e-mail-mu."
Sapu tertegun dan membeku, membayangkan apa yang baru saja terjadi. Lama dia membisu
dalam pelukan Dinar sebelum akhirnya dia membuka suara. "Aku," katanya, "hanya melakukan
apa yang harus dilakukan."
Dinar tersenyum. "Terima kasih." Lalu mempererat pelukannya pada Sapu.
Sapu pun tersenyum dan membalas pelukan Dinar.
"Sama-sama." Saat Dinar merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena memiliki keluarga yang
sekarang dan terutama karena memiliki Sapu.
BAB 18 "Non, ada tamu!" seru Mbak Von dari bawah.
"Iya, Mbak!" jawab Dhinar. Siapa sih malam-malam begini" Dia menutup buku yang sedang
dibacanya lalu turun. Begitu keluar, di teras dia meliha Flemming.
"Sori ganggu," kata Flemming sambil nyengir.
"Tau diri juga sampai minta maaf segala," sahut Dhinar ketus.
"Soalnya orang yang gue ajak ngomong juga tau diri sih," jawab Flemming dengan senyum
nakal sambil melambaik-lambaikan kertas yang berisi permintaan maaf Dhinar yang dia selipkan
bersamaan dengan konsep proposal untuk Flemming.
"Kamu..." Dhinar tidak meneruskan ucapannya, mukanya langsung merah padam karena malu.
Dia mengutuk dirinya sendiri kenapa waktu itu tiba-tiba dia merasa harus menulis permintaan
maaf. Padahal kata-kata Flemming juga nggak kalah menyakiti hatinya, walaupun memang lebih
banyak kebenaran dalam kata-kata cowok itu. Dhinar menghela napas untuk mengendalikan diri.
Tidak lama kemudian air mukanya kembali seperti semula, kaku dan dingin. "Ngapain kamu ke
sini?" tanya ketus Flemming sampai heran bagaimana cewek di depannya itu bisa mengendalikan diri dan kembali
bersikap seperti biasa begitu cepat.
"Kalau nggak ada keperluan penting, aku kembali ke dalam," tambah Dhinar dingin. "Terserah
kalau kamu mau duduk disini samapai lumutan."
"Ya ampun kamu tuh dingin banget sih," komentar Flemming. "Dimana-mana juga yang
biasanya cool tuh cowok bukan cewek."
"Kamu kebanyakan nonton film apa baca novel?" balas Dhinar. "Di dunia nyata kita berada di
level yang sama." Flemming menyerah "iya deh, iya. Gue ada keperluan penting tentang ini." Dia menunjuk kertaskertas yang tergeletak di meja. Dhinar mengenali kertas-kertas itu- konsep proposal pensi yang
dia tulis. "Ada masalah apa dengan itu?" tanyanya.
"Kalau mau nolongi jangan setenga-setengah," Flemming mengulang kata-kata yang dulu pernah
dia ucapkan. "Kalau cuma coret-coretan sperti ini gue mana ngerti. Entar kalau menghadap
kepsek gue gelagapa, gimana coba?"
"Bukan urusanku," sahut Dhinar. "Bukannya aku sudah tulis dikertas bahwa aku cuma bisa bikin
konsep" Sisanya kamu usahain sendiri. Lagi pula," tambahnya, "aku nggak yakin Pak Kepala
sekolah bakal ngabulin rencanamu ini."
Air muka Flemming tiba-tiba berubah. Dhinar samapai menelan ludah, takut Flemming bakal
meledak lagi. Tapi ternyata Flemming hanya berkata. "Kita liat saja nanti." Dari sorot matanya,
Dhinar tahu Flemming sangat serius dengan ucapannya.
Dhinar mendesah, entah kenapa dia merasa kalah menghadapi Flemming yang sedang serius.
Akhirnya dia duduk di kursi di seblah Flemming.
"Terus, apa lagi yang bisa kubantu?" tanyanya dengan nada ogah-ogahan.
Flemming tersenyum penuh kemenangan.
