Ceritasilat Novel Online

Eldest 1

Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 1


BENCANA GANDA Ratapan orang-orang yang masih hidup merupakan lagu bagi mereka yang sudah tewas. Begitulah pemikiran Eragon sewaktu melangkahi mayat Urgal yang terpuntir dan hancur, mendengarkan tangisan para wanita yang mengangkut orang-orang terkasih mereka dari lantai Farthen Dur yang berlumpur darah. Di belakangnya Saphira dengan hati-hati mengitari mayat itu, sisik-sisiknya yang biru kemilau merupakan satu-satunya warna cemerlang di lubang dalam pegunungan itu.
Tiga hari telah berlalu sejak Varden dan para kurcaci bertempur melawan para Urgal memperebutkan Tronjheim, kota setinggi satu mil yang berdiri di tengah Farthen Dur, tapi medan tempur masih dipenuhi mayat. Banyaknya mayat menghambat usaha mereka untuk mengubur. Di kejauhan, api yang menjulang berpendar muram di dekat dinding Farthen Dur tempat para Urgal dibakar. Tidak ada pemakaman maupun tempat peristirahatan yang terhormat bagi mereka.
Sejak siuman dan mendapati lukanya telah disembuhkan Angela, tiga kali Eragon mencoba membantu usaha pemulihan. Setiap kali ia dilanda rasa sakit hebat yang seperti meledak dari tulang punggungnya. Para tabib memberinya berbagai ramuan untuk diminum. Arya dan Angela mengatakan dirinya sehat walafiat. Sekalipun begitu, ia kesakitan. Saphira juga tidak bisa membantu, hanya turut merasakan kesakitannya saat perasaan itu mengalir ke dirinya melalui hubungan mental mereka.
Eragon mengusap wajah dan menengadah memandang bintang-bintang yang bersinar di atas puncak Farthen Dar di kejauhan, yang ternoda jelaga pembakaran mayat. Tiga hari. Tiga hari sejak ia membunuh Durza; tiga hari sejak orang-orang mulai memanggilnya Shadeslayer--pembantai Shade; tiga hari sejak sisa kesadaran si penyihir mengacaukan benaknya dan ia diselamatkan si misterius Togira Ikonoka, si Cacat yang Utuh. Melawan Durza dan roh-roh kegelapan yang mengendalikannya telah mengubah Eragon; sekalipun apakah jadi membaik atau memburuk ia masih tidak yakin. Ia merasa rapuh, seakan kejutan yang tiba-tiba akan meluluhlantakkan tubuh dan kesadarannya yang telah ditatanya dengan susah payah.
Dan sekarang ia berkunjung ke medan pertempuran, terdorong keinginan kelam untuk melihat keadaan sesudah perang. Begitu tiba, ia tidak mendapati apa pun kecuali kematian dan kebusukan yang meresahkan, bukan kemegahan seperti yang dikatakan lagu-lagu kepahlawanan.
Sebelum pamannya, Garrow, dibantai Ra'zac berbulan-bulan lalu, kebrutalan yang disaksikan Eragon terjadi di antara manusia, kurcaci, dan Urgal pasti dapat menghancurkan dirinya. Sekarang kebrutalan itu hanya menumpulkan perasaannya. Ia sadar, dengan bantuan Saphira, bahwa satu-satunya cara mempertahankan kewarasan di tengah penderitaan sehebat itu adalah dengan bertindak. Selain itu, ia tidak lagi percaya bahwa kehidupan memiliki arti--sesudah melihat orang dicabik-cabik Kull, ras Urgal raksasa; tanah dipenuhi manusia yang menggelepar-gelepar, tanah yang begitu basah dengan darah hingga meresap ke dalam sol sepatu botnya. Kalaupun ada kehormatan dalam perang, ia menyimpulkan, paling-paling dalam pertempuran untuk melindungi makhluk lain dari bahaya.
Ia membungkuk dan memungut sepotong gigi, gigi geraham, dari tanah. Sambil melempar-lemparkannya di telapak tangan, ia dan Saphira perlahan-lahan mengitari dataran yang terinjak-injak itu. Mereka berhenti di tepinya sewaktu melihat Jormundur--wakil Ajihad di Varden--bergegas mendekati mereka dari Tronjheim. Sewaktu telah dekat, Jormundur membungkuk memberi hormat--Eragon tahu, beberapa hari yang lalu pria tersebut tidak akan berbuat begitu padanya.
"Aku gembira bisa menemuimu pada waktunya, Eragon." Ia membawa surat perkamen di satu tangan. "Ajihad dalam perjalanan pulang, dan ia ingin kau ada sewaktu ia tiba. Yang lain sudah menunggunya di gerbang barat Tronjheim. Kita harus bergegas agar bisa tiba di sana tepat pada waktunya."
Eragon mengangguk dan berjalan ke gerbang, dengan satu tangan memegangi Saphira. Ajihad telah pergi selama hampir tiga hari, memburu para Urgal yang berhasil meloloskan diri ke dalam terowongan-terowongan kurcaci yang malang-melintang dalam bebat
uan di bawah Pegunungan Beor. Sewaktu Eragon bertemu dengannya ketika melakukan tugasnya, Ajihad tengah mengamuk karena tahu putrinya, Nasuada, telah melanggar perintahnya untuk pergi bersama para wanita lain dan anak-anak sebelum pertempuran dimulai. Nasuada diam-diam turut bertempur bersama para pemanah Varden.
Murtagh dan si Kembar mendampingi Ajihad: si Kembar ikut karena tugas itu berbahaya dan sang pemimpin Varden membutuhkan perlindungan keahlian sihir mereka, Murtagh ikut karena ingin terus membuktikan dirinya tidak mendendam pada kaum Varden. Eragon terkejut melihat perubahan sikap orang-orang kepada Murtagh, mengingat ayah Murtagh adalah Morzan si Penunggang Naga, yang mengkhianati para Penunggang pada Galbatorix. Sekalipun Murtagh membenci ayahnya dan setia pada Eragon, kaum Varden tidak memercayai dirinya. Tapi sekarang, tak ada yang bersedia membuang tenaga untuk kebencian sepele sementara masih ada begitu banyak pekerjaan. Eragon rindu bercakap-cakap dengan Murtagh dan mengharapkan ada kesempatan untuk mendiskusikan segala sesuatu yang sudah terjadi pada saat Murtagh kembali nanti.
Sementara Eragon dan Saphira mengitari Tronjheim, tampak kelompok kecil di bawah cahaya lentera gerbang kayu. Di antara mereka terdapat Orik--kurcaci itu bergerak-gerak tidak sabar dengan kakinya yang kokoh--dan Arya. Perban putih pada lengan atas Arya tampak berpendar dalam kegelapan, memantulkan cahaya samar ke bagian bawah rambutnya. Eragon merasakan getaran aneh, seperti yang selalu dirasakannya setiap kali melihat elf itu. Arya memandangnya dan Saphira, mata hijaunya bersinar, lalu kembali menunggu kemunculan Ajihad.
Dengan memecahkan Isidar Mithrim--batu safir bintang raksasa selebar enam puluh kaki dan diukir berbentuk mawar--Arya memungkinkan Eragon membunuh Durza dan dengan begitu memenangkan pertempuran. Sekalipun begitu, para kurcaci marah kepada elf itu karena menghancurkan harta mereka yang paling berharga. Mereka menolak membersihkan puing-puing batu safir tersebut, membiarkannya dalam lingkaran raksasa di ruang utama Tronjheim. Eragon telah menjelajahi reruntuhan dan turut merasakan kedukaan para kurcaci atas hilangnya keindahan tersebut.
Ia dan Saphira berhenti di dekat Orik dan memandang lahan kosong yang mengelilingi Tronjheim, membentang ke dasar Farthen Dur sejauh lima mil ke segala arah. "Ajihad akan datang dari arah mana"" tanya Eragon.
Orik menunjuk sekelompok tiang berlentera di sekeliling mulut terowongan besar yang dua mil jauhnya. "la seharusnya tiba sebentar lagi."
Eragon menunggu dengan sabar bersama yang lain, menanggapi komentar-komentar yang dilontarkan kepadanya tapi lebih suka bercakap-cakap dengan Saphira dalam ketenangan pikirannya. Ia menyukai kesunyian yang memenuhi Farthen Dur.
Setengah jam berlalu sebelum tampak gerakan-gerakan di terowongan di kejauhan. Kelompok yang terdiri atas sepuluh orang memanjat ke atas tanah, lalu berbalik dan membantu sepuluh kurcaci naik. Salah seorang manusia-Eragon menganggap ia Ajihad-mengangkat tangan, dan para pejuang berkumpul di belakangnya dalam dua baris. Begitu mendapat isyarat, formasi itu berbaris dengan bangga ke Tronjheim.
Belum lagi mereka berjalan lebih dari lima yard, terowongan di belakang dipenuhi sosok-sosok lain yang berlompatan keluar. Eragon menyipitkan mata, tidak mampu melihat dengan jelas dari jarak sejauh ini.
Itu Urgal! seru Saphira, tubuhnya menegang seperti tali busur yang ditarik.
Eragon tidak meragukannya. "Urgal!" serunya, dan melompat ke punggung Saphira, marah pada diri sendiri karena meninggalkan pedangnya, Zar'roc, di kamar. Tidak ada yang menduga akan terjadi serangan sekarang, sesudah pasukan Urgal berhasil diusir.
Lukanya terasa menyengat sewaktu Saphira mengangkat sayapnya yang kebiruan, lalu mengepakkannya dan melompat maju, setiap detik semakin cepat dan semakin tinggi. Di bawah mereka, Arya berlari ke terowongan, nyaris menyamai kecepatan Saphira. Orik mengikuti di belakang elf itu bersama sejumlah orang, sementara Jormundur bergegas lari kembali ke barak.
Eragon terpaksa menyaksikan tanpa daya sementara par
a Urgal menyerang para pejuang Ajihad yang paling belakang; ia tidak mampu mengerahkan sihir dari jarak sejauh itu. Para monster tersebut memiliki keuntungan karena tak disangka muncul dan dengan cepat menghabisi empat orang, memaksa para pejuang sisanya, manusia dan kurcaci, untuk mengelilingi Ajihad dalam usaha melindunginya. Pedang dan kapak beradu sementara kedua kelompok tersebut merapat. Cahaya menyambar dari salah seorang si Kembar, dan satu Urgal jatuh, mencengkeram sisa lengannya yang terpenggal.
Selama semenit, tampaknya para pejuang mampu menahan serangan Urgal, tapi lalu ada pusaran di udara, pita kabut tipis seperti menyelimuti mereka yang tengah bertempur. Sewaktu kabut itu memudar, hanya empat pejuang yang masih berdiri: Ajihad, si Kembar, dan Murtagh. Para Urgal mengeroyok mereka, menghalangi pandangan Eragon sementara ia menatap dengan ngeri dan ketakutan.
Tidak! Tidak! Tidak! Sebelum Saphira mencapai pertempuran, kerumunan Urgal telah kembali ke terowongan dan bergegas turun ke bawah tanah, meninggalkan sosok-sosok yang terkapar.
Begitu Saphira mendarat, Eragon melompat turun, lalu goyah, dilanda kedukaan dan kemarahan. Aku tidak bisa melakukannya. Ia jadi teringat dengan jelas pada saat ia kembali ke pertanian dan menemukan Garrow, pamannya, sekarat. Sambil melawan ketakutannya seiring setiap langkah, ia mencari mereka yang masih hidup.
Tempat itu sangat mirip medan tempur yang didatanginya tadi, tapi di sini darahnya masih segar.
Ajihad terkapar di tengah pembantaian itu, pelindung dadanya rusak berat dan berlubang-lubang, dikelilingi mayat lima Urgal yang dibantainya. Napasnya tersengal-sengal. Eragon berlutut di dekatnya dan menunduk agar air matanya tidak jatuh di dada si pemimpin yang terkoyak. Tidak ada yang bisa menyembuhkan luka seperti itu. Arya, yang berlari mendekati mereka, berhenti, wajahnya berubah akibat kedukaan sewaktu melihat Ajihad tidak bisa diselamatkan.
"Eragon." Nama itu terlontar dari bibir Ajihad--tidak lebih daripada bisikan.
"Ya, aku di sini."
"Dengarkan aku, Eragon... Aku punya perintah terakhir untukmu."
Eragon membungkuk lebih dekat untuk mendengarkan kata-kata pria yang sekarat itu. "Ada yang harus kaujanjikan padaku: berjanjilah kau... tidak akan membiarkan Varden kacau balau.
Mereka satu-satunya harapan untuk melawan Kekaisaran... Mereka harus tetap kuat. Berjanjilah padaku."
"Aku berjanji."
"Kalau begitu, semoga kedamaian bersamamu, Eragon Shadeslayer...." Seiring napas terakhirnya, Ajihad memejamkan mata, wajahnya yang mulia mengendur, dan ia pun tewas.
Eragon membungkuk. Ia merasa sulit bernapas karena seolah ada ganjalan di tenggorokannya, yang begitu keras hingga menyakitkan. Arya memberkati Ajihad dengan serangkaian kata dalam bahasa kuno, lalu berbicara dengan suaranya yang seperti musik, "Sayang, kematiannya akan menimbulkan masalah besar. Ia benar, kau harus berusaha sekuat tenaga mencegah perebutan kekuasaan. Akan kubantu sebisaku."
Karena tidak ingin bicara, Eragon menatap mayat-mayat lain. Ia bersedia memberikan apa saja untuk bisa berada di tempat lain. Saphira menyodok salah satu mayat Urgal dengan hidungnya dan berkata, Ini seharusnya tidak terjadi. Ini kejahatan, dan makin buruk karena terjadi pada saat kita seharusnya aman dan menang. Ia memeriksa mayat yang lain, lalu memalingkan kepala. Mana si Kembar dan Murtagh" Mereka tidak ada di antara mayat-mayat ini.
Eragon mengamati mayat-mayat itu. Kau benar! Semangat kembali berkobar dalam dirinya saat bergegas ke mulut terowongan. Genangan darah yang mulai mengering memenuhi ceruk-ceruk di tangga marmer aus yang seperti serangkaian cermin gelap, mengilap dan oval, seakan ada sejumlah mayat tercabik yang diseret menuruninya. Para Urgal pasti menangkap mereka! Tapi kenapa" Mereka tidak pernah menawan atau menyandera. Keputusasaan seketika kembali. Tidak penting. Kita tidak bisa memburu mereka tanpa tambahan tenaga; kau bahkan tidak muat masuk ke terowongan.
Mereka mungkin masih hidup. Apakah kau akan meninggalkan mereka"
Apa yang harus kulakukan" Terowongan kurcaci merupakan labirin tanpa uj
ung! Aku hanya akan tersesat di sana. Dan aku tidak bisa mengejar Urgal dengan berjalan kaki, sekalipun Arya mungkin bisa.
Kalau begitu mintalah Arya melakukannya.
Arya! Eragon ragu-ragu, terpecah antara keinginan beraksi dan keengganan membahayakan Arya. Sekalipun begitu, kalau ada orang di Varden yang mampu mengatasi para Urgal, Arya-lah orangnya. Sambil mengerang, ia menjelaskan pendapat mereka.
Alis Arya yang meninggi berpadu saat ia mengerutkan kening. "Tidak masuk akal."
"Kau mau mengejar mereka""
Arya menatapnya selama beberapa saat yang terasa mencekam. "Wiol ono." Demi kau. Lalu ia melesat maju, pedang berkilau di tangannya saat ia terjun ke perut bumi.
