Century Karya Sarah Singleton Bagian 1
CENTURY By Sarah Singleton Copyright " 2005 Sarah Singleton
" Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Ebook " GOTHICZ Summary: Mercy dan adiknya tinggal di dunia yang remang-remang:
tidur saat matahari terbit, dan bangun saat matahari terbenam. Rumah mereka pun diselimuti musim dingin tak berkesudahan.
Mercy tidak pernah bertanya pada ayahnya tentang cara hidup mereka dan penyebabnya sampai suatu hari ia menemukan di bantalnya sekuntum bunga snowdrop, tanda pertama musim semi.
Pertemuannya dengan Claudius yang misterius mengguncang Mercy dan mengawali perjalanan berlikunya menyusuri sejarah keluarga, mengungkapkan fakta-fakta tentang kematian ibunya dan rumah mereka yang membeku dalam waktu.
[Untuk nenekku Sybil, dengan cinta]
Prolog BUKU itu tersembunyi di dalam peti kayu di loteng sayap timur rumah. Tempat itu sedang direnovasi, setelah beberapa dekade dibiarkan kosong. Beberapa perabot yang sudah membusuk masih ada di sana, namun para penghuninya sudah lama pergi. Genteng tuanya sudah rontok dan perlu diperbaharui. Dari loteng para pekerja mengangkut lemari-lemari berisi kain-kain berjamur, kotak-kotak kaleng penuh kertas, tudung-tudung lampu tua, tumpukan tirai beludru. Berselaput debu, benda-benda terlupakan itu dikumpulkan di aula besar. Sebagian besar akan berakhir di pembuangan sampah.
Seorang ahli menyodok-nyodok tumpukan sampah, berharap menemukan benda berharga. Lukisan minyak, mungkin. Gaun antik yang lolos dari serangan larva ngengat dan jamur. Vas, koleksi perhiasan. Tapi ia tak menemukan apa-apa. Bahkan kertas-kertasnya juga tak berharga hanya tagihan rumah tangga pudar yang memuat detail-detail dalam poundsterling, shilling, dan pence untuk membayar pengiriman bahan pangan.
Ia membuka peti kayu. Di dalamnya penuh laba-laba, dan mengepulkan debu berbau masam.
Ahli itu menarik keluar beberapa potong pakaian anak, sudah digigiti tikus untuk dijadikan sarang.
Tak ada apa-apa, katanya. Tak berharga. Kemudian, mengaduk-aduk lebih dalam, ia menemukan sesuatu. Tunggu dulu, katanya, terbatuk. Apa ini"
Ia menarik keluar sebuah buku. Sampulnya dari kulit merah memudar, pinggirannya sudah lapuk. Seutas tali tebal mengikat buku itu seperti paket, disimpul berulang-ulang.
Sang ahli mengeluarkan pisau pena dari sakunya dan memotong tali itu. Ia membuka buku tersebut dan membolak-baliknya, hidung hampir menempel. Ia membaca, sejenak, kemudian menutupnya keras-keras.
Ini novel, katanya. Sejenis roman. Tak terlalu berharga, tapi mungkin kau akan menganggap kisahnya menarik. Nama pengarangnya tertulis di halaman depan. Nih, lihat saja sendiri.
Ia menyerahkan buku itu padaku.
Century Sebuah Novel Oleh Mercy Galliena Verga
1890 I WANITA di bawah es. Hantu, Mercy bisa melihat hantu, gema orang-orang mati. Para arwah pergi ke dunia lain, mungkin ke surga, atau Valhalla jika kau orang Viking. Kadang-kadang mereka meninggalkan jejak memanjang, seperti kain tercabik dari gaun, atau helaian rambut terkait kuku. Tapi, tentu saja, hantu tak berjasad, dan robekan-robekan itu berupa tempat yang dipertahankan manusia, di mana sesuatu yang penting telah terjadi. Mungkin, Mercy merenung, kau tak perlu mati untuk jadi hantu. Mungkin ia sendiri telah meninggalkan jejak.
Wanita di bawah es. Kolam itu berupa kantong hitam di ujung Padang Penyulingan, dengan pohon-pohon merunduk ke bawah. Saat itu sejam sebelum matahari terbit dan langit telah memucat di timur. Ladang beku membentang jauh.
Mercy letih. Ia anak perempuan kurus berwajah murung dan tertutup, karena kebiasaan merenung berjam-jam. Rambutnya hitam tebal dan ia mengenakan mantel berwarna gelap. Ia tadi menyeberangi padang rumput. Sekarang kaki-kakinya terasa berat dan kaku, serta kepalanya berdenyut-denyut. Saat itu akhir malam juga, akhir harinya. Keluarga Verga selalu bangun persis setelah matahari terbenam, dan pergi tidur sebelum fajar.
Mercy duduk di pinggir kolam yang dingin dan ia mengetuk-ngetuk permukaan es dengan kakinya yang bersepatu bot. Es itu terasa tebal. Kemudian ia melihatnya, wanita hantu itu, wajah menengadah, buram, rambutnya yang gelap m
elambai-lambai, dan gaunnya putih, bergelombang karena air. Wanita itu mengalir.
Ketika wajah hantu itu berada di bawah kaki Mercy, matanya terbuka lubang kosong yang memantulkan warna ungu langit. Esnya, sangat jernih, menyelubungi wajahnya.
Mercy tersentak, meski ia tahu itu hantu. Hantu-hantu lain ia begitu sering melihat mereka. Mereka familier, tak menarik perhatian, seperti lukisan tua di dinding. Tapi yang ini tidak. Mercy tidak takut, tapi pemandangan itu membuatnya terkejut setengah mati wajah baru ini. Seperti melompat masuk ke air dingin, atau tersandung. Kulit mercy meremang, dari dasar tulang punggung sampai ujung kepala.
Ia berdiri dan mundur dari kolam, tapi tak bisa mengalihkan pandangan dari hantu itu. Rambut wanita itu bergelombang di arus tenang. Ia membuka mulut, dan menutupnya lagi, seperti ikan. Mungkin ia berusaha mengatakan sesuatu. Mercy tak menunggu untuk mencari tahu. Ia mengangkat roknya dan berlari menyeberangi Padang Penyulingan. Ia tak berhenti sampai tiba di rumah.
Rumahnya bernama Century abad. Rumah itu menjulang di atas bentangan ha-ha, yaitu parit berpagar untuk menghalangi ternak masuk ke halaman. Rumah itu menghadap taman besar, padang rumput dan, lebih jauh, danau besar, seperti pita air raksa.
Mercy berlari menaiki undakan menuju halaman, melalui gerbang di antara tembok tinggi yang mengelilingi taman mawar, dan mendorong pintu menuju dapur, tempat Aurelia membungkuk, mengaduk-aduk api. Mendengar pintu terbanting, ia memutar tubuh.
Mercy! bentaknya. Kenapa kau selalu berisik"
Aurelia wanita kurus, bergaun hitam ketat, dengan rambut putih digelung menjadi sanggul. Ketika ia sadar betapa Mercy tampak shock dan tersengal-sengal, ekspresinya berubah dari jengkel ke khawatir.
Mercy, katanya lagi, sekarang lebih lembut. Apa yang terjadi" Mercy sayangku, duduklah. Kau kedinginan wajahmu biru! Lihat tanganmu lenganmu. Darah berhenti di jemarimu. Duduklah dekat api.
Ia menggiring Mercy ke kursi kayu kecil dekat perapian, membuka tali sepatu Mercy, dan menggosok-gosok kaki anak perempuan itu agar hangat. Napas Mercy kembali teratur dan ia berusaha bicara namun bibir dan lidahnya terlalu kedinginan. Aurelia menghangatkan susu, dan menuangkannya ke cangkir bersama kayu manis, untuk diminum Mercy. Perlahan, Mercy pulih. Tangannya berdenyut dan terasa digelitik ketika menghangat.
Nah, apa yang terjadi" tanya Aurelia, dengan sabar menggosok-gosok telapak kaki Mercy.
Aku lihat yang baru, kata Mercy. Aku lihat hantu. Di balik es di kolam di ujung Padang Penyulingan.
Aurelia duduk tegak. Kenapa kau melakukannya" Kenapa kau pergi ke padang rumput"
Aurelia ngeri, karena hari-hari di Century selalu tanpa akhir dan tanpa perubahan. Seharusnya tak ada yang baru atau aneh yang terjadi. Mungkin bahkan petang dan fajar hanyalah ilusi dan rumah itu terselubung kegelapan selamanya.
Tapi Aurelia tahu Mercy bisa melihat, dan ia percaya padanya. Mula-mula, ketika Mercy memberitahu mereka tentang hantu-hantu, semua orang berasumsi ia hanya mengarangnya. Banyak anak memiliki teman khayalan. Teman-teman khayalan Mercy tidak lenyap, lagi pula bakat melihat hantu tak aneh di keluarga mereka. Trajan, ayah Mercy, pernah bercerita bahwa bibi buyut dari pihak ibunya juga bisa melihat hantu, dan semua orang menerimanya. Setiap hari, Mercy melihat hantu kucing kuning di dapur. Kucing itu melompat ke atas lemari dapur, meringkuk dan tidur. Kadang-kadang Mercy bisa melihat lelaki dalam balutan seragam tukang kebun memetik apel di kebun buah. Seperti kertas dinding, sebagian besar hantu-hantu itu; melebur dengan latar belakang, tak istimewa.
Aurelia, pengurus rumah dan perawat, tak suka pada kemampuan Mercy yang bisa melihat hantu. Ia mengerutkan bibir dan menggeleng. Sungguh, pikir Mercy, Aurelia bersikap seakan kemampuannya ini kebiasaan buruk, seperti menggigit kuku atau bersiul, yang seharusnya bisa dihentikan Mercy. Mana mungkin!
Kau takut" tanya Aurelia.
Bukan takut. seperti ada ikan dingin dimasukkan ke bagian belakang bajumu. Atau bersin tiba-tiba. Kaget!
Hmmh, kata Aurelia. Seharusnya kau tida
k keluar rumah dekat-dekat fajar. Kau tak pernah ke padang rumput! Apa yang ada dalam pikiranmu" Kau tak kuat berjalan sejauh itu. Mengapa tidak jalan-jalan di taman saja" Mungkin kau hanya berhalusinasi.
Mercy mengerutkan kening. Ia tahu apa yang dilihatnya. Dan apa yang memicunya jalan-jalan ke arah lain" Lagi pula, sudah lama sekali ia tak melakukannya. Berbulan-bulan" Sudah berapa lama" Sulit diingat. Tiap hari terasa sama saja di rumah besar ini. Mercy bangun setelah matahari terbenam, menghabiskan malam pertengahan musim dingin yang panjang. Ia sarapan bersama adik perempuannya, Charity, kemudian belajar diawasi pengasuh mereka. Setelah makan, anak-anak perempuan itu membantu di dapur, dan Mercy berjalan-jalan di taman. Membahagiakan, kebiasaannya berjalan-jalan di antara rumpun mawar, di bawah bintang-bintang.
Namun hari ini keadaan luar biasa terjadi. Mimpi-mimpi aneh di malam hari dan, begitu terbangun, ada sekuntum bunga snowdrop di bantal Mercy. Bunga putih yang hidup dan segar, hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Dari mana datangnya" Tak ada tanaman tumbuh di taman dan halaman Century. Tanahnya membeku, sekeras besi. Ia memungut bunga itu dari bantalnya dan mengaguminya, menyentuh kelopak-kelopak putihnya yang lembut dengan jemarinya, berusaha menghirup wangi samar yang mungkin menguar darinya. Bunga snowdrop itu jadi misteri. Penampakan tadi membuat terkejut.
Mercy memikirkan bunga itu selama hari yang panjang dan gelap; merahasiakannya dan merenungkan dari mana asalnya. Apakah Charity, Aurelia, atau ayahnya yang meletakkan bunga itu di sana, di sebelah kepalanya yang pulas, sebagai kejutan" Ia menunggu si pelaku mengaku.
Kemudian, ketika berjalan-jalan seperti biasa di taman, ia ingat bunga snowdrop biasanya tumbuh di kolam di Padang Penyulingan, maka ia memutar langkah dan menuju ke sana. Ia melanggar kebiasaannya.
Mercy tak bisa mengingat kapan kali terakhir ia melihat kolam kecil itu. Sudah lama, lama sekali, pada musim semi ketika kolam itu berupa batu permata hijau yang sejuk, penuh telur katak transparan. Namun bunga itu mengingatkannya pada bulan-bulan Januari yang telah lalu, ketika kolam dijejali bunga-bunga snowdrop. Pertanda munculnya musim semi di hari-hari yang tergelap. Apakah bunga-bunga itu bermekaran lagi" Ia tak menemukan sekuntum pun, tapi ia jadi tahu kolam itu punya rahasia sendiri.
Pikiran-pikiran ganjil membuat kepalanya gatal, seperti mimpi yang tak bisa diraihnya kembali. Ia menggosok rambutnya. Kakinya gatal. Aurelia memerhatikannya.
Pergilah tidur sekarang, katanya. Kau tampak lelah.
Di kamar tidur Mercy api menyala di dalam perapian besi kecil, dibingkai ubin biru dan putih. Aurelia membantu Mercy menanggalkan pakaian dan menyimpulkan pita di dasternya yang putih, menyisir rambut Mercy yang hitam dan panjang serta menggantung gaun sutranya yang lusuh.
Mercy melompat ke tempat tidur, menarik selimut. Aurelia, sudah berapa lama kita tinggal di sini" ia bertanya.
Astaga, aku tak ingat. Aurelia bergerak sibuk, menutup tirai berdebu, melipat syal Mercy.
Well, sekitar berapa lama"
Kita pindah ke Century dari Italia, kata Aurelia cepat-cepat. Dari Roma. Negara lama.
Aku tahu. Berapa lama"
Lama sekali. Aku tidak tahu. Aurelia berdiri tegak, mengerutkan kening. Sudah lama sekali, katanya. Tidurlah.
Namun Mercy tetap terjaga selama beberapa saat, sadar akan detak jantung yang menggerakkan rusuknya. Ia meregangkan lengan dan kaki. Hantu itu melayang dalam benaknya, dalam balutan awan putih gaunnya. Sudah berapa lama musim dingin ini berlangsung" Ia tak pernah ingin bertanya sebelumnya. Malam-malam musim dingin membentang di belakang, seperti mimpi dalam keadaan terjaga. Dan ia bergerak seperti orang yang tidur sambil berjalan. Sesuatu memicunya mencari kolam terlupakan itu. Pola kebiasaan sehari-harinya dilanggar.
Mercy bangun di malam hari. Tak seperti biasa, ia menyibakkan tirai. Bulan melingkar seperti piring perak di atas pepohonan. Ia menanggalkan dasternya. Ada lebam di lutut karena ia terjatuh, lingkaran ungu dan merah di kulitnya yang putih. Ia sangat kur
us, dengan lengan-lengan seperti batangan tulang putih, tapi rambutnya tebal dan hitam, serta panjang, sampai ke pinggang. Menjadi jubah untuk bersembunyi.
Ia mengenakan pakaian dalam, mengikat korsetnya, dan memakai gaun merah muda. Sutranya yang lembut tampak kusut, seperti kelopak mawar layu.
Charity duduk di meja ruang duduk anak. Ia memainkan mangkuk telur perak pudar di depannya. Potongan-potongan roti lembut putih tertata di piring bermotif mawar biru. Ia mencelupkan sepotong roti di merah telur, dan menggigitnya. Kemudian ia meletakkan rotinya kembali.
Hanya itu yang bisa kaumakan" kata Mercy. Ia duduk di ujung seberang meja. Sebagian besar rumah luas itu terabaikan menjadi sarang debu dan tikus, namun di sini api berkeretak pada dahan-dahan pohon cedar di perapian.
Charity mengangkat bahu. Well, kau belum makan apa-apa, sahutnya.
