Ceritasilat Novel Online

Eldest 5

Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 5


Seratus! Sekalipun telah menduga ia setua itu, Eragon masih saja merasa kaget. Ia menutupinya dengan wajah tanpa ekspresi, berpikir, Arya bisa saja memiliki cicit yang lebih tua daripada diriku! Ia mempertimbangkan hal itu selama beberapa menit lalu, untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, ia berkata, "Kau tadi mengatakan manusia menemukan Alagaesia delapan ratus tahun yang lalu. Tapi Brom mengatakan kami tiba tiga abad sesudah para Penunggang dibentuk, yaitu beribu-ribu tahun yang lalu."
"Dua ribu tujuh ratus empat tahun, berdasarkan perhitungan kami," kata Orik. "Brom benar, kalau kau menganggap kapal berisi dua puluh prajurit sebagai 'kedatangan' manusia di Alagaesia. Mereka mendarat di selatan, tempat Surda sekarang berada. Kami bertemu sewaktu mereka menjelajah dan bertukar hadiah, tapi lalu mereka pergi dan kami tidak melihat manusia lagi hingga hampir dua milenium kemudian, atau hingga Raja Palancar tiba bersama armadanya. Manusia sudah melupakan kami sama sekali waktu itu, hanya ada kisah-kisah samar mengenai manusia gunung berbulu yang mengincar anak-anak di malam hari. Bah!"
Kau tahu dari mana asal Palancar"" tanya Eragon.
Orik mengengerutkan kening dan menggigiti ujung
kumisnya, lalu menggeleng. "Sejarah kami hanya mengatakan tanah kelahirannya berada jauh di selatan, melewati Beor, dan pengungsiannya dikarenakan perang dan kelaparan."
Karena terpesona dengan gagasan yang mendadak timbul di benaknya, Eragon berkata tanpa berpikir, "Jadi mungkin saja ada negara-negara di suatu tempat yang bisa membantu kita melawan Galbatorix."
"Mungkin saja," kata Orik. "Tapi mereka sulit ditemukan bahkan dengan menunggang naga, dan aku ragu kalian berbicara dalam bahasa yang sama. Tapi siapa yang ingin membantu kita" Hanya sedikit yang bisa ditawarkan kaum Vardep pada negara lain, dan sudah cukup sulit untuk memindahkan pasukan dari Farthen Dur ke Uru'baen, apalagi mendatangkan pasukan dari ratusan, kalau bukan ribuan, mil jauhnya."
"Lagi pula kami tidak bisa membiarkanmu pergi," kata Lifaen pada Eragon.
"Aku masih--" Eragon terdiam saat Saphira membubung tinggi di atas sungai, diikuti kawanan burung layang-layang dan burung hitam yang berniat mengusirnya dari wilayah mereka. Pada saat yang sama, terdengar cicitan ramai dari sepasukan bajing yang bersembunyi di sela cabang-cabang pohon.
Lifaen tersenyum dan berseru, "Ia cantik, bukan" Lihat bagaimana sisik-sisiknya menangkap cahaya! Tidak ada harta di dunia yang bisa menyamai pemandangan ini." Seruan yang sama terdengar dari Nari.
"Memuakkan, itulah dia," gumam Orik ke janggutnya. Eragon menyembunyikan senyum, sekalipun ia menyetujui pendapat si kurcaci. Para elf tampaknya tidak pernah lelah memuji Saphira.
Tidak ada salahnya memuji sedikit, kata Saphira. Ia mendarat diiringi percikan tinggi air dan membenamkan kepala untuk menghindari gerombolan burung layang-layang yang menukik.
Tentu saja, kata Eragon. Saphira menatapnya dari bawah permukaan air. Apakah menyindirku"
Eragon tergelak dan melupakan masalah itu. Saat melirik perahu yang lain, Eragon memandangi Arya mendayung, punggungnya tegak, wajahnya sulit ditebak sementara elf itu meluncur menerobos bintik-bintik cahaya di bawah pepohonan berlumut. Arya tampak begitu muram dan serius hingga Eragon ingin menghiburnya. "Lifaen," tanyanya dengan suara pelan agar Orik tidak mendengar, "kenapa Arya begitu... tidak bahagia" Kau dan --"
Bahu Lifaen mengejang di balik tunik merahnya dan ia berbisik, begitu pelan hingga Eragon nyaris tidak bisa mendengar Kami merasa tersanjung bisa melayani Arya Drottningu. Ia menderita lebih daripada yang bisa kaubayangkan bagi kaum kami. Kami bersuka cita atas apa yang dicapainya dengan Saphira, dan kami menangis dalam mimpi-mimpi kami untuk pengorbanannya... dan kehilangannya. Tapi penderitaannya merupakan penderitaannya sendiri, dan aku tidak bisa memberitahukannya tanpa seizinnya."
Saat Eragon duduk di dekat api unggun pada malam harinya, mengelus-elus sepetak lumut yang terasa seperti bulu kelinci, ia mendengar keributan dari dalam hutan. Setelah bertukar pandang dengan Saphira dan Orik, ia mengendap-endap ke suara itu, Zar'roc terhunus.
Eragon berhenti di bibir jurang kecil dan memandang ke seberang, tempat seekor gyrfalcon dengan sayap patah merontaronta di kumpulan snowberry. Hewan pemangsa itu terpaku saat melihat dirinya, lalu membuka paruh dan menjerit melengking.
Nasib yang mengerikan, tidak bisa terbang, kata Saphira.
Sewaktu Arya tiba, ia menatap gyrfalcon itu, lalu memasang tali busurnya dan, dengan ketepatan yang menggetarkan, memanalmya hingga menembus dada. Mulanya Eragon menduga ia melakukannya untuk menjadikannya makanan, tapi Arya hendak bergerak untuk mengambil burung maupun anak panahnya.
Kenapa"" tanyanya.
Dengan ekspresi keras, Arya melepas tali busurnya. "Lukanya terlalu parah untuk bisa kusembuhkan dan ia akan mati malam ini atau besok. Begitulah sifat alam. Aku menyelamatkannya dari penderitaan berjam-jam."
Saphira menunduk dan menyentuh bahu Arya dengan moncongnya, lalu kembali ke perkemahan mereka, ekor Saphira menggores kulit pepohonan. Saat Eragon hendak mengikuti, ia merasa Orik menarik lengan bajunya dan ia pun membungkuk agar bisa mendengar bisikan si kurcaci. "Jangan pernah mea minta bantuan elf; mereka mungkin saja mem
utuskan kau lebih baik mati, eh""
MANTRA DAGSHELGR Sekalipun kelelahan akibat kemarin, Eragon memaksa diri bangun sebelum subuh untuk bisa melihat salah satu elf tidur. Ini menjadi permainan baginya, mengetahui kapan elf terjaga--atau apakah mereka tidur--karena ia belum pernah melihat satu elf pun yang matanya terpejam. Hari ini ternyata bukan perkecualian.
"Selamat pagi," kata Nari dan Lifaen dari atas. Eragon menjulurkan kepala dan melihat keduanya berdiri di sebatang pohon pinus, sekitar lima puluh kaki di udara. Setelah berlompatan dari cabang ke cabang dengan kelincahan kucing, para elf itu mendarat di tanah di sampingnya.
"Kami berjaga sejak tadi," Lifaen menjelaskan.
"Karena"" Arya melangkah keluar dari balik pohon dan berkata, "Kafta ketakutanku. Du Weldenvarden memiliki banyak misteri dan bahaya, terutama bagi Penunggang. Kami telah tinggal di sini ribuan tahun, dan mantra-mantra lama masih bertahan di tempat-tempat yang tidak terduga; sihir ada di udara, air, dan tanah. Di tempat-tempat tertentu sihir memengaruhi hewan. Terkadang makhluk aneh ditemukan berkeliaran di hutan, dan tidak semua ramah."
"Apakah mereka--" Eragon terdiam saat gedwey ignasia di tangannya terasa menggelitik. Martil perak di kalung yang diberikan Garnel terasa memanas di dadanya, dan ia merasakan mantra kalung itu menyerap kekuatannya.
Ada yang berusaha men-scry dirinya.
Apakah Galbatorix" pikirnya penasaran, ketakutan. Ia cengkeram kalung itu dan mengeluarkannya dari balik tunik, siap menariknya sampai lepas kalau ia menjadi terlalu lemah.
Dari sisi lain perkemahan, Saphira bergegas mendekatinya menguatkannya dengan cadangan energinya sendiri.
Sesaat kemudian, panasnya mengalir keluar dari martil, menyebabkan kalung itu terasa dingin di kulit Eragon. Ia melempar-lemparkannya di telapak tangan, lalu menjejalkannya kembali ke balik pakaiannya. Saat itu Saphira berkata, Musuh kita mencari kita.
Musuh" Apakah mungkin seseorang di Du Vrangr Gata"
Kurasa Hrothgar pasti sudah memberitahu Nasuada bahwa ia memerintahkan Gannel memberimu kalung bermantra ini... Mungkin saja Nasuada mendapat gagasan itu duluan.
Arya mengerutkan kening sewaktu Eragon menjelaskan apa yang terjadi. "Dengan begini makin mendesak bagi kita untuk mencapai Ellesmera secepat mungkin agar latihanmu bisa dilanjutkan. Kejadian-kejadian di Alagaesia semakin cepat terjadi, dan aku khawatir kau tidak memiliki waktu yang cukup untuk pelajaranmu."
Eragon ingin mendiskusikannya lebih jauh, tapi kehilangan kesempatan karena tergesa-gesa meninggalkan perkemahan Begitu kano-kano telah dimuati dan api unggun dipadamkan, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Gaena.
Mereka baru satu jam di air sewaktu Eragon menyadari sungainya semakin lebar dan dalam. Beberapa menit kemudian mereka sampai di air terjun yang memenuhi Du Weldenvarden dengan gemuruhnya yang menderu-deru. Air terjun itu sekitar seratus kaki tingginya, dan mengalir menuruni permukaan batu yang bagian atasnya menonjol sehingga tebing itu mustahil dipanjat. "Bagaimana cara kita melewati air terjun itu"" Ia sudah bisa merasakan cipratan air sejuk di wajahnya.
Lifaen menunjuk ke tepi kiri, agak jauh dari air terjun, di mana ada jalan setapak berliku-liku yang menaiki tebing curam itu. "Kita terpaksa mengangkat kano dan pasokan kita sejauh setengah league sebelum bisa kembali ke sungai."
Mereka berlima melepaskan ikatan buntalan yang dijejalkan di sela-sela kursi kano dan membagi pasokan menjadi tumpukan yang mereka jejalkan ke dalam buntalan masing-masing. "Uh," kata Eragon, sambil mengangkat bebannya. Bungkusannya dua kali lebih berat daripada yang biasa dibawanya kalau bepergian berjalan kaki.
Aku bisa menerbangkannya ke hulu untukmu... semuanya, Saphira menawarkan, sambil melangkah ke tepi sungai yang berlumpur dan menggoyang tubuhnya untuk mengeringkannya.
SeWaktu Eragon menyampaikan tawarannya, Lifaen tampak ngeri.
"Kami tidak akan pernah bermimpi menggunakan naga sebagai pengangkut beban. Itu merendahkanmu, Saphira--dan Eragon sebagai Shur'tugal--dan mempermalukan keramahan kami."
Saphira me ndengus, dan api menyembur dari cuping hidungnya, membuat permukaan sungai menguap dan menimbulkan swan uap air. Ini omong kosong. Ia mengulurkan salah satu kakinya yang bersisik melewati Eragon, mengaitkan cakarnya ke tali bahu bungkusan, lalu membubung ke atas kepala mereka. Tangkap aku kalau bisa!
Tawa yang jernih memecahkan kesunyian, seperti getaran buring mockingbird. Dengan takjub Eragon berbalik dan memandang Arya. Untuk pertama kalinya ia mendengar tawa Arya; ia menyukai suaranya. Arya tersenyum pada Lifaen. "Banyak yang harus kaupelajari kalau kau menganggap bisa memberitahu naga apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya.
"Tapi aibnya--"
"Tidak memalukan kalau Saphira melakukannya atas keinginannya sendiri," kata Arya. "Sekarang, ayo pergi sebelum kita membuang waktu lebih banyak lagi."
Sambil berharap pengerahan tenaganya tidak akan membuat punggungnya sakit, Eragon mengangkat kano bersama Lifaen dan meletakkannya di bahu. Ia terpaksa mengandalkan elf itu untuk membimbingnya di sepanjang jalan setapak, karena ia hanya bisa melihat tanah di bawah kakinya.
Satu jam kemudian mereka tiba di puncak tebing dan naik melewati arir terjun berbahaya, menuju tempat Sungai Gaena kembali tenang dan mengkilap. Saphira telah menunggu mereka, sibuk menangkap ikan di air yang dangkal, berulang kali memasukkan kepalanya yang berbentuk segitiga ke air seperti burung heron.
Arya memanggilnya dan berkata pada Saphira dan Eragon "Di balik tikungan di depan itu ada Danau Ardwen dan, di tepi baratnya, adalah Silthrim, salah satu kota terbesar kami. Selepas itu ada hutan luas yang memisahkan kita dengan Ellesmera. Kita akan bertemu banyak elf di dekat Silthrim. Tapi aku tidak ingin salah satu dari kalian terlihat sebelum kita berbicara dengan Ratu Islanzadi."
Kenapa" tanya Saphira, mengutarakan pikiran Eragon.
Dengan aksen berirama, Arya menjawab, "Kehadiran kalian merupakan wujud perubahan hebat dan menakutkan bagi kerajaan kami, dan perubahan seperti itu berbahaya kalau tidak ditangani dengan hati-hati. Ratu harus jadi yang pertama bertemu kalian. Hanya ia yang memiliki kewenangan dan kebijakan untuk mengawasi transisi ini."
"Kau sangat menyanjungnya," komentar Eragon.
Mendengar kata-kata Eragon, Nari dan Lifaen berhenti dan memandangi Arya dengan waspada. Ekspresi wajah Arya berubah kosong, lalu ia menegakkan diri dengan bangga. "Ia memimpin kami dengan baik... Eragon, aku tahu kau membawa jubah berkerudung dari Tronjheim. Hingga kita bebas dari kemungkinan adanya pengamat, tolong kaukenakan jubah itu dan tutupi kepalamu agar tidak ada yang melihat telingamu yang bulat dan tahu kau manusia." Eragon mengangguk. "Dan Saphira, kau terpaksa bersembunyi di siang hari dan menyusul kami di malam hari. Ajihad memberitahuku itulah yang kaulakukan di Kekaisaran."
Dan aku membenci setiap saat itu, geram Saphira.
"Hanya untuk hari ini dan besok. Sesudah itu, kita akan cukup jauh dari Silthrim hingga tidak perlu khawatir akan menemui siapa pun yang membahayakan," Arya berjanji.
Saphira mengalihkan pandangan matanya yang kebiruan pada Eragon. Sewaktu kita melarikan diri dari Kekaisaran, aku bersumpah akan selalu ada di dekatmu untuk melindungimu. Setiap kali aku menjauh, selalu terjadi hal-hal buruk: Yazuac, Daret, Dras-Leona, para pedagang budak.
Di Teirm tidak. Kau mengerti maksudku! Aku terutama tidak suka pergi karena kau tak bisa membela diri dengan punggungmu yang sakit.