Dengan perasaan frustrasi berat, Eragon bersila di dekat Ajihad, menjaga mayatnya. Ia nyaris tidak bisa menerima fakta bahwa Ajihad telah tewas dan Murtagh hilang. Murtagh. Putra salah seorang Kaum Terkutuk--ketiga belas Penunggang yang membantu Galbatorix menghancurkan ordo mereka dan menunjuk diri sendiri menjadi raja Alagaesia--dan teman Eragon. Terkadang Eragon berharap Murtagh menghilang, tapi sekarang, sesudah pria itu disingkirkan secara paksa, kepergiannya menimbulkan kehampaan tak terduga. Eragon duduk tak bergerak sementara Orik mendekat bersama yang lain.
Sewaktu Orik melihat Ajihad, ia mengentakkan kaki dan memaki dalam Bahasa Kurcaci, mengayunkan kapaknya ke mayat Urgal. Yang lainnya hanya berdiri shock. Sambil menggosokkan sejumput tanah di antara kedua tangannya yang kapalan, kurcaci itu menggeram, "Ah, sekarang sarang lebah telah diusik; tidak akan ada kedamaian di antara Varden sesudah ini. Barzuln, tapi ini memperumit semuanya. Kau sempat mendengar pesan terakhirnya""
Eragon melirik Saphira. "Tunggu kedatangan orang yang tepat baru aku akan mengulanginya."
"Aku mengerti. Mana Arya""
Eragon menunjuk. Orik kembali memaki, lalu menggeleng dan duduk bersimpuh.
Tidak lama kemudian Jormundur tiba bersama dua belas baris prajurit yang masing-masing terdiri atas enam orang. Ia memberi isyarat agar mereka menunggu di luar radius mayat-mayat sementara ia maju seorang diri. Ia membungkuk dan menyentuh bahu Ajihad. "Kenapa nasib bisa sekejam ini, sobat lamaku" Aku pasti tiba lebih cepat kalau bukan karena luasnya pegunungan terkutuk ini, dan mungkin dengan begitu kau akan selamat. Tapi kita malah terluka di puncak kemenangan kita."
Dengan suara pelan Eragon memberitahu tentang Arya dan menghilangnya si Kembar serta Murtagh.
"Arya seharusnya tidak pergi," kata Jormundur, sambil menegakkan diri, "tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kita akan menempatkan para penjaga di sini, tapi sedikitnya baru satu jam lagi para kurcaci pemandu bisa ditemukan untuk membimbing ekspedisi ke dalam terowongan-terowongan."
"Aku bersedia memimpinnya," Orik menawarkan.
Jormundur berpaling memandang Tronjheim, pandangannya menerawang. "Tidak, Hrothgar membutuhkan dirimu sekarang; harus orang lain yang pergi. Maaf, Eragon, tapi semua orang penting harus tetap berada di sini hingga penerus Ajihad terpilih. Arya terpaksa berjuang sendiri.... Lagi pula kita tidak akan bisa menyusulnya."
Eragon mengangguk, menerima yang tidak terelakkan.
Jormundur memandang sekelilingnya sebelum berbicara cukup keras agar bisa didengar semua orang, "Ajihad tewas sebagai pejuang! Lihat, ia membantai lima Urgal sementara orang yang tidak sehebat dia pasti sudah dikalahkan hanya oleh satu Urgal. Kita akan menghormatinya sepenuhnya dan semoga rohnya menyenangkan para dewa. Bawa ia dan rekan-rekan kita kembali ke Tronjheim dengan perisai kalian... dan jangan malu untuk menangis, karena ini merupakan hari kedukaan yang akan dikenang semua orang. Semoga kita secepatnya mendapat kesempatan menghunjamkan pedang kita ke tubuh monster-monster yang telah membantai pemimpin kita!"
Bersama-sama, para pejuang berlutut, menanggalkan ketopong dan topi masing-masing sebagai penghormatan pada Ajihad. Lalu mereka berdiri dan dengan khidmat mengangkatnya dengan perisai mereka hingga mayat Ajihad terbaring di antara bahu mereka. Banyak Varden yang menangis, air mata mengalir ke janggut, tapi mer
eka tidak melalaikan tugas, tidak menjatuhkan mayat Ajihad. Dengan langkah-langkah khidmat, mereka berbaris kembali ke Tronjheim, Saphira dan Eragon berjalan di tengah prosesi itu.
DEWAN TETUA Eragon bangkit dan berguling ke tepi ranjang, memandang sekeliling ruangan yang diterangi cahaya suram lentera tertutup. Ia duduk dan mengawasi Saphira yang masih tidur. Sisi-sisi Saphira yang berotot mengembang dan mengempis sementara paru-paru raksasanya memompa udara melalui cuping hidungnya yang bersisik. Eragon memikirkan neraka yang sekarang bisa dikerahkan Saphira sesuka hatinya, menyembur keluar dari mulutnya. Pemandangan yang luar biasa, saat api yang cukup panas untuk melelehkan logam menghambur tanpa melukai lidah dan gigi-gigi gadingnya. Sejak pertama kali menyemburkan api dalam pertempuran melawan Durza--sambil menukik ke arah mereka dari puncak Tronjheim--Saphira sangat bangga akan bakat barunya. Ia terus menyemburkan api sedikit-sedikit, dan menggunakan setiap kesempatan untuk menyulut apa pun yang perlu dibakar.
Karena Isidar Mithrim telah hancur, Eragon dan Saphira tidak bisa tetap tinggal di liang naga di atasnya. Para kurcaci memberi mereka kamar-kamar di ruang jaga lama di tingkat dasar Tronjheim. Kamar itu luas, tapi dengan langit-langit rendah dan dinding-dinding yang gelap.
Kegusaran mencengkeram Eragon sewaktu ia teringat kejadian-kejadian yang berlangsung kemarin. Air mata menggenang di matanya, tumpah, dan ia menangkap setetes dengan tangannya. Baru larut malam mereka mendapat kabar dari Arya, sewaktu elf itu muncul dari terowongan, kelelahan dan kakinya sakit. Sekalipun ia telah berusaha sekuat tenaga-dan loloskan diri. "Aku menemukan ini," katanya. Lalu ia menunjukkan salah satu jubah ungu si Kembar, tercabik dan berlumuran darah, dan tunik serta kedua sarung tangan kulit Murtagh. "Benda-benda ini bertebaran di tepi jurang gelap, yang dasarnya tidak tercapai terowongan mana pun. Para Urgal pasti mencuri baju besi dan senjata mereka, dan membuang mayat-mayat mereka ke jurang. Kucoba melakukan scry pada Murtagh maupun si Kembar, tapi tidak melihat apa pun kecuali bayang-bayang jurang." Pandangannya bertemu dengan pandangan Eragon. "Maafkan aku; mereka sudah tewas."
Sekarang, dalam benaknya, Eragon berduka untuk Murtagh. Perasaan kehilangan dan kengerian menakutkan yang merayapinya diperburuk fakta bahwa ia semakin akrab dengan perasaan-perasaan itu selama beberapa bulan terakhir.
Sambil menatap air mata di tangannya--kubah kecil kemilau--ia memutuskan men-scry sendiri ketiganya. Ia tahu prospeknya suram dan sia-sia, tapi ia harus mencobanya untuk meyakinkan diri bahwa Murtagh benar-benar telah tewas. Sekalipun begitu, ia tidak yakin apakah ingin berhasil melakukan sesuatu yang gagal dilakukan Arya, apakah ia akan merasa lebih baik jika melihat Murtagh tergeletak di dasar tebing jauh di bawah Farthen Dar.
Ia berbisik, "Draumr kopa." Kegelapan menyelimuti cairan itu, mengubahnya menjadi sebintik kecil malam di telapak tangan peraknya. Gerakan-gerakan terlihat di dalamnya, seperti kelebatan burung melintasi bulan yang tertutup awan... lalu tidak terlihat apa-apa lagi.
Air mata yang lain menggabungkan diri dengan air mata pertama.
Eragon menghela napas panjang, menyandar ke belakang, dan membiarkan ketenangan menguasai dirinya. Sejak pulih dari luka akibat serangan Durza, ia menyadari-biarpun terasa menurunkan martabat-bahwa keberhasilannya karena keberuntungan semata. Kalau aku menghadapi Shade yang lain, atau Ra'zac, atau Galbatorix, aku harus lebih kuat jika ingin menang. Brom bisa mengajariku lebih banyak, aku tahu ia bisa. Tapi tanpa dirinya, aku hanya memiliki satu pilihan: kaum elf.
Napas Saphira bertambah cepat, dan ia membuka mata, menguap lebar. Selamat pagi, makhluk kecil.
Sudah pagi" Eragon menunduk dan bertumpu pada tangannya, menekan kasur. Mengerikan... Murtagh dan Ajihad... Kenapa para penjaga di terowongan tidak memperingatkan kita soal kemunculan para Urgal" Mereka seharusnya tidak mungkin bisa mengikuti kelompok Ajihad tanpa ketahuan. Arya benar, ini tidak masuk akal.
Kita mungki n tidak akan pernah tahu kebenarannya, kata Saphira lembut. Ia bangkit, sayapnya menyapu langit-langit. Kau harus makan, lalu kita harus mencari tahu rencana kaum Varden. Kita tidak boleh membuang-buang waktu; pemimpin baru bisa dipilih dalam beberapa jam lagi.
Eragon setuju, teringat bagaimana mereka meninggalkan semua orang kemarin: Orik yang bergegas pergi untuk menyampaikan laporan perkembangan terbaru pada Raja Hrothgar, Jormundur yang membawa mayat Ajihad ke tempat Ajihad akan disemayamkan hingga pemakaman, dan Arya, yang berdiri seorang diri dan mengawasi semua yang tengah berlangsung.
Eragon bangkit dan menyandang Zar'roc serta busurnya, lalu membungkuk dan mengambil pelana Snowfire. Sakit bagai membelah dadanya, menyebabkan ia terkapar di lantai, tempat ia menggeliat-geliat, mencakari punggungnya. Rasanya dirinya seperti digergaji menjadi dua. Saphira menggeram sewaktu sensasi itu mencapai dirinya. Ia mencoba menenangkan Eragon dengan benaknya sendiri tapi tidak mampu meredakan penderitaan Eragon. Ekornya secara naluriah terangkat, seakan hendak bertempur.
Baru beberapa menit kemudian serangan sakit itu mereda dan denyutan terakhir memudar, meninggalkan Eragon yang terengah-engah. Keringat membasahi wajahnya, menyebabkan rambutnya lengket dan matanya pedas. Ia mengulurkan tangan ke belakang dan dengan hati-hati menyentuh bagian atas bekas lukanya. Bekas luka itu terasa panas membara, dan peka terhadap sentuhan. Saphira menurunkan hidungnya dan menyentuh lengan Eragon. Oh, makhluk kecil....
Kali ini lebih buruk, kata Eragon, sambil beranjak bangkit dengan susah payah. Saphira membiarkan dirinya menyandar lalu dengan hati-hati ia melangkah ke pintu.
Kau sudah cukup kuat untuk pergi"
Terpaksa. Sebagai naga dan Penunggang kita wajib memilih pemimpin Varden berikutnya di depan umum, dan mungkin bahkan memengaruhi pemilihan. Aku tidak akan menyangkal kekuatan posisi kita; kita sekarang menyandang kekuasaan besar di kalangan kaum Varden. Untungnya si Kembar tidak berada di sini untuk merebut posisi itu bagi mereka sendiri. Hanya itu satu-satunya kebaikan dalam situasi ini.
Baiklah, tapi Durza seharusnya mendapat siksaan selama seribu tahun untuk perbuatannya pada dirimu.
Eragon mendengus. Yang penting jangan jauh jauh dariku.
Bersama-sama mereka berjalan melintasi Tronjheim, menuju dapur terdekat. Di koridor dan lorong, orang-orang berhenti dan membungkuk kepada mereka, sambil bergumam, "Argetlam" atau "Shadeslayer." Bahkan para kurcaci juga berbuat begitu, sekalipun lebih jarang. Eragon terpukul melihat ekspresi muram dan ketakutan yang ditampakkan para manusia, dan pakaian gelap yang mereka kenakan untuk menunjukkan kesedihan. Banyak wanita yang mengenakan pakaian hitam seluruhnya, cadar berenda menutupi wajah mereka.
Di dapur, Eragon membawa piring batu berisi makanan ke meja rendah. Saphira mengawasinya dengan cermat untuk berjaga-jaga seandainya ia mendapat serangan lagi. Sejumlah orang mencoba mendekati Eragon, tapi Saphira mendengus dan menggeram, menyebabkan mereka menghambur pergi. Eragon memainkan makanannya dan berpura-pura tidak mengacuhkan gangguan-gangguan itu. Akhirnya, dalam usahanya untuk mengalihkan pikiran dari Murtagh, ia bertanya, Menurutmu siapa yang mampu mengendalikan kaum Varden sekarang, sesudah Ajihad dan si Kembar tidak ada"
Saphira ragu-ragu. Ada kemungkinan dirimu, kalau pesan terakhir Ajihad ditafsirkan sebagai restu untuk menjamin kepemimpinan. Hampir tidak ada yang akan menentang dirimu. Tapi, rasanya itu bukan pilihan yang bijak untuk diambil. Aku hanya melihat masalah di sana.
Setuju. Lagi pula, Arya tidak akan setuju, dan ia bisa menjadi musuh yang berbahaya. Elf tidak boleh berbohong dalam bahasa kuno, tapi mereka tidak memiliki larangan untuk berbuat begitu dalam bahasa kita--ia bisa mengingkari Ajihad pernah berpesan begitu kalau tindakan tersebut sesuai dengan tujuannya. Tidak, aku tidak menginginkan posisi itu. Bagaimana dengan Jormundur"
Ajihad menyebutnya tangan kanan. Sialnya, hanya sedikit yang kita ketahui tentang dirinya atau para pemimpin kaum Varden lain. Ke
beradaan kita di sini terlalu singkat. Kita terpaksa menilai berdasarkan perasaan dan kesan kita, tanpa dukungan sejarah.
Eragon mendorong ikannya mengelilingi segumpal bubur. Jangan lupa ada Hrothgar dan klan-klan kurcaci; mereka tidak akan tinggal diam dalam hal ini. Kecuali Arya, para elf tidak memiliki suara dalam pemilihan penerus-keputusan akan sudah diambil bahkan sebelum berita mengenai kejadian ini sampai di telinga mereka. Tapi para kurcaci tidak bisa-tidak akan mau-diabaikan. Hrothgar menyukai kaum Varden, tapi kalau cukup banyak klan yang menentangnya, ia mungkin terpaksa mendukung orang yang tidak cocok menjadi pemimpin.
Dan kemungkinan siapa orang itu"
Seseorang yang mudah dimanipulasi. Eragon memejamkan mata dan menyandar ke belakang. Bisa jadi siapa saja di Farthen Dur, siapa saja.
Selama beberapa waktu yang cukup lama, mereka berdua mempertimbangkan masalah yang mereka hadapi. Lalu Saphira berkata, Eragon, ada yang ingin menemuimu. Aku tidak bisa mengusirnya.
Eh" Eragon membuka mata, menyipitkannya sementara matanya menyesuaikan diri dengan cahaya. Seorang anak muda pucat berdiri di dekat meja. Bocah itu memandang Saphira seolah takut Saphira akan menyantapnya. "Ada apa"" tanya Eragon, suaranya biasa saja.
Bocah itu terkejut, wajahnya memerah, lalu ia membungkuk memberi hormat. "Anda dipanggil, Argetlam, untuk berbicara di depan Dewan Tetua."
"Siapa mereka""
Pertanyaan itu menyebabkan si bocah semakin bingung. "De-dewan adalah... adalah... orang-orang yang kami-yaitu kaum Varden-pilih untuk mewakili kami berbicara dengan Ajihad. Mereka para penasehat terpercayanya, dan sekarang mereka ingin menemui Anda. Itu kehormatan besar!" Ia mengakhirinya dengan senyum sekilas.
"Apa kau akan mengantarku ke sana""
"Ya, benar." Saphira melontarkan pandangan bertanya pada Eragon. Eragon mengangkat bahu dan meninggalkan hidangan yang belum disantapnya, memberi isyarat agar si bocah menunjukkan jalan. Sementara mereka berjalan, bocah itu mengagumi Zar'roc dengan mata berbinar-binar, lalu menunduk malu.
"Siapa namamu"" tanya Eragon.
"Jarsha, Sir." "Nama yang bagus. Kau menyampaikan pesan dengan baik; kau seharusnya bangga." Jarsha tersenyum dan berjalan dengan langkah yang lebih ringan.
Mereka tiba di pintu batu cembung, yang didorong Jarsha hingga terbuka. Ruang di dalamnya bundar, dengan kubah biru langit yang dihiasi konstelasi. Meja marmer bundar, dihiasi lambang Durgrimst Ingeitum--martil yang berdiri tegak dikelilingi dua belas bintang--berada di tengah ruangan. Di sekelilingnya duduk Jormundur dan dua pria lain, satu jangkung dan satu gemuk; seorang wanita berbibir mengerut, bermata rapat, dan pipi yang diberi pewarna; dan wanita kedua dengan rambut beruban disasak tinggi di atas wajah yang keibuan, dengan tangkai pisau mengintip dari tubuhnya yang besar.
"Kau boleh pergi," kata Jormundur kepada Jarsha, yang bergegas membungkuk dan berlalu.
Sadar dirinya tengah diawasi, Eragon mengamati sekeliling ruangan, lalu duduk di tengah deretan kursi kosong, dengan begitu memaksa para anggota dewan berpaling untuk bisa memandang dirinya. Saphira membungkuk tepat di belakang Eragon; Eragon bisa merasakan napasnya yang panas di puncak kepalanya.
Jormundur setengah berdiri untuk membungkuk sedikit, lalu duduk kembali. "Terima kasih sudah bersedia datang, Eragon, sekalipun kau sendiri menderita kehilangan. Ini Umerth," si pria jangkung; "Falberd," si pria gemuk; "dan Sabrae serta
Elessari," kedua wanita.
Eragon menundukkan kepala, lalu bertanya, "Bagaimana dengan si Kembar, apa mereka dulu anggota dewan ini""
Sabrae menggeleng tajam dan mengetuk-ngetukkan kuku yang panjang ke meja. "Mereka tidak ada kaitannya dengan kami. Mereka lintah yang licin--lebih daripada licin--dan bekerja hanya demi keuntungan mereka sendiri. Mereka tidak berniat mengabdi pada kaum Varden. Dengan begitu, mereka tidak memiliki tempat dalam dewan ini." Eragon bisa mencium bau parfumnya dari sisi seberang meja; bau yang kental dan berminyak, seperti bunga yang membusuk. Ia menyembunyikan senyuman karena berpikiran begitu.
"Cukup. Kita di sini bukan untuk mendiskusikan si Kembar," kata Jormundur. "Kita menghadapi krisis yang harus diatasi secepatnya dan seefektif mungkin. Kalau kita tidak memilih penerus Ajihad, orang lain akan memilihnya. Hrothgar sudah menghubungi kita untuk menyampaikan belasungkawa. Biarpun lebih daripada ramah, ia pasti sudah menyusun rencana sendiri bahkan saat kita berbicara sekarang. Kita juga harus mempertimbangkan Du Vrangr Gata, para pemakai sihir. Sebagian besar dari mereka setia pada kaum Varden, tapi sulit memperkirakan tindakan-tindakan mereka bahkan dalam saat-saat terbaik. Mereka mungkin memutuskan menentang kewenangan kita demi keuntungan mereka sendiri. Itu sebabnya kami membutuhkan bantuanmu, Eragon, untuk memberi keabsahan yang dibutuhkan bagi siapa pun yang akan menggantikan tempat Ajihad."
Falberd beranjak bangkit, menumpukan tangannya yang gemuk di meja. "Kami berlima sudah memutuskan siapa yang akan kami dukung. Kami tidak ragu bahwa sudah memilih orang yang tepat. Tapi," ia mengangkat satu jari yang gemuk, "sebelum kami beritahukan siapa orangnya, kau harus berjanji bahwa entah kau setuju atau tidak dengan pilihan kami, tidak sedikit pun dari diskusi ini boleh menyebar keluar."
Kenapa mereka menginginkan begitu" tanya Eragon pada Saphira.
Entahlah, kata Saphira, sambil mendengus. Mungkin ini jebakan. Ini perjudian yang harus kauambil. Tapi ingat, mereka belum memintaku menjanjikan apa pun. Kalau perlu, aku selalu bisa memberitahu Arya mengenai apa yang mereka bicarakan. Mereka bodoh, lupa bahwa aku sama cerdasnya dengan manusia mana pun.
Senang dengan pikiran itu, Eragon berkata, "Baiklah, aku berjanji. Sekarang, siapa yang kalian pilih untuk memimpin kaum Varden""
"Nasuada." Karena terkejut, Eragon menunduk, berpikir cepat. Ia tidak mempertimbangkan Nasuada sebagai penerus karena gadis itu masih muda--ia hanya beberapa tahun lebih tua daripada Eragon. Tidak ada alasan nyata, tentu saja, kenapa gadis itu tidak boleh memimpin, tapi kenapa Dewan Tetua menginginkan dirinya" Apa untungnya bagi mereka" Eragon teringat nasihat Brom dan mencoba memeriksa masalah ini dari setiap sudut, tahu dirinya harus mengambil keputusan dengan cepat.
Nasuada memiliki ketegaran, kata Saphira. Ia seperti ayahnya.
Mungkin, tapi apa alasan mereka memilihnya"
Untuk mengulur waktu, Eragon bertanya, "Kenapa bukan dirimu, Jormundur" Ajihad menyebutmu tangan kanannya. Bukankah itu berarti kau seharusnya mengambil alih tempatnya sekarang, sesudah kepergiannya""
Ketidaknyamanan menyelimuti para anggota Dewan: Sabrae duduk lebih tegak lagi, kedua tangan tertangkup di depannya; Umerth dan Falberd bertukar pandang dengan muram, sementara Elessari hanya tersenyum, tangkai pisaunya bergoyanggoyang di dada.
"Karena," kata Jormundur, memilih perkataannya dengan hati-hati, "Ajihad berbicara dalam kaitan militer waktu itu, tidak lebih. Selain itu, aku anggota Dewan, yang hanya memiliki kekuasaan karena kami saling mendukung. Bodoh dan berbahaya kalau salah satu dari kami mengangkat diri lebih tinggi daripada yang lain." Ketegangan para anggota Dewan mengendur saat ia selesai, dan Elessari menepuk-nepuk lengan Jormundur.
Ha! seru Saphira. Ia mungkin sudah mengambil alih kekuasaan kalau bisa memaksa yang lain mendukungnya. Lihat saja cara mereka memandangnya. Ia seperti serigala di tengah mereka.
Serigala di tengah kawanan rubah, mungkin.
"Apa Nasuada cukup berpengalaman"" tanya Eragon.
Elessari menekankan tubuhnya ke tepi meja saat mencondongkan diri ke depan. "Aku sudah berada di sini selama tujuh tahun sewaktu Ajihad menggabungkan diri dengan kaum Varden. Aku melihat Nasuada tumbuh dewasa, dari gadis; kecil yang manis menjadi wanita seperti sekarang. Terkadang agak bodoh, tapi sosok yang bagus untuk memimpin kaum Varden. Orang-orang akan menyayanginya. Sekarang aku," ia menepuk dada dengan sayang, "dan teman-temanku akan ada di sini untuk membimbingnya melewati masa-masa sulit ini. Ia tak akan pernah tidak didampingi orang yang menunjukkan jalan padanya. Kurangnya pengalaman seharusnya tidak menjadi penghalang baginya untuk mengambil
tempatnya." Pemahaman membanjiri benak Eragon. Mereka menginginkan boneka!
"Pemakaman Ajihad akan diselenggarakan dua hari lagi," sela Umerth. "Tepat sesudahnya, kami merencanakan menunjuk Nasuada sebagai pemimpin baru. Kami belum memintanya, tapi ia pasti setuju. Kami ingin kau hadir dalam penunjukandengan begitu tak seorang pun, bahkan Hrothgar juga, bisa mengeluh-dan bersumpah setia pada kaum Varden. Dengan begitu, kepercayaan orang-orang yang terampas karena kematian Ajihad akan dipulihkan, dan menghalangi siapa pun yang ingin memecah belah organisasi ini."
Kesetiaan! Saphira bergegas menyentuh benak Eragon. Perhatikan, mereka tidak ingin kau bersumpah setia pada Nasuada-hanya pada kaum Varden.
Ya, dan mereka ingin menjadi orang-orang yang menunjuk Nasuada, yang akan menunjukkan bahwa Dewan lebih berkuasa daripada Nasuada. Mereka bisa meminta Arya atau kita menunjuknya, tapi , dengan begitu sama saja mengakui bahwa siapa pun yang melakukannya berkedudukan lebih tinggi daripada semua anggota Varden lainnya. Dengan cara ini, mereka menguatkan keunggulan mereka atas Nasuada, menguasai kita melalui sumpah setia, juga mendapat keuntungan dukungan Penunggang pada Nasuada di depan umum.
"Apa yang terjadi," tanya Eragon, "kalau aku memutuskan tidak menerima tawaran kalian""
"Tawaran"" tanya Falberd, tampak kebingungan. "Wah, tidak terjadi apa-apa, tentu saja. Hanya saja akan timbul masalah yang tidak menyenangkan kalau kau tidak hadir sewaktu Nasuada dipilih. Kalau pahlawan pertempuran Farthen Dar mengabaikan Nasuada, apa yang bisa dipikirkannya kecuali bahwa seorang Penunggang menyepelekan dirinya dan menganggap kaum Varden tidak layak sebagai tempat mengabdi" Siapa yang mampu menanggung malu seperti itu""
Pesannya tidak mungkin bisa lebih jelas lagi. Eragon mencengkeram tangkai Zar'roc di bawah meja, sangat ingin berteriak bahwa mereka tidak perlu memaksa dirinya mendukung kaum Varden, bahwa ia akan tetap melakukannya. Tapi sekarang, secara naluriah ia ingin memberontak, untuk menghindari belenggu yang hendak mereka paksakan padanya. "Karena para Penunggang dipandang begitu tinggi, aku bisa saja memutuskan tenagaku lebih baik digunakan untuk membimbing sendiri kaum Varden."
Suasana dalam ruangan menegang. "Itu tidak bijaksana," kata Sabrae.
Eragon memutar otak mencari jalan untuk meloloskan diri dari situasi ini. Dengan kepergian Ajihad, kata Saphira, mungkin mustahil untuk tetap bebas dari kelompok mana pun, sebagaimana yang diinginkannya dari kita. Kita tidak bisa menimbulkan kemarahan kaum Varden, dan kalau dewan ini mengendalikan mereka begitu Nasuada menduduki tempatnya, kita harus mendekati mereka. Ingat, tindakan mereka lebih didasarkan pada keinginan mempertahankan diri, sebagaimana kita juga.
Tapi apa yang harus kita lakukan untuk mereka begitu kita berada dalam kekuasaan mereka" Apa mereka akan menghormati persekutuan kaum Varden dengan kaum elf dan mengirim kita ke Ellesmera untuk berlatih, atau sebaliknya" Menurutku Jormundur cukup terhormat, tapi bagaimana dengan anggota Dewan yang lain" Aku tidak tahu.
Saphira mengusap puncak kepala Eragon dengan rahangnya. Setujui untuk menghadiri upacara ini bersama Nasuada; sejauh ini hanya itu yang bisa kupikirkan. Sedangkan mengenai bersumpah setia, coba lihat apakah kau bisa menghindarinya. Mungkin akan ada kejadian antara sekarang dan nanti yang mengubah posisi kita... Arya mungkin memiliki jalan keluar.
Tanpa basa-basi, Eragon mengangguk dan berkata, "Baiklah; aku akan menghadiri penunjukan Nasuada."
Jormundur tampak lega. "Bagus, bagus. Dengan begitu tinggal satu masalah lagi yang masih harus kita selesaikan sebelum kau pergi: penerimaan Nasuada. Tidak ada alasan untuk menunda, karena kita semua sudah hadir di sini. Akan kusuruh orang memanggilnya. Juga Arya--kita membutuhkan persetujuan kaum elf sebelum menyampaikan keputusan ini pada masyarakat. Seharusnya tidak sulit; Arya tak bisa menentang dewan kami dan kau, Eragon. Ia akan terpaksa menyetujui penilaian kami."
"Tunggu," kata Elessari, kilau sekeras baja terpancar di matanya. "Tapi, Penunggang, k
ami membutuhkan janjimu. Apa kau mau bersumpah setia dalam upacara nanti""
"Ya, kau harus melakukannya," Falberd menyetujui. "Kaum Varden akan dipermalukan kalau kami tidak bisa memberikan perlindungan menyeluruh padamu."
Cara yang bagus untuk mengutarakannya!
Layak dicoba, kata Saphira. Aku khawatir kau sekarang tidak memiliki pilihan lain.
Mereka tidak akan berani menyakiti kita kalau aku menolak.
Ya, tapi mereka bisa merepotkan kita tanpa henti. Bukan demi diriku kalau kusarankan untuk menerima, tapi demi dirimu. Banyak bahaya yang tidak bisa kuhindarkan darimu, Eragon. Galbatorix bertekad menentang kita, kau membutuhkan sekutu, bukan musuh, di sekelilingmu. Kita tidak bisa menantang Kekaisaran dan kaum Varden sekaligus.
Akhirnya, "Akan kulakukan." Di sekeliling meja terlihat tanda-tanda kesantaian--bahkan desahan yang tidak begitu ditutupi dari Umerth. Mereka takut pada kita!
Sudah seharusnya, dengus Saphira.
Jormundur memanggil Jarsha, dan dengan beberapa patah kata mengirim bocah itu berlari-lari memanggil Nasuada dan Arya. Sementara ia pergi, percakapan berubah menjadi kesunyian yang tidak nyaman. Eragon mengabaikan Dewan, memusatkan pikiran mencari jalan keluar dari dilema ini. Ia tidak menemukan satu pun.
Sewaktu pintu terbuka lagi, semua orang berpaling penuh harap. Nasuada masuk terlebih dulu, dengan dagu terangkat tinggi dan pandangan mantap. Gaun berbordirnya hitam pekat, bahkan lebih pekat daripada warna kulitnya, hanya diselingi segaris warna ungu yang memanjang dari bahu ke pinggul. Arya berjalan di belakangnya, langkahnya seringan dan selincah kucing, dan terang-terangan memesona Jarsha.
Bocah itu diperintahkan pergi, lalu Jormundur membantu Nasuada duduk. Eragon bergegas membantu Arya duduk, tapi elf itu tidak memedulikan kursi yang disodorkan dan berdiri cukup jauh dari meja. Saphira, kata Eragon, beritahukan semua yang terjadi padanya. Kurasa Dewan tidak akan memberitahunya bahwa mereka memaksaku memberikan kesetiaan pada kaum Varden.
"Arya," sapa Jormundur sambil mengangguk, lalu memusatkan perhatian pada Nasuada. "Nasuada, Putri Ajihad, Dewan Tetua ingin menyampaikan belasungkawa resmi yang terdalam atas kehilanganmu, yang lebih dalam daripada yang dirasakan siapa pun." Dengan suara yang lebih pelan, ia menambahkan, "Kau juga mendapat simpati pribadi dari kami. Kami semua tahu bagaimana rasanya kalau ada anggota keluarga yang dibunuh Kekaisaran."
"Terima kasih," gumam Nasuada, sambil mengarahkan tatapan mata berbentuk almond-nya ke bawah. Ia duduk, malu-malu dan berduka, memancarkan kerapuhan yang menyebabkan Eragon ingin menghiburnya. Sikap Nasuada begitu berbeda dengan wanita muda energik yang mengunjungi dirinya dan Saphira di lubang naga sebelum pertempuran.
"Sekalipun sekarang masa duka bagimu, ada masalah yang harus kaupecahkan. Dewan ini tidak bisa memimpin kaum Varden. Dan harus ada yang menggantikan tempat ayahmu sesudah pemakaman. Kami meminta dirimu menerima posisi itu. Sebagai pewarisnya, kedudukan itu hakmu--kaum Varden mengharapkan begitu darimu."
Nasuada menunduk dengan mata berkilau-kilau. Kedukaan terdengar jelas dalam suaranya sewaktu ia berkata, "Aku tidak pernah menduga akan diminta menggantikan ayahku di usia semuda ini. Tapi... kalau kalian berkeras bahwa itu kewajibanku... akan kuterima jabatan ini."
KEJUJURAN DI ANTARA TEMAN
Dewan Tetua tersenyum penuh kemenangan, senang karena Nasuada memenuhi keinginan mereka. "Kami memang berkeras," kata Jormundur, "demi kebaikanmu sendiri dan demi kebaikan kaum Varden." Para anggota Dewan lainnya menyatakan dukungan mereka sendiri juga, yang diterima Nasuada dengan senyum sedih. Sabrae melirik marah Eragon sewaktu ia tidak turut berbicara.
Selama percakapan, Eragon mengawasi Arya, mencari reaksi apa pun dari elf itu terhadap berita yang disampaikannya maupun terhadap pengumuman Dewan. Ekspresi Arya tidak berubah sedikit pun. Tapi Saphira memberitahu Eragon, Ia ingin bicara dengan kita sesudah ini.
Sebelum Eragon sempat menjawab, Falberd berpaling pada Arya. "Apakah kaum elf menyetujui penunjukan ini""
Arya menatap Falbe rd hingga pria itu bergerak-gerak gelisah karena tatapannya yang tajam, lalu mengangkat satu alis. "Aku tidak bisa berbicara atas nama ratuku, tapi menurutku tidak ada alasan untuk keberatan. Aku merestui Nasuada."
Bagaimana tidak, mengetahui apa yang sudah kita beritahukan padanya" pikir Eragon pahit. Kita semua disudutkan.
Komentar Arya jelas menggembirakan Dewan. Nasuada berterima kasih padanya dan bertanya pada Jormundur, "Apakah ada hal lain yang harus didiskusikan" Karena aku sangat lelah."
Jormundur menggeleng. "Kami akan mengatur segalanya. Aku berjanji kau tidak akan diganggu hingga pemakaman."
"Sekali lagi, terima kasih. Bisakah kalian meninggalkan aku sekarang" Aku perlu waktu untuk mempertimbangkan cara terbaik untuk menghormati ayahku dan melayani kaum Varden. Kalian memberiku banyak hal untuk dipertimbangkan." Nasuada merentangkan jemarinya yang halus di kain hitam di pangkuannya.
Umerth tampak hendak memprotes pembubaran Dewan, tapi Falberd melambai, menyuruhnya diam. "Tentu saja, apa pun yang bisa memberimu kedamaian. Kalau kau membutuhkan bantuan, kami siap dan sedia melayani." Setelah memberi isyarat agar yang lain mengikuti, ia berjalan melewati Arya menuju pintu.
"Eragon, bisakah kau tinggal sebentar""
Dengan terkejut Eragon duduk kembali, mengabaikan pandangan waspada para anggota Dewan. Falberd berlama-lama di pintu, mendadak enggan pergi, lalu keluar perlahan-lahan. Arya yang terakhir berlalu. Sebelum menutup pintu, ia memandang Eragon, pandangannya menyatakan kekhawatiran dan ketakutan yang sebelumnya ditutupi.
Nasuada duduk agak menyamping dari Eragon dan Saphira. "Jadi kita bertemu lagi, Penunggang. Kau belum menyapaku. Apa aku menyinggung perasaanmu""
"Tidak, Nasuada; aku enggan bicara karena takut bersikap kasar atau bodoh. Situasi saat ini tidak ramah terhadap pernyataan yang tergesa-gesa." Paranoia kalau-kalau ada yang menguping mencengkeram dirinya. Ia menjangkau ke balik dinding penghalang dalam benaknya, meraih kekuatan sihir, dan berkata, "Atra nosu waise vardo fra eld hornya... Nah, sekarang kita bisa bercakap-cakap tanpa bisa didengar manusia, kurcaci, atau elf."
Postur tegang Nasuada mengendur. "Terima kasih, Eragon. Kau tidak tahu betapa berharganya hal itu." Kata-katanya lebih kuat dan lebih percaya diri daripada sebelumnya.
Di belakang kursi Eragon, Saphira bergerak, lalu dengan hati-hati melangkah mengitari meja untuk berdiri di depan Nasuada. Ia menurunkan kepalanya yang besar hingga satu matanya beradu pandang dengan mata hitam Nasuada. Naga itu menatap Nasuada selama semenit penuh sebelum mendengus lembut dan menegakkan diri. Beritahu dia, kata Saphira, bahwa aku turut berduka atas kehilangannya. Juga bahwa kekuatannya harus menjadi kekuatan Varden saat ia menggantikan kedudukan ayahnya. Mereka membutuhkan panduan yang mantap.
Eragon mengulangi kata-katanya, sambil menambahkan, "Ajihad orang yang hebat-namanya akan selalu dikenang... Ada yang harus kuberitahukan padamu. Sebelum Ajihad meninggal, ia memberiku tugas, memerintahkan aku, menjaga kaum Varden agar tidak kacau balau. Itu pesan terakhirnya. Arya juga mendengarnya.
"Tadinya aku berniat merahasiakan pesannya karena implikasi pesan itu, tapi kau berhak tahu. Aku tidak yakin apa yang dimaksud Ajihad, atau apa tepatnya yang diinginkannya, tapi aku yakin akan hal ini: Aku akan selalu membela kaum Varden dengan kekuatanku. Aku ingin kau memahaminya, dan bahwa aku tidak berniat mengambil alih kepemimpinan kaum Varden."
Nasuada tertawa lemah. "Tapi kepemimpinan itu bukan untukku, bukan"" Sikap tertutupnya sirna, yang tinggal hanya ketenangan dan kebulatan tekad. "Aku tahu kenapa kau kemari sebelum diriku dan apa yang hendak dilakukan Dewan. Menurutmu, selama bertahun-tahun aku mengabdi pada ayahku, kami tidak pernah merencanakan kemungkinan seperti ini" Aku sudah menduga Dewan akan melakukan apa yang barusan mereka lakukan. Dan sekarang segala sesuatu sudah berada pada tempatnya sehingga aku dapat mengambil alih kepemimpinan atas kaum Varden."
"Kau tidak berniat membiarkan mereka mengatur dirimu," kata Eragon tak
jub. "Ya. Tetap rahasiakan instruksi Ajihad. Tidak bijaksana menyebarluaskannya, karena orang-orang mungkin akan menafsirkan ayahku ingin kau menggantikan dirinya, dan dengan begitu akan merendahkan kewenanganku dan mengacaukan kaum Varden. Ayahku mengatakan apa yang menurutnya harus dikatakan untuk melindungi kaum Varden. Aku juga akan berbuat begitu. Ayahku...." Suaranya bergetar sejenak. "Pekerjaan ayahku akan selesai, bahkan walaupun aku terpaksa tewas karenanya. Itulah yang aku ingin kau, sebagai Penunggang, pahami. Semua rencana Ajihad, semua strategi dan tujuannya, semuanya menjadi rencanaku sekarang. Aku tidak akan mengecewakannya dengan bersikap lemah. Kekaisaran akan diruntuhkan, Galbatorix akan diturunkan dari tahta, dan pemerintahan yang benar akan didirikan."
Pada saat ia selesai, air mata mengalir di pipinya. Eragon menatapnya, memahami betapa sulitnya posisi Nasuada dan menyadari suatu sisi gadis itu yang sebelum ini tidak diketahuinya. "Bagaimana dengan diriku, Nasuada" Apa yang harus kulakukan di antara kaum Varden""
Nasuada menatapnya lurus-lurus. "Kau boleh melakukan apa pun yang kauinginkan. Para anggota Dewan bodoh kalau menganggap mereka bisa mengendalikan dirimu. Kau pahlawan bagi kaum Varden dan para kurcaci, bahkan para elf pun akan memuji kemenanganmu atas Durza sewaktu mereka mendengarnya. Kalau kau menentang Dewan atau diriku, kami terpaksa mengalah, karena orang-orang akan mendukungmu dengan segenap hati. Sekarang ini, kau orang yang paling berkuasa di antara kaum Varden. Tapi, kalau kau menerima kepemimpinanku, aku akan melanjutkan jalan yang sudah dibentangkan Ajihad: kau akan pergi bersama Arya kepada para elf, untuk dilatih di sana, lalu kembali ke kaum Varden."
Kenapa ia begitu jujur kepada kita" pikir Eragon penasaran. Kalau ia benar, mungkinkah kita tadi bisa menolak tuntutan Dewan"
Saphira membutuhkan waktu sejenak untuk menjawab. Dengan cara apa pun, sudah terlambat sekarang. Kau telah menyetujui permintaan mereka. Kupikir Nasuada bersikap jujur karena mantramu memungkinkan dirinya begitu, juga karena ia berharap bisa mengalihkan kesetiaan kita dari para tetua.
Tiba-tiba Eragon mendapat gagasan, tapi sebelum mengutarakannya, ia bertanya, Apa kita bisa percaya ia akan memegang katakatanya" Ini sangat penting.
Ya, kata Saphira. Ia berbicara dengan tulus.
Lalu Eragon memberitahukan usulannya kepada Saphira. Saphira menyetujui, jadi Eragon mencabut Zar'roc dan berjalan mendekati Nasuada. Ia melihat kilas ketakutan di mata gadis itu saat ia mendekat; tatapan Nasuada melayang ke pintu, dan gadis itu menyelipkan tangan ke balik lipatan gaunnya dan mencengkeram sesuatu. Eragon berhenti di depannya, lalu berlutut, Zar'roc melintang rata di kedua tangannya.
"Nasuada, Saphira dan aku baru sebentar saja berada di sini. Tapi dalam waktu itu kami menghormati Ajihad, dan sekarang, pada gilirannya, menghormati dirimu. Kau bertempur di bawah Farthen Dur sewaktu orang-orang melarikan diri, termasuk kedua wanita anggota Dewan, dan telah memperlakukan kami dengan terbuka, bukan dengan tipuan. Oleh karena itu, kutawarkan pedangku... dan kesetiaanku sebagai Penunggang."
Eragon mengucapkan pernyataan itu dengan ketegasan tidak tergoyahkan, tahu dirinya tidak akan pernah berkata begitu kalau tidak ada pertempuran yang barusan selesai itu. Melihat begitu banyak orang mati di sekitarnya telah mengubah cara pandangnya. Melawan Kekaisaran bukan lagi tindakan bagi dirinya sendiri, tapi bagi kaum Varden dan semua orang yang masih terjebak di bawah kekuasaan Galbatorix. Tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan, ia akan mengabdikan diri untuk tugas itu. Untuk saat ini, tindakan terbaik yang bisa dilakukannya adalah melayani.
Sekalipun begitu, ia dan Saphira mengambil risiko yang sangat besar dengan bersumpah setia pada Nasuada. Dewan tidak bisa menolak karena Eragon hanya mengatakan akan bersumpah setia, tapi tidak mengatakan pada siapa. Sekalipun begitu, ia dan Saphira tidak memiliki jaminan Nasuada akan menjadi pemimpin yang baik. Lebih baik bersumpah pada orang bodoh yang jujur daripada pada ora
ng terpelajar penipu, pikir Eragon mengambil keputusan.
Keterkejutan melintas di wajah Nasuada. Ia meraih tangkai Zar'roc dan mengangkatnya--menatap mata pedang yang merah--lalu menempelkan ujungnya di kepala Eragon. "Kuterima sumpah setiamu dengan hormat, Penunggang, karena kau menerima semua tanggung jawab yang timbul bersama keputusan itu. Bangkitlah sebagai pembantuku dan terimalah pedangmu."
Eragon mematuhi perintah itu. Ia berkata, "Sekarang aku bisa memberitahumu secara terus terang sebagai majikanku, Dewan memaksaku berjanji untuk bersumpah setia pada kaum Varden begitu kau ditunjuk. Hanya ini satu-satunya cara untuk mengakali mereka."
Nasuada tertawa dengan kegembiraan yang tulus. "Ah, kulihat kau sudah belajar cara melakukan permainan kami. Baiklah, sebagai pembantu terbaruku dan satu-satunya, apakah kau setuju untuk mengucapkan sumpah setiamu sekali lagi--di depan umum, sewaktu Dewan mengharapkan sumpahmu""
"Tentu saja." "Bagus, itu akan membereskan Dewan. Sekarang, hingga saat itu tiba, tinggalkan aku. Banyak yang harus kurencanakan, dan aku harus mempersiapkan pemakaman.... Ingat, Eragon, ikatan yang baru saja kita ciptakan berlaku bagi kedua belah pihak; aku uga bertanggung jawab untuk setiap tindakan yang kaulakukan dalam melayaniku. Jangan mempermalukan diriku." "Dan sebaliknya."
Nasuada diam sejenak, lalu menatap lurus ke mata Eragon dan menambahkan dengan nada yang lebih lembut, "Aku turut berduka cita, Eragon. Kusadari orang-orang lain selain diriku juga memiliki sumber kedukaan; aku kehilangan ayahku, kau kehilangan temanmu. Aku sangat menyukai Murtagh dan sedih atas kepergiannya.... Selamat tinggal, Eragon."
Eragon mengangguk, dengan mulut terasa pahit, dan meninggalkan ruangan bersama Saphira. Lorong kelabu di luar kosong. Eragon berkacak pinggang, memiringkan kepala ke belakang, dan mengembuskan napas. Hari baru saja dimulai, tapi ia telah kelelahan akibat semua emosi yang membanjiri dirinya.
Saphira menyodoknya dengan hidung dan berkata, Lewat sini. Tanpa penjelasan lebih lanjut, ia berjalan ke sisi kanan terowongan. Cakarnya yang mengilap berdetak-detak menghantam lantai yang keras.
Eragon mengerutkan kening, tapi mengikutinya. Kita ke mana" Tidak ada jawaban. Saphira, please. Saphira hanya mengibaskan ekor. Eragon memutuskan untuk pasrah, dan akhirnya berkata, Situasinya jelas telah berubah bagi kita. Aku tidak pernah tahu apa yang bisa kuharapkan dari hari ke hari-kecuali kesedihan dan pertumpahan darah.
Tidak semuanya buruk, tegur Saphira. Kita mendapat kemenangan besar. Kemenangan itu seharusnya dirayakan, bukan ditangisi.
Keharusan berurusan dengan omong kosong lain ini tidak memperbaiki suasana hatiku.
Saphira mendengus marah. Segaris tipis api menyambar dari cuping hidungnya, menghanguskan bahu Eragon. Eragon melompat mundur sambil menjerit, menahan serangkaian makian. Ups, kata Saphira, sambil menggeleng untuk mengusir asap.
Ups" Kau hampir memanggang tubuhku!
Aku tidak menduga akan jadi begitu. Aku terus lupa bahwa api akan tersembur kalau aku tidak berhati-hati. Bayangkan kalau setiap kali kau mengangkat tangan, kilat menyambar. Mudah sekali untuk bertindak sembarangan dan tanpa sengaja menghancurkan sesuatu.
Kau benar... Maaf aku menggerutu padamu.
Kelopak mata Saphira yang keras berdetak sewaktu ia mengedipkan sebelah mata pada Eragon. Tidak penting. Yang ingin kusampaikan adalah Nasuada sekalipun tidak bisa memaksamu melakukan apa pun.
Tapi aku sudah berjanji sebagai Penunggang!
Mungkin begitu, tapi kalau aku harus melanggarnya agar kau selamat, atau melakukan tindakan yang benar, aku tidak akan ragu-ragu. Aku bisa menanggung beban itu dengan mudah. Karena aku menyatu denganmu, kehormatanku menjadi satu dengan sumpah setiamu, tapi sebagai individu, aku tidak terikat sumpahmu. Kalau perlu, akan kuculik kau. Dengan begitu, ketidakpatuhan apa pun tidak akan menjadi kesalahanmu sendiri.
Seharusnya tidak perlu begitu. Kalau kita terpaksa menggunakan tipuan seperti itu untuk melakukan tindakan yang benar, berarti Nasuada dan kaum Varden kehilangan seluruh integritas mere
ka. Saphira berhenti. Mereka berdiri di depan ambang pintu melengkung dan berukir perpustakaan Tronjheim. Ruangan yang luas dan sunyi tersebut terasa kosong, sekalipun berderet-deret rak buku yang diselingi tiang-tiang bisa menyembunyikan banyak orang. Lentera-lentera menebarkan cahaya lembut ke dinding-dinding yang penuh tulisan, menerangi relung-relung untuk baca di sepanjang dasarnya.
Setelah berjalan di sela rak-rak buku, Saphira membawa Eragon ke salah satu ceruk, di mana Arya duduk. Eragon berhenti sambil mengamati Arya. Arya terlihat lebih jengkel daripada yang pernah dilihatnya, sekalipun kejengkelan itu hanya terlihat dari kekakuan gerak-geriknya. Tidak seperti sebelumnya, Arya menyandang pedangnya yang memiliki batang pelindung yang anggun. Satu tangan berada di tangkainya.
Eragon duduk di sisi seberang meja marmer. Saphira menempatkan diri di antara mereka, di tempat mereka tidak bisa menghindari tatapannya.
"Apa yang kaulakukan"" tanya Arya dengan sikap bermusuhan yang tidak terduga.
"Kenapa begitu""
Arya mengangkat dagu. "Apa yang kaujanjikan pada kaum Varden" Apa yang kaulakukan""
Bagian yang terakhir bahkan menjangkau Eragon secara mental. Ia sadar elf ini nyaris kehilangan kendali. Ia agak takut. "Kami hanya melakukan apa yang terpaksa kami lakukan. Aku tidak tahu kebiasaan elf, jadi kalau tindakan kami menggusarkan dirimu, aku minta maaf. Tidak perlu marah."
"Bodoh! Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku. Aku menghabiskan tujuh dekade mewakili ratuku di sini--lima belas tahun di antaranya untuk mengantarkan telur Saphira bolakbalik antara kaum Varden dan para elf. Sepanjang waktu itu, aku berjuang keras memastikan kaum Varden memiliki para pemimpin yang bijaksana dan kuat yang mampu menentang Galbatorix serta menghormati keinginan-keinginan kami. Brom membantuku dengan menyusun persetujuan mengenai Penunggang baru--kau. Ajihad berjanji membiarkan dirimu tetap bebas agar keseimbangan kekuasaan tidak terganggu. Sekarang kulihat kau berpihak pada Dewan Tetua, dengan suka rela atau tidak, untuk mengendalikan Nasuada! Kau mengacaukan pekerjaan seumur hidup! Apa yang kaulakukan""
Dengan kecewa, Eragon berterus terang. Menggunakan kata-kata yang singkat dan jelas, ia menjelaskan kenapa dirinya terpaksa menyetujui tuntutan Dewan dan bagaimana ia dan Saphira berusaha menyepelekan mereka.
Sewaktu ia selesai, Arya berkata, "Begitu."
"Begitu." Tujuh puluh tahun. Sekalipun Eragon tahu kehidupan elf luar biasa panjang, ia tidak pernah menduga Arya setua itu, dan lebih tua, karena Arya tampak seperti wanita berusia awal dua puluhan. Satu-satunya tanda ketuaan pada wajahnya yang halus adalah matanya yang hijau-dalam, berpengetahuan, dan sering kali khidmat.
Arya menyandar ke belakang, mengamati dirinya. "Aku tidak berharap posisimu akan seperti itu, tapi lebih baik daripada yang kuharapkan. Aku telah bersikap tidak sopan; Saphira... dan kau... tahu lebih banyak daripada yang kuduga. Kompromimu akan diterima para elf, sekalipun kau tidak boleh pernah melupakan utangmu pada kami untuk Saphira. Tidak akan ada Penunggang tanpa usaha kami."
"Utang itu terukir dalam darahku dan telapak tanganku," kata Eragon. Dalam kebisuan sesudahnya, ia berusaha mencari topik baru, sangat ingin memperpanjang percakapan mereka dan mungkin belajar lebih banyak mengenai Arya. "Kau sudah pergi begitu lama; apa kau merindukan Ellesmera" Atau kau tinggal di tempat lain""
"Ellesmera sejak dulu, dan akan selalu, menjadi rumahku," kata Arya, sambil memandang ke balik Eragon. "Aku sudah tidak tinggal di rumah keluargaku sejak pergi ke kaum Varden, sewaktu semua dinding dan jendelanya tertutup bunga-bunga pertama musim semi. Saat aku kembali ke sana hanya sebentar, kenangan setitik yang memudar kalau menurut ukuran kami."
Sekali lagi Eragon menyadari Arya menebarkan keharuman seperti daun pinus tumbuk. Bau itu pedas dan samar serta membuka indra-indranya, menyegarkan benaknya. "Pasti berat hidup bersama para kurcaci dan manusia di sini tanpa ada satu pun kaummu."
Arya memiringkan kepala. "Kau membicarakan manusia seakan dirimu bukan man
usia." "Mungkin...," Eragon ragu-ragu, "mungkin aku memang berbeda--campuran antara dua ras. Saphira hidup dalam diriku sama seperti aku hidup dalam dirinya. Kami berbagi perasaan, indra, pemikiran, hingga kami lebih merupakan satu pemikiran daripada dua." Saphira mengangguk menyetujui, nyaris menghantam meja dengan moncongnya.
"Memang seharusnya begitu," kata Arya. "Persekutuan yang Lebih kuno dan lebih kuat daripada yang bisa kaubayangkan rnenghubungkan kalian. Kau tidak bisa benar-benar memahami apa artinya menjadi Penunggang sampai latihanmu selesai.
Tapi itu harus menunggu hingga sesudah pemakaman. Sementara itu, semoga bintang-bintang menjagamu."
Setelah mengucapkan kata-kata itu ia berlalu, menyelinap ke keremangan perpustakaan. Eragon mengerjapkan mata. Aku yang salah, atau semua orang memang mudah tersinggung hari ini" Seperti Arya--satu saat ia marah, saat berikutnya ia justru memberkatiku!
Tidak ada yang bisa merasa nyaman sebelum situasi kembali normal.
Jelaskan apa yang disebut normal.
RORAN Roran mendaki bukit dengan susah payah.
Ia berhenti dan menyipitkan mata memandang matahari
dari balik rambutnya yang beriap-riap. Lima jam sebelum matahari terbenam. Aku tidak akan bisa tinggal lama. Sambil mendesah, ia terus menyusuri deretan pohon elm, yang masingmasing tumbuh di tengah rumput yang tidak dipotong.
Ini kunjungan pertamanya ke tanah pertanian sejak dirinya, Horst, dan enam orang lain dari Carvahall mengambil segala sesuatu yang masih layak diselamatkan dari rumah yang hancur dan lumbung yang terbakar. Setelah hampir lima bulan barulah ia mampu mempertimbangkan untuk kembali.
Begitu tiba di puncak bukit, Roran berhenti dan bersedekap. Di depannya berserakan puing-puing rumah masa kecilnya. Salah satu sudut rumah masih berdiri--reyot dan hangus--tapi sisanya rata dan tertutup rerumputan dan alang-alang. Lumbungnya tak bersisa sedikit pun. Beberapa ekar lahan yang mereka tanami setiap tahun sekarang dipenuhi dandelion, mostar liar, dan rerumputan. Di sana-sini, bit liar dan lobak berhasil selamat, tapi hanya itu. Tepat di balik tanah pertanian, sederetan pohon yang lebat menutupi Sungai Anora.
Roran mengepalkan tinju, otot-otot rahangnya tertarik menyakitkan saat ia berusaha menekan gabungan kemurkaan dan kedukaan. Lama ia berdiri kaku di tempatnya, gemetar setiap kali kenangan manis mengaliri dirinya. Tempat ini dulu merupakan seluruh hidupnya dan lebih. Ini masa lalunya... dan merupakan benda istimewa. Kalau kau rawat, ia akan merawatmu. Tidak banyak benda yang bisa begitu." Tadinya Roran berniat bertindak tepat seperti itu sampai dunianya luluh lantak karena pesan yang disampaikan Baldor pelan-pelan.
Sambil mengerang, ia berputar dan melangkah kembali ke jalan. Perasaan kaget yang ditimbulkan saat itu masih bergetar dalam dirinya. Terenggutnya semua orang yang dikasihinya dalam sekejap mengubah jiwanya, dan ia tidak akan pernah bisa pulih lagi. Kejadian itu meresap ke dalam setiap aspek tingkah laku dan pandangannya.
Kejadian itu juga memaksa Roran untuk lebih berpikir. Rasanya seolah selama ini ada karet-karet pengikat yang mengekang benaknya, dan karet-karet itu telah putus, memungkinkan dirinya mempertimbangkan gagasan-gagasan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Seperti fakta bahwa dirinya mungkin tidak akan menjadi petani, atau bahwa keadilan-nilai terbesar dalam berbagai lagu dan legenda-hampir tak berarti di dunia nyata. Terkadang pemikiran-pemikiran ini memenuhi kesadarannya hingga ia nyaris tidak bisa bangkit di pagi hari, tubuhnya terasa berat.
Sesudah berbelok di jalan, ia menuju utara melewati Lembah Palancar, kembali ke Carvahall. Pegunungan bergerigi di kedua sisinya diselimuti salju, sekalipun kesuburan musim semi mulai merayapi dasar lembah beberapa minggu terakhir ini. Di atas kepala, segumpal aware kelabu melayang ke puncak pegunungan.
Roran mengelus dagu, merasakan bakal-bakal janggut di sana. Eragon yang menyebabkan semua ini--ia dan rasa penasarannya yang terkutuk--dengan membawa batu itu keluar dari Spine. Roran membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mendapat kesi
mpulan itu. Ia mendengarkan cerita semua orang. Beberapa kali ia meminta Gertrude, tabib desa, membacakan surat Brom Padanya. Dan tidak ada penjelasan lain. Apa pun batu itu, pasti benda tersebut yang menarik orang-orang asing ini. Untuk alasan itu saja, ia menimpakan kesalahan atas kematian Garrow pada Eragon, sekalipun tidak dengan kemarahan; ia tahu Eragon tidak berniat buruk. Tidak, yang membangkitkan kemurkaannya dan melarikan diri dari Lembah Palancar; meninggalkan tanggung jawabnya untuk pergi bersama pendongeng tua dalam perjalanan tolol. Bagaimana Eragon bisa begitu tidak menghargai mereka yang ditinggalkannya" Apa ia lari karena merasa bersalah" Takut" Apa Brom menyesatkannya dengan dongeng-dongeng petualangan yang liar" Dan kenapa Eragon mendengarkan hal-hal tersebut pada saat-saat seperti itu"... Aku bahkan tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati sekarang.
Roran merengut dan menggerak-gerakkan bahu, berusaha menjernihkan pikiran. Surat Brom... Bah! Ia tidak pernah mendengar khayalan dan isyarat yang lebih konyol lagi. Satusatunya yang jelas hanyalah orang-orang asing itu harus dihindari, yang merupakan pikiran logis sebagai awalan. Pak tua itu sudah sinting, pikirnya memutuskan.


Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan sekilas menyebabkan Roran berpaling, dan ia melihat dua belas rusa--termasuk seekor anak rusa bertanduk beludru-berlari kembali ke sela-sela pepohonan. Roran mengingat-ingat lokasi mereka agar bisa menemukannya besok. Ia bangga dirinya mampu berburu cukup baik untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di rumah Horst, sekalipun tidak pernah seahli Eragon.
Sambil berjalan, ia terus menata pikirannya. Sesudah kematian Garrow, Roran meninggalkan pekerjaannya pada penggilingan Dempton di Therinsford dan kembali ke Carvahall. Horst setuju menampungnya dan, selama berbulan-bulan berikutnya, memberinya pekerjaan di bengkel. Kedukaan menunda keputusan Roran mengenai masa depan hingga dua hari yang lalu, sewaktu ia akhirnya memutuskan tindakan yang akan diambilnya.
Ia ingin menikahi Katrina, putri si tukang daging. Alasan utama kepergiannya ke Therinsford adalah mendapatkan uang untuk memastikan kelancaran awal kehidupan mereka bersama. Tapi sekarang, tanpa lahan pertanian, rumah, atau cara untuk memenuhi kebutuhan Katrina, Roran tidak mampu melamar Katrina. Harga dirinya tidak mengizinkan hal itu. Dan Roran merasa Sloan, ayah Katrina, juga tidak akan mentolerir pelamar dengan prospek seburuk itu. Dalam situasi terbaik sekalipun, Roran memperkirakan akan menemui kesulitan dalam meyakinkan Sloan untuk menyerahkan Katrina; mereka berdua tidak pernah ramah terhadap satu sama lain. Dan mustahil bagi Roran untuk menikahi Katrina tanpa restu ayahnya, kecuali mereka ingin memecah belah keluarga Katrina, memicu kemurkaan penduduk desa dengan menentang tradisi, dan, kemungkinan terbesar, memulai perseteruan berdarah dengan Sloan.
Mengingat situasinya, Roran merasa satu-satunya pilihan yang tersedia baginya adalah membangun kembali lahan pertaniannya, meskipun itu berarti ia harus mendirikan rumah dan lumbungnya sendiri. Akan sulit, memulai dari nol, tapi begitu posisinya sudah mantap, ia bisa mendekati Sloan dengan kepala tegak. Musim semi berikutnya adalah saat tercepat kami bisa berbicara, pikir Roran, sambil meringis.
Ia tahu Katrina akan menunggu-setidaknya beberapa waktu.
Ia terus berjalan dengan langkah-langkah yang mantap hingga malam, sewaktu desa terlihat. Di dalam lingkungan kecil bangunan-bangunan, cucian bergantungan pada tali yang dibentangkan dari jendela ke jendela. Para pria pulang ke rumah dari ladang-ladang di sekeliling desa yang penuh gandum musim dingin. Di belakang Carvahall, Air Terjun Igualda setinggi setengah mil tampak kemilau dalam cahaya matahari terbenam, mengalir turun dari Spine ke Anora. Pemandangan itu menghangatkan Roran karena begitu biasa. Tidak ada yang lebih menghibur selain mendapatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Sesudah meninggalkan jalan, ia mendaki tanjakan ke tempat rumah Horst berdiri menghadap ke Spine. Pintunya terbuka. Roran berderap masuk, mengikuti suara percakapan ke dapur.
Horst a da di sana, bertumpu pada meja kasar yang didorong ke salah satu sudut ruangan, lengannya telanjang hingga siku. Di sampingnya duduk isterinya, Elain, yang hamil hampir lima bulan dan tersenyum puas. Putra-putra mereka, Albriech dan Baldor, duduk di depan mereka.
Saat Roran masuk, Albriech berkata, "...dan aku belum meninggalkan bengkel! Thane bersurnpah melihat diriku, tapi aku ada di sisi seberang desa."
"Apa yang terjadi"" tanya Roran, sambil melepas ransel.
Elain bertukar pandang dengan Horst. "Sini, biar kuambilkan makan." Ia meletakkan roti dan semangkuk sayur rebus dingin di depan Roran. Lalu ia memandang Roran lurus di mata, seakan mencari ekspresi tertentu. "Bagaimana keadaannya""
Roran mengangkat bahu. "Semua kayunya sudah terbakar atau membusuk-tidak ada yang bisa digunakan. Sumurnya masih utuh, dan kurasa itu patut disyukuri. Aku harus menebang kayu untuk rumah secepat mungkin kalau ingin ada atap di atas kepalaku pada musim tanam nanti. Sekarang katakan, apa yang terjadi""
"Ha!" seru Horst. "Ada pertengkaran yang cukup hebat, itu yang terjadi. Thane kehilangan sabit dan menuduh Albriech yang mengambilnya."
"Ia mungkin menjatuhkannya di rerumputan dan lupa di mana meninggalkannya," dengus Albriech.
"Mungkin," Horst menyetujui, sambil tersenyum.
Roran menggigit roti. "Tidak masuk akal, menuduhmu. Kalau membutuhkan sabit, kau bisa membuatnya."
"Aku tahu," kata Albriech, sambil menjatuhkan diri ke kursi, "tapi bukannya mencari sabitnya sendiri, Thane justru menggerutu ia melihat seseorang meninggalkan ladangnya dan orang itu agak mirip aku... dan karena tidak ada orang yang mirip diriku, pastilah aku yang mencuri sabitnya."
Memang benar tidak ada yang mirip dia. Albriech mewarisi ukuran tubuh ayahnya dan rambut pirang madu Elain, yang menyebabkan dirinya menjadi keanehan di Carvahall, di mana cokelat merupakan warna rambut yang dominan. Sebaliknya, Baldor lebih kurus dan rambutnya lebih gelap.
"Aku yakin sabit itu akan ditemukan," kata Baldor pelan. "Sementara itu, cobalah tidak terlalu marah karenanya."
"Kau sih mudah saja mengatakannya."
Sementara Roran menghabiskan potongan terakhir rotinya dan mulai menyantap sayur, ia bertanya pada Horst, "Kau membutuhkan diriku besok""
"Tidak juga. Aku hanya mau menyelesaikan kereta Quimby. Rangka sialannya masih belum bisa dipasang dengan tepat."
Roran mengangguk, senang. "Bagus. Kalau begitu aku mau libur dan berburu. Ada beberapa rusa agak jauh di lembah yang tampaknya tidak terlalu kurus. Setidaknya rusuk mereka tidak kelihatan."
Baldor tiba-tiba berubah cerah. "Kau mau ditemani""
"Tentu saja. Kita bisa berangkat saat subuh."
Sesudah selesai makan, Roran menggosok wajah dan tangannya hingga bersih, lalu berjalan keluar untuk menjernihkan pikiran. Sambil menggeliat santai, ia berjalan ke pusat desa.
Di pertengahan jalan ke sana, percakapan,yang penuh semangat di luar Seven Sheaves menarik perhatiannya. Ia berpaling, penasaran, dan berjalan ke kedai, di mana ia melihat pemandangan yang aneh. Di serambi duduk pria parobaya terbungkus mantel kulit tambal-sulam. Di sampingnya terdapat karung penuh perangkap rahang baja. Sejumlah penduduk desa mendengarkan sementara ia menggerak-gerakkan tangan dan berkata, "Jadi sewaktu aku tiba di Therinsford, kutemui orang ini, Neil. Pria yang baik dan jujur; aku membantu di ladangladangnya selama musim semi dan musim panas."
Roran mengangguk. Pemerangkap menghabiskan musim dingin dengan berkeliaran di pegunungan, kembali di musim semi untuk menjual kulit-kulit mereka pada tukang samak seperti Gedric lalu mencari kerja, biasanya sebagai pembantu di ladang. Karena Carvahall desa paling utara di Spine, banyak pemerangkap yang melintasinya, yang merupakan salah satu alasan Carvahall memiliki kedai minum, tukang besi, dan penyamak kulit sendiri.
"Sesudah beberapa gelas bir putih-untuk melumasi lidahku, kalian mengerti, setelah setengah tahun nyaris tidak berbicara sepatah kata pun, kecuali mungkin menghujat dunia dan segala sesuatu waktu kehilangan penggigit beruang--aku menemui Neil, busa bir masih segar di janggutku, da
n mulai bertukar gosip. Sementara transaksi kami berlangsung, kutanyakan padanya, ada berita apa mengenai Kekaisaran atau Raja--semoga Ia membusuk karena kelemayuh dan sariawan. Apa ada yang lahir atau meninggal atau diusir yang harus kuketahui" Dan coba tebak. Neil mencondongkan tubuh ke depan, sikapnya berubah sangat serius, dan mengatakan ada berita yang menyebar, dari Dras-Leona dan Gil'ead, bahwa ada kejadiankejadian aneh di sini, di sana, dan di mana-mana di Alagaesia. Para Urgal menghilang dari tanah beradab, dan bagus juga, tapi tidak ada yang tahu kenapa atau ke mana. Separo perdagangan di Kekaisaran menghilang karena penggerebekan dan serangan dan, dari apa yang kudengar, itu bukan pekerjaan bandit biasa, karena serangan-serangannya terlalu meluas, terlalu diperhitungkan. Tidak ada barang-barang yang dicuri, hanya dibakar atau dirusak. Tapi itu bukan akhirnya, oh tidak, tidak demi ujung misai nenekmu yang diberkati."
Si pemerangkap menggeleng dan menghirup anggur dari kantung kulitnya sebelum melanjutkan, "Ada bisik-bisik mengenai Shade yang menghantui kawasan utara. Ia terlihat di sepanjang tepi Du Weldenvarden dan dekat Gil'ead. Katanya gigi-giginya dikikir hingga runcing, matanya semerah anggur, dan rambutnya semerah darah yang diminumnya. Lebih buruk lagi, ada yang merasuki keluarga kerajaan kita yang hebat dan sinting, begitulah kabarnya. Lima hari berlalu, seorang pedagang keliling dari selatan mampir di Therinsford dalam perjalanan seorang diri ke Ceunon, dan ia mengatakan para prajurit sudah bergerak dan berkumpul, walau untuk apa tidak bisa dipahaminya." Ia mengangkat bahu. "Seperti yang diajarkan ayahku sewaktu aku masih bayi, di mana ada asap, ada api. Mungkin kaum Varden. Mereka menjadi duri dalam daging Iron Bones--Tulang Besi--tua selama bertahun-tahun. Atau mungkin Galbatorix akhirnya memutuskan sudah cukup mentolerir Surda. Setidaknya ia tahu di mana harus mencari Surda, tidak seperti para pemberontak itu. Ia akan menghancurkan Surda seperti beruang menghancurkan semut, pasti."
Roran mengerjapkan mata sementara si pemerangkap dihujani pertanyaan. Ia cenderung meragukan laporan soal kehadiran Shade--kedengarannya lebih mirip cerita yang dikarang penebang kayu mabuk--tapi sisanya kedengaran cukup buruk untuk jadi kenyataan. Surda... Hanya sedikit informasi mengenai negeri seberang itu yang mencapai Carvahall, tapi Roran tahu bahwa, sekalipun Surda dan Kekaisaran boleh dikatakan berdamai, rakyat Surda hidup dalam ketakutan kalau-kalau tetangga mereka yang lebih kuat di utara akan menginyasi mereka.
Kata orang, untuk alasan itulah Orrin, raja mereka, mendukung kaum Varden.
Kalau si pemerangkap ini benar mengenai Galbatorix, berarti ada kemungkinan pecahnya perang yang buruk di masa depan, disertai kekerasan hidup dengan meningkatnya pajak dan mobilisasi paksa. Aku lebih suka hidup di zaman tanpa kejadiankejadian hebat. Kerusuhan mempersulit kehidupan yang sudah sulit ini, seperti kehidupan kami, kalau bukan bakal jadi mustahil dijalani.
"Lebih dari itu, ada kisah-kisah mengenai...." Di sini si pemerangkap diam sejenak dan, dengan ekspresi sok tahu, mengetuk-ngetuk sisi hidungnya dengan telunjuk. "Kisah-kisah adanya Penunggang baru di Alagaesia." Lalu ia tertawa, terbahak-bahak, memukuli perutnya sambil bergoyang-goyang di serambi.
Roran juga tertawa. Kisah-kisah tentang para Penunggang muncul setiap beberapa tahun sekali. Kisah-kisah tersebut menarik minatnya pada dua atau tiga kesempatan pertama, tapi dalam waktu singkat ia belajar untuk tidak memercayai ceritacerita seperti itu, karena semuanya terbukti bohong. Isu-isu itu tidak lebih daripada harapan mereka yang merindukan masa depan lebih cerah.
Ia hendak berlalu sewaktu menyadari Katrina berdiri di sudut kedai, mengenakan gaun cokelat kekuningan dihiasi pita hijau. Ia menatap Roran sama tajamnya dengan tatapan Roran padanya. Setelah mendekat, Roran menyentuh bahunya dan, bersama-sama, mereka menyelinap pergi.
Mereka berjalan ke tepi Carvahall, di sana mereka berdiri memandangi bintang-bintang. Langit tampak cemerlang, berkilau karena ri
buan api angkasa. Dan melengkung di atas mereka, dari utara ke selatan, tampak pita bagai mutiara paling megah yang membentang dari kaki langit ke kaki langit, seperti debu intan yang dituang dari guci.
Tanpa memandang Roran, Katrina menyandarkan kepala di bahu pria itu dan bertanya, "Bagaimana harimu""
"Aku pulang ke rumah." Roran merasakan Katrina mengejang
"Bagaimana keadaannya""
"Buruk sekali." Suara Roran tercekat dan ia membisu, memeluk Katrina erat-erat. Harum rambut Katrina yang merah tembaga di pipi Roran seperti campuran anggur, rempah-rempah, dan parfum. Aroma itu meresap jauh ke dalam dirinya, hangat dan menghibur. "Rumah, lumbung, ladang, semuanya terinjak-injak... Aku tidak akan menemukannya kalau tidak tahu ke mana harus mencari."
Katrina akhirnya berpaling memandangnya, bintang-bintang berkilau di matanya, kesedihan terpancar di wajahnya. "Oh, Roran." Ia mencium Roran, bibirnya menyapu bibir Roran sekilas. "Kau kehilangan begitu banyak, tapi kekuatanmu tidak pernah memudar. Kau mau kembali ke tanah pertanianmu sekarang""
"Aye. Aku hanya tahu bertani."
"Bagaimana denganku""
Roran ragu-ragu. Sejak saat ia mulai mendekati Katrina, anggapan tak terucapkan bahwa mereka akan menikah ada di antara mereka. Tidak perlu membicarakan niatnya; niatnya sama jelasnya seperti panjangnya hari, jadi pertanyaan Katrina menggelisahkannya. Rasanya juga tidak patut membicarakan masalah itu seterbuka ini padahal ia tidak siap untuk melamar. Ia yang harus memulai melamar--mula-mula kepada Sloan lalu kepada Katrina--bukan Katrina. Sekalipun begitu, ia sekarang harus menghilangkan keprihatinan Katrina, karena masalah itu telah diutarakan. "Katrina... aku tidak bisa mendekati ayahmu seperti rencana semula. Ia pasti menertawakan diriku, dan berhak berbuat begitu. Kita terpaksa menunggu. Begitu aku memiliki tempat untuk kita tinggali dan sudah mengumpulkan panen pertamaku, ayahmu pasti mau mendengar aku."
Katrina memandang langit sekali lagi dan berbisik begitu pelan hingga Roran tidak bisa mendengarnya. "Apa"" "Kataku, apa kau takut pada ayahku""
"Tentu saja tidak! Aku--"
"Kalau begitu kau harus meminta izinnya, besok, dan menyiapkan pertunangan. Buat ayahku memahami bahwa, sekalipun tidak memiliki apa-apa sekarang, kau akan memberiku rumah yang baik dan menjadi menantu yang bisa dibanggakannya. Tidak ada alasan kita harus menyia-nyiakan umur kita dengan hidup terpisah kalau perasaan kita seperti ini."
"Aku tidak bisa melakukannya," kata Roran dengan nada putus asa, sangat berharap Katrina mau memahami. "Aku tidak bisa memenuhi kebutuhanmu, aku tidak bisa--"
"Apa kau tidak mengerti"" Katrina menjauh, suaranya tegang karena penuh emosi. "Aku mencintaimu, Roran, dan aku ingin bersamamu, tapi Ayah memiliki rencana lain untukku. Ada pria-pria lain yang jauh lebih layak daripada dirimu, dan semakin lama kau menunda, semakin ia mendesakku untuk menerima perjodohan yang disetujuinya. Ia takut aku jadi perawan tua, dan aku juga takut begitu. Aku hanya memiliki sedikit waktu atau pilihan di Carvahall... Kalau aku harus menerima yang lain, aku akan menerimanya." Air mata berkilau di matanya sementara ia menatap Roran dengan pandangan mencari-cari, menunggu reaksinya, lalu meraih gaunnya dan bergegas kembali ke arah rumah-rumah.
Roran berdiri di sana, tidak bergerak karena shock. Ketidakhadiran Katrina terasa sama beratnya dengan kehilangan tanah pertanian--dunia tiba-tiba berubah dingin dan tidak ramah. Rasanya seperti ada bagian dirinya yang tercabik.
Baru berjam-jam kemudian ia mampu kembali ke rumah Horst dan naik ke ranjang.
PARA PEMBURU YANG DIBURU Tanah berderak di bawah sepatu bot Roran saat ia memimpin turun ke lembah yang sejuk dan pucat pada dini hari yang mendung. Baldor mengikuti dengan rapat di belakangnya, mereka berdua menyandang busur yang terpasang talinya. Tidak satu pun berbicara sementara mereka mengamati sekitar mereka, mencari tanda-tanda kehadiran si rusa.
"Di sana," kata Baldor pelan, menunjuk sederetan jejak menuju sesemakan duri di tepi Anora.
Roran mengangguk dan berjalan mengikuti jejak itu. Jej
ak tersebut tampaknya telah berusia sehari, jadi ia mengambil risiko berbicara. "Aku bisa meminta nasihatmu, Baldor" Kau tampaknya cukup memahami orang-orang."
"Tentu saja. Ada apa""
Lama suara langkah kaki mereka merupakan satu-satunya suara yang terdengar. "Sloan ingin menikahkan Katrina, dan bukan denganku. Setiap hari yang berlalu memperbesar kemungkinan ia akan mengatur pernikahan dengan pasangan pilihannya."
"Apa kata Katrina mengenai hal ini""
Roran mengangkat bahu. "Sloan ayahnya. Katrina tidak bisa terus menentang kemauan ayahnya sewaktu tidak ada seorang pun yang diinginkannya maju untuk melamar dirinya."
"Yaitu, kau." "Aye. " "Dan itu sebabnya kau terjaga sepagi ini." Itu bukan pertanyaan.
Roran malah terlalu khawatir untuk bisa tidur. Ia menghabiskan sepanjang malam memikirkan Katrina, berusaha menemukan jalan keluar dari masalah mereka. "Aku tidak tahan kehilangan dirinya. Tapi kurasa Sloan tidak akan merestui kami, dengan posisiku dan segalanya."
"Ya, kurasa tidak," kata Baldor menyetujui. Ia melirik Roran. "Tapi nasihat apa yang kauinginkan""
Tawa singkat tersembur dari mulut Roran. "Bagaimana caraku meyakinkan Sloan" Bagaimana aku bisa memecahkan dilema ini tanpa memulai pertumpahan darah"" Ia mexigangkat tangan. "Apa yang harus kulakukan""
"Kau tidak memiliki ide""
"Ada, tapi bukan ide yang menurutku menyenangkan. Terlintas dalam benakku bahwa Katrina dan aku bisa mengumumkan pertunangan kami begitu saja--bukannya kami sekarang sudah bertunangan--dan menanggung konsekuensinya. Dengan begitu Sloan terpaksa menerima pernikahan kami."
Alis Baldor berkerut. Dengan hati-hati ia berkata, "Mungkin, tapi itu juga akan menimbulkan perasaan buruk di seluruh Carvahall. Hanya sedikit yang akan menyetujui tindakanmu. Juga tidak bijaksana untuk memaksa Katrina memilih antara kau atau keluarganya; ia mungkin akan membencimu hingga bertahun-tahun mendatang karenanya."
"Aku tahu, tapi apa pilihan lain bagiku""
"Sebelum kau mengambil langkah sedrastis itu, kusarankan kau mencoba memenangkan Sloan sebagai sekutu. Bagaimanapun, ada kemungkinan kau berhasil, kalau Sloan bisa memahami bahwa tidak ada orang lain yang ingin menikahi Katrina Si pemarah. Terutama kalau ada kau untuk menghalangi si calon suami." Roran meringis dan tetap menunduk. Baldor tertawa. "Kalau kau gagal, well, kau bisa maju terus dengan yakin, tahu bahwa kau sudah mencoba segala cara lainnya. Dan lebih kecil kemungkinan orang-orang meludahimu karena rnelanggar tradisi. Yang lebih mungkin terjadi adalah mereka justru mengatakan sikap keras kepala Sloan sendiri yang menyebabkan hal ini."
"Keduanya tidak mudah."
"Kau tahu itu baru permulaannya." Baldor kembali serius.
"Tidak ragu lagi kau akan mendapat makian sewaktu menantang Sloan, tapi situasinya akan mereda akhirnya--mungkin tidak dengan nyaman, tapi setidaknya masih bisa ditanggung. Selain Sloan, satu-satunya yang kau singgung perasaannya hanyalah orang-orang kuno seperti Quimby, sekalipun bagaimana Quimby bisa membuat minuman enak padahal sifatnya sekeras dan sepahit itu benar-benar tidak bisa kupahami."
Roran mengangguk, memahami. Dendam bisa membara hingga bertahun-tahun di Carvahall. "Aku senang kita bisa bercakap-cakap. Sudah...." Ia terdiam, teringat semua diskusi yang biasa dilakukannya bersama Eragon. Mereka, seperti yang pernah dikatakan Eragon, bersaudara dalam segala hal kecuali dalam darah. Rasanya sangat menghibur, mengetahui ada orang yang bersedia mendengarkan dirinya, kapan atau bagaimana pun situasinya. Dan mengetahui orang itu akan selalu membantu, apa pun risikonya.
Hilangnya hubungan seperti itu menyebabkan Roran merasa hampa.
Baldor tidak mendesaknya menyelesaikan kalimatnya, ia berhenti untuk minum dari kantong minuman. Roran terus berjalan hingga beberapa yard lagi, lalu berhenti saat ada bau yang menyusup ke dalam pikirannya.
Bau kental daging panggang dan kayu pinus terbakar. Siapa yang ada di sini selain kami" Sambil menarik napas dalam, ia berputar, mencoba menentukan asal api. Angin pelan berembus melewatinya dari jalan, membawa gelombang yang panas dan
berasap. Aroma makanan cukup tajam hingga air liurnya menetes.
Ia memanggil Baldor, yang bergegas mendekat. "Kau menciumnya""
Baldor mengangguk. Bersama-sama mereka kembali ke jalan dan menyusurinya ke selatan. Sekitar seratus kaki jauhnya, jalan berbelok mengitari sekelompok pohon kapuk dan menghilang dari pandangan. Sewaktu mereka mendekati tikungan itu, suara-suara yang meninggi dan merendah mencapai mereka, teredam lapisan tebal kabut pagi yang menutupi lembah.
Di tepi gerombolan pohon itu, Roran memperlambat langkah hingga berhenti. Bodoh sekali kalau ia mengejutkan orang
orang yang mungkin juga tengah berburu. Sekalipun begitu, ada yang menyebabkan ia merasa terganggu. Mungkin jumlah suara yang didengarnya; kelompok itu rasanya lebih besar daripada keluarga mana pun di lembah. Tanpa berpikir, ia melangkah keluar dari jalan dan menyelinap ke sesemakan yang membatasi gerombolan pohon.
"Apa yang kaulakukan"" bisik Baldor.
Roran menempelkan jari di bibir, lalu merayap maju, paralel dengan jalan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun. Saat mereka berbelok di tikungan, ia terpaku.
Di rerumputan di tepi jalan terdapat perkemahan para prajurit. Tiga puluh helm berkilau ditimpa berkas cahaya matahari pagi sementara pemiliknya menikmati daging unggas yang direbus di atas sejumlah api unggun. Orang-orang itu dikotori lumpur dan noda perjalanan, tapi simbol Galbatorix masih kelihatan di tunik merah mereka, api melilit dengan garis tepi dari benang emas. Di balik tuniknya, mereka mengenakan baju kulit pelindung--tebal berlapis pelat-pelat baja, lalu baju berbantalan. Sebagian besar prajurit menyandang pedang lebar, sekalipun setengah lusin di antaranya merupakan pemanah dan setengah lusin lainnya menyandang tombak bersabit yang menakutkan.
Dan di tengah mereka membungkuk dua sosok hitam dan aneh yang dikenali Roran dari berbagai penjabaran yang diberikan penduduk desa sesudah kepulangannya dari Therinsford: orang-orang asing yang menghancurkan tanah pertaniannya. Darahnya berubah dingin. Mereka pelayan Kekaisaran! Ia hendak melangkah maju, jemarinya meraih sebatang anak panah, sewaktu Baldor menyambar kemejanya dan menyeretnya ke tanah.
"Jangan. Kau bisa membunuh kita berdua."
Roran memelototinya, lalu menggeram. "Itu... mereka keparat-keparat itu...." Ia terdiam, menyadari tangannya gemetaran. "Mereka kembali!"
"Roran," bisik Baldor tegang, "kau tidak bisa berbuat apa-apa. Lihat, mereka bekerja pada Raja. Bahkan kalau berhasil meloloskan diri pun, kau akan dicari penegak hukum di manamana, dan kau mendatangkan bencana pada Carvahall."
"Apa yang mereka inginkan" Apa yang mungkin mereka inginkan"" Raja. Kenapa Galbatorix menyetujui penyiksaan ayahku "
"Kalau mereka tidak mendapatkan yang mereka inginkan dari Garrow, dan Eragon melarikan diri dengan Brom, berarti mereka pasti menginginkan dirimu." Baldor diam sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Kita harus pulang dan memperingatkan semua orang. Lalu kau harus bersembunyi. Hanya orang-orang asing ini yang memiliki kuda. Kita bisa tiba di desa terlebih dulu kalau kita lari."
Roran menatap ke balik sesemakan, ke arah para prajurit yang tidak menyadari apa-apa. Jantungnya berdebar kencang karena ingin membalas dendam, berdentam menuntutnya menyerang dan bertempur, melihat kedua pembawa bencana itu ditembus anak panah dan menimpakan keadilan pada mereka. Tidak penting apakah ia akan tewas asal ia bisa menghilangkan penderitaan dan kesengsaraannya sekaligus. Ia hanya perlu keluar dari tempat perlindungannya. Urusan lain akan beres dengan sendirinya.
Hanya satu langkah kecil.
Sambil menahan tangis, ia mengepalkan tangan dan menunduk. Aku tidak bisa meninggalkan Katrina. Ia berjongkok kaku--mata terpejam rapat--lalu dengan kelambanan yang menyakitkan memaksa dirinya sendiri untuk mundur. "Pulang, kalau begitu."
Tanpa menunggu reaksi Baldor, Roran menyelinap ke selasela pepohonan secepat mungkin. Begitu perkemahan tidak terlihat, ia melesat ke jalan dan berlari menyusuri jalur tanah itu, melampiaskan perasaan frustrasi, kemarahan, bahkan ketakutannya, dengan
kecepatan. Baldor bersusah payah mengikutinya, berhasil mengejarnya di tempat terbuka. Roran melambat hingga berlari-lari kecil dan menunggu Baldor menjajarinya sebelum berkata, "Kau sebarkan beritanya. Aku akan berbicara dengan Horst." Baldor mengangguk, dan mereka kembali lari.
Sesudah dua mil, mereka berhenti untuk minum dan beristirahat sejenak. Setelah napas mereka reda kembali, mereka melanjutkan perjalanan melintasi bukit-bukit rendah yang mengawali Carvahall. Tanah yang naik-turun memperlambat mereka, tapi sekalipun begitu, tidak lama kemudian desa pun terlihat.
Roran seketika menuju bengkel, meninggalkan Baldor yang pergi ke tengah kota. Sementara ia berlari melewati rumahrumah, Roran mati-matian memikirkan berbagai rencana untuk menghindari atau membunuh orang-orang asing itu tanpa memicu kemurkaan Kekaisaran.
Ia menghambur masuk ke bengkel saat Horst memalu pasak ke sisi kereta Quimby, sambil menyanyi:
.. hei O! Dan deringan dan dentingan
Berdering dari besi tua! Besi tua yang liat.
Diiringi irama dan pukulan pada tulang-belulang tanah, Kutaklukkan besi tua yang liat!
Horst menghentikan martil kayunya sewaktu sedang memukul karena melihat Roran. "Ada apa, Nak" Apa Baldor terluka""
Roran menggeleng dan mencondongkan tubuh mendekat, sambil terengah-engah menghirup udara. Dengan terpatah-patah, ia menceritakan segala yang mereka lihat dan kemungkinan implikasinya, yang paling penting adalah sekarang jelas orang-orang asing itu merupakan agen Kekaisaran.
Horst mengelus-elus janggutnya. "Kau harus meninggalkan Carvahall. Ambil makanan dari rumah, lalu bawa kudaku--Ivor sedang mencabuti tunggul menggunakan hewan itu--dan pergilah ke kaki perbukitan. Begitu kami tahu apa yang diinginkan para prajurit itu, akan kusuruh Albriech atau Baldor menyampaikan beritanya."
"Apa yang akan kaukatakan kalau mereka menanyakan diriku""
"Bahwa kau pergi berburu dan kami tidak tahu kapan kau kembali. Itu ada benarnya, dan aku ragu mereka akan berani berkeliaran di hutan karena takut kehilangan dirimu. Dengan anggapan memang dirimu yang mereka kejar."
Roran mengangguk, lalu berbalik dan lari ke rumah Horst. Di dalam, ia menyambar kekang kuda dan tas dari dinding, bergegas membungkus lobak, bit, jerky, dan sepotong roti dalam selimut, menyambar poci kaleng, dan melesat keluar, hanya berhenti sejenak untuk menjelaskan situasinya pada Elain.
Pasokan itu merupakan buntalan yang merepotkan dalam pelukannya sementara ia berlari-lari kecil ke timur dari Carvahall ke tanah pertanian Ivor. Ivor sendiri berdiri di belakang rumah pertanian, mencambuk kuda dengan sebatang ranting willow sementara hewan itu berusaha mencabut akar serabut pohon elm dari tanah.
"Ayo!" teriak si petani. "Kerahkan tenagamu!"
Kuda itu bergetar karena mengerahkan tenaga, agak goyah, lalu dengan sentakan menarik jatuh tunggulnya hingga akar-akarnya menjangkau langit seperti sekelompok jemari yang keriput. Ivor menghentikan kuda itu dengan menarik kekang dan menepuk-nepuknya dengan ramah. "Baiklah... Selesai."
Roran menyapanya dari jauh dan, sewaktu mereka telah dekat, menunjuk kudanya. "Aku perlu meminjamnya." la memberitahukan alasannya.
Ivor memaki dan mulai melepaskan kekang kuda, sambil menggerutu. "Selalu pada saat aku hampir menyelesaikan pekerjaanku, gangguan datang. Tidak pernah sebelumnya." la bersedekap dan mengerutkan kening sementara Roran memasang pelana, memusatkan perhatian pada pekerjaan.
Sesudah siap, Roran melompat ke kuda, membawa busur. "Maaf merepotkan, tapi tidak bisa dihindari."
"Well, jangan khawatir. Pastikan saja kau tidak tertangkap."
"Akan kulakukan."
Saat ia mengentakkan tumit ke sisi kuda, Roran mendengar Ivor berseru, "Dan jangan bersembunyi di sungaiku!"
Roran nyengir dan menggeleng, membungkuk rendah di atas leher kuda. Dalam waktu singkat ia tiba di kaki bukit-bukit Spine dan terus mengarahkan kuda mendaki pegunungan yang membentuk ujung utara Lembah Palancar. Dari sana ia mendaki lereng pegunungan, tempat ia bisa mengamati Carvahall tanpa terlihat. Di sana ia menambatkan tunggangam nya dan duduk menunggu.
Roran menggigil, memandang pinus-pinus yang gelap. Ia tidak senang berada sedekat ini dengan Spine. Hampir tidak ada orang dari Carvahall yang berani menapakkan kaki di kawasan pegunungan ini, dan mereka yang melakukannya sering kali tidak kembali.
Tidak lama kemudian Roran melihat para prajurit berbaris di jalan dalam dua barisan, dua sosok hitam menakutkan berada paling depan. Mereka dihentikan di mulut Carvahall oleh sekelompok pria kasar, beberapa membawa garpu jerami. Kedua pihak berbicara, lalu berhadapan, seperti anjing-anjing menggeram menunggu siapa yang akan menyerang terlebih dulu. Lama kemudian, para penduduk Carvahall menyingkir dan membiarkan para perusuh itu melintas.
Apa yang terjadi sekarang" pikir Roran penasaran, sambil bergoyang-goyang pada tumit.
Malam harinya para prajurit mendirikan perkemahan di lapangan samping desa. Tenda-tenda mereka membentuk blok kelabu rendah yang berkelap-kelip dengan bayang-bayang aneh sementara para penjaga berpatroli di sekelilingnya. Di tengah blok, api unggun besar mengepulkan asap ke udara.
Roran mendirikan kemahnya sendiri, dan sekarang ia hanya mengawasi dan berpikir. Tadinya ia beranggapan bahwa sewaktu orang-orang asing itu menghancurkan rumahnya, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu batu yang dibawa Eragon dari Spine. Mereka pasti tidak menemukannya, ia memutuskan. Mungkin Eragon berhasil meloloskan diri membawa batu itu... Mungkin ia merasa harus pergi untuk melindungi batu tersebut. Roran mengerutkan kening. Itu sangat menjelaskan kenapa Eragon melarikan diri, tapi bagi Roran hubungannya masih terasa terlalu jauh. Apa pun alasannya, batu itu pasti merupakan harta yang luar biasa bagi Raja hingga ia mengirim begitu banyak orang untuk mengambilnya. Aku tidak mengerti kenapa batu tersebut bisa seberharga itu. Mungkin ada sihirnya.
Ia menghirup udara sejuk perlahan-lahan, mendengarkan teriakan-teriakan burung hantu. Ada gerakan yang menarik perhatiannya. Saat melirik ke bawah pegunungan, ia melihat seseorang mendekat di dalam hutan di bawah. Roran merunduk ke balik sebongkah batu besar, dengan busur terpasang. Ia menunggu hingga yakin orang itu Albriech, lalu bersiul pelan.
Dalam waktu singkat Albriech tiba di batu besar. Di punggungnya terdapat ransel penuh sesak, yang dijatuhkannya ke tanah sambil mendengus. "Kukira aku tidak akan bisa menemukan dirimu."
"Aku terkejut kau bisa menemukanku."
"Tidak bisa kukatakan aku menikmati berkeliaran di hutan sesudah matahari terbenam. Aku terus mengira akan bertemu beruang, atau yang lebih buruk lagi. Spine bukan tempat yang cocok bagi manusia, kalau kau tanya pendapatku."
Roran memandang kembali ke Carvahall. "Jadi kenapa mereka kemari""
"Untuk menangkapmu. Mereka bersedia menunggu hingga kau kembali dari 'berburu'."
Roran duduk dengan suara berdebum keras, perutnya terasa melilit karena dingin. "Apa mereka memberitahukan alasannya" Apa mereka menyinggung batu itu""
Albriech menggeleng. "Mereka hanya mengatakan ini urusan Raja. Sepanjang hari mereka bertanya-tanya tentang dirimu dan Eragon--hanya itu yang menarik perhatian mereka." Ia ragu-ragu sejenak. "Aku ingin tinggal, tapi mereka akan tahu kalau aku menghilang besok. Kubawakan banyak makanan dan selimut, juga beberapa salep Gertrude seandainya kau terluka. Kau mestinya baik-baik saja di atas sini."
Dengan mengerahkan tenaga, Roran tersenyum. "Terima kasih atas bantuanmu."
"Siapa pun pasti bersedia melakukannya," kata Albriech sambil mengangkat bahu, malu. Ia hendak pergi, lalu berbicara sambil menoleh, "Omong-omong, kedua orang asing itu... mereka disebut Ra'zac."
JANJI SAPHIRA Pagi hari sesudah pertemuan dengan Dewan Tetua, Eragon tengah membersihkan dan meminyaki pelana Saphira berhati-hati agar tidak membuat dirinya kelelahan sewaktu Orik datang berkunjung. Kurcaci itu menunggu hingga Eragon selesai membersihkan tali pelana, lalu bertanya, "Apakah kondisimu lebih baik hari ini""
"Sedikit." "Bagus, kita semua membutuhkan kekuatan. Aku datang untuk melihat kesehatanmu, juga karena Hrothgar ingin berbicara denganmu, kalau kau ada waktu."
Erag on melontarkan senyum tipis kepada kurcaci itu. "Aku selalu ada waktu untuknya. Ia pasti tahu."
Orik tertawa. "Ah, tapi lebih sopan kalau bertanya baik-baik." Sementara Eragon meletakkan pelana, Saphira beranjak dari sudutnya yang berbantalan dan menyapa Orik dengan geraman ramah. "Selamat pagi juga untukmu," kata Orik sambil membungkuk.
Orik mengajak mereka melewati salah satu dari keempat lorong utama Tronjheim, menuju ruang utama dan kedua tangga kembar yang melengkung ke bawah tanah, ke ruang takhta raja kurcaci. Tapi sebelum mereka tiba di ruangan itu, Orik berbelok menuruni tangga pendek. Eragon membutuhkan Waktu sejenak untuk menyadari bahwa Orik mengambil jalan Samping agar tidak melihat puing-puing Isidar Mithrim.
Mereka berhenti di depan pintu-pintu granit yang berukir mahkota berpuncak tujuh. Tujuh kurcaci berbaju besi di setiap sisi pintu masuk mengetuk-ngetuk lantai secara simultan dengan tangkai martil. Diiringi gema ketukan kayu beradu dengan batu, pintu-pintunya terayun ke dalam.
Eragon mengangguk pada Orik, lalu memasuki ruangan yang remang-remang itu bersama Saphira. Mereka mendekati takhta di kejauhan, melewati patung-patung kaku, hirna, yang menggambarkan raja-raja kurcaci di masa lalu. Di kaki takhta hitam yang besar itu, Eragon membungkuk. Raja kurcaci menundukkan kepalanya yang berambut keperakan sebagai balasan, batu-batu rubi yang ditempelkan pada helm emasnya berpendar pudar ditimpa cahaya seperti bercak-bercak besi panas. Volund, martil perang, tergeletak melintang di kakinya yang terbungkus jala baja.
Hrothgar berkata, "Shadeslayer, selamat datang di aulaku. Banyak yang sudah kaulakukan sejak terakhir kali kita bertemu. Dan, tampaknya, aku terbukti keliru mengenai Zar'roc. Pedang Morzan akan diterima di Tronjheim selama kau yang menyandangnya."
"Terima kasih," kata Eragon, sambil bangkit berdiri.
"Selain itu," kata si kurcaci dengan suara menggeram, "kami berharap kau mau menyimpan baju besi yang kaukenakan dalam pertempuran Farthen Dur. Bahkan sekarang ini tukang-tukang kami yang paling ahli sedang memperbaikinya. Baju besi naga juga mendapat perlakuan yang sama, dan sesudah diperbaiki nanti, Saphira boleh mengenakannya selama ia menginginkannya, atau hingga ia tumbuh lebih besar lagi. Setidaknya ini yang bisa kami lakukan untuk menunjukkan rasa terima kasih kami. Kalau bukan karena perang dengan Galbatorix, akan ada perayaan dan pesta pora demi namamu... tapi itu terpaksa menunggu hingga saat yang lebih tepat."
Mengutarakan perasaannya dan Saphira, Eragon berkata, "Kau dermawan melebihi semua perkiraan kami. Kami sangat menghargai hadiah semulia itu."
Sekalipun jelas merasa senang, Hrothgar tetap saja merengut, mengerutkan alis matanya yang lebat. "Tapi kita tidak bisa terus bersenang-senang. Aku dikepung klan-klan yang menuntut aku mengambil tindakan mengenai penerus Ajihad. Kemarin sewaktu Dewan Tetua menyatakan mereka mendukung Nasuada, mereka menimbulkan keributan yang belum pernah kulihat sejak aku naik takhta. Para ketua harus memutuskan apakah menerima Nasuada atau mencari kandidat lain. Sebagian besar sudah memutuskan Nasuada harus memimpin kaum Varden, tapi aku ingin tahu pendapatmu dalam hal ini, Eragon, sebelum aku menyampaikan keputusan kepada pihak mana pun. Tindakan terburuk yang bisa dilakukan raja adalah tampil seperti orang bodoh."
Seberapa banyak yang boleh kita beritahukan padanya" tanya Eragon pada Saphira, berpikir cepat.
Selama ini ia memperlakukan kita dengan adil, tapi kita tidak bisa tahu apa yang mungkin sudah dijanjikannya pada orang-orang lain. Sebaiknya kita berhati-hati hingga Nasuada benar-benar memegang kekuasaan.
Baiklah. "Saphira dan aku setuju membantunya. Kami tidak akan menentang penunjukan dirinya. Dan"--Eragon bertanya-tanya apakah telah terlalu banyak bicara-- "kumohon kau juga berbuat begitu; kaum Varden tidak boleh berselisih sendiri. Mereka harus bersatu."
"Oei," kata Hrothgar, sambil menyandar ke belakang, "kau berbicara dengan kewenangan baru. Saranmu bagus, tapi menimbulkan pertanyaan: Menurutmu apakah Nasuada akan menjadi pemimpin
yang bijaksana, atau ada motif-motif lain untuk memilihnya""
Ini ujian, kata Saphira memperingatkan. Ia ingin tahu kenapa kita mendukung Nasuada.
Eragon merasakan bibirnya bergerak, separo tersenyum. "Kupikir ia bijaksana dan cerdik melebihi usianya. Ia bagus untuk kaum Varden."
"Dan itu sebabnya kau mendukungnya"" "
Ya." Hrothgar mengangguk, janggutnya yang panjang dan seputih salju jadi bergerak-gerak. "Aku lega mendengarnya. Akhirakhir ini ada sedikit keprihatinan mengenai apa yang benar dan bagus, dan lebih banyak lagi keprihatinan mengenai apa yang akan menimbulkan kekuasaan pribadi. Sulit menyaksikan kebodohan seperti itu tanpa merasa marah."
Kebisuan yang tidak nyaman menyelimuti mereka, menggelegak dalam ruang takhta yang panjang. Untuk memecahkannya, Eragon bertanya, "Apa yang akan dilakukan terhadap liang naga" Apa akan dibangun lantai baru""
Untuk pertama kalinya, mata Raja berubah berduka, memperdalam kerut-kerut di sekelilingnya yang membentang seperti jari-jari roda kereta. Ekspresi Raja itu ekspresi kurcaci paling mirip dengan menangis yang pernah disaksikan Eragon. "Perlu banyak pembicaraan sebelum langkah itu bisa diambil. Buruk sekali, apa yang dilakukan Saphira dan Arya. Mungkin memang perlu, tapi buruk. Ah, barangkali lebih baik kalau para Urgal mengalahkan kita sebelum Isidar Mithrim pecah. jantung Tronjheim hancur berantakan, begitu pula hati kami." Hrothgar menempelkan kepalannya di dada, lalu perlahan-lahan membuka tangan dan meraih tangkai Volund yang terbungkus kulit.
Saphira menyentuh benak Eragon. Eragon merasakan sejumlah emosi dalam diri naga itu, tapi yang paling mengejutkannya adalah penyesalan dan perasaan bersalah yang dirasakan naga tersebut. Saphira benar-benar menyesali kehancuran Mawar Bintang, terlepas dari fakta bahwa kehancuran itu diperlukan. Makhluk kecil, katanya, tolong aku. Aku perlu berbicara dengan Hrothgar. Tanyakan padanya: Apa para kurcaci memiliki kemampuan membangun kembali Isidar Mithrim dari puing-puingnya"
Sementara Eragon mengulangi kata-kata Saphira, Hrothgar bergumam dalam bahasanya sendiri, lalu berkata, "Kami memiliki keahlian itu, tapi apa gunanya" Tugas itu akan memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dan hasil akhirnya hanyalah kekonyolan rusak dari keindahan yang pernah menjadi keanggunan Tronjheim! Aku tidak akan mengizinkan penghujatan seperti itu."
Saphira terus menatap Raja tanpa berkedip. Sekarang katakan padanya: Kalau Isidar Mithrim bisa disatukan lagi, tanpa ada satu keping pun yang hilang, aku yakin bisa mengutuhkannya lagi.
Eragon ternganga memandangnya, melupakan Hrothgar karena terpesona. Saphira! Energi yang dibutuhkan untuk itu besar sekali! Kau sendiri mengatakan kau tidak bisa menggunakan sihit' sesuka hati, jadi apa yang menyebabkan kau yakin bisa melakukannya"
Aku bisa melakukannya kalau kebutuhan untuk itu cukup besar. Itu akan menjadi hadiahku bagi para kurcaci. Ingat makam Brom; biar itu menghapus keraguanmu. Dan tutup mulutmu-itu tidak sopan dan Raja mengawasi.
Sewaktu Eragon menyampaikan tawaran Saphira, Hrothgar rnenegakkan duduknya sambil berseru. "Apa mungkin" Bahkan para kurcaci tidak akan mencoba usaha seperti itu."
"Ia yakin dengan kemampuannya."
"Kalau begitu kami akan membangun kembali Isidar Mithrim, tidak peduli kalau untuk itu diperlukan waktu seratus tahun. Kami akan merakit rangka untuk permata itu dan meletakkan kembali setiap potongannya di tempat semula. Tidak sekeping pun akan dilupakan. Bahkan kalau kami harus memecahkan kepingan yang lebih besar untuk memindahkannya, kami akan melakukannya dengan segenap keahlian kami dalam menangani batu, jadi tidak ada debu atau serpihan yang hilang. Kalian akan datang pada waktu itu, sesudah kami selesai, dan memulihkan Mawar Bintang."
"Kami akan datang," kata Eragon menyetujui, sambil membungkuk.
Hrothgar tersenyum, dan tampak seperti dinding granit yang retak. "Kau memberiku kegembiraan yang sangat besar, Saphira. Aku jadi kembali punya alasan untuk memerintah dan hidup. Kalau kau melakukannya, para kurcaci di mana pun akan menghormati namamu hingga g
enerasi-generasi yang tidak terhitung. Pergilah sekarang dengan restuku sementara kusebarkan berita ini di antara klan-klan. Dan jangan merasa berkewajiban menunggu pengumumanku, karena tidak boleh ada kurcaci yang tidak mendengar berita ini; sampaikan pada siapa saja yang kalian temui. Semoga lorong-lorong bergema dengan sorakan ras kami."
Setelah membungkuk sekali lagi, Eragon dan Saphira berlalu, meninggalkan raja kurcaci yang masih tersenyum di takhtanya itu. Di lorong luar, Eragon memberitahu Orik apa yang terjadi. Kurcaci tersebut seketika bersujud dan mencium lantai di depan Saphira. Ia bangkit sambil tersenyum dan menepuk lengan Eragon, seraya berkata, "Benar-benar keajaiban. Kalian memberi kami harapan yang tepat kami butuhkan untuk menghadapi kejadian-kejadian saat ini. Aku berani bertaruh akan ada minum-minum malam ini!"
Maut Bermata Satu 1 Mustika Lidah Naga 3 Tamu Dari Gurun Pasir 11

Cari Blog Ini