Ceritasilat Novel Online

Dating With Dark 2

Dating With The Dark Karya Shanty Agatha Bagian 2


Andrea mencoba berkonsentrasi mengikuti pembicaraan tingkat tinggi itu, tetapi kemudian dia merasa dirinya sedang diawasi. Salah satu pengawal itu mengawasinya!
Andrea memberanikan diri untuk menatap ke arah pengawal Mr. Demiris, dan seketika dia terkesiap, untunglah dia berhasil menahan diri tepat pada waktunya.
Salah satu pengawal Mr. Demiris itu adalah penolong misteriusnya di malam itu.....
Andrea membelalakkan matanya mengamati lelaki itu, dan lelaki itu rupanya juga mengenali Andrea, seulas senyum muncul di bibirnya, dan dia mengedipkan matanya...mengedipkan matanya!
Sekarang di tempat terang Andrea bisa mengamati lelaki itu sepenuhnya, dan ternyata meskipun sama-sama berwajah dingin seperti pengawal yang lainnya, penolong misteriusnya tampak berbeda, dia begitu tampan dengan rambutnya yang dibiarkan menyentuh kerah, dan mata cokelatnya yang gelap. Wajahnya begitu klasik seperti lukisan dewa-dewa Yunani di masa dulu....
Lelaki itu tersenyum, menyadari sepenuhnya kalau Andrea mengamatinya dan mengagumi ketampanannya, dia menganggukkan kepalanya kepada Andrea dan tatapan matanya seperti sebuah janji. Andrea tiba-tiba teringat kalau mantel lelaki itu masih ada di rumahnya. Dalam hatinya dia berjanji kalau dia akan menanyakan nama lelaki itu nanti dan bagaimana cara menghubunginya, karena dia harus mengembalikan mantel lelaki itu.
Sambil melempar senyum gugup, Andrea membalas anggukan kepala lelaki itu, lalu mengalihkan pandangan, berusaha berkonsentrasi kepada pembahasan meeting yang sedang berlangsung itu. Tetapi kali ini rasanya luar biasa sulitnya, karena dia menyadari ada mata yang sedang mengawasinya tanpa malu-malu, mata penolong misteriusnya itu.
Meeting itu terasa begitu lama, hingga akhirnya Romeo menutup pembahasan. Mereka sudah menentukan langkah strategis untuk proyek berikutnya dan akan melaksanakan trial di lapangan dulu sebelum memutuskan sistem mana yang dianggap paling baik.
Romeo bersalaman dengan Mr. Demiris, lalu lelaki itu mengucapkan salam dan berpamitan kepada semuanya. Dan kemudian lelaki itu pergi diikuti oleh pengawal-pengawalnya.
Andrea panik. Dia harus mengejar penolong misteriusnya itu, tetapi saat ini Mr. Hendrick atasannya belum juga beranjak pergi, dia masih membahas beberapa masalah dengan Romeo, amat sangat tidak sopan kalau Andrea berdiri duluan. Tetapi kalau Andrea tidak segera pergi dia akan kehilangan jejak penolong misteriusnya itu.
Lama Andrea menunggu, tetapi Mr. Hendrick tidak juga beranjak berdiri. Akhirnya Andrea nekat,
"Mr. Hendrick." Jantungnya berdebar karena menyela percakapan atasannya dengan pemimpin tertinggi mereka. "Saya...eh...saya perlu ke belakang."
Mr. Hendrick menganggukkan kepalanya, sementara Andrea merasa Rom
eo mengawasinya dengan tatapan mata tajam.
"Oke Andrea, kau boleh sekalian kembali ke ruanganmu, terimakasih atas kehadiranmu."
Seketika itu juga, sambil berpamitan tergesa, Andrea pergi dan meninggalkan ruangan meeting itu, tentu saja dia tidak kembali ke ruangannya, melainkan menuju lift dan cepat-cepat menuju lobby, berharap rombongan Mr. Demiris belum pergi dari kantor itu.
Ketika sampai di lobby, dada Andrea langsung dipenuhi kekecewaan ketika menyadari suasana lobby yang lengang, rombongan Mr. Demiris sudah tidak ada.
"Mencari siapa Andrea"" Tina, resepsionis kantor yang ramah itu menyapanya. Kebetulan Andrea mengenal Tina karena mereka sering satu bus dalam perjalanan pulang.
Andrea menatap keluar kantor dengan gugup, "Apakah rombongan Mr. Demiris sudah pergi""
Tina menganggukkan kepalanya, "Mereka baru saja pergi." Senyumnya tampak takjub, "Aku bertanya-tanya apakah Mr. Demiris itu punya begitu banyak musuk sampai-sampai dia merasa perlu untuk membawa pengawal sebanyak itu."
Tina masih berkata-kata selanjutnya, tetapi Andrea sudah tidak mendengarkannya lagi, batinnya dipenuhi dengan kekecewaan...Rombongan Mr. Demiris sudah pergi...dan penolong misteriusnya juga sudah pergi. Andrea mungkin membutuhkan keajaiban untuk bisa bertemu dengan lelaki itu lagi...atau mungkinkah lelaki itu akan menghubunginya nanti" Toh dia sudah tahu kalau Andrea bekerja di kantor ini bukan" Andrea mencoba menghibur dirinya, tetapi tetap saja kesadaran bahwa begitu kecil kemungkinan untuk mengenal penolong misteriusnya membuatnya merasa kecewa. Setelah bergumam kepada Tina bahwa dia akan kembali ke ruangannya, Andrea berjalan lunglai ke arah lift.
"Kuharap kau kemari untuk mengejarku." Suara lelaki itu membuat Andrea hampir terlompat kaget. Dia memekik dan menolehkan kepalanya, dan langsung menatap penolong misteriusnya, entah sudah berapa lama lelaki itu berdiri di sana.
Lelaki itu sangat tinggi, seperti yang diingat oleh Andrea, dan lebih tampan ketika dilihat dari dekat. Tiba-tiba pipi Andrea memerah, dia tidak tahu sudah berapa lama lelaki itu berdiri di sana, pasti dia melihat kalau Andrea mengejarnya dengan panik tadi.
"Ya...aku...aku mencarimu, mantelmu..." napas Andrea tiba-tiba terengah entah kenapa, "Mantelmu masih ada di aku."
Lelaki itu terkekeh, kemudian mengulurkan tangannya.
"Betapa tidak sopannya aku karena tidak mengenalkan diri waktu itu, aku Chistoper Agnelli."
Itu nama Italia. Andrea pernah mendengar salah satu keluarga penting italia yang terkenal dengan nama itu. Apakah Christopher salah satu di antaranya, ataukah kesamaan nama itu hanyalah kebetulan saja"
"Andrea." Andrea membalas uluran tangan Christopher dan kemudian merasakan lelaki itu meremas jemarinya dengan lembut, baru kemudian melepaskannya.
"Sungguh perjumpaan yang tidak disangka, butuh waktu lama untuk meyakinkan diri bahwa kau adalah perempuan yang kutolong waktu itu. Bagaimana keadaanmu", kuharap perjalanan pulangmu waktu itu lancar." Christopher berbohong dengan lancarnya sementara matanya melahap keseluruhan diri Andrea dengan penuh minat. Untungnya dia berhasil menyembunyikan tatapannya itu dibalik ekspresi wajah datar dan tak terbaca.
"Iya...aku sungguh-sungguh tak menyangka." Andrea melepas senyumnya, tiba-tiba merasa takjub akan kebetulan itu, "Aku sangka aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."
Christopher membalas senyumnya dengan senyuman tipis dan tak terbaca, "Kurasa kita akan sering bertemu nantinya, Andrea." Lalu lelaki itu melirik jam tangannya, "Aku harus pergi."
"Eh"" Andrea menatap Christopher yang sudah setengah membalikkan tubuhnya dengan bingung, "Tapi...tapi aku tidak tahu cara menghubungimu, aku harus mengembalikan mantelmu."
Lelaki itu menatap Andrea dengan tatapan misterius, "Aku yang akan menghubungimu nanti."
"Tapi aku belum memberimu nomor kontakku""
Wajah lelaki itu sebelum membalikkan tubuhnya tampak penuh rahasia,
"Tenang saja, aku punya banyak koneksi. Sementara itu, usahakan jangan lagi menunggu kendaraan umum sendirian malam-malam."
Dan kemudian lelaki itu melangkah pergi keluar lobby, masuk
ke dalam mobil hitam legam yang sudah menunggunya di sana.
Sementara itu Andrea masih berdiri di sana, menatap hingga mobil itu hilang dari pandangan.
*** "Jadi kau ditolong oleh salah satu pengawal Mr. Demiris" Sungguh kebetulan yang menyenangkan. Apakah dia tampan"" Sharon langsung bertanya sambil mengunyah kentang gorengnya. Mereka memutuskan untun menonton film sepulang kerja tadi karena Sharon ingin mendengarkan seluruh cerita tentang Romeo yang tampan, tetapi kemudian Andrea mengalihkan pembicaraannya dan mulai membahas tentang Christopher Agnelli.
"Dia sangat tampan, dan menyimpan aura misterius." Andrea menghela napas panjang, "Aku bersyukur lelaki itu kebetulan berada di sana waktu itu. Gerombolan berandal itu, sangat menakutkan, bahkan pemimpinnya sempat mencengkeram pergelangan tanganku dengan kasar, menimbulkan memar sesudahnya." Andrea menunjukkan bekas memar yang sudah memudar itu.
Sharon ikut begidik membayangkan apa yang dialami oleh Andrea, "Besok-besok kalau kau sedang lembur pulang malam, telepon aku, dengan senang hati aku akan menemanimu, toh tidak ada yang bisa kulakukan di apartemenku sendirian."
Sharon memang tinggal sendirian di kota ini, dalam sebuah apartemen, dia sepertinya kesepian karena katanya kedua orangtua dan seluruh keluarganya berada jauh di luar pulau, Andrea sendiri adalah sahabatnya yang paling dekat, dan karena Andrea juga sebatang kara di dunia ini, mereka sering melewatkan waktu bersama-sama.
"Yah, dan aku belum mengembalikan mantelnya, tetapi dia bilang akan menghubungiku nanti." Andrea melamun, mengingat adegannya tadi siang dengan Christopher, sang penolong misteriusnya.
Sharon langsung terkekeh, "Jangan-jangan mantel itu dijadikannya alasan untuk mengubungimu dan mengenalmu lebih dekat."
Andrea menggelengkan kepalanya, "Itu tidak mungkin. Lagipula lelaki seperti dia tidak akan melirikku."
"Kau terlalu memandang rendah dirimu sendiri, kau itu cantik Andrea, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."
"Tetapi sepertinya tidak ada minat lebih darinya untukku, kurasa dia hanya menginginkan mantelnya kembali." Andrea menghela napas panjang, "Lagipula aku tidak tertarik dengan lelaki manapun setelah kejadian dengan Eric."
Sharon langsung menatap prihatin akan wajah Andrea yang muram, dia ikut menghela napas panjang,
"Aku ikut menyesal tentang Eric, tetapi lelaki seperti dia yang membuangmu begitu saja tanpa penjelasan tidak pantas dipikirkan, Andrea, kau hanya akan membuang-buang waktumu."
Andrea menganggukkan kepalanya, "Aku mencoba kuat, tetapi sepertinya tidak semudah itu." Mata Andrea tampak sedih ketika kesakitan yang ditahankannya itu seolah menekan dadanya, "Tetapi aku akan berusaha. Apa yang dilakukan Eric kepadaku sangat kejam. Dan dia memang tidak layak untuk dipikirkan."
Bicara memang mudah. Andrea membatin dalam hatinya. Tetapi jauh di dalam jiwanya, masih menangis pedih. Pedih karena Eric menghancurkan hatinya begitu saja setelah melambungkannya sedemikian tingginya."
*** Andrea pulang ke rumah mungilnya dan langsung melangkah menuju dapur. Dia menatap mantel hitam milik Christopher yang tergantung rapi di sana, dekat mesin cuci, tadi dia sudah menitip untuk mengirimkan mantel itu ke laundry kepada tukang bersih-bersih rumahnya yang datang berkunjung secara rutin seminggu sekali.
Rupanya mantel itu sudah selesai dilaundry dan sekarang tergantung dengan manis di sana. Andrea mendekatinya dan entah kenapa dia tidak bisa menahan diri untuk menelusurkan jarinya ke mantel itu.
Sayangnya proses laundry telah menghilangkan aroma kayu-kayuan dan musk yang melingkupi mantel itu. Berganti dengan aroma pengharum pakaian dengan nuansa bunga-bungaan.
Lalu seperti sudah diatur waktunya, ponsel Andrea berbunyi, dia mengernyit ketika mendapati nomor asing di sana. Andrea biasanya tidak pernah mengangkat nomor asing yang meneleponnya, tetapi dia mengingat kalau Christopher mengatakan akan menghubunginya. Andrea tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, dia masih patah hati karena perlakukan Eric kepadanya, tetapi Christopher bagaimanapun juga seperti menebar
kan aura magnet yang memaksa pikiran Andrea tertuju kepadanya. Apakah itu memang karena Andrea tertarik kepada Christopher sejak lelaki itu menyelamatkannya, ataukah hanya karena pelariannya akan sakit hatinya kepada Eric, Andrea tidak tahu.
Dengan penuh antisipasi Andrea mengangkat ponselnya, "Halo""
"Andrea"" itu suara Eric, "Maafkan aku. Aku harap kau masih mau bertemu denganku, aku ingin menjelaskan semuanya."
Jemari Andrea yang memegang ponselnya gemetaran.
Eric!Kenapa Eric menghubunginya lagi"
Dating With The Dark Bab 5
"Andrea"" Eric bertanya pelan ketika Andrea tak juga menjawab, menyadarkan Andrea dari keterkejutannya. Dia bahkan sempat menjauhkan teleponnya dari telinganya, menatapnya dengan tidak percaya. Masih diingatnya jelas kata-kata kejam Eric ketika memutuskan telepon waktu itu, bahwa Eric tidak akan kembali dan bahwa dia tidak ingin Andrea menghubunginya lagi. Tetapi kenapa sekarang, lelaki itu berubah pikiran lagi dengan begitu cepat"
Jauh di dasar hatinya Andrea ingin memberikan kesempatan kepada lelaki itu, lelaki yang sempat dia pikir bisa membuatnya membuka hatinya, berbagi perasaan dalam kisah yang romantis. Tetapi perlakuan Eric kepadanya kemudian, yang dengan entengnya menyuruh Andrea menjauh, membuat Andrea ketakutan, ragu untuk memberi kesempatan.
Bagaimana jika nanti ketika Andrea memberi kesempatan, pada suatu waktu lelaki itu tiba-tiba berubah sikap tak jelas lagi dan menyuruh Andrea menjauh" Akan dihancurkan bagaimana lagi hati Andrea"
"Kenapa kau menghubungiku lagi Eric"" Suara Andrea bergetar ketika berusaha berkata-kata, "Bukankah kau sendiri yang bilang supaya aku tidak menghubungimu"" Kepahitan terdengar jelas di sana, manifestasi rasa sakit Andrea karena perlakuan Eric kepadanya.
Tentu saja Eric bisa membaca kepahitan di suara Andrea, dia menghela napas panjang,
"Maafkan aku...waktu itu aku kalut, aku benar-benar terhempas ketika menyadari bahwa kau..."Suara Eric terhenti mendadak, seperti mobil yang direm tiba-tiba hingga menimbulkan suara berdecit keras. Membuat Andrea mengerutkan keningnya,
"Ketika menyadari bahwa aku apa, Eric""
Hening. Sepertinya Eric kehabisan kata-kata di seberang sana. Lelaki itu mendesah,
"Bukan...aku salah bicara. Mengertilah Andrea, aku hanya sedang kalut waktu itu...aku aku putus asa...tetapi sekarang setelah aku menelaah semuanya, aku sadar bahwa yang kuinginkan hanya satu, aku ingin bersama denganmu."
Putus asa" Andrea mengerutkan keningnya, kenapa Eric terus-terusan bersikap misterius seperti ini" Entah firasat Andrea benar atau tidak, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan lelaki ini.
"Andrea...apakah kau mau memberiku kesempatan lagi" Setidaknya untuk menjelaskan"" Eric bergumam ketika tidak ada tanggapan dari Andrea.
Andrea merenung, lama, kemudian dia menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu Eric, akan kupikirkan nanti." Lalu Andrea memutus teleponnya tanpa menanti jawaban dari Eric, dan tiba-tiba merasa bersalah karena ada sebuah kepuasan kecil karena telah sedikit membalas sikap kasar yang dilakukan Eric ketika menutup teleponnya waktu itu.
Hanya jeda sedetik setelah Andrea memutus telepon, telepon itu berbunyi lagi. Andrea bahkan tidak melihat nomornya, dia langsung menjawabnya dengan jengkel.
"Sudah kubilang aku akan memikirkannya dulu! Jangan paksa aku memberikan jawaban sekarang..."
Hening sejenak, lalu suara itu terdengar.
"Andrea"" Ada nada geli dari suara di seberang itu.
Andrea terperangah, mengenali suara yang dalam dan maskulin itu, dia menarik ponselnya dari telinga, dan melihat nomor yang berbeda di sana.
"Oh...maafkan aku...aku kira kau orang lain." Jawab Andrea kemudian dengan rasa malu.
Christopher terkekeh di seberang sana, "Siapa" Mantan pacar yang ingin kembali"" tebaknya, masih dengan nada geli yang terselip di sana.
Pipi Andrea merah padam mendengar tebakan Christopher yang hampir tepat itu, dia berdehem untuk membuat suaranya terdengar meyakinkan.
"Itu bukan masalah." Dia mengelak, "Mantelmu sudah selesai di laundry."
"Terima kasih." Lelaki itu menjawab cepat dengan sopan.
Andrea mengerut kan keningnya gugup, bingung harus berkata apa, "Apakah...apakah kau ingin aku mengantarkannya" Atau kau akan mengambilnya""
"Aku akan mengambilnya." jawab lelaki itu tenang.
Tiba-tiba Andrea merasa curiga, "Kau sudah tahu alamat rumahku, ya." Lelaki itu bisa mengetahui nomor ponselnya tanpa dia memberitahunya, tidak menutup kemungkinan Christopher juga sudah tahu alamat rumahnya.
Christopher terkekeh, "Sudah kubilang aku punya banyak koneksi."
Andrea mau tak mau tersenyum mendengar nada pongah dalam suara lelaki itu. Ini adalah jenis lelaki yang selalu mendapatkan apa yang dia mau. Andrea harus berhati-hati, Christopher Agnelli terlalu mempesona, dan Andrea tidak mau dengan mudahnya jatuh ke dalam pesona laki-laki, tanpa tahu apa yang dihadapinya. Sudah cukup dia bertindak bodoh dengan terlalu berharap kepada Eric kemarin. Andrea tidak akan mengulanginya lagi, karena bahkan keledai yang selalu dipandang sebagai mahluk yang dungu pun, tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
"Jadi bagaimana caraku mengembalikan mantel ini"" tanya Andrea kemudian.
Christopher tampak berpikir, "Aku tidak akan berkunjung ke rumahmu. Itu mungkin akan terasa tidak nyaman bagimu karena aku tahu kau perempuan yang tinggal sendirian, dan kau tidak terlalu mengenalku. Bagaimana kalau kita makan malam bersama"" Lelaki itu menyebut nama sebuah restoran mewah di pinggiran kota.
Andrea tercenung, meragu, apakah ini ajakan kencan" Ataukah hanya perlakukan sopan biasa" Apa yang harus dia lakukan"
"Hanya makan malam formal untuk menghormati pertemanan kita." Christopher bergumam di sana, seolah mengerti keraguan Andrea, "Kuharap kau mau menerima undanganku. Anggap saja itu sebagai uang sewa mantelku."
Candaan lelaki itu berhasil membuat Andrea tersenyum, "Baiklah, aku mau." Mungkin ini memang kesempatan Andrea untuk bersantai dan berusaha melupakan Eric.
"Besok, kujemput jam tujuh malam. Terima kasih Andrea." Dengan sopan Christopher menutup teleponnya.
*** Andrea sedang mengerjakan koreksian untuk klausul kontrak penting ketika dia melihat dari ujung matanya bahwa Romeo menghampirinya,
"Sibuk Andrea"" lelaki itu menyapa santai.
Andrea mendongakkan kepalanya, dan mendesah dalam hati. Meskipun sudah melihat Romeo berkali-kali, tetap saja dia terkesiap ketika menatap langsung ke mata biru yang indah itu. Lelaki ini terlalu tampan dan berbahaya, mahluk seperti ini seharusnya tidak dibiarkan berkeliaran dan memangsa gadis-gadis yang tidak berdaya.
"Saya mengerjakan pekerjaan seperti biasa." Andrea mengernyitkan kening ketika menyadari bahwa Romeo seperti ingin menanyakan sesuatu, "Ada yang bisa saya bantu"" tanyanya.
Romeo menganggukkan kepalanya, "Setiap melihatmu, aku selalu berpikir kau sangat mirip seseorang...tetapi aku belum bisa menemukan kau mirip siapa."
"Mungkin hanya kemiripan biasa, katanya di seluruh dunia ini kita punya sembilan kembaran dengan wajah yang sama." Andrea tersenyum, mengamati Romeo yang tampak sangat penasaran.
Romeo menghela napas panjang, "Betul juga. Tetapi tetap saja mengganjal di benakku." Dia mengerutkan keningnya, "Aku akan mencari tahu nanti."
Lalu lelaki itu menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi sementara Andrea hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap punggung Romeo yang berlalu.
*** "Sungguh aku iri padamu." Sharon mengacung-acungkan sosis goreng yang di pegangnya ke arah Andrea, "Kau di sapa oleh Mr. Romeo, kau diajak makan malam oleh lelaki tampan yang menyelamatkanmu, hmmmm &seakan Tuhan menyediakan banyak penyembuh dari patah hatimu." Sharon mengerutkan keningnya, "Aku bahkan belum punya pengganti dari patah hati terakhirku, sudah satu tahun sejak aku putus dengan pacar terakhirku dan bahkan tidak ada satu lelakipun yang mendekatiku."
Andrea terkekeh," Romeo menyapaku bukan karena tertarik padaku, tapi karena dia merasa aku mirip dengan seseorang tetapi dia tidak bisa mengingatnya, dia terus-terusan mengatakan itu kepadaku."
"Wah." Sharon mengangkat alisnya, "Sepertinya dia penasaran."
"Ya dia bilang itu mengganjal benaknya dan dia akan mencari tahu." Andrea ber
topang dagu, "Menurutmu aku mirip salah satu orang yang dikenalnya""
"Aku dulu menebak kau mirip mantan pacarnya, tapi setelah dipikir-pikir, Romeo Marcus memang berganti pacar seperti berganti dasi, tidak ada yang membekas di benaknya, jadi seharusnya dia tidak merasa ada yang mengganjal di hatinya ketika dia tidak bisa mengingat siapa orang yang mirip denganmu." Sharon memasukkan sosis goreng ke mulutnya dan mengunyahnya dengan bersemangat, "Mungkin kau mirip salah satu keluarganya, mungkin neneknya, atau bibinya."
"Neneknya"" Andra membelalakkan matanya, menatap Sharon pura-pura tersinggung, membuat Sharon tertawa terkikik.
*** Mereka berjalan menyusuri pertokoan itu, Andrea dan Sharon memutuskan untuk ke pusat perbelanjaan dan membeli sebuah gaun. Karena Andrea tidak punya gaun untuk makan malamnya dengan Christopher nanti malam. Gaun terbagusnya menyimpan kenangan tidak menyenangkan, karena gaun itulah yang Andrea pakai untuk makan malam bersama Eric, makan malam pertama yang menyenangkan, yang membuat Andrea terpesona kepada Eric. Andrea tidak mau mengenakan gaun itu lagi, dan kemudian terkungkung dalam kesedihan dan kekecewaan.
Sharon mengusulkan agar mereka mampir ke pusat perbelanjaan sepulang kerja, untuk memilih gaun yang sederhana tetapi elegan, dan Andrea menyetujuinya, mengingat selain gaun satu-satunya yang tidak mau di pakainya itu, di lemarinya hanya ada kemeja formal untuk bekerja dan rok kantoran, serta berbagai macam t-shirt santai dan celana jeans.
"Bagaimana kalau gaun kuning itu"" Sharon menunjuk ke arah gaun berwarna kuning cerah yang dipajang di etalase.
Andrea melirik dan mengerutkan keningnya, "Entahlah, itu tampak terlalu cerah untuk dipakai makan malam...dan warnanya kurasa mengingatkanku pada tweety." Tweety adalah tokoh kartun berupa burung kecil berwarna kuning cerah.
Sharon tertawa, "Seharusnya kau lebih berani, pilihlah warna-warna cerah dan lupakan warna-warna gelap yang penakut itu." Matanya menoleh ke barisan gaun-gaun di etalase, kemudian dia menunjuk lagi, "Yang itu""
Kali ini pilihan Sharon tidak salah, mata Andrea membelalak terpesona pada gaun itu. Sebuah gaun sederhana, satu potongan, dengan kerah berbentuk V dan aksen lipatan sederhana tapi elegan yang membungkus bagian dadanya. Bagian bawahnya melebar dan jatuh dengan indahnya sampai ke mata kaki, warna gaun itu lebih tepat disebut dengan warna magenta...tampak amat sangat indah tergantung di sana.
"Mudah-mudahan harganya tidak mahal." Andrea melirik jam tangannya, sudah jam setengah enam sore. Andrea berharap harga gaun itu cocok dan dia bisa membelinya lalu pulang untuk bersiap-siap. Christopher bilang akan menjemputnya jam tujuh malam.
"Ayo kita tanyakan." Sharon mendahului Andrea memasuki butik itu.
Ternyata Andrea beruntung, gaun itu didiskon dengan harga yang cukup bagi dompetnya. Andrea mencoba gaun itu dan terpana melihat betapa cocoknya gaun itu dengan dirinya. Kulit Andrea yang indah dengan warna zaitun keemasan tampak berpadu dengan warna gaun itu.
Sharon bahkan menatap Andrea dengan tatapan kagum dan penuh pujian.
"Siapapun yang makan malam denganmu, dia akan tergila-gila, kau sangat cantik Andrea."
Pipi Andrea memerah, "Ini hanya makan malam formal, aku tidak bermaksud membuat siapapun tergila-gila."
Sharon terkekeh, "Yah siapa tahu, kadang kita tidak pernah menduga hati kita akan terkait kepada siapa bukan" Kuharap Eric melihat penampilanmu saat ini, dia akan menyesal pastinya."
Eric. Hati Andrea terasa pedih ketika nama itu disebut, lelaki itu belum menghubunginya lagi, mungkin dia sedang memberi waktu Andrea untuk berpikir. Tetapi Andrea masih merasa sakit hati untuk memikirkan akan bertemu dengan Eric lagi, dia menggelengkan kepalanya untuk membuang pikiran tentang Eric di benaknya, kemudian menghela napas panjang,
"Ayo kita bayar gaun ini." Gumamnya penuh semangat, menatap dirinya sendiri di cermin.
*** "Ini jas anda tuan." Richard, pelayan pribadi Christopher yang berwajah datar menghamparkan jas Christopher di ranjang.
Christopher yang baru keluar dari kamar mandi menganggukkan kepal
anya, lelaki itu sudah memakai celana jas dan kemeja warna hitam. Penampilannya luar biasa bahkan sebelum dia mengenakan setelan jas-nya.
Richard mengamati Christopher dan bergumam, "Saya harap malam ini sukses."
Christopher tersenyum miris, "Aku harap juga begitu."
Nona Andrea pasti akan terpesona kepada majikannya ini. Richard tidak sabar menunggu waktu dimana Christopher akan mengambil nona Andrea, dia berpikir bahwa majikannya ini sudah menunggu terlalu lama.
"Apakah anda akan mengambilnya sekarang""
Christopher yang sedang mengancingkan manset kemejanya dan meraih jasnya menoleh dan menatap Richard sambil mengangkat alisnya,
"Apa maksudmu""
Richard berdehem, "Nona Andrea."
Mata Christopher berkilat, "Aku akan mengambilnya saat dirasa sudah perlu, Richard."
"Saya takut anda akan terlambat." Gumam Richard hati-hati.
Christopher terkekeh dan menggelengkan kepalanya, "Aku tidak akan terlambat, percayalah Richard, aku tidak akan lengah sedikitpun."
Kemudian lelaki itu melangkah keluar, meninggalkan Richard yang menatap punggung majikannya itu berlalu. Richard merasa cemas. Sangat cemas, karena ini menyangkut Andrea, perempuan satu-satunya yang membuat majikannya gagal melaksanakan tugasnya. Andrea benar-benar membuat Christopher mempertaruhkan reputasinya. Dan menurut Richard, Christopher harus segera mengambil Andrea sebelum terlambat.
*** Hampir jam tujuh malam ketika Andrea memasang gelang emas dengan hiasan kristal itu di pergelangan tangannya. Gelang itu ada di kotak perhiasannya dan Andrea tidak ingat kapan dia membelinya, gelang itu ada begitu saja di sana, hingga Andrea berpikir itu adalah salah satu benda warisan peninggalan ibunya yang telah meninggal yang disimpan ayahnya.
Andrea menatap dirinya sendiri di cermin dan menghela napas panjang. Tiba-tiba dia merasa sangat gugup. Aura Christopher mampu membuatnya begitu gugup dan salah tingkah, bahkan hanya dengan membayangkannya.
Christopher lelaki yang berbahaya tentu saja, Andrea mengerutkan keningnya, menyadari bahwa lelaki itu bekerja sebagai pengawal Mr. Demiris yang banyak musuhnya. Tentu saja pekerjaan Christopher juga berbahaya.
Dia pasti pandai berkelahi. Andrea menarik kesimpulan. Teringat akan sikap kejam Christopher ketika mengancam gerombolan berandalan yang mengganggu Andrea waktu itu. Kalau saja waktu itu pemimpin gerombolan dan seluruh anggotanya itu memutuskan untuk menantang, mungkin Christopher akan mampu menghadapi mereka semua seorang diri.
Lelaki itu bukan lelaki yang biasa-biasa saja seperti lelaki impiannya. Andrea menginginkan kisah romantis yang biasa-biasa saja, dengan lelaki biasa, pekerja kantoran seperti dirinya. Lalu mereka akan menikah dan hidup berumah tangga seperti orang kebanyakan. Sesederhana itulah mimpi Andrea.
Suara bel di pintu mengalihkan lamunan Andrea tentang Christopher, dia menghela napas panjang sekali lagi untuk menenangkan dirinya, lalu melangkah ke arah pintu, mengintip dari lubang intip di atas pintunya dan membuka pintu itu ketika melihat bahwa Christopherlah yang berdiri di sana.
Christopher berdiri di sana dengan setelan jas malam yang sangat maskulin, dengan rambut yang disisir rapi ke belakang, penampilannya malam ini luar biasa. Membuat Andrea terpana.
Sementara itu, Christopher sendiri tampak kagum akan penampilan Andrea,
"Cantik." Bisiknya serak, penuh rahasia. Lelaki itu lalu mengedikkan bahunya ke arah mobil hitam yang sudah menunggu di tepi jalan, "Mari kita berangkat."
"Tunggu sebentar." Andrea berbalik dan mengambil mantel Christopher yang sudah disiapkannya, lelaki itu tidak berkata apa-apa, hanya menerimanya sambil mengangkat alis, lalu mengehelanya menuju ke mobil.
*** Restoran itu sangat indah dan bergaya, membuat Andrea merenung, mau tak mau pikirannya melayang kepada Eric, waktu mereka makan malam dulu, Eric juga membawanya ke sebuah restoran yang indah. Andrea tidak menyangka bahwa hanya dalam beberapa waktu, ada dua lelaki menawan yang mengajaknya makan malam. Meskipun lelaki yang satu sudah menyakiti hatinya, dan lelaki yang ini terlalu berbahaya untuk diharapkan.
"Apakah kau senang dengan suasananya"" Christopher yang duduk di depan Andrea tersenyum samar, mereka memesan makanan pembuka dan duduk menunggu, alunan biola terdengar samar-samar dari sudut, menambah syahdunya suasana.
"Senang sekali. Terima kasih." Andrea menatap mata gelap Christopher dan tiba-tiba merasa tenggelam di dalamnya. Ada sesuatu di sana, sebuah pesan yang tak tersampaikan, seolah-olah menunggu Andrea menyadarinya.
Makan malam benar-benar berlangsung formal seperti yang dikatakan oleh Christopher. Lelaki itu lebih banyak diam hanya mengatakan hal-hal penting, dan kemudian menikmati makanannya. Andrea sendiri tidak keberatan, suasana restoran ini begitu indahnya dan dia senang memandang sekeliling sambil menikmati alunan musik yang indah.
"Apakah kau memiliki orang istimewa sekarang ini""
Christopher bertanya tiba-tiba membuat Andrea yang sedang menyuapkan makanannya tertegun.
"Orang istimewa"" Andrea bergumam seperti orang bodoh meskipun dia tahu persis apa maksudChristopher.
Lelaki itu tersenyum, ada sedikit sinar di matanya,
"Ya, Orang istimewa, kau tahu, semacam kekasih atau calon suami mungkin""
Andrea tertawa, "Mungkin dalam beberapa waktu yang lalu, tetapi tidak untuk saat ini."
"Maksudmu""
Mata Andrea tampak sedih, dia menimbang-nimbang, ragu apakah harus berbagi kepada lelaki yang satu ini, bagaimanapun juga dia tidak terlalu mengenal Christopher bukan"
"Aku hanya sedang patah hati." Akhirnya Andrea bergumam, dengan makna tersirat, tidak mau menjelaskan lebih.
Christopher sepertinya mengerti, lelaki itu tidak mengejar lagi,
"Dia pria yang bodoh." Gumamnya tenang, lalu menyesap anggurnya.
Andrea hanya menganggukkan kepalanya samar, mencoba menghindari pembicaraan tentang Eric di meja ini. Tetapi kemudian tanpa sengaja matanya menatap ke arah cincin emas polos yang mencolok di jari manis Christopher. Entah kenapa dia melewatkannya, padahal cincin itu sangat mencolok melingkari jemari Christopher yang begitu maskulin.
Dan entah kenapa pemikiran bahwa cincin itu berarti Christopher sudah termiliki oleh seseorang membuatnya sedikit merasakan perasaan sesak di dadanya,
"Apakah...apakah kau sudah menikah"" Andrea akhirnya menyuarakan pertanyaan di benaknya, matanya melirik sekilas lagi ke arah cincin di jemari Christopher.
Christopher mengikuti arah pandangan Andrea ke cincinnya dan tersenyum miris,
"Maksudmu cincin ini"" Christopher menatap Andrea dalam-dalam, "Dulu aku pernah menikah."
'Dulu' dan 'pernah'. Andrea mencatat dalam hati. Apakah itu berarti dia sudah tidak menikah lagi sekarang, mungkin sudah bercerai...atau isterinya meninggal dunia"
Christopher sepertinya melihat rasa penasaran di mata Andrea, dia terkekeh,
"Aku tidak mau membahasnya di sini, sama seperti kau yang tidak mau membahas tentang patah hatimu." Gumamnya tenang, "Yang pasti aku bisa menjamin bahwa tidak akan ada yang terlukai atau patah hati ataupun pelanggaran aturan ketika aku makan malam denganmu saat ini."
Mungkin isterinya meninggal dunia, dan lelaki ini masih sangat mencintainya. Jadi untuk mengenangnya dia masih mengenakan cincin pernikahan itu.
Andrea merasa kagum, kalau benar itu yang terjadi, Andrea benar-benar kagum akan cinta Christopher yang ditujukan kepada isterinya itu.
"Dia pasti perempuan yang beruntung." Andrea bergumam pelan tersenyum ketika Christopher membalas senyumannya,
"Yah begitulah." Mata Christopher meredup, "Dulu aku juga lelaki yang beruntung."
'Dulu'. Sekali lagi Andrea mencatat pemilihan kata yang menunjukkan waktu masa lampau itu dalam kalimat Christopher.
Lelaki ini adalah lelaki yang masih mencintai sosok yang telah tiada, masih berjuang mengobati hati, gumamnya menarik kesimpulan. Well, mungkin makan malam mereka berdua bisa menjadi selingan pengobat hati bagi mereka. Andrea tak menampik, dia sangat menikmati makan malam ini. Dan dia sangat bersyukur bahwa dia menerima ajakan makan malam dari Christopher.
*** "Terima kasih atas makan malam yang sangat menyenangkan." Andrea bergumam penuh rasa terima kasih yang tulus ketika lelaki itu mengantarkannya sampai
ke teras rumahnya. Christopher hanya menganggukkan kepalanya tanpa berkata. Matanya menatap dalam, membuat Andrea merasa gugup.
"Kalau begitu ..aku masuk dulu." Andrea membalikkan tubuhnya setelah menganggukkan kepala salah tingkah.
"Andrea." Christopher tiba-tiba memanggilnya, jemarinya yang kuat memegang pergelangan tangan Andrea dan sedikit menariknya, membuat Andrea menolehkan kepalanya,
"Apa..." Suara Andrea terhenti ketika Christopher tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan menariknya ke dalam pelukannya. Sebelah jemari Christopher yang bebas menarik kepala Andrea sehingga tertengadah, dan seketika itu juga, bibirnya melumat bibir Andrea dengan penuh gairah.
Andrea terkesiap, tak percaya akan diperlakukan seintim itu. Ini benar-benar hal yang tidak diduganya...apalagi Christopher bersikap begitu formal dan sopan sepanjang acara makan malam mereka.
Bibir Christopher terasa keras sekaligus hangat, melumerkan bibinya, Andrea merasakan gelenyar kecil yang menjalarinya setiap Christopher mencecap bibirnya dan menikmatinya. Salah satu lengan Andrea masih ada di dalam genggaman Christopher, lengan itu sekarang lunglai tak berdaya, pasrah dalam pesona gairah Christopher.
Kemudian lidah lelaki itu tiba-tiba menelusup dengan berani memasuki mulut Andrea, mencicipinya pelan-pelan, tetapi kemudian menelusuri seluruh mulutnya tanpa ampun, seakan lelaki itu benar-benar ingin menikmati setiap rasa bibir dan mulut Andrea.
Ciuman itu luar biasa intimnya karena mereka melakukannya dengan mulut terbuka. Dan Andrea...sejauh yang bisa diingatnya, dia tidak pernah merasakan sedekat ini dengan lelaki manapun sebelumnya, tetapi entah kenapa, dalam pelukan dan lumatan Christopher, dia merasa...pas. Rasanya seperti pulang ke rumah, rumah yang sudah lama tak pernah dikunjunginya, tetapi selalu dirindukannya, jauh di dalam hatinya.
Lama kemudian, Christopher melepaskan ciumannya, tatapannya berkilat penuh gairah, berapi-api melahap seluruh diri Andrea,
"Aku merasakannya sejak aku melihatmu." Bisiknya dengan suara serak. "Gairah yang meluap dan tak terhankan, membuatku lupa diri." Matanya menelusuri bibir Andrea yang terasa panas akibat ciumannya yang membara, jemarinya menelusuri lengan Andrea dengan sensual. "Aku menginginkanmu Andrea, dan aku akan memilikimu."
Sejenak Andrea terpaku. Klaim dominan lelaki itu yang diucapkan dengan begitu angkuh, bagaikan air es yang mengguyur kepalanya. Lelaki ini sepertinya hanya menganggapnya sebagai piala. Dia hanya terlarik kepada Andrea secara fisik, tanpa hati. Seharusnya Andrea menyadarinya sejak awal! Hanya itulah yang diincar oleh sebagaian besar laki-laki!
Dengan tatapan marah, Andrea membalas tatapan Christopher, mendongakkan dagunya tak kalah angkuh dan bergumam keras kepala.
"Kau tidak akan mendapatkanku Christopher kalau memang hanya kebutuhan fisik yang kau inginkan. Aku bukan perempuan murahan!" Seolah ingin melampiaskan kemarahannya, Andrea mengusap bibirnya bekas ciuman Christopher dengan punggung tangannya. Lalu dia membalikkan badannya dan masuk ke rumah, menutup pintunya dengan kasar, tepat di depan wajah Christopher.
Suara yang kemudian didengarnya, adalah suara tawa tertahan Christopher yang makin menjauh. Sialan! Lelaki itu menertawakannya! Apakah dia menganggap ketersinggungan Andrea atas sikap arogannya sebagai lelucon"
*** "Kenapa kau tidak mau menceritakan tentang kencanmu"" Sharon terus menerus berusaha membujuk Andrea untuk menceritakan kencannya dengan Christopher semalam. Tetapi Andrea menolak untuk bersuara, bayangan akan ciuman Christopher dan kemudian klaim angkuh lelaki itu sesudahnya terasa sangat mengganggunya. Dia ingin melupakan semua itu, sungguh.
Tetapi semalam dia tidur dengan tubuh terasa panas, setiap teringat akan ciuman Christopher...bagaimana lelaki itu melumat bibirnya, bagaimana lidahnya...
Astaga. Andrea mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Sepertinya dia telah berubah menjadi perempuan mesum, hanya dengan satu kali ciuman.
Lelaki itu benar-benar berbahaya, Andrea seharusnya sudah tahu dari awal, dan dia bermain api karena mencoba. Tetapi
itu semua karena Christopher menyebarkan daya tarik yang tidak bisa Andrea tolak, membuat Andrea seperti ngengat yang tertarik pada cahaya lilin, dan kemudian tanpa sadar membakar dirinya sendiri sampai hangus.
"Andrea." Sharon mulai merajuk, "Ayolah, cerita padaku, kau tahu bukan aku sangat penasaran. Apakah kencannya sukses" Apakah dia merayumu""
Andrea menghela napas panjang, menyerah untuk memberikan jawabannya kepada Sharon.
"Kencannya menyenangkan, kami makan malam di sebuah restoran mewah...makanannya enak. Kemudian ketika dia mengantarkanku pulang, dia menciumku setelah kami mengucapkan selamat tinggal di teras."
"Dia menciummu"" Sharon berteriak begitu kencang, hingga beberapa orang yang berada di ruangan itu menoleh, membuat pipi Andrea memerah karena malu.
"Jangan keras-keras." Andrea berbisik malu, "Ya dia menciumku."
"Berarti dia memang merayumu!" Ada kilat aneh di mata Sharon, tetapi kemudian ekspresi Sharon berubah girang, "Wow Andrea kau sangat beruntung, dari ceritamu, Christopher sangat tampan dan dia menciummu! Itu berarti dia mungkin punya perasaan lebih kepadamu."
Andrea menggelengkan kepalanya, berusaha memadamkan antusiasme Sharon.
"Tidak. Dia mungkin menyukaiku, tetapi bukan menyangkut perasaan. Dia hanya menyukaiku secara seksual, hanya fisik belaka."
Sharon menatap Andrea seolah Andrea aneh, "Bukankah itu bagus" Banyak pasangan bahagia yang dimulai dari ketertarikan fisik."
"Tetapi dia arogan, dia bilang dia menginginkanku, dan dia akan memilikiku." Sela Andrea berusaha menjelaskan kemarahannya kepada Christopher.
"Wow." Reaksi Sharon benar-benar di luar harapannya, "Luar biasa, benar-benar lelaki impian, aku memimpikan ada lelaki yang mengucapkan hal seperti itu padaku, dengan dominan. Pasti akan terdengar seksi dan menggetarkan."
"Itu sama saja merendahkan perempuan." Andrea mencibir, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat cara pandang Sharon, "Aku tidak mau memberi kesempatan pada lelaki yang menganggap perempuan hanya sebagai piala dan pemuas nafsu."
Ya. Andrea sudah memutuskan. Tidak ada kesempatan untuk Christopher. Meski hatinya bergetar karena lelaki itu, bukan berarti dia akan tunduk di bawah kekuasaannya seperti perempuan dimabuk cinta yang murahan.
*** Ketika Andrea sampai di depan rumahnya, dia tertegun karena menemukan Eric berdiri di sana. Mereka bertatapan. Dan meskipun kemarahan serta kekecewaan masih memenuhi benak Andrea, dia menahankannya. Matanya menelusuri lelaki itu dan menyimpulkan bahwa Eric tampak lebih kurus.
"Apa yang kau lakukan di sini"" Andrea bergumam datar, kesakitan masih tercermin di matanya. Hatinya masih terluka dan berusaha menyembuhkan diri, Andrea tidak siap ketika harus menghadapi Eric secara langsung seperti ini &
Dating With The Dark Bab 6
"Apa yang kau lakukan di sini"" Andrea bergumam datar, kesakitan masih tercermin di matanya. Hatinya masih terluka dan berusaha menyembuhkan diri, Andrea tidak siap ketika harus menghadapi Eric secara langsung seperti ini...
"Aku ingin bicara denganmu." Eric menatap Andrea dalam-dalam, tampak menyesal
"Sudah kubilang aku butuh waktu berpikir, aku tidak mau bicara padamu saat ini, Eric."
"Andrea." Eric mengerang, "Kumohon berilah aku kesempatan, aku akan menjelaskan semuanya kepadamu."
Apakah itu sepadan" Andrea menatap Eric dalam-dalam dan menyadari bahwa ketertarikannya kepada lelaki itu tidak sebesar seperti semula. Andrea memberi kesempatan kepada Eric karena impiannya untuk mengalami kisah percintaan seperti di novel-novel, Dan lelaki itu datang di saat yang tepat, menawarkan malam-malam romantis dan kebaikan hati, membuat Andrea melayang tinggi, dan merasa mencintai.
Sekarang Andrea sadar, itu bukan cinta, itu adalah manifestasi dari impian untuk dicintai dan mencintai.
"Apakah kau mau memberiku kesempatan"" Eric bertanya lagi, membuat Andrea lepas dari lamunannya dan menatap kembali lelaki itu, dia menghela napas panjang. Mungkin hal ini akan membuatnya lega, membuat Eric lega.
Andrea menganggukkan kepalanya dan menyerah, "Baiklah Eric."
*** "Apa yang kukatakan ini mungkin akan
sangat mengejutkanmu." Eric duduk di depan Andrea di sofa ruang tamu itu, sejenak merasa miris karena dulu dia diperbolehkan duduk di sebelah Andrea, sekarang dia diperlakukan sebagai tamu.
Andrea sendiri bersandar di sofa dan menatap Eric datar, tangannya bersedekap di depan, untuk melindungi dirinya.
"Tentang apa""
"Tentang rahasia masa lalumu."
Rahasia masa lalu" Punya urusan apa Eric dengan rahasia masa lalunya" Lagipula rahasia masa lalu itu, kalaupun ada, kenapa Eric bisa mengetahuinya" Sedangkan Andrea sendiri tidak merasa menyimpan rahasia apapun.
"Ini tentang ayahmu."
Andrea mulai tertarik ketika nama ayahnya disebut, dia tidak menyangka rahasia ini menyangkut ayahnya juga. Setahu Andrea ayahnya adalah laki-laki yang baik, ayah yang bertanggungjawab dan menyayanginya, dan ayahnya adalah profesor jenius di sebuah universitas pemerintah yang cukup terkenal.
"Apa yang kau ingat tentang ayahmu"" Eric bertanya, menatap Andrea dengan tatapan mata berspekulasi.
Andrea sendiri melemparkan tatapan mata curiga kepada Eric, "Kenapa kau bertanya-tanya tentang ayahku" Apa pedulimu""
Eric menghela napas panjang, mengernyit karena Andrea begitu ketus kepadanya, tetapi dia merasa pantas menerimanya, Andrea pantas marah kepadanya, karena dia sudah menyakiti perasaan perempuan itu. Eric bertindak gegabah waktu itu dan dia menyesalinya setelahnya, dia benar-benar lupa kalau perasaan Andrea sangat halus. Lagipula setelah menelaah sekian lama, dia merasa bisa menerima apapun kenyataan tentang Andrea, kalau memang Andrea masih mau menerimanya, Eric akan melakukan apa saja untuk Andrea.


Dating With The Dark Karya Shanty Agatha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia lalu menghela napas panjang, sebelum mengungkapkan kenyataan tentang dirinya. Rahasia besar yang disembunyikannya selama ini.
"Aku bukanlah karyawan biasa. Aku adalah agen khusus pemerintah yang ditugaskan untuk mengawasimu."
Kerutan di dahi Andrea semakin dalam, "Aku tidak mengerti."
"Dengar Andrea, aku ingin jujur kepadamu, karena itulah aku mengungkapkan semua ini, semua rahasia yang mungkin akan membuatmu kebingungan...tetapi aku harap setelah mendengarkan seluruh ceritaku, kau akan lebih memahamiku, dan kalau bisa memaafkanku..."
Semua Andrea mengira Eric gila, atau lelaki itu sedang berhalusinasi, tetapi kemudian dia sadar bahwa ekspresi Eric begitu serius. Andrea bahkan masih sulit menerima kebenaran kata-kata Eric meskipun dia menyadari bahwa hal itu benar adanya.
"Coba ceritakan." Akhirnya Andrea memutuskan untuk mendengarkan, menelaah dulu apapun yang akan diceritakan oleh Eric, dia akan menyimpulkan kebenarannya nanti.
Eric memajukan tubuhnya, menopangkan lengannya di lutut dan menyangga dagunya dengan rangkuman jemarinya.
"Semua berasal dari penelitian yang dilakukan oleh ayahmu. Beliau adalah profesor di bidang matematik, spesial di bidang peramalan perubahan global dengan menggunakan serangkaian perhitungan matematik atas peristiwa-peristiwa remeh dan minor yang ternyata bisa memicu terjadinya sebuah peristiwa besar."
Andrea mengerutkan keningnya, dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang profesor di bidang matematika, tetapi dia tidak tahu bahwa apapun itu yang diteliti oleh ayahnya adalah hal yang sangat rumit. Bukankah matematika hanyalah menyangkut angka"
"Kau mungkin bingung ya...sebentar bagaimana aku menjelaskannya." Eric tampak berpikir, "Hmm...kau pernah mendengar istilah 'The Butterfly Effect'""
Andrea pernah mendengarnya, samar-samar. Dia mengerutkan keningnya berusaha mengingat dengan keras, sampai kemudian dia mengingatnya dan menatap Eric dengan muram,
"Itu adalah judul film hollywood yang dibintangi oleh Aston Kutcher." Kenapa Eric malahan menyebut-nyebut film hollywood di pembicaraan serius mereka"
"Kau masih ingat ceritanya"" Eric tampak bersemangat mengetahui bahwa Andrea mengingat film itu.
Andrea mengernyitkan kening, "Aku sedikit lupa, itu film lama, kalau tidak salah tokohnya bisa melakukan time traveling hanya dengan melihat foto, dan mundur ke masa lalunya."
"Ya. Tokoh ceritanya bisa mundur ke masa lalunya semaunya, setiap dia mundur, dia berusaha mengubah masa lalunya, mengubah hal-hal y
ang dia kira tidak menyenangkan dan mencegah sesuatu yang tidak menyenangkan di masa lalunya supaya tidak terjadi. Tetapi kemudian, ketika dia kembali ke masa depannya, seluruh hidupnya ternyata berubah, setelah berkali-kali mencoba, baru dia sadar, bahwa sekecil apapun perubahan yang dia lakukan ketika kembali ke masa lalu...seremeh apapapun perubahan yang dia lakukan ketika kembali ke masa lalu, hal itu akan menimbulkan perubahan besar-besaran di masa depan."
"Jadi apa hubungannya ini dengan rahasia besar, dan dengan ayahku" Apakah kau sedang mengatakan bahwa ayahku menciptakan mesin waktu""
Eric terkekeh mendengar sinisme dalam nada suara Andrea, "Tentu saja tidak, time traveling sampai detik ini hanya ada di novel-novel fiksi ilmiah. Yang dilakukan ayahmu lebih nyata dari itu, beliau melakukan study terhadap butterfly effect ini. Ada sebuah teori yang disebut butterfly effect, sama dengan judul film hollywood itu, Inti dari teori ini menyimpulkan bahwa hal-hal remeh, ketika terstimulasi saling berurutan dengan perhitungan matematis tertentu, bisa menjadi faktor penentu sebuah perubahan besar. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang."
Andrea mulai merasa pusing, "Dan untuk apa ayahku menyelidiki hal itu""
"Pemerintah yang memintanya. Kau tahu, untuk pertahanan diri dalam menghadapi serangan terselubung negara lain, kita harus memakai otak. Ayahmu lah otak yang dibutuhkan untuk strategi mempertahankan negara. Ayahmu bertugas menyelidiki faktor-faktor minor apa yang menentukan yang ketika berstimulasi, bisa menimbulkan hancurnya pihak-pihak yang ditengarai bisa mengancam pertahanan negara kita."
"Aku masih tidak mengerti."
Eric menatap Andrea dengan serius, "Aku tidak bisa memberikan contoh-contoh hasil study kasus yang dilakukan ayahmu, itu rahasia dan menyangkut informasi penting beberapa negara. Yang pasti Andrea, hasil penelitian ayahmu ini menarik beberapa pihak di luar pemerintah, salah satunya adalah dari sebuah organisasi asing yang berkuasa aku tidak bisa menyebutkannya, Organisasi itu membayar ayahmu besar untuk melakukan penelitian bagi mereka. Dan kemudian, tanpa seizin pemerintahan kami, entah dengan alasan apa, ayahmu melakukan penelitian bagi mereka. Sayangnya, Organisasi itu memtuskan untuk membunuh ayahmu segera setelah dia menyerahkan hasil penelitiannya."
"Apa"" Eric menatap Andrea dengan sedih, "Kami terlambat menemukan rencana itu, ketika kami bergerak untuk menolong, semua sudah terlambat. Kecelakaan yang menimpa ayahmu dan dirimu itu, itu bukan kebetulan. Itu pembunuhan."
"Apa"" Eric mengeluarkan sebuah foto dan dokumen dari sakunya, "Agen kami menemukan informasi bahwa klien ayahmu mengirimkan seorang pembunuh keji untuk melakukan eksekusi bagi ayahmu. Dia dikenal sebagai pembunuh yang tak pernah gagal. Pembunuh ini sangat berbahaya Andrea."
Mata Andrea melirik ke arah foto-foto dan dokumen yang diletakkan oleh Eric di meja, semula dengan tidak peduli karena dia masih belum mempercayai apa yang dikatakan oleh Eric. Tetapi kemudian matanya membelalak. Foto itu buram, seperti diambil cepat-cepat. Wajahnya juga tidak kelihatan. Tetapi Andrea mengenalinya. Apalagi dia baru saja makan malam dengan lelaki itu beberapa saat sebelumnya.
"Oh. Astaga!" Andrea menaruh jemari ke mulutnya terkejut, membuat Eric mengangkat alisnya.
"Ada apa Andrea"" Tatapan Eric tajam, menyelidik seolah-olah mencari sesuatu di benak Andrea.
Andrea langsung menggelengkan kepalanya, "Tidak-tidak apa-apa."
Eric masih menatapnya tajam, "Kau tidak mengenali lelaki ini""
Andrea menggelengkan kepalanya lagi. Tidak. Belum saatnya mengatakan kepada Eric tentang Christopher Agnelli. Dia masih belum bisa mempercayai Eric, dia bahkan belum tahu apakah Eric berbicara yang sesungguhnya atau tidak.
Eric menghela napas panjang, me
ngalihkan kembali perhatiannya kepada foto dan dokumen itu.
"Hanya ini foto terbaik yang bisa kami dapatkan. Seluruh dokumen tentangnya dihapuskan. Yang kami tahu dia adalah seorang pembunuh bayaran yang sangat kejam, dan dia tidak pernah gagal. Kami memanggilnya 'Sang Pembunuh' dan yang kami tahu dia seorang lelaki yang cukup kaya dan berkuasa, dan kemampuan membunuhnya membuatnya semakin berbahaya." Eric menatap Andrea tajam, "Sang pembunuh ini tidak pernah gagal, Andrea. Dan yang kami tahu dia sangat ahli menyamar. Bahkan sampai sekarang kami tidak tahu identitasnya yang sebenarnya. Yang kami tahu sekarang dia mengincarmu."
Wajah Andrea pucat pasi, "Mengincarku"" Kenapa dia diincar" Kalau memang yang dikatakan Eric itu benar, tidak cukupkah mereka merenggut ayahnya dengan kejam pada peristiwa kecelakaan itu" Hati Andrea terasa sakit ketika membayangkan bahwa orang-orang jahat itu mencabut nyawa ayahnya dan bertindak dengan begitu kejam.
"Menurut informasi yang kami dapat, kau termasuk ke dalam tugasnya. Dengan kata lain, kau juga harus mati. Tetapi ternyata kau selamat. Setelah kecelakaan itu, kami terus mengawasimu Andrea, menunggu 'Sang Pembunuh' datang. Tetapi di luar dugaan, dia menunggu begitu lama. Membuat kami bertanya-tanya apa yang terjadi." Eric menghela napas panjang, "Nyawamu selalu berada dalam bahaya Andrea, dan aku.. aku ditugaskan untuk menjagamu, selama ini aku hanya mengawasimu dari jauh seperti tugasku. Tetapi lama-lama..." Eric menelan ludahnya tampak gugup, "Lama-lama aku jatuh cinta kepadamu, aku ingin mendekatimu, dan ketika berhasil mendekatimu, aku ingin semakin dekat...kebersamaan kita itu terasa begitu menyenangkan untukku sampai aku tenggelam dan lupa diri." Mata Eric tampak pedih, "Aku lupa kalau aku tidak bisa memilikimu."
Andrea mengerutkan keningnya, apakah Eric tidak bisa lebih dekat dengannya karena dia bertugas melindungi Andrea" Jadi inilah alasan Eric menyuruhnya menjauh waktu itu"
Eric sendiri mengamati ekspresi Andrea dan menghela napas panjang, "Kau benar-benar tidak ingat ya""
"Tentang apa""
"Tentang kejadian-kejadian sebelum kecelakaan itu""
Andrea merenung, kemudian menghela napas panjang, "Aku berusaha melupakannya dan menganggapnya sambil lalu. Tetapi memang, aku kehilangan ingatanku atas kejadian selama beberapa waktu sebelum kecelakaan itu...sebelumnya aku tidak menyadarinya, tetapi ketika dokter bertanya kepadaku tentang kejadian-kejadian sebelum kecelakaan, aku merasa otakku seperti selembar kertas kosong, tidak ada ingatan sama sekali." Andrea mengerutkan keningnya, mencoba mengingat tetapi sama seperti yang dia pernah coba berkali-kali sebelumnya, dia tidak bisa mengingatnya, "Yang tertinggal dariku hanyalah rasa trauma dan ketakitan yang selalu mengejarku, aku...aku menemui psikiater dan dia bilang bahwa amnesia semacam ini sering terjadi kepada orang-orang yang mengalami trauma, seperti korban perang, ataupun korban kecelakaan seperti aku. Biasanya ada celah ingatan yang hilang selama periode waktu tertentu...dan itulah yang kualami.
Aku bisa mengingat tentang ayah, tentang kenangan masa kecilku dan semua hal-hal lainnya. Tetapi periode beberapa bulan, hampir satu tahun sebelum kecelakaan itu, semuanya hilang."
Eric menatap Andrea, kemudian menganggukkan kepalanya, "Karena itulah kami tidak bisa menggali informasi darimu, kami pikir kau juga menjadi target karena kau tahu sesuatu tentang study yang dilakukan oleh ayahmu...tetapi hilangnya ingatanmu ini membuat kami tidak bisa menggali lebih dalam, mungkin ini jugalah yang menyelamatkan nyawamu."
Andrea mengerutkan keningnya, "Kenapa hilangnya ingatanku bisa menyelamatkan nyawaku""
"Karena selama kau hilang ingatan, kau melupakan sebuah informasi penting yang mereka pikir kau tahu. Sebuah informasi rahasia yang mengancam mereka. Karena itulah mereka membiarkanmu hidup Andrea, selama mereka mengira kau hilang ingatan, berarti rahasia mereka aman ...tetapi sepertinya 'Sang Pembunuh' masih mengawasimu, kalau-kalau ingatanmu kembali."
Andrea merasa gatal untuk mengungkapkan kepada Eric bahwa mungkin dia sud
ah menemukan identitas sang pembunuh itu. Foto yang ditunjukkan Eric memang samar-samar, tetapi entah mengapa dia tahu...tetapi dia takut salah, bagaimana kalau dia salah" Bagaimana kalau Christopher hanyalah lelaki baik yang kebetulan bertemu Andrea dan tidak ada hubungannya dengan semua ini" Andrea bingung. Dia kemudian memutuskan untuk memikirkannya dulu, sebelum memutuskan untuk memberitahu Eric tentang Christopher Agnelli.
"Aku...semua informasi ini terlalu berat untukku." Dengan lemah, Andrea memijit keningnya, "Aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Eric menganggukkan kepalanya, "Aku mengerti, aku akan berpamitan dan memberikan waktu untukmu sendirian. Kuharap kau mempercayaiku Andrea," Tatapan Eric tampak penuh permohonan, "Semua yang kulakukan adalah untuk menjagamu."
Andrea menatap Eric dan sekilas rasa sakit muncul di sana, dia lalu memalingkan mukanya, "Aku akan menghubungimu nanti."
Itu adalah pengusiran secara halus dan Eric mengerti, dia lalu beranjak dari duduknya, "Aku akan pergi, tapi kau selalu dijaga Andrea, kau bisa tenang." Lalu tanpa kata lagi, Eric melangkah pergi dan meninggalkan Andrea termenung sendirian di sofa.
*** Malamnya Andrea berbaring dengan mata nyalang, menelaah semua informasi yang diberikan oleh Eric. Lelaki itu sungguh-sungguh, Andrea menyadarinya, dia hanya masih belum bisa menerima bahwa ayahnya terlibat dalam konspirasi yang luar biasa besar dan tidak terduga.
Ayahnya...mata Andrea terpejam, ayahnya sangat baik kepadanya, benar-benar kebapakan dan tampak seperti ayah-ayah biasanya, meskipun dia seorang profesor, tidak ada yang aneh pada sikapnya. Kenapa ayahnya menerima pekerjaan dari sebuah organisasi yang berbahaya dan kemudian membahayakan nyawanya"
Andrea menghela napas panjang, lalu teringat akan kata-kata Eric bahwa sekarang nyawanya diincar oleh 'Sang pembunuh'. Foto buram itu sangat mirip dengan Christopher...tetapi kalau memang benar lelaki itu adalah 'Sang Pembunuh' mengapa dia tidak membunuhnya ketika makan malam mereka" Kenapa Christopher malahan berlaku sopan, lelaki itu malahan bilang menginginkannya dan merayunya.
Pipi Andrea terasa merona ketika membayangkan sikap arogan Christopher saat itu...dan entah kenapa, jantungnya mulai berdebar pelan.
*** Christopher mendengarkan setiap patah kata yang diucapkan Eric kepada Andrea, yah...dia memang menyadap dan memasang kamera tersembunyi di seluruh penjuru rumah Andrea untuk mengawasinya. Dan ketika dia mendengar seluruh penjelasan Eric, Christopher sadar bahwa saatnya telah tiba, saat untuk mengambil Andrea kembali.
Kemarin dia memang gagal dengan berbagai alasan. Tetapi Saat itu, Christopher sudah berjanji bahwa dia akan kembali. Dan kali ini dia tidak akan gagal.
*** Malam itu Andrea merasakan jemari itu menyentuh samping lehernya, dengan lembut dan terasa hangat. Sentuhan itu familiar, sefamiliar rasa yang ditimbulkannya, Andrea menggelenyar langsung dari ujung kaki ke ujung kepala, merasakan perasaan bergairah yang menggelitiknya tanpa ampun. Dia masih memejamkan mata ketika tubuh yang hangat itu melingkupinya, terasa begitu pas dengan tubuhnya.
Andrea merasa dirinya setengah tidur, dia lalu merabakan jemarinya ke tubuh hangat yang menindihnya itu, menelusuri otot-ototnya yang liat, terbungkus kulit halus dan licin, menggoda, terasa begitu keras dalam remasan jemarinya.
Yang menindihnya adalah lelaki yang sangat jantan. Andrea menyesap aroma lelaki yang khas, aroma kayu-kayuan yang menggoda berpadu melingkupi seluruh inderanya.
Lalu bibir lelaki itu menyusul jemarinya, menyentuh sisi lehernya, terasa panas dan membara, mengirimkan sinyal-sinyal bergairah yang tak terduga. Andrea mengerang, dan ciuman lelaki itu semakin merambat, ke rahangnya, ke tulang pipinya, dan kemudian sedetik sebelum Andrea merasakan napas hangat yang menerpa dirinya, bibir itu kemudian melumat bibirnya.
Oh...sungguh ciuman yang sangat menggoda. Bibir itu terasa keras dan jantan, tetapi menyentuh bibirnya dengan lembut dan hati-hati, menempel sempurna seolah ingin menyesap rasa bibir Andrea, bibir itu menyelip di antara bi
bir Andrea yang setengah terbuka kemudian menyesapnya lembut, semakin lembut, semakin dalam, dan kemudian lidahnya yang panas menyeruak masuk, membuat Andrea mulai terengah, napas mereka yang panas berpadu, ketika lidah lelaki itu berjalinan dengan lidah Andrea, menikmatinya. Kemudian lidah itu mencecap seluruh rasa diri Andrea, ke seluruh bagian mulutnya.
Andrea mengerang dalam pagutan lelaki itu, jemarinya meremas punggung telanjang lelaki itu, ketika tubuh mereka bergesekan dengan liar dan bergairah. Ketika rasa panas tubuh mereka berpadu, Andrea menyadari bahwa dia telanjang bulat...sama halnya dengan lelaki yang menindihnya itu.
Kejantanannya terasa sangat keras, menyentuh perut Andrea, menggeseknya dengan menggoda, membuat Andrea membuka pahanya...
Kemudian Andrea membuka mata dan mendongakkan kepalanya menatap lelaki menggairahkan yang sedang mencumbunya.
Andrea langsung terkesiap ketika berhadapan dengan mata cokelat yang dalam itu, mata Christopher Agnelli!
*** Andrea langsung tersentak dan terduduk, terbangun paksa dari mimpinya. Napasnya terengah dan tubuhnya berkeringat. Benaknya berkecamuk kebingungan. Oh Astaga...mimpi erotis lagi, tetapi kali ini bukan dengan lelaki tak dikenal dalam ingatannya yang samar-samar. Kali ini dia jelas-jelas bersama lelaki yang dikenalnya, Christopher Agnelli...ya ampun...Andrea meremas jemarinya dengan gugup dan gelisah, dia bahkan tidak pernah punya pemikiran sensual apapun dengan lelaki itu, Christopher memang membuatnya berdebar, membuatnya merasakan perasaan aneh yang tak pernah dirasakannya, tetapi itu tidak serta merta memberikan alasan kenapa Andrea bisa bermimpi erotis tentang lelaki itu bukan"
Kenapa harus dengan Christopher Agnelli"
*** Ketika Andrea membuka pintu rumahnya, dia mengernyit ketika menemukan Eric berdiri di sana,
"Apa yang kau lakukan di sini""
Eric memasang tampang seolah-olah tidak melihat tatapan Andrea yang penuh kebencian.
"Aku bertugas untuk menjagamu."
Andrea mengerutkan keningnya, "Aku tidak butuh di jaga."
"Kau butuh." Eric menatap Andrea keras kepala, "Aku memang salah melibatkan perasaan pribadiku dalam hal ini Andrea, tapi satu yang kau perlu tahu pasti, aku tidak akan gagal menjagamu, aku akan berjuang sekuat tenaga agar kau baik-baik saja."
"Aku masih belum bisa mempercayai seluruh ceritamu, dan aku pikir aku baik-baik saja." Andrea melemparkan tatapan marah kepada Eric kemudian melangkah melewati lelaki itu, tetapi dengan sigap Eric mencekal lengannya, lembut tapi kuat.
"Andrea. Aku tidak main-main dengan semua ini. Ayo ikut aku."
"Aku tidak mau."
"Kau akan bersyukur karena kau ikut aku nanti." Eric bersikeras dan kemudian tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan jalan di teras Andrea. Dan tanpa bisa melawan, Andrea setengah di dorong oleh Eric memasuki mobil itu.
Ketika Eric menyusul di sebelahnya di kursi penumpang belakang, mobil langsung melaju meninggalkan rumah Andrea, Andrea menoleh dan menatap Eric dengan tatapan mengancam,
"Aku harus pergi bekerja, kau tahu."
"Kau bisa mengabari kalau kau sakit." Eric menjawab datar, membuat Andrea menatapnya.
Lelaki ini terasa berbeda dengan Eric yang dikenalnya dulu, Eric yang selalu mampir ke rumahnya membawakan berbagai makanan, Eric yang mudah tertawa dan menyenangkan diajak biacara...Eric yang ada di sebelahnya ini tampak kaku dan asing.
Jadi siapa sebenarnya sisi Eric yang sesungguhnya"
"Oke. Tapi kalau kita pergi tanpa ada gunanya, aku tidak akan memaafkanmu."
Eric hanya diam dan tidak menjawab perkataan Andrea, mereka diam sepanjang perjalanan.
*** Mobil hitam itu berhenti di sebuah rumah mungil berwarna putih yang sangat indah, Eric membuka pintu dan membimbing Andrea turun dengan lembut. Mereka berdiri di depan rumah itu. Rumah itu berpagar rendah, dari kayu yang dicat putih setinggi pinggang. Bagian depan rumah dipenuhi hamparan rumput dan bunga-bungaan liar yang sekarang tumbuh agak tinggi, sedikit terbengkalai.
Apakah tidak ada yang merawat rumah seindah ini"
Andrea menoleh ke arah Eric yang menatap rumah itu.
"Ini rumah siapa"" tany
anya bingung. Kenapa Eric mengajaknya ke sini"
Tatapan Eric begitu tajam, "Kau tidak ingat""
Andrea menggelengkan kepalanya, "Tidak."
Apakah dia tahu tentang rumah ini di balik semua ingatannya yang hilang" Seperti biasa Andrea berusaha mengingat hanya untuk menemukan bahwa dia tidak mampu. Kepalanya terasa sakit, membuatnya mendesah bingung.
"Ini rumah siapa"" Andrea mengulang lagi pertanyaannya, membuat Eric menghela napas panjang.
"Ini rumahmu. Yang kau tinggali bersama ayahmu."
Informasi ini benar-benar mengejutkan Andrea, membuatnya terperanjat.
"Tidak mungkin. Kami tinggal di rumah di dekat kampus, rumah yang disediakan pihak universitas untuk ayahku. Yang pasti bukan rumah ini." Andrea merasa pasti, karena dia tahu pasti dari ingatannya tentang rumah yang ditinggalinya bersama ayahnya. Dia tinggal di sana bersama ayahnya sejak dia remaja, Andrea tidak mungkin salah.
"Ya. Kalian memang tinggal di rumah itu, dulunya. Tetapi beberapa lama setelah menerima proyek pekerjaan berbahaya itu, ayahmu membawamu pindah ke rumah ini. Kau mungkin tidak ingat karena kalian hanya tinggal di rumah ini kira-kira setahun sebelum kecelakaan itu terjadi. Dan kau bilang kau kehilangan ingatanmu sampai beberapa lama sebelum kecelakaan itu." Eric menghela napas panjang, "Ini adalah properti yang dipertahankan pengacaramu dengan pertimbangan kami. Kami berharap kalau kami membutuhkan ingatanmu, kami bisa membawamu kemari."
Andrea menatap rumah itu dan tetap saja merasa asing, karena dia sama sekali tidak ingat. Benarkah semua yang dikatakan oleh Eric itu" Ataukah dia hanya dimanipulasi"
"Kau ingin memasukinya"" Eric menawarkan, menunjukkan sekumpulan kunci di tangannya, "Aku memegang kuncinya, rumah ini dijaga sama persis seperti ketika kalian meninggalkannya terakhir kalinya sebelum kecelakaan itu."
Andrea sangat ingin masuk dan membuktikan kebenaran kata-kata Eric, dia menatap Eric dan bertanya,
"Kenapa baru kau lakukan ini sekarang" Kenapa tidak dari dulu" Kalian semua membiarkanku tenggelam dan kehilangan ingatan, tidak tahu apa-apa."
"Kami pikir dengan begitu, kami bisa menjagamu." Eric menghela napas panjang, "Semakin sedikit kau tahu semakin baik, apalagi kau sudah mulai menata hidupmu dengan baik...sampai kemudian kami mulai menemukan bukti bahwa "Sang Pembunuh" kembali mengejarmu. Kami yakin bahwa kau bisa membantu kami menemukan dia, dan itu juga akan menyelamatkanmu."
Sambil berkata Eric melangkah mendekati pagar rumah itu lalu membuka gemboknya, setelah itu, dia meraih pagarnya dan membukanya lebar, menatap Andrea.
"Ayo masuk, Andrea."
Andrea melangkah memasuki pekarangan rumah itu, semula ragu, tetapi kemudian langkahnya makin pasti, Eric berjalan di sisinya dengan hati-hati. Ketika mereka sudah mendekati pintu rumah, Eric mendahului langkahnya dan membukakan kunci pintu itu, lalu membuka pintu rumahnya.
Andrea yang melangkah lebih dulu memasuki rumah itu. Sejenak dia berhenti di ambang pintu, merasa ragu, angin dari dalam rumah menghembusnya, tercium agak pengap karena rumah itu sepertinya lama sekali tidak dibuka. Ruangannya tampak gelap dan remang-remang karena seluruh gorden dan jendelanya ditutup rapat. Eric melangkah ke samping dan menyalakan lampu.
Seluruh ruangan langsung terlihat jelas. Andrea mengitarkan pandangan ke seluruh perabotan di ruang tamu yang berdebu itu, dan merasakan perasaan berdenyut nyeri menyeruak di dadanya.
Kenangan... Tiba-tiba sekelebat kenangan menyeruak di benak Andrea, cahaya remang-remang di kegelapan...aroma harum bunga-bunga yang menusuk. Andrea terkesiap dan setengah berlari menuju arah yang tiba-tiba diingatnya. Eric mengikutinya ketika Andrea membuka pintu kamar itu. Dalam kamar yang temaram itu, di sebuah meja besar di ujung kaki tempat tidur.
Di sana ada sembilan lilin yang meleleh, bekas dinyalakan sejak lama, berwarna biru, dalam urutan yang spesifik...
Andrea langsung jatuh pingsan.
Dating With The Dark Bab 7
Christopher ada di sana. Menatap dari kejauhan di dalam sebuah rumah yang tepat berada di depan rumah putih itu. Christopher memang sengaja membe
li rumah ini jika saatnya tiba. Matanya terus menatap ketika Andrea memasuki rumah itu.
Dia tidak bisa menahankan apa yang bergejolak di benaknya dan memejamkan matanya. Akankah Andrea menyadarinya" Menyadari Christopher yang menunggu saat-saat ini tiba" Menunggu sekian lama dalam kegelapan untuk Andrea"
Matanya menyorot tajam ketika melihat pintu rumah itu terbuka dan Eric menggendong tubuh Andrea yang pingsan terkulai tak berdaya. Gerahamnya mengeras, menatap sosok Eric yang lengannya melingkari tubuh Andrea.
Tidak bisa dibiarkan...memang waktunya akan segera tiba.
*** Aroma kopi yang familiar menyentuh hidung Andrea, membuatnya mengerjapkan mata dan mengernyitkan keningnya, kepalanya terasa pening seperti dihantam sesuatu, dia membuka matanya dan menyadari bahwa dia berada di dalam kamarnya sendiri.
"Kau sudah sadar" Kau ingin secangkir kopi"" ranjangnya bergemerisik ketika Eric duduk di kaki ranjangnya, membawa secangkir kopi yang mengepul panas.
Andrea berusaha duduk pelan, dan menatap Eric yang tersenyum penuh rasa bersalah,
"Aku tidak tahu orang yang habis pingsan boleh minum kopi atau tidak." Eric menatap Andrea lembut, "Hanya saja aku tahu kau menyukainya."
Andrea mau tak mau membalas senyuman lembut itu, "Terima kasih." Bisiknya pelan ketika Eric menyodorkan cangkir kopi itu ke bibirnya, dia menerimanya dan menyesapnya pelan.
Rasa pahit bercampur manis yang tajam langsung mengembalikan kesadarannya, Andrea menyerahkan kembali cangkir kopi itu kepada Eric dan lelaki itu meletakkannya di meja kecil di dekat ranjang.
"Aku pingsan." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Eric menganggukkan kepalanya, "Langsung pingsan setelah melihat lilin berwarna biru itu, sama seperti kejadian di restoran itu."
Andrea menghela napas panjang, kelebatan ingatan itu membuat jantungnya berdenyut pelan. Lilin berwarna biru sejumlah sembilan buah yang disusun setengah melingkar di dalam kamar rumah itu memang tidak menyala, berbeda dengan yang direstoran. Tetapi efeknya sama, menghantamnya sekeras badai.
Pertanyaannya...Kenapa"
Andrea mulai merasa pening karena tidak menemukan jawaban. Dengan lembut Eric mendorongnya kembali ke ranjang dan menyelimutinya,
"Jangan dipaksakan, kau akan ingat nanti, pelan-pelan ya, sekarang istirahatlah." Lelaki itu berdiri lalu membungkuk di atasnya, sejenak meragu, tetapi kemudian mengecup keningnya, membuat Andrea memejamkan mata.
Ketika Eric melangkah meninggalkan kamar itu, Andrea menatap nyalang ke langit-langit kamarnya, merasa bingung.
*** "Aku tidak tega melakukan ini kepadanya, sepertinya setiap dia berusaha mengingat, dia pingsan." Eric bergumam kepada atasannya melalui telepon.
Atasannya terdiam, tampak berpikir, kemudian berkata, "Kau harus membuatnya ingat, Eric. Hanya ingatannyalah yang bisa membantu kita menemukan "Sang Pembunuh". Kau tahu hanya Andrea dan ayahnyalah yang pernah bertatap muka dengannya. Ayah Andrea sudah meninggal, jadi hanya Andrea satu-satunya harapan kita."
Eric menghela napas, menyadari kebenaran kata-kata atasannya. Tetapi melihat Andrea yang pucat dan begitu rapuh itu membuat hatinya sakit. Bagaimana nanti kalau Andrea menyadari kebenarannya" Sekarang Eric tidak boleh mengatakannya...tetapi pada saatnya nanti, Andrea akan tahu.. dan dia akan...hancur.
*** "Kami harus menjagamu, berbahaya kalau kau ada di rumah sendirian, "Sang Pembunuh" bisa datang kapan saja dan membunuhmu."
Andrea mengernyit mendengar perkataan Eric. Entah kenapa batinnya masih belum siap. Kemarin hidupnya baik-baik saja, tanpa kecemasan apapun, mulai menapak hidup seperti manusia biasa saja. Tetapi sekarang hidupnya dipenuhi kecemasan dan konspirasi rumit yang masih sulit dipercayainya, dan nyawanya terancam.
Kenapa hidupnya tidak bisa biasa-biasa saja seperti orang-orang kebanyakan"
"Kami akan memindahkanmu ke tempat perlindungan yang tidak terlacak, kau akan berada di dalam pengawasan kami, duapuluh empat jam." Eric melanjutkan ketika melihat Andrea tidak berkata apa-apa.
Andrea membelalakkan matanya, menatap Eric dengan marah, "Apakah kau akan membuat hidupku dalam p
enjara Eric" Selalu dalam pengawasan hanya karena ancaman yang bahkan belum terbukti kebenarannya" Apakah kau akan merenggut kehidupan normalku ini dariku" Tidak!" Andrea menatap Eric penuh tekad, "Aku tidak akan membiarkan kau melakukan itu kepadaku!"
Eric menatap Andrea seolah kesakitan, "Ancaman itu benar adanya Andrea, kau dalam bahaya, bagaimana agar aku bisa membuatmu mengerti"" suaranya tampak frustrasi.
Tetapi Andrea memang tidak mau mencoba mengerti, dia tidak akan membiarkan Eric tiba-tiba datang kembali ke dalam kehidupannya dan merubah semua, apalagi setelah semua sandiwara palsu yang mengacak-acak seluruh perasaan Andrea. Andrea tidak mau menyerah lagi pada Eric dalam cara apapun.
"Aku tidak mau kau terus ada di sini mengawasiku. Aku ingin kau dan teman-temanmu pergi. Aku tidak butuh penjagaanmu!" Andrea mengangkat dagunya dan menatap ke pintu, "Silahkan, kau tahu dimana pintunya bukan" Atau aku harus mengantarmu""
Eric terpaku mendengar pengusiran Andrea yang terang-terangan. Tetapi dia kemudian mengangkat bahu dan mendesah. Andrea pantas membencinya, apalagi setelah tahu bahwa alasan Eric mendekatinya dulu adalah demi pekerjaan, meskipun pada akhirnya Eric benar-benar memiliki perasaan kepada Andrea, perempuan itu tampaknya tetap tidak bisa memaafkannya.
Eric memutuskan akan memberi Andrea ruang sambil berharap pada akhirnya perempuan itu akan berpikiran panjang dan mau menerima keadaan ini. Sementara itu, dia dan rekan-rekannya akan terus menjaga Andrea diam-diam.
"Selamat tidur Andrea." Eric menatap Andrea dan tersenyum tipis ketika Andrea memalingkan muka dan tidak menjawab. Lelaki itu lalu membuka pintu dan melangkah pergi, meninggalkan kamar Andrea.
*** "Kau sakit Andrea"" Suara Sharon di telepon tampak cemas, apalagi ketika mendengar suara lemah Andrea saat menjawab teleponnya.
Andrea mendesah, dia masih berbaring di ranjang, merasa tubuhnya lemas dan tidak enak. Ingatan akan lilin-lilin berwarna biru itu membuat dadanya sesak, karena itu Andrea berusaha menutup benaknya.
"Aku tidak apa-apa Sharon, hanya sedikit kurang darah."
"Mau kucarikan darah"" Sharon terkekeh, dalam keadaan cemaspun sahabatnya itu masih bisa bercanda, membuat Andrea tertawa.
"Ada-ada saja." Gumam Andrea dalam tawanya, tetapi kemudian dia menghela napas panjang.
"Kenapa Andrea"" Sharon langsung bertanya. Sahabatnya itu memang mempunyai insting hebat dalam mendeteksi sesuatu yang tidak beres, dan kadangkala Andrea memang sulit menyembunyikan sesuatu darinya. Mereka memang baru mengenal sebentar, Sharon adalah pegawai lama, dan ketika Andrea masuk pertama kali ke perusahaan sebagai pegawai baru, Sharon yang pada dasarnya ramah dan baik menyapanya lebih dulu...dan kemudian mereka menjadi semakin akrab seiring dengan berjalannya waktu.
"Tidak...aku Cuma sedikit pusing." Andrea tidak berbohong dia memang merasa pusing.
"Kau ingin aku ke sana""
"Tidak. Jangan. Tidak apa-apa kok. Aku akan tidur saja dan beristirahat, besok pagi pasti sudah baikan kok."
Sharon menghela napas panjang di seberang sana. "Oke. Kalau ada apa-apa beritahu aku yah."
"Terima kasih Sharon." Andrea tersenyum sebelum menutup teleponnya. Dia bersyukur bisa memiliki teman seperti Sharon karena sekarang dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
*** "Tenanglah Eric, aku sudah mengirimkan agen terbaik untuk menggantikanmu mengawasi rumah Andrea, mereka ada di sana duapuluh empat jam, "Sang Pembunuh" itu tidak akan bisa lolos dari pengawasan mereka, Andrea akan baik-baik saja. Lagipula ini kan hanya semalam, besok kau sudah bisa kembali ke sana lagi dan mengawasi Andrea." Atasannya bergumam panjang lebar untuk menenangkan Eric, dia memang merasakan nada gelisah dalam suara Eric.
Eric menghela napas sambil memegang ponselnya. Lelaki itu melirik jam tangannya, sebentar lagi dia akan menaiki penerbangan terakhir menuju kantor pusatnya, tempat atasannya bertugas. Ada informasi penting dan pembahasan strategi yang harus mereka lakukan segera menyangkut beberapa misi.
Sebenarnya Eric tidak ingin meninggalkan pengawasannya atas rumah Andrea, tetapi
atasannya meyakinkannya bahwa ini hanya semalam, dan seperti malam-malam yang lain, Andrea akan baik-baik saja. Tetapi bagaimanapun juga, perasaan tidak enak itu menggayuti benak Eric. Instingnya sebagai seorang agen terlatih seolah-olah menusuk-nusuk punggungnya dari belakang, membuatnya merasa tidak enak. Seperti ada bahaya yang mengintai dan semakin dekat...
Panggilan terakhir kepada penumpang terdengar dan Eric bergegas melangkah, sebelum dia mematikan ponselnya dia menelepon.
"Bagaimana"" tanpa basa-basi Eric langsung bertanya, tahu pasti bahwa orang di seberang sana tahu arti pertanyaannya.
"Semua OK." Jawab lawan bicaranya di ponsel singkat.
Eric menghela napas panjang, lalu memutuskan pembicaraan, dia menatap ponselnya, sejenak meragu, lalu menghela napas lagi dan mematikan ponselnya.
Andrea akan baik-baik saja. Eric meyakinkan dirinya dalam hati.
*** "Semuanya OK." Agen itu bergumam tegas, karena dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan dalam pengawasannya, nada suaranya meyakinkan, membuat Eric yang sedang meneleponnya di sana terdengar puas.
Setelah menutup telepon, dia tersenyum kepada rekannya yang ada di sebelahnya di dalam mobil itu,
"Kau mengantuk ya." Agen itu tersenyum kepada rekannya yang entah sudah berapa kali menguap di sebelahnya.
Mereka memang dipanggil untuk bertugas malam ini secara mendadak tanpa ada persiapan apapun, memang sudah tugas mereka untuk siap sedia kapanpun itu, tetapi rekannya itu tampaknya memang sedang benar-benar tidak siap secara fisik untuk berjaga malam ini, isterinya baru melahirkan dan seperti ayah baru lainnya yang baru membawa pulang bayinya, lelaki itu pasti kurang tidur.
"Kau bisa tidur dulu, aku akan berjaga." Agen itu menawarkan dengan iba. Lagipula tidak ada salahnya menyuruh rekannya tidur sebentar karena malam ini tampak tenang dan tampaknya apa yang ditakutkan oleh Eric tidak akan terjadi, tidak akan ada penyusup, penculik atau bahkan "Sang Pembunuh" yang akan datang. Agen itu mengusap pistol yang tersembunyi di balik saku jasnya, lagipula dia akan siap sedia menembak penjahat itu kalau dia berani-beraninya muncul.
Rekannya menatap sang Agen dengan penuh rasa terima kasih, "Mungkin aku akan tidur sebentar ya. Seperempat jam." Matanya tampak merah, dia benar-benar kurang tidur dan berjaga malam ini terasa sangat berat baginya.
Sang agen menganggukkan kepalanya, menegaskan persetujuannya, "Tidurlah." Lelaki itu mengedarkan pandangannya keluar menatap ke arah rumah mungil Andrea dari jendela mobilnya. Dia akan berjaga di sini sementara rekannya tidur, nanti kalau rekannya sudah bangun, dia akan melakukan patroli ulang mengitari seluruh sisi rumah Andrea, memastikan tidak ada apa-apa.
Dalam sekejap terdengar suara dengkuran rekannya, membuat sang Agen melirik dan tersenyum geli. Dasar. Rupanya rekannya itu sudah sangat mengantuk.
Malam makin larut dan sang agen tetap berjaga, berusaha menajamkan telinga dan pandangan matanya terhadap gerakan apapun yang sekiranya mencurigakan, meskipun suara dengkuran rekannya yang riuh rendah sedikit mengganggu konsentrasinya.
Lalu sebuah gerakan secepat kilat yang terlambat disadarinya membuatnya waspada. Sayangnya, dia lengah. Sebuah jarum suntik tiba-tiba melewati jendela yang terbuka itu, dipegang oleh tangan yang cekatan dan menancap di lehernya. Matanya seketika membelalak kaget sebelum akhirnya menutup, kehilangan kesadarannya.
Rekannya yang masih tertidur pulas merupakan sasaran yang sangat mudah. Hanya beberapa detik untuk menyuntikkan obat bius itu dan membawanya tidur lebih dalam.
Christopher tersenyum sinis menatap dua agen yang sekarang tertidur pulas di dalam mobil. Mereka akan tertidur sampai pagi, tergantung bagaimana reaksi tubuh mereka akan obat bius itu. Minimal mereka akan terlelap beberapa lama dan membiarkan Christopher bergerak bebas, lelaki itu tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit untuk mengambil kembali Andrea.
Tubuh tinggi dan ramping Christopher melangkah tenang menuju rumah Andrea, menuju perempuan yang mungkin sekarang sedang tertidur lelap, tidak tahu bahaya apa yang akan
mendekatinya. *** Ketika malam itu bergayut, Andrea duduk termenung di atas ranjang, entah kenapa malam ini tidak seperti biasanya. Andrea merasa ngeri, rasa ngeri ini hampir sama dengan kengerian yang selalu menyerangnya di malam-malam dulu. Burung di pepohonan depan yang rimbut berbunyi-bunyi dengan suara menakutkan, mencicit seolah memberi pertanda.
Tetapi pertanda apa"
Andrea bolak-balik memeriksa alarm pintunya, dan menghela napas panjang. Alarm sudah terpasang dengan sempurna, pintu sudah tertutup rapat dengan kunci dan gerendel terpasang. Tetapi kenapa dia tetap merasa takut"
Andrea masuk lagi ke kamar dan berbaring, menarik selimutnya sampai ke punggung. Seharusnya dia sudah merasa bebas, seharusnya dia tidak didera ketakutan lagi. Tetapi kenapa perasaan ini sama" Rasanya sama seperti dulu...jauh di masa lalu, dimana kenangan buruk menyeruak, kenangan yang sangat ingin dilupakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras di pintu belakang rumahnya. Andrea begitu terperanjat sampai terlompat dari tempat tidurnya. Jantungnya berdebar dengan keras, dia menatap ke arah pintunya dan meringis...
Apakah dia tadi lupa mengunci pintu kamarnya..." Apakah ada seseorang yang menerobos pintu belakangnya" Bagaimana kalau orang itu masuk ke kamarnya"
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Andrea melompat panik, dan kemudian memeriksa kunci pintu kamarnya.
Terkunci... Andrea menghela napas panjang, dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Lama dia menunggu, mungkin akan ada suara-suara lagi diluar sambil menahankan debaran jantungnya yang membuatnya makin sesak napas.
Tetapi suasana sungguh hening, tidak ada suara apapun. Andrea bahkan merasa bahwa dia hampir mendengar debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan begitu kuatnya.
Apakah suara di pintu belakangnya tadi hanyalah halusinasinya"
Setelah menghela napas panjang, Andrea membuka kunci pintunya. Dia tahu bahwa dia telah melakukan tindakan bodoh seperti di film-film horor yang sering dilihatnya, mendengar suara aneh...bukannya lari dan bersembunyi tetapi malahan mendatangi bagaikan ngengat yang tertarik mendatangi api yang akan membunuhnya.
Rumah Andrea kecil sehingga kamarnya langsung mengarah ke ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dengan TV besar mendominasi bagian tengahnya, lalu ada lorong kecil ke area dapur...dapur tempat suara itu berasal.
Andrea menyalakan lampu ruang tengah dan menghela napas panjang ketika menyadari bahwa tidak ada siapapun di sana. Jantungnya makin berdebar ketika menunggu melangkah ke arah dapur...di sana gelap dan pekat. Dengan hati-hati Andrea menyalakan saklar lampu tetapi langsung mengerutkan kening ketakutan ketika saklar itu putus. Lampu dapur tidak menyala dan Andrea mengernyit menyadari kegelapan di depannya. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang selalu tadi sempat dimasukkannya ke dalam saku piyama.
Dengan pencahayaan ponsel yang seadanya, Andrea melangkah maju memasuki area dapur itu. Cahayanya gelap dan remang-remang, membuat Andrea merasakan bulu kuduknya berdiri.
Tampaknya di dapur tidak ada siapapun. Tetapi kemudian mata Andrea terpaku pada sesuatu di dapur. Sesuatu yang membuat jantungnya berpacu cepat dan wajahnya pucat pasi. Sesuatu yang menguarkan cahaya lembut berwarna kuning redup terselubungi lilin yang berwarna biru.
Masa tenang kehidupannya sudah berakhir...impian untuk menjalani hari-harinya seperti orang biasa musnah sudah.
Andrea berpegangan ke dinding untuk menopang kakinya yang gemetaran, matanya menatap ke arah benda itu. Sebuah tanda...tanda yang samar-samar menyeruak ke dalam alam bawah sadarnya, menarik ingatan Andrea yang telah lama hilang dan mengingatkannya.
Seketika pengetahuan mendalam muncul di benak Andrea, membuatnya merasakan ngeri yang luar biasa. Lilin berwarna biru yang menyala itu adalah tanda, tanda yang ditinggalkan oleh sang pembunuh paling kejam yang dia tahu entah kenapa. Pembunuh itu sudah menemukannya.
Selesailah sudah. Nyawa Andrea mungkin tinggal beberapa saat lagi. Matanya melirik ketakutan ke arah tanda di meja dapurnya.
Lilin berwarna biru itu...jumlahnya ada
sembilan buah...diletakkan dengan rapi dan diatur indah di atas meja dapurnya, cahaya redupnya tampak kontras dengan ruangan dapur yang gelap gulita...
Lalu seperti muncul begitu saja dari bayangan gelap di belakangnya, jemari yang kuat tiba-tiba menyentuh lehernya dari belakang, lembut dan tenang. Andrea tercekat, tetapi tidak bisa memberontak, pada akhirnya yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan matanya.
*** Tanpa perlawanan yang berarti tubuh Andrea lunglai dalam pelukan Christopher, ada rasa sakit dan terkejut luar biasa di sana. Mata Andrea yang membelalak mengatakan demikian ketika menyadari bahwa Christopher yang ada di sana, hingga beberapa detik kemudian, mata Andrea kehilangan cahayanya, menutup dengan lemah, meninggalkan bercak gelap yang merintih tak bersuara disana.
Christopher, alih-alih melarikan diri terburu-buru mengingat ada dua agen yang mungkin bisa bangun kapan saja di luar, malahan dengan tenang mengangkat tubuh Andrea dengan kedua tangannya, ke sudut ruangan, ke bagian ruang tengah rumah berlantai kayu yang dipernis mulus itu.
Dia duduk di sana dan memangku tubuh Andrea yang lunglai tanpa daya, dibelainya rambut hitam panjang Andrea, diciuminya aroma leher perempuan itu. Sungguh diperlakukannya Andrea bagai kekasih tertidur yang akan ditinggal pergi diam-diam. Sorot mata Christopher adalah sorot mata kekasih, penuh cinta dan harapan yang meluap-luap.
Bukan sekali dua kali ini dalam tugasnya sebagai seorang pembunuh, Christopher membereskan seseorang yang lemah seperti Andrea, ia sering menyebutnya order kecil . Cepat, mudah dan tak jarang korbannya cantik luar biasa, seperti apa yang dilihatnya sekarang pada diri Andrea.
Anehnya Christopher langsung menetapkan harga yang amat sangat tinggi untuk menghabisi Andrea. Tanpa alasan jelas, ia selalu bilang begitu kepada kliennya, karena tak mungkin mereka mengetahui bahwa Christopher memuja Andrea, butuh pengorbanan besar dari nurani untuk membunuh seseorang, tetapi bahkan ia akan mengorbankan lebih besar lagi untuk membunuh Andrea, satu-satunya wanita yang telah menyentuh hatinya.
Bibir Christopher menyentuh bibir Andrea, melumatnya lembut penuh cinta. Sebelum akhirnya gelap dan pekatnya malam yang semakin dalam, menelan mereka berdua.
*** Andrea terbangun dalam nuansa kamar remang-remang, temaram oleh cahaya lilin. Dia merasa pusing dan sedikit mual, lalu mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa bingung dan kehilangan orientasi.
Ketika dia membuka matanya, dia menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah kamar yang gelap pekat, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip di kaki ranjang. Ingatan Andrea langsung berkelebat, ingatan di dapur yang menakutkan itu langsung membuatnya terperanjat dan terduduk dari ranjang itu, hanya untuk menyadari bahwa tangan dan kakinya terikat di kepala dan kaki ranjang.
Andrea menatap ketakutan, kedua tangan dan kakinya direntangkan masing-masing di kaki dan kepala ranjang dan masing-masing diikat dengan sebuah borgol!
Andrea semakin ketakutan ketika menyadari bahwa dia hanya terbungkus selimut sutera berwarna hitam yang ketika dia bergerak menggesek tubuhnya secara langsung, membuatnya sadar bahwa dia telanjang bulat dibalik selimut itu.
Ketika Andrea mendongakkan kepalanya dia melihat pemandangan yang menakutkan itu terhampar di depan matanya. Tepat di meja besar yang menempel di kaki ranjang, sembilan lilin berwarna biru yang ditata setengah melingkar menyala temaram, menjadi satu-satunya pencahayaan di ruangan kamar yang lebar itu.
Andrea panik, dia berusaha menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk melepaskan diri, tetapi percuma karena borgol besi itu begitu kuatnya. Pergelangannya mulai terasa sakit dan berbekas karena usahanya itu.
"Jangan melakukan sesuatu yang percuma, kau hanya akan melukai dirimu sendiri." Suara itu muncul dari kegelapan, membuat Andrea menolehkan kepalanya dan memucat, menyadari Christopher-lah yang berdiri di sana. Lelaki itu hanya mengenakan jubah tidur sutera hitam, yang membungkus tubuhnya dengan begitu pas, membuatnya tampak berbahaya. Segelas anggur a
da di sebelah tangannya, dan Christopher menyesapnya dengan santai, sama sekali tidak melepaskan pandangan tajamnya kepada Andrea.
"Lepaskan aku." Andrea berusaha berani meskipun jantungnya berdebar begitu kencang. Disini, berbaring terikat dalam keadaan setengah telanjang dan tak berdaya, di bawah kekuasaan lelaki arogan seperti Christopher membuat tubuhnya mulai gemetaran, "Kenapa kau melakukan ini kepadaku""
"Kenapa"" Christopher berdiri di sisi ranjang, lalu meletakkan gelas anggurnya di meja di samping ranjang, "Bukankah kau sudah mendengarnya dari Eric" Kau adalah satu-satunya korbanku yang pernah lolos, yang gagal kubunuh."
Lelaki ini adalah "Sang Pembunuh" yang dibicarakan oleh Eric. Sudah pasti. Andrea memejamkan matanya, merasakan penyesalan yang mendalam karena waktu itu dia tidak mempercayai dan meragukan Eric. Kalau saja waktu itu Andrea mengungkapkan kecurigaannya akan Christopher Agnelli kepada Eric, mungkin sekarang dia tidak akan berakhir di sini, tak berdaya dalam kekuasaan "Sang Pembunuh".
"Menyesal Andrea"" suara Christopher terdengar dalam dan menakutkan, membuat Andrea tidak berani membuka matanya, dia merasakan ranjang bergerak ketika Christopher duduk di sebelahnya. Andrea merasakan bulu kuduknya berdiri ketika tiba-tiba jemari Christopher menyentuh keningnya lembut, turun merayapi pipinya, membuat Andrea memalingkan mukanya berusaha menjauh.
Christopher terkekeh, "Kau tidak tahu berapa lama aku menunggu di sini Andrea, menunggu untuk menempatkanmu dalam posisi ini, terbaring dan tidak berdaya." Tiba-tiba lelaki itu merenggut dagu Andrea dan mengarahkannya ke arahnya, "Seperti kubilang, kau milikku, Andrea."
Andrea langsung membuka matanya, menatap Christopher dengan tatapan mata menantang,
"Apakah kau akan membunuhku""
Christopher terkekeh, tetapi jemarinya yang menyentuh dagu Andrea melembut, merayapi bibir Andrea yang ranum.
"Menurutmu"" Mata Christopher mengikuti jemarinya, meredup ketika merasakan kehangatan dan kehalusan bibir Andrea di sana. "Sepertinya aku akan bersenang-senang denganmu dulu."