Charity, mirip boneka rapuh, terbalut mantel kamar merah marun yang besar, lengan-lengannya digulung. Rambutnya panjang, penuh ikal, berwarna mentega dan madu. Tapi wajahnya kurus dan tirus, matanya yang biru tampak terlalu besar.
Sesuatu telah terjadi, kata Charity. Ia bersandar di kursinya.
Apa yang terjadi" Aku tidak tahu persis. Ada hubungannya dengan dirimu dan hantu gadis di kolam. Aku dengar Aurelia bicara pada Ayah dan Galatea tentang kejadian itu, sebelum sarapan. Mereka bilang sesuatu telah terjadi.
Apa maksudmu, Charity" Tak terjadi apa-apa. Apa yang bisa terjadi"
Galatea, sang pengasuh, adalah sosok menakutkan dan Mercy takut membuatnya tak senang. Dan ia bertanya-tanya tentang ayahnya. Sudah lama ia tak bertemu dengannya. Ia tahu ayahnya dekat, mungkin di ruang kerjanya, tapi lelaki itu jarang muncul. Ayahnya terasa jauh, di latar belakang.
Ayah terdengar khawatir, kata Charity. Apa yang kaulakukan" Aurelia membicarakanmu.
Aku tidak tahu, ulang Mercy. Apa persisnya yang mereka katakan"
Apa alasan semua keributan ini" Mereka sudah terbiasa mendengarnya melihat hantu. Tapi bukan hantu baru, tidak. Itu alasan untuk khawatir. Mercy merasakannya, merinding, dari ujung kepala sampai telapak kaki.
Charity, penguping yang lihai, mengangkat alis, kemudian tersenyum mengejek. Ia jadi meradang. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi Aurelia berderap masuk, membawa sebaki perlengkapan minum teh, juga dihias mawar-mawar biru. Aurelia menyapa Mercy dan menuangkan secangkir teh melati untuk tiap anak. Ia berbalik untuk menyodok api dan Charity menatap uap yang membumbung melingkar-lingkar dari cangkirnya.
Tunggu dan lihat saja, Charity berbisik, mengangkat matanya menatap Mercy. Ini semua salahmu. Ia mengambil sendok dan mengetukkan nada lirih pada telurnya. Ia kembali tersenyum mengejek. Mercy, pura-pura tak peduli, mengambil sepotong roti bakar dan menggigitnya. Kenapa Charity selalu berlagak tahu segalanya"
Charity mengambil sepotong roti lagi, menggigitnya sedikit, dan meletakkannya kembali ke piring.
* * * Kemudian anak-anak perempuan itu bersama buku-buku mereka menunggu Galatea memberi pelajaran di perpustakaan. Ruangan itu dingin sekali, tanpa perapian. Mercy gelisah, menduga bakal dimarahi sang pengasuh. Pintu terbuka.
Ayah! Mercy melompat bangkit. Trajan berdiri di ambang pintu. Sudah lama sekali Mercy tak melihatnya.
Charity menengadah, dan menyunggingkan senyum kemenangan pada ayah mereka.
Selamat pagi, anak-anak, kata Trajan, canggung. Kuharap kalian baik-baik saja.
Ia tampak agak lusuh dan tua. Kemeja putih dan syalnya dekil bernoda, dan ada bercak-bercak gelap, seperti sidik jari, di jaketnya. Rambutnya yang tergerai berantakan hitam bersemu kelabu. Ia duduk dan menatap kedua gadisnya, seakan mereka orang asing, berusaha mengingat nama mereka.
Mercy, Charity, akhirnya ia berkata. Aku cemas. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku rasa rumah ini mengalami gangguan, kalian mengerti. Bisa jadi masalah bagi kita. Ia bicara dengan canggung.
Apa maksud Ayah" tanya Charity ceria.
Gangguan, katanya lagi, berusaha keras mencari kata yang tepat. Aku ingin kalian berhati-hati. Berjaga-jaga.
Berjaga-jaga menghadapi apa" tanya Mercy.
Apa saja yang & aneh. H
al-hal tak terduga. Mercy mengerutkan kening. Ia teringat bunga snowdrop dan hantu itu. Kira-kira mungkin itu hal-hal tak terduga yang dimaksud ayahnya. Bagaimana mungkin hal-hal itu berbahaya"
Sang pengasuh dan anak-anak menunggu Trajan bicara lagi, tapi ia malah terbatuk dan memasukkan tangan ke saku, mulai berbalik.
Ingat apa kataku, katanya. Jika ada yang merisaukan kalian, datang dan ceritakan padaku. Ia melangkah ke pintu.
Di mana kami bisa menemui Ayah" tanya Mercy.
Trajan mengerutkan kening. Oh, di sana-sini, katanya, menggerakkan tangannya tak jelas. Di rumah. Kemudian ia pergi.
Anak-anak dan sang perngasuh berdiri beberapa saat tanpa bicara, Mercy kebingungan karena peringatan ayahnya.
Well, akhirnya Galatea berkata. Dingin sekali di sini hari ini. Kita ke tempat yang lebih hangat untuk belajar"
Ruang duduk anak, usul Charity. Atau dapur.
Ruang duduk anak akan sesuai, kata Galatea. Kurasa lebih baik jangan mengganggu Aurelia di dapur. Charity, kau jalan duluan.
Mereka belajar kata kerja Latin dan setelah itu Galatea mengajari mereka bahasa Italia, yang bisa dibaca Mercy dengan baik tapi diucapkannya dengan buruk. Kemudian mereka makan pai daging rusa dengan bawang perai dan kubis, serta roti yang baru keluar dari oven. Charity makan banyak kali ini, tapi Mercy dihantui pikiran-pikiran ganjil, tentang ayahnya, bunga snowdrop, dan hantu di kolam. Ia ingin kehidupan berjalan seperti sedia kala, sebelum gangguan terjadi.
Segera setelah makan, Mercy pergi berjalan-jalan seperti biasa di taman, kemudian membaca bersama Charity dekat perapian. Lalu anak-anak makan malam bersama Galatea dan Aurelia di dapur, dan ketika makan malam usai, Mercy pergi ke kamarnya, menutup tirai dan pintu. Ia meringkuk di tempat tidur sambil membaca buku favoritnya, dongeng berjudul Putri sang Penyihir. Di halaman judul tertoreh nama Mercy di bawah nama lain, nama ibunya. Thecla Arcadius Verga. Arcadius adalah nama gadis ibunya. Ayahnya berkata mereka memilih nama-nama Inggris untuk putri-putri mereka agar lebih bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Keputusan ini terdengar aneh sekarang.
Putri sang Penyihir berdiri di balkon tinggi, di atas salju, di halaman bertepi tinta emas. Mercy merenung, mengelus-elus gambar itu dengan jari. Masa lalu terasa sangat jauh. Hari ini hari yang aneh. Musim dingin berlangsung terus. Minggu-minggu melayang, satu demi satu, tapi sekarang segalanya berubah. Jalan-jalan, hantu, Ayah.
Persis sebelum matahari terbit Aurelia membantunya berganti pakaian tidur dan Mercy pun terlelap, sampai pagi hari terbalik di Century, ketika Aurelia membangunkannya lagi.
Mercy, Sayang, bangun, kata Aurelia. Ayo. Galatea ingin kalian mulai lebih pagi hari ini.
Mercy mengayunkan kaki turun dari tempat tidur dan mengibaskan rambut dari mata. Kepalanya masih dipenuhi mimpi tentang tempat-tempat yang lebih terang. Ia berpakaian dan sarapan telur rebus dengan roti panggang bersama Charity. Ia membawa cangkirnya ke dapur, tempat Aurelia sedang membakar roti. Mercy melihat ke sekeliling, buntalan-buntalan tanaman bumbu diikat di balok langit-langit. Panci-panci tembaga mengilap. Lemari dapur berpintu kaca penuh berisi peralatan makan besar, sekarang tak pernah digunakan. Ruangan yang familier itu tampak seakan baru mungkin karena Mercy menyempatkan diri memerhatikan. Sejak kapan ia berhenti memerhatikan segalanya"
Galatea menjemput mereka dengan tergesa. Seperti biasa Charity berperilaku seperti murid teladan. Mereka belajar kata kerja Latin, sang pengasuh menegur Mercy tiap kali ia berbuat kesalahan, menyuruhnya mengulangi menyebut perubahan bentuk kata berkali-kali. Kemudian, ketika Mercy hendak berjalan-jalan sendiri di taman seperti biasa, Galatea memutuskan mereka semua harus pergi bersama-sama. Charity mengerang, tapi Mercy terperangah.
Aku ingin pergi sendiri aku selalu melakukannya sendiri, kata Mercy. Kalian tak boleh ikut.
Kau tak boleh sendirian, kata Galatea tegas. Aku menuruti perintah ayahmu. Katanya aku harus menemanimu.
Hati Mercy terasa berat. Tak ada yang lebih disukainya selain
berjalan-jalan sendirian dalam udara dingin di bawah sinar bulan. Galatea akan merusak kesenangannya. Mercy cemberut, sesak karena kesal.
Di luar, ladang berselaput es, sehingga mereka membungkus diri dengan sarung tangan, mantel tebal, dan topi.
Ayolah, kata Galatea. Mereka keluar melalui pintu dapur dan melangkah menembus malam. Cahaya bulan gemerlap menimpa rumput-rumput beku. Sinarnya memantul pada wajah Mercy. Begitu dingin bahkan meskipun ia terbungkus rapat. Charity menggenggam tangan kakaknya.
Mereka melintasi taman mawar dan menyeberangi bagian atas Padang Penyulingan. Kemudian Galatea memimpin mereka melalui gerbang dan menelusuri jalan setapak menuju gereja kecil di puncak lereng, persis di tepi hutan. Mercy telah lupa gereja itu ada di sana. Kapel keluarga. Suasana hening sekali. Sekali-sekali ada makhluk bergerak di antara semak-semak beku, terganggu derap tiga pasang sepatu bot.
Nah, anak-anak, kata Galatea. Kurasa sebaiknya kita harus terus jalan-jalan bersama setelah belajar. Kalian berdua tampaknya butuh olahraga yang menyehatkan. Terlalu dingin untuk membuat sketsa, tapi aku ingin kalian mempelajari gereja, sehingga kita bisa menggambarnya kembali sepulangnya nanti. Kalian boleh memilih bagian mana saja yang kalian suka.
Ia mengenakan sarung tangan kulit, dan syal bulu rubah tersampir di bahunya. Kepala rubah itu masih ada, dengan matanya yang sedih seperti batu amber. Charity tersenyum padanya, dan segera melompat berlari, ke arah selatan, untuk mempelajari pohon-pohon yew yang melingkar, dan menara-menara kecil geraja. Mercy, yang benci menggambar, menyeret langkah malas mengikuti adiknya. kemudian dari ceruk di dinding gereja burung hantu lumbung terbang melayang, seperti hantu. Putih dan krem, tanpa suara, burung itu menukik dari langit malam, dan membumbung lagi, ke atas pohon-pohon. Mercy mengikutinya, menembus bayang-bayang di bawah pohon-pohon yew, dan melewati sebuah batu nisan. Di seberang gereja, pepohonan menjulang, rapat dan hitam. Namun cahaya menarik perhatiannya, di jendela sebelah timur. Pancaran cahaya di jendela berkaca patri berpendar di balik potongan-potongan kaca buram berwarna merah darah dan biru tua. Cahaya lilin. Ada orang di dalam gereja.
Mercy menuju serambi. Ia tak bisa melihat Galatea dan Charity, sekarang terhalang pohon-pohon yew. Ia ragu sesaat, dalam lindungan serambi. Ia bisa mencium bau batu-batu tua. Lempengan lantai batu terasa dingin di bawah kakinya, menembus sepatu dan stoking. Ia meraih gagang pintu yang berat. Siapa yang ada di dalam"
Pintu terbuka tanpa suara, tapi gagang besinya berdetak ketika dilepaskannya. Tanpa cahaya bulan ia butuh beberapa saat sebelum matanya terbiasa dalam kegelapan. Ia melangkah di lorong utama, kemudian menunggu, satu tangan mencengkeram bagian atas bangku. Lilin menyala di bawah jendela di dinding timur. Lingkaran cahaya kecil panas memantul pada dinding, dan ia melihat kepala tertunduk lelaki yang duduk di ujung bangku.
Mercy tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya menunggu, dan memerhatikan. Api lilin menari-nari tertiup angin. Ia tak bisa memastikan apa yang terdapat di jendela cahaya lilin hanya memantulkan potongan-potongan puzzle berwarna perak dan kelabu. Kemudian lelaki itu menoleh.
Mercy, katanya. Sisi wajahnya terselubung bayangan, maka Mercy tak bisa melihatnya dengan jelas. Suaranya terdengar masih muda. Mercy bergidik.
Mercy, katanya lagi. Perlahan, Mercy melangkah maju, menggerakkan tangan dari bangku ke bangku.
Aku menunggumu, kata lelaki itu. Wajah putih, dengan rambut gelap jatuh di dahinya. Ia tampak aneh sekali, dan tampan, seperti pangeran di salah satu buku dongeng antiknya.
Apakah kau &" Mercy bertanya. Apakah kau
Hantu" Bukan. Lalu kau siapa" Suara Mercy gemetar. Ia telah lupa bagaimana rasanya bicara dengan orang asing. Ia menegakkan tubuh, mengumpulkan rasa percaya diri.
Kau melihat wanita di es itu, bukan" lelaki itu bertanya.
Bagaimana kau tahu" Mereka berdua saling bertanya, dan sekarang keduanya menunggu jawaban. Waktu berjalan.
Kau siapa" ulang Mercy. Lelaki muda itu menu
nduk dan tersenyum. Ia menyibakkan rambut dari dahinya.
Claudius, jawabnya. Kau keluarga" tanya Mercy.
Aku juga berasal dari negara lama, katanya. Aku orang Verga. Sekarang, jawablah pertanyaanku. Kurasa kau melihat wanita di es itu. Hantu.
Ya, kata Mercy. Kenapa kau tidak ke rumah saja"
Aku mengirim pesan untukmu, Mercy. Apakah kau menemukannya, bunga snowdrop di bantalmu" Aku mengirimmu kepada wanita itu. Sudah waktunya, kau mengerti.
Kau yang meletakkan bunga itu" Kau masuk ke kamarku" Jantung Mercy berdegup kencang. Waktu untuk apa" Sekarang ia ketakutan, teringat peringatan ayahnya.
Sekarang aku menemuimu, kata lelaki itu. Untuk membantumu.
Membantuku" Membantuku melakukan apa" Di mana kautemukan bunga itu" Bunganya tidak tumbuh di sini. Mercy bicara dengan suara keras. Ini terlalu sulit dipahami. Claudius meletakkan jari di bibir.
Galatea akan mendengar, katanya. Kita tak punya banyak waktu.
Kau tahu siapa dia, hantu itu"
Claudius menyahut dengan pertanyaan lain. Kau tahu apa yang terjadi dengan ibumu, Mercy"
Dia meninggal, kata Mercy. Ketika aku masih kecil. Namun segera setelah kata-kata itu meluncur dari mulutnya, ia bertanya-tanya. Ibunya sudah lama sekali meninggal. Tapi anehnya, ia tak bisa mengingat pemakamannya, dan setelah ia memikirkannya, ia jadi sadar tak tahu di mana makamnya. Pastinya ada di sini, di gereja keluarga" Apakah sebaiknya ia mencari" Siapa yang memberitahunya tentang kematian Thecla" Apakah Mercy sendiri mengarangnya, penjelasan kekanakan tentang ketidakberdayaan ibunya" Di buku-buku dongengnya, para ibu selalu meninggal. Ia berusaha mengingat rasa sakit yang sekian lama diabaikannya kembali bangkit menusuk rusuknya.
Kau bisa melihatnya lagi, Mercy, kata Claudius lembut.
