Ceritasilat Novel Online

Beautiful Disaster 2

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 2


Aku mengaduk oatmeal di mangkukku dan menambahkan coklat sirup ke dalamnya saat aku mengaduk.
"Sangat menjijikan, Pidge," Travis berkata, hanya memakai celana boxer kotak-kotak hijau. Dia menggosok matanya lalu mengeluarkan sereal dari dalam lemari.
"Selamat pagi juga," kataku sambil menutup botol sirup coklat.
"Aku dengar sebentar lagi ulang tahunmu. Kesempatan terakhir di tahun remajamu," dia menyeringai, matanya merah dan bengkak.
"Ya...aku orang yang tidak suka merayakan ulang tahunnya. Aku pikir Mare akan mengajakku makan malam atau lainnya." Aku tersenyum. "kau boleh ikut kalau mau."
"Baiklah," dia mengangkat bahunya. "Itu seminggu dari hari minggu, kan""
"Ya benar. Kapan ulang tahunmu""
Dia menuangkan susu, mencelupkan flake dengan sendoknya. "Nanti April, tanggal satu."
"Serius"" "Aku serius," dia menjawab sambil mengunyah.
"Ulang tahunmu tepat pada saat April Fool's"" aku bertanya lagi sambil mengangkat alisku.
Dia tertawa. "Ya benar! kau akan terlambat nanti. Sebaiknya aku bersiap-siap."
"Aku akan pergi bersama America."
Aku tahu dia berusaha bersikap tak acuh saat dia mengangkat bahu. "Terserah," jawabnya lalu berbalik untuk menghabiskan serealnya.
*** Bab 4 TARUHAN (THE BET) "Dia benar-benar menatap ke arahmu," America berbisik sambil bersandar ke belakang untuk mengintip ke seberang ruangan.
"Berhenti melihat ke arahnya, bodoh, dia akan mengetahuinya nanti."
America tersenyum dan melambaikan tangannya. "Dia sudah melihatku tapi dia tetap menatap ke arahmu."
Aku ragu sejenak lalu mengumpulkan keberanian untuk menatap balik ke arahnya. Parker memang sedang menatapku lalu tersenyum.
Aku membalas senyumannya, lalu pura-pura mengetik sesuatu di laptopku.
"Apakah dia masih melihat kemari"" aku berbisik.
"Ya," America tersenyum.
Setelah kelas selesai, Parker menghentikanku di lorong.
"Jangan lupa ada pesta akhir minggu ini."
"Aku tidak akan lupa," jawabku sambil berusaha tidak mengedipkan mataku atau melakukan sesuatu yang bodoh.
Aku dan America berjalan menyeberangi halaman rumput menuju kafetaria, untuk bertemu dengan Travis dan Shepley lalu makan siang bersama. America masih menertawakan kelakuan Parker tadi ketika Shepley dan Travis mendekat.
"Hai, Sayang," America menyapa lalu mencium tepat di bibir kekasihnya.
"Apa yang begitu lucu"" Shepley bertanya.
"Oh, ada seorang cowok di kelas yang memandangi Abby sepanjang waktu. Sangat manis."
"Selama dia hanya memandangi Abby," Shepley meng
edipkan sebelah matanya. "Siapa orangnya"" Travis mendengus.
Aku mencoba melepaskan tas ranselku, meminta Travis untuk melepaskannya dari tanganku dan memegangnya. Aku menggelengkan kepalaku. "Mare membayangkan yang tidak-tidak."
"Abby! kau benar-benar pembohong! Orangnya Parker Hayes dan dia sangat jelas memandanginya. Dia hampir meneteskan air liurnya."
Ekspresi Travis berubah menjadi rasa jijik. "Parker Hayes""
Shepley menarik tangan America. "Kita akan makan siang. Apakah kau ingin menikmati masakan kafetaria sore ini""
America menciumnya lagi sebagai jawaban, Travis dan aku mengikuti di belakang mereka. Aku meletakan nampanku diantara America dan Finch namun Travis tidak duduk di tempat biasa di depanku. Melainkan dia duduk beberapa kursi dari tempat biasanya. Baru aku menyadari dia tidak banyak bicara ketika kita berjalan menuju kafetaria tadi.
"Apa kau baik-baik saja, Trav"" tanyaku.
"Aku" Baik-baik saja, kenapa"" dia balik bertanya, melembutkan ekspresi wajahnya.
"Kau lebih banyak diam."
Beberapa anggota tim football mendekati meja lalu duduk dan tertawa keras. Travis tampak sedikit terganggu saat dia memutar-mutar makanan di atas piringnya.
Chris Jenks melemparkan kentang goreng ke dalam piring Travis. "Apa kabar, Trav" Aku dengar kau meniduri Tina Martin. Dia terus-terusan menyebutkan namamu hari ini."
"Diam, Jenks," Travis berkata, tetap memandangi makanannya.
Aku bersandar ke depan hingga pria berotot besar di depan Travis dapat dengan jelas melihat tatapan tajamku. "Hentikan, Chris."
Travis memandangku kesal. "Aku dapat menjaga diriku sendiri, Abby."
"Maafkan aku, aku..."
"Aku tidak ingin kau minta maaf. Aku tidak ingin apapun darimu." Dia membentak dan mendorong menjauh dari meja kemudian berjalan cepat keluar pintu.
Finch memandangku lalu mengangkat alisnya. "Ya ampun, dia kenapa""
Aku menusuk anggur kecil dengan garpuku dan menghela nafas. "Aku tak tahu."
Shepley menepuk punggungku. "Bukan karena dirimu, Abby."
"Dia hanya sedang punya masalah," America menambahkan.
"Masalah apa"" tanyaku.
Shepley mengangkat bahunya dan kembali memandangi piringnya. "Seharusnya kau sudah terbiasa sekarang untuk lebih sabar dan memaafkan jika berteman dengan Travis. Dia mempunyai alam semestanya sendiri."
Aku menggelengkan kepalaku. "Itu Travis yang orang lain lihat...Travis yang aku kenal tidak seperti itu."
Shepley bersandar ke depan. "Tidak ada bedanya. kau harus mengikuti arus."
*** Setelah kelas selesai, aku pulang bersama America ke apartemen dan mengetahui bahwa motor Travis sudah tidak ada. Aku masuk ke kamarnya dan meringkuk seperti bola di atas tempat tidurnya, menahan kepalaku di atas tanganku. Travis tampak baik-baik saja tadi pagi. Setelah sekian lama kita bersama, aku tak bisa percaya bahwa aku tidak melihat ada sesuatu yang mengganggunya. Bukan hanya itu, yang lebih menggangguku saat America tahu apa yang terjadi sedangkan aku tidak.
Nafasku semakin pelan dan mata semakin berat; tidak begitu lama aku langsung tertidur. Ketika mataku terbuka lagi, langit malam menggelapkan jendela. Suara bisikan terdengar dari arah lorong di ruang tamu, termasuk suara berat Travis. Aku berjalan keluar dan membeku saat mendengar namaku.
"Abby mengerti, Trav. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri," Shepley berkata.
"Kalian sudah akan pergi ke pesta kencan, kenapa tidak mengajaknya kencan"" America bertanya.
Aku menegang menanti jawabannya. "Aku tidak ingin berkencan dengannya; Aku hanya ingin ada di dekatnya. Dia...berbeda."
"Berbeda bagaimana"" America bertanya terdengar sedikit tidak sabar.
"Dia tidak termakan rayuanku, itu sangat menyegarkan untukku. kau sendiri yang bilang, Mare, aku bukan tipenya. Kita hanya...tidak seperti itu."
"kau mendekati tipenya lebih dari yang kau tahu," America berkata.
Aku mundur sepelan mungkin dan ketika lantai kayu berderak di bawah kakiku, aku meraih pintu kamar Travis untuk menutupnya, lalu melangkah menuju lorong.
"Hai, Abby," America tersenyum. "Bagaimana tidurmu""
"Aku tertidur s elama lima jam. Itu lebih seperti koma daripada tidur."
Travis memandangku sejenak dan ketika aku tersenyum padanya, dia melangkah ke arahku, memegang tanganku dan menarikku sepanjang lorong menuju kamarnya. Dia menutup pintu dan jantungku berdegup kencang di dadaku, menguatkan diri menunggu dia mengatakan sesuatu untuk menghancurkan egoku.
Dia mengernyit. "Maafkan aku, Pidge. Aku sikapku menyebalkan tadi."
Aku sedikit lebih tenang, melihat penyesalan di matanya. "Aku tak tahu kalau kau marah padaku."
"Aku memang tidak marah padamu. Aku hanya punya kebiasaan melampiaskannya pada orang yang aku sayangi. Itu alasan yang buruk, aku tahu, tapi aku sangat menyesal." dia berkata sambil mendekapku.
Aku menaruh pipiku di dadanya, merasa nyaman. "Apa yang membuatmu marah""
"Itu tidak penting. Yang aku khawatirkan hanya dirimu."
Aku mundur untuk memandangnya. "Aku bisa menghadapi luapan kemarahanmu."
Dia mengamati wajahku beberapa saat sebelum senyuman kecil muncul di bibirnya.
"Aku tak tahu mengapa kau tahan denganku, tak tahu apa yang akan aku lakukan apabila kau tidak tahan."
Aku dapat mencium campuran antara rokok dan mint di nafasnya dan aku menatap bibirnya, tubuhku bereaksi dengan kedekatan kami. Ekspresi Travis berubah dan nafasnya terengah - dia menyadarinya juga.
Dia membungguk semakin dekat padaku, lalu...kita berdua terlonjak karena terkejut ketika handphonenya berdering. Dia mendengus lalu mengeluarkannya dari saku celananya.
"Ya. Hoffman" Ya Tuhan...baiklah. Itu akan menjadi kemenangan yang mudah. Jefferson"" Dia melihat ke arahku dan mengedipkan satu matanya. "Kita akan datang." Dia menutup telepon dan menarik tanganku. "Ayo ikut denganku." Dia menarikku ke ruang tamu. "Tadi Adam menelepon," dia memberitahu Shepley. "Brady Hoffman akan datang ke Jefferson dalam 90 menit."
Shepley mengangguk dan berdiri, mengambil Handphone dari sakunya. Setelah beberapa lama, dia mengulangi apa yang di katakan Travis padanya saat menelepon, menutup telepon lalu memutar nomor lain dan mengulang informasi yang sama sekali lagi. Dia memutar nomor lain lagi saat menutup pintu kamarnya.
"Inilah saatnya," America berkata sambil tersenyum. "Sebaiknya kita bersiap-siap!"
Suasana di apartemen sangat tegang dan tenang pada saat yang sama. Travis tampak tidak terpengaruh, memakai sepatu bootnya dan tank top putih seperti akan pergi hanya untuk mengurus suatu urusan.
America menuntunku menyelusuri lorong menuju kamar Travis dan mengerutkan dahi. "kau harus ganti pakaianmu, Abby. kau tidak bisa memakai itu ke pertarungan."
"Aku memakai cardigan saat terakhir kali ke sana tapi kau tidak bilang apapun!" protesku.
"Kupikir kau tidak akan datang waktu itu. Ini," dia melempar pakaian ke arahku, "Pakai ini."
"Aku tak akan memakai ini!"
"Ayo kita pergi!" Shepley memanggil dari ruang tamu.
"Ayo cepat!" America berteriak, berlari ke kamar Shepley.
Aku mengenakan atasan ketat bertali warna kuning yang belahan di bagian dadanya rendah dan celana low-rise jins yang tadi America lemparkan ke arahku, memakai sepatu yang berhak agak tinggi, lalu menyisir rambutku sambil berjalan menuju ruang tamu.
America keluar dari kamar memakai celana pendek, dress baby doll warna hijau dan sepatu berhak dengan warna senada, dan ketika kita tiba di ruang tamu, Travis dan Shepley sudah berdiri di dekat pintu keluar.
Mulut Travis terbuka. "Oh tidak, jangan. Apa kau mau membuatku terbunuh" kau harus ganti pakaianmu, Pidge."
"Apa"" Aku bertanya lalu melihat pakaian yang aku pakai.
America menutup mulut dengan tangannya. "Dia terlihat cantik, Trav, biarkan saja!"
Travis menarik tanganku dan menuntunku menyelusuri lorong. "Pakai kaos...dan sepatu kets saja. Sesuatu yang nyaman dipakai."
"Apa" Kenapa""
"Karena aku akan lebih khawatir pada orang yang melihat payudaramu dalam pakaian itu bukannya pada Hoffman," dia berkata lalu berhenti di depan pintu kamarnya.
"Aku pikir kau tak peduli pada apa yang orang lain pikirkan""
"Ini situasinya berbeda, jadi aku mohon...tolong...aku mohon ganti saj
a," dia tergagap lalu mendorongku masuk dan mengurungku di kamar.
"Travis!" aku berteriak. Aku menendang lepas sepatuku dan menggantinya dengan Converse. Lalu aku melepas atasanku dan melemparkannya ke ujung kamar. Aku memakai kaos katun pertama yang aku pegang lalu berlari keluar kamar, berdiri di depan pintu keluar.
"Lebih baik"" aku mendengus sambil mengikat rambutku.
"Ya!" Travis menjawab lega. "Ayo kita pergi!"
*** Kita semua berlari menuju tempat parkir. Aku melompat naik ke atas motor Travis saat dia menyalakan mesinnya lalu melesat cepat menuju kampus. Aku memeluk erat pinggang Travis untuk antisipasi; karena tadi terburu-buru keluar telah membuat adrenalin melonjak dalam pembuluh darahku.
Travis memacu motornya melewati trotoar, memarkirkan motornya di bawah bayangan belakang gedung Liberal Arts Jefferson. Dia mendorong kacamatanya ke atas kepalanya, lalu memegang tanganku dan tersenyum saat menyelinap ke belakang gedung. Dia berhenti di depan jendela yang terbuka yang berada tidak jauh dari permukaan tanah.
Ketika menyadari itu jalan untuk masuk, mataku terbelalak. "Apa kau bercanda""
Travis tersenyum. "Ini pintu masuk VIP. kau harus lihat bagaimana cara orang lain untuk masuk."
Aku menggelengkan kepala ketika dia mencoba mendorong masuk kakinya lalu menghilang. Aku membungkuk ke bawah dan memanggilnya, merasa ditinggalkan. "Travis!"
"Kau pasti sudah gila kalau kau pikir aku akan melompat ke lubang gelap!"
"Dibawah sini, Pidge. Masuklah dengan posisi kaki terlebih dulu, aku akan menangkapmu."
Aku menarik nafas, menyentuh dahi dengan tanganku. "Ini gila!"
Aku duduk di lantai, lalu bergeser ke depan sehingga setengah tubuhku menggantung dalam kegelapan. Aku berbalik telungkup, mengarahkan tumitku untuk merasakan lantai. Aku menunggu sampai tangan Travis menyentuh kakiku, namun aku kehilangan pegangan, menjerit ketika jatuh kebelakang. Sepasang tangan memegangku lalu mendengar suara Travis di dalam kegelapan.
"kau jatuh seperti cewek," dia tertawa terkekeh.
Dia menurunkan kakiku ke bawah dan menarikku lebih jauh ke dalam kegelapan. Seteleh beberapa langkah, aku dapat mendengar suara teriakan nomor dan nama yang familiar lalu ruangan menjadi terang. Ada sebuah lentera dipojok ruangan, cahayanya cukup terang untuk dapat membaca wajah Travis.
"Apa yang akan kita lakukan""
"Menunggu. Adam harus menyelesaikan ocehannya terlebih dahulu sebelum aku masuk."
Aku duduk dengan gelisah. "Apakah aku harus menunggu di sini atau ikut masuk ketika pertarungan di mulai" Shep dan Mare di mana""
"Mereka masuk lewat pintu lain. Ikuti saja aku nanti, aku tidak akan mengirimmu ke sarang hiu tanpa aku. Berdiri dekat Adam, dia akan membuatmu terhindar dari desakan orang-orang. Aku tidak bisa memperhatikanmu sambil mengayunkan pukulan dalam waktu yang sama."
"Desakan""
Akan ada banyak orang yang datang malam ini. Brady Hoffman dari State. Mereka mengadakan acara pertarungan sendiri di sana. Maka akan ada penonton mereka dan penonton dari kita sehingga keadaan akan menjadi gila."
"Apakah kau gugup"" aku bertanya.
Dia tersenyum sambil menatapku. "Tidak. Tapi kau kelihatan sedikit gugup."
"Mungkin sedikit," aku mengaku.
"Kalau ini membuatmu merasa lebih baik, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku. Aku bahkan tidak akan membiarkannya meskipun untuk fansnya."
"Bagaimana kau akan melakukannya""
Dia mendengus. "Biasanya aku membiarkan mereka memukulku satu kali, agar terlihat adil."
"kau" kau membiarkan orang lain memukulmu""
"Dimana kesenangannya kalau aku membantai orang lain tapi mereka tak pernah bisa membalas pukulanku sama sekali" Itu tidak bagus untuk bisnis, tidak akan ada orang yang bertaruh melawanku."
"Omong kosong macam apa itu," kataku sambil melipat tanganku.
Travis mengangkat alisnya. "kau pikir aku bercanda""
"Aku sulit untuk percaya kalau kau terkena pukulan hanya karena kau membiarkannya."
"Apa kau akan bertaruh untuk itu, Abby Abernathy"" dia tersenyum, matanya tampak bersemangat.
Aku tersenyum. "Aku terima tantangan itu.
Kupikir dia akan memukulmu sekali."
"Dan apabila dia tidak berhasil" Apa yang akan aku menangkan"" dia bertanya. Aku mengangkat bahu saat teriakan di dinding sebelah semakin keras terdengar. Adam menyapa penonton, lalu membacakan semua peraturannya.
Senyuman Travis semakin lebar. "Jika kau menang, aku tidak akan berhubungan seks selama satu bulan." Aku mengangkat sebelah alisku lalu dia tersenyum lagi. "Tapi bila aku menang, kau harus tinggal bersamaku selama satu bulan."
"Apa" Tapi aku kan memang tinggal bersamamu sekarang! Taruhan macam apa itu"" aku berteriak di antara suara bising.
"Mereka telah memperbaiki pemanas air di asrama hari ini," Travis tersenyum sambil mengedipkan matanya.
Satu senyuman puas terukir di wajahku saat Adam memanggil nama Travis. "Apapun berharga untuk melihatmu berusaha untuk tidak terpukul."
Travis mencium pipiku lalu melangkah keluar, berdiri tegak. Aku mengikutinya di belakang, dan ketika kita berjalan memasuki ruangan berikutnya, aku terkejut dengan jumlah penonton yang berada di ruangan sekecil ini. Hanya tersedia sedikit ruang untuk berdiri, tapi desakan dan teriakan semakin keras saat kita memasuki ruangan. Travis mengangguk ke arahku lalu tangan Adam berada di atas bahuku, menarikku ke sampingnya.
Aku mendekat ke telinga Adam. "Aku bertaruh dua untuk Travis," aku berkata.
Alis Adam terangkat saat aku mengeluarkan dua lembar uang bergambar Benjamin (100 dollar) dari sakuku. Dia mengulurkan telapak tangannya, lalu aku menaruh uangku di tangannya.
"Ternyata kau tidak seoptimis yang kukira," dia berkata menatapku sekilas.
Brady setidaknya satu kepala lebih tinggi dari Travis, aku menelan ludah ketika aku melihat mereka berdiri berhadapan. Brady sangat besar, dua kali lipat dari Travis dengan otot yang sangat besar. Aku tidak dapat melihat ekspresi Travis, tapi terlihat sangat jelas kalau Brady haus darah.
Adam mendekatkan bibirnya ke telingaku. "kau mungkin harus menutup telingamu, nak."
Aku menutup telingaku dan Adam membunyikan terompetnya. Bukannya menyerang, Travis justru mundur beberapa langkah. Brady mengayunkan pukulannya, dan Travis menghindar ke kanan. Brady mencoba memukul lagi dan Travis menunduk lalu bergeser ke samping.
"Apa ini" Ini bukan pertarungan tinju, Travis!" Adam berteriak.
Travis mendaratkan pukulan di hidung Brady. Suara di basement sangat memekakan telinga waktu itu. Travis kemudian memukul rahang Brady, dan tanganku menutup mulutku saat Brady berusaha memukul lagi beberapa kali, tidak ada yang kena. Brady terjatuh ke arah rombongannya ketika Travis memukulkan sikunya ke wajah Brady. Ketika kupikir semua akan berakhir, Brady berdiri dan mengayunkan pukulannya lagi. Pukulan demi pukulan, Brady tampak tidak dapat mengikuti. Mereka berdua berkeringat, aku terkesiap ketika Brady meleset lagi, memukul tiang semen. Ketika dia membungkuk memegangi tangannya yang sakit, Travis menyerang untuk mengakhiri pertarungan.
Tanpa ampun, pertama dia menendangkan dengan lututnya ke wajah Brady, lalu memukulinya terus menerus hingga Brady terjatuh dan menyentuh lantai. Tingkat kebisingan semakin keras saat Adam meninggalkanku untuk melempar kain berwarna merah ke wajah Brady yang penuh darah.
Travis menghilang di belakang para fansnya, dan aku bersandar di tembok, mencari jalan kembali ke pintu tempat kita datang tadi. Merasa lega ketika dapat memegang lentera. Aku khawatir akan terjatuh lalu terinjak.
Mataku fokus menatap pintu keluar, memperhatikan tanda akan semakin bertambahnya orang di dalam ruangan yang kecil ini. Setelah beberapa menit dan masih tidak ada tanda-tanda dari Travis, aku bersiap untuk mengingat jalan ke jendela tempat kita masuk tadi. Dengan semakin banyaknya orang yang berusaha keluar bersamaan, sangat tidak aman untuk hanya diam berdiri.
Ketika aku akan melangkah ke kegelapan, suara langkah terdengar berderak di semen yang lepas di lantai. Travis menatapku dengan panik.
"Pigeon!" "Aku di sini!" aku menyahut, berlari kepelukannya.
Travis melihat ke bawah dan mengerutkan dahinya. "kau membuat aku sang
at takut! Aku hampir memulai perkelahian lagi tadi ketika mencarimu...akhirnya aku tiba di sini tapi kau tidak ada!"
"Aku senang kau kembali ke sini. Aku tak ingin mencari jalan keluar di kegelapan sendirian."
Semua rasa khawatir di wajahnya menghilang, lalu dia tersenyum lebar. "Aku rasa kau kalah taruhan."
Adam melangkah masuk, menatapku lalu menatap tajam ke arah Travis. "Kita perlu bicara."
Travis mengedipkan matanya padaku. "Diam ditempat. Aku akan segera kembali."
Travis menghilang di kegelapan. Adam meninggikan suaranya beberapa kali, tapi aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Travis kembali, memasukan setumpuk uang ke dalam sakunya, lalu dia tersenyum kecil. "kau perlu membawa pakaian tambahan."
"kau serius akan membuatku tinggal bersamamu selama sebulan""
"Apa kau akan membuatku tidak berhubungan seks selama satu bulan""
Aku tertawa, mengetahui kalau aku akan melakukannya. "Kita harus mampir ke asrama dulu."
Travis berseri-seri. "Ini akan jadi menarik."
Ketika Adam lewat, dia menyerahkan uang yang aku menangkan ke tanganku, lalu menghilang di tengah orang banyak.
Travis menaikan satu alisnya. "kau ikut bertaruh""
Aku tersenyum dan mengangkat bahuku. "Kupikir aku harus mendapatkan pengalaman sepenuhnya."
Dia menuntunku ke jendela lalu merangkak keluar, berbalik untuk menolongku keluar ke udara malam yang segar. Jangkrik sedang mengerik di kegelapan, berhenti cukup lama untuk membiarkan kami lewat. Rumput monyet di sepanjang trotoar melambai karena angin sepoi-sepoi, mengingatkanku akan suara laut bila aku tidak terlalu dekat untuk mendengar suara ombak pecah. Udara tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin; ini adalah malam yang sempurna.
"Jadi, kenapa kau menginginkan aku untuk tinggal bersamamu"" aku bertanya.
Travis mengangkat bahunya, memasukan tangan ke dalam sakunya. "Aku tak tahu. Semua tampak lebih baik ketika kau ada didekatku."
Rasa hangat yang tidak jelas yang aku rasakan karena kata-katanya langsung berubah melihat warna merah, noda kotor di kaosnya. "Ih, ada darah di bajumu."
*** Travis melihat kebawah dengan acuh tak acuh, lalu membuka pintu, memberi isyarat agar aku masuk. Aku melewati Kara yang sedang belajar di atas tempat tidurnya, disibukkan oleh buku pelajaran yang ada di sekelilingnya.
"Pemanas airnya telah diperbaiki pagi ini,"
"Aku tahu," kataku sambil mengaduk-aduk isi lemariku.
"Hai," Travis menyapa Kara.
Wajah Kara berubah saat keadaan Travis yang berkeringat dan berdarah.
"Travis, ini teman sekamarku, Kara Lin. Kara, ini Travis Maddox."
"Senang berkenalan denganmu," Kara berkata sambil meperbaiki posisi kacamata di hidungnya. Dia melihat sekilas pada tasku yang menggembung karena penuh barang. "Apa kau akan pindah""
"Tidak, hanya kalah taruhan."
Tawa Travis terbahak lalu mengambil tasku. "Siap""
"Ya. Bagaimana cara kita membawa semua barang ini ke apartemen" Kita kan naik motor."
Travis tersenyum lalu mengeluarkan handphonenya. Dia membawa tasku ke luar, dan beberapa menit kemudian mobil Charger hitam klasik Shepley berhenti.
Jendela di kursi penumpang turun dan America menjulurkan kepalanya keluar. "Hai, Chickie!"
"Hai juga. Pemanas air di asrama sudah diperbaiki, apakah kau tetap akan tinggal dengan Shepley""
Dia berkedip. "Ya, kupikir aku akan menginap di sana malam ini. Aku dengar kau kalah taruhan."
Sebelum aku sempat menjawabnya, Travis menutup bagasi mobil lalu Shepley melesat pergi dan America memekik ketika dia jatuh bersandar di kursinya.
Kami berjalan menuju motor, dan ketika aku memeluk pinggangnya, dia memegang tanganku.
"Aku senang kau menginap malam ini, Pidge. Aku tidak pernah merasa begitu senang saat bertarung."
Aku mengangkat kepalaku di bahunya lalu tersenyum. "Itu karena kau sedang berusaha memenangkan taruhan ini."
Dia melirik ke belakang menatapku. "Benar, aku benar-benar berusaha untuk menang." Tidak ada kegirangan di matanya, dia sangat serius dan dia ingin aku melihatnya.
Alisku terangkat. "Itu kah sebabnya kau bad mood hari ini" Karena tahu pem
anas air di asrama telah di perbaiki dan aku akan pulang malam ini""
Travis tidak menjawab; dia hanya tersenyum lalu menyalakan motornya. Perjalanan menuju apartemen sangat lambat. Di setiap stopan, Travis akan memegang tanganku atau lututku. Batasnya tidak jelas lagi, dan aku khawatir bagaimana kami akan menjalani satu bulan bersama tanpa merusak semuanya. Ujung tali persahabatan kita bergantung dengan cara yang tidak pernah aku bayangkan.
Ketika kita tiba di tempat parkir apartemen, mobil Shepley terparkir di tempat biasa.
Aku berdiri di depan tangga. "Aku tidak suka kalau mereka tiba lebih dulu di rumah. Aku merasa seperti kita akan mengganggu mereka."
"Biasakan. Ini rumahmu untuk empat minggu ke depan," Travis tersenyum dan berbalik menghadapku. "Ayo naik."
"Apa"" aku tersenyum.
"Ayo, aku akan menggedongmu ke atas."
Aku terkekeh dan naik ke atas punggungnya, berpegangan di atas dadanya saat dia berlari ke atas. America membuka pintu sebelum kami sampai di atas dan tersenyum.
"Lihat kalian berdua. Jika aku tidak tahu yang sebenarnya..."
"Hentikan, Mare," Shepley berteriak dari sofa.
America tersenyum seperti dia telah terlalu banyak bicara, dan membuka pintu dengan lebar agar cukup untuk kami berdua bisa masuk. Travis ambruk di kursi malas. Aku berteriak ketika dia menindihku di bawah punggungnya.
"kau tampak sangat ceria malam ini, Trav. Ada apa"" America bertanya.
Aku duduk tegak untuk melihat wajah Travis. Aku tak pernah melihat dia begitu bahagia.
"Aku baru saja memenangkan banyak uang, Mare. Dua kali lipat dari yang aku kira akan dapatkan. Kenapa tidak bahagia""
"Bukan itu, sepertinya ada alasan lain," America berkata lagi ketika melihat tangan Travis membelai pahaku. Dia benar; Travis berbeda. Ada aura kedamaian di sekitarnya, hampir seperti ada rasa kepuasan baru yang menghuni di jiwanya.
"Mare," Shepley memperingatkan.
"Baiklah, aku akan membicarakan hal lain. Bukankah Parker mengundangmu ke pesta Sig Tau akhir minggu ini, Abby""
Senyum Travis menghilang dan dia melihat padaku, menunggu jawaban.
"Ehm...Ya" Bukankah kita semua akan datang""
"Aku akan datang," Shepley menjawab, sambil melihat tv.
"Dan itu artinya aku juga datang." America tersenyum, memandang Travis penuh harap.
Travis memandangiku sejenak, lalu menyikut kakiku. "Apa dia akan menjemputmu""
"Tidak, dia hanya memberitahuku tentang pesta itu."
Bibir America tersenyum nakal, hampir seperti mengangguk dalam antisipasi. "Tapi kan dia bilang akan bertemu denganmu di sana, dia sangat manis."
Travis menatap America dengan kesal lalu menatapku. "Apa kau akan datang""
"Aku bilang padanya aku akan datang," aku mengangkat bahuku. "Apa kau akan datang""
"Ya, aku akan datang," jawabnya tanpa ragu.
Perhatian Shepley kembali pada Travis, saat itu. "Tapi minggu kemarin kau bilang tidak akan datang."
"Aku berubah pikiran, Shep, apa masalahnya""
"Tidak ada." Dia menggerutu lalu kembali masuk kamarnya.
America cemberut pada Travis. "kau tahu masalahnya apa," dia menjawab. "Kenapa kau tidak berhenti membuatnya gila dan menyelesaikan semua." Dia bergabung dengan Shepley di kamarnya, dan suara mereka menjadi bisikan di belakang pintu yang tertutup.
"Well, aku senang semua orang tahu," kataku.
Travis berdiri. "Aku akan mandi sebentar."
"Apakah mereka sedang ada masalah"" tanyaku.
"Tidak, dia hanya paranoid."
"Karena kita," aku menebak. Mata Travis menyala lalu dia mengangguk.
"Apa"" aku bertanya, menatapnya curiga.
"kau benar. Itu karena kita. Jangan tidur dulu, ya" Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghilang di belakang pintu kamar mandi. Aku memilin rambutku dengan jari, merenungkan cara dia menekankan kata kita, dan ternyata hanya aku yang menganggap bahwa Travis dan aku hanya berteman.
Shepley keluar dari kamar, dan America mengejarnya. "Shep, jangan!" dia memohon.
Shepley melihat ke belakang ke arah pintu kamar mandi lalu menatapku. Suaranya pelan tapi terdengar marah.
"kau sudah berjanji, Abb
y. Ketika aku bilang jangan menghakimi Travis, bukan berarti kalian harus berhubungan! Kukira kalian hanya berteman!"
"Kita memang hanya berteman," jawabku, terkejut dengan serangannya.
"Tidak, kalian lebih dari teman!" dia benar-benar marah.
America menyentuh bahunya. "Sayang, aku sudah bilang bahwa semua akan baik-baik saja."
Dia menjauh dari tangan America. "Kenapa kau membiarkan ini, Mare" kau tahu apa yang akan terjadi!"
America memegang wajah Shepley dengan dua tangannya. "Dan aku bilang itu semua tidak akan terjadi! Tidakkah kau percaya padaku""
Shepley menghela nafas, memandang ke arah America, lalu padaku, kemudian menghentak masuk ke kamarnya.
America duduk di sampingku, terengah. "Aku tidak bisa membuatnya mengerti bahwa meskipun hubunganmu dengan Travis berjalan lancar atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi hubungan aku dan dia. Itu karena dia sudah pernah terluka beberapa kali. Dia tidak percaya padaku."
"Apa yang kau bicarakan, Mare" Travis dan aku tidak pacaran. Kita hanya teman. kau dengar yang dia katakan tadi...dia tidak tertarik padaku seperti itu."
"kau mendengarnya""
"Well, ya."

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau percaya itu""
Aku mengangkat bahuku. "Itu tidak penting. Itu tidak akan terjadi. Dia bilang padaku dia tidak menginginkanku seperti itu, dia benar-benar fobia pada komitmen. Aku akan sulit mencari teman wanita yang belum pernah dia tiduri selain dirimu, dan aku tidak bisa mengikuti moodnya yang selalu berubah. Aku tidak percaya Shep berpikir sebaliknya."
"Bukan hanya karena dia mengenal Travis...dia telah bicara dengan Travis, Abby."
"Apa maksudmu""
"Mare"" Shepley memanggilnya dari kamar tidur.
America menghela nafas. "Kau adalah sahabatku. kupikir aku lebih mengenalmu dari pada dirimu sendiri kadang-kadang. Aku telah melihat kalian berdua, dan satu-satunya perbedaan antara aku dan Shep dengan kau dan Travis adalah kami berhubungan seks. Selain dari itu" Tak ada bedanya."
"Ada perbedaan yang sangat, sangat besar. Apakah Shep membawa pulang wanita yang berbeda setiap malam" Apakah kau akan datang ke pesta besok untung hang out bersama pria yang berpotensi untuk jadi teman kencan" kau tahu aku tidak bisa berhubungan dengan Travis, Mare. Aku bahkan tak tahu kenapa kita membicarakan hal ini."
Ekspresi America berubah menjadi kekecewaan. "Aku tidak mengada-ada, Abby. kau telah menghabiskan banyak waktu bersamanya selama sebulan lebih. Mengakulah, kau menyukai dia."
"Hentikan, Mare," Travis berkata sambil mengencangkan handuk di pinggangnya.
Aku dan America terkejut mendengar suara Travis, dan ketika mata kita bertemu, aku dapat melihat kebahagiaan di matanya telah hilang. Dia berjalan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun lagi, lalu America menatapku dengan ekspresi sedih.
"Kupikir kau membuat kesalahan," dia berbisik. "kau tak perlu pergi ke pesta itu untuk bertemu seorang pria, kau sudah memilikinya yang tergila-gila padamu, di sini." Dia berkata lalu meninggalkanku sendiri.
Aku duduk di atas kursi malas, membiarkan apa yang sudah terjadi di minggu-minggu terakhir ini berputar kembali di pikiranku. Shepley marah padaku, America kecewa terhadapku, dan Travis...dia berubah dari paling bahagia yang pernah aku lihat menjadi sangat tersinggung hingga membuat dia tidak dapat mengatakan apapun. Terlalu gugup untuk berbaring bersamanya, aku memandangi jam dari menit ke menit.
Satu jam telah berlalu ketika Travis keluar dari kamarnya, berjalan menelusuri lorong, dan ketika dia muncul, aku mengharapkan dia menyuruhku tidur, tapi dia telah berpakaian rapi dengan kunci motor di tangannya. Kacamatanya menyembunyikan matanya, lalu dia memasukan rokok ke mulutnya sebelum memegang pegangan pintu.
"kau akan pergi"" aku bertanya sambil duduk tegak. "Mau pergi kemana""
"Keluar," dia menjawab sambil menghentak pintu hingga terbuka lalu membanting pintu di belakangnya.
Aku terjatuh ke kursi malas kemudian menghela nafas. Entah bagaimana aku merasa seperti penjahat tapi tidak mengerti kenapa merasa demikian.
Ketika jam di atas televisi menunjukan jam du
a pagi, akhirnya aku menyerah dan pergi tidur. Kasur terasa kosong tanpa dirinya, dan ide untuk menelepon handphone-nya terus muncul di pikiranku. Aku hampir tertidur ketika motor Travis berhenti di tempat parkir. Dua pintu mobil tertutup tidak lama kemudian lalu beberapa pasang langkah kaki menaiki tangga. Travis meraba-raba kunci pintu, lalu pintu terbuka. Dia tertawa dan bergumam, lalu aku mendengar bukan satu tapi dua suara wanita. Cekikikan mereka berganti menjadi suara ciuman dan erangan. Hatiku hancur, dan aku langsung marah karena merasa seperti itu. Aku menutup rapat mataku saat salah satu dari wanita itu menjerit, dan aku yakin suara setelah itu adalah suara mereka bertiga ambruk di atas sofa.
Aku sedang menimbang untuk meminjam mobil pada America, namun kamar Shepley berada tepat di depan sofa, dan aku tak sanggup menyaksikan pemandangan yang sesuai dengan suara ribut di ruang tamu. Aku menenggelamkan kepalaku di bawah bantal dan menutup mataku saat pintu terbuka. Travis berjalan melintasi ruangan lalu membuka laci meja lampu tidur yang paling atas, meraih mangkuk kondomnya kemudian menutup laci dan berlari kecil keluar. Si wanita cekikikan selama kurang lebih setengah jam lalu hening.
Beberapa lama kemudian, erangan, dengungan dan teriakan terdengar keseluruh ruangan. Terdengar seperti sedang membuat film porno di ruang tamu. Aku menutup wajah dengan tanganku sambil mengelengkan kepala. Batas apapun yang hilang atau tidak jelas selama minggu kemarin, telah di gantikan oleh dinding batu yang tidak bisa di tembus. Aku menepiskan emosi bodohku, memaksaku untuk tenang. Travis adalah Travis, dan kita...tanpa tanpa diragukan lagi...hanya teman...dan hanya teman.
Teriakan dan suara yang memuakkan berhenti setelah satu jam, diikuti oleh suara merengek lalu menggerutu dari si wanita setelah diusir keluar. Travis mandi lalu ambruk di sisi tempat tidurnya, membelakangiku. Meskipun sudah mandi, dia masih tercium seperti dia telah banyak meminum whiskey untuk membuat mabuk seekor kuda, dan aku marah karena dia mengendarai motornya pulang dalam keadaan seperti itu.
Setelah rasa canggung hilang dan kemarahan berkurang, aku masih belum bisa tidur. Ketika nafas Travis menjadi dalam dan tetap, aku duduk untuk melihat jam. Matahari sudah akan muncul dalam kurang dari satu jam. Aku membuka selimut, berjalan menelusuri lorong lalu mengambil selimut dari lemari di lorong. Bukti dari Travis telah melakukan threesome adalah dua bungkus kondom yang kosong di lantai. Aku melangkah melewatinya lalu menjatuhkan diri di kursi malas.
Aku menutup mataku. Ketika aku membukanya lagi, America dan Shepley sedang duduk di sofa dengan diam sambil menonton tv yang dimatikan suaranya. Matahari menerangi apartemen dan aku meringis ketika punggungku terasa sakit saat aku berusaha bergerak.
Perhatian America tertuju padaku. "Abby"" dia berkata, melangkah cepat ke arahku. Dia melihatku dengan waspada. Dia menunggu kemarahan, air mata, atau emosi lainnya untuk keluar.
Shepley tampak tersiksa. "Aku menyesal tentang semalam, Abby. Ini adalah salahku."
Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Shep. kau tidak perlu minta maaf."
America dan Shepley saling berpandangan lalu America menarik tanganku. "Travis sedang pergi ke toko. Dia...ehm, tidak penting siapa dia. Aku telah mengemas semua barangmu dan aku akan membawamu ke asrama sebelum dia pulang sehingga kau tidak harus berhadapan dengannya.
Pada saat itulah aku ingin menangis; aku diusir. Aku berusaha agar suaraku tenang sebelum aku bicara. "Apa aku punya waktu untuk mandi terlebih dulu""
America menggelengkan kepalanya. "Ayo langsung pergi, Abby. Aku tak ingin kau melihatnya. Dia tidak pantas untuk-,"
Pintu terbuka dan Travis berjalan masuk, tangannya penuh dengan tas belanjaan. Dia berjalan langsung menuju dapur, berusaha menyimpan kaleng dan kotak ke dalam lemari.
"Kalau Pidge sudah bangun, beritahu aku ya"" dia berkata dengan suara pelan. "Aku punya spagheti, pancake, stroberi dan oatmeal dengan coklat, dan dia suka sereal Fruit Pebles, benar kan, Mare"" dia bertanya dan
berbalik. Ketika dia melihatku, dia terdiam. Setelah jeda yang canggung, ekspresinya mencair dan suaranya menjadi lembut dan manis. "Hai, Pigeon."
Aku tidak akan merasa lebih bingung dari ini kalau saja aku terbangun dan ada di negara asing. Tidak ada yang masuk akal. Awalnya kupikir aku telah diusir, lalu Travis datang membawa tas yang penuh dengan makanan kesukaanku.
Dia melangkah ke ruang tamu, dengan gugup memasukan tangan ke sakunya. "kau lapar, Pidge" Aku akan membuatkanmu beberapa pancake. Atau ada...ehm, ada oatmeal. Dan aku membelikanmu busa pink yang biasa di pakai wanita untuk bercukur, hairdryer dan &ehm...tunggu sebentar, itu ada disini," dia berkata lalu terburu-buru menuju kamar tidur.
Pintu terbuka, tertutup dan dia muncul kembali, wajahnya pucat. Dia mengambil nafas panjang dan alisnya ditarik ke atas. "Semua barangmu di kemas."
"Aku tahu," jawabku.
"kau akan pergi," dia berkata, merasa kalah.
Aku menatap America, yang menatap Travis seperti dia ingin membunuhnya. "Apa kau benar-benar berpikir dia akan tinggal""
"Sayang," Shepley berbisik.
"Jangan memulai, Shep. Jangan berani-beraninya kau membela dia di depanku," America mendesis marah.
Travis tampak putus asa. "Maafkan aku, Pidge. Aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa."
"Ayo, Abby," America berkata. Dia berdiri dan menarik tanganku.
Travis menghalangi, namun America menunjuk padanya. "Ya Tuhan, Travis! Jika kau berusaha untuk menghentikan dia, aku akan menyiramkan bensin padamu dan menyalakan api saat kau tidur!"
"America," Shepley berkata, terdengar sedikit putus asa. Aku dapat melihat dia terkoyak diantara sepupu dan wanita yang dia cintai, dan aku merasa kasihan padanya. Situasi inilah yang sejak awal ingin dia hindari.
"Aku baik-baik saja," aku berkata, putus asa karena ketegangan yang ada di ruangan ini.
"Apa maksudmu kau baik-baik saja"" Shepley bertanya, hampir berharap.
Aku memutar mataku. "Travis membawa wanita dari bar pulang tadi malam, lalu kenapa""
America tampak khawatir. "Hah, Abby. Maksudmu kau tidak keberatan dengan apa yang terjadi""
Aku memandang mereka semua. "Travis dapat membawa pulang siapapun yang dia mau. Inikan apartemennya."
America menatapku seperti aku sudah kehilangan akalku, Shepley hampir tersenyum dan Travis tampak lebih buruk dari sebelumnya.
"Bukan kau yang mengemas barangmu"" tanya Travis.
Aku menggelengkan kepalaku dan melirik jam; sudah jam 2 siang lewat. "Tidak, dan sekarang aku harus membongkar semuanya lagi. Aku masih harus makan, mandi dan berpakaian..." aku berkata sambil melangkah masuk kamar mandi. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku bersandar di pintu dan terduduk di lantai. Aku yakin telah membuat America sangat kesal, akan tetapi aku telah berjanji pada Shepley dan aku berniat untuk menepatinya.
Ketukan pelan di pintu terdengar di atasku. "Pidge"" Travis memanggil.
"Apa"" jawabku, berusaha terdengar normal.
"Apakah kau akan tetap tinggal di sini""
"Aku akan pergi jika kau ingin aku pergi, tapi taruhan tetap taruhan."
Pintu bergetar karena benturan pelan dari dahi Travis pada pintu. "Aku tidak ingin kau pergi, tapi aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau pergi."
"Maksudmu aku terbebas dari taruhan""
Ada jeda yang cukup lama. "Kalau aku bilang ya, apa kau akan pergi""
"Well, ya tentu saja. Aku kan tidak tinggal di sini, bodoh," aku menjawab, memaksakan tertawa.
"Kalau begitu tidak, taruhan tetap berjalan."
Aku melihat ke atas dan menggelengkan kepala, merasakan air mata mulai turun. Aku tak tahu kenapa aku menangis, aku tidak bisa menahannya. "Bolehkah aku mandi sekarang""
"Ya...," dia menghela nafas.
Aku mendengar suara sepatu America memasuki lorong dan menuju ke arah Travis. "Dasar bajingan egois kau," dia menggeram sambil membanting pintu kamar Shepley di belakangnya.
Aku mendorong tubuhku agar berdiri, menyalakan shower, membuka pakaianku lalu menarik tirai di belakangku.
Setelah beberapa ketukan di pintu, Travis berdehem. "Pigeon" Aku membawakan beberapa barangmu."
"Simpan saja di wastafe
l. Nanti aku akan mengambilnya."
Travis masuk lalu menutup pintu di belakangnya. "Aku sangat marah. Aku mendengar kau mengatakan semua hal yang buruk tentang aku pada America dan itu membuatku sangat kesal. Aku hanya bermaksud untuk pergi dan minum beberapa gelas dan berusaha memikirkan semuanya, tapi sebelum aku menyadarinya, aku sudah sangat mabuk dan cewek-cewek itu...," dia terdiam. "Aku terbangun pagi ini dan kau tidak ada di tempat tidur, dan ketika aku menemukanmu di kursi lalu melihat bungkus kondom di lantai, aku merasa mual."
"kau bisa bertanya padaku dari pada menghabiskan banyak uang di toko hanya untuk menyuapku agar tinggal."
"Aku tidak peduli tentang uang, Pidge. Aku sangat takut kau akan pergi dan tidak akan pernah bicara padaku lagi."
Aku merinding karena penjelasannya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana perasaannya ketika mendengarku bicara tentang betapa tidak pantasnya dia untukku, dan sekarang situasinya terlalu kacau untuk dapat di selamatkan.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu," aku berkata dari bawah pancuran air.
"Aku tahu itu. Dan aku tahu apapun yang aku katakan tidak akan merubah apapun sekarang, karena aku mengacaukan semuanya, seperti biasa yang aku lakukan."
"Trav"" "Ya"" "Jangan mengendarai motor sambil mabuk lagi, ya""
Aku menunggu selama satu menit hingga akhirnya dia menarik nafas panjang dan berkata. "Ya, baiklah," dia berkata sambil menutup pintu di belakangnya.
*** Bab 5 PARKER HAYES "Masuklah," aku menjawab ketika mendengar ketukan di pintu.
Travis masuk dan membeku di depan pintu. "Wow."
Aku tersenyum dan melihat pakaianku, rok pendek. Kemben (bustier) yang di panjangkan menjadi rok pendek, harus diakui model ini lebih berani dari yang pernah kupakai sebelumnya. Bahannya tipis, hitam, membuat kulit telanjangku terlihat. Parker akan ada di pesta nanti, dan aku berniat untuk melakukan apapun untuk menarik perhatiannya.
"Kau terlihat mengagumkan," dia berkata ketika aku sedang memakai sepatu hak tinggiku.
Aku mengangguk setuju pada kemeja dan celana jins yang di pakainya. "kau juga terlihat tampan."
Kemejanya di gulung sampai ke siku, memperlihatkan tato rumit di lengan bagian atasnya. Aku melihat dia memakai ikat pinggang favoritnya yang melingkar di pinggangnya ketika dia memasukan tangannya kedalam saku.
America dan Shepley telah menunggu kami di ruang tamu.
"Parker akan sangat takjub melihat penampilanmu," America cekikikan saat Shepley menuntunnya ke mobil.
Travis membuka pintu mobil Shepley, lalu duduk di kursi belakang. Meskipun sudah beberapa kali duduk di kursi ini bersamanya, namun sekarang terasa canggung.
Mobil berjejer di pinggir jalan, bahkan ada yang parkir di halaman rumput. The House (Rumah Perkumpulan) penuh sesak karena banyaknya orang yang datang, dan masih banyak orang sedang berjalan menuju The House dari asramanya, aku dan America mengikuti para pria masuk.
Travis membawakanku gelas plastik merah berisi bir, membungkuk ke arah telingaku. "Jangan menerima bir pemberian orang lain selain dari aku atau Shepley. Aku tak ingin ada yang memasukan sesuatu pada minumanmu."
Aku memutar mataku. "Tidak akan ada yang memasukan apapun pada minumaku, Travis."
"Pokoknya jangan minum apapun selain pemberianku, ok" kau bukan di Kansas sekarang, Pigeon."
"Aku belum pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya," aku menjawab dengan nada sinis lalu minum.
Satu jam telah berlalu, Parker masih belum kelihatan. America dan Shepley sedang berdansa diiringi lagu berirama lambat di ruang tamu ketika Travis menarik tanganku. "Mau berdansa""
"Tidak, terimakasih," jawabku.
Wajahnya tampak kecewa. Aku menyentuh bahunya. "Aku hanya lelah, Trav."
Dia memegang tanganku dan mulai berbicara, tapi ketika aku menatap kebelakang tubuhnya, aku melihat Parker sedang berjalan menuju ke arah kami. Travis menyadari ekspresiku lalu melihat ke belakang.
"Hai, Abby! kau datang juga!" Parker tersenyum.
"Ya, kita semua disini kurang lebih dari satu jam yang lalu," jawabku sambil menarik tangan
ku dari tangan Travis. "kau terlihat sangat cantik!" dia berteriak di antara musik.
"Terima kasih!" Aku tersenyum lebar, melirik ke arah Travis. Bibirnya tegang, ada sebuah garis di antara alisnya.
Parker menunjuk ke arah ruang tamu dengan kepalanya lalu tersenyum. "Mau berdansa""
Aku mengerutkan hidungku dan menggeleng. "Ehm tidak, aku agak lelah."
Lalu Parker menatap Travis. "Kupikir kau tidak akan datang."
"Aku berubah pikiran," Travis menjawab, merasa terganggu karena harus menjelaskan.
"Oh," Parker melihat ke arahku. "kau ingin keluar""
Aku mengangguk lalu mengikuti Parker ke atas. Dia menghentikan langkahnya lalu meraih tanganku saat kita naik ke lantai dua. Ketika kita tiba di lantai atas, dia mendorong pintu yang bergaya Perancis menuju balkon.
"Apakah kau kedinginan"" dia bertanya.
"Sedikit," jawabku lalu tersenyum saat dia melepaskan jaketnya dan mengenakannya di bahuku.
"Terimakasih." "kau datang kemari bersama Travis""
"Ya, kami naik mobil bersama."
Bibir Parker tersenyum tegang lalu melihat ke arah halaman rumput di bawah. Sekelompok wanita berkerumun sambil berpegangan tangan untuk melawan udara dingin. Kertas dan kaleng bir berserakan di rumput, bersama dengan botol kosong minuman keras. Diantara kekacauan itu, anggota Sig Tau berdiri mengelilingi maha karya mereka berupa piramid terbuat dari tong minuman yang dihiasi lampu putih.
Parker menggelengkan kepalanya. "Tempat ini akan sangat berantakan nanti pagi. Tim pembersih akan sangat sibuk."
"Kalian punya tim pembersih""
"Ya," dia tersenyum, "Kami menyebut mereka freshmen."
"Kasihan, Shep."
"Dia tidak termasuk. Dia bisa lolos karena sepupunya Travis, dan dia tidak tinggal di sini."
"Apa kau tinggal di sini""
Parker mengangguk. "Dua tahun terakhir ini. Tapi aku membutuhkan apartemen sendiri sekarang. Aku butuh tempat yang lebih tenang untung belajar."
"Biar aku tebak...jurusan Bisnis""
"Biologi, dengan jurusan minor anatomi. Aku punya satu tahun lagi, mengambil tes MCAT (Medical College Admission Test/Tes Masuk Fakultas Kedokteran) dan aku berharap diterima di Kedokteran Harvard."
"kau sudah tahu bahwa kau diterima""
"Ayahku kuliah di Harvard. Maksudku, aku tidak tahu pasti, tapi dia alumni yang dermawan, jika kau tahu maksudku. IPK-ku 4.0, dan mendapat nilai 2200 dalam tes SAT (Tes Akademik), dan nilai 36 untuk ACT-ku (Tes Penerimaan Perguruan Tinggi Amerika). Aku termasuk dalam posisi yang patut dipertimbangkan untuk masuk."
"Ayahmu seorang dokter""
Parker mengiyakan dengan senyum bangga. "Dokter bedah tulang."
"Hebat." "Bagaimana denganmu"" dia balik bertanya.
"Belum ditentukan."
"Jawaban standar semua mahasiswa baru."
Aku menghela nafas dengan dramatis. "Kurasa aku sudah menghancurkan kesempatanku untuk menjadi hebat."
"Oh tidak, kau tak perlu khawatir tentang itu. Aku sudah memperhatikanmu dari hari pertama kuliah mulai. Sebagai mahasiswa baru, apa yang kau lakukan di kelas Kalkulus tiga""
Aku tersenyum dan memainkan rambut dengan jariku. "Bagiku Matematika sangat mudah. Aku mengambil semua kelas matematika waktu SMA, dan mengikuti dua mata kuliah pada musim panas di Wichita State."
"Itu baru namanya hebat," dia berkata.
Kita berdiri di balkon selama hampir lebih dari satu jam, membicarakan banyak hal, dari restoran lokal hingga bagaimana awalnya aku dan Travis bisa berteman baik.
"Aku awalnya tidak akan mengatakannya, tapi kalian berdua tampaknya menjadi topik pembicaraan."
"Baguslah." Aku berbisik.
"Hanya tidak biasa saja untuk Travis. Dia tidak berteman dengan wanita. Dia cenderung lebih sering menjadi musuh mereka daripada berteman."
"Oh, aku tak tahu itu. Aku telah melihat beberapa yang kehilangan ingatan jangka pendek atau terlalu memaafkan kalau menyangkut tentang dia."
Parker tertawa. Giginya yang putih berkilau di atas kulit coklat keemasannya. "Orang hanya tidak paham bagaimana hubungan kalian. Kau harus mengakui bahwa itu sedikit membingungkan."
"kau bertanya apa aku tidur dengan Travis""
Dia tersenyum. "Kau tidak
akan berada di sini kalau kau pernah tidur dengannya. Aku mengenalnya sejak berumur empat belas tahun, dan aku sangat mengenal bagaimana dia beroperasi. Tapi aku penasaran tentang hubungan kalian."
"Itu seperti hubungan biasa," aku mengangkat bahu. "Kita hangout, makan, nonton tv, belajar bersama dan berdebat. Hanya itu."
Parker tertawa keras sambil menggelengkan kepalanya karena kejujuranku. "Aku dengar hanya kau yang bisa membuat Travis menurut. Itu adalah gelar yang terhormat."
"Apapun artinya itu. Dia tidak seburuk yang orang lain kira."
Langit berubah ungu lalu menjadi merah muda saat matahari muncul di batas cakrawala. Parker melihat jam tangannya, memandang ke arah kerumunan yang mulai berkurang di halaman rumput dari atas pembatas balkon. "Sepertinya pesta sudah usai."
"Aku sebaiknya mencari Shep dan Mare."
"Apakah kau keberatan kalau aku yang mengantarmu pulang"" dia bertanya.
Aku mencoba menyembunyikan rasa senangku. "Tidak sama sekali. Aku akan memberitahu America. "Aku berjalan melewati pintu, lalu meringis sebelum berbalik ke belakang. "Apa kau tahu tempat tinggal Travis""
Alis Parker yang tebal mengernyit. "Ya, kenapa""
"Di sana aku tinggal." jawabku, menguatkan diri menunggu reaksinya.
"kau tinggal bersama Travis""
"Aku semacam kalah taruhan, karena dari itu aku harus tinggal disana selama satu bulan."
"Satu bulan""
"Ceritanya panjang," aku mengangkat bahu dengan malu.
"Tapi kalian berdua hanya berteman""
"Benar." "Kalau begitu aku akan mengantarmu ke sana," dia tersenyum.
*** Aku berlari menuruni tangga untuk mencari America, melewati Travis yang kelihatan jengkel karena merasa terganggu oleh wanita mabuk yang mengajaknya bicara. Dia mengikutiku saat aku menarik gaun America.
"Kalian bisa pulang duluan. Parker akan mengantarku pulang."
"Apa"" America berkata dengan kegembiraan di matanya.
"Apa"" Travis bertanya dengan marah.
"Apakah ada masalah dengan itu"" tanya America pada Travis.
Dia menatap America dengan tajam lalu menarikku ke pojok ruangan, rahangnya tegang di bawah kulitnya.
"kau bahkan tidak mengenal pria itu."
Aku melepaskan tanganku dari cengkramannya. "Ini bukan masalahmu, Travis."
"Aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkanmu pulang dengan orang asing. Bagaimana kalau dia mencoba melakukan sesuatu padamu""
"Bagus! Dia tampan!"
Ekspresi Travis berubah dari terkejut menjadi marah, aku bersiap dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya. "Parker Hayes, Pidge" Serius" Parker Hayes," dia mengulang namanya dengan kebencian.
"Nama macam apa itu""
Aku melipat tanganku. "Hentikan, Trav. kau bersikap menyebalkan."
Dia membungkuk mendekat, tampak bingung. "Aku akan membunuhnya bila dia menyentuhmu."
"Aku menyukainya," kataku dengan penekanan pada setiap kata.
Dia tercengang atas pengakuanku, dia berubah bengis. "Baiklah. Jika berakhir dengan dia menekan dan menindihmu di kursi belakang mobilnya, jangan menangis padaku."
Mulutku ternganga, tersinggung dan sangat marah. "Jangan khawatir, aku tidak akan menangis padamu," jawabku sambil melangkah pergi.
Travis mencengkram tanganku lalu mendesah, melihat padaku melalui bahunya. "Bukan itu maksudku, Pidge. Jika dia menyakitimu - atau bahkan jika dia membuatmu merasa tidak nyaman - beritahu aku."
Rasa marahku mereda, dan bahuku tidak tegang lagi. "Aku tahu bukan itu maksudmu. Tapi kau harus mengurangi rasa over-protectif seperti seorang kakak lelaki padaku."
Travis tertawa. "Aku tidak berlagak seperti seorang kakak lelaki, tidak sama sekali."
Parker datang lalu memasukan tangan ke sakunya, menawarkan sikunya padaku. "Sudah siap""
Travis mengatupkan rahangnya, dan aku melangkah ke sisi lain dari Parker agar dia tidak melihat ekspresi Travis. "Sudah, mari kita pergi." Aku memegang lengan Parker lalu berjalan beberapa langkah bersamanya sebelum berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada Travis, tapi dia sedang menatap marah ke arah belakang kepala Parker. Matanya menatap tajam padaku lalu wajahnya melembut.
"Hentikan itu," aku berkata sa
mbil mengatupkan gigiku. Aku mengikuti Parker melewati beberapa kerumunan yang masih ada untuk menuju ke mobilnya.
"Mobilku yang berwarna silver." Lampu depannya berkedip dua kali ketika dia menekan tombol remotenya.
Dia membuka pintu sisi penumpang, dan aku tertawa. "kau mengendarai mobil Porsche""
"Dia bukan hanya Porsche. Dia Porsche 911 GT 3. Ada bedanya."
"Biar aku tebak, ini adalah cinta sejatimu"" aku berkata, mengutip pernyataan Travis terhadap motornya.
"Bukan, ini hanya mobil. Cinta sejatiku adalah seorang wanita yang akan memakai nama belakangku."
Aku tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh pernyataannya. Dia memegang tanganku untuk membantuku masuk ke dalam mobil, dan ketika dia meluncur ke belakang kemudi, dia menyandarkan kepala di kursinya lalu tersenyum padaku.
"Apa rencanamu malam ini""
"Malam ini"" tanyaku.
"Sekarang sudah pagi. Aku ingin mengajakmu makan malam sebelum seseorang mendahuluiku."
Senyuman lebar muncul di wajahku. "Aku tidak punya rencana apapun."
"Aku akan menjemput jam enam""
"Baiklah," kataku sambil memperhatikan jarinya yang menggenggam jariku.
Parker langsung mengantarku ke apartemen Travis, menjalankan mobil dengan kecepatan minimum dan tanganku memegang tangannya. Dia berhenti di belakang Harley, dan seperti sebelumnya, dia membukakan pintu untukku. Setelah kita berdua tiba di lantai apartemen, dia membungkuk ke bawah dan mencium pipiku.
"Beristirahatlah. Kita bertemu nanti malam," dia berbisik di telingaku.
"Bye," aku tersenyum, memutar pegangan pintu. Ketika aku mendorong, pintu terbuka lebar dan aku terdorong ke depan. Travis menangkapku sebelum aku terjatuh. "Hati-hati, Sayang."
Aku berbalik untuk melihat Parker yang menatap kami dengan ekspresi tidak nyaman. Dia melihat ke dalam apartemen. "Apa ada wanita yang sedang merasa telah di permalukan dan terlantar di sini yang harus aku antar pulang""
Travis melotot ke arah Parker "Jangan macam-macam padaku."
Parker tersenyum dan mengedipkan matanya. "Aku selalu memberi dia kesulitan. Aku tidak harus sering mengantar mereka karena dia menyadari lebih mudah jika mereka pulang menyetir mobil sendiri."
"Aku rasa itu mempermudah semuanya," aku berkata mengolok Travis.
"Tidak lucu, Pidge."
"Pidge"" Parker bertanya.
"Itu adalah ehm...kependekan dari Pigeon. Hanya nama panggilan, aku bahkan tak tahu mengapa dia memanggilku begitu," jawabku. Itu adalah pertama kalinya aku merasa aneh dengan nama yang Travis berikan padaku di malam pertama kita bertemu.
"kau harus menceritakannya padaku kalau sudah tahu alasannya. Kedengarannya menarik," Parker tersenyum. "Selamat malam, Abby."
"Maksudmu selamat pagi"" kataku, memperhatikan dia yang berjalan cepat menuruni tangga.
"Itu juga," dia menjawab sambil tersenyum manis.
Travis membanting pintu, aku harus menarik kepalaku ke belakang sebelum pintunya mengenai wajahku. "Apa"" aku membentaknya.
Travis menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju kamarnya. Aku mengikutinya, lalu melompat dengan satu kaki untuk membuka sepatuku. "Dia cowok yang baik, Trav."
Dia menghela nafas dan berjalan ke arahku. "kau akan menyakiti dirimu sendiri," dia berkata sambil mengaitkan satu lengannya di pinggangku dan menarik lepas sepatuku dengan lengan satunya. Dia melemparkan sepatu itu ke dalam lemari, lalu membuka bajunya dan berjalan menuju tempat tidur.
Aku membuka ritsleting pakaianku dan menggoyangkannya turun dari pinggulku, lalu menendangnya ke pojok kamar. Aku memasukan kaos ke kepalaku, lalu melepas bra-ku, menariknya keluar melalui lengan bajuku.
Ketika aku mengikat rambutku, aku menyadari dia menatapku.
"Aku yakin tidak ada yang aku punya yang belum pernah kau lihat sebelumnya." Aku berkata sambil memutar mataku. Aku meluncur ke dalam selimut dan berbaring di atas bantalku, meringkuk seperti bola. Dia membuka ikat pinggangnya dan menarik lepas celana jinsnya.
Aku menunggu sementara dia diam berdiri sesaat. Aku membelakanginya, membuatku penasaran apa yang sedang dia lakukan, berdiri di samping tem
pat tidur dengan diam. Tempat tidur menjadi cekung saat dia merangkak naik, dan aku menegang ketika dia menaruh tangannya di atas pinggulku.
"Aku tidak ikut bertarung malam ini," dia berkata. "Adam menelepon, tapi aku tidak datang."
"Kenapa"" aku bertanya, berbalik menghadapnya.
"Aku ingin memastikan kau pulang ke rumah."
Aku mengerutkan hidungku. "kau tidak harus menjagaku."
Dia membelai lenganku dengan jarinya, mengirimkan getaran ke punggungku. "Aku tahu. Kupikir aku hanya masih merasa tidak enak dengan kejadian tempo hari."
"Aku sudah bilang aku tidak peduli."
Dia bersandar di atas dua sikunya, ada rasa ragu di wajahnya. "Apakah itu sebabnya kau tidur di kursi" Karena kau tidak peduli""
"Aku tidak bisa tidur setelah...temanmu pulang."
"kau tidur nyenyak di kursi. Kenapa kau tidak bisa tidur denganku""
"Maksudmu di samping pria yang baunya seperti dua lalat bar yang baru saja kau suruh pulang" Aku tidak tahu. Betapa egoisnya aku!"
Travis meringis. "Aku sudah bilang aku menyesal."
"Dan aku sudah bilang aku tidak peduli." Aku berkata dan berbalik membelakanginya.
Beberapa saat berlalu dalam hening. Dia menyelipkan tangannya di atas bantalku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Dia mengelus kulit halus di antara jariku dan mencium rambutku. "Aku takut kau tidak akan pernah bicara padaku lagi...tapi kupikir ini lebih buruk karena ternyata kau tidak peduli."
Aku menutup mataku. "Apa yang kau inginkan dariku, Travis" kau tak ingin aku marah atas perbuatanmu, tapi kau ingin aku peduli. kau mengatakan pada America kalau kau tak ingin berkencan denganku, tapi kau jadi sangat kesal ketika aku mengatakan hal yang sama padanya, kau pergi dan mabuk. Alasanmu tidak masuk di akal."
"Itukah sebabnya kau mengatakan hal itu pada America" Karena aku berkata tidak ingin berkencan denganmu""
Gigiku mengatup. Dia baru saja mengatakan padaku bahwa dia mengira aku sedang mepermainkan dirinya. Aku memberikan jawaban yang paling tegas yang dapat aku pikirkan. "Tidak, aku serius dengan apa yang aku katakan. Aku tidak bermaksud menyinggungmu."
Travis menghela nafas. "Aku mengatakan itu hanya karena..." dia menggaruk rambut pendeknya dengan gugup, "Aku tak ingin menghancurkan semua yang ada, Pigeon. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya menjadi seseorang yang pantas untukmu. Aku hanya mencoba membuat itu semua berjalan dengan baik di kepalaku."
"Apapun maksudnya itu. Aku harus tidur. Aku ada kencan nanti malam."
"Dengan Parker"" dia bertanya, kemarahan menyusup di nada suaranya.
"Ya. Bisakah aku tidur sekarang""
"Tentu saja," jawabnya sambil mendorong tubuhnya berdiri dari tempat tidur dan membanting pintu di belakangnya. Kursi malas mendecit karena berat badannya lalu suara samar dari tv terdengar di seluruh ruangan. Aku memaksa mataku untuk tertutup dan berusaha tenang agar tidur sebentar, meskipun hanya untuk beberapa jam.
Jam menunjukan jam tiga sore ketika aku membuka mataku. Aku mengambil handuk dan jubahku lalu berjalan dengan susah payah menuju kamar mandi. Sesaat setelah aku menutup tirai mandi, pintu terbuka lalu menutup. Aku menunggu beberapa saat untuknya bicara, tapi satu-satunya suara adalah suara tutup toilet membentur porselen.
"Travis"" "Bukan, ini aku," America menjawab.
"Apa kau harus pipis di sini" kau kan punya kamar mandi sendiri."
"Shep berada di kamar mandi sudah hampir setengah jam karena bir yang dia minum. Aku tidak akan masuk kesana."
"Bagus." "Aku dengar kau ada kencan malam ini. Travis sangat marah!" dia terdengar senang.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jam enam nanti! Dia sangat manis, America. Dia sangat..." aku terdiam, menghela nafas. Aku tak bisa mengontrol diriku dan aku biasanya tidak seperti ini. Aku terus memikirkan betapa sempurnanya dia sejak pertama kita bertemu. Dialah pria yang aku butuhkan, sangat bertolak belakang dengan Travis.
"Membuatmu tidak bisa berkata apa-apa"" dia terkekeh.
Kepalaku keluar dari balik tirai mandi. "Aku tidak ingin pulang! Aku bisa bicara dengannya selamanya!"
"Kedengarannya menjanjikan. Tapi bukannya sangat ane
h kau berada di sini akhirnya""
Aku menunduk di bawah pancuran air, menghilangkan semua busa. "Aku telah menjelaskan semua padanya."
Toilet disiram dan kran menyala, membuat air menjadi dingin sesaat. Aku menjerit lalu pintu terbuka.
"Pidge"" Travis memanggil.
America tertawa. "Aku hanya menyiram toilet, Trav, tenanglah."
"Oh. kau tidak apa-apa, Pigeon""
"Aku tidak apa-apa. Keluar." Pintu tertutup lagi dan aku mengela nafas. "Apakah terlalu berlebihan untuk meminta memasang kunci di pintu"" America tidak menjawab. "Mare""
"Sangat disayangkan kalian berdua tidak bisa bersama. kau satu-satunya wanita yang bisa..." dia mendesah. "Lupakanlah. Itu bukan masalah, sekarang."
Aku mematikan air dan membungkus tubuhku dengan handuk. "kau sama buruknya dengan dia. Itu membuatku muak. Tidak ada seorangpun disini yang masuk akal. kau kesal padanya kan, ingat""
"Aku tahu," dia mengangguk.
*** Aku menyalakan hair dryer baruku dan mulai berdandan untuk kencanku dengan Parker. Aku mengeriting rambutku, memoles kuku dan bibirku dengan warna merah tua. Itu memang sedikit berlebihan untuk kencan pertama. Aku mengerutkan dahi pada diriku sendiri. Bukan Parker yang ingin aku buat terkesan. Bagaimanapun aku tidak dalam posisi untuk merasa tersinggung ketika Travis menuduhku mempermainkannya.
Melihat sekali lagi pada cermin, rasa bersalah melandaku. Travis berusaha terlalu keras dan aku seperti anak bandel keras kepala. Aku melangkah keluar ke ruang tamu dan Travis tersenyum, bukan reaksi yang aku harapkan sama sekali.
"kau...sangat cantik."
"Terima kasih," jawabku, bingung karena tidak ada rasa terganggu atau rasa cemburu dalam suaranya.
Shepley bersiul. "Pilihan yang bagus, Abby. Cowok suka warna merah."
"Dan rambut kritingnya sangat indah," America menambahkan.
Bel pintu berbunyi dan America tersenyum, melambai dengan rasa senang yang berlebihan. "Selamat bersenang-senang!"
Aku membuka pintu. Parker memegang satu karangan kecil bunga, dia memakai celana panjang dan dasi. Matanya melihat pada gaun dan sepatuku lalu kembali ke wajahku.
"kau adalah makhluk paling cantik yang pernah kulihat," dia berkata, terpesona.
Aku melihat ke belakang untuk melambai pada America yang sedang tersenyum sangat lebar sehingga aku bisa melihat semua giginya. Ekspresi Shepley seperti seorang ayah yang bangga pada anak perempuannya, dan Travis tidak melepaskan pandangannya dari tv.
Parker mengulurkan tangannya, menuntunku ke mobil Porsche-nya yang mengkilap. Setelah kami di dalam mobil, dia menghembuskan nafasnya.
"Kenapa"" aku bertanya.
"Aku harus bilang, aku sedikit gugup menjemput wanita yang membuat Travis Maddox jatuh cinta...dari apartemennya. kau tak tahu berapa banyak orang yang mengira aku gila hari ini."
"Travis tidak jatuh cinta padaku. Dia hampir tidak pernah tahan berada di dekatku kadang-kadang."
"Kalau begitu itu hubungan cinta tapi benci" Karena ketika aku menceritakan pada teman-temanku bahwa aku mengajakmu kencan malam ini, mereka mengatakan hal yang sama. Kelakuan Travis tidak menentu - bahkan lebih dari biasanya - mereka semua menyimpulkan hal yang sama."
"Mereka salah." Aku bersikeras.
Parker menggelengkan kepalanya karena aku benar-benar tidak mengerti maksudnya. Dia memegang tanganku. "Sebaiknya kita pergi. Aku sudah memesan tempat."
"Di mana""
"Biasetti. Aku berinisiatif...aku harap kau suka masakan Italia."
Aku mengangkat satu alisku. "Bukankah itu waktu yang singkat untuk melakukan reservasi, tempat itu selalu penuh."
"Well...itu adalah restoran keluargaku. Separuhnya."
"Aku suka masakan Italia," aku tersenyum.
*** Parker menyetir ke restoran dengan kecepatan minimal yang sama, memakai lampu sein ketika berbelok dan memelankan laju mobilnya di saat lampu kuning. Ketika kita bicara, dia sama sekali tidak memalingkan pandangannya dari jalan. Ketika kita tiba di restoran, aku cekikikan.
"Kenapa"" dia bertanya.
"kau...supir yang sangat berhati-hati. Itu adalah hal yang bagus."
"Berbeda dengan duduk di belakang motornya Travis"" dia t
ersenyum. Aku seharusnya tertawa, namun perbedaanya tidak terasa seperti hal yang bagus. "Jangan membahas tentang Travis malam ini. Ok""
"Baiklah," dia menjawab, meninggalkan kursinya untuk membukakan pintu untukku.
Kita langsung mendapat tempat duduk di meja yang besar dekat jendela. Meskipun aku memakai gaun, aku merasa jauh berbeda dibandingkan dengan para wanita yang ada di restoran. Mereka memakai berlian dan cocktail dress. Aku belum pernah makan di tempat manapun yang semegah ini.
Kita telah memesan makanan, Parker menutup buku menu lalu tersenyum pada pelayannya. "Dan tolong bawakan kami sebotol Allergrini Amarone."
"Baiklah, sir," kata pelayan sambil mengambil buku menu kami.
"Tempat ini sangat indah," aku berbisik sambil mecondongkan tubuhku ke arah meja.
Mata hijaunya melembut. "Terima kasih, aku akan memberitahu ayahku kau bilang begitu."
Seorang wanita mendekati meja kami. Rambutnya dsanggul kecil dengan rapi, sanggul perancis berwarna pirang, satu garis abu-abu mengganggu poninya yang berombak halus. Aku mencoba untuk tidak menatap pada perhiasan yang ada di leher, atau yang berayun ke depan dan kebelakang di telinganya, tapi semua perhiasan itu dibuat untuk di perhatikan. Mata birunya yang sipit tertuju ke arahku.
Lalu dengan cepat dia menatap ke arah teman kencanku. "Siapa temanmu ini, Parker""
"Ibu, ini adalah Abby Abernathy. Abby ini adalah ibuku, Vivienne Hayes."
Aku mengulurkan tangan dan dia menggenggamnya sekali. Dengan gerakan yang sudah terlatih, rasa tertarik palsu menyala di wajahnya yang berfitur tajam, lalu melihat ke arah Parker. "Abernathy""
Aku menelan ludah, khawatir dia mengenal nama itu.
Ekspresi Parker menjadi tidak sabar. "Dia berasal dari Wichita, bu. Ibu tidak mengenal keluarganya. Dia kuliah di Eastern."
"Oh"" Vivienne menatap ke arahku lagi. "Parker akan kuliah di Harvard tahun depan."
"Itu yang dia bilang padaku. Kupikir itu hebat. Anda pasti bangga padanya."
Ketegangan di sekitar matanya sedikit menghilang, dia sedikit tersenyum. "Kami memang bangga. Terimakasih."
Aku sangat terkesan dengan kata-katanya yang halus namun sedikit menyinggung. Itu bukan keterampilan yang dapat dipelajari hanya dalam satu malam. Mrs. Hayes pasti telah bertahun-tahun menunjukan kehebatannya pada orang lain.
"Sangat senang bertemu denganmu, Ibu. Selamat malam." Ibunya mencium pipi Parker, lalu menghapus noda lipstick dengan ibu jarinya kemudian kembali ke mejannya. "Maaf, aku tak tahu dia akan berada di sini."
"Tidak apa-apa. Dia kelihatannya...baik."
Parker tertawa. "Ya, untuk seekor piranha." Aku menahan tawaku dan dia tersenyum minta maaf.
"Dia akan terbiasa. Hanya butuh waktu."
"Semoga pada saat kau pergi ke Harvard."
Kami berbincang tanpa henti tentang makanan, Eastern, Kalkulus, dan bahkan tentang The Circle (ring Pertarungan). Parker sangat menawan, lucu, dan selalu mengatakan kata yang tepat. Beberapa orang mendekat untuk menyapa Parker, dan dia selalu memperkenalkan diriku dengan senyuman bangga. Dia seperti selebriti di dalam restoran, dan ketika kami pergi, aku merasakan pandangan menilai dari semua orang.
"Mau kemana lagi kita"" aku bertanya.
"Sayangnya aku ada ujian tengah semester mata kuliah Anatomi Vetebrata hari senin pagi. Aku harus belajar," dia berkata sambil memegang tanganku.
"Memang sebaiknya kau belajar," kataku, berusaha tidak terlihat terlalu kecewa.
Dia mengantarku ke apartemen, dan menuntun tanganku ke tangga.
"Terimakasih, Parker," aku tersenyum. "Aku sangat senang malam ini."
"Apakah terlalu cepat untuk mengajakmu kencan kedua""
"Tidak sama sekali," aku berseri-seri.
"Aku akan meneleponmu besok""
"Kedengarannya sempurna."
Lalu ada keheningan yang canggung. Elemen dari berkencan yang aku takutkan. Harus mencium atau tidak, aku benci pertanyaan itu.
Sebelum aku sempat untuk mencari tahu apa dia akan menciumku atau tidak, dia memegang kedua sisi wajahku dan menariknya ke arahnya, menekan bibirnya di bibirku. Bibirnya lembut dan hangat dan indah. Dia melepaskannya sebentar lal
u menciumku lagi. "Sampai besok, Abs."
Aku melambai, memperhatikannya turun tangga menuju mobilnya. "Bye."
Sekali lagi, ketika aku memutar pegangan pintu, pintu terbuka lebar lalu aku jatuh ke depan. Travis memegangiku, dan aku berdiri.
"kau harus hentikan itu." Aku berkata, menutup pintu di belakangku.
"Abs" (otot Perut) Memangnya kau video fitnes"" dia mengejek.
"Pigeon"" aku berkata dengan penghinaan yang sama. "Burung yang sangat mengganggu yang membuang kotoran di trotoar""
"kau seperti merpati," dia berkata membela diri. "Burung dara, wanita yang menarik, kartu kemenangan dalam permainan poker, pilih saja sendiri. kau adalah merpatiku."
Aku berpegangan pada tangannya saat melepas sepatuku, lalu melangkah menuju kamarnya. Ketika aku ganti baju dan memakai piyama, aku berusaha keras untuk tetap marah padanya.
Travis duduk di tempat tidur dan melipat tangannya di dada. "Apa kau bersenang-senang""
"Ya," menghela nafas, "Sangat bersenang-senang. Dia sangat..." aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat yang mampu menggambarkan Parker, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
"Dia menciummu""
Aku menggigit bibirku dan mengangguk. "Dia memiliki bibir yang sangat lembut."
Travis tersentak. "Aku tidak peduli bibir dia seperti apa."
"Percayalah padaku, itu sangat penting. Aku merasa gugup pada ciuman pertama, tapi ini tidak terlalu buruk."
"kau merasa gugup saat ciuman pertama"" dia bertanya, merasa geli.
"Hanya pada ciuman pertama. Aku tidak menyukainya."
"Aku tidak akan menyukainya juga kalau harus mencium Parker Hayes."
Aku cekikikan dan meninggalkan kamar menuju kamar mandi untuk membersihkan make-up dari wajahku. Travis mengikuti, bersandar pada kusen pintu. "Jadi kalian akan berkencan lagi""
"Yup. Dia akan meneleponku besok." Aku mengeringkan wajahku dan berlari menelusuri lorong, melompat ke tempat tidur.
Travis mebuka celananya sehingga hanya memakai celana boxer, lalu menelungkup membelakangiku. Sedikit terkulai, terlihat sangat lelah. Otot punggungnya menegang seperti wajahnya, dia melirik ke arahku sekilas. "Jika kalian bersenang-senang, mengapa kau pulang cepat""
"Dia ada ujian penting hari senin nanti."
Travis mengerutkan hidungnya. "Siapa yang peduli""
"Dia berusaha masuk Harvard. Dia harus belajar."
Dia mendengus, menelungkup lagi. Aku melihatnya memasukan tangan ke bawah bantalnya, tampak sedikit kesal. "Ya, itu yang selalu dia pada semua orang."
"Jangan jadi menyebalkan. Dia mempunyai prioritas...Kupikir itu bertanggung jawab."
"Bukankah harusnya pacarnya menjadi prioritas utama""
"Aku bukan pacarnya. Kita baru berkencan satu kali, Trav," aku menggerutu.
"Jadi apa saja yang kalian lakukan"" Aku menatapnya dengan marah dan dia tertawa. "Apa" Aku ingin tahu!"
Melihat dia sangat tulus, aku menceritakan semua, dari restoran, makanannya hingga semua hal manis dan lucu yang Parker ceritakan. Aku tahu aku membeku dengan senyuman bodoh di wajahku namun aku tak dapat berhenti tersenyum ketika menceritakan malamku yang sempurna.
Travis memandangku dengan senyuman senang ketika aku terus mengoceh, bahkan dia menanyakan beberapa bertanyaan. Meskipun dia terlihat frustrasi dengan situasi mengenai Parker, aku sangat yakin dia senang melihatku bahagia.
Travis memperbaiki posisinya di sisi tempat tidurnya, dan menguap. Kami saling memandang beberapa saat sebelum dia menghela nafas. "Aku senang kau bahagia, Pidge. kau berhak untuk itu."
"Terima kasih," aku menyeringai. Handphone-ku berbunyi dari atas meja lampu tidur, dan aku tersentak ke atas untuk melihat layarnya.
"Halo"" "Ini sudah besok," Parker berkata.
Aku melihat jam dan tertawa. Sekarang jam dua belas malam lewat satu menit. "Ya, benar."
"Jadi bagaimana kalau hari senin malam"" dia bertanya.
Aku menutup mulutku sebentar, lalu menarik nafas yang dalam. "Ehm, Ya. Senin malam terdengar bagus."
"Bagus. Kita bertemu hari Senin," kata Parker. Aku dapat mendengar senyuman di suaranya.
Aku menutup telepon dan menatap Travis, yang sedang memperhatikanku dengan se
dikit kesal. Aku berbalik membelakanginya dan meringkuk seperti bola, tegang karena terlalu bahagia.
"kau seperti anak kecil," Travis berkata, membalik tubuhnya membelakangiku.
Aku memutar mataku lalu menghela nafas.
Dia berbalik lagi, menarikku ke arahnya. "kau benar-benar menyukai Parker""
"Jangan mengacaukannya, Travis!"
Dia menatapku sebentar lalu menggelengkan kepalanya dan berbalik lagi.
"Parker Hayes," dia mendengus.
*** Bab 6 TITIK BALIK (TURNING POINT)
Kencan pada Senin malam melebihi semua harapanku. Kami makan makanan Cina sambil aku cekikikan melihat keterampilan Parker memakai sumpit. Ketika dia mengantarku pulang, Travis membuka pintu sebelum Parker menciumku. Ketika kami pergi berkencan lagi pada Rabu malam, Parker memastikan untuk menciumku di dalam mobil.
Hari Kamis saat makan siang, Parker menemuiku di kafetaria dan mengejutkan semua orang ketika dia duduk di tempat duduk Travis. Ketika Travis selesai merokok dan kembali ke dalam, dia melewati Parker dengan rasa tidak peduli, kemudian duduk di kursi di ujung meja. Megan mendekatinya, namun segera kecewa ketika Travis mengusirnya. Semua orang yang duduk satu meja dengannya menjadi diam setelah itu, dan aku merasa sangat sulit untuk fokus pada semua yang Parker katakan.
"Aku anggap aku tidak diundang," Parker berkata, mendapat perhatianku.
"Apa"" "Aku dengar hari Minggu pesta ulang tahunmu. Aku tidak diundang""
America melirik pada Travis yang sedang menatap tajam ke arah Parker, dia tampak seperti ingin memotong-motongnya.
"Itu seharusnya pesta kejutan, Parker." kata America pelan.
"Oh," kata Parker, meringis.
"Kau mengadakan pesta kejutan untukku"" aku bertanya pada America.
Dia mengangkat bahu. "Itu idenya Travis. Di rumah Brazil hari minggu. Jam enam."
Pipi Parker memerah. "Aku rasa aku sekarang benar-benar tidak akan diundang."
"Tidak! Tentu saja kau diundang!" aku menjawab, sambil memegang tangannya di atas meja. Dua belas pasang mata mengarah ke tangan kami. Aku dapat melihat Parker sama sepertiku merasa tidak nyaman dengan perhatian itu, jadi aku melepaskan peganganku lalu menarik tangan ke pangkuanku.
Parker berdiri. "Aku punya beberapa urusan yang harus aku kerjakan sebelum masuk kelas. Aku akan meneleponmu nanti."
"Baiklah," kataku, memberinya senyuman minta maaf.
Parker mencondongkan tubuhnya di atas meja dan kemudian mencium bibirku. Seluruh kafetaria terdiam, dan America menyikutku setelah Parker pergi.
"Tidakkah menakutkan bagaimana cara semua orang menatapmu"" dia berbisik. Dia melirik sekilas ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan dahinya. "Apa"" America berteriak. "Urus urusan kalian sendiri, dasar mesum!" Satu per satu berpaling dan mereka saling berbisik.
Aku menutup mataku dengan tangan. "kau tahu, sebelumnya aku sangat menyedihkan dikira sebagai kekasih Travis yang terlalu polos. Sekarang aku dikira jahat karena semua orang berpikir aku mempermainkan Travis dan Parker seperti bola ping pong." Ketika America tidak berkomentar, aku melihat padanya. "Apa" Jangan bilang kau juga percaya gosip itu!"
"Aku tidak mengatakan apa-apa!" dia berkata.
Aku menatapnya tidak percaya. "Tapi itu yang kau pikirkan kan""
America menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak berbicara. Tatapan dingin dari mahasiswa lain tiba-tiba terasa sangat jelas lalu aku berdiri, melangkah ke ujung meja.
"Kita harus bicara," kataku, menepuk bahu Travis. Aku berusaha terdengar sopan, tapi rasa marah bergejolak di dadaku. Semua mahasiswa, termasuk sahabatku, berpikir aku telah mempermainkan dua pria. Hanya ada satu solusi. "Bicaralah," Travis menjawab sambil memasukan sesuatu yang dibungkus tepung dan di goreng ke dalam mulutnya.
Aku gelisah, merasakan tatapan penasaran semua orang yang berusaha mendengarkan. Ketika Travis tetap tidak bergerak, aku meraih tangannya dan menariknya dengan keras. Dia berdiri dan mengikutiku keluar dengan seringai di wajahnya.
"Ada apa, Pidge"" dia bertanya, melihat ke arah tanganku yang memegang tangannya lalu menatapku.
"Kau harus membebaskank
u dari taruhan ini." Aku memohon.
Wajahnya tampak kecewa. "kau ingin pergi" Kenapa" Apa yang telah aku lakukan""
"Kau tidak melakukan apapun, Trav. Tidakkah kau menyadari tatapan semua orang" Aku menjadi sampah masyarakat di Universitas Eastern."
Travis menggelengkan kepalanya lalu menyalakan rokok. "Bukan masalahku."
"Itu masalahmu juga, Parker bilang semua orang berpikir dia punya keinginan untuk mati karena kau jatuh cinta padaku."
Alis Travis terangkat dan dia tersedak asap rokok yang baru saja dia hembuskan. "Semua orang mengatakan itu"" dia bertanya sambil batuk.
Aku mengangguk. Dia berpaling dengan mata yang terbelalak, menghisap rokoknya lagi.
"Travis! kau harus membebaskanku dari taruhan ini! Aku tidak bisa berkencan dengan Parker dan tetap tinggal denganmu pada saat yang sama. Itu terlihat mengerikan!"
"Jadi, berhentilah berkencan dengan Parker."
Aku menatapnya. "Bukan itu masalahnya, dan kau tahu itu."
"Apa hanya itu alasan kau ingin pergi" Karena apa yang semua orang katakan""
"Setidaknya dulu aku dikira polos dan kau sebagai orang jahatnya," aku menggerutu.
"Jawab pertanyaanya, Pidge."
"Ya, hanya itu!"
Travis memperhatikan semua mahasiswa yang masuk dan pergi dari kafetaria. Dia sedang mempertimbangkan, dan aku sudah tidak sabar ketika dia berlama-lama dalam mengambil keputusan.
Akhirnya, dia berdiri tegak, memutuskan. "Tidak."
Aku menggelengkan kepalaku, yakin bahwa aku salah dengar. "Maaf, apa""
"Tidak mau. kau sendiri bilang taruhan adalah taruhan. Setelah satu bulan habis, kau akan bersama Parker, dia akan menjadi dokter, kalian akan menikah dan memiliki anak dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi." Dia meringis pada kata-katanya sendiri. "Aku masih punya tiga minggu. Aku tidak akan menyerahkannya hanya karena gosip pada waktu makan siang."
Aku memandang ke arah jendela kaca dan melihat semua orang di kafetaria memperhatikan kami. Perhatian yang tidak diinginkan membuat mataku berkaca-kaca. Aku menabrak bahunya Travis sambil berjalan menuju kelasku berikutnya.
"Pigeon," Travis memanggilku.
Aku tidak berpaling. *** Malam itu, America duduk di lantai kamar mandi, mengoceh tentang Travis dan Shepley ketika aku sedang berdiri di depan cermin sambil mengikat rambutku. Aku tidak terlalu mendengarkan, memikirkan betapa telah sabarnya Travis-padahal Travis-mengetahui dia tidak menyukai Parker yang selalu menjemputku dari apartmentnya setiap malam.
Ekspresi wajahnya Travis terlintas di pikiranku ketika aku memintanya untuk melepaskanku dari taruhan ini, lalu ketika aku bilang semua orang berpikiran kalau dia jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa berhenti berpikir mengapa dia tidak membantahnya.
"Well, Shep berpikir kau terlalu keras pada Travis. Dia sebelumnya tidak pernah punya seseorang yang sangat dia sayangi untuk-,"
Kepala Travis muncul di pintu lalu tersenyum ketika melihatku kesulitan mengatur rambutku. "Mau makan malam"" dia bertanya.
America berdiri dan melihat dirinya di cermin, menyisirkan tangannya pada rambut keemasannya. "Shep ingin makan di restoran makanan Mexico baru di kota jika kalian ingin pergi."
Travis menggelengkan kepalanya. "Aku pikir aku dan Pidge akan pergi berdua saja malam ini."
"Aku ada kencan dengan Parker."
"Lagi"" dia bertanya dengan kesal.
"Lagi," jawabku dengan suara seperti sedang bernyanyi.
Bel pintu berbunyi, dan aku bergegas untuk membuka pintu melewati Travis. Parker berdiri di depanku, rambut pirang berombaknya tertata rapi diatas wajahnya yang tercukur bersih.
"Apa kau pernah kelihatan tidak cantik"" Parker bertanya.
"Berdasarkan penampilan dia waktu pertama kali datang kemari, aku akan bilang pernah," Travis menjawab dari belakang.
Aku memutar mataku dan tersenyum, mengangkat jariku untuk memberi signal pada Parker agar menunggu sebentar. Aku berbalik dan memeluk Travis. Dia membeku karena terkejut lalu kembali tenang, menarikku ke arahnya dan memeluku dengan erat.
Aku menatap matanya dan tersenyum. "Terima kasih sudah mempersiapkan pesta ulang tahun untukku. Bi
sakah kita atur ulang jadwal untuk pergi makan malamnya""
Berbagai emosi terlihat di wajahnya, lalu dia tersenyum. "Besok""
Aku memeluknya erat dan tersenyum. "Boleh." Aku melambaikan tanganku padanya saat Parker memegang tanganku.
"Tentang apa itu"" Parker bertanya.
"Belakangan ini kami tidak akur. Jadi itu adalah caraku untuk berdamai."
"Haruskah aku khawatir"" dia bertanya sambil membuka pintu mobil untukku.
"Tidak." Aku tersenyum, mencium pipinya.
*** Saat makan malam, Parker membicarakan tentang Harvard, The House, dan rencananya untuk mencari apartment. Alisnya di tarik. "Apakah Travis akan pergi bersamamu ke pesta ulang tahunmu""
"Aku tak tahu. Dia belum mengatakan apa-apa tentang itu."
"Jika dia tidak keberatan, aku ingin menjemputmu." Dia mengambil tanganku dan mencium jari-jariku.
"Aku akan bertanya padanya. Pesta itu kan idenya, jadi &"
"Aku mengerti. Jika tidak bisa, kita akan bertemu di sana saja." Dia tersenyum.
Parker mengantarku ke apartment, memperlambat mobilnya untuk berhenti di tempat parkir. Ketika dia memberiku ciuman perpisahan, bibirnya berlama-lama menciumku. Dia menarik rem tangan ketika bibirnya menelusuri rahangku menuju telingaku, dan setengah kebawah leherku. Itu membuatku lengah dan aku membiarkan desahan lembut keluar dari mulutku.
"kau sangat cantik," dia berbisik. "Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi sepanjang malam, karena rambutmu yang diikat memperlihatkan lehermu." Dia menghujani leherku dengan ciuman dan aku menarik nafas, erangan keluar bersamaan dengan nafasku.
"Apa yang membuatmu begitu lama"" aku tersenyum, mengangkat daguku untuk lebih memberinya jalan agar bisa menciumku.
Parker fokus pada bibirku. Dia memegang kedua sisi wajahku, menciumku lebih kuat daripada biasanya. Kita tidak memiliki banyak ruang di dalam mobil, tapi kita berhasil membuat sedikit ruang yang ada menjadi keuntungan untuk kita. Dia bersandar padaku, aku menekuk lututku ketika jatuh ke arah jendela. Lidahnya menyusup ke dalam mulutku, dan tangannya memegang mata kakiku lalu menarik keatas kaki dan pahaku. Jendela menjadi beruap dalam beberapa menit karena nafas hangat kami yang terengah-engah, menempel di jendela yang dingin. Bibirnya menelusuri tulang leherku, lalu tersentak ketika kaca bergetar karena beberapa pukulan keras.
Parker kemudian duduk dan aku memperbaiki posisiku dan merapikan bajuku. Aku terloncat ketika pintu terbuka. Travis dan America berdiri di samping mobil. America mengernyit simpatik, dan Travis tampak seperti terbang ke dalam kemarahan yang sangat besar.
"Apa yang kau lakukan, Travis"" Parker membentak.
Situasi tiba-tiba terasa sangat berbahaya. Aku belum pernah mendengar Parker meninggikan suaranya, ibu jari Travis menjadi putih pucat karena dia mengepalkan tinju di samping tubuhnya-dan aku menghalanginya.
Tangan America terlihat sangat kecil ketika menyentuh tangan Travis yang besar, menggelengkan kepalanya untuk memberi signal pada Parker agar diam.
"Ayo, Abby. Aku perlu bicara denganmu," America berkata.
"Tentang apa""
"Ayo, ikut saja!" dia membentak.
Aku menatap Parker, melihat rasa kesal di matanya. "Maafkan aku, tapi aku harus pergi."
"Tidak apa-apa, silahkan pergi."
Travis membantuku keluar dari mobil, lalu menendang pintu hingga tertutup. Aku berputar dan berdiri diantara mobil dan Travis, mendorong bahunya. "Ada apa denganmu" Hentikan!"
America tampak gugup. Tidak butuh lama untuk mengerti mengapa dia merasa gugup. Travis berbau whiskey; dia telah memaksa untuk menemani Travis atau Travis yang meminta America untuk menemaninya. Bagaimanapun itu dia menjadi pencegah terjadinya kekerasan.
Suara ban mobil Porsche Parker yang mengkilap berdecit ketika keluar dari tempat parkir, lalu Travis menyalakan rokok. "kau boleh pergi sekarang, Mare."
America menarik rokku. "Ayo, Abby."
"kau di sini saja, Abs," dia mendesis marah.
Aku mengangguk pada America agar dia masuk duluan dan dengan enggan dia menurut. Aku melipat tanganku siap untuk pertengkaran, siap untuk mencaci makinya setelah pelajarann
ya yang tak terelakkan. Travis menghisap rokoknya beberapa kali, dan ketika terlihat jelas dia tidak akan menjelaskan, kesabaranku habis.
"Kenapa kau melakukan itu"" aku bertanya.
"Kenapa" Karena dia melecehkanmu di depan apartemenku!" dia berteriak. Matanya tidak fokus dan aku dapat melihat dia tidak mampu melakukan percakapan yang rasional.
Aku menahan suaraku agar tetap tenang. "Aku memang tinggal denganmu, tapi apa yang aku lakukan dan dengan siapa aku melakukannya adalah urusanku."
Dia membuang rokoknya ke tanah. "kau lebih baik dari itu, Pidge. Jangan biarkan dia menidurimu di mobil seperti kencan pesta dansa murahan."
"Aku memang tidak akan berhubungan seks dengannya!"
Dia menunjuk ke arah tempat parkir kosong tempat mobil Parker parkir tadi. "Kalau begitu apa yang kau lakukan tadi""
"Apakah kau tidak pernah bercumbu dengan seseorang, Travis" Tidak pernahkah kau melakukannya tanpa membiarkannya terlalu jauh."
Dia mengererutkan dahi dan menggelengkan kepalanya seolah-olah aku bicara dengan bahasa yang tak di mengerti. "Apa enaknya melakukan itu""
"Konsep itu ada untuk semua orang &terutama mereka yang berkencan."
"Jendela menjadi beruap, mobil bergerak naik turun...bagaimana mungkin aku tahu"" dia berkata, melambaikan tangannya ketempat parkir yang telah kosong.
"Mungkin seharusnya kau tidak memata-mataiku!"
Dia mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya lagi. "Aku tidak tahan lagi, Pigeon. Aku rasa aku akan menjadi gila."
Aku memukul pahaku. "kau tidak tahan apa""
"Jika kau tidur dengannya, aku tidak ingin tahu tentang itu. Aku akan masuk penjara sangat lama kalau aku tahu &pokoknya jangan beritahu aku."
"Travis," aku mendesis marah. "Aku tidak percaya kau bicara seperti itu! Itu adalah langkah yang sangat besar untukku!"
"Itu yang semua wanita katakan!"
"Maksudku bukan semua pelacur yang berhubungan denganmu! Tapi aku!" aku berkata sambil menunjuk dadaku.
"Aku belum pernah...aahh! Lupakan." Aku melangkah pergi darinya, tapi dia menarik tanganku, memutarku sehingga berhadapan dengannya.
"Kau belum pernah apa"" dia bertanya. Aku tidak menjawab-aku tidak harus menjawab. Aku dapat melihat penghargaan menyala di wajahnya lalu dia tertawa sekali. "kau masih perawan""
"Lalu kenapa kalau aku masih perawan"" kataku, darah terbakar di pipiku.
Matanya terhanyut dari mataku, tidak fokus seakan berpikir melalui whiskeynya.
"Jadi itu yang membuat America yakin tidak akan terjadi apa-apa."
"Aku punya satu orang pacar yang sama selama empat tahun di SMA. Dia calon pendeta pembaptisan remaja! Itu tidak pernah terpikirkan!"
Kemarahan Travis lenyap, digantikan oleh perasaan lega di matanya. "Calon Pendeta" Apa yang terjadi setelah semua pantangan itu""
"Dia ingin menikah dan menetap di Kansas. Aku tidak mau itu." Aku sangat ingin mengganti topik pembicaraan. Rasa senang di mata Travis sudah cukup memalukan. Aku tidak ingin dia menggali terlalu jauh masa laluku.
Dia mengambil satu langkah ke hadapanku dan memegang kedua sisi wajahku. "Perawan," dia berkata, menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pernah mengira mengingat caramu berdansa di The Red."
"Sangat lucu," aku berkata, menginjak tangga.
Travis bermaksud mengikutiku, namun dia terpeleset dan jatuh, terguling lalu tertawa histeris.
"Apa yang kau lakukan" Berdiri!" kataku, membantunya berdiri.
Dia mengaitkan tangannya di leherku, dan aku membantunya naik ke atas. Shepley dan America sudah tertidur, jadi dengan tidak adanya bantuan lain, aku menendang sepatu hak tinggiku untuk menghindari mematahkan pergelangan kakiku ketika menuntun Travis ke tempat tidur. Dia jatuh telentang ke tempat tidur, menarikku jatuh bersamanya.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kita mendarat di tempat tidur, wajahku hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya. Ekspresinya tiba-tiba menjadi serius. Dia mendekat, hampir menciumku, namun aku mendorongnya. Alis Travis mengkerut.
"Hentikan, Trav," kataku.
Dia memelukku dengan erat sampai aku berhenti meronta, lalu dia melepaskan tali gaunku, sehingga menggantung lepas di bahuku. "Seja
k kata perawan keluar dari bibir indahmu &aku tiba-tiba punya dorongan kuat untuk menolongmu membuka gaun itu."
"Well, sayang sekali. kau siap membunuh Parker karena hal yang sama dua puluh menit yang lalu, jadi jangan munafik."
"Persetan dengan Parker. Dia tidak mengenalmu seperti aku."
"Ayolah, Trav. Kita buka bajumu lalu pergi tidur."
"Itu yang aku pikirkan." Dia tergelak.
"Berapa banyak yang kau minum"" aku bertanya, menempatkan kakiku di antara kakinya.
"Cukup," dia tersenyum sambil menarik-narik ujung gaunku.
"Kau mungkin telah melewati kata cukup satu gallon yang lalu," kataku, menepiskan tangannya. Aku berlutut di tempat tidur di sampingnya, lalu menarik lepas kaosnya dari atas kepalanya. Dia meraihku lagi dan aku memegang pergelangan tangannnya, mencium bau tajam di udara. "Ya Tuhan, Trav, kau bau Jack Daniels."
"Jim Beam," dia mengoreksi sambil mengangguk mabuk.
"Baunya seperti kayu terbakar dan bahan kimia."
"Rasanya juga seperti itu," dia tertawa. Aku membuka dan menarik ikat pinggangnya hingga lepas. Dia tertawa sambil bangun lalu mengangkat kepalanya ke arahku. "Sebaiknya jaga keperawananmu, Pidge. kau tahu aku suka yang kasar."
"Diamlah," kataku, membuka kancing celana jinsnya, membukanya melewati pinggangnya lalu melepaskannya dari kakinya. Aku melempar celana jinsnya ke lantai lalu berdiri dengan tangan di pinggang, terengah-engah. Kakinya menggantung di ujung tempat tidur, matanya tertutup, dan dia bernafas dalam dan berat. Dia telah pingsan.
Aku menarik nafas panjang lalu melangkah menuju lemari, menggoyangkan kepalaku saat menggeledah baju kami. Aku membuka ritsleting gaunku, mendorongnya turun dari pinggangku, membiarkannya jatuh di kakiku. Menendangnya ke pojok, aku menarik lepas ikat rambutku, dan mengibaskan rambutku.
Lemarinya penuh oleh bajuku dan baju Travis, aku menghembuskan nafas, meniup rambut dari wajahku saat mencari kaosku di antara barang yang berantakan di dalam lemari. Saat aku menarik satu kaos lepas dari gantungannya, Travis menabrakku dari belakang, memeluk pinggangku.
"kau membuatku sangat terkejut!" aku mengeluh.
Dia menulusuri kulitku dengan jarinya. Aku merasa itu sangat berbeda; pelan dan sangat hati-hati. Aku menutup mataku ketika dia menarikku ke arahnya dan memendamkan wajahnya di rambutku, mengendus leherku. Merasakan kulitnya yang telanjang di kulitku, itu membutuhkan beberapa saat untuk protes.
"Travis..." Dia menarik rambutku ke satu sisi dan menyeret bibirnya di punggungku dari satu bahuku ke bahu lainnya, melepas ikatan bra ku. Dia mencium kulit telanjang di bawah leherku dan aku memejamkan mataku, kehangatan lembut mulutnya terasa begitu nikmat untuk membuatnya berhenti. Erangan lembut keluar dari tenggorokannya ketika dia menekan tulang pinggulnya padaku, dan aku bisa merasakan betapa dia sangat menginginkanku melalui celana boxernya. Aku menahan nafasku, mengetahui satu-satunya yang menghalangi kita dari langkah besar yang aku tolak beberapa waktu sebelumnya adalah dua potong kain tipis.
Travis memutarku menghadapnya, dan menekan tubuhku, menyandarkanku di dinding. Mata kita saling memandang, dan aku bisa melihat rasa sakit di wajahnya saat dia mengamati kulit telanjangku. Aku telah melihat dia mendekati wanita sebelumnya, namun ini berbeda. Dia tidak ingin menaklukkanku; dia hanya ingin aku berkata ya.
Dia mendekat untuk menciumku, berhenti ketika berjarak beberapa inchi. Aku dapat merasakan panas kulitnya memancar di bibirku, dan aku harus menghentikan diriku untuk tidak menariknya selama ini berlangsung. Dia tidak tergesa-gesa saat menyentuh kulitku lebih dalam, lalu tangannya melucur dari punggung ke lipatan celana dalamku. Jari telunjuknya turun ke pinggangku, masuk diantara kulit dan celana rendaku, pada saat yang sama ketika dia akan memasukan telapak tangannya yang halus diantara kakiku, dia menjadi ragu-ragu. Ketika aku hampir membuka mulutku untuk berkata ya, dia menutup matanya.
"Bukan seperti ini," dia berbisik, mengusapkan bibirnya di bibirku. "Aku menginginkanmu, tapi tidak seperti ini." Dia m
undur ke belakang, jatuh terlentang di tempat tidur, dan aku hanya berdiri untuk beberapa saat dengan tangan di silangkan di atas perutku. Ketika nafasnya menjadi teratur, aku mendorong masuk lenganku ke dalam kaos yang selama ini ada di tanganku, dan menarik masuk melewati kepalaku. Travis tidak bergerak dan aku menghembuskan nafasku pelan-pelan ke udara, mengetahui aku tidak akan bisa mengendalikan kita berdua apabila aku tidur di tempat tidur dan dia akan terbangun dengan pandangan yang kurang hormat.
Aku bergegas menuju kursi dan roboh di atasnya, menutup wajahku dengan tangan. Aku merasakan perasaan frustrasi yang berlapis-lapis menari dan saling menghancurkan di dalam diriku. Parker pergi merasa di remehkan, Travis menunggu hingga aku bertemu dengan seseorang seseorang yang bener-benar aku sukai-untuk menunjukan rasa ketertarikannya padaku, dan sepertinya hanya aku yang tidak dia ajak tidur, meskipun sedang mabuk.
*** Keesokan paginya, aku menuangkan jus jeruk kedalam gelas besar, lalu meminumnya satu teguk sambil mengayunkan kepalaku mengikuti alunan musik dari IPod-ku. Aku terbangun sebelum matahari terbit dan menggeliat di kursi hingga jam menunjukan angka delapan. Setelah itu aku memutuskan membersihkan dapur untuk menghabiskan waktu hingga teman sekamarku yang kurang ambisius terbangun. Aku memasukan piring kotor ke dalam dishwasher lalu mengelap dan mengepel, lalu mengelap meja. Ketika dapur sudah bersih, aku mengambil sekeranjang baju bersih lalu duduk di sofa, melipatnya hingga ada beberapa lusin lebih tumpukan mengelilingiku.
Terdengar suara bisikan dari arah kamar Shepley. America cekikikan lalu hening beberapa saat, diikuti suara yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman saat sedang duduk sendirian di ruang tamu.
Aku menyusun tumpukan baju yang telah dilipat ke dalam keranjang lalu membawanya ke kamar Travis, tersenyum ketika aku melihat bahwa dia tidak bergerak dari posisi ketika jatuh tadi malam. Aku menurunkan keranjang ke bawah dan menarik selimut menutupinya, menahan tawa ketika dia berbalik.
"Pemandangan, Pigeon," dia berkata, menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar sebelum nafasnya kembali pelan dan dalam.
Aku tidak bisa menahannya untuk memperhatikan dia tidur; mengetahui dia memimpikan diriku mengirimkan getaran ke pembuluh darahku yang tidak dapat aku jelaskan. Travis terbaring diam, maka aku mandi, berharap suara orang yang sudah bangun dan ada di sekitarnya dapat menghentikan suara erangan Shepley dan America serta suara berderit dan benturan tempat tidur pada dinding. Ketika aku mematikan pancuran air, aku menyadari mereka tidak peduli siapa yang mendengar.
Aku menyisir rambutku, memutar mataku saat America memekik dengan suara keras, yang lebih mirip suara anjing pudel daripada bintang film porno. Bel pintu berbunyi lalu aku mengambil jubah handuk biruku dan mengikatkan talinya, berlari kecil melintasi lantai ruang tamu. Suara dari arah kamar Shepley langsung berhenti lalu aku membuka pintu dan melihat wajah Parker yang tersenyum.
"Selamat pagi," dia berkata.
Aku menyisir rambut basahku dengan jari. "Apa yang kau lakukan disini""
"Aku tidak menyukai cara kita mengucapkan selamat tinggal tadi malam. Aku pergi keluar tadi pagi untuk membeli hadiah ulang tahun untukmu, dan aku tidak sabar untuk memberikannya padamu. Jadi &," dia berkata sambil mengeluarkan kotak mengkilap dari saku jaketnya, "Selamat ulang tahun, Abs."
Dia meletakan kotak perak di tanganku dan aku mendekat untuk mencium pipinya. "Terimakasih."
"Ayo, aku ingin melihat wajahmu saat kau membukanya."
Aku memasukan jariku ke bawah selotip di bawah kotaknya, lalu menarik lepas bungkus kertasnya, memberikannya pada Parker. Sebuah untaian berlian yang berkilauan menghiasi gelang emas putih.
"Parker," aku berbisik.
Dia berseri-seri. "kau menyukainya""
"Ya, aku menyukainya," jawabku memegangnya di depan wajahku dengan kagum, "Tapi ini berlebihan. Aku tidak dapat menerimanya meskipun kita telah berkencan selama satu tahun, apalagi baru seminggu."
Parker menyeringai. "Aku tahu kau pa
sti berpikir begitu. Aku sudah kemana-mana sepanjang pagi ini untuk mencari hadiah ulang tahun yang sempurna, dan ketika aku melihat ini, aku tahu hanya ada satu tempat yang tepat untuknya," dia berkata, mengambilnya dari jariku dan memasangkannya di pergelangan tanganku. "Dan aku benar. Itu terlihat sangat indah dipakai olehmu."
Aku mengangkat pergelangan tanganku lalu menggelengkan kepala, terhipnotis oleh kecemerlangan warnanya yang bereaksi terhadap sinar matahari. "Ini adalah benda yang paling indah yang pernah aku lihat. Tidak pernah seorangpun memberiku sesuatu yang sangat..," kata mahal terlintas di pikiranku, tapi aku tidak mengatakannya, "rumit. Aku tidak tahu harus berkata apa."
Parker tertawa lalu mencium pipiku. "Katakan kau akan memakainya besok."
Aku tersenyum lebar. "Aku akan memakainya besok," aku berkata sambil memandangi pergelangan tanganku.
"Aku senang kau menyukainya. Ekspresi wajahmu sebanding dengan tujuh toko yang aku datangi."
Aku menghela nafas. "kau mendatangi tujuh toko"" Dia mengangguk, dan aku memegang wajahnya.
"Terima kasih. Ini sempurna," aku berkata sambil menciumnya.
Dia memelukku dengan erat. "Aku harus pergi. Aku akan makan siang dengan orangtuaku, tapi aku akan meneleponmu nanti, ok""
"Ok. Terimakasih!" aku berteriak ke arahnya, memperhatikan dia yang berlari kecil menuruni tangga.
Aku langsung masuk ke dalam, tidak bisa berhenti memandangi pergelangan tanganku.
"Ya ampun, Abby!" America berkata, memegang tanganku. "Dari mana kau mendapatkan ini""
"Parker yang membelinya. Ini adalah hadiah ulang tahunku dari Parker!"
America ternganga, lalu melihat ke arah gelang. "Dia membelikanmu berlian sebesar bola tenis" Setelah seminggu" Jika aku tidak mengenalmu lebih baik, aku akan mengira kau mempunyai selangkangan ajaib!"
Aku tertawa keras, memulai festival cekikikan konyol di ruang tamu.
Shepley keluar dari kamarnya, kelihatan lelah tapi puas. "Apa yang kalian tertawakan di sini""
America mengangkat pergelangan tanganku. "Lihat! Hadiah ulang tahunnya dari Parker!"
Shepley memicingkan matanya lalu matanya terbuka lebar. "Wow."
"Hebat, kan"" America berkata sambil mengangguk.
Travis terhuyung keluar dari kamarnya, terlihat sedikit lelah. "Kalian sangat berisik," dia mengeluh, mengancingkan celana jinsnya.
"Maaf," kataku, menarik tanganku dari genggaman America. 'Moment-hampir' kita menyelinap di pikiranku, dan aku tidak mampu menatap matanya.
Dia meminum habis sisa jus jerukku, lalu mengelap mulutnya. "Siapa yang membiarkanku minum sangat banyak tadi malam""
America menyeringai, "kau. kau pergi keluar dan membeli lima botol setelah Abby pergi dengan Parker, dan sudah menghabiskannya saat dia pulang."
"Sialan," dia berkata, menggelengkan kepalanya. "Apa kau bersenang-senang"" dia bertanya, melihat ke arahku.
"Apakah kau serius"" aku bertanya, memperlihatkan kemarahanku sebelum berpikir.
"Kenapa"" America tertawa. "kau menariknya keluar dari mobil Parker, terlihat memerah saat kau mengetahui mereka bercumbu seperti anak sekolah yang mabuk. Mereka membuat jendela beruap dan semuanya!"
Keris Pusaka Nogopasung 4 Fallen Too Far Karya Abbi Glines Misteri Hutan Larangan 2

Cari Blog Ini