Ceritasilat Novel Online

Beautiful Disaster 5

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 5


"Rasa tegang ini membunuhku, Pidge." teriak Travis.
Aku melangkah keluar, gelisah dengan gaunku sementara Travis berdiri di hadapanku, tanpa ekspresi.
America menyikutnya dan dia pun berkedip. "Ya ampun."
"Apakah kau siap untuk merasa panik"" tanya America.
"Aku tidak panik, dia terlihat sangat mengagumkan," kata Travis.
Aku tersenyum lalu perlahan berputar untuk memperlihatkan padanya model belakang gaunku yang backless.
"Ok, sekarang aku panik," Travis berkata sambil berjalan ke arahku dan memutarku.
"kau tidak menyukainya"" tanyaku.
"kau harus pakai jaket." Dia berlari kecil ke rak baju lalu dengan tergesa-gesa membungkus bahuku dengan jaketku.
"Dia tidak bisa memakai itu semalaman, Trav," America tertawa geli.
"kau terlihat cantik, Abby," kata Shepley sebagai permintaan maaf atas kelakuan Travis.
Ekspresi Travis terluka saat dia bicara. "Kau memang cantik. kau terlihat luar biasa &tapi kau tidak bisa memakai itu. Rok mu..wow, kakimu sangat &rok mu terlalu pendek dan itu hanya setengah gaun. Itu bahkan tidak ada punggungnya!"
Aku tidak dapat menahan senyumku. "Modelnya memang seperti ini, Travis."
"Apa kalian hidup untuk saling menyiksa satu sama lain"" Shepley mengernyit.
"Apa kau punya gaun lain yang lebih panjang"" tanya Travis.
Aku melihat ke bawah. "Sebenarnya bagian depan terlihat cukup sederhana. Hanya bagian belakangnya saja yang terbuka dan memperlihatkan punggungku."
"Pigeon," Travis meringis pada saat mengatakan kata berikutnya, "Aku tidak ingin kau marah, tapi aku tidak bisa membawamu ke rumah perkumpulanku seperti itu. Aku akan berkelahi pada lima menit pertama kita tiba di sana, Sayang."
Aku mendekatinya lalu berjinjit kemudian mencium bibirnya. "Aku percaya kau tidak akan begitu."
"Malam ini akan menyebalkan." gerutunya.
"Malam ini akan luar biasa," kata America, merasa tersin
ggung. "Pikirkan saja bagaimana mudahnya nanti melepas gaun ini," kataku, mencium lehernya.
"Itulah masalahnya. Semua pria lain di sana juga akan memikirkan hal yang sama."
"Tapi hanya kau yang akan membuktikannya," kataku riang. Dia tidak menjawab, dan aku mendekat lagi untuk menafsirkan ekspresinya. "Apa kau benar-benar ingin aku mengganti pakaianku""
Travis memperhatikan wajahku, gaunku, kakiku, lalu dia menghembuskana nafasnya. "Apapun yang kau pakai, kau tetap cantik. Aku hanya harus terbiasa dengan itu, kan"" dia mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Baiklah, kita sudah terlambat. Mari kita pergi."
Aku merapatkan tubuhku pada tubuh Travis agar merasa hangat saat kami berjalan ke mobil Shepley menuju Sigma Tau.
*** Udaranya penuh dengan asap, namun hangat. Musik menggelegar dari ruang bawah tanah, dan kepala Travis bergerak mengikuti irama. Semua orang langsung berpaling bersamaan. Aku tidak yakin mereka berpaling karena Travis datang ke acara pesta kencan, karena dia memakai celana panjang katun longgar, atau karena gaunku, tapi mereka semua menatap.
America mendekat dan berbisik di telingaku. "Aku sangat senang kau ada di sini, Abby. Aku merasa seperti masuk ke dalam filmnya Molly Ringwald.
"Senang bisa membantu," kataku, mengerutu.
Travis dan Shepley melepas jaket kami, lalu menuntun kami melewati ruangan itu menuju dapur. Shepley membawa empat botol bir dari kulkas dan menyerahkan satu pada America lalu padaku. Kami berdiri di dapur, mendengarkan saudara perkumpulan Travis membicarakan pertarungan terakhirnya. Mahasiswi perkumpulan yang menemani mereka kebetulan wanita yang sama yang diikuti Travis masuk ke kafetaria saat pertama kali kami mengobrol, wanita yang berdada besar dan pirang.
Lexie sangat mudah di kenali. Aku tidak dapat melupakan wajahnya saat Travis mendorongnya jatuh dari pangkuannya karena menghina America. Dia memandangiku penuh rasa ingin tahu, terlihat seperti memperhatikan semua kata-kataku. Aku tahu dia merasa penasaran mengapa Travis Maddox berpendapat bahwa aku menarik, dan aku berusaha untuk menunjukan alasannya. Aku terus memegangi Travis, mengatakan gurauan pintar pada saat yang tepat dalam percakapan, dan bercanda dengan Travis tentang tatoo barunya.
"Dude, kau mengukir nama kekasihmu di pergelangan tanganmu" Apa yang merasukimu hingga melakukan hal itu"" kata Brad.
Dengan bangga Travis membalik tangannya untuk memperlihatkan tatoo namaku. "Aku tergila-gila padanya," Travis berkata sambil melihatku dengan tatapan yang lembut.
"kau belum begitu mengenalnya," Lexie mendengus.
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. "Kami menghabiskan tiap detik bersama. Aku mengenalnya." Dia mengerutkan alisnya, "Aku pikir tadi tatoo ini membuatmu panik. Sekarang kau membanggakannya""
Aku mendekat dan mencium pipinya sambil mengangkat bahuku. "Lama kelamaan aku jadi menyukainya."
Shepley dan America menuruni tangga dan kami mengikutinya, sambil berpegangan tangan.
Semua kursi digeser ke tembok untuk membuat lantai dansa sementara, dan pada saat kami sedang menuruni tangga, lagu berirama pelan diputar.
Tanpa ragu Travis menarikku ke tengah lantai dansa, memelukku erat dan meletakkan tanganku di dadanya. "Aku bersyukur belum pernah datang ke acara ini sebelumnya. Sehingga hanya kau yang pernah aku ajak ke acara ini."
Aku tersenyum dan meletakkan pipiku di dadanya. Dia meletakkan tangannya di bawah punggungku, terasa hangat dan lembut di punggungku yang terbuka.
"Semua memandangmu karena memakai gaun ini," kata Travis. Aku melihat ke atas, mengira akan melihat ekspresi yang tegang, namun dia sedang tersenyum. "Aku rasa itu keren &berada bersama wanita yang diinginkan semua orang."
Aku memutar mataku. "Mereka tidak menginginkanku. Mereka hanya penasaran kenapa kau menginginkanku. Dan lagi pula, aku merasa kasihan pada siapapun yang berpikir mereka punya kesempatan. Aku benar-benar dan sepenuhnya jatuh cinta padamu."
Wajahnya tampak sedih. "kau tahu mengapa aku menginginkanmu" Aku tidak tahu bahwa aku tersesat hingga kau menemuka
nku. Aku tidak tahu rasanya kesepian hingga malam pertama yang aku lalui tanpa dirimu di tempat tidurku. kau adalah satu-satunya yang aku rasa tepat dalam hidupku. kau adalah yang selalu aku nantikan, Pidge."
Aku meraih ke atas untuk memegang wajahnya di tanganku dan dia memelukku, mengangkatku dari lantai. Aku mencium bibirnya, dan dia menciumku dengan emosi dari semua yang telah dia katakan tadi. Pada saat itulah aku menyadari mengapa dia membuat tatoo itu, kenapa dia memilihku dan mengapa aku berbeda. Itu bukan hanya karena diriku, bukan juga hanya karena dirinya, itu karena bagaimana saat kami bersama yang menjadi pengecualian.
Lagu berirama lebih cepat terdengar dari speaker, dan Travis menurunkanku. "Masih ingin berdansa""
America dan Shepley muncul di samping kami dan aku mengangkat alisku. "Jika kau pikir bisa mengimbangiku."
Travis menyeringai. "Coba saja."
Aku menggerakkan pinggulku di pinggulnya dan tanganku bergerak naik di atas kemejanya, membuka dua kancing teratasnya, Travis tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya, lalu aku berbalik, bergerak menempel tubuhnya tapi membelakanginya mengikuti irama. Dia menarik pinggulku dan aku meraih ke belakang, menarik pantatnya. Aku condong ke depan dan dia meremas erat diriku. Ketika aku berdiri tegak, dia menyentuh bibir lalu telingaku.
"Kalau terus seperti itu, maka kita akan pulang lebih awal."
Aku berbalik dan tersenyum, meletakan tanganku di lehernya. Dia mendekatkan tubuhnya padaku dan aku mengangkat kemejanya, memasukan tanganku ke atas di punggungnya, menekan jariku ke ototnya yang ramping, lalu tersenyum karena suara yang dia keluarkan saat aku merasakan lehernya.
"Ya Tuhan, Pigeon, kau membuatku tidak tahan," katanya, mencengkram rokku, mengangkatnya cukup untuk menyentuh pahaku dengan ujung jarinya.
"Aku rasa kita tahu itu terlihat seperti apa," Lexie mengejek dari belakang kami.
America berputar, melangkah ke depan tepat di hadapannya. Shepley menariknya tepat waktu.
"Katakan sekali lagi!" kata America. "Ayo kalau berani, dasar pelacur!"
Lexie bersembunyi ketakutan di belakang kekasihnya, terkejut karena ancaman America.
"Sebaiknya kau membeli penutup mulut untuk teman kencanmu, Brad," Travis memperingatkan.
Dua lagu kemudian, rambut di belakang leherku sudah berat dan basah. Travis mencium di bawah telingaku. "Ayo, Pidge. Aku ingin merokok."
Dia menuntunku menaiki tangga, lalu membawa jaketku sebelum naik ke lantai dua. Kami berjalan keluar ke balkon dan menemukan Parker dengan teman kencannya. Wanita itu lebih tinggi dariku, rambutnya pendek dan lurus, berwarna hitam, diikat ke belakang dengan jepit rambut. Aku melihat sepatu hak tingginya yang runcing, dengan kakinya melingkar di pinggul Parker. Dia berdiri dengan punggungnya bersandar di tembok, dan ketika Parker menyadari kami melangkah keluar, dia menarik tangannya dari bawah rok wanita itu.
"Abby," kata Parker, terkejut dan terengah.
"Hai, Parker," kataku, menahan tawa.
"Bagaimana, eh &bagaimana kabarmu""
Aku tersenyum dengan sopan. "Aku baik-baik saja, kau""
"Ehm," dia melihat teman kencannya, "Abby ini Amber. Amber &Abby."
"Abby Abby"" tanyanya.
Parker mengangguk tidak nyaman dengan singkat. Amber menjabat tanganku dengan ekspresi muak di wajahnya, lalu melihat pada Travis seperti dia baru bertemu dengan musuhnya. "Senang bertemu denganmu...kurasa."
"Amber," Parker memperingatkan.
Travis tertawa satu kali, lalu membukakan pintu agar mereka bisa lewat. Parker menarik tangan Amber dan mundur masuk ke dalam.
"Itu tadi sangat &canggung," kataku, menggelengkan kepala sambil melipat tanganku di dada, bersandar pada pagar balkon. Saat itu dingin dan hanya ada beberapa pasangan yang berada di luar.
Travis selalu tersenyum. Bahkan Parker tidak merusak mood nya. "Setidaknya dia sudah tidak berusaha melakukan hal yang paling bodoh untuk mendapatkanmu kembali."
"Aku rasa dia tidak berusaha untuk mendapatkanku kembali seperti dia berusaha untuk menjauhkanku darimu."
Travis mengerutkan hidungnya. "Dia mengantar satu wanita untukku
sekali. Sekarang dia bertingkah seperti itu adalah kebiasaannya untuk menyelinap dan menyelamatkan semua mahasiswi baru yang aku tiduri."
Aku melihatnya dengan tatapan sinis dari ujung mataku. "Bukankah aku sudah pernah bilang aku membenci kata itu""
"Maaf," Travis berkata sambil menarikku ke sampingnya. Dia menyalakan rokoknya dan menarik nafas panjang. Asap yang dia hembuskan lebih tebal dari biasanya, bercampur dengan udara musim dingin. Dia membalikkan tangannya dan menatap lama pergelangan tangannya. "Aneh tidak apabila tatoo ini bukan hanya menjadi favorit baruku, tapi ini juga membuatku nyaman mengetahui itu ada di pergelangan tanganku""
"Sangat aneh." Travis mengangkat alisnya dan aku tertawa. "Aku hanya bercanda. Aku tidak bisa bilang aku mengerti itu, tapi itu sangat manis &menurut caranya Travis Maddox."
"Jika rasanya sesenang ini hanya karena membuat tatoo ini di tanganku, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya nanti saat memasangkan cincin di jarimu."
"Travis &."
"Dalam waktu empat, atau mungkin lima tahun lagi," dia menambahkan.
Aku menarik nafas. "Kita harus pelan-pelan. Sangat, sangat pelan."
"Jangan memulai, Pidge,"
"Jika kita selalu secepat ini, aku akan bertelanjang kaki dan hamil sebelum aku lulus kuliah. Aku belum siap untuk tinggal bersamamu, aku belum siap untuk cincin, dan aku sama sekali belum siap untuk berumah tangga."
Travis mencengkram bahuku dan memutarku agar berhadapan dengannya. "Ini bukan pidato 'aku ingin berpacaran dengan orang lain dulu', kan" Karena aku tidak akan membagi dirimu. Tidak akan mungkin."
"Aku tidak ingin orang lain," kataku, jengkel. Dia menjadi tenang dan melepaskan bahuku, lalu memegang pagar balkon.
"Lalu apa maksudmu kalau begitu"" tanyanya, melihat ke angkasa.
"Maksudku kita harus melangkah perlahan. Hanya itu maksudku." Dia mengangguk, sangat jelas tampak tidak senang. Aku menyentuh tangannya. "Jangan marah."
"Kita seperti berjalan satu langkah ke depan tapi mundur dua langkah, Pidge. Setiap kali aku pikir kita berada dalam satu halaman, kau mendirikan dinding pembatas. Aku tidak mengerti &kebanyakan wanita memaksa kekasih mereka untuk serius, agar membicarakan perasaan mereka, memaksa untuk mengambil langkah selanjutnya &"
"Aku pikir kita tahu aku tidak seperti wanita kebanyakan""
Dia menundukkan kepalanya, merasa frustrasi. "Aku lelah harus terus menebak. kau melihat hubungan ini mengarah kemana, Abby""
Aku mencium dadanya. "Ketika aku memikirkan masa depanku, aku melihat dirimu."
Travis menjadi tenang, mendekapku erat. Kami berdua memandangi awan malam bergerak di langit. Lampu sekolah menerangi blok yang gelap, dan orang yang datang ke pesta ini melipat tangannya di atas jaket mereka yang tebal, bergegas masuk ke dalam rumah perkumpulan.
Aku melihat kedamaian yang sama di mata Travis yang pernah aku lihat hanya beberapa kali, dan itu menyadarkanku seperti beberapa malam yang lalu, bahwa ekspresinya begitu karena kepastian dariku.
Aku pernah merasa tidak aman, dan itu meninggalkan satu pukulan ketidakberuntungan pada orang lain; orang yang takut pada bayangannya sendiri. Sangat mudah untuk takut pada sisi gelap dari Vegas, yang tidak pernah tersentuh oleh sisi terangnya. Namun Travis tidak takut untuk berkelahi atau untuk membela seseorang yang dia sayangi, atau untuk melihat ke dalam mata wanita hina yang merasa dipermalukan dan marah. Dia dapat masuk ke dalam ruangan dan memandang rendah orang yang berukuran dua kali lebih besar dari tubuhnya, percaya bahwa tidak ada yang dapat menyentuhnya-bahwa dia tidak dapat dikalahkan oleh apapun yang akan menjatuhkannya.
Dia tidak takut pada apapun. Hingga dia bertemu denganku.
Aku adalah bagian dari hidupnya yang tidak dia ketahui, kartu liarnya, variable yang tidak dapat dia kontrol. Terlepas dari rasa damai yang aku berikan padanya, pada momen lain di hari lain, kekacauan yang dia rasakan saat aku tidak ada jadi sepuluh kali lebih buruk saat aku ada. Rasa marah yang dulu mencengkramnya sekarang menjadi lebih sulit untuk dia tangani. Menjadi pengecua
lian tidak lagi misterius, atau hal yang spesial. Aku telah menjadi kelemahannya.
Sama seperti aku bagi ayahku.
"Abby! Disini rupanya kau! Aku sudah mencari kau ke mana-mana!" kata America, berteriak dari pintu. Dia mengangkat handphone nya. "Aku baru di telepon ayahku. Mick menghubungi mereka tadi malam."
"Mick"" Wajahku kacau karena merasa jijik. "Mengapa dia menelepon mereka""
America mengangkat alisnya seolah aku mengetahui jawabannya. "Ibumu selalu menutup telepon dari ayahmu."
"Apa yang dia inginkan"" kataku, merasa mual.
Dia menutup bibirnya rapat. "Untuk menanyakan kau berada di mana."
"Mereka tidak memberitahunya kan""
Wajah America murung. "Dia ayahmu, Abby. Ayahku pikir dia punya hak untuk tahu."
"Dia akan datang kemari," kataku, merasakan mataku mulai perih. "Dia akan datang kemari, Mare!"
"Aku tahu! Maafkan aku!" kata Amerika, mencoba untuk memelukku. Aku menjauh darinya dan menutup wajahku dengan tangan.
Sepasang tangan kuat, protektif yang aku kenal memegang bahuku. "Dia tidak akan menyakitimu, Pigeon," kata Travis. "Aku tidak akan membiarkannya."
"Dia akan mencari cara untuk menyakitinya," kata Amerika, memandangku dengan mata berair. "Dia selalu begitu."
"Aku harus pergi dari sini." Aku menarik jaket dan memakainya lalu menarik pegangan pintu. Aku terlalu kesal untuk bergerak perlahan untuk dapat mengkoordinasikan agar tidak mendorong pegangan pintu ke bawah sambil menarik pintu dalam waktu yang bersamaan. Pada saat airmata frustrasi mengalir turun di pipiku yang beku, tangan Travis berada di atas tanganku. Dia menekan ke bawah, membantuku menekan pegangan pintu kebawah, lalu dengan tangan satunya lagi, dia mendorong pintu agar terbuka. Aku memandangnya, sadar akan kelakuan bodoh yang aku lakukan, menunggu untuk melihat ekspresi yang bingung atau tidak setuju di wajahnya, namun dia melihat kebawah ke arahku hanya dengan ekspresi pengertian.
*** Travis memelukku dan kami menelusuri The House, menuruni tangga dan menerobos sekumpulan orang menuju pintu depan. Mereka bertiga berusaha mengimbangi langkahku saat aku bergegas menuju mobil. Tangan America menunjuk ke depan dan menarik jaketku, menghentikan langkahku. "Abby!" dia berbisik sambil menunjuk ke arah sekumpulan kecil orang.
Mereka mengerumuni lelaki tua lusuh yang menunjuk dengan ketakutan ke arah The House, sambil memegang sebuah foto. Pasangan itu mengangguk, mendiskusikan foto itu bersama yang lain.
Aku melompat ke arah pria itu dan menarik foto itu dari tangannya. "Apa yang kau lakukan disini""
Kerumunan orang itu pun bubar, melangkah masuk ke The House, Shepley dan America berdiri di samping kanan dan kiriku. Travis memegangi bahuku dari belakang.
Mick melihat ke arah gaunku dan mendecakkan lidahnya tanda tidak setuju. "Well, well, Cookie. kau memang tidak bisa lepas dari Vegas &"
"Diam. Tutup mulutmu, Mick. Pergilah," aku menunjuk ke belakang Mick, "dan kembalilah ke tempatmu berasal. Aku tidak ingin kau berada di sini."
"Aku tidak bisa, Cookie. Aku butuh pertolonganmu."
"Selalu seperti itu, tidak ada yang lain"" America mencibir.
Mick memicingkan matanya ke arah America lalu melihat padaku lagi. "kau terlihat sangat cantik. kau sudah tumbuh dewasa. Aku tidak akan bisa mengenalimu kalau kita berpapasan di jalan."
Aku menghela nafas, tidak sabar dengan basa-basinya. "Apa yang kau inginkan""
Dia menahan tangannya dia atas dan mengangkat bahunya. "Aku terlibat satu masalah, kiddo. Ayahmu yang sudah tua ini membutuhkan uang."
Aku menutup mataku. "Berapa banyak""
"Aku awalnya baik-baik saja, benar-benar baik. Aku hanya perlu meminjam sedikit untuk meningkatkan taruhan dan &kau tahu."
"Aku tahu," bentakku. "Berapa banyak yang kau butuhkan""
"Dua puluh lima."
"Ya ampun, Mick, dua ribu lima ratus dolar" Jika kau berjanji akan keluar dari sini..aku akan memberikannya padamu sekarang," kata Travis sambil mengeluarkan dompetnya.
"Maksud dia dua puluh lima ribu dollar," aku melotot ke arah ayahku.
Mata Mick menatap Travis. "Siapa badut ini""
Travis mengangkat p andangan dari dompetnya dan aku merasakan berat badannya di punggungku saat dia menahan emosinya. "Aku tahu sekarang, mengapa orang yang pintar seperti dirimu menurun menjadi orang yang meminjam uang pada anaknya yang masih remaja."
Sebelum Mick bicara, aku mengeluarkan handphone ku. "kau berutang pada siapa sekarang, Mick""
Mick menarik rambutnya yang berminyak dan beruban. "Well, ceritanya lucu, Cookie-,"
"Siapa"" aku berteriak.
"Benny." Mulutku menganga dan aku mundur satu langkah, menabrak Travis. "Benny" kau berutang pada Benny" Kenapa juga kau &" aku menarik nafas, merasa tidak ada gunanya bila di lanjutkan. "Aku tidak punya uang sebanyak itu, Mick."
Dia tersenyum. "Sesuatu mengatakan kau memilikinya."
"Well, aku tidak punya! kau benar-benar dalam masalah kali ini, kan" Aku tahu kau tidak akan berhenti sampai kau mati terbunuh!"
Dia bergeser, seringai sombong di wajahnya menghilang. "Berapa yang kau punya""
Aku menutup rapat rahangku. "Sebelas ribu dolar. Aku sedang menabung untuk membeli mobil."
Mata America menusukku. "kau dapat dari mana sebelas ribu dolar, Abby""
"Dari pertarungan Travis," kataku, menatap mata Mick.
Travis menarik bahuku dan menatap mataku. "Kau dapat sebelas ribu dari pertarunganku" Kapan kau bertaruhnya""
"Aku dan Adam saling mengerti," kataku, tidak peduli dengan rasa terkejut Travis.
Mata Mick tiba-tiba bersemangat. "Kau dapat melipat gandakan itu pada akhir pekan ini, Cookie. Dan kau akan mendapatkan untukku dua puluh lima ribu pada hari minggu, sehingga Benny tidak akan mengirimkan premannya padaku."
Tenggorokanku terasa kering dan sempit. "Itu akan menghabiskan semua uangku, Mick. Aku harus bayar kuliahku."
"Oh, kau akan mendapatkan uang lagi nanti," katanya, melambaikan tangannya tidak peduli.
"Kapan tenggat waktunya"" tanyaku.
"Senin pagi. Tengah malam," dia berkata tanpa rasa menyesal.
"kau tak perlu memberinya sepeserpun, Pigeon," kata Travis, menarik lenganku.
Mick menarik pinggangku. "Setidaknya itu yang bisa kau lakukan! Aku tidak akan berada di sini kalau bukan karena dirimu!"
America menepiskan tangan Mick lalu mendorongnya. "Jangan berani-beraninya kau mulai membicarakan omong kosong itu lagi, Mick! Dia tidak memaksamu meminjam uang dari Benny!"
Dia menatapku dengan rasa benci di matanya. "Jika bukan karena dia, aku akan memiliki uang sendiri. kau mengambil segalanya dariku, Abby. Aku sekarang tidak memiliki apapun!"
Aku pikir berada jauh dari Mick akan mengurangi rasa sakit yang aku rasakan karena menjadi anaknya, namun airmata yang menetes dari mataku mengatakan hal sebaliknya. "Aku akan mengantar uangnya pada Benny hari minggu. Dan pada saat itu, aku ingin kau meninggalkanku sendiri. Aku tidak akan melakukannya lagi, Mick. Mulai dari sekarang, kau sendirian, kau dengar aku" Pergi. Menjauh."
Dia menutup rapat mulutnya lalu mengangguk. "Terserah kau saja, Cookie."
Aku berbalik dan berjalan menuju mobil, mendengar America di belakangku. "Kemasi barang-barangmu, boys. Kita akan pergi ke Vegas."
*** Bab 15 SEJENAK DALAM DOSA Travis meletakkan tas kami dan melihat ke sekeliling ruangan. "Bagus, kan""
Aku melotot padanya dan dia mengangkat alisnya. "Apa""
Aku membuka ritsleting tas ku dan menggelengkan kepala. Pikiran tentang beberapa strategi yang berbeda dan kurangnya waktu memenuhi kepalaku. "Ini bukan liburan. Kau seharusnya tidak berada di sini, Travis."
Beberapa saat kemudian dia sudah berada di belakangku, memeluk pinggangku. "Aku pergi kemanapun kau pergi."
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya lalu menghela nafas. "Aku harus langsung turun. kau bisa diam di sini atau menonton pertunjukan penari telanjang. Aku akan menemuimu lagi nanti, ok""
"Aku akan pergi bersamamu."
"Aku tak ingin kau berada di sana, Trav." Ekspresi terluka terlihat di wajahnya dan aku menyentuh lengannya. "Jika aku ingin memenangkan empat belas ribu dolar dalam waktu singkat, aku harus berkonsentrasi. Aku tidak menyukai siapa aku saat aku ada di meja judi, dan aku tak ingin kau melihatku saat seperti i
tu, ok"" Dia mengusap rambut dari mataku lalu mencium pipiku. "Baiklah, Pidge."
Dia melambaikan tangan pada America saat dia meninggalkan kamar, dan America mendekatiku, masih memakai baju yang sama dengan yang dia pakai ke pesta kencan. Aku mengganti pakaianku dengan celana pendek berwarna emas lalu memakai sepatu hak tinggi, meringis saat melihat ke cermin. America mengikat rambutku ke belakang lalu menyodorkan tabung hitam padaku.
"Kau membutuhkan sekitar lima lapis maskara lagi, dan mereka akan langsung membuang KTP mu jika kau tidak memoles perona pipimu lebih tebal lagi. Apa kau sudah lupa bagaimana memainkan permainan ini""
Aku mengambil maskara dari tangannya dan menghabiskan sepuluh menit lagi untuk memperbaiki make-up ku. Setelah aku selesai, mataku mulai berkaca-kaca. "Sialan, Abby, jangan menangis," kataku, melihat ke atas dan menyeka bagian bawah mataku dengan tisu.
"kau tidak harus melakukan ini, Abby. kau tidak berhutang apapun pada Mick," kata America, memegang bahuku saat aku berdiri di depan cermin untuk terakhir kalinya.
"Dia berhutang uang pada Benny, Mare. Jika aku tidak melakukan ini, mereka akan membunuhnya."
Ada sedikit rasa kasihan di ekspresi wajahnya. Aku sudah sering melihat dia menatapku seperti itu sebelumnya, namun kali ini dia putus asa. Dia sudah melihat Mick menghancurkan hidupku lebih sering dari yang kami berdua bisa hitung. "Bagaimana berikutnya" Terus berikutnya" kau tidak bisa terus melakukan ini."
"Dia berjanji untuk menjauh dariku. Mick Abernathy memang sudah melakukan banyak hal, tapi dia selalu menepati janjinya."
*** Kami berjalan menelusuri lorong dan melangkah masuk ke dalam lift yang kosong. "Kau sudah membawa semua yang kau butuhkan"" tanyaku, selalu mengingat ada kamera.
America mengetuk SIM palsunya dengan kuku lalu tersenyum. "Namanya Candy. Candy Crawford," dia berkata dengan aksen selatan yang sempurna.
Aku mengulurkan tanganku. "Jesica James. Senang bertemu denganmu, Candy."
Kami berdua memakai kaca mata kami dan berdiri diam seperti batu saat pintu lift terbuka, memperlihatkan cahaya lampu neon dan kesibukan di dalam kasino. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat berjalan ke arah yang berbeda. Vegas merupakan surganya neraka, satu-satunya tempat di mana kita dapat menemukan penari memakai pakaian bulu yang mencolok warnanya dan make-up panggung, para pelacur yang hampir tidak mengenakan pakaian namun dapat terima, para pengusaha yang memakai jas mahal, dan sebuah keluarga dalam satu gedung. Kami berjalan pelan di lorong yang di batasi oleh tali berwarna merah, dan menyerahkan tanda pengenal kami pada pria yang memakai jaket merah. Dia memandangku untuk beberapa saat dan aku menurunkan kaca mataku.
"Bisakah sedikit agak cepat, itu akan sangat membantu," kataku, berusaha terlihat bosan.
Dia mengembalikan tanda pengenal kami lalu menyingkir ke samping, membiarkan kami lewat. Kami melewati beberapa lorong mesin slot, meja permainan black jack, lalu berhenti di permainan roulette. Aku memandang ke sekeliling ruangan memperhatikan beberapa meja poker, lalu memutuskan untuk bermain di mana beberapa pria yang sudah tua sedang duduk.
"Meja yang itu." kataku, mengangguk ke seberang ruangan.
"Mulai dengan agresif, Abby. Mereka tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka."
"Tidak. Mereka sudah lama di Vegas. Aku harus bermain pintar kali ini."
Aku berjalan menuju meja itu, memamerkan senyumanku yang paling mempesona. Orang lokal dapat mencium seorang penipu dari jauh, tapi aku punya dua hal yang membantuku yang akan menutupi aroma penipu manapun: Muda &dan payudara.
"Selamat malam, Gentlemen. Keberatankah kalau aku bergabung bersama kalian""
Mereka tidak melihat ke atas. "Tentu, Sweet cheeks. Ambil kursi dan tampil cantik. Hanya saja jangan bersuara."
"Aku ingin ikut bermain," menyerahkan kacamataku pada America. "Tidak banyak aksi di permainan black jack.
Salah satu dari mereka mengunyah cerutunya. "Ini permainan poker, Princess. Ambil lima kartu. Coba keberuntunganmu di mesin slot."
Aku duduk di at as satu-satunya kursi yang kosong, membuat pertunjukan memperlihatkan kakiku. "Aku selalu ingin bermain poker di Vegas. Dan aku masih memiliki semua chip ini &," aku berkata sambil menyusun chipku di atas meja, "dan aku sangat bagus saat bermain online."
Kelima pria itu melihat chipku lalu melihat ke arahku. "Ada minimal taruhan, Sugar," kata orang yang membagikan kartu.
"Berapa"" "Lima ratus, Peach. Dengar &aku tak ingin membuatmu menangis. Bantulah dirimu sendiri dan pilihlah salah satu mesin slot."
Aku mendorong ke depan chip ku, mengangkat bahuku dengan cara wanita ceroboh dan terlalu percaya diri sebelum menyadari dia telah kehilangan uang kuliahnya. Mereka saling melihat satu sama lain. Orang yang membagikan kartu mengangkat bahunya dan melemparkan chip miliknya.
"Jimmy," dia mengulurkan tangannya. Ketika aku menjabat tangannya, dia menunjuk pada pria lainnya. "Mel, Pauly, Joe, dan itu Winks." Aku melihat ke arah pria yang mengunyah tusuk gigi, dan seperti yang telah aku kira, dia mengedipkan satu matanya padaku.
Aku mengangguk dan menunggu dengan antisipasi palsu saat Jimmy mengocok kartu putaran pertama. Aku sengaja kalah pada dua putaran pertama, tapi pada putaran ke empat, aku sudah bangkit. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk veteran Vegas mengetahui rahasiaku sama seperti Thomas.
"kau bilang kau bermain secara online"" tanya Pauly.
"Ya, bersama ayahku."
"kau berasal dari Vegas"" tanya Jimmy.
"Dari Wichita," aku tersenyum.
"Dia bukan pemain online, aku beritahu itu," Mel menggerutu.
Satu jam berikutnya, aku telah mengambil dua ribu tujuh ratus dolar dari lawanku, dan mereka mulai berkeringat.
"Menyerah," kata Jimmy, melempar kartunya dengan muka masam.
"Jika aku tidak melihatnya sendiri, aku tidak akan pernah percaya," aku mendengar suara di belakangku.
Aku dan America berbalik bersamaan, dan aku tersenyum lebar. "Jesse," aku menggelengkan kepala. "Apa yang kau lakukan di sini""
"Ini tempat milikku yang kau tipu, Cookie. Apa yang kau lakukan di sini""
Aku memutar mataku dan melihat ke arah teman baruku yang menatapku curiga. "kau tahu aku membenci nama panggilan itu, Jess."
"Maafkan kami," kata Jesse, menarik lenganku agar aku berdiri, America memperhatikanku dengan waspada saat aku digiring pergi beberapa kaki.
Ayah Jesse mengelola kasino ini, dan aku sangat terkejut dia mau bergabung dalam bisnis keluarga. Dulu kami saling kejar-kejaran sepanjang lorong hotel di lantai atas, dan aku selalu mengalahkannya saat kami berlomba menuju lift. Dia sudah tumbuh dewasa sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku mengingat dia sebagai remaja pra puber yang kurus; pria di hadapanku berpakaian seperti pit boss (film seri Amerika), tidak lagi kurus dan sudah menjadi pria dewasa. Dia masih memiliki kulit coklat yang halus dan mata hijau yang aku ingat, namun yang lainnya benar-benar kejutan yang menyenangkan.
Matanya yang hijau berkilau di bawah sinar lampu. "Ini nyata. Aku tahu itu kau ketika aku lewat tapi aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri bahwa kau akan datang kemari lagi. Ketika aku melihat Tinkerbell ini menyapu bersih meja poker, aku langsung tahu itu kau."
"Ini aku," aku tersenyum.
"kau terlihat &beda."
"kau juga. Bagaimana ayahmu""
"Pensiun," dia tersenyum. Berapa lama kau akan berada di sini""
"Hanya sampai hari Minggu. Aku harus kembali kuliah."
"Hai, Jess," kata America, memegang tanganku.
"America," dia tertawa geli. "Aku seharusnya tahu. Kalian selalu bersama-sama seperti bayangan."
"Jika orangtuanya tahu aku membawanya kemari, semua itu akan berakhir dari dulu."
"Sangat senang bertemu denganmu, Abby. Kenapa kita tidak pergi makan malam"" dia bertanya sambil memperhatikan pakaianku.
"Aku ingin sekali, tapi aku di sini bukan untuk bersenang-senang, Jess."
Dia mengangkat tangannya ke atas dan tersenyum. "Begitu juga aku. Serahkan tanda pengenalmu."
Kepalaku menunduk, mengetahui ada pertarungan di tanganku. Jesse tidak akan terpengaruh oleh pesonaku dengan mudah. Aku tahu aku harus mengatakan yang sebenarnya pada
Jesse. "Aku berada di sini untuk Mick. Dia sedang dalam masalah."
Jesse bergeser. "Masalah apa""
"Yang biasa." "Aku harap aku bisa membantu. Mengingat masa lalu, dan kau tahu aku menghormati ayahmu, tapi kau tahu aku tidak bisa membiarkanmu tinggal."
Aku menarik lengannya dan meremasnya. "Dia berhutang uang pada Benny."
Jesse menutup matanya lalu menggelengkan kepalanya. "Ya Tuhan."
"Aku punya waktu sampai besok. Anggap saja aku berhutang padamu, Jesse. Tapi biarkan aku tinggal sampai besok."
Dia menyentuhkan telapak tangannya ke pipiku. "Begini saja &jika kau makan malam denganku besok, aku akan memberi kau waktu sampai tengah malam nanti."
Aku melihat ke arah America lalu melihat pada Jesse. "Aku kemari bersama seseorang."
Dia mengangkat bahunya. "Terima atau pergi, Abby. kau tahu bagaimana di sini &kau tidak bisa mendapatkan apapun secara gratis."
Aku menghela nafas, merasa kalah. "Baiklah. Aku akan menemuimu besok malam di Ferraros jika kau memberiku waktu sampai tengah malam."
Dia membungkuk ke bawah lalu mencium pipiku. "Aku sangat senang bertemu denganmu lagi. Sampai bertemu besok &jam lima, ok" Aku kerja jam delapan."
Aku tersenyum saat dia melangkah pergi, tapi senyumku langsung hilang saat aku melihat Travis menatapku dari meja Roulette.
"Oh sialan," kata America, menarik lenganku.
Travis menatap tajam ke arah Jesse saat dia melewatinya, lalu berjalan ke arahku. Dia memasukkan tangannya ke saku dan melihat sekilas ke arah Jesse yang sedang memperhatikan kami dari ujung matanya.
"Siapa itu""
Aku mengangguk ke arah Jesse. "Itu adalah Jesse Viveros. Aku mengenalnya sejak lama."
"Berapa lama""
Aku melihat ke arah meja poker. "Travis, aku tidak punya waktu untuk ini."
"Aku rasa dia membuang cita-citanya untuk menjadi pendeta," kata America, mengirimkan seringai menggoda ke arah Jesse.
"Tadi itu adalah mantan pacarmu"" tanya Travis, seketika itu juga marah. "kau bilang dia dari Kansas""
Aku mendelik pada America lalu memegang dagu Travis dengan tanganku, memaksanya untuk memperhatikan aku. "Dia tahu aku belum cukup umur untuk berada di sini, Trav. Dia memberiku waktu sampai tengah malam. Aku akan menjelaskan semuanya nanti, sekarang aku harus kembali bermain, ok""
Rahang Travis bergetar di bawah kulitnya, lalu dia menutup matanya, menarik nafas panjang. "Baiklah. Sampai bertemu tengah malam nanti." Dia membungkuk lalu menciumku, namun bibirnya terasa dingin dan menjaga jarak. "Semoga berhasil."
Aku tersenyum saat dia menghilang di keramaian, lalu mengalihkan perhatianku kembali kepada semua pria di meja poker. "Gentlemen""
"Silahkan duduk Sherly Temple," kata Jimmy. "Kami akan mengambil uang kami kembali, sekarang. Kami tidak suka ditipu."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lakukan yang terbaik." Aku tersenyum, mengocok kartu dengan mahir lalu membagikannya pada semua pemain dengan teliti.
"Waktunya tinggal sepuluh menit," bisik America.
"Aku tahu," kataku.
Aku sudah memenangkan enam ribu dolar. Aku berusaha tidak memikirkan waktu yang tersisa namun lutut America bergerak naik turun dengan gugup di bawah meja. Tumpukan chip taruhan para pemain sekarang lebih tinggi dari sebelumnya, taruhannya semua atau tidak sama sekali.
"Aku belum pernah melihat pemain sepertimu, Nak. kau hampir selalu memenangkan permainan. Dan dia tidak menunjukkan satu gerakan apapun yang mengindikasikan kartu yang dia tidak pegang, Winks. kau memperhatikan itu"" kata Pauly.
Winks mengangguk, sikap riangnya sedikit berkurang pada setiap putaran. "Aku tahu. Tidak satu garukan ataupun senyuman, bahkan pandangan matanya tetap sama. Itu tidak normal. Semua orang pasti punya satu Tell*."
"Tidak semua orang," kata America dengan sombong.
Aku merasakan sepasang tangan yang aku kenal menyentuh bahuku. Aku tahu itu Travis tapi aku tidak berani melihat ke belakang, tidak dengan tiga ribu dolar yang berada di tengah meja.
"Call (Ikut bertaruh)," kata Jimmy.
Mereka yang berkerumun di sekitar meja kami bertepuk tangan saat aku meletakkan kartuku. Jimmy adalah satu-satunya yang hampir mengalahka
nku dengan three-of-a-kind (kartu triple). Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kartu straight-ku (Kartu berurutan).
"Luar biasa!" kata Pauly, melempar dua kartu angka duanya ke atas meja.
"Aku keluar," Joe menggerutu, sambil berdiri lalu menghentakkan kakinya melangkah menjauhi meja.
Jimmy sedikit lebih ramah. "Aku boleh mati malam ini karena merasa telah bermain melawan orang yang sepadan, nak. Sangat menyenangkan, Abby."
Aku membeku. "kau mengenalku""
Jimmy tersenyum, bertahun-tahun menghisap cerutu dan minum kopi meninggalkan noda di giginya yang besar. "Aku pernah melawanmu sebelumnya. Enam tahun yang lalu. Aku sudah lama ingin bertanding ulang."
Jimmy mengulurkan tangannya. "Jaga dirimu baik-baik, nak. Sampaikan salamku pada ayahmu."
America membantuku mengumpulkan chip yang aku menangkan, aku berbalik ke belakang dan melihat Travis, melirik jam tanganku. "Aku membutuhkan sedikit waktu lagi."
"Ingin mencoba bermain black jack""
"Aku tidah boleh kehilangan uang, Trav."
Dia tersenyum. "kau tidak akan pernah kalah, Pidge."
America menggelengkan kepalanya. "Dia tidak terlalu bisa bermain black jack."
Travis mengangguk. "Aku menang sedikit. Aku mendapat enam ratus. kau boleh mengambilnya."
Shepley menyerahkan chipnya padaku. "Aku hanya mendapat tiga ratus. Ini untukmu."
Aku menghela nafas. "Terima kasih, guys, tapi masih kurang lima ribu."
Aku melirik jam tanganku lagi lalu melihat ke atas dan melihat Jesse mendekat. "Bagaimana"" dia bertanya sambil tersenyum.
"Masih kurang lima ribu, Jess. Aku membutuhkan waktu lagi."
"Aku sudah melakukan yang aku bisa, Abby."
Aku mengangguk, aku tahu aku sudah meminta terlalu banyak. "Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal."
"Mungkin aku bisa meminta ayahku untuk bicara kepada Benny untukmu""
"Ini masalah Mick. Aku akan meminta pada Benny perpanjangan waktu."
Jesse menggelengkan kepalanya. "kau tahu itu tidak akan mungkin terjadi, Cookie, tidak peduli berapa banyak yang kau bawa. Kalau kurang dari yang dia pinjam, Benny akan mengirimkan seseorang. kau harus menjauhinya sebisa mungkin."
Aku merasakan mataku menjadi perih. "Aku harus mencoba."
Jesse mendekat satu langkah, membungkuk untuk berbisik. "Naik pesawat dan pulanglah, Abby. kau dengar aku""
"Aku mendengarmu," bentakku.
Jesse menghela nafas dan ada rasa simpati di tatapan matanya. Dia memelukku dan mencium rambutku. "Maafkan aku. Jika bukan pekerjaanku taruhannya, kau tahu aku akan memikirkan jalan lain."
Aku mengangguk, melepaskan diri darinya. "Aku tahu. kau sudah melakukan apa yang kau bisa."
Dia mengangkat daguku dengan jarinya. "Sampai bertemu besok jam lima." Dia membungkuk untuk mencium ujung bibirku lalu berjalan melewatiku tanpa berkata apapun lagi.
Aku melihat ke arah America, yang sedang memperhatikan Travis. Aku tidak berani menatap mata Travis; aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah marahnya.
"Ada apa jam lima"" tanya Travis, suaranya terhambat karena rasa emosi yang dia tahan.
"Dia setuju untuk makan malam dengan Jesse jika dia diizinkan tinggal. Dia tidak punya pilihan, Trav," kata America. Aku dapat mengira dari nada hati-hati America kalau Travis sedang lebih dari marah.
Aku menatap tajam Travis, dan dia melotot ke arahku dengan ekspresi yang sama dengan Mick saat dia menyadari aku mengambil keberuntungannya, merasa dikhianati.
"kau punya pilihan."
"Apakah kau pernah berhubungan dengan mafia, Travis" Maafkan aku jika perasaanmu tersakiti, tapi makan gratis dengan teman lama bukanlah harga yang mahal untuk dibayar untuk membuat Mick tetap hidup."
Aku dapat melihat bahwa Travis ingin menyerangku, namun tidak ada yang dapat dia katakan.
"Ayolah, guys, kita harus mencari Benny," kata America, menarik lenganku.
*** Travis dan Shepley mengikuti di belakang tanpa berkata apapun saat kami melewati pertunjukan penari telanjang menuju gedung milik Benny. Lalu lintas-baik mobil maupun orang di jalan yang ramai mulai tumpah. Pada setiap langkah, aku merasa semakin mual, seperti ada lubang di perut
ku, pikiranku berlomba untuk memikirkan argumen kuat yang dapat membuat Benny mengerti alasannya. Pada saat kami mengetuk pintu besar berwarna hijau yang sudah pernah aku lihat beberapa kali sebelumnya, aku harus bicara sesedikit mungkin seperti uang yang aku bawa.
Itu bukan suatu kejutan untuk melihat penjaga pintu yang bertubuh sangat besar-hitam, menakutkan, berbadan lebar dan juga tinggi-namun aku terkejut melihat Benny berdiri di sampingnya.
"Benny." Aku menarik nafas.
"My, my &kau bukan Lucky Thirteen lagi, sekarang, ya kan" Mick tidak mengatakan kalau kau tumbuh menjadi wanita yang cantik. Aku sudah menunggumu, Cookie. Aku dengar kau membawa uang untuk membayar hutang padaku."
Aku mengangguk dan Benny menunjuk ke arah teman-temanku. Aku mengangkat daguku agar terlihat seolah aku percaya diri. "Mereka bersamaku."
"Aku rasa semua temanmu harus menunggu di luar," kata si penjaga pintu dengan suara bass yang abnormal.
Travis langsung memegang tanganku. "Dia tidak akan masuk ke sana sendirian. Aku akan ikut dengannya."
Benny memandang Travis dan aku menelan ludah. Ketika Benny melihat ke arah penjaga pintu dan ujung bibirnya sedikit terangkat, aku sedikit agak tenang.
"Cukup adil," kata Benny. "Mick akan senang mengetahui kau mempunyai teman yang sangat baik bersamamu."
Aku mengikutinya masuk ke dalam, melihat ke belakang dan melihat rasa khawatir di wajah America. Travis tetap memegang lenganku dengan erat, dengan sengaja berdiri di antara aku dengan si penjaga pintu. Kami mengikuti Benny masuk ke dalam lift, naik empat lantai dalam keheningan, lalu pintu pun terbuka.
Terdapat meja mahoni yang besar di tengah ruangan yang luas. Benny tertatih menuju kursi mewahnya lalu duduk, memberi isyarat pada kami untuk duduk di dua kursi kosong yang berhadapan dengan mejanya. Ketika aku duduk, bahan kulit kursinya terasa dingin di bawahku, dan aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang pernah duduk di kursi ini, beberapa saat sebelum kematian mereka. Aku meraih untuk menarik tangan Travis, dan dia meremas tanganku untuk menenangkanku.
"Mick berhutang padaku sebesar dua puluh lima ribu. Aku yakin kau membawa uang sebesar itu," kata Benny, menulis sesuatu di buku catatannya.
"Sebenarnya," aku terhenti, membersihkan tenggorokanku, "Aku kekurangan lima ribu, Benny. Tapi aku punya satu hari lagi besok untuk mendapatkan sisanya. Dan lima ribu itu mudah, benar kan" kau tahu aku pandai dalam hal itu."
"Abigail," kata Benny, merengut, "kau mengecewakanku. kau mengetahui peraturanku lebih baik dari itu."
"A...aku mohon, Benny. Aku mintamu untuk menerima yang sembilan puluh sembilan persennya, dan aku akan menyerahkan sisanya padamu besok."
Mata bulatnya Benny menusukku lalu melihat ke arah Travis dan kembali lagi padaku. Dan pada saat itulah aku mengetahui ada dua pria melangkah ke depan, keluar dari sudut yang gelap di ruangan itu. Pegangan Travis di tanganku semakin erat, dan aku menahan nafasku.
"kau tahu aku tidak akan menerima sedikitpun selain dari pembayaran full. Fakta bahwa kau memberiku kurang dari itu memberitahuku sesuatu. kau tahu itu memberitahuku apa" Bahwa kau tidak yakin akan mendapatkan sisanya."
Kedua pria tadi mendekat satu langkah lagi ke depan.
"Aku akan mendapatkan uangmu, Benny," aku tertawa dengan gugup. "Aku memenangkan delapan ribu sembilan ratus dalam waktu enam jam."
"Jadi apa kau mengatakan kalau kau akan membawa delapan ribu sembilan ratus lagi untukku dalam waktu enam jam"" Benny memberikan senyum jahatnya.
"Tenggat waktunya baru tengah malam besok," kata Travis, melihat ke belakang kami dan memperhatikan bayangan kedua pria itu mendekat.
"A &apa yang kau lakukan, Benny"" tanyaku, tubuhku kaku.
"Mick meneleponku tadi. Dia mengatakan bahwa kau akan mengambil alih hutangnya."
"Aku hanya membantunya. Aku tidak berhutang padamu." Aku berkata dengan tegas, insting bertahanku muncul.
Benny meletakkan kedua sikunya yang berlemak, pendek, dan gemuk di atas meja. "Aku berpikir untuk memberi Mick sebuah pelajaran, dan aku penasaran seberapa beruntu
ngnya dirimu, nak." Travis melonjak keluar dari kursinya, menarikku bersamanya. Dia mendorongku ke belakangnya, berjalan mundur menuju pintu.
"Ada Josiah di luar pintu, anak muda. kau pikir kau akan kabur kemana""
Aku sudah melakukan kesalahan. Ketika aku berpikir tentang membujuk Benny untuk mengerti alasannya, aku seharusnya mengantisipasi keinginan Mick untuk bertahan hidup, dan kegemaran Benny untuk menghukum.
"Travis," aku memperingatkan, melihat anak buahnya Benny mendekat.
Travis mendorongku menjauh darinya beberapa kaki di belakangnya dan berdiri tegak. "Aku harap kau tahu, Benny, bahwa ketika aku mengalahkan anak buahmu, aku bukan bermaksud untuk tidak hormat. Tapi aku sangat mencintai wanita ini, dan aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya."
Benny langsung tertawa terbahak-bahak. "Aku serahkan padamu, nak. kau mempunyai keberanian paling besar dari orang-orang yang melewati pintu itu. Aku memperingatkanmu pada apa yang akan kau dapatkan. Orang yang agak besar di samping kananmu adalah Davis, dan jika dia tidak bisa mengalahkanmu dengan tinjunya, dia akan menggunakan pisau yang tergantung di ikat pinggangnya. Orang yang di samping kirimu adalah Dane, dan dia adalah petarung terbaikku. Dia akan bertarung besok, dan sejujurnya dia tidak pernah kalah. Ingat untuk tidak menyakiti tanganmu, Dane. Aku sudah mempertaruhkan banyak uang untukmu."
Dane tersenyum liar pada Travis, matanya girang. "Ya, tuan."
"Benny, hentikan! Aku akan mendapatkan uang itu!" teriakku.
"Oh tidak &ini akan menjadi lebih menarik dengan cepat," Benny terkekeh, bersandar di kursinya.
David berlari ke arah Travis dan tanganku menutup mulutku. Orang itu kuat, tapi ceroboh dan lambat. Sebelum David memukul atau meraih pisaunya, Travis melumpuhkannya, mendorong wajah David langsung ke lututnya. Ketika Travis melayangkan tinjunya, dia tidak membuang waktu, melayangkan semua kekuatannya ke wajah orang itu. Lalu dua pukulan dan satu pukulan menggunakan sikunya, David terbaring di lantai dalam genangan darah.
Kepala Benny bersandar ke belakang, tertawa histeris dan memukul-mukul meja dengan senang seperti anak kecil yang sedang menonton kartun pada Sabtu pagi. "Well, lanjutkan, Dane. Dia tidak membuatmu takut kan""
Dane mendekati Travis lebih hati-hati, dengan fokus dan perhitungan seorang petarung profesional. Tinjunya melayang ke wajah Travis dengan kecepatan yang luar biasa, namun Travis dapat menghindar, menyeruduk Dane menggunakan bahunya dengan kekuatan penuh. Mereka jatuh di atas meja Benny, lalu Dane mencengkram Travis dengan kedua tangannya, melemparkannya ke lantai. Mereka baku hantam di lantai beberapa saat, lalu Dane berdiri, memposisikan dirinya untuk memukul Travis saat dia terjebak di antara Dane dan lantai. Aku menutup wajahku, tidak sanggup melihat.
Aku mendengar erangan kesakitan, lalu aku mengangkat kepalaku dan melihat Travis seperti melayang di atas Dane, menahannya dengan mencengkeram rambut shaggynya, memukulkan beberapa tinjunya ke samping kepala Dane. Setiap pukulan, membuat wajah Dane membentur bagian depan meja Benny, lalu Dane bergegas berdiri, kehilangan arah dan berdarah.
Travis memperhatikannya beberapa saat, lalu menyerang lagi, mendengus setiap menyerang, sekali lagi menggunakan kekuatan penuh. Dane menghindar sekali dan mendaratkan pukulannya di rahang Travis.
Travis tersenyum dan mengangkat satu jarinya. "Itu adalah satu-satunya kesempatanmu memukulku."
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Travis sudah membiarkan anak buahnya Benny memukulnya. Dia menikmatinya. Aku tidak pernah melihat Travis bertarung tanpa batasan; itu sedikit menakutkan untuk melihatnya melepaskan semua yang dia punya melawan pembunuh yang terlatih dan punya keahlian ini. Sebelumnya, aku tidak menyadari apa yang dapat Travis lakukan.
Dengan suara tawa Benny yang mengganggu di belakang, Travis menghabisi Dane, mendaratkan sikunya di tengah-tengah wajahnya, menjatuhkannya sebelum dia menyentuh lantai. Aku mengamati tubuhnya saat memantul satu kali di atas karpet import milik Benny.
"Luar biasa, ana k muda! Sangat menakjubkan!" kata Benny, bertepuk tangan dengan senang.
Travis menarikku ke belakangnya saat Josiah muncul di ambang pintu dengan tubuhnya yang besar.
"Haruskah aku mengurus yang satu ini, Tuan""
"Tidak &tidak &tidak &," kata Benny, masih merasa limbung karena pertunjukan spontan tadi. "Siapa namamu""
Travis masih terengah-engah. "Travis Maddox", jawab Travis, mengelap darah Dane dan David di tangan ke celana jinsnya.
"Travis Maddox, aku yakin kau dapat menolong kekasih kecilmu."
"Bagaimana caranya"" Travis terengah.
"Dane seharusnya bertarung besok malam. Aku sudah bertaruh banyak padanya, dan tampaknya Dane tidak akan cukup kuat untuk memenangkan pertarungan dalam waktu dekat. Aku sarankan kau menggantikannya, memenangkan uang untukku, dan aku akan melupakan sisa hutang Mick yang lima ribu seratus itu."
"Travis berpaling padaku. "Pigeon""
"kau baik-baik saja"" aku bertanya sambil mengelap darah dari wajahnya. Aku menggigit bibirku, merasa wajahku kusut karena gabungan antara rasa takut dan lega.
Travis tersenyum. "Itu bukan darahku, sayang. Jangan menangis."
Benny berdiri. "Aku orang yang sibuk, nak. Lewat atau main""
"Aku akan melakukannya," kata Travis. "Beritahu kapan dan di mana aku akan berada di sana."
"kau akan melawan Brock McMann. Dia bukan orang biasa. Dia pernah dilarang mengikuti UFC tahun lalu."
Travis tidak terpengaruh. "Katakan saja di mana aku harus berada."
Seringai hiu Benny terukir di wajahnya. "Aku menyukaimu, Travis. Aku rasa kita akan menjadi teman baik."
"Aku rasa tidak akan," Travis berkata sambil membuka pintu untukku dan tetap dalam posisi melindungi hingga kami sampai di pintu depan.
*** "Ya Tuhan!" America menjerit karena melihat cipratan darah di atas baju Travis. "Kalian baik-baik saja"" dia menarik bahuku dan memeriksa wajahku.
"Aku baik-baik saja. Seperti hari biasa di kantor. Untuk kami berdua," aku berkata sambil mengusap mataku.
Travis memegang tanganku dan kami bergegas menuju hotel bersama Shepley dan America yang mengikuti di belakang. Tidak banyak yang memperhatikan penampilan Travis. Dia berlumuran darah dan hanya beberapa turis dari luar kota yang menyadarinya.
"Apa yang terjadi di dalam sana tadi"" akhirnya Shepley bertanya.
Travis membuka bajunya hingga tinggal pakaian dalamnya lalu menghilang ke kamar mandi. Pancuran air menyala dan America menyodorkan sekotak tisu padaku.
"Aku baik-baik saja, Mare."
Dia menghela nafas dan mendorong kotak itu padaku sekali lagi. "kau tidak baik-baik saja."
"Ini bukan rodeo pertamaku dengan Benny," kataku, ototku terasa nyeri karena rasa tegang yang aku rasakan dalam dua puluh empat jam terakhir ini.
"Ini pertama kalinya kau melihat Travis benar-benar lepas kendali terhadap seseorang," kata Shepley. "Aku pernah melihatnya satu kali, dan itu bukan pemandangan yang bagus."
"Apa yang telah terjadi"" America memaksa.
"Mick menelepon Benny. Mengalihkan tanggung jawab hutangnya padaku."
"Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuh orang sialan yang menyedihkan itu!" teriak America.
"Benny tidak menganggapku yang bertanggung jawab, tapi dia bermaksud memberikan Mick sebuah pelajaran karena mengirim anak perempuannya untuk membayar hutangnya. Dia memanggil dua anjingnya dan Travis mengalahkan mereka. Mereka berdua. Dalam waktu kurang dari lima menit."
"Jadi Benny melepaskanmu"" tanya America.
Travis keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggangnya, satu-satunya bukti dari perkelahiannya adalah tanda merah kecil pada tulang pipi di bawah mata kanannya. "Salah satu dari mereka yang aku kalahkan harus bertarung besok malam. Aku akan menggantikannya dan sebagai imbalannya Benny akan melupakan lima ribu terakhir sisa dari hutangnya Mick."
America berdiri. "Ini sangat konyol! Kenapa kita membantu Mick, Abby" Dia sudah melemparkanmu pada serigala! Aku akan membunuhnya!"
"Tidak jika aku membunuhnya lebih dulu," Travis mendidih.
"Mengantrilah." kataku.
"Jadi kau bertarung besok"" tanya Shepley.
"Di tempat yang bernama Zero's. Jam enam. Me
lawan Brock McMann, Shep."
Shepley menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Itu sangat tidak mungkin, Trav. Orang itu sinting!"
"Ya," Travis tersenyum, "tapi dia tidak bertarung untuk kekasihnya, kan"" Travis memelukku di dalam lengannya, menciumi rambutku. "kau baik-baik saja, Pigeon""
"Ini adalah kesalahan. Ini salah dalam segala level. Aku tidak tahu mana dulu yang harus di pikirkan masak-masak."
"Apa kau tidak melihat aku tadi" Aku akan baik-baik saja. Aku pernah melihat Brock bertarung sebelumnya. Dia tangguh tapi bukan berarti tidak bisa di kalahkan."
"Aku tidak ingin kau melakukan ini, Trav."
"Well, aku juga tidak ingin kau pergi makan malam bersama mantan pacarmu besok. Aku rasa kita berdua harus melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk menyelamatkan ayahmu yang tidak berguna itu."
Aku sudah pernah melihat itu sebelumnya. Vegas merubah seseorang, menciptakan banyak monster dan orang-orang bejat. Sangat mudah untuk membiarkan cahaya lampu dan mimpi curian meresap ke dalam darahmu. Aku pernah melihat semangat itu, rasa tidak akan terkalahkan di wajah Travis semakin besar, dan satu-satunya obat untuk itu adalah perjalanan pulang dengan pesawat.
*** Aku melirik jam tanganku lagi.
"Kau harus pergi ke tempat lain, Cookie"" tanya Jesse, terlihat geli.
"Aku mohon berhentilah memanggilku Cookie, Jess. Aku tidak menyukainya."
"Aku juga tidak suka kau pergi. Tapi itu tidak menghentikanmu."
"Ini percakapan yang basi dan melelahkan. Mari kita makan saja, ok""
"Baiklah, mari bicarakan tentang pacar barumu. Siapa namanya" Travis"" Aku mengangguk dan dia tersenyum. "Apa yang kau lakukan bersama orang sakit jiwa yang bertatoo itu" Dia tampak seperti salah satu anggota keluarga Manson (Penjahat di Amerika)."
"Jaga sikapmu, Jesse, atau aku pergi dari sini."
"Aku tidak bisa melupakan betapa berbedanya penampilanmu. Aku juga tidak akan melupakan bahwa kau duduk di depanku."
Aku memutar mataku. "Lupakanlah."
"Itu dia," kata Jesse. "Wanita yang aku kenal."
Aku melihat jam tanganku. "Pertarungan Travis dua puluh menit lagi. Aku harus pergi."
"Kita masih harus makan makanan penutupnya."
"Aku tidak bisa, Jesse. Aku tidak ingin dia khawatir jika aku tidak datang. Ini sangat penting."
Bahu Jesse turun. "Aku tahu. Aku merindukan hari-hari saat aku penting untukmu."
Aku memegang tangannya. "Kita masih anak kecil waktu itu. Itu beberapa tahun yang lalu."
"Kapan kita tumbuh dewasa" kau berada di sini adalah pertanda, Abby. Aku pikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi tapi sekarang kau duduk di sini. Bersamaku."
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, tidak ingin menyakiti perasaan teman lamaku. "Aku mencintainya, Jess."
Rasa kecewanya terlihat dari senyuman kecil di wajahnya. "Kalau begitu sebaiknya kau pergi."
Aku mencium pipinya lalu pergi dari restoran, memanggil taksi.
*** "Tujuannya ke mana"" tanya supir taksi.
"Zero's." Supir taksi melihat ke belakang ke arahku, bertanya sekali lagi. "kau yakin""
"Aku yakin! Ayo jalan!" kataku, melemparkan uang ke tempat duduknya.
*** Bab 16 RUMAH Akhirnya Travis menerobos kerumunan dengan tangan Benny di atas bahunya, berbisik di telinganya. Travis mengangguk dan menjawabnya, dan darahku menjadi dingin melihatnya sangat ramah pada pria yang telah mengancam kami kurang dari dua puluh empat jam sebelumnya. Travis merasa senang karena tepuk tangan dan ucapan selamat atas kemenangannya saat semua orang bersorak. Dia berjalan lebih tegak, senyumnya lebih lebar, dan ketika dia tiba di dekatku, dia mendaratkan ciuman cepat di bibirku.
Aku dapat merasakan keringatnya yang asin bercampur dengan rasa tembaga dari darah yang ada di bibirnya. Dia telah memenangkan pertarungan, tapi dengan beberapa luka seperti habis perang di tubuhnya.
"Tentang apa semua itu"" tanyaku, memperhatikan Benny yang sedang tertawa bersama para pengikutnya.
"Aku akan memberitahumu nanti. Kita punya banyak hal yang harus dibicarakan," dia berkata sambil tersenyum lebar.
Seorang pria menepuk punggung Travis.
"Terim a kasih," kata Travis, melihat ke arahnya dan menjabat tangan yang diulurkannya.
"Aku menantikan untuk melihat pertarunganmu berikutnya, Nak," kata pria itu, menyerahkan sebotol bir pada Travis. "Tadi itu luar biasa."
"Ayo, Pidge." Dia meminum satu teguk birnya, berkumur lalu memuntahkannya, cairan berwarna kuning di lantai bercampur dengan darah. Dia berbelok-belok menerobos kerumunan, lalu menarik nafas panjang ketika kami tiba di trotoar di luar. Dia menciumku sekali, lalu menuntunku menelusuri tempat pertunjukan penari telanjang, langkahnya cepat dan terarah.
*** Di dalam lift hotel, dia mendorongku ke dinding cermin, menarik kakiku lalu mengangkatnya dengan gerakan cepat ke atas pinggangnya. Mulutnya melumat bibirku, dan aku merasakan tangannya di bawah lututku meluncur ke atas ke pahaku dan mengangkat rokku.
"Travis, ada kamera di dalam sini," aku berkata sambil mengelap mulutku dan melihat ke bawah, ada goresan merah di tanganku.
"Ada apa denganmu, Pigeon" kau menang, aku menang, kita membayar lunas hutang Mick dan aku baru saja mendapatkan tawaran sekali seumur hidup."
Pintu lift terbuka dan aku berdiri diam di tempat saat Travis melangkah keluar menuju lorong. "Tawaran apa"" tanyaku.
Travis mengulurkan tangannya, tapi aku mengacuhkannya. Aku memicingkan mataku, sudah tahu apa yang akan dia katakan.
Dia menghela nafas. "Aku sudah mengatakannya padamu, kita akan membicarakannya nanti."
"Mari kita bicarakan sekarang."
Dia mendekat lalu menarikku di pinggang menuju lorong, lalu mengangkatku dari lantai ke dalam pelukannya.
"Aku akan menghasilkan uang yang cukup untuk menggantikan uang yang Mick ambil darimu, untuk membayar sisa biaya kuliahmu, melunasi motorku, dan membeli mobil baru untukmu," katanya, menggesekan kunci kartu di pintu. Dia mendorong pintu terbuka dan menurunkanku. "Dan itu baru awalnya saja!"
"Dan bagaimana kau akan melakukan itu semua"" dadaku menegang dan tanganku mulai gemetar.
Dia memegang wajahku di tangannya, merasa senang. "Benny akan mengizinkanku bertarung di Vegas. Enam digit satu kali pertarungan, Pidge. Enam digit sekali bertarung!"
Aku menutup mata dan menggelengkan kepalaku, menghalangi kegembiraan di matanya. "Apa yang kau katakan pada Benny"" Travis mengangkat daguku lalu aku membuka mataku, takut kalau dia telah menandatangani sebuah kontrak.
Dia tertawa geli. "Aku bilang padanya kalau aku akan memikirkannya."
Aku menghembuskan nafas yang dari tadi aku tahan. "Oh, untunglah. Jangan menakutiku seperti itu, Trav. Aku pikir kau serius."
Travis menyeringai dan memantapkan dirinya sebelum bicara. "Aku memang serius, Pigeon. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus membicarakannya denganmu terlebih dahulu, tapi aku pikir kau akan senang. Dia menjadwalkan satu pertarungan sebulan. kau tahu berapa banyak uang itu" Tunai!"
"Aku bisa berhitung, Travis. Aku juga bisa mempertahankan akal sehatku ketika aku berada di Vegas, yang jelas-jelas kau tidak bisa. Aku harus membawamu keluar dari sini sebelum kau melakukan hal yang bodoh." Aku berjalan menuju lemari dan melepaskan semua pakaian kami dari gantungan baju, dengan marah memasukkannya ke dalam koper.
Travis dengan lembut menarik lenganku lalu memutarku. "Aku bisa melakukannya. Aku bisa bertarung untuk Benny selama satu tahun maka kita akan hidup mapan untuk waktu yang sangat lama."
"Apa yang akan kau lakukan" Keluar kuliah lalu pindah kemari""
"Benny akan memberiku tiket pesawat, bertarung berdasarkan jadwalku."
Aku tertawa satu kali, meragukannya. "Kau tidak mungkin selugu itu, Travis. Saat kau digaji oleh Benny, kau tidak akan bertarung sebulan sekali untuknya. Apa kau lupa tentang Dane" kau akan berakhir menjadi salah satu premannya!"
Dia menggelengkan kepalanya. "Kami sudah mendiskusikan tentang itu, Pidge. dia tidak ingin aku melakukan apapun selain bertarung."
"Dan kau mempercayainya" kau tahu di sini dia itu dijuluki Si Curang Benny!"
"Aku ingin membelikanmu mobil, Pigeon. Yang bagus. Uang kuliah kita berdua akan dibayar lunas."
"Oh" Mafia itu sekarang membe
rikan beasiswa""
Rahang Travis terkatup rapat. Dia merasa kesal karena harus meyakinkan aku. "Ini bagus untuk kita berdua. Aku bisa menabung sampai saatnya untuk kita membeli sebuah rumah. Aku tidak bisa menghasilkan uang sebanyak ini di tempat lain."
"Bagaimana dengan gelar sarjana Hukum Pidanamu" kau akan sering bertemu dengan teman-teman lamamu saat bekerja untuk Benny, aku yakin itu."
"Sayang, aku mengerti keberatanmu, sungguh. Tapi ini hal yang bagus. Aku akan melakukannya selama satu tahun, lalu kita berhenti dan melakukan apapun yang kita inginkan."
"Kau tidak bisa berhenti begitu saja dengan Benny, Trav. Hanya dia yang bisa memutuskan kapan kau berhenti. kau tak tahu sedang berurusan dengan siapa! Aku tidak percaya kau akan mempertimbangkan hal ini! Bekerja pada orang yang akan memukuli kita berdua tadi malam jika kau tidak menghentikannya""
"Tepat sekali. Aku menghentikannya."
"kau menghentikan dua orang preman kelas ringannya, Travis. Apa yang akan kau lakukan jika ada sebelas orang seperti mereka" Apa yang akan kau lakukan jika mereka mengejarku pada saat kau sedang bertarung""
"Tidak masuk akal dia akan melakukan hal itu. Aku akan mendatangkan banyak uang untuknya."
"Pada saat kau memutuskan berhenti, kau akan dihabisi. Itulah bagaimana mereka bekerja."
Travis menjauhiku dan melihat keluar jendela, gemerlap lampu menghiasi wajahnya yang bertentangan. Dia telah membuat keputusan sebelum membicarakannya denganku.
"Semuanya akan baik-baik saja, Pigeon. Aku akan pastikan itu. Lalu kita akan mapan."
Aku menggelengkan kepala dan berbalik, memasukkan pakaian kami ke dalam koper. Ketika kami mendarat di aspal landasan saat sampai di rumah, dia akan menjadi dirinya sendiri lagi. Vegas melakukan hal yang aneh pada manusia, dan aku tidak bisa berargumen dengannya saat dia masih mabuk oleh aliran uang yang banyak dan whiskey.
*** Aku menolak untuk membahasnya lebih jauh hingga kami naik pesawat, takut Travis akan membiarkanku pergi tanpa dirinya. Aku memakai sabuk pengamanku dan gigiku terkatup rapat, memperhatikan dia yang sedang menatap penuh kerinduan keluar jendela saat kami naik ke angkasa malam. Dia sudah mulai merindukan kejahatan dan godaan tak terbatas yang Vegas telah tawarkan.
"Itu uang yang banyak, Pidge."
"Tidak." Dia mendekatkan kepalanya ke arahku. "Ini keputusanku. Kupikir kau tidak melihat gambaran besarnya."
"Kupikir kau sudah kehilangan akal sehatmu."
"Kau bahkan tidak akan mempertimbangkannya""
"Tidak, dan begitu juga denganmu. Kau tidak akan bekerja untuk penjahat yang kejam di Las Vegas, Travis. Itu bener-benar bodoh jika kau pikir aku akan mempertimbangkannya."
Travis menghela nafas dan melihat keluar jendela. "Pertarungan pertamaku tiga minggu lagi."
Mulutku menganga. "Kau sudah menyetujuinya""
Dia mengedipkan satu matanya. "Belum."
"Tapi kau akan menyetujuinya""
Dia tersenyum. "Kau akan berhenti marah saat aku membelikanmu mobil Lexus."
"Aku tidak ingin mobil Lexus." aku mendesis marah.
"Kau bisa membeli apapun yang kau mau, sayang. Bayangkan bagaimana rasanya mendatangi dealer manapun yang kau mau, dan yang harus kau lakukan hanya tinggal memilih warna favoritmu."
"Kau tidak melakukan ini untukku. Berhentilah berpura-pura seolah kau melakukan ini untukku."
Dia mendekatiku, mencium rambutku. "Tidak, aku melakukan ini untuk kita. kau hanya tidak melihat bagaimana hebatnya nanti."
Menggigil karena dingin terpancar dari dadaku, bergerak turun ke punggung terus ke kakiku. Dia tidak akan melihat alasannya hingga kami tiba di apartemen, dan aku takut kalau Benny sudah memberikan tawaran yang tidak bisa dia tolak. Aku membuang semua rasa takutku; aku harus percaya bahwa Travis sangat mencintaiku, cukup untuk melupakan uang dan janji palsu yang sudah Benny berikan.
"Pidge" kau tahu cara memasak seekor kalkun""
"Kalkun" Kataku, tidak siap oleh perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba.
Dia meremas tanganku. "Well, liburan Thanksgiving akan segera tiba, dan kau tahu kalau ayahku menyukaimu. Dia ingin kau datang
saat Thanksgiving, namun kami selalu berakhir dengan memesan pizza dan menonton pertandingan. Kupikir mungkin aku dan kau akan mencoba memasak kalkun bersama. Kau tahu, makan malam kalkun sungguhan sekali ini di rumah keluarga Maddox."
Aku menutup rapat bibirku, berusaha agar tidak tertawa. "Kau hanya tinggal mencairkan kalkunnya dan menaruhnya di dalam panci lalu memasaknya di oven seharian. Tidak banyak yang harus di lakukan."
"Jadi kau akan datang" kau akan membantuku""
Aku mengangkat bahuku. "Tentu saja."
Perhatiannya teralihkan dari lampu di bawah yang memabukkan, dan aku membiarkan diriku untuk berharap bahwa dia akan melihat betapa salahnya dia tentang Benny.
*** Travis meletakkan koper di atas tempat tidur lalu menjatuhkan tubuhnya di samping koper. Dia belum mengungkit masalah Benny, dan aku harap Vegas mulai tersaring keluar dari sistemnya. Aku memandikan Toto, merasa jijik karena dia bau asap rokok dan kaus kaki kotor karena berada di apartemen Brazil selama akhir pekan, lalu mengeringkannya dengan handuk di dalam kamar.
"Oh! kau lebih wangi sekarang!" aku tertawa geli saat dia menggoyangkan tubuhnya, mencipratkan tetesan air padaku. Dia berdiri di atas kaki belakangnya, menciumiku dengan ciuman kecil anak anjing. "Aku juga merindukanmu."
"Pigeon"" tanya Travis, meremas-remas jarinya dengan gugup.
"Ya"" jawabku, menggosok Toto dengan handuk lembut berwarna kuning di tanganku.
"Aku ingin melakukannya. Aku ingn bertarung di Vegas."
"Tidak boleh," aku berkata sambil tersenyum pada wajah senang Toto.
Dia menghela nafas. "Kau tidak mendengarkan. Aku akan melakukannya. Kau akan lihat dalam beberapa bulan bahwa itu adalah keputusan yang tepat."
Aku menatapnya. "Kau akan bekerja untuk Benny""
Dia mengangguk dengan gugup lalu tersenyum. "Aku hanya ingin memenuhi segala kebutuhanmu, Pidge."
Air mata mengaburkan pandanganku, mengetahui dia telah memutuskan. "Aku tidak ingin apapun yang dibeli dengan uang itu, Travis. Aku tidak ingin berhubungan dengan Benny atau Vegas atau apapun yang berhubungan dengan itu semua."
"Kau tidak memiliki masalah dengan pemikiran untuk membeli mobil menggunakan uang dari hasil pertarunganku di sini."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu berbeda dan kau tahu itu."
Dia cemberut. "Semua akan baik-baik saja, Pidge. Kau akan lihat."
Aku memandangnya untuk beberapa saat, berharap rasa senang di matanya meredup sedikit, menunggunya mengatakan bahwa dia hanya bercanda. Ketidakpastian dan keserakahan terlihat di matanya.
"Mengapa kau bertanya padaku kalau begitu, Travis" Kau akan bekerja untuk Benny tidak peduli apapun yang aku katakan."
"Aku ingin kau mendukung ini, tapi ini uang yang terlalu banyak untuk ditolak. Aku berarti gila jika menolaknya."
Aku duduk beberapa saat, terpana. Setelah semua tenggelam, aku mengangguk. "Baiklah. kau sudah membuat keputusan."
Travis berseri-seri. "Kau akan lihat, Pigeon. Semua akan menjadi menyenangkan." Dia bangun dari tempat tidur, melangkah ke arahku lalu mencium tanganku. "Aku sangat lapar. Kau lapar""
Aku menggelengkan kepala dan dia mencium keningku sebelum berjalan menuju dapur. Begitu langkah kakinya tidak terdengar lagi, aku menarik semua bajuku dari gantungannya, bersyukur ada tempat kosong di koperku untuk semua barang-barangku. Air mata marah mengalir turun di pipiku. Aku tahu lebih banyak untuk tidak membawa Travis ke tempat itu. Aku sudah berjuang mati-matian untuk menjauhkannya dari jurang gelap hidupku, dan pada saat kesempatan itu datang, aku menyeretnya ke tengah semua yang aku benci tanpa harus berpikir dua kali.
Travis akan menjadi bagian dari semua itu, dan jika aku tidak bisa menyelamatkannya, aku harus menyelamatkan diriku sendiri.
Kopernya sudah sangat penuh, dan aku menutup ritsletingnya melewati isinya yang menggembung. Aku mengangkatnya dari tempat tidur dan menelusuri lorong, melewati dapur tanpa melirik ke arahnya. Aku bergegas menuruni tangga, merasa lega melihat America dan Shepley masih berciuman dan tertawa di tempat parkir, memindahkan barang America dari mobil Shepley ke mobilnya.
"Pigeon"" Travis memanggil dari pintu apartemen.
Aku menyentuh pergelangan tangan America, "Aku ingin kau mengantarku ke asrama sekarang, Mare."
"Apa yang terjadi"" kata America, meyadari seriusnya situasi dari ekspresiku.
Aku melihat ke belakang untuk melihat Travis yang sedang berlari menuruni tangga dan menyebrangi rumput menuju tempat kami semua berdiri.
"Apa yang kau lakukan"" kata Travis, menunjuk ke arah koperku.
Jika aku memberitahunya saat itu, semua harapan untuk menjauhkan diriku dari Mick, Vegas, Benny dan semua yang tidak aku inginkan akan hilang. Travis tidak akan membiarkanku pergi, dan nanti pagi aku akan meyakinkan diriku sendiri untuk menerima keputusannya.
Aku menggaruk kepalaku lalu tersenyum, berusaha mengulur waktu untuk memikirkan satu alasan.
"Pidge"" "Aku membawa barang-barangku ke asrama. Mereka memiliki mesin cuci dan pengering dan aku punya beberapa pakaian yang harus di cuci."
Dia cemberut. "Kau akan pergi tanpa memberitahuku""
Aku melihat ke arah America lalu kembali ke Travis, berusaha mencari alasan bohong yang bisa di terima.
"Dia akan kembali lagi, Trav. kau sangat paranoid," America berkata sambil tersenyum acuh yang selalu dia gunakan untuk membohongi orang tuanya beberapa kali.
"Oh," katanya, merasa tidak yakin. "Kau menginap di sini malam ini"" dia bertanya padaku sambil memainkan jaketku.
"Aku tidak tahu. Aku pikir itu tergantung kapan cucianku selesai."
Travis tersenyum, menarik tubuhku ke tubuhnya. "Dalam tiga minggu aku akan membayar seseorang untuk mencuci pakaianmu. Atau kau bisa membuang baju kotormu lalu membeli yang baru."
"Kau bertarung untuk Benny lagi"" tanya America, terkejut.
"Dia memberiku tawaran yang tidak bisa aku tolak."
"Travis," Shepley memulai.
"Kalian jangan mulai juga ya. Jika aku tidak mengubah keputusanku demi Pidge, aku tak akan merubah pikiranku demi kalian."
America menatap mataku dengan pengertian, "Well, kita sebaiknya pergi, Abby. Cucian sebanyak itu akan membutuhkan waktu yang lama untuk selesai."
Aku mengangguk dan Travis membungkuk untuk menciumku. Aku menariknya lebih dekat, mengetahui ini akan menjadi terakhir kalinya aku merasakan bibirnya di bibirku. "Sampai bertemu nanti," dia berkata. "Aku mencintaimu."
Shepley mengangkat koperku ke dalam bagian belakang mobilnya America, lalu America meluncur ke tempat duduknya di sampingku. Travis melipat tangan di atas dadanya sambil mengobrol dengan Shepley saat America menyalakan mesin.
"Kau tidak bisa tinggal di kamarmu malam ini, Abby. Dia akan langsung menuju ke sana ketika dia menyadarinya," kata America saat dia dengan perlahan memundurkan keluar mobilnya dari tempat parkir.
Mataku penuh dengan airmata lalu tumpah, mengalir turun di pipiku. "Aku tahu."
Ekspresi bahagia Travis berubah saat dia melihat wajahku. Dia langsung berlari ke arah jendela mobil tempatku duduk. "Ada apa, Pidge"" tanyanya, mengetuk di kaca.
"Jalan, Mare," kataku, mengelap mataku. Aku menatap lurus ke jalan di depan saat Travis berlari di samping mobil.
"Pigeon" America! Hentikan mobilnya!" teriaknya, memukulkan telapak tangannya ke kaca. "Abby, jangan lakukan ini!" dia berkata, kesadaran dan ketakutan terlihat di wajahnya.
America berbelok ke jalan utama dan menginjak gas. "Aku tidak ingin mendengar bagaimana akhirnya ini-asal kau tahu saja."
"Aku sangat, sangat menyesal, Mare."
Dia melirik ke kaca spion dan mendorong kakinya ke lantai. "Ya Tuhan, Travis," dia bergumam di antara nafasnya.
Aku melihat ke belakang dan melihatnya berlari dengan cepat di belakang kami, menghilang dan kembali terlihat di antara lampu dan bayangan lampu jalan. Setelah dia sampai di ujung blok, dia berbalik ke arah yang berlawanan, berlari ke apartemen.
"Dia kembali untuk mengambil motornya. Dia akan mengikuti kita ke asrama dan akan menarik banyak perhatian."
Aku menutup mataku. "Cepatlah. Aku akan tidur di kamar asramamu malam ini. Kau pikir Vannesa tidak akan keberatan""
"Dia tidak pernah ada di sana. Travis serius ingin bekerja untuk Benny""
Kata- kata tersangkut di tenggorokanku, jadi aku hanya mengangguk.
America menarik tanganku dan meremasnya. "Kau membuat keputusan yang tepat, Abby. Kau tidak boleh mengalaminya lagi. Jika dia tidak mendengarkanmu, dia tidak akan mendengarkan orang lain."
Handphoneku berbunyi. Aku melihat wajah konyol Travis, lalu menekan tombol ignore. Kurang dari lima detik berikutnya, itu berbunyi lagi. Aku mematikannya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ini akan menjadi kekacauan yang sangat mengerikan," kataku, menggelengkan kepala dan mengelap mataku.
"Aku tidak menginginkan berada dalam posisimu untuk seminggu ke depan atau lebih. Aku tidak bisa membayangkan putus dengan seseorang yang menolak untuk menjauh. kau tahu nanti akan bagaimana, kan""
Kami berhenti di tempat parkir asrama, dan America menahan pintu terbuka saat aku menyeret koperku masuk ke dalam. Kami bergegas masuk ke kamarnya dan aku menghembuskan nafas, menunggunya membuka kunci pintu. Dia menahannya terbuka lalu melemparkan kuncinya padaku.
"Travis akan berakhir dengan di penjara atau lainnya."
*** America berlari menelusuri lorong dan aku melihatnya berlari menyeberangi tempat parkir dari balik jendela, masuk ke dalam mobilnya saat Travis menghentikan motornya di samping mobilnya. Dia berlari ke pintu penumpang lalu membuka pintunya, melihat ke pintu asrama saat dia menyadari aku tidak ada di dalam mobil. America memundurkan mobilnya saat Travis berlari ke dalam gedung, aku berbalik dan menatap ke pintu.
Di lorong, Travis sedang menggedor pintu kamarku, memanggil-mangil namaku. Aku tak tahu apakah Kara ada di sana, tapi jika dia ada di sana, aku merasa kasihan atas apa yang akan dia tanggung beberepa menit ke depan hingga Travis menerima bahwa aku tidak berada di kamarku.
"Pidge" Buka pintunya, sialan! Aku tidak akan pergi hingga kau bicara padaku! Pigeon!" dia berteriak sambil memukul-mukul pintu dengan sangat keras sehingga seluruh gedung dapat mendengarnya.
Aku merasa ngeri saat aku mendengar suara pemalu Kara.
"Apa"" geramnya.
Aku menekankan telingaku ke pintu, berusaha mendengar suara pelan Travis. Aku tidak harus berusaha keras begitu lama.
"Aku tahu dia ada di dalam! Teriaknya. "Pigeon""
"Dia tidak &Hey!" Kara memekik.
Pintu membentur dinding semen kamar kami dan aku tahu Travis memaksa masuk. Setelah beberapa menit hening, aku mendengar Travis berteriak di lorong. "Pigeon! Di mana dia""
"Aku belum melihatnya!" teriak Kara, lebih marah daripada yang aku pernah dengar sebelumnya. Pintu di banting tertutup dan tiba-tiba rasa mual muncul saat aku menunggu apa yang akan Travis lakukan berikutnya.
Setelah beberapa menit hening, aku membuka pintu sedikit, mengintip ke lorong yang luas. Travis duduk bersandar ke dinding dengan tangan menutupi wajahnya. Aku menutup pintu sepelan mungkin, khawatir polisi kampus sudah di panggil. Setelah satu jam, aku melihat ke lorong lagi. Travis masih ada di situ, tidak bergerak.
Aku melihatnya dua kali lagi sepanjang malam itu, dan akhirnya tertidur sekitar jam empat. Aku sengaja bangun siang, mengetahui aku akan bolos kuliah hari itu. Aku menyalakan handphoneku untuk memeriksa sms, melihat Travis sudah membanjiri kotak masukku. Teks panjang yang dia kirimkan padaku sepanjang malam bermacam-macam dari permintaan maaf hingga kata-kata kasar.
Aku menelepon America pada sore hari, berharap Travis tidak menyita handphonenya. Ketika dia menjawab, aku merasa lega.
"Hai." America menjaga agar suaranya tetap pelan. "Aku belum memberitahu Shepley di mana kau berada. Aku tak ingin dia berada di tengah-tengah masalah ini. Travis sangat kesal padaku saat ini. Aku mungkin akan tinggal di asrama malam ini."
"Jika Travis belum tenang &semoga berhasil untuk bisa tidur dengan tenang di sini. Dia melakukan hal yang patut di beri penghargaan Oscar di lorong tadi malam. Aku terkejut tidak ada satupun yang menelepon keamanan."
"Dia di usir keluar dari kelas Sejarah hari ini. Ketika kau tidak datang, dia menendang meja kalian. Shep dengar dia menunggumu di setiap kelasmu. Dia lepas kendali,
Abby. Aku memberitahunya bahwa kau sudah merasa cukup pada saat dia memutuskan untuk bekerja pada Benny. Aku tidak percaya dia mengira bahwa kau akan dapat menerima hal itu."
"Kalau begitu sampai bertemu nanti di sini. Kupikir aku belum bisa kembali ke kamarku saat ini."
*** Aku dan America tinggal satu kamar selama seminggu lebih, dan dia selalu memastikan Shepley tidak mengetahui aku berada di mana sehingga dia tidak akan tergoda untuk memberitahu Travis tentang keberadaanku. Ini menjadi pekerjaanku sepenuhnya untuk menghindari bertemu dengannya. Aku menghindari kafetaria, kuliah Sejarah, dan aku bermain aman dengan meninggalkan semua kelas lebih awal. Aku tahu aku harus bicara dengan Travis pada akhirnya, tapi aku tidak bisa melakukannya sebelum dia cukup tenang untuk menerima keputusanku.
Aku duduk sendirian pada Jumat malam, berbaring di tempat tidur, memegang telepon di telingaku. Aku memutar mataku ketika perutku berbunyi.
"Aku bisa menjemputmu dan mengajakmu makan malam di satu tempat," kata America.
Aku membalik buku Sejarahku, melewati halaman di mana Travis mencorat-coret dan menuliskan kata-kata cinta di marginnya. "Tidak usah, ini malam pertamamu bersama Shep dalam seminggu ini, Mare. Aku akan mampir ke kafetaria saja."
"Kau yakin""
"Ya. Sampaikan salamku untuk Shep."
Aku berjalan perlahan ke kafetaria, tidak terburu-buru untuk mendapat tatapan dari orang-orang yang duduk di kafetaria. Seluruh kampus terkejut saat mendengar kabar kami putus, dan kelakuan kasar Travis tidak membantu. Pada saat lampu kafetaria terlihat, aku melihat sosok gelap mendekat.
"Pigeon"" Terkejut, aku tersentak berhenti. Travis melangkah ke dalam cahaya lampu, tidak bercukur dan pucat. "Ya Tuhan, Travis! kau menakutiku!"
"Jika kau menjawab teleponmu ketika aku menelepon, aku tidak akan mengendap-endap di kegelapan."
"kau terlihat seperti baru kembali dari neraka (berantakan)," kataku.
"Aku memang sepertinya pergi ke sana satu atau dua kali minggu ini."
Aku memeluk tubuhku lebih erat. "Sebenarnya aku sedang mencari sesuatu untuk dimakan. Aku akan meneleponmu nanti, ok""
"Tidak. Kita harus bicara."
"Trav &" "Aku sudah menolak Benny. Aku meneleponnya hari Rabu kemarin dan mengatakan tidak padanya." Ada secercah harapan di matanya, namun langsung hilang saat dia menyadari ekspresiku.
"Aku tak tahu kau ingin aku mengatakan apa, Travis."
"Katakan kau memaafkan aku. Katakan kau akan menerimaku kembali."
Aku mengatupkan gigiku dengan rapat, melarang diriku sendiri untuk menangis. "Aku tidak bisa."
Wajah Travis kusut dan aku mengambil kesempatan untuk berjalan mengitarinya, namun dia melangkah ke samping untuk menghalangi jalanku. "Aku tidak tidur, atau makan &aku tidak bisa konsentrasi. Aku tahu kau mencintaiku. Semua akan kembali seperti semula jika kau menerimaku kembali."
Aku menutup mataku. "Kita berdua sama-sama disfungsional, Travis. Kupikir kau hanya terobsesi dengan pemikiran untuk memilikiku lebih dari apapun."
"Itu tidak benar. Aku mencintaimu lebih dari hidupku, Pigeon," dia berkata, merasa sakit.
"Itulah maksudku. Itu pembicaraan yang gila."
"Itu bukan gila. Itu yang sebenarnya."
"Baiklah &jadi apa urutan yang sebenarnya untukmu" Apakah uang, aku, hidupmu &atau ada lagi sebelum uang""
"Aku menyadari yang telah aku lakukan, ok" Aku mengerti mengapa kau berpikir begitu, tapi jika aku tahu kau akan meninggalkanku, aku tak akan pernah &aku hanya ingin mengurus segala keperluanmu."
"Kau sudah pernah mengatakan itu."
"Aku mohon jangan lakukan ini. Aku tak tahan merasa seperti ini &ini &ini membunuhku," dia berkata sambil menarik nafas seolah udara melumpuhkannya.
"Aku sudah merasa cukup, Travis."
Dia meringis. "Jangan mengatakan itu."
"Semua sudah berakhir. Pulanglah ke rumah."
Alisnya ditarik masuk. "Kau adalah rumahku."
Kata-katanya memotongku, dadaku menjadi sangat tegang hingga sangat sulit untuk bernafas. "Kau sudah menentukan pilihanmu, Trav. Aku menentukan pilihanku," aku berkata sambil memaki dalam hati karena suaraku yang gemetar.
"Aku akan menjauhi Vegas, dan Benny &aku akan menyelesaikan kuliahku. Tapi aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan dirimu. Kau adalah sahabatku." Suaranya terdengar putus asa dan hancur, sama dengan ekspresinya.
Di remang-remang cahaya aku dapat melihat air mata jatuh dari matanya, dan dalam sekejap dia meraihku dan aku berada dalam pelukannya, dia mencium bibirku. Dia memelukku dengan erat di dadanya saat dia menciumku, lalu menahan wajahku dengan tangannya, menekan bibirnya lebih keras di bibirku, memaksa untuk mendapatkan reaksi dariku.
"Cium aku," dia berbisik sambil menempelkan bibirnya di bibirku. Aku tetap menutup mata dan bibirku, merasa tenang di dalam pelukannya. Dengan sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak membalas ciumannya, karena telah merindukan bibirnya selama satu minggu ini. "Cium aku," dia memohon. "Aku mohon, Pigeon! Aku sudah mengatakan tidak pada Benny!"
Ketika aku merasakan hangatnya air mata di wajahku yang dingin, aku mendorongnya. "Tinggalkan aku sendiri, Travis!"
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika dia menarik pergelangan tanganku. Lenganku meregang, terentang di belakangku. Namun aku tidak melihat ke belakang.
"Aku mohon padamu." Lenganku merendah dan tertarik saat dia berlutut. "Aku mohon padamu, Abby. Jangan lakukan ini."
Aku berbalik dan melihat ekspresinya yang penuh penderitaan, lalu pandanganku tertuju ke lenganku lalu ke arah lengannya Travis, melihat namaku dalam huruf hitam tebal meregang di pergelangan tangannya. Aku berpaling, ke arah kafetaria. Dia telah membuktikan padaku yang aku takuti selama ini. Sebesar apapun dia mencintaiku, ketika berhubungan dengan uang, aku akan menjadi urutan kedua. Sama seperti aku dan Mick.
Jika aku menyerah, dia akan merubah pikirannya lagi tentang Benny, atau dia akan membenciku setiap kali uang akan membuat hidupnya lebih mudah. Aku membayangkan dia bekerja sebagai pegawai biasa, pulang ke rumah dengan pandangan yang sama di matanya sama seperti Mick saat dia pulang setelah malamnya yang tidak beruntung. Dia akan menyalahkanku karena hidupnya tidak seperti yang dia inginkan, dan aku tidak bisa membiarkan masa depanku terganggu oleh kepahitan dan penyesalan yang aku dulu tinggalkan di belakang.
"Lepaskan aku, Travis."
Setelah beberapa saat akhirnya dia melepaskan lenganku. Aku berlari menuju pintu kaca, mendorongnya terbuka tanpa melihat ke belakang. Semua orang di ruangan itu menatapku saat aku berjalan ke meja prasmanan, dan ketika aku mencapai tujuanku, aku memiringkan kepalaku melihat ke luar jendela dimana Travis masih berlutut, telapak tangan di atas jalan beraspal.
Melihat dia berlutut membuat air mata yang aku tahan dari tadi mengalir deras di wajahku. Aku melewati tumpukan piring dan nampan, berlari di lorong menuju kamar mandi. Sudah cukup buruk semua orang menyaksikan adegan antara aku dan Travis. Aku tidak bisa membiarkan mereka melihatku menangis.
*** Aku meringkuk di dalam bilik kamar mandi selama satu jam, menangis tak terkendali hingga aku mendengar ketukan pelan di pintu.
"Abby"" Aku terisak. "Apa yang kau lakukan di sini, Finch" kau ada di kamar mandi wanita."
"Kara melihatmu datang lalu dia menjemputku ke asrama. Biarkan aku masuk," dia berkata dengan suara yang lembut.
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu dia tidak bisa melihatku, tapi aku tidak dapat mengeluarkan satu patah katapun. Aku mendengar dia menarik nafas lalu telapak tangannya menepuk lantai saat dia merangkak di bawah bilik.
"Aku tidak percaya kau membuatku melakukan ini," kata Finch, menarik tubuhnya ke bawah dengan tangannya. "Kau akan menyesal tidak membukakan pintu, karena aku baru saja merangkak melewati lantai yang berlumuran air kencing dan aku sekarang akan memelukmu."
Aku tertawa satu kali, lalu wajahku seperti ditekan di sekitar bibirku saat Finch menarikku ke dalam pelukannya. Aku berdiri, dan Finch menurunkanku ke lantai, menarikku ke atas pangkuannya.
"Sssshh," dia berkata sambil menggoyang-goyangkanku di pelukannya. Dia menarik nafas dan menggelengkan kepala. "Ya ampun, Girl. Apa yang harus kulaku
kan padamu"" *** Bab 17 TIDAK, TERIMA KASIH Aku mencorat-coret bagian depan buku catatanku, membuat kotak dalam kotak, menghubungkan semuanya untuk membentuk kotak tiga dimensi sederhana. Sepuluh menit sebelum kuliah dimulai, tapi ruangan kelas masih kosong. Hidup sudah mulai dalam tahap normal, tapi aku masih membutuhkan beberapa menit untuk terbiasa berada di dekat orang lain selain Finch dan America.
"Hanya karena kita sudah tidak berkencan lagi, bukan berarti kau tidak bisa memakai gelang yang aku berikan padamu," Parker berkata sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.
"Aku bermaksud untuk bertanya padamu apakah kau menginginkan itu dikembalikan."
Dia tersenyum, membungkuk ke atas meja untuk menambahkan gambar pita kupu-kupu di atas salah satu gambar kotakku. "Itu adalah hadiah, Abs. Aku tidak memberikan hadiah dengan persyaratan."
Dr. Ballard menggelengkan kepalanya saat dia duduk di depan kelas, membolak-balik kertas yang ada di atas mejanya yang berantakan. Ruangan seketika gaduh karena suara orang-orang yang sedang mengobrol, bergema karena memantul di jendela besar yang terciprat air hujan.
"Aku dengar kau dan Travis putus beberapa minggu yang lalu." Parker mengangkat tangannya melihat ekspresiku yang tidak sabar. "Itu sama sekali bukan urusanku. Kau hanya terlihat sangat sedih, dan aku ingin memberitahumu kalau aku ikut sedih."
"Terima kasih," aku bergumam sambil membalik halaman buku catatanku.
"Dan aku juga bermaksud untuk meminta maaf atas kelakuanku sebelumnya. Yang aku katakan dulu sangat &kasar. Aku merasa marah dan melampiaskannya padamu. Itu tidaklah adil dan aku minta maaf."
"Aku tidak tertarik untuk berkencan, Parker," aku memperingatkannya.
Dia tertawa geli. "Aku tidak berusaha untuk mengambil keuntungan. Kita masih berteman dan aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja."
"Apa kau akan pulang ke rumah saat libur Thanksgiving""
"Aku akan ke rumah America. Aku biasanya merayakan Thanksgiving di rumahnya."
Parker mulai bicara lagi namun Dr. Ballard mulai mengajar. Topik tentang Thanksgiving membuatku berpikir tentang rencanaku sebelumnya untuk membantu Travis memasak kalkun. Aku membayangkan bagaimana rasanya itu, dan aku menemukan diriku merasa khawatir mereka akan memesan pizza lagi. Perasaan seperti tenggelam mulai menghampiriku. Aku langsung mengeluarkannya dari kepalaku, berusaha sebisa mungkin untuk berkonsentrasi pada semua perkataan Dr. Ballard.
Setelah kelas bubar, wajahku merona saat melihat Travis berlari ke arahku dari tempat parkir. Dia sudah bercukur bersih lagi, memakai sweater lengan panjang yang ada penutup kepalanya dan topi baseball merah favoritnya, menundukkan kepalanya menghindari air hujan.
"Sampai bertemu lagi setelah liburan usai, Abs," kata Parker, menyentuh punggungku.
Aku menunggu tatapan marah dari Travis, tapi tampaknya dia tidak melihat Parker saat dia mendekat. "Hai, Pidge."
Aku memberinya senyuman canggung, dan dia memasukan tangannya ke dalam saku depan sweaternya. "Kata Shepley kau akan pergi dia dan America ke Wichita besok."
"Ya"" "Kau akan menghabiskan liburanmu di rumah America""
Aku mengangkat bahuku, berusaha terlihat biasa. "Aku sangat dekat dengan orangtuanya."
"Bagaimana dengan ibumu""
"Dia seorang pemabuk, Travis. Dia tidak akan menyadari kalau itu Thanksgiving."
Dia tiba-tiba gugup, dan perutku terasa sakit karena kemungkinan untuk putus di depan banyak orang untuk kedua kalinya. Petir bergulung di atas kami dan Travis melihat ke atas, memicingkan matanya saat tetesan air jatuh di wajahnya.
"Aku membutuhkan bantuanmu," dia berkata. "Kemarilah." Dia menarikku ke tempat berteduh yang terdekat dan aku mengikutinya, berusaha untuk menghindari adegan lain yang akan menarik perhatian banyak orang.
"Bantuan macam apa"" tanyaku, merasa curiga.
"Aku ehm &" dia bergeser. "Ayah dan semua saudaraku masih mengharapkan kau datang Kamis nanti."
"Travis!" aku merengek.
Dia menatap kakinya. "Kau bilang kau akan datang."
"Aku tahu, tapi &itu sedikit ti
dak pantas sekarang, bukankah begitu""
Dia tampak tidak terpengaruh. "Kau bilang kau akan datang."
"Kita masih berpacaran saat aku setuju untuk datang ke rumahmu. Kau tahu aku tidak akan datang."
"Aku tak tahu, dan sekarang bagaimanapun sudah terlambat. Thomas sudah naik pesawat kemari, dan Tyler sudah mengambil cuti. Semua orang mengharapkan kau datang."
Aku meringis, memutar-mutar rambut basah di jariku. "Mereka tetap akan datang bagaimanapun juga, ya kan""
"Tidak semua orang. Kami sudah bertahun-tahun tidak kumpul semua saat Thanksgiving. Mereka mengusahakan untuk datang karena aku menjanjikan makanan sungguhan. Belum pernah ada wanita di dapur kami sejak ibu meninggal dan &"
"Itu bukan diskriminasi gender atau sejenispun."
Dia memiringkan kepalanya. "Bukan itu maksudku, Pidge, yang benar saja. Kami semua menginginkanmu datang. Hanya itu maksudku."
"Kau belum memberitahu mereka tentang kita &ya kan"" Aku berkata dengan nada menuduh.
Dia gelisah beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya. "Ayah akan menanyakan alasannya, dan aku belum siap untuk membicarakan masalah itu dengannya. Aku akan terus-menerus mendengarnya mengatakan bagaimana bodohnya aku. Aku mohon datanglah, Pidge."
"Aku harus memasukan kalkun jam enam pagi. Kita harus pergi jam lima..."
"Atau kita bisa menginap di sana."
Alisku naik. "Tidak! Sudah cukup buruk aku harus berbohong pada keluargamu dan berpura-pura kita masih berpacaran."
"Kau bersikap seperti aku memintamu membakar dirimu dalam api."
"Kau seharusnya memberitahu mereka!"
"Aku akan memberitahu mereka. Setelah Thanksgiving &aku akan memberitahu mereka."
Aku menghela nafas, melihat ke arah lain. "Jika kau berjanji bahwa ini bukan satu aksi agar kita kembali bersama, aku akan melakukannya."
Dia mengangguk."Aku berjanji."
Meskipun dia berusaha untuk menyembunyikannya, aku dapat melihat kilauan di matanya. Aku menutup bibirku rapat, berusaha untuk tidak tersenyum. "Sampai bertemu jam lima."
Travis membungkuk untuk mencium pipiku, bibirnya berlama-lama di atas kulitku. "Terima kasih, Pigeon."
America dan Shepley menungguku di pintu kafetaria lalu kami berjalan masuk bersama. Aku menarik sendok dari tempatnya dengan kasar lalu menjatuhkan piring di atas nampanku.
"Ada apa denganmu, Abby"" tanya America.
"Aku tidak akan pergi bersama kalian besok."
Mulut Shepley menganga. "Kau akan pergi ke rumah keluarga Maddox""
America menatap tajam ke arahku. "Kau, apa""
Aku menghela nafas dan memberikan uang pada kasir. "Aku berjanji akan datang pada Travis saat di pesawat, dan dia memberitahu mereka aku akan datang."
"Alasannya," Shepley mulai bicara, "Dia tidak berpikir kalian akan benar-benar putus. Dia pikir kau akan kembali lagi. Dan sudah terlambat saat dia menyadari bahwa kau serius."
"Itu omong kosong, Shep, dan kau tahu itu," America mendesis marah. "Kau tidak harus pergi jika kau tidak ingin pergi, Abby."
Dia benar. Itu bukan seperti aku tidak punya pilihan. Tapi aku tidak bisa melakukannya pada Travis. Aku tidak akan melakukannya meskipun aku membencinya. Dan aku tidak membencinya.
"Jika aku tidak pergi, dia harus menjelaskan pada mereka mengapa aku tidak datang, dan aku tidak ingin menghancurkan acara Thanksgivingnya. Mereka semua pulang karena mereka pikir aku akan berada di sana."
Shepley tersenyum, "Mereka semua menyukaimu, Abby. Jim baru-baru ini ngobrol dengan ayahku membicarakan tentang dirimu."
"Bagus," aku bergumam.
"Abby benar, sayang," kata Shepley. "Jika dia tidak pergi, Jim akan menghabiskan waktunya untuk memarahi Trav. Tidak ada alasan untuk mengancurkan acara mereka."
America menaruh tangannya di bahuku. "Kau masih bisa ikut bersama kami. Kau sudah tidak berpacaran lagi dengannya. Kau tidak harus selalu menyelamatkannya."
"Aku tahu, Mare. Tapi ini hal yang tepat untuk dilakukan."
*** Matahari menghilang di belakang gedung di luar jendela, dan aku berdiri di depan cerminku, menyisir rambutku sambil berusaha memutuskan bagaimana caranya untuk berpura-pura masih berpacaran dengan Travi
s. "Ini hanya satu hari, Abby. Kau bisa mengatasi satu hari," aku berbicara pada cermin.
Berpura-pura bukanlah merupakan suatu masalah untukku. Saat Travis mengantarku sesudah makan malam nanti, aku akan membuat keputusan. Satu keputusan yang akan dipatahkan oleh rasa bahagia palsu yang akan kami perlihatkan pada keluarganya.
Tok, tok. Aku berpaling, melihat ke pintu. Kara belum kembali ke kamar dari tadi malam, dan aku tahu kalau America dan Shepley sudah berada di jalan. Aku tidak bisa menebak siapa yang ada di pintu. Aku meletakan sisirku di atas meja dan membuka pintu.
"Travis," aku terkejut.
"Apakah kau sudah siap""
Aku mengangkat alisku. "Siap untuk apa""
"Kau bilang jemput jam lima."
Aku melipat tangan di atas dadaku. "Maksudku jam lima pagi."
"Oh," kata Travis, terlihat kecewa. "Aku rasa aku harus menelepon ayahku dan memberitahunya kita tidak akan menginap."
"Travis," aku meratap.
"Aku meminjam mobil Shepley sehingga kita tidak harus repot membawa barang kita di atas motor. Ada kamar kosong untuk kau tidur. Dan kita bisa nonton film atau-,"
"Aku tidak akan menginap di rumah ayahmu!"
Dia terlihat kecewa. "Baiklah. Aku akan ehm &aku akan menemuimu besok pagi."
Dia mundur satu langkah lalu aku menutup pintu, bersandar di pintu. Semua emosi yang aku punya campur aduk dan keluar dari bagian dalam diriku, dan aku menarik satu nafas kesal. Karena ekspesi kecewa Travis terlintas di pikiranku, aku menarik pintu terbuka dan melangkah keluar, melihat dia berjalan pelan di lorong sambil menekan nomor telepon.
"Travis, tunggu. "Dia berbalik dan harapan di matanya membuat dadaku sakit. "Berikan aku beberapa menit untuk mengemas beberapa barang."
Senyuman lega dan berterima kasih terukir di wajahnya dan dia mengikutiku ke kamar, memperhatikan aku memasukkan beberapa barang ke dalam tas yang ada di pintu masuk.
"Aku masih mencintaimu, Pidge."
Aku tidak melihat ke atas. "Jangan. Aku melakukan ini bukan untukmu."
Dia menarik nafas. "Aku tahu."
Kami melaju dalam keheningan menuju rumah ayahnya. Mobil terasa seperti diisi oleh energi gugup, dan sangat sulit untuk tetap duduk diam di kursi kulit yang dingin. Saat kami tiba, Trenton dan Jim berjalan keluar ke teras, semua tersenyum. Travis membawa tas kami dari mobil, dan Jim menepuk punggungnya.
"Senang bertemu denganmu, Nak." Senyumnya menjadi lebih lebar saat melihatku. "Abby Abernathy. Kami tak sabar untuk makan malam besok. Sudah cukup lama sejak &Well. Sudah cukup lama."
Aku mengangguk dan mengikuti Travis masuk ke dalam rumah. Jim meletakkan tangannya di atas perut besarnya dan tersenyum. "Aku menyiapkan kamar kalian di kamar tidur tamu, Trav. Aku pikir kau tidak ingin berkelahi dengan si kembar di kamarmu."
Aku melihat ke arah Travis. Sangat berat untuk melihat Travis berusaha untuk bicara. "Abby ehm &dia akan ehm &tidur di kamar tamu. Aku akan tidur di kamarku."
Wajah Trenton berubah. "Kenapa" Dia selalu menginap di apartemenmu, kan""
"Tidak akhir-akhir ini," jawab Travis, berusaha sebisa mungkin menghindari untuk mengatakan yang sebenarnya.
Jim dan Trenton saling berpandangan. "Sudah satu tahun kamar Thomas menjadi gudang, jadi aku membiarkannya tidur di kamarmu. Aku rasa dia bisa tidur di sofa," kata Jim, melihat ke arah sofa usang yang warnanya sudah pudar di ruang tamu.
"Tidak usah khawatir tentang itu, Jim. Kami hanya berusaha untuk menghormatimu," aku tersenyum, menyentuh lengannya.
Suara tawanya terdengar ke seluruh ruangan, dan dia menepuk tanganku. "Kau sudah bertemu dengan semua anakku, Abby. Kau seharusnya sudah tahu bahwa hampir tidak mungkin untuk membuatku tersinggung."
Travis menganggukkan kepala ke arah tangga, dan aku mengikutinya. Dia mendorong pintu terbuka dengan kakinya dan meletakkan tas kami di lantai, melihat ke arah tempat tidur lalu ke arahku. Kamar itu dihiasi panel berwarna coklat, karpet coklat yang usang dan sobek. Dindingnya putih kotor, catnya mengelupas di beberapa tempat. Aku hanya melihat satu bingkai foto di dinding, memperlihatkan foto ayah dan ibu Travi
s. Latar belakangnya adalah layar biru umum yang ada di studio foto, rambut memakai jepit berbulu dan muda, wajah yang tersenyum. Pasti foto itu diambil sebelum mereka punya anak, mereka berdua tidak mungkin lebih tua dari dua puluh tahun.
"Maafkan aku, Pidge. Aku akan tidur di lantai."
"Tentu saja kau akan tidur di lantai," kataku, mengikat rambutku. "Aku tak percaya aku membiarkanmu memaksaku melakukan ini."
Dia duduk di tempat tidur dan mengusap wajahnya dengan rasa frustrasi. "Ini akan menjadi sangat kacau. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan."
"Aku tahu pasti apa yang telah kau pikirkan. Aku tidak bodoh, Travis."
Dia menatapku dan tersenyum. "Tapi kau tetap datang."
"Aku harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok," kataku, membuka pintu.
Travis berdiri. "Aku akan membantumu."
*** Kami mengupas setumpuk kentang, memotong sayuran, meletakkan kalkun agar mencair, dan membuat pingggiran pie. Satu jam pertama lebih dari tidak nyaman, namun ketika si kembar datang, semua berkumpul di dapur. Jim menceritakan tentang semua anaknya, dan kami tertawa pada cerita bencana Thanksgiving sebelumnya ketika mereka berusaha untuk melakukan sesuatu selain memesan pizza.
"Diane sangat pandai memasak," Jim merenung. "Trav tidak mengingatnya, tapi tidak ada artinya mencoba setelah dia meninggal."
"Tidak ada tekanan, Abby," Trenton cekikikan, mengambil bir dari kulkas. "Mari kita keluarkan kartu. Aku ingin mencoba memenangkan kembali uang yang telah Abby ambil."
Jim mengibaskan jarinya ke arah Trenton. "Tidak ada poker minggu ini, Trent. Aku membeli kartu domino, siapkan saja itu. Tidak ada taruhan, dan aku serius."
Trenton menggelengkan kepala. "Baiklah, ayah, baiklah." Kakaknya Travis berkelok-kelok keluar dari dapur, dan Trent mengikuti, melihat ke belakang. "Ayo, Trav."
"Aku sedang membantu Pidge."
"Sudah tidak banyak yang harus dikerjakan, sayang," kataku. "Pergilah."
Matanya menjadi lebih lembut karena kata-kataku, dan dia menyentuh pinggangku. "Kau yakin""
Aku mengangguk dan dia membungkuk untuk mencium pipiku, meremas pinggangku dengan jarinya sebelum mengikuti Trenton ke ruang permainan.
Jim memperhatikan anak-anaknya berjalan keluar pintu, menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Yang kau lakukan sangat luar biasa, Abby. Aku pikir kau tidak menyadari betapa kami semua menghargainya."
"Ini idenya Travis. Aku senang aku bisa membantu."
Tubuhnya bersandar di meja dapur, menenggak birnya sambil merenungkan kata berikutnya. "Kau dan Travis tidak banyak bicara. Kalian punya masalah""
Aku menuangkan sabun cuci piring ke dalam wastafel dan mengisinya dengan air hangat, berusaha untuk memikirkan sesuatu untuk dikatakan yang bukan kebohongan. "Segalanya sedikit berbeda, aku rasa."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu yang aku pikirkan. Kau harus sabar menghadapi Travis. Dia tidak ingat banyak tentang itu, tapi dia sangat dekat dengan ibunya, dan setelah kami kehilangan dirinya, Travis berubah. Aku pikir dia akan tumbuh dengan kenangan itu, kau tahu, karena dia masih sangat kecil. Sangat sulit bagi kami semua, tapi Trav &dia berhenti berusaha mencintai seseorang setelah itu. Aku terkejut dia membawamu kemari. Cara dia besikap di dekatmu, cara dia melihatmu; aku tahu kau sangat spesial."
Aku tersenyum, tapi tetap melihat ke piring kotor yang sedang aku gosok.
"Travis akan mengalami hari yang sulit. Dia akan membuat banyak kesalahan. Dia tumbuh bersama sekumpulan pria tanpa ibu dan kesepian, lelaki tua yang cepat marah sebagai ayahnya. Kami semua sedikit tersesat setelah Diane meninggal, dan aku pikir aku tidak membantu mereka mengatasinya seperti seharusnya."
Carry Me Down 3 Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing Pernikahan Dengan Mayat 1

Cari Blog Ini