Aku percaya Arya dan yang lainnya akan menjaga keselamatanku. Kau tidak percaya"
Saphira ragu-ragu. Aku percaya pada Arya. Ia berputar dan menyusuri tepi sungai, duduk sejenak, lalu berbalik. Baiklah. Ia menyampaikan persetujuannya pada Arya, sambil menambahkan, Tapi aku tidak akan menunggu lebih lama daripada besok malam, bahkan biarpun pada saat itu kalian berada di tengah Silthrim.
"Aku mengerti," kata Arya. "Kau tetap harus berhati-hati sewaktu terbang malam hari, karena elf bisa melihat dengan jelas kecuali di malam yang paling gelap. Kalau kau tidak sengaja terlihat, kau bisa diserang dengan sihir."
Luar biasa, kata Saphira.
Sementara Orik dan para elf menaruh muatan di perahu lagi, Eragon dan Saphira menjelajahi hutan yang remang-remang itu, mencari tempat persembunyian yang sesuai. Mereka memilih ceruk kering yang dikelilingi bebatuan runtuh dan diselimuti dedaunan jarum pinus yang terasa lunak. Saphira bergelung di tanah dan mengangguk. Pergilah sekarang. Aku akan baik-baik saja.
Eragon memeluk lehernya--berhati-hati untuk menghindari duri-duri punggungnya yang tajam--kemudian pergi dengan enggan sambil melirik ke belakang. Di sungai, ia mengenakan kerudung sebelum mereka melanjutkan perjalanan.
Udara bagai tidak bergerak sewaktu Danau Ardwen kelihatan dan akibatnya, permukaan air yang luas jadi halus dan rata, cermin yang sempurna bagi pepohonan dan awan. Ilusi itu begitu tanpa cacat sehingga Eragon merasa seperti memandang ke dunia lain dari balik jendela dan bahwa kalau mereka melanjutkan perjalanan, kano-kano mereka akan jatuh selama-lamanya ke langit yang terpantul di permukaan danau. Ia menggigil membayangkan hal itu.
Di kejauhan yang samar, puluhan perahu dari kulit pohon birch putih melesat seperti para penunggang air di sepanjang kedua tepinya, didorong kekuatan para elf hingga mencapai kecepatan yang luar biasa. Eragon menunduk dan menarik tepi kerudungnya untuk memastikan wajahnya tertutup
Hubungannya dengan Saphira semakin sulit saat mereka semakin jauh, hingga hanya pikiran sekilas yang menjalin mereka. Di malam hari ia tidak lagi bisa merasakan kehadiran Saphira, bahkan meskipun ia mengerahkan pikiran hingga batas kekuatannya. Tiba-tiba saja Du Weldenvarden terasa lebih sepi dan terpencil.
Sementara kegelapan semakin pekat, sekelompok cahaya putih--diletakkan di berbagai ketinggian di sela pepohonan muncul satu mil di depan. Cahayanya berpendar seperti sinar keperakan bulan, menakutkan dan misterius di malam hari,
"Silthrim ada di sana," kata Lifaen.
Diiringi suara ceburan samar, sebuah perahu gelap melewati mereka dari arah yang berlawanan, diikuti gumaman "KveHia Fricai" dari elf yang mengemudikannya.
Arya mengarahkan kanonya ke samping kano Eragon. "Kita berhenti di sini malam ini."
Mereka berkemah agak jauh dari Danau Ardwen, di tempat yang tanahnya cukup kering untuk ditiduri. Serangan nyamuk yang ganas membuat Arya mengucapkan mantra pelindung agar mereka bisa makan malam agak nyaman.
Sesudahnya, mereka berlima duduk mengelilingi api unggun, menatap kobaran keemasannya. Eragon menyandarkan kepala ke sebatang pohon dan mengawasi meteor melintasi langit. Matanya nyaris terpejam sewaktu terdengar suara wanita terbawa angin di hutan dari arah Silthrim, lantunan samar yang membelai bagian dalam telinganya seperti bulu. Ia mengerutkan kening dan menegakkan tubuh, berusaha mendengar bisikan itu lebih baik.
Seperti kepulan asap yang menebal saat api unggun yang baru dinyalakan berkobar hidup, suara itu pun bertambah kuat hingga hutan mendesah seiring melodi yang menggoda, dan berputar-putar itu, melompat naik-turun dengan liar. Suara-suara lain terdengar mengiringi suara yang seolah tidak berasal dari dunia nyata itu, menghiasi nada aslinya dengan ratusan variasi. Udara sendiri bagai berpendar karena musik sangat dinamis tersebut.
Lantunan peri itu menimbulkan gelombang kegembiraan dan ketakutan yang merayapi tulang punggung Eragon; mengaburkan indranya, menariknya memasuki malam selembut beludru, Terbujuk nada-nada yang mengalun tersebut, ia melompat bangkit, siap melesat menerobos hutan hingga menemukan sumber suara, siap menari-nari di sela pepohonan dan lumut, apa pun agar bisa bergabung dengan pesta para elf. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arya menyambar tangannya dan menyentaknya hingga Eragon terputar menghadapinya.
"Eragon! Kosongkan pikiranmu!" Eragon berjuang dengan sia-sia untuk melepaskan diri dari cengkeraman Arya. "Eyddr evreya onr!" Kosongkan telingamu! Segalanya lalu berubah sunyi, seakan Eragon jadi tuli. Ia berhenti melawan dan memandang sekitarnya, penasaran tentang apa yang baru saja terjadi. Di seberang api unggun, Lifaen dan Nari bergulat tanpa suara dengan Orik.
Eragon memandangi mulut Arya bergerak-gerak s
aat bicara, lalu suara kembali ke dunia diiringi bunyi letupan, walau ia tidak lagi bisa mendengar musiknya. "Apa..."" tanyanya, tertegun.
"Menyingkir dariku," geram Orik. Lifaen dan Nari menarik tangan mereka dan mundur.
"Mad, Orik-vodhr," kata Lifaen.
Arya menatap ke Silthrim. "Aku salah menghitung hari-hari; aku tidak ingin berada di dekat kota selama Dagshelgr. Perayaan kami berbahaya bagi kaum fana. Kami bernyanyi dalam bahasa kuno, dan liriknya menjalin mantra keinginan dan kerinduan yang sulit dilawan, bahkan bagi kami."
Nari bergerak-gerak gelisah. "Kita seharusnya berada di hutan.
"Benar." Arya menyetujui, "tapi kita akan melakukan kewajiban kita dan menunggu."
Dengan perasaan terguncang Eragon duduk lebih dekat dengan api unggun, berharap Saphira ada; ia yakin Saphira mampu melindungi benaknya dari pengaruh musik tadi. "Apa Dagshelgr"" tanyanya.
Arya menemaninya di tanah, menyilangkan kakinya yang panjang. "Menjaga kesehatan dan kesuburan hutan. Setiap musim semi kami bernyanyi bagi pepohonan, kami bernanyi bagi tanaman, dan kami bemyanyi bagi hewan-hewan. Tanpa kami, Du Weldenvarden hanya akan tinggal separo dari luas sekarang." Seakan untuk menekankan maksudnya, berbagai burung, rusa, bajing merah, musang bergaris kelabu, rubah, kelinci, serigala, katak, kodok, kura-kura, dan semua hewan lain yang ada di dekat mereka meninggalkan tempat persembunyian dan bergegas-gegas dengan ribut. "Mereka mencari pasangan," Arya menjelaskan. "Di seluruh Du Weldenvarden di setiap kota kami, elf-elf menyanyikan lagu ini. Semakin banyak yang bernyanyi, semakin kuat mantranya, dan Du Weldenvarden akan semakin luas tahun ini."
Eragon menarik tangannya sewaktu tiga landak menghambur melewati pahanya. Seluruh hutan riuh rendah. Aku memasuki negeri dongeng, pikirnya, sambil memeluk diri sendiri.
Orik mendekat dari balik api unggun dan mengeraskan suara mengatasi keributan, "Demi janggut dan kapakku, aku tidak mau lagi dikendalikan sihir di luar keinginanku. Kalau kejadian ini terulang, Arya, aku bersumpah demi sabuk batu Helzvog aku akan kembali ke Farthen Dur dan kalian akan menghadapi kemurkaan Durgrimst Ingeitum."
"Aku tak berkeinginan kau mengalami Dagshelgr," kata Arya. "Aku minta maaf atas kesalahanku. Tapi, sekalipun aku melindungimu dari mantra ini, kau tidak bisa melepaskan diri dan sihir di Du Weldenvarden; sihir ada di mana-mana di sini."
"Selama tidak mengacau pikiranku." Orik menggeleng dan meraba tangkai kapaknya sambil mengamati binatang-biriatang yang bergerak dalam keremangan di luar lingkaran cahaya api unggun.
Tidak ada yang tidur malam itu. Eragon dan Orik terus terjaga karena keributan yang menakutkan dan hewan-hewan yang terus menerjang tenda-tenda mereka, para elf karena mereka masih mendengarkan lagu itu. Lifaen dan Nari mondar-mandir tanpa henti, sementara Arya menatap ke Silthrim dengan depresi lapar, kulitnya yang pucat tampak terentang tegang tipis di tulang pipinya.
Empat jam sesudah keributan suara dan gerakan itu mulai, Saphira menukik turun dari langit, matanya berkilau-kilau aneh. Ia bergidik dan menjulurkan leher, terengah-engah dengan ternganga. Hutannya, katanya, hidup. Dan aku hidup. Darahku membara, belum pernah aku mengalami yang seperti ini. Darahku membara seperti darahmu membara sewaktu memikirkan arya, Aku... mengerti!
Eragon memegang bahu Saphira, merasakan getaran yang mengguncang sosok naga itu; bagian samping tubuh Saphira bergetar saat ia bersenandung seiring musiknya. Saphira mencengkeram tanah dengan cakar-cakarnya yang bagai gading, otot-ototnya berkedut karena usaha kerasnya untuk tetap tidak bergerak. Ujung ekornya tersentak seakan ia hendak menerkam.
Arya berdiri dan menggabungkan diri dengan Eragon di sisi lain Saphira. Elf itu juga memegang bahu Saphira, dan mereka bertiga menghadapi kegelapan, bersatu menjadi rantai hidup.
Saat subuh merekah, yang pertama kali disadari Eragon adalah di semua pohon sekarang tumbuh kuncup jarum hijau cerah di ujung cabang masing-masing. Ia membungkuk dan memeriksa semak snowberry di kakinya dan mendapati setiap tanaman, besar at
au kecil, mengalami pertumbuhan semalam. Hutan dipenuhi warna-warna cemerlang; segala sesuatu tampak lebat, segar, dan bersih. Udara berbau seperti ketika hujan bam saja turun.
Saphira mengguncang diri di samping Eragon dan berkata, Demamnya sudah berlalu; aku telah pulih. Hal-hal yang kurasakan... Rasanya seolah dunia dilahirkan lagi dan aku membantu menciptakannya dengan api di tangan dan kakiku.
Bagaimana keadaanmu" Di dalam, maksudku.
Aku membutuhkan waktu untuk memahami apa yang baru saja kualami.
Karena musiknya telah berhenti, Arya mencabut mantranya dari Eragon dan Orik. Ia berkata, "Lifaen. Nari. Pergilah ke Silthrim dan ambil kuda untuk kita berlima. Kita tidak bisa berjalan kaki dari sini ke Ellesmera. Selain itu, peringatkan Kapten Damitha bahwa Ceris membutuhkan pasukan tambahan."
Nari membungkuk. "Apa yang harus kami katakan kalau menanyakan kenapa kami meninggalkan pos kami"" "Beritahu bahwa apa yang pernah diharapkannya--dan ditakutinya--telah terjadi; wyrm telah menggigit ekornya sendiri. Ia akan paham."
Kedua elf itu pergi ke Silthrim sesudah pasokan dibongkar dari perahu. Tiga jam kemudian, Eragon mendengar suara ranting patah dan menengadah, melihat mereka kembali menerobos hutan dengan menunggang kuda-kuda jantan yang gagah memimpin empat kuda yang identik. Hewan-hewan yang mengagumkan itu bergerak di sela pepohonan tanpa suara, kulit mereka berpendar ditimpa cahaya. Tidak seekor pun dilengkapi pelana atau kekang.
"Blothr, blothr," gumam Lifaen, dan tunggangannya berhenti, menggaruk-garuk tanah dengan kukunya yang gelap.
"Apakah semua kuda kalian seanggun ini"" tanya Eragon. Dengan hati-hati ia mendekati salah satunya, terpesona pada keindahannya. Hewan-hewan itu hanya beberapa tangan lebih tinggi daripada kuda poni, menyebabkan mereka bisa bergerak dengan mudah di sela batang-batang pohon yang tumbuh rapat. Mereka tidak tampak takut pada Saphira.
"Tidak semuanya," kata Nari sambil tertawa, mengibaskan rambut keperakannya, "tapi sebagian besar. Kami sudah memelihara mereka selama berabad-abad."
"Bagaimana caraku menungganginya""
Arya berkata, "Kuda elf bereaksi seketika terhadap perintah dalam bahasa kuno; beritahukan ke mana kau mau pergi dan ia akan membawamu ke sana. Tapi jangan memperlakukan mereka dengan pukulan atau kata-kata kasar, karena mereka bukan budak kami, tapi teman dan rekan kami. Mereka hanya membawamu selama mereka bersedia; bisa menunggangi salah satunya merupakan kehormatan besar. Aku berhasil menyelamatkan telur Saphira dari Durza karena kuda-kuda kami merasakan ada yang tidak beres dan menghentikan kami memasuki perangkapnya.... Mereka tidak akan membiarkan dirimu jatuh kecuali kau dengan sengaja menjatuhkan diri, dan mereka ahli memilih jalan yang paling aman dan paling cepat di daerah berbahaya. Feldunost para kurcaci seperti itu."
"Benar sekali," kata Orik. "Feldunost bisa membawamu mendaki tebing dan menuruninya tanpa satu memar pun. Tapi bagaimana cara kita membawa makanan dan yang lainnya tanpa pelana" Aku tidak mau menunggang kuda sambil membawa bungkusan yang penuh."
Lifaen melemparkan setumpuk tas kulit ke kaki Orik dan menunjuk kuda keenam. "Tidak perlu."
Mereka membutuhkan waktu setengah jam untuk menata pasokan mereka dalam tas-tas dan menumpuknya di punggung kuda. Sesudah itu, Nari memberitahu Eragon dan Orik kata-kata yang bisa mereka gunakan untuk mengarahkan kuda-kuda: "Ganga fram untuk maju, blothr untuk berhenti, hlaupa kalau kalian harus lari, dan ganga aptr untuk kembali. Kalian bisa memberi instruksi yang lebih tepat kalau kalian tahu lebih banyak bahasa kuno." Ia membimbing Eragon ke salah satu kuda dan berkata, "Ini Folkvir. Ulurkan tanganmu."
Eragon mematuhinya, dan kuda jantan itu mendengus, cuping hidungnya mengembang. Folkvir mengendus telapak tangan Eragon, lalu menyentuhnya dengan moncong dan mengizinkan Eragon untuk mengelus lehernya yang kekar. "Bagus," kata Nari, tampak puas. Elf itu membimbing Orik untuk melakukan tindakan yang sama dengan kuda berikutnya.
Saat Eragon naik ke punggung Folkvir, Saphira mendekat. Eragon menengadah m
enatapnya, menyadari kalau Saphira masih terganggu akibat pengalaman semalam. Satu hari lagi, katanya.
Eragon & Saphira diam sejenak. Ada yang kupikirkan sewaktu berada di bawah pengaruh mantra elf, apa yang selama ini kuanggap tidak berarti, tapi sekarang menjulang seperti pegunungan yang menakutkan: Setiap makhluk, tidak peduli semurni atau semenakutkan apa pun, memiliki pasangan dari jenis mereka sendiri. Tapi aku tidak memilikinya, Ia menggigil dan memejamkan mata. Dalam hal ini, aku sendirian.
Pernyataaan Saphira mengingatkan Eragon bahwa naga itu belum lagi berusia delapan bulan. Pada banyak kesempatan, kemudaannya tidak terlihat--karena pengaruh insting dan kenangan yang diwarisinya tapi, dalam urusan ini, ia sama tidak berpengalamannya dengan Eragon dalam usahanya lemah untuk merasakan keromantisan di Carvahall dan Tronjheim. Eragon merasa kasihan, tapi ia menekan perasaannya sebelum perasaan itu sempat mengalir melalui hubungan mental mereka. Saphira akan membenci perasaan itu: perasaan tersebut tidak bisa memecahkan masalahnya atau membuat perasaannya lebih baik. Ia akhirnya malah berkata, Galbatorix masih memiliki dua telur naga. Begitu kita bertemu Hrothgar lagi katakan kau ingin menyelamatkan keduanya. Kalau kita bisaSaphira mendengus pahit. Bisa memakan waktu bertahun-tahun dan bahkan kalau kita berhasil mendapatkan telur-telur itu, tidak ada jaminan telur-telur tersebut akan menetas, atau apakah mereka jantan atau apakah kami merupakan pasangan yang cocok. Nasib sudah menentukan rasku bakal punah. Ia melecutkan ekornya dengan frustrasi, mematahkan pohon muda hingga menjadi dua. Saphira tampak hampir menangis.
Apa yang bisa kukatakan" tanya Eragon, terusik perasaan tertekan yang dirasakan Saphira. Kau tidak boleh patah semangat. Kau masih memiliki kesempatan menemukan pasangan, tapi kau harus sabar. Bahkan kalau telur milik Galbatorix tidak berhasil, pasti ada naga di tempat lain di dunia ini, sama seperti manusia, elf, dan Urgal. Begitu kita bebas dari kewajiban, akan kubantu kau mencari mereka. Bagaimana"
Baiklah, isak Saphira. Ia menjulurkan kepala ke belakang dan mengembuskan asap putih yang memudar di sela cabang-cabang di atas kepala. Seharusnya aku bisa lebih menguasai diri dan tidak membiarkan emosi mengalahkanku.
Omong kosong. Kau harus terbuat dari batu supaya tidak merasa seperti ini. Ini sangat normal... Tapi berjanjilah kau tidak akan memikirkan masalah ini ketika sendirian.
Saphira menatapnya dengan sebelah mata birunya yang besar. Baik. Eragon merasa hangat di dalam saat merasakan perasaaan berterima kasih Saphira atas penghiburan dan dukungan Eragon. Sambil mencondongkan tubuh dari Folkvir, Eragon memegang pipi Saphira yang kasar beberapa lama. Pergilah makhluk kecil, gumam Saphira. Sampai ketemu nanti.
Eragon tidak suka meninggalkan Saphira dalam keadaan seperti itu. Dengan enggan ia memasuki hutan bersama Orik dan para elf, menuju ke jantung Du Weldenvarden di barat. Sesudah satu jam memikirkan beban Saphira, ia membicarakannya dengan Arya.
Garis-garis samar muncul di kening Arya saat ia mengerutkan kening "Itu salah satu kejahatan terbesar Galbatorix. Aku tidak tahu apakah ada pemecahannya, tapi kita bisa berharap. Kita harus berharap."
KOTA PINUS Eragon begitu lama berada di Du Weldenvarden hingga ia mulai merindukan tempat terbuka, padang, atau bahkan pegunungan, bukan batang-batang pohon dan sesemakan luas tak bertepi. Penerbangannya dengan Saphira tidak memberinya kelegaan karena hanya menampakkan perbukitan hijau yang terbentang tanpa putus seperti lautan hingga kejauhan.
Sering cabang-cabang di atas kepala begitu tebal hingga mustahil mengetahui dari arah mana matahari terbit dan terbenam. Itu, bersama pemandangan yang selalu sama, menyebabkan Eragon merasa tersesat, tidak peduli berapa kali Arya atau Lifaen bersusah payah menunjukkan arah mata angin padanya. Kalau bukan karena para elf, Eragon tahu ia bisa berkeliaran di Du Weldenvarden sepanjang sisa hidupnya tanpa pernah menemukan jalan keluar.
Sewaktu hujan turun, awan dan kanopi hutan menyebabkan mereka berada dala
m kegelapan pekat, seakan terkubur jauh di bawah tanah. Air yang turun mengumpul di dedaunau jarum pinus yang hitam di atas, lalu menetes dan turun sekitar seratus kaki atau lebih ke kepala mereka, seperti ribuan air terjun kecil. Pada saat seperti itu, Arya memanggil bola cahaya sihir yang melayang di atas tangan kanannya dan menjadi satu-satunya sumber cahaya di hutan yang segelap gua tersebut. Mereka akan berhenti dan berkumpul di bawah sebatang pohon hingga badai mereda, tapi air yang tersimpan di puluhan cabang di atas, kalau diguncang sedikit saja, akan menghujani mereka dengan tetesan air hingga berjam-jam kemudian.
Sementara mereka terus berjalan semakin jauh memasuki jantung Du Weldenyarden, pepohonan semakin tebal dan tinggi, juga semakin terpisah dari satu sama lain untuk memberi ruang bagi bentangan cabang-cabang mereka yang melebar.
Batang-batang pohon yang cokelat menjulang ke langit-langit berusuk di atas, yang dikaburkan dan di sana-sini disaput bayangan--tingginya lebih dari dua ratus kaki, lebih tinggi daripada pohon mana pun di Spine atau Beor. Eragon mengukur keliling satu pohon, yang mencapai tujuh puluh kaki.
Ia menceritakan hal ini pada Arya, dan elf itu mengangguk, sambil berkata, "Itu artinya kita sudah dekat dengan Ellesmera." Ia mengulurkan tangan dan meletakkannya di akar yang melengkung di sampingnya, seakan menyentuh, dengan sangat hati-hati, bahu teman atau kekasih. "Pepohonan ini merupakan salah satu makhluk hidup tertua di Alagaesia. Elf menyayangi mereka sejak pertama kali kami melihat Du Weldenvarden, dan kami berusaha sekuat tenaga membantu mereka tetap subur." Seberkas cahaya samar menerobos cabang-cabang hijau di atas kepala dan bagai menyirami lengan dan wajah Arya dengan emas cair, tampak sangat mengilap dengan latar belakang suram. "Kita telah menempuh perjalanan jauh bersama-sama, Eragon, tapi sekarang kau akan memasuki duniaku. Melangkahlah dengan hati-hati, karena tanah dan udara penuh dengan kenangan dan tidak ada yang seperti kelihatannya. Jangan terbang dengan Saphira hari ini, karena kita sudah memicu mantra-mantra tertentu yang melindungi Ellesmera. Tidak bijaksana untuk menyimpang dari jalan setapak "
Eragon membungkuk dan kembali ke dekat Saphira, yang berbaring melingkar di hamparan lumut, menghibur diri dengan mengepulkan asap dari cuping hidungnya dan mengawasinya bergulung-gulung menghilang. Tanpa basa-basi, ia berkata, banyak ruang bagiku di tanah sekarang. Aku tidak akan mengalami kesulitan.
Bagus. Eragon menunggang Folkvir dan mengikuti Orik serta para elf semakin jauh ke dalam hutan yang kosong dan sunyi itu. Saphira melangkah di sampingnya. Naga itu dan kuda-kuda putih tampak kemilau dalam keremangan.
Eragon berhenti sejenak, dicengkeram keindahan di sekelilingnya. Segala sesuatu memancarkan kesan tua yang dingin, seakan selama ribuan tahun tidak ada yang berubah di bawah atap daun jarum itu dan tidak akan ada yang pernah berubah, waktu seperti tertidur dan tak pernah terjaga.
Di sore hari, keremangan terangkat, menampakkan elf yang berdiri di depan mereka, diselubungi cahaya cemerlang yang menerobos miring dari langit-langit. Ia mengenakan mantel dari bahan halus, dengan lingkaran perak di atas alisnya. Wajahnya tua, anggun, dan khidmat.
"Eragon," gumam Arya. "Tunjukkan telapak tangan dan cincinmu padanya."
Setelah menanggalkan sarung tangan kanannya, Eragon mengangkatnya hingga mula-mula kelihatan cincin Brom, lalu gedwey ignasia. Elf itu tersenyum, memejamkan mata, dan membentangkan lengan membentuk isyarat menyambut. Ia bertahan dalam posisi seperti itu.
"Kita boleh lewat," kata Arya. Mendengar perintah lembut, tunggangannya berjalan maju. Mereka berkuda mengitari elf itu--seperti air yang terbelah di dasar bongkahan batu yang sudah dimakan cuaca--dan setelah mereka semua lewat, elf tersebut menegakkan tubuh, menepukkan tangan, dan menghilang sementara cahaya yang meneranginya juga tidak ada lagi.
Siapa elf itu" tanya Saphira.
Arya berkata, "Ia Gilderien si Bijak, Pangeran Rumah Miolandra, penyandang Api Putih Vandil, dan penjaga Ellesmera sejak
zaman Du Fym Skulblaka, perang kami dengan naga. Tidak seorang pun boleh memasuki kota tanpa seizinnya."
Seperempat mil dari sana, hutan menipis dan celah-celah bermunculan di kanopi, memungkinkan berkas-berkas cahaya menyinari jalan. Lalu mereka lewat di bawah dua pohon penuh tonjolan yang saling menyandar dan berhenti di padang kosong.
Tanah itu di sana-sini ditumbuhi rumpun bunga yang lebat. Dari mawar merah muda hingga bluebell dan lili, harta karun sementara musim semi bertumpuk-tumpuk seperti gundukan batu rubi, safir, dan opal. Aromanya yang memabukkan menarik kawanan kumbang. Di sebelah kanan, sungai kecil menggelegak di balik deretan sesemakan, sementara sepasang bajing berkejaran mengitari sebongkah batu.
Mulanya, di mata Eragon, tempat itu seperti tempat rusa tidur di malam hari. Tapi saat terus menatap, ia mulai melihat jalan setapak yang tersembunyi di sela sesemakan dan pepohonan; cahaya hangat lembut di tempat biasanya ada bayang-bayang kemerahan; pola aneh berbentuk ranting, cabang, dan bunga, begitu halus hingga nyaris lolos dari pengamatannya--petunjuk-petunjuk bahwa apa yang dilihatnya tidaklah alamiah sepenuhnya. Ia mengerjapkan mata, dan pandangannya tiba-tiba beralih, seakan ada lensa yang diletakkan di depan matanya, mengubah segalanya menjadi bentuk-bentuk yang bisa dikenali. Di sana ada jalan setapak, aye. Dan di sana bunga-bunga, aye. Tapi yang tadi dianggapnya sekumpulan pohon yang saling membelit ternyata bangunan-bangunan indah yang tumbuh langsung dari pohon-pohon pinus.
Ada pohon yang membesar di dasarnya, menjadi rumah dua tingkat, sebelum membenamkan akar-akarnya ke tanah liat. Kedua tingkatnya bersegi delapan, sekalipun luas tingkat atasnya hanya setengah tingkat pertama, yang menyebabkan rumah itu tampak berteras. Atap dan dindingnya terbuat dari anyaman lembaran kayu yang menutupi enam kayu tebal. tumut dan pakis kuning menjuntai pada langkannya hingga melewati jendela-jendela beperhiasan yang ada di setiap sisi.
Pintu depannya merupakan ceruk hitam misterius yang masuk di bawah ambang pintu melengkung penuh simbol.
Rumah lain bertengger di sela tiga pohon pinus yang menyatil melalui serangkaian cabang melengkung. Diperkuat cabang-cabang itu, rumahnya menjulang lima tingkat, ringan beraliran udara lancar. Di sampingnya ada jalan yang terdiri atas dedalu juga dogwood dan di sana tergantung lentera-lentera tanpa api yang disamarkan sebagai tonjolan tanaman.
Setiap bangunan yang unik menonjolkan dan melengkapi sekitarnya, menyatu tanpa cacat dengan bagian hutan lain hingga mustahil menentukan di mana bagian buatan berakhir dan alam melanjutkan. Keduanya seimbang sempurna. Para elf tidak menguasai lingkungan mereka, mereka memilih menerima dunia apa adanya dan mengadaptasikan diri ke dalamnya.
Para penghuni Ellesmera akhirnya menampakkan diri dalam gerakan-gerakan sekilas di tepi bidang pandang Eragon, tidak lebih daripada gerakan tak perlu akibat tiupan angin. Lalu ia sekilas melihat tangan, wajah pucat, kaki bersandal, dan lengan terangkat. Satu demi satu, para elf yang waspada menampakkan diri, mata mereka yang agak sipit terpaku pada Saphira, Arya, dan Eragon.
Para wanita tidak mengikat rambut mereka. Rambut itu tergerai di punggung, berwarna keperakan dan gelap, dihiasi bunga-bunga yang baru mekar, seperti air terjun kebun. Mereka semua memiliki kecantikan halus dan gaib yang tidak menunjukkan kekuatan mereka yang luar biasa; bagi Eragon, mereka tak bercacat. Para pria sama menawannya, dengan tulang pipi tinggi, hidung mancung, dan kelopak mata tebal. Baik pria maupun wanitanya mengenakan tunik hijau dan cokelat, dengan tepi berwarna oranye, merah tua, dan emas.
Benar-benar makhluk negeri peri, pikir Eragon. Ia menyentuh bibirnya sebagai sapaan.
Bersama-sama, para elf membungkuk sepinggang. Lalu mereka tersenyum dan tertawa dengan kebahagiaan yang tidak ditahan-tahan. Dari tengah mereka, seorang wanita bernyanyi:
Gala 0 Wyrda brunhvitr, Abr Berundal vandr-fodhr,
Burthro laufsbladar ekar undir,
Eom kona dauthleikr .... Eragon menutup telinganya dengan tangan, takut melo
di itu merupakan mantra seperti yang didengarnya di Silthrim, tapi Arya menggeleng dan menurunkan tangan Eragon. "Ini bukan sihir." Lalu ia berbicara pada kudanya, mengatakan, Kuda jantan itu mendengus dan berderap pergi.
"Lepaskan juga tungganganmu. Kita tidak membutuhkan mereka lagi dan mereka layak beristirahat di istal kami."
Lagunya mengalun lebih kuat saat Arya menyusun jalan setapak dari batu-batu bulat yang dihiasi batu tourmaline hijau, berselang-seling dengan bunga hollyhock, rumah-rumah, dan pepohonan sebelum akhirnya menyeberangi sungai. Para elf menari-nari di sekeliling rombongan mereka sementara mereka jalan, berlarian ke sana kemari sesuka hati mereka, dan sesekali melompat ke cabang untuk berlari di atas kepala mereka. Mereka memuji Saphira, menjulukinya. "Cakar Panjang", "Putri Udara dan Api", dan "Sang Perkasa".
Eragon tersenyum, gembira dan terpesona. Aku bisa tinggal di sini, pikirnya dengan perasaan damai. Tersembunyi dalam Du Weldenvarden, sekalipun berada di tempat terbuka, aman dari bagian dunia lain.... Ya, ia benar-benar sangat menyukai Ellesmera, lebih daripada kota-kota kurcaci mana pun. Ia menunjuk rumah di dalam sebatang pohon pinus dan bertanya pada Arya, "Bagaimana cara membuatnya""
"Kami bernyanyi pada hutan dalam bahasa kuno dan memberikan kekuatan kami padanya untuk tumbuh sesuai bentuk yang kami inginkan. Semua bangunan dan peralatan kami dibuat dengan cara itu."
Jalan setapak berakhir di jalinan akar yang membentuk anak-anak tangga, seperti kolam-kolam tanah terbuka. Mereka menapakinya ke pintu yang terpasang pada batang pohon muda. Jantung Eragon berdebar lebih cepat saat pintunya terayun membuka, seakan dengan sendirinya, dan menampakkan aula penuh pohon. Ratusan cabang menyatu membentuk langit-langit yang bagai sarang lebah. Di bawah, dua belas kursi ditata di sepanjang setiap dinding.
Di sana duduk dua puluh empat bangsawan pria dan wanita elf.
Mereka bijaksana dan tampan, dengan wajah-wajah halus yang tidak termakan usia dan mata tajam yang membara penuh Semangat. Mereka mencondongkan tubuh ke depan, mengkeram lengan kursi masing-masing, dan menatap rombongan Eragon dengan keheranan dan harapan yang tampak jelas. Tidak seperti para elf lain, mereka memakai pedang di pinggang--dengan gagang yang dihiasi batu-batu permata--mahkota di kepala.
Dan di kepala kumpulan itu terdapat paviliun putih menaungi singgasana dari jalinan akar. Ratu Islanzadi duduk di sana. Ia secantik matahari terbenam di musim gugur, bangga dan berkuasa, dengan dua alis gelap yang miring seperti sayap terangkat, bibir secerah dan semerah holly berry, dan rambut sepekat malam yang disanggul di bawah mahkota berlian. Tuniknya merah darah. Di pinggangnya melingkar sabuk lebar dari jalinan emas. Dan di lehernya terikat jubah beludru yang menjuntai ke tanah. Sekalipun sikapnya yang mengesankan, Ratu tampak rapuh, seakan menyembunyikan penderitaan hebat.
Di tangan kirinya terdapat tongkat melengkung dengan batang melintang yang berukir di ujungnya. Gagak berbulu putih cemerlang bertengger di sana, bergerak-gerak tidak sabar dari satu kaki ke kaki yang lain. Gagak itu memiringkan kepala dan mengamati Eragon dengan kecerdasan yang menakutkan, lalu berkaok panjang dan pelan, kemudian menjerit, "Wyrda!" Eragon bergidik akibat kekuatan sepatah kata itu.
Pintu menutup di belakang mereka berenam sesudah mereka masuk ke aula dan mendekati Ratu. Arya berlutut di lantai berlapis lumut dan membungkuk lebih dulu, diikuti Eragon, Orik, Lifaen, dan Nari. Bahkan Saphira, yang tidak pernah membungkuk pada siapa pun, bahkan pada Ajihad atau Hrothgar, menundukkan kepala.
Islanzadi bangkit dan turun dari singgasana, jubahnya memanjang di belakangnya. Ia berhenti di depan Arya, meletakkan tangan yang gemetaran di bahu elf itu, dan berkata dengan suara bergetar yang dalam, "Berdirilah." Arya mematuhinya dan Ratu mengamati wajahnya dengan tatapan yang makin lama makin tajam, hingga ia tampak seperti berusaha menafsirkan teks yang tidak jelas.
Akhirnya Islanzadi berseru dan memeluk Arya, mengatakan "O putriku, aku bersalah pad
amu!" RATU ISLANZADI Eragon berlutut di depan ratu para elf dan para penasihatnya itu dalam ruangan fantastis yang terbuat dari batang-batang pohon hidup di tanah nyaris mistis, dan satu-satunya yang memenuhi pikirannya hanyalah perasaan kaget. Arya putri bangsawan! Cocok juga sih--Arya memang sejak dulu memiliki aura berkuasa--tapi Eragon dengan pahit menyesali fakta itu, karena fakta tersebut menghadirkan satu penghalang lagi di antara mereka di saat ia ingin menyingkirkan semuanya. Pengetahuan itu menyebabkan mulutnya terasa kering dan pahit. Ia teringat ramalan Angela bahwa dirinya akan jatuh cinta pada bangsawan... dan peringatan Angela bahwa wanita itu tidak bisa melihat apakah hubungan tersebut akan berakhir baik atau buruk.
Eragon bisa merasakan keterkejutan Saphira sendiri, lalu keheranannya. Saphira berkata, Tampaknya selama ini kita bepergian bersama bangsawan tanpa mengetahuinya.
Kenapa ia tidak memberitahu kita"
Mungkin akan lebih membahayakan dirinya.
"Islanzadi Drottning," kata Arya dengan sikap resmi.
Ratu mundur seperti tersengat lalu mengulangi dalam bahasa kuno, "Oh, putriku, aku bersalah padamu." Ia menutupi wajahnya "Sejak kau menghilang, aku nyaris tidak tidur atau makan. Aku mengkhawatirkan nasibmu, dan takut tidak akan pernah bertemu lagi denganmu. Mengusirmu dari hadapanku merupakan kesalahan terbesar yang pernah kulakukan... Kau memaafkanku""
Para elf yang berkumpul bergerak-gerak takjub.
Jawaban Arya lama baru terdengar, tapi akhirnya ia berkata, "Selama tujuh puluh tahun, aku hidup dan menyayangi, bertempur dan membunuh tanpa pernah berbicara denganmu ibuku. Hidup kita panjang, tapi sekalipun begitu, masa itu bukanlah waktu yang singkat."Islanzadi menegakkan diri, mengangkat dagunya. Ia gemetar. "Aku tidak bisa membatalkan masa lalu, Arya, betapa pun besar keinginanku untuk berbuat begitu."
"Dan aku tidak bisa melupakan apa yang telah kualami."
"Kau tidak harus melupakannya." Islanzadi menggenggam tangan putrinya. "Arya, aku menyayangimu. Kau satu-satunya keluargaku. Pergilah kalau memang harus, tapi kecuali kau ingin memutuskan hubungan denganku, aku ingin bersatu lagi denganmu."
Selama sesaat yang menakutkan, Arya seperti tidak bersedia menjawab, atau lebih buruk lagi, menolak tawaran itu. Eragon melihatnya ragu dan memandang cepat sekitarnya. Lalu Arya menunduk dan berkata, "Tidak, Ibu. Aku tidak bisa pergi." Islanzadi tersenyum bimbang dan memeluk putrinya lagi. Kali ini Arya membalas pelukannya, dan senyum merekah di antara para elf yang berkumpul.
Gagak putih berlompatan di tempat bertenggernya, sambil berseru, "Dan di pintu ada duka yang lebih besar, yang sekarang diketahui keluarga, Mari kita hanya memujanya!"
"Hus, Blagden," kata Islanzadi pada si gagak. "Tutup mulutmu." Setelah melepaskan diri, Ratu berpaling pada Eragon dan Saphira. "Maafkan aku karena tidak sopan dan mengabaikan kalian, tamu-tamu terpenting kami."
Eragon menyentuh bibirnya lalu memutar tangan kanan di atas perut, seperti yang diajarkan Arya padanya. "Islanzadi Drottning. Atra esterni ono thelduin." Ia tidak ragu dirinyalah yang harus berbicara lebih dulu.
Mata hitam Islanzadi membelalak. "Atra du evarinya ono varda. "
"Un atra mor'ranr lifa unin hjarta oyzr," jawab Eragon, melengkapi ritual itu. Ia bisa melihat para elf terkejut dengan pengetahuannya soal budaya mereka. Dalam benaknya, ia mendengarkan ketika Saphira mengulangi sapaannya pada Ratu.
Sesudah selesai, Islanzadi bertanya, "Naga, siapa namamu""
Saphira. Ekspresi mengenali muncul sekilas di wajah Ratu, tapi ia tidak berkomentar. "Selamat datang di Ellesmera, Saphira. Dan namamu, Penunggang""
"Eragon Shadeslayer, Yang Mulia." Kali ini terdengar keributan di antara para elf yang duduk di belakang mereka, bahkan Islanzadi tampak terkejut.
"Kau menyandang nama yang kuat," katanya lembut, "nama yang jarang kami berikan pada anak-anak kami... Selamat datang di Ellesmera, Eragon Shadeslayer. Kami sudah lama menunggumu." Ia berjalan ke Orik, menyapanya, lalu kembali ke singgasana dan menarik jubah beludrunya menutupi lengan. "Kuanggap dengan
kehadiranmu di sini, Eragon, begitu cepat sesudah telur Saphira berhasil diperoleh, dan melihat cincin di tanganmu serta pedang di pinggangmu, bahwa Brom telah tewas dan latihanmu dengan dirinya belum selesai. Aku ingin mendengar ceritamu selengkapnya, termasuk bagaimana Brom tewas dan bagaimana kau bisa bertemu putriku, atau bagaimana ia bertemu denganmu, sebagaimana yang mungkin terjadi. Sesudah itu aku akan mendengar mengenai misimu kemari, kurcaci, dan petualanganmu, Arya, sejak penyergapan yang kaualami di Du Weldenvarden."
Eragon pernah menceritakan pengalamannya sebelum ini, jadi ia tidak sulit mengulanginya bagi Ratu. Pada beberapa kejadian ketika ingatannya samar, Saphira mampu memberikan Penjabaran yang akurat soal kejadian-kejadian itu. Di beberapa bagian, Eragon membiarkan Saphira yang bercerita. Sesudah mereka selesai, Eragon mengambil gulungan dokumen Nasuada dari buntalannya dan memberikannya pada Islanzadi.
Ratu mengambil gulungan perkamen itu, memecah segel merahnya dan, setelah selesai membacanya, mendesah dan memejamkan mata sejenak. "Sekarang aku melihat sejauh mana kebodohanku. Kedukaanku akan berakhir jauh lebih cepat seandainya aku tidak menarik para pejuang kami dan mengabaikan kurir-kurir Ajihad sesudah mengetahui Arya di sergap. Seharusnya aku tidak pernah menyalahkan kaum Varden untuk kematian putriku. Bagi orang setua diriku, masih terlalu bodoh...."
Kesunyian panjang mengikuti, karena tidak ada yang berani menyetujui atau membantah. Dengan mengerahkan keberanian, Eragon berkata, "Karena Arya kembali dalam keadaan hidup, apakah Anda setuju untuk membantu kaum Varden, seperti sebelumnya" Nasuada tidak bisa berhasil kalau Anda tidak membantunya, dan aku sudah bersumpah setia pada tujuannya."
"Perselisihanku dengan kaum Varden hanyalah debu yang tertiup angin," kata Islanzadi. "Jangan takut; kami akan membantu mereka seperti dulu, dan lebih lagi, karena kemenanganmu dan kemenangan mereka atas para Urgal." Ia mencondongkan tubuh ke depan dan bertumpu pada satu lengan. "Kau mau memberikan cincin Brom, Eragon"" Tanpa ragu, Eragon mencabutnya dari jarinya dan memberikannya kepada Ratu, yang mengambilnya dari telapak tangannya dengan jemarinya yang ramping. "Kau seharusnya tidak mengenakan cincin ini, Eragon, karena cincin ini bukan diberikan kepadamu. Tapi karena bantuan yang kauberikan pada kaum Varden dan keluargaku, aku sekarang memberimu gelar Teman Elf dan mengaruniakan cincin ini, Aren, padamu, agar semua elf, ke mana pun kau pergi, tahu kau bisa dipercaya dan harus dibantu."
Eragon berterima kasih padanya dan mengembalikan cincin ke jarinya, sambil sangat menyadari tatapan Ratu, yang tetap terarah padanya dengan ekspresi yang mengganggu, mengamati dan menganalisis. Eragon merasa seakan Ratu mengetahui segala sesuatu yang mungkin dikatakan atau dilakukannya. Ratu berkata, "Sudah bertahun-tahun kami tidak mendengar perbuatan seperti yang kaulakukan di Du Weldenvarden. Kami terbiasa dengan cara hidup yang lebih lamban di sini daripada di bagian Alagaesia lainnya, dan aku sangat galau karena begitu banyak yang terjadi begitu cepat tanpa ada berita yang sampai ke telingaku."
"Bagaimana dengan latihanku"" Eragon mencuri-curi melirik para elf yang duduk, penasaran apakah ada di mereka yang bernama Togira Ikonoka, makhluk yang menjangkau benaknya dan membebaskan dirinya dari pengaruh buruk Durza sesudah pertempuran di Farthen Dur--juga mendorong Eragon pergi ke Ellesmera.
"Akan dimulai pada saatnya nanti. Tapi aku takut melatihmu akan menjadi kesia-siaan selama penyakitmu masih ada. Bila sihir Shade tidak teratasi, kau tidak lebih daripada boneka.
Kau mungkin masih berguna, tapi hanya berupa bayangan dari harapan yang kami pertahankan selama lebih dari seabad." Islanzadi berbicara tanpa nada memarahi, tapi kata-katanya menghantam Eragon bagai pukulan martil. Ia tahu Ratu benar. "Situasimu bukanlah salahmu, dan aku sangat sedih mengutarakan ini, tapi kau harus mengerti beratnya kekuranganmu... maafkan aku."
Lalu Islanzadi berbicara pada Orik, "Sudah lama sekali sejak salah seorang dari rasmu
memasuki aula kami, kurcaci. Eragon finiarel telah menjelaskan kehadiranmu, tapi apakah ada yang ingin kautambahkan""
"Hanya salam dari rajaku, Hrothgar, dan permohonan, walau sekarang tidak diperlukan lagi, agar Anda kembali berhubungan dengan kaum Varden. Lebih dari itu, aku kemari untuk memastikan dihormatinya persekutuan yang dibangun Brom antara Anda dan manusia."
"Kami menepati janji baik yang kami ucapkan dalam bahasa ini atau dalam bahasa kuno. Kuterima salam Hrothgar dan membalasnya." Akhirnya--Eragon yakin Ratu ingin melakukan ini sejak kedatangan mereka--Islanzadi memandang Arya dan bertanya, "Nah, putriku, apa yang telah kaualami""
Arya mulai berbicara dengan nada monoton yang lambat, mula-mula menceritakan penangkapan dirinya lalu penawanan dan siksaan yang dialaminya di Gil'ead. Saphira dan Eragon sengaja menghindari rincian pelecehan yang dialami Arya, tapi Arya sendiri tampaknya tidak menemui kesulitan menceritakan apa yang dialaminya. Penjabarannya yang tanpa emosi memicu kemurkaan yang sama dalam diri Eragon seperti sewaktu meihat luka-luka Arya untuk pertama kalinya. Para elf tetap membisu selama Arya bercerita, sekalipun mereka mencengkeram pedang dan wajah mereka mengeras karena kemarahan yang dingin. Setetes air mata bergulir menuruni pipi Islanzadi.