BAB 19 PERSIAPAN acara Party Pake J sudah hampir 70%. Maklum, acaranya tinggal 2 minggu lagi,
bertetapan dengan ulang tahun Genki Ji yang pertama. Dana yg terkumpul sudah lumayan
memenuhi target. Sponsornya cuma satu, yaitu kursus Dinar, itu cuma beberatus ribu rupiah,
hanya sepersepuluh dari dana yg dibutuhkan. Tp jumlah donaturnya... jangan ditanya. Sesuai
usul Dinar, ayah Ayi memberi rekomendasi orang2 yg bisa dimintai bantuan, dan ketika orang2
tersebut didatangi, meraka dengan sukarela, atau bisa jadi terpaksa karena takut pada ayah Ayi,
memberi donasi yg jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya masalah dana pun seleai.
"Persiapan sound siystemnya gimana?" tanya Ayi pada Ardhi, seksi perlengkapan.
"Beres," jawab Ardhi sambil mengacungkan jempolnya. "Udah bayar uang muka, tinggal bayar
sisanya setelah pertunjukan."
Ayi mengangguk-angguk lalu menoleh ke arah Kiki sebagai seksi acara. "Band-band pengisi
acaranya gimana?" "Tinggal du band yang belum kukonfirmasi ulang." jawab Kiki.
"Berarti semua sudah beres." Ayi tersenyum senang.
"Yg lain gimana" Gedung?"
"Udah fix," jawab Resya, seksi peralatan.
"Poster?" "Sudah selesai dicetak, tinggal ditempel" jawab Sapu sebagai seksi humpubdoktik alias humas,
publikasi, dokumentasi, dan tiket (saking nggak ada orang lagi).
"Publikasi?" "Sudah dimulai lewat radio" jawab Sapu lagi.
"Tiket?" Lagi-lagi Sapu menjawab, "Ticket box mulai buka besok di stasiun2 radio yg mau kerja sama
dengan kita dan tempat kursus yg jadi sponsor kita. Dan tentu saja lewat anggota kita sendiri,"
tambahnya. "Dokumentasi?" "Aku sudah pinjem handycam dari Flo dan kamera digitalnya Resya. Itu yg resmi, yg lain bisa
pakai kamera HP atau apa."
Ayi terdiam, begitu juga semua orang yg ikut rapat.
Perlahan-lahan air muka mereka berubah menjadi cerah seperti melihat oasis di padang pasir.
"Berarti kita sudah siap?" seru Dinar mewakili perasaan teman-temannya.
Semua serempak mengangguk mengiyakan.
"padahal tadinya kukira mengadakan acara ini
"padahal tadinya kukira mengadakan acara ini mustahil terwujud," kata Dinar terharu.
Ayi tersenyum. "Baiklah," dia membusungkan dada, "muali sekarang, mari kita bersama-sama
menyukseskan acara yang semula dianggap mustahil ini. LET'S MAKE THE IMPOSSIBLE
POSSIBLE!" Kontan semua serempak berseru, "YAAA!"
BAB 20 "Eh, udah baca Monster-nya Naoki Urusawa?" tanya Dinar sebelum kursus dimulai.
Dhinar mengangguk. "Bego aja kalau belum baca."
"He-eh," Dinar mengangguk bersemangat. "Naoki Urusawa memang paling jago bikin komik,
semua komiknya keren-keren. Dulu baca Master Keaton, nggak?"
"Baca," jawab Dhinar singkat. Dia tertegun sejenak.
Sepertinya aku pernah mengalami percakapan seperti ini. Kapan ya"
"Kalau baca Master Keaton, pendirianku jadi goyah," kata Dinar.
"Maksudnya?" "Selam ini aku kan pengiin banget ke Jepang," jelas Dinar. "Sudah sejak kecil lho! Tapi setelah
baca Master Keaton, aku juga pengin jalan-jalan ke Eropa. Hehehe."
"Jadi kamu ambil kursus ini buat persiapan kalau saat pergi ke Jepang?"
Dinar menggeleng. "Bukan, aku ikut kursus ini karena kepingin aja. Aku senang dengan segala
hal yang berbau Jepang, itulah sebabnya aku juga tertarik menguasai bahasanya. Kalau akhirnya
berguna ya syukur, tapi kalau nggak ya nggak apa-apa. Nggak ada paksaan atau beban apa pun,"
lanjutnya. "Aku melakukannya buka kerena harus tetapi karena suka,"
Dhinar tertegun, menyadari mereka berdua sangat berbeda, mengingat dia selalu menghitung
untung-rugi semua hal dan betapa takutnya dirinya mengambil resiko. Perbedaan mereka tidak
terbatas pada satu huruf yang membedakan nama mereka saja, tetapi mereka berdua sangat
berbeda. "Kalu kamu?" Dinar balik bertanya.
