Ceritasilat Novel Online

U 1

U Karya Donna Rosamayna Bagian 1


U! Karya : Donna Rosamayna Prolog SENJA itu langit tampak kelabu, hujan turun rintik-rintik membasahi tiap sentimeter tanah di
sekitarnya. Orang-orang berpakaian hitam mengelilingi peti cokelat muda berpelitur indah. Wajah
mereka tampak sedih. Banyak di antara mereka meneterkan air mata. Bahkan ada yang
menangis tersedu-sedu. "Semua yang berasal dari Dia... akan kembali kepada Dia...," ujar seorang pendeta penuh
hikmat. Orang-orang itu mengangguk-angguk sedih.
Tiba-tiba... Seorang anak berusia empat tahun berlari-lari kecil menyeruak kerumunan orang. Dengan
cuek dia mencolek-colek orang-orang yang sedang bersedih itu.
"Eh... eh... kok semuanya pada nangis sih" Hujan nih..."
Seorang ibu tersenyum, lalu mengelus kepala anak kecil itu. Kalau tega sih, sebenarnya anak
itu pantas dicubit karena mengganggu khotbah pendeta... tapi...
"Pa... Papa... Mama mana?" ujar anak itu lagi sambil berlari menghampiri papanya, menariknarik ujung baju hitam pria itu tidak sabaran.
Laki-laki yang dipanggil "Papa" itu bernama Marcello. Ia memaksakan diri tersenyum pada
gadis kecil di sampingnya. Ia mengulurkan kedua tangannya, mengizinkan si anak naik dalam
gendongannya. "Lilia sayang... Mama... Mama pergi ke surga!" ujar Papa Lilia terbata-bata. Wanita di
sebelah lelaki itu menitikkan air mata mendengarnya.
Gadis kecil itu menatap ayahnya bingung. Kedua bola mata jernihnya membulat
memandang papanya. "Surga itu di mana, Pa" Jauh, gak?"
Lelaki itu menghela napas, menahan perasaan sedih dan harunya. "Jauh, Sayang!"
"Jauh mana sama rumah Eyang?" tanya gadis kecil itu lagi. Kebetulan eyangnya memang
tinggal di Belanda. "Lebih jauh lagi..."
Anak itu menghela napas kecewa. "Yaaaah... kalau gitu... Lilia gak bisa ketemu Mama lagi
dooong! Ketemu Eyang aja Lilia gak pernah karena rumah Eyang jauh..."
Papa Lilia merasa sebutir air matanya menetes.
"Mama jahat! Mama jahat! Lilia sebel sama Mama... Huaaa..."
Lilia mulai menangis meraung-raung. Semua orang di situ memandang dengan prihatin.
Dada mereka sesak. Sang Ayah berusaha menenangkan putrinya.
"Lilia... jangan nangis dong, Sayang!" Papa Lilia mengusap air mata yang mengalir deras di
wajah mungil anaknya. "Bisa kok... Suatu hari nanti kamu bisa ketemu Mama lagi, Sayang!"
Anak itu menengadah, memandang ayahnya penuh harap. "Bener, Pa?"
"I... iya, Sayang!"
Lilia tersenyum. Wajahnya langsung berbinar-binar. "Nanti kita ke surga naik pesawat ya,
Pa... Lilia gak takut ketinggian kok!" ujarnya dengan yakin sambil menepuk dada.
Papa Lilia menangis terharu, ia memeluk anaknya erat-erat. Orang-orang yang ada di situ
hanya bisa menatap iba. Lilia tersenyum senang. Ia memain-mainkan telinga papanya, lalu mulai mengantuk dan
tertidur dalam gendongan papanya.
*** Sebulan kemudian... "PAPAAA..." Lilia berlari menyambut ayahnya yang baru saja pulang kantor. Ia membawa
celengan berbentuk rumah-rumahan di tangan kanan dan sekantong plastik uang di tangan
kirinya. "Pa... Papa... kita ke bank yuk... Ini Lilia udah bongkar celengan... Lilia mau nabung di bank!"
ujar Lilia sambil menarik-narik tangan papanya.
"Papa baru pulang, Sayang. Tunggu sebentar ya, Papa istirahat dulu."
Lilia cemberut. "Ga mau! Nanti keburu kurang..."
Papa Lilia bengong. "Hah, apanya yang kurang?"
"Bonusnya," ujar Lilia yakin.
Papa Lilia makin mengerutkan dahi.
"Begini loh, Pa..." ujar Lilia sambil naik ke pangkuan ayahnya. "Tadi Bu Guru bilang, kalau
kita mau cepat kaya, kita harus rajin menabung. Trus, supaya aman nabungnya harus di
bank. Apalagi kata Bu Guru, bank itu baik, ngasih bonus uang tambahan buat kita, jadi uang
Lilia bisa nambah banyak. Trus, bank juga suka bikin undian, katanya kalau menang Lilia bisa
kaya raya." Papa Lilia tersenyum mendengar celoteh anaknya. Ia mengambil kantong plastik berisi uang
dari tangan Lilia. "Oooh gitu... Jadi semua uang Lilia mau dimasukin ke bank?"
"Iya!" Lilia mengangguk senang. "Tenang aja, Pa, uangnya udah Lilia namain kok tadi..."
Papa Lilia kontan bengong. "Dinamain?"
"He-eh!" angguknya cepat. "Habis Lilia takut mbak-mbak penjaganya pikun... Ntar dia lupa,
lagi, uang Lilia yang mana..."
Papa Lilia langsung tertawa terbahak-bahak mendengar kepolosan Lilia. Lilia bengong.
"Kok Papa ketawa sih?"
Papa Lilia mati-matian menahan tawa. Lilia memelototi papanya.
"Emmppt... Gak... Gak pa-pa! Oh ya, Lilia memangnya mau jadi orang kaya, ya" Memangnya
Lilia mau beli apa?"
Lilia langsung tersipu malu mendengar kata-kata ayahnya.
"Lilia mau beli pesawat!"
Hah! Ayah Lilia bengong. Jarang-jarang ada anak kecil punya cita-cita beli pesawat. Biasanya,
anak kecil itu kalau ditanya mau beli apa, pasti bilangnya mau beli es krim, cokelat, permen,
boneka, tas, jepit rambut, buku cerita, dan lain-lain... tapi kalau pesawat"
"Pesawat?" tanya papa Lilia, mengulang kata-kata anaknya. Siapa tahu ia salah dengar.
"Iya!" jawab Lilia yakin. "Kata Papa kan surga itu jauh, makanya Lilia mau nabung, biar uang
Lilia banyak, trus bisa beli pesawat... Lilia bisa ketemu Mama deh..." ujar Lilia dengan mata
berbinar-binar. Ayah Lilia langsung terduduk lemas di kursinya. Ia menatap Lilia dengan sangat sedih.
1 MENUNGGU ITU BETE ABIS! Dua belas tahun kemudian...
"PERMISI... Hhhh... Saya mau ketemu... Hhhh... Hhhh... Sama Papa... eeh, sa... lah... hhh...
maksudnya sama... Pak Marcello..." ucapku terengah-engah. Begini nih akibatnya kalau
nekat lewat tangga dan lari maraton ke lantai delapan, kantor tempat Papa bekerja.
Cewek cantik di balik meja itu mengangkat jari telunjuknya di depan bibir, isyarat agar aku
gak berisik. "Maaf, Pak Marcello sedang rapat. Silakan menunggu dulu di kursi yang sudah disediakan!"
ucap sekretaris kantor Papa dengan bahasa EYD yang pantas diberi nilai sembilan.
Maklumlah, dia kan secretary to the director, jadi harus menunjukkan citra baik. Apalagi gak
cuma aku yang ada di ruangan itu, ada sekitar enam orang yang sedang duduk manis di situ.
Aku menghela napas kecewa. Padahal aku sudah bela-belain naik bajaj secepatnya ke kantor
Papa, gak makan siang di kantin, menolak tawaran Kyra untuk jalan-jalan ke Pasar Festival,
bahkan sampai rela lewat tangga gara-gara gak sabar nunggu antrean lift di lantai dasar.
Apes banget deh aku hari ini!
Oh ya, kenalkan, namaku Liliana Fransiska Reinaldi. Tapi cukup panggil Lilia saja. Sekarang
duduk di kelas 2 SMA di sekolah khusus cewek. Coba bayangkan, betapa nelangsanya
cewek-cewek SMA yang dikumpulkan di satu tempat tanpa satu pun kaum adam" Ada sih
cowoknya, tapi itu Pak Joni, guru kesenian yang sudah tua, tukang bersih-bersih sekolah
yang gak kalah tua, dan tukang kebun sekolah yang sudah almarhum.
Aku mengempaskan pantatku pada salah satu bangku di depan ruang rapat dengan sebal.
Kuletakkan tasku di bangku sebelahnya dan mulai sibuk merogoh-rogoh tas, mencari HP.
Saat menunggu begini, mending aku SMS Niko, gebetanku yang kece banget itu.
Oh ya, supaya kalian juga tahu... Niko itu murid di sekolah swasta, kelas 3 SMA. Aku ketemu
dia waktu ada perlombaan basket three-on-three di sekolahnya. Kalau diingat-ingat lagi jadi
lucu... Waktu itu Denise, Marsya, dan Ria ngotot ingin ikut lomba basket dan aku termasuk
gerombolan cewek yang datang sebagai suporter. Padahal lomba basket itu khusus cowok.
Hehehe... kita sampai diomel-omelin panitianya waktu itu. Tapi kayak kata pepatah,
sengsara membawa nikmat. Setelah diceramahi panitianya, kami tetap nekat duduk di situ,
memberikan support buat cowok-cowok yang bertanding... daaan... aku bertemu Niko yang
kebetulan tetangga sahabatku, Kyra.
"Kamu mau minum apa, Lilia" Tante bikinin deh!"
Hah! Suara merdu itu sukses membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Tahu-tahu
sekretaris "EYD" itu sudah ada di hadapanku. Dia tersenyum manis. Hmm... kayaknya dia
berusaha mengambil hatiku lagi hari ini. Hebat! Aku salut melihat kenekatannya.
Aku mendelik jail. "Oooh... Gak usah repot-repot. Milkshake Stroberi aja... pake satu scoop
es krim di atasnya," ucapku asal. Hehehe... Rasain! Biar tahu rasa dia.
Seperti harapanku, sekretaris itu tampak kebingungan. "Yah, gak ada milkshake tuh, Li... teh
manis aja, ya?" tanyanya sopan. Tapi mungkin dalam hatinya dia sedang menyumpahnyumpahi aku. Hehehe... Biarin! Siapa suruh sok akrab"!
Aku menggeleng. "Kalau gak ada... ya gak usah!" balasku cuek lalu kembali melanjutkan
pencarian HP dalam tas. "Duh, jangan ngambek dong! Ya udah, Tante pesenin yah! Tapi kamu mesti sabar
nunggunya, oke?" ujarnya ramah lalu berbalik dan berjalan mendekati telepon.
Oh ya, nama sekretaris kantor Papa itu Lidia. Dia cantik dan anggun. Gaya bicaranya sopan
dan bersahaja. Langkahnya luwes dan penuh percaya diri. Senyumannya manis dan
menunjukkan tipikal gadis baik. Pokoknya, bila menggunakan skala ukur 1-10, dia pantas
dapat nilai sepuluh. Alias perfect abis!!!
Tapi aku gak suka Lidia. Bukan karena sirik. Bukan juga karena aku gak bisa seperti dia. Tapi
karena Lidia sialan itu suka dekat-dekat Papa. Dan aku sama sekali gak suka. Papa milikku.
Hanya milikku. Gak akan kuserahkan pada siapa pun. Asal kalian tahu, Papa orang nomor
satu dalam kehidupanku. Waktu aku masih kecil, aku yakin sekali bila sudah dewasa nanti
aku akan menikah dengan Papa, menggantikan Mama. Seiring berjalannya waktu, baru aku
tahu itu gak mungkin. Selain itu aku sadar Niko jauh lebih menarik daripada Papa.
Sepeninggal Lidia, aku kembali menginvestigasi isi tasku. "Duhh! Mana sih?" ucapku gak
sabaran karena gak juga berhasil menemukan benda elektronik itu dalam tas. Ini akibatnya
kalau isi tas penuh banget.
Benda pertama yang kukeluarkan adalah kaus olahraga. Dalam sekejap aku langsung
merasakan pandangan sinis dari orang-orang di sekelilingku.
"Hehehe... Maaf, Bu, Pak!" ujarku sambil cengengesan. Yah, aku ngerti arti pandangan
mereka. Tadi ada pelajaran olahraga dan kami bermain sepak bola. Karena di sekolahku
semuanya cewek, otomatis semua pemainnya cewek deh. Tapi gak masalah, justru
permainan kita jauh lebih seru daripada pertandingan bola di teve. Malah seru banget! Tadi
saja aku dan Kyra sempat berguling-guling di tengah lapangan karena rebutan bola.
(Hehehehe... Maklum! Cewek-cewek suka lupa bola mesti diperebutkan menggunakan kaki
dan bukan tangan.) Jadi sudah dapat dipastikan kaus olahragaku itu bercampur debu dan
tanah pekat. Belum lagi bau keringatku yang menempel dengan sempurna di sana. Dalam
hitungan detik, seisi ruangan ber-AC ini sudah dapat menghirup baunya.
Mereka semua tersenyum kecut ke arahku. Sudah pasti senyuman itu sangat dipaksakan.
Tapi ada satu orang yang gak tersenyum, cowok berdasi di hadapanku. Dia hanya
menatapku tajam dari balik lensa kacamatnya. Aaah... Bodo amat!!!
Aku mulai mengeluarkan benda kedua. Bantal bergambar boneka Panda. Orang-orang di
sekitarku langsung menatapku takjub. Bantal" Ada bantal dalam tas" Ni anak mau sekolah
atau piknik di Cibubur" Begitu mungkin pikir mereka. Hehehe... habis pelajaran Bu Milly (ini
sebutan kerennya, padahal sih nama aslinya Minah Linarti) benar-benar mengundang
kantuk. Geografi gitu looh! Apalagi sehabis pelajaran olahraga yang super melelahkan itu.
Karena itu aku bawa bantal, biar bisa tidur nyenyak.
INDONESIA RAYA... MERDEKA MERDEKA... HIDUPLAH INDONESIA RAYA...
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari tasku. Lagi-lagi orang-orang di sekitarku
menengok. (Apa kepala mereka gak sakit nengok-nengok melulu" Dasar orang-orang kurang
kerjaan!) "Nah, itu dia bunyinya!" ujarku penuh semangat. "Tapi di mana yah?" Aku kembali
mengaduk-aduk isi tas dan... akhirnya... aku berhasil menemukan HP-ku dalam... ehmm...
kotak bekal makanan. He" Kok bisa ada dalam sini ya" Hehehe... bodo aah! Paling-paling
Kyra yang iseng menaruhnya di sini... atau mungkin... yah, aku sendiri!
Aku membaca nama yang muncul di layar HP-ku lalu buru-buru menekan tombol YES. Aku
sempat melihat seorang ibu menggeleng-geleng, mungkin sambil memanjatkan doa semoga
anaknya gak seperti aku. "Halo, Ra..." "Lo di mana, Li?" ujar Kyra di seberang telepon.
"Di kantor Bokap!"
"Yah, nyesel deh lo! Tau gak, di sini gue ketemu sapa?"
"Siapa?" "Huruf pertama N... Huruf terakhir O... Ayo, tebak!!!"
"HAH" NIKOOO" ADA NIKO DI SITU" HUAAA..."
Sekretaris itu didukung enam orang lainnya menaruh jari telunjuk mereka di depan bibir.
Dalam satu ketukan yang kompak banget... SSSTTT!!!
Aku meringis. "Maaf!"
Cowok berkacamata di hadapanku kembali memandangku dengan sebal. Aahh... biarin aja!
Sekarang aku punya urusan yang lebih mendesak: Niko.
"Trus... trus... gimana, Ra" Duh, sial banget gue!"
"Huehehe... nyesel, kan" Makanya... tadi gue suruh ikut, lo gak mau... Tau gak, si Niko lagi
audisi band. Sumpah, keren bangeeet!!! Dia keliatan kayak Maxim waktu tangannya menarinari di tuts keyboard... eh, Li... bandnya udah mulai. Berisik banget nih, udah dulu yah, ntar
gue fotoin deh si Niko buat elo. Daah Liliaaa..."
Aku menekan tombol NO sambil menghela napas berat. Oke, kemungkinan untuk mengSMS Niko buyar sudah. Dia lagi nge-band, pasti gak bakal sempat melihat HP. Lagi santai saja
Niko jarang membalas SMS, apalagi sibuk begitu.
*** Satu jam berlalu... Ruangan yang tadinya penuh sekarang sudah sepi. Gelas milkshake kosong teronggok di
sampingku. Majalah seventeen yang kupegang sudah lecek karena kubolak-balik berkali-kali.
Sekretaris Papa menghilang entah ke mana.
Aku mulai kehilangan kesabaran. Aku mendengus kesal, mengentak-entakkan kakiku dengan
jengkel, bahkan tega menggulung rambut rebonding-ku sesuka hati. Gak peduli sama aturan
Mas Raymon bahwa rambut yang di-bonding gak boleh diikat, dijepit, dicepol, dan usahausaha lainnya yang meninggalkan bekas.
Aku melirik pintu cokelat kemerahan itu, berharap pintu yang berat itu terbuka dan
langsung memuntahkan Papa dari dalamnya supaya aku bisa cepat-cepat mengajaknya ke
restoran seafood di sebelah gedung ini. Aku ingin bercerita banyak hal pada Papa, terlebih
lagi aku harus menceritakan nilai ulanganku hari ini. Matematika dapet 100, boo!! Papa
pasti bangga luar biasa. Berdasarkan pengalaman sejak SD, bila aku dapat nilai bagus, Papa
biasanya akan mengabulkan permintaanku. Dan aku sudah menyiapkan permintaan itu
sejak di sekolah tadi. Aku memencet nomor HP Papa untuk entah keberapa kali. Lagi-lagi dijawab operator. Ini dia
nih yang paling bikin bete. Papa sering gak mengaktifkan HP kalau lagi rapat. Buat apa punya
HP kalau cuma buat dimatiin"
SEBEL! SEBEL! SEBEL! Pokoknya sebel pangkat tiga sama Papa! Aku paling benci disuruh
menunggu begini. Aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kembali beradu pandang dengan
cowok berkacamata yang kini sedang berdiri di salah satu sudut ruangan. Dia menatapku
lurus-lurus dari balik kacamatanya. Sumpah! Matanya sinis banget. Kenapa sih orang
dewasa gak bisa memandang remaja dengan pandangan yang lebih hormat"
Tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. SMS dari Kyra.
From: Kyra Li, gue baru inget! Lo jgn lupa minta izin ke bokap klo lo mo dtg ke ultah gue lusa!! Gak ada
maaf klo gak dateng!! Dan gak tanggung jawab klo Niko sampai diembat cewek2 yang
dateng!! Hehe... Ini dia! Tujuanku datang ke sini juga karena mau mengambil hati Papa. Dengan berbekal
nilai ulangan matematika yang dapat 100, aku akan minta izin Papa agar boleh datang ke
acara ultah Kyra. Maklum, berhubung aku anak semata wayang, Papa jadi kelewat protektif. Pulang jam
sepuluh malam sama saja minta dicuekin sama Papa seharian. Naah, pas ultahnya hari Sabtu
besok itu, Kyra bakal ngadain "MIDNIGHT BIRTHDAY PARTY". Artinya acara tiup lilin baru
dilaksanakan tepat jam dua belas malam. Dan arti yang lebih dalam lagi, paling cepat aku
baru pulang ke rumah jam dua malam... Daaan... arti yang paling berbahaya, aku bisa
dicuekin Papa sebulan penuh.
Jadi, untuk antisipasi, aku harus minta izin Papa sambil memikat hatinya... Kalau acara ulang
tahun orang lain, aku gak bakal ngotot datang. Tapi ini beda, ini acara sweet seventeen-nya
Kyra. Kyra itu sahabatku, iaku gak boleh gak datang. Dan satu alasan lagi: Kyra mengundang
Niko dan Niko sudah bersedia datang. Karena itu, hujan badai pun akan aku lalui, asal bisa
ketemu Niko di pesta itu.
*** Satu setengah jam berlalu...
Kakiku sudah kesemutan, punggungku sakit kayak orang rematik, dan perutku keroncongan.
Rasanya aku ingin mendobrak pintu merah kecokelatan itu sambil teriak, "PAPAA... LAPEEER
BANGEEET NIIIHH!!!" Mukaku sudah benar-benar berlipat-lipat. Aku mengentak-entakkan kakiku dengan keras.
Cowok berkacamata tadi sudah kembali duduk di hadapanku. Dia melirikku jengkel. Aku
memelototinya. Apa lihat-lihat" Gak tahu orang lagi bete apa"
Tapi tanpa kusangka-sangka dia berjalan ke hadapanku dan berkata, "Daripada lantainya
rusak, mending kamu duduk diam dan baca ini!" ujarnya datar sambil menyodorkan sebuah
buku untukku. Aku menerima buku yang disodorkannya. Covernya merah. Judulnya: CARA-CARA AGAR
PERNIKAHAN ANDA BAHAGIA. Aku melongo. Ni orang udah gila, kali. Memangnya aku mau married" Pacaran saja belum
pernah. 2 MENUNGGU TERNYATA GAK BETE-BETE AMAT


U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SESUAI dugaan, cewek berisik itu tampak bingung waktu gue sodorin buku tadi. Hahaha...
Biarin deh! Lagian cuma itu satu-satunya buku bacaan di tas gue. Sebenarnya, tuh buku
punya Joko, temen gue yang sudah married. Terus tadi dia minjemin ke gue, katanya biar
gue jadi ketularan cepet-cepet maried. (Dasar Joko sableng!) Nah, daripada ngomel-ngomel,
mendingan dia baca tuh buku. Biar tampang kelipetnya hilang. Kalau diperhatikan, ini anak
lumayan manis kok. Eh, tunggu dulu. Jangan bilang gue naksir. Gak deh! Yang benar aja! Masih anak SMA begitu!
Udah gitu tu anak cewek berisik, bawel, cuek, manja, dan slebor banget. Dia tega ngerjain
sekretaris kantor bokapnya dan bikin kerusuhan sejak masuk ke kantor ini. Dia bawa bantal
dalam tas dan menaruh HP-nya di tempat makan. Ajaib banget! Gak pernah deh gue nemu
cewek segeblek ini. Tapi mau gak mau gue akuin, dia bikin gue gak bosen nunggu di sini. Semua yang dia lakukan
pasti menarik perhatian. Fantastis banget deh. Berkali-kali gue pengin senyum liat ulah-ulah
gilanya, tapi gengsi! Makanya gue pelototin aja dia.
"Eemm... maaf banget nih, Oom... bukannya saya kurang ajar. Tapi saya belom boleh baca
buku beginian. Bisa dimarahin sama Papa," ujar cewek itu, dengan malu-malu menyerahkan
buku itu kembali ke gue. Eee... dia bilang apa tadi" Gue gak salah denger, kan" OOM"! Dia panggil gue "Oom?"
Sembarangan! Emangnya tampang gue setua itu! Gue baru 25 tahun, tau. Sialan ni anak!
"Ooh... ya sudah kalau gitu!" ujar gue se-cool mungkin sambil meraih buku itu dari
tangannya. "Oom kok sendirian" Lagi nunggu siapa?" tanya cewek itu lagi. Dia lalu melirik map yang gue
bawa. "Kalau mau minta sumbangan mendingan gak usah deh, Oom. Bos Papa orangnya
pelit." Gue memandang cewek itu lekat-lekat. Buset deh ni anak! Udah manggil gue Oom, sekarang
malah nuduh gue tukang minta sumbangan lagi. Bener-bener minta dipites.
Tenang! Tenang! Gak boleh emosi! Orang sabar disayang Tuhan! Ngapain ribut sama anak
kecil" Gak intelek! Gue menghibur diri dalam hati.
Gue coba tersenyum padanya. Kata teman-teman gue, senyuman gue ini punya daya
magnet yang kuat buat kaum Hawa. Buktinya Maryna, creative designer yang cantik banget
itu, naksir berat sama gue. Hehehe...
"Bukan! Saya gak lagi minta sumbangan kok!" jawab gue, tetap berusaha mempertahankan
wajah gue supaya tetap cool. Dekat-dekat cewek ini kayaknya memang butuh kesabaran
ekstra. "Kamu sendiri lagi ngapain?"
"Lagi numpang duduk!" jawabnya sewot. "Udah tau lagi nunggu, gak liat apa" Kan samasama duduk di sini, berarti jelas lagi nunggu, kan" Masa' pinteran saya daripada Oom sih?"
tambahnya berapi-api. Lah" Reaksinya benar-benar di luar dugaan gue. Gue kira dia bakal kleper-kleper liat
senyuman gue, eeh... gue malah diomelin. Sialan! Ni anak gak punya selera bagus soal
cowok ganteng kali. Buang-buang energi gue meladeni dia. Emm... daripada capek ngomong
sama dia, mending gue balas SMS Maryna tadi deh. Mumpung gak ada kerjaan.
Gue mengeluarkan HP dari tempat HP kulit berwarna hitam dan mulai memeriksa Inbox.
From: Maryna Sent: 08:34 am Good Morning, Brad... (hehe... sorry aku ganti nama km sesuka hati... bis km keren kaya Brad Pitt sih^-^)
Ntar mlm km nganggur, gak" Vidya ngadain Farewell Party di TC Kemang. Temenin aku
dong. Kamu jgn pacaran sm laptop terus
Reply asap yah! Gue melirik jam tangan. Jam satu siang. Gue berani taruhan pasti Maryna lagi cemberut
nungguin balasan SMS gue. Lagian cewek itu emang aneh, ya" Kenapa suka banget SMS"
Kenapa mereka nungguin balasan SMS kalau bisa menelepon" Apa mereka gak tahu cowok
paling malas ngetik-ngetik. Pegel! Buang-buang waktu!
Hmmm... enaknya gue ikut gak ya ke acaranya si Vidya" Lagi pula, Vidya tuh yang mana ya"
Emmm... yang suka pake baju pink itu kayaknya" Eh, bukan! Itu sih Fanny. Mmm... atau...
yang suka bawa BMW Kuning yang bikin sakit mata itu" Gak! Bukan! Itu sih namanya... Kiki,
eh salah... Kinanti... eh... aah, gak tau siapa.
Gue terus berpikir. Oooh... I know! Gue ingat! Vidya itu pasti cewek berambut cepak itu.
Vidya teman kampus gue dulu, tapi beda jurusan. Gue kan anak Ekonomi, dia anak Sastra.
Kalau gak salah, cewek itu pernah berusaha pedekate intensif ke gue deh. Bawa brownies,
makaroni schotel, lasagna, salad, pokoknya segala macam makanan yang dia ngakunya bikin
sendiri. Dasar cewek! Dia kira gue bego apa" Gue mana percaya! Cewek borju dengan gaya funky
begitu mana mungkin tahan berkutat di depan wajan dan oven. Dan dugaan gue benar,
Vidya pernah gak sengaja mengeluarkan struk belanjanya.
Tapi ada baiknya gue ikut, siapa tahu acaranya seru. Lagi pula, sudah lama gue gak ke TC
Kemang. Gue menekan tombol Reply dan memikirkan kalimat yang akan gue tulis buat Maryna.
To: Maryna Hi Maryna.. Sorry baru bales!
Boleh.. Boleh.. Kayaknya seru! Gue jemput lo jam berapa"
Eehh.. tunggu! Kayaknya kurang oke. Terlalu antusias. Gue mesti kelihatan lebih cuek. Kata
orang, cewek suka cowok cuek, kan" Gue memutuskan menghapus tulisan tadi.
To: Maryna Males ktemu Vidya! Tapi gue nganggur sih.. jam brp"
Hmmm... Kok kesannya kayak pengangguran banget" Ganti!
To: Maryna Hm.. boleh! Jam brp"
Gue menatap kalimat yang gue tulis tadi lekat-lekat. Gue menimbang-nimbang sejenak.
Kayaknya sih sudah cukup oke.
"Nulis SMS aja lama banget sih, Oom."
Gue terlonjak. Setan kecil ini duduk tepat di sebelah gue, ikut membaca isi SMS yang gue
tulis. "Kamu ngapain ngeliatin saya" Sana balik ke bangku kamu lagi!" ujar gue galak, sudah lupa
sama sikap cool yang tadi gue perlihatkan. Cewek satu ini lebih baik gak usah dikasih hati.
Ups! Mampus gue! Kayaknya gue barusan kelewat galak. Makhluk di samping gue ini
mendadak cemberut. Mukanya memerah. Wah, gawat! Kayaknya sebentar lagi air matanya
bakal menggenang. "Eh, sori," ujar gue cepet. Secuek-cueknya cowok, percaya deh, kami paling gak tahan lihat
air mata cewek. "Maaf ya! Saya tadi kaget banget! Kamu ngomongnya tiba-tiba sih. Eeh...
iya nih! Saya emang lama kalau nulis SMS. Bingung! Oh ya, kamu bisa gak bantuin saya,
masukin picture di dalamnya" Biar bagus," tanyaku belepotan. Pasti cewek ini bingung gue
ngomong apa. Yaaah, sama saja sih sebenarnya. Gue yakin, walaupun gak belepotan juga,
dia gak bakal ngerti bagaimana caranya. Biasanya cewek kan gaptek sama benda-benda
elektronik. "BISA! BISA BANGET!" ujar cewek di samping gue penuh semangat.
He" Gue melongo. Reaksinya sungguh di luar dugaan. Hei, mana muka cemberutnya tadi"
Gila! Ni anak kayak bunglon, bisa berubah dalam sekejap.
"Gini nih!" Dalam sekejap cewek itu merampas HP dari tangan gue, dan sibuk memencetmencet tutsnya. Gue cuma bisa memerhatikan dengan pasrah.
"Nih... pencet ini... trus ada tulisan insert, kan" Pilih yang ini nih!" ujarnya sambil menatap
gue. "Ngerti?" Gue langsung pura-pura mengangguk-ngangguk, biar cepat.
Cewek itu mengangguk puas, lalu kembali menguliahi gue. "Setelah itu lanjutin ke picture.
Nah, kan jadi ada gambarnya. Trus bisa juga ditambah ini. Biar makin oke masukin sound
juga. Oh ya, animasi juga bisa, tuh lihat!! Gambarnya jadi gerak-gerak, kan?"
My God!! Rasanya gue pening seketika. Padahal tadi gue cuma pura-pura gak ngerti sama
icon-icon di HP gue biar cewek ini gak nangis. Tapiii... bukan berarti dia bisa seenaknya
menambahkan gambar bunga mawar dan gambar hati yang ditusuk panah ini. Apalagi
cewek ini nambahin lagu Endless Love buat sound-nya, terus ada gambar hati yang
berputar-putar, diam di tengah, membesar... membesar... dan meledak menjadi jutaan hati
lainnya. GUBRAK! Bisa pingsan kegirangan si Maryna nerima SMS... emh, salah! MMS gue
ini. "Nah! Udah deh," ujarnya bangga dengan hasil karya mengerikannya itu, "Dikirim, ya?"
tanyanya penuh semangat. "Emm... Makasih! Udah biar saya aja yang kirim. Sekalian saya belajar," jawab gue cepat. Ya
Tuhan. Sial banget gue hari ini! Kenapa gue harus pura-pura jadi orang tolol di depan anak
kecil" Cewek itu memandang gue lalu mengangguk mantap. "Ya udah! Oom kirim sendiri. Kalau
ada lagi yang gak bisa, tanya aku aja...," ujarnya sambil menyerahkan HP ke gue. Lalu dia
pindah lagi ke kursinya semula.
Gue menarik napas lega. Dengan gerakan secepat kilat, gue langsung menghapus MMS
supernorak itu. Bodo amat! Nanti gue tulis lagi.
"Udah dikirim, Oom?" tanyanya lagi.
"Eh... Udah! Makasih ya! Kamu pinter juga!" jawab gue. Pernyataan gue barusan separo
bohong, separo jujur. Gue bohong karena sebenarnya message itu sudah lenyap entah ke
mana. Tapi gue jujur dia itu pinter. Rata-rata cewek punya HP cuma buat gaya. Paling-paling
mereka cuma bisa SMS, menelepon, dan foto-foto. Sedangkan cewek di hadapan gue ini
jelas fasih banget sama semua fitur yang ada di HP. Mau gak mau, gue kagum juga sama dia.
Thumbs up for you, girl! And fot the first time, gue lihat dia tersenyum. Bukan senyum jail buat sekretaris tadi, tapi
senyum yang 100% tulus. Mukanya agak memerah dan kedua lesung pipinya muncul.
Kayaknya gue benar-benar gak bosan menunggu sekarang.
3 PAPA DATANG!! KATA pepatah "dont judge a book from its cover" ternyata emang bener. Cowok
berkacamata sinis itu ternyata gak segarang dan semenyebalkan yang aku kira. Keliatannya
sih pinter, abis dia pakai kacamata sih, tapi... Hahahaha... ternyata gaptek banget! Masak
ngotak-ngatik HP sendiri gak bisa sih! Payah! Kampungan! Gak go International!
Tapi untung aku sudah bantuin dia. Cewek yang nerima message tadi pasti seneng banget
tuh! Soalnya ada gambar mawar dan hatinya. Cewek kan paling suka dua hal itu. Cowok kok
bodoh banget ya, bisa gak ngeh" Duh, coba Niko ngirim MMS kayak gitu ke aku, pasti aku
udah kleper-kleper. Akhirnya cowok berkacamata sinis tadi ngucapin makasih. Waah, aku senang banget!
Ternyata aku bisa berguna buat orang lain. Mungkin ini sudah rencana Tuhan, aku disuruh
menunggu Papa agar dapat membantu si CBSA ini. (singkatan dari Cowok Berkacamata Sinis
Abis) "Sama-sama. Aku seneng kok bisa ngebantu!" ujarku tulus.
Cowok itu berjalan ke depanku. Mengulurkan tangannya. "Nama kamu siapa" Saya Niko..."
WOW! Kayaknya aku emang berjodoh dengan NIKO. Bayangin dong, juga nama cowok itu
terus mengejarku kemana-mana.
"Nama aku Lilia! Emmh... Jadi aku manggilnya Oom Niko ya?" ujarku balas menyalaminya.
"EH! Jangan! Niko aja! Gak usah pake Oom! Saya kan masih muda," jawabnya cepat.
"Gak boleh!" balasku. "Bisa dimarahin sama Papa ntar... masak manggil orang yang lebih tua
pake nama doang sih?"
Cowok berkacamata sin... eh... salah... cowok bernama Niko itu ketawa kecil. "Hahaha... Iya
juga ya! Oke, kamu panggil saya Kak Niko aja gimana?"
Aku menimbang-nimbang sejenak. Sounds good! "Okeh! Nah, kalau manggilnya Kak Niko,
Papa pasti setuju. Aku gak bakal dimarahin deh!!" ujarku sambil mengedipkan mata.
"Hahahaha... kamu tuh nurut banget ya sama kata-kata papa kamu?"
"Iya dong! Aku kan sayang banget sama Papa!" ujarku bangga.
"Hmmm... kamu manja banget sama papamu kayaknya" Mama kamu gak cemburu tuh?"
Rasanya aku tersedak mendengar ucapannya. Aku tiba-tiba terdiam. Gak tau mau menjawab
apa. "Aa..." "LILIA!!" Aku menengok. Papa berdiri di depan pintu ruang rapat yang terbuka. Finally, rapat sialan
itu selesai juga! Papa berjalan ke arahku. Aku langsung mengandeng lengan Papa yang kokoh. "Papa!"
"Maaf, Sayang! Kamu nunggu kelamaan ya" Pak Toddy bikin rapat mendadak, Papa gak
sempat bilang ke kamu," ujar Papa sambil mengelus rambutku. Nah, ini dia nih kebiasaan
Papa yang paliiiiiiiing aku sukai, mengelus rambutku. Biar jengkel kayak apa pun, kalau Papa
sudah mengelus rambutku pasti kemarahanku langsung menguap semua.
Papa menoleh ke arah Kak Niko. "Oh ya, Anda siapa ya?" tanya Papa ramah tapi dengan
pandangan yang menyelidik.
"Saya..." Belum sempat Kak Niko menjawab, terdengar suara nyaring nan merdu dari belakangku.
"Pak Marcello..."
OH GOD! ITS A NIGHTMARE!! Gak usah nengok aku juga tahu itu pasti suara Lidia yang centil
itu. "PA! AKU LAPER!! AYO CEPET YUK!" Aku langsung menarik-narik tangan Papa menuju lift
yang terbuka. Kali ini aku gak akan membiarkan Lidia memonopolinya.
"DAAAH... OOM... eh salah... DAAAH, KAK NIKOOO!!!"
4 MEMORY ABOUT YOU PERLU waktu sekitar tiga detik buat gue untuk melambaikan tangan setelah melongo
melihat cewek SMA itu menarik-narik papanya masuk lift. Gila! Masih ada ya orang ajaib
kayak gitu. Siapa namanya tadi" Oh ya, Lilia!
Hei!!! Ini kayak bukan gue aja! Biasanya gue butuh diingetin berapa kali nama cewek yang
kenalan sama gue. Soalnya banyak banget, man! Tapi kenapa gue langsung ingat nama
cewek satu ini" Hmm... gak salah-salah amat sih! Siapa sih yang gak ingat sama cewek
nyentrik begitu" Gue melirik cewek berpakaian matching yang berdiri gak jauh dari gue. Sekretaris kantor ini.
Dia menghela napas superdongkol. Hahaha... jadi pengin ketawa! Pasti dia sebel banget
melihat tingkah si Lilia. Kalau gue gak ada, mungkin kursi-kursi di sini sudah dilemparlemparin sama dia.
Kayak kata teman gue si Yoyo, "Jangan remehkan the power of angry woman! Mereka bisa
memorak-porandakan dunia!" Itu benar banget! Waktu gue masih kuliah, pernah ada cewek
yang... ehm... naksir gue, trus dia nekat nembak gue. Meski tu cewek lumayan cantik dan
bodynya keren, tetap aja gue alergi lihat cewek agresif banget kaya gitu. Dan berakhirlah
kejadian itu dengan kata-kata penolakan dari bibir gue dan berbalas tamparan nyaring di
pipi gue (sadis banget tu cewek!). Masalah gak selesai sampai di situ. Cewek tadi dengan
kejamnya malah menyebarkan gosip gue gay. BAYANGIN"! MINTA DIGAMPAR BANGET,
KAN"! Dan gue harus ngerasain hari-hari paling menyebalkan sejagat raya sejak gosip murahan itu
tersebar. Saat gue masuk ke kantin, ada beberapa cowok yang takut dekat-dekat gue.
Mereka malah sampai pindah meja gara-gara takut duduk dekat gue. Sialan! Walaupun gay
beneran, gue pasti pilih-pilih! Gak asal tangkap orang kayak mereka.
Lebih parahnya lagi, sekumpulan cewek menjerit histeris mendengar kabar "fitnahan" itu,
malah satu di antaranya pingsan dengan sukses. (Kok dia yang pingsan" Seharusnya kan
gue! Aneh!) Dengan dua kejadian di atas, gak bisa dipungkiri lagi satu-satunya hal yang sangat gue idamidamkan saat itu adalah mematahkan tulang-tulang cewek sialan itu. Tapi sebagai cowok
gentle dan sangat menghargai cewek, gue hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat dan
menahan diri. Kalau gak, tu cewek pasti sudah terkapar di ruang ICU.
Untung yang namanya gosip pasti reda dengan sendirinya. Yaaah, ternyata masih banyak
manusia normal yang percaya gue memang cowok tulen. Salah satunya Nina, cewek cantik
blasteran Batak-India itu. Apalagi setelah itu gue pacaran dengan Nina. Lenyap ditelan bumi
deh tu gosip. Hmm... Nina"! Gue jadi ingat lagi sama dia. Apa kabar dia sekarang" Hhhh... mungkin
sekarang Nina tertawa senang melihat gue mikirin dia kayak gini. Yah, tertawa senang dari
atas sana. Hhhhh... gue jadi teringat lagi saat terakhir kali gue ketemu Nina...
"Denger dulu, Nin... Aku..."
PLAK!!! Sebelum gue menyelesaikan kata kelima, Nina telah terlebih dulu menampar gue.
MY GOD! Dongkol banget gue! Kenapa sih cewek suka banget ngegampar cowok"
Yang paling bikin jengkel, kenapa dia gak mau dengar penjelasan gue dulu"
"Gak perlu banyak ngomong, Nik... Foto ini buktinya!" seloroh Nina dengan pandangan
sedingin es. Dia jelas gak mau tahu kata-kata gue selanjutnya. Apalagi di tangannya ada tiga
lembar foto penyebab masalah itu.
Dan... seperti adegan-adegan dramatis di sinetron yang dibuat slow motion, Nina
melemparkan foto-foto itu ke muka gue, lalu membalikkan badan dan pergi. Gue hanya bisa
memandangi kepergiannya. Kaki gue yang ingin bergerak mengejar, tapi otak
memerintahkan gue untuk diam. Mulut gue ingin meminta dia untuk kembali, tapi harga diri
gue bilang TIDAK! Gue menatap foto-foto yang tergeletak di bawah kaki gue dan
menendangnya dengan penuh amarah.
Sejak saat itu Nina pun hilang dari kehidupan gue. Saat itu gue mati-matian menekan
perasaan gue supaya tetap cuek dan gak peduli.
"Terserah dia!" maki gue berulang kali tiap Lola mengingatkan gue untuk kembali pada Nina
dan menjelaskan masalah sepele itu. Bagaimanapun juga gue tersinggung sama sikap Nina.
Dia dengan seenaknya menuduh gue selingkuh, tanpa mau dengar penjelasan gue dulu.
Padahal gue pergi nonton sama Lola kan bukan berarti gue selingkuh.
Lola itu sahabat gue. Dia baru saja divonis kena kanker payudara. Terang saja gue sebagai
sahabat merasa prihatin. Waktu itu gue ingin menghibur Lola, makanya gue mengajak dia
nonton. Dan saat itu, Lola tiba-tiba pusing, makanya gue tuntun dia biar gak jatuh. Sialnya,
adegan itu disaksikan Devi, cewek cantik bermulut tajam kayak durian.
Devi pun langsung beraksi manas-manasin Nina bak provokator. Devi yakin banget gue
selingkuh. Dengan cerdasnya, Devi sempat mengambil beberapa foto gue dan Lola dengan
HP berkamera miliknya. So, gue bisa apa" Nina sudah cemburu buta waktu itu dan gak bisa
mikir pakai akal sehat lagi. Terus terang, gue sebenarnya heran juga, apa yang dicekokin si
Devi ke Nina" Kok Nina sampai menelan bulat-bulat berita itu"
Tapi sebagai cowok, saat itu harga diri gue juga tinggi. Gue gak mau capek-capek ngejelasin
semuanya dan minta maaf ke dia. Ngapain gue mengejar-ngejar cewek yang gak percaya
sama pacarnya sendiri" Silakan pergi! Masih banyak cewek lain di dunia ini.
Sampai suatu hari... Entah beberapa bulan kemudian (yang bagi gue rasanya sudah berabadabad), gue akhirnya ketemu Nina lagi. Nina gak berubah. Dia tetap cantik, hidungnya tetap


U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mancung, tahi lalat di sebelah matanya juga gak berubah. Dan yang paling penting, dia tetap
memberikan desiran-desiran aneh di hati gue.
Tapi saat itu gue sudah gak bisa ngobrol dan bilang maaf lagi sama dia... karena Nina yang
gue temui saat itu sudah terbujur kaku di kotak jenazah berpelitur indah. Dia meninggal
dalam upayanya menggugurkan kandungan di tempat praktik ilegal. Nina melakukan
tindakan itu karena kekasih barunya yang brengsek gak mau bertanggung jawab. Gue
dengar, usia kandungan Nina saat itu sudah tiga bulan.
SUMPAAH! Gue kalap waktu itu. Kalau gak ditahan, mungkin gue sudah mengobrak-abrik
rumah cowok itu. Gue gak puas kalau cowok itu gak gue bikin babak belur dulu.
Dan saat itu gue baru sadar sebenarnya gue masih sayang sama Nina. YA TUHAAAN!!!
Bodoh banget gue!! Gue menyesal banget sudah ninggalin Nina. Kalau dia masih cewek gue,
Nina gak bakal ketemu bajingan itu, mereka gak bakal pacaran, mereka gak bakal ngelakuin
hubungan terkutuk itu, dan Nina gak bakal dipanggil Tuhan secepat itu.
Hhhh... Kenapa cowok dilahirkan dengan gengsi selangit dan mereka akhirnya harus jatuh
terpuruk karena mempertahankan gengsi"!
"NIKO!!!" Semua lamunan gue tentang Nina langsung buyar mendengar teriakan bernada terkejut itu.
Gue menoleh. Dan seperti yang gue tebak, di belakang gue, Bokap berdiri dengan mulut
ternganga, pasti gak percaya lihat gue datang ke sini.
"Wah! Kalau tahu kamu datang, pasti rapat tadi dibatalkan...," ujar Bokap dengan yakinnya.
Gue cuma bisa mendengus pelan. Alasan! Gak mungkin banget! Bisa-bisanya bokap
ngomong kayak gitu. Asal kalian tahu, buat Bokap, gue tuh anak angkat. Sedangkan anak
kandung Bokap yang sebenarnya adalah kantor ini.
"Kamu sendirian, Nik?"
"Iya!" jawab gue pendek.
"Teman kamu Nina gak ikut?"
FOR GOD'S SAKE!! Gue langsung melotot. Lihat! Inilah bokap gue! Gak berusaha tahu secuil
pun tentang gue. Dia bahkan gak tahu gue dan Nina sudah putus dari zaman dulu kala, dia
gak tahu Nina sudah meninggal, dan dia juga gak peduli setelah Nina ada Miha, Viora,
Bonita, Vallery, Meidy, Sayuri, Adel, Paula, Lola, dan sederet nama lain yang sempat
bergelar sebagai cewek gue. Yah, sejak itu status gue berubah. Dulu gue sampai disangka
gay, tapi setelah itu semua orang tahu gue playboy.
Bokap GAK TAHU soal itu semua! Dia gak tahu dan gak mau tahu! Dan menurut gue, dia
memang gak perlu tahu. "Nina lagi pergi," jawab gue asal. Tapi ada benarnya, kan" Nina memang pergi. Pergi selamalamanya ke surga sana.
"Ooohh," jawab Bokap pendek.
Lagi-lagi gue mendengus. Gue tahu Bokap cuma basa-basi nanyain Nina. Gue berani
taruhan, kalau gue bilang Nina lagi main layang-layang terus nyangkut di genteng pu, pasti
Bokap juga cuma bakal bilang "Oooh".
Detik ini juga gue sadar salah banget datang ke sini. Ngapain gue capek-capek menunggu
dua jam demi makhluk gak berperasaan di hadapan gue"! Gue memandang map yang gue
pegang dengan kesal. Padahal hari ini gue pengin nunjukin prestasi hebat gue ke Bokap. Gue
pengin bikin dia bangga. Lagi pula, memang sudah seharusnya Bokap bangga. Sudah banyak banget prestasi hebat
yang gue ukir. Gue lulus dalam waktu tiga stengah tahun dengan predikat cum laude dari
universitas negeri favorit. Setelah itu gue langsung diterima sebagai pegawai di kantor
akuntan yang termasuk the big five di Indonesia. Lalu dalam empat tahun masa kerja, gue
punya peluang besar diangkat jadi asisten manajer. Dan sekarang gue bikin satu prestasi
lagi. Gue baru saja dapat kabar bahwa gue berhasil mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studi S2 di salah satu universitas beken di Amerika.
Makanya, dengan semangat '45 gue datang ke kantor Bokap. Gue bahkan rela menunggu
dia selama dua jam. Dan apa yang gue dapat" Seorang ayah yang mungkin gak inget berapa
umur anaknya sekarang. "Kita bicara di ruangan Papa saja ya. Sekalian ada kerjaan yang harus Papa selesaikan," ujar
Bokap masih dengan cuek. "Oke! Gak masalah!" gue pun menjawab dengan sikap tenang dan seprofesional mungkin.
Kalau Bokap bisa cuek, gue bisa jauuuh lebih cuek lagi sama dia. Dia anggap gue rekan kerja"
Gue bakal anggap dia rival kerja! Fair, kan"
KRIUUUK!!! Bokap bengong mendengar bunyi itu.
Damn! Gue jelas panik. Ngapain juga perut gue bunyi tiba-tiba dengan gak tahu malunya.
Bokap menatap gue dan nyengir lebar. "Ngobrolnya kita pindah ke restoran seafood di
sebelah kantor ini aja kalau begitu!"
Mau gak mau, gue ikutan nyengir juga. Yaaah... udah terlanjur! Mau diapain lagi"!
Setidaknya kali ini Bokap lebih memetingkan perut gue daripada pekerjaannya itu. Gue
senang, dia ternyata cukup ngerti gue.
Diam-diam, gue nyesel juga karena sudah nyalahin Bokap macam-macam. Apa boleh buat,
Bokap memang sibuk. Tapi dia sibuk dengan kerjaannya, kan" Daripada dia sibuk selingkuh
kayak bokap teman gue, si Bono. Dan satu lagi yang gak bisa gue pungkirin, semua yang
Bokap lakukan sekarang juga ada alasannya.
Lagi pula, gue juga kan yang menikmati hasilnya"! Kalau bukan karena Bokap, gue gak akan
bisa liburan ke luar negeri dua kali setahun dan gue gak mungkin mengelilingi Jakarta pake
VW Beetle hitam gue sekarang.
Bokap merangkul pundak gue dengan akrab, membuat gue merasa kembali ke zaman dulu,
seperti anak SD yang minta dibeliin es krim sama bokapnya. Yaaah... berapa pun umur gue
sekarang, kalau bisa nyicipin kasih sayang Bokap lagi, gue rela-rela aja kok balik jadi diri gue
waktu kecil. "Mama sedang apa di rumah?" tanya Bokap pada gue.
Gue menghela napas. "Mama pasti sedang kangen sama Papa..."
5 LIDIA DAN LILIA AKU menarik Papa masuk lift, meninggalkan Lidia dan Kak Niko terbengong-bengong di luar
sana. "ADDDUU... DUUUH!!! Paaa... sakit dooong!" aku menjerit ketika Papa dengan teganya
menjewer kupingku. "Kamu apa-apaan sih, Li" Malu, kan! Masa kamu menarik-narik Papa di depan umum kayak
gitu! Kamu kan udah besar, Li. Udah kelas dua SMA loh..." protes Papa padaku.
Ah, Papa! Kalau sudah kelas dua SMA kenapa aku dijewer seperti anak TK begini" "Lagian
sih..." "Lagian apa?" potong Papa. "Papa juga belum sempat ngomong sama Oom yang tadi
ngobrol sama kamu itu..."
Aku langsung mendelik. "Papa! Kok Oom sih" Itu namanya Kak Niko...," ralatku cepat. Eeh!
Kok aku sempat-sempatnya ngebelain cowok itu" Aku juga tadi memanggil dia Oom.
"Yah... okelah! Kak Niko... Tapi dia ada perlu apa?" tanya Papa lagi.
"Mana Lilia tahu! Katanya sih bukan lagi minta sumbangan. Tanya sendiri aja sana,"
jawabku. Papa menghela napas, lalu menurunkan intonasi suaranya. "Gimana Papa bisa nanya kalau
kamu narik-narik Papa kayak gitu tadi... Lagi pula..."
"Lagi pula apa?" gantian aku yang sewot. "Lagi pula, Lidia manggil Papa, kan?"
Gantian Papa yang mendelik sekarang. "Bukan Lidia! Dia Tante Lidia! Kamu harus sopan
sama orang yang udah tua dong, Li."
Aku otomatis pasang tampang supercemberut. Kok Papa malah belain si Lidia itu sih"! Bete!
Papa melihat ke arahku, jelas banget dia tahu aku marah. Papa hendak mengelus kepalaku,
tapi HP-nya berbunyi saat lift tiba di lantai dasar. Hasilnya, Papa mengangkat HP, kepalaku
dicuekin. Aku makin bete!
"Ooh... iya... iya! Maaf ya tadi..." Papa ngobrol di telepon, entah dengan siapa.
"Iya, saya sama Lilia mau makan. Lilia kamu mau makan apa?" tanya Papa sambil
menatapku. "Makan batu!" ujarku kesal. Makan apa" Biasanya Papa gak perlu tanya. Papa kan tahu aku
suka banget makan seafood di restoran sebelah kantornya itu.
"Ooh... nggak! Gak pa-pa! Kami mau makan di restoran seafood sebelah kantor ini. Oh,
boleh! Kita bareng saja!"
Papa menutup telepon, dia senyam-senyum menatapku. "Papa yakin, kepiting itu jauh lebih
enak dari batu, Li. Kita makan di restoran seafood aja ya"!" ujarnya sambil merangkul lalu
mengacak-acak rambutku. Aku mendongak, memasang tampang cemberut. Papa tersenyum sambil menjawil
hidungku. Mau gak mau, aku ikut tersenyum dan akhirnya memeluk lengan Papa. Kami
berdua berjalan menuju restoran seafood kesayanganku.
*** "Kepiting dua, udang rebus dua porsi, kerang darah dua porsi juga. Minumnya jus avokad
dan air putih," ujarku pede kepada pelayan restoran. Dia mengangguk-angguk, mencatat,
lalu pergi meninggalkanku.
Eh" Kok dia pergi" Aku kan belum selesai. "MAS! MAS! TUNGGU!" teriakku. Orang-orang di
sekitar kami menengok semua. Papa memberiku kode supaya jangan berisik.
Pelayan itu kembali. "Kenapa, Mbak" Ada yang kurang?" tanyanya ramah. Nah, satu lagi
kelebihan restoran ini. Semua pelayannya ramah banget. Gak peduli aku cuma anak SMA.
Soalnya yang dateng kan orang kantoran semua.
"Ada yang kurang gimana?" gerutuku. "Papa belom mesen, langsung ditinggal."
Pelayan itu mengerutkan dahi lalu meneliti menu pesananku tadi. "Bukannya udah semua"
Kepiting dua, udang rebus dan kerang juga dua. Minumnya jus avokad dan air putih, kan?"
"Itu semua pesanan saya, Mas! Papa belom."
Pelayan itu kontan bengong. Orang-orang di sekitar kami ketawa cekikikan. Papa cengarcengir di sampingku. "Maklum aja, Mas! Lilia kelaperan."
Pelayan itu menggaruk-garuk kepala lalu kembali mengeluarkan pensilnya. "Bapak mau
pesen apa?" "Sama seperti Lilia," ujar Papa. "Tambahin kangkung cah buat sayurnya, trus minumnya jus
ketimun dan air jeruk."
Pelayan itu membelalakkan mata. Takjub campur heran. Gila! Anak-beranak selera
makannya kayak kuli begini.
Tapi yang membelalakkan mata gak cuma pelayan itu aja kok. Aku juga.
"Papa mesennya kok banyak banget sih?" tanyaku heran. Ini kayak bukan Papa aja. Papa
juga doyan seafood sih, tapi gak segila aku. Dan Papa biasanya memesan ikan bakar,
bukannya udang atau kepiting. Satu lagi yang membuat kebingunganku bertambah, Papa
gak pernah memesan jus ketimun sebelumnya.
"Papa juga ngundang orang lain makan bareng kita di sini, Li," ujar Papa.
Aku langsung lemas mendengar penjelasan Papa. Uuugh, Papa payah! Aku kan pengin
berdua sama Papa saja hari ini. Aku bahkan belum sempat memamerkan nilai ulangan
matematikaku. "Paa... kita berdua aja dong!" pintaku dengan sangat memelas.
"Jangan manja begitu dong, Lia. Papa kan sepenuhnya bareng-bareng sama kamu kalau
udah nyampe di rumah!" Papa berusaha memberikan pengertian padaku.
Hhhh... aku menghela napas jengkel. Memangnya kenapa" Masa aku gak boleh berduaan
dengan papaku sendiri"
"Hmmm... kamu maja banget sama papamu kayaknya" Mama kamu gak cemburu tuh?"
DEG! Aku langsung terdiam. Kenapa justru kata-kata cowok itu yang terngiang-ngiang di
kepalaku" Pertanyaan tentang Mama yang sebenarnya gak ingin kujawab.
MAMA!!! Ya Mama!!! Dua belas tahun telah berlalu. Sejak saat itu aku kehilangan sosok
untuk kupanggil Mama. Masih sangat jelas dalam ingatanku bagaimana wajah Papa saat aku bilang aku ingin beli
pesawat untuk pergi mengunjungi Mama di surga...
Dua belas tahun yang lalu...
Papa menatapku dengan pandangan paling sedih yang pernah aku lihat. Aku tahu Papa
hampir menangis. Aku langsung naik ke pangkuannya dan memeluk Papa.
"Pa... Papa tenang aja! Aku gak pergi sendirian. Papa pasti kuajak! Kita bareng-bareng ke
sana ya Pa..." Papa langsung memelukku erat. Perlahan kurasakan cairan hangat menyentuh pundakku.
Papa menangis. Sayangnya, saat itu aku terlalu polos dan bodoh untuk mengetahui kenapa Papa menangis.
Dan karena gak mau capek-capek mikir, aku ikutan nangis juga.
Akhirnya Papa sibuk menenangkanku, dan kami pergi ke bank keesokan harinya untuk
menabungkan uangku. (Aku ingat banget bagaimana tampang melongo teller bank itu) dan
sepulang dari bank, Papa mengajakku makan es krim di Swensens.
Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit aku mulai memahami arti kepergian Mama ke
surga. Aku sadar, naik pesawat luar angkasa sekalipun aku gak bakal bisa menemui Mama
lagi. Kecuali kalau pesawat yang kunaiki itu meledak. Aku juga mengerti apa arti tanda salib
di pusara Mama yang bertuliskan Rest In Peace. Ya, Mama meninggal karena kanker rahim
yang dideritanya. Mama pergi meninggalkan aku dan Papa untuk selama-lamanya. Dia pergi
dalam tidur tenangnya. Dan melalui penjelasan guru Sekolah Minggu-ku, aku tahu Mama
sekarang duduk bersama-sama Tuhan di surga sana.
Namun butuh waktu lebih lama lagi untuk menyembuhkan luka di hatiku. Bagaimana aku
harus berulang kali menahan rasa iri melihat teman-temanku selalu diantar-jemput
mamanya ke sekolah. Bagaimana aku harus ditarik Papa ketika aku juga ingin dielus
rambutnya oleh wanita yang sedang mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang
di depan mataku. Bagaimana aku dengan ganas langsung menerjang teman sekelasku,
Malikha, karena dia dengan sombongnya memamerkan bekal buatan mamanya di
hadapanku. Hmmm... aku paling ingat yang terakhir. Aku ingin mencakar Malikha dengan sepenuh hati.
Hasilnya, Malikha menangis meraung-raung dan Bu Guru dengan senang hati langsung
menghukumku. Ia memberiku tugas superkejam. Aku harus menulis, AKU GAK AKAN
BERTENGKAR LAGI DENGAN TEMANKU sebanyak dua puluh lembar bolak-balik di buku
menulis halus. Aku mengerjakan tugas ini sambil menangis di rumah. Papa sibuk menghiburku dan bilang,
"Bu Guru gak bermaksud jahat, Sayang..."
Dalam sedu sedanku, aku memeluk Papa. "Malikha bukan temanku! Aku gak mau disuruh
berjanji sebanyak ini..."
"Li..." Aku tersentak. Tangan Papa dengan lembut mengelus kepalaku.
Aku tersadar dari lamunan dan menatap Papa. Papa juga menatapku dengan wajah penuh
kesabarannya itu. Aku menghela napas. Harus kuakui kata-kata Papa ada benarnya. Aku selalu memonopoli
Papa selama ini. "Maaf ya, Pa!" ujarku lirih.
Papa tersenyum menatapku. "Maaf apa nih" Kok tiba-tiba" Jangan-jangan nilai ulangan
matematika kamu dapat jelek, ya?"
Heh! Ulangan Matematika"! Aku langsung mendelik senang menatap Papa. Inilah saatnya!
Aku langsung merogoh isi tasku dan mengeluarkan selembar kertas. Kusodorkan kertas itu
tepat di hadapan muka Papa, supaya Papa bisa melihat angka 100 itu dengan sejelasjelasnya.
Aku menurunkan kertas itu dan kulihat Papa tersenyum lebar. "Kamu mau minta apa?"
tanya Papa langsung tanpa basa-basi.
YEESS!!! Ini dia yang aku tunggu-tunggu. Kesempatan itu datang!! Dan saat aku hendak
menjawab, datanglah seseorang ke meja kami...
"Maaf terlambat!"
Saat itu juga, hilanglah semua mood baikku hari ini. Lenyap jugalah semua kata-kata di
mulutku. Dan yang paling parah, nafsu makanku juga langsung ikut lenyap entah ke mana.
"Halo, Lilia...," ujar orang itu ramah.
Demi sopan santun, aku memaksakan senyuman. Padahal aku ingin sekali melemparkan
kaus olahragaku ke mukanya.
"Wah, kebetulan Lidia dateng," ujar Papa dengan senyum terkembang.
Lidia duduk di sebelahku dan dengan sok manis mengajakku ngobrol, dia juga memuji nilai
ulangan matematika-ku ("Wah, kamu bisa nyaingin Einstein ntar!").
Aku cuma bisa nyengir bego mendengar komentar jayusnya. Apa dia gak sadar aku bete
berat" Huh!! Ngapain juga dia ikutan duduk di sini"!
Saat makanan datang, aku sudah benar-benar gak nafsu makan lagi. Kepiting saus tiram di
hadapanku tiba-tiba berubah jadi kayak batu. Hhh... daripada duduk di sini sama Lidia
mendingan aku makan batu beneran!
"Lilia... kamu mau cemberut sampai kapan" Kok kepitingnya didiemin" Kamu kan doyan
banget kepiting?" tanya Papa lembut padaku.
Aku melengos dan tetap cemberut. Gak mau tahu! Kali ini aku benar-benar mengibarkan
bendera perang sama Papa.
"Saya mau permisi ke toilet dulu yaa..." Lidia bangkit dengan sopan lalu melenggang
menjauh. "Lilia!" Papa memanggilku.
Aku mendongak, Papa menatapku dengan pandangan bingung. "Kamu kenapa sih, Li?"
"Lilia gak suka ada Lidia!" ujarku cepat. Tuh, namanya saja ikut-ikutan namaku. Lidia dan
Lilia! Cuma beda satu huruf begitu, kan jadi susah ngebedainnya. Awas saja kalau Papa
sampai salah panggil. "Dia kan cuma ikut makan dengan kita... kenapa sih" Lagi pula, dia baik banget sama kamu
kok..." Aku hanya diam. Itulah Papa! Suka bego! Bayangin, Papa jadi baik banget sama Lidia garagara Lidia baik sama aku. Yaaah... jelas saja dia baik sama aku, dia kan mau mengambil hati
Papa lewat aku. Maaf saja! Aku gak bakal tertipu!
Seperempat jam berlalu...
Cacing-cacing di perutku sudah berteriak dengan suara bulat. "LAPAAAAR!!!" Oke, aku ralat
kata-kataku tadi. Tadi aku bilang nafsu makanku hilang karena lihat Lidia. Tapi karena lihat
Papa makan dengan lahapnya, otomatis selera makanku kembali dengan sukses. Namun
demi gengsi dan kehormatanku, aku menahan diri untuk gak menyentuh kepitingku.
Lidia kembali dari kamar mandi. Samar, tercium bau parfumnya yang enak dan lembut.
Hmmm... pasti dia tadi menyemprotkan parfum banyak-banyak di kamar mandi. Genit
banget! "Maaf ya lama," ujar Lidia sopan. Dia memang selalu sopan.
"Oohh, gak pa-pa... Pasti tadi Tante Lidia bingung, mau nyemprotin parfumnya sepuluh atau
dua puluh kali, kan?" sindirku kejam.


U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Papa langsung memelototi aku. Aku sok cuek.
Herannya, Lidia justru terbelalak lalu tertawa. "Kok kamu tahu" Kamu lihat ya tadi?"
Aku bengong. Ajaib! Dia mengakuinya!
Lidia langsung bicara lagi. "Tadi ada orang yang muntah di kamar mandi, Pak! Waaah,
suasana langsung kacau! Mungkin orang itu kebanyakan makan kepiting atau apalah. Nah,
otomatis jadi agak bau amis. Cleaning service udah ngelap muntahnya, tapi samar-samar
masih kecium. Kasihan kan orang lain yang datang ke toilet, mereka jadi males masuk. Ya
udah, saya semprotkan parfum aja ke sekeliling ruangan. Orang yang muntah juga saya
semprot, soalnya bajunya kan juga kena sedikit tadi. Kasihan kalau sampai teman duduknya
meremehkan dia." OOHHHH!!! Aku terbelalak! Alangkah mulianya Lidia! Menyemprotkan parfum Elizabeth
Arden di sekeliling ruangan kamar mandi"! Ck... ck... ck... alasan macam apa itu" Bohong
banget! Pintar juga dia mengarang alasan sepanjang itu. Bisa nangis si Elizabeth Arden kalau
tahu parfumnya disemprotin kayak nyemprot obat nyamuk.
Namun efek samping kata-kata Lidia ternyata cukup hebat, Papa langsung menatap Lidia
dengan pandangan penuh kekaguman.
"Kamu baik sekali," puji Papa. Aku mendengus pelan.
"Aku mau ke toilet...," ujarku cepat sambil bangkit dari kursi. Aku ingin membuktikan katakata Lidia tadi. Dia mungkin bisa bohongin Papa, tapi jangan coba-coba membohongi aku.
Sialnya, aku bergerak terlalu cepat dan...
GUBRAAK! Aku bertabrakan dengan seseorang yang sedang melangkah melintasi meja kami.
Aku terjatuh! Sialan! Apa gak tahu aku lagi buru-buru"
Aku mendongak dan langsung menyemburkan makian. Dan... aku benar-benar gak
memercayai penglihatanku...
Cowok sinis berkacamata tadi... alias KAK NIKO...
6 KETEMU LAGI!!! UNTUK kesekian kalinya, gue bengong lagi hari ini. Subjek yang bikin gue bengong pun
sama! Tak lain dan tak bukan, anak SMA slebor itu! LILIA! Bayangin, gak ada ujan... gak ada
angin... tiba-tiba dengan seenaknya dia nyeruduk gue kayak banteng.
"Hati-hati dong!" desisnya kesal.
Yeee!!! Kok jadi dia yang nyolot" Jelas-jelas dia yang barusan nabrak gue! Anak SMA zaman
sekarang memang suka gak sadar diri. Masih kecil tapi sudah berani kurang ajar sama orang
yang lebih dewasa! Lilia mendongak, kami berpandangan. "EEEH?"" KAK NIKOOO?""!!!" jeritnya spontan.
Serentak orang-orang di sekitar menengok. Hahaha... gue jadi terbiasa dengan
pemandangan seperti ini. Kalau berada di sekitar Lilia, siap-siap jadi seleb! Bakal dilihatin
orang terus. Suasana dijamin jauh dari sepi kalau ada di dekat dia.
"Kamu kalau jalan pelan-pelan dong!" ujar gue sambil mengulurkan tangan pada Lilia.
Berniat baik untuk membantunya berdiri. But, cewek SMA satu ini memang tengil. Dia
nyuekin tangan gue yang sudah terjulur di depannya. Dia malah bangun sendiri, lalu
menepuk-nepuk roknya. "Kak Niko gak pa-pa?" tanya Lilia sambil memerhatikan aku dari atas sampai bawah. "Gak
sakit, kan?" Loh" Setelah nyuekin tangan gue, dia sekarang malah nanyain gue" Jelas-jelas dia yang
jatuh. Ck..ck..ck.. anak ini mungkin satu spesies sama badak bercula satu, perlu dilestarikan.
"Gak pa-pa kok," ujar gue ramah. "Kamu kok buru-buru sih" Mau ke mana?"
"OH MY GOD!" Lilia berteriak sambil menepuk dahinya keras-keras. "Tuh kan jadi lupa. Udah
dulu ya, Kak. Mau ke toilet nih! Daaah..."
Lilia tanpa ba-bi-bu langsung ngeloyor pergi. Gue kembali berbengong ria. Makhluk macam
apa yang bisa lupa kalau mau ke toilet"
"Jadi ini Kak Niko yang disebut-sebut Lilia tadi?" tanya papa Lilia ke gue. Gue menatap beliau
dan tersenyum ramah. Tapi papa Lilia langsung tersentak lihat orang yang berdiri di sebelah
gue, "Oh! Selamat siang, Pak Toddy!"
Bokap tersenyum penuh wibawa ke papa Lilia. Gue cuma bisa mendengus pelan melihatnya.
Yaah! Begitulah gaya bos-bos perkantoran. Agak gila hormat!
"Makan siang rame-rama ya, Pak Marcel?" tanya Bokap.
"Iya, Pak! Bapak juga silakan bergabung."
Gue terbelalak. Dalam sekejab mereka berdua langsung larut dalam obrolan seputar
pekerjaan kantor. Kebetulan sekretaris kantor itu juga ada, lengkaplah sudah. Rapat hari ini
berlanjut di restoran seafood.
Biasanya pembicaraan tentang pekerjaan mampu menyita perhatian gue. Teman-teman aja
sampai ngasih gue julukan workhaholic. Yah, sama kayak kata pepatah, buah apel gak jatuh
jauh-jauh dai pohonnya. Gue jadi gila kerja karena Bokap juga gila kerja. Kami memang
butuh pekerjaan buat menghilangkan pikiran-pikiran yang berseliweran di kepala. Bedanya,
gue masih ingat bahwa jam lima sore itu jam pulang kantor. Sedangkan Bokap, kalau gak
diteleponin, gak bakal ingat dia masih punya rumah.
Tapi, hari ini entah kenapa, gue jadi agak-agak alergi. Soo, daripada gue bergabung dengan
mereka mending gue ke tempat lain deh. Tapi ke mana ya enaknya" Hmmm... toiletnya
aman sih" *** Cuma butuh tiga menit buat gue di toilet cowok. Tapi... setelah itu gue bingung sendiri. Mau
ngapain" Begabung dengan tiga orang yang lagi membahas fluktuasi, jatuh tempo, kenaikan
saham, dan sebagainya jelas bukan hal yang gue inginkan hari ini.
KRIEEK!! Gue lihat pintu toilet wanita terbuka dan Lilia keluar. Gue tersenyum, tapi dia
dengan begonya malah gak melihat gue. Dia lagi bersungut-sungut. "Ternyata emang
wangi..." Gue refleks menarik tangannya. Lilia terkejut.
"Eh, Kak Niko, kenapa?"
"Eh... Apanya yang wangi?" tanya gue belepotan. My God! Ada apa dengan gue hari ini sih"
Masak salting di depan anak SMA"
"Parfumnya... ternyata jadi wangi... Elizabeth Arden sih... orang muntah udah gak ada...
yang disemprot benar-benar seluruh ruangan kali..." Lilia nyerocos gak jelas.
HE" Apa" Dia ngomong apa barusan" Parfum Elizabeth Arden bikin orang muntah" Masa
sih" Aaah... Bodo amat deh! Gue kembali memandang Lilia dengan antusias. "Eh, Lilia... Kita
keluar aja yuk! Papa kamu lagi sibuk ngobrol sama papaku tuh. Bisa lama," usulku tiba-tiba.
Lilia menjulurkan kepala, mengintip ke meja tempat papanya dan Bokap duduk bareng. Dia
pun langsung alergi datang ke situ.
Dan karena gak punya pilihan lain, Lilia pun mengangguk.
*** Gue dan Lilia akhirnya makan berdua di warung tenda dekat situ. Gue dengan sukses
menghabiskan dua piring nasi uduk, satu ayam goreng, dan tiga tempe. Gue melirik Lilia
yang duduk di sebelah gue. Dia juga makan dengan lahap. Kayaknya dia benar-benar
kelaparan. Kasihan juga gue melihat dia. Jangan-jangan dia tadi belum sempat makan apaapa di restoran.
"Kamu mau tambah?" tanya gue.
"Mau!" Lilia menjawab dengan pede.
Gue kontan pengin ngakak. Cewek satu ini memang jauh dari jaim. Biasanya kalau gue
makan bareng cewek, gue bakal menyaksikan cewek-cewek yang makan ala putri keraton
yang lagi diet. Pelan dan dikit. Tapi cewek di samping gue ini jelas beda. Dia dengan cueknya
makan aja tuh! Padahal badannya kecil, tapi makanan segitu banyak lenyap semua di
mulutnya. Mungkin usus dia sampai jari kaki.
Gak sampai menit ketiga puluh, Lilia sudah menandaskan piring keduanya. Dia tersenyum
puas. Mau gak mau gue jadi ketawa melihat gayanya.
Sementara Lilia mengelap mulut dengan tisu, gue mengeluarkan dompet dari saku celana.
Yah, sebagai cowok sudah semestinya gue bayarin cewek ini makan dong! Apalagi dia masih
SMA. "Berapa Bang?"
"Tujuh belas ribu," jawab penjual itu.
Dengan gaya, gue mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompet.
Penjual nasi uduk itu geleng-geleng kepala. "Maaf, Mas! Gak ada kembaliannya! Pake uang
kecil aja." Gue kontan bengong. Mampus! Gue coba buka dompet gue lagi. Gak ada! Isinya cuma uang
seratus ribuan. Gue merogoh saku kameja. Cuma ada selembar uang lima ribu. Gue rogoh
saku celana. Ada dua keping uang lima ratusan. My God! Gue mulai panik. Duh, mereka
nerima kartu kredit gak, ya"
Dan tanpa gue sangka-sangka, Lilia menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan miliknya
ke penjual itu. "Pake ini aja," ujarnya.
GUBRAK!!! Bumiiiii... telan gue sekarang juga! Gilaaaa... Gue dibayarin sama anak SMA"!
Mau ditaruh di mana muka gue?"!!
"Jangan, Li! Biar saya aja yang bayar," potong gue.
"Abangnya gak punya kembalian tauuu... siang-siang begini dia kan emang baru buka..." Lilia
membela diri. "Jangan dong! Biar saya aja," cegah gue lagi.
"Udah! Pake uang Lilia aja," ujar Lilia ngotot sambil menyodorkan uang itu lagi ke
penjualnya. Penjual itu hendak meraih uang Lilia, tapi gue langsung menepis tangannya. "Heh, Bang, niat
jualan gak sih" Masa gak punya kembalian?" tanya gue sewot.
Lilia menoleh ke gue, pandangannya tampak gak suka. "Kak Niko ngotot banget sih,"
ujarnya. "Kamu juga ngotot! Kan udah saya bilang, saya aja yang bayar!" balas gue sewot.
Penjual nasi uduk itu kontan bengong, menyaksikan gue dan Lilia berebut bayar.
"LILIA AJA KENAPA SIHHH?"!!" jeritnya kesal.
"Eh, kamu kok teriak-teriak sih" Gak malu apa?" kata gue kesal. Tukang-tukang ojek di
sekitar situ jadi pada nengok.
"Lagian, Kak Niko ngotot banget sih! Makanya, kalau cuma ke warung, jangan pake uang
seratus ribuan...," sindirnya.
SREEEPS!!! Muka gue langsung merah. Ni anak nyolot banget sih! "Eh! Denger ya! Buat saya
sih gak usah dikembaliin juga gak pa-pa!" ujar gue sombong. "Ambil nih, Bang!
Kembaliannya ambil aja semua!" ujar gue sambil menyerahkan uang seratus ribuan tadi ke
tukang nasi uduk itu. Tukang nasi uduk terang aja nyureng liat rezeki nomplok di depan matanya. Mungkin ini
yang namanya pepatah "mendapat durian runtuh".
Tapi gue gak peduli deh sama si tukang nasi uduk, gue lebih memilih memandang Lilia
dengan pandangan puas dan penuh kemenangan. Lilia mendelik sebal ke arah gue dan detik
berikutnya dia langsung bangkit dari kursinya dan berjalan pergi.
YAH! Ngambek dia! Mati deh gue! Kalau dia sampai ngadu ke papanya kan gawat!
"Eh!! Liliaaa... LILIAAA... Tunggu doong!!!"
Sialnya! Lilia jalan terus, gak mau nengok. Orang-orang di situ cengengesan ngeliatin gue
dan Lilia. GILA!!! Hari ini gue apes banget sih! Sudah kehilangan delapan puluh tiga ribu perak,
dijudesin sama anak SMA satu ini, eeeh... diketawain orang-orang lagi.
Gue berhasil mendahului langkah Lilia dan menahannya tepat di depan pintu restoran
seafood tadi. "Liliaa... Hhh... hhhh... Kamu jangan marah dong!"
Lilia mendongak. Gue langsung memamerkan senyuman maut gue. Ya Tuhan!!! Semoga kali
ini berhasil. Dan... ADDOOOWW!!! Lilia dengan sangat niat menginjak kaki gue lalu melangkah masuk ke restoran.
*** Siang sudah berganti malam...
Sekarang gue lagi duduk melamun sendirian di beranda kamar bersama laptop kesayangan
gue. Di meja, HP gue meraung-raung untuk kesepuluh kalinya malam ini. Tapi gue malas banget
ngangkatnya. Gue tahu, yang menelepon pasti Maryna.
Oh ya, akhirnya gue benar-benar lupa membalas SMS Maryna tadi siang, tapi hebatnya,
Maryna ternyata pantang ditolak. Dengan semangat juang yang tinggi, dia tetep ngotot
mengajak gue ikut. Heran gue! Padahal dengan tampang kecenya itu, dia bisa dengan
mudah menunjuk cowok untuk menemani dia ke sana. Jangankan disuruh nemenin,
nyopirin doang aja rela kok! Jangankan satu orang, satu kompi tentara juga langsung pada
datang, begitu dia ngeluarin komando. Mata cowok kadang memang suka buta kalau ada
bidadari di hadapan mereka.
Kalau saat ini gue adalah diri gue yang tadi siang baru masuk ke kantor Bokap, gue pasti gak
bakal meratap sendirian di beranda kayak orang bego begini. Mending gue ke TC Kemang
bareng Maryna. Jalan bareng sama dia lumayan nyenengin lah, minimal gue bakal ditatap
dengan pandangan iri cowok-cowok di situ. Belom lagi tatapan cewek-cewek yang
mengagumi gue dan yang pasti, sirik abis sama Maryna. (Dasar manusia!! Kapan pernah
puas sama properti sendiri"!)
TAPIIII... gue yang sekarang adalah Niko yang otaknya baru terlindas truk! Niko yang katanya
cerdas sudah hilang entah ke mana. Diganti dengan Niko yang kayaknya sebentar lagi
bakalan diseret ke Rumah Sakit Sumber Waras. Pokoknya dalam hitungan delapan jam
terakhir, gue berubah total jadi orang supergeblek! Dan penyebabnya-Hhhh... malu gue
nyebutinnya!-Oke, si LILIA itu!
Sumpah! Ini bukan gue! Niko yang biasanya gak pernah peduli sama cewek ngambek. Boroboro ngambek, cewek-cewek itu malah mati-matian pasang tampang senyum di depan gue.
Nah! Sekarang"! For the first time in my life, gue benar-benar kayak orang gila nguber
cewek ngambek. Bayangin, walau kaki gue sudah hilang rasa kayak baru diamputasi garagara diinjak sama Lilia, tapi gue tetap nekat nguber dia yang berusaha masuk ke pintu kaca
itu. *** Mbak-mbak penjaga pintu yang bilang, "Selamat datang!" menatap bingung ke arah gue dan
Lilia. "Liliia... aduduuh... Liliaa... tunggu dong! Saya cuma bercanda tadi..." Gue kembali berhasil
menggenggam tangannya. Lilia nengok lagi.
"Eh, Kak... kurang ya kalau diinjek cuma sekali" Mau lagi?" tanyanya galak.
Gawat, man! Dia benar-benar marah.
"Yaah... jangan dong, Li! Kan sakit," ujar gue dengan intonasi selembut mungkin. Kalau gue
balas nyolot, yang ada kaki gue bisa gepeng diinjak sekali lagi.
Lilia tetap cemberut. Gue pegang tangannya. "Maaf ya, Lilia!" kata gue dengan nada memelas. Sumpah, ini bukan
akting! Gue benar-benar memohon maaf sama cewek ini. Oh, Tuhanku! Kenapa gue jadi
mellow banget kayak gini sih" Temen gue, Rangga, bisa melongo dan ketawa bergulingguling kalau lihat gue kayak gini.
"LILIA!!!" DEG! Gue tersentak kaget! Gue cepat-cepat menarik tangan gue yang tadi lagi memegang
Lilia. Lilia juga kaget. Gue lihat papa Lilia melambai-lambai ke arah kami. Mereka sudah selesai makan rupanya.
Sebelum gue sempat ngomong apa-apa, Lilia langsung ngeloyor pergi nyamperin papanya.
Punahlah sudah satu-satunya kesempatan gue untuk minta maaf sama cewek itu.
"Kamu ke mana aja sih, Sayang" Papa bingung nyariin kamu..." Papa Lilia langsung
mengacak-acak rambutnya dengan penuh kasih sayang.
"Makan ayam di pinggir jalan," ujar Lilia cuek.
"HAH!!" Terdengar erangan ngeri. Gue sampai melongo melihat sekretaris Bokap yang tibatiba menjerit.
"Duh! Kamu makan ayam di mana, Li" Steril gak tempatnya" Bahaya, kan!! Kamu gak takut
kena flu burung?" ujar cewek modis itu dengan nada cemas dan khawatir yang-menurut
gue-terlalu berlebihan. Lilia yang ditanya begitu diam saja. Kelihatan banget dia gak suka dinasihatin cewek itu.
Kalau boleh kurang ajar, gue pasti langsung mendengus. Sekarang gue ngerti kenapa Lilia
sebel setengah mati sama cewek itu. Sok steril banget sih! Memangnya kalau di pinggir
jalan, ayamnya gak digoreng dulu sama penjualnya"
Melihat kata-katanya gak ditanggapi, sekretaris Bokap langsung memutar otak mencari
kata-kata lain. "Tapi gak pa-pa sesekali kan gak masalah," ujarnya sok bijak.
Gue lihat si Lilia nyengir super-maksa. Gue mati-matian menahan tawa.
"OKE!" Bokap menepuk tangannya. "Kalau begitu kamu permisi dulu." Bokap menyalami
Papa Lilia, lalu tersenyum pada Lilia. "Kapan-kapan main ke sini lagi ya, Lilia."
"Iya, Oom!!" ujar Lilia penuh semangat.
Bokap berjalan ke arah pintu keluar, memberi kode supaya gue mengikutinya. Gue benarbenar serbasalah saat itu. Masih ada keinginan di benak gue untuk mencoba ngomong sekali
lagi sama Lilia. Tapi HP Lilia berbunyi. Damn! Sekali lagi, hilanglah kesempatan gue. Lilia
langsung sibuk merogoh-rogoh tas dan bicara dengan orang yang menelepon. Siapa pun
yang menelepon Lilia, dia kena sumpah serapah dari gue saat ini.
Akhirnya dengan langkah seratus persen malas, gue mengekor di belakang Bokap. Dari
sudut mata, gue masih sempat melirik Lilia, tapi dia sudah terlalu sibuk ngobrol di HP-nya.
*** BLASSSH!!! Lamunan gue lenyap seketika. Gue kembali tersadar bahwa gue masih duduk
termangu gak jelas di beranda kamar gue, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang
berputar-putar liar di kepala gue.
Gue cepat-cepat menggetok-getok kepala gue kencang-kencang. Kenapa juga gue jadi
pusing-pusing mikir" Gue sendiri gak yakin sekarang Lilia masih ingat gue atau gak.
Tapi satu hal pasti, sekarang gue menyesal banget kenapa bisa lupa minta nomor HP si Lilia
itu. BEGO BANGET GUE!!! Habis biasanya gue gak perlu repot-repot minta. Semua cewek yang kenalan sama gue pasti
langsung dengan antusias nyodorin nomor HP-nya tanpa gue minta lebih dulu. Kembali lagi
This Love mengalun dari kamar. Gue akhirnya menyeret kaki dengan malas menuju HP gue
yang lagi bergetar-getar dan melantunkan lagu Maroon 5 itu.
HE!!! Gue bengong menatap HP. Masih si Maryna juga"! Itu orang kebal banget sih!
Tiba-tiba mata gue mendelik, daripada gue gila di sini, mendingan gue ikut ke pesta!!!
"Halo," ujar gue.
Maryna langsung nyerocos panjang di ujung telepon. Gue gak tahu deh dia ngomong apa.
"Ya udah! Gue ke sana deh. Lo di mana" Biar gue jemput!" ujar gue lagi. Gak perlu lagi deh
gue basa-basi minta maaf karena teleponnya dari tadi gak diangkat. Dan Maryna memang
gak ambil pusing. Begitu dia dengar gue setuju ikut, Maryna kembali mencerocos dengan
nada penuh semangat. "Gitu dong, Nik! Thank you, yah! Aku tunggu kamu di rumah looh. Byeee!" itu kata-kata
terakhir Maryna di telepon yang berhasil gue tangkap. Yang lainnya gue gak tahu. Maryna


U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau ngomong kayak rel kereta sih, panjang banget dan gak putus-putus!
Gue mematikan laptop dan langsung ganti kemeja, nyemprotin parfum, trus ngambil kunci
mobil. Gue berlari menuruni tangga dan berpapasan dengan Mbok Siti.
"Mbok, aku pergi dulu yaahh," pamit gue ramah.
"Mau ke mana malam-malam begini?" ujar Mbok Siti.
"Ke tempat temen, Mbok," jawab gue dengan santun. Untuk makhluk yang satu ini gue
emang supersopan. Gimana nggak" Mbok Siti-lah yang merawat gue dari bayi. Mandiin,
nina bookin, nyuapi, makein baju, ngelonin, pokoknya semuanya deh. Dia orang kedua yang
gue sayang di rumah ini setelah Nyokap. Bokap nomor tiga.
"Gak pamit dulu sama Ibu?"
Gue mengangguk. Gue berjalan ke kamar Nyokap dan perlahan membuka pintu. Gue lihat Nyokap sudah tidur.
Sendiri. Lagi-lagi Bokap menyibukkan diri di kantor, sehingga Nyokap kembali sendirian di
rumah hari ini. Gue cuma bisa menghela napas superberat. Sudah gak terhitung berapa ribu
malam yang Nyokap lewatin sendirian tanpa Bokap.
Gue menutup pintu, gak tega mengganggu tidur Nyokap. Gue bakal gak sanggup menatap
dia, kalau dia bangun dan nanya, "Papa kamu sudah pulang, Nik?" Karena mau gak mau, gue
harus menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang dia gak pengin denger. Dan satu
lagi... tentang... Aahh! Forget it!
Gue kembali berpapasan dengan Mbok Siti di depan pintu.
"Mama udah tidur, Mbok. Ntar kalau Papa sama Mama nanyain, bilang aja aku pergi ke
acara temen," ujar gue pelan sambil menghela napas. Yaaah... ini cuma pesan basa-basi aja.
Soalnya gue juga gak yakin mereka bakal nanyain! Nyokap kan sudah tidur, paling besok
pagi dia baru bangun. Sedangkan Bokap lagi lembur, semoga aja dia gak pulang pagi seperti
biasanya. Mbok Siti cuma mengangguk patuh. Tapi gue tahu, dia pasti bisa ngerasain apa yang gue
rasain saat ini. "Oh ya, aku bawa kunci kok, jadi Mbok tidur aja, gak usah nungguin aku!" ujar gue lagi
sambil menatap sosok tua yang bijaksana ini.
Mbok Siti mengangguk. "Hati-hati ya, Mas Niko!"
Gue tersenyum dan melambaikan tangan. "Ntar kalau ada martabak telor saya beliin deh,
Mbok!" ujar gue lagi. Mbok Siti nyengir. Pembantu gue ini emang penggemar berat
martabak. Dia bisa menghabiskan satu porsi sendirian.
Gue berjalan ke luar rumah dan masuk ke mobil. Pak Satpam dengan tergopoh-gopoh
langsung sibuk bukain pintu gerbang buat gue.
"JANGAN TIDUR SEBELUM GUE BALIK LOH!" ancam gue ke Mang Supri.
Nah, kalau sama dia sih, gue emang perlu galak. Habis Satpam gue tukang molor. Pernah
gue kekunci seharian di depan gerbang gara-gara dia tidurnya benar-benar kayak orang
mati. Bayangin! Gue udah memencet klakson mobil tujuh kali, dia tetap terbuai mimpi
indahnya. Ajaib banget, kan" Untung gue ingat dia punya istri dan dua anak yang mesti
disekolahin. Jadi gue memutuskan gak ngaduin dia ke Bokap.
Gue memacu mobil dengan cepat. Sekilas gue melirik jam di dasbor. Sudah jam sepuluh
malam. Tiba-tiba gue jadi melamun. Lilia sudah tidur belum ya jam segini"
Ehh... Gue jadi tersentak sendiri. Gila kali ya gue! Sudah disindir, dimaki, diinjak, eeeh...
masih sempat-sempatnya mikirin dia sudah tidur atau belum"! Sadar dong, NIKO!!! Lo lagi
mau jalan sama cewek superkece, ngapain pula mikirin anak SMA yang gak tahu cara
bertutur k ata yang baik, dan jauh dari sopan santun"
Gue coba menyalakan radio. Terdengar suara Ariel Peterpan menyanyikan lagu Ada Apa
Denganmu. Bener juga! Ada apa sih dengan gue" Kayaknya gue harus segera cuci otak!
Gue menyetel CD, tak lama terdengar suara Usher dengan lagu Yeah-nya. Yup! Ini jauh lebih
baik. Gue mengencangkan volume dan mulai mengentak-entakkan kepala mengikuti alunan
musik. VW Beetle gue melaju menembus hiruk-pikuk malam di kota Jakarta.
7 RAMALAN ADIS SUASANA sekeliling rumahku sunyi, sudah jam sebelas malam. Papa kayaknya sudah tidur,
soalnya lampu kamarnya gelap. Pembantuku gak usah ditanya, pasti sudah melanglang
buana di alam mimpi sekarang. Namun masih ada satu mahkluk yang belum memejamkan
mata dari tadi. Dia lagi sibuk menghitung.
Makhluk itu aku. "Empat ratus enam puluh satu... hhhh... Empat ratus enam puluh dua... Empat ratus enam
puluh tiga..." Ya ampun"!! Siapa sih yang menciptakan terapi tidur dengan menghitung" Orang itu sudah
gila kali. Bayangin! Aku sudah pegal menghitung dari satu sampai 463, tapi tetap saja
mataku gak mau terpejam. Dapat dipastikan mulutku kram sebentar lagi. Heran! Padahal
setelah seabrek-abrek hal yang aku alami siang tadi, seharusnya mataku sudah menutup
pada hitungan ketiga. Oke, kalian mesti tahu, kalau sekarang ini aku sedang kebingungan total.
Pertama, aku belum minta izin ke Papa buat datang ke ulang tahun Kyra lusa malam. Karena
kedatangan Tante Lidia (aku panggil dia Tante karena sepanjang perjalanan pulang di mobil,
Papa kembali memberikan ceramah cukup panjang!) di meja kami tadi siang, aku jadi
kehilangan momen bagus untuk menyampaikan permintaanku ke Papa. Padahal dengan
berbekal nilai ulangan 100, aku gak cuma berharap izin Papa agar bisa datang ke ultah Kyra,
aku juga perlu fasilitas antar-jemput Papa. Tapi Lidia... eh... Tante Lidia mengacaukan
semuanya sekarang. Kedua, gara-gara insiden nasi uduk, aku jadi benar-benar lupa dengan ulang tahun Kyra. Kak
Niko itu memang benar-benar menyebalkan! Kenapa sih dia mesti segengsi itu bayar nasi
uduk" Pake marah-marah segala ke aku lagi. Oke, habis itu dia bilang maaf, tapi begitu Papa
memanggil, dia langsung mundur menjauh dan melepaskan genggaman tangannya dari
tanganku. Iiihh... memangnya aku penderita AIDS apa" Dan yang paling nyebelin: Kak Niko
menghilang begitu saja waktu aku selesai berbicara di telepon tadi siang.
Ketiga, Kyra barusan SMS. Ini isi SMS-nya:
From: Kyra Haiii, Li... Lo udah minta izin ke bokap, kan" Gue mau denger jawaban "iya"... Oya, gue dah
fotoin Niko buat lo... Nah! Makin stres lah aku! Sampai detik ini SMS Kyra belum kubalas. Semoga dia berpikir aku
sudah tidur. Tapiii... di antara semua hal gak menyenangkan di atas, Tuhan masih berbaik hati
memberikan setitik embun untuk menyejukkan hatiku. Gimana nggak"! Niko menelepon
aku tadi. Hmmm... coba aku ulangi, Niko MENELEPON aku!!! HOREEE...
Ehh... tunggu! Jangan salah! Ini Niko gebetanku yang sangat keren dan cool itu. Niko yang
jago main basket. Niko yang tangannya dapat menari-nari indah di tuts keyboard. Niko yang
cuma beda satu tahun dari aku.
SOOO... jangan pernah berpikir itu Kak Niko yang nyebelin tadi. Kak Niko yang berkacamata.
Kak Niko yang gengsinya setinggi langit dan arogan abis... dan yang pasti, bukan Kak Niko si
oom-oom itu!! HUH!!! Pokoknya sampai detik ini, aku masih kueseeel setengah mati sama Kak Niko. Belagu!
Norak! Jaim! Sok kaya! Sok berkuasa! Sok pamer! Pokoknya kalau dihitung pakai skala 1-10,
nilai dia minus 2, alias gak ada bagus-bagusnya.
Tapi sekarang timbul masalah baru, besok pulang sekolah, Niko mengajak aku mencari kado
buat Kyra. Buat semua cewek yang lagi naksir cowok, seharusnya hal ini sangat
menyenangkan. Tapi bagiku, hal ini sangat menegangkan. Seumur-umur aku belum pernah
jalan berdua cowok selain Papa. Terus terang aku grogi berat. Aku gak tahu harus pakai baju
apa, aku juga gak tahu nanti harus ngomong apa. Yang lebih menjengkelkan lagi, gak ada
orang yang bisa aku ajak konsultasi soal ini.
Andai aku punya Mama, pasti Mama mau ikut pusing memikirkan aku pakai baju apa. Kalau
aku punya kakak cewek, aku pasti bisa minta saran kencan darinya. Dan kalau saja bukan
mencari kado untuk Kyra, aku pasti akan melibatkan dia di acara jalan-jalan di mal ini. Hhh...
puyeeeng buangeet! "Empat ratus enam puluh empat... Empat ratus enam puluh lima... Empat ratus enam puluh
enam..." Aku berhasil tertidur di hitungan 599...
*** "Liliaa! Banguuun! Kamu gak sekolah?"
JREEENG! Seruan Papa yang dilakukan sambil menggedor pintu kamar dalam sekejap
langsung membangunkanku. Aku dengan panik melihat jam dinding. Pukul enam lewat lima
belas menit. GAWAT! Kalau telat, hari ini aku bakal disuruh bertamu ke ruang kepala
sekolah lagi. Aku masih lebih bersyukur kalau disuruh lari mengitari lapangan sepuluh kali
daripada harus mendengarkan omelan Bu Berlian yang panjang dan menusuk.
Aku menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Gosok gigi dan cuci muka. Itu ritual
mandi tersingkat yang biasa kulakukan kalau bangun telat. Yang penting, jangan pernah lupa
memakai kolonye. Gak mandi sah-sah aja, tapi wangi harus tetap jadi syarat mutlak.
Alasannya, biar gak ada yang tahu kita belum mandi.
TIIIN! Kudengar Papa menekan klakson dari garasi. Aku langsung berlari ke meja makan,
mencomot apa saja yang ada di hadapanku. Mengunyah cepat dalam lima ketukan. Kalau
orang keraton lihat, pasti aku disangka cewek suku barbar.
"Non! Susunya jangan lupa diminum," Sheila pembantuku mengingatkan. Hehehe... keren
kan nama pembantuku"! Aku juga heran waktu pertama kali dia dibawa ke sini sama agen.
"Nama saya Sheila Amartavia," gitu dia bilang. Walaaah... gaya banget! Namanya ngingetin
aku sama nama diva Indonesia gitu. Yaah, gak pa-pa lah. Lagian gak boleh diskriminasi nama
dong. Memangnya cuma nama Siti, Juminten, Surti, Ijah, dan Sariyem saja yang pantas jadi
pembantu"! Aku mengangguk pada Sheila karena mulutku penuh makanan. Aku meraih gelas susu dan
menenggaknya cepat. TIIIN!!! Klakson kedua. Aku mengelap mulut dan langsung mencari tas dan sepatuku. Sheila
dengan semangat mengawasiku dari belakang. Dia seperti pembawa acara I bet u will di
MTV, menikmati setiap aksi buru-buruku.
"Non Lilia siiih, bangunya kelamaan. Makanya kaya saya, Non, bangun jam empat pagi."
Tuh! Sempat-sempatnya kasih wejangan pula.
TIIIIN! Aku langsung terlonjak lagi. Papa sudah memencet klaksonnya tiga kali, itu sudah
final! Aku langsung terbirit-birit masuk ke mobil.
"Ma... af... ya... Paa!" ucapku terputus-putus. Gimana nggak" Tangan kanan menenteng tas,
tangan kiri sepatu, di leher aku menahan HP biar gak jatuh. Papa langsung melongo.
"Itu HP kok ditahan di leher sih?"
"Ambilin dong, Pa, tanganku penuh," ucapku lagi.
Papa dengan gemas mengambil HP itu dari leherku lalu meletakkannya di dasbor.
Fiuh! Aku bisa bernapas lega. "Makasih ya, Pa!"
Papa cuma tersenyum kecut. Untuk ukuran seorang ayah, papaku ini memang jempolan.
Paling bisa menahan amarah. Padahal kata temanku, ayahnya ada yang tega ninggalin dia
gara-gara pada klakson ketiga dia belum keluar dari rumah. Tega banget, kan" Untuk urusan
kesabaran, aku berterima kasih sama Tuhan karena Dia ngasih Marcello sebagai papaku.
"NOOON!!! BEKALNYA KETINGGALAN!!!"
Teriakan Sheila terdengar ketika mobilku sudah beranjak sepuluh meter meninggalkan
rumah. Aku langsung membuka jendela dan Sheila bak pelari maraton menyerahkan
bungkusan bekal padaku. "Makasiih, Sheil!" ujarku.
"HATI-HATI, NOOON! BANYAK-BANYAKLAH BELAJAR AGAR MENJADI ANAK YANG BERGUNA
BAGI NUSAAA DAN BANGSAAA," ujarnya penuh semangat.
Aku mengangguk sambil mengacungkan jempol pada Sheila. Sheila balas mengacungkan
jempol. Kemudian mobil Papa langsung melesat, meninggalkan Sheila yang melambailambaikan tangan di belakang. Hehehe... percaya, gak" Dia selalu mengucapkan kata-kata
yang sama loh setiap aku berangkat sekolah. Dapat dipastikan Sheila pendengar sejati Janji
Siswa setiap upacara bendera di sekolahnya dulu. Aku melirik Papa yang sedang serius
menyetir. Duh, aku mesti ngomong soal ultah Kyra sekarang sama Papa, tapi gimana
memulainya yah" "Paa..." Papa menengok. Memerhatikan wajahku dengan saksama. "Bekas susu kamu masih nempel
tuh, Li. Kamu kayak berkumis."
Duh! Gagal! Dengan patuh, aku langsung melihat ke kaca spion dan mengelap "kumis" itu, Papa gelenggeleng melihatku.
"Ini ketiga kalinya minggu ini kamu bangun telat, Li," ujar Papa.
Aku menarik napas. Kayaknya batalin aja niat bilang soal ultah Kyra di mobil. Kemungkinan
berhasilnya tipis. "Iya, Pa! Kan sekarang lagi minggu ulangan. Jadi Lilia harus belajar sampai malem banget,
otomatis paginya kebablasan deh," ujarku berkelit. Benar sih, minggu ulangan, tapi hari ini
cuma ulangan PPKN, jadi dapat dipastikan aku hanya perlu mengandalkan akhlak dan
keberuntungan untuk menjawabnya.
Papa menatapku sekilas, menyakinkan bahwa mulutku sudah gak "berkumis" lagi, lalu
kembali konsentrasi dengan jalanan.
"Rambut kamu juga sudah gak pernah dikuncir kuda kayak dulu lagi ya," ujar Papa
tersenyum sambil mengelus kepalaku.
Aku juga jadi ikut tersenyum. Dulu tiap pagi, Papa-lah yang selalu repot menguncir
rambutku. Nekat dengan segala macam cara. Kadang dikuncir kuda, kadang kuncir dua,
malah kadang dikepang. Gak tanggung-tanggung, kepang kecil-kecil loh! Sampai akhirnya
muncul tren rebonding dan terlepaslah Papa dari segala macam rutinitas itu.
"Dan sejak ada Sheila, bekal kamu dia semua yang ngurus," kata Papa lagi.
Lagi-lagi aku tersenyum. Iya! Sheila memang pembantu serbabisa. Mulai dari goreng telor
sampai bikin spageti Sheila bisa. Mulai dari nyapu lantai sampai nyikat kamar mandi dia
kerjain semua. Makanya, sejak saat itu Sheila menjadi pembantu kesayangan kami. Dan aku
sadar juga kalau pembantu itu sosok yang sangat berjasa. Aku bakal mengeluarkan sumpah
serapah setiap melihat berita penganiayaan pembantu rumah tangga di teve.
"Sheila itu hebat ya, Pa. Dia cuma beda dua tahun dari aku tapi bisa semuanya," ujarku.
Papa tersenyum. "Tapi Papa lebih hebat, bisa kerja sambil bantuin aku bikin peer," ujarku lagi. Hmm, benar!
Ini cerdas sekali! Aku harus memuji Papa supaya perizinan ke ultah Kyra bisa berjalan mulus.
"Tapi Papa gak bisa sehebat Mama...," ujar Papa sambil menghela napas. "Coba Mama
masih ada ya, Li. Kamu jadi gak terlantar seperti sekarang. Ada yang merhatiin kamu tiap
hari. Ada yang bangunin kamu. Ada yang bikinin bekal buat kamu. Ada yang nganter kamu
sampai depan rumah saat kamu berangkat sekolah, dan kamu gak mesti sendirian di rumah,
kalau Papa lembur di kantor."
Aku terdiam. Terus terang, aku sedih dan iri pada teman-temanku yang masih mempunyai
mama. Tapiii... gak semua orang bisa punya papa seperti papaku, kan" Dan buatku, itu
sudah cukup! Papaku supeeerrrbaik, supeeerrrperhatian dan supeeerrrsegala-galanya. Papa
perfect di mataku. Gak ada seorang cowok pun di dunia ini yang bisa mengalahkan Papa.
Kalau ada orang yang berani menghina Papa, dapat dipastikan aku akan jadi orang pertama
yang mencakar orang itu. Mobil kami berhenti di depan lampu merah. Tangan Papa yang kokoh dan hangat mendarat
di kepalaku, mengelus rambutku lembut.
"Lilia ingin punya mama lagi, gak?"
Aku mendongak menatap Papa dan memeluk lengannya, "Nggak! Buat Lilia, ada Papa sudah
cukup kok!" "Tapi kalau ada mama, Lilia kan jadi gak terlantar!"
"PAPA!!" ujarku kesal. "Percaya deh! Lilia gak terlantar kok, Pa," ujarku mantap.
Papa kembali mengusap kepalaku. Aku tersenyum menatapnya.
Lampu jalanan berubah hijau. Papa menatap ke depan dan serius menyetir. Mobil Papa
meliuk-liuk di jalanan dengan cepat karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima
menit. Sekali lagi, topik ulang tahun Kyra kembali terlupakan. Yaaah... bisa diatur lah! Nanti malam
juga bisa. Aku sampai di sekolah jam tujuh lewat tiga menit. Matilah aku! Buat kepala sekolahku,
lewat satu menit saja sudah pelanggaran besar.
"Karena satu detik saja sebuah negara bisa hancur!!" ujar Bu Berlian berulang kali.
Aku menghela napas penuh derita, bersiap melangkahkan kaki memasuki ruangan eksekusi.
Aku bahkan sempat berdoa, semoga aku tuli sejenak selama dua puluh menit ke depan.
Tapi Tuhan memang Maha Pengasih. Pagi ini Bu Berlian tampak sibuk mondar-mandir di
ruangannya. Dan ketika aku muncul di depan pintu, dengan sangat manis dia
mempersilakan aku masuk ke kelas. AJAIB! AMAZING! IMPOSSIBLE! Dalam sekejam aku
langsung mengagumi beliau hari ini. Aku bahkan melihat fatamorgana, ada lingkaran kasat
mata di atas kepala Bu Berlian dan sayap malaikat di belakang punggungnya.
Aku menuju kelas dengan langkah gagah. Memang sih, aku harus menghadapi satu
tantangan lagi yaitu hukuman dari guru yang sedang mengajar. Namun, setelah terbebas
dari kemungkinan dipatuk ular piton, sudah gak ada lagi yang aku takuti.
Aku hampir-hampir gak percaya dengan penglihatanku. Sekali lagi nasib baik berpihak
padaku, entah malaikat mana yang sedang obral kebaikan. Ruangan kelasku tampak hiruk
pikuk. Guru belum datang.
"Plok! Plok! Plok! Lilia datang!!" Kyra langsung bertepuk tangan begitu aku melongokkan
kepala ke kelas. "Bu Endah mana, Ra?" tanyaku bingung sekaligus surprise. Jarang-jarang dua
keberuntungan terjadi dalam satu kesempatan begini.
"Aaaah... telat banget lo, Li... Hari ini bakal ada kunjungan pengawas Depdiknas ke sekolah
kita, jadi guru-guru sibuk menyiapkan penyambutan di aula. Sooo... kita bisa santai sampai
jam istirahat." Ooohh! Aku ngerti sekarang! Pantesan! Ada baiknya kalau pengawas Depdiknas berkunjung
sedikitnya tiga kali dalam seminggu ke sekolahku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Semua wajah menampakkan air muka
penuh kemerdekaan. Apalagi mengingat isi kelasku cewek semua, suasana kelas sudah
tentu jadi ribut kayak terminal.
Di meja ketiga dari depan, anak-anak sedang mengerubungi Shamira, si bidadari kelas yang
sedang bercerita dengan berapi-api tentang acara keluarganya di kafe kemarin.


U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lo tahu gak sih" Ternyata di kafe itu ada orang yang baru jadian. Mereka berdua ciuman...
mesraaa bangeeet! Trus sambil ditepuktanganin sama orang-orang di kafe itu lagi. Gilaaa!
Romantis bangeeet!" ujar Samira sambil mendesah. Yang lain ikutan.
Denise lain lagi, si seksi itu sedang ber-dance ria di depan kelas sambil pamer MP3 barunya.
Marsya, si tomboi sedang asyik melempar dart, menjadikan wajah Orlando Bloom sebagai
sasaran tembak. Eka dan Sisi yang pendiam memilih untuk baca teenlit, satu buku berdua.
Mereka persis kembar siam. Ria si pemalas langsung ambil posisi enak dan tidur di pojok
ruangan. Sedangkan Adis si Peramal memulai aksinya, dia mengeluarkan kartu Tarot
kebanggaannya dan dalam sekejap langsung menghilang di tengah kerumunan temanku
yang minta diramal. Itu baru ulah sebagian anak loh! Belom lagi kalau kalian liat suasana kelasku yang semarak
dan cewek banget. Di pintu kelas kami ada cermin Hello Kitty. Di whiteboard ada sepuluh
kupu-kupu mainan aneka warna yang ditempel dengan double tape. Poster besar Legolas-si
peri tampan dalam film Lord of the Rings-terpampang menutupi lemari guru (secara
otomatis membuat foto presiden, wakil presiden, dan burung garuda jadi kehilangan
pamor). Di sudut ruangan tampak kalender berisi tampang dua belas cowok ganteng di
setiap bulannya. Dan di dinding belakang terdapat mading kelas. Isinya puisi cinta, lirik lagu
yang lagi ngetop, foto-foto kami, and also foto gebetan-gebetan kami.
"Eh, Li... Sini!" Kyra langsung menarikku mendekat. Dia mengeluarkan amplop dari laci.
"Mau liat, gak?"
Waaah!!! Wajahku langsung berubah sumringah. Pagi-pagi aku sudah mendapat vitamin
mata. Di amplop itu ada berbagai macam pose foto Niko. Niko sedang bermain keyboard, Niko
tampak depan, Niko tampak samping, Niko tampak bawah. Ehh... tampak bawah" Gimana
cara ngambilnya nih"
"Hehehe... gue salah ngeset kamera tuh! Jadi kebalik deh gambarnya," ujar Kyra sambil
ketawa cekikian. Aku langsung membulatkan mulut membentuk huruf O. Kirain dia ngambil
fotonya dari kolong panggung. Niat banget!!!
"Eeh!" Kyra tiba-tiba merebut foto-foto itu dari tanganku. "Sebelumnya gue mo nanya dulu.
Lo dah dapet izin bokap lo, kan?" tembaknya langsung.
NAH, INI DIA! Duh, gimana ngomongnya ke Kyra yaah"! "Udah gue coba sih, Ra, tapiii..."
"JANGAN BILANG KALAU LO GAK BOLEH"!" jerit Kyra histeris, seisi kelas langsung menatap
kami. Adis yang sedang meramal dengan kartu Tarot sampai lupa kalau tadi lagi meramal
apa. "Kenapa sih lo?" Marsya misuh-misuh, dart-nya tertancap di bahu Orlando Bloom. "Meleset
nih! Gue lagi ngincer bibirnya!" ujarnya lagi.
Kyra cuma nyengir kuda. Aku cepat-cepat menarik Kyra untuk duduk. "Jangan marah dong,
Ra! Kan gue belom selesai ngomong..."
Kyra memandangku dengan tatapan siaga satu. Aku langsung memikirkan kata-kata terbaik
untuk menenangkannya. "Sebenarnya gue udah nyoma ngomong berkali-kali, Ra, kemarin.
Tapiii..." "Tapiii..." ujar Kyra mengulang kata-kataku.
Aku menghela napas jengkel. "Lo tahu Lidia, kan" Dia mengganggu saat gue lagi mau
ngomong ke bokap!" Kyra langsung meremas-remas tangannya dengan geram. "Dia lagi" Hhhh... Dia ngapain sih,
Li" Ngeganggu banget!"
"IYA! EMANG NGEGANGGU TU ORANG! BETE BANGET GUE SAMA DIA!" jeritku langsung.
Pletak! Penghapus Ria langsung menderat dengan sukses di kepalaku.
"Woi! Lo berdua kalau ngomong jangan bikin orang jantungan dong," protes Ria. "Gak tau
Bloon Cari Jodoh 4 Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Rajawali Emas 16

Cari Blog Ini