Bagaimana" tuntut Mercy. Di mana dia"
Saat itu mereka terganggu dengan suara langkah kaki di serambi. Pintu mulai terbuka.
Hati-hati, Mercy, Claudius berbisik. Kau mengerti" Jangan percaya apa yang mereka katakan, ayahmu dan Galatea. Jangan percaya mereka. Kemudian ia menyelinap pergi, masuk ke bayang-bayang di bagian belakang gereja. Ia lenyap.
Mercy" Galatea berdiri di ambang pintu. Siapa di sana"
Ini aku, sahut Mercy. Lilinnya menyala. Tapi tak ada siapa-siapa.
Mercy terlalu jauh dari sang pengasuh untuk bisa melihat ekspresinya dalam kegelapan, tapi suara Galatea terdengar tajam, mungkin takut.
Ayo kembali, Mercy, katanya. Kita kembali ke rumah. Kuharap kau sudah melakukan pengamatan yang baik untuk sketsamu. Ia melihat ke sekeliling gereja, wajahnya seperti elang, sebelum menutup pintu di belakang mereka.
Mereka bergegas pulang, anak-anak berusaha mengikuti langkah sang pengasuh. Setelah itu, di ruang duduk anak, Charity mulai membuat sketsa gereja dan pohon-pohon yew. Ia seniman berbakat lebih baik daripada Mercy, meski lebih muda. Mercy berusaha menggambar burung hantu lumbung tadi, tapi pikirannya berpacu. Siapa Claudius" Mengapa ia berusaha menolong Mercy" Mengapa ia tak boleh memercayai ayahnya sendiri" Claudius juga membuatnya bingung. Ia tak suka memikirkan lelaki itu mengendap-endap ke dalam kamarnya ketika ia tidur. Kemunculannya di gereja membuat Mercy terkejut, tapi ia tak kuasa berpikir ada yang familier dalam diri lelaki itu. Ia tahu siapa Mercy, dan di mana menemukannya. Pernahkah mereka bertemu, dulu sekali, ketika Mercy masih kecil" Mungkin lelaki itu akan menemuinya lagi.
Galatea tak senang melihat usaha setengah hati Mercy menggambar burung hantu. Ia menyuruh anak-anak pergi, dan ia sendiri masuk ke kamarnya. Kakak-beradik itu duduk bersama, dekat perapian, letih karena belajar dan berjalan-jalan tadi. Mercy tak sabar menceritakan kabar terbarunya.
Charity, ujarnya. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu rahasia.
Rahasia" Mata Charity bersinar. Apa"
Mercy menggigit bibir. Mungkin tak bijaksana memberitahu Charity apa yang telah terjadi. Charity adalah favorit Galatea dan anak itu suka bertindak menuruti kata hati mendadak. Ia mungkin mengadu pada sang pengasuh tentang Claudius. Tapi rahasia itu terlalu berat untuk ditanggung Mercy sendiri
an. Aku melihat seseorang di gereja. Lelaki, kata Mercy.
Hantu lain" Bukan, bukan hantu. Tapi Charity, dia tampak familier, dan semakin kupikirkan, semakin familier tampaknya. Dia bilang namanya Claudius. Dan dia bilang akan membantu kita.
Charity mengerutkan kening. Membantu kita melakukan apa" Ke mana perginya" Galatea tidak bilang apa-apa tentang orang di dalam gereja, bodoh. Kami tak melihat siapa-siapa.
Lelaki itu lenyap, persis saat Galatea masuk.
Charity menendang kakinya. Kedengarannya seperti salah satu hantumu. Jika kaulah satu-satunya yang bisa melihatnya. Bagaimana kau tahu dia bukan hantu"
Katanya dia bukan hantu. Lagi pula dia tak terasa seperti hantu. Aku tahu. Sebatang lilin menyala. Galatea melihatnya. Satu hal aneh lagi Claudius tahu tentang hantu wanita di bawah es itu. Katanya dia mengirimku untuk melihatnya.
Charity tak menjawab. Ia menjulurkan jemari kakinya yang berstoking dan menggerak-gerakkannya di depan api.
Mercy, hidup jadi lebih mengasyikkan, bukan" katanya. Ayah bicara pada kita dan sekarang ada lelakimu itu. Apa yang terjadi pada kita" Aku merasa habis tidur berabad-abad. Dan sekarang aku kelaparan!
Aku tidak suka, kata Mercy. Aku sama sekali tidak suka. Aku ingin keadaan kembali seperti biasa.
Charity mengangkat bahu. Ia berdiri dan melenggang keluar ruangan. Tapi Mercy tak bisa tenang. Pikirannya berputar-putar, dan ia tak bisa memahami apa yang terjadi. Dan mengapa ia lupa memberitahu Charity kata-kata Claudius tentang ibu mereka"
II MERCY sedang tidur ketika mendengar suara tawa di koridor di luar kamarnya. Mula-mula ia tak yakin apakah suara itu bagian mimpinya, atau nyata. Ia terjaga, perlahan, bangun dan bangkit menembus lapisan-lapisan mimpi suram kelabu. Suara tawa itu seperti bendera tipis berwarna emas, berkibar persis di depannya. Ia mengulurkan tangannya namun bendera itu terlalu jauh. Bangun, bangun ia membuka mata, dan tersentak. Kamarnya gelap, tapi suara tawa itu nyata. Ia mendengarnya lagi. Suara tawa anak kecil, penuh kehidupan dan keriangan.
Mercy sering mendengar suara itu sebelumnya. Merupakan bagian dari pagi hari, dan begitu familier sehingga ia hampir tak lagi menyadarinya, seperti lukisan-lukisan yang dilewatinya, tanpa melihat apa yang tergambar di sana. Suara tawa itu berasal dari hantu gadis kecil, yang berlari bolak-balik sepanjang koridor di luar kamarnya. Ia terdengar gembira dan hidup, dan hari ini suara tawanya menembus benak Mercy selagi ia tidur.
Setelah benar-benar terjaga, Mercy mendesah. Begitu banyak detail kehidupan yang memudar dari alam sadarnya. Baru sekarang ia mulai menyadari hal-hal lagi. Di sisi tempat tidurnya bunga snowdrop itu mulai layu di dalam semangkuk air. Mercy turun dari tempat tidur, dengan hati-hati membuka pintu, dan mengintip keluar. Itu dia hantu itu. Anak perempuan itu sepertinya berusia sepuluh tahun. Ia mengenakan gaun indah, dihias mutiara. Mungkin ia sedang menghadiri pernikahan, atau pesta istimewa, dan itulah sebabnya momen bahagianya ini tertinggal di koridor ini, saat gadis kecil itu paling bahagia.
Mercy tersenyum tapi tahu hantu itu tak bisa melihatnya. Gadis kecil itu melompat-lompat. Rupanya ia bermain bersama seseorang yang tak bisa dilihat Mercy, dan gadis kecil itu terkikik. Hantu itu menutup kedua mata dengan tangannya dan mulai menghitung. Petak umpet. Tapi si hantu mengintip. Ia merenggangkan jemari, mengintip melalui celah-celahnya.
Teman tak kasatmata si hantu rupanya sudah tak dilihatnya lagi sekarang, karena si hantu menurunkan tangan. Ia memutar tubuh, melihat ke sana kemari, ingin memutuskan ke arah mana ia akan mencari. Kemudian ia pergi, menuju kegelapan. Mercy sering sekali melihat hantu anak perempuan ini. Hantu itu melakukan gerakan yang persis sama, dan mengeluarkan suara-suara yang sama. Hanya saja sekarang Mercy-lah yang bertindak di luar kebiasaan. Ia mengikuti si hantu ke sepanjang koridor.
Hantu anak perempuan itu menoleh ke belakang, mencari-cari seseorang. Ia berlari, kemudian berjalan lagi. Ia setengah melompat-lompat. Ia bersenang-senang, memimpin seseorang dalam
tarian gembira, bercanda. Mercy bergegas mengikuti. Koridor itu lebar, menuju bagian inti rumah, di depan. Jendela-jendela tinggi menjulang di sebelah kirinya, dipenuhi bintang-bintang. Ia tak sering lewat sini. Sebagian besar rumah ditutup, dihuni debu dan laba-laba. Hantu itu lenyap sebentar, ketika pancaran cahaya bulan menyinarinya, membuat sosoknya kabur. Kemudian Mercy bisa melihatnya lagi, lebih jauh di depan, sudah melewati jendela-jendela. Ia mengikuti.
Gadis kecil itu berhenti dekat permadani hiasan di dinding sebelah kanan. Ia menatap menembus Mercy, yang sekarang berdiri persis di sebelahnya. Betapa cantiknya dia, hantu itu. Kulitnya sangat pucat, bulu matanya berwarna emas muda. Hantu itu seakan ragu dekat permadani dinding. Ia menoleh cepat-cepat, mengangkat sebelah tangan kemudian lenyap.
Rumah seakan menahan napas sesaat. Mercy merinding, merasakan embusan angin dingin. Di balik panel kayu seekor tikus membuat suara menggaruk. Mercy menggosok-gosok bagian atas lengannya dengan tangan. Di permadani dinding itu rusa jantan dan unicorn menari dengan bertumpu pada kaki belakang mereka, di dua sisi perisai biru dan emas. Gambarnya tertutup debu, melekat di dinding karena sarang laba-laba tebal. Ragu-ragu, Mercy meraih dan mengusap debunya.
Mercy" Mercy! Suara tajam itu membuatnya terlonjak. Mercy menarik kembali tangannya.
Kau terlambat sarapan, dan Charity sudah memulai pelajarannya. Itu Galatea, berderap di koridor. Ia berhenti di sebelah Mercy. Apa yang kaulakukan di sini" Galatea mengerutkan kening, wajah penuh kecurigaan.
Mercy menelan ludah gugup. Galatea selalu memarahinya. Mercy tahu ia selalu membuat sang pengasuh kesal karena sering melamun dan ceroboh. Ia tak ingin memberi Galatea alasan untuk mengomel.
Tidak apa-apa, Mercy bergumam. Tak apa-apa. Aku hanya aku hanya & Ia tak tahu apa yang harus diucapkan.
Galatea menatap permadani dinding, kemudian menatap Mercy lagi.
Ada yang kaucari" ia bertanya.
Mercy menggeleng. Maaf aku terlambat, katanya. Aku akan berganti pakaian cepat-cepat. Dan tanpa berkata apa-apa lagi ia kembali ke kamarnya.
Ketika mengenakan gaunnya, Mercy memikirkan kejadian-kejadian hari sebelumnya, dan kata-kata Claudius bahwa ia bisa melihat ibunya lagi. Bagaimana mungkin, kan ibunya sudah meninggal" Setelah mengancingkan gaunnya, Mercy berdiri tegak. Kapan ia berhenti memikirkan Thecla" Kapan ia mulai berhenti merindukannya" Mercy berusaha mengingat apa yang terjadi, tapi ia bahkan tak bisa memunculkan kenangan tentang wajah ibunya. Simpul nyeri di dalam rusuknya terasa melilit. Ia mengepalkan tangan menjadi tinju, menancapkan kuku-kukunya ke telapak tangannya. Putri sang Penyihir tergeletak di lantai dekat tempat tidur, nama itu tertoreh di sampulnya. Tanpa buku itu, apakah ia akan melupakan nama ibunya juga" Ia harus mencari tahu. Akibat dorongan hati mendadak ia merobek secarik kertas dari buku jurnalnya dan menuliskan pesan untuk Claudius. Mungkin ia bisa meninggalkannya di gereja.
Galatea memanggil lagi dan Mercy bergegas ke ruang duduk tamu, untuk melanjutkan pelajaran bahasa Latin. Charity bersikap congkak, karena ia sudah mulai bekerja keras ketika Mercy tiba, terlambat dan gugup. Mercy membuka buku-bukunya.
Galatea bilang kita harus menerjemahkan sajak di halaman seratus tiga, kata Charity. Aku sudah selesai mengerjakan bait pertama. Kau harus cepat-cepat jika ingin mengejarku.
Sang pengasuh masuk memeriksa sebentar, untuk memastikan mereka memang mengerjakan tugas, tapi kemudian ia menghilang lagi.
Dia bicara dengan Ayah, kata Charity.
Bagaimana kau tahu" Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama, kata Charity. Mengobrol.
Bagaimana kau tahu" ulang Mercy, lebih keras. Adiknya, jika punya rahasia, menjadi sangat menjengkelkan.
Aku selama ini membuntutinya, kata Charity. Setelah kita belajar, ketika kau masuk kamar kemarin. Aku lapar, maka aku pergi ke dapur. Dan aku melihatnya bergegas masuk ke ruang kerja Ayah.
Kurasa dia ingin membicarakan perkembangan kita pada Ayah, kata Mercy, berusaha tak terdengar terlalu tertarik.
Dia bersama Ayah selama dua jam, kata Charity. Sudah hampir waktu tidur ketika dia meninggalkan ruang kerja.
Kau menunggu selama itu"
Tidak. Charity menggeleng. Aku membiarkan pintu kamarku terbuka, dan mendengarkan jika dia kembali. Aku melangkah keluar, membuatnya terlonjak. Galatea, kataku. Aku tak bisa tidur. Maukah kau membacakan cerita untukku"
Mata Mercy melebar. Apa katanya"
Yah, dia kelihatan lumayan gembira. Dia tersenyum padaku, tapi berkata aku sudah terlalu tua untuk dongeng sebelum tidur. Menurutmu, Charity berkata detengah bercanda, apakah dia jatuh cinta pada Ayah"
Mercy merasa bagaikan tercekik. Pikiran itu membuatnya jijik. Percintaan" bisiknya. Ayah dan Galatea" Kemudian lebih keras: Tidak, tentu saja tidak, anak tolol! Bagaimana mungkin kau bisa memikirkan itu! Itu hal paling konyol yang pernah kudengar. Bagaimana mungkin kau bisa membayangkan sedetik pun Ayah jatuh cinta pada wanita mengerikan itu!
Ia harus setengah menelan kata-kata terakhir karena wanita yang mereka bicarakan masuk ke dalam ruangan. Wajah Mercy menjadi panas dan merona.
Galatea menatap mereka berdua.
Bagaimana pekerjaan menerjemahkannya" ia bertanya. Mercy! Kau belum mulai. Ayolah! Hari ini kau jadi pemalas.
Mercy menatap halaman kosong di buku latihannya.
Ya, Galatea, aku minta maaf, ia bergumam. Ia memusatkan perhatian pada sajaknya. Begitu banyak pikiran lain menggelegak dalam benaknya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Tapi sajak itu cukup mudah, dan ia menyelesaikannya sebelum Charity. Sang pengasuh duduk bersama mereka, mengawasi dan memberikan pengarahan.
Setelah makan siang mereka berjalan-jalan bersama, menuju danau. Airnya sangat tenang dan gelap. Tepinya penuh rumput gajah cokelat dan lapisan es. Jauh entah di mana, itik-itik meleter.
Sang pengasuh tak banyak bicara, tapi Charity mengoceh padanya dengan riang gembira.
Indah sekali, bukan" kata Charity. Aku yakin ada kuil tua di seberang, dan gudang perahu. Sudah lama sekali kita tak berjalan-jalan kemari. Saat musim panas kurasa kita sering naik perahu ke danau. Charity berputar, ber-pirouette di rumput yang membeku.
Mercy menyeret kaki sepuluh langkah di belakang, memelototi punggung tegak Galatea. Aneh sekali mendengar Charity bicara tentang masa lalu. Kenangan-kenangan teringat kembali, bagi mereka berdua. Sudah terlalu lama benak mereka seakan jalan di tempat, memikirkan hal yang sama berulang-ulang, benak mereka merapat dan menutup. Kemunculan Claudius mengubah segalanya membuat kehidupan mereka berantakan. Jauh di sana, di air yang tertimpa cahaya bulan, sesosok hantu familier melambai dari perahu dayung. Melambai dan melambai lagi.
Mercy ingin pergi sendirian ke kapel, tapi Galatea seakan bertekad takkan mendekati tempat itu lagi. Mercy berharap sungguh-sungguh ia akan melihat Claudius, sehingga ia bisa bertanya pada lelaki itu apa maksudnya. Dan jika Galatea tak mau membawa mereka ke kapel, Mercy akan meninggalkan pesan untuk Claudius di tempat lain tempat yang terpencil, jauh dari mata Galatea yang awas. Gudang perahu, ingatnya samar-samar, ada di balik pohon-pohon kastanye kuda, tak jauh dari sana.
Sementara Charity mengobrol dengan Galatea, Mercy menyingkir diam-diam. Tentu saja bodoh kalau ia menganggap Claudius, secara ajaib, menunggunya, tapi tetap saja Mercy bergegas. Pohon-pohon kastanye kuda itu tumbuh di bukit kecil buatan. Pohon-pohon itu jauh lebih tinggi dan megah daripada yang diingatnya. Di sisi sebelah sana, gudang perahu bertengger di atas air dengan bantuan pancang-pancang besi. Mercy melangkah di jalur papan di sisi daratan, kemudian mencoba membuka pintu lengkung gudang perahu. Terkunci. Mercy mendesah, dan mundur sejurus. Gudang perahu itu butuh dicat. Pancang-pancangnya gelap dan berkarat. Di sana-sini papan tampak melengkung atau termakan cuaca.
Mercy mengeluarkan pesan dari sakunya. Ia telah melipat kertasnya, dan menuliskan sebuah nama di sana. Tak bijak meninggalkannya di sini. Tapi Galatea sudah mencurigai gereja. Dan jika Claudius memata-matai mereka, ia akan menemukan surat itu.
Mercy! Di mana kau" terdengar Ch
arity berteriak. Mercy cepat-cepat menyelipkan surat itu ke bawah pintu gudang perahu, setengah mencuat keluar. Kemudian ia berlari kembali menembus pohon-pohon kastanye kuda, mendapati Charity menunggunya.
Mana Galatea" tanya Mercy.
Dia berjalan duluan, kembali ke rumah. Dia mencarimu! Kau menghilang ke mana"
Tidak ke mana-mana, Mercy mengangkat bahu. Aku hanya melihat-lihat danau.
Ayo, desak Charity. Kita kejar dia. Sebelum dia marah.
Mereka mulai berlari menuju rumah, tapi Charity cepat lelah dan tak lama kemudian mereka memelankan langkah.
Galatea bilang kita akan makan malam bersama dengan Ayah juga, kata Charity.
Di dapur" Bukan, bodoh, di ruang makan.
Ruang makan, Mercy berbisik, mengingat kumpulan lilin, peralatan makan. Kenapa" ia bertanya.
Mungkin Ayah ingin makan malam bersamanya, kata Charity.
Aku tak percaya. Kenapa Ayah mengubah segalanya" Aku mengira dia tak suka perubahan.
Galatea bilang dia ingin mengawasi kita mencari tahu apa yang terjadi. Mungkin dia hanya ingin bicara dengan kita. Dan Galatea. Seperti keluarga.
Mercy menggigit bagian dalam pipinya. Mengapa Charity tak bisa serius, alih-alih menggodanya tentang Trajan dan Galatea" Tidakkah ia khawatir akan semua perubahan ini, tentang peringatan ayah mereka"
Tentu saja Galatea dan Aurelia bagian dari keluarga. Mereka berdua datang dari Italia dan bernama Verga juga, tapi mereka keluarga yang lebih miskin, ditakdirkan jadi pelayan. Meski Aurelia menyayangi kedua gadis kecil majikannya, ia harus mematuhi perintah, begitu pula Galatea. Mungkin sudah waktunya Mercy menyuruh adiknya menyingkirkan pikiran tentang percintaan antara Trajan dan sang pengasuh dan menyuruhnya membantu mencari tahu lebih banyak tentang ibu mereka. Hal ini berisiko, karena Charity suka bertindak tanpa berpikir, namun Mercy menginginkan teman untuk diajaknya berbagi pikiran. Ia menarik napas dalam-dalam.
bagaimana dengan Ibu" ia bertanya. Kata itu seakan tergantung di udara.
Ibu" ulang Charity. Apanya yang bagaimana"
Kau tahu di mana dia"
Dia meninggal. Ketika kita masih kecil. Apa maksudmu"
Lalu di mana dia dimakamkan" Di kapel" Kau ingat pemakamannya" Pastinya mereka membawa kita ke pemakaman Ibu, meski kita masih kecil. Dan bagaimana dia meninggal" Dia masih muda.
Charity mengerutkan kening. Aku tidak ingat, katanya.
Dengan berani, Mercy terus mendesak. Ia berbicara dengan gigi terkatup. Claudius memberitahuku aku bisa melihatnya lagi.
Claudius" Hantu gerejamu"
Dia bukan hantu! Aku sudah bilang.
Mereka melangkah bersisian, saling merapat.
Kau ingat wajah Ibu" tanya Mercy, sekarang lebih bersemangat. Bisa kauingat dalam benakmu"
Charity menggeleng. Tidak, katanya. Aku ingat sebuah perasaan. Itu saja.
Aku juga tidak bisa. Tidakkah kauanggap itu aneh"
Charity tampak terenyak. Mereka melangkah tanpa bicara dan Charity memalingkan wajah dari kakaknya, menutup diri. Ketika Charity bicara lagi, bermenit-menit kemudian, suaranya tercekat.
Kenapa kau membuatku memikirkan Ibu" katanya. Sudah lama aku tak memikirkannya. Aku bahkan tak ingat merindukannya.
Century Karya Sarah Singleton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mercy terus mendesak. Kau ingat pemakamannya" ia mengulangi.
Menunduk, Charity menggeleng. Aku tidak ingat apa-apa tentang dirinya, katanya. Tidak benar, bukan" Dia ibu kita. Kenapa kita tak memikirkannya atau membicarakannya"
bagaimana jika dia belum meninggal" Mercy berkeras.
Kita harus mencari tahu, kata Charity. Kita perlu tahu. Malam ini saat makan dengan Ayah. Dia takkan bisa mengelak. Aku akan bertanya padanya. Aku ingin tahu.
Sebelum Mercy bisa menjawab, Charity mulai berlari lagi. Mercy berseru, tapi Charity tak mengacuhkannya.
Kembali di rumah, Charity mengunci diri dalam kamarnya, dan ia tak mau membuka pintu ketika Mercy mengetuk dan membujuk.
Mercy duduk di tempat tidurnya sendiri dan merasa cemas. Apa yang akan dikatakan Charity" Mercy merasa tolol sekali karena telah menceritakan hal itu pada adiknya, mengusiknya. Mercy menarik-narik rambut saking frustrasi. Ia ngeri memikirkan reaksi Trajan.
* * * Lama baru mereka memulai makan malam. Galatea menj
emput Mercy. Aurelia disuruh membantu Mercy mengenakan gaun formal dan menyanggul rambutnya. Charity menunggu di samping Galatea, menghindari tatapan memohon Mercy, terus saja memandang sang pengasuh.
Charity tampak begitu pucat dan matanya merah, seakan habis menangis. Dada Mercy ngilu karena perasaan bersalah, karena membuat adiknya resah dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ibu mereka.
Aurelia menata empat tempat di salah satu ujung meja makan panjang. Trajan sudah menunggu, mengenakan jaket panjang, tidak terlalu lusuh namun agak lebih berdebu dibandingkan biasanya. Ia menyisir rambutnya dari wajahnya. Tangannya, keluar dari balik lengan baju sutra berkerut, tampak sangat kurus dan bersih. Kancing manset merah, mungkin batu delima, mengerlip ditimpa cahaya lilin.
Duduk, duduk, katanya. Mercy berpikir ia tampak gelisah dan tak nyaman.
Mereka makan daging sapi panggang yang empuk, dengan kentang panggang. Anak-anak perempuan diizinkan menyicip anggur merah, hanya untuk mencoba. Suasana murung. Galatea bicara dengan Trajan tentang kehidupan di negara lama. Mercy tak mengerti sepatah kata pun. Mereka seolah membicarakan dunia lain. Kemudian Charity mengoceh tentang pelajaran-pelajaran mereka. Mercy diam seribu bahasa, hanya mencolek-colek makanan, memerhatikan Galatea. Situasi ini terasa salah sama sekali. Mudah sekali rasanya setengah tidur sepanjang hari, tanpa ada pikiran-pikiran ganjil ini menyeruak dalam benaknya. Sekarang ia punya begitu banyak pertanyaan. Tubuhnya terasa ngilu, seakan lebam-lebam lama kembali menyakiti tulang-belulangnya. Ia ingin sekali melompat dan berteriak, tetapi ia hanya mendesah dan menelan semuanya. Ia meletakkan peralatan makan di piring.
Aurelia menghidangkan puding untuk pencuci mulut, dengan custard almond yang wangi, tapi Mercy tak bisa menyantapnya.
Ayah, kata Charity, akhirnya meletakkan garpu di piring kecil. Aku ingin bertanya.
Ia sejak tadi membuat ayahnya senang demi persiapan untuk saat ini. Mercy menegang, menduga akan datang masalah, tapi Trajan sama sekali tidak siap menghadapi pertanyaan yang diterimanya.
Apa yang terjadi dengan ibu kami"
Galatea tiba-tiba terbatuk.
Aku hampir tak bisa mengingatnya, lanjut Charity. Aku selalu membayangkannya sudah meninggal, tapi Mercy bilang dia tak menghadiri pemakamannya. Ibu memang sudah meninggal, kan"
Mercy menatap ayahnya. Wajah lelaki itu agak berubah, semu kekuningan yang aneh muncul di pipinya. Mercy melihat jemari ayahnya memutih ketika menggenggam gelas.
Sang pengasuh terbatuk lagi.
Mercy menatap tangan Trajan. Ayahnya mencengkeram gelas begitu keras. Gelas itu pecah. Ia membuka tangannya, menunjukkan darah, anggur, dan serpihan-serpihan beling tajam yang menancap di kulit telapak tangannya.
Charity, kata Galatea. jangan bertanya tentang hal-hal ini pada ayahmu. Tak bisakah kaulihat ini membuatnya resah" Aku akan bicara denganmu nanti.
Trajan tiba-tiba berdiri. Terima kasih sudah menemaniku, katanya kepada kedua anak perempuannya. Sudah lama kita tak melakukannya. Kita akan makan bersama lagi segera. Aku harus aku harus membersihkan tanganku.
Ia melangkah kaku keluar ruangan, menabrak meja kecil seakan tak melihatnya. Ketika pintu sudah tertutup di belakangnya, Charity mengambil garpu lagi, dan mulai bersenandung.
Charity! bentak Galatea. Tutup mulut. Diamlah. Tak bisakah kaulihat betapa kau telah membuat ayahmu sedih"
Aku hanya bertanya, sahut Charity, mengintip melalui bulu matanya yang panjang. Dia ibuku. Boleh dong aku tahu apa yang terjadi padanya. Maukah kau mengatakannya padaku"
Sang pengasuh mengerutkan bibir. Ia terdiam beberapa saat, berpikir. Ibumu meninggal, katanya. Beberapa tahun yang lalu.
Dia meninggal karena apa" Kenapa kami tidak menghadiri pemakamannya"
Dia meninggal ketika bepergian ke luar negeri, di negara lama. Dia sakit, dan dimakamkan di sana. Itulah sebabnya kalian tidak menghadiri pemakamannya, karena kalian ada di sini di Century. Aku mengerti kehidupan kalian selama ini tidak & ideal.
Mercy mengangkat kepala. Ia tahu Galatea berbohong dari nada bicaranya. Ia ingat p
eringatan Claudius agar tidak memercayai Galatea. Sekarang Mercy merasa kata-kata Claudius terbukti. Ibunya tidak meninggal di negara lama, Mercy yakin sekali.
Tahukah kau apa ada foto ibuku" tanya Mercy lirih.
Kurasa ada, jawab Galatea. Ayahmu sangat patah hati ketika dia meninggal sehingga semua fotonya disingkirkan, dan ayahmu menutup sebagian besar Century. Ini rumah ibumu, kau mengerti.
Sudah berapa lama Ibu meninggal" Saat itu usiaku berapa" Mercy bicara perlahan-lahan. Ia mengira berusia dua belas sekarang, tapi ia juga tak bisa mengingat ulang tahun terakhirnya, sama seperti tak bisa mengingat pemakaman ibunya.
Sudah lama sekali, kata Galatea. Aku tak tahu persis. sekarang cukup. Tak ada pertanyaan lagi malam ini. Kita akan ke ruang duduk anak dan kalian bisa melanjutkan membordir sampai waktunya tidur.
Duduk di sebelah perapian yang nyaman, Mercy menjahit kelopak bunga putih diterangi lilin. Pekerjaan rumit ini membuat benaknya tenang. Charity, di sisi lain perapian, mengangkat kakinya ke bangku rendah, dan menatap api, sekali-sekali mendesah. Galatea, duduk di antara mereka, menyerah pada tuntutan Charity untuk bercerita dan membacakan kisah rakyat tentang gadis angsa yang tak memiliki bayangan.
Ketika kisah itu berakhir, Mercy mengucapkan selamat malam, dan kembali ke kamarnya. Sebelum menanggalkan pakaian, ia menelusuri lagi langkah-langkahnya tadi melintasi jendela-jendela tinggi menuju permadani dinding rusa jantan dan unicorn. Ada yang aneh di sana, tapi ia tak tahu apa. Ia meraba-raba bagian belakang permadani, tapi hanya menemukan sarang laba-laba. Kemudian ia kembali ke kamarnya, bingung dan patah semangat. Ia duduk di mejanya dan menulis jurnal. Halaman-halaman panjang tentang ketidaksukaannya terhadap Galatea, pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya, dan ketidakyakinannya akan usianya sendiri. Kemudian ia menyembunyikan buku itu di bawah papan lantai, di kolong tempat tidur. Ketika ia menanggalkan pakaian, langit telah memucat di ufuk timur. Malam telah menyingkapkan jubahnya, pikir Mercy. Ia menutup tirai, dan berbaring di tempat tidur.
Seseorang berteriak. jeritan
Mercy terjaga sambil terlonjak. Malam telah turun.
Ia melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke pintu. Siapa itu" Suaranya familier. Bukan Charity, bukan. Orang lain &
Mercy membuka pintu. Hantu itu. Gadis kecil di koridor ia menyudahi permainan petak umpet abadinya. Ia tampak ketakutan sekarang, berdiri tak bergerak, menatap sesuatu. Mercy bergegas menghampirinya.
Ada apa" ia bertanya. Hantu itu tak bisa melihatnya tapi seakan menatap langsung ke matanya. Gadis kecil itu menjerit lagi. Kemudian ia berbalik dan berlari pergi, kaki-kakinya yang kecil melayang, rambutnya berkibar. Mercy bergegas mengejarnya. Hantu itu melalui jalan yang biasa, menuju permadani dinding kemudian ia lenyap bagai menembus dinding. Mercy berada dekat di belakangnya. Ia ingin mengikuti ia ingin sekali mengikuti. Ia mengulurkan tangan melalui gambar unicorn, ke ruang kosong. Ambang, sekarang tanpa daun pintu. Memanfaatkan kesempatan, Mercy masuk.
Selama beberapa saat yang terasa lama, ia tak bisa melihat apa-apa. Ia bagai tertelan. Udara sangat dingin, lantai seakan lenyap. Berapa lama antara satu detak jantung ke detak berikutnya" Berapa jauh darah mengalir dalam jarak di antara denyut jantung" Bintang-bintang berpendar. Malam tersibak &
Cahaya! Semburan cahaya matahari. Pancarannya yang kuat luar biasa menghantam Mercy, membuatnya terhuyung.
Ia terjengkang membentur rak-rak, bersandar di sana, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Ia tak terbiasa dengan pancaran cahaya siang hari, rasa panasnya.
Pelan-pelan Mercy menyesuaikan diri. Ia mengintip melalui celah jemarinya, seperti yang dilakukan si hantu, curang dalam permainan petak umpet. Warna-warni begitu menyilaukan dan menyakitkan. Ia berdiri di perpustakaan, dekat buku-buku geografi dan peta. Ruangan itu tidak asing. Mercy menurunkan tangannya. Ia menatap jemarinya. Cahaya menyilaukan itu menyebabkan tiap helai rambut halus di sana, garis-garis urat yang tipis, tampak jelas. Matahari menghanta
m bagaikan palu. Ia tak mampu melihat langsung ke arah jendela, maka ia beringsut mengelilingi sisi ruangan menuju pintu.
Perpustakaan memang tampak lain. Buku-bukunya cerah dan baru, lantai papannya dipoles. Buku-buku tergeletak terbuka di atas meja, dengan surat-surat dan berkas. Tempat itu tampak dipergunakan tampak hidup.
Ia tidak menduga bakal menemukannya. Lorong rahasia mungkin menuju tempat hantu gadis kecil itu menunggu temannya. Atau sembunyi dari pengejarnya, kali terakhir, ketika ia menjerit dan melarikan diri.
Mercy membuka pintu perpustakaan dan menyelinap ke luar. Ia berjalan di sepanjang koridor, memerhatikan wajah-wajah nenek moyangnya di dinding, dalam lukisan-lukisan yang tertimpa cahaya. Tiba-tiba cermin muncul di hadapannya, memantulkan sekilas wajah pucat dengan rambut hitam lebat berantakan.
Mercy tiba di ruang duduk anak di Century yang dipenuhi cahaya matahari. Ada yang keluar melalui pintu dan Mercy mundur, menghindar.
Wanita tinggi bertubuh montok yang mengenakan gaun sutra merah melangkah melewatinya. Wanita itu berambut keemasan. Mercy menyurut mundur, tapi wanita itu tampaknya tak melihatnya. Mercy mencium bau parfumnya, yang melayang di belakang wanita itu seperti pita. Wanginya, seperti rempah dan bunga, menyentuh kenangan di tempat yang terlupakan. Mercy bersandar pada dinding koridor, jantung berdebar. Ia menarik napas, berusaha menangkap sisa-sisa parfum terakhir. Apakah itu dia" Apakah itu ibunya, Thecla, wanita yang dikatakan Galatea telah meninggal" Dan jika itu ibunya, mengapa ia tak bisa mengingatnya" Mengapa ia tak yakin"
Wanita itu tak kelihatan lagi sekarang. Mercy menguasai diri dan mengikutinya, naik tangga menuju lantai berikutnya, dan masuk ke kamar tidur.
Mungkin, dalam versi lain Century, dalam cahaya ganjil ini, Mercy jadi hantu. Wanita itu menatap lurus menembusnya, dan bersikap santai seperti orang yang sendirian. Cahaya tak terlalu terang di sini, karena ada tirai muslin yang setengah tersibak di jendela. Tempat tidurnya besar, terbuat dari kayu berat berwarna gelap, dengan ukiran daun-daun dan biji pohon ek di bagian kepalanya. Wanita itu duduk di meja rias, yang penuh wadah-wadah beling, sikat, dan kotak-kotak kartu nama yang cantik. Ia mencari-cari di laci, tempat puluhan surat tertumpuk. Merasa lebih berani, Mercy mendekat, sampai berdiri persis di belakangnya.
Wanita itu mencari-cari di antara tumpukan surat, tapi ia tak bisa menemukan apa yang diinginkannya. Mercy berkeliaran di sekitarnya, memandangi detail gaunnya, rantai perak yang melingkar di lehernya. Ini pasti Thecla, ia yakin. Mercy sangat ingin bicara dengannya, mendengar suaranya, tapi wanita itu berdiri, sambil mendesah, dan berderap kembali keluar kamar dan menuruni tangga. Mercy berusaha membuntutinya namun rumah itu membuatnya bingung dan koridor-koridornya seakan menyempit dan menjauh. Ia tak bisa mengikutinya.
Mercy kembali ke ruang duduk anak, tempat dua gadis kecil duduk di meja. Ia menyelinap masuk. Suara pintu terbuka membuat anak perempuan yang berambut gelap menengadah. Anak-anak itu minum teh, membaca, dan mengobrol. Buku-buku terbuka di meja. Cangkir-cangkir tehnya bergambar mawar biru. Perapian dihias bunga-bunga kering dan buah pinus, tapi udara masih terasa hangat dan harum. Jendela ruang duduk terbuka lebar, dan udara membawa masuk harum rumput dan daun segar, parfum bunga dari taman, wangi bunga-bunga mawar. Musim panas. Musim panas di masa lalu yang jauh.
Namun cahaya matahari masih membuatnya nyeri. Mercy menjauh dari jendela dan duduk di kursi kecil di sudut ruangan. Kursi anak-anak, terlalu kecil untuknya. Ada kursi yang sama persis seperti ini di ruang duduknya sendiri, meski lebih usang. Ketika ia bergerak, anak perempuan berambut gelap itu menengadah lagi, seakan menyadari perubahan cahaya. Ia mengerutkan kening. Apakah kau kedinginan" ia bertanya.
Tidak, sama sekali tidak. Aku malah agak kepanasan, jawab anak perempuan berambut pirang, menarik-narik kerah bajunya.
Aku dingin, kata anak berambut gelap. Ia bergidik agar tampak meyakinkan, seakan ingin mendemonstrasikan.
Me rcy memerhatikan mereka, terpesona. Anak-anak itu Charity dan dirinya sendiri, sekitar delapan dan sepuluh tahun. Hanya saja anak-anak ini memiliki pipi merah karena sehat, dan ia melihat lengan Charity bulat dan gemuk. Mereka mengobrol dan tertawa. Bagai dipukul mendadak, Mercy sadar ia tak ingat kapan terakhir kali tertawa. Dan anak-anak itu tampak biasa-biasa saja dengan sentuhan cahaya matahari yang hangat dan menyenangkan, yang membuat rambut pirang Charity semakin tampak keemasan. Betapa Mercy iri pada mereka. Mengapa keadaan ini direnggut darinya" Suatu kali, dulu, Mercy pernah hidup seperti ini, bermandikan cahaya emas dan udara hangat.
Anak-anak itu melanjutkan pelajaran mereka, Charity kecil menendang-nendang kakinya ke udara dengan santai. Mercy kecil membaca keras-keras sajak yang ditulisnya, tentang peri air di sungai yang jatuh cinta pada hantu batu hitam. Charity kecil tertawa, kemudian membacakan sajaknya sendiri, tentang sehelai gaun ajaib yang membawa pemakainya ke pesta negeri dongeng, di mana si pemakai harus berdansa selama seratus tahun, karena semalam di dunia lain sama dengan seabad di dunianya sendiri. Mercy bisa melihat dirinya yang lebih kecil tersentuh mendengar sajak adiknya juga iri.
Indah sekali, kata Mercy kecil, mata melebar. Indah dan sedih. Aku bisa membayangkannya pulang, sepatunya usang, gaunnya compang-camping, dan mendapati semua orang yang dikenalnya sudah lama meninggal.
Lukislah gambar, kata Charity kecil, agak memejamkan mata, menikmati pujian. Gambar untukku.
Kemudian mereka mulai beres-beres. Mercy agak pening. Bayang-bayang bergerak di dinding, memanjang. Akhirnya kedua anak perempuan itu pergi. Cangkir-cangkir teh juga lenyap, meski Mercy tak menyadari ada orang yang masuk untuk membereskannya.
Mercy meninggalkan ruang duduk untuk mencari kamarnya dalam versi musim panas ini. Tak ada siapa-siapa di sana. Mercy memerhatikan benda-benda di meja riasnya dengan singkat dan teliti sikat rambut, botol parfum, wadah sabun dan handuk. Kendi dan mangkuk di lantai masih sama.
Mercy, terdengar suara dari jauh. Kau di mana"
Itu Galatea, tak diragukan lagi memanggil mercy kecil untuk dimarahi. Nada suaranya yang jengkel tidak berubah. Tapi Mercy mulai khawatir. Mungkin di Century-nya sendiri yang gelap Galatea juga mencarinya. Bagaimana ia bisa kembali"
Mercy bergegas menuju perpustakaan. Sekarang Trajan duduk di meja, membaca buku. Ia tampak jauh lebih muda; kulit halus, rambutnya hitam semua. Mercy melangkah menghampirinya, ragu, hampir tak percaya ayahnya takkan bisa melihatnya. Tapi pikiran Trajan terpusat pada buku yang dibacanya dan ia membalik halaman tanpa sadar keberadaan Mercy sama sekali. Mercy menatap. Ayahnya tampak seperti orang lain, tangannya bersih dan kuat; ketegasan dan kesehatan terpancar di garis-garis tubuhnya.
Di sebelah buku yang dibaca Trajan, ada buku lain sejenis roman. Novel terbalut sampul kulit merah yang bagus, diembos dengan daun emas. Mercy melihat buku itu berjudul Century. Ia mengambilnya, tangan gemetar, tapi Trajan tampak tak menyadari. Ia membuka halaman pertama, berisi gambar, sketsa hitam-putih rumah yang berdiri di tengah salju, cahaya memancar dari jendela, sementara seorang lelaki tampak memacu kudanya.
Nama penulisnya, tertoreh di halaman pertama, adalah Trajan Quintus Verga, dengan tanggal: 1790.
Ayahnya menulis buku tentang rumah mereka.
Mercy merasa ada yang aneh pada buku itu. Seperti dirinya sendiri, buku itu tampak tak sesuai di tempat musim panas ini, di masa lalu. Buku itu bergetar halus di tangannya, penuh energi. Kalimat-kalimatnya tampak mengalir di atas kertas.
Mercy membolak-balik halaman buku tersebut dengan tergesa. Kata-katanya melesat buram. Ia mengenali tulisan tangan ayahnya tapi tak bisa mengerti kisahnya. Satu halaman membuatnya berhenti membalik. Ia menatap. Gambar lagi. Sketsa lelaki muda, gaya sketsanya memanjang dan membuat wajahnya tirus, tapi tak diragukan lagi siapa dia: Claudius. Jadi sejauh ini kata-katanya benar. Ia bagian keluarga, dan mungkin Mercy pernah mengenalnya, dulu.
Mercy melirik gambar itu l
agi. Bisakah ia membawa buku ini"
Ia membawa buku merah itu ke rak tempat peta-peta ditumpuk. Ya, ini tempat ia tiba tadi. Tapi bagaimana caranya kembali"
Ia mengosongkan benak, dan mengutarakan keinginan untuk kembali. Kemudian sesuatu menariknya, dari belakang. Ia diseret mundur dan naik, ke dalam ruang gelap yang panjang. Lorong tambang, sumur ajaib. Naik dan terus naik, rambutnya berkibar.
Ia mendarat dengan debaman lembut.
Mercy membuka mata hati-hati. Masih gelap. Ia duduk di lantai koridor dekat permadani dinding.
Galatea berdiri agak jauh, di luar kamarnya.
Tunggu sebentar! Mercy berseru. Kau membangunkanku, tunggu sebentar.
Kedua lengannya masih terlipat erat di depan dadanya, tapi bukunya sudah lenyap.
Galatea berderap menghampiri. Membangunkanmu" katanya. Apa-apaan kau, tidur di lantai"
Aku tidak tahu, sahut Mercy, berusaha bangkit. Kepalanya berputar, pusing akibat perjalanan tadi dan kejadian-kejadian masa lalu.
Sang pengasuh meletakkan tangannya yang dingin dan keras di dahi Mercy, kemudian mengerutkan bibirnya yang pucat. Kulitnya berkerut di sekitar bibirnya, gurat-gurat tipis pada kulitnya. Sesaat Galatea tampak tua.
Sepertinya kau agak demam, akhirnya ia berkata. Kau tak usah belajar pagi ini. Tinggal di kamarmu. Aku akan menyuruh Aurelia membawa sarapan ke sini.
Aku tak apa-apa, protes Mercy. Aku sama sekali tak merasa sakit. Ia tak ingin dikurung sendirian pagi ini ia harus bicara pada Charity.
Tapi Galatea menggiring Mercy ke kamarnya dan melarangnya turun dari tempat tidur. Kemudian ia bergegas menuju ujung koridor. Mercy berjuang menenangkan benaknya. Lebih banyak pertanyaan, dan terus bertambah. Ia merasa tercabik-cabik. Keluarga kecil yang ditemukannya bagaikan pancaran cahaya matahari ke dalam penjara di musim dingin. Sudah berapa lamakah kejadian itu berlalu" Tahun berapa sekarang" Dan ia melihat Thecla, ia yakin sekali. Mercy merasa sangat jauh dari ibunya, di tempat musim dingin ini, dan ia ingin melihatnya lagi.
Dan buku berjudul Century itu. Ia merasa buku tersebut penting, dan memiliki kekuatan. Buku apa itu" Dan mengapa berisi gambar Claudius" Kapan ia akan melihat lelaki itu lagi"
III MERCY mengendap-endap di koridor, melewati pintu. Di dalam ia bisa mendengar suara Charity yang halus dan jelas membaca puisi dalam bahasa Latin. Sekali-sekali suara Galatea yang berat menyela. Mercy gugup. Tentu saja ia tidak sakit. Galatea hanya ingin menghalanginya bicara dengan Charity. Mercy mengumpulkan keberanian untuk melanggar perintah. Ia harus menemui Claudius lagi. Ia bergegas menelusuri koridor, berjingkat-jingkat menuruni tangga, dan dengan hati-hati membuka palang pintu dapur. Ia juga tak ingin Aurelia melihatnya.
Dapur terasa hangat karena perapian. Sang pengurus rumah tak kelihatan mungkin sedang mengambil batu bara. Hantu kucing terkantuk-kantuk di atas lemari dapur. Segumpal adonan menunggu di atas meja, terselubung terigu. Mercy memerhatikan ruangan sekali lagi kemudian berlari di lantai batu menuju pintu belakang, dan keluar, ke halaman malam.
Udara dingin menyambutnya membuatnya tersentak. Rumput tertutup es, pohon-pohon telanjang, berselaput es. Daun-daun mati bergemerlapan. Mercy mengangkat roknya. Ia melirik sekali lagi ke arah rumah, cahaya lilin memancar hangat di jendela dapur, kemudian ia berlari lagi, ke arah halaman dan menuruni bukit panjang menuju danau. Ia tersengal-sengal ketika berhenti, di tepi air. Esnya melebar, menutupi danau dengan warna putih dan perak. Jauh di tengah danau, sosok-sosok gelap itik bertengger tak nyaman. Bulan tergantung di atas pepohonan, di seberang danau.
Mercy melindungi matanya dari cahaya bulan untuk melihat apakah ada gerakan di danau. Hantu di perahu dayung melambai, dan melambai lagi. Ia menuju gudang perahu. Suratnya sudah tak ada di sana.
Mercy mendorong pintu. Kali ini pintu terbuka, dengan suara seperti desahan. Halo" ia berseru pelan. Claudius, kau di sana"
Tak ada jawaban, maka ia membuka pintu lebih lebar. Sangat gelap di dalam. Seberkas cahaya bulan memantul di es di bawah, tempat perahu ditambatkan.
Claudiu s" ia memanggil lagi. Gudang perahu itu kosong. Pasti pernah ada yang ke sini mengambil surat itu dan meninggalkan pintu tak terkunci. Tapi siapa" Dan rasanya udara meninggalkan jejak kehangatan, seakan orang itu baru saja pergi. Mercy mencengkeram birai di atas hamparan es dan perahu dayung di bawah. Seekor burung meninggalkan sarang usang yang berantakan di sana.