"Aku...," jeda sejenak. "Persiapan untuk beasiswa ke Jepang."
Setelah itu hening sejenak, sepertinya Dinar sedang mencerna kata-kata yang baru saja
didengarnya antara percaya atau tidak percaya. "HAH?"?" serunya akhirnya.
"Kamu mau ke Jepang"!!" serunya akhirnya.
"Kamu mau ke Jepang"!!!" teriaknya. "Maji-serius?""!!!"
"Psst... jangan keras-keras kenapa sih?" pinta Dhinar sembil memerhatikan sekeliling. Untung
hanya ada mereka berdua, sementara Mbak Endang mendengarkan walkman.
"Belum pasti sih, " jelas Dhinar. "Aku memang ditawari, ini untuk persiapan aja kok."
Dinar masih melongo. "Tapi tetep saja kamu tinggal beberapa langkah buat ke sana, ya kan" Ya,
kan" Ya, kan?" katanya setelah berhasil mengendalikan diri dengan mata berbinar-binar.
"Kok malah kam yg bersemangat sih?" tanya Dhinar heran.
"Habisnya! Habisnya! Habisnya!" seru Dinar girang.
"Aku pengin banget ke sana! Dan sekarang ada temenku yang mau ke sana! Ya so pasti
senenglah, kam seperti diwakili gitu,"
Dhinar tertegun. Teman"
"Eh, kalau sudah sampai ke sana jangan lupa kirim e-mail ya!" seru Dinar, masih dengan
semangat menggebu-gebu. "Terus ceritain di sana tuh kayak apa, makanan yang enak apa, terus
kalau pulang jangan lupa bawa oleh2 khas Jepang, terus..."
"Hoi, hoi," potong Dhinaar. "Aku belum ke sana."
"Hehehe. Iya ding." Dinar memukul keningnya sendiri. "Oh ya!" katanya lagi dengan mata yg
masih memancarkan sinar yg sama. "Ke Genki Ji yuk, ntar kukenalin ke temen-temenku! Mereka
asyik2 kok. Nggak usah takut, mereka nggak gigit! Ya" Ya?"
"A..." Dhinar bingung menanggapinya.
"Setipe kayak Ardhi dan Arief, gitu. Kan dua makhluk konyol itu anggota Genki Ji juga!
"A..." "Belum pernah ke perkumpulan pencinta anime dan manga, kan?"
"A..." "Makanya dateng!" desak Dinar. "Sebagai awalnya, nanti kukenalin sama salah satu anggotanya
dulu selain Ardhi sama Arief!"
"Aku..." Dhinar masih tidak bisa meneruskan ucapannya karena kata2 yg keluar dari mulut Dinar
tdk bisa dibendung bagaikan banjir bandang.
"Namanya Sapu, dia cowokku!"
"Aku..." "Anaknya memang agak pendiem, mirip sama kamu gitu kayaknya. Tp baik kok, bener deh!"
Tepat ketika Dhinar memutuskan untuk menghentikan ocehan cewek di sebelahnya itu, dua
orang yg tadi dibilang konyol oleh Dinar masuk.
"Haaaii, Ale-san! Dhinar-san! Genki desu ka-Baik baik saja?" seru mereka serempak sambil
nyengir. Akhirnya Dhinar memutuskan utk mengurungkan niatnya.
Hari itu Pak Inos memberi shiken alias ujian mendadak. Pak Inos memberi pertanyaan lisan
dalam bahasja Jepang dan harus dijawab begitu satu pertanyaan selesai diajukan.
Cuam sepuluh pertanyaan meamng, tapi susahnya amit-amit karena kemampuan mendengarkan,
memahami, dan menguasai kosakata bahasa Jepang diuji di situ.
Dhinar berhasil menjawab kesepuluh pertanyaan itu dengan kampeki atau sempurna. Dinar yang
seharusnya sudah level chukyuu malah salah satu. Desy dan Pippo salah dua. Ardhi dan Arief
juga dua... yang benar. *** "Dhinar-san! Dhinar-san! Sini! Sini!"
Dhinar menurut saja sewaktu tangannya ditarik begitu mereka keluar ruangan walaupun dia
berkali-kali hampir jatuh tersandung.
"Ada apa sih?" tanya Dhinar ketika mereka sudah berada di luar tempat kursus. Dia melihat
seorang cowok berperawakan kurus dengan rambut cepak alas Samuel Rizal berjalan
menghampiri mereka. "Kenalin, ini Sapu, cowokku." Dinar menggamit tangan cowok itu.
"Oooh.." Dhinar mengangguk-angguk sambil menjabat tangan cowok itu.
"Oh ya, tapi jangan-jangan sekali-kali manggil dia Sapu, ya," kata Dinar dengan nada sok
mengancam. "Cuma aku yang boleh panggil dia Sapu."
Cowok itu tersenyum. "Namku Erwan Saputra, panggil aja Erwan."
Erwan Saputra" Kayaknya pernah denger. Dari wajahnya sudah pasti nggak ada hubungannua
dengan Nicholas Saputra, tapi..
"Namaku Dhinar Kusumaatmadja, panggil aja Dhinar."
Lalu dia buru-buru menambahkan, "Dhinar pake H, D-H-I-N-A-R."
"Dhinar?" gumam Erwan sambil mengernyitkan dahi seperti sedang mencoba mengingat-ingat.
Dhinar juga mengamatinya dari atas ke bawah, dia tahu dia tidak pernah bertemu cowok itu
sebelumnya, tapi entah kenapa namanya sangat familier. Padahal Erwan Saputra jelas bukan
nama istimewa. Tiba-tiba seperti mendapatkan bisikan entah dari mana, kedua orang itu teringa dan membelalak
kaget. "Kamu kan!" seru mereka berbarengan, "Peraih NEM tertinggi se-Semarang tingkat.."
"SD." "SMP." Dhinar ingat sekarang, Erwan Saputra, nama yang terus diingat-ingatnya sampai sekarang karena
dia satu-satunya orang yang pernah berhasil mengalahkannya dalam satu-satunya bidang yang
bisa membuatnya bangga: pelajaran. Dan sepertinya Sapu pun melakukan hal yang sama.
"Oooh... jadi ini yang namanya Erwan Saputra?"
Dhinar menyipitkan mata sambil memandeng Erwan dingin.
"Begini ya ternyata bentuknya Dhinar Kusumaatmadja."
balas Erwan dengan pose hampir sama.
Dinar yang berada di tengah-tengah mereka bingung dan bertanya-tanya dalam hati apa yang
telah terjadi. Dia seakan-akan merasakam hawa dingin dari kedua belah pihak seakan-akan ada
dua musuh bebuyutan yang bertemu lagi. Bahkan Dinar berani bersumpah dia melihat percikanpercikan api ketika kedua orang di depannya itu bertatapan.
Setelah beberapa saat hanya saling pandang dan menatap remeh, Erwan mulai tersenyum. Begitu
juga Dhinr. Lalu tawa mereka pun meledak.
"Ada apa sih?" tanya Dinar bingung.
"Dhiinar ini peraih NEM tertinggi SMP se-semarang," jelas Erwan dengan tawa yang masih
tersisa. "Bukannya kamu?"
Erwan menggeleng. "Aku nomor dua."
"Dan Sapu, eh Erwan ini peraih NEM tertinggi SD se-Semarang," kata Dhinar. "Memaksaku
menjadi nomor dua. Ternyata," tambahnya. "Kami berdua sama-sama masih membawa dendam
itu sampai sekarang."
Erwan tertawa lagi. "Bayangi aja, itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu eh dia masih ingat
namaku. Aku juga begitu sih, hahaha."
Dhinar mengangguk-angguk setuju. "Padahal dulu aku sudah berniat balas dendam kalau suatu
saat ketemu sama yang namanya Erwan Saputra."
"Aku juga," sahut Erwan. "Boneka voodoo atad namamu pun masih ada di kamarku."
"Bohong!" Dhinar tertawa.
Erwan mengangguk sambil mengacungkan tanda V.
"Beneran, dan memang nyata karma itu ada."
"Maksudnya?" "Saking bencinya aku sama kamu, aku malah jadian sama orang yang namanya mirip kamu."
"Bohong banget!" sahut Dhinar.
"Emang," Erwan nyengir. "Orang aku kenal dia lebih dulu sebelum tahu kamu kok."
Mereka tertawa lagi. Dinar juga ikut tertawa meski sebenernya tidak tahu apa yang mesti
ditertawakan. Hanya saja dia akan merasa kikuk jika tidak melakukannya. Dinar mengamati dua
orang di depannya yang masih asyik berbicara. Baru kali ini dia melihat Dhinar bisa tertawa
lepas dan ngobrol dekat seakan-akan sudah kenal lama seperti itu, begitu juga Sapu.
Dinar kenal Sapu cukup lama hingga tahu karakter cowok itu. Baru kali ini pula Sapu terlihat
sangat senang mengobrol dengan seseorang seperti itu.
"Eh, kata Dinar, kamu suka anime dan manga juga ya" Datang aja kalau Genki Ji kumpul," ajak
Sapu. "Iya kan, Din?" Sapu menoleh ke arah Dinar.
"E... oh... iya, iya," Dinar tergagap, tersadar dari lamunannya.
"Sabtu ini jam dua di TBRS," kata Sapu.
Dhinar mengangguk senang.
"Ditunggu lho!" kata Sapu. "Yuk, Din, kita pulang."
Dinar cepat-cepat mengangguk lalu menoleh ke arah Dhinar.
"Kami pulang dulu ya," katanya agak kikuk.
"Oke," sahut Dhinar. "Hati-hati ya!"
Dinar bisa melihat kedua pipi Dhinar masih merona merah karena senang. Dia pun bertanyatanya dalam hati apakah memperkenalkan mereka berdua merupakan kesalahan. Tapi kemudian
dia menggeleng. Ah, aku nggak boleh membayangkan yang nggak-nggak. Sapu sangat mencintaiku, batin Dinar
saat ia dan Sapu berjalan menuju motor.
*** "Le!" seru Arief. "Katanya Dhinar mau ke sini ya?"
Dinar mengangguk. "Dia suka manga dan anime juga."
"Usooo-bohooong!" kata Arief memonyongkan mulutnya.
"Si jenis kutu buku suka baca komik?"
"Heh, komik kan buku juga," sergah Dinar.
"Yee, tapi kan tetep beda."
"Dinar?" Ayi menatap mereka bingung. "Saudara kembarmu ya, Le?"
"Dinar pake H" ralat Dhinar.
"Din-Har?" ulang Ayi dengan alis terangkat.
Dinar tertawa. "Dhinar. D-H-I-N-A-R."
"Oooh," Ayi manggut2 diikuti anak2 lain yg mendengarkan pembicaraan mereka.
"Dhinar?" "Orangnya kaya apa?" tanya Resya ikut-ikutan nimbrung.
She Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"pokoknya beda banget sama Ale!" seru ardhi. "Beda satu huruf 'H' itu ternyata pengaruhnya
gedhe banget! Bagai langit dan bumi, pokoknya Ale yang jeleknya deh!"
"Sialan!" semprot dinar.
"Hontou-benar?" tanya Resya.
Dinar memutar bola matanya. "Yah.. sebenernya sangat berat untuk mengakuinya tapi... memang
begitu adanya. Hiks."
Resya tertawa. "Le, jangan-jangan itu temen lu yang mau ikut beasiswa ke Jepang itu ya?" tanya Novi.
Dinar mengangguk. Spontan Ayi, Resya, Novi berseru, "SUGEEE- HEBAAAt!!!"
*** Dhinar turun dari angkot lalu berjalan ragu-ragu menuju TBRS. Dia sudah berbohong pada
mamanya dengan mengatakan dia ingin pergi ke perpustakaan daerah untuk pergi kesini, jadi dia
tidak punya alasn untuk mundur lagi.
Di mana sih" Tanyanya dalam hati.
TBRS hari ini sepi sekali. Dia jadi menyesal kenapa sebelumnya tidak minta nomor ponsel Dinar
atau Erwan. Dhinar terus berjalan hingga ke pelataran parkir TBRS.
Dari kejauhan, di sudut taman, tepatnya di depan sebuah warung, dia melihat sekelompok orang
berkumpul. Dan diantara mereka, dia melihat Dinaar!
*** Dinarlah yang pertama kali menyadari kehadiran Dhinar yang berjalan ke arah mereka.
"Ah!" serunya. "Itu dia!"
Semua orang di tempat itu pun menoleh ke arah yang ditunjukan Dinar.
Tiba-tiba menjadi pusat perhatian, cewek tinggi berkacamata itu menghentikan langkahnya
sesaat, lalu terus berjalan sambil tersenyum. Bukti dia punya kepercayaan diri tinggi.
"Dhinar-san!" Dinar langsung menggamit lengan cewek itu, lalu mengajaknya ke tengah-tengah
teman-temannya. "Kenalin, ini temanku," kata Dinar. "Namanya Dhinar juga tapi pake H, D-H-IN-A-R."
Dhinar tersenyum karena tidak perlu repot-repot mengeja namanya lagi.
"Dia ingin jadi anggota Genki Ji. Boleh kan?" tanya Dinar pada temen-temennya.
Meraka hening sesaat, kemudian Resya maju sambil menyoorkan tangannya pada Dhinar.
"Kenalin," katanya dengan wajah serius, "Ryo Saeba,"
Dhinar tersenyum. "Kaori."
Air muka Resya langsung berubah begitu mendengar jawaban Dhinar. Dia tersenyum senang,
lalu berseru, "Oke! Aku setuju dia jadi anggota Genki Ji."
Oooh.. Jadi aku dites nih, ceritanya" Kata Dhinar dalam hati. Kaori dan Ryo Saeba adalah tokoh
utama di komik City Hunter karangan Tsuka Houji yang legendari itu.
Sekarang giliran Ayi yang maju.
"Kanalin," katanya "Kenshin."
"Yukishiro Tomoe," jawab Dhinar.
Ayi tersenyum. "Begus, berarti kamu nonton OVA juga. DITERIMA!"
Setelah Ayi, Amru yang maju.
"Namaku Conan," dia memperkanalkan diri.
"Ai Haibara." Amru mengernyitkan dahi. "Bukannya mestinya kamu jawab Ran?"
"Itu kan kalau kamu Shinichi Kudo," bantah Dhinar.
"Iya.. ya," Amru manggut-manggut. "Oke, dia boleh jadi anggota Genki Ji."
Flo maju dengan pandangan meremehkan.
"Aku...," katanya sambil menyeringai. "Yagami Raito."
Dhinar balas menyeringai ,"L."
Flo membelalakkan matanya. "Wah! Tahu manga baru juga rupanya! Hebaaat! DITERIMA!"
Dhinar tersenyum. Begitu seterusnya sampai semua anggota Genki Ji memperkenalkan diri
dengan cara mereka dan menunggu jawaban yang keluar dari mulut Dhinar. Hari itu Dhinar
menunjukan wawasannya akan anime dan manga hingga semua anggota Genki Ji geleng-geleng
kepala saking kagumnya. "Jadi gimana" Diterima?" tanya Dinar dengan mata berbinar-binar. "Dia jago, kan?"
Mereka semua serempak mengangguk, ada pula yang mengacungkan jempol.
"Kalau begitu.. ehem," Dinar berdehem setelah mengambil ranting paling panjang yang bisa
ditemukanya lalu berjalan ke arah Dhinar. Dia meletakan ranting itu ke pundak Dhinar seakan itu
pedang Excalibur dan dia Raja Athur yang hendak menobatkan gelar ksatria meja bundarnya.
"Saya sebagai ketua Genki Ji menyatakan kamu sebagai anggota Genki Ji yang baru," katanya
sambil menyentuh pundak kanan dan kiri Dhinar dengan "pedang"-nya.
"Thanks," sahut Dhinar, lalu semua anggota Genki Ji bertepuk tangan sambil berteriak-teriak
riuh rendah. Setelah ritual selesai, Dhinar bergabung dengan teman-teman barunya yang menyambutnya
hangat. Dia membicarakan anime, manga, dan sedikit membantu memberikan usuk untuk
persiapan Party Pake J. Dhinar benar2 merasa bahagia, karena baru kali ini dia merasa diterima dan punya banyak orang
yg bisa disebut sebagai teman. Baru kali ini pula dia merasakan entakan dalam hidupnya karena
berhasil mengambil keputusan mengikuti perkumpulan yg sudah pasti dilarang ortunya.
Ini sepert pemberontakan! Serunya riang dalam hati.
Dia benar2 senang dan sangat berterima kasih pada Dinar karenanya.
"Hoi." Dhinar menoleh. Ternyata Erwan.
"Boleh duduk di sebelahmu?" tanyanya.
Dhinar mengangguk. "mana Ale?"
"Lagi sibuk sama Ayi," katanya sambil menunjuk Dinar dengan dagunya. "Masalah Party Pake
J." "Oooh." "Eh, aku tadi belum memperkenalkan diri lho," kata Erwan lalu menyodorkan tangannya. "Pi
Pattel." Dhinar membelalakkan matanya dan tertawa. "Aku Ricard Parker."
Erwan tersenyum senag. "Sudah kuduga kamu gak cuma baca komik doang."
"Aku baca buku apa pun," jawab Dhinar sombong. "Tapi paling seneng tetep komik."
"Selain kisah Pi, baca apa lagi?" tanya Erwan.
"Banyak banget. Apa ya?" Dhinar mencoba mengingat-ingat. "Pangeran Kecil.."
"Ah!" seru Erwan. "'Ayo jinakan aku'," Erwan menirukan kata2 dalam novel itu.
"Ogah," sahut Dhinar. "Soalnya 'kita harus bertanggung jawab pada apa yg kita jinakan
selamanya'." Erwan tertawa. "Kalau The Da Vinci Code?" tanya Erwan.
Dhinar mengangguk. "Jelas baca dong."
"Pantesan kontroversial dan banyak ditentang ya,"
Erwan mengangguk-angguk. "Wong ceritanya kayak gitu."
Dhinar mengangguk. "Eppur si muove," katanya. Itu kata2 Galileo Galilei di pengadilan ketika
mempertahankan pendapatnya bahwa bumi mengelilingi matahari, pendapat yg saat itu
ditentang. Artinya kira-kira "Tetap saja itu bergerak" maksudnya waktu itu sih bergerak
mengelilingi matahari, tapi sekarang lebih ditunjukan pada seseorang atau sesuatu yg tetap pada
pendiriannya tanpa peduli omongan orang.
Erwan ternsenyu. "Bener jua. Aku baru nyadar kalau Galileo juga tahu peribahasa 'anjing
menggonggong kafilah berlalu'."
Lalu mereka tertawa. *** Dari kejauhan, sepasang mata memerhatikan mereka dengan perasaan sakit. Mereka berdua
masih tertawa dan terlihat sangat akrab. Rasa cemburu dan penyesalan benar-benar tidak bisa
ditahan. Kalau saja aku tidak mempertemukan mereka.
"Eh, Le kenapa?" tanya Ayi. "Ngelamun aja."
"Eh... oh... nggak, nggak apa-apa."
BAB 21 "UDAH ketemu komik yang pengin dibeli?" tanya Sapu. Mereka sedang di toko buku.
Dinar mengangguk. "He-eh." Lalu matanya tertuju pada buku yang dipegang Sapu. "Itu apa?"
"Dunia Sophie," jawab Sapu.
Dunia Sophie... Dunia Sophie... Dinar mencoba mengingt-ingat. "Bukannya kamu udah punya?"
Sapu mengangguk. "Ini buat Dhinar."
"Hah" Kok?" tanya Dinar kaget.
"Iya, dia udah lama nyari-nyari buku ini, tapi nggak pernah dapat," jelas Sapu. "Terus dia titip ke
aku kalau pas nemu."
"Kamu ngebeliin dia?" tuduh Dinar.
"Ya nggak, lah!" sergah Sapu. "Aku pasti minta ganti.
Habis ini aku tinggal SMS dia aja biar ngambil ke tempatku atau waktu aku jemput kamu di
tempat kursus." Dinar membelalakkan matanya. "Kamu tahu nomer HP-nya Dhinar?"
"Iya," jawab Sapu tanpa rasa bersalah.
"Aku aja nggak punya," protes Dinar.
"Siapa suruh nggak minta."
"Kamu minta?" Dinar terpekik kecil.
Sapu mengangguk. "Ternyata dia enak diajak bertukar pikiran, soalnya tahu banyak tentang
buku-buku bagus! Keren deh pokonya!" kata Sapu dengan mata berbinar-binar.
"Memangnya aku nggak bisa diajak bertukar pikiran?"
ujar Dinat kesal. "Yang bener aja," ejek Sapu. "Kamu baru baca halaman pertama The Da Vinci Code aja udah
langsung tidur. Udah deh, kamu tuh nggak bakal bisa baca beginian," tambahnya sampil
mengacungkan novel Dunia Sophie yang dibawanya.
Dinar kedal sekali diejek seperti itu. Dia menyambar buku yang dipegang Sapu.
"Aku juga bisa kok!"
Tetapi begitu membolak-balik halaman pertama, mata dan kepalanya berkunang-kunang. Buku
apaan sih ini! "Udah, udah..." Sapu mengambil buku itu lagi dari tangan Dinar. "Nggak usah dipaksain." Dia
lalu berjalan menuju kasir.
Dinar mengikutinya dari belakang dengan wajah cembereut. Sapu hanya tersenyum ketika
melihatnya. "Kita nggak perlu punya hobi yang sama kok." hibur Sapu sambil mengacak-acak rambut Dinar
dengan sayang. Namun tetap saja Dinar tidak merasa terhibur.
*** Dhinar sedang mengulang pelajaran siang tadi ketika ponselnya berdering.
"Halo?" jawabnya
"In Erwan," kata suara di seberang.
"Iya, tahu," sahut Dhinar. "Memangnya ponselmu nggak ada layarnya ya, samapi nggak tahu
kalau nama atau nomor penelepon pasti tertera di layar"
"Nggak usah pakai penjelasan panjang lebar gitu dong. Dasar sinis," komentar Erwan.
"Selamat. Anda orang keseratus yang menyebutkan seperti itu," jawab Dhinar.
"Mesti bangga ya?" tanya Erwan tak kalah sinis.
"Dapat payung nggak" Kalau nggak, percuma dong. Mendingan aku tutup teleponnya."
"Silahkan," sahut Dhinar dingin.
Setelah itu, tidak ada seorang pun dari mereka yang bicara. Kemudian tawa mereka pun
meledak. "Gila! Nggak nyangka kamu sinis juga," komentar Dhinar.
Erwan masih tertawa. "Aku juga baru nemu yang satu spesies."
"Oh ya," Erwan tiba-tiba teringat tujuan utama dia menelepon.
"Aku dapet Dunia Sophie."
"BENER?" seru Dhinar girang.
"Bohong." Dhinar terdiam. "Bercada... bercanda...," lanjut Erwan buru-buru sambil tertawa. "Ada nih, sudah kubelikan."
Dhinar tersenyum senang. "Dibeliin?"
"Ralat," kata Erwan. "Kubayarin dulu, terus aku minta ganti."
"Kalau aku nggak mau?"
"Bukunya kubakat terus abunya kusebar di depan rumahmu."
Dhinat tertawa. "Dasar tidak berperibukuan."
"Bahasa apa tu" Kacau banget! Pantesan waktu SD kalah sama aku."
"Heh! Diungkit lagi," gerutu Dhinar. "Sekarang, siapa yang kalah waktu SMP, coba?"
"Ah, itu kan aku yang mengalah," jawab Erwan.
"Wah, terima kasih ya, kamu ternyata baik banget deh," sahut Dhinar sarkatis.
Erwan tertawa. "Udah ah."
"Siapa juga yang mulai?"
"Giman nih bukunya?" tanya Erwan. "Kapan ngambilnya" Atau waktu aku jemput Ale waktu
kursus aja?" "Terserah," jawab Dhinar singkat.
"Jawaban orang yang tek berpendirian," komentas Erwan sinis.
"Sinis," ejek Dhinar.
"You too." Mereka tertawa lagi, "Okem aku berikan ke kamu waktu kursus ya," kata Erwan akhirnya.
"Oke." "Datang ke Party Pake J, kan?" tanya Erwan.
"Ng... nggak tahu deh."
"Kenapa?" "Kenapa?" "Ortu susah banget kasih izin."
"Oooh." jeda sejenak. "Acaranya pasti seru kok, nyesek kalo nggak dateng!"
"Rayuan khas penjual obat."
"Bukan," serga Erwan. "Bujukan anggota MLM."
Hantu Seribu Tangan 3 Gento Guyon 4 Bayar Nyawa Pemberontakan Taipeng 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama