Century Karya Sarah Singleton Bagian 2
Apakah Trajan akan tahu jika Mercy berkunjung sekali lagi saja, untuk menemui ibunya" Terlalu sulit menolaknya. Pemberontakan bergumul dengan rasa bersalah. Mercy mengikuti hantu itu.
Ia memejamkan mata, menyelipkan kepala ke balik permadani dinding, dan melangkah ke ruang kosong. Kali ini ia sudah siap menghadapi sensasi terjatuh, namun rasa terkejut karena terjun ke udara kosong tak juga berkurang.
Ketika mendarat ia menutup mata dengan jemari, menghalangi cahaya siang yang menyilaukan. Ia bisa merasakan panasnya di punggung tangannya, dan di dahinya. Saat mengintip melalui celah-celah jemari, ia melihat, di lantai, buku merah milik Trajan. Mercy membungkuk dan mengambilnya, membuka sampulnya, untuk melihat halaman depan, rumahnya, dan lelaki berkuda. Buku itu bergetar, penuh energi kuat yang ganjil.
Tapi ia tahu tak bisa membawa buku itu, maka ia meletakkannya di perpustakaan dan bergegas menelusuri koridor. Ketika melewati ruang duduk anak, Thecla melangkah keluar, seperti pertama kali, rambutnya yang panjang keemasan, dan tercium jejak wangi parfum. Hati Mercy terasa membengkak saat melihatnya. Apakah ia tiba di waktu yang sama seperti sebelumnya" Mungkin Thecla akan naik ke kamarnya dan mencari-cari ke dalam laci lagi.
Di ruang duduk dua anak perempuan minum teh dari cangkir-cangkir mawar biru.
Apakah kau kedinginan" Mercy kecil bertanya pada adiknya.
Tidak, sama sekali tidak. Aku malah agak kepanasan.
Aku dingin, kata anak pertama, sambil bergidik. Mercy mendekat. M
ungkin dirinya yang nomor dua entah bagaimana merasakan kehadirannya.
Mercy meninggalkan anak-anak perempuan itu dan berkeliaran di rumah. Lantai papan mengilat. Permadaninya baru dan cerah. Ia melewati pelayan yang melap debu di patung perunggu di atas tiang rendah, dan dua bilah pedang bersilangan di dinding. Bunga-bunga bermekaran di dalam vas, memenuhi udara yang hangat dan lembut dengan wewangian. Benda-benda mengilat, bunga-bunga, hangatnya musim panas Mercy menghirup semuanya.
Pemandangan berubah. Sekarang petang tiba, cahaya memudar. Pintu depan terbuka, menuju beberapa undakan. Mercy melangkah ragu ke luar.
Langit membara dengan warna merah dan emas, persis sebelum matahari terbenam. Betapa indahnya. Mercy melindungi mata dan memandang.
Ia mengikuti suara-suara, menuju taman buah. Rumput panjang dan lembut. Apel, pir, dan plum kecil berdesakan di pohon-pohon. Ia menjauh dari pohon-pohon buah, melewati rumah kaca, tempat sayap-sayap kupu-kupu berkelebat di balik kacanya, menuju taman mawar.
Di sana sumber suara sekitar selusin anak bermain di rumput, dan meja, penuh piring makanan, di bawah kanopi.
Burung layang-layang menukik dari atas rumah, bergerombol, dan menyambar ke halaman. Mercy menatap burung-burung itu membumbung lagi, dan berputar ke bagian belakang rumah. Suara jeritannya bagai mematuk benang kenangan Mercy, membawa kembali hubungan emosional dengan musim panas, udara yang hangat, wangi rumput dan bunga. Emosi itu menjadi rasa nyeri yang aneh, persis di bawah rusuknya.
Salah satu anak berlari menuju dirinya. Anak perempuan itu sekitar sembilan atau sepuluh tahun, memakai gaun panjang berwarna biru. Ia berlari melewati Mercy, meneriakkan sesuatu kepada yang lain, dan terus berlari. Dua anak perempuan lain mengikutinya. Tampaknya tak ada yang melihat Mercy, yang merapat pada dinding, maka ia melangkah ke luar, untuk bergabung dengan kelompok di rumput.
Lima gadis kecil bergaun putih, seperti bunga apel, duduk di permadani merah keunguan di bawah bayang-bayang rumpun mawar. Thecla duduk di kursi di bawah kanopi putih. Ia mengenakan gaun beludru hijau sekarang, rambut pirang gelapnya dikeriting dan dijepit ke atas. Gaun itu berpotongan rendah, menunjukkan kulit yang putih.
Betapa istimewanya kudapan yang dipesan Thecla dari dapur, untuk piknik itu. Gula-gula berbentuk bunga, ditata di piring perak bunga sungguhan, pink dan biru serta putih, berselaput gula renyah. Kue berbentuk miniatur istana, pastry berbentuk ikan, manisan gula transparan seperti batu permata bermahkota meringue. Anak-anak itu menikmati kudapan, menjejali mulut kecil mereka yang lembap dengan harta karun yang bisa dimakan.
Mercy menatap Thecla. Meskipun ia percaya wanita pirang itu ibunya, tetap saja ada yang terasa hilang. Ia tak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya. Ada emosi untuk petang musim panas, tapi untuk Thecla, sama sekali tak ada, selain keingintahuan yang sederhana. Tapi Mercy terus menatap, memandangi bentuk wajah Thecla, lekuk bibirnya, warna gandum dan madu rambutnya, mutiara yang menggelantung di telinganya. Mercy beringsut mendekat, berusaha mengendus wangi ibunya lagi.
Mercy, kata Thecla dengan suara keras dan jernih. Mercy, kemarilah.
Mercy membeku seketika dengan ngeri sampai ia sadar Thecla tidak menatapnya. Seorang gadis kecil di permadani menoleh.
Ibu" katanya. Thecla menepuk kursi di sebelahnya. Kemari dan mengobrol denganku, bujuknya.
Mercy kecil mendesah. Ia sedang mengobrol seru bersama temannya, tapi ia berdiri dengan patuh dan menghampiri ibunya. Temannya mencondongkan tubuh untuk memerhatikan. Ia memiliki rambut merah seperti karat, keriting kecil-kecil, wajah yang sangat tak asing bagi Mercy. Gadis kecil itu hantu koridor di luar kamarnya, yang bermain, dan kadang-kadang menjerit. Mercy menutup mulut dengan tangan, merasakan kata-kata ingin keluar dari bibirnya.
Mercy kecil, sekitar sepuluh tahun, duduk di kursi sebelah ibunya dan menggoyang-goyangkan kaki. Ia mengambil mawar gula dari piring saji dan memasukkannya ke mulut.
Duduklah yang tenang, kata Thecla. Kau sudah besar. Suaranya tegas
namun ia tersenyum. Apakah kau menikmati ulang tahunmu" Apakah kau senang" ia bertanya.
Mercy kecil mengangguk. Sangat senang.
Pergi dan bermainlah dengan teman-temanmu, kalau begitu.
Mercy kecil berdiri, memeluk leher ibunya, dan mencium pipinya. Kemudian ia berlari kembali ke gadis kecil berambut merah di permadani.
Mercy terus mendekat. Apakah ia juga pernah ingin mencium wanita ini, ibunya" Butiran-butiran kristal kecil gula dari bibir Mercy kecil masih melekat di kulit Thecla. Thecla mendesah.
Mercy meninggalkan kanopi dan duduk di rumput, tertarik pada kelompok anak-anak itu. Tiga petualang muda yang berlarian ke dalam rumah telah kembali, dan mengempaskan pantat, kehabisan napas, di rumput. Semua ada sebelas orang, tiga anak lelaki dan lima anak perempuan. Mercy melihat Charity kecil di pinggir kelompok, menguntai kalung bunga daisy sampai mulai berseteru dengan temannya, mencabik kalung itu, dan ngambek. Ketika anak-anak lelaki sudah selesai makan, mereka berdiri, melompati ha-ha, dan berlari menuju danau. Mercy menguping, menjadi hantu di pesta ulang tahunnya sendiri.
Apa sebaiknya kita jalan-jalan juga" tanya Mercy kecil. Aku bisa menunjukkan kuil itu padamu. Mungkin kita bakal dibawa ke danau menggunakan perahu. Ia melompat bangun.
Ibu, katanya. Bolehkah kami mengikuti anak-anak lelaki" Chloe ingin naik perahu di danau. Maukah Ibu meminta salah satu pelayan membawa kami"
Chloe. Chloe. Ya, ia ingat. Sahabat terdekat dan tersayangnya. Mercy membeku, matanya terpaku pada gadis kecil itu. Bagaimana ia bisa lupa" Begitu banyak ruang dalam hatinya yang terkunci sekarang. Chloe menyayanginya meskipun Mercy pemalu dan canggung serta kadang-kadang suka mengamuk. Chloe mengerti betul apa yang ingin dikatakan Mercy kecil dan mengapa ia tertawa, juga memahami imajinasinya. Mercy menatap gadis kecil itu dan merasakan kekosongan waktu yang hilang serta memisahkan mereka.
Thecla berdiri dan mengibaskan rok.
Ayolah, katanya. Anak-anak, kalian siap" Ia mengangguk kepada pelayan lelaki ber-wig putih, berdiri tak kentara di sebelah kanopi, dan ia mengikuti kelompok itu melintasi jalan setapak lebar menuju gerbang taman. Karena memakai rok, anak-anak perempuan tak bisa melompati ha-ha.
Domba-domba merumput di ladang yang membentang sampai tepi danau. Karena gundul, domba-domba itu tampak pudar, seperti hantu. Domba-domba tersebut melompat-lompat kabur ketika kelompok itu mendekat. Tanah penuh kotoran domba.
Mercy bertanya-tanya di mana orang-orang dewasa lainnya mungkin di rumah, menikmati hiburan mereka sendiri. Thecla menjadikan dirinya pengawas tamu pesta yang lebih kecil. Mercy tergoda berlari kembali ke rumah untuk mengetahui apa yang terjadi, dan siapa tamu-tamu lainnya. Meski demikian, langit petang sangat indah ia tak ingin kehilangan kesempatan memandanginya walau semenit.
Pelayan membawa Chloe dan Mercy kecil ke gudang perahu, sekarang tampak dicat bersih, dan baru. Bahkan, rumah dan halaman memiliki suasana segar dan baru, dan belum begitu menyatu dengan pemandangan pedesaan sekitar. Tentu saja, keluarga Verga menguasai bangunan rumah, taman-taman, dan tanah sekitar. Sudah berapa lama mereka tinggal di sini pada saat ini"
Anak-anak perempuan melompati undakan menuju perahu. Mercy melangkah hati-hati di sebelah mereka. Mercy duduk di haluan, menyelipkan tubuhnya. Pelayan masuk ke perahu dan mengambil dayung.
Siapa yang membawa perahu satu lagi" tanya Mercy kecil.
Anak-anak lelaki, jawab Chloe. Kau tak dengar mereka"
Ketika perahu mereka sendiri meluncur keluar dari gudang perahu yang gelap, Mercy melihat tiga anak lelaki dalam perahu dayung kecil mendayung dengan sia-sia. Itik-itik meleter terkejut, dan bertemperasan masuk ke semak-semak di dekat sana.
Bukan, kata Mercy kecil. Ada perahu ketiga. Perahu yang paling cantik, dengan kanopi. Orang lain pasti membawanya.
Permukaan danau sangat tenang dan berwarna biru malam, dengan riak putih keperakan dan garis-garis keemasan tempat air memantulkan pancaran terakhir matahari di antara awan.
Jangan lama-lama! Thecla berseru. Tak lama lagi gelap
. Bawa kami ke pulau, Mercy kecil memerintah. Chloe ingin melihat kuil.
Pelayan dengan ahli memutar perahu. Danau itu berbentuk telapak kaki raksasa, dengan lekukan panjang. Pulau terletak di tengah-tengahnya, tampak dari Century, titik fokus pada desain megah itu. Dari luar rumah, kuil yang dibentuk artistik seperti reruntuhan itu tampak megah dan menakjubkan. Dari dekat, Mercy ingat, kuil itu kurang mengesankan.
Hanya butuh beberapa menit untuk mencapai pulau. Pelayan menambatkan perahu di dermaga mungil di sisi teduh, tempat perahu ketiga yang lebih besar sudah lebih dulu tertambat. Anak-anak perempuan itu memanjat keluar. Mercy bergegas mengikuti mereka. Ia punya perasaan sudah tahu siapa yang membawa perahu ketiga ke pulau kecil itu. Chloe dan Mercy kecil tertawa, berjalan berdampingan, kepala saling mendekat seakan berbagi rahasia. Mereka bicara cepat sekali. Pulau itu bukan buatan alam, tentu saja. Seperti jerami kecil di sungai, dan guanya, pulau itu buatan manusia, cukup besar untuk tempat kuil yang diruntuhkan dengan hati-hati dan enam pohon. Ketika anak-anak perempuan itu mendekat, mereka mulai berbisik-bisik, menyembunyikan mulut di balik telapak tangan. Mereka berjingkat-jingkat. Sekarang Mercy bisa mendengar suara, datang dari arah kuil, memastikan kecurigaannya. Mercy kecil dan Chloe memanjat gundukan tanah di belakangnya. Mereka telungkup, mengintip melalui puncak gundukan, ke arah orang-orang di bawah. Mercy mengikuti mereka.
Itu kakakmu, bisik Mercy kecil kepada Chloe. Mereka berbaring saling merapat.
Di antara reruntuhan tiang-tiang marmer dan tembok batu, di bawah atap yang masih cukup besar untuk memberi perlindungan dan tempat teduh bagi para pengunjungnya, tampak pemandangan romantis. Permadani dan bantal, serta sekeranjang makanan. Claudius setengah berbaring, dan seorang wanita muda menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Mereka tak saling bicara, tapi Claudius mengelus-elus tangan si wanita, kemudian mengelus pipinya. Ia pasti mendengar anak-anak perempuan itu datang, karena ia menoleh.
Mereka mengirim mata-mata, katanya. Kita tidak sendirian, Marietta.
Wanita itu tertawa, dan duduk tegak, merapikan gaunnya.
Kemarilah, Mercy, dan Chloe, kata Claudius keras keras. Tak ada gunanya sembunyi. Kami melihat perahu datang menyeberangi danau. Dan kami bisa mendengar kalian berbisik-bisik.
Claudius bersikap ramah, menggoda mereka. Ia berdiri. Apakah aku harus mencari kalian" katanya. Kalian memaksaku. Kemari! Jika kalian menampakkan diri sekarang, kita bisa berbagi puding damson dan madu yang lezat ini. Kalau tidak, aku akan menghabiskan semuanya sendiri.
Anak-anak perempuan itu bertatapan membuat semacam kesepakatan tanpa suara kemudian bangkit lalu berlari menuruni gundukan ke arah kuil. Mercy mengikuti mereka, perlahan. Ia takut Claudius bisa melihatnya, maka ia tetap berada di luar kuil, terlindungi dinding.
Dari tempat yang kurang menguntungkan ini ia memerhatikan Marietta sebaik mungkin. Seperti Chloe, wanita itu memiliki kulit sangat putih dan rambut merah, meski rambut Marietta lebih gelap, lebih mirip anggur ungu, dan lurus, sementara Chloe keriting. Marietta sangat langsing, memiliki tangan panjang dan elegan.
Ia si hantu di bawah es. Tentu saja. Tentu saja! Segalanya sudah ia ketahui. Masalahnya terletak pada usaha mengingat.
Mercy mengepalkan tinju erat-erat. Ia menatap Marietta lagi, mengingat permukaan es yang mengurungnya, seperti cadar, dan warna hijau tenggelam pada rambut Marietta di bawah air.