Lalu kepala lelaki itu menunduk, dan dengan jemari masih memegang dagu Andrea sehingga membuat perempuan itu tidak bisa memalingkan wajahnya, Christopher memagut bibir Andrea dengan lembut dengan sepenuh keahliannya.
Andrea terkesiap, tidak bisa menghindar karena ketika dia mencoba menggelengkan kepalanya, cengkeraman Christopher di dagunya terasa begitu kuat dan menyakitkan. Pada akhirnya dia menyerah merasakan bibir kuat Christopher melumat bibirnya penuh gairah.
Ini hampir seperti sama persis seperti mimpinya...bibir Christopher terasa sama, kuat tetapi lembut dan panas ketika menyatu dengan bibirnya, membuatnya mengerang antara ketakutan dan menahan gairah. Lalu lidah lelaki itu menyelinap dengan ahli, memilin lidahnya dengan panas. Ciuman itu lama dan begitu sensual, sehingga ketika Christopher melepaskan bibirnya Andrea terengah dengan wajah merah padam.
Senyum Christopher tampak puas, matanya menatap Andrea dengan penuh gairah.
"Kau benar-benar perempuan yang menggairahkan." Ketika mengatakan itu, bibirnya tersenyum sensual dan suaranya serak. "Aku sangat ingin menidurimu sampai kau tidak bisa berjalan."
Lelaki itu sangat vulgar dan menakutkan, tetapi entah kenapa kata-kata Christopher malahan membuat tubuh Andrea menggelenyar oleh perasaan asing yang merayapi tubuhnya. Apakah Andrea bergairah kepada Christopher" Bagaimana mungkin dia bisa merasa bergairah kepada pembunuh yang bisa membunuhnya kapan saja"
"Lebih baik kau bunuh saja aku." Andrea bergumam pedas, menutupi rasa malunya karena bergairah atas ciuman lelaki itu. Tetapi rupanya kata-katanya malahan membuat Christopher geli, lelaki itu melirik ke arah puting payudaranya yang menegang, tidak bisa disembunyikan oleh selimut sutera tipis yang menutupi payudara telanjangnya. Dengan menggoda Christopher melewatkan jemarinya sambil lalu di sana, menyentuh puting Andrea dengan gerakan seringan bulu di sana. Membuat puting itu langsung berdiri menegang, lebih keras dari sebelumnya.


Dating With The Dark Karya Shanty Agatha di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Christopher mengangkat alisnya, menatap wa
jah Andrea yang merah padam, dan karena tidak tahan dengan tatapan Christopher yang penuh penghinaan itu, Andrea memalingkan mukanya. Seandainya saja tangannya tidak terborgol, Andrea pasti sudah menampar Christopher sekeras mungkin.
"Mulutmu bisa berbohong dengan pedas, tetapi tubuhmu tidak akan bisa sayang." Tiba-tiba saja jemari Christopher menurunkan selimut Andrea di bagian dada, membuat Andrea panik, Andrea meronta berusaha mencegah apapun yang diniatkan oleh Christopher, yang sama sekali tidak digubris oleh lelaki itu.
Jemari Christopher menarik selimut itu sampai ke bawah payudara Andrea, dan payudara Andrea langsung terpampang jelas dihadapan Christopher, dengan puting yang menegang keras, dan warna pucat payudaranya yang begitu kontras dengan selimut sutera hitamnya. Dan kemudian kepala Christopher turun, dengan bibirnya yang panas menuju ke payudaranya....
Nafas Chrstopher terasa hangat di dekat payudaranya, lelaki itu sengaja membuka bibirnya meniupkan uap panas yang mau tak mau membuat payudara Andrea semakin menegang dan nyeri oleh antisipasi. Kemudian tanpa ragu-ragu, bibir Christopher mengecup ujung puting payudaranya dengan lembut, membuat Andrea tidak bisa menahankan erangannya. Mata Christopher terus mengawasi Andrea, ada senyum di sana ketika menyadari betapa Andrea sudah luluh di dalam godaan cumbuannya.
Kemudian, tanpa peringatan, bibir Christopher mengangkup payudara Andrea dan menghisapnya lembut, sangat lembut dan sangat menggoda hingga Andrea terkesiap sekaligus merasakan seluruh tubuhnya dijalari oleh perasaan panas yang luar biasa, membakar dirinya kuat-kuat.
Dating With The Dark Bab 8
Christopher terus menghisap payudaranya, memainkan lidahnya dengan penuh perhitungan, menyentuh ujung payudara Andrea sehingga rasa panas itu semakin membakarnya. Tangan Andrea yang terikat di ujung ranjang menegang, menahan dorongan untuk meremas rambut gelap Christopher yang sekarang tenggelam di dadanya, tubuhnya melengkung menahan perasaan nikmat yang bertentangan dengan perlawanan kuat di dalam dirinya.
Andrea megap-megap, napasnya terengah-engah menahankan rasa ketika Christopher mencumbunya dengan begitu intim. Lelaki itu telah melakukan sesuatu yang begitu berani, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan Andrea selain dalam mimpi-mimpi erotisnya yang aneh.
Sekarang Andrea berbaring di ranjang bersprei sutera hitam itu, telanjang bulat di balik selimutnya, kaki dan tangannya terborgol di ujung ranjang, membuatnya tak berdaya, sementara Christopher terus dan terus mencumbunya payudaranya tanpa belas kasihan, nemainkan dadanya dengan sangat ahli hingga membuat Andrea amat sangat terangsang, dipaksa terangsang sampai kepalanya terasa pusing.
Lama kemudian, setelah puas, Christopher mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. Tubuh Andrea merona, tampak di sekujur kulitnya yang putih langsat, napasnya terengah-engah, sementara puncak payudaranya yang menjadi korban siksaan Christopher benar-benar mengeras dan tegak menantang, seolah-olah meminta disentuh.
Christopher menatap itu semua dan menggertakkan giginya sendiri untuk menahan gairahnya yang memuncak, membuat kejantanannya mengeras hingga terasa nyeri di balik jubah tidurnya.
Tidak. Christoper mengeraskan hatinya. Belum saatnya. Akan terlalu terburu-buru kalau dia melakukannya sekarang. Lelaki itu mengamati Andrea yang terus mengawasinya dengan tatapan berkabut sekaligus waspada, dan meskipun tak kentara, ada ketakutan di sana, di dalam tatapan mata Andrea, ketakutan yang bercampur dengan ketidakberdayaan.
Lembut Christopher mengulurkan tangannya dan menyadari bahwa Andrea langsung menegang, seperti hewan terluka yang tidak percaya kepada penolongnya. Tetapi yang dilakukan Christopher hanyalah menaikkan selimut sutera hitamnya, kembali menutupi buah dadanya.
Lelaki itu melirik ke arah lilin berwarna biru yang menyala di kaki ranjang, yang tidak mampu dilirik oleh Andrea karena membuat perutnya bergolak oleh sesuatu yang tidak mampu dikendalikannya.
"Apakah lilin itu mempunyai arti untukmu""
Meskipun wajahnya masih merah padam karena mal
u bercampur berbagai perasaan yang tak mampu diungkapkannya, Andrea tetap menjawab dengan lantang.
"Lilin itu hanya mengingatkanku akan perasaan mual dan ketakutan. Kalau memang tujuanmu adalah untuk menyiksaku maka selamat, kau sudah berhasil melakukannya."
Christopher terdiam, dan menatap Andrea dengan pandangan dalam dan menusuk dari mata gelapnya yang berkabut, dialalu mengangkat bahunya,
"Kau akan menyadari apa arti lilin itu untukmu nanti, Andrea."
Lalu tanpa berkata-kata lagi, Christopher membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Andrea.
Andrea yang menyadari bahwa Christopher akan keluar dari ruangan, membiarkannya tetap dalam kondisi terikat mulai panik.
"Apakah kau akan meninggalkanku dalam kondisi seperti ini" Tunggu dulu! Christopher! Christopher!" Andrea berteriak memanggil-manggil tetapi sepertinya lelaki itu tidak peduli dan dengan langkah tenang melangkah pergi, meninggalkan pintu itu terkunci di belakangnya dengan Andrea yang terikat sendirian di ranjang, bersama Lilin yang masih menyala itu, membuatnya mual.
*** "Tuan tidak boleh menahannya terborgol seperti itu, dia akan memar dan pegal setengah mati nantinya." Richard, tangan kanan Christopher sekaligus pelayannya yang setia mengernyitkan keningnya ketika melihat Christopher keluar dari kamar tempat Andrea dikurung dan menguncinya.
Christopher mengangkat alisnya. "Kenapa kau begitu peduli kepadanya, Richard""
Richard langsung menatap tuannya itu dengan tatapan mata tajam dan penuh makna yang hanya bisa dimengerti oleh Christopher.
"Tuan tahu saya pasti peduli." Dia menatap tuannya dengan berani, tahu bahwa tuannya akan setuju dengan tindakannya, "Saya akan mengirimkan pelayan perempuan dan penjaga untuk membantu nona Andrea supaya dilepaskan borgolnya."
Christopher terdiam, tahu bahwa biarpun dia tidak mengizinkan, pelayan tuanya yang keras kepala ini pasti akan tetap melaksanakan niatnya. Kadangkala Christopher berpikir bahwa Richard tidak takut kepadanya, lelaki itu terlalu lama bersamanya untuk merasa takut.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tapi pastikan pengawal laki-laki itu tidak melihat apapun, biarkan pelayan perempuan yang membantu melepaskan borgolnya." Tatapan Christopher menajam, "Andrea telanjang bulat di balik selimutnya, dan kalau sampai pengawal itu mencuri pandang, bunuh dia."
Lalu dengan langkah lebar-lebar, Christopher meninggalkan pintu kamar itu dan melangkah menuju ruang kerjanya, dia mengangkat telepon di atas meja kerjanya yang besar dan menghubungi nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala.
"Halo"" sebuah suara yang tenang menjawab langsung pada deringan pertama. Karena nomornya adalah nomor khusus yangmana hanya orang-orang tertentu yang bisa menghubunginya, jadi siapapun yang meneleponnya pastilah untuk urusan penting.
"Romeo." Christopher menyapa dengan tenang, menyebut nama rekan sekaligus sahabatnya ketika mereka pernah bertemu di masa lalu mereka ketika sama-sama berada di jerman.
Sejenak hening di seberang sana lalu Romeo menyapa setengah terkejut,
"Christopher"" Lalu ada senyum dalam suara Romeo, "Kau menghubungiku akhirnya." Sudah lima tahun sejak Romeo memberikan nomor pribadinya ini kepada Christopher, tetapi kemudian Christopher sepertinya menghilang ditelan bumi, dan berapa lamapun Romeo menunggu, lelaki itu tak pernah menghuunginya lagi.
"Ya. Aku membutuhkan bantuanmu, Romeo. Aku harap tawaranmu waktu itu masih berlaku."
Romeo tercenung di seberang sana, masih merasa terkejut karena tiba-tiba saja, sahabatnya yang menghilang bagai ditelan bumi ini menghubunginya. Seharusnya Romeo tidak terkejut, dia tahu Christopher memiliki dua sisi kehidupan, yang satu sebagai seorang pengusaha yang sukses, Lelaki Italia kaya pemilik berhektar-hektar area perkebunan yang begitu luas dan subur, dan yang lainnya adalah kehidupan misterius yang penuh bahaya.
"Masih." Jawab Romeo akhirnya, pada akhirnya dia harus membalas budi kepada Christopher dan Romeo tidak keberatan melakukannya, dia berhutang nyawa kepada sahabatnya yang satu itu. "Kapan kau ingin bertemu""
Christopher tersenyum, "Aku selalu yakin ak
u bisa mengandalkanmu, aku akan menghubungimu lagi nanti untuk membahas pertemuan kita." Gumamnya sebelum mengakhiri percakapan.
*** Di seberang sana, dalam ruangan kantor sementaranya ketika berkunjung ke kantor cabang, Romeo termenung sambil menatap ponselnya yang dia letakkan di meja kerjanya.
Christopher Agnelli...sang bangsawan muda yang ditemuinya tanpa sengaja ketika dia melanjutkan kuliahnya di Jerman, di kota kelahiran ayahnya. Waktu itu Romeo masih seorang pemuda yang mencari jati dirinya, menggoda bahaya merasa tidak pernah takut akan apapun. Lalu dia terlibat dengan sekelompok orang berbahaya yang mengancam nyawanya, sekelompok pengedar obat bius yang semula menganggapnya sasaran empuk, tetapi kemudian menyadari bahwa Romeo tidak bisa diajak kerjasama dan lebih baik dimusnahkan.
Romeo hampir mati disebuah tempat parkir yang gelap dan terpencil, tanpa ada harapan siapapun yang bisa menolongnya, dan mungkin dia tidak akan pernah hidup sampai sekarang, mati karena dipukuli habis-habisan oleh segerombolan orang yang memang dibayar untuk menghabisinya. Tetapi nasib mengatakan lain, kebetulan Christopher ada di sana, lelaki itu sedang ada urusan di area itu dan melihat ada seorang pemuda yang meregang nyawa karena dipukuli habis-habisan.
Tanpa pikir panjang Christopher menolong Romeo, bahkan pada usia mudapun, Christopher sudah memiliki kemampuan bela diri yang mematikan, dengan mudahnya dia menumbangkan semua orang itu, yang mungkin jumlahnya lebih dari tujuh orang. Lelaki itu lalu memanggul tubuh Romeo yang sudah lunglai dan memasukkan ke mobilnya, membawanya pergi.
Christopher membawa Romeo ke apartemennya di pusat kota dan ketika Romeo membuka matanya, itulah saat dia berkenalan dengan Christopher Agnelli.
Christopher mempersilahkan Romeo tinggal di apartemennya sampai lelaki itu sembuh, dan meskipun sikapnya begitu penuh rahasia, lelaki itu pada akhirnya bersedia menjadi teman Romeo. Keakraban mereka bisa dibilang aneh, karena mereka bukan jenis sahabat yang sering menghabiskan waktu bersama, sering saling berkomunikasi ataupun bertatap muka...walaupun begitu, Christopher akan bersedia melakukan apapun untuk menolong Romeo, demikian juga Romeo yang masih memiliki hutang nyawa kepada Christopher, sudah tentu dia akan melakukan apapun untuk menolong sahabatnya itu.
Pewaris Mustika Api 1 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Banjir Darah Di Borobudur 1

Cari Blog Ini