Sesudahnya, seorang bangsawan elf yang kurus tapi gesit, berjalan di lumut di sela kursi-kursi. "Aku tahu aku berbicara atas nama yang lain, Arya Drottningu, kalau kukatakan bahwa hatiku membara karena kesedihan atas cobaan yang kaualami. Itu kejahatan yang tidak bisa dimaafkan, diampuni, atau diperbaiki, dan Galbatorix harus dihukum karenanya. Selain itu, kami berutang budi padamu karena menyembunyikan lokasi kota-kota kita dari Shade. Hanya sedikit di antara kita yang mampu bertahan menghadapinya selama itu."
"Terima kasih, Dathedr-vor."
Sekarang Islanzadi berbicara, suaranya seperti lonceng di sela pepohonan. "Cukup. Tamu-tamu kita telah menunggu hingga kelelahan, dan kita sudah terlalu lama membicarakan hal-hal yang jahat. Aku tidak akan membiarkan kesempatan ini dinodai luka-luka masa lalu." Senyum yang indah mencerahkan ekspresinya. "Putriku pulang, naga dan Penunggangnya datang, dan aku akan memastikan kita merayakannya dengan benar!" Ia berdiri, menjulang dan megah dengan tunik merah darahnya, lalu menepukkan tangan. Mendengar suara itu, kursi-kursi dan paviliun dihujani ratusan bunga lili dan mawar yang muncul dua puluh kaki di atas kepala mereka dan melayang turun seperti bunga salju yang berwarna-warni, memenuhi udara dengan keharuman.
Ia tidak menggunakan bahasa kuno, kata Eragon.
Ia menyadari bahwa, sementara semua orang disibukkan bunga-bunga, Islanzadi menyentuh bahu Arya dengan lembut dan bergumam, nyaris terlalu pelan untuk bisa didengar, "Kau tidak akan pernah menderita kalau menuruti nasihatku. Aku benar ketika menentang keputusanmu menerima yawe."
"Itu terserah padaku."
Ratu diam sejenak, lalu mengangguk dan mengulurkan tangan. "Blagden. " Diiringi kepakan sayap, gagak itu terbang dari tempat bertenggernya dan mendarat di bahu kiri Ratu. Para hadirin membungkuk saat Islanzadi berjalan ke ujung aula dan membuka pintu, menghadapi ratusan elf yang ada di luar, di mana ia berbicara sejenak dalam bahasa kuno yang dipahami Eragon. Para elf bersorak dan bergegas ke sana-kemari.
"Apa yang dikatakan Ratu"" bisik Eragon pada Nari.
Nari tersenyum. "Menyuruh kami membuka tong minuman terbaik dan menyalakan api untuk memasak, karena malam ini merupakan malam pesta dan nyanyian. Ayo!" Ia meraih tangan Eragon dan menariknya mengejar Ratu sementara Ratu berjalan di sela pohon-pohon pinus dan melewati sederetan pakis-pakisan yang sejuk. Selama mereka berada di dalam ruangan, Matahari turun rendah di langit, menyirami hutan dengan cahaya kemerahan yang melekat pada pepohonan dan tanaman seperti lapisan minyak yang mengilap.
Kau tentunya menyadari, bukan, kata Saphira, bahwa raja yang disebut Lifaen, Evandar, pastilah ayah Arya"
Eragon nyaris terjatuh. Kau benar... Dan itu berarti ia dibunuh Gnlbatorix atau para Terkutuk.
Lingkaran dalam lingkaran. Mereka berhenti di puncak bukit kecil, tempat seregu elf menyiapkan meja panjang dan kursi-kursi. Di sekeliling mereka, hutan penuh kesibukan. Saat malam menjelang, cahaya api yang riang bermunculan di seluruh Ellesmera, termasuk api unggun di dekat meja.
Ada yang memberi Eragon gelas yang terbuat dari kayu aneh yang sama seperti yang dilihatnya di Ceris. Ia menghirup cairan jernih dalam gelas itu dan tersentak saat cairan tersebut Membakar tenggorokannya. Rasanya seperti cider berempah dicampur mead. Cairan itu menyebabkan ujung jemari dan telinganya tergelitik serta membuat pikirannya jernih luar biasa.
Apa ini"" tanyanya pada Nari.
Nari tertawa. "Faelnirv" Kami menyulingnya dari elderberry yang ditumbuk dan pusaran cahaya bulan. Kalau diperlukan, orang yang kuat bisa melakukan perjalanan selama tiga hari tanpa menyantap apa-apa lagi."
Saphira, kau harus mencicipi ini. Saphira mengendus gelasnya, lalu membuka mulut dan membiarkan Eragon menuangkan sisa faelnirv ke tenggorokannya. Mata Saphira membelalak dan ekornya tersentak.
Nah, luar biasa! Ada lagi"
Sebelum Eragon sempat menjawab, Orik bergegas mendekati mereka. "Putri ratu," gerutunya, sambil menggeleng, "Kalau saja aku bisa memberitahu Hrothgar dan Nasuada. Mereka pasti ingin tahu"
Islanzadi duduk di kursi bersandaran tinggi dan menepuk tangannya sekali lagi. Dari dalam kota muncul empat elf membawa peralatan musik. Dua membawa harpa dari kayu cherry, yang ketiga membawa serangkaian pipa dari batang rumput air, dan yang keempat, wanita, hanya membawa suaranya, yang segera digunakannya untuk melantunkan lagu indah yang menari-nari di telinga mereka.
Eragon hanya menangkap kira-kira setiap kata ketiga, tapi apa yang bisa dipahaminya itu menyebabkan ia tersenyum. Lagu tersebut bercerita tentang rusa jantan yang tidak bisa minum dari kolam karena burung magpie terus mengganggunya.
Sementara Eragon mendengarkan, tatapannya menjelajah dan jatuh pada gadis kecil yang berjalan di belakang Ratu. Sewaktu memandang lagi, ia melihat rambut riap-riap gadis itu bukan berwarna perak, seperti sebagian besar elf, tapi putih karena usia, dan wajahnya keriput dan berkerut-kerut seperti apel kering. Gadis itu bukan elf, juga bukan kurcaci, dan--menurut perasaan Eragon--pun bukan manusia. Gadis itu tersenyum padanya, dan Eragon sekilas melihat sederetan gigi yang runcing.
Sewaktu penyanyi selesai bernyanyi, dan pipa-pipa serta kecapi mengisi kesunyian, Eragon mendapati dirinya didekap puluhan elf yang ingin bertemu dengannya serta--yang lebih penting lagi, ia merasa begitu--Saphira.
Para elf datang sambil membungkuk perlahan dan menyentuh bibir mereka dengan jari telunjuk dan jari tengah, yang dibalas Eragon dengan tindakan yang sama, bersama sapaan tanpa henti mereka dalam bahasa kuno. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sopan mengenai pengalaman Eragon, tapi sebagian besar percakapan mereka ditujukan pada Saphira.
Mulanya Eragon tak keberatan membiarkan Saphira berbicara karena ini tempat pertama ada yang tertarik berbicara hanya dengan Saphira. Tapi tidak lama kemudian ia jengkel karena diacuhkan; ia mulai terbiasa didengarkan orang saat dirinya berbicara. Ia tersenyum sedih, kecewa karena ternyata ia begitu mengandalkan perhatian orang sejak bergabung dengan kaum Varden, maka ia pun memaksa dirinya untuk rileks dan menikmati perayaan.
Tidak lama kemudian aroma makanan menyebar di rawa-rawa dan para elf bermunculan membawa piring-piring yang penuh makanan. Selain tumpukan roti hangat dan kue madu bulat kecil, makanannya berupa buah, sayur, dan berry semata. paling banyak buah berry; dari sup blueberry hingga saus raspberry dan jeli thimbleberry. Semangkuk irisan apel yang dituangi sirup dan ditaburi stroberi liar diletakkan di samping pai jamur berisi bayam, thyme, dan currant.
Tidak ada daging yang dihidangkan, bahkan ikan dan unggas pun tidak. Fakta ini masih membingungkan Eragon. Di Carvahall dan tempat-tempat lain di Kekaisaran, daging merupakan simbol status dan kemewahan. Semakin banyak emas yang kaumiliki, semakin sering kau bisa menyajika
n daging sapi atau domba. Bahkan bangsawan rendahan menyantap daging setiap kali makan. Bertindak sebaliknya mengisyaratkan kekurangan dalam peti harta mereka. Namun demikian para elf tidak menganut filsafat ini, sekalipun mereka jelas kaya dan mudah berburu dengan menggunakan sihir.
Para elf bergegas ke meja dengan antusiasme yang mengejutkan Eragon. Tidak lama kemudian semuanya telah duduk: Islanzadi di kepala meja bersama Blagden, si gagak; Dathedr di sebelah kirinya; Arya dan Eragon di sebelah kanan; Orik di seberang mereka; lalu para elf lain, termasuk Nari dan Lifaen. Tidak ada kursi di ujung seberang meja, hanya piring raksasa berukir untuk Saphira.
Selama acara berlangsung, segala sesuatu di sekitar Eragon mengabur menjadi campuran samar percakapan dan tawa. Ia tenggelam dalam perayaan sehingga melupakan waktu, hanya menyadari tawa dan kata-kata asing yang berputar-putar di kepalanya serta kehangatan di perutnya akibat faelnirv. Suara harpa yang indah mendesah dan berbisik di tepi pendegarannya dan menyebabkan ia bergetar penuh semangat. Sesekali, ia mendapati perhatiannya teralih karena tatapan mata sipit wanita yang seperti anak kecil itu, yang terus memandangnya tajam, bahkan sewaktu makan.
Sewaktu ada jeda dalam percakapan, Eragon berpaling pada Arya, yang hanya berbicara sedikit. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang dan bertanya-tanya siapa elf itu sebenarnya.
Arya bergerak. "Bahkan Ajihad pun tidak tahu."
"Apa"" "Di luar Du Weldenvarden, aku tidak memberitahukan identitasku pada siapa pun. Brom mengetahuinya--ia pertama kali bertemu denganku di sini--tapi ia merahasiakannya atas permintaanku."
Eragon ingin tahu apakah Arya menjelaskan karena merasa berkewajiban berbuat begitu, atau karena merasa bersalah telah menipu dirinya dan Saphira. "Brom pernah mengatakan apa yang tidak dikatakan para elf sering kali lebih penting daripada yang mereka katakan."
"Ia memahami kami dengan baik."
"Tapi kenapa" Apakah ada pengaruhnya kalau ada yang tahu""
Kali ini Arya ragu-ragu. "Sewaktu meninggalkan Ellesmera, aku tidak ingin diingatkan soal posisiku. Hal itu juga rasanya tidak berkaitan dengan tugasku bersama kaum Varden dan para kurcaci. Masalah itu tidak ada hubungannya dengan siapa jatidiriku sekarang... dengan siapa diriku sebenarnya." Ia melirik Ratu.


Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bisa saja memberitahu Saphira dan aku."
Arya tampak meradang mendengar nada teguran dalam suara Eragon. "Aku tidak memiliki alasan untuk menduga hubunganku dengan Islanzadi membaik, dan memberitahukan hal itu padamu tidak akan mengubah apa-apa. Pikiranku adalah milikku sendiri, Eragon." Eragon memerah ketika memahami apa yang tersirat dalam kata-kata Arya: Kenapa ia diplomat, putri, elf, dan lebih tua daripada ayah maupun kakek Eragon, siapa pun mereka--memercayakan rahasianya pada dirinya, manusia berusia enam belas tahun"
"Setidaknya," gumam Eragon, "kau sudah berbaikan dengan ibumu."
Arya tersenyum aneh. "Apakah aku memiliki pilihan lain""
Pada saat itu, Blagden melompat dari bahu Islanzadi dan berjalan di tengah meja, menggoyang kepala ke kiri dan kanan, pura-pura membungkuk. Ia berhenti di depan Saphira, terbatuk serak, lalu berkata:
Naga, seperti kereta, Memiliki lidah. Naga, seperti kantong air,
Memiliki leher. Tapi sementara keduanya membawa bir,
Yang lain menyantap rusa!
Para elf terpaku dengan ekspresi takut saat menunggu reaksi Saphira. Sesudah kebisuan yang panjang, Saphira menengadah dari kuenya dan mengepulkan asap yang menyelimuti Blagden. Juga burung kecil, katanya, menyebarkan pikirannya agar semua bisa mendengar. Para elf tertawa sementara Blagden terhuyung mundur, berkaok-kaok memprotes dan mengepak-ngepakkan sayap untuk membersihkan udara.
"Aku harus minta maaf atas kekasaran syair Blagden," kata Islanzadi. "Lidahnya selalu pedas, sekalipun kami sudah berusaha menjinakkannya."
Permintaan maaf diterima, kata Saphira tenang, dan kembali menikmati kuenya.
"Dari mana asal burung itu"" tanya Eragon, ingin memulihkan suasana yang ramah dengan Arya tapi juga benar-benar ingin tahu.
"'Blagden," kata Arya, "pernah meny
elamatkan nyawa ayahku. Evandar sedang melawan Urgal sewaktu ia jatuh dan kehilangan pedang. Sebelum Urgal itu sempat menyerang, ada gagak yang terbang ke arahnya dan mematuk matanya. Tidak ada yang tahu kenapa burung itu berbuat demikian, tapi pengalih perhatian itu memungkinkan Evandar mendapatkan keseimbangan kembali dan memenangkan pertempuran. Ayahku sejak dulu dermawan, jadi ia berterima kasih pada si gagak dengan memberkatinya, menggunakan mantra untuk kecerdasan umur panjang. Tapi sihir itu mendatangkan dua akibat yang tidak diduga sebelumnya: Blagden kehilangan warna bulunya dan mendapat kemampuan untuk memerkirakan kejadian-kejadian tertentu."
"Ia bisa melihat masa depan"" tanya Eragon, terkejut.
"Melihat" Tidak. Tapi mungkin ia bisa merasakan apa yang akan terjadi. Pokoknya, ia selalu menggunakan teka-teki kalau berbicara, sebagian besar hanya omong kosong. Ingat saja bahwa kalau Blagden mendatangimu dan memberitahukan apa yang bukan lelucon atau gurauan, ada baiknya kauikuti sarannya."
Begitu acara makan berakhir, Islanzadi berdiri--menyebabkan keributan karena semua orang bergegas bangkit--dan berkata, "Sudah larut, aku lelah, dan aku akan kembali ke kamarku. Temani aku, Saphira dan Eragon, dan akan kutunjukkan di mana kalian bisa tidur malam ini." Ratu memberi isyarat dengan satu tangan kepada Arya, lalu meninggalkan meja. Arya mengikuti.
Saat Eragon melangkah mengitari meja bersama Saphira, ia berhenti sejenak di dekat wanita seperti anak-anak itu, tertarik pada matanya yang buas. Semua segi penampilan makhluk itu, dari mata hingga rambutnya yang riap-riap dan taring-taringnya yang putih, memicu ingatan Eragon. "Kau kucing jadi-jadian, bukan"" Wanita seperti anak-anak itu mengerjapkan mata sekali lalu memamerkan gigi-giginya dalam senyum yang berbahaya. "Aku pernah bertemu sejenismu, Solembum, di Teirm dan Farthen Dur."
Seringai wanita-anak itu melebar. "Aye. Ia baik. Manusia membosankan bagiku, tapi menurutnya menyenangkan bepergian bersama si penyihir Angela." Lalu tatapannya beralih ke Saphira dan ia memperdengarkan geraman--dengkuran hormat dari tenggorokan.
Siapa namamu" tanya Saphira.
"Nama memang merupakan sesuatu yang kuat di jantung Du Weldenvarden, naga. Tapi... di antara kaum elf, aku dikenal sebagai si Pengawas, Cakar Cepat, dan Penari Mimpi, tapi kau boleh memanggilku Maud." Ia mengibaskan rambutnya yang putih dan kaku. "Sebaiknya kau kejar Ratu, anak muda; ia tidak senang pada orang bodoh atau lamban."
"Senang bertemu denganmu, Maud," kata Eragon. Ia membungkuk dan Saphira menundukkan kepala. Eragon melirik Orik, penasaran ke mana kurcaci itu akan dibawa, lalu mengejar Islanzadi.
Mereka berhasil mengejar Ratu tepat pada saat ia tiba di dasar sebatang pohon. Pada batang pohon itu terukir tangga mungil yang berputar menuju serangkaian ruangan bulat yang dilindungi dan dipegang serangkaian cabang pada mahkota pohon.
Islanzadi mengangkat tangannya yang anggun dan menunjuk ruangan-ruangan itu. "Kau terpaksa harus terbang ke sana, Saphira. Ketika ditumbuhkan, kami tidak mengira tangga itu akan digunakan naga." Lalu ia berbicara pada Eragon, "Di sinilah pemimpin para Penunggang Naga tinggal selama di Ellesmera. Sekarang kuberikan padamu, karena kau ahli waris yang sah akan gelar itu... Ini warisanmu." Sebelum Eragon sempat berterima kasih, Ratu telah berbalik dan berlalu bersama Arya, yang membalas tatapannya cukup lama sebelum menghilang semakin dalam ke kota.
Mari kita lihat akomodasi macam apa yang mereka sediakan bagi kita, kata Saphira. Ia melompat ke udara dan melayang mengitari pohon dalam lingkaran yang rapat, menyeimbangkan diri pada salah satu ujung sayapnya, miring dari tanah.
Saat menginjak anak tangga pertama, Eragon melihat Islanzadi berbicara jujur; tangga itu menyatu dengan pohonnya. Kulit kayu di bawah kakinya halus dan rata akibat banyaknya elf yang lalu lalang di sana, tapi tangga itu tetap merupakan bagian dari batang pohon, demikian juga pagar jala berpilin di sisinya dan pegangan tangga melengkung yang bagai meluncur di bawah tangan kanannya.
Karena dirancang berda sarkan kemampuan elf, tangga itu lebih curam daripada yang biasa dinaiki Eragon, dan betis serta pahanya dalam waktu singkat mulai terasa terbakar. Ia terengah-engah begitu hebat waktu tiba di puncak--sesudah melewati pintu di lantai salah satu ruangan--sehingga terpaksa menumpukan tangan di lutut dan membungkuk untuk menenangkan napas. Begitu pulih, ia menegakkan tubuh dan memeriksa sekitarnya.
Ia berdiri di ruang tamu bulat dengan panggung di tengahnya, dari situ muncul pahatan dua tangan dan lengan pucat yang saling melilit tanpa saling menyentuh. Di ruang tamu itu ada tiga pintu kasa--satu menuju ruang makan yang megah dan mampu menampung maksimal sepuluh orang, satu ke kamar kecil dengan lubang kosong di lantai--entah untuk apa Eragon tidak bisa memikirkan kegunaannya--dan yang terakhir menuju kamar tidur yang menghadap ke Du Weldenvarden yang luas.
Setelah mengambil lentera dari kaitannya di langit-langit, Eragon masuk ke kamar tidur, menciptakan bayangan yang melompat-lompat dan berputar-putar seperti penari sinting. Lubang berbentuk air mata yang cukup besar untuk dilewati naga ada di dinding luarnya. Di dalam ruangan terdapat ranjang, diletakkan begitu rupa hingga ia bisa memandangi langit dan bulan sambil berbaring telentang; ada perapian dari kayu kelabu yang terasa sekeras dan sedingin baja sewaktu ia menyentuhnya, seolah kayunya ditekan hingga kepadatan yang luar biasa; dan mangkuk besar bertepi rendah diletakkan di lantai dan dilapisi selimut lembut untuk tempat tidur Saphira.
Ia mengawasi ketika Saphira menukik turun dan mendarat di tepi lubang, sisik-sisiknya berkilau seperti konstelasi bintang-bintang biru. Di belakangnya, berkas terakhir sinar matahari menyorot menerobos hutan, mewarnai berbagai tebing dan bukit dengan warna kemerahan yang menyebabkan daun-daun jarum berpendar seperti besi panas dan mengejar bayang-bayang ke kaki langit yang ungu. Dari ketinggian mereka, kota tampak seperti serangkaian celah di kanopi yang lebat, pulau-pulau ketenangan di lautan yang gelisah. Luas Ellesmara yang sebenarnya terungkap sekarang; kota itu membentang hingga beberapa mil ke barat dan utara.
Aku makin menghormati para Penunggang kalau beginilah kehidupan normal Vrael, kata Eragon. Ini jauh lebih sederhana dari yang kuduga. Seluruh bangunan agak berguncang ditiup angin.
Saphira mengendus selimut-selimutnya. Kita masih belum lihat Vroengard, katanya memperingatkan, sekalipun Eragon merasa naga itu menyetujui pendapatnya.
Saat menutup pintu kasa di a depan kamar tidur, Eragon melihat sesuatu di sudut yang terlewatkan pada pemeriksaan pertamanya: tangga spiral yang melilit cerobong kayu hitam. Dengan mengulurkan lentera di depannya, ia berhati-hati naik, selangkah demi selangkah. Sesudah sekitar dua puluh kaki, ia muncul di ruang kerja yang dilengkapi meja tulis dipenuhi pena bulu, tinta, dan kertas, tapi tidak ada perkamen--dan mangkuk berbantalan lagi untuk tempat meringkuk naga. Dinding seberangnya juga dilengkapi lubang tempat naga lewat.
Saphira, lihat ini. Bagaimana caranya" tanya Saphira.
Dari luar. Eragon meringis ketika berlapis-lapis kulit kayu pecah dan retak diinjak cakar Saphira saat ia merangkak keluar dari kamar tidur dan memanjat sisi bangunan ke ruang kerja. Puas" tanyanya sewaktu Saphira tiba. Saphira menatapnya dengan mata birunya, lalu memeriksa dinding dan perabotan.
Aku ingin tahu, katanya, bagaimana kau bisa merasa hangat kalau ruangannya seterbuka ini"
Entahlah. Eragon memeriksa dinding-dinding di kedua sisi lubang, mengelus pola-pola abstrak yang dibentuk nyanyian elf dari pohon. Ia berhenti sewaktu merasakan tonjolan vertikal pada kulit kayunya. Ia menariknya, dan lapisan membran terentang dari gulungannya di dalam dinding. Saat menariknya melewati portal, ia menemukan ceruk kedua untuk mengaitkan tepi kain itu. Begitu kainnya terpasang, udara menjadi lebih Pekat dan hangat. Ini jawabannya, katanya. Ia melepaskan kainnYa dan kain itu tersentak-sentak saat tergulung sendiri.
Sewaktu mereka kembali ke kamar tidur, Eragon membongkar bawaannya sementara Saphira meringkuk di tempat
nya. Eragon dengan hati-hati menatap perisai, penguat, pelindung kaki, kerudung jala baja, dan helmnya, lalu menanggalkan tunik dan kemeja jala baja berlapis kulit. Ia duduk bertelanjang dada di ranjang dan mengamati sambungan-sambungannya yang berminyak, kaget waktu menyadari kemiripan semua sambungan dengan sisik-sisik Saphira.
Kita berhasil, katanya, senang.
Perjalanan yang panjang... tapi ya, kita berhasil. Kita beruntung kesialan tidak menghadang di perjalanan.
Eragon mengangguk. Sekarang kita akan tahu apakah perjalanan ini layak. Terkadang aku penasaran apakah kita akan menggunakan waktu kita lebih baik kalau membantu kaum Varden.
Eragon! Kau tahu kita membutuhkan latihan lebih jauh Brom pasti menginginkan begitu. Lagi pula, Ellesmera dan Islanzadi jelas layak dikunjungi dengan susah payah.
Mungkin. Akhirnya, ia bertanya, Bagaimana pendapatmu mengenai semua ini"
Saphira membuka rahangnya sedikit untuk memperlihatkan gigi-giginya. Aku tidak tahu. Para elf menyimpan lebih banyak rahasia bahkan dibandingkan Brom, dan mereka bisa menggunakan sihir dengan cara yang tidak pernah kuduga bisa dilakukan. Aku tidak tahu metode apa yang mereka gunakan untuk menumbuhkan pepohonan menjadi bentuk-bentuk seperti ini, atau bagaimana cara Islanzadi memanggil bunga-bunga. Itu di luar pengetahuanku.
Eragon lega karena bukan dia satu-satunya yang terpesona.
Dan Arya" Ada apa dengan Arya"
Kau tahu, siapa ia sebenarnya.
Ia tidak berubah, hanya persepsimu tentang dirinya yang berubah.
Saphira terkekeh jauh di dalam tenggorokannya, terdengar seperti bebatuan yang bergesekan, dan membaringkan kepala di kedua kaki depannya.
Bintang-bintang tampak cemerlang di langit sekarang, dan suara pelan burung-burung hantu terdengar di seluruh Ellesmera. Dunia damai dan sunyi saat tidur menembus malam yang tenang.
Eragon menyusup ke balik selimutnya yang empuk dan meraih penutup lentera, lalu berhenti, tangannya hanya satu inci dari kaftan lentera. Ia berada di ibukota para elf, lebih dulu dari seratus kaki di udara, berbaring di tempat yang merupakan ranjang Vrael.
Pikiran itu menggugahnya.
Setelah duduk tegak, ia meraih lentera dengan satu tangan, Zar'roc dengan tangan yang lain, dan mengejutkan Saphira dengan menyusup dan bergelung di sisi tubuh hangat naga itu. Saphira bergumam dan membentangkan sayap menutupi mata Eragon saat Eragon memadamkan api dan memejamkan mata. Bersama-sama mereka tidur nyeyak dan lama di Ellesmara.
MENINGGALKAN MASA LALU Eragon terjaga saat subuh dengan tubuh segar karena telah cukup beristirahat. Ia menepuk rusuk Saphira, dan naga itu mengangkat sayap. Setelah menyisir rambut dengan tangan, ia berjalan ke lubang di dinding dan menyandar di satu sisi, kulit pohon terasa kasar di bahunya. Di bawah, hutan berkelip seperti padang berlian sementara setiap pohon memantulkan cahaya pagi dengan beribu-ribu tetes embun.
Ia terlonjak kaget waktu Saphira menerjang melewati dirinya, berputar seperti bor ke kanopi sebelum naik dan berputar-putar di udara, meraung gembira. Pagi, makhluk kecil. Eragon tersenyum, bahagia karena Saphira bahagia.
Eragon membuka tirai kamar tidur, dan mendapati dua baki makanan--sebagian besar buah-buahan--yang diletakkan di samping penyangga bangunan pada malam hari. Dekat baki-baki itu terdapat setumpuk pakaian dengan sehelai kertas surat dijepitkan ke sana. Eragon sulit membaca tulisan yang mengalir itu karena sudah lebih dari satu bulan ia tidak membaca dan telah melupakan beberapa hurufnya, tapi akhirnya ia memahami surat itu berbunyi:
Salam, Saphira Bjartskular dan Eragon Shadelayer.
Aku, Bellaen dari Rumah Miolandra, dengan rendah hati meminta maaf padamu, Saphira, untuk santapan yang tidak memuaskan ini. Elf tidak berburu, dan tidak ada daging yang tersedia di Ellesmera maupun di kota-kota kami lainnya. Kalau mau, kau bisa melakukan apa yang dilakukan para naga dulu, dan menangkap apa pun yang ingin kautangkap di Du Weldenvarden. Kami hanya meminta kau meninggalkan buruanmu di hutan agar udara dan air kami tidak ternoda darah.
Eragon, pakaian ini untukmu. Pakaian ini ditenun
Niduen dari rumah Islanzadi dan merupakan hadiah darinya untukmu.
Semoga keberuntungan menguasai dirimu,
Kedamaian hidup dalam hatimu,
Dan bintang-bintang mengawasimu.
Bellaen du Hljodhr Sewaktu Eragon memberitahukan isi surat itu pada Saphira, si naga berkata, Tidak penting; aku tidak membutuhkan makanan selama beberapa waktu sesudah menghabiskan hidangan kemarin. Tapi ia menyantap beberapa potong kue biji. Agar aku tidak terkesan kasar, katanya menjelaskan.
Sesudah selesai sarapan, Eragon memindahkan tumpukan pakaian itu ke ranjang dan membuka lipatannya dengan hati-hati, menemukan dua helai tunik merah tua panjang bertepi hijau thimbleberry, celana krem untuk menutupi kakinya, dan tiga pasang kaus kaki yang begitu lembut hingga terasa seperti cairan sewaktu ia mencobanya di tangan. Mutu kainnya jauh lebih bagus daripada tenunan para wanita di Carvahall, juga pakaian kurcaci yang dikenakannya sekarang.
Eragon merasa bersyukur untuk pakaian baru itu. Tunik dan celananya sendiri telah aus karena berminggu-minggu kena hujan dan matahari sejak meninggalkan Farthen Dur, Setelah menanggalkan pakaian, ia mengenakan tunik mewah itu, menikmati teksturnya yang lembut.
Ia baru saja mengikat sepatu bot sewaktu ada yang mengetuk pembatas kamar tidur. "Masuk," katanya, sambil meraih zar'roc.
Orik menjulurkan kepala ke dalam, lalu masuk dengan hati-hati, menguji kekuatan lantai dengan kakinya. Ia menatap langit-langit. "Beri aku gua saja daripada sarang burung seperti ini. Bagaimana tidurmu semalam, Eragon" Saphira""
"Cukup nyenyak. Kau sendiri"" balas Eragon.
"Aku tidur seperti batu." Kurcaci itu tergelak mendengar leluconnya, lalu dagunya terbenam ke janggutnya dan ia mengelus kepala kapak dengan jari. "Kulihat kau sudah makan, jadi kuminta kau menemaniku. Arya, Ratu, dan puluhan elf lain menunggumu di dasar pohon ini." Ia menatap Eragon dengan tajam. "Ada yang terjadi dan tidak ingin mereka beritahukan pada kita. Aku tidak yakin apa yang mereka inginkan darimu, tapi ini penting. Islanzadi setegang serigala yang tersudut... kupikir sebaiknya kau kuperingatkan terlebih dulu."
Eragon berterima kasih padanya, lalu mereka berdua turun melalui tangga, sementara Saphira melayang ke tanah. Di bawah, mereka disambut Islanzadi yang mengenakan mantel bulu angsa, yang mirip salju musim dingin yang bertumpuk di dada burung cardinal. Ratu menyapa mereka dan berkata, "Ikuti aku."
Ia membawa kelompok itu ke tepi Ellesmera, di mana bangunan-bangunannya lebih sedikit dan jalan setapaknya samar karena jarang digunakan. Di kaki bukit berhutan, Islanzadi berhenti dan berkata dengan suara dingin, "Sebelum kita berjalan lebih jauh, kalian bertiga harus bersumpah dalam bahasa kuno untuk tidak pernah membicarakan dengan orang luar apa yang akan kalian lihat, tidak tanpa seizinku, putriku, atau siapa pun yang mungkin mewarisi takhta kami."
"Kenapa aku harus menutup mulut"" tanya Orik.
Benar, kenapa" tanya Saphira. Apa kau tidak memercayai kami"
"Ini bukan masalah kepercayaan, tapi keamanan. Kami harus melindungi pengetahuan ini dengan cara apa pun--ini keunggulan terbesar kita dari Galbatorix--dan kalau terikat bahasa kuno, kalian tidak akan pernah mengungkap rahasia kami secara sukarela. Kau datang untuk mengawasi latihan Eragon, Orikvodhr. Kalau tidak mau berjanji, sebaiknya kau kembali saja ke Farthen Dur."
Akhirnya Orik berkata, "Aku yakin kau tidak berniat buruk pada kurcaci atau kaum Varden, kalau tidak, aku takkan pernah setuju. Dan kupegang kehormatan aula dan klanmu bahwa ini bukan untuk menipu kami. Katakan apa yang harus kuucapkan."
Sementara Ratu mengajari Orik cara mengucapkan kalimat yang diinginkannya dengan benar, Eragon bertanya Saphira, Apakah harus kulakukan"
Apakah kita memiliki pilihan" Eragon teringat Arya juga mengajukan pertanyaan yang sama kemarin, dan ia mulai memahami apa yang dimaksudkan elf itu: Ratu tidak memberi ruang untuk bergerak.
Sesudah Orik selesai, Islanzadi memandang penuh harap kepada Eragon. Eragon ragu-ragu, lalu mengucapkan sumpahnya, juga Saphira. "Terima kasih," kata Islanzadi. "Sekarang kita
bisa melanjutkan." Di puncak bukit itu, pepohonan digantikan hamparan semanggi merah yang membentang beberapa yard hingga ke tepi tebing batu. Tebing itu memanjang satu league ke kedua arah dan turun seribu kaki ke hutan di bawahnya, yang terhampar hingga menyatu dengan langit. Rasanya mereka seperti berdiri di tepi dunia, menatap hutan luas tak bertepi.
Aku tahu tempat ini, Eragon tersadar, teringat pada visinya tentang Togira Ikonoka.
Buk. Udara bergetar akibat kekuatan pukulan itu. Buk. Pukulan pelan lain menyebabkan gigi-gigi Eragon beradu. Buk. Ia menjejalkan jari ke telinga, mencoba melindunginya dari sentakan-sentakan menyakitkan akibat tekanan udara. Para elf berdiri tanpa bergerak. Buk. Semanggi-semanggi merunduk akibat embusan angin yang tiba-tiba muncul.
Buk. Dari bawah tepi tebing membubung naga emas besar dengan Penunggang di punggungnya.
KEYAKINAN Roran memelototi Horst. Mereka berada di kamar Baldor. Roran didudukkan bersandar di ranjang, mendengarkan kata-kata si tukang besi, "Apa yang harus kulakukan" Kami tidak bisa menyerang begitu kau jatuh pingsan. Lagi pula, orang-orang tidak siap bertempur. Aku juga tak bisa menyalahkan mereka. Aku sendiri nyaris menggigit lidahku hingga putus sewaktu melihat monster-monster itu." Horst mengibaskan rambutnya yang riap-riap. "Kita terseret ke dalam salah satu dongeng lama, Roran, dan aku tidak menyukainya sedikit pun." Roran mempertahankan ekspresi kakunya. "Dengar, kau bisa membunuh para prajurit itu kalau mau, tapi kau harus memulihkan tenagamu dulu. Kau memiliki banyak sukarelawan; orang-orang memereayaimu dalam pertempuran, terutama sesudah kau mengalah para prajurit di sini semalam." Sewaktu Roran tetap membisu, Horst mendesah, menepuk-nepuk bahunya yang sehat, dan keluar kamar, menutup pintu di belakangnya.
Roran bahkan tidak mengerjapkan mata. Selama ini dalam hidupnya, ia hanya benar-benar memedulikan tiga hal: keluarganya, rumanya di Lembah Palancar, dan Katrina. Keluarganya dimusnahkan tahun lalu. Pertaniannya dihancurkan dan dibakar, sekalipun tanahnya tetap ada, fakta yang paling penting.
Tapi sekarang Katrina hilang.
Terdengar isak tertahan dari tenggorokannya yang bagai tersumbat gumpalan besi. Ia menghadapi masalah yang mengguncang dirinya; satu-satunya cara untuk menyelamatkan Katrina hanyalah memburu Ra'zac, entah dengan cara bagaimana, dan meninggalkan Lembah Palancar. Tapi ia tidak bisa menyerahkan Carvahall kepada para prajurit itu. Ia juga tidak bisa melupakan Katrina.
Hatiku atau rumahku, pikirnya pahit. Keduanya tidak ada artinya tanpa satu sama lain. Kalau ia membunuh para prajurit, tindakan tersebut hanya mencegah Ra'zac--dan mungkin Katrina--kembali kemari. Lagi pula, pembantaian itu tidak ada gunanya kalau pasukan tambahan ada di dekat sini, karena kedatangan mereka jelas mengisyaratkan kehancuran Carvahall
Roran mengertakkan gigi ketika rasa sakit kembali menyengat bahunya yang diperban. Ia memejamkan mata. Kuharap Sloan disantap seperti Quimby. Tidak ada nasib yang terlalu buruk bagi pengkhianat itu. Roran memakinya dengan makian paling mengerikan yang diketahuinya.
Bahkan kalau aku bebas meninggalkan Carvahall, bagaimana caraku menemukan Ra'zac" Siapa yang tahu di mana mereka tinggal" Siapa yang berani membuka mulut tentang para pelayan Galbatorix" Keputusasaan menyelimutinya ketika ia memikirkan masalah itu Ia membayangkan berada di salah satu kota besar Kekaisaran. mencari-cari tanpa tujuan tanda-tanda kehadiran kekasihnya sedikit saja, secercah saja, di antara bangunan-bangunan kotor dan gerombolan orang asing.
Sia-sia. Air matanya mengalir deras saat ia terbungkuk, mengeranc akibat beratnya penderitaan dan ketakutannya. Ia bergoyang-goyang maju-mundur, tidak menyadari apa pun kecuali kemuraman dunia.
Waktu yang bagai tak berkesudahan mengurangi isakan Roran menjadi sentakan-sentakan protes lemah. Ia mengusap mata dan memaksa diri menghela napas panjang dengan gemetar. Ia mengernyit. Paru-parunya terasa seperti dipenuhi pecahan kaca.
Aku harus berpikir, katanya dalam hati.
Ia menyandar ke dinding dan--dengan mengua
tkan hati sekuat tenaga--perlahan-lahan mulai meredakan emosinya yang kacau balau, menekannya hingga menyerah dan berubah menjadi hal yang dapat menyelamatkannya dari kesintingan: logika. Leher dan bahunya bergetar akibat hebatnya usahanya.
Begitu sudah tenang lagi, Roran dengan hati-hati menata pikirannya, seperti ahli yang merapikan peralatannya menjadi deretan-deretan yang tepat. Pasti ada pemecahan yang tersembunyi dalam hal-hal yang kuketahui, kalau saja aku cukup kreatif.
Ia tidak bisa melacak Ra'zac begitu saja. Itu sudah jelas.
Harus ada yang memberitahu dirinya di mana ia bisa menemukan mereka, dan di antara semua orang yang bisa ditanyainya, kaum Varden mungkin yang paling tahu. Tapi mereka sama sulitnya ditemukan seperti para penghujat itu, dan ia tidak bisa membuang waktu mencari mereka. Sekalipun... ada suara kecil dalam kepalanya yang mengingatkan dirinya soal isu yang didengarnya dari para pemerangkap dan pedagang bahwa Surda diam-diam mendukung kaum Varden.
Surda. Negara itu berada di dasar Kekaisaran, atau begitulah yang didengar Roran, karena ia tidak pernah melihat peta Alagaesia. Dalam kondisi yang ideal, dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mencapai tempat itu dengan kuda, lebih lama lagi kalau ia harus mengindari para prajurit. Tentu saja, cara tercepat adalah berlayar ke selatan menyusuri pantai, tapi itu berarti bepergian hingga Sungai Toark lalu ke Teirm untuk mendapatkan kapal. Waktunya terlalu lama. Dan masih ada kemungkinan ia ditangkap para prajurit.
"Kalau, seandainya, bisa saja, mungkin," gumamnya, ia berulang kali mengepalkan tangan kirinya. Di utara Teirm, satu-satunya pelabuhan yang diketahuinya hanyalah Narda, tapi untuk mencapai tempat itu, ia harus menyeberangi Spine--usaha yang belum pernah terdengar dilakukan, bahkan oleh para pemerangkap.
Roran memaki diam-diam. Pemikiran ini sia-sia. Seharusnya aku berusaha menyelamatkan Carvahall, bukan meninggalkannya. Masalahnya, ia yakin desa dan semua yang tersisa akan hancur. Air mata kembali menggenang di sudut matanya. Semua yang tersisa &.
Bagaimana & bagaimana kalau semua orang di Carvahall menemaniku ke Narda lalu ke Surda" Ia bisa meraih kedua keinginannya sekaligus.
Keberanian gagasan itu menyebabkan ia tertegun.
Itu penghujatan, penghinaan, mengira dirinya mampu meyakinkan para petani untuk meninggalkan ladang dan Para pedagang meninggalkan toko mereka... tap tapi apa alternatifnya kecuali perbudakan atau kematian" Kaum Varden merupakan satu-satunya kelompok yang bersedia menampung pelarian dari Kekaisaran, dan Roran yakin para pemberontak itu akan gembira mendapat anggota baru sedesa penuh, terutama mereka yang sudah membuktikan diri dalam pertempuran. Selain itu, dengan membawa para penduduk desa kepada mereka, ia akan memperoleh kepercayaan kaum Varden, hingga mereka bersedia memberitahukan lokasi Ra'zac padanya. Mungkin mereka bisa menjelaskan kenapa Galbatorix begitu ingin menangkap diriku.
Tapi, kalau ingin rencana ini berhasil, ia harus melaksanakannya sebelum pasukan baru tiba di Carvahall, yang berarti hanya tersisa beberapa hari untuk mengatur kepergian sekitar tiga ratus orang. Mempertimbangkan segi logistiknya saja sudah menakutkan.
Roran tahu sekadar logika tidak bisa membujuk siapa pun pergi; dibutuhkan fanatisme untuk menggugah emosi orang-orang, agar jauh di dalam hati mereka merasa bahwa mereka perlu menghilangkan perangkap identitas dan kehidupan mereka. Dan sekadar menanamkan ketakutan saja tidak cukup--karena ia tahu ketakutan justru sering menyebabkan mereka bertempur lebih hebat. Ia harus menanamkan perasaan tentang adanya tujuan dan takdir, agar para penduduk desa percaya, sebagaimana dirinya, bahwa bergabung dengan kaum Varden dan menentang tirani Galbatorix merupakan paling mulia di dunia.
Ia membutuhkan semangat yang tidak terintimidasi kekerasan, tergoyahkan penderitaan, atau dipadamkan kematian.
Dalam benaknya, Roran melihat Katrina berdiri di depannya, pucat bagai hantu dengan mata cokelat yang sendu. Roran teringat hangatnya kulit Katrina, harum rambutnya, dam bagaimana rasanya bersama gadi
s itu dalam kegelapan. Lalu dalam berisan panjang di belakang Katrina muncul keluarganya, teman-temannya, dan semua orang yang dikenalnya di Carvahall, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup Kalau bukan karena Eragon... dan aku... Ra'zac tidak akan pernah datang kemari. Aku harus menyelamatkan penduduk desa
Kekaisaran seperti aku harus menyelamatkan Katrina dari para penghujat itu.
Mendapatkan kekuatan dari visinya, Roran bangkit dari ranjang, menyebabkan bahunya yang luka serasa terbakar dan tersengat. Ia terhuyung dan bersandar ke dinding. Apakah aku bisa menggunakan lengan kananku lagi" Ia menunggu hingga sakitnya reda. Setelah ternyata tidak mereda, ia mengertakkan gigi, memaksa diri tegak, dan melangkah keluar kamar.
Elain tengah melipat handuk di lorong. Ia berseru dengan terpana. "Roran! Apa yang kau--"
"Ikut," kata Roran serak, sambil berlalu.
Dengan ekspresi khawatir, Baldor keluar dari ambang pintu. "Roran, kau seharusnya jangan ke mana-mana. Kau kehilangan banyak darah. Akan kubantu-"
"Ikut." Roran mendengar mereka mengikuti saat ia menuruni tangga melengkung ke pintu masuk rumah, tempat Horst dan Albriech berdiri bercakap-cakap. Mereka menengadah tertegun.
"Ikut." Ia mengabaikan pertanyaan-pertanyaan mereka, membuka pintu depan, dan melangkah ke sore yang mulai gelap. Di atas awan tebal diterangi cahaya keemasan dan ungu.
Roran memimpin rombongan kecil itu berjalan ke tepi Carvahal--mengulangi pesan satu katanya setiap kali bertemu atau wanita--menarik obor yang dipasang di tiang dari kapur, berputar, dan berjalan kembali ke tengah kota. Di menancapkan tiang di sela kakinya, lalu mengangkat gakirin a dan meraung. "KEMARI!"
Desa dipenuhi suaranya. Ia terus memanggil sementara orang-orang keluar dari rumah dan lorong gelap lalu mulai berkumpul di sekitarnya. Banyak yang penasaran, ada juga yang bersimpati, terpesona, dan ada yang marah. Berulang-ulang, suara Roran menggema di lembah. Loring tiba diikuti para putranya. Dari arah berlawanan muncul Birgit, Delwi- dan Fisk bersama istrinya, Isold. Morn dan Tara rneninggalkan kedai bersama-sama dan bergabung dengan para penonton.
Sesudah sebagian besar penduduk Carvahall berdiri di depannya, Roran membisu, mempererat kepalan kirinya hingga kuku-kuku jemarinya melukai telapak tangannya. Katrina, sambil mengangkat tangan, ia membukanya dan men unjukkan darah yang mengalir turun di lengannya. "Ini," katanya, "adalah penderitaanku. Lihatlah baik-baik, karena ini akan menjadi penderitaan kalian kalau kita tidak mengalahkan nasib terkutuk yang menimpa kita. Teman-teman dan keluarga kalian akan dirantai, dijadikan budak di tanah asing, atau dibantai di depan mata kalian, dibelah pedang para prajurit yang tak kenal ampun. Galbatorix akan membajak tanah kita dengan garam agar selamanya tidak subur. Aku pernah melihatnya. Aku tahu." Ia mondar-mandir seperti serigala dikurung, membara dan menggeleng-geleng. Ia berhasil mendapatkan erhatian mereka. Sekarang ia harus memanasi mereka agar terbakar semangat yang sama seperti dirinya.
"Ayahku dibunuh para penghujat itu. Sepupuku melarikan diri. Tanah pertanianku dimusnahkan. Dan calon istriku diculik ayahnya sendiri, yang membunuh Byrd dan mengkhianati kita semua! Quimby disantap, lumbung gandum dibakar bersama rumah Fisk dan Delwin. Parr, Wyglif, Ged, Bardrick, Farold, Hale, Garner, Kelby, Melkolf, Albem, dan Elmund: semuanya dibantai. Banyak di antara kalian yang terluka, seperti diriku hingga tidak lagi bisa menghidupi keluarga kalian. Apakah tidak cukup kita bersusah payah setiap hari dalam hidup kita untuk mencari nafkah dari tanah, di bawah kekuasaan alam" Apakah tidak cukup kita terpaksa membayar pajak yang tinggi pada Galbatorix, tanpa harus menanggung siksaan tanpa harus menanggung siksaan tanpa alasan ini"" Roran tertawa seperti orang sinting, melolong ke langit dan mendengar kesintingan dalam suaranya sendiri. Tidak yang bergerak di kerumunan.
"Aku tahu sekarang sifat sebenarnya Kekaisaran dan Galbatorix; mereka jahat. Galbatorix adalah kutukan kutukan dunia yang tidak wajar. Ia menghancurkan par
a penunggang dan kedamaian serta kesejahteraan terbaik yang pernah kita miliki. Para pelayannya setan busuk yang dilahirkan di lubang kuno. Tapi apakah Galbatorix puas dengan menginjak-injak kita" Tidak! Ia --saha meracuni seluruh Alagaesia, mencekik kita dengan kesengsaraan. Anak-anak kita dan keturunan mereka harus ,dup dalam bayang-bayang kegelapannya hingga akhir zaman, ,ondahkan sebagai budak, cacing, serangga yang bisa disiksoya sesuka hati. Kecuali...."
Roran menatap mata penduduk desa yang membelalak, mewadari kendali yang dipegangnya atas mereka. Belum pernah ada yang berani mengatakan apa yang akan dikatakannya. Ia membiarkan suaranya berubah serak di tenggorokannya. "Kecuali kita memiliki keberanian menentang kejahatan.
"Kita sudah melawan para prajurit dan Ra'zac, tapi tidak akan ada artinya kalau kita tewas seorang diri dan terlupakanatau dibawa pergi seperti ternak. Kita tidak bisa tinggal di sini, dan aku takkan membiarkan Galbatorix memusnahkan apa pun yang layak diperjuangkan. Aku lebih suka mataku dicungkil dan tanganku dipotong daripada melihatnya menang! Aku memilih bertempur! Aku memilih keluar dari kuburku dan membiarkan musuhku mengubur dirinya sendiri di dalamnya!
"Aku memilih meninggalkan Carvahall.
"Aku akan menyeberangi Spine dan menumpang kapal dari Narda ke Surda, di sana aku akan menggabungkan diri dengan kaum Varden, yang sudah berjuang selama berpuluh-puluh tahun untuk membebaskan kita dari tekanan ini." Para penduduk desa tampak terkejut mendengar gagasan itu. "Tapi aku Wak ingin pergi sendirian. Ikutlah bersamaku. Ikutlah bersakku dan raihlah kesempatan membentuk kehidupan yang baik bagi kalian. Buanglah belenggu yang mengikat kalian di sini." Roran menunjuk para pendengarnya, menggerakkannya dari satu sasaran ke sasaran berikut. "Seratus tahun dari sekarang, nama-nama apa yang akan diucapkan para pujangga" Horst... Birgit... Kiselt...Thane; mereka akan menceritakan petualangan kita. Mereka akan menyanyikan "Epos Carvahall", karena kita satu-satunya desa yang cukup berani menentang Kekaisaran."
Air mata bangga membanjiri mata Roran. "Apa yang lebih mulia lagi selain membersihkan noda Galbatorix dari Alagaesia. Kita tidak lagi perlu hidup dalam ketakutan bahkan ladang-ladang kita akan dihancurkan, atau dibunuh dan santap. Biji-bijian yang kita tuai akan menjadi milik kita sendiri, kecuali tambahan apa pun yang kita kirim sebagai hadiah kepada raja yang benar. Sungai-sungai akan mengalir deras dengan emas. Kita akan aman, bahagia, dan gemuk!
"Itulah takdir kita."
Roran mengacungkan tangan ke depan wajahnya dan per lahan-lahan mengepalkan jemari untuk menutupi luka yang mengucurkan darah. Ia membungkuk karena lengannya yang terluka-dihunjam puluhan pasang mata-dan menunggu reaksi terhadap pidatonya. Tidak terdengar apa-apa. Akhirnya ia menyadari mereka ingin ia melanjutkan; mereka ingin mendengar lebih banyak mengenai tujuan dan masa depan yang digambarkannya.
Katrina. Lalu saat kegelapan menyelimuti sekitar obornya, Roran menegakkan diri dan kembali berbicara. Tidak ada yang disembunyikannya, ia hanya berusaha agar mereka memahami pemikiran dan perasaannya, agar mereka juga bisa merasakan semangat yang mendorong dirinya. "Zaman kita sudah berakhir Kita harus melangkah maju dan bergabung dengan kaum Varden kalau kita dan anak-anak kita ingin hidup bebas." Ia berbicara dengan nada murka sekaligus membujuk, tapi selalu dengan keyakinan yang mencengkeram para pendengarnya.
Sewaktu bayangan dalam benaknya habis, Roran memandag wajah teman-teman dan para tetangganya dan berkata, "Aku akan pergi dua hari lagi. Ikutlah bersamaku kalau kalian mau tapi aku tetap akan pergi." Ia membungkuk dan melangkah meninggalkan cahaya.
Di atas kepala, bulan pucat berpendar di balik awan Angin sepoi-sepoi berembus melintasi Carvahall. Penunjuk arah angin dari besi berderak-derak di atap saat berputar mengikuti angin.
Dari dalam kerumunan, Birgit menerobos maju ke tempat terang, mencengkeram lipatan gaunnya agar tidak terjatuh. Dengan ekspresi datar, ia merapikan syalnya. "Hari ini kita melihat &" Ia be
rhenti, menggeleng, dan tertawa malu. "Aku merasa sulit berbicara sesudah Roran. Aku tidak menyukai rencananya, tapi aku yakin itu perlu, sekalipun untuk alasan yang berbeda: aku akan memburu Ra'zac dan membalas kematian suamiku. Aku akan pergi bersamanya. Dan aku akan membawa anak-anakku." Ia lalu menjauhi obor.
Semenit berlalu dalam kebisuan, lalu Delwin "dan istrinya, Lenna maju dengan bergandengan tangan. Lenna memandang Birgit dan berkata, "Aku mengerti kebutuhanmu, Saudari. Kami juga ingin membalas dendam, tapi lebih dari itu, kami ingin anak-anak kami yang lain aman. Untuk alasan itu, kami juga pergi." Beberapa wanita yang suaminya tewas melangkah maju dan menyetujui pendapatnya.
Penduduk desa bercakap-cakap sendiri dengan suara pelan, lalu membisu dan tidak bergerak. Tampaknya tidak ada yang mau membicarakan masalah itu; masalah tersebut terlalu penting. Roran paham. Ia sendiri masih berusaha memahami implikasinya.
Akhirnya Horst berjalan ke suluh dan menatap apinya dengan ekspresi muram. "Tidak ada gunanya berbicara lebih banyak lagi.... Kita perlu waktu untuk berpikir. Setiap orang hanrs mengambil keputusan sendiri. Besok... besok merupakan hari lain. Mungkin situasinya akan lebih jelas saat itu." Ia menggeleng dan mengangkat suluhnya, lalu membaliknya dan memadamkannya di tanah, membiarkan semua orang menemukan jalan pulang dengan bantuan cahaya bulan.
Roran menggabungkan diri dengan Albriech dan Baldor, yang berjalan di belakang orangtua mereka cukup jauh agar bisa bercakap-cakap. Tidak satu pun dari keduanya bersedia memandang Roran. Gelisah karena sikap mereka, Roran bertanya, "Menurut kalian ada lagi yang akan pergi" Apakah kata-kataku cukup bagus""
Albriech tertawa. "Cukup bagus!"
"Roran," kata Baldor dengan suara aneh. "Kau bisa meyakinkan Urgal untuk jadi petani malam ini."
"Yang benar saja!"
Sesudah kau selesai tadi. aku siap mengambil tombak dan lari mengejarmu ke Spine. Aku juga tidak akan sendirian. Yang menjadi pertanyaan bukan siapa yang akan pergi, tapi siapa yang tidak. Yang kaukatakan tadi... aku tidak pernah mendengar yang seperti itu sebelumnya."
Roran mengerutkan kening. Tujuannya adalah membujuk orang-orang menerima rencananya, bukan mengikuti dirinya secara pribadi. Kalau itu konsekuensinya, apa boleh buat, pikirnya sambil mengangkat bahu. Sekalipun begitu, ia tidak siap menghadapi prospek tersebut. Sebelum ini, hal itu akan menjengkelkannya, tapi sekarang ia mensyukuri apa pun yang bisa membantunya menyelamatkan Katrina dan para penduduk desa.
Baldor mencondongkan tubuh ke saudaranya. "Ayah akan kehilangan sebagian besar peralatannya." Albriech mengangguk khidmat.
Roran tahu para tukang membuat alat apa pun yang diperlukan untuk tugasnya, dan alat buatan sendiri itu merupakan warisan yang diturunkan ayah kepada putranya, atau guru kepada murid. Ukuran kekayaan dan keahlian tukang besi adalah jumlah alat yang dimilikinya. Jika Horst meninggalkan peralatannya berarti.... Berarti tidak lebih buruk daripada apa yang harus dilakukan siapa pun, pikir Roran. Ia hanya prihatin karena rencana itu berarti mengambil warisan yang menjadi hak Albriech dan Baldor.
Sewaktu mereka tiba di rumah, Roran masuk ke kamar tidur Baldor dan membaringkan diri di ranjang. Dari balik dinding, ia masih bisa mendengar suara samar Horst dan Elain bercakap-cakap. Ia tertidur sambil membayangkan diskusi serupa yang berlangsung di seluruh Carvahall, menentukan nasibnya dan nasib mereka.
GEMA Pagi hari sesudah berpidato, Roran memandang keluar jendela dan melihat dua belas orang meninggalkan Carvahall, menuju Air Terjun Igualda. Ia menguap dan tertatih-tatih menuruni tangga ke dapur.
Horst duduk seorang diri di meja, memutar-mutar segelas bir. "Pagi," sapanya.
Roran mendengus, mencabik sepotong roti dari bongkahan di meja, lalu duduk di ujung seberang. Sementara makan, ia menyadari mata Horst merah dan janggutnya kusut. Roran menebak tukang besi itu terjaga sepanjang malam. "Kau tahu kenapa orang-orang itu naik--"
"Mereka harus berbicara dengan keluarganya," kata Horst tiba-tiba. "Mereka pergi ke Spine se
jak subuh." Ia meletakkan gelasnya begitu keras sehingga berbunyi. "Kau tidak tahu apa Yang kaulakukan, Roran, dengan meminta kami pergi. Seluruh desa ribut. Kau menyudutkan kami dengan hanya satu jalan keluar: jalanmu. Ada yang membencimu karena itu. Tentu saja beberapa orang sudah membencimu karena menimpakan masalah ini pada kami."
Roti dalam mulut Roran terasa seperti serbuk gergaji sementara kemarahan membara dalam dirinya. Eragon yang membawa pulang batu itu bukan aku. "Dan yang lainnya""
Horst menghirup bir dan meringis. "Yang lain memuja dirimu. Aku tidak pernah menduga akan melihat hari ketika putra Garrow mampu menggerakkan hatiku dengan kata-kata, tapi ltulah yang kaulakukan, Nak, itulah yang kaulakukan." Ia mengayunkan tangan yang keriput ke atas kepalanya. "Semua ini" Kubangun semua ini untuk Elain dan putra-putraku. Aku membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikannya! Kau lihat balok di atas pintu sana itu" Tiga jari kakiku patah karena memasang balok itu. Dan kau tahu" Aku akan meninggalkannya karena apa yang kaukatakan semalam.
Roran tetap membisu; itulah yang diinginkannya. Meninggalkan Carvahall merupakan tindakan yang benar, dan karena ia telah membulatkan tekad untuk memilih jalan itu, Ia tidak melihat alasan untuk menyiksa diri dengan perasaan bersalah dan menyesal. Keputusan telah diambil. Akan kuterima hasilnya tanpa mengeluh, sesuram apa pun, karena hanya ini satu-satunya jalan kami meloloskan diri dari Kekaisaran.
"Tapi," Horst berkata, dan mencondongkan tubuh ke depan pada satu siku, matanya yang hitam membara di bawah alis, "kau harus ingat bahwa jika kenyataan tidak seindah impian yang kausebutkan, ada utang yang harus dibayar. Kau memberi orang-orang harapan lalu mengambil kembali harapan itu, maka mereka akan menghancurkan dirimu."
Roran tidak memedulikan prospek itu. Kalau kita berhasil mencapai Surda, kita akan disambut para pemberontak bagai pahlawan. Kalau tidak, kematian kita akan melunasi semua utang. Sewaktu jelas bahwa tukang besi itu telah selesai bicara, Roran bertanya, "Mana Elain""
Horst mengerutkan kening karena perubahan topik pembicaraan. "Di belakang." Ia bangkit dan merapikan tunik di bahunya yang kekar. "Aku harus membereskan bengkel dan memutuskan alat mana yang akan kubawa. Akan kusembunyikan atau kuhancurkan sisanya. Kekaisaran tidak boleh mendapat keuntungan dari pekerjaanku."
"Akan kubantu." Roran mendorong kursinya ke belakang.
"Tidak," kata Horst kasar. "Hanya aku dengan Albriech dan Baldor yang bisa melakukan tugas ini. Bengkel itu seluruh hidupku, dan hidup mereka... Lagi pula kau tidak akan banyak membantu dengan lengan seperti itu. Tetaplah di sini. Elain bisa memanfaatkan dirimu."
Sesudah tukang besi itu pergi, Roran membuka pintu samping dan mendapati Elain bercakap-cakap dengan Gertrude di dekat tumpukan tinggi kayu bakar yang selalu diisi Horst sepanjang tahun. Tabib itu mendekati Roran dan menempelkan tangan di keningnya. "Ah, tadinya aku khawatir kau akan demam sesudah keributan kemarin. Keluargamu selalu pulih dengan kecepatan luar biasa. Aku nyaris tidak memercayai sewaktu Eragon mulai berjalan sesudah kulit kakinya terkelupas dan ia harus terbaring dua hari di ranjang." Roran mengejang mendengar nama sepupunya disebut, tapi Gertrude tampak tidak menyadarinya. "Coba kulihat bagaimana keadaan lenganmu, boleh""
Roran membungkuk agar Gertrude bisa meraih ke belakangnya dan membuka simpul gendongan wolnya. Sesudah selesai, dengan hati-hati ia menurunkan lengan kanannya--yang dijepit belat--hingga lengannya lurus. Gertrude menyelipkan jari ke bawah ramuan yang ditempelkan ke lukanya dan mengupasnya.
Pendekar Pedang Sakti 13 Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Para Ksatria Penjaga Majapahit 16

Cari Blog Ini