Pintu terbanting menutup. Mercy nyaris terpental melalui birai.
Sst, kata Claudius. Ia berdiri dekat pintu yang tertutup, jarinya menempel di bibir. Aku ingin bicara denganmu. Aku mengikutimu dari rumah, katanya.
Apakah kau menemukan suratku" tanya Mercy.
Surat apa" Aku meninggalkan surat untukmu di sini di bawah pintu.
Tidak, katanya. Jika surat itu lenyap, orang lain telah mengambilnya.
Lalu bagaimana kau tahu harus bertemu denganku di sini"
Seperti yang kubilang aku mengikutimu dari rumah. Aku menunggu kesempatan bicara denganmu.
Ia duduk di bangku dekat dinding.
Sini, katanya, menepuk tempat di sebelahnya. Mereka akan segera mencarimu. Kita tak punya banyak waktu.
Mercy duduk, waspada. Kau siapa" ia bertanya. Aku melihat gambarmu di buku. Dan buku itu berjudul Century, seperti rumahku.
Claudius menyibakkan rambut dari wajahnya. Aku bagian sejarah rumah itu, katanya.
Jadi kau hantu" Bukan, bukan hantu. Aku sehidup dirimu, katanya. Ia menggenggam tangan Mercy. Tangan lelaki itu lebih hangat daripada tangan Mercy sendiri. Jemarinya bagai membakar.
Nah, kata Claudius. Bukan hantu.
Mercy menarik tangannya. Jadi bagaimana kau tahu tentang diriku" Bagaimana kau tahu tentang hantu itu"
Karena kau juga bagian sejarah rumah itu, jawabnya. Dulu kita berteman.
Mercy menggeleng. Mungkin saja benar, katanya. Tapi aku tak ingat.
Aku ingin membebaskanmu, Mercy, kata Claudius. Ayahmu dan para pelayannya ingin menahanmu dalam kegelapan. Matanya bersinar dalam kegelapan gudang perahu. Sekali lagi sebagian wajahnya tertutup bayangan, sebagian lagi disinari cahaya pucat.
Menahanku dalam kegelapan"
Aku datang ke sini untuk menemuimu. Aku membawakanmu bunga snowdrop, sebagai pesan tanda untuk membawamu ke Padang Penyulingan, kata Claudius. Sekarang kau harus melihat hantu itu lagi. Sudah waktunya kau bangun. Cari semua potongannya, Mercy. Satukan kembali dan cari tahu kebenaran tentang ibumu.
Aku tak mengerti, kata Mercy.
Aku akan menemuimu lagi segera, katanya, melihat sekeliling dengan gelisah, mengintip keluar melalui pintu. Aku tak bisa lama-lama. Bicara pada hantu itu. Aku mengirimmu kepadanya. Dia akan membantumu.
Ia melangkah keluar dari gudang perahu. Mercy berdiri. Saat ia tiba di ambang pintu, Claudius sudah lenyap.
Mercy tak tahu berapa lama lagi sisa waktu yang dimilikinya. Saat Charity berhenti belajar untuk istirahat, Galatea akan memeriksa kamarnya. Mungkin mereka sudah tahu ia keluar. Tapi ia harus menemui hantu di kolam. Padang Penyulingan berjarak sekitar dua puluh menit berjalan kaki dari danau, jika ia bergegas. Kepalanya dipenuhi pikiran saat ia melangkah panjang-panjang dan cepat-cepat. Ia tak yakin apakah bisa memercayai Claudius. Apakah lelaki itu datang dari tempat lain yang lebih terang" Century yang dikunjunginya" Century tempat, mungkin, hantu-hantu berasal"
Di puncak bukit, Mercy bergegas melintasi taman, dan keluar lagi, di sisi seberang, tempat padang rumput melandai. Wajahnya lembap dan panas. Ia melepas topi, membiarkan kepalanya terbuka di udara dingin.
Kolam itu kantong hitam padang rumput. Kolam itu berupa lubang kecil yang dalam tempat air dari padang rumput mengalir. Di musim semi, Mercy samar-samar teringat, banyak bunga dan anak-anak belibis sehitam batu bara. Sudah berapa lama musim semi berlalu"
Mercy mengendurkan scarf dan duduk di akar-akar dingin pohon hawthorn, di tepi kolam. Ia bertanya-tanya apakah hantu itu akan muncul kembali. Kali pertama, wanita itu meluncur di bawah es tertimpa cahaya sebelum matahari terbit. Namun fajar masih berjam-jam lagi. Mercy menunggu. Ia mengenakan kembali topi hingga menutupi telinganya dan mondar-mandir mengelilingi kolam dengan tak sabar
. Ia membayangkan keributan di rumah, Aurelia dan Galatea mencarinya.
Ayolah, ia bergumam lirih. Datang dan temui aku.
Bulan lebih tinggi sekarang. Jauh di sana, rubah menggonggong di antara belukar rimbun. Mercy melangkah turun, mendekat ke kolam. Ia menyodok es dengan ujung sepatunya. Permukaannya berlubang dan bergelembung, dengan urat berupa ilalang beku. Sulit melihat ke dalam. Mercy membungkuk, dan menggosok permukaan es dengan tangannya yang bersarung.
Wajah itu menatapnya. Penampakan itu begitu tiba-tiba sehingga Mercy melompat mundur. Wajah putih itu hanya beberapa sentimeter dari wajahnya, matanya yang kosong menerawang. Mercy menarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi menguatkan diri untuk melihat kembali mata kosong itu. Ia kembali melangkah maju lalu tengkurap di tanah keras, kemudian melongok ke dalam kolam. Hantu itu masih di sana wanita muda yang cantik, rambutnya yang gelap tampak hijau di dalam air. Bibirnya putih. Mulutnya membuka dan menutup, seakan bicara, tapi Mercy tak bisa mendengar kata-katanya.
Claudius mengirimku, kata Mercy. Kau harus mengatakan sesuatu padaku. Kau harus menjelaskan.
Mulut hantu itu bergerak lagi, namun kata-katanya dibungkam di bawah es.
Aku tak bisa mendengarmu, Mercy berkata, memukul-mukul permukaan es dengan tinjunya. Aku mungkin takkan mendapat kesempatan lagi.
Hantu itu sekarang tampak sedih. Mata kosongnya menunjukkan sesuatu kilatan biru laut, pendaran kehidupan. Kemudian hantu itu mengalir pergi, wajahnya menghilang, gaun putihnya bergelombang dalam arus bawah air. Ia meluncur ke seberang kolam.
Jangan pergi! Mercy berteriak. Jangan pergi dulu. Kau harus membantuku.
Hantu itu tak mendengarkannya. Gelombang gaunnya juga menghilang, dan kolam menjadi tenang. Kekecewaan terasa menyesakkan setelah Mercy memberanikan diri bicara dengan hantu itu. Ia tak tahu siapa wanita itu. Mengapa ia menghantui kolam ini" Apakah ia tenggelam" Mercy bergidik, membayangkan air yang dingin, es yang menutupi permukaannya. Mungkin Claudius akan memberitahukan nama wanita di kolam itu.
Mercy berdiri, perubahan emosi membuatnya kebas. Energinya seakan terkuras begitu saja sekaligus. Udara dingin merayapi jemarinya. Ia memikirkan perjalanan pulang yang panjang. Mungkin mereka bahkan belum menyadari aku tak ada, pikirnya. Harapan sia-sia.
Kemudian ia menyadari sesuatu berkelip, di sisi kolam yang beku. Tertarik, ia melangkah mengelilingi tepi kolam dan mengintip melalui es yang buram. Ia membuka sarung tangannya dan menggosok permukaan es dengan jemarinya, berusaha melihat apa yang ada di sana. Itu dia di bawah es cahaya keperakan. Mercy berusaha memukul permukaan kolam tapi esnya tebal dan sulit diretakkan. Maka ia menjejakkan kaki ke sana, keras-keras, dengan hak sepatu botnya. Esnya retak, diiringi suara seperti letusan senapan. Ia mengentakkan kaki sekali lagi, memecahkan es di air dangkal tepi kolam. Air merembes ke sepatu bot kulitnya, dingin mengejutkan. Mercy mencelupkan tangan ke dalam air, membuat jemarinya tergores pecahan es. Lumpur berputar, mengotori air.
Tiga anak kunci berkarat terikat di gelang. Ia mengambilnya dari dalam air, penuh kemenangan. Sebuah anak kunci lebih besar daripada yang lain mungkin kunci pintu. Mercy tersenyum.
Terima kasih, katanya keras-keras, kepada si hantu. Terima kasih banyak.
Mercy memasukkan kunci-kunci itu ke saku di balik mantelnya. Ia akan dapat masalah tapi sekarang ada yang bisa ditunjukkannya.
* * * Galatea menunggu Mercy, parasnya seperti halilintar. Sang pengasuh hampir tak bisa berkata-kata pada anak asuhnya. Membawa sebatang lilin, ia menggiring Mercy ke dalam rumah, menjauh dari dapur dan ruangan-ruangan familier tempat Mercy dan Charity menghabiskan hari-hari mereka yang tak terhitung jumlahnya. Mereka melangkah melalui koridor-koridor lembap yang keberadaannya telah dilupakan Mercy, melewati pintu-pintu ke dalam ruangan yang mungkin pernah dimasukinya dulu sekali. Lukisan-lukisan menjulang, berisi pemandangan dan wajah-wajah yang hanya samar-samar diingatnya. Mercy gelisah, namun keputusasaannya di tepi kolam tadi te
lah lenyap. Anak-anak kunci itu menjadi harapan yang digenggamnya.
Galatea membuka pintu di dinding berpanel dan mereka masuk ke ruang duduk, dengan kandelir berselaput sarang laba-laba.
Masuklah, tukas Galatea. Ia menyibakkan tirai dan membuka pintu lain.
Mercy menengadah, kenangan mengusiknya. Samar-samar ia ingat ruangan ini. Ke mana kamar ini menuju" Sebuah citra berkelebat dalam benaknya; atap dari kaca, hutan dedaunan hijau zamrud. Ya rumah kaca besar pernah jadi kebanggaan Trajan.
Mercy! Galatea berkata tajam.
Mercy bergegas mengikuti sosok rapi dan kaku sang pengasuh yang memegangi tirai pintu sehingga Mercy bisa masuk. Kemudian Galatea meninggalkannya.
Rumah kaca itu terbentang di hadapannya. Cahaya sangat terang, bulan bersinar di atas seperti senter. Rumah kaca itu membentang di sebelah selatan Century, lantai diberi ubin kotak-kotak hitam-putih. Lempengan-lempengan kaca dibingkai tulang dari kayu putih, namun kacanya kotor karena lumut, titik-titik jamur hijau, dan kotoran burung.
Suatu waktu dulu, tanaman pakis tropis raksasa menempel pada dinding-dinding kaca ini. Tanaman rambat dan semak dari hutan hujan tumbuh merajalela, bunga-bunga seperti kertas bermekaran, seperti sutra, dihangatkan tungku rumah. Sekarang, segalanya mati.
Perlahan Mercy menuruni tiga undakan, menyeruak di antara dahan-dahan kering berwarna hitam yang menghalangi jalan setapak. Rumah kaca itu tampak jauh lebih besar, karena tanaman-tanamannya telah menciut dan layu. Di sana-sini, seonggok daun mati masih mengotori lantai. Pot-pot raksasa penuh berisi tanah kering tak bernyawa.
Ia ingat & suatu waktu dulu, bukankah banyak kupu-kupu di rumah kaca ini" Kupu-kupu sebesar gagak, dan burung kolibri, semungil kelingkingnya.
Trajan duduk di meja ornamen dari besi, terlihat ganjil di antara sampah tanaman. Ia tampak rapuh, seperti lelaki renta. Ia menengadah ketika Mercy mendekat.
Mercy, katanya lembut. Duduklah.
Mercy duduk di kursi dekat ayahnya. Trajan mengangguk.
Aku masuk ke sini, tadi malam, katanya. Aku menghabiskan bertahun-tahun memelihara tanaman di sini, dan sekarang semuanya mati. Dulu kita menanam pohon persik dan aprikot di Century. Buah-buahnya menakjubkan. Lezat. Ia terdiam sejenak, menatap kejauhan ke arah sesuatu yang tak bisa dilihat Mercy. Kemudian Trajan mendesah.
Aku tak berselera makan akhir-akhir ini, katanya. Dan kau tampak kurus sekali.
Mercy tak tahu apa yang harus diucapkannya. Trajan telah menarik diri begitu lama. Ia bukan bagian kehidupan musim dingin tanpa akhir kedua anaknya, hanya bayang-bayang yang bergerak di latar belakang.
Trajan kembali terdiam. Ia telah melupakan kebiasaan bicara. Mercy menunggu. Begitu banyak pertanyaan berjumpalitan di dalam benaknya, tapi ia tak mampu mengutarakannya, takut ayahnya malah akan berhenti bicara sama sekali. Ia tahu petualangannya selama ini membuat ayahnya resah. Membuatnya jengkel. Dengan marah, dan tiba-tiba, ia memalingkan wajah dari Trajan dan menatap reruntuhan kolam hias. Dulu, di bawah naungan daun-daun seperti bendera, ikan-ikan raksasa berenang perlahan berputar-putar, seperti batu permata, delima, amber, dan perak. Sekarang kolam itu hanya mangkuk retak yang kosong, berlumpur dan bernoda hijau.
Mercy, ucap Trajan ragu. Galatea sangat marah padamu.
Tidak, bukan Galatea, pikir Mercy. Kau marah padaku. Galatea hanya melakukan perintahmu.
Mercy benci sekali mendengar ayahnya mengalihkan kemarahannya kepada Galatea, seakan itu bukanlah masalahnya. Tapi Mercy juga tak ingin ayahnya marah. Tampaknya serangan emosi apa saja bakal menghancurkan Trajan.
Aku tahu, kata Mercy. Aku keluar padahal dia bilang aku harus tetap di tempat tidur. Tapi aku tidak sakit. Tidak! Aku hanya ingin udara segar untuk menjernihkan pikiranku.
Trajan menatap langsung wajah putrinya. Matanya begitu biru.
Aku tak ingin dengar alasan, Mercy, katanya sedih. Aku menyerahkanmu pada pengawasan Galatea, dan kau harus mematuhinya. Aku tak mengharapkan sikap ini darimu.
Tapi, Ayah aku punya begitu banyak pertanyaan, Mercy mendesak.
Mercy! Trajan memotong. Aku tak mau deng
ar lagi. Perubahan mengganggu kita dan kita harus memeranginya demi keamanan kita sendiri. Aku tahu pengaruh jahat menyerang rumah ini, membuat kekacauan; dan aku akan memeranginya. Aku percaya sepenuhnya pada Galatea, dan aku berharap kau bersikap penuh hormat padanya.
Kenapa kita perlu perlindungan" Mercy mencoba lagi. Aku tak ingin membuat Ayah resah, tapi tak bisakah Ayah menceritakan apa saja tentang ibuku" Aku nyaris tak bisa mengingatnya. Aku bahkan tak bisa membayangkan wajahnya. Apakah ada fotonya di rumah ini"
Trajan memerhatikan punggung tangannya. Warna matanya seakan terselaput kabut. Mercy merasakan kedekatan mereka akan berakhir. Trajan menarik diri.
Foto-fotonya disimpan, katanya. Aku tak mampu melihatnya, Mercy. Pergilah sekarang. Temui adikmu di ruang duduk tamu untuk makan siang.
Mercy berdiri perlahan. Mercy" ayahnya memanggil, saat anak perempuan itu melangkah pergi. Aku senang mendengar kau ternyata tidak sakit.
Mercy kembali ke ruangan tempat Galatea duduk di meja bersama lilinnya.
Maafkan aku, kata Mercy. Galatea berdiri, dan mendengus.
