Ceritasilat Novel Online

Keliling Dunia Dibawah Laut 3

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne Bagian 3


Sebenarnya dengan mudah aku dapat menembak seseorang, yang mungkin kepala suku mereka. Dia berdiri paling dekat ke 'Nautilus'; nampak jelas jubah kebesarannya yang terbuat dari daun-daun pisang. Tapi aku merasa, lebih baik menunggu dulu sampai mereka sungguh-sungguh menunjukkan sikap bermusuhan.
Ketika air laut semakin surut, kaum penduduk asli bergerak semakin mendekat. Kudengar mereka berulang-ulang menyerukan kata "Assai", sambil menggerakkan tangan memberi isyarat. Menurut dugaanku, mereka mengundang untuk turun ke darat. Tentu saja undangan itu tak kuterima !
Hari itu, perahu kami tak jadi turun ke pantai. Ned Land agak jengkel, karena tak bisa menambah perbekalan bahan makanan. Karena itu ia menyibukkan diri dengan pengolahan daging dan buah-buahan yang dibawanya dari darat. Sedang penduduk asli kembali ke pantai pukul sebelas pagi, ketika air laut naik lagi dan mulai menyapu beting karang tempat mereka berdiri. Tapi di pantai kulihat semakin banyak saja jumlah mereka. Mungkin ditambah dengan yang datang dari pulau-pulau berdekatan, bahkan barangkali juga dari Pulau Papua. Tapi tak satu sampan yang kulihat.
Karena tak ada pekerjaan lain, aku berniat mengeruk dasar laut dangkal sekeliling kapal.
139 Kulihat banyak sekali kerang dan hewan-hewan golongan rendah di situ, bercampur dengan tumbuh-tumbuhan laut. Lagipula jika janji Kapten Nemo tepat, dan besok kapal 'Nautilus' akan terapung lagi, maka hari ini merupakan kesempatan terakhir bagiku untuk melakukannya.
Conseil kupanggil, dan dia datang membawa sebuah alat penggaruk kecil, seperti yang biasa dipakai untuk mencari kerang mutiara. Aku pun mulai bekerja. Dua jam lamanya kami tak henti-hentinya menggaruk dasar laut. Tapi di antara sekian banyak kerang, lokan dan tumbuh-tumbuhan laut yang kami angkat, tak ada yang istimewa. Namun ikut terkeruk pula selusin kura-kura kecil. Bertambah lagi perbekalan makanan kami
Namun suatu ketika aku sudah tak berpengharapan lagi untuk menemukan sesuatu keistimewaan, tanganku menyentuh sesuatu. Conseil sedang sibuk mengeruk, ketika dia meliha
t aku cepat-cepat memasukkan tangan ke dalam jala, dan mendengar aku terpekik nyaring.
"Ada apa Tuan"" tanyanya kaget, "ada yang menggigit""
"Tidak! Tapi aku mau tergigit, sebagai bayaran bagi penemuanku ini."
"Apa yang Tuan temukan""
"Lokan ini," kataku sambil mengacungkan benda yang kuambil dari dalam jala.
"Tapi itu kan jenis yang biasa saja."
"Betul. Tapi coba lihat ulirnya. Bukan berputar dari kiri ke kanan !"
"Mungkinkah itu""
"Ini buktinya. Lokan ini kidal!"
Kami berdua sedang asyik memperhatikan penemuanku. Sudah kubayangkan untuk menambah kekayaan museum dengannya. Tiba-tiba sebuah batu yang dilontarkan salah seorang penduduk,
140 mengenai lokan itu dan memecahkannya. Aku berteriak karena kecewa. Conseil mengangkat senapan, lalu membidikkannya ke arah orang yang sedang bersiap-siap untuk mengayunkan tali umban. Aku masih sempat bergerak untuk menghalangi, tapi Conseil sudah menembak orang yang berdiri tak sampai sepuluh meter dari kami. Peluru memutuskan gelang jimat yang melingkar di lengan orang itu.
"Conseil!" seruku. "Apa yang kaulakukan itu!"
"Tidak Tuan lihat sendiri" Orang liar itu yang menyerang lebih dulu!"
"Tapi lokan tak sebanding dengan jiwa manusia," kecamku.
"Bajingan!" seru Conseil. "Kenapa bukan bahu saya saja yang terkena lemparannya tadi."
Conseil berkata begitu dengan sungguh-sungguh, tapi aku tak sependapat dengannya. Ternyata keadaan sudah banyak mengalami perubahan tanpa kami ketahui, karena terlalu asyik tadi. Beberapa buah sampan jalur mengelilingi kapal 'Nautilus', dikayuh oleh pendayung-pendayung cekatan. Aku memandang mereka mendekat, dengan perasaan cemas. Kelihatannya orang-orang ini sudah pernah menghadapi manusia Eropa, dan juga sudah mengenal kapal-kapal mereka. Tapi bukankah kapal kami sangat berlainan wujudnya" Bagaimana pendapat mereka tentang tabung besi bulat panjang, yang tak mempunyai tiang layar maupun cerobong asap" Mestinya mereka agak curiga, karena mereka tak mau bergerak lebih mendekat. Tapi karena 'Nautilus' tetap diam tak bergerak, lama-kelamaan mereka menjadi semakin berani. Dan justru hal itulah yang perlu dihindarkan. Namun senapan kami, kalau ditembakkan, tak menimbulkan bunyi sama sekali. Pasti orang-orang liar tak begitu terkesan, karena mereka hanya segan pada benda141 benda yang menimbulkan bunyi ribut. Kilat tanpa bunyi petir yang memekak telinga, takkan begitu menakutkan orang; padahal bahayanya terletak, pada sambaran kilat, dan bukan pada bunyinya.
Saat itu sebuah sampan mendekati 'Nautilus'. Panah berhamburan di atas geladak.
Aku turun ke kamar duduk. Tapi tak ada orang di dalamnya. Karena itu kuberanikan diri, mengetuk pintu kamar Kapten.
"Masuk!" kudengar suara dari dalam.
Aku masuk, dan kulihat Kapten Nemo sedang sibuk berhitung aljabar.
"Maaf, barangkali saya mengganggu," ujarku berbasa-basi.
"Betul, Tuan mengganggu," jawab nakhoda, "tapi tentunya ada persoalan gawat, sehingga Tuan datang ke mari!"
"Gawat sekali! Penduduk asli mengepung kita dengan sampan. Beberapa menit lagi, kita pasti diserang beratus-ratus orang liar."
"Ah!" kata Kapten Nemo dengan tenang, "jadi mereka datang dengan sampan""
"Ya, Kapten." "Kalau begitu kita harus menutup lubang." "Justru itulah yang hendak saya katakan pada Anda."
"Itu gampang sekali," ujar Kapten Nemo. Ia menekan sebuah tombol listrik, menyampaikan perintah pada awak kapal.
"Sudah siap," katanya setelah beberapa saat. "Kapal sudah siap, dan lubang-lubang sudah tertutup. Anda kan tidak khawatir, kalau-kalau mereka bisa menembus kulit 'Nautilus' dengan anak panah mereka, di mana peluru meriam kapal perang tak berhasil melukai""
"Tidak, Kapten. Tapi masih ada bahaya lain."
"Apa itu""
142 "Besok, pada saat sama, kita harus membuka lubang-lubang, untuk mengisi udara segar. Jika pada waktu itu orang-orang liar ada di atas geladak, saya tak tahu bagaimana cara Anda melarang mereka masuk ""
"Kalau begitu, Anda menduga mereka akan masuk ke dalam"" "Saya yakin."
"Kalau begitu, biarkan saja mereka. Aku tak melihat alasan untuk menghalang-halangi."
Mendengar jawaban begitu, aku hendak pergi. Tapi ditahan oleh Kapten Nemo
, dan aku diajak duduk di sebelahnya. Ia mengajukan pertanyaan dengan penuh minat, mengenai perlawatan kami ke darat, serta mengenai perburuan kami. Kelihatannya ia tak memahami kerinduan Ned Land, yang ingin memakan daging. Kemudian kami mengobrol mengenai berbagai persoalan. Kapten Nemo menunjukkan sikap ramah.
Antara lain, kami juga membicarakan kenyataan bahwa 'Nautilus' kandas pada tempat yang sama, di mana kapal yang dinakhodai oleh Dumont d'Urville hampir tenggelam...
"D'Urville tergolong pelaut yang paling besar dari negara Anda," ujar Kapten Nemo. "Ia sebanding dengan Kapten Cook."
Ia mengambil peta, dan kami mengikuti jalan pelayaran yang dilakukan oleh pelaut Perancis itu sewaktu mengelilingi dunia.
"Hal yang dilakukan olehnya di permukaan laut," ujarnya menyambung pembicaraan, "juga kuikuti di bawah air. Tapi pelayaranku lebih mudah, serta lebih lengkap. Kapal-kapalnya yang terus terombang-ambing oleh ombak, tak dapat diperbandingkan dengan 'Nautilus'. Kapalku berlayar dengan sentosa di bawah gelombang laut."
143 "Besok, pukul tiga kurang dua puluh menit, 'Nautilus' akan mengambang kembali," ujarnya. "Kita akan meninggalkan Selat Torres, tanpa mengalami cedera."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Kapten Nemo membungkukkan badannya sedikit. Dengannya ia menyuruh pergi. Aku kembali ke kamar.
Di situ sudah menunggu Conseil. Ia ingin tahu, apa hasil pembicaraanku dengan kapten.
"Ketika aku pura-pura khawatir terhadap ancaman penduduk asli," kataku, "Kapten Nemo menjawab dengan ejekan. Tapi satu hal patut kau-camkan: percayalah padanya, dan tidur dengan nyenyak."
"Tuan tak memerlukan saya lagi""
"Tidak, Conseil. Apa yang sedang diperbuat oleh Ned Land""
"Ned sedang mencoba membuat hidangan khusus. Katanya pasti enak."
Aku ditinggalnya seorang diri. Tidurku malam itu tidak pulas, karena terdengar keributan yang ditimbulkan oleh orang-orang liar di atas geladak. Mereka menendang-nendang kulit kapal sambil berteriak-teriak riuh. Malam berlalu secara demikian. Tapi tak seorang awak kapal pun yang kelihatan gelisah. Kehadiran penduduk liar tak mengganggu ketenangan mereka. Awak kapal bersikap seperti perajurit pasukan meriam menghadapi barisan semut di depan mereka.
Aku bangun pukul enam pagi. Lubang-lubang belum dibuka. Udara dalam kapal belum diganti. Kami sudah mempergunakan tangki cadangan.
Aku bekerja dalam kamar sampai tengah hari. Kapten Nemo tak kelihatan sama sekali. Di kapal tak kelihatan persiapan untuk berangkat.
Aku menunggu beberapa saat, sudah itu masuk ke ruang duduk. Jam menunjukkan pukul setengah ti144 ga. Sepuluh menit lagi, air pasang akan setinggi-tingginya. Jika Kapten Nemo tak sembrono berjanji, maka sebentar lagi kapal 'Nautilus' akan terlepas dari dasar karang tempatnya kandas. Namun jika tidak, masih berbulan-bulan lagi kami terdampar di situ.
Tapi tubuh kapal mulai bergetar. Kudengar bunyi lunas menggeresek kena dasar karang.
Pukul tiga kurang dua puluh lima menit, Kapten Nemo muncul.
"Kita akan berangkat," katanya.
"Ah!" jawabku singkat.
"Aku telah memberikan perintah, agar lubang-lubang dibuka."
"Bagaimana halnya dengan orang-orang liar""
"Orang liar"" Kapten Nemo membalas bertanya, sambil mengangkat bahunya sedikit.
"Tidakkah mereka akan masuk ke dalam kapal""
"Bagaimana caranya""
"Tentu saja lewat lubang-lubang yang Anda perintahkan untuk dibuka."
"Profesor Aronnax," ujar Kapten Nemo dengan suara tenang, "mereka takkan memasuki 'Nautilus', biarpun lubang-lubang terbuka."
Aku memandang Kapten Nemo.
"Anda tak mengerti"" tanyanya.
"Tidak." "Kalau begitu ikutlah, dan lihat sendiri."
Kami berjalan menuju tangga tengah. Di situ sudah berdiri Ned Land dan Conseil. Dengan diam-diam, mereka memperhatikan awak kapal yang sedang sibuk membuka penutup lubang ke luar. Dari atas geladak terdengar teriakan-teriakan marah.
Dua puluh wajah mengerikan muncul di depan lubang; tapi begitu orang pertama menyentuh tangga besi, ia terpelanting ke belakang, seperti terpukul
145 tangan tak nampak. Dia lari sambil berteriak-teriak dan menggeliat-geliat kesakitan.
Sepuluh temannya ikut mencoba. Mereka semua menga
lami nasib sama. Conseil menandak-nandak kegirangan. Ned Land tak dapat menahan perasaannya yang berapi-api. Ia memburu mendekati tangga. Tapi begitu kedua belah tangannya menyentuh pegangan, ia pun terjungkir.
"Aku disambar kilat," teriaknya sambil mengumpat.
Itulah rupanya senjata rahasia Kapten Nemo. Yang kami kirakan pegangan tangga, rupanya kabel logam yang mengandung aliran listrik. Barang siapa menyentuhnya saat itu, merasakan kejutan yang luar biasa. Kejutan yang disebabkan oleh aliran listrik pasti mematikan, apabila seluruh kekuatan arus dialirkan ke situ.
Sementara itu para penyerang mengundurkan diri, hampir mati ketakutan. Sedang kami hampir mati tertawa, sambil menggosok-gosok Ned Land yang masih terus mengumpat-umpat.
Pada saat itu kapal kami terlepas dari beting karang, tepat pukul dua lewat empat puluh menit. Ternyata janji Kapten Nemo tepat sekali! Baling-baling 'Nautilus' mengaduk air dengan lambat dan tenang. Pelahan-lahan jalannya semakin melaju. Kami sudah bergerak lagi di permukaan laut, berhasil membebaskan diri dari Selat Torres yang berbahaya.
XXII "AEGRI SOMNIA" KEESOKAN harinya, tanggal 10 Januari, 'Nautilus' melanjutkan pelayaran menyusuri perairan yang terletak antara dua samudera. Kami melaju
146 dengan cepat. Kuduga kami bergerak dengan kecepatan tak kurang dari tiga puluh lima mil sejam.
Haluan mengarah ke barat. Tanggal 11 Januari kami melewati Tanjung Wessel yang terletak pada garis bujur 135" dan lintang 10". Kami masih banyak melihat gosong-gosong karang, tapi semuanya telah tertera tepat letaknya dalam peta. Dengan mudah kapal 'Nautilus' menyusuri beting-beting itu di kanan kirinya. Kami terus bergerak pada lintang selatan 10".
Tanggal 13 Januari kami sampai di Laut Timor, dan nampak pulau yang senama di kejauhan.
Dari situ, haluan 'Nautilus' diarahkan ke barat daya, menuju Samudera Hindia. Ke manakah kami dibawa oleh Kapten Nemo" Apakah akan kembali ke pesisir Benua Asia" Atau mungkinkah akan menuju ke Eropa kembali" Kedua-duanya mustahil dilakukan oleh seseorang, yang melarikan diri dari benua yang dihuni manusia! Kalau begitu, barangkali dia hendak mengarah ke selatan. Mungkinkah dia akan mengitari Tanjung Harapan, kemudian menuju Tanjung Tanduk dan akhirnya mengarahkan haluan ke Kutub Selatan" Dan sudah itu kembali lagi ke Pasifik, di mana kapalnya dapat berkeliaran tanpa diganggu" Hanya masa depan yang bisa membuktikan dugaan-dugaan itu.
Sesudah melewati pulau-pulau terakhir, haluan 'Nautilus' pada tanggal 14 Januari menghadapi samudera luas. Tak lain yang nampak kecuali air. Ke mana mata memandang, hanya air saja yang nampak. 'Nautilus' mengurangi kecepatannya, dan berlayar kadang-kadang di atas permukaan, dan kemudian berganti menyelam.
Selama pelayaran, Kapten Nemo melakukan berbagai macam percobaan yang menarik. Mesin-mesin dicoba kekuatannya, dan kami menyelam sampai sedalam hampir sepuluh ribu meter.
147 Tanggal 16 Januari, 'Nautilus' mengambang dengan tenang, hanya beberapa meter di bawah permukaan. Peralatan listrik tak bekerja. Baling-baling tak berputar, dan kapal bergerak mengikuti arus. Kusangka awak kapal sedang sibuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam kapal, sebagai akibat gerakan mesin yang sangat kuat.
Pada saat itulah aku beserta kedua pengiringku menjadi saksi suatu peristiwa aneh. Pelat-pelat sisi dinding dalam ruang duduk terbuka. Karena lampu sorot kapal tak bekerja, kami duduk dalam ruangan remang-remang. Aku memandang ke luar. Saat itu ikan-ikan yang paling besar pun, nampaknya cuma sebagai bayangan samar belaka. Namun tiba-tiba sekeliling kapal berubah menjadi terang benderang. Mula-mula kukira lampu sorot dihidupkan, dan memancarkan sinar ke air. Tapi sesudah kuamati lebih teliti, ternyata aku keliru sangka.
'Nautilus' mengambang di tengah awan bersinar pendar. Cahayanya kemilau, karena sekelilingnya hanya remang-remang. Sinar itu ditimbulkan oleh binatang-binatang kecil banyak sekali, yang semakin nampak cemerlang ketika melewati kulit logam kapal kami. Berjam-jam lamanya 'Nautilus' dikepung cahaya berombak itu, pada saat mana kami melihat berbagai h
ewan besar sibuk berburu mangsa. Nampak ikan lumba-lumba yang kocak, beberapa ikan todak serta jenis-jenis lainnya. Mungkin ada sesuatu di atas- permukaan, yang menyebabkan terjadinya keajaiban yang kami saksikan. Mungkin di atas ada taufan sedang mengamuk. Tapi kami tak merasakan apa-apa. 'Nautilus' meluncur dalam air tenang.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku pun tak menghitung-hitungnya. Seperti biasa, Ned mencoba untuk menciptakan hidangan-hidangan makanan baru di kapal. Kami hidup seperti siput yang
148 terikat pada rumahnya. Harus kukatakan, mudah untuk hidup seperti siput.
Kehidupan begini terasa mudah dan wajar. Kami sudah tak ingat lagi pada kehidupan di darat. Tapi kemudian terjadi sesuatu, yang mengembalikan kesadaran pada keadaan yang sebetulnya aneh.
Tanggal 18 Januari, 'Nautilus' berada pada posisi garis bujur 105" dan garis lintang selatan 15". Cuaca buruk, lautan berombak besar. Dari arah timur bertiup angin kencang. Menurut barometer, tak lama lagi akan terjadi angin ribut. Aku naik ke geladak, tepat pada saat ajudan melakukan pengukuran posisi. Kutunggu sampai dia mengucapkan kalimat kelazimannya. Tapi hari itu diucapkan kata-kata lain, yang sama tak kumengerti. Hampir seketika itu juga Kapten Nemo muncul membawa teropong. Ia mengamat-amati kaki langit.
Beberapa menit lamanya ia tak bergerak-gerak. Matanya terus ditatapkan pada suatu titik pandangan. Kemudian ia menurunkan teropong, lalu bercakap-cakap sebentar dengan ajudan. Orang itu kelihatan hampir-hampir tak menguasai perasaan yang menggelora dalam dirinya. Tapi Kapten Nemo tetap tenang. Kelihatannya ia mengutarakan pendapat tertentu, yang dibenarkan dengan sopan oleh ajudannya. Setidak-tidaknya hal itu kuduga dari gerak-gerik mereka. Aku sendiri mengamat-amati arah yang mereka perhatikan. Tapi aku tak melihat apa-apa. Di batas antara langit dan samudera, semua kelihatan membaur samar.
Kapten Nemo berjalan mondar-mandir di geladak, dari ujung ke ujung. Ia tak memandang diriku sama sekali. Mungkin aku bahkan tak nampak olehnya. Langkah-langkahnya tegap, tapi tak berirama setetap biasanya; kadang-kadang berhenti,
149 menyilangkan lengan sambil menatap laut. Apakah yang dipandangnya di kejauhan itu"
Saat itu posisi 'Nautilus' beberapa ratus mil dari pantai terdekat.
Ajudan mengangkat teropongnya, lalu memperhatikan garis horison dengan saksama. Ia meneropong sambil berjalan mondar-mandir. Kakinya dihentak-hentakkan ke lantai geladak, menunjukkan gerak perasaan gelisah. Semuanya penuh rahasia bagiku! Tapi sebentar lagi pasti akan kuketahui jawabannya, karena atas perintah Kapten Nemo, mesin kapal bergerak lebih lancar, dan kapal mulai melaju.
Tiba-tiba ajudan mengatakan sesuatu. Kapten Nemo berhenti mondar-mandir. Diarahkannya teropong ke tempat yang ditunjuk. Lama sekali dia menatap ke arah itu. Rasa ingin tahuku tak tertahan lagi. Aku turun ke ruang duduk, untuk mengambil teropong yang biasanya kupergunakan. Kemudian aku naik lagi. Sambil menyandarkan diri ke kotak lampu sorot, aku bersiap-siap untuk memeriksa kaki langit.
Tapi baru saja teropong kuangkat ke mata, tiba-tiba ada yang menyentakkan dari tangan.
Aku berpaling cepat. Kapten Nemo berdiri di depanku. Aku tak mengenali dia kembali. Wajahnya seolah-olah berubah. Matanya bersinar marah. Gigi-giginya terkatup rapat. Sikap badannya yang kaku, tangan terkepal dan kepala yang terbenam di antara kedua bahu menunjukkan perasaan yang berkobar. Ia berdiri tegak seperti patung. Teropong yang ditepiskan dari tanganku, berguling-guling dekat kakinya.
Mungkinkah tanpa kusadari, aku telah menyebabkan kemarahannya" Mungkinkah orang penuh rahasia yang berdiri di depanku mengira bahwa aku menemukan rahasia tersembunyi" Tidak! Bukan
150 aku yang menjadi bulan-bulanan kemarahannya, karena dia sama sekali tak menatap padaku. Matanya terpaku ke suatu titik, jauh di kaki langit. Akhirnya Kapten Nemo berhasil menguasai perasaan kembali. Kemarahannya surut. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa asing pada ajudannya, lalu berpaling memandang aku.
"Tuan Aronnax," ujarnya dengan suara memerintah, "aku minta Anda mematuhi
satu syarat yang mengikat Anda."
"Syarat apakah itu, Kapten""
"Anda kularang bergerak bebas. Begitu juga dengan kedua teman Anda. Kalian tak boleh keluar, sampai kuizinkan lagi."
"Anda yang berkuasa di sini," jawabku sambil menatap mukanya. "Tapi bolehkah saya mengajukan satu pertanyaan""
"Tidak!" Jawabannya tandas sekali. Tak ada gunanya membantah lagi. Aku turun dan masuk ke kamar yang ditempati oleh Ned Land dan Conseil. Kukatakan pada mereka tentang perintah Kapten. Ned Land bangkit marahnya.
Tapi kami tak punya waktu lagi untuk berbantahan. Empat awak kapal sudah menunggu di pintu. Kami diantar masuk ke bilik, di mana kami ditahan pada malam pertama di 'Nautilus'.
Ned Land masih hendak memprotes, tapi pintu dibanting di depan hidungnya.
"Maukah Tuan mengatakan, kenapa hal ini terjadi"" tanya Conseil.
Kuceritakan pada kedua orang itu, apa yang terjadi di atas geladak; mereka juga merasa heran, serta tak bisa menerangkan sebab-sebabnya.
Sementara itu aku termenung. Pikiranku dipenuhi bayangan wajah Kapten, yang kelihatan seperti ngeri. Aku benar-benar tak mengerti kenapa dia
151 begitu. Tapi renunganku diganggu kata-kata Ned Land.
"Profesor! Sarapan sudah disiapkan untuk kita."
Ternyata memang telah disiapkan sarapan untuk kami. Rupanya Kapten Nemo memerintahkannya, pada waktu bersamaan dengan petunjuk untuk mempercepat jalan kapal.
"Bolehkah saya mengusulkan sesuatu pada Tuan"" tanya Conseil.
"Katakanlah." "Saya usulkan, agar Tuan sarapan sekarang. Siapa tahu apa yang terjadi sesudah ini."
"Benar juga katamu itu, Conseil."
"Sayangnya, kita hanya diberi sarapan yang biasa di kapal," ujar Ned Land kecewa.
"Bung Ned, apa yang akan Anda katakan, kalau sarapan sama sekali tak disediakan oleh mereka"" Conseil yang selalu tenang menasihati juru tombak pengomel itu. Dan mendengar pertimbangan demikian, Ned tak berkata apa-apa lagi. Kami pun sarapan sambil membisu.
Begitu kami selesai sarapan, lampu dalam bilik padam. Kami berada dalam kegelapan pekat. Dengan segera Ned tidur nyenyak. Yang mengherankan bagiku, Conseil juga ikut pulas. Aku masih berpikir-pikir, hendak menebak penyebab rasa mengantuk mereka, ketika kurasakan kepalaku menjadi berat. Meski kupaksakan mata agar tetap nyalang, tapi kelopak rasanya berat sekali. Timbul kecurigaanku. Rupanya makanan yang dihidangkan, dicampuri obat bius. Penahanan rupanya dirasakan belum mencukupi, untuk melindungi rahasia Kapten Nemo dari pengetahuan kami. Kami harus tidur.
Kudengar pelat-pelat ditutup. Goyangan kapal dibuai ombak terhenti. Apakah 'Nautilus' menyelam" Kucoba menahan rasa kantuk, tapi tak sang152 gup. Nafasku mulai berat. Kurasakan semua persendian menjadi lemas. Mataku terkatup, seolah-olah terselimut kabut. Aku tertidur, diganggu bermacam-macam mimpi. Kemudian semua bayangan lenyap, dan aku tak sadarkan diri.
XXIII KERAJAAN KARANG KEESOKAN harinya aku bangun dengan enak. Aku heran, karena sudah berada dalam kamar kembali. Mestinya Ned dan Conseil juga sudah dipindahkan ke bilik mereka; tanpa mengetahui apa-apa, seperti aku. Mereka sama-sama tak mengetahui hal yang terjadi selama kami tidur. Aku hanya bisa mengharapkan kesempatan baik berikutnya, untuk menyibakkan rahasia itu.
Kemudian aku kepingin keluar kamar. Sudah bebas kembalikah aku, atau masih tetap terkurung. Kucoba membuka tombol pintu. Ternyata aku bebas. Dengan segera aku menuju ke lorong, dan menaiki tangga tengah. Penutup lubang yang kemarin malam ditutup, kini sudah terbuka lagi. Aku naik ke geladak atas.
Di sana, Ned Land dan Conseil sudah menunggu. Mereka tak tahu apa-apa, ketika kutanyai. Mereka tidur pulas, dan juga heran ketika melihat sudah berada dalam bilik mereka kembali.
'Nautilus' tetap sunyi dan penuh rahasia seperti sediakala. Kami bergerak di permukaan, dengan kecepatan sedang. Di kapal tak kelihatan terjadi perubahan sama sekali.
Ajudan naik ke geladak, dan mengucapkan kalimat petunjuk yang biasa ke bawah.
153 Tapi Kapten Nemo tak muncul. Dari awak kapal yang lain, aku hanya berjumpa dengan pelayan, yang melayani tanpa berkata-kata.
Sekitar pukul dua siang, ketika aku sedang sibuk d
engan catatanku di ruang duduk, tiba-tiba pintu terbuka. Kapten Nemo masuk, kusambut dengan membungkukkan badan. Ia membalas dengan anggukan kepala, tapi tanpa membuka mulut. Aku kembali pada catatanku. Kuharapkan, dia akan memberikan keterangan mengenai peristiwa yang terjadi kemarin malam. Tapi ternyata tidak. Aku melihat ke arahnya. Kelihatan dia letih sekali. Matanya kuyu, seperti kurang tidur. Wajahnya sayu. Ia berjalan mondar-mandir; duduk sebentar, sudah itu berdiri lagi. Tangannya meraih ke rak, mengambil sebuah buku sembarang saja yang kemudian diletakkan tanpa dibuka. Diperhatikannya alat-alat pengukur, tanpa membuat catatan seperti biasanya. Kapten Nemo rupanya gelisah. Akhirnya ia datang mendekati, lalu berkata,
"Tuan ini seorang dokter atau bukan, Profesor Aronnax""
Pertanyaan itu sama sekali tak kuduga-duga, sehingga lama aku menatapnya tanpa menjawab.
"Dokterkah Tuan"" ulangnya. "Beberapa di antara rekan Anda menuntut ilmu kedokteran."
"Saya dokter, dan bertugas selaku ahli bedah di rumah sakit," jawabku. "Saya pernah berpraktek beberapa tahun, sebelum bekerja di museum."
"Baiklah, kalau begitu."
Rupanya jawabanku memuaskan Kapten Nemo. Kutunggu pertanyaan berikutnya, sambil memandang dengan penuh perhatian.
"Tuan Aronnax. Bersediakah Tuan untuk memeriksa salah seorang dari anak buahku""
"Sakitkah dia""
"Ya." "Saya sudah siap."
154 "Kalau begitu ikutlah sekarang."
Jantungku berdebar, entah kenapa. Aku merasakan ada hubungan antara jatuh sakitnya seorang awak kapal, dengan peristiwa yang terjadi kemarin. Dan rahasia itu masih tetap merangsang ingin tahuku.
Kapten Nemo mengantar ke bagian buritan 'Nautilus', lalu menyilakan masuk ke sebuah bilik. Letaknya berdekatan dengan ruangan kelasi.
Di dalamnya berbaring seorang pria. Umurnya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya menunjukkan ketetapan hati. Kelihatannya dia berdarah Inggris.
Kubungkukkan badan memandangnya. Orang itu bukan saja sakit, ia juga mengalami cedera. Kepalanya terbungkus kain pembalut yang basah karena darah. Pembalut kubuka, sementara orang itu menatapku dengan mata nyalang. Ia sama sekali tak menunjukkan rasa sakit. Kuperiksa lukanya, seram sekali kelihatannya. Tulang tengkoraknya remuk terpukul suatu benda keras. Otaknya kelihatan memar dan berlumuran darah.
Nafas orang itu pelan sekali. Sekali-sekali mukanya menggerenyut. Kuraba denyut nadinya. Saat itu terasa bahwa tubuhnya sudah mulai dingin. Dengan segera kuketahui, tak lama lagi dia pasti meninggal. Tak ada lagi yang dapat kulakukan untuknya. Karena itu kubalut kembali luka orang malang itu, lalu berpaling pada Kapten Nemo.
"Apakah penyebab luka ini"" tanyaku.
"Pentingkah hal itu Anda ketahui"" balasnya mengelak. "Suatu kejutan mematahkan salah satu tuas mesin. Aku juga kena. Tapi bagaimana pendapat Anda mengenai keadaannya""
Aku ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Katakan saja," ujar Kapten. "Dia tak memahami bahasa Perancis."
155 Kupandang orang luka itu sekali lagi. "Dua jam lagi dia akan mati." "Tak ada lagi yang dapat menyelamatkan nyawanya"" "Begitulah keadaannya."
Kelihatan tangan Kapten terkejat. Matanya membasah, padahal kukira dia tak bisa mencucurkan air mata.
Sesaat lamanya kuperhatikan orang yang sudah hampir mati di depanku. Wajahnya yang pucat, semakin pasi saja kelihatannya sebagai akibat sinar lampu listrik yang menerangi. Kupandang kening tinggi, tergores kerutan yang terlalu pagi datangnya. Pasti orang ini banyak mengalami kemalangan dan kesedihan. Aku mengharapkan akan dapat mengetahui rahasia hidupnya, dari kata-kata terakhir yang keluar dari mulut yang sudah tak berdarah lagi.
"Anda bisa pergi sekarang, Tuan Aronnax," kata Kapten.
Dia kutinggalkan, lalu kembali ke kamar. Perasaanku haru biru karena peristiwa sedih itu. Sepanjang hari aku dihantui berbagai syak wasangka, dan malamnya tidurku lasak. Di sela-sela mimpi, aku merasa mendengar suara nyanyian pelan, seperti irama lagu kematian. Apakah itu doa untuk orang mati, digumamkan dalam bahasa yang tak kupahami "
Keesokan harinya aku naik ke anjung. Kapten Nemo sudah ada di sana. Begitu melihat aku datang, dengan seger
a dia menghampiri. "Profesor, maukah Tuan berpesiar ke dasar laut hari ini""
"Dengan pengiring saya"" tanyaku.
"Kalau mereka mau."
"Kami mengikuti perintah, Kapten."
Aku mendatangi Ned dan Conseil, lalu menceritakan ajakan Kapten. Conseil bergegas untuk mene156 rimanya. Dan kali ini juru tombak kelihatannya sama sekali tidak enggan.
Setengah jam kemudian, jadi pukul setengah sembilan pagi, kami sudah siap untuk berangkat. Pintu berlapis dua dibuka dan kami keluar. Kapten Nemo disertai oleh sekitar tiga puluh anak buahnya. Kapal 'Nautilus' mengendap di dasar laut yang dalamnya sekitar sepuluh meter.
Kami berjalan di dasar yang tidak rata, sampai ke suatu lekuk dangkal. Dalamnya kira-kira dua puluh lima sampai tiga puluh meter dari permukaan laut. Tempat itu kelihatannya berbeda sekali dengan dasar laut yang kukunjungi untuk pertama kali di Samudera Pasifik. Kami berjalan di dasar tak berpasir. Aku tak melihat padang rumput laut. Tak nampak hutan rimba. Dengan segera aku tahu, di mana kami berada. Dunia karang mengelilingi kami.
Di bawah sorotan lampu, nampak berbagai jenis binatang kecil yang menghasilkan kapur. Semua serba indah. Tapi begitu tanganku menyentuh untuk memetik hewan yang kelihatan seperti bunga itu, dengan segera seluruh kelompok menunjukkan reaksi terkejut. Kuncup putih menghilang dalam tempatnya yang merah. Bunga-bunga hidup yang semula mekar dengan segar, tiba-tiba memucat. Pemandangan yang semula memberikan kesan semak tumbuh-tumbuhan, dengan seketika menjelma menjadi tonjolan-tonjolan karang mati.
Semak karang semakin berkurang, digantikan wujud pepohonan. Di depan kami nampak hutan membatu, seolah-olah bangunan ajaib. Kapten Nemo berjalan melalui sebuah serambi gelap yang menyusuri sebuah lembah. Kami mencapai kedalaman sekitar seratus meter. Cahaya lampu menerangi pemandangan yang menakjubkan, sehingga tak puas-puasnya kami memandang.
157 Akhirnya, sesudah berjalan selama dua jam, kami sampai di kedalaman sekitar dua ratus lima puluh meter; itulah batas terjauh, di mana mulai terbentuk karang. Tapi aku tak melihat semak di kaki pohon-pohon karang yang menjulang tinggi. Kami berjalan di bawah hutan batu, yang dipertautkan oleh ganggang laut, melewati permadani hidup yang terdiri dari berbagai jenis binatang laut. Benar-benar menakjubkan!
Kapten Nemo berhenti. Kami juga tak berjalan lebih jauh, lalu berpaling. Kulihat awak kapal berdiri mengelilingi komandan mereka. Aku memandang lebih teliti. Baru saat itu kulihat, bahwa empat dari mereka menggotong benda berbentuk memanjang.
Saat itu kami berada di tengah suatu lapangan luas, yang dikelilingi pohon-pohon karang tinggi. Lampu-lampu menerangi tempat itu, menimbulkan cahaya remang. Tepi lapangan kelihatan gelap gulita.
Lampu kami hanya menimbulkan kilatan kecil di ujung batu karang yang terdapat di situ.
Ned Land dan Conseil berjalan di dekatku. Kukira kami akan menjadi saksi suatu peristiwa aneh, karenanya kami bertiga memperhatikan dengan saksama. Kuperhatikan dasar laut sekitar kami. Di beberapa tempat kelihatan bukit kecil yang tertutup endapan kapur. Bukit-bukit itu teratur, sehingga kuketahui bahwa tangan manusialah yang membuatnya.
Di tengah lapangan terdapat sebuah salib karang merah, yang tegak di atas tumpuan batu cadas. Palangnya melintang, seakan-akan tercipta dari darah membeku.
Kapten Nemo menggerakkan tangan, memberi isyarat. Salah seorang anak buahnya maju, lalu mulai menggali dasar laut dengan beliung yang
158 diambil dari pinggang. Ia membuat lubang, beberapa meter dari salib. Sekarang aku mengerti! Lapangan ini sebenarnya tempat pemakaman. Lubang yang digali adalah lubang kuburan. Dan benda memanjang yang digotong, adalah jenazah orang yang meninggal tadi malam! Kapten beserta anak buahnya datang ke mari, untuk memakamkan teman mereka. Mereka memakamkan di pusara dasar samudera ini !
Lubang digali dengan pelahan. Ikan-ikan yang terganggu, berenang simpang siur. Kulihat beliung menimbulkan percikan-percikan api, pada saat membentur cadas. Akhirnya lubang sudah cukup dalam. Para penggotong maju, lalu menurunkan jenazah terbungkus kain
putih ke dalam lubang berair. Kapten Nemo menyilangkan lengan ke dada, lalu berlutut. Perbuatannya diikuti oleh awak kapal. Mereka semua berlutut, mendoakan arwah teman seperjalanan yang lebih dulu berpulang ke alam baka.
Sesudah selesai upacara pemakaman, lubang ditimbun dengan bekas galian. Terjadi lagi sebuah bukit baru. Kemudian Kapten Nemo bangkit, diikuti lagi oleh awak kapal. Mereka maju mendekati makam, dan berlutut kembali. Semua mengulurkan tangan, memberi salam perpisahan terakhir. Sudah itu kami semua kembali ke 'Nautilus'. Akhirnya nampak lampu-lampu kapal. Pukul satu siang, kami berada di dalamnya lagi.
Begitu berganti pakaian, aku naik ke geladak atas. Aku duduk bersandar ke rumah kemudi, karena masih terharu menyaksikan peristiwa sedih tadi. Kapten Nemo datang menyertai. Aku bangkit, lalu berkata,
"Rupanya orang itu meninggal juga kemarin malam, seperti telah saya katakan."
"Ya, Profesor Aronnax."
159 "Dan sekarang dia terbaring di pemakaman karang, seperti teman-teman yang sudah mendului"'
"Ya, mereka berbaring di sana. Dilupakan semua orang, kecuali kami. Kami yang menggali lubang, dan binatang karang mengabadikan makam." Ia berusaha menahan tangis. Mukanya disembunyikan di balik tangan. Kemudian ia menambahkan, "Pusara kami yang tenang, terletak di sana, seratus meter di bawah ombak."
"Teman-teman Anda yang meninggal dapat beristirahat dengan tenang, Kapten. Mereka takkan diganggu rongrongan ikan hiu."
"Ya, mereka takkan diganggu ikan hiu, dan juga manusia," ujar Kapten Nemo dengan suara suram.
160 BAGIAN KEDUA I SAMUDERA HINDIA AKU mendapat kesan baur mengenai diri Kapten Nemo. Pengurungan kami selama peristiwa penuh rahasia kemarin malam, pemberian obat bius supaya kami terlelap tak sadarkan diri, serta sikap kasar Kapten sewaktu menyentakkan teropong dari mataku, semuanya menunjukkan satu hal: Kapten Nemo tak merasa puas mengasingkan diri saja dari dunia luar. Kapalnya yang hebat bukan hanya cocok dengan naluri kebebasannya, tapi mungkin juga merupakan alat untuk melakukan pembalasan seram.
Saat itu, tak ada yang jelas bagiku. Aku cuma melihat sekilas sinar terang dalam gelap. Aku hanya dapat mencatat perkembangan peristiwa belaka.
Hari itu, tanggal, 24 Januari 1868, tengah hari ajudan naik ke geladak untuk mengukur letak matahari. Aku ikut naik. Sambil menikmati serutu, kuperhatikan kesibukan ajudan dengan peralatannya. Aku mendapat kesan bahwa dia tak memahami bahasa Perancis, karena beberapa kali aku berbicara keras-keras; seharusnya, jika dia mengerti pasti akan nampak reaksi padanya. Tapi ia tetap bersikap membisu.
Sementara ajudan melakukan pengukuran dengan sekstan, salah seorang kelasi - yaitu si kuat
161 yang mengantar sewaktu kami mengadakan perjalanan pertama ke hutan rimba Pulau Crespo - datang ke atas untuk membersihkan lentera sorot. Kuteliti peralatan itu. Kekuatannya bertambah seratus kali lipat, berkat lensa-lensa cembung seperti yang dipakai di menara api. Cahaya listrik dengan perlengkapan seperti itu, terang sekali daya pancarnya. Apalagi karena cahaya listrik memancar dalam ruang hampa udara, yang menjamin ketetapan sinar dan kekuatannya. Lama juga aku mempelajari keahlian Kapten, membuat lampu yang begitu. Kemudian aku turun ke ruang duduk, ketika 'Nautilus' sudah siap. untuk melanjutkan pelayaran. Pelat-pelat ditutup, dan kami mulai lagi berlayar ke arah barat.
Kapal mengarungi Samudera Hindia, di kedalaman antara seratus sampai dua ratus meter di bawah permukaan. Kami berlayar terus selama berhari-hari. Untung aku sangat senang pada lautan. Kalau tidak, pasti waktu selama berlayar itu akan terasa lama dan membosankan. Setiap hari, hanya air saja yang nampak! Tapi setiap hari ada saja kesibukanku: berjalan-jalan di geladak untuk menghirup udara laut yang segar, memandang kehidupan samudera melalui lubang jendela di sisi ruang duduk, membawa buku dalam perpustakaan, atau menyusun catatan. Tak sedetik pun aku merasa jemu.
Dari tanggal 21 sampai 23 Januari, 'Nautilus' menempuh jarak pelayaran sejauh lima ratus empat puluh mil. Bermacam jenis ikan yang kami kenali. Semua datang
menghampiri, karena terpikat cahaya lampu. Beberapa di antaranya mencoba berenang mengikuti, tapi kebanyakan dengan segera sudah tertinggal. Pada hari tanggal 24 Januari, pada posisi lintang selatan 12"5' dan garis bujur 94"33', kami melewati Pulau Keeling. Pulau itu terbentuk
162 dari sejenis batu karang, dan sudah ditumbuhi pohon-pohon kelapa. Dengan cepat kami meninggalkannya, dan haluan dibelokkan ke arah barat laut. Kami menuju anak Benua India.
Sesudah melewati Pulau Keeling, kecepatan kapal dikurangi. Kami tidak lagi bergerak pada kedalaman tetap. Kadang-kadang kami menyelam dalam sekali. Kedalaman dua mil kami capai, tanpa menyentuh dasar. Suhu perairan sedalam itu boleh dikatakan sama, yaitu 4" di atas titik beku.
Tanggal 25 Januari. Ke mana pun mata memandang, tak satu benda nampak di laut. 'Nautilus' berlayar di permukaan. Baling-baling mengaduk ombak, sehingga air memercik ke atas. Barang siapa melihatnya saat itu, pasti akan menyangka kami ikan paus. Hampir sepanjang hari aku berada di atas geladak, memperhatikan laut. Tak ada yang kelihatan di horison. Namun menjelang pukul empat sore, sebuah kapal uap kelihatan melintas di sebelah barat. Sesaat lamanya nampak tiang-tiang kapal itu. Tapi mereka pasti tak bisa melihat kami, karena geladaknya terlalu rendah. Kubayangkan, kapal itu milik perusahaan 'P.O. Company' yang berlayar dari Srilangka menuju Sydney, dengan menyinggahi King George's Point dan Melbourne.
Keesokan harinya, tanggal 26 Januari, kami melintasi khatulistiwa pada garis bujur delapan puluh dua derajat, dan masuk ke belahan bumi sebelah utara. Sepanjang hari kami diiringi sekawan ikan hiu. Kelihatannya menyeramkan sekali! Ada beberapa jenis dalam kawanan itu. Beberapa di antaranya berpunggung coklat dan putih bagian perutnya. Ada pula yang bermoncong bundar, dengan titik-titik hitam. Ikan-ikan ganas itu menubruk-nu-bruk kaca jendela ruang duduk dengan kuat, sehingga kami cemas melihatnya. Untung kaca cukup teal! Pada saat-saat serupa itu, Ned Land sukar
163 menguasai dirinya. Darah pemburunya menggelora. Ia ingin naik ke permukaan, dan menombak ikan-ikan buas itu. Tapi 'Nautilus' terus berlayar, meninggalkan kawanan macan lautan dengan kecepatan tinggi.
Tanggal 27 Januari, sewaktu kami melintasi Teluk Benggala yang luas, berulang kali kami menyaksikan pemandangan yang memilukan. Di laut terapung-apung sejumlah jenazah. Rupanya orang-orang mati dari desa-desa di India, dan kemudian dicampakkan ke Sungai Gangga. Sisa yang tak termakan oleh burung pemakan bangkai itu, pasti akan menjadi santapan besar bagi ikan-ikan hiu yang kami lewati.
Sekitar pukul tujuh petang, kapal 'Nautilus' yang berlayar dengan tubuh setengah terbenam, seolah-olah mengarungi lautan putih. Sepintas lalu terdapat kesan, seakan-akan air laut telah berubah menjadi susu. Mungkinkah itu disebabkan oleh sinar bulan" Tidak, karena bulan muda masih bersembunyi di bawah kaki langit, yang merah kena pancaran sinar matahari yang baru saja terbenam. Langit lembayung seakan-akan hitam, dibandingkan dengan keputihan air.
Conseil sukar mempercayai penglihatannya. Karena itu ia bertanya padaku, apakah penyebab pemandangan aneh itu. Untung saja aku mampu menjawab.
"Inilah yang disebut lautan susu," kataku menerangkan. "Ombak-ombak putih begini, sering nampak di wilayah sini."
"Tapi dapatkah Tuan menerangkan penyebabnya"" tanya Conseil selanjutnya. "Tak mungkin air di sini sudah berubah menjadi susu."
"Tidak, Conseil. Keputihan yang menimbulkan keherananmu itu, disebabkan oleh adanya sejenis cacing kecil yang tak terhingga banyaknya dalam
164 air. Cacing-cacing itu tak mempuyai warna, tapi memancarkan cahaya pendar. Meski satu per satu ukurannya hanya tiga perseribu senti, tapi kalau berkumpul bisa meliputi permukaan laut sampai bermil-mil luasnya.


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bermil-mil!" seru Conseil takjub.
"Ya, dan jangan kaucoba sekarang untuk menghitung jumlah cacing itu. Pasti akan pusing kepalamu dibuatnya. Karena kalau tak salah, pernah ada kapal mengarungi lautan yang diselimuti oleh hewan-hewan itu sampai lebih dari empat puluh mil."
Menjelang tengah malam, a
ir laut sekonyong-konyong berubah lagi warnanya, menjadi biasa kembali. Tapi di belakang kami, langit sampai ke ujung pandangan mencerminkan ombak yang memutih, seakan-akan disinari cahaya remang.
II SARAN BARU DARI KAPTEN NEMO
TANGGAL 28 Januari, ketika 'Nautilus' muncul ke permukaan laut pukul dua belas siang, nampak daratan di kejauhan. Jaraknya dari kami sekitar delapan mil di sebelah barat.
Waktu itu kapal berada pada posisi lintang utara 9"4'. Yang pertama kulihat adalah barisan pegunungan setinggi kira-kira enam ratus meter. Sewaktu diambil pengukuran, aku lantas tahu bahwa kami mendekati Pulau Srilangka. Pulau itu ber-bentuk seperti anting-anting mutiara, yang tergantung pada telinga. Dan telinga itu adalah anak Benua India.
Saat itu Kapten Nemo muncul ke geladak, diikuti ajudannya. Ia memandang sebentar ke peta. Kemudian berpaling memandangku, sambil berkata,
165 "Itu Pulau Srilangka, yang terkenal karena usaha pencarian mutiara. Maukah Profesor mengunjungi salah satu tempat itu""
"Tentu saja mau, Kapten."
"Hal itu bisa kita lakukan dengan mudah. Walau kita akan melihat tempat pencariannya, namun pa ra nelayannya takkan nampak seorang juga. Panen tahunan belum dimulai. Sudahlah, akan kuberikan perintah untuk mengarahkan haluan ke Teluk Manaar. Malam ini kita akan tiba di sana."
Kapten Nemo mengatakan sesuatu pada ajudan yang dengan segera pergi. Tak lama kemudian 'Nautilus' sudah menyelam. Jarum manometer menunjukkan kedalaman sepuluh meter.
"Nanti Tuan beserta kedua pengiring akan mengunjungi tebing Manaar," ujar Kapten Nemo. "Jika di sana kebetulan sedang ada nelayan, Anda akan dapat melihat dia bekerja."
"Setuju, Kapten."
"Oya, hampir saja aku lupa. Tuan Aronnax takutkah Anda pada ikan hiu""
"Ikan hiu!" seruku. Pertanyaannya itu tak kepalang tanggung.
"Nah, bagaimana jawaban Anda"" desak Kapten Nemo.
"Terus terang saja, saya tak biasa bergaul dengan ikan-ikan jenis itu."
"Kalau kami, sudah biasa," ujar Kapten Nemo, "dan lama kelamaan Tuan Juga begitu. Tapi bagaimanapun, kita akan membawa senjata. Mungkin di tengah jalan kita dapat memburu beberapa di antaranya. Perburuan itu mengasyikkan. Jadi sampai besok pagi."
Sesudah mengucapkan kalimat itu dengan sambil lalu, dia meninggalkan ruang duduk. Aku terhenyak. Jika ada yang mengundang untuk berburu beruang di gunung, apa yang kita jawab"
166 "Baiklah! Besok kita berburu beruang." Jika diajak berburu singa di dataran tinggi Pegunungan Atlas, atau berburu macan dalam rimba di India, apa yang kita katakan" "Ha ha! Asyik, berburu singa atau harimau!" Namun jika undangan itu untuk berburu ikan hiu di tempat kehidupannya yang sejati, maka barangkali kita berpikir dulu dua kali, sebelum undangan itu diterima. Aku pun begitu juga. Aku terhenyak. Kuusap dahi yang basah karena keringat dingin.
"Nanti dulu," kataku dalam hati. "Lebih baik dipertimbangkan dulu masak-masak. Berburu berang-berang laut dalam rimba bawah air, masih lumayan; tapi naik turun dasar laut, di mana hampir pasti akan dijumpai ikan hiu, merupakan persoalan lain. Aku tahu, ada orang yang tak segan-segan menyerang hiu dengan pisau di satu tangan, dan jerat di tangan yang satu lagi. Tapi aku juga tahu, hanya sedikit dari orang-orang itu yang berhasil kembali dengan selamat. Aku tak nekat seperti mereka. Tak ada salahnya jika kuambil sikap berhati-hati."
Saat itu Conseil beserta teman sekamarnya masuk. Mereka bersikap tenang, bahkan dapat dikatakan bergembira. Rupanya mereka tak tahu, apa yang dihadapi nanti.
"Profesor," ujar Ned Land, "Kapten Nemo tadi mengajukan saran menarik pada kami."
"Ah!" jawabku, "kalian sudah tahu""
"Kalau Tuan tak berkeberatan," sela Conseil, "nakhoda kapal 'Nautilus' mengundang kami besok untuk mengunjungi tempat pencarian mutiara di Srilangka, bersama-sama dengan Tuan. Undangan disampaikannya dengan ramah-tamah."
"Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu""
"Tidak, Tuan. Ia hanya menambahkan, undangan ini juga sudah dibicarakannya dengan Tuan."
167 'Maukah Tuan menceritakan sedikit mengenai pencarian mutiara pada kami"" tanya Conseil.
"Mengenai pencariannya, atau mengenai ke
jadi an-kejadian yang berhubungan dengannya"" aku membalas bertanya.
"Mengenai pencariannya, Profesor," jawab Ned Land, "karena sebelum mengunjungi, tak ada salah nya jika kami tahu sedikit-sedikit mengenai per soalan itu."
"Baiklah. Silakan duduk, dan kita mulai saja."
Ned dan Conseil mengambil tempat duduk di atas dipan. Pertanyaan pertama yang diajukan juru tombak adalah,
"Tuan, apakah sebenarnya mutiara""
"Macam-macam," jawabku. "Bagi pujangga mutiara adalah air mata samudera. Bagi orang Timur, benda itu sebagai embun membeku. Bag kaum wanita, mutiara dipandang sebagai benda perhiasan berbentuk lonjong. Ahli kimia memandangnya sebagai campuran antara fosfat dan kapur serta sedikit lendir. Sedang ahli ilmu haya mengenalnya sebagai hasil pengeluaran tak wajar dari alat-alat tubuh tertentu, pada jenis lokan khu sus."
Kami berbicara mengenai jenis-jenis lokan yang bisa mengandung mutiara. Kelihatan mata Ned Land bersinar-sinar, ketika mendengar bahwa di perairan Eropa juga terdapat lokan bermutiara.
"Mungkinkah dalam satu kerang ditemukan banyak mutiara"" tanya Conseil.
"Biasa saja. Meski aku tak begitu percaya, tapi pernah tersiar kabar tentang sebuah karang, yang katanya berisikan tak kurang dari seratus lima puluh hiu."
"Seratus lima puluhhiu!" seru Ned Land dengan terkejut.
168 "Apa kataku tadi" Hiu"" tanyaku cepat. "Tentu saja maksudku seratus lima puluh mutiara. Tak masuk akal, hiu sebanyak itu dalam kerang."
"Tentu saja tidak," ujar Conseil. "Sekarang, maukah Tuan menerangkan, bagaimana caranya para nelayan mengambil mutiara""
"Ada bermacam-macam caranya. Jika mutiara melekat ke kulit kerang sebelah dalam, biasanya lalu ditarik dengan alat penjepit. Tapi cara lazimnya, ialah meletakkan kerang-kerang itu di atas alas rumput laut yang menghampari tebing. Dengan begitu, kerang-kerang akan mati. Kalau sudah mati, kerang dibuka dan diambil mutiaranya. Setelah itu baru menyusul pekerjaan memilih, dan memisahkan mutiara yang besar dari yang kecil."
"Jadi harga mutiara tergantung dari besar kecilnya"" tanya Conseil.
"Bukan dari itu saja. Bentuk, warna dan kilaunya juga ikut menentukan. Mutiara yang paling kecil dijual menurut timbangan, dan dipakai dalam sulaman untuk perhiasan gereja."
"Berbahayakah usaha pencarian mutiara"" tanya Conseil. Banyak sekali yang ingin diketahui pelayanku itu.
"Sebenarnya tidak," jawabku dengan cepat, "jika diambil langkah-langkah persiapan tertentu."
"Apalah risiko pekerjaan serupa itu!" ujar Ned Land meremehkan. "Paling-paling terteguk air laut."
"Betul, Ned. O ya," sambungku, menirukan gaya bicara Kapten Nemo yang sambil lalu, "takutkah Anda pada ikan hiu""
"Aku! Seorang yang hidup sebagai juru tombak, takut pada ikan hiu"!" Ia mencebir. "Sudah tugasku untuk memandang enteng binatang-binatang itu."
"Tapi yang kumaksudkan, bukannya menombak mereka dengan seruit, kemudian mengangkat ke kapal, memotong ekor dengan kapak lalu membelah perutnya!"
"Kalau begitu, yang Profesor maksudkan -"
"Tepat!" "Dalam air""
"Dalam air." "Ah, berani saja, kalau kupegang seruit yang bagus. Hiu mempunyai kebiasaan jelek. Kalau menerkam, selalu harus menelentang dulu. Pada saat itu -"
Entah kenapa, tapi setiap kali Ned menyebut kata 'menerkam', bulu romaku pasti berdiri.
"Nah, bagaimana pendapat Anda, dan kau Conseil, mengenai ikan hiu""
"Saya harus terus terang saja, Tuan."
"Sebaiknya begitulah," kataku dalam hati.
"Jika Tuan berniat hendak menghadapi ikan hiu, saya tak melihat alasan, kenapa saya sebagai pelayan Tuan yang setia tidak harus bersama-sama menghadapinya."
III MUTIARA SENILAI SEPULUH JUTA
KEESOKAN harinya pukul empat pagi, aku dibangunkan oleh pelayan. Ia ditugaskan Kapten Nemo untuk mengurus segala keperluanku. Aku bergegas bangun. Sesudah selesai berpakaian, aku pergi ke ruang duduk. Kapten Nemo sudah menunggu.
"Sudah siap untuk berangkat, Tuan Aronnax"" tanyanya.
170 "Ya, saya sudah siap."
"Kalau begitu, marilah ikut sekarang."
"Bagaimana dengan kedua pengiring saya""
"Mereka sudah diberitahu, dan menunggu."
"Kita tidak memakai pakaian selam"" tanyaku.
"Sekarang belum. Aku tak mengizinkan kapal
'Nautilus' dibawa terlalu dekat ke pantai. Jarak kita dari beting Manaar masih agak jauh. Tapi perahu sudah siap. Dengannya kita akan menuju tempat menyelam, jadi tak buang-buang waktu berjalan. Pakaian selam kita bawa. Nanti kalau mau menyelam, baru kita kenakan."
Kapten Nemo mendului berjalan ke tangga tengah. Ned dan Conseil sudah menunggu di situ. Mereka bergembira, karena diajak 'berpesiar'. Perahu ditambatkan di sisi kapal, dalamnya duduk lima orang kelasi membawa dayung.
Hari masih gelap. Langit tertutup awan berlapis-lapis, sehingga hanya sedikit bintang yang kelihatan. Aku memandang ke arah daratan. Tapi tak ada yang nampak di sana, kecuali garis gelap yang membentang dari tenggara sampai ke barat laut. Malam itu 'Nautilus' berlayar ke pantai barat Srilangka. Sekarang kami berada di sebelah barat teluk, atau tepatnya selat yang terbentuk antara daratan dan Pulau Manaar. Di situ, di bawah air yang dalam, terdapat padang mutiara yang panjangnya lebih dari dua puluh mil.
Kami berempat mengambil tempat duduk di buritan. Seorang kelasi memegang kemudi, sedang yang lain mendayung.
Perahu bergerak ke selatan dengan lambat. Para kelasi sama sekali tak tergesa-gesa. Kulihat dayung dicelupkan tiap sepuluh detik sekali ke dalam air, sesuai dengan kebiasaan dalam Angkatan Laut. Alun ombak menyebabkan perahu agak oleng.
171 Kami semua membisu. Apakah yang sedang dipikirkan oleh Kapten Nemo" Mungkin mengenai daratan yang sedang kami hampiri, dan yang menurut pendapatnya sudah terlalu dekat; berlawanan dengan perasaan Ned Land, karena ia merasa jaraknya masih terlalu jauh. Sedang Conseil, dia ada dalam perahu karena ingin tahu saja.
Sekitar pukul setengah enam, fajar menyingsing menyebabkan bentuk pulau kelihatan agak lebih jelas. Di timur mendatar, dan agak meninggi ke selatan. Jarak kami dari pulau sekitar lima mil. Pemandangan samar-samar, karena permukaan laut diselimuti kabut pagi. Pukul enam matahari terbit. Dengan sekonyong-konyong sekeliling kami terang. Memang begitulah keadaan yang khas di daerah tropika, yang tak mengenal saat antara gelap dan terang yang lama. Sinar matahari menembus selimut awan yang menutupi kaki langit sebelah timur. Dengan cepat bola api itu naik ke atas. Aku bisa melihat daratan dengan jelas, ditumbuhi beberapa pohon. Perahu mendekati Pulau Manaar, yang bentuknya membulat di selatan. Kapten Nemo bangkit dari tempat duduknya, lalu memandang laut.
Ia memberikan isyarat. Jangkar diturunkan; tapi tak sampai jauh ke bawah, karena air di situ dangkal sekali, cuma semeter lebih. Kami berada di bagian tertinggi dari beting mutiara.
"Kita sudah sampai, Profesor Aronnax," kata Kapten Nemo. "Anda lihat teluk di depan itu" Dalam waktu sebulan lagi, di sana akan berkumpul sejumlah besar perahu nelayan pencari mutiara. Dan di sini tempat kerja mereka. Untungnya, letak teluk menguntungkan untuk pekerjaan itu, karena terlindung dari tiupan angin keras. Gelombang di sini tak pernah besar, jadi memudahkan menyelam. Sekarang kita akan mengenakan pakaian selam, dan sudah itu kita mulai berjalan-jalan."
172 Aku tak menjawabnya. Sambil memandang ke air dengan penuh rasa curiga, aku mulai mengenakan pakaian selam dengan dibantu para kelasi. Tak seorang pun dari mereka yang akan menemani kali ini.
Tak lama kemudian kami sudah siap. Peralatan Ruhmkorff tidak kami bawa. Sebelum kepalaku masuk ke bawah ketopong masih sempat kutanyakan persoalan itu pada Kapten.
"Tak akan ada gunanya," jawab Kapten Nemo. "Kita takkan pergi dalam-dalam. Cahaya matahari masih cukup untuk menerangi perjalanan. Kecuali itu, tak bisa dikatakan berhati-hati jika di perairan ini dinyalakan cahaya listrik. Sinar terangnya akan bisa menarik perhatian penghuni berbahaya dari pesisir sekitar sini."
Sewaktu Kapten Nemo menyebutkan hal itu, aku berpaling pada Conseil dan Ned Land untuk melihat reaksi mereka. Tapi keduanya sudah memasukkan kepala ke dalam ketopong. Jadi mereka tak bisa mendengar maupun menjawab.
Masih ada satu pertanyaan lagi yang ingin kuajukan.
"Bagaimana dengan persenjataan"" tanyaku. "Tak perlu membawa senapan""
"Senapan! Untuk a pa" Bukankah para pemburu di gunung menyerang beruang dengan sebilah pisau di tangan" Bukankah baja lebih ampuh daripada timah" Ini pisau. Selipkan di pinggang Anda, dan kita berangkat sekarang."
Kupandang kedua temanku. Mereka juga menyelipkan senjata seperti kami. Ned Land memperlengkapi diri dengan sebatang seruit besar, yang ditaruhnya di perahu sebelum kami meninggalkan 'Nautilus'.
Aku mengikuti contoh Kapten Nemo. Ketopong kupasang, dan seketika itu juga penyalur udara se173 gar mulai bekerja. Beberapa detik kemudian kami menginjak dasar laut. Kapten Nemo memberi isyarat dengan tangan. Kami mengikuti, berjalan menuruni cekungan landai, sampai hilang dari permukaan. Sekeliling kami berenang ikan-ikan, meluncur ke sana ke mari.
Matahari yang semakin meninggi di langit, semakin menerangi air. Pasir yang mula-mulanya kami injak, sudah bertukar dengan semacam lorong batu berlapis berbagai jenis kerang dan bunga laut yang bertaburan.
Sekitar pukul tujuh pagi, akhirnya kami menatapkan mata pada tempat lokan mutiara berkembang biak, berjuta-juta jumlahnya. Kapten Nemo menunjukkan tangan pada unggukan lokan. Aku dapat mengerti, kenapa tambang ini tak mungkin habis; karena daya cipta jauh lebih besar dari nafsu merusak yang terdapat dalam diri manusia. Sesuai dengan wataknya, Ned Land bergegas mengisi jala yang dibawa di sisi pinggang. Dipilihnya yang bagus-bagus. Namun kami tak bisa berhenti lama di situ. Kami harus mengikuti Kapten Nemo, yang berjalan seakan-akan menempuh jalan yang dikenal olehnya sendiri saja. Dasar laut mengarah ke atas lagi. Sekali-sekali tangan yang kuangkat ke atas, muncul ke luar air. Tapi kemudian dasar beting menurun kembali. Beberapa kali kami mengitari batu-batu yang bertumpuk membentuk piramida tinggi. Di sela-selanya kelihatan kepiting-kepiting raksasa. Binatang-binatang itu menanti dengan jepit terulur, seperti mesin perang saja nampaknya. Sedang di kaki merayap bermacam-macam corak lintah laut.
Tiba-tiba kami sampai di depan sebuah gua besar, yang menganga di bawah tumpukan batu yang banyak sekali. Gua itu penuh diselimuti berbagai macam tumbuhan laut. Mula-mula, menurut pera174 saanku gua itu gelap sekali. Tapi lama kelamaan mataku terbiasa juga pada suasana remang-remang yang terdapat di sekeliling kami. Kapten Nemo masuk ke dalam. Kami mengikuti. Di dalam kulihat lengkungan-lengkungan batu, yang berpangkal pada tiang-tiang alam. Kelihatannya seperti bangunan daerah Toskana. Kenapakah penunjuk jalan yang sukar diduga pikirannya itu mengajak kami masuk ke rongga bawah air ini" Tak lama kemudian aku mengerti.
Sesudah menuruni lereng yang cukup curam, kaki kami menginjak dasar dari semacam lubang bundar. Sesampai di situ Kapten Nemo berhenti. Ia menunjuk ke sebuah benda yang sebelumnya tak terlihat olehku. Benda itu seekor lokan yang luar biasa ukurannya. Cawannya berukuran lebih kurang dua meter setengah. Kudekati kerang luar biasa itu, yang melekat pada sebidang batu besi. Karena tak ada yang mengganggu, lokan itu membesar sampai ke ukuran raksasa. Menurut penaksiranku, beratnya paling sedikit tiga ratus kilo. Lokan sebesar itu, dagingnya paling tidak seberat lima belas kilo.
Kelihatannya Kapten Nemo mengetahui adanya lokan istimewa ini, dan rupanya mengandung maksud tertentu untuk melihat sendiri keadaannya. Kulit lokan agak terbuka sedikit. Kapten mendekat, lalu menyelipkan pisaunya untuk menjaga agar kulit itu tak terkatup. Sudah itu diangkatnya selaput berumbai, yang menutupi lokan seperti tirai. Di dalam kulihat sebuah mutiara. Besarnya sebanding dengan sebutir kelapa. Bentuknya yang bundar, kejernihannya yang sempurna serta kilaunya yang mengagumkan, memberikan nilai yang tak terhing-ga. Karena aku tak mampu menahan rasa ingin tahu, kujulurkan tangan untuk mengambil dan menimangnya. Tapi Kapten Nemo menghalangi,
175 sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat penolakan. Dengan cepat pisau dicabut olehnya, dan kulit lokan terkatup dengan sekonyong-konyong. Barulah aku memahami maksud Kapten. Ia memberi kesempatan pada lokan, untuk membesarkan mutiara dengan pelahan. Setiap tahunnya,
lendir yang dihasilkan oleh kerang itu menambah lapisan lagi pada bola mutiara. Menurut penaksiranku, nilainya sekarang paling sedikit sudah 500.000 pound.
Sesudah berjalan lagi kira-kira sepuluh menit, Kapten Nemo berhenti dengan tiba-tiba. Kukira dia berhenti, karena hendak berbalik. Tapi ternyata tidak: ia mengisyaratkan, agar kami meringkukkan tubuh di sampingnya di celah batu yang dalam. Tangannya menunjuk ke satu arah tertentu dalam air. Kuikuti telunjuknya.
Sekitar lima meter dari tempatku bersembunyi, muncul sebuah bayangan yang menurun ke dasar laut. Bayangan ikan hiu yang buas melintas dalam benak. Tapi sekali lagi aku keliru. Bukan makhluk laut buas yang kami hadapi.
Yang menyelam adalah seorang manusia. Manusia hidup. Rupanya seorang nelayan India, seorang miskin yang menyelam untuk memetik mutiara sebelum saat panen. Dapat kulihat lunas perahunya, dilabuhkan pada permukaan air di atas kepalanya. Orang itu menyelam dan naik kembali, berulang-ulang. Badannya diikatkan dengan tali ke perahu, sementara kedua kakinya menjepit sebongkah batu supaya bisa menyelam lebih cepat. Hanya itulah peralatan yang dipakai olehnya. Ia menyelam ke dasar, yang dalamnya sekitar lima meter. Begitu sampai langsung berjongkok, sedang tangannya meraih-raih lokan-lokan mutiara dengan sembarangan. Sudah itu ia naik ke atas lagi. Kantong tempat lokan dikosongkan, sudah itu dia
176 menyelam kembali. Setiap gerak menyelam dan timbul, berlangsung selama tiga puluh detik.
Penyelam itu tak melihat kami. Cadas melindungi kami dari penglihatannya. Dan bagaimana mungkin seorang bersahaja seperti nelayan bangsa India itu bisa membayangkan, ada manusia seperti dia di bawah air yang memperhatikan segala gerak-geriknya "
Berulang kali ia menyelam dan timbul lagi. Tak lebih dari sepuluh butir lokan yang dibawanya ke atas, setiap kali menyelam. Masing-masing lokan harus direnggutkannya dari beting. Dan berapa banyak di antaranya yang tak mengandung mutiara! Padahal untuk itu ia harus menyabung nyawa. Aku memperhatikannya dengan saksama. Gerakannya teratur, dan selama setengah jam pertama, tak nampak ada bahaya yang mengancam.
Aku mulai biasa melihat cara memancing yang menarik itu. Tapi ketika sekali lagi nelayan mencapai dasar laut, tiba-tiba kulihat dia bergerak ketakutan, dan meloncat bangun untuk berenang cepat-cepat ke permukaan.
Ketakutan itu bisa kupahami. Di atas kepalanya muncul suatu bayangan yang besar sekali. Seekor ikan hiu yang sangat besar berenang mendekat, dengan moncong menganga penuh gigi. Badanku terasa kaku karena ngeri.
Binatang buas itu melesat ke arah nelayan. Dia menjatuhkan diri ke samping, untuk menghindarkan pukulan sirip hiu. Tapi ia masih terkena kibasan ekor yang membentur dada. Nelayan terpelanting ke tanah.
Kejadian itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja: ikan hiu membalik, lalu memutar badan untuk menelentang. Ikan itu sudah siap untuk menerkam mangsa! Sekonyong-konyong kulihat Kapten Nemo bangkit. Ia maju dengan pisau di
177 tangan, langsung mendekati hiu. Ia sudah siap untuk bertarung! Hiu yang sudah nyaris menyambar nelayan yang malang,. melihat kedatangan musuh baru; dengan segera ikan membalik dan mengejar.
Masih kuingat jelas sikap Kapten Nemo saat itu. Ia berdiri dengan kokoh, menunggu penyerbuan hiu. Ketika ikan menyambar, dengan tangkas Kapten melompat ke tepi sambil menghunjamkan pisau ke lambung. Tapi pertarungan belum selesai begitu saja.
Ikan hiu mengamuk! Kalau ia bisa mengaum nyaring, pasti hal itu dilakukannya. Darah menyembur dari luka pada lambungnya. Air laut menjadi berwarna merah, dan penglihatanku terhalang karenanya. Aku tak melihat apa-apa. Namun tiba-tiba na'mpak Kapten yang gagah berani berpegang pada sirip hiu. Keduanya bergulat sengit. Air sekitar mereka bergolak, sehingga aku hampir jatuh dibuatnya.
Sebenarnya aku bermaksud memberikan bantuan pada Kapten, tapi mustahil, karena kakiku seolah-olah terpaku karena ketakutan. Pertarungan berjalan terus dengan seru. Kemudian Kapten Nemo terbanting ke dasar laut, tertindih badan hiu. Ikan itu mengangakan moncongnya lebar-lebar. Keliha
tannya seperti sepasang gergaji raksasa. Kukira, habislah riwayat Kapten Nemo! Namun secepat kilat Ned Land menyerbu dengan seruit di tangan, langsung ditusukkan.
Darah semakin memerahkan air sekeliling kami, yang diaduk-aduk gerakan tubuh hiu. Ned Land telah menombak dengan jitu. Ikan sekarat, membanting-banting diri.
Dengan segera Ned Land menolong Kapten, yang bangkit tanpa mengalami cedera. Ia langsung menghampiri nelayan India. Tali-tali yang mengikatnya pada batu dipotong. Sudah itu tangan
178 orang yang hampir menjadi korban hiu dipegang oleh Kapten, yang kemudian menghentakkan kaki dengan keras ke tanah. Mereka berdua meluncur ke permukaan.
Begitu sampai di atas, yang pertama-tama dikerjakannya ialah mengembalikan kesadaran nelayan. Menurut perasaanku, usahanya akan sia-sia belaka. Kudoakan semoga dia siuman kembali. Tapi pukulan ekor hiu mungkin telah menewaskannya.
Untung Kapten tak lekas putus asa. Dibantu oleh Conseil, ia terus menggosok-gosok tubuh nelayan. Akhirnya, dengan pelan-pelan orang itu sadar kembali, lalu membuka mata. Bukan main terkejut dan ketakutannya, ketika melihat empat kepala tembaga membungkuk di atasnya! Ia bertambah bingung, ketika Kapten Nemo mengeluarkan sekantong mutiara dari saku pakaian selam, lalu mena-ruhkan ke tangannya! Hadiah itu diterimanya dengan tangan gemetar. Dari matanya yang membelalak keheranan, nampak bahwa ia tak tahu makhluk apakah yang telah menyelamatkan nyawa, dan mengaruniainya itu.
Kapten Nemo menggerakkan tangan sebagai isyarat. Kami kembali ke beting, dan dalam waktu setengah jam sampai lagi ke jangkar yang dilabuhkan dari perahu kami ke dasar laut.
Begitu sampai di atas, kami membuka ketopong tembaga dengan dibantu para kelasi.
Ucapan pertama yang keluar dari mulut Kapten, ditujukan pada juru tombak.
"Terima kasih, Tuan Land," ujarnya.
"Itu balas jasaku, Kapten," jawab Ned.
Kapten hanya membalas dengan senyuman kecil sekilas.
"Kita kembali ke 'Nautilus'," ujarnya.
179 Perahu melaju di atas ombak. Beberapa menit kemudian kami berjumpa dengan bangkai ikan hiu terapung-apung. Di atas baru kusadari, betapa besar binatang itu: panjangnya lebih dari delapan meter, sedang moncongnya hampir sepertiga tubuh. Jenisnya termasuk hiu hitam. Sementara aku masih memandang, berlusin teman sejenisnya muncul di sekeliling perahu. Tanpa memperhatikan kami, ikan-ikan itu berebutan mengoyak tubuh teman yang sudah mati.
Pukul setengah sembilan, kami tiba kembali di kapal 'Nautilus'. Aku mengenangkan kejadian-kejadian yang kami alami di beting Manaar. Dua kesimpulan yang kutarik daripadanya: keberanian Kapten Nemo, serta kasih sayangnya pada nelayan, yang merupakan wakil dari umat manusia yang dijauhi olehnya. Apa pun juga diucapkannya, tapi ternyata hatinya belum membatu.
Ketika hal itu kukatakan padanya, ia menjawab dengan suara agak tergetar,
"Nelayan India itu penduduk negeri tertindas. Dan aku bernasib sama, sampai akhir nyawa!"
IV LAUT MERAH KEESOKAN harinya, tanggal 29 Januari, kami berlayar lagi. Pulau Srilangka nampak makin kecil, dan akhirnya lenyap dari penglihatan. Dengan kecepatan rata-rata dua puluh mil sejam, 'Nautilus' menyusuri selat sempit yang memisahkan Kepulauan Maladiva dari gugusan pulau-pulau Lakadiva. Kami bahkan lewat di depan pantai Pulau Kiltan. Pulau itu asalnya gosong karang. Vasco da Gama adalah orang Eropa pertama yang datang ke situ, pada tahun 1499. Pulau Kiltan termasuk gugusan
180 Kepulauan Lakadiva yang membentang antara 10" dan 14"30' lintang utara serta 69"50'72" bujur timur.
Sejak berangkat dari Laut Jepang, kami sudah menempuh jarak sejauh 16.220 mil.
Keesokan harinya, ketika 'Nautilus' muncul ke permukaan laut, tak kelihatan pulau sama sekali. Haluan menuju utara timur laut, ke arah Teluk Oman yang merupakan ujung dari Teluk Persia. Kami mengarah ke jalan buntu. Ke manakah kami hendak diajak oleh Kapten" Aku tak tahu. Tapi Ned Land tak puas menerima jawaban begitu, ketika ia datang untuk menanyakan padaku.
"Kita pergi ke mana nakhoda kapal berniat ini membawa kita, Ned."
"Kalau begitu niatnya takkan terlalu jauh," jawab juru tombak bangsa
Kanada itu. "Teluk Persia merupakan jalan buntu. Jika kita masuk, nanti harus keluar dari sini lagi."
"Baiklah, kita nantinya keluar lagi, Ned. Dan jika sesudah Teluk Persia ini 'Nautilus' hendak mendatangi Laut Merah, maka kita bisa masuk lewat Selat Bab-el-mandeb."
"Tuan tentunya juga sudah tahu, bahwa Laut Merah juga sama buntunya seperti Teluk Persia," ujar Ned lagi. "Tanah genting di Suez belum ditembus oleh terusan yang sedang dibangun. Dan kalau sudah ada pun, kapal penuh rahasia seperti ini pasti takkan berani masuk ke situ. Jadi Laut Merah takkan membawa kita kembali ke Eropa."
"Aku tak pernah mengatakan bahwa kita akan kembali ke Eropa."
"Kalau begitu bagaimana dugaan Profesor""
"Menurut perkiraanku, sesudah mendatangi pesisir Arab dan Mesir, 'Nautilus' akan mengarahkan haluan kembali ke Samudera Hindia."
"Mungkin kita akan melintasi Selat Mosambik dan menuju ke Tanjung Harapan."
181 "Dan kalau sudah sampai di Tanjung Harapan"" tanya Ned. Nada pertanyaan itu bertekanan aneh.
"Dari situ kita akan mengarungi bagian dari Samudera Atlantik yang belum kita kenal." Aku memandang juru tombak. "Ah, rupanya Anda sudah mulai bosan berlayar di bawah laut. Rupanya sudah terlalu banyak menyaksikan keajaiban dasar samudera. Kalau saya, pasti akan menyesal jika pelayaran ini berakhir."
Sampai tanggal 3 Pebruari, empat hari lamanya 'Nautilus' menjelajahi Teluk Oman, dengan kecepatan dan kedalaman berbeda-beda. Kelihatannya seolah-olah berlayar tak menentu. Tapi kami tak pernah melewati batas garis balik utara di situ.
Ketika kami keluar lagi, untuk sesaat nampak kota Maskat. Kota itu termasuk yang paling penting di negeri Oman. Aku mengagumi pemandangannya yang asing, dengan rumah-rumah dan benteng-benteng putih terkurung cadas hitam menjulang. Kulihat kubah-kubah mesjid serta tiang-tiang menaranya yang langsing. Tetapi semuanya hanya nampak sekejap saja, karena sejenak kemudian 'Nautilus' sudah menyelam ke bawah ombak.
Kami lewat di depan pantai Mahrah dan Hadra-maut di Jazirah Arab. Jarak kami dari daratan sekitar enam mil. Di sela-sela barisan gunung kadang-kadang nampak puing-puing bangunan kuno. Akhirnya, pada tanggal 5 Pebruari kami memasuki Teluk Aden. Bentuk teluk ini seperti corong, yang berujung di Selat Bab-el-mandeb. Lewat corong itu, air laut dari Samudera Hindia masuk ke Laut Merah.
Tanggal 6 Pebruari 'Nautilus' mengambang di depan kota Aden. Kota itu dibangun di sebuah semenanjung kecil yang tersambung ke daratan, semacam Gibraltar kedua; perbentengannya dibangun kembali oleh Inggris, sesudah direbut
182 pada tahun 1839. Aku sempat melihat bentuk menara mesjid kota itu, yang bentuknya persegi delapan.
Kusangka sesudah sampai di situ, Kapten Nemo akan membalik. Tapi sangkaanku itu keliru, karena hal tersebut tak dilakukannya. Aku heran sekali.
Keesokan harinya kami memasuki Selat Bab-el-mandeb. Nama dalam bahasa Arab itu artinya 'Gerbang Air Mata'. 'Nautilus' yang berlayar dengan kecepatan penuh, hanya membutuhkan waktu satu jam saja untuk melewatinya. Aku tak melihat apa-apa. Di perairan situ terlalu banyak kapal, yang berlayar dari Suez ke Bombay, Kalkuta dan ke Melbourne. Semuanya melewati selat sempit, sehingga 'Nautilus' tak bisa mengambil risiko muncul. Karenanya kami bergerak di bawah air. Menjelang tengah hari kami memasuki perairan Laut Tengah.
Aku sama sekali tak mencoba memahami keisengan Kapten Nemo, sehingga memutuskan masuk ke laut berbentuk teluk itu; aku setuju saja! Kecepatan kapal dikurangi. Kadang-kadang kami berlayar di permukaan air, tapi kadang-kadang juga menyelam, untuk menghindarkan diri dari kapal lain yang lewat. Karena itu aku bisa memperhatikan Laut Tengah, dari atas dan dari bawah air.
Sesudah menyusuri Jazirah Arab sebentar, 'Nautilus' mendekati pesisir Afrika. Laut di situ lebih dalam. Kami menikmati pemandangan bawah laut, melalui jendela-jendela kaca di sisi ruang duduk. Bermacam-macam jenis kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan bawah air yang baru kulihat di sini !
Ikan-ikan pun banyak sekali berkeliaran, ada yang berwarna merah coklat, ada lagi yang bersirip belang hitam, biru d
an kuning. Beberapa jenis kulihat berwarna emas dan perak. Pokoknya beribu
183 macam ikan yang berenang-renang sekeliling kapal 'Nautilus'.
Tanggal 9 Pebruari, 'Nautilus' terapung di bagian terlebar dari Laut Merah. Antara Suwakin di pantai Afrika dan al-Kunfida di pesisir Arab terbentang laut selebar sembilan puluh mil.
Tengah hari, sesudah dilakukan pengukuran posisi, Kapten Nemo naik ke geladak atas. Aku kebetulan sudah ada di situ, dan berniat menanyakan maksud-maksud selanjutnya. Melihat aku datang menghampiri, ia menawarkan serutu.
"Nah, Profesor - bagaimana kesan Anda mengenai Laut Merah" Puaskah Anda mengamati keadaan alam dan kehidupan di perairan sini" Dan sempatkah Anda melihat sekilas kota-kota yang ada di tepi""
"Ya, Kapten," jawabku. "Kapal 'Nautilus' ini memang benar-benar cocok untuk melakukan penelitian begini."
"Lagipula kokoh sekali. Tak gentar menghadapi badai Laut Merah, begitu pula tak mundur terhadap arus serta gosong pasirnya."
"Kata orang, laut di sini termasuk yang paling seram," kataku membumbui. "Kalau tak salah, di jaman purba namanya ditakuti orang."
"Betul, laut ini dulu dibenci, Profesor Aronnax. Para ahli sejarah jaman kuno menceritakan berbagai hal yang seram-seram mengenainya, ada yang mengatakan di sini banyak bertebaran pulau gersang, ada pula yang mengatakan badainya mengerikan sekali."
"Dari situ ketahuan, bahwa para ahli sejarah itu tak pernah berlayar dengan 'Nautilus'."
"Benar," jawab Kapten Nemo tersenyum. "Di segi ini orang-orang jaman modern sama saja dengan nenek moyang mereka. Berabad-abad lamanya diperlukan waktu untuk menemukan rahasia uap
184 sebagai tenaga penggerak. Siapa tahu, mungkin dalam seratus tahun mendatang ini belum akan kelihatan 'Nautilus' kedua" Kemajuan lambat perkembangannya, Profesor."
"Demikianlah halnya. Kapal Anda ini paling sedikit seratus tahun lebih dulu tercipta dari jamannya. Sayang, apabila rahasia ciptaan begini akan sirna bersama penciptanya!"
"Anda tadi berbicara mengenai ketakutan orang jaman purba, untuk mengarungi Laut Merah."
"Betul," ujarku. "Bukankah kecemasan itu berlebih-lebihan""
"Jawabannya bisa ya, dan bisa pula tidak." Kelihatannya Kapten Nemo mengenal baik perairan di sini. "Hal-hal yang tak berbahaya bagi kapal-kapal modern yang kokoh, bagi kapal-kapal kuno merupakan ancaman yang besar. Bayangkan sendiri, berlayar dengan kapal-kapal yang dibuat dari kayu, dan diikat dengan tali serta dibuat tak tembus air karena digosok lemak hewan! Mereka sama sekali tak memiliki alat untuk menentukan posisi, dan bisanya hanya berlayar sambil menerka-nerka melalui arus tak dikenal. Dalam keadaan serupa itu, terang saja banyak terjadi kecelakaan. Tapi di jaman kita sekarang ini, kapal-kapal yang mengarungi lautan antara Suez dan Laut Selatan tak perlu lagi menakuti kedahsyatan Laut Merah, walau angin pasat menyukarkan pelayaran. Nakhoda serta para penumpang tidak lagi mempersiapkan ke-berangkatan dengan jalan memberikan korban pada dewa laut. Dan sekembali dengan selamat, mereka tidak lagi datang ke kuil-kuil terdekat, membawa persembahan."
"Saya setuju dengan Anda," ujarku. "Kelihatannya uap melenyapkan rasa terima kasih dalam sanubari para pelaut. Tapi Anda sendiri kelihatan185 nya sangat mendalami sejarah laut ini. Bisakah Anda menceritakan asal-usul namanya""
"Mengenai hal itu terdapat beberapa keterangan, Profesor Aronnax. Maukah Anda mengetahui pendapat seorang penulis sejarah dari abad keempat belas""
"O ya, tentu saja!"
"Penulis itu hebat fantasinya: menurut pendapatnya, nama Laut Merah diberikan sesudah lewatnya bani Israel, pada waktu mana Fir'aun musnah ditelan ombak yang melanda atas perintah Nabi Musa."
"Begitulah keterangan seorang pujangga," jawabku. "Tapi saya tak bisa puas dengan itu saja. Bagaimana dengan pendapat pribadi Kapten""
"Baiklah. Menurut hematku, nama Laut Merah merupakan terjemahan kata 'Edom' dalam bahasa Ibrani. Dan nama itu diberikan karena warna airnya."
"Tapi sampai sekarang saya cuma melihat ombak jernih, tanpa warna sama sekali."
"Nantilah, jika kita sudah dekat ke dasar laut, Anda akan melihatnya juga. Aku
ingat, pernah melihat Teluk Tor berwarna merah, seperti lautan darah."
"Dan menurut Anda, warna itu disebabkan oleh ganggang laut""
"Ya. Ganggangnya kecil sekali. Dalam satu sentimeter persegi terdapat empat puluh ribu ganggang itu. Barangkali kita akan bertemu, jika sampai di Tor nanti."
"Jadi rupanya Kapten bukan untuk pertama kalinya mengarungi Laut Merah dengan 'Nautilus'""
"Betul." Kami masih mengobrol agak lama mengenai Laut Merah, tentang kemungkinan menemukan kembali bekas lalu bani Israel di mana Fir'aun Mesir ter186 timbun air, serta mengenai Terusan Suez, yang saat itu sedang digali.
"Kapten, kelihatannya Tuan Lesseps akan berhasil menghubungkan kedua lautan, yang akan mempersingkat waktu pelayaran antara Eropa dengan Asia. Sebentar lagi Afrika akan diubahnya menjadi pulau yang mahabesar."
"Ya, Profesor Aronnax; sudah selayaknya jika Tuan bangga terhadap teman sebangsa itu. Orang seperti dia lebih meninggikan martabat suatu negara, daripada nakhoda-nakhoda ulung. Seperti lain-lainnya juga, mula-mulanya ia hanya menerima cercaan dan ejekan. Tapi akhirnya dia menang, karena tekatnya besar. Menyedihkan sekali bila diingat bahwa pekerjaan yang seharusnya dilakukan secara gotong royong, akhirnya dilaksanakan oleh satu orang yang berjiwa besar. Kita patut menghargai Tuan Lesseps!"
"Ya, penghargaan bagi seorang warga besar!" jawabku, dengan perasaan agak heran melihat gaya Kapten Nemo berbicara saat itu.
"Sayangnya, aku tak dapat membawa Anda lewat Terusan Suez. Tapi lusa Anda akan melihat dermaga panjang dari pelabuhan Port Said, jika kita sudah sampai di Laut Tengah."
"Laut Tengah!" Aku tak mempercayai pendengaranku.
"Betul. Herankah Anda""
"Yang saya herankan adalah perkataan Kapten, bahwa kita akan sudah berada di sana lusa." "O ya""
"Ya, Kapten. Meskipun saat ini saya seharusnya sudah membiasakan diri untuk tak heran lagi."
"Tapi kenapa heran""
"Jika lusa kita akan sudah berada di perairan Laut Tengah, mestinya 'Nautilus' berlayar secepat
187 kilat; kita masih harus mengitari Benua Afrika, serta melewati Tanjung Harapan!"
"Siapa yang bilang kita akan mengitari Afrika, serta melewati Tanjung Harapan""
"Mau lewat ke mana lagi, kecuali kalau 'Nautilus' bisa berlayar di darat, atau melintas di atas tanah genting -"
"Atau melintas di bawahnya, Profesor Aronnax." "Di bawahnya""
"Tentu saja," jawab Kapten Nemo dengan tenang. "Alam telah menciptakan sejak dulu kala sebuah hubungan di bawah tanah genting, yang kini dibuat manusia di atasnya."
"Betul adakah terusan serupa itu""
"Ya, sebuah terusan di bawah tanah, yang kuberi nama Terusan Arab. Kita akan lewat di bawah Suez, dan menembus ke luar di Teluk Pelusium."
"Tapi bukankah tanah genting terdiri dari pasir halus semata-mata""
"Sampai kedalaman tertentu. Tapi mulai lima puluh meter ke bawah, yang terdapat hanya batu cadas saja lagi."
"Apakah Anda menemukan terusan itu secara kebetulan saja"" Aku bertanya lagi. Keherananku semakin bertambah.
"Kebetulan, dan berdasarkan pertimbangan; pertimbangannya lebih banyak dari kebetulannya. Terusan itu bukan saja ada, tapi aku juga sudah memanfaatkannya beberapa kali. Kalau tidak, masakan aku masuk ke Laut Merah yang tak dapat ditembus. Pernah kuperhatikan, bahwa baik di Laut Merah maupun di Laut Tengah terdapat beberapa jenis ikan yang benar-benar sama. Karenanya timbul pikiranku : mungkinkah antara kedua lautan terdapat suatu hubungan " Jika ada, maka arus air di bawah tanah haruslah mengalir dari Laut Merah ke Laut Tengah, mengingat perbedaan ting188 gi permukaannya. Kutangkap beberapa ekor ikan di sekitar Suez. Pada ekor mereka kupasang cincin tembaga, dan sudah itu kumasukkan lagi ke dalam laut. Beberapa bulan kemudian, aku berhasil menangkap beberapa ekor yang telah kuberi cincin ekornya. Penangkapan itu terjadi di depan pantai Suriah. Dengannya berhasil kubuktikan adanya hubungan antara kedua lautan. Sudah itu aku mencarinya dengan 'Nautilus', dan ternyata berhasil menemukan serta melewatinya. Tak lama lagi, Anda pun akan ikut menerobos Terusan Arab yang kutemukan itu!"
V TERUSAN ARAB SORE itu 'Nautilus' muncul di at
as permukaan air, pada lintang utara 21"30'. Kami mendekati pesisir Jazirah Arab. Kulihat di kejauhan kota Jeddah. Nampak jelas bangun-bangunan, perahu-perahu yang merapat ke dermaga, serta perahu-perahu sarat yang terpaksa berlabuh di tengah. Cahaya matahari sore menonjolkan keputihan warna tembok rumah-rumah di sana. Agak di luar nampak beberapa gubuk, ada yang terbuat dari kayu, dan ada pula yang terbuat dari sejenis rumbia. Di situlah rupanya perkampungan orang Badui. Tak lama kemudian kegelapan malam menutupi Jeddah dari penglihatan kami. 'Nautilus' berlayar terus, di tengah air yang agak bercahaya.
Keesokan harinya, tanggal 10 Pebruari, kami melihat beberapa kapal yang berlayar menuju arah angin. 'Nautilus' menyelam dengan segera. Tapi tengah hari, pada saat pengukuran posisi, laut sudah kosong lagi. Kami muncul kembali ke permukaan.
189 Aku duduk di atas geladak, ditemani Ned dan Conseil. Pesisir sebelah timur kelihatan remang-remang, diselimuti kabut lembab.
Kami duduk sambil bersandar ke sisi perahu, mengobrol kian ke mari. Tiba-tiba Ned Land menunjuk ke arah sesuatu di laut, sambil berkata,
"Tuan melihat sesuatu di sana""
"Tidak, Ned," jawabku, "tapi mataku juga tak seawas penglihatan Anda."
"Lihatlah baik-baik," ujarnya lagi, "di sana, kira-kira setinggi lentera! Tidakkah Tuan melihat sesuatu, yang seperti bergerak-gerak""
"Betul juga," kataku sesudah mengamati sejenak. "Aku melihat sesuatu, seperti tubuh hitam panjang di atas air."
Dan benarlah, tak lama kemudian benda hitam itu tinggal satu mil lagi jaraknya dari kami. Kelihatannya seperti gosong pasir besar yang terhampar di tengah laut. Seekor duyung berukuran raksasa!
Ned memandang dengan bernafsu. Matanya bersinar-sinar, sedang tangannya seolah-olah sudah siap melontarkan seruit. Ia sudah tak sabar lagi: kelihatan jelas kepingin sekali terjun ke laut, dan menyerang binatang itu.
Pada saat tersebut Kapten Nemo muncul di geladak. Dilihatnya duyung, dan dengan segera dipahami kegelisahan yang nampak pada diri Ned. Ia berbicara pada juru tombak,


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika saat ini Anda memegang seruit, pasti kepingin melemparkannya, bukan""
"Betul." "Dan Anda mau kembali melakukan pekerjaan selaku penombak, menambahkan binatang ini dalam daftar hasil buruan Anda""
"Tentu saja!" "Nah, silakan mencoba."
190 "Terima kasih, Kapten," ujar Ned Land dengan mata bersinar-sinar.
"Hanya perlu kukatakan demi keselamatan Anda sendiri, jangan sampai meleset nanti," kata Kapten memperingatkan.
"Apakah ikan duyung berbahaya jika diburu"" tanyaku, meski Ned Land mengangkat bahu tak peduli.
"Kadang-kadang ikan ini berbalik menyerang pemburunya, lalu menggulingkan perahu," jawab Kapten Nemo. "Tapi untuk Tuan Ned, sama sekali tak ada bahaya. Matanya tajam, dan lemparannya jitu."
Saat itu tujuh orang awak kapal naik ke geladak. Semuanya membisu, seperti biasa. Salah seorang dari mereka membawa seruit terikat pada tali, seperti yang lazim dipakai dalam penangkapan ikan paus. Perahu diangkat dari geladak, dan diturunkan ke air. Enam-pendayung mempersiapkan diri, sedang pengemudi duduk di buritan. Ned, Conseil dan aku sendiri mengambil tempat di bagian belakang.
"Anda tak ikut, Kapten"" tanyaku.
"Tidak! Selamat berburu sajalah."
Perahu diangkat. Berkat dayungan keenam pengayuh yang kuat, kami meluncur dengan cepat ke arah duyung. Binatang raksasa itu mengambang dua mil dari 'Nautilus'.
Ketika jarak tinggal beberapa ratus meter, kami mengurangi kecepatan. Dayung-dayung dicecah-kan ke air, tanpa menimbulkan bunyi. Biasanya seruit yang dipakai untuk menombak ikan paus, terikat pada tali yang panjang sekali. Tapi kali ini panjangnya cuma sekitar dua puluh meter. Ujung yang satu lagi ditambatkan pada sebuah tong kecil. Kalau seruit sudah kena, tong dilemparkan ke air.
191 Menurut tempatnya terapung nanti, akan diketahui di mana duyung menyelam.
Aku berdiri sambil mengamat-amati binatang air itu. Ukurannya besar sekali, paling sedikit enam sampai tujuh meter panjangnya. Dia tak bergerak, rupanya tidur. Jadi bagi kami akan lebih mudah untuk menangkapnya.
Perahu mendekat. Jarak kami tinggal enam meter saja la
gi. Dayung-dayung diangkat dari air. Ned Land berdiri dengan tubuh agak miring ke belakang. Tangannya sudah siap dengan seruit.
Tiba-tiba terdengar bunyi mendesing. Ikan duyung menyelam. Meski Ned melontarkan seruit dengan sekuat tenaga, tapi hanya air saja yang rupanya kena.
"Keparat!" cerca tukang tombak, "meleset lem-paranku!"
Aku memandang ke air. "Tidak Ned! Dia luka - lihat saja darah yang memerahi air. Tapi rupanya seruit tak tertancap di tubuhnya!"
"Ya ampun, seruitku!" ujar Ned berkeluh kesah.
Para kelasi mendayung terus. Pengemudi mengarahkan perahu ke tong yang terapung. Sesudah seruit diambil kembali, kami melanjutkan perburuan.
Beberapa kali buruan kami muncul ke permukaan, untuk mengambil nafas. Luka sama sekali tak melemahkannya, karena berenangnya masih tetap kencang.
Perahu kami melaju di belakang, didayung lengan-lengan kuat. Beberapa kali kami mendekat, sampai tinggal beberapa meter lagi. Ned sudah siap untuk melempar. Tapi sekonyong-konyong duyung menyelam, sehingga dia tak bisa menombak.
Ned Land sudah tak mampu lagi menahan kesabaran. Duyung dicaci maki habis-habisan. Aku ikut
192 kesal, melihat betapa binatang itu mengelakkan serangan-serangan kami.
Sejam lamanya kami tak berhenti mengejar. Aku mulai merasa bahwa duyung itu sukar ditangkap, ketika dengan tiba-tiba saja buruan kami berbalik menyerang.
Gerakannya sempat dilihat oleh Ned.
"Awas!" serunya memperingatkan.
Pengemudi mengatakan sesuatu dalam bahasa asing. Rupanya memperingatkan teman-temannya, supaya berjaga-jaga.
Duyung mendekat sampai tinggal enam meter dari perahu. Dia berhenti sebentar, mengendus udara dengan lubang hidungnya yang besar. Sesudah itu dia menerjang maju.
Perahu tak sempat dielakkan dari benturan, dan sebagai akibatnya menjadi miring dan kemasukan air. Untung pengemudi sigap, dan benturan terjadi di sisi. Kalau haluan kami yang ditumbuk, pasti perahu terbalik! Sementara Ned yang berjongkok di haluan memukul-mukul dengan seruit, duyung membenamkan taring ke tepi perahu kami. Diangkatnya kepala, dan perahu ikut terjunjung ke atas. Kami berpelantingan. Aku tak tahu bagaimana akhir riwayat kami, kalau Ned tak berhasil menghunjamkan tombaknya tepat mengenai jantung duyung.
Kudengar gigi-giginya gemeletuk kena pelat besi. Duyung menghilang dengan membawa seruit. Tapi tak lama kemudian tong muncul lagi ke permukaan, disusul oleh tubuh duyung yang menelentang. Perahu mendekat. Sesudah mengikat buruan kami dengan tali, kami kembali ke kapal sambil menyeretnya.
Duyung diangkat ke geladak, dengan bantuan kerek yang sangat kuat. Ketika ditimbang, ternyata beratnya sepuluh ribu pon.
193 Keesokan harinya, sekitar pukul lima petang, kami melihat ujung Tanjung Ras Muhammad 'Nautilus' memasuki Selat Jubal, yang menuju ke Teluk Suez. Di kejauhan kulihat gunung tinggi, menjulang di antara kedua teluk yang mengapit tanjung. Itulah dia Gunung Horeb, puncak Sinai di mana Nabi Musa menerima wahyu.
Pukul enam kami melewati Tor yang terletak di ujung teluk. Air sekitarnya nampak semu merah, seperti sudah dikatakan oleh Kapten Nemo.
Suasana sunyi ketika malam menjelang; hanya sekali-sekali terdengar suara burung-burung malam, nyaring mengatasi bunyi deburan ombak di pantai. Di kejauhan terdengar roda dayung sebuah kapal uap mengaduk perairan teluk.
Dari pukul delapan sampai pukul sembilan, 'Nautilus' menyelam beberapa meter di bawah permukaan. Menurut taksiranku, mestinya kami sudah dekat sekali ke Suez. Lewat kaca jendela ruang duduk, kulihat dasar berbatu diterangi lampu sorot kami. Kelihatannya kami semakin jauh memasuki teluk.
Pukul sembilan lewat seperempat, kapal muncul kembali ke permukaan. Aku naik ke geladak. Rasanya tak sabar lagi, ingin lekas-lekas masuk ke terowongan air yang ditemukan oleh Kapten. Aku gelisah sekali, karenanya naik ke atas untuk menghirup udara segar.
Tak lama kemudian kulihat cahaya pudar menembus kegelapan, kurang lebih satu mil dari kami. Cahayanya remang, karena diselimuti kabut.
"Mercu suar terapung!" ujar seseorang yang berdiri dekatku. Aku berpaling. Rupanya Kapten Nemo yang berbicara tadi.
"Itu dia menara ap i terapung dari kota Suez,' sambungnya. "Tak lama lagi kita akan sampai di depan lubang terowongan."
194 "Mudahkah masuk ke dalamnya""
"Tidak! Karena itu aku selalu berada di tempat kemudi, untuk memandu kapal. Sekarang silakan turun ke bawah, Profesor Aronnax. 'Nautilus' akan menyelam sekarang. Kita baru muncul lagi, jika sudah melewati Terusan Arab."
Kapten Nemo berjalan mendului, menuju tangga tengah lalu turun. Di tengah-tengah tangga ia membuka sebuah pintu. Kami berjalan melalui sebuah lorong di bawah geladak, dan sampai di bawah kotak tempat pengemudi. Bentuknya bujur sangkar, dengan sisi sekitar dua meter. Di tengah-tengahnya terdapat roda kemudi. Di dinding kotak terdapat empat jendela bundar dengan kaca cembung. Lewat lubang-lubang itu juru mudi bisa melihat ke empat arah.
Ruangan itu gelap. Tapi tak lama kemudian mataku sudah biasa melihat keadaan yang serba samar di situ. Nampak olehku juru mudi. Orangnya berbadan tegap. Tangannya memegang roda kemudi. Di luar, laut kelihatan terang disinari cahaya lentera yang terdapat di belakang.
"Nah, sekarang kita mencoba masuk ke terusan," ujar Kapten Nemo.
Dari kotak kemudi terdapat kabel-kabel listrik yang menuju ke kamar mesin. Dengannya Kapten dapat memerintahkan arah dan kecepatan kapal. Ia menekan sebuah tombol logam. Seketika itu juga kecepatan menurun.
Aku memandang sambil berdiam diri. Saat itu kami sedang lewat di sisi tebing yang menjulang tegak lurus ke atas. Tebing itu merupakan dasar pantai di atas kami. Sejam lamanya kami menyusur di sisinya, dengan jarak beberapa meter saja dari padanya.
Kapten Nemo tak melepaskan mata dari tombol yang tergantung pada dua buah lingkaran bertitik
195 tengah satu. Sebentar-sebentar dia menggerakkan tangan sebagai isyarat, diikuti oleh juru mudi dengan putaran kemudi.
Aku berdiri di dekat jendela kanan, memperhatikan keadaan di luar.
Sekitar pukul sepuluh lewat seperempat, Kapten mengambil alih kemudi. Di depan kami nampak sebuah rongga besar, gelap dan dalam. 'Nautilus' bergerak langsung masuk ke dalamnya. Kudengar bunyi deru aneh. Rupanya itulah air laut Merah yang mengalir deras menuju Laut Tengah. 'Nautilus' mengikuti arus. Kami melesat dengan laju ke depan, meski mesin menggerakkan baling-baling ke arah mundur.
Jalan kami laju sekali, sehingga pada dinding rongga terusan hanya kulihat kilasan cahaya-cahaya terang. Kelihatannya seperti garis-garis api. Hatiku berdebar keras.
Pukul sepuluh lewat tiga puluh lima menit, Kapten Nemo melepaskan roda kemudi. Sambil berpaling menghadapku, ia berkata,
"Laut Tengah!" Dalam waktu tak sampai dua puluh menit, 'Nautilus' telah melewati tanah genting Suez, didorong aliran arus deras.
VI KEPULAUAN YUNANI WAKTU subuh keesokan harinya, tanggal 12 Pebruari, 'Nautilus' muncul ke permukaan. Aku bergegas naik ke geladak. Kira-kira tiga mil di sebelah selatan nampak garis pantai. Arus laut yang deras membawa kami berpindah dari Laut Merah ke Laut Tengah. Sekitar pukul tujuh, Ned dan Conseil ikut ke atas.
196 "Nah, Tuan ahli ilmu alam," ujar tukang tombak dengan nada mengganggu, "mana Laut Tengah-nya""
"Kita terapung pada permukaannya, Ned."
"Apa"" matanya terbelalak.
"Betul. Tanah genting kita tembus dalam beberapa menit saja."
"Aku tak percaya," ujar Ned mengotot.
"Percayalah," kataku. "Pantai rendah yang kelihatan di selatan itu pesisir Mesir. Mata Anda kan tajam, Ned; pasti akan terlihat dermaga pelabuhan Port Said menjulur ke tengah laut."
Ned memandang agak lama. "Eh, benar juga. Hebat sekali nakhoda kita! Kita sudah berada di Laut Tengah. Bagus! Sekarang marilah mengurus persoalan kita sendiri, tapi jangan sampai terdengar orang."
Aku tahu apa yang dimaksudkan oleh juru tombak. Kurasa lebih baik dibiarkan saja dia berbicara semaunya. Kami bertiga duduk dekat lentera.
"Kami siap untuk mendengarkan. Apakah yang hendak Anda katakan, Ned""
"Persoalannya sederhana saja: kita sekarang sudah berada di perairan Eropa, dan sebelum Kapten Nemo iseng lagi membawa kita ke dasar Laut Kutub, atau pergi ke Lautan Teduh, kuajak Tuan-tuan meninggalkan 'Nautilus'!"
Aku tak ingin mengekang kebebasan ge
rak kedua pengiringku. Tapi aku juga tak berniat meninggalkan Kapten Nemo.
Berkat dia dan alat selamnya ini, aku bisa memperdalam pengetahuan mengenai kehidupan di bawah air. Bukuku mengenainya perlu mengalami perubahan-perubahan besar. Mungkinkah aku akan sekali lagi mendapat kesempatan untuk menyaksikan keajaiban samudera" Sudah pasti tidak! Aku
197 tak bisa memaksa diri untuk meninggalkan 'Nautilus', sebelum seluruh penyelidikanku selesai.
"Kuminta Anda berterus terang, Ned; sudah bosankah Anda" Menyesalkah Anda karena mengalami nasib harus ikut dengan 'Nautilus'""
Sejenak juru tombak membisu. Kemudian ia menjawab, sambil menyilangkan lengan di depan dada,
"Sebenarnya aku tak menyesal ikut. Aku merasa beruntung! Tapi pelayaran sekarang sudah selesai. Karenanya sudah waktunya bagi kita untuk pergi. Begitulah pikiranku."
"Pelayaran ini akan berakhir juga, Ned."
"Tapi kapan, dan di mana""
"Aku tak tahu* di mana. Waktunya pun tak mungkin kukatakan. Tapi menurut hematku, pengembaraan kita akan berakhir, jika tak ada lagi yang dapat dipelajari."
"Kalau begitu, apa lagi yang Tuan harapkan"" ujar Ned ketus.
"Semoga segala-galanya berlangsung seperti enam bulan yang lewat, dan semoga kita bisa memetik manfaat dari padanya."
"Masya Allah!" seru Ned Land. "Dan akan di manakah kita dalam waktu enam bulan lagi, Tuan ahli ilmu alam""
"Barangkali di Cina. Anda tahu sendiri, 'Nautilus' kencang sekali. Air diarungi seperti menembus udara. Perairan ramai tak ditakutinya. Siapa tahu, barangkali kita masih akan menyusuri pesisir Perancis, Inggris atau Amerika. Kalau di sana, akan lebih mudah melarikan diri !"
"Profesor Aronnax," ujar Ned memotong. Kelihatan dia sudah jengkel. "Alasan Tuan rapuh sekali. Tuan berbicara tentang masa depan: 'kita akan di sana! Kita akan ke situ!' Kalau aku, aku
198 bicara tentang waktu ini: Kita berada di sini, dan saat ini harus kita pergunakan!"
Ucapan Ned masuk akal. Aku tak tahu, pertimbangan mana lagi yang dapat kuajukan untuk mengalahkannya.
"Sekarang kita anggap saja terjadi sesuatu yang mustahil," sambung Ned. "Misalkan saja hari ini Kapten Nemo memberikan kebebasan kembali, maukah Tuan menerimanya""
"Aku tak tahu," jawabku terus terang.
"Apakah Tuan akan menerimanya, jika tawaran itu cuma diberikan satu kali saja""
"Begini sajalah jawabanku. Kita berdua berbeda pandangan. Menurut pertimbanganku, kita tak boleh menggantungkan diri pada kebaikan hati Kapten Nemo. Demi keselamatan dirinya, kita tak mungkin dibebaskan olehnya. Di pihak lain, kebijaksanaan akan memungkinkan kita melarikan diri dari 'Nautilus', begitu ada kesempatan untuknya."
"Ucapan Anda itu baik sekali."
"Masih ada satu lagi pertimbanganku. Keadaannya harus sesuai, dan percobaan kita harus langsung berhasil. Jika sampai gagal, takkan ada lagi kesempatan berikut. Kapten Nemo pasti takkan memaafkan kita."
"Semuanya benar," jawab juru tombak. "Tapi pertimbangan Tuan itu berlaku untuk setiap usaha melarikan diri, baik dalam waktu dua tahun lagi maupun besok lusa. Kita harus memanfaatkan kesempatan baik!"
"Setuju! Soalnya sekarang, apa yang Anda maksudkan dengan kesempatan baik""
"Misalnya saja malam yang kelam, di mana 'Nautilus' tak jauh dari pesisir Eropa."
"Kalau begitu, Anda akan berusaha melarikan diri dengan jalan berenang""
199 "Benar, jika jaraknya ke pantai cukup dekat, dan apabila saat itu 'Nautilus' sedang terapung di atas permukaan. Tapi kalau pantai masih jauh, dan kapal di bawah air, tentu saja tidak!"
"Kalau begitu bagaimana""
"Aku akan berusaha merebut perahu. Aku mengenal cara kerjanya. Kita harus masuk ke dalam. Begitu sekerup-sekerup dibuka, perahu akan mengambang ke permukaan. Juru mudi takkan melihat kita, karena tempatnya di depan."
"Kalau begitu, berjaga-jagalah menantikan kesempatan. Tapi jangan lupa, satu kesalahan saja akan menggagalkan usaha itu."
"Aku takkan lupa, Tuan."
"Maukah Anda mengetahui pendapatku tentang niat itu""
"Tentu saja, Profesor."
"Menurut pendapatku - bukan harapanku - kesempatan baik itu takkan pernah datang." "Kenapa tidak""
"Kapten Nemo juga tahu, kita belum melepaskan harapan akan bisa mela
rikan diri. Pasti ia akan berjaga-jaga, apalagi kalau berada di dekat pantai Eropa."
"Kita lihat saja nanti," jawab Ned.
"Sekarang kita hentikan saja pembicaraan ini. Pada saat Anda merasa waktunya tiba, katakanlah pada kami. Kami akan mengikuti."
Dengan begitu berakhirlah pembicaraan, yang tak lama sesudah itu menimbulkan akibat serius. Kenyataan sehari-hari seolah-olah membenarkan pertimbanganku, sehingga juru tombak hampir-hampir putus asa. Mungkinkah Kapten Nemo mencurigai kami di perairan yang ramai ini" Atau mungkinkah dia hanya hendak menyembunyikan diri dari penglihatan kapal-kapal berbagai negara yang mengarungi Laut Tengah" Aku tak tahu. Tapi
200 kenyataannya kami sering menyelam di tempat yang jauh dari pantai. Dan kalau 'Nautilus' muncul juga, maka yang nampak cuma kotak kemudi. Kadang-kadang kami menyelam sampai dalam sekali. Di perairan antara kepulauan wilayah Yunani dengan daratan Turki, kami menyelam sampai lebih dari dua ribu meter, tanpa menyentuh dasar.
Tanggal 14 Pebruari, aku berniat mempelajari jenis-jenis ikan di perairan Yunani. Tapi entah kenapa, pelat-pelat penutup jendela samping tetap terkunci rapat. Sewaktu kupelajari arah kapal, baru kuketahui bahwa kami menuju ke Kreta. Tepat pada saat aku masuk ke kapal 'Abraham Lincoln', seluruh penduduk pulau itu memberontak terhadap kekuasaan penjajah Turki. Aku tak tahu bagaimana akhir perlawanan itu. Kapten Nemo juga tak dapat mengatakannya, karena kami tak mempunyai hubungan sama sekali dengan daratan.
Aku sama sekali tak menyinggung-nyinggung persoalan itu, ketika duduk bersama Kapten Nemo di kamar duduk malam itu. Lagipula kelihatannya ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Kemudian berlawanan dengan kebiasaannya, ia memerintahkan agar pelat-pelat penutup jendela dibuka. Begitu pelat-pelat tergeser menepi, ia mondar-mandir dari jendela satu ke jendela lainnya, sambil menatap dengan saksama ke dalam air. Aku tak tahu apa yang hendak dilihatnya. Pokoknya, aku sendiri bisa puas mengamat-amati kehidupan dalam air di situ. Meski aku sudah sering memperhatikan, namun tiap kali masih selalu terpesona melihat keindahan yang terbentang di hadapan mata. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada suatu pemandangan yang tak kusangka-sangka.
Seorang pria muncul di tengah air. Rupanya seorang penyelam, yang membawa pundi-pundi kulit di ikat pinggang. Ia berenang dengan cekatan.
201 Sekali-sekali menghilang, untuk timbul ke permukaan.
Aku berpaling memandang Kapten Nemo. Dengan ribut aku berseru,
"Ada orang jatuh ke air! Kita harus menyelamatkannya."
Kapten Nemo tidak menjawab. Ia datang menghampiri, lalu mendekatkan tubuh ke jendela.
Orang itu mendekat. Ia memandang ke dalam dengan muka ditempelkan pada kaca. Ia memandang kami.
Heran sekali aku, ketika melihat Kapten Nemo memberi isyarat pada orang itu. Penyelam membalas, lalu segera naik ke permukaan air. Kali ini ia tak muncul lagi.
"Janganlah Profesor gelisah," ujar Kapten Nemo menenangkan. "Dia bernama Nikolas Pesca, asalnya dari Tanjung Matapan. Orang itu terkenal di seluruh Kepulauan Cyclades, sebagai seorang penyelam yang tabah. Ia lebih sering di air daripada di daratan. Biasanya berpindah dari pulau satu ke pulau lainnya, kadang-kadang bahkan sampai ke Kreta."
"Anda mengenalnya, Kapten"" "Kenapa tidak""
Sambil berkata begitu, dia pergi ke sebuah perabot yang terdapat di sisi jendela kiri. Di samping perabot terdapat sebuah peti bersimpai besi. Di atasnya menempel sekeping tembaga yang dihiasi dengan tulisan 'Nautilus'.
Kapten Nemo tak melihat aku di dekatnya. Ia membuka perabot semacam peti besi, yang ternyata berisikan sejumlah besar bongkah logam. Kulihat lebih teliti, rupanya bongkah-bongkah emas. Dari manakah datangnya logam berharga ini, yang nilainya pasti tak terhingga" Dari mana Kapten mengambil emas itu" Dan apa yang hendak diperbuat dengannya"
202 Aku tak berkata apa-apa. Aku hanya memandang. Kapten Nemo mengambil bongkah satu per satu, dan menyusunnya ke dalam peti yang lebih kecil. Kutaksir nilai emas dalamnya sekitar 200.000 pound.
Peti kecil ditutup kembali. Kapten menuliskan alamat ditutupnya,
dengan huruf-huruf yang menurut perkiraanku merupakan tulisan Yunani modern.
Sesudah selesai menulis, ditekannya sebuah tombol yang dihubungkan dengan kawat ke ruangan awak kapal. Tak lama kemudian muncul empat orang. Peti itu kelihatan agak sukar mereka dorong ke luar ruangan. Kemudian kudengar peti dikerek naik lewat lubang tangga tengah.
Saat itu Kapten Nemo berpaling memandangku.
"Apa yang Tuan katakan, Profesor"" tanyanya.
"Saya tak mengatakan apa-apa, Kapten."
"Kalau begitu, izinkanlah aku mengundurkan diri."
Sambil berkata dia membalik dan meninggalkan ruangan pula.
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan gelisah. Sia-sia saja kucoba untuk tidur, karena dalam benak masih selalu bersimpang siur persoalan penyelam, dan hubungannya dengan peti berisi emas. Tak lama kemudian, dari gerakan agak oleng kuketahui bahwa 'Nautilus' sudah kembali ke permukaan.
Kudengar langkah-langkah orang di atas geladak. Dari bunyi-bunyi tertentu yang menyusul, kuketahui bahwa perahu dilepaskan dari tempatnya, lalu diturunkan ke air. Sekali perahu membentur tepi kapal. Sudah itu keadaan sunyi kembali.
Dua jam kemudian terdengar lagi bunyi sama, dalam urutan kebalikan. Perahu diangkat ke atas
203 kapal, dipasang kembali ke tempatnya. Sudah itu 'Nautilus' tenggelam ke bawah air.
Rupanya emas yang banyak itu sudah diangkut ke alamat penerima. Ke tempat mana di Benua Eropa" Siapakah yang menerima kiriman Kapten Nemo itu"
Keesokan harinya, peristiwa malam sebelumnya kuceritakan pada Ned dan Conseil. Mereka pun merasa sangat heran mendengarnya.
"Dikemanakankah emas sebanyak itu olehnya"" tanya Ned.
Pertanyaan itu tak mungkin kami jawab sendiri. Sehabis sarapan aku kembali ke ruang duduk, dan mulai bekerja sampai pukul lima sore. Aku menyusun catatan-catatan yang kubuat selama ini. Begitu sibuk pekerjaanku, sehingga aku merasa kepanasan. Jas kubuka. Aneh, hawa dalam ruangan yang panas rupanya. Aku memandang ke manometer. Kami berada di tempat sedalam dua puluh meter. Tak mungkin panas atmosfir mencapai air sedalam itu !
Aku terus bekerja. Tapi suhu dalam ruangan semakin meninggi.
"Mungkin ada kebakaran dalam kapal," pikirku.
Baru saja aku hendak meninggalkan ruangan, ketika Kapten Nemo masuk. Ia menghampiri termometer, dan memperhatikannya sesaat. Sudah itu ia berpaling sambil mengatakan,
"Empat puluh dua derajat."
"Saya juga sudah merasakannya, Kapten," jawabku. "Kalau hawa lebih panas lagi, kita pasti takkan tahan."
"Kalau kita tidak mau, suhu takkan naik lebih tinggi lagi."
"Oh! Kalau begitu Anda bisa menguranginya, kalau mau""
"Tidak. Tapi kita bisa menjauhi sumbernya." "Kalau begitu, panas ini mengalir."
204 "Tentu saja. Saat ini kita mengambang dalam arus air mendidih."
"Mana mungkin!" kataku tak percaya. "Lihat saja sendiri."
Katup-katup jendela membuka. Aku melihat air yang putih bergolak. Asap belerang mengepul di sela ombak. Kuletakkan tangan ke katup. Tapi dengan segera kutarik kembali, karena panasnya bukan main!
"Di manakah kita sekarang"" tanyaku.
"Dekat Pulau Santorin, Profesor," jawab Nakhoda. "Kita bergerak dalam terusan, yang memisahkan Nea Kamenni dari Pali Kamenni. Aku bermaksud mengajak Anda untuk melihat ledakan gunung dalam air."
"Kukira sudah tak terjadi lagi pembentukan pulau-pulau baru di sekitar sini," ujarku.
"Tak ada yang pernah berakhir di perairan bergunung api," jawab Kapten Nemo. "Api dari perut bumi selalu menyembur melalui celah-celah tanah. Tanggal 3 Pebruari 1866, sebuah pulau baru yang diberi nama Pulau George muncul di tengah-tengah uap belerang, dekat Nea Kamenni. Tanggal 6 bulan yang sama, pulau itu mengendap kembali. Tujuh hari sesudah itu, jadi pada tanggal 13 Pebruari, muncul pula Pulau Aphroessa. Antara pulau baru dan Nea Kamenni tinggal terusan sempit, yang lebarnya tak sampai sepuluh meter. Saat itu aku sedang ada di perairan sini. Karenanya bisa menyaksikan perkembangan peristiwa. Bentuk pulau baru itu bulat, bergaris tengah seratus meter, sedang tingginya sekitar sepuluh meter. Akhirnya tanggal 10 Maret muncul pula sebuah pulau yang lebih kecil lagi di dekat Nea Kamenni. Pulau itu diberi nama Reka.
Sejak saat itu ketiga pulau telah bersambung menjadi satu."
"Dan di manakah letak terusan yang sedang kita lewati saat ini"" tanyaku. Kapten Nemo mengam205 bil peta kepulauan, lalu menunjukkannya padaku.
"Inilah dia," katanya. "Anda lihat, pulau-pulau baru sudah kuterakan juga."
Aku kembali ke jendela pengintai. 'Nautilus' sudah tak bergerak lagi. Hawa panas hampir-hampir tak tertahan lagi. Air laut yang selama ini kelihatan putih, sudah berubah menjadi merah sebagai akibat persenyawaan besi yang terdapat dalamnya. Meski kapal tertutup rapat, tercium juga bau belerang. Kecerahan sinar listrik menjadi redup karena sambaran nyala api membara. Badanku basah karena keringat yang bercucuran. Nafasku sesak. Rasanya seperti sedang direbus!
"Kita tak bisa bertahan lebih lama dalam air mendidih ini," kataku pada Kapten Nemo.
"Memang takkan bijaksana, jika kita tetap di sini," jawab Kapten dengan tenang.
Ia memberikan perintah. Dengan segera 'Nautilus' meninggalkan neraka itu. Seperempat jam kemudian, kami sudah dapat menghirup udara segar di permukaan lagi. Terkilas dalam pikiranku, jika Ned Land memilih tempat ini untuk melarikan diri, kami pasti takkan selamat.
Keesokan harinya, tanggal 16 Pebruari, kami meninggalkan palung yang letaknya antara Rhodos dan Alexandria. 'Nautilus' pergi menjauhi kepulauan Yunani.
VII MENGARUNGI LAUT TENGAH DALAM EMPAT PULUH DELAPAN JAM
HANYA sekilas saja kulihat kesan Laut Tengah yang indah. Aku juga tak bisa menanyakan berbagai hal pada Kapten Nemo, karena dia tak muncul-muncul selama kami berlayar dengan kecepatan penuh. Kuduga kami telah menempuh jarak le206 bih dari seribu mil, dalam waktu empat puluh delapan jam. Kami meninggalkan pesisir Yunani tanggal 16 Pebruari, dan pada tanggal 18 sudah melewati Selat Gibraltar.
Terasa jelas bahwa Kapten Nemo tak menyukai Laut Tengah, karena kami berada di tengah daratan yang ingin dihindari olehnya. Ombak bergulung dan angin yang bertiup terlalu banyak membangkitkan kenangan, kalau bukan penyesalan. Di sini ia tak sebebas keadaannya di tengah samudera.
Kami berlayar dengan kecepatan dua puluh lima mil sejam. Dapat dibayangkan betapa jengkelnya Ned Land, karena tak mungkin melarikan diri. Perahu tak dapat diturunkan ke air, karena kapal melaju dengan kecepatan hampir sepuluh meter tiap detik. Meloncat dari 'Nautilus' yang bergerak selaju itu, sama saja artinya dengan terjun dari kereta api!
Begitu pula kesan yang kudapat dari perairan Laut Tengah: seperti penumpang kereta api melihat pemandangan lewat. Alam hewannya tak mungkin kuperhatikan dengan saksama.
Selama pelayaran itu, hanya sekali terjadi peristiwa menarik. Kami sedang lewat bagian sempit, antara Sisilia dan pesisir negeri Tunisia. Antara Tanjung Bon dan Selat Messina, dasar laut meninggi dengan sekonyong-konyong. Di depan kami membentang beting. Air di atasnya cuma sedalam lima belas meter. Padahal di kedua sisi, dasar laut berada seratus lima puluh meter di bawah permukaan laut.
Pesta Halloween 1 Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu Mustika Ular Emas 1

Cari Blog Ini