Ceritasilat Novel Online

Beautiful Disaster 1

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 1


Beautiful Disaster Oleh: Jamie McGuire Ebook: http://portalnovel.blogspot.com/2012/12/sinopsis-beautiful-disaster.html
Penerjemah: +Oseu http://plus.google.com/108074608888945979043
Editor: +Meyke AD http://plus.google.com/100855042239998042232
Bab 1 Peringatan (Red Flag) Semua yang ada di ruangan ini seolah-olah berteriak kalau aku tidak pantas untuk berada di sini. Tangga mulai bergetar, orang-orang gaduh berdesakan, udara bercampur dengan bau keringat, darah, dan jamur. Suara-suara menjadi tidak jelas terdengar ketika mereka meneriakkan satu angka dan nama berulang-ulang, tangan bergerak-gerak di udara, saling bertukar uang dan berkomunikasi dengan gerakan tubuh di tengah kebisingan. Aku menerobos masuk ke dalam kerumunan, dan sahabatku mengikuti di belakang.
"Simpan uangmu, Abby!" kata America padaku. Senyumnya yang lebar bersinar meskipun di tempat yang redup.
"Tetap berdekatan! Semua akan lebih buruk ketika acara di mulai!" Shepley berteriak di tengah kebisingan. America memegang tangannya dan tanganku ketika Shepley menuntun kita melewati kerumunan orang.
Suara keras dari pengeras suara membelah udara yang penuh dengan asap. Suaranya mengejutkanku, dan aku melompat kaget, sambil melihat ke arah asal suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu, sambil memegang segepok uang di satu tangan dan memegang pengeras suara di tangan yang satunya. Dia memegang pengeras suara itu di depan mulutnya.
"Selamat datang di acara 'pertumpahan darah'! Kalau kalian mencari Economic one-oh-one, kalian berada di tempat yang salah, teman! Jika kalian mencari The Circle, ini adalah Mekkah-nya! Namaku Adam, aku yang membuat peraturan-peraturannya dan yang mengadakan acara ini. Pertaruhan berakhir ketika penantang memasuki arena, dilarang memegang dan membantu para petarung, tidak boleh mengganti taruhan, dan tidak boleh melewati batas arena. Jika kalian melanggar peraturan ini, kalian akan dipukuli dan dilempar keluar tanpa uang kalian! Ini juga berlaku untuk kalian, Ladies! Jadi jangan coba-coba melanggar sistem, boys!
Shepley menggelengkan kepalanya. "Astaga, Adam!" dia berteriak kepada MC, sangat jelas dia tidak setuju dengan kata-kata yang dipilih temannya.
Jantungku berdebar kencang. Dengan memakai cardigan wol pink dan anting mutiara, aku merasa seperti guru sekolah di pantai Normandia. Aku berjanji pada America bahwa aku akan menerima apapun yang terjadi nanti, tapi ketika tiba di sini aku merasakan dorongan kuat untuk memegang tangannya erat-erat. Dia tidak akan membiarkan aku dalam bahaya, tapi dengan berada di basement bersama 50 atau lebih mahasiswa yang mabuk, kecenderungan besar mungkin terjadi perkelahian, aku sedikit tidak percaya kalau kita akan keluar tanpa terluka.
Setelah America bertemu Shepley di orientasi mahasiswa/i baru, dia sering menemani Shepley ke acara ini yang diadakan di basement yang berbeda di daerah sekitar Universitas Eastern. Setiap acara diadakan di tempat yang berbeda dan dirahasiakan hingga sejam sebelum pertarungan mulai.
Karena aku selalu berada di lingkungan yang lebih 'jinak', aku tercengang mengetahui tentang dunia bawah tanah Eastern; tapi Shepley mengetahui itu sebelum masuk ke Universitas Eastern. Travis, teman sekamar dan sepupu Shepley, mengikuti pertarungan pertamanya tujuh bulan sebelumnya. Sebagai mahasiswa baru, Travis digosipkan sebagai lawan paling mematikan yang pernah Adam lihat selama 3 tahun dia mengadakan The Circle. Memulai tingkat keduanya, Travis jadi tak terkalahkan. Travis dan Shepley dengan mudah membayar sewa dan tagihan-tagihan mereka karena selalu menang taruhan.
Adam memegang pengeras suaranya lagi, teriakan dan gerakan meningkat menjadi kegelisahan.
"Malam ini kita punya penantang baru! Bintang gulat di Eastern, Marek Young!"
Sorak sorai bergema, dan orang-orang terbagi menjadi dua seperti Laut Merah ketika Marek memasuki arena. Lingkaran arena kosong, dan semua orang bersiul, mencemooh, dan mengejek si penantang. Dia melompat ke atas ke bawah, dan menggoyangkan lehernya ke belakang dan ke depan; wajahnya tampak
keras dan focus. Orang-orang terdiam karena suara raungan, lalu tanganku menutupi telingaku ketika musik berbunyi dari speaker besar di seberang ruangan.
"Petarung kita selanjutnya tidak perlu diperkenalkan, tapi karena dia membuat aku takut, jadi aku tetap akan memperkenalkan dia! Takutilah, boys, dan buka dalaman kalian, ladies! Ini dia, Travis 'Mad Dog' Maddox!"
Suara bergemuruh ketika Travis muncul di pintu. Dia masuk, telanjang dada, santai dan tak terpengaruh oleh keributan yang ada. Dia berjalan memasuki arena seperti orang yang sedang menuju kantornya. Ototnya yang tak berlemak meregang di bawah kulitnya yang bertato saat dia beradu tinju dengan Marek. Travis sedikit membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Marek, dan si pegulat itu berusaha keras untuk tetap mempertahankan ekspresi tegasnya. Marek berdiri berhadapan dengan Travis dan mereka saling menatap langsung pada mata masing-masing. Ekspresi Marek sangat mematikan, Travis terlihat agak geli melihatnya.
Mereka mundur beberapa langkah, dan Adam membunyikan terompet. Marek mengambil posisi bertahan dan Travis menyerang. Aku berjinjit karena tidak bisa melihat, bergerak ke kanan kiri agar dapat melihat pertarungan dengan lebih baik. Aku terus naik, bergeser melewati orang-orang yang berteriak-teriak. Aku tersikut dan ditabrak, terpental ke depan dan ke belakang seperti pin bola. Kepala Marek dan Travis mulai terlihat, jadi aku terus menerobos ke depan.
Ketika aku tepat di depan arena, Marek memegang Travis dan bermaksud untuk melemparnya ke bawah. Waktu Marek membungkuk, Travis menendangkan lututnya ke wajah Marek. Sebelum Marek bisa berdiri tegak, Travis menonjok wajah Marek yang sudah berdarah berulang kali.
Ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang.
"Apa yang kau lakukan Abby"" tanya Shepley
"Aku tidak bisa melihat dari belakang sana!" sahutku.
Aku berbalik tepat ketika Marek terkena pukulan keras. Travis berbalik, dan untuk sesaat aku pikir dia telah menghindari beberapa pukulan, tapi dia berhasil memutar dan memukulkan sikunya tepat ke hidung Marek. Darah menyiprat mengenai wajahku, dan berceceran di bagian depan cardiganku. Marek jatuh ke lantai beton dengan suara gedebuk yang keras. Untuk sesaat ruangan sunyi senyap.
Adam melemparkan kain merah ke arah tubuh Marek yang lemah, dan orang-orang mukai bersorak. Uang berpindah tangan sekali lagi, dan ekspresi orang-orang terbagi dua, ada yang bangga dan ada yang frustrasi.
Aku terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang baru masuk dan yang akan keluar. America memanggil namaku dari suatu tempat di belakang, tapi aku lebih terpesona pada noda merah yang membekas di dadaku hingga pinggang.
Sepasang sepatu boot berat berjalan ke arahku, mengalihkan perhatianku ke lantai. Mataku bergerak ke atas; melihat celana jeans yang ada noda darahnya, otot perut yang terpahat dengan indah, telanjang dada, dadanya bertato dan basah oleh keringat, dan akhirnya sepasang mata coklat yang hangat. Aku terdorong dari belakang, dan Travis menangkapku sebelum aku terjatuh ke depan.
"Hey, mundur!" Travis mengernyit, mendorong semua orang yang ada di sekitarku. Ekspresi wajahnya yang keras mencair menjadi senyuman ketika dia melihat bajuku kemudian mengelap wajahku dengan handuk "Maafkan soal ini, Peogen!"
Adam menepuk belakang kepala Travis. "Ayo, Mad Dog! Ada sejumlah uang yang harus diambil!"
Matanya terus memandangku. "Sayang sweaternya, padahal itu terlihat bagus dipakai olehmu." Detik berikutnya dia ditelan kerumunan fansnya, menghilang secepat dia datang.
"Apa yang kau pikirkan, bodoh"" America berteriak padaku sambil menarik tanganku.
"Aku datang kesini untung melihat pertarungan kan"" aku tersenyum.
"Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, Abby," Shepley mengomel.
"Begitu juga America." kataku.
"Dia tidak mencoba loncat ke dalam arena!" dia mengernyit. "Ayo kita pergi."
America tersenyum padaku dan mengelap wajahku. "Kau sangat menyusahkan, Abby. Ya Tuhan, Aku sangat sayang padamu!" Dia memeluk leherku,kemudian kami berjalan menuju tangga
dan keluar di udara malam.
America mengikuti ke kamar asramaku, dan menyeringai ke arah teman sekamarku, Kara. Aku langsung membuka Cardiganku yang penuh noda darah, dan melemparkannya ke dalam keranjang.
"Ih menjijikkan. Kalian memang dari mana"" Kara bertanya dari atas tempat tidurnya.
Aku memandang America yang mengangkat bahunya, "Mimisan. Kau belum pernah melihat hidung mimisan Abby yang terkenal""
Kara membetulkan posisi kacamatanya sambil menggelengkan kepalanya.
"Oh, kau akan melihatnya. America mengedipkan sebelah matanya padaku, kemudian menutup pintu di belakangnya. Kurang dari semenit kemudian, HPku berbunyi. Seperti biasa, Amaerika selalu mengirim SMS setelah kita mengucapkan selamat tinggal.
"Menginap di tempat Shepley. Sampai bertemu besok, Ring Queen."
Aku melirik Kara yang sedang memperhatikanku seakan-akan hidungku akan menyemburkan darah setiap saat.
"America hanya bercanda." kataku.
Kara mengangguk acuh tak acuh, kemudian memandangi buku yang berantakan di atas tempat tidurnya.
"Aku akan mandi dulu." kataku sambil mengambil handuk dan peralatan mandiku.
"Aku akan memberitahu media." kata Kara tanpa ekspresi, sambil menunduk.
Keesokan harinya, Shepley dan America bergabung denganku saat makan siang. Aku bermaksud untuk duduk sendirian, tapi ketika para mahasiswa menuju cafeteria, semua kursi di sekitarku terisi, baik oleh teman perkumpulannya Shepley atau anak tim football. Beberapa dari mereka ada di tempat pertarungan kemarin, tapi tidak ada yang membahas pengalamanku di dekat arena.
"Shep," panggil seseorang.
Shepley mengangguk, America dan aku berpaling untuk melihat Travis yang duduk di kursi di ujung meja. Dia diikuti oleh dua wanita pirang seksi yang memakai kaos seragam Sigma Kappa.
Salah seorangnya duduk di pangkuan Travis dan yang satu lagi duduk di sebelahnya, sambil memainkan kaos Travis dengan jarinya.
"Aku rasa aku muntah sedikit di dalam mulutku." America bergumam.
Si pirang yang di pangkuan Travis melirik ke arah America, "Aku mendengar itu, dasar pelacur!"
America mengambil rotinya dan melemparkannya ke atas meja sehingga hampir mengenai wajah perempuan pirang itu.
Sebelum perempuan itu sempat mengatakan sesuatu, Travis menarik lututnya sehingga perempuan itu jatuh ke bawah.
"Aduh!" dia menjerit, sambil memandang Travis.
"America adalah temanku. Silahkan mencari pangkuan lain, Lex."
"Travis!" dia merengek, berusaha berdiri.
Travis mengalihkan perhatian pada piringnya, mengacuhkan dia. Perempuan itu melihat pada temannya dan mendengus, kemudian mereka pergi sambil berpegangan tangan.
Travis mengedipkan sebelah matanya ke arah America, seakan-akan tidak terjadi apa-apa, kemudian melahap makanannya lagi. Saat itulah aku melihat luka kecil di pelipisnya. Travis dan Shepley saling memandang, kemudian dia mulai mengobrol dengan salah seorang dari tim football yang ada dihadapannya.
Meskipun meja makan mulai sepi, aku, America, dan Shepley terus membicarakan rencana kami untuk akhir minggu ini. Travis berdiri dan pergi, tapi kemudian berhenti di dekat meja tempat kami berada.
"Apa"" Shepley bertanya dengan sedikit berteriak, mengangkat tangannya ke telinga.
Aku mencoba untuk mengacuhkan Travis selama mungkin tapi ketika aku melihat ke atas, dia sedang memandangku.
"Kau tahu dia kan, sahabatnya America" Dia bersama kami kemarin," Shepley menjelaskan.
Travis tersenyum padaku yang menurutku itu adalah salah satu ekspresinya yang sangat mempesona. Dia mengalirkan seks dan sikap memberontaknya melalui suara, rambut coklat, dan tangannya yang bertato, dan aku mendelik padanya saat dia berusaha menggodaku.
"Sejak kapan kalian bersahabat, Mare"" Travis bertanya.
"Sejak SMP." jawabnya, sambil tersenyum ke arahku. "Apakah kau lupa, Travis" Kau telah merusak sweaternya."
"Aku sudah merusak banyak sweater."
"Iiiiihh," aku bergumam.
Travis memutar kursi kosong dan kemudian duduk di sebelahku, meletakkan tangannya di depannya. "Jadi kau adalah si Pigeon ya""
"Bukan" aku membentak, "Aku punya nama."
Dia tampak kagum dengan cara aku memperlakukannya, yang malah membuat aku semakin kesal.
"Jadi" Siapa namamu"" tanyanya.
Aku memakan potongan apel terakhirku, mengacuhkannya.
"Kalau begitu, Pigeon saja ya," dia mengangkat bahunya.
Aku melirik America, lalu melihat ke arah Travis "Aku sedang makan nih."
Travis tetap santai menanggapi perlakuanku, "Namaku Travis, Travis Maddox."
Aku mendelik lagi, "Aku tahu kau siapa."
"Tahu ya"" Travis berkata sambil mengangkat alisnya yang terluka.
"Jangan senang dulu. Sulit untuk tidak mengetahui siapa dirimu saat 50 orang mabuk meneriakkan namamu."
Travis duduk lebih tegak, "Aku sering mengalami hal itu." Aku mendelik lagi, dan Travis cekikikan. "Apakah kau punya penyakit kedut""
"Apa"" "Penyakit kedut, matamu selalu bergerak memutar," dia tertawa lagi ketika aku membelalak.
"Tapi itu sepasang mata yang indah kok," dia berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Apa warnanya" Abu-abu""
Aku memandangi piringku, membiarkan rambut panjang warna caramelku menjadi seperti tirai yang membatasi kita. Aku tidak menyukai apa yang aku rasakan saat dia sangat dekat. Aku tidak mau menjadi seperti mereka, sejumlah wanita yang akan tersipu ketika dia datang. Aku tidak mau dia memberikan efek seperti itu padaku sama sekali.
"Jangan coba-coba, Travis. Dia sudah seperti saudara perempuanku," America memperingatkan.
"Sayang," Shepley berkata, "Kau baru saja melarang Travis, sekarang dia tidak akan berhenti."
"Kau bukan tipenya," dia melindungi.
Travis pura-pura tersinggung "Aku tipe semua orang!"
Aku melirik Travis dan tersenyum.
"Ah, akhirnya tersenyum, aku bukan seorang bajingan busuk ternyata". Dia mengedipkan satu matanya. "Senang bertemu denganmu, Pidge." Dia berjalan mengitari meja dan membungkuk ke telinga America.
Shepley melemparkan kentang goreng ke arah sepupunya. "Jauhkan bibirmu dari telinga pacarku, Trav!"
"Memperluas jaringan! Aku sedang memperluas jaringan!" Travis melangkah keluar dengan tangan di atas dengan wajah polosnya.
Beberapa perempuan lain lagi mengikuti di belakangnya, cekikikan dan menggerak-gerakkan jari di rambut mereka untuk menarik perhatiannya. Dia membukakan pintu untuk mereka, dan mereka hampir menjerit kegirangan.
America tertawa. "Oh, tidak. Kau dalam bahaya, Abby."
"Apa yang dia bisikkan"" Aku bertanya dengan hati-hati.
"Dia ingin kau agar mengajak Abby ke apartement, ya kan"" Shepley berkata. America mengangguk dan Shepley menggelengkan kepalanya. "Kau adalah wanita yang cerdas, Abby. Aku beritahu dari sekarang, jika nanti kau mulai percaya omong kosongnya dan ternyata dia membuatmu marah, kau jangan melampiaskannya padaku atau America, mengerti""
Aku tersenyum. "Aku tidak mungkin menyukainya, Shep. Apa aku kelihatan seperti Barbie kembar tadi""
"Dia tidak akan menyukainya," America meyakinkan Shepley sambil menyentuh tangannya.
"Ini bukan masalah pertamaku, Mare. Apakah kau tahu berapa kali dia mengacaukan hubunganku karena dia meniduri sahabatnya" Karena tiba-tiba berkencan denganku menjadi seperti lebih memilih musuh daripada teman! Ingat ya, Abby," dia menatapku, "Jangan melarang Mare untuk datang ke apartemen atau berkencan denganku hanya karena kau percaya semua omong kosongnya Travis. Anggap kau sudah diperingati ya."
"Tidak perlu tapi aku menghargai pemberitahuannya," kataku. Aku mencoba meyakinkan Shepley dengan senyuman, tapi dia merasa tidak yakin karena sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama, terluka karena kelakuan Travis.
America melambaikan tangannya, kemudian melangkah pergi bersama Shepley, sedangkan aku memasuki kelas soreku. Aku memicingkan sebelah mataku karena silau oleh sinar matahari, sambil memegang tali ranselku. Eastern sangat sesuai dengan yang apa aku harapkan; dari ruang kelasnya yang lebih kecil, hingga tidak adanya satu orang pun yang kenal siapa dia. Ini adalah awal yang baru bagiku; akhirnya aku bisa berjalan kemanapun tanpa ada orang yang berbisik-bisik karena mengetahui siapa aku-atau mereka pikir mereka tahu-semua tentang masa lal
uku. Aku tidak berbeda dengan semua yang bermata lebar, bekerja keras untuk masuk kelas; tidak ada yang menatap, tidak ada gosip, tidak ada rasa kasihan atau penilaian. Hanya ilusi yang aku ingin mereka lihat; memakai Kasmir, tidak ada omong kosong tentang Abby Abertany.
Aku menaruh tas ranselku di lantai, dan duduk di kursi, membungkuk untuk mengambil laptopku dari dalam tas. Ketika aku duduk lagi untuk menaruhnya di atas meja, Travis baru duduk di kursi sebelahku.
"Bagus. Kau bisa membuatkan catatan untukku," dia berkata padaku. Dia menggigit pulpennya dan tersenyum, tidak diragukan lagi sangat mempesona.
Aku memandang dengan rasa jijik padanya. "Bahkan kau tidak mengambil mata kuliah ini."
"Aku mengambil mata kuliah ini kok. Biasanya aku duduk di atas sana." dia berkata sambil mengangguk ke arah tempat duduk paling atas. Sekelompok kecil perempuan memandangiku, dan aku melihat kursi yang kosong di tengah-tengah mereka.
"Aku tidak akan membuat catatan untukmu", aku berkata sambil menyalakan laptop.
Travis membungkuk sangat dekat padaku hingga aku bisa merasakan nafasnya di pipiku. "Maaf, apakah aku pernah menyinggungmu""
Aku menghela nafas kemudian menggelengkan kepalaku.
"Lalu apa masalahmu""
Aku menahan suaraku agar tetap pelan. "Aku tidak akan tidur denganmu. Kau harus menyerah sekarang."
Senyuman kecil muncul di wajahnya sebelum dia berkata "Aku belum mengajakmu untuk tidur denganku," matanya melayang ke atas memandangi atap kelas seperti sedang berfikir, "Iya kan""
"Aku tidak seperti Barbie kembar tadi atau kelompok kecilmu di atas sana," aku berkata sambil melihat sekilas ke arah mereka yang di belakangku. "Aku tidak tertarik dengan tatomu, ataupun kelakuanmu yang seperti anak kecil, atau ketidakacuhanmu yang dipaksakan. Jadi kau bisa menghentikan semua usahamu, oke""
"Ok, Pigeon." Dia tampak tidak kesal sedikitpun atas perlakuan kasarku. "Kenapa kau tidak ikut America malam ini"" Aku menyeringai atas ajakannya, tapi dia malah semakin mendekat. "Aku tidak berusaha untuk 'menangkapmu'. Aku cuma ingin hang out."
"'Menangkapku'" Bagaimana kau bisa menarik wanita untuk tidur denganmu kalau caramu berbicara seperti ini""
Tawa Travis meledak, sambil menggelengkan kepalanya. "Mampir saja ya nanti. Aku bahkan tidak akan menggodamu, aku janji."
"Akan aku pertimbangkan."
Prof. Chaney masuk, dan Travis mengalihkan perhatiannya ke depan. Masih terlihat senyuman di wajahnya, membuat lesung pipinya semakin jelas. Semakin dia tersenyum, semakin ingin aku membencinya, padahal itu yang membuat membencinya menjadi tidak mungkin.
"Siapa yang bisa menjawab Presiden mana yang istrinya juling dan bermuka jelek"" Chaney bertanya.
"Kau harus mencatat itu," Travis berbisik. "Aku membutuhkannya untuk menjawab pertanyaan di job interviews.
"Sssshh," kataku sambil tetap mengetik.
Travis menyeringai dan santai di kursinya. Setelah sejam berlalu, dia bolak-balik mendekat dan menatap monitorku sambil sekali-kali menguap. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi dan mengacuhkannya, tapi kedekatan dan otot kekarnya membuat semua itu menjadi sulit. Dia memainankan gelang kulit di pergelangan tangannya hingga saatnya Chaney membubarkan kelas.
Aku bergegas keluar kelas menuju lorong. Ketika aku merasa sudah aman, tiba-tiba Travis Maddox muncul di sebelahku.
"Apa kau sudah memikirkannya"" dia bertanya sambil mengenakan kacamata hitamnya.
Perempuan bertubuh kecil berambut coklat melangkah ke arahku dan Travis. Matanya lebar dan berharap. "Hai,Travis," dia menyapa dengan riang, sambil memainkan rambutnya.
Aku berhenti berjalan, menghindar dari suaranya yang dibuat-buat seperti anak kecil kemudian berjalan memutar ke belakangnya. Aku sudah pernah melihatnya sebelumnya di asrama di Gedung Morgan, sedang mengobrol dengan temannya tapi tidak dengan suara yang di buat-buat seperti ini. Suaranya waktu itu terdengar lebih dewasa, dan aku penasaran apa yang membuat dia berfikir kalau Travis akan menyukai suara anak kecilnya itu. Dia terus mengoceh dengan suara yang lebih tinggi hingga Trav
is berada di sampingku lagi.
Dia mengeluarkan pematik api dari sakunya, kemudian menyalakan rokok dan menghembuskan asap tebal.
"Tadi sampai mana ya"" Oh ya, kau sedang berfikir."
Aku menyeringai, "Apa yang kau bicarakan"".
"Apa kau sudah memutuskan untuk datang""
"Jika aku mengatakan ya, akankah kau berhenti mengikutiku""
Dia berfikir sejenak kemudian mengangguk."Ya."
"Kalau begitu aku akan datang."
"Kapan"" Aku menarik nafas. "Malam ini. Aku akan datang malam ini."
Travis tersenyum dan berhenti berjalan. "Bagus. Sampai bertemu nanti kalau begitu, Pidge." dia memanggilku.
Aku berbelok ke pojok dan melihat America bersama dengan Finch di luar asrama. Aku dan America bertemu dengan Finch di acara orientasi mahasiswa baru, dan aku langsung tahu dia bisa menjadi orang ketiga yang ditunggu-tunggu di dalam hubungan pertemananku dengan America. Dia tidak terlalu tinggi, tapi tetap kelihatan seperti menara dibandingkan dengan tinggiku yang hanya 5 kaki 4 Inci (163 cm). Matanya yang bulat mengimbangi penampilannya yang ramping dan rambutnya yang di bleaching biasanya dibentuk seperti paku.
"Travis Maddox" Ya Tuhan, Abby, sejak kapan kau mulai memancing di laut dalam"" Finch bertanya dengan mata yang memancarkan ketidaksetujuannya.
America menarik permen karet dari mulutnya menjadi tali yang panjang. "Kau hanya membuatnya semakin parah dengan menyuruhnya pergi. Dia tidak terbiasa dengan itu."
"Jadi aku harus bagaimana" Tidur dengannya""
America menarik nafas. "Itu akan menghemat waktu."
"Aku memberitahunya kalau aku akan mampir malam ini."
Finch dan America saling pandang.
"Apa" Dia berjanji tidak akan menggangguku lagi kalau aku bilang ya. Kau akan pergi kesana kan malam ini""
"Hhhmm, ya," jawab America. "Kau benar-benar akan datang""
Aku tersenyum dan berjalan menuju aula melewati mereka, penasaran apakah Travis akan menepati janjinya untuk tidak merayuku. Dia bukan orang yang sulit untuk ditebak; dia hanya melihatku sebagai tantangan, atau hanya tidak tertarik untuk hanya menjadi sekedar teman. Aku tidak yakin mana yang paling menggangguku.
Empat jam kemudian, America mengetuk pintu kamarku dan mengantarku ke tempat Shepley dan Travis. Dia tidak dapat menahan diri ketika aku keluar kamar.
"Iiiih, Abby! Kau seperti gelandangan!"
"Bagus," kataku sambil tersenyum melihat baju yang aku pakai. Rambutku diikat dengan asal ke atas, tidak memakai make up dan mengganti lensa kontakku dengan kacamata yang bingkainya berwarna hitam. Memakai kaos dan celana usang, aku mengenakan sandal jepit. Ide itu datang sejam sebelumnya, berpenampilan tidak menarik adalah ide yang sangat bagus. Idealnya, Travis menjadi tidak tertarik dan akan menghentikan kelakuan bodohnya. Jika dia mencari teman untuk pergi hang out, aku akan memberikan alasan kalau bajuku tidak pantas untuk terlihat berjalan bersamanya.
America menurunkan jendela mobilnya dan memuntahkan permen karetnya. "Kau sangat jelas. Kenapa kau tidak berguling-guling di atas kotoran anjing untuk membuat penampilanmu lengkap""
"Aku tidak bertujuan untuk menarik perhatian seseorang," kataku.
"Sangat jelas."
Kami berhenti di tempat parkir komplek apartemen Shepley, dan aku mengikuti America munuju tangga. Shepley membuka pintu, dan tertawa ketika aku melangkah masuk. "Apa yang terjadi padamu""
"Dia mencoba untuk tidak menarik," America menjawab.
America mengikuti Shepley ke kamarnya. Pintunya ditutup dan aku berdiri sendirian, merasa canggung. Aku duduk di kursi malas yang dekat dengan pintu, dan menendang lepas sandal jepitku.
Apartement mereka tampak lebih, secara estetika menyenangkan dibandingkan dengan kamar bujangan pada umumnya. Poster wanita setengah telanjang dan rambu-rambu jalan yang mereka curi terpasang di tembok, tapi semua bersih. Kursi tampak masih baru, dan bau bir basi atau pakaian kotor sama sekali tidak ada.
"Sudah waktunya kau datang," Travis berkata sambil menjatuhkan diri ke kursi.
Aku tersenyum dan membetulkan posisi kacamataku, menunggu dia mundur karena melihat penampilanku. "
America menyelesaikan dulu makalahnya."
"Bicara tentang makalah, apa kau sudah menyelesaikan makalah untuk mata kuliah Sejarah""
Dia sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang berantakan, dan aku tidak menyukai reaksinya. "Apa kau sudah menyelesaikannya""
"Aku sudah menyelesaikannya tadi sore."
"Batas waktunya kan Rabu," kataku heran.
"Aku baru saja menyelesaikannya, lagian akan sesulit apa sih 2 lembar makalah tentang Grant, ya kan""
"Well, aku pikir aku hanya orang yang suka menunda pekerjaan," aku menarik nafas. "Aku mungkin baru akan mulai mengerjakannya akhir minggu ini."
"Well, kalo kau butuh bantuan, beritahu aku."
Aku menunggu dia tertawa, atau menunjukkan tanda kalau dia hanya bercanda, tapi ekspresinya sangat tulus. Aku mengangkat salah satu alisku. "Kau akan membantuku membuat makalah."
"Aku mendapat nilai A di kelas sejarah," dia berkata, merasa sedikit kesal karena aku tidak percaya.
"Dia mendapat nilai A dalam semua mata pelajaran. Dia sangat jenius. Aku sangat membencinya," Shepley berkata sambil menuntun America ke ruang tamu.
Aku menatap Travis dengan tatapan tidak percaya dan alisnya naik. "Apa" Kau pikir pria dengan tato dan bertarung untuk mata pencahariannya tidak akan mendapat nilai bagus di kelasnya" Aku tidak menyukai sekolah karena aku tidak punya kegiatan yang lebih baik untuk aku kerjakan."
"Lalu kenapa kau harus bertarung" Kenapa tidak mencoba beasiswa"" tanyaku.
"Sudah. Aku di beri beasiswa setengah dari jumlah biaya kuliahku. Tapi ada sejumlah buku, biaya hidup dan aku harus mendapatkan uang untuk menutupi biaya kuliahku yang setengahnya lagi. Aku serius, Pidge. Kalau kau membutuhkan bantuanku, tinggal beritahu aku."
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku bisa menulis sendiri makalahku." Aku ingin berhenti. Aku seharusnya berhenti, tapi sisi barunya menumbuhkan rasa penasaranku. "Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan lain yang tidak terlalu sadis""
Travis menghela nafas. "Itu pekerjaan yang paling mudah untuk mendapatkan uang. Aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu kalau aku bekerja di mall."
"Aku tidak akan bilang itu pekerjaan yang mudah kalau wajahmu bisa terluka karena pukulan."
"Apa" Kau mengkhawatirkan aku"" dia mengedipkan matanya. Aku terdiam dan dia tertawa cekikikan. "Aku tidak sesering itu kena pukulan. Kalau mereka mengayunkan pukulannya, aku bergerak. Itu tidak sulit."
Aku tertawa. "Kau melakukan itu seperti tidak akan ada orang yang akan mengantisipasi gerakanmu."
"Ketika aku mengayunkan pukulanku, mereka menerimanya dan mencoba untuk membalas. Mereka tidak akan menang kalau begitu."
Aku memutar mataku. "Makhluk apa kau ini &The Karate Kid" Dimana kau belajar bertarung""
Shepley dan America saling pandang, dan kemudian mereka berdua menatap lantai.
Tidak lama bagiku untuk mengetahui kalau aku telah mengatakan sesuatu yang salah.
Travis tampak tidak terganggu. "Aku mempunyai seorang ayah yang suka mabuk dan sangat temperamen dan empat kakak lelaki yang mempunyai gen seorang bajingan."
"Oh." Telingaku memerah.
"Tidak perlu malu, Pidge. Ayah sudah berhenti minum. Dan kakak-kakakku semakin dewasa."
"Aku tidak merasa malu." Aku merasa gelisah karena ikatan rambutku lepas dan memutuskan untuk menggulungnya menjadi sanggul, mencoba untuk menghindari situasi yang hening dan canggung.
"Aku suka penampilanmu yang natural. Biasanya tidak ada perempuan yang datang kemari berdandan seperti itu."
"Aku dipaksa datang kemari. Tidak terpikir olehku untuk membuatmu kagum", kataku, jengkel karena ternyata rencanaku telah gagal.
Dia tersenyum seperti anak kecil, tersenyum geli, dan aku memunculkan rasa marahku, berharap rasa gelisahku tidak terlihat. Aku tidak tahu bagaimana perasaan para wanita itu saat bersama dia, tapi aku sudah pernah melihat bagaimana kelakuan mereka di dekatnya. Aku lebih merasa pusing dan mual daripada cekikikan tergila-gila. Semakin dia berusaha membuat aku tersenyum, aku semakin merasa tidak menentu.
"Aku sudah merasa kagum. Biasanya aku tidak harus memohon pada wanita agar m
ereka datang ke apartemenku."
"Aku yakin begitu." kataku dengan sebal.
Dia adalah orang yang rasa percaya dirinya sangat parah. Tidak saja dia tidak tahu malu menyadari penampilannya, dia sudah terbiasa dengan wanita yang menawarkan dirinya sehingga dia menganggap sikap dinginku menjadi angin segar daripada menganggapnya menyinggung. Aku harus merubah strategiku.
America mengarahkan remote ke arah TV dan menyalakannya. "Ada film bagus malam ini. Ada yang ingin mengetahui di mana Baby Jane berada""
Travis berdiri. "Aku baru mau pergi makan malam. Apa kau lapar, Pidge""
"Aku sudah makan" aku menghela nafas.
"Belum, kau belum makan", kata America sebelum menyadari kesalahannya. "Oh..eh..ya benar, aku lupa tadi kau makan eehhmmm &pizza" Sebelum kita pergi tadi."
Aku menyeringai padanya yang bermaksud memperbaiki kesalahan besarnya, dan kemudian menunggu reaksi Travis.
Dia berjalan ke seberang ruangan menuju pintu depan. "Ayo. Kau pasti lapar."
"Kita mau kemana""
"Kemanapun yang kau mau. Kita bisa beli pizza."
Aku melihat pakaianku. "Aku tidak memakai pakaian yang pantas untuk pergi."
Dia menilai penampilanku sebentar lalu menyeringai. "Kau terlihat sangat baik. Mari kita pergi, aku sudah kelaparan."
Aku berdiri dan melambai ke arah America, melewati Travis lalu turun tangga. Aku berhenti di tempat parkir, dan memandang ketakutan ketika dia menaiki motor hitam.
"Eeehh &" aku terdiam, meremas jari kakiku yang terbuka.
Dia memandangku dengan tidak sabar. "Ayo, naik. Aku akan hati-hati."
"Apa itu"" tanyaku, terlambat membaca tulisan yang tertulis di atas tanki bensin. "Ini adalah Harley Night Rod. Dia cinta dalam hidupku, jadi jangan menggores catnya ketika kau naik."
"Aku memakai sandal jepit!"
Travis memandangku seakan aku berbicara menggunakan bahasa asing. "Aku memakai sepatu boot. Ayo naik."
Dia memakai kacamatanya, dan suara mesin menggeram saat dia menyalakannya. Aku naik dan meraih sesuatu untuk berpegangan, tapi tanganku tergelincir dari kulit ke cover plastik diatas lampu belakang.
Travis memegang dan memelukkan tanganku di pinggangnya. "Tidak ada tempat untuk berpegangan kecuali aku, Pidge. Jangan lepas", katanya sambil mendorong motor ke belakang dengan kakinya. Dengan sekali hentakan tangannya, dia mengarah ke jalan, dan melaju seperti roket. Seuntai rambut yang lepas dari ikatannya menggantung dan memukul-mukul wajahku, aku menunduk di belakang Travis, mengetahui aku akan berakhir dengan kotoran serangga di kacamataku apabila aku melihat ke depan dari atas bahunya.
Dia memacu klep penutup saat kita berhenti di tempat parkir sebuah restoran, dan ketika dia melambat untuk berhenti, aku tidak membuang waktu untuk berjalan menuju lantai beton yang aman.
"Kau sinting!" Travis tertawa kecil, memiringkan motornya diatas standarnya sebelum turun. "Aku hanya mengikuti aturan batas kecepatan."
"Ya, kalau kita di Autobahn!" (Jalan Raya dalam bahasa Jerman) kataku sambil menyisir rambutku dengan jari.
Travis memperhatikanku dan menarik rambut dari wajahku lalu melangkah menuju pintu kemudian membuka dan menahannya. "Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada dirimu, Pigeon."
Aku menerobos masuk melewati dirinya ke dalam restoran, kepalaku tidak sejalan dengan kakiku. Wangi lemak dan bumbu memenuhi udara saat aku mengikutinya melewati karpet yang penuh dengan remah roti. Dia memilih tempat duduk di pojok, jauh dari gerombolan pelajar dan beberapa keluarga, lalu memesan dua bir. Aku mengamati ruangan, memperhatikan para orangtua yang membujuk anak yang ribut untuk makan. Aku mengalihkan pandanganku dari pandangan ingin tahu beberapa murid Eastern.
"Tentu, Travis." kata pelayan, menuliskan pesanan minum kami. Pelayan itu tampak sedikit lebih tinggi dari Travis saat dia kembali ke dapur.
Aku menyelipkan rambutku yang terkena tiupan angin ke belakang telingaku, tiba-tiba merasa malu akan penampilanku. "Sering datang kesini"" tanyaku.
Travis bersandar diatas meja, sikunya menahannya di atas meja, mata coklatnya terpaku menatap mataku. "So, cerit
akan tentang dirimu, Pidge" Apakah kau selalu membenci pria secara umum, atau hanya membenci diriku""
"Aku pikir aku hanya membenci dirimu." aku menggerutu.
Dia tertawa, geli melihat suasana hatiku. "Aku tidak dapat menebak dirimu. Kau wanita pertama yang muak padaku sebelum tidur denganku. Kau tidak gugup kalau sedang bicara denganku, dan kau tidak mencoba untuk menarik perhatianku."
"Itu bukan taktik. Aku hanya tidak menyukaimu."
"Kau tidak akan berada disini kalau tidak menyukaiku."
Rasa tidak sukaku harus diperhalus dan akupun menghela nafas. "Aku tidak pernah bilang kau orang yang jahat. Aku hanya tidak suka menjadi satu akhir yang tidak terelakkan untuk satu alasan karena memiliki vagina". Aku fokus pada butiran garam yang ada di atas meja hingga mendengar suara tersedak dari arah Travis.
Matanya melebar dan dia bergetar saat tertawa seperti melolong. "Ya Tuhan! Kau membunuhku! Sudah pasti. Kita harus berteman. Aku tidak akan menerima jawabanmu jika kau menolak."
"Aku tidak keberatan kita berteman, tapi itu bukan berarti kau akan berusaha memasuki celana dalamku setiap lima detik.
"Karena kau tidak akan tidur denganku, aku mengerti."
Aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal.
Matanya lebih bersinar. "Aku berjanji. Aku tidak akan memikirkan celana dalammu..kecuali kau menginginkannya."
Aku meletakkan sikuku di atas meja dan bersandar ke depan. "Dan itu tidak akan terjadi, so kita bisa menjadi teman."
Seringai nakal tampak jelas di wajahnya saat dia mendekatiku. "Jangan pernah bilang tidak akan."
"So, ceritakan tentang dirimu," tanyaku. "Apakah kau selalu menjadi Travis 'Mad Dog' Maddox atau julukan itu ada saat kau kuliah di sini"" Aku mengangkat kedua tanganku untuk membuat tanda 'kutip' ketika aku menyebutkan nama julukannya, dan untuk pertama kalinya rasa percaya dirinya kelihatan berkurang. Dia tampak sedikit malu. "Tidak, Adam yang memulainya setelah pertarungan pertamaku."
Jawaban-jawaban singkatnya mulai menggangguku. "Hanya itu" Kau tidak akan menceritakan apapun tentang dirimu""
"Apa yang ingin kau ketahui""
"Hal yang biasa. Kau berasal dari mana, apa cita-citamu saat dewasa nanti..hal-hal seperti itu."
"Aku orang sini, lahir dan dibesarkan di sini, dan aku mengambil jurusan Hukum Pidana."
Dengan tarikan nafas panjang, dia membuka bungkusan alat makannya dan menaruhnya di samping piringnya. Dia melirik ke belakangnya, dan aku menyadari rahangnya sedikit menegang ke arah mereka yang ada di sekitar kami. Tim sepak bola Eastern duduk di dua meja dan tawa mereka meledak, Travis tampak terganggu dengan apa yang mereka tertawakan.
"Kau bercanda," kataku tak percaya.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, aku orang sini," katanya, teralihkan.
"Maksudku tentang jurusan yang kau ambil. Kau tidak seperti tipe Hukum Pidana."
Alisnya mengkerut, tiba-tiba fokus pada obrolan kami. "Kenapa""
Aku mengamati tato di tangannya. "Aku hanya bilang kalau kau lebih mirip kriminal daripada hukum."
"Aku tidak pernah terlibat masalah..hampir sepanjang waktu. Ayahku sangat keras."
"Dimana Ibumu""
"Dia meninggal waktu aku masih kecil," dia menjawab.
"Maafkan aku" kataku, sambil menggelengkan kepalaku. Jawabannya membuatku tidak siap.
Dia menolak rasa simpatiku. "Aku tidak mengingatnya. Tapi kakak-kakakku mengingatnya, aku baru berumur tiga tahun waktu dia meninggal."
"Empat kakak laki-laki ya" Bagaimana caramu membuat mereka lurus"" aku menggodanya.
"Aku membuat mereka lurus dengan siapa yang bisa memukul paling keras, itu juga menimpa dari yang tertua hingga yang termuda. Thomas, si kembar.. Taylor dan Tyler, lalu Trenton. Kau tidak boleh berada di ruangan sendirian dengan Taylor dan Ty. Aku mempelajari setengah dari yang aku tahu di The Circle dari mereka. Trenton adalah yang tubuhnya paling kecil, tapi dia sangat cepat. Dia satu-satunya orang yang bisa mendaratkan pukulan padaku sekarang."
Aku mengelengkan kepalaku, ternganga membayangkan lima Travis bersaudara berkeliaran di satu rumah. "Apa mereka semua punya tato""
"Hampir semua, kecuali Thomas. Dia eksekutif p
eriklanan di California."
"Dan ayahmu" Di mana sekarang dia""
"Ada" dia menjawab. Rahangnya tegang lagi, semakin terganggu oleh tim sepak bola.
"Apa yang mereka tertawakan"" tanyaku, menunjuk ke arah meja yang gaduh. Dia menggelengkan kepalanya, sangat jelas tidak ingin memberitahu. Aku melipat tanganku dan menggeliat di tempat dudukku, cemas dengan apa yang mereka katakan yang membuat dia merasa terganggu. "Beritahu aku."
"Mereka menertawakan aku membawamu makan malam terlebih dahulu. Itu tidak biasa..bukan kebiasaanku."
"Terlebih dahulu"" ketika kenyataan terlihat di wajahku, Travis memperhatikan ekspresiku. Aku bicara tanpa berpikir. "Justru aku takut mereka menertawakanmu karena mengajakku makan malam dengan pakaian seperti ini, dan mereka pikir aku akan tidur denganmu" aku bergumam.
"Kenapa aku tidak akan pernah terlihat jalan bersamamu""
"Apa yang kita bicarakan"" tanyaku, mengusir rasa panas yang meningkat di bawah pipiku.
"Kau. Apa jurusan yang kau ambil"" dia bertanya.
"Oh, ehm &umum, sekarang. Aku masih belum memutuskan, tapi aku cenderung memilih jurusan Akuntansi."
"Kau bukan berasal dari sini kan. Sangat jelas terlihat."
"Wichita. Sama dengan America."
"Kenapa bisa berada di sini dari Kansas""
Aku mengambil label botol birku. "Kami hanya harus pergi dari sana."
"Menghindar dari apa""
"Orangtuaku." "Oh. Bagaimana dengan America" Dia punya masalah dengan orangtua juga""
"Tidak, Mark dan Pam sangat baik. Mereka hampir bisa dibilang yang merawatku. Dia cuma ingin ikut; dia tidak mau aku pergi sendirian.
Travis mengangguk. "Jadi kenapa memilih Eastern""
"Ada apa dengan tingkat tiga"" tanyaku. Pertanyaannya mulai menyimpang dari pertanyaan biasa ke pertanyaan yang lebih pribadi, dan aku mulai merasa tidak nyaman.
Beberapa kursi saling membentur ketika tim sepak bola meninggalkan tempat duduk mereka. Mereka saling melempar lelucon untuk terakhir kalinya sebelum mereka berjalan ke arah pintu keluar. Mereka berjalan lebih cepat saat Travis berdiri. Mereka yang di belakang mendorong yang di depan agar bisa kabur sebelum Travis berjalan ke seberang ruangan. Dia duduk, memaksa rasa marah dan frustrasinya pergi.
Aku mengangkat salah satu alisku.
"Kau tadi baru akan menjelaskan kenapa kau memilih Eastern," dia memaksa.
"Sangat sulit untuk dijelaskan," jawabku sambil mengangkat bahu. "Aku hanya merasa ini pilihan yang tepat."
Dia tersenyum saat dia membuka menu. "Aku tahu maksudmu."
*** Bab 2 BABI (PIG) Wajah-wajah yang familiar memenuhi tempat duduk di meja makan. America duduk di sebelahku, dan Finch duduk di sisi yang lain, dan tempat yang kosong lainnya di duduki Shepley dan saudara perkumpulannya di Sigma Tau. Sangat sulit untuk mendengar di dalam kafetaria karena bising dan AC sepertinya tidak menyala lagi. Tercium bau yang menyengat dari makanan yang digoreng dan kulit yang berkeringat di udara, tapi tampaknya semua orang lebih bersemangat dari biasanya.
"Hai, Brazil," kata Shepley, menyapa ke arah pria yang sedang duduk di hadapanku. Kulit kecoklatan dan mata coklatnya tertutup oleh topi putih tim football Eastern yang ditarik hingga ke bawah dahinya.
"Kau menghilang setelah pertandingan hari Sabtu kemarin, Shep. Aku meminum satu sampai enam bir jatahmu," dia berkata sambil tersenyum lebar. "Aku hargai itu. Aku mengajak Mare makan malam," dia membunguk sedikit kemudian mencium rambut pirang panjang America.
"Kau menduduki kursiku, Brazil."
Brazil menoleh dan melihat Travis berdiri di belakangnya, lalu dia memandang ke arahku dengan rasa terkejut. "Oh, apakah dia salah satu dari pacarmu, Trav""
"Sama sekali bukan," aku menjawab sambil menggelengkan kepala.
Brazil melihat lagi ke arah Travis yang sedang menatapnya dengan penuh harap. Brazil menarik nafas panjang lalu membawa nampan makanannya ke ujung meja.
Travis tersenyum padaku ketika dia duduk. "Apa kabar, Pidge""
"Apa itu"" aku bertanya sambil terus melihat ke arah nampannya. Makanan aneh di atas piringnya tampak seperti lilin.
Travis tertawa sambil memi
num air dari gelasnya. "Pekerja kafetaria menakutiku. Aku tidak akan mengkritik keterampilan mereka dalam memasak."
Aku menyadari tatapan menilai dari mereka yang duduk semeja bersama kami. Kelakuan Travis mengusik rasa ingin tahu mereka, aku tersenyum tenang karena menjadi satu-satunya wanita yang mereka lihat yang membuat Travis memaksa untuk duduk berdekatan dengannya.
"Uuuhh...ujian Biologi nanti setelah makan siang, America menggerutu.
"Apa kau sudah belajar"" tanyaku.
"Tentu saja belum. Aku menghabiskan waktu tadi malam untuk meyakinkan Shepley kalau kau tak akan tidur dengan Travis."
Pemain football yang duduk di ujung meja kami menghentikan tawanya agar bisa mendengarkan lebih jelas, membuat semua orang heran. Aku membelalak ke arah America, tapi dia tak peduli pada semua tuduhan, menyenggol Shepley dengan bahunya.
"Ya Tuhan, Shep. Kau mengira akan seburuk itu ya"" Travis bertanya, sambil melemparkan sebungkus saos ke arah sepupunya. Shepley tidak menjawab, tapi aku tersenyum menghargai Travis karena mencoba untuk mengalihkan perhatian.
America mengusap punggung Shepley. "Dia akan baik-baik saja. Hanya saja dia membutuhkan waktu untuk percaya kalau Abby menolak pesonamu."
"Aku belum mencoba untuk menarik perhatiannya," Travis mendengus, tampak tersinggung. "Dia temanku."
Aku menatap Shepley. "Sudah aku bilang. Tidak perlu khawatir."
Shepley akhirnya menatapku, melihat ekspresi tulusku, matanya bersinar sedikit.
"Apa kau sudah belajar"" Travis bertanya padaku.
Aku cemberut. "Selama apapun aku belajar tidak akan menolong. Biologi bukan pelajaran yang mudah di pelajari."
Travis berdiri. "Ayo."
"Apa"" "Mari kita ambil catatanmu. Aku akan membantumu belajar."
"Travis..." "Ayo berdiri, Pidge. kau akan mendapat nilai yang bagus ujian nanti."
Aku menarik salah satu kepang panjang America sambil lewat. "Sampai bertemu di kelas Mare."
Dia tersenyum. "Aku akan sisakan tempat duduk untukmu. Aku membutuhkan semua bantuan yang bisa aku dapatkan."
Travis mengikutiku ke kamar, dan aku mengeluarkan buku pelajaranku sementara dia membuka-buka bukuku. Dia memberikan pertanyaan tanpa henti dan menjelaskan segala sesuatu yang tidak aku mengerti. Dengan caranya menjelaskan, konsep yang tadinya membingungkan menjadi mudah untuk di mengerti.
"...Dan somatik sel menggunakan mitosis untuk berkembang biak. Di situlah terdapat fase-fasenya. Terdengar seperti nama seorang wanita: Prometa Anatela."
Aku tertawa. "Prometa Anatela""
"Prophase, Metaphase, Anaphase dan Telophase."
"Prometa Anatela," aku mengulangi, sambil mengangguk.
Dia memukulkan kertas ke atas kepalaku. "kau sudah hafal semua. kau sudah mempelajari buku panduan belajar ini berulang-ulang."
Aku menghela nafas. "Well, kita lihat nanti."
"Aku akan mengantarmu ke kelas. Aku akan menanyakan beberapa pertanyaan sepanjang jalan."
Aku mengunci pintu. "kau tidak akan marah kan kalau aku gagal dalam ujian ini""
"kau tidak akan gagal, Pidge. Lain kali kita harus belajar lebih awal," dia berkata sambil terus berjalan di sampingku hingga tiba di gedung sains.
"Bagaimana caranya kau akan membantuku belajar, mengerjakan PR mu, belajar dan berlatih bertarung""
Travis tertawa. "Aku tidak berlatih. Adam menghubungiku, memberitahu tempat bertarungnya dan aku tinggal datang."
Aku menggelengkan kepala karena tidak percaya saat dia memegang kertas di depannya dan mengajukan pertanyaan pertamanya.
Kami hampir selesai untuk kedua kalinya mempelajari buku bimbingan belajar itu saat kami tiba di depan kelasku.
"kau pasti berhasil," dia tersenyum sambil menyerahkan catatanku dan bersandar pada kusen pintu.
"Hai, Trav." Aku berpaling dan melihat pria tinggi dan kurus tersenyum ke arah Travis ketika akan masuk kelas.
"Parker," Travis mengangguk.
Matanya berbinar saat melihat ke arahku kemudian tersenyum. "Hai, Abby."
"Hai," jawabku, terkejut dia tahu namaku. Aku pernah melihatnya di kelas, tapi kita tidak pernah saling menyapa.
Parker terus berjalan menuju tempat duduknya, bercanda dengan
beberapa orang yang duduk di sebelahnya. "Siapa dia"" tanyaku.
Travis mengangkat bahunya, tapi kulit di sekitar matanya jadi semakin tegang dari sebelumnya. "Parker Hayes."
"Dia salah satu teman perkumpulanku di Sig Tau."
"kau ikut frat (fraternity: semacam perkumpulan persaudaraan mahasiswa)"" aku bertanya, tidak percaya.
"Sigma Tau, sama seperti Shep. kupikir kau tahu itu," dia menjawab sambil melihat ke arah Parker.
"Well...kau seperti bukan tipe orang yang ikut perkumpulan," aku berkata, menatap tato di atas tangannya.
Travis kembali memperhatikanku dan menyeringai. "Ayahku dulu anggota Sigma Tau, begitu pula semua kakakku...jadi seperti tradisi."
"Dan mereka mengharapkanmu untuk mengikuti sumpah"" aku bertanya, skeptis.
"Tidak juga. Mereka orang-orang yang baik," dia menjawab sambil mengibaskan kertas catatanku. "Sebaiknya kau masuk kelas."
"Terima kasih sudah membantuku," aku berkata, menyenggol dia dengan sikuku. America masuk dan aku mengikutinya menuju tempat duduk kami.
"Bagaimana tadi"" dia bertanya.
Aku mengangkat bahu. "Dia pengajar yang baik."
"Hanya pengajar""
"Dia teman yang baik juga."
Dia tampak kecewa, dan aku tertawa melihat ekspresi di wajahnya.
America berharap aku akan berkencan dengan teman, atau teman sekamar-garis miring-sepupunya, dan kalau itu terjadi akan menjadi seperti jackpot baginya. Dia ingin agar kita satu kamar saat mendaftar di Eastern tapi aku menolaknya, berharap untuk melebarkan sayap sedikit. Setelah dia berhenti merajuk, dia berusaha memperkenalkan semua teman Shepley padaku.
Ketertarikan Travis padaku telah melampaui semua idenya.
Aku telah mengerjakan ujianku dan duduk di tangga di luar gedung, menunggu America. Ketika dia merosot ke bawah duduk di sebelahku, merasa tak dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, aku menunggu dia bicara.
"Tadi sangat sulit!" dia menangis.
"kau harus ikut belajar bersama aku dan Travis. Dia menjelaskan dengan sangat baik."
America mengerang dan bersandar di bahuku. "kau tidak membantu sama sekali! Tidak bisakah kau cuma mengangguk atau semacamnya"" Aku memeluk lehernya dan menuntunnya menuju asrama.
*** Selama seminggu berikutnya, Travis membantuku membuat makalah mata kuliah Sejarah dan mengajariku Biologi. Aku dan Travis mengamati papan nilai di luar kantor Prof Campbell. Nomor mahasiswaku berada di urutan ketiga dari atas.
"Urutan ketiga tertinggi di kelas! Bagus, Pidge!" dia berkata sambil memelukku. Matanya bersinar karena gembira dan bangga, dan situasi menjadi canggung, membuatku mundur satu langkah.
"Terimakasih, Trav. Aku tak akan berhasil tanpa bantuanmu," aku berkata sambil menarik bajunya.
Dia memelukku, sambil berjalan ke arah kerumunan di belakang kami. "Awas! Minggir! Beri jalan untuk wanita malang yang menyeramkan, rusak dan berotak encer ini! Dia benar-benar jenius!"
Aku tertawa melihat ekspresi senang dan penasaran teman sekelasku.
*** Ketika hari-hari berlalu, kami berhasil menurunkan gosip tentang hubungan kami. Reputasi Travis dapat menghilangkan gosip itu. Dia tidak pernah setia pada satu wanita lebih dari satu malam, jadi semakin sering kami terlihat bersama, orang-orang semakin mengerti kalau itu hanya hubungan biasa, tidak lebih. Meskipun dengan pertanyaan yang sering diajukan tentang hubungan kami, perhatian yang Travis terima dari para mahasiswi sama sekali tidak surut.
Dia selalu duduk di sampingku setiap mata kuliah Sejarah, dan makan siang bersama. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari kalau aku telah salah menilainya, malah aku selalu membelanya di depan orang yang tidak mengenal Travis sepertiku.
Di kafetaria, Travis menaruh sekaleng jus jeruk di hadapanku.
"kau tak perlu melakukannya. Aku akan mengambilnya sendiri," kataku sambil membuka jaket.
"Well, sekarang kau tak perlu lagi mengambilnya, kan"" dia berkata, memamerkan lesung pipi di pipi kirinya.
Brazil mendengus. "Apa dia telah merubahmu menjadi seorang pesuruh, Travis" Apa selanjutnya, mengipasi dia dengan daun palem, sambil memakai speedo""
Trav is mengarahkan pandangan marah padanya, dan aku melompat berdiri untuk membela Travis. "kau tak akan muat memakai speedo, Brazil. Tutup mulutmu."
"Tenanglah, Abby! Aku hanya bercanda!" Brazil menjawab sambil mengangkat tangannya.
"Pokoknya...jangan bicara seperti itu padanya," kataku sambil mengerutkan dahi.
Ekspresi Travis terkejut bercampur syukur. "Sekarang aku sudah melihat semua. Aku dibela oleh seorang wanita," dia berkata sambil berdiri. Sebelum dia pergi membawa nampannya, dia memberikan tatapan peringatan pada Brazil, kemudian berjalan keluar untuk merokok bersama sekelompok kecil sesama perokok di luar gedung.
Aku berusaha untuk tidak memperhatikan dia yang sedang ngobrol dan tertawa. Setiap wanita bersaing untuk mendapatkan tempat di sampingnya, America menyenggolku dengan sikunya ketika dia menyadari perhatianku teralihkan.
"Apa yang sedang kau lihat, Abby""
"Tidak ada. Aku tidak sedang melihat apapun."
Dia meletakan dagunya di atas tangannya dan menggelengkan kepalanya. "Mereka sangat mencolok. Lihat si rambut merah. Dia memainkan jari di rambutnya sebanyak dia berkedip. Aku penasaran apakah Travis pernah merasa bosan dengan itu."
Shepley mengangguk. "Dia pernah. Semua orang menganggap dia bajingan, andaikan mereka tahu bagaimana sabarnya dia menghadapi semua wanita yang berpikir mereka bisa 'menjinakkannya'...dia tak bisa pergi kemanapun tanpa gangguan dari mereka. Percayalah; dia jauh lebih sopan dari aku kalau berada di posisinya."
"Ah, seperti kau tidak akan menikmatinya saja," America berkata sambil mencium pipinya.
Travis telah selesai merokok di luar kafetaria saat aku melewatinya. "Tunggu, Pidge. Aku akan mengantarmu."
"kau tidak harus mengantarku ke setiap kelas, Travis. Aku tahu caranya kesana meskipun sendirian."
Travis mudah teralihkan perhatiannya oleh wanita berambut hitam panjang memakai rok pendek yang berjalan sambil tersenyum padanya. Matanya mengikuti wanita itu dan mengangguk ke arahnya lalu membuang rokoknya.
"Sampai bertemu nanti, Pidge."
"Ya," kataku sambil memutar mataku ketika dia berlari ke samping wanita itu.
*** Tempat duduk Travis tetap kosong selama pelajaran berlangsung, dan aku merasa sedikit jengkel padanya karena bolos untuk wanita yang tak dia kenal. Prof Chaney membubarkan kelas lebih awal, aku bergegas menyebrangi halaman rumput, karena ada janji dengan Finch jam 3 untuk memberinya catatan Sherri Cassidy's Music Appreciation. Aku melihat jamku dan mempercepat langkahku.
"Abby"" Parker berlari menyeberangi halaman rumput untuk berjalan di sampingku. "Kupikir kita belum berkenalan secara resmi," dia berkata sambil mengulurkan tangannya. "Parker Hayes."
Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum. "Abby Abernathy."
"Aku ada di belakangmu ketika kau sedang melihat hasil nilai ujian Biologi. Selamat ya," dia tersenyum sambil memasukkan tangan ke dalam saku celananya.
"Terimakasih. Travis membantuku belajar, kalau tidak, mungkin aku akan berada di urutan paling bawah daftar nilai itu, percayalah."
"Oh, apakah kalian..."
"Sahabat." Parker tersenyum dan mengangguk. "Apakah dia memberitahumu bahwa akan ada pesta di The House akhir minggu ini""
"Kami kebanyakan hanya membahas Biologi dan makanan."
Parker tertawa. "Itu terdengar seperti Travis."
Di depan pintu masuk Aula Morgan, Parker mengamati wajahku dengan mata hijau besarnya. "kau harus datang. Itu akan menyenangkan."
"Aku akan bicara dengan America. kupikir kita tak punya rencana apapun."
"Apakah kalian merupakan satu paket""
"Kita bersumpah musim panas ini. Tak akan datang ke pesta seorang diri."
"Pintar," dia mengangguk setuju.
"Dia bertemu Shep ketika orientasi, jadi aku jarang bisa bersama dengannya. Ini akan menjadi pertama kalinya aku meminta bantuannya, jadi kupikir dia akan senang untuk datang." Aku dalam hati meringis. Aku meringis dalam hati. Aku tidak hanya mengoceh, aku juga membuatnya sangat jelas terlihat kalau aku tidak pernah diajak ke sebuah pesta.
"Bagus. Sampai bertemu di sana," dia berkata. Dia memancarkan
kesempurnaan, senyum seperti model Banana Republic dengan rahang yang kotak dan kulit coklat alaminya, berbalik berjalan menuju kampus.
Aku terus memandanginya ketika dia pergi; dia sangat tinggi, tercukur rapi, memakai kaos bergaris dan celana jins. Rambutnya yang bergelombang dan pirang gelap bergerak ke atas ke bawah ketika dia berjalan.
Aku menggigit bibirku, tersanjung oleh undangannya.
"Nah kalau dia lebih cocok untukmu," Finch berbisik di telingaku.
"Dia cakep kan"" aku bertanya, tak bisa berhenti tersenyum.
"Sudah pasti dia tampan...dalam posisi misionari."
"Finch!" aku berteriak sambil memukul bahunya.
"Apakah kau membawa catatan milik Sherri""
"Bawa," aku menjawab sambil mengeluarkannya dari tasku. Dia menyalakan rokok, menghisapnya lalu memicingkan matanya ke arah kertas.
"Benar-benar hebat," dia berkata sambil membolak-balik halamannya. Dia menggulung dan menyimpannya ke dalam saku kemudian menghisap rokoknya lagi. "Untung pemanas air di asrama mati. kau membutuhkan mandi air dingin setelah bermain mata dengan Parker."
"Di asrama tak ada air panas"" aku meratap.
"Ya benar," Finch berkata sambil mengenakan tas ranselnya. "Aku pergi dulu, ada kelas Aljabar. Beritahu Mare jangan lupakan aku akhir minggu ini."
"Aku akan memberitahunya," omelku sambil melihat ke arah dinding antik batu bata asrama. Aku membuka pintu kamarku dan menerobos masuk, dan menjatuhkan tas ranselku ke lantai.
"Tidak ada air panas," Kara bergumam dari meja belajarnya.
"Aku sudah tahu."
Handphoneku bergetar dan aku memijit satu tombol untuk membaca SMS America yang memaki-maki karena pemanas air mati. Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu.
America masuk dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidurku, tangannya dilipat. "Apa kau percaya omong kosong ini" Kita sudah membayar mahal tapi tidak bisa mandi air panas""
Kara mendengus, "Berhentilah merengek. Kenapa kau tidak tinggal di apartemen pacarmu" Bukannya kau sering menginap di sana""
America menatap tajam Kara. "Ide yang bagus, Kara. Mengingat kau sangat menyebalkan tapi berguna juga kadang-kadang."
Kara tetap memandangi monitor komputernya, tidak terpengaruh sindiran America.
America mengeluarkan Handphonenya kemudian mengetik SMS dengan ketepatan dan kecepatan yang luar biasa. Handphonenya berbunyi dan dia tersenyum ke arahku. "Kita menginap di tempat Shep dan Travis sampai pemanas air selesai di perbaiki."
"Apa" Aku tak akan ikut," teriakku.
"Oh kau ikut. Tidak ada alasan untukmu terkurung di sini dan mandi air dingin sedangkan Travis dan Shep memiliki dua kamar mandi di apartemennya.
"Aku tidak diajak."
"Aku mengajakmu. Shep sudah bilang tidak apa-apa. kau bisa tidur di sofa...kalau Travis tidak sedang memakainya."
"Dan kalau dia sedang memakainya""
America mengangkat bahunya. "kau bisa tidur di kamar Travis."
"Aku tidak mau!"
Dia memutar matanya. "Jangan seperti anak kecil, Abby. Kalian berteman, kan" Jika dia belum mencoba melakukan apapun sekarang, berarti dia tidak akan pernah melakukannya."
Kata-katanya membuatku menutup mulutku. Travis bersamaku setiap malam selama seminggu ini. Aku selalu direpotkan untuk meyakinkan semua orang bahwa kami hanya berteman, tidak pernah muncul di benakku kalau dia hanya tertarik untuk berteman. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasa sedikit tersinggung.
Kara menatap tidak percaya ke arah kami. "Travis Maddox tidak berusaha untuk tidur denganmu""
"Kami hanya teman!" Aku berkata dengan nada membela diri.
"Aku tahu, tapi apakah dia benar tidak pernah...mencoba" Dia tidur dengan semua orang."
"Kecuali kita," America berkata lalu memandang Kara. "Dan kau."
Kara mengangkat bahu. "Well, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku cuma mendengar ceritanya."
"Tepat," aku membentaknya, "kau bahkan belum mengenalnya."
Kara kembali menatap komputernya, melupakan kehadiran kami.
Aku menghela nafas. "Baiklah Mare. Aku akan berkemas dulu."
"Pastikan kau membawa pakaian untuk tinggal beberapa hari, siapa yang tahu berapa lama untuk memperbaiki pemanas
airnya," dia berkata sedikit terlalu bersemangat.
Ada sedikit rasa takut seperti akan mengintip daerah musuh. "Ya...Baiklah."
America melompat ketika memelukku. "Ini akan sangat menyenangkan!"
Setengah jam kemudian kami memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil Honda milik America dan menuju apartemen. America hampir tidak menarik nafas saat dia asyik mengoceh sambil menyetir. Dia membunyikan klakson saat melambat untuk berhenti di tempat biasa dia parkir. Shepley berlari menuruni tangga, dan menarik ke dua tas kami dari dalam bagasi, mengikuti kami ke atas.
"Tidak dikunci kok," dia terengah.
America membuka pintu dan aku menahan pintunya. Shepley mendengus saat menurunkan tas kami ke lantai. "Ya Tuhan, Sayang! Tasmu 20 pound lebih berat dari tas Abby!"
America dan aku terdiam saat seorang wanita keluar dari kamar mandi, sambil mengancingkan kemejanya.
"Hai," sapanya, tampak terkejut. Mata dengan maskaranya yang berantakan menatap kami sebelum mendengus melihat ke arah koper kami. Aku mengenali dia sebagai wanita yang diikuti Travis dari kafetaria.
America membelalak ke arah Shepley.
Dia mengangkat tangannya ke atas. "Dia bersama Travis!"
Travis keluar dari pojokan hanya memakai celana boxer sambil menguap. Dia melihat pada tamunya, dan kemudian menepuk pantatnya. "Temanku sudah datang. kau sebaiknya pergi."
Gadis itu tersenyum dan memeluk Travis lalu mencium lehernya. "Aku akan meninggalkan nomor teleponku di meja dapur."
"Ehm...tidak perlu," kata Travis santai.
"Apa"" dia bertanya dan melepaskan pelukannya untuk menatap mata Travis.
"Selalu seperti ini! Kenapa kau terkejut" Dia adalah Travis Maddox si bajingan! Dia terkenal seperti itu tapi selalu saja kalian terkejut!" America berkata sambil berbalik ke arah Shepley. Dia memeluk America untuk menenangkannya.
Wanita itu memicingkan matanya ke arah Travis lalu mengambil tasnya dan berlari keluar sambil membanting pintu di belakangnya.
Travis berjalan menuju dapur dan membuka kulkas seperti tidak terjadi apapun.
America menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju lorong. Shepley mengikuti, memiringkan badannya untuk mengimbangi berat dari tas America sambil berjalan di belakangnya.
Aku duduk bersandar di kursi malas dan menghela nafas, merasa kalau aku sudah sinting karena setuju untuk ikut.
Aku tak menyadari sebelumnya kalau apartemen Shepley menjadi seperti pintu putar untuk cewek gampangan yang tak dikenal.
Travis berdiri di belakang meja dapur, melipat tangannya di atas dada dan tersenyum. "Ada apa, Pidge" Lelah""
"Tidak, aku hanya merasa jijik."
"Padaku"" dia tersenyum. Aku seharusnya tahu dia telah mengharapkan obrolan ini. Itu hanya membuatku semakin tidak bisa menahan diri.
"Ya, padamu. Bagaimana bisa kau memperalat seseorang lalu memperlakukannya seperti itu""
"Memang bagaimana aku memperlakukannya" Dia menawarkan nomor teleponnya dan aku menolaknya."
Mulutku menganga karena kurangnya rasa bersalah Travis. "kau ingin tidur dengannya tapi tidak mau menerima nomor teleponnya""
Travis bersandar di meja di atas sikunya. "Kenapa aku mau nomor teleponnya kalau aku tak akan pernah meneleponnya""
"Kenapa kau mau tidur dengannya kalau kau tidak akan meneleponnya""
"Aku tak menjanjikan apapun pada siapapun, Pidge. Dia tidak menuntut suatu hubungan sebelum bercinta denganku di sofa."
Aku memandang sofa dengan rasa jijik. "Dia anak perempuan dari seseorang, Travis. Bagaimana jika suatu saat nanti, seseorang memperlakukan anak perempuanmu seperti itu""
"Anak perempuanku sebaiknya tidak membuka celana dalamnya untuk seorang bajingan yang baru dia kenal, mari kita harap begitu."
Aku melipat tanganku, marah akan pikiran Travis. "Jadi kau mengakui kalau kau adalah bajingan, kau mengatakan itu karena kau sudah tidur dengannya dan dia pantas untuk dibuang seperti kucing liar""
"Menurutku aku hanya berusaha untuk jujur padanya. Dia sudah dewasa, atas dasar suka sama suka...dia malah terlalu 'bersemangat' kalau kau ingin tahu yang sebenarnya. kau bersikap seperti aku melakukan suatu ti
ndak kejahatan." "Dia sepertinya tak mengetahui niatmu yang sebenarnya, Travis."
"Wanita selalu membenarkan tindakan mereka dengan apapun yang mereka putuskan di dalam kepala mereka. Dia tak memberitahu lebih dulu padaku kalau dia mengharapkan suatu hubungan yang lebih, aku sudah katakan sebelumnya kalau aku hanya ingin seks tanpa ikatan. Apa bedanya""
"Dasar Babi." Travis mengangkat bahunya. "Aku pernah dihina lebih parah dari itu."
Aku memandangi sofa yang masih berantakan setelah digunakan Travis tadi. Aku tersentak oleh pikiran sudah berapa banyak wanita yang menyerahkan dirinya di atas situ. Membuat gatal kulitku.
"Kupikir aku akan tidur di kursi malas saja." Aku bergumam.
"Kenapa"" Aku melotot padanya, sangat marah karena ekspresi bingungnya. "Aku tak akan tidur di sofa itu! Hanya Tuhan yang tahu apa saja yang ada di atas sofa itu!"
Dia mengangkat koperku dari lantai. "kau tak akan tidur di sofa ataupun di kursi malas. Kau akan tidur di kamarku."
"Yang aku yakin lebih kotor dari sofa."
"Tak ada yang pernah tidur di kamarku selain aku sendiri."
Aku memutar mataku. "Yang benar saja!"
"Aku sangat serius. Aku meniduri mereka di sofa. Aku tak memperbolehkan mereka masuk ke kamarku."
"Lalu, kenapa aku diperbolehkan masuk""
Sudut bibirnya membentuk seringai nakal. "Apakah kau berencana untuk berhubungan seks denganku malam ini""
"Tidak!"

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah karena itulah. Ayo sekarang berdiri lalu mandi kemudian kita bisa belajar Biologi."
Aku melotot padanya, sesaat kemudian mengikuti perintahnya sambil menggerutu.
*** Aku berdiri dibawah pancuran cukup lama, membiarkan air menghilangkan rasa marahku. Memijat kepalaku sambil keramas, aku merindukan pada begitu nikmatnya mandi bukan di kamar mandi umum - tidak harus memakai sandal, tidak ada tas peralatan mandi, hanya campuran yang menenangkan dari air dan uap.
Pintu terbuka membuatku terkejut. "Mare""
"Bukan, ini aku," Travis menjawab.
Otomatis aku menutupi bagian tubuhku yang tak ingin dilihat Travis dengan tanganku. "Apa yang kau lakukan di dalam sini" Cepat keluar!"
"kau lupa membawa handukmu dan aku membawakan pakaian, sikat gigi dan krem muka aneh ini yang aku temukan di dalam tasmu."
"kau membuka tasku"" Aku berteriak. Dia bahkan tidak menjawab. Sebaliknya, justru terdengar suara kran dibuka dan suara Travis yang sedang menggosok gigi."
Aku mengintip dari balik tirai plastik, menahannya menutupi dadaku. "Keluar, Travis."
Dia menatapku dengan busa odolnya di mulutnya. "Aku tidak bisa tidur tanpa menggosok gigi."
"Jika kau mendekat jarak dua kaki dari tirai ini, aku akan menusuk matamu saat kau tidur."
"Aku tidak akan mengintip, Pidge," dia tertawa.
Aku menunggu di bawah pancuran sambil melipat tanganku di atas dadaku. Dia meludah, berkumur dan meludah lagi lalu pintu tertutup. Aku membersihkan sabun dari tubuhku, mengeringkannya secepat mungkin, memakai kaos dan celana pendek, mengenakan kacamataku, lalu menyisir rambutku. Pelembab malam yang Travis bawakan mengalihkan perhatianku, dan aku tidak dapat menahan senyumku. Dia sangat perhatian dan hampir baik kalau dia menginginkannya.
Travis membuka pintu lagi. "Ayo cepat, Pidge! Aku sudah menunggu terlalu lama."
Aku melempar sisir ke arahnya dan dia menghindar, lalu dia menutup pintu dan tertawa sepanjang jalan menuju kamarnya. Aku menggosok gigiku lalu berjalan menuju lorong melewati kamar Shepley.
"Selamat tidur, Abby," America memanggil dari kegelapan.
"Selamat tidur, Mare."
Aku ragu-ragu sebelum mengetuk pintu kamar Travis dua kali.
"Masuk saja, Pidge. kau tak perlu mengetuk."
Dia membukakan pintu lalu aku melangkah masuk, melihat besi hitam tempat tidurnya yang di tempatkan sejajar dengan jendela di seberang ruangan. Dindingnya polos kecuali satu sombero yang di gantung di atas ujung kepala tempat tidur. Aku mengira kamarnya akan dipenuhi poster wanita setengah telanjang, tapi bahkan aku tidak melihat poster iklan bir di sana. Tempat tidur hitam, karpet abu dan sisanya semua yang ada di kamar ini berwarna putih. Tamp
ak seperti dia baru saja pindah.
"Piyama yang bagus," Travis berkata, memperhatikan celana pendekku yang berwarna kuning kotak-kotak biru, dan seragam kaos abu-abu Eastern. Dia duduk di atas tempat tidurnya lalu menepuk-nepuk bantal di sampingnya. "Well, ayo naik. Aku tidak akan menggigit."
"Aku tidak takut padamu," aku berkata, berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan buku biologiku disampingnya. "Apakah kau punya pulpen""
Dia menggunakan kepalanya untuk menunjuk ke meja. "Laci paling atas."
Aku melangkah ke seberang tempat tidur dan menarik laci hingga terbuka, menemukan tiga pulpen, pensil, satu tube jelly KY, dan mangkuk kaca penuh dengan kondom dari berbagai merk.
Dengan rasa jijik, aku mengambil pulpennya dan menutup laci dengan cepat.
"Ada apa"" dia bertanya sambil membuka-buka halaman bukuku.
"Apakah kau merampok klinik kesehatan""
"Tidak, kenapa""
Aku membuka tutup pulpen, tak mampu menyembunyikan rasa muak dari wajahku. "Kondom untuk persediaan seumur hidupmu."
"Lebih baik aman daripada menyesal, benar, kan""
Aku memutar mataku. Travis kembali melihat halaman bukuku, senyum nakal muncul di bibirnya. Dia membacakan catatannya padaku, menandai poin yang penting sambil dia mengajukan beberapa pertanyaan dan dengan sabar menjelaskan apa yang tidak aku mengerti.
Setelah satu jam berlalu, aku melepas kacamataku dan menggosok mataku. "Aku lelah. Tidak dapat mengingat satu lagi mikromolekul."
Travis tersenyum, menutup bukuku. "Baiklah."
Aku terdiam, tidak yakin bagaimana pengaturan tempat tidur kita. Travis meninggalkan kamar menuju lorong, menggumamkan sesuatu di kamar Shepley sebelum menyalakan pancuran dan mandi. Aku membalikkan selimut dan menariknya hingga ke atas leherku sambil mendengarkan suara air mengalir di dalam pipa.
Sepuluh menit kemudian, air dimatikan, dan lantai berderak ketika Travis melangkah. Dia berjalan masuk kamar dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggulnya. Dia mempunyai tato di sisi dadanya, dan gambar tribal di kedua bahunya yang berotot. Pada tangan sebelah kanannya, garis hitam dan symbol-simbol membentang dari bahu hingga pergelangan, di bagian tangan kirinya, tato hanya sampai ke sikunya, dengan hanya satu tulisan di bagian dalam lengannya. Aku dengan sengaja membelakangi Travis saat dia berdiri di depan lemarinya dan menjatuhkan handuknya untuk memakai celana boxernya.
Setelah mematikan lampu, dia merangkak ke atas tempat tidur dan tidur disampingku.
"kau tidur di sini juga"" aku bertanya sambil berbalik dan menatapnya. Bulan purnama di luar jendela membuat bayangan di wajahnya. "Well, tentu saja. Inikan tempat tidurku."
"Aku tahu, tapi aku..." aku tidak melanjutkan. Pilihanku satu-satunya hanya sofa atau kursi malas.
Travis tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bukankah seharusnya kau sudah percaya padaku" Aku akan menjaga kelakuanku, aku janji," dia berkata sambil mengangkat dua jarinya yang aku yakin pramuka di America tidak pernah berpikir untuk melakukannya.
Aku tidak membantah, hanya berbalik dan berbaring di atas bantal, dan menyelipkan selimut di belakangku agar ada batas jelas diantara kita.
"Selamat tidur, Pigeon," dia berbisik di telingaku. Aku dapat mencium aroma mint nafasnya di pipiku, membuat bulu di seluruh tubuhku berdiri di setiap jengkal kulitku. Bersyukur saat itu cukup gelap sehingga dia tak dapat melihat reaksiku yang memalukan atau rona merah di pipiku.
*** Sepertinya aku baru saja tertidur saat alarm berbunyi. Aku meraih untuk mematikannya tapi langsung menarik tanganku kembali dengan cepat ketika merasakan kulit yang hangat di bawah jariku. Aku mencoba mengingat di mana aku berada. Ketika aku mengingatnya, membuatku merasa malu kalau sampai Travis berpikir aku melakukan itu dengan sengaja.
"Travis" Alarmmu," aku berbisik. Dia tetap tidak bergerak. "Travis!" aku memanggilnya lagi sambil menyikutnya. Ketika dia tetap tidak bergerak, aku meraih alarm itu melewati tubuh Travis, meraba-raba di kegelapan hingga aku merasakan bagian atasnya jam. Tak yakin bagaimana mematikanny
a, aku memukul-mukul bagian atasnya hingga tombol snooze terpijit dan menjatuhkan diri lagi ke atas bantal dengan gusar.
Travis tertawa. "kau sudah bangun""
"Aku sudah berjanji akan menjaga sikapku. Tapi aku tidak bilang apa-apa tentang membiarkanmu berbaring di atasku."
"Aku tidak berbaring di atasmu," protesku. "Aku tidak bisa meraih jam itu. Itu adalah alarm yang paling mengganggu yang pernah aku dengar. Suaranya seperti binatang yang sekarat."
Dia meraih jam itu dan memijit tombolnya. "kau mau sarapan""
Aku melotot ke arahnya kemudian menggelengkan kepalaku. "Aku tidak lapar."
"Well, aku lapar. Kenapa kita tidak pergi ke kafe""
"Kupikir aku tidak bisa menerima kurangnya keterampilan menyetirmu sepagi ini," jawabku. Aku mengayunkan kakiku keluar dari tempat tidur dan memakai sandalku lalu berjalan menuju pintu.
"Mau kemana"" dia bertanya.
"Bersiap-siap ke kampus. Apakah kau butuh rincian kegiatanku selama aku disini""
Travis menggeliat, berjalan menuju ke arahku, masih memakai boxernya. "Apakah kau selalu temperamen seperti ini atau akan mereda setelah kau percaya aku tidak sedang membuat skema yang rumit agar bisa tidur denganmu"" Tangannya memegang bahuku dan aku merasakan ibu jarinya menyentuh kulitku.
"Aku tidak temperamental."
Dia membungkuk mendekat dan berbisik di telingaku. "Aku tidak akan tidur denganmu, Pidge. Aku terlalu menyukaimu."
Dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, dan aku diam berdiri, terpana. Ucapan Kara berputar ulang di pikiranku. Travis Maddox tidur dengan semua orang; aku tak bisa mencegah merasa rendah diri dalam beberapa hal sampai-sampai dia tak punya keinginan untuk tidur denganku.
Pintu terbuka kembali, dan America berjalan masuk. "Wakey, wakey, eggs and bakey!" Dia tersenyum lalu menguap.
"kau menjadi seperti ibumu, Mare," aku bergumam sambil mengaduk-aduk tasku.
"Ooohh...apakah seseorang ada yang kurang tidur tadi malam""
"Dia bahkan tidak bernafas ke arahku," aku berkata.
Senyum penuh arti muncul di wajahnya. "Oh."
"Oh apa"" "Tidak apa-apa," dia menjawab, kembali masuk ke kamar Shepley.
Travis sedang berada di dapur, menyenandungkan lagu asal-asalan sambil membuat telur urak-arik. "kau yakin tidak mau"" dia bertanya.
"Aku yakin. Terimakasih."
Shepley dan America masuk dan Shepley mengeluarkan dua piring dari dalam lemari, memegangnya ketika Travis menyendokkan setumpuk telur panas ke atas setiap piring. Shepley meletakan piring di atas meja dapur lalu dia dan America duduk berdua, memuaskan nafsu lapar mereka setelah 'beraktivitas' tadi malam.
"Jangan melihatku seperti itu, Shep. Maafkan aku, aku hanya tak ingin pergi," America berkata.
"Sayang, the House mengadakan pesta kencan dua kali dalam setahun," Shepley bicara sambil mengunyah. "Acaranya bulan depan. kau akan punya banyak waktu untuk mencari gaun dan melakukan hal lainnya yang biasa dilakukan wanita."
"Ya benar, Shep...itu sangat manis...tapi aku tidak mengenal siapapun di sana."
"Akan ada banyak wanita yang datang tanpa mengenal siapapun di sana," dia berkata, terkejut karena penolakan America.
America merosot di kursinya. "Cewek-cewek sorority (perkumpulan persaudaraan mahasiswi) yang menyebalkan diundang ke acara seperti itu. Mereka semua mengenal satu sama lain...Itu akan aneh nantinya."
"Ayolah, Mare. Jangan biarkan aku pergi sendirian."
"Well...mungkin kau bisa menemukan seseorang untuk mengajak Abby"" dia berkata sambil melihat padaku lalu ke arah Travis.
Travis menaikkan satu alisnya, dan Shepley menggelengkan kepalanya. "Trav tak pernah datang ke acara seperti itu. Itu yang harus kau hadiri bersama pacarmu...dan Travis tidak...kau tahu, kan."
America mengangkat bahunya. "Kita bisa mengenalkannya pada seseorang."
Aku memicingkan mataku ke arah mereka. "Aku bisa mendengarmu, tahu."
America memberiku pandangan yang tidak mungkin aku tolak. "Tolonglah, Abby" Kita akan mencarikanmu seorang pria yang baik, lucu, pintar dan aku akan memastikan dia tampan...Aku berjanji kau akan bersenang-senang! Dan siap tahu, mungkin
kau akan cocok dengannya."
Travis meletakan wajan di tempat cuci piring. "Aku tidak bilang aku tidak akan mengajak dia."
Aku memutar mataku. "Tidak perlu membantuku, Travis."
"Bukan itu maksudku, Pidge. Pesta kencan adalah pesta yang didatangi pria dengan kekasihnya, dan seperti yang sudah kalian tahu, aku tidak pernah pacaran. Tapi aku tak ingin khawatir kau akan mengharapkan cincin tunangan setelah itu."
America memanyunkan bibirnya. "Aku mohon, Abby."
"Jangan melihatku seperti itu!" Aku mengeluh. "Travis tak ingin datang, aku juga tak ingin...kita tidak akan bersenang-senang."
Travis melipat tangannya dan bersandar di tempat cuci piring. "Aku tidak bilang aku tak ingin datang. Kurasa akan menyenangkan bila kita berempat bisa datang," dia mengangkat bahunya.
Semua mata menatapku, dan aku mundur satu langkah. "Kenapa kita tidak hang out di sini saja""
America cemberut dan Shepley bersandar ke depan. "Karena aku harus datang, Abby. Aku anggota baru; Aku harus memastikan semua berjalan lancar, memastikan semua orang memegang bir di tangannya, hal-hal semacam itu."
Travis berjalan ke luar dapur dan meletakkan tangannya di bahuku, menarikku ke arahnya. "Ayolah, Pidge. Maukah kau pergi denganku""
Aku memandang America, lalu Shepley dan akhirnya ke arah Travis lagi. "Ya, aku mau," aku menghela nafas.
America berteriak lalu memelukku, dan aku merasakan tangan Shepley di punggungku. "Terimakasih, Abby," kata Shepley.
*** Bab 3 KOMENTAR PEDAS (CHEAP SHOT)
Finch menghisap sekali lagi. Asap keluar dari hidungnya dalam dua kepulan tebal. Aku mengarahkan wajahku ke arah matahari saat dia menceritakan tentang acara dansa, minuman keras dan teman barunya yang gigih selama weekend kemarin.
"Jika kau tidak menyukainya, mengapa kau membiarkannya membelikanmu minuman"" aku tertawa.
"Jawabannya sederhana, Abby. Aku sedang tidak punya uang."
Aku tertawa lagi, dan Finch menusukan sikunya padaku lalu melihat Travis berjalan ke arah kami.
"Hai, Travis," Finch menyapa sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Finch," dia mengangguk. Dia memegang kunci. "Aku akan pulang, Pidge. Apakah kau butuh tumpangan""
"Aku baru saja akan ke asrama," jawabku, aku tersenyum padanya sambil memakai kacamataku.
"kau tak akan tinggal bersamaku malam ini"" dia bertanya, wajahnya tampak terkejut dan kecewa.
"Tidak, aku akan menginap di sana. Hanya saja aku harus mengambil beberapa barang yang lupa aku bawa dari asrama."
"Barang apa""
"Well, pisau cukurku misalnya. Apa pedulimu""
"Memang sudah waktunya kau mencukur bulu kakimu. Karena melukai punyaku," dia berkata sambil menyeringai nakal.
Mata Finch melotot saat memandangku sekilas, dan aku cemberut ke arah Travis. "Itulah awalnya bagaimana gosip menyebar!" aku melihat ke arah Finch dan menggelengkan kepalaku. "Aku tidur di tempat tidurnya...hanya tidur."
"Ya, benar," kata Finch sambil tersenyum puas.
Aku memukul tangan Finch sebelum menghentak pintu agar terbuka dan menaiki tangga. Ketika aku tiba di lantai dua, Travis berada di sampingku.
"Oh, jangan marah. Aku hanya bercanda."
"Semua orang sudah berpikiran kita berhubungan seks. Dan kau membuatnya semakin parah."
"Siapa yang peduli dengan yang apa mereka pikirkan""
"Aku, Travis, aku peduli," aku mendorong pintu kamarku hingga terbuka, memasukan barangku ke dalam sebuah tas kecil, lalu melangkah keluar dan Travis mengikuti di belakang. Dia tertawa saat mengambil tas dari tanganku dan aku melotot padanya. "Itu tidak lucu. Apakah kau ingin semua orang di kampus berpikir kalau aku adalah salah satu perekmu""
Travis mengerutkan dahinya. "Tidak ada seorangpun yang berpikir seperti itu. Dan jika ada, mereka akan berharap aku tak pernah mendengarnya."
Dia menahan pintu terbuka untukku, dan setelah aku melewatinya, aku berhenti tiba-tiba di depannya.
"Aww!" dia terkejut saat menabrakku.
Aku membalik tubuhku. "Ya Tuhan! Semua orang mungkin berpikir kita pacaran tapi kau tetap melakukan...gaya hidupmu, tanpa rasa malu sama sekali. Aku pasti terlihat sangat me
nyedihkan!" Aku berkata, baru menyadarinya saat aku bicara. "Kupikir aku tak akan tinggal bersamamu lagi. Kita harus saling menjauh untuk sementara."
Aku mengambil tas darinya dan dia merebutnya lagi.
"Tak ada seorangpun yang berpikir kita pacaran, Pidge. kau tak harus berhenti bicara padaku untuk membuktikannya."
Kami tarik-menarik memperebutkan tas, dan ketika dia menolak untuk melepaskannya, aku menggeram keras dengan frustrasi. "Apakah pernah ada seorang wanita-yang hanya teman-tinggal bersamamu" Apakah kau pernah menawarkan tumpangan pada seorang wanita pulang dari kampus" Apa kau makan siang dengannya setiap hari" Tidak ada yang tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita, meskipun kita telah menjelaskannya!"
Dia berjalan ke parkiran sambil memegangiku. "Aku akan perbaiki itu, ok" Aku tak ingin ada seseorang yang berpikiran buruk tentangmu karena aku," dia berkata dengan ekspresi terganggu. Matanya berbinar lalu tersenyum. "Biarkan aku menebusnya. Bagaimana kalau kita pergi ke The Dutch malam ini""
"Itu bar untuk para biker," aku mencibir, memperhatikan dia mengikat tasku pada motornya.
"Ok, kalau begitu kita pergi ke club. Aku akan mengajakmu makan malam lalu kita ke The Red Door. Aku traktir."
"Bagaimana bisa makan malam dan pergi clubbing akan memperbaiki masalah" Kalau orang lain melihat kita pergi bersama, itu akan membuatnya semakin buruk."
Dia menaiki motornya. "Coba pikir, aku, mabuk, di ruangan penuh wanita setengah telanjang" Tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk mereka mengetahui bahwa kita bukan pasangan."
"Jadi aku harus melakukan apa" Membawa pria pulang dari bar untuk mengantarku pulang""
"Aku tidak berkata begitu. Tak perlu terlalu berlebihan," dia berkata sambil mengerutkan dahinya.
Aku memutar mataku lalu naik ke atas motor, dan meletakkan tanganku di pinggangnya. "Apakah nanti ada seorang wanita yang akan ikut kita pulang dari bar" Itu kah caramu menebusnya padaku""
"kau tidak cemburu kan, Pigeon""
"Cemburu pada apa" Pada pembawa penyakit seksual menular yang bodoh yang akan menyerangmu dan membuatmu kesal pada pagi harinya""
Travis tertawa, lalu menyalakan Harley-nya. Dia melesat menuju apartemen dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatan maksimum. Aku menutup mataku agar tidak melihat pada bayangan pohon dan mobil yang kami lewati.
Saat turun dari motornya, aku memukul bahunya. "Apakah kau lupa bahwa ada aku di belakangmu" Apa kau mencoba untuk membunuhku""
"Sangat sulit untuk melupakanmu ada di belakangku saat pahamu menjepitku dengan sangat erat."
Seringai bodoh muncul di wajahnya karena membayangkan yang tidak-tidak. "Aku tidak bisa membayangkan cara untuk mati yang lebih baik dari ini."
"Ada yang benar-benar salah dengan dirimu."
Kami baru saja masuk ketika America berjalan keluar dari kamar Shepley. "Kami berencana untuk pergi keluar malam ini, kalian ingin ikut""
Aku memandang Travis dan tersenyum. "Kami berencana makan sushi sebelum pergi ke The Red."
America tersenyum lebar. "Shep!" dia memanggil sambil berlari ke kamar mandi. "Kita akan pergi keluar malam ini!"
Aku mendapat giliran terakhir untuk mandi, Shepley, America dan Travis sudah tidak sabar menunggu di depan pintu ketika aku keluar dari kamar mandi memakai gaun hitam dan sepatu bertumit warna pink.
America bersiul. "Sangat seksi!"
Aku tersenyum menghargai, dan Travis mengangkat tangannya. "Kaki yang indah."
"Apakah aku sudah bilang kalau itu pisau cukur ajaib""
"Aku pikir bukan karena pisau cukurnya," dia tersenyum sambil menarikku keluar pintu.
Kami merasa terlalu bising dan tidak nyaman di sushi bar, kami sudah cukup banyak minum sebelum pergi ke The Red Door. Shepley memasuki tempat parkir, berputar-putar mencari tempat untuk parkir.
"Cepatlah, Shep," America menggerutu.
*** "Heh. Aku harus menemukan tempat yang agak luas untuk parkir. Aku tak ingin orang idiot yang mabuk merusak cat mobilku."
Setelah kita parkir, Travis memajukan kursinya ke depan dan membantuku keluar. "Kalian membuat KTP palsu dimana" Itu sangat rapi. Su
lit untuk mendapatkannya di sini."
"Ya, kami memilikinya sudah cukup lama. Itu sangat penting...di Wichita." jawabku.
"Penting"" Travis bertanya.
"Untung kau memiliki koneksi," kata America. Dia cegukan dan menutup bibirnya sambil cekikikan.
"Ya ampun," Shepley berkata sambil memegang tangan America saat dia berjalan sempoyongan di atas kerikil. "Kupikir kau sudah terlalu banyak minum malam ini."
Travis penasaran. "Apa maksudmu, Mare" Koneksi apa""
"Abby mempunyai teman lama yang-"
"Itu KTP palsu, Trav," kataku memotong. "kau harus mengenal orang yang tepat agar hasilnya bagus, benar kan""
America sengaja memalingkan wajahnya dari Travis dan aku menunggu.
"Benar," dia menjawab, tangannya memegang tanganku.
Aku memegang tiga jari Travis dan tersenyum, mengetahui ekspresinya yang tak puas atas jawabanku.
"Aku membutuhkan minum lagi," kataku sebagai usaha kedua untuk mengubah topik pembicaraan.
"Minum!" America berteriak.
Shepley memutar matanya. "Ya benar, itu yang kau butuhkan, minuman lagi."
Setelah di dalam, Amarica langsung menarikku ke lantai dansa. Rambut pirangnya berantakan, dan aku tertawa pada bibirnya yang di dorong maju seperti bebek saat dia bergerak mengikuti musik. Ketika lagu berakhir, kita bergabung dengan Shepley dan Travis di meja bar. Ada seorang wanita yang sangat seksi, berambut pirang pucat di samping Travis, dan ekspresi mabuk America berubah menjadi rasa jijik.
"Akan selalu seperti ini sepanjang malam, Mare. Acuhkan saja mereka," Shepley berkata sambil menunjuk kearah sekumpulan wanita yang berada tidak jauh dari kami menggunakan kepalanya. Mata mereka memandangi si pirang, menunggu giliran mereka untuk mendekati Travis.
"Seperti Vegas yang memuntahkan domba pada sekawanan burung nasar," America mengejek.
Travis menyalakan rokoknya saat memesan dua botol bir, si pirang sedikit mendesah, membasahi bibirnya lalu tersenyum. Bartender membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Travis. Si pirang mengambil salah satu botol bir itu tapi Travis mengambilnya kembali dari tangannya.
"Bukan untukmu," Travis berkata padanya lalu menyerahkannya padaku.
Awalnya aku berpikir untuk membuang bir itu ke tempat sampah tapi wanita itu tampak tersinggung, lalu aku tersenyum dan meminum bir itu. Dia melangkah pergi dengan dongkol dan aku tersenyum karena tampaknya Travis tak peduli.
"Memangnya aku akan membelikan minuman untuk seorang wanita di bar," dia berkata sambil menggelengkan kepalanya. Aku mengangkat botol bir ku ke atas dan dia tersenyum kecil. "kau berbeda."
Aku bersulang dengannya. "Untuk menjadi satu-satunya wanita yang tidak diajak tidur oleh pria yang tidak punya aturan." Kataku sambil meneguk birku.
"Apakah kau serius"" dia bertanya sambil menarik botol bir dari mulutku. Dan ketika aku tidak menarik kembali kata-kataku, dia bersandar mendekat ke arahku. Pertama...aku punya aturan. Aku tidak pernah bersama wanita jelek, tidak pernah. Kedua, aku ingin tidur denganmu. Aku telah membayangkan menidurimu di sofaku dengan lima puluh cara yang berbeda, tapi aku tidak melakukannya karena aku tidak melihatmu seperti itu lagi sekarang. Bukan karena aku tidak tertarik padamu, aku hanya berpikir bahwa kau lebih baik dari itu."
Aku tak dapat menahan senyuman puas yang merayap di wajahku. "kau berpikir bahwa aku terlalu baik untukmu""
Dia menyeringai pada penghinaan keduaku. "Aku tak dapat menyebutkan satu priapun yang cukup baik untukmu."
Kesombonganku mencair hilang dan digantikan oleh perasaan tersentuh dan senyum menghargai.
"Terimakasih, Trav," kataku sambil meletakan botol kosongku di atas meja bar.
Travis menarik tanganku. "Ayo," dia berkata sambil menarikku ke tengah kerumunan di lantai dansa.
"Aku terlalu banyak minum! Aku akan terjatuh!"
Travis tersenyum dan menarikku ke arahnya, memegang pinggulku. "Diam dan berdansalah."
America dan Shepley muncul di samping kami. Gerakan Shepley seperti dia terlalu banyak nonton video klipnya Usher. Travis hampir membuatku panik dengan caranya memelukku. Jika dia menggunakan salah sat
u dari gerakan ini di sofa, aku dapat mengerti mengapa banyak wanita mau dipermalukan keesokan harinya.
Dia bergerak dengan lincah di pinggulku, dan aku menyadari kalau ekspresinya berbeda, hampir serius. Aku menggerakan tanganku di atas dadanya yang tanpa cacat dan six-pack yang saat itu meregang dan menjadi keras di bawah kaos ketatnya mengikuti musik. Aku membelakanginya dan tersenyum ketika dia memeluk pinggangku. Ditambah alkohol dalam darahku, ketika dia menarik tubuhku ke tubuhnya, aku berpikir itu semua lebih dari sekedar hanya teman.
Lagu berikutnya terlalu bersemangat untuk kita berdansa, dan Travis tidak menunjukan tanda kalau dia ingin kembali ke meja bar. Butiran keringat di belakang leherku, lampu sorot warna-warni membuatku sedikit pusing. Aku menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia memegang tanganku dan menariknya ke atas lehernya. Tangannya bergerak ke bawah dari tanganku, lalu ke tulang rusukku akhirnya kembali ke pinggulku. Ketika aku merasakan bibirnya lalu lidahnya di leherku, aku menjauh darinya.
Dia tertawa sedikit terkejut. "Ada apa, Pidge""
Kemarahanku menyala, membuat kata-kata pedas yang ingin aku katakan tertahan di tenggorokanku. Aku kembali menuju bar dan memesan Corona lagi. Travis mengambil tempat duduk di sampingku, mengangkat jarinya untuk memesan satu lagi. Tak lama setelah bartender meletakan botol di hadapanku, aku meneguk setengah isinya sebelum membantingnya ke atas meja bar.
"Kau pikir itu akan mengubah pikiran semua orang tentang kita"" tanyaku sambil menarik rambut untuk menutupi tempat yang dia cium.
Dia tertawa sekali. "Aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan tentang kita."
Aku menatapnya dengan pandangan jijik lalu melangkah pergi.
"Pigeon," panggilnya sambil menyentuh tanganku.
Aku menjauh darinya. "Jangan. Aku tak akan pernah cukup mabuk untuk membiarkanmu menidurkanku di sofa itu."
Wajahnya berubah menjadi marah, tapi sebelum dia mengatakan sesuatu, seorang wanita yang sangat menarik berambut hitam dengan bibir penuh, mata biru yang sangat besar memakai baju yang belahan dadanya sangat rendah mendekatinya.
"Well, ternyata benar ini Travis Maddox," dia berkata sambil menggerakan dadanya naik turun di tempat yang tepat.
Travis meminum birnya sambil tetap memandang ke dalam mataku. "Hai, Megan."
"Perkenalkan aku pada pacarmu," dia tersenyum. Aku memutar mataku karena betapa keterus terangannya menyedihkan.
Travis menengadahkan kepalanya untuk meminum habis birnya lalu mendorong dan luncurkan botol kosongnya di sepanjang meja bar. Semua orang yang sedang menunggu giliran untuk memesan memperhatikan botol itu hingga akhirnya jatuh dan masuk ke tempat sampah di ujung meja. "Dia bukan pacarku."
Dia menarik tangan Megan yang dengan senang hati berjalan di belakangnya menuju lantai dansa. Travis 'menyerangnya' selama lagu pertama, lagu berikutnya, berikutnya. Mereka menarik perhatian dengan cara Megan membiarkan Travis menggerayanginya dan ketika dia membungkukan Megan, aku berpaling dari mereka.
"kau kelihatan kesal," kata seorang pria yang duduk di sampingku. "Apa dia pacarmu""
"Bukan, dia hanya temanku," aku menggerutu.
"Well, bagus kalau begitu. Karena akan jadi canggung kalau itu adalah pacarmu," dia memandang ke arah lantai dansa, menggelengkan kepalanya ke arah tontonan itu.
"Aku tahu," jawabku sambil meminum habis birku. Aku hampir merasakan efek dari dua minumanku sebelumnya, dan gigiku mati rasa.
"Apakah kau mau minum lagi"" dia bertanya. Aku menatapnya dan dia tersenyum. "Namaku Ethan."
"Aku Abby," jawabku sambil meraih uluran tangannya.
Dia mengangkat dua jarinya untuk memesan dua lagi pada bartender lalu aku tersenyum. "Terimakasih."
"Apakah kau tinggal di sekitar sini"" dia bertanya.
"Aku tinggal di asrama Morgan di Eastern."
"Aku tinggal di apartemen di Hinley."
"kau tinggal di negara bagian lain"" aku bertanya. "Itu kan...satu jam perjalanan" Apa yang kau lakukan di sini""
"Aku lulus Mei kemarin. Adikku kuliah di Eastern. Aku tinggal dengannya sepanjang minggu ini
sambil mencari pekerjaan."
"Oh...menjalani kehidupan nyata ya""
Ethan tertawa. "Dan itu sama seperti yang mereka katakan."
Aku mengeluarkan lipgloss-ku dari dalam tas dan memoleskannya di bibirku, menggunakan cermin yang menempel sepanjang dinding di belakang bar.
"Warnanya bagus," dia berkata sambil memperhatikanku menekan bibirku.
Aku tersenyum, merasa marah pada Travis dan karena banyaknya alkohol. "Mungkin kau akan mencobanya nanti."
Mata Ethan berbinar ketika aku mendekat, lalu aku tersenyum ketika dia menyentuh lututku. Dia menarik tangannya kembali ketika Travis berdiri diantara kami.
"kau siap, Pidge""
"Aku sedang mengobrol, Travis," kataku sambil mendorongnya. Bajunya basah karena bersirkus di lantai dansa, lalu aku sengaja mengelapkan tanganku pada rokku.
Travis menyeringai. "Apakah kau benar-benar mengenal pria ini""
"Namanya Ethan," jawabku, sambil tersenyum semenggoda mungkin ke arah Ethan.
Dia mengedipkan satu matanya padaku, memandang Travis lalu mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu."
Travis melihat sekilas ke arahku dan aku mendengus. "Ethan ini Travis," aku bergumam pelan.
"Travis Maddox," dia menambahkan, menatap tangan Ethan seperti akan merobeknya hingga lepas.
Mata Ethan melebar dan dengan canggung menarik kembali tangannya. "Travis Maddox" Travis Maddox dari Eastern"
Aku meletakan kepalan tanganku di pipiku, takut akan terjadi pertikaian yang dipicu hormon testosteron yang tidak terelakkan.
Travis meregangkan tangannya di belakangku untuk berpegangan pada meja bar. "Ya benar, kenapa""
"Aku melihat pertarunganmu dengan Shawn Jenks tahun lalu. Aku pikir aku akan menyaksikan kematian seseorang!"
Travis menatap tajam ke arahnya "Apakan kau ingin melihatnya lagi""
Ethan tertawa sekali dan menatap pada kami bergantian. Ketika dia menyadari Travis serius, dia tersenyum padaku meminta maaf lalu pergi.
"kau siap pergi sekarang"" Travis membentak.
"kau benar-benar brengsek, kau tahu itu""
"Aku pernah di panggil lebih parah," dia berkata sambil membantuku turun dari kursi bar.
*** Kami mengikuti America dan Shepley menuju mobil, dan ketika Travis berusaha memegang tanganku untuk menuntun ke tempat parkir, aku menepiskan tangannya. Dia berbalik dan aku tersentak lalu berhenti, mundur ke belakang ketika dia hanya beberapa inchi dari wajahku.
"Aku harusnya tinggal menciummu dan mengakhiri semua ini!" dia berteriak. "kau sangat menggelikan! Aku mencium lehermu, terus kenapa""
Aku dapat mencium bau bir dan rokok dari nafasnya lalu aku mendorongnya. "Aku bukan teman berhubungan seks, Travis."
Dia menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. "Aku tidak pernah bilang kau begitu! kau selalu bersamaku dua puluh empat jam sehari, kau tidur di tempat tidurku tapi sepanjang waktu kau bertingkah seperti kau tidak ingin terlihat bersamaku!"
"Aku datang kemari bersamamu!"
"Aku selalu memperlakukanmu dengan hormat, Pidge."
Aku berdiri tegak. "Tidak, kau memperlakukanku seperti aku adalah barang milikmu. kau tidak berhak mengusir Ethan seperti itu!"
"Apakah kau tahu Ethan itu siapa"" dia bertanya. Ketika aku menggelengkan kepalaku, dia mendekat. "Aku tahu dia siapa. Dia pernah di penjara karena pelecehan seksual, tapi tuntutannya di batalkan."
Aku melipat tanganku. "Oh, jadi kalian mempunyai kesamaan""
Mata Travis menyipit, dan otot rahangnya berkedut di bawah kulitnya. "Apakah kau memanggilku pemerkosa"" dia bertanya dengan dingin dan pelan.
Aku menekan bibirku, bahkan lebih marah karena Travis benar. Aku sudah bertindak terlalu jauh. "Tidak, aku hanya marah padamu!"
"Aku habis minum-minum, kulitmu hanya beberapa inchi dari wajahku, kau cantik dan kau sangat wangi saat berkeringat. Aku menciummu! Maafkan aku! Lupakanlah!"
Alasannya membuat bibirku tersenyum. "Menurutmu aku cantik""
Dia mengernyit dengan muak. "Kau sangat cantik dan kau tahu itu. Apa yang kau tertawakan""
Aku berusaha menyembunyikan rasa kagumku dengan tidak mengakuinya. "Tidak ada apa-apa. Ayo pergi."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Travis tertawa satu kali dan me
nggelengkan kepalanya. "Apa.." kau.." kau adalah orang yang sangat merepotkan!" dia berteriak dan melotot padaku. Aku tak bisa berhenti tersenyum, setelah beberapa lama, Travis mulai tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya lagi dan melingkarkan tangannya di leherku. "kau membuatku gila. Apa kau tahu itu""
*** Tiba di apartemen, kami semua terhuyung di pintu. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mencuci bau asap rokok dari rambutku. Ketika aku keluar dari pancuran, aku lihat Travis telah membawakanku salah satu kaos dan celana boxernya untuk baju gantiku.
Kaosnya kebesaran dan boxernya menghilang di bawah kaos. Aku berbaring di atas tempat tidur dan menghela nafas, masih tetap tersenyum mengingat apa yang telah dia katakan di tempat parkir.
Travis menatapku sekilas, dan aku merasakan sengatan di dadaku. Aku hampir merasakan dorongan kuat untuk menarik wajahnya dan menciumnya, tapi aku melawan aliran alkohol dan hormon yang mengalir di dalam darahku.
"Selamat tidur, Pidge." dia berbisik kemudian membalik.
Aku bergerak dengan gelisah, belum ingin tidur. "Trav"" aku memanggilnya sambil menyandarkan pipiku di pundaknya.
"Ya"" "Aku tahu aku mabuk, dan kita baru saja bertengkar hebat karena masalah ini, tapi..."
"Aku tidak akan berhubungan seks denganmu, jadi berhentilah bertanya," dia berkata sambil tetap membelakangiku.
"Apa" Bukan itu!" Aku berteriak.
Travis tertawa dan berbalik menatapku dengan lembut. "Ada apa, Pidge""
Aku mendesah. "Ini..." kataku sambil membaringkan kepalaku di dadanya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya, meringkuk sedekat mungkin padanya.
Tubuhnya menegang dan tangannya di atas, tak tahu bagaimana harus bereaksi. "kau benar-benar mabuk."
"Aku tahu," jawabku, terlalu mabuk untuk merasa malu.
Dia meletakkan satu tangannya di punggungku dan tangan satunya di rambut basahku, lalu mencium dahiku. "kau adalah wanita yang paling membuatku bingung yang pernah kutemui."
"Setidaknya ini yang bisa kau lakukan setelah menakuti satu-satunya pria yang mendekatiku malam ini."
"Maksudmu Ethan si pemerkosa" Ya, aku berhutang padamu untuk itu."
"Lupakan saja," kataku mulai merasakan penolakan.
Dia menarik tanganku dan menahannya di atas perutnya mencegah aku untuk melepaskannya. "Tidak, aku serius. kau harus lebih berhati-hati. Jika aku tidak ada di sana...aku bahkan tidak mau memikirkannya. Dan sekarang kau mengharapkan aku meminta maaf karena mengusirnya""
"Aku tak ingin kau meminta maaf. Ini bahkan bukan tentang itu."
"Lalu tentang apa"" dia bertanya, menatap mataku mencari sesuatu. Wajahnya hanya beberapa inchi dariku dan aku bisa merasakan nafasnya di bibirku.
Aku cemberut. "Aku mabuk, Travis. Hanya itu alasan yang aku punya."
"kau hanya ingin aku memelukmu hingga kau tertidur""
Aku tidak menjawab. Dia bergerak untuk menatap lurus ke mataku. "Seharusnya aku menolaknya untuk membuktikan maksudku," dia berkata, alisnya mengernyit. "Tapi aku akan membenci diriku nanti jika aku menolaknya dan kau tak pernah memintanya lagi."
Aku membaringkan leherku di dadanya, lalu dia mempererat pelukannya, mendesah. "kau tidak membutuhkan alasan, Pidge. Kau hanya tinggal minta."
*** Aku meringis karena sinar matahari menembus jendela dan alarm berbunyi di telingaku. Travis masih tertidur, memelukku dengan kedua tangan dan kakinya. Aku memutar tanganku untuk meraih dan menekan tombol tunda. Mengusap wajahku, lalu memandanginya yang sedang tertidur nyenyak di dekatku.
"Ya Tuhan," aku berbisik, heran bagaimana kita bisa seperti ini. Aku menarik nafas panjang dan menahannya saat aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya.
"Hentikan, Pidge. Aku sedang tidur." Dia bergumam, semakin erat memelukku.
Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku lepas dari pelukannya lalu duduk di ujung tempat tidur, menatap tubuhnya yang setengah telanjang tertutup selimut. Aku memandangnya sebentar dan mendesah. Batasnya jadi semakin tidak jelas dan itu kesalahanku.
Tangannya keluar dari selimut dan menyentuh jariku. "Ada apa, Pidge"" dia bertanya dengan ma
ta sedikit terbuka. "Aku akan bawa segelas air minum, apa kau menginginkan sesuatu"" Travis menggelengkan kepalanya lalu memejamkan matanya lagi, pipinya menempel di atas tempat tidur.
"Selamat pagi, Abby," Shepley menyapa dari atas kursi malas ketika aku muncul.
"Di mana Mare""
"Masih tidur. Apa yang kau lakukan sepagi ini"" dia bertanya sambil melirik jam.
"Alarmnya mati tapi aku selalu bangun pagi setelah mabuk, itu kutukan."
"Aku juga," dia mengangguk.
"Sebaiknya kau membangunkan Mare. Kita ada kelas dalam satu jam." Aku berkata sambil membuka kran dan membungkuk untuk minum seteguk.
Shepley mengangguk. "Tadinya aku akan membiarkan dia tidur."
Aku menggeleng. "Jangan, dia akan marah kalau kesiangan."
"Oh," dia berkata lalu berdiri. "Sebaiknya membangunkan dia kalau begitu." Dia berbalik, "Hey, Abby""
"Ya"" "Aku tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Travis, tapi aku tahu dia akan melakukan hal yang bodoh untuk membuatmu kesal. Dia selalu seperti itu. Dia jarang dekat dengan seseorang dan aku tak tahu apa alasannya, dia membiarkanmu mendekat. Tapi kau harus mengabaikan kelakuan jeleknya. Hanya dengan itu dia akan tahu."
"Tahu apa"" aku bertanya sambil mengangkat alisku karena ucapannya yang melodramatis.
"Kalau kau bersedia menerima Travis," dia menjawab dengan sungguh-sungguh.
Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. "Terserah apa katamu, Shep."
Shepley menghela nafas lalu menghilang masuk ke kamarnya. Aku mendengar keluhan pelan, erangan protes lalu tawa cekikikan manis America.
Pendekar Lembah Naga 27 Pendekar Naga Putih 34 Mustika Naga Hijau Rahasia Diri 1

Cari Blog Ini