Mereka makan bersama, dan setelah itu, berduaan di ruang duduk anak, Mercy mengulangi perkataan Trajan kepada Charity.
Berapa usiamu, Charity"
Mata Charity menyipit. Ia bimbang. Sepuluh, kurasa, jawabnya.
Tapi kau tidak yakin. Tidakkah kaupikir itu aneh"
Aku tidak tahu, kata Charity. Aku tak pernah benar-benar memikirkannya sebelum ini.
Apakah kau pernah bertanya-tanya kenapa kita tak pernah melihat siang hari"
Tidak, jawab Charity. Tapi kita pernah melihatnya, aku yakin, desak Mercy. Aku ingat. Kurasa aku ingat.
Masa lalu mengusiknya, menyingkap tempat-tempat terlupakan dalam benaknya. Seperti buku yang diabaikannya di rak, halaman-halaman kenangannya sekarang membalik tanpa aturan, menunjukkan potongan-potongan kisah terlupakan.
Ketika piring-piring telah dibereskan dan Aurelia sudah pergi, Charity mengeluarkan beberapa buku.
Kita harus menulis tentang serangan orang-orang Denmark ke Wessex di abad kesembilan, ia memberitahukan. Galatea sudah menyiapkan buku-buku yang harus kita baca.
Membosankan sekali. Mercy menguap. Ia merasa sangat letih, akibat kegiatannya seharian tadi. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan orang-orang Denmark sekarang"
Tidak terlalu membosankan, kata Charity. Aku sudah mulai menulisnya, ketika kau dimarahi Ayah. Tentang Raja Alfred, tinggal di rawa-rawa dataran tinggi Somerset.
Ia mengangkat buku catatannya, untuk menunjukkan sudah berapa banyak yang ditulisnya. Kemudian ia menjadi serius. Kau ke mana pagi tadi"
Aku ke danau, kata Mercy.
Kenapa kau kabur" Aku tidak kabur. Aku hanya ingin mencari udara segar, untuk menjernihkan kepalaku.
Galatea menduga kau merencanakan sesuatu. Dia dan Aurelia pergi menemui Ayah, sementara aku seharusnya belajar, tapi aku menyelinap keluar dan menguping pembicaraan mereka. Kau bukan satu-satunya yang tertarik mengungkapkan misteri.
Apa yang mereka katakan"
Kau cerita dulu dan aku akan cerita.
Bukannya tidak mungkin bagi Charity untuk sesaat bersikap semanis madu pada sang pengasuh lalu pada menit berikutnya memata-matainya.
Aku bertemu Claudius lagi, kata Mercy. Di gudang perahu. Tapi kau tak boleh bilang siapa-siapa! Dia bilang ingin membantu kita dan mereka akan berusaha menghentikannya. Nah, apa kata Galatea"
Galatea menduga kau termakan pengaruh sesat, kata Charity. Itu katanya. sesat sesuatu yang jahat. Dan kurasa itu Claudius, bukan begitu"
Aku tahu arti sesat, tukas Mercy, jengkel. Apa lagi katanya" Apa kata Ayah"
Well, mereka mengira Claudius-lah yang membuat perubahan-perubahan yang terjadi di rumah. Aku tak tahu bagaimana caranya. Kita terbangun, itu yang dikatakan Ayah. Dia menghubungkannya dengan pertanyaan-pertanyaan kita tentang Ibu, mengingat masa lalu. Dia khawatir karena bakat istimewamu, kau dimanfaatkan Claudius dan dia berusaha menyakiti kita.
Sekarang kau cerita lagi, kata Charity. Ia menatap Mercy. Kenapa Galatea menyuruhmu tetap di kamar"
Tapi Mercy mendengar suara langkah kaki di koridor. Setelah jam tidur, b
isiknya. Datang ke kamarku.
Kerika mereka seharusnya membaca dan bersiap tidur, Mercy malah pergi ke kamar Charity. Ia mengeluarkan anak-anak kunci dari sakunya.
Kunci, kata Charity. Untuk apa"
kurasa untuk membuka kamar ibu kita.
Wajah Charity menjadi kaku. Ia memalingkan wajah sejenak dari Mercy, dan menatap dinding. Kemudian ia berkata, Dari mana kaudapatkan kunci-kunci itu"
Mercy duduk di sisi tempat tidur adiknya dan cepat-cepat menceritakan pintu menuju masa lalu, cahaya matahari, wanita bergaun merah.
Charity jadi pucat sekarang. Bisakah aku ke sana juga" ia bertanya. Aku ingin melihatnya.
Aku tidak tahu, kata Mercy. Aku belum tahu bagaimana cara kerja pintu itu.
Aku ingin mencoba. Bawa aku sekarang, kata Charity.
Mereka bergegas menelusuri koridor ke permadani dinding, lalu Charity menekan dan memukul-mukul panel kayunya. Namun jalan itu tetap tertutup. Air mata Charity menggenang tapi ia menahannya. Ia menggeleng lalu mengatupkan kedua telapak tangannya.
Bisakah kita cari kamar Ibu" katanya cepat-cepat.
Mercy sudah membersihkan kunci-kunci itu dengan secarik kain bekas dan mengoreknya dengan kuku. Tapi tetap saja kunci-kunci itu dilapisi karat. Ia bertanya-tanya sudah berapa lama kunci-kunci tersebut terendam lumpur di dasar kolam.
Kita harus mencari tahu siapa hantu di kolam itu, ujar Charity.
Mungkin Claudius mau memberitahuku. Mercy mulai melangkah menuju tangga.
Kau tahu di mana kamarnya" tanya Charity.
Aku akan berusaha menemukannya. Segalanya tampak agak lain di tempat yang satu lagi, karena cahaya yang terang. Di sisi selatan, kurasa, di lantai dua. Satu lantai ke atas.
Mereka tak memiliki penerangan, namun kedua anak perempuan itu memiliki penglihatan malam yang tajam. Mercy berjalan di depan, berusaha membayangkan jalan yang dilaluinya dalam rumah, di belakang wanita bergaun sutra merah. Memejamkan mata, ia mendapati dirinya masih bisa melihat seakan rumah itu berupa labirin yang tercetak di otaknya.
Di sini, katanya. Birai terasa halus dan dingin di tangannya. Charity bergegas mengikuti. Tangga berakhir di landasan luas, dengan jendela-jendela tinggi menghadap rumah kaca, taman dengan patung-patung singa, dan Padang Penyulingan di kejauhan.
Di atas sini dingin. Charity menggigil.
Mercy memejamkan mata lagi, berusaha mengingat untuk merasakan arah kamar tidur. Lewat sini, katanya.
Mereka terus melangkah. Di sekeliling mereka, rumah berderak-derak.
Kurasa ada yang mengikuti kita, bisik Charity, menarik siku Mercy.
Aku tidak dengar siapa-siapa. Sesuatu menggelitik penciumannya. Parfum itu, mungkin" Bisakah kau mengendusnya" ia bertanya. Bisakah kaucium"
Mencium apa" Aku tak mencium bau apa-apa kecuali bau karpet tua. Charity masih menoleh ke belakang.
Di sini, kata Mercy. Pintunya terkunci. Ia mengeluarkan anak kunci terbesar. Kuncinya macet. Sejenak kunci tak bisa digerakkan, kemudian, dengan derakan cukup keras, mekanismenya bekerja.
Mercy membuka pintu. Udara dingin berembus menerpa mereka. Tirai pucat berkibar di jendela. Anak-anak perempuan itu melangkah masuk. Sesuatu bergerak di langit-langit sosok gelap. Jantung Mercy bagai berhenti sedetik.
Ivy, katanya. Jendelanya terbuka. Tanaman ivy merambat masuk ke kamar menutupi langit-langit.
Charity berdiri sangat dekat dengan kakaknya. Daun-daun kering mengotori lantai, dan tempat tidur, yang selimutnya sudah berjamur. Apa ini kamar Ibu"
Kurasa begitu. Tak ada foto sama sekali.
Ya. Tapi kita punya ini. Mercy menunjukkan anak-anak kunci yang lebih kecil. Ia menghampiri meja rias dan duduk di bangku kecil tanpa sandaran di sebelahnya. Daun-daun gugur berserakan di wadah-wadah beling. Cermin berpanel tiga memantulkan bayangan Mercy yang gelap. Ia membayangkan ibunya duduk di tempat yang sama, persis seperti ini. Menyikat rambut, menyematkan kalung. Pernahkah ia dan Charity bermain-main di sini pada pagi hari" Pernahkan ia memanjat ke tempat tidur, dan memeluk ibunya" Kamar ini menyimpan begitu banyak kenangan, semua terkunci rapat. Mercy berusaha mati-matian mengingat, dan tak berhasil. Ia mendesah
, ada ruang kosong menyakitkan dalam hatinya.
Charity berkeliaran perlahan di sekeliling kamar, menyentuh benda-benda. Vas dekat jendela, robekan tirai. Piring penuh debu, dan butiran-butiran mutiara dari kalung putus. Mercy membuka kunci laci meja rias.
Charity, panggilnya lirih. Lihat. Laci itu penuh surat dan kertas. Berikan syalmu padaku, katanya.
Charity membentangkan syalnya dan Mercy mengisinya dengan surat-surat. Ia mengikat ujung-ujungnya.
Charity menatap keluar jendela, ke malam gelap. Kau yakin ini kamar Ibu" katanya setengah melamun. Apa dia berbaring di sini" ia menjatuhkan diri ke tempat tidur, di antara daun-daun kering. Pernahkah aku berbaring di sini, bersamanya"
Kita harus pergi, kata Mercy. Kita akan menemukannya. Aku yakin. Aku juga ingin melihatnya lagi. Kurasa dia belum meninggal. Kurasa mereka membohongi kita, Charity.
Mereka berlari kembali menuju landasan dan menuruni tangga. Pontang-panting, terus sampai ke kamar Mercy. Ia menyembunyikan buntalan berisi surat di bawah papan lantai, di kolong tempat tidur.
Ada yang mengikuti kita tadi, kata Charity. Aku dengar langkah kaki.
Century Karya Sarah Singleton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mercy mengangguk. Aku tahu, katanya. Aku juga dengar.
IV MERCY mengintip ke koridor kemudian mengunci pintu kamarnya. Fajar musim dingin yang kelabu telah menyingsing di atas pepohonan, tapi Mercy menutup tirai dan menyalakan lilin, sehingga mereka bisa membaca surat-surat itu. Baru terpikir olehnya ia tak pernah bertanya mengapa mereka terlelap saat fajar itu hanyalah bagian ritual tiap hari yang terhipnotis. Mungkinkah menolaknya" Bisakah mereka tetap terjaga dan menyaksikan matahari terbit" Semacam mantra menyelubungi rumah, pola berulang yang menjauhkan mereka dari cahaya siang. Mungkin mereka bisa memeranginya.
Charity, menurutmu bisakah kita tetap terjaga" Tak lama lagi pagi tiba, bukan" Bagaimana kalau kita memaksa diri untuk tidak tidur" katanya.
Tapi Charity sudah menguap. Ia menatap kakaknya. Bisa kita coba, katanya, ragu. Tapi aku letih sekali.
Ia duduk di tempat tidur Mercy dan menumpahkan surat-surat dari syal ke penutup tempat tidur. Anak-anak itu memunguti surat dengan penuh ingin tahu, satu demi satu.
Ditulis dengan bahasa Italia, kata Mercy.
Yang ini berbahasa Latin, Charity mengangkat kertasnya, berusaha membaca tintanya yang memudar. Terlalu sulit untukku.
Tulisannya aneh sekali, kata Mercy, mengambil secarik lagi. Kertas yang dipegangnya terasa lembut, seperti kain, warnanya kekuningan dengan pinggiran cokelat.
Lihat, katanya. Di antara tumpukan surat, ada sebundel yang terpisah, mungkin selusin, diikat dengan kain satin pink berdebu.
Surat cinta, Charity nyengir. Untuk siapa, dan dari siapa"
Mercy melepaskan pita dan membuka surat pertama. Sulit melihat tulisannya. Bahasa Italia. Mercy menyipitkan mata, berusaha membaca tulisan yang meliuk-liuk. Ia mengangkat lilin, memegangnya dekat dengan kertas.
Hati-hati nanti terbakar, tukas Charity.
Mercy menurunkan kertas surat, dan meletakkan lilin kembali ke meja sebelah tempat tidur. Ia menatap adiknya.
Ada apa" Mercy bicara perlahan. Rasanya, sejauh yang kumengerti, surat-surat ini ditujukan kepada Thecla, dan ditulis oleh Trajan. Surat-surat dari Ayah untuk Ibu. Tertulis tahun 1689.
Mereka saling menatap selama beberapa saat, pikiran mereka berpacu.
Jadi memang Thecla-lah yang kulihat, karena ini surat-suratnya. Dan tadi pasti kamarnya, kata Mercy.
Tahun berapa sekarang"
Aku tidak tahu. Tidakkah ini aneh" Aku merasa tahun 1689 sudah lama sekali berlalu.
Mungkin Trajan dan Thecla ini nenek moyang orangtua kita, dengan nama yang sama, kata Charity, menebak-nebak.
Mungkin. Mereka memisahkan surat-surat itu menjadi beberapa tumpuk. Bundelan surat-surat cinta di satu tumpukan, surat-surat berbahasa Italia lain di tumpukan kedua, dan surat-surat berbahasa Latin di tumpukan ketiga. Dilihat sekilas, surat-surat berbahasa Italia itu ditulis oleh famili dari negara lama, kepada Thecla dan Trajan di Inggris. Sebagian besar bertahun 1780-an. Anehnya, pikir Mercy, surat-surat berbahasa Latin ditulis pada saat
yang kurang-lebih sama. Ditujukan kepada Thecla, tapi Mercy tak mengenal nama di bagian bawah surat.
Ketika menengadah ia melihat Charity sudah tertidur, kepalanya tergeletak di bantal. Mercy sendiri berjuang untuk tetap terjaga. Ia mengguncang adiknya.
Kau harus berusaha menahannya, katanya. Cobalah. Jangan tidur.
Tapi Charity menggeleng dan mendorong tangan kakaknya. Tidak bisa, katanya. Terlalu sulit.
Menguap, ia berdiri terhuyung dan berjuang melangkah ke kamarnya sendiri di sebelah kamar Mercy.
Menolak rasa letihnya sendiri, Mercy menumpuk surat-surat kembali ke ruang di bawah papan lantai, di kolong tempat tidurnya. Ia duduk di meja tulisnya, bertekad melawan kantuk. Namun sia-sia saja. Kantuk mengalahkannya dan menelannya. Ia tak punya pilihan dan kekuatan untuk mengusirnya.
* * * AURELIA membangunkannya, dalam kegelapan pagi terbalik di Century. Ia membuka tirai, sehingga cahaya bulan menerpa Mercy saat ia menelungkup di meja tulis, masih berpakaian lengkap.
Aurelia membawa baki dan meletakkan cangkir serta piring di meja, dengan teh dan biskuit.
Kenapa kau tidak di tempat tidur" Aurelia mengamati Mercy dengan cermat. Wanita itu membuat kalian bekerja terlalu keras. Baik dirimu maupun Charity tak terlalu kuat.
Aku letih, Mercy mengakui. Ia berdiri dari meja tulisnya dan membaringkan diri ke tempat tidur, rambut hitamnya tergerai menutupi bahu. Ia mengambil sepotong biskuit, dan menggigitnya sambil melamun, menatap keluar jendela.
Aurelia, katanya perlahan. Kenapa kita tak melihat siang hari" Kenapa aku tak bisa tetap terjaga" Bisakah kau tetap bangun"
Aurelia menarik napas, dengan suara seperti dengusan. Karena begitulah kita hidup.
Kenapa" Aku yakin kita pernah melihat siang hari. Aku ingat, kurasa. Dan tahun berapa sekarang"
Begitu banyak pertanyaan, kata Aurelia. Apa gunanya" Tiap hari seharusnya tak berbeda.
Kenapa aku tak bisa terjaga di siang hari" Mercy mendesak. Apakah ia ingin melihat siang" Ia ingat pancaran cahaya yang keras dan menyakitkan di tempat satu lagi. Cahaya matahari bisa kejam. Mungkin ada baiknya tak melihat terlalu banyak.
Kau harus bicara dengan ayahmu soal itu, kata Aurelia. Ia menyentuh rambutnya dan mendesah. Kemudian ia membawa baki ke kamar sebelah, untuk membangunkan Charity.
Mercy menghabiskan bskuitnya cepat-cepat dan melompat bangkit dari tempat tidur untuk melihat surat-surat lagi. Surat-surat cinta kuno itu terlalu sulit untuk dibaca, maka ia kembali meringkuk di bawah selimut dan berkonsentrasi pada surat-surat berbahasa Latin. Sulit untuk diterjemahkan. Isinya tak seperti bacaan dan puisi yang biasa dibacanya. Akhirnya, ia berhasil mengetahui artinya.
&tentu saja keluarga mengerti masalahmu. Claudius tak boleh diizinkan mengikuti kemauannya sendiri dalam masalah ini & Kita hidup dalam masa yang lebih rasional, tapi bahaya itu masih ada. Kita tak boleh lengah sama sekali &
Mercy tak mengerti kalimat berikutnya. Sesuatu tentang keluarga. Si pengirim menuliskan kata Verga dan masalah yang berhubungan dengan sejarah, dan rahasia.
Surat itu diakhiri doa dan cinta kepada keluarga ia dan Charity disebut-sebut. Penulisnya bernama Augustus Verga. Seorang famili, Mercy menyimpulkan, masih hidup, saat itu, di Italia. Surat itu bertahun 1789. Tiba-tiba Mercy merasa dingin. Tahun berapa sekarang" Ia menarik selimutnya lebih tinggi.
Surat berikutnya ditulis dua bulan sesudah yang pertama. Si pengirim tampak marah. Apa pun masalah yang terjadi, jelas sekali tak berakhir seperti yang diharapkannya. Surat itu meminta tindakan dan kepatuhan. Claudius harus dikirim ke Roma, tanpa ditunda lagi. Surat itu menyebutkan seorang wanita beberapa kali, namun namanya tak pernah disebut.
Cepat-cepat Mercy mengambil surat ketiga. Kisahnya berlanjut. Kalimat-kalimat si pengirim berubah. Ia tak lagi marah. Sebaliknya, surat itu berisi rencana tindakan ia mengusulkan dirinya sendiri datang ke Inggris di musim semi untuk bertemu Claudius. Bicara dengannya. Wanita itu ternyata merupakan ancaman yang lebih besar daripada yang semula diduganya. Dan kali ini namanya disebut Marie
tta. Jemari Mercy, memegang surat, serasa tergelitik ketika ia membaca nama itu. Tiba-tiba ia menyadari ada rambut menggelitik wajahnya, berat selimut di tubuhnya, keheningan rumah.
Marietta. Ia tak ingat nama orang bernama Marietta. Jadi mengapa nama itu membuatnya tergetar" Halaman-halaman kenangannya tersibak. Tapi ia tak bisa mencapai halaman yang benar.
Marietta. Dan seseorang lagi.
Dengan ketukan singkat, Galatea berderap masuk ke kamar. Mercy menjejalkan surat-surat itu ke bawah bantal.
Mercy, sudah waktunya berpakaian. Lekaslah, katanya. Apa yang kaulakukan"
Aku sedang aku sedang menulis jurnalku. Maafkan aku. Ia bergegas turun dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tempat tidur, berharap si pengganggu ini tidak melihat.
Galatea melihat. Ia melirik tempat tidur, tapi tak menyelidiki lebih lanjut. Ia berdecak dan menggeleng.
Saat sarapan Charity cukup ceria, mengobrol dengan Aurelia. Mereka makan telur rebus dan roti panggang, dihidangkan di piring biru dan putih, duduk mengelilingi meja dapur. Ruangan hangat, dan sesaat Mercy percaya keadaan sudah kembali seperti sedia kala.
Sekali lagi Galatea sibuk bersama Trajan, dan anak-anak diizinkan tidak mengerjakan tugas sekolah. Aurelia, pasti mengikuti perintah ayah mereka, tak memberi kesempatan sama sekali bagi anak-anak untuk menguping. Ia menyuruh mereka membantu membuat roti, kemudian, sementara adonan dibiarkan mengembang, menyuruh mereka keluar mencari udara segar, dengan perintah tegas agar mereka tetap berada di halaman.
Di luar, di taman yang membeku, Mercy menjelaskan kepada Charity apa yang dibacanya.
Jadi Claudius melakukan sesuatu yang buruk" Charity bertanya-tanya. Aku tak mengerti apa yang bisa dilakukannya. Dan siapa Marietta"
Aku sama sekali tak tahu harus berpikir bagaimana tentang Claudius, kata Mercy. Surat-surat itu hanya membuatku bingung.
Tapi anak-anak tak punya banyak waktu untuk mengobrol. Beberapa menit kemudian Galatea bergegas keluar dari rumah, mengejar mereka.
Di dapur Aurelia sedang menguleni adonan roti lagi, sambil memunggungi Galatea dengan ekspresi masam. Mercy menduga kedua wanita itu tak sepakat tentang cara mengasuh anak-anak dan Aurelia seharusnya tak mengizinkan mereka keluar sendirian, bahkan di halaman. Aurelia lebih lunak daripada Galatea, tapi kedua pelayan itu harus mematuhi perintah Trajan. Mercy membuka sepatu botnya.
Mula-mula Galatea tak bicara. Ia hanya menatap Mercy, wajahnya kaku karena marah. Mercy tak berani membalas tatapannya. Jelas sekali ia sudah tertangkap basah. Apa yang akan dikatakan ayahnya sekarang" Ia tercekik rasa merana, menahan air matanya.
Mercy, kau anak yang jahat sekali, kata Galatea. Aku tak tahu harus berkata apa. Kau harus ke perpustakaan dan bicara dengan ayahmu. Ini masalah serius. Charity akan tinggal di sini bersama Aurelia.
Mercy melangkah ke perpustakaan. Apakah mereka sudah tahu ia mencuri surat-surat itu" Ia ngeri membayangkan pertemuan ini. Mengapa ayahnya hanya memarahinya, padahal Charity juga dengan suka rela berkomplot" Perjalanan menuju perpustakaan singkat, tapi ia berlama-lama. Ia tak mampu menghadapi ayahnya. Akhirnya ia berdiri di depan pintu, jantungnya serasa ada di kerongkongan, kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengetuk.
Masuk. Suara itu terdengar terbekap. Mercy membuka pintu dan masuk. Api menyala di perapian. Cahayanya berkilat pada punggung buku-buku di rak, pada koleksi buku tanaman milik Trajan, suatu masa dulu pernah menjadi obsesinya. Mercy ingat ayahnya pernah sibuk membaca diagram bunga-bunga dan risalah tentang tanaman baru dan eksotis yang ditemukan di Dunia Baru.
Jam berdenting di atas perapian, menyuarakan genta seperempat jam. Trajan berdiri membelakangi putrinya di sisi lain ruangan, dekat rak tempat Mercy muncul di Century lain yang lebih bercahaya. Mercy ragu beberapa menit, sebelum bicara.
Ayah, katanya. Galatea bilang Ayah ingin menemuiku.
Trajan berbalik dan melangkah menyeberangi ruangan menuju Mercy. Mercy pikir ia marah, namun ia merentangkan tangan dan menepuk bahu putrinya.
Kau tampak habis melihat hantu, katan
ya. Ia tersenyum. Tapi tentu saja, kau memang bisa melihat hantu.
Di tangan satu lagi, Trajan memegang tas kulit kecil. Mercy berusaha rileks. Ia membuka kepalan tangannya, dan membiarkan kedua lengannya lemas di sisi tubuh.
Trajan mengangkat tas itu, membuka kait di bagian atasnya, dan dengan lembut menumpahkan isinya ke atas meja. Mercy menatap ngeri ketika tumpukan surat rahasianya tumpang-tindih di taplak hijau. Mulutnya menganga lebar. Ia menengadah menatap Trajan. Surat yang paling akhir, di atas tumpukan, tampak lain daripada selebihnya. Kertasnya baru dan masih bersih, dan tulisan di sana adalah tulisan tangannya sendiri itu surat yang ditulisnya untuk Claudius dan ditinggalkannya di gudang perahu.
Mercy menutup mulut, dan membukanya lagi. Trajan menarik kursi untuknya dan mengisyaratkan agar Mercy duduk.
Apakah Ayah marah padaku" tanya Mercy, dengan suara kecil.
Trajan duduk di sebelahnya. Ia meletakkan kedua telapak tangan di meja. Ia tampak tenang sekarang.
Tidak, katanya. Tapi kau harus mengatakan padaku semua yang kau tahu. Kita semua berada dalam bahaya besar. Keluarga kita. Keadaan telah terlepas dari kendaliku. Galatea dan Aurelia telah begitu waspada tapi Claudius ternyata lebih cerdik daripada yang kuduga.
Claudius" Mercy berseru. Kemudian, Apakah Ayah megikuti kami, tadi malam" Begitukah Ayah bisa tahu kami mengambil surat-surat itu"
Galatea mengikuti kalian, Mercy. Aku memintanya menjaga kalian. Ia mematuhiku. Sekarang katakan padaku apa yang kauketahui tentang Claudius.
Mercy menggigit bibir. Dia bilang kami bisa bebas. Aku bisa melihat matahari, katanya. Ia tak mampu menahan perasaannya. Air mata yang tak diharapkannya menggenang. Ia menelan ludah dengan susah payah.
Trajan menatapnya, dan mendesah. Ia merentangkan tangan dan menyentuh pipi Mercy. Gerakan penuh sayang itu seketika terasa sangat menyenangkan dan tak terduga, sehingga Mercy mulai benar-benar menangis.
Kita takkan terbebas dari siapa diri kita, kata Trajan lembut. Aku tahu ini sulit.
Apa maksudnya" Siapa kita" Siapa Claudius ini" Kenapa kita hanya bangun di malam hari" Air mata mengalir deras. Mercy menelungkupkan wajah ke lengannya di atas meja dan terisak-isak. Trajan mencondongkan tubuh dan mengelus rambutnya.
Nah, katanya. Jangan menangis, Mercy. Kita akan jadi seperti dulu lagi, sebelum kedatangan Claudius. Aku akan membantumu agar tetap aman. Ia mengeluarkan saputangan besar dari saku. Mercy mengangkat kepala, menyedot ingus, dan ayahnya mengusap matanya dengan lembut.
Hati Mercy membuncah. Ia membayangkan dirinya menghambur ke dalam pelukan Trajan. Pernahkah ayahnya menggendongnya" Pernahkah mereka bermain bersama-sama" Tiba-tiba Trajan menjadi lembut sekaligus berkuasa. Juga patah hati. Lelaki yang tercabik-cabik, dengan intisari yang lenyap. Dilanda rasa sayang, Mercy bercerita padanya tentang pertemuan di gereja, kemudian di gudang perahu. Ia menceritakan apa saja yang dikatakan Claudius, tentang hantu di kolam, dan anak-anak kunci untuk membuka kamar ibu mereka.
Kau membaca surat-surat itu, tentu saja, kata Trajan.
Beberapa. Dan apa yang kausimpulkan, dari semua yang telah kauketahui"
Sesuatu terjadi berhubungan dengan Claudius, dan sekarang kita bersembunyi di dalam rumah.
Seperti Putri Tidur, kata Trajan. Kau benar, tentu saja. Rumah ini ditutup untuk melindungi kita. Untuk melindungi keluarga kita. Claudius ingin merobek pertahanan kita. Tapi jangan kira dia memikirkan kebaikanmu, Mercy. Dia ingin melarikan diri dan menghancurkan kita. Dia menganggap kami bertanggungjawab atas bencana yang menimpanya, dan dia ingin balas dendam, meski sebetulnya dirinyalah yang membawa kita semua ke dalam situasi ini. Kehidupanmu di sini terkurung karena salahnya.
Bagaimana cara kita tersembunyi" Di mana Ibu" tanya Mercy. Apakah benar kami semua dimantrai" Kenapa kita harus sembunyi"
Namun Trajan tak bisa menjawab. Ia mengabaikan pertanyaan putrinya.
Kita berbeda dengan orang lain, katanya. Aku takkan memberitahukan lebih banyak, Mercy. Tak aman jika kau tahu. Hanya itu yang bisa kukatakan. Tol
ong percayalah padaku. Sekarang kembalilah ke Galatea. Jangan lupa tunjukkan ekspresi menyesal. Dan jangan bicara dengan Claudius, atau mencoba menghubunginya. Jika dia muncul lagi, kau harus memberitahuku. Aku harus mencari cara untuk menjegal jalannya sebelum dia bertindak lebih jauh. Maka kedamaian kita akan kembali.
Mercy membuka mulut untuk bicara, tapi Trajan mengangkat tangan untuk mendiamkannya.
Masih terisak, Mercy berdiri dan meninggalkan ruangan, mencengkeram saputangan ayahnya. Ia tak tahu harus berpikir bagaimana. Ia ingin apa" Ia ingin tahu kebenaran tentang ibunya. Ia teringat rumah penuh cahaya matahari dengan suasana bahagia. Apakah ia masih ingin kembali ke sana"
* * * Beberapa saat kemudian, mereka makan malam bersama Trajan diterangi cahaya lilin. Lalu Galatea membacakan cerita untuk mereka di ruang duduk anak sampai fajar. Ia tak memberi anak-anak perempuan itu kesempatan untuk bicara berdua, menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing saat mereka sudah terlalu letih untuk membantah.
Mercy berbaring, saputangan Trajan di bawah bantalnya. Setelah hari-hari bermasalah belakangan ini, sekarang ia merasa lega. Ia bisa menggantungkan diri pada ayahnya untuk menjaganya. Mungkin jika ia mematuhi ayahnya, perubahan-perubahan akan berhenti dan rasa sakit karena mengingat akan lenyap.
Setelah matahari terbenam, gadis kecil itu menjerit; hantu yang bermain petak umpet.
Mercy terbangun, berkeringat, dari mimpi tentang wanita di bawah es. Mimpi itu penuh warna-warna terang, warna-warna siang hari. Dalam mimpi Mercy berlari melintasi padang rumput membawa kapak, dan ia memukulkan mata kapaknya keras-keras ke permukaan kolam yang beku, mengakibatkan berserakannya pecahan-pecahan besar yang berkilauan. Namun kolam itu sekeras besi, sampai ke intinya.
Gadis kecil itu menjerit lagi. Mercy melompat dari tempat tidur dan berlari ke koridor. Sekaranglah kesepatannya untuk menyelinap melalui pintu ke tempat lain itu lagi.
Tidak. Tidak! Ia akan mengabaikan hantu itu. Ia akan kembali tidur. Suara ayahnya bergema di kepalanya. Kata-katanya yang menenangkan.
Hantu itu menuju permadani dinding, menunjukkan jalan ke cahaya matahari dan kakak-beradik yang bahagia. Mercy mulai melangkah, kemudian berhenti lagi. Ia tercabik antara dua arah. Gelap dan terang. Dingin dan panas. Ketidakasingan yang nyaman dan perubahan yang menyakitkan.
Trajan begitu baik. Ia tak ingin membuat ayahnya risau lagi. Pasti ia tahu lebih banyak daripada Mercy. Lalu mengapa tempat lain itu masih saja menarik hatinya" Cahaya matahari membujuk, dan wanita itu, yang adalah ibunya.
Tamu Aneh Bingkisan Unik 2 Pengemis Binal 03 Bidadari Lentera Merah Petualangan Dipulau Suram 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama