Ceritasilat Novel Online

Will You Marry Me 2

Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani Bagian 2


jalan yang terbaik buat lo. Yang penting jalanin aja dulu. Yang jelas, lo mesti tetapkan niat, kalo
lo deketin Randy bukan karna Natasya, tapi karna lo emang mau deket sama dia. Masalah lain,
urus belakangan. Akhirnya, pikiran inilah yang membuat Lisa jatuh tertidur saat jam di kamarnya sudah
menunjukkan pukul satu pagi.
@@@ "Hei, liat mangsa kita." Natasya menunjuk pemuda berambut keriting mie yang sedang
mengambil teh botol di warung kaki lima di depan SMA Teitan.
Ketiga teman Natasya yang duduk di belakang tertawa masam. Hanya Lisa yang terdiam di
bangku depan. Randy memang selalu setia menunggu Lisa di sana. Dan dia harus puas hanya
dengan melihat sekelebat bayangan Lisa di mobil Natasya.
Siapa sangka hari ini Randy akan mendapatkan lebih dari sekadar bayangan Lisa.
"Oke, Lis, hear me out. Gue nggak mau rencana ini sampai gagal. Gue akan telepon lo nanti. Lo
punya waktu seminggu untuk mengetaui semua yang ingin gue ketaui. Ngerti lo"!" Lisa buruburu mengangguk.
"Dan lo jangan pernah nyamperin gue di sekolah. Biar Nathan yakin kalo lo udah lepas dari geng
gue." Natasya tersenyum puas sebelum akhirnya menginjak gas mobilnya.
Tak lama kemudian ia sudah mengerem mobilnya tepat di depan Randy.
"Sya..." Lisa berkata ragu.
"Apa lagi sih" Keluar sana. Lo sendiri kan yang milih mau sama dia!" Natasya menunjuk Randy
yang berdiri terpaku tak memercayai apa yang didengarnya.
"Sya..." "Udah, gue muak denger lo ngebelain cowok kurang ajar itu terus. Mending lo sana gih, sama
dia aja sekalian!" tukas Natasya sengit.
"Keluar gue bilang," tambahnya judes.
"Cepetan." Lisa buru-buru membuka pintu mobil Natasya.
Untuk sebuah sandiwara, ini udah keterlaluan. Tapi memangnya Lisa bisa bilang apa"
"Nah, bergabunglah sama cowok yang lo bela itu!" teriak Natasya diiringi gelak tawa gengnya.
Akhirnya mereka meninggalkan Lisa yang gemetaran di tempatnya berdiri, bukan hanya karna
diperlakukan seperti itu oleh Natarya, tapi juga karna harus menghadapi Randy seorang diri
setelah ini. "Mereka memang keterlakuan." Tangan kekar itu tiba-tiba sudah mendarat di bahunya. Perlahan
Randy membalik tubuh langsing Lisa.
"Apa bener lo udah ngebela gue?" tanya Randy tersenyum senang. Lisa tak tahu harus
bagaimana. Dia hanya mengangguk samar dan tertunduk. Siapa sangka Randy tiba-tiba memeluknya.
"Makasih, Lis..." Lisa hanya bisa pasrah.
Dia tak bisa memungkiri bahwa dia merasa nyaman dalam pelukan Randy. Dia sampai nggak
menyadari air mata yang mengalir di pipinya. Mana bisa gue manfaatin cowok sebaik ini" Dalam
keraguannya diam-diam Lisa berharap Randy takkan pernah melepas pelukannya.
"Sudahlah," bisik Randy seraya menghapus sisa air mata di pipi Lisa.
"Lo udah makan?" Lisa menggeleng pelan.
"Lo tau nggak, bakso Pak Rin bakso terenak di dunia. Mau tau kenapa?" Kali ini Lisa
mengangguk. "Karna bakso Pak Rin adalah temen setia gue nungguin lo di sini. Lo mau?" Lisa akhirnya
tersenyum dan mengangguk mantap.
Natasya ketawa puas bersama ketiga temannya di dalam mobilnya.
"Rupanya Lisa lebih pandai daripada yang gue kira," katanya, senang umpannya kena.
@@@ Entah Lisa harus bersyukur atau mengeluh. Hari-harinya bersama Randy begitu indah. Dia selalu
menunggu jam usai sekolah dengan berdebar-debar. Dan begitu ketemu Randy, mereka
menghabiskan waktu bersama. Walau dengan motor butut Randy, meski cuma jalan-jalan di mal
tanpa membeli apa-apa, Lisa bahagia.
Dia bersyukur Natasya tak menemuinya di sekolah, jadi dia bebas dari pertanyaannya tentang
misi yang hampir dilupakannya. Lisa juga mematikan HP-nya kalau nomor Natasya yang
muncul. Dia bahkan minta tolong pembantunya untuk mengangkat telepon dan bilang dia sudah
tidur atau pergi ke mana saja asalkan tidak mengangkat telepon Natasya.
Lisa jadi merasa seperti burung yang terbebas dari sangkar. Dia tetap tidak akan terusik bila
Natasya tak menghampirinya siang itu. Dia sedang memasukkan peralatannya ke loker saat
wajah Natasya muncul di balik pintu loker yang ditutup.
Lisa sampai terlonjak dibuatnya. "Halo, Tuan Putri," sapa Natasya seraya mengunyah permen
karet. "Sya..." balas Lisa yang bingung harus ngomong apa. "Mmm... kok sendiri" Mana yang lain?"
tanyanya, berusaha setenang mungkin.
"Kenapa telepon gue nggak pernah lo angkat?" Natasya mengabaikan pertanyaan Lisa.
"Gue... gue lagi sama Randy. Gue takut ketauan." Jawaban ini sudah lama dipersiapkan Lisa.
Itulah sebabnya dia berani mematikan HP kalau nomor Natasya yang muncul di layar HP-nya.
"Telepon rumah lo kenapa" Apa Randy jagain lo seketat itu sampai di rumah pun dia nungguin
lo?" Natasya meniup permen karetnya santai.
"Randy kadang ngajak main sampai malam, Sya. Gue... gue langsung tidur begitu sampai rumah.
Kecapekan. Sori." Yang ini juga sudah direncanakan Lisa sebaik mungkin. Walau penyampaiannya masih takuttakut.
Permen karet Natasya meletus di mulutnya. "Pinter ngeles rupanya lo sekarang!" katanya masih
dengan nada tenang. "Gue nggak mau tau. Yang jelas gue butuh berita. Apa aja yang lo ketaui?"
"Itu... belum..."
"Denger ya," Natasya mendekatkan wajahnya kepada Lisa yang berusah tetap tenang.
"Ini sudah tiga hari sejak kesepakatan kita. Sebaiknya lo segera menyelesaikan tugas lo. Sebelum
lo menyesal, Tuan Putri." Ditekannya kata Tuan Putri sebelum akhirnya menarik wajahnya
kembali. "Dan sekarang, lo yang mesti telepon gue, apa pun berita yang lo dapet. Jadi lo bisa pilih waktu
sendiri kapan Randy nggak bareng lo. Ngerti?" Dimainkannya kepala Lisa dengan telunjuknya
sebelum akhirnya pergi dari hadapan gadis pendiam itu.
Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan sekarang" batinnya. Dia berjalan lunglai sepanjang
koridor. Kalau sudah begini, rasanya berat mau ketemu Randy.
@@@ "Hei, baksonya nggak enak ya?" tanya Randy heran melihat pujaan hatinya hanya mengadukaduk isi mangkuknya.
"Hah" Ah nggak, enak kok." Lisa buru-buru menyuap sepotong bakso. Alhasil dia malah
tersedak dan terbatuk-batuk. Randy mengulurkan mimum padanya.
"Terima kasih," kata Lisa seraya menyeruput cepat isi gelasnya.
"Lis, kalo bosen makan di sini, gue punya langganan restoran yang masakannya lebih dari enak.
Mau coba?" tawar Randy dengan senyum khasnya.
"Apa" Tapi baksonya?" Lisa jadi bingung saat Randy tiba-tiba berdiri dan mengajaknya pergi
dari tempat itu. "Pak Rin nggak bakal marah baksonya nggak lo habisin. Yang penting gue nggak nge-bon.
Yuk." Mau tak mau Lisa mengikuti langkah Randy. Dikenakannya helm yang diulurkan Randy
padanya. Helm istimewa yang dipesan Randy dengan tulisan Lisa di bagian belakangnya. Motor
butut Randy melaju pelan. Lalu berhenti di sebuah rumah mungil asri dengan berbagai tanaman
tertata rapi di sepanjang halamannya.
"Ran... ini kan rumah orang!" kata Lisa heran sembari turun dari boncengan.
"Iya, ini rumah orang, bukan rumah siput. Nah orangnya bernama Bunda, Randy, dan Selma.
Dengan kata lain, ini rumah gue," kata Randy setelah melepas helm.
Ya Tuhan... rencana apa lagi yang Kaubuat untukku" Lisa berjengit takut mendengar pertanyaan
Randy. "Yuk masuk," Randy menarik pelan tangan Lisa.
Ya Tuhan... gimana kalo Selma ingat aku" Bagaimana kalo dia langsung mengusirku dari
rumah" Ya Tuhan... haruskah aku bersyukur atau menangis" Mereka masuk ke rumah yang tidak
dikunci. Randy menghentikan langkahnya saat mereka sampai di ruang makan keluarga. Selma dan
Bunda sedang asyik bersantap siang sambil bercerita, hingga tidak menyadari kehadiran mereka.
"Selamat siang, Bunda dan Adinda tersayang," sapa Randy menghentikan cerita Selma kepada
Bunda. "Kakak apaan sih" Norak, tau!" balas Selma. Tapi begitu tahu kakaknya tidak sendirian, dia lalu
melempar kode pada Bunda sebelum akhirnya menggoda usil kakaknya.
"Oo... rupanya ada Tuan Putri di sini. Pantas Kakanda jadi bergaya."
"Itu bukan urusan anak kecil," kata Randy seraya mempersilakan Lisa duduk.
"Bunda, ini Lisa," sambungnya kepada Bunda. Dengan sopan Lisa mengulurkan tangannya dan
segera disambut hangat oleh Bunda.
"Jangan sungkan ya di sini. Anggap saja seperti rumah sendiri," balas Bunda ramah.
"Bunda curang, dulu aja Selma nggak boleh pacaran. Untung Nathan orangnya cerdik, kalo
nggak, pasti deh sampai sekarang Selma tetep nggak boleh pacaran. Kok Kak Randy gampang
banget sih izinnya?" protes Selma manyun.
"Ye... anak kecil jangan sirik dong. Lo kan masih bau kencur. Coba pacar lo bukan Nathan yang
dewasa dan bisa jagain lo, mana mungkin Bunda kasih izin!" Randy balas menyerang.
"Bener gitu ya, Bun" Berarti Bunda pilih kasih dong. Itu namanya nggak adil." Selma makin
manyun. "Sudah... sudah... Kalian ini apa tidak malu, ada tamu malah bertengkar sendiri. Kalau bener
Bunda pilih kasih, itu artinya Bunda lebih sayang sama kamu, Sel. Sampai-sampai Bunda nggak
izinin kamu disakiti cowok mana pun. Tapi bagaimanapun, kamu kan udah jalan ama Nathan,
jadi nggak usah gangguin Kakak lagi. Dia kan cowok, kalau nggak punya cewek, Bunda ikut
malu dong. Masa anak keren Bunda nggak laku. Bener, nggak"!" Bunda mencoba menengahi.
"Bunda, laper nih," kata Randy manja.
"Huu... kolokan. Dibela sekali aja ngelunjak," sindir Selma.
"Sudah... Kalian jangan mulai lagi," kata Bunda.
"Selma, ambilkan piring dan air buat kakakmu dan Lisa. Kita makan sama-sama," tambahnya
kepada Selma yang langsung bangkit berdiri.
"Rame ya..." komentar Lisa akhirnya. Terus terang dia senang berada di tengah keluarga kecil
ini. Bercanda, makan bersama, saling peduli, beda sekali dengan keluarganya yang hampir tak
pernah tahu di mana yang satu dan yang lainnya berada kecuali malam hari. Itu pun saat semua
pulang untuk tidur. "Selma dan Randy memang selalu bertengkar. Tapi justru itu yang membuat rumah ini ramai,"
Bunda tersenyum bijak. Seandainya Mama sebijak Bunda, pikir Lisa.
"Tapi walaupun gue suka berantem sama Selma, gue tetep bakal jadi yang pertama maju kalo
adik gue disakiti. Siapa pun orangnya!"
Perkataan Randy menciptakan desiran aneh di dada Lisa. Apakah ini merupakan peringatan tak
langsung dari Randy untuknya" Ataukah Randy sebenarnya mengetahui semua kebohongannya"
Lisa jadi tertunduk karnanya.
"Hei, tapi jangan bilang Selma, ya, dia bisa geer." Bisikan Randy membuat Lisa sedikit tenang.
Ah, mungkin ini ketakutanku saja. Mana mungkin Randy tau tentang semua ini"
"Eh, Lis, lo anak SMA Teitan ya?" tanya Selma.
"Iya," jawab Lisa singkat. Ya Tuhan... semoga dia tidak mengenaliku.
"Sepertinya gue pernah ketemu lo deh." Selma berusaha mengingat-ingat.
"Lo kenal Nathan nggak?"
"Nathan"! Tau sih, tapi nggak kenal akrab," jawab Lisa seraya mengambil lauk yang disodorkan
Randy. "Selma, kamu ini kayak detektif aja, tanya ini, tanya itu. Kapan makannya?" sela Bunda.
"Nggak ada salahnya dong, Bun. Selma kan cuma pengen kenal lebih ama calon kakak ipar,"
balas Selma seraya melirik lucu kepada Lisa yang tersipu malu.
"Lagian Lisa-nya nggak keberatan kok. Ya kan, Lis?" tambahnya diikuti anggukan kepala Lisa.
Gadis itu baru menenggak minumannya saat Selma bertanya, "Kalo Natasya, kenal nggak?" Lisa
langsung tersedak sampai terbatuk-batuk.
"Selma, ngapain sih lo tanya-tanya yang nggak perlu" Makan ya makan aja. Cerewet banget sih
lo!" bentak Randy sambil mengelus pelan punggung Lisa.
"Sori... Selma nggak sengaja. Selma kan cuma penasaran aja sama yang namanya Natasya. Siapa
tau aja Lisa tau. Habis Nathan nggak cerita apa-apa sih!" Tampang Selma yang penuh
penyesalan membuat Lisa merasa bersalah. Gadis seperti inikah yang bakal disakitinya"
"Nggak papa kok, Ran. Jangan marahin Selma kayak begitu ah," ungkap Lisa tulus.
"Ya udah. Makannya diselesaikan dulu, baru kalian boleh ngobrol sepuasnya," usul Bunda.
"Heh, tapi inget ya, lo nggak usah tanya macem-macem soal siapa tadi... Natasya. Itu urusan lo
sama Nathan. Jangan bawa-bawa Lisa. Ngerti?" Peringatan Randy membuat Selma manyun.
Tapi toh dia menuruti kata kakaknya juga. Sehabis makan mereka berbicara panjang-lebar
tentang ini-itu, dan tak satu pun pembicaraan yang menyinggung nama Natasya.
@@@ Lisa sedang gelisah di kamarnya. Sejak tadi dia terus memain-mainkan HP di tangannya. Apa
gue harus telepon Tasya dan mengkhianati gadis polos itu"
"Lis, kok lo bisa suka sih sama Kak Randy" Udah orangnya nyebelin, jail, suka seenaknya, lagi."
Terngiang di telinga Lisa percakapan dengan Selma sore itu. Lisa tersenyum.
"Dia nggak sejelek itu, lagi," jawabnya.
"Dia ngasih begitu banyak perhatian ke gue. Dan dia juga ngenalin gue ke keluarganya yang
mengajarkan satu hal ke gue."
"Apa itu?" Gadis ayu itu kembali tersenyum.
"Kasih sayang." jawabnya mantap. Selma ikut tersenyum.
"Kak Randy memang begitu. Suka sok nggak peduli, padahal sebenernya nggak tegaan," tambah
Selma. "Lo sendiri" Gimana hubungan lo sama Nathan?" Sampai juga Lisa ke pokok masalah.
"Nathan... hmmm..." Selma memandang jauh ke taman bunga Bunda.
"Dia itu selalu banyak kejutan," tambahnya.
"Banyak yang belum gue tau soal Nathan. Dia selalu misterius. Tapi gue udah janji akan percaya
hanya padanya. Lo tau, dia udah bikin gue jatuh cinta." Wajah Selma tampak berseri-seri.
"Dia bisa jadi pacar, temen, kakak, bahkan ayah. Seperti kata Sheila on 7, Nathan adalah
'anugerah terindah yang pernah kumiliki'."
Tak sedetik pun senyum lenyap dari wajah gadis mungil itu setiap kali ia menyebut nama
Nathan. Ya Tuhan... mana mungkin aku menghancurkan impian yang begitu indah itu" Apa yang
harus kulakukan, Tuhan" Ketika Lisa masih ragu untuk memencet nomor telepon Natasya, gadis
diktator itu sudah muncul di pintu kamarnya.
"Halo, Tuan Putri," sapanya seramah mungkin. Itu pun tak berhasil mengusir keterkejutan Lisa.
"Kenapa" Kaget ya" Nggak nyangka gue bakal nagih janji ke sini" Gue bukan orang bodoh, Lis."
Natasya tak menghiraukan wajah kalut Lisa. Dia bahkan memilih duduk di pinggir tempat tidur
tempat Lisa duduk di tengahnya.
"Gue... gue baru mau ngabarin lo, Sya..." kata Lisa gugup.
"Oh... ya" Lo dapet apa?" tanya Natasya to the point. Lisa menelan ludah. Nggak ada salahnya
kasih tau kalo mereka pacaran, kan" Itu sudah menjadi rahasia umum, Lis, jadi nggak ada
salahnya kasih tau tentang hubungan mereka. Toh lama-lama Tasya pasti akan tau juga, bela hati
kecilnya. "Gue tunggu lo ngomong, Tuan Putri." Natasya membenarkan jepit rambutnya yang sedikit
miring. Sekali lagi Lisa menelan ludah. Tenang, Lis, nggak bakal terjadi apa-apa. Bicaralah,
desak hatinya. "Mm... anu, Sya, mereka... pacaran." Ya Tuhan, ampuni dosaku.
"Hoo... jadi bener mereka pacaran." Natasya meremas tas tangannya hingga kusut saking
marahnya. "Lo liat dengan mata kepala lo sendiri?" Tatapannya tertuju kepada Lisa yang buru-buru
menundukkan wajah. "Gue... gue nggak ketemu Nathan, tapi Selma yang cerita," jawab Lisa di bawah tekanan.
"Apa aja yang dikatakannya?" tanya Natasya geram.
"Nggak ada yang penting, Sya. Hanya ikrar cinta mereka. Dan kesan bahwa Nathan itu misterius.
Itu aja." Lisa berharap ceritanya ini tidak menimbulkan dampak yang berbahaya bagi Selma,
Nathan, maupun dirinya. Tadinya Lisa berpikir kemarahan Natasya bakal meluap-luap. Memaki dan mencaci dirinya
seperti biasa. Siapa sangka dia malah berdiri dan berpamitan pulang.
"Baiklah, lo tetep di posisi lo. Gue pulang, gue mau susun rencana yang istimewa buat tikus
kurang ajar itu." Hhh... lega rasanya. Setelah kepergian Natasya, Lisa langsung merebahkan
tubuh di kasur. "Syukurlah. Lewat juga hari ini. Gue yakin cerita tadi takkan merugikan siapa pun," gumamnya
seorang diri. "Randy... gue cintaaa... banget sama lo," tambahnya berseri-seri.
"Harusnya gue bersyukur Tasya ngasih tugas ini buat gue. Kalo nggak, mana mungkin gue bisa
deket lo?" Lisa terus saja tersenyum bahagia, sama sekali tak mengetahui, betapa besar dampak
ceritanya itu terhadap kebahagiaan teman mungil barunya.
Bab 8 "SEL, siapa cewek cantik yang bantuin Bunda ngaduk kue?" tanya Iren saat masuk ke kamar
Selma. Hari itu mereka ngumpul di rumah Selma untuk menagih janji Nathan bantuin ngerjain PR
Inggris mereka. Selma yang sedang asyik dengan cemilannya, mendongak ke arah Iren yang
baru datang dari toilet. "Siapa?" ia balik tanya.
"Itu, cewek yang pake seragam kayak Nathan."
"Oh... Lisa maksud lo?" jawab Selma cuek.
"Lisa" Siapa Lisa?" tanya Iren yang belum puas dengan jawaban temannya.
"Sel, bagi kacangnya dong. Jerawatan baru tau rasa lo!" potong Bagas.
"Alaaah... bilang aja mau, pake nakut-nakutin gue segala. Nih, lo abisin deh!" balas Selma seraya
mengulurkan stoples kacang telur itu kepada Bagas.
"Selma... siapa Lisa?" Iren mengulang pertanyaannya dengan sedikit keki.
"Lisa ya Lisa. Pacarnya Kak Randy," jawab Selma sambil lalu. Dia sedang asyik mencari-cari
sesuatu di dalam tas sekolahnya.
"Lisa" Sepertinya gue pernah liat dia deh. Di mana ya?" Iren mencoba mengingat-ingat.
"Di dapur kali, sama Bunda," goda Bagas dengan mulut penuh kacang telur.
"Bukan, gue bener-bener pernah liat dia sebelumnya," sergah Iren.
"Perasaan lo aja kali, Ren." Selma akhirnya menemukan yang dicarinya. Permen lolipop yang


Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang sudah bertengger di mulutnya.
"Soalnya gue juga pernah ngerasa begitu waktu pertama ketemu Lisa. Tapi setelah gue pikirpikir, anak SMA Teitan kan emang tinggi dan cantik-cantik. Jadi kesannya wajah mereka hampir
sama," tambahnya panjang-lebar.
"Mungkin juga sih. Tapi... kayaknya gue bener-bener pernah ketemu deh." Iren masih belum
yakin dengan pendapat Selma.
"Eh, gue tau." Bagas ikut nimbrung lagi.
"Masih inget nggak waktu lo nanya-nanyain Kak Randy soal SMA Teitan" Naa... Di situlah lo
denger soal dia. Lis... Lis... Ingat?" katanya mengingatkan.
"Mmm... iya-iya." Iren manggut-manggut.
"Tapi itu kan denger, Gas, bukan liat!" bantahnya lagi.
"Udah deh, Ren. Cuma Lisa ini..."
"Jangan remehkan hal-hal yang remeh, kawan," Iren sok menasihati.
"Siapa tau yang remeh itu kunci permasalahan yang penting," tambahnya makin mirip detektif
swasta yang sedang mencari kunci jawaban.
"Terserah deh, tapi gue sarankan lo simpen dulu kecurigaan lo itu sampai terjadi masalah
penting. Sekarang mending lo konsentrasi ngerjain PR. Oke, Nona Detektif?" kata Selma.
"Siapa yang Nona Detektif nih" Memangnya ada kasus apa?" Nathan yang tiba-tiba muncul di
balik pintu kamar Selma membuat Iren urung bicara.
"Itu tuh Iren, masih penasaran aja ama Lisa. Padahal gue udah bilang Lisa itu pacar Kak Randy,
titik." Selma yang pertama menyambut pertanyaan Nathan.
"Eh, Than, lo kan anak SMA Teitan. Menurut lo, Lisa itu gimana?" Iren tiba-tiba bersemangat.
Nathan duduk di sebelah Selma.
"Emangnya kalo kami satu sekolah pasti saling kenal"!" jawab Nathan tenang.
"Gue memang tau Lisa, tapi gue nggak begitu kenal. Ngomong aja baru tadi di sini. Itu pun
sekadar say hello." Pernyataan Nathan menyurutkan semangat Iren. Bagaimanapun Iren nggak
puas dengan semua jawaban yang didengarnya. Tapi dia juga tak tahu ke mana harus mencari
jawaban. Nanya Kak Randy jelas nggak mungkin. Bisa dicakar gue kalo ganggu pacar
kesayangannya, batinnya putus asa.
"Sudah, mana PR-nya" Kita selesaikan buru-buru yuk. Soalnya gue mau ngajak kalian nonton,"
kata Nathan. Semua bersorak senang, tak terkecuali Iren yang sesaat jadi lupa dengan rasa
penasarannya. "Bener ya, Than, awas kalo lo bohong!" ancam Iren.
"Emang kapan gue pernah bohongin lo?" tantang Nathan tenang.
"Syaratnya, filmnya yang milih Selma," tambahnya seraya mengerling nakal pada Selma. Bagas
dan Iren saling pandang, lalu serentak berkata,
"Wueeek..." Mereka pura-pura muntah melihat adegan sok romantis itu.
"Apa" Sirik ya?" ujar Nathan, sementara Selma tertunduk malu.
"Ya udah, ayo kerjain. Keburu malem." Nathan meraih buku PR yang disodorkan Bagas.
Mereka pun mulai serius dengan PR Inggris yang bikin kepala ketiganya puyeng. Tapi tentu
tidak buat Nathan. Mereka sama sekali tak menyadari, betapa pentingnya ingatan Iren yang
dianggap remeh itu... @@@ Lisa baru selesai mandi saat ia menemukan Natasya tengah asyik meneruskan permainannya di
komputer yang tadi memang sengaja tidak dimatikannya.
"Tasya," sapanya. Ia sebenarnya agak kecewa mendapati sahabat yang lebih mirip diktator itu.
"Hai, Lis," balas Natasya ramah. Dan ini bukan pertanda baik untuk Lisa. Biasanya kalau sedang
ramah begini, Natasya pasti ada maunya.
"Lama nggak ketemu, kelihatannya lo menikmati banget tugas lo. Sampai lupa sama sahabat
lama." "Bukan begitu, Sya... gue..." "Hanya nurutin perintah gue," potong Natasya cepat.
"Gue tau kok alasan lo tanpa lo harus kasih tau," tambahnya.
Lisa tidak bisa berkutik lagi. Setelah semua kebahagiaan yang dirasakannya bersama Randy dan
keluarganya, dia semakin merasa takut kepada Natasya. Gadis itu bagai momok yang
menghantui Lisa sampai ke mimpi buruknya.
"Nih." Natasya mengulurkan dua amplop biru muda.
Apa ini, Sya?" tanya Lisa tak mengerti.
"Bukan apa-apa, cuma undangan ulang tahun. Satu buat lo, satu lagi buat Selma," jawab Natasya
santai. "Kenapa harus Selma?" tanya Lisa lagi nggak ngerti.
"Itu bukan urusan lo, Lis. Tugas lo cuma ngasih undangan itu buat Selma."
"Tapi, Sya... Selma pasti dateng bareng Nathan. Gimana lo..."
"Dia akan dateng bareng lo. Karna ini bukan hanya pesta ulang tahun gue, melainkan juga
pertunangan gue sama Nathan."
Bagai disambar petir Lisa mendengarnya. Ini nggak mungkin, pikirnya nggak percaya.
Undangan di tangannya sampai jatuh. Bukankah dia baru saja pulang dari rumah Selma, dan
Nathan masih di sana, bercanda dan tertawa dengan gadis pujaannya"
"Lisa... lo kenapa sih" Sampai kaget gitu. Nggak percaya gue mau tunangan ama Nathan"
Kenapa nggak lo tanya Nathan aja?" Tantang Natasya membuyarkan lamunan Lisa.
"Bu... bukan begitu, Sya... Tapi... tadi Nathan... masih bareng Selma," ucap Lisa jujur.
"O ya... pastilah dia mau menyembunyikan kenyataan ini dari gadis kampungan itu!" kata
Natasya sambil bangkit dari tempat duduknya.
Diambilnya undangan yang dijatuhkan Lisa, dan diserahkannya kembali kepada gadis ayu yang
masih terpaku tak percaya itu.
"Asal lo tau aja. Nathan sendiri yang merancang acara ini. Dan dia juga menegaskan ke gue, kalo
tikus got itu cuma mainan yang kalo rusak bisa dibuang kapan saja."
"Nggak mungkin, Sya..."
"Lisa sayang..." Natasya merangkul Lisa dan mengajaknya duduk di sampingnya.
"Terserah ya... lo mau percaya gue apa nggak. Yang jelas, kalo lo mau ngebuktiin omongan gue,
lo dateng aja di pesta gue besok lusa. Ajak sekalian si tikus got itu," katanya sok memberikan
saran. "Bukannya apa-apa, gue cuma kasihan aja ama cewek kampung itu kalo terus-terusan
dibohongin Nathan. Soalnya, kalopun dia tanya langsung ama Nathan, gue yakin Nathan pasti
bilang semua ini bohong. Mana ada sih, maling teriak maling?" Lisa memandang Natasya sayu.
"Kalo lo tau Nathan maling, kenapa lo mau sama Nathan, Sya?" tanyanya tanpa pikir panjang.
Entah ia mendapatkan keberanian dari mana hingga nekat melontarkan pertanyaan itu. Natasya
melepas rangkulannya sesaat. Dipandangnya Lisa dengan mata menyipit dan dahi berkerut
heran. Tumben, pinter juga anak ini memutar omongan, pikirnya. Kemudian ditariknya napas
pendek dan cepat diembuskannya lagi.
"Itu karna... Nathan udah janji bahwa dia hanya cinta gue. Dan dia akan segera lepaskan tikus
got itu setelah acara pertunangan kami. Yah... katanya, dia perlu waktu. Dan gue bisa ngertiin dia
kok." Lisa masih saja terdiam.
Kalau benar selama ini Nathan hanya bersandiwara, kenapa dia memperingatkan Lisa saat
mereka pertama kali ketemu di rumah Selma.
"Ternyata benar desas-desus yang beredar, salah satu anak Natasya melarikan diri dari induk
semangnya. Sebaiknya ini bukan permainan, karna gue akan melakukan apa pun untuk menjaga
rahasia gue dan Selma."
Pernyataan Nathan saat itu kembali terngiang di telinga Lisa. Tunggu, Nathan bilang dia akan
menjaga rahasianya dan Selma, jangan-jangan itu bukannya berarti dia takut kehilangan Selma,
tapi lebih karna dia tak ingin hubungannya dan Selma tidak diketahui Natasya. Ya Tuhan... apa
sebenarnya yang terjadi"
"Lisa sayang... kok lo malah keliatan bingung gitu?" Natasya mengusik lamunan Lisa.
"Gini aja, kalo lo nggak percaya juga, coba inget-inget. Mulai besok, Nathan bakal sering absen
ke rumah Selma. Kenapa" Karna dia sedang mempersiapkan pertunangan kami. Lo kan ada di
rumah tikus itu, jadi lo bisa tau, Nathan datang atau nggak. Gimana?" saran Natasya.
"Tapi inget, lo mesti kasih undangan itu ke Selma. Gue pengen dia tau dengan mata kepalanya
sendiri tentang pertunangan kami. Soalnya gue juga mesti yakin kalo Nathan bener-bener udah
membuang mainannya. Nggak lucu dong, tunangan gue masih sembunyi-sembunyi pacaran sama
anak kampung. Jadi, kami sama-sama tau. Deal?" tambahnya seraya berdiri sambil melihat jam
tangannya. "Wah, sudah malam nih. Gue pulang dulu deh."
Diambilnya tas tangannya. "Makasih ya, Lis, lo emang temen paling baik," tambahnya sebelum
pergi dari hadapan Lisa. "Aaah... gue jadi nggak tega ngebayangin kesedihan adik ipar lo itu. Tapi kalo nggak dikasih tau,
gue lebih nggak tega lagi..." Natasya terus saja bicara sampai hilang di balik pintu.
"Ya Tuhan..." Lisa merebahkan tubuhnya.
"Apa yang harus gue lakukan?" Ditepukkannya tangannya ke keningnya sendiri.
"Gue harus selidiki dulu semuanya. Kalo perlu, gue akan tanya Nathan. Sebelum masalah ini
jelas, jangan harap undangan bisa sampai ke tangan adik mungil gue," putusnya kemudian.
Dan jawaban itu muncul pagi harinya...
@@@ Lisa sedang memasukkan koin untuk mendapatkan softdrink yang diinginkannya saat
didengarnya tawa nyaring Natasya dan gengnya. Tadinya dia bermaksud meninggalkan mesin
softdrink itu tanpa menunggu minuman yang dipesannya ketika suara lain yang juga sangat
dikenalnya ikut terdengar.
"Iya... iya... Gue janji bantuin lo. Terserah deh, lo mau minta apa aja dan dianter ke mana aja,
gue turutin. Asal... jangan lupa dengan janji lo."
"Nathan?" gumam Lisa lirih. Ia menengok sekilas.
Terlihat jelas olehnya Nathan duduk di salah satu meja bundar berpayung di kantin sekolah
bersama gerombolan Natasya. Lisa mengurungkan niatnya melarikan diri. Sebaliknya, dia malah
sengaja berlama-lama di mesin softdrink, meskipun minuman yang dipesannya sudah keluar dari
tadi. Dia ingin mendengar sendiri dari mulut Nathan. Karna sebenarnya dia belum percaya
dengan apa yang dikatakan Natasya.
"Wah... pasti bakal meriah tuh pestanya," komentar Renata, salah satu teman Natasya yang dulu
juga teman Lisa. "Rupanya lo serius dengan pertunangan itu ya, Than?" Kaluna, teman Natasya yang lain ikut
berkomentar. "Jelas dong. Dan siapa pun yang menghalangi nggak bakal gue ampuni."
Ya Tuhan... jadi bener kata Natasya. Nathan serius mau tunangan. Lisa segera mengambil
minumannya. Sudah cukup yang didengarnya tadi. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana
menyampaikan hal ini pada Selma.
@@@ "Hai, Sel, kok baru pulang?" sapa Lisa sore itu di rumah Selma.
"Iya nih, biasa... rapat OSIS suka menyita banyak waktu. Udah gitu belum juga mencapai kata
mufakat," jawab Selma sambil melepas sepatunya.
"Wah... capek dong." "Gitu deh." Selma menaruh sepatunya di rak sepatu.
"Oh ya, Lis, si Iren maksa gue terus nih buat nanya elo. Gue jadi risi setiap ketemu dia, pasti
pertanyaannya sama. Udah ditanyain belum?" Selma fasih banget menirukan gaya bicara Iren.
Lisa tertawa kecil. "Memangnya dia mau tanya apa sih?"
"Tapi janji ya, jangan marah." Selma mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. Lisa
mengangguk. "Tapi ada yang mau gue sampein ke lo juga nih. Dan lo juga janji nggak boleh marah,"
sambungnya menyembunyikan kegelisahan.
"Iya, kapan sih gue pernah marah sama lo" Ke kamar gue aja ya. Ntar kalo Kak Randy denger,
bisa-bisa kena marah gue." Selma segera bangkit dan berjalan pelan ke kamarnya diikuti Lisa.
"Nah, di sini kan aman," katanya setelah menjatuhkan dirinya di kasur. Lisa duduk di pinggiran
tempat tidur Selma. "Kayaknya penting banget nih, sampe harus menyingkir dari Randy."
"Nggak juga sih. Sebenarnya Iren cuma lagi kelebihan penasaran aja." Selma melipat kedua
kakinya di atas tempat tidur.
"Cuma kalo nggak gue tanyain, dia bisa nguntit gue terus."
"Apaan sih, jadi ikut penasaran!" Lisa masih sabar menanti.
Berteman dengan Selma beda banget dengan berteman dengan Natasya. Kalau Selma mau cerita,
dia sanggup nunggu sampai kapan pun. Trus dia juga bebas mengatakan apa pun kepada Selma.
Sebaliknya dengan Natasya. Yang ada hanya ketakutan dan paksaan.
"Gini... Iren itu ngerasa dia udah pernah liat lo sebelumnya. Tapi dia lupa pernah ketemu lo di
mana. Nah... gue disuruh tanya ke lo, apa lo pernah ketemu Iren sebelum ini?" Lisa benar-benar
terpaku mendengar pertanyaan Selma itu. Dia tahu suatu saat nanti dia harus mengungkapkan
semuanya. "Lis..." Sikap diam Lisa mengusik rasa penasaran Selma.
"Apa kita memang pernah bertemu sebelumnya, Lis?" tanyanya ragu.
"Soalnya gue juga ngerasa pernah liat lo sebelumnya." Gadis cantik berambut panjang yang
dibiarkan tergerai sampai ke bahu itu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan.
"Sebenarnya, ini juga yang ingin gue sampein ke lo," katanya mencoba tetap tenang.
"Maksud lo?" Selma mengerutkan kening.
"Kita memang pernah ketemu, Sel. Lo, Iren, Bagas, dan gue. Kita pernah ketemu sebelum ini,"
ungkap Lisa. Selma terdiam. Dia masih saja memandang tak percaya pada Lisa.
"Sel... denger, ini... ini masalah terbesar buat gue. Jadi... gue harap, lo jangan potong
pembicaraan gue, sampai gue selesai cerita. Apa lo bisa, Sel?" tanya Lisa waswas.
Walaupun ragu, toh Selma mengangguk juga. Lisa bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju
jendela kamar Selma. "Kita memang pernah ketemu di SMA Teitan. Waktu itu lo, Iren, dan Bagas nyari Risna,"
ujarnya sambil memandang lurus ke taman bunga Bunda yang terlihat indah.
"Gue..." Lisa menunduk, "salah satu teman Natasya," lanjutnya seraya menatap Selma. Gadis
mungil itu membelalak tak percaya.
Terputar kembali dalam ingatannya kejadian di SMA Teitan yang membuatnya membenci
Nathan walau hanya sesaat. Siapa sangka salah satu orang yang membuatnya menangis itu
adalah pacar kakaknya yang sekarang berdiri tegak di depannya"
"Gue tau lo pasti benci banget sama gue, Sel. Tapi asal lo tau aja, gue lebih tersiksa menjadi
teman Natasya selama ini daripada lo yang mungkin sempat menangis semalam karna perkataan
Natasya," Lisa kembali berkata.
"Gue juga maklum kalo lo semakin membenci gue kalo lo tau, gue ada di sini karna diperintah
Natasya. Bagai disambar petir Selma mendengar pengakuan Lisa. Orang yang selama ini kelihatan baik
dan bisa akrab dengan semuanya, ternyata musuh dalam selimut. Dia sudah menipu semuanya.
Terlebih Kak Randy, pikir Selma, emosinya siap meledak. Tapi paling nggak, Selma masih
menghargai janjinya untuk tidak menginterupsi sampai cerita Lisa selesai.
"Natasya ingin tau semua tentang lo dan Nathan. Dia mau memanfaatkan Randy yang jatuh hati
ke gue. Tapi... gue nggak bisa, Sel. Gue nggak bisa mengkhianati cinta Randy yang begitu tulus.
Gue juga nggak bisa ngerusak kebahagiaan gadis sebaik lo. Gue bahkan nggak rela kehilangan
kasih sayang Bunda yang nggak gue dapet dari keluarga gue. Lo tau, kalianlah keluarga gue.
Tempat berbagi cerita, canda, segalanya. Tapi gue takut sama Natasya." Lisa menunduk.
Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela Selma.
"Gue takut pada kediktatorannya," ucapnya tanpa ekspresi. Benaknya kembali memutar kejadiakejadian menyedihkan bersama Natasya. Selma masih terdiam di tempatnya. Dia belum bisa
memercayai semua yang disampaikan Lisa kepadanya.
"Tadinya gue udah bisa menghindari dia. Tapi Natasya bukan orang bodoh. Dia datang ke rumah
gue. Dan maksa gue bilang semuanya." Lisa kembali menghadap ke arah Selma. Pelan ia
menghampiri Selma dan duduk di sampingnya.
"Maafin gue, Sel... gue kasih tau Tasya kalo lo jadian ama Nathan. Jujur cuma itu yang gue
sampein ke dia. Dan gue sangka itu nggak bakal berbahaya buat lo ataupun Nathan. Maaf..."
Tatapan Lisa tampak sendu sekali. Selma memandang mata Lisa lurus-lurus. Entah kapan mata
itu basah oleh air mata. Tak ada tanda-tanda kebohongan di sana. Hanya ketulusan, kesedihan,
dan rasa bersalah yang dalam.
"Apa lo cinta sama Kak Randy?" tanya Selma singkat. Lisa mengangguk. "Kalo gitu, lupakan
saja yang pernah terjadi. Anggap lo nggak pernah cerita apa pun ke gue." Selma tersenyum
ringan. Dia berharap ini penyelesaian terbaik.
"Jadi... jadi lo maafin gue..?"?" tanya Lisa nggak percaya. Selma mengangguk mantap. Lisa
mengembangkan senyum paling manisnya. Serta-merta diraihnya Selma ke dalam pelukannya.
"Terima kasih, Sel... terima kasih... Gue kira gue akan kehilangan lo dan keluarga ini,"
ucapannya dalam uraian air mata. Pelan Selma melepas pelukan Lisa.
"Sudahlah, Lis, gue tau kok gimana rasanya ditekan orang kayak Natasya. Gue aja yang baru
sekali ngerasain langsung nangis semalaman. Apalagi lo yang saban hari menjalani. Nggak bisa
bayangin deh gue." Diusapnya air mata Lisa langsung tersapu senyum di bibirnya.
"Gue nggak tau harus bilang apa lagi, Sel. Yang jelas gue bersyukur udah dikasih tugas sama
Natasya buat deketin Randy. Kalo nggak, gue nggak bakal ngerasain kebahagiaan seperti ini,"
ungkapnya tulus. Tanpa mereka sadari, ada yang tersenyum dari balik pintu. Randy yang tak
sengaja lewat mendengarkan semua percakapan mereka.
"Gue tau, gue nggak salah ngenalin keluarga gue ke lo, Lis. Paling nggak gue nggak harus
perang sama lo karna Selma. Bukankah rencana gue sempurna?" gumamnya pada diri sendiri,
kemudian segera berlalu dari situ.
"Ya udah, lupakan aja masa-masa dengan Mak Lampir itu. Lagian nggak ada dampaknya kan lo
cerita atau nggak, lama-lama juga si Mak Lampir bakal tau soal hubungan gue dan Nathan,"
balas Selma santai. Anehnya, wajah Lisa kembali tegang. Dilepasnya pandangannya dari Selma. Dia kembali
tertunduk dan resah memikirkan apa yang nyaris lupa disampaikannya.
"Ada apa lagi, Lis?" tanya Selma penasaran. Lisa menatap Selma ragu.
"Sel... gue bawa berita buruk. Sangat buruk," katanya pelan.
"Berita buruk" Ada apa lagi, Lis" Natasya?" tebak Selma. Gadis berkulit putih itu mengangguk
pelan. "Ada apa dengan Natasya?" Selma mulai ikut khawatir.
"Dia... dia ngasih sesuatu ke gue untuk disampaikan ke lo," kata Lisa seraya merogoh saku baju
seragamnya. "Ini." Diserahkannya undangan merah jambu yang dititipkan Natasya padanya. Selma meraih
undangan itu dan membukanya dengan jantung berdebar.
"Undangan ulang tahun?" ucapnya dengan dahi berkerut. "Kenapa dia ngundang gue ke pesta
ulang tahunnya?" tanyanya heran.
"Itu karna... karna..."
"Karna apa, Lis?" "Karna itu bukan sekadar pesta ulang tahun. Tapi juga..."
"Juga?" Selma tak sabar menunggu jawaban Lisa.
"Juga acara pertungangan."


Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertunangan" Emang apa urusannya ama gue" Dia mau ultah kek, tunangan kek, kan nggak ada
hubungannya ama gue!" tukas Selma keki. Lisa diam aja.
"Tunggu dulu," Melihat sikap Lisa sebuah pikiran berkelebat di benak Selma. "Jangan bilang dia
mau tunangan sama... Nathan..." Lisa tetap diam dan tertunduk, membuat Selma semakin yakin
dengan dugaannya. "Lis... katakan ini nggak ada hubungannya sama Nathan," tuntutnya. Lisa mengangguk ragu.
"Nggak mungkin. Ini pasti akal bulus Natasya," Selma berusaha menghibur hatinya.
"Tadinya gue pikir juga begitu, Sel." Lisa akhirnya kembali menemukan suaranya.
"Gue sampai berencana akan membuang undangan itu dan nggak ngasih ke lo. Tapi... gue denger
sendiri Nathan mengatakannya dengan mulutnya sendiri." Lisa kemudian menceritakan kejadian
saat dia kebetulan mendengar percakapan Nathan dan Natasya dan gerombolannya.
"Nggak mungkin..." ucap Selma setengah menerawang. "Nggak mungkin Nathan bohongin gue,"
lanjutnya. Anehnya, tak setitik pun air mata keluar dari matanya.
"Sebaiknya undangan ini kita apakan, Sel" Apa kita abaikan saja?" Lisa bingung bagaimana
menghadapi kekalutan Selma yang tercurah dalam diam.
"Nggak. Gue kepingin liat dengan mata kepala gue sendiri apa yang sebenarnya terjadi."
Kemarahan berkelebat di mata Selma, walaupun dia berusaha untuk tetap tenang.
"Tapi, Sel, apa nggak pa-pa kita ke sana" Ah... ya, gue akan ajak Randy, dan lo bisa ajak Bagas
dan Iren. Jadi kalo sampai ada apa-apa..."
"Nggak," potong Selma. Lisa memandangnya heran.
"Lo jangan kasih tau Kak Randy ataupun Bagas dan juga Iren. Gue minta lo rahasiain ini dari
mereka." "Tapi..." "Lis, sekali ini aja gue minta tolong ke lo. Bantuin gue menghadapi ini. Gue mohon." Selma
tampak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Lisa menelan ludah. Menghadapi Natasya bersama
Selma, bukankah ini mimpi buruk"
"Lis... gue cuma nggak ingin Nathan digebukin Kakak, Bagas, dan Iren sebelum gue tau
kebenarannya. Dan gue juga setuju dengan pendapat Natasya, maling nggak akan teriak maling.
Jadi percuma gue tanya ke Nathan. Bisa aja dia bohongin gue. Makanya gue cuma bisa minta
tolong ke lo," Selma berusaha meyakinkan Lisa.
"Mmm... Tapi, Sel..."
"Please." Selma kembali memohon. Ayolah, Lisa, ini saatnya lo menebus dosa, desak
pikirannya. "Mmm... baiklah," putusnya akhirnya.
"Terima kasih, Lis," ungkap Selma tulus.
"Bener ya, jangan bilang masalah ini ke siapa pun. Terutama Randy." Lisa cuma mengangguk
mendengar permintaan Selma.
Semoga kebenaranlah yang kita dapat, Sel. Dan semoga kebenaran itu adalah kebahagiaan lo,
batin Lisa sambil memeluk Selma.
@@@ Kepercayaan Selma benar-benar diuji. Setelah surat undangan itu, ia juga harus menerima
kenyataan bahwa belakangan ini Nathan sering sekali absen ke rumahnya. Nathan juga banyak
berubah. Dia selalu kelihatan capek dan malas bertemu Selma.
Hingga suatu ketika Selma nekat menanyai Nathan, "Than, kok kayaknya sibuk banget sih akhirakhir ini" Sampai nggak sempet mampir ke sini. Ada apa sih?" Nathan menjawab dengan nada
lelah. "Sori ya, Sel, gue emang lagi banya urusan nih." Wajahnya kelihatan kusut.
"O ya" Apa misalnya" Ngapelin cewek lain ya?" goda Selma.
"Lo ngomong apa sih" Udah deh, nggak usah mulai lagi. Gue lagi capek banget nih!" sergah
Nathan cepat, seakan menyembunyikan sesuatu. Selma terpukul mendengar jawaban itu. Apalagi
Nathan mengatakannya dengan nada tinggi.
Pikirannya langsung tertuju ke undangan ulang tahun Natasya yang tersimpan aman di
Kamarnya. Apa benar lo bakal tunangan sama Natasya, Than" Tadinya kalimat itu ingin
langsung dilontarkannya, tapi urung saat terngiang perkataan Natasya bahwa maling nggak
mungkin teriak maling. Sebagai gantinya dia berkata, "Kalo emang capek, pulang aja." Nathan sampai melongo nggak
percaya. "Lo nggak lagi ngusir gue kan, Sel?" tanyanya ragu.
"Nggak. Cuma lo kan capek, lagi pula gue juga banyak PR."
Anehnya, Nathan yang biasanya kekeuh di samping Selma walau akhirnya cuma lima menit aja,
langsung pamit pulang tanpa basa-basi lagi. Bikin Selma semakin yakin dengan prasangkanya.
Nathan memang mau tunangan dengan Natasya. Setelah Nathan pulang Selma mengurung diri di
kamar, asyik dengan diamnya.
Beberapa malam belakangan dia sulit memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi pertanyaan
seputar rencana pertunangan Nathan dan Natasya. Benarkah lo sekejam itu, Than" Lalu apa arti
semua yang telah kita jalani selama ini" Kenapa lo tunangan dengan Natasya" Dan kenapa lo
masih mempertahankan gue" Apa sebenarnya yang lo inginkan dari gue, Than" Terus dan terus
Selma berpikir serta bertanya dalam hati.
Namun semua jawaban rasanya jauh dari yang diharapkan. Kadang semua malah membentuk
sebuah pikiran... kosong... Hingga tibalah hari itu...
@@@ Lisa mendandani Selma dan meminjamkan gaunnya yang terindah. Meskipun Selma merasa itu
tidak perlu, tapi Lisa memaksanya dengan dalih tak ingin mempermalukan Selma di pesta
Natasya. Dia ingin Selma terlihat cantik, sehingga tidak jadi bahan ejekan teman-temannya.
Selma menurut saja. Dia bahkan nggak peduli sekalipun Lisa mendandaninya dengan dandanan norak seperti saat ia
dan Iren ngerjain Nathan. Toh, bukankah pada akhirnya tetap saja hatinya yang bakal terluka"
Untung dua hari ini Bunda sibuk dengan pesanan kateringnya, sampai-sampai ia tidak menyadari
perubahan sikap putrinya.
Bahkan saat Selma bersiap ke pesta Natasya, Bunda sudah berangkat mengantar berbagai
masakan ke tempat pemesannya. Lisa juga telah menyiapkan mobil untuk pergi ke pesta
Natasya. Randy tadinya memaksa ikut.
"Ayolah, sebenernya kalian ini mau ke mana sih" Rukun amat. Pokoknya gue ikut!" paksanya.
"Ran, ini pesta cewek-cewek. Lagian gue cuma punya dua undangan. Nah, kalo lo cewek, gue
pasti ajak lo alih-alih Selma deh." Randy akhirnya mengalah dan membiarkan dua cewek yang
disayanginya itu meluncur pergi dari hadapannya.
"Hati-hati ya. Ingat, Bunda cuma nganter pesanan, jadi beliau langsung pulang. Makanya kalian
jangan malam-malam kalo nggak pengen dimarahin Bunda!" seru Randy sebelum mobil Lisa
lenyap di belokan jalan. Selma tampak tegang.
"Lis, lo pinter nyetir ya," ia berusaha mencairkan suasana.
"Mm... ya... gue sekolah setir waktu masuk SMA. Tapi tetap nggak diizinin bawa mobil sendiri
kalo sekolah. Jadi selama ini gue nebeng Tasya. Mmm... maksud gue..."
"Nggak pa-pa kok. Nggak perlu sungkan nyebut namanya," potong Selma menenangkan.
"Oke," jawab Lisa singkat.
"Tapi Papa akhirnya ngizinin gue bawa mobil sejak gue naik taksi tiap hari sejak... ya... Natasya
minta gue jauhin dia. Demi misi," tambahnya. "Oh ya, Bagas dan Iren nggak curiga?" tanyanya
kemudian. "Nggak. Gue berusaha bersikap biasa di depan mereka, walau mata Iren yang jeli sempat
menangkap kegelisahan gue. Tapi gue berhasil meyakinkan dia kalo gue sedang mikir tentang lo
yang ternyata teman Natasya. Untung dia percaya. Dan malah ngasih solusi berlebihan. Dasar
Iren." Selma tersenyum mengingat sikap lucu Iren menanggapi ceritanya.
"Maaf, gue bawa-bawa nama lo untuk ngibulin Iren," tambahnya.
"Nggak papa kok." Lisa tersenyum. Lumayan untuk mengusir ketegangan.
Ketika mobil memasuki pelataran luas sebuah rumah mewah, keduanya masih membisu. Selma
tampak ragu untuk turun dari mobil. Lisa-lah yang kemudian berinisiatif membukakan pintu
untuknya. "Tenang aja, gue nggak akan ninggalin lo," ucapnya. Selma, gadis mungil yang tampak sangat
cantik dalam balutan gaun putih itu mengangguk dan turun dari mobil. Selma mengedarkan
pandangan. Banyak sekali mobil yang diparkir di pelataran rumah itu.
"Apa kita terlambat?"
"Nggak. Kalo sudah sampai di dalam, lo bakal bersyukur nggak berangkat terlalu awal," kata
Lisa. Selma tiba-tiba terpaku di samping pintu rumah Natasya. Matanya nanar memandang papan
ucapan SELAMAT BERTUNANGAN yang penuh dihiasi bunga segar. Jelas sekali nama
NATHAN & NATASYA tertulis di situ.
Jadi benar. Ternyata benar. Mereka memang bertunangan. Hati Selma hancur berkeping-keping.
Berkali-kali diejanya tulisan di papan ucapan itu. Barangkali dia salah baca. Tapi tepat saja nama
Nathan yang terbaca. Dia juga memohon semoga ini hanya mimpi buruk yang langsung lenyap bila dia terbangun.
Namun tangannya sampai perih karna berulang-ulang dicubitnya. Ah, rupanya dia tidak
bermimpi. Lisa merengkuh bahu Selma agar gadis itu tidak jatuh.
Dia tak berani bertanya apakah mau terus masuk atau sebaiknya diurungkan saja dan pulang.
Sebagai gantinya, Lisa menggerakkan kepala dan menatap Selma dengan saksama. Selma
tersenyum samar, lalu mengangguk. Tanpa sepengetahuan mereka, tiga gadis modis tertawa
tertahan di samping tembok tempat karangan bunga diletakkan.
"Kayaknya bakal seru nih," kata salah satu di antaranya, diikuti tawa kecil yang lain.
"Ayo, kita singkirkan karangan bunga ini sebelum ketahuan Nathan," terdengar yang lain
berkata, yang kemudian dijawab dengan anggukan kedua temannya.
Begitu Selma dan Lisa sudah masuk ke ruang pesta, mereka pun bergegas menghampiri
karangan bunga itu. Perlahan mereka mengangkat dan memasukkannya ke gudang rumah
Natasya. Ruang tengah telah dipenuhi tamu-tamu yang berdandan borjuis. Lisa benar, Selma
bersyukur tidak datang lebih awal.
Rupanya sebelum acara dimulai, semua yang hadir sibuk ngerumpi dan pamer busana. Selma
melihat Natasya yang tengah tertawa dengan beberapa temannya. Dia tampak cantik dalam gaun
merah muda. Beruntung bagi Selma, Natasya tidak melihatnya. Ia bisa bebas menebar pandang
mencari sosok yang sangat dikenalinya.
Sebenarnya, bagi Selma, papan ucapan tadi saja sudah cukup menjelaskan semua pertanyaan
dalam hatinya. Tapi ia ingin melihat Nathan yang telah mengkhianatinya. Dia ingin menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri wajah pengkhianat yang membuat hatinya teramat terluka.
Dan setelah ini, dia akan ingat baik-baik wajah pecundang itu, sebagai peringatan bagi dirinya
untuk tidak mendekati wajah itu lagi sampai kapan pun.
"Hei, ini minumnya." Lisa mengulurkan jus jeruk kepada Selma.
"Eh ya, terima kasih," jawab Selma seraya tersenyum. Lisa juga menawarkan beberapa makanan
kecil, tapi Selma menolaknya dengan halus.
Matanya kembali mencari sosok yang sebenarnya tak ingin ditemuinya di tempat itu. Dia tidak
datang. Dia pasti tidak datang, pikirnya dengan emosi terpendam. Tapi... kelebatan tuksedo
hitam itu membuarykan harapannya. Pemuda itu tampak lain dari tamu yang datang. Pakaiannya
rapi dan seperti telah dipersiapkan dengan sangat baik. Selma menahan napas sesaat.
Terngiang di telinganya percakapan terakhirnya dengan Nathan Jumat lalu.
"Than... besok lo ada acara nggak?" pancing Selma.
Ini kesempatan terakhir Nathan untuk berkata jujur padanya. Dan kalaupun kejujuran Nathan
menghancurkan hatinya, Selma lebih bisa menerimanya, daripada ia dikhianati di belakang dan
dijadikan cewek simpanan. Selma jadi jijik mengingat betapa hina dirinya nanti.
"Besok... ada sih. Makanya gue sebenernya mau izin nggak ngapel dulu besok. Memangnya
kenapa?" Nathan tampak canggung dengan jawabannya.
"Oh... acara apa sih, Than" Boleh nggak gue ikut?"
"Aduh sori, Sel. Gue perginya sama Bokap. Jadi ya..., lo maklum, kan?"
Selma memandang tajam ke arah Nathan yang tak melihatnya di antara kerumunan banyak
orang. Mana bokap lo, Than" Mereka pasti hadir kan di hari pertunangan putra tercinta mereka"
Bagaimana pendapat mereka kalau tau anak yang mereka besarkan adalah pecundang dan
pengkhianat" "Attention please."
Suara pembawa acara membuat semuanya tenang. Perlahan-lahan hadirin berkumpul di depan
kue tar yang menjulang tinggi dan indah. Natasya berdiri di belakang kue dengan senyumnya
yang terlalu mengembang. Jelas sekali kebahagiaan terpancar di wajahnya. Sementara Nathan
berdiri di samping Natasya dengan sikapnya yang cuek. Selma dan Lisa berdiri di barisan paling
belakang sehingga tak terlihat dari depan.
"Nah, teman-teman. Gue mewakili Natasya mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian
semua di acara ultah sekaligus..." pembawa acara itu menengok sebentar ke Natasya yang
mengedipkan sebelah matanya.
"Sekaligus... surprise...!!!"
"Huu...!!!" sorakan tidak puas datang dari para tamu yang hadir.
"Tenang, tenang. Tenang surprise itu akan diumumkan sendiri oleh yang berulang tahun,"
tambah pembawa acara. "Nah, sekarang kita nyanyikan lagu, sementara Natasya meniup lilin dan memotong kuenya.
Setuju"!" "Setuju..." Lalu, berkumandanglah lagu Selamat Ulang Tahun dan Happy Birthday di seluruh
ruangan, disusul pemotongan kue.
Lagi-lagi hati Selma harus menjerit sakit saat Natasya menyerahkan kue spesialnya kepada
Nathan. Lebih sakit lagi karna Nathan menyambutnya sambil menempelkan kedua pipinya
bergantian ke pipi Natasya. Ingin rasanya Selma berteriak saat itu juga. Untung Lisa memegangi
pundaknya. Kemudian prosesi selanjutnya adalah pengumuman surprise Natasya. Selma yang sudah
mengetahui isi pengumuman itu, mencengkeram erat tangannya sendiri, menahan emosi.
Dicarinya sosok Nathan yang tampak asyik bercanda dengan salah satu temannya. Kalau
memang harus terjadi, terjadilah. Dan gue akan segera pergi dari tempat ini, pikirnya.
"Teman-teman, bersamaan dengan ultah gue, gue mau mengumumkan acara pertunangan gue
dengan..." Natasya menghampiri Nathan yang kebetulan sedang menerima telepon di HP-nya
dan menggandengnya maju. Nathan tampak bingung saat ditarik ke depan. Ia menutup
pembicaraannya di telepon. "Dengan Nathan," tambah Natasya begitu sampai di depan panggung
bersama Nathan di sampingnya. Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Nathan
tampak tidak mengerti. "Tasya..., ada apa sih?" bisiknya.
"Gue baru aja mengumumkan pertunangan kita," kata Natasya di depan mikrofon. Mendengar
itu, semua kembali bersorak. Namun suara sorakan itu dipecahkan oleh teriakan pilu yang
membahana. "Tidaaakkk...!!!" Semua menengok ke asal suara. Selma menatap tajam ke arah Nathan.
Napasnya tersengal tak beraturan, air matanya bercucuran membasahi pipi.
"Selma...," gumam Nathan tak percaya. Cowok itu berdiri terpaku.
Dengan mata kepala sendiri ia melihat Selma yang selalu dijaganya selama ini berlinang air
mata. Wajah Selma yang sedih dan penuh amarah tergambar jelas di mata Nathan. Dia ngeri
melihat kesedihan itu, sampai-sampai dia tak sanggup berbuat dan berucap sepatah kata pun. Pita
suaranya seolah putus saat itu juga. Nathan hanya berdiri mematung.
Ketika itulah keadaan dikuasai sepenuhnya oleh Natasya. Dengan sangat angkuh ia menghampiri
Selma. "Halo, tikus. Sudah berapa banyak makanan gue yang lo telan heh?" Selma masih terdiam.
"Gue rasa lo mesti tau satu hal. Semua makanan yang ada di sini gue pesen dari ibu lo yang
miskin itu. Ha ha ha. Tapi tentu kue ultahnya sih nggak, karna gue sangsi ibu lo bisa bikin. Ha...
ha... ha... ha... Dan tenang aja, gue udah bayar. Kontan." Natasya mendekatkan wajahnya ke
wajah Selma. Perhatian para tamu kini tertuju kepada Selma. Mereka berbisik-bisik dan sebagian memandang
remeh ke arah Selma. Melihat semua itu Lisa segera memegang pundak Selma dan berusaha
menariknya keluar dari situ. Nathan masih terpaku dan dikuasai oleh perasaan bersalahnya yang
teramat sangat. Dia baru menyadari apa yang terjadi saat Natasya berteriak ke arah Selma yang
setengah diseret Lisa meninggalkan tempat itu.
"Jangan pernah kembali lagi, tikus kotor! Sekarang Nathan tunangan gue!" Plok! Sebuah
tamparan mendarat tepat di pipi kanan Natasya.
"Nathan." Natasya memegangi pipinya yang memerah.
Dia tak percaya Nathan menamparnya di depan banyak orang. Nathan tidak mengatakan apa-apa.
Dia hanya menatap Natasya tajam dengan pandangan sangat marah. Sesaat kemudian cowok itu
meninggalkan pesta tanpa sepatah kata pun.
"Nathan! Nathan! Come back here!" teriak Natasya geram. "Nathan... Shit! Nathan!" Natasya
berusaha mengejarnya. Namun sia-sia. Nathan terus saja melangkah meninggalkan pesta, dan
menghilang seiring deru mobil kesayangannya.
Bab 9 DI depan pintu, Bunda tertegun mendapati putrinya pulang berlinang air mata. Saat beliau
hendak bertanya, Selma malah berlari ke kamar. Lisa yang masuk belakangan menjadi sasaran
pertanyaan Bunda, Randy, juga Mbok Sum.
Di kamar, Selma menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping seakan tak bisa
disatukan lagi. Nathan benar-benar kejam. Dia memberi Selma begitu banyak perhatian namun
akhirnya mengecewakannya. Memberinya mimpi yang begitu indah namun kemudian
membangunkannya dari tidur dan kembali ke kenyataan yang hampa.
"Sel, boleh Bunda masuk?" Tak ada jawaban.
"Sayang, kamu kenapa?" Bunda kembali mengetuk pintu berwarna biru muda itu. Tetap tak ada
jawaban. "Sel, ini Lisa. Gue boleh masuk?" ganti Lisa yang mencoba membujuk.
"Lo nggak pa-pa, kan?" Tetap nggak ada hasilnya. Jangankan membuka pintu, bersuara aja
nggak. "Apa perlu kita dobrak pintunya, Bunda?" Yang ini suara Randy. Anehnya, kalimat Randy ini
malah menggerakkan Selma untuk membuka pintu.
"Selma nggak pa-pa kok," kata Selma dengan wajah ditekuk.
Matanya tampak sembap dan membesar karna terus-terusan mengeluarkan air mata. Air mata
yang masih saja mengalir tanpa bisa dikendalikan. Bunda, Randy, Lisa, dan Mbok Sum
memandangnya prihatin. Selma semakin sedih melihat mereka. Dipeluknya Bunda dan kembali
menangis sejadi-jadinya. "Sudahlah, Sel. Relakan saja. Kalau Nathan memang jodohmu, dia takkan lari ke mana," hibur
Bunda. Selma hanya menjawab dengan tangisnya. Bunda mengelus lembut rambut putrinya.
"Maafkan Bunda, Sayang. Hanya karna Bunda buka katering, kamu jadi dipermalukan oleh
mereka," Bunda ikut-ikutan menangis. Selma melepas pelukannya. Lalu perlahan diusapnya air
mata Bunda. Dia berusaha tersenyum di antara kesedihannya yang mendalam.
"Bunda tidak perlu meminta maaf. Selma bangga kok sama Bunda. Bunda telah membesarkan


Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami seorang diri. Selma nggak pernah merasa malu. Dari katering Bunda-lah Selma makan dan
sekolah, juga merasakan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak lain sepantaran Selma." Suasana
haru menyelimuti keluarga Selma. Mbok Sum dan Lisa bahkan ikut menitikkan air mata.
"Udah dong, kok malah jadi Selma sih yang menghibur kalian" Harusnya kan kalian yang
menghibur Selma." Serta-merta semua memeluk Selma bersamaan. Selma jadi merasa tak sendirian lagi, walau rasa
sakitnya atas pengkhianatan Nathan tak kunjung reda.
@@@ Malam itu Lisa menginap di rumah Selma. Dia sendiri yang menawarkan diri menemani Selma
yang sedang kacau itu. Dan usul itu langsung disetujui seluruh keluarga. Terutama Randy, yang
mengancam akan mendatangi sekolah Nathan untuk membuat perhitungan dengan cowok itu.
"Liat saja. Akan gue remukin dia," ancamnya.
"Nggak usah, Kak. Kalo Kak Randy sampai masuk penjara gara-gara Nathan, Selma lebih nggak
rela, lagi," kata Selma. Mendengar itu Randy akhirnya meninggalkan kamar Selma tanpa
mengatakan apa-apa lagi. Lisa mengenakan baju tidur Selma. Ia berbaring di sebelah Selma yang masih berlinang air mata.
Mereka berhadap-hadapan. "Sel, gue minta maaf, ya. Karna gue, lo jadi seperti ini." Lisa benar-benar merasa sangat bersalah
atas apa yang telah dilakukannya. Selma menggeleng pelan.
"Bukan salah lo kok, Lis. Gue malah berterima kasih, karna lo, gue jadi tau kebusukan Nathan,"
jawab Selma. Air matanya kembali menetes. Lisa menyapu air bening itu dengan jemarinya.
"Nggak, Sel, ini semua salah gue." Lisa kelihatan bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
"Kalo aja gue nggak ngasih tau Natasya tentang hubungan lo sama Nathan..." Lisa menundukkan
kepala. "Cukup, Lis. Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Kalo Nathan nggak berkhianat, ini nggak
bakal terjadi, walaupun lo ngasih tau Natasya kalo gue pacar Nathan. Lagian gue bangga ama lo
yang berani berkata jujur ke gue." Selma berusaha tersenyum.
Lisa membalas senyuman itu. "Terima kasih." Ia terdiam sebentar.
"Sel, apa mungkin ya peristiwa tadi hanya akal-akalan Natasya aja" Nathan..."
"Cukup, Lis. Kita nggak usah ngebahas itu. Udah malam. Tidur yuk. Lo pasti capek juga, kan?"
Selma memotong kalimat Lisa. Ia tak ingin membicarakan cowok bernama Nathan lagi.
"Tapi, Sel..." "Sssttt..., kita bobo, oke?"
"Baiklah, tapi liat aja. Gue akan cari jawaban buat lo," janji Lisa.
"Makasih, Lis." Selma tersenyum lelah. Kemudian dipejamkan matanya, mencoba tidur.
@@@ "Than, lo mau ke mana?" tanya Selma di antara guyuran hujan. Dilihatnya Nathan berjalan ke
arah Natasya tanpa memedulikannya.
"Than, tunggu...! Tunggu, Than... Jangan pergi sama dia, Than. Jangan..., jangan pergi, Than...,
Nathan..." Tubuh Selma menggigil.
Suhu badannya tinggi sekali. Lisa terbangun saat tangan Selma yang menggapai-gapai tak
sengaja menyentuh kulitnya.
"Ya Tuhan..., Selma! Lo demam." Lisa panik mendapati keadaan Selma.
"Nathan, jangan pergi... Than..., jangan pergi..." Selma terus-terusan mengigau.
Rupanya dia tidak sadarkan diri. Berkali-kali Lisa menggoyangkan tubuhnya, tapi tetap saja
Selma mengigau. "Than, mau ke mana... Jangan tinggalin gue, Than..." Air mata mengalir dari mata Selma yang
terpejam. Karna panik Lisa memanggil Randy, Bunda, dan Mbok Sum. Mereka langsung berbondongbondong ke kamar Selma. Bunda terlihat paling cemas. Beliau langsung menyuruh Randy
menelepon dokter, sedang Mbok Sum mengambil air untuk mengompres. Bunda dan Lisa tetap
di tempat, menjaga Selma yang masih saja mengigau.
"Dia kecapekan, dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang berat. Kalau dibiarkan begini
terus, dia bisa terserang tifus," Dokter Faruk yang tinggal tak jauh dari rumah keluarga Selma,
memberitahu analisisnya. "Apa nggak pa-pa kalau dia terus mengigau begini, Dok?" Bunda terlihat sangat cemas.
"Dia mengigau sebagai reaksi suhu tubuhnya yang tinggi. Kalau nanti panasnya turun, dia akan
berhenti mengigau. Tapi saya sarankan, panggilkan orang yang disebutnya dalam igauan itu.
Karna kalau kondisinya tak juga membaik, terpaksa harus dibawa ke rumah sakit," nasihat sang
dokter. Bunda dan Lisa berpandang-pandangan. Lalu Lisa mengambil inisiatif.
"Biar saya yang menghubungi Nathan, Bunda," katanya menawarkan bantuan.
Dia pun segera berdiri saat Bunda mengangguk. Tapi baru saja Lisa melangkah ke luar kamar,
Nathan sudah muncul di ambang pintu.
"Than, elo...?" Nathan tidak memedulikan ucapan Lisa.
Dia langsung menerjang masuk dan menghampiri Selma yang tergolek tak berdaya di tempat
tidur. Tadinya Randy hendak menerjang Nathan saat itu juga, tapi Bunda mencegahnya dan
menggeleng pelan pada putranya itu. Randy terdiam, dan menuruti larangan Bunda.
"Selma. Selma... Bangun, Sayang, ini gue, Nathan," ujarnya seraya menggenggam erat tangan
Selma yang panas seperti terbakar. Selma tetap mengigau memanggil nama Nathan.
"Than, jangan pergi, Than..." suara Selma semakin lemah.
Meski begitu matanya tetap terpejam. Nathan menciumi tangan Selma sambil terus membisikan
kalimat-kalimat sayangnya. Menyaksikan semua itu, Bunda pun akhirnya mengajak yang lain
keluar dan membiarkan Selma berdua saja dengan Nathan.
"Sel, maafin gue, Sel... gue udah bohong ke elo. Tapi Sel, gue sayang lo, Sel... sayang banget.
Bangun, Sel." Nathan duduk di samping tempat tidur Selma. Dia sampai tak sadar telah
menitikkan air mata. "Gue ke sini karna lo manggil gue. Makanya lo mesti bangun dan dengarkan penjelasan gue."
Nathan terus menemani Selma seperti itu. Sampai lidahnya kelu. Sampai dia sendiri ketiduran
saking capeknya. Di rumahnya semalaman itu Nathan tak bisa tidur. Dia terus memikirkan
bagaimana cara meminta maaf kepada Selma. Dan ketika akhirnya tertidur, dia malah bermimpi
Selma memanggilnya dan terus menangis mencarinya. Siapa sangka itu terjadi di dunia
sebenarnya. Betapa hancur hati Nathan mengetahuinya. Nathan terbangun saat ia merasa
tangannya diguncang-guncang dengan kasar.
"Sel, syukurlah akhirnya lo sadar juga. Gimana perasaan lo?" Ia mencoba menggapai tangan
Selma dan membawanya ke bibirnya. Namun Selma mengibaskannya lemah.
"Pergi," usir Selma parau. Ia sama sekali menolak memandang Nathan. Jelas benar kebencian
yang terlihat di mata Selma yang memandang sayu langit-langit kamarnya.
"Sel, dengar dulu penjelasan gue. Gue..." Nathan terus berusaha menjelaskan. Tapi sekali lagi
Selma menampiknya tanpa melirik sedikit pun.
"Cukup. Pergi!" ucap Selma tegas di antara suaranya yang lemah.
Nathan tak punya pilihan lain, ia tak ingin memaksa Selma mencerna sesuatu yang malah akan
membuat keadaannya semakin buruk. Dengan berat hati ia pun mengalah dan memilih keluar
dari kamar Selma. Sepeninggal Nathan, Selma kembali meneteskan air mata. Kalau saja air mata
bisa melunturkan kesedihannya. Tapi kenapa hatinya malah semakin pedih terasa" Dia terus
terdiam dalam tangis. "Ayah, Selma sudah salah pilih. Rasanya Selma ingin menyusul Ayah sekarang juga," rintihnya
sendu. @@@ Randy sudah siap memukul Nathan dengan tangan terkepal.
"Heh. Lo apain adik gue sampai jadi begitu he?" tantangnya garang. Bunda berusaha
mencegahnya, sementara Nathan tampak berdiri pasrah di depan Randy.
"Pukul aja, Kak. Gue memang salah." ucapnya parau.
"Jangan sok deh lo, lo kira gue nggak berani mukul lo?" Satu pukulan mendarat di pipi Nathan.
Dia sempat tersungkur, tapi kemudian perlahan-lahan bangkit berdiri lagi. Bunda langsung
menarik tangan Randy dan memaksa anaknya itu menghadap kepadanya.
"Bunda nggak pernah mengajarkan untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan," kata
Bunda. Randy terdiam. "Biarkan saja, Bunda. Berapa banyak pukulan pun akan Nathan terima untuk menebus kesalahan
Nathan," kata Nathan lirih.
"Tidak, bukan seperti itu penyelesaiannya. Bunda ingin kamu menjelaskan semua ini. Apa yang
sebenarnya terjadi?" ucap Bunda bijak.
"Nathan juga tidak tau, Bunda." Wajah Nathan tampak kusut tak keruan. Disekanya darah segar
yang mengalir di sudut mulutnya.
"Nathan cuma tau, Nathan bikin perjanjian dengan Natasya. Awalnya dia mengancam akan
melukai Selma kalo Nathan nggak ninggalin Selma. Tapi Nathan bersikukuh akan jagain Selma.
Bahkan Nathan bilang akan segera tunangan dengan Selma untuk ganti mengancam Tasya. Tibatiba dia berubah baik dan membuat kesepakatan, bahwa dia akan relakan Nathan bersama Selma
asalkan Nathan mau menghabiskan tiga hari bersamanya. Mengurus ulang tahunnya dan
menghadiri pestanya dengan baju yang sudah dipilihkan olehnya. Nathan bahkan bersedia
pontang-panting nganterin dia ke mana aja asal bisa segera kembali kepada Selma dan terbebas
dari Tasya. Siapa sangka kejadiannya bakal sepertinya ini." Wajah lusuh itu tertunduk lesu.
"Nathan bahkan nggak nyangka akan membuat Selma sakit hati sampai seperti itu, Bunda.
Nathan hanya ingin menjauhkan Selma dari keganasan Tasya." Semua terdiam mendengar
penjelasan itu. Bahkan Randy telah melemaskan tangannya yang tadi terkepal menahan marah.
"Tapi, Than..." Lisa memecah keheningan. "Waktu itu jelas-jelas kami liat rangkaian bunga
besar ucapan selamat bertunangan buat lo dan Tasya. Bunga itu diletakkan di pintu masuk rumah
Tasya. Lo bisa jelasin itu?" tanya Lisa tegas. Entah dari mana ia mendapat keberanian hingga
sanggup mengemukakan pertanyaan itu.
"Bunga apa" Gue nggak tau, Lis. Gue nggak tau," sahut Nathan pelan. "Tapi percayalah, gue
nggak mungkin mengkhianati Selma. Setelah apa yang terjadi antara gue dan dia selama ini,"
sambungnya. Bunda mengembuskan napas panjang. "Than, Bunda percaya sama kamu," katanya sambil
mendekati Nathan dan menepuk bahunya pelan.
"Bunda tahu, karna mata itu takkan bisa berbohong pada Bunda." Ditatapnya mata Nathan yang
terlihat sayu dan sedih. "Tapi untuk meyakinkan Selma, Bunda rasa perlu sedikit waktu lagi. Kamu tahu sendiri gimana
Selma. Hatinya sudah terlanjur sakit. Dia pasti sudah menutup rapat-rapat hatinya. Dan untuk
membukanya lagi, bukan hal yang mudah."
"Randy belum bisa percaya seratus persen, Bunda. Randy akan ke SMA Teitan untuk mencari
jawab atas perlakuan cewek salan itu!" Randy ikut berkomentar.
"Ya, pergilah ke sana, kamu boleh cari gara-gara, biar masalah semakin panjang," tantang
Bunda. "Kamu kira apa yang tidak bisa dilakukan orang kaya" Menuduhmu melakukan penganiayaan
dan menjebloskanmu ke penjara itu bukan hal sulit bagi mereka. Jadi lakukanlah niatmu itu. Tapi
jangan pernah panggil aku Bunda," ancam Bunda galak.
Ini memang salah satu jurus Bunda menangani putranya yang kadang nekat. Dan terbukti jurus
itu ampuh, karna Randy langsung terdiam.
"Nathan, lebih baik sekarang kamu pulang. Tenangkan pikiran dan coba cari jalan untuk
membujuk Selma. Biasanya kan kamu paling pinter mengambil hatinya. Sementara kami juga
akan ikut mencoba membujuknya."
"Terima kasih, Bunda," ujarnya Nathan. Dijabatnya tangan Bunda lalu diciumnya dengan sayang
sebelum akhirnya meninggalkan rumah Selma. "
Lisa," panggil Bunda.
"Ya, Bunda." "Kamu saja yang cari tau soal rangkaian bunga itu. Biar cowok sok macho itu lebih percaya lagi
kalo Nathan sungguh-sungguh dengan perkataannya," pinta Bunda seraya mengedikkan kepala
ke arah Randy. Lisa mengangguk cepat.
"Baik, Bunda." Baginya itu bukan tugas, melainkan kasih sayang Bunda kepadanya yang
diwujudkan dalam bentuk kepercayaan. Lisa akan lakukan apa pun untuk menemukan jawaban
atas semua ini, Bunda. Karna Lisa juga sudah janji pada Selma, katanya dalam hati.
Bab 10 "IREN... Bagas... ngapain kalian di sini?" tanya Lisa tak percaya, mendapati kedua sohib Selma
berada di pos satpam sekolahnya.
"Hai, Lis, sori ganggu. Tapi kami nggak bisa tinggal diam liat sobat kami tergelatak di kasur."
Iren yang menjawab. "Dari mana kalian..."
"Semalem kami nelepon Selma di rumah, kata Bunda dia sakit, makanya kami ke sana. Kami
nggak tau kejadiannya separah itu. Bunda yang cerita," Bagas menjelaskan singkat.
"Dan gue nggak mau ketinggalan nyakar Nenek Lampir kurang ajar itu," tambah Iren garang.
Lisa tersenyum. "Baiklah, tapi kalian harus janji nggak bikin masalah."
Keduanya mengacungkan jempol dan berkata bersamaan, "Sip, Bos."
"Ya udah, ayo masuk." Lisa mengajak mereka memasuki gerbang sekolah setelah sebelumnya
berkata kepada satpam, "Mereka teman saya, Pak."
SMA Teitan sudah sepi saat mereka masuk. Hanya beberapa anak yang ikut ekstrakurikuler dan
anak-anak kelas tiga yang mengikuti kelas sore yang masih tinggal. Selebihnya, hanya mereka
bertiga. Koridor sekolah juga tampak lengang, karna penghuninya pasti lebih memilih ke kantin
mengisi perut daripada ngobrol di sepanjang koridor. Soalnya mereka masih punya beban yang
harus ditanggung seusai istirahat.
"Apa rencananya, Lis?" tanya Iren. "Nenek Lampir itu kan selalu bareng antek-anteknya,"
tambahnya, tapi langsung meralat, "eh, maaf... gue nggak bermaksud..." ketika ia tiba-tiba
teringat cerita Selma bahwa Lisa dulu teman Natasya.
"Lupakan. Gue sekarang bukan antek-antek Tasya lagi. Lagi pula, hari ini Tasya cuma ditemani
satu antek. Kaluna namanya. Yang lain udah pada pulang," balas Lisa tersenyum.
"Nah, Kaluna ini selalu ke WC setiap ada kesempatan. Nah, kita bakal ngerjain dia di situ."
"Ngapain si Kaluna ke WC setiap ada kesempatan, emang dia beser ya?" tanya Iren heran.
"Bukan, dia hobinya dandan. Dia paling takut kalo dandanannya amburadul. Dia lebih baik mati
daripada kelihatan jelek."
"Bagus, ada untungnya juga lo jadi mantan temen Natasya." Iren melempar senyum jailnya.
Mereka kemudian stanby di toilet SMA Teitan yang kata Lisa jadi langganan Kaluna untuk
becermin dan membenahi dandanan. Mereka terdiam mendengar suara nyanyian kecil yang
menuju ke arah mereka. "Itu Kaluna. Sembunyi!" bisik Lisa seraya menarik Iren masuk ke salah satu kamar kecil. Dari
suara langkah kaki Kaluna dan dendangan kecilnya ketahuan cewek itu sudah sampai di WC.
Lisa memberi tanda kepada Iren untuk keluar.
"Halo, Luna," sapa Lisa ramah. Yang disapa bukannya senang malah kaget.
"Lisa... lo ngap..." Dia tampak ketakutan, apalagi Iren muncul di belakang Lisa. "Lis... lo
masukin tikus kotor ini ke toilet kita?" katanya berjengit jijik. "Dia bahkan nggak lebih bersih
dari toilet ini!" tambahnya nyinyir. Tanpa menunggu komando Lisa lagi, Iren menarik tangan
Kaluna dan dengan cepat menelikungnya ke belakang. Persis polisi yang berhasil menangkap
maling. "Ao... sakit...!" jerit Kaluna.
"Diam. Atau gue berantakin rambut lo!" ancam Iren seraya bermaksud menjambak rambut indah
Kaluna. "Tunggu... tunggu... oke, gue diem, tapi please, jangan berantakin rambut gue," setengah
memohon Kaluna mengucap. Lisa mengerling ke arah Iren. Asyik juga ngerjain orang yang takut
berantakan begini, pikir Iren senang.
"Luna..." Lisa mendekatkan wajahnya pada mantan temannya itu.
"Gue mau tanya, dan gue harap, lo jawab pertanyaan gue sejujur-jujurnya," katanya lambatlambat.
"Lisa, lo ternyata udah berubah ya?" komentar Kaluna.
"Itu semua berkat lo juga," balas Lisa tersenyum.
"Oke, gue mau tanya, apa yang sebenarnya terjadi di hari ULTAH Natasya" Maksud gue, soal
pertunangan itu. Semua cuma akal bulus Tasya, kan?"
"Ho... ho... ho... Lis... apa lo pikir gue bakal ngejawab pertanyaan lo?" Kaluna tertawa.
"Tentu," ucap Lisa yakin. "Kecuali lo mau lipstik gue mendarat di wajah mulus lo." Lisa
mengeluarkan lipstik dari saku rok seragamnya. Gila, ternyata Lisa udah mempersiapkan
semuanya, pikir Iren kagum.
"Apa" Lo nggak mungkin serius, kan, Lis" Kita kan teman!" Jelas sekali Kaluna ketakutan
dengan ancaman Lisa. "Oke, gue buktiin aja daripada lo nggak percaya!" Lisa membuka lipstiknya dan
mendekatkannya ke wajah Kaluna. Gadis itu tak bisa bergerak karna Iren masih memeganginya.
"Tunggu, Lis... tunggu," cegah Kaluna yang ketakutan wajah mulusnya tercoreng-moreng. "Gue
ceritain deh," katanya.
"Oke. Katakan."
Kaluna menelan ludahnya pelan. "Tasya yang merencanakan semua ini," katanya kemudian.
"Dia sengaja mengajukan syarat ke Nathan supaya tikus kampung itu salah paham sama Nathan
dan akhirnya meninggalkan Nathan."
"Hei, namanya Selma. Kalo lo sebut dia tikus lagi, gue jambak rambut lo!" Iren benar-benar
nggak terima sahabatnya dihina.
"Iya... iya... Selma," ralat Kaluna cepat.
"Soal percakapan kalian di kantin dengan Nathan. Siapa yang sebenarnya dimaksud Nathan
dengan tunangannya" Bukan Tasya, kan?" tanya Lisa lagi.
"Bukan. Kebetulan Nathan pernah bilang dia mau tunangan sama ti... eh, Selma." Cengkeraman
tangan Iren membuat Kaluna meralat nama yang disebutnya.
"Kata-kata Nathan itu dijadikan senjata oleh Tasya untuk bikin lo salah paham, Lis. Karna
sebenernya waktu itu kita tau lo lagi ambil minum," jelas Kaluna.
"Lalu rangkaian bunga itu?"
"Tasya sudah pesan pada kami bertiga untuk menaruh bunga itu di pintu masuk begitu lo dateng
bersama ti... ee... Selma. Dan kami harus segera menyingkirkan dan menyembunyikannya
setelah kalian masuk supaya Nathan nggak tau. Soalnya kalo Nathan sampai tau, dia pasti kabur
dari pesta." Lisa dan Iren berpandang-pandangan.
"Bagus. Sekarang jelas ini hanya rencana Natasya," kata Lisa. Kaluna berusaha melepaskan diri.
"Kalian kan udah dapet semuanya. Sekarang lepasin gue dong!" Lisa melempar pandang sekali
lagi pada Iren yang langsung mengangguk senang.
"Sori, Luna. Gue masih ada urusan sama Tasya. Dan gue ingin dia sendirian. Jadi, terpaksa lo
harus tinggal di sini dulu." Lisa mencoretkan lipstiknya di baju Kaluna. Kaluna akan butuh
banyak waktu untuk membersihkannya.
"Oh... tidak..." jerit Kaluna tertahan. "Sialan lo, Lis, ntar gue aduin lo ke Kepala Sekolah. Lo
bakal dikeluarkan dari sekolah ini!" ancam Kaluna.
"Silakan, dan gue juga bisa laporin lo udah bikin kekacauan dengan Ketua Murid kita. Saksinya
Nathan, si ketua murid sendiri. Dan gue juga punya kasus lain yang bisa gue laporin juga.
Termasuk... kasus Risna. Gue yakin Risna mau ikut bersaksi. Gimana?"


Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sial. Lo kan juga ikut menindas mereka!"
"Nggak tuh, nggak ada seorang pun menuduh gue ikut menindas, karna gue hanya penonton
yang nggak ikut turun tangan."
"Pengecut." "Terima kasih. Maaf, kami masih ada urusan. Jadi bye dulu ya." Lisa mengajak Iren keluar dari
WC. "O iya, satu hal menurut gue perlu lo pikirin. Apa lo bahagia menjadi kroninya Natasya" Gue
merasa bebas setelah lepas dari dia tuh." Lisa tersenyum dan menghilang di balik pintu. Ia pergi
menemui Bagas yang menunggu tak jauh dari pintu masuk.
"Gila, lo bisa juga ya" Gue kira lo bakal takut dan cuma diam kayak biasanya..." komentar Iren
kagum. "Selma banyak mengajarkan tentang keberanian ke gue. Mana mungkin gue jadi penakut demi
kepentingannya," jawab Lisa.
"Walaupun Natasya yang lo hadapi?" sela Bagas.
"Entahlah, mungkin gue butuh bantuan kalian kalau menyangkut yang satu itu." Lisa sedikit
berjengit mendengar nama Natasya. Tapi dia sudah membulatkan tekad untuk menghadapinya.
"Baiklah, apa rencana selanjutnya?" tanya Iren bersemangat.
"Berarti target kita selanjutnya adalah Natasya."
Mata Lisa berkilat senang. "Ya, dan untuk itu kita harus menghadangnya di jalan belakang
sekolah." "Hadang"!" tanya Iren tidak mengerti.
"Iya. Habis mau gimana lagi, gue nggak mau berurusan dengan Natasya di sekolah. Bisa gawat."
"Maksud lo?" "Sebentar lagi Tasya pulang. Di situlah kesempatan kita ngerjain dia."
"Kenapa harus nunggu dia pulang sekolah segala" Kenapa nggak sekarang aja" Gue berani kok
menghadapi dia sendirian!" Iren berkata nggak sabaran.
"Peraturan sekolah, Ren, siapa pun yang melanggar aturan sekolah akan mendapat peringatan
dan bahkan bisa diskors atau dikeluarin dari sekolah," jelas Lisa.
Iren terdiam, tapi kemudian kembali berkata, "Tapi apa bedanya ngerjain si Nenek Lampir di
luar dan di sini?" "Bedanya, di luar nggak ada saksi mata. Tasya sendirian." Iren akhirnya mengerti maksud Lisa.
Dia lalu mengangkat bahu. "Ya udah deh, gue ikutan rencana lo aja," katanya.
Lisa tersenyum. "Tenang aja, Ren, ada waktunya nanti lo boleh menghias wajah Tasya dengan
lipstik gue." Ketiganya tertawa mendengar gurauan Lisa. "Lo nggak sekelas sama mereka ya?" tanya Iren
dalam perjalanan ke luar.
Lisa hanya menggeleng. "Kalian duluan aja ya, gue ambil mobil dulu."
Bagas baru menstarter motornya waktu mobil Lisa meluncur. Dilihatnya cewek itu memberinya
kode untuk mengikutinya. Mereka berhenti di jalan sepi dengan pohon-pohon rindang di kanankiri jalan.
"Gue udah nggak sabar pengen ngerjain si Nenek Lampir nih," kata Iren sambil memukulmukulkan kepalan tangannya ke tangannya yang lain.
"Hei ingat, Ren, lo jangan keterlaluan. Gue nggak mau masalah ini sampai ke meja hijau." Lisa
khawatir membayangkan reaksi Iren.
"Takut amat sih lo, Lis. Gue nggak bakal keterlaluanlah. Gue cuma kepingin bikin dia merasa
terhina. Tenang... paling-paling gue cuma bikin rambutnya berantakan dan seragamnya acakacakan," Iren nyengir usil.
"Gas, sebaiknya lo lebih waspada ngawasin cewek lo," bisik Lisa kepada Bagas yang duduk
bersandar di mobilnya. Bagas hanya tersenyum seraya mengacungkan jempolnya. "Sip."
Ketika sebuah BMW merah melaju ke arah mereka, Lisa pun keluar dari mobilnya.
"Itu Tasya," ucapnya yakin. Bagas langsung menaiki motor dan memarkirnya merintangi jalan.
Mobil Natasya makin mendekat. Pengemudinya memandang heran pada motor dan mobil yang
merintangi jalan di depannya. Dimajukannya wajahnya lebih dekat ke kaca mobil untuk
mengetahui yang terjadi. Tapi mau nggak mau dia harus menghentikan mobil juga. Natasya
keluar dari mobilnya dengan angkuh.
"Apa-apaan ini" Kalian mau main keroyokan ya?" tukasnya judes sambil melipat kedua
tangannya di depan dada. "Memangnya kenapa kalo kami main keroyok" Lo takut?" tantang Iren yang ikut-ikutan melipat
tangan di depan dada seraya maju sampai berhadap-hadapan dengan Natasya.
Tersirat ketakutan di wajah Natasya saat ia tersadar dirinya sendirian. Tapi toh ia berlagak berani
juga. Ditatapnya Lisa yang berdiri tertunduk di samping mobilnya.
Dia tertawa kecil. "Ha... ha... ha... Lisa. Gue nggak nyangka lo udah berubah jadi tikus juga
kayak mereka. Bener-bener temen nggak tau terima kasih lo. Tau gitu dulu gue nggak tolongin lo
dari berandalan-berandalan sekolah itu."
"Kalo memang lo butuh balas budi, Sya, apa nggak cukup semua yang udah gue lakukan buat lo
selama ini?" Suara Lisa sedikit gemetar. Perasaannya campur aduk antara benci, marah, dan
sedikit rasa takut yang masih tersisa.
"Apa" Memangnya lo udah ngelakuin apa" Lo lebih banyak nggak bergunanya daripada
berguna. Sekali berguna malah berkhianat."
"Lo bahkan lupa lo udah memperlakukan gue lebih sebagai budak daripada teman. Apa itu yang
disebut sahabat?" ungkap Lisa.
Dia mulai berani memandang Natasya. "Selma-lah sang sahabat sejati, Sya. Dia bahkan bisa
memaafkan gue yang udah jadi musuh dalam selimut. Dan dia sekarang terbaring tak berdaya.
Semua itu karna lo. Gue udah janji ama dia, Sya, apa pun bakal gue lakukan demi
mengembalikan senyumnya. Termasuk mengembalikan Nathan ke dia." Lisa melangkah ke sisi
Iren. Pandangannya menatap mata Natasya yang tak percaya dengan keberanian lisa.
"Lo benar-benar udah jadi kayak mereka, Lis. Tikus got," ungkap Natasya marah.
Demi mendengar penghinaan itu, Iren tidak menunggu komando lagi. Dia langsung menerjang
Natasya yang jelas tak pernah menyangka bakal diserang Iren.
"Tikus... tikus... kalo gue tikus, lo kecoak!" umpat Iren sambil menjambak rambut Natasya.
"Kurang ajar lo. Gue balas lo nanti. Gue..."
"Ayo, balas aja kalo bisa!" tantang Iren. Dipelintirnya tangan Natasya ke belakang. Natasya
sampai tengkurap dengan satu tangan ditahan Iren di punggung.
"Lis, kemarikan lipstik lo. Tuan Putri mau dandan nih," perintah Iren. Lisa menuruti kata-kata
Iren. Dikeluarkannya lipstiknya, lalu diserahkannya kepada Iren.
"Hei, mau apa lo" Awas lo ya, gue bunuh lo. Dasar tikus got kurang ajar!" Natasya berusaha
memberontak. Tapi dia tak berdaya menghadapi Iren yang jago karate.
"Cerewet aja lo. Jangan salahin gue ya kalo hasilnya jadi jelek. Kebanyakan bacot sih lo." Iren
mulai beraksi dengan lipstiknya. Ditorehkannya lipstik itu asal ke wajah Natasya yang terus
menjerit dan mengumpat. "Ren..." panggil Lisa mulai waswas.
"Diam dulu, Lis, gue lagi menikmati bagian gue. Lo kan tadi udah!" jawab Iren semangat.
"Bukan begitu. Ini hampir jam pulang sekolah kelas sore. Kita harus segera pergi dari sini!" Lisa
mengingatkan. Iren membuang napas panjang, lalu menutup lipstik Lisa.
"Nih," ucapnya kurang puas seraya menyerahkan lipstik itu kepada Lisa.
"Gas, sekarang bagian lo!" teriak Iren sebelum melepas Natasya.
"Beres!" jawab Bagas. Dia langsung memotret Natasya. Lengkap dengan wajah berlepotan
lipstik dan rambut awut-awutan.
"Bagus," gumam Iren. Dilepasnya Natasya yang langsung berdiri hendak menyerang Iren.
"Eit, lo nggak bakal menang lawan gue. Gue anak karate. Mau bukti lagi?" Iren sudah bersiap
dengan jurusnya, namun Natasya malah lari masuk ke mobil.
Baru saja menyalakan mesin mobil dan mau putar balik, dia baru sadar ban mobilnya
bermasalah. Rupanya tadi Bagas menggembosi ban mobilnya. Natasya kembali mengumpat
melihat mukanya yang coreng moreng di kaca spion. Sekarang Iren benar-benar merasa puas.
Dia naik ke boncengan Bagas seraya berteriak, "Jangan macam-macam lagi, Tuan Putri. Atau
gue sebarin foto lo tadi ke seluruh sekolah!" ancam Iren. Lisa tak perlu mengatakan apa-apa lagi.
Dia hanya bersyukur di dalam hatinya. Syukurlah, senyum itu akan kembali lagi.
"Kita langsung ke rumah Selma ya" Gue udah nggak sabar pengen menceritakan semua ini ke
dia," ucap Iren. "Nggak, gue udah janji mau ke rumah Nathan. Dia tadi nggak masuk sekolah. Waktu gue
telepon, dia minta gue ke sana. Kalian pergi duluan aja, gue nanti nyusul," kata Lisa.
Bab 11 KONDISI Selma perlahan-lahan membaik, namun dia masih tetap diminta beristirahat di tempat
tidur. Bunda melarangnya turun sebelum suhu tubuhnya kembali normal. Selma belum juga mau
membuka hatinya untuk Nathan, tapi Bunda yang sudah tahu duduk permasalahannya selalu
mengizinkan anak muda itu berkunjung walau tanpa sepengetahuan Selma. Nathan memang
selalu datang tiap hari, walau pada akhirnya hanya bisa melihat Selma dari jauh atau mendekat
saat gadis itu tertidur. Dia tak hentinya berpesan pada Lisa, Iren, Bagas, dan seluruh anggota
keluarga agar menjaga Selma untuknya.
Hingga Iren dan Bagas datang sore itu...
"Kalian ke mana aja sih, jam segini baru nongol?" Selma menyambut teman-temannya seraya
membetulkan sandarannya. "Kita baru aja mengalami petualangan yang seru, Sel. Coba lo ikut. Gue jamin lo langsung
sembuh deh!" kata Iren seraya membanting tubuhnya di samping Selma yang masih kelihatan
lemah. "O ya, petualangan apa?" tanya Selma pelan. Iren dan Bagas bertukar pandang. Bagas
mengangguk pelan pada kekasihnya, hingga Iren tersenyum.
"Kita habis ngerjain Nenek Lampir."
"Nenek Lampir?" Selma mengerutkan dahi tak mengerti.
"Iya, Nenek Lampir. Mau denger nggak ceritanya?" tanya Iren.
"Mau dong." "Tapi lo harus janji dulu. Nggak boleh potong cerita, nggak boleh marah, dan nggak boleh
komentar sepatah kata pun sebelum cerita gue selesai. Gimana?" tantang Iren.
"Ampun deh, cuma mau dengerin cerita aja peraturannya banyak banget."
"Mau nggak" Kalo nggak mau juga nggak pa-pa. Tapi gue langsung pulang. Kan nggak lucu,
kumpul-kumpul tapi nggak pake cerita."
"Ngancem nih?" "Nggak, cuma maksa. He... he..."
"Iya deh, gue nyerah," kata Selma akhirnya.
Iren tersenyum senang. Dia pun menceritakan seluruh kejadian tadi. Selma tak percaya dengan
apa yang didengarnya. Berkali-kali dia berusaha mengalihkan pembicaraan, takut lukanya
terbuka kembali. Tapi tatapan tajam Iren yang mengingatkannya pada janjinya membuatnya
kembali terdiam. "Sekarang terserah lo mau percaya apa nggak. Yang jelas, kita udah berusaha menceritakan yang
sebenarnya." Iren menutup ceritanya.
Selma masih terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia belum bisa memercayai semua yang
dikatakan Iren. Bisa jadi Iren disuruh ngebohong sama Bunda, biar gue nggak benci sama
Nathan, pikirnya. "Kenapa sih lo nggak mau kasih kesempatan orang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi?" Lisa tiba-tiba muncul di balik pintu.
"Lo kira, cuma lo yang sakit hati" Lo kira, cuma lo yang menderita" Lo salah, Sel. Ada satu
orang yang lebih menderita dari lo! Dan dia tetap diam demi kepentingan lo. Gue nggak
nyangka, lo bakal seegois ini, Sel." Lisa duduk di kursi di samping tempat tidur.
Selma menatap Lisa, Iren, dan Bagas bergantian. "Kalian emang bersekongkol ngebela Nathan
ya?" katanya kemudian.
"Kalo iya memangnya kenapa"!" jawab Lisa tegas.
"Kami nggak ngebela Nathan kok. Kami cuma cari kebenaran. Dan kalau cerita Iren belum
cukup untuk membuktikan betapa Nathan nggak bersalah, gue punya satu barang yang bakal
bikin lo berpikir lebih dewasa lagi." Lisa merogoh tasnya.
Sesaat kemudian dikeluarkannya sesuatu dari situ.
"Ini. Lo pasti kenal barang ini, kan?" Diulurkannya benda yang menyerupai buku berwarna
cokelat dengan hiasan pernak-pernik natural hasil daur ulang.
"Ini... dari mana lo..." Selma tertegun saat mengenali benda yang sekarang berada di tangannya
itu. "Nathan menemukan benda itu dua tahun yang lalu. Dan lo boleh percaya boleh tidak, karna
benda itu pula dia berhasil keluar dari jerat narkoba." Selma terbelalak tak percaya.
Nathan" Narkoba" pikirnya. Tiba-tiba ia teringat Risna, teman Bagas yang di SMA Teitan.
"Padahal dulu dia bukan orang menyenangkan. Sifatnya kasar dan suka menindas yang lemah.
Lebih mirip preman daripada pelajar. Tapi suatu kali dia melakukan kesalahan yang fatal hingga
tinggal kelas." Jadi yang dimaksud kesalahan fatal itu narkoba" batin Selma. Lalu diperhatikannya benda di
tangannya, yang tak lain buku hariannya sendiri. Buku harian itu sengaja dibuangnya untuk
mengubur semua kenangannya tentang Ayah, dengan dalih ingin belajar tegar. Pantas aja dia tau
semuanya tentang gue. Terutama tentang cinta khayalan gue. Nggak taunya dia baca diary gue.
"Lo tau, Sel," Lisa kembali bercerita.
"Dia sebenarnya sudah melihat sosok lo dua hari setelah dia menemukan diary itu, dia baca
alamat yang lo tulis di diary itu. Tapi terus saat melihat sosok lo yang begitu mungil dan jauh
dari kesan gadis tegar penuh kekuatan, dia jadi urung mengembalikannya ke elo." Lisa menghela
napas sebelum meneruskan ceritanya lagi.
"Nah, Nathan meneruskan membaca diary lo. Dia nggak percaya cewek semungil lo mampu
mengatasi segala masalah dengan kekuatan lo sendiri. Padahal saat itu lo baru aja ditinggal ayah
yang sangat lo sayangi. Nathan jadi malu sendiri. Padahal dia lebih tua dan dilihat dari segi fisik
pun lebih kuat dibanding lo. Tapi dia merasa kecil waktu membaca kisah lo yang tertulis rapi di
diary itu. Begitulah, akhirnya Nathan memutuskan untuk berubah. Dia pun dengan kesadaran
sendiri masuk ke panti rehabilitasi narkoba. Waktu keluar dari sana, Nathan telah berubah
menjadi pribadi yang berbeda. Itu semua karna lo. Karna diary lo."
Suasana sepi sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Terutama Selma yang mulai
memutar setiap kalimat yang pernah didengarnya tentang Nathan.
"Dia telah bertemu bidadari. Dan beruntunglah gue karna gue juga melihat bidadari itu," kata
Risna dengan senyumnya yang mengembang.
"Gue nggak bakal nyia-nyiain orang yang sudah menolong gue," kata Nathan.
Tapi Selma sama sekali tidak tahu apa maksudnya.
"Dan Sel, semua yang diceritakan Iren ke lo itu bener. Gue, Iren, dan Bagas ada di sana," ucap
Lisa. Selma terdiam. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti waktu dia tidak memberi
kesempatan orang lain untuk menyampaikan penjelasan mereka.
"Termasuk tentang pertunangan itu," tambah Lisa.
Leher Selma seperti tercekat mendengar kata pertunangan terlontar dari mulut Lisa. Entah
kenapa dia belum bisa memercayainya, meskipun mereka sendiri yang bercerita. Mungkin karna
luka hatinya kelewat dalam.
"Sel, lo harus tau, Natasya itu sangat terobsesi dengan Nathan. Mereka teman sepermainan sejak
kecil. Orangtua mereka menjodohkan mereka sejak mereka kecil. Natasya memegang teguh janji
itu dan menganggap Nathan miliknya. Nathan sendiri terpaksa membiarkannya karna
menghormati orangtua Natasya yang merupakan sahabat orangtuanya. Itulah sebabnya Nathan
nggak bisa mengakui lo sebagai pacar di depan Natasya. Dia ingin menjaga perasaan Natasya
dan menghindarkan lo dari bahaya. Natasya itu cewek nekat. Nathan nggak mau lo kena sasaran
kemarahannya." Lisa terdiam sebentar.
Baik Iren ataupun Bagas sedikit pun tak berniat memotong penjelasan Lisa. Bagaimanapun Lisa
yang paling tahu tentang Natasya, lebih dari siapa pun.
"Lo tau, dia rela jadi kacung Natasya selama tiga hari hanya untuk membebaskan lo dari sikap
nekat cewek itu. Agar dia bisa lebih bebas dan terbuka menyukai lo. Apa itu salah"!" lanjut Lisa.
Dada Selma terasa sesak mendengar penuturan Lisa. Perasaan bersalah merayapi hatinya. Dia
nggak tau harus bagaimana. Yang jelas, di lubuk hatinya yang terdalam dia merasa sangat lega.
Tanpa sadar dipeluknya buku hariannya yang telah mempertemukannya dengan Nathan. Iren,
Bagas, dan Lisa berpandang-pandangan.
"Sekarang, apa rencana lo?" tanya Iren yang sejak tadi diam saja dan ikut terhanyut oleh cerita
yang dituturkan Lisa. "Yang jelas gue mau minta maaf dulu sama Nathan," ucap Selma. "Gue udah nyakitin dia tanpa
sengaja. Dan gue..., gue udah berlaku nggak adil. Padahal dia udah pernah bilang ke gue, untuk
percaya sama dia." "Kalo begitu, kenapa nggak minta maaf sekarang aja..." Itu suara yang sangat dirindukan Selma.
Dan pemilik suara itu kini berdiri tepat di depan pintu dengan kedua tangan menyilang di depan
dada. "Nathan..." Senyum sumringah langsung mengembang di bibir mungil Selma. Dia bergegas
turun dari tempat tidur, lalu dengan langkah gontai yang dipaksakan, menghampiri Nathan yang
membuka tangan, siap menyambut Selma ke dalam pelukannya.
"Than, ma..." "Ssttt... nggak ada yang perlu dimaafkan." Nathan menempelkan telunjuknya di bibir cewek itu.
Dipeluknya Selma erat-erat.
"Gue kangen banget sama elo, Sel," bisiknya.
"Gue juga. Kangen banget," ucap Selma dalam pelukan Nathan.
"Oke, guys, kayaknya nggak ada tempat untuk kita di sini deh. Mending kita ke dapur sekarang.
Siapa tau Mbok Sum berbaik hati memberi kita camilan." Ucapan Bagas membuat Iren dan Lisa
bergegas beranjak dengan senyuman jail yang dilayangkan kepada pasangan kekasih yang baru
saja bersatu kembali itu.
"Awas ya kalo kalian balik lagi!" canda Nathan. Selma hanya tersenyum.
Senyum bahagia yang kini benar-benar dirasakannya. Semua ini begitu nyata. Ini nyata. Dan
kalaupun mimpi, Selma enggan untuk bangun lagi. Tapi ini nyata. Nathan adalah nyata. Cintanya
adalah nyata. Dan semua yang dirasanya adalah nyata. Baik suka maupun dukanya. Ayah...
betapa indah semua yang kurasa. Katakan pada Tuhan, jangan ambil kebahagiaan ini seperti Dia
mengambil Ayah dariku. Bab 12 "YANG mana sih kalimat gue yang bikin lo sadar, Than?" Selma sedang duduk-duduk di teras
rumah ditemani Nathan dan buku hariannya.
"Ini nih. Dari halaman ini sampai ini." Nathan membuka halaman yang sudah dihafalnya dan
ditunjukkannya pada Selma. Selma membacanya kembali diary-nya yang telah lama dibuangnya
itu. February 14th Dear Diary... Hari ini gue dan Iren ketemu lagi ama cowok aneh itu. Pandangan matanya kosong. Dia selalu
berdiam diri di kantin tanpa seorang teman pun. Waktu gue usul untuk mendekatinya, Iren


Will You Marry Me Karya Fatma Sudiastuty Octaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung setuju. Biasa, dia kan memang nggak bisa nahan rasa penasaran. Siapa sangka cowok
aneh itu malah marah-marah. Dia mengusir kami, Di...
Iren udah siap dengan jurusnya untuk membalas amarah si cowok aneh. Untung gue punya jurus
lebih ampuh, apa lagi kalo bukan menyeret Iren dari tempat itu" He... he... he... Tapi
bagaimanapun wajar kalo si cowok aneh itu ngamuk, dia kan nggak ngundang kami untuk duduk
sama dia. Mungkin menurut dia kami ini sudah mengusik kesendiriannya.
Tapi terus terang, Di... gue masih penasaran sama cowok aneh itu. Kenapa dia selalu sendiri, ya"
Kenapa tatapannya selalu kosong, ya" Kenapa dia galak begitu"
Gue yakin, Di... Ada sebab di balik semua itu. Tapi kenapa nggak ada siapa-siapa yang nemenin
dia ya" Apa karna dia galak banget" Kalau tak seorang pun yang dekat sama dia, gimana dia bisa
berkeluh-kesah" Bisa-bisa dia terjerumus ke narkoba. Atau jangan-jangan, dia malah udah pake.
Ihh... ngeri. Tapi bukankah orang seperti itu harusnya didekati, Di" Bukannya malah dijauhin.
Bisa makin parah kan kalo nggak ada yang ngingetin.
Di... salah nggak ya kalo gue dan Iren ngedeketin dia" Seandainya memang dia nggak nge-drug,
kami bisa sharing masalahnya. Tapi kalo dia memang udah pake... kita kan bisa anjurin dia
masuk rehabilitasi. Dengan begitu dia akan bisa lebih menikmati hidup.
Selma tersenyum sendiri. Dia kembali membaca halaman selanjutnya.
February 16th Dear Diary... Namanya Bagas, Di... Bagas Zuas Saputra.
He... he... he... seneng deh akhirnya kita diizinkan duduk di mejanya. Walaupun sempat perang
mulut ama Iren. Dia belum mau terbuka, Di... Tapi lumayang, paling nggak dia udah punya
temen marah-marah sekarang, siapa lagi kalo bukan Iren. He... he...
February 22th Dear Di... Bagas tiba-tiba ngilang. Dia nggak ke kantin, nggak di kelasnya juga. Tapi ada yang bilang dia
tadi udah masuk gerbang sekolah.
Kami jadi khawatir, Di... terutama Iren. Entah kenapa dia bisa kalut begitu waktu tau Bagas
menghilang. Dia sampai rela bolos jam terakhir untuk cariin Bagas. Tentu aja gue ikut bolos.
Kami nyari Bagas ke semua sudut sekolah. Untung kami berhasil menemukannya. Tapi...
Kondisinya aneh, Di... Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Seperti orang menggigil kedinginan.
Dia terus aja bilang, "Sel, tolong gue, Sel... Tolong gue, Ren..."
Kami jadi bingung harus bagaimana. Satu-satunya jalan adalah memanggil bantuan dokter UKS.
Tapi kami ternyata salah jalan, Di...
Karna kami membawanya ke UKS, Bagas jadi ketauan pecandu, Di...
Dan Kepala Sekolah langsung mengirimnya pulang. Beliau memanggil kami dan akan rapat
untuk mengambil keputusan untuk Bagas.
Gue takut Bagas bakal dikeluarkan dari sekolah, Di...
Yang gue heran, Iren yang biasanya jadi Miss Detective, tiba-tiba terdiam. Tak sepatah kata pun
yang diucapkannya sejak kami keluar dari kantor Kepala Sekolah. Ada apa dengannya ya, Di"
Jangan-jangan Iren suka sama Bagas...
Apa pun, yang jelas gue harus usahakan supaya Bagas tidak dikeluarkan dari sekolah.
"Dasar tukang ikut campur urusan orang!" kata Nathan yang ikut membaca diary Selma. Selma
hanya tersenyum dan membacanya lagi.
February 23th Dear Di... Syukurlah, Di... gue berhasil meyakinkan Kepala Sekolah untuk memberi waktu buat Bagas.
Tadinya beliau sudah memutuskan akan mengeluarkan surat DO buat Bagas.
Tapi... He... he... gue nekat menemui Kepala Sekolah. Gue sendiri nggak tau dari mana
keberanian gue muncul. Mungkin karna gue terlanjur masuk dalam urusan Bagas. Atau mungkin
juga karna gue ingin mengembalikan keceriaan Iren yang tiba-tiba lenyap. Yang jelas gue
kepingin Bagas tetap bersama kami.
Untung Kepala Sekolah bijaksana.
Aduh, kalo inget gue tiba-tiba teriak, "Pak, tolong tangguhkan hukuman Bagas. Saya janji
dengan jaminan diri saya, Pak, Bagas akan lepas dari kecanduannya. Kalo dia nggak bersih
dalam dua bulan, Bapak boleh mengeluarkan saya. Saya mohon, Pak. Tuhan saja ngasih
kesempatan kedua. Bukankah sekolah juga akan bangga, Pak, kalo siswanya terbebas dari
narkoba" Bagas bisa jadi contoh untuk yang lain, Pak. Saya mohon, Pak." Wah, Di... habir
ngomong seperti itu di depan Kepala Sekolah rasanya legaaa banget.
Tapi gue tiba-tiba takut juga. Bodoh ya, langsung bicara tanpa titik koma. Pake jaminan diri gue,
lagi. Kalo Bagas nggak sembuh, mati deh gue.
Tapi gue yakin, Di... Bagas bakal sembuh. Dia nggak bakal mengecewakan kami. Terutama Iren
yang memang menyukainya. Herannya, Kepala Sekolah langsung menyetujui syarat gue. Nggak
nyangka beliau sebijak itu. Walaupun dia janji akan mengeluarkan gue juga kalo gue gagal
menyembuhkan Bagas. Tapi... paling nggak beliau tersenyum ke gue. Bagi gue, itu sudah
merupakan isyarat bahwa Kepala Sekolah mendukung sepenuhnya syarat gue. Dan beliau
percaya ama gue. Senang deh, Di... tinggal mikir gimana caranya ngebujuk Bagas.
"Kok lo bisa senekat itu sih, Sel?" Nathan menggeleng tak percaya membayangkan kekuatan di
balik tubuh mungil cewek itu. Selma tersenyum.
"Waktu itu, yang ada di pikiran gue cuma Bagas dan Iren. Mereka temen gue. Sekalipun mereka
bukan temem gue, kalo bisa gue mau kasih kesempatan seseorang untuk berubah."
"Lo tau, karna itu pula gue merasa ada yang menghargai gue," kata Nathan.
"Maksud lo?" tanya Selma tak mengerti. Nathan mengenbuskan napas perlahan.
"Tadinya gue juga pecandu, Sel. Sejak kematian Mama... nggak ada lagi yang peduli sama gue.
Papa sibuk dengan pekerjaannya. Gue jadi ngerasa sendiri. Dan gue juga ngerasa, Papa nggak
sayang sama almarhum Mama dan juga gue. Buktinya, beliau nggak ada sedih-sedihnya. Dan dia
juga nggak berusaha ngedeketin gue," cerita Nathan.
"Gue lari ke drugs. Gue juga jadi anak yang menjengkelkan. Tak satu pun yang berani melawan
gue. Semakin lama gue bukannya merasa terhibur, tapi malah makin kesepian. Siapa pun yang
gue deketin selalu lari ketakutan. Gue merasa udah nggak ada yang menghargai gue. Sampai gue
menemukan buku bagus di TPS dekat rumah gue. Tadinya gue mau nyari drugs yang nggak
sengaja dibuang pembantu gue, tapi entah kenapa mata gue malah menemukan buku itu." Nathan
menunjuk buku yang dipegang Selma.
"Gue emang sengaja buang jauh-jauh dari rumah gue. Soalnya gue takut bakal balik lagi dan
ngambil buku ini. He... he..." kata Selma jujur.
"Gue sangka itu juga barang yang nggak sengaja terbuang. Makanya gue pungut," Nathan
kembali bercerita. "Karna penasaran dengan isinya, gue baca sedikit di akhir buku. Jelas sekali tertulis di situ, coba
lo baca..." Nathan membalik halaman paling akhir diary Selma.
"Nah, baca deh." Selma mengikuti perintah Nathan, walau sedikit-sedikit dia masih ingat kalimat
terakhir yang ditulisnya.
The last story, Di... Kesedihan itu belum hilang...
Kenapa harus ada siang dan malam
Kenapa harus ada perpisahan setelah pertemuan
Aku tak mengerti, Di... Kenapa Tuhan begitu cepat memanggilnya...
Ayah... Teriring doa untukmu... Aku akan selalu merindukanmu...
Walau Ayah telah jadi salah satu bintang di langit
Tapi bagiku... Ayah selalu ada di hati Ayah...
Aku berjanji akan selalu tegar.
Untuk Bunda, Kak Randy, juga untuk kebahagiaan Ayah di sana.
Aku bisa, Ayah. Aku pasti bisa.
Seperti kata Ayah, aku pasti bisa kalo bilang Aku Bisa.
Begitu kan, Yah" Untuk itulah aku harus membuangmu, Di...
Aku akan coba hidup tegar dan mandiri
Aku ingin lebih dewasa menyikapi masalah
Selamat tinggal, Di... AKU PASTI BISA. Tanpa sadar Selma menitikkan air mata.
"Lo tau, lamaaa... setelah Ayah meninggal, buku ini masih berada di laci lemari gue. Gue nggak
mau menyentuh buku itu lagi. Terlalu banyak kenangan yang tertulis di sana bersama Ayah.
Satu-satunya jalan adalah membuangnya jauh-jauh dari hidup gue."
"Lo salah, Sel, yang namanya kenangan tidak harus dilupakan. Semakin lo lupakan, semakin lo
ingat. Lo nggak perlu buang buku itu hanya dengan dalih lo takut membuka kenangan lama."
"Tapi ada untungnya juga lo buang buku itu, Sel," Iren muncul memotong pernyataan Nathan
dengan senampan kue di tangan. Bagas dan Lisa menyusul di belakangnya.
"Coba lo nggak buang buku itu, mana mungkin Nathan di sini sekarang!" tambahnya seraya
meletakkan kue itu di meja kecil di samping Selma.
"Kalian ini, katanya mau kasih waktu kita berduaan!" Nathan langsung saja protes melihat
kemunculan mereka. "Heh, lo pikir kita udah berap jam terkurung di dalam cuma mau ngasih kalian waku berduaan
heh?" bentak Iren. Yang lain bukannya takut malah cengengesan.
"Udah bagus gue keluar bawa kue. Coba gue bawa bom. Bubar, kan, acara pacaran kalian?"
"Iya... iya... Kita kan cuma bercanda. Begitu aja sewot!" balas Selma.
"O iya, kok lo nggak langsung kembaliin buku gue sih, Than, kalo emang lo pikir itu barang
yang tak sengaja terbuang?"
"Tadinya memang mau gue balikin. Gue nyari alamat yang tertulis di buku itu. Dan gue tau
pemiliknya bernama Selma Amalia. Tapi waktu gue liat lo di gerbang rumah lo, gue urung
ngembaliin buku itu."
"Kenapa?" tanya Selma dan Iren bersamaan. Iren kumat ingin tahunya.
"Karna gue nggak percaya sosok lo yang mungil bisa mengatakan AKU PASTI BISA.
Sementara gue yang segede ini nggak pernah yakin dengan apa yang gue lakukan. Itu sebabnya
gue urung ngembaliin diary lo. Gue penasaran dengan semua yang tertulis di sana."
Semua terdiam dan berpandang-pandangan.
"Cerita lo soal Bagas-lah yang paling bikin gue merasa dihargai dan nggak sendirian. Gue
merasa, masih ada orang yang bakal mau menerima gue apa adanya. Walaupun gue bukan temen
lo." "Eh... tunggu... tunggu... Jadi ada cerita soal Bagas juga nih di situ?" kata Iren tiba-tiba
bersemangat. "Ada, dan nggak cuma Bagas kok. Lo juga ada. Walaupun paling banyak tentang Ayah," ucap
Selma sambil memeluk diary-nya. Rasanya kerinduannya pada ayahnya sedikit terobati.
"Pinjem dong... gue pengen tau nih, gimana caranya lo ngebujuk Bagas masuk rehabilitasi. Lo
kan selalu tutup mulut soal itu," Iren memohon. Selma melirik Bagas yang kemudian tersenyum
dan mengangguk yakin padanya.
"Gue ceritain aja ya, soalnya nggak cuma Bagas yang tertulis di sini. Cukup gue dan Nathan aja
yang tau semua isinya," kata Selma. Iren langsung mencibir.
"Huu... pelit lo. Ya udah cepet, ceritain!" desaknya.
"Waktu itu gue bilang ama Bagas, lo ulang tahun tanggal 17 April, dan gue kepingin Bagas
memberikan kado berupa kesembuhannya buat lo yang naksir Bagas. Hi... hi... hi... hi..."
"Apa" Sial. Jadi lo udah kasih bocoran ama Bagas ya" Pantesan dia pede banget waktu nembak
gue!" sungut Iren. "Nggak usah ge-er, bukan cuma karna lo aja kok, tapi gue kepingin menjaga kepercayaan Selma
ke gue juga," Bagas ikut berkomentar.
"O iya, Than, gue jadi inget di mana gue pernah liat lo. Kayaknya waktu gue keluar dari
rehabilitasi, lo yang gue tabrak sampai jatuh. Bener, nggak?" tanyanya kemudian kepada Nathan.
Nathan mengingat-ingat. "Ya... gue inget gue pernah ditabrak orang sebelum ditabrak Bokap
yang langsung meluk gue erat-erat waktu gue masuk panti rehabilitasi dengan sukarela. Jadi gue
nggak inget wajah lo sama sekali. Ternyata dunia itu sempit ya?" Semua tertawa.
Bukankah kebersamaan itu indah" Bukankah Tuhan akan berikan apa pun yang kita minta asal
kita mau berusaha mendapatkannya" Dan Selma bersyukur dengan kebahagiaan yang begitu
besar itu. "Anak-anak... udah ngerumpinya. Bunda udah siapkan makan siang paling enak yang pernah
Bunda buat untuk merayakan kesembuhan Selma, dan kembalinya senyum itu di wajahnya."
Bunda menyela canda tawa mereka sambil melempar senyum kepada Selma.
"Yee... Bunda emang paling ngerti kalo kita kelaperan." Iren langsung berdiri tanpa basa-basi.
Diikuti yang lain yang ikut bersorak mendengar kata makan.
Tinggal Selma dan Nathan yang berdiri paling akhir. "Katakan satu lagi, Than. Soal matahari
yang ditelan laut, lo curi ide Ayah dari diary gue, kan"!" tanya Selma pelan.
Nathan terdiam sesaat. Lalu mengangguk. "Gue kira, itu yang paling ingin lo liat di hari ulang
tahun lo. Paling nggak, tak ada yang tau tentang rahasia kebahagiaan lo itu kecuali lo, Ayah, dan
gue." "Huu... itu sih namanya lo nyuri ide. Tentang pangeran kuda putih itu juga, kan" Tentang
kelemahan Bunda dan seluruh penghuni rumah ini. Dasar Nathan curang!" Selma memukul
pelan lengan cowok itu. "Tapi semua kan demi kebahagiaan lo juga. Berterima kasihlah pada diary itu. Dan jangan
pernah lagi membuangnya."
"Selma... Nathan..." teriakan Bunda membuat mereka saling pandang dan tersenyum.
"Iya, Bunda..." balas Selma hendak melangkah masuk.
"Eh, Sel, will you marry me?" Selma terpaku di tempatnya berdiri.
"Will you marry me?" ulang Nathan meyakinkan.
Selma tersenyum, lalu mengangguk pelan.
"Tapi nggak sekarang, Than... soalnya gue laper nih. Udah ah, yuk!" kata Selma seraya menarik
Nathan bergabung dengan yang lain.
The first story... Apa kabar, Di... Gue janji nggak akan buang lo lagi setelah lo pertemukan gue dengan pangeran berkuda putih.
Kita mulai dari awal, Di...
Gue akan goreskan semua cerita yang akan jadi kenangan untuk gue buat anak cucu gue
nantinya. He... he... Sok tua banget ya...
Di... sampaikan kerinduan gue pada Ayah...
Gue yakin... Ayah yang memohon pada Tuhan untuk mengirimkan Nathan buat gue.
Katakan pada Ayah... betapa gue sangat menyayanginya. Gue nggak akan pernah buang
kenangan gue dengannya. By the way... Soal Natasya, kata Lisa dia dikirim sekolah ke luar negeri sama keluarganya.
Obsesinya pada Nathan takkan berhenti bila dia tak dijauhkan darinya.
Tau nggak, Di... Iren masih menyimpan foto Natasya yang coreng-moreng itu. Katanya sih buat
jimat pengusir tikus di rumahnya. Hi... hi... hi... ada-ada aja.
Dan Nathan... dia akan selalu menjadi anugerah terbaik yang pernah gue miliki....
-END- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novel-remaja/398889196838615"fref=photo
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 11 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Si Kumbang Merah 2

Cari Blog Ini