Kelompok itu bergembira. Mercy kecil duduk di undakan marmer di sebelah Claudius.
Bagaimana kabar gadis yang berulang tahun" Claudius bertanya. Kau menikmati pestamu"
Ya, terima kasih, jawab Mercy kecil, bergelayut di lengan Claudius.
Dan, Chloe, kau makan banyak kue"
Chloe mengangguk. Banyak sekali, katanya.
Well, di sinilah kita, kata Claudius. Menyenangkan sekali, bukan" Dan aku punya hadiah untukmu, Mercy. Ada di keranjang. Lihatlah.
Mercy kecil mengangkat kain dari dasar keranjang. Ia mengeluarkan kotak beludru kecil. Warnanya merah, dengan hiasan jahitan
emas. Buka, desak Chloe. Claudius mengangguk. Perlahan, Mercy kecil membuka tutupnya. Di dalamnya ia mendapati dua butir mutiara, berbentuk air mata, disemat dengan emas. Ia tak bicara. Ia menatap.
Kau suka" tanya Marietta lembut. Mercy kecil tetap tak bersuara. Ia mengangkat pandangan menatap Claudius, bibirnya terbuka.
Anting-anting, kata Chloe. Cantik sekali. Mutiara sungguhan. Kau beruntung sekali. Bolehkah aku mencobanya"
Mercy kecil menggeleng. Ia menutup kotak dan mencengkeramnya erat-erat.
Sudah mulai gelap, kata Marietta. Sebaiknya kita kembali ke rumah. Ia mulai membereskan makanan dan selimut-selimut.
Kembalilah bersama anak-anak, kata Claudius. Aku ingin tinggal di sini sendirian sebentar. Aku suka gelap.
Marietta tampak tak senang. Aku ingin bersamamu, katanya.
Tolong, kata Claudius. Aku takkan lama. Ada lentera untuk di perahu.
Marietta bimbang sesaat, kemudian setuju. Claudius membawa keranjang kembali ke perahu, di mana pelayan menunggu dengan sabar. Marietta, Chloe, dan Mercy kecil naik ke perahu, dan perahu itu menjauh dari pulau. Mereka melambai kepada Claudius saat pergi.
* * * Ketika perahu sudah setengah jalan menuju tepi danau, Claudius kembali ke kuil.
Ia duduk di undakan paling atas. Mercy duduk di sebelahnya. Kerlipan warna terakhir telah lenyap di permukaan danau yang menghitam. Di depan mereka, Century menjulang di atas bukit. Di pantai terjauh, di tepi air, anak-anak mengikuti Thecla menuju rumah. Di belakang pulau, hutan di tepi danau diliputi kegelapan. Angin lembut berembus melintasi danau, menerpa wajah mereka. Di kejauhan, di antara popohonan, burung-burung robin berhenti menyanyikan lagu yang sedih dan melengking, hanya meninggalkan nada-nada panjang pilu burung bulbul, yang akan bernyanyi sepanjang sisa malam. Tanaman honeysuckle dan mawar tumbuh merambat di salah satu tiang putih.
Ini hari paling sempurna dalam hidupku, kata Claudius. Tidak sebelumnya, dan takkan pernah ada lagi, yang bisa menyamainya. Ia menoleh ke arah Mercy. Hatiku penuh, katanya. Lengkap ini saat aku paling menjadi diriku sendiri. Hari yang kuingin tetap abadi. Dan sekarang hari ini abadi.
V MERCY memeluk lutut dan menatap ke seberang danau.
Tahun berapa sekarang" ia bertanya.
Pertanyaan bagus, jawab Claudius. Sekarang" Atau tempat kau datang"
Keduanya. Ini musim panas tahun 1789. Kau tahu tanggalnya, tentu, kata Claudius.
Ulang tahunku. Mercy mengerutkan kening, berusaha mengingat. Tanggal satu Juni" Sekarang katakan padaku tahun berapa di tempat lainnya, dari mana aku datang.
Claudius menatapnya. Di sana tahun 1890, katanya. Lebih dari seratus tahun telah berlalu.
Mercy menancapkan kuku ke telapak tangannya. Ia tak percaya. Tapi ia ingat surat-surat itu, tanggal yang aneh dari zaman dulu sekali.
Bagaimana mungkin" desaknya. Itu artinya aku sudah berusia lebih dari seratus tahun, kau juga. Mustahil.
Claudius mendesah. Trajan tak pernah memberitahumu tentang keluarga kita, katanya.
Keluarga kita, kata Mercy. ada apa dengan keluarga kita" Kita datang dari Italia, aku tahu. Negara lama.
Keluarga Verga tak seperti manusia lain, kata Claudius. Kita hidup selama ratusan tahun, Mercy. Sejauh yang kutahu, kita bisa hidup selamanya. Kita menjadi dewasa, kemudian tetap seperti itu. Tentu saja jika aku mengalami kecelakaan, aku akan mati jika aku dibunuh, jika aku menerjunkan diri dari puncak menara. Selain itu tak ada kematian. Kematian tidak alami untuk kita.
Kepala Mercy serasa berdengung. Benarkah"
Tapi sekarang Trajan tampak tua, katanya. Dan kenapa aku masih saja jadi anak-anak selama seratus tahun" Tak ada kata-katamu yang masuk akal.
Sebagai orang dewasa, penampilan luar kita merefleksikan kondisi perasaan kita, Claudius menjelaskan. Ayahmu tampak tua karena tak lagi punya keinginan untuk hidup. Jika perasaannya berubah, Trajan akan tampak muda kembali. Kesedihan membuat kita tua. Kebahagiaan menjadikan kita muda. Dan dalam kasusmu, Mercy kau tak tumbuh dewasa karena, seperti yang telah mulai kaumengerti sendiri, Trajan mengurungmu dalam mantr
a. Dia menyembunyikanmu dan menjebakmu dalam penggalan waktu, berulang dan terus berulang lagi. Ia berhenti dan menatap Mercy dengan hati-hati.
Kau tampak kurus dan letih, katanya. Cuaca musim dingin tak cocok untukmu.
Bagaimana kau bisa melihatku, sementara yang lain tidak"
Mereka hanya boneka di pertunjukan, berlatih peran mereka. Benak mereka tak menyadari kehadiranmu. Mereka masa lalu dan kau bukan bagian waktu mereka bab mereka dalam kisah ini.
Bagaimana denganmu" Aku sudah melepaskan diri dari kisah ini. Aku membawamu ke sini. Aku tak memainkan peranku lagi.
Kenapa" Ayah bilang kau ingin menghancurkan rumah.
Claudius tak menjawab selama beberapa saat. Kemudian ia mendesah berat. Ceritakan padaku tentang harimu, Mercy, katanya. Sebelum kau melihat hantu di kolam, dan segalanya mulai terburai.
Malam, jawab Mercy. Musim dingin yang beku. Es di halaman, jalan-jalan ke luar. Aurelia di dapur, pelajaran bersama Galatea. Membaca cerita bersama Charity di ruang duduk anak.
Kau tahu sudah berapa lama malam itu berlangsung"
Kau menyuruhku percaya malam itu sudah berlangsung seratus tahun, katanya.
Kau dikubur hidup-hidup. Kau tak ingat umurmu, atau sudah berapa lama kau tinggal di rumah itu. Mereka tak mengizinkanmu melihat cahaya matahari, dari kehidupan itu sendiri. Kau hampir tidak ada. Kau sama sekali tak mengingat kisah masa lalu, atau punya bayangan tentang masa depan. Aku ingin kau memiliki itu semua, Mercy. Apakah itu kedengaran seperti ingin menghancurkan"
Untuk apa Ayah berbohong padaku" kata Mercy. Tidakkah dia ingin yang terbaik untuk kami"
Ayahmu takut. Dia tak lagi memiliki keberanian untuk hidup.
mercy mendesah. Lega sekali akhirnya bisa memperoleh jawaban seperti air menghapus rasa haus bahkan jawaban dari Claudius, musuh ayahnya. Mungkin mendengar kisah versi Claudius seperti berkhianat tapi Trajan tak mau memberitahu apa-apa. Apa lagi yang bisa dilakukan Mercy"
Ia mengerutkan kening. Tapi kaulah penyebabnya, katanya. Kau dan Marietta yang membawa kami ke dalam keadaan seperti ini. Bukankah begitu"
Ya, kata Claudius. Suaranya datar tanpa emosi. Situasi ini, adalah akibat reaksi orangtuamu terhadap pernikahanku dengan Marietta.
Di mana Thecla sekarang di zamanku"
Kau bisa menemukannya. Apakah dia apakah dia masih hidup" Harapan bangkit, memukul-mukul dada Mercy.
Claudius menggeleng. Reaksi yang aneh. Apakah maksudnya ya atau tidak"
Kenapa kau tak pernah memberi jawaban langsung" kata Mercy marah. Di mana ibuku"
Mula-mula kau harus mencarinya, kata Claudius. Dan sebelum itu, kau harus menemukan kunci untuk membuka kurungan tirani hari-hari.
Hari yang kauingin abadi selamanya, kata Mercy.
Ya. Tapi sekarang aku ingin hari itu juga berakhir. Claudius menyibakkan rambut dari wajahnya. Selama sesaat burung bulbul tak bersuara. Kemudian mulai bernyanyi lagi; nada-nada panjang yang pilu. Saat yang sempurna, katanya. betapa kita ingin mencengkeramnya dan merengkuhnya erat-erat. Tapi kita harus melepaskannya memberinya ciuman selamat tinggal karena tanpa perubahan, kita sama saja dengan mati dan dikubur.
Mercy mengendus harum honeysuckle, kemudian wangi mawar.
Bagaimana caramu melepaskan diri, untuk menemuiku" ia bertanya. Kenapa sekarang, setelah sekian lama"
Pernikahanku berakhir pada kematian dan kehilangan, kata Claudius. Butuh waktu sekian lama bagiku untuk berdamai dengan masa lalu.
Mercy teringat hantu di bawah es, dan wajah tenggelam Marietta.
Bagaimana kejadiannya" ia bertanya. Kenapa Marietta meninggal"
Tapi Claudius mengabaikan pertanyaan-pertanyaannya. Ia terus bercerita. Sudah bertahun-tahun lamanya aku menjalani masa lalu berulang-ulang, sampai perasaanku letih dan kebas. Bahkan hari ini menjadi kosong pada akhirnya emosinya menipis. Aku membiarkan Trajan mengurungku dan sekarang aku ingin melepaskan diri.
Dan kau ingin aku membantumu" kata Mercy. Kenapa aku harus melakukannya" Ayahku tak mau bercerita apa yang telah terjadi, tapi kau hanya memberiku potongan-potongan. Kau juga tak menjawab semua pertanyaanku.
Jika kau memb antuku, kau akan menemukan ibumu, dan mengembalikan kehidupan pada Century, kata Claudius. Bukankah itu yang kauinginkan"
Mercy mengepalkan tangan. Apa yang harus kulakukan" katanya.
Mantra Trajan bagai kisah, kata Claudius. Kita semua terjebak di bab-bab berbeda dalam kisah itu.
Kisah, Mercy mengulang. Ia teringat pada buku merah di perpustakaan yang berisi nama ayahnya. Buku itu seakan bergetar di tangannya.
Trajan salah satu yang terhebat di keluarga Verga dan dia memiliki bakat besar, kata Claudius. Dia tak menginginkan bakatnya. Dia melarikan diri dari anugrah yang diberikan kepadanya bertekad takkan pernah menggunakannya. Kurasa dia takut.
Bakat besar, kata Mercy, merenung. Anugrah supernatural" Kemampuan menyelimuti rumah dalam kegelapan itukah maksudmu" Kenapa dia melakukannya"
Di awal tahun 1790, Century menjadi saksi mata tragedi mengerikan sehingga Trajan memutuskan menggunakan kemampuannya karena menganggap itu akan melindungi kita semua keluarga kita.
Dia menulis buku itu, Mercy memotong. Buku berjudul Century. Begitulah caranya melakukannya.
Claudius mengangguk. Dia memotong-motong masa lalu dan mengunci tiap bagian di tempat berbeda, untuk menjaganya. Untuk melestarikannya. Dia menyelubungi rumah dengan jubah, sehingga orang-orang akan berlalu saja tanpa melihatnya seperti orang-orang di sini tidak melihatmu.
Di luar, rumah itu tetap ada, dan sekarang berada di tahun Tuhan Kita 1890 dunia ajaib berisi segala penemuan yang bisa kaupikirkan. Di rumah, kita terjebak dalam salah satu dari lima hari.
Mercy memeluk lutut. Terlalu banyak yang bisa diserapnya sekaligus.
Tidakkah kau ingin mengakhirinya, Mercy" Claudius bertanya lembut.
Mercy mengangguk. Kau berada di tempat paling luar, kata Claudius. bayangkan kelima hari itu berupa globe-globe, satu di dalam yang lain, seperti boneka Rusia. Harimu seperti boneka terbesar yang terletak paling luar. Century-mu paling dekat dengan dunia yang sejati. Waktu tidak berhenti seluruhnya di daerah yang kautinggali. Kau sedikit lebih tua daripada Mercy yang kaulihat merayakan ulang tahunnya hari ini. Trajan membutuhkan tempat pertama itu untuk menjadi penangkal bagi dunia luar kalau-kalau ada yang bisa menembus masuk. Tempat untuk menghubungkan masa kini dan masa lalu.
Ya. Mercy mengerutkan kening. Lalu kenapa keadaan selalu gelap" Kurasa matahari tak pernah lagi menyinari Century. Tak ada tanaman yang tumbuh.
Ya, sahut Claudius. Trajan menggunakan kegelapan sebagai cadar untuk menyembunyikan rumah. Orang yang melintas di tahun 1890 takkan menyadari keberadaan rumah itu sama sekali. Rumah itu ada, tentu saja. Tapi orang yang berada di luar takkan melihatnya. Mata mereka akan beralih. Mereka takkan menyadarinya.
Jadi aku melangkah masuk ke sini, ke tempat kedua"
Claudius mengangguk. Kunjungi semua tempat itu, Mercy, katanya. Ingat semuanya. Satukan kisahnya lagi. Kau harus membuat kisah baru. Rangkai puzzle-nya. Mereka takkan menyadarinya.
Ia meraih ke dalam mantelnya dan mengeluarkan secarik kertas terlipat, dan sebuah buku, dengan sampul kulit merah. Ia membuka lipatan kertas.
[http://s1340.photobucket.com/user/Century-Novel/media/Century-BABV_zpsbea4e211.png.html"sort=3&o=0]
Lihat, katanya. Lihat bagaimana kelima hari berada di dalam yang lainnya.
Mercy mengambil kertas itu dan menatap.
Ada ambang pintu dari satu hari ke hari berikutnya, kata Claudius. Aku mencarinya, satu demi satu. Aku tahu di mana pintu-pintu itu bisa ditemukan. Aku menggunakan salah satunya, dekat permadani dinding, untuk menemuimu. Satu kali aku pernah mencoba pintu-pintu lain untuk mencapai hari di tengah-tengah. Di sana aku memetik bunga snowdrop dan membawanya untukmu.
Tapi sulit bagiku untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Trajan mengurungku di sini dan butuh usaha keras agar aku bisa menyelinap ke tempat lain. Bagimu lebih mudah.
Kenapa lebih mudah" Kenapa aku yang harus menulis kisahnya" Kenapa kau tak bisa" Tanya Mercy.
Claudius tersenyum. Mudah saja, karena kau lebih berpotensi daripada aku, katanya. Kau mewarisi bakat aya
hmu, Mercy. Itulah sebabnya kau harus menulis ulang bukunya. Kau bisa melihat hantu, dan kurasa kau bisa menggunakan kata-kata untuk membangun kembali kenyataan. Dan kau bisa menggunakan pintu-pintu itu. Begitu kau tahu pintu-pintunya ada di mana, kau hanya butuh berharap dan memfokuskan benakmu. Kau sudah melakukannya dua kali, tanpa tahu caranya. Kurasa kau bisa melakukannya lagi.
Akhirnya ia menyerahkan buku merah itu kepada Mercy. Tulisan Century diembos di sampulnya.
Ini untukmu, katanya. Mercy mengambil buku itu. Persis seperti yang ditulis Trajan, hanya saja halaman-halamannya kosong.
Ini seperti milik ayahku, kata Mercy.
Itu milikmu, kata Claudius. Tulislah kisahmu. Buka kurungannya.
Di mana pintu-pintu itu berada" tanya Mercy.
Di perpustakaan, di masing-masing hari, carilah buku The Precise Geography of the Lermantas Archipelago dan terselip di sampulnya, kau akan mendapatkan peta yang menunjukkan lokasi pintu ke bab berikutnya. Kau harus bertindak cepat, karena tiap kali kau ditarik kembali ke waktumu, ayahmu akan berusaha menghentikanmu. Kau mengerti" Claudius mencengkeram Mercy erat-erat, menancapkan jemarinya ke lengan Mercy yang kurus.
Ya, kata Mercy, menarik diri. Ya.
Claudius menggeleng. Kemudian ia menepukkan kedua telapak tangannya ke dahinya, dan mengerutkan wajah. Nada panjang yang dinyanyikan burung bulbul berhenti mendadak.
Sesaat Claudius mengendalikan diri dari entah serangan apa yang merasukinya, dan menyunggingkan senyum gila yang miring. Kemudian ia lenyap.
Ini akhir bab. Tak perlu kembali ke perpustakaan untuk mencari pintu ke waktu Mercy sendiri. Danau, kuil, rumah di bukit, semua memudar dan berkelip lenyap. Mercy duduk di udara kosong. Ia melesat ke atas
ke rumahnya yang gelap dan dingin. Ke koridor di luar kamarnya.
Betapa dinginnya udara betapa pekatnya malam. Ia masih memegang buku merah kosong dan diagram yang menggambarkan kelima hari di dalam lingkaran, maka ia membawa keduanya ke kamar, mengunci pintu, dan menyembunyikannya di bawah papan lantai di kolong tempat tidurnya. Kemudian ia berbaring, kelelahan. Api menyala di perapian. Beban perjalanannya membuat tungkainya sakit, meski ia berusaha keras untuk tidur. Pikirannya berkelana. Ia melihat sekeliling ruangan yang familier itu. Sekarang juga tampak asing. Ia melihat betapa kotor kamarnya, sarang laba-laba berdebu bergelantungan di langit-langit. Tentu saja kamarnya tidak berubah Mercy-lah yang berubah.
* * * Aurelia membangunkannya, mengguncang gagang pintu, meminta masuk. Mercy membuka kunci untuk menerima baki dan teh. Ia membuka tirai. Jauh di atas, bulan berbentuk sabit, seperti pedang perampok di buku Kisah 1001 Malam miliknya. Bunga snowdrop layunya telah disingkirkan.
Mercy menanggalkan baju tidur. Lebam di lututnya akibat terjatuh di es sudah hampir lenyap. Ia membuka lipatan pakaian dalamnya, dan gaun pink-nya, lalu berpakaian. Betapa lusuh dan kotornya pakaian itu. Ia tak menyadarinya sebelum ini. Kainnya sudah tipis dan bertambal. Bagian bawah roknya, yang kelimannya menyapu lantai, berwarna cokelat terkena kotoran dan benangnya sudah terburai.
Ia melihat sekeliling kamar. Lemari berada di dinding terjauh, meja rias di sebelahnya. Meja rias itu memiliki cermin bersayap. Setiap malam, ketika terbangun, Mercy duduk di sana dan menyikat rambut. Hari ini, ia menyadari ada lapisan debu tebal di cerminnya, dan pada setiap benda di meja kecuali sikat rambutnya. Ia memiliki wadah-wadah beling berwarna pink, vas kristal, cermin tangan dengan bagian belakang dari kain bordir, botol parfum semua diselimuti debu kelabu lembut. Ia mengambil kotak beludru, merah pudar dengan jahitan emas. Kaitnya patah ketika ia membukanya. Di dalamnya, di atas bantalan beludru, terdapat dua anting-anting mutiara. Ia mengambilnya. Apakah telinganya masih tertindik" Ya. Ia mengenakan anting-anting itu. Ia menatap bayangannya yang buram di cermin. Claudius benar. Ia memang tampak kurus dan letih. Seperti wanita tua, pikirnya. Aku begitu lusuh dan pudar, padahal aku sesungguhnya baru hidup beberapa tahun saja.
Ia merentangkan tangan dan menulis namanya di debu. Mercy Galliena Verga. Dan tahunnya 1890. Laba-laba berlari di seuntai benang sarang, menuju sarang yang dijalin di antara cermin dan permukaan meja. Mercy menatap cermin, mencari-cari wajahnya, berusaha membayangkan seperti apa rupanya jika gaunnya tak begitu tua dan kotor. Bagaimana orang-orang melihatnya sekarang, jika bisa, orang-orang biasa yang bermandikan cahaya matahari di luar rumah rahasia ini" Ia merasa sangat kecil dan letih, seperti benang yang terlalu sering ditarik dan jadi tipis, sekarang nyaris putus.
Dengan hati-hati Mercy meletakkan kembali kotak dan sikat rambut di atas jejaknya pada debu. Ia menghampiri lemari pakaian dan memutar anak kunci mungil di pintunya. Di dalamnya tergantung sederet gaun, merah dan biru serta emas, beberapa dibordir dan diberi batu permata, seperti putri-putri raja menunggu pesta dansa tiba. Mereka telah menunggu selama seratus tahun, putri-putri kelabu yang letih ini, di bawah mantra, ditakdirkan, mungkin, untuk menunggu selamanya. Lorong waktu telah melusuhkan mereka. Ketika Mercy mengambil gaun pertama dari gantungan, bagian lengannya copot. Larva ngengat menggerogoti sutranya. Mercy mendesah dan mengembalikan gaun itu dengan hati-hati, bergabung bersama saudari-saudarinya.
Ini buruk, katanya pada diri sendiri. Ini tak bisa dibiarkan. Jemarinya gemetar ketika mengunci lemari. Ia takkan membiarkan semua ini berlanjut. Semangat pemberontakan membakar dadanya amarah berontak dalam kotak terkunci.
Charity duduk di meja ruang duduk anak. Ia memainkan mangkuk telur perak yang sudah memudar. Mercy duduk di sisi lain meja.
Ruang duduk itu tak terlalu membusuk seperti kamar tidurnya. Hanya agak berdebu dan berantakan, perabotannya menunjukkan tanda-tanda lusuh dan merapuh, tapi ruangannya tampak selalu digunakan. Api menyala di perapian.
Hanya itu yang bisa kaumakan" tanya Mercy.
Charity mengangkat bahu. Well, kau sendiri belum makan apa-apa. Mantel kamarnya yang berwarna anggur penuh noda, terburai dan bertambalan seperti gaun Mercy.
Lucu juga bagaimana kita bisa mengucapkan percakapan yang sama, ya" kata Mercy.
Ya, kata Charity. Tapi tetap saja, segalanya tampak berubah. Hari tak terasa sama lagi, kan"
Mercy mencondongkan tubuh ke depan, dan berbisik, Aku pergi ke sana lagi ke tempat di masa lalu. Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tahu nama hantu di kolam.
Siapa dia" Marietta, bisik Mercy. Istri Claudius. Dan hantu gadis kecil di koridorku adalah adiknya, Chloe sahabatku.
Ia tak punya waktu untuk bicara lebih banyak karena Aurelia menghambur masuk, membawa baki dan roti panggang serta piring-piring berhias mawar biru.
Setelah makan, mereka masih tak punya waktu untuk bicara. Galatea menemui mereka di ruang duduk. Mereka mulai belajar kata kerja Latin, tapi tanpa diduga Trajan masuk dan meminta Mercy berjalan-jalan dengannya. Wajah Mercy memerah. Bahkan Galatea juga tampak bingung.
Aurelia mengambilkan topi dan mantel Mercy. Trajan tampak berbeda sekarang. Ia telah mandi dan mengganti pakaiannya. Gugup karena rasa bersalah, Mercy berusaha mengira-ngira suasana hati ayahnya. Trajan telah membuka diri terhadapnya, hari sebelumnya. Dan Mercy mengkhianatinya.
Trajan lebih tampak letih daripada marah. Mereka melangkah menelusuri Padang Penyulingan. Trajan menunjuk ke arah es yang berkelip-kelip di rumput, dan bintang kejora terbit, seperti kubis hijau gemuk di langit. Ketika mereka melangkah ke kolam, Mercy mula-mula sengaja berjalan pelan-pelan di belakang, takut akan apa yang mungkin mereka lihat. Tapi Trajan melambai memanggilnya untuk berjalan di sebelahnya. Esnya putih, di bawah lapisan embun beku.
Mereka menatap danau. Trajan merenung. Mercy kedinginan. Ia menggosok-gosokkan tangannya yang bersarung. Pipinya terasa digelitik.
Kau menemuinya lagi, kata Trajan. Kau tak mematuhiku.
Menemui siapa" Aku tak menemui siapa-siapa, sahut Mercy cepat-cepat.
Mercy, jangan berbohong padaku.
Mercy tak tahu harus mengucapkan apa. Ia tak tahu siapa yang bisa dipercayainya, dan apa yang bisa dipercayainya. Ia mencintai ayahn
ya tapi ia teringat harum honeysuckle dan mawar, udara musim panas, dan burung layang-layang. Ia memikirkan kamarnya sendiri yang penuh debu dan gaun-gaunnya yang berjamur. Jika Claudius mengatakan yang sebenarnya, Trajan-lah yang berkeras agar mereka hidup seperti ini.
Aku tak percaya Claudius, kata Mercy. Dia mengatakan kebohongan padaku. Aku tak mendengarkan.
Mercy bukan pembohong yang baik. Ia mengusap wajah dengan tangannya, pipinya terasa panas.
Mercy, kata ayahnya lagi. Kau pergi ke tempat lain.
Tidak. Tidak! Mercy! Ayahnya marah sekarang. Apakah aku harus memukulmu" Atau mengurungmu" Itu yang akan kulakukan jika memang harus.
Mercy menggigit bibir. Dia memberitahumu, bukan" Tentang jubah yang menutupi Century, tentang usia kita yang panjang"
Mercy mengangguk. Tak bisakah kaulihat" kata Trajan. Tidakkah kau mengerti, anak tolol" Setiap kali kau bergerak dari satu tempat ke tempat lain, segalanya mulai runtuh. Mula-mula hanya sedikit, kemudian sedikit lagi, dan lagi sampai kita semua runtuh.
Ini mantraku, Mercy. Kecerdikan dan kemampuankulah yang menciptakan bentuknya. Dan tiap kali kau melangkah keluar dari tempatmu menuju tempat lainnya, semua mulai terburai. Aku bisa merasakannya di tulangku. Claudius sudah melakukan kerusakan, dengan mengusik dan berkeliaran. Sekarang kau menjadikannya lebih buruk. Akhirnya seluruh tempat yang kubangun akan runtuh dan kita akan terekspos serta kembali rapuh. Aku ingin melindungimu, tapi kau bertekad membantunya menghancurkan kita semua!
Mercy merasakan air matanya menggenang. Ia berusaha menahannya, menatap kakinya.
Aku tidak tahu, katanya. Tapi tentu saja ia tahu, meski tak sadar. Waktu sendiri telah meruntuhkan Century. Semua perubahan kecil debu dan sarang laba-laba, dan pembusukan yang terjadi di rumah, hanya merupakan hasil pengabaian selama seratus tahun. Kabut terangkat dari matanya. Jadi apa yang dilakukannya terhadap hari-hari yang lain" Apakah semakin terburai juga, semakin ia mengusik, seperti Claudius"
Dia bilang aku telah mewarisi bakat Ayah, katanya, dengan suara lirih. Benarkah"
Kurasa ya, Mercy, karena kau memiliki kemampuan melihat ke luar tempatmu sendiri, jawab Trajan, lebih lembut sekarang. Hantu-hantumu. Kau mengerti" Gema dari waktu-waktu yang lain. Kau bisa melihat menembus dinding-dinding hari.
Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan ibuku di mana dia. Dan aku tak mau ditahan di sini selamanya! Mercy berseru. Aku ingin mencari Thecla. Aku ingin musim panas datang, dan cahaya siang. Siapa yang bisa menyakiti kita sekarang, jika seratus tahun telah berlalu" Tidakkah orang-orang di dunia luar telah melupakan apa yang terjadi" Kenapa Ayah tak mau memberitahuku siapa diri kita""
Masih ada alasan selain kejadian masa lalu yang membuat kita harus sembunyi, kata Trajan. Kita bersembunyi karena kita berbeda. Aku mengira kita bisa hidup seperti manusia biasa, tapi aku salah. Kita hidup begitu lama. Itu mengubah segalanya. Dan perbedaan kita akan selalu menyebabkan hal-hal buruk terjadi. Kita harus mengurung diri selamanya untuk melindungi diri kita sendiri, untuk melindungi orang lain. Karena keadaan kita.
Trajan memalingkan wajah dari kolam, dan mereka berjalan pulang, melalui pagar tanaman raksasa di tepi padang rumput. Dengan wajah masam Trajan memukul kayu mati dan ranting dengan tongkat hitamnya. Mercy tak bertanya apa-apa lagi. Ia melangkah di samping ayahnya tanpa bersuara sampai di rumah, berusaha menelan perasaan tentang perlakuan tak adil yang diterimanya. Di luar pintu, Trajan memperingatkan Mercy lagi.
Jangan pergi, katanya. Ingat adikmu. Tidakkah kau ingin melindunginya"
Mercy mengangguk. Ia terlalu jengkel untuk bicara, maka ia melangkah melewati ayahnya masuk ke rumah, tempat Aurelia tengah memanggang. Trajan berderap pergi, jauh ke dalam rumah, meninggalkan Mercy di meja dapur, menahan rasa sakit akibat kebingungan. Bagaimana ayahnya bisa memanipulasinya seperti itu, berkata Mercy telah membahayakan Charity" Ia sangat mencintai ayahnya, dan sekarang lelaki itu membuatnya marah dan tak bahagia. Ia memeluk dir
i sendiri erat-erat, seakan bisa menggenggam segalanya, dan ia menatap, tanpa melihat, ke dinding dapur.
Tanpa diminta Aurelia meletakkan secangkir cokelat di meja di sebelah Mercy.
Terima kasih, kata Mercy otomatis.
Aku suka anting-antingmu, kata Aurelia. Kurasa aku belum pernah melihatmu memakainya.
Kurasa aku akan ke kamar saja, kata Mercy tiba-tiba, mengambil minumannya. Aku capek.
Mercy mengunci pintu kamar dan mengambil buku merah dari tempat persembunyiannya. Ia duduk di meja tulis dan membuka laci-laci kecilnya, mendapati surat-surat dan buku notes lamanya sendiri berjamur dan sulit dibaca. Ia mengambil jurnalnya, tempat ia mencorat-coret cerita dan sajak-sajaknya. Kegiatan di waktu senggang ini memberinya kedamaian tapi sekarang, membaca ulang kisah dan sajak-sajaknya, kata-kata di sana tampak tak berarti sama sekali. Ia menyingkirkan jurnalnya.
Lalu ia mengambil pena bulu, mencelupkannya ke tinta, menarik napas dalam-dalam, dan membuka buku merah. Di halaman depan ia menulis Century: Sebuah Novel. Kemudian namanya. Mercy Galliena Verga. Dan tahunnya, 1890.
Ia membuka halaman pertama, dan menulis nomor bab, dalam angka Romawi. Buku ini tidak akan menjadi jurnal, namun kisah. Claudius menyuruhnya menulis sejarah Century versinya sendiri, menceritakan ulang kisah yang telah berlangsung selama seratus tahun dan segala yang terjadi di rumah besar ini. Hanya saja kali ini kisahnya akan berakhir bahagia.
Dari mana memulainya" Ia tahu persis dari mana. Ia menulis:
Wanita di bawah es. Setelah menulis kalimat pertama, Mercy berhenti. Ia menatap keluar jendela. Apakah ia mengerti betul apa yang dilakukannya" bisakah ia memercayai Claudius" Sejujurnya, ia tak memercayai lelaki itu. Meski demikian, Claudius benar dalam satu hal. Ia dan Charity dikubur hidup-hidup, dan keberadaan abadi tanpa perubahan tak bisa lagi dipertahankan. Trajan mengurung mereka semua di hari yang panjang dan dingin, berdebu dan beku. Tidakkah itu kejam"
Mercy menggigit ujung pena bulu. Ia tahu bagaimana seharusnya penampilan buku itu dan buku itu butuh ilustrasi. Ia harus mengikutsertakan Charity jika mantranya ingin berhasil. Ia harus membujuk adiknya.
Lilin menimbulkan kolam cahaya kuning di meja tulis, buku, tangan, dan wajah Mercy. Ia hanya punya satu jam. Ia mulai menulis lagi.
Hantu. Mercy bisa melihat hantu &
* * * GALATEA membawa mereka jalan-jalan sehabis makan siang. Mereka menuju danau dan mengelilingi tepi air. Mercy sibuk dengan pikirannya sendiri, merenungkan tulisannya. Bahkan Charity juga agak murung. Kegelapan terasa menyesakkan. Mereka sudah muak dengan udara dingin. Embun beku yang berkilauan tak lagi tampak indah. Setelah itu, Galatea pergi untuk bicara dengan Trajan. Aurelia membesarkan api dan memasak puding buah panas. Wanita itu tampak ceria tak seperti biasanya, berusaha membuat mereka ceria dengan obrolannya. Mercy bertanya-tanya berapa usia Aurelia sebenarnya. Ia juga dari klan Verga, seperti Claudius dan Galatea, Thecla dan Charity. Aurelia, jika Claudius benar, akan hidup selama ratusan tahun. Apakah Aurelia juga muak pada kegelapan" Tapi Mercy tak bisa mengharapkan bantuan dari Aurelia. Meski ia sangat mencintai pengurus rumah ini, Mercy tahu Aurelia harus mematuhi Trajan, dan ia akan mengikuti semua perintah ayahnya itu. Aurelia dan Galatea, tak seperti Mercy, akan percaya sepenuhnya pada keputusan master mereka.
Mercy pergi ke kamarnya, tapi ketika berusaha mengunci pintu, ia mendapati anak kuncinya lenyap. Meja tulisnya diacak-acak, kertas-kertas disingkirkan ke pinggir. Untungnya buku merah itu aman di tempat rahasia di kolong tempat tidurnya, di bawah papan lantai. Mercy jengkel tapi sama sekali tak terkejut. Mungkin Galatea atau ayahnya memeriksa kamarnya. Ia membuka tirai dan menatap ke seberang taman ke arah ladang jauh di sana. Sesaat energi dan tekad seakan meninggalkannya. Menatap kegelapan, ia diserang rasa letih. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Masalah yang dihadapinya terasa begitu rumit, begitu sulit ditangani. Setengah dirinya masih ingin meringkuk dan tidur, kembali ke mimpi tanpa akhir
yang direnggut darinya hari yang tak berujung. Tapi terlambat ia telah menghancurkan mimpi itu jadi berkeping-keping. Seperti sang putri raja di Putri Tidur, ia telah terbangun. Claudius telah mencabik-cabik pagar tanaman berduri dan menemukannya di menara istana.
Ia menekankan wajah ke kaca jendela yang dingin. Tak ada jalan lain. Ia harus terus maju. Ia harus menulis dan Charity, artis yang lebih berbakat daripada dirinya, harus menggambar ilustrasinya. Bagaimana Charity harus menggambar Claudius" Waktu kecil Charity pasti pernah melihat lelaki itu. Bisakah Charity mengingatnya sekarang"
Mercy menutup pintu dan mengganjalnya dengan permadani, untuk menghalangi pengganggu. Ia mengambil buku merah dari tempat persembunyian dan membalik halaman ke kalimat terakhir yang ditulisnya. Sulit sekali untuk menulis. Ia menggigiti bagian atas pena bulu, berpikir masih banyak sekali yang harus diketahuinya untuk menyelesaikan bukunya. Untuk bisa menceritakan kisah ini ia harus melakukan perjalanan lagi yang lebih lama ke masa lalu. Ia mencelupkan pena ke dalam tinta dan mulai menulis tentang pesta ulang tahun musim panas, dan pertemuan dengan Claudius serta Marietta di pulau. Pikirannya terpusat pada menulis, seluruh perhatiannya terserap.
Tiba-tiba pintu terbuka lebar, permadaninya meluncur. Sebelum Mercy punya waktu untuk menyembunyikan kegiatannya, ada tangan mencengkeram tengkuknya. Cengkeraman sekeras besi yang menyakitkan seperti capit. Mercy berusaha melepaskan diri.
Apa yang kaulakukan" desis Galatea. Mercy bisa mencium bau napas sang pengasuh di dekat lehernya campuran bau debu busuk dan peppermint yang aneh.
Bukankah ayahmu sudah menjelaskan, anak tolol pelanggar perintah" Apa yang bisa membuatmu mengerti" Apakah kau bertekad membawa kehancuran bagi kita semua"
Galatea pucat karena murka, parasnya berkerut bagaikan simpul di tengah-tengah wajahnya. Ia mengertakkan gigi. Kemudian ia menarik Mercy berdiri dan menyeretnya keluar kamar, menelusuri koridor. Mercy berteriak, menendang, dan menjerit. Langkahnya terseret.
Charity, tolong aku! Charity! Lepaskan aku!
Ia berontak seperti setan kecil, menendang sampai debu-debu bertebaran. Jemari Galatea yang keras mencengkeram pergelangan tangannya sekarang, dan meski sang pengasuh itu kurus, ia tak bisa dilawan.
Charity! Mercy menjerit. Ayah! Hentikan! Lepaskan aku!
Di belakangnya, Mercy mendengar pintu terbuka saat ia melolong. Ia berusaha menoleh. Tak ada yang datang membantu dan Galatea sama sekali tak peduli pada perlawanannya. Wanita itu menyeretnya naik ke serangkaian undakan, melalui pintu di dinding berpanel, dan naik tangga sempit menuju lantai paling atas. Ia mendorong Mercy ke dalam kamar sempit yang gelap dan membanting pintunya menutup. Mercy mendengar kunci diputar. Kunci selot menutup di bagian atas pintu, satu lagi di bagian bawah. Di luar Galatea mendesah berat. Terdengar suara langkah kaki menjauh ketika wanita itu berjalan perlahan menuruni tangga sempit.
Mercy duduk di lantai papan selama beberapa menit, mengatur napas. Ia menyeka air mata dengan lengan bajunya. Ia marah sekali. Bagaimana mungkin hidupnya bisa menjadi seperti ini" Menjadi tawanan! Ia memutar-mutar pergelangan tangannya, air mata panas masih meleleh. Apa yang akan terjadi sekarang" Sepuluh menit berlalu. Ia menunggu, menduga Galatea akan kembali sebentar lagi, atau ayahnya. Ia tak percaya mereka akan mengurungnya lama di sini, meski ayahnya telah mengancam, meski ia telah melanggar perintahnya. Namun menit-menit berlalu dan tak ada yang datang. Mercy terus saja menatap pintu, menunggu dibebaskan. Lima menit, sepuluh.
Century Karya Sarah Singleton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayolah, ia bergumam. Keluarkan aku. Keluarkan aku.
Kemudian ia melompat bangkit dan menggedor pintu dengan kepalan tangannya.
Tolong! ia berteriak. Keluarkan aku! Keluarkan aku!
Suaranya bergema ke sekeliling rumah, dan tetap saja tak ada yang datang. Tersulut api keberanian, ia menarik gagang pintu dan menendang pintu keras-keras, sekali, dua kali. Hantaman sepatu botnya sama sekali tak berpengaruh pada kayu yang tebal. Rasa marahnya lenyap, meninggalkan arus kepu
tusasaan. Mercy jatuh berlutut dan menutupi wajah dengan kedua tangan.
Mungkin sejam telah berlalu, sulit dikatakan. Tak ada yang datang untuk menyelamatkannya. Entah Trajan tak tahu, atau tak peduli. Mercy hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Sendirian, ia duduk tegak dan melihat sekeliling ruangan.
Ia menebak kamar itu tadinya bagian tempat tinggal pelayan. Dua ranjang sempit menempel di dinding, tertutup kotak-kotak kardus. Kamar itu sangat redup, tanpa cahaya, dan dua jendela rendah tak bersahabat membiarkan cahaya bulan yang berdebu masuk. Tempat itu penuh peti berserakan mungkin setelah para pelayan diberhentikan, kamar ini berubah menjadi gudang.
Mercy berdiri, dengan sia-sia mencoba pintu lagi. Jendela-jendelanya sangat sempit, dua jeruji besi menempel di sana. Lagi pula, letaknya terlalu tinggi untuk bisa melarikan diri dari sana. Pintu terkunci dengan dua selot di luar. Tempat sempurna untuk penjara.
Mercy mendorong kotak-kotak dari ranjang pertama dan meringkuk di matras jeraminya yang keras. Ia kedinginan sekali. Celah pinggiran atap membuat angin dingin masuk, dan ia bisa mendengar suara tikus menggaruk di langit-langit. Ia memasukkan tangan ke lengan bajunya dan berusaha tetap hangat. Akan diapakan Galatea buku merahnya" Mungkin ia akan langsung memberikannya kepada Trajan, dan lelaki itu akan melemparkannya ke perapian, lalu Mercy akan kehilangan kesempatan melepaskan diri dari malam musim dingin yang panjang ini. Sebaliknya, ia akan terkurung di sini selamanya, tak bisa melihat matahari dan siang hari, roda-roda musim yang bergulir.
Betapa dinginnya udara. Ia mulai menangis lagi, isakan lirih, air mata terasa asin di pipinya. Ia ingin merasa hangat. Ia ingin ibunya memeluknya, dan menciumnya. Ia teringat piknik di rumput, dan teringat Thecla, dan Mercy kecil berlari menghampiri untuk disayang dan dipeluk. Ia membangkitkan kenangan akan honeysuckle, dan burung bulbul. Perlahan imajinasinya menyelubunginya, dan ia melayang menuju tidur yang dingin tanpa daya di ranjang yang tak nyaman.
VI TIKUS-TIKUS berderak ribut di kasau. Mercy bermimpi berdiri di tengah ruangan penuh boneka kain berbentuk hewan, Claudius mempelajari berkas-berkas di meja tulis. Berbagai boneka hewan rubah, tupai, berang-berang tak mau diam. Mereka berusaha melarikan diri, tapi kaki-kaki mereka terikat. Ia mendengar geraman dan embikan. Dalam mimpi itu, Claudius menengadah dari halaman yang dipelajarinya dengan serius dan berkata, Jangan khawatir. Aku bisa membebaskanmu. Ia mengerjap dan tersenyum, tapi Mercy takut karena di sekelilingnya makhluk-makhluk itu menjadi kalut, mencabik-cabik diri mereka sendiri.
Mercy, kata Claudius, di mimpinya. Mercy, bangun.
Mercy membuka mata. Mercy. Kau di dalam" Bisakah kau bergerak" pintu terguncang.
Charity" kata Mercy. Ia bangkit dengan kaku dari ranjang. Ia begitu kedinginan. Jemarinya kebas. Ia tertatih-tatih menuju pintu.
Charity, kaukah itu"
Ya! sahut Charity. Kurasa Galatea mengantungi kuncinya. Kau bisa mengambilnya dan mengeluarkan aku. Kau bisa membujuknya. Dia sayang sekali padamu.
Dia tak memercayaiku lagi, kata Charity.
Kenapa tidak" Karena aku mengambil bukumu. Ia memelankan suaranya. Aku mendengar ia menyeretmu pergi dan kau menjerit-jerit, maka aku menyelinap masuk ke kamarmu dan mengambil buku itu, lalu menyembunyikannya. Galatea marah sekali ketika ia kembali buku itu sudah lenyap. Dia mengancam akan memukulku jika aku tak memberitahu di mana buku itu. Aku bersumpah tak mengambilnya. Dia membawaku menemui Ayah dan aku melakukan aktingku lagi. Kurasa mereka tak memercayaiku tapi mereka juga tak yakin. Charity mengambil napas. Mercy aku tak bisa lama-lama, katanya. Mereka akan mencariku. Tapi jangan khawatir aku akan mencari cara untuk mengeluarkanmu dari sini.
Charity tunggu! Charity! Aku kedinginan sekali, Mercy berseru. Ia bisa mendengar langkah kaki adiknya melompati anak tangga, dan sekali lagi ia terjebak, sendirian, di kamar sempit yang kejam ini.
Ia berdiri dan menggosok-gosok lengannya. Mereka takkan membiarkannya kelaparan. Galatea, duganya
akan kembali membawa makanan sebentar lagi. Pasti Trajan takkan membiarkan sang pengasuh mengurungnya terus di kamar dingin membeku ini, kan" Ia duduk di ranjang, menatap kosong selama beberapa saat, kemudian mulai melihat-lihat ke dalam kotak kardus dan peti yang menumpuk di sekitar kamar. Mungkin salah satunya berisi permadani atau kain yang bisa digunakannya agar tetap hangat.
Ia mengacak-acak isi kotak pertama, dan hanya menemukan dokumen-dokumen rumah. Terlalu gelap untuk membaca, tapi ia bisa melihat jurnal-jurnal tebal itu adalah buku besar catatan keuangan. Kotak-kotak lain berisi peralatan makan dan perlengkapan dapur yang sudah berkarat. Sebuah kotak, di ranjang satu lagi, penuh berisi kain panjang. Mercy menarik keluar kain berbau apak dari dalam kotak. Tirai tua. Akan membantunya tetap hangat meski bau tikus.
Ia tertidur lagi, dengan gelisah. Ketika ia terbangun, kunci di pintu sedang berputar. Galatea melangkah masuk membawa lampu, diikuti Aurelia. Mercy berlari menyambut sang pengurus rumah dan memeluk pinggang wanita itu.
Nah, nah, kata Aurelia. Anak malang. Kemudian, menguasai diri, dengan enggan ia melepaskan pelukan Mercy. Tentu saja kau seharusnya tidak nakal, nona muda. Tapi rasanya memang terlalu kejam, mengurungnya seperti ini.
Diamlah! bentak Galatea. Kita mematuhi perintah Master. Dia akan lebih aman di sini karena takkan bisa melarikan diri. Kita bisa membuat ruangan ini lebih nyaman. Ini untuk kebaikannya sendiri.
Mereka membawa seprai dan selimut yang layak, dan Galatea meletakkan lentera di lantai. Mereka membersihkan meja kecil, dan Aurelia membawa masuk baki berisi steak di piring, di bawah tutup perak, sekendi cokelat, dan berbagai jenis makanan lain. Galatea bahkan ingat untuk membawakan buku-buku kegemaran Mercy.
Nah, kata Aurelia, mendorong pispot ke kolong ranjang. Kau punya segala yang kaubutuhkan sekarang. Aku akan membawakan sarapan.
Mercy mengangguk sedih. Ia tahu Aurelia takkan melanggar perintah Trajan. Ia hanya bisa menunggu Charity menemukan cara untuk mengeluarkannya.
Ia tidur lagi, dan membaca buku-bukunya. Jam-jam berlalu. Ia berbaring di ranjang, pikiran melayang, berusaha memanggil kenangan masa lalu dari ruang gelap di benaknya. Ia tak lagi bisa menghitung waktu. Entah kapan saat ia tertidur, pispotnya dikosongkan, dan muncul baki lain berisi makanan, meski isi baki pertama belum disentuhnya. Ia menunggu Charity dengan sabar, berharap adiknya kembali.
Mungkin sehari telah berlalu. Mercy berada dalam keadaan tak bergairah. Ia bermimpi dan setengah tidur dan bermimpi lagi, tidur dan terjaga menjadi rancu. Ia berteriak dalam tidurnya dan suaranya sendiri membangunkannya, meski ia tak tahu apa yang diucapkannya. Dan sering ia terbangun sambil menangis, muncul dari kubangan kehilangan dan ketidakbahagiaan dalam mimpi yang panjang dan gelap menuju kamar pelayan yang dingin dan suara derak langkah tikus.
Ia tidak makan. Suatu kali ia terbangun dan mendapati Aurelia membungkuk di atasnya, sang pengasuh di latar belakang. Aurelia mengusap dahi Mercy dengan kain flannel hangat, kecemasan tergambar di wajahnya. Galatea berdiri tegak seperti tiang di belakang, penampakan yang menakutkan dan, meskipun ingin memeluk leher sang pengasuh rumah, Mercy menahan diri, menyimpan air matanya sampai pintu tertutup dan terkunci kembali.
Ia tak bisa tidur nyenyak, berjuang melawan mimpi-mimpi yang menyerang. Benaknya sendiri menjadi semacam labirin penuh ruangan terkunci dan, bermimpi, ia berlari menelusuri koridor-koridor memorinya yang gelap, berjuang menemukan jalan menuju cahaya.
Mercy tersentak bangun. Ada yang mengetuk pintu, sangat pelan. Ia mendengar bisikan.
Mercy! Mercy! Kau bisa dengar aku"
Mercy melompat dari ranjang dan menempelkan telinganya ke daun pintu. Kaukah itu, Charity" Apa kau mendapatkan kuncinya" Bisakah kaukeluarkan aku"
Mercy mendengar gesekan di bawah pintu. Charity berusaha menyelipkan sesuatu melalui celahnya.
Nah, kata Charity. Kau sudah dapat. Itu akan membantumu keluar. Aku harus pergi sekarang. Mereka akan bertanya-tanya di mana aku.
Segumpal kertas dijejalkan melalui celah pintu. Mercy memungutnya. Di luar ia mendengar Charity berlari di koridor. Kertas itu robek, tersangkut pintu, dan ketika Mercy membuka lipatannya, anak kunci besi pudar terjatuh dari tangannya yang gemetar dan ceroboh ke lantai. Mercy menggapai untuk memungutnya lagi. Bagus sekali, Charity! Bagaimana ia melakukannya" Apakah Aurelia punya kunci cadangan yang bisa dicuri Charity"
Tapi pintu itu tak muat di pintu. Mercy mencoba lagi, mengguncang anak kunci itu di lubangnya. Tak berhasil. Anak kunci itu terlalu kecil. Merasa putus asa, ia duduk melesak di ranjang, kedua tangan di pangkuan. Charity membawa kunci yang salah.
Bulan terbit dan tampak melalui jendela kecil, memancarkan cahaya kelabu ke dalam kamar. Mercy menggosok wajahnya. Pikir, batinnya. Pikir. Detik-detik berlalu kemudian sesuatu menyala dalam benaknya. Dengan tegang ia meraih kertas pembungkus anak kunci yang masih tergeletak di lantai. Ia meratakan kertasnya, merapikan bekas lipatan-lipatannya.
Digambar di kertas, dengan garis-garis hitam tergesa, tampak peta. Denyut jantung Mercy berpacu. Ia menyipitkan mata, berusaha keras mengerti artinya. Rupanya Charity menggambar peta ini dengan tergesa-gesa. Sulit dimengerti. Mercy membolak-baliknya.
Tulisan "Mercy" ditorehkan di dalam kotak jelas sekali menunjukkan kamar tempatnya terkurung sekarang. Masalahnya adalah di mana kotak itu tersambung dengan ruangan lain. Peta itu menunjukkan kamarnya punya pintu keluar lain, tapi Mercy tak mengerti di mana letaknya. Tampaknya pintu itu berada di atas dinding seberang pintu. Mercy mengamati dinding itu. Ia berdiri tegak dan menepuk-nepuk dinding. Ia menatap, menggigit bibir.
Kemudian dengan ngeri ia tahu jawabannya. Jelas sekali. Tentu saja kamar ini memiliki pintu keluar lain hanya saja Mercy tak menganggapnya sebagai pintu keluar. Menarik napas dalam-dalam, Mercy membungkuk dan mengintip ke dalam perapian.
Perapian itu juga kecil sekali. Tak sebesar perapian di ruang makan, atau dihias dengan ubin cantik seperti di ruang duduk anak. Perapian itu polos dan jelek cocok untuk kamar pelayan. Muatkah gadis kurus di dalamnya"
Mercy melihat peta lagi. Charity menggambar tangga. Mercy memasukkan kepala ke dalam perapian, dan menengadah. Mula-mula kepalanya jadi pening. Terowongan itu panjang. Jauh di atas, lingkaran biru gelap menunjukkan sebagian kecil langit malam. Tentu saja, Mercy berada dekat dengan atap rumah. Atap tidak jauh di atasnya. Ia menarik kepalanya dan mengangkat lampu, untuk melihat ke dinding cerobong asap persis di atas perapian. Gambar Charity benar. tangga atau sejenisnya. Batu-batu bata yang mencuat keluar, dengan jarak tertentu, menyediakan pijakan.
Betapa sempitnya terowongan itu, hitam penuh jelaga yang memadat, dan tak diragukan lagi banyak laba-laba dan kecoak. Mercy bergidik. Tangga batu bata itu dibuat untuk penyapu cerobong. Samar-samar, Mercy ingat mereka. Seorang lelaki dan tiga anak lelaki kecil datang ke rumah, makhluk-makhluk eksotis dengan pakaian compang-camping dekil. Seperti monyet mereka memanjat cerobong asap, dan kelihatannya aneh serta menegangkan bagi anak-anak perempuan, seakan para penyapu itu melakukan pertunjukan. Sekarang, melihat keadaan cerobong yang harus dipanjatnya, Mercy ketakutan.
Tak ada jalan lain. Jika anak-anak malang itu bisa melakukannya, ia juga bisa. Mercy mempelajari peta lagi. Ia menanggalkan gaunnya dan mengikat rambut, menggunakan seutas kain dari tirai tua. Ia menyelipkan peta dan kunci ke dalam stokingnya, menarik napas dalam-dalam, dan menyelip masuk ke dalam perapian yang sempit, lalu naik, ke cerobong asap.
Untunglah ia kurus. Meski demikian, saat ia menyelipkan tubuhnya melalui ambang yang sempit, lutut dan sikunya tergores. Perapian menelannya, seperti mulut hitam. Ia membuat awan debu jelaga yang menyesakkan terbang ke mana-mana. Ia kembali memikirkan anak-anak penyapu cerobong yang malang itu.
Begitu ia berhasil masuk ke perapian, cerobong asap agak melebar. Lubang anginnya bergabung dengan cerobong utama, yang memanjang dari lantai dasar sampai ke atap. Mercy menemuk
an pijakan batu bata yang sempit, dan mulai memanjat.
Itu hal paling sulit dan menakutkan yang pernah dilakukannya. di bawahnya, cerobong mencuram ke lantai dasar, jaraknya membuat pening. Ke atas, bintang-bintang berkelip di lingkaran kecil langit malam. Udara dingin sekali, dan tangan Mercy kaku serta sakit. Jelaga dan debu bertebaran dari dinding ke mata, hidung, dan mulutnya. Sulit sekali melihat ke mana ia menuju.
Langkah demi langkah yang hati-hati ia memanjat, mencengkeram erat dengan jemarinya, menarik tubuhnya naik dan terus naik. Peta acak-acakan Charity menunjukkan Mercy harus naik satu lantai ke tempat yang menurut Mercy adalah loteng panjang, keluar melalui pintu lain di cerobong.
Jarak yang harus dipanjatnya mungkin hanya tiga setengah meter. Bagi Mercy rasanya ia harus memanjat selamanya. Akhirnya, ketika ia merentangkan tangan meraih pijakan batu bata berikutnya, yang ia temukan adalah pintu kayu kecil, persis di atas kepalanya. Pintu" Ia mendorongnya. Pintu itu tidak bergerak. Ia memanjat sedikit lagi, sehingga pintu itu berada di depan wajahnya. Ia mencoba lagi, memukul tiap sudutnya, tapi pintu itu tetap bergeming. Ia meraba seluruh permukaannya untuk mencari selot atau kunci. Permukaannya licin. Tentu saja, pintu ini hanya bisa dibuka dari sisi lain.
Mercy menjadi putus asa. Ia tak percaya. Mengapa Charity tak membuka pintunya" Apa yang akan dilakukannya sekarang, bergelantungan di tengah-tengah cerobong asap jauh di atas tanah" Ia ngeri memikirkan harus memanjat turun lagi, menyelip kembali melalui perapian mungil menuju penjaranya. Air matanya menggenang.
Charity! ia berteriak. Charity! Tolong aku!
Hening. Ia terjebak. Bagaimana sekarang" Apakah sebaiknya ia merangkak turun lagi, melewati kamarnya dan terus menuju lantai dasar" Tangan dan kakinya sudah gemetar. Mercy menarik napas dalam-dalam. Ia memanjat naik sedikit lagi, dan menekankan punggung ke dinding cerobong di seberang pintu. Kaki-kakinya berada persis di depannya, menjejak dinding seberang, tiap kaki di sisi-sisi pintu. Kemudian ia menarik satu kaki dan menendang pintu sekuat tenaga.
Pintu itu tetap bergeming. Mercy mencoba lagi. Dua, tiga, empat kali. Dentumannya bergema ke seluruh ruang tertutup itu, namun Mercy tak menyerah. Ia menendang menggunakan seluruh kekuatan dan perasaan frustrasinya.
Lima, enam! Pintu itu terbuka, dengan suara berderak, diiringi awan debu. Mercy mengambil napas dalam-dalam. Ia kepanasan sekarang dan merasa menang. Ia memanjat melalui ambang pintu, dan terjatuh di lantai loteng yang telanjang.
Perlahan-lahan ia mengumpulkan napas. Ia duduk tegak, mengusap wajahnya. Keringat bercampur dengan jelaga, membuat matanya pedih: ia kotor sekali. Luka dan lebam kecil di tangan dan kakinya terasa sakit.
Mercy tak punya waktu untuk mengasihani diri sendiri. Ia mendorong pintu kecil itu menutup, tapi tak memasang kaitnya untuk berjaga-jaga. Tak diragukan lagi, pintu itu, seperti pijakan batu bata, dibuat agar anak malang penyapu cerobong bisa membersihkannya. Ia melihat sekeliling. Sulit untuk melihat bahkan dengan penglihatan malamnya yang tajam. Loteng tak memiliki jendela, maka ia tak memiliki penerangan cahaya bulan. Tempat itu sangat besar, tentu saja, selebar bagian atas seluruh rumah. Di sana-sini ada sosok-sosok gelap, perabotan yang sudah tak dipakai, dan peti-peti penyimpanan. Angin dingin berembus melalui genteng, dan Mercy mengigil, hanya mengenakan pakaian dalam.
Ia mulai mencari jalan keluar. Ia menggunakan mata dan tangannya. Ia meraba jalan dengan kaki. Sampai ia mengunjungi Century yang diterangi cahaya siang hari ia tak sadar betapa selama ini bergantung pada indranya yang lain, untuk membantunya berkeliaran di dalam rumah. Ia menjadi orang yang setengah buta mempelajari bentuk rumah, bergantung pada ingatannya. Ia bisa melihat sangat baik di kegelapan seperti makhluk malam, burung hantu atau rubah namun hidup seabad telah menajamkan indra-indranya yang lain. Apa yang tak bisa dilihatnya, ingatan terlukis dalam benaknya. Tapi ia belum pernah ke loteng. Tak ada ingatan yang bisa membantunya.
Ia melangk ah melintasi kasau-kasau raksasa menuju ruangan loteng kedua. Di sini tumpukan barang bekas lebih padat lagi. Ia harus melangkah dengan hati-hati. Sesuatu berkelebat, cakar menggesek papan lantai. Terlalu besar untuk tikus" Mercy memeluk lengannya, dan melanjutkan perjalanan.
Di antara tumpukan barang dalam kegelapan terdapat sosok gelap seperti kain menjulang menghalangi jalannya. Bisakah ia menyibakkannya ke samping" Kain berjamur tersentuh olehnya ketika ia mencoba. Benda di baliknya berupa tumpukan miring, sulit digerakkan. Tiga, empat benda bertumpuk. Tidak, ada enam, menyandar pada peti kayu.
lukisan pasti lukisan. Mercy membaca bingkainya yang berukir dengan jemarinya, mengelus kanvas minyaknya yang lembut. Apakah ini potret Thecla dan Claudius, lukisan-lukisan yang tak sanggup dilihat ayahnya lagi" Tentu saja Trajan menyimpannya di loteng. Ini tempat yang yang tepat. Mercy menyentuh kanvas dengan ujung jemarinya. Mungkin perjalanannya ini tidak sia-sia. Di atas tumpukan terdapat bundel yang lebih kecil, dibungkus kain dan diikat tali. Mercy mengambilnya dan membawanya. Potret lagi, ia berharap. Kesempatan untuk menunjukkan kepada Charity familinya yang sudah lama lenyap. Semangatnya meningkat. Ia telah tiba sejauh ini. Ia telah melalui rintangan yang tampaknya tak tertembus, bergantung pada kekuatan dan keberanian sendiri. Dan tentu saja dibantu kecerdasan Charity. Ia telah mengarungi cerobong asap yang menakutkan! Ia tersenyum sendiri dalam kegelapan, meski mata dan mulutnya kotor, masih memegangi bundel itu. Waktunya pergi.
Ia menyelip di antara tumpukan lukisan dan naik beberapa undakan kayu curam menuju ruangan ketiga. Di ujung ia menemukan pintu kecil. Ia mengeluarkan kunci Charity dari stokingnya dan menyelipkannya ke lubang kunci. Mekanismenya berderak namun kuncinya berputar. Mercy memastikan bahwa pintu terkunci lagi di belakangnya, dan menyimpan anak kuncinya. Ia bergegas menuruni tangga sempit yang panjang menuju lorong utama. Sekarang ia harus menemukan Charity.
Charity tak ada di kamarnya. Mercy menyelinap masuk dan menunggu. Ia begitu hitam berselaput jelaga dan sedingin es. Ia berjongkok di sudut, meringkuk. Ia meninggalkan jejak kaki pudar di karpet. Berapa lama sampai Galatea tahu tawanannya telah melarikan diri" Mercy mencoba membuka tali yang mengikat bundel dari loteng tadi. Talinya, rapuh karena tua, berantakan tersentuh jemarinya. Mercy membuka lipatan kainnya dan menatap potret yang dihias indah, wajah putih dalam bingkai emas. Ia harus segera menuju masa lalu Century sebelum Trajan atau salah satu pelayan memergokinya lagi. Mungkin mereka telah mengetahui Charity membantunya, dan mengurungnya juga. Mercy berharap mati-matian agar Charity lekas kembali.
Pintu terbuka. Charity! Mercy melompat bangkit. Charity terkejut. Ia melogo.
Mercy" katanya. Lihat keadaanmu. Kasihan sekali kau. Kau dekil sekali. Kauapakan rambutmu"
Jangan khawatir. Aku mengikatnya, karena harus memanjat. Lihat" Bagaimana kau tahu tentang cerobong asap dan loteng"
Tidak mudah, kata Charity. Aku mencari-cari denah rumah di perpustakaan, dan pintu tingkap itu ditandai, meskipun aku khawatir kau takkan bisa menemukannya. Aku mencuri kunci loteng dari laci lemari kecil di ruang duduk Aurelia.
Kita tak punya banyak waktu, kata Mercy. Bantu aku. Berikan buku itu padaku.
Charity masih bengong. Kau tidak tampak seperti dirimu, katanya terheran-heran.
Mercy mendesah. Apakah kau punya air, sehingga aku bisa membasuh diri" Dan aku perlu meminjam pakaian. Kemudian aku bisa melarikan diri.
Charity mengangguk perlahan. Kau begitu berbeda, katanya. Bukan hanya penampilanmu. Kau bahkan tak terdengar seperti kakakku lagi.
Mercy menarik napas panjang. Aku tahu, desahnya. Aku juga tak merasa sama. Segalanya berubah. Tak bisa tetap bertahan seperti dulu lagi. Kau juga percaya itu, kan"
Charity ragu, kemudian mengangguk.
Ia punya sekendi air dan baskom di meja basuh marmer kecil di ujung kamarnya. Ia menuangkan air ke baskom, sementara Mercy menanggalkan pakaian dalamnya yang kotor dan menjejalkannya ke bagian baw
ah lemari pakaian Charity.
Ia membasuh diri sebaik mungkin, tapi airnya dingin dan sangat sedikit, dan debu serta jelaga begitu melekat. Meski sudah diikat, rambut Mercy penuh debu. Charity mencari-cari gaun, tapi semua pakaiannya terlalu tua dan lapuk, lagi pula terlalu kecil. Mercy mengambil satu, meski sebelah lengannya robek ketika ia mengenakannya.
Bukunya, katanya, mengaitkan kancing yang bisa dikaitkan. Beri aku buku itu.
Charity mengambil buku merah itu, yang dibungkusnya dalam syal dan disembunyikan di dasar lemari pakaiannya.
Dengarkan baik-baik, kata Mercy. Ayah menulis buku ajaib tentang Century untuk menahan kita dalam satu malam panjang yang dingin. Dia mengira itu akan membuat kita aman, tapi aku tak mau terus hidup seperti ini, hari yang sama berulang-ulang, dan aku akan menulis ulang kisahnya di buku merah ini, untuk mematahkan mantranya. Buku Ayah berisi gambar-gambar dan kurasa buku ini juga harus begitu. Aku butuh bantuanmu, karena kau bisa menggambar dengan indah. Bisakah kau menggambar rumah diselimuti salju dan seorang lelaki yang memacu kudanya menjauh" Kita butuh gambar Claudius dan Marietta juga, dan orangtua kita. Serta gambar kita sendiri.
Charity masih menatap kakaknya, seakan ia berjuang untuk mengerti apa yang barusan dikatakan Mercy. Kemudian ia menggeleng.
Aku belum pernah melihat Claudius atau Marietta seingatku tidak. Dan aku juga tak ingat wajah ibu. Tak ada potretnya sama sekali.
Kurasa potret-potret itu ada di loteng, kata Mercy. Ayah bilang dia menyimpannya dan banyak sekali potret di atas sana. Aku menemukan setumpuk lukisan ketika muncul dari cerobong. Itu tempat yang tepat, kan" Dan lihat. Ia mengambil potret mini tadi, memegangnya lembut. Lihat" Ini Marietta. Potret ini milik Claudius. Ada tulisan namanya di belakang.
Charity menarik napas. Potret itu tampak berpendar. Marietta, kepalanya menoleh, menatap mereka dari potret mungil itu. Kemudaan dan kecantikannya memancar, gambar kecil berupa jendela ke dunia lain yang lebih terang.
Dia cantik sekali, desah Charity. Seperti peri. Apakah dia sungguh-sungguh ada"
Ya, jawab Mercy. Dia pernah ada. Claudius mencintainya. Simpan ini. Sembunyikan dari Ayah dan Galatea. Dan bawa lentera ke loteng untuk menemukan potret-potret lain. Ini kuncinya. Gambar untukku, dan aku akan kembali untuk mengambilnya. Gambar sebaik yang kaubisa, dan cepat. Buatlah gambar yang ceria, Charity.
Charity merentangkan tangan dan mencengkeram lengan kakaknya. Aku takut, Mercy, katanya.
Aku juga. Mercy melingkarkan lengan pada Charity dan mereka berpelukan erat.
Semoga berhasil, kata Charity. Kuharap kau benar.
Kita tak bisa hidup seperti ini, kata Mercy. Tunggu saja. Tunggu sampai kau melihat siang hari. Maka kau akan tahu.
Mereka berpelukan lagi, tak ingin melepaskan. Kemudian Mercy menarik diri.
Aku dengar suara, bisiknya. Langkah kaki. Ada yang datang.
Sembunyi, kata Charity. Cepat
Gagang pintu bergerak dan pintu terbuka.
Charity! Galatea berdiri di ambang pintu. Beberapa saat ia terbengong-bengong, menghadapi dua gadis salah satunya kotor penuh jelaga, mengenakan gaun Charity.
Mercy tak menunggu sampai sang pengasuh sadar. Ia berlari menuju pintu, mencengkeram buku merahnya. Mercy lebih pendek dan ringan daripada Galatea tapi unsur kecepatan dan kejutan memberinya keuntungan. Ia mendorong Galatea. Wanita itu menjerit melengking, marah sekaligus takut. Mercy tak berhenti. Ia berlari menelusuri koridor dan menuju kegelapan sebelum Galatea bisa mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Di belakangnya, sang pengasuh berteriak, meminta bantuan. Mercy berlari melewati jendela-jendela tinggi, menuju permadani unicorn. Jemarinya mencari-cari di panel di balik permadani.
Kumohon biarkan aku masuk, ia berdoa. Bagaimana ia melakukannya sebelum ini" Kerahkan keinginan, kata Claudius. Mercy membayangkan dirinya di tempat satu lagi, perpustakaan bermandikan cahaya matahari. Galatea berlari mengejarnya, masih berteriak. Ia semakin dekat. Mercy menyibakkan permadani dinding dan mendorong seluruh tubuhnya ke arah panel kayu. Sesaa
t pintu rahasia itu menolaknya. Ia memaksa pintu itu terbuka. Mercy bisa mencium bau peppermint Galatea ketika akhirnya panel itu terbuka.
Ia terjatuh, di antara waktu. Ruang yang memisahkan satu hari dengan yang lain. Satu bab dari bab berikutnya.
Di kejauhan, Galatea menjerit dan mengentakkan kaki.
Dan Mercy meluncur turun. Di mana tempat ini, ia bertanya-tanya. Kepala dulu atau kaki dulu ia tak bisa memastikan. Di manakah semua orang, setelah dipikirkan" Kau hanya mengetahui letak suatu tempat jika dilihat dari tempat lain.
Ia mendarat di perpustakaan. Ia menutupi mata dengan tangan untuk menghindari cahaya matahari. Buku itu terjepit di bawah lengannya. Versi ini yang ditulisnya sendiri bisa dibawa-bawa dari satu lingkaran ke lingkaran lain. Mungkin karena sebagian besar halamannya masih kosong. Tidak tuntas. Belum.
Ia berdiri diam selama semenit-dua menit, akhirnya melemaskan tangan ketika matanya mulai terbiasa dengan cahaya terang. Ia masih tersengal-sengal karena habis berlari. Jantungnya berdebar kencang. Ia menuju rak tempat catatan perjalanan dan peta, untuk menemukan The Precise Geography of the Lermantas Archipelago. Denah rumah bernoda tinta diselipkan di dalam sampul depan, dokumen rapuh dan rumit yang robek begitu ia membuka lipatannya. Tanda silang biru tertoreh di koridor dekat permadani dinding menjauh dari kamarnya. Tanda silang merah tertoreh di perpustakaan tempat ia muncul. Tanda silang biru kedua digambar di denah lantai pertama landasan dekat jendela, menghadap kebun buah-buahan.
Ia melipat denah dan menjejalkan bukunya kembali ke dalam rak. Waktunya bergerak. Apakah Galatea bisa mengikutinya sekarang" Atau Trajan, sang pengarang kisah Century"
VII MERCY bergegas menelusuri rumah. Seperti pintu, hari musim panas itu terbuka di hadapannya. Tak lama lagi pesta ulang tahun akan dimulai, sementara Claudius dan Marietta pacaran di pulau di tengah danau. Hari yang sempurna. Mercy tak punya waktu untuk menikmatinya. Ia harus menembus hari ketiga dari kelimanya.
Ia menemukan landasan yang menghadap kebun buah-buahan. Di luar, tukang kebun memotong rumput menggunakan sabit panjang. Mercy memanjat ambang jendela dan menempelkan tubuh ke kacanya. Ia mengosongkan pikiran dan menyuruh pintu itu mengizinkannya lewat. Matahari tenggelam.
Tergantung di ruang antara, ia menata benaknya. Apakah hanya imajinasinya, atau memang celah antarhari semakin besar" Tak adanya cahaya dan ruang tak membuatnya takut. Sebaliknya, ruang gelap itu menenangkan, seperti tidur. Seperti kematian, mungkin.
Mungkin celah itu melebar karena ia telah mengusik apa yang dibangun Trajan dengan hati-hati. Itukah yang dimaksud ayahnya ketika berkata perjalanan Mercy memburaikan mantranya" Bab-babnya mulai berpisah. Masuk akal. Bagaimana dengan Trajan" Apakah ia pernah melintasi jurang gelap tanpa bintang dan tanpa udara itu" Ia membayangkan Trajan, seperti hantu, berkeliaran di hari-hari masa lalu, tak mampu mengubah apa yang telah terjadi, menyaksikan kejadian-kejadian berulang kembali. Itu bayangan melankolis, dan mungkin menyedihkan. Trajan, meski memiliki kemampuan besar, tak punya kekuatan untuk menghadapi kehidupan baru dan rasa sayang Mercy dirasuki kemarahan akibat ketidaksabaran Mercy ingin ayahnya melepaskan diri dari kepedihan masa lalu.
Ia melamun dan menghantam lantai, limbung dan tersengal, lebam-lebam. Ruangan suram, bau harum perapian samar-samar. Mercy mendarat di depan tungku, terkapar di permadani. Ia merasakan lembutnya sutra di bawah tangannya. Kandelir berpendar di atasnya. Ia mengenali kamar itu sebagai ruang duduk yang menuju rumah kaca, berisi kupu-kupu tropisnya, dan ikan-ikan. Mercy menggigil. Udara terasa dingin. Bukan lagi musim dingin. Ia berdiri, memungut buku merah dari permadani. Cermin berbingai emas memantulkan bayangan gelap wajahnya yang penuh jelaga, ikat rambutnya yang compang-camping. Ia mengusap hidung dengan punggung tangannya.
Lekaslah. ia mendesak bayangannya di cermin. Kita tak boleh membuang waktu. Tapi ia menunggu lagi sejenak, menatap wajahnya di cermin wajah yang tak lagi familier.
Ia m embuka pintu di balik tirai menuju rumah kaca. Ruangan panjang dari kaca itu dijejali tanaman dan bunga, terbenam dalam cahaya temaram kelabu. Ranting-ranting pucat seakan mengusung potongan-potongan langit berawan di antara mereka. Udara lembap dan hangat. Trajan memberi panas perapian untuk tanaman-tanamannya yang berharga, sementara para pelayan menggigil di kamar loteng mereka. Mercy menutup pintu lagi. Tak ada siapa-siapa di sana. Rupanya kisah hari ini terjadi di tempat lain. Kiriman untuk Claudius, kata diagram kecil yang digambar lelaki itu, pada hari yang dingin di musim gugur ini. Mercy harus mencarinya.
Pelayan perempuan melangkah di koridor, membawa baki berisi teko kopi dari perak, maka Mercy mengikutinya. Jendela-jendela tinggi menunjukkan pagi yang liar, masih dini sekali, matahari masih rendah di cakrawala dan terhalang gerombolan awan. Pohon-pohon kastanye kuda raksasa tumbuh di kedua sisi jalan masuk rumah yang panjang, dan pohon-pohon itu bergoyang ditiup angin. Daun-daun berwarna karat dan tembaga terbang menjauh. Jendela-jendela bergetar.
Mercy bergegas. Pelayan tadi, mengenakan gaun hitam dan celemek putih, mengetuk pintu dan masuk. Mercy berhenti di belakangnya, mendengarkan suara-suara. Dua lelaki. Mereka bertengkar. Ia menduga yang suaranya lebih tenang adalah ayahnya. Pelayan tadi meletakkan baki dan bergegas keluar lagi, menjauh dari suara-suara marah itu. Mercy menyelinap masuk. Mungkin kedua orang yang bertengkar tersebut takkan melihatnya, hantu di rumahnya sendiri, tapi ia berhati-hati. Ya itu Trajan. Betapa berbedanya sebelum tahun-tahun menggerogotinya. Rambutnya masih hitam, seperti rambut Mercy. Kulitnya halus, tubuhnya ramping. Matanya berkilat saat ia mengibaskan tangan ke arah lelaki satu lagi.
Ini tak bisa dibiarkan, kata Trajan. Kau, terutama, harus mengerti sebabnya. Ini gila! Kau harus menyingkirkan masalah ini, demi dirimu sendiri demi keluarga. Demi dirinya juga.
Mercy beringsut ke sisi lain ruangan, tempat lelaki satu lagi berdiri di belakang meja tulis. Itu Claudius. Dan Claudius, anehnya, tampak lebih tua. Lelaki muda, tapi bukan remaja. Rambutnya panjang, diikat ke belakang dengan pita hitam. Ia mengenakan celemek cokelat kaku di atas kemeja putihnya. Ruangan itu sejenis kantor dan laboratorium, panjang dan sempit dengan meja-meja tertutup buku, botol, peralatan kimia dan boneka binatang.
Aku bisa mengatasi halangannya, bantah Claudius. Ia tampak pucat dan tak sehat. Setelah kami menikah, aku akan membawa Marietta jauh dari Century, dari mata-mata yang menatap curiga, dari keluarganya, ke tempat di mana tak ada orang yang mengenali kami seperti yang kau lakukan, membawa keluargamu ke Inggris.
Penghalangnya tak bisa diatasi, kata Trajan. Kehidupan macam apa bagi Marietta, jika ia tak bisa bertemu keluarganya lagi" Dan bagaimana mungkin dia bisa tahan bertambah tua dan meninggal sementara kau sama sekali tak berubah" Itu tak boleh terjadi.
Tunggu, desak Claudius. Tunggu sampai kaulihat apa yang kurencanakan. Sabarlah! Aku tak sebodoh yang kau kira aku juga tak terlalu termakan emosi sehingga tak memikirkan jalan keluar masalah ini. Aku akan membuktikannya padamu, Trajan. Beri aku waktu dua bulan. Jika sampai saat itu rencanaku tidak menghasilkan, aku akan menuruti kata-katamu. Aku akan kembali ke Roma dan meninggalkan Marietta bersama keluarganya.
Trajan tak tampak puas. Tangannya gemetar. Ia mengepalkan tinju, melonggarkannya lagi. Anehnya ia tampak tak berdaya.
Claudius, katanya, lebih lembut sekarang, berusaha memohon. Apakah kaukira aku tak mengerti bagaimana rasanya mencintai seseorang" Ketika aku jatuh cinta pada Thecla, aku tahu dia akan menjadi cahaya hidupku, bahwa tak ada yang berarti tanpa dirinya. Ia merentangkan tangan, untuk menepuk bahu saudaranya, untuk menenangkannya, tapi Claudius menjauh.
Jika kau mengerti, mengapa kau tak mau menolongku" katanya.
Karena aku memikirkan Marietta! Rencana apa yang kau miliki yang bisa mengatasi halangan ini" Tak ada yang bisa dilakukan! kata Trajan. Ia menatap Claudius, marah sekaligus takut. Mercy bis
a merasakan keputusasaannya ketidakmampuannya memaksa lelaki yang lebih muda ini agar mematuhinya. Apakah ia, meski memiliki kekuatan sihir, adalah yang lebih lemah di antara keduanya"
Tak ada yang bisa dilakukan, katanya lagi, suaranya merendah. Pikirkan itu. Pikirkan dia.
Kemudian ia meninggalkan ruangan. Ia membanting pintu di belakangnya. Mercy bergidik, berdiri dekat dinding.
Claudius mendesah. Ia meregangkan tubuh, berdiri dan mondar-mandir beberapa langkah mengelilingi ruangan, gelisah, berusaha menyingkirkan pertengkaran itu dari benaknya. Buku tumpang-tindih di rak-rak. Tumpukan kertas catatan berantakan di meja. Gelas kimia, pipa dan tabung percobaan berserakan di bangku panjang bagian belakang ruangan, penuh noda residu dan kerak kristal berwarna. Dan hewan-hewan itu. Beberapa berdiri dalam kotak kaca, beberapa lagi di atas tatakan kayu. Rubah, berang-berang, rusa kecil. Burung hantu kuning kecokelatan, burung kuau. Ikan trout panjang, seperti pedang. Mata beling mereka yang sedih menatap Mercy, seakan makhluk-makhluk tanpa nyawa ini bisa melihatnya, sementara yang hidup tidak. Mercy mengulurkan tangan untuk menyentuh bulu rubah, merah menyala seperti daun-daun di pohon kastanye kuda di luar. Ia mengelus punggung yang lembut dan keras. Di sisi lain ruangan, Claudius menatap keluar jendela, sibuk dengan pikirannya sendiri. Mendadak ia berbalik dan mengacak-acak kertas di meja tulisnya. Ia mulai menulis catatan.
Akibat sentuhan Mercy, awan debu terbang dari bulu rubah. Butiran-butiran itu berputar. Hidung Mercy gatal. Ia menahan napas tapi tak bisa ditahan. Ia akan bersin.
Suara keras itu mematahkan keheningan ruangan. Mercy menekan wajah dengan kedua tangannya dan menatap Claudius dengan terkejut. Lelaki itu masih menulis di mejanya. Tak tampak tanda-tanda ia mendengar sama sekali. Detik-detik berlalu. Perlahan, Mercy tenang dan melangkah mendekati meja. Ia mengintip kertas-kertas di sana. Claudius menulis surat dialamatkan kepada Marietta. Formula kimia, rangkaian huruf Yunani dan gambar tulang-belulang serta persendian memenuhi halaman-halaman kertas lain yang berserakan di meja. Claudius terus menulis.
Bisakah kau melihatku sekarang, Claudius" Mercy berbisik.
Claudius menengadah dan mengangguk. Ya, katanya. Kau datang dari masa depan untuk membebaskanku. Kemudian ia melanjutkan menulis, mengabaikan Mercy. Mungkin butuh usaha keras baginya untuk menyadari kehadiran Mercy. Ia terjebak dalam pola kisah ini. Ia pernah berkata bahwa butuh usaha sekuat tenaga untuk melintasi batas-batas hari, untuk mencarinya. Mercy memalingkan wajah, melangkah ke seberang ruangan, dan membuka pintu.
Ia berkeliaran di rumah. Segalanya hening. Ia menemukan kedua kakak-beradik di dapur sedang makan bubur dan madu, dan belakangan, membuntuti mereka ke taman, menuju taman arboretum, tempat mereka berlarian bersama angin.
Ia ingat saat ayahnya menanam pohon-pohon itu. Citra kenangannya muncul. Koleksi spesies asing yang banyak sekali, lelaki-lelaki menanam pohon-pohon itu di tanah Inggris yang dingin, Trajan menyerukan perintah dengan gugup. Antusias, seperti anak-anak, Trajan memberitahu Mercy nama pohon-pohon itu. Cedar Lebanon, walnut hitam dari Dunia Baru. Kemudian, dari Australia, mereka menanam pohon teh dan bottlebrush, dan di tengah-tengah taman di mana jalan setapak bertemu, serumpun pohon magnolia, bunga-bunga putihnya terbuka seperti mangkuk lilin di musim semi. Sekarang pohon-pohon itu masih muda. Di rumah, Mercy ingat, di Century-nya sendiri, taman arboretum itu sangat luas, pohon-pohonnya lembap dan tumbuh tak beraturan.
Anak-anak perempuan itu masuk kembali. Mercy duduk di undakan batu di depan rumah. Apa yang akan terjadi" Ia membuka buku merahnya dan membaca halaman pertama catatannya. Begitu banyak benang terburai. Mengapa Trajan dan Thecla tak setuju dengan pernikahan Claudius dengan Marietta" Karena keluarga mereka berbeda. Pengalaman Mercy tentang hidup manusia, ia tahu, sangat terbatas. Ia telah membaca banyak sekali buku. Ia telah hidup, rupanya, lebih dari seratus tahun. Putri Tidur terlelap selama ser
atus tahun, meski Injil mengatakan manusia mungkin hanya bisa mencapai usia tujuh puluh tahun. Kisah mana yang bisa dipercayainya" Trajan memperingatkan Claudius bahwa Marietta akan menjadi tua dan meninggal, sementara Claudius akan tetap tak berubah.
Apa rasanya hidup selama ratusan tahun" Mercy merenungkannya. Ia tak pernah memikirkan kematian. Dan meski ia mungkin telah hidup selama seabad, akibat mantra Trajan rasanya hanya sehari. Jika mantranya dipatahkan dan ia mulai hidup kembali, dalam dunia yang terus berubah, abad-abad akan meluncur di hadapannya. Tahun-tahun yang panjang, hanya ditemani keluarganya yang hidup abadi, sementara orang-orang lain yang adalah manusia biasa akan melintas keluar-masuk kehidupannya, saat mereka tumbuh dewasa, menua, dan meninggal. Mercy pernah menyayangi Chloe. Agaknya, di dunia luar, Chloe telah tumbuh dewasa. Mungkin ia telah menikah dan menjadi wanita tua dan kemudian meninggal. Maka sekarang ia mungkin sudah terbaring di kuburnya. Mercy merasakan kesepian yang menyakitkan, memikirkan itu. Ia sudah banyak sekali mengalami kehilangan.
Ia mulai mengerti bagaimana jarak usia akan memisahkan mereka, jika banyak manusia akan menua dan meninggal hanya dalam beberapa dekade. Betapa ia akan sangat kesepian. Mercy menggosok lengan-lengannya. Gaunnya yang terlalu kecil mengelupas. Tangannya dingin dan putih. Ia juga tak bisa memperkirakan waktu. Ia melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang selama seratus tahun. Kehidupan yang membosankan, sepanjang waktu.
Bagaimana lenyapnya Thecla masuk ke kisah kedua kekasih itu" Bagaimana Claudius mengira bisa mengatasi nasibnya, dan menikahi Marietta" Dan mengapa ia gagal" Hari yang liar terguncang badai di musim gugur ini merupakan bab penting dalam kisah. Mengapa"
Di kejauhan, di jalan masuk rumah di antara pepohonan, sosok gelap bergerak di sebelah pos jaga gerbang. Mercy menyipitkan mata, berusaha melihat. Gerobak kuda, bergerak cepat. Butuh beberapa menit sebelum gerobak itu cukup dekat sehingga Mercy bisa melihat kusirnya, yang duduk tegak di bagian depan terbalut mantel cokelat besar. Kudanya besar berwarna cokelat kemerahan, dengan garis putih di wajahnya dan empat kaus kaki bulu berwarna putih. Gerobaknya ditutupi. Di belakang Mercy, pintu depan terbuka. Mercy menoleh untuk melihat Claudius bergegas keluar, menuruni undakan, menemui si pendatang. Sepatu botnya berderak di tanah berbatu. Ia masih mengenakan celemek cokelat. Mercy berdiri dan mengikutinya.
Persis di depan rumah, kusir tiba-tiba menarik kekang kudanya. Kaki-kaki kuda yang besar dan kekuningan itu menendang batu kerikil. Leher makhluk itu basah berkeringat, cuping hidungnya melebar. Kusir menarik kekang lagi dan kudanya menengadahkan kepala.
Pergi ke samping rumah, ke halaman istal, perintah Claudius. Salah satu pekerja akan membantumu membongkar muatan. Kaubawa semuanya"
Kusir menganguk, lelaki setengah baya, kuat dan berwajah merah. Kudanya gelisah, menggigiti tali kekangnya. Cemeti melecut dan gerobak itu berputar. Claudius masuk ke rumah, Mercy mengikuti. Claudius berderap melintasi lorong utama, memanggil pelayan lelaki, dan keluar melalui pintu samping ke halaman istal, tempat para pengantar barang meletakkan persediaan dapur. Gerobak itu berhenti di tanah berbatu.
Di sebelah sini! Claudius setengah berlari menghampiri gerobak, pelayan berusaha menyamakan langkah. Kusir menyibakkan penutup gerobak yang berat, menunjukkan setengah lusin peti kayu. Ia melompat turun dari tempat duduknya yang tinggi dan menurunkan bagian belakang gerobak. Claudius dan pelayan mengangkut peti-peti kayu, satu demi satu, ke pintu masuk.
Bawa ke lantai dua, dan tinggalkan di depan kamarku, perintah Claudius. Jangan sampai jatuh.
Si pelayan, memakai jaket biru tua dan wig putih, mengangguk gugup. Meski pemuda itu tampak kuat, ia terhuyung-huyung akibat berat peti pertama. Claudius menoleh kepada kusir. Ia mengeluarkan koin-koin emas dari sakunya.
Seperti yang telah kita sepakati, katanya.
Dan untuk kesulitanku" Kusir itu berwajah kasar. Suaranya serak. Ia mendekati Claudius. Kudanya m
enggerak-gerakkan kaki di belakangnya. Claudius tersenyum mengejek. Meski lebih pendek, ia berdiri tegap dan seakan menjulang di depan si kusir. Wajah lelaki yang menggertak itu jadi merah, dan ia melangkah mundur. Claudius merogoh sakunya lagi, mengeluarkan lebih banyak emas. Koin-koin itu berpindah dari tangannya yang panjang dan putih ke kepalan gemuk merah milik si kusir.
Terima kasih, Sir, kata si kusir, menyentuh bagian depan topinya. Ia berjuang menenangkan diri namun senyumnya tampak mengejek. Ia menjauh dari Claudius dan memanjat bagian depan gerobaknya.
Jika Anda membutuhkanku lagi, Sir, Anda tahu di mana bisa mencariku. Ia meraih cambuk dan melecutkannya di atas kepala kuda. Gerobak itu berderak di atas kerikil dan keluar dari halaman.
Claudius mengambil kotak kedua dan membawanya masuk. Mercy mengikutinya menaiki tangga sempit di bagian bangunan tempat para pelayan ke lantai dua. Ia tak familier dengan bagian rumah ini. Begitu banyak tempat telah dikunci saat hari musim dinginnya dimulai. Mereka melewati kamar untuk pelayan lelaki dan kusir kereta kuda. Lantai papan di lorong sempit itu tak berkarpet. Ia melihat sekilas kamar mungil dengan dua ranjang bersebelahan. Pelayan tadi baru saja meletakkan peti pertama di luar pintu di ujung lorong. Ia menunggu Claudius.
Aku yang akan membawanya ke dalam, kata Claudius. Ambil kotak berikutnya.
Mengucurkan keringat, pemuda itu mengangguk dan bergegas pergi. Claudius membuka kancing saku celananya dan mengeluarkan anak kunci besar. Ia membuka pintu dan memasukkan peti-peti itu. Mercy menyelip melewatinya, dan mengamati laboratorium rahasia nomor dua.
Ruangan itu panjang tanpa hiasan apa-apa dengan pintu tertutup di ujung terjauh. Dua jendela sempit memberi pencahayaan yang sangat redup. Deretan lilin berdiri di setiap sudut meja yang sangat besar, pada kandelabra dari besi tempa, juga ditempelkan pada semua permukaan yang tersedia seperti pada kotak kaca tempat seekor ikan pike berwarna metalik diawetkan, dan seekor kupu-kupu yang ditempelkan dalam barisan yang rapi. Mercy menghampiri meja. Claudius menata peralatan pada serangkaian baki kayu. Di ujung sebelah sana, buku tebal bersampul kulit yang sudah lusuh tergeletak di antara tumpukan catatan. Di sana-sini gambar-gambar ditempel di dinding yang telanjang ilmu anatomi hewan. Sambungan persendian. Gambar otot paha manusia. Mercy tertarik sekaligus jijik.
Claudius masih disibukkan peti-peti itu, maka Mercy meletakkan buku merahnya di lantai di bawah meja dan membolak-balik buku Claudius. Ia membaca sekilas halaman pertama, dan hatinya mencelos. Claudius, ilmuwan berdedikasi, menulis catatannya dengan bahasa Latin. Semakin sulit untuk dimengerti Mercy! Ia menarik napas dalam-dalam, memusatkan pikiran, dan berusaha keras berkonsentrasi untuk mengerti tulisan Claudius yang berantakan dan bahasa yang sulit itu.
Halaman-halaman pertama ditulis tahun 1660. Diagram-diagram tanaman, gambar-gambar simbol yang aneh. Sebagai permulaan, Claudius mempelajari alkimia untuk mengerti kehidupan alam kekuatan bernyawa yang membedakan sehelai rumput berbunga dengan sebatang jerami. Atau sebatang kayu dengan pohon hidup. Coretan-coretan catatan memenuhi halaman buku itu. Beberapa hanya berupa daftar huruf. Mercy membalik halaman. Di pergantian abad, saat ia duga kedua orangtuanya pindah ke Inggris, Claudius rupanya sedang berkelana ke Timur Tengah. Catatannya menyebutkan Maroko, Mesir, dan Persia. Ia menulis dari kota-kota Aljazair, Kairo, Luxor. Catatan dalam huruf Arab berselingan dengan bahasa Latin disertai juga salinan hieroglif dari dinding-dinding makam di Mesir dan beberapa sketsa dewa reinkarnasi Osiris. Claudius belajar seni membuat mumi, ditandai gambar-gambar dan catatan mendetail yang memenuhi beberapa halaman. Dua tahun kemudian, ia mengunjungi Praha untuk mencari Rabbi Low Ben Bazalel, yang membuat golem pada tahun 1590 manusia yang terbuat dari tanah liat dan menjadi hidup ketika sang Rabbi memasukkan secarik kertas bertuliskan kata suci Shem ke bawah lidahnya.
Catatan semakin jarang di tahun-tahun pertengahan aba
d ke-18. Mungkin Claudius sudah bosan pada penelitiannya. Mungkin ia menghabiskan satu atau dua dekade menulis puisi, atau berburu, atau bermalas-malasan. Aneh sekali manusia yang bisa hidup panjang bisa menghabiskan banyak waktu menyibukkan diri dalam masalah kematian dan kelahiran kembali. Tetapi penelitian itu bukan tanpa sebab. Claudius berusaha mengerti mengapa ia dan keluarga Verga secara keseluruhan bisa mencurangi takdir yang harus dialami setiap tumbuhan, makhluk, dan manusia lain di permukaan bumi. Siapakah mereka" Mengapa keluarga ini memiliki bakat istimewa begitu besar"
Mercy terus membaca. Catatan-catatan mulai bertebaran kembali di penghujung tahun 1788, hanya setahun sebelum sekarang. Sebelum Mercy bisa membaca lagi, Claudius membanting pintu menutup dan menguncinya dengan dua selot hitam besar. Keenam peti terletak di sekitarnya, dipaku rapat. Perangko dari negara-negara asing menempel pada kayu mentahnya. Claudius mengamati, satu demi satu; kotak-kotak itu dengan sabar menunggu perhatiannya. Ia mengambil pancang besi dari meja dan menusukkannya ke bawah tutup peti pertama, yang tiba dari Venesia. Kayunya pecah, paku-pakunya berderit saat ia mengungkit lepas tutupnya. Di dalamnya, dipak hati-hati di antara jerami, tergeletak telur kaca yang halus. Claudius melemparkan jerami ke lantai, dan mengangkat wadah itu dengan khidmat. Pipa panjang merupakan satu-satunya jalan masuk ke dalam gelembung kaca yang indah itu. Claudius mengangkat wadah itu ke tempat yang kena cahaya, mengaguminya. Ia menggunakan penggaris kayu untuk mengukurnya.
Indah sekali, katanya keras-keras. Begitu indah. Mereka melakukan pekerjaan dengan sangat baik persis seperti yang kuminta. Ia mengembalikan wadah itu dengan hati-hati ke sarang jeraminya dan mulai membuka kotak-kotak lain. Peti kedua, berperangko Venesia, berisi peranti-peranti kaca lain yang lebih kecil dan dua bola kaca berwarna, dalam kotak beludru berlapis. Peti-peti lain berisi buku-buku tebal, gulungan-gulungan perkamen, gulungan-gulungan kain, tabung-tabung berisi kain yang membungkus kristal serta bubuk berwarna, botol-botol berisi berbagai jenis cairan, dan yang paling aneh, gaun paling mengagumkan yang pernah Mercy lihat.
Claudius mengangkat gaun itu dari peti terakhir. Mercy tak bisa menduga dari mana asal perangkonya. Tulisannya bisa saja berupa huruf Rusia. Gaun itu terbuka dari lipatannya tanpa suara. Mercy tersentak. Ia teringat cerita-cerita rakyat di mana peri dan ibu-ibu yang rajin membordir gaun yang terbuat dari cahaya bulan dan sutra laba-laba, bunga bintang, butiran embun. Gaun itu berwarna putih, kelabu, dan perak meski nama-nama warna tak mampu mendeskripsikan jalinan tak terlukiskan mutiara, butiran salju, kabut lautan, embun beku. Gaun musim dingin. Gaun pengantin. Claudius memeluk gaun itu, seakan calon pengantinnya sudah berada di dalamnya. Ia menelusuri permukaannya yang dibordir, jalinan-jalinan batu permata mungil. Ia membenamkan wajah pada rok sutranya yang dingin. Betapa ia mencintai Marietta. Mercy bisa melihatnya sekarang, dalam cara Claudius memperlakukan gaun itu dengan kelembutan luar biasa, gaun yang dibelinya untuk memuja Marietta, dalam gairah di wajahnya.
Claudius membawa gaun itu ke ujung ruangan dan membuka kunci pintu di sana. Mercy melihat kilasan terakhir gaun itu ketika Claudius memasukkannya ke lemari kayu ek. Ia mengelusnya sekali lagi, dan kembali ke laboratorium, mengunci pintu itu lagi. Ia berdiri dekat meja, menatap peralatan yang berjejer, sibuk dengan pikirannya sendiri. Angin menekan jendela. Beberapa butir besar air hujan menerpa kacanya. Gerimis berubah menjadi deras hanya dalam beberapa menit. Ruangan redup itu jadi gelap, dan Claudius mulai menyalakan lilin-lilin yang bertebaran. Lilin cair mulai menetes, menelusuri kembali aliran beku dari lelehan sebelumnya, menjadi bentuk baru yang menjijikkan di dasar lilin, di atas meja dan lemari, dan di lantai.
Claudius berdiri dalam lingkaran cahaya ini dan membolak-balik catatan di dalam buku bersampul kulitnya. Ia mulai bekerja.
Mercy meringkuk dekat dinding dan menyaks
ikan. Gelombang pikiran atau gairah menguasai Claudius sekarang. Ia memulai pekerjaan panjang dan sulit mempersiapkan peralatannya, menggunakan komponen-komponen baru dari peti-peti tadi selain bagian-bagian yang sudah dimilikinya. Ia mencabut diagram-diagram dari dari dinding dan kembali menekuni catatan-catatannya. Ia tenggelam dalam buku-buku barunya. Tak sekalipun ia mengalihkan konsentrasi. Ia sangat bersungguh-sungguh lelaki yang terobsesi. Ia menjadi prosesnya, membaca dan mengasimilasi, memasang dan mencopot, menulis dan menaksir-naksir.
Lilin-lilin mulai pendek, dan diganti. Hujan turun terus, dan matahari musim gugur mengintip sejenak menembus awan, sehingga butiran-butiran air hujan di jendela tampak gemerlap.
Claudius membakar bubuk kuning di wadah batu. Mula-mula asap yang ditimbulkannya berbau tajam, kemudian manis, seperti melati. Ia mengaduk abu hasil pembakaran itu menjadi cairan bening, menaburkan kristal-kristal kecil berwarna merah darah. Ia membersihkan meja dan menggunakan ramuan itu untuk menggambar simbol-simbol di permukaannya yang berbintik-bintik. Lingkaran, empat penjuru, huruf-huruf kuno dalam jarak tertentu. Ia menata ulang susunan pipa-pipa kaca, menuju ke telur Venesia tadi, menetas dari peti pertama. Akhirnya ia berdiri menatap. Segalanya, rupanya, telah siap.
Apa sekarang" Mercy beringsut, punggung kaku, kaki kram. Ia meregangkan tubuh dan berdiri. Apa sekarang" Mercy menunggu dalam kegelapan, terpesona.
Claudius menyapu pandangan pada rangkaian peralatan sekali lagi, dan mengambil napas dalam-dalam, berulang kali. Wajahnya pucat sekali, dengan bercak-bercak kemerahan di pipinya. Bibirnya nyaris putih. Ia mengibaskan rambut dari wajahnya. Memutuskan sesuatu di dalam hati, ia berpaling dari meja dan menghilang lagi ke ruangan sebelah. Ia kembali membawa keranjang tertutup, di dalamnya terdapat makhluk bergerak dan mengeluarkan suara aneh seperti terisak.
Claudius meletakkan keranjang itu di meja dan mengucapkan kata-kata menenangkan kepada hewan di dalamnya. Kucing putih dan kuning menempelkan wajahnya dengan murung ke dinding keranjang rotan dan mengeong. Mercy mencengkeramkan kuku ke telapak tangannya dengan khawatir apa yang akan dilakukan Claudius" Kucing itu terus mengeong, berputar-putar dalam keranjang, ketika lelaki itu masuk ke ruangan sebelah untuk terakhir kali, kembali dengan membawa mainan binatang. Ia meletakkannya di ujung meja. Mercy mendekat, untuk melihat.
Tidak, itu bukan hewan yang diawetkan meski ilmu yang dipelajarinya memiliki hubungan. Claudius membuat replika kucing. Pekerjaan rekayasa yang rumit. Replika itu setengah tertutup kain hitam; wajah, tubuh, dan dua kakinya. Setengah lagi dibiarkan tak berkulit, menunjukkan konstruksinya yang cerdas terbuat dari kayu dan gading, kawat tembaga, kantong-kantong berisi sesuatu (mungkin serbuk gergaji) membentuk otot, dan mata yang tampak basah dari batu amber, seperti boneka binatang di dalam peti.
Mercy hampir tak bisa bernapas. Jantungnya berdebar, seakan berada di kerongkongannya.
Claudius meletakkan kucing di keranjang ke tengah-tengah lingkaran yang digambar di permukaan meja. Ia membuka salah satu buku barunya dan mengeluarkan secarik perkamen, cokelat dimakan usia dan penuh bercak bekas air. Ia melangkah mundur, berdiri tegak, dan mulai membaca keras-keras.
Mercy tak mengerti kata-kata yang diucapkannya maupun asal bahasanya. Tapi kata-kata itu seakan berputar sendiri menerpa rambutnya dan masuk ke otaknya. Kata-kata sakti. Kata-kata berkekuatan gaib, seperti Shem, ditulis di secarik kertas di bawah lidah golem. Bukankan Tuhan membentuk alam semesta dari kehampaan menggunakan kekuatan kata-kataNya"
Claudius terus membaca. Dunia di luar lenyap, ruang menyusut menjadi empat dinding, meja, kucing yang melolong di dalam keranjang. Lilin-lilin menyala jadi satu, dan padam, memenuhi ruangan dengan asap. Tetapi cahaya biru dingin memancar dari lingkaran yang digambar, menerangi ruangan. Peralatan di meja bergetar. Buku melayang di udara, halamannya berkibar-kibar. Mercy merasakan tulang-belulang di tubuhnya bergemeletuk. C
laudius masih terus membaca.
Kucing itu menjerit untuk terakhir kali, kemudian diam. Sinar biru memancar terang, dan bola cahaya yang sangat terang muncul dari dalam kerongkongan kucing tersebut, melalui lidahnya, ditangkap cerobong kaca yang kemudian membawa cahaya menyilaukan bagai cairan itu di sepanjang pipa, tampak enggan bergerak. Sentimeter demi sentimeter yang mantap cahaya biru itu bergerak, sampai terjatuh, seperti batu, ke dalam perut telur Venesia.
Di dinding, kupu-kupu yang tertempel di kotak mengepakkan sayap. Ikan pike di wadah kaca mengatupkan rahang, menggeliatkan tubuhnya yang panjang. Papan lantai mengerang, paku-paku tercabut. Claudius melemah sekarang. Ilmu sihir itu membuatnya terkuras. Darah mengalir dari lubang hidung sebelah kiri, menetes melalui bibirnya. Ambang jendela berderak, kemudian satu lagi. Cahaya terang itu berenang-renang di dalam wadah kaca, membentuk diri seperti kucing mungil.
Aliran kata-kata mencapai akhir. Seketika Claudius mencabut pipa kaca dan memasang sumbat kayu di lubang wadah kaca untuk mengurung roh si kucing. Wajah lelaki itu tampak gembira sekali. Ia mengusap darah di hidungnya, lebam berwarna ungu sekarang muncul di mata dan mulutnya. Apakah ia merasa sakit" Ia sama sekali tak menunjukkannya, melemparkan keranjang dan tubuh kucing mati ke lantai tanpa berpikir lagi. Cahaya biru yang berpendar itu mulai meredup, dan Claudius menyalakan kembali selusin lilin. Kupu-kupu masih berjengit. Ikan pike menggelepar sedikit, menunjukkan deretan gigi seperti jarum.
Claudius memindahkan replika kucing ke tengah-tengah lingkaran. Ia menata perkakasnya, mengganti pipa kaca dengan yang lain, diarahkan ke tenggorokan kucing kain itu. Ia membungkuk, menatap roh biru berkilauan di dalam wadah kaca; kucing mungil itu melompat, dan telentang sambil memukul-mukulkan cakar depan ke butiran debu tak kasat mata.
Roh bernyawa, Claudius berbisik. Orang-orang Mesir menyebutnya ka. Orang-orang Eskimo menyebutnya Inua. Jiwa abadi. Apakah kucing memiliki ka yang lebih kecil daripada manusia, kira-kira"
Lelaki itu bergerak dari sisi ke sisi, mengintip roh kucing di wadah kaca. Ia memeriksa tatanan pipa dan penyumbat sekali lagi lalu mengambil perkamen kedua dari buku tua tadi.
Mercy menguatkan diri, bersiap-siap menghadapi kata-kata yang akan merobek dan mengoyak. Ia menutup telinga dengan jemari. Claudius membuka jalan masuk ke pipa baru dan mulai bicara.
Kali ini kata-katanya lebih lembut, untuk membangkitkan kembali. Ketegangan di dalam ruangan kini berkurang. Kupu-kupu dan ikan di kotak sekarang tak bergerak, kehilangan setengah kehidupan. Kata-kata itu menyejukkan. Di luar, cahaya matahari memancar melalui jendela, membuat berbagai benda di dalam ruangan tampak keemasan. Jiwa kecil itu, dengan suara seperti desahan, disedot dari wadahnya melintasi pipa menuju tenggorokan kucing kain. Pendaran biru terakhir lenyap. Claudius meletakkan perkamen. Ruangan hening sekali.
Mercy mulai kembali bernapas dengan mudah. Claudius mengusap wajah dengan lengan baju putihnya, darah masih mengalir dari hidungnya. Ia tampak berantakan sekali, dengan lebam-lebam membiru. Sejumput rambut di dekat pelipis kirinya berubah menjadi putih.
Claudius mengalihkan perhatiannya kepada si kucing kain. Ia menutup lubang di tenggorokan kucing tersebut dengan secarik perkamen, dan menyumbatnya dengan menjahitkan sepotong kain.
Bangunlah, katanya. Bangunlah.
Kucing itu masih lemas hanya berupa tumpukan kayu, kain, dan serbuk gergaji. Claudius mengelus wajah si kucing. Mengguncangnya.
Bangunlah, ia berusaha lagi. Ia melangkah mundur. Ekspresi penuh harap dan gelisah bergumul di wajahnya. Kucing kain itu tidak bergerak. Semenit berlalu, kemudian semenit lagi. Ekor kucing kain itu berjengit. Mercy nyaris tak memercayai matanya. Claudius menatap. Ekor itu bergerak lagi. Kucing itu seperti bersin. Kaki-kakinya bergerak cepat tak beraturan. Ia mengangkat kepala, dan melihat sekeliling. Dengan gerakan mengantuk, ia berdiri, limbung dan miring. Ia terhuyung-huyung di atas keempat kakinya, kemudian melompat dari meja, terkapar
miring ketika menyentuh lantai. Kucing kain itu berdiri lagi, dan berkeliaran, dengan gerakan seperti mabuk, ke sekeliling ruangan. Namun, luar biasa, gerakannya sangat mirip kucing. Terbagi dua, setengah tertutup kain, setengah kerangka buatan dan tambalan yang terekspos, kucing itu tampak mengerikan.
Claudius mendongak dan tertawa. Ia juga tampak mengerikan, dengan wajah babak-belur dan lengan baju penuh darah. Ia menari-nari dan memukulkan tinju ke udara. Ia membiarkan kucing itu menjelajah dengan penuh rasa ingin tahu, dan bergegas masuk ke ruangan sebelah. Mercy mengikutinya.
Titisan Siluman Harimau 1 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Expected One 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama