U Karya Donna Rosamayna Bagian 4
sama dia. But, who cares"
Joko datengin gue, dia bilang dia nyesel udah ngomong kasar sama gue waktu itu. Setelah
dia pikir-pikir, dia ngerasa gak berhak maksa gue jadian sama Maryna. Joko tanya hubungan
gue dengan Lilia, gue bilang, "Dia udah punya pacar!"
Kenapa orang-orang jadi mendadak baik hari ini"! Maryna juga dateng nemuin gue. Dia
denger kalau gue mau ke luar negeri dari Joko. Maryna minta maaf sama gue karena telah
mengacaukan hubungan gue dan Lilia. Gue bilang, "Udah terlambat!"
Maryna nangis, terus gue bilang, "Tapi lo udah gue maafin! Maafin gue juga yang udah
nyakitin lo! Mungkin ini emang hukum karma!"
Jumat, 23 Desember 2005 Hari ini aku dan Papa datang menjenguk mama Kak Niko... Kita datangnya siang, jadi gak ada
Kak Niko di sana... Wow! Mama Kak Niko cantik deh, sekarang aku tahu dari mana Kak Niko mendapatkan
wajah gantengnya... (eeeeh, ngapain aku muji-muji dia segala"!!)
Waktu aku datang, mama Kak Niko sempat heran begitu, kayak orang bingung... tapi
mungkin perasaanku aja...
Padahal baru pertemuan pertama, tapi kayaknya aku dan mama Kak Niko langsung akrab.
Mama Kak Niko baik banget sih, dia ngelus-ngelus rambutku... Aku jadi ngebayangin dielus
Mama... Jumat 23 Desember 2005 Gue dateng jenguk mama sore. Wajah Mama tampak berseri-seri senang. Waktu gue tanya
kenapa, Mama bilang, "Tadi ada anak teman papa kamu datang jenguk mama. Anaknya baik
dan cantik... kalau Aurel masih hidup, mungkin seumuran dengan dia sekarang..."
Dari Papa, gue tahu Lilia datang jenguk Mama. Sial! Sial! Kenapa Papa gak telepon gue tadi"!
Papa bilang tiket pesawat udah dipesen. Kami berangkat tanggal 26..
Desember, sehari sebelum Natal.
Gue mikir semalaman... Tiba-tiba inget Lilia lagi. Udah gue putuskan, untuk terakhir kalinya,
gue harus ketemu Lilia. Gue pengin menjelaskan semuanya ke dia. Mungkin udah gak ada
gunanya, toh, dia udah pacaran dengan Niko yang itu. (gue jengkel tiap nyebut namanya
yang nyama-nyamain nama gue!) Tapi... gue gak mau pergi dengan perasaan kayak begini...
Sabtu, 24 Desember 2005 Hari ini, Christmas Eve... Suasana Natal terasa sekali di rumahku. Lampu pohon natal di
rumahku berkelap-kelip, puluhan kartu ucapan ber je jer di bawah pohon Natal, bonekabonekaku sudah memakai topi Santa Claus dan mistletoe sudah tergantung di depan pintu
rumah. Aku dan Papa gereja jam enam sore. Gereja ramai sekali. Ada banyak petugas keamanan
yang bertugas menjaga tiap-tiap pintu masuk. Yaaah, sejak peristiwa pengeboman gereja
beberapa tahun silam, penjagaan gereja saat malam Natal menjadi luar biasa ketat.
Aku dan Papa sampai di rumah pukul delapan malam. Kami makan malam bersama. Sheila
telah memasakkan ayam panggang utuh dan salad. Lezaaat sekali...
Setelah makan, aku dan Papa duduk di bawah pohon Natal, bertukar kado. Papa
membelikan aku jam tangan dengan tali pink (Kyra pasti iri kalau melihatnya!) dan aku
memberi Papa dasi. Lalu kami sama-sama menyanyikan lagu Jingle Bells.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Ada SMS masuk dari Niko. Dia bilang sudah ada di depan
rumahku. Aku langsung berlari ke depan dan mempersilakan dia masuk. Tapi Niko ga mau,
dia bilang mau duduk-duduk di teras saja.
Niko memberiku boneka beruang putih bertopi merah.
"Lo suka?" tanya Niko.
Aku mengangguk-angguk. "Suka lah! Lucu banget gini..."
Niko tersenyum. Ia menunduk malu. Aku bingung. Jarang-jarang Niko seperti ini.
"Li... mmm... sekarang kan Christmas Eve... dan... kata orang kalau malam Natal, kita harus
bicara jujur tentang apa yang kita rasakan loh..."
Aku mengerutkan kening. "Eh" Iya, ya" Siapa yang bilang" Aku baru tahu tuh..."
Niko nyengir. "Gue tahunya dari film Love Actually sih..."
Aku tertawa. Kami berpandangan. Oohh... satu lagi hal yang aku tahu tentang Niko, matanya
sangat bagus dan jernih. Niko memandangku lekat-lekat, tampak sangat serius. "Li... gue suka sama lo! Mau jadi
cewek gue, gak?" HAH"! APA"! Niko tertawa kecil melihat ekspresiku. "Iya. Gue tahu lo pasti kaget. Gue sebenarnya udah
lama pengin ngomong. Tapi kayak yang gue bilang tadi, gue butuh momen yang tepat, dan
kayaknya malam Natal bisa jadi momen yang gak terlupakan..."
Aku masih terbelalak. Apa aku gak salah denger"! Dia memang baik banget sama aku akhirakhir ini dan Kyra yakin setengah mati Niko suka sama aku... tapi... kok... aku... aagghhh...
aku bingung. "Sebenarnya, Li, awalnya gue suka sama Kyra. Gue minta lo nemenin gue ke PS dalam usaha
gue ngorek keterangan selengkap-lengkapnya tentang Kyra dari lo. Tapi gak tahu kenapa,
setelah gue ngobrol banyak sama lo, kayaknya perasaan gue tiba-tiba berubah gitu. Gue
ngerasa nyaman bareng-bareng lo. Dan gue tiba-tiba jadi suka sama lo. Gimana, Li" Lo juga
punya perasaan yang sama gak kayak gue" Atau ada orang lain yang lo suka?"
Aku benar-benar bingung sekarang. Orang yang kusuka" Jelas aku suka sama Niko dari
dulu... tapi sekarang" Apa masih sama"
"Aku... aku... sebenarnya suka sama kamu dari dulu, Nik. Gak nyangka ternyata kamu dulu
sukanya sama Kyra..."
"Yaah... tapi itu kan dulu, Li. Sekarang gue sukanya sama lo."
"Tapi sekarang aku udah gak yakin lagi apa aku masih suka sama kamu atau nggak?"
jawabku sambil menunduk. Niko memegang bahuku dan memutar tubuhku menghadapnya. "Tahu gak, Li. Gue tahu loh
cara mengetahui lo masih suka gue atau nggak..."
Aku mendongak menatap Niko. "Hah"! Gimana caranya?"
Niko tersenyum. Wajahnya semakin mendekati wajahku... dekat... dekat... sampai gak ada
jarak lagi. Niko menciumku.
24 INI RASANYA PATAH HATI"
CHRISTMAS Eve... Hari yang suci... Hari saat kita menanti detik-detik kelahiran Jesus Christ
ke dunia... Hari yang indah...
Jadi gak salah kan gue memilih malam ini untuk bertemu Lilia"! Gue membulatkan tekad
untuk datang malam-malam ke rumahnya. Gue mau menjelaskan semuanya ke dia, gue mau
minta maaf, dan kalau memungkinkan, gue sekaligus mau menyatakan perasaan gue ke dia.
Rencana yang sangat manis... Tapi sayang, kenyataannya gak semanis rancangan gue. Gue
sudah sampai di depan rumah Lilia dan gue lihat Lilia ada di depan rumahnya. Tapi gue
terlambat, sudah ada yang datang menemui dia. Gue lihat Lilia memegang sesuatu
berwarna putih berbulu. HUH! Pasti cowok itu baru nyongok Lilia pakai boneka!
Dan adegan yang gue lihat selanjutnya benar-benar menghancurkan semua rencana gue
malam itu. *** Gue ngebut. Spidometer gue menembus angka 140 km per jam. Gue membalap sebuah
mobil dengan gerakan zig-zag yang fantastis, orang dalam mobil itu tampak gusar. Dia
menekan klakson dengan bunyi yang memekakkan telinga. Gue gak peduli. Persetan dengan
semuanya! Dengan kecepatan yang bikin cewek pasti menjerit-jerit ketakutan, gue terus memacu
mobil. Jantung gue berdetak kencang. Aneh! Padahal AC mobil gue dingin, tapi kenapa gue
keringatan" Padahal CD changer gue melantunkan lagu-lagu Korn, tapi kenapa telinga gue
rasanya tuli" Yang pasti saat ini dada gue kayaknya baru ketiban beban satu ton... Beraaat
banget! Gue ambil jalur kiri dan keluar dari jalan tol. Kepala gue rasanya penuh banget. Mobil gue
memasuki padatnya jalanan di depan Mal Taman Anggrek. Gue menghentikan laju mobil
gue dan memarkirnya di pinggir jalan layang. Gue sengaja memasang lampu sen supaya
orang berpikir mobil gue mogok atau apalah. Gue membuka kaca jendela. Angin malam
bertiup kencang menerpa kulit dan wajah gue. Tapi sayangnya, angin itu tetap gak bisa
membawa pergi apa yang terus-menerus terbayang di wajah gue. Gue kembali
mengingatnya... Lilia... berdiri di teras rumahnya... cowok ABG itu berdiri di hadapannya. Cowok itu
memegang pundak Lilia, memutar badan Lilia membelakangi gue. Mereka tampak mesra.
Dan... mereka ciuman... Gue memukul setir mobil keras-keras. Kenapa gue mesti marah" Apa karena gue kesal, gak
terima atau cemburu" Gue gak tahu! Satu yang pasti, gue sudah gila!
Gue mematikan CD changer yang berdentam-dentam gak jelas. Suasana sunyi seketika. Gue
menghela napas berat dan menangkupkan tangan ke wajah.
Gue menutup mata, mencoba menstabilkan napas dan menenangkan diri. Gue menekan
tombol FM pada radio. Musik pop mengalun tenang, memenuhi kepala gue.
Hiding from the rain and snow
Trying to forget but I won't let go...
Looking at a crowded street
Listening to my own heartbeat...
So many people... all aroud the world...
Tell me where do I find... someone like you, girl...
Huahahaha... Menye banget ni lagu! Pas banget buat orang yang lagi patah hati... Siapa sih
orang patah hati yang memesan lagu ini ke penyiarnya"
Take me to you heart, take me to your soul...
Give me your hand before I'm old...
Show me what love is... haven't got a clue
Show me that wonders can be true...
They say nothing lasts forever, we're only here today...
Love is now or never... Bring me far away...?
Sialan! Kenapa lagunya pas banget" Kenapa penyiarnya tahu perasaan gue saat ini" Dan...
Brengsek! Kenapa air sialan ini jatuh dengan seenaknya dari mata gue"
Gue ganti gelombang radio...
I have a Blue Christmas without you...
I feel so blue, just thinking about you..
Decoration of red, in the green Christmas tree...
Won't mean I think, if you're not here with me.?
Oke, kayaknya semua penyiar radio tahu apa yang gue rasakan saat ini. Apes banget! Saat
orang sedang bergembira menikmati malam Natal, gue sendirian di sini...
Pahit. Sakit. God! Jadi ini rasanya patah hati"
?Take Me to Your Heart - Michael Learns To Rock
?Blue Christmas - Billy Hayes and Jay Johnson
25 INI RASANYA DICIUM COWOK"!
AKU menatap Niko dengan pandangan serbasalah. Niko tersenyum.
"Sori, Nik... aku..."
"Udahlah!" Niko tersenyum penuh pengertian. "Gue ngerti kok! Gak seharusnya gue bikin lo
kaget dengan kenekatan gue!" tambahnya sambil nyengir.
Karena gak tahu harus menjawab apa, akhirnya aku ikut nyengir.
"Eh... udah malem... gue pulang dulu ya, Li..." Niko bangkit dari bangkunya dan berjalan
menuju gerbang. Aku hanya terdiam memandangi dia dari belakang. Gak tahu harus ngapain.
"Li..." Aku mendongak. Mata Niko menatapku lekat-lekat.
"Cuma mau bilang... Tolong pertimbangkan jawabannya yah!" katanya sambil mengedipkan
mata. Aku mengangguk. "Merry Christmas," ujar Niko sambil melambaikan tangan.
"Merry Christmas too," Aku tersenyum, balas melambai. Lalu mobil Niko melaju
meninggalkan rumahku. Sepeninggal Niko, aku melamun di teras rumah. Diam, menatap langit. Samar-samar
terdengar lagu White Christmas dari dalam rumah. Karena bosan menungguku, sepertinya
Papa berkaraoke ria sendirian.
Perlahan, aku meraba bibirku. Mmm... begini rasanya dicium cowok"!
*** 26 desember 2005, 11.54 a.m.
"HAAAH"! SERIUUUS LO, LI"!" tanya Kyra setengah berteriak. Orang-orang di Pizza Hut
memandang kami berdua. "SSSTTT, Ra! Jangan teriak-teriak doong... Kan udah gue bilang rahasia..."
"YAAH... TAPI KAN... INI..."
"Raaaaa!!!" ujarku memelas.
"Iya... iya... Sori! Trus... trus... gimana, Li..."
"Ya udah, begitu... Dia nembak gue...," ujarku sambil mengaduk-aduk milkshake stroberi.
Salah tingkah. Wajah Kyra langsung sumringah. Dia dengan semangat langsung menyalamiku. "Wuaaah!!!
Selamet deh, Li. Trus... trus... sekarang lo berdua udah jadian, kan?"
Aku menggeleng polos. Kyra melongo.
"Hah" Nggak?" ujar Kyra dengan jeritan setengah tertahan. "Trus... lo cuma membatu
denger dia ngomong begitu?"
Aku meringis. "Mm... yaaa... mm... ya gitu deh..."
"Duh, Li! Sumpah, lo idiot berat!" Kyra menepuk keningnya dengan kesal. "Apalagi sih yang
lo pikirin" Kan cuma tinggal bilang 'iya', Liii... Duuuh, gemes deh gue!"
Aku terdiam. Aku memang gak bisa memutuskan apa yang akan kujawab pada Niko. Aku
bingung sekali saat itu. Dan benar-benar gak tahu apakah "iya" jawaban yang tepat.
"Trus tanggapan Niko gimana" Dia gak berubah pikiran, kan?" serang Kyra lagi.
Aku gelagapan. Ini dia yang mau kuceritakan. "Sini gue bisikin..."
Kyra mengerutkan dahi, tapi dia mendekatkan tubuhnya. Dengan takut-takut aku
membisikkan sebaris kata di telinganya.
"HAAAH" DI... DIA... CI... Emmppptt... Emmmptt..." Kyra gak sempat melanjutkan jeritannya,
aku telah membekap mulutnya dengan sangat rapat.
"Raaa, gue malu nih!" ujarku sambil memasang tampang cemberut.
Kyra cengar-cengir. Mukaku makin merah.
"Truuus... gimana rasanya" Ini kan pertama kalinya buat lo... Mmm... lo berbunga-bunga,
kan"!" Aku terdiam. Iya sih. Ini pertama kalinya buatku. Aku merasakan sesuatu yang lain. Beda.
Tapi... apa aku berbunga-bunga"
"Mmm... satu lagi, Li. Berapa lama?"
Untuk bagian ini aku gak mau menjawabnya. Kyra gak perlu tahu.
26 PERJALANAN KE LUAR NEGERI
26 Desember 2005 10.12 p.m
GUE dan Mama sedang menunggu di executive lounge bandara Soekarno-Hatta. Hari ini
kami mau berangkat ke Amerika.
Berdasarkan nasihat yang disampaikan Dr. Paul, gue dan Papa sepakat membawa Mama
tinggal di kota kecil di daerah Pennsylvania, Pittsburgh. Kebetulan Dr. Paul tinggal di daerah
itu juga. Dr. Paul memang membuka praktik di New York, tapi keluarganya tinggal di Pittsburgh. Jadi
tiap dua minggu sekali Dr. Paul pulang ke Pittsburgh untuk bertemu keluarganya sekaligus
menjadi teman konsultasi Mama. Jarak dari Pittsburgh ke New York gak terlalu jauh kok,
yaaah... kalau diibaratkan kurang-lebih seperti jarak Surabaya-Jogjakarta lah. Butuh enam
jam di perjalanan. Kalaupun malas nyetir, dia bisa naik pesawat.
Sebagai anak yang baik, gue bertugas menemani dan menjaga Mama selama di sana. Yaah,
gak pa-pa lah. Gue memang perlu istirahat sejenak dari rutinitas kantor yang membosankan.
Lebih baik empat bulan ini gue gunakan untuk mempersiapkan diri masuk ke University of
Pennsylvania, tempat gue mendapatkan beasiswa untuk mengambil gelas magister Business
Administration. Menurut kesepakatan yang telah gue buat bersama Papa, setelah tiga bulan, Papa akan
menyusul kami ke Amrik. Lalu kami sekeluarga akan tinggal di sana.
Papa telah memutuskan menyerahkan bangku kepemimpinannya di perusahaan itu pada
adiknya. Papa bilang dia ingin beristirahat dan menikmati hari-hari yang tenang bersama
Mama. Gue senang, akhirnya Papa sadar, kebahagian keluarga lebih berarti dan gak dapat
dibeli dengan uang. Lagi pula, Papa memang sudah seharusnya gak usah pusing tentang
uang. Hasil kerjanya selama dua puluh tahun terakhir ini sudah lebih dari cukup.
Jadi, sesuai kesepakatan, saat gue kuliah nanti, Papa yang akan menjaga Mama di rumah.
Lagi pula, Pittsburgh itu kota yang cantik. Alamnya masih asri. Hmmm... gue yakin, gue akan
mengalami hari-hari yang seru di sana. Pokoknya gue sudah bertekad mau memulai
lembaran hidup baru. Selamat tinggal, Jakarta. Welcome, Pittsburgh.
"Kamu lihat ke luar terus, Nik" Nungguin siapa?"
Eh" Gue terperangah mendengar kata-kata Mama. Oke, gue ngaku! Gue membual barusan.
Gue setengah mati mau nunjukin bahwa gue very very excited bisa pindah ke luar negeri.
Gue pengin nunjukin gue enjoy banget bisa ninggalin Jakarta yang sumpek dan panas ini.
Padahal jauh dalam diri gue, sebenarnya gue amat gak rela. Gue masih pengin tinggal di sini.
Walaupun macet, penuh polusi, dan banyak perampokan, tetap aja gue cinta Jakarta.
HP gue berbunyi. From: Joko. Sori, Nik! Gak bisa nganter. Bini gue mo melahirkan.
Nik, mskipun lo kras kpala, menjengkelkan, dll. tp sampai kpn pun lo sahabat gue! Take
care! Gue tunggu lo balik dg gelar S2.
Gue menghela napas dan tertawa. Ini juga alasan gue gak mau ninggalin Jakarta. Susah juga
buat gue untuk meninggalkan Joko, yang walaupun brengsek tetap teman terbaik yang
pernah gue punya. Gak lama, gue ditelepon Rangga. Gue melirik jam tangan dan tertawa. Jam sepuluh malam
begini dia sempat-sempatin nelepon gue" Padahal gue tahu banget dia seharusnya lagi
bulan madu di Bali sana. Hmmm... ini bukti dia peduli sama gue, kan" Dan fakta ini
membuat gue tahu gue juga bakal kehilangan Rangga. Walaupun suka ikut campur, tapi
U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga selalu berusaha untuk ada saat gue butuh dia.
Dan... Satu alasan lagi, berat banget buat gue untuk ninggalin Lilia.
Padahal dulu, gue enek setengah mati sama film Ada Apa dengan Cinta. Menurut gue, itu
cerita ABG banget. Saat Rangga di bandara, Cinta berlari-lari dan memeluknya. Trus Cinta
bilang dia menyesal sudah marah-marah sama Rangga dan mereka ciuman. Happy Ending!
Benar-benar film yang menjual mimpi!!!
Tapi... bohong banget kalau gue bilang gak mau ngalamin itu. Sekarang ini, gue sangat
berharap bisa sama beruntungnya dengan Rangga dalam AADC. Gue jadi ngebayangin Lilia
datang ke sini. Berlari-larian dengan baju seragam SMA-nya. Lalu dia bilang, "Kak Niko! Aku
suka sama Kak Niko... Niko udah aku depak jauh-jauh!"
Hyaaak! Ganti! Jelek banget dialognya! Lagian kenapa cowok sialan itu namanya Niko juga"!
Gue mendengar suara pramugari di interkom. God! Itu dia! Pesawat penerbangan JakartaNew York sudah siap berangkat. Gue menoleh ke arah Mama lalu membantunya berdiri.
Kami berjalan ke arah yang ditunjukkan pramugari.
Sekali lagi gue menoleh ke belakang. Mengharapkan Lilia berlari dan memeluk, terus bilang,
"Kak Niko! Jangan pergi! Aku mau ikut Kak Niko pergi... Aku gak bisa berpisah dari Kak
Niko!" Huahahahaha... udah sinting kali gue. Kebanyakan nonton drama Korea kayaknya, jadi sok
romantis. Lagi pula, mungkin gue bakalan syok kalau Lilia mengeluarkan kata-kata dangdut
kayak gitu. Hhhhh... gue menghela napas panjang dan meneruskan langkah menuju pesawat kami. Gue
menggandeng Mama. Mama menatap gue dan tersenyum, gue membalas senyumannya.
Oke, gue emang agak norak barusan. Tapi itu yang terakhir kalinya. Sudah gue putuskan,
saat gue menginjakkan kaki gue di pesawat, semua sudah berakhir.
Selamat tinggal, Lilia! 27 MELIHAT DARI SISI BERBEDA
AKU jalan-jalan mengitari mal sendirian. Oke! Mungkin ini perbuatan yang agak gila. Jalanjalan di mal memang menyenangkan, tapi gak untuk dijalani sendirian.
Yaaah... mungkin aku memang hampir gila. Aku semakin gak memahami diriku sendiri. Aku
bahkan gak tahu apa yang paling aku inginkan sekarang. Seharusnya saat ini aku cewek yang
paling bahagia karena bisa mendapatkan cinta dari cowok yang aku sukai. Lagi pula, ini kan
sesuai dengan ramalan Adis. Pertemuan gak disengaja, kencan dalam waktu dekat,
rintangannya berat, dan ada pengganggu potensial. Banyak hal yang terjadi, tapi aku yakin,
akhirnya... hmm... Adis gak sempat bilang sih, tapi kayaknya bakal happy ending!
Coba pikirkan! Apa kurangnya Niko" Cakep, pintar main basket, pintar main piano, gayanya
keren, baik, lagi! Dia perhatian banget sama aku. Dia menghibur aku di saat aku jatuh, dia
selalu ada tiap aku butuh seseorang. Dan dua hari yang lalu, dia nyatain perasaannya ke aku.
Mengangguk dan bilang "iya" sebenarnya hal termudah yang bisa aku lakukan saat itu.
Tapi kenapa aku malah bingung" Dan... lebih bodohnya lagi, kenapa aku tiba-tiba jadi
ngebandingin dia dengan Kak Niko" Padahal Kak Niko jelas-jelas sudah nyakitin aku. Padahal
nilai Kak Niko di mataku sudah hancur lebur, tapi... kenapa aku tiba-tiba meng
ingatnya sekarang" Kenapa aku merasa masih suka sama dia" Kenapa aku jadi membandingbandingkan siapa sebenarnya yang aku sukai, Niko atau Kak Niko" Nama mereka memang
sama, tapi sifat dan penampilan mereka jelas beda banget!
Lagi pula, apa sih yang aku suka dari Kak Niko" Untuk ukuran orang dewasa, dia memang
cakep, ganteng, dan keren. Tapi kalau mau jujur, dia jelas bukan tipeku. Aku bukan cewek
matre, jadi aku gak tergiur dengan mobil VW Beetle-nya itu... Kalau soal baik, Niko juga baik!
Jadi apa nilai lebih Kak Niko sampai aku suka sama dia" Aku gak tahu, sudah kucoba
mencarinya, tapi tetap gak kutemukan!
Sebenarnya aku ingin punya teman berbagi pikiran saat ini. Tapi dengan siapa" Papa"
Aahh... Papa gak mungkin nyambung diajak ngomong tentang masalah ini. Kyra" Denise"
Shamira" Aku langsung geleng-geleng kepala. Teman-temanku itu sudah pasti masuk kubu
pro Niko dan kontra Kak Niko, mereka gak akan bisa memberi pendapat netral. Sheila"
Aaahh, dia sih suka dua-duanya. Malah bikin tampah pusing... Duuh, siapa ya"
BRUUUKK! Karena bengong, aku bertabrakan dengan seseorang. Aku menjatuhkan plastik
belanjaannya. "Ma... maaf! Maaf!" Aku langsung berjongkok dan memungut sekantong apel yang keluar
dari plastik putih itu. "LILIA"!" HAH"! Orang ini mengenaliku" Aku mendongak dan melihat seorang cewek yang
memandangku dengan heran.
Sial! Kenapa harus ketemu dengan dia" Aku tersenyum kecut padanya. Aku tahu dia pasti
gak menyukaiku. Tapi aku salah, cewek itu tersenyum ramah padaku. "Kamu sedang apa di sini sendirian?"
sapanya. *** "Waaah... Tante gak nyangka bisa ketemu kamu di sini, Li. Kamu ngapain jalan di mal
sendirian" Bengong, lagi! Tante sampai bingung lihat kamu seperti itu..."
Aku hanya tersenyum tipis mendengar celoteh Tante Lidia. Bingung mau menjawab apa.
Kenapa aku malah duduk-duduk di kafe ini sama dia sih" Jelas dia gak masuk daftar orang
yang mungkin kuajak berbagi pikiran tentang masalahku.
"Oh ya, kamu mau minum apa, Li?" tanya Tante Lidia sambil memeriksa daftar menu.
"Aaah... Tante tahu, kamu paling suka mikshake stroberi, kan" Tante pesenin ya"!"
Aku mengangguk jengah. Merasa serbasalah. Kenapa Tante Lidia begitu baik padaku"
Padahal aku telah mengacaukan rencana pernikahannya dengan Papa. Seharusnya dia benci
setengah mati padaku, bukannya menawarkan milkshake stroberi.
"Nah, sekarang... kamu cerita sama Tante, Li. Ada masalah apa sih" Hmm... Pasti soal cowok,
kan"!" Eh" Sok tahu banget dia. Tapi... dia gak salah sih. Kok dia bisa tahu ya"
Tante Lidia tertawa melihat ekspresi wajahku. "Padahal Tante cuma nebak loh, Li. Tapi
ternyata benar..." Aku tersenyum. Tapi kali ini senyumanku sudah lebih rileks.
"Nah, gimana hubungannya sekarang" Kamu udah nentuin, mau pilih yang mana?"
Aku terbelalak. "Hah" Kok... Kok... Tante Lidia tahu?" tanyaku bingung. Sebenarnya Tante
Lidia itu sekretaris atau paranormal sih"
Tante Lidia tertawa. "Hmm... bukannya Tante mau ikut campur loh. Tapi Papa kamu pernah
cerita ada dua cowok bernama sama yang lagi deket sama kamu, jadi Tante pikir, kamu pasti
lagi pusing mau pilih yang mana, kan?"
Walaah... Papa bocor banget. Mau gak mau, aku mengangguk.
Tante Lidia kembali tertawa. Wajahnya tampak sangat bersahabat. Suasana yang kaku
perlahan mulai mencair. Sedikit demi sedikit aku mulai bercerita tentang Niko dan Kak Niko
pada Tante Lidia. Dia mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Oke, aku berubah pikiran. Awalnya, kupikir Tante Lidia orang yang gak mungkin aku ajak
bertukar pikiran. Tapi ternyata ada baiknya aku cerita sama dia tentang masalah ini. Sebagai
orang luar dan gak ada hubungannya dengan dua cowok itu, pasti Tante Lidia punya cara
pandang yang berbeda. "Oooh, begitu," ujar Tante Lidia setelah mendengar cerita panjangku.
"Menurut Tante, aku seharusnya gimana?"
"Lilia, sekarang Tante yang nanya sama kamu... hal apa yang pertama kali kamu lihat dan
membuat kamu suka sama Niko Satu?" tanyanya. Wah! Belum-belum Tante Lidia sudah
membuat panggilan khusus buat mereka. Niko Satu adalah Niko tetangga Kyra. Disebut
"satu" karena aku suka duluan sama dia. Sedangkan Niko Dua adalah Kak Niko.
"Mmm... karena... mmm... yaaah... dia cakep!" ujarku serbasalah.
Tante Lidia tertawa tertahan. "Kalau Niko Dua?"
Ini dia! Aku kan gak tahu apa yang membuat aku suka sama dia dari tadi. "Aku gak tahu."
Tante Lidia mangut-mangut. "Hmm... sebenarnya dari jawaban kamu ini, kamu sudah tahu
dong, Li. Siapa yang sebenarnya kamu suka."
Aku terperangah. Bagaimana caranya"
"Saat kamu benar-benar suka sama seseorang, kamu gak butuh alasan untuk menyukainya.
Pokoknya hanya suka. Gak tahu kenapa."
Darahku berdesir. Ini jawaban yang kuperlukan sejak lama. Ini jawaban semua
kebingunganku. Aku memandang Tante Lidia lekat-lekat. Aku gak pernah menyangka akan memperoleh
jawaban darinya. Orang yang paling gak aku harapkan, justru telah membantuku. Tapi aku
jadi ragu. Apa benar dia tulus membantuku" Ataukah ini caranya mendapatkan hatiku
sehingga bisa mendapatkan Papa lagi"
"Tante lidia..."
"Kenapa, Li?" "Kenapa Tante suka sama Papa" Kenapa Tante mau menggeser posisi Mama di hati Papa?"
Aku tahu pertanyaanku barusan sangat jahat. Kali ini aku yakin dia pasti membenciku. Dia
sudah menolongku, dan bukannya berterima kasih, aku malah menghujamnya dengan
pertanyaan yang kejam. Wajah Tante Lidia sempat meredup mendengar jawabanku. Aku menunggu kata-kata kasar
meluncur dari mulutnya. Tapi lagi-lagi aku salah, dia kembali tersenyum. Tante Lidia
merogoh tasnya dan mengambil sebuah agenda. Ia membuka sebuah halaman dan
menyodorkan buku itu padaku.
Dalam halaman buku itu tampak sebuah foto dari sebaris tulisan.
Aku melihat foto itu. Tampak seorang cowok gagah menggunakan baju putih dan memakai
top?. "Dia tunangan Tante," ujarnya pelan. "Seorang pilot."
Aku mengerutkan dahi. Tunggu, apa maksudnya nih"! Dia sudah punya tunangan dan masih
mau menggaet papaku"! Gak sopan banget.
"Tiga tahun yang lalu pesawat yang dia bawa meledak. Dia meninggal... Dia..." Tante Lidia
berhenti bercerita. Aku melihat air mata mengambang di matanya. Aku langsung merasa
bersalah telah membuatnya mengingat hal-hal yang gak ingin dikenangnya. Aku tahu hal in?
pasti menyakitkan baginya.
"Maaf, Tante. Aku gak bermaksud... Aku..."
"Gak pa-pa kok, Li..." potongnya. "Waktu itu memang menyakitkan, tapi sekarang Tante
udah merelakan kepergiannya. Yaaah, waktu itu Tante pikir Tuhan sangat jahat karena telah
merebut dia dari Tante. Tapi siapa yang tahu rencana Tuhan" Li?" Tante Lidia menghela
napas lalu tersenyum. "Tante percaya, pasti Tuhan punya rencana yang lain untuk Tante.
Dan rencana itu pasti yang terbaik. Ya kan, Li?"
Aku tersenyum, gak menyangka Tante Lidia yang menyebalkan dan sok perfect ini ternyata
menyimpan pegangan hidup yang benar-benar hebat. Berserah sepenuhnya pada Tuhan
merupakan tindakan terbaik saat seseorang dilanda kepahitan yang dalam. Gak banyak yang
dapat melakukannya. Aku kagum, ternyata Tante Lidia termasuk salah satu orang dalam
daftar tersebut. "Tante...," ujarku lagi.
Tante Lidia memandangku. Sepertinya dia sudah bersiap-siap menghadapi kata-kata pedas
berikutnya dariku. Aku memasang wajah yang sarat penyesalan. "Maafin Lilia ya. Lilia, udah menghalangi Tante
dan Papa... Tapi... Lilia..."
Tante Lilia tersenyum, menggenggam tanganku. "Udahlah, Li. Tante tahu, kamu sayang
banget sama papa kamu. Tante juga tahu, kamu gak akan rela membagi Papa kamu dengan
orang lain selain mama kamu. Tante gak mau maksain kok."
Aku tersenyum lega mendengar kata-katanya. Aku senang dia bisa mengerti. Kami berdua
berpandangan. Lalu sama-sama terdiam.
"Eeh, kita belum pesen makanan loh. Kamu mau makan apa, Li?" Tante Lidia memecahkan
keheningan di antara kami. Dia membolak-balik halaman buku menu.
"Mmm... apa aja deh, Tante."
Sementara Tante Lidia sibuk mengamati jenis-jenis makanan pada buku menu, aku kembali
memerhatikan foto tunangan Tante Lidia. Eh, di samping foto itu ada tulisan, ternyata
sebaris puisi. Saat Cinta mengetuk pintumu, biarkanlah ia...
Dengan dahagamu, minumlah bersamanya..
Ia tak lelah, namun berbaringlah dengannya...
Karena... semuanya untukmu...
Melayaninya adalah kebaikanmu...
Menjaganya berarti menjagamu...
Dan bila ia menyakiti, terimalah itu sebagai pembersihan atas dengkimu...
Dan saat ia pergi, lepaskanlah...
Karena sesungguhnya, ia takkan pernah meninggalkanmu...
Wah, aku benar-benar terharu. Puisinya bagus sekali. Menggambarkan cinta yang gak akan
pernah padam. "Puisi ini dibuat saat dia mau pergi mengendarai pesawat naas itu. Mungkin saat itu, dia
punya firasat terhadap apa yang akan terjadi..."
Aku mendongak menatap Tante Lidia.
"Puisi itu menggambarkan perasaan Tante padanya saat ini. Walau sekarang dia sudah
pergi, tapi dia menempati tempat khusus di hati Tante, yang gak akan tergantikan sampai
kapan pun..." Aku terdiam, mencerna baik-baik perkataan Tante Lidia. Apakah itu juga yang Papa lakukan
terhadap Mama" Walau Papa telah merelakan Mama pergi untuk selamanya, tapi apakah
Papa tetap menyimpan cinta mereka di sudut hati terdalamnya" Di tempat yang tak
tergantikan sampai kapan pun"
*** Aku duduk di samping Papa yang sedang menyetir. Kami berdua hendak makan malam di
restoran seafood kesayanganku.
"Eh, Pa... Tadi Lilia ketemu Tante Lidia di mal loh... trus kita ngobrol-ngobrol," ujarku. Papa
yang sedang menyetir langsung menoleh cepat, tampak sangat kaget.
"HAH" Kamu ngobrol-ngobrol sama Tante Lidia" Papa gak salah denger?"
Aku mengangguk mantap. "Kalian ngobrolin apaan?"
Aku menatap wajah penasaran Papa. Mataku langsung mengerling nakal. "Mauuu tahuuu
ajaaa. Hmmm... kasih tahuu gak ya" Aaah... ga usah deeeh."
"Kamu ini, sama papa sendiri aja pake rahasia-rahasiaan," ujar Papa gemas sambil menjewer
kupingku. Kami sama-sama tertawa.
Mobil Papa berhenti di depan lampu merah. Aku menoleh menatap Papa dan menarik-narik
lengan bajunya. "Pa, Papa nyesel gak sih, gak jadi nikah sama Tante Lidia?"
Papa menatapku dan tersenyum. "Kamu kenapa sih Li hari ini" Kok jadi aneh."
"Jawab, Pa. Papa nyesel, gak?"
Papa menghela napas dan menatapku lekat-lekat. "Li, buat Papa asal ada kamu saja
sebenarnya sudah lebih dari cukup. Papa gak mau egois memaksakan kehendak Papa kalau
kamu gak setuju." Aku terdiam mendengar jawaban Papa yang begitu diplomatis. Demi aku, Papa mau
mengalah dan mengorbankan keinginannya. Bisa gak aku berbuat yang sama"
Mobil Papa berbelok menuju restoran seafood kesayanganku. Aku menoleh ke sisi kanan
jalan dan melihat warung tenda bertuliskan NASI UDUK, PECEL LELE, dan AYAM GORENG.
Aku tercekat. "Pa... Tempat makannya boleh dipindah, gak?"
Papa yang baru saja mematikan mesin mobil menatapku bingung. "Pindah" Loh, bukannya
kamu mau makan kepiting?"
Aku tersenyum menatap Papa. "Iya sih... Tapi tiba-tiba aku pengin makan ayam goreng dan
nasi uduk..." *** Aku dan Papa memasuki warung tenda yang terletak di seberang restoran seafood. Papa
memesan makanan pada penjualnya, sedangkan aku duduk di bangku kayu panjang,
memandang sekeliling. "Kamu kok tiba-tiba pengin makan di sini, Li" Sampai merelakan sup kepiting kesayangan
kamu, ini kayak bukan kamu aja." Papa yang baru saja memesan makanan duduk di
sebelahku. Aku tersenyum malu Pada Papa. Papa gak perlu tahu tempat ini memiliki kenangan
tersendiri untukku. Aku jadi ingat waktu datang ke sini sama Kak Niko. Kami sama-sama
memesan dua porsi dan makan dengan lahap. Diam-diam, aku tersenyum mengingat
kejadian saat Kak Niko gengsi dibayarin sama aku.
"Oh iya, Li. Papa baru inget. Kemarin Pak Toddy cerita... Niko dan mamanya pergi ke
Amerika loh dua hari yang lalu."
Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengarnya. "HAH" Apa, Pa" Amerika" Kok" Kok
mendadak" Bukannya, bukannya mama Kak Niko lagi sakit?"
"Itu dia. Papa juga baru diceritain semuanya sama Pak Toddy kemarin, katanya Tante Aliny
punya trauma masa lalu. Beberapa tahun yang lalu, Aurel, adik Niko yang baru berusia
empat tahun jatuh ke kolam renang dan meninggal. Tante Aliny merasa itu kesalahannya.
Dia jadi tertutup dan sering menyalahkan dirinya sendiri. Waktu di rumah sakit tempo hari,
Tante Aliny dirawat karena mencoba bunuh diri."
Aku terperangah mendengar kata-kata Papa. Kabar ini sangat mengejutkanku.
"Trus?" "Yaah... akhirnya, Pak Toddy meminta bantuan salah satu temannya di New York untuk
memberikan terapi psikologi ke Tante aliny."
"Trus... trus... Mereka di sana berapa lama, Pa?"
"Kamu kayaknya penasaran banget, Li" Bukannya kamu lagi kesal sama Niko" Katanya kamu
gak mau tahu lagi tentang dia?" tanya Papa. Separo bingung, separo meledek.
"Papaaa... kan aku cuma pengin tahu. Mereka berapa lama di sana?"
"Kemarin sih Pak Toddy bilang bakal lama. Soalnya Niko sendiri juga ambil S2 di sana. Pak
Toddy juga ada rencana mau menyusul ke sana tiga bulan lagi."
Badanku lemas seketika. Kenapa aku baru tahu sekarang" Di saat aku merasa yakin dengan
perasaanku, kenapa Kak Niko malah pergi meninggalkanku?"
"Silakan, Pak... Neng... Ini makanannya udah mateng." Obrolanku dan Papa terpotong,
tukang nasi uduk datang membawakan makanan pesanan kami.
Aku mengucapkan terima kasih dengan lemas. Rasanya selera makanku sudah menguap
entah ke mana. "Eehh... ini kan Neng Seratus Ribu, yah?" Tukang nasi uduk bersorak kegirangan saat
melihat wajahku. "Wah, Abang sampai gak ngenalin tadi..."
U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Papa melongo menatap tukang nasi uduk itu. Aku juga gak kalah melongo manatap wajah
penjualnya. Dia masih ingat"!
Tukang nasi uduk itu terus berbicara. "Oh iya, Neng, belum lama ini, mas-mas yang bayar
seratus ribu ke sini juga loh malem-malem. Udah sendirian, eeh tampangnya kusut lagi.
Neng gak berantem lagi kan sama dia?"
Aku terperangah. Kak Niko datang ke sini juga" "Kapan, Bang?"
"Aduuh... Kapan yaah" Waah, udah lupa tuh, Neng. Kalau gak salah sih waktu malam
Natal..." Aku makin lemas. Setelah mengucapkan. "Selamat makan!" tukang nasi uduk pergi meninggalkan meja kami.
Aku memandangi makananku lalu menunduk lemah. Seandainya waktu Kak Niko datang,
aku juga ada di sini. "Hmm... Sekarang Papa ngerti kenapa kamu sampai ngerelain sup kepiting, ternyata di sini
tempat kencan penuh kenangan, ya?" tanya Papa sambil menyenggol pundakku.
Aku mendongak menatap Papa. Papa tersenyum meledek.
Sebenarnya aku juga hendak tersenyum pada Papa, tapi entah kenapa air mataku justru
berjatuhan. "Loh, Lilia... Li... kamu bukannya makan, kok malah nangis?"
Aku gak tahu harus menjawab apa. Air mataku keluar semakin banyak. Apa pun yang
kulakukan sudah gak ada gunanya sekarang. Aku gak punya kesempatan lagi memperbaiki
semuanya. Sudah terlambat, Kak Niko telah pergi.
28 TERLAMBAT SUDAH sebulan gue ada di Pittsburgh. Sesuai kata-kata Papa, tempat ini seratus persen
indah. Seratus persen nyaman. Dan benar-benar memberikan ketenangan jiwa buat Mama.
Juga gue. Sebulan di sini, gue sudah lupa sama Lilia. Life's goes on... Masih banyak yang bisa gue
lakukan. Ngapain gue mikirin dia terus"!
Oke, gue bohong barusan. Tidak seratus persen gue bisa lupa sama Lilia, tapi setidaknya gue
makin jarang mikirin dia. Bahkan demi melupakan Lilia gue memutuskan menonaktifkan HP
gue. (Ini sebenarnya memalukan, tapi kalau HP gue aktif, entah kenapa gue mencet-mencet
nomor HP Lilia terus. Yang lebih memalukan lagi, gue cengar-cengir baca SMS-SMS yang
pernah Lilia kirim ke gue untuk yang keseratus kalinya.)
Sekarang kondisi kejiwaan Mama berangsur-angsur membaik. Wajahnya semakin penuh
semangat hidup. Perubahan suasana ini ternyata punya efek yang sangat bagus untuk
Mama. Terlebih lagi Dr. Paul Strikewood banyak membantu Mama dalam pemulihan
jiwanya. Dr. Paul mengajari Mama untuk menyayangi diri sendiri. Ia berulang kali
menekankan kepada Mama untuk menerima kenyataan dan berdamai dengan dirinya
sendiri. Penguatan-penguatan yang diberikan Dr. Paul membuat jiwa Mama semakin stabil dan
mantap. Membuat Mama dapat mengangkat dagunya dengan tegak dan berjalan lurus
tanpa menengok ke belakang lagi. Karena Dr. Paul juga bilang, "Rasa bersalah Anda
berkumpul di belakang sana, tapi cinta dan kebahagiaan menanti Anda di ujung jalan.
Pastikan Anda memilih hal yang kedua."
Semua menjadi jauh lebih baik sekarang. Gue juga baik-baik di sini. Kuliah S2 gue sudah
diurus. Dalam waktu dekat gue bakal mulai kuliah. Sekarang gue lagi sibuk belajar buat
persiapan. Pittsburgh kota yang nyaris tanpa hiburan. Sebulan di sini, gue belum menemukan teman
yang benar-benar dekat. Bisa dipastikan gue hampir sekarat karena bosan. Kalau bukan
karena sayang sama Mama, pasti gue sudah kabur dari sini. Jadi, ada baiknya gue sibuk
belajar, dengan begitu gue jadi ada kegiatan dan bisa melupakan semua hal yang tidak ingin
gue ingat. Gue duduk termangu di ruang tamu. Memandangi perbukitan di sekeliling gue lewat jendela
kaca. Benar-benar tempat yang indah dan romantis. Sialan! Lagi-lagi gue ingat Lilia.
"Nik, ada tamu." Mama tiba-tiba menepuk pundak gue, memecahkan lamunan gue.
Gue menoleh dengan malas. "Bilang aku gak ada, Ma. Please!"
Sori, bukannya gue gak sopan tapi... gileee... ternyata di sini cewek-ceweknya jauh lebih
gencar daripada Maryna. Baru seminggu gue tinggal di sini, kayaknya 95% cewek-cewek di
perumahan ini sudah kenal gue. Waktu gue belanja di supermarket kecil di sini, ada tiga
cewek yang sengaja menyenggol gue, ada juga yang tidak segan-segan menjatuhkan kertas
berisi nomor teleponnya ke kantong belanjaan gue.
Samantha, si pirang seksi, sudah berulang kali mengundang gue ke rumahnya saat kedua
orangtuanya tidak ada. Tapi ada dampak positifnya juga sih. Melihat kelakuan mereka, nilai
Maryna di mata gue jadi naik. Setelah gue banding-bandingkan, ternyata Maryna tampak
seperti anak balita yang polos dan lugu bila dibandingkan dengan Samantha.
"Kamu lagi ngelamunin apa sih dari tadi?" tanya Mama lembut.
Gue tersenyum. Kalau gue jawab lagi ngelamunin cewek yang usianya sembilan tahun di
bawah gue, mungkin Mama tertarik memperkenalkan gue dengan Dr. Paul.
Mama duduk di sebelah gue. Menatap gue dengan pandangan ingin tahu. Gue langsung
mengambil cangkir dan minum. Pura-pura konsentrasi menikmati Coffee Latte.
Mama tersenyum lalu memandang lurus ke depan. Kami sama-sama melihat gadis kecil
berambut pirang yang lurus dan panjang sedang membuat orang-orangan salju.
"Kalau diliat sekilas, anak itu mirip Lilia," kata Mama tiba-tiba.
Gue kaget. Dalam sekejap gue langsung tersedak dan batuk-batuk. Coffee Latte gue
berceceran di lantai kayu.
Mama mengerutkan dahinya dengan bingung. "Loh, kamu kok kaget banget begitu sih, Nik"!
Kenapa?" "Aa... gak... gak pa-pa..."
"Kamu juga kenal Lilia, ya?" tanya Mama, sepertinya tidak puas dengan jawaban gue. Gue
mengangguk gugup sambil cengar-cengir.
Mama menatap gue dengan mata menyipit. "Ataaau... jangan-jangan kamu naksir dia, lagi?"
Gue makin kelabakan. Ternyata feeling seorang ibu bisa kuat kayak gini. Lagian gue juga
yang bego, mendengar nama Lilia saja sampai tersedak.
"Udah. Daripada melamun di sini, lebih baik temuin tamu kamu sana. Dia nunggu kamu
tuh." Mama tersenyum dan pergi meninggalkan gue yang masih sibuk mencari kalimat-kalimat
untuk membela diri. *** Gue menyeret langkah gue dengan malas menuju teras depan rumah. Siapa lagi yang datang
hari ini" Samantha" Paige" Alice"
Setibanya di teras, gue terperangah melihat cewek yang sedang berdiri tegak di teras rumah
gue. Jelas dia bukan Samantha karena rambut Samantha pirang, bukan merah. Dia juga
bukan Paige, karena rambut Paige panjang bergelombang, bukan lurus pendek seleher. Dan
Alice yang gue kenal makeupnya tebal dan mencolok, bukan ber-makeup tipis dan berlipstik
warna pastel yang lembut. Hmmm... Apa gue punya tetangga baru"
Gue memerhatikan cewek itu. Dia bermuka agak tirus, rambutnya dipotong layer dan diberi
sentuhan merah marun. Dia mengenakan jaket panjang cokelat tua dan scarf merah
menyala, juga rok kulit sewarna jaketnya dan sepasang sepatu bot. Tomboi sekaligus
feminin. Keren, cool, dan berkelas.
Cewek itu melipat kedua tangannya di depan dada dan tersenyum pada gue.
"Hi, playboy!" Gue terperangah. Gile, walau penampilannya sudah seratus persen berubah, ternyata
orangnya tidak berubah. Nada suaranya memang sombong, gaya yang ditampilkan juga
sedikit angkuh, tapi gue mengenali matanya. Mata yang memancarkan sinar persahabatan.
"LOLA"!" Lola tersenyum lebar. Ia merentangkan tangannya dan berlari ke arah gue. Dalam waktu
singkat kedua tangannya telah melingkari leher gue.
"Niko jelek. Kenapa lo ke Amrik gak ngasih kabar sama gue, hah?" ujar Lola dengan nada
sadis. Gue langsung tertawa. Dia benar-benar Lola. Tuh lihat, begini nih sahabat gue. Gerakan
tubuh dan nada bicaranya tidak sinkron. Dia memeluk gue, tapi mulutnya menghamburkan
makian. "Lo tahu dari mana gue di sini?" tanya gue.
"Dari bokap lo. Dia nelepon gue."
"HAH" Bokap gue"!"
"Iya. Bokap lo. Dia bilang, kayaknya lo hampir mati kesepian di sini. Jadi bokap lo nelepon
gue, dan nyuruh gue ngecek kondisi lo. Tahu gak, dia mati-matian nyari nomor gue loh, Nik.
Dia sampai datang ke kantor lo, cari Joko, trus minta nomor telepon gue ke dia. Niat banget,
kan"!" Gue benar-benar terbelalak sekarang. Gue tidak menyangka. Ternyata Papa sangat care ke
gue. "Trus... kerjaan lo di New York?"
"Gue kebetulan boleh ambil cuti. Jadi gue putuskan, sementara ini gue mau berlibur di
Pittsburgh. Gimana?"
*** Kayaknya gue harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ke Papa. Karena
Papa, hari-hari gue yang tadinya garing, jadi hidup lagi. Yaah... semua itu bisa terjadi karena
gue bertemu Lola. Tiap Lola datang, kayaknya ada saja hal aneh yang ingin dia lakukan bareng gue, ngajak gue
mancing, ngajak gue naik kuda, dan lain-lain. Pokoknya dia selalu penuh rancangan kegiatan
seru tiap harinya. Malah dia sengaja menginap di salah satu mess dekat rumah, biar bisa
datang tiap hari ke rumah gue.
Lola juga cepat akrab sama Mama. Belum-belum mereka sudah jadi teman nonton teve dan
makan potato chip bareng. Suasana rumah gue yang tadinya adem-ayem sekarang jadi
ramai karena kehadiran Lola.
Satu lagi... selain rame, Lola juga gila.
Waktu itu, gue dan Lola sedang berjalan ke supermarket. Tiba-tiba Samantha datang
menghadang kami. Ia bertolak pinggang dan matanya berkilat penuh amarah. "What the
hell are you doing, Nik" Who's that woman?"
Sebelum gue sempat menjawab, Lola dengan centilnya malah menggandeng tangan gue
dengan mesra. "Have you told her that I am your fianc?e, Honey?"
Fantastis! Sejak saat itu gue terbebas dari gangguan Samantha dan teman-temannya. Mau
tidak mau gue akuin, gilanya Lola ada gunanya juga.
*** "Udah seminggu gue di sini. Gak ada yang mo lo ceritain ke gue, Nik?"
Gue menatap Lola bingung. He" Cerita" Cerita apa"
"Gak usah sok pilon deh. Cerita aja..."
Yaelah, gue jelas-jelas bingung, dia malah nuduh. "Maksud lo apa, La" Tentang nyokap"
Kayaknya gue udah cerita semuanya deh..."
"Yaaah... kalau itu gue sih udah tahu... tentang yang lain?" Lola menatap gue dengan
pandangan menyelidik. "Yang lain" Yang lain apa" Tentang rencana S2 gue" Ataau... tentang Samantha yang
kecentilan itu?" Lola pasang tampang putus asa sekaligus jengkel mendengar kata-kata gue. "Oke! Gak pake
basa-basi lagi...," ujarnya kesal. "Gue denger, lo masih ada masalah yang belum
terselesaikan di Jakarta. Masa lo gak mau cerita tentang masalah itu ke gue?"
"HAH?" Gue terbelalak. "Siapa yang bilang?" Masa Papa" Tahu dari mana dia"
Lola berjalan mendekati gue dan menggetok kepala gue perlahan. "Eh, Nik! Lo kira gue
datang ke sini cuma buat nemenin lo biar gak kesepian" Gak cuma bokap lo yang
menghubungi gue... Joko dan Rangga juga nelepon gue, jadiii... gue pikir kayaknya ini bukan
sekedar masalah sepele..."
"Joko" Rangga" Ngapain mereka ngubungin lo segala" Emangnya gue gak bisa nyelesein
masalah gue sendiri?"
Lola menarik napas. "Lo tuh gak berubah ya, Nik. Kayaknya lo yakin banget bisa nyelesein
semuanya sendiri. Lo tuh cuek atau gengsi sih?"
Gue tersenyum sekilas lalu duduk di ayunan kayu. Gue tidak merasa perlu menjawab
pertanyaan barusan. Lola duduk di sebelah gue, memegang bahu gue. "Jadi, sebenarnya perasaan lo ke Lilia
gimana sih, Nik?" Gue langsung menepis tangannya. "Udah deh, La... Lo gak usah ikut campur..."
Gue berdiri. Lola menahan tangan gue. "Gak bisa. Ada empat orang yang membuat gue-mau
gak mau-jadi ikut campur. Bokap lo bilang elo butuh teman bicara. Joko dan Rangga bilang
elo itu butuh penasihat. Satu lagi, selama seminggu ini gue juga membicarakan masalah ini
ke nyokap lo, dan dia bilang lo butuh digetok pake palu..."
Gue melongo. Jawaban macam apa itu" "Ooh... gitu. Jadi lo merasa berhak ikut campur
sekarang" Oke, trus mana dulu yang mau lo lakuin?"
Lola mengerlingkan matanya. "Yaaah... Sesuai urutan... pertama, gue bicara dulu sama lo.
Nah, kalau lo berbuat salah, lo bakal gue nasihatin... dan kalau lo gak mau denger, gue bisa
pinjem palu ke nyokap lo. Gimana?"
*** Dua jam empat belas menit dan dua puluh tiga detik gue cerita panjang lebar tentang
semua yang sudah terjadi belakangan ini antara gue dan Lilia.
Seperti yang gue duga, Lola terbelalak mendengarnya.
"Tunggu... Tunggu... Itu semua terjadi dalam..."
"Tiga bulan terakhir ini," jawab gue mantap.
Lola makin terbelalak kayak ikan mas koki. "GILA! Dalam tiga bulan, hidup lo udah penuh
warna begitu... Hahahahaa..."
Sialan! Bukannya prihatin, dia malah ketawa ngakak.
Lola menghentikan tawanya saat melihat gue siap menimpuk mukanya dengan bantal kursi.
"Kalau gue di posisi Joko dan Rangga, gue juga pasti bakal nyuruh lo jadian sama Maryna.
Sekarang gue mau nanya sama lo. Menurut lo, kenapa lo gak suka sama Maryna yang superperfect itu?"
Gue berpikir. "Kenapa ya" Hhh... gue gak tahu, yaah... gak suka aja..."
"Wajah Maryna mirip gak sama Nina?"
Gue menghela napas. "Lumayan sih. Maryna membuat gue ngerasa bareng Nina. Tapi
bagaimanapun dia bukan Nina."
Lola mengangguk-angguk, seperti sedang menganalisis jawaban gue. "Trus, apa yang lo suka
dari Lilia yang jauh dari perfect itu" Dia beda sembilan tahun dari lo, kan?"
Gue berpikir lagi. Pikiran gue tampah njelimet. "Gue gak tahu. Tiba-tiba gue suka sama
dia..." Lola tersenyum. "Truuusss... Apanya Lilia yang mirip Nina?"
Gue berusaha mengingat-ingat. Membanding-bandingkan Lilia dengan Nina. Apanya Lilia
yang mirip Nina" Memangnya ada" Kulit Nina cokelat eksotis, sedangkan kulit Lilia putih
susu. Mata Nina menyipit seperti mata kucing sedangkan mata Lilia besar. Hidung Nina
mancung, sedangkan Lilia pesek. Nina tinggi langsing kayak model, sedangkan Lilia kurus,
cenderung pendek. "Ada. Sama-sama perempuan," kata gue akhirnya.
Senyum Lola makin lebar. "Jadiii... waktu lo lagi sama Lilia, lo gak ngebayangin Nina sama
sekali dong" Gak ngebandingin dia sama Nina?"
Gue terdiam. Iya, ya! Benar juga! Dulu, gue ngedeketin semua cewek yang mirip Nina.
Kenapa sekarang justru yang benar-benar bertolak belakang dari Nina"!
"Semuanya udah jelas, Nik. Lo suka sama Lilia. Lo sayang sama dia. Bahkan kalau mau jujur,
mungkin lebih dari sekadar sayang. Sooo... Apa lagi yang lo tunggu"! Kenapa lo gak nyatain
perasaan lo ke Lilia dan cuma ngegantungin perasaan dia" Kenapa lo puas ngejalanin
semuanya tanpa status?"
Gue menghela napas berat. "Lo gak bisa ngomong sembarangan kayak gitu, La. Lo pikir
segampang itu, hah" Temen-temen Lilia gak setuju gue sama dia. Temen-temen gue
meringis lihat gue jalan sama Lilia. Joko bilang, apa yang gue harapkan dari hubungan gue
dengan Lilia" Lilia masih terlalu kecil, Lilia gak pantes buat gue. Dan setelah gue pikir-pikir,
kata-kata Joko ada benernya juga. Apa Lilia bisa nerima semua masa lalu gue?"
"Nik, gue pernah baca bahwa The only way to LOVE is NOT by loving someone perfect... But
by loving someone imperfect, PERFECTLY... Love doesn't always have a HAPPY ENDING, it
simply doesn't end."
Gue terperangah mendengar jawaban Lola.
"Kalau lo bener-bener sayang sama dia, lo bakal terima dia apa adanya, Nik. Lo gak bakal
ambil pusing dengan pendapat orang lain. Walaupun semuanya gak berjalan mulus dan
lancar, kalau lo emang yakin dengan perasaan lo, pasti semuanya bisa lo jalanin. Daannn...
kalau Lilia memang sayang sama lo, dia juga bakal berpikir kayak gitu."
Kata-kata Lola seakan-akan menampar gue.
"Nik, kenapa sih lo jadi bego kayak gini" Setelah semua kesalahpahaman itu terjadi, kenapa
lo gak nyari dia" Kenapa lo gak usaha klarifikasi semuanya ke dia?"
Gue langsung mendelik tajam menatap Lola. "Maksud lo apa" Emang lo tahu apa, hah?"
Gue memegang bahu Lola, memandang lurus ke matanya. "La, gue udah coba semuanya.
Gue udah nelepon dia berkali-kali dan gak diangkat. Gue dateng ke sekolahnya, dan gue
diusir sama temen-temennya. Dan terakhir kali gue dateng, dia sedang ciuman sama cowok.
Jadi, semua udah selesai sekarang. Tamat. The End!"
Lola menatap gue sinis. "Cuma segitu usaha lo buat ngedapetin dia" Kenapa lo gak coba
dateng ke rumah Lilia saat telepon-telepon lo gak diangkat" Kenapa lo gak maksa masuk ke
gerbang sekolah walaupun teman-temannya menghalangi lo" Kenapa lo gak menghadapi
Lilia yang sedang ciuman dengan cowok itu dan minta waktunya lima menit untuk ngejelasin
semuanya" Kenapa, Nik" Kenapa lo malah lari" Kenapa sekarang lo sembunyi di sini" Dan
kenapa HP lo gak diaktifin?"
Gue menelan ludah. Menahan deru napas gue yang memuncak. Gue kesal sekaligus malu
banget sama Lola. Kok bisa-bisanya dia balikin semua kata-kata gue"
"Nik... gue..."
"UDAH, LA! CUKUP!"
Lola terperangah melihat gue membentaknya.
Gue memejamkan mata, menahan semua perasaan gue. "Oke, lo menang, La. Please, jangan
bahas masalah ini lagi. Iya, gue emang salah. Gue minta maaf. Tapi pleaseee... gue mohon,
La, jangan bahas masalah ini lagi..."
"Nik... ini bukan masalah menang atau kalah... ini..."
"Iya, gue tahu. Karena gue tahu, makanya gue gak mau masalah ini dibahas lagi. Karena
U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menang atau kalah udah gak ada artinya..."
Gue terdiam, berjalan menjauhi Lola dan memandang langit. "Dia udah punya cowok. Gue
gak bisa ngapa-ngapin sekarang... Semua udah terlambat, La."
Lola menatap gue dengan pandangan miris. "Nik..."
Gue menghela napas dan menatap mata Lola lekat-lekat. "La, gue datang ke sini untuk
kembali dari awal, menata kehidupan gue yang baru. Dan sekarang gue sadar, apa yang gue
perlu..." Lola mengerutkan dahi, tapi dia tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya memandang gue
dengan tatapan penuh tanda tanya.
"La... dari kemarin gue nyaris terkubur di sini dalam kesendirian gue. Tapi sekarang gue
udah gak kayak gitu lagi. Dan gue sadar, ada orang yang selalu ada buat gue... dan orang itu
elo, La," gue tersenyum pada Lola, lalu melanjutkan, "lo jadi cewek gue, ya?"
Lola benar-benar terkejut. Dia menatap gue tidak percaya. Namun pada detik selanjutnya,
Lola juga ikut tersenyum.
29 FIRST CAKE TIGA kata untuk menggambarkan persiapan ulang tahun: REPOT! REPOT! REPOT!
Padahal aku sudah bilang "Gak usah, Pa!" kira-kira 267 kali dalam seminggu ini, tapi Papa
tetap saja ngotot ulang tahun sweet seventeen-ku harus dirayakan.
"Umur tujuh belas itu istimewa, hanya terjadi sekali seumur hidup. Gak ada salahnya
dirayain kan, Li?" kata Papa.
Ya udah, aku nurut aja. *** Sebulan sebelum ulang tahunku...
Teman-teman sedang berkumpul di kamarku, ikut membantu mempersiapkan acara ulang
tahunku. "Ulang tahun lo kan deket-deket hari Valentine tuh, Li. Jadi lo bikin cake-nya bentuk hati
aja," usul Shamira. "Trus baju lo pink," tambah Kyra.
"Jangan lupa, pilih lagu-lagu yang romantis buat acaranya," Denise juga ikut menyumbang
ide. "Oh ya, kalau perlu nanti gue buka stan ramalan tarot deh di situ. Pasti tambah seru," ujar
Adis. Aku melamun. Sudah sebulan lebih berlalu. Selama itu pula aku gak pernah mendengar
kabar lagi tentang Kak Niko. Apa yang dia lakukan di Amerika sana" Apa kuliah S2-nya sudah
mulai" Apa dia sudah punya pacar"
"LILIAAAA! Lo lagi ngeliatin apa siiiiiih?"!!" teriakan Kyra langsung membuyarkan
lamunanku. "Eeh... i... iya, Ra. Gue denger kok. Mau bikin baju berbentuk hati pink yang bisa buat
ngeramal, kan?" ujarku sok tahu sambil menyembunyikan benda yang sedang kupegang di
belakang punggung. Kyra memandangku dengan tatapan curiga. Ia menarik benda yang kusembunyikan dengan
mata terbelalak. "Li, kita lagi sibuk ngebahas acara ulang tahun lo, dan elo malah mandangmandangin cover makalah Tata Surya?" ujarnya dengan nada terluka.
"Sori...," ujarku. Aku tahu aku salah. Mereka kan datang ke sini untuk membantuku. Ehhh...
malah aku cuekin. Aku memperbaiki posisi dudukku. Menyampirkan rambutku di belakang kuping, membuka
mataku lebar-lebar, dan mengumpulkan seluruh konsentrasiku. "Ayo, terusin, Ra. Gue janji
deh gak bakal nyuekin lagi..."
Kyra menghela napas berat lalu menepuk bahuku. "Lo tadi lagi mikirin Oom... eh... Kak Niko
ya, Li?" Aku mengangguk, tapi gak berani menatap mata Kyra.
Tanpa dikomando, Kyra, Shamira, Denise, Adis, dan Marsya menghela napas panjang secara
bersamaan. Mereka langsung berkerumun mengelilingiku.
"Li... udahlah. Ngapain sih lo mikirin dia terus?" kata Kyra.
"Iya, biarin aja dia pergi. Mau ke Amrik kek, Afrika kek... terserah dia! Inget dong, Li... dia
tuh udah nyakitin perasaan lo," Shamira menambahkan.
"Hidup tuh terus berjalan, Li. Dengan berlalunya waktu lo pasti bisa ngelupain dia," lanjut
Denise. "Betul. Kan ada Niko yang jelas-jelas suka sama lo. Lo gak akan salah pilih deh kalau sama
dia. Bayangin, Li. Dia masih nunggu jawaban lo sampai sekarang," kata Adis.
"Bukannya gue ngajarin lo buat egois... tapiiiii, jadian sama cowok yang setengah mati
sayang sama kita, jauh lebih baik daripada kita yang setengah mati sayang sama dia. Karena
kita pasti dalam posisi aman, Li. Kita gak bakal didepak," Marsya ikut memberi masukan.
Lima pendapat berbeda, dari lima mulut yang berbeda pula. Tapi intinya sama: Lupakan Kak
Niko! Terima Niko! Harus kuakui mereka benar. Apa lagi yang kuragukan sekarang" Oke, aku memang suka
sama Kak Niko lebih daripada Niko. Tapi... "suka" bukan jaminan aku jadian sama dia, kan"
Aku gak tahu Kak Niko sekarang ada di mana. Bahkan permasalahan di antara kami pun
belum terselesaikan. Jadi kenapa aku menghabiskan waktu melamunkan orang yang gak ada
dan membiarkan orang yang jelas-jelas menungguku"
Aku memandangi teman-temanku satu per satu. Aku percaya pada mereka. Mereka pasti
ingin aku bahagia. Perlahan aku tersenyum. Kami berenam berpelukan dengan sangat akrab.
Tiga minggu sebelum ulang tahunku...
Atas bujukan, rayuan, dan paksaan teman-temanku, aku dan Niko bertemu hari ini. Aku
hendak menyerahkan undangan ulang tahunku padanya.
"Thanks ya, Li. Gue pasti datang," ujarnya yakin sambil mengacungkan jempol.
Aku menatap Niko cemas sambil meremas-remas jariku. Sebenarnya paksaan temantemanku hari ini bukan hanya menyerahkan undangan, namun sekaligus memberikan
jawaban padanya. "Mmm... Nik... soal... jawaban waktu malam Natal... aku..."
Niko langsung meletakkan jari telunjuknya di bibirku. "Gak usah dipaksain, Li. Gue bakal
nunggu sampai lo bener-bener siap ngejawabnya," ujar Niko sambil tersenyum.
Aku menatap Niko dan tersenyum gak kalah lebar. Rasa terima kasihku padanya gak dapat
kuungkapkan. Tunggu ya, Nik. Suatu hari nanti, aku pasti akan dengan lantang mengatakan
padanya bahwa aku sangat menyukainya dan benar-benar bahagia bisa jadi ceweknya. Ya,
suatu hari nanti. Dua minggu sebelum ulang tahunku...
Aku mulai kelabakan. Pesta ulang tahunku dua minggu lagi, dan aku bahkan belum memiliki
baju yang hendak kupakai untuk acara itu.
"Wah, maaf banget, Li, tapi Papa lembur hari ini..."
Aku menghela napas putus asa. Gawat, Kyra sedang pergi ke rumah neneknya dan Denise
sedang terbaring sakit di kamarnya, sudah seminggu dia kena tifus. Mama Denise pasti gak
mengizinkanku menculik anaknya.
Aku berpikir keras mencari orang yang bisa menemaniku. Tiba-tiba seperti ada lampu yang
menyala di kepalaku. Aku tahu!
"Pa, kalau aku ajak Tante Lidia, gimana?"
Papa terperangah, tapi gak membantah.
*** "Daripada kamu pusing-pusing nyari dan belum tentu dapat baju yang sesuai dengan badan
kamu yang mungil, mending kita ke penjahit aja, Li. Gimana?" usul Tante Lidia.
Ide brilian. Aku langsung setuju.
Kami berdua tiba di butik kecil di daerah Tebet. Tempatnya unik dan ditata dengan pernakpernik minimalis yang keren. "Ini tempat langganan Tante, Li. Dijamin seminggu kelar."
Seorang desainer datang menemui kami dan mengukur tubuhku. Lalu merancang model
baju untukku di buku sketsanya. Sesuai pesan Kyra, aku meminta bahan berwarna pink.
Berdasarkan penjelasan sang desainer, aku tahu bajuku terbuat dari bahan satin tafeta,
bertali spagheti, dan terdapat lipatan-lipatan dari kain sifon pada bagian dadanya. Sedikit
seksi, tapi manis. Hmm... aku sudah gak sabar hendak memakainya.
"Lilia?" sebuah suara menyebut namaku. Aku menoleh... dan... aku gak percaya pada apa
yang kulihat. Maryna ada di hadapanku.
"Kamu ngapain?" tanyaku.
"Aku lagi mau bikin baju buat acara ulang tahunku. Mmm... Kak Maryna mau bikin baju
juga?" tanyaku sedikit gugup.
"Oh, iya dong. Ini kan butik langgananku," ujarnya.
Oooh, sekarang aku tahu kenapa style Maryna dan Tante Lidia agak serupa.
Lalu... hal yang paling gak pernah kubayangkan terjadi. Maryna minta maaf padaku tentang
kejadian di pesta pernikahan tempo hari.
"Sori ya. Hubungan kamu sama Niko jadi rusak gara-gara perkataanku," ujarnya datar. Yaah,
walaupun sedang minta maaf, kesan angkuh dari gaya dan suaranya tetap gak bisa hilang.
"Aah... gak pa-pa kok. Malah dengan penjelasan Kak Maryna, aku jadi tahu yang
sebenarnya..." Maryna menghela napas berat. "Nggak, Li. Sebenarnya... kamu udah aku bohongin waktu
itu..." Aku terperangah menatap Maryna. Maksudnya"
"Aku memang ciuman dengan Niko, tapi aku yang maksa mencium dia..."
Ya Tuhan! Apa dia bilang" Aku gak salah dengar, kan" Jadi, selama ini aku salah sangka"
Maryna menatapku lekat-lekat. "Malah sebenarnya game itu diadakan Vidya supaya aku
bisa mencium Niko!" Aku makin melongo. "Yaah... mau gimana lagi" Aku suka sama Niko. Dia cakep, keren, dipuja sama banyak cewek.
Aku bertekad harus ngedapetin dia. Gak nyangka, Niko yang terkenal playboy, malah
nguber-nguber anak kecil kayak kamu. Jelas aja aku gak terima, banyak cowok yang rela
mati buat ngedapetin aku. Tapi kenapa aku gak bisa bikin Niko noleh" Apa sih yang kurang
dari aku" Apa sih yang dia lihat dari kamu?"
Maryna mengoceh panjang lebar. Minta maaf sekaligus menumpahkan kekesalannya.
Memuji dirinya sendiri sambil membanding-bandingkannya dengan kekuranganku. (Dia mau
minta maaf atau ngajak berantem sebenarnya") Tapi, saat itu aku sudah gak peduli lagi. Aku
sudah gak mendengar ocehannya. Aku membatu ketika mendengar Maryna berkata dia
telah membohongiku. Benteng pertahanan untuk melupakan Kak Niko yang telah kupugar
dalam dua minggu terakhir ini, runtuh dalam sekejap.
*** Sepuluh hari sebelum ulang tahunku...
Aku putus asa. Sudah puluhan kali aku mencoba menghubungi nomor HP Kak Niko, tapi gak
aktif. Yaaah... memangnya bisa semudah itu" Aku sudah tahu hal sebenarnya sekarang, tapi
apa Kak Niko masih peduli padaku" Hhhh... Kayaknya aku harus membangun tembok lagi.
Delapan hari sebelum ulang tahunku...
Aku menyerahkan undangan ulang tahunku pada Papa. "Undang Tante Lidia ya, Pa."
Papa memandangku takjub. "Bener kamu mau ngundang dia, Li?"
Aku mengangguk yakin. "Iyalah, Tante Lidia kan udah bantuin aku nyari baju."
Papa tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
Tujuh hari sebelum ulang tahunku...
Baju ulang tahunku jadi hari ini. Aku mengepasnya. Baju itu bagus sekali. Sepuluh kali lebih
bagus dari sketsa yang dibuat. Aku suka sekali payet-payet yang bertaburan pada bahan
sifonnya. Papa berdecak kagum melihatkku. "Kamu seperti malaikat," pujinya.
Empat hari sebelum ulang tahunku...
Mungkin hanya perasaanku saja. Tapi, entah kenapa Kyra jadi aneh akhir-akhir ini. Setiap
ketemu di sekolah dia senyam-senyum menatapku. Hmm... apa dia merencanakan sesuatu
untuk acara ulang tahunku" Ya Tuhan! Semoga bukan rencana yang buruk!
Tiga hari sebelum ulang tahunku...
Niko meneleponku. Aku mengingatkannya untuk datang ke pestaku.
"Tenang, Li. Gue pasti datang. Dan gue punya kado spesial buat lo," ujarnya penuh
keyakinan. Aku semakin merasa bersalah padanya. Ya Tuhan! Padahal Niko sudah begitu baik. Kenapa
aku masih saja memikirkan Kak Niko brengsek itu"!
Sehari sebelum ulang tahunku...
Aku ziarah ke makam Mama sendirian.
Aku meletakkan sebuket bunga mawar putih di pusaranya. "Ma, besok Lilia ulang tahun
yang ketujuh belas loh," ujarku. Lalu aku berdoa.
Today is my birthday... Akhirnya. Hari yang ditunggu-tunggu tiba. 10 Februari. Ulang tahunku. Di sekolah temanteman bergantian menyalamiku.
Aku menerima SMS dari Papa. Tepat pada jam kelahiranku, jam dua siang.
From: Papaku. 1989, February 10th. In the middle of a crowded meeting, in front of a stack of papers with
confusing numbers, in front of my angry boss, I heard the happiest news from home. My
little princess was born... Happy Birthday!
Aku membacanya. Lalu menangis.
*** Pukul tujuh malam, orang-orang mulai berdatangan ke Pulau Dua, tempat pesta ulang
tahunku dirayakan. Suasana di sini benar-benar asyik, dikelilingi taman dan ada live music.
Lagu-lagu cinta seperti Endless Love, My Valentine, dan First Love dinyanyikan dari
panggung dengan sangat indah. Apalagi sekarang menjelang Valentine's Day, lampu-lampu
pun dihias berbentuk hati.
Niko datang. Dia tampak sangat keren dengan kemeja birunya. Niko menyerahkan hadiah
untukku. Aku senang banget menerima boneka beruang salju yang luar biasa besar.
"Makasih, Nik. Kadonya benar-benar istimewa," ujarku terharu.
"Nope. Belom. Ini belom apa-apa," ujarnya sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya di
depan mataku. "Gue masih punya kado yang lebih istimewa buat lo nanti," tambahnya. Lalu
Niko berbaur dengan teman-temanku yang lain.
Jam delapan, semua undangan sudah datang, termasuk Tante Lidia. Dia memuji baju ulang
tahunku. Semua orang-orang sedang mengelilingiku. Mereka hendak menyaksikanku
meniup lilin yang berdiri berjejer di tar ulang tahunku.
Band di panggung menyanyikan lagu Happy Birthday untukku. Aku meniup ketujuh belas
lilinku, semua bertepuk tangan.
"Sekarang, Lilia boleh potong kue, dan berikan potongan pertama untuk orang yang paling
spesial," ujar MC dari panggung.
Aku memotong kueku dan meletakkan potongan pertama pada piring kertas. "Untuk Papa,"
ujarku. Semua bertepuk tangan. Aku memberikan kue itu pada Papa. Papa mencium keningku. Kami
berpelukkan dengan hangat.
"Okeee, first cake-nya untuk Papa Lilia. Sekarang ada sepotong kue yang lain daripada yang
lain. Kue ini berbentuk hati dan dipersembahkan oleh teman-teman Lilia untuk Lilia. Nah,
Lilia, kamu wajib memberikan kue itu untuk seseorang yang punya tempat khusus di hati
kamu..." Aku terkejut. Kyra berjalan ke hadapanku dan menyerahkan kue berbentuk hati ke
tanganku. Dia mengerling nakal. Hmmm... sekarang aku tahu kenapa Kyra senyam-senyum
terus belakangan ini. Ini pasti rencananya. Dia pasti mau mempersatukan aku dan Niko di
acara ulang tahunku ini. Nice try!
Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Suasana langsung hening seketika. Aku
memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar dentingan piano memainkan lagu Happy
Birthday untukku. Kalau mau jujur, sebenarnya sampai detik ini, secuil bagian hatiku masih
mengharapkan keajaiban. Aku berharap Kak Niko ada di hadapanku sehingga aku dapat
memberikan kue berbentuk hati ini padanya.
Detik demi detik berlalu. Semua orang menungguku. Aku menghela napas dan membuka
mata. Aku tahu, dalam hidup ini gak semua hal yang aku inginkan bisa menjadi kenyataan.
Aku harus belajar menerimanya. Baiklah, sudah kuputuskan, kue akan kuberikan untuk Niko.
Mungkin sekarang saatnya aku menjawab perasaannya. Yaaah... aku tahu, aku memang
belum sepenuhnya menyukainya, tapi kurasa belajar menyukainya bukanlah hal yang sulit.
Aku berjalan keliling mencari sosok Niko. Suara dentingan piano mengiringi langkahku. Di
mana dia" Oohh! Tiba-tiba aku tersadar, pasti Niko yang memainkan piano itu. Tadi dia
bilang mau memberikan kado istimewa untukku, kan" Pasti permainan piano tadi hadiah
istimewanya itu. Aku membalikkan badan, hendak melangkah menuju piano yang letaknya di sisi panggung.
Di situ pencahayaannya agak redup, aku gak bisa melihat dengan jelas sosok Niko. Tiba-tiba
ada yang menepuk bahuku dari belakang.
Permainan piano berhenti. Suasana di sekelilingku kembali sunyi.
Aku menoleh. "Niko"!"
"Apa kuenya buat gue?" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menatap Niko, keputusanku sudah bulat. Aku mengangguk dengan yakin, "Iya."
Niko tersenyum. Perlahan, ia mencium pipiku. "Makasih, Li," ujarnya sopan. Semua yang
melihat kejadian itu mendesah.
Aku menghela napas. "Nik... aku..."
Niko menepuk bahuku. Ia cengengesan. "Mmm... Li... kayaknya lebih baik kue itu buat yang
main piano deh. Kayaknya dia laper," ujar Niko cuek.
Aku menatap Niko bingung. "Eh" Jadi bukan kamu yang main piano tadi?"
Niko menggeleng cepat. "Weits! Sori, bukannya sombong, tapi gue lebih jago mainnya."
Lalu Niko menarik tanganku dengan lembut ke arah piano itu. Aku mengikuti langkahnya
dengan bingung. Dengan dua puluh langkah panjang, aku sampai di depan piano itu. Aku
melihat seseorang yang sejak tadi memainkan lagu Happy Birthday untukku. Dia memakai
kemeja putih, dasi, dan kacamata.
Aku melongo gak percaya...
"Kak Niko?" U! GUE tersenyum memandang Lilia. Dia masih saja melongo. Teman-temannya yang lain juga
ikutan melongo. Papanya apalagi. Jujur deh! Kalian juga melongo, kan" Hahaha...
Oke, biar kalian gak bingung... kita putar mundur waktu sebentar, biar semuanya lebih
jelas... *** "La... dari kemarin gue nyaris terkubur di sini dalam kesendirian gue. Tapi sekarang gue
udah gak kayak gitu lagi. Dan gue sadar, ada orang yang selalu ada buat gue... dan orang itu
elo, La," gue tersenyum pada Lola, lalu melanjutkan, "lo jadi cewek gue, ya?"
Lola benar-benar terkejut. Dia menatap gue gak percaya. Namun pada detik selanjutnya,
Lola juga ikut tersenyum.
Lola berjalan mendekati gue, gue menatap dia dengan sungguh-sungguh, dan...
U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"HEH, ORANG GILA! SEHARUSNYA LO YANG PERLU KONSULTASI SAMA PSIKIATER, BUKAN
NYOKAP LO!!!" jeritnya di kuping gue.
"La"! Eh" Kok lo marah sama gue sih" Gue sadar La... Gue udah gak mungkin dapetin Lilia.
Udah terlambat. Udah sebulan lebih berlalu, gue udah kehilangan kontak sama dia. Gue
yakin dia sekarang udah punya pacar. Udah bahagia di sana. Jadi ngapain lagi gue nyari dia?"
Tanpa pikir panjang Lola malah menjewer kuping gue. "BODOH!!! IDIOOTT!!! Trus lo
nyerah" Baru sebulan, Nik!"
Gue menatap Lola dengan kesal. Enak aja dia menjewer-jewer kuping gue. Memangnya gue
anak TK" "Trus gue bisa apa" Lo punya ide brilian apa, Miss Lola Delliany yang hebat?"
Lola mengangkat sebelah tangannya. Astaga. Gue mau ditampar"
Fiuuuh! Untungnya dugaan gue salah. Lola memang mendaratkan tangannya di pipi gue,
tapi dia hanya menepuk-nepuk pelan. Gue lihat pandangannya berangsur-angsur melunak.
"Nik, lo mau nyesel lagi?" ujarnya pelan tapi sanggup menciptakan petir di hati gue.
"Dulu lo udah kehilangan Nina. Semua itu terjadi karena lo membuang kesempatan yang
ada. Dan akhirnya lo terlambat mengakui ke dia kalau lo sebenarnya cinta setengah mati
sama dia..." Gue terpaku, gak menyangka Lola akan mengatakan hal itu.
"Sekarang baru sebulan, Nik. Tapi kalau lo gak usaha, sebulan akan berubah jadi setahun,
setahun akan berubah jadi sepuluh tahun, dan lo akan menyesali kenyataan lagi nanti. Lo
mau?" Lola meletakkan kedua tangannya di pipi gue. Mata gue rasanya panas.
"Gue kenal lo dari dulu, Nik. Dan selamanya lo adalah sahabat gue. Enak aja lo... tiap jatuh,
larinya ke gue. Gue gak mau nampung lo lagi, tahu!"
Gue tertawa tertahan. Mata gue benar-benar berair sekarang. Kok ada sih orang sehebat
Lola" Lola menepuk kedua pipi gue dengan keras. "Wake up! Sekarang bukan saatnya bermenyemenye ria! Sana pergi, kejar Lilia sampai dapet! Ga ada kata terlambat."
Gue tertegun. "Tapi... La... Nyokap gue..."
Lola langsung menyikut gue. "Lo gak percaya sama gue, hah" Cepet pergi, gue yang jaga
Nyokap buat lo!" Gue benar-benar gak bisa menahan diri lagi. Gue langsung memeluk erat Lola. Gue benarbenar sayang banget sama sahabat gue yang satu ini.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahu gue dari belakang. Gue kaget. Mama tersenyum. "Mama
suka sama Lilia... Kalau sama dia, Mama dukung."
*** Dua hari kemudian... Tanpa keraguan lagi, gue beres-beres di kamar, menyiapkan tas, lalu memasukkan baju,
uang, dan paspor. Untungnya Lola kebetulan punya tiket pesawat open ended ke Jakarta,
gue tinggal mengurus penggantian nama di tiket itu saja.
Gue pamit ke Mama. Mama mengelus kepala gue dan bilang, "Lola sudah cerita semuanya
ke Mama. Hmmm... ternyata kamu lebih romantis dari papamu ya." (Hahaha... dasar
Mama!) Lola mengantar gue sampai depan rumah. Gue mencium pipi Lola. Dia tersenyum
menyeringai. Di pesawat, gue berdebar-debar merencanakan segala sesuatu. Malah sempat-sempatnya
menulis puisi. (Hhhh... norak banget gue!) Tapi saking tegangnya, akhirnya gue malah
mengantuk dan tertidur pulas. Begitu terbangun, gue lupa sama semua rencana yang sudah
gue susun. *** Gue rasanya mau meledak karena bahagia, saat pramugari mengumumkan pesawat akan
mendarat sebentar lagi. Akhirnya! Gue sudah muak melewatkan lebih-kurang dua puluh
tujuh jam di burung raksasa ini. Apalagi tadi transit di Jepang-nya lama banget.
Saat keluar dari gerbang kedatangan, gue lihat Papa melambai-lambai. Gue tersenyum
lebar. Gue senang banget, Papa mau meluangkan waktunya untuk menjemput gue.
"Oh ya, Nik, Lilia ngadain pesta ulang tahun loh minggu depan," ujar Papa saat kami sedang
di mobil. Papa yang menyetir.
"Hah" Tahu dari mana, Pa?"
"Dari Lidia. Dia bilang ke Papa kemarin, trus dia bilang kalau bisa Papa menyampaikan ke
kamu..." He" Lidia" Siapa tuh" Gue baru dengar. Aah... masa bodo deh! Yang penting, siapa pun dia,
gue harus berterima kasih karena dia telah berbaik hati memberitahukan hal ini.
"Kamu mau datang gak, Nik?"
Gue tersenyum sendiri. Otak gue langsung bekerja merencanakan misi penting ini...
MISI PERTAMA Gue mencari Kyra. Gue harus tahu kabar Lilia dan perkembangan berita dari dia. Ini yang
paling susah. Soalnya gue harus menunggu sampai Kyra sendirian dan gue tahu pasti dia
benci setengah mati sama gue.
Gue berhasil mengikuti mobil Kyra dari sekolahan sampai ke depan gerbang rumahnya. Kyra
jelas melongo melihat gue yang berteriak-teriak memanggil dia dari depan pagar. Dan
setelahnya, gue butuh waktu kira-kira tiga jam buat meyakinkan Kyra. Itu pun gue sudah
habis dibentak-bentak bahkan nyaris diringkus satpam rumahnya. (Bener-bener deh ni
cewek!) Tapi perjuangan gue gak sia-sia, akhirnya Kyra percaya sama gue dan memberikan
informasi yang gue butuhkan. Dia cerita Lilia mau ngadain pesta ulang tahun, Kyra minta
maaf karena dia sudah membohongi gue waktu gue datang ke sekolah mereka tempo hari.
"Bohong apa?" tanya gue dengan alis terangkat.
"Mm... yah... sebenarnya... Lilia dan Niko ga pernah jadian."
Mata gue langsung terbelalak saking senangnya. (Thank God! Tapi, kenapa waktu itu mereka
ciuman") Dan untuk menebus kesalahannya, Kyra mau membantu gue menjalankan misi ini...
MISI KEDUA Dengan dibantu Kyra, gue bertemu Niko. Walau sebenarnya gue malas banget ngomong
sama cowok satu ini, tapi gue coba menahan diri. Gue butuh dia untuk membantu
kelangsungan rencana gue dan Kyra.
Padahal, gue gak menyinggung-nyinggung sama sekali tentang ciuman itu, tapi kayaknya
Niko bisa melihat pertanyaan itu terlukis jelas di wajah gue. Akhirnya, dia jelasin semuanya
ke gue. Tahu dia bilang apa"
"Hari itu, gue emang lagi nembak Lilia... Lilia bingung bagaimana menjawab perasaan gue..."
Dan Niko pun mencium Lilia. Tahu apa pemicunya: Niko lihat gue. Dia pengin manasmanasin gue. Niko tahu dari Kyra kalau ada "Niko berkacamata" yang sedang mendekati
Lilia. Dan ketika melihat gue, dia yakin banget gue orang yang Kyra maksud.
"Sekali menyelam, minum air, sekaligus dapet mutiara," ujarnya bangga.
Kunyuk!!! Dia sukses bikin gue habis terbakar saking cemburunya.
Tapi Niko juga cerita Lilia mendorong dia akhirnya. Hahaha... Rasain! Rasain! Syukur! (Weits!
Yang ini cuma dalam hati gue aja. Di depan Niko, gue pasang tampang simpati.)
"Waktu dia dorong gue, gue tahu hati dia bukan buat gue lagi. Tapi gue bakal nunggu dia.
Sampai kapan pun. Kecuali kalau cowok brengsek itu kembali dan berjanji akan
membahagiakan Lilia, baru gue mundur. Sial! Ternyata orangnya malah muncul," ujar Niko.
Gue terbelalak mendengar kata-katanya. Jelas cowok ini termasuk tipe cuek yang superblak-blakan. Tapi gue akuin, gue salut sama dia. Gue menonjok pelan bahu Niko. "Makasih
udah jagain Lilia selama gue pergi." Niko hanya tersenyum.
Akhirnya gue nyeritain rencana gue membuat surprise di ulang tahun Lilia ke Niko. Dia
bersedia membantu gue. Dia juga yang menyarankan gue main piano buat Lilia. Gue sempat
protes dan bilang gue gak bisa. Tapi gue benar-benar terharu waktu Niko bilang dia mau
ngajarin gue. Gila! Ternyata gue salah menilai dia selama ini. Gue akuin, dia cowok baik dan
berhati besar. Waktu gue lagi belajar piano, barulah gue sadar kalau ternyata Niko ada niat bales dendam
dikit sama gue. Bayangin! gue disuruh latihan sepuluh jam nonstop sehari. Trus supaya
tangan gue tegak, dia menaruh penghapus papan tulis pada kedua tangan gue. Dia wantiwanti agar penghapus itu jangan sampai jatuh saat gue bermain piano. Seharian gue
mencobanya dan gak pernah berhasil. Belakangan gue tahu dari Kyra seharusnya di tangan
gue bukan ditaruh penghapus papan tulis berukuran 25 X 10 cm itu, tapi penghapus putih
kecil yang ukurannya 3 X 1,5 cm. Kurang ajar si Niko!!!
MISI KETIGA Dengan dibantu Kyra dan Niko, gue menyelundup masuk ke acara ulang tahun Lilia di salah
satu restoran di bilangan Senayan. Yang ini paling gak enak, gue mesti sembunyi selama
kurang-lebih dua jam di balik panggung. Gelap, panas, sumpek, banyak nyamuk lagi.
Dan... dimulailah acara pemberian first cake itu!!!
Lilia celingukan, bingung mau ngasih kue itu ke siapa. Gue benar-benar gak tahan. Rasanya
gue pengin terbang dari kursi piano sialan ini dan meminta kue itu. Tapi Kyra melotot tajam.
"Katanya mau bikin surprise, Oom!!!" katanya galak.
Gue terpaksa patuh menjalankan kewajiban gue memainkan lagu Happy Birthday untuk
Lilia. (Setelah misi ini selesai gue harus melatih Kyra untuk memanggil gue "Kak" bukan
"Oom".) Gue sempat syok berat waktu melihat Lilia berjalan ke arah Niko. Dan gue bener-bener
nafsu pengin nimpuk si Niko pakai sepatu waktu dia berani-beraninya mencium pipi Lilia di
depan gue. Ini sama-sama di luar skenario. Tapi untungnya Niko sadar gue sudah melotot
mengerikan, dia menyuruh Lilia berjalan ke arah gue, dan Lilia kaget luar biasa.
"Kak Niko?" "Surprise!" ujar gue dengan nada se-cool mungkin. Kyra pasang tampak enek di belakang
Lilia. "Kok... Kok... Kak Niko bisa ada di sini"! Katanya Kak Niko di..."
Kyra langsung menepuk bahu kiri Lilia. "Dia dateng buat lo, Li."
Niko datang dan menepuk bahu kanan Lilia. "Dia kejutan istimewa yang gue maksud tadi, Li.
Gimana" Lo suka?"
Lilia tercekat, gak mampu bersuara. Sepertinya dia masih gak percaya melihat kehadiran
gue. Gue berjalan ke depan Lilia. Mengulurkan tangan. "Happy Birthday!"
Lilia tertawa, lesung pipinya terlihat jelas. Ia mengulurkan tangan kanannya, balas
menyalami gue. "Makasih," ujarnya.
Teman-teman Lilia langsung kasak-kusuk. Gue gak peduli.
"Oh ya, aku punya hadiah buat kamu," ujar gue sambil mengeluarkan kotak perak dari saku
celana. Lilia mengambil hadiah itu. Semua orang yang hadis berteriak-teriak, "BUKA! BUKA! BUKA!"
Lilia membuka pita yang menyelubungi kotak itu dan mengintip isinya. Kalung. Dengan
liontin bertuliskan "you".
Lilia melongo. "Kok 'you'?"
Gue tersenyum. Sudah gue duga dia gak mengerti. "Karena 'you' adalah pusat dari semua
kata-kata romantis dalam bahasa Inggris," jawab gue.
Lilia tetap gak mengerti.
"Kan ada kata-kata loving you, only you, just for you, thinking of you, nothing but you, dan
lain-lain... Jadi aku putuskan ambil kata terakhirnya aja... Karena apa pun bentuknya, intinya
semua tetap you. Untuk kamu!"
"Oooh, makasih ya, Kak Niko," Lilia tersenyum manis.
Gue lalu memasangkan kalung itu di leher Lilia. Orang-orang yang hadir bertepuk tangan.
Lalu... gue menatap Lilia lekat-lekat dan memutuskan untuk mendaratkan sebuah ciuman
di... hmmm... gue berhenti, papa Lilia melotot dan nyaris meloncat dari tempatnya berdiri.
Daripada gue diusir, terpaksa gue ganti keputusan dan mencium kening Lilia.
Papa Lilia menarik napas lega. Tapi teman-teman Lilia malah bersorak, "GAAAK SERUUU!!!
TEMPEEE!!! AYAM SAYUUUR!!!"
Gue cuma bisa senyam-senyum. Lilia juga.
Gue merangkul Lilia dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Eh"! Gue baru
sadar, ternyata ada sosok yang gue kenal berdiri di samping Papa Lilia. Hmm... Itu kan
sekretaris sok perfect itu" Hmm jangan-jangan dia yang namanya Lidia.
Gue mengedarkan pandangan lagi. Gue melihat dua orang yang sedang tersenyum tak jauh
dari tempat Papa Lilia berdiri. Kayaknya gue familier lihat tampang mereka. Tunggu!
Bukannya itu... OH MY GOD! Please! Itu bukan Joko dan Rangga, kan"
"Hi, Nik!" Rangga berteriak sambil melambaikan tangan. Dia cengar-cengir penuh arti. "Lola
nyuruh kita berdua dateng ke sini. Katanya bakal ada kejadian spektakuler dan harus
diabadikan!!" Gue melongo. Bingung. Apa maksudnya nih"
"Woi, Nik! Jangan bengong di depan kamera dong! Lagi gue shoot neeh!" Joko juga ikutan
teriak. Nyengir gak kalah lebar.
Gue menajamkan penglihatan dan gue melihat sebuah handycam mungil bertengger di
tangan kanan Joko. Oh, NO! Mati gue! Kayaknya besok milis akan kembali penuh dengan
foto gue. *** Lilia mengantar gue ke bandara dua hari setelah ulang tahunnya. Yaaah, gue sebenarnya
pengin lama-lama di sini. Tapi kemarin gue dapat SMS dari Lola...
Lapor, Pak. Udah seminggu. Ayo, pulang! Inget Nyokap!
Btw, bawain novel Andrei Aksana yah... Don't 4get!
Kalau gue berani-berani menunda jadwal kepulangan, Lola pasti gak akan segan-segan
mencincang gue. "Kamu mau nunggu aku, kan?" tanya gue ke Lilia.
"Ada pilihan lain, gak?"
Gue tersenyum culas. "Gak ada."
Senyum Lilia gak kalah culas, "Kalau aku boleh jadian sama Niko dulu... trus dua tahun
kemudian kalau belum berubah pikiran, baru aku cari Kak Niko... aku mau pilih yang itu."
Gue membelalakkan mata. "ENAK AJA! GAK BISA! GAK BOLEH!"
"Pasangannya playboy ya playgirl," katanya licik.
"Pokoknya tetep gak boleh!!! Aku akan suruh Kyra ngawasin kamu!!!"
Lilia langsung tertawa penuh kemenangan. "Tok... tok... tok... Permisi ya, Oom. Cuma mau
bilang, Kyra itu temanku. Jadiii... gak mungkin dia belain Kak Niko. Satu lagi, Kyra itu dulunya
comblangku dengan Niko, dia akan dengan senang hati menjalankan misinya untuk yang
kedua kalinya. Jadi, aku ma..."
Lilia gak sempat melanjutkan orasinya. Gue langsung memeluk dia.
"Tunggu aku ya, Li. Saat aku balik, aku akan bawa cincin berinisial 'you' buat kamu..."
EPILOG Setahun kemudian... LANGIT senja tampak indah. Matahari bersinar dengan warna jingganya yang seperti krayon.
Taman pemakaman di daerah Karet tampak sepi, namun terlihat dua orang sedang duduk di
tanah, menatap nisan di hadapan mereka.
"Gak terasa ya, Ma. Hari ini Lilia lulus. Mulai bulan depan Lilia udah jadi mahasiswa..."
Cewek dengan rambut sepinggang itu mengelus-ngelus nisan ibunya.
"Gak cuma itu, dia juga udah pengin menikah...," tambah orang di sebelah Lilia.
"Papa nih, enak aja menikah." Lilia langsung mencubit papanya. Papa Lilia nyengir.
Lilia kembali bercakap-cakap dengan foto mamanya. Papa Lilia tampak tidak sabar. "Udah
belum ngomongnya" Kalau udah, kamu minggir dulu, gantian Papa yang mau ngomong
sama Mama..." "Yee, Papa. Kok aku diusir sih" Kalau mau ngomong, ya ngomong aja."
"Gak romantis kalau ada kamu."
Lilia melongo. "Papa norak ih. Ngomong sama foto Mama aja pake romantis-romantisan
segala. Hmmm... gimana waktu Mama masih hidup ya" Pasti lebih norak lagi deh." Lilia
berdiri dan menepuk-nepuk rok hitamnya. "Ya udah! Lilia menyingkir deh..."
Lilia bangkit dan meninggalkan papanya. Papa Lilia mendekat ke pusara istrinya dan mulai
berbicara, "Halo, Ma..."
Lilia yang berjalan menjauh, terkikik mendengar kata-kata papanya. Diam-diam dia
membatalkan niatnya menjauh dan berdiri tak jauh dari Papa. Mau menguping.
"Lihat, Ma, anakmu sudah besar! Sudah berani membantah papanya, dan sama bawelnya
dengan kamu dulu..."
Lilia melongo. Kok Papa malah mengadukan dirinya ke Mama sih" Dasar Papa!
"Dan... sekarang kamu juga bisa lihat, aku berhasil membesarkannya sampai sekarang. Dia
sudah lulus SMA loh, Ma. Aku sangat bangga padanya. Tapi... semuanya gak lengkap karena
gak ada kamu, Ma. "Aku gak akan pernah bisa menyaingi kasih sayang kamu ke Lilia, Ma. Dan siapa pun gak
akan pernah sanggup menggantikanmu di hati Lilia... Kamu berarti sekali buatku dan Lilia...
Kamu selalu ada di hati kami..."
Air mata Lilia keluar satu-satu. Lilia tidak bisa melihat wajah Papa, tapi dia yakin pasti Papa
juga menangis. "Kamu tahu, Ma... Membesarkan Lilia adalah hal terhebat yang pernah dilakukan oleh
seorang ayah. Melihatnya tumbuh besar sama seperti menyaksikan senyumanmu setiap
harinya. Menyayanginya sama seperti mencintaimu." Papa Lilia menarik napas.
"Mencintaimu adalah hal terbaik yang pernah kulakukan. Dan itu tidak akan pernah aku
sesali." Lilia langsung memeluk papanya. Papa Lilia balas memeluk anak semata wayangnya itu.
"Mama pasti tahu, Pa. Mama pasti tahu," ucap Lilia.
Mereka menaburkan bunga di makam Mama. Setelah itu, mereka berdoa bersama dalam
suasana yang hening dan nikmat. Sekali lagi air mata Lilia jatuh mengalir.
Mereka berdua membuka mata. Papa Lilia mengusap nisan istrinya lalu bangkit berdiri. Lilia
masih duduk, ia terus memandangi foto Mama. Ia mengeluarkan selembar kertas dari
tasnya. Di kertas itu ada sebaris tulisan dan sebuah foto. Lilia meletakkan kertas itu di nisan
mamanya dan berbisik pada foto mamanya.
"Lilia, ayo!" Lilia menengok, Papa menunggunya di ujung jalan.
Lilia kembali menatap foto Mama dan tersenyum. Tekadnya sudah bulat. "Lilia pergi dulu ya,
Ma. Oh ya, Mama jangan pernah lupa dengan kata-kata Papa barusan loh," ucapnya lalu
bangkit berdiri dan menyusul papanya.
"Kamu ngomong apa tadi sama Mama?" tanya papa Lilia saat Lilia menggandeng tangannya
dengan manja. "Mau tahu aja!!!"
"Aaahhh... Papa tahu. Pasti kamu minta izin Mama untuk menikah, kan?" Papa Lilia kembali
ingin meledek anaknya. Lilia mendelik. Melihat keisengan Papa, dia juga pengin iseng. Ia langsung pura-pura kaget.
"Kok Papa tahu?"
Berhasil. Papa Lilia langsung panik. "Hah" Kamu beneran minta itu tadi" Hei, kamu kan baru
U Karya Donna Rosamayna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lulus SMA, masih harus kuliah, masih harus S2 juga..."
"Mama b?lang boleh kok," kata Lilia lagi sambil tersenyum jail.
"Tahu dari mana?"
"Loh, tadi kan Lilia bilang sama Mama..."
Papa Lilia mengusap-usap dagunya. "Papa tetap gak ngizinin. Lagi pula, Niko kan masih lama
balik ke sini, masih tahun depan," ujar papa Lilia sewot.
"Yee... gak pa-pa! Kata Mama boleh kok, mmm... tapi ada syaratnya siiih... dan kata Mama,
harus dikabulkan." "Apa syaratnya?"
Lilia tersenyum dan menarik papanya untuk menunduk. Ia membisikkan sebaris kata di
kuping Papa. Papa terbelalak mendengar kata-kata Lilia. "Kamu setuju?"
Lilia tersenyum. Ia mengangguk dengan seyakin-yakinnya. "Sooo... kapan pestanya?"
Papa Lilia tersenyum dan merangkul anaknya. Mereka berdua berjalan meninggalkan taman
pemakaman itu. *** Dari makam mama Lilia, selembar kertas terbang melayang tertiup angin. Ada tulisan tertera
di situ... Saat Cinta mengetuk pintumu, biarkanlah ia...
Dengan dahagamu, minumlah bersamanya...
Ia tak lelah, namun berbaringlah dengannya...
Karena semuanya untukmu...
Melayaninya adalah kebahagiaanmu...
Menjaganya berarti menjagamu...
Dan bila ia menyakiti, terimalah itu sebagai pembersihan atas dengkimu...
Dan saat ia pergi, lepaskanlah...
Karena sesungguhnya, ia takkan pernah meninggalkanmu...
Di bawah tulisan itu ada foto seorang wanita. Ada tulisan lagi di bawahnya...
PS. Ma, ini calon kuatnya! Mama setuju, kan"
Pedang Kiri 8 Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Perjanjian Dengan Roh 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama